H. Abdullah Mustafa1 Abstrak: Anak merupakan

advertisement
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
KEWENANGAN PENGADILAN DALAM MEMERIKSA,
MEMUTUS DAN MENYELESAIKAN PERKARA PERMOHONAN
PENGASUHAN ANAK OLEH SELAIN PIHAK KELUARGA
H. Abdullah Mustafa1
Abstrak: Anak merupakan dambaan setiap rumah tangga yang dibentuk.
Anak kadang menjelma menjadi penyejuk bahkan kebanggaan dalam
rumah tangga. Tapi pada kondisi tertentu anak menjadi beban yang sangat
memberatkan sebuah rumah tangga, apabila rumah tangga tersebut tidak
ditopang oleh kemanpuan ekonomi yang memadai. Di antara anak yang
terlahir dari rumah tangga yang kurang mampu tersebut adalah H. Ia
terlahir diri seorang ayah yang bernama AG dan ibu bernama R. Karena
ayahnya miskin sementara ibu sakit-jiwa, maka Yayasan Peduli Anak
kemudian mengambil alih kepengasuhan H dari orang-tuanya sejak H
berumur 5 tahun. Ketika H beranjak umur delapan tahun, muncullah CJ
alias AH , umur 29, seorang warga negara Belanda yang mendirikan
Yayasan Peduli Anak. CJ sangat tertarik untuk mengasuh H tanpa mau
mengangkatnya sebagai anak angkat. Untuk menformalkan hak
pengasuhannya, Chaim mengajukan permohonan Pengasuhan anak ke
Pengadilan Agama Giri Menang dan terdaftar dalam perkara no:
04/Pdt.P/2010/PA.GM. Jika melihat UU No.3 tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama berkaitan dengan kewenangan Absolut Pengadilan
Agama, tidak ditemukan aturan yang memberikan wewenang kepada PA
untuk menetapkan hak kepengasuhan anak yang bukan keluarga.
Meskipun demikian, permohonan yang diajukan oleh Chaim tetap
diterima dan disidangkan oleh PA Giri Menang sampai dengan
memberikan putusan yang isinya adalah: (1) Mengabulkan Permohonan
para Pemhon, (2) Menetapkan anak bernama H anak dari Pemohon II
(AG) berada di bawah pemeliharaan dan pengasuhan Pemohon I ( CJ alias
AH ). Yang menjadi landasan/pertimbangan hukum hakim PA Giri
Menang yang menyidangkan dan mengabulkan permhonan pemohon
dalam perkara ini selain mengutip nash Al-Quran yang mendorong setiap
orang untuk selalu tolong menolong, majelis juga menoleh pada UU RI no
4 th 1979 Tentang Kesejahteraan Anak dan UU no. 23 tahun 2002
Tentang Perlindungan anak.
Kata kunci: anak, hak pengasuhan, tabanni
1
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Syari’ah IAIN Mataram
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
145
H. Abdullah Mustafa
A. KONTEKS PENELITIAN
Secara biologis, anak merupakan hasil pembuahan antara ovum
wanita dengan sperma lelalki, semetara secara sosial merupakan elemen
penting dalam sebuah bangunan rumah tangga.Bagi dua anak manusia yang
berjenis kelamin lelaki dan perempuan, maka kehadiran anak dapat
mempererat talikasih,sementara secara spiritual keagamaan memandang
anak turunan sebagai titipan Tuhan yang mesti dirawat dan dijaga sebaik
mungkin, sebgai generasi penerus kekhalifahannya di muka bumi.
Anak adalah imbrio generasi muda. Bagi sebuah bangsa yang
mencita-citakan kehidupan esok yang lebih baik, maka tidak boleh tidak
harus memeiliki generasi muda yang tangguh, mental kokoh, kredibel dan
punya kebanggaan diri dan siap mengahapi tantangan ke depan.Untuk
mendapatkan generasi muda sebagaimana dimaksud, maka perlu adanya
upaya pembenahan dalam berbagai sektor kehidupan sebagai upaya
revitalisasi kualitas kehidupan berbangsa dan negara, salah satunya dengan
menjaga tumbuh kembang anak-anak bangsa dalam berbagai hal untuk
mendapatkan kesejahteraan dalam hidup sebagai warga negara Indonesia
sebagaimana tertuang dalam pancasila.
Perhatian terhadap pemenuhan hak-hak anak merupakan hal penting
yang perlu diperhatikan, seperti pemenuhan terhadap pendidikan dan
kebutuhan hidup lainnya yang merupakan hak perawatan atau pemeliharaan,
sehingga tumbuh kembang seorang anak menjadi optimal dan kemudian
menjadi generasi muda yang kuat yang siap meneruskan perjuangan bangsa
menuju kemajuan dalam berbagai sektor kehidupan. Mengingat begitu
pentingnya perhatian terhadap pemenuhan hak anak dalam rangka
menunjang kesejahteraan anak, dunia Internasional melalu Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1959, Majelis Umum PBB
secara aklamasi mensyahkan Deklarasi Hak Anak-Anak, dan pada tanggal 21
Desember 1976, Majelis Umum mensyahkan sebuah resolusi yang
menyatakan tahun 1979 sebagai tahun Internasional Anak-Anak. Resolusi
ini menganjurkan semuanegara baik kaya maupun miskin untuk meninjau
kembali kegiatan-kegiatan mereka dalam rangka mengingkatkan
kesehahteraan anak-anak2.
Selain mendapatkan perhatian dunia, Indonesia juga memberikan
perhatian penting terhadap kesejahteraan anak. Hal ini terbukti dengan
disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan kemudian di pertegas dengan Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan disahkanya undangundang mengenai anak tersebut, diharapkan kesejahteraan anak indonesia
dapat terpenuhi secara proporsional tanpa adanya perbedaan yang signifikan
2
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari TIga Sistem Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Hal. 108
146
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
antara si kaya dengan miskin untuk memperoleh hak pemeliharaan secara
patut dan layak.
Terlepas dari perhatian dunia internasional dan perhatian pemerintah
Indonesaia mengenai kesejahteraan anak, Islam memiliki loyalitas yang tinggi
terhadap kesejahteraan anak baik di dunia maupun di akhirat yaitu dengan
menekankan pada aspek pemeliharaan oleh orang tua melalui bimbingan
yang islami sehingga terjaga dari ancaman api neraka. Hal ini ditegaskan oleh
Allah SWT dalam firmannya :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa ayang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan3.
Ayat di atas sebagai pertanda bahwa perhatian Islam terhadap keluarga
yang di dalamnya termasuk anak-anak, tidak hanya sebatas terhadap
perhatian dunia, akan tetapi menyangkut tentang kemaslahatan keluarga di
akhirat. Secara mendalam, upaya mensejahterakan anak melalaui
pemeliharaan orang tua ditegaskan oleh Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusunan dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya. Dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan pernusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan4.
Dalam rangka menunjang pemenuhan hak-hak anak, manusia sebagai
mahluk sosial senantiasa saling memberikan perhatian kepada sesama,
sebagaimana halnya yang dilakukan oleh salah seorang Warga Negara Asing
(WNA) asal Belanda yang bernama CJ alias AH yang bergerak dibidang
sosial peduli anak dengan mendidikan Yayasan Peduli Anak di wilayah
Lombok Barat yang diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak atau kurang
mampu dan anak-anak terlantar.
Dari sekian banyak anak-anak yang disuruh oleh Yayasan Peduli
Anak, CJ memberikan perhatian lebih kepada seorang anak dan bermaksud
mengasuh anak tersebut secara lebih khusus di rumahnya dengan alasan
bahwa anak tersebut memiliki potensi kecerdasan yang luar biasa daripada
anak-anak yang lainnya dan anak tersebut sedang mengidap hepatitis non
aktif yang akan diobati ke luar negeri. Untuk maksud tersebut CJ ingin
mendapatkan hak kuasa asuh penuh secara legal dari Pengadilan Agama, dan
3
4
QS. At-tahrim (66).6
QS. Al-Baqarah (2): 223
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
147
H. Abdullah Mustafa
dalam hal ini CJ mengajukan Permohonan Pengasuhan Anak ke Pengadilan
Agama Giri Menang guna mendapatkan penetapan hak kuasa asuh terhadap
H.
Perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh Chaim
Joel, jika dikaitkan dengan Pasal 49 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama mengenaikewenangan absolut Pengadilan Agama, tidak terdapat
ketentuan yang menyebutkan bahwa pengasuhan anak merupakan
kewenangaan Pengadilan Agama, hanya saja disebutkan mengenai
penguasaan anak yang terdapat pada huruf (a) angka (11) dan pengankatan
anak berdasarkan hukum islam pada angka (20). Meskipun tidak terdapat
ketentuan yang mengatur secara tegas tentang kewenangan Pengadilan
Agama dalam menyidangkan perkara permohonan pengasuhan anak,
permohonan yang diajukan oleh CJ tetap disidangkan oleh Pengadilan
Agama Giri Menang sampai dengan keluarnya sebuah penetapan
pengasuhan anak bagi Chaim Joel.
Perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh CJ ini
berbeda halnya dengan perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan
oleh salah satu pihak keluarga anak yang biasa disebut dengan hadhonah
sebagai bentuk pemeliharaan dalam lingkup keluarga yang diajukan untuk
mendapatkan kuasa asuh terhadap seorang anak ketika terjadi perceraian
atau sebagai akaibat dari sebuah perceraian yang sering kita temukan di
Pengadilan Agama, seperti halnya perceraian artis yang kemudian
memperebutkan hak pengasuhan anak. Sedangkan dalam perkara
permohonan pengasuhan anak yang diajukan Pengadilan Agama Giri
Menang bahwa antara CJ dengan H tidak memiliki hubungan keluarga atau
buka dari pihak keluarga, jadi perkara ini tidak dapat disamakan dengan
hadhonah. Terlebih lagi dalam proses persidangan, Majelis Hakim sempat
menyarankan untuk mengajukan permohonan pengankatan anak
berdasarkan hukum islam agar sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada
undang-undang peradilanagama, namun permohonan tetap pada pendirian
hanya untuk mendapatkan penetapan pengasuhan anak saja.
Perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh CJ ke
Pengadilan Agama Giri Menang menjadi sebuah perkara yang dianggap
langka dan menarik untuk dikaji, dikarenakan jenis perkara tersebut tidak
memiliki pengaturan kewenangan absolute secara jelas dalam undangundang peradilan agama yang menjadi sebuah landasan teori.
Beranjak dari kerancuan kewenangan Absolut Pengadilan Agama
dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara permohonan
pengasuhan anak tersebut, penulis berkeinginan untuk melakukan sebuah
penelitian ilmiah yang berjudul “Kewenangan Pengadilan dalam Memeriksa,
Memutus dan Menyelesaikan Perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh Selain
Pihak Keluarga”,
148
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
B. FOKUS KAJIAN
Dari paparan latar belakang di atas, peneliti menetapkan dua rumusan
masalah yang akan menjadi fokus kajian, yaitu:
1. Bagaimana proses persidangan dalam perkara Permohonan Pengasuhan
Anak oleh Selain Pihak Keluarga yang diajukan di Pengadilan Agama Giri
Menang?
2. Apa Landasan hokum apa yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan
Agama Giri Menang dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh Selain Pihak Keluarga?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Proses persidangan perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan
oleh selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang.
