strategi pengembangan dan manajemen kawasan cepat tumbuh

advertisement
STRATEGI PENGEMBANGAN DAN MANAJEMEN KAWASAN CEPAT TUMBUH
Oleh:
Bambang Tata Samiadji*
Konsultan Keuangan Publik. Sekarang bekerja di Kementerian Keuangan untuk kegiatan Local
Government Finance and Governance Reform – ADB/Kemenkeu
Sudah menjadi fenomena umum bahwa pertumbuhan kawasan tidak ada yang sama atau merata.
Pertumbuhan kawasan selalu menunjukkan adanya corak di mana lokasi-lokasi tertentu tumbuh
cepat, tumbuh secara pelan, tumbuh sangat lambat atau stagnan, dan malah ada yang cenderung
merosot atau “deterioration”. Walaupun corak pertumbuhan kawasan-kawasan itu berbeda-beda,
namun saling berkaitan dan bermitra secara keruangan (spatial interaction).
Untuk ini patut diduga bahwa masing-masing kawasan saling menarik (pull) dan mendorong
(push) satu sama lain. Pada gilirannya, kawasan yang memiliki keunggulan akan menjadi
kawasan yang lebih cepat tumbuh dibanding kawasan-kawasan mitranya. Di sinilah perlunya
strategi untuk tetap menjaga posisioning pertumbuhan kawasan-kawasan yang cepat tumbuh agar
tetap tumbuh dalam hubungan ruang yang komplementer dengan kawasan-kawasan lainnya.
Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) selalu berbasis ekonomi dan kota merupakan simpul basis
ekonomi atau kutub (bagian penting) bagi KCT. Sejauh ini belum ada KCT tanpa atribut kota di
dalamnya. Dengan demikian kota menjadi tumpuan bagi berlangsungnya KCT. Namun demikian
tidak semua kota menjadi simpul pertumbuhan kawasan, dan kiranya hanya beberapa simpul
atau kota-kota tertentu yang mampu me-“leverage” pertumbuhan KCT.
Pada umumnya kota demikian itu mempunyai 2 keunggulan, yaitu “Comparative Advantages”
atau keunggulan alamiah - utamanya keunggulan lokasi (yang strategis); dan “Competitive
Advantages” atau keunggulan buatan yang diciptakan. Terbukti sejauh ini bahwa Kawasan
Metropolitan sebagai KCT mempunyai keunggulan lokasi dan keunggulan kelengkapan
prasarana yang mendorong semakin cepatnya tumbuh suatu kawasan.
Potensi Kawasan Cepat Tumbuh (KCT)
Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) mudah dikenali dengan indikator pertumbuhan ekonomi yang
relatif lebih tinggi bahkan di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata nasional. Kalau pertumbuhan
ekonomi rata-rata nasional sekitar 5-7% pertahun, maka KCT diperkirakan bisa tumbuh lebih
dari 7% pertahun, atau bisa sekitar 9% pertahun bersama dengan pertumbuhan ekonomi kota-
kotanya bisa sampai 11% pertahun 1 . Kawasan-kawasan ini umumnya membentuk struktur
Metropolitan yang kita kenal selama ini seperti : Metropolitan Jakarta, Metropolitan Bandung,
Metropolitan Surabaya, Metropolitan Medan, dan Metropolitan Makasar serta beberapa
metropolitan lainnya. Umumnya KCT-KCT tersebut berada di Jawa yang memang sudah sejak
lama sudah tumbuh cepat. Namun belakangan juga telah muncul KCT-KCT baru di Luar Jawa
seperti KCT Batam, KCT Samarinda-Balikpapan, dan KCT Banjarmasin. Ada kemungkinan
kawasan-kawasan lain di Luar Jawa pada masa mendatang menjadi KCT-KCT baru yang
kompetitif. Perkembangan ini akan tergantung pada pengungkitan (Leveraging) “Comparative
Advantages” dan “Competitive Advantages” dari kota-kota bersangkutan.
Sebagai basis dan simpul kegiatan ekonomi, KCT dengan kota-kota utamanya mempunyai peran
penting bagi perekonomian negara antara lain 2. Antara lain sekitar 14 KCT metropolitan, atau
hanya sekitar 3% dari seluruh kota-kota di Indonesia telah mampu menyumbang sekitar 30%
dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Selain itu, KCT Metropolitan juga mempunyai
peranan penting sebagai sumber penerimaan fiskal nasional (APBN). Seperti diketahui bahwa
80% dari APBN berasal dari pajak dan sekitar 70% berasal pajak badan, pajak pribadi, PPN,
pajak final yang kesemuanya bersumber di perkotaan. Diperkirakan 50% dari APBN disumbang
oleh ke-14 KCT-KCT Metropolitan.
Berdasarkan kenyataan di atas, KCT merupakan kunci atau andalan keekonomian nasional dan
oleh karenanya KCT-KCT harus terus ditumbuhkan demi pertumbuhan ekonomi nasional.
Ekonomi nasional yang kuat akan menjamin kestabilan politik dan memberi kesempatan bagi
tumbuhnya sektor lain yang pada gilirannya pula mampu mengangkat kesejahteraan sosial
bersama. Hal ini sesuai dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N)
demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan bersinambungan sehingga
pendapatan perkapita nasional setara dengan Negara-negara maju lainnya (Lampiran UU No 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Namun tak dapat disangkal bahwa kemumpunian pertumbuhan KCT yang mampu mengangkat
perekonomian nasional itu tak bebas dari rundung permasalahan. Diantaranya tingginya
pertumbuhan penduduk terutama akibat migrasi (urbanisasi) seiring dengan pertumbuhan
ekonomi kota. Bertambahnya penduduk sebenarnya mampu mendorong percepatan pertumbuhan
lebih melesat bila kualitas sumber daya manusia itu mumpuni, tetapi sebaliknya akan memburuk
dan menuju kritis bila sebagian besar kualitas penduduk
non-trampil dan parasitis.
Bertumbuhnya jumlah penduduk yang non-trampil dan parasitis ini memungkinkan potensi kota
sebagai basis pertumbuhan ekonomi akan tergerus dan muncul persoalan-persoalan seperti
kemiskinan kota, kesemrawutan mobilitas penduduk, rendahnya pelayanan kepada masyarakat,
1
Hasil penelitian yang dilakukan Penulis dalam Paper yang berjudul “ Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota Sebelum
dan Pasca Krisis”, URDI, 2002.
2
Baca “Ekonomi Perkotaan” dari Bunga Rampai METROPOLITAN DI INDONESIA : KENYATAAN DAN TANTANGAN
DALAM PENATAAN RUANG, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2006
dan kerusakan lingkungan sebagai akibat daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tak
ditingkatkan.
Persoalan lain akibat semakin bertumbuhnya KCT adalah ketimpangan antar daerah di mana di
satu pihak KCT semakin melaju, tetapi kawasan-kawasan lain semakin tertinggal. Ketimpangan
yang semakin melebar akan menciptakan mobilitas penduduk ke KCT-KCT. Akibat lebih jauh
pertumbuhan KCT menjadi sosok kawasan obesitas dan invaliditas yang pada gilirannya bisa
menganggu pertumbuhan ekonomi nasonal itu sendiri.
Persoalan baru yang secara tak langsung sebagai akibat dari butir 1 dan 2 tersebut bahwa KCT
seringkali mendorong semakin membesarnya emisi karbon di kota-kota KCT yang ada.
Dampaknya akan menganggu lingkungan melalui perubahan cuaca yang ekstrem di KCT sendiri
maupun kawasan-kawasan lainnya.
Berdasarkan kajian potensi KCT tersebut telah memberi sinyal bahwa KCT bagaikan pisau
bermata dua, yaitu selain sisi berjasa sebagai pendorong ekonomi nasional maupun sumbangan
yang besar terhadap kemampuan fiskal Negara dan daerah, tetapi sekaligus juga sisi yang
semakin meningkatnya pesoalan-persoalan kritis yang bisa meluas.
Strategi Pengembangan
Sesuai dengan tujuan nasional jangka panjang untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas dan bersinambung, maka strategi pengembangan bisa ditawarkan sebagai berikut :
1. Pengembangan KCT di seluruh Indonesia dilakukan sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN) sehingga KCT menjadi bagian dari pembentukan struktur wilayah
nasional yang harmonis dan pemanfaatan ruang yang optimal sesuai dengan potensi KCT. Boleh
jadi KCT menjadi bagian dari pengembangan Kawasan Strategis di samping kawasan-kawasan
strategis lain yang ada.
