KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum WarahmatullahiWabarakatuh Sistem pembelajaran menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan metode Problem-based Learning (PBL) di Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara merupakan penerapan dari KBK berpedoman kepada Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002. Berdasarkan rapat terbatas staf inti FK UMSU penerapan KBK dengan metode PBL dimulai pada tahun akademi 2008/2009 bagi mahasiswa angkatan pertama. Tujuan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi ini adalah menghasilkan dokter yang mampu bekerja profesional dalam melayani masyarakat dan mampu mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir. Pada tahun 2013, UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia) menempatkan OSCE sebagai salah satu bentuk kegiatan yang akan diujiankan. OSCE (Objective Structured Clinical Examination) merupakan ujian yang mengasah pengetahuan, keterampilan, etika dan cara berkomunikasi mahasiswa Fakultas Kedokteran melalui uji keterampilan klinis terstruktur dan dinilai secara objektif. Fakultas Kedokteran UMSU mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi OSCE dengan menyelenggarakan kegiatan Keterampilan Klinis Dasar pada setiap semester untuk melatih kemampuan mahasiswa melakukan keterampilan klinis untuk menjadi dokter yang kompeten Keterampilan klinis yang dilatih sesuai dengan standar kompetensi dokter Indonesia kompetensi 3 dan 4, yang mana keterampilan – ketreampilan tersebutlah yang akan diujikan pada OSCE nasional. Semoga buku ini bermanfaat. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dr. Ade Taufiq, Sp.OG 1 DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar ............................................................................................................................. 1 Daftar Isi ......................................................................................................................................... 2 Tahapan Kegiatan dan Tata tertib Peserta Kegiatan Keterampilan Klinis Dasar.................................................................................................................................................. 3 Learning Outcome dan Learning Objective......................................................................... 6 Daftar Keterampilan Klinis Dasar ……….............................................................................. 8 Keterampilan Klinis Blok Organ Khusus............................................................................ 10 Keterampilan Klinis Blok Dermatomuskuloskeletal.................................................... 46 Keterampilan Klinis Blok Neurologi ……….................................................................... 73 Lembar Refleksi Diri………………………………………………………………………………… 96 2 TATA TERTIB PESERTA PELATIHAN DAN EVALUASI KETERAMPILAN KLINIS DASAR TAHAPAN KEGIATAN KETERAMPILAN KLINIS DASAR A. Persiapan dan Responsi (15 menit) 1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan (10 menit) 2. Instruktur meresponsi mahasiswa sebelum masuk ruangan skills lab, mahasiswa yang tidak memiliki prior knowledgetentang keterampilan yang akan dilatih tidak berhak mengikuti kegiatan(5 menit) B. Demonstrasi dan Role Play (85 menit) 1. Doa pembuka dipimpin oleh instruktur 2. Instruktur memperkenalkan materi yang akan dilatih serta tanya jawab singkat terhadap materi yang belum jelas. 3. Instruktur melakukan demonstrasi cara melakukan prosedur yang akan dilatih pada mahasiswa 4. Instruktur membimbing mahasiswa satu per satu secara bergantian (role play) saat melakukan latihan seperti yang telah didemonstrasikan oleh instruktur pada langkah di atas 5. Instruktur membimbing mahasiswa untuk merefleksikan keterampilan yang telah dilakukan secara spesifik baik lisan maupun tertulis di lembar refleksi pada penuntun KKD. 6. Instruktur meminta mahasiswa lain dan pasien simulasi (jika ada) untuk memberikan umpan balik kepada mahasiswa 7. Instruktur memberikan umpan balik pada mahasiswa setelah melakukan latihan peran (role play) secara lisan kepada mahasiswa sesuai lembar refleksi pada penuntun KKD mahasiswa 8. Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab semua pertanyaan dengan benar 9. Instruktur memberikan rangkuman terhadap kegiatan pelatihan dan mengingatkan mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada pertemuan berikutnya. 10. Doa penutup. TAHAPAN KEGIATAN BELAJAR MANDIRI KETERAMPILAN KLINIS DASAR 1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan 2. Doa pembuka 3. Mahasiswasatu per satu secara bergantian (role play) melakukan latihan seperti yang telah diperagakan dikegiatan sebelumnya yang dipimpin oleh seorang mahasiswa 4. Dua orang instruktur sesekali mengawasi kegiatan mahasiswa saat melakukan role play 5. Mahasiswa dan instruktur memberikan feed-back (masukan) pada mahasiswa saat dan setelah melakukan latihan peran (role play). 6. Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab semua pertanyaan dengan benar 7. Doa penutup. 3 TAHAPAN KEGIATAN LATIHAN OSCE A. Persiapan (10 menit) 1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan (10 menit) B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Demonstrasi dan Role Play (90 menit) Doa pembuka dipimpin oleh instruktur Instruktur menjelaskan aturan latihan OSCE Instrukturmembagi urutan mahasiswa yang akan dilatih OSCE Mahasiswa satu per satu secara bergantian melakukan latihan OSCE, mahasiswa yang sudah latihan OSCE dapat melihat kemampuan mahasiswa lain melakukan latihan dan mencatat umpan balik terhadap mahasiswa yang diamatinya untuk disampaikan pada pertemuan selanjutnya, sedangkan mahasiswa lainnya menunggu di ruang tunggu Instruktur tidak boleh memberikan interupsi saat mahasiswa melakukan latihan OSCE selain yang sudah ditetapkan di instruksi pengujiInstruktur memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menuliskan refleksi diri. Instruktur meminta pasien simulasi (jika ada) untuk memberikan umpan balik kepada mahasiswa dan sebaliknya, kemudian dituliskan di lembar refleksi pada penuntun KKD. Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab semua pertanyaan dengan benar Instruktur memberikan rangkuman terhadap kegiatan pelatihan dan mengingatkan mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada pertemuan berikutnya. Doa penutup. TAHAPAN KEGIATAN EVALUASI LATIHAN OSCE 1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan (10 menit) 2. Seluruh instruktur yang terlibat melakukan evaluasi terhadap kegiatan latihan OSCE yang sudah dilakukan sebelumnya 3. Satu persatu mahasiswa menyampaikan refleksi diri terhadap kegiatan yang telah dilakukan. Mahasiswa lain dan instruktur menanggapi dan menyampaikan umpan balik terhadap mahasiswa tersebut untuk ditulis pada lembar refleksi 4. Instruktur menyampaikan hasil penilaian kepada mahasiswa 5. Mahasiswa mengulang latihan OSCE bila mahasiswa belum lulus atau bilamana perlu 6. Instruktur dan mahasiswa lainnya mengamati saat mahasiswa mengulang latihan latihan OSCE dan memberikan umpan balik terhadap mahasiswa tersebut setelah latihan selesai 7. Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab semua pertanyaan dengan benar 8. Instruktur memberikan rangkuman terhadap kegiatan pelatihan dan mengingatkan mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada pertemuan berikutnya. 9. Doa penutup. TATA TERTIB PESERTA PELATIHAN, MANDIRI DAN LATIHAN OSCE KETERAMPILAN KLINIS DASAR 1. Peserta keterampilan klinis dasar adalah sesuai dengan blok yang dijalani mahasiswa Fakultas Kedokteran UMSU 4 2. Mahasiswa wajib mengikuti seluruh kegiatan keterampilan klinis dasar Fakultas Kedokteran UMSU 3. Mahasiswa yang terlambat lebih dari 5 menit tidak diperkenankan mengikuti kegiatan keterampilan klinis dasar 4. Mahasiswa harus menandatangani daftar hadir 5. Mahasiswa yang tidak bisa menjawab saat sesi responsi tidak diperkenankan mengikuti kegiatan pelatihan KKD 6. Mahasiswa yang tidak mengenakan busana sesuai dengan peraturan busana Fakultas Kedokteran UMSU, memakai baju praktikum dan badge name sesuai dengan nama dan standar FK UMSU tidak diperkenankan mengikuti kegiatan 7. Tidak diperkenankan mengaktifkan telepon genggam, makan, dan harus menjaga sopan santun dan etika selama kegiatan 8. Bagi mahasiswa yang tidak mematuhi tata tertib poin 7 dan 8 maka akan diberi surat peringatan sebanyak 1 kali dan bila mengulangi lagi maka mahasiswa tersebut dianggap gagal pada keterampilan klinik yang sedang berjalan, dan hanya dapat mengulang keterampilan klinik dasar tahun berikutnya. 9. Satu orang perwakilan dari grup kecil, mengambil alat dan bahan yang diperlukan untuk kegiatan keterampilan klinis dasar (10 menit pertama) dan mengembalikan alat dan bahan tersebut seperti sediakala setelah kegiatan selesai dilaksanakan. Apabila terjadi kerusakan/kehilangan, maka grup tersebut wajib mengganti dengan alat/bahan yang sama 10. Mahasiswa yang tidak hadir karena alasan yang dapat dibenarkan, seperti: a. Sakit, harus menunjukkan surat sakit (rawat jalan dari Klinik UMSU atau rawat inap RS) b. Terkena musibah, harus menunjukkan surat keterangan orangtua/wali c. Mendapat tugas dari fakultas atau universitas, harus menunjukkan surat tugas dari Institusi d. Atau alasan lain yang dapat dipertanggung jawabkan. yang telah diajukan dan mendapat persetujuan sebelumnya oleh Wakil Dekan I, dapat meninggalkan kegiatan pendidikan setelah menyampaikan keterangan tertulis. Surat keterangan tersebut ditunjukkanpaling lambat 1(satu) hari setelah pelatihan berlangsung disertai surat permohonan inhal atau pindah kelompok Kegiatan pendidikan yang ditinggalkan diganti dengan kegiatan yang sama pada waktu yang akan diatur oleh Prodi Pendidikan Dokter sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Apabila mahasiswa tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut di atas, kehadirannya dianggap tidak memenuhi syarat. 11. Mahasiswa yang tidak hadir karena alasan yang tidak dapat dibenarkan, seperti: terlambat, tidak mengetahui jadwal atau alasan lain yang tidak dapat dipertanggung jawabkan harus menyerahkan surat permohonan inhal untuk mengganti dengan kegiatan yang sama pada waktu yang akan diatur oleh Prodi Pendidikan Dokter sesuai prosedur yang telah ditetapkan paling lambat 1(satu) hari setelah pelatihan berlangsung dan hanya diberi kesempatan sebanyak 1 (satu) kali inhal per semester. 5 Learning Outcome dan Learning Objective No 1 Judul Keterampilan Klinis Pemeriksaan Oftalmologi, buta warna dan funduskopi Learning Outcome Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Pemeriksaan Oftalmologi, buta warna dan funduskopi Learning Objective Melakukan Pemeriksaan Oftalmologi Melakukan pemeriksaan buta warna Melakukan pemeriksaan funduskopi 2 3 4 5 6 7 Visus dan Koreksi Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan pemeriksaan Visus dan Koreksi Melakukan pemasangan visus Anamnesis mata dan pengambilan benda asing pada mata Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Anamnesis mata dan pengambilan benda asing pada mata Melakukan anamnesis mata Anamnesis THT, pemeriksaan dan telinga dan hidung Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Anamnesis THT, pemeriksaan dan telinga dan hidung Melakukan anamnesis kelainan THT Pengambilan benda asing dari hidung dan telinga, menghentikan perdarahan di hidung Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Pengambilan benda asing dari hidung dan telinga, menghentikan perdarahan di hidung Melakukan Pengambilan benda asing dari hidung dan telinga Pengenalan Instrumen Bedah dasar dan teknik simpul dlm penjahitan serta penatalaksanaan luka Robek Eksisi Tumor/kutil dan insisi abses serta ekstraksi kuku Melatih mahasiswa untuk dapat mengenal Instrumen Bedah dasar dan teknik simpul dlm penjahitan serta penatalaksanaan luka Robek mengenal Instrumen Bedah dasar Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Eksisi Tumor/kutil dan insisi abses serta ekstraksi kuku Melakukan Eksisi Tumor/kutil Melakukan koreksi visus Melakukan pengambilan benda asing pada mata Melakukan pemeriksaan dan telinga dan hidung Menghentikan perdarahan di hidung Melakukan teknik simpul dlm penjahitan Melakukan penatalaksanaan luka Robek Melakukan insisi abses 6 Melakukan ekstraksi kuku 8 Anamnesis Peny. Kulit dan Kelamin, Pemeriksaan KOH dan skin slit smear Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Anamnesis Peny. Kulit dan Kelamin, Pemeriksaan KOH dan skin slit smear Melakukan Anamnesis Peny. Kulit dan Kelamin Melakukan Pemeriksaan KOH Melakukan skin slit smear 9 Interpretasi Foto Fraktur (tulang panjang, vertebra, cranium) Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Interpretasi Foto Fraktur (tulang panjang, vertebra, cranium) Melakukan Interpretasi Foto Fraktur (tulang panjang, vertebra, cranium) 10 Balut Bidai Melakukan Balut Bidai 11 Pemeriksaan Sensorik, vertebra, fungsi cerebellum dan koordinasi Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Balut Bidai Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Pemeriksaan Sensorik, vertebra, fungsi cerebellum dan koordinasi Melakukan Pemeriksaan Sensorik Melakukan Pemeriksaan vertebra Melakukan Pemeriksaan fungsi cerebelum Melakukan Pemeriksaan fungsi kordinasi 12 Pemeriksaan Refleks fisiologis dan patologis Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Pemeriksaan Refleks fisiologis dan patologis Melakukan Pemeriksaan Refleks fisiologis Melakukan Pemeriksaan Syaraf kranialis Melakukan Anamnesis kelainan saraf 13 Pemeriksaan Syaraf kranialis 14 Pemeriksaan nyeri radikuler dan rangsang meningeal dan Pemeriksaan motorik Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Pemeriksaan Syaraf kranialis Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Pemeriksaan nyeri radikuler dan rangsang meningeal dan Pemeriksaan motorik Anamnesis kelainan saraf dan interpretasi perdarahan otak dgn CT Scan Melatih mahasiswa untuk dapat meningkatkan keterampilan Anamnesis kelainan saraf dan interpretasi perdarahan otak dgn CT Scan 15 Melakukan Pemeriksaan Refleks patologis Melakukan Pemeriksaan nyeri radikuler dan rangsang meningeal Melakukan Pemeriksaan motorik Melakukan interpretasi perdarahan otak dgn CT Scan 7 Daftar Keterampilan Klinis Dasar Blok Blok Organ Khusus Dermatomuskuloskeletal Judul keterampilan Klinis Alokasi Waktu Expert/Departemen Pemeriksaan Oftalmologi, buta warna dan funduskopi 2 x 50 Ilmu Penyakit Mata Visus dan Koreksi 2 x 50 Ilmu Penyakit Mata Anamnesis mata dan pengambilan benda asing pada mata 2 x 50 Ilmu Penyakit Mata Anamnesis THT, pemeriksaan dan telinga dan hidung 2 x 50 Ilmu Penyakit THT Pengambilan benda asing dari hidung dan telinga, menghentikan perdarahan di hidung 2 x 50 Ilmu Penyakit THT Pengenalan Instrumen Bedah dasar dan teknik simpul dlm penjahitan serta penatalaksanaan luka Robek 2 x 50 Ilmu Bedah Eksisi Tumor/kutil dan insisi abses serta ekstraksi kuku 2 x 50 Ilmu Bedah Anamnesis Peny. Kulit dan Kelamin, Pemeriksaan KOH dan skin slit smear 2 x 50 Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 2 x 50 Ilmu Bedah 2 x 50 Ilmu Bedah Pemeriksaan Sensorik, vertebra, fungsi cerebellum dan koordinasi 2 x 50 Ilmu Neurologi Pemeriksaan Refleks fisiologis dan patologis 2 x 50 Pemeriksaan Syaraf kranialis 2 x 50 Interpretasi Foto Fraktur (tulang panjang, vertebra, cranium) Balut Bidai Neurologi Ilmu Neurologi Ilmu Neurologi 8 Pemeriksaan nyeri radikuler dan rangsang meningeal dan Pemeriksaan motorik 2 x 50 Ilmu Neurologi Anamnesis kelainan saraf dan interpretasi perdarahan otak dgn CT Scan 2 x 50 Ilmu Neurologi 9 KETERAMPILAN KLINIS BLOK ORGAN KHUSUS 10 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Oftalmologi : Organ Khusus :V : Departemen Mata : 4A Deskripsi Umum 1. Pemeriksaan oftalmologi adalah pemeriksaan jaringan penunjang (adneksa) sistem penglihatan seperti kelopak mata, sistem air mata, otot-otot ekstraokuler, pergerakan dan posisi bola mata dan pemeriksaan segmen anterior bola mata yang terdiri dari konjungtiva, sklera, kornea, bilik mata depan, iris, pupil dan lensa kristalina. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan oftalmologi dengan cara yang benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi dan penyakit-penyakit mata. Alat dan Bahan 1. Senter 1 buah 2. Lup 1 set Prosedur 1. Nilailah bentuk, posisi dan gerak bola mata, alis, bulu mata dan dan kelopak mata atas dan bawah. 2. Lakukan eversi kelopak mata untuk menilai konjungtiva tarsalis. Cara pemeriksaan: Pasien duduk didepan slit lamp Sebaiknya mata kanan pasien diperiksa dengan tangan kanan pemeriksa. Ibu jari memegang margo, telunjuk memegang kelopak bagian atas dan meraba tarsus, lalu balikkan Setelah pemeriksaan selesai kembalikan posisi kelopak mata Lakukan pemeriksaan pada kedua mata. 3. Lakukan pemeriksaan oftalmologi sederhana pada kornea. Cara pemeriksaan: perhatikan reflex kornea yaitu reflex cahaya pada permukaan kornea yang berbentuk bintik cahaya. A. Cerah/ mengkilat Kornea jernih Jaringan parut/ putih B. Suram: erosi kornea, radang kornea atau eema lornea. Perhatikan reflex cahaya paa kedua kornea (Tes Hirschberg) Masing- masing di tengah pupil: ortofori Salah satu tidak ditengah pupil (heterofori) 4. Lakukan pemeriksaanoftalmologi sederhana pada bilik mata depan (camera oculi anterior/COA). Iris yang baik memiliki cekungan- cekungan (kripti). Kejernihan COA lihat kejernihan iris. Kripta iris terlihat jelas: jernih Kripta iris tidak jelas: keruh. Kedalaman COA: sinari iris dari samping, lalu perhatikan luasnya permukaan iris yang mendapat penyinaran. 11 5. 6. 7. 8. Sebagian kecil iris mendapat penyinaran: COA dangkal Seluruh atau sebagian besar permukaan iris tersinari: COA dalam Lakukan pemeriksaan oftalmologi sederhana pada pupil Reaksi pupil langsung: pupil mengecil paa mata yang disinari Reaksi pupil tidak langsung: pupil mengecil pada mata yang tidak disinari Nyatakan besarnya pupil dalam mm Isokor: keddua pupil sama besar Anisokor tidak sama besar Besar pupil normal: 3-5 mm Lakukan pemeriksaanoftalmologi sederhana pada sklera Lakukan pemeriksaanoftalmologi sederhana pada lensa Pemeriksaan kekeruhan lensa 1. Sinari pupil dari depan. Perhatikan warna pupil. a. Pupil berwarna hitam Lensa jernih Aphakia b. Pupil putih/ abu- abu: keruh/ katarak 2. Ubah sinar dari samping (kurang lebih 45%) dan sinari iris. Kembali lihat pupil. Perhatikan perubahan kekeruhan lensa Seluruh pupil tetap putih katarak matura (tes shadow/ bayangan-) Sebagian pupil menjadi hitam katarak imatura (tes bayangan-) Tuliskan data dalam status pemeriksaan oftalmologis. Contoh rangkuman pemeriksaan mata normal: PEMERIKSAAN MATA KANAN (OD) MATA KIRI (OS) Visus 6/6 6/6 Pergerakan Normal Normal Palp. Superior Oedema (-), Hiperemis (-) Oedema (-), Hiperemis (-) Palp.Inferior Oedema (-), Hiperemis (-) Oedema (-), Hiperemis (-) Conj. Superior Hiperemis (-) Hiperemis (-) Conj. Tars.Inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-) Conj. Bulbi Hiperemis (-) Hiperemis (-) Cornea Jernih Jernih COA Sedang Sedang Pupil Bulat,reguler,Ø3mm,RC (+) Bulat,reguler,Ø3mm,RC (+) Tars. 12 Iris Coklat, regular Coklat, reguler Lensa Jernih Jernih Corpus Vitreum Tidak pemeriksaan dilakukan Tidak pemeriksaan dilakukan Fundus Oculi Tidak pemeriksaan dilakukan Tidak pemeriksaan dilakukan Gambar Contoh kasus 1. Seorang laki-laki berusia 19 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan kedua mata kabur. Referensi 1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006. 2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17th edition, Mc Graw-Hill s Companies, 2007. 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. 4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012. 5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007. 13 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Buta Warna : Organ Khusus :V : Departemen Mata : 4A Deskripsi Umum 1. Pemeriksaan buta warna (tes Ishihara) adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui defek penglihatan warna yang didasarkan pada penentuan angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai kumpulan warna dengan memakai satu seri titik bola-bola kecil dengan wana dan besar berbeda (gambar pseudokromatik), yang membentuk suatu lingkaran sehingga membuat pasien dengan kelainan penglihatan warna sulit melihatnya. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan buta warna (tes Ishihara) untuk menegakkan diagnosis defisiensi warna terutama warna merah dan hijau. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai buta warna. Alat dan Bahan Buku Ishihara 1 set Prosedur 1. Posisikan pasien dalam posisi duduk. 2. Mintalah pasien untuk melihat dan menyebutkan angka atau pola yang terlihat pada setiap lembar yang ditunjukkan (buku Ishihara) dalam waktu 10 detik pada jarak baca (33 cm). 3. Buatlah kesimpulan apakah pasien tidak buta warna, buta warna parsial atau total. Berikut ini beberapa contoh dari lembaran buku interpretasinya pada pasien dengan kelainan penglihatan warna. Ishihara beserta Mata normal dan mata buta warna dapat membacanya sebagai angka 12. 14 Mata normal dapat membaca angka 8. Mata buta warna merah-hijau membacanya sebagai angka 3, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun. Mata normal dapat membaca angka 29. Mata buta warna merah-hijau membacanya sebagai angka 70, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun. Mata normal dapat membaca angka 3. Mata buta warna merah-hijau membacanya sebagai angka 5, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun. 15 Mata normal dapat membaca angka 15. Mata buta warna merah-hijau membacanya sebagai angka 17, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun. Mata normal dapat membaca angka 74. Mata buta warna merah-hijau membacanya sebagai angka 21, sedangkan mata buta warna total tidak dapat membaca angka apapun. Mata normal dapat membaca angka 42. Pada protanopia dan protanomalia berat hanya membaca angka 2, pada protanomalia ringan angka berwarna merah tetapi angka 2 lebih jelas dibanding angka 4. Pada deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya angka 4 yang terbaca, dan pada kasus deuteranomalia ringan kedua angka berwarna merah tetapi angka 4 lebih jelas daripada angka 2. 16 Mata normal dapat membaca angka 26. Pada protanopia dan protanomalia berat hanya membaca angka 6, pada protanomalia ringan angka berwarna merah tetapi angka 6 lebih jelas dibanding angka 2. Pada deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya angka 2 yang terbaca, dan pada kasus deuteranomalia ringan kedua angka berwarna merah tetapi angka 2 lebih jelas daripada angka 6. Contoh kasus Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke rumah sakit ingin mendapatkan pemeriksaan buta warna untuk keperluan pekerjaan. Referensi 1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006. 2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17th edition, Mc Graw-Hill s Companies, 2007. 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. 4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012. 5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007. 17 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Funduskopi : Organ Khusus :V : Departemen Mata : 4A Deskripsi Umum 1. Funduskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai kelainan-kelainan pada vitreous dan retina. Untuk dokter umum, funduskopi digunakan untuk menegakkan diagnosis kekeruhan pada media refraksi terutama pada lensa kristalina (katarak). 