BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syok bukanlah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syok bukanlah merupakan suatu diagnosis. Syok merupakan suatu sindrom
klinis kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai
manifestasi hemodinamik. Tetapi , petunjuk yang umum adalah tidak memadainya
perfusi jaringan. Keadan hipoperfusi ini memburuk hantaran oksigen dan nutrisi,
serta pembuangan sisa-sisa metabolik pada tingkat jaringan. Hipoksia jaringan
akan menggeser metabolisme dari jalur oksiditif ke jalur anaerob yang
mengakibatkan pembentukan asam laktat. Kekacauan metabolisme yang progresif
menyebabkan syok berlarut-larut yang pada puncaknya dapat menyebabkan
kemunduran sel dan keruskan multi sistem.
Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat :
1.
Tahap1, syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya
respon kompensatorik
2.
Tahap 2, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari
hipoperfusi dan
3.
Tahap 3,
kemunduran fungsi organ.
tahap refrakter (irreversible ) yaitu tahap kerusakan sel
yanghebat tidak dapat lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada
kematian
B.
Tujuan
Tujuan Umum :
1. Dapat melakukan tindakan pada pasien yang mengalami syok
Tujuan Khusus :
1. Menjelaskan struktur dan fungsi system sirkulasi
2. Menjelaskan tanda dan gejala syok
3. Menjelaskan klasifikasi syok dan perdarahan
4. Mengetahui langkah-langkah menanggulangi syok
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Syok adalah suatu keadaan gawat yang terjadi jika sistem kardiovaskuler
(jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh
dalam jumlah yang memadai,syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah
rendah dan kematian sel maupun jaringan yang pada akhirnya dapat menimbulkan
kematian apabila tidak segera ditanggulangi.
Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya
aliran darah,termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal
jantung), volume darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau
perubahan pada pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
B. Jenis-Jenis Syok
1.
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana
terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan
beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan
berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik
merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan
perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling
sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat
dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan
rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang
cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta
abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan
cairan yang signifikan (selain darah).
2. Syok Kardiogenik
Disebabkan
oleh
kegagalan
fungsi
pompa
jantung
yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama
sekali. Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya
tanda-tanda syok dan dijumpainya adanya penyakit jantung, seperti infark
miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah torak, atau
adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat
jantung.
3. Shock Septic
Suatu keadaan dimana tekanan darah turun sampai tingkat yang
membahayakan nyawa sebagai akibat dari sepsis, disertai adanya infeksi
(sumber infeksi). Syok septik terjadi akibat racun yang dihasilkan oleh
bakteri tertentu dan akibat sitokinesis (zat yang dibuat oleh sistem
kekebalan untuk melawan suatu infeksi).Racun yang dilepaskan oleh
bakteri bisa menyebabkan kerusakan jaringan dan gangguan peredaran
darah.
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif
yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif
ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas
arteriovena perifer. Selain itu terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan
terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan peningkatan
permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke
intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang
terjadi tidak disebabkan penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman.
4. Shock Anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan suatu reaksi alergi yang cukup serius.
Penyebabnya bisa bermacam macam mulai dari makanan, obat obatan,
bahan bahan kimia dan gigitan serangga. Disebut serius karena kondisi ini
dapat menyebabkan kematian dan memerlukan tindakan medis segera.
Jika seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi
kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas.
Antigen yang bersangkutan terikat pada antibodi dipermukaan sel mast
sehingga terjadi degranulasi, pengeluaran histamin, dan zat vasoaktif lain.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler
menyeluruh. Terjadi hipovolemia relatif karena vasodilatasi yang
mengakibatkan syok, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler
menyebabkan udem. Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme
yang menurunkan ventilasi.
C.
Derajat Syok menurut Kegawatannya
1. Syok Ringan
a) Kehilangan volume darah <20%,
b) Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti
kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup
lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan
yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi
urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak
ada atau ringan.
c) Tanda klinis: rasa dingin, hipotensi postural, takikardi, kulit lembab,
urine pekat, diuresis kurang, kesadaran masih normal
2. Syok Sedang
a) Kehilangan cairan 20%-40% dari volume darah total
b) Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus,
ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih
lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat
oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik.
Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
c) Tanda klinis: penurunan kesadaran, delirium/agitasi, hipotensi,
takikardi, nafas cepat dan dalam, oliguri, asidosis metabolik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi
syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada
syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi
oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia
jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun).
D. Etiologi
Penyebab syok berdasarkan jenis syok sebagai berikut :
1. syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah):
a) kehilangan darah, misalnya perdarahan
b) kehilangan plasma, misalnya luka bakar
c) dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan
keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah,).
d) cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula,
obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus).
2. syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri):
a) penyakit jantung iskemik, seperti infark
b) obat-obat yang mendepresi jantung; dan
c) gangguan irama jantung.
3.syok septic
a) infeksi bakteri gram negative
b) malnutrisi,
c) luka besar terbuka
d) iskemia saluran pencernaan
4. syok anafilaktik
a) makanan,
b) obat obatan,
c) bahan-bahan kimia dan
d) gigitan serangga
E.
Tanda-Tanda dan Gejala Syok
1.
syok hipovolemik
a. pucat
b. kulit dingin
c. takikardi
d. oliguri
e. hipotensi
2.
syok kardiogenik
a. hipotensi (< 90 mmHg)
b. gelisah,
c. pucat,
d. kulit dingin dan basah,
e.
menurunnya kesadaran
f. nadi : pengisian kurang, cepat 90-110/menit. Mungkin bradikardi
g. pernapasan : takipnea,
h. produksi urin berkurang (Oliguria : < 30 mg/jam)
3.
syok septic
a. pernafasan menjadi cepat,
b. hipotensi
c.
menggigil hebat,
d. suhu tubuh yang naik sangat cepat
e. kulit hangat dan kemerahan
f.
denyut nadi lemah
g.
tekanan darah yang turun-naik
h. oliguri
4. syok anafilaktik
a. bercak kemerahan pada kulit yang disertai dengan rasa gatal.
b. bengkak pada tenggorokan dan atau organ tubuh yang lain.
c.
sesak atau kesulitan untuk bernafas.
d. rasa tidak nyaman pada dada (seperti diikat dengan kencang).
e.
suara serak.
f.
kehilangan kesadaran.
g.
kesulitan menelan.
h. diare, sakit perut dan muntah muntah.
i. kulit menjadi merah atau pucat.
F. Patofisiologi Syok menurut Jenisnya
1. Syok Hipovolemik
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan cara
mengaktifkan 4 sistem major fisiologi tubuh: sistem hematologi, sistem
kardiovaskular, sistem renal dan sistem neuroendokrin.system hematologi
berespon kepada perdarahan hebat yag terjadi secara akut dengan
mengaktifkan cascade pembekuan darah dan mengkonstriksikan pembuluh
darah (dengan melepaskan thromboxane A2 lokal) dan membentuk
sumbatan immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak
akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang secara subsekuen akan
menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi dari subatan yang dibentuk.
Kurang lebih 24 jam diperlukan untuk pembentukan sumbatan fibrin yang
sempurna dan formasi matur.
Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok hipovolemik
dengan
meningkatkan
denyut
jantung,
meninggikan
kontraktilitas
myocard, dan mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini
timbul akibat peninggian pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus
vagus (yang diregulasikan oleh baroreseptor yang terdapat pada arkus
karotid, arkus aorta, atrium kiri dan pembuluh darah paru. System
kardiovaskular juga merespon dengan mendistribusikan darah ke otak,
jantung, dan ginjal dan membawa darah dari kulit, otot, dan GI.
System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang meningkatkan
pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari pelepasan rennin
kemudian dip roses kemudian terjadi pembentukan angiotensi II yang
memiliki 2 efek utama yaitu memvasokontriksikan pembuluh darah dan
menstimulasi
sekresi
aldosterone
pada
kortex
adrenal.
Adrenal
bertanggung jawab pada reabsorpsi sodium secra aktif dan konservasi air.
System neuro endokrin merespon hemoragik syok dengan
meningkatkan sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior
yang merespon pada penurunan tekanan darah dan penurunan pada
konsentrasi sodium. ADH secara langsung meningkatkan reabsorsi air dan
garam (NaCl) pada tubulus distal.
2.
Syok Kardiogenik
Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada
gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke
arteri koroner berkurang, sehingga asupan oksigen ke jantung menurun, yang pada
gilirannya meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung
untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan.
Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan
lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi,
penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab.
Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada
gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan
ventrikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah
dan
mengevaluasi
penatalaksanaan
yang
telah
dilakukan.
Peningkatan
tekananakhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel
End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi
sebagai pompa yang efektif.
3.
Syok Septic
Terjadinya syok septik dapat melalui dua cara yaitu aktivasi lintasan
humoral dan aktivasi cytokines. Lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada
dinding bakteri gram negative dan endotoksinnya serta komponen dinding sel
bakteri gram positif dapat mengaktifkan:
a.
Sistem komplemen
Sistem komplemen yang sudah diaktifkan akan meranngsang netrofil
untuk saling mengikat dan dapat menempel ke endotel vaskuler, akhirnya
dilepaskan derivate asam arakhidonat, enzim lisosom superoksida radikal,
sehingga
memberikan
efek
vasoaktif
local
padam
ikrovaskuler
yang
mengakibatkan terjadi kebocoran vaskuler. Di samping itu system komplemen
yang
sudah
aktif
dapat
langsung
menimbulkan
meningkatnya
efek
kemotaksis,superoksida radikal,enzim lisosom.
Membentuk kompleks LPS dan protein yang menempel pada sel monosit
LBP-LPS monosit kompleks dapat mengaktifkan cytokines kemudian akan
merangsang neutrofil atau sel endotel, selendotel akan menagakobatkan
vasodilatasi pembuluh darah dan Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC). Cytokines dapat secara langsung menimbulkan demam, perubahan
metabolik dan perubahan hormonal.
b.
Faktor XII (Hageman faktor)
Faktor XII (Hagamen factor) akan diaktivasi oleh peptidoglikan dan asam
teikot yang terdapat pada dinding bakteri garam ositif. Factor XII yang sudah aktif
akan meningkatkan pemakaian factor koagulasi sehingga terjadi DIC. Faktor XII
yang sudah aktif akan mengubah prekallikrein menjadi kalikrein,kalikrein
mengubah kininogen sehingga terjadi pelepasan.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang
banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi
gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolic (seperti urea nitrogen) dalam darah
akan meningkat. Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan
rendahnya konsentrasi oksigen. Pemeriksaan EKG jantung menunjukkan
ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak memadai ke
otot jantung. Bahkan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
4.
Syok Anafilaktik
Anafilaksis adalah reksi sistemik yang disebabkan oleh antigen khusus
yang bereaksi dengan molekul IgE pada permukaan sel mast dan basofil yang
menyebabkan pengeluaran segera beberapa mediator yang kuat. Satu efek
utamanya adalah menyebabkan basofil dalam darah dan sel mast dalam jaringan
prekapiler melepaskan histamin atau bahan seperti histamin.
Histamin selanjutnya menyebabkan :
a.
Kenaikan kapasitas vascular akibat dilatasi vena,
b.
Dilatasi arteriol yang mengakibatkan tekanan arteri menjadi sangat menurun,dan
c.
Kenaikan luar biasa pada permeabilitas kapiler dengan hilangnya cairan dan
protein kedalam ruang jaringan secara cepat. Hasil akhirnya menrupakan
penurunan luar biasa pada aliran balik vena dan sering menimbulkan syok serius
sehingga pasien meninggal dalam beberapa hari.
d.
Mediator ini menyebabkan timbulnya gejala-gejala urtikaria, angiodema,
spasme bronkus,spasme laring, meningkatnya permeabilitas pembuluh darah,
vasodilatasi, dan nyeri abdomen. Jika seseorang sensitive terhadap suatu antigen
dan kemudian terjadi kontak lagi terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi
hipersensitivitas. Antigen yang bersangkutan terikat antibody dipermukaan sel
mast sehingga terjadi degranulasi , pengeluaran histamine,dan zat vasoaktif lain.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas dan dilatasi kapiler
menyeluruh dan menyebabkan udema.
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
a.
Fase Sensitisasi,
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Allergen masuk lewat
kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana
akan sitokinin yang mengindukasi Limfosit B berproliferasi menjadisel Plasma
(Plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk
antigen tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
a.
Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama. Masstosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada pemaparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamine,serotin,bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang
disebut dengan istilah preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang
degradasi asam arakidonat darimembran sel yang akan menghasilkan
Leukotrien (LT) danProstaglandin yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
b.
Fase Efektor
Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik
pada organ-organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,
meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating
factor (PAF) berefek bronchospasme dan meningkatkan permeabilitasvaskuler,
agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil
dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan bronchokonstriksi,
demikian juga dengan Leukotrien.
G.
Komplikasi Syok
Komplikasi syok meliputi:
1.
SIRS, dapat terjadi bola syok tidak dikoreksi
2.
Gagal ginjal akut (ATN)
3.
Gagal hati
4.
H.
Ulserasi akibat stress
Penanganan Kegawatan Syok di Rumah Sakit
1.
Syok Hipovolemik
a.
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena no. 18/16.
b.
Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan
koloid sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi.
c.
Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan
mintakan darah.
d.
Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua.
Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.
Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:
a.
Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
b.
Tekanan darah
atau tekanan
: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi
darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan
masih perlunya transfusi cairan.
c.
Produksi urin
: Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur
produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila
kurang, menunjukkan adanya hipovolemia.
d.
e.
Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba.
Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2
ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine.
f.
Dopamin 2--5 µg/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena
sentral (normal 8--12 cmH2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien
seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan
masih perlu transfusi cairan.
2.
a.
Syok Kardiogenik
Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan
intubasi.
b.
Berikan oksigen 8 - 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankanPO2 70 - 120 mmHg
c.
Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus
diatasidengan pemberian morfin
d.
Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang
terjadi.
e.
Bila mungkin pasang CVP
f.
Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
g.
Medikamentosa :
a)
Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri
b)
Anti ansietas, bila cemas.
c)
Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi
d)
Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit
e)
Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak
adekuat.Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m
f)
Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m.bila ada dapat diberikan amrinon IV
g)
Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m
h)
Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan
i)
Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.
3.
Syok Septic
Pada saat gejala syok septik timbul:
a.
Penderita segera dimasukkan ke ruang perawatan intesif untuk menjalani
pengobatan.
b.
Cairan dalam jumlah banyak diberikan melalui infus untuk menaikkan tekanan
darah dan harus diawasi dengan ketat.
c.
Bisa diberikan dopamin atau nor-epinefrin untuk menciutkan pembuluh darah
sehingga tekanan darah naik dan aliran darah ke otak dan jantung meningkat.
d.
e.
Jika terjadi gagal paru-paru, mungkin diperlukan ventilator mekanik.
Antibiotik intravena (melalui pembuluh darah) diberikan dalam dosis tinggi
untuk membunuh bakteri.
f.
g.
Jika ada abses, dilakukan pembuangan nanah.
Jika terpasang kateter yang mungkin menjadi penyebab infeksi, harus
dilepaskan.
h.
Mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk mengangkat jaringan yang mati,
misalnya jaringan gangren dari usus.
4.
Syok Anafilaktik
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab
penderita berada pada keadaan gawat. Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik
setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral maupun parenteral, maka
tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1.
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki
curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
2.
Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
A.
Airway = jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada sumbatan
sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala, leher diatur agar
lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
B.
Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada
syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya
obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan
napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan
napas dan oksigen. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera
ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi.
C.
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.karotis, atau
a. emoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup
dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
3.
Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa
atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat
diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan
pemberian infus kontinyu adrenalin 2--4 ug/menit.
4.
Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi
respons, dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosis awal yang
diteruskan 0.4--0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5.
Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5--10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek
lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
6.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20--40% dari volume plasma. Sedangkan bila
diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan
koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
7.
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah harus
semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi
penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi
telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
8.
Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderita
yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawat di
rumah sakit semalam untuk observasi.
I.
Penanggulangan Kegawatan Syok secara Umum
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan
untuk memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan
mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok.
Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC.
1.
(A = air way) Jalan nafas harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa
endotrakeal.
2.
(B = breathing) Pernafasan harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan
ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%.
3.
(C = circulation) Defisit volume peredaran darah pada syok hipovolemik sejati
atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik)
harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obatobatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor
untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sbg pertolongan pertama dalam
menghadapi syok:
1.
Bawa penderita ke tempat teduh dan aman
2.
Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
penderita dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke
organ-organ vital.
3.
Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
digerakkan sampai persiapan transportasi selesai, kecuali untuk menghindari
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan napas.
4.
Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau
penderita tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring
miring) untuk memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk
menghindari sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang
sangat penting adalah meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka untuk
menghindari terjadinya asfiksia.
5.
Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau
kepala agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian
tubuh lainnya.
6.
Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita
dibaringkan dengan posisi telentang datar.
7.
Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengan kaki ditinggikan 20-30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih
besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih
sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.
8.
Pakaian dilonggarkan
9.
Beri selimut
10.
Tenangkan penderita
11.
Pastikan jalan nafas & Pernafasan baik
12.
Kontrol perdarahan & rawat cedera lainnya
13.
Beri Oksigen sesuai protokol
14.
Jangan beri makan & minum
15.
Periksa berkala tanda vital
16.
Rujuk ke fasilitas kesehatan.
KEPERAWATAN KEGAWAT DARURAT
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek
keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang
berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan
meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara
bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu :
pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat
darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk
mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah
selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A:
Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control
servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan
agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai
kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure,
enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan akan
menghasilkan data yang dibutuhkan untuk merawat pasien sebaik mungkin.
Dalam melakukan pengkajian dibutuhkan kemampuan kognitif, psikomotor,
interpersonal, etik dan kemampuan menyelesaikan maslah dengan baik dan benar.
Perawat harus memastikan bahwa data yang dihasilkan tersebut harus dicatat,
dapat dijangkau, dan dikomunikasikan dengan petugas kesehatan yang lain.
Pengkajian yang tepat pada pasien akan memberikan dampak kepuasan pada
pasien yang dilayani (Kartikawati, 2012).
Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau
ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat
darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau
potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak
di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang
akan
menentukan
keberhasilan
Asuhan
Keperawatan
pada
system
kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat
dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian,
lingkungan
fisik,
cepat
tanggap,
kemudahan
bertransaksi,
kemudahan
memperoleh informasi, kemudahan mengakses, prosedur dan harga (Joewono,
2003).
2. RUMUSAN MASALAH
1.
Menjelaskan latar belakang perlunya pendidikan kegawatdaruratan ?
2.
Menjelaskan tujuan perlunya pendidikan pembelajaran kegawatdaruratan ?
3.
Menjelaskan konsep kegawatdaruratan ?
3. TUJUAN PENULISAN
Mahasiswa mampu memahami tentang konsep latar belakang dan tujuan
pentingnya pendidikan kegawatdaruratan dalam keperawatan dan melakukan
klasifikasi pada pasien serta dapat mengaplikasikannya dalam dunia keperawatan
nantinya.
4 METODE PENULISAN
Penulisan
makalah
ini
dengan
menggunakan
metode
studi
kepustakaan yaitu dengan cara mencari dan membaca literatur yang ada di
perpustakaan, jurnal, media internet.
5 SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini disusun secara teoritis dan sistematis yang tediri dari 3
bab yaitu : BAB I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II
adalah materi tentang konsep latar belakang dan tujuan pentingnya pendidikan
kegawatdaruratan.
BAB II
TINJAUN TEORI
A. Latar Belakang KGD
Menurut Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan
yang di berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan
klinik kedaruratan sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang
kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan
yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai
kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan bersifat cepat dan perlu tindakan
yang tepat, serta memerlukan pemikiran kritis tingkat tinggi. Perawat gawat
darurat harus mengkaji pasien mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi
sambil berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan harus mengimplementasi
kan rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas pengobatan, dan merevisi
perencanaan dalam parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut merupakan
tantangan besar bagi perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang
akurat melalui pendokumentasian.
Di lingkungan gawat darurat, hidup dan mati seseorang ditentukan dalam
hitungan menit. Sifat gawat darurat kasus memfokuskan kontribusi keperawatan
pada hasil yang dicapai pasien, dan menekankan perlunya perawat mencatat
kontribusi profesional mereka.
Serta diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang
bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi
berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam
kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa
atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Keberhasilan
pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan
dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan
keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien
dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan keperawatan
yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat tanggap, kemudahan
bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses, prosedur
dan harga (Joewono, 2003).
2. Tujuan KGD
Bagi profesi keperawatan pelatihan kegawatdaruratan, dapat dijadikan
sebagai aspek legalitas dan kompetensi dalam melaksanakan pelayanan
keperawatan gawat darurat yang tujuannya antara lain:
a. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap pelayanan
keperawatan gawat darurat yang diberikan.
b. Menginformasikan kepada masyarakat tentang pelayanan keperawatan
gawat darurat yang diberikan dan tanggungjawab secara professional
c. Memelihara kualitas/mutu pelayanan keperawatan yang diberikan
d. Menjamin adanya perlindungan hokum bagi perawat
e. Memotivasi pengembangan profesi
f. Meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan
Tujuan kegawatdaruratan adalah:
a. Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada periderita gawat
darurat, hingga dapat hidup dan berfungs kembali dalarn masyarakat
sebagaimana mestinya. Merujuk penderita . gawat darurat melalui sistem
rujukan untuk memperoleh penanganan yang Iebih memadai.
b. Menanggulangi korban bencana.
3. Berpikir Kritis Dalam Keperawatan
Berpikir kritis dalam keperawatan menurut studi riset tahun 1997&1998
adalah komponen esensial dalam tanggung gugat profesional dan asuhan
keperawatan yang bermutu seperti : kreatifitas, fleksibelitas, rasa ingin tahu,
intuisi, pikiran terbuka (Rubenfeld, Barbara K. 2006).
4. Model Berpikir Kritis Dalam Keperawatan
Terdapat 5 model berpikir yaitu : (Rubenfeld, Barbara K. 2006)
a) T : total recall (ingatan total)
b) H : habits (kebiasaan)
c) I : inquiry (penyelidikan)
d) N : new ideas and creativity (ide baru dan kreatifitas)
e) K : knowing how you think (mengetahui bagaimana anda berpikir)
5. Perspektif Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan adalah pelayanan profesioanal
keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau
rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh
perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat
darurat.
Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang
tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi
luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di
pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama,
penanganan transportasi yang diberikan kepada orang yang mengalami kondisi
darurat akibat rudapaksa, sebab medik atau perjalanan penyakit di mulai dari
tempat ditemukannya korban tersebut sampai pengobatan definitif dilakukan di
tempat rujukan.
6. Prinsip Gawat Darurat
a. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan
panik).
b. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
c. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang
mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat,
keracunan).
d. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara
menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika
ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.
e. Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
f. Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika
hanya ada kondisi yang membahayakan.
g. Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan
kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
h. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai
dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai.
Dalam beberapa jenis keadaan kegawatdaruratan yang telah disepakati
pimpinan masing-masing rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap
yang telah tersedia, maka perawat yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat
bertindak langsung sesuai dengan prosedur tetap rumah sakit yang berlaku. Peran
ini sangat dekat kaitannya dengan upaya penyelamatan jiwa pasien secara
langsung.
7. Falsafah Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan
a) Bidang cakupan keperawatan gawat darurat: pre hospital, in hospital, post
hospital.
b) Resusitasi pemulihan bentuk kesadaran seseorang yang tampak mati akibat
berhentinya fungsi jantung dan paru yang berorientasi pada otak.
c) Pertolongan diberikan karena keadaan yang mengancam kehidupan.
d) Terapi kegawatan intensive: tindakan terbaik untuk klien sakit kritis
karena tidak segera di intervensi menimbulkan kerusakan organ yang
akhirnya meninggal.
e) Mati klinis: henti nafas, sirkulasi terganggu, henti jantung, otak tidak
berfungsi untuk sementara (reversibel). Resusitasi jantung paru (RJP)
tidak dilakukan bila: kematian wajar, stadium terminal penyakit seperti
kanker yang menyebar ke otak setelah 1/2-1 jam RJP gagal dipastikan
fungsi otak berjalan.
f) Mati biologis: kematian tetap karena otak kerkurangan oksigen. mati
biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan yang mulai dari
neuron otak yang nekrosis setelah satu jam tanpa sirkulasi oleh jantung,
paru, hati, dan lain – lain.
g) Mati klinis 4-6 menit, kemudian mati biologis.
h) Fatwa IDI mati: jika fungsi pernafasan seperti jantung berhenti secara pasti
(irreversibel atau terbukti kematian batang otak).
8. Ruang Lingkup Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan
a. ICU (Intensive Care Unit)
ICU adalah ruangan perawatan intensif dengan peralatan-peralatan khusus
untuk menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau kompikasi lain.
Misalnya terdapat sebuah kasus dalam sistem persyarafan dengan klien A cedera
medula spinalis, cedera tulang belakang, klien mengeluh nyeri, serta terbatasnya
pergerakan klien dan punggung habis jatuh dari tangga. Dengan klien B epilepsi
mengalami fase kejang tonik dan klonik pada saat serangan epilepsi dirumahnya.
Dua kasus diatas memiliki sebuah perbedaan yang jelas dengan melihat
kasus tersebut, yang meski dilakukan oleh seorang perawat adalah melihat kondisi
si klien B maka lebih diutamakan dibandingkan dengan klien A karena pada klien
B kondisi gawat daruratnya disebabkan oleh adanya penyakit epilepsi. Sedangkan
untuk klien A dalam kondisi gawat darurat juga akan tetapi ia masuk kedalam unit
atau bagian gawat darurat (UGD) bukan berarti tidak diperdulikan.
b. UGD (Unit Gawat Darurat)
UGD merupakan unit atau bagian yang memberikan pelayanan gawat
darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut atau mengalami
kecelakaan. Seperti pada kasus diatas pada klien A, ia mengalami suatu
kecelakaan yang mengakibatkan cedera tulang belakang dengan demikian yang
meski dibawa ke UGD adalah yang klien A yang mengalami kecelakaan tersebut.
9. Proses Keperawatan Gawat Darurat
a. Waktu yang terbatas
b. Kondisi klien yang memerlukan bantuan segera
c. Kebutuhan pelayanan yang definitif di unit lain (OK, ICU)
d. Informasi yang terbatas
e. Peran dan sumber daya
10. Sasaran Pelayanan Gawat Darurat

