DINAMIKA KUALITAS AIR SUNGAI PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAS CISADANE Oleh : DONA SUHMANA A14070090 SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN DONA SUHMANA. Dinamika Kualitas Air Sungai Pada Berbagai Penggunaan Lahan di Sub DAS Cisadane. Dibawah bimbingan Dwi Putro Tejo Baskoro dan Enni Dwi Wahyuni. Sungai Cisadane yang mengalir dari Kabupaten Bogor ke Jakarta melalui Kota Bogor banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan manusia seperti pertanian, perikanan, industri, pariwisata dan juga keperluan rumah tangga. Akibat pemanfaatan sumberdaya air tersebut maka muncul berbagai permasalahan lingkungan diantaranya adalah menurunnya kualitas air. Penurunan kualitas air terutama terjadi pada sungai/alur sungai dengan tingkat kegiatan yang intensif seperti pemukiman kota. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu diadakan pengkajian dan penelaahan terhadap kualitas air Sungai Cisadane. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air sungai Cisadane Bogor. Pengambilan contoh air dilakukan di lima lokasi yang mewakili komposisi penggunaan lahan. Parameter yang diamati meliputi parameter fisika, yaitu suhu dan total padatan tersuspensi (TSS) dan parameter kimia yang meliputi pH, kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), serta kandungan nitrat, fosfat dan timbal. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan data hasil analisis terhadap data standar baku mutu air menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air Cisadane di sekitar hulu cenderung lebih baik dibandingkan di tengah-hilir. Aliran sungai di hulu memiliki kandungan BOD (5.04-7.87 mg/l) dan fosfat (0.01-0.02 mg/l) lebih rendah dibandingkan daerah hilir dengan kandungan BOD (10.17-23.61 mg/l) dan fosfat (0.03-0.07 mg/l). Selain itu, kualitas air sesaat sesudah hujan (debit tinggi) lebih baik yang ditunjukkan dengan nilai suhu dan BOD lebih rendah dibandingkan dengan saat tidak ada hujan (debit rendah). Parameter kualitas air yang memenuhi baku mutu air menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 disemua kelas diantaranya parameter suhu, pH dan fosfat. Parameter TSS dan BOD hanya memenuhi baku mutu air kelas tiga dan empat, sedangkan nitrat dan timbal memenuhi semua kelas baku mutu air hanya di beberapa lokasi penelitian. Kata kunci : kualitas air sungai, penggunaan lahan, Sub DAS Cisadane. SUMMARY DONA SUHMANA. Dynamic of River Water Quality in a Various Landuse at The Upper Watershed Cisadane. Suppervised by Dwi Putro Tejo Baskoro and Enni Dwi Wahyuni. Cisadane river flows from Bogor Regency to Jakarta through to Bogor City. This river is utilized for many kind of human activities like as agriculture, fisheries, industry, tourism and also household activity. The utilization of water resources due to environmental problems such as decreasing of water quality. Decreasing of water quality is mainly happened on the river channel. This condition caused by level of activities (urban sattlements) are intensive. Therefore, the assessment and study of river water quality at Cisadane must be done. This research aimed to identify water quality of bogor cisadane river in variety of landuse from upstream to downstream. In additon, water samples were taken by representative composition of landuse and different types of soil. The parameters were analysed consist two parameters, physical parameter and chemical parameter. The analysis of phisycal parameters were temperature and total dissolved solids (TDS). The analysis of chemical parameters were pH, biochemical oxygen demand (BOD), NO 3 , PO 4 , and Pb. The data were descriptive analyzed by compared the field observation data with the data of water quality standart according PP No. 82/2001 about water quality management and water pollution control. The results showed that the water quality of cisadane in around upstream river tent to better than the midstream to downstream river. BOD and Phosphate content of upstream river were lower than downstream river showed by 5.04 up to 7.87 mg/l BOD and 0.01 up to 0.02 mg phosphate/l in the upstream river, 10.17 up to 23.61 mg/l BOD and 0.03 up to 0.07 mg/l phosphate in the downstream river. In addition, water quality after the rain (high discharge) were better than not rain (low discharge). It showed by parameter of temperature and BOD were lower. Parameters of water quality were appropriate all grade of water quality standart (PPRI No. 82/2001) showed by temperature , pH, and Phosphate parameters. Parameters of TSS and BOD were included into third and fourth grade of water quality standart, meanwhile NO 3 - and Pb were included into all grade of water quality in some research location. Keyword : river water quality, land use, Upper Watershed Cisadane DINAMIKA KUALITAS AIR SUNGAI PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAS CISADANE DONA SUHMANA A14070090 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Dinamika Kualitas Air Pada Berbagai Penggunaan Lahan Di Sub DAS Cisadane Nama : DONA SUHMANA NRP : A14070090 Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr.Ir. Dwi PutroTejo Baskoro,M.Sc NIP .19630126 198703 1 001 Dr.Ir.Enni Dwi Wahyuni,M.Si NIP . 1960330198601 2 001 Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc NIP :19621113198703 1 003 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor, pada tanggal 26 November 1988 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan H.Suhud dan Hj.Mimin Rukmini. Pendidikan formal penulis dimulai sejak tahun 1994 di TK Taman Siswa dan selesai tahun 1995. Kemudian dilanjutkan di SD Taman Siswa pada tahun yang sama dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Bina Insani hingga tahun 2004, kemudian masuk di SMAN 5 Bogor pada tahun 2004 hingga tahun 2007. Pada tahun 2007, Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor Fakultas Pertanian Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama di IPB penulis aktif di Himpro HMIT (Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah) sebagai anggota PSDM periode 2009-2010 dan aktif sebagai anggota Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) Azimuth angkatan 15. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten praktikum pada Mata Kuliah Fisika Tanah pada periode 2010/2011, Pengantar Ilmu Tanah dan Morfologi Tanah 2011, serta pernah melakukan survei tanah ke Papua-Nabire, NTT-Flores, dan Kalimantan-Binuang. Selama menjadi mahasiswa penulis mendapatkan beasiswa BBM periode 2010 oleh IPB. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Dinamika Kualitas Air Sungai Pada Berbagai Penggunaan Lahan Di Sub DAS Cisadane”. KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Dinamika Kualitas Air Sungai Pada Berbagai Penggunaan Lahan Di Sub DAS Cisadane”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Dwi Putro Tedjo Baskoro, M.Sc selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan, arahan dan motivasi selama penyusunan skripsi dan berlangsungnya kegiatan akademik. 2. Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, M.Si selaku pembimbing II. Terima kasih atas pengarahan teknis selama proses penelitian, bimbingan, dan masukan selama penyusunan skripsi. 3. Ir. Wahyu Purwakusuma, M.Sc. Selaku penguji atas saran dan arahan untuk penyusunan skripsi. 4. Keluargaku yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, semangat dan doa kepada penulis. 5. Evi dan Bro Family atas bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis. 6. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak lain. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Bogor, Maret 2012 Dona Suhmana ii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1 1.2. Tujuan ............................................................................................................. 2 1.3. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai dan Daerah Aliran Sungai ................................................................... 3 2.2. Kualitas Air ..................................................................................................... 5 2.2.1. Parameter Kualitas Air ................................................................................. 5 2.2.1.1. Parameter Fisika ........................................................................................ 5 2.2.1.2. Parameter Kimia........................................................................................ 7 2.2.1.3. Parameter Biologi ..................................................................................... 9 2.2.2. Kriteria dan Baku Mutu Air ........................................................................ 10 2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Air ........................... ....................... 11 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................................... 14 3.2. Bahan dan Alat ............................................................................................... 14 3.3. Pelaksanaan Penelitian ................................................................................... 14 3.3.1. Penetapan Lokasi ........................................................................................ 14 3.3.2. Pengambilan Contoh Air ............................................................................. 16 3.3.3. Analisis Sifat-Sifat Air ................................................................................ 17 iii 3.3.4. Analisis Data ............................................................................................... 18 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ................................................................. 19 4.1.1. Jaringan Sungai ........................................................................................... 19 4.1.2. Jenis Tanah .................................................................................................. 19 4.1.3. Tata Guna Lahan ......................................................................................... 22 4.2. Kualitas Air .................................................................................................... 24 4.2.1. Parameter Fisika .......................................................................................... 