Kompetensi Perkembangan Oosit Domba Pada

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Folikel dan Oosit
Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di
ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama
menghasilkan sel gamet betina dan juga berfungsi memproduksi hormon
reproduksi. Ovarium terdiri dari dua bagian yaitu korteks (bagian lateral) dan
medula (bagian medial). Bagian korteks ovarium dilapisi oleh satu lapis epitelium
kuboid dan stroma yang terdiri dari jaringan ikat longgar. Sedangkan pada bagian
medula terdapat pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat (Senger 1999).
Oosit berada di dalam folikel yang terdapat pada bagian korteks ovarium.
Perkembangan folikel di dalam ovarium dikenal dengan folikulogenesis. Folikel
mengalami berbagai tahap perkembangan yang berawal dari terbentuknya folikel
primordial sampai berkembang menjadi folikel matang dan oosit siap
diovulasikan. Berdasarkan morfologinya perkembangan folikel dibedakan
menjadi dua yaitu folikel preantral dan folikel antral. Folikel prentral merupakan
tahapan folikel yang belum memiliki antrum sedangkan folikel antral merupakan
tahapan folikel yang telah memiliki antrum. Folikel primordial merupakan bentuk
awal dari folikel dan ditemukan pada hewan setelah lahir dengan jumlah oosit
tertentu pada setiap spesies (Hafez & Hafez 2000). Folikel ini mengandung oosit
yang diselaputi oleh selapis sel somatis berbentuk pipih (Cushman et al. 2000).
Folikel primordial kemudian mengalami pertumbuhan menjadi folikel
primer dan sekunder. Folikel primer ditandai dengan adanya pembesaran diameter
oosit yang meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat, kemudian diikuti dengan
perubahan bentuk lapisan sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dari bentuk
pipih menjadi kuboid (Hafez & Hafez 2000). Pembentukan folikel sekunder
ditandai dengan terjadinya proliferasi sel kuboid membentuk beberapa lapisan sel
granulosa dan terbentuk sebuah membran (zona pelusida) yang mengelilingi oosit
(Cushman et al. 2000). Folikel sekunder juga dikelilingi oleh lapisan sel epiteloid
yang selanjutnya membentuk sel teka interna. Folikel sekunder dengan sel teka
interna disebut folikel preantral (Guerin 2003). Pada tahap akhir perkembangan
folikel massa sel granulosa mensekresikan cairan folikuler yang mengandung
4 estrogen dalam konsentrasi tinggi. Penumpukan cairan ini menyebabkan
munculnya antrum di dalam massa sel granulosa. Perkembangan folikel tersier
ditandai dengan antrum yang semakin meluas dan sel yang ada di sekeliling zona
pelusida mulai membentuk korona radiata (Chusman 2000). Diameter folikel
semakin meningkat karena produksi cairan folikuli yang semakin meningkat
sehingga oosit terdesak ke bagian tepi folikel, dinding folikel semakin menipis
hingga akhirnya terjadi ovulasi. Pada kondisi ini, folikel disebut sebagai folikel de
Graaf (Hafez & Hafez 2000).
Proses folikulogenesis juga diikuti dengan proses pertumbuhan dan
pematangan oosit yang disebut dengan oogenesis. Perkembangan oosit terdiri dari
tiga tahap yaitu proliferasi, pertumbuhan dan pematangan. Pada tahap proliferasi
terjadi proses mitosis oogonium menjadi beberapa oogonia yang terjadi pada saat
pralahir atau sesaat setelah lahir dan kemudian oogonia berdiferensiasi menjadi
oosit primer dengan inti tahap profase I. Inti oosit pada tahap ini disebut germinal
vesicle (GV) yang ditandai dengan adanya membran inti yang utuh dan nukleus
yang jelas. Selanjutnya oosit akan memasuki tahap pertumbuhan dan pematangan
yang berlangsung bersamaan dengan proses perkembangan folikel. Pertumbuhan
oosit ditandai dengan peningkatan diameter oosit dan pertambahan ukuran dari
organel-organel seperti kompleks golgi, retikulum endoplasmik halus, butir
lemak, peningkatan proses transkrip untuk sintesis protein. Tahap pematangan
oosit ditandai dengan beberapa proses perkembangan inti oosit (Hafez & Hafez
2000).
