BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah tropis yang kaya akan biodiversitasnya. Berbagai macam tanaman dan hewan terdapat di Indonesia. Tumbuh-tumbuhan berpotensi besar dalam bidang pengobatan di Indonesia. Saat ini pemanfaatan bahan alam sebagai obat dapat dikatakan mengalami peningkatan dikarenakan kesadaran masyarakat menggunakan obat alami untuk mencapai kesehatan. Tanaman yang dapat dipakai sebagai obat tradisional salah satunya adalah Zingiber majus Rumph. Rimpang Zingiber majus Rumph., merupakan spesies dari jahe-jahean. Jahe merupakan tanaman Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi serta memiliki banyak khasiat. Jahe juga digunakan dalam industri makanan, kosmetik, serta farmasi. Efek jahe diantara sebagai antiemetik, antiinflamasi, karminatif, dan antinausea (Bhattarai dkk., 2001), selain itu jahe juga digunakan sebagai antiemetik, hipolipidemik, antioksidan, dan antikanker (Molhura dan Singh, 2003). Jahe juga mengandung komponen minyak atsiri serta komponen kimia gingerol dan shogaol (Bhattarai dkk., 2001). Produk DLBS5447 yang berisi ekstrak etanolik rimpang jahe Zingiber majus Rumph. akan digunakan untuk pengobatan dalam bentuk obat herbal terstandar maupun fitofarmaka, oleh karena itu diperlukan adanya uji pra klinik baik ketoksikan khas maupun tidak khas. 1 2 Berdasaran Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.2411 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, yang dimaksud dengan obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi , sedangkan fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik. Bahan baku produk jadi fitofarmaka juga telah distandarisasi. Uji praklinik yang telah dilakukan adalah uji ketoksikan akut. Uji toksisitas akut merupakan uji praklinik yang tak khas. Hasil uji ketoksikan pada ekstrak DLBS 5447 tersebut adalah pemberian ekstrak secara oral dalam dosis tunggal dengan dosis > 5000 mg/kgBB, tidak menimbulkan efek toksik pada tikus jantan galur Wistar, yang jika dosis tersebut dikonversi kepada dosis manusia sebesar >56 g/kg BB (Aisyah, 2013). Uji praklinik lainnya dapat berupa uji ketoksikan khas. Salah satu uji ketoksikan khas adalah uji keteratogenikan. Uji keteratogenikan merupakan uji toksisitas khas yang bertujuan untuk melihat apakah obat herbal terstandar maupun fitofarmaka tersebut aman digunakan untuk ibu hamil. Masa paling rentan pada saat kehamilan adalah masa organogenesis. Pada masa tersebut terjadi perkembangan organ tubuh janin. Ekstrak etanolik Zingiber majus Rumph., mengandung berbagai senyawa metabolit, diantaranya adalah 6-gingerol dan 6-shogaol. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nakamura dan Yamamoto (1983), senyawa 6-gingerol dan 3 6-shogaol dinyatakan sebagai zat mutagenik. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian uji keteratogenikan terhadap produk DLBS5447 yang berisi 6gingerol dan 6-shogaol serta mengetahui keamanannya apabila digunakan pada ibu hamil. Beberapa indikator uji keteratogenikan adalah biometrika janin, kelainan skeletal, histopatologis, dan biometrika janin. Indikator biometrika janin dapat berupa bobot janin, bobot plasenta, panjang janin, jumlah janin mati, jumlah resorpsi awal, jumlah resorpsi akhir, dan angka kematian janin. Pada penelitian ini akan digunakan parameter biometrika janin. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diperoleh beberapa rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain: 1. Apakah efek toksik yang ditimbulkan oleh ekstrak Zingiber majus Rumph yang mengandung 6-gingerol dan 6-shogaol jika diberikan pada tikus bunting galur Sprague-Dawley? 2. Bagaimanakah wujud efek toksik yang ditimbulkan oleh ekstrak etanolik Zingiber majus Rumph yang mengandung 6-gingerol dan 6-shogaol terhadap biometrika janin tikus bunting galur Sprague-Dawley? 