BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Orientasi Kewirausahaan Grinstein

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Orientasi Kewirausahaan
Grinstein (2008) menyatakan bahwa terdapat serangkaian proses-proses
ketika perusahaan membuat suatu keputusan strategi. Hal ini diwujudkan
dalam bentuk perilaku organisasi yang dapat dikarakteristikkan dan
diidentifikasikan. Dimensi-dimensi dari proses pembuatan strategi ini dapat
dilihat dalam aktivitas organisasi yang mencakup perencanaan, pembuatan
keputusan, dan manajemen stratejik.
Beberapa peneliti fokus pada dimensi – dimensi pembuatan strategi
sebagai upaya untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang relevan dalam
proses pembuatan keputusan strategi organisasi. Friedrickson (2006) dalam
sebuah studinya mengenai pengaruh faktor struktur organisasi terhadap proses
pembuatan
strategi
(proactiveness),
mengajukan
rasionalitas
dimensi-dimensi
(rationality),
seperti
proaktivitas
komprehensivitas
(comprehensiveness), pengambilan risiko (risk taking), dan ketegasan
(assertiveness). Zahra (2008) mengkombinasikan dimensi-dimensi yang
berbeda dalam proses pembuatan strategi, seperti command, symbolic,
rational, transactive, dan generative.
Lumpkin et al. (2009) berpendapat bahwa dasar dari dimensi prosesproses pembuatan strategi adalah sama dengan dasar dimensi proses-proses
orientasi kewirausahaan. Lumpkin et al. (2009) mengenalkan konsep
entrepreneurial management, di mana di dalamnya merefleksikan prosesproses organisasional, metode, dan bentuk yang digunakan oleh perusahaanperusahaan untuk bertindak secara wirausaha.
Mengacu pada dimensi-dimensi khusus dari orientasi kewirausahaan,
Runyan et al. (2008) membangun suatu dasar bagi orientasi kewirausahaan
dengan memberikan definisi orientasi kewirausahaan. Suatu perusahaan
dikatakan sebagai perusahaan dengan orientasi kewirausahaan apabila
perusahaan tersebut adalah yang pertama dalam inovasi produk, berani
mengambil risiko, dan proaktif dalam melakukan inovasi. Dengan demikian
orientasi kewirausahaan adalah proses, praktik, dan aktivitas yang
menggunakan inovasi produk, pengambilan risiko, dan usaha yang proaktif
untuk memenangkan persaingan.
Covin et al. (2006) mendefinisikan kewirausahaan sebagai keseluruhan
inovasi radikal perusahaan, tindakan strategi proaktif, dan aktivitas
pengambilan risiko yang diwujudkan dalam bentuk dukungan-dukungan
terhadap proyek-proyek yang berhubungan dengan dimensi-dimensi tersebut.
Beberapa peneliti lain juga melakukan penelitian berdasarkan dimensi
orientasi kewirausahaan dari Runyan et al. (2008). Sebagai contoh, Susi
(2000) melakukan penelitian terhadap usaha kecil industri bordir di Surabaya,
menemukan bahwa perusahaan yang proaktif, inovatif, dan berani mengambil
risiko akan memenangkan persaingan usaha dan meningkatkan kinerjanya.
Covin dan Slevin (2006) melakukan penelitian mengenai kinerja dari
perusahaan yang berorientasi kewirausahaan. Dalam penelitian mereka
terhadap 117 industri kecil, perusahaan disebut memiliki orientasi
kewirausahaan apabila mereka inovatif, pengambil risiko, dan proaktif.
Perusahaan yang kinerjanya meningkat adalah yang menjalankan operasional
perusahaan dengan pendekatan orientasi kewirausahaan. Penelitian tersebut
juga didukung oleh Iqbal (2014) yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa
orientasi kewirausahaan, perubahan lingkungan usaha, dan ketersediaan
modal secara positif mempengaruhi kinerja perusahaan.
