BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Orientasi Kewirausahaan Grinstein (2008) menyatakan bahwa terdapat serangkaian proses-proses ketika perusahaan membuat suatu keputusan strategi. Hal ini diwujudkan dalam bentuk perilaku organisasi yang dapat dikarakteristikkan dan diidentifikasikan. Dimensi-dimensi dari proses pembuatan strategi ini dapat dilihat dalam aktivitas organisasi yang mencakup perencanaan, pembuatan keputusan, dan manajemen stratejik. Beberapa peneliti fokus pada dimensi – dimensi pembuatan strategi sebagai upaya untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang relevan dalam proses pembuatan keputusan strategi organisasi. Friedrickson (2006) dalam sebuah studinya mengenai pengaruh faktor struktur organisasi terhadap proses pembuatan strategi (proactiveness), mengajukan rasionalitas dimensi-dimensi (rationality), seperti proaktivitas komprehensivitas (comprehensiveness), pengambilan risiko (risk taking), dan ketegasan (assertiveness). Zahra (2008) mengkombinasikan dimensi-dimensi yang berbeda dalam proses pembuatan strategi, seperti command, symbolic, rational, transactive, dan generative. Lumpkin et al. (2009) berpendapat bahwa dasar dari dimensi prosesproses pembuatan strategi adalah sama dengan dasar dimensi proses-proses orientasi kewirausahaan. Lumpkin et al. (2009) mengenalkan konsep entrepreneurial management, di mana di dalamnya merefleksikan prosesproses organisasional, metode, dan bentuk yang digunakan oleh perusahaanperusahaan untuk bertindak secara wirausaha. Mengacu pada dimensi-dimensi khusus dari orientasi kewirausahaan, Runyan et al. (2008) membangun suatu dasar bagi orientasi kewirausahaan dengan memberikan definisi orientasi kewirausahaan. Suatu perusahaan dikatakan sebagai perusahaan dengan orientasi kewirausahaan apabila perusahaan tersebut adalah yang pertama dalam inovasi produk, berani mengambil risiko, dan proaktif dalam melakukan inovasi. Dengan demikian orientasi kewirausahaan adalah proses, praktik, dan aktivitas yang menggunakan inovasi produk, pengambilan risiko, dan usaha yang proaktif untuk memenangkan persaingan. Covin et al. (2006) mendefinisikan kewirausahaan sebagai keseluruhan inovasi radikal perusahaan, tindakan strategi proaktif, dan aktivitas pengambilan risiko yang diwujudkan dalam bentuk dukungan-dukungan terhadap proyek-proyek yang berhubungan dengan dimensi-dimensi tersebut. Beberapa peneliti lain juga melakukan penelitian berdasarkan dimensi orientasi kewirausahaan dari Runyan et al. (2008). Sebagai contoh, Susi (2000) melakukan penelitian terhadap usaha kecil industri bordir di Surabaya, menemukan bahwa perusahaan yang proaktif, inovatif, dan berani mengambil risiko akan memenangkan persaingan usaha dan meningkatkan kinerjanya. Covin dan Slevin (2006) melakukan penelitian mengenai kinerja dari perusahaan yang berorientasi kewirausahaan. Dalam penelitian mereka terhadap 117 industri kecil, perusahaan disebut memiliki orientasi kewirausahaan apabila mereka inovatif, pengambil risiko, dan proaktif. Perusahaan yang kinerjanya meningkat adalah yang menjalankan operasional perusahaan dengan pendekatan orientasi kewirausahaan. Penelitian tersebut juga didukung oleh Iqbal (2014) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan, perubahan lingkungan usaha, dan ketersediaan modal secara positif mempengaruhi kinerja perusahaan. Ismawanti (2008) menyatakan bahwa perusahaan dengan orientasi kewirausahaan dapat mencapai target pasar dan berada di posisi pasar yang lebih depan dibandingkan dengan pesaing mereka. Perusahaan ini senantiasa memonitor perubahan pasar