BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Candida albicans

advertisement
1
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Candida albicans
a. Klasifikasi
Klasifikasi dari Candida albicans adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Fungi
Division
: Thallophyta
Subdivision
: Fungi
Class
: Deuteromycetes
Order
: Moniliales
Family
: Cryptococcaceae
Genus
: Candida
Species
: Candida albicans
(Waluyo, 2004)
b. Morfologi
Pada sediaan apus eksudat, Candida tampak sebagai ragi
lonjong, kecil, berdinding tipis, bertunas, gram positif, berukuran 2-3
x 4-6 µm yang memanjang menyerupai hifa (pseudohifa). Candida
membentuk pseudohifa ketika tunas-tunas terus tumbuh tetapi gagal
melepaskan diri, menghasilkan rantai sel-sel yang memanjang yang
terjepit atau tertarik pada septasi-septasi diantara sel. Candida
2
albicans bersifat dimorfik, selain ragi-ragi dan pseudohifa, ia juga bisa
menghasilkan hifa sejati (Brooks, et. al, 2007).
Pada agar sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar atau
37ºC selama 24 jam, spesies Candida albicans menghasilkan koloni koloni halus berwarna krem yang mempunyai bau seperti ragi.
Pertumbuhan permukaan terdiri atas sel-sel bertunas lonjong.
Pertumbuhan di bawahnya terdiri atas pseudomiselium. Ini terdiri atas
pseudohifa yang membentuk blastokonidia pada nodus-nodus dan
kadang-kadang klamidokonidia pada ujung-ujungnya.
Dua tes morfologi sederhana membedakan Candida albicans
yang paling patogen dari spesies Candida lainnya yaitu setelah
inkubasi dalam serum selama sekitar 90 menit pada suhu 37ºC, sel-sel
ragi Candida albicans akan mulai membentuk hifa sejati atau tabung
benih dan pada media yang kekurangan nutrisi Candida albicans
menghasilkan chlamydospora bulat dan besar. Candida albicans
meragikan glukosa dan maltosa, menghasilkan asam dan gas, asam
dari sukrosa dan tidak bereaksi dengan laktosa. Peragian karbohidrat
ini, bersama dengan sifat-sifat koloni dan morfologi, membedakan
Candida albicans dari spesies Candida lainnya (Brooks, et. al, 2007).
c. Patogenitas
Candida albicans dapat hidup sebagai saprofit (saprobe) tanpa
menyebabkan kelainan di dalam berbagai organ tubuh manusia
maupun hewan. Faktor rentan dapat menyababkan Candida albicans
3
dapat berubah menjadi patogen dan menyebabkan penyakit yang
disebut kandidiasis. Kandidiasis adalah suatu infeksi akut atau
subakut yang dapat menyerang berbagai jaringan tubuh (Siregar,
2004). Misalnya kandidiasis mulut (sariawan), kandidiasis vagina
(vaginitis), kandidiasis kulit yang sifatnya sistemik (Tjay dan
Rahardja, 2003). Beberapa faktor yang menyebabkan Candida
albicans menjadi patogen adalah daya tahan tubuh menurun,
pemberian antibiotik yang terlalu lama dan berlebihan. Pada mulanya
penyakit kandidiasis dianggap hanya penyakit ringan, tetapi setelah
ditemukan kasus yang fatal pada penderita kandiasis, maka dapat
disimpulkan bahwa kandiasis juga dapat menyerang organ dalam
seperti jantung, ginjal, paru-paru.
d. Karakteristik Candida albicans
Pada kondisi anaerob dan aerob, Candida albicans mampu
melakukan metabolisme sel. Pertumbuhan juga lebih cepat pada
kondisi asam dibandingkan dengan pH normal atau alkali (Biswas dan
Chaffin, 2005). Proses peragian (fermentasi) pada Candida albicans
dilakukan dalam suasana aerob dan anaerob. Karbohidrat yang
tersedia dalam larutan dapat dimanfaatkan untuk melakukakan
metabolisme sel dengan cara mengubah karbohidrat menjadi CO2 dan
H2O dalam suasana aerob. Dalam suasana anaerob hasil fermentasi
berupa asam laktat atau etanol dan CO2 (Waluyo, 2004).
