DM - Universitas Sumatera Utara

advertisement
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus
2.1.1. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) bukan merupakan kesatuan penyakit yang tunggal
tetapi sebaliknya merupakan sekelompok kelainan metabolik yang memiliki ciri
hiperglikemia yang sama di balik kelainan tersebut. Efek netto tersebut berupa
kelainan kronik pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dengan
komplikasi jangka-panjang yang mengenai pembuluh darah, ginjal, mata serta
saraf. Di seluruh dunia terdapat lebih dari 140 juta orang yang mengidap penyakit
diabetes dan dengan demikian membuat penyakit ini sebagai salah satu di antara
sejumlah penyakit tidak menular yang paling sering ditemukan (Mitchel, Kumar,
Abbas, dan Fausto, 2006).
Diabetes Mellitus adalah penyakit sindroma metabolik
dengan
hiperglikemi atau kedua di antara defisiensi absolut sekresi insulin atau reduksi
pada keefektifan insulin (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan
Shoback, 2007).
2.1.2. Epidemiologi Diabetes Mellitus
Tingkat prevalensi Diabetes Mellitus adalah tinggi. Diduga terdapat
sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis
600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika
Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat
retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2,5 kali
lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya
meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan
ganggren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus
intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat.
Universitas Sumatera Utara
5
Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya
pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena
banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular (Schteingart, 2012
dalam Price, dan Wilson, 2012).
Prevalensi DM di seluruh dunia telah meningkat secara dramatis selama
dua dekade terakhir, dengan perkiraan 30 juta kasus pada tahun 1985 sampai 382
juta di tahun 2013 (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).
Gambar 2.1. Prevalensi Diabetes Mellitus di Seluruh Dunia
Sumber: dikutip dari Fauci, et al., 2008.
2.1.3 Etiologi dan Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi Diabetes Mellitus
bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya
akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya
memegang peranan penting pada mayoritas penderita Diabetes Mellitus
(Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).
Manifestasi klinis Diabetes Mellitus dikaitkan dengan konsekuensi
metabolik defisiensi indulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
Universitas Sumatera Utara
6
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang
ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa
haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami
keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin
besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien
mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson,
2012).
2.1.4. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes telah diperkenalkan oleh American Diabetes
Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis
sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa. Klasifikasi ini telah disahkan
oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia.
Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa: (1) Diabetes Mellitus tipe 1
(2) Diabetes Mellitus tipe 2, (3) diabetes gestational (diabetes kehamilan), dan (4)
tipe khusus lain (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).
Universitas Sumatera Utara
7
Tabel 2.1. Klasifikasi Dibetes Mellitus
No.
1.
Klasifikasi DM
Diabetes Mellitus tipe 1
Definisi
karena
destruksi
menyebabkan
sel- ,
biasanya
kekurangan
insulin
absolut.
2.
Diabetes Mellitus tipe 2
karena
progresif
pengeluaran
insulin
menyebabkan
yang
resistensi
insulin.
3.
4.
Diabetes Mellitus
diabetes
didiagnosa
pada
trimester
gestational
kedua atau ketiga kehamilan.
Tipe diabetes yang
misalnya syndrome diabetes monogenic
spesifik karena
(seperti diabetes neonatus dan maturity-
penyebab lainnya
onset diabetes of the young [MODY]),
penyakit pankreas eksokrin (seperti
cystic fibrosis), dan diabetes yang
diinduksi obat-obatan atau zat
kimia
(seperti dalam pengobatan HIV/AIDS
atau setelah transplantasi organ).
Sumber: dikutip dari ADA, 2015
Salah satu bentuk yang sering terjadi, tipe 1 atau Diabetes Mellitus
dependen-insulin (insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM), disebabkan oleh
defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi otoimun sel-sel
di pulau-
pulau Langerhans pankreas. Diabetes tipe 1 biasanya timbul sebelum usia 40
tahun sehingga disebut diabetes juvenilis (Ganong, 2005). Insidens diabetes tipe 1
sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya. (Schteingart, 2012 dalam Price, dan
Wilson, 2012).
Bentuk tersering kedua, tipe 2, atau diabetes melitus nondependen-insulin
(non-insulin-dependent diabetes melllitus, NIDDM), ditandai oleh resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Masih belum jelas mana yang pertama kali
Universitas Sumatera Utara
8
terjadi, tetapi dapat saja terjadi resistensi insulin yang meningkatkan glukosa
plasma, yang kemudian merangsang sekresi insulin sampai cadangan sel
terlampaui. Dalam hal ini, kadar insulin plasma biasanya meningkat (Ganong,
2005). Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas.
Insidens diabtes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas
sering dikaitkan dengan penyakit ini (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson,
2012).
Diabetes gestational (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah
usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, da riwayat diabetes
gestational terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang
mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah
suatu keadaan diabetogenik (Schteingart, 2012 dalam Price, dan Wilson, 2012).
2.2. Diabetes Mellitus tipe 2
2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes
tipe
2-sebelumnya
dikalsifikasikan
sebagai
non-insulin
dependent diabetes- biasanya mengenai seseorang dengan resistensi insulin yang
relative daripada defisiensi insulin absolute. Terhitung 80-90% kasus diabetes di
Amerika Serikat. Pasien biasanya dewasa berumur lebih dari 40 tahun dengan
berbagai derajat obesitas (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan
Shoback, 2007).
