KATA PENGANTAR Assalamu`alaikum

advertisement
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum WarahmatullahiWabarakatuh
Sistem pembelajaran menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan
metode Problem-based Learning (PBL) di Program Studi Pendidikan Dokter Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara merupakan penerapan dari KBK berpedoman kepada
Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 045/U/2002. Berdasarkan rapat
terbatas staf inti FK UMSU penerapan KBK dengan metode PBL dimulai pada tahun
akademi 2008/2009 bagi mahasiswa angkatan pertama.
Tujuan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi ini adalah menghasilkan dokter yang
mampu bekerja profesional dalam melayani masyarakat dan mampu mengikuti dan
memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir.
Pada tahun 2013, UKDI (Ujian Kompetensi Dokter Indonesia) menempatkan OSCE
sebagai salah satu bentuk kegiatan yang akan diujiankan. OSCE (Objective Structured
Clinical Examination) merupakan ujian yang mengasah pengetahuan, keterampilan, etika
dan cara berkomunikasi mahasiswa Fakultas Kedokteran melalui uji keterampilan klinis
terstruktur dan dinilai secara objektif.
Fakultas Kedokteran UMSU mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi OSCE
dengan menyelenggarakan kegiatan Keterampilan Klinis Dasar pada setiap semester untuk
melatih kemampuan mahasiswa melakukan keterampilan klinis untuk menjadi dokter yang
kompeten
Keterampilan klinis yang dilatih sesuai dengan standar kompetensi dokter
Indonesia kompetensi 3 dan 4, yang mana keterampilan – ketreampilan tersebutlah yang
akan diujikan pada OSCE nasional. Semoga buku ini bermanfaat.
Dekan
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
dr. Ade Taufiq, Sp.OG
1
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................................................
1
Daftar Isi .........................................................................................................................................
2
Tahapan Kegiatan dan Tata tertib Peserta Kegiatan Keterampilan Klinis
Dasar..................................................................................................................................................
3
Learning Outcome dan Learning Objective.........................................................................
6
Daftar Keterampilan Klinis Dasar ………..............................................................................
8
Keterampilan Klinis Blok Organ Khusus............................................................................
10
Keterampilan Klinis Blok Dermatomuskuloskeletal....................................................
46
Keterampilan Klinis Blok Neurologi ………....................................................................
73
Lembar Refleksi Diri…………………………………………………………………………………
96
2
TATA TERTIB PESERTA PELATIHAN DAN EVALUASI KETERAMPILAN KLINIS DASAR
TAHAPAN KEGIATAN KETERAMPILAN KLINIS DASAR
A. Persiapan dan Responsi (15 menit)
1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan (10 menit)
2. Instruktur meresponsi mahasiswa sebelum masuk ruangan skills lab, mahasiswa
yang tidak memiliki prior knowledgetentang keterampilan yang akan dilatih tidak
berhak mengikuti kegiatan(5 menit)
B. Demonstrasi dan Role Play (85 menit)
1. Doa pembuka dipimpin oleh instruktur
2. Instruktur memperkenalkan materi yang akan dilatih serta tanya jawab singkat
terhadap materi yang belum jelas.
3. Instruktur melakukan demonstrasi cara melakukan prosedur yang akan dilatih
pada mahasiswa
4. Instruktur membimbing mahasiswa satu per satu secara bergantian (role play)
saat melakukan latihan seperti yang telah didemonstrasikan oleh instruktur pada
langkah di atas
5. Instruktur membimbing mahasiswa untuk merefleksikan keterampilan yang telah
dilakukan secara spesifik baik lisan maupun tertulis di lembar refleksi pada
penuntun KKD.
6. Instruktur meminta mahasiswa lain dan pasien simulasi (jika ada) untuk
memberikan umpan balik kepada mahasiswa
7. Instruktur memberikan umpan balik pada mahasiswa setelah melakukan latihan
peran (role play) secara lisan kepada mahasiswa sesuai lembar refleksi pada
penuntun KKD mahasiswa
8. Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab
semua pertanyaan dengan benar
9. Instruktur memberikan rangkuman terhadap kegiatan pelatihan dan
mengingatkan mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada
pertemuan berikutnya.
10. Doa penutup.
TAHAPAN KEGIATAN BELAJAR MANDIRI KETERAMPILAN KLINIS DASAR
1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan
2. Doa pembuka
3. Mahasiswasatu per satu secara bergantian (role play) melakukan latihan seperti
yang telah diperagakan dikegiatan sebelumnya yang dipimpin oleh seorang
mahasiswa
4. Dua orang instruktur sesekali mengawasi kegiatan mahasiswa saat melakukan role
play
5. Mahasiswa dan instruktur memberikan feed-back (masukan) pada mahasiswa saat
dan setelah melakukan latihan peran (role play).
6. Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab
semua pertanyaan dengan benar
7. Doa penutup.
3
TAHAPAN KEGIATAN LATIHAN OSCE
A. Persiapan (10 menit)
1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan (10 menit)
B.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Demonstrasi dan Role Play (90 menit)
Doa pembuka dipimpin oleh instruktur
Instruktur menjelaskan aturan latihan OSCE
Instrukturmembagi urutan mahasiswa yang akan dilatih OSCE
Mahasiswa satu per satu secara bergantian melakukan latihan OSCE, mahasiswa yang
sudah latihan OSCE dapat melihat kemampuan mahasiswa lain melakukan latihan dan
mencatat umpan balik terhadap mahasiswa yang diamatinya untuk disampaikan pada
pertemuan selanjutnya, sedangkan mahasiswa lainnya menunggu di ruang tunggu
Instruktur tidak boleh memberikan interupsi saat mahasiswa melakukan latihan OSCE
selain yang sudah ditetapkan di instruksi pengujiInstruktur memberikan kesempatan
kepada mahasiswa untuk menuliskan refleksi diri. Instruktur meminta pasien simulasi
(jika ada) untuk memberikan umpan balik kepada mahasiswa dan sebaliknya,
kemudian dituliskan di lembar refleksi pada penuntun KKD.
Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab semua
pertanyaan dengan benar
Instruktur memberikan rangkuman terhadap kegiatan pelatihan dan mengingatkan
mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada pertemuan berikutnya.
Doa penutup.
TAHAPAN KEGIATAN EVALUASI LATIHAN OSCE
1. Mahasiswa mengambil alat dan mempersiapkan di ruangan (10 menit)
2. Seluruh instruktur yang terlibat melakukan evaluasi terhadap kegiatan latihan OSCE
yang sudah dilakukan sebelumnya
3. Satu persatu mahasiswa menyampaikan refleksi diri terhadap kegiatan yang telah
dilakukan. Mahasiswa lain dan instruktur menanggapi dan menyampaikan umpan
balik terhadap mahasiswa tersebut untuk ditulis pada lembar refleksi
4. Instruktur menyampaikan hasil penilaian kepada mahasiswa
5. Mahasiswa mengulang latihan OSCE bila mahasiswa belum lulus atau bilamana perlu
6. Instruktur dan mahasiswa lainnya mengamati saat mahasiswa mengulang latihan
latihan OSCE dan memberikan umpan balik terhadap mahasiswa tersebut setelah
latihan selesai
7. Instruktur memberikan kesempatan bertanya pada mahasiswa dan menjawab semua
pertanyaan dengan benar
8. Instruktur memberikan rangkuman terhadap kegiatan pelatihan dan mengingatkan
mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada pertemuan berikutnya.
9. Doa penutup.
TATA TERTIB PESERTA PELATIHAN, MANDIRI DAN LATIHAN OSCE KETERAMPILAN
KLINIS DASAR
1.
Peserta keterampilan klinis dasar adalah
sesuai dengan blok yang dijalani
mahasiswa Fakultas Kedokteran UMSU
4
2.
Mahasiswa wajib mengikuti seluruh kegiatan keterampilan klinis dasar Fakultas
Kedokteran UMSU
3. Mahasiswa yang terlambat lebih dari 5 menit tidak diperkenankan mengikuti kegiatan
keterampilan klinis dasar
4. Mahasiswa harus menandatangani daftar hadir
5. Mahasiswa yang tidak bisa menjawab saat sesi responsi tidak diperkenankan
mengikuti kegiatan pelatihan KKD
6. Mahasiswa yang tidak mengenakan busana sesuai dengan peraturan busana Fakultas
Kedokteran UMSU, memakai baju praktikum dan badge name sesuai dengan nama dan
standar FK UMSU tidak diperkenankan mengikuti kegiatan
7. Tidak diperkenankan mengaktifkan telepon genggam, makan, dan harus menjaga
sopan santun dan etika selama kegiatan
8. Bagi mahasiswa yang tidak mematuhi tata tertib poin 7 dan 8 maka akan diberi surat
peringatan sebanyak 1 kali dan bila mengulangi lagi maka mahasiswa tersebut
dianggap gagal pada keterampilan klinik yang sedang berjalan, dan hanya dapat
mengulang keterampilan klinik dasar tahun berikutnya.
9. Satu orang perwakilan dari grup kecil, mengambil alat dan bahan yang diperlukan
untuk kegiatan keterampilan klinis dasar (10 menit pertama) dan mengembalikan alat
dan bahan tersebut seperti sediakala setelah kegiatan selesai dilaksanakan. Apabila
terjadi kerusakan/kehilangan, maka grup tersebut wajib mengganti dengan alat/bahan
yang sama
10. Mahasiswa yang tidak hadir karena alasan yang dapat dibenarkan, seperti:
a. Sakit, harus menunjukkan surat sakit (rawat jalan dari Klinik UMSU atau rawat inap
RS)
b. Terkena musibah, harus menunjukkan surat keterangan orangtua/wali
c. Mendapat tugas dari fakultas atau universitas, harus menunjukkan surat tugas dari
Institusi
d. Atau alasan lain yang dapat dipertanggung jawabkan.
yang telah diajukan dan mendapat persetujuan sebelumnya oleh Wakil Dekan I,
dapat meninggalkan kegiatan pendidikan setelah menyampaikan keterangan
tertulis. Surat keterangan tersebut ditunjukkanpaling lambat 1(satu) hari setelah
pelatihan berlangsung disertai surat permohonan inhal atau pindah kelompok
Kegiatan pendidikan yang ditinggalkan diganti dengan kegiatan yang sama pada
waktu yang akan diatur oleh Prodi Pendidikan Dokter sesuai prosedur yang telah
ditetapkan. Apabila mahasiswa tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut di atas,
kehadirannya dianggap tidak memenuhi syarat.
11. Mahasiswa yang tidak hadir karena alasan yang tidak dapat dibenarkan, seperti:
terlambat, tidak mengetahui jadwal atau alasan lain yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan harus menyerahkan surat permohonan inhal untuk
mengganti dengan kegiatan yang sama pada waktu yang akan diatur oleh Prodi
Pendidikan Dokter sesuai prosedur yang telah ditetapkan paling lambat 1(satu)
hari setelah pelatihan berlangsung dan hanya diberi kesempatan sebanyak 1
(satu) kali inhal per semester.
5
Learning Outcome dan Learning Objective
No
1
Judul
Keterampilan
Klinis
Pemeriksaan
Oftalmologi, buta
warna dan
funduskopi
Learning Outcome
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Pemeriksaan Oftalmologi, buta
warna dan funduskopi
Learning Objective
Melakukan Pemeriksaan
Oftalmologi
Melakukan pemeriksaan buta
warna
Melakukan pemeriksaan
funduskopi
2
3
4
5
6
7
Visus dan Koreksi
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
pemeriksaan Visus dan Koreksi
Melakukan pemasangan visus
Anamnesis mata
dan pengambilan
benda asing pada
mata
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Anamnesis mata dan
pengambilan benda asing pada
mata
Melakukan anamnesis mata
Anamnesis THT,
pemeriksaan dan
telinga dan hidung
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Anamnesis THT, pemeriksaan
dan telinga dan hidung
Melakukan anamnesis kelainan
THT
Pengambilan benda
asing dari hidung
dan telinga,
menghentikan
perdarahan di
hidung
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Pengambilan benda asing dari
hidung dan telinga,
menghentikan perdarahan di
hidung
Melakukan Pengambilan benda
asing dari hidung dan telinga
Pengenalan
Instrumen Bedah
dasar dan teknik
simpul dlm
penjahitan serta
penatalaksanaan
luka Robek
Eksisi Tumor/kutil
dan insisi abses
serta ekstraksi
kuku
Melatih mahasiswa untuk dapat
mengenal Instrumen Bedah
dasar dan teknik simpul dlm
penjahitan serta
penatalaksanaan luka Robek
mengenal Instrumen Bedah dasar
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Eksisi Tumor/kutil dan insisi
abses serta ekstraksi kuku
Melakukan Eksisi Tumor/kutil
Melakukan koreksi visus
Melakukan pengambilan benda
asing pada mata
Melakukan pemeriksaan dan
telinga dan hidung
Menghentikan perdarahan di
hidung
Melakukan teknik simpul dlm
penjahitan
Melakukan penatalaksanaan luka
Robek
Melakukan insisi abses
6
Melakukan ekstraksi kuku
8
Anamnesis Peny.
Kulit dan Kelamin,
Pemeriksaan KOH
dan skin slit smear
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Anamnesis Peny. Kulit dan
Kelamin, Pemeriksaan KOH dan
skin slit smear
Melakukan Anamnesis Peny. Kulit
dan Kelamin
Melakukan Pemeriksaan KOH
Melakukan skin slit smear
9
Interpretasi Foto
Fraktur (tulang
panjang, vertebra,
cranium)
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Interpretasi Foto Fraktur
(tulang panjang, vertebra,
cranium)
Melakukan Interpretasi Foto
Fraktur (tulang panjang, vertebra,
cranium)
10
Balut Bidai
Melakukan Balut Bidai
11
Pemeriksaan
Sensorik, vertebra,
fungsi cerebellum
dan koordinasi
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Balut Bidai
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Pemeriksaan Sensorik,
vertebra, fungsi cerebellum dan
koordinasi
Melakukan Pemeriksaan Sensorik
Melakukan Pemeriksaan vertebra
Melakukan Pemeriksaan fungsi
cerebelum
Melakukan Pemeriksaan fungsi
kordinasi
12
Pemeriksaan
Refleks fisiologis
dan patologis
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Pemeriksaan Refleks fisiologis
dan patologis
Melakukan Pemeriksaan Refleks
fisiologis
Melakukan Pemeriksaan Syaraf
kranialis
Melakukan Anamnesis kelainan
saraf
13
Pemeriksaan Syaraf
kranialis
14
Pemeriksaan nyeri
radikuler dan
rangsang meningeal
dan Pemeriksaan
motorik
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Pemeriksaan Syaraf kranialis
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Pemeriksaan nyeri radikuler
dan rangsang meningeal dan
Pemeriksaan motorik
Anamnesis kelainan
saraf dan
interpretasi
perdarahan otak
dgn CT Scan
Melatih mahasiswa untuk dapat
meningkatkan keterampilan
Anamnesis kelainan saraf dan
interpretasi perdarahan otak
dgn CT Scan
15
Melakukan Pemeriksaan Refleks
patologis
Melakukan Pemeriksaan nyeri
radikuler dan rangsang meningeal
Melakukan Pemeriksaan motorik
Melakukan interpretasi perdarahan
otak dgn CT Scan
7
Daftar Keterampilan Klinis Dasar Blok
Blok
Organ Khusus
Dermatomuskuloskeletal
Judul keterampilan Klinis
Alokasi
Waktu
Expert/Departemen
Pemeriksaan Oftalmologi,
buta warna dan funduskopi
2 x 50
Ilmu Penyakit Mata
Visus dan Koreksi
2 x 50
Ilmu Penyakit Mata
Anamnesis mata dan
pengambilan benda asing
pada mata
2 x 50
Ilmu Penyakit Mata
Anamnesis THT,
pemeriksaan dan telinga dan
hidung
2 x 50
Ilmu Penyakit THT
Pengambilan benda asing
dari hidung dan telinga,
menghentikan perdarahan di
hidung
2 x 50
Ilmu Penyakit THT
Pengenalan Instrumen Bedah
dasar dan teknik simpul dlm
penjahitan serta
penatalaksanaan luka Robek
2 x 50
Ilmu Bedah
Eksisi Tumor/kutil dan insisi
abses serta ekstraksi kuku
2 x 50
Ilmu Bedah
Anamnesis Peny. Kulit dan
Kelamin, Pemeriksaan KOH
dan skin slit smear
2 x 50
Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin
2 x 50
Ilmu Bedah
2 x 50
Ilmu Bedah
Pemeriksaan Sensorik,
vertebra, fungsi cerebellum
dan koordinasi
2 x 50
Ilmu Neurologi
Pemeriksaan Refleks
fisiologis dan patologis
2 x 50
Pemeriksaan Syaraf kranialis
2 x 50
Interpretasi Foto Fraktur
(tulang panjang, vertebra,
cranium)
Balut Bidai
Neurologi
Ilmu Neurologi
Ilmu Neurologi
8
Pemeriksaan nyeri radikuler
dan rangsang meningeal dan
Pemeriksaan motorik
2 x 50
Ilmu Neurologi
Anamnesis kelainan saraf
dan interpretasi perdarahan
otak dgn CT Scan
2 x 50
Ilmu Neurologi
9
KETERAMPILAN KLINIS
BLOK ORGAN KHUSUS
10
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Oftalmologi
: Organ Khusus
:V
: Departemen Mata
: 4A
Deskripsi Umum
1. Pemeriksaan oftalmologi adalah pemeriksaan jaringan penunjang (adneksa) sistem
penglihatan seperti kelopak mata, sistem air mata, otot-otot ekstraokuler,
pergerakan dan posisi bola mata dan pemeriksaan segmen anterior bola mata yang
terdiri dari konjungtiva, sklera, kornea, bilik mata depan, iris, pupil dan lensa
kristalina.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan
oftalmologi dengan cara yang benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anatomi dan penyakit-penyakit mata.
Alat dan Bahan
1. Senter 1 buah
2. Lup 1 set
Prosedur
1.
Nilailah bentuk, posisi dan gerak bola mata, alis, bulu mata dan dan kelopak mata
atas dan bawah.
2.
Lakukan eversi kelopak mata untuk menilai konjungtiva tarsalis.
Cara pemeriksaan:
 Pasien duduk didepan slit lamp
 Sebaiknya mata kanan pasien diperiksa dengan tangan kanan pemeriksa.

Ibu jari memegang margo, telunjuk memegang kelopak bagian atas dan
meraba tarsus, lalu balikkan

Setelah pemeriksaan selesai kembalikan posisi kelopak mata
Lakukan pemeriksaan pada kedua mata.
3.
Lakukan pemeriksaan oftalmologi sederhana pada kornea.
Cara pemeriksaan: perhatikan reflex kornea yaitu reflex cahaya pada permukaan
kornea yang berbentuk bintik cahaya.
A. Cerah/ mengkilat
 Kornea jernih
 Jaringan parut/ putih
B. Suram: erosi kornea, radang kornea atau eema lornea. Perhatikan reflex
cahaya paa kedua kornea (Tes Hirschberg)
 Masing- masing di tengah pupil: ortofori
 Salah satu tidak ditengah pupil (heterofori)
4. Lakukan pemeriksaanoftalmologi sederhana pada bilik mata depan (camera oculi
anterior/COA).
Iris yang baik memiliki cekungan- cekungan (kripti). Kejernihan COA lihat
kejernihan iris.
 Kripta iris terlihat jelas: jernih
 Kripta iris tidak jelas: keruh.
Kedalaman COA: sinari iris dari samping, lalu perhatikan luasnya permukaan
iris yang mendapat penyinaran.
11
5.
6.
7.
8.
 Sebagian kecil iris mendapat penyinaran: COA dangkal
 Seluruh atau sebagian besar permukaan iris tersinari: COA dalam
Lakukan pemeriksaan oftalmologi sederhana pada pupil
 Reaksi pupil langsung: pupil mengecil paa mata yang disinari
 Reaksi pupil tidak langsung: pupil mengecil pada mata yang tidak
disinari
Nyatakan besarnya pupil dalam mm
 Isokor: keddua pupil sama besar
 Anisokor tidak sama besar
 Besar pupil normal: 3-5 mm
Lakukan pemeriksaanoftalmologi sederhana pada sklera
Lakukan pemeriksaanoftalmologi sederhana pada lensa
Pemeriksaan kekeruhan lensa
1. Sinari pupil dari depan. Perhatikan warna pupil.
a. Pupil berwarna hitam
 Lensa jernih
 Aphakia
b. Pupil putih/ abu- abu: keruh/ katarak
2. Ubah sinar dari samping (kurang lebih 45%) dan sinari iris. Kembali lihat
pupil.
Perhatikan perubahan kekeruhan lensa
 Seluruh pupil tetap putih katarak matura (tes shadow/ bayangan-)
 Sebagian pupil menjadi hitam katarak imatura (tes bayangan-)
Tuliskan data dalam status pemeriksaan oftalmologis. Contoh rangkuman
pemeriksaan mata normal:
PEMERIKSAAN
MATA KANAN (OD)
MATA KIRI (OS)
Visus
6/6
6/6
Pergerakan
Normal
Normal
Palp. Superior
Oedema (-), Hiperemis (-)
Oedema (-), Hiperemis (-)
Palp.Inferior
Oedema (-), Hiperemis (-)
Oedema (-), Hiperemis (-)
Conj.
Superior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Conj. Tars.Inferior
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Conj. Bulbi
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Cornea
Jernih
Jernih
COA
Sedang
Sedang
Pupil
Bulat,reguler,Ø3mm,RC
(+)
Bulat,reguler,Ø3mm,RC
(+)
Tars.
12
Iris
Coklat, regular
Coklat, reguler
Lensa
Jernih
Jernih
Corpus Vitreum
Tidak
pemeriksaan
dilakukan
Tidak
pemeriksaan
dilakukan
Fundus Oculi
Tidak
pemeriksaan
dilakukan
Tidak
pemeriksaan
dilakukan
Gambar
Contoh kasus
1. Seorang laki-laki berusia 19 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan kedua
mata kabur.
Referensi
1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi
pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17th edition, Mc Graw-Hill s
Companies, 2007.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.
4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012.
5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007.
13
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Buta Warna
: Organ Khusus
:V
: Departemen Mata
: 4A
Deskripsi Umum
1. Pemeriksaan buta warna (tes Ishihara) adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengetahui defek penglihatan warna yang didasarkan pada penentuan angka atau
pola yang ada pada kartu dengan berbagai kumpulan warna dengan memakai satu
seri titik bola-bola kecil dengan wana dan besar berbeda (gambar pseudokromatik),
yang membentuk suatu lingkaran sehingga membuat pasien dengan kelainan
penglihatan warna sulit melihatnya.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan
buta warna (tes Ishihara) untuk menegakkan diagnosis defisiensi warna terutama
warna merah dan hijau.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai buta warna.
Alat dan Bahan
Buku Ishihara 1 set
Prosedur
1. Posisikan pasien dalam posisi duduk.
2. Mintalah pasien untuk melihat dan menyebutkan angka atau pola yang terlihat pada
setiap lembar yang ditunjukkan (buku Ishihara) dalam waktu 10 detik pada jarak
baca (33 cm).
3. Buatlah kesimpulan apakah pasien tidak buta warna, buta warna parsial atau total.
Berikut ini beberapa contoh dari lembaran buku
interpretasinya pada pasien dengan kelainan penglihatan warna.
Ishihara
beserta
Mata normal dan mata buta warna dapat membacanya sebagai angka 12.
14
Mata normal dapat membaca angka 8. Mata buta warna merah-hijau membacanya
sebagai angka 3, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun.
Mata normal dapat membaca angka 29. Mata buta warna merah-hijau membacanya
sebagai angka 70, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun.
Mata normal dapat membaca angka 3. Mata buta warna merah-hijau membacanya
sebagai angka 5, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun.
15
Mata normal dapat membaca angka 15. Mata buta warna merah-hijau membacanya
sebagai angka 17, sedangkan buta warna total tidak dapat membaca angka apapun.
Mata normal dapat membaca angka 74. Mata buta warna merah-hijau membacanya
sebagai angka 21, sedangkan mata buta warna total tidak dapat membaca angka apapun.
Mata normal dapat membaca angka 42. Pada protanopia dan protanomalia berat hanya
membaca angka 2, pada protanomalia ringan angka berwarna merah tetapi angka 2 lebih
jelas dibanding angka 4. Pada deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya angka 4
yang terbaca, dan pada kasus deuteranomalia ringan kedua angka berwarna merah
tetapi angka 4 lebih jelas daripada angka 2.
16
Mata normal dapat membaca angka 26. Pada protanopia dan protanomalia berat hanya
membaca angka 6, pada protanomalia ringan angka berwarna merah tetapi angka 6 lebih
jelas dibanding angka 2. Pada deuteranopia dan deuteranomalia berat hanya angka 2
yang terbaca, dan pada kasus deuteranomalia ringan kedua angka berwarna merah
tetapi angka 2 lebih jelas daripada angka 6.
Contoh kasus
Seorang laki-laki berusia 20 tahun datang ke rumah sakit ingin mendapatkan
pemeriksaan buta warna untuk keperluan pekerjaan.
Referensi
1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi
pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17th edition, Mc Graw-Hill s
Companies, 2007.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.
4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012.
5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007.
17
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Funduskopi
: Organ Khusus
:V
: Departemen Mata
: 4A
Deskripsi Umum
1. Funduskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai kelainan-kelainan
pada vitreous dan retina. Untuk dokter umum, funduskopi digunakan untuk
menegakkan diagnosis kekeruhan pada media refraksi terutama pada lensa
kristalina (katarak).
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu menilai kekeruhan pada
lensa kristalina (katarak) dengan melihat refleks dari retina (fundus) yang
berwarna kemerahan pada pupil pasien.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anatomi mata dan kelainan-kelainan pada media refraksi
dan retina.
Alat dan Bahan
Funduskopi 1 set
Prosedur
1. Posisikan pasien dalam posisi duduk ataupun berbaring.
2. Berdirilah di depan pasien dengan memegang alat funduskopi.
3. Peganglah alat funduskopi dengan tangan sesuai dengan mata pasien yang akan
diperiksa.
4. Nyalakan sinar dari funduskopi hingga maksimal dan diatur sesuai ukuran pupil
pasien.
5. Arahkan sinar dari funduskopi ke arah pupil pasien yang akan diperiksa.
6. Lihatlah refleks fundus mata pasien dari jarak 5-10 cm dari jarak kornea pasien
melalui pupil yang berbentuk bulat berwarna kemerahan dengan kekuatan lensa
funduskopi 6-9 dioptri. Jika terlihat seluruh refleks fundus maka dinyatakan bahwa
lensa kristalina pasien jernih (mata normal). Jika terlihat hanya sebagian refleks
fundus dan sebagian lagi berwarna gelap/kehitaman maka lensa kristalina pasien
mengalami kekeruhan sebagian (katarak immmatur). Jika tidak terlihat refleks
fundus dan semua daerah pupil berwarna gelap/kehitaman maka lensa kristalina
pasien mengalami kekeruhan seluruhnya (katarak matur).
Pemeriksaan Funduskopi - Refleks fundus
18
Contoh kasus
Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan penglihatan
kabur.
Referensi
1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi
pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17 th edition, Mc Graw-Hill s
Companies, 2007.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.
4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012.
5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007.
19
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Visus dan Koreksi Refraksi
: Organ Khusus
:V
: Departemen Mata
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: pemeriksaan visus (tajam penglihatan) dilakukan pada mata tanpa atau
dengan kaca mata. Penurunan visus dapat disebabkan oleh kelainan media refraksi,
kelainan nonrefraksi atau keduanya. Kacamata dapat digunakan untuk memperbaiki
penurunan visus yang disebabkan oleh kelainan media refraksi.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan
visus dan melakukan koreksi subjektif sederhana agar dapat mengetahui fungsi
penglihatan pada setiap mata secara terpisah secara baik dan benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anatomi mata, fisiologi penglihatan, dan kelainan media
refraksi.
Alat dan Bahan
1. Kartu Snellen (Snellen Chart) 1 set
2. Lensa coba 1 set
3. Gagang coba 1 set
Prosedur
Pemeriksaan visus dengan Kartu Snellen
1. Lakukan pemeriksaan di ruangan yang memiliki penerangan yang cukup.
2. Pasien diperintahkan untuk duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter,
karena pada jarak ini mata akan melihat benda tanpa akomodasi atau dalam
keadaan beristirahat.
3. Setiap mata diperiksa secara terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan mata
kanan terlebih dahulu kemudian mata kiri. Sebelum memulai pemeriksaan, anjurkan
kepada pasien untuk melepas kaca mata atau lensa kontak yang sedang
dikenakannya. Tutup mata yang tidak diperiksa dengan menggunakan telapak
tangan atau penutup mata.
4. Minta pasien untuk membaca huruf yang tertulis pada kartu Snellen yang dimulai
dengan membaca garis terbawah (huruf atau angka terkecil) dan jika tidak terbaca,
pasien diminta untuk membaca huruf/angka di atasnya.
5. Tunjuk huruf dengan cepat sehingga pasien tidak mempunyai waktu untuk
berfikir/mengingat atau mengakomodasi.
6. Tentukan letak baris terakhir yang masih dapat dibaca.
7. Bila pasien tidak dapat membaca huruf sampai baris normal di kartu Snellen maka
pasang pinhole pada mata tersebut. Dengan pinhole, pasien dapat melanjutkan
bacaannya. Jika terdapat kemajuan ketajaman penglihatannya, mungkin pasien
mengalami kelainan refraksi. Bila dengan pinhole pasien tidak terdapat kemajuan
ketajaman penglihatannya kemungkinan pasien menderita kelainan pada media
refraksi seperti sikatrik kornea, katarak dan lainnya.
8. Nyatakan tajam penglihatan dalam 6/D. Pembilang adalah jarak antara pasien
dengan kartu Snellen. Penyebut adalah jarak dimana satu huruf/angka seharusnya
dapat dibaca. Contoh: bila baris huruf/angka yang terbaca tersebut terdapat pada
baris dengan tanda 30, artinya visus pasien tersebut 6/30 artinya pada jarak 6
20
meter, pasien hanya dapat membaca huruf/angka yang seharusnya dapat dibaca jels
pada jarak 30 meter oleh orang normal. Tajam penglihatan dikatakan normal jika
tajam penglihatan adalah 6/6.
Kartu Snellen Huruf
Pemeriksaan visus mata kanan
Pemeriksaan visus dengan hitung jari
1. Jika pasien tidak dapat membaca huruf, atau bila pasien tidak dapat membaca huruf
yang paling atas/terbesar maka lakukan pemeriksaan hitung jari.
2. Perintahkan pasien untuk menghitung jari pemeriksa yang oleh orang dengan
penglihatan normal, dapat dilihat pada jarak 60 meter.
3. Mulai hitung jari pada jarak 6 meter (ditulis 6/60). Bila tidak terlihat, maka
pemeriksa maju 1 meter dan seterusnya sampai berjarak setengah meter di depan
pasien (ditulis 0,5/60).
Pemeriksaan visus dengan gerakan tangan
1. Bila pasien tidak dapat mengitung jari, maka pasien perintahkan melihat gerakan
tangan si pemeriksa yang oleh mata normal dapat dilihat pada jarak 300 meter.
2. Gerakan tangan dilakukan maksimal pada jarak 1 meter, tajam penglihatan 1/300
meter.
Pemeriksaan visus dengan senter
1. Bila gerakan tangan tidak dapat terlihat, maka gunakan senter.
2. Jika pasien dapat melihat lampunya menyala, maka visus = 1/~. Visus 0 jika cahaya
senter tidak dapat dilihat lagi.
21
Koreksi refraksi dengan kaca mata
a. Koreksi pasien dengan minimal visus 1/60.
b. Ukur PD (pupil distance) dengan penggaris atau PD meter.
c. Pasang gagang coba pada pasien sesuai dengan PD nya.
d. Pastikan bahwa mata pasien mengalami kelainan refraksi dengan mencoba dengan
pinhole.
e. Coba lensa sampai sesuai dengan mata pasien untuk kedua mata.
Contoh Peresepan Kaca Mata
Gagang coba dan lensa coba
22
Contoh kasus:
Seorang perempuan berusia 20 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan penglihatan
kabur.
Referensi:
1. Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi pertama.
Jakarta: CV Ondo. 2006.
2. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17 th edition, Mc Graw-Hill s Companies,
2007.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.
4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012.
5. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007.
23
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Anamnesis Penyakit Mata
: Organ Khusus
:V
: Departemen Mata
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: anamnesis penyakit mata adalah teknik menggali keluhan pasien yang
dapat membantu mengarahkan diagnosis penyakit mata.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan anamnesis
pemyakit mata dengan teknik yang benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai
anatomi, fisiologi, dan penyakit-penyakit mata.
Alat dan Bahan
1. Alat tulis 1 set
2. Rekam medis atau kertas untuk mencatat 1 set
3. Kursi 2 buah
4. Meja 1 buah
Prosedur
Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam keluhan utama
pasien. Untuk melakukan anamnesis mata, tanyakanlah:
1. Riwayat penyakit sekarang (keluhan utama dan keluhan tambahan dengan pola
OLDCART)
Pertanyaan tersebut meliputi :
- Onset ( lama )
- Location (lokasi)
- Duration (durasi)
- Character (karakter)
- Aggravating / Alleviating Factors (Faktor-faktor yang memperparah atau
mengurangi gejala)
- Radiation (penyebaran)
- Timing (waktu)
Urutan sistematika anamnesis penyakit meliputi beberapa komponen, yaitu :