2. Landasan hokum yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri
Menang dalam memeriksam, memutus dan menyelesaikan perkara
Permohonan Pengadilan Anak oleh selain pihak keluarga.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi peneliti
sendiri maupun bagi instansi yang terkait dan masyarakat yang menyelesaikan
perkara permohonan pengasuhan anak di Pengadilan Agama. Adapun
kegunaan penelitian ini adalah :
Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan bidang hukum acara peradilan
Agama dan hukum materil peradilan agama.Secara praktis diharapkan
penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Fakultas Syari’ah untuk
meningkatkan intensitas kajian hukum agar mampu menghadapi
problema kontemporer yang muncul di bidang peradilan agama, dan bagi
instansi terkait dapat dijadikan bahan pustaka untuk terus meningkatkan
kualitas pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri.
E. LOKASI PENELITIAN
Lokasi Penelitian adalah Pengadilan Agama Giri Menang, Kabupaten
Lombok Barat, Provinsi NTB. Pengadilan Agama Giri Menang merupakan
lembaga formal yang bertugas melayani masyarakat yang hendak mengajukan
perkara-perkara tentang perkawinan, kewarisan, wakaf, shadakah, dan
ekonomi syari’ah bagi masyarakat Islam Kabupaten Lombok Barat dan
Lombok Utara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, J.o UU
RI NO 50 TH 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 49 “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah dan ekonomi syaria’ah.
Adapun pertimbangan penulis melakukan penelitian di lokasi tersebut
antara lain :
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
149
H. Abdullah Mustafa
1. Pengadilan Agama Giri Menang baru pertama kali menyidangkan
perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain dari
pihak keluarga dalam hal ini oleh Warga Negara Asing asal Belanda.
2. Karena Pengadilan Agama Giri Menang berada di wilayah Kabupaten
Lombok Barat dan bertaraf kelas II A, dan dalam upaya untuk
meningkatkan kelas kepada yang lebih baik.
F. TELAAH PUSTAKA
Dalam telaah pustaka penulis mencoba memaparkan beberapa
penelitian yang pernah dilakukan agar penelitian yang akan penulis lakukan
tidak dikatakan plagiat.
Berdasarkan focus penelitian sebagaimana terdapat pada rumusan
masalah di atas, penulis mencoba membandingkan penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya yang menyangkut masalah pemeliharaan anak atau halhal yang berkaitan dengannya dan mengenai Kompetensi Absolut Pengadilan
Agama. Di antara penelitian yang pernah dilakukan antara lain :
Zulkarnaen, meneliti tentang Hadhanah dan Pelaksaannya Sebagai
Akibat Perceraian di Kelurahan Dasan Agung Mataram, mengambil lokasi
penelitian di Dasan Agung Mataram Zulkarnaen menyimpulkan :
1. Pelaksanaan hadhanah yang dilakukan oleh masyarakat di Dasan Agung
setelah terjadinya perceraian banyak diasuh oleh nenek, baik dari pihak
laki-laki maupun dari pihak perempuan. Apabila dikaji, pertembuhan
anak akan lebih baik bila tinggal bersama orangtuanya.
2. Pada umumnya bentuk pemeliharaan anak yang mempunyai harta dan
belum baligh yang dilakukan di Dasan Agung dengan cara mengambil
harta anak untuk membiayai kepentingan anak.
Yuliana, meneliti tentang Penetapan Hadhanah Akibat Perceraian,
mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama Praya.menyimpulkan :
1. Sumber-sumber rujukan hukum sebagai dasar penetapan hadhanah
akibat perceraian bagi hakim-hakim atau Majelis Hakim di Pengadilan
Agama Praya, pada prinsipnya meliputi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dan fiqih serta undang-undang. Namun di dalam praktiknya selama ini
lebih mengutamakan Al-qur’an dan KHI yang telah dijadikan rujukan.
2. Faktor pertimbangan atau faktor yang memperngaruhi Majelis Hakim
dalam penetapan hadhanah akibat perceraian di Pengadilan Agama Praya
adalahfaktor kemaslahatan anak, dengan terutama memperhatikan
karakter akhlaq yang mengasuh anak ini adalah faktor internal.
Syarifudin, meneliti tentang Ekspansi Kompetensi Absolut
Pengadilan Agama (Kajian analitik terhadap Pasal 49 Undang-Undang No.
3 Tahun 2006), menyimpulkan :
1. Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, maka
Peradilan Agama mendapatkan tambahan kewenangan yang sangat
strategis yaitu Ekonomi Syari’ah, sebagaimana termaktub dalam Pasal 49
150
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan pertama atas UU No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama pada huruf (i).
2. Implikasi ekspansi kompetensi absolute Pengadilan Agama akan
berpengaruh terhadap kualifikasi Hakim Pengadilan Agama, para hakim
dituntut untuk :
a. Para Hakim Pengadilan Agama harus terus meningakatkan wawasan
hukum tentang perekonomian syari’ah dalam bingkai regulasi
Indonesia dan aktualisasi fiqh islam.
b. para Hakim Pengadilan Agama harus mempunyai wawasan memadai
tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan
syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, reksadana syari’ah,
sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah dana
pensiunan syari’ah dan bisni syari’ah.
c. Cara Hakim Pengadilan Agama harus perlu mengingkatkan wawasan
hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis
syari’ah.
d. Para Hakim Pengadilan Agama harus meningkatkan wawasan dasardasar hukum dan peraturan perundang-undangan serta konsepsi dan
fiqih islam islam tentang ekonomi syari’ah.
Dari tiga penelitian di atas, penelitian pertama dan kedua
memfokuskan pada hadhanah atau pemeliharaan anak sebagai akibat dari
sebuah perceraian dalam lingkup keluarga, dan penelitian yang ketiga
menekankan pada penambahan kompetensi absolute Pengadilan Agama
yaitu di bidang Ekonomi Syari’ah. Sedangkan penelitian yang penulis
lakukan dalam skripsi ini terfokus pada kewenangan absolut Pengadilan
Agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain dari pihak
keluarga, dan memperjelas kompetensi absolute Pengadilan Agama
dalam pemeriksaan perkara tersebut.
G. KERANGKA TEORITIK
1. Pengertian Anak
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, anak diartikan sebagai turunan
yang kedua atau manusia yang lebih kecil?5. Sedangkan pengertian anak
secara terminologi dapat diperoleh dari berbagai sumber, yaitu :
Menurut referensi IslamPengertian anak, tentunya akan kita peroleh
berdasarkan sumber keislaman, yaitu al-qur’an dan hadits. Dari kedua
sumber islam tersebut, jika kita teliti secara cermat, tentu tidak akan kita
temukan pengertian anak secara kontekstual dari al-qur’an dan maupun
hadits, namun gambaran pengertian tentang anak dapat kita peroleh dari
ungkapan al-qur’an dan hadits yang berbicara masalah keluarga, seperti
firman Allah SWT pada ayat berikut :
5
Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005) Hal. 41
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
151
H. Abdullah Mustafa
Artinya: Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak
ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukhizat) melainkan
dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)6
Berdasarkan ayat di atas, bahwa yang dimaksud dengan anak di
dalam islam adalah seorang anak baik laik-lak maupun perempuan yang
dilahirkan oleh seorang.
Isteri yang sah dalam ikatan perkawinan. Pemahaman ini diambil
dari pernyataan “kami berikan kepada merek isteri-isteri dan keturunan’’,
pada ayat di atas. Sementara itu, secara yuridis, terdapat beberapa sumber
perundang-undangan yang memberika keteranga tentang pengertian
anak, mengingat indonesia menganut sistem penerapan hukum secara
simbiotik yaitu pernerapan hukum agama tertentu yang dilegalkan
berdasarkan undang-undang, hal ini ditandai dengan adanya Pengadilan
Agama sebagai tempat pencari keadilan bagi orang yang beragama islam
yang dilandasi dengan hukum islam. Maka secara otomatis terdapat dia
sumber perundang-undangan yang menjadi dasar kebijakan dunia
peradilan di Indonesia, yaitu undang-undang peradilan agama dan
undang-undang peradilan secara umum.
Pengadilan Agama memiliki beberapa landasan hukum yang
dijadikan sebagai dasar pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yaitu
Undang-undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989, yang kemudian
telah direvisi dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan No. 50
Tahun 2009. Selain itu terdapat juga Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang dijadikan sandaran oleh Pengadilan Agama
dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara.
Pengeritan anak yang digunakan oleh Pengadilan Agama, terdapat
pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bab IX
Tentang Kedudukan Anak , Pasal 42 yaitu: anak yang sah adalah anak
yang dilahirka dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pengertian
yang sama juga terdapat dalam KompilasiHukum Islam (KHI) Pasal 99
huruf a dan b yang berbunyi: anak yang sah adalah: (a) anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil perbuatan
suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Sumber pengertian anak yang kedua bersumber dari Perundangundangan umum, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut, pengertian anak
terdapat pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Anak adalah seorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
6
152
QS. Ar-Ra’d (13) :38
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
Perbedaan pengertian anak menurut Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan
Undang0undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
yaitu, dalam UU No. 1 TH 1974 dan KHI dikhususkan pada kategori
anak sah dari hasil hubungan pernikahan, sedangkan dalam UU
Perlindungan Anak menyebutkan anak secara umum, tanpa
menegaskan dari hasil hubungan pernikahan yang sah.
2. Beberapa Istilah Tentang Anak
Terdapat beberapa istilah tentang anak mengenai peralihan
perawatan anak, baik dalam lingkup keluarga ataupun perawatan oleh
non keluarga. Adapun beberapa istilah yang kita kenal pada umumnya
yaitu :
a. Hadhanah
Secara etimologi kata Hadhanah (al-hadhanah) berarti “al-janb”
yang berarti di samping atau berada di bawah ketiak7. Secara
terminologi hadhanah menurut Zahabi adalah melayani anak kecil
untuk mendidik dan memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang
yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak sanggup
melakukannya sendiri8.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, hadhanah
disebutkan dalam Pasal 1 huruf (g) yaitu: Pemeliharaan atau
hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Kegiatan pemeliharaan
anak sebagaimana disebutkan dalam KHI menjelaskan bahwa batas
pemeliharaan anak dalam lingkup keluarga dilakukan hingga anak
tersebut dewasa. Jika merujuk pada keterangan yang terdapat dalam
KHI, dapat dikatatakan bahwa pengasuhan merupakan bagian dari
hadhanah, namun pengasuhan tersebut berada dalam lingkup
keluarga dan bukan pengasuhan sebagaimana pada fokus kajian
dalam penelitian ini, dan perkara hadhanah sering dijumpai di
Pengadilan Agama sebagai akibat dari perceraian orang tua yang ingin
mendapatkan hak asuh atas anaknya,Seperti halnya kasus selebriti
Ahmad Dani dengan Maia yang memperebutkan hak asuh atas
anaknya melalui Pengadilan Agama.
b. At-tabanni, Pengangkatan Anak/ Adopsi atau Anak Angkat.
Menurut istilah, at-tabanni adalah seorang mengangkat anak
orang lain sebagai anak, maka berlakulah terhadap anak itu seluruh
Ibnu Manzur, Lisan al-araby. (Mesir: Dar al-Ma’rif), hal. 911
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspekftif Islam. (Jakarta: Pena
Media, 2008), h. 114.