24 4.2.2. Parameter Kimia.......................................................................................... 27 4.3. Baku Mutu Air ............................................................................................... 34 BAB V. KESIMPULAN 5.1. Kesimpulan .................................................................................................... 38 5.2. Saran ............................................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 39 LAMPIRAN .......................................................................................................... 43 iv DAFTAR TABEL No. 1. Halaman Parameter sifat-sifat fisik dan kimia air yang diamati beserta metode/ alat yang digunakan (APHA,1998) dan tempat analisis/pengamatan .......... 18 2. Luasan Satuan Peta Tanah Sub DAS Cisadane Hulu .................................. 19 3. Komposisi jenis tanah pada tiap titik pengamatan kualitas air .................... 21 4. Jenis penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane............................................ 23 5. Komposisi penggunaan lahan dalam radius 100 m dri sungai di tiap lokasi pengambilan contoh air ................................................................................24 6. Hasil analisis parameter kualitas air terhadap baku mutu air PP No.82 tahun 2001 ................................................................................... 35 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Situasi pengambilan contoh air di lokasi penelitian..................................... 15 2. Peta lokasi pengambilan contoh air ............................................................. 17 3. Peta jenis tanah di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane Hulu, Bogor .................................................................. 20 4. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane, Bogor ........................................................................... 22 5. Nilai suhu pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor .............................. 25 6. Nilai TSS pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor............................... 26 7. Nilai pH pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor................................. 28 8. Nilai BOD pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor ............................. 29 9. Nilai nitrat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor ............................. 30 10. Nilai fosfat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor ............................ 31 11. Nilai timbal pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor ........................... 33 v DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 ......... 44 2. Data hasil pengukuran parameter fisika-kimia sungai di lima lokasi .......... 46 3. Data curah hujan daerah Srogol, Cibalung dan Pamoyanan, Stasiun Pondok Gede Bogor (Sumber: BMKG, 2011) ................................ 49 4. Data curah hujan daerah Mulyaharja dan Empang, Stasiun Empang Bogor (Sumber: BMKG, 2011) ........................................ 51 I. 1.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Sungai merupakan salah satu sumberdaya air berupa perairan umum yang mengalir secara terus menerus dengan arah tertentu menuju ke hilir. Sungai seringkali dimanfaatkan untuk berbagai macam aktifitas manusia seperti pertanian, perikanan, industri, pariwisata dan juga keperluan rumah tangga. Pemanfaatan sumberdaya air tersebut berpotensi menghasilkan limbah yang dapat merusak perairan, sehingga menimbulkan permasalahan yang dapat menurunkan kualitas air sungai. Permasalahan yang dapat menurunkan kualitas air sungai diantaranya adalah pemanfaatan lahan untuk pertanian, pemukiman, industri maupun kebutuhan mandi cuci kakus (MCK) di kawasan sekitar sungai. Pemanfaatan tersebut secara langsung dan tidak langsung memberikan dampak negatif seperti adanya bau, perubahan warna air sungai menjadi coklat atau hijau yang dapat merusak keseimbangan ekosistem air. Sebagian besar sungai di wilayah Bogor telah mengalami pencemaran akibat pemanfaatan sumberdaya air (PUSDI-PSL IPB, 1979 dalam Ben et al., 1994). Salah satunya yaitu Sungai Cisadane. Sungai Cisadane berasal dari kaki Gunung Pangrango, Kabupaten Bogor, mengalir melalui Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota Tangerang dan bermuara di laut Jawa. Pada daerah hulu Sungai Cisadane banyak ditemukan hutan serta sedikit dijumpai pemukiman. Salah satu fungsi hutan sebagai tempat persapan air melalui akar tanaman. Akar tanaman menyerap air untuk proses fotosintesis yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Selain itu, dengan adanya penyerapan air oleh akar tanaman maka aliran permukaan (run-off) yang dihasilkan oleh jatuhnya air hujan dapat diminimalisir, sehingga erosi dapat dihindari. Peristiwa erosi dapat menyebabkan penurunan kualitas air sungai karena sungai memperoleh bahan-bahan sedimen (bahan terlarut maupun bahan tersuspensi). Daerah hilir telah mengalami alih fungsi lahan akibat kebutuhan ekonomi manusia. Perubahan penggunaan lahan seperti penggunaan lahan vegetasi ke nonvegetasi disinyalir dapat mempengaruhi proses penyerapan air oleh tanaman. Dampak 1 Perubahan aktifitas penggunaan lahan tersebut dapat menurunkan kualitas air sungai, karena aliran permukaan mengalir begitu saja tanpa diiringi penyerapan air oleh tanaman. Sehubungan dengan hal-hal tersebut, maka perlu diadakan pengkajian dan penelaahan terhadap kualitas air Sungai Cisadane dari hulu sampai ke hilir mengingat keberadaan sungai ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas air Cisadane hulu pada berbagai penggunaan lahan saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi). 1.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian bermanfaat untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pengolah air khususnya air baku menjadi air bersih, serta sebagai data awal/pembanding bagi evaluasi perubahan kualitas air Cisadane setelah 2011. 2 II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Sungai dan Daerah Aliran Sungai Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir.. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang dengan kecepatan 0,1-1,0 m/s, serta dipengaruhi oleh waktu, iklim dan pola drainase (Effendi, 2003). Menurut Wetzel (2001) sungai mentransportasikan bahan-bahan yang tererosi (terlarut maupun tersuspensi) dalam jumlah yang sangat besar dari lahan bagian atas menuju dataran yang lebih rendah dan akhirnya bermuara di lautan. Dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS) terdapat berbagai macam penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, perikanan, industri, dan sebagainya (Manan, 1997). Sungai Cisadane adalah salah satu sungai besar di Jawa Barat yang mengalir dari kaki Gunung Salak dan Gunung Pangrango di Kabupaten Bogor melalui kota Bogor dan Tanggerang sejauh 80 km dan bermuara di pantai utara Jawa di daerah Tanjung Burung, Kabupaten Tanggerang. Daerah aliran sungainya seluas 1100 km2, yang mencakup dua propinsi yakni Jawa Barat dan Banten (TKCM, 2005). Sungai merupakan perairan yang tidak dapat dipisahkan, setiap campur tangan dan tindakan manusia di bagian tertentu akan mempengaruhi bagian sungai lainnya. Jadi, sebuah DAS atau Sub DAS dapat dipandang sebagai sebuah ekosistem dimana terdapat masukan berupa curah hujan dan keluaran berupa aliran sungai. Berdasarkan faktor ekologi secara garis besar sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian (Reid, 1961), yaitu: 1. Sungai bagian hulu. Pada bagian ini gradient/kemiringan dasar sungai cukup besar sehingga air bergerak dengan arus yang cepat. Substrat dasar pada bagian ini umumnya terdiri dari bebatuan dan kerikil, namun pada bagian dimana arusnya cukup pelan (pools) ditemukan juga substrat pasir dan detritus organik dalam jumlah yang sedikit. 2. Sungai bagian tengah. Pada bagian ini gradient/kemiringan dasar sungai tidak terlalu besar sehingga air bergerak dengan arus yang lebih pelan dibandingkan pada 3 bagian hulu. Substrat dasar pada sungai bagian ini umumnya didominasi oleh material kasar seperti pasir, sedangkan lumpur hanya ditemukan pada bagian sungai yang sedikit tergenang (pools) dan pinggiran sungai. 3. Sungai bagian hilir. Bagian ini terletak dekat mulut sungai. Substrat dasar umumnya terdiri dari lumpur dan detritus organik. Batas garis pantai pada bagian ini tidaklah jelas karena sungai memiliki daerah dataran banjir yang luas, sungai pada bagian ini ditandai oleh adanya semak-semak dan rawa. Perairan sungai pada setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda beda, salah satunya berdasarkan kecepatan arusnya. Adapun pola-pola aliran sungai terdiri dari tiga macam (Reid, 1961), yaitu : 1. Aliran laminar Aliran yang tingkat kecepatan arusnya lambat, biasanya terdapat pada saluran-saluran kecil yang dangkal dan bersubstrat lumpur. 2. Aliran turbulent Aliran yang tingkat kecepatan arusnya berada di atas rata-rata, biasanya ditemukan pada sungai-sungai yang besar dan bersubstrat batu. 3. Aliran shot atau jet Aliran yang tingkat kecepatan arusnya sangat tinggi dan merupakan gabungan dari aliran turbulent, contohnya air terjun. Sungai juga mempunyai pola tersendiri yang terbentuk secara alamiah dan menurut Reid (1961) pola-pola sungai tersebut adalah : 1. Pola trellis Percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus, sungai-sungai utama sejajar atau hampir sejajar. Berkembang di batuan sedimen terlipat atau terungkit dengan litologi yang berselang-seling antara yang lunak dan resisten. 4 2. Pola dendritic Seperti percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan arah dan sudut yang beragam. 3. Pola paralel Anak sungai utama saling sejajar atau hampir sejajar, bermuara pada sungai-sungai utama dengan sudut lancip atau langsung bermuara ke laut. 4. Pola radial Pola sungai ini terjadi ketika aliran sungai berasal dari suatu wilayah yang simetris tinggi. 