dan melakukan respon dengan cepat, kemudian memperoleh keuntungan pada pasar yang berisiko (risk taking). Inovasi menjadikan mereka berada di depan kompetitior, memperoleh keunggulan kompetitif, dan memberikan hasil berupa pertumbuhan finansial. Sikap proaktif memberikan perusahaan kemampuan untuk mengenalkan produk atau jasa yang baru, lebih awal dibandingkan kompetitornya, yang memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan. Lumpkin et al. (2009) menyatakan bahwa dimensi inovasi sebagai dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan menunjukkan kecenderungan perusahaan untuk menggunakan dan mendukung ide-ide baru, sesuatu yang baru, bereksperimen, dan berproses dengan kreatif, yang akan membawa hasil berupa produk baru, pelayanan baru, maupun proses teknologi yang baru. Definisi inovasi secara klasik yaitu konsep baru, implementasi ide-ide baru, produk, maupun proses yang baru. Inovasi juga diartikan sebagai sebuah ide, praktik, maupun materi yang dianggap baru bagi perusahaan. Lebih luas, inovasi didefinisikan sebagai implementasi sukses dari sebuah ide kreatif dalam sebuah organisasi. Meskipun kecenderungan untuk berinovasi dapat bervariasi, inovasi merupakan kemauan dasar untuk meninggalkan teknologi-teknologi maupun praktik-praktik yang lama, kemudian mencari hal-hal baru untuk menuju ke arah yang lebih baik. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk melakukan klasifikasi mengenai inovasi, namun yang paling sering digunakan untuk membedakan derajat atau kadar inovasi sebuah perusahaan adalah inovasi dalam produk dan inovasi dalam teknologi (Covin dan Slevin, 2006). Scott dan Venkataraman (2000) mendefinisikan proaktif dalam berwirausaha sebagai tindakan dalam mengantisipasi berbagai masalah, memenuhi berbagai kebutuhan, dan mengambil berbagai kesempatan di masa depan. Berdasarkan definisi tersebut sikap proaktif sangat penting dalam orientasi kewirausahaan karena memberikan cara pandang ke masa depan yang menyertai aktivitas inovasi. Perusahaan yang disebut proaktif adalah perusahaan yang membentuk pasar dengan cara memperkenalkan produk baru, teknologi baru, teknik administrasi baru, dan melakukan respon atau reaksi bilamana pesaing melakukan tindakan. Sikap proaktif digunakan untuk menggambarkan perusahaan yang melakukan tindakan paling cepat dalam berinovasi dan yang pertama memperkenalkan produk atau jasa baru kepada pasar. Dalam proses wirausaha, beberapa literatur menyarankan pentingnya inisiatif. Aloulou dan Fayolle (2005) memberikan argumentasi bahwa para manajer dengan orientasi kewirausahaan adalah poin penting bagi pertumbuhan organisasi karena mereka memberikan visi dan misi penting yang menuju pada peluang-peluang usaha baru. Aloulou dan Fayolle (2005) juga menyatakan bahwa strategi yang paling baik untuk memperoleh peluangpeluang pasar adalah secara proaktif memperhatikan dan menyikapi peluang. Memberikan perhatian terhadap perubahan yang terjadi pada pasar, perusahaan yang berinisiatif tinggi dapat menangkap keuntungan yang lebih bagus dan mendapatkan posisi paling awal dalam memperoleh pengakuan terhadap eksistensi produk atau jasa perusahaan. Bersikap inisiatif dengan mengantisipasi, mengejar peluang baru, dan berpartisipasi dalam munculnya pasar juga berkaitan dengan kegiatan kewirausahaan. Karakter yang kedua dari kewirausahaan ini disebut sebagai karakter proaktif. Pengambilan risiko menunjukkan kemauan perusahaan untuk mendukung proyek-proyek inovatif dan mengandung risiko walaupun hasil akhir dari tindakan tersebut tidak bisa diketahui dengan pasti (Wiklund dan Shepherd, 