7
8
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
153
H. Abdullah Mustafa
hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung9. Sedangkan menurut
Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni)
“Pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak
yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu di nasab-kan kepada
dirinya”10
Pengertian at-Tabanni dengan hadhanah sebagaimana
tersebut di atas, memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam
istilah hadhanah tidak terdapat penegasan pemeliharaan oleh orang
lain, sedangkan dalam at-Tabanni pemeliharaan yang dimaksudkan
adalah pemeliharaan dalam lingkup orang lain, bukan dalam lingkup
keluarga. Hal tersebut di Indonesia dikenal dengan pengangkatan
anak atau adopsi.
Sedangkan istilah ‘’Pengangkatan Anak” berkembang di
Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa inggris “adoption”,
mengangkat seorang anak, yang berarti “mengangkat anak orang lain
untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama
dengan anak kandung”11.
Adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda, atau
“adopt” (adoptio) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak,
mengangkat anak. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut Kamus
Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak
kandungnya sendiri”. Secara terminologi, dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu “anak orang lain
yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”. Sedangkan
dalam Ensiklopedia Umum disebutkan “Adopsi, suatu cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan
untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi
orang tua yang tidak beranak12. Sedangkan menurut Prof. Ali Afandi,
S.H. adopsi adalah pengangkatan anak oleh seseorang dengan
maksud untuk menganggapnya anak itu sebagai anaknya sendiri 13.
Pengertian Adopsi atau Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud,
pada dasarnya sama dengan pengertian at-tabanni sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya.
Sedangkan dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 J.o UU
No. 3 Tahun 2006 Tentang Undang-undang Peradilan Agama,
9 Muhammad Ali Syais, Tafsir Ayat Ahkam, dalam Huzaemah T. Yanggo, Hukum
Pengangkatan Anak Dalam Islam, Suara Uldilag Mahkamah Agung R.I. Vol. 3 No.X (Maret, 2007), h.2.
10 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-islami, dalam Andi Syamsu dan M. Fauzan, Hukum
Pengangkatan Anak, h.20
11 Simorangkir, Kamus Hukum, dalam Andi Syamsu dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak
Perspektif Islam, (Jakarta :Pena Media, 2008) h. 59
12 Muderis, Adopsi, h. 5.
13 Ali Afandi, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 149
154
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
ketentuan mengenai anak angkat terdapat pada penjelasan Pasal 49,
huruf (a) tentang Perkawinan, nomor (20) Penetapan asal-usul
seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai anak
angkat disebutkan dalam Pasal 171, huruf (h) Anak angkat adalah
anak yang dalam hal pemeliharaanuntuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
Selain itu, mengenai bagian harta peninggalan untuk anak angkat
diatur dalam Pasal 209, ayat (2) Terhadap anak angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan orang tua angkatnya.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, pengertian anak angkat dijelaskan dalam Pasal 1
poin (9) yaitu: “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Ketentuan
pengangkatan anak tersebut diperjelas lagi dalam pasal 39 pasal (1)
Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (20)
Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat satu, tidak
boleh memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan
orang tua kandungnya, (3) calin orang tua angkat harus seagama
dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, (4) Pengangkatan
anak oleh waraga negara asing hanya dapat dilakukan sebgai upaya
terakhir, (5) Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Mengenai anak angkat, islam memberikan batasan yaitu
dengan tidak menghilangkan atau memutus nasab antara anak dengan
orang tua kandungnya, sehingga anak tersebut memiliki hubungan
kekeluargaan, dan orang tua angkat pun tidak dapat menjadikan anak
angkatnya sebagai anak kandung. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah
SWT dalam firmanNya :
Artinya: Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar
itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan
jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah,
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
155
H. Abdullah Mustafa
dan jika kamu tidak mengetahu bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak
ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang14.
Ayat di atas memberikan penegasan yang berbeda dengan
pengertian pengangkatan anak, anak angkat, atau adopsi sebagaimana
pengertian yang terdapat dalam kamus hukum atau kamus bahasa
Indonesia.Menurut sejarah, Nabi Muhammad sendiri sebelum
menerima ke-Rasulan mempunyai seorang anak angkat yang bernama
Zaid putra Haritsah dalam status budak (sahaya) yang dihadiahkan
oleh Khadijah bin Khuwailid kepada Muhammad bin Abdullah.
Kemudian dimerdekakan beliau dan diangkat menjadi anak angkat
serta ditukarkannya nama anak tersebut dengan Zaid bin
Muhammad. Dihadapan kaum Quraisy pernah Muhammad
mengatakan, saksikanlah oleh kamu, bahwa Zaid kuangkat menjadi
anak angkatku, dan mewarisiku dan aku mewarisinya. Beberapa
waktu setelah Muhammad diutus menjadi Rasul, maka turunlah
wahyu yang menegaskan masalah ini, seperti yang telah disebutkan di
atas. Sesudah itu turun pula wahyu yang menetapkan tentang
peraturan waris-mewaris yang ditentukan hanya kepada orang-orang
yang ada pertalian sedarah, turunan dan perkawinan. Mulai saat itu
Zaid bin Muhammad ditukar menjadi Zaid bin Haritsh15.
Anak angkat dalam arti memelihara, dan mendidik dan
mengasuh seorang anak orang lain adalah sangat dianjurkan dalam
Islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak menjadikan seorang
menjadi mempunyai hubungan dengan orang lain seperti hubungan
yang terdapat dalam hubungan darah16.
c. Pengasuhan Anak atau Anak Asuh
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, mengasuh berarti menjaga
(merawat, dan mendidik) anak kecil, sedangkan pengasuh berarti
orang yang mengasuh ; wali (orang tua dsb), sedangkan pengasuhan
berarti hal (cara, perbuatan, dsb) mengasuh17.
Dalam ketentuan Pasal 49 Undang-undang No. 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama, yang mengatur tentang kewenangan
absolut Pengadilan Agama, tidak ditemukan penyebutan atau
penjelasan mengenai pengasuhan anak ataupun anak asuh, hanya saja
disebutkan mengenai pengasuhan anak yang terdapat pada penjelasan
QS. Al-Ahzab (33): 4-5
Muderis, Adopsi, h. 53.
16 Sayut Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1986), h. 136.
17 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasan Indonesia (Jakarta: 2008) h.
14
15
116
156
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
pasal 49 huruf a (tentang perkawinan) nomor (11) yaitu pengasuhan
anak-anak, dan pada nomor (20) pengangkatan anak berdasarkan
hukum islam.
Demikian juga halnya dengan Kompilasi Hukum Islam
(KHI), tidak memberikan penjelasan tentang pengasuhan anak atau
anak asuh, namun hanya berbicara mengenai pemeliharaan dalam
lingkup keluarga yang lazim disebut dengan hadhanahm dan tentang
anak angkat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Pengertian pengasuhan anak atau anak kuasa asuh dijelaskan
dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, yang terdapaat pada Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 nomor
(10) dan (11) sebagai berikut: pasal (10) Anak asuh adalah anak yang
diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang
tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar. (11) Kuasa asuh adalah kekuasaan orang
tua untuk mengasuh, mendidik, memlihara,membina, melindungi,
dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang
dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
3. Batas Kewenangan Absolut Antara Lingkungan Peradilan Agama
dengan Peradilan Negari.
Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar Negera RI Tahun 1945
menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Mengingat Indonesia memiliki, beberapa lembaga peradilan,
maka perlu adanya batasan kekuasaan antara masing-masing pengadilan
agar tidak saling tumpang tindih. Dalam hukum acara perdata dikenal
adanya 2 (dua) macam kewenangan mengadili, yaitu :
a. Kewenangan Mutlak (kompetensi Absolut), yaitu wewenangan badan
Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam
lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan
Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain
(Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama).
b. Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang
pembagian kekuasaan mengadili antar-Pengadilan yang serupa atau
sejenis (Pengadilan Negeri Bukit Tinggi dengan Pengadilan Negeri
Padang Panjang)18.
18
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, h. 19.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
157
H. Abdullah Mustafa
Dari dua macam kewenangan pengadilan sebagaimana di atas,
dalam penelitian ini difokuskan pada permasalahan kewenangan absolut
pengadilan, karena penelitian ini berkaitan dengan materi atau jenis
perkara yang diadili oleh Pengadilan Agama Giri Menang.
Pasal 50 UU No. 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undangundang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyatakan
“Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama “.
Jadi pada dasarnya semua perkara pidana dan perdata menjadi
kewenangan Pengadilan Negeri (asas lex generalis). Tetapi kemudian ada
ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan bahwa terhadap
perkara-perkara perdata tertentu menjadi kewenangan pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama (lex specialis)19.
Adapun mengenai kewenangan absolut untuk lingkungan
peradilan agama diatur dalam Undang-undang RI No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah dengan Undangundang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No.
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 49 Undangundang tersebut menyebutkan :
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan ;
b. Waris ;
c. Wasiat ;
d. Hibah ;
e. Wakaf ;
f. Zakat ;
g. Infaq ;
h. Shadaqah dan
i. Ekonomi Syari’ah.”
Ketentuan yang terdapat pada pasal 49 sebagaimana tersebut di
atas merupakan dasar kewenangan absolut lingkungan Peradilan Agama.
Namun, seorang hakim tidak dibenarkan untuk menolak suatu perkara
secara serta merta dengan alasan tidak aturan yang mengatur, tidak
terdapat dalam ketentuan perundang-undangan ataupun tidak jelas
aturannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat 1 Undangundang No. 14 Tahun 1970.
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
19 Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Pena
Media, 2008) h. 8
158
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
Kalau sekiranya ia tidak menemukan hukum tertulis, maka ia
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat20. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27
ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi sebagai
berikut :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.”
Ketentuan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 27, oleh M
Fauzan disebut sebagai asas social justice yang harus dimiliki oleh hakim,
dan ketentuan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 28 (1) UU Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu “Hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan ras keadilan
yang hidup dalam masyarakat”21.
Selain undang-undang peradilan agama sebagaiamana telah
disebutkan sebelumnya, lingkungan peradilan agama juga diperkuat oleh
Kompilasi Hukum Islam, yang menjadi salah satu acuan dalam
pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama.
Adapun mengenai produk hukum yang dihasilkan dari
lingkungan Peradilan Agama maupun lingkungan Peradilan Umum ada
dua yaitu putusan dan penetapan. Bagi lingkungan Peradilan Agama
sebelum berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989, adaproduk hukum ketiga
yaitu Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3), yang kini
tidak ada lagi.22
H. METODE PENELITIAN
Metodologi merupakan unsur yang sangat penting dalam sebuah
peneitian, dimana penulis menerapkan bagaimana langkah-langkah atau cara
melakukan pendekatan kepada subyek sehingga memperoleh data dan
informasi yang dibutuhkan. Adapun metodologi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif
yang merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuanpenemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur
statistik atau cara kuantifikasi lainnya23.
M. Nur, Hukum Acara Perdata, h. 5.
Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2007)
22 Erfanizah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia (Jogjakarta: Sukses Offset, 2008), h. 265
23 Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: PT Rajagrafindo. Thn
2006) h. 212.
20
21 M Fauzan,
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
159
H. Abdullah Mustafa
Selain itu pendekatan kualitatif bersifat deskriptif yaitu data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka,
sehingga data yang ditemukan bersifat eksploratif yang bertujuan
menggambarkan keadaan atau fenomena yang terjadi.
Bogdan dan Taylor mengemukakan metode kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati24.