Ketepatan resusitasi efektif dan stabilisasi klien gawat dan yang
mengalami perlukaan
11. Aspek Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat
a) Cemas
b) Histeris
c) Mudah marah
12. Pengkajian terhadap prioritas pelayanan
Perubahan tanda vital yang signifikan (hipo/hipertensi, hipo/hipertermia,
disritmia, distres pernafasan).
a.
Perubahan/gangguan tingkat kesdaran (LOC)
b.
Nyeri dada terutama pada pasien berusia > 35 tahun
c.
Nyeri yang hebat
d.
Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan dengan penekanan langsung
e.
Kondisi yang dapat memperburuk jika pengobatan ditangguhkan
f.
Hilang penglihatans ecara tiba-tiba
g.
Perilaku membahayakan, menyerang
h.
Kondisi psikologis yang terganggu/perkosaan
13. Triage
Tujuan triage adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan Dengan triage tenaga kesehatan akan
mampu :

Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada
pasien.

Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan.

Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat.
a. Sistem Triage dipengaruhi oleh:
 Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
 Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
 Denah bangunan fisik unit gawat darurat
 Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
b. Sistem Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk
mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan
asukan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.
Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis
lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan
yang tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepeda pesien.
c. Triage Dalam Keperawatan Gawat Darurat
Yaitu skenario pertolongan yang akan di berikan sesudah fase keadaan
pasien. Pasien-pasien yang terancam hidupnya harus di beri prioritas utama.
Triage dalam keperawatan gawat derurat di gunakan untuk mengklasifikasian
keperahan penyakit atau cidera dan menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan
petugas perawatan kesehatan yang efisien dan sumber-sumbernya.
Standart waktu yang di perlukan untuk melakukan triase adalah 2-5 menit
untuk orang dewasa dan 7 menit untuk pasien anak-anak.
Triase di lakukan oleh perawat yang profesional (RN) yang sudah terlatih
dalam prinsip triase, pengalaman bekerja minimal 6 bulan di bagian UGD, dan
memiliki kualisifikasi:

Menunjukkan kompetensi kegawat daruratan

Sertifikasi ATLS, ACLS, PALS, ENPC

Lulus Trauma Nurse Core Currikulum (TNCC)

Pengetahuan tentang kebijakan intradepartemen

Keterampilan pengkajian yang tepat, dll
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat berdasarkan
keparahan cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui
intervensi medis yang segera. Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan
keahlian setempat.
Sistem triase biasanya sering ditemukan pada perawatan gawat darurat di
suatu bencana. Dengan penanganan secara cepat dan tepat, dapat menyelamatkan
hidup pasien. Misalnya ada beberapa orang pasien yang harus ditangani oleh
perawat tersebut.dimana setiap pasien dalam kondisi yang berbeda. Jadi perawat
harus mampu menggolongkan pasien tersebut dengan sistem triase.
1.2 Tujuan
a.
Untuk mengetahui pengertian dan triage
b.
Untuk mengetahui tujuan triage
c.
Untuk mengetahui klasifikasi triage
d.
Untuk mengetahui pengambilan keputusan dalam triage
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Sejarah Triage
Definisi : dari kata Perancis “ Trier “ yang artinya membagi dalam 3
group
a) Di kembangkan di medan pertempuran
b) Konsep ini digunakan bila terjadi bencana
c) Dilaksanakan di ruang gawat darurat dari 1950 / 1960 karena 2
alasan :
d) Meningkatkan kunjungan
e) Meningkatkan penggunaan untuk non urgen
2. Pengertian Triage
Triage adalah suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan
tingkat kegawatan kondisinya.
Triage terdiri dari upaya klasifikasi kasus cedera secara cepat berdasarkan
keparahan cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup mereka melalui
intervensi medis yang segera. Sistem triage tersebut harus disesuaikan dengan
keahlian setempat. Prioritas yang lebih tinggi diberikan pada korban yang
prognosis jangka pendek atau jangka panjangnya dapat dipengaruhi secara
dramatis oleh perawatan sederhana yang intensif.
Sistem triase biasanya sering ditemukan pada perawatan gawat darurat di
suatu bencana. Misalnya ada beberapa orang pasien yang harus ditangani oleh
perawat tersebut.dimana setiap pasien dalam kondisi yang berbeda. Jadi perawat
harus mampu menggolongkan pasien tersebut dengan sistem triase. Pasien
pertama kondisinya sudah tidak mungkin untuk diselamatkan lagi ( sudah
meninggal), terdapat luka parah atau kebocoran di kepala, sehingga pasien
tersebut digolongkan pada triase lampu hitam. pasien kedua kondisinya
mengalami patah tulang, luka-luka dan memar pada tubuhnya, sehingga pasien
berteriak, mungkin karena kejadian yang membuat pasien syok, maka pasien
diklasifikasikan pada triase lampu hijau, tidak perlu penanganan cepat.
Selanjutnya ditemui pasien dengan kondisi lemah, kritis, nadi lemah, serta
pernafasan yang sesak. Maka pasien ini lah yang sangat membutuhkan
pertolongan pada saat itu, yang tergolong pada triase lampu merah. Karena jika
tidak diselamatkan, nyawa pasien bisa tidak tertolong lagi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem triase ini digunakan untuk menentukan
prioritas penanganan kegawat daruratan. Sehingga perawat benar-benar
memberikan pertolongan pada pasien yang sangat membutuhkan, dimana keadaan
pasien sangat mengancam nyawanya, namun dengan penanganan secara cepat dan
tepat, dapat menyelamatkan hidup pasien tersebut. Tidak membuang wakunya
untuk pasien yang memang tidak bisa diselamatkan lagi, dan mengabaikan pasien
yang membutuhkan.
3. Tujuan Triage
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa.
Tujuan triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat
kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :

Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada
pasien

Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan

Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi

Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan

Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien

Denah bangunan fisik unit gawat darurat

Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
4. Klasifikasi Triage
Klasifikasi berdasarkan pada :
a) Pengetahuan
b) data yang tersedia
c) situasi yang berlangsung
Kode Warna International Dalam Triage :
Sistem triage dikenal dengan system kode 4 warna yang diterima secara
internasional. Merah menunjukan perioris tinggi perawatan atau pemindahan,
Kuning menandakam perioritas sedang, hijau digunakan untuk pasien rawat jalan,
dan hitam untuk kasus kematian atau pasien menjelang ajal. Perawat harus
mampu mampu mengkaji dan menggolongkan pasien dalam waktu 2 – 3 menit.
1.
Prioritas 1 atau Emergensi: warna MERAH (kasus berat)
Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan evaluasi dan intervensi
segera, perdarahan berat, pasien dibawa ke ruang resusitasi, waktu tunggu 0 (nol)
a. Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla
b. Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
c. Fraktur terbuka dan fraktur compound
d.
Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
e. Shock tipe apapun
2.
Prioritas 2 atau Urgent: warna KUNING (kasus sedang)
Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan trolley, kursi roda atau
jalan kaki, waktu tunggu 30 menit, area critical care.
a. Trauma thorax non asfiksia
b. Fraktur tertutup pada tulang panjang
c. Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW )
d. Cedera pada bagian / jaringan lunak
3.
Prioritas 3 atau Non Urgent: warna HIJAU (kasus ringan)
Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang minimal, luka
lama, kondisi yang timbul sudah lama, area ambulatory / ruang P3.
a. Minor injuries
b. Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan
4.
Prioritas 0: warna HITAM (kasus meninggal)
a. Tidak ada respon pada semua rangsangan
b. Tidak ada respirasi spontan
c. Tidak ada bukti aktivitas jantung
d. Tidak ada respon pupil terhadap cahaya
5. Proses Pengambilan Keputusan dan Triase
Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dan integral pada
medis dan praktik keperawatan. Penilaian klinis tentang pasien membutuhkan
baik
pemikiran
dan
intuisi,
dan
keduanya
harus
didasarkan
pada
professional,pengetahuan dan keterampilan. Banyak praktisi berpendapat bahwa
pengambilan keputusan kritis adalah hanya sekitar akal sehat dan pemecahan
masalah, dan sampai batas tertentu mereka sudah benar. Itu, bagaimanapun, lebih
dari ini dan membutuhkan tingkat keterampilan tertentu. Dalam proses
pengambilan keputusan dokter diharapkan untuk:
1.
menafsirkan
2.
mendiskriminasikan
3.
mengevaluasi
Strategi pengambilan keputusan :
Sejumlah strategi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan:
1.
Pemikiran
Pada dasarnya ada dua tipe penalaran yang terlibat dalam berpikir kritis:

Penalaran induktif adalah kemampuan untuk mempertimbangkan
semua kemungkinan, dan ini sangat berguna untuk yang kurang
berpengalaman.
Melibatkan
proses
yang
memakan
waktu,
mempertimbangkan semua informasi pasien yang dikumpulkan dalam
rangka untuk mencapai keputusan tentang perawatan yang mereka
butuhkan.