2.2. Kualitas Air Kualitas air merupakan sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain dalam air. Kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter kualitas air yang meliputi parameter fisika seperti suhu, kekeruhan, padatan terlarut, dan sebagainya; parameter kimia yang mencakup pH, oksigen terlarut, BOD, kadar logam-logam dan lain-lain; parameter mikrobiologi meliputi keberadaan plankton, bakteri dan sebagainya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1990). Adapun menurut Rusyati (1999), parameter fisika yang penting adalah suhu, kekeruhan, kecerahan dan turbiditas, muatan padatan tersuspensi (MPT), total padatan terlarut (TDS), daya hantar listrik, bau dan warna. Sedangkan parameter kimia yang penting adalah pH, alkalinitas, salinitas, oksigen terlarut, BOD (Biochenical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), CO2 bebas, kandungan nitrit, nitrat dan amonia, kandungan fospat, kandungan bebagai jenis logam dan logam berat. Parameter biologis yang penting meliputi bakteri Coliform total dan Coliform tinja. 2.2.1. Parameter Kualitas Air 2.2.1.1. Parameter Fisika Suhu. Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya penyinaran matahari, pertukaran panas 5 antara air dengan udara disekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi). Moriber (1974) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan penurunan daya larut oksigen dan juga akan menaikan daya racun polutan terhadap organisme perairan. Suhu juga dipengaruhi oleh topografi, pada bagian hulu sungai suhunya lebih rendah dibandingkan dengan suhu di bagian hilir (Saeni, 1989). Suhu normal air di alam (tropis) sekitar 20oC - 30oC (Suripin, 2002). Air sering digunakan sebagai medium pendingin dalam berbagai proses industri. Air pendingin tersebut setelah digunakan akan mendapatkan panas dari bahan yang didinginkan, kemudian dikembalikan ketempat asalnya yaitu sungai atau sumber air lainnya. Air buangan tersebut mungkin mempunyai suhu yang lebih tinggi daripada air asalnya (Fardiaz 1992). Total Padatan Tersuspensi (TSS). TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan melalui dua cara. Pertama, menghalangi dan mengurangi penentrasi cahaya ke dalam badan air, sehingga mengahambat proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kondisi ini akan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Kedua, secara langsung TSS yang tinggi dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. 6 2.2.1.2. Parameter Kimia pH. Nilai pH didefinisikan sebagai logaritma negatif dari ion hidrogen bebas (Wetzel, 2001). Nilai pH air alami ditentukan oleh besarnya interaksi ion H+ dari pelepasan H2CO3 dan dari ion OH- yang dihasilkan dari hidrolisis bikarbonat. Oksidasi dari batu pirit dan tanah pada badan sungai dapat menghasilkan asam sulfur dan dapat menurunkan nilai pH perairan (Wetzel, 2001). Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi, makin ke hilir pH air akan menurun menuju suasana asam, hal ini disebabkan oleh adanya penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang akan membebaskan CO2 jika terurai (Sastrawijaya, 1991). Biochemical Oxygen Demand (BOD). Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air dalam waktu lima hari. Nilai BOD yang besar menunjukkan aktivitas organisme yang semakin tinggi dalam menguraikan bahan organik. Nilai BOD yang tinggi menunjukkan penurunan kualitas perairan (APHA, 1989). Nilai BOD tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz, 1992). Makin besar nilai BOD, menunjukkan makin besarnya aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik. Nilai BOD yang besar tidak baik bagi kehidupan organisme perairan. Perairan alami yang baik untuk perikanan memiliki nilai BOD berkisar antara 0,5-7,0 mg/l dan perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). BOD ini diukur dengan menghitung jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh mikroorganisme dalam proses oksidasi bahan organik secara biokimia selama lima hari pada suhu inkubasi 200C. Nitrat. Senyawa nitrogen di dalam perairan terdapat dalam bentuk terlarut atau tersuspensi. Senyawa tersebut sangat penting dalam reaksi biologis suatu perairan (Goldman and Horne,1983). Jenis nitrogen anorganik utama dalam air 7 adalah ion nitrat (NO3), nitrit (NO2), dan amoniak (NH3), sedangkan nitrogen organik merupakan komponen terbesar dari total nitrogen dalam air yang berasal dari berbagai jenis limbah yang dapat mengakibatkan pertumbuhan ganggang dengan cepat (Yuristria, 1994). Sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari limbah pertanian dan perkebunan yang menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan dan juga berasal dari kegiatan domestik (Effendi, 2003). Fosfat. Fosfat adalah bentuk persenyawaan fosfor yang berperan penting dalam menunjang kehidupan organisme akuatik. Secara alami fosfat dalam perairan berasal dari pelapukan batuan dan mineral. Dalam air laut sendiri terdapat dalam bentuk organik dan anorganik yang berasal dari beberapa surnber, antara lain dekomposisi bahan organik (Jeffries dan Mills 1996). Fosfat dalam aliran sungai antara lain berasal dari buangan domestik dan industri yang menggunakan deterjen berbahan dasar fosfat, yaitu industri tekstil, jasa komersial pencucian, pewarnaan, industri kosmetik, industri logam dan sebagainya. Fosfat dalam deterjen berfungsi sebagai bahan pengisi untuk mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang sedang dicuci. Penggunaan deterjen tersebut pada akhirnya akan mempercepat bertambahnya konsentrasi fosfat dalam badan air buangannya sehingga memicu pertumbuhan algae (Paytan and McLaughlin 2007). Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permulaan air yang akan menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan. Menurut penelitian Hendersen dan Markland dalam Garno (1994) 50 % fosfat yang terdapat dalam air buangan di perairan Inggris berasal dari beberapa surnber, presentase paling tinggi berasal dari deterjen. Kehadiran fosfat dalam air menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air, misalnya terjadinya eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrien yang berlebihan ke dalam ekosistem air. 8 Timbal (Pb). Timbal mempunyai berat atom 207,21; berat jenis 11,34; bersifat lunak serta berwarna biru atau silver abu-abu dengan kilau logam, nomor atom 82 mempunyai titik leleh 327,4 ºC dan titik didih 1.620 ºC. Timbal termasuk logam berat ”heavy metals” karena mempunyai berat jenis lebih dari lima kali berat jenis air. Bentuk kimia senyawa Pb yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan terbuang bersama bahan sisa metabolisme. Timbal adalah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu - batuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Timbal 95% bersifat anorganik dan pada umumnya dalam bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk timbal organik. Timbal organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetra Ethyl Lead (TEL) dan Tetra Methyl Lead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik misalnya dalam lipid. Waktu keberadaan timbal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin dan curah hujan. Timbal tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Selain itu, timbal merupakan sebuah unsur maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan (Palar, 2004). Timbal banyak dimanfaatkan oleh kehidupan manusia seperti sebagai bahan pembuat baterai, amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit/CB untuk komputer) untuk campuran minyak bahan-bahan untuk meningkatkan nilai oktan. Konsentrasi timbal di lingkungan tergantung pada tingkat aktivitas manusia, misalnya di daerah industri, di jalan raya, dan tempat pembuangan sampah. Timbal banyak ditemukan di berbagai lingkungan maka timbal dapat memasuki tubuh melalui udara, air minum, makanan yang dimakan dan tanah pertanian. 2.2.1.3. Parameter Biologi Fecal Coli dan Total Koliform. James dan Evison (1979) dalam Taufik (2003) menyatakan bahwa banyak parameter mikrobiologi yang dapat digunakan 9 untuk mengetahui kualitas air, sebagai contoh : jumlah total virus bakteri, bacteriophages, jamur (fungi), actinomycetes, protozoa, nemathoda dan alga. Namun untuk kemudahan, kecepatan dan ketepatan pada tes maka bakteri telah dihilangkan dalam penelaahan kualitas air. Oleh sebab itu, banyak metode standar dalam penelaahan kualitas air dipersempit pada jumlah maksimum dari indikator bakteri sebagai limbah fecal ( koliform, fecal koliform/Escherichia coli, fecal streptococcus dan Clostridium pertringeus). Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 air dengan kelas I maksimal mengandung fecal coliform 100 jml/100 ml, kelas II maksimal 1000 jml/100 ml, kelas III dan IV 2000 jml/100 ml. 2.2.2. Kriteria dan Baku Mutu Air Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001). Baku mutu air ditetapkan pemerintah berdasarkan peraturan perundangundangan dengan mencantumkan pembatasan konsentrasi dari berbagai parameter kualitas air. Baku mutu air berlaku untuk lingkungan perairan suatu badan air, sedangkan baku mutu limbah berlaku untuk limbah cair yang masuk ke perairan (Widiastuty, 2001). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 air diklasifikasikan ke dalam empat kelas, yaitu : Kelas Satu : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kelas Dua : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 10 Kelas tiga : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk membudidayakan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau untuk keperluan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kelas empat : Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama. 2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Air Pencemaran Air. Pencemaran air dapat diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat atau energi, dan komponen lain ke dalam air atau berubahnya tatanan (komposisi) air oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988). Ada tiga penyebab utama tercemarnya badan air, yaitu (1) peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan peningkatan ekonomi dan taraf hidup masyarakat, (2) terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti buangan limbahnya, (3) rendahnya investasi sosial ekonomi dan sosial budaya untuk memperbaiki lingkungan hidup, seperti investasi untuk pembuatan sanitasi dan keperluan lain (Brown, 1987). Menurut Hynes (1972) ada dua jenis sumber pencemar perairan, yaitu point source dan non point source. Point source adalah pencemaran yang dapat diketahui secara pasti sumbernya, misalnya limbah industri, sedangkan non point source adalah pencemaran yang tidak diketahui secara pasti sumbernya, yaitu pencemar yang masuk ke perairan bersama air hujan dan limpasan permukaan. Tata Guna Lahan. Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitas 11 penduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup (As-syakur dkk., 2010). Menurut Viessman et al., (1977), dalam Taufik (2003), perubahan penutupan lahan memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap aliran sungai dan karakteristik aliran permukaan DAS. Perubahan penutupan lahan akan mempengaruhi kapasitas infiltrasi tanah dan perubahan penggunaan lahan yang merubah sifat atau ciri vegetasi dapat memberikan dampak penting waktu dan volume aliran. Perubahan penggunaan lahan dapat meningkatkan atau menurunkan volume aliran permukaan serta laju maksimum dan waktu aliran suatu DAS. Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dengan pengelolaan vegetasi atau tata guna lahan adalah agar DAS secara keseluruhan dapat berperan atau memberikan manfaat sebesar-besarnya secara lestari bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup serta kesejahteraannya, sehingga selain dapat menampung perkembangan dan dinamika kegiatan ekonomi masyarakat setempat maka pengelolaan tersebut diharapkan dapat mengantisipasi permasalahan yang mungkin terjadi. Menurut Mahmudi (2002), kegiatan tata guna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutupan lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air, perubahan dari suatu jenis vegetasi ke jenis vegetasi lainnya adalah umum dalam pengelolaan sumberdaya alam. Penebangan hutan, perladangan berpindah, atau perubahan tata guna lahan hutan menjadi areal pertanian, padang rumput atau pemukiman adalah contoh yang sering dijumpai di daerah-daerah yang sedang tumbuh. Terjadinya perubahan tata guna lahan dan jenis vegetasi tersebut dalam skala besar dan bersifat permanen akan mempengaruhi besar kecilnya air pada sistem hidrologi. Perubahan atau perkembangan pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami antara lain tanah, air, iklim, pola musim dan land form, erosi dan kemiringan lahan. Faktor manusia berpengaruh lebih dominan dibanding faktor alami dan dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh luar seperti kebijakan nasional dan internasional. Pengaruh penggunaan lahan terhadap aliran sungai utama erat kaitannya dengan fungsi vegetasi sebagai penutup lahan dan sumber bahan organik 12 yang dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi. Disamping itu, secara fisik vegetasi akan menahan aliran permukaan dan meningkatkan surface detention dan depression storage (simpangan permukaan) sehingga menurunkan besar aliran sungai. Manan (1997) mengemukakan, keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang tinggi. Luasan hutan dan perlakuan yang dilakukan dalam pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang dihasilkan. Selain itu, perubahan lahan menjadi daerah pemukiman cenderung mengakibatkan dampak negatif, khususnya bila ditinjau dari laju erosi. Pada lahan terbuka terjadinya erosi tanah akan semakin tinggi, karena permukaan tanah yang tidak terlindung akan mengakibatkan air hujan yang jatuh ke tanah akan menggerus permukaan tanah lalu membawa hasil gerusan ke dalam badan perairan sehingga mutu perairan berubah. 13 III. 3.1. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus – Oktober 2011 di Sub DAS Cisadane hulu (Gambar 2). Analisis contoh air dilakukan di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup - Institut Pertanian Bogor (PPLH-IPB) dan laboratorium fisikakimia Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) IPB. 3.2. Bahan dan Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol sampel, GPS (Global Positioning System), termometer, kertas lakmus, spidol, kertas label, serta alat-alat untuk mengukur kualitas air di lapangan, sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis air di laboratorium adalah : aquades, dan bahan-bahan kimia lainnya yang sesuai dengan kebutuhan analisis. Alat yang digunakan antara lain oven, pipet, tabung reaksi, labu takar, timbangan sartorius, AAS, Spektrofotometer dan lain-lain. 3.3. Pelaksanaan Penelitian 3.3.1. Penetapan Lokasi Penetapan lokasi pengambilan contoh air dilakukan berdasarkan komposisi jenis tanah dan penggunaan lahan yang berbeda dari hulu ke hilir, yaitu tepatnya di Desa Srogol, Cibalung, Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang. Deskripsi lokasi pengambilan contoh air yaitu sebagai berikut : 1. Lokasi Srogol Lokasi penelitian yang pertama yaitu pada ketinggian 525 m diatas permukaan laut (dpl), di daerah Srogol (106049’35,3”BT – 06044’56,1”LS), tepatnya di Kampung Pangarakan, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor (Gambar 2a). Lokasi ini merupakan daerah hulu Sungai Cisadane, rumah penduduk masih sedikit dan terdapat hutan, persawahan, pohon kelapa, pisang, dan bambu di sekitarnya. Gambar 1 menunjukkan situasi pengambilan contoh air di lokasi penelitian. 14 a. b. c. d. e. Gambar 1. Situasi daerah pengamatan a. Srogol, b. Cibalung, c. Pamoyanan, d. Mulyaharja, dan e. Empang, Bogor. 2. Lokasi Cibalung Lokasi kedua yaitu berada pada ketinggian 416 m dpl, tepatnya di Desa Cibalung (106048’85,9”BT – 06041’94,4”LS), Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor (Gambar 2b). Pada lokasi ini terdapat persawahan, pemukiman dan beberapa villa di sekitarnya. 15 3. Lokasi Pamoyanan Lokasi ketiga berada berada di Pamoyanan (106048’61,8”BT –06038’26,6”LS), dengan ketinggian tempat 333 m dpl, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor (Gambar 2c). Pada lokasi ini berdekatan dengan peternakan ayam dan pemukiman cukup padat. 4. Lokasi Mulyaharja Lokasi keempat berada di Bogor Nirwana Residen (BNR) (106047’91,3”BT – 06037’11,6”LS), tepatnya di Desa Mulyaharja, Kabupaten Bogor (Gambar 2d). Lokasi ini berada pada ketinggian 275 m dpl. Pada lokasi ini dijumpai ladang dan perumahan-perumahan. 5. Lokasi Empang Lokasi terakhir yaitu berada pada ketinggian 273 m dpl, tepatnya di (106047’67,4”BT – 06036’67,9”LS), Kecamatan Taman Sari, Kota Bogor (Gambar 2e). Pada lokasi ini terdapat pemukiman yang padat, berdekatan dengan pasar tumpah dan pembuangan sampah serta kegiatan mandi cuci dan kakus (MCK). 3.3.2. Pengambilan Contoh Air Pengambilan contoh air pada lokasi terpilih dilakukan dua kali yang mewakili debit rendah dan tinggi. Pengambilan contoh air sungai ketika debit rendah dilakukan saat tidak ada hujan yaitu tanggal 26 juli 2011. Disamping itu, diketahui bahwa cuaca enam hari berturut-turut sebelum dilakukan pengamatan dalam keadaan debit rendah atau tidak ada hujan (Sumber: BMKG, 2011). Selanjutnya, pengambilan contoh air ketika debit tinggi dilakukan pada tanggal 8 oktober 2011 yaitu sesaat sesudah hujan dengan data curah hujan 6.2 mm. Menurut Stasiun Pondok Gede Bogor, dua hari sebelum dilakukan pengamatan telah terjadi hujan dengan besaran curah hujan 16.5 dan 30 mm (Sumber: BMKG, 2011). Contoh air yang diambil di tiap lokasi pengamatan sebanyak kurang lebih 1.5 L. Kemudian, contoh air dianalisis terhadap sifat-sifat fisika dan kimianya. Peta lokasi pengambilan contoh air ditunjukkan pada Gambar 2. 16 Gambar 2. Peta lokasi pengambilan contoh air 3.3.3. Analisis Sifat-Sifat Air Parameter kualitas air yang diamati yaitu parameter fisika dan kimia. Parameter fisika meliputi suhu dan total padatan tersuspensi (TSS), sedangkan parameter kimia meliputi pH, kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD), nitrat (NO3), fosfat (PO4) dan timbal (Pb). Analisis contoh air dilakukan di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB dan Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Parameter sifat-sifat fisik dan kimia air yang diamati beserta metode/alat yang digunakan berdasarkan Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater (APHA, 1998) seperti disajikan pada Tabel 1. 17 Tabel 1. Parameter sifat-sifat fisik dan kimia air yang diamati beserta metode/alat yang digunakan (APHA,1998) dan tempat analisis/pengamatan. Parameter Unit Alat/Metode Tempat Suhu 0 Thermometer/Pemuaian Lapang TSS mg/l Filter/Gravimetrik Lab. pH - pH meter,Lakmus/Potensiometrik Lapang BOD mg/l Buret/Modifikasi Winkler dan Inkubasi Lab. Nitrat mg/l N-Kjehdahl Lab. Fosfat mg/l Spectronic 20 Lab. Timbal mg/l AAS Lab. Fisika C Kimia 3.3.4. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan data pengamatan terhadap data standar baku mutu air menurut PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. 18 IV. 4.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Jaringan Sungai Sungai Cisadane berhulu di Gunung Pangrango dan mengalir dari selatan menuju utara melewati Kabupaten Bogor (Kecamatan Nanggung, Caringin, Cijeruk, Ciomas, Ciampea, Rumpin, dan Cilangkap), Kabupaten Tangerang dan akhirnya bermuara di laut Jawa (Arwindrasti, 1997). Panjang Sungai Cisadane sekitar 140 km (PUSDI-PSL IPB, 1979 dalam Ben et al., 1994). Sungai Cisadane merupakan sungai permanen, artinya sungai yang selalu berair sepanjang tahun. Sungai ini memiliki pola anak sungai dendritik Lahan di sepanjang aliran Sungai Cisadane tersebut banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai aktivitas (Reid, 1961). 4.1.2. Jenis tanah Tanah di Sub DAS Cisadane hulu bervariasi, yang terdiri dari tujuh jenis tanah. Ketujuh jenis tanah ini membentuk delapan Satuan Peta Tanah (SPT) Luasan SPT pada lokasi penelitian tersaji pada Tabel 2, dan peta jenis tanah di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane Hulu disajikan pada Gambar 3. Tabel 2. Luasan Satuan Peta Tanah Sub DAS Cisadane Hulu SPT Jenis Tanah Luas (Ha) % 1 Andic Humitropepts 4501 19,62 2 Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 7591 33,10 3 Asosiasi Typic Humitropepts-Typic Eutropepts 403 1,76 4 Asosiasi Typic Tropopsamments-Andic Humitropep 3725 16,24 5 Kompleks Typic Troporthents-Typic Fluvaquents 1683 7,34 6 Typic Eutropepts 1998 8,71 7 Typic Humitropepts 2487 10,84 8 Typic Tropopsamments 549 2,40 22937 100 Total Sumber : Hasil dan analisis peta tanah 1 : 100.000 DAS Cisadane, Puslittanak (1992) diolah. 