Dari batasan ini, maka pendekatan kualitatif mengarah pada latar
dan individu secara holistic (utuh), dimana individu atau organisasi tidak
diisolasi ke dalam variabel atau hipotesis tetapi dipandang sebagai bagian
dari sesuatu keutuhan.
2. Sumber Data dan Jenis Data.
Untuk mendapatkan data yang valid serta obyektif terhadap apa
yang diteliti, maka penulis merumuskan beberapa langkah yang akan
menjadi target dalam pengumpulan data serta informasi yang terkait
dengan penelitian yang dilakukan.
Dalam penelitian kualitatif biasanya sumber data utama berupa
kata-kata dan tindakan25. Termasuk di dalamnya dokumentasi,
wawancara dan lain sebagainya.
Jenis data yang paling utama adalah kata-kata dan tindakan orang
yang diamati, data-data tersebut bisa didokumentasikan melalui catatan
tertulis atau memanfaatkan tekhnologi yang ada misalnya alat perekaman
audio, video maupun pengambilan foto-foto atau film.
Tidak dapat dipungkiri selain 2 sumber data tersebut, terdapat
sumber tertulis sebagai bahan tambahan dari penelitian kualitatif.
Sumber tersebut terbagi atas :
a. Sumber buku dan majalah, berupa buku, alqur’an, undang-undang,
desertasi, tesis, skripsi, buku riwayat hidup, buku terbitan
pemerintah dan lain-lain.
b. Sumber dari arsip, berupa dokumern perkara.
c. Dokumen resmi,berupa info resmi yang terdapat dalam situs
Pengadilan, dalam hal ini website Pengadilan Agama Giri Menang
yang dapat diakses melalui situs www. pagirimenang.net
Untuk memperoleh data dan informasi, maka penulis
merumuskan langka-langkah berikut :
a. Penulis mencoba mengumpulkan data yang berupa dokumentasi
atau arsip-arsip yang terkait dengan masalh pengasuhan anak.
b. Mencoba melakukan diskusi dengan responden yang berada di
lokasi penelitian, misalnya para Hakim, Panitra/ Pengganti,
24
25
160
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2008), h.6.
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian, h. 157
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
Bidang Panmud Hukum, Panmud Gugatan maupun Panmud
Permohonan.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan inti utama dalam kegiatan
penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,
maka penulis menggunakan beberapa metode yaitu:
a. Metode Observasi
Metode Observasi adalah suatu cara mengumpulkan data yang
dilaksanakan secara sengaja dengan jalan pengamatan dan pencatatan
secara sistematis26.
Adapun Observasi yang dilakukan penulis pada peneliyian ini
adalah dengan melakukan pengkajian pada berkas-berkas
persidangan perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan
oleh selain pihak keluarga yang terdapat di Pengadilan Agama Giri
Menang, termasuk pada berkas putusan perkara tersebut dan hasli
wawancara dengan para Hakim. Observasi ini dimaksudkan untuk
melakukan penyesuaian antara penerapan teori dan praktek yang
terjadi pada persidangan perkara Permohonan Pengasuhan Anak.
Metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan informasi
secar langsung dengan datang ke lokasi yakni Pengadilan Agama Giri
Menang, sehingga memperoleh gambaran tentang perkara
Permohonan Pengasuhan Anak di Pengadilan Agama Giri Menang.
b. Metode Wawancara
Metode ini adalah suatu proses tanya jawab secar lisan dimana
dua orang atau lebih berhadapan secara fisik yaitu satu dengan lainnya
saling melihat, dan mendengar secara langsung pertanyaan serta
jawaban27.
Dalam metode wawancara terdapat dua teknik wawancara yaitu :
Wawancara terstruktur dapat berarti penulis telah mengetahui dengan
pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh, dan berupa
pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah
disiapkan.
Wawancara tidak terstruktur/ bebas adalah dimana penulis tidak
menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara
sistematis dan lengkap tetapi hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan. Hal tersebut dimaksudkan
26 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,
1997), h. 230
27 Ibid, h. 231
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
161
H. Abdullah Mustafa
untuk meningkatkan intesitas wawancara secara berjenjang sesuai
dengan situasi dan kondisi dan cenderung bersifat dialog.
Wawancara tidak terstruktur ini dilakukan dengan Majelis Hakim
Pengadilan Agama Giri Menang yang menyidangkan
perkarapermohonan pengasuhan anak oleh selain pihak keluarga,
Panitera Pengganti dan Panmud Hukum. Penulis lebih condong
untuk menggunakan sistem wawancara tidak terstruktur untuk
menjaga intesitas wawancara dengan responden yang disesuaikan
dengan situasi dan kondisi.
Jenis data yang diperoleh dari hasil wawancara ini adalah
berupa kata-kata yang merupakan argumentasi atau landasan Hakim
dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara Permohonan
Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga. Data yang diperoleh
dari hasil wawancara tersebut selanjutnya akan digunakan untuk
melakukan penyesuaian dengan ketentuan yang telah dituangkan
dalam berkas putusan oleh Majelis Hakim dan selanjutnya
disesuaikan dengan teori hukum yang telah terkait dengan masalah
tersebut.
c. Metode Dokumentasi
Dokumentasi yang telah diserap dari kata asing kemudian
diidonesiakan menjadi dokumen, berarti barang-barang tertulis.
Metode dokumentasi merupakan cara pengumpulan data dengan
menyelidiki benda-benda tertulis seperti; buku-buku, notulen rapat,
majalah dan sebagainya28.
Adapun dokumen yang dijadikan sebagai acuan dalam metode
dokumentasi ini adalah dokumen berupa berkas-berkas perkara atau
salinan putusan perkara yang akan diteliti, dalam hal ini perkara
beranjak dari data perkara secara umum sehingga Menemukan jenis
perkara Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain
pihak keluarga pada Pengadilan Agama Giri Menang.
4. Analisis Data
Analisa data merupakan upaya untuk mencari dan menata secara
sistematis tentang catatan hasil observasi, wawancara dan lain sebagainya,
untuk meningkatkan pemahaman penulis tentang kasus yang akan diteliti
dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.
Oleh karena itu dalam upaya menganalisa data peneliti akan
menggunakan analisa filosofis deskriptif, yaitu menggambarkan dan
menginterpretasikan data dan temuan-temuan yangpenulis peroleh di
28 Suharismi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,
1998),h. 236
162
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
lapangan. Dengan demikian data yang didapat dari observasi, wawancara,
dokumentasi dan lain sebagainya dapat disimpulkan.
5. Kredibilitas Data
Kredibilitas data bertujuan untuk menguji atau membuktikan
bahwa apa yang diteliti sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam
kenyataan. Untuk itu penulis menggunakan beberapa teknik yang sesuai
dengan permasalahan yang dikaji :
a. Memperpanjang Waktu Penelitian
Untuk memastikan data dan informasi yang sudah diperoleh,
penulis mencoba untuk memperpanjang waktu penelitian guna
mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yan gmungkin mengotori
data, dan dapat membangun kepercayaan para subjek terhadap
penulis dan juga kepercayaan diri penulis sendiri
b. Menguji secara triangulasi
Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan
pengecekan dan sebagai pembanding terhadap data yang ditemukan.
Dengan demikian penulis dapat mengecek kembali temuan
yang didapat dengan jalan membandingkan dengan berbagai sumber,
metode, atau, teori. Untuk itu penulis melakukan cara sebagai berikut
:
1. Mengajukan berbagai macam variasi pertanyaan.
2. Mengeceknya dengan berbagai sumber data.
3. Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan kepercayaan
data dapat dilakukan.
c. Pengecekan Anggota
Pengecekan dengan anggota dalam proses pengumpulan data
merupakan hal yang sangat penting dalam pemeriksaan derajat
kepercayaan. Pengecekan dilakukan untuk :
1. Menyediakan kesempatan kepada responden untuk memperbaiki
kesalah dari data menentang suatu penafsiran yang barangkali
salah.
2. Memberikan kesempatan kepada responden agar dapat
memberikan data tambahan karena dengan memberikan konsep
tulisan penulis, responden barangkali akan mengingat lagi hal-hal
yang belum terpikirkan pada waktu yang lalu.
3. Memberikan kesempatan bagi responden untuk mengadakan
penilaian terhadap keseluruhan penilaian terhadap cakupan data
secara menyeluruh dan mengeceknya dengan data dari pihak
dirinya sendiri.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
163
H. Abdullah Mustafa
d. Pemeriksaan Teman Sejawat
Pemeriksaan teman sejawat atau peer review adalah
pemeriksaan yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan rekanrekan yang sebaya, yang memiliki pengetahuan umum yang sama
tentang apa yang diteliti sehingga dapat me-review persepsi,
pandangan dan analisis yang sedang dilakukan.
Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara
atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekanrekan sejawat. Hal ini bertujuan untuk :
1. Membuat penulis tetap mempertahankan sifat terbuka dan
kejujuran
2. Memberikan suatu kesempatan awal untuk menjajaki dan menguji
hipotesa kerja yang muncul dari pemikiran penulis.
I. PROFIL PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG
1. Sejarah Umum dan Daerah Yurisdiksi
Pengadilan Agama (P.A) Giri Menang dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia (R.I) No. 145 tahun 1998
tanggal 16 September 1998. Pengadilan Agama Giri Menang terletak di
Desa Giri Menang, Kabupaten Lombok Barat yang merupakan pusat
pemerintahan kabupaten tersebut, dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Timur
: Kantor Bupati Lombok Barat.
Sebelah Barat
: Sawah dan Pemukiman Penduduk.
Sebelah Selatan
: Sawah dan Pemukiman Penduduk.
Sebelah Utara
: Jl. Soekarno Hatta.
Pengadilan Agama GIri Menang merupakan pusat pengajuan
perkara bagi masyarakat Lombok Barat yang beragama Islam padaa
tingkat pertama di bidang perkawinana, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Pengadilan Agama Giri
Menang bertaraf kelas II A, dan sedang dalam upaya berbenah diri untuk
meningkatkan kelas kepada yang lebih baik demi pelaksanaan kekuasaan
kehakiman yang mandiri secara professional.
Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 “Pengadilan Agama
berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/ kota”, maka daerah yurisdiksi Pengadilan
Agama Giri menang meliputi seluruh wilayah yang ada di kabupaten
Lombok Barat.
Secara astronomis Kabupaten Lombok Barat terletak antara
Bujur 115°4’ s.d 116° Bujur Timur dan lintang 8°12’ s.d Lintang Selatan.
Secara geografis Kabupaten Lombok Barat berbatasan sebagai berikut :
a. Sebelah Utara dengan Lombok Timur,
b. Sebelah Timur dengan Praya,
164
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
c. Sebelah Selatan dengan Samudera India,
d. Sebelah Barat dengan Selat Lombok.