Penalaran deductive adalah 'menyiangi' yang simultan dari solusi yang
mungkin sementara aktif mengumpulkan informasi pasien, strategi ini
sering tidak diketahui atau tidak dikenal dan menjadi bagian dari
praktek ahli. Memungkinkan praktisi untuk cepat mengurutkan yang
relevan dan tidak relevan dari informasi untuk mencapai keputusan.
2.
Pengenalan pola
Ini adalah strategi yang paling umum digunakan oleh dokter, dan sangat penting
ketika membuat keputusan yang cepat berdasarkan informasi terbatas yang
diperlukan selama triase.
3.
Hipotesa berulang
Hipotesa berulang digunakan oleh dokter untuk menguji penalaran diagnostik.
Dengan mengumpulkan data untuk mengkonfirmasi atau menghilangkan
hipotesis, keputusan dapat dibuat. Tergantung pada tingkat keahlian metode ini
dapat berupa induktif atau deduktif.
4.
Representasi mental
Representasi mental adalah metode menyederhanakan situasi untuk memberikan
gambaran umum, dan memungkinkan fokus pada informasi yang relevan. Strategi
ini sering digunakan ketika suatu masalah yang sangat kompleks atau besar.
Penggunaan analogi membantu dokter memvisualisasikan situasi dengan
menyederhanakan masalah dan memungkinkan perspektif yang berbeda. Triase
keputusan harus cepat dan metode ini telah digunakan secara terbatas pada tahap
dalam perawatan pasien.
5.
Intuisi
Intuisi adalah terkait erat dengan keahlian, dan umumnya dipandang sebagai
kemampuan praktisi untuk memecahkan masalah dengan data yang relatif sedikit.
Intuisi jarang melibatkan analisis sadar dan sering dinyatakan sebagai 'firasat' atau
'firasat yang kuat'. Praktisi ahli melihat situasi secara holistik dan menggambarkan
berdasarkan pengalaman masa lalu. Banyak pengetahuan mereka tertanam dalam
praktek dan disebut sebagai lacit, di mana keputusan yang efektif yang dibuat
dengan menggabungkan pengetahuan dengan teori-teori pengambilan keputusan
dan berpikir intuitif. Perawat ahli banyak yang tidak menyadari proses mental
yang mereka gunakan dalam penilaian dan pengelolaan pasien. Meskipun intition
tetap terukur, nilai praktek klinis adalah mengakui dan didokumentasikan dengan
baik.
Pengambilan Keputusan Selama Triase
Terdiri dari tiga tahap utama:
a. Identifikasi masalah
b. Penentuan alternatif dan.
c. Pemilihan alternatif yang paling tepat
Pendekatan untuk membuat keputusan penting menggunakan lima langkah
berikut:
1.
Mengidentifikasi masalah
Ini dilakukan dengan mendapatkan informasi dari pasien, penjaga atau personil
perawatan pra-rumah sakit. Fase ini memungkinkan diagram alur presentasi yang
relevan untuk diidentifikasi.
2.
Mengumpulkan dan menganalisis informasi yang terkait dengan solusi.
Satu diagram alur telah diidentifikasi fase ini yang difasilitasi karena
diskriminator dapat dicari pada setiap tingkat. Diagram aliran memfasilitasi
penilaian cepat dengan menyarankan pertanyaan terstruktur. Pengenalan pola juga
memainkan bagian di tahap ini.
3. Mengevaluasi semua alternatif dan memilih salah satu untuk pelaksanaa.
Dokter mengumpulkan sejumlah besar data tentang pasien mereka menangani. Ini
disusun ke dalam database mental mereka sendiri dan disimpan dalam
kompartemen untuk mengingat mudah, hal ini paling efektif bila terkait dengan
penilaian atau kerangka kerja organisasi. Kerangka ini berfungsi sebagai panduan
untuk penilaian dan diatur sebagai kompartemen dengan sub-judul. Diagram alur
penyajian menyediakan kerangka organisasi untuk memesan proses pemikiran
selama triase. Diagram alur telah berkunjung ke link proses pengambilan
keputusan ke dalam pengaturan klinis. Mereka membantu pengambilan keputusan
dengan menyediakan struktur, dan juga dukungan staf junior karena mereka
memperoleh keterampilan pengambilan keputusan.
4.
Mengimplementasikan alternatif yang dipilih
Hanya ada lima kategori triase mungkin untuk memilih. Ini memiliki nama
spesifik dan defenitons. Praktisi triase menerapkan kategori tergantung pada
urgensi dari kondisi pasien. Sekali prioritas dialokasikan jalur perawatan yang
tepat dimulai.
5.
Memantau pelaksanaan dan mengevaluasi hasil.
Triase adalah dinamis dan harus responsif terhadap kebutuhan pasien dan
departemen. Metode triase yang diuraikan dalam buku ini memastikan bahwa
proses mencapai keputusan itu diatur. Oleh karena itu perawat akan dapat
mengidentifikasi bagaimana dan mengapa mereka mencapai hasil (kategori). Ini
memfasilitasi penilaian ulang dan konfirmasi berikutnya atau mengubah dalam
kategori.
6. START ( Simple triage And Rapid Treatment)
Adalah suatu system yang dikembangkan untuk memungkinkan paramedic
memilah korban dalam waktu yang singkat kira – kira 30 detik.
Yang perlu diobservasi : Respiration, Perfusion, dan Mental Status ( RPM ).
System START di desain untuk membantu penolong untuk menemukan pasien
yang menderita luka berat.
Tahap pertama dalam START adalah untuk memberitahu orang / korban
yang dapat bangun dan berjalan untuk pindah ke area yang telah ditentukan.
Supaya lebih mudah untuk dikendalikan, bagi korban yang dapat berjalan agar
dapat pindah dari area tempat pertolongan korban prioritas utama (merah /
immediate ). Korban ini sekarang ditandai dengan status Minor / prioritas 3 (
hijau ).
Jika korban protes disuruh pindah dikarenakan nyeri untuk berjalan, jangan
paksa mereka untuk pindah.
Tahap ke dua: Mulai dari tempat berdiri. Mulailah tahap ke 2 dari tempat
berdiri, bergeraklah pindah dengan pola yang teratur dan mengingat korban.
Berhenti pada masing – masing individu dan melakukan assesment dan tagging
dengan cepat.
Tujuannya adalah untuk menemukan pasien yang butuh penanganan segera
(immediate, merah).
START didasarkan pada 3 observasi : RPM ( respiration, perfusion, and
Mental Status )
Respiration / breathing
Jika pasien bernafas, kemudian tentukan frekuensi pernafasanya, jika lebih dari 30
/ menit, korban ditandai Merah / immediate. Korban ini menujukkan tanda –
tanda primer shock dan butuh perolongan segera.
Jika pasien bernafas dan frekuensinya kurang dari 30 / menit, segera
lakukan observasi selanjutnya ( perfusion and Mental status ).
Jika pasien tidak bernafas, dengan cepat bersihkan mulut korban dari bahan –
bahan asing.
Buka jalan nafas, posisikan pasien untuk mempertahankan jalan nafasnya, dan
jika pasien bernafas tandai pasien dengan immediate, jika pasien tidak bernafas
setelah dialkukan maneuver tadi, maka korban tersebut ditandai DEAD.
Perfusion or Circulating
Bertujuan untuk mengecek apakah jantungnya masih memiliki kemampuan untuk
mensirkulasikan darah dengan adekuat, dengan cara mengecek denyut nadi. Jika
denyut nadi lemah dan tidak teratur korban ditandai immediate.
jika denyut nadi telah teraba segera lakukan obserbasi status mentalnya.
Mental status
Untuk mengetesnya dapat dilakukan dengan memnberikan instruksi yang mudah
pada korban tersebut :
“buka matamu” atau “ tutup matamu “.
Korban yang mampu mengikuti instuksi tersebut dan memiliki pernafasan dan
sirkulasi yang baik, ditandai dengan Delayed
Korban yang tidak bisa mengikuti instruksi tersebut ditandai dengan Immediate
• Korban ‘D’ ditinggalkan di tempat mereka jatuh, ditutupi seperlunya.
• Korban ‘I’ merupakan prioritas utama dalam evakuasi karena korban ini
memerlukan
Perawatan medis lanjut secepatnya atau paling lambat dalam satu jam (golden
hour).
• Korban ‘DEL’ dapat menunggu evakuasi sampai seluruh korban ‘I’ selesai
ditranspor.
• Jangan evakuasi korban ‘M’ sampai seluruh korban ‘I’ dan ‘DEL’ selesai
dievakuasi. Korban ini dapat menunda perawatan medis lanjut sampai beberapa
jam lamanya. Re-triase korban tetap dilakukan untuk melihat apakah keadaan
korban memburuk.
Reverse Triage
Sebagai tambahan pada standar triase yang dijalankan, terdapat beberapa
kondisi dimana korban dengan cedera ringan didahulukan daripada korban dengan
cedera berat. Situasi yang memungkinkan dilakukan reverse triage yaitu pada
keadaan perang dimana dibutuhkan prajurit yang terluka untuk kembali ke medan
pertempuran secepat mungkin. Selain itu, hal ini juga mungkin dilakukan bila
terdapat seumlah besar paramedis dan dokter yang mengalami cedera, dimana
akan merupakan suatu keuntungan jika mereka lebih dulu diselamatkan karena
nantinya dapat memberikan perawatan medis kepada korban yang lain.
PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE.
a. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
b. Tim respons pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya,
keamanan dan jumlah korban untuk menentukan tingkat respons yang
memadai.
c. Beritahukan koordinator untuk mengumumkan musibah massal dan
kebutuhan akan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh
beratnya kejadian.
4.
Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
a. Petugas Komando Musibah.
b. Petugas Komunikasi.
c. Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
d. Petugas Triase Primer.
e. Petugas Triase Sekunder.
f. Petugas Perawatan.
g. Petugas Angkut atau Transportasi.
5.
Kenali dan tunjuk area sektor musibah massal :
a. Sektor Komando/Komunikasi Musibah.
b. Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
c. Sektor Musibah.
d. Sektor Ekstrikasi/Bahaya.
e. Sektor Triase.
f. Sektor Tindakan Primer.
g. Sektor Tindakan Sekunder.
h. Sektor Transportasi.
6.
Rencana Pasca Kejadian Musibah massal :
a. Kritik Pasca Musibah.
b. CISD (Critical Insident Stress Debriefing)
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan
kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa
disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam,
tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain-lain. Pada kondisi napas dan
denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti,
sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan
mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami
kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak
hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika
dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa
maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula
kematian si korban. Oleh karena itu GOLDEN PERIOD (waktu emas) pada
korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit.
Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas
dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka
harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus dilakukan
pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan
melakukan resusitasi jantung paru / CPR.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan BLS?
2. Bagaimana langkah-langkah BLS?
3. Apa perbedaaan langkah-langkah BLS sistem ABC dengan CAB?
4. Bagaimana penggunaan sistem ABC saat ini?
5. Apa yang dimaksud dengan Emergency Medical Service?
3. Tujuan
1. Tujuan Khusus
Agar mahasiswa memahami tentang BLS serta langkah-langkahnya.
2. Tujuan Umum
a. Agar mahasiswa memahami tentang pengertian BLS.
b. Agar mahasiswa memahami tentang langkah-langkah BLS.
c. Agar mahasiswa memahami tentang perbedaaan langkah-langkah BLS
sistem ABC dengan CAB.
d. Agar mahasiswa memahami tentang penggunaan sistem ABC saat ini.
e. Agar mahasiswa memahami tentang Emergency Medical Service
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Pengertian BLS
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory
arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung paru otak dibagi
dalam tiga fase : bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka
lama. Namun pada pembahasan kali ini lebih difokuskan pada Bantuan Hidup
Dasar.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu
tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan
untuk menghentikan proses yang menuju kematian.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat
dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau
memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock.
Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation,
breathing, airway). Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari
kerusakan
yang irreversibel akibat hipoksia, karena peredaran darah akan
berhenti selama 3-4 menit.
2. Langkah-Langkah BLS (Sistem CAB)
1.
Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak
adanya nafas secara visual tanpa teknik Look Listen and Feel.
2.
Melakukan panggilan darurat.
3.
Circulation :
a. Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak
ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi
dada.
b. Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa
denyut nadi korban.
c. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.
d. Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari
tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang
satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum.
Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong melakukan
tiupan nafas agar tidak menekan dada.
e. Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping
korban jika korban berada di tempat tidur
f. Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18
detik)
g. Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit.
Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan
untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau
sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
4.Airway.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan
satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar
kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini
dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban
dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust
yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada
lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.
5.Breathing.
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik
diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume
tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya
sebagai berikut :
a. Pastikan hidung korban terpencet rapat
b. Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
c. Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
d. Berikan satu ventilasi tiap satu detik
e. Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua
selama satu detik.
f. Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui
mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
g. Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag
mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan
ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
h. Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan
frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan
kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
i. Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan
pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6
detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut
nadi kembali setiap 2 menit.
j. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 :
2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus
menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8
detik/kali.
k. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi,
petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik,
kecuali
untuk
pemasangan
alat
defirbilasi
otomatis
atau
pemasangan advance airway.
l. Alat
defibrilasi
otomatis.
Penggunaanya
sebaiknya
segera
dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat kejadian.
Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme
tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut
sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa
ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan
terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac
Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak.
3. Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB
No
ABC
CAB
1
Memeriksa respon pasien
Memeriksa respon pasien termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
2
Melakukan panggilan darurat Melakukan panggilan darurat
dan mengambil AED
3
Airway (Head Tilt, Chin Lift)
Circulation
(Kompresi
dada
dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik)
4
Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dilanjutkan
memberi
2x
ventilasi dalam-dalam)
5
Circulation (Kompresi jantung + Breathing ( memberikan ventilasi
nafas buatan (30 : 2))
sebanyak 2 kali, Kompresi jantung
+ nafas buatan (30 : 2))
6
Defribilasi
Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :
a. Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan
kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan
adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless
Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang
paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi
otomatis segera (early defibrillation).
b. Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda
karena proses
pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan
ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan
lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada
akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus
kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18
detik).
c. Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP
dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun
salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C,
pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway adalah
prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang awam.
Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan
prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa mendapatkan RJP.
Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya
dapat melakukan kompresi dada.
4.
1.
Penggunaan Sistem ABC Saat ini :
Pada
korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya
melakukan RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit)
sebelum mengaktivasi sistem respon darurat.
2.
Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem
pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat
penyebab jantung yang diketahui.
5. Emergency Medical Service
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang
sebagai satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung
pengertian adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang diinginkan
(outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur dengan melalui proses
evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan
penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas dengan skema di
bawah ini :
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The
Golden periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal
istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup
penderita. Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang
memadai, semakin kecil harapan hidup korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre
Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya yaitu :
a. Siapa penolong pertamanya
b. Berapa lama ditemukannya penderita,
c. kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan
pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah
Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan
minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita gawat
darurat.. Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak
faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan
tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian
dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama
jalan masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan
secara keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat
rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi
Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting
dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat
dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal
perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa
keberhasilan pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu
penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor
sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara
harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam
satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan
gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat
darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus
mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat
terpadu.
Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1.
Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan
memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang
datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti
syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat
terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita
pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya
adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana
cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana
kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana
berlangsung.
2.
Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan
menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung
meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan
dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah. Penderita dengan
kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari
kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika
sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi &
tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang
menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :
a. Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
b. Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
c. Menguasai teknik mengontrol perdarahan
d. Menguasai teknik memasang balut-bidai
e. Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena
bertugas sebagai pelayan masyarakat seperti polisi, petugas kebakaran, tim
SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan lain yaitu menguasai
kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam kondisi :
a. Penyakit anak
b. Penyakit dalam
c. Penyakit saraf Penyakit Jiwa
d. Penyakit Mata dan telinga
e. Dan lainya sesuai kebutuhan system
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan
kepada masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara
formal maupun informal secara berkala dan berkelanjutan. Pelatihan formal di
intansi-intansi harus diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum yang
sama, bentuk sertifikasi yang sama dan lencana tanda lulus yang sama.
Sehingga penolong akan memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan
dalam memberikan bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana
masal.
3. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan
personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara.
Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan
kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya
sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan ambulan biasa
yang tidak memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu
wilayah dapat disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan
bencana.
4. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini
berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki
jamsostek, masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki
asuransi jiwa
5. Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara
periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.
KAD (Ketoasidosis Diabetik)
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Ketoasidosis adalah komplikasi akut Diabetes Melitus yang terjadi
disebabkan karena kadar glukosa pada darah sangat tinggi. Keadaan
tersebut merupakan keadaan serius yang dapat mengancam jiwa. Kondisi
ketoasidosis dapat terjadi kapan saja terutama pada penderita Diabetes
Melitus tipe 1. Berbeda dengan Diabetes Melitus tipe 1, pada Diabetes
Melitus tipe 2, ketoasidosis terjadi pada keadaan-keadaan tertentu. Hal ini
karena biasanya penderita Diabetes Melitus tipe 2 lebih sering mengalami
koma hiperosmolar non ketotik. Acapkali terjadinya ketoasidosis diawali
dari tidak patuhnya diabetesein pada pola diet yang telah ditetapkan.
Disamping itu, ketoasidosis sering juga terpicu oleh jarangnya para
diabetesein untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah serta kadar
gula urin secara berkala.Gejala-gejala yang pertama kali timbul sama
seperti gejala-gejala Diabetes Melitus yang tidak diobati. Yakni, mulut
kering, rasa haus, intensitas buang air kecil jadi lebih sering (poliuria).
Gejala lainnya seperti mual, muntah, dan nyeri perut bisa juga
terjadi.Gejala-gejala selanjutnya dapat berupa seperti kesulitan bernafas,
rasa dehidrasi, rasa mengantuk dan yang paling berat keadaan koma.
Berdasarkan fakta dan fenomena tersebut maka penulis tertarik
untuk membahas tentang diabetes ketoasidosis dan mengulas tentang
etiologi, pathway dan pemeriksaan penunjang pada pasien dengan
Diabetes Ketoasidosis serta mengulas tentang bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan diabetes ketoasidosis.
B.
TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Dapat mengetahui tentang bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada
pasien dengan kasus diabetes ketoasidosis.
2.
TUJUAN KHUSUS
a. Mengetahui defenisi dari diabetes ketoasidosis
b. Mengetahui etiologi dari diabetes ketoasidosis
c. Mengetahui gejala klinis dari diabetes ketoasidosis
d. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari diabetes ketoasidosis
e. Mengetahui komplikasi dari diabetes ketoasidosis
f. Mengetahui asuhan keperawatan pada diabetes ketoasidosis
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. PENGERTIAN
Diabetik ketoasidosis adalah keadaan yang mengancam hidup komplikasi
dari diabetes mellitus tipe 1 tergantung insulin dengan criteria diagnostic yaitu
glukosa > 250 mg/dl, pH = < 7.3, serum bikarbonat <18 mEq/L, ketoanemia atau
ketourinia.(Urden Linda, 2008). Ketoasidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan
atau akut dari DM tipe I, disebabkan oleh meningkatnya keasaman tubuh bendabenda keton akibat kekurangan atau defisiensi insulin, di karakteristikan dengan
hiperglikemia, asidosis, dan keton akibat kurangnya insulin ( Stillwell, 1992).
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia
merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan dapat sampai menyebabkan syok.
B. ETIOLOGI
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau
diabetes melitus
tergantung insulin disebabkan oleh destruksi sel B pulau langerhans akibat proses
autoimun. Sedangkan non insulin dependen diabetik melitus (NIDDM) atau
diabetes melitus tidak tergantung insulin disebabkan kegagalan relatif sel B dan
resistensi insulin. Resistensu insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk
merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat
produksi glukosa oleh hati. Sel B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya. Artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat
dari berkurangnya sekresi insulin pada perangsangan sekresi insulin, berarti sel B
pankreas mengalami desensitisasi terhadapglukosa.
C. TANDA DAN GEJALA
a. Poliuria
b. Polidipsi
c. Penglihatan kabur
d. Lemah
e. Sakit kepala
f. Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau >
pada saat berdiri)
g. Anoreksia, Mual, Muntah
h. Nyeri abdomen
i. Hiperventilasi
j. Perubahan status mental (sadar, letargik, koma)
k. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)
l. Terdapat keton di urin
m. Nafas berbau aseton
n. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotic
o. Kulit kering
p. Keringat
q. Kusmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolic
D. PATOFISIOLOGI
Diabetes ketoasidosis disebabakan oleh tidak adanya insulin atau tidak
cukupnya jumlah insulin yang nyata, keadaan ini mengakibatkan gangguan pada
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran kliniks yang
penting pada diabetes ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan elektrolit dan
asidosis. Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel
akan berkurang pula. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak
terkendali. Kedua faktor ini akan mengakibatkan hipergikemia. Dalam upaya
untuk mnghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekresikan glukosa bersama – sama air dan elektrolit (seperti natrium, dan
kalium). Diurisis osmotik yang ditandai oleh urinasi berlebihan (poliuri) ini kan
menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elekrolit. Penderita ketoasidosis yang
berat dapat kehilangan kira – kira 6,5 liter air dan sampai 400 hingga 500 mEg
natrium, kalium serta klorida selam periode waktu 24 jam. Akibat defisiensi
insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam – asam
lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi benda keton
oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terajdi produksi benda keton yang
berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan
mencegah timbulnya keadaan tersebut. Benda keton bersifat asam, dan bila
bertumpuk dalanm sirkulasi darah, benda keton akan menimbulkan asidosis
metabolik (Brunner and suddarth, 2002).
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A. Analisa Darah
a)
Kadar glukosa darah bervariasi tiap individu
b)
pH rendah (6,8 -7,3)
c)
PCO2 turun (10 – 30 mmHg)\
d)
HCO3 turun (<15 mEg/L)
e)
Keton serum positif, BUN naik
f)
Kreatinin naik
g)
Ht dan Hb naik
h)
Leukositosis
i)
Osmolalitas serum meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mOsm/l
B. Elektrolit
a) Kalium dan Natrium dapat rendah atau tinggi sesuai jumlah cairan
yang hilang (dehidrasi).
b) Fosfor lebih sering menurun
C. Urinalisa
a) Leukosit dalam urin
b) Glukosa dalam urin
D. EKG gelombang T naik
E. MRI atau CT-scan
F. Foto toraks
F. PENATALAKSANAAN
Prinsip
terapi
KAD
adalah
dengan
mengatasi
dehidrasi,
hiperglikemia, dan ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit
penyerta yang ada. Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU
1.
Fase I/Gawat :
a.
Rehidrasi
1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading
dalam 2 jam pertama, lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50
tpm selama 18 jam (4-6L/24jam)
2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)
3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi
4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi
batang otak (24 –48jam)
5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%
6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)
7) Monitor keseimbangan cairan
b.
Insulin
a) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)
b) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan
isotonic
c) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama,
selanjutnya tiap 4 jam sekali
d) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD <
15 mEq/L ³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3
c.
Infus K (tidak boleh bolus)
a)
Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
b)
Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
c)
Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
d)
Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
e)
Infus Bicarbonat, Bila pH 7,1, tidak diberikan
e)
Antibiotik dosis tinggi, Batas fase I dan fase II sekitar GDR
250 mg/dl atau
reduksi
2. Fase II/Maintenance:
a) Cairan maintenance

Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian

Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU
b) Kalium
Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak.
c) Saat sakit, makanlah sesuai pengaturan makan sebelumnya. Bila
tidak nafsu makan, boleh makan bubur atau minuman berkalori
lain.
d) Minumlah yang cukup untuk mencegah dehidrasi.
G. KOMPLIKASI
A. ARDS (adult respiratory distress syndrome)
Patogenesis terjadinya hal ini belum jelas, kemungkinan akibat
rehidrasi yang berlebihan, gagal jantung kiri atau perubahan
permeabilitas kapiler paru
B. DIC (disseminated intravascular coagulation)
C. Edema otak
Adanya kesadaran menurun disertai dengan kejang yang terjadi
terus menerus akan beresiko terjadinya edema otak.
D. Gagal ginjal akut
Dehidrasi berat dengan syok dapat mengakibatkan gagal ginjal
akut.
E. Hipoglikemia dan hiperkalemia
Terjadi akibat pemberian insulin dan cairan yang berlebihan dan
tanpa pengontrolan.
ARDS
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan dalam globalisasi
khususnya di bidang kesehatan bahwa banyak hal yang perlu diperhatikan dalam
mencegah berbagai penyakit salah satunya ARDS yaitu merupkan Gangguan
paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang berat,
hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru akibat kondisi atau
kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Sindrom gagal pernafasan merupakan gagal pernafasan mendadak yang timbul
pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat
Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik
merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen
arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. Dalam sumber lain ARDS
merupakan kondisi kedaruratan paru yang tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas
berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya sehat yang telah terpajan pada
berbagai penyebab pulmonal atau nonpulmonal. Beberapa factor pretipitasi
meliputi tenggelam, emboli lemak, sepsis, aspirasi, pankretitis, emboli paru,
perdarahan dan trauma berbagai bentuk. Dua kelompok yang tampak menjadi
resiko besar untuk sindrom adalah yang mengalami sindrom sepsis dan yang
mengalami aspirasi sejumlah besar cairan gaster dengan pH rendah. Kebanyakan
kasus sepsis yang menyebabkan ARDS dan kegagalan organ multiple karena
infeksi oleh basil aerobic gram negative. Kejadian pretipitasi biasanya terjadi 1
sampai 96 jam sebelum timbul ARDS.
ARDS pertama kali digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun 1967. Ini
meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal, menyebabkan
edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut infiltrasi
pulmonal yang berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi meskipun
diberi suplemen oksigen dan pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) kurang
dari 18 mmHg.
ARDS sering terjadi dalam kombinasi dengan cidera organ multiple dan
mungkin menjadi bagian dari gagal organ multiple. Prevalensi ARDS
diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Sampai adanya
mekanisme laporan pendukung efektif berdasarkan definisi konsisten, insiden
yang benar tentang ARDS masih belum diketahui. Laju mortalitas tergantung
pada etiologi dan sangat berfariasi. ARDS adalah penyebab utama laju mortalitas
di antara pasien trauma dan sepsis, pada laju kematian menyeluruh kurang lebih
50% – 70%. Perbedaan sindrom klinis tentang berbagai etiologi tampak sebagai
manifestasi patogenesis umum tanpa menghiraukan factor penyebab.
2. RUMUSAN MASALAH
A. Apa yang dimaksud dengan Acut Respiratory Distress syndrome?
B. Bagaimana memahami konsep dari ARDS?
3. TUJUAN PENULISAN
1.
Tujuan Umum
Agar mahasiswa/i dapat meningkatkan wawasan dan ilmu pengetahuan
serta untuk pegangan dalam memberikan bimbingan dan asuhan keperawatan
pada klien dengan ARDS serta Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan
gawat darurat.
2.
Tujuan Khusus
a.
Agar mahasiswa/i mampu memahami dan menjelaskan dan tentang ARDS
b.
Agar mahasiswa memahami konsep dari ARDS
c.
Agar mahasiswa mampu mengaplikasikan nya di dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Gagal nafas akut /ARDS adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida
(PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau
perfusi (Susan Martin T, 1997)
Gagal nafas akut/ARDS adalah kegagalan sistem pernafasan untuk
mempertahankan pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yangdapat
mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas akut/ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen
dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan
tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan
karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth,
2001)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ARDS (Gagal nafas
Akut) merupakan ketidakmampuan atau kegagalan sitem pernapasan oksigen
dalam darah sehingga pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel –sel tubuh.sehingga tegangan oksigen berkurang dan
akan peningkatan karbondioksida akan menjadi lebih besar.
2. ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang
otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal
2. Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul
dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari
batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan.
Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot
pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan
akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan
kondisi
yang
mengganggu
ventilasi
melalui
penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti
paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat
menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab
gagal
nafas.
Kecelakaan
yang
mengakibatkan
cidera
kepala,
ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah
pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,
pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin
meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang
mendasar.
5. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi
atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan
materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme
paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan
gagal nafas.
3. PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural
maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas
kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis
kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien
mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara
bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya.
Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan
yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi
tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal
10-20 ml/kg).
Gagal
nafas
penyebab
terpenting
adalah
ventilasi
yang
tidak
adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla).
Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat
karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau
dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit
paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis utama pada kasus ARDS :
1.
Peningkatan jumlah pernapasan
2.
Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis
3.
Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan
4.
Penurunan kesadaran mental
5.
Takikardi, takipnea
6.
Dispnea dengan kesulitan bernafas
7.
Terdapat retraksi interkosta
8.
Sianosis
9.
Hipoksemia
10. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
11. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan fungsi ventilasi
a) Frekuensi pernafasan per menit
b) Volume tidal
c) Ventilasi semenit
d) Kapasitas vital paksa
e) Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
f) Daya inspirasi maksimum
g) Rasio ruang mati/volume tidal
h) PaCO2, mmHg.
2.
Pemeriksaan status oksigen
3.
Pemeriksaan status asam-basa
4.
Arteri gas darah (AGD) menunjukkan penyimpangan dari nilai normal pada
PaO2, PaCO2, dan
pH dari pasien normal; atau PaO2 kurang dari 50
mmHg, PaCO2 lebih dari 50 mmHg, dan pH < 7,35.
5.
Oksimetri nadi untuk mendeteksi penurunan SaO2
6.
Pemantauan CO2 tidal akhir (kapnografi) menunjukkan peningkatan
7.
Hitung darah lengkap, serum elektrolit, urinalisis dan kultur (darah, sputum)
untuk menentukan penyebab utama dari kondisi pasien.
8.
Sinar-X dada dapat menunjukkan penyakit yang mendasarinya.
9.
EKG, mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan,
disritmia.
10. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
a) Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ) 2. Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap
awal karena hiperventilasi
b) Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi
c) Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini
d) Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut
11. Pemeriksaan Rontgent Dada :
a) Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
b) Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
12. Tes Fungsi paru :
a) Pe ↓ komplain paru dan volume paru
b) Pirau kanan-kiri meningkat
6. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki masalah ancama
kehidupan dengan segera, antara lain :
A. Terapi Oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik yang penting dan
secara potensial mempunyai efek samping toksik. Pasien tanpa riwayat
penyakit paru-paru tampak toleran dengan oksigen 100% selama 24-72
jam tanpa abnormalitas fisiologi yang signifikan.
B. Ventilasi Mekanik
Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanis. Terapi
modalitas ini bertujuan untuk memmberikan dukungan ventilasi sampai
integritas membrane alveolakapiler kembali membaik. Dua tujuan
tambahan adalah :

Memelihara ventilasi adekuat dan oksigenisasi selama periode kritis
hipoksemia berat.