2.2.2. Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2
Prevalensi DM Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari
orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan
kekerapan diabetes antara berbagai kelompok etnik di seluruh dunia, hingga
dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu
kelompok etnik tertentu dengan kelompok etnik kulit putih pada umumnya.
Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya
sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan diabetes sangat meningkat
Universitas Sumatera Utara
9
dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Demikian pula pada beberapa kelompok
etnik di beberapa negara yang mengalami perubahan gaya hidup yang sangat
berbeda dengan cara hidup sebelumnya karena memang mereka lebih makmur,
kekerapan diabetes bisa mencapai 35% seperti misalnya di beberapa bangsa
Mikronesia dan Polinesia di Pasifik, Indian Pima di AS, orang Meksiko yang ada
di AS, bangsa Creole di Mauritius dan Suriname, penduduk asli Australia dan
imigran India di Asia. Prevalensi tinggi juga ditemukan di Malta, Arab Saudi,
Indian Canada dan Cina di Mauritius, Singapura dan Taiwan (Suyono, S., 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
2.2.2. 1. Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia
Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di
Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%,
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan
di Manado 6%. Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan
DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di
daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat
tahun 1995, Angola itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi
di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup
mempengaruhi kejadian diabetes (Suyono, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.3. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2
Tabel 2.2. Faktor Resiko Dibetes Mellitus tipe 2
No.
1.
Faktor Resiko
Riwayat keluarga yang menderita diabetes (contoh, orang tua atau saudara
kandung dengan diabetes tipe 2) .
2.
Obesitas (BMI ≥β5 kg/m2 atau overweight)
3.
Diet yang tidak sehat
4.
Aktivitas fisik yang jarang
5.
Usia (usia yang semakin bertambah meningkatkan resiko diabetes)
6.
Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)
7.
Ras/etnik (contoh, Amerika Afrika, Latin, penduduk asli Amerika,
Amerika Asia, penduduk Pulau Pasifik)
8.
Sebelumnya diidentifikasikan IFG atau IGT
9.
Riwayat GDM atau kelahiran bayi > 4 kg
Sumber: dikutip dari IDF, 2014
Catatan: BMI: Body Mass Index; IFG: Impaired Fasting Glucose; IGT:
Impaired Glucose Tolerance; GDM: Gestational Diabetes Mellitus;
2.2.4. Patogenesis Dibetes Mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 sejauh ini merupakan tipe yang lebih sering
ditemukan dengan kerentanan genetik yang lebih besar lagi. Penyakit tersebut
tampaknya terjadi karena sekumpulan cacat genetik yang masing-masing
menimbulkan risiko predisposisinya sendiri dan dimodifikasi oleh faktor-faktor
lingkungan. Berbeda dengan tipe 1, pada DM tipe 2 tidak ada bukti yang
menunjukkan dasar autoimun. Dua defek metabolik utama yang menandai
diabetes tipe 2 adalah resistensi insulin dan disfungsi sel
(Mitchell, Kumar,
Abba, dan Fausto, 2006).
Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan keadaan berkurangnya kemampuan jaringan
perifer untuk berespons terhadap hormon insulin. Sejumlah penelitian fungsional
Universitas Sumatera Utara
11
pada orang-orang dengan resistensi insulin memperlihatkan sejumlah kelainan
kuantitatif dan kualitatif pada lintasan penyampaian sinyal insulin yang meliputi
penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan fosforilasi reseptor insulin serta
aktivitas tirosin kinase, dan berkurangnya kadar zat-zat antara yang aktif dalam
lintasan penyampaian sinyal insulin. Resistensi insulin diakui sebagai sebuah
fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor genetik serta
lingkungan. Sebagian besar faktor genetik yang berkaitan dengan resistensi
insulin masih menjadi misteri karena mutasi pada reseptor insulin itu sendiri
sangat sedikit menyebabkan seseorang mengidap diabetes tipe 2 (Mitchell,
Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).
Di antara faktor-faktor lingkungan, obesitas memiliki korelasi yang paling
kuat. Korelasi obesitas dengan diabetes tipe 2 telah dikenali selama beberapa
dekade dan resistensi insulin menjadi kelainan yang mendasarinya. Risiko
terjadinya diabetes meningkat seiring indeks massa tubuh (ukuran untuk
menentukan kandungan lemak tubuh dan resistensi insulin. Faktor-faktor yang
mungkin memengaruhi resistensi insulin pada obesitas meliputi kadar asam lemak
bebas yang tinggi di dalam darah dan sel ini dapat memengaruhi fungsi insulin
(lipotoksisitas) dan sejumlah sitokin yang dilepaskan oleh jaringan adiposa
(adipokin); sitokin ini meliputi leptin, adiponektin, dan resistin. PPAR(Peroxisome Proliferator-Activated Receptor gamma), yaitu suatu reseptor
nukleus adiposit yang diaktifkan oleh kelas preparat antidiabetik baru yang
dinamakan thiazolidinedion dapat memodulasi ekspresi gen dalam adiposit dan
hal ini akhirnya akan mengurangi resistensi insulin (Mitchell, Kumar, Abba, dan
Fausto, 2006).
Disfungsi selDisfungsi sel- bermanifestasi sebagai sekresi insulin yang tidak adekuat
dalam memghadapi resistensi dan hiperglikemia. Disfungsi sel- bersifat kualitatif
(hilangnya pola sekresi insulin normal yang berayun [osilasi] dan pulsatil serta
pelemaan fase pertama sekresi insulin cepat yang dipicu oleh peningkatan glukosa
plasma) maupun kuantitatif (berkurangnya massa sel- , degenerasi pulau
Universitas Sumatera Utara
12
Langerhans, dan pengendapan amiloid dalam pulau Langerhans) (Mitchell,
Kumar, Abba, dan Fausto, 2006).