Daya Tahan Hidup Oosit
Oosit yang telah diovulasikan dan didisposisikan di oviduk mengalami
degradasi jika tidak segera difertilisasi. Hal ini disebabkan karena oosit akan
mengalami proses kerusakan akibat waktu yang terlalu lama pasca ovulasi
sehingga tidak akan dapat difertilisasi. Mekanisme disposal terjadi akibat dua
proses yaitu nekrosis dan apoptosis (Buja et al. 1993). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kematian oosit disebabkan oleh proses apoptosis (Perez et al.
1995). Proses apoptosis ditandai dari ciri morfologis pembentukan badan
apoptosis dari fragmentasi inti sel dan sitoplasma dan dapat ditandai pula dari segi
5 biokimia sel yaitu kenaikan regulasi protein pro-apoptosis dan penurunan regulasi
protein anti-apoptosis (Kerr et al. 1972; Zimmermann et al. 2001). Apoptosis
pada oosit dapat pula disebabkan oleh ekpresi yang terlalu tinggi dari protein antiapoptosis Bcl2 di dalam ovarium (Morita et al. 1999). Seperti yang dilaporkan
oleh Takese et al. (1995) dan Fujino et al. (1996) yang menyatakan bahwa
apoptosis oosit berhungan erat dengan fregmentasi di dalam sitoplasma.
Dilaporkan pula bahwa terjadi abnormalitas pada spindel termasuk spindel yang
pendek maupun spindel yang tidak utuh (Eichenlaub et al. 1986).
Penelitian secara in vivo menunjukkan bahwa kematian oosit terjadi di
dalam ovidak setelah 48 jam, sedangkan secara in vitro kematian oosit pertama
terdeteksi lebih lama yaitu setelah 96 jam. Hal ini menandakan bahwa beberapa
faktor dan atau keadaan oviduk yang mempercepat proses kematian sel (Lim &
Choi 2004). Akan tetapi berbeda dengan hasil penelitian Allen et al. (1998) yang
menyebutkan bahwa oosit hamster, tikus, mencit, kelinci dan babi mengalami
perubahan antara 6-18 jam setelah ovulasi yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk terfertilisasi. Jika oosit mengalami fertilisasi maka akan
banyak menghasilkan blastosis yang abnormal. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa fertilisasi pada oosit yang telah mengalami penuaan dapat meningkatkan
resiko aborsi (Guerrero & Rojas 1975; Gray et al. 1995).
Maturasi Oosit In Vitro
Oosit yang diperoleh dan digunakan pada produksi embrio secara in vitro
adalah oosit yang belum mengalami pematangan (immature), baik pematangan
inti maupun pematangan sitoplasma (Krisher et al. 2007). Tahap fertilisasi dan
perkembangan embrio akan dapat terjadi setelah oosit mengalami pematangan inti
dan pematangan sitoplasma.
Pematangan inti meliputi berbagai perubahan kronologis tahapan meiosis
(Gordon, 2003). Proses pematangan inti berhubungan dengan aktivitas sintesis
RNA, ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metaphase II.
Membran inti akan mengadakan penyatuan dengan vesicle membentuk germinal
vesicle (GV) dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti membentuk
germinal vesicle breakdown (GVBD). Setelah GVBD terjadi, kromosom
6 dibungkus oleh mikrotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi
keberhasilan pembelahan meiosis. Oosit yang telah mengalami GVBD
selanjutnya akan mencapai tahap metaphase I (MI). Pada oosit sapi, metaphase I
terjadi setelah 12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anaphase (AI) dan
telophase (TI) yang berlangsung relatif singkat (14-18 jam) setelah masa inkubasi
(Chohan & Hunter, 2003; Miyano et al., 2007). Tahap metaphase II (MII) akan
terjadi dan ditandai dengan terbantuknya badan kutub I dan oosit yang sudah
matang siap untuk difertilisasi (Pawshe et al. 1994).