Mengatasi factor etiologi yang mengawali penyebab distress
pernapasan.
C. Positif End Expiratory Breathing (PEEB)
Ventilasi dan oksigen adekuat diberikan melaui volume ventilator
dengan tekanan dan kemmampuan aliran yang tinggi, di mana PEEB dapat
ditambahkan. PEEB di pertahankan dalam alveoli melalui siklus
pernapasan untuk mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.
D. Memastikan volume cairan yang adekuat
Dukungan nutrisi yang adekuat sangatlah penting dalam mengobati
pasien ARDS, sebab pasien dengan ARDS membutuhkan 35 sampai 45
kkal/kg sehari untuk memmenuhi kebutuhan normal.
E. Terapi Farmakologi
Penggunaan kortikosteroid dalam pengobatan ARDS adalah
controversial, pada kenyataanya banyak yang percaya bahwa penggunaan
kortikosteroid dapat memperberat penyimpangan dalam fungsi paru dan
terjadinya superinfeksi. Akhirnya kotrikosteroid tidak lagi di gunakan.
F. Pemeliharaan Jalan Napas
Selan endotrakheal di sediakan tidak hanya sebagai jalan napas,
tetapi juga berarti melindungi jalan napas, memberikan dukungan ventilasi
kontinu dan memberikan kosentrasi oksigen terus-menerus. Pemeliharaan
jalan napas meliputi : mengetahui waktu penghisapan, tehnik penghisapan,
dan pemonitoran konstan terhadap jalan napas bagian atas.
G. Pencegahan Infeksi
Perhatian penting terhadap sekresi pada saluran pernapasan bagian
atas dan bawah serta pencegahan infeksi melalui tehnik penghisapan yang
telah di lakukan di rumah sakit.
H. Dukungan nutrisi
Malnutrisi relative merupakan masalah umum pada pasien dengan
masaalah kritis. Nutrisi parenteral total atau pemberian makanan melalui
selang dapat memperbaiki malnutrisi dan memmungkinkan pasien.
STROKE
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya
menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda
dan produktif. Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penderita
stroke terbesar di Asia (Yastroki, 2009). Angka ini diperberat dengan adanya
pergeseran usia penderita stroke yang semula menyerang orang usia lanjut kini
bergeser ke arah usia produktif. Bahkan, kini banyak menyerang anak-anak usia
muda (Gemari, 2008).
Stroke merupakan suatu gangguan disfungsi neurologis akut yang disebabkan
oleh gangguan peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam beberapa
detik) atau setidak-tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala gejala dan tanda-tanda yang sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu
World Health Organization (WHO, 2005).
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak di Amerika Serikat.
Mengacu pada laporan American Heart Association, sekitar 795.000 orang di
Amerika Serikat terserang stroke setiap tahunnya. Dari jumlah ini, 610.000
diantaranya merupakan serangan stroke pertama, sedangkan 185.000 merupakan
stroke yang berulang. Saat ini ada 4 juta orang di Amerika Serikat yang hidup
dalam keterbatasan fisik akibat stroke, dan 15-30% di antaranya menderita cacat
menetap Centers for Disease Control and Prevention ( CFDCP, 2009).
Stroke merupakan satu masalah kesehatan yang besar dalam kehidupan
modern saat ini. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk
terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya
cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat
setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh
mereka yang berusia muda dan produktif. Stroke dapat menyerang setiap usia,
namun yang sering terjadi pada usia di atas 40 tahun. Angka kejadian stroke
meningkat dengan bertambahnya usia, makin tinggi usia seseorang, makin tinggi
kemungkinan terkena serangan stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2006).
Secara ekonomi, insiden stroke berdampak buruk akibat kecacatan karena stroke
akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan kemampuan
ekonomi masyarakat dan bangsa (Yastroki, 2009).
Stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia.
Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena Stroke, dari jumlah tersebut,
sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan
fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan
fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di tempat tidur
(HIMAPID FKM UNHAS,2007).
Stroke merupakan masalah kesehatan dan perlu mendapat perhatian khusus.
Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di hampir seluruh RS
di Indonesia. Angka kejadian stroke meningkat dari tahun ke tahun, Setiap tahun 7
orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke (DEPKES,2011).
Berdasarkan catatan rekam medis RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat,
Khususnya Ruang ICU pada bulan Januari – Maret 2015, pasien dengan
masalah Stroke Haemoragik berjumlah 6 orang dari 429 pasien (1,39%), selama
tiga bulan terakhir ini.
Adapun faktor risiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke adalah faktor
yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable risk factors) seperti usia, ras,
gender, genetik, dan riwayat Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya.
Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors) berupa
hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, obesitas, penggunaan oral
kontrasepsi, alkohol, dislipidemia (PERDOSSI, 2007).
B.
Tujuan
1.
Tujuan umum
Penulis memperoleh pengalaman dan gambaran secara nyata dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan Stroke Haemoragik.
2.
Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan Stroke Haemoragik.
b. Menentukan masalah keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik.
c. Merencanakan asuhan keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik.
d. Melaksanakan tindakan keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik
e. Melakukan evaluasi keperawatan klien dengan Stroke Haemoragik.
f. Mengidentifikasi kesenjangan yang terdapat antara teori dan kasus.
g. Mengidentifikasi faktor – faktor pendukung, penghambat, serta mencari
solusi/ alternatif pemecahan masalah.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Defenisi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena pembuluh darah di
otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke
hemoragi antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga
terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun (Ria Artiani, 2009).
Stroke hemoragik adalah pembuluh darah otak yang pecah sehingga menghambat
aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan
kemudian merusaknya (M. Adib, 2009).
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat
akibat gangguan fungsi otak fokal (global) dengan gejala-gejala yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab
lain yang jelas selain vaskular (Muttaqin, 2008).
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa stroke hemoragik adalah salah satu jenis
stroke yang disebabkan karena pecahnya pembuluh darah di otak sehingga darah
tidak dapat mengalir secara semestinya yang menyebabkan otak mengalami
hipoksia dan berakhir dengan kelumpuhan.
B.
Etiologi Stroke Hemoragik
Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi
a. Aneurisma Berry, biasanya defek kongenital.
b. Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis. Atherosklerosis adalah
mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau
elastisitas dinding pembuluh darah. Dinding arteri menjadi lemah dan
terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan
c. Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
d. Malformasi arteriovenous, adalah pembuluh darah yang mempunyai
bentuk abnormal, terjadi hubungan persambungan pembuluh darah
arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena, menyebabkan
mudah pecah dan menimbulkan perdarahan otak.
e. Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan
penebalan dan degenerasi pembuluh darah.
Faktor resiko pada stroke adalah
a. Hipertensi
b. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif,
fibrilasi atrium, penyakit jantung kongestif)
c. Kolesterol tinggi, obesitas
d. Peningkatan hematokrit (resiko infark serebral)
e. Diabetes Melitus (berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
f. Kontrasepasi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok,
dan kadar estrogen tinggi)
g. Penyalahgunaan obat (kokain), rokok dan alcohol
C. Patofisiologi Stroke Hemoragik
Ada dua bentuk CVA bleeding
1. Perda
2. rahan intra cerebral
Pecahnya pembuluh darah otak terutama karena hipertensi mengakibatkan darah
masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang menekan
jaringan otak dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan TIK yang
terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di daerah putamen,
talamus, sub kortikal, nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertensi kronis
mengakibatkan
perubahan
struktur
dinding
permbuluh
darah
lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
Perdarahan sub arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM. Aneurisma paling
sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar di sirkulasi willisi.
berupa
AVM dapat dijumpai pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel
otak, ataupun didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan
keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya peningkatan
TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehinga timbul nyeri
kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan tanda-tanda rangsangan
selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang mendadak juga mengakibatkan
perdarahan subhialoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan
subarakhnoid dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral.
Vasospasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai
puncaknya hari ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya
vasospasme diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah
dan dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di ruang
subarakhnoid. Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik,
afasia dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2 dan glukosa otak
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi kerusakan,
kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar metabolisme otak,
tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada
saat otak hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik
anaerob,yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.
D. Manifestasi Klinis Stroke Hemoragik
Kemungkinan kecacatan yang berkaitan dengan stroke
1.
Daerah a. serebri media
a.
Hemiplegi kontralateral, sering disertai hemianestesi
b.
Hemianopsi homonim kontralateral
c.
Afasi bila mengenai hemisfer dominan
d.
Apraksi bila mengenai hemisfer nondominan
2.
Daerah a. Karotis interna
Serupa dengan bila mengenai a. Serebri media
3.
Daerah a. Serebri anterior
a.
Hemiplegi (dan hemianestesi) kontralateral terutama di tungkai
b.
Incontinentia urinae
c.
Afasi atau apraksi tergantung hemisfer mana yang terkena
4.
Daerah a. Posterior
a.
Hemianopsi homonim kontralateral mungkin tanpa mengenai
b.
daerah makula karena daerah ini juga diperdarahi oleh a. Serebri media
c.
Nyeri talamik spontan
d.
Hemibalisme
e.
Aleksi bila mengenai hemisfer dominan
5.
Daerah vertebrobasiler
a.
Sering fatal karena mengenai juga pusat-pusat vital di batang otak
b.
Hemiplegi alternans atau tetraplegi
c.
Kelumpuhan pseudobulbar (disartri, disfagi, emosi labil
E.
Komplikasi Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik dapat menyebabkan
1.
Infark Serebri
2.
Hidrosephalus yang sebagian kecil menjadi hidrosephalus normotensif
3.
Fistula caroticocavernosum
4.
Epistaksis
5.
Peningkatan TIK, tonus otot abnormal
F.
Penatalaksanaan Medis Stroke Hemoragik
Penatalaksanaan untuk stroke hemoragik, antara lain:
1.
Menurunkan kerusakan iskemik cerebral
Infark cerebral terdapat kehilangan secara mantap inti central jaringan otak,
sekitar daerah itu mungkin ada jaringan yang masih bisa diselematkan, tindakan
awal difokuskan untuk menyelematkan sebanyak mungkin area iskemik dengan
memberikan O2, glukosa dan aliran darah yang adekuat dengan mengontrol /
memperbaiki disritmia (irama dan frekuensi) serta tekanan darah.
2.
Mengendalikan hipertensi dan menurunkan TIK
Dengan meninggikan kepala 15-30 menghindari flexi dan rotasi kepala yang
berlebihan, pemberian dexamethason.
3.
Pengobatan
a.
Anti koagulan: Heparin untuk menurunkan kecederungan perdarahan pada
fase akut.
b.
Obat anti trombotik: Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa
trombolitik/emobolik.
c.
Diuretika : untuk menurunkan edema serebral
4.
Penatalaksanaan Pembedahan
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memeperbaiki peredaran darahotak.
Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit
seperti hipertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskular yang luas. Tindakan ini
dilakukan dengan anestesi umum sehingga saluran pernafasan dan kontrol
ventilasi yang baik dapat dipertahankan.
G. Emeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik
1.
Angiografi cerebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurism atau malformasi vaskular.
2.
Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan lumbal
menunjukkan adanya hemoragi pada subarakhnoid atau perdarahan pada
intrakranial.
3.
CT scan
Penindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti.
4.
MRI (Magnetic Imaging Resonance)
Menggunakan gelombang megnetik untuk menentukan posisi dan bsar terjadinya
perdarahan otak. Hasil yang didapatkan area yang mengalami lesi dan infark
akibat dari hemoragik.
5.
EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infrak sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
Head injury
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan dibidang kesehatan yang
didasari oleh ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan kepada individu, keluarga
guyuban dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat, sejak lahir sampai
meninggal. Pelayanan berupa bantuan diberikan karena kelemahan fisik,
keterbatasan pengetahuan, dan kurang kemauan menuju kepada kemampuan
hidup mandiri memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari (Lokakarya keperawatan
(1983) dalam Effendy, 1998).
Keperawatan
di
Indonesia saat
ini
masih dalam
suatu proses
profesionalisasi, yaitu terjadinya suatu perubahan dan perkembangan karakteristik
sesuai tuntunan secara global dan lokal/otonomi. Untuk mewujudkannya maka
perawat Indonesia harus mampu memberikan asuhan keperawatan secara
professional kepada klien dan berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan
bangsa dan Negara Indonesia tercinta, sehingga manusia / masyarakat
(masyarakat umum dan masyarakat professional) mengenal dan mengakui
eksistensi profesi keperawatan (Nursalam, 2001).
Proses keperawatan adalah suatu metode dimana suatu konsep diterapkan
dalam praktek keperawatan. Hal ini biasa disebut sebagai suatu pendekatan
Problem-Solving yang memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal
dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan klien/keluarga (Nursalam, 2001).
Tujuan proses keperawatan secara umum adalah untuk membuat suatu
kerangka konsep berdasarkan kebutuhan individu dari klien, keluarga dan
masyarakat dapat terpenuhi. Proses keperawatan juga ditujukan untuk memenuhi
tujuan asuhan keperawatan yaitu untuk mempertahankan keadaan kesehatan
pasien yang optimal, dan jika pernyataan tersebut berubah, untuk membuat suatu
jumlah dan kualitas tindakan keperawatan terhadap kondisinya guna kembali ke
keadaan yang normal (Nursalam, 2001).
Konsep keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang
bersifat professional dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia (biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual) yang dapat ditujukan pada individu, keluarga atau
masyarakat dalam rentang sehat sakit (Hidayat, AA, 2004).
Asuhan keperawatan merupakan faktor penting dalam survival pasien dan
dalam aspek-aspek pemeliharaan, rehabilitatif, dan preventif perawatan kesehatan.
Untuk sampai pada hal ini, profesi keperawatan telah meng-identifikasi proses
pemecahan masalah yang menggabungkan elemen yang paling di inginkan dari
seni keperawatan dengan elemen yang paling relevan dari sistem teori, dengan
menggunakan metode ilmiah (Shore (1988) dalam Doenges, 1999).
Kesehatan adalah kondisi dinamis manusia dalam rentang sehat sakit yang
merupakan hasil interaksi dengan lingkungan. Undang-undang NO. 23 tahun 1992
tentang kesehatan membuat bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan,
jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial
ekonomi (Kusnanto, 2004).
Sehat merupakan keadaan seimbang bio-psiko-sosio-spiritual yang
dinamis yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri sehingga dapat
berfungsi secara optimal guna memenuhi kebutuhan dasar melalui aktivitas hidup
sehari-hari sesuai dengan tingkat tumbuh kembangnya. Sehat sebagai salah satu
unsur kesejahteraan umum adalah hak dan tanggung jawab setiap individu yang
harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud
dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu harus dipertahankan dan
ditingkatkan melalui upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif (Kusnanto,
2004).
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan
sebagian besar terjadi kecelakaan lalu lintas, disamping penanganan di lokasi
kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan
awal dan di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan
prognosis selanjutnya (Mansjoer, A, dkk, 2000).
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius diantara
penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan
jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera
kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan
perawatan di rumah sakit (Smeltzer & Bare, 2001).
Statistik Negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma
kepala mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan
seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang.
Kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir kematian menyangkut trauma kepala.
Diluar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kepala terjadi karena
kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang
yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka
sampai di rumah sakit, dari mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan
masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35% dalam satu minggu
perawatan, jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat
trauma kepala, maka 50% ternyata disebabkan oleh gangguan perdarahan sebagai
yang terkait secara tidak langsung pada trauma, komplikasi berupa perubahan
tonus pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang menyangkut sistem
kardiopulmonal yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan darah, PO2
arterial atau keseimbangan asam basa (Mardjono & Sidharta, 2004).
Menurut Narayan (1991) dalam Saanin (2007), diperkirakan lebih dari
separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata atas autcome. Pada
pasien dengan cedera berganda, kepala adalah yang paling sering mengalami
cedera, dan pada kecelakaan lalu lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa
cedera otak ditemukan pada 75% penderita untuk setiap kematian terhadap dua
kasus dengan cacat tetap biasanya sekunder terhadap cedera kepala.
Cedera kepala biasanya terjadi pada dewasa muda antara 15-44 tahun,
pada umumnya rata-rata adalah usia sekitar 30 tahun dan laki-laki 2 kali lebih
sering mengalaminya (Kalsbeek, 1980) dalam Saanin (2007).
Sedangkan menurut Miller (1978) dalam Saanin (2007), memperkirakan
kecelakaan kendaraan bermotor adalah penyebab yang paling sering terjadinya
cedera kepala, diperkirakan sekitar 49% dari kasus, biasanya dengan derajat
cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24 tahun.
Sedangkan jatuh lebih sering terjadi pada anak-anak serta biasanya dalam derajat
yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor biasanya
disertai cedera berganda, dan lebih dari 50% penderita cedera berat disertai oleh
cedera sistematik berat.
Di Amerika Serikat, kejadian Head Injury (cedera kepala) setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal
dunia sebelum tiba dirumah sakit. Sedangkan yang sampai rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), dan 10% termasuk dalam
cedera kepala sedang (CKS),dan 10% sisanya adalah digolongkan sebagai cedera
kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia
produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh, dan 3%-9%
disebabkan oleh tindakan kekerasan, kegiatan olah raga dan rekreasi (Irwana,
2009).
Menurut Oman, KS, dkk (2008), prevalensi cedera kepala di Amerika
Serikat ada 2 juta kasus yang terjadi setiap tahunnya, satu setengah juta
merupakan cedera ringan yang ditangani sebagai pasien rawat jalan, sedangkan
500.000 kasus mengalami cedera kepala yang cukup parah dan memerlukan
perawatan dirumah sakit, jumlah tersebut memprediksikan besarnya kemungkinan
menghadapi pasien-pasien cedera kepala, cedera kepala merupakan penyebab
separuh dari seluruh kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor, orang muda
yang berusia 15-24 tahun, memiliki insiden cedera kepala yang paling tertinggi,
dan orang tua merupakan kelompok berikutnya yang mempunyai angka insiden
tertinggi, serta dengan bertambahnya populasi manula di Amerika Serikat, insiden
tersebut akan meningkat.
Sedangkan data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari
salah satu rumah sakit di Jakarta yaitu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
diperikan untuk rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cedera kepala ringan
(CKR), 15%-20% cedera kepala sedang (CKS), dan sekitar 10% dengan cedera
kepala berat (CKB), angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat cedera
kepala berat (CKB), dan untuk cedera kepala sedang (CKS) 5%-10%, sedangkan
untuk cedera kepala ringan tidak ada yang meninggal (Irwana, 2009).
Menurut data yang didapat dari Medical Record Rumah Sakit Umum
Daerah dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan, jumlah penderita cedera kepala (Head
Injury) yang terhitung dari bulan Januari sampai bulan Desember 2009 mencapai
934 kasus dari 1305 pasien (71,57%) yang di rawat di Ruang Rawat Inap Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, sedangkan dari
bulan Januari sampai bulan Maret 2010 mencapai 100 kasus cedera kepala (Head
Injury) dari 339 pasien (29,49%) yang di rawat di Ruang Rawat Inap Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang merupakan
penyebab kematian dan kecacatan pada usia produktif dan juga sebagian besar
karena terjadi kecelakaan lalu lintas, yang membutuhkan pertolongan dan
perawatan yang serius. Maka berdasarkan insiden di atas maka penulis tertarik
untuk melaksanakan study kasus dalam bentuk penyusunan Karya Tulis Ilmiah
dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada An.I Dengan Head Injury GCS 11 di
Ruang Rawat Inap Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.Yuliddin Away
Tapaktuan".
B.
BATASAN PENULISAN
Batasan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini penulis membatasi ruang lingkup
tentang Asuhan Keperawatan Pada An. I, umur 14 tahun, jenis kelamin
Perempuan, Agama Islam, Alamat Gunong Pulo–Kota Fajar, di Ruang Rawat
Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, selama
3 (tiga) hari rawatan dimulai tanggal 06 Juli 2010 s/d 08 Juli 2010.
Adapun diagnosa yang muncul pada kasus Head Injury (cedera kepala)
menurut Doenges (1999), yaitu :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah oleh SOL (Hemoragik, Hematoma), edema serebral (respon
lokal atau umum pada cedera, perubahan metabolik, takar lajak obat /
alkohol), penurunan tekanan darah iskemik/hipoksia, (Hipovolemia,
Disritmia jantung).
2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
kerusakan neuromuskular (cedera pada pusat pernafasan otak), kerusakan
kognitif, obstruksi trakeobronkial.
3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan transmisi integrasi
(trauma atau defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis konflik
psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif, penurunan kekuatan/tahanan.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit
rusak, prosedur invasif, penurunan kerja silia, statis cairan tubuh, kurang
nutrisi, respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid), perubahan
integritas sistem tertutup (kebocoran CSS).
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien
(penurunaan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk
mengunyah, menelan, status hipermetabolik.
8. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera biologis, adanya proses infeksi
/ inflamasi, cedera, toksin dalam sirkulasi.
9. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis
situasional, ketidakpastian tentang hasil / harapan.
10. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi /
sumber-sumber, kurang mengingat / keterbatasan kognitif.
Sesuai dari hasil pengkajian langsung pada An. I pada tanggal 06 Juli 2010
sampai dengan 08 Juli 2010 maka penulis menegakkan 3 (tiga) diagnosa
keperawatan yang muncul sesuai dengan kasus di lapangan pada An. I yaitu :
1.
Nyeri berhubungan dengan cedera kepala.
2.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah.
3.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Tujuan Umum
Agar penulis mendapatkan wawasan dan menambah pengetahuan dan
keterampilan serta pengalaman nyata dalam memberikan asuhan keperawatan
pada pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 Di Ruang Rawat Inap Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
2.
Tujuan Khusus
Setelah melakukan proses keperawatan penulis mampu :
a.
Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury
GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin
Away Tapaktuan.
b.
Menganalisa data pasien An. I dengan Head Injury GCS 11 di Ruang
Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
c.
Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury
GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin
Away Tapaktuan.
d.
Menyusun rencana keperawatan pada pasien An. I dengan Head Injury GCS
11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin
Away Tapaktuan.
e.
Melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien An. I dengan Head
Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan.
f.
Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien An. I dengan Head
Injury GCS 11 di Ruang Rawat Inap Bedah Rumah Sakit Umum Daerah dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.
Pengertian
Cedera kepala adalah adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi - decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan (Mufti, 2009).
Menurut Irwana (2009), cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala
yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepala gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial,
bersifat temporer atau permanen.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala (Suriadi & Yuliani, 2001).
Cedera kepala merupakan suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik
dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain Injury
Assosiation Of Amerika, dalam Irwana (2009).
2.
Klasifikasi
1.
Klasifikasi berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG)
Mansjoer, A, dkk (2000), mengklasifikasikan cedera kepala berdasar-kan
nilai skala glasgow (SKG).
a.
Ringan
1.
GCS 14-15
2.
Tidak ada kehilangan kesadaran
3.
Nyeri kepala dan pusing
b.
Sedang
1.
GCS 9-13
2.
Kontusio
3.
Amnesia pasca trauma atau muntah
4.
Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinhorea CSS
5.
Kejang.
c.
Berat
1.
GCS 3-8
2.
Koma
3.
Fraktur depresi kranium
4.
Penurunan derajat kesadaran
Sedangkan menurut Suriadi & Yuliani (2001), dalam Irwana (2009),
klasifikasi cedera kepala menurut SKG :
a.
Minor
1.
SKG 13-15
2.
Kehilangan kesadaran / amnesia tetapi kurang dari 30 menit
3.
Tidak ada kontusio tengkorak
4.
Tidak ada fraktur serebral
5.
Tidak ada hematoma
b.
Sedang
1.
SKG 9-12
2.
Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam.
3.
Dapat mengalami fraktur tengkorak
c.
Berat
1.
SKG 3-8
2.
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 24 jam
3.
Juga meliputi konkusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2.
Klasifikasi berdasarkan morfologi
Mufti (2009), membagi klasifikasi cedera kepala menurut morfologinya
terdiri dari :
a.
Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan
otak dan melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan
gejala dari fraktur basis trauma kepala terbuka yaitu :
1.
Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid)
2.
Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga)
3.
Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
4.
Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung)
5.
Othorrhoe (liquor keluar dari telinga)
b.
Trauma kepala tertutup
1.
Komosio
2.
a.
Cedera kepala ringan
b.
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c.
Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit
d.
Tanpa kerusakan otak permanen
e.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f.
Disorientasi sementara
g.
Tidak ada gejala sisa
Konkusio
a.
Ada memar otak
b.
Perdarahan kecil lokal/difusi
c.
Perdarahan
Gejalanya :
a.
b.
Gangguan kesadaran lebih lama
Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh,
konvulsiv
3.
c.
Gejala TIK meningkat
d.
Amnesia lebih nyata
Hematoma epidural
a.
Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter
b.
Lokasi tersering temporal dan frontale
c.
Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
Gejalanya :
4.
1.
a.
Adanya desak ruang
b.
Penurunan kesadaran ringan saat kejadian
c.
Penurunan kesadaran hebat
d.
Koma
e.
Nyeri kepala hebat
f.
Reflek patologik positif
Hematoma subdural
a.
Perdarahan antara durameter dan arachnoid
b.
Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis
Akut
a.
Gejala 24-48 jam
b.
Sering berhubungan dengan cedera otak dan medula oblongata
c.
Tekanan intrakranial meningkat
d.
Sakit kepala, mengantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil
lambat
2.
3.
Subakut
a.
Berkembang 7-10 hari
b.
Konkusio agak lambat
c.
Adanya gejala TIK meningkat
d.
Kesadaran menurun
Kronis
a.
Ringan
b.
Perdarahan kecil terkumpul dan meluas
c.
Sakit kepala
d.
Lethargi
e.
Kacau mental, kejang
f.
Disfagia
5.
Hematoma intrakranial
a.
Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih
b.
Selalu diikuti oleh konkusio
Sedangkan menurut Price, S & Wilson, LM (2005), tipe trauma kepala
tertutup yaitu terdiri dari :
1.
Hematoma epidural
Merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka
mortalitas 50%, hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotemporal
akibat robekan arteri meningen media dan pada umumnya berasal dari arteria.
Gejala dan tanda pada hematoma epidural yang tampak bervariasi yaitu :
a.
Periode tidak sadar dalam waktu pendek
b.
Peningkatan tekanan intrakranial
2.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari vena yang pada umumnya timbul akibat
ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dipilih menjadi berbagai tipe dengan gejala dan
prognosis yang berbeda yaitu :
a.
Hematoma subdural akut
1.
Menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam
setelah cedera
2.
Trauma otak berat serta mempunyai mortalitas yang tinggi
b.
Hematoma subdural subakut
1.
Defisit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang
dari 2 minggu setelah cedera.
2.
3.
Perdarahan vena pada ruang subdural
Ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
bertahap.
4.
Tingkat kesadaran menurun dalam secara bertahap dalam beberapa jam.
c.
Hematoma subdural kronik
1.
Awitan gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, dan bahkan
beberapa tahun setelah cedera awal
2.
Merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural sehingga terjadi
perdarahan lambat kedalam ruang subdural
3.
Terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan kedalam
hematoma
4.
Penderita mengeluh sakit kepala
5.
Progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya
perhatian
6.
Hemiparesis
Sedangkan
menurut
Mansjoer
(2000),
klasifikasi
cedera
kepala
berdasarkan morfologi terdiri dari yaitu :
1.
Fraktur tengkorak
a.
Kranium : linear/stelatum : depresi/non depresi
b.
Terbuka dan tertutup basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinalis
(CSS)
2.
Lesi intrakranial
a.
Fokal : epidural, subdural, intra serebral
b.
Difus
3.
Etiologi
: konkusio ringan, konkusio klasik, cedera aksonal difus
Adapun etiologi dari cedera kepala menurut Suriadi & Yuliani (2001), yaitu:
a.
Kecelakaan kenderaan bermotor atau sepeda dan mobil
b.
Jatuh
c.
Kecelakaan saat olahraga
d.
Anak dengan ketergantungan
e.
Cedera akibat kekerasan
Menurut Sjamsuhidajat, R & Jong, WD (2004), etiologi dari trauma kepala
terdiri dari :
a.
Benda tajam
b.
Benda tumpul
c.
Peluru
d.
Kecelakaan lalu lintas
Sedangkan menurut Purwoko, S (2006), etiologi dari cedera kepala yaitu :
a.
Olah raga
4.
b.
Jatuh
c.
Kecelakaan kenderaan bermotor.
Manifestasi Klinis
Menurut Suriadi & Yuliani (2001), manifestasi klinis cedera kepala adalah :
a.
Hilang kesadaran kurang (apatis) dari 30 menit atau lebih
b.
Kebingungan
c.
Iritabel (perubahan fungsi)
d.
Pucat
e.
Mual dan muntah
f.
Pusing kepala
g.
Terdapat hematoma
h.
Kecemasan
i.
Sukar untuk dibangunkan
j.
Bila fraktur kemungkinan adanya liquor yang keluar dari hidung dan
telinga (otorhoe ) bila fraktur tulang temporal.
Menurut Mufti (2009), manifestasi klinis dari cedera kepala yaitu :
a.
Sistem pernafasan
1.
Chyne stokes
2.
Hiperventilasi
3.
Apnea
4.
Edema paru
b.
Sistem kardiovaskuler
1.
Perubahan saraf otonom pada pada fungsi ventrikel
a.
Disritmia
b.
Fibrilasi
c.
Takikardia
2.
Terjadi kontraktilitas ventrikel
3.
Curah jantung menurun
4.
Meningkatkan tahanan ventrikel kiri
c.
Sistem metabolisme
1.
Cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah nitrogen
2.
Stress fisiologis
d.
Sistem gastrointestinal (GI)
1.
Peningkatan asam lambung
2.
Perdarahan lambung
3.
Katekolamin meningkat
Menurut Smeltzer & Bare (2001), manifestasi klinis dari cedera kepala
adalah :
a) Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya fraktur
b) Menimbulkan hemoragi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat
dibawah konjungtiva
c) Memar otak
d) Battle diatas mastoid
e) Fraktur dasar tengkorak biasanya di curigai ketika CSS keluar dari telinga
(ottorea) dan (rinorhoe) dari hidung
f) Laserasi
g) Kontusi otak
Sedangkan menurut Hoffman (1996), dalam Widyaningrum (2008),
manifestasi klinis dari cedera kepala adalah :
1.
Tanda dan gejala fisik :
a.
Nyeri kepala
b.
Nausea
2.
Tanda dan gejala kognitif
a.
Gangguan memori
b.
Gangguan perhatian dan berfikir kompleks
3.
Tanda dan gejala emosional/kepribadian
a.
Kecemasan
b.
Iritabilitas
4.
Gambaran klinis secara umum :
a.
Pada kokusio segera terjadi kehilangan kesadaran
b.
Pola pernafasan secara progresif menjadi abnormal
c.
Respon pupil mungkin lenyap
d.
Nyeri kepala dapat muncul segera/bertahap sering dengan peningkatan
tekanan intrakranial
e.
Dapat timbul mual muntah akibat peningkatan TIK
f.
Perubahan perilaku kognitif dan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
dapat timbul segera atau secara lambat
5.
Komplikasi
Menurut Engram, B (1998), komplikasi dari cedera kepala adalah :
a. Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK)
b. Perdarahan
c. Kejang
d. Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko
terhadap bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan
dari telinga (otorea)
e.
Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis
6.
Pemeriksaan penunjang
a.
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan
perubahan jaringan otak
b.
MRI (magnetig resonan imagin)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif
c.
Serebral angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma .
d.
X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
e.
CSF, lumbal fungsi
Jika diduga perdarahan sub arachnoid
f.
Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial (TIK)
g.
Scree toxicologi
Untuk meneteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran
h.
AGDA (analisa gas darah arteri)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial (Mufti, 2009).
Sedangkan menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang pada cedera
kepala yaitu terdiri dari :
a.
Scan CT (Compuretied Tenografi Scaning)
b.
MRI (Magnetig Resonan Imagin)
c.
Sinar X
d.
BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentukan fungsi korteks dan
batang otak
e.
PET (Positron Emission Tomography) : menunjukkan perubahan
metabolisme pada otak
f.
Fungsi lumbal, CSS
g.
GDA (gas darah arteri)
h.
Kadar antikonvulsan darah : mendeteksi tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang
7.
Penatalaksanaan
Menurut Abdale (2007), penatalaksanaan pada cedera kepala dapat
diberikan :
a) Dexamethason/kalmethason
Sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringannya trauma.
b) Therapy hiperventilasi
Untuk mengurangi vasodilatasi
c) Pemberian analgetika
d) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40% atau gliserol 10%
Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan dilakukan
pada kasus cedera kepala (Head Injury) adalah :
a.
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1.
Menilai jalan nafas
a.
Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan
b.
Lepaskan gigi palsu
c.
Pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar
servikal
d.
Pasang guedel bila dapat ditolerir
e.
Jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus di intubasi.
2.
Menilai pernafasan
a.
Tentukan pasien bernafas atau tidak
b.
Jika tidak, berikan oksigen melalui masker
c.
Jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada berat seperti
pneumothorak, pneumothorak tensif, hemopneuthorak
d.
Pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi oksigen
minimum 95%
e.
Jika nafas pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh
oksigen yang adekuat (PaO2 > 95 mmHg dan PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2
> 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh anestesi.
3.
Menilai sirkulasi
a.
Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi
b.
Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya
c.
Perhatikan secara khusus adanya cedera intra abdomen atau dada
d.
Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
e.
Pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia
f.
Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan
darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa dan analisa gas darah arteri
(AGDA)
g.
Berikan larutan koloid
4.
a.
Obat kejang
Mula-mula diberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang.
b.
Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kg BB diberikan intravena
secara perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5.
Menilai tingkat keparahan
a.
Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1.
Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)
2.
Tidak ada kehilangan kesadaran
3.
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4.
Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5.
Pasien dapat menderita abrasi, laserasi dan hematoma kulit kepala
b.
Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1.
Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
2.
Konkusio
3.
Amnesia pasca trauma
4.
Muntah
5.
Kejang
c.
Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1.
Skor skala koma glasgow 3-8 (koma)
2.
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3.
Tanda neurologis fokal
4.
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
b.
Pedoman penatalaksanaan
1.
Pada pasien dengan cedera kepala dan/leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi anterior posterior, lateral dan odontoid) kolar servikal baru
dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7.
2.
Pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur
berikut:
a. Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau
larutan ringer laktat : cairan isotonis lebih efektif menggantikan
volume intravaskuler dari pada cairan hipotonis, dan larutan ini tidak
menambah edema serebri.
b. Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap,
trombosit, kimia darah (glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protombin
atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar
alkohol bila perlu.
3.
Pada pasien yang koma (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda
herniasi, lakukan tindakan berikut ini:
a. Elevasi kepala 30o
b. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten
dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg, atur
tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg, hipokapnea harus dihindari sebab
dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
c. Berikan monitol 20% 1 gram/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis
ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula
setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
d. Pasang kateter foley
e. Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang
besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > 1
diploe)
8.
Prognosis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat, skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki
nilai prognostik yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal
85% atau tetap dalam kondisi vegetatif. Sedangkan pada pasien dengan GCS 12
atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %.
Sindrom pasca konkusio berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera
kepala, sering kali bertumpang tindih dengan gejala depresi (Mansjoer, A, dkk,
2000).
Airway breating
BAB I
PENDAHULUIAN
A. LATAR BELAKANG
Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin
cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat
pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.
Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.
Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat
sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan
oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga
memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit
akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan
menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita
gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.
Tahapan kegiatan dalam penanggulangan penderita gawat darurat telah
mengantisipasi hal tersebut. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan
dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalahmasalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei
sekunder.
B.
TUJUAN PENULISAN
1.
Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami apa itu Airway
Breathing Management.
2.
Tujuan Khusus
Agar mahasiswa dapat mengaplikasikan:
a.
Pengelolaan Jalan Nafas (Airway Management) dengan Menggunakan
Alat
b.
Tindakan Pembebasan Jalan Nafas (Airway Management) dengan Tanpa
Menggunakan Alat
c. Mengeluarkan benda asing pada saluran nafas
d. Penatalaksanaan Gangguan Ventilasi
e.
Foreign Body Airway Obstruction (FBAO) / Sumbatan Karena Benda
Asing pada Jalan Nafas
f. Pengelolaan Fungsi Pernafasan (Breathing Management) dengan
Pernafasan Buatan
BAB II
TINJUAN TEORI
A. ANATOMI SISTEM PERNAPASAN
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O²) yang dibutuhkan tubuh
untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO²) yang dihasilkan dari
metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru. Saluran pernapasan
terbagi atas beberapa bagian yaitu:
1.
Saluran Nafas Bagian Atas
a.
Rongga hidung
Merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi (terdiri dari: Psedostrafied
ciliated columnar epithelium) yang berfungsi menggerakkan partikel partikel
halus kearah faring sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu
hidung, sel golbet dan kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang
masuk, pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal
tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan ke:
b.
Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius).
c.
Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat
pangkal lidah).
d.
Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan).
Normalnya, manusia akan berusaha bernapas melalui hidung, dan pada keadaan
tertentu akan bernapas melalui mulut. Udara yang masuk akan mengalami proses
penghangatan dan pelembapan. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan terjatuh
kebelakang rongga mulut. hal ini dapat menyebabkan gangguan pada airway.
Lidah pada bayi lebih besar secara relatif sehingga lebih mudah menyumbat
airway.
2.
Saluran Nafas Bagian Bawah
a.
Glotis.
Laring: Terdiri dari Tulang rawan krikoid, Selaput/pita suara, Epilotis,
b.
Trakhea: Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾
cincin tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran
fibroelastic menempel pada dinding depan usofagus. Pada bayi, trakea berukuran
lebih kecil, sehingga tindakan mendongakan kepala secara berlebihan
(hiperekstensi) akan menyebabkan sumbatan pada airway.
c.
Bronkhi: Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat
percabangan ini disebut carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat
dengan trachea. Bronchus kanan bercabang menjadi: lobus superior, medius,
inferior. Brochus kiri terdiri dari : lobus superior daninferior
d.
Epiglotis: Trakea dilindungi oleh sebuah flap berbentuk daun yang
berukuran kecil yang dinamakan epiglotis. Normalnya, epiglotis menutup laring
pada saat makanan atau minuman masuk melalui mulut, sehingga akan diteruskan
ke esofagus. Tetapi, pada keadaan tertentu seperti trauma atau penyakit, refleks ini
tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dapat terjadi masuknya
benda padat atau cair ke laring yang dapat mengakibatkan tersedak.
3.
Alveoli
Terdiri dari: membran alveolar dan ruang interstisial. Membran alveolar:
a.
b.
Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli
Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan
surfactant.
c.
Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling
berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam
rongga endotel
d.
Interstitial
space merupakan ruangan
yang dibentuk
oleh: endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.
Aliran pertukaran gas: Proses pertukaran gas berlangsung sebagai berikut: alveoli
epitel alveoli « membran dasar « endotel kapiler « plasma « eitrosit. Membran «
sitoplasma eritrosit « molekul hemoglobin. Surfactant: Mengatur hubungan antara
cairan dan gas. Dalam keadaan normal surfactant ini akan menurunkan tekanan
permukaan pada waktu ekspirasi, sehingga kolaps alveoli dapat dihindari.
4.
Sirkulasi Paru
Mengatur
pulmonalis dan
aliran
darah vena-vena dari ventrikel kanan
mengalirkan
darah
yang
ke arteri
bersifat arterial melaului vena
pulmonalis kembali ke ventrikel kiri.
5.
Bronkus dan paru
Merupakan
jalinan
atau
susunan bronhus
bronkhiolus, bronkhiolus
terminalis, bronkhiolus respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik
.Pada alveolus akan terjadi pertukaran oksigen dengan karbondioksida.
6.
Rongga dan Dinding Dada
Rongga ini terbentuk oleh:
a.
Otot-otot interkostalis
b.
Otot -otot pektoralis mayor dan minor
c.
Otot- otot trapezius
d.
Otot-otot seratus anterior/posterior
e.
Kosta- kosta dan kolumna vertebralis
f.
Kedua hemi diafragma.
Yang secara aktif mengatur mekanik respirasi.
B.
JALAN NAPAS (AIRWAY)
Airway merupakan komponen yang penting dari sistem pernapasan adalah hidung
dan mulut, faring, epiglotis, trakea, laring, bronkus dan paru. Sehingga Penilaian
jalan napas (Airway) pada korban yang pertama kali adalah:
1.
Mendengarkan apakah ada suara nafas tambahan?
2.
Apakah jalan nafas terbuka
3.
Lindungi C-spin
Tanda-tanda sumbatan pada jalan nafas yaitu:
1.
Bagian atas
a.
Snoring: suara seperti orang ngorok dimana pangkal lidah yang jatuh ke
belakang.
b.
Gurgling: seperti orang berkumur dimana dikarenakan adanya cairan atau
darah.
c.
Stridor: terjadi karena uap panas atau gas yang mengakibatkan mukosa
bengkak ataupun jalan nafanya menjadi kasar.
2.
Bagian bawah
a.
Rales
b.
Wheezing: seperti suara biola dimana mengalami penyempitan di
bronkusnya.
c.
Stridor
C. PENGELOLAAN JALAN NAFAS DENGAN ALAT
1.
Oropharyngeal Tube
Ada yang menyebutnya sebagai oropharingeal airway, ada yang
menyebutnya mayo tube, atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah gudel.
a.
Pengertian
Memasang oropharingeal tube adalah suatu tindakan pemenuhan
kebutuhan oksigen dengan membebaskan jalan nafas melalui pemasangan
oropharingeal tube melalui rongga mulut ke dalam pharing.
b.
Tujuan
1)
Membebaskan jalan nafas
2)
Mencegah lidah jatuh atau melekat pada dinding posterior pharing
3)
Memudahkan penghisapan lendir
c.
Langkah-langkah Pelaksanaan
1)
Persiapan pasien dan keluarga
a)
Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan
b)
Menjelaskan
prosedur
tindakan
termasuk
selama
oropharing tube pasien tidak diperbolehkan makan dan minum
c)
2)
Memberikan posisi sesuai kebutuhan
Alat-alat
pemasangan
3)
a)
Oropharingeal tube sesuai kebutuhan
b)
Kassa steril 2 buah
c)
Plester dan gunting
d)
Nierbekken
e)
Spatel lidah
f)
Handschoen
Lingkungan
Menjaga privacy pasien.
4)
5)
Perawat
a)
Mencuci tangan
b)
Menilai keadaan umum pasien
c)
Mengukur tanda-tanda vital
d)
Mengobservasi pola nafas
Pelaksanaan
a)
Perawat memakai handschoen
b)
Membuka mulut pasien, tahan lidah dengan menggunakan tongue spatel
c)
Bersihkan mulut dengan kassa steril
d)
Masukkan oropharing tube melalui rongga mulut dengan ujung
mengarah ke palatum, setelah masuk dinding belakang pharing lalu putar
oropharingeal tube 180º sampai posisi ujung mengarah ke oropharing
e)
Lakukan fiksasi dipangkal oropharing tube dengan plester tanpa
menutup lubang oropharing tube
f)
Berikan posisi yang nyaman
g)
Rapikan pasien dan alat-alat
h)
Buka handschoen dan cuci tangan
i)
Membuat catatan keperawatan meliputi:
I. Keadaan umum pasien
J. Tindakan dan hasil setelah dilakukan
K. Tanda-tanda vital
L. Pola nafas
CATATAN:
1) Oropharingeal tube tidak boleh dipasang pada pasien sadar.
2) Oropharingeal tube dipasang pada pasien yang tidak sadar atau pada pasien
dengan penurunan kesadaran.
3) Pada pasien yang dilakukan pemasangan oropharing tube harus dilakukan oral
hygiene.
4) Ukuran oropharingeal: disesuaikan dengan mengukur panjang oropharingeal
dari mulut ke mandibula atau sesuai ukuran:
a)
Kode 00 untuk bayi kecil/premature.
b)
Kode 0 untuk bayi.
c)
No. 1 untuk anak usia 1-3 tahun.
d)
No. 2 untuk anak usia 3-8 tahun.
e)
No. 3 untuk usia 8 tahun.
f)
No. 4 dan 5 untuk dewasa.
2.
Suctioning
a.
Pengertian
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri. ( Ignativicius, 1999).
b.
Indikasi
Indikasi dilakukannya penghisapan adalah adanya atau banyaknya secret
yang menyumbat jalan nafas, ditandai dengan:
1)
Terdengar adanya suara pada jalan nafas.
2)
Hasil auskultasi : ditemukan suara crackels atau ronkhi.
3)
Kelelahan.
4)
Nadi dan laju pernafasan meningkat.
5)
Ditemukannya mukus pada alat bantu nafas.
6)
Permintaan dari klien sendiri untuk disuction.
7)
Meningkanya peak airway pressure pada mesin ventilator
c.
Prosedur
Hudak (1997) menyatakan persiapan alat scara umum untuk tindakan
penghisapan adalah sebagai berikut:
1)
Kateter suction steril yang atraumatik
2)
Sarung tangan
3)
Tempat steril untuk irigasi
4)
Spuit berisi cairan NaCl steril untuk irigasi trachea jika diindikasikan
(Ignativicius, 1999) menuliskan langkah-langkah dalam melakukan
tindakan penghisapan adalah sebagai berikut:
a. Kaji adanya kebutuhan untuk dilakukannya tindakan penghisapan.
(usahakan
tidak
rutin
melakukan
penghisapan
karena
menyebabkankerusakan mukosa, perdarahan, dan bronkospasme)
b. Lakukan cuci tangan, gunakan alat pelindung diri dari kemungkinan
terjadinya penularan penyakit melalui secret
c. Jelaskan kepada pasien mengenai sensasi yang akan dirasakan selama
penghisapan seperti nafas pendek, , batuk, dan rasa tidak nyaman
d. Check mesin penghisap, siapkan tekanan mesin suction pada level 80120 mmHg untuk menghindari hipoksia dan trauma mukosa
e. Siapkan tempat yang steril
f. Lakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3 menit
untuk mencegah terjadinya hipoksemia
g. Secara cepat dan gentle masukkan kateter, jangan lakukan suction saat
kateter sedang dimasukkan
h. Tarik kateter 1-2 cm, dan mulai lakukan suction. Lakukan suction secara
intermitten, tarik kateter sambil menghisap dengan cara memutar. Jangan
pernah melakukan suction lebih dari 10=15 “
i. Hiperoksigenasi selama 1-5 menit atau bila nadi dan SaO2 pasien normal
j. Ulangi prosedur bila diperlukan (maksimal 3 x suction dalam 1 waktu)
k. Tindakan suction pada mulut boleh dilakukan jika diperlukan, lakukan
juga mouth care setelah tindakan suction pada mulut
l. Catat tindakan dalan dokumentasi keperawatan mengenai karakteristik
Sputum (jumlah, warna, konsistensi, bau, adanya darah) dan respon
pasien.
3.
Intubasi Endotracheal (ETT)
a.
Pengertian
ETT adalah tindakan untuk memasukan pipa endotracheal ke dalam
trachea, yang biasa digunakan sebagai pembebasan jalan nafas, pemberian nafas
buatan dengan bag and mask dan lain sebagainya.
b.
Tujuan
1)
Pembebasan jalan nafas
2)
Pemberian nafas buatan dengan bag and mask
3)
Pemberian nafas buatan secara mekanik (respirator)
4)
Memungkinkan penghisapan sekret secara adekuat
5)
Mencegah aspirasi asam lambung (dengan adanya balon yang
dikembangkan
c.
d.
6)
Mencegah distensi lambung
7)
Pemberian oksigen dosis tinggi
Indikasi
1)
Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
2)
Pasien yang memerlukan bantuan nafas dengan respirator
3)
Pemberian anestesi
4)
Terdapat banyak sputum (pasien tidak dapat mengeluarkan sendiri)
Jenis Intubasi
1)
Intubasi oral
2)
Intubasi nasal
e.
Keuntungan dan kerugian intubasi nasal dan oral
1)
Intubasi Nasal
Keuntungan
a)
Pasien merasa lebih enak / nyaman
b)
Lebih mudah dilakukan pada pasien sadar
c)
Tidak akan tergigit
Kerugian
2)
a)
Pipa ETT yang digunakan lebih kecil
b)
Penghisapan sekret lebih sulit
c)
Dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan
d)
Lebih sering terjadi infeksi (sinusitis)
Intubasi Oral
Keuntungan
a)
Lebih mudah dilakukan
b)
Bisa dilakukan dengan cepat pada pasien emergency
c)
Resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil
Kerugian
a)
Tergigit
b)
Lebih sulit dilakukan oral hygiene
c)
Tidak nyaman
Faktor faktor penyulit
1)
2)
a)
Leher pendek
b)
Fraktur cervical
c)
Rahang bawah kecil
d)
Trismus
e)
Ada massa di pharing dan laring
f.
Persiapan Pasien, Alat-Alat dan Obat-Obatan
Persiapan Pasien
a)
Beritahu pasien tentang tindakan yang akan dilakukan
b)
Mintakan persetujuan keluarga / informed consent
c)
Berikan suport mental.
d)
Sudah terpasang infuse dan infuse menetes dengan lancar
e)
Hisap cairan / sisa makanan dari NG Tube
f)
Pasien memakai bantal setinggi10-12cm
Persiapan Alat
a)
Sarung tangan
b)
O2,slang O2 dan BVM (bag valve mask)
c)
Laringoskop lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu
harus menyala dengan terang
d)
Alat-alat suction (yakinkan berfungsi dengan baik)
e)
Xylocain jelly/ xylicain spray dan KY jelly
f)
ETT sesuai ukuran
g)
Dewasa laki-laki: 7; 7,5; 8.
h)
Dewasa wanita: 6,5 ; 7 ;7,5.
i)
Anak-anak: usia (dalam tahun) + 4 kemudian dibagi 4 masukan dalam
ETT lalu ujungnya dibentuk spt stick golf 10. Stylet/mandrin ( ukuran 2/3
Ø ETT)
j)
Magil forcep
k)
Oropharyngeal tube/airway sesuai ukuran pasien
l)
Stetoskop
m) Spuit 20cc untuk mengisi cuff
3)
n)
Plester untuk fiksasi
o)
Gunting
Persiapan Obat-obatan
Obat-obatan intubasi
Sedasi
a)
Penthotal 25mg/cc dosis 3-5 mg/ kg BB
b)
Dormicum 0,6 mg/kgBB
c)
Diprivan 1-2mg/kgBB
d)
Muscle relaxan
e)
Succinyl scolin 20mg/cc: 1-2mg/kgBB.
f)
Pavulon 0,15mg/kgBB
g)
Tracrium 0,5-0,6 mg / kgBB
h)
Norcuron 0,1 mg / kgBB
Obat-obat emergency:
a)
Sulfas atropine
b)
Ephedrine
c)
Adrenalin
d)
Lidokain 2%, dll
g.
Prosedur Pemasangan
1)
Mencuci tangan lalu memakai sarung tangan
2)
Posisi pasien terlentang
3)
Kepala diganjal bantal setinggi 12 cm
4)
Pilih ukuran pipa ETT yang akan digunakan
5)
Periksa balon pipa/ cuff ETT
6)
Pasang blade yang sesuai
7)
Oksigenasi dengan bag and mask / ambubag dengan O2 100% selama 5mnt
agar pasien tidak hipoksia
8)
Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaksan
9)
Pentotal secara titrasi
10) Scolin dimasukan pelan-pelan sekali dosis
11) Buka mulut dengan laryngoskop sampai terlihat epiglottis
12) Dorong blade sampai pangkal epiglottis
13) Lakukan penghisapan lendir bila banyak secret
14) Anestesi daerah laryng dengan xylocain spray (bila kasus emergency tidak perlu
dilakuka)
15) Masukan ETT yang sebelumnya diberi jelly (lepas laryngoskop,tarik stylet lalu
sambungkan ke ambubag,lalu pompa)
16) Cek apakah ETT sudah benar posisinya
17) Isi cuff/balon dengan udara sampai kebocoran tidak terdengar
18) Dengarkan suara nafas,bandingkan kanan dan kiri
19) Pasang oropharyngeal airway agar ETT tidak tergigit
20) Lakukan fiksasi dengan plester
21) Hubungkan ETT dengan ventilator
22) K/p cek foto thorax
h.
Hal-hal yang Didokumentasikan
1)
Tanggal pemasangan,siapa yang memasang
2)
Nomor ETT/OTT
3)
Jumlah udara yang dimasukan pada balon
4)
Batas masuknya NTT/OTT
5)
Obat-obat yang diberikan
6)
Respon pasien / kesulitan yang terjadi
i.
Perawatan Intubasi
1)
Fiksasi harus baik
2)
Gunakan orophryngeal airway (mayo) pada pasien yang tidak kooperatif
3)
Hati-hati waktu mengganti posisi pasien
4)
Jaga kebersihan mulut dan hidung
5)
Jaga patensi jalan nafas
6)
Humidifikasi yang adekuat
7)
Pantau tekanan balon
8)
Observasi TTV dan suara paru-paru
9)
Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam
10) Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara lender
11) Yakinkan bahwa konektor mengetahui perkembangan
12) Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan
13) Lakukan foto thorax segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu
14) Observasi terjadinya emfisema cutis
15) Air dalam water trap harus sering terbuang
16) Pipa ETT ditandai di ujung mulut / hidung
D. TINDAKAN PEMBEBASAN JALAN NAFAS DENGAN TANPA ALAT
Lidah merupakan penyebab utama tertutupnya jalan napas pada korban
tidak sadar. Pada korban yang tidak sadar, lidah akan kehilangan kekuatan ototnya
sehingga akan terjatuh kebelakang rongga mulut. Hal ini mengakibatkan
tertutupnya trakea sebagai jalan napas. Pada kasus-kasus tertentu, korban
membutuhkan bantuan pernapasan. Sebelum diberikan bantuan pernapasan, jalan
napas korban harus terbuka. Ada dua manuver yang lazim digunakan untuk
membuka jalan napas, yaitu Head tilt / Chin lift dan jaw trust manuver.
1.
Head Tilt / Chin Lift
Tehnik ini hanya dapat digunakan pada korban tanpa cedera kepala, leher,
dan tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah:
a. Letakkan tangan pada dahi korban (gunakan tangan yang paling dekat
dengan dahi korban).
b. Pelan-pelan tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi kearah
belakang.
c. Letakkan ujung-ujung jari tangan yang satunya pada bagian tulang dari
dagu korban. Jika korban anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan
diletakkan dibawah dagu.
d. Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala. Jangan
samapi mulut korban tertutup. Jika korban anak-anak, jangan terlalu
menengadahkan kepala.
e. Pertahankan posisi ini.
Membuka Jalan Napas
2.
Jaw Trust Manuver
Tehnik ini dapat digunakan selain tehnik diatas. Walaupun tehnik ini
menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai untuk korban dengan
cedera tulang belakang. Tahap-tahap untuk melakukan tehnik ini adalah:
a) Berlutut diatas kepala korban. Letakkan siku pada lantai di kedua sisi
kepala korban. Letakkan tangan di kedua sisi kepala korban.
b) Cengkeram rahang bawah korban pada kedua sisinya.jika korban anakanak, gunakan dua atau tiga jari dan letakkan pada sudut rahang.
c) Gunakan gerakan mengangkat untuk mendorong rahang bawah korban
keatas. Hal ini menarik lidah menjauhi tenggorokan.
d) Tetap pertahankan mulut korban sedikit terbuka. Jika perlu, tarik bibir
bagian bawah dengan kedua ibu jari.
Pembebasan Jalan Nafas
Adapun teknik teknik cara mengatasi sumbatan jalan nafas oleh benda
asing, tujuannya adalah mengeluarkan benda asing sehingga jalan nafas tidak
terhalang oleh benda asing.
a.
b.
Metode
1)
Abdominal Thrust
2)
Chest Thrust
3)
Back Blow
Indikasi
Untuk menghilangkan obstruksi di jalan napas atas yang disebabkan oleh
benda asing dan yg ditandai oleh beberapa atau semua dari tanda dan gejala
berikut ini:
1)
Secara mendadak tidak dapat berbicara
2)
Tanda-tanda umum tercekik-rasa leher tercengkeram
3)
Bunyi berisik selama inspirasi
4)
Penggunaan otot asesoris selama bernapas dan peningkatan kesulitan
bernapas
5)
Sukar batuk atau batuk tidak efektif atau tidak mampu untuk batuk
6)
Tidak terjadi respirasi spontan atau sianosis
7)
Bayi dan anak dg distres respirasi mendadak disertai dg batuk, stidor
atau wising
c.
Kontraindikasi dan Perhatian
Pada klien sadar, batuk volunter menghasilkan aliran udara yg besar dan dapat
menghilangkan obstruksi.
2)
Chest thrust hendaknya tidak digunakan pada klien yg mengalami cedera dada,
seperti flail chest, cardiac contusion, atau fraktur sternal (Simon & Brenner,
1994).
3)
Pada klien yg sedang hamil tua atau yg sangat obesitas, disarankan dilakukan
chest thrusts.
4)
Posisi tangan yg tepat merupakan hal penting untuk menghindari cedera pada
organ-organ yang ada dibawahnya selama dilakukan chest thrust.
d.
Peralatan
1)
Suction oral, jika tersedia.
2)
Magill atau Kelly forcep dan laryngoscope (untuk mengeluarkan benda asing
yang dapat dilihat di jalan napas atas).
e.
Persiapan Klien
1)
Posisi klien duduk, berdiri atau supine
2)
Suction semua darah/mukus yg terlihat dimulut klien
3)
Keluarkan semua gigi yg rusak/tanggal
4)
Siapkan utk dilakukan penanganan jalan napas yg definitif, misalnya
cricothyrotomi
Tahapan Prosedur Abdominal Thrust
Jika pasien dalam keadaan berdiri/duduk:
1)
Anda berdiri di belakang klien.
2)
Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan terkepal, kemudian pegang
lengan kanan tersebut dengan lengan kiri. Posisi lengan anda pada abdomen klien
yakni dibawah prosesus xipoideus dan diatas pusat/umbilikus.
3)
Dorong secara cepat (thrust quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah
dalam-atas.
4)
Jika diperlukan, ulangi abdominal thrust beberapa kali utk menghilangkan
obstruksi jalan napas.
5)
Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
Jika pasien dlm keadaan supine/unconcious:
1)
Anda mengambil posisi berlutut/mengangkangi paha klien.
2)
Tempatkan lengan kiri anda diatas lengan kanan anda yg menempel di abdomen
tepatnya di bawah prosesus xipoideus dan diatas pusat/umbilikus.
3)
Dorong secara cepat (thrust quickly), dengan dorongan pada abdomen ke arah
dalam-atas.
4)
Jika diperlukan, ulangi abdominal thrust beberapa kali untuk menghilangkan
obstruksi jalan napas.
5)
Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
Jika mungkin, lihat secara langsung mulut dan paring klien dengan
laringoskopi dan jika tampak utamakan mengekstraksi benda asing tersebut
menggunakan Kelly atau Megil forcep.
Tahapan Prosedur Chest Thrust
Jika posisi klien duduk/ berdiri:
1)
Anda berdiri di belakang klien.
2)
Lingkarkan lengan kanan anda dengan tangan kanan terkepal di area midsternal
di atas prosesus xipoideus klien (sama seperti pada posisi saat kompresi jantung
luar).
3)
Lakukan dorongan (thrust) lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi
chest thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
4)
Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
Jika posisi klien supine:
1)
Anda mengambil posisi berlutut/mengangkangi paha klien.
2)
Tempatkan lengan kiri anda diatas lengan kanan anda dan posisikan bagian
bawah lengan kanan anda pada area midsternal di atas prosesus xipoideus klien
(sama seperti pada posisi saat kompresi jantung luar).
3)
Lakukan dorongan (thrust) lurus ke bawah ke arah spinal. Jika perlu ulangi
chest thrust beberapa kali utk menghilangkan obstruksi jalan napas.
4)
Kaji jalan napas secara sering utk memastikan keberhasilan tindakan ini.
Jika mungkin, lihat secara langsung mulut dan paring klien dengan
laringoskopi dan jika tampak utamakan mengekstraksi benda asing tersebut
menggunakan Kelly atau Megil forcep.
Tahapan Prosedur Back Blow
Untuk Bayi:
1)
Bayi diposisikan prone diatas lengan bawah anda, dimana kepala bayi lebih
rendah dari pada badannya.
2)
Topang kepala bayi dengan memegang rahang bayi.
3)
Lakukan 5 kali back blow dengan kuat antara tulang belikat menggunakan tumit
tangan anda.
4)
Putar bayi ke posisi supine, topang kepala dan leher bayi dan posisikan di atas
paha.
5)
Tentukan lokasi jari setingkat dibawah nipple bayi. Tempatkan jari tengah anda
pada sternum dampingi dengan jari manis.
6)
Lakukan chest thrust dengan cepat.
7)
Ulangi langkah 1-6 sampai benda asing keluar atau hilangnya kesadaran.
8)
Jika bayi kehilangan kesadaran, buka jalan napas dan buang benda asing jika ia
terlihat. Hindari melakukan usapan jari secara “membuta” pada bayi dan anak,
karena benda asing dapat terdorong lebih jauh ke dalam jalan napas.
Untuk Anak 1-8th:
Untuk klien yang berdiri/duduk:
1)
Posisi anda dibelakang klien.
2)
Tempatkan lengan anda dibawah aksila, melingkari tubuh korban.
3)
Tempatkan tangan anda melawan abdomen klien, sedikit di atas pusar dan
dibawah prosesus xipoideus.
4)
Lakukan dorongan ke atas (upward thrusts) sampai benda asing keluar atau
pasien kehilangan kesadaran.
Untuk klien pada posisi supine:
1)
Posisi anda berlutut disamping klien atau mengangkangi paha klien.
2)
Tempatkan lengan anda di atas pusar & dibawah prosesus xipoideus.
3)
Lakukan thrust ke atas dengan cepat, dengan arah menuju tengah-tengah dan
tidak diarahkan ke sisi abdomen.
4)
Jika benda asing terlihat, keluarkan dengan menggunakan sapuan jari tangan.
PERHATIAN:
1)
Back blow tidak direkomendasikan pada pasien diatas usia bayi..
2)
Sapuan jari “membuta” harus dihindari pada bayi dan anak, sebab kemungkinan
dapat mendorong benda asing lebih kebelakang ke dalam jalan napas.
Komplikasi:
1)
Nyeri abdomen, ekimosis
2)
Mual, muntah
3)
Fraktur iga
4)
Cedera/trauma pada organ-organ dibawah abdomen/dada
E.
PERNAPASAN (BREATHING)
Bernapas adalah usaha seseorang secara tidak sadar/otomatis untuk
melakukan pernafasan. Tindakan ini merupakan salah satu dari prosedur resusitasi
jantung paru (RJP). Untuk menilai seseorang bernafas secara normal dapat dilihat
dari berapa kali seseorang bernapas dalam satu menit, secara umum;
1.
Frekuensi/jumlah pernapasan 12-20x/menit (dewasa), anak (20-30x/menit), bayi
(30-40x/menit)
2.
Dada sampai mengembang
Pernapasan dikatakan tidak baik atau tidak normal jika terdapat keadaan
berikut ini:
1.
Ada tanda-tanda sesak napas: peningkatan frekuensi napas dalam satu menit
2.
Ada napas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas)
3.
Ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut)
4.
Warna kebiruan pada sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan
5.
Tidak ada gerakan dada
6.
Tidak ada suara napas
7.
Tidak dirasakan hembusan napas
8.
Pasien tidak sadar dan tidak bernapas
Tindakan-tindakan ini dapat dilakukan bila pernapasan seseorang terganggu:
1.
Cek pernapasan dengan melihat dada pasien dan mendekatkan pipi dan telinga
ke hidung dan mulut korban dengan mata memandang ke arah dada korban (max
10 detik)
2.
Bila korban masih bernapas namun tidak sadar maka posisikan korban ke posisi
mantap (posisikan tubuh korban miring ke arah kiri) dan pastikan jalan napas
tetap terbuka; segera minta bantuan dan pastikan secara berkala (tiap 2 menit) di
cek pernapasannya apakah korban masih bernapas atau tidak.
Jika korban bernapas tidak efektif (bernapas satu-satu, ngap-ngap, atau
tidak bernapas):
1.
Aktifkan sistem gawat darurat (bila ada orang lain minta orang lain untuk
mencari atau menghubungi gawat darurat)
2.
Buka jalan napas dengan menengadahkan kepala korban dan menopang dagu
korban (head tilt dan chin lift)
3.
Pastikan tidak ada sumbatan dalam mulut korban; bila ada sumbatan dapat
dibersihkan dengan sapuan jari-balut dua jari anda dengan kain dan usap dari
sudut bibir sapu ke dalam dan ke arah luar
4.
Berikan napas buatan dengan menarik napas biasa lalu tempelkan bibir anda ke
bibir korban dengan perantaraan alat pelindung diri (face mask, face shield) lalu
hembuskan perlahan >1 detik sambil jari tangan anda menutup hidung korban dan
mata anda melihat ke arah dada korban untuk menilai pernapasan buatan yang
anda berikan efektif atau tidak (dengan naiknya dada korban maka pernapasan
buatan dikatakan efektif)
5.
Berikan nafas buatan 2x lalu periksa denyut nadi korban (menggunakan jari
telunjuk dan jari tengah raba bagian tengah jakun, lalu geser ke arah samping
hingga teraba lekukan di pinggir jakun tersebut) didaerah leher seperti pada
gambar; bila tidak ada denyut maka masuk ke langkah CPR
6.
Bila ada denyut nadi maka berikan napas buatan dengan frekuensi 12x/menit/1
tiap 5 detik sampai korban sadar dan bernapas kembali atau tenaga paramedis
datang; dan selalu periksa denyut nadi korban apakah masih ada atau tidak setiap
2 menit.
F.
PENATALAKSANAAN GANGGUAN VENTILASI
1.
Pengenalan Masalah Ventilasi
Penentuan adanya jalan nafas yang baik merupakan langkah awal yang
penting. Langkah kedua adalah memastikan bahwa ventilasi cukup. Ventilasi
dapat terganggu karena sumbatan jalan nafas, juga dapat terganggu oleh mekanika
pernafasan atau depresi susunan saraf pusat (SPP). Bila pernafasan tidak
bertambah baikdengan perbaikan jalan nafas, penyebab lain dari gangguan
ventilasi harus di cari. Trauma langsung ke thorax dapat mematahkan iga, dan
menyebabkan rasa nyeri pada saat bernafas, sehingga pernafasan menjadi dangkal
dan selanjutnya hipoksemia. Cedera pada tulang servikal bagian bawah dapat
menyebabkan pernafasan diafragma, sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi.
2.
Tanda Objektif Masalah Ventilasi
a.
Look. Perhatikan peranjakkan thorax simetris atau tidak. Bila asimetris pikirkan
kelainan intra-thorakal atau flail chest. Setiap pernafasan yang sesak harus
dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi.
b.
Listen. Auskultasi kedua paru. Bising nafas yang berkurang atau menghilang
pada satu atau kedua hemithorax menunjukkan kelainan intra thorakal. Berhatihatilah terhadap tachypneu karena mungkin disebabkan hipoksia.
c.
Feel. Lakukan perkusi. Seharusnya sonor dan sama kedua lapang paru. Bila
hipersonor berarti ada pneumothorax, bila pekak ada darah (hemothorax).
3.
Pengelolaan
Penilaian patensi jalan nafas serta cukupnya ventilasi harus dilakukan
dengan cepat dan tepat. Bila ditemukan atau dicurigai gangguan jalan nafas atau
ventilasi harus segera diambil tindakkan untuk memperbaiki oksigenasi dan
mengurangi resiko penurunan keadaan. Tindakan ini meliputi tekhnik menjaga
jalan nafas, termasuk jalan nafas definitive ataupun surgical airway dan cara untuk
membantu ventilasi. Karena semua tindakan diatas akan menyebabkan gerakan
pada leher, harus diberikan proteksi servikal, terutama bila dicurigai atau
diketahui adanya fraktur servikal.
Pemberian oksigen harus diberikan sebelum dan setelah tindakan
mengatasi masalah airway. Suction harus selalu tersedia, dan sebaiknya dengan
ujung penghisap yang kaku.
G.
FOREIGN BODY AIRWAY OBSTRUCTION (FBAO) / SUMBATAN
KARENA BENDA ASING PADA JALAN NAFAS
1.
Pada Orang Dewasa
Kematian yang diakibatkan oleh FBAO jarang terjadi tetapi penyebabnya
dapat dicegah. Pada umumnya FBAO pada orang dewasa disebabkan saat
penderita sedang makan atau bermain. Kejadian tersedak pada penderita yang
masih sadar biasanya masih bias ditanggulangi dengan cepatoleh orang yang ada
disekitarnya.
a.
Mengenali sumbatan karena benda asing pada jalan nafas/FBAO pada dewasa
Mengenali sumbatan jalan nafas yang disebabkan benda asing merupakan
kunci keberhasilan, sangat penting untuk membedakan keadaan gawat darurat
seperti pingsan, serangan jantung, kejang atau keadaan lainnya yang dapat
menyebabkan gangguan pernafasan, sianosis, atau hilangnya kesadaran.
Tanda-tanda penderita yang mengalami FBAO adalah tampak kurangnya
pertukaran udara dan meningkatnya kesulitan bernafas sperti batuk yang tidak
bersuara, sianosis atau tidak dapat bersuara dan bernafas. Penderita memegang
leher yang menampakan tanda umum tersedak. Segera tanyakan “apakah anda
terseda?” jika penderita mengisyaratkan “ya” dengan mengangguk tanpa bicara,
ini menandakan penderita mempunyai sumbatan jalan nafas berat.
b.
Membebaskan sumbatan karena benda asing pada orang dewasa
1)
Lakukan Heimlich Maneuver pada penderita sampai benda asing keluar atau
penderita jatuh tidak sadar.
2)
Pada penderita obesitas dan wanita hamil lakukan dengan chest thrust.
3)
Hubungi SPGDT.
4)
Lakukan abdominal thrust (pada penderita yang tidak sadar).
5)
Bila benda terlihat lakukan sapuan jari untuk mengeluarkan benda asing
tersebut.
2.
Pada Anak dan Bayi
Lebih dari 90% kematian anak usia <5 tahun disebabkan oleh sumbatan
benda asing pada jalan nafas. Pada bayi (65%) terjadi karena aspirasi cairan.
Penyebab sumbatan jalan nafas pada anak biasanya adalah benda-benda kecil
yang berserakan di lantai seperti makanan kecil, permen, dll.
Tanda-tanda adanya sumbatan karena benda asing pada anak dan bayi
adalah timbulnya gangguan pernafasan yang tiba-tiba disertai dengan batuk,
tersedak, stridor dan wheezing.
a.
Membebaskan sumbatan karena benda asing pada anak dan bayi
Sumbatan jalan nafas dapat terjadi ringan ataupun berat. Saat sumbatannya
ringan, anak masih dapat batuk dan bersuara. Tetapi pada saat sumbatannya berat
penderita sama sekali tidak dapat batuk ataupun bersuara.
Jika sumbatan yang terjadi ringan jangan melakukan apapun, biarkan
penderita membersihkan jalan nafasnya sendiri dengan batuk, sementara anda
mengobservasi tanda-tanda FBAO yang berat.
Jika sumbatannya berat (penderita tidak dapat bersuara sedikitpun). Untuk
anak, lakukan Heimlich maneuver sampai bendanya keluar atau sampai anak
jatuhdalam keadaan tidak sadar.
Untuk bayi lakukan 5x back blows diikuti dengan 5x chest thrust
berulang-ulang sampai bendanya keluar atau sampai penderita jatuh tidak sadar.
Pada bayi tidak direkomendasikan untuk melakukan abdominal thrust karena
dapat merusak organ dalam yang tidak terlindungi, contohnya hati.
Jika penderita jatuh tidak sadar segera lakukan RJP. Sebelum melakukan
ventilasi petugas harus melihat apakah bendanya terlihat atau tidak pada mulut
penderita.
Jika
anda
melihat
bendanya,
keluarkan!!
Petugas
tidak
direkomendasikan untuk melakukan sapuan jari bila bendanya tidak tampak pada
faring, karena dapat mendorong bendanya masuk ke dalam ofaring dan dapat
menyebabkan kerusakan pada organ tersebut.
H.
PENGELOLAAN
FUNGSI
PERNAFASAN
(BREATHING
MANAGEMENT) DENGAN PERNAFASAN BUATAN
1.
Pengertian
Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memberikan pernafasan buatan
untuk menjamin kebutuhan oksigen dan pengeluaran gas CO2.
2.
Tujuan
Menjamin pertukaran udara di paru-paru secara normal.
3.
Diagnosis
Ditegakkan bila pada pemeriksaan dengan menggunakan metode Look
Listen Feel (lihat kembali pengelolaan jalan nafas) tidak ada pernafasan dan
pengelolaan jalan nafas telah dilakukan (jalan nafas aman).
4.
Tindakan
a.
Tanpa Alat: Memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut
ke hidung sebanyak 2 (dua) kali tiupan awal dan diselingi ekshalasi.
b.
Dengan Alat: Memberikan pernafasan buatan dengan alat “Ambu bag” (self
inflating bag) yang dapat pula ditambahkan oksigen. Dapat juga diberikan dengan
menggunakan ventilator mekanik (ventilator/respirator).
5.
Pemeriksaan pernafasan
a.
Look-Lihat
1)
Gerak dada
2)
Gerak cuping hidung (flaring nostril)
3)
Retraksi sela iga
4)
Gerak dada
5)
Gerak cuping hidung (flaring nostril)
6)
Retraksi sela iga
b.
Listen-Dengar. Suara nafas, suara tambahan
c.
Feel-Rasakan. Udara nafas keluar hidung-mulut
d.
Palpasi-Raba. Gerakan dada, simetris?
e.
Perkusi-Ketuk. Redup? Hipersonor? Simetris?
f.
Auskultasi
(menggunakan
stetoskop).
Suara
Simetris? Ronki atau whezing?
g.
Menilai pernafasan
1)
Ada napas? Napas normal atau distres
2)
Ada luka dada terbuka atau menghisap?
3)
Ada Pneumothoraks tension?
4)
Ada Patah iga ganda (curiga Flail Chest) ?
nafas
ada?
h.
5)
Ada Hemothoraks?
6)
Ada emfisema bawah kulit?
Tanda distres nafas
1)
Nafas dangkal dan cepat
2)
Gerak cuping hidung (flaring nostril)
3)
Tarikan sela iga (retraksi)
4)
Tarikan otot leher (tracheal tug)
5)
Nadi cepat
6)
Hipotensi
7)
Vena leher distensi
8)
Sianosis (tanda lambat)
i.
Pemberian nafas buatan
1)
Diberikan sebanyak 12-20 kali/menit sampai dada nampak terangkat.
2)
Diberikan bila nafas abnormal, tidak usah menunggu sampai apnea dulu
3)
Berikan tambahan oksigen bila tersedia.
4)
Jika udara masuk ke dalam lambung, jangan dikeluarkan dengan menekan
lambung karena akan berisiko aspirasi.
5)
Nafas buatan dilakukan dengan in-line immobilisation (fiksasi kepala-leher)
agar tulang leher tidak banyak bergerak.
Pernapasan Buatan Mulut-Mulut
Pernapasan buatan langsung mulut ke mulut sangatlah beresiko.
Kemungkinan kontak dengan cairan tubuh korban termasuk muntahan sangat
besar. Untuk melakukan pernapasan buatan mulut ke mulut gunakanlah alat
pelindung barrier device, face shield. Alat pelindung ini berupa sebuah lembaran
dari plastik tipis dan lentur menutupi wajah korban terutama bagian mulut korban,
dilengkapi dengan katup satu arah sehingga cairan tubuh korban tidak mengenai
penolong. Bisa dilipat sehingga praktis dibawa kemana-mana.
Langkah-langkah memberikan pernapasan buatan mulut ke mulut:
1)
Pastikan keamanan diri dan lingkungan, kemudian aktifkan SPGDT.
2)
Baringkan korban pada posisi terlentang.
3)
Atur posisi penolong. Berlutut disamping kepala korban.
4)
Lakukan langkah-langkah pengelolaan airway.
5)
Pasang alat pelindung; barrier device, face shield.
6)
Penolong menarik napas dalam saat akan memberikan napas buatan, agar
volume tidal terpenuhi.
7)
Jepit lubang hidung korban dengan ibu jari dan jari telunjuk.
8)
Tutupi mulut korban dengan mulut penolong. Mulut penolong harus dapat
menutupi keseluruhan mulut korban agar tidak terjadi kebocoran.
9)
Berikan hembusan napas 2 kali, sambil tetap menjaga terbukanya airway. Beri
kesempatan untuk ekspirasi. Waktu yang diperlukan untuk tiap hembusan 1,5-2
detik. Volume udara yang diberikan sebesar volume tidal yaitu 10 mL/ kgBB atau
700-1000 mL, atau sampai dengan dada korban terlihat mengembang. Hati-hati,
jangan terlalu kuat atau terlalu banyak karena dapat melukai paru-paru korban
atau masuk ke lambung.
10) Lakukan evaluasi ulang A dan B. Jika saat melakukan pernapasan buatan
dirasakan ada tahanan atau terasa berat, atau dada tidak naik turun dengan baik,
perbaiki tehnik membuka airway korban misalnya dengan memperbaiki posisi
kepala. Jika setelah posisi diperbaiki masih terasa berat, curigai adanya sumbatan
airway. Lakukan tindakan membebaskan jalan napas.
11) Bila tidak ada gangguan lain, teruskan pernapasan buatan dengan kecepatan 1215 kali/ menit.
Tehnik pernapasan buatan mulut ke hidung dilakukan bila tidak mungkin
melakukan pernapasan mulut ke mulut, misal mulut korban yang terkatup rapat
dan tidak bisa dibuka (trismus), atau mulut korban mengalami cedera berat.
Langkah-langkah yang dilakukan sama seperti pernapasan buatan mulut ke mulut.
Perbedaannya adalah pernapasan buatan dilakukan ke hidung korban. Pada tehnik
ini mulut korban yang harus ditutup.

Pernapasan Buatan Mulut-Stoma / Lubang Trakeostomi
Pada korban yang pernah mengalami tindakan pembuatan lubang
pernapasan di leher, masuknya udara pernapasan tidak lagi melalui mulut atau
hidung. Udara masuk melalui lubang buatan di leher yang disebut stoma.
Langkah-langkah melakukan pernapasan buatan mulut ke stoma pada dasarnya
sama dengan mulut ke mulut atau mulut ke hidung.

Pernapasan Buatan Mulut-Masker/ Sungkup Muka
Tehnik pernapasan buatan mulut ke masker lebih efektif dan lebih aman
dibanding cara-cara pernapasan yang telah dijelaskan sebelumnya. Masker yang
digunakan mempunyai katup satu arah sehingga cairan maupun udara ekspirasi
yang keluar dari korban kecil kemungkinannya mengenai penolong. Masker
menutupi hidung dan mulut korban, sehingga tidak ada kontak/hubungan
langsung antara penolong dengan korban. Efektivitas didapatkan karena masker
yang digunakan akan menutupi baik mulut maupun hidung korban dan lebih
terkontrol.
Masker yang baik untuk pernapasan buatan memiliki ukuran yang sesuai,
terbuat dari bahan transparan/ tembus pandang, dan dilengkapi katup satu arah
atau dapat dihubungkan dengan katup satu arah pada bagian atasnya. Masker
tersedia dengan berbagai ukuran. Kesesuaian ukuran penting agar masker dapat
melekat erat pada wajah sehingga tidak terjadi kebocoran. Bahan transparan
memungkinkan penolong dapat melihat adanya cairan mapun muntahan yang
keluar dari korban.
Langkah-langkah pernapasan buatan mulut ke masker:
1)
Pastikan keamanan diri dan lingkungan, kemudian aktifkan SPGDT.
2)
Baringkan korban pada posisi terlentang.
3)
Atur posisi penolong. Bila penolong hanya seorang, berlutut disamping kepala
korban. Bila penolong lebih dari satu orang, salah satu penolong yang memegangi
masker berlutut di atas kepala korban menghadap ke kaki korban.
4)
Lakukan langkah-langkah pengelolaan airway.
5)
Pasang masker yang ukurannya sesuai dengan korban.Masker yang ukurannya
sesuai akan menutupi bagian hidung dan mulut korban sekaligus. Masker
pernapasan buatan berbentuk menyerupai buah jambu air yang terbelah dua sama
besar, ada bagian yang menyempit dan ada bagian yang melebar. Posisikan bagian
yang menyempit di bagian hidung korban, dan bagian yang melebar di bagian
dagu.
6)
Pertahankan posisi masker dan rapatkan. Posisi masker yang benar dan rapat
penting untuk keberhasilan pernapasan buatan. Mempertahankan posisi masker
bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu: Pertahankan posisi masker dengan posisi
kedua tangan seperti saat melakukan jaw thrust atau triple airway manauver.
Kedua ibu jari menahan masker bagian hidung, sementara jari-jari lainnya
menahan bagian dagu dan merapatkannya dengan menahan masker bagian rahang
bawah korban, sambil melakukan tindakan membuka airway. Pertahankan posisi
masker dengan salah satu tangan menahan bagian hidung, tangan lainnya
menahan bagian dagu sambil membuka airway korban.
7)
Penolong menarik napas dalam saat akan memberikan napas buatan, agar
volume tidal terpenuhi.
8)
Berikan hembusan napas 2 kali, sambil tetap menjaga terbukanya airway. Beri
kesempatan untuk ekspirasi. Waktu yang diperlukan untuk tiap hembusan 1,5-2
detik. Volume udara yang diberikan sebesar volume tidal 10 mL/ kgBB, atau
sampai dengan dada korban terlihat mengembang.
9)
Lakukan evaluasi ulang A dan B. Jika saat melakukan pernapasan buatan
dirasakan ada tahanan atau terasa berat, atau dada tidak naik turun dengan baik,
perbaiki posisi kepala korban. Perbaiki tehnik membuka airway korban. Jika
setelah posisi diperbaiki masih terasa berat, curigai adanya sumbatan airway.
Lakukan tindakan membebaskan jalan napas.
10) Bila tidak ada gangguan lain, teruskan pernapasan buatan dengan kecepatan 1215 kali/ menit.
BVM (Bag Valve Mask)
Pernapasan buatan yang dilakukan dengan bantuan BVM lebih dianjurkan,
karena memiliki lebih banyak keuntungan. Selain keuntungan seperti yang
didapatkan dengan menggunakan masker, BVM memberikan oksigen dengan
konsentrasi yang lebih tinggi pada korban karena dapat dihubungkan dengan
sumber oksigen. BVM dianjurkan digunakan oleh dua orang penolong.
Sesuai namanya bag valve mask (BVM) terdiri dari kantung, katup satu
arah, dan masker/ sungkup muka. Isi kantung sekitar 1600 mL dan dapat
dihubungkan dengan sumber oksigen. Masker pada BVM memiliki bentuk yang
sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Masker tersedia dalam berbagai
ukuran untuk dewasa, anak, dan bayi. Penggunaan BVM untuk pernapasan buatan
tidak akan dijelaskan lebih lanjut, karena penggunaannya memerlukan
ketrampilan setingkat paramedis.
PERHATIAN:
1)
Pemompaan udara pernapasan dilakukan saat korban inspirasi.
2)
Pemberian bantuan napas disesuaikan dengan kebutuhan korban.
3)
Perhatikan volume tidal dan frekuensi napas yang dibutuhkan korban.
4)
Pemasangan masker harus sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan korban dan
ketat.
5)
Bila korban memiliki gigi palsu, biarkan gigi palsu tersebut tetap pada
tempatnya, karena akan mempermudah dicapainya posisi masker yang ketat.
6)
Namun bila gigi tersebut lepas, segera keluarkan dari mulut korban dan
amankan. Lepasnya gigi palsu merupakan ancaman terjadinya sumbatan jalan
napas. Lakukan penilaian berkala keberadaan gigi palsu selama menolong korban.
2. Pengertian
CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga ujungnya
berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP disebut juga kateterisasi
vena sentralis (KVS)
Tekanan vena sentral secara langsung merefleksikan tekanan pada atrium kanan.
Secara tidak langsung menggambarkan beban awal jantung kanan atau tekanan
ventrikel kanan pada akhir diastole. Menurut Gardner dan Woods nilai normal
tekanan vena sentral adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut
Sutanto (2004) nilai normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.
Perawat harus memperhatikan perihal :
1.
Mengadakan persiapan alat – alat
2.
Pemasangan manometer pada standard infuse
3.
Menentukan titik nol
4.
Memasang cairan infuse
5.Fiksasi
6. Fisioterapi dan mobilisasi
2.Tujuan
1. Mengetahui tekanan vena sentralis (TVS)
2. Untuk memberikan total parenteral nutrition (TPN) ; makanan kalori tinggi
secara intravena
3.Untuk mengambil darah vena
4.Untuk memberikan obat – obatan secara intra vena
5. Memberikan cairan dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat
6. Dilakukan pada penderita gawat yang membutuhkan erawatan yang cukup lama
CVP bukan merupakan suatu parameter klinis yang berdiri sendiri, harus dinilai
dengan parameter yang lainnya seperti :

Denyut nadi

Tekanan darah

Volume darah

CVP mencerminkan jumlah volume darah yang beredar dalam tubuh
penderita, yang ditentukan oleh kekuatan kontraksi otot jantung. Misal :
syock hipovolemik –> CVP rendah
3. Persiapan untuk pemasangan
a. Persiapan pasien
Memberikan penjelasan pd klien dan klg ttg:
– tujuan pemasangan,
– daerah pemasangan, &
– prosedur yang akan dikerjakan
b. Persiapan alat
-Kateter CVP
– Set CVP
– Spuit 2,5 cc
– Antiseptik
– Obat anaestesi local
– Sarung tangan steril
– Bengkok
– Cairan NaCl 0,9% (25 ml)
– Plester
4. Cara Kerja
a. Daerah yang Dipasang :

Vena femoralis

Vena cephalika

Vena basalika

Vena subclavia

Vena jugularis eksterna

Vena jugularis interna
b. Cara Pemasangan :

Penderita tidur terlentang (trendelenberg)

Bahu kiri diberi bantal

Pakai sarung tangan

Desinfeksi daearah CVP

Pasang doek lobang

Tentukan tempat tusukan

Beri anestesi lokal

Ukur berapa jauh kateter dimasukkan

Ujung kateter sambungkan dengan spuit 20 cc yang diisi NaCl 0,9% 2-5
cc

Jarum ditusukkan kira – kira 1 jari kedepan medial, ke arah telinga sisi
yang berlawanan

Darah dihisap dengan spuit tadi

Kateter terus dimasukkan ke dalam jarum, terus didorong sampai dengan
vena cava superior atau atrium kanan

Mandrin dicabut kemudian disambung infus -> manometer dengan three
way stopcock

Kateter fiksasi pada kulit

Beri betadhin 10%

Tutup kasa steril dan diplester
5. Keuntungan Pemasangan di Daerah Vena Sublavia
1. Mudah dilaksanakan (diameter 1,5 cm – 2,5 cm)
2. Fiksasi mudah
3. Menyengkan penderita
4. Tidak mengganggu perawatan rutin dapat dipertahankan sampai 1 minggu
6. Cara Menilai CVP dan Pemasangan Manometer
1. Cara Menentukan Titik Nol
CVP Manometer

Penderita tidur terlentang mendatar

Dengan menggunakan slang air tang berisi air ± setengahnya ->
membentuk lingkaran dengan batas air yang terpisah

Titik nol penderita dihubungkan dengan batas air pada sisi slang yang satu.
Sisi yang lain ditempatkan pada manometer.