2. Menjaga dan semakin memantapkan laju pertumbuhan pada masing-masing KCT maupun
kerja sama antar KCT membentuk jaringan KCT bersinerji mutualistis dalam rangka “forward
looking” pengembangan produk-produk ekonomi unggulan.
3. Mendorong pengembangan ekonomi KCT dengan memanfaatkan basis kawasan-kawasan
buritan (hinterland) sebagai basis rantai pasokan (supply chain). Dengan demikian
pengembangan KCT tidak berjalan sendiri maju ke depan, tetapi juga mampu menarik kawasankawasan buritan untuk ikut maju. Dan dengan demikian percepatan tumbuhnya KCT tidak
meninggalkan posisi kawasan mitra di buritan, tetapi sebaliknya mampu memacu tumbuhnya
KCT-KCT baru dan perluasan jaringan KCT pada masa lebih lanjut.
4. Mengawal pertumbuhan KCT dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan menahan
sebesar mungkin kegiatan-kegiatan pelepasan karbon hasil residu kegiatan ekonomi KCT. Hal
ini untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan produktivitas dengan pelestarian lingkungan
KCT, khususnya di lingkungan perkotaannya.
Melalui keempat strategi tersebut, maka implikasi kemungkinan perkembangannya antara lain
sebagai berikut :
1. Pertumbuhan KCT akan tetap berlangsung dengan kinerja yang lebih produktif sehingga
pertumbuhan itu mampu mendorong pertumbuhan lainnya serta mampu menyerap kelebihan
tenaga kerja dan mengurangi jumlah kemiskinan, khususnya kemiskinan di perkotaan yang terus
bertambah. Implikasi lain yang tak kalah pentingnya bahwa pendorongan pertumbuhan KCT
langsung akan mengangkat laju pertumbuhan ekonomi nasional dan sekaligus juga mampu
memberikan tambahan penerimaan fiskal secara signifikan bagi pemerintah maupun
pemerintahan daerah bersangkutan.
2. Pertumbuhan KCT bisa mendorong terbentuknya struktur tata ruang nasional yang lebih
hierarki dan efisien sehingga lebih mudah pengendaliannya menuju sistem tata ruang yang lebih
kokoh, dinamis dan seimbang antar kawasan.
3. Pertumbuhan KCT akan banyak menuntut perubahan paradigma pembangunan kawasan
yang boleh jadi munculnya banyak inisiatif pengembangan seperti pelibatan swasta dan
masyarakat dalam proses pembangunan kawasan, reformasi birokrasi pemerintahan yang lebih
fokus, perhatian lebih serius pada masalah lingkungan khususnya dampak perubahan iklim, dan
terobosan skim pembiayaan untuk mendanai berbagai kebutuhan percepatan KCT.
4. Munculnya problem ikutan berupa krisis akibat tingginya kebutuhan KCT, khususnya krisis
enerji yang bakal muncul dan marjinalisasi kelompok tertentu, yaitu kelompok tradisional yang
non-trampil atau “outsider” dalam mekanisme percepatan KCT.
Mengingat KCT merupakan fenomena pertumbuhan kawasan dan “exist” bagi pertumbuhan
ekonomi nasional termasuk daerah serta handal sebagai “prime mover” bagi pembentukan
struktur pengembangan wilayah. Namun di pihak lain bisa berpotensi mencuatkan permasalahan
baru yang serius, maka perlu antisipasi berupa langkah kelola yang efektif bagi percepatan
pengembangan KCT. Langkah kelola kelola ini juga untuk mengeliminir dampak-dampak yang
tidak diinginkan. Langkah-langkah tersebut diantaranya:
1. Manajemen KCT
Pengembangan KCT merupakan ranah publik dan dengan demikian merupakan tanggung jawab
Pemerintah untuk mengelolanya melalui sistem kelembagaan. Tata kelola yang perlu dilakukan
tidak harus terbetuknya lembaga baru khusus menangani percepatan KCT, tetapi setidaknya
melalui 3 pendekatan yaitu : (1) Regulasi; (2) Kebijakan Fiskal; dan (3) Bantuan Teknis.
2. Regulasi
Yaitu kebijakan pengembangan KCT melalui penetapan peraturan perundangan. Hal yang
dibutuhkan bahwa KCT adalah bagian integral dari penataan ruang nasional . Oleh karena itu
langkah yang perlu dilakukan adalah :
Pertama perlu penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional. Dengan ketetapan ini, maka
ada landasan bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah pengelolaan percepatan KCT.
Penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis Nasional perlu dirumuskan dalam bentuk Peraturan
Presiden (Perpres) sebagai implementasi Kawasan Strategis Nasional yang didefinisikan dalam
PP Nomer 26 atahun 2008 tentang RTRWN.
Kedua, setelah penetapan KCT sebagai Kawasan Strategis, maka dirumuskan lebih fokus dalam
suatu perencanaan strategis dan pelaksanaannya. Perencanaan dan pelaksanaan pengembangan
KCT tentunya akan melibatkan banyak sektor terkait termasuk dengan pemerintah daerah
bersangkutan. Oleh karenanya perlu ditetapkan secara tegas dalam Instruksi Presiden (Inpres)
tentang pengembangan KCT-KCT masa depan. Dalam Inpres ini tentunya juga memasukkan
aspek-aspek lingkungan (khususnya soal berkaitan dengan emisi karbon) dan efisiensi
pemanfaatan enerji sebagaimana bagian dari strategi.
Ketiga, di tingkat daerah perlu melengkapi langkah-langkah nasional tersebut diantaranya,
penetapan Peraturan Daerah (perda) atau setidaknya Peraturan Kepala Daerah terkait dengan
Perpres dan Inpres yang ada.
3. Kebijakan Fiskal
Yaitu langkah-langkah fiskal atau penganggaran dari APBN di tingkat nasional dan APBD di
tingkat daerah. Langkah-langkah fiskal ini landasannya adalah regulasi yang ditetapkan di atas
dan perundangan yang berlaku, antara lain UU Nomer 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan perundangan tentang Desentralisasi Fiskal yang ada (UU Nomer 33 tahun 2004 yang
sebentar lagi akan direvisi). Kebijakan Fiskal yang perlu dilakukan yaitu :
Pemerintah menganggarkan belanja operasional maupun belanja modal guna memfasilitasi
pengembangan di KCT-KCT yang ditetapkan. Dana-dana ini biasanya dikelola oleh kementerian
atau lembaga terkait untuk dikelola langsung maupun diperbantukan ke daerah-daerah KCT
selain tetap melanjutkan transfer ke daerah oleh Kementerian Keuangan dalam rangka
desentralisasi fiskal. Kebijakan Fiskal melalui langkah-langkah penganggaran ini sangat penting
dan terbukti sangat efektif3.
3
Bukti keefektifan kebijakan fiskal dalam pembangunan adalah penerapan Desentralisasi Fiskal sejak diterapkan
tahun 2000 yang lalu telah berhasil mempertahankan kesenjangan antar daerah untuk tidak semakin timpang
(melalui model Index Williamson). Penelitian dilakukan oleh DR. Hafrizal dalam papernya yang berjudul
“Assessment of the Medium Term Expenditures Framework”, LGFGR (ADB), 2010.
Walaupun Kebijakan Fiskal cukup efektif sebagai stimulus pengembangan kawasan,
bagaimanapun kapasitas fiskal sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan yang sangat besar
bagi pengembangan KCT khususnya kebutuhan investasi. Untuk itu perlu ditetapkan strategi
pengelolaan yang fokus terhadap penggalangan dana dari pihak swasta dan masyarakat sendiri
sesuai dengan peraturan dan perundangan. Strategi pengelolaan dengan melibatkan swasta dan
masyarakat juga terbukti ampuh dan pada kenyataannya peran mereka justru lebih dominan
dalam pembangunan ekonomi kawasan selama ini, termasuk juga pelibatan swasta dalam
pembangunan infrastruktur.
Pemerintah Daerah juga menetapkan program-program strategis bagi KCT di daerahnya
khususnya dalam investasi. Kegiatan investasi ini selain bisa dilakukan secara rutin melalui
Belanja Modal, juga perlu dikembangkannya skim pembiayaan seperti pinjaman daerah baik
pinjaman dari Pemerintah, dari daerah lain, ataupun dari masyarakat berupa Obligasi Daerah.