4
2. Seledri (Apium graveolens L.)
a. Klasifikasi tanaman seledri
Kingdom
: Plantarum
Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Umbelliferales
Famili
: Umbelliferae
Genus
: Apium
Species
: Apium graveolens L.
b. Deskripsi tanaman seledri
Seledri merupakan salah satu bahan alam yang telah lama
digunakan sebagai makanan. Daun dan batang seledri sejak dahulu
telah dimanfaatkan sebagai bumbu dapur, umumnya digunakan
sebagai pelengkap dalam berbagai masakan bersama-sama dengan
sayuran lainnya. Tumbuhan ini diperkirakan berasal dari Eropa yang
dibudidayakan di daerah Mediterania sejak 3000 tahun lalu.
Tumbuhan ini juga telah dibudidayakan hampir di seluruh Nusantara
(BPOM, 2008).
Seledri biasanya ditanam di sawah dan di ladang-ladang yang
bertanah lembab dengan tinggi dapat mencapai 50 cm. Daunnya
termasuk daun majemuk, berpangkal pada batang mendekati tanah,
menyirip ganjil berbentuk lekuk tangan, berujung runcing dengan tepi
5
bergerigi, panjang 2-7,5 cm dan lebar 2-5 cm, pertulangan daun
menyirip, warna hijau atau hijau keputih-putihan, berbau aromatis
serta mempunyai anak daun 3-7 helai. Batang seledri tidak berkayu,
bersegi, beralur, beruas dan bercabang tegak dengan warna hijau
pucat. Berbunga majemuk, berbentuk payung dengan tangkai 2 cm
berjumlah 8-12, benang sari berjumlah 5, berlepasan, berseling
dengan mahkota, ujung runcing, mahkota berbagi 5 dan bagian
pangkal berlekatan berwarna putih. Buah kotak berbentuk kerucut
dengan panjang 1-1,5 mm, berwarna hijau kekuningan. Berakar
tunggang dengan warna putih kotor (BPOM, 2008).
c. Kandungan kimia seledri
Seledri mengandung minyak menguap seperti limonene,
myrcene, β-selinene, α-terpineol, carveol, dihydrocarvone, geranyl
acetate, dan senyawa phthalide yang memberikan bau aromatik yaitu
3-butyliden
phthalid,
3-butyl
phthalid
dan
3-isobutyliden
dihydrophthalid. Seledri juga mengandung senyawa flavonoid apiin,
apigenin,
luteolin-7-O-apiosyl
glucoside
dan
senyawa
furanocoumarin seperti bergaptene, xanthotoxin dan isopimpinellin
(BPOM, 2008).
d. Efek farmakologis
Seledri tidak dianjurkan bagi wanita hamil dan karena minyak
atsirinya bersifat iritasi pada ginjal maka sebaiknya tidak diberikan
pada penderita dengan gangguan ginjal (BPOM, 2008).
6
Selain itu, ekstrak etanolik seledri dosis 25 mg per 200 gram
berat badan dan 50 mg per 200 gram berat badan juga memberikan
efek penurunan kadar kolesterol dan trigliserida darah secara
bermakna pada tikus jantan galur Wistar yang diberikan kuning telur
10 ml per kilogram berat badan. Seledri juga merupakan salah satu
tumbuhan obat yang telah menjadi produk fitofarmaka, yaitu obat
bahan alam yang telah memenuhi kriteria aman sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan, khasiatnya telah dibuktikan secara klinis
dan bahan baku yang digunakan dalam produk jadinya telah melalui
proses standardisasi. Bersama dengan tumbuhan obat kumis kucing
(Orthosiphon stamineus Benth.), seledri diindikasikan untuk
menurunkan tekanan darah dan dapat digunakan dalam pengobatan
hipertensi ringan (BPOM, 2008).
