dinamika kehidupan keagamaan di era reformasi

advertisement
DINAMIKA KEHIDUPAN
KEAGAMAAN DI ERA
REFORMASI
Editor:
Haidlor Ali Ahmad
Kementerian Agama RI
Badan Litbang dan Diklat
Pusitbang Kehidupan Keagamaan
Jakarta, 2010
i
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi
Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010
xii + 612 hlm; 21 x 29 cm
ISBN 978-979-797-285-1
Hak Cipta 2010, pada Penerbit
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy,
tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, September 2010
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
DINAMIKA KEHIDUPAN KEAGAMAAN
DI ERA REFORMASI
Editor:
Haidlor Ali Ahmad
Desain cover dan Lay out oleh:
H. Zabidi
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini
Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540
Diterbitkan oleh:
Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta
Anggota IKAPI No. 387/DKI/09
Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620
Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522
ii
SAMBUTAN
KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT
KEMENTERIAN AGAMA RI
P
eneliti adalah ujung tombak bagi tugas pokok dan
fungsi Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama. Tugas peneliti yang cukup berat itu
haruslah didukung oleh profesionalisme para penelitinya,
sehingga produk-produk penelitiannya menjadi layak untuk
dirujuk dan dijadikan bahan penyusunan kebijakan pimpinan
Kementerian Agama.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai bagian dari
unit Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam
melaksanakan kegiatan penelitian individual yang dibimbing
oleh para seniornya, memang baik untuk dilanjutkan. Masa
pembinaan sebagai peneliti yang dialami oleh para senior dan
peneliti muda sangatlah berbeda, setidaknya dari sisi waktu
penelitian lapangan, diversifikasi teori dan metodologi
peneliti-an. Para peneliti senior pernah dibina dengan dana
yang cukup besar dan waktu sekitar enam bulan, sehingga
penelitian lapangan dilakukan cukup lama serta bimbingan
penulisan yang seirus dari para mentornya. Oleh karena itu
kualitas produknya cukup baik yang dirasakan dewasa ini,
sementara para peneliti yang saat ini menduduki jabatan
peneliti muda harus dibimbing oleh para peneliti senior itu
agar mempunyai kemampuan yang setara dan berkualitas
baik.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu
unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi
terlaksananya penelitian di bidang keagamaan. Oleh karena
itu, pelaksanaan kegiatan bimbingan peneliti agar para
peneliti memiliki kemampuan memadai, melakukan
iii
penelitian mandiri untuk menjadi peneliti yang berkualitas,
handal, profesional dan obyektif terhadap kebenaran hasil
penelitian menjadi sangat penting. Di samping itu, hasil
kerjanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis dan administratif yang mampu mendukung
kebijakan di bidang pembangunan agama sesuai dengan visi
dan misi Kementerian Agama.
Kami menyambut baik diterbitkannya hasil penelitian
para peserta bimbingan Peneliti Muda Puslitbang Kehidupan
Keagamaan. Semoga bermanfaat.
Jakarta,
September 2010
Kepala Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA.
NIP: 19570414 198203 1 003
iv
PENGANTAR
KEPALA PUSLITBANG
KEHIDUPAN KEAGAMAAN
P
uslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu
unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi
terlaksananya program-program penelitian dan
pengembangan agama. Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Agama, Pasal 776 menyatakan bahwa Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan
mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan di bidang kehidupan beragama, pengamalan
dan kerukunan antar umat beragama, serta pembinaan UPT
Litbang Agama didasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan
oleh Kepala Badan.
Salah satu faktor yang menjadi pendorong tercapainya
fungsi-fungsi Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah
tenaga peneliti yang memiliki kemampuan memadai untuk
melakukan penelitian atau melakukan tugas-tugas lainnya.
Dalam rangka menyiapkan para peneliti muda untuk menjadi
peneliti yang berkualitas, maka dirasakan perlu memberi
kesempatan kepada para peneliti muda untuk melakukan
penelitian individual mandiri melalui sebuah program yang
disebut Pembimbingan Penelitian. Tujuan kegiatan
Pembimbingan Penelitian ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan kepenelitian para peneliti muda di lingkungan
Puslitbang Kehidupan Keagamaan untuk melakukan
penelitian mandiri di bawah bimbingan seorang konsultan
sehingga akan diperoleh hasil penelitian yang lebih
berkualitas.
Buku ini merupakan laporan lengkap hasil kegiatan
Penelitian pembimbingan yang telah dilaksanakan dalam
v
tahun anggaran 2009. Dengan selesainya seluruh proses
kegiatan sampai tersusunnya laporan ini kami mengucapkan
terima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat yang
telah berkenan mengizinkan kami untuk melaksanakan
kegiatan ini. Terima kasih juga kepada para konsultan dan
peserta Penelitian Pembimbingan yang telah melaksanakan
tugasnya masing-masing. Kami berharap hasil penelitian ini
bermanfaat bagi pihak- pihak terkait untuk merumuskan
berbagai kebijakan tentang kehidupan beragama.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami memohon agar
apa yang kami lakukan dapat memberi dan menjadi bagian
dari amal ibadat. Kami juga berharap kritik dan saran dari
pembaca untuk perbaikan kegiatan ini ke depan.
Jakarta,
September 2010
Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd.Rahman Mas’ud, Ph.D
NIP. 19600416 198903 1 005
vi
PENGANTAR EDITOR
P
uji syukur kehadlirat Allah SWT, atas berkat dan
rahmat-Nya
buku
hasil
penelitian
peserta
Pembimbingan Peneliti Puslitbang Kehidupan
Keagamaan tahun 2009 ini dapat diterbitkan. Buku yang
berada dihadapan para pembaca ini merupakan tulisan para
peneliti muda Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2009
di bawah bimbingan Prof. Dr. HM Ridwan Lubis, Prof. Abd.
Rahman Mas’ud Ph.D. dan Drs. H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA,
APU.
Buku ini menyajikan hasil penelitian peserta bimbingan
penelitian sehingga hasilnya cukup variatif, karena masingmasing peneliti memilih obyek studi dengan berbagai
pertimbangan masing-masing. Hasil penelitian yang
dihimpun dalam buku ini adalah sebagai berikut:
1. Hubungan LSM – Pemerintah, dimana dalam posisinya
masing-masing telah cukup berperan dalam upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
2. Komunitas Betawi mampu mempertahankan tradisi
agamanya, karena semua tradisi itu dikemas dalam bentuk
kegiatan keagamaan sebagai bagian dari kepercayaan dan
ajaran agama yang harus diamalkan.
3. Ada keragaman dalam pandangan aktivis dan tokoh
muslim di Depok terkait dengan pemahaman tentang
HAM, kebebasan beragama dan berkepercayaan. Ada
informan yang berpadangan inklusif dan ada pula yang
eksklusif. Informan yang berpandangan inklusif
menerima gagasan universal HAM termasuk ketentuan
kebebasan beragama atau berkepercayaan. HAM tidak
perlu dipandang sebagai konsep yang bertentangan
dengan Islam. Informan yang berpandangan eksklusif
vii
meng-gunakan alasan teologis dan historis. Secara teologis
Islam memiliki sumber autentik yang dapat dijadikan
legitimasi penerimaan umat Islam terhadap HAM, yakni
al-Quran.
4. Kebijakan Walikota Depok melakukan pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul dimasudkan dalam rangka menjalankan
kewajiban untuk mencegah terjadinya konflik. Namun
Jemaat HKBP dan persekutuan gereja-gereja setempat
menolak pencabut-an IMB tersebut, karena dianggap tidak
sesuai dengan PBM. Dasar pertimbangan yang kuat
mendukung keputus-an Walikota Depok melakukan
pencabutan IMB tersebut adalah kehendak/kemauan
masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui Forum
Solidaritas Umat Muslim (FSUM) Cinere, Pondok Cabe,
Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul dan Limo.
5. Fenomena menurunnya perolehan suara parpol Islam
karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Faktor dimaksud antara lain adanya friksi-friksi di dalam
partai; kurang jelasnya visi dan misi partai, partai mulai
kehilangan ideologi dan cenderung pragmatis, sistem
kaderisasi yang kurang mapan kecuali PKS; tidak jelasnya
orientasi dalam memperjuangkan kepentingan umat,
khususnya umat Islam; dan terjadinya krisis ketokohan
yang dapat menyatukan umat Islam. Dalam perkembangannya, muncul keinginan terjadinya penggabungan
partai Islam menjadi hanya satu atau dua parpol Islam saja
sehingga dapat menggalang kekuatan untuk mencapai
elektoral treshold.
6. Pengembangan komunitas basis di Paroki Kampung
Sawah dilakukan melalui berbagai bidang yaitu melalui
pember-dayaan ekonomi, perberdayaan lingkungan
hidup, pelayan-an kesehatan gratis, mengangkat kultur
viii
Betawi dalam kegiatan keagamaan. Bentuk pengembangan
komunitas basis melalui inkulturisasi merupakan hal yang
paling dominan di Paroki ini.
Demikian, semoga buku ini bermanfaat untuk
kepentingan penelitian di kemudian hari, dan dapat
menambah wawasan bagi para pembaca umumnya, dan
khususnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
kebijakan pemerintah cq. instansi terkait dalam pembinaan
kehidupan beragama dan berdemokrasi di negeri ini. Atas
segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam buku
ini mohon dimaklumi. Kritik dan saran yang konstruktif
senantiasa kami harapkan demi perbaikan di masa depan.
Jakarta, Juli 2010
Editor
Haidlor Ali Ahmad
ix
x
DAFTAR ISI
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat ............
Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Pengantar Editor.............................................................
Daftar Isi..............................................................................
iii
v
vii
xi
1. Peran dan Hubungan LSM dengan Pemerintah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama
di Indonesia
Oleh: Akmal Salim Ruhana, S. HT.I…………………..
1
2. Tradisi dan Varian Keagamaan Komunitas Betawi
di Tangerang Banten
Oleh: Drs. Wakhid Sugiyarto ……………… …….
81
3. Dakwah Plurasitik Ikatan Jema’ah Ahlul Bayt
Indonesia (IJABI) di Kota Bandung
Oleh: Achmad Rosidi, S. Ag………........ ……………
131
4. Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan
dalam Pandangan Tokoh Ormas Islam Kota Depok
Oleh: Imam Syaukani, S. Ag, MH……… …………
185
5. Pandangan Pemimpin Ormas Islam Tentang
Perolehan Suara Parpol Islam Pada Pemilu Legislatif
2009 di DKI Jakarta
Oleh: Reslawati, S. Ag, M.Si. ………………………….
275
xi
6. Analisis Kebijakan Walikota Depok tentang
Pencabutan IMB Rumah Ibadat dan Gedung
Serba Guna HKBP Pangkalan Jati Gandul,
Kecamatan Limo Kota Depok
Oleh: Drs. Ahsanul Khalikin……………….......
337
7. Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi
Banten terhadap Tayangan Infotainmen di Televisi
Oleh: Muchtar, S. Ag……………………………….
467
8. Gerakan Komunitas Basis di Paroki Kampung
Sawah St. Servatius Bekasi
Oleh: Reza Perwira, S. Th.I .................................
515
9. Studi Kasus tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
Tahun 2008
Oleh: Drs. Zaenal Abidin, M. Si ………………………
xii
569
PERAN DAN HUBUNGAN
LSM DENGAN PEMERINTAH
DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA DI INDONESIA
Oleh:
Akmal Salim Ruhana
PERAN DAN HUBUNGAN LSM DENGAN
PEMERINTAH DALAM PEMELIHARAAN
KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
DI INDONESIA
Akmal Salim Ruhana
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
asca runtuhnya pemerintah Orde Baru di tahun 1998,
Indonesia memasuki babak baru yang disebut Orde
Reformasi. Orde ini ditandai dengan terjadinya fase
liberalisasi politik dan berlangsungnya iklim demokratisasi
yang kian membaik. Setelah melalui praktik demokrasisetengah-hati di bawah rezim otoritarian, kini demokrasi
Indonesia kian dikokohkan dengan diperkuatnya elemenelemen penopangnya, yang salahsatunya ditandai dengan
semakin berperannya kekuatan masyarakat sipil (civil society).
P
Ada tiga pilar penopang sebuah negara demokrasi, yaitu:
pemerintahan yang kuat, sektor swasta (bisnis dan industrial)
yang kompeten, dan masyarakat sipil yang berdaya. Ketiga
pilar ini bersifat komplementatif, karena ketiadaan salah
satunya akan mengganggu keseluruhan sistem yang berjalan.
Sebuah pemerintahan yang kuat dapat memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Sektor swasta yang kompeten dapat
menciptakan lapangan kerja dan berperan sebagai ladang
tumbuhnya investasi di sebuah negara sehingga demokrasi
dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Dan
1
sebuah masyarakat sipil yang berdaya akan senantiasa
mendinamisasi perubahan untuk berjalannya peran pemerintahan dan sektor swasta dengan baik.
Salahsatu pilar penguatan masyarakat sipil (civil society)
adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keberadaannya
kini diyakini sangat diperlukan dalam turut serta memberdayakan masyarakat sekaligus menjadi balancingpower terhadap
peran Pemerintah. Secara kuantitatif jumlahnya pun kian
bertambah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2004, jumlah LSM telah bertambah secara signifikan dari hanya
berjumlah sekitar 10.000 pada tahun 1996 menjadi sekitar 70.000
pada tahun 2000.1 Masyarakat pun kini kian menerima
keberadaan dan perannya, berbeda dengan zaman Orde Baru
dahulu, dimana LSM sering ditolak dan dicurigai karena kerap
diidentikkan dengan kelompok antipemerintah, oposan, atau
bahkan dituduh sebagai agen asing. Demikian juga Pemerintah,
dalam beberapa hal telah merasa terbantu dengan berbagai
program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat —
yang notabene adalah sebagian dari tugas pokoknya— yang
dilakukan oleh LSM.
Namun demikian, hubungan LSM dan pemerintah
ternyata tidak selalu berjalan manis. Fungsi balancing dan
pressure LSM dengan corak kritisnya vis a vis paradigma social
order-nya pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan,
misalnya, kerapkali menimbulkan konflik wacana yang justeru
membuat masyarakat bingung. Problemnya memang bukan
pada LSM yang harus tidak kritis atau pemerintah yang harus
membiarkan kekacauan, tetapi mungkin pada etika berdemokrasi atau justeru pencerdasan masyarakat. Pada kasus prapenerbitan SKB tentang Ahmadiyah, misalnya, masyarakat
bingung oleh pembelaan mati-matian kepada Ahmadiyah atas
nama HAM oleh beberapa LSM, di satu sisi, berhadapan
1
2 Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/ 972516.htm,
diakses pada 19 Juni 2009. dengan alasan pemeliharaan ketertiban masyarakat oleh
pemerintah di sisi lain, yang berakibat terbelahnya masyarakat
dan bahkan konflik fisik yang tidak perlu.
Dalam konteks kasus lain, dahulu di masa pemerintahan
Presiden Megawati, disharmoni LSM-pemerintah juga kerap
terjadi. Misalnya, seorang fungsionaris partai melontarkan
kekesalannya terhadap sikap LSM dalam masalah amandemen
UUD 1945, dengan mengatakan LSM sebagai agen kepentingan
asing (Radio Nederland, 17/4/2002). Juga, Jenderal Ryamizard
Ryacudu, saat itu KSAD, saat menanggapi sikap kritis LSM atas
darurat militer di Aceh, menyebut LSM sebagai salah satu pintu
yang digunakan asing untuk kepentingan mereka (Jawa Pos,
1/1/2004). Juga ketika AM Hendropriyono, waktu itu kepala
BIN, yang akan mengusir Sydney Jones (Direktur ICG) dan 20
LSM lain dengan dalih adanya sinyalemen LSM-LSM itu akan
‘menjual’ bangsa (Kompas, 5/6/2004). Sebaliknya, pemerintah
kerapkali dibuat ‘merah telinga’ ketika bahasa kritik yang
disampaikan LSM-LSM itu kurang elegan, yakni terkait
berbagai laporan tahunan (annual report) mereka yang dirilis ke
publik secara masif tanpa ada komunikasi-konfirmasi dari
pihak pemerintah. Pernyataan dan respon atas pernyataan
dalam kasus-kasus ini nyata-nyata telah menciptakan
disharmoni hubungan LSM-pemerintah. Maka keteganganketegangan yang melibatkan komponen civil society, swasta dan
pemerintah pun terjadi. Hal ini tentu saja mengganggu
keseimbangan ritme tiga penopang demokrasi sebagaimana
disebutkan di atas.
Sementara itu, kerukunan adalah kebutuhan semua
pihak. Pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat sipil
membutuhkan dan mendambakan kondisi rukun tersebut.
Maka, karenanya, pemeliharaan kerukunan adalah tugasbersama. Dalam konteks kehidupan beragama, kerukunan
umat beragama adalah tanggungjawab bersama umat
beragama (baca: masyarakat dan swasta) serta pemerintah.
3
Tanpa upaya-bersama (sinergi) itu beban pemeliharaan
kerukunan sulit dipikul. Lantas, apa yang sebaiknya
diperankan oleh LSM dan pemerintah dalam menghadapi
kondisi ini? Di sinilah penelitian ini menemukan urgensinya.
Memang, saat ini telah banyak upaya dalam rangka
pemeliharaan kerukunan yang dilakukan baik oleh pemerintah
melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan upaya
fasilitasi lainnya, maupun oleh LSM dengan berbagai kiprahnya untuk pemeliharaan kerukunan dan perdamaian. Sayangnya, berbagai upaya dan program yang dilakukan belum
terintegrasi secara baik melainkan seperti berjalan sendirisendiri dalam rencana dan ekspektasinya masing-masing.
Padahal, hanya ada satu Indonesia, dan semua mengharapkan
kerukunan sejati yang sama. Pemerintah ingin negara ini aman
dan tertib sehingga pembangunan bangsa berjalan dengan baik
ke arah kesejahteraan bersama, di sisi lain, LSM sebagai
komponen civil society pun berupaya membantu masyarakat
meraih kesejahteraan dalam suasana berkeadilan. Penting
ditegaskan, integrasi-sinergis yang perlu dilakukan bukan
dalam arti penyatuan program-teknis, melainkan terciptanya
sikap saling memahami dan sinergi dalam tujuan yang sama
meski dengan pilihan cara yang beragam. Tanpa integrasisinergis itu maka upaya pemeliharaan kerukunan akan
senantiasa parsial dan, boleh jadi dalam kasus tertentu, menjadi
kontraproduktif.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian ini dirancang untuk menemukan langkah
integrasi-sinergis yang bisa dilakukan oleh LSM dan
pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama di Indonesia. Hal ini dipandang perlu karena selama
ini upaya yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak
masih dinilai belum terintegrasi dengan baik, sehingga dapat
4 mengakibatkan inefficiency atau bahkan terjadi konfrontasi yang
kontraproduktif bagi kerukunan.
Untuk memperjelas inti permasalahan yang dikaji,
berikut adalah sejumlah pertanyaan penelitian yang dicoba
jawab oleh penelitian ini:
1. Bagaimana peran LSM dan pemerintah dalam upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia?
2. Bagaimana pola hubungan antara LSM dan pemerintah
dalam proses pemeliharaan kerukunan tersebut?
3. Mungkinkah dilakukan sinergi antara LSM dan pemerintah
dalam proses pemeliharaan kerukunan? Jika ya, dalam
bentuk apa sinergi dapat dilakukan?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui peran LSM dan pemerintah dalam upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
2. Mengetahui pola hubungan LSM dan pemerintah dalam
proses pemeliharaan kerukunan tersebut.
3. Mengetahui kemungkinan dilakukannya sinergi antara LSM
dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan, dan
mengetahui bentuk sinergi dimaksud.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan menghasilkan gambaran tentang
posisi dan peran LSM-pemerintah serta rumusan alternatif
pola-pola hubungan yang dapat dikembangkan untuk
terciptanya sinergi yang baik antara LSM dan pemerintah
dalam upaya-bersama memelihara kerukunan umat beragama
di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
5
memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokratisasi dan kerukunan umat beragama serta kerukunan nasional.
Kerangka Dasar Teoritik
Penelitian ini berangkat dari teori tentang civil society
dalam kaitannya sebagai bagian dari pilar pengokoh suatu
negara demokrasi. Mengoreksi Aristoteles yang mengidentikkan civil society dengan negara, juga konsep negara-kotanya
Cicero, atau hanya sisi-etisnya Adam Ferguson, G.W.F. Hegel
mengatakan civil society sebagai elemen ideologis kelas
dominan. Hal ini pun sekaligus reaksi atas tesis Thomas Paine
yang memisahkan civil society dari negara. Namun Hegel
mengabsahkan intervensi terhadap wilayah sipil, dengan
alasan kelemahan masyarakat sipil yang tidak mampu eksis
tanpa adanya pengaturan dari yang otoritatif. Kemudian Marx
mengusulkan pelenyapan civil society yang disebutnya masyarakat borjuis, dengan dalih menuju tatanan masyarakat tanpa
kelas. Lebih ideologis, Gramsci justeru melihat civil society itu
perlu sebagai ruang perebutan hegemoni di luar kekuatan
negara. Akhirnya, Tocqueville menegaskan pentingnya civil
society sebagai penyeimbang negara—hasil pengamatannya
pada pengalaman demokrasi Amerika yang demokrasinya kian
kuat dengan adanya kekuatan di luar negara. Membantah
Hegel, Tocqueville meyakini civil society cukup otonom dan
bukan subordinan, serta mempunyai kapasitas politik cukup
tinggi untuk mengimbangi kekuatan negara.2 Dengan
demikian, perimbangan kekuatan itu diyakini akan memperkokoh suatu negara demokrasi.
Berikut gambaran pola hubungan elemen civil society,
sektor swasta, dan negara, yang melakukan take and give dan
berjalan seimbang sinergistis.
2
Perdebatan konsep civil society ini melalui beberapa fase yang selengkapnya dapat
dibaca di bagian lain tulisan ini (pada pembahasan LSM dan civil society). 6 Gambar 1
Skema Hubungan LSM-Pemerintah-Swasta
NEGARA/PEMERINTAH berperan menciptakan kondisi politik, ekonomi
dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
menyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakkan HAM;
melindungi lingkungan hidup; dan mengurus standar kesehatan dan standar
keselamatan publik. SWASTA/PASAR berperan menjalankan industri;
menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan;
meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup;
menaati peraturan; dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
masyarakat. CIVIL SOCIETY berperan menjaga agar hak-hak masyarakat
terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana checks and
balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial
pemerintah; mengembangkan SDM; dan sebagai sarana berkomunikasi antar
anggota masyarakat.
Dengan demikian, jika dalam sebuah negara terjadi
ketidakseimbangan di antara ketiga penopang demokrasi itu,
maka negara demokrasi tidak akan kokoh bahkan justeru dapat
bergeser. Maksudnya, jika negara terlalu kuat sementara civil
society dan swasta lemah, maka negara akan cenderung otoriter
dan tidak demokratis lagi. Jika kekuatan civil society terlampau
kuat dan negara lemah, maka negara cenderung ke arah
sosialisme, dan jika pasar terlampau kuat, sementara negara
7
dan civil society lemah, maka kekacauan dapat terjadi karena
ketiadaan otoritas pemaksa/penertib.
Sementara itu, negara (baca: pemerintah) sendiri menginginkan dirinya kuat. Karena ideologi developmentalisme
yang dianut negara-negara berkembang sangat meniscayakan
adanya stabilitas sosial, demi tercapainya berbagai rencana
pembangunan. Mansour Fakih3 mengatakan kata ‘pembangunan’ (terjemahan dari developmentalisme) menjadi diskursus
yang dominan di Indonesia (sebagai negara berkembang)
terutama pada masa Orde Baru. Kata itu sudah menjadi ruh
bagi periode pembangunan ‘repelita’ di Indonesia selama 32
tahun
pemerintahan
Soeharto.
Namun,
kritiknya,
pembangunan itu sering disalahposisikan ke dalam berbagai
konteks, konotasi ideologi dan politik tertentu, padahal
pembangunan adalah bagian dari teori perubahan sosial.
Beberapa teori mengenai hubungan LSM dan Pemerintah
telah banyak disampaikan para ahli. Salahsatunya adalah yang
disampaikan Drs. H. Dadang Solihin, MA, ahli LSM dari
PACIVIS-UI yang juga pernah menjabat Deputi di BAPPENAS.
Menurutnya, relasi antara CSO/Civil Society Organization (yang
LSM berada di dalam lingkupannya) dengan pemerintah, dapat
terjadi dalam lima kondisi.4 Pertama, apa yang disebutnya
autonomous benign neglect. Pada kondisi ini pemerintah tidak
menganggap posisi CSO sebagai ancaman dan tidak
melakukan intervensi terhadap CSO; serta CSO dapat bekerja
secara mandiri dan independen. Kedua, facilitation/ promotion.
