BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Chronic myeloid leukemia (CML) merupakan penyakit keganasan neoplasma dengan insidensi di negara-negara Barat sebesar 1-2 kasus per 100.000 individu per tahun (Apperley, 2015). American Cancer Society melaporkan bahwa pada tahun 2015, kasus CML di wilayah Amerika adalah 6.660 kasus dengan estimasi angka kematian sebesar 1.140 kasus (Siegel et al., 2015). Di Asia Tenggara, prevalensi leukemia sebesar 1,3% dari 28 jenis kanker per 100.000 individu (GLOBOCAN, 2012), sedangkan prevalensi CML sebesar 15% dari total leukemia (Garcia-Manero et al., 2003). Di Indonesia, insidensi leukemia sebesar 2,8% dari seluruh kasus kanker, namun belum ada angka pasti yang menyebutkan insidensi CML di Indonesia (Handayani & Haribowo, 2008). Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, terdapat lebih kurang 400 kasus CML yang ditemui sejak tahun 2010 hingga 2015, dan sebagian besar pasien terdiagnosis pada fase kronik (Paramita, unpublished). Chronic myeloid leukemia (CML) berkaitan erat dengan gen fusi BCR-ABL (Frazer et al., 2007; Shet et al., 2009) yang ditunjukkan dengan lebih kurang 9095% kasus mempunyai gen fusi BCR-ABL. Gen fusi BCR-ABL ini terjadi akibat translokasi resiprokal antara kromosom 9 dengan kromsosom 22 membentuk kromosom Philadelphia. Translokasi tersebut menyebabkan terbentuk gen fusi BCRABL yang mengkode protein onkogenik P210BCR-ABL (Frazer et al., 2007; Perrotti et al., 2010; Apperley, 2015). Gen BCR merupakan gen yang berperan dalam proses inisiasi transkripsi, perbaikan DNA serta regulasi siklus sel. Gen ABL merupakan gen yang berperan dalam regulasi siklus sel, remodeling, perlekatan dan motilitas sel. ABL melakukan 1 2 fungsinya melalui regulasi pengaktifan tirosin kinase. Aktivitas kinase oleh ABL dikontrol secara ketat dengan mekanisme autoinhibisi. ABL memiliki domain SH2, domain SH3, domain kinase serta kelompok protein myristoyl yang berperan dalam mekanisme autoinhibisi tersebut. Pada kondisi normal, domain SH2, SH3 serta protein myristoyl akan mempertahankan domain kinase tetap dalam kondisi inaktif hingga terdapat stimulus untuk mengaktifkannya. Apabila terbentuk gen fusi BCRABL, ekson pertama ABL yang tersusun dari myristoyl akan hilang dan digantikan dengan domain oligomerisasi BCR. Hal tersebut mengakibatkan terjadi oligomerisasi atau pengelompokan domain kinase ABL sehingga menyebabkan kontrol terhadap aktivitas kinase ABL hilang. Hilangnya kontrol tersebut akan menyebabkan aktivitas tirosin kinase meningkat (Rana et al., 2011; Apperley, 2015). Aktivitas tirosin kinase yang tinggi menyebabkan peningkatan aktivasi serangkaian jalur sinyal intraseluler untuk proliferasi dan survival bagi sel myeloid (Sillaber et al., 2003; Frazer et al., 2007; Rumpold & Webersinke, 2011). Chronic Myeloid Leukemia (CML) dibagi menjadi tiga fase berdasarkan progresivitasnya, yaitu fase kronik, akselerasi, dan blast crisis. World Health Organization (WHO) mengkarakterisasi ketiga fase tersebut berdasarkan jumlah sel myeloid imatur (sel blast) yang terakumulasi dalam darah atau bone marrow. Pasien fase kronik biasanya memiliki jumlah sel blast kurang dari 10%, pasien fase akselerasi memiliki jumlah sel blast 10-20% sedangkan pasien fase blast crisis memiliki jumlah sel blast lebih dari 20%. Blast crisis merupakan fase terminal pada CML dan terjadi akibat terhentinya proses diferensiasi (differentiation arrest) sel-sel myeloid (Calabretta & Perrotti, 2004). Jalur molekuler progresivitas CML dari fase kronik menjadi blast crisis belum sepenuhnya dipahami. Mutasi genetik atau perubahan kromosomal kedua 3 (secondary mutation) setelah BCR-ABL diduga memiliki pengaruh paling besar dalam progresivitas malignansi sel myeloid imatur (Shet et al., 2002; Calabretta & Perotti, 2004). Selain itu, resistensi terhadap terapi inhibitor