e. Mekanisme Daya Antibakteri Seledri
Zat antibakteri ekstrak daun seledri antara lain flavonoid,
saponin, dan tannin. Flavonoid merupakan kumpulan dari polifenol
yang terdiri dari lima belas karbon dan dua cincin aromatik yang
dihubungkan oleh tiga rantai karbon. Turunan dari flavonoid yang
terkandung dalam seledri adalah flavon, yaitu seperti luteolin,
apigenin, dan chrysoeriol (Crozier, 2006). Kandungan flavonoid pada
100 gram daun seledri segar adalah 5,3-16 µmol apigenin, 18-51 µmol
glikosida apigenin, 7,1-21 µmol glikosida luteolin, dan 13- 38 µmol
glikosida chrysoeriol (Sakakibara, 2002). Flavonoid memiliki
7
beberapa manfaat selain sebagai agen antibakteri yaitu sebagai agen
antifungi, dan antivirus (Cushnie, 2005). Mekanisme antibakteri dari
flavonoid ada tiga macam, yaitu yang pertama dengan cara
menghambat sintesis asam nukleat. Cara kedua yaitu dengan
menghambat fungsi membran sitoplasma dengan merusak fluiditas
membran pada regio hidrofilik dan hidrofobik sehingga fluiditas
lapisan luar dan lapisan dalam membrane akan menurun, dengan
mekanisme ini diharapkan mampu untuk menghambat adanya
pertumbuhan spora baru dari jamur. Cara ketiga dengan menghambat
metabolisme energi. Selain itu flavonoid memiliki kemampuan
sebagai anti glukosiltransferase (Vasconcelos, 2006).
Komponen antibakteri lainnya adalah saponin yang merupakan
produk glikosida alam dengan berat molekul tinggi (Johnson, 2013).
Saponin dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu triterpenoid,
steroid alkaloid dan glikosilat steroid (Saxena, 2013). Saponin dapat
membentuk busa yang stabil pada larutan encer seperti sabun.
Mekanisme saponin sebagai agen antibakteri adalah dengan cara
berinteraksi dengan kolesterol pada membran sel dan menyebabkan
membran sel mengalami modifikasi lipid yang akan mengganggu
kemampuan bakteri untuk berinteraksi dengan membran yang sudah
mengalami modifikasi tersebut. Terganggunya interaksi antara bakteri
dengan membranselnya akan menyebabkan kemampuan bakteri untuk
merusak atau berinteraksi dengan host akan terganggu. Ketika
8
membran sel terganggu, zat antibakteri akan dapat dengan mudah
masuk kedalam sel dan akan mengganggu metabolisme hingga
akhirnya terjadilah kematian bakteri (Karlina, 2013). Selain flavonoid
dan saponin, terdapat komponen lain yang memiliki daya antibakteri
yaitu tanin. Kemampuan tanin sebagai antibakteri dapat dilihat dari
aksinya pada membran. Menurut Vasconcelos et al., tanin dapat
melewati membran sel karena tanin dapat berpresipitasi pada protein
(Abdollahzadeh, 2011). Tanin juga dapat menekan jumlah beberapa
enzim seperti glukosiltransferase. Dinyatakan oleh Wolinsky et al.,
bahwa tanin juga dapat berikatan dengan asam lipoteikoit pada
permukaan sel S. mutans (Islam, 2007). Hal inilah yang mendukung
daya antibakteri tanin terhadap S. mutans.
3. Kemangi (Ocimum bacilicum L.)
Sejak zaman dahulu, masyarakat Indonesia sudah mengenal
dan memakai tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya
penanggulangan masalah kesehatan yang dihadapi. Kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata tidak mampu begitu saja
menghilangkan arti pengobatan tradisional. Kajian bahan-bahan alam
berpotensi obat asli Indonesia yang baru dilihat secara empiris sebagai
obat-obat tradisional perlu dikaji secara ilmiah melalui skala
laboratoris baik secara in vitro yang nantinya akan dilanjutkan dengan
in vivo setelah melalui proses yang panjang dan bertahap, sehingga
akan ditemukan bahan alam berpotensi obat yang merupakan bahan
9
tanaman asli Indonesia. Sehingga diharapkan nantinya harga obat
yang mahal dapat ditekan. Minyak atsiri akhir-akhir ini menarik
perhatian dunia, hal ini disebabkan karena minyak atsiri dari beberapa
tumbuhan bersifat aktif biologis, diantaranya sebagai antibakteri.
