BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak mengalami proses tumbuh kembang yang di mulai sejak dari dalam kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah dan remaja. Setiap tahapan proses tumbuh kembang anak mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga jika terjadi masalah pada salah satu tahapan tumbuh kembang tersebut akan berdampak pada kehidupan selanjutnya. Tidak semua anak mengalami proses tumbuh kembang secara wajar sehingga terdapat anak yang memerlukan penanganan secara khusus. Cerebral Palsy adalah kerusakan susunan syaraf pusat yang terjadi pada masa pertumbuhan, bersifat permanen dan nonprogresif. Artinya, kerusakan yang terjadi pada otak akan menetap pada lokasi yang sama. Kerusakan itu tidak akan berpindah ataupun menyebar ke tempat lain. CP tidak menular dan bukan penyakit keturunan. CP dapat terjadi selama proses kehamilan, dalam proses kelahiran ataupun setelah bayi lahir (pascakelahiran). Cerebral Palsy Merupakan sekelompok gangguan gerak atau postur yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif yang menyerang otak yang sedang berkembang atau immature. Lesi yang terjadi sifatnya menetap selama hidup, tetapi perubahan gejala bisa terjadi sebagai akibat proses pertumbuhan dan maturasi otak. Kerusakan jaringan saraf yang tidak progresif pada saat prenatal dan sampai 2 tahun post natal termasuk dalam kelompok Cerebral Palsy (Hinchcliffe, 2007). Pada umumnya permasalahan pada kondisi CP spastik diplegi adalah terjadi peningkatan tonus otot-otot postur karena adanya spastisitas yang kemudian akan mempengaruhi kontrol gerak. Adanya spastisitas akan berakibat pada gangguan postur, kontrol gerak, keseimbangan, dan koordinasi yang pada akhirnya akan mengganggu aktifitas fungsional anak penderita CP. Apabila keadaan tersebut tidak segera memperoleh penanganan yang tepat maka akan berpotensi terjadinya permasalahan baru, sehingga akan semakin memperburuk postur tubuh, keseimbangan dan pola jalan yang benar. “Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, penanganan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik, mekanik), pelatihan fungsi komunikasi”. Berdasarkan definisi diatas, maka fisioterapis sebagai tenaga kesehatan yang professional mempunyai kemampuan dan keterampilan yang sangat besar untuk mengembangkan, mencegah, mengobati dan mengembalikan gerak dan fungsi seseorang dalam seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Anak yang mengalami cerebral palsy akan memiliki banyak permasalahan pada gerak dan fungsi tubuhnya, diantaranya adalah keseimbangan berdiri disebabkan oleh tonus postural yang abnormal. Fisioterapi pada kasus cerebral palsy berperan dalam memperbaiki postur, Treatment yang digunakan fisioterapi dalam meningkatkan kemampuan fungsional berdiri sangat beragam salah satunya dengan menggunakan tehnik berdiri di standing frame dan trunk control exercise yang bertujuan untuk memperbaiki postur dan melatih otot-otot pada saat berdiri terutama pada otot tungkai bagian bawah. Trunk Control Exercise merupakan latihan yang diberikan baik pasif maupun aktif ke seluruh luas gerak tubuh dengan tujuan untuk memperbaiki co-contraksi otot-otot trunk dan untuk memperoleh fleksibilitas dari trunk yang diharapkan dapat memperbaiki postur pada kondisi CP diplegi spastik yang cenderung kifosis. Pada akhir gerakan pasif dapat disertai dengan pemberian stretching ( penguluran jaringan ) dan elongasi (pemanjangan trunk ke arah atas). Standing frame adalah alat untuk latihan berdiri dengan posisi yang benar. Standing frame juga berguna untuk meregangkan otot-otot dan merangsang saraf-saraf di bagian persendian. Dengan berlatih menggunakan standing frame, anak dapat merasakan posisi menumpu berat badannya. B. Identifikasi Masalah Masalah yang paling utama pada Cerebral Palsy adalah gangguan gerak dan fungsi yang disebabkan oleh tonus postural yang abnormal. Cerebral Palsy dapat di klasifikasikan menjadi 4 bagian berdasarkan tonus posturalnya yaitu Cerebral Palsy tipe Spastic, Athetoid, Ataxia dan Hypotonia. Perbedaan tonus postural pada Cerebral Palsy tergantung kepada bagian otak yang memiliki kerusakan. Karena adanya tonus postural yang abnormal, menyebabkan anak dengan Cerebral Palsy memiliki keterlambatan perkembangan motorik kasar. Adanya abnormalitas tonus postural ( spastisitas ) menyebabkan kontrol gerak yang tidak terkendali sehingga mempengaruhi postur tubuh. Apabila tidak segera ditangani maka akan terjadi permasalahan lain berupa deformitas yaitu kontrakur otot, kekakuan sendi, skoliosis. Tipe yang sering di jumpai adalah cerebral palsy spastic. Cerebral palsy spastic adalah kondisi dimana tonus otot meningkat, sehingga menyebabkan kekakuan dan kesulitan bergerak. Permasalahan yg biasa terjadi pada kondisi Cerebral Palsy spastic diplegi adalah derajat peningkatan tonus otot-otot postur karena adanya spastisitas yang akan berpengaruh pada kontrol gerak, keseimbangan berdiri dan koordinasi gerak yang akan berpotensi terganggunya aktifitas fungsional sehari-hari. Oleh karena itu tujuan fisioterapi dalam hal ini adalah untuk membandingkan efek penambahan intervensi Trunk Control Exercise pada intervensi Standing Frame dengan intervensi Standing Frame saja dapat meningkatkan kemampuan fungsional Postural pada anak Cerebral Palsy tipe spastik diplegia. C. Perumusan Masalah 1. Apakah Standing Frame dapat meningkatkan kemampuan fungsional postural pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia di klinik Kitty Centre ? 2. Apakah penambahan Trunk Control Exercise pada intervensi Standing Frame dapat meningkatkan kemampuan fungsional postural pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia di klinik Kitty Centre ? 3. Apakah penambahan Trunk Control Exercise pada intervensi Standing Frame lebih baik dalam meningkatkan kemampuan fungsional postural pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia di klinik Kitty Centre ? D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan fungsional postural antara pemberian penambahan Trunk Control Exercise pada intervensi Standing Frame dengan Standing Frame pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia di klinik Kitty Centre 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan fungsional postural pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia di klinik Kitty Centre pada pemberian Standing Frame. b. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan fungsional postural pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia di klinik Kitty Centre dengan penambahan Trunk Control Exercise pada intervensi Standing Frame. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada institusi mengenai pengaruh intervensi Standing Frame dan Trunk Control Exercise terhadap kemampuan fungsional Postural anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia. 2. Bagi Pendidikan Hasil penelitian ini diharakan dapat digunakan sebagai referensi tambahan peningkatan kemampun fungsional postural pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia dan diharapkan menjadi bahan kajian untuk diteliti lebih lanjut. 3. Bagi Peneliti Adanya penelitian ini, membuat peneliti dapat mengetahui sejauh mana pengaruh intervensi yang diberikan pada anak Cerebral Palsy tipe spastic diplegia. BAB II KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS 2.1. Deskripsi Teoritis 2.1.1. 2.1.1. Cerebral Palsy Secara definisi, Brunner dan Suddarth mengartikan kata cerebral itu sendiri adalah otak, sedangkan palsy adalah kelumpuhan, kelemahan, atau kurangnya pengendalian otot dalam setiap pergerakan atau bahkan tidak terkontrol. Kerusakan otak tersebut mempengaruhi sistem dan penyebab anak mempunyai koordinasi yang buruk, keseimbangan yang buruk, pola-pola gerakan yang abnormal atau kombinasi dari karakter-karakter tersebut (Hidayat, 2010). Menurut Dag Moster pada tahun 2010, Cerebral Palsy merupakan sebagian besar penyebab umum kecacatan fisik di masa kecil, dengan keterbatasan yang menetap pada seluruh kehidupan. Cerebral palsy ditandai dengan gangguan gerakan nonprogressif dan postur tubuh, dianggap hasil dari penyimpangan terhadap otak selama masa perkembangan janin atau awal kehidupan anak. Sarah Mcintyre pada tahun 2012, mengatakan bahwa Cerebral palsy merupakan cacat fisik yang paling umum terjadi pada masa kanak-kanak. Cerebral palsy menggambarkan sekelompok gangguan gerakan dan postur yang juga sering disertai dengan gangguan dan masalah muskuloskeletal sekunder. Insiden anak-anak yang mengalami kelainan cerebral palsy mencapai 50-65%. United Cerebral Palsy Association merumuskan Cerebral Palsy sebagai suatu kumpulan keadaan, biasanya pada masa kanak-kanak, yang ditandai dengan kelumpuhan, kelemahan, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi motorik yang disebabkan gangguan pada pusat kontrol motorik di otak. Sedangkan menurut Kuban, pada anak-anak hubungan antara lesi pada sistem saraf pusat dan gangguan fungsi yang dapat berubah. Abnormalitas pada tonus motorik atau gerakan yang terjadi pada beberapa minggu atau beberapa bulan pertama kelahiran, secara teratur akan meningkat selama tahun pertama kehidupan. Namun setelah anak berusia lebih dari satu tahun, tonus motorik menjadi berkurang, dimana kondisi ini terus berlanjut hingga akhirnya ia didiagnosa menderita cerebral palsy. Cerebral palsy merupakan kondisi neuromuskuler nonprogresif terdiri dari serangkaian sindrom yang dihasilkan dari kerusakan otak. Insiden cerebral palsy sekitar 800.000 orang di Amerika Serikat memiliki beberapa derajat cerebral palsy, 2 sampai 3 dari 1.000 bayi lahir dengan cerebral palsy, 40% sampai 50% anak lahir dengan cerebral palsy yang prematur, lahir dengan berat badan rendah antara 1500g dan 2499g dikelahiran, dan 63,5 per 1000 kelahiran anak hidup dengan berat badan kurang dari 1500g, atau anak lahir cerebral palsy prematur disertai dengan berat badan yang rendah. Cerebral palsy bukanlah suatu penyakit tertentu melainkan gangguan atau kelainan disebabkan oleh kerusakan permanen otak pada periode prenatal dan perinatal. ini mungkin melibatkan kelemahan otot, kekakuan, atau kelumpuhan, keseimbangan berkurang, gerakan tidak teratur, dan tidak terkoordinasi. Berdasarkan definisi tentang cerebral palsy di atas, penulis menyimpulkan bahwa cerebral palsy merupakan suatu kelainan yang didapat sejak masa kanak-kanak, membuat menjadi lemah, mengalami kelumpuhan, terganggunya gerakan dan postur tubuh, tidak ada keseimbangan tubuh yang disebabkan karena adanya gangguan sistem saraf motorik. 2.1.2. ETIOLOGI CEREBRAL PALSY Etiologi cerebral palsy: a. Prenatal: Genetik atau kongenital (misalnya, anoxia, infeksi, alkohol atau penyalahgunaan obat, ketidakcocokan Rh, dan gangguan metabolisme, kurangnya asam folat) b. Natal: Anoksia, perdarahan. c. Postnatal: cedera kepala, infeksi, neoplasma, anoksia. Berdasarkan penelitian di Pakistan tahun 2014, faktor risiko paling umum yang menyebabkan terjadinya cerebral palsy yaitu adanya hubungan atau pertalian darah, kejang neonatal, infeksi selama kehamilan dan kurangya perawatan antenatal. Penyebab prenatal adalah trauma ibu, kekurangan gizi, infeksi selama kehamilan dan kelahiran ganda. Di antara semua ini faktor, adanya infeksi atau demam selama kehamilan lebih menonjol dalam masyarakat. Data yang dikumpulkan oleh National Institutes of Health Collaborative Perinatal Project (NCPP) mengungkapkan bahwa infiltrat inflamasi yang sedang sampai yang parah hadir dalam plasenta meningkatkan risiko mengembangkan cerebral palsy baik bagi bayi prematur dan bayi cukup bulan. Selain itu, hubungan yang signifikan antara berat badan lahir rendah dan cerebral palsy telah terlihat dalam berbagai penelitian Western. Persalinan yang tidak dilakukan di rumah sakit juga menimbulkan risiko yang berhubungan dengan cerebral palsy seperti asfiksia pada saat lahir. Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau sesudah persalinan. Peran asfiksia pada saat lahir dalam penyebab cerebral palsy telah sangat dibahas dan menentang seluruh literatur yang ada. Studi Western menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan, sedangkan negara-negara berkembang terutama India Utara, Nigeria dan Malta menemukan sangat sugestif sejarah asfiksia pada anak-anak saat lahir. 2.1.3. KLASIFIKASI DAN KARAKTERISTIK CEREBRAL PALSY 2.1.3.1. Cerebral palsy tipe Spastic Tipe spastic adalah yang paling umum dari kasus cerebral palsy. Presentase kejadiannya yaitu 50% sampai 70%. Ada berbagai tingkat cerebral palsy tipe spastic. Penyebabnya bervariasi ada yang ringan mempengaruhi beberapa gerakan sedangkan penyebab yang lebih parah dapat menyebabkan pengaruh bagi seluruh tubuh. Spastic berarti kekakuan atau keketatan otot-otot. Otot-otot ini menjadi kaku karena pesan pada otot disampaikan secara tidak benar oleh bagian otak yang rusak. Pada orang normal ketika akan melakukan suatu gerakan, maka terjadi kesepakatan dari dua kelompok otot, yaitu ketika satu kelompok melakukan suatu gerakan maka kelompok otot yang lain akan melakukan pengenduran. Namun pada penderita cerebral palsy tipe spastic kedua kelompok otot ini melakukan secara bersama-sama sehingga membuat gerakan menjadi sulit. Anak yang termasuk dalam cerebral palsy tipe spastic mempunyai ciri hipertabilitas yang melibatkan otot sehingga bila diberikan sedikit rangsangan akan menimbulkan kontraksi berlebihan, lengan, kaki dan kepala seakan tertekuk, terbatasnya otot leher sehingga menimbulkan gerakan berputar pada kepala, sulitnya mempertahankan postur tegak, kurangnya koordinasi intraoral, perioral, dan otot pengunyahan; memungkinan gangguan pengunyahan dan menelan, drooling berlebihan, lidah seakan terdorong keluar dan gangguan bicara. Tipe spastic terbagi menjadi: a. Monoplegia Pada monoplegia, hanya satu ekstrimitas saja yang mengalami spastic, umumnya hal ini terjadi pada salah satu lengan/ekstrimitas atas. b. Diplegia Spastic diplegia atau uncomplicated diplegia pada prematuritas. Hal ini disebabkan oleh spastic yang menyerang traktus kortikospinal bilateral. Dapat terjadi pada kedua lengan atau kedua kaki pada tubuh. Sedangkan sistem-sistem lain normal. c. Hemiplegia Spastic yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang biasanya menyerang ekstrimitas atas/ektremitas bawah, menyerang lengan dan kaki pada salah satu sisi tubuh. 12 d. Triplegia Spastic pada triplegia menyerang tiga buah ekstrimitas, umumnya menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki. e. Quadriplegia Spastic yang tidak hanya menyerang ekstrimitas atas, tetapi juga ekstrimitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity) pada tungkai. 2.1.3.2. Cerebral Palsy tipe Athetosis Tipe athetosis adalah kelainan yang disebabkan oleh luka pada sistem ekstra piramida yang terletak pada otak depan maupun tengah. Tipe ini terjadi sekitar 15% sampai 20% dari orang yang terkena. Diskinesia atau palsy athetoshis ditandai dengan ciri hipotonia dan pergerakan lambat pada ekstremitas, bahu, otot wajah, dan gerakan menggeliat tak terkendali. Orang dengan tipe ini sering mengalami perubahan dalam otot di semua anggota tubuh mereka, otot menjadi kaku saat melakukan aktivitas dan normal saat tidur. Berbicara juga bisa sulit untuk dipahami karena kesulitan dalam mengendalikan lidah, pernapasan dan penggunaan pita suara. Masalah pendengaran juga dapat terkait dengan athethosis. Selain itu, gerakan involunter seperti menyeringai, menggeliat dan menyentak secara tiba-tiba akan mengganggu gerakan volunter. Selain itu anak-anak dengan cerebral palsy tipe athetosis memiliki insiden drooling lebih rendah dibandingkan dengan tipe cerebral palsy spasticity. 2.1.3.3. Ataxia Kondisi ataxia tidak begitu umum dibandingkan dengan spasticity dan athetosis. Kondisi ini disebabkan oleh luka pada otak kecil yang terletak dibagian belakang kepala (cerebellum) yang bekerja sebagai pengontrol keseimbangan dan koordinasi pada kerja otot. Angka kejadian tipe ini yakni 5% hingga 10%. Anak yang termasuk dalam cerebral palsy ataxia memiliki ciri keseimbangan terganggu, pergerakan mengulang, refleks hipoaktif, terjadinya nistagmus yaitu gerakan ritmik pada mata yang tidak terkontrol sering menyebabkan penurunan ketajaman visual, gerakan involunter, terutama pada inisiasi dan penghentian gerak, sehingga terjadi lintasan gerak yang tidak teratur (dysynergia) atau berjalan tidak secara garis lurus, tremor terminal, dan melampaui tungkai (dysmetria). Ketika berbicara bisa menjadi dysrhythmic (scanning dysarthria) dan artikulasi tidak jelas, dengan pengontrolan napas yang tidak teratur. Sulit menelan atau tersedak juga mungkin terjadi. Otot menunjukkan penurunan tonus, sehingga pemeliharaan postur tubuh buruk dan mengurangi kemampuan untuk memeriksa gerakan yang berlebihan (pulih atau bergoyang). 2.1.3.4. Cerebral palsy tipe Campuran Cerebral palsy tipe ini memiliki frekuensi kejadian 5% sampai 10%. Dua atau lebih jenis yang muncul pada orang yang sama. Kombinasi karakteristiknya misalnya campuran spasticathetoid quadriplegia. Kekakuan otot berada dalam keadaan kontraksi konstan. Kondisi ini ditandai dengan jangka waktu yang lama di mana otot-otot ekstremitas atau batang tubuh tetap kaku, menolak setiap upaya untuk memindahkan mereka. 2.1.4. TINGKAT KERUSAKAN CEREBRAL PALSY Menurut Mangunsong (2011), tingkat kerusakan atau berat ringannya kerusakan cerebral palsy bisa dibagi menjadi: a. Tingkat ringan, dengan gejala: 1. Anak dapat berjalan dan berbicara 2. Anak dapat menjalankan fungsi-fungsi tubuh dalam aktivitas sehari-hari 3. Gangguan gerakan yang dialami anak tidak banyak b. Tingkat sedang, dengan ciri-ciri: 1. Anak memerlukan pengobatan untuk gangguan bicara, memerlukan latihan gerak motorik, dan latihan perawatan diri sendiri 2. Biasanya mempergunakan alat bantu gerak (brace atau tongk c. Tingkat berat, dengan karakteristik: 1. Anak memerlukan pengobatan dan perawatan dalam alat gerak motoriknya 2. Anak kurang mampu menjalankan aktivitas sehari-hari 3. Anak tidak mampu berjalan dan berbicara (kelumpuhan) 4. Prognosanya buruk 2.1.5. MANIFESTASI UMUM Karena keterlibatan sistem motorik pada cerebral palsy, hasil dari kerusakan permanen berkembang pada otak, gejala lain dari kerusakan otak organik juga dapat terjadi. Berikut ini adalah beberapa manifestasi umum pada cerebral palsy: a. Keterbelakangan mental. Sekitar 60% dari orang-orang dengan cerebral palsy menunjukkan beberapa derajat keterbelakangan mental. b. Gangguan kejang. Kejang biasa menyertai cerebral palsy pada 30% sampai 50% kasus, yang terjadi terutama selama masa bayi dan anak usia dini. Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsan. c. Defisit sensorik atau disfungsi. Pendengaran yang menurun lebih umum terdapat pada cerebral palsy dari pada populasi normal lainnya, dan gangguan mata mempengaruhi sekitar 35% dari orang dengan cerebral palsy. Cacat visual yang paling umum adalah strabismus. d. Gangguan bicara. Lebih dari separuh pasien dengan cerebral palsy memiliki beberapa masalah-ucapan, biasanya dysarthria yaitu ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan baik karena kurangnya kontrol dari otot-otot bicara. e. Kontraktur yang bersamaan. Orang dengan kelenturan dan kekakuan menunjukkan postur tungkai yang abnormal dan kontraktur selama pertumbuhan, terutama karena tidak berfungsinya otot. 2.2. Kontrol Postural 2.3.1 Pengertian Secara terminologi kontrol postural dapat diartikan mekanisme tubuh untuk mempertahankan dirinya agar tetap seimbang dan tidak jatuh, sedangkan kontrol antigravitasi adalah kemampuan tubuh untuk menjaga tubuh tetap tegak dalam posisi tertentu. Kontrol postural mempunyai hubungan yang erat dengan kontrol motor karena pada perkembangan motor, gerakan tubuh yang tidak bermakna lebih dulu ada sebelum munculnya kestabilan gerak, baru kemudian muncul mobilitas gerak yang terkontrol (Odunaiya, 2009). Kontrol postural merupakan prasyarat performa motor yang efisien. Postur tergantung pada kapabilitas daya tahan kontraksi otot, sedangkan gerakan sering memerlukan kecepatan dan kekuatan otot. Selama tubuh berdiri tegak, subjek normal mengontrol postur tegaknya dengan gerakan-gerakan yang kecil yang terbentuk di bagian-bagian tubuh yang berbeda. Posisi yang optimal selama berdiri dengan seimbang memerlukan pengaturan letak center of gravity (COG), misalnya untuk mengatasi agar tidak terjadi goyahan tubuh kearah lateral, kaki diposisikan sedikit membuka. Dalam berdiri dengan seimbang pun diperlukan kemampuan untuk berpindah dari posisi berdiri seimbang tanpa menggunakan bantuan lengan. Hal ini termasuk dalam kemampuan untuk menggeser berat badan kearah lateral dan anterioposterior dan untuk membuat gerakan kearah vertikal lebih fleksibel. Aktivitas postural spesifik untuk tugas-tugas keseimbangan, dan selama berdiri tegak, tidak memerlukan aktivasi otot secara volunter (Kejonen, 2009). Respon motor yang pertama adalah reflek spinal. Peran dari Stretch reflek adalah untuk mendapatkan kembali stabilitas postural dengan respon otot yang cepat. Gerakangerakan yang mengancam keseimbangan badan dideteksi oleh propioseptor pada tendon dan otot, yang mengawali aksi otot yang pertama dengan mengkontraksikan otot-otot tertentu pada seluruh tubuh. Reflek tidak berkontribusi secara langsung pada perbaikan keseimbangan. Respon yang pertama untuk menahan agar tubuh tidak jatuh merupakan reaksi otomatis. Reaksi-reaksi ini dikoordinir dan disampaikan melalui reflek-reflek vestibulospinal dan mempengaruhi semua otot pada kedua tungkai, trunk, dan leher (Kejonen, 2009). Reaksi gerak refleksif dan gerak otomatis mempunyai mekanisme yang kontras, sedangkan gerak volunter merupakan gerakan yang disadari dan geraknya sangat bervariasi. Penyesuaian postur memindahkan posisi COG secara volunter. Contohnya, abduksi lengan kanan menyebabkan COG bergeser kearah kanan. 2.3. Susunan saraf 2.3.1 Sistem sensoris Gagasan dasar dari sistem sensoris adalah untuk menyediakan informasi ke sistem mengenai statusnya dan begitu juga lingkungan sekitarnya. Informasi yang didapatkan ditransfer dari reseptor menuju SSP melalui serabut aferen (Campbell, 2008). 2.3.1.1 Vestibular Di telinga terdapat saluran yang berbentuk setengah lingkaran dengan sensitif merespon perubahan percepatan gerak pada frekuensi antara 0,2-10 Hz, maka dari itu sistem ini haruslah aktif pada waktu dimulainya gerakan hingga gerakan berakhir, sedangkan otholiths beroperasi pada frekuensi rendah yakni kurang dari 5 Hz dan menyediakan informasi yang mempunyai percepatan liniar, contohnya gravitasi. Informasi dari otholit dan saluran setengah lingkaran tersebut disampaikan ke nukleus vestibular di batang otak yang juga menerima informasi dari sumber lain. Reflek vestibulo-ocular menstabilkan penglihatan dengan menghasilkan gerakan mata pada arah yang berlawanan pada saat rotasi kepala, dan tujuan utama reflek tersebut adalah untuk menstabilisasi kepala dan tubuh. Mekipun sistem vestibular berkontribusi terhadap persepsi dari orientasi tubuh dan berpengaruh pula terhadap kontrol postur, beberapa studi menunjukkan bahwa sistem vestibular tidak memainkan peranan penting pada persepsi terhadap goyahan selama dalam posisi berdiri statis yang normal (Kejonen, 2009). 2.3.1.2 Visual Informasi visual dikirim dari retina setidaknya ke dua tempat yang berbeda di otak dan dengan tujuan yang berbeda pula yakni, sistem fokal untuk identifikasi obyek dan ambientsystem untuk kontrol gerak. Pada kemudiannya juga menunjukkan bahwa hal tersebut mempengaruhi kestabilan dan keseimbangan tubuh. Penglihatan sangat penting untuk kontrol postur dan berpengaruh terhadap keseimbangan dengan bereaksi untuk bergerak sejalan dengan pergeseran gambaran relatif pada retina, dan juga memicu aktivasi otot yang diperlukan untuk mengkoreksi postur. Efisiensi visual terhadap kontrol postural tergantung pada ketajaman visual dan jarak benda, yang mana paling baik adalah benda dengan jarak kurang dari 2m, dan kualitas penerangan. Hal ini telah dilaporkan bahwa ketika horison dimanipulasi, maka isyarat visual dan vestibular saling bertentangan, lansia lebih menaruh kepercayaannya pada isyarat penglihatan daripada orang yang lebih muda (Kejonen, 2009). 2.3.1.3 Proprioseptif Sistem somatosensoris memberikan informasi yang berhubungan dengan posisi tubuh oleh proprioseptor dan reseptor eksteroseptif. Reseptor proprioseptif terletak di otot, tendon, dan sendi, dan mereka memberikan informasi tentang posisi ekstrimitas dan tubuh serta peningkatan tensi pada masing-masing otot. Proprioseptor terdapat pada perut otot (tipe Ia dan II), golgi tendon (Ib), dan reseptor sendi. Informasi eksteroreseptif diperoleh dari tipe reseptor tepi yang berbeda di telapak kaki. Reseptor eksteroreseptif terletak di jaringan kutan dan subkutan. Reseptor kulit yang paling utama adalah Meissner corpuscles dan 24 Merkel disks, yang terletak paling dekat dengan permukaan kulit, serta Ruffini-ending dan Pacinian corpuscles, yang letaknya lebih dalam (Kejonen, 2009). Reseptor pada kapsul sendi memberikan informasi tentang gerak dan posisi relatif dari sendi tersebut. Sedangkan pada perut otot memberikan informasi tentang perubahan panjang dan tensi otot (penguluran dinamis), serta dapat pula diaktivasi dengan mengulur otot yang bersangkutan secara pasif. Sebagai tambahan pada sistem aferen, serabut intrafusal di perut otot juga menerima input eferen via γ-motoneuron. Reseptor tepi mendeteksi ayunan tubuh, sedangkan mekanoreseptor dapat membedakan lokasi dan kecepatan perlekukkan kulit, seperti halnya percepatan dan perubahan tekanan (Kejonen, 2009). Ada beberapa input penting untuk kontrol postural selama berdiri yang dihasilkan oleh proprioseptor. Pertama, informasi dari sendi pergelangan kaki harus dikenali, sebagaimana hal tersebut diakibatkan oleh gerakan pusat gravitasi, menghasilkan torsi disekitar sendi pergelangan kaki. Kedua, informasi dari otot leher memberikan acuan penting mengenai gerakan kepala dalam hubungannya dengan tubuh. Dan ketiga, otot-otot mata menggambarkan posisi mata dalam hubungannya dengan kepala (Kejonen, 2009). 2.3.2 Sistem motoris Beberapa bagian dari SSP yang terdiri dari medula spinalis dan otak turut ambil bagian dalam mengontrol postur. Stimulus ke neuron kortikal sebagian besar datang dari nuklei di thalamus yang mentransmisikan informasi dari medula spinalis, bangsal ganglia, dan cerebellum, serta dari area korteks frontal dan parietal. Respon yang paling pertama dan paling cepat untuk merubah posisi ketika berdiri dipicu oleh reflek-reflek spinal. Gerak volunter yang diperlukan untuk menyeimbangkan postur direncanakan oleh otak. Perintah dari otak dikirim ke otot melalui sistem piramidal dan ekstrapiramidal. Stimulus yang keluar dari area korteks motor juga diproyeksikan ke bangsal ganglia, cerebrum, dan nukleus berwarna merah. Bangsal ganglia mengambil peran dalam fasilitasi dan perencanaan gerak reflek dan volunter selama mengontrol postur. Cerebellum dan koneksinya beranggung jawab terhadap koordinasi dan kehalusan gerak reflek, dan regulasi dari gerakan volunter (Kejonen, 2009). 2.4. Sistem muskuloskeletal Meskipun otot-otot betis lebih dahulu teraktivasi untuk memberikan kontrol postural selama tubuh bergerak, ko-aktivasi dari otot postural yang paling utama seperti otot leher, hamstring, soleus, dan otot-otot supraspinalis terdapat dalam kebutuhan ini. Terlepas dari masalah ini, bagaimanapun beberapa otot lain juga berpartisipasi dalam dihasilkannya gerakan-gerakan reflektif dengan waktu laten yang berbeda dan gerakan-gerakan volunter untuk menyeimbangkan posisi tubuh. Kapanpun otot terulur, reseptor proprioseptif dalam otot dan tendon memberikan sinyal mengenai perubahan panjang otot ke mekanisme sentral dari sistem kontrol postural (Kejonen, 2009). Kontrol postural memerlukan koordinasi dari kontraksi otot. Sebagaimana otot bekerja terhadap sendi dalam menyeimbangkan tubuh, khususnya peran sendi pergelangan kaki, lutut, dan panggul sangatlah penting. Bagaimanapun, peneliti-peneliti lain telah menunjukkan mekanisme aktif dari stabilisasi postural pada waktu berdiri dengan seimbang, dimana otot dan reseptor kulit memainkan peran yang penting (Kejonen, 2009). 2.5. Integrasi Komponen-Komponen Berbeda Pada Sistem Kontrol Postural Untuk lebih memastikan bahwa kontrol postural telah memadai, stimulus sensoris harus diintegrasikan di SSP untuk menghasilkan output yang adekuat. Informasi sensoris dari visual, vestibular, serta proprioseptif dan sistem eksteroreseptif digunakan sebagai input. Jean (2006) mendemonstrasikan bahwa meskipun tidak ada feedback dari perifer, serabut aferen memicu stretch refleks, sedangkan pada level yang lebih tinggi di SSP, hubungan antar neuron menjembatani respon gerak yang lebih rumit. Pada efektor, prasyarat yang penting untuk menyeimbangkan tubuh adalah kemampuan untuk memilih respon yang lebih tepat, untuk memodifikas respon-respon tersebut pada basis dari input sensoris, dan akhirnya untuk menghasilkan kebutuhan akan kontraksi otot untuk menjaga postur. Mobilisasi trunk merupakan suatu teknik penguluran jaringan sekitar persendian lumbal untuk mempermudah gerakan yang maksimal (Thelen et al, 1993 dikutip oleh Waluyo, 2008). Gerakan mobilisasi trunk diberikan secara pasif ke seluruh luas gerak tubuh (fleksi, ekstensi, side fleksi dan rotasi trunk). Tujuan dari mobilisasi trunk adalah untuk memperbaiki co-contraksi otot-otot trunk dan untuk memperoleh fleksibilitas dari trunk. Pada akhir gerakan pasif dapat disertai dengan pemberian stretching (penguluran jaringan lunak) dan elongasi (pemanjangan trunk ke arah atas). Dengan penguluran yang dilakukan secara pasif akan dapat memanjangkan jaringan lunak sehingga menurunkan kekakuan atau spastisitas (Kisner dan Colby, 2007). Penguluran secara pasif diharapkan dapat memberikan efek rileksasi pada grup otot yang mengalami spastik. B. Kerangka Berpikir Cerebral palsy dapat disebabkan oleh berbagai faktor resiko diantaranya yang umum terjadi dalam medis adalah gangguan pembuluh darah otak yang mengganggu sirkulasi darah ke otak, abnormalitasnya perkembangan otak dikarenakan oleh premature atau operasi kelahiran yang dibuat lebih cepat dari masa normalnya, abrupsi plasenta atau pecahnya plasenta, fetomaternal hemorragik atau pendarahan pada masa perkembangan fetus, infark palsenta atau perdarahan plasenta, paparan virus oleh lingkungan yang banyak mengandung mikroorganisme sehingga merusak sel-sel otak, infeksi susunan saraf pusat oleh berbagai hal, tenggelam yang secara tidak sengaja masuknya air ke dalam otak, hipoksia atau kekurangan oksigen, serta gangguan metabolisme tubuh. Apabila salah satu atau gabungan dari beberapa hal tersebut terjadi pada masa maturasi sisitem saraf pusat maka seorang anak kemungkinan besar akan mengalami cerebral palsy. - gangguan pembuluh darah otak - abnormalitas perkembangan otak - abrupsi plasenta - fetomaternal hemoragik - infark placenta - paparan virus - infeksi susunan saraf pusat - tenggelam, hipoksia - gangguan metabolisme Gangguan maturasi susunan saraf pusat Cerebral Palsy Gangguan pada postur Gangguan keseimbangan berdiri Penambahan Latihan berdiri di standing frame dan latihan trunk control Trunk Control Exercise Peningkatan kemampuan trunk control C. Kerangka Konsep Cerebral palsy merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidaknormalan dari fungsi otak yang disebabkan gangguan pada area motoriknya sehingga mengakibatkan distribusi permasalahan dari lokalisasi area otak yang yang mempengaruhi segala sistem gerak dan fungsi tubuh. Gangguan pembuluh darah otak, abnormalitas perkembangan otak, abrupsi plasenta, fetomaternal hemoragik, infark placenta, dan terpapar virus di lingkungan pada masa maternal juga dapat menyebabkan terjadinya cerebral palsy. Anak dengan cerebral palsy memiliki permasalahan hampir disemua sistem tubuh, terutama pada sistem persarafan, sistem muskuloskeletal, sistem kardiorespirasi, dan sistem pencernaan. Dikarenakan banyaknya permasalahan yang menyertai anak dengan cerebral palsy, pada penelitian ini hanya dibatasi pada gangguan keseimbangan berdiri saja. Trunk Control Exercise merupakan latihan yang diberikan baik pasif maupun aktif ke seluruh luas gerak tubuh dengan tujuan untuk memperbaiki co-contraksi otot-otot trunk dan untuk memperoleh fleksibilitas dari trunk yang diharapkan dapat memperbaiki postur pada kondisi CP diplegi spastik yang cenderung kifosis. Pada akhir gerakan pasif dapat disertai dengan pemberian stretching ( penguluran jaringan ) dan elongasi (pemanjangan trunk ke arah atas). Standing frame adalah alat untuk latihan berdiri dengan posisi yang benar. Standing frame juga berguna untuk meregangkan otot-otot dan merangsang saraf-saraf di bagian persendian. Dengan berlatih menggunakan standing frame, anak dapat merasakan posisi menumpu berat badannya. Perpaduan intervensi latihan berdiri di standing frame dan trunk control exercise pada kasus gangguan keseimbangan berdiri pada anak dengan cerebral palsy diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan kemampuan trunk control. D. Hipotesis 1. Penambahan trunk control exercise pada latihan berdiri di standing frame meningkatkan keseimbangan berdiri pada anak cerebral palsy. 2. Latihan berdiri di standing frame meningkatkan keseimbangan berdiri pada anak cerebral palsy. 3. Penambahan trunk control exercise pada latihan berdiri di standing frame lebih baik dalam meningkatkan keseimbangan berdiri pada anak cerebral palsy. BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian ini akan dilakukan di Klinik Kitty Centre – Jakarta. 2. Waktu Waktu penelitian direncanakan akan berlangsung selama 2 bulan, yakni pada Desember 2015 sampai dengan Februari 2016. B. Metode Penelitian ini bersifat pre-test, post-test, eksperimental control group desain. Kelompok perlakuan pertama : penambahan trunk control exercise pada latihan berdiri di standing frame. Kelompok perlakuan kedua : pemberian latihan berdiri di standing frame. Keterangan: P : Populasi R : Random S : Sampel RA : Random Alokasi O1 : Observasi 1 (anak CP sebelum diberikan perlakuan 1) O2 : Observasi 2 (anak CP setelah diberikan perlakuan 1) O3 : Observasi 3 (anak CP sebelum diberikan perlakuan 2) O4 : Observasi 4 (anak CP sesudah diberikan perlakuan 2) P1 : Perlakuan 1 (Penambahan trunk control exercise pada latihan berdiri di standing frame) P2 : Perlakuan 2 (latihan berdiri di standing frame) C. Populasi dan Sampel Pengambilan sample dengan menggunakan perhitungan rumus Pocock (2008): 2δ2 x ʃ(α,β) n = (μ2-μ1)2 Keterangan: n = Jumlah sample. δ = Simpangan baku/ standar deviasi. α = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05) Interval kepercayaan (1- α) = 0,95. β = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20). Tingkat kekuatan uji/ power of test 0,80. ʃ(α,β) = Interval kepercayaan 7,9. μ2 = Rerata nilai pada kelompok kontrol. μ1 = Rerata nilai pada kelompok perlakuan. 1. Kriteria Inklusi a). Anak dengan cerebral palsy tipe spastik diplegia. b). Usia 2 tahun sampai dengan 10 tahun. c). Mengalami gangguan keseimbangan berdiri. d). Orang tua mau dan dapat diajak bekerja sama dalam penelitian. 2. Kriteria Eksklusi a). Mengidap gangguan neurologis lain selain cerebral palsy¸seperti Down Syndrome, Autisme, Hydrochepalus. b). Memiliki riwayat kanker atau tumor atau penyakit menular. 