Ismawanti (2008) menyatakan bahwa perusahaan dengan orientasi
kewirausahaan dapat mencapai target pasar dan berada di posisi pasar yang
lebih depan dibandingkan dengan pesaing mereka. Perusahaan ini senantiasa
memonitor perubahan pasar dan melakukan respon dengan cepat, kemudian
memperoleh keuntungan pada pasar yang berisiko (risk taking). Inovasi
menjadikan mereka berada di depan kompetitior, memperoleh keunggulan
kompetitif, dan memberikan hasil berupa pertumbuhan finansial. Sikap
proaktif memberikan perusahaan kemampuan untuk mengenalkan produk atau
jasa yang baru, lebih awal dibandingkan kompetitornya, yang memberikan
keunggulan kompetitif bagi perusahaan.
Lumpkin et al. (2009) menyatakan bahwa dimensi inovasi sebagai
dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan menunjukkan kecenderungan
perusahaan untuk menggunakan dan mendukung ide-ide baru, sesuatu yang
baru, bereksperimen, dan berproses dengan kreatif, yang akan membawa hasil
berupa produk baru, pelayanan baru, maupun proses teknologi yang baru.
Definisi inovasi secara klasik yaitu konsep baru, implementasi ide-ide baru,
produk, maupun proses yang baru. Inovasi juga diartikan sebagai sebuah ide,
praktik, maupun materi yang dianggap baru bagi perusahaan. Lebih luas,
inovasi didefinisikan sebagai implementasi sukses dari sebuah ide kreatif
dalam sebuah organisasi.
Meskipun kecenderungan untuk berinovasi dapat bervariasi, inovasi
merupakan kemauan dasar untuk meninggalkan teknologi-teknologi maupun
praktik-praktik yang lama, kemudian mencari hal-hal baru untuk menuju ke
arah yang lebih baik. Terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk
melakukan klasifikasi mengenai inovasi, namun yang paling sering digunakan
untuk membedakan derajat atau kadar inovasi sebuah perusahaan adalah
inovasi dalam produk dan inovasi dalam teknologi (Covin dan Slevin, 2006).
Scott dan Venkataraman (2000) mendefinisikan proaktif dalam
berwirausaha sebagai tindakan dalam mengantisipasi berbagai masalah,
memenuhi berbagai kebutuhan, dan mengambil berbagai kesempatan di masa
depan. Berdasarkan definisi tersebut sikap proaktif sangat penting dalam
orientasi kewirausahaan karena memberikan cara pandang ke masa depan
yang menyertai aktivitas inovasi. Perusahaan yang disebut proaktif adalah
perusahaan yang membentuk pasar dengan cara memperkenalkan produk
baru, teknologi baru, teknik administrasi baru, dan melakukan respon atau
reaksi bilamana pesaing melakukan tindakan. Sikap proaktif digunakan untuk
menggambarkan perusahaan yang melakukan tindakan paling cepat dalam
berinovasi dan yang pertama memperkenalkan produk atau jasa baru kepada
pasar.
Dalam proses wirausaha, beberapa literatur menyarankan pentingnya
inisiatif. Aloulou dan Fayolle (2005) memberikan argumentasi bahwa para
manajer dengan orientasi kewirausahaan adalah poin penting bagi
pertumbuhan organisasi karena mereka memberikan visi dan misi penting
yang menuju pada peluang-peluang usaha baru. Aloulou dan Fayolle (2005)
juga menyatakan bahwa strategi yang paling baik untuk memperoleh peluangpeluang pasar adalah secara proaktif memperhatikan dan menyikapi peluang.
Memberikan perhatian terhadap perubahan yang terjadi pada pasar,
perusahaan yang berinisiatif tinggi dapat menangkap keuntungan yang lebih
bagus dan mendapatkan posisi paling awal dalam memperoleh pengakuan
terhadap eksistensi produk atau jasa perusahaan. Bersikap inisiatif dengan
mengantisipasi, mengejar peluang baru, dan berpartisipasi dalam munculnya
pasar juga berkaitan dengan kegiatan kewirausahaan. Karakter yang kedua
dari kewirausahaan ini disebut sebagai karakter proaktif.
