Telaah Buku - Studia Philosophica et Theologica

advertisement
Telaah Buku
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Tebal
:
:
:
:
The Future of Freedom (Masa Depan Kebebasan)
Fareed Zakaria
PT. Ina Publikatama, Jakarta 2004 (penerbit terjemahan)
355
Kebebasan. Ia punya masa depan atau tidak? Inilah pertanyaan
mendasar dari sebuah buku yang secara amat cerdas mengajak pembaca
bertamasya secara intelektual peradaban politik dan sosial manusia di berbagai
belahan planet bumi saat ini. Fareed Zakaria, nama penulis yang cerdas
ini, seorang wartawan dari Newsweek International.
“Kita hidup di era demokrasi.” Tegas Fareed pada kalimat pertama
pendahuluan bukunya. “Di tahun 1900 tidak ada satu negara pun yang
memiliki apa yang kita kenal sekarang sebagai demokrasi: sebuah
pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum dimana setiap orang dewasa dapat memilih. Saat ini ada 119 negara, meliputi 62 persen
dari seluruh negara di dunia yang menjalankan demokrasi” (hal. 1).
Judul lengkap dari buku yang cerdas ini demikian: Masa Depan
Kebebasan. Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara lain (selanjutnya
akan diabreviasi MDK atau Masa Depan Kebebasan saja). Fareed, yang
bukan filsuf tetapi seorang jurnalis kelas wahid, mengawali analisisnya
dengan mengajukan banyak data-data umum tentang demokrasi secara
gamblang. Barangkali inilah yang memikat setiap pembaca MDK. Tidak
banyak yang memiliki kemampuan seperti Fareed dalam hal mengemukakan “bahan-bahan” analisis demokrasi secara umum. Agak
terkesan “generalisir”. Tetapi, manakala orang menekuni uraian-uraian
selanjutnya dalam buku itu, ia akan merasa seakan dibawa keliling dunia,
menikmati tamasya peradaban demokrasi negara-negara.
Fareed membangunkan setiap pembacanya dengan dalil-dalil yang
tidak lazim. Jika orang belajar filsafat politik, ia akan dengan cepat memiliki
kesimpulan bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang
unggul dengan segala pondasi filosofisnya. Tetapi, jika orang membaca
uraian Fareed, demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan tanpa
menyimpan “bahaya”. Hal ini jelas dari beberapa negara yang secara
demokratis telah membangun pemerintahan baru. Ia mengutip Richard
Holbrooke, diplomat kawakan Amerika, “Bayangkan pemilihan umum
dilaksanakan secara bebas dan jujur dan mereka yang terpilih adalah kaum
rasis, fasis, separatis.” Komentar Holbrooke tentang pemilu di Yugoslavia
tahun 1990-an.
172
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004
Dalam jalan pikiran yang sama, itulah pula yang mengkawatirkan
perihal demokrasi di negara-negara Islam. Di planet bumi ini, negara-negara
Islam (terutama Asia dan satu dua Afrika) terbilang negara-negara yang
represif. “Kita menyadari perlunya ada demokrasi di negara-negara yang
sering represif itu. Tetapi bagaimana jika demokrasi menghasilkan suatu
teokrasi Islam atau yang semacamnya? Ini bukan hal yang sepele. Di seluruh
dunia, rezim-rezim yang secara demokratis terpilih, yang sering merupakan
rezim yang telah dipilih kembali atau dikukuhkan melalui referendum,
terus-menerus mengabaikan batasan-batasan konstitusi atas kekuasaannya
dan merampas hak-hak dasar warga negaranya. Fenomena yang cukup
mengganggu ini – yang jelas terjadi dari Peru hingga wilayah Palestina,
dari Ghana hingga Venezuela – dapat disebut sebagai ‘demokrasi semu’”
(hal. 8).
“Demokrasi semu”, sebuah istilah yang kedengaran baru. Di sini Fareed
mengatakan sesuatu yang pernah dikatakan oleh Robert Nozick dalam
bahasa yang lain. Nozick menyebut bahwa raison d’être negara ialah
keadilan. Yang disebut keadilan ialah hak-hak individu dilindungi dan
dimungkinkan. Jika rights pudar, pemerintahan kehilangan legitimasinya.
Dalam apa yang di-sebut Fareed sebagai “demokrasi semu”, berlaku jalan
pikiran yang sama. Pemerintahan demokrasi yang menyisihkan kebebasan
sesungguhnya hanyalah omong kosong belaka.