3. Bagaimanakah hubungan antara dosis dengan efek toksik yang ditimbulkan oleh ekstrak etanolik Zingiber majus Rumph yang mengandung 6-gingerol dan 6-shogaol terhadap biometrika janin tikus bunting galur Sprague-Dawley? 4 C. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, antara lain: 1. Mengetahui efek toksik yang ditimbulkan oleh ekstrak Zingiber majus Rumph yang mengandung 6-gingerol dan 6-shogaol, terhadap biometrika janin jika digunakan selama masa kebuntingan pada tikus galur Sprague-Dawley. 2. Mengetahui wujud efek toksik yang ditimbulkan oleh ekstrak Zingiber majus Rumph yang mengandung 6-gingerol dan 6-shogaol terhadap biometrika janin yang digunakan selama masa kebuntingan pada tikus galur Sprague-Dawley. 3. Mengetahui hubungan antara dosis dengan efek toksik yang ditimbulkan oleh ekstrak Zingiber majus Rumph yang mengandung 6-gingerol dan 6-shogaol pada biometrika janin pada tikus galur Sprague-Dawley. D. Tinjauan Pustaka 1. Ekstrak Etanolik DLBS 5447 (Zingiber majus Rumph.) Ekstrak etanolik Zingiber majus Rumph pada produk DLBS 5447 yang diproduksi oleh PT. Dexa Medica, telah diuji pula di Dexa Laboratories of Biomolecular Science (DLBS) dan dijelaskan dalam Certificate of Analysis dari PT. Dexa Medica yang dapat dilihat pada lampiran 1, dengan no. batch 110612 dan tanggal kadaluwarsa Juni 2014. a. Sifat fisika dan kimia 1). Sifat fisika 5 Serbuk ekstrak etanolik rimpang Zingiber majus Rumph berwarna kuning pucat kecoklatan, berasa pedas dan beraroma khas. Ekstrak ini sedikit larut di dalam air dan sedikit larut juga di dalam etanol 96%. Ekstrak ini memiliki susut pengeringan 1,99% dan total kadar abu sebesar 5,11%. Gambar 1. Ekstrak kering etanolik Zingiber majus Rumph. 2). Sifat kimia Ekstrak Zingiber majus Rumph., apabila diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan adanya bercak berwarna coklat pada Rf ± 0,30; 0,40; 0,50; dan 0,60 yang sama dengan larutan standarnya pada panjang gelombang 366 nm dan cahaya tampak setelah disemprot. Kandungan gingerol (dalam bentuk 6-gingerol) didalam ekstrak ini sebesar 1,01 %, sedangkan kandungan shogaol (dalam bentuk 6-shogaol) pada ekstrak ini 0,64%. 6 b. Kandungan mikroba Angka total mikroba aerobik pada ekstrak ini bernilai ≤ 104 CFU/g, nilai ini masih dibawah batas aman cemaran sehingga cemaran mikroba di ekstrak memenuhi persyaratan yaitu ≤ 106 CFU/g (Anonim,1994), sedangkan Angka Kapang Khamir pada ekstrak ini bernilai sebesar ≤ 103 CFU/g. Nilai ini masih dibawah batas aman cemaran Angka Kapang Khamir yaitu ≤ 104 CFU/g (Anonim,1994). Cemaran Escherichia coli, Salmonella sp., Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa memiliki nilai negatif/10 gram. c. Uji residu kontaminan Menurut COA (Certificate of Analysis), dalam ekstrak etanolik DLBS 5447 (Zingiber majus Rumph.) tidak ditemukan kontaminan logam berat yang berupa kadmium, timah, dan merkuri serta pestisida. 2. Senyawa 6-gingerol dan 6-shogaol Komponen jahe yang paling banyak ditemukan adalah komponen gingerol. Gingerol tidak stabil dengan adanya panas dan pada suhu tinggi akan berubah menjadi shogaol (Mishra, 2009). Pada ekstrak Zingiber majus Rumph., terdapat komponen utama gingerol dan shogaol terutama dalam bentuk 6-gingerol dan 6shogaol. Senyawa gingerol dan shogaol merupakan fraksi non-volatil dari komponen jahe. 7 A B Gambar 2. A, Struktur shogaol; B, Struktur gingerol (Anonim,1999) Menurut United States Food and Drug Administration (FDA), jahe dikatakan generally recognized as safe, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa komponen jahe 6-gingerol merupakan suatu mutagen aktif (Nakamura dkk., 1982). Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa 6-gingerol lebih mutagenik daripada 6-shogaol dan bahwa bagian aktif dari 6-gingerol adalah pada rantai bagian alifatik yang mengandung gugus hidroksil (Nakamura dan Yamamoto, 1983). Sampai saat ini belum ada penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa komponen kimia jahe bersifat mutagenik (Bode dan Dong, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Nakamura dan Yamamoto tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Weider dan Sigwart (2001) yang menyatakan bahwa pemberian ekstrak jahe 1000 mg/kg pada tikus bunting tidak menyebabkan efek samping kepada induk maupun cacat pada janin. Komponen pada jahe lainnya alfa-zingiberene yang memiliki aktivitas antioksidan atau antimutagenik (Jeena dkk., 2013). Kandungan komponen yang lebih besar menentukan apakah jahe yang diminum bersifat mutagenik atau antimutagenik. Komponen alfa-zingiberene merupakan fraksi volatile pada jahe. 8 3. Toksikologi a. Definisi Toksikologi Pada awal perkembangannya bahan yang dimakan oleh manusia terkadang dapat menimbulkan penyakit maupun tidak. Untuk bahan yang dapat dimakan dikenal sebagai bahan pangan yang tidak berbahaya bagi tubuh. Perkembangan lebih lanjut adalah bahan pangan atau zat kimia yang berbahaya untuk tubuh dinamakan racun dan yang aman digunakan bagi tubuh adalah makanan. Perkembangan selanjutnya, definisi toksikologi yang sebelumnya merupakan ilmu tentang racun beralih menuju pengertian bahwa semua zat yang masuk ke dalam tubuh merupakan racun, hanya takaran atau dosis yang membedakan antara racun dan obat maupun makanan (Donatus, 2005). b. Asas umum toksikologi Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari aksi zat berbahaya zat kimia atas sistem biologi. Peristiwa timbulnya efek toksik racun melalui beberapa proses. Makhluk hidup mengalami pemejanan terhadap racun. Racun selanjutnya mengalami absorbsi dari tempat pemejanannya, lalu racun atau metabolitnya akan terdistribusi ke sel sasaran atau tempat aksinya. Pada tempat aksi inilah akan terjadi antar aksi zat toksik atau metabolisme dengan sel sasaran dan terjadi ketoksikan. Jadi ketoksikan senyawa ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) senyawa atau metabolit di tempat aksi dan keefektifan antaraksi zat toksik dengan reseptor (Donatus, 2005). 9 Dari uraian di atas maka terdapat empat asas umum toksikologi yang perlu dipahami, yaitu kondisi efek toksik, mekanisme efek toksik, wujud efek toksik, dan sifat efek toksik. 1). Kondisi efek toksik Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi efek toksik merupakan faktor penentu keberadaan zat beracun di tempat aksinya. a). Kondisi Pemejanan Kondisi pemejanan merupakan semua faktor yang menentukan keberadaan zat beracun pada tempat aksi tertentu di dalam tubuh serta berkaitan dengan pemejanannya pada makhluk hidup. Kondisi pemejanan meliputi jenis, jalur, lama, kekerapan, saat, dan takaran pemejanan racun (Donatus, 2005). b). Kondisi Makhluk Hidup Kondisi makhluk hidup berpengaruh terhadap ketoksikan. Kondisi makhluk hidup dibagi menjadi dua keadaan, yaitu kondisi fisiologi dan patologis. Kondisi fisiologi meliputi berat badan, umur, jenis kelamin, kehamilan, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, genetika, irama sirkadian, dan diurnal, sedangkan kondisi patologis meliputi, kondisi dimana terdapat penyakit saluran cerna, 10 penyakit kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal (Donatus, 2005). 2). Mekanisme efek toksik Mekanisme efek toksik meliputi, mekanisme luka intrasel yang bekerja pada membran, protein, produksi energi, serta mekanisme luka ekstrasel meliputi, pasok oksigen, pasok zat hara, cairan, sistem syaraf, sistem endokrin dan sistem imun (Donatus, 2005). 