Tahap pematangan sitoplasma dicapai oleh perkembangan organel dan
struktur di dalam sitoplasma. Perubahan sitoplasma selama pematangan oosit
masih sulit untuk di evaluasi. Pematangan sitoplasma ditandai dengan
penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai perubahan struktur
dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk mengekspresikan
potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu mendukung pembentukan
dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon, 2003). Beberapa perubahan
akan terjadi selama proses pematangan sitoplasma diantaranya terjadi migrasi
kortikal granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan lipid droplet yang
akan menyebabkan perubahan susunan apparatus golgi dan keberadaan reticulum
endoplasmic granular, aktivitas maturation promoting factor (MPF) dan
metabolisme oosit (Rahman et al. 2008). Pematangan sitoplasma dapat diketahui
secara tidak langsung antara lain dari terjadinya reaksi korteks, pembentukan
pronukleus dan pembelahan sel (Ducibella et al. 2002).
Seleksi Oosit
Kompetensi perkembangan oosit ke tahap selanjutnya sangat dipengaruhi
oleh kualitas oosit yang digunakan pada proses FIV. Oosit yang berkualitas baik
tidak hanya akan berhasil mencapai tahap pematangan inti namun juga akan
mampu melewati berbagai tahap dalam pematangan sitoplasma yang dibutuhkan
untuk dapat mencapai tahap fertilisasi. Kualitas oosit memberikan pengaruh
terhadap pematangan oosit (maturasi), perkembangan dan kemampuan embrio
untuk
tetap
bertahan
hidup
dan
pemeliharaan
pada
kebuntingan
dan
perkembangan fetus (Krisher et al. 2007).
7 Penentuan kualitas oosit dapat dilakukan dengan melakukan beberapa
evaluasi terhadap oosit yang akan digunakan pada proses FIV. Seleksi oosit yang
banyak digunakan adalah pemilihan oosit berdasarkan morfologi sel kumulus
yang berada di sekitar oosit (Alvarez et al. 2009; Lonergan et al 1994). Wood dan
Wildt (1997) melaporkan bahwa teknik grading dengan mengevaluasi sel-sel
kumulus oosit yang kompleks dapat mengindetifikasi kualitas oosit dengan lebih
mudah dan objektif.
Keberadaan sel kumulus mendukung pematangan oosit
sampai pada tahap metafase II dan berkaitan dengan pematangan sitoplasma yang
diperlukan untuk kemampuan perkembangan setelah fertilisasi (Abeydeera 2002).
Umumnya oosit dengan kumulus yang multilayer digunakan dalam produksi
embrio secara in vitro (Qian et al. 2005). Menurut Gordon (2003), kriteria
pemilihan oosit yang berkualitas baik dapat dilihat dari bagian ooplasma yang
homogen, sel kumulus yang kompak mengelilingi zona pelusida.
Oosit yang didapatkan dari proses koleksi dikategorikan dalam 4 grade
berdasarkan kualitasnya. Oosit dengan grade I (A) adalah oosit yang
dikategorikan sebagai oosit yang paling baik. Oosit dengan grade ini memiliki
kumulus yang seragam dan kompak dengan dikelilingi oleh lima lapisan atau
lebih sel kumulus. Oosit dengan grade II (B) adalah oosit dengan katogeri baik
yang ditandai dengan oosit yang seragam dan memiliki sitoplasma yang gelap
dengan komplemen dari korona radiata yang lengkap tetapi dikelilingi tidak lebih
dari lima lapisan sel kumulus. Oosit dengan grade III (C) adalah oosit dengan
kategori kurang baik yang ditandai dengan oosit yang kurang seragam dan warna
sitoplasma lebih transparan dan tidak merata, korona radiata dan sel-sel kumulus
yang mengelilingi oosit tidak merata dan terlihat tidak kompak. Oosit dengan
kategori grade IV (D) dikelompokkan sebagai oosit dengan kualitas buruk. Oosit
dengan kategori ini mempunyai sitoplasma yang transparan maupun terjadi
fragmentasi pada sitoplasma. Sel-sel kumulus yang mengelilingi oosit terlihat
sangat jarang dan bahkan beberapa oosit tidak memiliki sel kumulus (Wood dan
Wildt 1996).
8 Fertilisasi
Fertilisasi merupakan tahap penting dalam proses reproduksi. Pada tahap
awal pembuahan, gamet yang spesifik pada tiap spesies melalui proses
pengenalan dan adhesi yang diduga melibatkan suatu molekul pengenalan
tertentu pada sperma dan sel telur. Protein yang berasosiasi pada sperma
berinteraksi dengan zona pelusida oosit dan kemudian terjadi proses reaksi
akrosom dan penetrasi sperma pada sel telur (Sun & Nagai 2003).
Proses fertilisasi melibatkan dua sel gamet jantan dan betina dan masingmasing sel gamet harus melalui tahap persiapan terlebih dahulu agar dapat terjadi
proses fertilisasi. Oosit yang dapat terfertilisasi adalah oosit yang telah memasuki
tahap metafase II (MII), pada fase ini oosit telah mengalami pematangan inti
maupun sitoplasm. Penetrasi spermatozoa ke dalam oosit akan menyebabkan oosit
menyelesaikan pembelahan meiosis II yang ditandai dengan terbentuknya badan
kutub II. Selanjutnya kromosom oosit akan membentuk pronukleus betina dan
kromatin yang terdapat pada kepala spermatozoa akan mengalami dekondensasi
dan kemudian membentuk pronukleus jantan (Cleine 1996).
Sebelum memasuki proses fertilisasi sel sperma terlebih dahulu harus
melalui tahap reaksi akrosom. Reaksi akrosom adalah proses kemampuan untuk
membuat enzim yang diperlukan untuk dapat terjadinya penetrasi sperma pada
zona pelusida oosit. Menurut Mattioli et al. 1991, reaksi akrosom terjadi akibat
adanya interaksi antara laminin yang bergabung dengan sel kumulus yang
ekspand dengan integrin spesifik yang terdapat pada membran sperma. Secara in
vitro, reaksi akrosom terjadi karena adanya interaksi antara progesteron dan zona
pelusida (Berger et al. 1989; Melendrez et al. 1994; Barboni et al. 1995). Proses
reaksi akrosom diawali dengan kenaikan tingkat Ca2+ yang disebabkan oleh
masuknya Ca2+ melalui membran plasma sperma dan memicu terjadinya reaksi
akrosom (Okamura et al. 1993; Tiwari & Cox 1995). Selain itu reaksi akrosom
terjadi karena sperma mengandung bicarbonat yang penting untuk dapat
terjadinya reaksi akrosom (Tardif et al. 2003). L-arginine menginduksi sintesis
oksidasi nitrit dan menstimulasi kapasitasi dan reaksi akrosom ketika terdapat
transport anion sperma aktif dan menghasilkan suplementasi bicarbonat
(Funahashi 2002). Penghambatan phosphorilasi protein menyebabkan oosit
9 terkativasi dan kemudian terbentuk pronukleus. Setelah proses fertilisasi,
mitogen-activated protein (MAP) kinase tetap aktif dalam level yang tinggi pada
resume meiosis kedua dan terbentuknya polar body yang kedua. Mitogenactivated protein (MAP) kinase mulai mengalami penurunan pada saat pronukleus
mulai terbentuk (Sun et al. 2001; Miyano et al. 2000). Segera setelah penetrasi
spermatozoa, maka konsentrasi cytostatic factor (CSF) yang terkandung dalam
oosit akan menurun dan oosit akan memasuki interfase dengan mengeluarkan
badan kutub-II dan membentuk pronukleus betina. Penurunan aktivitas
Extracellular signal Regulated Kinase (ERK)1/2 mitogenactivated protein kinase
(MAPK) sangat penting untuk pembentukan pronukleus setelah fertilisasi pada
mencit. Hal berbeda pada babi, bahwa pembentukan pronukleus betina dapat
terjadi sebelum penurunan aktivitas ERK1/2MAPK.
