BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes Melitus merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton & Hall, 2007). Sedangkan menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2006) Diabetes melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor yaitu defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. 2.2 Glukosa Darah 2.2.1 Definisi Glukosa merupakan zat terpenting yang ada kaitannya dengan penyediaan energy dalam tubuh. Karbohidrat yang dikonsumsi sebagai monosakarida, disakarida, atau polisakarida akan diubah menjadi glukosa didalam hati. Sedangkan didalam tubuh, glukosa tidak hanya berbentuk glikogen dalam otot dah hati, namun juga tersimpan dalam plasma darah dalam bentuk glukosa darah. Glukosa darah berasal dari makanan, gluconeogenesis dan glikogenolisi. Karbohidrat dalam tubuh yang berasal dari makanan akan mengalami pemecahan menjadi glukosa, galaktosa dan fruktosa (Murray, Granner, dan Mayes, 2009). Konsentrasi glukosa darah diatur dengan ketat di dalam tubuh. Umumnya tingkat 8 9 glukosa darah berkisar 70-150 mg/dl. Tingkat ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum orang makan (Henrikson J.E. et al, 2009) 2.2.2 Pengaturan Kadar Glukosa Darah Pankreas selain memiliki fungsi pencernaan juga berfungsi untuk menyekresikan dua hormon yang penting yaitu insulin dan glukagon, yang sangat penting dalam pengaturan metabolisme glukosa, lipid, dan protein secara normal (Guyton, 2007). Insulin disekresi ketika terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Insulin bersirkulasi dalam plasma dan bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor insulin yang terdapat di permukaan sel sasaran seperti di hati, otot, dan lemak. Setelah berikatan, insulin berkerja melalui sistem perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa yang berada di luar membrane sel. Molekul transporter glukosa yang disebut transporter glukosa GLUT-4 berperan penting dalam transportasi glukosa ke sebagian besar sel. Pada saat ditransportasikan masuk ke dalam sel, glukosa dapat digunakan segera untuk menghasilkan energy melalui siklus Krebs atau dapat disimpan di dalam sel sebagai glikogen. Ketika glukosa masuk dalam sel, kadar glukosa dalam darah menurun, sehingga menurunkan stimulasi pelepasan insulin lebih lanjut (Corwin, 2009). Ketika kadar glukosa darah mulai menurun sampai pada kadar yang rendah di antara waktu-waktu makan, beberapa peristiwa akan berlangsung, sehingga hati melepaskan glukosa kembali ke dalam sirkulasi darah. Beberapa peristiwa tersebut yaitu berkurangnya kadar glukosa darah menyebabkan berkurangnya 10 sekresi insulin oleh pankreas, yang selanjutnya akan mengembalikan semua efek penyimpanan glikogen, terutama menghentikan sintesis glikogen lebih lanjut dalam hati dan mencegah ambilan glukosa lebih jauh oleh hati dari darah. Insulin yang sekresinya berkurang menyebabkan pengaktifan enzim fosforilase, yang menyebabkan pemecahan glikogen menjadi glukosa fosfat, dan keadaan ini menyebabkan glukosa bebas berdifusi kembali ke dalam darah (Guyton, 2007). Rendahnya kadar glukosa darah menyebabkan disekresikannya glukagon oleh sel α pulau Langerhans. Glukagon mempengaruhi metabolisme melalui efeknya di hati dan jaringan lainnya. Glukagon memiliki efek yang berlawanan dengan insulin dengan bekerja secara katabolic untuk mempertahankan kadar glukosa darah dengan merangsang oengeluaran glukosa oleh hati. Hal ini terjadi dengan merangsang penguraian cadangan glikogen hati (glikogenolisis) dan sintesis glukosa oleh hati (glukoneogenesis). Glukoneogenesis adalah pembentukan glukosa baru dengan cara mengubah asam amino dan glisero menjadi glukosa) dan menyebabkan penguraian simpanan glikogen untuk digunakan sebagai sumber energy selain glukosa. Glukagon