3). Wujud efek toksik Wujud efek toksik merupakan hasil akhir dari aksi respon toksik. Wujud efek toksik dibagi menjadi 3 berupa, respon biokimia seperti peningkatan dan pengurangan transpor energi di miokondria, respon fungsional seperti efek sedasi peredaran darah dan lain-lain yang berhubungan dengan fungsional tubuh, yang terakhir adalah perubahan struktural seperti degenerasi sel, proliferasi dan inflamasi perbaikan (Donatus, 2005). Perubahan fungsional dan biokimia, kemungkinan merupakan awal dari terjadinya perubahan struktural (Loomis, 1978). 4). Sifat efek toksik Sifat efek toksik meliputi sifat yang terbalikkan dan sifat yang tak terbalikan. Sifat efek toksik yang terbalikkan memiliki ciri khas apabila kadar racun habis, maka reseptor kembali normal, efek toksik cepat kembali normal dan ketoksikan tergantung dari takaran yang diberikan, sedangkan efek toksik 11 yang tidak terbalikkan memiliki kerusakan yang menetap, terjadi penumpukkan efek toksik, dan pemejanan dalam takaran kecil jangka panjang sama halnya dengan pemejanan takaran besar dalam jangka waktu pendek (Donatus, 2005). 4. Teratogenesis a. Pengertian Teratogenesis merupakan proses yang mencakup gangguan perkembangan embrio atau janin dalam uterus, yang mengakibatkan terjadinya kelainan maupun cacat bawaan bayi, baik makroskopik maupun mikroskopik, mencakup perubahan struktural maupun fungsional (Donatus, 2005). Teratogenik (kelainan bawaan) cenderung terjadi pada masa organogenesis janin. Senyawa xenobiotik terkadang dapat menembus plasenta dan ketuban. Efek yang ditimbulkan dapat berupa kematian (embriotoksik), cacat bawaan (teratogenik), dan gangguan fungsional, maupun perlambatan pertumbuhan. Ilmu yang mempelajari tentang teratogenesis adalah teratologi. Teratologi merupakan studi perkembangan janin abnormal dan malformasi kongenital yang disebabkan oleh bahan kimia eksogen dan agen fisik. Teratologi mulai banyak dipelajari dan berkembang pada penelitian medis dalam upaya untuk pencegahan cacat pada janin lahir (Haschekk dan Rousseaux, 1991). b. Mekanisme teratogenesis Ketidaknormalan yang sama mampu ditimbulkan berbeda bila diberikan selama periode kritis yang sama (Septiani 2006). Mekanisme terjadinya 12 teratogenesis dapat berupa gangguan asam nukleat, penghambatan enzim (Lu, 1995), ketidaknormalan kromosom, mutagen, gangguan asam nukleat, kekurangan nutrisi, kekurangan pasok energi, perubahan pada membran sel, perubahan osmolaritas, dan gangguan osmosis (Hodgson dan Levi, 2000). c. Teratogen Cacat pada janin dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya agen kimia. Agen kimia yang menyebabkan teratogenik adalah teratogen. Selain agen kimia, faktor lain yang menyebabkan terganggunya perkembangan janin adalah defisiensi nutrisi, infeksi virus, hipertemia, keseimbangan hormon dan berbagai macam kondisi stres (Loomis, 1978). Contoh teratogen adalah talidomid yang mengakibatkan efek teratogen pada janin (Manson dan Wise, 1991). Teratogen lain seperti tiourasil, klorpropamid, kortison, uretan, vitamin A berlebih , etinil testosteron, tetrasiklin juga mengakibatkan cacat pada janin (Loomis, 1978). Kondisi lifesyle maternal juga mempengaruhi terjadinya kecacatan pada bayi seperti penggunaan marijuana (Barness, 2010), konsumsi alkohol, dan kurangnya konsumsi Zinc (King, 2000). Fisiologis ibu seperti obesitas dan hipertensi dapat mengakibatkan neural tube defect pada janin (Anonim, 2006). Beberapa penyakit infeksi seperti toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, Varicella zooster (Chiodo dkk., 1993), campak, herpes simplex, listeria, dan sifilis (Obicain dan Scialli, 2011) dapat mengakibatkan cacat pada janin apabila menyerang ibu pada waktu kehamilan (Chiodo dkk., 1993). Menurut United States Food and Drug Administration (FDA), obat dapat