Ada banyak demokrasi semu. Fareed mengajukan contoh beberapa
negara eks-Uni Soviet dan eks komunis. Umumnya mereka berada pada
“persimpangan jalan”. Jelas bahwa negara-negara itu telah mengeluarkan
dirinya dari kungkungan ideologis yang diktatorial. Tetapi, pada saat yang
sama, ketika penguasa mendapat legitimasi kekuasaan yang penuh produk
demokrasi, mereka jatuh dalam bentuk kediktatoran yang lain. Ironisnya
emblem demokrasi yang berupa kebebasan malah makin direduksi. Karena
inilah banyak kalangan liberal pada abad XVIII dan XIX (ingat revolusi
Perancis!) memandang demokrasi sebagai sebuah kekuatan yang dapat
mengalahkan kebebasan. Revolusi Perancis, produk demokrasi, malah
mematok manusia untuk tidak bisa berkata lain kecuali segala apa yang
dikatakan dan diputuskan oleh penguasa pada waktu itu.
Kecenderungan bagi sebuah pemerintah yang demokratis untuk
meyakini bahwa ia memiliki kedaulatan mutlak (maksudnya kekuasaan)
dapat menimbulkan sentralisasi seringkali malah dengan cara-cara yang
ekstra-konstitusional. Hasilnya? Tidak terlalu menggembirakan. Ujungujungnya pemerintahan tersebut tergelincir ke kediktatoran secara
demokratis.
Mengenai dunia Islam, Fareed mengawali komentarnya dengan frase
tajam menyindir: “Situasinya tetap sama mengagumkan, dan kisahnya tetap
sama menyedihkan” (hal. 139). Dunia Islam adalah dunia yang mengejutkan. Di belahan dunia Timur Tengah, yang nyaris merupakan negaraTelaah Buku
173
negara Islam, orang kerap dikejutkan dengan realitas ketundukan terhadap
agama (Islam). Mengagumkan. Namun, dari sisi kehidupan politik
demokrasi, negara-negara Islam terbilang gagal, untuk mengatakan bahwa
de facto prinsip-prinsip kebebasan manusiawi kurang atau malahan tidak
terakomodasi dengan wajar. Demokrasi Islam unik.
Yang sangat menonjol dalam uraian Fareed adalah penemuannya,
bahwa negara-negara Islam memiliki kecenderungan yang kurang lebih
sama. Nilai-nilai kultural setempat mudah tergusur oleh paham-paham
fundamentalistik agama dalam hal politik. Semakin negara Islam
demokratis, keyakinan Fareed, semakin negara tersebut rentan jatuh ke
tangan kaum fundamentalis. Akibatnya, Islam kurang gandeng dengan
demokrasi. Contoh paling gamblang adalah Mesir. Ketika seorang diplomat Amerika bertanya kepada Mubarak, apakah Mesir tidak bisa lebih
demokratis dari sekarang? Mubarak menjawab, kalau demokratis Mesir
akan jatuh di tangan kaum fundamentalis. Dan, segala apa yang merupakan
produk dari terminologi “kebebasan” pastilah akan lenyap dari bumi Mesir.
Islam gandeng dengan Oriental. Fareed mengutip Lord Cromer, yang
menjadi penguasa tunggal di Mesir mewakili kerajaan Inggris mulai 1883
sampai 1907: “Keinginan [orang-orang Mesir] terhadap akurasi dengan
mudah berubah menjadi ketidakbenaran ... pikiran dari seorang Oriental,
seperti jalan-jalannya yang sangat indah, amat jelas sangat tidak simetris.
Cara penalaran mereka sangatlah tidak beraturan ...” (hal. 152).
Fareed, orang Amerika keturunan India, telah membuka mata setiap
pembaca akan realitas demokrasi dunia dan masa depan “dewa” demokrasi
yang namanya kebebasan. Dengan reportase yang gamblang, bahasa yang
lugas, ia telah berhasil mengajak pembaca memiliki panorama jatuh
bangunnya peradaban manusia abad ini untuk mengurus tata hidup
bersamanya, membela kebebasan. Buku Masa Depan Kebebasan (dengan
terjemahan yang readable meskipun kalimat-kalimatnya terkadang cukup
panjang) memang layak untuk dinikmati. Meski dengan sedikit data yang
kurang luas tentang Indonesia, buku ini tidak kehilangan kepentingannya
untuk publik pembaca Indonesia.
Armada Riyanto
174
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004
Download