pertanggungjawaban pidana pedofilis dalam tindak

advertisement
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEDOFILIS DALAM TINDAK
PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK
RESPONSIBILITY OF CRIME PEDOFILIS IN DESECRATE DOING AN
INJUSTICE TO CHILD
Audyna Mayasari Muin, Muhadar, Andi Sofyan
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat Koresponden:
Kom. Kodam Blok C 27
Pandang – pandang Sungguminasa
Hp.0813 5524 2500
Email: [email protected]
Abstrak
Tindak pidana atau kejahatan atau sering disebut dengan delik sudah dapat diperkirakan ada sejak adanya manusia,
tetapi jenis perbuatan yang dapat dipidana berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari tempat yang satu dengan
tempat yang lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pertanggungjawaban pidana
pedofilis dalam hukum pidana dan penerapan jenis sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim bagi pedofilis.
Penelitian ini bersifat deskriptif melalui pendekatan normatif empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
wawancara, kuisioner dan menganalisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan pendapat para ahli
hukum pidana. Data dianalisis dengan analisa kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban
pidana pedofilis dalam hukum pidana berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana menyatakan bahwa
pedofilis ini memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu unsur mampu bertanggung jawab, unsur
kesalahan dan unsur tidak ada alasan pemaaf, hal ini dikarenakan pedofilia bukanlah suatu penyakit jiwa (gila)
maupun seseorang yang terganggu pertumbuhan jiwanya (idiot) sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 KUHP
mengenai alasan penghapusan pidana, pedofilia hanyalah penyimpangan jiwa dimana memiliki kelainan orientasi
seksual yang ditujukan terhadap anak-anak, sehingga pedofilis ini dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana. Mengenai penerapan jenis sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim bagi pedofilis ditinjau dari KUHP,
jenis sanksinya hanya terbatas pada pidana penjara dan tidak ada batasan minimum lamanya pidana yang dijatuhkan
hanya batas maksimum sedangkan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
jenis sanksi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif yaitu pidana penjara dan denda subsider kurungan dan
lamanya pidana ditentukan batasan minimum dan maksimumnya. Pertanggungjawaban pidana pedofilis dalam
hukum pidana berdasarkan teori hukum tentang pertanggungjawaban pidana menyatakan bahwa pedofilis ini dapat
bertanggung jawab karena bukan merupakan penyakit jiwa (gila) maupun terganggu pertumbuhan jiwanya (idiot)
seperti alasan penghapusan pidana yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pedofilis, Anak
Abstract
Doing an injustice or badness is often referred as glared at have earned to be estimated by there is since existence
human being, but type deed which can punished to change from time to time and differ from place which is one with
the other place. This study aimed to find out and understand pedofilis criminal responsibility in criminal law and
application type of criminal sanctions imposed by the judge for pedofilis. This research is descriptive empirical
normative approach. Data collection was conducted by interview, questionaire, and analyze legislation, court
decisions, and opinions of legal experts criminal. Data were analyzed with qualitative analyze. The results showed
that criminal responsibility in criminal law, pedofilis based on theories of criminal liability states that this pedofilis
meet the elements of criminal liability is able to be responsible, mistakes elements, and the element of no reason
forgiving, this is because pedophilia is not a mental illness (mad) or distracted person of soul growth (idiot) as
stated in article 44 of law criminal of books regarding the reason for the elimination of crime, pedophilia was the
mental lapses have abnormalities sexual orientation geared towards the childrens, so pedofilis can be accounted for
in the criminal law. Regarding the application of the type of the crimanl sanction imposed by a judge for pedofilis
terms of codes of criminal law, type of sanction is limited to imprisonment and no minimum length limit imposed
only criminal limit while the terms of law number 23 of 2002 on the protection of children, types of criminal
sanctions are imposed cumulative imprisonment and fined subsidiary imprisonment and the duration of the criminal
determined minimum and maximum. Responsibility of crime pedofilis in criminal law pursuant to theory punish
about responsibility of crime express that this pedofilis can hold responsible because not such a schizophrenia
(madness) and also annoyed growth its head (idiot ) like reason of abolition of crime which is contained in Section
44 KUHP.
Keywords : Criminal of responsibility, Pedofilis and Children
PENDAHULUAN
Tindak pidana atau kejahatan atau sering disebut dengan delik sudah dapat diperkirakan
ada sejak adanya manusia, tetapi jenis perbuatan yang dapat dipidana berubah dari waktu ke
waktu dan berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Perubahan ini akan
berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam perkembangannya
tindak pidana ini meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. Tindak pidana yang
meningkat secara kuantitas disebabkan jumlah manusia serta kebutuhannya yang terus
bertambah, sedangkan tindak pidana yang meningkat secara kualitas disebabkan semakin hari
manusia semakin pandai menggunakan daya pikir serta keahliannya dalam menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi, (Prodjodikoro, 2003).