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu menilai kekeruhan pada lensa kristalina (katarak) dengan melihat refleks dari retina (fundus) yang berwarna kemerahan pada pupil pasien. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi mata dan kelainan-kelainan pada media refraksi dan retina. Alat dan Bahan Funduskopi 1 set Prosedur 1. Posisikan pasien dalam posisi duduk ataupun berbaring. 2. Berdirilah di depan pasien dengan memegang alat funduskopi. 3. Peganglah alat funduskopi dengan tangan sesuai dengan mata pasien yang akan diperiksa. 4. Nyalakan sinar dari funduskopi hingga maksimal dan diatur sesuai ukuran pupil pasien. 5. Arahkan sinar dari funduskopi ke arah pupil pasien yang akan diperiksa. 6. Lihatlah refleks fundus mata pasien dari jarak 5-10 cm dari jarak kornea pasien melalui pupil yang berbentuk bulat berwarna kemerahan dengan kekuatan lensa funduskopi 6-9 dioptri. Jika terlihat seluruh refleks fundus maka dinyatakan bahwa lensa kristalina pasien jernih (mata normal). Jika terlihat hanya sebagian refleks fundus dan sebagian lagi berwarna gelap/kehitaman maka lensa kristalina pasien mengalami kekeruhan sebagian (katarak immmatur). Jika tidak terlihat refleks fundus dan semua daerah pupil berwarna gelap/kehitaman maka lensa kristalina pasien mengalami kekeruhan seluruhnya (katarak matur). Pemeriksaan Funduskopi - Refleks fundus 18 Contoh kasus Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan penglihatan kabur. Referensi 1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006. 2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17 th edition, Mc Graw-Hill s Companies, 2007. 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. 4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012. 5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007. 19 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Visus dan Koreksi Refraksi : Organ Khusus :V : Departemen Mata : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: pemeriksaan visus (tajam penglihatan) dilakukan pada mata tanpa atau dengan kaca mata. Penurunan visus dapat disebabkan oleh kelainan media refraksi, kelainan nonrefraksi atau keduanya. Kacamata dapat digunakan untuk memperbaiki penurunan visus yang disebabkan oleh kelainan media refraksi. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan visus dan melakukan koreksi subjektif sederhana agar dapat mengetahui fungsi penglihatan pada setiap mata secara terpisah secara baik dan benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi mata, fisiologi penglihatan, dan kelainan media refraksi. Alat dan Bahan 1. Kartu Snellen (Snellen Chart) 1 set 2. Lensa coba 1 set 3. Gagang coba 1 set Prosedur Pemeriksaan visus dengan Kartu Snellen 1. Lakukan pemeriksaan di ruangan yang memiliki penerangan yang cukup. 2. Pasien diperintahkan untuk duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda tanpa akomodasi atau dalam keadaan beristirahat. 3. Setiap mata diperiksa secara terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan mata kanan terlebih dahulu kemudian mata kiri. Sebelum memulai pemeriksaan, anjurkan kepada pasien untuk melepas kaca mata atau lensa kontak yang sedang dikenakannya. Tutup mata yang tidak diperiksa dengan menggunakan telapak tangan atau penutup mata. 4. Minta pasien untuk membaca huruf yang tertulis pada kartu Snellen yang dimulai dengan membaca garis terbawah (huruf atau angka terkecil) dan jika tidak terbaca, pasien diminta untuk membaca huruf/angka di atasnya. 5. Tunjuk huruf dengan cepat sehingga pasien tidak mempunyai waktu untuk berfikir/mengingat atau mengakomodasi. 6. Tentukan letak baris terakhir yang masih dapat dibaca. 7. Bila pasien tidak dapat membaca huruf sampai baris normal di kartu Snellen maka pasang pinhole pada mata tersebut. Dengan pinhole, pasien dapat melanjutkan bacaannya. Jika terdapat kemajuan ketajaman penglihatannya, mungkin pasien mengalami kelainan refraksi. Bila dengan pinhole pasien tidak terdapat kemajuan ketajaman penglihatannya kemungkinan pasien menderita kelainan pada media refraksi seperti sikatrik kornea, katarak dan lainnya. 8. Nyatakan tajam penglihatan dalam 6/D. Pembilang adalah jarak antara pasien dengan kartu Snellen. Penyebut adalah jarak dimana satu huruf/angka seharusnya dapat dibaca. Contoh: bila baris huruf/angka yang terbaca tersebut terdapat pada baris dengan tanda 30, artinya visus pasien tersebut 6/30 artinya pada jarak 6 20 meter, pasien hanya dapat membaca huruf/angka yang seharusnya dapat dibaca jels pada jarak 30 meter oleh orang normal. Tajam penglihatan dikatakan normal jika tajam penglihatan adalah 6/6. Kartu Snellen Huruf Pemeriksaan visus mata kanan Pemeriksaan visus dengan hitung jari 1. Jika pasien tidak dapat membaca huruf, atau bila pasien tidak dapat membaca huruf yang paling atas/terbesar maka lakukan pemeriksaan hitung jari. 2. Perintahkan pasien untuk menghitung jari pemeriksa yang oleh orang dengan penglihatan normal, dapat dilihat pada jarak 60 meter. 3. Mulai hitung jari pada jarak 6 meter (ditulis 6/60). Bila tidak terlihat, maka pemeriksa maju 1 meter dan seterusnya sampai berjarak setengah meter di depan pasien (ditulis 0,5/60). Pemeriksaan visus dengan gerakan tangan 1. Bila pasien tidak dapat mengitung jari, maka pasien perintahkan melihat gerakan tangan si pemeriksa yang oleh mata normal dapat dilihat pada jarak 300 meter. 2. Gerakan tangan dilakukan maksimal pada jarak 1 meter, tajam penglihatan 1/300 meter. Pemeriksaan visus dengan senter 1. Bila gerakan tangan tidak dapat terlihat, maka gunakan senter. 2. Jika pasien dapat melihat lampunya menyala, maka visus = 1/~. Visus 0 jika cahaya senter tidak dapat dilihat lagi. 21 Koreksi refraksi dengan kaca mata a. Koreksi pasien dengan minimal visus 1/60. b. Ukur PD (pupil distance) dengan penggaris atau PD meter. c. Pasang gagang coba pada pasien sesuai dengan PD nya. d. Pastikan bahwa mata pasien mengalami kelainan refraksi dengan mencoba dengan pinhole. e. Coba lensa sampai sesuai dengan mata pasien untuk kedua mata. Contoh Peresepan Kaca Mata Gagang coba dan lensa coba 22 Contoh kasus: Seorang perempuan berusia 20 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan penglihatan kabur. Referensi: 1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006. 2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17 th edition, Mc Graw-Hill s Companies, 2007. 3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. 4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012. 5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007. 23 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Anamnesis Penyakit Mata : Organ Khusus :V : Departemen Mata : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: anamnesis penyakit mata adalah teknik menggali keluhan pasien yang dapat membantu mengarahkan diagnosis penyakit mata. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan anamnesis pemyakit mata dengan teknik yang benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan penyakit-penyakit mata. Alat dan Bahan 1. Alat tulis 1 set 2. Rekam medis atau kertas untuk mencatat 1 set 3. Kursi 2 buah 4. Meja 1 buah Prosedur Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam keluhan utama pasien. Untuk melakukan anamnesis mata, tanyakanlah: 1. Riwayat penyakit sekarang (keluhan utama dan keluhan tambahan dengan pola OLDCART) Pertanyaan tersebut meliputi : - Onset ( lama ) - Location (lokasi) - Duration (durasi) - Character (karakter) - Aggravating / Alleviating Factors (Faktor-faktor yang memperparah atau mengurangi gejala) - Radiation (penyebaran) - Timing (waktu) Urutan sistematika anamnesis penyakit meliputi beberapa komponen, yaitu : anamnese pribadi anamnese keluhan utama anamnese penyakit sekarang anamnese penyakit terdahulu anamnese organ anamnese riwayat pribadi anamnese riwayat penyakit keluarga anamnese riwayat pengobatan anamnese sosial ekonomi anamnese gizi 24 Contoh kasus Seorang laki-laki berusia 34 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata merah. Referensi 6. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006. 7. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17 th edition, Mc Graw-Hill s Companies, 2007. 8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. 9. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012. 10. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007. 25 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Benda Asing di Konjungtiva : Organ Khusus :V : Departemen Mata : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: benda asing di konjungtiva merupakan benda yang dalam keadaan normal tidak dijumpai di konjungtiva. Pada umumnya bersifat ringan, namun pada beberapa keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang bersifat asam atau basa. Pengangkatan benda asing dan debris di konjungtiva adalah teknik pengambilan benda asing pada konjungtiva. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu mengangkat benda asing dan debris di konjungtiva dengan cara yang benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi dan benda asing pada mata. Alat dan Bahan 1. Lidi kapas 1 buah 2. Jarum suntik ukuran 23G 1 buah 3. Kaca pembesar/lup 1 unit 4. Tetes mata Pantocain 2% 1 botol 5. Povidon iodine 10 % 1 botol 6. Antibiotik topikal (tetes mata kloramfenikol 0,5%) 1 botol Prosedur 1. 2. 3. 4. 5. 6. Berikan tetes mata Pantocain 2% sebanyak 1-2 tetes pada mata yang terkena benda asing. Gunakan kaca pembesar/lup dalam pengambilan benda asing. Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau jarum suntik ukuran 23G. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi. Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan betadin pada tempat bekas benda asing. Kemudian, berikan antibiotik topikal (salep atau tetes mata) seperti kloramfenikol tetes mata, 1 gtt setiap 2 jam selama 2 hari. Konseling dan Edukasi Memberi tahu pasiendan keluargaagar tidak menggosok matanya agar tidak mempeberat lesi. b. Menggunakan alat/kaca mata pelindung pada saat bekerja atau berkendara. c. Apabila keluhan bertambah berat setelah dilakukan tindakan, seperti bertambah merah, bengkak atau disertai dengan penurunan visus segera control kembali. a. Kriteri rujukan: Bila terjadi penurunan visus. 26 Benda Asing di Konjungtiva Contoh kasus Seorang laki-laki berusia 34 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kanan terasa mengganjal. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17th edition, Mc Graw-Hill s Companies, 2007. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007. 27 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Anamnesis THT : Organ Khusus :V : Departemen Telinga Hidung Tenggorok : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: anamnesis penyakit telinga hidung tenggorok adalah teknik menggali keluhan pasien yang dapat membantu mengarahkan diagnosis penyakit telinga hidung tenggorok. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan anamnesis penyakit telinga hidung tenggorok dengan teknik yang benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan penyakit-penyakit telinga hidung tenggorok. Alat dan Bahan 1. Alat tulis 1 set 2. Kursi 2 buah 3. Meja tulis 1 buah Prosedur Anamnesis Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam keluhan utama pasien. Untuk melakukan anamnesis mata, tanyakanlah riwayat penyakit sekarang (keluhan utama dan keluhan tambahan dengan pola OLDCART). Pertanyaan tersebut meliputi : a. Onset ( lama ) b. Location (lokasi) c. Duration (durasi) d. Character (karakter) e. Aggravating / Alleviating Factors (Faktor-faktor yang memperparah atau mengurangi gejala) f. Radiation (penyebaran) g. Timing (waktu) Urutan sistematika anamnesis penyakit meliputi beberapa komponen, yaitu : 1. anamnese pribadi 2. anamnese keluhan utama 3. anamnese penyakit sekarang 4. anamnese penyakit terdahulu 5. anamnese organ 6. anamnese riwayat pribadi 7. anamnese riwayat penyakit keluarga 8. anamnese riwayat pengobatan 9. anamnese sosial ekonomi 10. anamnese gizi Contoh Kasus Seorang laki-laki berusia 24 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan pendengaran menurun. 28 Referensi 1. Siegel LG. The head and neck history and examination. In adams GC,Boies LR, Higler. Fundamental of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia. WB Saunders Co.;1998:p.13-23. 2. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. pp. 1-9. 29 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok : Organ Khusus :V : Departemen Telinga Hidung Tenggorok : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: pemeriksaan telinga hidung tenggorok adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai anatomi dan fungsi telinga hidung dan tenggorok. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik telinga hidung tenggorok seperti inspeksi, palpasi, otoskopi, tes fungsi pendengaran, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, laringoskopi indirek, dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan penyakit-penyakit telinga hidung tenggorok. Alat dan Bahan 1. Lampu kepala 1 set 2. Spekulum (corong) telinga 1 set 3. Spekulum hidung Hartmann 1 set 4. Otoskop 1 set 5. Cermin faring 1 set 6. Pengait benda asing telinga 1 set 7. Pengait benda asing hidung 1 set 8. Forsep crocodile 1 set 9. Pinset bayonet (lucae) 1 set 10. Spatula lidah 1 set 11. Balon Politzer 1 set 12. Garpu tala 1 set 13. Pemintal kapas 1 set 14. Pengait serumen 1 set 15. Alat penghisap (suction) 1 set 16. Spiritus 1 set 17. Kain kassa 1 set 18. Sarung tangan 1 set 19. Masker 1 set 20. Desinfektan 1 set 21. Alat tulis 1 set 22. Kursi 2 buah 23. Meja tulis 1 buah Prosedur Cara duduk 1. Duduklah berhadapan dengan pasien. 2. Pertemukan lutut kanan pemeriksa dengan lutut kanan pasien atau lutut kiri pemeriksa bertemu dengan lutut kiri pasien. 3. Saat memeriksa bagian yang kontralateral, ubahlah posisi kepala pasien. Sedangkan posisi duduk pemeriksa dan pasien tidak berubah. 30 Posisi Duduk Pada Pemeriksaan THT Memasang Lampu Kepala 1. Pasanglah lampu kepala, sehingga lampu berada di tengah kening, diantara kedua mata. 2. Hidupkan lampu kepala. 3. Periksa fungsi lampu kepala dengan mengarahkan cahaya lampu ke telapak tangan pemeriksa. Memeriksa Daun Telinga 1. Inspeksi: perhatikan daerah daun telinga dan daerah di sekitarnya seperti daerah belakang (retroaurikular) dan depan (preaurikular). 2. Palpasi: lakukan perabaan, penekanan, atau penarikan daun telinga. Bila ada kelainan, misalnya: membengkak dibelakang telinga kemungkinan: mastoiditis atau bisul di telinga atau lubang kecil pada helix: fistula auris kongenital. 31 Telinga Kanan Memeriksa Liang Telinga Dan Membran Timpani 1. Periksa liang telinga dan memran timpani dapat dilakukan dengan mengarahkan lampu kepala ke arah liang telinga. Pemeriksaan dapat dibantu dengan corong telinga untuk membebaskan liang telinga dari rambut pada liang telinga tersebut. 2. Karena liang telinga tidak lurus, untuk melihat ke dalam, pada orang dewasa daun telinga sebelumnya tariklah kebelakang atas. Pada bayi daun telinga ditarik ke belakang bawah. Selain dengan mengguanakan corong telinga, pemeriksaan ini juga dapat mengguanakan otoskop. Memeriksa Liang Telinga Dan Membran Timpani dengan Otoskop 1. Luruskan terlebih dahulu liang telinga dengan cara menarik daun telinga dengan lembut ke arah belakang atas. Bila telinga yang diperiksa adalah telinga kanan, daun telinga ditarik dengan tangan kiri, dan otoskop dipegang dengan tangan kanan. Sebaliknya, bila telinga yang akan diperiksa adalah telinga kiri, daun telinga daun ditarik dengan tangan kanan, dan otoskop dipegang dengan tangan kiri. 2. Pegang otoskop dengan ibu jari dan jari tangan lainnya dengan arah mendatar seperti memegang pena. 3. Agar posisi otoskop stabil, tempatkan jari kelingking tangan yang memegang otoskop pada pipi pasien. 4. Masukkan Spekulum (corong) otoskop dengan hati-hati kedalam liang telinga. 5. Bila spekulum telah masuk, hidupkan lampu otoskop. Untuk memperluas lapangan penglihatan, spekulum otoskop digerakkan di dalam liang telinga, terutama untuk melihat liang telinga dan membran timpani secara keseluruhan. 32 Memeriksa Liang Telinga Dan Membran Timpani dengan Otoskop Pemeriksaan Berbisik Untuk menentukan apakah pendengaran pasien berkurang atau tidak, kita lakukan pemeriksaan berbisik. Harus dilakukan didalam ruangan yang sunyi sekali. Oleh karena biasanya tidak ada tempat yang benar-benar sunyi, maka bila ia dapat mendengar pada jarak 6 m, kita anggap pendengarannya sudah baik. Cara pemeriksaan: 1. Harus diperiksa dalam ruangan yang paling sedikit panjangnya 6 m, pasien disuruh berdiri pada ujung kamar dengan telinga yang akan diperiksa dihadapkan kepada yang memeriksa. 2. Tutup telinga yang tidak diperiksa dengan menekan tragus pada lubang telinga dengan jari pasien tersebut. 3. Setelah yang memeriksa ekspirasi, berbisiklah dengan udara reserve yang ada di paru-paru. Bila pendengaran pasien kurang sekali hingga berbisik ia tidak dapat mendengar, pemeriksaan dilakukan dengan memakai suara biasa. Oleh karena kemungkinan ada pengaruh dari telinga yang baik, telinga ini ditulikan dengan cara menggerak-gerakkan jari pada tragus atau ditulikan dengan meletakkan alat Barany pada telinga yang tidak diperiksa. Interpretasi: 1. Pada pekak konduktif : pasien tidak dapat mendengar suara dengan nada rendah 2. Pada pekak perspektif : pasien tidak dapat mendengar suara dengan nada tinggi 3. Bila pada percobaan dengan suara biasa pendengaran kurang dari 2 m kanan-kiri ia memerlukan alat pendengaran. Pemeriksaan Pendengaran dengan Penala Pemeriksaan ini untuk menentukan apakah seseorang menderita tuli konduktif atau perspektif; dipakai seluruh garpu suara dengan bermacam-macam frekuensi. Cara pemeriksaan: 1. Getarkan penala (mis. 32 Hz) dengan jari kita. 2. Mula-mula, dengarkan sendiri hingga suara hampir hilang sesudah itu kita letakkan kedekat telinga orang yang akan diperiksa, bila masih didengarnya kita namakan positif (+), bila tidak didengarnya lagi dinamakan negatif (-). 3. Lakukan lagi dengan garpu-garpu tala yang lainnya sehingga dapat kita gambarkan seperti berikut: 33 Kanan + + + + + + + + + Frekuensi penala 16 32 64 128 256 512 1024 2048 4096 Kiri + + + + + Dengan melihat hasilnya kita dapat menentukan apakah penderita mengalami tuli konduktif atau tuli perspektif. Dalam gambar ini ada tuli koduktif telinga kiri. Pemeriksaan Pendengaran pada Anak-Anak Pemeriksaan pendengaran pada anak-anak kecil dilakukan dengan: 1. Alat Barany (larm trommel) Berdirilah di belakang pasien, asisten berdiri di muka dan main-main dengan pasien. Alat barany yang telah dibunyikan diletakkan di dekat telinga pasien. Bila ia menoleh menandakan ia dapat mendengar. 2. Auropalpebral Reflex Berdirilah di belakang pasien dan tiba-tiba bertepuk tangan keras-keras, bila matanya dikedipkan menandakan ia dapat mendengar. Pada anak yang bisu tuli, matanya tidak dikedipkannya (tidak ada reaksi). Pemeriksaan Rinne: 1. Getarkan penala (512 Hz). 2. Letakkan pada mastoid pasien. 3. Bila tidak didengar lagi, letakkan di depan lubang telinga pasien. Pada orang yang pendengarannya normal, pasien masih mendengar suara di muka lubang telinga tersebut; disebut Rinne positif (+). Pemeriksaan Weber: 1. Getarkan penala (256-512 Hz) 2. Letakkan pada garis medial kepala (vortex, gigi, dll). Normal: suara didengar sama pada bagian kanan dan kiri. Pada tuli konduktif suara didengar pada telinga yang sakit, dinamakan Weber lateralisasi ke bagian yang sakit. Pada tuli perseptif suara didengar pada telinga yang sehat dinamakan Weber lateralisasi ke bagian yang sehat. Pemeriksaan Schwabach: 1. Getarkan penala (256-512 Hz) 2. Letakkan dahulu pada mastoid yang memeriksa. 3. Bila pemeriksa tidak mendengar lagi, letakkan pada mastoid pasien. Bila pasien masih mendengarnya berarti pasien menderita tuli konduktif dan dinamakan Schwabach memanjang. Bila pasien tidak mendengarnya lagi berarti pasien menderita tuli saraf dan dinamakan Schwabach memendek. 4. Atau getarkan penala dan ujung tangkainya diletakkan pada mastoid pasien. 34 5. Bila pasien tidak mendengar lagi pindahkan penala tersebut ke mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengar suara, berarti Schwabach pasien memendek (tuli saraf). Sebagai syarat, orang yang memeriksa harus normal pendengarannya. Pemeriksaan Hidung Luar Sebelum melakukan pemeriksaan ke dalam hidung, utamakan memeriksa dahulu hidung bagian luar. Pemeriksaan hidung bagian luar terdiri atas inspeksi dan palpasi. Inspeksi: perhatikan bentuk dari luar sudah dapat kita gambarkan kemungkinan kelainan di dalam hidung. Perhatikan adanya deviasi atau depresi tulang hidung, pembengkakan hidung dan sinus paranasal. Palpasi: dengan jari dapat lakukan palpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur atau rasa nyeri pada peradangan. Rinoskopi Anterior 1. Dilakukan dengan memakai spekulum hidung. 2. Tekan gagang bagian bawah dari spekulum dengan jari tengah dan sampai ke jari manis dari tangan sebelah kiri 3. Letakkan ujung jari telunjuk pada ujung hidung pasien dan ibu jari diluruskan. Ujung spekulum jangan mengenai bagian dalam hidung (septum dll.) oleh karena nanti pasien merasa nyeri. 4. Bukalah lubang hidung perlahan-lahan dan tenang (with a ladies hand). 5. Lihat terlebih dahulu vestibulum nasi. Pemeriksaan vestibulum dapat juga dengan cara mendorong ujung hidung ke atas (pada anak-anak). Rinoskopi Anterior Rinoskopi Posterior 1. Lakukan dengan memakai cermin faring (terdiri dari cermin bulat bertangkai). 2. Pemeriksaan harus tenang, tujukan lampu ke tekak (faring). 3. Tekan bagian lateral lidah perlahan-lahan dengan tangan kiri (memegang spatel). Jangan ditekan pada pangkal lidah karena mengakibatkan refleks muntah. 4. Sebelumnya panaskan dahulu cermin di atas lampu spiritus, supaya jangan ada endapan uap air pada waktu memeriksa di dalam mulut. 5. Dengan tangan kanan, pegang cermin faring seperti memegang pena. 6. Kemudian masukkan ke mulut pasien antara uvula dan pangkal lidah, dan cerminnya di arahkan ke atas. Letaknya gagang cermin pada sudut mulut kiri. Arah 35 7. cermin kira-kira membentuk sudut 45 dengan dataran horizontal. Cermin jangan mengenai faring oleh karena akan mudah menimbulkan muntah apalagi pada orang yang sensitif. Gerakkan kaca ini ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan kita dapat melihat gambaran nasofaring dan hidung bagian belakang. Rinoskopi Posterior Pemeriksaan Aliran Udara Hidung 1. Letakkanlah spatula lidah (spatula logam) didepan kedua lubang hidung pasien, karena udara pernafasan mengandung uap air, bagian spatula yang diletakkan didepan lubang hidung akan tampak berembun. 