BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik. Tetapi , petunjuk yang umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Keadan hipoperfusi ini memburuk hantaran oksigen dan nutrisi, serta pembuangan sisa-sisa metabolik pada tingkat jaringan. Hipoksia jaringan akan menggeser metabolisme dari jalur oksiditif ke jalur anaerob yang mengakibatkan pembentukan asam laktat. Kekacauan metabolisme yang progresif menyebabkan syok berlarut-larut yang pada puncaknya dapat menyebabkan kemunduran sel dan keruskan multi sistem. Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat : 1. Tahap1, syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya respon kompensatorik 2. Tahap 2, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan 3. Tahap 3, kemunduran fungsi organ. tahap refrakter (irreversible ) yaitu tahap kerusakan sel yanghebat tidak dapat lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada kematian B. Tujuan Tujuan Umum : 1. Dapat melakukan tindakan pada pasien yang mengalami syok Tujuan Khusus : 1. Menjelaskan struktur dan fungsi system sirkulasi 2. Menjelaskan tanda dan gejala syok 3. Menjelaskan klasifikasi syok dan perdarahan 4. Mengetahui langkah-langkah menanggulangi syok BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi Syok adalah suatu keadaan gawat yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai,syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian sel maupun jaringan yang pada akhirnya dapat menimbulkan kematian apabila tidak segera ditanggulangi. Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah,termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi). B. Jenis-Jenis Syok 1. Syok Hipovolemik Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik). Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). 2. Syok Kardiogenik Disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpainya adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung. 3. Shock Septic Suatu keadaan dimana tekanan darah turun sampai tingkat yang membahayakan nyawa sebagai akibat dari sepsis, disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Syok septik terjadi akibat racun yang dihasilkan oleh bakteri tertentu dan akibat sitokinesis (zat yang dibuat oleh sistem kekebalan untuk melawan suatu infeksi).Racun yang dilepaskan oleh bakteri bisa menyebabkan kerusakan jaringan dan gangguan peredaran darah. Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. 4. Shock Anafilaktik Syok anafilaktik merupakan suatu reaksi alergi yang cukup serius. Penyebabnya bisa bermacam macam mulai dari makanan, obat obatan, bahan bahan kimia dan gigitan serangga. Disebut serius karena kondisi ini dapat menyebabkan kematian dan memerlukan tindakan medis segera. Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme yang menurunkan ventilasi. C. Derajat Syok menurut Kegawatannya 1. Syok Ringan a) Kehilangan volume darah <20%, b) Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan. c) Tanda klinis: rasa dingin, hipotensi postural, takikardi, kulit lembab, urine pekat, diuresis kurang, kesadaran masih normal 2. Syok Sedang a) Kehilangan cairan 20%-40% dari volume darah total b) Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik. c) Tanda klinis: penurunan kesadaran, delirium/agitasi, hipotensi, takikardi, nafas cepat dan dalam, oliguri, asidosis metabolik. 3. Syok Berat Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun). D. Etiologi Penyebab syok berdasarkan jenis syok sebagai berikut : 1. syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): a) kehilangan darah, misalnya perdarahan b) kehilangan plasma, misalnya luka bakar c) dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah,). d) cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus). 2. syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri): a) penyakit jantung iskemik, seperti infark b) obat-obat yang mendepresi jantung; dan c) gangguan irama jantung. 3.syok septic a) infeksi bakteri gram negative b) malnutrisi, c) luka besar terbuka d) iskemia saluran pencernaan 4. syok anafilaktik a) makanan, b) obat obatan, c) bahan-bahan kimia dan d) gigitan serangga E. Tanda-Tanda dan Gejala Syok 1. syok hipovolemik a. pucat b. kulit dingin c. takikardi d. oliguri e. hipotensi 2. syok kardiogenik a. hipotensi (< 90 mmHg) b. gelisah, c. pucat, d. kulit dingin dan basah, e. menurunnya kesadaran f. nadi : pengisian kurang, cepat 90-110/menit. Mungkin bradikardi g. pernapasan : takipnea, h. produksi urin berkurang (Oliguria : < 30 mg/jam) 3. syok septic a. pernafasan menjadi cepat, b. hipotensi c. menggigil hebat, d. suhu tubuh yang naik sangat cepat e. kulit hangat dan kemerahan f. denyut nadi lemah g. tekanan darah yang turun-naik h. oliguri 4. syok anafilaktik a. bercak kemerahan pada kulit yang disertai dengan rasa gatal. b. bengkak pada tenggorokan dan atau organ tubuh yang lain. c. sesak atau kesulitan untuk bernafas. d. rasa tidak nyaman pada dada (seperti diikat dengan kencang). e. suara serak. f. kehilangan kesadaran. g. kesulitan menelan. h. diare, sakit perut dan muntah muntah. i. kulit menjadi merah atau pucat. F. Patofisiologi Syok menurut Jenisnya 1. Syok Hipovolemik Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan cara mengaktifkan 4 sistem major fisiologi tubuh: sistem hematologi, sistem kardiovaskular, sistem renal dan sistem neuroendokrin.system hematologi berespon kepada perdarahan hebat yag terjadi secara akut dengan mengaktifkan cascade pembekuan darah dan mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan thromboxane A2 lokal) dan membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang secara subsekuen akan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi dari subatan yang dibentuk. Kurang lebih 24 jam diperlukan untuk pembentukan sumbatan fibrin yang sempurna dan formasi matur. Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meninggikan kontraktilitas myocard, dan mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini timbul akibat peninggian pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus vagus (yang diregulasikan oleh baroreseptor yang terdapat pada arkus karotid, arkus aorta, atrium kiri dan pembuluh darah paru. System kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan darah ke otak, jantung, dan ginjal dan membawa darah dari kulit, otot, dan GI. System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang meningkatkan pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari pelepasan rennin kemudian dip roses kemudian terjadi pembentukan angiotensi II yang memiliki 2 efek utama yaitu memvasokontriksikan pembuluh darah dan menstimulasi sekresi aldosterone pada kortex adrenal. Adrenal bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan konservasi air. System neuro endokrin merespon hemoragik syok dengan meningkatkan sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior yang merespon pada penurunan tekanan darah dan penurunan pada konsentrasi sodium. ADH secara langsung meningkatkan reabsorsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distal. 2. Syok Kardiogenik Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada gilirannya meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan. Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab. Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekananakhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif. 3. Syok Septic Terjadinya syok septik dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan humoral dan aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding bakteri gram negative dan endotoksinnya serta komponen dinding sel bakteri gram positif dapat mengaktifkan: a. Sistem komplemen Sistem komplemen yang sudah diaktifkan akan meranngsang netrofil untuk saling mengikat dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya dilepaskan derivate asam arakhidonat, enzim lisosom superoksida radikal, sehingga memberikan efek vasoaktif local padam ikrovaskuler yang mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Di samping itu system komplemen yang sudah aktif dapat langsung menimbulkan meningkatnya efek kemotaksis,superoksida radikal,enzim lisosom. Membentuk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit LBP-LPS monosit kompleks dapat mengaktifkan cytokines kemudian akan merangsang neutrofil atau sel endotel, selendotel akan menagakobatkan vasodilatasi pembuluh darah dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perubahan metabolik dan perubahan hormonal. b. Faktor XII (Hageman faktor) Faktor XII (Hagamen factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam teikot yang terdapat pada dinding bakteri garam ositif. Factor XII yang sudah aktif akan meningkatkan pemakaian factor koagulasi sehingga terjadi DIC. Faktor XII yang sudah aktif akan mengubah prekallikrein menjadi kalikrein,kalikrein mengubah kininogen sehingga terjadi pelepasan. Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolic (seperti urea nitrogen) dalam darah akan meningkat. Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasi oksigen. Pemeriksaan EKG jantung menunjukkan ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak memadai ke otot jantung. Bahkan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi. 4. Syok Anafilaktik Anafilaksis adalah reksi sistemik yang disebabkan oleh antigen khusus yang bereaksi dengan molekul IgE pada permukaan sel mast dan basofil yang menyebabkan pengeluaran segera beberapa mediator yang kuat. Satu efek utamanya adalah menyebabkan basofil dalam darah dan sel mast dalam jaringan prekapiler melepaskan histamin atau bahan seperti histamin. Histamin selanjutnya menyebabkan : a. Kenaikan kapasitas vascular akibat dilatasi vena, b. Dilatasi arteriol yang mengakibatkan tekanan arteri menjadi sangat menurun,dan c. Kenaikan luar biasa pada permeabilitas kapiler dengan hilangnya cairan dan protein kedalam ruang jaringan secara cepat. Hasil akhirnya menrupakan penurunan luar biasa pada aliran balik vena dan sering menimbulkan syok serius sehingga pasien meninggal dalam beberapa hari. d. Mediator ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala urtikaria, angiodema, spasme bronkus,spasme laring, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, vasodilatasi, dan nyeri abdomen. Jika seseorang sensitive terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat antibody dipermukaan sel mast sehingga terjadi degranulasi , pengeluaran histamine,dan zat vasoaktif lain. Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler menyeluruh dan menyebabkan udema. Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase : a. Fase Sensitisasi, Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Allergen masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana akan sitokinin yang mengindukasi Limfosit B berproliferasi menjadisel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. a. Fase Aktivasi Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Masstosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada pemaparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamine,serotin,bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat darimembran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) danProstaglandin yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators. b. Fase Efektor Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ-organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan permeabilitasvaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi, demikian juga dengan Leukotrien. G. Komplikasi Syok Komplikasi syok meliputi: 1. SIRS, dapat terjadi bola syok tidak dikoreksi 2. Gagal ginjal akut (ATN) 3. Gagal hati 4. H. Ulserasi akibat stress Penanganan Kegawatan Syok di Rumah Sakit 1. Syok Hipovolemik a. Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16. b. Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. c. Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan darah. d. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan. Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus: a. Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia. b. Tekanan darah atau tekanan : bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan. c. Produksi urin : Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. d. e. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. f. Dopamin 2--5 µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8--12 cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan. 2. a. Syok Kardiogenik Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi. b. Berikan oksigen 8 - 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankanPO2 70 - 120 mmHg c. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus diatasidengan pemberian morfin d. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi. e. Bila mungkin pasang CVP f. Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik. g. Medikamentosa : a) Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri b) Anti ansietas, bila cemas. c) Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi d) Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit e) Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak adekuat.Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m f) Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m.bila ada dapat diberikan amrinon IV g) Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m h) Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan i) Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel. 3. Syok Septic Pada saat gejala syok septik timbul: a. Penderita segera dimasukkan ke ruang perawatan intesif untuk menjalani pengobatan. b. Cairan dalam jumlah banyak diberikan melalui infus untuk menaikkan tekanan darah dan harus diawasi dengan ketat. c. Bisa diberikan dopamin atau nor-epinefrin untuk menciutkan pembuluh darah sehingga tekanan darah naik dan aliran darah ke otak dan jantung meningkat. d. e. Jika terjadi gagal paru-paru, mungkin diperlukan ventilator mekanik. Antibiotik intravena (melalui pembuluh darah) diberikan dalam dosis tinggi untuk membunuh bakteri. f. g. Jika ada abses, dilakukan pembuangan nanah. Jika terpasang kateter yang mungkin menjadi penyebab infeksi, harus dilepaskan. h. Mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk mengangkat jaringan yang mati, misalnya jaringan gangren dari usus. 4. Syok Anafilaktik Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah: 1. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah. 2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: A. Airway = jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala, leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. B. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. C. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.karotis, atau a. emoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru. 3. Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit. 4. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus. 5. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel. 6. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. 7. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. 8. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi. I. Penanggulangan Kegawatan Syok secara Umum Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. 1. (A = air way) Jalan nafas harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. 2. (B = breathing) Pernafasan harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. 3. (C = circulation) Defisit volume peredaran darah pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obatobatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Langkah-langkah yang perlu dilakukan sbg pertolongan pertama dalam menghadapi syok: 1. Bawa penderita ke tempat teduh dan aman 2. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. 3. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas. 4. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk menghindari terjadinya asfiksia. 5. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh lainnya. 6. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi telentang datar. 7. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengan kaki ditinggikan 20-30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali. 8. Pakaian dilonggarkan 9. Beri selimut 10. Tenangkan penderita 11. Pastikan jalan nafas & Pernafasan baik 12. Kontrol perdarahan & rawat cedera lainnya 13. Beri Oksigen sesuai protokol 14. Jangan beri makan & minum 15. Periksa berkala tanda vital 16. Rujuk ke fasilitas kesehatan. KEPERAWATAN KEGAWAT DARURAT BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005). Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002). Pengkajian yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan akan menghasilkan data yang dibutuhkan untuk merawat pasien sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian dibutuhkan kemampuan kognitif, psikomotor, interpersonal, etik dan kemampuan menyelesaikan maslah dengan baik dan benar. Perawat harus memastikan bahwa data yang dihasilkan tersebut harus dicatat, dapat dijangkau, dan dikomunikasikan dengan petugas kesehatan yang lain. Pengkajian yang tepat pada pasien akan memberikan dampak kepuasan pada pasien yang dilayani (Kartikawati, 2012). Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses, prosedur dan harga (Joewono, 2003). 2. RUMUSAN MASALAH 1. Menjelaskan latar belakang perlunya pendidikan kegawatdaruratan ? 2. Menjelaskan tujuan perlunya pendidikan pembelajaran kegawatdaruratan ? 3. Menjelaskan konsep kegawatdaruratan ? 3. TUJUAN PENULISAN Mahasiswa mampu memahami tentang konsep latar belakang dan tujuan pentingnya pendidikan kegawatdaruratan dalam keperawatan dan melakukan klasifikasi pada pasien serta dapat mengaplikasikannya dalam dunia keperawatan nantinya. 4 METODE PENULISAN Penulisan makalah ini dengan menggunakan metode studi kepustakaan yaitu dengan cara mencari dan membaca literatur yang ada di perpustakaan, jurnal, media internet. 5 SISTEMATIKA PENULISAN Makalah ini disusun secara teoritis dan sistematis yang tediri dari 3 bab yaitu : BAB I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II adalah materi tentang konsep latar belakang dan tujuan pentingnya pendidikan kegawatdaruratan. BAB II TINJAUN TEORI A. Latar Belakang KGD Menurut Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan. Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan bersifat cepat dan perlu tindakan yang tepat, serta memerlukan pemikiran kritis tingkat tinggi. Perawat gawat darurat harus mengkaji pasien mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut merupakan tantangan besar bagi perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang akurat melalui pendokumentasian. Di lingkungan gawat darurat, hidup dan mati seseorang ditentukan dalam hitungan menit. Sifat gawat darurat kasus memfokuskan kontribusi keperawatan pada hasil yang dicapai pasien, dan menekankan perlunya perawat mencatat kontribusi profesional mereka. Serta diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses, prosedur dan harga (Joewono, 2003). 2. Tujuan KGD Bagi profesi keperawatan pelatihan kegawatdaruratan, dapat dijadikan sebagai aspek legalitas dan kompetensi dalam melaksanakan pelayanan keperawatan gawat darurat yang tujuannya antara lain: a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap pelayanan keperawatan gawat darurat yang diberikan. b. Menginformasikan kepada masyarakat tentang pelayanan keperawatan gawat darurat yang diberikan dan tanggungjawab secara professional c. Memelihara kualitas/mutu pelayanan keperawatan yang diberikan d. Menjamin adanya perlindungan hokum bagi perawat e. Memotivasi pengembangan profesi f. Meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan Tujuan kegawatdaruratan adalah: a. Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada periderita gawat darurat, hingga dapat hidup dan berfungs kembali dalarn masyarakat sebagaimana mestinya. Merujuk penderita . gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang Iebih memadai. b. Menanggulangi korban bencana. 3. Berpikir Kritis Dalam Keperawatan Berpikir kritis dalam keperawatan menurut studi riset tahun 1997&1998 adalah komponen esensial dalam tanggung gugat profesional dan asuhan keperawatan yang bermutu seperti : kreatifitas, fleksibelitas, rasa ingin tahu, intuisi, pikiran terbuka (Rubenfeld, Barbara K. 2006). 4. Model Berpikir Kritis Dalam Keperawatan Terdapat 5 model berpikir yaitu : (Rubenfeld, Barbara K. 2006) a) T : total recall (ingatan total) b) H : habits (kebiasaan) c) I : inquiry (penyelidikan) d) N : new ideas and creativity (ide baru dan kreatifitas) e) K : knowing how you think (mengetahui bagaimana anda berpikir) 5. Perspektif Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan. Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama, penanganan transportasi yang diberikan kepada orang yang mengalami kondisi darurat akibat rudapaksa, sebab medik atau perjalanan penyakit di mulai dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai pengobatan definitif dilakukan di tempat rujukan. 6. Prinsip Gawat Darurat a. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik). b. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi. c. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan). d. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan. e. Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan yakinkan akan ditolong. f. Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya ada kondisi yang membahayakan. g. Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat. h. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai. Dalam beberapa jenis keadaan kegawatdaruratan yang telah disepakati pimpinan masing-masing rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap yang telah tersedia, maka perawat yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat bertindak langsung sesuai dengan prosedur tetap rumah sakit yang berlaku. Peran ini sangat dekat kaitannya dengan upaya penyelamatan jiwa pasien secara langsung. 7. Falsafah Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan a) Bidang cakupan keperawatan gawat darurat: pre hospital, in hospital, post hospital. b) Resusitasi pemulihan bentuk kesadaran seseorang yang tampak mati akibat berhentinya fungsi jantung dan paru yang berorientasi pada otak. c) Pertolongan diberikan karena keadaan yang mengancam kehidupan. d) Terapi kegawatan intensive: tindakan terbaik untuk klien sakit kritis karena tidak segera di intervensi menimbulkan kerusakan organ yang akhirnya meninggal. e) Mati klinis: henti nafas, sirkulasi terganggu, henti jantung, otak tidak berfungsi untuk sementara (reversibel). Resusitasi jantung paru (RJP) tidak dilakukan bila: kematian wajar, stadium terminal penyakit seperti kanker yang menyebar ke otak setelah 1/2-1 jam RJP gagal dipastikan fungsi otak berjalan. f) Mati biologis: kematian tetap karena otak kerkurangan oksigen. mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan yang mulai dari neuron otak yang nekrosis setelah satu jam tanpa sirkulasi oleh jantung, paru, hati, dan lain – lain. g) Mati klinis 4-6 menit, kemudian mati biologis. h) Fatwa IDI mati: jika fungsi pernafasan seperti jantung berhenti secara pasti (irreversibel atau terbukti kematian batang otak). 8. Ruang Lingkup Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan a. ICU (Intensive Care Unit) ICU adalah ruangan perawatan intensif dengan peralatan-peralatan khusus untuk menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau kompikasi lain. Misalnya terdapat sebuah kasus dalam sistem persyarafan dengan klien A cedera medula spinalis, cedera tulang belakang, klien mengeluh nyeri, serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung habis jatuh dari tangga. Dengan klien B epilepsi mengalami fase kejang tonik dan klonik pada saat serangan epilepsi dirumahnya. Dua kasus diatas memiliki sebuah perbedaan yang jelas dengan melihat kasus tersebut, yang meski dilakukan oleh seorang perawat adalah melihat kondisi si klien B maka lebih diutamakan dibandingkan dengan klien A karena pada klien B kondisi gawat daruratnya disebabkan oleh adanya penyakit epilepsi. Sedangkan untuk klien A dalam kondisi gawat darurat juga akan tetapi ia masuk kedalam unit atau bagian gawat darurat (UGD) bukan berarti tidak diperdulikan. b. UGD (Unit Gawat Darurat) UGD merupakan unit atau bagian yang memberikan pelayanan gawat darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut atau mengalami kecelakaan. Seperti pada kasus diatas pada klien A, ia mengalami suatu kecelakaan yang mengakibatkan cedera tulang belakang dengan demikian yang meski dibawa ke UGD adalah yang klien A yang mengalami kecelakaan tersebut. 9. Proses Keperawatan Gawat Darurat a. Waktu yang terbatas b. Kondisi klien yang memerlukan bantuan segera c. Kebutuhan pelayanan yang definitif di unit lain (OK, ICU) d. Informasi yang terbatas e. Peran dan sumber daya 10. Sasaran Pelayanan Gawat Darurat Ketepatan resusitasi efektif dan stabilisasi klien gawat dan yang mengalami perlukaan 11. Aspek Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat a) Cemas b) Histeris c) Mudah marah 12. Pengkajian terhadap prioritas pelayanan Perubahan tanda vital yang signifikan (hipo/hipertensi, hipo/hipertermia, disritmia, distres pernafasan). a. Perubahan/gangguan tingkat kesdaran (LOC) b. Nyeri dada terutama pada pasien berusia > 35 tahun c. Nyeri yang hebat d. Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan dengan penekanan langsung e. Kondisi yang dapat memperburuk jika pengobatan ditangguhkan f. Hilang penglihatans ecara tiba-tiba g. Perilaku membahayakan, menyerang h. Kondisi psikologis yang terganggu/perkosaan 13. Triage Tujuan triage adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu : Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses penanggulangan/pengobatan gawat darurat. a. Sistem Triage dipengaruhi oleh: Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien Denah bangunan fisik unit gawat darurat Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis b. Sistem Pelayanan Gawat Darurat Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asukan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga. Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepeda pesien. c. Triage Dalam Keperawatan Gawat Darurat Yaitu skenario pertolongan yang akan di berikan sesudah fase keadaan pasien. Pasien-pasien yang terancam hidupnya harus di beri prioritas utama. Triage dalam keperawatan gawat derurat di gunakan untuk mengklasifikasian keperahan penyakit atau cidera dan menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan petugas perawatan kesehatan yang efisien dan sumber-sumbernya. Standart waktu yang di perlukan untuk melakukan triase adalah 2-5 menit untuk orang dewasa dan 7 menit untuk pasien anak-anak. Triase di lakukan oleh perawat yang profesional (RN) yang sudah terlatih dalam prinsip triase, pengalaman bekerja minimal 6 bulan di bagian UGD, dan memiliki kualisifikasi: Menunjukkan kompetensi kegawat daruratan Sertifikasi ATLS, ACLS, PALS, ENPC Lulus Trauma Nurse Core Currikulum (TNCC) Pengetahuan tentang kebijakan intradepartemen Keterampilan pengkajian yang tepat, dll BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat berdasarkan keparahan cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui intervensi medis yang segera. Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan keahlian setempat. Sistem triase biasanya sering ditemukan pada perawatan gawat darurat di suatu bencana. Dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup pasien. Misalnya ada beberapa orang pasien yang harus ditangani oleh perawat tersebut.dimana setiap pasien dalam kondisi yang berbeda. Jadi perawat harus mampu menggolongkan pasien tersebut dengan sistem triase. 1.2 Tujuan a. Untuk mengetahui pengertian dan triage b. Untuk mengetahui tujuan triage c. Untuk mengetahui klasifikasi triage d. Untuk mengetahui pengambilan keputusan dalam triage BAB II TINJAUAN TEORI 1. Sejarah Triage Definisi : dari kata Perancis “ Trier “ yang artinya membagi dalam 3 group a) Di kembangkan di medan pertempuran b) Konsep ini digunakan bila terjadi bencana c) Dilaksanakan di ruang gawat darurat dari 1950 / 1960 karena 2 alasan : d) Meningkatkan kunjungan e) Meningkatkan penggunaan untuk non urgen 2. Pengertian Triage Triage adalah suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat kegawatan kondisinya. Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat berdasarkan keparahan cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui intervensi medis yang segera. Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan keahlian setempat. Prioritas yang lebih tinggi diberikan pada korban yang prognosis jangka pendek atau jangka panjangnya dapat dipengaruhi secara dramatis oleh perawatan sederhana yang intensif. Sistem triase biasanya sering ditemukan pada perawatan gawat darurat di suatu bencana. Misalnya ada beberapa orang pasien yang harus ditangani oleh perawat tersebut.dimana setiap pasien dalam kondisi yang berbeda. Jadi perawat harus mampu menggolongkan pasien tersebut dengan sistem triase. Pasien pertama kondisinya sudah tidak mungkin untuk diselamatkan lagi ( sudah meninggal), terdapat luka parah atau kebocoran di kepala, sehingga pasien tersebut digolongkan pada triase lampu hitam. pasien kedua kondisinya mengalami patah tulang, luka-luka dan memar pada tubuhnya, sehingga pasien berteriak, mungkin karena kejadian yang membuat pasien syok, maka pasien diklasifikasikan pada triase lampu hijau, tidak perlu penanganan cepat. Selanjutnya ditemui pasien dengan kondisi lemah, kritis, nadi lemah, serta pernafasan yang sesak. Maka pasien ini lah yang sangat membutuhkan pertolongan pada saat itu, yang tergolong pada triase lampu merah. Karena jika tidak diselamatkan, nyawa pasien bisa tidak tertolong lagi. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem triase ini digunakan untuk menentukan prioritas penanganan kegawat daruratan. Sehingga perawat benar-benar memberikan pertolongan pada pasien yang sangat membutuhkan, dimana keadaan pasien sangat mengancam nyawanya, namun dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan hidup pasien tersebut. Tidak membuang wakunya untuk pasien yang memang tidak bisa diselamatkan lagi, dan mengabaikan pasien yang membutuhkan. 3. Tujuan Triage Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan. Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu : Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses penanggulangan/pengobatan gawat darurat Sistem Triage dipengaruhi Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien Denah bangunan fisik unit gawat darurat Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis 4. Klasifikasi Triage Klasifikasi berdasarkan pada : a) Pengetahuan b) data yang tersedia c) situasi yang berlangsung Kode Warna International Dalam Triage : Sistem triage dikenal dengan system kode 4 warna yang diterima secara internasional. Merah menunjukan perioris tinggi perawatan atau pemindahan, Kuning menandakam perioritas sedang, hijau digunakan untuk pasien rawat jalan, dan hitam untuk kasus kematian atau pasien menjelang ajal. Perawat harus mampu mampu mengkaji dan menggolongkan pasien dalam waktu 2 – 3 menit. 1. Prioritas 1 atau Emergensi: warna MERAH (kasus berat) Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi segera, perdarahan berat, pasien dibawa ke ruang resusitasi, waktu tunggu 0 (nol) a. Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla b. Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat c. Fraktur terbuka dan fraktur compound d. Luka bakar > 30 % / Extensive Burn e. Shock tipe apapun 2. Prioritas 2 atau Urgent: warna KUNING (kasus sedang) Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau jalan kaki, waktu tunggu 30 menit, area critical care. a. Trauma thorax non asfiksia b. Fraktur tertutup pada tulang panjang c. Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW ) d. Cedera pada bagian / jaringan lunak 3. Prioritas 3 atau Non Urgent: warna HIJAU (kasus ringan) Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal, luka lama, kondisi yang timbul sudah lama, area ambulatory / ruang P3. a. Minor injuries b. Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan 4. Prioritas 0: warna HITAM (kasus meninggal) a. Tidak ada respon pada semua rangsangan b. Tidak ada respirasi spontan c. Tidak ada bukti aktivitas jantung d. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya 5. Proses Pengambilan Keputusan dan Triase Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dan integral pada medis dan praktik keperawatan. Penilaian klinis tentang pasien membutuhkan baik pemikiran dan intuisi, dan keduanya harus didasarkan pada professional,pengetahuan dan keterampilan. Banyak praktisi berpendapat bahwa pengambilan keputusan kritis adalah hanya sekitar akal sehat dan pemecahan masalah, dan sampai batas tertentu mereka sudah benar. Itu, bagaimanapun, lebih dari ini dan membutuhkan tingkat keterampilan tertentu. Dalam proses pengambilan keputusan dokter diharapkan untuk: 1. menafsirkan 2. mendiskriminasikan 3. mengevaluasi Strategi pengambilan keputusan : Sejumlah strategi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan: 1. Pemikiran Pada dasarnya ada dua tipe penalaran yang terlibat dalam berpikir kritis: Penalaran induktif adalah kemampuan untuk mempertimbangkan semua kemungkinan, dan ini sangat berguna untuk yang kurang berpengalaman. Melibatkan proses yang memakan waktu, mempertimbangkan semua informasi pasien yang dikumpulkan dalam rangka untuk mencapai keputusan tentang perawatan yang mereka butuhkan. Penalaran deductive adalah 'menyiangi' yang simultan dari solusi yang mungkin sementara aktif mengumpulkan informasi pasien, strategi ini sering tidak diketahui atau tidak dikenal dan menjadi bagian dari praktek ahli. Memungkinkan praktisi untuk cepat mengurutkan yang relevan dan tidak relevan dari informasi untuk mencapai keputusan. 2. Pengenalan pola Ini adalah strategi yang paling umum digunakan oleh dokter, dan sangat penting ketika membuat keputusan yang cepat berdasarkan informasi terbatas yang diperlukan selama triase. 3. Hipotesa berulang Hipotesa berulang digunakan oleh dokter untuk menguji penalaran diagnostik. Dengan mengumpulkan data untuk mengkonfirmasi atau menghilangkan hipotesis, keputusan dapat dibuat. Tergantung pada tingkat keahlian metode ini dapat berupa induktif atau deduktif. 4. Representasi mental Representasi mental adalah metode menyederhanakan situasi untuk memberikan gambaran umum, dan memungkinkan fokus pada informasi yang relevan. Strategi ini sering digunakan ketika suatu masalah yang sangat kompleks atau besar. Penggunaan analogi membantu dokter memvisualisasikan situasi dengan menyederhanakan masalah dan memungkinkan perspektif yang berbeda. Triase keputusan harus cepat dan metode ini telah digunakan secara terbatas pada tahap dalam perawatan pasien. 5. Intuisi Intuisi adalah terkait erat dengan keahlian, dan umumnya dipandang sebagai kemampuan praktisi untuk memecahkan masalah dengan data yang relatif sedikit. Intuisi jarang melibatkan analisis sadar dan sering dinyatakan sebagai 'firasat' atau 'firasat yang kuat'. Praktisi ahli melihat situasi secara holistik dan menggambarkan berdasarkan pengalaman masa lalu. Banyak pengetahuan mereka tertanam dalam praktek dan disebut sebagai lacit, di mana keputusan yang efektif yang dibuat dengan menggabungkan pengetahuan dengan teori-teori pengambilan keputusan dan berpikir intuitif. Perawat ahli banyak yang tidak menyadari proses mental yang mereka gunakan dalam penilaian dan pengelolaan pasien. Meskipun intition tetap terukur, nilai praktek klinis adalah mengakui dan didokumentasikan dengan baik. Pengambilan Keputusan Selama Triase Terdiri dari tiga tahap utama: a. Identifikasi masalah b. Penentuan alternatif dan. c. Pemilihan alternatif yang paling tepat Pendekatan untuk membuat keputusan penting menggunakan lima langkah berikut: 1. Mengidentifikasi masalah Ini dilakukan dengan mendapatkan informasi dari pasien, penjaga atau personil perawatan pra-rumah sakit. Fase ini memungkinkan diagram alur presentasi yang relevan untuk diidentifikasi. 2. Mengumpulkan dan menganalisis informasi yang terkait dengan solusi. Satu diagram alur telah diidentifikasi fase ini yang difasilitasi karena diskriminator dapat dicari pada setiap tingkat. Diagram aliran memfasilitasi penilaian cepat dengan menyarankan pertanyaan terstruktur. Pengenalan pola juga memainkan bagian di tahap ini. 3. Mengevaluasi semua alternatif dan memilih salah satu untuk pelaksanaa. Dokter mengumpulkan sejumlah besar data tentang pasien mereka menangani. Ini disusun ke dalam database mental mereka sendiri dan disimpan dalam kompartemen untuk mengingat mudah, hal ini paling efektif bila terkait dengan penilaian atau kerangka kerja organisasi. Kerangka ini berfungsi sebagai panduan untuk penilaian dan diatur sebagai kompartemen dengan sub-judul. Diagram alur penyajian menyediakan kerangka organisasi untuk memesan proses pemikiran selama triase. Diagram alur telah berkunjung ke link proses pengambilan keputusan ke dalam pengaturan klinis. Mereka membantu pengambilan keputusan dengan menyediakan struktur, dan juga dukungan staf junior karena mereka memperoleh keterampilan pengambilan keputusan. 4. Mengimplementasikan alternatif yang dipilih Hanya ada lima kategori triase mungkin untuk memilih. Ini memiliki nama spesifik dan defenitons. Praktisi triase menerapkan kategori tergantung pada urgensi dari kondisi pasien. Sekali prioritas dialokasikan jalur perawatan yang tepat dimulai. 5. Memantau pelaksanaan dan mengevaluasi hasil. Triase adalah dinamis dan harus responsif terhadap kebutuhan pasien dan departemen. Metode triase yang diuraikan dalam buku ini memastikan bahwa proses mencapai keputusan itu diatur. Oleh karena itu perawat akan dapat mengidentifikasi bagaimana dan mengapa mereka mencapai hasil (kategori). Ini memfasilitasi penilaian ulang dan konfirmasi berikutnya atau mengubah dalam kategori. 6. START ( Simple triage And Rapid Treatment) Adalah suatu system yang dikembangkan untuk memungkinkan paramedic memilah korban dalam waktu yang singkat kira – kira 30 detik. Yang perlu diobservasi : Respiration, Perfusion, dan Mental Status ( RPM ). System START di desain untuk membantu penolong untuk menemukan pasien yang menderita luka berat. Tahap pertama dalam START adalah untuk memberitahu orang / korban yang dapat bangun dan berjalan untuk pindah ke area yang telah ditentukan. Supaya lebih mudah untuk dikendalikan, bagi korban yang dapat berjalan agar dapat pindah dari area tempat pertolongan korban prioritas utama (merah / immediate ). Korban ini sekarang ditandai dengan status Minor / prioritas 3 ( hijau ). Jika korban protes disuruh pindah dikarenakan nyeri untuk berjalan, jangan paksa mereka untuk pindah. Tahap ke dua: Mulai dari tempat berdiri. Mulailah tahap ke 2 dari tempat berdiri, bergeraklah pindah dengan pola yang teratur dan mengingat korban. Berhenti pada masing – masing individu dan melakukan assesment dan tagging dengan cepat. Tujuannya adalah untuk menemukan pasien yang butuh penanganan segera (immediate, merah). START didasarkan pada 3 observasi : RPM ( respiration, perfusion, and Mental Status ) Respiration / breathing Jika pasien bernafas, kemudian tentukan frekuensi pernafasanya, jika lebih dari 30 / menit, korban ditandai Merah / immediate. Korban ini menujukkan tanda – tanda primer shock dan butuh perolongan segera. Jika pasien bernafas dan frekuensinya kurang dari 30 / menit, segera lakukan observasi selanjutnya ( perfusion and Mental status ). Jika pasien tidak bernafas, dengan cepat bersihkan mulut korban dari bahan – bahan asing. Buka jalan nafas, posisikan pasien untuk mempertahankan jalan nafasnya, dan jika pasien bernafas tandai pasien dengan immediate, jika pasien tidak bernafas setelah dialkukan maneuver tadi, maka korban tersebut ditandai DEAD. Perfusion or Circulating Bertujuan untuk mengecek apakah jantungnya masih memiliki kemampuan untuk mensirkulasikan darah dengan adekuat, dengan cara mengecek denyut nadi. Jika denyut nadi lemah dan tidak teratur korban ditandai immediate. jika denyut nadi telah teraba segera lakukan obserbasi status mentalnya. Mental status Untuk mengetesnya dapat dilakukan dengan memnberikan instruksi yang mudah pada korban tersebut : “buka matamu” atau “ tutup matamu “. Korban yang mampu mengikuti instuksi tersebut dan memiliki pernafasan dan sirkulasi yang baik, ditandai dengan Delayed Korban yang tidak bisa mengikuti instruksi tersebut ditandai dengan Immediate • Korban ‘D’ ditinggalkan di tempat mereka jatuh, ditutupi seperlunya. • Korban ‘I’ merupakan prioritas utama dalam evakuasi karena korban ini memerlukan Perawatan medis lanjut secepatnya atau paling lambat dalam satu jam (golden hour). • Korban ‘DEL’ dapat menunggu evakuasi sampai seluruh korban ‘I’ selesai ditranspor. • Jangan evakuasi korban ‘M’ sampai seluruh korban ‘I’ dan ‘DEL’ selesai dievakuasi. Korban ini dapat menunda perawatan medis lanjut sampai beberapa jam lamanya. Re-triase korban tetap dilakukan untuk melihat apakah keadaan korban memburuk. Reverse Triage Sebagai tambahan pada standar triase yang dijalankan, terdapat beberapa kondisi dimana korban dengan cedera ringan didahulukan daripada korban dengan cedera berat. Situasi yang memungkinkan dilakukan reverse triage yaitu pada keadaan perang dimana dibutuhkan prajurit yang terluka untuk kembali ke medan pertempuran secepat mungkin. Selain itu, hal ini juga mungkin dilakukan bila terdapat seumlah besar paramedis dan dokter yang mengalami cedera, dimana akan merupakan suatu keuntungan jika mereka lebih dulu diselamatkan karena nantinya dapat memberikan perawatan medis kepada korban yang lain. PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE. a. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan. b. Tim respons pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya, keamanan dan jumlah korban untuk menentukan tingkat respons yang memadai. c. Beritahukan koordinator untuk mengumumkan musibah massal dan kebutuhan akan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh beratnya kejadian. 4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia : a. Petugas Komando Musibah. b. Petugas Komunikasi. c. Petugas Ekstrikasi/Bahaya. d. Petugas Triase Primer. e. Petugas Triase Sekunder. f. Petugas Perawatan. g. Petugas Angkut atau Transportasi. 5. Kenali dan tunjuk area sektor musibah massal : a. Sektor Komando/Komunikasi Musibah. b. Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga). c. Sektor Musibah. d. Sektor Ekstrikasi/Bahaya. e. Sektor Triase. f. Sektor Tindakan Primer. g. Sektor Tindakan Sekunder. h. Sektor Transportasi. 6. Rencana Pasca Kejadian Musibah massal : a. Kritik Pasca Musibah. b. CISD (Critical Insident Stress Debriefing) BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam, tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain-lain. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu GOLDEN PERIOD (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru / CPR. 2. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan BLS? 2. Bagaimana langkah-langkah BLS? 3. Apa perbedaaan langkah-langkah BLS sistem ABC dengan CAB? 4. Bagaimana penggunaan sistem ABC saat ini? 5. Apa yang dimaksud dengan Emergency Medical Service? 3. Tujuan 1. Tujuan Khusus Agar mahasiswa memahami tentang BLS serta langkah-langkahnya. 2. Tujuan Umum a. Agar mahasiswa memahami tentang pengertian BLS. b. Agar mahasiswa memahami tentang langkah-langkah BLS. c. Agar mahasiswa memahami tentang perbedaaan langkah-langkah BLS sistem ABC dengan CAB. d. Agar mahasiswa memahami tentang penggunaan sistem ABC saat ini. e. Agar mahasiswa memahami tentang Emergency Medical Service BAB II TINJAUAN TEORI 1. Pengertian BLS Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung paru otak dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama. Namun pada pembahasan kali ini lebih difokuskan pada Bantuan Hidup Dasar. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses yang menuju kematian. Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia, karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit. 2. Langkah-Langkah BLS (Sistem CAB) 1. Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa teknik Look Listen and Feel. 2. Melakukan panggilan darurat. 3. Circulation : a. Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. b. Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban. c. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. d. Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada. e. Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur f. Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik) g. Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit. Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm). 4.Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas. 5.Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut : a. Pastikan hidung korban terpencet rapat b. Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam) c. Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin d. Berikan satu ventilasi tiap satu detik e. Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu detik. f. Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban. g. Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml. h. Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi. i. Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. j. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali. k. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway. l. Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak. 3. Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB No ABC CAB 1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien termasuk ada/tidaknya nafas secara visual. 2 Melakukan panggilan darurat Melakukan panggilan darurat dan mengambil AED 3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus 30 kompresi, sekitar 18 detik) 4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift) dilanjutkan memberi 2x ventilasi dalam-dalam) 5 Circulation (Kompresi jantung + Breathing ( memberikan ventilasi nafas buatan (30 : 2)) sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2)) 6 Defribilasi Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah : a. Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis segera (early defibrillation). b. Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik). c. Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang awam. Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada. 4. 1. Penggunaan Sistem ABC Saat ini : Pada korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon darurat. 2. Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui. 5. Emergency Medical Service Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas dengan skema di bawah ini : Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya yaitu : a. Siapa penolong pertamanya b. Berapa lama ditemukannya penderita, c. kecepatan meminta bantuan pertolongan Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat.. Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi. Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain. Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat terpadu. Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya : 1. Sistem komunikasi Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana berlangsung. 2. Pendidikan Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu : a. Menguasai cara meminta bantuan pertolongan b. Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru) c. Menguasai teknik mengontrol perdarahan d. Menguasai teknik memasang balut-bidai e. Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena bertugas sebagai pelayan masyarakat seperti polisi, petugas kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam kondisi : a. Penyakit anak b. Penyakit dalam c. Penyakit saraf Penyakit Jiwa d. Penyakit Mata dan telinga e. Dan lainya sesuai kebutuhan system Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun informal secara berkala dan berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang sama dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana masal. 3. Tranportasi Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara. Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana. 4. Pendanaan Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa 5. Quality Control Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan. KAD (Ketoasidosis Diabetik) BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Ketoasidosis adalah komplikasi akut Diabetes Melitus yang terjadi disebabkan karena kadar glukosa pada darah sangat tinggi. Keadaan tersebut merupakan keadaan serius yang dapat mengancam jiwa. Kondisi ketoasidosis dapat terjadi kapan saja terutama pada penderita Diabetes Melitus tipe 1. Berbeda dengan Diabetes Melitus tipe 1, pada Diabetes Melitus tipe 2, ketoasidosis terjadi pada keadaan-keadaan tertentu. Hal ini karena biasanya penderita Diabetes Melitus tipe 2 lebih sering mengalami koma hiperosmolar non ketotik. Acapkali terjadinya ketoasidosis diawali dari tidak patuhnya diabetesein pada pola diet yang telah ditetapkan. Disamping itu, ketoasidosis sering juga terpicu oleh jarangnya para diabetesein untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah serta kadar gula urin secara berkala.Gejala-gejala yang pertama kali timbul sama seperti gejala-gejala Diabetes Melitus yang tidak diobati. Yakni, mulut kering, rasa haus, intensitas buang air kecil jadi lebih sering (poliuria). Gejala lainnya seperti mual, muntah, dan nyeri perut bisa juga terjadi.Gejala-gejala selanjutnya dapat berupa seperti kesulitan bernafas, rasa dehidrasi, rasa mengantuk dan yang paling berat keadaan koma. Berdasarkan fakta dan fenomena tersebut maka penulis tertarik untuk membahas tentang diabetes ketoasidosis dan mengulas tentang etiologi, pathway dan pemeriksaan penunjang pada pasien dengan Diabetes Ketoasidosis serta mengulas tentang bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan diabetes ketoasidosis. B. TUJUAN 1. TUJUAN UMUM Dapat mengetahui tentang bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus diabetes ketoasidosis. 2. TUJUAN KHUSUS a. Mengetahui defenisi dari diabetes ketoasidosis b. Mengetahui etiologi dari diabetes ketoasidosis c. Mengetahui gejala klinis dari diabetes ketoasidosis d. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari diabetes ketoasidosis e. Mengetahui komplikasi dari diabetes ketoasidosis f. Mengetahui asuhan keperawatan pada diabetes ketoasidosis BAB II TINJAUAN TEORI A. PENGERTIAN Diabetik ketoasidosis adalah keadaan yang mengancam hidup komplikasi dari diabetes mellitus tipe 1 tergantung insulin dengan criteria diagnostic yaitu glukosa > 250 mg/dl, pH = < 7.3, serum bikarbonat <18 mEq/L, ketoanemia atau ketourinia.(Urden Linda, 2008). Ketoasidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan atau akut dari DM tipe I, disebabkan oleh meningkatnya keasaman tubuh bendabenda keton akibat kekurangan atau defisiensi insulin, di karakteristikan dengan hiperglikemia, asidosis, dan keton akibat kurangnya insulin ( Stillwell, 1992). Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan dapat sampai menyebabkan syok. B. ETIOLOGI Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau diabetes melitus tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses autoimun. Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau diabetes melitus tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin. Resistensu insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya. Artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada perangsangan sekresi insulin, berarti sel B pankreas mengalami desensitisasi terhadapglukosa. C. TANDA DAN GEJALA a. Poliuria b. Polidipsi c. Penglihatan kabur d. Lemah e. Sakit kepala f. Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau > pada saat berdiri) g. Anoreksia, Mual, Muntah h. Nyeri abdomen i. Hiperventilasi j. Perubahan status mental (sadar, letargik, koma) k. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl) l. Terdapat keton di urin m. Nafas berbau aseton n. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotic o. Kulit kering p. Keringat q. Kusmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolic D. PATOFISIOLOGI Diabetes ketoasidosis disebabakan oleh tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, keadaan ini mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran kliniks yang penting pada diabetes ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang pula. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan mengakibatkan hipergikemia. Dalam upaya untuk mnghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekresikan glukosa bersama – sama air dan elektrolit (seperti natrium, dan kalium). Diurisis osmotik yang ditandai oleh urinasi berlebihan (poliuri) ini kan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elekrolit. Penderita ketoasidosis yang berat dapat kehilangan kira – kira 6,5 liter air dan sampai 400 hingga 500 mEg natrium, kalium serta klorida selam periode waktu 24 jam. Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam – asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi benda keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terajdi produksi benda keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Benda keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalanm sirkulasi darah, benda keton akan menimbulkan asidosis metabolik (Brunner and suddarth, 2002). E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK A. Analisa Darah a) Kadar glukosa darah bervariasi tiap individu b) pH rendah (6,8 -7,3) c) PCO2 turun (10 – 30 mmHg)\ d) HCO3 turun (<15 mEg/L) e) Keton serum positif, BUN naik f) Kreatinin naik g) Ht dan Hb naik h) Leukositosis i) Osmolalitas serum meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l B. Elektrolit a) Kalium dan Natrium dapat rendah atau tinggi sesuai jumlah cairan yang hilang (dehidrasi). b) Fosfor lebih sering menurun C. Urinalisa a) Leukosit dalam urin b) Glukosa dalam urin D. EKG gelombang T naik E. MRI atau CT-scan F. Foto toraks F. PENATALAKSANAAN Prinsip terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia, dan ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada. Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU 1. Fase I/Gawat : a. Rehidrasi 1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam) 2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam) 3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi 4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi batang otak (24 –48jam) 5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5% 6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam) 7) Monitor keseimbangan cairan b. Insulin a) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc) b) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic c) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya tiap 4 jam sekali d) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15 mEq/L ³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3 c. Infus K (tidak boleh bolus) a) Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L b) Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L c) Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L d) Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam e) Infus Bicarbonat, Bila pH 7,1, tidak diberikan e) Antibiotik dosis tinggi, Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi 2. Fase II/Maintenance: a) Cairan maintenance Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU b) Kalium Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak. c) Saat sakit, makanlah sesuai pengaturan makan sebelumnya. Bila tidak nafsu makan, boleh makan bubur atau minuman berkalori lain. d) Minumlah yang cukup untuk mencegah dehidrasi. G. KOMPLIKASI A. ARDS (adult respiratory distress syndrome) Patogenesis terjadinya hal ini belum jelas, kemungkinan akibat rehidrasi yang berlebihan, gagal jantung kiri atau perubahan permeabilitas kapiler paru B. DIC (disseminated intravascular coagulation) C. Edema otak Adanya kesadaran menurun disertai dengan kejang yang terjadi terus menerus akan beresiko terjadinya edema otak. D. Gagal ginjal akut Dehidrasi berat dengan syok dapat mengakibatkan gagal ginjal akut. E. Hipoglikemia dan hiperkalemia Terjadi akibat pemberian insulin dan cairan yang berlebihan dan tanpa pengontrolan. ARDS BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan dalam globalisasi khususnya di bidang kesehatan bahwa banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mencegah berbagai penyakit salah satunya ARDS yaitu merupkan Gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru akibat kondisi atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Sindrom gagal pernafasan merupakan gagal pernafasan mendadak yang timbul pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. Dalam sumber lain ARDS merupakan kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau nonpulmonal. Beberapa factor pretipitasi meliputi tenggelam, emboli lemak, sepsis, aspirasi, pankretitis, emboli paru, perdarahan dan trauma berbagai bentuk. Dua kelompok yang tampak menjadi resiko besar untuk sindrom adalah yang mengalami sindrom sepsis dan yang mengalami aspirasi sejumlah besar cairan gaster dengan pH rendah. Kebanyakan kasus sepsis yang menyebabkan ARDS dan kegagalan organ multiple karena infeksi oleh basil aerobic gram negative. Kejadian pretipitasi biasanya terjadi 1 sampai 96 jam sebelum timbul ARDS. ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun 1967. Ini meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal, menyebabkan edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut infiltrasi pulmonal yang berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi meskipun diberi suplemen oksigen dan pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) kurang dari 18 mmHg. ARDS sering terjadi dalam kombinasi dengan cidera organ multiple dan mungkin menjadi bagian dari gagal organ multiple. Prevalensi ARDS diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Sampai adanya mekanisme laporan pendukung efektif berdasarkan definisi konsisten, insiden yang benar tentang ARDS masih belum diketahui. Laju mortalitas tergantung pada etiologi dan sangat berfariasi. ARDS adalah penyebab utama laju mortalitas di antara pasien trauma dan sepsis, pada laju kematian menyeluruh kurang lebih 50% – 70%. Perbedaan sindrom klinis tentang berbagai etiologi tampak sebagai manifestasi patogenesis umum tanpa menghiraukan factor penyebab. 2. RUMUSAN MASALAH A. Apa yang dimaksud dengan Acut Respiratory Distress syndrome? B. Bagaimana memahami konsep dari ARDS? 3. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Agar mahasiswa/i dapat meningkatkan wawasan dan ilmu pengetahuan serta untuk pegangan dalam memberikan bimbingan dan asuhan keperawatan pada klien dengan ARDS serta Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan gawat darurat. 2. Tujuan Khusus a. Agar mahasiswa/i mampu memahami dan menjelaskan dan tentang ARDS b. Agar mahasiswa memahami konsep dari ARDS c. Agar mahasiswa mampu mengaplikasikan nya di dalam kehidupan. BAB II PEMBAHASAN 1. DEFINISI Gagal nafas akut /ARDS adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997) Gagal nafas akut/ARDS adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001) Gagal nafas akut/ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001) Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS (Gagal nafas Akut) merupakan ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen dalam darah sehingga pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel –sel tubuh.sehingga tegangan oksigen berkurang dan akan peningkatan karbondioksida akan menjadi lebih besar. 2. ETIOLOGI 1. Depresi Sistem saraf pusat Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal 2. Kelainan neurologis primer Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi. 3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas. 4. Trauma Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar. 5. Penyakit akut paru Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas. 3. PATOFISIOLOGI Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut. 4. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis utama pada kasus ARDS : 1. Peningkatan jumlah pernapasan 2. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis 3. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan 4. Penurunan kesadaran mental 5. Takikardi, takipnea 6. Dispnea dengan kesulitan bernafas 7. Terdapat retraksi interkosta 8. Sianosis 9. Hipoksemia 10. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing 11. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop 5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan fungsi ventilasi a) Frekuensi pernafasan per menit b) Volume tidal c) Ventilasi semenit d) Kapasitas vital paksa e) Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik f) Daya inspirasi maksimum g) Rasio ruang mati/volume tidal h) PaCO2, mmHg. 2. Pemeriksaan status oksigen 3. Pemeriksaan status asam-basa 4. Arteri gas darah (AGD) menunjukkan penyimpangan dari nilai normal pada PaO2, PaCO2, dan pH dari pasien normal; atau PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 lebih dari 50 mmHg, dan pH < 7,35. 5. Oksimetri nadi untuk mendeteksi penurunan SaO2 6. Pemantauan CO2 tidal akhir (kapnografi) menunjukkan peningkatan 7. Hitung darah lengkap, serum elektrolit, urinalisis dan kultur (darah, sputum) untuk menentukan penyebab utama dari kondisi pasien. 8. Sinar-X dada dapat menunjukkan penyakit yang mendasarinya. 9. EKG, mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan, disritmia. 10. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah : a) Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ) 2. Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi b) Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi c) Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini d) Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut 11. Pemeriksaan Rontgent Dada : a) Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru b) Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli 12. Tes Fungsi paru : a) Pe ↓ komplain paru dan volume paru b) Pirau kanan-kiri meningkat 6. PENATALAKSANAAN MEDIS Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki masalah ancama kehidupan dengan segera, antara lain : A. Terapi Oksigen Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik yang penting dan secara potensial mempunyai efek samping toksik. Pasien tanpa riwayat penyakit paru-paru tampak toleran dengan oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa abnormalitas fisiologi yang signifikan. B. Ventilasi Mekanik Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanis. Terapi modalitas ini bertujuan untuk memmberikan dukungan ventilasi sampai integritas membrane alveolakapiler kembali membaik. Dua tujuan tambahan adalah : Memelihara ventilasi adekuat dan oksigenisasi selama periode kritis hipoksemia berat. Mengatasi factor etiologi yang mengawali penyebab distress pernapasan. C. Positif End Expiratory Breathing (PEEB) Ventilasi dan oksigen adekuat diberikan melaui volume ventilator dengan tekanan dan kemmampuan aliran yang tinggi, di mana PEEB dapat ditambahkan. PEEB di pertahankan dalam alveoli melalui siklus pernapasan untuk mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi. D. Memastikan volume cairan yang adekuat Dukungan nutrisi yang adekuat sangatlah penting dalam mengobati pasien ARDS, sebab pasien dengan ARDS membutuhkan 35 sampai 45 kkal/kg sehari untuk memmenuhi kebutuhan normal. E. Terapi Farmakologi Penggunaan kortikosteroid dalam pengobatan ARDS adalah controversial, pada kenyataanya banyak yang percaya bahwa penggunaan kortikosteroid dapat memperberat penyimpangan dalam fungsi paru dan terjadinya superinfeksi. Akhirnya kotrikosteroid tidak lagi di gunakan. F. Pemeliharaan Jalan Napas Selan endotrakheal di sediakan tidak hanya sebagai jalan napas, tetapi juga berarti melindungi jalan napas, memberikan dukungan ventilasi kontinu dan memberikan kosentrasi oksigen terus-menerus. Pemeliharaan jalan napas meliputi : mengetahui waktu penghisapan, tehnik penghisapan, dan pemonitoran konstan terhadap jalan napas bagian atas. G. Pencegahan Infeksi Perhatian penting terhadap sekresi pada saluran pernapasan bagian atas dan bawah serta pencegahan infeksi melalui tehnik penghisapan yang telah di lakukan di rumah sakit. H. Dukungan nutrisi Malnutrisi relative merupakan masalah umum pada pasien dengan masaalah kritis. Nutrisi parenteral total atau pemberian makanan melalui selang dapat memperbaiki malnutrisi dan memmungkinkan pasien. STROKE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia (Yastroki, 2009). Angka ini diperberat dengan adanya pergeseran usia penderita stroke yang semula menyerang orang usia lanjut kini bergeser ke arah usia produktif. Bahkan, kini banyak menyerang anak-anak usia muda (Gemari, 2008). Stroke merupakan suatu gangguan disfungsi neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam beberapa detik) atau setidak-tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala gejala dan tanda-tanda yang sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu World Health Organization (WHO, 2005). Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat. Mengacu pada laporan American Heart Association, sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat terserang stroke setiap tahunnya. Dari jumlah ini, 610.000 diantaranya merupakan serangan stroke pertama, sedangkan 185.000 merupakan stroke yang berulang. Saat ini ada 4 juta orang di Amerika Serikat yang hidup dalam keterbatasan fisik akibat stroke, dan 15-30% di antaranya menderita cacat menetap Centers for Disease Control and Prevention ( CFDCP, 2009). Stroke merupakan satu masalah kesehatan yang besar dalam kehidupan modern saat ini. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Stroke dapat menyerang setiap usia, namun yang sering terjadi pada usia di atas 40 tahun. Angka kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia, makin tinggi usia seseorang, makin tinggi kemungkinan terkena serangan stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2006). Secara ekonomi, insiden stroke berdampak buruk akibat kecacatan karena stroke akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan kemampuan ekonomi masyarakat dan bangsa (Yastroki, 2009). Stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena Stroke, dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di tempat tidur (HIMAPID FKM UNHAS,2007). Stroke merupakan masalah kesehatan dan perlu mendapat perhatian khusus. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di hampir seluruh RS di Indonesia. Angka kejadian stroke meningkat dari tahun ke tahun, Setiap tahun 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke (DEPKES,2011). Berdasarkan catatan rekam medis RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat, Khususnya Ruang ICU pada bulan Januari – Maret 2015, pasien dengan masalah Stroke Haemoragik berjumlah 6 orang dari 429 pasien (1,39%), selama tiga bulan terakhir ini. Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti usia, ras, gender, genetik, dan riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors) berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan oral kontrasepsi, alkohol, dislipidemia (PERDOSSI, 2007). B. Tujuan 1. Tujuan umum Penulis memperoleh pengalaman dan gambaran secara nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan Stroke Haemoragik. 2. Tujuan Khusus a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Stroke Haemoragik. b. Menentukan masalah keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik. c. Merencanakan asuhan keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik. d. Melaksanakan tindakan keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik e. Melakukan evaluasi keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik. f. Mengidentifikasi kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus. g. Mengidentifikasi faktor – faktor pendukung, penghambat, serta mencari solusi/ alternatif pemecahan masalah. BAB II TINJAUAN TEORI A. Defenisi Stroke Hemoragik Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah di otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke hemoragi antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun (Ria Artiani, 2009). Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan kemudian merusaknya (M. Adib, 2009). Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Muttaqin, 2008). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa stroke hemoragik adalah salah satu jenis stroke yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah di otak sehingga darah tidak dapat mengalir secara semestinya yang menyebabkan otak mengalami hipoksia dan berakhir dengan kelumpuhan. B. Etiologi Stroke Hemoragik Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi a. Aneurisma Berry, biasanya defek kongenital. b. Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis. Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan c. Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis. d. Malformasi arteriovenous, adalah pembuluh darah yang mempunyai bentuk abnormal, terjadi hubungan persambungan pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena, menyebabkan mudah pecah dan menimbulkan perdarahan otak. e. Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan degenerasi pembuluh darah. Faktor resiko pada stroke adalah a. Hipertensi b. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif) c. Kolesterol tinggi, obesitas d. Peningkatan hematokrit (resiko infark serebral) e. Diabetes Melitus (berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi) f. Kontrasepasi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar estrogen tinggi) g. Penyalahgunaan obat (kokain), rokok dan alcohol C. Patofisiologi Stroke Hemoragik Ada dua bentuk CVA bleeding 1. Perda 2. rahan intra cerebral Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan TIK yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di daerah putamen, talamus, sub kortikal, nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding permbuluh darah lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid. Perdarahan sub arachnoid Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma paling sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willisi. berupa AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang subarakhnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik anaerob,yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak. D. Manifestasi Klinis Stroke Hemoragik Kemungkinan kecacatan yang berkaitan dengan stroke 1. Daerah a. serebri media a. Hemiplegi kontralateral, sering disertai hemianestesi b. Hemianopsi homonim kontralateral c. Afasi bila mengenai hemisfer dominan d. Apraksi bila mengenai hemisfer nondominan 2. Daerah a. Karotis interna Serupa dengan bila mengenai a. Serebri media 3. Daerah a. Serebri anterior a. Hemiplegi (dan hemianestesi) kontralateral terutama di tungkai b. Incontinentia urinae c. Afasi atau apraksi tergantung hemisfer mana yang terkena 4. Daerah a. Posterior a. Hemianopsi homonim kontralateral mungkin tanpa mengenai b. daerah makula karena daerah ini juga diperdarahi oleh a. Serebri media c. Nyeri talamik spontan d. Hemibalisme e. Aleksi bila mengenai hemisfer dominan 5. Daerah vertebrobasiler a. Sering fatal karena mengenai juga pusat-pusat vital di batang otak b. Hemiplegi alternans atau tetraplegi c. Kelumpuhan pseudobulbar (disartri, disfagi, emosi labil E. Komplikasi Stroke Hemoragik Stroke hemoragik dapat menyebabkan 1. Infark Serebri 2. Hidrosephalus yang sebagian kecil menjadi hidrosephalus normotensif 3. Fistula caroticocavernosum 4. Epistaksis 5. Peningkatan TIK, tonus otot abnormal F. Penatalaksanaan Medis Stroke Hemoragik Penatalaksanaan untuk stroke hemoragik, antara lain: 1. Menurunkan kerusakan iskemik cerebral Infark cerebral terdapat kehilangan secara mantap inti central jaringan otak, sekitar daerah itu mungkin ada jaringan yang masih bisa diselematkan, tindakan awal difokuskan untuk menyelematkan sebanyak mungkin area iskemik dengan memberikan O2, glukosa dan aliran darah yang adekuat dengan mengontrol / memperbaiki disritmia (irama dan frekuensi) serta tekanan darah. 2. Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian dexamethason. 3. Pengobatan a. Anti koagulan: Heparin untuk menurunkan kecederungan perdarahan pada fase akut. b. Obat anti trombotik: Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik/emobolik. c. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral 4. Penatalaksanaan Pembedahan Endarterektomi karotis dilakukan untuk memeperbaiki peredaran darahotak. Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit seperti hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskular yang luas. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi umum sehingga saluran pernafasan dan kontrol ventilasi yang baik dapat dipertahankan. G. Emeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik 1. Angiografi cerebral Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurism atau malformasi vaskular. 2. Lumbal pungsi Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada subarakhnoid atau perdarahan pada intrakranial. 3. CT scan Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti. 4. MRI (Magnetic Imaging Resonance) Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar terjadinya perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik. 5. EEG Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari jaringan yang infrak sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak. Head injury BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan dibidang kesehatan yang didasari oleh ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga guyuban dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat, sejak lahir sampai meninggal. Pelayanan berupa bantuan diberikan karena kelemahan fisik, keterbatasan pengetahuan, dan kurang kemauan menuju kepada kemampuan hidup mandiri memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari (Lokakarya keperawatan (1983) dalam Effendy, 1998). Keperawatan di Indonesia saat ini masih dalam suatu proses profesionalisasi, yaitu terjadinya suatu perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai tuntunan secara global dan lokal/otonomi. Untuk mewujudkannya maka perawat Indonesia harus mampu memberikan asuhan keperawatan secara professional kepada klien dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan bangsa dan Negara Indonesia tercinta, sehingga manusia / masyarakat (masyarakat umum dan masyarakat professional) mengenal dan mengakui eksistensi profesi keperawatan (Nursalam, 2001). Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan Problem-Solving yang memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga (Nursalam, 2001). Tujuan proses keperawatan secara umum adalah untuk membuat suatu kerangka konsep berdasarkan kebutuhan individu dari klien, keluarga dan masyarakat dapat terpenuhi. Proses keperawatan juga ditujukan untuk memenuhi tujuan asuhan keperawatan yaitu untuk mempertahankan keadaan kesehatan pasien yang optimal, dan jika pernyataan tersebut berubah, untuk membuat suatu jumlah dan kualitas tindakan keperawatan terhadap kondisinya guna kembali ke keadaan yang normal (Nursalam, 2001). Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat professional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis, psikologis, sosial, dan spiritual) yang dapat ditujukan pada individu, keluarga atau masyarakat dalam rentang sehat sakit (Hidayat, AA, 2004). Asuhan keperawatan merupakan faktor penting dalam survival pasien dan dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan. Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah meng-identifikasi proses pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling di inginkan dari seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan menggunakan metode ilmiah (Shore (1988) dalam Doenges, 1999). Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat sakit yang merupakan hasil interaksi dengan lingkungan. Undang-undang NO. 23 tahun 1992 tentang kesehatan membuat bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi (Kusnanto, 2004). Sehat merupakan keadaan seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang dinamis yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri sehingga dapat berfungsi secara optimal guna memenuhi kebutuhan dasar melalui aktivitas hidup sehari-hari sesuai dengan tingkat tumbuh kembangnya. Sehat sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum adalah hak dan tanggung jawab setiap individu yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu harus dipertahankan dan ditingkatkan melalui upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif (Kusnanto, 2004). Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi kecelakaan lalu lintas, disamping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal dan di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya (Mansjoer, A, dkk, 2000). Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit (Smeltzer & Bare, 2001). Statistik Negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kepala mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir kematian menyangkut trauma kepala. Diluar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kepala terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka sampai di rumah sakit, dari mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35% dalam satu minggu perawatan, jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat trauma kepala, maka 50% ternyata disebabkan oleh gangguan perdarahan sebagai yang terkait secara tidak langsung pada trauma, komplikasi berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmonal yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam basa (Mardjono & Sidharta, 2004). Menurut Narayan (1991) dalam Saanin (2007), diperkirakan lebih dari separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata atas autcome. Pada pasien dengan cedera berganda, kepala adalah yang paling sering mengalami cedera, dan pada kecelakaan lalu lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75% penderita untuk setiap kematian terhadap dua kasus dengan cacat tetap biasanya sekunder terhadap cedera kepala. Cedera kepala biasanya terjadi pada dewasa muda antara 15-44 tahun, pada umumnya rata-rata adalah usia sekitar 30 tahun dan laki-laki 2 kali lebih sering mengalaminya (Kalsbeek, 1980) dalam Saanin (2007). Sedangkan menurut Miller (1978) dalam Saanin (2007), memperkirakan kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling sering terjadinya cedera kepala, diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya dengan derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24 tahun. Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anak-anak serta biasanya dalam derajat yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor biasanya disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat disertai oleh cedera sistematik berat. Di Amerika Serikat, kejadian Head Injury (cedera kepala) setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal dunia sebelum tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), dan 10% termasuk dalam cedera kepala sedang (CKS),dan 10% sisanya adalah digolongkan sebagai cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9% disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi (Irwana, 2009). Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi cedera kepala di Amerika Serikat ada 2 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, satu setengah juta merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai pasien rawat jalan, sedangkan 500.000 kasus mengalami cedera kepala yang cukup parah dan memerlukan perawatan dirumah sakit, jumlah tersebut memprediksikan besarnya kemungkinan menghadapi pasien-pasien cedera kepala, cedera kepala merupakan penyebab separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, orang muda yang berusia 15-24 tahun, memiliki insiden cedera kepala yang paling tertinggi, dan orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden tertinggi, serta dengan bertambahnya populasi manula di Amerika Serikat, insiden tersebut akan meningkat. Sedangkan data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta yaitu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, diperikan untuk rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan (CKR), 15%-20% cedera kepala sedang (CKS), dan sekitar 10% dengan cedera kepala berat (CKB), angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera kepala berat (CKB), dan untuk cedera kepala sedang (CKS) 5%-10%, sedangkan untuk cedera kepala ringan tidak ada yang meninggal (Irwana, 2009). Menurut data yang didapat dari Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan, jumlah penderita cedera kepala (Head Injury) yang terhitung dari bulan Januari sampai bulan Desember 2009 mencapai 934 kasus dari 1305 pasien (71,57%) yang di rawat di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, sedangkan dari bulan Januari sampai bulan Maret 2010 mencapai 100 kasus cedera kepala (Head Injury) dari 339 pasien (29,49%) yang di rawat di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada usia produktif dan juga sebagian besar karena terjadi kecelakaan lalu lintas, yang membutuhkan pertolongan dan perawatan yang serius. Maka berdasarkan insiden di atas maka penulis tertarik untuk melaksanakan study kasus dalam bentuk penyusunan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada An.I Dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan". B. BATASAN PENULISAN Batasan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini penulis membatasi ruang lingkup tentang Asuhan Keperawatan Pada An. I, umur 14 tahun, jenis kelamin Perempuan, Agama Islam, Alamat Gunong Pulo–Kota Fajar, di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, selama 3 (tiga) hari rawatan dimulai tanggal 06 Juli 2010 s/d 08 Juli 2010. Adapun diagnosa yang muncul pada kasus Head Injury (cedera kepala) menurut Doenges (1999), yaitu : 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh SOL (Hemoragik, Hematoma), edema serebral (respon lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat / alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia, Disritmia jantung). 2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskular (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan kognitif, obstruksi trakeobronkial. 3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi (trauma atau defisit neurologis). 4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik psikologis. 5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif, penurunan kekuatan/tahanan. 6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, statis cairan tubuh, kurang nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS). 7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan, status hipermetabolik. 8. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi / inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi. 9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional, ketidakpastian tentang hasil / harapan. 10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi / sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif. Sesuai dari hasil pengkajian langsung pada An. I pada tanggal 06 Juli 2010 sampai dengan 08 Juli 2010 maka penulis menegakkan 3 (tiga) diagnosa keperawatan yang muncul sesuai dengan kasus di lapangan pada An. I yaitu : 1. Nyeri berhubungan dengan cedera kepala. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot. C. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Agar penulis mendapatkan wawasan dan menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 Di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. 2. Tujuan Khusus Setelah melakukan proses keperawatan penulis mampu : a. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. b. Menganalisa data pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. c. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. d. Menyusun rencana keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. e. Melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan. BAB II TINJAUAN TEORI 1. Pengertian Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009). Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepala gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen. Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001). Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2009). 2. Klasifikasi 1. Klasifikasi berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG) Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan nilai skala glasgow (SKG). a. Ringan 1. GCS 14-15 2. Tidak ada kehilangan kesadaran 3. Nyeri kepala dan pusing b. Sedang 1. GCS 9-13 2. Kontusio 3. Amnesia pasca trauma atau muntah 4. Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinhorea CSS 5. Kejang. c. Berat 1. GCS 3-8 2. Koma 3. Fraktur depresi kranium 4. Penurunan derajat kesadaran Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana (2009), klasifikasi cedera kepala menurut SKG : a. Minor 1. SKG 13-15 2. Kehilangan kesadaran / amnesia tetapi kurang dari 30 menit 3. Tidak ada kontusio tengkorak 4. Tidak ada fraktur serebral 5. Tidak ada hematoma b. Sedang 1. SKG 9-12 2. Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. 3. Dapat mengalami fraktur tengkorak c. Berat 1. SKG 3-8 2. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam 3. Juga meliputi konkusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. 2. Klasifikasi berdasarkan morfologi Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya terdiri dari : a. Trauma kepala terbuka Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur basis trauma kepala terbuka yaitu : 1. Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid) 2. Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga) 3. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung) 4. Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung) 5. Othorrhoe (liquor keluar dari telinga) b. Trauma kepala tertutup 1. Komosio 2. a. Cedera kepala ringan b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali c. Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit d. Tanpa kerusakan otak permanen e. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah f. Disorientasi sementara g. Tidak ada gejala sisa Konkusio a. Ada memar otak b. Perdarahan kecil lokal/difusi c. Perdarahan Gejalanya : a. b. Gangguan kesadaran lebih lama Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv 3. c. Gejala TIK meningkat d. Amnesia lebih nyata Hematoma epidural a. Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter b. Lokasi tersering temporal dan frontale c. Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus Gejalanya : 4. 1. a. Adanya desak ruang b. Penurunan kesadaran ringan saat kejadian c. Penurunan kesadaran hebat d. Koma e. Nyeri kepala hebat f. Reflek patologik positif Hematoma subdural a. Perdarahan antara durameter dan arachnoid b. Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis Akut a. Gejala 24-48 jam b. Sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata c. Tekanan intrakranial meningkat d. Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat 2. 3. Subakut a. Berkembang 7-10 hari b. Konkusio agak lambat c. Adanya gejala TIK meningkat d. Kesadaran menurun Kronis a. Ringan b. Perdarahan kecil terkumpul dan meluas c. Sakit kepala d. Lethargi e. Kacau mental, kejang f. Disfagia 5. Hematoma intrakranial a. Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih b. Selalu diikuti oleh konkusio Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe trauma kepala tertutup yaitu terdiri dari : 1. Hematoma epidural Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka mortalitas 50%, hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteri meningen media dan pada umumnya berasal dari arteria. Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu : a. Periode tidak sadar dalam waktu pendek b. Peningkatan tekanan intrakranial 2. Hematoma subdural Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan prognosis yang berbeda yaitu : a. Hematoma subdural akut 1. Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera 2. Trauma otak berat serta mempunyai mortalitas yang tinggi b. Hematoma subdural subakut 1. Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. 2. 3. Perdarahan vena pada ruang subdural Ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. 4. Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam. c. Hematoma subdural kronik 1. Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan beberapa tahun setelah cedera awal 2. Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat kedalam ruang subdural 3. Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam hematoma 4. Penderita mengeluh sakit kepala 5. Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian 6. Hemiparesis Sedangkan menurut Mansjoer (2000), klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi terdiri dari yaitu : 1. Fraktur tengkorak a. Kranium : linear/stelatum : depresi/non depresi b. Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis (CSS) 2. Lesi intrakranial a. Fokal : epidural, subdural, intra serebral b. Difus 3. Etiologi : konkusio ringan, konkusio klasik, cedera aksonal difus Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu: a. Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil b. Jatuh c. Kecelakaan saat olahraga d. Anak dengan ketergantungan e. Cedera akibat kekerasan Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala terdiri dari : a. Benda tajam b. Benda tumpul c. Peluru d. Kecelakaan lalu lintas Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu : a. Olah raga 4. b. Jatuh c. Kecelakaan kenderaan bermotor. Manifestasi Klinis Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah : a. Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih b. Kebingungan c. Iritabel (perubahan fungsi) d. Pucat e. Mual dan muntah f. Pusing kepala g. Terdapat hematoma h. Kecemasan i. Sukar untuk dibangunkan j. Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan telinga (otorhoe ) bila fraktur tulang temporal. Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu : a. Sistem pernafasan 1. Chyne stokes 2. Hiperventilasi 3. Apnea 4. Edema paru b. Sistem kardiovaskuler 1. Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel a. Disritmia b. Fibrilasi c. Takikardia 2. Terjadi kontraktilitas ventrikel 3. Curah jantung menurun 4. Meningkatkan tahanan ventrikel kiri c. Sistem metabolisme 1. Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen 2. Stress fisiologis d. Sistem gastrointestinal (GI) 1. Peningkatan asam lambung 2. Perdarahan lambung 3. Katekolamin meningkat Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah : a) Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur b) Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat dibawah konjungtiva c) Memar otak d) Battle diatas mastoid e) Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga (ottorea) dan (rinorhoe) dari hidung f) Laserasi g) Kontusi otak Sedangkan menurut Hoffman (1996), dalam Widyaningrum (2008), manifestasi klinis dari cedera kepala adalah : 1. Tanda dan gejala fisik : a. Nyeri kepala b. Nausea 2. Tanda dan gejala kognitif a. Gangguan memori b. Gangguan perhatian dan berfikir kompleks 3. Tanda dan gejala emosional/kepribadian a. Kecemasan b. Iritabilitas 4. Gambaran klinis secara umum : a. Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran b. Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal c. Respon pupil mungkin lenyap d. Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan tekanan intrakranial e. Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK f. Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat 5. Komplikasi Menurut Engram, B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah : a. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK) b. Perdarahan c. Kejang d. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea) e. Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis 6. Pemeriksaan penunjang a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan otak b. MRI (magnetig resonan imagin) Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif c. Serebral angiography Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma . d. X-Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang e. CSF, lumbal fungsi Jika diduga perdarahan sub arachnoid f. Kadar elektrolit Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (TIK) g. Scree toxicologi Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran h. AGDA (analisa gas darah arteri) Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial (Mufti, 2009). Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala yaitu terdiri dari : a. Scan CT (Compuretied Tenografi Scaning) b. MRI (Magnetig Resonan Imagin) c. Sinar X d. BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan batang otak e. PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan metabolisme pada otak f. Fungsi lumbal, CSS g. GDA (gas darah arteri) h. Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang 7. Penatalaksanaan Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat diberikan : a) Dexamethason/kalmethason Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. b) Therapy hiperventilasi Untuk mengurangi vasodilatasi c) Pemberian analgetika d) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10% Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan pada kasus cedera kepala (Head Injury) adalah : a. Pedoman resusitasi dan penilaian awal 1. Menilai jalan nafas a. Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan b. Lepaskan gigi palsu c. Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal d. Pasang guedel bila dapat ditolerir e. Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi. 2. Menilai pernafasan a. Tentukan pasien bernafas atau tidak b. Jika tidak, berikan oksigen melalui masker c. Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti pneumothorak, pneumothorak tensif, hemopneuthorak d. Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95% e. Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh anestesi. 3. Menilai sirkulasi a. Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi b. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya c. Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada d. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah e. Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia f. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri (AGDA) g. Berikan larutan koloid 4. a. Obat kejang Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. b. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena secara perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. 5. Menilai tingkat keparahan a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah) 1. Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif) 2. Tidak ada kehilangan kesadaran 3. Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang 4. Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing 5. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang) 1. Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor) 2. Konkusio 3. Amnesia pasca trauma 4. Muntah 5. Kejang c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat) 1. Skor skala koma glasgow 3-8 (koma) 2. Penurunan derajat kesadaran secara progresif 3. Tanda neurologis fokal 4. Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium b. Pedoman penatalaksanaan 1. Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7. 2. Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut: a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan ringer laktat : cairan isotonis lebih efektif menggantikan volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri. b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah (glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu. 3. Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini: a. Elevasi kepala 30o b. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg, hipokapnea harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri. c. Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama d. Pasang kateter foley e. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1 diploe) 8. Prognosis Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat, skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %. Sindrom pasca konkusio berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala, sering kali bertumpang tindih dengan gejala depresi (Mansjoer, A, dkk, 2000). Airway breating BAB I PENDAHULUIAN A. LATAR BELAKANG Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian. Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien. Tahapan kegiatan dalam penanggulangan penderita gawat darurat telah mengantisipasi hal tersebut. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalahmasalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. B. TUJUAN PENULISAN 1. Tujuan Umum Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami apa itu Airway Breathing Management. 2. Tujuan Khusus Agar mahasiswa dapat mengaplikasikan: a. Pengelolaan Jalan Nafas (Airway Management) dengan Menggunakan Alat b. Tindakan Pembebasan Jalan Nafas (Airway Management) dengan Tanpa Menggunakan Alat c. Mengeluarkan benda asing pada saluran nafas d. Penatalaksanaan Gangguan Ventilasi e. Foreign Body Airway Obstruction (FBAO) / Sumbatan Karena Benda Asing pada Jalan Nafas f. Pengelolaan Fungsi Pernafasan (Breathing Management) dengan Pernafasan Buatan BAB II TINJUAN TEORI A. ANATOMI SISTEM PERNAPASAN Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru. Saluran pernapasan terbagi atas beberapa bagian yaitu: 1. Saluran Nafas Bagian Atas a. Rongga hidung Merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi (terdiri dari: Psedostrafied ciliated columnar epithelium) yang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke: b. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius). c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah). d. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan). Normalnya, manusia akan berusaha bernapas melalui hidung, dan pada keadaan tertentu akan bernapas melalui mulut. Udara yang masuk akan mengalami proses penghangatan dan pelembapan. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan terjatuh kebelakang rongga mulut. hal ini dapat menyebabkan gangguan pada airway. Lidah pada bayi lebih besar secara relatif sehingga lebih mudah menyumbat airway. 2. Saluran Nafas Bagian Bawah a. Glotis. Laring: Terdiri dari Tulang rawan krikoid, Selaput/pita suara, Epilotis, b. Trakhea: Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelastic menempel pada dinding depan usofagus. Pada bayi, trakea berukuran lebih kecil, sehingga tindakan mendongakan kepala secara berlebihan (hiperekstensi) akan menyebabkan sumbatan pada airway. c. Bronkhi: Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini disebut carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea. Bronchus kanan bercabang menjadi: lobus superior, medius, inferior. Brochus kiri terdiri dari : lobus superior daninferior d. Epiglotis: Trakea dilindungi oleh sebuah flap berbentuk daun yang berukuran kecil yang dinamakan epiglotis. Normalnya, epiglotis menutup laring pada saat makanan atau minuman masuk melalui mulut, sehingga akan diteruskan ke esofagus. Tetapi, pada keadaan tertentu seperti trauma atau penyakit, refleks ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dapat terjadi masuknya benda padat atau cair ke laring yang dapat mengakibatkan tersedak. 3. Alveoli Terdiri dari: membran alveolar dan ruang interstisial. Membran alveolar: a. b. Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan surfactant. c. Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam rongga endotel d. Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh: endotel kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum. Aliran pertukaran gas: Proses pertukaran gas berlangsung sebagai berikut: alveoli epitel alveoli « membran dasar « endotel kapiler « plasma « eitrosit. Membran « sitoplasma eritrosit « molekul hemoglobin. Surfactant: Mengatur hubungan antara cairan dan gas. Dalam keadaan normal surfactant ini akan menurunkan tekanan permukaan pada waktu ekspirasi, sehingga kolaps alveoli dapat dihindari. 4. Sirkulasi Paru Mengatur pulmonalis dan aliran darah vena-vena dari ventrikel kanan mengalirkan darah yang ke arteri bersifat arterial melaului vena pulmonalis kembali ke ventrikel kiri. 5. Bronkus dan paru Merupakan jalinan atau susunan bronhus bronkhiolus, bronkhiolus terminalis, bronkhiolus respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik .Pada alveolus akan terjadi pertukaran oksigen dengan karbondioksida. 6. Rongga dan Dinding Dada Rongga ini terbentuk oleh: a. Otot-otot interkostalis b. Otot -otot pektoralis mayor dan minor c. Otot- otot trapezius d. Otot-otot seratus anterior/posterior e. Kosta- kosta dan kolumna vertebralis f. Kedua hemi diafragma. Yang secara aktif mengatur mekanik respirasi. B. JALAN NAPAS (AIRWAY) Airway merupakan komponen yang penting dari sistem pernapasan adalah hidung dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus dan paru. Sehingga Penilaian jalan napas (Airway) pada korban yang pertama kali adalah: 1. Mendengarkan apakah ada suara nafas tambahan? 2. Apakah jalan nafas terbuka 3. Lindungi C-spin Tanda-tanda sumbatan pada jalan nafas yaitu: 1. Bagian atas a. Snoring: suara seperti orang ngorok dimana pangkal lidah yang jatuh ke belakang. b. Gurgling: seperti orang berkumur dimana dikarenakan adanya cairan atau darah. c. Stridor: terjadi karena uap panas atau gas yang mengakibatkan mukosa bengkak ataupun jalan nafanya menjadi kasar. 2. Bagian bawah a. Rales b. Wheezing: seperti suara biola dimana mengalami penyempitan di bronkusnya. c. Stridor C. PENGELOLAAN JALAN NAFAS DENGAN ALAT 1. Oropharyngeal Tube Ada yang menyebutnya sebagai oropharingeal airway, ada yang menyebutnya mayo tube, atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah gudel. a. Pengertian Memasang oropharingeal tube adalah suatu tindakan pemenuhan kebutuhan oksigen dengan membebaskan jalan nafas melalui pemasangan oropharingeal tube melalui rongga mulut ke dalam pharing. b. Tujuan 1) Membebaskan jalan nafas 2) Mencegah lidah jatuh atau melekat pada dinding posterior pharing 3) Memudahkan penghisapan lendir c. Langkah-langkah Pelaksanaan 1) Persiapan pasien dan keluarga a) Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan b) Menjelaskan prosedur tindakan termasuk selama oropharing tube pasien tidak diperbolehkan makan dan minum c) 2) Memberikan posisi sesuai kebutuhan Alat-alat pemasangan 3) a) Oropharingeal tube sesuai kebutuhan b) Kassa steril 2 buah c) Plester dan gunting d) Nierbekken e) Spatel lidah f) Handschoen Lingkungan Menjaga privacy pasien. 4) 5) Perawat a) Mencuci tangan b) Menilai keadaan umum pasien c) Mengukur tanda-tanda vital d) Mengobservasi pola nafas Pelaksanaan a) Perawat memakai handschoen b) Membuka mulut pasien, tahan lidah dengan menggunakan tongue spatel c) Bersihkan mulut dengan kassa steril d) Masukkan oropharing tube melalui rongga mulut dengan ujung mengarah ke palatum, setelah masuk dinding belakang pharing lalu putar oropharingeal tube 180º sampai posisi ujung mengarah ke oropharing e) Lakukan fiksasi dipangkal oropharing tube dengan plester tanpa menutup lubang oropharing tube f) Berikan posisi yang nyaman g) Rapikan pasien dan alat-alat h) Buka handschoen dan cuci tangan i) Membuat catatan keperawatan meliputi: I. Keadaan umum pasien J. Tindakan dan hasil setelah dilakukan K. Tanda-tanda vital L. Pola nafas CATATAN: 1) Oropharingeal tube tidak boleh dipasang pada pasien sadar. 2) Oropharingeal tube dipasang pada pasien yang tidak sadar atau pada pasien dengan penurunan kesadaran. 3) Pada pasien yang dilakukan pemasangan oropharing tube harus dilakukan oral hygiene. 4) Ukuran oropharingeal: disesuaikan dengan mengukur panjang oropharingeal dari mulut ke mandibula atau sesuai ukuran: a) Kode 00 untuk bayi kecil/premature. b) Kode 0 untuk bayi. c) No. 1 untuk anak usia 1-3 tahun. d) No. 2 untuk anak usia 3-8 tahun. e) No. 3 untuk usia 8 tahun. f) No. 4 dan 5 untuk dewasa. 2. Suctioning a. Pengertian Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu mengeluarkannya sendiri. ( Ignativicius, 1999). b. Indikasi Indikasi dilakukannya penghisapan adalah adanya atau banyaknya secret yang menyumbat jalan nafas, ditandai dengan: 1) Terdengar adanya suara pada jalan nafas. 2) Hasil auskultasi : ditemukan suara crackels atau ronkhi. 3) Kelelahan. 4) Nadi dan laju pernafasan meningkat. 5) Ditemukannya mukus pada alat bantu nafas. 6) Permintaan dari klien sendiri untuk disuction. 7) Meningkanya peak airway pressure pada mesin ventilator c. Prosedur Hudak (1997) menyatakan persiapan alat scara umum untuk tindakan penghisapan adalah sebagai berikut: 1) Kateter suction steril yang atraumatik 2) Sarung tangan 3) Tempat steril untuk irigasi 4) Spuit berisi cairan NaCl steril untuk irigasi trachea jika diindikasikan (Ignativicius, 1999) menuliskan langkah-langkah dalam melakukan tindakan penghisapan adalah sebagai berikut: a. Kaji adanya kebutuhan untuk dilakukannya tindakan penghisapan. (usahakan tidak rutin melakukan penghisapan karena menyebabkankerusakan mukosa, perdarahan, dan bronkospasme) b. Lakukan cuci tangan, gunakan alat pelindung diri dari kemungkinan terjadinya penularan penyakit melalui secret c. Jelaskan kepada pasien mengenai sensasi yang akan dirasakan selama penghisapan seperti nafas pendek, , batuk, dan rasa tidak nyaman d. Check mesin penghisap, siapkan tekanan mesin suction pada level 80120 mmHg untuk menghindari hipoksia dan trauma mukosa e. Siapkan tempat yang steril f. Lakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3 menit untuk mencegah terjadinya hipoksemia g. Secara cepat dan gentle masukkan kateter, jangan lakukan suction saat kateter sedang dimasukkan h. Tarik kateter 1-2 cm, dan mulai lakukan suction. Lakukan suction secara intermitten, tarik kateter sambil menghisap dengan cara memutar. Jangan pernah melakukan suction lebih dari 10=15 “ i. Hiperoksigenasi selama 1-5 menit atau bila nadi dan SaO2 pasien normal j. Ulangi prosedur bila diperlukan (maksimal 3 x suction dalam 1 waktu) k. Tindakan suction pada mulut boleh dilakukan jika diperlukan, lakukan juga mouth care setelah tindakan suction pada mulut l. Catat tindakan dalan dokumentasi keperawatan mengenai karakteristik Sputum (jumlah, warna, konsistensi, bau, adanya darah) dan respon pasien. 3. Intubasi Endotracheal (ETT) a. Pengertian ETT adalah tindakan untuk memasukan pipa endotracheal ke dalam trachea, yang biasa digunakan sebagai pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag and mask dan lain sebagainya. b. Tujuan 1) Pembebasan jalan nafas 2) Pemberian nafas buatan dengan bag and mask 3) Pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator) 4) Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat 5) Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang dikembangkan c. d. 6) Mencegah distensi lambung 7) Pemberian oksigen dosis tinggi Indikasi 1) Ada obstruksi jalan nafas bagian atas 2) Pasien yang memerlukan bantuan nafas dengan respirator 3) Pemberian anestesi 4) Terdapat banyak sputum (pasien tidak dapat mengeluarkan sendiri) Jenis Intubasi 1) Intubasi oral 2) Intubasi nasal e. Keuntungan dan kerugian intubasi nasal dan oral 1) Intubasi Nasal Keuntungan a) Pasien merasa lebih enak / nyaman b) Lebih mudah dilakukan pada pasien sadar c) Tidak akan tergigit Kerugian 2) a) Pipa ETT yang digunakan lebih kecil b) Penghisapan sekret lebih sulit c) Dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan d) Lebih sering terjadi infeksi (sinusitis) Intubasi Oral Keuntungan a) Lebih mudah dilakukan b) Bisa dilakukan dengan cepat pada pasien emergency c) Resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil Kerugian a) Tergigit b) Lebih sulit dilakukan oral hygiene c) Tidak nyaman Faktor faktor penyulit 1) 2) a) Leher pendek b) Fraktur cervical c) Rahang bawah kecil d) Trismus e) Ada massa di pharing dan laring f. Persiapan Pasien, Alat-Alat dan Obat-Obatan Persiapan Pasien a) Beritahu pasien tentang tindakan yang akan dilakukan b) Mintakan persetujuan keluarga / informed consent c) Berikan suport mental. d) Sudah terpasang infuse dan infuse menetes dengan lancar e) Hisap cairan / sisa makanan dari NG Tube f) Pasien memakai bantal setinggi10-12cm Persiapan Alat a) Sarung tangan b) O2,slang O2 dan BVM (bag valve mask) c) Laringoskop lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu harus menyala dengan terang d) Alat-alat suction (yakinkan berfungsi dengan baik) e) Xylocain jelly/ xylicain spray dan KY jelly f) ETT sesuai ukuran g) Dewasa laki-laki: 7; 7,5; 8. h) Dewasa wanita: 6,5 ; 7 ;7,5. i) Anak-anak: usia (dalam tahun) + 4 kemudian dibagi 4 masukan dalam ETT lalu ujungnya dibentuk spt stick golf 10. Stylet/mandrin ( ukuran 2/3 Ø ETT) j) Magil forcep k) Oropharyngeal tube/airway sesuai ukuran pasien l) Stetoskop m) Spuit 20cc untuk mengisi cuff 3) n) Plester untuk fiksasi o) Gunting Persiapan Obat-obatan Obat-obatan intubasi Sedasi a) Penthotal 25mg/cc dosis 3-5 mg/ kg BB b) Dormicum 0,6 mg/kgBB c) Diprivan 1-2mg/kgBB d) Muscle relaxan e) Succinyl scolin 20mg/cc: 1-2mg/kgBB. f) Pavulon 0,15mg/kgBB g) Tracrium 0,5-0,6 mg / kgBB h) Norcuron 0,1 mg / kgBB Obat-obat emergency: a) Sulfas atropine b) Ephedrine c) Adrenalin d) Lidokain 2%, dll g. Prosedur Pemasangan 1) Mencuci tangan lalu memakai sarung tangan 2) Posisi pasien terlentang 3) Kepala diganjal bantal setinggi 12 cm 4) Pilih ukuran pipa ETT yang akan digunakan 5) Periksa balon pipa/ cuff ETT 6) Pasang blade yang sesuai 7) Oksigenasi dengan bag and mask / ambubag dengan O2 100% selama 5mnt agar pasien tidak hipoksia 8) Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaksan 9) Pentotal secara titrasi 10) Scolin dimasukan pelan-pelan sekali dosis 11) Buka mulut dengan laryngoskop sampai terlihat epiglottis 12) Dorong blade sampai pangkal epiglottis 13) Lakukan penghisapan lendir bila banyak secret 14) Anestesi daerah laryng dengan xylocain spray (bila kasus emergency tidak perlu dilakuka) 15) Masukan ETT yang sebelumnya diberi jelly (lepas laryngoskop,tarik stylet lalu sambungkan ke ambubag,lalu pompa) 16) Cek apakah ETT sudah benar posisinya 17) Isi cuff/balon dengan udara sampai kebocoran tidak terdengar 18) Dengarkan suara nafas,bandingkan kanan dan kiri 19) Pasang oropharyngeal airway agar ETT tidak tergigit 20) Lakukan fiksasi dengan plester 21) Hubungkan ETT dengan ventilator 22) K/p cek foto thorax h. Hal-hal yang Didokumentasikan 1) Tanggal pemasangan,siapa yang memasang 2) Nomor ETT/OTT 3) Jumlah udara yang dimasukan pada balon 4) Batas masuknya NTT/OTT 5) Obat-obat yang diberikan 6) Respon pasien / kesulitan yang terjadi i. Perawatan Intubasi 1) Fiksasi harus baik 2) Gunakan orophryngeal airway (mayo) pada pasien yang tidak kooperatif 3) Hati-hati waktu mengganti posisi pasien 4) Jaga kebersihan mulut dan hidung 5) Jaga patensi jalan nafas 6) Humidifikasi yang adekuat 7) Pantau tekanan balon 8) Observasi TTV dan suara paru-paru 9) Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam 10) Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara lender 11) Yakinkan bahwa konektor mengetahui perkembangan 12) Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan 13) Lakukan foto thorax segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu 14) Observasi terjadinya emfisema cutis 15) Air dalam water trap harus sering terbuang 16) Pipa ETT ditandai di ujung mulut / hidung D. TINDAKAN PEMBEBASAN JALAN NAFAS DENGAN TANPA ALAT Lidah merupakan penyebab utama tertutupnya jalan napas pada korban tidak sadar. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan kehilangan kekuatan ototnya sehingga akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini mengakibatkan tertutupnya trakea sebagai jalan napas. Pada kasus-kasus tertentu, korban membutuhkan bantuan pernapasan. Sebelum diberikan bantuan pernapasan, jalan napas korban harus terbuka. Ada dua manuver yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas, yaitu Head tilt / Chin lift dan jaw trust manuver. 1. Head Tilt / Chin Lift Tehnik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera kepala, leher, dan tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah: a. Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling dekat dengan dahi korban). b. Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi kearah belakang. c. Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari dagu korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan dibawah dagu. d. Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan samapi mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan terlalu menengadahkan kepala. e. Pertahankan posisi ini. Membuka Jalan Napas 2. Jaw Trust Manuver Tehnik ini dapat digunakan selain tehnik diatas. Walaupun tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk korban dengan cedera tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah: a) Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi kepala korban. Letakkan tangan di kedua sisi kepala korban. b) Cengkeram rahang bawah korban pada kedua sisinya.jika korban anakanak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkan pada sudut rahang. c) Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan. d) Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir bagian bawah dengan kedua ibu jari. Pembebasan Jalan Nafas Adapun teknik teknik cara mengatasi sumbatan jalan nafas oleh benda asing, tujuannya adalah mengeluarkan benda asing sehingga jalan nafas tidak terhalang oleh benda asing. a. b. Metode 1) Abdominal Thrust 2) Chest Thrust 3) Back Blow Indikasi Untuk menghilangkan obstruksi di jalan napas atas yang disebabkan oleh benda asing dan yg ditandai oleh beberapa atau semua dari tanda dan gejala berikut ini: 1) Secara mendadak tidak dapat berbicara 2) Tanda-tanda umum tercekik-rasa leher tercengkeram 3) Bunyi berisik selama inspirasi 4) Penggunaan otot asesoris selama bernapas dan peningkatan kesulitan bernapas 5) Sukar batuk atau batuk tidak efektif atau tidak mampu untuk batuk 6) Tidak terjadi respirasi spontan atau sianosis 7) Bayi dan anak dg distres respirasi mendadak disertai dg batuk, stidor atau wising c. Kontraindikasi dan Perhatian Pada klien sadar, batuk volunter menghasilkan aliran udara yg besar dan dapat menghilangkan obstruksi. 2) Chest thrust hendaknya tidak digunakan pada klien yg mengalami cedera dada, seperti flail chest, cardiac contusion, atau fraktur sternal (Simon & Brenner, 1994). 3) Pada klien yg sedang hamil tua atau yg sangat obesitas, disarankan dilakukan chest thrusts. 4) Posisi tangan yg tepat merupakan hal penting untuk menghindari cedera pada organ-organ yang ada dibawahnya selama dilakukan chest thrust. d. Peralatan 1) Suction oral, jika tersedia. 2) Magill atau Kelly forcep dan laryngoscope (untuk mengeluarkan benda asing yang dapat dilihat di jalan napas atas). e. Persiapan Klien 1) Posisi klien duduk, berdiri atau supine 2) Suction semua darah/mukus yg terlihat dimulut klien 3) Keluarkan semua gigi yg rusak/tanggal 4) Siapkan utk dilakukan penanganan jalan napas yg definitif, misalnya cricothyrotomi Tahapan Prosedur Abdominal Thrust Jika pasien dalam keadaan berdiri/duduk: 1) Anda berdiri di belakang klien. 2) Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan terkepal, kemudian pegang lengan kanan tersebut dengan lengan kiri. Posisi lengan anda pada abdomen klien yakni dibawah prosesus xipoideus dan diatas pusat/umbilikus. 3) Dorong secara cepat (thrust quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah dalam-atas. 4) Jika diperlukan, ulangi abdominal thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas. 5) Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini. Jika pasien dlm keadaan supine/unconcious: 1) Anda mengambil posisi berlutut/mengangkangi paha klien. 2) Tempatkan lengan kiri anda diatas lengan kanan anda yg menempel di abdomen tepatnya di bawah prosesus xipoideus dan diatas pusat/umbilikus. 3) Dorong secara cepat (thrust quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah dalam-atas. 4) Jika diperlukan, ulangi abdominal thrust beberapa kali untuk menghilangkan obstruksi jalan napas. 5) Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini. Jika mungkin, lihat secara langsung mulut dan paring klien dengan laringoskopi dan jika tampak utamakan mengekstraksi benda asing tersebut menggunakan Kelly atau Megil forcep. Tahapan Prosedur Chest Thrust Jika posisi klien duduk/ berdiri: 1) Anda berdiri di belakang klien. 2) Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan terkepal di area midsternal di atas prosesus xipoideus klien (sama seperti pada posisi saat kompresi jantung luar). 3) Lakukan dorongan (thrust) lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi chest thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas. 4) Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini. Jika posisi klien supine: 1) Anda mengambil posisi berlutut/mengangkangi paha klien. 2) Tempatkan lengan kiri anda diatas lengan kanan anda dan posisikan bagian bawah lengan kanan anda pada area midsternal di atas prosesus xipoideus klien (sama seperti pada posisi saat kompresi jantung luar). 3) Lakukan dorongan (thrust) lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi chest thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas. 4) Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini. Jika mungkin, lihat secara langsung mulut dan paring klien dengan laringoskopi dan jika tampak utamakan mengekstraksi benda asing tersebut menggunakan Kelly atau Megil forcep. Tahapan Prosedur Back Blow Untuk Bayi: 1) Bayi diposisikan prone diatas lengan bawah anda, dimana kepala bayi lebih rendah dari pada badannya. 2) Topang kepala bayi dengan memegang rahang bayi. 3) Lakukan 5 kali back blow dengan kuat antara tulang belikat menggunakan tumit tangan anda. 4) Putar bayi ke posisi supine, topang kepala dan leher bayi dan posisikan di atas paha. 5) Tentukan lokasi jari setingkat dibawah nipple bayi. Tempatkan jari tengah anda pada sternum dampingi dengan jari manis. 6) Lakukan chest thrust dengan cepat. 7) Ulangi langkah 1-6 sampai benda asing keluar atau hilangnya kesadaran. 8) Jika bayi kehilangan kesadaran, buka jalan napas dan buang benda asing jika ia terlihat. Hindari melakukan usapan jari secara “membuta” pada bayi dan anak, karena benda asing dapat terdorong lebih jauh ke dalam jalan napas. Untuk Anak 1-8th: Untuk klien yang berdiri/duduk: 1) Posisi anda dibelakang klien. 2) Tempatkan lengan anda dibawah aksila, melingkari tubuh korban. 3) Tempatkan tangan anda melawan abdomen klien, sedikit di atas pusar dan dibawah prosesus xipoideus. 4) Lakukan dorongan ke atas (upward thrusts) sampai benda asing keluar atau pasien kehilangan kesadaran. Untuk klien pada posisi supine: 1) Posisi anda berlutut disamping klien atau mengangkangi paha klien. 2) Tempatkan lengan anda di atas pusar & dibawah prosesus xipoideus. 3) Lakukan thrust ke atas dengan cepat, dengan arah menuju tengah-tengah dan tidak diarahkan ke sisi abdomen. 4) Jika benda asing terlihat, keluarkan dengan menggunakan sapuan jari tangan. PERHATIAN: 1) Back blow tidak direkomendasikan pada pasien diatas usia bayi.. 2) Sapuan jari “membuta” harus dihindari pada bayi dan anak, sebab kemungkinan dapat mendorong benda asing lebih kebelakang ke dalam jalan napas. Komplikasi: 1) Nyeri abdomen, ekimosis 2) Mual, muntah 3) Fraktur iga 4) Cedera/trauma pada organ-organ dibawah abdomen/dada E. PERNAPASAN (BREATHING) Bernapas adalah usaha seseorang secara tidak sadar/otomatis untuk melakukan pernafasan. Tindakan ini merupakan salah satu dari prosedur resusitasi jantung paru (RJP). Untuk menilai seseorang bernafas secara normal dapat dilihat dari berapa kali seseorang bernapas dalam satu menit, secara umum; 1. Frekuensi/jumlah pernapasan 12-20x/menit (dewasa), anak (20-30x/menit), bayi (30-40x/menit) 2. Dada sampai mengembang Pernapasan dikatakan tidak baik atau tidak normal jika terdapat keadaan berikut ini: 1. Ada tanda-tanda sesak napas: peningkatan frekuensi napas dalam satu menit 2. Ada napas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas) 3. Ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut) 4. Warna kebiruan pada sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan 5. Tidak ada gerakan dada 6. Tidak ada suara napas 7. Tidak dirasakan hembusan napas 8. Pasien tidak sadar dan tidak bernapas Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan bila pernapasan seseorang terganggu: 1. Cek pernapasan dengan melihat dada pasien dan mendekatkan pipi dan telinga ke hidung dan mulut korban dengan mata memandang ke arah dada korban (max 10 detik) 2. Bila korban masih bernapas namun tidak sadar maka posisikan korban ke posisi mantap (posisikan tubuh korban miring ke arah kiri) dan pastikan jalan napas tetap terbuka; segera minta bantuan dan pastikan secara berkala (tiap 2 menit) di cek pernapasannya apakah korban masih bernapas atau tidak. Jika korban bernapas tidak efektif (bernapas satu-satu, ngap-ngap, atau tidak bernapas): 1. Aktifkan sistem gawat darurat (bila ada orang lain minta orang lain untuk mencari atau menghubungi gawat darurat) 2. Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban dan menopang dagu korban (head tilt dan chin lift) 3. Pastikan tidak ada sumbatan dalam mulut korban; bila ada sumbatan dapat dibersihkan dengan sapuan jari-balut dua jari anda dengan kain dan usap dari sudut bibir sapu ke dalam dan ke arah luar 4. Berikan napas buatan dengan menarik napas biasa lalu tempelkan bibir anda ke bibir korban dengan perantaraan alat pelindung diri (face mask, face shield) lalu hembuskan perlahan >1 detik sambil jari tangan anda menutup hidung korban dan mata anda melihat ke arah dada korban untuk menilai pernapasan buatan yang anda berikan efektif atau tidak (dengan naiknya dada korban maka pernapasan buatan dikatakan efektif) 5. Berikan nafas buatan 2x lalu periksa denyut nadi korban (menggunakan jari telunjuk dan jari tengah raba bagian tengah jakun, lalu geser ke arah samping hingga teraba lekukan di pinggir jakun tersebut) didaerah leher seperti pada gambar; bila tidak ada denyut maka masuk ke langkah CPR 6. Bila ada denyut nadi maka berikan napas buatan dengan frekuensi 12x/menit/1 tiap 5 detik sampai korban sadar dan bernapas kembali atau tenaga paramedis datang; dan selalu periksa denyut nadi korban apakah masih ada atau tidak setiap 2 menit. F. PENATALAKSANAAN GANGGUAN VENTILASI 1. Pengenalan Masalah Ventilasi Penentuan adanya jalan nafas yang baik merupakan langkah awal yang penting. Langkah kedua adalah memastikan bahwa ventilasi cukup. Ventilasi dapat terganggu karena sumbatan jalan nafas, juga dapat terganggu oleh mekanika pernafasan atau depresi susunan saraf pusat (SPP). Bila pernafasan tidak bertambah baikdengan perbaikan jalan nafas, penyebab lain dari gangguan ventilasi harus di cari. Trauma langsung ke thorax dapat mematahkan iga, dan menyebabkan rasa nyeri pada saat bernafas, sehingga pernafasan menjadi dangkal dan selanjutnya hipoksemia. Cedera pada tulang servikal bagian bawah dapat menyebabkan pernafasan diafragma, sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi. 2. Tanda Objektif Masalah Ventilasi a. Look. Perhatikan peranjakkan thorax simetris atau tidak. Bila asimetris pikirkan kelainan intra-thorakal atau flail chest. Setiap pernafasan yang sesak harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi. b. Listen. Auskultasi kedua paru. Bising nafas yang berkurang atau menghilang pada satu atau kedua hemithorax menunjukkan kelainan intra thorakal. Berhatihatilah terhadap tachypneu karena mungkin disebabkan hipoksia. c. Feel. Lakukan perkusi. Seharusnya sonor dan sama kedua lapang paru. Bila hipersonor berarti ada pneumothorax, bila pekak ada darah (hemothorax). 3. Pengelolaan Penilaian patensi jalan nafas serta cukupnya ventilasi harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Bila ditemukan atau dicurigai gangguan jalan nafas atau ventilasi harus segera diambil tindakkan untuk memperbaiki oksigenasi dan mengurangi resiko penurunan keadaan. Tindakan ini meliputi tekhnik menjaga jalan nafas, termasuk jalan nafas definitive ataupun surgical airway dan cara untuk membantu ventilasi. Karena semua tindakan diatas akan menyebabkan gerakan pada leher, harus diberikan proteksi servikal, terutama bila dicurigai atau diketahui adanya fraktur servikal. Pemberian oksigen harus diberikan sebelum dan setelah tindakan mengatasi masalah airway. Suction harus selalu tersedia, dan sebaiknya dengan ujung penghisap yang kaku. G. FOREIGN BODY AIRWAY OBSTRUCTION (FBAO) / SUMBATAN KARENA BENDA ASING PADA JALAN NAFAS 1. Pada Orang Dewasa Kematian yang diakibatkan oleh FBAO jarang terjadi tetapi penyebabnya dapat dicegah. Pada umumnya FBAO pada orang dewasa disebabkan saat penderita sedang makan atau bermain. Kejadian tersedak pada penderita yang masih sadar biasanya masih bias ditanggulangi dengan cepatoleh orang yang ada disekitarnya. a. Mengenali sumbatan karena benda asing pada jalan nafas/FBAO pada dewasa Mengenali sumbatan jalan nafas yang disebabkan benda asing merupakan kunci keberhasilan, sangat penting untuk membedakan keadaan gawat darurat seperti pingsan, serangan jantung, kejang atau keadaan lainnya yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan, sianosis, atau hilangnya kesadaran. Tanda-tanda penderita yang mengalami FBAO adalah tampak kurangnya pertukaran udara dan meningkatnya kesulitan bernafas sperti batuk yang tidak bersuara, sianosis atau tidak dapat bersuara dan bernafas. Penderita memegang leher yang menampakan tanda umum tersedak. Segera tanyakan “apakah anda terseda?” jika penderita mengisyaratkan “ya” dengan mengangguk tanpa bicara, ini menandakan penderita mempunyai sumbatan jalan nafas berat. b. Membebaskan sumbatan karena benda asing pada orang dewasa 1) Lakukan Heimlich Maneuver pada penderita sampai benda asing keluar atau penderita jatuh tidak sadar. 2) Pada penderita obesitas dan wanita hamil lakukan dengan chest thrust. 3) Hubungi SPGDT. 4) Lakukan abdominal thrust (pada penderita yang tidak sadar). 5) Bila benda terlihat lakukan sapuan jari untuk mengeluarkan benda asing tersebut. 2. Pada Anak dan Bayi Lebih dari 90% kematian anak usia <5 tahun disebabkan oleh sumbatan benda asing pada jalan nafas. Pada bayi (65%) terjadi karena aspirasi cairan. Penyebab sumbatan jalan nafas pada anak biasanya adalah benda-benda kecil yang berserakan di lantai seperti makanan kecil, permen, dll. Tanda-tanda adanya sumbatan karena benda asing pada anak dan bayi adalah timbulnya gangguan pernafasan yang tiba-tiba disertai dengan batuk, tersedak, stridor dan wheezing. a. Membebaskan sumbatan karena benda asing pada anak dan bayi Sumbatan jalan nafas dapat terjadi ringan ataupun berat. Saat sumbatannya ringan, anak masih dapat batuk dan bersuara. Tetapi pada saat sumbatannya berat penderita sama sekali tidak dapat batuk ataupun bersuara. Jika sumbatan yang terjadi ringan jangan melakukan apapun, biarkan penderita membersihkan jalan nafasnya sendiri dengan batuk, sementara anda mengobservasi tanda-tanda FBAO yang berat. Jika sumbatannya berat (penderita tidak dapat bersuara sedikitpun). Untuk anak, lakukan Heimlich maneuver sampai bendanya keluar atau sampai anak jatuhdalam keadaan tidak sadar. Untuk bayi lakukan 5x back blows diikuti dengan 5x chest thrust berulang-ulang sampai bendanya keluar atau sampai penderita jatuh tidak sadar. Pada bayi tidak direkomendasikan untuk melakukan abdominal thrust karena dapat merusak organ dalam yang tidak terlindungi, contohnya hati. Jika penderita jatuh tidak sadar segera lakukan RJP. Sebelum melakukan ventilasi petugas harus melihat apakah bendanya terlihat atau tidak pada mulut penderita. Jika anda melihat bendanya, keluarkan!! Petugas tidak direkomendasikan untuk melakukan sapuan jari bila bendanya tidak tampak pada faring, karena dapat mendorong bendanya masuk ke dalam ofaring dan dapat menyebabkan kerusakan pada organ tersebut. H. PENGELOLAAN FUNGSI PERNAFASAN (BREATHING MANAGEMENT) DENGAN PERNAFASAN BUATAN 1. Pengertian Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memberikan pernafasan buatan untuk menjamin kebutuhan oksigen dan pengeluaran gas CO2. 2. Tujuan Menjamin pertukaran udara di paru-paru secara normal. 3. Diagnosis Ditegakkan bila pada pemeriksaan dengan menggunakan metode Look Listen Feel (lihat kembali pengelolaan jalan nafas) tidak ada pernafasan dan pengelolaan jalan nafas telah dilakukan (jalan nafas aman). 4. Tindakan a. Tanpa Alat: Memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut ke hidung sebanyak 2 (dua) kali tiupan awal dan diselingi ekshalasi. b. Dengan Alat: Memberikan pernafasan buatan dengan alat “Ambu bag” (self inflating bag) yang dapat pula ditambahkan oksigen. Dapat juga diberikan dengan menggunakan ventilator mekanik (ventilator/respirator). 5. Pemeriksaan pernafasan a. Look-Lihat 1) Gerak dada 2) Gerak cuping hidung (flaring nostril) 3) Retraksi sela iga 4) Gerak dada 5) Gerak cuping hidung (flaring nostril) 6) Retraksi sela iga b. Listen-Dengar. Suara nafas, suara tambahan c. Feel-Rasakan. Udara nafas keluar hidung-mulut d. Palpasi-Raba. Gerakan dada, simetris? e. Perkusi-Ketuk. Redup? Hipersonor? Simetris? f. Auskultasi (menggunakan stetoskop). Suara Simetris? Ronki atau whezing? g. Menilai pernafasan 1) Ada napas? Napas normal atau distres 2) Ada luka dada terbuka atau menghisap? 3) Ada Pneumothoraks tension? 4) Ada Patah iga ganda (curiga Flail Chest) ? nafas ada? h. 5) Ada Hemothoraks? 6) Ada emfisema bawah kulit? Tanda distres nafas 1) Nafas dangkal dan cepat 2) Gerak cuping hidung (flaring nostril) 3) Tarikan sela iga (retraksi) 4) Tarikan otot leher (tracheal tug) 5) Nadi cepat 6) Hipotensi 7) Vena leher distensi 8) Sianosis (tanda lambat) i. Pemberian nafas buatan 1) Diberikan sebanyak 12-20 kali/menit sampai dada nampak terangkat. 2) Diberikan bila nafas abnormal, tidak usah menunggu sampai apnea dulu 3) Berikan tambahan oksigen bila tersedia. 4) Jika udara masuk ke dalam lambung, jangan dikeluarkan dengan menekan lambung karena akan berisiko aspirasi. 5) Nafas buatan dilakukan dengan in-line immobilisation (fiksasi kepala-leher) agar tulang leher tidak banyak bergerak. Pernapasan Buatan Mulut-Mulut Pernapasan buatan langsung mulut ke mulut sangatlah beresiko. Kemungkinan kontak dengan cairan tubuh korban termasuk muntahan sangat besar. Untuk melakukan pernapasan buatan mulut ke mulut gunakanlah alat pelindung barrier device, face shield. Alat pelindung ini berupa sebuah lembaran dari plastik tipis dan lentur menutupi wajah korban terutama bagian mulut korban, dilengkapi dengan katup satu arah sehingga cairan tubuh korban tidak mengenai penolong. Bisa dilipat sehingga praktis dibawa kemana-mana. Langkah-langkah memberikan pernapasan buatan mulut ke mulut: 1) Pastikan keamanan diri dan lingkungan, kemudian aktifkan SPGDT. 2) Baringkan korban pada posisi terlentang. 3) Atur posisi penolong. Berlutut disamping kepala korban. 4) Lakukan langkah-langkah pengelolaan airway. 5) Pasang alat pelindung; barrier device, face shield. 6) Penolong menarik napas dalam saat akan memberikan napas buatan, agar volume tidal terpenuhi. 7) Jepit lubang hidung korban dengan ibu jari dan jari telunjuk. 8) Tutupi mulut korban dengan mulut penolong. Mulut penolong harus dapat menutupi keseluruhan mulut korban agar tidak terjadi kebocoran. 9) Berikan hembusan napas 2 kali, sambil tetap menjaga terbukanya airway. Beri kesempatan untuk ekspirasi. Waktu yang diperlukan untuk tiap hembusan 1,5-2 detik. Volume udara yang diberikan sebesar volume tidal yaitu 10 mL/ kgBB atau 700-1000 mL, atau sampai dengan dada korban terlihat mengembang. Hati-hati, jangan terlalu kuat atau terlalu banyak karena dapat melukai paru-paru korban atau masuk ke lambung. 10) Lakukan evaluasi ulang A dan B. Jika saat melakukan pernapasan buatan dirasakan ada tahanan atau terasa berat, atau dada tidak naik turun dengan baik, perbaiki tehnik membuka airway korban misalnya dengan memperbaiki posisi kepala. Jika setelah posisi diperbaiki masih terasa berat, curigai adanya sumbatan airway. Lakukan tindakan membebaskan jalan napas. 11) Bila tidak ada gangguan lain, teruskan pernapasan buatan dengan kecepatan 1215 kali/ menit. Tehnik pernapasan buatan mulut ke hidung dilakukan bila tidak mungkin melakukan pernapasan mulut ke mulut, misal mulut korban yang terkatup rapat dan tidak bisa dibuka (trismus), atau mulut korban mengalami cedera berat. Langkah-langkah yang dilakukan sama seperti pernapasan buatan mulut ke mulut. Perbedaannya adalah pernapasan buatan dilakukan ke hidung korban. Pada tehnik ini mulut korban yang harus ditutup. Pernapasan Buatan Mulut-Stoma / Lubang Trakeostomi Pada korban yang pernah mengalami tindakan pembuatan lubang pernapasan di leher, masuknya udara pernapasan tidak lagi melalui mulut atau hidung. Udara masuk melalui lubang buatan di leher yang disebut stoma. Langkah-langkah melakukan pernapasan buatan mulut ke stoma pada dasarnya sama dengan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pernapasan Buatan Mulut-Masker/ Sungkup Muka Tehnik pernapasan buatan mulut ke masker lebih efektif dan lebih aman dibanding cara-cara pernapasan yang telah dijelaskan sebelumnya. Masker yang digunakan mempunyai katup satu arah sehingga cairan maupun udara ekspirasi yang keluar dari korban kecil kemungkinannya mengenai penolong. Masker menutupi hidung dan mulut korban, sehingga tidak ada kontak/hubungan langsung antara penolong dengan korban. Efektivitas didapatkan karena masker yang digunakan akan menutupi baik mulut maupun hidung korban dan lebih terkontrol. Masker yang baik untuk pernapasan buatan memiliki ukuran yang sesuai, terbuat dari bahan transparan/ tembus pandang, dan dilengkapi katup satu arah atau dapat dihubungkan dengan katup satu arah pada bagian atasnya. Masker tersedia dengan berbagai ukuran. Kesesuaian ukuran penting agar masker dapat melekat erat pada wajah sehingga tidak terjadi kebocoran. Bahan transparan memungkinkan penolong dapat melihat adanya cairan mapun muntahan yang keluar dari korban. Langkah-langkah pernapasan buatan mulut ke masker: 1) Pastikan keamanan diri dan lingkungan, kemudian aktifkan SPGDT. 2) Baringkan korban pada posisi terlentang. 3) Atur posisi penolong. Bila penolong hanya seorang, berlutut disamping kepala korban. Bila penolong lebih dari satu orang, salah satu penolong yang memegangi masker berlutut di atas kepala korban menghadap ke kaki korban. 4) Lakukan langkah-langkah pengelolaan airway. 5) Pasang masker yang ukurannya sesuai dengan korban.Masker yang ukurannya sesuai akan menutupi bagian hidung dan mulut korban sekaligus. Masker pernapasan buatan berbentuk menyerupai buah jambu air yang terbelah dua sama besar, ada bagian yang menyempit dan ada bagian yang melebar. Posisikan bagian yang menyempit di bagian hidung korban, dan bagian yang melebar di bagian dagu. 6) Pertahankan posisi masker dan rapatkan. Posisi masker yang benar dan rapat penting untuk keberhasilan pernapasan buatan. Mempertahankan posisi masker bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertahankan posisi masker dengan posisi kedua tangan seperti saat melakukan jaw thrust atau triple airway manauver. Kedua ibu jari menahan masker bagian hidung, sementara jari-jari lainnya menahan bagian dagu dan merapatkannya dengan menahan masker bagian rahang bawah korban, sambil melakukan tindakan membuka airway. Pertahankan posisi masker dengan salah satu tangan menahan bagian hidung, tangan lainnya menahan bagian dagu sambil membuka airway korban. 7) Penolong menarik napas dalam saat akan memberikan napas buatan, agar volume tidal terpenuhi. 8) Berikan hembusan napas 2 kali, sambil tetap menjaga terbukanya airway. Beri kesempatan untuk ekspirasi. Waktu yang diperlukan untuk tiap hembusan 1,5-2 detik. Volume udara yang diberikan sebesar volume tidal 10 mL/ kgBB, atau sampai dengan dada korban terlihat mengembang. 9) Lakukan evaluasi ulang A dan B. Jika saat melakukan pernapasan buatan dirasakan ada tahanan atau terasa berat, atau dada tidak naik turun dengan baik, perbaiki posisi kepala korban. Perbaiki tehnik membuka airway korban. Jika setelah posisi diperbaiki masih terasa berat, curigai adanya sumbatan airway. Lakukan tindakan membebaskan jalan napas. 10) Bila tidak ada gangguan lain, teruskan pernapasan buatan dengan kecepatan 1215 kali/ menit. BVM (Bag Valve Mask) Pernapasan buatan yang dilakukan dengan bantuan BVM lebih dianjurkan, karena memiliki lebih banyak keuntungan. Selain keuntungan seperti yang didapatkan dengan menggunakan masker, BVM memberikan oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada korban karena dapat dihubungkan dengan sumber oksigen. BVM dianjurkan digunakan oleh dua orang penolong. Sesuai namanya bag valve mask (BVM) terdiri dari kantung, katup satu arah, dan masker/ sungkup muka. Isi kantung sekitar 1600 mL dan dapat dihubungkan dengan sumber oksigen. Masker pada BVM memiliki bentuk yang sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Masker tersedia dalam berbagai ukuran untuk dewasa, anak, dan bayi. Penggunaan BVM untuk pernapasan buatan tidak akan dijelaskan lebih lanjut, karena penggunaannya memerlukan ketrampilan setingkat paramedis. PERHATIAN: 1) Pemompaan udara pernapasan dilakukan saat korban inspirasi. 2) Pemberian bantuan napas disesuaikan dengan kebutuhan korban. 3) Perhatikan volume tidal dan frekuensi napas yang dibutuhkan korban. 4) Pemasangan masker harus sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan korban dan ketat. 5) Bila korban memiliki gigi palsu, biarkan gigi palsu tersebut tetap pada tempatnya, karena akan mempermudah dicapainya posisi masker yang ketat. 6) Namun bila gigi tersebut lepas, segera keluarkan dari mulut korban dan amankan. Lepasnya gigi palsu merupakan ancaman terjadinya sumbatan jalan napas. Lakukan penilaian berkala keberadaan gigi palsu selama menolong korban. 2. Pengertian CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga ujungnya berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS) Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan. Secara tidak langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan ventrikel kanan pada akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg. Perawat harus memperhatikan perihal : 1. Mengadakan persiapan alat – alat 2. Pemasangan manometer pada standard infuse 3. Menentukan titik nol 4. Memasang cairan infuse 5.Fiksasi 6. Fisioterapi dan mobilisasi 2.Tujuan 1. Mengetahui tekanan vena sentralis (TVS) 2. Untuk memberikan total parenteral nutrition (TPN) ; makanan kalori tinggi secara intravena 3.Untuk mengambil darah vena 4.Untuk memberikan obat – obatan secara intra vena 5. Memberikan cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat 6. Dilakukan pada penderita gawat yang membutuhkan erawatan yang cukup lama CVP bukan merupakan suatu parameter klinis yang berdiri sendiri, harus dinilai dengan parameter yang lainnya seperti : Denyut nadi Tekanan darah Volume darah CVP mencerminkan jumlah volume darah yang beredar dalam tubuh penderita, yang ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung. Misal : syock hipovolemik –> CVP rendah 3. Persiapan untuk pemasangan a. Persiapan pasien Memberikan penjelasan pd klien dan klg ttg: – tujuan pemasangan, – daerah pemasangan, & – prosedur yang akan dikerjakan b. Persiapan alat -Kateter CVP – Set CVP – Spuit 2,5 cc – Antiseptik – Obat anaestesi local – Sarung tangan steril – Bengkok – Cairan NaCl 0,9% (25 ml) – Plester 4. Cara Kerja a. Daerah yang Dipasang : Vena femoralis Vena cephalika Vena basalika Vena subclavia Vena jugularis eksterna Vena jugularis interna b. Cara Pemasangan : Penderita tidur terlentang (trendelenberg) Bahu kiri diberi bantal Pakai sarung tangan Desinfeksi daearah CVP Pasang doek lobang Tentukan tempat tusukan Beri anestesi lokal Ukur berapa jauh kateter dimasukkan Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi NaCl 0,9% 2-5 cc Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, ke arah telinga sisi yang berlawanan Darah dihisap dengan spuit tadi Kateter terus dimasukkan ke dalam jarum, terus didorong sampai dengan vena cava superior atau atrium kanan Mandrin dicabut kemudian disambung infus -> manometer dengan three way stopcock Kateter fiksasi pada kulit Beri betadhin 10% Tutup kasa steril dan diplester 5. Keuntungan Pemasangan di Daerah Vena Sublavia 1. Mudah dilaksanakan (diameter 1,5 cm – 2,5 cm) 2. Fiksasi mudah 3. Menyengkan penderita 4. Tidak mengganggu perawatan rutin dapat dipertahankan sampai 1 minggu 6. Cara Menilai CVP dan Pemasangan Manometer 1. Cara Menentukan Titik Nol CVP Manometer Penderita tidur terlentang mendatar Dengan menggunakan slang air tang berisi air ± setengahnya -> membentuk lingkaran dengan batas air yang terpisah Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi slang yang satu. Sisi yang lain ditempatkan pada manometer. Titik nol manometer dapat ditentukan Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran V.cava superior, atrium kanan dan V.cava inferior bertemu menjadi satu. Liat gambar di bawah ini Posisi pasien saat pengukuran CVP 7. Penilaian CVP Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock -> amati infus lancar atau tidak Penderita terlentang Cairan infus kita naikkan ke dalam manometer sampai dengan angka tertinggi -> jaga jangan sampai cairan keluar Cairan infus kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer akan masuk ke tubuh penderita Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai irama nafas, turun (inspirasi), naik (ekspirasi) Undulasi berhenti -> disitu batas terahir -> nilai CVP Nilai pada angka 7 -> nilai CVP 7 cmH2O Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP 8. Nilai CVP Nilai rendah : < 4 cmH2O Nilai normal : 4 – 10 cmH2O Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O Nilai tinggi : > 15 cmH2O Penilaian CVP dan Arti Klinisnya CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock dan penilaiannya adalah sebagai berikut : 1. CVP rendah (< 4 cmH2O) Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat. Bila CVP normal, tanda shock hilang -> shock hipovolemik Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah -> shock septik 2. CVP normal (4 – 14 cmH2O) Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam sirkulasi. Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik shock 3. CVP tinggi (> 15 cmH2O) Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak) Terapi : obat kardiotonika (dopamin). 8. Faktor -faktor yang Mempengaruhi CVP 1. Volume darah : Volume darah total Volume darah yang terdapat di dalam vena Kecepatan pemberian tranfusi/ cairan 2. Kegagalan jantung dan insufisiensi jantung 3. Konstriksi pembuluh darah vena yang disebabkan oleh faktor neurologi 4. Penggunaan obat – obatan vasopresor 5. Peningkatan tekanan intraperitoneal dan tekanan intrathoracal, misal : Post operasi illeus Hematothoraks Pneumothoraks Penggunaan ventilator mekanik Emphysema mediastinum 6. Emboli paru – paru 7. Hipertensi arteri pulmonal 8. Vena cava superior sindrom 9. Penyakit paru – paru obstruksi menahun 10. Pericarditis constrictive 11. Artevac ; tersumbatnya kateter, ujung kateter berada di dalam v.jugularis inferior Pengertian Dan Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir A. Definisi Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan Persalinan Normal, 2007). Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Wiknjosastro, 1999) B. Etiologi / Penyebab Asfiksia Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini: 1. Faktor ibu Preeklampsia dan eklampsia Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta) Partus lama atau partus macet Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan) 2. Faktor Tali Pusat Lilitan tali pusat Tali pusat pendek Simpul tali pusat Prolapsus tali pusat 3. Faktor Bayi Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan) Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep) Kelainan bawaan (kongenital) Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali atau (sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan. C. Perubahan Patofiologis dan Gambaran Klinis Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan TD. Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya : 1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung. 2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot jantung. 3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. (Rustam, 1998). Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia Tidak bernafas atau bernafas megap-megap Warna kulit kebiruan Kejang Penurunan kesadaran D. Diagnosis Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu : 1. Denyut jantung janin Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebihlebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya 2. Mekonium dalam air ketuban Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah. 3. Pemeriksaan pH darah janin Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia. (Wiknjosastro, 1999) E. Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi, menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan. Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu : Penafasan Denyut jantung Warna kulit Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP). F. Persiapan Alat Resusitasi Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu : 1. 2 helai kain / handuk. 2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala bayi. 3. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet. 4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal. 5. Kotak alat resusitasi. 6. Jam atau pencatat waktu. (Wiknjosastro, 2007). G. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai ABC resusitasi, yaitu : 1. Memastikan saluran terbuka – Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm. – Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea. – Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran pernafasan terbuka. 2. Memulai pernafasan – Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan – Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut ke mulut (hindari paparan infeksi). 3. Mempertahankan sirkulasi – Rangsangan dan pertahankan – sirkulasi darah Kompresi dengan cara dada. – Pengobatan Detail Cara Resusitasi Langkah-Langkah Resusitasi 1. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi. 2. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar. 3. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor). 4. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih kemudian lanjutkan ke hidung. 5. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-usap punggung bayi. 6. Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah / sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif. 1. Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif. 2. Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x / menit. 3. Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10. 1. 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan. 2. 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV. 3. 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai kompresi jantung. 4. < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung. 5. Kompresi jantung Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi jantung : a Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh bayi. b Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang tubuh bayi. 7. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada. 8. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan. 9. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 : 10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV. 10. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat. 11. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas tiap 3 – 5 menit. 12. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007) Persiapan resusitasi Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah : 1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum. 2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan minumum antara lain : – Alat pemanas siap pakai – Oksigen – Alat pengisap – Alat sungkup dan balon resusitasi – Alat intubasi – Obat-obatan Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif : 1. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan. 2. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien 3. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai suatu tim yang terkoordinasi. 4. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien. 5. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap pakai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan kombinasi pernapasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi kebutuhan oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan paru tidak berfungsi. Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai terjadi kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain. Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada RJP. B. Tujuan 1. Tujuan umum Agar rekan-rekan dapat mengetahui tentang Resusitasi Jantung Paru. 2. Tujuan khusus Agar rekan-rekan dapat mengetahui tentang : 1. Dapat mengetahui tentang RJP 2. Dapat mengetahui tentang Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi) 3. Dapat mengetahui mengenai tentang Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak dan Dewasa BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Resusitasi Jantung Paru Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah kematian biologis. Resusitasi jantung paru (RJP),j atau juga dikenal dengan cardio pulmonier resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan buatan. Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan nafas, tetapi masih hidup. Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban tidak segera diberi RJP, korban juga akan meninggal dunia. RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm keadaan mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya. Keterangan: 1. Mati Klinis Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel, penderita punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi tanpa kerusakan otak. 2. Mati Biologis Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan kematian sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di suhu yang ekstrim dingin, pernah dilaporkan melakukan resusitasi selama 1 jam/ lebih dan berhasil). Catatan: Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan batang otak tidak perlu dilakukan RJP. B. Indikasi Melakukan RJP 1. Henti Napas (Apneu) Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh akan memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih cepat dari pada keadaan normal. Bila perlangsungannya lama akan memberikan kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot napas akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2, kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang dikenal sebagai henti nafas. 2. Henti Jantung (Cardiac Arrest) Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah dapat dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas, maka oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak dapat berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac arrest). C. Langkah Sebelum Memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP) 1. Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban ) Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera. 2. Memanggil bantuan (call for help) Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil bantuan. 3. Posisikan Korban Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long board). Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan trauma, pembalikan dilakukan dengan ”Log Roll” 4. Posisi Penolong Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban . 5. Pemeriksaan Pernafasan Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik. 1. Tidak terlihat gerakan otot napas 2. Tidak ada aliran udara via hidung Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengan dan rasa, bila korban bernapas, korban tidak memerlukan RJP. 6. Pemeriksaan Sirkulasi 1. Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis 2. Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis 3. Tidak ada tanda-tanda sirkulasi 4. Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan diteruskan. Dan bila tidak ada pulsasi, dilakukan RJP. D. Henti Napas Pernapasan buatan diberikan dengan cara : 1. Mouth to Mouth Ventilation Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis, HIV) karena itu harus memakai ”barrier device” (alat perantara). Dengan cara ini akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %. 1. Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya dengan jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban ke atas. 2. Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut penolong ke atas mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan-pelan sambil memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari tiupan napas penolong. Gerakan ini menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan oleh penolong itu masuk ke dalam paru-paru korban. 3. Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung korban. Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi semula. 2. Mouth to Stoma Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang kemudian dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur Krikotiroidektomi tadi. 3. Mouth to Mask ventilation Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face mask. 4. Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag) Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu petugas sedangkan petugas yang lain memompa. 5. Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP) Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis akan memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan. Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan napas korban apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka hendaknya dibebaskan terlebih dahulu. E. Henti Jantung RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong. Lokasi titik tumpu kompresi. 1. 1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus 2. Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari telunjuk mengikuti 3. Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut 4. Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik pijat jantung 5. Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada korban F. Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi) 1. Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum 2. Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm a. Tekanan tidak terlalu kuat b. Tidak menyentak c. Tidak bergeser / berubah tempat 3. Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik ) 4. Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1) 5. Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan 6. Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi napas) untuk dibawa menyelamatkan nyawa sampai korban dapat a t a u tunjangan hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini termasuk langkah-l a n g k a h A B C d a r i R K P : A (Airway) : Jalan nafas terbuka. B( B r e a t h i n g ) :Pernapasan, pernapasan buatan RKP. C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan. Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena : 1.H e n t i n a p a s . 2.H e n t i j a n t u n g , ya n g d a p a t t e r j a d i k a r e n a : a.K o l a p s k a r d i o v a s k u l a r b.Fibrilasi ventrikel atau c.A s i s t o l e v e n t r i k e l . Pernapasan buatan Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah dasar pemapasan buatan.Cara mengetahui sumbatan jalan napas dan apne Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak dan Dewasa Resusitasi Jantung Pada Bayi dan Anak Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak: 1. Saluran Pernapasan (Airway =A) adanya Hati-hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak mendongakkan kepala bayi dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak sehingga dongakan yang kuat justru bisa menutup saluran pernapasan. 2. Pernapasan (Breathing = B) Pada bayi yang tidak bernapas, jangan meneoba menjepit hidungnya. Tutupi mulut dan hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan perlahan (1 hingga 1,5 detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup untuk membuat dadanya mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya, tutupi mulutnya, dan berikan hembusan seperti pada bayi. 3. Peredaran Darah (Circulation = C) Pemeriksaan Denyut: Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya denyut nadi adalah dengan meraba bagian dalam dari lengan atas pad a bagian tengah antara siku dan bahu. Pemeriksaan denyut pada anak keeiL sarna dengan orang dewasa. 1. Resusitasi jantung paru pada bayi ( < 1 tahun) a. 2 – 3 jari atau kedua ibu jari b. Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit d. Rasio pijat : napas 15 : 2 e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi 2. Resusitasi Jantung paru pada anak-anak ( 1-8 tahun) a. Satu telapak tangan b. Titik kompresi pada satu jari di atas Proc. Xiphoideus c. Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit d. Rasio pijat : napas 30 : 2 e. Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi A. Bantuan Hidup Dasar Airway (jalan nafas) Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini. Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan. Caranya ialah, Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil, Mendorong kepala ke belakang dan kemudian, Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung. Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. (5, 6, 7) Breathing (Pernafasan) Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat. Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan : gerakan dada waktu membesar dan mengecil merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi. Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis. (5) Circulation (Sirkulasi buatan) Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat. Sebab-sebab henti jantung : Afiksi dan hipoksi Serangan jantung Syok listrik Obat-obatan Reaksi sensitifitas Kateterasi jantung Anestesi. (5) Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan. Henti jantung diketahui dari : Hilangnya denyut nadi pada arteri besar Korban tidak sadar Korban tampak seperti mati Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap. Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena : (5) 1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan 2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban 3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi. Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan. ( 5, 7) Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah, 1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun 2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil 3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati 4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban 5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus 6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP. (5) ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil, 1. Korban menjadi sadar kembali 2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya. 3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL). (4) Tujuan : Untuk menegakkan patensi jalan napas Indikasi 1. Kebutuhan akan ventilasi mekanik 2. Kebutuhan akan hiegine pulmoner 3. Kumungkinan aspirasi 4. Kemungkinan obstruksi jalan napas bagian atas 5. Pemberian anastesi Kontraindikasi : Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian edema jalan napas bagian atas yang buruk / fraktur dari wajah dan leher dapat memungkinkan dilakukannya intubasi. Kemungkinan komplikasi : 1. Memar, laserasi, dan abrasi 2. Perdarahn hidung (dengan intubasi nasotrakeal) 3. Obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku) 4. Sinusitis (dengan nasotrakeal tube) 5. Ruptur trakeal 6. Fistula trakeoesofageal. 7. Muntah dengan aspirasi, gigi copot atau rusak 8. Distrimia jantung. Peralatan : 1. Endotrakeal (ET) tube dalam berbagai ukuran. 2. Stylet (sejenis kawat yangdimasukkan kedalam kateter atau kanula dan menjaga kanula tersebut agar tetap kaku/tegak) 3. Laringoskop, bengkok dan berujung lurus. 4. Forsep macgill ( hanya untuk intubasi nasotrakeal ) 5. Jelli busa 4x4 6. Spuit 10 cc 7. Jalan napas orofaringeal 8. Resusitasi bag dengan adafter dan masker yang dihubungkan dengan tabung oksigen dan flowmeter. 9. Peralatan penghisap lendir 10. Kanul penghisap dengan sarung tangan. 11. Ujung penghisap tonsil Yankauer. 12. Plester 1 cm. 13. Ventilator atau set oksigen. 14. Restrain. 15. Mesin monitor jantung/ EKG. 16. Peralatan henti jantung. Prosedur : 1. Ingatkan ahli terapi pernapaan, dan siapkan alat ventilator atau set oksigen seperti yang dianjurkan oleh dokter. 2. Jelaskan prosedur pada pasien, jika mungkin. Pasang restrain jika diperlukan. 3. Yakinkan bahwa pasien mendapat terapi intravena yang stabil. 4. Tempatkan peralatan henti jantung disi tempat tidur. 5. Periksa untuk meyakinkan bahwa peralatan penghisap (suction) dan ambubag sudah tersedia dan berfungsi dengan baik, hubungkan ujung penghisap Yankauer dan sumbernya. 6. Jika pasien tidak dalam monitor jantung, hubungkan pada monitor atau EKG. 7. Pidahkan alas kepala dan tempatka pasien sedekat mungkin dengan bagian atas tempat tidur. Pasien harus dalam posisi sniffing, leher dalam keadaan fleksi dengan kepala ekstensi. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan 2-4 inchi alas kepala di leher belakang bagian bawah. 8. Tanyakan pada dokter tipe pisau operasi yang harus disiapkan dan ukuran dari ET tube yang akan digunakan. 9. Hubungkan mata pisau operasi pada laringoskop, dan periksa bola lampu untuk mendapatkan penerangan yang cukup. 10. Siapkan ET tube, dan kembangkan manset/balonnya untuk mengetahui adanya kebocoran dan pengembangan yang simetris. 11. Basahi ujung distal dari ET tube dengan jeli anestetik. 12. Masukkan stylet ke dalam tube, yakinkan untuk tidak menonjol keluar dari ujung ET tube. 13. Persiapkan untuk memberikan obat-obatan intravena (suksinil-kholin atau diazepam). 14. Pegang ET tube dengan bagian probe dan stylet pada tempatnya, laringoskop dengan mata pisau terpasang, jalan napas orofaringeal ke arah dokter. 15. Observasi dan berikandukungan pada pasien. Pertahankan terapi intravena dan awasi adanya disritmia. 16. Berikan tekanan pada krikoid selama intubasi endotrakeal untuk melindungi regurgitasi isilambung. Temukan kartilago krikoid dengan menekan raba tepat dibawah kartilago tiroid (adam apple). Bagian inferior yang menonjol ke arah kartilago adalah krikoid kartilago. Berikan tekanan pada bagian anterolateral dari kartilago tepat sebelah lateral dari garis tengah, gunakan ibu jari dan jari telunjuk. Pertahankan tekanan sampai manset endotrakeal dikembangkan. 17. Setelah ET tube pada tempatnya, kembangkan manset dengan isi yang minimal sebagai berikut : Selama inspirasi (bag resusitasi manual / ventilator), masukan dengan perlahan udara ke garis manset. Tahan manset yang sudah dikembangkan selama siklus ekspirasi --> Ulangi dengan perlahan pengembangan manset selama siklus inspirasi tambahan --> Akhiri mengembangkan manset bila kebocoran sudah terhenti. 18. Lakukan penghisapan dan ventilasi. 19. Untuk memeriksa posisi ET tube, ventilasi dengan bag dan lakukan auskultasi bunyi napas. Observasi penyimpangan bilateral dada. 20. Fiksasi ETT pada tempatnya dengan langkah sebagai berikut: Bagi pasien dengan intubasi oral yang bergigi lengmanset, ( jika jalan napas oralfaringeal yang digunakan, ini harus dipendekkan sehinggga tidak masuk kedalam faring posterior) --> Bagi dua lembar plester, sebuah dengan panjang hampir 20-24 cm dan yang lain sekitar 14-16 cm (cukup untuk mengelilingi kepala pasien dan melingkari sekitar ETT beberapa waktu) -> Letakkkan plester dengan panjang 20-24 cm pada daerah yang rata, tegakkan sisinya keatas, dan balikkan kearah plester dengan panjang 14-16 cm --> Oleskan kapur harus pada daerah sekitar mulut --> Tempatkan plester disamping leher pasien -- > Letakkan satu ujung plester menyilang diatas bibir, kemudian ujungnya mengitari ETT pada titik kearah mulut --> Letakkan ujung yang lain dibawah bibir bawah menyilang dagu, kemudian ujungnya mengitari ETT pada titik masuk ke mulut --> Lakukan auskultasi dada bilateral. Tindak lanjut 1. Pastikan bahwa ETT telah terfiksasi dengan baik dan pasien mendapatkan ventilasi yang adekuat. 2. Kaji sumber oksigen atau ventilator. 3. Instruksikan untuk melakukan rontgen dada portable untuk memeriksa letak ETT 4. Yakinkan dan beri srasa nyaman pasien.