3. Kriteria Drop Out a). Sampel yang tidak menjalani perlakuan sebanyak 6 kali terapi akan digugurkan sebagai sampel penelitian. b). Orang tua sampel menyatakan berhenti atas kemauan diri sendiri. c). Sampel mendapat perlakuan atau tindakan lain diluar perlakuan terapi, seperti pengobatan tradisional. D. Instrument Penelitian 1. Variabel Penelitian a). Variabel Independent : (1) Penambahan trunk control exercise pada latihan berdiri di standing frame. (2) latihan berdiri di standing frame. b). Variabel Dependen : (1) Keseimbangan berdiri pada anak cerebral palsy. Defenisi Konseptual Sarah Mcintyre pada tahun 2012, mengatakan bahwa Cerebral palsy merupakan cacat fisik yang paling umum terjadi pada masa kanak-kanak. Cerebral palsy menggambarkan sekelompok gangguan gerakan dan postur yang juga sering disertai dengan gangguan dan masalah muskuloskeletal sekunder. Insiden anak-anak yang mengalami kelainan cerebral palsy mencapai 50-65%. United Cerebral Palsy Association merumuskan Cerebral Palsy sebagai suatu kumpulan keadaan, biasanya pada masa kanak-kanak, yang ditandai dengan kelumpuhan, kelemahan, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi motorik yang disebabkan gangguan pada pusat kontrol motorik di otak. Sedangkan menurut Kuban, pada anak-anak hubungan antara lesi pada sistem saraf pusat dan gangguan fungsi yang dapat berubah. Abnormalitas pada tonus motorik atau gerakan yang terjadi pada beberapa minggu atau beberapa bulan pertama kelahiran, secara teratur akan meningkat selama tahun pertama kehidupan. Namun setelah anak berusia lebih dari satu tahun, tonus motorik menjadi berkurang, dimana kondisi ini terus berlanjut hingga akhirnya ia didiagnosa menderita cerebral palsy. 2. Definisi Operasional Dalam penelitian ini intervensi akan diterapkan sesuai dengan waktu dan kemampuan pasien dalam menjalani terapi. Penerapan intervensi trunk control exercise akan dilakukan sebanyak 6 kali pada setiap sampel dengan durasi 30 menit per sesi latihan ditambah 30 menit selanjutnya dengan latihan berdiri di standing frame sebanyak 6 kali sesi intervensi. Intervensi bisa dilakukan berturut-turut setiap hari ataupun sesuai jadwal kedatangan sample asalkan jumlahnya mencukupi 6 kali dan tiak melebihi batas waktu penelitian yang diterapkan yakni 2 bulan. 3. Instrument Penelitian Pemeriksaan Aktifitas Fungsional Pemeriksaan aktifitas fungsional disesuaikan dengan kemampuan anak dan dilakukan untuk menilai seberapa besar tingkat kemandirian anak, apakah anak dapat melakukan aktifitas sehari-hari nya secara mandiri, dibantu sebagian atau sepenuhnya. Untuk melakukan pemeriksaan ini dapat digunakan Gross Motor Function Measurement (GMFM). GMFM adalah suatu jenis pengukuran klinis untuk mengevaluasi perubahan fungsi gross motor pada penderita CP. Terdiri dari 88 item pemeriksaan, aktifitas pada posisi berbaring dan berguling (17 item), duduk (20 item), berlari dan melompat (12 item). Penilaian GMFM terdiri dari 4 skor yaitu 0, 1, 2 dan 3 yang masing-masing mepunyai arti yang sama meskipun deskripsinya berbeda tergantung item kemampuan yang dinilai. Keterangan nilai GMFM, sebagai berikut: 0: tidak memiliki inisiatif; 1: ada inisiatif; 2: sebagian dilengkapi; 3: dilengkapi; NT: Not Tested (tidak di tes). Teknik Analis Data Dalam menganalisa data yang didapat dari hasil pengukuran peningkatan keseimbangan berdiri dengan menggunakan GMFCS & GMFCS yang selanjutnya akan terlihat perubahan tingkat kemampuan keseimbangan berdiri. Dalam menganalisa data yang telah diperoleh, maka peneliti menggunakan beberapa uji statistik, antara lain : 1. Uji Hipotesis I Untuk menguji signifikasi dua sample yang saling berpasangan (related) pada kelompok perlakuan I dengan menggunakan Paired Sample T-test jika data berdistribusi normal. Jika data tidak berdistribusi normal dengan Wilcocxon Signed Rank Test. Dengan pengujian hipotesis Ho diterima bila nilai p > nilai α (0,05), sedangkan Ho ditolak bila p < nilai α (0,05). Ho : Tidak ada peningkatan fungsi menelan pada penerapan trunk control exercise dan latihan berdiri di standing frame Ha : Ada peningkatan fungsi menelan pada penerapan trunk control exercise dan latihan berdiri di standing frame. 2. Uji Hipotesis II Untuk menguji signifikasi dua sample yang saling berpasangan (related) pada kelompok perlakuan II dengan menggunakan Paired Sample T-test jika data berdistribusi normal dan homogen. Jika data tidak berdistribusi normal dengan Wilcocxon Signed Rank Test. Dengan pengujian hipotesis Ho diterima bila nilai p > nilai α (0,05), sedangkan Ho ditolak bila p < nilai α (0,05). Ho : Tidak ada peningkatan keseimbangan berdiri pada pemberian latihan berdiri di standing frame. Ha : Ada peningkatan keseimbangan berdiri pada pemberian latihan berdiri di standing frame. 3. Uji Hipotesis III Untuk menguji signifikasi dua sample yang saling berpasangan pada kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II dengan T-test Independent jika data berdistribusi normal dan homogen. Jika data tidak terdistribusi normal dengan MannWhitney U Test. Dengan penguji hipotesis Ho diterima bila nilai p > nilai α (0,05), sedangkan Ho ditolak bila p < nilai α (0,05). Ho : Tidak lebih baik peningkatan fungsi menelan pada penambahan trunk control exercise terhadap latihan berdiri di standing frame. Ha : Lebih baik peningkatan fungsi menelan pada penambahan trunk control exercise terhadap latihan berdiri di standing frame.