2005). Risiko memiliki arti yang bervariasi, tergantung pada konteks apa risiko ini diterapkan. Mengambil risiko berarti mengambil ketidakpastian dan sikap ini dapat digunakan pada beberapa tipe risiko yang sering digunakan dalam literatur kewirausahaan, seperti risiko personal, risiko sosial, atau risiko psikologis. Sebagai bagian dalam analisis keuangan, risiko digunakan dalam konteks risiko usaha, yang secara khusus berarti kemampuan untuk menghasilkan laba. Perusahaan dengan orientasi kewirausahaan sering dihubungkan dengan perilaku berani mengambil risiko, seperti meminjam modal yang besar untuk membuat usaha lebih maju, mengambil peluang pasar, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Kegiatan pengambilan risiko yang dilakukan perusahaan sebaiknya tetap berada dalam kerangka toleransi risiko yang sudah ditetapkan untuk kebaikan dan perkembangan perusahaan. Harris dan Gibson (2008) membuat skala untuk mengukur tingkat pengambilan risiko pada perusahaan dengan orientasi kewirausahaan. Dalam penelitiannya, Harris dan Gibson memberikan pertanyaan kepada para manajer mengenai kecenderungan perusahaan untuk memilih proyek yang berisiko dan tindakan apa yang dipilih oleh manajer, diantara tindakan yang berani dan tindakan yang berhati-hati, agar perusahaan berhasil. Haryadi (2015) menggunakan pendekatan yang sama, yaitu dengan menanyakan para manajer apakah mereka cenderung untuk mencoba hal-hal baru yang berisiko dengan memberikan hasil yang baik namun bersifat tidak pasti, atau cenderung untuk mendukung proyek-proyek yang sudah ada, pernah dilakukan, dan hasilnya sudah pasti. Lumpkin et al. (2009) kemudian menyusun skala untuk mengukur dimensi usaha dalam penelitiannya mengenai entrepreneurial posture. Penelitian mereka menyatakan bahwa tingkat kewirausahaan sebuah perusahaan diukur melalui tiga dimensi yaitu inovatif, proaktif, dan pengambilan risiko. 2.2 Lingkungan Usaha Hubungan antara lingkungan usaha dengan kinerja perusahaan telah dijelaskan dalam teori manajemen stratejik, yaitu ekologi populasi (population ecology theory), teori kontingensi (contingency theory), dan teori ketergantungan pada sumber daya (resources dependence theory) (Henley, 2007). Teori ekologi populasi dan teori kontingensi adalah dua teori yang paling banyak mendapat perhatian terkait hubungan antara lingkungan usaha dengan kinerja perusahaan (Shahid et al., 2010). Teori ekologi populasi menjelaskan bahwa kelangsungan hidup dan keberhasilan perusahaan ditentukan oleh karakteristik lingkungan usaha di mana perusahaan itu berada (Henley, 2007). Model pendekatan ini membawa implikasi, yaitu lingkungan usaha mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja perusahaan tanpa memandang pilihan strategi yang dijalankan perusahaan. Kelemahan dari teori ini adalah adanya asumsi bahwa strategi yang disusun dan dikembangkan oleh para manajer untuk merespon lingkungan usahanya tidak mempengaruhi keberhasilan atau kinerja perusahaan (McCrea dan Betts, 2008). Teori kontingensi menyatakan bahwa keselarasan antara strategi dengan lingkungan usaha menentukan kelangsungan hidup dan kinerja perusahaan (Chang et al., 2007). Teori kontingensi juga menjelaskan bagaimana orientasi stratejik organisasi mampu untuk memenuhi tuntutan lingkungan usaha (Irene, 2006). Jika tidak tercipta keselarasan antara strategi dengan lingkungan usaha, maka dapat berakibat menurunnya kinerja perusahaan. Chang et al. (2007) juga menyatakan bahwa keselarasan antara perusahaan dengan lingkungan usahanya merupakan fokus dari manajemen stratejik. Pendapat dalam teori kontingensi mendapatkan