anamnese pribadi
anamnese keluhan utama
anamnese penyakit sekarang
anamnese penyakit terdahulu
anamnese organ
anamnese riwayat pribadi
anamnese riwayat penyakit keluarga
anamnese riwayat pengobatan
anamnese sosial ekonomi
anamnese gizi
24
Contoh kasus
Seorang laki-laki berusia 34 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata merah.
Referensi
6.
Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi
pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006.
7. Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17 th edition, Mc Graw-Hill s
Companies, 2007.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.
9. Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012.
10. Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007.
25
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Benda Asing di Konjungtiva
: Organ Khusus
:V
: Departemen Mata
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: benda asing di konjungtiva merupakan benda yang dalam keadaan
normal tidak dijumpai di konjungtiva. Pada umumnya bersifat ringan, namun pada
beberapa keadaan dapat berakibat serius terutama pada benda asing yang bersifat
asam atau basa. Pengangkatan benda asing dan debris di konjungtiva adalah
teknik pengambilan benda asing pada konjungtiva.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu mengangkat benda asing
dan debris di konjungtiva dengan cara yang benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anatomi dan benda asing pada mata.
Alat dan Bahan
1. Lidi kapas 1 buah
2. Jarum suntik ukuran 23G 1 buah
3. Kaca pembesar/lup 1 unit
4. Tetes mata Pantocain 2% 1 botol
5. Povidon iodine 10 % 1 botol
6. Antibiotik topikal (tetes mata kloramfenikol 0,5%) 1 botol
Prosedur
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Berikan tetes mata Pantocain 2% sebanyak 1-2 tetes pada mata yang terkena
benda asing.
Gunakan kaca pembesar/lup dalam pengambilan benda asing.
Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau jarum suntik ukuran
23G.
Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke tepi.
Oleskan lidi kapas yang dibubuhkan betadin pada tempat bekas benda asing.
Kemudian, berikan antibiotik topikal (salep atau tetes mata) seperti kloramfenikol
tetes mata, 1 gtt setiap 2 jam selama 2 hari.
Konseling dan Edukasi
Memberi tahu pasiendan keluargaagar tidak menggosok matanya agar tidak
mempeberat lesi.
b. Menggunakan alat/kaca mata pelindung pada saat bekerja atau berkendara.
c. Apabila keluhan bertambah berat setelah dilakukan tindakan, seperti bertambah
merah, bengkak atau disertai dengan penurunan visus segera control kembali.
a.
Kriteri rujukan:
Bila terjadi penurunan visus.
26
Benda Asing di Konjungtiva
Contoh kasus
Seorang laki-laki berusia 34 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan mata kanan terasa
mengganjal.
Referensi
1.
2.
3.
4.
5.
Gondhowiardjo TD. Simanjuntak G. Pandun Manajemen Klinis Perdami. Edisi
pertama. Jakarta: CV Ondo. 2006.
Khurana AK. Comprehensive Opththalmology, 17th edition, Mc Graw-Hill s
Companies, 2007.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014.
Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012.
Vaughan DG. General Ophthalmology. Edisi ke-17. Mc Graw Hill: Lange. 2007.
27
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Anamnesis THT
: Organ Khusus
:V
: Departemen Telinga Hidung Tenggorok
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: anamnesis penyakit telinga hidung tenggorok adalah teknik menggali
keluhan pasien yang dapat membantu mengarahkan diagnosis penyakit telinga
hidung tenggorok.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan anamnesis
penyakit telinga hidung tenggorok dengan teknik yang benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan penyakit-penyakit telinga hidung
tenggorok.
Alat dan Bahan
1. Alat tulis 1 set
2. Kursi 2 buah
3. Meja tulis 1 buah
Prosedur
Anamnesis
Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam keluhan utama
pasien. Untuk melakukan anamnesis mata, tanyakanlah riwayat penyakit sekarang (keluhan
utama dan keluhan tambahan dengan pola OLDCART). Pertanyaan tersebut meliputi :
a. Onset ( lama )
b. Location (lokasi)
c. Duration (durasi)
d. Character (karakter)
e. Aggravating / Alleviating Factors (Faktor-faktor yang memperparah atau
mengurangi gejala)
f. Radiation (penyebaran)
g. Timing (waktu)
Urutan sistematika anamnesis penyakit meliputi beberapa komponen, yaitu :
1. anamnese pribadi
2. anamnese keluhan utama
3. anamnese penyakit sekarang
4. anamnese penyakit terdahulu
5. anamnese organ
6. anamnese riwayat pribadi
7. anamnese riwayat penyakit keluarga
8. anamnese riwayat pengobatan
9. anamnese sosial ekonomi
10. anamnese gizi
Contoh Kasus
Seorang laki-laki berusia 24 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
pendengaran menurun.
28
Referensi
1. Siegel LG. The head and neck history and examination. In adams GC,Boies LR,
Higler. Fundamental of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia. WB Saunders
Co.;1998:p.13-23.
2. Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam:
Soepardi, E. A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (Editor). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. pp. 1-9.
29
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok
: Organ Khusus
:V
: Departemen Telinga Hidung Tenggorok
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: pemeriksaan telinga hidung tenggorok adalah pemeriksaan yang
dilakukan untuk menilai anatomi dan fungsi telinga hidung dan tenggorok.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan
pemeriksaan fisik telinga hidung tenggorok seperti inspeksi, palpasi, otoskopi,
tes fungsi pendengaran, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, laringoskopi
indirek, dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan penyakit-penyakit telinga
hidung tenggorok.
Alat dan Bahan
1. Lampu kepala 1 set
2. Spekulum (corong) telinga 1 set
3. Spekulum hidung Hartmann 1 set
4. Otoskop 1 set
5. Cermin faring 1 set
6. Pengait benda asing telinga 1 set
7. Pengait benda asing hidung 1 set
8. Forsep crocodile 1 set
9. Pinset bayonet (lucae) 1 set
10. Spatula lidah 1 set
11. Balon Politzer 1 set
12. Garpu tala 1 set
13. Pemintal kapas 1 set
14. Pengait serumen 1 set
15. Alat penghisap (suction) 1 set
16. Spiritus 1 set
17. Kain kassa 1 set
18. Sarung tangan 1 set
19. Masker 1 set
20. Desinfektan 1 set
21. Alat tulis 1 set
22. Kursi 2 buah
23. Meja tulis 1 buah
Prosedur
Cara duduk
1. Duduklah berhadapan dengan pasien.
2. Pertemukan lutut kanan pemeriksa dengan lutut kanan pasien atau lutut kiri
pemeriksa bertemu dengan lutut kiri pasien.
3. Saat memeriksa bagian yang kontralateral, ubahlah posisi kepala pasien. Sedangkan
posisi duduk pemeriksa dan pasien tidak berubah.
30
Posisi Duduk Pada Pemeriksaan THT
Memasang Lampu Kepala
1. Pasanglah lampu kepala, sehingga lampu berada di tengah kening, diantara kedua
mata.
2. Hidupkan lampu kepala.
3. Periksa fungsi lampu kepala dengan mengarahkan cahaya lampu ke telapak tangan
pemeriksa.
Memeriksa Daun Telinga
1. Inspeksi: perhatikan daerah daun telinga dan daerah di sekitarnya seperti daerah
belakang (retroaurikular) dan depan (preaurikular).
2. Palpasi: lakukan perabaan, penekanan, atau penarikan daun telinga. Bila ada
kelainan, misalnya: membengkak dibelakang telinga kemungkinan: mastoiditis
atau bisul di telinga atau lubang kecil pada helix: fistula auris kongenital.
31
Telinga Kanan
Memeriksa Liang Telinga Dan Membran Timpani
1. Periksa liang telinga dan memran timpani dapat dilakukan dengan mengarahkan
lampu kepala ke arah liang telinga. Pemeriksaan dapat dibantu dengan corong
telinga untuk membebaskan liang telinga dari rambut pada liang telinga tersebut.
2. Karena liang telinga tidak lurus, untuk melihat ke dalam, pada orang dewasa daun
telinga sebelumnya tariklah kebelakang atas. Pada bayi daun telinga ditarik ke
belakang bawah. Selain dengan mengguanakan corong telinga, pemeriksaan ini juga
dapat mengguanakan otoskop.
Memeriksa Liang Telinga Dan Membran Timpani dengan Otoskop
1. Luruskan terlebih dahulu liang telinga dengan cara menarik daun telinga dengan
lembut ke arah belakang atas. Bila telinga yang diperiksa adalah telinga kanan,
daun telinga ditarik dengan tangan kiri, dan otoskop dipegang dengan tangan
kanan. Sebaliknya, bila telinga yang akan diperiksa adalah telinga kiri, daun telinga
daun ditarik dengan tangan kanan, dan otoskop dipegang dengan tangan kiri.
2. Pegang otoskop dengan ibu jari dan jari tangan lainnya dengan arah mendatar
seperti memegang pena.
3. Agar posisi otoskop stabil, tempatkan jari kelingking tangan yang memegang
otoskop pada pipi pasien.
4. Masukkan Spekulum (corong) otoskop dengan hati-hati kedalam liang telinga.
5. Bila spekulum telah masuk, hidupkan lampu otoskop. Untuk memperluas lapangan
penglihatan, spekulum otoskop digerakkan di dalam liang telinga, terutama untuk
melihat liang telinga dan membran timpani secara keseluruhan.
32
Memeriksa Liang Telinga Dan Membran Timpani dengan Otoskop
Pemeriksaan Berbisik
Untuk menentukan apakah pendengaran pasien berkurang atau tidak, kita lakukan
pemeriksaan berbisik. Harus dilakukan didalam ruangan yang sunyi sekali. Oleh karena
biasanya tidak ada tempat yang benar-benar sunyi, maka bila ia dapat mendengar pada
jarak 6 m, kita anggap pendengarannya sudah baik.
Cara pemeriksaan:
1. Harus diperiksa dalam ruangan yang paling sedikit panjangnya 6 m, pasien
disuruh berdiri pada ujung kamar dengan telinga yang akan diperiksa dihadapkan
kepada yang memeriksa.
2. Tutup telinga yang tidak diperiksa dengan menekan tragus pada lubang telinga
dengan jari pasien tersebut.
3. Setelah yang memeriksa ekspirasi, berbisiklah dengan udara reserve yang ada di
paru-paru. Bila pendengaran pasien kurang sekali hingga berbisik ia tidak dapat
mendengar, pemeriksaan dilakukan dengan memakai suara biasa. Oleh karena
kemungkinan ada pengaruh dari telinga yang baik, telinga ini ditulikan dengan
cara menggerak-gerakkan jari pada tragus atau ditulikan dengan meletakkan alat
Barany pada telinga yang tidak diperiksa.
Interpretasi:
1. Pada pekak konduktif
: pasien tidak dapat mendengar suara dengan nada
rendah
2. Pada pekak perspektif
: pasien tidak dapat mendengar suara dengan nada
tinggi
3. Bila pada percobaan dengan suara biasa pendengaran kurang dari 2 m kanan-kiri
ia memerlukan alat pendengaran.
Pemeriksaan Pendengaran dengan Penala
Pemeriksaan ini untuk menentukan apakah seseorang menderita tuli konduktif
atau perspektif; dipakai seluruh garpu suara dengan bermacam-macam frekuensi.
Cara pemeriksaan:
1. Getarkan penala (mis. 32 Hz) dengan jari kita.
2. Mula-mula, dengarkan sendiri hingga suara hampir hilang sesudah itu kita
letakkan kedekat telinga orang yang akan diperiksa, bila masih didengarnya kita
namakan positif (+), bila tidak didengarnya lagi dinamakan negatif (-).
3. Lakukan lagi dengan garpu-garpu tala yang lainnya sehingga dapat kita gambarkan
seperti berikut:
33
Kanan
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Frekuensi
penala
16
32
64
128
256
512
1024
2048
4096
Kiri
+
+
+
+
+
Dengan melihat hasilnya kita dapat menentukan apakah penderita mengalami tuli
konduktif atau tuli perspektif. Dalam gambar ini ada tuli koduktif telinga kiri.
Pemeriksaan Pendengaran pada Anak-Anak
Pemeriksaan pendengaran pada anak-anak kecil dilakukan dengan:
1. Alat Barany (larm trommel)
Berdirilah di belakang pasien, asisten berdiri di muka dan main-main dengan pasien.
Alat barany yang telah dibunyikan diletakkan di dekat telinga pasien. Bila ia menoleh
menandakan ia dapat mendengar.
2. Auropalpebral Reflex
Berdirilah di belakang pasien dan tiba-tiba bertepuk tangan keras-keras, bila matanya
dikedipkan menandakan ia dapat mendengar. Pada anak yang bisu tuli, matanya tidak
dikedipkannya (tidak ada reaksi).
Pemeriksaan Rinne:
1. Getarkan penala (512 Hz).
2. Letakkan pada mastoid pasien.
3. Bila tidak didengar lagi, letakkan di depan lubang telinga pasien. Pada orang yang
pendengarannya normal, pasien masih mendengar suara di muka lubang telinga
tersebut; disebut Rinne positif (+).
Pemeriksaan Weber:
1. Getarkan penala (256-512 Hz)
2. Letakkan pada garis medial kepala (vortex, gigi, dll). Normal: suara didengar sama
pada bagian kanan dan kiri. Pada tuli konduktif suara didengar pada telinga yang
sakit, dinamakan Weber lateralisasi ke bagian yang sakit. Pada tuli perseptif suara
didengar pada telinga yang sehat dinamakan Weber lateralisasi ke bagian yang
sehat.
Pemeriksaan Schwabach:
1. Getarkan penala (256-512 Hz)
2. Letakkan dahulu pada mastoid yang memeriksa.
3. Bila pemeriksa tidak mendengar lagi, letakkan pada mastoid pasien. Bila pasien
masih mendengarnya berarti pasien menderita tuli konduktif dan dinamakan
Schwabach memanjang. Bila pasien tidak mendengarnya lagi berarti pasien
menderita tuli saraf dan dinamakan Schwabach memendek.
4. Atau getarkan penala dan ujung tangkainya diletakkan pada mastoid pasien.
34
5.
Bila pasien tidak mendengar lagi pindahkan penala tersebut ke mastoid
pemeriksa. Bila pemeriksa masih mendengar suara, berarti Schwabach pasien
memendek (tuli saraf). Sebagai syarat, orang yang memeriksa harus normal
pendengarannya.
Pemeriksaan Hidung Luar
Sebelum melakukan pemeriksaan ke dalam hidung, utamakan memeriksa dahulu hidung
bagian luar. Pemeriksaan hidung bagian luar terdiri atas inspeksi dan palpasi.
Inspeksi: perhatikan bentuk dari luar sudah dapat kita gambarkan kemungkinan kelainan
di dalam hidung. Perhatikan adanya deviasi atau depresi tulang hidung, pembengkakan
hidung dan sinus paranasal.
Palpasi: dengan jari dapat lakukan palpasi adanya krepitasi tulang hidung pada fraktur atau
rasa nyeri pada peradangan.
Rinoskopi Anterior
1. Dilakukan dengan memakai spekulum hidung.
2. Tekan gagang bagian bawah dari spekulum dengan jari tengah dan sampai ke jari
manis dari tangan sebelah kiri
3. Letakkan ujung jari telunjuk pada ujung hidung pasien dan ibu jari diluruskan.
Ujung spekulum jangan mengenai bagian dalam hidung (septum dll.) oleh karena
nanti pasien merasa nyeri.
4. Bukalah lubang hidung perlahan-lahan dan tenang (with a ladies hand).
5. Lihat terlebih dahulu vestibulum nasi. Pemeriksaan vestibulum dapat juga dengan
cara mendorong ujung hidung ke atas (pada anak-anak).
Rinoskopi Anterior
Rinoskopi Posterior
1. Lakukan dengan memakai cermin faring (terdiri dari cermin bulat bertangkai).
2. Pemeriksaan harus tenang, tujukan lampu ke tekak (faring).
3. Tekan bagian lateral lidah perlahan-lahan dengan tangan kiri (memegang spatel).
Jangan ditekan pada pangkal lidah karena mengakibatkan refleks muntah.
4. Sebelumnya panaskan dahulu cermin di atas lampu spiritus, supaya jangan ada
endapan uap air pada waktu memeriksa di dalam mulut.
5. Dengan tangan kanan, pegang cermin faring seperti memegang pena.
6. Kemudian masukkan ke mulut pasien antara uvula dan pangkal lidah, dan
cerminnya di arahkan ke atas. Letaknya gagang cermin pada sudut mulut kiri. Arah
35
7.
cermin kira-kira membentuk sudut 45 dengan dataran horizontal. Cermin jangan
mengenai faring oleh karena akan mudah menimbulkan muntah apalagi pada
orang yang sensitif.
Gerakkan kaca ini ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan kita dapat melihat
gambaran nasofaring dan hidung bagian belakang.
Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan Aliran Udara Hidung
1. Letakkanlah spatula lidah (spatula logam) didepan kedua lubang hidung pasien,
karena udara pernafasan mengandung uap air, bagian spatula yang diletakkan
didepan lubang hidung akan tampak berembun.
2. Bandingkanlah bagian yang berembun tersebut, apakah sama luas, bila tidak sama
luas kemungkinan aliran udara yang melalui lubang hidung tersebut mengalami
hambatan.
Uji Aliran Udara Hidung
Pemeriksaan Sinus Paranasal
Inspeksi: amatilah dengan seksama daerah muka, apakah terdapat pembengkakan yang
menandakan adanya infeksi pada sinus. Pembengkakan pada dahi disekitar kelopak mata
36
bagian atas, dapat memberikan petunjuk adanya sinusitis frontalis. Bila terlihat
pembengkakan pada daerah pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahmerahan, kemungkinan menunjukkan sinusitis maksila akut. Infeksi sinus etmoid, jarang
menyebabkan pembengkakan wajah, kecuali bila terbentuk abses.
Palpasi dan perkusi: Lakukanlah penekanan atau pengetukan pada bagian-bagian tertentu
wajah, yang merupakan lokasi dari sinus paranasalis. Timbulnya rasa nyeri pada penekanan
bagian medial atap orbita, menunjukkan kemungkinan sinusitis frontalis. Nyeri tekan pipi
disertai nyeri ketuk pada gigi menunjukkan kemungkinan sinusitis maksila, sedangkan
nyeri tekan pada kantus medialis menunjukkan kemungkinan adanya sinusitis etmoid.
Diaphanoskopi (Transiluminasi)
1. Lakukan pemeriksaan di kamar gelap. Alat transiluminasi terdiri dari dua lampu,
yang satu sama lain dapat didekatkan dan dijauhkan (ada juga alat yang hanya
memakai satu lampu).
2. Bila kita hendak memeriksa sinus maksilaris jarak dekatkan lampu.
3. Bila kita memeriksa sinus frontalis jauhkan jarak lampu.
Pemeriksaan sinus maksilaris:
1. Dekatkan kedua lampu dan masukkan ke dalam mulut pasien, kemudian pasien
disuruh menutup mulutnya.
2. Bila tidak ada kelainan, kedua pipi dan bawah orbita kelihatan terang karena
dengan mudah cahaya menembus sinus. Bila ada tumor atau radang di dalam
sinus, cahaya tidak dapat menembus pipi sehingga pipi kelihatan gelap. Yang
penting bila ada perbedaan antara kanan dan kiri. Biasanaya bila ada perbedaan,
ada kelainan pada sinus.
Pemeriksaan Faring dan Rongga Mulut
1. Pasang lampu kepala dan diarahkan krongga mulut.
2. Nilai keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah dan gerakan lidah.
3. Pegang spatula lidah dengan tangan kiri.
4. Tekan bagian tengah lidah dengan memakai spatula lidah.
5. Nilai rongga mulut, dinding belakang faring, uvula, arkus faring, tonsil, mukosa
pipi, gusi dan gigi.
6. Keluarkan spatula lidah dari rongga mulut. Palpasi daerah rongga mulut untuk
menilai apakah ada massa tumor, kista, dll.
Laringoskopi
Dilakukan dengan dua cara yaitu:
Laringoskopi indirek: dengan memakai cermin laring, dapat dikerjakan oleh dokter umum.
Laringoskopi direk: dikerjakan oleh dokter spesialis THT dengan memakai laringoskopi
Caranya:
Pasien disuruh mengeluarkan lidah.
1. Pegang ujungnya dengan tangan kiri, ibu jari bagian atas, jari telunjuk dan jari
tengah pada bagian bawah lidah, kita pegang lidah dengan kain kasa.
2. Pegang lidah, tetapi jangan terlampau keras sebab dapat menimbulkan rasa nyeri
dan frenulus dapat berdarah oleh karena menyentuh gigi.
3. Letakkan kaca laring yang sudah dipanaskan pada punggung tangan kita, untuk
merasakan apakah terlalu panas atau tidak.
4. Setelah itu, masukkan ke mulut pasien dengan cermin diarahkan ke bawah.
5. Letakkan kaca pada palatum molle dan jangan mengenai faring (refleks muntah).
Dengan merubah arah cermin depan kita dapat melihat bayangan dari laring.
37
Inspeksi Laring
Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher
Berdiri dibelakang pasien.
Lakukanlah palpasi kelenjar getah bening leher, dengan menggunakan kedua telapak tangan
pemeriksa.
Lakukan Palpasi secara sistematis dari leher bagian atas, tengah, kemudian kebawah.
Bila terdapat pembesaran kelenjar getah bening leher, lakukan penilaian terhadap ukuran,
bentuk, konsistensi, dan perlekatan kelenjar getah bening dengan jaringan sekitarnya.
Kelenjar Getah Bening Kepala Leher
38
Contoh kasus
1. Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan telinga
berair.
2. Seorang perempuan berusia 18 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan hidung
tersumbat.
3. Seorang laki-laki berusia 56 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan suara
serak.
Referensi
Dhillon, R. & East, C. (2000) An Illustrated Colour Text Ear, Nose, and Throat Head and
Neck Sugery . 2nd ed. London: Harcourt Publishers Limited.
Dhingra, P. L. (2010) Disease of Ear, Nose, and Throat . 4th ed. New Delhi: Reed Elsevier
India Pvt. Ltd. pp. 5-9.
Donoghue GM, Bates GJ, Narula AA. In Clinical ENT. An ilustrated texbook Oxford University
Press New York; 1992:p.10-21.
Netter F. Interactive atlas of human anatomy.
Siegel LG. The head and neck history and examination. In adams GC,Boies LR, Higler.
Fundamental of Otolaryngology. 6th ed. Philadelphia. WB Saunders Co.;1998:p.13-23.
Soepardi EA. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Dalam: Soepardi, E.
A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (Editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2014. pp. 1-9.
Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga
Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (Editor). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. pp. 17-18.
39
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pengambilan Benda Asing Telinga
: Organ Khusus
:V
: Departemen Telinga Hidung Tenggorok
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: pengambilan benda asing telinga adalah prosedur/tindakan
mengambil/mengekstraksi segala jenis benda/substansi asing/corpus alienum
organik atau anorganik yang cukup kecil dan dapat masuk dalam rongga telinga.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pengambilan
benda asing telinga dengan cara yang benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai jenis benda asing telinga, anatomi dan fisiologi telinga,
cara melakukan pemeriksaan telinga, dan gambaran klinis benda asing telinga.
Alat dan Bahan
1. Lampu kepala Van Hasselt 1 set
2. Spekulum telinga 1 set
3. Pengait benda asing telinga (ekstraktor) 1 set
4. Alat penghisap (suction) 1 set
5. Forsep alligator 1 set
6. Anestesi topikal 1 set
7. Antibiotik topikal 1 set
8. Tampon 1 buah
9. Alkohol, khloroform, atau minyak mineral secukupnya
Prosedur
Untuk melihat liang telinga lebih jelas dan lebih lurus, pegang pinna dengan satu
tangan dan tarik ke belakang dan ke atas pada orang dewasa dan ditarik kebawah pada
infant.
Pada kasus-kasus benda asing yang tidak tertanam dalam liang telinga:
1. Apabila pasien tersebut anak-anak: selama prosedur, posisikan anak dalam
pangkuan orang dewasa.
2. Taruhlah alat pengait di belakang benda asing, diputar dan secara gentle kemudian
ditarik keluar.
Pada kasus benda asing berupa serangga:
1. Teteskan alkohol, khloroform, atau minyak mineral supaya serangga tidak banyak
bergerak sekaligus untuk lubrifikasi dinding kanalis.
2. Pegang serangga menggunakan forsep alligator.
3. Apabila membrana timpani intak, lakukan ekstraksi dengan irigasi menggunakan
air dengan temperature tubuh, dengan arah posterosuperior liang telinga,
sehingga air berada diantara benda asing dan dinding posterior liang telinga.
Contoh Kasus
1. Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan telinga
kemasukan serangga.
40
Referensi
11. Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 5th edition, Volume
one, Lippincott William & Wilkins, 2014.
12. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok,
kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
13. Higler PA. Penyakti Hidung. Dalam: Effendi H, ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi keenam. Philadepphia: W. B. Saunders Company. p.238-9.
14. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
15. Dhilon RS, East CA. Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, Edisi kedua.
Edinburgh: Churchil Livingstone. 1999. p.36-37.
41
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pengambilan Benda Asing Hidung
: Organ Khusus
:V
: Departemen Telinga Hidung Tenggorok
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: pengambilan benda asing hidung adalah prosedur/tindakan
mengambil/mengekstraksi segala jenis benda/substansi asing/corpus alienum
organik atau anorganik yang cukup kecil dan dapat masuk dalam rongga hidung.
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan pengambilan
benda asing hidung dengan cara yang benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai jenis benda asing hidung, anatomi dan fisiologi hidung,
cara melakukan pemeriksaan hidung, dan gambaran klinis benda asing hidung.
Alat dan Bahan
1. Lampu kepala Van Hasselt 1 set
2. Spekulum hidung Hartmann 1 set
3. Pinset bayonet (lucae) 1 set
4. Pengait benda asing hidung (ekstraktor) 1 set
5. Alat penghisap (suction) 1 set
6. Cermin faring 1 set
7. Spiritus 1 set
Prosedur
1. Persiapkan peralatan yang diperlukan.
2. Posisikan pasien duduk tegak di hadapan pemeriksa (cara duduk dan cara
memasang lampu kepala sama seperti yang sudah disampaikan sebelumnya).
3. Pangku anak-anak dengan posisi seperti dalam gambar, kepala difiksasi oleh
asisten.
4. Fokuskan lampu kepala yang telah terpasang ke lubang hidung.
5. Pasang spekulum hidung, perhatikan benda asing.
6. Benda asing anorganik: masukkan alat ekstraktor kedalam hidung, di arah
belakang benda asing anorganik, kemudian tarik perlahan kedepan melewati
lubang hidung.
7. Benda asing organik (lintah): teteskan air tembakau ke dalam lubang hidung.
Biarkan 2-5 menit. Lintah akan terlepas dari mukosa hidung, kemudian tarik
dengan pinset/aligator.
8. Bersihkan kavum nasi/suction.
9. Evaluasi kembali kavum nasi (perhatikan adanya perdarahan atau benda asing
lainnya).
42
Pengaturan posisi untuk pengambilan benda asing telinga dan hidung pada anak-anak
Contoh kasus
1. Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ibunya ke unit gawat darurat rumah
sakit dengan keluhan hidung kemasukan manik-manik.
Referensi
1.
2.
3.
4.
5.
Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 5th edition,
Volume one, Lippincott William & Wilkins, 2014.
Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan
tenggorok, kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997,
p: 338-348
Higler PA. Penyakti Hidung. Dalam: Effendi H, ed. BOIES Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi keenam. Philadepphia: W. B. Saunders Company. p.238-9.
Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery,
Elseiver Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
Dhilon RS, East CA. Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, Edisi kedua.
Edinburgh: Churchil Livingstone. 1999. p.36-37.
43
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Penghentian Perdarahan Hidung
: Organ Khusus
:V
: Departemen Telinga Hidung Tenggorok
: 4A
Deskripsi Umum
1. Overview: penghentian perdarahan hidung adalah prosedur/tindakan
menghentikan epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung yang bersifat
lokal atau sistemik, spontan atau akibat rangsangan yang terjadi karena adanya
perubahan pada mekanisme penghentian perdarahan normal di dalam hidung
(mukosa yang abnormal, kelainan pembuluh darah atau kelainan pada sistem
pembekuan darah).
2. Tujuan keterampilan ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan prosedur
penghentian perdarahan hidung dengan cara yang benar.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
pengetahuan mengenai anatomi hidung, etiologi (lokal maupun sistemik),
patogenesis, klasifikasi perdarahan hidung, cara melakukan pemeriksaan hidung,
dan gambaran klinis perdarahan hidung.
Alat dan Bahan
1. Lampu kepala Van Hasselt 1 set
2. Spekulum hidung Hartmann 1 set
3. Forsep tampon atau pinset bayonet 1 set
4. Cermin faring 1 set
5. Spiritus 1 set
6. Alat penghisap (suction) 1 set
7. Tampon anterior 1 set
8. Kassa 1 set
9. Pelumas atau salep antibakteri secukupnya
10. Masker 1 set
11. Sarung tangan 1 set
12. Plaster secukupnya
Prosedur
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian
depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, terutama pada anak, tekan cuping hidung
dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal
perdarahan, kaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya, berikan
krim antibiotik pada area tersebut. Bila dengan cara ini tidak berhasil, perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior.
1. Pegang spekulum hidung dengan cara: ibu jari pada joint , jari telunjuk diletakkan
pada dorsum hidung dan jari lainnya pada batang spekulum untuk memegang.
2. Masukkan spekulum ke nostril kiri/kanan, spekulum harus selalu terbuka dan
diarahkan ke superior dan jangan ke lantai hidung. Inspeksi akan lebih baik
dengan menekan puncak hidung.
3. Berikan anestesi topikal untuk menekan rasa tidak nyaman, risiko apnea,
bradikardi, dan hipotensi yang diakibatkan blocking the nasal-vagal reflex.
Tampon kapas yang telah diberi larutan pantocaine 1% atau lidocaine (dengan
44
atau tanpa 1-2 tetes larutan epinefrin 1 : 1.000) dipertahankan di rongga hidung
selama 3-5 menit. Evaluasi sumber perdarahan setelah tampon kapas dibuka.
4. Pasanglah tampon hidung anterior yang telah dilapisi salep antibakteri ke dalam
rongga hidung.
5. Pasang tampon dengan cara berlapis-lapis (layering) mulai dari dasar hidung ke
koana di belakang dan sampai setinggi konkha media di atas atau menggunakan
tampon yang dimasukkan kedalam sarung tangan/handscoon yang telah dioleskan
pelumas atau salep antibakteri dan dipasang dalam kavum nasi.
6. Perhatikan:
a. Tampon tidak boleh mengenai kolumela dan septum nasi, karena bagian ini
sangat mudah mengalami trauma.
b. Ujung tampon tidak boleh ada yang keluar ke orofaring ataupun terlihat di
orofaring di belakang palatum molle, hal ini dapat menyebabkan iritasi, rasa
tidak enak pada pasien dan akan berbahaya bila tampon sampai ke saluran
aerodigestive dan dapat menyebabkan komplikasi.
c. Tampon dipasang secukupnya, tidak boleh terlalu padat karena dapat
menyebabkan komplikasi.
7. Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung, pasanglah kasa
dan plaster di anterior untuk menahan tampon supaya tidak keluar. Pada
pemasangan tampon hidung bilateral, bila perlu berilah oksigen yang telah
dihumidifikasi dan penderita harus diobservasi.
8. Berilah antibiotik spektrum luas selama pemasangan tampon.
9. Pertahankan tampon hidung anterior selama 2 x 24 jam, bila setelah dilepas
epistaksis masih dijumpai, lakukan kembali pemasangan tampon hidung anterior.
10. Bila epistaksis masif, pasang infus dan transfusi sesuai indikasi, kemudian
lanjutkan dengan pemasangan tampon posterior.
Pemasangan tampon anterior
Contoh kasus
Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang ke unit gawat darurat rumah sakit dengan
keluhan hidung berdarah.
45
Referensi
1. Bailey BJ, Johnson JT, Head and Neck Surgery-Otolaryngology, 5th edition, Volume one,
Lippincott William & Wilkins, 2014.
2. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok,
kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
3. Higler PA. Penyakti Hidung. Dalam: Effendi H, ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
keenam. Philadepphia: W. B. Saunders Company. p.238-9.
4. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
5. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashirudddin J, Restuti RD. Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD.
(Ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi
ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2014. pp. 131-5.
6. Dhilon RS, East CA. Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery, Edisi kedua.
Edinburgh: Churchil Livingstone. 1999. p.36-37.
46
KETERAMPILAN KLINIS
BLOK DERMATOMUSKULOSKELETAL
47
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pengenalan instrumen Bedah Dasar Dan Teknik Simpul
Dalam penjahitan
: Dermatomuskuloskeletal
:5
: Departemen Ilmu Bedah
: IVA
Deskripsi Umum
Instrumen bedah merupakan alat-alat yang dipergunakan dalam berbagai
tindakan pembedahan. Sebelum melakukan tindakan pembedahan, seorang operator
(pelaku tindakan pembedahan), terlebih dahulu harus mengenal instrumen bedah yang
akan digunakannya, teknik menggunakan dan kegunaandari instrumen tersebut secara
benar. Pada pelatihan ini akan dibahas mengenai instrumen-instrumen yang sering
dipergunakan terutama dalam keterampilan bedah dasar dan bedah minor
Keterampilan dalam mengikat simpul bedah merupakan salah satu keterampilan
klinik dasar dalam ilmu bedah khususnya dalam teknik penjahitan luka. Agar dapat
membuat simpul bedah dengan cepat dan baik, pertama kali harus dipahami
bagaimana teknik pembuatannya dan kemudian mengembangkan keterampilan
dengan cara melatih dan mempraktikannya pada media latihan atau pada pasien bila teknik
telah dikuasai dengan baik.
Alat dan Bahan
Minor Set
Manekin hecting
Prosedur
1. Teknik Memegang Gunting: Posisi memegang gunting yang benar adalah ibu jari dan jari
manis dimasukkan ke dalam lubang gunting, jari tengah diletakkan di depan jari manis
danjari telunjuk diletakkan pada bidang gunting sehingga gunting dapat dikendalikan
dengan baik
Gambar1. Berbagai jenis gunting
48
2. Teknik Memegang pinset: Pinset dipegang diantara ibujari, jari tengah dan jari telunjuk.
Selama operasi lebih sering dipegang dengan tangan kiri untuk memegang
jaringan yang akan dipotong dengan tangan kanan memegang gunting atau skapel
Gambar 2. Teknik memegang gunting dan pinset
3. Klem: umumnya digunakan sebagai alat penjepit organ atau jaringan tubuh. Cara
memegang klem sama dengan cara memegang gunting
Gambar 3. Klem hemostatis lurus Gambar 4. Klem Kocher
Gambar 5. Klem kocher
4. Needle Holder: memiliki kegunaan sebagai pemegang jarum jahit dan penyimpul
benang. Posisi memegang needle holder yang benar sama seperti cara memegang
gunting bedah
49
Gambar 6. Needle Holder
5. Pisau Bedah: instrumen ini terdiri dari dua bagian yaitu gagang dan mata pisau. Tangkai
pisau dipegang antara ibu jari,jari ketiga dan jari keempat, sedangkan jari telunjuk
diletakkan di punggung pisau sebagai kendali
Gambar 7. Pisau bedah (gagang dan matapisau)
6. Retraktor Luka : dipergunakan untuk menguakkan luka
50
Gambar 8. Retractor Langenback
Gambar 9. Retraktor Volkman
7. Jarum Jahit: jenis yang berpenampang bulat seperti taper dan blunt digunakan untuk
menjahit otot atau organ dalam tubuh, sedangkan yang berpenampang segitiga (reverse
dan conventional cutting) digunakan untuk menjahit kulit. Jarum jahit dijepit pada
needle holder kira- kira 1/3 dari pangkalnya dan ditusukkan pada tepi luka (3-4mm dari
tepi luka).
Gambar 10. Berbagai bentuk jarum jahit
51
Gambar 11. Cara memegang jarum jahit pada needle holder
8.
Benang jahit: terdiri dari 2 jenis secara umum yaitu absorbable dan non absorbable
Gambar 12. Benang Kromik Catgut (absorbable) Gambar13. Benang Silk (non absorbable)
9. Korentang: dipergunakan untuk mengambil instrumen steril, mengambil kasa, doek dan
laken steril. Cara memegang korentang sama seperti memegang gunting atau
pemegang jarum
52
Gambar 14. Korentang
10. Teknik simpul:









