4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus 2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) bukan merupakan kesatuan penyakit yang tunggal tetapi sebaliknya merupakan sekelompok kelainan metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia yang sama di balik kelainan tersebut. Efek netto tersebut berupa kelainan kronik pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan komplikasi jangka-panjang yang mengenai pembuluh darah, ginjal, mata serta saraf. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 140 juta orang yang mengidap penyakit diabetes dan dengan demikian membuat penyakit ini sebagai salah satu di antara sejumlah penyakit tidak menular yang paling sering ditemukan (Mitchel, Kumar, Abbas, dan Fausto, 2006). Diabetes Mellitus adalah penyakit sindroma metabolik dengan hiperglikemi atau kedua di antara defisiensi absolut sekresi insulin atau reduksi pada keefektifan insulin (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007). 2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus Tingkat prevalensi Diabetes Mellitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan ganggren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat. Universitas Sumatera Utara 5 Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012). Prevalensi DM di seluruh dunia telah meningkat secara dramatis selama dua dekade terakhir, dengan perkiraan 30 juta kasus pada tahun 1985 sampai 382 juta di tahun 2013 (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008). Gambar 2.1. Prevalensi Diabetes Mellitus di Seluruh Dunia Sumber: dikutip dari Fauci, et al., 2008. 2.1.3 Etiologi dan Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi Diabetes Mellitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita Diabetes Mellitus (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012). Manifestasi klinis Diabetes Mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi indulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa Universitas Sumatera Utara 6 setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012). 2.1.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus Klasifikasi diabetes telah diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa: (1) Diabetes Mellitus tipe 1 (2) Diabetes Mellitus tipe 2, (3) diabetes gestational (diabetes kehamilan), dan (4) tipe khusus lain (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012). Universitas Sumatera Utara 7 Tabel 2.1. Klasifikasi Dibetes Mellitus No. 1. Klasifikasi DM Diabetes Mellitus tipe 1 Definisi karena destruksi menyebabkan sel- , biasanya kekurangan insulin absolut. 2. Diabetes Mellitus tipe 2 karena progresif pengeluaran insulin menyebabkan yang resistensi insulin. 3. 4. Diabetes Mellitus diabetes didiagnosa pada trimester gestational kedua atau ketiga kehamilan. Tipe diabetes yang misalnya syndrome diabetes monogenic spesifik karena (seperti diabetes neonatus dan maturity- penyebab lainnya onset diabetes of the young [MODY]), penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis), dan diabetes yang diinduksi obat-obatan atau zat kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ). Sumber: dikutip dari ADA, 2015 Salah satu bentuk yang sering terjadi, tipe 1 atau Diabetes Mellitus dependen-insulin (insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM), disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi otoimun sel-sel di pulau- pulau Langerhans pankreas. Diabetes tipe 1 biasanya timbul sebelum usia 40 tahun sehingga disebut diabetes juvenilis (Ganong, 2005). Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya. (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012). Bentuk tersering kedua, tipe 2, atau diabetes melitus nondependen-insulin (non-insulin-dependent diabetes melllitus, NIDDM), ditandai oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Masih belum jelas mana yang pertama kali Universitas Sumatera Utara 8 terjadi, tetapi dapat saja terjadi resistensi insulin yang meningkatkan glukosa plasma, yang kemudian merangsang sekresi insulin sampai cadangan sel terlampaui. Dalam hal ini, kadar insulin plasma biasanya meningkat (Ganong, 2005). Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas. Insidens diabtes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012). Diabetes gestational (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, da riwayat diabetes gestational terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012). 2.2. Diabetes Mellitus tipe 2 2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2 Diabetes tipe 2-sebelumnya dikalsifikasikan sebagai non-insulin dependent diabetes- biasanya mengenai seseorang dengan resistensi insulin yang relative daripada defisiensi insulin absolute. Terhitung 80-90% kasus diabetes di Amerika Serikat. Pasien biasanya dewasa berumur lebih dari 40 tahun dengan berbagai derajat obesitas (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007). 2.2.2. Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antara berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat Universitas Sumatera Utara 9 dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur, kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi, Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura dan Taiwan (Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.2.2. 1. Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%. Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, Angola itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes (Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Universitas Sumatera Utara 10 2.2.3. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.2. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2 No. 1. Faktor Resiko Riwayat keluarga yang menderita diabetes (contoh, orang tua atau saudara kandung dengan diabetes tipe 2) . 2. Obesitas (BMI ≥β5 kg/m2 atau overweight) 3. Diet yang tidak sehat 4. Aktivitas fisik yang jarang 5. Usia (usia yang semakin bertambah meningkatkan resiko diabetes) 6. Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg) 7. Ras/etnik (contoh, Amerika Afrika, Latin, penduduk asli Amerika, Amerika Asia, penduduk Pulau Pasifik) 8. Sebelumnya diidentifikasikan IFG atau IGT 9. Riwayat GDM atau kelahiran bayi > 4 kg Sumber: dikutip dari IDF, 2014 Catatan: BMI: Body Mass Index; IFG: Impaired Fasting Glucose; IGT: Impaired Glucose Tolerance; GDM: Gestational Diabetes Mellitus; 2.2.4. Patogenesis Dibetes Mellitus tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2 sejauh ini merupakan tipe yang lebih sering ditemukan dengan kerentanan genetik yang lebih besar lagi. Penyakit tersebut tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetik yang masing-masing menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-faktor lingkungan. Berbeda dengan tipe 1, pada DM tipe 2 tidak ada bukti yang menunjukkan dasar autoimun. Dua defek metabolik utama yang menandai diabetes tipe 2 adalah resistensi insulin dan disfungsi sel (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006). Resistensi Insulin Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan perifer untuk berespons terhadap hormon insulin. Sejumlah penelitian fungsional Universitas Sumatera Utara 11 pada orang-orang dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan kuantitatif dan kualitatif pada lintasan penyampaian sinyal insulin yang meliputi penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi reseptor insulin serta aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara yang aktif dalam lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui sebagai sebuah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik serta lingkungan. Sebagian besar faktor genetik yang berkaitan dengan resistensi insulin masih menjadi misteri karena mutasi pada reseptor insulin itu sendiri sangat sedikit menyebabkan seseorang mengidap diabetes tipe 2 (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006). Di antara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling kuat. Korelasi obesitas dengan diabetes tipe 2 telah dikenali selama beberapa dekade dan resistensi insulin menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko terjadinya diabetes meningkat seiring indeks massa tubuh (ukuran untuk menentukan kandungan lemak tubuh dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang mungkin memengaruhi resistensi insulin pada obesitas meliputi kadar asam lemak bebas yang tinggi di dalam darah dan sel ini dapat memengaruhi fungsi insulin (lipotoksisitas) dan sejumlah sitokin yang dilepaskan oleh jaringan adiposa (adipokin); sitokin ini meliputi leptin, adiponektin, dan resistin. PPAR(Peroxisome Proliferator-Activated Receptor gamma), yaitu suatu reseptor nukleus adiposit yang diaktifkan oleh kelas preparat antidiabetik baru yang dinamakan thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen dalam adiposit dan hal ini akhirnya akan mengurangi resistensi insulin (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006). Disfungsi selDisfungsi sel- bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat dalam memghadapi resistensi dan hiperglikemia. Disfungsi sel- bersifat kualitatif (hilangnya pola sekresi insulin normal yang berayun [osilasi] dan pulsatil serta pelemaan fase pertama sekresi insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa plasma) maupun kuantitatif (berkurangnya massa sel- , degenerasi pulau Universitas Sumatera Utara 12 Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam pulau Langerhans) (Mitchell, Kumar, Abba, dan Fausto, 2006). 