Pedofilis adalah suatu penyimpangan seks yang diderita oleh seseorang yang melakukan
pelecehan seksual terhadap anak-anak sesama jenis terutama pada anak laki-laki. Pelaku
kejahatan pedofilia ini biasa disebut dengan pedofil atau pedhofilis. Pedofilia berasal dari bahasa
yunani, paedo (anak) dan philia (cinta). Pedofilia merupakan satu dari bentuk penyimpangan
seksual yang disebut Parafilia. (Sawitri., 2005). Pedofilia sebagai gangguan atau kelainan jiwa
pada seseorang untuk bertindak dengan menjadikan anak-anak sebagai instrumen atau sasaran
dari tindakan pelecehan seksual. Umumnya bentuk tindakan ini berupa pelampiasan nafsu
seksual. Penderita pedofilia memiliki perilaku seksual menyimpang dimana memilh anak-anak
sebagai obyek bagi pemuasan kebutuhan seksualnya. Pedofilia adalah kelainan seksual berupa
hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan
pedofilia umurnya harus di atas 16 tahun baik pria maupun wanita, sedangkan anak-anak yang
menjadi korban berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas). Dikatakan pedofilia jika
seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks
tersebut mengganggu si anak.
Pertanggungjawaban pidana dari
pedofilis ini
masih menjadi tanda tanya apakah
termasuk dalam alasan penghapusan pidana mengingat kelainan yang dideritanya, ataukah alasan
pemberatan atau peringanan pidana, (Sudarto, 1983). Meskipun, dalam persidangan memang
terbukti pedofilis ini melanggar suatu peraturan perundang-undangan dan memenuhi semua
unsur dari tindak pidana yang disangkakan kepadanya apakah pedofilis ini dapat dihukum sesuai
peraturan perundang-
undangan yang ada padahal pedofilis ini bukanlah seseorang yang normal dan menderita
kelainan seksual.
Menurut Chazawi (2009), menjelaskan bahwa ada beberapa teori-teori yang telah
dirumuskan oleh para ahli mengenai pemidanaan dan tujuan dari pemidanaan tersebut. Teori
pemidanaan tersebut dikelompokkan dalam 3 golongan yaitu : (1), Teori Absolut atau Teori
Pembalasan (vergeldings theorien) ; (2), Teori Relatif atau Teori Tujuan (doel theorien) ; (3),
Teori Gabungan (vernegins theorien). Adapun menurut Van Hammel dalam (Chazawi.,2002),
mengemukakan bahwa teori pencegahan umum ini adalah pidana yang ditujukan agar orangorang (umum) menjadi takut berbuat jahat. Disamping teori absolut dan teori relatif tentang
pemidanaan, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam
hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi dan unsur
memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana.
Pidana berfungsi sebagai prevensi umum bukan yang khusus kepada terpidana, karena
jika ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman,
(Saleh, 1986). Teori gabungan yang ketiga, yaitu memandang pembalasan dan pertahanan tata
tertib masyarakat. Adapun teori tujuan pemidanaan yang dikemukakan oleh (Remmelink),
hukum pidana bukan bertujuan pada diri sendiri tetapi ditujukan juga untuk tertib hukum,
melindungi masyarakat hokum, (Arief, 1982). Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana
biasa disingkat 3R dan 1D yakni Reformation, Restraint, dan Restribution. Sedangkan 1D adalah
Deterrence yang terdiri dari Individual Detterence dan General Detterence.
Menurut E.Y. Kanter dkk., (2002), menyatakan bahwa : “Pertanggungjawaban pidana
dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan
atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang
dipertanggungjawabkan orang tersebut adalah tindak pidana yang dilakukannya. Jadi, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang”.
Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui dan memahami bagaimana pertanggungjawaban
pidana pedofilis dalam hukum pidana.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Pembedaan model penelitian hukum yang terspesialisasi pula menjadi dua, yaitu antara
penelitian hukum yang dikatakan “penelitian normatif” (khusus meneliti hukum sebagai norma
positif as it is written in the books) dan “penelitian empiris” (khusus untuk meneliti hukum
dalam wujudnya sebagai nomos, at it is observed in society )
Penulis dalam penelitiannya menggabungkan dua model penelitian tersebut yaitu
penelitian normatif dan empiris dimana penulis ingin mengkaji norna-norma yang ada di dalam
undang-undang, asas-asas yang berlaku maupun teori-teori yang ada serta melihat fakta secara
langsung yang terjadi di lapangan dan bagaimana implementasi di dalam pelaksanaannya.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini guna memperoleh data
dan informasi adalah sebagai berikut : (1), Wawancara, pengumpulan data yang dilakukan
peneliti secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan
penelitian kepada para narasumber atau responden. Hal tersebut dilakukan sebagai sumber
informasi dan sebagai referensi yang kritis, analisis dari para narasumber. (2), Studi
dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan masalah pedofilis terutama tentang pertanggungjawaban pidana pedofilis.