Pengaruh Waktu dan Suhu Penyimpanan
Nakao&Nakatsuji (1992) melaporkan bahwa waktu perjalanan, teknik
penyimpanan ovarium dan suhu medium yang digunakan selama perjalanan juga
memberikan pengaruh terhadap pematangan oosit dan tingkat keberhasilan
fertilisasi oosit. Ovarium yang dipisahkan dari tubuh hewan akan mengalami
pemberhentian aliran darah dan berarti bersamaan pula dengan terputusnya
pasokan oksigen ke ovarium. Beberapa saat setelah penghentian oksigen ke dalam
ovarium akan terjadi perubahan mekanisme ATP dan memicu perubahan
metabolisme aerobic menjadi anaerobic. Perubahan ini menyebabkan terjadinya
akumulasi asam sebagai hasil ikutan metabolisme sel seperti asam laktat dan asam
posphor yang kemudian meningkatkan jumlah ion H+. Plasma membran oosit
memiliki permeabilitas yang tinggi bagi ion H+ dan tidak memiliki regulasi pada
konsentrasi H+ yang terjadi. Sehingga, apabila oosit berada pada lingkungan yang
lebih asam dibandingkan dengan lingkungan sitoplasma maka pH oosit akan
menurun mengikuti pH medium eksternal yang kemudian memicu terjadinya
fragmentasi DNA oosit (Wongsrikeao et al. 2005). Setelah kematian hewan,
depolarisasi sel juga terjadi dengan cepat dan memicu untuk rusaknya
homeostasis ion, berbagai rangkain intaselluler lain dan asosiasi membran.
Kenaikan proton dan laktat pada konsentrasi intraselluler memberikan kontribusi
10 pada kematian sel sebagai hasil dari kondisi ischemia. Dibutuhkan perhatian dan
perjagaan yang baik terutama terkait dengan waktu dan suhu dalam penanganan
ovarium sebelum dilakukan tahapan IVF di laboratorium (Gordon 2003).
Oosit yang dikoleksi dari ovarium sapi yang disimpan pada suhu 37oC
selama 8 jam secara signifikan menunjukkan penurunan baik pada tingkat
pembelahan maupun pada pembentukan blastosis (Yang et al. 1990). Tetapi hasil
yang sebaliknya terjadi pada ovarium sapi yang disimpan pada suhu 10oC–20oC
selama 24 jam, yang memperlihakan tidak terjadi penurunan pada kompetensi
pematangan pada oosit (Matsushita et al. 2004). Berbeda dengan yang dilaporkan
pada ovarium anjing yang menunjukkan viabilitas oosit yang baik jika
ditempatkan pada medium dengan suhu mendekati suhu tubuh yakni 37oC dan
disimpan selama 8 jam bila dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu 4°C.
Kondisi tersebut dikarenakan oosit anjing sangat sensitif terhadap perubahan pH
selama penyimpanan (Hanna et al. 2008).
Guignot et al. (1999) mengemukakan bahwa tidak ditemukan pengaruh
negatif baik pada rataan jumlah oosit yang dikoleksi, tingkat pematangan inti
maupun pematangan sitoplasma jika oosit kuda ditempatkan pada suhu 37oC-27oC
selama 6-8 jam. Lebih jauh dijelaskan bahwa penyimpanan tersebut juga tidak
berpengaruh buruk pada integritas membran sitoplasma. Akan tetapi penyimpanan
ovarium dalam waktu yang lebih lama berpengaruh terhadap kualitas membran.