4. Bantuan Teknik
Bantuan Teknik adalah personal tenaga ahli yang diperbantukan kepada kementerian/lembaga
ataupun kepada daerah. Bantuan ini biasanya didanai oleh Pemerintah dan bisa juga bantuan dari
Negara Donor (Development Partner) berupa technical Assistance. Tugas utama dari personel
tenaga ahli ini kecuali membantu secara teknis kepada kementerian/lembaga atupun daerah,
adalah membantu memecahkan masalah atau hambatan-hambatan di KCT dan pembinaan
“Capacity Building” di Pemerintah maupun pemerintah daerah. Dalam prakteknya, bantuan
Teknis dari Pemerintah itu tidak harus selalu ada. Oleh karenanya keberadaannya harus sesuai
dengan yang dibutuhkan.
5. Peranan “Stakeholder”
Walaupun pengembangan KCT merupakan ranah publik yang ditangani langsung oleh
Pemerintah, yang berkepentingan tidak hanya Pemerintah sendiri, tetapi juga seluruh masyarakat
baik masyarakat pengusaha atau swasta, juga masyarakat umumnya yang selama ini menjadi
subjek pembangunan itu sendiri. Untuk itu perlu ada 2 hal prinsip yaitu : (1) Keterbukaan dan
Transparansi dari Pemerintah, dan (2) Partisipasi masyarakat dan swasta dalam percepatan
pengembangan KCT.
Keterbukaan yang dilakukan oleh Pemerintah utamanya adalah informasi secara terbuka dan
langsung kepada masyarakat tentang rencana, program (dan pendanaan), target (output) dan efek
(outcome)-nya pengembangan KCT serta siapa saja yang terlibat langsung dalam
pengembangannya. Begitu juga perkembangannya secara kuartalan juga disampaikan agar semua
pihak mengetahui dan bisa memberi penilaian baik berupa kesetujuannya, masukan-masukannya,
termasuk juga kritikan yang diperlukan. Distribusi informasi tersebut dilakukan dengan
teknologi yang ada dan mudah di-akses oleh masyarakat baik berupa media cetak maupun
elektronik.
Sedangkan partisipasi masyarakat bisa dilakukan melalui format yang sudah ada baik dalam
proses penganggaran seperti Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang lebih
terarah 4 , juga peningkatan Kerja Sama Pemerintah-Swasta-Masyarakat (Public Private
Partnership) untuk lebih dimasyarakatkan dan dikembangkan peluang sebesar-besarnya. Namun
diakui bahwa partisipasi masyarakat khususnya dalam skala perencanaan yang luas seperti KCT
ini tidak bisa seintensif skala perencanaan kecil seperti pemukiman yang langsung terkait dengan
kepentingannya. Oleh karenanya Pemerintah bersama dengan pemerintah daerah yang harus
aktif dan tidak menunggu inisiatif masyarakat untuk berpartisipasi.
Di antara “stakeholder” lainnya, peranan pemerintah daerah adalah yang sangat utama karena
menyangkut daerah otonomnya dan manfaat serta dampak pengembangan KCT ada di daerah
bersangkutan. Kepentingan daerah ini tidak sendiri, tetapi terkait dengan daerah-daerah mitra
maupun daerah-daerah burit (hinterland). Oleh karenanya kerja sama antar daerah (interregional cooperation) adalah keharusan sebagaimana diatur dalam PP Nomer 50 tahun 2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
Rangkuman
Kawasan Cepat Tumbuh (KCT) adalah kenyataan sebagai fenomena dalam perkembangan
wilayah. Pengaruh ekonomi KCT sangat besar baik kepada keekonomian nasional, keekonomian
masyarakat, bahkan punya pengaruh signifikan terhadap kapasitas fiskal nasional. Sesuai dengan
rencana jangka panjang nasional untuk peningkatan ekonomi yang berkualitas dan
berkesinambungan, maka KCT perlu tetap dikembangkan dan lebih ditumbuhkan. Namun KCT
juga melahirkan banyak dampak, utamanya urbanisasi, ketimpangan antar daerah, dan juga aspek
lingkungan bila tidak dikelola secara strategis dan sistematis.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka KCT selayaknya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis
Nasional secara lebih legalistik melalui penetapan peraturan perundangan yang kemudian diikuti
dengan berbagai komitmen oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, khususnya
pihak swasta di bidang investasi.
4
Selama ini Musrenbang kurang terarah dan mulai kurang diminati oleh masyarakat karena hanya “shopping list”
keinginan tanpa dasar kapasitas anggaran. Reformasi model Musrenbang perlu dilakukan, antara lain
Pemerintah/pemerintah daerah harus mampu menetapkan plafon tentative anggaran bagi kawasan.
Download