2.2.5. Gejala Klinis Dibetes Mellitus tipe 2
Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 selalu memperlihatkan
karakteristik gejala dan tanda (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan
Shoback, 2007).
Gejala klasik seperti poliuri, haus, penglihatan kabur yang berulang,
parastesia, dan kelelahan adalah manifestasi dari hiperglikemi dan diuresis
osmosis dan karena itu merupakan kedua bentuk dari diabetes. Bagaimanapun,
banyak pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2 yang mempunyai onset
hiperglikemia yang tersembunyi dan membahayakan dan yang awalnya relatif
tanpa gejala. Hal ini yang terutama berlaku pada pasien obesitas, yaitu diabetes
dapat dideteksi setelah glikosuria atau hiperglikemia yang tercatat selama studi
laboratorium rutin. Infeksi kulit yang kronis biasa terjadi. Kadang-kadang,
seseorang pria dengan diabetes yang tidak terdiagnosa mempunyai gejala
impotensi (Masharani, dan German, 2007 dalam Gardner, dan Shoback, 2007).
Pasien yang tidak obesitas dengan bentuk ringan diabetes sering kali tidak
ada temuan karakteristik fisik. Pasien obesitas dengan diabetes tipe 2 mungkin
memiliki distribusi lemak; namun diabetes terlihat lebih sering dikaitkan pada
wanita dan pria dengan lokasi dari deposit lemak di bagian atas tubuh (terutama
perut, dada, leher dan wajah) dan relatif lebih sedikit pada bagian tubuh
pelengkap, yang mungkin bagian muskular. Distribute lemak yang sentripetal
disebut “android” dengan karakteristiknya perbandingan puncak pinggang sampai
pinggul. Berbeda dari yang sentrifugal bentuk “gynecoid” obesitas, dimana lokasi
lemak di pinggul dan paha dan sedikit pada bagian atas tubuh. Hipertensi ringan
mungkin menunjukkan pasien obesitas dengan diabetes tipe 2, terutama ketika
bentuk “android” obesitas lebih utama (Masharani, dan German, 2007 dalam
Gardner, dan Shoback, 2007).
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.6. Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2
Tabel 2.3. Kriteria Diagnostik DM
No.
Kriteria
1.
Gejala diabetes dan konsentrasi glukosa darah random ≥ 11,1 mmol/L
(200 mg/dL) atau
2.
Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (126mg/dL) atau
3.
Hemoglobin A1C ≥ 6,5% atau
4.
Glukosa plasma 2 jam ≥ 11,1 mmol/L (200 mg/dL) selama tes toleransi
glukosa oral.
Sumber: dikutip dari ADA, 2007
Toleransi glukosa diklasifikasikan ke dalam 3 kategori: homeostatis
glukosa yang normal, DM, atau gangguan homeostatis glukosa. Toleransi glukosa
bisa dinilai menggunakan glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose / FPG),
respon glukosa oral, atau hemoglobin A1C (HbA1C). Nilai FPG < 5,6 mmol/L
(100 mg/dL), glukosa plasma < 140 mg/dL (11,1 mmol/L) diikuti dengan glukosa
oral, dan HbA1C < 5,7% dianggap untuk menetapkan toleransi glukosa yang
normal. The International Expert Committee dengan anggota yang ditetapkan
ADA, asosiasi Eropa untuk penelitian diabetes, dan IDF telah mengeluarkan
kriteria untuk diagnostik DM (Tabel 2.1.) berdasarkan beberapa alasan: (1) FPG,
respon terhadap glukosa oral (tes toleransi glukosa oral [oral glucose tolerance
test/OGTT]), dan perbedaan HbA1C diantara setiap orang, dan (2) DM
didefinisikan dengan tingkatan glikemi dimana komplikasi spesifik terjadi bukan
pada deviasi rata-rata berdasarkan populasi. Sebagai contoh, prevalensi retinopati
di Native Americans (populasi Pima Indian) dimulai dengan peningkatan FPG >
6,4 mmol/L ( 116mg/dL). FPG ≥ 7.0 mmol/L (126 mg/dL), glukosa ≥ 11.1
mmol/L (200 mg/dL) 2 jam setelah glukosa oral, atau HbA1C ≥ 6.5% menjamin
diagnosis DM (Tabel 2.1.). Konsentrasi glukosa plasma acak ≥ 11.1 mmol/L
(200mg/dL) disertai gejala klasik DM (poliuri, polidipsi, kehilangan berat badan)
cukup untuk mendiagnosis DM (Tabel 2.1.).
Universitas Sumatera Utara
14
Homeostatis glukosa yang abnormal didefinisikan sebagai: (1) FPG = 5.6
– 6.9 mmol/L (100-125 mg/dL), dimana didefinisikan sebagai gangguan glukosa
puasa (IFG); (2) Kadar plasma glukosa antara 7.8 dan 11 mmol/L 140 dan 199
mg/dL) diikuti glukosa oral, dimana disebut sebagai gangguan toleransi glukosa
(IGT); atau (3) HbA1C 5.7 – 6.4 %. Beberapa menggunakan istilah, prediabetes,
peningkatan resiko deiabetes atau hiperglikemi intermediate (WHO) untuk
kategori DM. Kriteria saat ini untuk diagnosis DM menekankan pada tes HbA1C
atau FPG yang dapat dipercaya dan sesuai untuk megindentifikasi DM pada
individu yang tidak mempunyai (bagaimanapun, beberapa mungkin mempunyai
kriteria untuk 1 jenis tes tetapi tidak untuk tes yang lain). OGTT, meskipun
masih valid untuk mendiagnosis DM, tetapi jarang digunakan pada pemeriksaan
rutin. (Powers, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).