dukungan dari banyak pakar. Beberapa bukti empiris juga menunjukkan bahwa perusahaan yang berhasil mencapai menyelaraskan target strategi kinerja dengan adalah perusahaan yang mampu usahanya atau mampu lingkungan menunjukkan tindakan adaptif dan fleksibel dengan lebih baik dibandingkan perusahaan-perusahaan yang kurang berhasil menyelaraskan strategi atau menunjukkan tingkat adaptif dan fleksibilitas yang rendah (Covin dan Slevin, 2006; Runyan et al., 2008; Lumpkin et al., 2009). Ketika pengambil keputusan sebuah perusahaan tidak memperhatikan dan menyelaraskan perubahan lingkungan usaha dengan strategi, maka perusahaan gagal untuk membuat penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan bagi perusahaan. Kesalahan ini akan berakibat pada menurunnya kinerja dan akan menjadi sumber masalah bagi perusahaan (Runyan et al., 2008). Chang et al. (2007) menyatakan bahwa semakin besar kesesuaian antara pemahaman dan interpretasi pengambil keputusan terhadap lingkungan usaha dan berbagai perubahannya, maka kinerja ekonomi perusahaan akan menjadi lebih tinggi. Bukti empiris menyarankan para pengambil keputusan agar memiliki akses untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai lingkungan usaha, dibandingkan hanya berdasarkan pada persepsi pribadi (Shane dan Venkataraman, 2000). Pada praktiknya, kesalahpahaman mengenai kondisi lingkungan usaha terjadi ketika para pembuat keputusan tidak merasa percaya diri apakah mereka mengerti tentang kejadian dalam lingkungan usaha dan berbagai perubahannya (Wiklund dan Shepherd, 2005). Covin dan Slevin (2006) menyatakan bahwa lingkungan usaha mewakili elemen ketidakpastian bagi organisasi, yang dikarakteristikkan dalam dimensi-dimensi, yaitu tidak dapat diprediksi (unpredictability), dinamika lingkungan (environment dynamism), dan heterogenitas lingkungan (environment heterogenity). Zahra (2008) memberikan definisi mengenai lingkungan usaha yang tidak pasti sebagai tingkat kompetisi yang ketat, pasar yang tidak dapat diprediksi, dan mudahnya kekuatan lingkungan usaha mempengaruhi perusahaan. Faktor-faktor lingkungan usaha dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan strategi perusahaan (Shahid et al., 2010). Perubahan lingkungan usaha mencerminkan tingkat perubahan dan derajat ketidakstabilan dari faktor-faktor yang ada di dalam lingkungan usaha. Perspektif ini menyatakan semakin meningkatnya perubahan lingkungan usaha, maka perusahaan akan semakin terbawa kepada ketidakpastian lingkungan usaha yang lebih besar. Covin dan Slevin (2006) memberikan skala pengukuran mengenai lingkungan usaha. Menurut mereka, lingkungan usaha dapat dibedakan menjadi tiga dimensi, yaitu heterogenitas lingkungan (environment heterogenity), dinamika lingkungan (environmental dynamism), dan tidak dapat diprediksi (unpredictability). Covin dan Slevin (2006) menyatakan bahwa heterogentias lingkungan usaha, kedinamisan, dan persaingan usaha secara positif dan signifikan berhubungan dengan kegiatan proaktif, inovasi, dan pengambilan risiko. Rauch et al. (2009) menyatakan bahwa perusahaan yang berkompetisi dalam lingkungan persaingan usaha dan mengadopsi sikap kewirausahaan, akan menikmati superioritas dalam lingkungan tersebut. Frese (2009) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang bersaing dalam bidang teknologi tinggi atau dalam lingkungan usaha yang bersifat tidak pasti dapat memperoleh sukses melalui pengambilan risiko. Frese (2009) melalui studinya terhadap 140 perusahaan makanan ringan di Finlandia, menemukan bahwa heterogenitas dan ketidakpastian lingkungan usaha secara positif berkaitan dengan keberhasilan perusahaan yang memiliki sikap kewirausahaan untuk meningkatkan kinerjanya. 