dimasukan dalam 5 kategori, yaitu: 13 a. Kategori A Studi terkontrol tidak menunjukkan resiko bagi manusia. Studi terkontrol dan memadai pada wanita hamil, tidak menunjukkan peningkatan risiko kelainan janin (Buhimschi dan Weiner, 2009). Obat yang telah dipakai sejumlah wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi malformasi janin atau pengaruh buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap janin. Contoh obat kategori A adalah penisilin, isoniazid, glikosida jantung, dan eritomisin. b. Kategori B Pada obat ini, tidak ditemukan resiko kelainan pada manusia. Studi pada hewan tidak menunjukkan resiko yang membuat fetus rusak. Data pada wanita hamil tidak memadai. Studi pada hewan menunjukkan efek samping, akan tetapi studi yang memadai dan terkontrol pada wanita hamil sulit menunjukkan adanya resiko pada janin (Buhimschi dan Weiner, 2009). Contoh obat golongan ini adalah parasetamol, ibuprofen, dan fentanil. c. Kategori C Tidak dilakukan uji coba kepada manusia tetapi studi terhadap hewan menunjukkan efek samping serta tidak terdapat studi yang memadai terhadap wanita hamil. Efek farmakologi obat dapat berpengaruh buruk pada janin tanpa disertai anatomi malformasi. Pengaruh ini kemungkinan bersifat reversible. Contoh: fenotiazin, analgetika narkotik, antiinflamasi non steroid, aspirin, rifampisin, anti aritmia, diuretika, propoksifen, gentamisin, dan trimetropim 14 (Buhimschi dan Weiner, 2009). Antibiotik quinolon dan turunannya memilik efek teratogenik dan termasuk dalam kategori C (Aboubakr dkk., 2014). d. Kategori D Obat pada kategori ini menyebabkan kenaikan kejadian malformasi janin. Contoh: fenitoin, pirimidon, valproat, kinin, kaptopril, antikoagulan, obat-obat antisitotoksik (Buhimschi dan Weiner, 2009). e. Kategori X Obat-obat yang telah terbukti mempunyai resiko tinggi pada kehamilan karena pengaruh yang irreversible pada janin dan menyebabkan teratogen. Obat kategori X tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Contoh talidomid, isoproterenon, dietilstilbestron (Buhimschi dan Weiner, 2009). Tabel 1 . Contoh teratogen dan malformasinya (Barness, 2010) Teratogen Virus Rubella Umur Fertilisasi (hari) 0-60 Talidomid Androgen 21-40 <90 Warfarin Dietilbestrol <100 >100 >14 >98 >126 5. Malformasi Katarak, penyakit jantung, tuli Cacat ekstrimitas Hipertropi klitoral dan penggabungan labial Hipoplasia hidung Keterbelakangan mental 50% adenosis vaginal 30% adenosis vaginal 10% adenosis vaginal Uji Keteratogenikan Uji keteratogenikan digunakan untuk menentukan pengaruh senyawa terhadap janin. Hewan uji yang digunakan dapat berupa rodent dan non rodent. 15 Pemilihan hewan uji harus diperhatikan umur, berat badan, keteraturan daur estrus serta kerentanan hewan uji terhadap teratogen. Kegiatan uji keteratogenikan meliputi; pemeriksaan siklus estrus, penetapan masa bunting, penegasan masa bunting, pemejanan senyawa uji pada masa organogenesis, pemeriksaan keteratogenikan pada masa akhir kebuntingan dengan bedah sesar. Dosis yang digunakan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga peringkat dosis, berkisar antara dosis letal terhadap induk atau semua janin dan dosis yang tidak memiliki efek teratogenik. Dosis tertinggi tidak boleh menunjukkan efek negatif pada induk janin. Apabila rasio hewan uji dengan manusia belum diketahui, dosis teratogenik diperkirakan LD50 induk, dan dapat dicari secara tentatif berupa 1x,2x,4x,dan seterusnya dosis manusia (Donatus, 2005). Pemejanan senyawa uji dilakukan pada masa organogenesis pada induk bunting, yaitu pada hari ke-6 sampai hari ke-15 untuk mencit, hari ke-7 sampai hari ke-15 untuk tikus, dan hari ke-7 sampai 18 untuk kelinci. Pengamatan dilakukan pada 12-14 jam sebelum kelahiran normal dengan melakukan pembedahan secara sesar. Uji keteratogenikan meliputi gross morfologi, biometrika janin (angka resorpsi, angka cacat, berat janin, panjang janin, dan bobot plasenta), histopatologi, dan kelainan skeletal (Donatus, 2005). 