2.2.5. Gejala Klinis Dibetes Mellitus tipe 2 Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 selalu memperlihatkan karakteristik gejala dan tanda (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007). Gejala klasik seperti poliuri, haus, penglihatan kabur yang berulang, parastesia, dan kelelahan adalah manifestasi dari hiperglikemi dan diuresis osmosis dan karena itu merupakan kedua bentuk dari diabetes. Bagaimanapun, banyak pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang mempunyai onset hiperglikemia yang tersembunyi dan membahayakan dan yang awalnya relatif tanpa gejala. Hal ini yang terutama berlaku pada pasien obesitas, yaitu diabetes dapat dideteksi setelah glikosuria atau hiperglikemia yang tercatat selama studi laboratorium rutin. Infeksi kulit yang kronis biasa terjadi. Kadang-kadang, seseorang pria dengan diabetes yang tidak terdiagnosa mempunyai gejala impotensi (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007). Pasien yang tidak obesitas dengan bentuk ringan diabetes sering kali tidak ada temuan karakteristik fisik. Pasien obesitas dengan diabetes tipe 2 mungkin memiliki distribusi lemak; namun diabetes terlihat lebih sering dikaitkan pada wanita dan pria dengan lokasi dari deposit lemak di bagian atas tubuh (terutama perut, dada, leher dan wajah) dan relatif lebih sedikit pada bagian tubuh pelengkap, yang mungkin bagian muskular. Distribute lemak yang sentripetal disebut “android” dengan karakteristiknya perbandingan puncak pinggang sampai pinggul. Berbeda dari yang sentrifugal bentuk “gynecoid” obesitas, dimana lokasi lemak di pinggul dan paha dan sedikit pada bagian atas tubuh. Hipertensi ringan mungkin menunjukkan pasien obesitas dengan diabetes tipe 2, terutama ketika bentuk “android” obesitas lebih utama (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007). Universitas Sumatera Utara 13 2.2.6. Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2 Tabel 2.3. Kriteria Diagnostik DM No. Kriteria 1. Gejala diabetes dan konsentrasi glukosa darah random ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) atau 2. Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (126mg/dL) atau 3. Hemoglobin A1C ≥ 6,5% atau 4. Glukosa plasma 2 jam ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) selama tes toleransi glukosa oral. Sumber: dikutip dari ADA, 2007 Toleransi glukosa diklasifikasikan ke dalam 3 kategori: homeostatis glukosa yang normal, DM, atau gangguan homeostatis glukosa. Toleransi glukosa bisa dinilai menggunakan glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose / FPG), respon glukosa oral, atau hemoglobin A1C (HbA1C). Nilai FPG < 5,6 mmol/L (100 mg/dL), glukosa plasma < 140 mg/dL (11,1 mmol/L) diikuti dengan glukosa oral, dan HbA1C < 5,7% dianggap untuk menetapkan toleransi glukosa yang normal. The International Expert Committee dengan anggota yang ditetapkan ADA, asosiasi Eropa untuk penelitian diabetes, dan IDF telah mengeluarkan kriteria untuk diagnostik DM (Tabel 2.1.) berdasarkan beberapa alasan: (1) FPG, respon terhadap glukosa oral (tes toleransi glukosa oral [oral glucose tolerance test/OGTT]), dan perbedaan HbA1C diantara setiap orang, dan (2) DM didefinisikan dengan tingkatan glikemi dimana komplikasi spesifik terjadi bukan pada deviasi rata-rata berdasarkan populasi. Sebagai contoh, prevalensi retinopati di Native Americans (populasi Pima Indian) dimulai dengan peningkatan FPG > 6,4 mmol/L ( 116mg/dL). FPG ≥ 7.0 mmol/L (126 mg/dL), glukosa ≥ 11.1 mmol/L (200 mg/dL) 2 jam setelah glukosa oral, atau HbA1C ≥ 6.5% menjamin diagnosis DM (Tabel 2.1.). Konsentrasi glukosa plasma acak ≥ 11.1 mmol/L (200mg/dL) disertai gejala klasik DM (poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan) cukup untuk mendiagnosis DM (Tabel 2.1.). Universitas Sumatera Utara 14 Homeostatis glukosa yang abnormal didefinisikan sebagai: (1) FPG = 5.6 – 6.9 mmol/L (100-125 mg/dL), dimana didefinisikan sebagai gangguan glukosa puasa (IFG); (2) Kadar plasma glukosa antara 7.8 dan 11 mmol/L 140 dan 199 mg/dL) diikuti glukosa oral, dimana disebut sebagai gangguan toleransi glukosa (IGT); atau (3) HbA1C 5.7 – 6.4 %. Beberapa menggunakan istilah, prediabetes, peningkatan resiko deiabetes atau hiperglikemi intermediate (WHO) untuk kategori DM. Kriteria saat ini untuk diagnosis DM menekankan pada tes HbA1C atau FPG yang dapat dipercaya dan sesuai untuk megindentifikasi DM pada individu yang tidak mempunyai (bagaimanapun, beberapa mungkin mempunyai kriteria untuk 1 jenis tes tetapi tidak untuk tes yang lain). OGTT, meskipun masih valid untuk mendiagnosis DM, tetapi jarang digunakan pada pemeriksaan rutin. (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008). 2.2.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2 Pilar penalataksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat bera badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penggunaan yang perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik yang sesuai. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.2.7.1. Farmakoterapi a. Golongan Insulin Sensitizing Biguanid Saat ini golongsn biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, Universitas Sumatera Utara 15 tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Di samping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah, dan juga pada plasmino-gen activator inhibitor (PAI-1) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan. Pemberian metformin dapat menurunkan berat badan ringan hingga sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia akibat resistensi insulin, sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonyurea (SU), repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase, dan glitazone. Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam penurunan glukosa darah puasa (60-70 mg/dL) dan HbA1c (1-2%) dan dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali hanya dengan diet. Pada pemakaian kombinasi dengan SU, hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh SU-nya. Pengobatan terapi kombinasi Universitas Sumatera Utara 16 dengan obat anti diabetes yang lain dapat menurunkan HbA1c 3-4% (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Efek samping gastrointestinal tidak jarang (~50%) didapatkan pada pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, meski kejadiannyab cukup jarang (0,03 per 1000 pasien) namun berakibat fatal pada 30-50% kasus. Pada gangguan fungsi ginjal yang berat, metformin dosis tinggi akan berakumulasi di mitokondria dan menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis laktat (yang dapat diperberat dengan alkohol). Untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin>1,3 mg/dL pada perempuan dan >1,5 md/dL pada laki-laki) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Glitazone Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisomje proliferator-activated receptor gamma (PPARa) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Sama seperti metformin, glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid, glitaxon dapat meningkatkan efisiensi dan respons sel beta pankreas Universitas Sumatera Utara 17 dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan infeksi saluran nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%) dan anemia dilusional (penurunan hemoglobin (Hb) sekitar 1 gr/dL) juga dilaporkan. Insiden fraktur ekstremitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). b. Golongan Sekretagok Insulin Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU dan non SU (glinid) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Sulfonilurea (SU) SU telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. SU sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meingkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relatif murah (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. (Bahkan sampai > 20 jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu Universitas Sumatera Utara 18 dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1 (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Hipoglikemia merupakan efek samping terpentinga dari SU terutaam bila asupan pasien tidak adekuat. Selain itu terjadi kenaikan berat badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan enzim hati dan flushing (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Glinid Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya dengan SU adalah pada masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama kerjanya yang pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial. Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompkeks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.2.7.2 Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Mellitus Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakuakan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan Universitas Sumatera Utara 19 modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, dan memperbaiki sistem koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009): 1. Kadar glukosa darah mendekati normal: glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl, kadar HbA1C <7%) 2. Tekanan darah <130/80 mmHg 3. Profil lipid: kolesterol LDL<100 mg/dl, kolesterol HDL>40 mg/dl, trigliserida <150 mg/dL 4. Berat badan senormal mungkin Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada perubahan gaya hidup damn pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus lain yang perlu diberikan prioritas Pencapaian target perlu dibicarakan bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana. Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten baik dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari. Komposisi bahan makanan terdiri terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, seta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Universitas Sumatera Utara 20 Karbohidrat Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acid). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Protein Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam amino esensial. kilokalori/gram Protein mengandung energi sebesar 4 (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Lemak Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetisi. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated acid = PUFA) dapat Universitas Sumatera Utara 21 melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa, merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhapa DM sehari-hari. Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih harus diteliti oleh para ahli hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa kegiatan fisik diabetisi (tipe 1 maupun 2), akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial dan tampak sehat (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.2.8. Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2 Menurut Joeharno, M., 2009 dalam Jafar, N., 2009, stategi penanggulangan Diabetes Mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut: a. Primordial prevention Universitas Sumatera Utara 22 Primordial prevention merupakan upaya untuk mencegah terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam masyarakat terhadap penyakit secara umum. Pada upaya penanggulangan DM, upaya pencegahan yang sifatnya primordial adalah : 1. Intervensi terhadap pola makan dengan tetap mempertahankan pola makan masyarakat yang masih tradisional dengan tidak membudayakan pola makan cepat saji yang tinggi lemak. 2. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis. 3. Intervensi terhadap aktifitas fisik dengan mempertahankan kegiatan-kegiatan masyarakat sehubungan dengan aktivitas fisik berupa olahraga teratur (lebih mengarahkan kepada masyarakat kerja) dimana kegiatan-kegiatan masyarakat yang biasanya aktif secara fisik seperti kebiasaan berkebun sekalipun dalam lingkup kecil namun dapat bermanfaat sebagai sarana olahraga fisik. 4. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat. b. Health promotion Health promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada upaya pencegahan DM, tindakan yang dapat dilakukan adalah : 1. Pemberian informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklsif kepada masyarakat khususnya kaum perempuan untuk mencegah terjadinya pemberian susu formula yang terlalu dini. 2. Pemberian informasi akan pentingnya aktivitas olahraga rutin minimal 15 menit sehari. c. Spesific protection Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan secara dini kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Pada beberapa penyakit biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian Universitas Sumatera Utara 23 imunisasi namun untuk perkembangan sekarang, Diabetes Mellitus dapat dilakukan melalui: 1. Pemberian penetral radikal bebas seperti nikotinamid. 2. Mengistirahatkan sel-beta melalui pengobatan insulin secara dini. 3. Penghentian pemberian susu formula pada masa neonatus dan bayi sejak dini. 4. Pemberian imunosupresi atau imunomodulasi. d. Early diagnosis and promp treatment Early diagnosis and prompt treatment dilakukan sehubungan dengan upaya pendeteksian secara dini terhadap individu yang nantinya mengalami DM dimasa mendatang sehingga dapat dilakukan upaya penanggulangan sedini mungkin untuk mencegah semakin berkembangnya risiko terhadap timbulnya penyakit tersebut. Upaya sehubungan dengan early diagnosis pada DM adalah dengan melakukan : 1. Melakukan skrining DM di masyarakat. 2. Melakukan survei tentang pola konsumsi makanan di tingkat keluarga pada kelompok masyarakat. e. Disability limitation Disability limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah dampak lebih besar yang diakibatkan oleh DM yang ditujukan kepada seorang yang telah diangap sebagai penderita DM karena risiko keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang dapat dilakukan adalah : 1. Pemberian insulin yang tepat waktu. 2. Penanganan secara komprehensif oleh tenaga ahli medis di rumah sakit. 3. Perbaikan fasilitas-fasilitas pelayanan yang lebih baik. Universitas Sumatera Utara 24 f. Rehabilitation Rehabilitation ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan kembali pada individu yang telah mengalami sakit. Pada penderita DM, upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan adalah : 1. Pengaturan diet makanan sehari-hari yang rendah lemak dan pengkonsumsian makanan karbohidrat tinggi yang alami. 2. Pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur dengan melaksanakan pemeriksaan laboratorium komplit minimal sekali sebulan. 3. Penghindaran atau penggunaan secara bijaksana terhadap obat-obat yang diabetagonik. 2.2.9. Edukasi Diabetes Mellitus tipe 2 Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif, pengembangan keterampilan dan motivasi (Perkeni, 2006). Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang: 1. Penyakit DM. 2. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM. 3. Penyulit DM. 4. Intervensi farmakologis dan non farmakologis. 5. Hipoglikemia. 6. Masalah khusus yang dihadapi. 7. Perawatan kaki pada diabetes. 8. Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran keterampilan. 9. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan. Universitas Sumatera Utara 25 Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi (Perkeni, 2006). 2.2.10. Komplikasi Diabetes Mellitus Peningkatan insidensi DM akan diikuti oleh mengingkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM. Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.2.10.1 Retinopati Diabetik Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai derajat (Pandelaki, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina, kemudian juga ablasio retina dan lebih lanjut dapat mengakibatkan kebutaan. Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara rutin.Pada praktik pengelolaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan penyandang DM dan kemudia setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau Universitas Sumatera Utara 26 diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya (Waspadji, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.2.10.2. Nefropati Diabetik Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Di Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua komplikasi DM. Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari pada DM tipe 1 dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen dibagi menjadi 5 tahapan (Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Tahap 1, terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. Tahap 2, secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan volume mesangium farksional (dengan peningkatan matriks mesangium). Tahap 3, pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200 ig/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membranan basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap 4, merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menuru, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan Universitas Sumatera Utara 27 tingginya tekanan darah. Tahap 5, timbulya gagal ginjal terminal (Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.2.10.3. Neuropati Diabetik Neuropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan pada DM. Risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuhsembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada meningkatnya biaya pengobatan pasien DM dengan ND. Manifestasi ND bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi (Subekti, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). 2.3 Darah Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darag sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai : (a) pembawa oksigen (oxygen carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan (c) mekanisme hemostasis. Darah terdiri atas 2 komponen utama: 1. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah. 2. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas: a. eritrosit : sel darah merah (SDM) - red blood cell (RBC) b. leukosit : sel darah putih (SDP) - white blood cell (WBC) c. trombosit : butir pembeku - platelet Universitas Sumatera Utara 28 Plasma darah dikurangi protein pembekuan darah disebut sebagai serum. (Bakta, 2003). 2.3.1 Sel Darah Merah Eritrosit (sel darah merah) hidup dan beredar dalam darah tepi (life span) rata-rata selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan (senescence) kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES. Apabila destruksi eritrosit terjadi sebelum waktunya (<120 hari) maka proses ini disebut sebagai hemolisis (Bakta, 2003). 2.3.2 Struktur Sel Darah Merah Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri atas: 1. Membran eritrosit 2. Sistem enzim; yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway: pyruvate kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose 6phospate dehydrogenase) 3. Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya terdiri atas: a. heme, yang merupakan gabugan protoporfirin dengan besi b. globin: bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta. Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan.Kelaimam yang timbul karena kelainan membran disebut sebagai membranopati, kelainan akibta gangguan sistem enzim eritrosit disebut ensimopati, sedangkan kelainan akibat gangguan struktur hemoglobin disebut sebagai hemoglobinopati (Bakta, 2003). Universitas Sumatera Utara 29 2.4 Hemoglobin Pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata adalah hemoglobin, yakni suatu protein dengan berat molekul 64.450. Hemoglobin adalah molekul yang berbentuk bulat dan terdiri atas empat subunit (dua rantai polipeptida α dan dua rantai polipeptida ). Tiap-tiap subunit mengandung satu gugus heme yang terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivate porfirin yang mengandung besi. Polipeptida-polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Ada dua pasang polipeptida di setiap molekul hemoglobin (Ganong, 2005). Hemoglobin melakukan pengiriman oksigen secara normal ke jaraingan; hal ini juga dilakukan erythisytesin dalam konsentrasi tinggi yang dapat mengubah bentuk, deformabilitas, dan viskositas sel darah merah. Hemoglobinopati adalah gangguan yang mempengaruhi struktur, fungsi, atau produksi dari hemoglobin. Kondisi ini biasanya diwariskan dan tingkat keparahannya berkisar dari laboratorium yang abnormal dan asimtomatik sampai pada kematian di dalam rahim. Bentuk yang berbeda digambarkan pada anemia hemolitik, eritrositosis, sianosis, atau vasooklusif stigmata (Benz, 2008 dalam Fauci, et al., 2008). 