perilaku masyarakat pedesaan di zaman modern

advertisement
Eko Muharto
Kepala SD Negeri Kaliurip Bener Purworejo
Artikel:
PERILAKU MASYARAKAT PEDESAAN
DI ZAMAN MODERN
Abstrak
Artikel Ilmiah ini bertujuan untuk mengkaji perilaku masyarakat pedesaan di zaman
modern. Kajian sosiologis dibatasi pada sejarah sosiologi pendidikan, teori perspektif
struktural fungsional, teori perspektif pendidikan dan perkembangan sosial, pendidikan
sosiologi di Indonesia, dan metode penelitian sosiologi pendidikan.
Sosiologi pendidikan adalah suatu ilmu yang mengkaji masalah-masalah pendidikan
dengan pendekatan sosiologis, atau sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
Bagaimanapun pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
kualitas kehidupan seseorang, sehingga pendidikan merupakan sebuah ilmu pengetahuan
yang menjadi alat untuk mendeskripsikan dan menjelaskan institusi, kelompok sosial, dan
proses sosial yang merupakan hubungan sosial di dalamnya individu memperoleh
pengalaman yang terorganisasi.
Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk yang berfikir,
makhluk yang instability. Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup berkelompok atau
senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lain, yang mampu berfikir untuk
melakukan sesuatu, makhluk yang harus diajarkan sesuatu agar mampu bersosialisasi.
Di zaman modern ini, perilaku masyarakat pedesaan cenderung melakukan sosialisasi
dengan orang lain dengan persaingan (competition) dibanding dengan interaksi secara
kerjasama (cooperation). Di manapun masyarakat berada pasti mengalami perubahan
akibat adanya interaksi antarmanusia dan antarkelompok, akibatnya di antara mereka
terjadi proses saling mempengaruhi yang mengakibatkan perubahan terjadi. Berkat
kemajuan ilmu dan teknologi telah membawa berbagai perubahan antara lain perubahan
norma, nilai, tingkah laku dan pola-pola kehidupan baik individu maupun kelompok,
kekuasaan, dan sebagainya.
Peletak dasar sosiologi, di antaranya (1) Ibnu Khaldun bahwa sistem sosial manusia
dapat berubah seiring dengan kemampuan pola berpikir mereka, keadaan muka bumi di
sekitar mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri, (2)
Auguste Comte bahwa Sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat, (3) Emile Durkheim bahwa masyarakat dapat mempertahankan integritas dan
koherensinya di masa modern.
Teori Struktural Fungsional beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari
bagian-bagian yang saling berhubungan. Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan
timbal balik (saling mempengaruhi). Secara fundamental sistem sosial cenderung
bergerak ke arah equilibrium dan bersifat dinamis. Penyimpangan sosial akan teratasi
dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi.
Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan membahas tentang (1) Teori Fenomenologi
yaitu pendekatan penelitian yang berusaha untuk memahami makna peristiwa serta
interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu, (2) Teori Interaksi Simbolis yaitu
pendekatan penelitian yang berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan
sesuatu yang bersifat statis, (3) Teori Etnografi yaitu pendekatan penelitian yang berusaha
untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengatur atas alam semesta ini,
serta Shalawat dan Salam diperuntukkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
penutup para Nabi dan Rasul, keluarga dan sahabat serta para pengikutnya yang
setia. Alhamdulillah, akhirnya artikel yang berjudul “Perilaku Masyarakat
Pedesaan di Zaman Modern” selesai juga. Artikel ini ditulis agar dapat
memberikan manfaat bagi pembaca yang membutuhkan, terlepas dari sisi
keburukannya.
Artikel ini membahas/mengkaji perilaku masyarakat pedesaan di zaman
modern.
Kajian sosiologis dibatasi pada sejarah sosiologi pendidikan, teori
perspektif struktural fungsional, teori perspektif pendidikan dan perkembangan
sosial, pendidikan sosiologi di Indonesia, dan metode penelitian sosiologi
pendidikan.
Artikel ini tidak akan bisa tertulis apabila tidak mendapatkan bantuan dan
bimbingan akademik dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis pada
kesempatan ini, menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang
terhormat Dr. Tjipto Subadi, M.Si. sebagai pembimbing yang dengan penuh
kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran-saran
akademik sehingga penulis memperoleh pengalaman, ilmu pengetahuan dan
wawasan akademik khususnya tentang penulisan berbagai karya ilmiah untuk
dipublikasikan di berbagai media cetak.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa S2
UMS yang tidak bisa penulis sebut namanya satu per-satu, yang telah memberikan
motivasi dan harapan sekaligus doa sehingga artikel ini dapat selesai.
Artikel ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kepada
semua pihak diharapkan memberikan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan artikel ini pada masa yang akan datang. Semoga artikel ini dapat
bermanfaat. Amin.
Eko Muharto
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................... 2
A. Sejarah Sosiologi Pendidikan ......................................................... 2
B. Perspektif Teori Struktural Fungsional .......................................... 3
C. Perspektif Teori Pendidikan dan Perkembangan Sosial ................ 9
D. Pendidikan Sosiologi di Indonesia ............................................... 13
E. Metode Penelitian Sosiologi ........................................................ 14
BAB III SIMPULAN ............................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 24
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari
pendidikan, dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas
lingkup sosial budaya, politik dan ekonomi bagi masyarakat luas (Karsidi,
2007:1). Selain itu kajian sosiologi pendidikan lebih banyak ditulis pada tataran
analisis pendidikan dari isu, masalah dan fenomena sosial tertentu sebagai
objeknya adalah masyarakat. Oleh sebab itu peran sosiologi pendidikan amat
penting ketika pendidikan diselenggarakan di tengah kehidupan masyarakat yang
tumbuh dan selalu berubah. Tanpa memahami karakteristik pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat, penyelenggaraan pendidikan dapat keluar dari konteks
masyarakatnya.
Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak,
sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan sosial
yaitu hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hubungan sosial dimulai dari
hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga ke tetangga.
Dalam hubungan sosial tersebut terjadilah proses pengenalan. Proses
pengenalan tersebut mencakup berbagai budaya, nilai, norma dan tanggung jawab
manusia, sehingga dapat tercipta corak kehidupan masyarakat yang berbeda-beda
dengan masalah yang berbeda pula.
Sosiologi selalu didasarkan pada fakta dan data yang ada tanpa ada
manipulasi dari data. Perkembangan masyarakat dengan peradabannya dari masa
ke masa selalu berkembang pemikirannya. Masyarakat pedesaan yang dulu gemar
dalam hal kegotongroyongan dan tinggi rasa persaudaraannya, pada zaman
modern ini berkembang menjadi masyarakat yang kritis, susah diatur dan maunya
pendapat merekalah yang benar. Seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi maka berkembang pula keinginan dan hasrat manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. SEJARAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN (HISTORY OF EDUCATION
SOCIOLOGY)
Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulai
sejak awal abad ke-20 yang merupakan bagian dari sosiologi. Namun
sebenarnya sosiologi pendidikan lahir bersamaan dengan munculnya
persoalan-persoalan pendidikan yang tidak teratasi. Banyaknya persoalan
pendidikan yang tidak teratasi menyebabkan dunia pendidikan mengalami
kesulitan
dalam
perkembangannya.
Kemudian
persoalan-persoalan
pendidikan diatasi dengan menggunakan pendekatan sosiologis.
Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan sempat
tenggelam dan terpuruk sebelum berakhirnya Perang Dunia II. Namun Lester
Frank Word (1841-1913) seorang pelopor sosiologi di Amerika dianggap
pencetus gagasan lahirnya sosiologi pendidikan di Amerika dalam bukunya
yang berjudul Applied Sociology (Sosiologi Terapan), yang mengkaji
perubahan-perubahan masyarakat karena usaha manusia. Gagasan Word
tersebut kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952) dalam
karyanya School and Society (Sekolah dan Masyarakat) yang memandang
bahwa hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat itu sangat penting.
Pemikiran Dewey kemudian dikembangkan lagi dengan bukunya yang
berjudul Democracy and Education (Demokrasi dan Pendidikan) pada tahun
1916 yang mendorong berkembangnya sosiologi pendidikan.
Beberapa kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan perkembangan
sosiologi, dibukanya kuliah sosiologi pendidikan di Amerika Serikat pada
tahun 1887 untuk pertama kalinya. Hal yang sama juga dilakukan di Teachers
Collage, University of Columbia oleh Henry Suzzaalo pada tahun 1910. Pada
tahun 1917 muncul buku teks Sosiologi Pendidikan pertama kali berjudul
Introduction to Educational Sociology yang diterbitkan oleh Walter R Smith.
2
Tahun 1928 terbit The Journal of Educational Sosiology sebagai wadah
pemikiran sosiologi pendidikan di bawah pimpinan E. George Payne, dan
pada tahun 1936 muncul majalah Social Education.
W. Taylor menggunakan istilah Educational Sociology tekanannya terletak
pada pernyataan pendidikan dan sosial, sedangkan Sociology of Education
tekanannya terletak pada permasalahan sosiologis. Berbeda dengan R.J.
Stalcut mengatakan bahwa Educational Sosiology merupakan penerapan dari
prinsip umum dan proses sosiologi yang berlangsung dalam lembaga
pendidikan. Menurut G.E. Jansen Educational Sosiology membahas problema
pendidikan, sedangkan Sociology of Education membahas problema sosiologi
dalam pendidikan.
B. TEORI PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL (THEORITICAL
PERSPECTIVE: STRUCTURAL FUNGSIONALISM)
Perspektif teori ini mempunyai akar pemikiran dari Auguste Comte, lewat
karya Herbert Spencer, dan Emile Durkheim. Perspektif teori struktural
fungsional merupakan teori yang sangat dominan dalam perkembangan
sosiologi dewasa ini. Perspektif ini sering dikenal dengan teori sistem, teori
equilibrium, teori konsensus/teori regulasi.
Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang
masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999),
ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang
berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat.
Fungsionalisme struktural atau lebih populer dengan ‘struktural fungsional’
merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana
pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu
biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan
mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari
linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut
pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau
3
‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang
paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur. Perkataan fungsi
digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada
aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari
tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi.
Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang,
kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu.
Teori
Struktural
Renaissance
pada
fungsional
masa
muncul
Auguste
dilatar
Comte
abad
belakangi
ke-17.
semangat
Renaissance
memunculkan revolusi politik dan perubahan Tataran Nilai. Menghadapi
situasi tersebut mendorong dapat melahirkan ilmuwan sosial yang sanggup
menciptakan tertib sosial, harmoni dan keseimbangan. Dengan demikian teori
struktural fungsional mewarnai munculnya revolusi pengetahuan, terutama
filsafat positivisme yang melahirkan ilmu alam.
Menurut Herbert Spencer (sosiolog Inggris) pada abad 19, membahas
masyarakat sebagai suatu organism hidup dapat diringkas sebagai berikut: (1)
masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan;
(2) disebabkan oleh pertumbuhan dalam ukurannya, maka struktur tubuh
sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu
mengalami pertambahan pula, di mana semakin besar suatu struktur sosial
maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem
biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi
semakin besar. Binatang yang lebih kecil, misalnya bagian yang dapat
dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya
manusia; (3) tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis
maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu; ”mereka
tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada
manusia, hati memiliki struktur dan memiliki fungsi yang berbeda dengan
paru-paru; demikian pula dengan partai politik sebagai struktur institusional
memiliki struktur dan fungsi serta tujuan yang berbeda dalam sistem politik,
4
sistem budaya dan atau sistem ekonomi; (4) baik di dalam sistem organisme
maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan
perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara
keseluruhan. Misalnya perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan
demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga,
pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu
sama lain; (5) bagian-bagian tersebut, walaupun saling berkaitan, merupakan
suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka
sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para
spesialis biologi dan medis, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi
merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.
Dengan hati-hati Spencer menegaskan bahwa apa yang diketengahkan itu
hanyalah merupakan sebuah model atau analogi yang seharusnya tidak
diterima begitu saja. Masyarakat tidak benar-benar mirip dengan organisme
hidup; di antara kedua hal itu terdapat sebuah perbedaan yang sangat penting.
Di dalam sistem organisme, bagian-bagian tersebut saling terkait dalam suatu
hubungan yang erat; sedangkan dalam sistem sosial hubungan yang sangat
dekat seperti itu tidak begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang
kadang-kadang sangat terpisah. Asumsi dasar sosiologi dari pemikiran kaum
fungsionalis bermula dari Comte dan dilanjutkan dalam karya Spencer, ialah
bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagianbagian yang saling tergantung satu sama lain.
Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang
”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat
karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim.
Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang
memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat
kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian
yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila
mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu
5
keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern
fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana
kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini
akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem
sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem
politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam
struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai
suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya
sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis
kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai
suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada
ketidakseimbangan atau perubahan sosial.
Fungsionalisme Durkheim ini tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh
dua orang ahli antropologi abad ke-20, yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R.
Radcliffe-Brown. Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi
yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya
menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional
yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa
konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman RadcliffeBrown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar
bagi analisa fungsional kontemporer.
Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman
kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang
dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan, dan karena itu
merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan
struktural
(Radcliffe-Brown
(1976:505).
Jasa
Malinowski
terhadap
fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda dari Brown, mendukung
konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi menganalisa
kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian yang
dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976:
6
551). Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari
ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teoriteori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan
lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah
membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa
fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh
masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai
pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu
melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang
saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah
saya temukan” (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg
(1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan
”pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang
tersedia dewasa ini.”
Teori struktural fungsional menekankan pada perspektif harmoni dan
keseimbangan. Asumsi yang mendasarinya (Sanderson dalam Zainuddin,
1991 : 119) dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) masyarakat dilihat
sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan dan tergantung, setiap bagian berpengaruh terhadap bagian
lainnya; (2) setiap bagian dan sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut
mempunyai fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas; (3)
semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; (4)
perubahan dalam sistem sosial terjadi secara gradual; (5) faktor penting yang
mengintegrasikan masyarakat adanya kesepakatan antara para anggotanya
terhadap nilai-nilai kemasyarakatan; (6) masyarakat cenderung mengarah
kepada suatu keadaan equilibrium atau homoeostatic.
Selain itu, menurut Tjipto Subadi, Teori Struktural Fungsional mengacu
pada asumsi bahwa: (1) masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan
yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian yang saling berinteraksi; (2)
7
hubungan yang ada bersifat satu arah atau timbal balik; (3) sistem sosial yang
ada bersifat dinamis; (4) integrasi yang sempurna dalam masyarakat tidak
pernah ada, maka di masyarakat timbul ketegangan dan penyimpangan; (5)
perubahan yang terjadi bersifat gradual dan perlahan sebagai proses
penyesuaian; (6) perubahan adalah hasil penyesuaian dari luar; (7) sistem
diintegrasikan lewat nilai-nilai yang sama.
Menurut Sendjaja (1994: 32) mengemukakan bahwa model struktural
fungsional mempunyai ciri sebagai berikut: (1) sistem dipandang sebagai satu
kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan; (2) adanya
spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa
mempengaruhi sistem; (3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial
untuk kelangsungan sistem; (4) adanya spesifikasi jalan yang menentukan
perbedaan nilai; dan (5) adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian
secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga eksistensi sistem.
Ditambahkan menurut Raymond Firth bahwa, struktur sosial berarti
menentukan relasi sosial yang penting dalam menentukan tingkah laku
manusia dalam masyarakat yang dapat ditinjau dari: (1) status; (2) peranan;
(3) nilai-nilai dan norma-norma; dan (4) institusi sosial.
Anggapan dasar teori ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah
suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Hubungan dalam
masyarakat bersifat ganda dan timbal balik (saling mempengaruhi). Secara
fundamental sistem sosial bergerak ke arah uquilibrium dan bersifat dinamis.
Karena asumsi dasar teori struktural fungsional seperti tersebut di atas, maka
perlu kontrol efektifitas hukum keteraturan serta faktor-faktor yang
mempersatukan masyarakat. Oleh karena itu teori ini dikenal sebagai teori
konsensus (consensus theory) atau teori regulasi (regulation theory).
Pandangan-pandangannya didasarkan pada filsafat realism, positivism, dan
oleh karena itu cenderung deterministic, di mana struktur menentukan
tindakan atau perilaku, dan oleh karena itu tradisi ini memilih jenis
8
pengetahuan non ethic dari pada normatif.
C. TEORI PERSPEKTIF PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN
SOSIAL (THEORITICAL PERSPECTIVE: EDUCATION AND
SOCIAL REPRODUCTION)
Sebagian para pendidik yang menaruh kepercayaan akan kekuasaan
pendidikan dalam membentuk masyarakat baru. Sekolah tidak dapat
melepaskan diri dari masyarakat dan kontrol pihak yang berkuasa. Sekolah
hanya dapat mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat. Jadi tidak
ada harapan sekolah dapat membangun masyarakat baru lepas dari proses
perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat tersebut.
Di dunia yang dinamis ini setiap masyarakat akan mengalami perubahan
menuju pembaharuan dan perkembangan sosial. Pemerintah berusaha
mengadakan perubahan demi kesejahteraan rakyatnya dan keselamatan
bangsa dan negaranya. Perubahan itu antara lain perubahan dan pembaharuan
kurikulum dan sistem pendidikan.
Masyarakat modern adalah masyarakat yang kompleks, di mana
keragaman jenis pekerjaan yang berbeda-beda kepentingannya membawa
penghasilan yang tidak sama serta kondisi kerja yang tidak sama pula.
Menurut Duverger, peningkatan umum dalam standar hidup, peningkatan
dalam
kemakmuran
material,
pengembangan
waktu
senggang
dan
fasilitasnya, merupakan ciri khas ekonomi yang dihasilkan oleh kemajuan
teknologi. Zaman dahulu seseorang mendapat status tinggi dalam sistem
stratifikasi dalam masyarakatnya karena faktor keturunan dan ini akan
berlangsung selama seumur hidup tanpa ada kompetisi untuk status tertentu.
Pada masyarakat modern, kesempatan berkompetisi meraih status pada kelas
atas sangat terbuka. Dalam masyarakat modern yang lebih dihargai pada diri
seseorang adalah prestasi, kecakapan, keahlian, dan faktor determinan utama,
yaitu struktur sosial yang menentukan kedudukan tinggi yang terdistribusikan
dan kemudahan untuk memperolehnya. Dalam masyarakat juga terdapat
saluran-saluran tertentu untuk status seseorang bergerak naik dari lapisan
9
yang rendah ke lapisan tinggi, misalnya organisasi pemerintahan, lembaga
keagamaan, lembaga ekonomi, dan lembaga pendidikan.
Dari jenis pendidikan yang tersedia yaitu pendidikan informal, pendidikan
formal dan pendidikan nonformal, tampaknya dua dari jenis yang terakhir
lebih bisa diandalkan. Pada pendidikan formal dunia pekerjaan dan dunia
status lebih mempercayai kepemilikan ijazah untuk naik jabatan dan naik
status. Seiring perkembangan, mereka lebih mempercayai kemampuan atau
skill daripada menghormati kepemilikan ijazah. Ini yang akhirnya memberi
peluang bagi tumbuhnya pendidikan nonformal, yang bisa memberikan
keterampilan praktis pragmatis bagi kebutuhan dunia kerja yang berpengaruh
pada pencapaian status seseorang. Dalam perspektif lain, dari sisi
intelektualitas, orang berpendidikan lebih tinggi derajat sosialnya dalam
masyarakat dan biasanya lebih terfokus pada jenjang hasil keluaran
pendidikan formal. Makin tinggi sekolahnya makin tinggi tingkat penguasaan
ilmunya sehingga dipandang memiliki status yang tinggi dalam masyarakat.
Pendidikan dalam penekanan pada perubahan sosial (social change)
bahwa perubahan sosial pada hakikatnya merupakan fenomena kebudayaan.
Penelaahan terhadap gejala perubahan sosial diharapkan memperoleh tempat
pendidikan yang lebih kontektual, strategis, dan fungsional, yang dapat
dikembangkan sebagai paradigma kebudayaan. Pendidikan tidak hanya
dipandang sebagai pewarisan dan sosialisasi nilai yang mengutamakan
kemampuan budaya, tanpa produktif dan dinamik melakukan proses daur
kultural dalam modus historis yang baru. Dengan konsep ini, jika pada
esensinya perubahan masyarakat merupakan perubahan nilai dan norma
dalam masyarakat (Astrid S. Susanto, 1985).
Menurut Selo Soemarjan (1993) bahwa segala perubahan pada lembaga
kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai sikap,
dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Sunyoto Usman
(1994) berpendapat istilah perubahan sosial dipakai silih berganti dengan
istilah; evolusi (evolution), perkembangan (development) atau kemajuan
10
(progress); yang semuanya memperlihatkan perjalanan dari keadaan tertentu
yang sederhana, seragam, dan homogen menuju keadaan yang lebih
kompleks, beragam, dan heterogen.
Menurut Robert H. Lauer (1970) dalam bukunya yang berjudul
Perspective on Social Change menyoroti beragam perspektif dalam teori
perubahan sosial. Sementara itu Rostow, yang dianggap mewakili tradisi
liberal dari ilmu-ilmu sosial (Hadimulyo, 1989) menjelaskan bahwa
perkembangan masyarakat dengan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (the
Stages of economic Growth) dengan tahapan perkembangan masyarakat;
masyarakat tradisional (traditional society) yang ditandai dengan cakupan
produksi terbatas, Preconditions take off sebagai tahapan transisional menuju
tahap berikutnya, tahap tinggal landas (the take off), dan selanjutnya
masyarakat berkembang ke arah masyarakat dengan tingkat kematangan (the
drive to maturity) serta masyarakat dengan ciri konsumeristik yang tinggi (the
age high mass consumption), atau masyarakat makmur sejahtera (Ali,1986).
Perubahan masyarakat dengan corak kultural merupakan fenomena sosiohistoris sebagai proses kontinum dari perkembangan kehidupan global yang
tidak
mengenal
proses
berhenti.
Ibnu
Kaldun
mengatakan
dalam
Muqodimahnya: “tidak ada masyarakat manusia yang tidak berubah”, seperti
yang dikatakan Lawer (1989), perubahan merupakan kehendak sejarah. Maka
menghentikan jalannya perubahan merupakan pekerjaan yang mustahil;
change is a never ending process (Soeryono, 1991).
Pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat,
menjadi sarana untuk mendapatkan dan menciptakan jenis-jenis pekerjaan
baru di masa pembangunan sekarang dan masa depan. Kedudukan pendidikan
dalam konteks sosio-kultural masyarakat mempunyai kedudukan ganda yaitu
strategis dan kritis. Posisi strategis, pendidikan menyimpan kekuatan luar
biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup, dan dapat
memberi informasi yang paling berharga tentang pegangan hidup masa
depan, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan yang
11
esensial untuk menghadapi perubahan (Fajar, 1984). Sedang Emile Durkheim
yang dikutip Saefuddin (1987) mengatakan bahwa pendidikan memegang
kendali penting dalam mempertahankan kelanggengan kehidupan sosial
masyarakat, yaitu mampu hidup konsisten mengatakan segala ancaman dan
tantangan masa depan. Posisi kritis, karena kedudukannya sebagai bagian dari
institusi sosial, maka pendidikan harus melakukan langkah adoptif dan
adaptif. Jika kedua langkah ini tidak dilakukan, maka ada kekhawatiran
munculnya krisitisisme di bidang pendidikan, yang ditandai dengan
berkembangnya bentuk kesenjangan antara dunia pendidikan dengan
kehidupan. Menyadari peran pendidikan dalam konteks modernisasi dan
perubahan sosial, maka kedua orientasi pendidikan di atas mengandung
implikasi global pada penataan sistem pendidikan, lebih-lebih pada perangkat
lunaknya seperti kurikulum dan metodologi pendidikan. Penataan isi
pendidikan yang berkaitan dengan muatan keilmuan dalam pendidikan.
Transformasi keilmuan yang dilakukan tidak hanya difokuskan pada target
habisnya kurikulum pendidikan, tetapi yang lebih penting adalah penguasaan
kemampuan metodologis yang terefleksi pada kemampuan berfikir secara
mandiri dan kritis (independent critical thinking).
Isu lain yang menjadi sebuah wacana adalah reformasi kehidupan
masyarakat menuju masyarakat madani. Corak kehidupan masyarakat madani
menurut Tilaar (2000:155) terletak pada hakekat manusia yang memiliki
kesamaan kemanusiaan, dan bercirikan human dignity atau hak-hak dan
tanggung jawab manusia dalam kebhinekaan.
Sejalan dengan itu
pembangunan harus menempatkan warga masyarakat pada titik sentral,
menempatkan lingkungan sebagai suatu sistem di mana manusia sebagai
pusatnya (Muhajir, 1987:11). Menurut Tirtoharjo ((1994: 135) bahwa
konstruk masyarakat masa depan digambarkan sebagai berikut: (1)
kecerdasan globalisasi; (2) perkembangan IPTEK yang semakin cepat; (3)
perkembangan arus informasi yang semakin padat; (4) tuntutan layanan
profesional di berbagai sektor pendidikan. Gambaran tersebut sudah mulai
12
kita rasakan dampaknya pada kehidupan sekarang ini, antara lain: perubahan
tata nilai dan toleransi, perubahan bidang politik, ekonomi, sosial, dan
profesionalisme. Mutu pendidikan dan fungsi pendidikan dapat ditingkatkan
apabila
melibatkan
pemerintah
dan
masyarakat.
Dalam
sentralisasi
pendidikan peran masyarakat harus diberdayakan dalam pengelolaan
pendidikan. Oleh karena itu pendidikan sangat membutuhkan kontribusi dari
masyarakat dalam bentuk keuangan, evaluasi dan perencanaan. Agar peran
serta masyarakat semakin esensial dan dapat mempunyai sumbangan yang
besar dan memiliki akses langsung pada penyelenggaraan pendidikan, maka
harus dibentuk lembaga sejenis dewan pendidikan mulai tingkat nasional
sampai sekolah, sehingga operasionalisasi menjadi lebih konkrit dan
kontekstual.
D. PENDIDIKAN
SOSIOLOGI
DI
INDONESIA
(EDUCATIONAL
SOCIOLOGY IN INDONESIA)
Satu-satunya pendidikan sosiologi di Indonesia adalah di Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI). Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
terdapat di Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memiliki
program studi Pendidikan Sosiologi. Keputusan membuat Program Studi
Pendidikan Sosiologi ini dibuat setelah proses perencanaan selama 4 tahun.
Menurut Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi UPI Elly Malihah,
pembentukan Program Studi Pendidikan Sosiologi di UPI sebetulnya sudah
direncanakan sejak tahun 2005. Namun Surat Keputusan (SK) dari Rektor
UPI baru keluar bulan Juni 2009 lalu.
“Karena SK-nya baru keluar Juni kemarin, kami baru meluncurkan Prodi
baru ini sekarang,” kata Elly saat di gedung JICA UPI Bandung (Selasa, 24
November 2009). Menurut Elly Malihah, dibukanya Program Studi
Pendidikan Sosiologi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas pendidikan
sosiologi yang selama ini banyak diisi oleh guru yang latar belakang
pendidikannya bukan jurusan Pendidikan Sosiologi. “Pada saat sertifikasi
13
guru tahun 2008 dan tahun 2009, hanya satu guru yang latar belakang
pendidikannya sosiologi, itupun sosiologi murni (ujar Elly).
Meskipun demikian, kata Elly, bukan berarti guru sosiologi yang ada saat
ini kualitasnya kurang baik. “Guru-guru sosiologi yang ada sekarang ini
sudah cukup baik, tetapi alangkah baiknya jika seorang pengajar, latar
belakang pendidikannya sesuai dengan bidang ilmu yang diajarkan,” ujarnya.
Untuk tenaga pengajar program studi baru ini (prodi sosiologi) UPI
menyiapkan 32 tenaga pengajar, 12 di antaranya berlatar belakang pendidikan
sosiologi. “Dari 12 tenaga pengajar berlatar belakang sosiologi itu, 4 di
antaranya adalah guru besar, 2 doktor, dan 6 magister,” imbuh Elly.
E. METODE PENELITIAN SOSIOLOGI (METHODS OF SOCIOLOGY
RESEARCH)
1. Teori Sosial
a. Teori Fenomenologi
Perspektif Fenomenologi
Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha
untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa
dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah
assumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati
perilaku orang dengan maksud menemukan “fakta” atau “penyebab”.
Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradigma
definisi sosial biasanya peneliti ini bergerak pada kajian mikro. Perspektif
fenomenologi dengan paradigm definisi sosial ini akan memberi peluang
individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan
interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang
berkaitan dengan pokok masalah penelitian, dalam hal demikian Berger
menyebutnya dengan first order understanding and second order
understanding.
14
Pendekatan fenomenologi mengakui adanya kebenaran empiric etik
yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta
berargumentasi. Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu
menggunakan kriteria lebih tinggi lagi dari sekedar true or false
(Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 68).
b. Teori Interaksi Simbolik
Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas
sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini
masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individuindividu yang ada di dalamnya. Pada hakekatnya tiap manusia bukanlah
“barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi
simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh
berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain.
Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia
dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat
pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia
yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa
sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi
orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami
apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).
Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting
dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri
merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk
membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri
pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu
dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda. Konsep diri
terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya.
Perkembangan
yang
berlangsung
tersebut
kemudian
membantu
pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang
15
dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan
penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian
yaitu diri objek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami
kepuasan dan diri yang bertindak dalam melayani diri objek yang
berupaya memberinya kepuasan.
Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika
pikiran telah berkembang. Sementara di sisi lain bersama refleksifitasnya,
diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja
mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah proses mental.
Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental,
diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah
refleksifitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah
sadar di tempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak.
Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain
menelaah dia (Ritzer, 2004).
Dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain,
maka dimungkinkan terjadi interaksi, semakin mampu seseorang
mengambil alih atau menerjemahkan perasaan-perasaan sosial semakin
terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga premis yang dibangun dalam
interaksi simbolik yaitu: (1) manusia bertindak berdasarkan makna-makna;
(2) makna tersebut didapatkan dari interaksi
dengan orang lain; (3)
makna tersebut berkembang dan disempurnakan ketika interaksi tersebut
berlangsung (Mulyana, 2001).
Teori interaksi simbolik melihat individu sebagai pelaku aktif,
reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan
sulit diramalkan. Teori interaksi simbolik fokus pada soal diri sendiri
dengan segala atribut luarnya. Deddy Mulyana mengutip istilah yang
digunakan Cooley yaitu looking glass self (Mulyana, 2001). Gagasan diri
menurut Cooley ini terdiri atas tiga komponen: (1) individu
16
mengembangkan bagaimana dia tampil bagi orang lain; (2) individu
membayangkan bagaimana peniliaian mereka atas penampilan individu
tersebut (3) individu mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti
kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain
tersebut.
Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu
gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter
teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita
terpangaruh olehnya. Littlejohn menyatakan bahwa interaksi simbolik
mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat
(Littlejohn, 1996).
Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol,
baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak
terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk
melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi
simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri
sendiri sekaligus diri sosial.
Bagi Mead, “diri” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan
budaya. “Diri” juga merupakan proses sosial, sebuah proses di mana para
pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya,
di dalam situasi di mana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu
melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau
pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut
Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak
berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakantindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) di mana para
pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead
mengenai psikologi sosial. “Diri” di sini bersifat aktif dan kreatif serta
tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis
yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “diri.”
17
Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri atas
jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian
dikumpulkan
dalam
bentuk
kesadaran
diri
individu
mengenai
keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang
sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran bahwa pikiran
mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara
“aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsep tentang “aku” itu sendiri
merupakan konsep orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan
kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai
dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari
“aku.”
Interaksi simbolik sering dikelompokkan ke dalam dua aliran
(school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert
Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert
Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak dapat
dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer
dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuantitatif
dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi
tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk
mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga.
Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah
dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya
bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun
Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan
bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode
“lemah” yang digunakan oleh Blumer.
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum
tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer
18
memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari
interaksionisme simbolik, yaitu: (1) Orang-orang dapat mengerti berbagai
hal
dengan
belajar
dari
pengalaman.
Persepsi
seseorang selalu
diterjemahkan dalam simbol-simbol; (2) Berbagai arti dipelajari melalui
interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran
simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial; (3) Seluruh struktur dan
institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang; (4)
Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian
pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja; (5) Pikiran
terdiri atas percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah
terjadi antara seseorang dengan orang lain; (6) Tingkah laku terbentuk atau
tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi; (7) Kita tidak
dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah
lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal
harus diketahui pula secara pasti.
Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol,
cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka
maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi
simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis, di mana
Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolik,
maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya.
c. Teori Etnografi
Menurut Bogdan dan Bilken dalam Tjipto (2009: 83) dijelaskan
bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam melaksanakan studi
antropologi adalah konsep tentang kebudayaan (the concept of culture).
Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya disebut
(ethnography). Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang
dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghasilkan
19
sesuatu (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83).
Beberapa
antropologi
mendefinisikan
kebudayaan
sebagai
“Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan
pengalaman dan membuahkan tingkah laku” (Spradly dalam Tjipto, 2009:
83). Dalam pengertian ini budaya merangkum apa yang dilakukan orang,
dan barang-barang yang dibuat dan digunakan. Untuk mendiskripsikan
budaya dalam perspektif ini, seorang peneliti mungkin berfikir tentang
peristiwa dan kemudian menjelaskan peristiwa itu (menjelaskan tingkah
laku orang dengan jalan mendiskripsikan apa yang dialaminya).
Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Peneliti dituntut memiliki pengetahuan
dan dedikasi yang tingi, sebab etnografi diperlukan pengamatan, interaksi
dengan responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang
relatif lama; (2) Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi
seperti pada penelitian
psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret
kondisi apa adanya; (3) Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting
secara alamiah di mana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan
anggota masyarakat lainnya; (4) Etnografi menempatkan pada perlunya
koleksi dan interpretasi data dari hipotesis yang sudah diterapkan; (5)
Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan hipotesis
mencari data.
Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan
Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological
Hypothesis menyatakan bahwa konteks dunia perilaku terjadi pada subjek
yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek
tersebut. Sedangkan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological
Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibanding dengan
psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak
20
dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama
(incorporating) ke dalam pengamatan persepsi subjek serta sistem
kepercayaan diri mereka yang terlibat dalam penelitian.
2. Metode Penelitian Sosiologi
a. Metode Statistik
Banyak dipakai untuk menunjukkan hubungan atau pengaruh
kausalitas serta prasangka pribadi atau sepihak. Penerapan metode ini
yang paling sederhana adalah teknik enumerasi (penghitungan).
Jawaban pertanyaan responden disusun dalam tabel sehingga diketahui
jumlahnya.
b. Metode Eksperimen
Metode eksperimen dilakukan terhadap dua kelompok. Kelompok
pertama merupakan kelompok eksperimen, sedangkan kelompok
kedua sebagai kelompok kontrol. Metode ini membandingkan
percobaan kedua kelompok tersebut. Dua macam metode eksperimen
yaitu eksperimen laboratorium dan eksperimen lapangan.
c. Metode Induktif dan Deduktif
Metode induktif adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
kaidah umum dengan mempelajari gejala yang khusus. Adapun
metode deduktif adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
kaidah khusus dengan mempelajari gejala umum.
d. Metode Studi Kasus
Metode ini digunakan untuk meneliti kebenaran peristiwa tertentu.
e. Metode Survei Lapangan
Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang hanya ada
21
pada kehidupan masyarakat secara langsung dan diperoleh melalui
angket, wawancara, atau observasi secara langsung. Persiapan yang
dilakukan adalah menentukan populasi yang hendak diteliti sekaligus
objek, angket dan bahasa yang dipahami.
f. Metode Partisipasi
Metode ini digunakan untuk mengadakan penelitian terhadap
kepentingan kelompok. Peneliti berbaur dalam kehidupan kelompok
sambil melakukan pengamatan atau kegiatan penelitiannya tanpa
mengungkapkan identitas sebagai peneliti dan tidak boleh terlibat
secara emosional terhadap kelompok yang ditelitinya.
g. Metode Empiris dan Rasionalistis
Metode empiris menyandarkan diri pada fakta yang ada dalam
masyarakat melalui penelitian. Metode rasionalistis mengutamakan
pemikiran sehat untuk mencapai pengertian tentang masalah-masalah
kemasyarakatan.
h. Metode Studi Pustaka
Metode studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan mengambil data atau keterangan dari buku literatur
di perpustakaan. Kelebihannya adalah memperoleh banyak sumber
tanpa perlu biaya, tenaga dan waktu. Akan tetapi dibutuhkan
kepandaian peneliti untuk mencari buku yang relevan agar dapat
dipakai sebagai sumber perolehan data dalam penelitian tersebut.
22
BAB III
SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulai
sejak awal abad ke-20 yang merupakan bagian dari sosiologi. Namun
sebenarnya sosiologi pendidikan lahir bersamaan dengan munculnya
persoalan-persoalan pendidikan yang tidak teratasi. Banyaknya persoalan
pendidikan yang tidak teratasi menyebabkan dunia pendidikan mengalami
kesulitan
dalam
perkembangannya.
Kemudian
persoalan-persoalan
pendidikan diatasi dengan menggunakan pendekatan sosiologis.
Teori Struktural fungsional muncul dilatar belakangi semangat
Renaissance
pada
masa
Auguste
Comte
abad
ke-17.
Renaissance
memunculkan revolusi politik dan perubahan Tataran Nilai. Menghadapi
situasi tersebut mendorong dapat melahirkan ilmuwan sosial yang sanggup
menciptakan tertib sosial, harmoni dan keseimbangan. Dengan demikian teori
struktural fungsional mewarnai munculnya revolusi pengetahuan, terutama
filsafat positivisme yang melahirkan ilmu alam.
Dari jenis pendidikan yang tersedia yaitu pendidikan informal,
pendidikan formal dan pendidikan nonformal, tampaknya dua dari jenis
yang terakhir lebih bisa diandalkan. Pada pendidikan formal dunia
pekerjaan dan dunia status lebih mempercayai kepemilikan ijazah untuk
naik jabatan dan naik status. Seiring perkembangan, mereka lebih
mempercayai kemampuan atau skill daripada menghormati kepemilikan
ijazah. Ini yang akhirnya memberi peluang bagi tumbuhnya pendidikan
nonformal, yang bisa memberikan keterampilan praktis pragmatis bagi
kebutuhan dunia kerja yang berpengaruh pada pencapaian status seseorang.
23
Dalam perspektif lain, dari sisi intelektualitas, orang berpendidikan
lebih tinggi derajat sosialnya dalam masyarakat dan biasanya lebih terfokus
pada jenjang hasil keluaran pendidikan formal. Makin tinggi sekolahnya
makin tinggi tingkat penguasaan ilmunya sehingga dipandang memiliki
status yang tinggi dalam masyarakat.
Satu-satunya pendidikan sosiologi di Indonesia adalah di Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI). Kampus Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) terdapat di Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
memiliki program studi Pendidikan Sosiologi. Keputusan membuat Program
Studi Pendidikan Sosiologi ini dibuat setelah proses perencanaan selama 4
tahun.
Teori Sosial terdiri atas: (1) Teori Fenomenologi; (2) Teori Interaksi
Simbolik; (3) Teori Etnografi, sedangkan metode penelitian sosiologi terdiri
atas: (1) Metode Statistik; (2) Metode Eksperimen; (3) Metode Induktif dan
Deduktif; (4) Metode Studi Kasus; (5) Metode Survei Lapangan; (6) Metode
Partisipasi; (7) Metode Empiris dan Rasionalistis; (8) Metode Studi Pustaka.
Daftar Pustaka
Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bernard Raho.2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.
G. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi
tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Mulyana, Deddy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Kencana.
http://www.scribd.com/doc/35776081/teori-vygotsky (Diakses pada 8
November 2011, pukul 15.37)
24
http://netsains.com/2009/02/pembelajaran-lanjutan-dengan-teori
konstruktivis/ (Diakses pada 8 November 2011, pukul 16.58 WIB)
http://www.learning-theories.com/vygotskys-social-learning-theory.html
(Diakses pada 8 November 2011, pukul 17.47 WIB)
Tjipto Subadi, 2009. Sosiologi dan Sosiologi Pendidikan. Kartasura:
Fairuz Media-Duta Permata Ilmu.
Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi: Sejarah Teori dan Aplikasinya.
Yogyakarta: CIRed-Jejak Pena.
Veeger, Karel J. 1997. Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama – APTIK.
25
Download