6. Sistem reproduksi tikus betina a. Organ reproduksi betina Sistem reproduksi betina pada mamalia terdiri dari organ reproduksi betina dan daur estrus. Siklus menstruasi untuk primata dan siklus estrus untuk 16 non primata (Barrett dkk., 2010). Organ reproduksi betina dibagi menjadi dua bagian: organ reproduksi luar (genetalia externa) dan organ reproduksi bagian dalam (genetalia interna). Organ reproduksi (genetalia externa) meliputi saluran masuk menuju vagina dan selaput dara (hymen). Organ reproduksi luar juga terdiri dari mons veneris, bibir besar (labium majora), bibir kecil (labium minora), clitoris, dan vulva. Organ reproduksi bagian dalam terdiri dari vagina, rahim, ovarium, dan oviduk. 1). Vagina Vagina merupakan saluran kelamin betina yang terdiri dua bagian, yaitu vagina sebenarnya dan vestibulum. Vagina berfungsi sebagai tempat penumpahan semen dan juga sebagai jalur pengeluaran fetus dan plasenta pada saat partus. 2). Uterus Uterus merupakan struktur saluran muskuler yang diperlukan untuk menerima ovum yang telah dibuahi dan perkembangan zigot. Sel telur yang telah dibuahi akan menempel pada uterus dan mengalami pertumbuhan serta perkembangan. 3). Oviduk Pangkal dari tuba falopii terdapat fimbrae. Fimbrae berfungsi menangkap ovum yang telah diovulasi oleh ovarium dan akan diteruskan ke arah tuba falopii. Tuba falopii merupakan saluran reproduksi betina yang 17 kecil, berliku-liku dan kenyal dan bersilia, serta terdapat sepasang dan merupakan saluran penghubung antara ovarium dan uterus. Tuba falopii juga berfungsi sebagai transport ovum dan sperma saat fertilisasi, kapasitas spermatozoa dan tempat pembelahan zigot. 4). Ovarium Ovarium terletak di ujung distal dari tanduk rahim dekat ginjal. Ovarium berfungsi sebagai kelenjar eksokrin dan penghasil sel telur serta sebagai kelenjar endokrin yang mensekresikan estrogen dan progesteron. Gambar 3. Anatomi sistem reproduksi tikus betina (Sowash, 2009) b. Daur Estrus Siklus estrus tikus betina dipengaruhi oleh kadar hormon. Beberapa obat mempengaruhi siklus estrus dengan beraksi menghambat ovulasi (Abiodun dkk., 2012). Daur estrus tikus betina berlangsung dalam waktu 4-5 hari. Siklus estrus tikus terdiri dari 4 tahap. Tahap itu adalah proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Goldman dkk., 2007). 18 1). Proestrus Tahap proestrus diawali dengan adanya sel bulat, sel epitel berinti yang memiliki granular dilihat dibawah mikroskop (Gambar 4A, 4B, 4C). Tahap proestrus berlangsung selama 1 hari dan diikuti oleh estrus. Pada fase proestrus, ovarium terjadi pertumbuhan folikel dengan cepat menjadi folikel pertumbuhan tua atau disebut juga dengan folikel de Graaf. Pada tahap ini hormon estrogen sudah mulai banyak, sedangkan hormon FSH dan LH siap terbentuk. Pada apusan vaginanya akan terlihat sel-sel epitel yang sudah tidak berinti (sel cornified) dan tidak ada lagi leukosit (Goldman dkk., 2007). Pada tahap ini mencit betina sudah mulai gelisah namun keinginan untuk kopulasi belum terlalu besar. 2). Estrus Estrus diidentifikasi oleh bentuk sel jarum seperti cornified (Gambar 4D) atau sel-sel yang lebih bulat dengan tepi bergerigi (Gambar 4E ). Fase estrus akan berlangsung kira-kira satu hari dalam siklus 4 hari , dan dapat hadir selama 2 hari berturut-turut dalam siklus 5 hari (Goldman dkk., 2007). Pada tahap ini vagina membengkak dan berwarna merah. Tahap estrus pada mencit dibagi menjadi dua tahap yaitu, tahap estrus awal dimana folikel sudah matang, sel-sel epitel sudah tidak berinti dan ukuran uterus pada tahap ini adalah ukuran uterus maksimal, terjadi selama 12 jam. Tahap estrus akhir terjadi ovulasi yang hanya berlangsung selama 18 jam. Apabila pada tahap estrus tidak terjadi kopulasi maka akan berpindah pada tahap metesterus. 