19 Gambar 3. Peta jenis tanah di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane Hulu, Bogor. Satuan Peta Tanah yang dominan pada Sub DAS Cisadane hulu adalah asosiasi Typic Hapludands (Andosol Coklat dan Andosol Kekuningan)- Typic Tropopsamments (Regosol Coklat dan Regosol Kekelabuan) yang memiliki luasan 33.10 persen dari total wilayah Sub DAS Cisadane. Tabel 3 menunjukkan komposisi jenis tanah pada tiap daerah tangkapan air. Typic Hapludands (Andosol Coklat dan Andosol Kekuningan) terbentuk dari tuf dan abu volkan intermedier. Tanah telah mempunyai perkembangan profil lemah, penampang tanah sedang sampai sangat dalam, lapisan atas kaya bahan organik berwarna coklat gelap sampai coklat kekuningan, tekstur sedang sampai agak kasar berpasir semu (pseudosand) dan berbatu. Lapisan bawah berwarna coklat hingga coklat kekuningan, struktur lemah granular, konsistensi smeary atau licin diantara jari-jari tangan, merupakan ciri utama pada tanah ini. Tingkat kesuburan cukup baik, terutama yang bertekstur sedang. 20 Typic Tropopsamments (Regosol Coklat dan Regosol Kekelabuan) terbentuk dari endapan lahar terdiri dari abu dan pasir. Kedalaman tanah sedang sampai dalam, tekstur kasar (pasir, kerikil, dan batu). Tingkat kesuburan sedang. Jenis tanah ini sering dijumpai berasosiasi dengan tanah Latosol dan Andosol. Typic Troporthents (Aluvial Coklat Kekelabuan) merupakan jenis tanah yang belum mengalami perkembangan struktur, terbentuk dari bahan endapan volkan muda terdiri dari abu, pasir, batu, tuf volkan atau campurannya. Penampang tanah bervariasi dari dalam sampai dangkal. Typic Fluvaquents (Aluvial Kelabu) belum mengalami perkembangan struktur, terbentuk dari bahan alluvium yang terdiri dari endapan liat, debu dan pasir atau campurannya. Penampang tanah berlapis dengan kedalaman bervariasi. Umumnya tanah ini berpotensi cukup baik untuk persawahan. Tanah ini setara dengan Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan. Tabel 3. Komposisi jenis tanah pada tiap titik pengamatan kualitas air. Titik Komposisi Total Jenis Tanah Pengamatan (%) (%) Srogol Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 100 100 Cibalung Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 62.78 100 Andic Humitropepts 37.22 Pamoyanan Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 55.11 Andic Humitropepts 32.67 100 Kompleks Typic Troportheuts-Typic Fluvaquents 12.22 Mulyaharja Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 55.11 Andic Humitropepts 32.67 100 Kompleks Typic Troportheuts-Typic Fluvaquents 12.22 Empang Asosiasi Typic Hapludands-Typic Tropopsamments 53.54 Andic Humitropepts 31.74 100 Kompleks Typic Troportheuts-Typic Fluvaquents 11.87 Asosiasi Typic Humitropepts-Typic Eutropepts 2.85 Sumber : Hasil dan analisis peta tanah 1 : 100.000 DAS Cisadane, Puslittanak (1992) diolah. 21 Andic Humitropepts (Latosol Coklat) dan Typic Humitropepts (Latosol Coklat dan Latosol Kemerahan) berkembang dari tuf volkan andesitik sampai basaltik. Sebagian Typic Humitropepts terbentuk dari batu kapur (gamping). Tanah yang berkembang dari batu kapur umumnya dangkal, terdapat pecahan batu kapur dalam penampangnya. Tanah lapisan atas berwarna gelap, kaya bahan organik, struktur tanah remah, konsistensi lekat dan plastis. Sifat fisik tanah cukup baik, permeabilitas agak lambat, tingkat kesuburan tanah sedang. Typic Eutropepts (Latosol Coklat dan Latosol Coklat Kemerahan) berkembang dari tuf volkan andesitik sampai basaltik. Penampang tanah umumnya dalam, permeabilitas agak lambat, kesuburan tanah sedang. 4.1.3. Tata Guna Lahan Jenis penggunaan lahan di lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian Sub DAS Cisadane, Bogor. 22 Penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane hulu terdiri dari hutan, persawahan, perkebunan, semak belukar, tegalan dan tanah kosong, gedung dan pemukiman. Lokasi pengambilan contoh air di Desa Srogol dan Cibalung berada di bagian hulu sungai dengan penggunaan lahan dominan adalah hutan, perkebunan dan persawahan. Lokasi pengambilan contoh air di Desa Pamoyanan yang berada di Kabupaten Bogor mewakili bagian tengah sungai. Sebagian besar penggunaan lahan di sekitar sungai dimanfaatkan untuk pemukiman, perkebunan dan persawahan. Lokasi pengambilan contoh air di Desa Mulyaharja dan Empang berada di hilir dan termasuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten dan Kota Bogor. Penggunaan lahan di sekitar sungai cenderung didominasi oleh pemukiman, gedung dan industri. Jenis penggunaan lahan di Cisadane hulu disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis penggunaan lahan di Sub DAS Cisadane. Penggunaan lahan Luas (ha) % Air Tawar 86,58 0,38 Belukar/Semak 2002,37 8,73 Gedung 12,81 0,06 Hutan 4489,48 19,57 Kebun/Perkebunan 3673,62 16,01 Pemukiman 3599,88 15,69 Rumput/Tanah kosong 429,69 1,87 Sawah Irigasi 1428,98 6,23 Sawah Tadah Hujan 3205,68 13,97 Tanah Berbatu 1,75 0,01 Tegalan/Ladang 4011,00 17,48 22941,84 100 Total Sumber : Hasil dan analisis peta penggunaan lahan 1 :150.000 DAS Cisadane, PPT (2005) diolah. Berdasarkan komposisi jenis penggunaan lahan yang ditemukan pada radius 100 m dari tiap lokasi pengambilan contoh air disajikan pada Tabel 5. 23 Tabel 5. Komposisi penggunaan lahan dalam radius 100 m dari sungai di tiap lokasi pengambilan contoh air. Lokasi Pemukiman (%) Vegetasi (%) Lainnya (%) Total (%) Srogol 5 90 5 100 Cibalung 11.6 76.6 11.8 100 Pamoyanan 33.3 46.6 20.1 100 Mulyaharja 30 56.6 13.4 100 Empang 90 2 8 100 Sumber : Hasil analisis penggunaan lahan DAS Cisadane, Google Earth (2012) diolah. 4.2. Kualitas Air Pengamatan kualitas air dilakukan dengan cara menganalisis sifat fisika dan kimia air. 4.2.1. Parameter Fisika Suhu. Suhu air Sungai Cisadane berkisar 23.5-27 0C (Gambar 5). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara umum suhu air sungai di bagian hulu saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah tengah-hilir. Hal ini karena daerah hulu merupakan daerah yang tinggi, sehingga memiliki tekanan udara yang rendah akibatnya suhu udara maupun suhu air cenderung lebih rendah dibandingkan dengan daerah hilir yang memiliki tekanan udara lebih tinggi. Selain itu, penggunaan lahan di daerah hulu cenderung di dominasi vegetasi yang bertajuk tinggi, sehingga radiasi matahari tidak sepenuhnya langsung mengenai permukaan badan air karena tertahan oleh tajuk yang berfungsi sebagai canopy (penutupan oleh vegetasi), akibatnya suhu udara dan air di sekitar lokasi pengamatan relatif rendah. Fungsi lain dari banyaknya vegetasi adalah radiasi panas yang dihasilkan oleh matahari diserap untuk pertumbuhan tanaman dan juga untuk proses transpirasi (pelepasan molekul air tanaman ke atmosfer). Proses tersebut menyebabkan suhu udara lebih rendah karena energi matahari yang dapat berfungsi untuk meningkatkan suhu udara lebih banyak 24 digunakan untuk proses transpirasi dan evaporasi (penguapan air dari tanah dan badan air; danau, sungai dll) maupun fotosintesis tanaman. Suhu (˚C) 30,0 25,0 23,5 27,0 24,0 Srogol Cibalung 26,5 24,8 26,125,0 26,025,8 20,0 10,0 0,0 Pamoyanan Mulyaharja Hulu Empang Hilir Sebelum hujan Sesudah hujan Gambar 5. Nilai suhu pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Sebagaimana yang dikatakan Barus (2001), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy dari pepohonan yang tumbuh di tepi sungai. Berdasarkan waktu pengamatan saat tidak hujan, suhu air Sungai Cisadane relatif lebih besar dibandingkan dengan suhu air sesaat sesudah hujan. Besarnya suhu air pada pengamatan sebelum hujan dapat terjadi karena saat pengambilan contoh air dilakukan ketika intensitas matahari optimal, sehingga suhu udara menjadi tinggi. Akibatnya pertukaran panas antara udara dan air di sekelilingnya menjadi meningkat. Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solid / TSS). Hasil pengukuran konsentrasi TSS ditunjukkan pada Gambar 6. Secara umum hasil TSS dari hulu ke hilir tidak menunjukkan adanya kecenderungan tertentu. Hasil pengamatan saat tidak ada hujan (debit rendah) menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan konsentrasi (dari hulu ke hilir) yaitu berkisar 220-340 mg/l. Nilai konsentrasi TSS tertinggi terdapat di Desa Mulyaharja sebesar 340 mg/l yang terletak di hilir. Hal ini terjadi karena daerah hilir mendapat masukan limbah (alami dan 25 buatan) yang berasal dari daerah sekitar maupun dari aliran sungai sebelumnya yang berasal dari hulu. Bagian hilir didominasi pemukiman penduduk dengan populasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian hulu sungai. Umumnya masyarakat/penduduk membuang sampah dan limbah rumah tangga langsung ke badan sungai, limbah tersebut akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan padatan yang terlarut atau tersuspensikan. Akibatnya kandungan padatan tersebut mengalami peningkatan yang dapat meningkatkan pengukuran kandungan padatan tersuspensi di badan sungai. Besarnya kandungan tersuspensi di badan sungai dapat mempengaruhi ekosistem perairan, terutama berkaitan dengan proses fotosintesis. Menurut Fardiaz (1992), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air, sehingga mempengaruhi asupan oksigen melalui proses fotosintesis dan meningkatnya kekeruhan air. TSS (mg/L) 400 340 320 290 260 310 280 260 220 220 200 160 0 Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Hulu Sebelum hujan Sesudah hujan Empang Hilir Gambar 6. Nilai TSS pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Hasil pengamatan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) menunjukkan kandungan TSS yang berfluktuasi dan tidak menunjukkan pola tertentu. Namun tampak bahwa kandungan TSS tertinggi berada di bagian hulu (Srogol). Desa Srogol memiliki asosiasi jenis tanah Typic Hapludands-Typic Tropopsamments, jenis tanah ini memiliki ciri struktur lemah, gembur dan berfragmen kasar (pasir,kerikil dan 26 batu). Kriteria tanah tersebut berpeluang menyebabkan erosi semakin besar apabila terjadi hujan. Tingginya kandungan TSS di daerah hulu disinyalir karena adanya erosi yang berasal dari hulu. Erosi di lokasi pengamatan dapat disebabkan oleh adanya pukulan air hujan yang langsung mengenai permukaan tanah, sehingga partikel tanah yang tererosi ditransportasikan oleh air melalui run-off dan masuk ke badan air. Akibatnya kandungan padatan terlarut/tersuspensi di bagian hulu relatif tinggi dibandingkan daerah tengah-hilir. 