Dukungan terhadap pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) FORCLIME memberikan saran kepada Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam dan Konservasi Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dalam pembangunan Kesatuan Pengelolaan Konservasi Hutan (KPHK) non-taman nasional. Salah satu bentuk kolaborasi yang telah dilakukan adalah penyusunan buku panduan "Rancang Bangun dan Operasional Pengelolaan KPHK”. Buku yang telah selesai dibuat pada tahun 2015, menguraikan tentang perencanaan dan langkah-langkah persiapan untuk membangun KPHK, sebagai berikut: 1. Mengelompokkan area konservasi yang ditunjuk untuk kepastian pengelolaan kawasan. 2. Mengkaji aspek ekologi untuk kesesuaian ekologi dengan peruntukannya. 3. Mengevaluasi jarak dan ukuran demi pengelolaan yang efektifitas dan efisiensi oleh unit manajemen. 4. Mengkaji ketersediaan sumber daya, distribusi, dan aksesibilitas pemanfaatan. Pertama, teknik penyangga (buffering) berdasarkan proximity dan adjacent, serta aspek geografis dan ekologis digunakan untuk penetapan suatu KPHK baru. Kemudian, kawasan konservasi kunci yang diidentifikasi melalui metode penilaian ahli (expert judgment), yang merupakan intisari dalam mendelineasikan unit kelola yang diusulkan. Hasil kolaborasi lainnya adalah "Petunjuk Teknis Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi, dan "Standar, Kriteria dan Prosedur Pembangunan KPHK" (saat ini masih dalam proses penyelesaian). Selain itu, FORCLIME akan mendorong hasil kajian untuk disusun menjadi Peraturan Menteri mengenai Pembangunan KPHK di luar taman nasional, yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Transformasi: Dari Area Konservasi untuk Unit Pengelolaan Konservasi Hutan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa dan hutan konservasi alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, termasuk taman buru). Saat ini, taman nasional yang ada dikelola oleh unit pengelola khusus, yang dikenal sebagai Balai Taman Nasional dan Balai Besar Taman Nasional, sedangkan Taman Hutan Raya berada di bawah pemerintah nasional atau provinsi. Kawasan lindung lainnya dikelola oleh Balai Besar Kawasan Konservasi dan Balai Kawasan Konservasi di tingkat provinsi. Perbedaan tingkat administrasi dan institusi pengelola telah menyebabkan kurangnya manajemen yang efektif, terutama di kawasan konservasi non-taman nasional di tingkat tapak. Dalam rangka meningkatkan pengelolaan hutan lestari, pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan kebijakan penting untuk memperkuat pelaksanaan pengelolaan hutan di tingkat tapak. Oleh karena itu, semua hutan, termasuk hutan konservasi harus dikelola oleh unit manajemen khusus berdasarkan fungsinya. Oleh karena itu, kawasan konservasi dan manajemennya yang sekarang akan berubah menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi sebagai sebagai satu area/kelompok dan satu unit manajemen (organisasi). Sejarah berdirinya Kawasan Konservasi di Indonesia Pembentukan kawasan konservasi (KK) di Indonesia mengacu pada saat Pemerintah Kolonial Belanda menunjuk sebagian hutan Indonesia sebagai "natuurmonumenten" (monumen alam) atau "wildreservaat" (suaka margasatwa) di bawah Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tujuan melestarikan hutan termasuk penelitian dan perlindungan alam dan habitat marga satwa, terutama mamalia besar, burung dan hewan menarik lainnya. Beberapa kawasan yang dikelola oleh Kantor Kehutanan (Onder het beheer van den Dienst van het Boschwezen) seperti cagar botani atau Kebun Raya Bogor (Onder het beheer van den Directeur’s Land Paltentuin te Buitenzorg), sedangkan yang dan lainnya dikelola oleh pihak swasta (Onder het beheer door Particulieren) seperti cagar alam. Daerah- daerah tersebut ditetapkan sebagai cagar alam (natuurmonumenten) berdasarkan UU Cagar Alam No. 278 tanggal 18 Maret 1916 (Natuurmonumenten Ordonantie, Staatsblad van Nederlandch - Indie No. 278, 1916).1 Selain itu, banyak daerah yang ditetapkan sebagai suaka margasatwa (wildreservaat) untuk melindungi spesies hewan yang terancam karena perburuan yang berlebihan untuk hobi dan keindahan. Situasi tersebut menyebabkan pembatasan kegiatan berburu melalui berlakunya Peraturan Berburu no. 133/1916 (Jacht ordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 133) yang diikuti oleh berlakunya Peraturan Satwa Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer 134). Pada tahun 1941, sebuah Hukum Perlindungan Alam (Natuurbeschermings Ordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167) diterbitkan sebagai perbaikan dari Hukum Monumen Alam tahun 1916. Namun, karena Perang Dunia II (dan invasi Jepang tahun 1942), tidak ada kegiatan terkait yang dilakukan sampai diundangkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. Menurut undang-undang ini, kawasan konservasi dibagi menjadi Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata. Berdasarkan undang-undang ini, yang sebelumnya natuurmonumenten dan wildreservaat ditetapkan kembali sebagai suaka alam dan suaka margasatwa. Selain itu, lebih banyak wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan lindung baru seperti cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, dan hutan buru di bawah Departemen Pertanian. Namun, dasar konservasi keanekaragaman hayati berlaku setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, yang pada saat yang sama mencabut undang-undang yang sebelumnya dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada tahun 1978/1979, beberapa kawasan konservasi, terutama Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dinilai untuk diusulkan menjadi taman nasional dengan menggambungkan areal hutan yang berdampingan sekitarnya menjadi areal yang layak terkelompok. Lima taman nasional pertama ditetapkan pada tahun 1980, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Komodo. Pada tahun 1982, selama Kongres Taman Nasional Dunia (World National Park Congress) di Bali, 11 kawasan lainnya dinyatakan sebagai taman nasional. Saat ini, ada 521 kawasan konservasi di Indonesia, meliputi lebih dari 27 juta hektare, yaitu: CagarAlam (220Ha), Suaka Margasatwa (75Ha), Taman Nasional (51Ha), Taman Hutan Raya (23Ha), Taman Wisata Alam (115Ha), dan Hutan Buru (13Ha). Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: Wandojo Siswanto, Manajer bidang Kebijakan Hutan dan Perubahan Iklim 1 Yudistira, Pandji. 2014. Sang Pelopor. dan Konservasi Alam Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan