Eko Muharto Kepala SD Negeri Kaliurip Bener Purworejo Artikel: PERILAKU MASYARAKAT PEDESAAN DI ZAMAN MODERN Abstrak Artikel Ilmiah ini bertujuan untuk mengkaji perilaku masyarakat pedesaan di zaman modern. Kajian sosiologis dibatasi pada sejarah sosiologi pendidikan, teori perspektif struktural fungsional, teori perspektif pendidikan dan perkembangan sosial, pendidikan sosiologi di Indonesia, dan metode penelitian sosiologi pendidikan. Sosiologi pendidikan adalah suatu ilmu yang mengkaji masalah-masalah pendidikan dengan pendekatan sosiologis, atau sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Bagaimanapun pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas kehidupan seseorang, sehingga pendidikan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi alat untuk mendeskripsikan dan menjelaskan institusi, kelompok sosial, dan proses sosial yang merupakan hubungan sosial di dalamnya individu memperoleh pengalaman yang terorganisasi. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk yang berfikir, makhluk yang instability. Sebagai makhluk sosial manusia selalu hidup berkelompok atau senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lain, yang mampu berfikir untuk melakukan sesuatu, makhluk yang harus diajarkan sesuatu agar mampu bersosialisasi. Di zaman modern ini, perilaku masyarakat pedesaan cenderung melakukan sosialisasi dengan orang lain dengan persaingan (competition) dibanding dengan interaksi secara kerjasama (cooperation). Di manapun masyarakat berada pasti mengalami perubahan akibat adanya interaksi antarmanusia dan antarkelompok, akibatnya di antara mereka terjadi proses saling mempengaruhi yang mengakibatkan perubahan terjadi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi telah membawa berbagai perubahan antara lain perubahan norma, nilai, tingkah laku dan pola-pola kehidupan baik individu maupun kelompok, kekuasaan, dan sebagainya. Peletak dasar sosiologi, di antaranya (1) Ibnu Khaldun bahwa sistem sosial manusia dapat berubah seiring dengan kemampuan pola berpikir mereka, keadaan muka bumi di sekitar mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri, (2) Auguste Comte bahwa Sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat, (3) Emile Durkheim bahwa masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern. Teori Struktural Fungsional beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan timbal balik (saling mempengaruhi). Secara fundamental sistem sosial cenderung bergerak ke arah equilibrium dan bersifat dinamis. Penyimpangan sosial akan teratasi dengan sendirinya melalui penyesuaian dan proses institusionalisasi. Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan membahas tentang (1) Teori Fenomenologi yaitu pendekatan penelitian yang berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu, (2) Teori Interaksi Simbolis yaitu pendekatan penelitian yang berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis, (3) Teori Etnografi yaitu pendekatan penelitian yang berusaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya. ii KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengatur atas alam semesta ini, serta Shalawat dan Salam diperuntukkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi dan Rasul, keluarga dan sahabat serta para pengikutnya yang setia. Alhamdulillah, akhirnya artikel yang berjudul “Perilaku Masyarakat Pedesaan di Zaman Modern” selesai juga. Artikel ini ditulis agar dapat memberikan manfaat bagi pembaca yang membutuhkan, terlepas dari sisi keburukannya. Artikel ini membahas/mengkaji perilaku masyarakat pedesaan di zaman modern. Kajian sosiologis dibatasi pada sejarah sosiologi pendidikan, teori perspektif struktural fungsional, teori perspektif pendidikan dan perkembangan sosial, pendidikan sosiologi di Indonesia, dan metode penelitian sosiologi pendidikan. Artikel ini tidak akan bisa tertulis apabila tidak mendapatkan bantuan dan bimbingan akademik dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis pada kesempatan ini, menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat Dr. Tjipto Subadi, M.Si. sebagai pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran-saran akademik sehingga penulis memperoleh pengalaman, ilmu pengetahuan dan wawasan akademik khususnya tentang penulisan berbagai karya ilmiah untuk dipublikasikan di berbagai media cetak. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa S2 UMS yang tidak bisa penulis sebut namanya satu per-satu, yang telah memberikan motivasi dan harapan sekaligus doa sehingga artikel ini dapat selesai. Artikel ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kepada semua pihak diharapkan memberikan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan artikel ini pada masa yang akan datang. Semoga artikel ini dapat bermanfaat. Amin. Eko Muharto iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................ iii DAFTAR ISI .............................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................... 2 A. Sejarah Sosiologi Pendidikan ......................................................... 2 B. Perspektif Teori Struktural Fungsional .......................................... 3 C. Perspektif Teori Pendidikan dan Perkembangan Sosial ................ 9 D. Pendidikan Sosiologi di Indonesia ............................................... 13 E. Metode Penelitian Sosiologi ........................................................ 14 BAB III SIMPULAN ............................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 24 iv BAB I PENDAHULUAN Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan, dan memandang masalah-masalah pendidikan dari sudut totalitas lingkup sosial budaya, politik dan ekonomi bagi masyarakat luas (Karsidi, 2007:1). Selain itu kajian sosiologi pendidikan lebih banyak ditulis pada tataran analisis pendidikan dari isu, masalah dan fenomena sosial tertentu sebagai objeknya adalah masyarakat. Oleh sebab itu peran sosiologi pendidikan amat penting ketika pendidikan diselenggarakan di tengah kehidupan masyarakat yang tumbuh dan selalu berubah. Tanpa memahami karakteristik pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, penyelenggaraan pendidikan dapat keluar dari konteks masyarakatnya. Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan sosial yaitu hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hubungan sosial dimulai dari hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga ke tetangga. Dalam hubungan sosial tersebut terjadilah proses pengenalan. Proses pengenalan tersebut mencakup berbagai budaya, nilai, norma dan tanggung jawab manusia, sehingga dapat tercipta corak kehidupan masyarakat yang berbeda-beda dengan masalah yang berbeda pula. Sosiologi selalu didasarkan pada fakta dan data yang ada tanpa ada manipulasi dari data. Perkembangan masyarakat dengan peradabannya dari masa ke masa selalu berkembang pemikirannya. Masyarakat pedesaan yang dulu gemar dalam hal kegotongroyongan dan tinggi rasa persaudaraannya, pada zaman modern ini berkembang menjadi masyarakat yang kritis, susah diatur dan maunya pendapat merekalah yang benar. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi maka berkembang pula keinginan dan hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. SEJARAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN (HISTORY OF EDUCATION SOCIOLOGY) Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulai sejak awal abad ke-20 yang merupakan bagian dari sosiologi. Namun sebenarnya sosiologi pendidikan lahir bersamaan dengan munculnya persoalan-persoalan pendidikan yang tidak teratasi. Banyaknya persoalan pendidikan yang tidak teratasi menyebabkan dunia pendidikan mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Kemudian persoalan-persoalan pendidikan diatasi dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan sempat tenggelam dan terpuruk sebelum berakhirnya Perang Dunia II. Namun Lester Frank Word (1841-1913) seorang pelopor sosiologi di Amerika dianggap pencetus gagasan lahirnya sosiologi pendidikan di Amerika dalam bukunya yang berjudul Applied Sociology (Sosiologi Terapan), yang mengkaji perubahan-perubahan masyarakat karena usaha manusia. Gagasan Word tersebut kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952) dalam karyanya School and Society (Sekolah dan Masyarakat) yang memandang bahwa hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat itu sangat penting. Pemikiran Dewey kemudian dikembangkan lagi dengan bukunya yang berjudul Democracy and Education (Demokrasi dan Pendidikan) pada tahun 1916 yang mendorong berkembangnya sosiologi pendidikan. Beberapa kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan perkembangan sosiologi, dibukanya kuliah sosiologi pendidikan di Amerika Serikat pada tahun 1887 untuk pertama kalinya. Hal yang sama juga dilakukan di Teachers Collage, University of Columbia oleh Henry Suzzaalo pada tahun 1910. Pada tahun 1917 muncul buku teks Sosiologi Pendidikan pertama kali berjudul Introduction to Educational Sociology yang diterbitkan oleh Walter R Smith. 2 Tahun 1928 terbit The Journal of Educational Sosiology sebagai wadah pemikiran sosiologi pendidikan di bawah pimpinan E. George Payne, dan pada tahun 1936 muncul majalah Social Education. W. Taylor menggunakan istilah Educational Sociology tekanannya terletak pada pernyataan pendidikan dan sosial, sedangkan Sociology of Education tekanannya terletak pada permasalahan sosiologis. Berbeda dengan R.J. Stalcut mengatakan bahwa Educational Sosiology merupakan penerapan dari prinsip umum dan proses sosiologi yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Menurut G.E. Jansen Educational Sosiology membahas problema pendidikan, sedangkan Sociology of Education membahas problema sosiologi dalam pendidikan. B. TEORI PERSPEKTIF STRUKTURAL FUNGSIONAL (THEORITICAL PERSPECTIVE: STRUCTURAL FUNGSIONALISM) Perspektif teori ini mempunyai akar pemikiran dari Auguste Comte, lewat karya Herbert Spencer, dan Emile Durkheim. Perspektif teori struktural fungsional merupakan teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Perspektif ini sering dikenal dengan teori sistem, teori equilibrium, teori konsensus/teori regulasi. Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999), ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada di luar diri pengamat. Fungsionalisme struktural atau lebih populer dengan ‘struktural fungsional’ merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau 3 ‘analisa sistem’ pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur. Perkataan fungsi digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, menunjukkan kepada aktivitas dan dinamika manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Dilihat dari tujuan hidup, kegiatan manusia merupakan fungsi dan mempunyai fungsi. Secara kualitatif fungsi dilihat dari segi kegunaan dan manfaat seseorang, kelompok, organisasi atau asosiasi tertentu. Teori Struktural Renaissance pada fungsional masa muncul Auguste dilatar Comte abad belakangi ke-17. semangat Renaissance memunculkan revolusi politik dan perubahan Tataran Nilai. Menghadapi situasi tersebut mendorong dapat melahirkan ilmuwan sosial yang sanggup menciptakan tertib sosial, harmoni dan keseimbangan. Dengan demikian teori struktural fungsional mewarnai munculnya revolusi pengetahuan, terutama filsafat positivisme yang melahirkan ilmu alam. Menurut Herbert Spencer (sosiolog Inggris) pada abad 19, membahas masyarakat sebagai suatu organism hidup dapat diringkas sebagai berikut: (1) masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan; (2) disebabkan oleh pertumbuhan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula, di mana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. Binatang yang lebih kecil, misalnya bagian yang dapat dibedakan bila dibanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia; (3) tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu; ”mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada manusia, hati memiliki struktur dan memiliki fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian pula dengan partai politik sebagai struktur institusional memiliki struktur dan fungsi serta tujuan yang berbeda dalam sistem politik, 4 sistem budaya dan atau sistem ekonomi; (4) baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Misalnya perubahan sistem politik dari suatu pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain; (5) bagian-bagian tersebut, walaupun saling berkaitan, merupakan suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan medis, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi. Dengan hati-hati Spencer menegaskan bahwa apa yang diketengahkan itu hanyalah merupakan sebuah model atau analogi yang seharusnya tidak diterima begitu saja. Masyarakat tidak benar-benar mirip dengan organisme hidup; di antara kedua hal itu terdapat sebuah perbedaan yang sangat penting. Di dalam sistem organisme, bagian-bagian tersebut saling terkait dalam suatu hubungan yang erat; sedangkan dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti itu tidak begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah. Asumsi dasar sosiologi dari pemikiran kaum fungsionalis bermula dari Comte dan dilanjutkan dalam karya Spencer, ialah bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagianbagian yang saling tergantung satu sama lain. Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu 5 keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial. Fungsionalisme Durkheim ini tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua orang ahli antropologi abad ke-20, yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown. Malinowski dan Brown dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbangkan buah pikiran mereka tentang hakikat, analisa fungsional yang dibangun di atas model organis. Di dalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman RadcliffeBrown (1976:503-511) mengenai fungsionalisme struktural merupakan dasar bagi analisa fungsional kontemporer. Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan, dan karena itu merupakan sumbangan yang diberikannya bagi pemeliharaan kelangsungan struktural (Radcliffe-Brown (1976:505). Jasa Malinowski terhadap fungsionalisme, walau dalam beberapa hal berbeda dari Brown, mendukung konsepsi dasar fungsionalisme tersebut. Para ahli antropologi menganalisa kebudayaan dengan melihat pada ”fakta-fakta antropologis” dan bagian yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam sistem kebudayaan (Malinowski, 1976: 6 551). Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas teoriteori fungsionalisme, adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial (Merton, 1975: 25). Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan” (Merton, 1975: 30). Di dalam kata-kata Coser dan Rosenberg (1976: 492) model fungsionalisme struktural Merton ini adalah merupakan ”pernyataan yang paling canggih dari pendekatan fungsionalisme yang tersedia dewasa ini.” Teori struktural fungsional menekankan pada perspektif harmoni dan keseimbangan. Asumsi yang mendasarinya (Sanderson dalam Zainuddin, 1991 : 119) dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) masyarakat dilihat sebagai suatu sistem yang kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan tergantung, setiap bagian berpengaruh terhadap bagian lainnya; (2) setiap bagian dan sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut mempunyai fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas; (3) semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan diri; (4) perubahan dalam sistem sosial terjadi secara gradual; (5) faktor penting yang mengintegrasikan masyarakat adanya kesepakatan antara para anggotanya terhadap nilai-nilai kemasyarakatan; (6) masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan equilibrium atau homoeostatic. Selain itu, menurut Tjipto Subadi, Teori Struktural Fungsional mengacu pada asumsi bahwa: (1) masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas berbagai bagian yang saling berinteraksi; (2) 7 hubungan yang ada bersifat satu arah atau timbal balik; (3) sistem sosial yang ada bersifat dinamis; (4) integrasi yang sempurna dalam masyarakat tidak pernah ada, maka di masyarakat timbul ketegangan dan penyimpangan; (5) perubahan yang terjadi bersifat gradual dan perlahan sebagai proses penyesuaian; (6) perubahan adalah hasil penyesuaian dari luar; (7) sistem diintegrasikan lewat nilai-nilai yang sama. Menurut Sendjaja (1994: 32) mengemukakan bahwa model struktural fungsional mempunyai ciri sebagai berikut: (1) sistem dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan; (2) adanya spesifikasi lingkungan yakni spesifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi sistem; (3) adanya ciri-ciri, sifat-sifat yang dipandang esensial untuk kelangsungan sistem; (4) adanya spesifikasi jalan yang menentukan perbedaan nilai; dan (5) adanya aturan tentang bagaimana bagian-bagian secara kolektif beroperasi sesuai ciri-cirinya untuk menjaga eksistensi sistem. Ditambahkan menurut Raymond Firth bahwa, struktur sosial berarti menentukan relasi sosial yang penting dalam menentukan tingkah laku manusia dalam masyarakat yang dapat ditinjau dari: (1) status; (2) peranan; (3) nilai-nilai dan norma-norma; dan (4) institusi sosial. Anggapan dasar teori ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Hubungan dalam masyarakat bersifat ganda dan timbal balik (saling mempengaruhi). Secara fundamental sistem sosial bergerak ke arah uquilibrium dan bersifat dinamis. Karena asumsi dasar teori struktural fungsional seperti tersebut di atas, maka perlu kontrol efektifitas hukum keteraturan serta faktor-faktor yang mempersatukan masyarakat. Oleh karena itu teori ini dikenal sebagai teori konsensus (consensus theory) atau teori regulasi (regulation theory). Pandangan-pandangannya didasarkan pada filsafat realism, positivism, dan oleh karena itu cenderung deterministic, di mana struktur menentukan tindakan atau perilaku, dan oleh karena itu tradisi ini memilih jenis 8 pengetahuan non ethic dari pada normatif. C. TEORI PERSPEKTIF PENDIDIKAN DAN PERKEMBANGAN SOSIAL (THEORITICAL PERSPECTIVE: EDUCATION AND SOCIAL REPRODUCTION) Sebagian para pendidik yang menaruh kepercayaan akan kekuasaan pendidikan dalam membentuk masyarakat baru. Sekolah tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat dan kontrol pihak yang berkuasa. Sekolah hanya dapat mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat. Jadi tidak ada harapan sekolah dapat membangun masyarakat baru lepas dari proses perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat tersebut. Di dunia yang dinamis ini setiap masyarakat akan mengalami perubahan menuju pembaharuan dan perkembangan sosial. Pemerintah berusaha mengadakan perubahan demi kesejahteraan rakyatnya dan keselamatan bangsa dan negaranya. Perubahan itu antara lain perubahan dan pembaharuan kurikulum dan sistem pendidikan. Masyarakat modern adalah masyarakat yang kompleks, di mana keragaman jenis pekerjaan yang berbeda-beda kepentingannya membawa penghasilan yang tidak sama serta kondisi kerja yang tidak sama pula. Menurut Duverger, peningkatan umum dalam standar hidup, peningkatan dalam kemakmuran material, pengembangan waktu senggang dan fasilitasnya, merupakan ciri khas ekonomi yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi. Zaman dahulu seseorang mendapat status tinggi dalam sistem stratifikasi dalam masyarakatnya karena faktor keturunan dan ini akan berlangsung selama seumur hidup tanpa ada kompetisi untuk status tertentu. Pada masyarakat modern, kesempatan berkompetisi meraih status pada kelas atas sangat terbuka. Dalam masyarakat modern yang lebih dihargai pada diri seseorang adalah prestasi, kecakapan, keahlian, dan faktor determinan utama, yaitu struktur sosial yang menentukan kedudukan tinggi yang terdistribusikan dan kemudahan untuk memperolehnya. Dalam masyarakat juga terdapat saluran-saluran tertentu untuk status seseorang bergerak naik dari lapisan 9 yang rendah ke lapisan tinggi, misalnya organisasi pemerintahan, lembaga keagamaan, lembaga ekonomi, dan lembaga pendidikan. Dari jenis pendidikan yang tersedia yaitu pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal, tampaknya dua dari jenis yang terakhir lebih bisa diandalkan. Pada pendidikan formal dunia pekerjaan dan dunia status lebih mempercayai kepemilikan ijazah untuk naik jabatan dan naik status. Seiring perkembangan, mereka lebih mempercayai kemampuan atau skill daripada menghormati kepemilikan ijazah. Ini yang akhirnya memberi peluang bagi tumbuhnya pendidikan nonformal, yang bisa memberikan keterampilan praktis pragmatis bagi kebutuhan dunia kerja yang berpengaruh pada pencapaian status seseorang. Dalam perspektif lain, dari sisi intelektualitas, orang berpendidikan lebih tinggi derajat sosialnya dalam masyarakat dan biasanya lebih terfokus pada jenjang hasil keluaran pendidikan formal. Makin tinggi sekolahnya makin tinggi tingkat penguasaan ilmunya sehingga dipandang memiliki status yang tinggi dalam masyarakat. Pendidikan dalam penekanan pada perubahan sosial (social change) bahwa perubahan sosial pada hakikatnya merupakan fenomena kebudayaan. Penelaahan terhadap gejala perubahan sosial diharapkan memperoleh tempat pendidikan yang lebih kontektual, strategis, dan fungsional, yang dapat dikembangkan sebagai paradigma kebudayaan. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai pewarisan dan sosialisasi nilai yang mengutamakan kemampuan budaya, tanpa produktif dan dinamik melakukan proses daur kultural dalam modus historis yang baru. Dengan konsep ini, jika pada esensinya perubahan masyarakat merupakan perubahan nilai dan norma dalam masyarakat (Astrid S. Susanto, 1985). Menurut Selo Soemarjan (1993) bahwa segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Sunyoto Usman (1994) berpendapat istilah perubahan sosial dipakai silih berganti dengan istilah; evolusi (evolution), perkembangan (development) atau kemajuan 10 (progress); yang semuanya memperlihatkan perjalanan dari keadaan tertentu yang sederhana, seragam, dan homogen menuju keadaan yang lebih kompleks, beragam, dan heterogen. Menurut Robert H. Lauer (1970) dalam bukunya yang berjudul Perspective on Social Change menyoroti beragam perspektif dalam teori perubahan sosial. Sementara itu Rostow, yang dianggap mewakili tradisi liberal dari ilmu-ilmu sosial (Hadimulyo, 1989) menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat dengan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (the Stages of economic Growth) dengan tahapan perkembangan masyarakat; masyarakat tradisional (traditional society) yang ditandai dengan cakupan produksi terbatas, Preconditions take off sebagai tahapan transisional menuju tahap berikutnya, tahap tinggal landas (the take off), dan selanjutnya masyarakat berkembang ke arah masyarakat dengan tingkat kematangan (the drive to maturity) serta masyarakat dengan ciri konsumeristik yang tinggi (the age high mass consumption), atau masyarakat makmur sejahtera (Ali,1986). Perubahan masyarakat dengan corak kultural merupakan fenomena sosiohistoris sebagai proses kontinum dari perkembangan kehidupan global yang tidak mengenal proses berhenti. Ibnu Kaldun mengatakan dalam Muqodimahnya: “tidak ada masyarakat manusia yang tidak berubah”, seperti yang dikatakan Lawer (1989), perubahan merupakan kehendak sejarah. Maka menghentikan jalannya perubahan merupakan pekerjaan yang mustahil; change is a never ending process (Soeryono, 1991). Pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, menjadi sarana untuk mendapatkan dan menciptakan jenis-jenis pekerjaan baru di masa pembangunan sekarang dan masa depan. Kedudukan pendidikan dalam konteks sosio-kultural masyarakat mempunyai kedudukan ganda yaitu strategis dan kritis. Posisi strategis, pendidikan menyimpan kekuatan luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup, dan dapat memberi informasi yang paling berharga tentang pegangan hidup masa depan, serta membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan yang 11 esensial untuk menghadapi perubahan (Fajar, 1984). Sedang Emile Durkheim yang dikutip Saefuddin (1987) mengatakan bahwa pendidikan memegang kendali penting dalam mempertahankan kelanggengan kehidupan sosial masyarakat, yaitu mampu hidup konsisten mengatakan segala ancaman dan tantangan masa depan. Posisi kritis, karena kedudukannya sebagai bagian dari institusi sosial, maka pendidikan harus melakukan langkah adoptif dan adaptif. Jika kedua langkah ini tidak dilakukan, maka ada kekhawatiran munculnya krisitisisme di bidang pendidikan, yang ditandai dengan berkembangnya bentuk kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kehidupan. Menyadari peran pendidikan dalam konteks modernisasi dan perubahan sosial, maka kedua orientasi pendidikan di atas mengandung implikasi global pada penataan sistem pendidikan, lebih-lebih pada perangkat lunaknya seperti kurikulum dan metodologi pendidikan. Penataan isi pendidikan yang berkaitan dengan muatan keilmuan dalam pendidikan. Transformasi keilmuan yang dilakukan tidak hanya difokuskan pada target habisnya kurikulum pendidikan, tetapi yang lebih penting adalah penguasaan kemampuan metodologis yang terefleksi pada kemampuan berfikir secara mandiri dan kritis (independent critical thinking). Isu lain yang menjadi sebuah wacana adalah reformasi kehidupan masyarakat menuju masyarakat madani. Corak kehidupan masyarakat madani menurut Tilaar (2000:155) terletak pada hakekat manusia yang memiliki kesamaan kemanusiaan, dan bercirikan human dignity atau hak-hak dan tanggung jawab manusia dalam kebhinekaan. Sejalan dengan itu pembangunan harus menempatkan warga masyarakat pada titik sentral, menempatkan lingkungan sebagai suatu sistem di mana manusia sebagai pusatnya (Muhajir, 1987:11). Menurut Tirtoharjo ((1994: 135) bahwa konstruk masyarakat masa depan digambarkan sebagai berikut: (1) kecerdasan globalisasi; (2) perkembangan IPTEK yang semakin cepat; (3) perkembangan arus informasi yang semakin padat; (4) tuntutan layanan profesional di berbagai sektor pendidikan. Gambaran tersebut sudah mulai 12 kita rasakan dampaknya pada kehidupan sekarang ini, antara lain: perubahan tata nilai dan toleransi, perubahan bidang politik, ekonomi, sosial, dan profesionalisme. Mutu pendidikan dan fungsi pendidikan dapat ditingkatkan apabila melibatkan pemerintah dan masyarakat. Dalam sentralisasi pendidikan peran masyarakat harus diberdayakan dalam pengelolaan pendidikan. Oleh karena itu pendidikan sangat membutuhkan kontribusi dari masyarakat dalam bentuk keuangan, evaluasi dan perencanaan. Agar peran serta masyarakat semakin esensial dan dapat mempunyai sumbangan yang besar dan memiliki akses langsung pada penyelenggaraan pendidikan, maka harus dibentuk lembaga sejenis dewan pendidikan mulai tingkat nasional sampai sekolah, sehingga operasionalisasi menjadi lebih konkrit dan kontekstual. D. PENDIDIKAN SOSIOLOGI DI INDONESIA (EDUCATIONAL SOCIOLOGY IN INDONESIA) Satu-satunya pendidikan sosiologi di Indonesia adalah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) terdapat di Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memiliki program studi Pendidikan Sosiologi. Keputusan membuat Program Studi Pendidikan Sosiologi ini dibuat setelah proses perencanaan selama 4 tahun. Menurut Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi UPI Elly Malihah, pembentukan Program Studi Pendidikan Sosiologi di UPI sebetulnya sudah direncanakan sejak tahun 2005. Namun Surat Keputusan (SK) dari Rektor UPI baru keluar bulan Juni 2009 lalu. “Karena SK-nya baru keluar Juni kemarin, kami baru meluncurkan Prodi baru ini sekarang,” kata Elly saat di gedung JICA UPI Bandung (Selasa, 24 November 2009). Menurut Elly Malihah, dibukanya Program Studi Pendidikan Sosiologi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas pendidikan sosiologi yang selama ini banyak diisi oleh guru yang latar belakang pendidikannya bukan jurusan Pendidikan Sosiologi. “Pada saat sertifikasi 13 guru tahun 2008 dan tahun 2009, hanya satu guru yang latar belakang pendidikannya sosiologi, itupun sosiologi murni (ujar Elly). Meskipun demikian, kata Elly, bukan berarti guru sosiologi yang ada saat ini kualitasnya kurang baik. “Guru-guru sosiologi yang ada sekarang ini sudah cukup baik, tetapi alangkah baiknya jika seorang pengajar, latar belakang pendidikannya sesuai dengan bidang ilmu yang diajarkan,” ujarnya. Untuk tenaga pengajar program studi baru ini (prodi sosiologi) UPI menyiapkan 32 tenaga pengajar, 12 di antaranya berlatar belakang pendidikan sosiologi. “Dari 12 tenaga pengajar berlatar belakang sosiologi itu, 4 di antaranya adalah guru besar, 2 doktor, dan 6 magister,” imbuh Elly. E. METODE PENELITIAN SOSIOLOGI (METHODS OF SOCIOLOGY RESEARCH) 1. Teori Sosial a. Teori Fenomenologi Perspektif Fenomenologi Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah assumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan “fakta” atau “penyebab”. Jika peneliti menggunakan perspektif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial biasanya peneliti ini bergerak pada kajian mikro. Perspektif fenomenologi dengan paradigm definisi sosial ini akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian (informan penelitian) melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai mendapatkan makna yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian, dalam hal demikian Berger menyebutnya dengan first order understanding and second order understanding. 14 Pendekatan fenomenologi mengakui adanya kebenaran empiric etik yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Akal budi ini mengandung makna bahwa kita perlu menggunakan kriteria lebih tinggi lagi dari sekedar true or false (Muhadjir, dalam Tjipto 2009: 68). b. Teori Interaksi Simbolik Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individuindividu yang ada di dalamnya. Pada hakekatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain. Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007). Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda. Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang 15 dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri objek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang bertindak dalam melayani diri objek yang berupaya memberinya kepuasan. Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Sementara di sisi lain bersama refleksifitasnya, diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah refleksifitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah sadar di tempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain menelaah dia (Ritzer, 2004). Dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu: (1) manusia bertindak berdasarkan makna-makna; (2) makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; (3) makna tersebut berkembang dan disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung (Mulyana, 2001). Teori interaksi simbolik melihat individu sebagai pelaku aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Teori interaksi simbolik fokus pada soal diri sendiri dengan segala atribut luarnya. Deddy Mulyana mengutip istilah yang digunakan Cooley yaitu looking glass self (Mulyana, 2001). Gagasan diri menurut Cooley ini terdiri atas tiga komponen: (1) individu 16 mengembangkan bagaimana dia tampil bagi orang lain; (2) individu membayangkan bagaimana peniliaian mereka atas penampilan individu tersebut (3) individu mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya. Littlejohn menyatakan bahwa interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (Littlejohn, 1996). Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial. Bagi Mead, “diri” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “Diri” juga merupakan proses sosial, sebuah proses di mana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, di dalam situasi di mana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakantindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) di mana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “Diri” di sini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “diri.” 17 Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri atas jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsep tentang “aku” itu sendiri merupakan konsep orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.” Interaksi simbolik sering dikelompokkan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuantitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer. Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer 18 memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu: (1) Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol; (2) Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial; (3) Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang; (4) Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja; (5) Pikiran terdiri atas percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain; (6) Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi; (7) Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti. Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis, di mana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksionisme simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiran-pemikiran dramaturgisnya. c. Teori Etnografi Menurut Bogdan dan Bilken dalam Tjipto (2009: 83) dijelaskan bahwa kerangka kerja yang digunakan dalam melaksanakan studi antropologi adalah konsep tentang kebudayaan (the concept of culture). Usaha untuk mendiskripsikan budaya atau aspek budaya disebut (ethnography). Budaya merupakan pengetahuan yang diperoleh seseorang dan digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman yang menghasilkan 19 sesuatu (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83). Beberapa antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai “Pengetahuan perolehan yang digunakan orang untuk menafsirkan pengalaman dan membuahkan tingkah laku” (Spradly dalam Tjipto, 2009: 83). Dalam pengertian ini budaya merangkum apa yang dilakukan orang, dan barang-barang yang dibuat dan digunakan. Untuk mendiskripsikan budaya dalam perspektif ini, seorang peneliti mungkin berfikir tentang peristiwa dan kemudian menjelaskan peristiwa itu (menjelaskan tingkah laku orang dengan jalan mendiskripsikan apa yang dialaminya). Peneliti Etnografi agar dapat mencapai tujuan perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) Peneliti dituntut memiliki pengetahuan dan dedikasi yang tingi, sebab etnografi diperlukan pengamatan, interaksi dengan responden, atau anggota komunitas tertentu dalam waktu yang relatif lama; (2) Etnografi umumnya tidak tertarik dengan generalisasi seperti pada penelitian psikometrik, tetapi lebih tertarik untuk memotret kondisi apa adanya; (3) Fokus etnografi adalah situasi nyata dan setting secara alamiah di mana orang beraktifitas dan berhubungan sosial dengan anggota masyarakat lainnya; (4) Etnografi menempatkan pada perlunya koleksi dan interpretasi data dari hipotesis yang sudah diterapkan; (5) Etnografi bergerak dari data dalam mencari hipotesis, bukan hipotesis mencari data. Dari hipotesis yang dibangun peneliti, etnografi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Naturalistic Ecological Hypotheses (NEH) dan Qualitative Phenomenological Hypothesis (QHP). Naturalistic Ecological Hypothesis menyatakan bahwa konteks dunia perilaku terjadi pada subjek yang diteliti, memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku subjek tersebut. Sedangkan dalam penelitian Qualitatif Phenomenological Hypothesis lebih mengkonsentrasikan etnografi dibanding dengan psikometrik, karena peneliti lebih percaya bahwa perilaku manusia tidak 20 dapat dimengerti dengan lebih baik tanpa meleburkan diri bersama (incorporating) ke dalam pengamatan persepsi subjek serta sistem kepercayaan diri mereka yang terlibat dalam penelitian. 2. Metode Penelitian Sosiologi a. Metode Statistik Banyak dipakai untuk menunjukkan hubungan atau pengaruh kausalitas serta prasangka pribadi atau sepihak. Penerapan metode ini yang paling sederhana adalah teknik enumerasi (penghitungan). Jawaban pertanyaan responden disusun dalam tabel sehingga diketahui jumlahnya. b. Metode Eksperimen Metode eksperimen dilakukan terhadap dua kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok eksperimen, sedangkan kelompok kedua sebagai kelompok kontrol. Metode ini membandingkan percobaan kedua kelompok tersebut. Dua macam metode eksperimen yaitu eksperimen laboratorium dan eksperimen lapangan. c. Metode Induktif dan Deduktif Metode induktif adalah metode yang digunakan untuk memperoleh kaidah umum dengan mempelajari gejala yang khusus. Adapun metode deduktif adalah metode yang digunakan untuk memperoleh kaidah khusus dengan mempelajari gejala umum. d. Metode Studi Kasus Metode ini digunakan untuk meneliti kebenaran peristiwa tertentu. e. Metode Survei Lapangan Metode ini digunakan untuk memperoleh data yang hanya ada 21 pada kehidupan masyarakat secara langsung dan diperoleh melalui angket, wawancara, atau observasi secara langsung. Persiapan yang dilakukan adalah menentukan populasi yang hendak diteliti sekaligus objek, angket dan bahasa yang dipahami. f. Metode Partisipasi Metode ini digunakan untuk mengadakan penelitian terhadap kepentingan kelompok. Peneliti berbaur dalam kehidupan kelompok sambil melakukan pengamatan atau kegiatan penelitiannya tanpa mengungkapkan identitas sebagai peneliti dan tidak boleh terlibat secara emosional terhadap kelompok yang ditelitinya. g. Metode Empiris dan Rasionalistis Metode empiris menyandarkan diri pada fakta yang ada dalam masyarakat melalui penelitian. Metode rasionalistis mengutamakan pemikiran sehat untuk mencapai pengertian tentang masalah-masalah kemasyarakatan. h. Metode Studi Pustaka Metode studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan mengambil data atau keterangan dari buku literatur di perpustakaan. Kelebihannya adalah memperoleh banyak sumber tanpa perlu biaya, tenaga dan waktu. Akan tetapi dibutuhkan kepandaian peneliti untuk mencari buku yang relevan agar dapat dipakai sebagai sumber perolehan data dalam penelitian tersebut. 22 BAB III SIMPULAN Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan sebagai berikut: Perkembangan sosiologi pendidikan sebagai ilmu pengetahuan dimulai sejak awal abad ke-20 yang merupakan bagian dari sosiologi. Namun sebenarnya sosiologi pendidikan lahir bersamaan dengan munculnya persoalan-persoalan pendidikan yang tidak teratasi. Banyaknya persoalan pendidikan yang tidak teratasi menyebabkan dunia pendidikan mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Kemudian persoalan-persoalan pendidikan diatasi dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Teori Struktural fungsional muncul dilatar belakangi semangat Renaissance pada masa Auguste Comte abad ke-17. Renaissance memunculkan revolusi politik dan perubahan Tataran Nilai. Menghadapi situasi tersebut mendorong dapat melahirkan ilmuwan sosial yang sanggup menciptakan tertib sosial, harmoni dan keseimbangan. Dengan demikian teori struktural fungsional mewarnai munculnya revolusi pengetahuan, terutama filsafat positivisme yang melahirkan ilmu alam. Dari jenis pendidikan yang tersedia yaitu pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal, tampaknya dua dari jenis yang terakhir lebih bisa diandalkan. Pada pendidikan formal dunia pekerjaan dan dunia status lebih mempercayai kepemilikan ijazah untuk naik jabatan dan naik status. Seiring perkembangan, mereka lebih mempercayai kemampuan atau skill daripada menghormati kepemilikan ijazah. Ini yang akhirnya memberi peluang bagi tumbuhnya pendidikan nonformal, yang bisa memberikan keterampilan praktis pragmatis bagi kebutuhan dunia kerja yang berpengaruh pada pencapaian status seseorang. 23 Dalam perspektif lain, dari sisi intelektualitas, orang berpendidikan lebih tinggi derajat sosialnya dalam masyarakat dan biasanya lebih terfokus pada jenjang hasil keluaran pendidikan formal. Makin tinggi sekolahnya makin tinggi tingkat penguasaan ilmunya sehingga dipandang memiliki status yang tinggi dalam masyarakat. Satu-satunya pendidikan sosiologi di Indonesia adalah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) terdapat di Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memiliki program studi Pendidikan Sosiologi. Keputusan membuat Program Studi Pendidikan Sosiologi ini dibuat setelah proses perencanaan selama 4 tahun. Teori Sosial terdiri atas: (1) Teori Fenomenologi; (2) Teori Interaksi Simbolik; (3) Teori Etnografi, sedangkan metode penelitian sosiologi terdiri atas: (1) Metode Statistik; (2) Metode Eksperimen; (3) Metode Induktif dan Deduktif; (4) Metode Studi Kasus; (5) Metode Survei Lapangan; (6) Metode Partisipasi; (7) Metode Empiris dan Rasionalistis; (8) Metode Studi Pustaka. Daftar Pustaka Beilharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bernard Raho.2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka. G. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Mulyana, Deddy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Remaja Rosdakarya, Bandung. Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit Kencana. http://www.scribd.com/doc/35776081/teori-vygotsky (Diakses pada 8 November 2011, pukul 15.37) 24 http://netsains.com/2009/02/pembelajaran-lanjutan-dengan-teori konstruktivis/ (Diakses pada 8 November 2011, pukul 16.58 WIB) http://www.learning-theories.com/vygotskys-social-learning-theory.html (Diakses pada 8 November 2011, pukul 17.47 WIB) Tjipto Subadi, 2009. Sosiologi dan Sosiologi Pendidikan. Kartasura: Fairuz Media-Duta Permata Ilmu. Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi: Sejarah Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: CIRed-Jejak Pena. Veeger, Karel J. 1997. Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama – APTIK. 25