2. Bandingkanlah bagian yang berembun tersebut, apakah sama luas, bila tidak sama luas kemungkinan aliran udara yang melalui lubang hidung tersebut mengalami hambatan. Uji Aliran Udara Hidung Pemeriksaan Sinus Paranasal Inspeksi: amatilah dengan seksama daerah muka, apakah terdapat pembengkakan yang menandakan adanya infeksi pada sinus. Pembengkakan pada dahi disekitar kelopak mata 36 bagian atas, dapat memberikan petunjuk adanya sinusitis frontalis. Bila terlihat pembengkakan pada daerah pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahmerahan, kemungkinan menunjukkan sinusitis maksila akut. Infeksi sinus etmoid, jarang menyebabkan pembengkakan wajah, kecuali bila terbentuk abses. Palpasi dan perkusi: Lakukanlah penekanan atau pengetukan pada bagian-bagian tertentu wajah, yang merupakan lokasi dari sinus paranasalis. Timbulnya rasa nyeri pada penekanan bagian medial atap orbita, menunjukkan kemungkinan sinusitis frontalis. Nyeri tekan pipi disertai nyeri ketuk pada gigi menunjukkan kemungkinan sinusitis maksila, sedangkan nyeri tekan pada kantus medialis menunjukkan kemungkinan adanya sinusitis etmoid. Diaphanoskopi (Transiluminasi) 1. Lakukan pemeriksaan di kamar gelap. Alat transiluminasi terdiri dari dua lampu, yang satu sama lain dapat didekatkan dan dijauhkan (ada juga alat yang hanya memakai satu lampu). 2. Bila kita hendak memeriksa sinus maksilaris jarak dekatkan lampu. 3. Bila kita memeriksa sinus frontalis jauhkan jarak lampu. Pemeriksaan sinus maksilaris: 1. Dekatkan kedua lampu dan masukkan ke dalam mulut pasien, kemudian pasien disuruh menutup mulutnya. 2. Bila tidak ada kelainan, kedua pipi dan bawah orbita kelihatan terang karena dengan mudah cahaya menembus sinus. Bila ada tumor atau radang di dalam sinus, cahaya tidak dapat menembus pipi sehingga pipi kelihatan gelap. Yang penting bila ada perbedaan antara kanan dan kiri. Biasanaya bila ada perbedaan, ada kelainan pada sinus. Pemeriksaan Faring dan Rongga Mulut 1. Pasang lampu kepala dan diarahkan krongga mulut. 2. Nilai keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah dan gerakan lidah. 3. Pegang spatula lidah dengan tangan kiri. 4. Tekan bagian tengah lidah dengan memakai spatula lidah. 5. Nilai rongga mulut, dinding belakang faring, uvula, arkus faring, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi. 6. Keluarkan spatula lidah dari rongga mulut. Palpasi daerah rongga mulut untuk menilai apakah ada massa tumor, kista, dll. Laringoskopi Dilakukan dengan dua cara yaitu: Laringoskopi indirek: dengan memakai cermin laring, dapat dikerjakan oleh dokter umum. Laringoskopi direk: dikerjakan oleh dokter spesialis THT dengan memakai laringoskopi Caranya: Pasien disuruh mengeluarkan lidah. 1. Pegang ujungnya dengan tangan kiri, ibu jari bagian atas, jari telunjuk dan jari tengah pada bagian bawah lidah, kita pegang lidah dengan kain kasa. 2. Pegang lidah, tetapi jangan terlampau keras sebab dapat menimbulkan rasa nyeri dan frenulus dapat berdarah oleh karena menyentuh gigi. 3. Letakkan kaca laring yang sudah dipanaskan pada punggung tangan kita, untuk merasakan apakah terlalu panas atau tidak. 4. Setelah itu, masukkan ke mulut pasien dengan cermin diarahkan ke bawah. 5. Letakkan kaca pada palatum molle dan jangan mengenai faring (refleks muntah). Dengan merubah arah cermin depan kita dapat melihat bayangan dari laring. 37 Inspeksi Laring Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher Berdiri dibelakang pasien. Lakukanlah palpasi kelenjar getah bening leher, dengan menggunakan kedua telapak tangan pemeriksa. Lakukan Palpasi secara sistematis dari leher bagian atas, tengah, kemudian kebawah. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher, lakukan penilaian terhadap ukuran, bentuk, konsistensi, dan perlekatan kelenjar getah bening dengan jaringan sekitarnya. Kelenjar Getah Bening Kepala Leher 38 Contoh kasus 1. Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan telinga berair. 2. Seorang perempuan berusia 18 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan hidung tersumbat. 3. Seorang laki-laki berusia 56 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan suara serak. Referensi Dhillon, R. & East, C. (2000) An Illustrated Colour Text Ear, Nose, and Throat Head and Neck Sugery . 2nd ed. London: Harcourt Publishers Limited. Dhingra, P. L. (2010) Disease of Ear, Nose, and Throat . 4th ed. New Delhi: Reed Elsevier India Pvt. Ltd. pp. 5-9. Donoghue GM, Bates GJ, Narula AA. In Clinical ENT. An ilustrated texbook Oxford University Press New York; 1992:p.10-21. Netter F. Interactive atlas of human anatomy. Siegel LG. The head and neck history and examination. In adams GC,Boies LR, Higler. Fundamental of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia. WB Saunders Co.;1998:p.13-23. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. pp. 1-9. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. pp. 17-18. 39 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pengambilan Benda Asing Telinga : Organ Khusus :V : Departemen Telinga Hidung Tenggorok : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: pengambilan benda asing telinga adalah prosedur/tindakan mengambil/mengekstraksi segala jenis benda/substansi asing/corpus alienum organik atau anorganik yang cukup kecil dan dapat masuk dalam rongga telinga. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pengambilan benda asing telinga dengan cara yang benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai jenis benda asing telinga, anatomi dan fisiologi telinga, cara melakukan pemeriksaan telinga, dan gambaran klinis benda asing telinga. Alat dan Bahan 1. Lampu kepala Van Hasselt 1 set 2. Spekulum telinga 1 set 3. Pengait benda asing telinga (ekstraktor) 1 set 4. Alat penghisap (suction) 1 set 5. Forsep alligator 1 set 6. Anestesi topikal 1 set 7. Antibiotik topikal 1 set 8. Tampon 1 buah 9. Alkohol, khloroform, atau minyak mineral secukupnya Prosedur Untuk melihat liang telinga lebih jelas dan lebih lurus, pegang pinna dengan satu tangan dan tarik ke belakang dan ke atas pada orang dewasa dan ditarik kebawah pada infant. Pada kasus-kasus benda asing yang tidak tertanam dalam liang telinga: 1. Apabila pasien tersebut anak-anak: selama prosedur, posisikan anak dalam pangkuan orang dewasa. 2. Taruhlah alat pengait di belakang benda asing, diputar dan secara gentle kemudian ditarik keluar. Pada kasus benda asing berupa serangga: 1. Teteskan alkohol, khloroform, atau minyak mineral supaya serangga tidak banyak bergerak sekaligus untuk lubrifikasi dinding kanalis. 2. Pegang serangga menggunakan forsep alligator. 3. Apabila membrana timpani intak, lakukan ekstraksi dengan irigasi menggunakan air dengan temperature tubuh, dengan arah posterosuperior liang telinga, sehingga air berada diantara benda asing dan dinding posterior liang telinga. Contoh Kasus 1. Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan telinga kemasukan serangga. 40 Referensi 11. Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 5th edition, Volume one, Lippincott William & Wilkins, 2014. 12. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok, kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348 13. Higler PA. Penyakti Hidung. Dalam: Effendi H, ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. Philadepphia: W. B. Saunders Company. p.238-9. 14. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72 15. Dhilon RS, East CA. Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, Edisi kedua. Edinburgh: Churchil Livingstone. 1999. p.36-37. 41 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pengambilan Benda Asing Hidung : Organ Khusus :V : Departemen Telinga Hidung Tenggorok : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: pengambilan benda asing hidung adalah prosedur/tindakan mengambil/mengekstraksi segala jenis benda/substansi asing/corpus alienum organik atau anorganik yang cukup kecil dan dapat masuk dalam rongga hidung. 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pengambilan benda asing hidung dengan cara yang benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai jenis benda asing hidung, anatomi dan fisiologi hidung, cara melakukan pemeriksaan hidung, dan gambaran klinis benda asing hidung. Alat dan Bahan 1. Lampu kepala Van Hasselt 1 set 2. Spekulum hidung Hartmann 1 set 3. Pinset bayonet (lucae) 1 set 4. Pengait benda asing hidung (ekstraktor) 1 set 5. Alat penghisap (suction) 1 set 6. Cermin faring 1 set 7. Spiritus 1 set Prosedur 1. Persiapkan peralatan yang diperlukan. 2. Posisikan pasien duduk tegak di hadapan pemeriksa (cara duduk dan cara memasang lampu kepala sama seperti yang sudah disampaikan sebelumnya). 3. Pangku anak-anak dengan posisi seperti dalam gambar, kepala difiksasi oleh asisten. 4. Fokuskan lampu kepala yang telah terpasang ke lubang hidung. 5. Pasang spekulum hidung, perhatikan benda asing. 6. Benda asing anorganik: masukkan alat ekstraktor kedalam hidung, di arah belakang benda asing anorganik, kemudian tarik perlahan kedepan melewati lubang hidung. 7. Benda asing organik (lintah): teteskan air tembakau ke dalam lubang hidung. Biarkan 2-5 menit. Lintah akan terlepas dari mukosa hidung, kemudian tarik dengan pinset/aligator. 8. Bersihkan kavum nasi/suction. 9. Evaluasi kembali kavum nasi (perhatikan adanya perdarahan atau benda asing lainnya). 42 Pengaturan posisi untuk pengambilan benda asing telinga dan hidung pada anak-anak Contoh kasus 1. Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke unit gawat darurat rumah sakit dengan keluhan hidung kemasukan manik-manik. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 5th edition, Volume one, Lippincott William & Wilkins, 2014. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok, kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348 Higler PA. Penyakti Hidung. Dalam: Effendi H, ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. Philadepphia: W. B. Saunders Company. p.238-9. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72 Dhilon RS, East CA. Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, Edisi kedua. Edinburgh: Churchil Livingstone. 1999. p.36-37. 43 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Penghentian Perdarahan Hidung : Organ Khusus :V : Departemen Telinga Hidung Tenggorok : 4A Deskripsi Umum 1. Overview: penghentian perdarahan hidung adalah prosedur/tindakan menghentikan epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung yang bersifat lokal atau sistemik, spontan atau akibat rangsangan yang terjadi karena adanya perubahan pada mekanisme penghentian perdarahan normal di dalam hidung (mukosa yang abnormal, kelainan pembuluh darah atau kelainan pada sistem pembekuan darah). 2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan prosedur penghentian perdarahan hidung dengan cara yang benar. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan pengetahuan mengenai anatomi hidung, etiologi (lokal maupun sistemik), patogenesis, klasifikasi perdarahan hidung, cara melakukan pemeriksaan hidung, dan gambaran klinis perdarahan hidung. Alat dan Bahan 1. Lampu kepala Van Hasselt 1 set 2. Spekulum hidung Hartmann 1 set 3. Forsep tampon atau pinset bayonet 1 set 4. Cermin faring 1 set 5. Spiritus 1 set 6. Alat penghisap (suction) 1 set 7. Tampon anterior 1 set 8. Kassa 1 set 9. Pelumas atau salep antibakteri secukupnya 10. Masker 1 set 11. Sarung tangan 1 set 12. Plaster secukupnya Prosedur Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, terutama pada anak, tekan cuping hidung dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan, kaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya, berikan krim antibiotik pada area tersebut. Bila dengan cara ini tidak berhasil, perlu dilakukan pemasangan tampon anterior. 1. Pegang spekulum hidung dengan cara: ibu jari pada joint , jari telunjuk diletakkan pada dorsum hidung dan jari lainnya pada batang spekulum untuk memegang. 2. Masukkan spekulum ke nostril kiri/kanan, spekulum harus selalu terbuka dan diarahkan ke superior dan jangan ke lantai hidung. Inspeksi akan lebih baik dengan menekan puncak hidung. 3. Berikan anestesi topikal untuk menekan rasa tidak nyaman, risiko apnea, bradikardi, dan hipotensi yang diakibatkan blocking the nasal-vagal reflex. Tampon kapas yang telah diberi larutan pantocaine 1% atau lidocaine (dengan 44 atau tanpa 1-2 tetes larutan epinefrin 1 : 1.000) dipertahankan di rongga hidung selama 3-5 menit. Evaluasi sumber perdarahan setelah tampon kapas dibuka. 4. Pasanglah tampon hidung anterior yang telah dilapisi salep antibakteri ke dalam rongga hidung. 5. Pasang tampon dengan cara berlapis-lapis (layering) mulai dari dasar hidung ke koana di belakang dan sampai setinggi konkha media di atas atau menggunakan tampon yang dimasukkan kedalam sarung tangan/handscoon yang telah dioleskan pelumas atau salep antibakteri dan dipasang dalam kavum nasi. 6. Perhatikan: a. Tampon tidak boleh mengenai kolumela dan septum nasi, karena bagian ini sangat mudah mengalami trauma. b. Ujung tampon tidak boleh ada yang keluar ke orofaring ataupun terlihat di orofaring di belakang palatum molle, hal ini dapat menyebabkan iritasi, rasa tidak enak pada pasien dan akan berbahaya bila tampon sampai ke saluran aerodigestive dan dapat menyebabkan komplikasi. c. Tampon dipasang secukupnya, tidak boleh terlalu padat karena dapat menyebabkan komplikasi. 7. Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung, pasanglah kasa dan plaster di anterior untuk menahan tampon supaya tidak keluar. Pada pemasangan tampon hidung bilateral, bila perlu berilah oksigen yang telah dihumidifikasi dan penderita harus diobservasi. 8. Berilah antibiotik spektrum luas selama pemasangan tampon. 9. Pertahankan tampon hidung anterior selama 2 x 24 jam, bila setelah dilepas epistaksis masih dijumpai, lakukan kembali pemasangan tampon hidung anterior. 10. Bila epistaksis masif, pasang infus dan transfusi sesuai indikasi, kemudian lanjutkan dengan pemasangan tampon posterior. Pemasangan tampon anterior Contoh kasus Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang ke unit gawat darurat rumah sakit dengan keluhan hidung berdarah. 45 Referensi 1. Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 5th edition, Volume one, Lippincott William & Wilkins, 2014. 2. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok, kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348 3. Higler PA. Penyakti Hidung. Dalam: Effendi H, ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. Philadepphia: W. B. Saunders Company. p.238-9. 4. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72 5. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudddin J, Restuti RD. Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (Ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. pp. 131-5. 6. Dhilon RS, East CA. Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, Edisi kedua. Edinburgh: Churchil Livingstone. 1999. p.36-37. 46 KETERAMPILAN KLINIS BLOK DERMATOMUSKULOSKELETAL 47 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pengenalan instrumen Bedah Dasar Dan Teknik Simpul Dalam penjahitan : Dermatomuskuloskeletal :5 : Departemen Ilmu Bedah : IVA Deskripsi Umum Instrumen bedah merupakan alat-alat yang dipergunakan dalam berbagai tindakan pembedahan. Sebelum melakukan tindakan pembedahan, seorang operator (pelaku tindakan pembedahan), terlebih dahulu harus mengenal instrumen bedah yang akan digunakannya, teknik menggunakan dan kegunaandari instrumen tersebut secara benar. Pada pelatihan ini akan dibahas mengenai instrumen-instrumen yang sering dipergunakan terutama dalam keterampilan bedah dasar dan bedah minor Keterampilan dalam mengikat simpul bedah merupakan salah satu keterampilan klinik dasar dalam ilmu bedah khususnya dalam teknik penjahitan luka. Agar dapat membuat simpul bedah dengan cepat dan baik, pertama kali harus dipahami bagaimana teknik pembuatannya dan kemudian mengembangkan keterampilan dengan cara melatih dan mempraktikannya pada media latihan atau pada pasien bila teknik telah dikuasai dengan baik. Alat dan Bahan Minor Set Manekin hecting Prosedur 1. Teknik Memegang Gunting: Posisi memegang gunting yang benar adalah ibu jari dan jari manis dimasukkan ke dalam lubang gunting, jari tengah diletakkan di depan jari manis danjari telunjuk diletakkan pada bidang gunting sehingga gunting dapat dikendalikan dengan baik Gambar1. Berbagai jenis gunting 48 2. Teknik Memegang pinset: Pinset dipegang diantara ibujari, jari tengah dan jari telunjuk. Selama operasi lebih sering dipegang dengan tangan kiri untuk memegang jaringan yang akan dipotong dengan tangan kanan memegang gunting atau skapel Gambar 2. Teknik memegang gunting dan pinset 3. Klem: umumnya digunakan sebagai alat penjepit organ atau jaringan tubuh. Cara memegang klem sama dengan cara memegang gunting Gambar 3. Klem hemostatis lurus Gambar 4. Klem Kocher Gambar 5. Klem kocher 4. Needle Holder: memiliki kegunaan sebagai pemegang jarum jahit dan penyimpul benang. Posisi memegang needle holder yang benar sama seperti cara memegang gunting bedah 49 Gambar 6. Needle Holder 5. Pisau Bedah: instrumen ini terdiri dari dua bagian yaitu gagang dan mata pisau. Tangkai pisau dipegang antara ibu jari,jari ketiga dan jari keempat, sedangkan jari telunjuk diletakkan di punggung pisau sebagai kendali Gambar 7. Pisau bedah (gagang dan matapisau) 6. Retraktor Luka : dipergunakan untuk menguakkan luka 50 Gambar 8. Retractor Langenback Gambar 9. Retraktor Volkman 7. Jarum Jahit: jenis yang berpenampang bulat seperti taper dan blunt digunakan untuk menjahit otot atau organ dalam tubuh, sedangkan yang berpenampang segitiga (reverse dan conventional cutting) digunakan untuk menjahit kulit. Jarum jahit dijepit pada needle holder kira- kira 1/3 dari pangkalnya dan ditusukkan pada tepi luka (3-4mm dari tepi luka). Gambar 10. Berbagai bentuk jarum jahit 51 Gambar 11. Cara memegang jarum jahit pada needle holder 8. Benang jahit: terdiri dari 2 jenis secara umum yaitu absorbable dan non absorbable Gambar 12. Benang Kromik Catgut (absorbable) Gambar13. Benang Silk (non absorbable) 9. Korentang: dipergunakan untuk mengambil instrumen steril, mengambil kasa, doek dan laken steril. Cara memegang korentang sama seperti memegang gunting atau pemegang jarum 52 Gambar 14. Korentang 10. Teknik simpul: Ujung benang yang pendek dapat ditarik hingga cukup pendek, kemudian buatlah ikal (loop) dari ujung benang yang panjang di sekeliling instrumen. Benang dililitkan dengan posisi instrumen berada didepan benang. Pegang ujung benang yang pendek dengan instrumen yang telah dililit benang. Tariklah ujung benang yang pendek melalui ikal(loop), dengan ujung benang yang pendek ke arah Anda, dan ujung benang yang panjang menjauh. Eratkan benang dengan tarikan sehingga simpul pertama terbentuk. Mulailah membuat ikatan(simpul) kedua dengan melilitkan lagi ujung benang yang panjang pada instrumen, tetapi kali ini dilakukan dengan arah yang berlawanan. Posisi instrumen di belakang ujung benang yang panjang. Setelah terbentuk ikal(loop) disekitar instrumen, peganglah ujung benang yang pendek dengan instrumen, dan tariklah ujung benang yang pendek melewati ikal(loop) tersebut. Setelah ujung benang, yang pendek ditarik melalui ikal (loop) ,aturlah ujung benang tersebut pada tempatnya, tariklah ujung benang yang pendek sehingga menjauhi, sedangkan ujung benang yang panjang mengarah pada Anda. Eratkan benang dengan tarikan sehingga simpul kedua terbentuk 53 Gambar 15. Teknik Penjahitan Simpul dengan Instrumen Contoh Kasus Seorang laki-laki datang dengan luka sayat pada lengan kanan 54 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Eksisi Tumor : Dermatomuskuloskeletal :5 : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin : IVA Deskripsi Umum 1. 2. 3. Eksisi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan di bagian kulit. Tujuan dari bedah eksisi adalah untuk membuang lesi dengan batas yang tepat dan memberikan hasil kosmetik yang terbaik Tujuan keterampilan ini dipelajari agar mahasiswa mampu melakukan tindakan bedah eksisi pada penyakit tumor/kutil Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai bedah eksisi serta bagaimana cara melakukannya Alat dan Bahan 1. Tempat tidur pasien 1 unit 2. Masker, hanskun, baju dan topi operasi, duk steril 1 unit 3. Surgical pen marker atau gentian violet 1 unit 4. Kapas alkohol 70% 5. Povidon iodine 10% 6. Spuit 3 cc, lidokain 2% 1 unit 7. Skalpel no 15 atau no 10, blade no 3 atau no 7 1 unit 8. Jarum ¾ circle cutting 1 unit 9. Benang non absorbable (polypropylene atau silk) 1 unit a. wajah : 5.0 bisa 6.0 b. Ekstrimitas badan: 4.0 atau 3.0 c. Telapak kaki tangan: 3.0 atau 2.0 10. Needle holder 1 unit 11. Pinset 1 unit 12. Gunting 1 unit 13. Tabung formalin berisi formalin 10% yang sudah diberi identitas pasien unit 14. Normal saline 1 Prosedur 1. Menyapa pasien dengan ramah dan memperkenalkan diri 2. Memberikan penjelasan tentang tujuan, prosedur, dan efek samping tindakan 3. Meminta pasien mengisi dan menandatangani informed consent 4. Melakukan pemotretan sebelum tindakan 5. Meminta pasien duduk dan melakukan kembali evaluasi pada lesi 6. Mempersilahkan pasien tidur telentang 7. Gunakan masker, cuci tangan dan pasang hanskun, memakain baju operasi dibantu asisten. 8. Desinfeksi dengan povidon iodin 10% dengan cara sentrifugal (melingkar dari dalam keluar lesi), dilanjutkan alkohol 70% dengan cara yang sama. 9. Ditutup dengan duk steril yang sesuai dengan ukuran lesi 55 10. Skin marking, menggambar elips/fusiform dengan menggunakan gentian violet atau surgical pen steril. Jika lesi jinak seperti nevus, ditambah jarak yang mengelilingi lesi/perilesi 1-2 mm, jika lesi ganas ditambah 4-5 mm. kemudian dibuat gambar elips/fusiform dengan perbandingan 1:3 (distensi/tingkat regang tinggi) atau 1:4 (distensi rendah), sehingga akan membentuk sudut 60 derajat pada sudut lesi 11. Melakukan anastesi dengan menyuntikan lidokain 2% sampai subkutis lalu aspirasi terlebih dahulu untuk menghindari menyuntik obat ke pembuluh darah. Infiltrasi obat sambil mengeluarkan jarum sampai seluruh area teranestesi, sampai kulit terlihat agak pucat. Dilakukan juga di sisi lain skin mark dengan metode 2 sudut (jika lesi besar). Ditunggu kurang lebih 10-15 menit, lalu lakukan tes baal dengan menjempit lesi dengan menggunakan pinset/forceps. 12. Jika sdh pasti teranastesi. Siapkan alat, ambil blade no 3 dan scalpel no 15 kemudian dipasang. Pilih jarum ¾ circle cutting dan benang non absorbable (polypropylene atau silk dll), siapkan neddle holder, pinset, gunting tabung formalin atau buffer formalin 10% yang sudah diberi identitas pasien. Needle hodler menjepit jarum pada ⅓ pangkal. 13. Pegang blade holder seperti memegang pena, dengan kelingking sebagai fiksasi. Tangan kiri/kontralateral meregangkan garis elips berlawanan rstl/skin mark agar tidak terjadi cross hatching. 14. Lakukan insisi dari ujung elips dengan mata pisau menusuk dengan sudut 90 derajat, kemudian diinsisi dan ketika sampai ditengah elips sudut mata pisau 45 derajat, kemudian kembali 90 derajat sampai diujung elips. Lakukan hal yang sama pada sisi elips yang lain sampai terpotong seluruh lesi elips. 15. Diseksi dengan menggunakan scalpel/gunting tajam dengan bantuan pinset dengan kedalaman yang sama kurang lebih sampai subkutis dan sampai seluruh jaringan terlepas. 16. Coba dekatkan kedua sisi panjang irisan, apabila ada tahanan yang kuat, lakukan undermining 17. Jaringan ditaruh di kasa dan dibersihkan dari darah dengan normal salin, kemudian dimasukkan dalam botol formalin/buffer formalin 10% dengan perbandingan 1:10 sampai seluruh lesi terendam. 18. Amati adanya perdarahan, jika ada: Dab dengan kasa steril,, jika masih ada perdarahan Beri cairan hemostat (AlCl 20-40% / nitras argentin 50% / ferri sulfat), jika masih ada perdarahan Kauter dengan cara elektrokoagulasi, jika masih ada perdarahan Ligase arteri 19. Jika perdarahan sudah teratasi, coba satukan kedua tepi luka, jika ada regangan lakukan undermining di subkutis dengan ujung tumpul gunting undermine, di semua area sampai sdh tidak distent/tegang. 