Pengambilan
risiko
menunjukkan
kemauan
perusahaan
untuk
mendukung proyek-proyek inovatif dan mengandung risiko walaupun hasil
akhir dari tindakan tersebut tidak bisa diketahui dengan pasti (Wiklund dan
Shepherd, 2005). Risiko memiliki arti yang bervariasi, tergantung pada
konteks apa risiko ini diterapkan. Mengambil risiko berarti mengambil
ketidakpastian dan sikap ini dapat digunakan pada beberapa tipe risiko yang
sering digunakan dalam literatur kewirausahaan, seperti risiko personal, risiko
sosial, atau risiko psikologis. Sebagai bagian dalam analisis keuangan, risiko
digunakan dalam konteks risiko usaha, yang secara khusus berarti
kemampuan untuk menghasilkan laba. Perusahaan dengan orientasi
kewirausahaan sering dihubungkan dengan perilaku berani mengambil risiko,
seperti meminjam modal yang besar untuk membuat usaha lebih maju,
mengambil peluang pasar, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi.
Kegiatan pengambilan risiko yang dilakukan perusahaan sebaiknya tetap
berada dalam kerangka toleransi risiko yang sudah ditetapkan untuk kebaikan
dan perkembangan perusahaan. Harris dan Gibson (2008) membuat skala
untuk mengukur tingkat pengambilan risiko pada perusahaan dengan orientasi
kewirausahaan. Dalam penelitiannya, Harris dan Gibson memberikan
pertanyaan kepada para manajer mengenai kecenderungan perusahaan untuk
memilih proyek yang berisiko dan tindakan apa yang dipilih oleh manajer,
diantara tindakan yang berani dan tindakan yang berhati-hati, agar perusahaan
berhasil. Haryadi (2015) menggunakan pendekatan yang sama, yaitu dengan
menanyakan para manajer apakah mereka cenderung untuk mencoba hal-hal
baru yang berisiko dengan memberikan hasil yang baik namun bersifat tidak
pasti, atau cenderung untuk mendukung proyek-proyek yang sudah ada,
pernah dilakukan, dan hasilnya sudah pasti.
Lumpkin et al. (2009) kemudian menyusun skala untuk mengukur
dimensi usaha dalam penelitiannya mengenai entrepreneurial posture.
Penelitian mereka menyatakan bahwa tingkat kewirausahaan sebuah
perusahaan diukur melalui tiga dimensi yaitu inovatif, proaktif, dan
pengambilan risiko.
2.2
Lingkungan Usaha
Hubungan antara lingkungan usaha dengan kinerja perusahaan telah
dijelaskan dalam teori manajemen stratejik, yaitu ekologi populasi
(population ecology theory), teori kontingensi (contingency theory), dan teori
ketergantungan pada sumber daya (resources dependence theory) (Henley,
2007). Teori ekologi populasi dan teori kontingensi adalah dua teori yang
paling banyak mendapat perhatian terkait hubungan antara lingkungan usaha
dengan kinerja perusahaan (Shahid et al., 2010).
Teori ekologi populasi menjelaskan bahwa kelangsungan hidup dan
keberhasilan perusahaan ditentukan oleh karakteristik lingkungan usaha di
mana perusahaan itu berada (Henley, 2007). Model pendekatan ini membawa
implikasi, yaitu lingkungan usaha mempunyai pengaruh langsung terhadap
kinerja perusahaan tanpa memandang pilihan strategi yang dijalankan
perusahaan. Kelemahan dari teori ini adalah adanya asumsi bahwa strategi
yang disusun dan dikembangkan oleh para manajer untuk merespon
lingkungan usahanya tidak mempengaruhi keberhasilan atau kinerja
perusahaan (McCrea dan Betts, 2008).
Teori kontingensi menyatakan bahwa keselarasan antara strategi dengan
lingkungan usaha menentukan kelangsungan hidup dan kinerja perusahaan
(Chang et al., 2007). Teori kontingensi juga menjelaskan bagaimana orientasi
stratejik organisasi mampu untuk memenuhi tuntutan lingkungan usaha
(Irene, 2006). Jika tidak tercipta keselarasan antara strategi dengan lingkungan
usaha, maka dapat berakibat menurunnya kinerja perusahaan. Chang et al.
(2007) juga menyatakan bahwa keselarasan antara perusahaan dengan
lingkungan usahanya merupakan fokus dari manajemen stratejik.
Pendapat dalam teori kontingensi mendapatkan dukungan dari banyak
pakar. Beberapa bukti empiris juga menunjukkan bahwa perusahaan yang
berhasil
mencapai
menyelaraskan
target
strategi
kinerja
dengan
adalah
perusahaan
yang
mampu
usahanya
atau
mampu
lingkungan
menunjukkan tindakan adaptif dan fleksibel dengan lebih baik dibandingkan
perusahaan-perusahaan yang kurang berhasil menyelaraskan strategi atau
menunjukkan tingkat adaptif dan fleksibilitas yang rendah (Covin dan Slevin,
2006; Runyan et al., 2008; Lumpkin et al., 2009).
Ketika pengambil keputusan sebuah perusahaan tidak memperhatikan
dan menyelaraskan perubahan lingkungan usaha dengan strategi, maka
perusahaan gagal untuk membuat penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan
bagi perusahaan. Kesalahan ini akan berakibat pada menurunnya kinerja dan
akan menjadi sumber masalah bagi perusahaan (Runyan et al., 2008). Chang
et al. (2007) menyatakan bahwa semakin besar kesesuaian antara pemahaman
dan interpretasi pengambil keputusan terhadap lingkungan usaha dan berbagai
perubahannya, maka kinerja ekonomi perusahaan akan menjadi lebih tinggi.
Bukti empiris menyarankan para pengambil keputusan agar memiliki
akses untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai lingkungan
usaha, dibandingkan hanya berdasarkan pada persepsi pribadi (Shane dan
Venkataraman, 2000). Pada praktiknya, kesalahpahaman mengenai kondisi
lingkungan usaha terjadi ketika para pembuat keputusan tidak merasa percaya
diri apakah mereka mengerti tentang kejadian dalam lingkungan usaha dan
berbagai perubahannya (Wiklund dan Shepherd, 2005).
Covin dan Slevin (2006) menyatakan bahwa lingkungan usaha mewakili
elemen ketidakpastian bagi organisasi, yang dikarakteristikkan dalam
dimensi-dimensi, yaitu tidak dapat diprediksi (unpredictability), dinamika
lingkungan
(environment
dynamism),
dan
heterogenitas
lingkungan
(environment heterogenity). Zahra (2008) memberikan definisi mengenai
lingkungan usaha yang tidak pasti sebagai tingkat kompetisi yang ketat, pasar
yang tidak dapat diprediksi, dan mudahnya kekuatan lingkungan usaha
mempengaruhi
perusahaan.
Faktor-faktor
lingkungan
usaha
dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan strategi perusahaan (Shahid et
al., 2010). Perubahan lingkungan usaha mencerminkan tingkat perubahan dan
derajat ketidakstabilan dari faktor-faktor yang ada di dalam lingkungan usaha.
Perspektif ini menyatakan semakin meningkatnya perubahan lingkungan
usaha, maka perusahaan akan semakin terbawa kepada ketidakpastian
lingkungan usaha yang lebih besar.
Covin dan Slevin (2006) memberikan skala pengukuran mengenai
lingkungan usaha. Menurut mereka, lingkungan usaha dapat dibedakan
menjadi
tiga
dimensi,
yaitu
heterogenitas
lingkungan
(environment
heterogenity), dinamika lingkungan (environmental dynamism), dan tidak
dapat diprediksi (unpredictability).
Covin dan Slevin (2006) menyatakan bahwa heterogentias lingkungan
usaha, kedinamisan, dan persaingan usaha secara positif dan signifikan
berhubungan dengan kegiatan proaktif, inovasi, dan pengambilan risiko.
Rauch et al. (2009) menyatakan bahwa perusahaan yang berkompetisi dalam
lingkungan persaingan usaha dan mengadopsi sikap kewirausahaan, akan
menikmati superioritas dalam lingkungan tersebut.
Frese (2009) menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang bersaing
dalam bidang teknologi tinggi atau dalam lingkungan usaha yang bersifat
tidak pasti dapat memperoleh sukses melalui pengambilan risiko. Frese (2009)
melalui studinya terhadap 140 perusahaan makanan ringan di Finlandia,
menemukan bahwa heterogenitas dan ketidakpastian lingkungan usaha secara
positif berkaitan dengan keberhasilan perusahaan yang memiliki sikap
kewirausahaan untuk meningkatkan kinerjanya.
2.3
Strategi Keunggulan Bersaing
Strategi adalah variabel penting yang berfungsi sebagai variabel
moderasi antara orientasi kewirausahaan dan kinerja perusahaan. Terdapat
banyak cara untuk mengetahui karaketer dari strategi, namun penggolongan
yang paling banyak diterima adalah penggolongan strategi keunggulan
bersaing dari Porter (2007).
Porter (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga pendekatan strategi yang
secara potensial dapat membawa perusahaan lebih unggul dari perusahaan lain
dalam suatu industri. Strategi ini disebut dengan tiga strategi umum
keunggulan
bersaing.
Tiga
strategi
umum
tersebut
adalah
strategi
kepemimpinan biaya, strategi diferensiasi, dan strategi fokus.
Covin
dan
Slevin
(2006)
dan
beberapa
peneliti
mengkritik
penggolongan strategi dari Porter tersebut. Kritikan tersebut didasarkan pada
jenis penggolongan yang terlalu sederhana dan tidak mengungkapkan variasi
luas
dari
strategi
diferensiasi.
Padahal,
strategi
diferensiasi
yang
sesungguhnya memiliki kegunaan bervariasi pada kondisi lingkungan usaha
yang berbeda.
Miller (2004) kemudian memodifikasi kerangka kerja milik Porter
dengan mengajukan dua tipe dari diferensiasi sebagai pengganti dimensi
fokus. Dua tipe tersebut didasarkan pada kegiatan pemasaran dan kegiatan
inovasi. Dengan demikian, Miller (2004) menggunakan dua dimensi strategi
keunggulan bersaing yaitu dimensi diferensiasi pemasaran dan diferensiasi
inovasi. Miller (2004) mengukur dimensi-dimensi strategi perusahaan agar
dapat dinilai tinggi atau rendah. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa dimensi-dimensi strategi ini sesuai dan memiliki hubungan erat (Shane
dan Venkataraman, 2000; Hsieh dan Tsai, 2007; Grinstein, 2008; Baker dan
Sinkula, 2009; Haryadi, 2015).
Strategi pertama adalah mendiferensiasikan produk atau jasa yang
ditawarkan perusahaan, yaitu menciptakan dan menawarkan suatu produk atau
pelayanan baru dan unik kepada konsumen. Kegiatan diferensiasi pemasaran
meliputi iklan yang luas, mengembangkan image produk, dan program
pemasaran yang intensif seperti menawarkan program-program pemasaran
yang menarik, produk yang memuaskan, dan garansi pelayanan (Hsieh dan
Tsai, 2007).
Avlontis dan Salavou (2007) menggambarkan strategi kedua yaitu
diferensiasi inovasi sebagai pelopor dalam kegiatan yang meliputi produk,
pelayanan, maupun teknologi. Diferensiasi inovasi merupakan kegiatan di
dalam perusahaan yang meliputi kreativitas dalam pengembangan produk,
pelayanan, penerapan teknologi baru, inovasi yang up-to-date, dan desain
kualitas.
Chang et al. (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi peran lingkungan
usaha berupa semakin tidak pastinya lingkungan usaha, semakin dinamis, dan
semakin tidak dapat diprediksi lingkungan usaha, maka penerapan strategi
semakin berguna untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Perubahan selera
konsumen yang terus menerus dan penawaran dari pesaing menuntut
perusahaan untuk terus mempertahankan kinerjanya melalui penerapan
strategi.
Dawn dan Michelle (2012) menemukan bahwa kinerja perusahaan
sangat tepat digunakan untuk mengukur kesesuaian hubungan antara gaya
wirausaha, struktur organisasi, dan strategi yang diterapkan. Dawn dan
Michelle (2012) dalam penelitiannya terhadap usaha kuliner di Australia
menemukan bahwa penggunaan strategi yang tepat pada perusahaan yang
berorientasi kewirausahaan secara positif dan signifikan dapat meningkatkan
kinerjanya. Haryadi (2015) menyatakan bahwa ketepatan dan kecocokan
hubungan antara lingkungan usaha, strategi keunggulan bersaing, dan kinerja
perusahaan akan membawa dampak pada kinerja perusahaan yang superior.