tirosin kinase juga mempercepat progresivitas penyakit tersebut (Sillaber et al., 2003). Proses diferensiasi myeloid terutama diinduksi oleh gen CEBPA yang mengkode protein C/EBP-α (CCAAT-enhancer binding protein alpha), yaitu protein yang berperan menginduksi transkripsi gen-gen terkait diferensiasi. Pada kasus CML, ekspresi CEBPA dihambat oleh berbagai gen, diantaranya BCR-ABL, Hes-1, dan hnRNP-E2 yang berakibat pada terhentinya diferensiasi myeloid dan perkembangan CML fase kronik menjadi blast crisis. Gen Hes-1 (hairy enhancer of split 1) merupakan represor transkripsi beberapa gen, salah satunya adalah CEBPA. Penelitian terdahulu secara in vitro dan in vivo pada mencit model menunjukkan terdapat peningkatan ekspresi Hes-1 pada kasus CML. Oleh karena itu, peningkatan ekspresi Hes-1 diduga dapat berakibat pada terhambatnya ekspresi CEBPA, sehingga menyebabkan diferensiasi sel myeloid juga terhambat (Ward et al., 2000; Chang et al., 2007; Nakahara et al., 2010). Namun, kondisi tersebut belum sepenuhnya terbukti pada manusia. Penelitian yang dilakukan pada pasien CML menunjukkan bahwa hanya 8 dari 20 pasien blast crisis yang diuji sampel darahnya mengalami peningkatan ekspresi Hes1 (Nakahara et al., 2010). Pada penelitian tersebut, ekspresi Hes-1 baru dilihat pada kasus blast crisis saja dan belum dilihat pada fase kronik. Pemeriksaan ekspresi CEBPA pada kasus CML juga belum pernah dilakukan pada manusia. Penelitian mengenai ekspresi CEBPA yang sudah pernah dilakukan baru secara in vitro saja (Chang et al., 2007). 4 I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan ekspresi Hes-1 pada pasien CML fase kronik dengan fase lanjut ? 2. Apakah terdapat perbedaan ekspresi CEBPA pada pasien CML fase kronik dengan fase lanjut ? I.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui perbedaan ekspresi Hes-1 pada pasien CML fase kronik dengan fase lanjut. 2. Mengetahui perbedaan ekspresi CEBPA pada pasien CML fase kronik dengan fase lanjut. I.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Menambah informasi mengenai jalur molekuler perkembangan CML dari fase kronik menjadi fase lanjut. 2. Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar dalam mencari markermarker selanjutnya untuk perkembangan CML. 3. Data yang diperoleh diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan penelitian terkait gene targeted therapy pada CML. 5 I.5. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai progresivitas fase kronik menuju fase lanjut (akselerasi dan blast crisis) pada kasus CML telah dilakukan, yaitu: 1. Chang et al., 2007 menemukan bahwa peningkatan ekspresi hnRNP-E2 dapat menurunkan ekspresi CEBPA pada mencit dan cell line yang positif BCR-ABL, sehingga menyebabkan terhentinya proses diferensiasi sel myeloid. 2. Nakahara et al., 2010 menemukan bahwa pemberian ekspresi ektopik gen Hes-1 dapat menginduksi AML/CML blast crisis-like disease pada mencit. Pada penelitian yang sama juga ditemukan bahwa ekspresi Hes-1 meningkat pada 8 dari 20 pasien CML blast crisis. 3. Nakahara et al., 2014 melanjutkan penelitian sebelumnya dan menemukan bahwa Hes-1 menginduksi CML blast crisis pada mencit yang diperantarai oleh peningkatan ekspresi MMP9. Ketiga penelitian diatas merupakan penelitian yang dilakukan secara in vitro dan in vivo. Penelitian Nakahara et al. (2010) juga dilakukan pada subyek manusia, namun baru terbatas pada 20 sampel saja dan hanya pada kasus CML blast crisis. Pada penelitian tersebut, peningkatan ekspresi Hes-1 hanya ditemukan pada 40% pasien CML blast crisis. Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan ketiga penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan subyek manusia dengan desain penelitian cross sectional. Selain itu, pada penelitian ini akan dilihat perbedaan ekspresi Hes-1 dan CEBPA pada kelompok fase kronik dan fase lanjut.