19 3). Metestrus Tahap selanjutnya adalah metestrus, metestrus adalah masa transisi selama bagian awal dari hari pertama dari diestrus (diestrus 1), ditandai dengan kombinasi leukosit, sel cornified dan sel epitel bulat (Gambar 4F). Metestrus berlangsung kira-kira 1-2 hari (Goldman dkk., 2007). Pada tahap metestrus birahi tikus betina mulai terhenti dan tenang, serta tidak reseptif terhadap tikus jantan. Ukuran uterus menjadi kecil. Pada fase metestrus terdapat sel-sel leukosit yang berfungsi untuk menghancurkan dan memakan sel telur tersebut. Hormon yang terkandung paling banyak adalah hormon progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. 4). Diestrus Pada fase diestrus terdapat sel epitel bulat dan sel leukosit 1-2 hari fase diestrus (Gambar 4G). Konsentrasi leukosit dapat bervariasi (Gambar 4H). Pada hari kedua diestrus (diestrus 2) terdapat beberapa gumpalan kecil sel epitel berinti atau beberapa helai seluler. Beberapa tikus dengan siklus 5 hari biasa memiliki 3 hari fase diestrus. Fase ini disebut pula fase istirahat karena mencit betina sama sekali tidak tertarik pada mencit jantan (Goldman dkk., 2007). Pada tahap ini terbentuk folikel-folikel primer yang belum tumbuh dan beberapa yang mengalami pertumbuhan awal. Pada apusan vagina akan terlihat banyak sel epitel berinti dan sel leukosit. Pada fase ini hormonhormon seperti LH, progesteron menurun diawal fase diestrus, akan tetapi 20 apabila memasuki fase proestrus hormon-hormon tersebut akan naik konsentrasinya. Siklus tersebut akan terus berulang. Gambar 4. Sel-sel vaginal smear pada tiap daur. A,B,C proestrus; D,E estrus; F metestrus; G,H diestrus (Goldman dkk., 2007) 7. Biometrika Janin Biometrika janin merupakan data kuantitatif yang digunakan untuk melihat pengaruh teratogen yang diuji. Data biometrika janin meliputi jumlah kematian, jumlah janin hidup, jumlah janin mati,angka kematian janin janin, jumlah korpora lutea, jumlah tempat implantasi, panjang janin, bobot janin, dan bobot plasenta. Angka resorpsi dan jumlah kematian diperlukan data jumlah janin hidup dan jumlah janin mati serta jumlah korpora lutea dan jumlah tempat implantasi (Donatus, 2005). Data panjang janin digunakan untuk mengetahui apakah terdapat gigantisme atau kretinisme pada janin jika dipejani oleh senyawa. Bobot plasenta 21 memberikan gambaran apakah terjadi penghambatan periode kritis perkembangan janin serta mekanisme zat yang terjadi. Bobot janin digunakan untuk melihat apakah terdapat toksisitas yang mempengaruhi pertumbuhan janin (Haschekk dan Rousseaux, 1991). Perhitungan angka resorpsi dilakukan dengan menghitung selisih jumlah korpora lutea dengan jumlah janin hidup. Resorpsi awal terjadi pada saat setelah terjadi fertilisasi, namun hasil fertilisasi tersebut tidak dapat mencapai uterus, sehingga janin tidak dapat terbentuk. Resorpsi akhir adalah suatu peristiwa akibat gagalnya perkembangan janin di dalam uterus dan terjadi setelah janin terbentuk. Resorpsi akhir ditandai dengan adanya plasenta tanpa janin atau terjadinya sisa plasenta. Sisa janin yang terdapat dalam tempat implantasi juga menggambarkan terjadinya resorpsi akhir janin. Resorpsi akhir dapat juga dihitung dengan melihat selisih antara tempat implantasi dengan jumlah janin (Putri, 2012). E. Hipotesis Pemberian ekstrak etanolik DLBS 5447 (Zingiber majus Rumph.) yang mengandung 6-gingerol dan 6-shogaol dan bersifat mutagenik pada tikus galur Sprague- Dawley selama masa kebuntingan diduga memiliki efek teratogenik terhadap biometrika janin.