Wilayah hukum Pengadilan Agama Giri Menang meliputi seluruh
Kecamatan dan Desa yang ada di Kabupaten Lombok Barat dengan
rincian sebagai berikut :
a. Kecamatan Bayan mewilayahi 8 Desa, yaitu :
1) Loloan
2) Bayan
3) Persiapan Sambil Elen
4) Senaru
5) Anyar
6) Sukadane
7) Akar-akar
8) Persiapan Mumbul Sari
b. Kecamatan Kayangan mewilayahi 6 Desa, yaitu :
1) Selengan
2) Gumantar
3) Kayangan
4) Dangiang
5) Sesait
6) Santong
c. Kecamatan Gangga mewilayahi 5 Desa, yaitu :
1) Gondang
2) Bentek
3) Gegelang
4) Rempek
5) Sambik Bangkol
d. Kecamatan Tanjung mewilayahi 6 Desa, yaitu :
1) Tenggala
2) Sigar Penjalin
3) Tanjung
4) Sakong
5) Desa Tinaga
6) Tegal Maju
e. Kecamatan Pemenang mewilayahi 4 Desa, yaitu :
1) Pemenang Timur
2) Pemenang Barat
3) Malaka
4) Gili Indah
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
165
H. Abdullah Mustafa
f. Kecamatan Batu Layar mewilayahi 5 Desa, yaitu:
1) Sandik
2) Batu Layar
3) Meninting
4) Lembah Sari
5) Persiapan Senggigi
g. Kecamatan Gunung Sari mewilayahi 10 Desa, yaitu :
1) Taman Sari
2) Sesela
3) Jatisela
4) Kekait
5) Gunung Sari
6) Midang
7) Kekeri
8) Mambalan
9) Dopang
10) Penimbung
h. Kecamatan Lingsar mewilayahi 10 Desa, yaitu :
1) Lingsar
2) Peteluan Indah
3) Batu Kumbung
4) Batu Mekar
5) Sigerongan
6) Karang bayan
7) Langko
8) Duman
9) Dasan Geria
10) Gegerung
i. Kecamtan Narmada mewilayahi 13 Desa, yaitu :
1) Sesaot
2) Selat
3) Lembah Sempage
4) Presak
5) Suranadi
6) Batu Kuta
7) Tanak Beak
8) Dasan Tereng
9) Badrain
10) Sembung
11) Sedau
12) Keru
166
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
13) Nyiur Lembang
j. Kecamatan Kediri mewilayahi 7 Desa, yaitu :
1) Kediri
2) Montong Are
3) Jagerage Indah
4) Gelogor
5) Rumak
6) Ombe
7) Banyu Mulek
k. Kecamatan Kuripan mewilayahi 4 Desa, yaitu :
1) Kuripan
2) Kuripan Utara
3) Kuripan Selatan
4) Jagerage
l. Kecamatan labuapi mewilayahi 8 Desa, yaitu :
1) Bengkel
2) Merembu
3) Bagik Polak
4) Telaga Waru
5) Perempuan
6) Kr. Bangket
7) Bajur
8) Kuranji
m. Kecamatan Gerung Mewilayahi 6 Desa, yaitu :
1) Gerung Utara
2) Gerung Selatan
3) Dasan Geres
4) Babussalam
5) Beleka
6) Kebon Ayu
n. Kecamatan Lembar mewilayahi 5 Desa, yaitu :
1) Lembar
2) Jembatan Kembar
3) Labuan Tereng
4) Sekotong Timur
5) Mereje
o. Kecamatan Sekotong mewilayahi 5 Desa, yaitu :
1) Sekotong Tengah
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
167
H. Abdullah Mustafa
2)
3)
4)
5)
Pelangan
Sekotong Barat
Buwun Mas
Persiapan Kedaro
Dengan demikian, secara keseluruhan wilayah hukum Pengadilan
Agama Giri Menang terdiri dari 15 Kecamatan dan 117 Desa 29. Daerah
yurisdiksi Pengadilan Agama Giri Menang kini meliputi dua kabupaten
Lombok Barat dan Lombok Utara yang baru-baru ini telah berdiri secara
resmi yang merupakan pecahan dari Kabupaten Lombok Barat dan
Belum memilik Pengadilan Agama Khusu untuk Kabupaten Lombok
Utara, dan adapun wilayah hukum Kabupaten Lombok Utara meliputi
lima (nomor 1-5) kecamatan yang telah disebutkan di awal pada peta
daerah yurisdiksi Pengadilan Agama Giri Menang yaitu mulai dari
Kecamatan Bayan sampai Kecamatan Pemenang.
2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Giri Menang.
Visi Pengadilan Agama Giri Menang adalah mewujudkan
supremasi hukum melalui Kekuasaan Kehakiman mandiri, efektif,
efesien serta mendapatkan kepercayan publik, professional dalam
member pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya
rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan
publik.
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, Pengadilan Agama Giri
Menang telah menetapkan misi-misi sebagai berikut :
a. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-Undang dan
Peraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
b. Mewujudkan Pengadilan Agama Giri Menang yang madiri dan
independen, bebas dari campur tangan pihak lain;
c. Memperbaiki akses pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan;
d. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan;
e. Mewujudkan Pengadilan Agama Giri Menang yang efektif, efisien,
martabat, dan dihormati;
f. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak
dan transparan.
Dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya, Pengadilan Agama
Giri Menang telah meletakkan kebijakan-kebijakan umum yang strategis
sebagai upaya untuk merealisasikan Visi dan Misi yang telah ditetapkan.
Kebijakan-kebijakan umum tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Dalam Bidang Perkara :
29 PTA Mataram, Daerah Yurisdiksi Pengadilan TInggi Agama Mataram Tahun 2006, (PTA
Mataram: Mataram, 2006)
168
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
b.
c.
d.
e.
8 Nomor 2, 2014
1) Menyelenggarakan prosedur penerimaan perkara secara tertib,
cepat, dan transparan, serta memberikan informasi yang seluasluasnya pada Masyarakat pencari keadilan mengenai jalannya
perkara;
2) Menyelenggarakan persidangan perkara secara cepat, sederhana
dan biaya ringan, bebas KKN, dengan tetap menjunjung tinggi
atas keadilan dan kebenaran;
3) Menjatuhkan putusan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam)
bulan sejak perkara didaftar;
4) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dan mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk melaksanakan eksekusi
putusan;
5) Menyelenggarakan administrasi kepaniteraan secara tertib, cepat,
dan cermat.
Dalam Bidang Pengawasan;
1) Melakukan pengawasan secara rutin dan insidentil terhadap
tingkah laku dan perbuatan Hakim dan Pejabat Kepaniteraan dan
Kejurusitaan dalam hal penyelenggaraan persidangan perkara;
2) Melakukan pengawasan baik secara rutin maupun isidentil
terhadap seluruh Pejabat Pegawai Pengadilan dalam hal
penyelenggaraan tekhnis Peradilan, administrasi dan financial.
Dalam Bidang Pembinaan dan Pengelolaan Sumber Daya Manusia :
1) Mencetak Sumber Daya Manusia yang kapabel, professional dan
handal;
2) Menyelenggarakan urusan kepegawaian secara benar, tertib dan
akurat.
Dalam Bidang Pengelolaan Sarana dan Prasarana;
1) Menyediakan sarana dan prasarana gedung Pengadilan sesuai
dengan standar kelayakan mutu, baik secara kuantitas maupun
kualitas;
2) Menyediakan bangunan rumah dinas untuk Ketua, Wakil Ketua,
Hakim dan Pejabat Kepaniteraan dan Sekretariat;
3) Memelihara kebersihan kenyamanan dan keindahan geudng
menggunakan dan merawat barang inventaris seefektif dan
seefisien mungkin.
4) Menyediakan ruang perpustakaan yang representative, sehingga
mampu menampung jumlah buku dan para pengunjung;
5) Menyediakan buku-buku perpustakaan untuk menunjung dan
meningkatkan pengetahuan SDM Pegawai Pengadilan Agama
Giri Menang.
Dalam Bidang Pengelolaan Keuangan :
1) Meningkatkan plat form anggaran DIPA untuk mendukung
pelaksanaan tugas pokok Pengadilan;
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
169
H. Abdullah Mustafa
2) Merealisasikan dan mempertanggungjawabkan anggaran DIPA
sesuai ketentuan yang berlaku30.
3)
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Giri Menang.
Struktur organisasi Pengadilan Agama Giri Menang disusun
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Susunan Organisasi
Pengadilan Agama Giri Menang terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Sekretaris, dan Jurusita.
Pimpinan Pengadilan terdiri dari Seorang Ketua dan Wakil Ketua.
Ketua dan Wakil Ketua diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Mahkamah Agung. Untuk ketua dijabat oleh . H. M Taufiq HM, SH dan
Wakil Ketua saat ini masih kosong seiring dengan pindahnyaH.A.
MUKRI AGAFI, SH., MH ke PA Kupang.
Hakim adalah Pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman. Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Ketua Mahkamah Agung. Panitera adalah seorang Pejabat yang
memimpin Kepaniteraan. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera
dibantu oleh Wakil Panitera, beberapa Panitera Muda, beberapa Panitera
Pengganti, Jurusita dan Jurusita Pengganti.
Sekretaris adalah seorang Pejabat yang memimpin Sekretariat.
Dalam melaksanakan tugasnya Sekretaris dibantu oleh Wakil Sekretaris,
Kepala Urusan Umum. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada bagan
struktur organisasi sebagai berikut :
30
170
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Giri Menang, Tahun 2012.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
STRUKTUR ORGANISASI
PENGADILAN AGAMA GIRI MENANG
HAKIM
KETUA
1. AHMAD RIFA’I, S. Ag.
2. MUSLICH, S. Ag. MH.
3. Drs.MAFTUH BASUNI
4. Drs. H. MUSTHOFA ALIE
5. M. SAFI’I, S.Ag.
6. Drs. IMAM SHOFWAN
7. Drs. MUTAMAKIN, SH.
8. MUH. NASIKHIN, S.HI, MH.
9. Drs. SYAFRUDDIN,S.Ag.M.SI
10.RAUFFIP DAENG MAMALA, SH
PANMUD HUKUM
H. MOH. SALEH, SH
Drs. H. MUDJAHIDIN, AR.M.
Hum.
Keterangan :
_________________________
Garis Komando
.............................................
Garis Perintah
WAKIL KETUA
H. A. MUKRI AGAFI, SH. MH.
PANITERA / SEKRETARIS
M U K S I N, SH.
WAKIL PANITERA
WAKIL SEKRETARIS
SAHNUDDIN, SH
LALU. RUSLAN, SH
PANMUD
GUGATAN
PANMUD
PERMOHONAN
KAUR KEPEGAWAIAN
& ORTALA
KAUR
KEUANGAN
MURAD, SH
LALU. WIRAME, SH
JIDAH, SH
R ATI P
PANITERA PENGGANTI :
1. Drs. MAS’UD YUSUF
KAUR UMUM
H. MAWARDI,
SH
JURUSITA / JURUSITA
PENGGANTI :
4. Data Perkara Yang Diterima dan Diputus Pengadilan Agama Giri
Menang
Data perkara yang akan dipaparkan dibawah ini merupakan data
perkara yang diterima dan diputus oleh Pengadilan Agama GIri Menang
Tahun 2013 dan 2014. Perkara yang diterima dan diputus pada tahun
2013 dipaparkan secara umum, sedangkan untuk perkara tahun 2014
belum ada laporan tahunan karena mengingat tahun 2014 sedang
berjalan, yang dipaparkan adalah perkara yang masuk diterima dan
diputus pada bulan April 2013, karena pada bulan April terdapat perkara
Permohonan Pengasuhan Anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga,
sebagaiman terdapat pada tabel data perkara sebagai berikut ;
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
171
H. Abdullah Mustafa
Tabel I
Data Perkara Ringkas Pengadilan Agama Giri Menang
Tahun 201331
NO.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
BULAN
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Jumlah
Jumlah
Perkara
Diterima
16
15
16
27
14
19
14
18
13
27
49
12
240
Jumlah Perkara
Diputus
15
3
17
17
20
23
13
22
12
19
17
50
228
Berdasarkan laporan data perkara bagian Panmud Hukum
Pengadilan Agama Giri Menang pada bulan April tahun 2010 di atas,
nomor urut 44 dengan nomor perkara 04/Pdt.P/2010/PA.GM
merupakan jenis perkara Permohonan Hak Kuasa Penuh Asuh Anak
atau Pengasuhan Anak, yang diajukan oleh CJ alias AH bin Jan Jurger
sebagai Pemohon I dan AG bin Kausar sebagai Pemohon II yang
disidangkan oleh Majelis C1,C6,C9,D11 dengan susunan Hj. Mariyani,
SH., sebagai Ketua Majelis Hakim dan Dra. Hj. Chulailah serta Moh.