4.2.2. Parameter Kimia pH. Hasil pengukuran pH air sungai berkisar 6.3-7.0. Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai pH air sungai dari hulu ke hilir cenderung meningkat. Peningkatan pH dapat disebabkan oleh masuknya bahan-bahan yang bersifat basa, seperti limbah deterjen ke badan sungai. Menurut Sopiah (2004) deterjen memiliki pH sangat basa (9.5-12), bersifat korosif dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit. Daerah hilir (Empang) memiliki pH 6.7-7.0, pH tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah hulu-tengah yang memiliki pH 6.3-6.7. Hal ini dapat terjadi karena daerah Empang merupakan daerah hilir yang mendapat masukan limbah domestik dari sekitar sungai maupun limbah yang berasal dari hulu. Limbah tersebut akan mengalami penguraian oleh mikroorganisme dan menghasilkan senyawa karbondioksida (CO2) dari proses respirasi. Semakin tinggi konsentrasi CO2 yang dihasilkan oleh proses respirasi, maka pH di perairan akan semakin rendah. Menurut Kordi (2000), fluktuasi pH sangat dipengaruhi oleh proses respirasi, karena gas karbondioksida yang dihasilkannya. Semakin banyak karbondioksida yang dihasilkan dari proses respirasi, maka pH akan semakin rendah. Namun sebaliknya jika aktivitas fotosintesis semakin tinggi maka akan menyebabkan pH semakin tinggi. Berdasarkan waktu pengamatan, pH saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) tidak mengalami perbedaan yang signifikan yaitu berkisar 6.3-7.0 yang tergolong pH netral. Hal ini berarti perbedaan waktu pengamatan dalam penelitian ini cenderung tidak mempengaruhi pH. Menurut Siradz 27 (2008), pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu 6-7,5. Oleh karena itu, nilai pH di lokasi penelitian masih tergolong normal. 9 6,5 6,3 6,5 6,5 6,7 6,6 6,6 6,7 6,7 7,0 pH 6 3 0 Srogol Hulu Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum hujan Sesudah hujan Hilir Gambar 7. Nilai pH pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical oxygen demand). Hasil pengukuran BOD disajikan pada Gambar 8. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan BOD dari arah hulu/Srogol (5.04-7.87 mg/l) menuju arah hilir/Empang (10.17-23.61 mg/l). Pada pengukuran BOD saat tidak ada hujan (debit rendah) tampak bahwa kandungannya relatif lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan (debit tinggi). Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh perbedaan kecepatan aliran sungai. Aliran sungai saat tidak ada hujan (debit rendah) relatif lambat, sehingga berpeluang memperbesar viskositas atau kekentalan bahan organik, sehingga konsentrasi BOD meningkat. Akibatnya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air meningkat. Kadar oksigen terlarut diperairan memiliki jumlah yang terbatas, apabila oksigen digunakan secara terus menerus tanpa adanya suplai oksigen ke perairan maka proses penguraian bahan organik akan terhambat. Akibatnya perairan akan mengalami pencemaran karena proses penguraian terganggu. Menurut Siradz (2008), nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan 28 secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan. 23,61 BOD (mg/L) 25,00 19,67 20,00 15,74 15,00 10,00 7,87 5,04 7,68 7,876,88 8,92 10,17 5,00 0,00 Srogol Hulu Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Sebelum hujan Sesudah hujan Empang Hilir Gambar 8. Nilai BOD pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Hasil pengukuran BOD sesaat sesudah hujan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kandungan BOD saat tidak ada hujan. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari proses pengenceran karena terjadinya hujan. Dengan adanya hujan, oksigen yang berada di atmosfer akan terlarut dan terbawa oleh air hujan menuju ke permukaan bumi seperti sungai. Air hujan yang jatuh ke sungai akan menghasilkan suplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dalam air akan meningkat. Akibatnya aktivitas mikroorganisme untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik maupun anorganik yang tersuspensikan di badan sungai menjadi rendah, sehingga kandungan BOD sesaat sesudah hujan relatif rendah dibandingkan saat tidak ada hujan. Disamping itu, rendahnya kandungan BOD sesaat sesudah hujan dapat mengindikasikan kualitas air yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas air saat tidak ada hujan. Nitrat (NO3). Hasil pengukuran nitrat pada Gambar 9 tidak menunjukkan adanya kecenderungan tertentu pada lokasi penelitian dari hulu ke hilir. Kandungan nitrat dari hulu ke hilir yang diperoleh dari hasil penelitian ini berfluktuasi (beragam). Berdasarkan pengaruh perbedaan waktu pengamatan terlihat bahwa kandungan nitrat sesaat sesudah hujan (debit tinggi) dari lokasi pengamatan Srogol 29 hingga Pamoyanan cenderung lebih tinggi daripada pengamatan pada saat tidak ada hujan (debit rendah). Daerah Srogol hingga Pamoyanan yang terletak di daerah hulu, memiliki daerah pertanian yang cenderung lebih besar dibandingkan daerah sekitar hilir (Mulyaharja, Empang). Hal tersebut disinyalir bahwa jatuhnya hujan di lokasi tersebut meningkatkan akumulasi limbah pertanian (nitrat dari aktifitas pertanian) melalui proses pencucian, sehingga konsentrasi nitrat yang terlarut dan terbawa oleh run-off masuk ke badan sungai menyebabkan tingginya konsentrasi nitrat di bagian hulu. Menurut Effendi (2003), sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari limbah pertanian dan perkebunan yang menggunakan pupuk kandang maupun pupuk buatan, maupun dari kegiatan domestik. NO3 (mg/L) 40,0 37,2 Sebelum hujan Sesudah hujan 30,0 24,8 18,6 20,0 12,4 10,0 6,2 12,4 6,2 12,4 6,2 6,2 0,0 Srogol Hulu Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Hilir Gambar 9. Nilai nitrat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Berbanding terbalik dengan ketiga lokasi pengamatan sebelumnya (Srogol, Cibalung, dan Pamoyanan), di lokasi Mulyaharja dan Empang pada saat tidak ada hujan menunjukkan kandungan nitrat yang lebih besar dibandingkan sesaat sesudah hujan. Besarnya kandungan nitrat ini lebih dominan dipengaruhi oleh besarnya limbah dari kegiatan industri dan rumah tangga. Luas area pertanian dengan segala aktivitas pertaniannya (pupuk, pestisida) yang rendah tidak menjadi faktor utama sumber nitrat di badan sungai pada lokasi tersebut. Cemaran hasil industri dan kotoran manusia yang dominan menyebabkan akumulasi nitrat di lokasi tersebut 30 (Mulyaharja, Empang), disebabkan oleh pemukiman dan industri yang lebih luas dibandingkan area pertanian. Buangan pemukiman penduduk (limbah domestik) yang masuk ke badan air, melalui pembusukan oleh organisme, menghasilkan amoniak dan senyawa amonium. Amoniak dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat. Proses ini dimediasi oleh bakteri nitrosomonas dan nitrobakter yang secara essensial menghasilkan energi dari proses oksidasi tersebut. Nitrosomonas berfungsi sebagai mediator oksidasi amonia menjadi nitrit sedangkan nitrobakter berfungsi sebagai mediator oksidasi nitrit menjadi nitrat (Sasongko, 2006). Melalui proses tersebut, limbah domestik di Mulyaharja dan Empang yang banyak akan menyebabkan kandungan nitrat yang tinggi di sungai. Fosfat (PO4). Hasil pengamatan kandungan fosfat yang ditunjukkan pada Gambar 10 berkisar 0.010-0.070 mg/l. Kandungan fosfat dari hulu ke hilir terlihat tidak memiliki pola peningkatan atau penurunan yang linear. Hal ini berarti pengaruh dari perbedaan lokasi pengamatan tidak signifikan terhadap kandungan fosfat. Namun terlihat bahwa sungai di daerah hulu (Srogol) memiliki kandungan fosfat lebih rendah (0.01-0.02 mg/l) dibandingkan di daerah hilir (Empang) yaitu 0.03-0.07 mg/l. 0,08 PO4 (mg/L) 0,07 Sebelum hujan Sesudah hujan 0,07 0,06 0,05 0,04 0,04 0,03 0,02 0,03 0,02 0,01 0,02 0,02 0,03 0,02 0,02 0,01 0,00 Srogol Hulu Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Hilir Gambar 10. Nilai fosfat pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Pengaruh waktu pengamatan yaitu saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi) juga tidak menunjukkan adanya pola, tetapi 31 terlihat adanya kecenderungan peningkatan fosfat pada hasil interaksi waktu pengamatan dengan lokasi pengamatan. Berdasarkan waktu pengamatan sesaat sesudah hujan kandungan fosfat cenderung meningkat dari hulu ke hilir. Peningkatan fosfat yang terkandung dalam badan air di lokasi pengamatan diduga berasal dari limbah air buangan penduduk seperti deterjen. Hal ini ditinjau berdasarkan hasil pengamatan di lapang yang menunjukkan adanya aktifitas penduduk seperti mandi dan mencuci pakaian dengan menggunakan deterjen. Deterjen merupakan bahan yang digunakan sebagai media pembersih karena dapat mengangkat kotoran dan mensuspensikan kotoran yang telah terlepas. Penggunaan deterjen yang tidak diiringi oleh proses pendegradasian yang baik akan menimbulkan pendangkalan perairan atau munculnya eutrofikasi (pengkayaan hara), sehingga transfer oksigen menjadi terhambat dan mengakibatkan terganggunya proses penguraian limbah di perairan. Dampak pencemaran tersebut menyebabkan kualitas air di perairan menjadi menurun seperti munculnya bau yang tidak sedap di sekitar perairan. Semakin ke hilir jumlah dan aktivitas penduduk semakin tinggi, sehingga memungkinkan akumulasi bahan-bahan dari limbah penduduk seperti deterjen semakin tinggi. Oleh karena itu, lokasi pengamatan yang semakin ke hilir dengan adanya hujan memiliki kandungan fosfat yang semakin besar. Sebagaimana hasil penelitian Lee dan Jones dalam Suyarso (2008), mendapatkan 50 - 60 % fosfat yang terdapat dalam air buangan rumah tangga di perairan Amerika berasal dari deterjen. Timbal (Pb). Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan timbal Sungai Cisadane berkisar 0.0185-0.1343 mg/l (Gambar 11). Hasil pengamatan menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kandungan timbal dari arah hulu menuju ke hilir. Peningkatan kandungan timbal dapat diakibatkan oleh adanya akumulasi timbal secara alami maupun aktivitas manusia yang menjadi sumber pencemar timbal di perairan. Daerah hulu Srogol memiliki kandungan timbal yang relatif rendah dibandingkan dengan daerah tengah dan hilir. Hal ini dapat terjadi karena daerah hulu memiliki sumber pencemar timbal seperti pemukiman maupun daerah industri yang tergolong rendah. Selain itu, keberadaan senyawa timbal di perairan hulu lebih 32 disebabkan oleh proses alamiah seperti timbal yang berasal dari batuan yang mengalami pengikisan. Batuan yang berada di lokasi hulu terbentuk dari tuf dan abu volkan intermedier. Menurut Aubert dan Pinta (1997), kandungan timbal batuan intermedier seperti andesit, relatif sama dengan batuan eruptif masam yang memiliki kandungan timbal sebesar 20 ppm. Sumber pencemar timbal alami lainnya yaitu timbal di udara yang mengalami pengkristalan oleh air hujan dan masuk ke badan air. 0,16 Pb (mg/L) 0,14 Sebelum hujan Sesudah hujan 0,1343 0,1108 0,12 0,1048 0,1108 0,1 0,08 0,06 0,04 0,0648 0,0532 0,0474 0,0438 0,0317 0,0185 0,02 0 Srogol Hulu Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Hilir Gambar 11. Nilai timbal pada lima lokasi di Sungai Cisadane, Bogor. Berdasarkan waktu pengamatan saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sesudah hujan (debit tinggi), kandungan timbal di sungai tidak memiliki kecenderungan peningkatan atau penurunan. Namun, kandungan timbal di Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang saat tidak ada hujan cenderung lebih tinggi dibandingkan di Srogol dan Cibalung. Besarnya kandungan timbal di lokasi tersebut lebih didominasi oleh tingginya aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan peninjauan di lapang, lokasi penelitian Pamoyanan, Mulyaharja dan Empang berada di dekat jalan raya yang sering dilalui kendaraan bermotor, sehingga asap kendaraan bermotor sebagai sumber pencemar timbal cenderung tinggi. Asap kendaraan motor akan mengapung di udara dan terbawa angin, sehingga memungkinkan senyawa timbal masuk dan terbawa oleh arus air. Akibatnya kandungan timbal di sekitar pengamatan menjadi tinggi. Menurut 33 Sastrawijaya (1991), pembakaran bensin sebagai sumber pencemar lebih dari separuh polusi udara di daerah perkotaan, yaitu sekitar 60-70 % dari total zat pencemar. Hasil pengamatan timbal di Empang (seperti yang disajikan pada Gambar 11) menunjukkan kandungan yang paling tinggi dibandingkan dengan di Srogol, Cibalung, Pamoyanan dan Mulyaharja. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat pencemaran timbal di Empang. Berdasarkan pengamatan di lapang (Empang), sumber utama pencemar timbal diduga berasal dari asap kendaraan bermotor, sampah yang ditemukan menumpuk di pinggir sungai, serta limbah cair yang mengandung timbal seperti cat, oli, dan tinta yang dibuang melalui saluran drainase kemudian masuk ke badan sungai. Akibatnya kandungan timbal menjadi tinggi karena adanya akumulasi senyawa timbal yang berasal dari berbagai sumber. 4.3. Baku Mutu Air Apabila kualitas air dibandingkan terhadap baku mutu air berdasarkan PP No.82 tahun 2001 yang disajikan pada Tabel 6 diperoleh bahwa kualitas air Sungai Cisadane saat tidak ada hujan (debit rendah) dan sesaat sudah hujan (debit tinggi) di semua lokasi pengamatan termasuk ke dalam baku mutu air kelas I hingga kelas IV untuk parameter suhu, pH, dan fosfat. Hal ini karena pencemaran akibat limbah domestik dari hulu ke hilir cenderung masih tergolong rendah sehingga pengaruh senyawa-senyawa organik maupun anorganik terhadap masing-masing parameter tersebut tidak signifikan. Oleh karena itu, kualitas air pada parameter suhu, pH dan fosfat di lokasi pengamatan masih tergolong aman untuk penggunaan tertentu. Menurut Srivastava et al., (2003), masuknya bahan pencemar ke badan air dapat menurunkan kualitas air serta mengubah kondisi ekologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan kandungan padatan tersuspensi (TSS) ketika debit rendah dan tinggi berkisar 160-340 mg/l dan hanya memenuhi baku mutu air kelas III dan IV di semua lokasi pengamatan. 34 Tabel 6. Hasil analisis parameter kualitas air terhadap baku mutu air PP No.82 tahun 2001. Lokasi Baku I Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Baku II Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Baku III Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Baku IV Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Keterangan : TSS pH Parameter BOD NO3 PO4 Pb Suhu * ** * ** * ** * ** * ** * ** * ** O O O O O O O O O O X X X X X X X X X X O O O O O O O O O O X X X X X X X X X X O X O X X X X X O O O O O O O O O O O O X X X X X X X O X X O O O O O O O O O O X X X X X X X X X X O O O O O O O O O O X X X X X X X X X X O X O X X X X X O O O O O O O O O O O O X X X X X X X O X X O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O X X X X X O X X X X O O O O O X X O O O O O O O O O O O O O X X X X X X X O X X O O O O O O O O O X O O O O O O O O O O X O O X O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O X O O O O O O O O O O O O O X O O O O O O O Satuan masing-masing parameter Suhu (0C), TSS,BOD,NO3, PO4, dan Pb (mg/l). O = di bawah batas ambang * = pengamatan debit rendah X = di atas batas ambang ** = pengamatan debit tinggi Nilai tersebut masih berada di bawah batas ambang kelas III dan IV yang dipersyaratkan menurut baku mutu air nomor 82 tahun 2001 yaitu 400 mg/l. Selain itu, nilai ini menunjukkan bahwa tingginya kandungan padatan tersuspensi di sungai 35 menggambarkan besarnya bahan terlarut yang dihasilkan oleh proses alami maupun limbah buangan dari aktivitas manusia. Hasil analisis parameter nitrat saat tidak ada hujan memenuhi persyaratan baku mutu air kelas I, II, III dan IV di lokasi Srogol dan Pamoyanan, tetapi hanya memenuhi baku mutu kelas III dan IV di lokasi Cibalung, Mulyaharja dan Empang. Kandungan nitrat hasil penelitian sesaat sesudah hujan memenuhi persyaratan baku mutu air kelas I, II, III dan IV untuk lokasi Mulyaharja dan Empang, sedangkan Pamoyanan hanya memenuhi baku mutu kelas III dan IV. Lokasi Srogol dan Cibalung tidak memenuhi semua baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dapat terjadi karena luas penggunaan lahan sawah tadah hujan maupun sawah irigasi daerah hulu cenderung tinggi dibandingkan dengan daerah hilir, sehingga sumber utama nitrat yang berasal dari sawah tadah hujan maupun irigasi dapat meningkatkan konsentrasi nitrat di daerah hulu. Pada Tabel 6, kandungan BOD saat tidak ada hujan hanya memenuhi baku mutu air kelas IV di lokasi Srogol dan Pamoyanan. Hasil analisis kandungan BOD sesaat sesudah hujan hanya di Srogol yang memenuhi baku mutu air kelas III dan IV, sedangkan lokasi penelitian Cibalung, Pamoyanan, Mulyaharja, dan Empang hanya memenuhi baku mutu air kelas IV. Meskipun BOD air sungai pada lokasi tersebut hanya memenuhi baku mutu air kelas IV, hasil tersebut merupakan indikator yang menunjukkan kualitas air di daerah hulu-tengah sungai lebih baik dibandingkan hilir. Daerah hulu cenderung lebih sedikit cemaran akibat masih rendahnya penggunaan lahan untuk pemukiman sehingga meminimalkan terjadinya eutrofikasi (pengkayaan hara). Eutrofikasi melibatkan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Terhambatnya eutrofikasi karena kandungan oksigen yang sedikit menunjukkan bahwa kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan dalam badan air diduga juga lebih sedikit, sehingga BOD menjadi rendah. Menurut Siradz (2008), nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan. 36 Hasil analisis timbal saat tidak ada hujan di lokasi Srogol, Cibalung, Pamoyanan, Mulyaharja, dan Empang menunjukkan hanya memenuhi kelas IV baku mutu air. Nilai ini mengindikasikan besarnya cemaran timbal di sungai karena tidak memenuhi baku mutu air di kelas I, II dan III. Beberapa sumber pencemar timbal yang mungkin berpotensi mencemari air sungai di lokasi pengamatan adalah tingginya penggunaan aktivitas kendaraan bermotor yang menghasilkan asap bahan bakar. Bahan bakar yang digunakan kendaraan bermotor mengandung bahan aditif yang berfungsi untuk memperbaiki mutu mesin, salah satunya adalah timbal. Logam timbal terdapat di alam dalam bentuk mineral, sehingga harganya lebih murah dan lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan bahan aditif lain. Hasil penelitian Tsalev dan Zaprianov (1985) menyebutkan, 52 % pencemaran timbal berasal dari bahan aditif, sedangkan 48 % berupa bahan pembungkus kabel, zat pewarna pada cat, campuran logam, dan sebagai bahan stabilisator pada plastik dan karet. Hasil pengamatan sesaat sesudah hujan menunjukkan bahwa kandungan timbal di lokasi Pamoyanan telah memenuhi baku mutu air kelas I, II, III dan IV. Hal ini merupakan indikator dari rendahnya cemaran kandungan timbal di lokasi Pamoyanan. Selain itu, lokasi pengamatan Srogol, Cibalung, Mulyaharja dan Empang hanya memenuhi baku mutu air kelas IV berdasarkan kadar timbalnya. Selain parameter fisik dan kimia, untuk menilai kualitas air, maka kualitas biologi air juga perlu diperhatikan mengingat parameter tersebut juga mempengaruhi persyaratan baku mutu air berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001. Oleh karena itu, penelitian sejenis perlu dilakukan dengan menambahkan pengamatan parameter biologi air. 37 V. 5.1. KESIMPULAN Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas air Cisadane di sekitar hulu cenderung lebih baik dibandingkan di tengah-hilir. Aliran sungai di hulu memiliki kandungan BOD (5.04-7.87 mg/l) dan fosfat (0.01-0.02 mg/l) lebih rendah dibandingkan daerah hilir dengan kandungan BOD (10.17-23.61 mg/l) dan fosfat (0.03-0.07 mg/l). Selain itu, kualitas air sesaat sesudah hujan (debit tinggi) lebih baik yang ditunjukkan dengan nilai suhu dan BOD lebih rendah dibandingkan dengan saat tidak ada hujan (debit rendah). Parameter kualitas air yang memenuhi baku mutu air menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 disemua kelas diantaranya parameter suhu, pH dan fosfat. Parameter TSS dan BOD hanya memenuhi baku mutu air kelas tiga dan empat, sedangkan nitrat dan timbal memenuhi semua kelas baku mutu air hanya di beberapa lokasi penelitian. 5.2. Saran Pada penelitian sejenis perlu dilakukan analisis parameter kualitas biologi air agar memperkuat hasil penelitian analisis kualitas air. 38 DAFTAR PUSTAKA APHA (American Public Health Association). 1989. Standard methods for the examination of water and waste water. American Public Health Association (APHA). American Water Works Association (AWWA) and Water Pollution Control Federation (WPCF). 17th ed. Washington. 1193 hal. APHA (American Public Health Association). 1998. Standard methods for the examination of water and waste water. 