Penyimpanan oosit kambing dengan menambahkan Indole-3-axetic acid, dapat
menjaga kualitas jaringan ovarium jika disimpan pada suhu 4oC selama 24 jam
(Ferreira et al. 2000).
Yuge et al (2003) menyatakan bahwa sebelum dilakukan aspirasi oosit pada
ovarium yang ditempatkan pada suhu lebih rendah dari 25oC, menunjukkan
pengaruh yang merugikan terhadap pematangan in vitro. Penyimpanan ovarium
dalam waktu yang lama (> 12 jam) pada suhu yang hangat atau menempatkan
ovarium pada suhu kurang dari 25oC sebelum proses aspirasi oosit akan
meningkatkan fragmentasi DNA pada oosit (Wongsrikeao et al. 2003). Berbeda
dengan spesies lainnya, ovarium kucing memiliki keunikan tersendiri yang
11 memungkinkan kualitas dan kompetensi oositnya tetap terjaga jika disimpan pada
suhu 4oC (Naoi et al. 2007).
Proses kerusakan yang terkait kondisi ischemia dimediasi oleh reaksi kimia
yang
terjadi.
Suhu
medium
yang
berbeda
digunakan
untuk
upaya
mempertahankan kompetensi perkembangan oosit. Suhu medium yang digunakan
selama perjalanan pada umumnya menggunakan medium dengan suhu 30°C
(Gordon 2003), atau suhu 35°C dan 38°C yang merupakan suhu yang mendekati
suhu tubuh (Wongsrikeao et al. 2005; Naoi et al. 2006). Suhu medium yang
mendekati suhu tubuh tidak akan memberikan perbedaan yang berbeda pada
lingkungan oosit di dalam ovarium akan tetapi pada suhu hangat metabolisme sel
akan berjalan dengan tingkat yang paling maksimal. Akibatnya akan mempercepat
akumulasi berbagai hasil metabolisme sel yang akan memperburuk lingkungan
oosit dan dapat menyebabkan kematian sel (Taylor 2006).
Perubahan lingkungan oosit yang disebabkan oleh akumulasi hasil
metabolisme dapat dicegah dengan proses pendinginan. Upaya penempatan sel
pada suhu yang rendah dilakukan karena dapat memperlambat metabolisme,
menurukan kebutuhan oksigen, hasil metabolisme dapat dikurangi dan dapat
menghemat energi. Namun upaya ini tidak mempengaruhi semua reaksi pada
tingkat yang sama (Taylor 2006). Menurut Arav et al. (1996) sensitivitas oosit
terhadap pendinginan menunjukkan tingkat yang berbeda. Pada oosit yang
immature, sensitivitas plasma membran terhadap pendinginan lebih tinggi
dibandingkan dengan plasma membrane oosit pada tahap metaphase-II.
Sedangkan pada oosit yang mature menunjukkan kerusakan pada bagian
microtubule dan microfilament Penyimpanan oosit domba pada temperature yang
rendah dapat menyebabkan degenarasi struktur protein dan enzim (ÖzdaƟ et al,
2006).
Pengaruh suhu medium maupun lamanya waktu perjalanan yang dialami
oleh oosit berbeda-beda pada masing-masing spesies. Hal ini berkaitan dengan
perbedaan metabolisme pada masing-masing oosit. Faktor yang berperan dalam
pematangan oosit adalah protein pada oosit yaitu mitogen-activated protein kinase
dan maturation promoting factor (MPF) cdc2-kinase. Akan tetapi jumlah protein
12 yang spesifik ini berbeda-beda pada tiap spesies sehingga terjadi perbedaan
metabolisme pada tiap oosit (Gardner et al. 2004).
13 
Download