2.3 Strategi Keunggulan Bersaing Strategi adalah variabel penting yang berfungsi sebagai variabel moderasi antara orientasi kewirausahaan dan kinerja perusahaan. Terdapat banyak cara untuk mengetahui karaketer dari strategi, namun penggolongan yang paling banyak diterima adalah penggolongan strategi keunggulan bersaing dari Porter (2007). Porter (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pendekatan strategi yang secara potensial dapat membawa perusahaan lebih unggul dari perusahaan lain dalam suatu industri. Strategi ini disebut dengan tiga strategi umum keunggulan bersaing. Tiga strategi umum tersebut adalah strategi kepemimpinan biaya, strategi diferensiasi, dan strategi fokus. Covin dan Slevin (2006) dan beberapa peneliti mengkritik penggolongan strategi dari Porter tersebut. Kritikan tersebut didasarkan pada jenis penggolongan yang terlalu sederhana dan tidak mengungkapkan variasi luas dari strategi diferensiasi. Padahal, strategi diferensiasi yang sesungguhnya memiliki kegunaan bervariasi pada kondisi lingkungan usaha yang berbeda. Miller (2004) kemudian memodifikasi kerangka kerja milik Porter dengan mengajukan dua tipe dari diferensiasi sebagai pengganti dimensi fokus. Dua tipe tersebut didasarkan pada kegiatan pemasaran dan kegiatan inovasi. Dengan demikian, Miller (2004) menggunakan dua dimensi strategi keunggulan bersaing yaitu dimensi diferensiasi pemasaran dan diferensiasi inovasi. Miller (2004) mengukur dimensi-dimensi strategi perusahaan agar dapat dinilai tinggi atau rendah. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dimensi-dimensi strategi ini sesuai dan memiliki hubungan erat (Shane dan Venkataraman, 2000; Hsieh dan Tsai, 2007; Grinstein, 2008; Baker dan Sinkula, 2009; Haryadi, 2015). Strategi pertama adalah mendiferensiasikan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan, yaitu menciptakan dan menawarkan suatu produk atau pelayanan baru dan unik kepada konsumen. Kegiatan diferensiasi pemasaran meliputi iklan yang luas, mengembangkan image produk, dan program pemasaran yang intensif seperti menawarkan program-program pemasaran yang menarik, produk yang memuaskan, dan garansi pelayanan (Hsieh dan Tsai, 2007). Avlontis dan Salavou (2007) menggambarkan strategi kedua yaitu diferensiasi inovasi sebagai pelopor dalam kegiatan yang meliputi produk, pelayanan, maupun teknologi. Diferensiasi inovasi merupakan kegiatan di dalam perusahaan yang meliputi kreativitas dalam pengembangan produk, pelayanan, penerapan teknologi baru, inovasi yang up-to-date, dan desain kualitas. Chang et al. (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi peran lingkungan usaha berupa semakin tidak pastinya lingkungan usaha, semakin dinamis, dan semakin tidak dapat diprediksi lingkungan usaha, maka penerapan strategi semakin berguna untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Perubahan selera konsumen yang terus menerus dan penawaran dari pesaing menuntut perusahaan untuk terus mempertahankan kinerjanya melalui penerapan strategi. Dawn dan Michelle (2012) menemukan bahwa kinerja perusahaan sangat tepat digunakan untuk mengukur kesesuaian hubungan antara gaya wirausaha, struktur organisasi, dan strategi yang diterapkan. Dawn dan Michelle (2012) dalam penelitiannya terhadap usaha kuliner di Australia menemukan bahwa penggunaan strategi yang tepat pada perusahaan yang berorientasi kewirausahaan secara positif dan signifikan dapat meningkatkan kinerjanya. Haryadi (2015) menyatakan bahwa ketepatan dan kecocokan hubungan antara lingkungan usaha, strategi keunggulan bersaing, dan kinerja perusahaan akan membawa dampak pada kinerja perusahaan yang superior. 