Menghubungkan pendapat-pendapat, opini-opini hukum dari pakar hukum serta dari peraturan
Perundang-undangan. (3), Sistem angket atau kuisioner, merupakan rangkaian-rangkaian
pertanyaan yang terstrukur sesuai atau relevan dengan penelitian yang kemudian oleh peneliti
diajukan dalam bentuk tertulis kepada narasumber. Hal ini dilakukan oleh peneliti agar sekiranya
didapat hasil penelitian yang lebih kompleks. Sistem angket atau kuisioner tidak memerlukan
sistem bertatap muka dengan para narasumber meskipun di dalam praktek sering ditemui sistem
angket melakukan pertanyaan langsung sebagaimana wawancara. Sistem ini dilakukan untuk
menghindari salah pengertian dalam
menafsirkan
setiap pertanyaaan
ataupun
yang
dikehendakinya data dalam bentuk uraian.
Teknik Analisis Data
Hasil yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan juga wawancara secara langsung
serta kuisioner disusun secara sistematis dan analisis sesuai dengan metode pendekatan normatif
dan empiris, maka pendekatan yang digunakan adalah analisa secara deskriptif kualitatif yaitu
data yang bertitik tolak pada upaya dalam menemukan asas-asas dan teori-teori dalam
menganalisa masalah dalam karya ilmiah ini (tesis). Hal ini dimaksudkan agar penulis dapat
menggambarkan keseluruhan hasil data yang diperoleh baik melalui wawancara, studi
kepustakaan, penggunaan sistem kuisioner. Selain itu penulis berharap dapat menggambarkan
pendapat para ahli atau pakar hukum, maupun referensi-referensi berupa tulisan-tulisan atau
kritikan-kritikan hukum yang telah dikumpulkan. Dari semua hasil-hasil yang diperoleh oleh
penulis diharapkan dapat dianalisis yang nantinya akan dihubungkan dengan rumusan peraturan
perundang-undangan yang ada dan dapat diambil kesimpulan atau jawaban guna menjawab
permasalahan yang diteliti oleh penulis.
HASIL
Kebijakan pertanggungjawaban pidana yang tertuang dalam KUHP akan terkait dengan
asas pertanggungjawaban pidana atau asas kesalahan dalam hukum pidana, yang menentukan
bahwa pada prinsipnya tiada pidana tanpa kesalahan. Prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana
apabila telah terbukti melakukan tindak pidana dan ada kesalahan. Asas kesalahan ini merupakan
salah satu asas fundamental dalam hukum pidana dan merupakan pasangan asas legalitas.
Bertolak pada prinsip keseimbangan itu pertanggungjawaban pidana didasarkan pada 2
(dua) asas yang sangat fundamental, yaitu asas legalitas (yang merupakan asas kemasyarakatan)
dan asas culpabilitas (yang merupakan asas kemanusiaan). Asas legalitas merupakan dasar patut
dipidananya suatu perbuatan, sedangkan asas kesalahan yang didalamnya tidak hanya dibatasi
pada perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus) melainkan juga pada perbuatan yang
dilakukan dengan kelalaian (culpa). Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan pada
prinsipnya seseorang sudah dapat dipidana apabila telah terbukti kesalahan melakukan tindak
pidana. Dengan pertimbangan-pertimbangan memberikan kewenangan kepada hakim untuk
menentukan jenis-jenis pidana dan jumlah pidananya.
Dalam hal ini berdasarkan asas kesalahan tersebut, pertanggungjawaban pidana
menghendaki adanya kesalahan berupa kesengajaan dan atau kealpaan untuk menjatuhkan
pidana terhadap pedofilis sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana.