20th ed. APHA, AWWA, WPCF. Washington. 4:114 P. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor. Arwindastri, B. K. 1997. Kajian karakteristik hidrologi DAS Cisadane. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. (tidak dipublikasikan). As-syakur, A.R., I.W. Suarna, I.W.S. Adnyana, I.W. Rusna, I.A.A. Laksmiwati, dan I.W. Diara. 2010. “Studi Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Bandung”. Jurnal Bumi Lestari, 10(2). pp. 200-207. Aubert, H. Dan M. Pinta. 1997. Trace Element in Soils. Elseiver Scientific Publ. Co., New York. Barus, I. T. A. 2001. Pengantar limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Jakarta. 164 hal. Ben, A., M. Yani., dan W. Tjiptadi. 1994. Kajian kualitas air DAS Sungai Cisadane dan Ciliwung. Laporan penelitian. Pusat penelitian lingkungan hidup lembaga penelitian. IPB. 132 hal. Brown, A. L. 1987. Fresh water ecology. Heinemann Educational Books. London.163 p. Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Gadjah Mada Press. Yogyakarta.190 hal. Garno, Y.S. 1994. Dampak limbah deterjen terhadap kualitas dan organisme air. Dalam : Pranoto (eds.). Prosiding seminar sehari Teknologi Pengolahan Limbah Bahan Berracun dan Berbahaya (B3) Industri. BPPT, Jakarta : 103 1 10. 39 Garno, Y.S dan I. Mawardi. 2006. Status kualitas perairan waduk sei baloi- batam dan kelayakannya untuk bahan baku air minum. Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Vol. 7 (2) : 133-139. Goldman, C. R and A. J. Horne. 1983. Limnology. Mc.Graw-Hill International Book Company. Tokyo. 464 hal. Hynes, H. B. N. 1972. The Ecology of Running Waters. University of Toronto Press. Canada. 555p. Jeffries, M and Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applicstions. John Willey & Sons. Chichester. U.K: 285 pp. Kaunang, D. 2008. Tanah Andisols. Soil Environment 6 (2):109 - 113 Kohler, J. 2006. Detergent phosphates :An EU Policy Assesment. Journal of Business Chemistry. 3 (2) : 18 - 24. Kordi, K. M.G.H. 2000. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Penerbit Dahara Prize. Semarang Manan, S. 1997. Dampak Pembangunan terhadap Hidrologi. Kumpulan Materi Kursus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. PPLH. IPB. Meidiana, D. 2003. Kondisi kualitas air Sungai Cimanuk Jawa Barat selama periode tahun 1998-2002. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 113 hal (tidak dipublikasikan). Moriber, G. 1974. Enviromental sciences. Allyn-Bacon. New York. 549 p. Novotny,V dan H. Olem. 1994. Water quality, prevention, identification, and management of diffuse pollution. Van Nostrand Reinhold. New York. 1054 hal. Palar, H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. Paytan , A and K. McLaughlin 2007. Phosphorus in Our Waters. Oceanography (20) 2 : 200 - 208. [PPT] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1992. Peta Penggunaan Lahan 1992 DAS Cisadane. Bogor. _____.2005. Peta Penggunaan Lahan 2005 DAS Cisadane. Bogor. 40 Reid, G. K. 1961. Ecology of inland waters and estuaries. Reinhold. Book Corporation. New York. xvi ; 375 hal. Rushayati, SB. 1999. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kandungan Bahan Organik dan Sedimen Tersuspensi di Daerah Aliran Sungai Ciliwung Hulu-Tengah. (Tesis). Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. Bogor. Saeni, M. S. 1989. Kimia lingkungan. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayat. IPB. Bogor. 151 hal. Sasongko, L.A. 2006. Kontribusi Air Limbah Domestik Penduduk di Sekitar Sungai Tuk Terhadap Kualitas Air Sungai Kaligarang Serta Upaya Penanganannya. [tesis] Universitas Dipenogoro, Program Magister Ilmu Lingkungan. Semarang. Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Viii ; 274 hal. Siradz,S.A. Harsono, E. S. dan Purba,I. 2008. Kualitas Air Sungai Code, Winongo dan Gajahwong, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM. Sopiah,R.N. 2004. Pengelolaan Limbah Deterjen sebagai Upaya Minimalisasi Polutan Di Badan Air dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan. Balai Teknologi Lingkungan. Serpong Sudarwin. 2008. Analisis Spasial Pencemaran Logam Berat (Pb dan Cd) Pada Sedimen Aliran Sungai Dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Jatibarang Semarang.Universitas Dipenogoro, Program Pasca Sarjana. Semarang. Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta. 208 hal. Suyarso dan Susana,T. 2008. Penyebaran fosfat dan deterjen di perairan pesisir dan laut sekitar cirebon, jawa barat. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Cirebon : 117-131. Taufik, KL. 2003. Kualitas Air Hulu dan Tengah Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor. 41 TKCM 2005. The Cisadane River. TKCM (Tirta Kencana Cahaya Mandiri) – Water Management and Services. http://www.tkcmindonesia.com/ english/ river.html [24 Maret 2012]. Tsalev, D. L. Dan Z. K. Zaprianov. 1985. Atomic Spectroscopy Occupation and Enviromental Health. CRC Press,Inc. Florida. Widiastuty, S. 2001. Dampak Pengolahan Limbah Cair PT. Pupuk Sriwidjaja Terhadap Kualitas air Sungai Musi Kotamadya Palembang. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Bogor. Wetzel, R. G. 2001. Limnology. Lake and River Ecosystem. 3rd ed. Academic Press, San Diego. California. 1006 hal. Yuristria, T. 1994. Dampak Limbah Cair Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Mojokerto Jawa Timur Terhadap Kualitas Perairan Kali Magetan. [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Bogor. 42 LAMPIRAN 43 Lampiran 1. Baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001. Kelas No. Parameter Satuan I II III IV Keterangan Deviasi dari keadaan alaminya FISIKA 1. Suhu oC Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 5 2. TDS mg/L 1000 1000 1000 2000 3. TSS mg/L 50 50 400 400 4. Kekeruhan NTU μmhos/c m t.a t.a t.a t.a t.a t.a t.a t.a 5. DHL Bagi pengolahan air minum secara konvensional, TSS £ 5000 mg/l KIMIA 6. pH 6-9 6-9 6-9 6-9 7. 8. BOD COD mg/L mg/L 2 10 3 25 6 50 12 100 9. DO mg/L 6 4 3 0 10. NH3-N mg/L 0,5 t.a t.a t.a 11. NO2-N mg/L 0,06 0,06 0,06 t.a 12. NO3-N Total Fosfat sebagai P mg/L 10 10 20 20 mg/L 0,2 0,2 1 5 mg/L 0,03 0,03 0,03 t.a 13. 14. CL2 15. Cr6+ mg/L 0,03 0,03 0,03 16. Hg mg/L 0,05 0,05 0,05 0,01 17. Fe mg/L 0,3 t.a t.a t.a 18 Mn mg/L 0,1 t.a t.a t.a 19. 20. 21. Zn Cu Pb mg/L 0,05 0,05 0,05 2 mg/L 0,02 0,02 0,02 0,02 mg/L 0,03 0,03 0,03 1 Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah Angka batas minimum Bagi perikanan, kandungan ammonia bebas untuk ikan yang peka < 0,02 mg/l sebagai NH3 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2-N < 1 mg/l Bagi air baku air minum tidak dipersyaratkan Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe < 5 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn < 5 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu < 1 mg/l Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb < 1 mg/l 44 Lampiran 1. (Lanjutan) 22. 23. 24. 25. 26. Cd CN Fenol Mikrobiologi Fecel coliform Total coliform mg/L mg/L mg/L 0,01 0,02 0,001 0,01 0,02 0,001 0,01 0,02 0,001 0,01 t.a t.a Jumlah/1 00ml 100 1000 2000 2000 Jumlah/1 00ml 1000 5000 10000 10000 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal coliform £ 2000 jml/100ml dan total coliform £ 10000 jml/100ml Keterangan : - t.a = tidak ada baku mutu - Logam merupakan logam terlarut - Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO - £ = tanda lebih kecil - Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; - Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; - Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; - Kelas IV, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. 45 Lampiran 2. Data hasil pengukuran parameter fisika-kimia sungai di lima lokasi. A. Suhu (0C) Sampling Sebelum Hujan Sesudah Hujan 25,0 27,0 26,5 26,1 26,0 23,5 24,0 24,8 25,0 25,8 Sebelum Hujan Sesudah Hujan 220 290 310 340 220 320 260 280 160 260 Sebelum Hujan Sesudah Hujan 6,5 6,5 6,7 6,6 6,7 6,3 6,5 6,6 6,7 7,0 Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang B. TSS (mg/L) Sampling Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang C. pH Sampling Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang 46 D. Pb (mg/L) Sampling Sebelum Hujan Sesudah Hujan 0,0317 0,0438 0,1108 0,1048 0,1108 0,0474 0,0648 0,0185 0,0532 0,1343 Sebelum Hujan Sesudah Hujan 6,2 12,4 6,2 12,4 18,6 37,2 24,8 12,4 6,2 6,2 Sebelum Hujan Sesudah Hujan 0,020 0,040 0,020 0,020 0,030 0,010 0,015 0,030 0,015 0,070 Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang E. Nitrat (mg/L) Sampling Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang F. Fosfat (mg/L) Sampling Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang 47 G. BOD (mg/L) Sampling Sebelum Hujan Sesudah Hujan 7,87 15,74 7,87 19,67 23,61 5,04 7,68 6,88 8,92 10,17 Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang H. Waktu (WIB) Sampling Lokasi Srogol Cibalung Pamoyanan Mulyaharja Empang Sebelum Hujan 26 Juli 2011 Sesudah Hujan 08 Oktober 2011 13.10 - 13.20 14.50 - 15.00 16.10 - 16.20 16.56 - 17.05 17.46 - 17.52 11.15 - 11.25 12.10 - 12.20 13.05 - 13.15 13.50 - 14.00 14.20 - 14.30 48 Lampiran 3. Data curah hujan daerah Srogol, Cibalung dan Pamoyanan, Stasiun Pondok Gede Bogor (Sumber: BMKG, 2011). Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juli 4 55 20.5 8 42 20 7 98 21.5 - Oktober 16.5 30 6.2 65 1.5 5 12 12 12 12 12 26 16.5 32 DD I 87.5 52.7 DD II DD III JUMLAH HH MAX 167 21.5 276 98 65 109 226 6.2 32 49 Keterangan : Curah Hujan ditakar dalam mm TTU (tak terukur) DD I = Dekade I (10 harian) dari tanggal 1-10 DD II = Dekade II (10 harian) dari tanggal 11-20 DD III = Dekade III (10 harian) dari tanggal 21-30 HH = Hari hujan Max = Nilai hujan terbesar selama satu bulan 50 Lampiran 4. Data curah hujan daerah Mulyaharja dan Empang, Stasiun Empang Bogor (Sumber: BMKG, 2011). Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juli 4 55 20.5 8 42 20 7 98 21.5 - Oktober 16.5 30 6.2 65 1.5 5 12 12 12 12 12 26 16.5 32 DD I DD II DD III JUMLAH HH MAX 87.5 167 21.5 276 98 52.7 65 109 226 6.2 32 51 Keterangan : Curah Hujan ditakar dalam mm TTU (tak terukur) DD I = Dekade I (10 harian) dari tanggal 1-10 DD II = Dekade II (10 harian) dari tanggal 11-20 DD III = Dekade III (10 harian) dari tanggal 21-30 HH = Hari hujan Max = Nilai hujan terbesar selama satu bulan 52