Rivai, SH., sebagai Hakim Anggota, dengan didampingi oleh Izuddin,
SH., sebagai Panitera Pengganti.
CJ alias AH adalah warga Negara Belanda dengan nomor paspor
BXR8D0D54, pekerjaan sebagai Pembina Yayasan Peduli Anak, tempat
kediaman di Jalan Suranadi 2 Montong, Desa Selat, Kecamatan
Narmada, Kabupaten Lombok Barat, penghasilan perbulan + 80 juta,
mengajukan permohonan untuk mendapat hak kuasa penuh asuh anak
atau pengasuhan anak atas anak yang bernama H bin AG, usia 8 tahun.
AG bin Kausar adalah Warga Negara Indonesia, pekerjaan tani, tempat
kediaman di Dusun Sandik Atas, Desa Sandik, Kecamatan Batu Layar,
Kabupaten Lombok Barat, sekaligus bertindak selaku orang tua kandung
dari H.
31
172
Arsip Perkara, Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang Tahun 2013
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
CJ telah resmi memeluk agama Islam dengan nama AH , pada
tanggal 05 februari 2010 yang disaksikan oleh beberapa tokoh agama dan
masyarakat. Setelah itu ia menikah dengan seseorang yang bernama
Martina Natra Tilova sesuai dengan ketentuan hukum Islam pada tanggal
20 Maret 2010 di Dusun Langko, Desa Langko, Kecamatan Lingsar,
Kabupaten Lombok Barat, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Lingsar.
Adapun landasan Pemohon mengajukan hak kuasa asuh atau
pengasuhan anak karena kepeduliannya terhadap nasib anak terutama
bidang pendidikan, sandang dan pangan. Selain itu, yang membuat
Pemohon tertarik untuk mengasuh H karena ia melihat ada potensi yang
bagus dalam diri anak tersebut karena kecerdasannya, dan terlebih lagi H
terkena penyakit hepatitis non aktif dan bermaksud akan diobati di
Singapura oleh Pemohon. Orang tua kandung dari H adalah AG dan RL.
AG bekerja sebagai buruh tani serabutan yang tidak menentu
penghasilannya dan tidak cukup untuk memberikan penghidupan yang
layak kepada keluarganya. Sedangkan ibu dari H yaitu RL yang menderita
sakit jiwa sebagaimana surat keterangan kesehatan jiwa yang dikeluarkan
oleh Rumah Sakit (RSJ) Provinsi Nusa Barat (NTB) Nomor:
442/108/RSJP/I/2010 tanggal 1 februari 201032.
Berdasarkan keterangan di atas, antara CJ alias AH sebagai calon
orang tua asuh dengan H sebagai calon anak asuh tidak memilki
hubungan pertalian darah atau keluarga. Dengan demikian bahwa antara
CJ dengan H tidak ada hubungan pertalian nasab atau keluarga,
melainkan adalah orang lain.
a. Factor-Faktor Penyebab Pengajuan Permohonan Pengasuhan Anak
Berdasarkan hasil wawancara dengan Panmud Hukum
Pengadilan Agama Giri Menang, ada beberapa factor penyebab
pengajuan perkara permohonan pengasuhan anak dan pengangkatan
anak di Pengadilan Agama. Faktor-faktor tersebut dibagi kedalam
dua bagian yaitu faktor penyebab dari calon orang tua asuh atau
pengasuh dan faktor penyebab dari orang tua kandung calon anak
asuh.
1) Beberapa Faktor Penyebab dari Calon Orang Tua Asuh, yaitu :
a) Kesepian
Kesepian merupakan faktor penyebab dari calon orang tua
asuh untuk mengajukan permohonan pengasuhan anak, kesepian
ang dimaksud bukan karena tidak mempunyai keturunan atau
tidak mempunyai anak kandung. Faktor kesepian ini biasanya
disebabkan karena anakkandung sudah berumah tangga dan tidak
tinggal serumah dengan orang tua, pada akhirnya orang tua
merasa kesepian di rumah tanpa adanya penghibur hati yang
32
Ibid, bulan April tahun 2014.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
173
H. Abdullah Mustafa
menghiasi hari-hari tua. Dan secara kebetulan hal ini juga
dilakukan oleh Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang,
hanya saja berbeda jenis perkaranya yaitu pengangkatan anak
berdasarkan hukum islam.
b) Tidak Mempunyai Keturunan
Tidak mempunyai keturunan atau yang lazim disebut
dengan mandul merupakan salah satu faktor penyebab seseorang
mengajukan untuk mengasuh atau mengangkat anak, dan hal
semacam ini sering kita temukan di tengah-tengah masyarakat.
Dan pada umumnya orang yang mengajukan permohonan
pengasuhan atau pengangkatan anak anak memiliki tingkat
perekonomian memadai, sehingga besar kemungkinan bagi anak
asuh atau anak angkat untuk mendapatkan penghidupan yang
layak dan mendapatkan kesejahteraan dalam hidup.
c) Berjiwa Sosial
Dengan dasar jiwa sosial yang kuat dapat mendorong
seseorang untuk senantiasa membantu sesame sebagai makhluk
sosial yang membutuhkan bantuan dan dukungan moril dan
materil dari orang lain untuk senantiasa memperoleh hak-hak
dalam hidup, seperti halnya seorang anak yang berhak atas
pemeliharaan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan. Hal
tersebut menjadi salah satu motivasi seseorang untuk mengajukan
permohonan pengasuhan anak atau pengangkatan anak.
Perbuatan dengan dasar jiwa sosial sebagaimana dimaksud
di atas, sama halnya dengan perbuatan pengasuhan anak yang
dilakukan oleh CJ alias AH dengan mengajukan permohonan
untuk mendapat hak kuasa asuh penuh atas anak yang bernama
H.
d) Sebagai Pancingan untuk Mendapat Keturunan
Ada juga orang yang dengan sengaja mengasuh atau mengangkat
anak untuk menjadikan anak tersebut sebagai pancingan
mendapatkan anak kandung, hal ini biasanya dilakukan oleh
pasangan suami-istri yang sudah cukup lama menikah akan tetapi
belum dikaruniai anak, Menurut M. Saleh, istilah tersebut dalam
adat suku sasak disebut dengan peras, yaitu mengambil anak dari
pihak keluarga atau orang lain untuk dijadikan pacningan atau
pelipur lara karena ingin memiliki anak seperti anak yang diasuh.
2) Beberapa Faktor Penyebab dari Orang Tua Kandung Calon Anak
Asuh, yaitu :
a) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor utama bagi orang tua
untuk melepas dan melimpahkan pemeliharaan anaknya kepada
keluarga, kerabat, orang lain atau lembaga sosial. Tingkat
perekonomian yang rendah mengakibatkan tarap kesejahteraan
174
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
hidup menjadi rendah, dan pada akhirnya banyak orang tua yang
tidak mampu memenuhi hak-hak anaknya berupa perawatan,
pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, sehingga dengan
landasan tersebut orang tua dengan merasa rendah hati merelakan
anaknya untuk diasuh orang lain.
b) Meningkatkan Kesejahteraan Anak
Dalam ran3ka meningkatkan kesejahteraan anak menuju
kearah perubahan yang lebih baik, bagi para orang tua yang taraf
perekonomiannya pas-pasan untuk kelangsungan kehidupan
keluarga, terkadang lebih memilih untuk menitipkan anaknya
untuk diasuh oleh keluarga yang perekonomiannya lebih mapan,
kerabat, orang lain atau lembaga demi mendapatkan penghidupan
dan pendidikan yang lebih baik33.
b. Prosedur Berperkara di Pengadilan Agama
Bagi orang yang beragama Islam yang ingin berperkara di
Pengadilan Agama harus menempuh prosedur sebagai berikut :
1) Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa
surat gugatan atau permohonan.
2) Pihak berperkara menghadap petugas Meja I dan menyerahkan
surat gugatan atau permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk
surat gugatan ditambah sejumlah tergugat.
3) Petugas meja Pertama (dapat) memberikan penjelasan yang
dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan
menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam
SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Besarnya panjar biaya
perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan
perkara tersbut,. (Pasal 182 ayat (1) HIR. Jo. Psl. 90 Undang
Undang RI No. 3 Thn. 2006 Tentang Perubahan Atas Undang
Undang No. 7 Thn 1989 Tentang Peradilan Agama biaya perkara
diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan
perkara.
4) Petugas meja I menyerahkan kembali surat gugatan atau
permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan SKUM
(Surat Kuasa Untuk Membayar) dalam rangkap 3 (tiga)
5) Pihak berperkara datang ke loket layanan bank yang ditunjuk dan
mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara. Pengisian data
dalam slip bank tersebut sesuai dengan SKUM (Surat Kuasa
Untuk Membayar), seperti nomor urut, dan besarnya biaya
penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank
yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam
slip bank tersebut.