juga merangsang oksidasi asam lemak dan ketogenesis sehingga menghasilkan bahan sumber energy alternatif yang dapat digunakan oleh otak ketika glukosa tidak tersedia. (Corwin, 2009). Selama masa puasa, pankreas akan melepaskan secara terus menerus sejumlah kecil insulin bersama dengan glukagon. Insulin dan glukagon secara bersamasama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa di hati. Pada mulanya hati menghasilkan glukosa 11 melalui pemecahan glikogen. Setelah 8-12 jam tanpa makan, hati membentuk glukosa dari zat-zat selain karbohidrat yang mencakup asam-asam amino (Corwin, 2009). 2.2.3 Penilaian Pengontrolan Glukosa Darah Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang (Price dan Wilson, 2006). Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai dapat digunakan pengukuran control kadar glukosa darah berdasarkan kadar glukosa darah puasa (PERKENI, 2006). Berikut ini merupakan kriteria control glukosa darah (pengendalian DM) : Tabel 1. Kriteria Pengendalian DM Glukosa darah puasa (mg/dl) Glukosa darah 2 jam (mg/dl) A1C (%) Kolesterol Total (mg/dl) Kolesterol LDL (mg/dl) Kolesterol HDL (mg/dl) Trigeliserida (mg/dl) IMT (kg/m2) Tekanan darah (mmHg) Baik 80-<100 80-144 <6,5 <200 <100 Pria: >40 Wanita: >50 <150 18,5- <23 ≤130/80 Sedang 100-125 145-179 6,5-8 200-239 100-129 Buruk ≥126 ≥180 >8 ≥240 ≥130 150-199 23-25 >130-140/ ≥200 >25 >140/90 >80-90 Sumber: PERKENI, 2006 12 2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yaitu humoral factor seperti hormon insulin, glukagon, kortisol; system reseptor di otot dan sel hati. Faktor eksogen antara lain jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas fisik yang dilakukan (Subari, 2008). Mekanisme kerja dari insulin puasa yaitu dengan menghambat produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glukogenolisis. Insulin puasa ini berperan melalui efek inhibisi hormon glukagon terhadap mekanisme produksi endogen secara berlebihanan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin tinggi tingkat kadar glukosa darah puasa oleh karena semakin tinggi tingkat resistensi insulin akan menyebabkan semakin rendahnya kemampuan inhibisinya terhadap proses glukoneogenesis dan glukogenolisis (Sudoyo, 2006). Disamping dipengaruhi oleh hormon, kadar glukosa darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat meningkatkan ambilan glukosa oleh otot dan tubuh menjadi lebih sensitive terhadap insulin. Saat melakukan aktivitas fisik yang berlebihan dapat menurunkan kadar glukosa darah. Oleh karena itu latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu pilar dari pengelolaan DM khususnya hiperglikemia (PERKENI, 2006). Usia juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah karena usia mempengaruhi kadar insulin. Pertambahan umur merupakan salah satu faktor terjadinya penurunan toleransi tubuh terhadap glukosa karena kadar insulin juga dipengaruhi oleh usia. Menurut Satriono (2008), testosterone 13 memiliki hubungan yang positif dengan kadar insulin dan glukosa serum. Pada pria tua dengan toleransi glukosa terganggu memiliki total testosterone yang lebih rendah sedangkan pada wanita tua dengan toleransi glukosa terganggu memiliki total testosterone yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki toleransi glukosa normal. Rentang usia dewasa tengah merupakan rentang usia yang berisiko tinggi terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (PERKENI, 2006). Asupan makanan terutama melalui makan berenergi tinggi atau kaya karbohidrat dan serat rendah dapat mengganggu stimulasi sel-sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Asupan lemak di dalam tubuh juga perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap kepekaan insulin. Selain itu, kadar glukosa darah puasa juga dipengaruhi