20. Jahit dari tepi elips dengan jarum masuk 90% dari garis luka, sekitar 0,5 cm dari tepi luka. Penjahitan dengan simple interrupted suture dengan simpul di tepi luka. Lakukan jahitan dengan cara yang sama di tepi kontralateral sampai luka tertutup dengan simpul di tepi luka di sisi yang sama dengan jahitan sebelumnya. 21. Bersihkan luka yang sudah terjahit dengan normal salin. 22. Buka duk steril 23. Oleskan krim antibiotik secara tebal untk mencegah masuknya air pada luka. 24. Tutup dengan kasa tebal untuk menghindari benturan dan tutup dengan plester hipoalergenik 25. Kontrol 1 hari untk melihat adanya komplikasi perdarahan 56 26. Kontrol untuk angkat jahitan wajah 5-7 hari, ekstrimitas 10-14 hari, telapak tangan kaki 14-21 hari Contoh kasus: Seorang pasien laki-laki umur 62 tahun datang berobat ke poliklinik kulit dengan keluhan adanya tukak di hidung kiri yang bertambah besar dan mudah berdarah sejak 1 tahun yang lalu. Sebelumnya tukak tersebut berasal dari tahilalat. Pekerjan pasien adalah bertani dari jam 8.00 sampai jam 17.00. Kemudian tahilalat tersebut luka dan berdarah dan kalau kesenggol tahilalat tersebut mudah berdarah. Sudah berobat ke Puskesmas tetapi tidak sembuh. 57 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Insisi Abses dan Drainase Abses : Dermatomuskuloskeletal :5 : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin : Deskripsi Umum 1. 2. 3. 4. Abses adalah pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam jaringan yang kemudian membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya tidak ada, dengan jaringan fibrotic disekitarnya sebagai respon tubuh terhadap adanya infeksi Insisi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan di bagian kulit. Tujuan dari bedah eksisi adalah untuk membuang lesi dengan batas yang tepat dan memberikan hasil kosmetik yang terbaik Tujuan keterampilan ini dipelajari agar mahasiswa mampu melakukan tindakan bedah eksisi pada penyakit tumor/kutil Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai bedah eksisi serta bagaimana cara melakukannya Alat dan Bahan 1. Tempat tidur pasien 2. Masker, hanskun, baju dan topi operasi, duk steril 3. Kapas alkohol 70% 4. Povidon iodine 10% 5. Spuit 3 cc, lidokain 2% atau chlor ethyl 6. Skalpel no 15 atau no 10, blade no 3 atau no 7 7. Kassa steril 8. Pinset, gunting, klem, neerbeken 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit Prosedur 1. Menyapa pasien dengan ramah dan memperkenalkan diri 2. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien 3. Meminta pasien menandatangani informed consent 4. Mempersilahkan pasien berbaring 5. Mempersiapkan alat – alat dan bahan yang diperlukan 6. Gunakan masker, cuci tangan dan pasang hanskun, memakain baju operasi dibantu asisten. 7. Desinfeksi dengan povidon iodin 10% dengan cara sentrifugal (melingkar dari dalam keluar lesi), dilanjutkan alkohol 70% dengan cara yang sama. 8. Ditutup dengan duk steril yang sesuai dengan ukuran lesi 9. Melakukan anastesi dengan menyemprotkan chlor ethyl atau menyuntikan lidokain 2% 10. Jika sdh pasti teranastesi. Siapkan kassa dan neer beken untuk menampung eksudat 11. Ambil scalpel no 15 dan blade no 3 kemudian dipasang, pinset, klem, gunting 12. Pegang blade holder seperti memegang pena, dengan kelingking sebagai fiksasi. Tangan kiri/kontralateral meregangkan garis elips berlawanan rstl/skin mark agar tidak terjadi cross hatching. 13. Lakukan insisi abses dengan mata pisau menusuk dengan sudut 90 derajat, lebarkan dengan klem 58 14. 15. 16. 17. 18. 19. Tekan sampai pus/eksudat minimal Lakukan debridement jaringan nekrotik dengan kuret atau kassa Irigasi dengan NaCl 0,9% sampai jernih Bilas dengan H2O2 Cuci dengan antiseptic povidone iodine chlorhexidine, dll Jika kemungkinan eksudat masih ada atau diperkirakan masih produktif sebaiknya dipasang drain (dengan penroos drain atau potongan karet hanskun steril) 20. Rawat sebagai luka terbuka dan tidak dijahit Gambar abses pada kulit Gambar Teknik Insisi Abses Contoh Kasus Seorang pasien pria datang dengan benjolan merah disertai nanah, terasa nyeri dan panas pada paha sebelah kanan. Judul Sistem Semester Penyusun : Ekstraksi Kuku : Dermatomuskuloskeletal :5 : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin 59 Tingkat Keterampilan : IVA Deskripsi Umum 1. Ekstraksi kuku (Rosser Plasty) adalah tindakan pengangkatan sebagian atau seluruh kuku jari tangan ataupun kaki yang dilakukan untuk mengobati infeksi kuku yang berat, biasa karena jamur atau pada kuku yang tumbuh kedalam (ingrown toe nail) berikut matriks tunasnya, dilanjutkan reposisi jaringan lunak tepi kuku 2. Tujuan keterampilan ini dipelajari agar mahasiswa mampu melakukan tindakan ekstraksi kuku pada infeksi atau penyakit pada kuku 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai ekstraksi kuku serta bagaimana cara melakukannya Alat dan Bahan 1. Klem/forceps 2. Gunting kecil tajam 3. Neer beken 4. Kassa steril 5. Povidone iodine 10% 6. Spuit 3 cc 7. Lidocain 2% 8. Sarung tangan steril 9. Verban gulung 10. Plester 11. Salep antibiotik 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 pasang Prosedur 1. Gunakan masker, cuci tangan dan pasang hanskun 2. Desinfeksi dengan povidon iodin 10% dengan cara sentrifugal (melingkar dari dalam keluar lesi) 3. Melakukan anastesi dengan menyuntikan lidokain 2% secara blok pada bagian kuku yang akan diektraksi. Pastikan pasien merasa baal (mati rasa) 4. Angkat kuku dengan menggunakan klem dari tepi kiri ke kanan atau arah sebaliknya 5. Bersihkan bagian atas jari yang kukunya telah diangkat, perlahan – lahan dengan menggunakan kassa steril 6. Olesi salep antibiotika diatas permukaan tersebut, kemudian tempelkan kassa steril yang sudah diberi povidone iodine. Balut daerah kuku dengan menggunakan verban gulung 60 Gambar: a, Ekstraksi kuku distal dengan paronikia kronis disertai fibrosis nail fold proksimal and distrofi nail plate. Nail plate diekstraksi disertai eksisi pada nail fold proksimal. B. Nail fold lateral dibebaskan c. Penarikan nail plate dari nail bed dengan menggerakkan kuku kearah lateral. D. vaskularisasi nail bed setelah pemisahan dengan nail plate Contoh Kasus Seorang perempuan datang dengan bengkak pada pinggir kuku ibu jari tangan kanan disertai rasa nyeri. 61 Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Zuber TJ. Fusiform excision. Am Fam Physician. 2003 Apr 1. 67(7):1539-44, 15478, 1550 Usatine RP, Moy RL, Tobinick EL, eds. Elliptical excision. Skin Surgery. Mosby: A Practical Guide. St. Louis, Mo; 1998. 120-36 Barclay L. IDSA: skin and soft tissue infections guidelines updated. Medscape Medical News. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/827399. Accessed: June 26, 2014 [Guideline] Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update by the infectious diseases society of america. Clin Infect Dis. 2014 Jul 15. 59(2):e10-52 Sinha SN. Wound debridement: doing and teaching. Primary Intention. 2007 Nov. 15:162-4 Haneke E. Surgical anatomy of the nail apparatus. Dermatol Clin. 2006 Jul. 24(3):291-6 Tos P, Titolo P, Chirila NL, Catalano F, Artiaco S. Surgical treatment of acute fingernail injuries. J Orthop Traumatol. 2011 62 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Anamnesis Penyakit Kulit : Dermatomuskuloskeletal :V : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin : IVA Deskripsi Umum 1. Anamnesis adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu percakapan antara seorang dokter dengan pasiennya secara langsung ataupun tidak langsung dengan orang lain yang mengetahui tentang kondisi pasien, untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya. 2. Tujuan anamnesis penyakit kulit dan kelamin adalah memperoleh data informasi tentang permasalahannya berkaitan dengan kelainan kulit pada pasien yang secara umum anamnesis ini dapat membantu menegakkan diagnosis sekitar 6070% 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar, kelainan dasar penyakit kulit dan kelamin. AlatdanBahan 1. Kursi dokter 2. Kursi pasien dan pedamping pasien 1 unit 1 unit Prosedur 1. Persilahkan pasien duduk untuk dilakukan anmnesis, dan peroleh data umum pasien: nama, jenis kelamin, umur, alamat pekerjaan, status perkawinan, agama, suku, pekerjaan, dan kegemaran. 2. Anamnesis dapat diperoleh dari penderita sendiri (autoanamnesis) dan/atau pengantarnya (alo-anamnesis), terdiri dari: Keluhan utama: keluhan yang menyebabkan penderita datang berobat, terdiri dari keluhan objektif (ruam), keluhan subjektif (rasa), lokasi ruam yang dijabarkan dengan bahasa awam Contoh: bercak merah disertai rasa gatal di tangan kanan sudah 3 hari Keluhan objektif adalah keluhan yang saat ini terlihat nyata pada tubuh pasien dengan bahasa yang digunakan oleh pasien Persamaan lesi/ruam kulit harus sesuai kriteria Domonkos dan dilihat mana yang dominan. Misalnya pada pasien herpes zoster yang terlihat vesikel, dalam bahasa pasien pada kriteria Domonkos ditulis gelembung berisi cairan. o Bintil (papul, vegetasi, komedo) o Bercak (makula, purpura) o Bentol (urtika) o Benjolan/tumor (nodul, tumor,kista) o Gelembung berisi cairan (vesikel, bulla) o Gelembung berisi nanah (pustula) o Bisul (abses) o Sisik (skuama) o Keropeng (krusta) o Lecet (erosi, ekskoriasi) o Borok (ulkus) 63 Keluhan subjektif adalah keluhan yang dirasakan oleh pasien. Terdapat dalam kriteria Domonkos, misalnya rasa gatal, rasa panas, rasa dingin, rasa sakit, dan lain – lain o Gatal (paling sering) o Panas (rasa terbakar) o Dingin (rasa geli) o Mencucuk o Menyengat o Menjalar : sakit/nyeri/denyut o Kebas/kesemutan o Kurang/tidak berasa Keluhan tambahan: terkadang diperlukan Contoh: pada penyakit kulit yang disebabkan infeksi bakteri/virus adakah demam yang menyertai - 3. Riwayat Perjalanan Penyakit berdasarkan OLD CARTS Uraian tentang lama penyakit, bentuk mula-mula, lokasi ruam berturut-turut, perkembangan/perjalanan penyakit, karakteristik penyakit, faktor yang memperberat, hubungannya dengan iklim, makanan, penyakit sistemik, obat obatan yang dimakan atau dipakai, sudah diobati atau belum 4. Riwayat kebiasaan : mencakup kebiasaan merokok, alkohol, narkoba, atau seks bebas 5. Riwayat penyakit keluarga: dokter menanyakan penyakit yang diderita keluarga (faktor keturunan) seperti psoriasis vulgaris, vitiligo, alopesia. Ataupun keluarga sebagai sumber penularan. Bila ada keluarga yang meninggal dunia juga ditanyakan penyebabnya 6. Riwayat penyakit terdahulu: penyakit kulit yang mungkin berulang atau penyakit lain yang ada hubungan 7. Anamnesis sosial ekonomi: tanyakan keadaan keluarga mengenai keuangan, keadaan lingkungan rumah 8. Anamnesis gizi: tanyakan tentang kebiasaan makan/napsu makan, penurunan berat badan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Contoh Soal: Seorang perempuan, 35 tahun, datang dengan keluhan bercak merah disertai sisi, terasa gatal pada selangkangan. Lakukan anamnesis yang lengkap terhadap pasien ini. 64 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Penyiapan dan penilaian sediaan Kalium Hidroksida (KOH) : Dermatomuskuloskeletal :V : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin : IVA Deskripsi Umum 1. Pemeriksaan KOH adalah pemeriksaan langsung sediaan basah dengan menambahkan 1 – 2 tetes larutan KOH, kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Tujuan pemeriksaan KOH adalah sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosis penyakit yang disebabkan oleh jamur dengan ditemukannya hifa atau spora pada pemeriksaan menggunakan mikroskop 2. Tujuan pembelajaran ini agar mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan serta indikasi dilakukannya pemeriksaan KOH 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai pemeriksaan KOH. Alat dan Bahan 1. Kursi dokter 2. Kursi pasien 3. Mikroskop 4. Larutan KOH 10% dan 20% 5. Lampu Bunsen 6. Objek glass dan kaca penutup 7. Kapas alkohol 70% 8. Blade dan scalpel 9. Pinset 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit 1 unit Prosedur 1. 2. 3. Jenis larutan KOH: a. KOH 10 % Konsentrasi karutan KOH 10% biasa digunakan untuk memeriksa ada/tidaknya penyakit jamur pada kulit b. KOH 20% Konsentrasi karutan KOH 10% biasa digunakan untuk memeriksa ada/tidaknya penyakit jamur pada kuku dan rambut Lokasi a. Kulit: bagian tepi kulit yang mengalami kelainan b. Kuku: kuku yang mengalami penebalan c. Rambut: i. Rambut rapuh dan berwarna agak pucat ii. Pada rambut terdapat benjolan iii. Daerah sekitar rambut yang mengalami kelainan kulit Cara Pengambilan Sampel a. Kerokan Kulit Bersihkan kulit yang akan diperiksa terlebih dahulu dengan kapas alkohol 70% untuk menghilangkan debu, lemak dan kotoran lainnya. Kemudian dikerok dengan scalpel dengan arah dari atas ke bawah (memegang scalpel 65 4. 5. 6. harus miring membentuk sudut 450 ke atas). Letakkan hasil kerokan diatas objek glass. b. Kerokan/guntingan kuku Bersihkan kuku yang mengalami kelainan dengan kapas alkohol. Kemudian dikerok pada bagian permukaan dan bawah kuku yang sakit, bila perlu kuku digunting. Letakkan diatas objek glass. c. Rambut Cabut rambut pada daerah yang terdapat kelainan dengan menggunakan pinset. Letakkan pada objek glass. Cara pembuatan sediaan a. Teteskan 1 – 2 larutan KOH 10 – 20% pada kaca objek yang telah berisi kerokan kulit/guntingan kuku/rambut b. Tutup dengan kaca penutup c. Biarkan +/- 15 menit atau hangatkan diatas api bunsen selama beberapa detik untuk mempercepat proses lisis Cara pemeriksaan a. Periksa sediaan dibawah mikroskop. Mula – mula dengan pembesaran objektif 10x, kemudian dengan pembesaran 40x untuk mencari adanya hifa atau spora tergantung jamur yang menyebabkan penyakitnya, contohnya: i. Terlihat gambaran hifa sebagai dua garis sejajar terbagi oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada dermatofitosis Hasil Positif : bila ditemukan adanya hifa atau spora Negatif : bila tidak ditemukan adanya hifa dan spora Hifa tampak sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Terkadang hifa dapat juga terlihat pada sediaan rambut. Gambar 1 Pengambilan specimen berupa kerokan kulit dan penetesan KOH pada gelas objek 66 Gambar 2 Tampak hifa panjang yang bersepta disertai spora pada gambaran mikroskopis Contohkasus: Seorang pasien peria, 45 tahun, dengan keluhan kuku berwarna kusam, mudah pecah pada kuku jari manis dan kelingking kaki kanan dan kiri. Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Skin Slit Smear : Dermatomuskuloskeletal :V : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin : 4A Deskripsi Umum 1. Pemeriksaan skin slit smear adalah pemeriksaan menggunakan sampel apusan kulit dengan pewarnaan yang digunakan untuk mengukur jumlah Bakteri Tahan Asam (BTA) yang penting dalam menentukan tipe dan keparahan kusta serta untuk menilai respon dari pengobatan dan jika terjadi relaps. 2. Tujuan pembelajaran ini agar mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan skin slit smear, indikasi dan tujuan dilakukannya pemeriksaan. 3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai pemeriksaan skin slit smear. Alat dan Bahan 1. Kursi dokter 2. Kursi pasien 3. Sarung tangan 4. Lampu Bunsen 5. Objek glass dan kaca penutup 6. Kapas alkohol 70% 7. Blade no 15 dan scalpel no 3 1 unit 1 unit 1 pasang 1 unit 1 unit 1 unit Bahan Pewarnaan: Larutan carbol fuchsin 1% Asam alkohol 1% atau asam sulfat Larutan methylen blue 0,2% Pipet tetes 1 unit Rak gelas objek 1 unit Kertas tisu Prosedur 67 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lokasi Lobus telinga Lesi kusta yang aktif (kemerahan dan menebal), biasa di pinggir lesi Cara Pembuatan Apusan Kulit Persilahkan pasien duduk dengan tenang Cuci tangan dan memakai sarung tangan Membersihkan tepi lobus telinga (lesi infiltrat) dengan kapas alkohol 70% sampai mengering. Menjepit lobus telinga dengan erat dengan menggunakan jempol dan telunjuk sampai kulit menjadi pucat. Dengan menggunakan blade melakukan pembuatan insisi : Panjang sayatan ± 5 mm. Dalam 2-3 mm (sampai dermis). Memutar pisau scalpel 90° dan mempertahankan pada sudut yang tepat pada daerah insisi. Arah sayatan dari atas ke bawah sampai didapat bubur jaringan. Pada saat pengambilan specimen, hindari terjadinya perdarahan, karena mengganggu pewarnaan dan pembacaan. Membuat apusan ke atas object glass dalam bentuk lingkaran dengan diameter 8 mm, pada sisi yang sama dengan letak identitas. Satu object glass bisa untuk 2-3 apusan. Jika terjadi perdarahan bersihkan dengan kapas alkohol 70%. Tutup luka. Lewatkan spesimen di api Bunsen untuk fiksasi sebelum pewarnaan. Cara Pewarnaan: Teteskan larutan carbol fuchsin 1% sampai menutup seluruh kaca objek Panaskan diatas lampu bunsen sampai carbol fuchsin menguap Ulangi langkah diatas sebanyak 3 kali setiap 5 menit. Pastikan jangan sampai mendidih. Jika pewarnaan kering, tambahkan reagen dan panaskan lagi Cuci perlahan dibawah keran, bilas sampai air cucian tidak bewarna, meskipun apusan berwarna merah gelap Dekolorisasi Tetesi kaca objek dengan alkohol selama 10 detik. Bisa juga menggunakan asam sulfat selama 10 menit Bilas perlahan dengan air Counter staining Tetesi kaca objek dengan methylen blue 0,2% selama 1 menit Bilas dengan air, biarkan slide kering di rak pengeringan dengan posisi miring, dengan sisi apusan menghadap ke bawah Slide siap untuk dibaca Pembacaan Letakkan slide dibawah mikroskop dengan apusan menghadap keatas Gunakan pembesaran 10x, kemudian pembesaran 100x 68 Gambar. Lihat jumlah bakteri tahan asam, dengan gambaran batang merah dengan latar belakang biru. Dapat berbentuk lurus atau melengkung, dan warna merah dapat tersebar merata (basil solid) maupun tidak merata (basil fragmented dan granulated). Gumpalan basil disebut globi. Basil solid dapat menunjukan organism yang hidup dan dijumpai pada kasus baru, yang belum diterapi atau kasus relaps. 7. Hasil Contoh Kasus: Seorang pasien pria dengan kelluhan bercak mati rasa pada tangan dan kaki. Daun telinga terasa menebal. Referensi: 1. 2. 3. 4. 5. Yosi A. Pembuatan Status Penyakit Kulit dan Kelamin. Departemen IK Kulit dan Kelamin FK Universitas Sumatera Utara. Medan. Budimulja U. Mikosis; Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. FK Universitas Indonesia. Jakarta. 2007 Gupta P. Mycology. B.J Medical College, Ahmedabad, India. 2012 Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Fungal diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, eds. Dermatology. 3rd ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2012:chap 77 Health Resources and Services Administration. Preparation and Examination of Skin Slit Smear. US Departement of Health and Human Services. Available at: https://www.hrsa.gov/hansensdisease/diagnosis/skinsmears.html 69 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pembacaan foto fraktur (tulang panjang, vertebra, cranium) : Dermatomuskuloskeletal : V : Departemen Ilmu Bedah : 4A DeskripsiUmum 1. Pemeriksaan Rontgen tulang dapat memberi informasi : Lesi tulang & jaringan Lunak sekitarnya Adanya fraktur/ancaman fraktur patologis Asal/Sifat suatu lesi(jinak/ganas) Sebagai guide untuk biopsi 2. Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang, kartilago atau keduanya, dan disertai kerusakan jaringan lunak. Fraktur dapat terbuka atau tertutup 3. Fraktur terdiri dari beberapa tipe, yaitu: Fraktur transversal Fraktur oblique/spiral/screw Fraktur kominutif lebih dari 2 fragmen Fraktur avulsi Fraktur green stick (pada anak-anak) Fraktur kompressi vertebra Fraktur impressi tengkorak Fraktur linier Fraktur kompresi 4. 5. Tujuan pembelajaran ini adalah agar mahasiswa: 1. Dapat mengetahui kriteria hasil foto rontgen yang baik 2. Dapat menilai hasil pemeriksaan rontgen fraktur tulang panjang 3. Dapat menilai hasil pemeriksaan rontgen fraktur tulang vertebra 4. Dapat menilai hasil pemeriksaan rontgen fraktur tulang cranium Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar, anatomi dinding toraks, pemeriksaan fisik torak. AlatdanBahan 1. Illuminator 2. Foto rontgen 3. Penggaris 4. Meja dan kursi 70 Prosedur 1. Penilaian Kondisi Foto Rontgen Fraktur Tulang. 2. Persiapan pembacaan a. Hidupkan iluminator. b. Letakkan foto rontgen pada iluminator, dengan sisi kanan foto berada di sisi kiri pembaca c. Pastikan posisi foto tepat, atau sesuai dengan posisi anatomis (meletakkannya jangan sampai terbalik-balik) 3. Pembacaan Foto Rontgen Fraktur Tulang Panjang a. Penilaian kondisi foto a. Identitas pasien harus tertera jelas, nama, umur, dan jenis kelamin. b. Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan. c. Tanda kiri dan kanan harus dicantumkan. d. Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan. e. Pastikan foto rontgen memenuhi rule of two , yaitu: - Two Views : buatlah dua foto dengan dua proyeksi, misalnya A.P dengan lateral, atau oblik. Bila keadaan pasien tidak memungkinkan, buatlah dua foto dengan proyeksi tegak lurus satu sama lain. - Two Joints : Persendian proksimal, dan distal pada bagian tulang yang mengalami fraktur harus terlihat. Persendian terdekat dengan daerah fraktur juga harus terfoto. - Two Limbs : Anggota gerak yang sehat, juga dapat dibuat fotonya, sebagai perbandingan. Misalnya epifise immatur pada anak-anak, yang dapat membingungkan diagnosis fraktur, sehingga perlu dibuat foto anggota gerak yang sehat. - Two Injuries : Pembuatan foto rontgen pada bagian tubuh lainnya, untuk melihat ada tidaknya cedera pada bagian tubuh lainnya. Misalnya pada fraktur femur, perlu dibuat foto rontgen pada tulang belakang, atau pada pelvis. - Two Occasions : Pembuatan foto rontgen ulangan beberapa minggu setelah trauma untuk menunjukkan lesi yang tidak terlihat jelas setelah trauma. b. Pembacaan Foto Rontgen Fraktur Tulang Panjang Letak (site) Identifikasi tulang yang sedang diamati, misalnya tulang tibia, atau femur Tentukan tulang berada di sebelah dekstra atau sinistra Amatilah apakah terlihat garis patahan (fracture line) Jika terlihat garis patahan (fracture line) tentukan bagian tulang dimana terdapat fracture line. Jika fracture line terdapat di bone shaft (batang tulang) tulang panjang biasanya dibagi atas tiga bagian: yaitu apakah pada 1/3 proksimal, 1/3 medial, atau 1/3 distal 71 Foto Tulang Tibia-Fibula Kanan Proyeksi AP–Lat tengah (b). 