Selain itu, minyak atsiri juga dapat dipergunakan sebagai bahan
pengawet pada makanan dan sebagai antibiotik alami. Salah satu
tumbuhan yang dipergunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai
bahan obat-obatan adalah kemangi (Ocimum spp.) (Kadarohman et al.
2011). Kemangi adalah tumbuhan berbatang pendek yang tumbuh di
berbagai belahan dunia.
a. Klasifikasi tanaman kemangi :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Lamiaceae
Genus
: Ocimum
Spesies
: Ociumum sanctum L.
(Maryati et al, 2007)
10
b. Deskripsi tanaman kemangi
Tanaman yang banyak tumbuh didaerah tropis ini merupakan
herba tegak atau semak, tajuk membulat, bercabang banyak, sangat
harum dengan tinggi 0,3-1,5 meter. Batang pokoknya tidak jelas,
berwarna hijau sering keunguan dan berambut atau tidak. Daun
tunggal, berhadapan, dan tersusun dari bawah ke atas. Panjang tungkai
daun 0,25-3 cm dengan setiap helaian daun berbentuk bulat telur
sampai elips, memanjang dengan ujung runcing atau tumpul. Pangkal
daun pasak sampai membulat, dikedua permukaan berambut halus,
tepi daun bergerigi lemah, bergelombang atau rata (Maryati et al,
2007). Bunga kemangi tersusun pada tangkai bunga berbentuk
menegak. Bunganya jenis hemafrodit, berwarna putih dan berbau
sedikit wangi. Bungan majemuk berkarang dan diketiak daun ujung
terdapat daun pelindung berbentuk elips atau bulat telur dengan
panjang 0,5-1 cm. Kelopak bunga berbentuk bibir, sisi luar berambut
kelenjer, berwarna ungu atau hijau, dan ikut menyusun buah, mahkota
bunga berwarnah putih dengan benang sari tersisip didasar mahkota
dan kepala putik bercabang dua namun tidak sama (Maryati et al,
2007). Buah berbentuk kotak, berwarna coklat tua, tegak, dan tertekan
dengan ujung membentuk kait melingkar. Panjang kelopak buah 6-9
mm. Biji berukuran kecil, bertipe keras, coklat tua, dan waktu diambil
segera membengkak, tipa buah terdiri dari empat biji. Akar tunggang
dan berwarnah putih kotor (Maryati et al, 2007).
11
c. Kandungan kimia daun kemangi
Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kemangi adalah
3,7-dimetil-1, 6-oktadien-3-ol (linalool 3,94 mg per gram), 1-metoksi4-(2-propenil) benzena (estragol 2,03 mg per gram), metil sinamat
(1,28 mg per gram), 4-alil-2-metoksifenol (eugenol 0,896 mg per
gram), dan 1,8-sineol (0,288 mg per gram) yang diidentifikasi dengan
metode GC/MS. Secara tradisional, kemangi telah digunakan dalam
penyembuhan pusing, batuk, diare, konstipasi, gagal ginjal, dan kutil
(Yosephine et al, 2013).
Tanaman kemangi mengandung minyak atsiri yang banyak
dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri. Disamping itu juga
mengandung flafon apigenin, luteolin, flavon O-glukotisidaapigenin
7-O glukoronida, luteolin 7-O glukoronida, flavon C-glukosida
orientin, molludistin dan asam ursolat. Sedangkan pada daun kemangi
sendiri, penelitian fitokimia telah membuktikan adanya flavonoid,
glikosid, asam gallic dan esternya, asam kaffeic dan minyak atsiri
yang mengandung euganol sebagai komponen utama (Yosephine et
al, 2013). Menurut “Daftar Komposisi Bahan Makanan” Direktorat
Gizi Departemen Kesehatan RI, kemangi termasuk tanaman yang
kaya akan provitamin A. Setiap 100 gram daun kemangi, terkandung
5.000 satuan internasional vitamin A. Kelebihan lainnya, kemangi
termasuk tanaman yang banyak mengandung mineral, kalsium dan
fosfor yaitu sebanyak 45 dan 75 miligram per 100 gram daun kemangi.