oleh penyakit organ seperti gagal jantung, ginjal akut maupun kronis, penyakit hati akut maupun kronis, penyakit paru obstruksi menahun (COPD), penyakit kelenjar tiroid, menderita oenyakit peradangan akut maupun kronis, dan penyakit keganansan (Sudoyo, 2006). Mengkonsumsi belimbing wuluh juga dapat mempengaruhi kadar glukosa darah. Kandungan zat aktif buah belimbing adalah flavonoid dan saponin (Sudarsono dkk, 2002). Selain itu, belimbing wuluh juga tersusun dari berbagai vitamin dan mineral. Kandungan zat aktif dalam belimbing wuluh yang diduga kuat menurunkan kadar glukosa darah adalah flavonoid dan saponin. Flavonoid berfungsi sebagai penghambat enzim alfa glikosidase sehingga dapat menunda penyerapan glukosa (Hery, 2006). Sedangkan saponin bekerja untuk mencegah penyerapan glukosa dengan cara mencegah transport glukosa menuju brush border 14 intestinal di usus halus yang merupakan tempat untuk penyerapan glukosa (Yoshikawa, 2006). 2.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus Penatalaksanaan diabetes mellitus dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan diabetes mellitus, yang meliputi : 2.3.1 Edukasi Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat (PERKENI, 2006). Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan (Piette, 2003; PERKENI, 2006). Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak (PERKENI, 2006). 15 2.3.2 Modifikasi Diet Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2006): 1. Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi 2. Protein : 10 – 20% total asupan energy 3. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006). 2.3.3 Latihan Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah (PERKENI, 2006). 16 Prinsip latihan fisik yang dilakukan menurut Sigal (2005) : 1. Continuous : Latihan fisik harus berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti. Contoh: Jogging 30 menit , maka pasien harus melakukannya selama 30 menit tanpa henti. 2. Rhytmical : Latihan olah raga dipilih yang berirama yaitu otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, contoh berlari, berenang, jalan kaki. 3. Interval : Latihan dilakukan selang-seling antar gerak cepat dan lambat. Contoh: jalan cepat diselingi jalan lambat, jogging diselangi jalan 4. Progresive : Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari intensitas ringan sampi sedang selama mencapai 30 – 60 menit 5. Endurance : Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan jogging dan sebagainya. Latihan dengan prinsip seperti di atas minimal dilakukan 3 hari dalam seminggu, sedang 2 hari yang lain dapat digunakan untuk melakukan olah raga kesenangannya. 2.3.4 Terapi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral 17 dan bentuk suntikan (PERKENI, 2006). Terapi farmakologis dengan menggunakan insulin, masih menjadi obat utama untuk DM 1 dan beberapa type diabetes mellitus type 2. Suntikan insulin dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui intramuscular, intravena atau penggunaan jangka panjang yang dapat dilakukan melalui subkutan (Suharti, 2009) Tujuan pemberian insulin adalah untuk memperbaiki aspek metabolik penderita. Namun pemberian insulin juga dapat menimbulkan efek samping antara lain hipoglikemi yang sangat sering terjadi pada penderita DM, dan bisa juga terjadi reaksi alergi (Sudoyo, 2010). Penanganan diabetes melitus tidak terlepas dari terapi farmakologis. Namun terapi farmakologis memiliki efek merugikan bila dikonsumsi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama (Dalimartha, 2013). Oleh sebab itu, saat ini untuk mengobati Diabetes Melitus banyak dikembangkan terapi herbal dengan menggunakan tanaman obat tradisional. Namun penggunaan tanaman obat masih menimbulkan pro dan kontra dikalangan medis. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tentunya juga kaya akan tanaman obat tradisional (Kertia, Heribertus dan Deshita, 2005). Terdapat sekitar 30.000 jenis tanaman obat tradisional, namun kurang dimanfaatkan secara optimal, karena hanya sekitar 1.200 tanaman yang diteliti sebagai tanaman obat tradisional. Selain itu obat-obatan tradisional belum diakui dalam praktek-praktek pengobatan modern karena masih sedikit yang mengalami uji preklinik dan uji klinik. Hal ini sangat disayangkan, karena sebenarnya potensi 18 tanaman obat tradisional Indonesia sangatlah besar. Selain itu tanaman obat tradisional juga memiliki kelebihan yaitu mudah didapatkan dan ekonomis sehingga sangat memudahkan masyarakat untuk mendapatkannya (Depkes RI,2007). Tanaman obat yang digunakan untuk pengobatan atau terapi diabetes melitus jumlahnya cukup banyak. Tanaman tersebut diantaranya adalah, daun mimba, brotowali, sambiloto, daun salam, tapak dara, semangka, mentimun, daun pegagan, kulit manggis, daun sirsak dan belimbing wuluh (Prapti, 2003). 2.4 Belimbing Wuluh 2.4.1 Taksonomi Belimbing Wuluh Belimbing wuluh atau Averrhoa Bilimbi L. kedudukannya dalam ilmu taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut : Divisi : Spermtophyta Subdivisi : Angispermae Kelas : Dicolyledonae Bangsa : Gerantales Suku : Oxallidacenae Marga : Averrhoa Jenis : Averrhoa bilimbi L. (Gembong, 1998) 19 2.4.2 Deskripsi Belimbing Wuluh Belimbing wuluh rata-rata memiliki tinggi lima sampai dengan sepuluh meter. Batang belimbing wuluh berbentuk monopodial, dengan percabangan simpodial.bercabang-cabang, memiliki permukaan kasar dan memiliki banyak tonjolan. Daunnya berjenis majemuk menyirip gasal dan berseling, jumlah anak daun 21-45, anak daun berbentuk bulat telur, ujung meruncing, pangkal berbentuk membulat, panjang daun berkisar tujuh sampai 10 cm, sedangkan lebarnya berkisar satu sampai dengan tiga cm. Bunga mulai muncul pada benjolan dipermukaan batang, menggantung. Kelopak mempunyai panjang kurang lebih enam mm. Buah berbentuk bulat bersegi tumpul, berwarna kuning hijau, rasanya ada yang asam sampai manis, panjang berkisar empat sampai dengan enam cm. (Sudarsono dkk, 2002) Gambar 1. Belimbing Wuluh 20 2.4.3 Kandungan Zat Aktif Belimbing Wuluh Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) mengandung antioksidan, flavonoid, saponin, kumarin, pectin, minyak asitri, tanin, asam galat dan asam ferulat, dan alkaloid (Sudarsono dkk, 2002; Nwachucwu et al, 2010). Menurut penelitian, kandungan dalam belimbing wuluh yang dapat menurunkan kadar glukosa darah adalah flavonoid dan saponin (Dheer dan Bhatnagar, 2010) A. Flavonoid Flavonoid merupakan agen antidiabetes yang potensial karena flavonoid menggunakan beberapa kerja yang bersifat insulinomimetic dan antihiperglikemik yang memiliki efek untuk memperbaiki kondisi penderita diabetes melitus. Flavonoid merupakan senyawa seperti fenol yang dimiliki oleh banyak tanaman sebagai inhibitor glukosidase. Glukosidase inhibitor merupakan agen potensial untuk terapi Diabetes Melitus karena glukosidase mempengaruhi proses biologis secara relevan. Enzim glukosidase berlokasi di brush border di dalam usus halus dan dibutuhkan untuk pemecahan karbohidrat sebelum diserap sebagai monosakarida. Inhibitor alfa-glukosidase menunda absorbsi dari karbohidrat yang didapatkan dari makanan, sehingga mengurangi kadar glukosa dalam darah setelah makan. Dari hal ini, jelas bahwa flavonoid dapat bertindak melalui beberapa jaringan untuk meregulasi homeostasis serum glukosa (Hery, 2006) 21 B. Saponin Saponin merupakan senyawa kimia yang banyak terdapat pada tanaman. Strukturnya terdiri dari aglycone (triterpene atau steroid) dan gugus glukosa. Saponin memiliki banyak fungsi biologi dan farmakologi diantaranya sebagai hemolisa, kardiotonik, hipoglikemik, hipokolesterolemik, modulator imun, hepatoproteksi, antioksidan, dan antikardiogenik. Saponin dimetabolisme di dalam tubuh oleh mikroflora yang berada di usus halus dan metabolitnya akan diabsorbsi lewat gastrointestinal kemudian bekerja secara sistemik. Saponin berfungsi sebagai antihiperglikemik adalah triterpene saponin dengan mekanismenya yaitu untuk mencegah pengosongan lambung dan mencegah peningkatan uptake glukosa pada brush border membran di intestinal. Selain itu saponin juga bekerja untuk mencegah penyerapan glukosa dengan cara mencegah transport glukosa menuju brush border intestinal di usus halus yang merupakan tempat penyerapan glukosa (Yoshikawa, 2006) 2.5 Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Belimbing Wuluh Terhadap Glukosa Darah Kandungan zat aktif buah belimbing adalah flavonoid dan saponin (Sudarsono dkk, 2002). Selain itu, belimbing wuluh juga tersusun dari berbagai vitamin dan mineral. Kandungan zat aktif dalam belimbing wuluh yang diduga kuat menurunkan kadar glukosa darah adalah flavonoid dan saponin. Flavonoid berfungsi sebagai penghambat enzim alfa glikosidase sehingga dapat menunda penyerapan glukosa (Hery, 2006). Sedangkan saponin bekerja untuk mencegah 22 penyerapan glukosa dengan cara mencegah transport glukosa menuju brush border intestinal di usus halus yang merupakan tempat untuk penyerapan glukosa (Yoshikawa, 2006). Dari fungsi dari kedua zat aktif tersebut yang erat kaitannya dengan penurunan kadar glukosa darah, maka diduga belimbing wuluh dapat menurunkan kadar glukosa darah. Sutrisna, dkk (2012) dalam “Uji Praklinis Efek Hipoglikemik Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) menyatakan bahwa belimbing wuluh mampu menurunkan kadar glukosa darah. Hal ini mendasari pemikiran bahwa senyawa yang-senyawa yang diduga berefek sebagai agen hipoglikemik adalah senyawa semipolar. Senyawa flavonoid yang terdapat dalam belimbing wuluh mempunyai kemampuan meregenerasi dan merangsang pelepasan insulin oleh sel beta pancreas. Pada perhitungan persen penurunan kadar glukosa darah menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak belimbing wuluh yang diberikan, maka semakin besar juga penurunan kadar glukosa darah yang terjadi. 2.6 Cairan Pelarut Metanol Pemilihan pelarut yang sesuai merupakan hal yang paling penting dalam proses ekstraksi. Dalam penelitian ini menggunakan pelarut methanol. Methanol juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada “keadaan atmosfer” ia berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Ia digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, 23 bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri. Methanol digunakan dalam penelitian ini karena methanol merupakan pelarut yang bersifat polar yang memiliki indek polaritas 5,1 (Watson,2009). Penelitian Suryanto dan Wehantouw (2009) menunjukkan bahwa metanol mampu menarik lebih banyak jumlah metabolit sekunder yaitu senyawa fenolik dibandingkan dengan etanol. Flavonoid merupakan bagian dari senyawa fenolik, oleh karena itu golongan flavonoid dapat tertarik dalam pelarut metanol yang bersifat universal. Sedangkan saponin merupakan bentuk glikosida dari sapogenin sehingga akan bersifat polar. Senyawa saponin tersebut akan cenderung tertarik oleh pelarut yang bersifat semi polar seperti metanol (Kristanti dkk., 2008). 2.7 Alloksan 2.7.1 Definisi Aloksan merupakan suatu substrat yang strukturnya adala devirat pirimidin sederhana (Nugroho, 2004). Nama lain dari aloksan adalah 2,4,5,6- tetraxypirimidin; 2,4,5,6- primidinetetron; 1,3-Diazinan-2,4,5,6-tetron (IUPAC) dan asam Mesoxalylurea 5-oxobarbiturat. Aloksan adalah senyawa kimia yang tidak stabil dan merupakan senyawa hidrofilik (Yuriska, 2009). Aloksan biasanya digunakan untuk menginduksi diabetes pada binatang uji atau binatang percobaan. Pemberian aloksan pada binatang percobaan merupakan cara yang paling cepat untuk menghasilkan kondisi hiperglikemik. Efek diatogeniknya bersifat antagonis dengan glutation yang bereaksi dengan gugus sulfhidril. 