1/3 distal (c) - - Tipe Fraktur Komplit : Bila garis patahan melalui seluruh penampang tulang, atau melalui kedua sisi korteks tulang, seperti yang terlihat pada foto. Disebabkan rudapaksa berkekuatan tinggi Fraktur Inkomplit : Bila garis patahan (fracture line), tidak melalui seluruh penampang tulang (periosteum intak), contoh: fraktur greenstick : garis patahan mengenai salah satu korteks tulang dengan angulasi korteks lainnya dan fraktur hairline : garis patahan tampak halus seperti rambut (fraktur retak rambut). Gambar Fraktur Greenstick Gambar. Fraktur 1/3 Proksimal (a), 1/3 Gambar Fraktur Hairline Konfigurasi (configuration) Bila fraktur bertipe komplit, tentukan : - Bentuk garis patahan, misalnya : o Melintang, karena trauma langsung o Oblik (serong), karena trauma angulasi o Spiral, karena trauma rotasi - Jumlah garis patahan : o Fraktur kominutif (garis patah > satu, dan saling berhubungan) o Fraktur segmental (garis patah > satu, tetapi tidak saling berhubungan) o Fraktur multipel (garis patah > satu, terjadi pada tulang-tulang yang berlainan 72 Bentuk & Jumlah Garis Patah Fraktur Tulang Garis patah melintang Fraktur kominutif - Garis patah spiral Garis patah oblik Fraktur segmental Fraktur segmental dan multipel Hubungan antar fragmen tulang yang mengalami fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : o Garis patah komplit, tetapi fragmen tulang tidak bergeser Displaced (bergeser) o Terjadi pergeseran fragmen tulang terhadap fragmen tulang lainnya (ralat buku panduan) o Tipenya : translasi, angulasi, rotasi, length (saling menjauhi, overlapping) 73 Displaced tipe overlapping - Displaced tipe angulasi Hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar Fraktur Tertutup (closed fracture) : tidak terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar Fraktur Terbuka (open/compound fracture) : terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar. Klasifikasi Menurut R. Gustillo : o Derajat satu o Derajat dua o Derajat tiga Fraktur femur kanan 1/3 distal spiral Fraktur tibia kanan 1/3 tengah Fraktur fibula kanan 1/3 displaced tertutup oblik displaced tertutup + fraktur distal oblik fibula kanan 1/3 tengah oblik displaced tertutup 74 Fraktur femur kanan 1/3 proksimal kominutif displaced tertutup 4. Fraktur radius kanan 1/3 distal oblik displaced tertutup + dislokasi sendi radius ulna distal (fraktur Galeazzi) Pembacaan Foto Rontgen Tulang Vertebra Gambar Radiologi Vertebra a. Vertebra Cervicalis Posisi: Anteroposterior view Lateral view Open mouth (odontoid) view Oblique view Anteroposterior view Lateral view 75 Radiologi gambaran anatomi – lateral view lateral view b. Foto cervical AP view Foto cervical Vertebra thoracalis Radiologi vertebra thoracalis c. Lumbosacral Radiologi vertebra lumbosacral AP view Radiologi vertebra lumbosacral lateral view 76 5. a. Pembacaan Foto Rontgen Tulang Cranium Fraktur cranium dapat dideteksi pada foto polos radiologi terhadap 5% pasien dengan trauma ringan, tetapi deteksi dari fraktur cranium menggunakan radiograf konvensional hanya sebagai rujukan untuk dilakukan CT scan. Pada tahun 1981, Royal College of Radiologist menyimpulkan bahwa penggunaan CT scan lebih tepat, oleh karena foto rontgen kepala memiliki nilai diagnostic yang rendah dan tidak memberikan informasi tambahan yang berperan dalam tatalaksana. Foto rontgen kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis kelainan intrakranial. Namun, pemeriksaan ini masih dapat digunakan untuk mendiagnosis fraktur tulang tengkorak. Gambaran radiologis cranium posisi lateral: 1. Hypophyseal fossa 2. Axis 3. Odontoid process 4. External occipital protuberance 5. Temporal bone Gambar sinus paranasal posisi lateral Caldwell Gambar cranium posisi Walter Gambar cranium posisi Gambar cranium posisi Towne 77 b. Gambaran rontgen fraktur cranium termasuk berikut: Garis lurus, translucent, dengan batas tegas Lebar >3mm, paling lebar pada bagian tangah, dan menyempit diujung Melalui kedua lamina tulang, baik luar dan dalam Keterlibatan table dari cranium Kebanyakan fraktur berbentuk lurus, dapat juga berubah arah tiba – tiba Batas fraktur biasanya parallel dan secara umum tidak lancip Pada fraktur cranium yang berkembang, garis fraktur yang melintasi sutura koronalis atau lambdoid, biasa terbatas tulang parietal c. Fraktur memberikan gambaran garis hitam bertepi tajam dan biasanya berbentuk lurus (Gambar 1). Fraktur yang muncul pada area meningea media dapat berkaitan dengan hematoma epidural. Pada fraktur depresi, garis fraktur yang lusen dapat memberi gambaran stelata atau semisirkular (Gambar 2). Pada kondisi demikian, CT scan diindikasikan karena mungkin terjadi cedera jaringan otak Gambar 1. Fraktur kranium linier. Fraktur cranium (tanda panah) biasanya berupa garis hitam bertepi tajam dan tidak ada tepi yang berwarna putih. Pada posisi anteroposterior (AP) (A), tidak dapat ditentukan apakah fraktur berasal dari tulang tengkorak bagian depan atau belakang. Pada posisi Towne (B), yaitu posisi leher menunduk dan posisi occipital lebih tinggi, fraktur ini dapat terlihat terletak di tulang occipital. d. Gambar 2. Fraktur kranium depresi. Pada posisi lateral (A) menunjukkan bagian sentral dari fraktur, yaitu gambaran stelata (tanda panah besar), dan sekitarnya terdapat garis fraktur konsentrik (tanda panah kecil). Perhatikan gambaran sutura dan gambaran vaskular normal pada foto tersebut. Pada posisi anteroposterior (AP) (B) menunjukkan dalamnya fraktur depresi, walau gambaran ini terlihat lebih jelas pada pemeriksaan CT scan. Rontgen cranium masih memegang peranan dalam mengevaluasi trauma nonaksidental pada anak, biasa hanya sebagai bagian dari survey skeletal Fraktur oksipital akibat trauma non aksidental pada anak balita Rontgen cranium posisi lateral pada anak dengan fraktur oksipital. Terdapat batas sklerotik dan cenderung depressed 78 Contoh Soal: Seorang pria, 27 tahun datang dengan keluhan nyeri pada kaki kanan, dan kaki tidak dapat digerakkan Referensi: 79 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : : : : : Pemasangan Balut dan Bidai Dermatomuskuloskeletal V Departemen Ilmu Bedah 4A Deskripsi Umum Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap menempel sebagaimana mestinya atau Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen–fragmen ke posisi anatomi. Imobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen–fragmen tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union. Penyambungan fraktur (union) dan Mengembalikan fungsi (rehabilitasi). Alat dan Bahan 1. 2. 3. 4. 5. Elastik perban Kain mitella Plester Pembalut yang spesifik Kassa steril Jenis-jenis pembalut: Mitella adalah pembalut berbentuk segitiga Bahan pembalut terbuat dari kain yang berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai ukuran. Pnjang kaki antara 50-100cm Pembalut ini dipergunakan pada bagian kaki yang tebentuk bulat atau untuk menggantung bagian anggota badan yang cedera. Pembalut ini biasa dipakai pada cedera di kepala, bahu, dada, siku, telapak tangan, pinggul, telapak kaki, dan untuk menggantung lengan. Dasi adalah mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk seperti dasi Pembalut ini biasa dipergunakan untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala yang lain), rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir. Pita adalah pembalut gulung (kasa gulung/ perban elastik) Plester adalah pembalut berperekat Pembalut yang spesifik Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa penutup luka dan steril, baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering dipakai pada luka-luka lebar yang terdapat pada badan Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh kuman. Biasa dipergunakan pada luka-luka kecil Kassa steril Adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk menutup luka kecil yang sudah diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik). Setelah ditutup kassa itu kemudian baru dibalut. 80 Prosedur 1. Perhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan menjawab pertanyaan a. Bagian dari tubuh yang mana ? b. Apakah ada luka terbuka atau tidak ? c. Bagaimana luas luka tersebut ? d. Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu atau tidak ? 2. Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan ! dapat salah satu atau kombinanasi 3. Sebelum dibalut jika luka terbuka periu diberi desinfektan atau dibalut dengan pembalut yang mengandung desinfektan atau dislokasi periu direposisi 4. Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan : - Dapat membatasi pergeseran atau gerak bagian tubuh yang memang perlu difiksasi - sesedikit mungkin membatasi gerak bagian tubuh yang lain - Usahakan posisi balutan yang paling nyaman untuk kegiatan pokok penderita - Tidak mengganggu peredaran darah, misalnya pada balutan beriapis, - lapis yang paling bawah letaknya disebelah distal - Tidak mudah kendor atau lepas 5. Cara membalut dengan mitella a. Salah satu sisi mitella dilipat 3 -4 cm sebanyak 1 -3 kali b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang akan dibalut, lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan b, atau diikatkan pada tempat lain maupun dapat dibiarkan bebas, hal ini tergantung pada tempat dan kepentingannya 6. Cara pembalutan dengan dasi a. Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan masing-masing ujung lancip b. Bebatkan pada tempat yangakan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikatkan c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum diikat arahnya saling menarik d. Kedua ujungnya diikatkan secukupnya 7. Cara membalut dengan pita a. Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih pembalutan pita ukuran lebar yang sesuai b. Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salaah satu ujung yang diletakkan dari proksimal ke distal menutup sepanjang bagian tubuh , yang akan dibalut kemudian dari distal ke proksimal dibebatkan dengan. arah bebatan saling menyilang dan tumpang tindih antara bebatan yang satu dengan bebatan berikutnya c. Kemudian ujung yang dalam tadi (b) diikat dengan ujung yang lain secukupnya 8. Cara membalut dengan plester a. Jika ada luka terbuka luka diberi obat antiseptik, tutup luka dengan kassa baru lekatkan pembalut plester b. Jika untuk fiksasi (misalnya pada patah tulang atau terkilir)-balutan plester dibuat "strapping" dengan membebat berlapis-lapis dari distal ke proksimal, dan untuk membatasi gerakkan tertentu perlu masing-masing ujungnya difiksasi dengan plester 81 82 83 84 PEMBIDAIAN Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit. Sedangkan prinsip pembidaian adalah : 1. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan mengalami cidera 2. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan dulu ada tidaknya patah tulang 3. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan Syarat-syarat pembidaian 1. Siapkan alat-alat selengkapnya 2. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur lebih dulu pada anggota badan korban yang tidak sakit 3. Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor 4. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan 5. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat yang patah 6. Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai 7. Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas PROSEDUR MELAKUKAN IMOBILISASI TULANG BELAKANG DAN LOGROLL (penderita dengan curiga cedera tulang belakang) 1. Diperlukan 4 orang, orang ke 1 mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher, orang ke 2 untuk badan (termasuk pelvis dan panggul), orang ke 3 pelvis dan tungkai, orang ke 4 mengatur prosedur ini dan memasang/mencabut spine-board. 85 2. Dilakukan kesegarisan kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar servikal semirigid. 3. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan disamping badan. 4. Tungkai bawah diluruskan dan kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester 5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang ke 2 memegang 6. 7. 8. penderita daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke 3 memasukkan tangan dan memegang panggul penderita dengan 1 tangan dan dengan tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke dua pergelangan kaki Dengan komando orang pertama (yang mempertahankan kesegarisan kepala dan leher) dilakukan logroll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada disisi penderita, hanya diperlukan pemutaran minimal untuk memasukkan spineboard dibawah penderita. Setelah spine board dibawah penderita dan dilakukan logroll ke arah spineboard. Pasang bantalan disisi kiri - kanan kepala dan leher penderita . Kemudian pengikat dipasang (kepala, dada, pelvis, paha dan diatas pergelangan kaki) 86 TRANSPORTASI/PENGANGKUTAN Pengangkutan korban merupakan upaya penting dalam proses pemberian pertolongan. Cara-cara pengangkutan korban yang mengalami cedera secara benar.perlu diketahui dan dikuasai: Pengangkutan di tempat kejadian (tempat yang berbahaya) 1. Sambil jongkok lutut penolong disamping kiri korban. Lengan dan tangan kanan penolong dimasukkan dibawah leher korban, kemudian tangan kanan penolong di sebelah ketiak kanan korban sehingga sampai ke depan dadanya. 2. Tangan kiri penolong menyilangkan lengan kanan korban didadanya, kemudian tangan kanan penolong memegang tangan kanan korban. 3. Kemudian lengan dan tangan kiri penolong dimasukkan dibawah ketiak kiri korban dan memegang lengan kanan korban. 4. Kedua tangan penofong saling bertaut melingkari lengan bawah kanan korban. 5. Kemudian kaki kiri penofong diletakkan setinggi pinggang korban. 6. Sambil membongkokkan tubuh kedepan (prinsip mengungkit) badan korban dapat terangkat. 7. Korban didekatkan ke dada penolong, kemudian penolong berdiri dan menarik korban sejauh mungkin dalam keadaan setengah baring. 8. Di tempat yang aman korban dibaringkan lagi secara hati-hati untuk dilakukan resusitasi. Penderita harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat penderita sestabil mungkin sebelum dilakukan trasnportasi ke tempat yang mempunyai fasilitas /untuk melakukan tindakan definitif. Selama dalam perjalanan / transportasi yang harus diperhatikan 1. Monitor tanda-tanda vital 2. Bantuan kardio repirasi bila diperiukan 3. Pemberian obat sesuai prosedur 4. Menjaga komunikasi dengan dokter selama transportasi 5. Melakukan dokumentasi selama transportasi SKENARIO: Seorang laki-laki mengalami kecelakan sewaktu mengendarai sepeda motor, korban terjatuh ditengah jalan dan kakinya tidak dapat digerakkan Referensi: Saryono, SKp.,Mkes, Penuntun Skillslab FK UNSOED 87 KETERAMPILAN KLINIS BLOK NEUROLOGY 88 Judul : Pemeriksaan Sensoris Sistem : Saraf Semester :V Penyusun : Departemen Neurologi Tingkat Keterampilan : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Melakukan pemeriksaan sensoris Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam melakukan pemeriksaan sensoris dengan baik dan benar agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai dasar gangguan sensoris serta penyakit gangguan sensoris. Alat dan Bahan Set Pemeriksaan Umum Dewasa Set Pemeriksaan Neurologis Prosedur I. Pendahuluan Adanya gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan sensorik. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi otot. Gangguan sensorik dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal (parestesia), kebas atau mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi). Pada gangguan di kanalis sentralis medula spinalis dapat terjadi fenomena disosiasi: analgesia terhadap rangsang panas dan nyeri sementara rangsang lainnya masih dapat dirasakan oleh penderita. Orang neurotik sering kali mengeluh adanya perasaan tidak enak di seluruh permukaan tubuh, misalnya ada hewan yang merayap di permukaan kulitnya. Sehubungan dengan pemeriksaan fungsi sensorik maka beberapa hal berikut ini harus dipahami terlebih dahulu: a. b. c. Kesadaran penderita harus penuh dan tajam (komposmentis dan kooperatif) Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah; kelelahan akan mengakibatkann gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi Prosedur pemeriksaan harus benar-benar dimengerti oleh penderita, karenapemeriksaan fungsi sensorik benar-benar memerlukan kerjasama yang sebaikbaiknya antara pemeriksa dengan penderita 89 d. e. f. g. h. i. j. Cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita dengan istilah yang mudah dimengerti olehnya Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan pemeriksaan anggota gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta perubahan sikap tubuh. Mungkin pula muncul dilatasi pupil, nadi yang cepat dari semua, keluar banyak keringat. Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga meliputi perbedaan-perbedaan sensasi yang ringan;dengan demikian harus dicatat gradasi atau tingkat perbedaannya. Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap individu, pada tiap bagian tubuh, dan pada individu yang sama tetapi dalam situasi yang berlainan. Oleh sebab itu, pemeriksa perlu menganjurkan penderita untuk melakukan pemeriksaan ulang pada hari berikutnya Perlu ditekankan mengenai azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus selalu dibandingkan dengan bagian kanan. Juga pelu dipahami tentang azas ekstrem: pemeriksaan dikerjakan dari ujung atas dan ujung bawah ke arah pusat. Hal ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan. Pemeriksaan fungsi sensorik harus dikerjakan dengan sabar (jangan tergesa-gesa), menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan atau tujuan, tanpa menyakiti penderita, dan penderita tidak boleh dalam keadaan tegang Perlu ditekankan bahwa hasil pemeriksaan fungsi sensorik pada suatu saat tidak dapat dipercaya, membingungkan, dan sulit dinilai. Dengan demikian kita harus berhati-hati dalam hal penarikan kesimpulan. II. Pemeriksaan Raba Alat yang dipakai dapat berupa kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa dengan ujung jari tangan yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali. Cara memberi rangsangan: stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan tekanan terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah sedikit bila memeriksa telapak tangan dan telapak kaki yang kulitnya lebih tebal. Penderita diminta menyatakan ya atau tidak apabila dia merasakan atau tidak merasakan adanya rangsangan, dan sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang. Daerah yang dirangsang ialah daerah yang bebas dari rambut atau bulu; hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan gangguan dari rambut/bulu yang turut tergerakkan pada saat melakukan rangsanga taktil sehingga rambut tadi akan mengacaukan panilaian. Beberapa istilah sehubungan dengan kelainan raba, antara lain: a. Kelainan sensasi taktil dikenal sebagai ansetesia, hipestesia, dan hiperestesia; akan tetapi istilah tadi secara rancu juga digunakan untuk semua perubahan sensasi. b. Apabila sensasi raba ringan negatif disebut tigmanestesia c. Kehilangan sensasi gerakan rambut disebut trikoanestesia 90 d. Kehilangan sensasi lokalisasi disebut topoanestesi e. Ketidakmampuan untuk mengenal angka atau huruf yang :dituliskan pada kulitbdisebut grafanestesia. Pasien dalam posisi berbaring, mata tertutup atau secara pasif kedua mata ditutup secara ringan tanpa menekan bola mata. Pemderita harus dalam keadaan santai, tidak boleh tegang. Bagian tubuh yang diperiksa harus bebas dari pakaian. II. Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial Alat yang dipakai dapat beruba jarum biasa, peniti, jarum pentul (ini yang paling praktis karena ujung dan kepala.pentul jarum dapat digunakan secara bergantian), atau jarum yang terdapat dalam pangkal palu refleks; stimulator listrik atau panas tidak dianjurkan. a. Cara pemeriksaan: Mata penderita tertutup. Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tersebut terhadap dirinya sendiri. Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai menimbulkan perlukaan. Penderita jangan ditanya: apakah anda merasakan ini? Atau apakah ini runcing? Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung jarum dan kepala jarum secara bergantian, sementara itu penderita diminta untuk menyatakan sensasinya sesuai dengan pendapatnya. Penderita juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas ketajaman rangsangan di daerah yang berlainan. Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun, maka rangsangan dimulai dari daerah tadi dan menuju arah yang normal. b. Istilah Beberapa istilah sehubungan dengan gangguan sensasi nyeri superfisial adalah sebagai berikut: Alganestesia dan anelgesia dipergunakan untuk menunjukkan daerah yang tidak sensitif terhadap rasa nyeri Hiperalgesia menunjukkan sensitivitas yang menurun Hiperalgesia menunjukkan peningkatan sensitivitas III. Pemeriksaan sensasi suhu Alat yang dipakai pada prinsipnya adalah tabung yang diisi air dingin atau air panas. Lebih dipilih tabung metal daripada tabung gelas karena bahan gelas merupakan konduktor yang buruk. Untuk sensasi dingin diperlukan air dengan suhu 5-10o C, dan sensasi panas 91 diperlukan suhu 40-45ºC. Suhu kurang dari 5º dan lebih dari 45º C akan menimbulkan rasa nyeri. a. Cara pemeriksaan : Penderita lebih baik dianjurkan dalam posisi berbaring. Mata penderita tertutup. Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa. Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan penderita diminta untuk menyatakan apakah tersa dingin atau panas. Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk menyatakan adanya rasa hangat. Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-50C sudah mampu untuk mengenalinya. b. Istilah Perubahan sensibilitas suhu dikenal dengan istilah termanestesia, termihipestesia, dan termihiperestia, baik terhadap rangsang dingin maupun panas. Apabila penderita dirangsang dingin dan dirangsang panas, keduanya dijawab dengan hangat atau panas maka keadaan demikian ini disebut isotermognosia. IV. Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi a. Pengertian umum Sensasi gerak juga dikenal sebagai sensasi kinetic atau sensasi gerak aktif/pasif. Sensasi gerak terdiri dari kesadaraan tentang adanya gerakan di dalam berbagai bagian tubuh. Sensasi posisi atau sensasi postur terdiri dari kesadaran terhadap posisi tubuh atau posisi bagian tubuh terhadap ruang Arteresetesia digunakan untuk persepsi gerakan dan posisi sendi, dan statognosis menunjukkan kesadaran postur. Kemampuan pengenalan gerakan bergantung pada rangsangan yang muncul sebagai akibat dari gerakan sendi serta pemanjangan/pemendekan otot-otot. Individu normal sudah mampu mengenal gerakan selebar 1-2 derajat pada sendi interfalangeal. b. Cara pemeriksaan: Tidak diperlukan alat khusus. Mata penderita tertutup. Penderita dapat duduk atau berbaring Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan mungkin sehingga dihindari adanya tekanan terhadap jari-jari tadi. Jari yang diperiksa harus dipisahkan dari jari-jari di sebelah kiri / kanannya sehingga tidak bersentuhan, sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh melakukan gerakan aktif seringan apapun. 92 Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari ataupun apakah ada gerakan pada jarinya Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak dan posisi maka dianjurkan untuk memeriksa bagian tubuh lain yang ukurannya lebih besar, misalnya tungkai bawah atau lengan bawah. Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu tangan penderita pada posisi tertentu, sementara itu mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita diminta untuk menjelaskan posisi jari-jari tadu ataupun menirukan posisi tadi pada tangan yang satunya lagi. V. Pemeriksaan sensasi getar / vibrasi Sensasi vibrasi disebut pula dengan palestesia yang berarti kemampuan untuk mengenal atau merasakan adanya rasa getar, ketika garpu tala yang telah digetarkan diletakkan pada bagian tulang tertentu yang menonjol. a. Alat yang dipakai Garpu tala yang mempunyai frekuensi 128 Hz Ada pula yang berpendapat bahwa dengan frekuensi 256 Hz akan diperolrh hasil yang lebih baik. Bagian tubuh yang nantinya akan ditempeli pangkal garpu tala antara lain: ibu jari kaki, maleolus lateralis/medialis, tibia, sacrum, spina iliaka anterior superior, prosesua spinosus vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius/ulna, dan sendi-sendi jari. b. Cara pemeriksaan Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung garpu tala dipukulkan pada benda padat/keras yang lain. Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada bagian tubuh tertentu. Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya vibrasi. Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan penggetaran tabung tala dan interval antara penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakkan garpu tala pada bagian tubuh yang diperiksa. c. Hasil pemeriksaan Hasil pemeriksaan disebut normal bila penderita merasakan getaran maksimal; yang lebih penting lagi ialah kemampuan penderita untuk merasakan getaran ketika garpu tala hampir berhenti bergetar; hilangnya rasa getar disebut palanestesia. VI.Pemeriksaan sensasi tekan Sensasi tekan disebut pula sebagai piestesia. Sensasi tekan atau sentuh-tekan sangat erat kaitannya dengan sensasi taktil tetapi melibatkan persepsi tekanan dari struktur subkutan.Sensasi tekan juga erat hubungannya dengan sensasi posisi dengan perantaraan kolumna posteriot medula spinalis. a. Alat yang dipakai 93 Benda tumpul atau kalau terpaksa dapat menggunakan ujung jari Untuk pemeriksaan kuantitatif dipergunakan headpressure estesiometer atau piesimeter b. Cara pemeriksaan Penderita dalam posisi berbaring dan mata tertutup. Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau disentuhkan lebih kuat terhadap kulit. Di samping itu juga dapat diperiksa dengan menekan struktur subkutan misalnya massa otot, tendo dan saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau dengan cubitan dengan skala yang lebih besar. Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada tekanan dan sekaligus diminta untuk mengatakan daerah mana yang ditekan tadi. VII.Pemeriksaan sensasi nyeri dalam atau nyeri tekan Untuk pemeriksaan ini tidak diperlukan alat khusus, cukup menggunakan jari-jari tangan. a. Cara pemeriksaan Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan ditekan dengan ujung jari atau dengan mencubit (menekan di antara jari telunjuk dan ibu jari). b. Hasil pemeriksaan Pasien diminta untuk menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau tidak; pernyataan ini dicocokkan dengan intensitas tekanan atau cubitan. Contoh kasus Seorang pasien datang dengan keluhan kebas pada kaki kanan KEPUSTAKAAN 1. De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams Wilkins,Philadelphia,2005 2. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill:New York 3. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006. 94 Judul : Pemeriksaan Vertebra Sistem : Saraf Semester :V Penyusun : Departemen Neurologi Tingkat Keterampilan : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Melakukan pemeriksaan vertebra Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam melakukan pemeriksaan vertebra dengan baik dan benar agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai dasar gangguan vertebra serta penyakit gangguan vertebra. Alat dan Bahan 1. Goniometer 2. Meteran Prosedur I. Pendahuluan 1. Pemeriksaan Umum, meliputi : a. Kondisi pasien secara umum. b. Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi respirasi dan suhu). c. Posisi (berbaring, berjalan atau berdiri). 2. Pemeriksaan Regional : pemeriksaan terhadap kedua sisi anggota badan dan membandingkan sisi yang sakit dengan sisi normal. a. Inspeksi : Inspeksi dilakukan dari sisi anterior, lateral dan posterior. 95 Ekstremitas atas dan bawah diperiksa dari proksimal ke distal (apakah ada pemendekan ( ), deformitas, edema, pembengkakan, ulkus, sinus, sikatriks, atrofi kulit dan otot). b. Palpasi : Suhu di area tersebut (hangat/ dingin ?) Krepitasi Nyeri pada palpasi : nyeri tekan superfisial atau nyeri tekan dalam. c. Gerakan : Untuk menilai keterbatasan (ROM) sendi dan kekuatan otot (MMRC –Modified Medical Research Council). Aktif : dilakukan oleh pasien sendiri. Pemeriksaan gerakan aktif dilakukan sebelum pemeriksaan dengan gerakan pasif. Pasif : dilakukan oleh pemeriksa, dicatat derajat gerakannya, misalnya 30º-90º. d. Gaya berjalan Normal gait Analgic gait e. Pengukuran f. Neurovaskuler Contoh kasus Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang KEPUSTAKAAN 1. De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams Wilkins,Philadelphia,2005 2. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill:New York 3. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006. 4. Clinical Test for The Musculosceletal System. Thieme, New York, 2004 96 Judul : Pemeriksaan Fungsi Koordinasi Sistem : Saraf Semester :V Penyusun : Departemen Neurologi Tingkat Keterampilan : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Melakukan pembacaan pemeriksaan fungsi koordinasi Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam melakukan pemeriksaan koordinasi dengan baik dan benar agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai dasar gangguan koordinasi. Alat dan Bahan Set Pemeriksaan Umum Dewasa Prosedur I. Pendahuluan Koordinasi gerak terutama diatur oleh cerebellum. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gangguan utama dari lesi di cerebellum ialah adanya disinergia, yaitu kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan gerakan yang membutuhkan kerjasam aantar otot, maka otot-otot ini tidak bekerjasama dengan baik, walaupun tidak didapatkan kelumpuhan. Hal ini terlihat jika pasien berdiri, jalan, membungkuk atau menggerakkan anggota badan. II. Cara Berjalan Prosedur pemeriksaan : Mintalah pasien berjalan, perhatikan panjang langkahnya dan lebar jarak kedua telapak kakinya. 97 III. Tes Romberg Tes Romberg hanya dilakukan apabila seseorang dapat berdiri tanpa bantuan Sebelum pasien menjalani tes Romberg, ia harus diberi penerangan yang jelas Prosedur pemeriksaan : Pemeriksa berada di belakang pasien Pasien berdiri tegak dengan kedua tangan di dada, kedua mata terbuka Diamati selama 30 detik Setelah itu pasien diminta menutup mata dan diamati selama 30 detik Jika pada keadaan mata terbuka pasien sudah jatuh -≫ kelainan serebelum Jika pada mata tertutup pasien cenderung jatuh ke satu sisi>vestibuler/propioseptif IV. Tes Romberg dipertajam Pemeriksa berada di belakang pasien Tumit pasien berada didepan ibu jari kaki yg lainnya Pasien diamati dalam keadaan mata terbuka selam 30 detik Kemudian pasien menutup mata dan diamati selama 30 detik Interpretasi = test Romberg V. Tes Jalan tandem Pasien diminta berjalan dengan sebuah garis lurus menempatkan tumit di depan jari kaki bergantian Pada kelainan serebelar: pasien tidak dapat melakukan tandem dan jatuh kesatu sisi Pada kelainan vestibular: pasien akan mengalami deviasi ke sisi lesi VI. Disdiadokokinesia Prosedur pemeriksaan : Mintalah pasien merentangkan kedua tangannya ke depan, kemudian mintalah pasien mensupinasi dan pronasi tangannya secara bergantian dan cepat. Positif bila gerakan lamban dan tidak tangkas. 98 VII. Tes Telunjuk-Hidung Prosedur pemeriksaan : Mintalah pasien merentangkan kedua lengannya ke samping. Kemudian mintalah pasien menyentuh hidungnya dengan jari telunjuknya bergantian tangan kanan dan kiri. Pertama dengan mata terbuka dan kedua dengan mata tertutup. VIII. Tes Tumit-Lutut Prosedur pemeriksaan : Minta pasien menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, kemudian minta pasien menggerakkan tumit itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui tulang tibia dan akhirnya melewati dorsum padis untuk menyentuh ibu jari kaki. XII. Tes Rebound Prosedur pemeriksaan : Mintalah pasien menarik lengannya sementara pemeriksa menahannya sehingga seperti sedang beradu panco. Kemudian dengan tiba-tiba pemeriksa melepaskan tahanannya. Perhatikan apakah lengan pasien segera berhenti atau terjadi gerakan lewat sampai memukul dirinya sendiri. Contoh kasus: Seorang pasien datang dengan keluhan hoyong KEPUSTAKAAN 1. De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams Wilkins,Philadelphia,2005 2. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill:New York 3. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006. 4. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Perdossi Pusat, Jakarta, 2012. 99 Judul : Pemeriksaan Refleks Fisiologis dan Patologis Sistem : Saraf Semester :V Penyusun : Departemen Neurologi Tingkat Keterampilan : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis. Alat dan Bahan 1. Set pemeriksaan neurologi lengkap Prosedur Yang dimaksud dengan reflek fisiologik adalah muscle stretch reflexes, yang muncul sebagai akibat rangsangan terhadap tendo atau periosteum atau kadangkadang terhadap tulang, sendi, fasia atau aponeurosis. Reflek tadi seringkali disebut dengan istilah yang keliru, misalnya reflek tendo atau reflek periosteum. Yang menimbulkan gerakan reflek sebenarnya adalah muscle stretch, sedang tendo itu sendiri hanya merupakan tempat di mana rangsangan mudah diberikan. Dasar pemeriksaan refleks a. Alat yang dipergunakan biasa disebut palu refleks (hammer reflex) yang pada umumnya dibuat dari bahan karet, walaupun bahan lain dapat pula dipergunakan. Namun demikian untuk mencapai hasil yang baik, bahan karet yang lunak lebih umum dipakai. Bahan tersebut tidak akan menimbulkan rasa nyeri pada penderita. Rasa nyeri pada pemeriksaan refleks memang harus dihindari oleh karena akan mempengaruhi hasil pemeriksaan. b. Penderita harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai. Bagian tubuh yang akan diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang nantinya akan terjadi dapat muncul secara optimal. 100 c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung; kerasnya pukulan harus dalam batas nilai ambang, tidak perlu terlalu keras. d. Oleh karena sifat reaksi bergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus dalam keadaan sedikit kontraksi . Apabila akan membandingkan refleks sisi kiri dan kanan maka posisi ekstremitas harus simetris. Penilaian hasil refleks Refleks dapat dinilai sebagai negatif, menurun, normal, meninggi dan hiperaktif. Ada pula yang menggunakan kriteria kuantitatif sebagai berikut: O = negatif +1 = lemah (dari normal) +2 = normal +3 = meninggi, belum patologik +4 = hiperaktif, sering disertai klonus, sering merupakan indikator suatu Penyakit Jenis-jenis pemeriksaan refleks a. Pemeriksaan refleks pada lengan Refleks biseps, triseps, brakhioradialis dan fleksor jari merupakan sekelompok refeleks pada lengan/ tangan yang padahal penting. Untuk itu pemeriksaan refleks pada lengan dibatasi pada keempat jenis refleks tadi. Pemeriksaan refleks biseps Pasien duduk dengan santai Lengan dalam keadaan lemas, lengan bawah dalam posisi antara fleksi dan ekstensi serta sedikit pronasi Siku penderita diletakkan pada lengan/tangan pemeriksa Pemeriksa meletakkan ibu jarinya di atas tendo biseps, kemudian pukullah ibu jari tadi dengan reflex hammer yang telah tersedia Reaksi utama adalah kontraksi otot biseps dan kemudian fleksi lengan bawah Oleh karena biseps juga merupakan supinator untuk lengan bawah maka sering kali muncul pula gerakan supinasi Apabila refleks meninggi maka zona refleksogen akan meluas dan refleks biseps ini dapat muncul dengan mengetuk daerah klavikula Juga, apabila refleks ini meninggi maka akan disertai gerakan fleksi pergelangan tangan serta jari-jari dan aduksi ibu jari M. Biseps brakhii dipleihara oleh n. Muskulokutaneus 101 Pemeriksaan refleks triseps Pasien duduk dengan santai Lengan pasien diletakkan di atas lengan/tangan pemeriksa Posisi pasien sama dengan posisi pada pemeriksaan refleks biseps Lengan penderita dalam keadaan lemas, relaksasi sempurna Apabila telah dipastikan bahwa lengan pasien sudah benar-benar relaksasi (dengan meraba triseps: tak teraba tegang), pukulan tendo yang lewat di fossa olekrani Maka triseps akan berkontraksi dengan sedikit menyentak, gerakan ini dapat dilihat dan sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menopang lengan pasien. M. Triseps dipelihara oleh nervus radialis (C6-C8), proses refleks melalui C7 102 Pemeriksaan refleks brakioradialis Posisi pasien dan pemeriksa sama dengan pemeriksaan refleks biseps Pukullah tendo brakhioradialis pada radius bagian distal dengan memakai reflekx hammer yang datar Maka akan timbul gerakan menyentak pada tangan M. Brakioradialis dipelihara oleh n. Radialis melewati C6 b. Pemeriksaan refleks pada tungkai Pemeriksaan refleks patela / kuadriseps Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai Daerah kanan-kiri tendo patela terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan daerah yang tepat Tangan pemeriksa yang satu memegang paha penderita bagian distal, dan tangan yang lain memukul tendo patela tadi dengan reflex hammer secara cepat (ayunan reflex hammer bertumpu pada sendi pergelangan tangan) Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps, dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak untuk kemudian berayun sejenak Apabila ada kesulitan dengan pemeriksaan tadi maka pakailah cara berikut: o Tangan pasien saling berpegangan o Kemudian penderita diminta untuk menarik kedua tangannya o Pukullah tendo patella ketika penderita menarik tangannya o Cara ini disebut reinforcement Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan refleks patella dapat dilakukan dengan posisi berbaring 103 Pemeriksaan refleks Achilles Pasien dapat duduk dengan tungkai menjuntai, atau berbaring, atau dapat pula penderita berlutut di mana sebagian tungkai bawah dan kakinya menjulur di luar meja pemeriksa Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon Achilles dengan cara menahan ujung kaki kearah dorsofleksi Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak Bila perlu dapat dikerjakan reinforcement sebagaimana dilakukan pada refleks patela Gambar 4. Pemeriksaan Refleks Achilles 104 PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIK Pada umumnya pemeriksaan reflek patologik merupakan respon yang tidak umum dijumpai pada individu normal. Sebagian besar refleks patologik berhubungan dengan traktus kortikospinal dan jaras-jarasnya, serta juga terjadi pada penyakit-penyakit lobus frontal dan gangguan sistem ekstrapiramidal. Refleks patologik pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara klinis dibandingkan pada ekstremitas atas. Dasar pemeriksaan refleks a. Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan refleks pada ekstremitas atas, adalah menggunakan palu refleks yang pada umumnya dibuat dari bahan karet, walaupun bahan lain dapat pula dipergunakan. Namun pada refleks hammer, menggunakan tangkai dengan ujung yang tidak tumpul untuk memeriksa refleks pada ekstremitas bawah. b. Pasien harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai. c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung. Jenis-jenis pemerikaan refleks patologik a. Babinski’s sign Cara: pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks Reaksi: dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari lainnya Gambar refleks babinski b. Chaddock’s sign Cara: pemerika menggores di bawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah lateral dengan palu refleks ujung tumpul Reaksi: sama dengan Babinski s sign 105 Gambar Refleks Chaddock c. Gordon’s sign Cara: pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat Reaksi: sama dengan Babinski s sign Gambar refleks Gordon d. Schaeffer’s sign Cara: pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat Reaksi: sama dengan Babinski s sign e. Oppenheim’s sign Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal Reaksi: sama dengan Babinski sign Gambar Refleks Oppenheim 106 f. Rossolimo’s sign Stimulasi Respon normal dorsofleksi ringan jari-jari kaki/tidak ada gerakan Respon abnormal : plantar fleksi jari dengan cepat Gambar Refleks Rossolimo Refleks Hoffman dan Tromner Dilakukan dengan ekstensi jari tengah pasien. Refleks Hoffmann diperiksa dengan cara melakukan petikan pada kuku jari tengah. Refleks Tromner diperiksa dengan cara mencolek ujung jari tengah. Refleks Hoffmann-Tromner positif jika timbul gerakan fleksi pada ibu jari, jari telunjuk, dan jari-jari lainnya. Gambar Refleks Hoffmann 107 Gambar Refleks Tromner Contoh Kasus Seorang pasien datang dengan keluhan lemah lengan dan tungkai bawah Referensi - De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams Wilkins,Philadelphia,2005 - De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed Text. Edisi 5, 2004. - Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill Livingstone, 2004. 108 Judul : Pemeriksaan Saraf Kranialis Sistem : Saraf Semester :V Penyusun : Departemen Neurologi Tingkat Keterampilan : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Pemeriksaan saraf kranialis adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai saraf kranialis beserta interpretasi / penilaiannya Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal dasar-dasar pemeriksaan saraf kranialis agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan saraf kranialis. Alat dan Bahan 1. Set pemeriksaan neurologi lengkap Prosedur Dua belas pasang nervi cranialis menghubungkan dengan pusat sistem saraf. Sistem saraf ini menerima informasi dari dunia luar termasuk dari viscera. Fungsi motorik yang diatur oleh nervi cranialis ditujukan pada pengaturan fungsi organ-organ khusus, yaitu vokalisasi, mastikasi, gerakan menelan makanan dan kontrol reflek pernafasan dan visceral. Implikasi fisiologis dan anatomis dari gangguan fungsi nervi cranialis sangat penting dalam diagnosis klinik. Beberapa teknik pemeriksaan khusus digunakan untuk memeriksa fungsi nervus ini. Berikut ini teknik pemeriksaan 12 nervi cranialis. 109 Gambar 1. Lokasi nervi cranialis II. PEMERIKSAAN NERVUS OLFAKTORIUS (N I) Prosedur pemeriksaan nervus Olfaktorius (N I) - Memberitahukan kepada penderita bahwa daya penciumannya akan diperiksa. - Melakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada sumbatan atau kelainan pada rongga hidung. - Meminta penderita untuk menutup salah satu lubang hidung. - Meminta penderita untuk mencium bau-bauan tertentu (misalnya: ekstrak kopi, ekstrak jeruk, vanili, atau tembakau) melalui lubang hidung yang terbuka. 110 - Meminta penderita menyebutkan jenis bau yang diciumnya. - Pemeriksaan yang sama dilakukan juga untuk lubang hidung kontralateral. Gambar Pemeriksaan N I (diadaptasi dari Buckley, 1980) Syarat Pemeriksaan : - Jalan nafas harus dipastikan bebas dari penyakit. - Bahan yang dipakai harus dikenal oleh penderita. - Bahan yang dipakai bersifat . Catatan: - Bahan yang cepat menguap tidak boleh digunakan dalam pemeriksaan ini sebab bahan tersebut dapat merangsang nervus trigeminus (N V) dan alat-alat pencernaan. Interpretasi Hasil Pemeriksaan : - Terciumnya bau-bauan secara tepat menandakan fungsi nervus olfaktorius kedua sisi adalah baik. - Hilangnya kemampuan mengenali bau-bauan ) yang bersifat unilateral tanpa ditemukan adanya kelainan pada rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung adanya neoplasma pada lobus frontalis cerebrum. - yang bersifat bilateral tanpa ditemukan adanya kelainan pada rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung adanya meningioma pada cekungan olfaktorius pada cerebrum. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari trauma ataupun pada meningitis. Pada orang tua dapat terjadi gangguan fungsi indra penciuman ini dapat terjadi tanpa sebab yang 111 jelas. Gangguan ini dapat berupa penurunan daya pencium ( ). Bentuk gangguan lainnya dapat berupa kesalahan dalam mengenali bau yang dicium, misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bawang goreng, hal ini disebut . - Selain keadaan di atas dapat juga terjadi peningkatan kepekaan penciuman yang disebut , keadaan ini dapat terjadi akibat trauma kapitis, tetapi kebanyakan terkait dengan kondisi psikiatrik yang disebut konversi histeri. Sensasi bau yang muncul tanpa adanya sumber bau disebut halusinasi olfaktorik. Hal ini dapat muncul sebagai aura pada epilepsi maupun pada kondisi psikosis yang terkait dengan lesi organik pada unkus. III. PEMERIKSAAN NERVUS OPTIKUS (N II) Nervus optikus tersusun atas serabut-serabut axon saraf yang berasal dari sel-sel ganglionik di retina. Axon saraf yang berasal dari sel-sel saraf tersebut bersinaps dengan serabut-serabut dendrit sel-sel saraf pada area , pulvinar dan collilus superior membentuk pusat visual primer. Axon saraf yang berasal dari sel-sel saraf pada corpus geniculatum lateralis, pulvinar dan collilus superior membawa impuls ke pusat visual di korteks yang terletak pada . Fungsi nervus optikus dapat di periksa dengan beberapa teknik pemeriksaan. Pada bagian latihan akan dibatasi pada pemeriksaan visus dan lapangan pandang ( ) sedangkan funduskopi akan dilatihkan pada topik Ophtalmologi. PEMERIKSAAN DAYA PENGLIHATAN (VISUS). Pemeriksaan visus pada bagian neurologi pada umumnya tidak dikerjakan menggunakan kartu Snellen tetapi dengan melihat kemampuan penderita dalam mengenali jumlah jarijari, gerakan tangan dan sinar lampu. Prosedur pemeriksaan daya penglihatan (visus) : 1. Memberitahukan kepada penderita bahwa akan diperiksa daya penglihatannya. 2. Memastikan bahwa penderita tidak mempunyai kelainan pada mata misalnya, katarak, jaringan parut atau kekeruhan pada kornea, peradangan pada mata (iritis, uveitis), glaukoma, korpus alienum. 3. Pemeriksa berada pada jarak 1- 6 meter dari penderita. 4. Meminta penderita untuk menutup mata sebelah kiri untuk memeriksa mata sebelah kanan. 5. Meminta penderita untuk menyebutkan jumlah jari pemeriksa yang diperlihatkan kepadanya. 6. Jika penderita tidak dapat menyebutkan jumlah jari dengan benar, maka pemeriksa menggunakan lambaian tangan dan meminta penderita menentukan arah gerakan tangan pemeriksa. 7. Jika penderita tidak dapat menentukan arah lambaian tangan, maka pemeriksa menggunakan cahaya lampu senter dan meminta penderita untuk menunjuk asal cahaya yang disorotkan ke arahnya. 112 8. Menentukan visus penderita. 9. Melakukan prosedur yang sama untuk mata sebelah kiri. PEMERIKSAAN LAPANGAN PANDANG. Pemeriksaan lapangan pandang bertujuan memeriksa batas-batas penglihatan bagian perifer. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan dengan 3 teknik, yaitu: 1. Test konfrontasi dengan tangan 2. Test dengan kampimeter 3. Test dengan perimeter. Dalam latihan pemeriksaan nervus cranialis ini jenis test pertama yang akan dilatihkan, sedangkan test kedua dan ketiga akan dilatihkan pada topik ophtalmologi. Prosedur pemeriksaan lapangan pandang (test konfrontasi dengan tangan) 1. Meminta penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa pada jarak 1 meter. 2. Meminta penderita menutup mata kirinya dengan tangan untuk memeriksa mata kanan. 3. Meminta penderita melihat hidung pemeriksa 4. Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dari samping kanan ke kiri dan dari atas ke bawah. 5. Meminta penderita untuk mengatakan bila masih melihat jari-jari tersebut. 6. Menentukan hasil pemeriksaan. 7. Mengulangi prosedur pemeriksaan untuk mata sebelah kiri dengan menutup mata sebelah kanan. 