2.2.7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus tipe 2
Pilar penalataksanaan DM dimulai dengan pendekatan non farmakologi,
yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik,
kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat bera badan lebih atau
obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut
belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan
penggunaan yang perlu penambahan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi disamping tetap melakukan pengaturan makan dan aktifitas fisik
yang sesuai. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu
diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya
hiperglikemia (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009).
2.2.7.1. Farmakoterapi
a. Golongan Insulin Sensitizing

Biguanid
Saat ini golongsn biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati,
Universitas Sumatera Utara
15
tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Proses
tersebut berjalan dengan cepat sehingga metformin bisanya diberikan dua
sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Setelah
diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam
darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan
waktu paruh 2,5 jam (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian
glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga
menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Di samping
berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada
komponen lain resistensi insulin yaitu pada lipid, tekanan darah, dan juga
pada plasmino-gen activator inhibitor (PAI-1) (Soegondo, S., 2009 dalam
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Metformin tidak memiliki efek stimulasi pada sel beta pankreas
sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia dan penambahan berat badan.
Pemberian metformin dapat menurunkan berat badan ringan hingga
sedang akibat penekanan nafsu makan dan menurunkan hiperinsulinemia
akibat
resistensi
insulin,
sehingga tidak
dianggap
sebagai
obat
hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin dapat digunakan
sebagai monoterapi dan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonyurea
(SU), repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase, dan glitazone.
Pada pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah
sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun.
Penelitian klinik memberikan hasil monoterapi yang bermakna dalam
penurunan glukosa darah puasa (60-70 mg/dL) dan HbA1c (1-2%) dan
dibandingkan dengan plasebo pada pasien yang tidak dapat terkendali
hanya dengan diet. Pada pemakaian kombinasi dengan SU, hipoglikemia
dapat terjadi akibat pengaruh SU-nya. Pengobatan terapi kombinasi
Universitas Sumatera Utara
16
dengan obat anti diabetes yang lain dapat menurunkan HbA1c 3-4%
(Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati,
2009).
Efek samping gastrointestinal tidak jarang (~50%) didapatkan pada
pemakaian awal metformin dan ini dapat dikurangi dengan memberikan
obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan
makanan. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah asidosis laktat,
meski kejadiannyab cukup jarang (0,03 per 1000 pasien) namun berakibat
fatal pada 30-50% kasus. Pada gangguan fungsi ginjal yang berat,
metformin
dosis
tinggi
akan
berakumulasi
di
mitokondria
dan
menghambat proses fosforilasi oksidatif sehingga mengakibatkan asidosis
laktat (yang dapat diperberat dengan alkohol). Untuk menghindarinya
sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(kreatinin>1,3 mg/dL pada perempuan dan >1,5 md/dL pada laki-laki)
(Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati,
2009).

Glitazone
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi
tertinggi terjadi setelah 1-2 jam. Makanan tidak mempengaruhi
farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi
rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazon (Soegondo, S., 2009 dalam
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Glitazon (Thiazolidinediones), merupakan agonist peroxisomje
proliferator-activated receptor gamma (PPARa) yang sangat selektif dan
poten. Reseptor PPARa terdapat di jaringan target kerja insulin seperti
jaringan adiposa, otot skelet dan hati. Glitazon merupakan regulator
homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Sama seperti
metformin, glitazon tidak menstimulasi produksi insulin oleh sel beta
pankreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada
metformin. Mengingat efeknya dalam metabolisme glukosa dan lipid,
glitaxon dapat meningkatkan efisiensi dan respons sel beta pankreas
Universitas Sumatera Utara
17
dengan menurunkan glukotoksisitas dan lipotoksisitas (Soegondo, S., 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Glitazon dapat menyebabkan penambahan berat badan yang
bermakna sama atau bahkan lebih dari SU serta edema. Keluhan infeksi
saluran nafas atas (16%), sakit kepala (7,1%)
dan anemia dilusional
(penurunan hemoglobin (Hb) sekitar 1 gr/dL) juga dilaporkan. Insiden
fraktur ekstremitas distal pada wanita pasca menopause dilaporkan
meningkat. Pemakaian glitazon dihentikan bila terdapat kenaikan enzim
hati (ALT dan AST) lebih dari tiga kali batas atas normal (Soegondo, S.,
2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
b. Golongan Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara
stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi SU
dan non SU (glinid) (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Marcellus, Setiati, 2009).

Sulfonilurea (SU)
SU telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun
1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal
pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan
sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. SU sering digunakan sebagai
terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meingkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang
panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemia) dan relatif
murah (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009).
Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada
pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4
jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12
minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. (Bahkan sampai > 20
jam pada pemakaian kronik dengan dosis maksimal). Karena itu
Universitas Sumatera Utara
18
dianjurkan untuk memakai glibenklamid sehari sekali (Soegondo, S., 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat
pada pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan obat ini
tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1 (Soegondo, S., 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Hipoglikemia merupakan efek samping terpentinga dari SU
terutaam bila asupan pasien tidak adekuat. Selain itu terjadi kenaikan berat
badan sekitar 4-6 kg, gangguan pencernaan, fotosensitifitas, gangguan
enzim hati dan flushing (Soegondo, S., 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Glinid
Mekanisme kerja glinid juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR)
dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea, perbedaannya
dengan SU adalah pada masa kerjanya yang lebih pendek. Mengingat lama
kerjanya yang pendek maka glinid digunakan sebagai obat prandial.