Titik nol manometer dapat ditentukan

Titik nol manometer adalah titik yang sama tingginya dengan titik aliran
V.cava superior, atrium kanan dan V.cava inferior bertemu menjadi satu.
Liat gambar di bawah ini
Posisi pasien saat pengukuran CVP
7. Penilaian CVP

Kateter, infus, manometer dihubungkan dengan stopcock -> amati infus
lancar atau tidak

Penderita terlentang

Cairan infus kita naikkan ke dalam manometer sampai dengan angka
tertinggi -> jaga jangan sampai cairan keluar

Cairan infus kita tutup, dengan memutar stopcock hubungkan manometer
akan masuk ke tubuh penderita

Permukaan cairan di manometer akan turun dan terjadi undulasi sesuai
irama nafas, turun (inspirasi), naik (ekspirasi)

Undulasi berhenti -> disitu batas terahir -> nilai CVP

Nilai pada angka 7 -> nilai CVP 7 cmH2O

Infus dijalankan lagi setelah diketahui nilai CVP
8. Nilai CVP

Nilai rendah : < 4 cmH2O

Nilai normal : 4 – 10 cmH2O

Nilai sedang : 10 – 15 cmH2O

Nilai tinggi : > 15 cmH2O
Penilaian CVP dan Arti Klinisnya
CVP sangat berarti pada penderita yang mengalami shock dan penilaiannya
adalah sebagai berikut :
1. CVP rendah (< 4 cmH2O)

Beri darah atau cairan dengan tetesan cepat.

Bila CVP normal, tanda shock hilang -> shock hipovolemik

Bila CVP normal, tanda – tanda shock bertambah -> shock septik
2. CVP normal (4 – 14 cmH2O)

Bila darah atau cairan dengan hati – hati dan dipantau pengaruhnya dalam
sirkulasi.

Bila CVP normal, tanda – tanda shock negatif -> shock hipovolemik

Bila CVP bertambah naik, tanda shock positif -> septik shock, cardiogenik
shock
3. CVP tinggi (> 15 cmH2O)

Menunjukkan adanya gangguan kerja jantung (insufisiensi kardiak)

Terapi : obat kardiotonika (dopamin).
8. Faktor -faktor yang Mempengaruhi CVP
1. Volume darah :

Volume darah total

Volume darah yang terdapat di dalam vena

Kecepatan pemberian tranfusi/ cairan
2. Kegagalan jantung dan insufisiensi jantung
3. Konstriksi pembuluh darah vena yang disebabkan oleh faktor neurologi
4. Penggunaan obat – obatan vasopresor
5. Peningkatan tekanan intraperitoneal dan tekanan intrathoracal, misal :

Post operasi illeus

Hematothoraks

Pneumothoraks

Penggunaan ventilator mekanik

Emphysema mediastinum
6. Emboli paru – paru
7. Hipertensi arteri pulmonal
8. Vena cava superior sindrom
9. Penyakit paru – paru obstruksi menahun
10. Pericarditis constrictive
11. Artevac ; tersumbatnya kateter, ujung kateter berada di dalam v.jugularis
inferior
Pengertian Dan Penanganan Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir
A. Definisi
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir,
umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat
hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau
masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan
(Asuhan Persalinan Normal, 2007).
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas scr spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia
janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul
dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia
akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna.
Tindakan
yang akan
dikerjakan pada bayi
bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul.
(Wiknjosastro, 1999)
B. Etiologi / Penyebab Asfiksia
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi
berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang
dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir.
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini:
1. Faktor ibu

Preeklampsia dan eklampsia

Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

Partus lama atau partus macet

Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat

Lilitan tali pusat

Tali pusat pendek

Simpul tali pusat

Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi

Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)

Kelainan bawaan (kongenital)

Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi untuk
menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal
itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya
tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali
atau (sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh
karena itu, penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap
pertolongan persalinan.
C. Perubahan Patofiologis dan Gambaran Klinis
Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa
kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O2 selama kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang
lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak
teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode
apnu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha
bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnue kedua.
Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan TD.
Pada
asfiksia
terjadi
pula
gangguan
metabolisme
dan
perubahan
keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi
asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses
metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen
tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya
akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan
diantaranya :
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi
jantung.
2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot
jantung.
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap
tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru
dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan. (Rustam,
1998).
Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia

Tidak bernafas atau bernafas megap-megap

Warna kulit kebiruan

Kejang

Penurunan kesadaran
D. Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia / hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam
persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu :
1. Denyut jantung janin
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebihlebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya
2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai.
Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan
indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan
kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa
pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai
di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai
asfiksia.
(Wiknjosastro, 1999)
E. Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan
resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui
rangkaian tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan.
Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda
penting, yaitu :

Penafasan

Denyut jantung

Warna kulit
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau
membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan
menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera
ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan
positif (VTP).
F. Persiapan Alat Resusitasi
Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat resusitasi
dalam keadaan siap pakai, yaitu :
1. 2 helai kain / handuk.
2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang,
handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk
mengatur posisi kepala bayi.
3. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet.
4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal.
5. Kotak alat resusitasi.
6. Jam atau pencatat waktu.
(Wiknjosastro, 2007).
G. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
sebagai ABC resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
– Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
–
Menghisap
mulut,
hidung
dan
kadang
trachea.
– Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan
–
Memakai
rangsangan
taksil
untuk
memulai
pernafasan
– Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau
mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
–
Rangsangan
dan
pertahankan
–
sirkulasi
darah
Kompresi
dengan
cara
dada.
– Pengobatan
Detail Cara Resusitasi
Langkah-Langkah Resusitasi
1. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi
dan selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
2. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas
yang datar.
3. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
4. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut
sudah bersih kemudian lanjutkan ke hidung.
5. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan
mengusap-usap punggung bayi.
6. Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung
selama 6 detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai
warna kulit jika merah / sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri
oksigen. Denyut jantung < 100 x / menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
1. Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan
positif.
2. Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 %
melalui ambubag atau masker, masker harus menutupi hidung dan
mulut tetapi tidak menutupi mata, jika tidak ada ambubag beri
bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x / menit.
3. Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik,
hasil kalikan 10.
1. 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
2. 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan
pemberian PPV.
3. 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung,
lakukan PPV, disertai kompresi jantung.
4. < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
5. Kompresi jantung
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1, ada 2 cara kompresi
jantung :
a
Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi
tubuh bayi.
b
Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan
belakang tubuh bayi.
7. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
8. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai
denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
9. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 :
10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV.
10. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat.
11. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis
diatas tiap 3 – 5 menit.
12. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon
terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg
BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007)
Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif, kedua
faktor
utama
yang
perlu
dilakukan
adalah
:
1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat
terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau
asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.
2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan
minumum antara lain :
– Alat pemanas siap pakai – Oksigen
– Alat pengisap
– Alat sungkup dan balon resusitasi
– Alat intubasi
– Obat-obatan
Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :
1. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus
rnerupakan
tim
yang
hadir
pada
setiap
persalinan.
2. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang
harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
3. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai
suatu
tim
yang
terkoordinasi.
4. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan
berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
5. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap
pakai.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi
pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti
jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan
kombinasi pernapasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi
kebutuhan oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan
paru tidak
berfungsi.
Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati
klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai
terjadi kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain.
Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada
RJP.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Agar rekan-rekan dapat mengetahui tentang Resusitasi Jantung Paru.
2. Tujuan khusus
Agar rekan-rekan dapat mengetahui tentang :
1.
Dapat mengetahui tentang RJP
2.
Dapat mengetahui tentang Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)
3.
Dapat mengetahui mengenai tentang Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak
dan Dewasa
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat
kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna
mencegah kematian biologis.
Resusitasi jantung paru (RJP),j atau juga dikenal dengan cardio pulmonier
resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan
buatan. Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan
nafas, tetapi masih hidup.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban mengalami
pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak darah yang keluar
sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih besar. Namun, jika korban
tidak segera diberi RJP, korban juga akan meninggal dunia.
RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi henti
nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika
penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm keadaan
mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.
Keterangan:
1. Mati Klinis
Tidak ditemukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel,
penderita punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk dilakukan resusitasi tanpa
kerusakan otak.
2. Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, dimulai dengan
kematian sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di suhu yang ekstrim
dingin, pernah dilaporkan melakukan resusitasi selama 1 jam/ lebih dan berhasil).
Catatan:
Pada korban yang sudah tidak ada refleks mata dan terjadi kerusakan batang otak
tidak perlu dilakukan RJP.
B. Indikasi Melakukan RJP
1. Henti Napas (Apneu)
Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan baik
di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh akan
memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih
cepat dari pada keadaan normal. Bila perlangsungannya lama akan memberikan
kelelahan
pada
otot-otot
pernapasan.
Kelelahan
otot-otot
napas
akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2,
kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang
dikenal sebagai henti nafas.
2. Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah dapat
dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas, maka
oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak dapat
berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac arrest).
C. Langkah Sebelum Memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP)
1.
Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )
Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC
dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
2.
Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil
bantuan.
3.
Posisikan Korban
Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long
board). Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan
trauma, pembalikan dilakukan dengan ”Log Roll”
4.
Posisi Penolong
Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban .
5.
Pemeriksaan Pernafasan
Yang pertama harus selalu dipastikan adalah airway dalam keadaan baik.
1.
Tidak terlihat gerakan otot napas
2.
Tidak ada aliran udara via hidung
Dapat dilakukan dengan menggunakan teknik lihat, dengan dan rasa, bila korban
bernapas, korban tidak memerlukan RJP.
6.
Pemeriksaan Sirkulasi
1.
Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis
2.
Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis
3.
Tidak ada tanda-tanda sirkulasi
4.
Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila
ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan diteruskan. Dan bila tidak
ada pulsasi, dilakukan RJP.
D. Henti Napas
Pernapasan buatan diberikan dengan cara :
1.
Mouth to Mouth Ventilation
Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis,
HIV) karena itu harus memakai ”barrier device” (alat perantara). Dengan cara ini
akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %.
1.
Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya dengan
jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban ke atas.
2.
Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut penolong ke
atas mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan-pelan
sambil memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari tiupan
napas penolong. Gerakan ini menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan oleh
penolong itu masuk ke dalam paru-paru korban.
3.
Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung
korban. Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi
semula.
2.
Mouth to Stoma
Dapat
dilakukan
dengan
membuat
Krikotiroidektomi
yang
kemudian
dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur
Krikotiroidektomi tadi.
3.
Mouth to Mask ventilation
Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face
mask.
4.
Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)
Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk
mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang satu
petugas sedangkan petugas yang lain memompa.
5.
Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)
Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis akan
memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan.
Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan napas
korban apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka
hendaknya dibebaskan terlebih dahulu.
E.
Henti Jantung
RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.
Lokasi titik tumpu kompresi.
1.
1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus
2.
Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari telunjuk
mengikuti
3.
Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut
4.
Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di titik
pijat jantung
5.
Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada korban
F.
Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)
1.
Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum
2.
Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm
a.
Tekanan tidak terlalu kuat
b.
Tidak menyentak
c.
Tidak bergeser / berubah tempat
3.
Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik )
4.
Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)
5.
Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan
6.
Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
napas)
untuk
dibawa
menyelamatkan
nyawa
sampai
korban
dapat
a t a u tunjangan hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini
termasuk langkah-l a n g k a h A B C d a r i R K P :
A (Airway)
: Jalan nafas terbuka.
B( B r e a t h i n g )
:Pernapasan, pernapasan buatan RKP.
C (Circulation)
: Sirkulasi, sirkulasi buatan.
Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena :
1.H e n t i n a p a s .
2.H e n t i j a n t u n g , ya n g d a p a t t e r j a d i k a r e n a :
a.K o l a p s k a r d i o v a s k u l a r
b.Fibrilasi ventrikel atau
c.A s i s t o l e v e n t r i k e l .
Pernapasan buatan
Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah
dasar
pemapasan
buatan.Cara
mengetahui
sumbatan jalan napas dan apne
Resusitasi Jantung Paru Pada Bayi, Anak dan Dewasa
Resusitasi Jantung Pada Bayi dan Anak
Hal yang harus diperhatikan jika RJP pada bayi dan anak:
1.
Saluran Pernapasan (Airway =A)
adanya
Hati-hatilah dalam memengang bayi sehingga Anda tidak mendongakkan kepala
bayi dengan berlebihan. Leher bayi masih terlalu lunak sehingga dongakan yang
kuat justru bisa menutup saluran pernapasan.
2.
Pernapasan (Breathing = B)
Pada bayi yang tidak bernapas, jangan meneoba menjepit hidungnya. Tutupi
mulut dan hidungnya dengan mulut Anda lalu hembuskan dengan perlahan (1
hingga 1,5 detik/napas) dengan menggunakan volume yang eukup untuk membuat
dadanya mengembang. Pada anak kecil, jepit hidungnya, tutupi mulutnya, dan
berikan hembusan seperti pada bayi.
3.
Peredaran Darah (Circulation = C)
Pemeriksaan Denyut:
Pada bayi, untuk menentukan ada atau tidaknya denyut nadi adalah dengan
meraba bagian dalam dari lengan atas pad a bagian tengah antara siku dan bahu.
Pemeriksaan denyut pada anak keeiL sarna dengan orang dewasa.
1.
Resusitasi jantung paru pada bayi ( < 1 tahun)
a.
2 – 3 jari atau kedua ibu jari
b.
Titik kompresi pada garis yang menghubungkan kedua papilla mammae
c.
Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d.
Rasio pijat : napas 15 : 2
e.
Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
2.
Resusitasi Jantung paru pada anak-anak ( 1-8 tahun)
a.
Satu telapak tangan
b.
Titik kompresi pada satu jari di atas Proc. Xiphoideus
c.
Kompresi ritmik 5 pijatan / 3 detik atau kurang lebih 100 kali per menit
d.
Rasio pijat : napas 30 : 2
e.
Setelah tiga siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi
A. Bantuan Hidup Dasar
Airway (jalan nafas)
Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya
ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi
terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis
akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan
dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.
Caranya ialah,

Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,

Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,

Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau
hidung.

Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada
bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan,
penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan
pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. (5, 6, 7)
Breathing (Pernafasan)
Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan
di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang,
tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil
turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam
kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban
adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini
diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :

gerakan dada waktu membesar dan mengecil

merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang

dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.

Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru
korban mengecil sampai batas habis. (5)
Circulation (Sirkulasi buatan)
Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac
arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang
yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :

Afiksi dan hipoksi

Serangan jantung

Syok listrik

Obat-obatan

Reaksi sensitifitas

Kateterasi jantung

Anestesi. (5)
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam
3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak
terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera
dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.
Henti jantung diketahui dari :

Hilangnya denyut nadi pada arteri besar

Korban tidak sadar

Korban tampak seperti mati

Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.
Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan
nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup
paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih
dianjurkan karena : (5)
1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan
pernafasan buatan
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut
sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.
Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau
diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan
kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan
buatan. ( 5, 7)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,
1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali
bila ia sudah stabil
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat
berakibat robeknya hati
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada
sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan
tidak terputus
6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP. (5)
ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi
kemungkinan beberapa hasil,
1. Korban menjadi sadar kembali
2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP
yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul
pelaksanaannya.
3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan.
Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup
lanjut (BHL). (4)
Tujuan :
Untuk menegakkan patensi jalan napas Indikasi
1. Kebutuhan akan ventilasi mekanik
2. Kebutuhan akan hiegine pulmoner
3. Kumungkinan aspirasi
4. Kemungkinan obstruksi jalan napas bagian atas
5. Pemberian anastesi
Kontraindikasi :
Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian edema jalan
napas bagian atas yang buruk / fraktur dari wajah dan leher dapat memungkinkan
dilakukannya intubasi.
Kemungkinan komplikasi :
1. Memar, laserasi, dan abrasi
2. Perdarahn hidung (dengan intubasi nasotrakeal)
3. Obstruksi jalan napas (herniasi manset, tube kaku)
4. Sinusitis (dengan nasotrakeal tube)
5. Ruptur trakeal
6. Fistula trakeoesofageal.
7. Muntah dengan aspirasi, gigi copot atau rusak
8. Distrimia jantung.
Peralatan :
1. Endotrakeal (ET) tube dalam berbagai ukuran.
2. Stylet (sejenis kawat yangdimasukkan kedalam kateter atau kanula dan
menjaga kanula tersebut agar tetap kaku/tegak)
3. Laringoskop, bengkok dan berujung lurus.
4. Forsep macgill ( hanya untuk intubasi nasotrakeal )
5. Jelli busa 4x4
6. Spuit 10 cc
7. Jalan napas orofaringeal
8. Resusitasi bag dengan adafter dan masker yang dihubungkan dengan
tabung oksigen dan flowmeter.
9. Peralatan penghisap lendir
10. Kanul penghisap dengan sarung tangan.
11. Ujung penghisap tonsil Yankauer.
12. Plester 1 cm.
13. Ventilator atau set oksigen.
14. Restrain.
15. Mesin monitor jantung/ EKG.
16. Peralatan henti jantung.
Prosedur :
1. Ingatkan ahli terapi pernapaan, dan siapkan alat ventilator atau set oksigen
seperti yang dianjurkan oleh dokter.
2. Jelaskan prosedur pada pasien, jika mungkin. Pasang restrain jika
diperlukan.
3. Yakinkan bahwa pasien mendapat terapi intravena yang stabil.
4. Tempatkan peralatan henti jantung disi tempat tidur.
5. Periksa untuk meyakinkan bahwa peralatan penghisap (suction) dan
ambubag sudah tersedia dan berfungsi dengan baik, hubungkan ujung
penghisap Yankauer dan sumbernya.
6. Jika pasien tidak dalam monitor jantung, hubungkan pada monitor atau
EKG.
7. Pidahkan alas kepala dan tempatka pasien sedekat mungkin dengan bagian
atas tempat tidur. Pasien harus dalam posisi sniffing, leher dalam keadaan
fleksi dengan kepala ekstensi. Hal ini dapat dicapai dengan menempatkan
2-4 inchi alas kepala di leher belakang bagian bawah.
8. Tanyakan pada dokter tipe pisau operasi yang harus disiapkan dan ukuran
dari ET tube yang akan digunakan.
9. Hubungkan mata pisau operasi pada laringoskop, dan periksa bola lampu
untuk mendapatkan penerangan yang cukup.
10. Siapkan ET tube, dan kembangkan manset/balonnya untuk mengetahui
adanya kebocoran dan pengembangan yang simetris.
11. Basahi ujung distal dari ET tube dengan jeli anestetik.
12. Masukkan stylet ke dalam tube, yakinkan untuk tidak menonjol keluar dari
ujung ET tube.
13. Persiapkan untuk memberikan obat-obatan intravena (suksinil-kholin atau
diazepam).
14. Pegang ET tube dengan bagian probe dan stylet pada tempatnya,
laringoskop dengan mata pisau terpasang, jalan napas orofaringeal ke arah
dokter.
15. Observasi dan berikandukungan pada pasien. Pertahankan terapi intravena
dan awasi adanya disritmia.
16. Berikan tekanan pada krikoid selama intubasi endotrakeal untuk
melindungi regurgitasi isilambung. Temukan kartilago krikoid dengan
menekan raba tepat dibawah kartilago tiroid (adam apple). Bagian inferior
yang menonjol ke arah kartilago adalah krikoid kartilago. Berikan tekanan
pada bagian anterolateral dari kartilago tepat sebelah lateral dari garis
tengah, gunakan ibu jari dan jari telunjuk. Pertahankan tekanan sampai
manset endotrakeal dikembangkan.
17. Setelah ET tube pada tempatnya, kembangkan manset dengan isi yang
minimal sebagai berikut : Selama inspirasi (bag resusitasi manual /
ventilator), masukan dengan perlahan udara ke garis manset. Tahan manset
yang sudah dikembangkan selama siklus ekspirasi --> Ulangi dengan
perlahan pengembangan manset selama siklus inspirasi tambahan -->
Akhiri mengembangkan manset bila kebocoran sudah terhenti.
18. Lakukan penghisapan dan ventilasi.
19. Untuk memeriksa posisi ET tube, ventilasi dengan bag dan lakukan
auskultasi bunyi napas. Observasi penyimpangan bilateral dada.
20. Fiksasi ETT pada tempatnya dengan langkah sebagai berikut: Bagi pasien
dengan intubasi oral yang bergigi lengmanset, ( jika jalan napas oralfaringeal yang digunakan, ini harus dipendekkan sehinggga tidak masuk
kedalam faring posterior) --> Bagi dua lembar plester, sebuah dengan
panjang hampir 20-24 cm dan yang lain sekitar 14-16 cm (cukup untuk
mengelilingi kepala pasien dan melingkari sekitar ETT beberapa waktu) -> Letakkkan plester dengan panjang 20-24 cm pada daerah yang rata,
tegakkan sisinya keatas, dan balikkan kearah plester dengan panjang 14-16
cm --> Oleskan kapur harus pada daerah sekitar mulut --> Tempatkan
plester disamping leher pasien -- > Letakkan satu ujung plester menyilang
diatas bibir, kemudian ujungnya mengitari ETT pada titik kearah mulut -->
Letakkan ujung yang lain dibawah bibir bawah menyilang dagu, kemudian
ujungnya mengitari ETT pada titik masuk ke mulut --> Lakukan auskultasi
dada bilateral.
Tindak lanjut
1.
Pastikan bahwa ETT telah terfiksasi dengan baik dan pasien
mendapatkan ventilasi yang adekuat.
2.
Kaji sumber oksigen atau ventilator.
3.
Instruksikan untuk melakukan rontgen dada portable untuk
memeriksa letak ETT
4.
Yakinkan dan beri srasa nyaman pasien.
Download