Syarat penjatuhan pidana dalam teori hukum pidana dan praktik hukum pidana yang
merujuk pada ajaran dualistis meliputi, syarat objektif yaitu tindak pidana yang menunjuk pada
pelanggaran terhadap perbuatan yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan perundangundangan sebagai perbuatan terlarang dan tercela dan syarat subjektif yakni adanya
pertanggungjawaban pidana yang dinilai dari adanya kemampuan bertanggung jawab; adanya
kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan atau kelalaian (culpa); dan tidak ada alasan
pemaaf. Adapun 3 (tiga) unsur dari pertanggungjawaban pidana adalah sebagai berikut : (1),
Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (unsur mampu bertanggung jawab) ;
(2), Hubungan bathin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk-bentuk kesalahan (unsur kesalahan), (3), Tidak ada
alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Jadi, pertanggungjawaban pidana disebut sebagai
“toerekenbaarheid” dimaksudkan
untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Jika ia dipidana maka harus terbukti bahwa
tindakan yang dilakukan tersebut bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung
jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari pembuat yang berbentuk
kesengajaan dan kealpaan, artinya tindakan tersebut tercela dan terdakwa menyadari perbuatan
yang dilakukan tersebut.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa Pertanggungjawaban pidana pedofilis dalam hukum
pidana berdasarkan teori hukum tentang pertanggungjawaban pidana menyatakan bahwa
pedofilis ini dapat bertanggung jawab karena bukan merupakan penyakit jiwa (gila) maupun
terganggu pertumbuhan jiwanya (idiot) seperti alasan penghapusan pidana yang tercantum dalam
Pasal 44 KUHP, pedofilia merupakan penyimpangan jiwa dimana orientasi seksualnya ditujukan
pada anak-anak sehingga pedofilis ini dianggap mampu bertanggung jawab sebagai subjek
hukum.
Asas legalitas menurut Moeljatno.,(1983), mengandung tiga hal yaitu pertama, tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, jika perbuatan itu belum dinyatakan terlebih
dahulu dalam suatu aturan undang-undang; kedua, dalam menentukan adanya perbuatan yang
merupakan tindak pidana, tidak boleh digunakan analogi; dan ketiga, aturan-aturan hukum
pidana tidak berlaku surut.
Asas kesalahan atau asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) menurut
Sjahdeini.,(2006), mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban
pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan perbuatan yang
menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut
dengan tidak sengaja dan bukan karena kelalaiannya.
Van Hamel, (P.A.Lamintang., 1997) berpendapat, bahwa kemampuan bertanggung jawab
adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga macam
kemampuan yaitu : (1), Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri. (2), Untuk
menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak diperbolehkan oleh masyarakat, dan (3),
Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.
Syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut G.A. Van Hamel adalah
sebagai berikut : (1), Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau menginsyafi
nilai dari perbuatannya. (2), Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara
kemasyarakatan adalah dilarang, dan (3), Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap
perbuatannya.
Jadi dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab, maka hanya seseorang yang
mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan (unsur mampu bertanggung
jawabnya harus terpenuhi). Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi
menjelaskan bahwa
seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) bilamana memenuhi
kualifikasi sebagai berikut : Keadaan jiwanya, Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau
sementara (temporair) ; Tidak cacat dalam pertumbuhannya (gagu, idiot, imbecile dan
sebagainya), dan Tidak terganggu karena terejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh
bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, nyidam
dan lain sebagainya. Dengan perkataan lai dia dalam keadaan sadar, Kemampuan jiwanya, dapat
menginsyafi hakekat tindakannya, dapat menetukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
akan dilaksanakan atau tidak, dan, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pertanggungjawaban pidana pedofilis dalam hukum pidana berdasarkan teori hukum
tentang pertanggungjawaban pidana menyatakan bahwa pedofilis ini dapat bertanggung jawab
karena bukan merupakan penyakit jiwa (gila) maupun terganggu pertumbuhan jiwanya (idiot)
seperti alasan penghapusan pidana yang tercantum dalam Pasal 44 KUHP, pedofilia merupakan
penyimpangan jiwa dimana orientasi seksualnya ditujukan pada anak-anak sehingga pedofilis ini
dianggap mampu bertanggung jawab sebagai subjek hukum. Penerapan jenis sanksi pidana yang
dijatuhkan oleh hakim bagi pedofilis jika ditinjau dari KUHP jenis sanksinya hanya terbatas pada
pidana penjara sedangkan ditinjau dari UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jenis
sanksinya bersifat kumulatif yaitu pidana penjara dan pidana denda subsider kurungan. Dalam
penanganan kasus pencabulan yang dilakukan oleh pedofilis, seyogyanya lebih mengutamakan
penerapan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ketimbang KUHP,
hal ini berdasarkan asas hukum lex specialis derogate lex generalis.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, (2009). Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Penerbit PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
______________, (2002). Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, (1982). Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan DelikDelik Khusus dalam Masyarakat Modern, Binacipta, Bandung.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, (2002). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
Penerapannya, Storia grafika, Jakarta.
dan
Moeljatno, (1983). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta.
Roeslan Saleh, (1986). Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru,
Bandung.
Sawitri Supardi Sadarjoen, (2005). Bunga rampai Kasus Gangguan Psikoseksual. Refika
Aditama, Bandung.
Simons dalam P.A.F. Lamintang,(1997). Dasar-Dasar Hukum PIdana Indonesia. Citra Aditya
Abadi, Bandung.
Sudarto, (1983). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Penerbit Sinar Baru, Bandung.
Sutan Remy Sjahdeini, (2006). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Grafiri Pers, Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro, (2003). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung.
Download