Ujung benang yang pendek dapat ditarik hingga cukup pendek, kemudian buatlah
ikal (loop) dari ujung benang yang panjang di sekeliling instrumen.
Benang dililitkan dengan posisi instrumen berada didepan benang.
Pegang ujung benang yang pendek dengan instrumen yang telah dililit benang.
Tariklah ujung benang yang pendek melalui ikal(loop), dengan ujung benang
yang pendek ke arah Anda, dan ujung benang yang panjang menjauh.
Eratkan benang dengan tarikan sehingga simpul pertama terbentuk.
Mulailah membuat ikatan(simpul) kedua dengan melilitkan lagi ujung benang yang
panjang pada instrumen, tetapi kali ini dilakukan dengan arah yang berlawanan.
Posisi instrumen di belakang ujung benang yang panjang.
Setelah terbentuk ikal(loop) disekitar instrumen, peganglah ujung benang yang
pendek dengan instrumen, dan tariklah ujung benang yang pendek melewati
ikal(loop) tersebut.
Setelah ujung benang, yang pendek ditarik melalui ikal (loop) ,aturlah ujung
benang tersebut pada tempatnya, tariklah ujung benang yang pendek sehingga
menjauhi, sedangkan ujung benang yang panjang mengarah pada Anda.
Eratkan benang dengan tarikan sehingga simpul kedua terbentuk
53
Gambar 15. Teknik Penjahitan Simpul dengan Instrumen
Contoh Kasus
Seorang laki-laki datang dengan luka sayat pada lengan kanan
54
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Eksisi Tumor
: Dermatomuskuloskeletal
:5
: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
: IVA
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Eksisi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan di bagian kulit.
Tujuan dari bedah eksisi adalah untuk membuang lesi dengan batas yang tepat dan
memberikan hasil kosmetik yang terbaik
Tujuan keterampilan ini dipelajari agar mahasiswa mampu melakukan tindakan
bedah eksisi pada penyakit tumor/kutil
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai bedah eksisi serta bagaimana cara melakukannya
Alat dan Bahan
1. Tempat tidur pasien
1 unit
2. Masker, hanskun, baju dan topi operasi, duk steril
1 unit
3. Surgical pen marker atau gentian violet
1 unit
4. Kapas alkohol 70%
5. Povidon iodine 10%
6. Spuit 3 cc, lidokain 2%
1 unit
7. Skalpel no 15 atau no 10, blade no 3 atau no 7
1 unit
8. Jarum ¾ circle cutting
1 unit
9. Benang non absorbable (polypropylene atau silk)
1 unit
a. wajah
: 5.0 bisa 6.0
b. Ekstrimitas badan: 4.0 atau 3.0
c. Telapak kaki tangan: 3.0 atau 2.0
10. Needle holder
1 unit
11. Pinset
1 unit
12. Gunting
1 unit
13. Tabung formalin berisi formalin 10% yang sudah diberi identitas pasien
unit
14. Normal saline
1
Prosedur
1. Menyapa pasien dengan ramah dan memperkenalkan diri
2. Memberikan penjelasan tentang tujuan, prosedur, dan efek samping tindakan
3. Meminta pasien mengisi dan menandatangani informed consent
4. Melakukan pemotretan sebelum tindakan
5. Meminta pasien duduk dan melakukan kembali evaluasi pada lesi
6. Mempersilahkan pasien tidur telentang
7. Gunakan masker, cuci tangan dan pasang hanskun, memakain baju operasi dibantu
asisten.
8. Desinfeksi dengan povidon iodin 10% dengan cara sentrifugal (melingkar dari
dalam keluar lesi), dilanjutkan alkohol 70% dengan cara yang sama.
9. Ditutup dengan duk steril yang sesuai dengan ukuran lesi
55
10. Skin marking, menggambar elips/fusiform dengan menggunakan gentian violet
atau surgical pen steril. Jika lesi jinak seperti nevus, ditambah jarak yang
mengelilingi lesi/perilesi 1-2 mm, jika lesi ganas ditambah 4-5 mm. kemudian
dibuat gambar elips/fusiform dengan perbandingan 1:3 (distensi/tingkat regang
tinggi) atau 1:4 (distensi rendah), sehingga akan membentuk sudut 60 derajat
pada sudut lesi
11. Melakukan anastesi dengan menyuntikan lidokain 2% sampai subkutis lalu
aspirasi terlebih dahulu untuk menghindari menyuntik obat ke pembuluh darah.
Infiltrasi obat sambil mengeluarkan jarum sampai seluruh area teranestesi, sampai
kulit terlihat agak pucat. Dilakukan juga di sisi lain skin mark dengan metode 2
sudut (jika lesi besar). Ditunggu kurang lebih 10-15 menit, lalu lakukan tes baal
dengan menjempit lesi dengan menggunakan pinset/forceps.
12. Jika sdh pasti teranastesi. Siapkan alat, ambil blade no 3 dan scalpel no 15
kemudian dipasang. Pilih jarum ¾ circle cutting dan benang non absorbable
(polypropylene atau silk dll), siapkan neddle holder, pinset, gunting tabung
formalin atau buffer formalin 10% yang sudah diberi identitas pasien. Needle
hodler menjepit jarum pada ⅓ pangkal.
13. Pegang blade holder seperti memegang pena, dengan kelingking sebagai fiksasi.
Tangan kiri/kontralateral meregangkan garis elips berlawanan rstl/skin mark
agar tidak terjadi cross hatching.
14. Lakukan insisi dari ujung elips dengan mata pisau menusuk dengan sudut 90
derajat, kemudian diinsisi dan ketika sampai ditengah elips sudut mata pisau 45
derajat, kemudian kembali 90 derajat sampai diujung elips. Lakukan hal yang sama
pada sisi elips yang lain sampai terpotong seluruh lesi elips.
15. Diseksi dengan menggunakan scalpel/gunting tajam dengan bantuan pinset
dengan kedalaman yang sama kurang lebih sampai subkutis dan sampai seluruh
jaringan terlepas.
16. Coba dekatkan kedua sisi panjang irisan, apabila ada tahanan yang kuat, lakukan
undermining
17. Jaringan ditaruh di kasa dan dibersihkan dari darah dengan normal salin,
kemudian dimasukkan dalam botol formalin/buffer formalin 10% dengan
perbandingan 1:10 sampai seluruh lesi terendam.
18. Amati adanya perdarahan, jika ada:
 Dab dengan kasa steril,, jika masih ada perdarahan
 Beri cairan hemostat (AlCl 20-40% / nitras argentin 50% / ferri sulfat), jika
masih ada perdarahan
 Kauter dengan cara elektrokoagulasi, jika masih ada perdarahan
 Ligase arteri
19. Jika perdarahan sudah teratasi, coba satukan kedua tepi luka, jika ada regangan
lakukan undermining di subkutis dengan ujung tumpul gunting undermine, di
semua area sampai sdh tidak distent/tegang.
20. Jahit dari tepi elips dengan jarum masuk 90% dari garis luka, sekitar 0,5 cm dari
tepi luka. Penjahitan dengan simple interrupted suture dengan simpul di tepi luka.
Lakukan jahitan dengan cara yang sama di tepi kontralateral sampai luka tertutup
dengan simpul di tepi luka di sisi yang sama dengan jahitan sebelumnya.
21. Bersihkan luka yang sudah terjahit dengan normal salin.
22. Buka duk steril
23. Oleskan krim antibiotik secara tebal untk mencegah masuknya air pada luka.
24. Tutup dengan kasa tebal untuk menghindari benturan dan tutup dengan plester
hipoalergenik
25. Kontrol 1 hari untk melihat adanya komplikasi perdarahan
56
26. Kontrol untuk angkat jahitan wajah 5-7 hari, ekstrimitas 10-14 hari, telapak
tangan kaki 14-21 hari
Contoh kasus:
Seorang pasien laki-laki umur 62
tahun
datang
berobat
ke
poliklinik kulit dengan keluhan adanya tukak di hidung kiri yang bertambah besar dan
mudah berdarah sejak 1 tahun yang lalu. Sebelumnya tukak tersebut berasal dari tahilalat.
Pekerjan pasien adalah bertani dari jam 8.00 sampai jam 17.00. Kemudian tahilalat tersebut
luka dan berdarah dan kalau kesenggol tahilalat tersebut mudah berdarah. Sudah berobat
ke Puskesmas tetapi tidak sembuh.
57
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Insisi Abses dan Drainase Abses
: Dermatomuskuloskeletal
:5
: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
:
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
4.
Abses adalah pengumpulan eksudat purulen yang terjebak di dalam jaringan yang
kemudian membentuk rongga yang secara anatomis sebelumnya tidak ada, dengan
jaringan fibrotic disekitarnya sebagai respon tubuh terhadap adanya infeksi
Insisi merupakan tindakan bedah yang paling sering dilakukan di bagian kulit.
Tujuan dari bedah eksisi adalah untuk membuang lesi dengan batas yang tepat dan
memberikan hasil kosmetik yang terbaik
Tujuan keterampilan ini dipelajari agar mahasiswa mampu melakukan tindakan
bedah eksisi pada penyakit tumor/kutil
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai bedah eksisi serta bagaimana cara melakukannya
Alat dan Bahan
1. Tempat tidur pasien
2. Masker, hanskun, baju dan topi operasi, duk steril
3. Kapas alkohol 70%
4. Povidon iodine 10%
5. Spuit 3 cc, lidokain 2% atau chlor ethyl
6. Skalpel no 15 atau no 10, blade no 3 atau no 7
7. Kassa steril
8. Pinset, gunting, klem, neerbeken
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
Prosedur
1. Menyapa pasien dengan ramah dan memperkenalkan diri
2. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien
3. Meminta pasien menandatangani informed consent
4. Mempersilahkan pasien berbaring
5. Mempersiapkan alat – alat dan bahan yang diperlukan
6. Gunakan masker, cuci tangan dan pasang hanskun, memakain baju operasi dibantu
asisten.
7. Desinfeksi dengan povidon iodin 10% dengan cara sentrifugal (melingkar dari
dalam keluar lesi), dilanjutkan alkohol 70% dengan cara yang sama.
8. Ditutup dengan duk steril yang sesuai dengan ukuran lesi
9. Melakukan anastesi dengan menyemprotkan chlor ethyl atau menyuntikan
lidokain 2%
10. Jika sdh pasti teranastesi. Siapkan kassa dan neer beken untuk menampung
eksudat
11. Ambil scalpel no 15 dan blade no 3 kemudian dipasang, pinset, klem, gunting
12. Pegang blade holder seperti memegang pena, dengan kelingking sebagai fiksasi.
Tangan kiri/kontralateral meregangkan garis elips berlawanan rstl/skin mark
agar tidak terjadi cross hatching.
13. Lakukan insisi abses dengan mata pisau menusuk dengan sudut 90 derajat,
lebarkan dengan klem
58
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Tekan sampai pus/eksudat minimal
Lakukan debridement jaringan nekrotik dengan kuret atau kassa
Irigasi dengan NaCl 0,9% sampai jernih
Bilas dengan H2O2
Cuci dengan antiseptic povidone iodine chlorhexidine, dll
Jika kemungkinan eksudat masih ada atau diperkirakan masih produktif sebaiknya
dipasang drain (dengan penroos drain atau potongan karet hanskun steril)
20. Rawat sebagai luka terbuka dan tidak dijahit
Gambar abses pada kulit
Gambar Teknik Insisi Abses
Contoh Kasus
Seorang pasien pria datang dengan benjolan merah disertai nanah, terasa nyeri dan panas
pada paha sebelah kanan.
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
: Ekstraksi Kuku
: Dermatomuskuloskeletal
:5
: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
59
Tingkat Keterampilan
: IVA
Deskripsi Umum
1. Ekstraksi kuku (Rosser Plasty) adalah tindakan pengangkatan sebagian atau
seluruh kuku jari tangan ataupun kaki yang dilakukan untuk mengobati infeksi
kuku yang berat, biasa karena jamur atau pada kuku yang tumbuh kedalam
(ingrown toe nail) berikut matriks tunasnya, dilanjutkan reposisi jaringan lunak
tepi kuku
2. Tujuan keterampilan ini dipelajari agar mahasiswa mampu melakukan tindakan
ekstraksi kuku pada infeksi atau penyakit pada kuku
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai ekstraksi kuku serta bagaimana cara melakukannya
Alat dan Bahan
1. Klem/forceps
2. Gunting kecil tajam
3. Neer beken
4. Kassa steril
5. Povidone iodine 10%
6. Spuit 3 cc
7. Lidocain 2%
8. Sarung tangan steril
9. Verban gulung
10. Plester
11. Salep antibiotik
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 pasang
Prosedur
1. Gunakan masker, cuci tangan dan pasang hanskun
2. Desinfeksi dengan povidon iodin 10% dengan cara sentrifugal (melingkar dari
dalam keluar lesi)
3. Melakukan anastesi dengan menyuntikan lidokain 2% secara blok pada bagian
kuku yang akan diektraksi. Pastikan pasien merasa baal (mati rasa)
4. Angkat kuku dengan menggunakan klem dari tepi kiri ke kanan atau arah
sebaliknya
5. Bersihkan bagian atas jari yang kukunya telah diangkat, perlahan – lahan dengan
menggunakan kassa steril
6. Olesi salep antibiotika diatas permukaan tersebut, kemudian tempelkan kassa
steril yang sudah diberi povidone iodine. Balut daerah kuku dengan menggunakan
verban gulung
60
Gambar: a, Ekstraksi kuku distal dengan paronikia kronis disertai fibrosis nail fold
proksimal and distrofi nail plate. Nail plate diekstraksi disertai eksisi pada nail fold
proksimal. B. Nail fold lateral dibebaskan c. Penarikan nail plate dari nail bed dengan
menggerakkan kuku kearah lateral. D. vaskularisasi nail bed setelah pemisahan dengan
nail plate
Contoh Kasus
Seorang perempuan datang dengan bengkak pada pinggir kuku ibu jari tangan kanan
disertai rasa nyeri.
61
Referensi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Zuber TJ. Fusiform excision. Am Fam Physician. 2003 Apr 1. 67(7):1539-44, 15478, 1550
Usatine RP, Moy RL, Tobinick EL, eds. Elliptical excision. Skin Surgery. Mosby: A
Practical Guide. St. Louis, Mo; 1998. 120-36
Barclay L. IDSA: skin and soft tissue infections guidelines updated. Medscape
Medical News. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/827399.
Accessed: June 26, 2014
[Guideline] Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, et al. Practice guidelines for the
diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update by the
infectious diseases society of america. Clin Infect Dis. 2014 Jul 15. 59(2):e10-52
Sinha SN. Wound debridement: doing and teaching. Primary Intention. 2007 Nov.
15:162-4
Haneke E. Surgical anatomy of the nail apparatus. Dermatol Clin. 2006 Jul.
24(3):291-6
Tos P, Titolo P, Chirila NL, Catalano F, Artiaco S. Surgical treatment of acute
fingernail injuries. J Orthop Traumatol. 2011
62
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Anamnesis Penyakit Kulit
: Dermatomuskuloskeletal
:V
: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
: IVA
Deskripsi Umum
1. Anamnesis adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu
percakapan antara seorang dokter dengan pasiennya secara langsung ataupun
tidak langsung dengan orang lain yang mengetahui tentang kondisi pasien, untuk
mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya.
2. Tujuan anamnesis penyakit kulit dan kelamin adalah memperoleh data informasi
tentang permasalahannya berkaitan dengan kelainan kulit pada pasien yang
secara umum anamnesis ini dapat membantu menegakkan diagnosis sekitar 6070%
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar, kelainan dasar penyakit kulit dan kelamin.
AlatdanBahan
1. Kursi dokter
2. Kursi pasien dan pedamping pasien
1 unit
1 unit
Prosedur
1. Persilahkan pasien duduk untuk dilakukan anmnesis, dan peroleh data umum
pasien: nama, jenis kelamin, umur, alamat pekerjaan, status perkawinan, agama,
suku, pekerjaan, dan kegemaran.
2. Anamnesis dapat diperoleh dari penderita sendiri (autoanamnesis) dan/atau
pengantarnya (alo-anamnesis), terdiri dari:
 Keluhan utama: keluhan yang menyebabkan penderita datang berobat, terdiri
dari keluhan objektif (ruam), keluhan subjektif (rasa), lokasi ruam yang
dijabarkan dengan bahasa awam
Contoh: bercak merah disertai rasa gatal di tangan kanan sudah 3 hari
Keluhan objektif adalah keluhan yang saat ini terlihat nyata pada tubuh
pasien dengan bahasa yang digunakan oleh pasien
Persamaan lesi/ruam kulit harus sesuai kriteria Domonkos dan dilihat
mana yang dominan. Misalnya pada pasien herpes zoster yang terlihat
vesikel, dalam bahasa pasien pada kriteria Domonkos ditulis gelembung
berisi cairan.
o Bintil (papul, vegetasi, komedo)
o Bercak (makula, purpura)
o Bentol (urtika)
o Benjolan/tumor (nodul, tumor,kista)
o Gelembung berisi cairan (vesikel, bulla)
o Gelembung berisi nanah (pustula)
o Bisul (abses)
o Sisik (skuama)
o Keropeng (krusta)
o Lecet (erosi, ekskoriasi)
o Borok (ulkus)
63
Keluhan subjektif adalah keluhan yang dirasakan oleh pasien. Terdapat
dalam kriteria Domonkos, misalnya rasa gatal, rasa panas, rasa dingin,
rasa sakit, dan lain – lain
o Gatal (paling sering)
o Panas (rasa terbakar)
o Dingin (rasa geli)
o Mencucuk
o Menyengat
o Menjalar : sakit/nyeri/denyut
o Kebas/kesemutan
o Kurang/tidak berasa
 Keluhan tambahan: terkadang diperlukan
Contoh: pada penyakit kulit yang disebabkan infeksi bakteri/virus adakah
demam yang menyertai
-
3. Riwayat Perjalanan Penyakit  berdasarkan OLD CARTS
Uraian tentang lama penyakit, bentuk mula-mula, lokasi ruam berturut-turut,
perkembangan/perjalanan penyakit, karakteristik penyakit, faktor yang
memperberat, hubungannya dengan iklim, makanan, penyakit sistemik, obat obatan yang dimakan atau dipakai, sudah diobati atau belum
4. Riwayat kebiasaan : mencakup kebiasaan merokok, alkohol, narkoba, atau seks
bebas
5. Riwayat penyakit keluarga: dokter menanyakan penyakit yang diderita keluarga
(faktor keturunan) seperti psoriasis vulgaris, vitiligo, alopesia. Ataupun keluarga
sebagai sumber penularan.
Bila ada keluarga yang meninggal dunia juga ditanyakan penyebabnya
6. Riwayat penyakit terdahulu: penyakit kulit yang mungkin berulang atau penyakit
lain yang ada hubungan
7. Anamnesis sosial ekonomi: tanyakan keadaan keluarga mengenai keuangan,
keadaan lingkungan rumah
8. Anamnesis gizi: tanyakan tentang kebiasaan makan/napsu makan, penurunan
berat badan dan jenis makanan yang dikonsumsi.
Contoh Soal:
Seorang perempuan, 35 tahun, datang dengan keluhan bercak merah disertai sisi,
terasa gatal pada selangkangan. Lakukan anamnesis yang lengkap terhadap pasien ini.
64
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Penyiapan dan penilaian sediaan Kalium Hidroksida (KOH)
: Dermatomuskuloskeletal
:V
: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
: IVA
Deskripsi Umum
1. Pemeriksaan KOH adalah pemeriksaan langsung sediaan basah dengan
menambahkan 1 – 2 tetes larutan KOH, kemudian diperiksa dibawah mikroskop.
Tujuan pemeriksaan KOH adalah sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosis
penyakit yang disebabkan oleh jamur dengan ditemukannya hifa atau spora pada
pemeriksaan menggunakan mikroskop
2. Tujuan pembelajaran ini agar mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan
serta indikasi dilakukannya pemeriksaan KOH
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai pemeriksaan KOH.
Alat dan Bahan
1. Kursi dokter
2. Kursi pasien
3. Mikroskop
4. Larutan KOH 10% dan 20%
5. Lampu Bunsen
6. Objek glass dan kaca penutup
7. Kapas alkohol 70%
8. Blade dan scalpel
9. Pinset
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
1 unit
Prosedur
1.
2.
3.
Jenis larutan KOH:
a. KOH 10 %
Konsentrasi karutan KOH 10% biasa digunakan untuk memeriksa
ada/tidaknya penyakit jamur pada kulit
b. KOH 20%
Konsentrasi karutan KOH 10% biasa digunakan untuk memeriksa
ada/tidaknya penyakit jamur pada kuku dan rambut
Lokasi
a. Kulit: bagian tepi kulit yang mengalami kelainan
b. Kuku: kuku yang mengalami penebalan
c. Rambut:
i. Rambut rapuh dan berwarna agak pucat
ii. Pada rambut terdapat benjolan
iii. Daerah sekitar rambut yang mengalami kelainan kulit
Cara Pengambilan Sampel
a. Kerokan Kulit
Bersihkan kulit yang akan diperiksa terlebih dahulu dengan kapas alkohol
70% untuk menghilangkan debu, lemak dan kotoran lainnya. Kemudian
dikerok dengan scalpel dengan arah dari atas ke bawah (memegang scalpel
65
4.
5.
6.
harus miring membentuk sudut 450 ke atas). Letakkan hasil kerokan diatas
objek glass.
b. Kerokan/guntingan kuku
Bersihkan kuku yang mengalami kelainan dengan kapas alkohol. Kemudian
dikerok pada bagian permukaan dan bawah kuku yang sakit, bila perlu kuku
digunting. Letakkan diatas objek glass.
c. Rambut
Cabut rambut pada daerah yang terdapat kelainan dengan menggunakan
pinset. Letakkan pada objek glass.
Cara pembuatan sediaan
a. Teteskan 1 – 2 larutan KOH 10 – 20% pada kaca objek yang telah berisi
kerokan kulit/guntingan kuku/rambut
b. Tutup dengan kaca penutup
c. Biarkan +/- 15 menit atau hangatkan diatas api bunsen selama beberapa detik
untuk mempercepat proses lisis
Cara pemeriksaan
a. Periksa sediaan dibawah mikroskop. Mula – mula dengan pembesaran objektif
10x, kemudian dengan pembesaran 40x untuk mencari adanya hifa atau spora
tergantung jamur yang menyebabkan penyakitnya, contohnya:
i. Terlihat gambaran hifa sebagai dua garis sejajar terbagi oleh sekat dan
bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada dermatofitosis
Hasil
 Positif
: bila ditemukan adanya hifa atau spora
 Negatif
: bila tidak ditemukan adanya hifa dan spora
 Hifa tampak sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang.
 Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar
(makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam
rambut (endotriks). Terkadang hifa dapat juga terlihat pada sediaan rambut.
Gambar 1 Pengambilan specimen berupa kerokan kulit dan penetesan KOH pada gelas
objek
66
Gambar 2 Tampak hifa panjang yang bersepta disertai spora pada gambaran mikroskopis
Contohkasus:
Seorang pasien peria, 45 tahun, dengan keluhan kuku berwarna kusam, mudah pecah pada
kuku jari manis dan kelingking kaki kanan dan kiri.
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Skin Slit Smear
: Dermatomuskuloskeletal
:V
: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
: 4A
Deskripsi Umum
1. Pemeriksaan skin slit smear adalah pemeriksaan menggunakan sampel apusan
kulit dengan pewarnaan yang digunakan untuk mengukur jumlah Bakteri Tahan
Asam (BTA) yang penting dalam menentukan tipe dan keparahan kusta serta
untuk menilai respon dari pengobatan dan jika terjadi relaps.
2. Tujuan pembelajaran ini agar mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan skin
slit smear, indikasi dan tujuan dilakukannya pemeriksaan.
3. Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai pemeriksaan skin slit smear.
Alat dan Bahan
1. Kursi dokter
2. Kursi pasien
3. Sarung tangan
4. Lampu Bunsen
5. Objek glass dan kaca penutup
6. Kapas alkohol 70%
7. Blade no 15 dan scalpel no 3
1 unit
1 unit
1 pasang
1 unit
1 unit
1 unit
Bahan Pewarnaan:
 Larutan carbol fuchsin 1%
 Asam alkohol 1% atau asam sulfat
 Larutan methylen blue 0,2%
 Pipet tetes
1 unit
 Rak gelas objek
1 unit
 Kertas tisu
Prosedur
67
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Lokasi
 Lobus telinga
 Lesi kusta yang aktif (kemerahan dan menebal), biasa di pinggir lesi
Cara Pembuatan Apusan Kulit
 Persilahkan pasien duduk dengan tenang
 Cuci tangan dan memakai sarung tangan
 Membersihkan tepi lobus telinga (lesi infiltrat) dengan kapas alkohol
70% sampai mengering.
 Menjepit lobus telinga dengan erat dengan menggunakan jempol dan
telunjuk sampai kulit menjadi pucat.
 Dengan menggunakan blade melakukan pembuatan insisi :
Panjang sayatan ± 5 mm.
Dalam 2-3 mm (sampai dermis).
Memutar pisau scalpel 90° dan mempertahankan pada sudut yang
tepat pada daerah insisi.
Arah sayatan dari atas ke bawah sampai didapat bubur jaringan.
 Pada saat pengambilan specimen, hindari terjadinya perdarahan, karena
mengganggu pewarnaan dan pembacaan.
 Membuat apusan ke atas object glass dalam bentuk lingkaran dengan
diameter 8 mm, pada sisi yang sama dengan letak identitas. Satu object
glass bisa untuk 2-3 apusan.
 Jika terjadi perdarahan bersihkan dengan kapas alkohol 70%.
 Tutup luka.
 Lewatkan spesimen di api Bunsen untuk fiksasi sebelum pewarnaan.
Cara Pewarnaan:
 Teteskan larutan carbol fuchsin 1% sampai menutup seluruh kaca objek
 Panaskan diatas lampu bunsen sampai carbol fuchsin menguap
 Ulangi langkah diatas sebanyak 3 kali setiap 5 menit. Pastikan jangan
sampai mendidih. Jika pewarnaan kering, tambahkan reagen dan
panaskan lagi
 Cuci perlahan dibawah keran, bilas sampai air cucian tidak bewarna,
meskipun apusan berwarna merah gelap
Dekolorisasi
 Tetesi kaca objek dengan alkohol selama 10 detik. Bisa juga menggunakan
asam sulfat selama 10 menit
 Bilas perlahan dengan air
Counter staining
 Tetesi kaca objek dengan methylen blue 0,2% selama 1 menit
 Bilas dengan air, biarkan slide kering di rak pengeringan dengan posisi
miring, dengan sisi apusan menghadap ke bawah
 Slide siap untuk dibaca
Pembacaan
 Letakkan slide dibawah mikroskop dengan apusan menghadap keatas
 Gunakan pembesaran 10x, kemudian pembesaran 100x
68
Gambar. Lihat jumlah bakteri tahan asam, dengan gambaran batang merah dengan latar
belakang biru. Dapat berbentuk lurus atau melengkung, dan warna merah dapat tersebar
merata (basil solid) maupun tidak merata (basil fragmented dan granulated). Gumpalan
basil disebut globi. Basil solid dapat menunjukan organism yang hidup dan dijumpai pada
kasus baru, yang belum diterapi atau kasus relaps.
7.
Hasil
Contoh Kasus:
Seorang pasien pria dengan kelluhan bercak mati rasa pada tangan dan kaki. Daun telinga
terasa menebal.
Referensi:
1.
2.
3.
4.
5.
Yosi A. Pembuatan Status Penyakit Kulit dan Kelamin. Departemen IK Kulit dan
Kelamin FK Universitas Sumatera Utara. Medan.
Budimulja U. Mikosis; Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. FK Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007
Gupta P. Mycology. B.J Medical College, Ahmedabad, India. 2012
Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Fungal diseases. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV, eds. Dermatology. 3rd ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2012:chap
77
Health Resources and Services Administration. Preparation and Examination of Skin
Slit Smear. US Departement of Health and Human Services. Available at:
https://www.hrsa.gov/hansensdisease/diagnosis/skinsmears.html
69
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pembacaan foto fraktur (tulang panjang, vertebra,
cranium)
: Dermatomuskuloskeletal
: V
: Departemen Ilmu Bedah
: 4A
DeskripsiUmum
1. Pemeriksaan Rontgen tulang dapat memberi informasi :
Lesi tulang & jaringan Lunak sekitarnya
Adanya fraktur/ancaman fraktur patologis
Asal/Sifat suatu lesi(jinak/ganas)
Sebagai guide untuk biopsi
2. Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang, kartilago atau keduanya, dan disertai
kerusakan jaringan lunak. Fraktur dapat terbuka atau tertutup
3. Fraktur terdiri dari beberapa tipe, yaitu:
Fraktur transversal
Fraktur oblique/spiral/screw
Fraktur kominutif  lebih dari 2 fragmen
Fraktur avulsi
Fraktur green stick (pada anak-anak)
Fraktur kompressi  vertebra
Fraktur impressi  tengkorak
Fraktur linier
Fraktur kompresi
4.
5.
Tujuan pembelajaran ini adalah agar mahasiswa:
1. Dapat mengetahui kriteria hasil foto rontgen yang baik
2. Dapat menilai hasil pemeriksaan rontgen fraktur tulang panjang
3. Dapat menilai hasil pemeriksaan rontgen fraktur tulang vertebra
4. Dapat menilai hasil pemeriksaan rontgen fraktur tulang cranium
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar, anatomi dinding toraks, pemeriksaan fisik torak.
AlatdanBahan
1. Illuminator
2. Foto rontgen
3. Penggaris
4. Meja dan kursi
70
Prosedur
1. Penilaian Kondisi Foto Rontgen Fraktur Tulang.
2. Persiapan pembacaan
a. Hidupkan iluminator.
b. Letakkan foto rontgen pada iluminator, dengan sisi kanan foto berada di sisi
kiri pembaca
c. Pastikan posisi foto tepat, atau sesuai dengan posisi anatomis (meletakkannya
jangan sampai terbalik-balik)
3. Pembacaan Foto Rontgen Fraktur Tulang Panjang
a. Penilaian kondisi foto
a. Identitas pasien harus tertera jelas, nama, umur, dan jenis kelamin.
b. Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan.
c. Tanda kiri dan kanan harus dicantumkan.
d. Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan.
e. Pastikan foto rontgen memenuhi rule of two , yaitu:
- Two Views : buatlah dua foto dengan dua proyeksi, misalnya A.P dengan
lateral, atau oblik.
Bila keadaan pasien tidak memungkinkan, buatlah dua foto dengan proyeksi
tegak lurus satu sama lain.
- Two Joints :
Persendian proksimal, dan distal pada bagian tulang yang mengalami
fraktur harus terlihat.
Persendian terdekat dengan daerah fraktur juga harus terfoto.
- Two Limbs :
Anggota gerak yang sehat, juga dapat dibuat fotonya, sebagai perbandingan.
Misalnya epifise immatur pada anak-anak, yang dapat membingungkan
diagnosis fraktur, sehingga perlu dibuat foto anggota gerak yang sehat.
- Two Injuries :
Pembuatan foto rontgen pada bagian tubuh lainnya, untuk melihat ada
tidaknya cedera pada bagian tubuh lainnya.
Misalnya pada fraktur femur, perlu dibuat foto rontgen pada tulang
belakang, atau pada pelvis.
- Two Occasions :
Pembuatan foto rontgen ulangan beberapa minggu setelah trauma untuk
menunjukkan lesi yang tidak terlihat jelas setelah trauma.
b. Pembacaan Foto Rontgen Fraktur Tulang Panjang
 Letak (site)
Identifikasi tulang yang sedang diamati, misalnya tulang tibia, atau femur
Tentukan tulang berada di sebelah dekstra atau sinistra
Amatilah apakah terlihat garis patahan (fracture line)
Jika terlihat garis patahan (fracture line) tentukan bagian tulang dimana
terdapat fracture line.
Jika fracture line terdapat di bone shaft (batang tulang) tulang panjang
biasanya dibagi atas tiga bagian: yaitu apakah pada 1/3 proksimal, 1/3
medial, atau 1/3 distal
71
Foto Tulang Tibia-Fibula Kanan Proyeksi AP–Lat
tengah (b). 1/3 distal (c)