113 Gambar Test konfrontasi (diadaptasi dari Buckley, 1980) Jenis-jenis kelainan lapangan pandang ( ) : - : tidak mampu melihat secara total. - Hemianopsia : tidak mampu melihat sebagian lapangan pandang (temporal; nasal; bitemporal; binasal) - Homonymous hemianopsia - Homonymous quadrantanopsia IV. PEMERIKSAAN NERVI OKULARIS (N III, IV, VI) Nervus okularis terdiri dari dua komponen dengan fungsi yang berbeda, yaitu: - Motor Somatik, menginervasi empat dari enam otot-otot ekstraokular dan muskulus levator palpebra superior. Komponen ini berfungsi mengontrol kontraksi otot ekstraokuler dalam melihat dan fiksasi objek penglihatan. - Motor viseral, memberikan inervasi parasimpatis pada muskulus konstriktor pupil dan 114 muskulus siliaris. Komponen ini bertanggungjawab dalam refleks akomodasi pupil sebagai respon terhadap cahaya. Pemeriksaan nervi okularis meliputi tiga hal, yaitu: 1. Pemeriksaan gerakan bola mata 2. Pemeriksaan kelopak mata 3. Pemeriksaan pupil. Prosedur pemeriksaan gerakan bola mata : - Memberitahukan penderita bahwa akan dilakukan pemeriksaan terhadap gerakan bola matanya. - Memeriksa ada tidaknya gerakan bola mata di luar kemauan penderita (nistagmus). - Meminta penderita untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa yang digerakkan ke segala jurusan. - Mengamati ada tidaknya hambatan pada pergerakan matanya (hambatan dapat terjadi pada salah satu atau kedua mata). - Meminta penderita untuk menggerakkan sendiri bola matanya. Gambar Pemeriksaan gerakan bola mata (diadaptasi dari Buckley, , 1980) Prosedur pemeriksaan kelopak mata : - Meminta penderita untuk membuka kedua mata dan menatap kedepan selama satu menit. - Meminta penderita untuk melirik ke atas selama satu menit. - Meminta penderita untuk melirik ke bawah selama satu menit. - Pemeriksa melakukan pengamatan terhadap celah mata dan membandingkan lebar celah mata (fisura palpebralis) kanan dan kiri. - Mengidentifikasi ada tidaknya ptosis, yaitu kelopak mata yang menutup. 115 Gambar Pemeriksaan kelopak mata (diadaptasi dari Buckley, , 1980) Prosedur pemeriksaan pupil : - Melihat diameter pupil penderita (normal 3 mm). - Membandingkan diameter pupil mata kanan dan kiri (isokor atau anisokor). - Melihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak. - Memeriksa refleks pupil terhadap cahaya direk : - Menyorotkan cahaya ke arah pupil lalu mengamati ada tidaknya miosis dan mengamati apakah pelebaran pupil segera terjadi ketika cahaya dialihkan dari pupil. - Memeriksa refleks pupil terhadap cahaya indirek : - Mengamati perubahan diameter pupil pada mata yang tidak disorot cahaya ketika mata yang satunya mendapatkan sorotan cahaya langsung. 116 Gambar Pemeriksaan refleks pupil (diadaptasi dari Buckley , 1980) - Memeriksa refleks akomodasi pupil. - Meminta penderita melihat jari telunjuk pemeriksa pada jarak yang agak jauh. - Meminta penderita untuk terus melihat jari telunjuk pemeriksa yang digerakkan mendekati hidung penderita. - Mengamati gerakan bola mata dan perubahan diameter pupil penderita (pada keadaan normal kedua mata akan bergerak ke medial dan pupil menyempit). V. PEMERIKSAAN NERVUS TRIGEMINUS (N V) Nervus trigeminus merupakan nervus cranialis V berfungsi menginervasi bagian muka dan kepala. Nervus ini mempunyai 3 cabang, yaitu cabang yang menginervasi dahi dan mata (ophthalmic V1), pipi (maxillary V2), dan muka bagian bawah dan dagu (mandibular V3). Ketiga cabang nervus V ini bertemu pada satu area yang disebut ganglion Gasery, yang selanjutnya menuju batang otak melalui pons menuju badan-badan sel nukleus nervi trigemini. Dari sini informasi yang diterima diolah untuk selanjutnya dikirim ke korteks serebri untuk menimbulkan kesadaran akan sensasi fasial. Nervus trigeminus bertanggungjawab terhadap sensasi raba, nyeri, dan temperatur pada muka. Selain itu nervus ini juga mengontrol gerakan otot yang berperan dalam mengunyah makanan. Perlu diingat bahwa nervus ini tidak berperan dalam pengaturan gerakan wajah yang diatur oleh nervus VII. Pemeriksaan N V meliputi pemeriksaan motorik dan sensorik. Adapun prosedur pemeriksaannya adalah sebagai berikut : 117 1. Pemeriksaan fungsi motorik : a. Meminta penderita untuk merapatkan gigi sekuat kuatnya. b. Pemeriksa mengamati muskulus masseter dan muskulus temporalis (normal : kekuatan kontraksi sisi kanan dan kiri sama). c. Meminta penderita untuk membuka mulut. d. Pemeriksa mengamati apakah dagu tampak simetris dengan acuan gigi seri atas dan bawah (apabila ada kelumpuhan, dagu akan terdorong ke arah lesi). Gambar 12. Pemeriksaan kekuatan muskulus masseter dan muskulus temporalis (diadaptasi dari Buckley, 1980) 2. Pemeriksaan fungsi sensorik : a. Melakukan pemeriksaan sensasi nyeri dengan jarum pada daerah dahi, pipi, dan rahang bawah. b. Melakukan pemeriksaan sensasi suhu dengan kapas yang dibasahi air hangat pada daerah dahi, pipi, dan rahang bawah. 3. Melakukan pemeriksaan refleks kornea : 118 a. Menyentuh kornea dengan ujung kapas (normal penderita akan menutup mata/ berkedip). b. Menanyakan apakah penderita dapat merasakan sentuhan tersebut. Gambar. Pemeriksaan refleks kornea (diadaptasi dari Buckley, 1980) 4. Melakukan pemeriksaan refleks masseter : a. Meminta penderita untuk sedikit membuka mulutnya. b. Meletakkan jari telunjuk kiri pemeriksa di garis tengah dagu penderita. c. Mengetok jari telunjuk kiri pemeriksa dengan jari tengah tangan kanan pemeriksa atau dengan palu refleks. d. Mengamati respon yang muncul : kontraksi muskulus masseter dan mulut akan menutup. Gambar Pemeriksaan refleks masseter (diadaptasi dari Buckley, , 1980) 119 VI. PEMERIKSAAN NERVUS FACIALIS (N VII) Nervus facialis (N VII) mempunyai komponen somatosensorik eferen dan aferen dengan fungsi yang dapat dibedakan, yaitu: 1. Branchial motor , yang menginervasi otot-otot fasialis, otot digastrik bagian belakang, otot stylohyoideus dan stapedius. 2. Viseral motor , yang memberikan inervasi parasimpatik pada kelenjar lakrimal, submandibular dan sublingual; serta mukosa menginervasi mukosa nasofaring, palatum durum dan mole. 3. Sensorik khusus , yaitu memberikan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan inervasi palatum durum dan mole. 4. Sensorik umum , menimbulkan sensasi kulit pada konka, auricula dan area di belakang telinga. Serabut syaraf yang membentuk branchial motor merupakan komponen N. VII yang paling dominan, sedangkan ketiga komponen serabut lainnya menggabung menjadi satu terpisah dari branchial motor. Gabungan dari ketiga serabut terakhir membentuk nervus intermedius. Pemeriksaan fungsi nervus V II meliputi: a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis b. Pemeriksaan viserosensorik dan viseromotorik nervus intermedius. Prosedur pemeriksaan nervus Fasialis a. Pemeriksaan motorik - Meminta penderita untuk duduk dengan posisi istirahat (rileks). - Pemeriksa mengamati muka penderita bagian kiri dan kanan apakah simetris atau tidak. - Pemeriksa mengamati lipatan dahi, tinggi alis, lebar celah mata, lipatan kulit nasolabial dan sudut mulut. - Meminta penderita menggerakkan mukanya dengan cara sbb: - mengerutkan dahi, bagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam. - Mengangkat alis. - Menutup mata dengan rapat, lalu pemeriksa mencoba membuka dengan tangan. - Memoncongkan bibir atau nyengir. - Meminta penderita menggembungkan pipinya, lalu pemeriksa menekan pipi kiri dan kanan untuk mengamati apakah kekuatannya sama. Bila ada kelumpuhan maka angin akan keluar dari bagian yang lumpuh. 120 Gambar Pemeriksaan motorik N. VII (diadaptasi dari Buckley, 1980) b. Pemeriksaan viseromotorik (parasimpatis) - Memeriksa kondisi kelenjar lakrimalis, basah atau kering - Memeriksa kelenjar sublingualis - Memeriksa mukosa hidung dan mulut. c. Pemeriksaan sensorik - Meminta pemeriksa menjulurkan lidah. - Meletakkan gula, asam garam, atau sesuatu yang pahit pada sebelah kiri dan kanan dari 2/3 bagian depan lidah. - Meminta penderita untuk menuliskan apa yang dirasakannya pada secarik kertas. Catatan: Pada saat dilakukan pemeriksaan hendaknya: o lidah penderita terus menerus dijulurkan keluar o penderita tidak diperkenankan bicara o penderita tidak diperkenankan menelan VII. PEMERIKSAAN NERVUS AKUSTIKUS (NVIII) Nervus akustikus (N VIII) terdiri dari dua berkas syaraf, yaitu: - Nervus kokhlearis yang bertanggungjawab menghantarkan impuls pendengaran. 121 - Nervus vestibularis yang bertanggung jawab menghantarkan impuls keseimbangan. Prosedur pemeriksaan nervus akustikus/vestibulokokhlearis (N. VIII) Pemeriksaan nervus.VIII meliputi : a. Pemeriksaan fungsi pendengaran b. Pemeriksaan fungsi vestibular a. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran. 1. Pemeriksaan Weber : - Tujuan untuk membandingkan daya transport melalui tulang di telinga kanan dan kiri penderita. - Garputala diletakkan di dahi penderita. Pada keadaan normal kiri dan kanan sama keras (penderita tidak dapat menentukan di mana yang lebih keras). - Bila terdapat tuli konduksi di sebelah kiri, misal oleh karena otitis media, pada tes Weber terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat tuli persepsi di sebelah kiri, maka tes Weber terdengar lebih keras di kanan. 2. Pemeriksaan Rinne : - Tujuan untuk membandingkan pendengaran melalui tulang dan udara dari penderita. Pada telinga sehat, pendengaran melalui udara di dengar lebih lama daripada melalui tulang. - Garputala ditempatkan pada planum mastoid sampai penderita tidak dapat mendengarnya lagi, kemudian garpu tala dipindahkan ke depan meatus eksternus. Jika pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan tes positif, pada orang normal atau tuli persepsi, tes Rinne ini positif. Pada tuli konduksi tes Rinne negatif. 3. Pemeriksaan Schwabach : - Tujuan membandingkan hantaran tulang penderita dengan hantaran tulang pemeriksa (dengan anggapan pandengaran pemeriksa adalah baik) - Garputala yang telah digetarkan ditempatkan di prosesus mastoideus penderita. Bila penderita sudah tidak mendengar lagi suara garputala tersebut, maka segera garputala dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa. - Bila hantaran tulang penderita baik, maka pemeriksa tidak akan mendengar suara mendenging lagi. Keadaan ini dinamakan Schwabach normal. - Bila hantaran tulang si penderita kurang baik, maka pemeriksa masih mendengar suara getaran garputala tersebut. Keadaan ini dinamakan Schwabach memendek. b. Pemeriksaan Fungsi Keseimbangan 122 1. Pemeriksaan dengan Tes Kalori : Bila telinga kiri dimasukkan air dingin timbul nistagmus ke kanan. Bila telinga kiri dimasukkan air hangat akan timbul nistagmus ke kiri. Bila ada gangguan keseimbangan, maka perubahan temperatur air dingin dan hangat ini tidak menimbulkan reaksi. 2. Pemeriksaan dengan : Penderita diminta untuk menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya, kemudian dengan mata tertutup penderita diminta untuk mengulangi, normal penderita harus dapat melakukannya. VIII. PEMERIKSAAN NERVUS GLOSOFARINGEUS (N IX) Nervus Glosofaringeus terdiri dari serabut-serabut motorik dan sensorik. Serabut motoriknya sebagian bersifat somatomotorik dan sebagian lainnya bersifat sekretomotorik. Prosedur pemeriksaan Nervus Glosofaringeus : - Penderita diminta untuk membuka mulutnya. - Dengan penekan lidah, lidah hendaknya ditekan ke bawah, sementara itu penderita diminta untuk mengucapkan a-a-a panjang. - Maka akan tampak bahwa langit-langit yang sehat akan bergerak ke atas. Lengkung langitlangit di sisi yang sakit tidak akan bergerak ke atas. - Adanya gangguan pada m. stylopharingeus, maka uvula tidak simetris tetapi tampak miring tertarik ke sisi yang sehat. - Adanya gangguan sensibilitas, maka jika dilakukan perabaan pada bagian belakang lidah atau menggores dinding pharyng kanan dan kiri, refleks muntah tidak terjadi. IX. PEMERIKSAAN NERVUS VAGUS (N X) Nervus vagus terdiri dari 5 komponen dengan fungsi yang berbeda. Kelima komponen tersebut adalah: - (eferen viseral khusus) yang bertanggung jawab terhadap koordinasi otot-otot volunter faring, sebagian besar laring, dan salah satu otot ekstrinsik lidah. - (eferent viseral umum) yang bertanggung jawab terhadap inervasi parasimpatik otot-otot dan kelenjar faring, laring, dan viseral thoraks dan abdomen. - (eferen viseral umum) yang memberikan informasi sensorik viseral dari laring, esophagus, trachea, dan visera abdominal dan thorakal, serta membawa informasi dari reseptor tekanan dan kemoreseptor aorta. 123 - Sensori umum (aferen somatik umum), memberikan informasi sensorik umum dari kulit belakang daun telinga, meatus acusticus eksterna, permukaan luar membrana tympani dan faring. - Sensori khusus, merupakan cabang minor dari nervus vagus yang bertanggungjawab menimbulkan sensasi rasa dari daerah epiglotis. Prosedur pemeriksaan Nervus Vagus : - Buka mulut penderita, bila terdapat kelumpuhan maka akan terlihat uvula tidak di tengah tetapi tampak miring tertarik ke sisi yang sehat. - Refleks faring / refleks muntah tidak ada. - Untuk memeriksa plica vokalis diperlukan laryngoscope. Bila terdapat kelumpuhan satu sisi pita suara, maka pita suara tersebut tidak bergerak sewaktu fonasi atau inspirasi dan pita suara akan menjadi atonis dan lama kelamaan atopi, suara penderita menjadi parau. - Bila kedua sisi pita suara mengalami kelumpuhan, maka pita suara itu akan berada di garis tengah dan tidak bergerak sama sekali sehingga akan timbul afoni dan stridor inspiratorik. X. PEMERIKSAAN NERVUS AKSESORIUS (N XI) Nervus aksesorius tersusun atas komponen kranial dan spinal yang merupakan serabut motorik. Kedua komponen tersebut menginervasi otot yang berbeda, yaitu: - Branchial motor (komponen kranial) yang bertanggung jawab memberikan inervasi otototot laring dan faring. - Branchial motor (komponen spinal) yang bertanggung jawab memberikan inervasi otototot trapezius dan sternokleidomastoideus. Prosedur pemeriksaan Nervus Asesorius : a. Untuk mengetahui adanya paralisis m. sternokleidomastoideus : Penderita diminta menolehkan kepalanya kearah sisi yang sehat, kemudian kita raba m. sternokleidomastoideus. Bila terdapat paralisis N. XI di sisi tersebut, maka akan teraba m. sternokleidomastoideus itu tidak menegang. b. Untuk mengetahui adanya paralisis m. trapezius : Pada inspeksi akan tampak : - Bahu penderita di sisi yang sakit adalah lebih rendah daripada di sisi yang sehat. - Margo vertebralis skapula di sisi yang sakit tampak lebih ke samping daripada di sisi yang sehat. 124 XI. PEMERIKSAAN NERVUS HIPOGLOSSUS (N XII) Nervus hipoglosus hanya mempunyai satu komponen motor somatik. Nervus ini menginervasi semua otot intrinsik dan sebagian besar otot ekstrinsik lidah (genioglosus, styloglosus dan hyoglosus). Prosedur pemeriksaan Nervus Hipoglossus : Kelumpuhan pada N. Hipoglossus akan menimbulkan gangguan pergerakan lidah. - Akibat gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan dengan baik, disebut dengan disartria. - Dalam keadaan diam, lidah tidak simetris, biasanya bergeser ke daerah sehat karena tonus di sini menurun. - Bila lidah dijulurkan, lidah akan berdeviasi ke sisi sakit. Contoh kasus: Seorang pasien datang dengan keluhan mulut merot, mata tidak bisa ditutup. Referensi: - Chusid, J.G.Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology. Lange Medical Publication.Los Altos California, 1976 - De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams Wilkins,Philadelphia,2005 - De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed Text. Edisi 5, 2004 - Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill Livingstone, 2004. - Campell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin, 2002 - Sidharta P, 2005. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat. Cetakan ke-5, Dian Rakyat,Jakarta. 125 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Nyeri Radikuler : Saraf :V : Departemen Neurologi : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis. Alat dan Bahan 1. Set pemeriksaan neurologi lengkap Prosedur PROVOKASI SINDROM NYERI 1. Tes Valsava Tes Valsava mengakibatkan naiknya tekanan intratekal. Jika terdapat proses desak ruang di kanalis vertebralis bagian servikal, maka dengan naiknya tekanan intratekal maka akan mengakibatkan nyeri radikuler. Prosedur pemeriksaan : Pasien diminta untuk menahan nafas Pasien diminta untuk mengejan sewaktu ia menahan nafasnya. Tes Valsava positif jika timbul nyeri radikuler yang berpangkal di tingkat leher dan menjalar ke lengan. 126 2. Tes Naffziger Tes Naffziger juga mengakibatkan naiknya tekanan intratekal. Kenaikan tekanan intratekal yang dicetuskan dengan tes Naffziger ini diteruskan sepanjang rongga arachnoid medula spinalis. Jika terdapat proses desak ruang di kanalis vertebralis (misalnya karena tumor atau Hernia Nucleus Pulposus) maka radiks yang teregang saat dilakukan tes Naffziger akan timbul nyeri radikuler sesuai dengan dermatomnya. Prosedur pemeriksaan : Pasien diminta berdiri atau berbaring. Pemeriksa menekan kedua vena jugularis dengan kedua tangan pemeriksa sekitar 2 menit sampai pasien merasa kepalanya penuh. Pasien diminta untuk mengejan saat dilakukan penekanan vena jugulare tadi. Tes Naffziger positif apabila timbul nyeri radikuler sesuai dermatom. 2.Lhermitte’s phenomenon Prosedur pemeriksaan : Fleksikan leher pasien ke arah depan; hal akan menghasilkan perasaan seperti tersengat listrik, biasanya menjalar ke arah punggung. Pasien mungkin mengeluhkan hal ini secara spontan atau anda dapat memeriksanya dengan melakukan fleksi pada leher Kadang pasien memiliki perasaan yang sama pada saat ekstensi (reverse Lhermitte s) Interpretasi Hal ini mengindikasikan adanya proses patologi di daerah servikal—biasanya demielinisasi. Kadang terjadi pada mielopati spondilitik servika atau tumor servikal. 3. Tes Laseque Prosedur pemeriksaan : Pasien diminta untuk berbaring terlentang di atas tempat tidur. Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul pasien dengan cara : Salah satu tangan memegang tumit pasien dan mengangkatnya sementara tangan yang lain menekan lutut supaya tetap lurus ( ) Pemeriksa mencatat pada sudut berapa fleksi pasif tersebut menimbulkan rasa nyeri. Tes Laseque positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi pasif yang membentuk sudut < 60o telah menimbulkan rasa nyeri yang menjalar sepanjang perjalanan n. ischiadikus. Tes Laseque positif apabila terdapat iritasi pada n. ischiadikus, Hernia Nucleus Pulposus, artritis sakroiliaka atau koksitis. Untuk menegakkan diagnosis HNP, tes ini harus dikombinasikan dengan pemeriksaan lain, misalnya tes Naffziger. 127 4. Tes O’Connel (tes Laseque silang) Prosedur pemeriksaan : Sama dengan tes Laseque. Tes O Connel positif apabila timbul nyeri pada pangkal n. ischiadikus yang sakit bila tungkai yang sehat diangkat. 5. Tes Patrick Tindakan pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi panggul yang terkena penyakit. Prosedur pemeriksaan : Pasien diminta berbaring di atas tempat tidur. Pemeriksa menempatkan tumit (maleolus eksterna) tungkai yang sakit pada lutut tungkai yang lain. Pemeriksa melakukan penekanan pada lutut tungkai yang difleksikan tadi. Tes Patrick positif apabila pasien merasakan nyeri di sendi panggul yang terkena penyakit. Hal tersebut berarti pasien mengalami gangguan pada sendi panggul. Pada ischialgia diskogenik, tes Patrick ini biasanya negatif. 128 Clinical Tests for the Musculoskeletal System Examinations—Signs—Phenomena Klaus Buckup, M.D. 6. Tes Kontra-Patrick Pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi sakroiliaka. Tes kontraPatrick biasanya dilakukan untuk menentukan lokasi patologik yang tepat apabila terdapat keluhan nyeri di daerah bokong, baik yang menjalar sepanjang tungkai maupun yang terbatas pada daerah gluteal dan sakral saja. Prosedur pemeriksaan : Pasien diminta berbaring terlentang di atas tempat tidur. Dilakukan fleksi tungkai yang sakit ke sisi luar, kemudian dilakukan endorotasi serta aduksi. Pemeriksa melakukan penekanan sejenak pada lutut tungkai tersebut. Tes kontra-Patrick positif apabila timbul nyeri di garis sendi sakroiliaka. 129 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Rangsang Meningeal : Saraf :V : Departemen Neurologi : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis. Alat dan Bahan 1. Set pemeriksaan neurologi lengkap Prosedur a. Rigiditas nuchae:(kaku kuduk) Istilah nuchae merujuk pada bagian belakang leher. Rigiditas nuchae berarti bahwa baik pasien maupun pemeriksa tidak mampu melakukan fleksi kepala pasie karena spasme refleks otot nuchae (ekstensor). Iritasi ruang subarakhnoid, paling sering oleh inflamasi (ensefalitis atau meningitis) atau karena darah subaraknoid, menyebabkan rigiditas nuchae. Teknik untuk menguji rigiditas nuchae 1. Pasien dalam posisi berbaring telentang dan relaks, tempatkan tangan anda di bawah bagian belakang kepala pasien dan dengan hati-hati coba lakukan fleksileher. Pada keadaan normal, ia akan menekuk dengan bebas. Jika pasien memiliki rigiditas nuchae, leher melawan fleksi dan pasien merasa kesakitan. Jika rigiditas nuchae berat, anda dapat menaikkan kepala pasien dan badan dengan tulang belakang seperti batang lurus atau pasien seperti patung. 2. Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi meningeal, pemeriksa harus membedakannya dari bentuk rigiditas servikal lainnya. Dengan rigiditas nuchae yang nyata, leher hanya melawan fleksi. Leher bergerak bebas melalui rotasi dan ekstensi, karena gerakan ini tidak meregangkan meninges, medula spinalis, dan nerve root. Untuk menunjukkan rigiditas hanya mempengaruhi otot nuchae, lakukan dua hal berikut ini: 3. Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief gulingkan kepala pasien dari satu sisi ke sisi lainnya untuk menunjukkan rotasi kepala yang bebas meski ada resistensi terhadap fleksi 130 4. Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala jatuh ke arah belakang, menguji kebebasan ekstensi 5. Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap gerakan leher ke segala arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae secara khusus berarti resistensiterhadap fleksi leher, yaitu rigiditas bagian belakang leher b. Brudzinski neck sign Cara pemeriksaan Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh pemeriks sehingga dagu menyentuh dada Reaksi abnormal: fleksi pangkal paha dan lutut sebagai respon terhadap fleksi leher c. Brudzinski kontralateral Cara pemeriksaan: Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di sendi lutut dan fleksi di sendi panggul, lutut kemudian difleksikan Reaksi abnormal: tungkai kontralateral timbul gerakan fleksi di sendi lutut d. Kernig sign Cara pemeriksaan 1. Pasien berbaring lurus di tempat tidur 2. Kaki fleksi pada pangkal paha dengan lutut dalam keadaan fleksi 3. Kemudian usahakan ekstensi lutut 4. Ulangi untuk sisi yang lain Interpretasi hasil : 131 1. Lutut lurus tanpa kesulitan: normal 2. Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernig s sign—bilateral mengindikasikan iritasi meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi pada radikulopati (bandingkan dengan straight leg raising) 132 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Pemeriksaan Motorik : Saraf :V : Departemen Neurologi : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis. Alat dan Bahan 1. Set pemeriksaan neurologi lengkap Prosedur PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK 1. PENDAHULUAN Pemeriksaan fungsi motorik, meliputi : 1) Observasi 2) Penilaian terhadap ketangkasan gerakan volunter 3) Penilaian tonus otot 4) Pemeriksaan trofi otot 5) Pemeriksaan kekuatan ekstremitas 2. OBSERVASI Dokter melakukan observasi terhadap pasien dengan gangguan motorik pada waktu ia masuk ke kamar periksa. Apakah ia berjalan sendiri ? Apakah ia dipapah ? Bagaimana gaya berjalannya ? Setiap gangguan somatomotorik yang ringan dapat diketahui dari observasi terhadap gerakan menutup/ membuka kancing baju, menggantungkan pakaian, melepaskan sandal, menaiki tempat periksa, merebahkan diri dan sebagainya. Bilamana pasien sudah berbaring di atas tempat periksa, simetri tubuh pasien harus diperhatikan. 