Repaglinid dan nateglinid kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam
hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat
menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang
singkat karena lama menempel pada kompkeks SUR sehingga dapat
menurunkan ekuivalen HbA1c pada SU (Soegondo, S., 2009 dalam
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
2.2.7.2 Terapi Non Farmakologis pada Diabetes Mellitus
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi
yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi).
Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakuakan pengaturan pola
makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan
Universitas Sumatera Utara
19
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual (Yunir, Soebardi, 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini
antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolik
dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil
lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin, dan memperbaiki sistem
koagulasi darah. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk
mencapai dan mempertahankan (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009):
1. Kadar glukosa darah mendekati normal: glukosa puasa
berkisar 90-130 mg/dl, glukosa darah 2 jam setelah makan
<180 mg/dl, kadar HbA1C <7%)
2. Tekanan darah <130/80 mmHg
3. Profil lipid: kolesterol LDL<100 mg/dl, kolesterol HDL>40
mg/dl, trigliserida <150 mg/dL
4. Berat badan senormal mungkin
Pada tingkat individu target pencapaian terapi gizi medis ini lebih
difokuskan pada perubahan pola makan yang didasarkan pada perubahan
gaya hidup damn pola kebiasaan makan, status nutrisi dan faktor khusus
lain yang perlu diberikan prioritas Pencapaian target perlu dibicarakan
bersama dengan diabetisi, sehingga perubahan pola makan yang
dianjurkan dapat dengan mudah dilaksanakan, realistik dan sederhana.
Petugas kesehatan harus dapat menentukan jumlah, komposisi dari
makanan yang akan dimakan oleh diabetisi. Diabetisi harus dapat
melakukan perubahan pola makan ini secara konsisten baik dalam
jadwal, jumlah dan jenis makanan sehari-hari. Komposisi bahan makanan
terdiri terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan
lemak, seta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara
tepat
(Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi,
Marcellus, Setiati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
20

Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi
tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari,
atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =
monounsaturated fatty acid). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori (Yunir, Soebardi,
2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal,
dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram per
hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam
amino esensial.
kilokalori/gram
Protein mengandung energi sebesar 4
(Yunir,
Soebardi,
2009
dalam
Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).

Lemak
Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per
gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa
vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K.
Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan
menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi diabetisi karena
terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering
dijumpai pada diabetisi. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal
(monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu
asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan
profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL
dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated acid = PUFA) dapat
Universitas Sumatera Utara
21
melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki
agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang
dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan
aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar
VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar
kolesterol LDL
(Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Pengelolaan DM yang meliputi 4 pilar, aktivitas fisik merupakan
salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal
lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan
oleh semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari, seperti
misalnya: bangun tidur, memasak, berpakaian, mencuci, makan bahkan
tersenyum. Berangkat kerja, bekerja, berbicara, berfikir, tertawa,
merencanakan kegiatan esok, kemudian tidur. Semua kegiatan tadi tanpa
disadari oleh diabetisi, telah sekaligus menjalankan pengelolaan terhapa
DM sehari-hari. Anjuran untuk melakukan kegiatan fisik bagi diabetisi
telah dilakukan sejak seabad yang lalu oleh seorang dokter dari dinasti
Sui di China, dan manfaat kegiatan ini masih harus diteliti oleh para ahli
hingga kini. Kesimpulan sementara dari penelitian itu ialah bahwa
kegiatan fisik diabetisi (tipe 1 maupun 2), akan mengurangi risiko
kejadian kardiovaskular dan meningkatkan harapan hidup. Kegiatan fisik
akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik, psikis maupun sosial
dan tampak sehat (Yunir, Soebardi, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi,
Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
2.2.8. Pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2
Menurut
Joeharno,
M.,
2009
dalam
Jafar,
N.,
2009,
stategi
penanggulangan Diabetes Mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:
a. Primordial prevention
Universitas Sumatera Utara
22
Primordial
prevention
merupakan
upaya
untuk
mencegah
terjadinya risiko atau mempertahankan keadaan risiko rendah dalam
masyarakat
terhadap
penyakit
secara
umum.
Pada
upaya
penanggulangan DM, upaya pencegahan yang sifatnya primordial
adalah :
1. Intervensi terhadap pola makan dengan tetap mempertahankan pola
makan
masyarakat
yang
masih
tradisional
dengan
tidak
membudayakan pola makan cepat saji yang tinggi lemak.
2. Membudayakan kebiasaan puasa senin dan kamis.
3. Intervensi terhadap aktifitas fisik dengan mempertahankan
kegiatan-kegiatan masyarakat sehubungan dengan aktivitas fisik
berupa olahraga teratur (lebih mengarahkan kepada masyarakat
kerja) dimana kegiatan-kegiatan masyarakat yang biasanya aktif
secara fisik seperti kebiasaan berkebun sekalipun dalam lingkup
kecil namun dapat bermanfaat sebagai sarana olahraga fisik.
4. Menanamkan kebiasaan berjalan kaki kepada masyarakat.
b. Health promotion
Health promotion sehubungan dengan pemberian muatan informasi
kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan. Dan pada
upaya pencegahan DM, tindakan yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemberian informasi tentang manfaat pemberian ASI eksklsif
kepada masyarakat khususnya kaum perempuan untuk mencegah
terjadinya pemberian susu formula yang terlalu dini.
2. Pemberian informasi akan pentingnya aktivitas olahraga rutin
minimal 15 menit sehari.
c. Spesific protection
Spesific protection dilakukan dalam upaya pemberian perlindungan
secara dini kepada masyarakat sehubungan dengan masalah kesehatan.
Pada beberapa penyakit biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian
Universitas Sumatera Utara
23
imunisasi namun untuk perkembangan sekarang, Diabetes Mellitus
dapat dilakukan melalui:
1. Pemberian penetral radikal bebas seperti nikotinamid.
2. Mengistirahatkan sel-beta melalui pengobatan insulin secara dini.
3. Penghentian pemberian susu formula pada masa neonatus dan bayi
sejak dini.
4. Pemberian imunosupresi atau imunomodulasi.
d. Early diagnosis and promp treatment
Early diagnosis and prompt treatment dilakukan sehubungan
dengan upaya pendeteksian secara dini terhadap individu yang
nantinya mengalami DM dimasa mendatang sehingga dapat dilakukan
upaya penanggulangan sedini mungkin untuk mencegah semakin
berkembangnya risiko terhadap timbulnya penyakit tersebut. Upaya
sehubungan dengan early diagnosis pada DM adalah dengan
melakukan :
1. Melakukan skrining DM di masyarakat.
2. Melakukan survei tentang pola konsumsi makanan di tingkat
keluarga pada kelompok masyarakat.
e. Disability limitation
Disability limitation adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
mencegah dampak lebih besar yang diakibatkan oleh DM yang
ditujukan kepada seorang yang telah diangap sebagai penderita DM
karena risiko keterpaparan sangat tinggi. Upaya yang dapat dilakukan
adalah :
1. Pemberian insulin yang tepat waktu.
2. Penanganan secara komprehensif oleh tenaga ahli medis di rumah
sakit.
3. Perbaikan fasilitas-fasilitas pelayanan yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
24
f. Rehabilitation
Rehabilitation ditujukan untuk mengadakan perbaikan-perbaikan
kembali pada individu yang telah mengalami sakit. Pada penderita
DM, upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan adalah :
1. Pengaturan diet makanan sehari-hari yang rendah lemak dan
pengkonsumsian makanan karbohidrat tinggi yang alami.
2. Pemeriksaan
kadar
glukosa
darah
secara
teratur
dengan
melaksanakan pemeriksaan laboratorium komplit minimal sekali
sebulan.
3. Penghindaran atau penggunaan secara bijaksana terhadap obat-obat
yang diabetagonik.
2.2.9. Edukasi Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakat. Tim kesehatan
harus mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif,
pengembangan keterampilan dan motivasi (Perkeni, 2006).
Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:
1. Penyakit DM.
2. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM.
3. Penyulit DM.
4. Intervensi farmakologis dan non farmakologis.
5. Hipoglikemia.
6. Masalah khusus yang dihadapi.
7. Perawatan kaki pada diabetes.
8. Cara
pengembangan
sistem
pendukung
dan
pengajaran
keterampilan.
9. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
25
Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan penyelesaian
masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku
hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan,
implementasi, dokumentasi, dan evaluasi (Perkeni, 2006).
2.2.10. Komplikasi Diabetes Mellitus
Peningkatan insidensi DM akan diikuti oleh mengingkatnya kemungkinan
terjadinya komplikasi kronik DM. Berbagai penelitian prospektif jelas
menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik
mikrovaskular seperti retinopati, nefropati maupun
makrovaskular seperti
penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah
(Waspadji, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
2.2.10.1 Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering
ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes
memiliki risiko 25 kali lebih
mudah mengalami kebutaan dibanding
nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat
sejalan dengan lamanya diabetes. Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis
diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah menderita retinopati diabetik
nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20 tahun, prevalensi
retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% dalam berbagai
derajat
(Pandelaki, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009).
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari
retinopati diabetik non-proliferatif sampai perdarahan retina, kemudian
juga ablasio retina dan lebih lanjut dapat mengakibatkan kebutaan.
Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina
secara rutin.Pada praktik pengelolaan DM sehari-hari, dianjurkan untuk
memeriksa retina mata pada kesempatan pertama pertemuan dengan
penyandang DM dan kemudia setiap tahun atau lebih cepat lagi kalau
Universitas Sumatera Utara
26
diperlukan sesuai dengan keadaan kelainan retinanya (Waspadji, 2009
dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
2.2.10.2. Nefropati Diabetik
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom
klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300
mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3
sampai 6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik merupakan
penyebab utama gagal ginjal terminal. Di Amerika, nefropati diabetik
merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di antara semua
komplikasi DM. Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih
banyak dipelajari pada DM tipe 1 dari pada tipe 2, dan oleh Mogensen
dibagi menjadi 5 tahapan (Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
Tahap 1, terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis
ditegakkan. Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin
meningkat. Tahap 2, secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju
filtrasi glomerulus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan
tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa
penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula
peningkatan volume mesangium farksional (dengan peningkatan matriks
mesangium). Tahap 3, pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau
nefropati insipien. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun
sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 20-200
ig/menit (30-300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat. Secara
histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membranan basalis dan
volume mesangium fraksional dalam glomerulus. Tahap 4, merupakan
tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga
timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering
ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menuru, sekitar 10
ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
27
tingginya tekanan darah. Tahap 5, timbulya gagal ginjal terminal
(Hendromartono, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009).
2.2.10.3. Neuropati Diabetik
Neuropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis
paling sering ditemukan pada DM. Risiko yang dihadapi pasien DM
dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuhsembuh dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan
bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat pada
meningkatnya biaya pengobatan pasien DM dengan ND. Manifestasi ND
bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan dan hanya bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang hebat.
Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang
semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi
(Subekti, 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus, Setiati, 2009).
2.3 Darah
Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang
primitif sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam
pembuluh darag sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai : (a) pembawa
oksigen (oxygen carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan
(c) mekanisme hemostasis.
Darah terdiri atas 2 komponen utama:
1. Plasma darah: bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit dan protein darah.
2. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas:
a. eritrosit : sel darah merah (SDM) - red blood cell (RBC)
b. leukosit : sel darah putih (SDP) - white blood cell (WBC)
c. trombosit : butir pembeku - platelet
Universitas Sumatera Utara
28
Plasma darah dikurangi protein pembekuan darah disebut sebagai serum.
(Bakta, 2003).
2.3.1 Sel Darah Merah
Eritrosit (sel darah merah) hidup dan beredar dalam darah tepi (life span)
rata-rata selama 120 hari. Setelah 120 hari eritrosit mengalami proses penuaan
(senescence) kemudian dikeluarkan dari sirkulasi oleh sistem RES. Apabila
destruksi eritrosit terjadi sebelum waktunya (<120 hari) maka proses ini disebut
sebagai hemolisis (Bakta, 2003).
2.3.2 Struktur Sel Darah Merah
Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter
sekitar 7 mikron. Eritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel
ini hanya terdiri atas membran dan sitoplasma tanpa inti sel.
Komponen eritrosit terdiri atas:
1. Membran eritrosit
2. Sistem enzim; yang terpenting: dalam Embden Meyerhoff pathway:
pyruvate kinase; dalam pentose pathway: enzim G6PD (glucose 6phospate dehydrogenase)
3. Hemoglobin: berfungsi sebagai alat angkut oksigen. Komponennya
terdiri atas:
a. heme, yang merupakan gabugan protoporfirin dengan besi
b. globin: bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai beta.
Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan.Kelaimam yang
timbul karena kelainan membran disebut sebagai membranopati, kelainan akibta
gangguan sistem enzim eritrosit disebut ensimopati, sedangkan kelainan akibat
gangguan struktur hemoglobin disebut sebagai hemoglobinopati (Bakta, 2003).
Universitas Sumatera Utara
29
2.4 Hemoglobin
Pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah vertebrata adalah
hemoglobin, yakni suatu protein dengan berat molekul 64.450. Hemoglobin
adalah molekul yang berbentuk bulat dan terdiri atas empat subunit (dua rantai
polipeptida α dan dua rantai polipeptida ). Tiap-tiap subunit mengandung satu
gugus heme yang terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivate
porfirin yang mengandung besi. Polipeptida-polipeptida
itu secara kolektif
disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Ada dua pasang
polipeptida di setiap molekul hemoglobin (Ganong, 2005).
Hemoglobin melakukan pengiriman oksigen secara normal ke jaraingan;
hal ini juga dilakukan erythisytesin dalam konsentrasi tinggi yang dapat
mengubah
bentuk,
deformabilitas,
dan
viskositas
sel
darah
merah.
Hemoglobinopati adalah gangguan yang mempengaruhi struktur, fungsi, atau
produksi dari hemoglobin. Kondisi ini biasanya diwariskan dan tingkat
keparahannya berkisar dari laboratorium yang abnormal dan asimtomatik sampai
pada kematian di dalam rahim. Bentuk yang berbeda digambarkan pada anemia
hemolitik, eritrositosis, sianosis, atau vasooklusif stigmata (Benz, 2008 dalam
Fauci, et al., 2008).
2.4.1. Struktur Hemoglobin
Hemoglobin diproduksi selama masa embrionik, janin, dan kehidupan
dewasa. Setiap hemoglobin
terdiri dari tetramer globin rantai polipeptida:
sepasang rantai α seperti 141 asam amino yang panjang dan sepasang rantai ß
seperti 146 asam amino yang panjang. Hemoglobin yang sudah dewasa, HbA,
mempunyai struktur αβ, ß2. HbF (αβyβ) mendominasi selama sebagian besar
masa kehamilan, dan HbA2 (αβ delta2) adalah hemoglobin dewasa yang minor.
Setiap rantai globin membungkus satu bagian heme tunggal, yang terdiri
dari cincin kompleks dengan atom besi tunggal pada ferrous (Fe2+). Setiap
bagian heme dapat mengikat molekul oksigen tunggal; setiap molekul hemoglobin
dapat mengangkut hingga empat molekul oksigen.
Universitas Sumatera Utara
30
Rangkaian asam amino dari berbagai globin sangat homolog satu dengan
yang lain. Masing-masing memiliki struktur sekunder yang sangat heliks. Struktur
tersier globular menyebabkan permukaan luar menjadi asam amino hidrofilik
dengan solubilitas yang tinggi, dan bagian dalam dibatasi dengan golongan
nonpolar, bentuk hidrofobik dimana ada heme. Struktur kuarterner tetramerik dari
HbA mengandaung 2 dimer αß. Banyak interaksi yang kuat (e.g., hubungan αlß1)
memegang rantai α dan ß bersama-sama. Tetramer yang komplit dibentuk
bersama oleh permukaan antara rantai α dari 1 dimer dan rantai non-α dari dimer
lainnya. Tetramer hemoglonin sangatlah mudah larut, teteapi rantai globin tidak
mudah larut (Benz, 2008 dalam Fauci, et al., 2008).