-
-
Tipe
Fraktur Komplit :
Bila garis patahan melalui seluruh penampang tulang, atau melalui kedua sisi
korteks tulang, seperti yang terlihat pada foto. Disebabkan rudapaksa
berkekuatan tinggi
Fraktur Inkomplit :
Bila garis patahan (fracture line), tidak melalui seluruh penampang tulang
(periosteum intak), contoh: fraktur greenstick : garis patahan mengenai salah
satu korteks tulang dengan angulasi korteks lainnya dan fraktur hairline :
garis patahan tampak halus seperti rambut (fraktur retak rambut).
Gambar Fraktur Greenstick

Gambar. Fraktur 1/3 Proksimal (a), 1/3
Gambar Fraktur Hairline
Konfigurasi (configuration)
Bila fraktur bertipe komplit, tentukan :
- Bentuk garis patahan, misalnya :
o Melintang, karena trauma langsung
o Oblik (serong), karena trauma angulasi
o Spiral, karena trauma rotasi
- Jumlah garis patahan :
o Fraktur kominutif (garis patah > satu, dan saling berhubungan)
o Fraktur segmental (garis patah > satu, tetapi tidak saling berhubungan)
o Fraktur multipel (garis patah > satu, terjadi pada tulang-tulang yang
berlainan
72
Bentuk & Jumlah Garis Patah Fraktur Tulang
Garis patah melintang
Fraktur kominutif

-
Garis patah spiral
Garis patah oblik
Fraktur segmental
Fraktur segmental dan multipel
Hubungan antar fragmen tulang yang mengalami fraktur
Undisplaced (tidak bergeser) :
o Garis patah komplit, tetapi fragmen tulang tidak bergeser
Displaced (bergeser)
o Terjadi pergeseran fragmen tulang terhadap fragmen tulang lainnya
(ralat buku panduan)
o Tipenya : translasi, angulasi, rotasi, length (saling menjauhi, overlapping)
73
Displaced tipe overlapping

-
Displaced tipe angulasi
Hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
Fraktur Tertutup (closed fracture) : tidak terdapat hubungan fragmen fraktur
dengan dunia luar
Fraktur Terbuka (open/compound fracture) : terdapat hubungan fragmen
fraktur dengan dunia luar. Klasifikasi Menurut R. Gustillo :
o Derajat satu
o Derajat dua
o Derajat tiga
Fraktur femur kanan 1/3 distal spiral Fraktur tibia kanan 1/3 tengah Fraktur fibula kanan 1/3
displaced tertutup
oblik displaced tertutup + fraktur
distal oblik
fibula kanan 1/3 tengah oblik
displaced tertutup
74
Fraktur femur kanan 1/3 proksimal
kominutif displaced tertutup
4.
Fraktur radius kanan 1/3 distal oblik displaced tertutup
+ dislokasi sendi radius ulna distal (fraktur Galeazzi)
Pembacaan Foto Rontgen Tulang Vertebra
Gambar Radiologi Vertebra
a.
Vertebra Cervicalis
Posisi:
 Anteroposterior view
 Lateral view
 Open mouth (odontoid) view
 Oblique view
Anteroposterior view
Lateral view
75
Radiologi gambaran anatomi – lateral view
lateral view
b.
Foto cervical AP view
Foto cervical
Vertebra thoracalis
Radiologi vertebra thoracalis
c.
Lumbosacral
Radiologi vertebra lumbosacral AP view
Radiologi vertebra lumbosacral lateral view
76
5.
a.
Pembacaan Foto Rontgen Tulang Cranium
Fraktur cranium dapat dideteksi pada foto polos radiologi terhadap 5% pasien dengan
trauma ringan, tetapi deteksi dari fraktur cranium menggunakan radiograf
konvensional hanya sebagai rujukan untuk dilakukan CT scan. Pada tahun 1981, Royal
College of Radiologist menyimpulkan bahwa penggunaan CT scan lebih tepat, oleh
karena foto rontgen kepala memiliki nilai diagnostic yang rendah dan tidak
memberikan informasi tambahan yang berperan dalam tatalaksana. Foto rontgen
kepala tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis kelainan intrakranial.
Namun, pemeriksaan ini masih dapat digunakan untuk mendiagnosis fraktur tulang
tengkorak.
Gambaran radiologis cranium posisi lateral:
1. Hypophyseal fossa
2. Axis
3. Odontoid process
4. External occipital protuberance
5. Temporal bone
Gambar sinus paranasal posisi lateral
Caldwell
Gambar cranium posisi Walter
Gambar cranium posisi
Gambar cranium posisi Towne
77
b.
Gambaran rontgen fraktur cranium termasuk berikut:
 Garis lurus, translucent, dengan batas tegas
 Lebar >3mm, paling lebar pada bagian tangah, dan menyempit diujung
 Melalui kedua lamina tulang, baik luar dan dalam
 Keterlibatan table dari cranium
 Kebanyakan fraktur berbentuk lurus, dapat juga berubah arah tiba – tiba
 Batas fraktur biasanya parallel dan secara umum tidak lancip
 Pada fraktur cranium yang berkembang, garis fraktur yang melintasi sutura
koronalis atau lambdoid, biasa terbatas tulang parietal
c.
Fraktur memberikan gambaran garis hitam bertepi tajam dan biasanya berbentuk
lurus (Gambar 1). Fraktur yang muncul pada area meningea media dapat berkaitan
dengan hematoma epidural. Pada fraktur depresi, garis fraktur yang lusen dapat
memberi gambaran stelata atau semisirkular (Gambar 2). Pada kondisi demikian, CT
scan diindikasikan karena mungkin terjadi cedera jaringan otak
Gambar 1. Fraktur kranium linier. Fraktur cranium
(tanda panah) biasanya berupa garis hitam bertepi
tajam dan tidak ada tepi yang berwarna putih.
Pada posisi anteroposterior (AP) (A), tidak dapat
ditentukan apakah fraktur berasal dari tulang
tengkorak bagian depan atau belakang. Pada
posisi Towne (B), yaitu posisi leher menunduk dan
posisi occipital lebih tinggi, fraktur ini dapat terlihat
terletak di tulang occipital.
d.
Gambar 2. Fraktur kranium depresi. Pada posisi
lateral (A) menunjukkan bagian sentral dari fraktur,
yaitu gambaran stelata (tanda panah besar), dan
sekitarnya terdapat garis fraktur konsentrik (tanda
panah kecil). Perhatikan gambaran sutura dan
gambaran vaskular normal pada foto tersebut.
Pada posisi anteroposterior (AP) (B) menunjukkan
dalamnya fraktur depresi, walau gambaran ini
terlihat lebih jelas pada pemeriksaan CT scan.
Rontgen cranium masih memegang peranan dalam mengevaluasi trauma nonaksidental
pada anak, biasa hanya sebagai bagian dari survey skeletal
Fraktur oksipital akibat trauma
non aksidental pada anak balita
Rontgen cranium posisi lateral pada anak
dengan fraktur oksipital. Terdapat batas
sklerotik dan cenderung depressed
78
Contoh Soal:
Seorang pria, 27 tahun datang dengan keluhan nyeri pada kaki kanan, dan kaki tidak dapat
digerakkan
Referensi:
79
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
:
:
:
:
:
Pemasangan Balut dan Bidai
Dermatomuskuloskeletal
V
Departemen Ilmu Bedah
4A
Deskripsi Umum
Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang
supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar mereka tetap
menempel sebagaimana mestinya atau Reposisi dengan maksud mengembalikan
fragmen–fragmen ke posisi anatomi. Imobilisasi atau fiksasi dengan tujuan
mempertahankan posisi fragmen–fragmen tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi
union. Penyambungan fraktur (union) dan Mengembalikan fungsi (rehabilitasi).
Alat dan Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
Elastik perban
Kain mitella
Plester
Pembalut yang spesifik
Kassa steril
Jenis-jenis pembalut:
 Mitella adalah pembalut berbentuk segitiga
Bahan pembalut terbuat dari kain yang berbentuk segitiga sama kaki dengan
berbagai ukuran. Pnjang kaki antara 50-100cm Pembalut ini dipergunakan pada
bagian kaki yang tebentuk bulat atau untuk menggantung bagian anggota badan
yang cedera. Pembalut ini biasa dipakai pada cedera di kepala, bahu, dada, siku,
telapak tangan, pinggul, telapak kaki, dan untuk menggantung lengan.
 Dasi adalah mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk seperti dasi
Pembalut ini biasa dipergunakan untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala
yang lain), rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir.
 Pita adalah pembalut gulung (kasa gulung/ perban elastik)
 Plester adalah pembalut berperekat
 Pembalut yang spesifik
Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa penutup
luka dan steril, baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering dipakai pada
luka-luka lebar yang terdapat pada badan
Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh kuman.
Biasa dipergunakan pada luka-luka kecil
 Kassa steril Adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk menutup
luka kecil yang sudah diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik). Setelah
ditutup kassa itu kemudian baru dibalut.
80
Prosedur
1.
Perhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan menjawab pertanyaan
a. Bagian dari tubuh yang mana ?
b. Apakah ada luka terbuka atau tidak ?
c. Bagaimana luas luka tersebut ?
d. Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu atau tidak ?
2. Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan ! dapat salah satu atau kombinanasi
3. Sebelum dibalut jika luka terbuka periu diberi desinfektan atau dibalut dengan
pembalut yang mengandung desinfektan atau dislokasi periu direposisi
4. Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan :
- Dapat membatasi pergeseran atau gerak bagian tubuh yang memang perlu difiksasi
- sesedikit mungkin membatasi gerak bagian tubuh yang lain
- Usahakan posisi balutan yang paling nyaman untuk kegiatan pokok penderita
- Tidak mengganggu peredaran darah, misalnya pada balutan beriapis,
- lapis yang paling bawah letaknya disebelah distal
- Tidak mudah kendor atau lepas
5. Cara membalut dengan mitella
a. Salah satu sisi mitella dilipat 3 -4 cm sebanyak 1 -3 kali
b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang akan dibalut, lalu
ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan
c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan b, atau
diikatkan pada tempat lain maupun dapat dibiarkan bebas, hal ini tergantung pada
tempat dan kepentingannya
6. Cara pembalutan dengan dasi
a. Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan
masing-masing ujung lancip
b. Bebatkan pada tempat yangakan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikatkan
c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum diikat arahnya
saling menarik
d. Kedua ujungnya diikatkan secukupnya
7. Cara membalut dengan pita
a. Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih pembalutan pita
ukuran lebar yang sesuai
b. Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salaah satu ujung yang diletakkan
dari proksimal ke distal menutup sepanjang bagian tubuh , yang akan dibalut
kemudian dari distal ke proksimal dibebatkan dengan. arah bebatan saling
menyilang dan tumpang tindih antara bebatan yang satu dengan bebatan berikutnya
c. Kemudian ujung yang dalam tadi (b) diikat dengan ujung yang lain secukupnya
8. Cara membalut dengan plester
a. Jika ada luka terbuka luka diberi obat antiseptik, tutup luka dengan kassa baru
lekatkan pembalut plester
b. Jika untuk fiksasi (misalnya pada patah tulang atau terkilir)-balutan plester dibuat
"strapping" dengan membebat berlapis-lapis dari distal ke proksimal, dan untuk
membatasi gerakkan tertentu perlu masing-masing ujungnya difiksasi dengan
plester
81
82
83
84
PEMBIDAIAN
Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi
ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak
bergerak (immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit.
Sedangkan prinsip pembidaian adalah :
1. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan mengalami cidera
2. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak perlu harus
dipastikan dulu ada tidaknya patah tulang
3. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan
Syarat-syarat pembidaian
1. Siapkan alat-alat selengkapnya
2. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur lebih
dulu pada anggota badan korban yang tidak sakit
3. Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor
4. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan
5. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat yang patah
6. Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai
7. Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas
PROSEDUR MELAKUKAN IMOBILISASI TULANG BELAKANG DAN
LOGROLL
(penderita dengan curiga cedera tulang belakang)
1. Diperlukan 4 orang, orang ke 1 mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan
leher, orang ke 2 untuk badan (termasuk pelvis dan panggul), orang ke 3 pelvis dan
tungkai, orang ke 4 mengatur prosedur ini dan memasang/mencabut spine-board.
85
2. Dilakukan kesegarisan kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar
servikal semirigid.
3. Lengan penderita diluruskan dan diletakkan disamping badan.
4. Tungkai bawah diluruskan dan kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain
dengan plester
5. Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang ke 2 memegang
6.
7.
8.
penderita daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke 3 memasukkan tangan
dan memegang panggul penderita dengan 1 tangan dan dengan tangan yang lain
memegang plester yang mengikat ke dua pergelangan kaki
Dengan komando orang pertama (yang mempertahankan kesegarisan kepala dan
leher) dilakukan logroll sebagai satu unit kearah kedua penolong yang berada disisi
penderita, hanya diperlukan pemutaran minimal untuk memasukkan spineboard
dibawah penderita.
Setelah spine board dibawah penderita dan dilakukan logroll ke arah spineboard.
Pasang bantalan disisi kiri - kanan kepala dan leher penderita . Kemudian pengikat
dipasang (kepala, dada, pelvis, paha dan diatas pergelangan kaki)
86
TRANSPORTASI/PENGANGKUTAN
Pengangkutan korban merupakan upaya penting dalam proses pemberian pertolongan.
Cara-cara pengangkutan korban yang mengalami cedera secara benar.perlu diketahui dan
dikuasai:
Pengangkutan di tempat kejadian (tempat yang berbahaya)
1. Sambil jongkok lutut penolong disamping kiri korban. Lengan dan tangan kanan
penolong dimasukkan dibawah leher korban, kemudian tangan kanan penolong di
sebelah ketiak kanan korban sehingga sampai ke depan dadanya.
2. Tangan kiri penolong menyilangkan lengan kanan korban didadanya, kemudian
tangan kanan penolong memegang tangan kanan korban.
3. Kemudian lengan dan tangan kiri penolong dimasukkan dibawah ketiak kiri
korban dan memegang lengan kanan korban.
4. Kedua tangan penofong saling bertaut melingkari lengan bawah kanan korban.
5. Kemudian kaki kiri penofong diletakkan setinggi pinggang korban.
6. Sambil membongkokkan tubuh kedepan (prinsip mengungkit) badan korban
dapat terangkat.
7. Korban didekatkan ke dada penolong, kemudian penolong berdiri dan menarik
korban sejauh mungkin dalam keadaan setengah baring.
8. Di tempat yang aman korban dibaringkan lagi secara hati-hati untuk dilakukan
resusitasi. Penderita harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat penderita
sestabil mungkin sebelum dilakukan trasnportasi ke tempat yang mempunyai
fasilitas /untuk melakukan tindakan definitif.
Selama dalam perjalanan / transportasi yang harus diperhatikan
1. Monitor tanda-tanda vital
2. Bantuan kardio repirasi bila diperiukan
3. Pemberian obat sesuai prosedur
4. Menjaga komunikasi dengan dokter selama transportasi
5. Melakukan dokumentasi selama transportasi
SKENARIO:
Seorang laki-laki mengalami kecelakan sewaktu mengendarai sepeda motor, korban
terjatuh ditengah jalan dan kakinya tidak dapat digerakkan
Referensi:
Saryono, SKp.,Mkes, Penuntun Skillslab FK UNSOED
87
KETERAMPILAN KLINIS
BLOK NEUROLOGY
88
Judul
: Pemeriksaan Sensoris
Sistem
: Saraf
Semester
:V
Penyusun
: Departemen Neurologi
Tingkat Keterampilan
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Melakukan pemeriksaan sensoris
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik
dalam melakukan pemeriksaan sensoris dengan baik dan benar agar
peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
ilmu mengenai dasar gangguan sensoris serta penyakit gangguan
sensoris.
Alat dan Bahan
Set Pemeriksaan Umum Dewasa
Set Pemeriksaan Neurologis
Prosedur
I. Pendahuluan
Adanya gangguan pada otak, medula spinalis, dan saraf tepi dapat menimbulkan gangguan
sensorik. Gangguan ini tidak tampak seperti halnya pada gangguan motorik maupun trofi
otot. Gangguan sensorik dapat menimbulkan perasaan semutan atau baal (parestesia),
kebas atau mati rasa, dan ada pula yang sangat sensitif (hiperestesi). Pada gangguan di
kanalis sentralis medula spinalis dapat terjadi fenomena disosiasi: analgesia terhadap
rangsang panas dan nyeri sementara rangsang lainnya masih dapat dirasakan oleh
penderita. Orang neurotik sering kali mengeluh adanya perasaan tidak enak di seluruh
permukaan tubuh, misalnya ada hewan yang merayap di permukaan kulitnya.
Sehubungan dengan pemeriksaan fungsi sensorik maka beberapa hal berikut ini harus
dipahami terlebih dahulu:
a.
b.
c.
Kesadaran penderita harus penuh dan tajam (komposmentis dan
kooperatif)
Penderita tidak boleh dalam keadaan lelah; kelelahan akan
mengakibatkann gangguan perhatian serta memperlambat waktu reaksi
Prosedur pemeriksaan harus benar-benar dimengerti oleh penderita,
karenapemeriksaan fungsi sensorik benar-benar memerlukan kerjasama
yang sebaikbaiknya antara pemeriksa dengan penderita
89
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Cara dan tujuan pemeriksaan harus dijelaskan kepada penderita dengan
istilah yang mudah dimengerti olehnya
Kadang-kadang terlihat adanya manifestasi obyektif ketika dilakukan
pemeriksaan anggota gerak atau bagian tubuh yang dirangsang, misalnya
penderita menyeringai, mata berkedip-kedip serta perubahan sikap
tubuh. Mungkin pula muncul dilatasi pupil, nadi yang cepat dari semua,
keluar banyak keringat.
Yang dinilai bukan hanya ada atau tidak adanya sensasi tetapi juga
meliputi perbedaan-perbedaan sensasi yang ringan;dengan demikian
harus dicatat gradasi atau tingkat perbedaannya.
Ketajaman persepsi dan interpretasi rangsangan berbeda pada setiap
individu, pada tiap bagian tubuh, dan pada individu yang sama tetapi
dalam situasi yang berlainan. Oleh sebab itu, pemeriksa perlu
menganjurkan penderita untuk melakukan pemeriksaan ulang pada hari
berikutnya
Perlu ditekankan mengenai azas simetris: pemeriksaan bagian kiri harus
selalu dibandingkan dengan bagian kanan. Juga pelu dipahami tentang
azas ekstrem: pemeriksaan dikerjakan dari ujung atas dan ujung
bawah ke arah pusat. Hal ini untuk menjamin kecermatan pemeriksaan.
Pemeriksaan fungsi sensorik harus dikerjakan dengan sabar (jangan
tergesa-gesa), menggunakan alat yang sesuai dengan kebutuhan atau
tujuan, tanpa menyakiti penderita, dan penderita tidak boleh dalam
keadaan tegang
Perlu ditekankan bahwa hasil pemeriksaan fungsi sensorik pada suatu
saat tidak dapat dipercaya, membingungkan, dan sulit dinilai. Dengan
demikian kita harus berhati-hati dalam hal penarikan kesimpulan.
II. Pemeriksaan Raba
Alat yang dipakai dapat berupa kuas halus, kapas, bulu, tissue, atau bila terpaksa
dengan ujung jari tangan yang disentuhkan ke kulit secara halus sekali. Cara memberi
rangsangan: stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan tekanan
terhadap jaringan subkutan. Tekanan dapat ditambah sedikit bila memeriksa telapak
tangan dan telapak kaki yang kulitnya lebih tebal. Penderita diminta menyatakan ya atau
tidak apabila dia merasakan atau tidak merasakan adanya rangsangan, dan sekaligus juga
diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang. Daerah yang
dirangsang ialah daerah yang bebas dari rambut atau bulu; hal ini disebabkan oleh adanya
kemungkinan gangguan dari rambut/bulu yang turut tergerakkan pada saat melakukan
rangsanga taktil sehingga rambut tadi akan mengacaukan panilaian.
Beberapa istilah sehubungan dengan kelainan raba, antara lain:
a. Kelainan sensasi taktil dikenal sebagai ansetesia, hipestesia, dan hiperestesia; akan tetapi
istilah tadi secara rancu juga digunakan untuk semua perubahan sensasi.
b. Apabila sensasi raba ringan negatif disebut tigmanestesia
c. Kehilangan sensasi gerakan rambut disebut trikoanestesia
90
d. Kehilangan sensasi lokalisasi disebut topoanestesi
e. Ketidakmampuan untuk mengenal angka atau huruf yang :dituliskan pada kulitbdisebut
grafanestesia.
Pasien dalam posisi berbaring, mata tertutup atau secara pasif kedua mata ditutup secara
ringan tanpa menekan bola mata. Pemderita harus dalam keadaan santai, tidak boleh
tegang. Bagian tubuh yang diperiksa harus bebas dari pakaian.
II. Pemeriksaan sensasi nyeri superfisial
Alat yang dipakai dapat beruba jarum biasa, peniti, jarum pentul (ini yang paling
praktis karena ujung dan kepala.pentul jarum dapat digunakan secara bergantian), atau
jarum yang terdapat dalam pangkal palu refleks; stimulator listrik atau panas tidak
dianjurkan.
a. Cara pemeriksaan:







Mata penderita tertutup.
Pemeriksa terlebih dahulu mencoba jarum tersebut terhadap dirinya
sendiri.
Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai
menimbulkan perlukaan.
Penderita jangan ditanya: apakah anda merasakan ini? Atau apakah ini
runcing?
Rangsangan terhadap kulit dikerjakan dengan ujung jarum dan kepala
jarum secara bergantian, sementara itu penderita diminta untuk
menyatakan sensasinya sesuai dengan pendapatnya.
Penderita juga diminta untuk menyatakan apakah terdapat perbedaan
intensitas ketajaman rangsangan di daerah yang berlainan.
Apabila dicurigai ada daerah yang sensasinya menurun, maka rangsangan
dimulai dari daerah tadi dan menuju arah yang normal.
b. Istilah
Beberapa istilah sehubungan dengan gangguan sensasi nyeri superfisial adalah
sebagai berikut:



Alganestesia dan anelgesia dipergunakan untuk menunjukkan daerah yang
tidak sensitif terhadap rasa nyeri
Hiperalgesia menunjukkan sensitivitas yang menurun
Hiperalgesia menunjukkan peningkatan sensitivitas
III. Pemeriksaan sensasi suhu
Alat yang dipakai pada prinsipnya adalah tabung yang diisi air dingin atau air panas. Lebih
dipilih tabung metal daripada tabung gelas karena bahan gelas merupakan konduktor yang
buruk. Untuk sensasi dingin diperlukan air dengan suhu 5-10o C, dan sensasi panas
91
diperlukan suhu 40-45ºC. Suhu kurang dari 5º dan lebih dari 45º C akan menimbulkan rasa
nyeri.
a. Cara pemeriksaan :






Penderita lebih baik dianjurkan dalam posisi berbaring.
Mata penderita tertutup.
Tabung dingin/panas terlebih dahulu dicoba terhadap diri pemeriksa.
Tabung ditempelkan pada kulit penderita, dan penderita diminta untuk
menyatakan apakah tersa dingin atau panas.
Sebagai variasi, penderita dapat diminta untuk menyatakan adanya rasa hangat.
Pada orang normal, adanya perbedaan suhu 2-50C sudah mampu untuk
mengenalinya.
b. Istilah
Perubahan sensibilitas suhu dikenal dengan istilah termanestesia, termihipestesia, dan
termihiperestia, baik terhadap rangsang dingin maupun panas. Apabila penderita
dirangsang dingin dan dirangsang panas, keduanya dijawab dengan hangat atau panas
maka keadaan demikian ini disebut isotermognosia.
IV. Pemeriksaan sensasi gerak dan posisi
a. Pengertian umum


Sensasi gerak juga dikenal sebagai sensasi kinetic atau sensasi gerak aktif/pasif.
Sensasi gerak terdiri dari kesadaraan tentang adanya gerakan di dalam berbagai
bagian tubuh.
 Sensasi posisi atau sensasi postur terdiri dari kesadaran terhadap posisi tubuh
atau posisi bagian tubuh terhadap ruang
 Arteresetesia digunakan untuk persepsi gerakan dan posisi sendi, dan statognosis
menunjukkan kesadaran postur.
 Kemampuan pengenalan gerakan bergantung pada rangsangan yang muncul
sebagai akibat dari gerakan sendi serta pemanjangan/pemendekan otot-otot.
 Individu normal sudah mampu mengenal gerakan selebar 1-2 derajat pada sendi
interfalangeal.
b. Cara pemeriksaan:





Tidak diperlukan alat khusus.
Mata penderita tertutup.
Penderita dapat duduk atau berbaring
Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan digerakkan
secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan mungkin sehingga
dihindari adanya tekanan terhadap jari-jari tadi.
Jari yang diperiksa harus dipisahkan dari jari-jari di sebelah kiri / kanannya
sehingga tidak bersentuhan, sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh
melakukan gerakan aktif seringan apapun.
92



Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari ataupun
apakah ada gerakan pada jarinya
Apabila diperoleh kesan adanya gangguan sensasi gerak dan posisi maka
dianjurkan untuk memeriksa bagian tubuh lain yang ukurannya lebih besar,
misalnya tungkai bawah atau lengan bawah.
Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu tangan penderita pada
posisi tertentu, sementara itu mata penderita tetap tertutup; kemudian penderita
diminta untuk menjelaskan posisi jari-jari tadu ataupun menirukan posisi tadi
pada tangan yang satunya lagi.
V. Pemeriksaan sensasi getar / vibrasi
Sensasi vibrasi disebut pula dengan palestesia yang berarti kemampuan untuk
mengenal atau merasakan adanya rasa getar, ketika garpu tala yang telah digetarkan
diletakkan pada bagian tulang tertentu yang menonjol.
a. Alat yang dipakai


Garpu tala yang mempunyai frekuensi 128 Hz
Ada pula yang berpendapat bahwa dengan frekuensi 256 Hz akan diperolrh hasil
yang lebih baik.
 Bagian tubuh yang nantinya akan ditempeli pangkal garpu tala antara lain: ibu jari
kaki, maleolus lateralis/medialis, tibia, sacrum, spina iliaka anterior superior,
prosesua spinosus vertebra, sternum, klavikula, prosesus stiloideus radius/ulna,
dan sendi-sendi jari.
b. Cara pemeriksaan

Getarkan garpu tala terlebih dahulu, dengan jalan ujung garpu tala dipukulkan
pada benda padat/keras yang lain.
 Kemudian pangkal garpu tala segera ditempelkan pada bagian tubuh tertentu.
 Yang dicatat ialah tentang intensitas dan lamanya vibrasi.
 Kedua hal tersebut bergantung pada kekuatan penggetaran tabung tala dan
interval antara penggetaran garpu tala tadi dengan saat peletakkan garpu tala
pada bagian tubuh yang diperiksa.
c. Hasil pemeriksaan
Hasil pemeriksaan disebut normal bila penderita merasakan getaran maksimal; yang lebih
penting lagi ialah kemampuan penderita untuk merasakan getaran ketika garpu tala hampir
berhenti bergetar; hilangnya rasa getar disebut palanestesia.
VI.Pemeriksaan sensasi tekan
Sensasi tekan disebut pula sebagai piestesia. Sensasi tekan atau sentuh-tekan sangat erat
kaitannya dengan sensasi taktil tetapi melibatkan persepsi tekanan dari struktur
subkutan.Sensasi tekan juga erat hubungannya dengan sensasi posisi dengan perantaraan
kolumna posteriot medula spinalis.
a. Alat yang dipakai
93


Benda tumpul atau kalau terpaksa dapat menggunakan ujung jari
Untuk pemeriksaan kuantitatif dipergunakan headpressure estesiometer atau
piesimeter
b. Cara pemeriksaan