12
d. Efek farmakologis
Minyak
atsiri
dari
daun
kemangi
memiliki
efek
antimikrobiologi yaitu efek melawan Microbacterium tuberculosis
dan Staphylococcus aureus in vitro dan bakteri serta jamur lainnya
(Yosephine et al, 2013 ; Parwata et al, 2008). Efek tersebut diperankan
oleh eugenol dan methyl eugenol yang menunjukkan reaksi yang
positif. Oleh karena itu infeksi bakteri dan jamur kulit dapat diobati
dengan jus daun kemangi (Cahyani, 2014).
Ekstrak cair daun kemangi menunjukkan efek hipotensi dan
dapat menghambat kontraksi otot halus yang dirangsang oleh
asetilkolin, korbakol, dan histamin (Cahyani, 2014). Sedangkan
ekstrak padat daun kemangi dalam dosis 500 mg sebanyak 3 kali
selama seminggu, signifikan menurunkan sesak nafas pada 20 pasien
dengan eosinofilia tropikal. Meskipun disana tidak ada pengurangan
jumlah eusinofil pada darah tepi (Cahyani, 2014).
4. Simplisia dan Ekstraksi
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan, dan kecuali dikatakan lain berupa
bahan yang telah dikeringkan (Dirjen POM, 2000). Ekstrak adalah
sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Dirjen POM,
2000).
13
Menurut Dirjen POM (2000) metode ekstraksi dapat dilakukan
dengan beberapa cara :
a. Cara dingin
1) Maserasi
Maserasi
adalah
proses
penyarian
simplisia
menggunakan pelarut dengan perendaman dan beberapa
kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan
masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif
yang akan larut, karena adanya perbedaan kosentrasi
larutan zat aktif didalam sel dan diluar sel maka larutan
terpekat didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di
luar sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air,
etanol, metanol, etanol-air atau pelarut lainnya. Remaserasi
berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Remaserasi
berarti dilakukan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Keuntungan
cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan
yang
diusahakan.
digunakan
sederhana
yang
mudah
14
2) Perkolasi
Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan
dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia
yang telah dibasahi. Proses perkolasi terdiri dari tahapan
pengembang bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya
(penetesan/penampungan
ekstrak),
terus
menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat).
b. Cara panas
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada
temperatur titik didihnya, dilakukan selama waktu tertentu
dan dengan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik.
2) Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan
pelarut yang pada umumnya dilakukan dengan alat khusus
sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan dan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan
kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur
ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 4050ºC.
15
4) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan
temperatur sampai titik didih air, yakni 30 menit pada suhu
90-100 ºC.
16
B. Kerangka Pemikiran
Berbagai macam
kandungan kimia daun
seledri.
Berbagai macam
kandungan kimia daun
kemangi.
Menghambat pertumbuhan
Candida albicans (merusak
dinding sel jamur).
Menghambat pertumbuhan
spora baru.
Potensiasi campuran
ekstrak etanolik
seledri dan ekstrak
etanolik kemangi.
Menghambat pertumbuhan
spora baru.
Menghambat
pertumbuhan koloni.
Menghambat
pertumbuhan koloni.
Terbentuk zona
hambatan.
Terbentuk zona
hambatan.
Dilihat perbedaan potensi
penghambatan pada
masing-masing
konsentrasi.
Keterangan :
: membandingkan
: berefek
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikir
17
C. Hipotesis
Terdapat perbedaan potensi antifungi ekstrak etanolik seledri (Apium
graveolens L.), kemangi (Ocimum bacilicum L.) serta campuran keduanya
terhadap pertumbuhan Candida albicans in vitro.
Download