2.4.1. Struktur Hemoglobin Hemoglobin diproduksi selama masa embrionik, janin, dan kehidupan dewasa. Setiap hemoglobin terdiri dari tetramer globin rantai polipeptida: sepasang rantai α seperti 141 asam amino yang panjang dan sepasang rantai ß seperti 146 asam amino yang panjang. Hemoglobin yang sudah dewasa, HbA, mempunyai struktur αβ, ß2. HbF (αβyβ) mendominasi selama sebagian besar masa kehamilan, dan HbA2 (αβ delta2) adalah hemoglobin dewasa yang minor. Setiap rantai globin membungkus satu bagian heme tunggal, yang terdiri dari cincin kompleks dengan atom besi tunggal pada ferrous (Fe2+). Setiap bagian heme dapat mengikat molekul oksigen tunggal; setiap molekul hemoglobin dapat mengangkut hingga empat molekul oksigen. Universitas Sumatera Utara 30 Rangkaian asam amino dari berbagai globin sangat homolog satu dengan yang lain. Masing-masing memiliki struktur sekunder yang sangat heliks. Struktur tersier globular menyebabkan permukaan luar menjadi asam amino hidrofilik dengan solubilitas yang tinggi, dan bagian dalam dibatasi dengan golongan nonpolar, bentuk hidrofobik dimana ada heme. Struktur kuarterner tetramerik dari HbA mengandaung 2 dimer αß. Banyak interaksi yang kuat (e.g., hubungan αlß1) memegang rantai α dan ß bersama-sama. Tetramer yang komplit dibentuk bersama oleh permukaan antara rantai α dari 1 dimer dan rantai non-α dari dimer lainnya. Tetramer hemoglonin sangatlah mudah larut, teteapi rantai globin tidak mudah larut (Benz, 2008 dalam Fauci, et al., 2008). 2.4.2. Kadar Hemoglobin Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung erotrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariadi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di bawah kadar mana kita anggap terdapat anemia (Bakta 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009). Tabel 2.4. Kadar Hemoglobin Menurut WHO No. Kelompok Kadar Hemoglobin (Hb) 1. Laki-laki dewasa < 13 g/dl 2. Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl 3. Wanita hamil < 11 g/dl Sumber: dikutip dari Hoffbrand AV, et al., 2001 Universitas Sumatera Utara 31 Tabel 2.5. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia No. Populasi Tidak Anemia 1. Anak (6-59 bulan) 2. 3. 4. Anemia Ringan Sedang Berat 110 atau lebih 100-109 70-99 <70 Anak (5-11 tahun) 115 atau lebih 110-114 80-109 <80 Anak (12-14 tahun) 120 atau lebih 110-119 80-109 <80 120 atau lebih 110-119 80-109 <80 Wanita tidak hamil (≥ 15 tahun) 5. Wanita hamil 110 atau lebih 100-10 70-99 <70 6. Pria (≥ 15 tahun) 130 atau lebih 110-129 80-109 <80 Sumber: dikutip dari WHO, 2011. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity [diakses tanggal 10 Oktober 2015]. 2.5. Diabetes Mellitus tipe 2 dan Kadar Hemoglobin Diabetes adalah penyebab utama Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease, CKD) dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Anemia umumnya berhubungan dengan diabetes dan CKD dan berperan besar dalam hasil klinis pasien. Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa kadar Hemoglobin (Hb) yang rendah pada pasien DM dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (Mehdi dan Toto, 2009). Patogenesis anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya sintesis serta pelepasan eritropietin, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan kemungkinan faktor iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACE-I). Terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) dan keadaan Universitas Sumatera Utara 32 ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan sistem di kardiovaskular. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosa anemia secara tepat. (Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011). Anemia pada pasien diabetes dengan CKD menunjukkan lebih dari satu lebih mekanisme. Penyebab utama anemia pada pasien CKD adalah defisiensi besi dan eritropoietin dan hiporesponsif dari eritropoietin (Mehdi dan Toto, 2009). a. Defisiensi besi Defisiensi besi pada masyarakat umum merupakan penyebab umum anemia dan lazim pada pasien dengan diabetes dan CKD. Analisis terbaru dari National Health and Nutrition Examination Survey IV menunjukkan bahwa sampai 50% pasien dengan CKD stadium 2-5 mempunya defisiensi besi yang absolut atau relatif (fungsional). Pada CKD, defisiensi besi absolut dan relatif adalah hal yang biasa. Defisiensi besi absolut didefinisikan dengan deplesi dari penyimpanan jaringan besi yang dibuktikkan dengan kadar serum ferritin <100 ng/ml atau saturasi transferrin <20%. Anemia defisiensi besi fungsional adalah jaringan besi yang adekuat yang didefinisikan dengan kadar serum ferritin ≥100 ng/ml dan reduksi pada saturasi besi. b. Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin berperan dalam kejadian anemia pada pasien diabetes dengan CKD. Penyebab defisiensi eritropoietin diduga karena pengurangan massa ginjal dengan akibat penurunan hormon. Hiporesponsif secara klinis diartikan sebagai dosis tinggi dari eritropoietin untuk meningkatkan kadar Hb dengan tidak adanya defisiensi besi. Hal ini diyakini untuk menggambarkan aksi gangguan antiapoptosis dari eritropoietin pada proeritroblast. Penyebab yang mungkin dari hiporesponsif eritropoietin adalah peradangan sistemik dan kerusakan mikrovaskular di sumsum tulang. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa faktor-faktor lain (misalnya, kegagalan otonom) mungkin berperan dalam gangguan produksi eritropoietin atau sekresi oleh gagal ginjal. Universitas Sumatera Utara