Penderita dalam posisi berbaring dan mata tertutup.
Ujung jari atau benda tumpul ditekankan atau disentuhkan lebih kuat terhadap
kulit.
Di samping itu juga dapat diperiksa dengan menekan struktur subkutan misalnya
massa otot, tendo dan saraf itu sendiri, baik dengan benda tumpul atau dengan
cubitan dengan skala yang lebih besar.
Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada tekanan dan sekaligus diminta
untuk mengatakan daerah mana yang ditekan tadi.
VII.Pemeriksaan sensasi nyeri dalam atau nyeri tekan
Untuk pemeriksaan ini tidak diperlukan alat khusus, cukup menggunakan jari-jari tangan.
a. Cara pemeriksaan
Massa otot, tendo atau saraf yang dekat permukaan ditekan dengan ujung jari atau dengan
mencubit (menekan di antara jari telunjuk dan ibu jari).
b. Hasil pemeriksaan
Pasien diminta untuk menyatakan apakah ada perasaan nyeri atau tidak; pernyataan ini
dicocokkan dengan intensitas tekanan atau cubitan.
Contoh kasus
Seorang pasien datang dengan keluhan kebas pada kaki kanan
KEPUSTAKAAN
1. De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
2. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill:New York
3. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006.
94
Judul
: Pemeriksaan Vertebra
Sistem
: Saraf
Semester
:V
Penyusun
: Departemen Neurologi
Tingkat Keterampilan
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Melakukan pemeriksaan vertebra
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik
dalam melakukan pemeriksaan vertebra dengan baik dan benar agar
peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan
ilmu mengenai dasar gangguan vertebra serta penyakit gangguan
vertebra.
Alat dan Bahan
1. Goniometer
2. Meteran
Prosedur
I. Pendahuluan
1. Pemeriksaan Umum, meliputi :
a. Kondisi pasien secara umum.
b. Pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi respirasi dan
suhu).
c. Posisi (berbaring, berjalan atau berdiri).
2. Pemeriksaan Regional : pemeriksaan terhadap kedua sisi anggota badan dan
membandingkan sisi yang sakit
dengan sisi normal.
a. Inspeksi :
Inspeksi dilakukan dari sisi anterior, lateral dan posterior.
95
Ekstremitas atas dan bawah diperiksa dari proksimal ke distal (apakah ada
pemendekan ( ), deformitas, edema, pembengkakan, ulkus, sinus, sikatriks, atrofi
kulit dan otot).
b. Palpasi :
Suhu di area tersebut (hangat/ dingin ?)
Krepitasi
Nyeri pada palpasi : nyeri tekan superfisial atau nyeri tekan dalam.
c. Gerakan :
Untuk menilai keterbatasan (ROM) sendi dan kekuatan otot (MMRC –Modified
Medical Research Council).
Aktif : dilakukan oleh pasien sendiri. Pemeriksaan gerakan aktif dilakukan
sebelum pemeriksaan dengan gerakan pasif.
Pasif : dilakukan oleh pemeriksa, dicatat derajat gerakannya, misalnya 30º-90º.
d. Gaya berjalan
Normal gait
Analgic gait
e. Pengukuran
f. Neurovaskuler
Contoh kasus
Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang
KEPUSTAKAAN
1. De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
2. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill:New York
3. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006.
4. Clinical Test for The Musculosceletal System. Thieme, New York, 2004
96
Judul
: Pemeriksaan Fungsi Koordinasi
Sistem
: Saraf
Semester
:V
Penyusun
: Departemen Neurologi
Tingkat Keterampilan
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Melakukan pembacaan pemeriksaan fungsi koordinasi
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam
melakukan pemeriksaan koordinasi dengan baik dan benar agar peserta didik
memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai dasar gangguan koordinasi.
Alat dan Bahan
Set Pemeriksaan Umum Dewasa
Prosedur
I. Pendahuluan
Koordinasi gerak terutama diatur oleh cerebellum. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa gangguan utama dari lesi di cerebellum ialah adanya disinergia, yaitu
kurangnya koordinasi. Artinya bila dilakukan gerakan yang membutuhkan kerjasam aantar
otot, maka otot-otot ini tidak bekerjasama dengan baik, walaupun tidak didapatkan
kelumpuhan. Hal ini terlihat jika pasien berdiri, jalan, membungkuk atau menggerakkan
anggota badan.
II. Cara Berjalan
Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien berjalan, perhatikan panjang langkahnya dan lebar jarak kedua telapak
kakinya.
97
III. Tes Romberg


Tes Romberg hanya dilakukan apabila seseorang dapat berdiri tanpa bantuan
Sebelum pasien menjalani tes Romberg, ia harus diberi penerangan yang jelas
Prosedur pemeriksaan :






Pemeriksa berada di belakang pasien
Pasien berdiri tegak dengan kedua tangan di dada, kedua mata terbuka
Diamati selama 30 detik
Setelah itu pasien diminta menutup mata dan diamati selama 30 detik
Jika pada keadaan mata terbuka pasien sudah jatuh -≫ kelainan serebelum
Jika pada mata tertutup pasien cenderung jatuh ke satu sisi>vestibuler/propioseptif
IV. Tes Romberg dipertajam





Pemeriksa berada di belakang pasien
Tumit pasien berada didepan ibu jari kaki yg lainnya
Pasien diamati dalam keadaan mata terbuka selam 30 detik
Kemudian pasien menutup mata dan diamati selama 30 detik
Interpretasi = test Romberg
V. Tes Jalan tandem



Pasien diminta berjalan dengan sebuah garis lurus menempatkan tumit di depan
jari kaki bergantian
Pada kelainan serebelar: pasien tidak dapat melakukan tandem dan jatuh kesatu
sisi
Pada kelainan vestibular: pasien akan mengalami deviasi ke sisi lesi
VI. Disdiadokokinesia
Prosedur pemeriksaan : Mintalah pasien merentangkan kedua tangannya ke depan,
kemudian mintalah pasien mensupinasi dan pronasi tangannya secara bergantian dan
cepat. Positif bila gerakan lamban dan tidak tangkas.
98
VII. Tes Telunjuk-Hidung
Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien merentangkan kedua lengannya ke samping. Kemudian mintalah pasien
menyentuh hidungnya dengan jari telunjuknya bergantian tangan kanan dan kiri. Pertama
dengan mata terbuka dan kedua dengan mata tertutup.
VIII. Tes Tumit-Lutut
Prosedur pemeriksaan :
Minta pasien menempatkan salah satu tumitnya di atas lutut tungkai lainnya, kemudian
minta pasien menggerakkan tumit itu meluncur dari lutut ke pergelangan kaki melalui
tulang tibia dan akhirnya melewati dorsum padis untuk menyentuh ibu jari kaki.
XII. Tes Rebound
Prosedur pemeriksaan :
Mintalah pasien menarik lengannya sementara pemeriksa menahannya sehingga seperti
sedang beradu panco. Kemudian dengan tiba-tiba pemeriksa melepaskan tahanannya.
Perhatikan apakah lengan pasien segera berhenti atau terjadi gerakan lewat sampai
memukul dirinya sendiri.
Contoh kasus:
Seorang pasien datang dengan keluhan hoyong
KEPUSTAKAAN
1. De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
2. De Myer,W. Technique of the Neurologiacal Examination 5th Ed. McGraw Hill:New York
3. Buku standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf. Perdossi Pusat, Jakarta, 2006.
4. Pedoman Tatalaksana Vertigo. Perdossi Pusat, Jakarta, 2012.
99
Judul
: Pemeriksaan Refleks Fisiologis dan Patologis
Sistem
: Saraf
Semester
:V
Penyusun
: Departemen Neurologi
Tingkat Keterampilan
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik
memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis.
Alat dan Bahan
1.
Set pemeriksaan neurologi lengkap
Prosedur
Yang dimaksud dengan reflek fisiologik adalah muscle stretch reflexes, yang muncul
sebagai akibat rangsangan terhadap tendo atau periosteum atau kadangkadang terhadap
tulang, sendi, fasia atau aponeurosis. Reflek tadi seringkali disebut dengan istilah yang
keliru, misalnya reflek tendo atau reflek periosteum. Yang menimbulkan gerakan reflek
sebenarnya adalah muscle stretch, sedang tendo itu sendiri hanya merupakan tempat di
mana rangsangan mudah diberikan.
Dasar pemeriksaan refleks
a. Alat yang dipergunakan biasa disebut palu refleks (hammer reflex) yang pada umumnya
dibuat dari bahan karet, walaupun bahan lain dapat pula dipergunakan. Namun demikian
untuk mencapai hasil yang baik, bahan karet yang lunak lebih umum dipakai. Bahan
tersebut tidak akan menimbulkan rasa nyeri pada penderita.
Rasa nyeri pada pemeriksaan refleks memang harus dihindari oleh karena akan
mempengaruhi hasil pemeriksaan.
b. Penderita harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai. Bagian tubuh yang akan
diperiksa harus dalam posisi sedemikian rupa sehingga gerakan otot yang nantinya akan
terjadi dapat muncul secara optimal.
100
c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung; kerasnya pukulan harus dalam
batas nilai ambang, tidak perlu terlalu keras.
d. Oleh karena sifat reaksi bergantung pada tonus otot, maka otot yang diperiksa harus
dalam keadaan sedikit kontraksi . Apabila akan membandingkan refleks sisi kiri dan kanan
maka posisi ekstremitas harus simetris.
Penilaian hasil refleks
Refleks dapat dinilai sebagai negatif, menurun, normal, meninggi dan hiperaktif.
Ada pula yang menggunakan kriteria kuantitatif sebagai berikut:
O = negatif
+1 = lemah (dari normal)
+2 = normal
+3 = meninggi, belum patologik
+4 = hiperaktif, sering disertai klonus, sering merupakan indikator suatu
Penyakit
Jenis-jenis pemeriksaan refleks
a. Pemeriksaan refleks pada lengan
Refleks biseps, triseps, brakhioradialis dan fleksor jari merupakan sekelompok refeleks
pada lengan/ tangan yang padahal penting. Untuk itu pemeriksaan refleks pada lengan
dibatasi pada keempat jenis refleks tadi.

Pemeriksaan refleks biseps
Pasien duduk dengan santai
Lengan dalam keadaan lemas, lengan bawah dalam posisi antara fleksi
dan ekstensi serta sedikit pronasi
Siku penderita diletakkan pada lengan/tangan pemeriksa
Pemeriksa meletakkan ibu jarinya di atas tendo biseps, kemudian
pukullah ibu jari tadi dengan reflex hammer yang telah tersedia
Reaksi utama adalah kontraksi otot biseps dan kemudian fleksi lengan
bawah
Oleh karena biseps juga merupakan supinator untuk lengan bawah maka
sering kali muncul pula gerakan supinasi
Apabila refleks meninggi maka zona refleksogen akan meluas dan refleks
biseps ini dapat muncul dengan mengetuk daerah klavikula
Juga, apabila refleks ini meninggi maka akan disertai gerakan fleksi
pergelangan tangan serta jari-jari dan aduksi ibu jari M. Biseps brakhii
dipleihara oleh n. Muskulokutaneus
101

Pemeriksaan refleks triseps
Pasien duduk dengan santai
Lengan pasien diletakkan di atas lengan/tangan pemeriksa
Posisi pasien sama dengan posisi pada pemeriksaan refleks biseps
Lengan penderita dalam keadaan lemas, relaksasi sempurna
Apabila telah dipastikan bahwa lengan pasien sudah benar-benar
relaksasi (dengan meraba triseps: tak teraba tegang), pukulan tendo yang
lewat di fossa olekrani
Maka triseps akan berkontraksi dengan sedikit menyentak, gerakan ini
dapat dilihat dan sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang
menopang lengan pasien.
M. Triseps dipelihara oleh nervus radialis (C6-C8), proses refleks melalui
C7
102

Pemeriksaan refleks brakioradialis
Posisi pasien dan pemeriksa sama dengan pemeriksaan refleks biseps
Pukullah tendo brakhioradialis pada radius bagian distal dengan
memakai reflekx hammer yang datar
Maka akan timbul gerakan menyentak pada tangan
M. Brakioradialis dipelihara oleh n. Radialis melewati C6
b. Pemeriksaan refleks pada tungkai

Pemeriksaan refleks patela / kuadriseps
Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
Daerah kanan-kiri tendo patela terlebih dahulu diraba, untuk menetapkan
daerah yang tepat
Tangan pemeriksa yang satu memegang paha penderita bagian distal, dan
tangan yang lain memukul tendo patela tadi dengan reflex hammer secara
cepat (ayunan reflex hammer bertumpu pada sendi pergelangan tangan)
Tangan yang memegang paha tadi akan merasakan kontraksi otot kuadriseps,
dan pemeriksa dapat melihat tungkai bawah yang bergerak secara menyentak
untuk kemudian berayun sejenak
Apabila ada kesulitan dengan pemeriksaan tadi maka pakailah cara berikut:
o Tangan pasien saling berpegangan
o
Kemudian penderita diminta untuk menarik kedua tangannya
o Pukullah tendo patella ketika penderita menarik tangannya
o Cara ini disebut reinforcement
Apabila pasien tidak mampu duduk, maka pemeriksaan refleks patella
dapat dilakukan dengan posisi berbaring
103

Pemeriksaan refleks Achilles
Pasien dapat duduk dengan tungkai menjuntai, atau berbaring, atau dapat
pula penderita berlutut di mana sebagian tungkai bawah dan kakinya
menjulur di luar meja pemeriksa
Pada dasarnya pemeriksa sedikit meregangkan tendon Achilles dengan
cara menahan ujung kaki kearah dorsofleksi
Tendon Achilles dipukul dengan ringan tapi cepat
Akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak
Bila perlu dapat dikerjakan reinforcement sebagaimana dilakukan pada
refleks patela
Gambar 4. Pemeriksaan Refleks Achilles
104
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIK
Pada umumnya pemeriksaan reflek patologik merupakan respon yang tidak umum
dijumpai pada individu normal. Sebagian besar refleks patologik berhubungan dengan
traktus kortikospinal dan jaras-jarasnya, serta juga terjadi pada penyakit-penyakit lobus
frontal dan gangguan sistem ekstrapiramidal. Refleks patologik pada ekstremitas bawah
lebih konstan, lebih mudah muncul, lebih reliabel dan lebih mempunyai korelasi secara
klinis dibandingkan pada ekstremitas atas.
Dasar pemeriksaan refleks
a. Selain dengan jari-jari tangan untuk pemeriksaan refleks pada ekstremitas atas, adalah
menggunakan palu refleks yang pada umumnya dibuat dari bahan karet, walaupun bahan
lain dapat pula dipergunakan. Namun pada refleks hammer, menggunakan tangkai dengan
ujung yang tidak tumpul untuk memeriksa refleks
pada ekstremitas bawah.
b. Pasien harus dalam posisi yang seenak-enaknya dan santai.
c. Rangsangan harus diberikan secara cepat dan langsung.
Jenis-jenis pemerikaan refleks patologik
a. Babinski’s sign


Cara: pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan ujung palu refleks
Reaksi: dorsofleksi ibu jari kaki disertai plantarfleksi dan gerakan melebar jari-jari
lainnya
Gambar refleks babinski
b. Chaddock’s sign


Cara: pemerika menggores di bawah dan sekitar maleolus eksterna ke arah lateral
dengan palu refleks ujung tumpul
Reaksi: sama dengan Babinski s sign
105
Gambar Refleks Chaddock
c. Gordon’s sign


Cara: pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat
Reaksi: sama dengan Babinski s sign
Gambar refleks Gordon
d. Schaeffer’s sign


Cara: pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat
Reaksi: sama dengan Babinski s sign
e. Oppenheim’s sign


Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari dan telunjuk pada
permukaan anterior tibia kemudian digeser ke arah distal
Reaksi: sama dengan Babinski sign
Gambar Refleks Oppenheim
106
f. Rossolimo’s sign