2.4.2. Kadar Hemoglobin
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
erotrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang
menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal.
Harga normal hemoglobin sangat bervariadi secara fisiologik tergantung pada
umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Oleh
karena itu perlu ditentukan titik pemilah (cut off point) di bawah kadar mana kita
anggap terdapat anemia (Bakta 2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Marcellus,
Setiati, 2009).
Tabel 2.4. Kadar Hemoglobin Menurut WHO
No.
Kelompok
Kadar Hemoglobin (Hb)
1.
Laki-laki dewasa
< 13 g/dl
2.
Wanita dewasa tidak hamil
< 12 g/dl
3.
Wanita hamil
< 11 g/dl
Sumber: dikutip dari Hoffbrand AV, et al., 2001
Universitas Sumatera Utara
31
Tabel 2.5. Kadar Hemoglobin untuk Diagnosis Anemia
No.
Populasi
Tidak Anemia
1.
Anak (6-59 bulan)
2.
3.
4.
Anemia
Ringan
Sedang
Berat
110 atau lebih
100-109
70-99
<70
Anak (5-11 tahun)
115 atau lebih
110-114
80-109
<80
Anak (12-14 tahun)
120 atau lebih
110-119
80-109
<80
120 atau lebih
110-119
80-109
<80
Wanita tidak hamil
(≥ 15 tahun)
5.
Wanita hamil
110 atau lebih
100-10
70-99
<70
6.
Pria (≥ 15 tahun)
130 atau lebih
110-129
80-109
<80
Sumber: dikutip dari WHO, 2011. Haemoglobin concentrations for the
diagnosis of anaemia and assessment of severity [diakses tanggal 10
Oktober 2015].
2.5. Diabetes Mellitus tipe 2 dan Kadar Hemoglobin
Diabetes adalah penyebab utama Penyakit Ginjal Kronis (Chronic Kidney
Disease,
CKD)
dan
berhubungan
dengan
morbiditas
dan
mortalitas
kardiovaskular. Anemia umumnya berhubungan dengan diabetes dan CKD dan
berperan besar dalam hasil klinis pasien. Sebuah studi observasional
menunjukkan bahwa kadar Hemoglobin (Hb) yang rendah pada pasien DM dapat
meningkatkan risiko terjadinya penyakit ginjal serta morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular (Mehdi dan Toto, 2009).
Patogenesis anemia pada diabetes merupakan akibat dari kurangnya
sintesis serta pelepasan eritropietin, peradangan sistemik, kekurangan zat besi dan
kemungkinan faktor iatrogenik, seperti penggunaan Angiotensin Converting
Enzyme inhibitor (ACE-I). Terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronik
berhubungan dengan penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) dan keadaan
Universitas Sumatera Utara
32
ini dianggap menjadi faktor risiko yang penting pada gangguan sistem di
kardiovaskular. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosa anemia secara tepat.
(Bonakdaran, Gharebaghi, Vahedian, 2011).
Anemia pada pasien diabetes dengan CKD menunjukkan lebih dari satu
lebih mekanisme. Penyebab utama anemia pada pasien CKD adalah defisiensi
besi dan eritropoietin dan hiporesponsif dari eritropoietin (Mehdi dan Toto, 2009).
a. Defisiensi besi
Defisiensi besi pada masyarakat umum merupakan penyebab umum
anemia dan lazim pada pasien dengan diabetes dan CKD. Analisis terbaru dari
National Health and Nutrition Examination Survey IV menunjukkan bahwa
sampai 50% pasien dengan CKD stadium 2-5 mempunya defisiensi besi yang
absolut atau relatif (fungsional). Pada CKD, defisiensi besi absolut dan relatif
adalah hal yang biasa. Defisiensi besi absolut didefinisikan dengan deplesi dari
penyimpanan jaringan besi yang dibuktikkan dengan kadar serum ferritin <100
ng/ml atau saturasi transferrin <20%. Anemia defisiensi besi fungsional adalah
jaringan besi yang adekuat yang didefinisikan dengan kadar serum ferritin ≥100
ng/ml dan reduksi pada saturasi besi.
b. Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin
Defisiensi dan hiporesponsif eritropoietin berperan dalam kejadian anemia
pada pasien diabetes dengan CKD. Penyebab defisiensi eritropoietin diduga
karena
pengurangan
massa
ginjal
dengan
akibat
penurunan
hormon.
Hiporesponsif secara klinis diartikan sebagai dosis tinggi dari eritropoietin untuk
meningkatkan kadar Hb dengan tidak adanya defisiensi besi. Hal ini diyakini
untuk menggambarkan aksi gangguan antiapoptosis dari eritropoietin pada
proeritroblast. Penyebab yang mungkin dari hiporesponsif eritropoietin adalah
peradangan sistemik dan kerusakan mikrovaskular di sumsum tulang. Namun,
beberapa studi menunjukkan bahwa faktor-faktor lain (misalnya, kegagalan
otonom) mungkin berperan dalam gangguan produksi eritropoietin atau sekresi
oleh gagal ginjal.
Universitas Sumatera Utara
Download