2.4
Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan adalah indikator untuk mengukur sejauh mana
kegiatan bisnis yang dijalankan perusahaan, sudah tepat pada sasaran dan
tujuannya (Nelly et al., 2003). Kinerja bisnis adalah tingkat keberhasilan
perusahaan, dalam menjalankan bisnis, secara keseluruhan, selama periode
tertentu. Terdapat beberapa aspek yang menunjukkan tingkat keberhasilan
kinerja perusahaan. Aspek - aspek tersebut antara lain, aspek keuangan
dengan indikator profit dan asset perusahaan, aspek sumber daya manusia
dengan indikator jumlah pegawai dan produktivitas kerja pegawai, dan aspek
pemasaran dengan indikator nilai penjualan dan frekuensi terjadinya
perubahan produk. Secara umum, penilaian terhadap kinerja perusahaan
didasarkan pada indikator penjualan, keuntungan, dan kinerja secara
keseluruhan (Lin dan Kuo, 2007).
Terdapat dua jenis pendekatan di dalam mengukur kinerja perusahaan,
yaitu pendekatan secara obyektif dan pendekatan secara subyektif (Rauch et
al., 2009). Pendekatan obyektif adalah jenis pendekatan dengan menggunakan
data-data yang bersifat obyektif seperti data akuntansi dan data keuangan.
Pendekatan secara subyektif adalah pendekatan yang berdasarkan persepsi
para manajer terhadap kinerja perusahaan.
Pengukuran secara obyektif yang didasarkan data akuntansi dan data
keuangan memiliki kekurangan. Kekurangan terebut disebabkan adanya
kecenderungan manipulasi angka dari pihak manajemen, dan oleh
bervariasinya model akuntasi, sehingga pengukuran kinerja perusahaan
menjadi tidak valid. Kesulitan lain yang muncul ketika menilai kinerja
perusahaan berdasarkan pengukuran secara obyektif adalah manajer atau
pemilik berkeberatan untuk memberikan informasi dan data-data keuangan
mereka. Kondisi ini lazim ditemui pada penelitian terhadap usaha kecil.
Tidak ada standar mengenai pengukuran yang tepat terhadap kinerja
perusahaan kecil. Penelitian terdahulu juga fokus pada variabel-variabel di
mana informasi tersebut mudah untuk diperoleh (Irene, 2006). Lebih jauh
lagi, masih terdapat perdebatan tentang pendekatan yang tepat untuk
mengukur kinerja perusahaan. Beal (2000) menyatakan bahwa pengukuran
kinerja yang cocok dan layak tergantung pada situasi dan kondisi yang
dihadapi oleh peneliti. Sebagai upaya mengantisipasi tidak tersedianya datadata kinerja perusahaan secara obyektif dalam sebuah penelitian, maka
dimungkinkan untuk menggunakan ukuran kinerja secara subyektif, yang
didasarkan pada persepsi manajer.
Pengukuran secara subyektif terhadap kinerja digunakan karena usaha
kecil seringkali sangat berhati-hati dalam menjaga informasi data keuangan
perusahaan (Grinstein, 2008). Oleh karena itu, informasi data kinerja secara
subyektif akan lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan informasi secara
obyektif. Selain itu, data keuangan obyektif pada usaha kecil tidak
dipublikasikan secara akurat dan terkadang tidak tersedia. Hal ini membuat
pemeriksaan ketepatan dari kinerja keuangan yang dilaporkan menjadi sangat
sulit. Data keuangan usaha kecil juga sebagian besar sulit untuk
diinterpretasikan. Pengukuran secara subyektif akan lebih tepat digunakan
dalam sebuah penelitian di mana obyek penelitian terdiri atas perusahaanperusahaan yang berbeda yang memiliki tujuan dan kriteria pengukuran
kinerja yang berbeda-beda. Hasil pengukuran kinerja perusahaan secara
subyektif hampir sama dengan hasil pengukuran obyektif, serta memiliki
tingkat reliabilitas dan validitas yang tinggi.
Download