Stimulasi
Respon normal dorsofleksi ringan jari-jari kaki/tidak ada gerakan
Respon abnormal : plantar fleksi jari dengan cepat
Gambar Refleks Rossolimo
 Refleks Hoffman dan Tromner
Dilakukan dengan ekstensi jari tengah pasien. Refleks Hoffmann diperiksa dengan cara
melakukan petikan pada kuku jari tengah. Refleks Tromner diperiksa dengan cara
mencolek ujung jari tengah. Refleks Hoffmann-Tromner positif jika timbul gerakan fleksi
pada ibu jari, jari telunjuk, dan jari-jari lainnya.
Gambar Refleks Hoffmann
107
Gambar Refleks Tromner
Contoh Kasus
Seorang pasien datang dengan keluhan lemah lengan dan tungkai bawah
Referensi
-
De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
-
De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed
Text. Edisi 5, 2004.
-
Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill
Livingstone, 2004.
108
Judul
: Pemeriksaan Saraf Kranialis
Sistem
: Saraf
Semester
:V
Penyusun
: Departemen Neurologi
Tingkat Keterampilan
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Pemeriksaan saraf kranialis adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menilai
saraf kranialis beserta interpretasi / penilaiannya
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar pemeriksaan saraf kranialis agar peserta didik memiliki kompetensi
sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan gangguan saraf kranialis.
Alat dan Bahan
1.
Set pemeriksaan neurologi lengkap
Prosedur
Dua belas pasang nervi cranialis menghubungkan dengan pusat sistem saraf. Sistem saraf
ini menerima informasi dari dunia luar termasuk dari viscera. Fungsi motorik yang diatur
oleh nervi cranialis ditujukan pada pengaturan fungsi organ-organ khusus, yaitu vokalisasi,
mastikasi, gerakan menelan makanan dan kontrol reflek pernafasan dan visceral. Implikasi
fisiologis dan anatomis dari gangguan fungsi nervi cranialis sangat penting dalam diagnosis
klinik. Beberapa teknik pemeriksaan khusus digunakan untuk memeriksa fungsi nervus ini.
Berikut ini teknik pemeriksaan 12 nervi cranialis.
109
Gambar 1. Lokasi nervi cranialis
II. PEMERIKSAAN NERVUS OLFAKTORIUS (N I)
Prosedur pemeriksaan nervus Olfaktorius (N I)
- Memberitahukan kepada penderita bahwa daya penciumannya akan diperiksa.
- Melakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada sumbatan atau kelainan
pada rongga hidung.
- Meminta penderita untuk menutup salah satu lubang hidung.
- Meminta penderita untuk mencium bau-bauan tertentu (misalnya: ekstrak kopi,
ekstrak
jeruk, vanili, atau tembakau) melalui lubang hidung yang terbuka.
110
- Meminta penderita menyebutkan jenis bau yang diciumnya.
- Pemeriksaan yang sama dilakukan juga untuk lubang hidung kontralateral.
Gambar Pemeriksaan N I (diadaptasi dari Buckley, 1980)
Syarat Pemeriksaan :
- Jalan nafas harus dipastikan bebas dari penyakit.
- Bahan yang dipakai harus dikenal oleh penderita.
- Bahan yang dipakai bersifat .
Catatan:
- Bahan yang cepat menguap tidak boleh digunakan dalam pemeriksaan ini sebab bahan
tersebut dapat merangsang nervus trigeminus (N V) dan alat-alat pencernaan.
Interpretasi Hasil Pemeriksaan :
- Terciumnya bau-bauan secara tepat menandakan fungsi nervus olfaktorius kedua sisi
adalah baik.
- Hilangnya kemampuan mengenali bau-bauan ) yang bersifat unilateral tanpa ditemukan
adanya kelainan pada rongga hidung merupakan salah satu tanda yang mendukung
adanya neoplasma pada lobus frontalis cerebrum.
- yang bersifat bilateral tanpa ditemukan adanya kelainan pada rongga hidung merupakan
salah satu tanda yang mendukung adanya meningioma pada cekungan olfaktorius pada
cerebrum. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari trauma ataupun pada meningitis. Pada
orang tua dapat terjadi gangguan fungsi indra penciuman ini dapat terjadi tanpa sebab yang
111
jelas. Gangguan ini dapat berupa penurunan daya pencium ( ). Bentuk gangguan lainnya
dapat berupa kesalahan dalam mengenali bau yang dicium, misalnya minyak kayu putih
tercium sebagai bawang goreng, hal ini disebut .
- Selain keadaan di atas dapat juga terjadi peningkatan kepekaan penciuman yang disebut ,
keadaan ini dapat terjadi akibat trauma kapitis, tetapi kebanyakan terkait dengan kondisi
psikiatrik yang disebut konversi histeri. Sensasi bau yang muncul tanpa adanya sumber bau
disebut halusinasi olfaktorik. Hal ini dapat muncul sebagai aura pada epilepsi maupun pada
kondisi psikosis yang terkait dengan lesi organik pada unkus.
III. PEMERIKSAAN NERVUS OPTIKUS (N II)
Nervus optikus tersusun atas serabut-serabut axon saraf yang berasal dari sel-sel
ganglionik di retina. Axon saraf yang berasal dari sel-sel saraf tersebut bersinaps dengan
serabut-serabut dendrit sel-sel saraf pada area , pulvinar dan collilus superior membentuk
pusat visual primer. Axon saraf yang berasal dari sel-sel saraf pada corpus geniculatum
lateralis, pulvinar dan collilus superior membawa impuls ke pusat visual di korteks yang
terletak pada .
Fungsi nervus optikus dapat di periksa dengan beberapa teknik pemeriksaan. Pada bagian
latihan akan dibatasi pada pemeriksaan visus dan lapangan pandang ( ) sedangkan
funduskopi akan dilatihkan pada topik Ophtalmologi.
PEMERIKSAAN DAYA PENGLIHATAN (VISUS).
Pemeriksaan visus pada bagian neurologi pada umumnya tidak dikerjakan menggunakan
kartu Snellen tetapi dengan melihat kemampuan penderita dalam mengenali jumlah jarijari, gerakan tangan dan sinar lampu.
Prosedur pemeriksaan daya penglihatan (visus) :
1. Memberitahukan kepada penderita bahwa akan diperiksa daya penglihatannya.
2. Memastikan bahwa penderita tidak mempunyai kelainan pada mata misalnya, katarak,
jaringan parut atau kekeruhan pada kornea, peradangan pada mata (iritis, uveitis),
glaukoma, korpus alienum.
3. Pemeriksa berada pada jarak 1- 6 meter dari penderita.
4. Meminta penderita untuk menutup mata sebelah kiri untuk memeriksa mata sebelah
kanan.
5. Meminta penderita untuk menyebutkan jumlah jari pemeriksa yang diperlihatkan
kepadanya.
6. Jika penderita tidak dapat menyebutkan jumlah jari dengan benar, maka pemeriksa
menggunakan lambaian tangan dan meminta penderita menentukan arah gerakan tangan
pemeriksa.
7. Jika penderita tidak dapat menentukan arah lambaian tangan, maka pemeriksa
menggunakan cahaya lampu senter dan meminta penderita untuk menunjuk asal cahaya
yang disorotkan ke arahnya.
112
8. Menentukan visus penderita.
9. Melakukan prosedur yang sama untuk mata sebelah kiri.
PEMERIKSAAN LAPANGAN PANDANG.
Pemeriksaan lapangan pandang bertujuan memeriksa batas-batas penglihatan bagian
perifer. Pemeriksaan ini dapat dikerjakan dengan 3 teknik, yaitu:
1. Test konfrontasi dengan tangan
2. Test dengan kampimeter
3. Test dengan perimeter.
Dalam latihan pemeriksaan nervus cranialis ini jenis test pertama yang akan dilatihkan,
sedangkan test kedua dan ketiga akan dilatihkan pada topik ophtalmologi.
Prosedur pemeriksaan lapangan pandang (test konfrontasi dengan tangan)
1. Meminta penderita duduk berhadapan dengan pemeriksa pada jarak 1 meter.
2. Meminta penderita menutup mata kirinya dengan tangan untuk memeriksa mata kanan.
3. Meminta penderita melihat hidung pemeriksa
4. Pemeriksa menggerakkan jari tangannya dari samping kanan ke kiri dan dari atas ke
bawah.
5. Meminta penderita untuk mengatakan bila masih melihat jari-jari tersebut.
6. Menentukan hasil pemeriksaan.
7. Mengulangi prosedur pemeriksaan untuk mata sebelah kiri dengan menutup mata
sebelah kanan.
113
Gambar Test konfrontasi (diadaptasi dari Buckley, 1980)
Jenis-jenis kelainan lapangan pandang ( ) :
- : tidak mampu melihat secara total.
- Hemianopsia : tidak mampu melihat sebagian lapangan pandang (temporal; nasal;
bitemporal; binasal)
- Homonymous hemianopsia
- Homonymous quadrantanopsia
IV. PEMERIKSAAN NERVI OKULARIS (N III, IV, VI)
Nervus okularis terdiri dari dua komponen dengan fungsi yang berbeda, yaitu:
- Motor Somatik, menginervasi empat dari enam otot-otot ekstraokular dan muskulus
levator palpebra superior. Komponen ini berfungsi mengontrol kontraksi otot
ekstraokuler dalam melihat dan fiksasi objek penglihatan.
- Motor viseral, memberikan inervasi parasimpatis pada muskulus konstriktor pupil dan
114
muskulus siliaris. Komponen ini bertanggungjawab dalam refleks akomodasi pupil
sebagai respon terhadap cahaya.
Pemeriksaan nervi okularis meliputi tiga hal, yaitu:
1. Pemeriksaan gerakan bola mata
2. Pemeriksaan kelopak mata
3. Pemeriksaan pupil.
Prosedur pemeriksaan gerakan bola mata :
- Memberitahukan penderita bahwa akan dilakukan pemeriksaan terhadap gerakan bola
matanya.
- Memeriksa ada tidaknya gerakan bola mata di luar kemauan penderita (nistagmus).
- Meminta penderita untuk mengikuti gerakan tangan pemeriksa yang digerakkan ke segala
jurusan.
- Mengamati ada tidaknya hambatan pada pergerakan matanya (hambatan dapat terjadi
pada salah satu atau kedua mata).
- Meminta penderita untuk menggerakkan sendiri bola matanya.
Gambar Pemeriksaan gerakan bola mata (diadaptasi dari Buckley, , 1980)
Prosedur pemeriksaan kelopak mata :
- Meminta penderita untuk membuka kedua mata dan menatap kedepan selama satu menit.
- Meminta penderita untuk melirik ke atas selama satu menit.
- Meminta penderita untuk melirik ke bawah selama satu menit.
- Pemeriksa melakukan pengamatan terhadap celah mata dan membandingkan lebar celah
mata (fisura palpebralis) kanan dan kiri.
- Mengidentifikasi ada tidaknya ptosis, yaitu kelopak mata yang menutup.
115
Gambar Pemeriksaan kelopak mata (diadaptasi dari Buckley, , 1980)
Prosedur pemeriksaan pupil :
- Melihat diameter pupil penderita (normal 3 mm).
- Membandingkan diameter pupil mata kanan dan kiri (isokor atau anisokor).
- Melihat bentuk bulatan pupil teratur atau tidak.
- Memeriksa refleks pupil terhadap cahaya direk :
- Menyorotkan cahaya ke arah pupil lalu mengamati ada tidaknya miosis dan mengamati
apakah pelebaran pupil segera terjadi ketika cahaya dialihkan dari pupil.
- Memeriksa refleks pupil terhadap cahaya indirek :
- Mengamati perubahan diameter pupil pada mata yang tidak disorot cahaya
ketika mata yang satunya mendapatkan sorotan cahaya langsung.
116
Gambar Pemeriksaan refleks pupil (diadaptasi dari Buckley , 1980)
- Memeriksa refleks akomodasi pupil.
- Meminta penderita melihat jari telunjuk pemeriksa pada jarak yang agak jauh.
- Meminta penderita untuk terus melihat jari telunjuk pemeriksa yang digerakkan
mendekati hidung penderita.
- Mengamati gerakan bola mata dan perubahan diameter pupil penderita (pada keadaan
normal kedua mata akan bergerak ke medial dan pupil menyempit).
V. PEMERIKSAAN NERVUS TRIGEMINUS (N V)
Nervus trigeminus merupakan nervus cranialis V berfungsi menginervasi bagian muka dan
kepala. Nervus ini mempunyai 3 cabang, yaitu cabang yang menginervasi dahi dan mata
(ophthalmic V1), pipi (maxillary V2), dan muka bagian bawah dan dagu (mandibular V3).
Ketiga cabang nervus V ini bertemu pada satu area yang disebut ganglion Gasery, yang
selanjutnya menuju batang otak melalui pons menuju badan-badan sel nukleus nervi
trigemini. Dari sini informasi yang diterima diolah untuk selanjutnya dikirim ke korteks
serebri untuk menimbulkan kesadaran akan sensasi fasial. Nervus trigeminus
bertanggungjawab terhadap sensasi raba, nyeri, dan temperatur pada muka. Selain itu
nervus ini juga mengontrol gerakan otot yang berperan dalam mengunyah makanan. Perlu
diingat bahwa nervus ini tidak berperan dalam pengaturan gerakan wajah yang diatur oleh
nervus VII.
Pemeriksaan N V meliputi pemeriksaan motorik dan sensorik. Adapun prosedur
pemeriksaannya adalah sebagai berikut :
117
1. Pemeriksaan fungsi motorik :
a. Meminta penderita untuk merapatkan gigi sekuat kuatnya.
b. Pemeriksa mengamati muskulus masseter dan muskulus temporalis (normal : kekuatan
kontraksi sisi kanan dan kiri sama).
c. Meminta penderita untuk membuka mulut.
d. Pemeriksa mengamati apakah dagu tampak simetris dengan acuan gigi seri atas dan
bawah (apabila ada kelumpuhan, dagu akan terdorong ke arah lesi).
Gambar 12. Pemeriksaan kekuatan muskulus masseter dan muskulus temporalis
(diadaptasi
dari Buckley, 1980)
2. Pemeriksaan fungsi sensorik :
a. Melakukan pemeriksaan sensasi nyeri dengan jarum pada daerah dahi, pipi, dan rahang
bawah.
b. Melakukan pemeriksaan sensasi suhu dengan kapas yang dibasahi air hangat pada
daerah dahi, pipi, dan rahang bawah.
3. Melakukan pemeriksaan refleks kornea :
118
a. Menyentuh kornea dengan ujung kapas (normal penderita akan menutup mata/
berkedip).
b. Menanyakan apakah penderita dapat merasakan sentuhan tersebut.
Gambar. Pemeriksaan refleks kornea (diadaptasi dari Buckley, 1980)
4. Melakukan pemeriksaan refleks masseter :
a. Meminta penderita untuk sedikit membuka mulutnya.
b. Meletakkan jari telunjuk kiri pemeriksa di garis tengah dagu penderita.
c. Mengetok jari telunjuk kiri pemeriksa dengan jari tengah tangan kanan pemeriksa atau
dengan palu refleks.
d. Mengamati respon yang muncul : kontraksi muskulus masseter dan mulut akan menutup.
Gambar Pemeriksaan refleks masseter (diadaptasi dari Buckley, , 1980)
119
VI. PEMERIKSAAN NERVUS FACIALIS (N VII)
Nervus facialis (N VII) mempunyai komponen somatosensorik eferen dan aferen dengan
fungsi yang dapat dibedakan, yaitu:
1. Branchial motor , yang menginervasi otot-otot fasialis, otot digastrik bagian belakang,
otot stylohyoideus dan stapedius.
2. Viseral motor , yang memberikan inervasi parasimpatik pada kelenjar lakrimal,
submandibular dan sublingual; serta mukosa menginervasi mukosa nasofaring, palatum
durum dan mole.
3. Sensorik khusus , yaitu memberikan sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah dan inervasi
palatum durum dan mole.
4. Sensorik umum , menimbulkan sensasi kulit pada konka, auricula dan area di belakang
telinga.
Serabut syaraf yang membentuk branchial motor merupakan komponen N. VII yang paling
dominan, sedangkan ketiga komponen serabut lainnya menggabung menjadi satu terpisah
dari branchial motor. Gabungan dari ketiga serabut terakhir membentuk nervus
intermedius.
Pemeriksaan fungsi nervus V II meliputi:
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis
b. Pemeriksaan viserosensorik dan viseromotorik nervus intermedius.
Prosedur pemeriksaan nervus Fasialis
a. Pemeriksaan motorik
- Meminta penderita untuk duduk dengan posisi istirahat (rileks).
- Pemeriksa mengamati muka penderita bagian kiri dan kanan apakah simetris atau tidak.
- Pemeriksa mengamati lipatan dahi, tinggi alis, lebar celah mata, lipatan kulit nasolabial
dan sudut mulut.
- Meminta penderita menggerakkan mukanya dengan cara sbb:
- mengerutkan dahi, bagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam.
- Mengangkat alis.
- Menutup mata dengan rapat, lalu pemeriksa mencoba membuka dengan tangan.
- Memoncongkan bibir atau nyengir.
- Meminta penderita menggembungkan pipinya, lalu pemeriksa menekan pipi kiri dan
kanan untuk mengamati apakah kekuatannya sama. Bila ada kelumpuhan maka angin akan
keluar dari bagian yang lumpuh.
120
Gambar Pemeriksaan motorik N. VII (diadaptasi dari Buckley, 1980)
b. Pemeriksaan viseromotorik (parasimpatis)
- Memeriksa kondisi kelenjar lakrimalis, basah atau kering
- Memeriksa kelenjar sublingualis
- Memeriksa mukosa hidung dan mulut.
c. Pemeriksaan sensorik
- Meminta pemeriksa menjulurkan lidah.
- Meletakkan gula, asam garam, atau sesuatu yang pahit pada sebelah kiri dan kanan dari
2/3 bagian depan lidah.
- Meminta penderita untuk menuliskan apa yang dirasakannya pada secarik kertas.
Catatan: Pada saat dilakukan pemeriksaan hendaknya:
o lidah penderita terus menerus dijulurkan keluar
o penderita tidak diperkenankan bicara
o penderita tidak diperkenankan menelan
VII. PEMERIKSAAN NERVUS AKUSTIKUS (NVIII)
Nervus akustikus (N VIII) terdiri dari dua berkas syaraf, yaitu:
- Nervus kokhlearis yang bertanggungjawab menghantarkan impuls pendengaran.
121
- Nervus vestibularis yang bertanggung jawab menghantarkan impuls keseimbangan.
Prosedur pemeriksaan nervus akustikus/vestibulokokhlearis (N. VIII)
Pemeriksaan nervus.VIII meliputi :
a. Pemeriksaan fungsi pendengaran
b. Pemeriksaan fungsi vestibular
a. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran.
1. Pemeriksaan Weber :
- Tujuan untuk membandingkan daya transport melalui tulang di telinga kanan dan kiri
penderita.
- Garputala diletakkan di dahi penderita.
Pada keadaan normal kiri dan kanan sama keras (penderita tidak dapat menentukan di
mana yang lebih keras).
- Bila terdapat tuli konduksi di sebelah kiri, misal oleh karena otitis media, pada tes Weber
terdengar kiri lebih keras. Bila terdapat tuli persepsi di sebelah kiri, maka tes Weber
terdengar lebih keras di kanan.
2. Pemeriksaan Rinne :
- Tujuan untuk membandingkan pendengaran melalui tulang dan udara dari penderita.
Pada telinga sehat, pendengaran melalui udara di dengar lebih lama daripada melalui
tulang.
- Garputala ditempatkan pada planum mastoid sampai penderita tidak dapat
mendengarnya lagi, kemudian garpu tala dipindahkan ke depan meatus eksternus. Jika
pada posisi yang kedua ini masih terdengar dikatakan tes positif, pada orang normal atau
tuli persepsi, tes Rinne ini positif. Pada tuli konduksi tes Rinne negatif.
3. Pemeriksaan Schwabach :
- Tujuan membandingkan hantaran tulang penderita dengan hantaran tulang pemeriksa
(dengan anggapan pandengaran pemeriksa adalah baik)
- Garputala yang telah digetarkan ditempatkan di prosesus mastoideus penderita. Bila
penderita sudah tidak mendengar lagi suara garputala tersebut, maka segera garputala
dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa.
- Bila hantaran tulang penderita baik, maka pemeriksa tidak akan mendengar suara
mendenging lagi. Keadaan ini dinamakan Schwabach normal.
- Bila hantaran tulang si penderita kurang baik, maka pemeriksa masih mendengar suara
getaran garputala tersebut. Keadaan ini dinamakan Schwabach memendek.
b. Pemeriksaan Fungsi Keseimbangan
122
1. Pemeriksaan dengan Tes Kalori :
Bila telinga kiri dimasukkan air dingin timbul nistagmus ke kanan. Bila telinga kiri
dimasukkan air hangat akan timbul nistagmus ke kiri.
Bila ada gangguan keseimbangan, maka perubahan temperatur air dingin dan hangat ini
tidak menimbulkan reaksi.
2. Pemeriksaan dengan :
Penderita diminta untuk menyentuh ujung jari pemeriksa dengan jari telunjuknya,
kemudian dengan mata tertutup penderita diminta untuk mengulangi, normal penderita
harus dapat melakukannya.
VIII. PEMERIKSAAN NERVUS GLOSOFARINGEUS (N IX)
Nervus Glosofaringeus terdiri dari serabut-serabut motorik dan sensorik. Serabut
motoriknya sebagian bersifat somatomotorik dan sebagian lainnya bersifat sekretomotorik.
Prosedur pemeriksaan Nervus Glosofaringeus :
- Penderita diminta untuk membuka mulutnya.
- Dengan penekan lidah, lidah hendaknya ditekan ke bawah, sementara itu penderita
diminta untuk mengucapkan a-a-a panjang.
- Maka akan tampak bahwa langit-langit yang sehat akan bergerak ke atas. Lengkung langitlangit di sisi yang sakit tidak akan bergerak ke atas.
- Adanya gangguan pada m. stylopharingeus, maka uvula tidak simetris tetapi tampak
miring tertarik ke sisi yang sehat.
- Adanya gangguan sensibilitas, maka jika dilakukan perabaan pada bagian belakang lidah
atau menggores dinding pharyng kanan dan kiri, refleks muntah tidak terjadi.
IX. PEMERIKSAAN NERVUS VAGUS (N X)
Nervus vagus terdiri dari 5 komponen dengan fungsi yang berbeda. Kelima komponen
tersebut adalah:
- (eferen viseral khusus) yang bertanggung jawab terhadap koordinasi otot-otot volunter
faring, sebagian besar laring, dan salah satu otot ekstrinsik lidah.
- (eferent viseral umum) yang bertanggung jawab terhadap inervasi parasimpatik otot-otot
dan kelenjar faring, laring, dan viseral thoraks dan abdomen.
- (eferen viseral umum) yang memberikan informasi sensorik viseral dari laring,
esophagus, trachea, dan visera abdominal dan thorakal, serta membawa informasi dari
reseptor tekanan dan kemoreseptor aorta.
123
- Sensori umum (aferen somatik umum), memberikan informasi sensorik umum dari kulit
belakang daun telinga, meatus acusticus eksterna, permukaan luar membrana tympani dan
faring.
- Sensori khusus, merupakan cabang minor dari nervus vagus yang bertanggungjawab
menimbulkan sensasi rasa dari daerah epiglotis.
Prosedur pemeriksaan Nervus Vagus :
- Buka mulut penderita, bila terdapat kelumpuhan maka akan terlihat uvula tidak di tengah
tetapi tampak miring tertarik ke sisi yang sehat.
- Refleks faring / refleks muntah tidak ada.
- Untuk memeriksa plica vokalis diperlukan laryngoscope. Bila terdapat kelumpuhan satu
sisi pita suara, maka pita suara tersebut tidak bergerak sewaktu fonasi atau inspirasi dan
pita suara akan menjadi atonis dan lama kelamaan atopi, suara penderita menjadi parau.
- Bila kedua sisi pita suara mengalami kelumpuhan, maka pita suara itu akan berada di
garis tengah dan tidak bergerak sama sekali sehingga akan timbul afoni dan stridor
inspiratorik.
X. PEMERIKSAAN NERVUS AKSESORIUS (N XI)
Nervus aksesorius tersusun atas komponen kranial dan spinal yang merupakan serabut
motorik. Kedua komponen tersebut menginervasi otot yang berbeda, yaitu:
- Branchial motor (komponen kranial) yang bertanggung jawab memberikan inervasi otototot laring dan faring.
- Branchial motor (komponen spinal) yang bertanggung jawab memberikan inervasi otototot trapezius dan sternokleidomastoideus.
Prosedur pemeriksaan Nervus Asesorius :
a. Untuk mengetahui adanya paralisis m. sternokleidomastoideus : Penderita diminta
menolehkan kepalanya kearah sisi yang sehat, kemudian kita raba m.
sternokleidomastoideus. Bila terdapat paralisis N. XI di sisi tersebut, maka akan teraba m.
sternokleidomastoideus itu tidak menegang.
b. Untuk mengetahui adanya paralisis m. trapezius :
Pada inspeksi akan tampak :
- Bahu penderita di sisi yang sakit adalah lebih rendah daripada di sisi yang sehat.
- Margo vertebralis skapula di sisi yang sakit tampak lebih ke samping daripada di
sisi yang sehat.
124
XI. PEMERIKSAAN NERVUS HIPOGLOSSUS (N XII)
Nervus hipoglosus hanya mempunyai satu komponen motor somatik. Nervus ini
menginervasi semua otot intrinsik dan sebagian besar otot ekstrinsik lidah (genioglosus,
styloglosus dan hyoglosus).
Prosedur pemeriksaan Nervus Hipoglossus :
Kelumpuhan pada N. Hipoglossus akan menimbulkan gangguan pergerakan lidah.
- Akibat gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan tidak dapat diucapkan
dengan baik, disebut dengan disartria.
- Dalam keadaan diam, lidah tidak simetris, biasanya bergeser ke daerah sehat karena tonus
di sini menurun.
- Bila lidah dijulurkan, lidah akan berdeviasi ke sisi sakit.
Contoh kasus:
Seorang pasien datang dengan keluhan mulut merot, mata tidak bisa ditutup.
Referensi:
-
Chusid, J.G.Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology. Lange
Medical Publication.Los Altos California, 1976
-
De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
-
De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed
Text. Edisi 5, 2004
-
Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill
Livingstone, 2004.
-
Campell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology,
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin, 2002
-
Sidharta P, 2005. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat.
Cetakan ke-5, Dian Rakyat,Jakarta.
125
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Nyeri Radikuler
: Saraf
:V
: Departemen Neurologi
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik
memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis.
Alat dan Bahan
1.
Set pemeriksaan neurologi lengkap
Prosedur
PROVOKASI SINDROM NYERI
1. Tes Valsava
Tes Valsava mengakibatkan naiknya tekanan intratekal. Jika terdapat proses desak ruang di
kanalis vertebralis bagian servikal, maka dengan naiknya tekanan intratekal maka akan
mengakibatkan nyeri radikuler.
Prosedur pemeriksaan : Pasien diminta untuk menahan nafas Pasien diminta untuk
mengejan sewaktu ia menahan nafasnya. Tes Valsava positif jika timbul nyeri radikuler
yang berpangkal di tingkat leher dan menjalar ke lengan.
126
2. Tes Naffziger
Tes Naffziger juga mengakibatkan naiknya tekanan intratekal. Kenaikan tekanan intratekal
yang dicetuskan dengan tes Naffziger ini diteruskan sepanjang rongga arachnoid medula
spinalis. Jika terdapat proses desak ruang di kanalis vertebralis (misalnya karena tumor
atau Hernia Nucleus Pulposus) maka radiks yang teregang saat dilakukan tes Naffziger akan
timbul nyeri radikuler sesuai dengan dermatomnya.
Prosedur pemeriksaan :
Pasien diminta berdiri atau berbaring. Pemeriksa menekan kedua vena jugularis dengan
kedua tangan pemeriksa sekitar 2 menit sampai pasien merasa kepalanya penuh. Pasien
diminta untuk mengejan saat dilakukan penekanan vena jugulare tadi. Tes Naffziger positif
apabila timbul nyeri radikuler sesuai dermatom.
2.Lhermitte’s phenomenon
Prosedur pemeriksaan :
Fleksikan leher pasien ke arah depan; hal akan menghasilkan perasaan seperti tersengat
listrik, biasanya menjalar ke arah punggung. Pasien mungkin mengeluhkan hal ini secara
spontan atau anda dapat memeriksanya dengan melakukan fleksi pada leher Kadang pasien
memiliki perasaan yang sama pada saat ekstensi (reverse Lhermitte s)
Interpretasi
Hal ini mengindikasikan adanya proses patologi di daerah servikal—biasanya demielinisasi.
Kadang terjadi pada mielopati spondilitik servika atau tumor servikal.
3. Tes Laseque
Prosedur pemeriksaan : Pasien diminta untuk berbaring terlentang di atas tempat tidur.
Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul pasien dengan cara : Salah satu tangan
memegang tumit pasien dan mengangkatnya sementara tangan yang lain menekan lutut
supaya tetap lurus ( ) Pemeriksa mencatat pada sudut berapa fleksi pasif tersebut
menimbulkan rasa nyeri. Tes Laseque positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi pasif
yang membentuk sudut < 60o telah menimbulkan rasa nyeri yang menjalar sepanjang
perjalanan n. ischiadikus.
Tes Laseque positif apabila terdapat iritasi pada n. ischiadikus, Hernia Nucleus Pulposus,
artritis sakroiliaka atau koksitis. Untuk menegakkan diagnosis HNP, tes ini harus
dikombinasikan dengan pemeriksaan lain, misalnya tes Naffziger.
127
4. Tes O’Connel (tes Laseque silang)
Prosedur pemeriksaan :
Sama dengan tes Laseque. Tes O Connel positif apabila timbul nyeri pada pangkal n.
ischiadikus yang sakit bila tungkai yang sehat diangkat.
5. Tes Patrick
Tindakan pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi panggul yang
terkena penyakit.
Prosedur pemeriksaan :
Pasien diminta berbaring di atas tempat tidur. Pemeriksa menempatkan tumit (maleolus
eksterna) tungkai yang sakit pada lutut tungkai yang lain. Pemeriksa melakukan penekanan
pada lutut tungkai yang difleksikan tadi.
Tes Patrick positif apabila pasien merasakan nyeri di sendi panggul yang terkena penyakit.
Hal tersebut berarti pasien mengalami gangguan pada sendi panggul. Pada ischialgia
diskogenik, tes Patrick ini biasanya negatif.
128
Clinical Tests for the
Musculoskeletal System
Examinations—Signs—Phenomena
Klaus Buckup, M.D.
6. Tes Kontra-Patrick
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membangkitkan nyeri di sendi sakroiliaka. Tes kontraPatrick biasanya dilakukan untuk menentukan lokasi patologik yang tepat apabila terdapat
keluhan nyeri di daerah bokong, baik yang menjalar sepanjang tungkai maupun yang
terbatas pada daerah gluteal dan sakral saja.
Prosedur pemeriksaan :
Pasien diminta berbaring terlentang di atas tempat tidur. Dilakukan fleksi tungkai yang
sakit ke sisi luar, kemudian dilakukan endorotasi serta aduksi. Pemeriksa melakukan
penekanan sejenak pada lutut tungkai tersebut. Tes kontra-Patrick positif apabila timbul
nyeri di garis sendi sakroiliaka.
129
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Rangsang Meningeal
: Saraf
:V
: Departemen Neurologi
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik
memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis.
Alat dan Bahan
1.
Set pemeriksaan neurologi lengkap
Prosedur
a. Rigiditas nuchae:(kaku kuduk)
Istilah nuchae merujuk pada bagian belakang leher. Rigiditas nuchae berarti bahwa baik
pasien maupun pemeriksa tidak mampu melakukan fleksi kepala pasie karena spasme
refleks otot nuchae (ekstensor). Iritasi ruang subarakhnoid, paling sering oleh inflamasi
(ensefalitis atau meningitis) atau karena darah subaraknoid, menyebabkan rigiditas
nuchae.
Teknik untuk menguji rigiditas nuchae
1.
Pasien dalam posisi berbaring telentang dan relaks, tempatkan tangan anda di
bawah bagian belakang kepala pasien dan dengan hati-hati coba lakukan
fleksileher. Pada keadaan normal, ia akan menekuk dengan bebas. Jika pasien
memiliki rigiditas nuchae, leher melawan fleksi dan pasien merasa kesakitan. Jika
rigiditas nuchae berat, anda dapat menaikkan kepala pasien dan badan dengan
tulang belakang seperti batang lurus atau pasien seperti patung.
2.
Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi meningeal, pemeriksa
harus membedakannya dari bentuk rigiditas servikal lainnya. Dengan rigiditas
nuchae yang nyata, leher hanya melawan fleksi. Leher bergerak bebas melalui
rotasi dan ekstensi, karena gerakan ini tidak meregangkan meninges, medula
spinalis, dan nerve root. Untuk menunjukkan rigiditas hanya mempengaruhi otot
nuchae, lakukan dua hal berikut ini:
3.
Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief gulingkan kepala pasien
dari satu sisi ke sisi lainnya untuk menunjukkan rotasi kepala yang bebas meski
ada resistensi terhadap fleksi
130
4.
Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala jatuh ke arah belakang,
menguji kebebasan ekstensi
5.
Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap gerakan leher ke segala
arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae secara khusus berarti resistensiterhadap fleksi
leher, yaitu rigiditas bagian belakang leher
b. Brudzinski neck sign
Cara pemeriksaan
Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh pemeriks sehingga dagu
menyentuh dada
Reaksi abnormal: fleksi pangkal paha dan lutut sebagai respon terhadap fleksi leher
c. Brudzinski kontralateral
Cara pemeriksaan:
Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di sendi lutut dan fleksi di sendi
panggul, lutut kemudian difleksikan
Reaksi abnormal: tungkai kontralateral timbul gerakan fleksi di sendi lutut
d. Kernig sign
Cara pemeriksaan
1.
Pasien berbaring lurus di tempat tidur
2.
Kaki fleksi pada pangkal paha dengan lutut dalam keadaan fleksi
3.
Kemudian usahakan ekstensi lutut
4.
Ulangi untuk sisi yang lain
Interpretasi hasil :
131
1.
Lutut lurus tanpa kesulitan: normal
2.
Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernig s sign—bilateral mengindikasikan
iritasi meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi pada radikulopati
(bandingkan dengan straight leg raising)
132
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Pemeriksaan Motorik
: Saraf
:V
: Departemen Neurologi
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk menilai refleks fisiologis dan patologis beserta interpretasi / penilaiannya
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis agar peserta didik
memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan gangguan refleks fisiologis dan patologis.
Alat dan Bahan
1.
Set pemeriksaan neurologi lengkap
Prosedur
PEMERIKSAAN FUNGSI MOTORIK
1. PENDAHULUAN
Pemeriksaan fungsi motorik, meliputi :
1) Observasi
2) Penilaian terhadap ketangkasan gerakan volunter
3) Penilaian tonus otot
4) Pemeriksaan trofi otot
5) Pemeriksaan kekuatan ekstremitas
2. OBSERVASI
Dokter melakukan observasi terhadap pasien dengan gangguan motorik pada waktu ia
masuk ke kamar periksa. Apakah ia berjalan sendiri ? Apakah ia dipapah ? Bagaimana gaya
berjalannya ? Setiap gangguan somatomotorik yang ringan dapat diketahui dari observasi
terhadap gerakan menutup/ membuka kancing baju, menggantungkan pakaian,
melepaskan sandal, menaiki tempat periksa, merebahkan diri dan sebagainya. Bilamana
pasien sudah berbaring di atas tempat periksa, simetri tubuh pasien harus diperhatikan.
133
3. PENILAIAN TERHADAP KETANGKASAN GERAKAN VOLUNTER
Gerakan volunter yang dimaksud ialah gerakan pasien atas permintaan pemeriksa.
Penilaian ini bersifat umum, yaitu untuk mengetahui apakah pasien masih dapat
menekukkan lengannya di sendi siku, mengangkat lengan di sendi bahu, mengepal dan
meluruskan jari-jari tangan, menekukkan di sendi lutut dan panggul serta menggerakkan
jari-jari kakinya.
Teknik pemeriksaan :
a. Gerakan pada sendi bahu :
1.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi bahu yang meliputi :
abduksiadduksi, elevasi, fleksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi.
2.
Perhatikan apakah pasien dapat melakukan gerakan-gerakan tersebut dengan
mudah (bebas), dapat melakukan tetapi tidak sempurna, misalnya bisa melakukan
abduksi tetapi tidak mencapai 90o (bebas terbatas), atau tidak dapat
melakukangerakan sama sekali.
b. Gerakan pada sendi siku :
1.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi siku yaitu : fleksi-ekstensi,
pronasi-supinasi.
2.
Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.
c. Gerakan pada sendi tangan :
1.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi tangan yaitu : fleksiekstensi,pronasi-supinasi.
2.
Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.
d. Gerakan jari-jari tangan :
1.
Mintalah pasien untuk mengepalkan tangan, abduksi-adduksi ibu jari.
2.
Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.
e. Gerakan pada sendi panggul :
1.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi panggul yang meliputi :
fleksiekstensi, abduksi-ekstensi, endorotasi-eksorotasi.
2.
Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.
f. Gerakan pada sendi lutut :
1.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi lutut yang meliputi :
fleksiekstensi, endorotasi-eksorotasi.
2.
Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.
134
g. Gerakan pada sendi kaki :
1.
Mintalah pasien untuk melakukan gerakan pada sendi kaki yang meliputi :
dorsofleksi-plantar fleksi, inversi-eversi.
2.
Perhatikan apakah gerakannya bebas, bebas terbatas atau terbatas.
4. PENILAIAN TONUS OTOT
Pada waktu lengan bawah digerakkan pada sendi siku secara pasif, otot-otot ekstensor dan
fleksor lengan membiarkan dirinya ditarik dengan sedikit tahanan yang wajar. Tahanan ini
dikenal sebagai tonus otot. Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksamendapat kesulitan
untuk menekukkan dan meluruskan lengan. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak
merasakan tahanan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat hasil pemeriksaan yang baik
meliputi :
- Pasien harus tenang dan santai.
- Ruang periksa harus nyaman dan tenang.
Teknik pemeriksaan tonus otot :
a. Memeriksa tonus otot bahu :
1.
Pemeriksa menggerakkan sendi bahu seperti abduksi-adduksi dan elevasi,
kemudian merasakan adanya tahanan pada m. deltoideus. Nilailah tahanan
tersebut apakah normal, meningkat atau menurun.
2.
Tonus yang meningkat berarti bahwa pemeriksa mendapat kesulitan untuk
menggerakkan sendi bahu. Jika tonus otot hilang, maka pemeriksa tidak
merasakan tahanan.
b. Memeriksa tonus otot pada lengan atas :
1.
Pemeriksa menggerakkan sendi siku secara pasif, yaitu fleksi dan ekstensi
berulang-ulang dan merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan atas dan
nilailah tahanan tersebut apakah normal, meningkat atau menurun.
2.
Jika tonus otot meningkat, maka pemeriksa mendapat kesulitan untuk
memfleksikan,dan mengekstensikan lengan. Jika tonus otot hilang, maka
pemeriksa tidak merasakan tahanan.
c. Memeriksa tonus otot pada lengan bawah :
1.
Pemeriksa menggerakkan tangan pasien secara pasif (pronasi-supinasi) dan
merasakan adanya tahanan pada otot-otot di lengan bawah dan nilailah tahanan
tersebut apakah normal, meningkat atau menurun.
135
d. Memeriksa tonus otot pada tangan :
Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari-jari tangan pasien (menggenggam dan
membuka) dan merasakan adakah tahanan pada otot tangan, apakah normal, meningkat
atau menurun.
e. Memeriksa tonus otot pada pinggul :
Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada articulatio coxae dan
merasakan tahanan pada otot-otot pinggul, apakah normal, meningkat atau menurun.
f. Memeriksa tonus otot pada paha :
Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan kaki pasien pada sendi lutut dan
merasakan tahanan pada otot paha (m. quadriceps femoris), apakah normal, meningkat
atau menurun.
g. Memeriksa tonus otot pada betis :
Pemeriksa melakukan dorsofleksi dan plantar-fleksi secara pasif pada kaki pasien dan
merasakan adanya tahanan pada otot betis (m. gastrocnemius), apakah normal, meningkat
atau menurun.
h. Memeriksa tonus otot pada kaki :
Pemeriksa memfleksikan dan mengekstensikan jari kaki pasien dan merasakan adanya
tahanan pada otot kaki (dorsum dan plantar pedis), apakah normal, meningkat atau
menurun.
5. PEMERIKSAAN TROFI OTOT
Pemeriksaan trofi otot dapat dilakukan dengan inspeksi, palpasi dan pengukuran.
a. Inspeksi :
1.
Perhatikan bentuk dan ukuran otot, baik masing-masing atau sekelompok otot,
adanya gerakan abnormal, adanya kontraktur dan deformitas.
2.
Perhatikan apakah otot tampak normal (eutrofi), membesar (hipertrofi) atau
tampak kecil (atrofi).
3.
Perkembangan otot ditentukan oleh faktor keturunan, profesi, cara hidup, gizi dan
latihan/ olahraga.
4.
Bandingkan kanan dan kiri.
b. Pengukuran :
Bila terdapat asimetri, maka pengukuran kelompok otot yang sama harus dilakukan,
meliputi panjang otot dan lingkaran otot. Patokan untuk mengukur lingkaran anggota gerak
kedua sisi harus diambil menurut bangunan anggota gerak yang sama, misalnya 10 cm
diatas olekranon.
c. Palpasi :
Otot yang normal akan terasa kenyal pada palpasi, otot yang mengalami kelumpuhan
(LMN) akan lembek, kendor dan konturnya hilang.
136
Periksalah bentuk otot pada otot bahu, lengan atas, lengan bawah, tangan, pinggul, paha,
betis dan kaki.
6. PEMERIKSAAN KEKUATAN EKSTREMITAS
a. Otot bahu :
1.
Meminta pasien untuk melakukan elevasi (mengangkat tangan) kemudian tangan
pemeriksa menahannya.
2.
Meminta pasien untuk melakukan abduksi kemudian tangan pemeriksa
menahannya.
b. Otot lengan :
1.
Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi siku kemudian tangan
pemeriksa menahannya.
2.
Pemeriksaan ini terutama menilai kekuatan otot bisep dan brachioradialis.
3.
Meminta pasien untuk melakukan ekstensi pada sendi siku kemudian tangan
pemeriksa menahannya. Pemeriksaan ini terutama menilai otot trisep.
c. Otot tangan :
1.
Meminta pasien untuk menekuk jari-jari tangan (fleksi pada sendi interphalang),
kemudian tangan pemeriksa menahannya.
2.
Meminta pasien untuk meluruskan jari-jari tangan, kemudian tangan pemeriksa
menahannya.
3.
Meminta pasien untuk mengepalkan tangan dan mengembangkan jari-jari tangan.
d. Otot panggul :
1.
Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi panggul, kemudian tangan
pemeriksa menahannya.
2.
Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi panggul tersebut.
e. Otot paha :
1.
Meminta pasien untuk melakukan fleksi pada sendi lutut, kemudian tangan
pemeriksa menahannya. Pemeriksaan ini untuk menilai kekuatan m. biseps
femoris.
2.
Setelah fleksi maksimal, pemeriksa meluruskan sendi lutut tersebut.
f. Otot kaki :
1.
Meminta pasien untuk melakukan dorsofleksi pada kaki, kemudian tangan
pemeriksa menahannya.
2.
Meminta pasien untuk melakukan plantar fleksi kemudian tangan pemeriksa
menahannya.
137
Derajat tenaga otot ditetapkan sebagai berikut :
0:
jika tidak timbul kontraksi otot.
1:
jika terdapat sedikit kontraksi otot.
2:
jika tidak dapat melawan gravitasi.
3:
jika dapat melawan gravitasi tanpa penahanan.
4:
jika dapat melawan gravitasi dengan penahanan sedang.
5:
jika dapat melawan gravitasi secara penuh.
138
Judul
Sistem
Semester
Penyusun
Tingkat Keterampilan
: Anamnesis Kelainan Neurologi
: Saraf
:V
: Departemen Neurologi
: 4A
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Melakukan anamnesis dengan ramah dan empati
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar anamnesis agar peserta didik memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai anamnesis dasar dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit
yang berkaitan dengan gangguan saraf.
Alat dan Bahan
Kertas anamnesis
-
Prosedur
Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis ada 3 hal penting yang perlu diingat dan
dilakukan yaitu: anamnesis, anamnesis dan anamnesis.
Dalam situasi emergensi terkadang anamnesis tidak dapat dilakukan dengan panjang lebar.
Lakukan anamnesis singkat sambil menilai kesadaran dan tanda vital pasien. Setelah
kondisi pasien stabil dan aman anamnesis dapat dilanjutkan kembali.
Dengan anamnesis informasi berikut harus didapat:


Onset keluhan/gejala klinis (kapan keluhan/gejala ini pertama kali muncul?)
Progresifitas dari keluhan tersebut (apakah keluhan ini bertambah berat, menetap
atau membaik?)
Keluhan tambahan lainnya (adakah keluhan atau gejala lainnya yang menyertai
keluhan utama?)
Riwayat penyakit sebelumnya (apakah pernah menderita sakit seperti ini
sebelumnya atau pernahkah menderita sakit lainnya?)


Untuk mendiagnosa banding digunakan singkatan VITAMINS
V
: Vascular
Onset biasanya tiba-tiba atau mendadak
I
: Infectious
Tanda-tanda infeksi: demam, flu like syndrome
T
: Traumatic
Riwayat trauma sebelumnya
A
: Autoimmune
Riwayat remisi-eksaserbasi, gejala penyakit
autominun lain mis SLE
M
: Metabolic/Toxic
Paparan zat toxic, gigitan hewan, penyakit
metabolik
139
I
: Idiophatic/ Iatrogenic
Riwayat menjalani prosedur medis, keluhan
sudah berulang kali
N
: Neoplastic
Penurunan berat badan, kelemahan, riwayat
tumor di organ lain
S
: Seizure, pSychiatric,
Riwayat kejang, perubahan perilaku, kelainan
organ/anatomis sebelumnya
Structural
Penurunan Kesadaran
1.
Alloanamnesis kepada pengantar pasien
2.
Onset (sangat mendadak, mendadak, bertahap, aktivitas pasien)
3.
Perjalanan penyakit yang mendahului
4.
Faktor risiko penyakitnya atau penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sakit
sekarang
5.
Tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit pada pasien sebelum terjadinya gangguan
kesadaran
6.
Riwayat penyakit dahulu
7.
Riwayat minum obat, alkohol
8.
Kemungkinan keracunan (makanan, bahan kimia, gas, minuman)
9.
Riwayat pengobatan atau operasi atau tindakan manajemen lain sebelumnya?
Nyeri
Nyeri Kepala
1.
Mendadak, bertahap
2.
Lokasi nyeri kepala(misalnya hemicranial, holocranial, occipitonichal, bandlike)
3.
Intensitas nyeri kepala: ringan (masih mampu bekerja), sedang (mengganggu
konsentrasi bekerja), berat (tak masuk kerja)
4.
Kualitas nyeri ( steady, throbbing, stabbing)
5.
Waktu (pagi / bangun tidur, setiap saat), durasi dan frekuensi nyeri kepala
6.
Kebiasaan minum kopi: berapa cangkir
7.
Kebiasaan minum obat analgesik
8.
Faktor-faktor presipitasi (misalnya pemakaian alkohol, gangguan tidur, terlalu
lama tidur, makanan, cahaya terang)
140
9.
Faktor-faktor yang meringankan gejala nyeri (misalnya istirahat, ruang gelap
aktivitas, obat-obatan)
10. Respon terapi
11. Keluhan-keluhan neurologik (misalnya rasa baal, parestesi, kelemahan, gangguan
berbahasa)
12. Keluhan-keluhan visual (misalnya scintillating scotoma, transient blindness)
13. Keluhan-keluhan gastrointestinal (misalnya mual, muntah, anureksia)
14. Gejala-gejala penyerta (misalnya photophobia, phonophobia, tearing, nasal
stuffiness)
15. Riwayat trauma kepala
Nyeri Leher
1.
Onset (akut, subakut, kronis) dan durasinya (menetap, timbul-hilang)
2.
Intensitas nyeri: ringan (masih mampu bekerja), sedang (mengganggu konsentrasi
3.
bekerja), berat (tak masuk kerja)
4.
Riwayat trauma leher
5.
Riwayat infeksi virus atau imunisasi?
6.
Riwayat HNP, operasi vertebra, riwayat nyeri leher dan nyeri lengan?
7.
Lokasi nyeri yang memberat? (misalnya bagian leher, lengan atau bahu
8.
Penjalaran nyeri (misalnya bahu, lengan, regio pektoralis, atau regio periskapuler)
9.
Hubungan nyeri dengan gerakan leher
10. Hubungan nyeri dengan gerakan lengan dan bahu
11. Faktor-faktor yang mempengaruhi
12. Nyeri memberat dengan batuk, bersin, mengejan saat buang air besar
13. Kelemahan pada lengan dan tangan
14. Rasa baal, kesemutan (parestesia atau distesia), pada lengan atau tangan
15. Gangguan buang air besar, buang air kecil atau disfungsi seksual yang disebabkan
kompresi medula spinalis
Catatan: Diferensial diagnosanya paling sering adalah antara nyeri radikulopati dan nyeri
muskuloskeletal.
141
Nyeri pinggang
1.
Kualitas nyeri : seperti ditusuk, mendenyut dsb
2.
Intensitas nyeri : ringan, sedang, berat
3.
Lokasi nyeri
4.
Riwayat HNP, operasi vertebra, riwayat nyeri leher dan nyeri pinggang?
5.
Onset, durasi, dan frekuensi nyeri
6.
Lokasi nyeri yang memberat
7.
Penjalaran nyeri
8.
Faktor-faktor presipitasinya
9.
Faktor-faktor yang meringankan gejala nyeri
10. Hubungan nyeri dengan gerakan leher
11. Hubungan nyeri dengan gerakan bahu dan lengan
12. Respon terapi
13. Nyeri memberat dengan batuk, bersin dan mengejan
14. Keluhan neurologik lainnya ( misalnya kesemutan, gangguan bicara, kelemahan)
15. Keluhan-keluhan gastrointestinal
16. Gejala kelemahan
17. Gejala inkontinensia urine dan alvi (ngompol dan BAB tidak terasa)
18. Riwayat trauma punggung
Gangguan motorik
1.
Onset: kelemahan secara mendadak atau bertahap
2.
Bagian anggota gerak yang mengalami kelemahan
3.
Hemiplegi, paraplegi, tetraplegi, monoplegi
4.
Kesulitan dalam hal ketrampilan jari-jari ( misalnya mengancingkan baju, menulis)
5.
Kesulitan mengangkat lengan ke atas, atau abduksi
6.
Mudah terjatuh sewaku berjalan
7.
Sewaktu berjalan sandal yang dikenakan sering terlepas
8.
Kesulitan pada saat berdiri dari posisi duduk di lantai
9.
Mulut terasa /tampak perot atau mencong
142
10. Pada saat berkumur air mudah keluar dari rongga mulut
11. Penglihatan ganda
12. Kesulitan menutup mata
13. Kesulitan menelan
14. Mudah lelah (dengan aktivitas fisik minimal)
15. Suara makin melemah
16. Kekuatan otot makin lemah (dari pagi sampai sore)
Gangguan sensibilitas
Rasa baal dan kesemutan pada lengan :
1.
Gejala menetap atau timbul-hilang
2.
Jika simtomnya intermiten, waktunya, terutama hubungannya dengan waktu
serangan harian, apakah berhubungan dengan tanda-tanda pada malam hari,
durasi dan frekuensinya?
3.
Adakah ada hubungan dengan aktivitas (misalnya mengendarai mobil)
4.
Bagian tangan manakah yang paling sering terlibat
5.
Adakah keterlibatan lengan, wajah dan tungkai?
6.
Adakah ada problem berbicara atau penglihatannya yang berhubungan dengan
kesemutan pada lengan?
7.
Apakah ada nyeri leher?
8.
Apakah ada nyeri lengan/ nyeri tangan?
9.
Apakah ada kelumpuhan lengan/ kelumpuhan tangan?
10. Adakah riwayat trauma, terutama riwayat trauma pergelangan tangan?
11. Adakah keterlibatan tangan sisi yang lain?
Catatan: Differensial diagnosis (DD) yang digunakan pada anamnesis ini adalah carpal
tunnel syndrome dan radikulopati servikal
Modified from : Campbell WW, Pridgeon RP. Practical Primer of Clinical Neurology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
2002 .
143
Rasa baal dan kesemutan pada tungkai
1.
Apakah simtomnya menetap atau intermiten?
2.
Jika simtomnya intermiten, adakah hubungan dengan posisi (sikap), aktivitas atau
gerakan tertentu?
3.
Adakah ada hubungan dengan nyeri di pinggang (LBP), tungkai, atau kaki?
4.
Apakah ada kelumpuhan pada kedua tungkai atau kaki?
5.
Adakah riwayat trauma pinggang, hernia nucleus pulposus (HNP), atau operasi
pinggang?
6.
Apakah gejalanya simetris
7.
Apakah ada gangguan buang air besar, buang air kecil atau disfungsi seksual?
8.
Adakah riwayat penyakit sistemik (misal diabetes mellitus, penyakit thiroid,
anemia, hipovitaminosis B12)
9.
Adakah penurunan berat badan?
10. Adakah kebiasaan minum alkohol?
11. Adakah riwayat merokok?
12. Adakah riwayat terpapar toksin terus menerus atau intermiten?
13. Bagaimana riwayat diet?
14. Riwayat pemakaian obat, termasuk vitamin-vitamin?
15. Riwayat keluarga yang mempunyai simtom sama?
16. Riwayat keluarga yang menderita DM, anemia pernisiosa, atau neuropati perifer
Catatan: Differensial diagnosis (DD) yang digunakan pada anamnesis ini adalah antara
neuropathy perifer dan radiculopathy lumbosacral. Neuropathy perifer sendiri memiliki
banyak DD
Gangguan Fungsi Otonom
11.
Apakah ada gangguan berkeringat (tunjuk lokasinya)
12.
Apakah mudah berdebar-debar
13.
Apakah ada gangguan fungsi seksual (pada laki-laki)
14.
Apakah ada gangguan miksi ( retensi, inkontinensia)
15.
Apakah ada gangguan warna kulit di ujung jari
144
Gangguan Gerak
1.
Apakah ada gerakan jari-jari yang tak terkontrol
2.
Apakah ada gerakan tangan / lengan yang tak terkontrol
3.
Apakah ada gerakan kasar tak terkontrol pada lengan / tungkai / tubuh
4.
Apakah ada gerakan tubuh seolah terlempar
5.
Apakah ada gerakan meliuk-liuk
6.
Apakah ada gerakan seperti orang menari
Gangguan Berjalan
1.
Apakah pasien mengalami kesulitan berjalan
2.
Apakah pada saat sedang berjalan tampak terhuyung jatuh ke depan / ke belakang
3.
Apakah ketika berjalan kedua tungkai tidak sinkron gerakannya
4.
Apakah salah satu kaki ternagkat ketika melangkah
5.
Apakah ujung kaki / jari-jari kaki tampak terseret
6.
Apakah jarak kedua tungkai tampak melebar
7.
Apakah langkahnya setapak demi setapak
Gangguan Kejang
1.
Berapa kali mengalami kejang
2.
Apakah ada perubahan suhu tubuh / demam
3.
Bentuk kejang: kaku, berkelojotan
4.
Apakah kejang seluruh tubuh, anggota gerak, atau setempat / fokal
5.
Berapa lama kejang terjadi
6.
Tempat terjadinya kejang
7.
Apakah pasien tetap sadar atau mengalami gangguan kesadaran
8.
Apakah dari mulut keluar buih
9.
Riwayat penyakit sebelumnya: nyeri kepala, stroke, tumor otak dsb
Gangguan dizziness dan vertigo
1.
Awitan: sangat mendadak / mendadak, sedang tidur, bangun tidur, berbaring
145
2.
Keparahannya: sampai tidak berani membuka mata, muntah, disertai nyeri kepala
3.
Ada atau tidaknya ilusi gerakan
4.
Simtom-simtomnya persinten atau intermiten
5.
Jika intermiten, frekuensinya, durasinya dan waktu serangan .
6.
Hubungannya pusing berputar dan posisi tubuh (misalnya berdiri,duduk,
berbaring) Adanya faktor presipitasi dari pusing berputar dengan gerakan kepala
7.
Gejala-gejala penyerta (misalnya mual, muntah, tinitus, penurunan pendengaran,
kelemahan, rasa baal, diplopia, disartria, gangguan menelan, gangguan berjalan
dan keseimbangan, palpitasi, nafas pendek, mulut kering, nyeri dada)
8.
Obat-obat yang telah digunakan, terutama obat antihipertensi atau obat ototoksis
Contoh kasus
Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri kepala
Referensi
-
De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth
Wilkins,Philadelphia,2005
Edition.
Lippincott
Williams
-
De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed Text. Edisi
5, 2004.
-
Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill Livingstone,
2004.
146
Judul
: CT-Scan Otak
Sistem
: Saraf
Semester
:V
Penyusun
: Departemen Neurologi
Tingkat Keterampilan
:2
Deskripsi Umum
1.
2.
3.
Melakukan pembacaan CT-Scan Otak dan mampu menginterpretasikannya.
Tujuan umum modul ini adalah memberi bekal kepada peserta didik dalam hal
dasar-dasar membaca Ct Scan Otak dan interpretasinya agar peserta didik
memiliki kompetensi sebagai dokter.
Prasyarat keterampilan klinik ini adalah mahasiswa telah mendapatkan ilmu
mengenai dasar CT Scan dan ilmu pengetahuan mengenai penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan gangguan saraf.
Alat dan Bahan
CT-Scan Otak
Iluminator
Prosedur
I.Pendahuluan
CT-Scan Otak adalah pemeriksaan penunjang yang rutin terutama pada kasus
neurologi.
a.Potongan CT-Scan Otak
147
Gambar. Potongan Axial, sagital dan coronal
b. Hasil CT scan akan menunjukkan gambaran radiologik:
• Hypodense: hitam, biasanya daerah yang berisi cairan
• Isodense: jaringan parenkim otak sendiri
• Hyperdense: padat, kalsifikasi, pendarahan
148
Bagaimana Cara Membaca CT Scan Kepala?
Menyebutkan jenis pemeriksaan neuroradiologi yang dilakukan: CT scan kepala
aksial/coronal/sagital
tanpa kontras

jenis lesi yang terlihat:
Lesi hiperdens/hipodens/isoden
letak lesi
149

Lobus frontal/temporal/parietal/oksipital/pons/medulla
oblongata/mesensefalon/ serebelum/basal ganglia/talamus/putamen

Kanan/kiri
perkiraan volume lesi hiperdens (Brp cc?)
adanya Perifokal edema di sekeliling lesi
sulcus dan girus yang menyempit
midline shift (bila ada, brp mm?)
Menyimpulkan hasil
abnormalitas sistem ventrikel
agik/stroke iskemik
Contoh: lesi serebelum akibat infeksi intrakranial
CT scan kepala
aksial/coronal/sagital
tanpa dan dengan kontras
jenis lesi yang terlihat: Lesi hiperdens/hipodens/isoden

letak lesi
Lobus frontal/temporal/parietal/oksipital/pons/medulla
oblongata/mesensefalon/ serebelum

Kanan/kiri
Perifokal edema di sekeliling lesi (umumnya brp lesi hipodens
yang mengelilingi lesi
hiperdens)
abnormalitas (pelebaran / penyempitan) sistem ventrikel
Tampak penyempitan ventrikel IV dan sisterna ambiens; Tampak Pelebaran
ventrikel lateral bilateral dan ventrikel III
ebutkan Pasca pemberian kontras tampak penyangatan/tidak
 Pasca pemberian kontras tampak penyangatan cincin di sekeliling lesi serta
penyangatan pada sulci dan gyri
Menyimpulkan hasil CT scan kepala
osis serebelum.

High-
Brain atrofi: sulcus dan girus melebar, ventrikel melebar Perdarahan intraaksial: dari
sutura: SDH EDH: tidak melewati sutura; tp dpt melewati midline.
Tanda-tanda tumor maligna:
(1) Edema
(2) Penyangatan kontras
150
(3) Densitasnya inhomogen
High-grade Glioma
Metastasis
Iregular enhancement
Iregular
Edema >
Edema >>
Sering soliter
Dapat multipel
Dapat heterogen, bila ada lesi kistik/nekrotik
Low signal pd DWI, High signal pd ADC
Abses serebri
Smooth, ring.
Edema >>
Dapat multipel
Contoh kasus
151
152
Referensi
-De Jong s.The Neurologic Examination.Sixth Edition. Lippincott Williams
Wilkins,Philadelphia,2005
De Myer,W. Technique of The Neurologic Examination: A Programmed Text.
Edisi 5, 2004.
Fuller, G. Neurologycal examination Made Eazy. New York: Churchill
Livingstone, 2004.
153
Lampiran.
Lembar Refleksi Mahasiswa dan Feedback
Nama
:
NIM
:
Judul KKD
:
1. Penampilan saya yang sudah baik saat keterampilan klinik dasar (KKD) :
..............................................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................................
2. Penampilan saya yang masih kurang baik pada saat keterampilan klinik dasar (KKD) :
..............................................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................................
3. Hal yang perlu saya pelajari lagi agar penampilan saya semakin baik?
..............................................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................................
Umpan Balik terhadap penampilan mahasiswa
1. Kelompok Mahasiswa
..............................................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................................
2. Pasien Simulasi
..............................................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................................
3. Instruktur
..............................................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................................
Medan, .............................2017
Instruktur
(
Mahasiswa
)
(
)
154
Download