24 Aloksan berfungsi untuk menurunkan pelepasan insulin dan protein dari sel beta pancreas tetapi aloksan tidak berpengaruh pada sekresi glucagon. Sebagai diabetogenik, aloksan dapat digunakan secara intravena, intraperitoneal, dan subkutan (Rees dan Alcolado, 2005). 2.7.2 Pengaruh Alloksan terhadap Kerusakan Sel Beta Pankreas Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi binatang percobaan untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) secara cepat. Tikus hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan 120 150 mg/kgBB. Aloksan dapat menyebabkan Diabetes Melitus tergantung insulin pada binatang tersebut (aloksan diabetes) dengan karakteristik mirip dengan Diabetes Melitus tipe 1 pada manusia (Yuriska, 2009). Mekanisme kerja aloksan diawali dengan ambilan aloksan ke dalam sel-sel β pankreas dan kecepatan ambilan ini akan menentukan sifat diabetogenik aloksan. Ambilan ini juga dapat terjadi pada hati atau jaringan lain, tetapi jaringan tersebut relatif lebih resisten dibanding pada sel-sel β pankreas. Sifat inilah yang melindungi jaringan terhadap toksisitas aloksan (Amma, 2009). 2.8 Tikus Wistar 2.8.1 Taksonomi Tikus Wistar Menurut Robinson (1979), taksonomi tikus wistar adalah sebagai berikut : Kingdom : Animal 25 Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata (Craniata) Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Intrakelas : Eutharia Ondo : Rodentio Subordo : Myomorpha Superfamily : Muroidea Family : Muridae Subfamily : Murinae Genus : Rattus sp. Gambar 2. Tikus Wistar 26 2.8.2 Deskripsi Tikus Wistar Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam penelitian seperti mempelajari pengaruh obat, metabolisme, toksisitas, embriologi maupun mempelajari tingkah laku. Tikus wistar sering digunakan sebagai hewan percobaan karena tikus wistar memiliki sifat faal, ciri, sifat dan pola absorbsi yang lebih dekat dengan manusia meskipun masih ada perbedaan secara kuantitatif. Selain itu, tikus wistar juga memiliki sifat yang tenang, meskipun mendapat perlukaan yang sedikit tidak menyenangkan (Ngatidjan, 2006). Tikus wistar jarang berkelahi seperti mencit dan hewan ini dapat ditinggal sendirian dalam kandang. Tikus wistar ukurannya lebih besar bila dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium ikus wistar lebih menguntungkan daripada mencit. Ciri-ciri dari tikus wistar antara lain memiliki berat 150-600 gram, memiliki badan besar dengan panjang 10-25 cm, hidung tumpul, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya. Serta telinga yang relative kecil dan tidak lebih dari 20-23 cm (Depkes, 2011). Percobaan menggunakan tikus wistar jantan lebih menguntungkan, karena dapat memberikan hasil yang stabil. Tikus wistar jantan tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi, kehamilan setra memiliki pengaruh hormonal yang lebih sedikit dibandingkan dengan tikus wistar betina (Susilawati, 1999). 2.8.3 Nutrisi Tikus Wistar Makanan tikus juga dapat bervariasi, misalnya protein 20-25%, lemak 5%, serat kasar 5%, pati 5-50%, vitamin dan yang lain-lain. Setiap hari tikus dewasa makan 27 antara 12-20 gram makanan. Keperluan mineral dalam makanan tikus adalah fosfor 0,4%, kalsium 0,5%, magnesium 400mg/Kg, natrium, tembaga, yodium, besi mangan dan seng. Tikus minum air lebih banyak sehingga minuman harus selalu tersedia. Tikus dewasa minum 20-45 ml air(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Makanan dan minum tikus diberikan secara ad libitum `