33
M. Nasir SH, wawancara, Panmud Hukum Pengadilan Agama Giri Menang, 2 agustus 2014.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
175
H. Abdullah Mustafa
6) Setelah pihak berperkara menerima slip bank yang telah divalidasi
dari petugas layanan bank, pihak berperkara menyerahkan slip
bank tersebut dan menyerahkan (SKUM) Surat Kuasa Untuk
Membayar kepada pemegang kas (Kasir)
7) Pemegang Kas (Kasir) mencatat Panjar Biaya tersebut ke dalam
Jurnal Keuangan Perkara serta menandatangani SKUM (Surat
Kuasa Untuk Membayar), membubuhkan nomor perkara dan
tanggal penerimaan perkara dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk
Membayar) dan dalam surat gugatan/ permohonan sesuai dengan
Nomor dan tanggal saat pencatatan dalam Jurnal Keuangan
Perkara
8) Pemegang kas kemudian member tanda lunas dalam SKUM
(Surat Kuasa Untuk Membayar), dan menyerahkan kembali
kepada pihak berperkara asli SKUM (Surat Kuasa Untuk
Membayar) serta satu salinan surat gugatan atau permohonan
yang telah diberi nomor perkara dan tanggal pendaftaran
(pendaftaran selesai). Pihak/ pihak-pihak berperkara akan
dipanggil oleh jurusita/ jurusita pengganti untuk menghadap ke
persidangan setelah ditetapkan Susunan Majelis Hakim (PMH)
dan hari siding pemeriksaan perkaranya (PHS). Hari sidang
pertama, paling lambat 30 hari sejak pendaftaran. Pemanggilan
pihak-pihak dilakukan paling lambat tiga hari sebelum
persidangan (hari waktu memanggil tidak dihitung)
9) Pihak-pihak hadir di Persidangan sesuai dengan panggilan sidang
10) Setelah Majelis Hakim membacakan putusan dalam sidang yang
terbuka untuk umum, Ketua Majelis memberitahukan pada
Penggugat/ Pemohon untuk menghadap Kasir guna mengecek
panjar biaya perkara yang bersangkutan
11) Pemohon/ Penggugat selanjutnya menghadap kepada Pemegang
Kas untuk menanyakan perincian penggunaan panjar biaya
perkara yang telah ia bayarkan, dengan memberikan informasi
nomor perkaranya
12) Pemegang Kas berdasarkan Buku Jurnal Keuangan Perkara
memberi penjelasan mengenai rincian penggunaan biaya perkara
kepada Pemohon/ Penggugat
13) Pemohon/Penggugat setelah menerima kwitansi pengambilan
sisa panjar biaya perkara dan menandatanganinya, kemudian
menyerahkan kembali kwitansi tersebut kepada Pemegang Kas
14) Pemegang Kas menyerahkan uang sejumlah yang tertera dalam
kwitansi tersebut beserta tindasan pertama kwitansi kepada pihak
Pemohon/ Penggugat
176
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
15) Para Pihak dapat mengajukan Banding dalam tempo 14 hari
setelah putusan dihatuhkan atau 14 hari setelah pemberitahuan
amar putusan apabila pihak tidak hadir saat putusan diucapkan34
J. PROSES PERSIDANGAN PERKARA PERMOHONAN PENGASUHAN ANAK
OLEH SELAIN PIHAK KELUARGA DI PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG.
Bahwa dalam rangka menertibkan pelaksanaan peradilan di Indonesia
dikenal adanya dua kewenangan untuk mengadili yaitu kewenangan absolut
dan kewenangan relatif. Kewenangan absolut suatu pengadilan pada
dasarnya sudah tertuang di dalam perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga ketika diajukan suatu jenis perkara maka tinggal disesuaikan dengan
aturan perundang-undangan yang berlaku, apakah merupakan kewenangan
Pengadilan terkait atau tidak.
Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan
peradilan, dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang
tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama
dan tingkat banding. Untuk lingkungan Peradilan Agama, menurut Bab I
Pasal 2 jo Bab III Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 ditetapkan tugas
kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkaraperkara perdata bidang: (a) Perkawinan, (b) Kewarisan, wasiat, dan hibah
berdasarkan Hukum Islam ; (c) wakaf dan sedekah35.
Kini seiring berjalannya waktu menuju perkembangan zaman,
dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.
7 Tahun 1989 Peradilan Agama memiliki tambahan kewenangan di bidang
ekonomi syariah, sebagaimana telah disebutkan pada bab I dalam skripsi ini.
Merujuk kepada kewenangan absolut Pengadilan Agama sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku sebagaiman telah disebutkan
sebelumnya, jika dikaitkan dengan perkara Permohonan Pengasuhan Anak
yang diajukan oleh selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang,
maka terlebih dahulu jenis perkara ini harus disesuaikan dengan pengaturan
kewenangan absolut Pengadilan Agama yang terdapat pada Pasal 49 UU No.
3 Tahun 2006 Tentang Perubah Atas UU No. 7 Tahun 1989 untuk
menentukan apakah perkara tersebut merupakan kewenangan absolut
Pengadilan Agama atau tidak.
Jenis perkara permohonan pengasuhan anak yang diajukan oleh
orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 49 bahwa tidak
terdapat poin yang menyebutkan secara jelas bahwa pengasuhan anak oleh
orang lain merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Dengan tidak
disebutkannya secara jelas pengaturan pengasuhan anak oleh selain pihak
34
Pengadilan Agama Giri Menang, “Prosedur Berperkara”, dalam http//
www.pagirimenang.net diambil tanggal 20 juli 2014, pukul 20.30
35 Sulaikin Lubis, “Kewenangan Peradilan Agama”, dalam Gamala Dewi (Ed), Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h. 105.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
177
H. Abdullah Mustafa
keluarga, secara kasat mata jenis perkara tersebut merupakan kewenangan
absolut Pengadilan Agama.
Dalam menyidangkan perkara Permohonan Hak Kuasa Penuh Asuh
Anak atau Pengasuhan Anak yang diajukan oleh CJ alias AH atas anak yang
bernama H, Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri Menang menempuh
beberapa langkah dalam menemukan dan menyesuaikan pengaturan jenis
perkara tersebut sehingga dapat disidangkan dan menjadi bagian dari
kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Anggota Majelis
Hakim yang menyidangkan perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh
selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang, upaya yang
ditempuh Majelis Hakim untuk menemukan pengaturan perkara
permohonan pengasuhan anak oleh selain pihak keluarga, yaitu tidak sertamerta menolah perkara tersebut dengan alasan hukum tidak ada atau kurang
jelas, akan tetapi Majelis Hakim melakukan interpretasi atau berijtihad
terlebih dahulu untuk mendapatkan keyakinan akan suatu kebenaran. Hal
tersebut didasarkan pada Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman, yang berbunyi
“Pengadilan tidak boleh menolah untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, dan Pasal 27 ayat (1)
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut, maka hakim memiliki kewenangan untuk
melakukan interpretasi atau penafsiran untuk menemukan sesuatu yang
belum jelas guna mendapatkan suatu kebenaran relatif dalam memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara.
Adapun sumber interpretasi pertama yang dilakukan hakim berasal
dari landasan kewenangan absolut Pengadilan Agama yang terdapat pada
Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, penjelasan tentang perkawinan pada huruf
(a) nomor (11) Penguasaan Anak. Dalam hal ini, Majelis Hakim berpendapat
bahwa hak kuasa asuh atau pengasuhan anak sebagaimana yang dimaksud
pada permohonan pengasuhan anak merupakan bagian dari penguasaan
anak, sebab dalam proses pengasuhan anak, anak asuh tersebut berada di
bawah kekuasaan orang tua asuh setelah adanya penetapan dari Pengadilan
Agama. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), kegiatan
pengasuhan anak disebutkan dalam Pasal 1 huruf (g) “Pemeliharaan anak
atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri”, namun pasal ini belum dapat
dijadikan landasan untuk menyatakan bahwa permohonan pengasuhan anak
oleh selain pihak keluarga menjadi kewenangan Pengadilan.
Langkah kedua yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Giri Menang untuk menentukan bahwa perkara permohonan pengasuhan
anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga merupakan kewenangan
178
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
absolut pengadilan Agama adalah dengan merujuk pada UU Nomor. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka (9) dan (10)
mengenai pengertian anak asuh dan kuasa asuh, dan Pasal 27 sampai Pasal
41, dan khususnya melalui penjelasan Pasal 33 ayat (2) yang menjadi dasar
utama untuk memperkuat bahwa permohonan pengasuhan anak oleh selain
pihak keluarga merupakan kewengan absolut Pengadilan Agama, yaitu
“Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pengadilan Agama
bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain
Islam”. Pada pasal sebelumnya telah ditegaskan bahwa untuk dapat
melakukan pengasuhan anak maka orang yang akan mengasuh harus
seagama dengan anak asuh, ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 31 ayat
(4) yaitu “Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama dianaut anak yang
akan diasuhnya”. Pada Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002
menyatakan “Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya
tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik,
mental, spritual, maupun sosial”, dan pada UU Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, Pasal 45 ayat (1) menyatakan “Kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Jika
disesuaikan dengan hasil paparan data dan temuan pada bab II, maka orang
tua dari H dapat dikatakan tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya
secara wajar yang pada dasarnya merupakan tanggung jawabnya sebagaimana
ketentuan pasal 45 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dan hal tersebut telah
memenuhi ketentuan pada Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002.
Penggunaan UU Nomor. 23 Tentang Perlindungan anak pada
Pengadilan Agama sedikit menjadi pembicaraan, sebab UU tersebut
dianggap berlaku secara umum yang pada akhirnya melahirkan asumsi
bahwa UU tersebut berlaku pada peradilan umum atau negeri. Namun,
ketentuan yang terdapat UU Perlindungan Anak dengan sendirinya
memberikan kewenangan absolute kepada Pengadilan Agama untuk
memberikan penetpan terhadap perkara Permohonan Pengasuhan Anak
oleh selain pihak keluarga atau orang lain, dan hal tersebut menjadi landasan
bahwa Pengadilan Agama tidak hanya berpedoman mati dengan UndangUndang Peradilan Agama, dan dalam hal ini juga dapat diberlakukan asas
hokum lex specialis derogate lex generalis sebagaimana yang telah
disebutkan pada bab I, kaidah tersebut memberikan keterangan untuk
menepikan hukum yang umum dengan hukum yang khusus, namun
sebaliknya jika tidak terdapat yang khusus kembali kepada yang umum, dan
pada Kenyataannya hukum tersebut menunjuk kepada Pengadilan Agama.
Hal tersebut dikuatkan juga dengan pemberlakuan hukum acara di
Pengadilan Agama, pada Pasal 54 UU No. 3 Tahun 2006 Perubahan Atas
UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yaitu “Hukum Acara yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
179
H. Abdullah Mustafa
Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.
Selain itu Majelis Hakim menggunakan penafsiran teologis yaitu
hakim dapat menafsirkan undang-undang sesuai tujuan pembentukan
undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. Penafsiran ini terjadi apabila
makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan.
Sebagaimana penjelasan pasal 49 huruf (a) nomor 11, UU No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun
2007 Tentang Pengangkatan Anak, dimana dalam hal pengasuhan dan
pemeliharaan anak yang paling diperhatikan adalah untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak, selain itu Majelis Hakim berpendapat bahwa pengasuhan
anak merupakan bagian dari penguasaan anak, sebagaimana terdapat dalam
penjelasan Pasal 49 huruf (a) nomor 11 yang didasarkan pada kekuasaan
dalam mengasuh. Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa
perkara Permohonan Pengasuhan Anak merupakan wewenang absolut
Pengadilan Agama36.
Di samping itu, menurut M. Syafi’i, S.Sg37, salah seorang hakim
Pengadilan Agama Giri Menang, hakikat hak kepangeasuhan seperti yang
diajukan dalam permohonan pemohon satu tidak beda jauh dengan
Tabanni/pengangkatan anak, karena antara keduanya yang diminta adalah
hak mengasuh. Yang beda mungkin akibat hukum yang ditimbulkan oleh
masing-masing bentuk penetapan hukum tersebut. Kalau tabanni atau
pengakatan anak akan berakibat hukum saling mewarisi sebagai hak-hak
perdata dari sementara pihak-pihak, sebagai ditetapkan dalam KHI, maka
dalam hak asuh tanpa mengangkat anak boleh jadi tidak punya hak-hak
perdata sebagaimana layaknya anak angkat. Terlebih lagi dalam perkara no:
04/Pdt.P/2010/PA. GM, pihak Chaim sebaga pemohon menyatakan dia
hanya ingin memeiliki hak masuh tanpa mau mengangkat statust H menjadi
anak angkat sebagaimana tertera dalam KHI.
K. LANDASAN HUKUM MAJELIS HAKIM PENGADILAN AGAMA GIRI
MENANG DALAM MEMERIKSA, MEMUTUS, DAN MENYELESAIKAN
PERKARA PERMOHONAN PENGASUHAN ANAK
Dalam pembahasan ini, pada dasarnya meliputi pembahasan pada
point A yaitu proses persidangan permohonan pengasuhan anak pada
Pengadilan Agama. Adapun pemisahan secara khusus pada point A yaitu
untuk memberikan penjelasan mengenai proses persidangan dalan
kewenangan absolut yang belum jelas di dalam Undang-Undang Peradilan
Agama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dan setelah
ditemukannya fakta yang jelas dalam proses persidangan barulah suatu
2
Moh. Rivai, wawancara, Hakim Pengadilan Agama Giri Menang, 4 agustus 2014.
dengan M.Syafi’i, Hakim PA Giri Menang, 18 September 2014.
37Wawancara
180
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
perkara dapat diperiksa, diputus, dan diselesaikan oleh Pengadilan Agama
Giri Menang.
Selain masalah kewenangan absolut dalam perkara permohonan
pengasuhan anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga di Pengadilan
Agama Giri Menang yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini, tentunya
dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara, Pengadilan Agama
Giri Menang harus berpedoman terlebih dahulu pada batas-batas daerah
yurisdiksi atau wilayah kekuasaannya yang meliputi seluruh wilayah
Kabupaten Lombok Barat yang kini terbagi menjadi dua Kabupaten yaitu
Lombok Barat dan Lombok Utara. Menurut paparan data dan temuan yang
terdapat pada bab II, kedudukan wilayah hukum para pihak yang
mengajukan permohonan pengasuhan anak berdomisili di wilayah
Kabupaten Lombok Barat, yaitu Pemohon I CJ alias AH berdomisili di Jalan
suranadi 2 Montong, Desa Selat, Kecamatan Narmada, dan Pemohon II
selaku ayah kandung dari Hidayatulah berdomisili di Dusun Sandik Atas,
Desa sandik, Kecamatan Batu Layar. Berdasarkan ketentuan daerah yuridiksi
Pengadilan Agama Giri Menang yang terdapat pada bab II, kedua alamat
tersebut berada di wilayah Kabupaten Lombok Barat yang menjadi daerah
kekuasaan yuridiksi Pengadilan Agama Giri Menang berdasarkan Pasal 4 ayat
(1) UU No.3 Tahun 2006, yang kemudian menjadi landasan formil yang
kemudian menjadi salah satu bagian dari landasa hukum. Dengan demikian
dua unsur kewenangan yang harus dipenuhi oleh suatu Pengadilan sebagai
suatu landasan hukum untuk dapat memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut
telah terpenuhi, maka Pengadilan Agama Giri Menang berhak memeriksa,
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara Permohonan Pengasuhan
Anak yang diajukan oleh selain pihak keluarga dengan nomor perkara
04/Pdt.P/2010/PA.GM.
Selain itu, menurut salah seorang Anggota Majelis Hakim yang
menyidangkan perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh selain pihak
keluarga yang diajukan oleh CJ Fetter, pada dasarnya ada dua landasan
Majelis Hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
tersebut yaitu landasan yuridiksi dan landasan filosofis38.
1. Landasan Yuridis
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan
yuridis adalah hukum menurut hukum ; secara hukum 39. Dapat
disimpulkan yang dimaksud dengan hukum menurut hukum yaitu
penegakan hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku, dan
landasan ini disebut sebagai landasn hukum. Adapun landasan yuridis
yang digunakan Majelis Hakim dalam memeriksa, memutus, dan
3Ibid
4Haetomo,
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Mitra Pelajar, 2005), h. 598.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
181
H. Abdullah Mustafa
menyelesaikan perkara permohonan pengasuan anak, yaitu penafsiran
terhadap UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No.7
Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, Pasal 49 huruf a, nomor (11)
“Pengasuhan anak”, dan Majelis Hakim juga merujuk kepada UU No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, sebagaimana telah disebutkan
dan dijelaskan sebelumnya. Sehinga dengan landasan undang-undang
sebagaimana dimaksud, Majelis Hakim berpendapat bahwa mereka
berhak memeriksa perkara tersebut. Dalam landasan yuridis ini
mencakup akan ketentuan kewengan relatif dan kewengan absolut
Pengadilan Agama yang telah ditetapkan dengan berbagai ketentuan,
karena ketentuan tersebut menjadi sebuah pedoman aturan hukum bagi
masyarakat.
2. Landasan Filosofis
Filosofis artinya berdasarkan filsafat, sedangkan filsafat artinya
pengetahuan dan penyelidikan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal dan hukumya; teori yang mendasari alam pikiran suatu
kegiatan; ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan
epistemologi; falsafah40. Landasan filosofis Majelis Hakim dalam
memeriksa, memutus, dan meyelesaikan perkara Permohonan
Pengasuhan Anak oleh selain pihak keluarga yaitu landasan atau
argumentasi yang didasari pada pemikiran berdasarkan kemaslahatan
yang tidak disebutkan secara langsung di dalam perundang-undangan
yang berlaku, melainkan hal tersebut berdasarkan kemaslahatan yang
diperoleh dari olah pikir manusia yang didasari oleh berbagai argumen.
Adapun landasan filosofis yang digunakan Majelis Hakim yaitu
berdasarkan kepentingan dan kesejahteran anak dalam berbagai hal
untuk menuju masa depan yang lebih baik dalam rangka saling
membantu dalam kebajikan dan memberikan manfaat bagi sesama
manusia yang merupakan mahluk sosial. Landasan filosofis tersebut
didasari oleh Firman Allah, yaitu:
‫وتعاونوا على البر والتقوى والتعا ونوا على االثم والعدوان واتقوهللاا ان هللاا شديد العقاب‬
“....dan tolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya”( Al-Maidah: 2)
‫ومن احياها فكانما احيا الناس جميعا ولقد جاءتهم رسلنا بالبينات ثم ان كثيرا منهم بعد ذالك في‬
‫االرض لمسرفون‬
5Ibid.
182
h. 156.
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
“...dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka
seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesunguhnya telah datang kepada rasul-rasul kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak di antara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
di muka bumi”. (Al-Maidah: 32)
Selain menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dasar landasan filosofis,
Majelis Hakim berpegang kepada kaidah fiqhiyah yang berbunyi :
‫تصرف االمام على الرعية منوط باالمصلحة‬
Artinya: “Kebijakan dan perlakuan penguasa terhadap rakyat harus mengacu
kepada perlindungan dan kesejahteraan rakyatnya”
Majelis Hakim memandang kemaslahatan yang ditimbulkan dari
pengasuhan anak oleh Pemohon I demi kepentingan dan kesejahteraan anak
tersebut.
L. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada pembahasan dan sesuai dengan rumusan
masalah yang telah ditetapkan, maka kesimpulan yang diperoleh dalam
skripsi ini adalah:
1. Proses persidangan dalam perkara Permohonan Pengasuhan Anak oleh
selain pihak keluarga di Pengadilan Agama Giri Menang ditempuh
Majelis Hakim melalui dua proses, yaitu pertama dari hasil penafsiran
atau interpretasi penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama, Pasal 49 huruf (a) Nomor (11) “penguasaan anak”, bahwa hak
kuasa asuh atau pengasuhan anak merupakan bagian dari penguasaan
anak, dan yang kedua dengan merujuk pada UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, khususnya penjelasan Pasal 33 ayat (2) yang
menyatakan “bahwa Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini
adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan
Negeri bagi yang beragama selain Islam”. Dengan demikian Majelis
Hakim Pengadilan Agama GIri Menang yang menyidangkan perkara
Permohonan Hak Kuasa Penuh Asuh Anak atau Pengasuhan Anak oleh
selain pihak keluarga berkesimpulan bahwa perkara tersebut merupakan
wewenangan Pengadilan Agama.
2. Landasan hukum yang digunakan Majelis Hakim Pengadilan Agama Giri
Menang dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara
Permohonan Hak Kuasa Asuh atau Pengasuhan Anak oleh selain pihak
keluarga, secara garis besar ada dua landasan. Landasan pertama adalah
landasan yuridis atau yang disebut dengan landasan hokum yaitu segala
sesuatu yang didasari kepada undang-undang, didalamnya termasuk
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
183
H. Abdullah Mustafa
kewenangan relative yang disandarkan kepada Pasal 4 ayat (1) UU No. 3
Tahun 2006 dan kewenangan absolute yang didasarkan kepada
penafsiran penjelasan Pasal 49 huruf (a) nomor (11) tentang “penguasaan
anak-anak”, dan dengan merujuk pada UU No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, khususnya penjelasan Pasal 33 ayat (2). Landasan
kedua adalah landasan filosofis yang berdasarkan akal budi yaitu
berdasarkan kemaslahatan anak yaitu demi kepentingan dan
kesejahteraan hidup, dan landasan ini digunakan sebagai dasar putusan
perkara oleh Majelis Hakim.
M. SARAN-SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini, peneliti ingin memberikan
beberapa saran yaitu :
1. Bagi Hakim Pengadilan Agama Giri Menang diharapkan terus
meningkatkan kajian hokum secara mandiri di bidang Peradilan Agama
demi terselenggaranya kekuasaan kehakiman yang mandiri dan
dilaksanakan secara professional untuk menuju kemajuan di bidang
hokum Peradilan Agama.
2. Bagi Fakultas Syaria’ah secara umum dan khususnya jurusan ahwal alsyakhsiyah agar dapat lebih menekankan aspek pemahaman hokum
kepada mahasiswa di bidang Peradilan Agama untuk meningkatkan
kualitas mahasiswa Fakultas Syari’ah.
3. Bagi rekan-rekan mahasiswa yang akan melakukan penelitian di bidang
hokum Peradilan Agama hendaknya lebih meningkatkan intesitas kajian
hokum agar lebih menguasai teori-teori hukum.
184
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Qawwãm• Volume
8 Nomor 2, 2014
DAFTAR RUJUKAN
A. Basiq Djalil. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006.
Abdullah Manan. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2005.
Abdullah Manan. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan. Jakarta :Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Ahmad Rofiq. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2003.
Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum pembuktian. Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.
Andi Syamsu Alam & M. Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam.Jakarta: Pena Media, 2008.
Cik Hasan Bisri. Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Erfanizah Zuhriah. Peradilan Agama di Indonesia. Jogjakarta: Sukses Offset, 2008.
Gemala Dewi (Ed.) Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group , 2006.
Huzaemah T. Yanggo. Suara Uldilag Mahkamah Agung RI Lingkungan
Peradilan Agama (Vol. 3. No.X). Jakarta: Pokja Perdata Agama RI, 2007.
Husaini Usman. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Haetomo. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Pelajar, 2005.
Lexy J. Meleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2008.
M Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari’ah. Jakarta: Kencana Media Prenada, 2007.
M. Nur Rasaid. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Muderis Zaini. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Mustofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana,
2008.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002
M. Ridwan Lubis (Ed). Peradilan Satu Atap dan Profesi Advokat. Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Beragama, 2005.
Rasady Ruslan. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Soedharyo Saimin. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004
Sudarsono. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan Pengadilan
Tata Usaha Negara. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Suharsini Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 1997
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
185
H. Abdullah Mustafa
Soerjono & Abdurrahman. Metode Penelitian Hukum. Jakara: Rineka Cipta, 2005.
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara
Islam.Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001.
Yulies Tiena Masriani. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2006
186
Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) IAIN Mataram
Download