2.4 Kinerja Perusahaan Kinerja perusahaan adalah indikator untuk mengukur sejauh mana kegiatan bisnis yang dijalankan perusahaan, sudah tepat pada sasaran dan tujuannya (Nelly et al., 2003). Kinerja bisnis adalah tingkat keberhasilan perusahaan, dalam menjalankan bisnis, secara keseluruhan, selama periode tertentu. Terdapat beberapa aspek yang menunjukkan tingkat keberhasilan kinerja perusahaan. Aspek - aspek tersebut antara lain, aspek keuangan dengan indikator profit dan asset perusahaan, aspek sumber daya manusia dengan indikator jumlah pegawai dan produktivitas kerja pegawai, dan aspek pemasaran dengan indikator nilai penjualan dan frekuensi terjadinya perubahan produk. Secara umum, penilaian terhadap kinerja perusahaan didasarkan pada indikator penjualan, keuntungan, dan kinerja secara keseluruhan (Lin dan Kuo, 2007). Terdapat dua jenis pendekatan di dalam mengukur kinerja perusahaan, yaitu pendekatan secara obyektif dan pendekatan secara subyektif (Rauch et al., 2009). Pendekatan obyektif adalah jenis pendekatan dengan menggunakan data-data yang bersifat obyektif seperti data akuntansi dan data keuangan. Pendekatan secara subyektif adalah pendekatan yang berdasarkan persepsi para manajer terhadap kinerja perusahaan. Pengukuran secara obyektif yang didasarkan data akuntansi dan data keuangan memiliki kekurangan. Kekurangan terebut disebabkan adanya kecenderungan manipulasi angka dari pihak manajemen, dan oleh bervariasinya model akuntasi, sehingga pengukuran kinerja perusahaan menjadi tidak valid. Kesulitan lain yang muncul ketika menilai kinerja perusahaan berdasarkan pengukuran secara obyektif adalah manajer atau pemilik berkeberatan untuk memberikan informasi dan data-data keuangan mereka. Kondisi ini lazim ditemui pada penelitian terhadap usaha kecil. Tidak ada standar mengenai pengukuran yang tepat terhadap kinerja perusahaan kecil. Penelitian terdahulu juga fokus pada variabel-variabel di mana informasi tersebut mudah untuk diperoleh (Irene, 2006). Lebih jauh lagi, masih terdapat perdebatan tentang pendekatan yang tepat untuk mengukur kinerja perusahaan. Beal (2000) menyatakan bahwa pengukuran kinerja yang cocok dan layak tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh peneliti. Sebagai upaya mengantisipasi tidak tersedianya datadata kinerja perusahaan secara obyektif dalam sebuah penelitian, maka dimungkinkan untuk menggunakan ukuran kinerja secara subyektif, yang didasarkan pada persepsi manajer. Pengukuran secara subyektif terhadap kinerja digunakan karena usaha kecil seringkali sangat berhati-hati dalam menjaga informasi data keuangan perusahaan (Grinstein, 2008). Oleh karena itu, informasi data kinerja secara subyektif akan lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan informasi secara obyektif. Selain itu, data keuangan obyektif pada usaha kecil tidak dipublikasikan secara akurat dan terkadang tidak tersedia. Hal ini membuat pemeriksaan ketepatan dari kinerja keuangan yang dilaporkan menjadi sangat sulit. Data keuangan usaha kecil juga sebagian besar sulit untuk diinterpretasikan. Pengukuran secara subyektif akan lebih tepat digunakan dalam sebuah penelitian di mana obyek penelitian terdiri atas perusahaanperusahaan yang berbeda yang memiliki tujuan dan kriteria pengukuran kinerja yang berbeda-beda. Hasil pengukuran kinerja perusahaan secara subyektif hampir sama dengan hasil pengukuran obyektif, serta memiliki tingkat reliabilitas dan validitas yang tinggi.