133 3. PENILAIAN TERHADAP KETANGKASAN GERAKAN VOLUNTER Gerakan volunter yang dimaksud ialah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa. Penilaian ini bersifat umum, yaitu untuk mengetahui apakah pasien masih dapat menekukkan lengannya di sendi siku, mengangkat lengan di sendi bahu, mengepal dan meluruskan jari-jari tangan, menekukkan di sendi lutut dan panggul serta menggerakkan jari-jari kakinya. Teknik pemeriksaan : a. Gerakan pada sendi bahu : 1. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi bahu yang meliputi : abduksiadduksi, elevasi, fleksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi. 2. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan gerakan-gerakan tersebut dengan mudah (bebas), dapat melakukan tetapi tidak sempurna, misalnya bisa melakukan abduksi tetapi tidak mencapai 90o (bebas terbatas), atau tidak dapat melakukangerakan sama sekali. b. Gerakan pada sendi siku : 1. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi siku yaitu : fleksi-ekstensi, pronasi-supinasi. 2. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. c. Gerakan pada sendi tangan : 1. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi tangan yaitu : fleksiekstensi,pronasi-supinasi. 2. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. d. Gerakan jari-jari tangan : 1. Mintalah pasien untuk mengepalkan tangan, abduksi-adduksi ibu jari. 2. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. e. Gerakan pada sendi panggul : 1. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi panggul yang meliputi : fleksiekstensi, abduksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi. 2. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. f. Gerakan pada sendi lutut : 1. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi lutut yang meliputi : fleksiekstensi, endorotasi-eksorotasi. 2. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. 134 g. Gerakan pada sendi kaki : 1. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi kaki yang meliputi : dorsofleksi-plantar fleksi, inversi-eversi. 2. Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas. 4. PENILAIAN TONUS OTOT Pada waktu lengan bawah digerakkan pada sendi siku secara pasif, otot-otot ekstensor dan fleksor lengan membiarkan dirinya ditarik dengan sedikit tahanan yang wajar. Tahanan ini dikenal sebagai tonus otot. Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksamendapat kesulitan untuk menekukkan dan meluruskan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat hasil pemeriksaan yang baik meliputi : - Pasien harus tenang dan santai. - Ruang periksa harus nyaman dan tenang. Teknik pemeriksaan tonus otot : a. Memeriksa tonus otot bahu : 1. Pemeriksa menggerakkan sendi bahu seperti abduksi-adduksi dan elevasi, kemudian merasakan adanya tahanan pada m. deltoideus. Nilailah tahanan tersebut apakah normal, meningkat atau menurun. 2. Tonus yang meningkat berarti bahwa pemeriksa mendapat kesulitan untuk menggerakkan sendi bahu. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan. b. Memeriksa tonus otot pada lengan atas : 1. Pemeriksa menggerakkan sendi siku secara pasif, yaitu fleksi dan ekstensi berulang-ulang dan merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan atas dan nilailah tahanan tersebut apakah normal, meningkat atau menurun. 2. Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan untuk memfleksikan,dan mengekstensikan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak merasakan tahanan. c. Memeriksa tonus otot pada lengan bawah : 1. Pemeriksa menggerakkan tangan pasien secara pasif (pronasi-supinasi) dan merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan bawah dan nilailah tahanan tersebut apakah normal, meningkat atau menurun. 135 d. Memeriksa tonus otot pada tangan : Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari-jari tangan pasien (menggenggam dan membuka) dan merasakan adakah tahanan pada otot tangan, apakah normal, meningkat atau menurun. e. Memeriksa tonus otot pada pinggul : Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada articulatio coxae dan merasakan tahanan pada otot-otot pinggul, apakah normal, meningkat atau menurun. f. Memeriksa tonus otot pada paha : Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada sendi lutut dan merasakan tahanan pada otot paha (m. quadriceps femoris), apakah normal, meningkat atau menurun. g. Memeriksa tonus otot pada betis : Pemeriksa melakukan dorsofleksi dan plantar-fleksi secara pasif pada kaki pasien dan merasakan adanya tahanan pada otot betis (m. gastrocnemius), apakah normal, meningkat atau menurun. h. Memeriksa tonus otot pada kaki : Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari kaki pasien dan merasakan adanya tahanan pada otot kaki (dorsum dan plantar pedis), apakah normal, meningkat atau menurun. 5. PEMERIKSAAN TROFI OTOT Pemeriksaan trofi otot dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pengukuran. a. Inspeksi : 1. Perhatikan bentuk dan ukuran otot, baik masing-masing atau sekelompok otot, adanya gerakan abnormal, adanya kontraktur dan deformitas. 2. Perhatikan apakah otot tampak normal (eutrofi), membesar (hipertrofi) atau tampak kecil (atrofi). 3. Perkembangan otot ditentukan oleh faktor keturunan, profesi, cara hidup, gizi dan latihan/ olahraga. 4. Bandingkan kanan dan kiri. b. Pengukuran : Bila terdapat asimetri, maka pengukuran kelompok otot yang sama harus dilakukan, meliputi panjang otot dan lingkaran otot. Patokan untuk mengukur lingkaran anggota gerak kedua sisi harus diambil menurut bangunan anggota gerak yang sama, misalnya 10 cm diatas olekranon. c. Palpasi : Otot yang normal akan terasa kenyal pada palpasi, otot yang mengalami kelumpuhan (LMN) akan lembek, kendor dan konturnya hilang. 136 Periksalah bentuk otot pada otot bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, pinggul, paha, betis dan kaki. 6. PEMERIKSAAN KEKUATAN EKSTREMITAS a. Otot bahu : 1. Meminta pasien untuk melakukan elevasi (mengangkat tangan) kemudian tangan pemeriksa menahannya. 2. Meminta pasien untuk melakukan abduksi kemudian tangan pemeriksa menahannya. b. Otot lengan : 1. Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa menahannya. 2. Pemeriksaan ini terutama menilai kekuatan otot bisep dan brachioradialis. 3. Meminta pasien untuk melakukan ekstensi pada sendi siku kemudian tangan pemeriksa menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai otot trisep. c. Otot tangan : 1. Meminta pasien untuk menekuk jari-jari tangan (fleksi pada sendi interphalang), kemudian tangan pemeriksa menahannya. 2. Meminta pasien untuk meluruskan jari-jari tangan, kemudian tangan pemeriksa menahannya. 3. Meminta pasien untuk mengepalkan tangan dan mengembangkan jari-jari tangan. d. Otot panggul : 1. Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi panggul, kemudian tangan pemeriksa menahannya. 2. Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi panggul tersebut. e. Otot paha : 1. Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi lutut, kemudian tangan pemeriksa menahannya. Pemeriksaan ini untuk menilai kekuatan m. biseps femoris. 2. Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi lutut tersebut. f. Otot kaki : 1. Meminta pasien untuk melakukan dorsofleksi pada kaki, kemudian tangan pemeriksa menahannya. 2. Meminta pasien untuk melakukan plantar fleksi kemudian tangan pemeriksa menahannya. 137 Derajat tenaga otot ditetapkan sebagai berikut : 0: jika tidak timbul kontraksi otot. 1: jika terdapat sedikit kontraksi otot. 2: jika tidak dapat melawan gravitasi. 3: jika dapat melawan gravitasi tanpa penahanan. 4: jika dapat melawan gravitasi dengan penahanan sedang. 5: jika dapat melawan gravitasi secara penuh. 138 Judul Sistem Semester Penyusun Tingkat Keterampilan : Anamnesis Kelainan Neurologi : Saraf :V : Departemen Neurologi : 4A Deskripsi Umum 1. 2. 3. Melakukan anamnesis dengan ramah dan empati Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal dasar-dasar anamnesis agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan saraf. Alat dan Bahan Kertas anamnesis - Prosedur Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis ada 3 hal penting yang perlu diingat dan dilakukan yaitu: anamnesis, anamnesis dan anamnesis. Dalam situasi emergensi terkadang anamnesis tidak dapat dilakukan dengan panjang lebar. Lakukan anamnesis singkat sambil menilai kesadaran dan tanda vital pasien. Setelah kondisi pasien stabil dan aman anamnesis dapat dilanjutkan kembali. Dengan anamnesis informasi berikut harus didapat: Onset keluhan/gejala klinis (kapan keluhan/gejala ini pertama kali muncul?) Progresifitas dari keluhan tersebut (apakah keluhan ini bertambah berat, menetap atau membaik?) Keluhan tambahan lainnya (adakah keluhan atau gejala lainnya yang menyertai keluhan utama?) Riwayat penyakit sebelumnya (apakah pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya atau pernahkah menderita sakit lainnya?) Untuk mendiagnosa banding digunakan singkatan VITAMINS V : Vascular Onset biasanya tiba-tiba atau mendadak I : Infectious Tanda-tanda infeksi: demam, flu like syndrome T : Traumatic Riwayat trauma sebelumnya A : Autoimmune Riwayat remisi-eksaserbasi, gejala penyakit autominun lain mis SLE M : Metabolic/Toxic Paparan zat toxic, gigitan hewan, penyakit metabolik 139 I : Idiophatic/ Iatrogenic Riwayat menjalani prosedur medis, keluhan sudah berulang kali N : Neoplastic Penurunan berat badan, kelemahan, riwayat tumor di organ lain S : Seizure, pSychiatric, Riwayat kejang, perubahan perilaku, kelainan organ/anatomis sebelumnya Structural Penurunan Kesadaran 1. Alloanamnesis kepada pengantar pasien 2. Onset (sangat mendadak, mendadak, bertahap, aktivitas pasien) 3. Perjalanan penyakit yang mendahului 4. Faktor risiko penyakitnya atau penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sakit sekarang 5. Tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit pada pasien sebelum terjadinya gangguan kesadaran 6. Riwayat penyakit dahulu 7. Riwayat minum obat, alkohol 8. Kemungkinan keracunan (makanan, bahan kimia, gas, minuman) 9. Riwayat pengobatan atau operasi atau tindakan manajemen lain sebelumnya? Nyeri Nyeri Kepala 1. Mendadak, bertahap 2. Lokasi nyeri kepala(misalnya hemicranial, holocranial, occipitonichal, bandlike) 3. Intensitas nyeri kepala: ringan (masih mampu bekerja), sedang (mengganggu konsentrasi bekerja), berat (tak masuk kerja) 4. Kualitas nyeri ( steady, throbbing, stabbing) 5. Waktu (pagi / bangun tidur, setiap saat), durasi dan frekuensi nyeri kepala 6. Kebiasaan minum kopi: berapa cangkir 7. Kebiasaan minum obat analgesik 8. Faktor-faktor presipitasi (misalnya pemakaian alkohol, gangguan tidur, terlalu lama tidur, makanan, cahaya terang) 140 9. Faktor-faktor yang meringankan gejala nyeri (misalnya istirahat, ruang gelap aktivitas, obat-obatan) 10. Respon terapi 11. Keluhan-keluhan neurologik (misalnya rasa baal, parestesi, kelemahan, gangguan berbahasa) 12. Keluhan-keluhan visual (misalnya scintillating scotoma, transient blindness) 13. Keluhan-keluhan gastrointestinal (misalnya mual, muntah, anureksia) 14. Gejala-gejala penyerta (misalnya photophobia, phonophobia, tearing, nasal stuffiness) 15. Riwayat trauma kepala Nyeri Leher 1. Onset (akut, subakut, kronis) dan durasinya (menetap, timbul-hilang) 2. Intensitas nyeri: ringan (masih mampu bekerja), sedang (mengganggu konsentrasi 3. bekerja), berat (tak masuk kerja) 4. Riwayat trauma leher 5. Riwayat infeksi virus atau imunisasi? 6. Riwayat HNP, operasi vertebra, riwayat nyeri leher dan nyeri lengan? 7. Lokasi nyeri yang memberat? (misalnya bagian leher, lengan atau bahu 8. Penjalaran nyeri (misalnya bahu, lengan, regio pektoralis, atau regio periskapuler) 9. Hubungan nyeri dengan gerakan leher 10. Hubungan nyeri dengan gerakan lengan dan bahu 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi 12. Nyeri memberat dengan batuk, bersin, mengejan saat buang air besar 13. Kelemahan pada lengan dan tangan 14. Rasa baal, kesemutan (parestesia atau distesia), pada lengan atau tangan 15. Gangguan buang air besar, buang air kecil atau disfungsi seksual yang disebabkan kompresi medula spinalis Catatan: Diferensial diagnosanya paling sering adalah antara nyeri radikulopati dan nyeri muskuloskeletal. 141 Nyeri pinggang 1. Kualitas nyeri : seperti ditusuk, mendenyut dsb 2. Intensitas nyeri : ringan, sedang, berat 3. Lokasi nyeri 4. Riwayat HNP, operasi vertebra, riwayat nyeri leher dan nyeri pinggang? 5. Onset, durasi, dan frekuensi nyeri 6. Lokasi nyeri yang memberat 7. Penjalaran nyeri 8. Faktor-faktor presipitasinya 9. Faktor-faktor yang meringankan gejala nyeri 10. Hubungan nyeri dengan gerakan leher 11. Hubungan nyeri dengan gerakan bahu dan lengan 12. Respon terapi 13. Nyeri memberat dengan batuk, bersin dan mengejan 14. Keluhan neurologik lainnya ( misalnya kesemutan, gangguan bicara, kelemahan) 15. Keluhan-keluhan gastrointestinal 16. Gejala kelemahan 17. Gejala inkontinensia urine dan alvi (ngompol dan BAB tidak terasa) 18. Riwayat trauma punggung Gangguan motorik 1. Onset: kelemahan secara mendadak atau bertahap 2. Bagian anggota gerak yang mengalami kelemahan 3. Hemiplegi, paraplegi, tetraplegi, monoplegi 4. Kesulitan dalam hal ketrampilan jari-jari ( misalnya mengancingkan baju, menulis) 5. Kesulitan mengangkat lengan ke atas, atau abduksi 6. Mudah terjatuh sewaku berjalan 7. Sewaktu berjalan sandal yang dikenakan sering terlepas 8. Kesulitan pada saat berdiri dari posisi duduk di lantai 9. Mulut terasa /tampak perot atau mencong 142 10. Pada saat berkumur air mudah keluar dari rongga mulut 11. Penglihatan ganda 12. Kesulitan menutup mata 13. Kesulitan menelan 14. Mudah lelah (dengan aktivitas fisik minimal) 15. Suara makin melemah 16. Kekuatan otot makin lemah (dari pagi sampai sore) Gangguan sensibilitas Rasa baal dan kesemutan pada lengan : 1. Gejala menetap atau timbul-hilang 2. Jika simtomnya intermiten, waktunya, terutama hubungannya dengan waktu serangan harian, apakah berhubungan dengan tanda-tanda pada malam hari, durasi dan frekuensinya? 3. Adakah ada hubungan dengan aktivitas (misalnya mengendarai mobil) 4. Bagian tangan manakah yang paling sering terlibat 5. Adakah keterlibatan lengan, wajah dan tungkai? 6. Adakah ada problem berbicara atau penglihatannya yang berhubungan dengan kesemutan pada lengan? 7. Apakah ada nyeri leher? 8. Apakah ada nyeri lengan/ nyeri tangan? 9. Apakah ada kelumpuhan lengan/ kelumpuhan tangan? 10. Adakah riwayat trauma, terutama riwayat trauma pergelangan tangan? 11. Adakah keterlibatan tangan sisi yang lain? Catatan: Differensial diagnosis (DD) yang digunakan pada anamnesis ini adalah carpal tunnel syndrome dan radikulopati servikal Modified from : Campbell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2002 . 143 Rasa baal dan kesemutan pada tungkai 1. Apakah simtomnya menetap atau intermiten? 2. Jika simtomnya intermiten, adakah hubungan dengan posisi (sikap), aktivitas atau gerakan tertentu? 3. Adakah ada hubungan dengan nyeri di pinggang (LBP), tungkai, atau kaki? 4. Apakah ada kelumpuhan pada kedua tungkai atau kaki? 5. Adakah riwayat trauma pinggang, hernia nucleus pulposus (HNP), atau operasi pinggang? 6. Apakah gejalanya simetris 7. Apakah ada gangguan buang air besar, buang air kecil atau disfungsi seksual? 8. Adakah riwayat penyakit sistemik (misal diabetes mellitus, penyakit thiroid, anemia, hipovitaminosis B12) 9. Adakah penurunan berat badan? 10. Adakah kebiasaan minum alkohol? 11. Adakah riwayat merokok? 12. Adakah riwayat terpapar toksin terus menerus atau intermiten? 13. Bagaimana riwayat diet? 14. Riwayat pemakaian obat, termasuk vitamin-vitamin? 15. Riwayat keluarga yang mempunyai simtom sama? 16. Riwayat keluarga yang menderita DM, anemia pernisiosa, atau neuropati perifer Catatan: Differensial diagnosis (DD) yang digunakan pada anamnesis ini adalah antara neuropathy perifer dan radiculopathy lumbosacral. Neuropathy perifer sendiri memiliki banyak DD Gangguan Fungsi Otonom 11. Apakah ada gangguan berkeringat (tunjuk lokasinya) 12. Apakah mudah berdebar-debar 13. Apakah ada gangguan fungsi seksual (pada laki-laki) 14. Apakah ada gangguan miksi ( retensi, inkontinensia) 15. Apakah ada gangguan warna kulit di ujung jari 144 Gangguan Gerak 1. Apakah ada gerakan jari-jari yang tak terkontrol 2. Apakah ada gerakan tangan / lengan yang tak terkontrol 3. Apakah ada gerakan kasar tak terkontrol pada lengan / tungkai / tubuh 4. Apakah ada gerakan tubuh seolah terlempar 5. Apakah ada gerakan meliuk-liuk 6. Apakah ada gerakan seperti orang menari Gangguan Berjalan 1. Apakah pasien mengalami kesulitan berjalan 2. Apakah pada saat sedang berjalan tampak terhuyung jatuh ke depan / ke belakang 3. Apakah ketika berjalan kedua tungkai tidak sinkron gerakannya 4. Apakah salah satu kaki ternagkat ketika melangkah 5. Apakah ujung kaki / jari-jari kaki tampak terseret 6. Apakah jarak kedua tungkai tampak melebar 7. Apakah langkahnya setapak demi setapak Gangguan Kejang 1. Berapa kali mengalami kejang 2. Apakah ada perubahan suhu tubuh / demam 3. Bentuk kejang: kaku, berkelojotan 4. Apakah kejang seluruh tubuh, anggota gerak, atau setempat / fokal 5. Berapa lama kejang terjadi 6. Tempat terjadinya kejang 7. Apakah pasien tetap sadar atau mengalami gangguan kesadaran 8. Apakah dari mulut keluar buih 9. Riwayat penyakit sebelumnya: nyeri kepala, stroke, tumor otak dsb Gangguan dizziness dan vertigo 1. Awitan: sangat mendadak / mendadak, sedang tidur, bangun tidur, berbaring 145 2. Keparahannya: sampai tidak berani membuka mata, muntah, disertai nyeri kepala 3. Ada atau tidaknya ilusi gerakan 4. Simtom-simtomnya persinten atau intermiten 5. Jika intermiten, frekuensinya, durasinya dan waktu serangan . 6. Hubungannya pusing berputar dan posisi tubuh (misalnya berdiri,duduk, berbaring) Adanya faktor presipitasi dari pusing berputar dengan gerakan kepala 7. Gejala-gejala penyerta (misalnya mual, muntah, tinitus, penurunan pendengaran, kelemahan, rasa baal, diplopia, disartria, gangguan menelan, gangguan berjalan dan keseimbangan, palpitasi, nafas pendek, mulut kering, nyeri dada) 8. Obat-obat yang telah digunakan, terutama obat antihipertensi atau obat ototoksis Contoh kasus Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri kepala Referensi - De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Wilkins,Philadelphia,2005 Edition. Lippincott Williams - De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed Text. Edisi 5, 2004. - Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill Livingstone, 2004. 146 Judul : CT-Scan Otak Sistem : Saraf Semester :V Penyusun : Departemen Neurologi Tingkat Keterampilan :2 Deskripsi Umum 1. 2. 3. Melakukan pembacaan CT-Scan Otak dan mampu menginterpretasikannya. Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal dasar-dasar membaca Ct Scan Otak dan interpretasinya agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu mengenai dasar CT Scan dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang berkaitan dengan gangguan saraf. Alat dan Bahan CT-Scan Otak Iluminator Prosedur I.Pendahuluan CT-Scan Otak adalah pemeriksaan penunjang yang rutin terutama pada kasus neurologi. a.Potongan CT-Scan Otak 147 Gambar. Potongan Axial, sagital dan coronal b. Hasil CT scan akan menunjukkan gambaran radiologik: • Hypodense: hitam, biasanya daerah yang berisi cairan • Isodense: jaringan parenkim otak sendiri • Hyperdense: padat, kalsifikasi, pendarahan 148 Bagaimana Cara Membaca CT Scan Kepala? Menyebutkan jenis pemeriksaan neuroradiologi yang dilakukan: CT scan kepala aksial/coronal/sagital tanpa kontras jenis lesi yang terlihat: Lesi hiperdens/hipodens/isoden letak lesi 149 Lobus frontal/temporal/parietal/oksipital/pons/medulla oblongata/mesensefalon/ serebelum/basal ganglia/talamus/putamen Kanan/kiri perkiraan volume lesi hiperdens (Brp cc?) adanya Perifokal edema di sekeliling lesi sulcus dan girus yang menyempit midline shift (bila ada, brp mm?) Menyimpulkan hasil abnormalitas sistem ventrikel agik/stroke iskemik Contoh: lesi serebelum akibat infeksi intrakranial CT scan kepala aksial/coronal/sagital tanpa dan dengan kontras jenis lesi yang terlihat: Lesi hiperdens/hipodens/isoden letak lesi Lobus frontal/temporal/parietal/oksipital/pons/medulla oblongata/mesensefalon/ serebelum Kanan/kiri Perifokal edema di sekeliling lesi (umumnya brp lesi hipodens yang mengelilingi lesi hiperdens) abnormalitas (pelebaran / penyempitan) sistem ventrikel Tampak penyempitan ventrikel IV dan sisterna ambiens; Tampak Pelebaran ventrikel lateral bilateral dan ventrikel III ebutkan Pasca pemberian kontras tampak penyangatan/tidak Pasca pemberian kontras tampak penyangatan cincin di sekeliling lesi serta penyangatan pada sulci dan gyri Menyimpulkan hasil CT scan kepala osis serebelum. High- Brain atrofi: sulcus dan girus melebar, ventrikel melebar Perdarahan intraaksial: dari sutura: SDH EDH: tidak melewati sutura; tp dpt melewati midline. Tanda-tanda tumor maligna: (1) Edema (2) Penyangatan kontras 150 (3) Densitasnya inhomogen High-grade Glioma Metastasis Iregular enhancement Iregular Edema > Edema >> Sering soliter Dapat multipel Dapat heterogen, bila ada lesi kistik/nekrotik Low signal pd DWI, High signal pd ADC Abses serebri Smooth, ring. Edema >> Dapat multipel Contoh kasus 151 152 Referensi -De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams Wilkins,Philadelphia,2005 De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed Text. Edisi 5, 2004. Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill Livingstone, 2004. 153 Lampiran. Lembar Refleksi Mahasiswa dan Feedback Nama : NIM : Judul KKD : 1. Penampilan saya yang sudah baik saat keterampilan klinik dasar (KKD) : .............................................................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................................................. 2. Penampilan saya yang masih kurang baik pada saat keterampilan klinik dasar (KKD) : .............................................................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................................................. 3. Hal yang perlu saya pelajari lagi agar penampilan saya semakin baik? .............................................................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................................................. Umpan Balik terhadap penampilan mahasiswa 1. Kelompok Mahasiswa .............................................................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................................................. 2. Pasien Simulasi .............................................................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................................................. 3. Instruktur .............................................................................................................................................................................................. .............................................................................................................................................................................................. Medan, .............................2017 Instruktur ( Mahasiswa ) ( ) 154