Dimana Pemerintah menganggap CSO sebagai entitas yang
keberadaannya bersifat komplementer; dan Tugas pemerintah
Lihat, Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
(Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13. 4 Lihat, “Format Hubungan dan Kerjasama Pemerintah, Media, serta Private Sector
dengan NGO dalam Penguatan Civil Society,” slide pemaparan Drs. H. Dadang
Solihin, MA, dalam Pacivis-NGO-Management Certificate Program, di FISIP-UI
Depok, 17 Maret 2006. Slide diunduh melalui www.4shared.com, atau juga
tersedia di www.dadangsolihin.com. 3
8 untuk menyediakan kondisi yang kondusif bagi beroperasinya
CSO. Ketiga, collaboration cooperation. Kondisi dimana
Pemerintah menganggap bekerja sama dengan CSO lebih
menguntungkan bagi pencapaian tujuan pemerintah. Keempat,
cooptation/-absorbtion. Pada kondisi ini Pemerintah melakukan
kontrol terhadap CSO baik dalam konteks programatik
maupun ideologis. Hal ini dilakukan dengan adanya suplai
finansial, penghambatan terhadap ijin eksekusi program CSO,
dan sebagainya. Dan kelima, containment/ sabotage/dissolution.
Dalam kondisi ini Pemerintah melihat CSO sebagai tantangan
dan juga ancaman, sehingga pemerintah menghambat kerja
CSO, dan bahkan sampai pada tindakan.
Dalam perspektif yang lebih berimbang, Afan Gaffar5
menjelaskan pola hubungan LSM-negara seperti tergambar
dalam tabel berikut ini.
Dimensi Ruang
Publik
Orientasi isu
Finansial
Organisasional
Tabel 1
Pola Hubungan LSM-Negara
Strategi LSM vis a vis
Strategi Pemerintah
vis a vis LSM
Pemerintah/negara
Memengaruhi agenda
Menetapkan agenda
pembangunan, mengkritik, dan prioritas
dan mengajukan alternatif
pembangunan, dan
kebijakan.
memonitor alternatif
apa yang dapat
diterima.
Memobilisasi dukungan
Membantu sumber
dana, sehingga menjadi
keuangan Ornop,
mandiri dan terlepas dari
mengatur dan
campur tangan dan
menyetujui
pengawasan pemerintah.
penggunaannya untuk
pembangunan.
Menjaga kemandirian,
Membantu proses
menghindari campur tangan administrasi Ornop,
pemerintah dalam urusan
mengatur kegiatan
5
Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1999) hlm. 216, yang juga dikutip Culla, dalam op.cit. hlm. 82. 9
Kebijakan
administrasi, pembuatan
keputusan, dan pelaksanaan
di lapangan.
Memengaruhi dialog dalam
pembentukan kebijakan
dengan melakukan
advokasi, guna
meningkatkan kualitas
lingkungan pembuatan
kebijakan.
mereka dan
pelaksanaan kegiatan di
lapangan.
Membantu kebijakan,
melakukan dialog,
mengatur akses ke
pembuatan keputusan,
dan memelihara kontrol
atas lingkungan
pembuatan kebijakan.
Kajian Terdahulu
Penelitian dan kajian tentang LSM telah banyak dilakukan oleh para akademisi. Sebuah tulisan yang cukup
komprehensif yang mengkaji tentang geliat LSM di Indonesia
adalah tulisan karya-masterpiece Dr. Mansour Fakih berjudul
Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996). Buku yang merupakan refleksi penulis tentang
sejarah pergolakan LSM 80-90an ini senantiasa menjadi rujukan
para pemerhati gerakan sosial di Indonesia. Melalui proses riset
partisipatif dan studi kolaboratif, Fakih menyimpulkan bahwa
LSM berada dalam posisi struktural ideologi sebagai bagian
dari hegemoni negara, dan karenanya terdapat indikasi teoritis
bahwa sebagian besar gerakan LSM di Indonesia (pada konteks
waktu penelitian itu dilakukan, akhir 80-an dan awal-90-an.
Pen.) lebih merupakan bagian dari negara daripada bagian dari
masyarakat sipil.
Kajian lain tentang LSM, yang relatif baru (2006),
dilakukan oleh Adi Suryadi Culla. Dalam bukunya yang
berasal dari disertasi ini, tergambar dinamika hubungan LSMnegara yang senantiasa dipengaruhi konstelasi politik dan
interaksi aktor-aktor dan institusi keduanya yang kerap
menimbulkan hubungan keduanya tidak selalu mudah
didefinisikan. Temuannya yang ‘merekonstruksi’ tesis selama
ini tentang hubungan LSM-negara adalah bahwa negara dapat
10 berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil, artinya
hubungan antara masyarakat sipil dan negara bersifat crosscutting dan tidak dikotomis. Kajiannya yang melihat peran
YLBHI dan Walhi ini diberi judul Rekonstruksi Civil Society:
Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006).
Kajian terdahulu lainnya, sebagaimana disebut oleh Culla
dalam Rekonstruksi Civil Society,6 adalah disertasi karya
Muhammad Atho'illah Shohibul Hikam berjudul The State
Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Social Movements
Under Indonesia's New Order,1989-1994 (Amerika Serikat: University of Hawai, 1995) yang mengkaji gerakan politik grassroots
dengan mengangkat beberapa kasus serikat pekerja di
Indonesia era Orde Baru. Kemudian tesis Adi Suryadi Culla
sendiri, berjudul Masyarakat Madani di Indonesia: Studi Kasus
Petisi 50 (Jakarta: Universitas Indonesia, 1999) yang mengkaji
"Petisi 50" dengan menggunakan konsep masyarakat sipil.
Kemudian, dengan perspektif ilmu politik, kajian tentang LSM
dilakukan oleh M. Dawam Rahardjo, dkk. berjudul Gerakan
Keagamaan dalam Penguatan Masyarakat Sipil: Analisis
Perbandingan Misi dan Visi Ornop dan Ormas Berbasis Keagamaan
(1999). Selain itu, penelitian Deden Ridwan dan Dewi
Nurjulianti berjudul Pembangunan Masyarakat Madani dan
Tantangan Demokratisasi di Indonesia: Sebuah Laporan dari
Penelitian dan Seminar (1999), dan penelitian PPIM-IAIN Jakarta
berjudul Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia
(2002), suntingan Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk.
Kemudian kajian Ahmad Baso berjudul Civil Society versus
Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran "Civil Society" dalam
Islam Indonesia (1999). Selain itu masih banyak kajian berupa
sejumlah disertasi mengenai LSM yang ditulis para doktor yang
turut memperkaya pustaka di bidang kajian LSM ini.
6
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia
(Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 12-14. 11
Dari kajian-kajian terdahulu sebagaimana tersebut di atas,
terlihat penelitian dan kajian yang dilakukan kebanyakan
masih berkutat pada masalah perdebatan mengenai konsep civil
society, hubungan LSM-negara, LSM dalam setting politik
tertentu, dan lainnya. Kecuali penelitian M. Dawam Rahardjo
dkk., penelitian dan kajian tersebut belum ada yang secara
khusus melihat peran LSM bidang agama atau bidang
kerukunan di Indonesia. Maka, terdapat ‘ruang kosong’ yang
mencoba diisi oleh penulis, yakni peran dan hubungan LSM
dan Pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama. LSM yang dimaksud di sini adalah khusus LSM
yang bergerak di bidang kerukunan, dan lingkup perannya
berada pada konteks pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Disinilah distingsi penelitian ini.
Definisi Operasional
Secara etimologis, ‘peran’ diartikan sebagai perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.7 Sedangkan dalam konteks
penelitian ini, yang dimaksud peran adalah kiprah atau segala
sesuatu yang dilakukan oleh LSM dan Pemerintah dalam
upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. Tegasnya,
meliputi visi, misi, tugas-fungsi, program-program, dan
kegiatan yang mereka miliki dan lakukan terkait pemeliharaan
kerukunan umat beragama.
‘Hubungan’ berarti kondisi kontak, sangkut-paut, atau
pertalian.8 Dalam penelitian ini, hubungan yang dimaksud
adalah segala kondisi yang saling menghubungkan antara LSM
dan Pemerintah, baik dalam bentuk kerjasama, aksi-reaksi,
perang wacana, dan sebagainya.
Adapun lembaga swadaya masyarakat (LSM) diartikan
dalam berbagai istilah dan arti. Seperti diketahui, LSM juga
7
8
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. X. Ibid. 12 seringkali disebut ornop (organisasi non-pemerintah), atau
NGO (non-governmental organization), atau istilah lain
sejenisnya. Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih
menggunakan istilah LSM, dengan pertimbangan makna
netral-substantif dan terasa lebih familiar di dalam masyarakat
luas. Secara etimologis, LSM bermakna organisasi yang bukan
bagian dari pemerintah dan melakukan pemberdayaan
masyarakat. Sedangkan secara istilah, LSM berarti organisasi
swasta yang menjalankan kegiatan untuk meringankan
penderitaan,
mengentaskan
kemiskinan,
memelihara
lingkungan hidup, menyediakan layanan sosial dasar atau
melakukan kegiatan pengembangan masyarakat, yang
mencoba untuk mengisi ruang yang tidak akan atau tidak
dapat diisi oleh pemerintah.9 Lebih jauh mengenai istilah, arti,
dan seluk beluk LSM akan dibahas pada bagian tersendiri
tulisan ini.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud LSM adalah LSM
yang bergerak di bidang kerukunan umat beragama—
selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan. Yakni LSM yang
dalam program kerjanya atau dalam wacana dan aksinya
tersangkut paut dengan masalah kerukunan umat beragama.
Lebih tegasnya, penelitian ini membatasi pada beberapa LSM
yang dianggap mewakili jenis LSM ini, yaitu: the WAHID
Institute, SETARA Institute, dan ICRP. Ketiga LSM Kerukunan
ini dipilih karena kami nilai mereka sudah cukup konsisten di
bidang ini dan cukup established, terlihat salahsatunya dari
‘kultur’ penerbitan Annual Report Kehidupan Beragama yang
telah secara periodik setiap tahun dikeluarkannya.
‘Pemerintah’ diartikan melalui konsep negara. Bahwa
negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Sementara itu, dalam negara terdapat tiga unsur, yakni: rakyat,
9
Diambil dari ensiklopedia bebas, www.wikipedia.com, dengan kata kunci “NGO”. 13
wilayah, dan pemerintahan. Pemerintahan itu sendiri adalah
alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi
negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah
negara. Pemerintahan, melalui aparat dan alat-alat negara, yang
menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan,
mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka
mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam.10
Adapun ‘Pemerintah’ dalam konteks penelitian ini diwakili
oleh Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri,
Kepolisian, dan Kejaksaan, karena keempat institusi ini
memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pemeliharaan
kerukunan umat beragama.
Kerukunan umat beragama, sebagaimana didefinisikan di
dalam PBM No. 9 dan 8 tahun 2006,11 adalah keadaan
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi,
saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan
dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945. Sedangkan pemeliharaan kerukunan umat
beragama adalah upaya bersama umat beragama dan
pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
Dalam kamus, ‘sinergi’ berarti kegiatan atau operasi
gabungan; kegiatan tergabung yang pengaruhnya biasanya
lebih besar daripada jumlah total pengaruh masing-masing satu
10
11
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm.
18 Lihat Bab I Pasal I butir 1 dan 2, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat, yang diterbitkan tanggal 21 Maret 2006. 14 per satu.12 Sedangkan dalam konteks penelitian ini, sinergi
adalah kerjasama yang tidak harus selalu berupa kegiatan atau
program, melainkan adanya kesalingpahaman. Sekali lagi,
kerjasama yang perlu dilakukan bukan dalam arti penyatuan
program-teknis, melainkan terciptanya sikap saling memahami
dan sinergi dalam tujuan sama meski dengan pilihan cara
beragam.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan
motode pokok yang dipergunakan adalah deskriptif-analitis.
Data yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka dan
wawancara dipaparkan secara utuh, kemudian dilakukan
proses analisa sesuai kebutuhan problem penelitian ini.
Pengumpulan data terutama dilakukan dengan
menelusuri bahan pustaka, dan kemudian melalui sejumlah
wawancara langsung dan tertulis (melalui email) dengan
berbagai narasumber dan informan kunci yang dianggap
relevan. Diantara yang diwawancarai adalah ketua/anggota
LSM (WI, SETARA, ICRP), pejabat pemerintah dan kalangan
akademisi serta pengamat/praktisi LSM. Informasi dari dunia
maya cukup banyak menyumbang tulisan ini, karena profil dan
informasi seputar kiprah LSM dan pemerintah (yang dibutuhkan peneliti) cukup melimpah tersedia di dalamnya. Pembatasan lokasi memang tidak relevan dalam penelitian ini, selain
bahwa pengumpulan data dilakukan kepada LSM-LSM dan
beberapa institusi di tingkat pusat (DKI Jakarta) dan, jika
diperlukan, di kota lain yang dilakukan melalui bantuan email
(wawancara-tertulis) dan telepon (wawancara-jarak jauh).
Dalam menganalisis data digunakan Analisis Data
Kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982), yakni dengan meng 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, c.X. 15
organisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang
lain.13
Penelitian ini dilakukan sendiri oleh penulis pada bulan
Agustus-Desember 2009, atas biaya dinas.
13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Remaja Rosdakarya,
2006, hlm. 248. 16 BAB II
HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH
U
ntuk memahami peran dan hubungan LSM dan
pemerintah, penting untuk terlebih dahulu
mengenal profil dan kiprah keduanya. Hal ini
untuk menjadi bekal dan landasan dalam melihat posisi-posisi
keduanya dalam percaturan hubungan dimaksud. Berikut
paparan serba sekilas mengenai keduanya.
Memahami LSM
LSM, Ornop/NGO, SHO, atau PVO?
Mengenai istilah mana yang lebih tepat digunakan: LSM,
ornop/NGO, atau PVO, ternyata bukan perkara mudah,
melainkan telah melalui perdebatan yang cukup lama di
kalangan aktivis LSM sendiri. Namun, secara historis, hal ini
dapat dipahami mengingat istilah-istilah itu tidak bebas nilai
dan sangat terkait konteks politik pada setiap masanya. Berikut
gambaran perdebatan istilah tersebut, sebagaimana diulas
dengan baik oleh Culla.14
Pertama, istilah ornop, adalah terjemahan harfiah dari
NGO (non-govermental organizations) yang telah dikenal dalam
pergaulan internasional--sebagaimana tercantum dalam Bab 10
Pasal 71 Piagam PBB. Istilah NGO merujuk pada organisasi
non-negara yang mempunyai kaitan dengan badan-badan PBB
yang perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas
internasional. Ketika masuk ke Indonesia, istilah asing itu
menjadi Ornop, organisasi non-pemerintah. Pemerintah
kemudian bereaksi keras. Beberapa aktivis juga kurang "sreg"
dengan istilah itu karena dinilai merujuk pada dikotomi
14
Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 63-67. Disarikan dan direformulasi seperlunya oleh
penulis. 17
ideologis maupun politis antara pemerintah (government) dan
non-pemerintah (non-government). Istilah NGO atau Ornop
dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat
yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah.
Kemudian muncul istilah lembaga swadaya masyarakat
(LSM) dan lembaga pengembangan swadaya masyarakat
(LPSM) yang dipakai sebagai pengganti ornop. Istilah LSM
muncul dari hasil perdebatan para peserta lokakarya kerjasama
terpadu pengembangan pedesaan yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di tahun 1978, di Ungaran, Jawa Tengah.
Sedangkan LPSM muncul dari saran Dr. Ki Sarino Mangunpranoto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang
juga dikenal sebagai salahseorang tokoh gerakan Taman Siswa.
Selanjutnya, beberapa aktivis kemudian menemukan istilah lain dengan membandingkan apa yang sering dipakai oleh
Kementerian Kerja Sama Internasional Jerman Barat, yaitu SelfHelp Promoting Institute (SHPI) dan Self-Help Organization
(SHO). Atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan
istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM)
untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk
SHO. Lembaga Swadaya Masyarakat sering kali dipakai secara
bergantian dengan istilah Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) yang merujuk pada kelompok-kelompok yang dibentuk
oleh masyarakat dalam arti luas. Meskipun LPSM dan KSM
mempunyai varian masing-masing, istilah yang kelihatannya
lebih sering dipergunakan adalah LSM karena esensi
sebenarnya tidak berubah. Maka pada tahun 1981, untuk
memudahkan pemahaman di kalangan masyarakat, disepakati
menggunakan satu istilah saja, yakni LSM. Maka, penulis
menggunakan istilah LSM karena dinilai lebih tepat dan
‘ramah’ digunakan.15
15
Bandingkan dengan A.S. Culla dan George Aditjondro yang lebih memilik ornop
daripada LSM, karena dengan menggunakan istilah LSM, katanya, dapat
18 Sementara itu, di dalam peraturan perundang-undangan
Negara Republik Indonesia, perihal LSM diatur dalam UU No.
8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun
pengertian LSM di UU ini lebih bias pada pengertian ormas,
bukan ornop/LSM. Adapun dalam Instruksi Menteri Dalam
Negeri No. 8 Tahun 1990 yang dalam lampiran II-nya menggunakan istilah LSM, mendefinisikan LSM sebagai berikut:
Organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat
warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau
kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan
tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai
wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan
kepada pengabdian secara swadaya.16
Dari definisi ini dan penelusuran yang dilakukan oleh
Culla, ditemukan beberapa ciri umum suatu LSM, yakni:
bersifat kesukarelaan, non-profit oriented (tidak berorientasi
mencari keuntungan), dan non-coersion (tidak menggunakan
kekerasan atau alat pemaksa).17
Majelis Agama dan FKUB: LSM?
Ada pertanyaan yang cukup menarik dalam konteks
umat beragama, apakah majelis-majelis atau ormas-ormas
agama (seperti NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, dsb.)
dapat dikategorikan sebagai LSM? Pertanyaan ini mengemuka
karena asosiasi yang muncul ketika menyebut kata LSM adalah
organisasi-organisasi non-pemerintah yang banyak bergerak di
dunia aksi-advokasi massa, sementara kelompok-kelompok
umat beragama sepertinya keluar dari lingkup istilah ini.
Sebenarnya, dalam hal kenonpemerintahan, majelis/ormas
memungkinkan masuknya LSM yang didukung pemerintah (distingsi pemerintah
dan non-pemerintah jadi kabur); kata ‘swadaya’ menjadi ganjalan karena faktanya
disokong dana dari luar negeri; dan adanya keharusan menjadi sebuah ‘lembaga’
terlebih dahulu (established). 16 Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 69. 17 Ibid., hlm. 72 19
agama pun dapat dikategorikan sebagai LSM. Namun
demikian, sesungguhnya ada perbedaan. Bahwa ormas
mencakup seluruh bidang pembangunan, sedangkan LSM
lebih khusus “meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
sosial.”18 M. Dawam Rahardjo, yang mengutip Tocquiville,
membedakannya dengan menyebut ada empat macam
kelompok bentukan masyarakat: organisasi keagamaan yang
berpusat di gereja, organisasi masyarakat lokal, organisasi
ketetanggaan atau persaudaraan, dan organisasi terkait
kewarganegaraan.19 Meski begitu, Azyumardi Azra menyebut
ormas seperti NU dan Muhammadiyah, misalnya, dengan
sebutan Religious-Based Civil Society.20
Lain halnya dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat
Beragama) yang kini telah ada di 33 provinsi dan di 392
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di dalam Pasal 1 Butir 6
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,21 disebutkan definisinya sebagai
berikut:
Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat
FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan
dan kesejahteraan.
Maka, FKUB yang merupakan forum (sejenis organisasi)
yang dibentuk oleh masyarakat dan beranggotakan pemuka
agama (baca: warga masyarakat), dalam hal kenonpemerintahannya memang dapat dikategorikan sebagai ornop/LSM.
Ibid., hlm. 69. Lihat M. Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori LSM”, dalam Republika, 9 November
1994; seperti dikutip Culla, ibid, hlm. 70. 20 Wawancara-tertulis dengan Azyumardi Azra pada 25 November 2009. 21 PBM itu selengkapnya adalah “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat.” PBM inilah yang menjadi landasan pembentukan dan keberadaan
FKUB. 18
19
20 Namun demikian, seperti halnya majelis agama, FKUB belum
dapat disebut sebagai LSM dalam kategori konteks penelitian
ini—selain jikapun dimasukkan LSM maka dikategorikan
‘GoNGO’ (Government NGO) alias ‘LSM plat merah,’ karena
aktivitasnya jelas-jelas difasilitasi dan didanai Pemerintah
melalui APBN/APBD.
LSM dan Konsep Civil Society
Seperti diketahui, kajian tentang LSM tidak dapat
dipisahkan dari penjelasan tentang hakikat civil society, karena
LSM adalah salahsatu bagian penting civil society tersebut.
Wacana tentang civil society memang telah berumur lama,
bahkan sejak zaman filusuf Yunani dahulu. Berikut ini
gambaran rentetan kronologis fase perkembangan pemahaman
civil society dari masa ke masa.22
Aristoteles (384-322 SM) memandang civil society sebagai
sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri.
Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil
society. Tentu saja pandangan ini telah berubah sama sekali
dengan rumusan civil society yang berkembang dewasa ini,
yakni masyarakat sipil di luar dan penyeimbang lembaga
negara. Mazhab pandangan Aristoteles tersebut selanjutnya
dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas
Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704 M). Pada
masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem
kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni
sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung
dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan
keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh
Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya
berkedudukan sama di depan hukum.
22
Dikutip dan direformulasi dari A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), op.cit., hlm.
244-248. 21
Berbeda dengan Aristoteles, Marcus Tullius Cicero (10643 SM) menamakannya dengan societies civilies, yaitu sebuah
komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah
yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara
kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota
dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang
terorganisir. Menurut Thomas Hobbes (1588-1679 M), sebagai
entitas negara, civil society mempunyai peran untuk meredam
konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki
kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan
mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik)
setiap warga negara. Sedangkan John Locke (1632-1704 M),
berpendapat, kehadiran civil society adalah untuk melindungi
kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat
sifatnya yang demikian itu, civil society tidaklah absolut dan
harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa
dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi
bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan
proporsional.
Fase kedua, pada tahun 1767, Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik
di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson lebih
menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial.
Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak
revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan
ketimpangan sosial yang mencolok. Menurut Ferguson,
ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. la
yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas
sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya
kembali despotisme.
Fase ketiga, pada 1792 Thomas Paine mulai memaknai
wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesa negara.
Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya
22 dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah
keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut
mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan
bersama. Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil, semakin
besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya
sendiri. Menurut Paine, civil society adalah ruang di mana
warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi
peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa
paksaan, tanpa intervensi negara. Bahkan, civil society harus
lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi
keberlangsungan kebutuhan anggotanya.
Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883
M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Dalam pandangan
ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas
dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine
yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan
pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai
kelompok subordinatif terhadap negara. Lebih lanjut Hegel
menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat 3
(tiga) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara.
Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota
masyarakat yang bercirikan keharmonisan, sedangkan masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya
percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Hegel tidak memandang civil society
sebagai arena untuk praktik politik yang mengakibatkan
monopoli negara. Menurutnya, negara merupakan representasi
dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan
politik warganya dan memiliki hak penuh untuk melakukan
intervensi terhadap civil society. Dari pandangan ini, maka
intervensi negara terhadap wilayah masyarakat sipil tidaklah
dianggap sebagai tindakan ilegal (melanggar hukum)
23
mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal dan
hanya pada level negara politik bisa berlangsung secara murni
dan utuh. Selain itu, masyarakat sipil memiliki kelemahan yang
identik, dimana mereka tidak mampu mengatasi kelemahannya
sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya
tanpa dukungan keteraturan politik dan ketertundukan pada
institusi yang lebih tinggi yang bernama negara.
Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang civil
society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan
produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala
terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan
kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan
manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan
tatanan masyarakat tanpa kelas. Lain lagi Antonio Gramsci, ia
tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi
produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Gramsci meletakannya
pada superstruktur yang berdampingan dengan negara yang ia
sebut sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan
negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk
membentuk konsensus dalam masyarakat. Pandangan Gramsci
ini memberikan peran penting kepada kaum cendekiawan
sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik.
Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap
mazhab Hegelian, yang dikembangkan oleh Alexis de
Tocqueville (1805-1859 M). Bersumber dari pengalamannya
mengamati budaya demokrasi Amerika, pemikiran Tocqueville
tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan
negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat
sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi
Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada
kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan
plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga
negara dimana pun akan mampu mengimbangi dan
24 mengontrol kekuatan negara. Tocqueville lebih menempatkan
masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun
tersubordinasi dari lembaga negara. Pandangan civil society ala
Tocquevillian ini merupakan model masyarakat sipil yang
tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi
juga memiliki komitmen terhadap kepentingan publik.
Dari kelima fase tersebut di atas, dapatlah kiranya
tergambar (terasosiasikan) posisi LSM dalam hubungannya
dengan negara (baca: Pemerintah). Fase kelima inilah, yang
menempatkan civil society sebagai kelompok penyeimbang
kekuatan negara, yang berlaku hingga hari ini.
a. Tipologi dan Ideologi LSM
Meruyaknya berbagai LSM di Indonesia, secara sekilas,
memberi kesan tidak adanya satupun ruang di dalam
masyarakat yang tidak diisi oleh salahsatu dari mereka.
Terhadap masalah korupsi, misalnya, banyak LSM bergerak,
seperti: Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparancy
International Indonesia (TII), dan lain sebagainya. Di bidang
penegakan HAM lebih banyak lagi, diantaranya: KontraS,
ELSAM, IMPARSIAL, Demos, dan lain sebagainya. Demikian
pula dalam hal yang sangat spesifik, misalnya dalam masalah
penyelenggaraan haji, penggunaan APBN/APBD, reformasi
kepolisian, dan sebagainya. Bak cendawan di musim hujan,
semuanya muncul dan bergerak mengawal kerja dan kinerja
pemerintah. Di sisi lain, ternyata ada pula beberapa LSM yang
terkesan ‘membantu’ peran Pemerintah dalam pelaksanaan
program-programnya. LSM jenis ini lebih mengambil posisi
sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah, partner atau
‘sahabat’ Pemerintah. Di sisi lain lagi, ada LSM yang terkesan
memfasilitasi kepentingan asing dalam kaitannya dengan
agenda-agenda mereka di Indonesia. Mereka pun kerap disebut
LSM komprador asing.
25
Untuk mendudukkan secara jelas posisi-posisi LSM
tersebut dalam kaitannya dengan pilar-pilar demokrasi lainnya,
penting menegaskan tipologi dan kategorisasi mereka. Meski
hal ini tidak mudah, namun identifikasi dan positioning ini
harus dilakukan untuk membantu mendudukkan masalah dan
menganalisanya kemudian.
Seperti diketahui bahwa sangat sedikit referensi teoretis
yang dapat dijadikan acuan analisis tentang LSM di Indonesia.
Namun demikian, telah ada beberapa kategorisasi yang telah
dilakukan beberapa akademisi. Misalnya pendapat Philip
Eldridge23 tentang peta LSM di Indonesia yang mendasarkan
pada tiga model pendekatan dalam konteks penjalinan
hubungan antara LSM dan Pemerintah. Pertama, "Kerja Sama
Tingkat Tinggi: Pembangunan Akar Rumput" (High Level
Partnership: Grassroots Development). LSM yang masuk dalam
kategori ini seringkali menekankan kerjasama dalam programprogram pembangunan Pemerintah seraya berusaha
mempengaruhi rancangan maupun implementasi programprogram ini agar bergerak ke arah yang lebih partisipatoris
serta menyentuh dan melibatkan akar-rumput. Kegiatan LSM
jenis ini umumnya lebih mengarah pada hal-hal berkaitan
langsung dengan proyek pembangunan bersifat teknis ketimbang advokasi ataupun substansi. Kedua, "Politik Tingkat
Tinggi: Mobilisasi Akar-Rumput" (High Level Politics: Grassroots
Mobilization). LSM dalam kategori ini mempunyai
kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik, mengembangkan gagasan berdasarkan kerangka berpikir teori sosialradikal, aksi kritis terhadap falsafah dan praktik kekuasaan
pemerintah (negara), dan maka kemudian LSM kategori ini
umumnya tidak melibatkan diri dalam program-program
pembangunan pemerintah. Kalaupun melakukan kerja sama,
mereka lebih mementingkan peran sebagai pembela masya 23
Philip Eldridge, “Ornop dan Negara” dalam Prisma, No.7, Thn. XVIII, 1989, hlm.
33-55 dalam Adi Suryadi Culla, op.cit. hlm. 74-75. 26 rakat, dan tetap kritis-reaktif terhadap isu-isu kebijakan
Pemerintah. Dan ketiga, "Penguatan Akar-Rumput" (Empowerment at the Grassroots). LSM jenis ini biasanya memilih
untuk memusatkan perhatian pada usaha "peningkatan kesadaran" dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat
akar rumput. LSM tipe ketiga ini tidak terlalu berminat
menjalin kontak dengan pemerintah, dan juga tidak tertarik
untuk melakukan aksi-aksi perubahan politik. LSM jenis ini
biasanya berusaha menghindari program atau kegiatankegiatan yang mempunyai pretensi politis tertentu.
Kategorisasi lain diberikan oleh "Tim Fasilitasi LP3ES
untuk Kode Etik",24 yang mendasarkan pada orientasi kegiatan
LSM tersebut dan masyarakat basis pendukungnya. Berdasarkan sejarah perkembangannya, kegiatan-kegiatan LSM
dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, LSM yang terlibat kegiatan
natural sosial (charity) dan berorientasi karikatif. Mereka
memberi bantuan kepada kaum miskin, masyarakat yang
menderita karena bencana, perang, dan sebagainya. Kedua, LSM
yang bergerak dalam kegiatan berorientasi perubahan dan
pembangunan (change and development) masyarakat serta
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community
development). LSM tipe kedua ini bekerja untuk dan bersama
masyarakat dalam periode waktu lebih panjang dengan
maksud membantu masyarakat menolong diri sendiri (helping
people to help themselves). LSM tipe ini dikenal sebagai LSM
Pembangunan atau Developmentalis. Dan ketiga, LSM yang
tidak hanya bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat,
tetapi juga melakukan pembelaan (advokasi). LSM tipe ini
melihat masalah yang dihadapi masyarakat tidak hanya
bersumber dari mereka sendiri, tetapi juga tidak terlepas dari
struktur yang dipaksakan dari luar. LSM tipe ini dikenal
sebagai LSM advokasi.
24
Adi Suryadi Culla, op.cit., hlm. 76-77. 27
Kategori lain yang juga dapat dipakai untuk memahami
LSM di Indonesia adalah kategori yang dibuat oleh Mansour
Fakih25. Berdasarkan konstruksi tipologis paradigma LSM di
Indonesia, Mansour Fakih membuat tiga tipologi LSM. Pertama,
tipe konformis, yang bekerja berdasarkan paradigma bantuan
karitatif. Motivasi utama yang melandasi program dan aktivitas
LSM tipe ini adalah menolong rakyat dan membantu mereka
yang membutuhkan. Mereka berorientasi proyek dan bekerja
sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan
struktur yang ada. Kedua, LSM tipe reformis, yang
mendasarkan pada "ideologi" modernisasi dan developmentalisme. Perlunya meningkatkan "partisipasi" rakyat dalam
pembangunan adalah tema utama paradigma itu. Tesis pokok
paradigma tersebut adalah bahwa keterbelakangan mayoritas
rakyat disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dengan
mentalitas, perilaku, dan kultur rakyat. Di tingkat aksi, untuk
mencapai tujuan itu, hal terpenting adalah berjuang
mempengaruhi pemerintah agar pendekatan dan metodologi
yang ditawarkan akan dipakai dan diimplementasikan pemerintah. Ketiga, tipe transformatif, yang mempertanyakan
paradigma mainstream serta ideologi yang tersembunyi di
dalamnya. Menurut perspektif ini, salahsatu penyebab
"masalah" rakyat adalah karena berkembangnya diskursus
pembangunan dan struktur yang timpang dalam sistem yang
ada. LSM yang menggunakan pendekatan transformatif ini
mendasarkan kegiatan pada metodologi transformatif, yaitu
proses pendidikan untuk memunculkan kesadaran kritis dan
menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan sosial.
Kategorisasi lain diberikan oleh M. Nurul Amin.26
Menurutnya, jenis LSM dapat dibagi menjadi dua golongan.
Pertama, LSM yang di kalangan aktivis sering dikatakan sebagai
25
26
Ibid, hlm. 77-79. Seperti disebutkan di dalam artikelnya di Harian Umum Bisnis Indonesia, 6
Desember 1994. Informasi ditemukan melalui googling. 28 LSM pelat merah, yakni LSM yang dibentuk atas inisiatif
pemerintah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan
pada level tertentu. Perannya lebih banyak pada dukungan atas
program yang dicanangkan pemerintah dan tentu saja dana
berasal dari Pemerintah. Contoh jenis ini antara lain PKK dan
Dharma Wanita. Dan kedua, LSM yang dibentuk oleh kalangan
yang umumnya berada pada kelas menengah, seperti:
intelektual, mahasiswa, ataupun sejumlah orang yang concern
pada kesejahteraan masyarakat. Umumnya LSM jenis ini
mengambil jarak dan kritis terhadap pemerintah, dan bergerak
dengan sokongan dana dari organisasi atau yayasan tertentu di
luar atau dalam negeri. Mereka antara lain LBH, Walhi, dan
banyak lainnya. Namun banyak juga LSM jenis ini yang cukup
akomodatif dengan Pemerintah. Ditambahkan jenis ketiga,
yakni LSM yang dibentuk atas dasar ikatan tradisional, seperti
perkumpulan-perkumpulan primordial kedaerahan, seperti:
Gerakan Masyarakat Jawa Barat (Gema Jabar), Himpunan
Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA), dan sebagainya.
b. Profil LSM Kerukunan
Sebagaimana disinggung di dalam latar belakang
masalah, data pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004
menyebutkan, ada sekitar 70.000 buah LSM pada tahun 2000.27
Dalam sumber lain disebutkan data direktori kelompok
masyarakat sipil (baca: LSM) yang spesifik membidangi
masalah perdamaian dan resolusi konflik yang saat ini
mencapai 823 buah.28 Beberapa diantara sekian banyak LSM
tersebut teridentifikasi sebagai LSM yang bergerak di bidang
kebebasan beragama atau kerukunan beragama, yang dalam
kajian ini selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan.
Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/
diakses pada 19 Juni 2009. 28 Lihat www.direktori-perdamaian.org 27
972516.htm,
29
Labeling LSM Kerukunan didasarkan pada visi dan misi,
kiprah, serta program-program unggulan yang dilakukan LSM
tersebut, yang bergerak di sekitar masalah kerukunan umat
beragama. Jumlahnya saat ini secara common sense cukup
banyak, terutama dapat teridentifikasi pada saat muncul suatu
kasus keagamaan, seperti Kasus Ahmadiyah beberapa waktu
lalu. Namun demikian, penelitian ini hanya akan membatasi
LSM kerukunan pada 3 buah LSM saja, yakni The WAHID
Institute, SETARA Institute, dan ICRP, yang dinilai telah cukup
established dan konsisten di bidangnya. Ketiga LSM Kerukunan
ini aktif melakukan kegiatan di bidang-bidang yang terkait
dengan agama, mereka juga memiliki wahana informasi di
dunia maya yang cukup ter-update dengan baik (setidaknya
hingga penelitian ini dilakukan), dan memiliki tradisi
penerbitan annual report di bidang kehidupan beragama.
The WAHID Institute (WI) 29
The WAHID Institute didirikan secara resmi pada tanggal
7 September 2004 di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta.
Namun demikian, pergulatan ide pendiriannya sesungguhnya
sudah dimulai setahun sebelumnya, sejak didirikannya website
Abdurrahman Wahid, yakni: www.gusdur.net pada 17 Agustus
2001, serta peluncuran buku Biografi Gus Dur versi bahasa
Indonesia; dan website pribadi Gus Dur versi Inggris pada 3 Juli
2003, di Jakarta. Gusdur memang menjadi sentral, buktinya,
selain namanya yang dipakai untuk nama LSM ini, visi yang
diusung LSM inipun berbunyi “untuk mewujudkan prinsipprinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) untuk membangun pemikiran Islam moderat yang
mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama,
multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di
Indonesia dan seluruh dunia.” Sedangkan misi yang diembannya adalah menyebarkan gagasan Muslim progresif yang
29
Sebagian besar informasi di bagian ini dikutip dari www.wahidinstitute.org,
diunduh tanggal 7 September 2009. 30 mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat
dunia Islam dan Barat.
Struktur Keorganisasian
The WAHID Institute digagas oleh K.H. Abdurrahman
Wahid, Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid,
dan Ahmad Suaedy. Sejumlah nama besar berjejer sebagai
sesepuh LSM ini, yaitu: K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi
Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan,
dan Wimar Witoelar. Selain itu, ada juga dewan pengawas
yang terdiri dari: Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim
Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir,
MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie
M. Massardi, dan Prof. Dr. Sue Kenny.
Sedangkan di jajaran pengurus harian, posisi direktur
dijabat oleh Yenny Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy
sebagai direktur eksekutif. Keduanya dibantu oleh sejumlah
staf, yaitu: Ainun Chomsun, Gamal Ferdhi, Widhi Cahya, M.
Subhi Azhari, Rifa Ilyasa, Nurul Huda Ma'arif, dan Du'aa.
Selain itu, ada juga dua tenaga outsource, yaitu: Christopher
Paul Holm (editor copy), dan Arif Hakim Budiawan (translator).
Ada juga yang dinamakan “rekanan”, yang terdiri dari: Siane
Indriani, Priya Sembada, KH. Hussen Muhammad, Rm. Benny
Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafiq Hasyim,
Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno
S. Sutanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith
Ghazali, Masykur Maskub, Hikmat Budiman, dan Mufti
Makarim al-Akhlaq.
LSM yang mendapat funding dari The Asia Foundation
ini beralamat di Jl. Taman Amir Hamzah No. 8, Jakarta 10320.
Nomor telepon 021-3928233, 021-3145671, dan nomor faks 021 31
3928250. Di dunia maya, dapat dikunjungi di alamat:
www.wahidinstitute.org dan www.gusdur.net, dan untuk berkirim
surat
elektronik
melalui:
[email protected]
dan
[email protected].
Program
Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut di atas,
sejumlah program telah dibuat. Besaran program dimaksud
adalah kampanye islam, pluralisme dan demokrasi; penerbitan
dan perpustakaan; capacity building untuk jaringan muslim
progresif; dan pendidikan. Diantara turunan programnya
antara lain adalah:30
1. Kampanye Pemikiran Islam Progresif dan Pluralisme
melalui: www.wahidinstitute.org, sisipan majalah, sisipan
surat kabar, bulletin (NAWALA), newsletter, dialog televisi,
talkshow radio, index isu pluralisme di Indonesia (MIoRI
dan Annual Report), penerbitan buku, kampanye Islam
damai di mancanegara, membangun komunitas informal,
promosi budaya pesantren, seminar/diskusi, kunjungan
rutin informal ke tokoh agama Islam lokal.
2. Pendidikan Kelas Ushul Fiqh Progresif, terdiri dari: Kelas
“Islam dan Pluralisme”, Pelatihan Creative Writing, dan
Pemberian Beasiswa Riyanto.
3. Perpustakaan, terdiri dari: digitalisasi dokumentasi, dan
penambahan koleksi buku dengan tema buku: Islam,
demokrasi dan pluralisme.
4. Advokasi dan penguatan masyarakat akar rumput
30
Lihat, Lampiran Laporan Tahunan The WAHID Institute 2008, Pluralisme
Beragama dan Berkeyakinan, “Menapaki Bangsa yang Kian Retak”, Jakarta: The
WAHID Institute dan TIFA Foundation, 2009, hlm. 125. 32 Khusus mengenai program-kegiatan The WAHID
Institute di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama,
antara lain sebagai berikut:31
1. Memfasilitasi dialog para pemimpin agama di atas
(kalangan elit) dan di bawah (grassroot)
2. Memfasilitasi kaum muda untuk berdialog di antara mereka
melalui berbagai cara terutama event budaya dan sosial, dan
juga kerja bareng dalam masyarakat, bukan hanya muda
tapi juga kalangan tua. Di samping dalam bidang ekonomi
dan sosial, juga dalam kesenian dan budaya lainnya.
3. Melakukan riview secara berkesinambungan terhadap
berbagai UU dan peraturan lainnya, baik yang mendorong
maupun menghalangi kerukunan antar umat beragama.
4. Melakukan pemantauan, pendataan, analisis dan briefing
secara publik tentang berbagai problem dan pengalaman
pemecahan masalah melalui berbagai penerbitan (buku,
leaflet, artikel, website) tentang situasi mutakhir, dan
rekomendasi yang perlu dilakukan oleh pemerintah,
masyarakat, politisi, dan lain-lain.
5. Bersama-sama dengan jaringan lain melakukan advokasi
bagi korban yang kontra kerukunan beragama.
Dari paparan visi, misi, dan program The WAHID
Institute di atas, tampak peran besar LSM ini yang turut
mendukung upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di
Indonesia.
31
Wawancara-tertulis dengan A. Suaedy, Direktur Eksekutif the WAHID Institute, 17
Desember 2009. 33
SETARA Institute32
SETARA Institute didirikan tahun 2006 oleh sekumpulan
individu yang peduli pada promosi gagasan dan praksis
pluralisme, humanitarian, demokrasi, dan hak asasi manusia,
yang bersifat perorangan dan suka rela. Para pendiri itu adalah
Abdurrahman Wahid, Ade Rostiana S., Azyumardi Azra,
Bambang Widodo Umar, Bara Hasibuan, Benny K. Harman,
Benny Soesetyo, Bonar Tigor Naipospos, Budi Joehanto, Damianus Taufan, Despen Ompusunggu, Hendardi, Ismail Hasani,
Kamala Chandrakirana, Luhut MP Pangaribuan, M. Chatib Basri,
Muchlis T, Pramono Anung W, Rachlan Nashidik, Rafendi
Djamin, R. Dwiyanto Prihartono, Robertus Robert, Rocky
Gerung, Saurip Kadi, Suryadi A. Radjab, Syarif Bastaman,
Theodorus W. Koerkeritz, dan Zumrotin KS. Mereka adalah
orang-orang yang peduli pada penghapusan atau pengurangan
diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna
kulit, gender, dan strata sosial lainnya serta peningkatan
solidaritas atas mereka yang lemah dan dirugikan. SETARA
Institute didedikasikan bagi pencapaian cita-cita di mana setiap
orang diperlakukan setara dengan menghormati keberagaman,
mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia.
SETARA Institute percaya bahwa suatu masyarakat
demokratis akan mengalami kemajuan apabila tumbuh saling
pengertian, penghormatan dan pengakuan terhadap keberagaman. Namun, diskriminasi dan intoleransi masih terus
berlangsung di sekitar kita bahkan mengarah pada kekerasan.
Karena itu langkah-langkah memperkuat rasa hormat atas
keberagaman dan hak-hak manusia dengan membuka partisipasi yang lebih luas diharapkan dapat memajukan demokrasi
32
Dikutip dari www.setara-institute.org 34 dan perdamaian. SETARA Institute mengambil bagian untuk
mendorong terciptanya kondisi politik yang terbuka
berdasarkan penghormatan atas keberagaman, pembelaan hakhak manusia, penghapusan sikap intoleran dan xenophobia.
Visi dan Misi
Visi organisasi ini adalah mewujudkan perlakuan setara,
plural dan bermartabat atas semua orang dalam tata sosial
politik demokratis. Visi ini ditopang oleh sejumlah nilai luhur,
yakni: kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, dan demokrasi.
Untuk mencapai visi tersebut, organisasi ini mengemban
misi: (a) mempromosikan, pluralisme, humanitarian, demokrasi
dan hak asasi manusia; (b) melakukan studi dan advokasi
kebijakan publik di bidang pluralisme, humanitarian,
demokrasi dan hak asasi manusia; (c) melancarkan dialog
dalam penyelesaian konflik; dan (d) melakukan pendidikan
publik.
Struktur Keorganisasian
Di dalam struktur Dewan Nasional, Azyumardi Azra
menjabat sebagai ketua, Benny Soesetyo sebagai sekretaris,
dengan anggota: Kamala Chandrakirana, M. Chatib Basri, dan
Rafendi Djamin. Sedangkan di jajaran Badan Pengurus, ketua
dijabat oleh Hendardi, dengan wakil ketua Bonar Tigor Naipospos, dan sekretaris R. Dwiyanto Prihartono, serta Wakil Sekretaris Damianus Taufan. Bendahara dijabat Ade Rostina Sitompul,
dan Ismail Hasani menjabat sebagai Manager Program.
Program
Diantara program unggulan yang dilakukan SETARA
adalah berbagai kajian dan penelitian terkait toleransi dan
kebebasan beragama, yang pada akhir tahun atau pada suatu
35
periode tertentu diterbitkan dan di-publish dalam situsnya
(www.setara-institute.org), baik berupa Annual Report (Laporan
Tahunan) maupun laporan penelitian topik tertentu.
Ditambahkan Ismail Hasani, Direktur Program SETARA
Institute,33 diantara program yang berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama antara lain:
1. Secara rutin menerbitkan laporan-laporan tentang kondisi
kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia, yang
berbasis data pemantauan di berbagai daerah. SETARA
berpandangan bahwa kerukunan otentik dan genuine harus
dibangun di atas landasan pengakuan dan penghormatan
terhadap berbagai agama/keyakinan. Kerukunan yang
didesain dengan paksa, dipastikan hanya melahirkan kerukunan semu yang mudah terkoyak. Pengalaman selama
masa Orde Baru adalah pelajaran berharga bahwa
kerukunan yang digambarkan dalam bentuk trilogi
kerukunan kenyataannya nihil. Dengan laporan yang
diterbitkan, SETARA Institute berharap ada peningkatan
kesadaran publik tentang pentingnya toleransi. Laporan juga
mengarahkan rekomendasi praktis dan strategis bagi
pemerintah untuk memperkuat toleransi.
2. Hal lain yang dilakukan adalah menggelar diskusi-diskusi
publik untuk membangun pemahaman bersama tentang
penghormatan atas hak beragama/berkeyakinan. Pada
tahun 2008, misalnya, menggelar 10 diskusi di 10 kota.
Sedangkan di tahun 2009 dilakukan 12 diskusi di 12 kota.
Dari paparan visi, misi, dan program di atas, tampak
peran SETARA Institute yang juga turut mendukung upaya
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
33
Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 36 ICRP 34
ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) adalah
sebuah organisasi berbadan hukum yayasan yang bersifat nonsektarian, non-profit, non-pemerintah dan independen yang
bergerak di bidang interfaith dan dialog agama-agama.
Dibidani kelahirannya oleh para tokoh antar agama, ICRP
berusaha menyebarkan tradisi dialog dalam pengembangan
kehidupan keberagamaan yang humanis dan pluralis di tanah
air. Para tokoh itu diantaranya ialah Djohan Effendi, Siti
Musdah Mulia, dan Sudhamek AWS. Dalam kepengurusan
2003-2006 juga tercantum nama wakil-wakil kelompok
agama/kepercayaan, seperti Rm Ig Ismartono SJ (Katolik), KH.
Abdul Muhaimin (Islam), Pdt. Yudho Purowidagdo (Kristen
Protestan), KS Lindasari Wiharja (Khonghucu), dan P.
Djatikusumah (Kepercayaan Adat Sunda Wiwitan).35
Jauh sebelum diresmikannya ICRP pada 12 Juli 2000 oleh
Presiden RI Abdurrahman Wahid, upaya-upaya dialog lintas
agama sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Semenjak
berdirinya, upaya mentradisikan dialog yang terbangun
sebelumnya senantiasa dipertahankan oleh ICRP. Selain itu,
ICRP turut aktif pula berkontribusi dalam pengembangan studi
perdamaian dan resolusi konflik.
ICRP menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan dan antar-iman maupun individu sebagai bagian dari
pengembangan dialog antaragama serta semangat penghargaan
atas realitas perbedaan keyakinan di masyarakat. Selain itu, ICRP
juga turut aktif berjejaring dengan lembaga-lembaga yang
concern memperjuangkan pluralisme dan perdamaian untuk
melawan ketidakadilan sistem sosial, gender, HAM dsb.
34
35
Bagian ini dikutip dari: www.icrp-online.org St. Sularto, “Mencari Model Hubungan Antarkelompok,” H.U. Kompas, 26 Oktober
2007. 37
Program
Untuk mencapai tujuannya, ICRP didukung oleh 6
bidang kerja: Bidang Advokasi dan Jaringan, Bidang
Pendidikan
dan
Pelatihan,
Bidang
Penelitian
dan
Pengembangan, Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi,
Bidang Perempuan & Agama dan Bidang Pemuda.36
1. Bidang Advokasi dan Jaringan. Bidang ini melakukan
program kerja: Memediasi dialog antar tokoh-tokoh agama
dan kepercayaan dan antara pemuka agama & kepercayaan
dengan pemerintah dalam kerangka perjuangan hak-hak
kebebasan berkeyakinan dan studi perdamaian di Indonesia;
mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan organisasi
maupun individu yang peduli atas berbagai isu agama
untuk perdamaian; melakukan advokasi atas kasus-kasus
kekerasan atas nama agama; dan melaksanakan rangkaian
kegiatan terpadu untuk memperjuangkan kebijakan propluralisme dan perdamaian dalam kehidupan lintas agama
di Indonesia.
2. Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Program kerjanya yaitu:
menyelenggarakan pelatihan dalam kerangka pengembangan wacana interfaith, rekonsiliasi, pluralisme dan
perdamaian; menyelenggarakan pendidikan kuliah agamaagama bekerja sama dengan perguruan tinggi maupun
lembaga lain yang memiliki visi-misi serupa; memfasilitasi
diskusi untuk pengembangan wacana interfaith dan
pluralisme di kalangan komunitas agama, aktivis dan
masyarakat luas; dan menyelenggarakan pendidikan
perdamaian untuk kalangan akademisi, praktisi dan pegiat
pendidikan di tiap tingkatan.
3. Bidang Penelitian dan Pengembangan. Bidang ini memiliki
program kerja: melakukan studi/penelitian untuk mema 36
Ibid. 38 hami dinamika pluralisme iman/agama di Indonesia;
mengembangkan jaringan (networking) penelitian bertema
interfaith; merumuskan rekomendasi bagi perubahan
kebijakan (policy reform) dalam memperkuat pluralisme
agama/iman; dan membangun database bertemakan pluralisme agama/iman.
4. Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi. Diantara
programnya ialah: mengelola penerbitan majalah (interfaith
magazine), buku, website dan lainnya sebagai wahana
publikasi dan komunikasi-informasi seputar dinamika
pluralisme dan perdamaian di Indonesia; mengembangkan
dan mengelola perpustakaan sebagai pusat dokumentasi
dan informasi agama untuk perdamaian; mendokumentasikan berbagai informasi relevan tentang dinamika
pluralisme di Indonesia; dan mengkomunikasikan aktivitas
dan perjuangan interfaith pada khalayak melalui berbagai
media yang relevan.
5. Bidang Perempuan dan Agama. Program kerjanya yaitu:
mengampanyekan prinsip kesadaran dan kesetaraan gender
pada tiap lini kehidupan terutama dalam kerangka lintas
iman; mendorong penekanan gender mainstreaming dalam
setiap aktivitas dan kebijakan internal maupun eksternal
lembaga; mengadvokasi kebijakan yang pro-keadilan dan
kesetaraan gender; dan mengembangkan jaringan dan
kerjasama dengan lembaga maupun individu pemerhati
masalah perempuan.
6. Bidang Pemuda. Bidang ini memiliki program: membangun
kesadaran pluralisme di kalangan generasi muda melalui
berbagai aktivitas; melaksanakan rangkaian kegiatan
terpadu untuk pengembangan wacana pluralisme dan
perdamaian di kalangan generasi muda; mengelola kegiatan
lintas iman yang berorientasi pada pengembangan pemuda
untuk perdamaian; dan memfasilitasi pemberdayaan
39
jaringan kemitraan di kalangan generasi muda untuk
mengembangkan pemahaman pluralisme di Indonesia.
Selain itu, ditambahkan oleh Djohan Effendi,37 yang
terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama, diantara halhal yang dilakukan ICRP yaitu:
1. Menghimpun pribadi-pribadi yang “concern” dan punya
komitmen terhadap masalah kerukunan umat beragama.
2. Menggalang masyarakat sipil untuk memperjuangkan kebebasan berkeyakinan.
3. Membela dan memperjuangkan kelompok-kelompok minoritas yang hak kebebasan berkeyakinan mereka diperkosa.
4. Mengingatkan kalangan penguasa bahwa tanggung jawab
konstitusional mereka untuk menegakkan konstitusi
termasuk kebebasan berkeyakinan.
Dari paparan di atas, tampak ICRP juga memiliki peran
yang cukup besar dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat
beragama di Indonesia.
Memahami Pemerintah
Paradigma Pemerintah
Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang
bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan
bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui
aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum,
melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan
perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan
kepentingan warga negaranya yang beragam.
Untuk mewujudkan dan melayani kepentingan warga
negaranya, Pemerintah melakukan berbagai langkah dan upaya
terencana dan sistematis. Langkah dan upaya itulah yang
37
Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. 40 dinamakan pembangunan. Sementara itu, pembangunan juga
merupakan paradigma yang biasa dipakai oleh negara-negara
dunia ketiga atau negara berkembang yang baru bangkit pasca
Perang Dunia II. Kata ini sejalan dengan teori developmenttalisme atau modernisasi di Barat. Tetapi kata ‘pembangunan’
di Indonesia telah disalahartikan dengan lebih politis, yakni
ketika masa Orde Baru, dimana kata itu seakan-akan telah
diakuisisi sebagai trademark pemerintahannya. Maka dikenallah
REPELITA dan PELITA lima tahunan itu. Dikatakan Mansour
Fakih:
Sejak tahun 1967, pemerintahan militer di Indonesia di bawah
Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow ini dan
menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang
Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima
tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun
(PELITA). Dengan demikian, selama pemerintahan Orde Baru,
Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan teori pembangunan kapitalistik yang bertumpu pada ideologi dan teori
modernisasi dan adaptasi serta implementasi teori pertumbuhan itu.38
Hingga saat ini Indonesia masih terus membangun.
Meski tanpa PELITA dan GBHN, Pemerintah tetap membuat
rencana capaian pembangunan yang dikenal dengan RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang
dibuat lima tahunan. Untuk merealisasikan rencana tersebut,
Pemerintah sangat memerlukan adanya stabilitas sosial, politik
dan keamanan nasioanal. Stabilitas tersebut merupakan
prasyarat adanya pembangunan. Karena tanpa adanya
keamanan, misalnya, Pemerintah tidak dapat membangun
infrastruktur dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan
masyarakat. Demikian pula, tanpa keamanan, investor asing
yang ingin turut membangun negeri tidak dapat berinvestasi.
38
Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta:
INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002. Hlm. 57 41
Singkat kata, paradigma yang dianut Pemerintah adalah
paradigma pembangunan, yang untuk ini sangat mempersyaratkan adanya stabilitas sosial, politik, dan keamanan
masyarakat. Stabilitas tersebut dapat terejawantah dengan
adanya keteraturan melalui berbagai peraturan perundangan
dan kebijakan Pemerintah, demi ketenteraman dan ketertiban.
‘Pemerintah’ dalam Konteks
Dalam penelitian ini, Pemerintah diwakili oleh 4 institusi,
yaitu: Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung RI. Keempat institusi ini perlu
dikenali, tertutama pada tugas, fungsi, visi, misi, dan program
kegiatannya untuk melihat gambaran tentang perannya dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Berikut
profil mereka.
Departemen Agama
Bagian dari aparat pemerintah yang membidangi
masalah agama adalah Departemen Agama. Departemen ini
dipimpin oleh seorang Menteri Agama, seorang Sekretaris
Jenderal dan sejumlah Eselon I, yakni: Direktur Jenderal
Bimbingan Agama Islam, Direktur Jenderal Bimbingan Agama
Kristen, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Katolik, Direktur
Jenderal Bimbingan Agama Hindu, Direktur Jenderal
Bimbingan Agama Buddha, Direktur Jenderal Pendidikan
Islam, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, dan
Kepala Badan Litbang dan Diklat.
Departemen Agama pusat berkantor di Jalan Lapangan
Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Pusat. Beberapa eselon I dan II
berada di luar komplek kantor pusat ini, yakni Pusat
Kerukunan Umat Beragama yang berkantor di Jl. Kramat Raya,
Jakarta; Badan Litbang dan Diklat yang berkantor-sementara di
Gd. Bayt Al-Qur’an Komplek TMII Jakarta Timur; dan
Inspektorat Jenderal Departemen Agama yang berkantorsementara di Jl. Cipete Raya, Jakarta Selatan. Dua yang terakhir
42 ini semula berkantor-tetap di Jl. M.H. Thamrin (gedung lama
Departemen Agama), namun kantor tersebut saat ini sedang
dalam proses renovasi.
Tugas dan Fungsi
Departemen ini mempunyai tugas pokok membantu
Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan, dan memiliki fungsi menyelenggarakan hal-hal berikut: 1. Perumusan kebijakan nasional,
kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang
keagamaan; 2. Pelaksanaan urusan Pemerintah di bidang
keagamaan; 3. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara; 4.
Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang pembinaan
kehidupan keagamaan; dan 5. Penyampaian laporan hasil
evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang pelaksanaan tugas
dan fungsi Departemen kepada Presiden. 39
Visi dan Misi
Adapun visi yang diusung Departemen Agama,
sebagaimana ditegaskan di dalam Peraturan Menteri Agama
(PMA) No. 8 Tahun 2006, adalah “terwujudnya masyarakat
Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta
saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Untuk
mewujudkan visi tersebut, dibuat sejumlah misi (yang juga
termuat di dalam PMA yang sama), sebagai berikut: 1.
Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pengamalan,
dan pelayanan kehidupan beragama; 2. Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan; 3. Meningkatkan kualitas
pendidikan umat beragama; 4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji; 5. Memberdayakan umat beragama dan
lembaga keagamaan; 6. Memperkokoh kerukunan umat
39
Selengkapnya tugas pokok dan fungsi diatur di dalam Peraturan Menteri Agama No.
3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. 43
beragama; dan 7. Mengembangkan keselarasan pemahaman
keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia.
Program terkait Kerukunan Umat Beragama
Departemen Agama menegaskan dua kebijakan besar
dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu: (1)
Memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok agama,
serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah
kerukunan umat beragama (KUB), dan (2) Memberikan ramburambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama.
Sejalan dengan tugas-fungsi serta visi-misi di atas,
Departemen Agama juga melakukan sejumlah kegiatan yang
mengejawantahkan harapan dan misi tersebut. Diantara
program-program yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan
kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut: 1. Peningkatkan pemahaman keagamaan yang moderat; 2. Perubahan
paradigma pendekatan dalam membangun kerukunan antar
umat beragama dari pendekatan formal, struktural menjadi
pendekatan humanis-kultural; 3. Penanganan daerah konflik; 4.
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); 5.
Orientasi pemberdayaan tenaga rekonsiliasi; 6. Peningkatan
wawasan multikultural bagi para guru agama; 7. Peningkatan
wawasan kerukunan bagi para penyiar agama; 8. Perkemahan
pemuda lintas agama; dan 9. Temu karya pemuda lintas
agama40
Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mendorong
kerukunan umat beragama, adalah sebagai berikut:41
1. Memperkuat landasan/dasar-dasar (aturan/etika bersama)
tentang kerukunan internal dan antar umat beragama
Lihat, Pemaparan (slide) berjudul “Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia”, yang disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Prof. DR. HM. Atho Mudzhar, dalam berbagai acara/seminar
terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama. 41 Ibid. 40
44 2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam
bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat
beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi yang
ideal untuk menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif
dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan
agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi
pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat
beragama
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilainilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat
manusia
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementtatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilainilai Ketuhanan
6. Mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap
unsur dan lapisan masyarakat
7. Menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa
perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu hendaknya hal ini dapat dijadikan
mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan
beragama.
Departemen Dalam Negeri
Berkantor di Jl. Medan Merdeka, Departemen Dalam
Negeri dipimpin oleh seorang Menteri Dalam Negeri, dengan
seorang Sekretaris Jenderal, dan sejumlah eselon I, seperti
Direktur Jenderal Otonomi Daerah, dan Direktur Jenderal
Kesatuan Bangsa dan Politik. Terkait dengan LSM, pada Ditjen
Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri ini
terdapat Direktorat Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan dan
Politik, lebih spesifik lagi, Sub Direktorat Fasilitasi Organisasi
Keagamaan dan LSM, yang memiliki tugas dan fungsi
45
salahsatunya melakukan pendataan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ormas-ormas keagamaan dan LSM-LSM.42
Departemen Dalam Negeri mempunyai tugas membantu
Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang urusan dalam negeri. Fungsi-fungsi yang
diampunya adalah sebagai berikut:
a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang urusan dalam
negeri dan otonomi daerah;
b. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pelayanan administrasi Departemen;
c. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan serta
pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka
mendukung kebijakan di bidang urusan dalam negeri dan
otonomi daerah;
d. Pelaksanaan pengawasan fungsional.
Visi dan Misi
Visi yang ingin dicapainya adalah “terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik, sistem politik
yang demokratis, pembangunan daerah dan pemberdayaan
masyarakat dalam wadah NKRI.” Adapun misi yang
diembannya adalah menetapkan kebijaksanaan nasional dan
memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya :
1. Memelihara dan memantapkan keutuhan NKRI;
2. Memelihara ketentraman dan ketertiban umum dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara:
3. Memantapkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan yang desentralistik;.
42
Wawancara dengan Drs. Denty Ierdan, Kasubdit Fasilitasi Ormas Keagamaan dan
LSM, pada 20 Desember 2009. 46 4. Memantapkan pengelolaan keuangan daerah yang efektif,
efisien, akuntabel dan auditabel;
5. Memantapkan sistem politik dalam negeri yang demokratis
dalam negara kesatuan republik indonesia;
6. Meningkatkan keberdayaan masyarakat
ekonomi, sosial budaya, dan politik;
dalam
aspek
7. Mengembangkan keserasian hubungan pusat-daerah, antar
daerah dan antar kawasan, serta kemandirian daerah dalam
pengelolaan pembangunan secara berkelanjutan dan
berbasis kependudukan.
Selain visi dan misi tersebut, Departemen Dalam Negeri
juga menetapkan strategi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Strategi dimaksud adalah menetapkan kebijaksanaan
nasional dan memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan
dalam upaya: 1. Menjamin keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; 2. Memantapkan efektifitas pemerintahan
daerah; 3. Memberdayakan masyarakat; 4. Mengembangkan
keserasian hubungan pusat-daerah serta keserasian antar
daerah dan antar kawasan; dan 5. Memelihara ketentraman dan
ketertiban umum dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Program Strategis
Kemudian, mengacu pada visi, misi, tujuan, sasaran dan
kebijakan, Departemen Dalam Negeri menetapkan 13 program
strategis yang terbagi atas 8 program utama dan 5 program
penunjang. Yang termasuk program utama adalah: 1. Program
penguatan integrasi nasional; 2. Program pengembangan manajemen perlindungan dan ketentraman masyarakat, serta
ketertiban umum; 3. Program fasilitas dan pemantapan
implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah; 4.
Program pemantapan pengelolaan keuangan daerah; 5.
Program pengembangan kelembagaan dan sistem politik
47
demokratis: 6. Program peningkatan keberdayaan masyarakat
dan penanggulangan kemiskinan: 7. Program pembinaan
pembangunan daerah dan wilayah; dan 8. Program pengembangan dan pembinaan administrasi kependudukan.
Sedangkan program penunjang, adalah: 1. Program
pengembangan kerjasama internasional; 2. Program pembinaan
dan penegakan hukum serta peningkatan kepemerintahan
yang baik; 3. Program penelitian dan pengembangan
pemerintahan dan politik dalam negeri; 4. Program peningkatan kapasitas SDM aparatur; dan 5. Program peningkatan
kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan konservasi
lingkungan.
3. Kepolisian Negara Republik Indonesia43
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah
kepolisian nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab
langsung di bawah Presiden. Unsur pimpinan Mabes Polri
adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri),
yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Wakil Kapolri
(Wakapolri), serta sejumlah unsur pembantu pimpinan dan staf
pelaksana.
Visi dan Misi
Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom, dan
pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama
masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional
dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi
hukum dan hak azasi manusia, pemelihara keamanan dan
ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam
suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat
yang sejahtera.
43
Informasi utama pada bagian ini diambil dari situs resmi Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yang beralamat di: www.polri.go.id dan ensiklopedia bebas
www.wikipedia.com. 48 Adapun misi Polri adalah sebagai berikut: 1. Memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat
(meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga
masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis; 2.
Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya
preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan
serta kepatuhan hukum masyarakat (law abiding citizenship); 3.
Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional
dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi
manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa
keadilan; 4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai
yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia; 5. Mengelola SDM Polri secara
profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya
keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong
meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan
masyarakat; 6. Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam
(internal Polri) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri
ke depan; 7. Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai
pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi; 8.
Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah
konflik guna menjamin keutuhan NKRI; dan 9. Meningkatkan
kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat
yang berbhineka tunggal ika.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Polri tersebut di
atas, telah ditetapkan sasaran yang hendak dicapai, yaitu:
a. Di bidang kamtibmas: tercapainya situasi kamtibmas yang
kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan nasional;
terciptanya suatu proses penegakan hukum yang konsisten
dan berkeadilan, bebas KKN dan menjunjung tinggi hak
azasi manusia; terwujudnya aparat penegak hukum yang
memiliki integritas dan kemampuan profesional yang tinggi
serta mampu bertindak tegas adil dan berwibawa; kesadaran
49
hukum dan kepatuhan hukum masyarakat yang meningkat
yang terwujud dalam bentuk partisipasi aktif dan dinamis
masyarakat terhadap upaya Binkamtibmas yang semakin
tinggi; dan kinerja Polri yang lebih profesional dan
proporsional dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi sehingga disegani dan mendapat dukungan kuat
dari masyarakat untuk mewujudkan lingkungan kehidupan
yang lebih aman dan tertib.
a. Bidang keamanan dalam negeri: tercapainya kerukunan
antar umat beragama dalam kerangka interaksi sosial yang
intensif serta tumbuhnya kesadaran berbangsa guna
menjamin keutuhan bangsa yang ber Bhineka Tunggal Ika;
dan tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
Kejaksaan Republik Indonesia44
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara
yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang
penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan
hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung
yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri
merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang
penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang
utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang
menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I.,
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut
untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI
44
Informasi utama pada bagian ini diambil dari situs resmi Kejaksaan Republik
Indonesia, yang beralamat di: www.kejaksaan.go.id 50 sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan
wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal
2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan
dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa
Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap
provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan
berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam
pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di
poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses
pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana
penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis),
karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan
apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak
berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara
Pidana.
Visi dan misi
Visi dan misi Kejaksaan tercantum di dalam Instruksi
Jaksa Agung RI No: INS-002/ A/JA/1/2005 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan RI tahun 2005.
Visi yang diusung Kejaksaan tersebut adalah "Mewujudkan
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang
melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung
tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila.”
Sedangkan misi yang diemban sebagai upaya untuk mencapai
visi tersebut di atas, adalah:
1. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam
penegakan hukum
51
2. Optimalisasi pemberantasan
pelanggaran HAM
KKN
dan
penuntasan
3. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan
penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan,
kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan
dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.
Tugas dan Wewenang
Berdasarkan Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan RI, berikut adalah tugas dan wewenang
Kejaksaan:
1. Di bidang pidana, yaitu: melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang; dan melengkapi berkas perkara
tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan
kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan
turut menyelenggarakan kegiatan: peningkatan kesadaran
hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan
hukum; pengawasan peredaran barang cetakan; pengawasan
aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama; dan penelitian dan pengembangan hukum
serta statistik kriminal.
52 Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung
Republik Indonesia, Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tanggal 15
Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem), Jaksa Agung
bertindak sebagai koordinator dalam pengawasan aliran
kepercayaan masyarakat. Tim ini beranggotakan perwakilan
dari Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Budaya dan Pariwisata, BIN, Kepolisian, dan Kejaksaan
sendiri. Dalam kaitan Bakor Pakem inilah Kejaksaan terkait erat
dengan upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Dari paparan 4 profil instansi Pemerintah di atas, dapat
diketahui bahwa keempatnya memiliki tugas, fungsi, dan
wewenang serta peran dalam upaya pemeliharaan kerukunan
umat beragama di Indonesia—yang merupakan bagian penting
dari kerukunan nasional. Keempat instansi ini pada
pelaksanaannya kerap menyatu dalam satu label: Pemerintah.
53
54 BAB III
HUBUNGAN LSM KERUKUNAN DAN PEMERINTAH
DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT
BERAGAMA
Kerjasama LSM-Pemerintah
T
elah banyak kerjasama yang pernah dilakukan antara
LSM dengan Pemerintah di bidang pemeliharaan
kerukunan umat beragama. Beberapa contoh
kerjasama itu diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Departemen Agama (Badan Litbang dan Diklat; dan Pusat
Kerukunan Umat Beragama) telah melaksanakan sejumlah
kerjasama dengan sejumlah ormas dan LSM dalam
menyosialisasikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006.
Beberapa partner kerjasama itu ialah: Lembaga Kerukunan
Umat Beragama (LKUB) Jakarta.
2. Departemen Agama juga telah dua kali melakukan Dialog
Kebangsaan yang bekerjasama dengan LSM Front Persatuan
Nasional (FPN), di Jakarta.
3. Departemen Agama (Puslitbang Kehidupan Keagamaan)
telah bekerjasama dengan LSM lokal di Cirebon bernama
Center for Economic and Population Studies (CEPoS), untuk
melakukan pelatihan kader perdamaian untuk wilayah III
Cirebon, yang bertempat di Kuningan pada awal Desember
2009.
4. Departemen Dalam Negeri (Ditjen Kesbangpol) telah
beberapa kali melakukan kerjasama dengan beberapa LSM
sejak tahun 2004 hingga 2009 dalam kegiatan “Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan Cinta Tanah Air.”
55
Meski sejumlah kerjasama telah pernah dilakukan
dengan berbagai ormas dan LSM sebagaimana tertera di atas,
namun kerjasama serupa belum dapat dilakukan dengan
beberapa LSM lainnya, seperti dengan 3 LSM yang diangkat
profilnya di dalam penelitian ini.
The WAHID Institute, misalnya, mengaku belum pernah
melakukan kerjasama dalam suatu program-bersama atau
suatu kegiatan bersama. Meski demikian, sebatas mengundang
wakil pemerintah sebagai peserta, pernah dilakukan. Berikut
penuturan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID
Institute:45
”Kerjasama dengan MoU belum pernah (dilakukan, pen), tetapi
berusaha bersinergi, selalu. Misalnya, ketika mengadakan
kegiatan mengundang dari pegawai Depag atau MUI, atau
pejabat lainnya seperti Depdagri dan parlemen”.
Demikian juga dengan SETARA Institute, sebagaimana
dikatakan Ismail Hasani, Direktur Program SETARA,46 belum
pernah melakukan kerjasama dengan Pemerintah. Dikatakan
Ismail:
”Kerjasama institusional belum pernah. Tapi pelibatan secara
informal baik mengundang sebagai narasumber atau peserta
lokakarya pernah dilakukan. SETARA juga melibatkan institusi
pemerintah dalam hal pendokumentasian kasus-kasus
kebebasan beragama yang telah kami lakukan selama 3 tahun
terakhir. Relasi yang selama ini terbangun adalah bahwa
SETARA adalah lembaga pemantau yang memantau dan
menghasilkan rekomendasi. Diharapkan pemerintah bisa
menjalankan rekomendasi masyarakat sipil”.
Senada dengan kedua hal tersebut, Djohan Effendi,
mantan ketua ICRP, mengatakan lembaganya belum pernah
bekerjasama dengan Pemerintah, seraya mengajukan kritik
45
46
Wawancara pada 17 Desember 2009. Wawancara pada 25 November 2009. 56 kepada Pemerintah yang menganggapnya tidak mau melihat
ICRP sebagai mitra. Dikatakannya:47 ”Belum pernah (dilakukan
kerjasama dengan Pemerintah, pen.), sebab kalangan
Pemerintah, khususnya Departemen Agama, agaknya tidak
memandang ICRP sebagai mitra”.
Selain interaksi dalam bentuk kerjasama sebagaimana
digambarkan di atas, sering pula terjadi interaksi yang saling
berhadapan antara LSM dengan Pemerintah, terutama terjadi di
aras wacana. Hal-hal seperti ini biasanya terjadi pada saat
terjadi suatu kasus yang memperhadap-hadapkan suatu
kebijakan Pemerintah dengan kepentingan ‘sebagian’ warga
masyarakat. Dalam posisi ini, LSM kerapkali menjadi
‘advokat’nya sebagian kalangan masyarakat itu.
Untuk menunjukkan gambaran kondisi interaksiberhadapan tersebut, kasus penanganan masalah Ahmadiyah
di Indonesia beberapa waktu lalu, layak untuk dijadikan
contoh. Sebagaimana diketahui, di saat menjelang dan pasca
diterbitkannya SKB tentang Ahmadiyah,48 beberapa LSM
bersama sebagian warga masyarakat yang seaspirasi, melakukan berbagai langkah untuk mencegah rencana Pemerintah
mengeluarkan SKB untuk menangani Kasus Ahmadiyah
tersebut. Sebuah aliansi luas dan longgar AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)
yang terdiri atas 70 kelompok agama dan LSM, misalnya,
melakukan beberapa kali demonstrasi dan aksi penggalangan
opini massa menolak SKB Pembubaran Ahmadiyah.
Sebetulnya, dalam konteks penanganan masalah
Ahmadiyah tersebut, pihak-pihak yang berhadapan secara fisik
47
48
Wawancara pada 6 Desember 2009. Selengkapnya SKB itu berjudul Surat Keputusan Bersama (SKB) Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia,
Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199 Tahun 2008,
tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tanggal 9 Juni
2008. 57
adalah massa yang pro dengan yang kontra pembubaran
Ahmadiyah. Pemerintah sendiri tidak berada di salahsatu blok
yang bertentangan tersebut, melainkan netral. Pemerintah
berkali-kali menegaskan posisinya yang tidak memihak, karena
bagi Pemerintah, kasus Ahmadiyah bukan mengenai sesat atau
tidaknya sesuatu aliran, melainkan faktor terganggunya
ketertiban masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Agama
saat itu, Muhammad M. Basyuni, sebagai berikut:
“Bagi Pemerintah, masalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia
mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab
lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat
terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Sisi kedua,
warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat. Kedua sisi ini harus ditangani Pemerintah.” 49
Kemudian terkait penerbitan SKB tentang Ahmadiyah
tersebut, Muhammad M. Basyuni pun kembali menegaskan:
“SKB itu bukanlah bentuk intervensi Pemerintah terhadap
keyakinan warga masyarakat, melainkan upaya Pemerintah
untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang
terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang
terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang”.50
Dalam suatu kesempatan, meski dalam konteks lain, Dr.
Ir. Suhatmansyah, Direktur Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan dan Orpol, Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam
Negeri, juga menegaskan posisi Pemerintah dalam
hubungannya dengan agama. Dikatakannya: “Pemerintah tidak
masuk pada masalah agama, karena itu hak asasi. Negara
(hanya) mengatur hubungan antar agama”.51
Penjelasan Menteri Agama RI (saat itu), Muhammad M. Basyuni, pada
pertemuannya dengan para Duta Besar Negara-negara Uni Eropa yang berkunjung
ke ruang kerjanya pada 10 Juli 2008. 50 Ibid. 51 Diucapkannya pada suatu wawancara di dalam program berita Redaksi Pagi
TransTV, Minggu, 13 Desember 2009 Pkl. 06.40 wib. 49
58 Sementara itu, interaksi-berhadapan antara LSM dan
Pemerintah terjadi di aras wacana, terutama menjelang dan
pasca diterbitkannya SKB tersebut. Sejumlah LSM, misalnya,
melansir sikapnya mengenai kebijakan Pemerintah itu melalui
laporan tahunannya dan berbagai press-release. Salahsatunya
adalah The WAHID Institute, yang seakan menjawab
penegasan Menteri Agama di atas, membuat pernyataan dalam
Laporan Tahunan-nya,52 sebagai berikut:
“Munculnya SKB ini merupakan buah dari desakan massa yang
menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, SKB
ini dikeluarkan persis di hari ketika ribuan pengunjuk rasa anti
Ahmadiyah berdemonstrasi di depan istana. SKB ini juga tidak
dapat dilepaskan dari upaya pemerintah, dalam hal ini
kepolisian, untuk menangkap Munarman sebagai tersangka
tragedi Monas.”
“Terlepas dari situasi tersebut ada hal substansial yang bisa
dilihat. SKB ini secara eksplisit mengakui, perdebatan tentang
Ahmadiyah adalah soal tafsir agama. Hal itu sebagaimana
tercantum dalam poin dua. Di sana ada kata “menghentikan
semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama
Islam pada umumnya”. Sejauh menyangkut tafsir agama,
sebenarnya pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan
pemihakan. Tafsir agama adalah bagian dari hak beragama dan
berkeyakinan yang tidak bisa dikriminalisasi. Karena itu,
dengan SKB itu sebenarnya pemerintah sudah terjebak pada
pemihakan soal tafsir agama”.
Demikian juga SETARA Institute, menolak SKB dengan
merekomendasikan hal berikut dalam Laporan Tahunannya:53
The Wahid Institute bekerjasama dengan Yayasan TIFA, Laporan Tahunan The
Wahid Institute 2008, Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia,
Menapaki Bangsa yang Kian Retak, Jakarta:. 10 Desember 2008, dan di-publish
secara luas melalui website: www.wahidinstitute.org. 53 SETARA Institute, Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan
Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia,
Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Jakarta,
2009, dan di-publish secara luas melalui website: www.setara-institute.org. 52
59
“Presiden harus mencabut SKB Pembatasan Ahmadiyah,
karena secara formal dan substansial kebijakan ini jelas
bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
termasuk dan yang utama bertentangan dengan konstitusi. SKB
juga telah secara nyata mengeskalasi pelanggaran kebebasan
beragama/ berkeyakinan di tahun 2008”.
Pendapat-pendapat ini dan sejumlah kritik lainnya terkait
kebijakan-kebijakan Pemerintah di bidang agama, dibuat dan
dipublikasikan secara luas melalui jaringan internet yang
mereka miliki. Demikian juga sebagian kritik ini didiseminasikan melalui buku cetakan dan acara seminar atau
workshop yang cukup massif dilakukan. The WAHID Institute,
misalnya, telah menerbitkan buku berjudul Kala Fatwa Jadi
Penjara (2006) dan Politisasi Agama dan Konflik Komunal, Beberapa
Isu Penting di Indonesia (2007), yang ditulis oleh Ahmad Suaedy
dan kawan-kawan.54 Sedangkan SETARA sudah 22 kali
menggelar diskusi di 22 kota di Indonesia, pada dua tahun
terakhir ini. Selain itu, sejumlah laporan penelitian dan buletin
berkala pun mereka terbitkan dan publikasikan ke masyarakat
luas.
Secara wacana, Pemerintah sesungguhnya sebagai pihak
yang sedang dikritik dan diserang. Namun Pemerintah lebih
sering melayaninya dengan ‘mendengar aspirasi’ dan memberikan penjelasan-penjelasan yang bersifat ‘menjelaskan’
daripada mengalamatkan pada satu persatu pendapat ataupun
kritik itu. Misalnya, ketika SKB Ahmadiyah yang diterbitkan
Pemerintah dituduh sebagai pemihakan tafsir agama dan
melanggar konstitusi, Pemerintah menjawabnya dengan
mengeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB)55 yang menjelaskan
Buku-buku itu adalah: Ahmad Suaedy, dkk, Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The
Wahid Institute, 2006) dan Ahmad Suaedy, dkk, Politisasi Agama dan Konflik
Komunal, Beberapa Isu Penting di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute,
2007). 55 Selengkapnya SEB itu berjudul: Surat Edaran Bersama (SEB) Sekretaris Jenderal
Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan
Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Nomor: SE/SJ/1322/2008, Nomor:
54
60 tentang posisi SKB terhadap keyakinan seseorang, dan
terhadap hukum/konstitusi. Bahwa di dalam Bagian B angka 1
tentang Kedudukan Hukum SKB, butir a dan b, dijelaskan
kesesuaian-kesesuaian kedudukan hukum SKB dengan
beberapa pasal dalam UUD 1945 (Amandemen) dan UU
No.1/PNPS/1965. Demikian juga dalam butir c, dijelaskan
bahwa:
SKB ini bukanlah intervensi Pemerintah terhadap keyakinan
seseorang, melainkan upaya Pemerintah sesuai kewenangan
yang diatur oleh Undang-Undang untuk menjaga dan
memupuk ketentraman beragama dan ketertiban bermasyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam
masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan
menyimpang.
Begitu pula, pada saat beberapa pihak menggugat PBM
No.9 dan 8 Tahun 2006 karena dinilai masih kurang jelas dan
multitafsir, maka Pemerintah mengeluarkan “Buku Tanya
Jawab PBM,” yang menjawab dan menjelaskan pertanyaanpertanyaan yang ada di masyarakat tersebut.
Demikianlah, interaksi-berhadapan (dalam bentuk perang
wacana) ini pun sesungguhnya adalah sebentuk kerjasama
dengan peran masing-masing yang saling berhadapan. Meski
terkadang kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan
masyarakat yang kurang dapat memahaminya, namun dengan
proses ini aspirasi masyarakat bisa tersampaikan, dan Pemerintah menjadi lebih bijak dan tidak sewenang-wenang dalam
pengambilan keputusan. Interaksi-berhadapan itu bukan suatu
rekayasa-konspiratif, melainkan suatu fitrah atau kewajaran
SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, Nomor: SE/119/921.D.III/ 2008 tentang Pedoman
Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008; Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008;
Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota,
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat, tanggal 6 Agustus 2008. Lihat Buku Sosialisasi SKB, Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat, 2008. 61
alamiah dalam suatu percaturan antara ‘eksekutor’ dan
‘evaluator; antara pihak yang diberi otoritas untuk membuat
kebijakan, dengan pihak pengontrol sekaligus yang akan
menjadi objek kebijakan; antara Pemerintah dan masyarakat
(termasuk di dalamnya LSM).
Beberapa ‘Kerikil’ Hubungan LSM-Pemerintah
Hubungan kerjasama ataupun interaksi-berhadapan
sebagaimana diulas di atas, memang tidak selamanya baik.
Beberapa ‘kerikil’ yang mengendala kesediaan bekerjasama
atau mengerasnya aksi-reaksi di antara keduanya, kerap
ditemukan. Kendala itu ada yang bersifat ideologis, politis,
maupun sebatas kesalahfahaman (psikologis).
Secara ideologis, kedua pihak yakni LSM dan
Pemerintah, berpijak pada dua ideologi-paradigmatis yang
berbeda. LSM, dengan ideologi kritisnya, by nature didirikan
sebagai balancing atau counterpart bagi Pemerintah yang
memeluk ‘ideologi pembangunanisme’. Ideologi Pemerintah ini
tidak lepas dari posisi Indonesia sebagai negara di dunia ketiga
(negara berkembang) yang tengah dengan serius terus
membangun dan menata kehidupan bangsa yang lebih baik.
Untuk tujuan itu, Pemerintah memerlukan stabilitas sosialpolitik. Di lain sisi, LSM terus ‘merecoki’ (baca: mengkritisi)
Pemerintah agar tidak berlaku sewenang-wenang atas nama
pembangunan, dalam satu dan lain hal, melabrak kepentingan
masyarakat.
LSM, misalnya, secara ideologis-politis mengeritik
paradigma yang dipakai Pemerintah dalam menangani hal
pembangunan di bidang agama, sebagaimana disampaikan The
WAHID Institute, sebagai berikut:
“Ada hal yang mendasar yang harus didiskusikan terlebih
dahulu sebelum menilai tindakan Pemerintah, yaitu terutama
tentang persepsi negara dan pemerintah atas agama dan
harmonisasi antara konstitusi dengan perundang-undangan
62 yang berkaitan dan berbagai aturan lainnya. Pemerintah pada
umumnya masih mengikuti UU dan aturan yang tidak sejalan
dengan konstitusi, meskipun ada niat baik untuk
melakukannya. Selanjutnya, usaha-usaha itu juga masih terlalu
dekat dengan kepentingan politik (kekuasaan) sehingga
seringkali terjebak hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini
terjadi terutama di daerah. Pemerintah juga sering tidak
memperhatikan berbagai pemikiran di luar pemerintah, dan
mencurigai inisitif masyarakat terutama kalangan NGO sebagai
akan menganggu pemerintah, terutama di daerah. Pemerintah,
seperti di sektor lain, seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, perlu menjalin dan bersinergi dengan
masyarakat.”56
Hal senada dikemukakan Ismail Hasani dari SETARA
Institute, yang mempertanyakan paradigma ‘pengaturan’ yang
dipakai Pemerintah, sebagai berikut:
“Dalam pandangan kami, pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat yang dilakukan oleh pemerintah belum berpijak
pada paradigma yang tepat. Matematika jumlah umat dalam
hal intensitas pemberian layanan, jelas bertentangan dengan
prinsip hak asasi manusia. Semetara dalam hal pengaturan,
SETARA Institute memandang bahwa pengaturan dalam hal
jaminan beragama/berkeyakinan harus direvisi atau bahkan
dicabut karena tidak lagi sesuai dengan Konstitusi. Kekurangan
utamanya adalah pada paradigma ‘pengaturan’ agama bukan
pada penjaminan kebebasan beragama. Selama paradigma ini
tidak berubah, maka catatan dan kritik atas peran pemerintah
tetap akan muncul”.57
Adapun Djohan Effendi, mantan ketua ICRP, melihat
ketiadaan visi, kebijakan, dan program yang jelas yang dipakai
Pemerintah dalam pengembangan kebijakan kerukunan umat
beragama. Dikatakannya:“Masih kurang dan belum mempu-
56
57
Wawancara-tertulis dengan A. Suaedy pada 17 Desember 2009. Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 63
nyai visi, kebijakan dan program yang jelas untuk pengembangan kerukunan hidup umat beragama.”58
Di sisi lain, interaksi LSM-Pemerintah tidak jarang
terganggu oleh ditemukannya kenyataan dimana integritas dan
akuntabilitas beberapa LSM yang mulai dipertanyakan.
Kenyataan bernada kendala-psikologis ini, misalnya, adanya
kekurangpercayaan masyarakat (dan Pemerintah) atas ketulusan misi yang diemban oleh suatu LSM. Bahwa ‘perjuangan’
LSM yang mendampingi/mengadvokasi masyarakat melawan
Pemerintah terkadang dianggap sebagai pesanan kepentingan
asing yang notabene menjadi donornya. Terkait ini, menarik
menyimak otokritik yang disampaikan Ridwan Al-Makassary
ketika ia mengobservasi integritas dan akuntabilitas LSM vis a
vis donor asing. Dikatakannya:
“Sejak tahun 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati
“surga” aliran dana tersebut dengan mudah (easy money).
Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan
tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM-LSM
tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual
kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di
antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak
yang merasa gerah dengan agenda LSM. Situasi ini tidak jarang
merepotkan para aktivis LSM, terutama dalam menegosiasikan
agenda-agenda sosial politik yang diperjuangkannya.
Kesulitannya adalah bagaimana LSM meyakinkan pihak dalam
negeri bahwa agenda mereka bebas dari campur tangan pihak
asing”.59
Kecurigaan inilah salahsatunya yang kerap membayangbayangi kalangan masyarakat tertentu ataupun Pemerintah
ketika hendak bekerjasama dengan LSM: bagaimana meya 58
59
Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. Ridwan al-Makassary, “Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat: Beberapa
Observasi”,
Working
Paper,
dalam
http://www.
interseksi.org/publications/essays/articles/akuntabilitas_lsm.html. 64 kinkan bahwa agenda kerja LSM adalah murni ‘perjuangan’
dan bukan ‘order’ pihak asing. Terlebih, kebanyakan LSM
menggunakan donor asing untuk keberlanjutan finansialnya,
sebagaimana penelitian Rustam Ibrahim pada tahun 2005 yang
menemukan data dari 25 LSM yang ditelitinya bahwa
mayoritas responden (65%) mengandalkan sumber bantuan
luar negeri, dan hanya 35% yang menggunakan sumber dana
dalam negeri.60
Selain itu, adanya beberapa (oknum) LSM yang menyimpang turut memperburuk citra LSM karena sebagian masyarakat pada akhirnya melakukan generalisasi. Ada empat
bentuk aktivisme LSM yang menyimpang—menurut observasi
LP3ES:
“Pertama, LSM yang memiliki tautan yang kuat dengan lingkar
kekuasaan, terutama dalam aktivitas dukung mendukung calon
pejabat di berbagai level. Kedua, LSM yang sengaja dibentuk
untuk memperebutkan atau menampung proyek pemerintah
(daerah). Kehadiran LSM ini untuk menyahuti peluang
kebijakan berbagai negara-negara donor yang mensyaratkan
peran serta masyarakat dalam proyek pembangunan.
Umumnya LSM ini dibentuk atau melibatkan pegawai Pemda
setempat bersama kroninya. Ketiga, LSM yang bertujuan untuk
meraih keuntungan ekonomi dengan berkedok LSM yang
melakukan
kegiatan
investigasi,
mengkritik
dengan
pendekatan wachtdog, namun ujung-ujungnya transaksi money
politics digelar di belakang layar. Keempat, ada kelompok yang
mengidentikkan diri sebagai LSM, yang justru mengabsahkan
tindak kekerasan dan anarkhi”.61
Dalam Ridwan Al-Makassary, “Akuntabilitas LSM,” ibid, mengutip Hamid Abidin,
“Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin
dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan
Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford
Foundation dan Tifa, 2004, h. 66. 61 Ibid. 60
65
Kritik lain disampaikan Azyumardi Azra, yang masih
melihat resistensi terhadap LSM dari sebagian kelompok
masyarakat. Dikatakannya:
LSM-LSM ini telah memainkan peran penting dalam pemeliharaan dan pemberdayaan kerukunan beragama. Hanya saja
mereka cenderung elitis dan dicurigai kelompok-kelompok
literal dan garis keras Muslim, yang menganggap mereka
sebagai terlalu ‘liberal’ dan ‘pluralis’.62
Dari gambaran di atas, ‘kerikil-kerikil’ di sekitar hubungan
LSM-Pemerintah memang ada dan dapat mengendala terjadinya
kerjasama-sinergis. Namun hal ini bukan berarti kerjasama itu
tidak dapat dilakukan. Upaya sinergi, saling mendekat-tapiberjarak, tampaknya telah mulai dilakukan.
Upaya Sinergi
Dapatkah LSM dan Pemerintah bersinergi dalam upaya
pemeliharaan kerukunan? Jawabannya, sangat mungkin bisa.
Sekali lagi, upaya saling mendekat-tapi-berjarak tampaknya
telah mulai dilakukan. Meski beranjak dari paradigma dan
ideologi yang berbeda, LSM dan Pemerintah nampaknya
bersepakat bahwa kerukunan umat beragama adalah tujuanbersama. Aura kesalahfahaman pun mulai sirna. Meski
demikian, meraka tetap ‘berjarak’ karena by nature posisi
masing-masing harus tetap independen.
Menarik mencermati pernyataan Ahmad Suaedy dari the
WAHID Institute yang biasanya menggunakan bahasa ‘beritaburuk’ dalam mengkritik Pemerintah. Dikatakannya:
”Kami sering berbeda pendapat (dengan Pemerintah, pen.) dan
sering mengkritik, tetapi itu tidak berarti menganggap
Pemerintah tidak penting. Justeru kami anggap penting karena
itu kami terus melakukan counterpart, apakah dengan kerjasama
atau mengkritik. Contohnya, tentang FKUB tersebut. Namun
kami tanpa kerjasama langsung, kami melakukan penguatan
62
Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 66 terhadap para aktivis FKUB di daerah mengingat peran mereka
penting jadi perlu empowering kepada mereka. Dan di berbagai
daerah, pengurus FKUB menjadi bagian dari jaringan WI. Kami
senang jika Pemerintah bersedia bekerja sama untuk
memperbaiki bersama”.63
Ditambahkan Suaedy, mengenai langkah-langkah yang
seharusnya dilakukan oleh the WAHID Institute dan Pemerintah dalam upaya-bersama memelihara kerukunan, yakni:
”Pertama, harus ada kajian bersama secara teratur dan
berkesinambungan tentang berbagai kendala, baik UU, aturan
maupun fenomena sosial politik. Lalu dilahirkan semacam
rekomendasi untuk diantarkan ke berbagai lembaga yang
berkaitan. Kedua, perumusan isu dan langkah-langkah strategis,
serta berbagi tugas dan jika dimungkinkan kerjasama dalam
hal-hal tertentu; dan ketiga, evaluasi berkelanjutan secara
bersama, sehingga bisa introspeksi masing-masing. Dan dari
sana bisa saling memperbaiki diri dan juga perbaikan terhadap
strategi, program, dan sebagainya.”64
Adapun Djohan Effendi, meski berpendapat bahwa yang
bertanggung jawab dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah Presiden dan Menteri Agama, namun secara jelas
menegaskan pentingnya kerjasama LSM-Pemerintah dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dikatakannya:
“Kedua-duanya (LSM dan Pemerintah, pen.) perlu bekerja
sama, mendialogkan masalah-masalah kerukunan hidup umat
beragama. Kalangan Departemen Agama jangan memandang
sebelah mata terhadap organisasi-organisasi dan lembagalembaga lintas iman. Mestinya mereka diperlakukan sebagai
mitra kerjasama.”65
Azyumardi Azra, dalam kapasitasnya sebagai pakar civil
society dan pemerhati LSM, berpendapat tentang perlunya
meningkatkan hubungan dan komunikasi antara LSM dan
Wawancara-tertulis pada 17 Desember 2009. Ibid. 65 Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. 63
64
67
Pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Dikatakannya:
“Seharusnya Pemerintah, khususnya Departemen Agama,
menjalin hubungan dan komunikasi yang workable dengan
semua LSM advokasi maupun religious-based civil society;
karena Pemerintah tidak memiliki kapasitas memadai untuk
mengembangkan kerukunan umat beragama. Tanpa keterlibatan mereka, usaha Pemerintah tidak bakal berhasil baik”.66
Searah dengan itu, Ade Syukron Hanas, peneliti pada
Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Jakarta, yang
banyak mengkaji masalah civil society, yang juga seorang aktivis
suatu LSM, berpendapat senada dengan menekankan pentingnya saling percaya dan adanya kesetaraan. Dikatakannya:
“Dalam era kenegaraan sekarang, pola hubungan antara State
dan NGO bukan lagi vis a vis, tapi perlu ditingkatkan pada level
“saling mengisi dan membantu.” Tentu saja hal ini perlu
adanya kepercayaan antara dua pihak, dan posisi yang
sejajar”.67
Pemerintah nampaknya kini sudah berkenan menjalin
kerjasama dengan LSM, terbukti dari dilibatkannya wakil LSM
dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah, atau
bahkan menyerahkan programnya untuk dikerjasamakan
dengan LSM-LSM yang relevan atau beririsan dengan tugas
dan fungsinya. Selain faktor tumbuhnya kesediaan bekerjasama
itu, hemat penulis, kini jajaran birokrasi pemerintahan banyak
diisi oleh orang-orang mantan aktivis LSM. Maka, kerjasama ke
arah sinergi menjadi sangat mungkin dilakukan.
Dengan demikian, sinergi antara LSM kerukunan dan
Pemerintah telah mulai terjalin, baik dengan LSM-LSM yang
‘kontra’ Pemerintah, lebih-lebih LSM-LSM yang ‘ramah’
66
67
Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. Wawancara-tertulis pada 5 Desember 2009. 68 dengan Pemerintah. Sinergi itu dilakukan dalam bentuk
kerjasama-langsung maupun interaksi-berhadapan.
Dalam upaya mewujudkan sinergi dalam kerjasama
antara LSM dan Pemerintah, Diah Y. Rahardjo68 menyebutkan
ada beberapa prinsip kerjasama yang patut diperhatikan pada
proses perencanaannya. Pertama, membangun kepercayaan dan
komunikasi yang baik. Berbagai cara dapat dilakukan,
diantaranya mencari orang kunci yang dipandang cukup arif
dan dapat menerima perbedaan dan membuka komunikasi.
Kedua, adalah menerima perbedaan atau pluralisme. Tekanan
dalam prinsip perbedaan adalah kesefahaman bahwa masing
masing pihak berdiri pada posisi masing masing. Ketiga,
kejelasan dalam peran dan keterwakilan dalam bekerjasama.
Prinsip ini harus dimulai dan diperjelas dalam awal kerjasama,
siapa akan berperan apa dan siapa akan mewakili siapa.
Keempat, kesetaraan dalam posisi dan struktur sosial. Kelima,
kesepakatan terhadap etika kerjasama. Berkaitan dengan
kerjasama yang akan dibangun dengan LSM, etika ini
sebaiknya dibangun bersama dan dicantumkan secara tertulis.
Dan keenam adalah kejelasan dalam mekanisme tanggung
gugat. Prinsip ini juga ditanamkan untuk mulai memikirkan
mekanisme pada tanggung gugat publik pada program
pengembangan masyarakat.
68
Diah Y. Raharjo, “Membangun Kemitraan dengan Organisasi Non-Pemerintah
dalam Program Community Development”, dalam Bambang Rudito, dkk. (Ed.),
Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development,
(Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development/ICSD), 2003, hlm. 86-91. 69
70 BAB IV
ANALISA
eran LSM dan Pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan dapat dilihat secara nyata dari paparan visi
dan misi, juga sejumah program masing-masing
mereka--seperti dapat diidentifikasi dari paparan profil mereka
di atas. Peran-peran itu secara sekilas seperti bersinggungan
dalam saling beririsan pada titik-titik tertentu. Berikut ini
matriks perbandingan profil peran keduanya, untuk melihat
titik-sama dan titik-bedanya.
P
Tabel 2
Matriks Titik-temu/Perbandingan Profil/Peran LSM-Pemerintah
Hal
Cuplikan
Visi
LSM
… mendorong terciptanya
demokrasi, pluralisme agamaagama, multikulturalisme dan
toleransi di kalangan kaum
Muslim di Indonesia …(WI)
mewujudkan perlakuan setara,
plural & bermartabat atas
semua orang dalam tata sosial
politik demokratis. (SETARA)
menyebarkan tradisi dialog
dalam pengembangan
kehidupan keberagamaan
yang humanis dan pluralis di
tanah air. (ICRP)
menyebarkan gagasan Muslim
progresif yang
mengedepankan toleransi dan
saling pengertian di
masyarakat dunia Islam dan
Barat. (WI)
Pemerintah
… serta saling menghormati
antar sesama pemeluk agama
dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam wadah
NKRI.” (Depag)
… sistem politik yang
demokratis, pembangunan
daerah & pemberdayaan
masyarakat dlm wadah NKRI.
(Dpdagri)
... mewujudkan keamanan
dalam negeri dalam suatu
kehidupan nasional yang
demokratis dan masyarakat
yang sejahtera. (Polri)
Memperkokoh kerukunan
umat beragama. (Depag)
71
melancarkan dialog dalam
penyelesaian konflik
(SETARA)
memperjuangkan pluralisme
dan perdamaian untuk
melawan ketidak-adilan sistem
sosial, gender, HAM (ICRP)
Cuplikan
Program
Memfasilitasi dialog para
pemimpin agama di atas
(kalangan elit) dan di bawah
(grassroot). (WI)
Menggelar diskusi-diskusi
publik untuk membangun
pemahaman bersama tentang
penghormatan atas hak
beragama/berkeyakinan.
(SETARA)
Mengembangkan kerjasama
dan jaringan dengan organisasi
maupun individu yang peduli
atas berbagai isu agama untuk
perdamaian. (ICRP)
WI mengadakan “Workshop
Penguatan Kapasitas bagi Para
Pemuka Agama dan Dewan
Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Berbasis
Toleransi”
Memelihara Ketenteraman dan
Ketertiban Umum dalam
Kehidupan Bermasyarakat,
Berbangsa, dan Bernegara.
(Depdagri)
Memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat dengan
tetap memperhatikan normanorma dan nilai-nilai yang
berlaku. (Polri)
mendorong dan mengarahkan
seluruh umat beragama untuk
hidup rukun dalam bingkai
teologi yang ideal untuk
menciptakan kebersamaan dan
sikap toleransi. (Depag)
Program penguatan integrasi
nasional (Depdagri)
Tercapainya kerukunan antar
umat beragama dalam
kerangka interaksi sosial yang
intensif (Polri)
Di bidang ketertiban dan
ketenteraman umum
(PAKEM): pengawasan aliran
kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat
dan negara; pencegahan
penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama. (Kejaksaan)
Dari matriks di atas, tergambar adanya peran-peran dan
sekaligus titik-titik temu pada tataran tujuan yang ingin dicapai
baik oleh LSM maupun Pemerintah, dalam upaya pemeliharaan kerukunan. Titik temu itu diantaranya, baik LSM
maupun Pemerintah menginginkan terwujudnya keamanan,
ketertiban, kerukunan, perdamaian, kehidupan yang lebih
demokratis, toleransi antarumat beragama, saling pengertian,
72 dialog dan kerjasama. Memang, cara dan strategi yang
dilakukan untuk meraih keinginan itu terkadang berbeda atau
bahkan berhadapan-diametris dan juga kerapkali ‘terganggu’
oleh adanya kendala-kendala hubungan di antara keduanya.
Namun demikian, peran-peran itu tetap terlaksana dan menjadi
kontribusi tersendiri bagi upaya pemeliharaan kerukunan.
Kemudian, untuk memahami peran dan hubungan antara
keduanya, matriks tipologi LSM berikut ini akan sangat
membantu mendudukkan posisi dan bentuk hubungan itu.
Tabel 3
Matriks Tipologi LSM
Versi
Tipologi
LSM
Philip
Eldridge
Tim LP3ES
Mansour
Fakih
M. Nurul
Amin
Tipe I
Kooperatif-terlibat
dengan Pemerintah
"Kerja Sama Tingkat
Tinggi:
Pembangunan Akar
Rumput"
LSM
Developmentalis
Tipe Reformis
LSM Plat Merah
Tipe II
Kooperatif-tak
terlibat dengan
Pemerintah
"Penguatan AkarRumput"
LSM Karitatif
Tipe Konformis
LSM
Kedaerahan(?)
Tipe III
Non-kooperatif,
kritis terhadap
Pemerintah
"Politik Tingkat
Tinggi:
Mobilisasi AkarRumput"
LSM Advokasi
Tipe
Transformatif
LSM Kritis
Untuk LSM tipe I, hubungan yang terjadi adalah
hubungan kooperatif-terlibat antara LSM dan Pemerintah. LSM
dapat bekerjasama atau bahkan turut mendukung programprogram pembangunan yang diemban oleh Pemerintah. Pembiayaan kerjasama ini biasanya berasal dari Pemerintah. Kerjasama
ini dapat terjadi karena sifat dan karakter LSM Tipe I yang
compatible dengan ideologi Pemerintah atau sifat apolitik yang
dimilikinya. Kondisi relasi autonomous benign neglect, facilitation/promotion, dan bahkan collaboration cooperation terjadi disini.
73
Untuk LSM tipe II, hubungan yang terjadi adalah
kooperatif-tak terlibat dengan Pemerintah. Tipe ini jelas-jelas
apolitis dan lebih melihat suatu kerjasama dibutuhkan karena
urgensitas substantif. Misalnya, karena kondisi gempa, bencana
banjir, dan sebagainya, maka kerjasama antar pihak dilakukan,
tanpa ada pretensi dan tendensi tertentu diantara keduanya,
selama karitas yang diunggulkan. Kondisi relasi facilitation/
promotion, dan collaboration cooperation tampak menonjol dalam
konteks ini.
Sedangkan untuk LSM tipe III, hubungan yang terjadi
adalah non-kooperatif dan kritikal terhadap Pemerintah. Karakter LSM tipe ini adalah politis, advokatif, transformatif, kritis,
bahkan kadang-kadang radikal. Kondisi relasi Cooptation/
Absorbtion dan Containment/Sabotage/Dissolution nampak disini.
Kerjasama dalam konteks LSM tipe III ini lebih bersifat tesaantitesa-sintesa. Bahwa LSM selalu berupaya mendekonstruksi
apapun kebijakan pemerintah, untuk terimbanginya kekuatanotoritatif pemerintah, agar tidak menjadi otoritarian. Jadi,
sesungguhnya tetap bekerjasama meski dalam posisi
berhadapan.
Lalu, bagaimana sinergi dapat dilakukan? Masih
menggunakan tipologi di atas, maka terhadap tipe I dan II,
kerjasama-sinergis dapat dilakukan dengan fasilitasi kerjasama
ataupun pelibatan. Kesamaan visi menjadi acuan. Sedangkan
bagi LSM tipe III, kerjasama-sinergis dapat dilakukan dengan
menjadikannya sparring-partner yang mutualistis. Pemerintah,
dalam suatu topik/masalah tertentu, dapat mengundang LSM
jenis ini untuk menyerap berbagai aspirasi dan harapanharapannya, dan kemudian menjadikannya sebagai bahan
koreksi ataupun masukan (sejenis second opinion) bagi proses
pengambilan kebijakan yang akan dilakukan.
74 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
D
ari pemaparan yang cukup panjang di atas,
dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, sebagai
berikut:
1. LSM maupun Pemerintah, dalam posisinya masing-masing,
telah cukup berperan di dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari visi, misi, program, dan kiprah nyata LSM dan
Pemerintah tersebut, yang telah mengarah secara nyata pada
upaya pemeliharaan kerukunan tersebut.
2. Pola hubungan yang terjadi antara LSM dan Pemerintah di
dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama,
secara garis besar ada dua. Pertama, kerjasama-langsung
yang berupa pelibatan dan pendelegasian program. Dan
kedua, interaksi-berhadapan yakni berupa sparring partner
yang saling mengoreksi dan melengkapi satu sama lain.
3. Sinergi antara LSM dan Pemerintah dapat dilakukan.
Adapun bentuk-bentuk sinergi itu antara lain dengan:
perumusan agenda dan pembagian kerja sesuai
kapasitasnya; kerjasama-teknis pelaksanaan suatu programbersama, pelibatan dalam suatu proses pengambilan
keputusan, dan lain-lain.
B. Saran
Beberapa saran dapat disampaikan, sebagai berikut:
1. LSM maupun Pemerintah perlu terus meningkatkan perannya dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama,
75
dengan variasi program kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan senantiasa mengusahakan kerjasama-sinergis dalam pelaksanaannya.
2. Baik LSM maupun Pemerintah sebaiknya mengedepankan
titik-temu tujuan, dan strategi-cara mewujudkannya yang
dapat menghormati posisi masing-masing. Adanya perbedaan dasar pijakan dan paradigma, hendaknya dikalahkan
oleh pentingnya ketercapaian tujuan yang hampir bersamaan itu. Dalam konteks pemeliharaan kerukunan umat
beragama, misalnya, tujuan terciptanya ketertiban dan
kerukunan masyarakat harus diprioritaskan.
3. Dalam melaksanakan kerjasama, hendaknya memperhatikan
prinsip-prinsip: membangun kepercayaan dan komunikasi
yang baik, menerima perbedaan atau pluralisme, kejelasan
dalam peran dan keterwakilan dalam bekerjasama,
kesetaraan dalam posisi dan struktur sosial, kesepakatan
terhadap etika kerjasama, dan kejelasan dalam mekanisme
tanggung gugat.
76 DAFTAR PUSTAKA
Buku
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Peraturan Bersama
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9
dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Badan Litbang dan Diklat, Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama
(SKB) Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3
Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199
Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada
Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tanggal 9
Juni 2008. Jakarta: 2009
Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 1999, cet. X.
Culla, Adi Suryadi, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di
Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006.
Eldridge, Philip, “Ornop dan Negara dalam Prisma, No.7, Thn. XVIII,
1989, hlm. 33-55 dalam Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil
Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES,
2006).
Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi,
(Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002).
_____ , Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000).
Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 1999).
Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Agama.
77
Raharjo, Diah Y., “Membangun Kemitraan dengan Organisasi NonPemerintah dalam Program Community Development”, dalam
Bambang Rudito, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih
Jauh Memahami Community Development, (Jakarta: Indonesia
Center for Sustainable Development/ICSD, 2003)
Rudito, Bambang, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh
Memahami Community Development, (Jakarta: Indonesia Center
for Sustainable Development/ICSD, 2003)
SETARA Institute, Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi
Masyarakat
dan
Restriksi
Negara
dalam
Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Laporan Kondisi Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Jakarta:, 2009.
The WAHID Institute dan TIFA Foundation, Pluralisme Beragama dan
Berkeyakinan, “Menapaki Bangsa yang Kian Retak”, Laporan
Tahunan The WAHID Institute 2008, Jakarta:, 2009.
Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak (Peny.), Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2006).
Situs Internet
http://www2.kompas.com/kompas--etak/0404/17/pustaka/972516.htm,
diakses 19 Juni 2009.
www.wikipedia.com, dengan kata kunci “NGO”.
www.lp3es.or.id
www.direktori-perdamaian.org
www.wahidinstitute.org, diunduh tanggal 7 September 2009.
www.setara-institute.org
www.icrp-online.org
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/akuntabilitas_lsm.html
.
78 Lain-lain
Mudzhar, M. Atho, “Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama di Indonesia”, slide pemaparan yang disampaikan
oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama,
dalam berbagai acara/seminar terkait pemeliharaan kerukunan
umat beragama.
Solihin, Dadang, “Format Hubungan dan Kerjasama Pemerintah, Media,
serta Private Sector dengan NGO dalam Penguatan Civil Society,”
slide pemaparan dalam Program Pacivis-NGO-Management
Certificate, di FISIP-UI Depok, 17 Maret 2006, diunduh dari
www.4shared.com, atau www.dadangsolihin.com.
-o0o-
79
80 TRADISI DAN VARIAN KEAGAMAAN
KOMUNITAS BETAWI
DI TANGERANG BANTEN
Oleh:
Wakhid Sugiyarto
TRADISI DAN VARIAN KEAGAMAAN
KOMUNITAS BETAWI
DI TANGERANG BANTEN
Wakhid Sugiyarto
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
E
tnis Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia
yang mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Jumlah etnis ini sekitar 22 % di Jakarta, 40 % di
Tangerang, 30 % di Depok dan 30% di Bekasi. Menurut
Yasmine Zaki Sahab, etnis Betawi ini terbentuk sekitar awal
abad yang lalu yang didasarkan atas penelitian sejarawan
Australia, Lance Castle. Pada awal abad ini, kesadaran
masyarakat sebagai Betawi belum mengakar. Menurut
Parsudi Suparlan, komunitas ini sadar sebagai Betawi adalah
sejak tahun 1923 M. Husni Thamrin, tokoh Betawi mendirikan
“Perkoempoelan Kaoem
Betawi” yang membangkitkan
kebanggaan etnis Betawi dan menyadari dirinya sebagai
orang Betawi.
Etnis Betawi ini pada mulanya merupakan komunitas
dominan di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Seiring dengan
modernisasi kota dalam bentuk pembangunan ibukota dan
sekitarnya
maupun
perubahan
tata
ruang
kota,
mengakibatkan terjadi perubahan komposisi penduduk dan
penggunaan lahan. Perubahan komposisi penduduk itu
81
karena adanya migrasi penduduk terus menerus hingga hari
ini. Modernisasi kota ini telah menempatkan Jakarta dan
sekitarnya sebagai kota yang paling menjanjikan bagi
masyarakat pedesaan dan mendorong terjadinya migrasi tetap
maupun musiman.
Perubahan tata ruang tersebut telah mendesak dan
menggusur tidak saja komunitas urban dari kampungkampung kumuh, tetapi juga secara pelan tetapi pasti
menyingkirkan dan mendorong komunitas Betawi ke
pinggiran kota atau luar kota, seperti; Bekasi, Depok, Bogor,
dan Tangerang. Akhirnya komposisi penduduk di wilayah
sekitar Kota Jakarta juga berubah. Jumlah komunitas Betawi
menjadi lebih banyak dari pada sebelumnya, termasuk di Kota
Tangerang.
Meskipun modernisasi telah terjadi, komunitas Betawi
memiliki ketahanan atau afinitas luar biasa dalam
mempertahankan tradisi, baik tradisi sosial maupun tradisi
keagamaan. Tradisi sosial diperlihatkan dalam bentuk
solidaritas yang kuat antar mereka, terutama ditunjukkan
dalam pesta-pesta
yang berkaitan dengan daur hidup
masyarakat atau ketika kepentingan bersama terancam oleh
kelompok lain. Kasus sering terjadinya keributan di pasarpasar tradisional antara pedagang Betawi dengan Madura di
Kebayoran Lama, Kramatjati, Tanah Abang, Mangga Dua,
Grogol, Cikokol, Bekasi dan sebagainya, adalah karena adanya
kesadaran kolektif kepentingan bersama mereka berkaitan
dengan tempat usaha.
Dalam tradisi keagamaan, etnis Betawi kuat memegang
tradisi, yang mungkin juga berbeda dengan tradisi keagamaan
kaum santri tradisional di Jawa. Hal ini terlihat misalnya
dalam setiap upacara daur kehidupan, hampir selalu
melibatkan kesenian Betawi yang berbau agama. Jenis
82 kesenian Betawi yang bercorak dan dipengaruhi agama sangat
beragam, Seolah tidak ada budaya lain yang datang
mendesak. Mereka tetap menjalankan tradisi keagamaanya.
Tradisi itu dikemas lebih baik sehingga tidak kehilangan daya
tarik untuk terus dipertahankan. Seluruh tradisi keagamaan
itu begitu dijaga kuat oleh kalangan tua maupun muda secara
turun temurun. Di kalangan majelis taklim ibu-ibu, salah satu
kegiatan
rutinnya
adalah
mempertahankan
dan
mengembangkan tradisi keagamaan.
Etnis Betawi yang umumnya beragama Islam, jika
menggunakan teori Clifford Geertz, maka komunitas Betawi
dapat dipilah dalam dua kategori saja, yaitu santri tradisional
dan santri modernis1. Kategori abangan tidak tepat
dikategorikan kepada komunitas Betawi. Meskipun ada orang
Betawi yang belum menjalankan syariat sebagaimana orang
Jawa abangan, tetapi budaya yang diimplementasikan adalah
layaknya budaya santri. Berbeda dengan di Jawa, budaya
orang abangan adalah budaya Jawa lama (pra Islam). Dalam
komunitas Betawi, para jawara yang tidak shalat dan puasa,
atau tidak taat menjalankan ajaran agama, namun kepada
para Kyai mereka begitu hormat.
Komunitas Betawi sejak dahulu sudah memiliki varian
keagamaan sebagai dasar pengelompokan berdasarkan
keagamaan. Sebagian besar dari mereka menyebut dirinya
sebagai kelompok ahlu sunnah wa aljamaah atau kalangan
Nahdliyin.
Kelompok
inilah
yang
sangat
kuat
mempertahankan berbagai tradisi keagamaan, baik yang
berkaitan dengan upacara daur hidup, hari keagamaan
maupun kesenian bernuansa keagamaan. Sehingga kelompok
ini dapat dikategorikan sebagai kelompok tradisional. Selain
1 Maharsi, Varian Keagamaan Masyarakat Pesisir Pantai Selatan, Bantul
Yogyakarta, UIN Yogyakarta, 2004, hal 371.
83
kelompok tradisional terdapat varian lain yaitu kelompok
modernis.
Kelompok
ini
umumnya
sebagai
pengikut/simpatisan ormas Muhammadiyah. Disamping itu,
di kalangan orang-orang Betawi terdapat pula penganut
Jema’at Ahmadiyah (JAI) dengan jumlah cukup besar.
Modernisasi yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya,
termasuk Kota Tangerang, tidak mampu menyapu tradisi dan
varian keagamaan dari pendukungnya. Ketahanan komunitas
Betawi dalam membentengi tradisi keagamaan yang selama
ini dianggap benar, baik dan merupakan bagian dari agama
luar biasa. Majelis-majelis taklim, anak-anak, bapak-bapak,
ibu-ibu dan pesantren salaf, masih bertebaran di hampir
seluruh pelosok wilayah yang dihuni komunitas Betawi.
Dalam setiap majelis dan pesantren salaf selalu diajarkan dan
dibiasakan memperaktekkan tradisi keagamaan yang telah
mapan tersebut. Sementara itu, di kalangan modernis
memiliki majelis tersendiri, baik untuk anak-anak, ibu-ibu,
remaja dan bapak-bapak. Seluruh lembaga yang melakukan
pembinaan keagamaan kepada masyarakat baik di kalangan
muslim tradisional maupun muslim modernis berjalan dengan
baik.
Menurut Ralp Linton, sebagaimana dikutif oleh Ali
Sodiqin, tradisi keagamaan adalah keseluruhan cara
kehidupan dari suatu masyarakat yang manapun dan tidak
hanya mengenai sebagian dari cara hidup, yaitu bagian yang
oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan,
seperti dalam bentuk misalnya upacara keagamaan yang
dianggap sebagai kegiatan manusia dalam menciptakan
makna yang merujuk pada realitas tertinggi yang lain
daripada pengalaman sehari-hari2. Dalam kehidupan sehari2 Ali Sodiqin, Tradisi Keagamaan Masyarakat Pesisir Selatan (Studi tentang
Masyarakat Trisik Kulon Progo), dalam Jurnal Penelitian Agama, Pusat Penelitian UIN
84 hari agama sudah menjadi kebutuhan primer manusia. Agama
memberi arah isi dan warna keseimbangan serta
kelangsungan hidup manusia. Agama juga dapat dikatakan
sebagai seperangkat peraturan yang mengatur kehidupan dan
menjadi pedoman hidup.
Dalam pandangan tentang kepercayaan terhadap suatu
yang trasenden, agama menawarkan ritus dan liturgi agar bisa
memasuki hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa dan
kekuatan suci lainnya. Di mana dalam hubungannya tersebut
akan terjalin keterkaitan antara manusia dengan Tuhan. Dari
sini akan terlihat lewat perilaku manusia dalam
kesehariannya3. Dengan begitu, manusia dapat mengatasi
permasalahan pada dirinya dari rasa ketakutan dan
kekhawatiran yang selalu menghantuinya. Adapun tentang
dilaksanakan ritus (upacara) itu bisa dilihat dari tingkah laku
keagamaan seseorang atau kelompok masyarakat sesuai
dengan varian keagamaannya, karena pada hakekatnya
keberadaan ritus sendiri tergantung sikap mental dan
emosional kelompok masyarakat sesuai dengan varian
keagamaan pada konteks sosiokultural dilaksanakannya
upacara (ritus). Ritus merupakan bagian tingkah laku
keagamaan yang masih aktif dan juga dapat diamati
keberadaannya4.
Dari kenyataan-kenyataan itu, menunjukkan bahwa sikap
dan perilaku manusia yang disalurkan melalui kebudayaan
atau tradisi keagamaan dan memengaruhi keberagaman
manusia melalui pengalaman keagamaan. Keberagamaan
manusia tidak akan lepas dari zaman serta kebudayaan yang
Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hal. 381. Lihat pula Kuntowijoyo, Budaya dan
Masyarakat, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999, hal. 3)
3 Ibid, hal. 382
4 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Analisis Historis,
Mitra Cendekia, Jakarta, 2004, hal. 61 - 63
85
diamalkan oleh suatu kelompok keagamaan atau varian
keagamaan masyarakat. Jadi relegiusitas itu sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan dan varian keagamaan yang
dianut oleh sebuah masyarakat.
Penjelasan di atas ingin menunjukkan bahwa kedudukan
agama sangat penting bagi kehidupan manusia, agama
merupakan struktur sistem penting yang melengkapi seluruh
sistem sosial keagamaan, sehingga ada semacam penekanan
dalam hal pemujaan terhadap sesuatu atau benda yang
dianggap memunyai kekuatan supranatural yang obyeknya
tidak dapat dilihat oleh manusia. Perilaku seperti itu bisa
dikatakan sebagai suatu kepercayaan atau filsafat manusia
kebudayaan sederhana, dimana gejala semacam itu masih
nampak pada suatu fenomena keagamaan di masyarakat
sekarang ini. Hal seperti ini juga sebagaimana yang terjadi
pada pengalaman kepercayaan keagamaan masyarakat
komunitas Betawi.
Dalam kehidupan sosial budaya pada komunitas Betawi,
pelaksanaanya terjadi pergeseran yang mengindikasikan
adanya tarik menarik antara keyakinan komunitas Betawi
sebagai pribumi dan keyakinan komunitas lain sebagai
pendatang. Kebudayaan komunitas Betawi dalam realitasnya
dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa yang tentu saja
sebagai pendatang, terutama dalam pesta-pesta dan dunia
seni. Sementara kepercayaan keagamaan dan tingkah laku
keagamaan dipengaruhi oleh budaya Banten dan Jawa. Semua
kebudayaan itu bersatu dalam implementasi budaya yang
akhirnya menjadi ciri kehidupan sosial keagamaan dan
budaya khas Betawi. Dalam realitasnya, terlihat begitu
berbeda dengan tradisi keagamaan kumunitas Jawa dan
Banten maupun dengan Tionghoa, begitupun dalam Budaya.
86 Sistem kepercayaan keagamaan dan varian keagamaan
komunitas Betawi ini menjadi sangat menarik untuk dikaji,
untuk melihat dan mengetahui latar belakang dan
implikasinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Betapa
banyak budaya khas Betawi yang bernuansa Islam tetapi
belum diketahui maknanya. Mengapa dan bagaimana
sebenarnya budaya khas Betawi itu diimplementasikan dan
dipertahankan oleh komunitas Betawi. Kajian kebijakan bagi
pembinaan kehidupan keagamaan untuk komunitas Betawi di
Tangerang menjadi sangat relevan karena Tangerang adalah
penyangga kehidupan ibukota Jakarta, sebagai kota satelitnya
ibukota Jakarta dan posisinya yang di persimpangan jalan
akibat gempuran migrasi dan budaya modern.
Perumusan Masalah Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, masalah yang
akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut;
a. Mengapa komunitas Betawi mampu mempertahankan
tradisi agama dari serbuan budaya luar?
b. Bagaimana konfigurasi yang terjadi, antar komunitas
Betawi yang masih berada di wilayah asalanya dengan
komunitas Betawi yang berpindah ke wilayah pinggiran?
c. Apakah tradisi keagamaan seperti maulid nabi mengalami
perkembangan dan perubahan?
Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah penelitian
di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan komunitas
Betawi mempertahankan tradisi agama dari desakan dan
pengaruh budaya luar;
87
2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan konfigurasi yang
terjadi, antar komunitas Betawi yang masih berada di
wilayah asalnya dengan komunitas Betawi yang sudah
terdesak ke wilayah pinggiran.
3. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan tradisi Betawi
yang telah mengalami perkembangan dan perubahan,
Metode Penelitian
Sifat dan LokasiPenelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus yang akan
menghimpun dan mendeskripsikan data tentang;
Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini
adalah wilayah Kota Tangerang. Hal ini didasarkan atas
kenyataan bahwa komunitas Betawi di kota Tangerang ini
cukup besar jumlahnya, di samping terdapat komunitas
Tionghoa yang hampir sama besarnya.
Sumber data
Untuk menghasilkan penelitian yang memadai dan
lengkap, maka peranan sumber data atau informan
(responden :
kuantitatif)
menjadi
sangat
penting
kedudukannya.
Informan
adalah
orang-orang
yang
dipandang mengetahui dan dapat menjelaskan secara baik
tentang jenis atau nama, makna, tujuan, keyakinan yang
menempel pada setiap upacara keagamaan, waktu upacara,
tata cara upacara, biaya rata rata, peserta dan user, terutama
yang menjadi fokus kajian yaitu tradisi maulid nabi,
kemampuan komunitas Betawi bertahan dalam tradisi
keagamaan, konfigurasi yang terjadi, antar komunitas Betawi
berada di wilayah asalnya dengan komunitas Betawi
pindahan dari Jakarta. Kemudian juga data yang berkaitan
dengan pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan tradisi
88 sosial keagamaan serta mengetahui dan mampu menjelaskan
dengan baik tentang varian keagamaan di kalangan
komunitas Betawi di Kota Tangerang.
Dari data yang ingin diperoleh dalam penelitian ini
maka informan yang dipandang sangat penting untuk
dimintai keterangan atau konfirmasi adalah tokoh ormas
keagamaan, tokoh ormas kalangan Betawi (FBR, Forkabi, FPI
dan BPPKB), tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat
pemerintah dan kalangan masyarakat yang menjadi pioner
dalam mempertahankan tradisi keagamaan (kyai, ustadz,
ustadzah, santri dan komunitas Betawi awam/bukan tokoh).
Dengan demikian analisis yang dapat digunakan di sini
adalah dua pisau analisis yaitu analisi sosiologis dan analisis
antropologis yang diharapkan data yang diperoleh begitu
lengkap dan komprehensif, sehingga dapat menghasilkan
sebuah profil komunitas Betawi Baru yang kosmopolitan dan
relegius.
Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri
atas;
a) Wawancara dengan informan tersebut diatas dengan
menggunakan pedoman pengumpulan data.
b) Pengamatan
terlibat
berkenaan
masyarakat sasarn penelitian.
dengan
aktifitas
c) Studi dokumentasi, yaitu kajian terhadap sumber tertulis
nonpustaka yang ada relevansinya dengan judul
penelitian ini.
Pengolahan Data
Data yang terkumpul diolah dengan melakukan seleksi
dan klasifikasi data. Selanjutnya dianalisis dengan melakukan
89
komparasi data yang dihasilkan dari berbagai sumber data
atau crossceck dan interpretasi yaitu menafsirkan data yang
diperoleh di lapangan tersebut atau disebut dengan justifikasi
data.
Analisis Data.
Analisis data dilakukan secara analitik deskriptif dan
kualitatif, yaitu dengan menganalisis data hasil wawancara,
studi dokumen dan observasi yang terkait dengan fokus
penelitian dan kajian.
Penjelasan Konsep
Untuk mengarahkan kajian ini menjadi kajian yang
terfokus, maka perlu adanya penjelasan konsep judul
penelitian ini.
Tradisi keagamaan merujuk pada makna tradisi dan
keagamaan. Tradisi dalam bahasa Inggris disebut tradition dan
dalam bahasa latin disebut traditio. Ditinjau dari sejarah
munculnya tradisi ini adalah karena merupakan adat istiadat,
ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilainilai, aturan-aturan perilaku, dan sebagainya yang diwariskan
dari generasi ke generasi. Ia merupakan warisan sosio kultural
yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompokkelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang
panjang. Tradisi bersifat progresif, jika dihubungkan dengan
perkembangan kreatif kebudayaan. Tradisi juga bersifat
reaksioner jika berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang
dari masa lampau dalam menghadapi sesuatu yang setara
tetapi baru. Ada semacam kondisi kompetitif antara sesuatu
yang lama yang dicoba dipertahankan dengan sesuatu yang
baru yang bermaksud menggantikan perannya dalam
mengikat kehidupan sosial dalam tradisi baru. Dalam ilmu,
tradisi berarti kontinuitas pengetahuan atau konsensus tak
90 tertulis yang dipedomani untuk mendapatkan suatu hasil
yang dicita-citakan dari suatu ilmu5.
Kata keagamaan berasal dari kata agama yang mendapat
awalan ke dan akhiran an. Agama dalam bahsa Inggris
disebut religion, dalam bahasa Latin disebut religio. Dalam
pengertian umum, agama merujuk pada dua unsur, yaitu
orang mempertimbangkan sesuatu secara amat hati-hati,
obyeknyapun sangat istimewa dan agung yang akhirnya
harus mendapat perhatian yang istimewa dari lainnya. Agama
memberi sifat ”terikat kepada”, maksudnya terikat kepada
asal usul pertama dan tujuan yang terakhir. Karena hal yang
pertama dan yang terakhir ini mendapat perhatian lebih besar
daripada yang lain, dan sangat pantas mendapat perhatian
dari yang lain. ”Terikat kepada” maupun hal yang pertama
dan terakhir, maka dalam implementasinya menjadi pegangan
manusia yang diperjuangkan dengan penuh semangat.
Bahkan pembelaannya sampai menyangkut hidup dan mati
para pendukungnya, yang dalam bahasa agama disebut
dengan jihad6.
Agama berkaitan dengan masalah hubungan manusia
dengan Tuhan. Segala sesuatu menerima eksistensinya dari
Tuhan karena berasal dari Tuhan. Segala sesuatu juga
berjuang untuk kembali kepada Tuhan. Namun manusia
adalah satu-satunya mahluk yang menjalankan agama. Karena
sebagai roh manusia sekaligus sadar akan hubungannya
dengan Tuhan Allah dan menjalankan hubungan itu dengan
bebas. Yakni, manusia mengetahui bahwa Tuhan adalah asal
usulnya dan tujuannya serta mengetahui situasi ini. Agama
bergumul dengan apa yang paling luhur, dengan memeluk
5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002,
hal.1115 - 1116
6 Ibid hal 12 - 13
91
agama manusia berjuang untuk memenuhi kewajiban
moralnya yang utama dan mencapai kesempurnaannya yang
tertinggi.
Dalam agama, manusia secara keseluruhan berbalik
kepada Tuhan. Karena itu agama mencakup semua kekuatan
jiwa manusia yang lebih tinggi, pengetahuan, kehendak dan
perasaan. Tetapi karena agama yang dihayati lebih
merupakan suatu pemberian diri dari pada pengetahuan,
agama secara istimewa tampak sebagai produk kemauan yang
tertanam dalam perasaan dan memandang di dalam Tuhan
Allah eksistensi mutlak dan ini diterima sebagai nilai mutlak
atau absolut7.
Dalam kehidupan sosial, secara khusus istilah agama
merujuk pada sebuah institusi (lembaga) dengan sekelompok
orang-orang yang berkumpul secara teratur untuk suatu
ibadat dan menerima seperangkat ajaran yang menawarkan
cara menghubungkan individu dengan sesuatu yang
dipandang sebagai hakekat terdalam dan tertinggi dari
kenyataan. Manusia menurut kodratnya terarah pada hidup
bermasyarakat, maka agama tidak bisa hanya menjadi
persoalan pribadi dan individu. Pada kenyataannya agama
juga didorong oleh adanya komunitas. Karena itu agama
berada dalam komunitas dan kemudian kehidupan
relegiusitas mencapai perkembangan yang penuh dalam
komunitas. Dengan demikian keagamaan berarti kehidupan
manusia
yang
berkaitan
dengan
agama
yang
diimplementasikan oleh komunitas. Kehidupan keagamaan
berarti gejala-gejala dari agama yang terekspresikan dalam
kehidupan komunitas atau masyarakat, baik itu ungkapan
kata-kata, perilaku, atau simbol-simbol yang biasa
dipergunakan oleh manusia untuk mendekat kepada Tuhan.
7
92 Ibid, hal. 13
Tradisi keagamaan akhirnya bermakna dan terekspresikan dalam adat istiadat, ritus-ritus atau upacara, ajaranajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan
perilaku, dan sebagainya yang diwarnai dan/atau didasarkan
pada ajaran agama atau keyakinan agama yang diwariskan
dari generasi ke generasi. Ia menjadi warisan sosiokultural
yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompokkelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang
panjang, progresif dan bersifat reaksioner serta menjadi
konsensus tak tertulis yang dipedomani oleh suatu kehidupan
komunitas masyarakat.
Varian Keagamaan
Varian keagamaan ini sebenarnya merujuk pada tulisan
Clifford Gertzs yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga
kategori, yaitu varian abangan, santri dan priayi. Jadi varian
dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pengelompokan
masyarakat secara keagamaan, yang untuk komunits Betawi
terdiri dari dua varian yaitu muslim tradisional dan muslim
modernis.
Muslim tradisional merujuk pada komunitas santri
(Jawa) yang taat menjalankan perintah agama dan memiliki
tradisi keagamaan yang akomodatif dengan budaya lokal.
Artinya bahwa kebudayaan lokal yang dipandang fungsional
bagi masyarakat dipertahankan dan dikemas dalam bingkai
keagamaan (Islam) sehingga memiliki cita rasa keagamaan
Islam. Masyarakat pendukungnya pun memandang tradisi ini
sebagai keharusan keagamaan untuk dilaksanakan dalam
kehidupan sehari-hari sesuai dengan momen-momen
keagamaan yang memang telah menjadi kelaziman.
Setiap komunitas kelompok, termasuk komunitas santri
tradisional juga memiliki tokoh sentral yang sangat dihormati.
Tokoh sentral dari komunjitas santri tradisional ini adalah
93
kyai dan ustadz. Komunitas ini biasanya kalau belajar agama
di pesantren tradisional (salaf) atau ustadz–ustadz dari
kalangan tradisional. Hampir pasti bahwa para kyai di
kalangan komunitas Betawi merupakan jebolan pesantren
salaf. Oleh karena itu lulusannya pun memiliki
kecenderungan yang kuat untuk menjadi pendukung
kelompok atau varian santri tradisional pula. Komunitas
santri tradisional Betawi, meskipun mereka ada yang kurang
taat menjalankan perintah agama, namun dalam kehidupan
sehari-hari mereka ini sangat taat kepada para kyai.
Muslim modernis merujuk pada komunitas santri (Jawa)
yang taat menjalankan perintah agama Islam. Tetapi kurang
akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga mereka begitu
berbeda cita rasanya sebagai santri jika dibandingkan dengan
komunitas santri tradisional. Di kalangan komunitas betawi
ini, santri modernis banyak mendirikan lembaga pendidikan
umum, yang ditambah pula dengan pelajaran agama yang
lebih banyak dari pada sekolah umum lainnya. Komunitas ini
terhimpun dalam sebuiah organisasi keagamaan yang disebut
persyaraikatan
Muhammadiyah.
Di
kalangan
Muhammadiyah ini, rupanya tidak ada tokoh sentral yang
benar-benar dijadikan panutan secara umum. Umumnya
mereka menjalankan pembinaan keagamaan sebagaimana
digariskan oleh organisasi saja, yaitu pengajian anak-anak,
remaja, pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak dengan waktu
yang berbeda-beda. Namun demikian lebh detilnya akan
dapat diketahui setelah dilakukan penelitian.
Sistematika Penulisan
Tulisan ini disajikan dengan sistematika sebagai berikut;
Bab I berisi tentang pendahuluan yang memuat latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
94 metode penelitian,
penulisan.
penjelasan
konsep,
dan
sistematika
Pada Bab II dideskripsikan tentang wilayah penelitian,
meliputi geografis dan demografi Kota Tangerang, kapitalisasi
ekonomi dan segresi kelas yang terjadi di Kota Tangerang,
dinamika kehidupan beragama, dan dinamika kehidupan
politik di Tangerang.
Pada bab IV dideskrepsikan tentang etnis, tradisi dan
varian keagamaan yaitu mengenai etnis Betawi mencari jati
diri, klasifikasi etnis Betawi dan tradisi komunitas Betawi.
Dalam bab ini dideskrepsikan pula mengenai varian
keagamaan komunitas Betawi Tangerang, yaitu varian
Muslim tradisional yang berkaitan dengan kelahiran,
perkawinan, kematian dan sistem kekerabatan. Begitu juga
yang berkaitan dengan varian Muslim modernis yang
berkaitan juga dengan kelahiran, perkawinan, kematian dan
sistem kekerabatan. Kemudian bab ini akan ditutup dengan
deskripsi tentang peranan kyai dan peranan jawara pada
masyarakat Betawi
Bab IV merupakan penutup yang
mengenaikesimpulan masa depan tradisi
keagamaan.
menjelaskan
dan varian
95
96 BAB II
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Demografi
ota Tangerang adalah sebuah kota yang berdiri
tahun 1996 yang merupakan pecahan dari
Kabupaten Tangerang yang sekarang telah
menjadi tiga daerah tingkat II yaitu, Kota Tangerang,
Kabupaten Tangerang dan terakhir yang baru diresmikan
adalah Kota Tangerang Selatan.
Kota Tangerang dibelah oleh sungai Cisadane yang
meluap ketika musim hujan dan mengakibatkan bencana
banjir di beberapa lokasi di Kota Tangerang. Kota Tangerang
sangat strategis karena berbatasan dengan DKI Jakarta,
terdapat pelabuhan udara Sukarno Hata, dan sangat baik
untuk kawasan industri.
Kota Tangerang telah berkembang pesat dan padat
penduduk. Masyarakat Tangerang yang secara sosio-kultural
merupakan masyarakat urban. Tidak ada satu kelompok
sosial pun yang berada di wilayah Kota Tangerang ini
dipandang sebagai kelompok dominan, baik secara politik,
budaya, maupun etnik. Etnik pendatang terbesar adalah etnik
Jawa, disusul oleh etnik Sunda. Etnik Betawi yang
kemungkinan merupakan penghuni pertama Kota Tangerang
yang secara kultural lebih dekat dengan budaya Banten. Etnik
Betawi sekarang menempati pinggiran kota, seperti Ciledug,
Cipondoh, Karang Tengah, Larangan dan Pinang. Wilayah
tersebut sekarang sudah mulai dipenuhi oleh kaum urban dari
berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu di pusat kota,
seperti di Karawaci, Tangerang, Cipondoh, Benda, Jatiuwung
K
97
sudah menjadi kampung-kampung kaum urban yang padat.
Jadi Kota Tengarang tidak mengacu kepada budaya atau
etnik tertentu, melainkan sekedar wilayah administrative
belaka (Kota Tangerang Dalam Angka 2008).
Modernisasi yang dilakukan Belanda pada masa lalu
dengan memukimkan etnis Cina di berbagai kawasan pondok,
otomatis memaksanya untuk membuat jalan-jalan transportasi
dari dan ke berbagai pondok tersebut. Pembangunan jalan
kereta api dari Jakarta ke Rangkas Bitung dan Merak akhir
abad 19, menjadikan wilayah Tangerang menjadi semakin
ramai. Modernisasi itu kemudian dilanjutkan oleh pemerintah
Orde Lama dan Orde Baru sehingga Kota Tangerang
berkembang pesat. Modernisasi itu didukung penuh oleh
kaum bermodal (kaum kapitalis) yang semakin mempercepat
kemajuan di wilayah perkotaan, bahkan melahirkan pusatpusat kota baru di sekitarnya, seperti BSD dan Alam Sutra.
Implikasinya, Kota Tangerang menjelma menjadi pusat
eksploitasi perekonomian besar-besaran yang menyedot
sumber daya potensial dari berbagai penjuru Nusantara
sebagaimana Kota Jakarta. Urbanisasi massa pun yang berasal
dari berbagai daerah yang utamanya Jawa dan Sunda, dengan
aneka etnik, budaya, bahasa dan agama terus mengalir
memadati seluruh kawasan kota dan melahirkan berbagai
komplek perumahan baru yang terus dibangun. Pada
akhirnya, perkembangan modernisasi kota yang diiringi
ledakan urbanisasi menciptakan konfigurasi sosial kota yang
rumit, majemuk dan paradoksal akibat diferensiasi sosial yang
tajam antara kelompok sosial mapan dengan kelompok massa
apung dengan jumlahnya yang mayoritas dan akan terus
bertambah (Diolah dari Kota Tangerang Dalam Angka 2003).
Sebagai kota yang dinamis, Tangerang senantiasa
dibayangi ledakan demografis. Khusus di pusat perkotaan,
98 bangunan mall dan perumahan penduduknya terlihat berjubel
dan penuh sesak. Di sepanjang jalan mulai dihinggapi oleh
kemacetan dan kesemrawutan terutama didekat pasar-pasar
tradisional, mall-mall dan sekitar rumah sakit umum (RSU)
Kota Tangerang. Kota Tangerang dengan jumlah penduduk
1,416,842 jiwa pada tahun 2003 dengan luas wilayah
17.729,794 hektar dengan rata-rata jumlah penduduk per km
mencapai 165.639 jiwa, jelas memperlihatkan betapa Kota
Tangerang merupakan sebuah kota yang sangat padat. Dalam
kurun waktu 5 tahun yaitu tahun 1998 – 2003 pertumbuhan
penduduk Kota Tangerang terdeteksi sebesar 15.76% (3.94%
pertahun), suatu pertumbuhan penduduk yang sangat besar.
Jumlah rumah tangganya sebanyak 382,402 KK, jumlah
anggota rumah tangga rata-rata di Kota Tangerang adalah 3,71
jiwa (Diolah dari Kota Tangerang Dalam Angka 2003).
Pesatnya
pertumbuhan
Tangerang
dipercepat
keberadaan Bandara Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya
termasuk wilayah Kota Tangerang. Gerbang perhubungan
udara Indonesia itu membuka peluang bagi pengembangan
kegiatan perdagangan dan jasa yang luas di KotaTangerang.
Wilayah Tangerang juga disiapkan bagi aktifitas perdagangan
dan industri, pusat pemukiman untuk menjaga keserasian
pembangunan DKI Jakarta. Berdasarkan Kepres No. 54 tahun
1989 Tangerang harus mengalokasikan 3000 ha lahan untuk
industri. Secara demografis dapat dilihat pada tabel berikut;
99
Tabel: 1
Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk
di Kota Tangerang Tahun 2003
NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Kecamatan
Cileduk
Larangan
Karang Tengah
Cipondoh
Pinang
Tangerang
Karawaci
Cibodas
Jatiuwung
Periuk
Neglasari
Batuceper
Benda
2003
2002
Luas
(Km 2)
8.769
9.397
10.474
17.900
21.590
15.765
13.475
9.611
14.405
9.543
16.077
11.583
5.919
165.639
164.639
Jml
Penduduk
99.010
126.039
88.039
133.921
111.451
117.950
155.959
126.328
126.237
107.816
85.775
75.300
62828
1.476.842
1.375.225
Kepadatan
Penduduk
11.291
13.413
8.427
7.477
5.162
7.473
11.574
13.144
8.763
11.763
5.335
6.502
10.615
8.641
8.238
Sumber Data: Kota Tangerang Dalam Angka 2003
B. Kapitalisasi Ekonomi dan Segresi Kelas
Dinamika modernisasi kota yang dimulai sejak jaman
Belanda dan dipacu pada masa Orde Baru, berdampak
terhadap difrensiasi kelas sosial berdasarkan kemampuannya.
Sektor-sektor ekonomi strategis dalam bentuk firma, properti,
industri, dan transportasi besar menjadi andalan utama
pendapatan asli daerah (PAD) dikuasai kaum bermodal yang
umumnya terdiri dari kelompok sosial non-pribumi,
khususnya etnis Tionghoa.
Meskipun kuantitas mereka
minoritas (inferioritas), akan tetapi dalam segi penguasaan
sektor ekonomi strategis, menguasai dan berposisi mayoritas
(superioritas). Di samping itu yang termasuk kelompok sosial
100 mapan ini antara lain kelompok birokrat pemerintah dan
politisi.
Sementara, penduduk pribumi Kota Tangerang secara
mayoritas menguasai sektor-sektor ekonomi pinggiran dalam
bentuk –meminjam konsep Geertz- perekonomian bazaar.
Berbeda dengan model perekonomian firma di mana
perniagaan dan industri berlangsung melalui seperangkat
pranata sosial yang impersonal, yang mengorganisir berbagai
pekerjaan berspesial dengan memperhatikan tujuan produksi
dan distribusinya. Perekonomian bazzar didasarkan atas
kegiatan-kegiatan tidak terikat yang dilakukan oleh
sekumpulan pedagang komoditi yang bersaing sangat ketat
dan berhubungan satu sama lain melalui transaksi yang ad hoc
(tidak menentu) (McGee, 1996: 36).
Kebanyakan penduduk kota adalah dari kalangan grass
roots yang bekerja di sektor-sektor ekonomi informal yang
kurang menjanjikan, seperti; jasa, warung tenda, warung
makan, pedagang kaki lima, pedagang sayur, pedagang buah,
bakso dan sebagainya. Dilihat dari status sosio-etniknya,
kelompok sosial dari etnik Tionghoa berada di pusat-pusat
perkotaan
menguasai sektor ekonomi strategis sebagai
pebisnis dan wirausahawan mapan. Sementara itu kelompok
sosial pribumi yang mayoritas terdiri atas etnik Jawa, Sunda
dan Betawi pinggiran menguasai sektor ekonomi yang relatif
kurang strategis.
Hubungan antara Tionghoa dan pribumi ini, meskipun
hampir tidak pernah terjadi konflik terbuka –kecuali percikan
dari imbas huru hara di Jakarta- terjalin dalam bentuk
kerjasama dalam perdagangan dan industri. Tentu saja dalam
hal ini etnis Tionghoa sebagai dominant minority dan pribumi
sebagai undominant mayority karena secara ekonomi posisi
pribumi yang pada umumnya berada bawah. Sementara itu
101
pemerintah sendiri dalam permasalahan perburuhan–
pabrikasi misalnya- hampir tidak pernah berpihak kepada
para buruh, meskipun manajemen perusahaan sering
bertindak semena-mena terhadap para buruh. Kondisi seperti
ini, sebenarnya telah diciptakan oleh Belanda sejak masa
kolonial dahulu, yaitu dengan menciptakan kelas-kelas sosial,
seperti penempatan strata satu bagi etnis Eropa, strata kedua
bagi golongan Tionghoa dan Timur Asing, dan strata tiga
untuk Pribumi yang dibedakan haknya oleh pemerintah
Belanda, yang merupakan strategi devide et impera Belanda
guna memindahkan konflik pribumi terhadap pemerintah ke
orang-orang Tionghoa yang kemudian tetap diwarisi secara
sosial hingga hari ini (Nurcholish Madjid, 1996).
Dari stratifikasi sosial-ekonomi di atas, dapat dimengerti
bahwa masyarakat lokal tidak berdaya menghadapi
persaingan ekonomi dalam kontruksi sosial kota yang
semakin tajam nuansa kapitalisme. Ketidakberdayaan mereka
tidak dapat dimengerti semata-mata karena mereka kurang
pendidikan dan keahlian yang memadai, meski sesungguhnya
variable ini memunyai keterkaitan yang tidak bisa dinafikan.
Dalam pandangan Tamrin Amal Tamagola (2003:54),
ketidakberdayaan, marginalisasi, dan ketidakadilan yang
menerpa masyarakat sebenarnya disebabkan oleh kekerasan
struktural, yaitu penutupan akses ke kelas yang lebih tinggi,
dan pencegahan kontrol atas berbagai sumberdaya strategis.
Dampak berikut akibat ketidakberdayaan ekonomi ini adalah
ketidakberdayaan dalam berbagai sisi kehidupan, termasuk di
dalamnya secara politik.
C. Dinamika Kehidupan Beragama
Secara antropologis, Kota Tangerang telah menjelma
menjadi kawasan lempengan budaya (cultural faults), tempat
berjumpanya kelompok-kelompok sosial yang semakin plural
102 karena tingkat urbanisasinya yang tinggi. Keberadaan etnik
Jawa- Sunda dan Betawi yang cukup dominan dalam jumlah
tetapi ternyata tidak dalam budaya, sehingga masyarakat Kota
Tangerang tidak berbudaya Jawa, Sunda atau Betawi.
Pelabelan yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan
dominasi etnik tertentu di Tangerang, tidak pas meskipun
kaum urban terbesar berasal dari Jawa.
Secara umum, ekspresi dan artikulasi kultural
masyarakat Kota Tangerang telah cenderung metropolis,
terbuka, moderat, simpatik, dan lugas (tanpa banyak basabasi), serta jauh dari karakter feodal. Kota Tangerang
meskipun pada masa lalu merupakan bagian dari Kerajaan
Banten, tetapi karena letaknya yang relatif jauh, sehingga
budaya feodal khas kerajaan tidak mengakar di masyarakat.
Kondisi masyarakat justru memperlihatkan tradisi feodalisme
keagamaan, karena para tokoh agamalah yang dipandang
menempati strata tertinggi dalam lapisan sosial, sehingga
sangat dihormati masyarakat. Jika ada seorang ingin
melakukan pembaharuan kehidupan beragama, dia akan
berhadapan dengan anak buah kyai yang “memagarinya”.
Sedikit saja aktifis membuat kekeliruan, maka seluruh cita-cita
pembaharuan dapat kandas di tengah jalan, karena peran
orang yang berada di sekitar kyai.
Dari sisi relgiusitas, masyarakat kota Tangerang
cenderung sebagai Islam tradisional berhaluan “Ahlu Sunnah
Wal Jama’ah” (Aswaja) yang inklusif. Teologi ini menyumbang
kontribusi besar sebagai social capital bagi pengembangan
kultur moderatisme bagi masyarakat. Dalam teologi Aswaja
terdapat empat prinsip dasar yang sudah begitu popular yaitu
tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang)
dan amar ma’ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan
mencegah kemunkaran). Kultur relegiusitas yang terbangun
103
di Kota Tangerang, tentu melibatkan nilai-nilai tradisional
keagamaan di atas. Di bawah ini dapat dilihat tabel tentang
jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut.
Tabel: 2
Jumlah Pemeluk Agama Di Kota Tangerang
Tahun 2008
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Kecamatan
Cileduk
Larangan
Karang Tengah
Cipondoh
Pinang
Tangerang
Karawaci
Cibodas
Jatiuwung
Periuk
Neglasari
Batuceper
Benda
2003
2002
Islam
93.813
113.000
133.578
119.883
122.192
78.448
90.275
67.964
117.391
70.381
55.790
105.240
101.446
1.271.100
1.213.923
PEMELUK AGAMA
Katolik
Protestan
Hindu
1.743
2.757
319
3.486
7.333
382
4.427
7.043
959
2.316
3.217
343
1.660
1.860
234
3.658
4.542
498
4.082
6.939
416
1.739
2.797
343
3.905
7.171
504
1.613
2.059
398
1.104
1.636
129
1.746
2.962
195
3.427
5.615
525
34.926
55.933
5.342
33.386
53.454
6.113
Budha
379
2.127
9.952
280
263
1.052
5.105
2.465
4.950
11.326
3.157
606
5.540
49.541
47.383
Sumber Data: Kota Tangerang Dalam Angka 2003
Pluralitas pemahaman keagamaan bagi masyarakat
Kota Tangerang semakin meningkat seiring dengan semakin
dihargainya hak berbeda pendapat di kalangan masyarakat
kota. Revitalisasi organisasi, asosiasi, dan forum sosialkeagamaan tumbuh dan berkembang di Kota Tangerang yang
mempengaruhi dinamika kehidupan beragamanya. Di Kota
Tangerang terdapat berbagai ormas keagamaan, antara lain
Muhammadiyah, MA, Persis, LDII, MTA, HT, NU, FPI, dan
Jama’ah Tabligh. Keberadaan organisasi sosial-keagamaan
104 dan asosiasi keagamaan itu merupakan modal sosial strategis
yang dapat didayagunakan untuk tujuan pengembangan civil
society, termasuk di dalamnya sumber daya politik bagi
politisi partai Islam.
Di Kota tangerang tidak ada etnis yang dominan,
meskipun penduduknya sebagian besar dari Jawa, Sunda dan
Betawi. Semua berjalan sendiri-sendiri dan melebur menjadi
kehidupan sosial keagamaan yang dinamis, meskipun
terkadang masih ada kelompok eksklusif karena sulit
menerima pemahaman agama dari kelompok lain. Tetapi
secara umum tidak ada masalah. Tetapi sebenarnya ada
baiknya pula kondisi seperti ini, sebab dengan begitu peluang
keberagaman dalam memahami agama dan pembentukan
masyarakat sipil menjadi semakin terbuka”. (Wawancara
Tabiih Hadi, Pejabat Pemda Kota Tangerang, 3/9 2004).
D. Dinamika Kehidupan Politik di Tangerang
Jumlah pemeluk agama Islam di Kota Tangerang sebesar
1.271.100 jiwa atau 89,71% itu merupakan daerah potensial
bagi partai-partai Islam untuk menangguk dukungan dan
mendapatkan kepercayaan sebagai artikulator politik
masyarakat di DPRD Kota Tangerang. Namun partai politik
Islam, masih dipahami sebagai sama saja dengan yang lain,
sehingga umat Islam kurang mendukung partai Islam.
Kebetulan partai Islam yang berlaga pada masa yang cukup
lama (masa Orde Baru) gagal mengambil kepercayaan hati
umat Islam. Secara keseluruhan, perolehan partai politik
Islam dalam pemilu 2004 belum menunjukkan perolehan
suara dan kursi yang mayoritas. Justru partai yang dipandang
lebih akomodatif terhadap semua lapisan, golongan, agama
dan kepentingan adalah Partai Golkar. Dalam pemilu itu 2004
mendapatkan 179.631 suara atau delapan (8) kursi. Urutan
kedua diduduki PKS dengan perolehan sebesar 164.023 suara
105
8 kursi. Di bawah ini dapat dilihat rekapitulasi jumlah suara
dan jumlah kursi yang diperoleh partai politik di DPRD Kota
Tangerang.
Tabel: 3
Rekapitulasi Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik di
DPRD Kota Tangerang Pada Pemilu Lagislatif 2004
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Nama Partai Politik
Partai Golkar
PK-Sejahtera
Partai Demokrat
PPP
PDIP
Partai Amanat Nasional (PAN)
Partai Bintang Reformasi (PBR)
Partai
Kebangkitan
Bangsa
(PKB)
Partai Bulan Bintang (PBB)
PPDK
Jumlah
Sumber Data:
Jml Suara
179.631
164.023
148.809
118.732
117.422
105.956
41.789
37.895
29.150
14.722
754.959
Jml Kursi
8
8
7
5
5
5
2
2
2
1
45
Diolah dari Dokumentasi KPUD Kota
Tangerang Tahun 2004
Kecenderungan mayoritas penduduk Kota Tangerang
beragama Islam sebanyak 1.271.100 jiwa atau 89,71% ternyata
masih kurang signifikan jika dibandingkan dengan partai
Masyumi tahun 50-an. Pada masa itu, Partai Masyumi di
Kabupaten Tangerang mampu meraih suara sekitar 69%,
posisi kedua ditempati oleh PNI 15 %, ketiga PSII 5 % baru
kemudian disusul oleh partai-partai lain (Bakri, 1955). Pada
saat ini partai Islam yang berhasil mendapatkan kursi adalah
PKS, PPP, PBR dan PBB. Sementara yang lain tidak
mendapatkan satu kursipun di DPRD II, DPRD I dan DPR RI.
Keempat partai di atas hanya mampu mengumpulkan 17
kursi atau 353.693 suara atau 45.4% dari 754.959 suara (Diolah
dari Data KPUD Kota Tangerang, 2004).
106 Dalam pemilu tahun 2004 itu, nampak Partai Golkar
mendapatkan kursi 8 buah atau 179.631 suara dan PKS yang
muda mendapatkan 8 kursi pula, tetapi jumlah suara masih
di bawah Partai Golkar yaitu 164.022 suara, berarti hanya
bertaut sedikit yaitu 15.609 suara. Kedua partai ini terlihat
sebagai partai paling perkasa di Kota Tangerang. Sementara
itu PPP yang dapat digolongkan sebagai partai Islam tertua
hanya mendapatkan 5 kursi. Partai paling muda tetapi
fenomenal adalah Partai Demokrat, dimana baru sekali
mengikuti Pemilu sudah langsung mendapatkan kursi yang
signifikan di DPRD, yaitu menyabet 7 kursi.
107
108 BAB III
ETNIS, TRADISI DAN VARIAN KEAGAMAAN
1. Eksistensi Etnis Betawi di Tangerang
ada tahun 1930, kategori orang Betawi yang
sebelumnya tidak pernah ada muncul sebagai
kategori baru dalam data sensus. Pada waktu itu
jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia. Antropolog Universitas
Indonesia, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran
sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis
itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari,
mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas
tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang
Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya
orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai
satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni
Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni
Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan
Kaoem Betawi. Pada waktu itu pula segenap orang Betawi
sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan
orang Betawi.
P
Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak
hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng
Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup
penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat
proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut
sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan
di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa
nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan
Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara, sehingga
pengaruh bahasa Melayu sangat kuat. Selain itu, perjanjian
109
antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa
Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk
membangun
suatu
komunitas
di
Sunda
Kalapa
mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal
dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran
Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah
kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh
Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga
—menjadi minoritas. Pada tahun 1961, etnis Betawi mencakup
kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta
pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran,
bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta.
Walaupun sebetulnya, etnis Betawi tidaklah pernah
terpinggirkan atau dipinggirkan dari Jakarta, karena proses
asimilasi dari berbagai etnis yang ada di Indonesia hingga kini
terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
etnis Betawi hadir di bumi Nusantara8.
2. Klasifikasi Etnis Betawi
Sebuah penelitan pada tahun 1989-1990 dan 1991-1992
menunjukkan bahwa penduduk asli Kota Jakarta yang biasa
dipanggil sebagai orang Betawi dapat dibedakan atas macammacam kelompok. Mereka cukup berbeda dalam arti latar
belakang sosial-ekonomi serta lokasi distribusi sebagai akibat
perjalanan sejarah yang berbeda. Untuk istilah yang sering
dikenakan
pada
kelompok
ini,
peneliti
tersebut
menggolongkan mereka sebagai Betawi Tengah, Betawi
Pinggir dan Betawi Udik. Pembagian ini sermata-mata untuk
kepentingan kemudahan analisa belaka.
Orang Betawi yang hidup di daerah kota dipanggil
“Betawi Kota”, mereka menyebut dirinya sebagai penduduk
8
110 Ahmad Buchori(Anak Betawi nyang, insya-Allah, enggak ketinggalan zaman)
asli Kota Jakarta. Orang Betawi yang ada di pinggiran Kota
Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Depok dinamakan 'Betawi
Ora'. Orang “Betawi Ora” adalah yang seharusnya “sebagai
penduduk asli Kota Jakarta karena mereka yang secara ketat
dan konsisten menyandang tradisi Betawi, sementara orang
Betawi Kota amat dipengaruhi oleh tradisi di luar ke-Betawian
sehingga cara hidup mereka berbeda dari “Betawi Ora”.
Sumber-sumber tertulis yang ada mengenai Betawi yang tidak
mempersoalkan kelompok Betawi mana yang mereka
bicarakan telah mengakibatkan generalisasi kesimpulan yang
akhirnya kurang pas dengan kenyataan di lapangan. Untuk
mempermudah dalam melakukan analisis, maka etnis Betawi
dapat diklasifikasikan sebagai berikut;
Betawi Tengah
Populasi penduduk asli Betawi yang bermukim di
daerah kota saat ini sedikit sekali. Kebanyakan dari mereka
tinggal secara berkelompok dari satu keturunan atau kerabat.
Untuk wilayah Jakarta, mereka tinggal tersisa di daerah
Sawah Besar, sebagian kecil di Taman Sari, Gang Ketapang,
Kebon Jeruk, Krukut, Kebon Jeruk dan daerah Pekojan.
Sebagian dari mereka masih menganut beberapa gaya hidup
tempo dulu. Hal ini dapat kita lihat pada acara-acara
perkawinan, lebaran, khitanan, maupun di dalam kehidupan
mereka bermasyarakat. Walaupun ada pergeseran budaya
pada generasi muda Betawi, baik itu pria maupun wanita
namun dalam soal agama mereka tetap memegang teguh,
seperti mengaji bagi anak-anak usia belasan tahun, majlis
ta'lim bagi kaum ibu dan tadarusan bagi kaum pria. Bahasa
yang seringkali digunakan oleh mereka adalah dialek Betawi
Tengah.
Mereka yang termasuk Betawi Tengah adalah mereka
yang dalam sejarah perkembangan Kota Jakarta dulu
dinamakan keresidenan Batavia dan sekarang termasuk
111
Jakarta Pusat, sebagian Jakarta Barat, sebagian Jakarta Utara
dan sebagian lagi Jakarta Timur. Lokasi ini merupakan bagian
dari Kota Jakarta yang paling urban sifatnya. Bagian inilah
yang dalam tahap-tahap permulaan Kota Jakarta dilanda arus
urbanisasi dan modernisasi yang paling tinggi. Salah satu
akibatnya adalah orang Betawi yang tinggal di daerah ini
adalah orang yang paling tinggi tingkat kawin campurnya bila
dibandingkan dengan orang-orang Betawi yang tinggal di
bagian pinggir Kota Jakarta ataupun etnis-etnis lainnya di
Jakarta.
Dan Mereka yang tergolong sebagai Betawi Udik adalah
penduduk asli di sekitar Jakarta termasuk Bogor, Tangerang
dan Bekasi. Dahulu daerah ini termasuk daerah administrasi
Batavia, tetapi kini mereka termasuk daerah administrasi Jawa
Barat dan Banten . Oleh karena itu secara kultural mereka
adalah orang Betawi tetapi karena perubahan batas
administratif maka kini termasuk orang yang tinggal di
daerah administratif Jawa Barat dan Banten9.
Betawi Udik
Ada dua tipe Betawi Udik, yaitu mereka yang tinggal di
daerah bagian Utara Jakarta dan bagian Barat Jakarta maupun
Tangerang, mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan
Cina. Dan lainnya adalah mereka yang tinggal di sebelah
timur maupun di Selatan Jakarta, Bekasi dan Bogor yang
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Sunda. Mereka
umumnya berasal dari kelas ekonomi bawah yang pada
umumnya lebih bertumpu pada bidang pertanian. Taraf
pendidikan mereka demikian rendah bila dibandingkan
dengan tahap pendidikan yang dicapai oleh orang Betawi
Tengah dan Betawi Pinggir. Peran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari orang Betawi Udik berbeda dengan
9
112 http://anakbetawi.blogdrive.com/archive/12.html
peran agama Islam di antara orang Betawi Tengah dan Betawi
Pinggir di mana pada kedua kelompok Betawi terakhir
tersebut agama Islam memegang peran yang penting dan
menentukan dalam tingkah laku pola kehidupan mereka
sehari-hari.
Sekarang telah terjadi perubahan dalam pekerjaan dan
pendidikan di antara orang Betawi Udik di mana secara
perlahan-lahan tingkat dan pola pekerjaan mereka mendekati
pola pekerjaan dan pola pendidikan orang Betawi Tengah dan
Betawi Pinggir. Sejalan dengan modernisasi, komunitas
Betawi udik cukup berhasil melakukan mobilitas vertikal10.
Betawi Pinggir
Sementara orang Betawi Tengah adalah lebih superior
dalam arti latar belakang sosial ekonomi dibandingkan
dengan kelompok Betawi lainnya, dalam bidang pendidikan
agama. Sejak dulu, orang Betawi Tengah cenderung
menyekolahkan anaknya ke sekolah umum sebagai
pendidikan formal mereka. Sedangkan orang Betawi Pinggir
menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren sebagai
pendidikan formal mereka. Itu sebabnya orang Betawi
menolak bila mereka dianggap tertinggal dalam arti
pendidikan bila dibandingkan dengan kelompok lainnya di
Indonesia, yang benar adalah mereka mempunyai ciri
pendidikan yang berbeda dengan suku lainnya.
Perbedaan persepsi antara orang non-Betawi dengan
persepsi orang Betawi mengenai Betawi disebabkan karena
pengetahuan orang non-Betawi adalah gambaran mengenai
orang Betawi yang hidup dipinggiran Kota Jakarta dan
umumnya berasal dari lapisan sosial ekonomi bawah.
10
http://anakbetawi.blogdrive.com/archive/12.html
113
Tradisi Komunitas Betawi
Tradisi Menyambut Bulan Puasa
Sebagai etnis yang belum menemukan jati dirinya
sebagai suku Betawi, namun mereka telah memiliki tradisi
keagamaan dan kesenian yang telah mengakar. Bagi warga
Betawi, tradisi keagamaan merupakan perjalanan hidup yang
terus mereka pertahankan. Tradisi menyambut bulan suci
Ramadhan misalnya, sangat mereka nanti-nantikan. Sehari
menjelang Ramadhan terlihat kesibukan luar biasa di rumahrumah. Ibu-ibu belanja lebih banyak ketimbang hari biasa
untuk menyiapkan makan sahur.
Tradisi Ziarah kubur
Ada lagi tradisi yang hingga kini masih terus dilakukan,
yakni tradisi ziarah kubur dan membaca al Qur’an di kuburan
untuk mengirimkan pahala mengajinya kepada yang berada
di kuburan menjelang puasa. Di masyarakat Betawi, tidak
dikenal yang disebut nyekar, yang dikenal hanya ziarah
kubur. Ziarah kubur dilakukan khusus kaum pria. Ziarah
kubur dilakukan sebagai penghormatan dan mendoakan
arwah orang tua dan keramat. Banyak yang membaca surat
Yasin atau membaca tahlil, sambil membersihkan makam
kerabat. Ziarah ini benar-benar mengakar di masyarakat
Betawi Kota tangerang. Pada saat-saat tertentu mereka tidak
hanya ziarah kubur di sekitarnya atau leluhur kerabatnya,
tetapi juga makam-makam para wali yang dipandang keramat
oleh mereka. Oleh karena itu ziarah mereka bisa keliling tanah
Jawa dari Banten sampai Banyuwangi, bahkan ke Bali dan
Nusa Tenggara Barat. Mereka menyebutnya safari makam
keramat yang dimulai dari Banten, Bogor, Sukabumi, Cirebon,
Semarang, Klaten, Yogyakarta, Kudus, Tuban, Gresik, Malang,
Banyuwangi. Perjalanan safari makam keramat itu dilakukan
secara berombongan. Mereka menyewa bis dan melakukan
perjalanan seperti konvoi ke berbagai daerah tujuan tersebut.
114 Mereka di sana tidak lupa membaca al Qur’an yang pahalanya
dihadiahkan kepada sang wali keramat.
Tradisi Khatam Al – Qur’an di Masjid
Ada tradisi yang sudah berlangsung puluhan bahkan
lebih dari satu abad di masjid-masjid tua Jakarta dan Bogor,
yakni khatam al Quran di bulan Ramadlan. Masjid-masjid tua
itu dikelola oleh para ulama yang berasal dari Hadramaut,
Yaman. Memang tradisi itu berasal dari Hadramaut. Di
Indonesia, khususnya Jakarta, tradisi itu diikuti masyarakat
luas.
Besarnya minat masyarakat terlihat dari membludaknya
jamaah. Acara biasanya dimulai dengan berbuka puasa
bersama, dilanjutkan dengan shalat Magrib, Isya dan
kemudian tarawih. Yang hadir hingga memenuhi pekarangan
dan pelataran masjid. Meskipun sudah berlangsung ratusan
tahun, ternyata yang hadir jumlahnya makin banyak. Mereka
datang bukan hanya dari Jakarta, tapi sekitar Jabotabek. Yang
unik, mereka datang tanpa diundang, karena masjid-masjid
yang menyelenggarakan acara itu dari tahun ke tahun
waktunya tidak pernah berbeda.
Tanjidor, Musik Jazz Betawi
Betawi sangat kaya dengan ragam kesenian tradisional.
Maklum sejak berabad-abad kota ini sudah didatangi beragam
bangsa, antara lain bangsa Portugis yang datang sebelum
Belanda. Bangsa dari Eropa Selatan itu ikut memasukkan
unsur keseniannya dalam bentuk musik tanjidor. Karena
dimainkan oleh sepuluh bahkan sampai belasan orang dengan
berbagai alat musik, sehingga ada yang mengkategorikannya
sebagai ''musik jazz Betawi''. Perkiraan asal muasalnya dari
Portugis, karena berasal dari kata ''tanger'', yang berarti
memainkan alat musik--pada pawai militer atau upacara
keagamaan. Entah kenapa, kata ''tanger'' kemudian diucapkan
jadi tanjidor.
115
Seni Sambrah, Ngibing dan Joged
Kata sambrah berasal dari bahasa Arab, samarokh, yang
artinya berkumpul atau pesta. Kata samarokh oleh orang
Betawi diucapkan menjadi sambrah. Dalam kesenian Betawi,
sambrah menjadi jenis kesenian musik atau orkes sambrah
dan tonil sambrah. Orkes atau tonil ini biasa pentas di tempat
orang berkumpul dan memeriahkan pesta. Seni sambrah,
ngibing dan joget ini sangat digemari oleh komunitas Betawi.
Orang-orang banyak yang terkadang terlalu nekat, menjual
tanah hanya untuk pesta perkawinan atau khitanan. Tanda
dimulainya hajatan adalah setelah tuan rumah meledakkan
ratusan petasan yang dimulai dari petasan kecil dan diakhiri
dengan dentuman beberapa petasan besar yang suaranya
memekakkan telinga. Setelah itu, para penerima tamu dengan
seragam khas muslim berjilbab menyambut tamu dan irama
musik pun mulai mengalun.
Seni Marawis
Dua remaja berbaju koko asyik menari dengan iringan
musik yang khas. Kakinya jinjit dan dihentak-hentakan
mengikuti irama. Sesekali kedua remaja itu mengangkat
tangannya. Saat tempo musiknya semakin cepat maka kaki
pun
semakin menghentak, dan tarian pun semakin
bersemangat. Seni musik dan tarian yang mereka mainkan ini
adalah seni marawis. Seni ini dibawa ke Indonesia oleh para
pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad
yang lalu. Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis
Betawi, seni ini dinamakan marawis karena menggunakan alat
musik khas yang disebut marawis.
Seni Lenong
Lenong, sebuah teater tradisional asli Betawi,
berkembang sejak akhir abad 19. Sebelumnya masyarakat
mengenal komedi stambul dan teater bangsawan yang
dimainkan bermacam etnis dengan menggunakan bahasa
116 Melayu. Orang Betawi menirunya, dan lahirlah lenong.
Sampai 1960-an, di pinggiran Jakarta bila ada hajatan hampir
selalu nanggap lenong. Diiringi musik gambang kromong
yang dipengaruhi alat musik unsur Cina, seperti tehyan,
kongahyang, dan sukong. Alat musik selebihnya adalah khas
Betawi, antara lain gambang keromong, gong, kendang,
kempor, dan kecrekan. Kuatnya unsur Cina karena dulu orkes
ini dibina dan dikembangkan oleh masyarakat keturunan
Cina. Tapi lenong bukan cuma sarana hiburan atau rekreasi,
tapi sekaligus mencerminkan ekspresi perjuangan dan protes
sosial. Lakonnya mengandung pesan moral, menolong yang
lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela.
Seni Topeng
Seni yang digemari kalangan masyarakat Betawi lainnya
adalah Topeng Betawi. Banyak yang mempersamakan jenis
kesenian ini dengan lenong. Padahal ada perbedaan. Kalau
lenong pengiringnya musik gambang keromong, sedagkan
topeng musik Betawi asli. Kalau lenong menceritakan para
jagoan melawan tuan tanah jahat, topeng menceritakan
kehidupan masyarakat sehari-hari. Seni topeng ini
dipengaruhi oleh kesenian Sunda.
Seni Rebana
Jabotabek sudah berkembang menjadi kota megapolitan,
tapi kesenian rebana masih tetap mendapat tempat di hati
masyarakatnya. Di tiap kampung yang ada pesantren,
madrasah, majelis taklim, dan masjid dapat kita jumpai
kesenian rebana. Seni ini
sering ditampilkan untuk
merayakan peringatan Maulid Nabi atau khitanan. Menurut
seniman Betawi, Yahya Andi Saputra, rebana sampai ke
Betawi dibawa oleh balatentara Kerajaan Islam Mataram
pimpinan Sultan Agung ketika dua kali menyerang kota
Batavia (1628 dan 1629). Lepas dari kegagalan untuk
menaklukkan VOC, tapi banyak punggawa Mataram yang
117
kemudian menetap di Jakarta. Di antaranya menjadi mubaligh
yang handal dan mewariskan sejumlah masjid tua.
Rebana Biang
Kata rebana, konon berasal dari kata ''Robbana'', yang
berarti ''Tuhan kami''. Lama kelamaan alat musiknya disebut
rebana, atau mengucapkannya dengan lafal robana, seperti di
Ciganjur, Kebayoran Lama, dan Pondok Pinang. Di Jakarta,
terdapat ratusan grup rebana dan kasidahan. Di samping
manggung pada acara keagamaan, mereka juga menerima
panggilan main pada acara-acara hiburan. Setiap grup rebana
punya lagu yang berbeda. Bahkan kini, di samping
menyanyikan lagu-lagu berirama padang pasir (Timur
Tengah), juga lagu Melayu dan dangdut. Terutama dimainkan
oleh grup ''rebana biang'' karena rebananya besar.
Rebana Hadrah
Kekhasannya adalah terdapat ”adu zikir”. Dimana
biasanya ditampilkan dua grup yang silih berganti
membawakan syair diwan hadroh. Grup yang kalah
umumnya karena kurang hafal ketika membawakan syair.
Yang dimaksud dengan ”adu dzikir” sebenarnya merupakan
salah satu cara untuk mempertahankan seni tradisional yang
dianggap sebagai bagian dari keyakinan keagamaan.
Komunitas Betawi memandang bahwa meskipun kesenian,
jika dilakukan dengan benar dan tidak melanggar normanorma dan norma kehidupan sosial kemasyarakatan akan
mendapatkan pahala. Alasan mengejar pahala inilah yang
merupakan salah satu faktor penyebab mengapa komunitas
Betawi sebisa-bisanya mempertahankan tradisi rebana hadrah
ini.
Rebana Burdah
Kesenian rebana burdah dikembangkan oleh keluarga
Ba'mar yang berasal dari Hadramaut. Keluarga ini tinggal di
118 Kampung Kuningan Barat, Mampang Parapatan, Jakarta
Selatan. Sesepuh keluarga Ba'mar yang melahirkan kesenian
rebana burdah adalah Sayid Abdullah Ba'mar, seorang yang
kaya raya. Di masa jayanya, dia adalah pemilik sebagian besar
tanah di kawasan segi tiga emas, Kuningan, dan Jl Gatot
Subroto, Jakarta. Tuan tanah dan peternak ratusan sapi itu
menganjurkan semua anak cucunya belajar rebana burdah.
Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri,
berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara
di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, muncul kesenian
rebana maukhid yang dikembangkan oleh Habib Husein
Alhadad.
Varian Muslim Tradisional
Upacara Kelahiran
Varian Muslim Tradisional yang dimaksud disini adalah
masyarakat muslim Betawi yang yang sering menyebut
dirinya sebagai penganut ahlu sunnah wal jama’ah (aswaja).
Dalam tradisinya yang tetap dipertahankan sampai hari ini
yang berkaitan dengan tradisi daur hidup mungkin memiliki
sedikit perbedaan dengan daerah lain. Namun maksud dan
tujuannya masih sama. Ketika menyambut kelahiran anak
misalnya, mereka tidak mesti melaksanakan aqiqah, yaitu
memotong kambing 1 ekor untuk menyambut bayi
perempuan dan 2 ekor untuk menyambut kelahiran anak lakilaki. Namun demikian mereka pasti melaksanakan upacara
selamatan dengan nasi tumpeng komplit dengan lauk
pauknya seperti telur, ayam dan sayuran. Kemudian tidak
lupa pula mereka menyiapkan bubur merah putih juga dalam
selamatan itu.
Dalam upacara itu selalu dibacakan naskah berjanji
yang dipimpin oleh kyai atau ustadz. Bayi diangkat diputar ke
seluruh undangan untuk dipotong rambutnya. Pada saat
inilah sang bayi diberi nama oleh orang tuanya dan
119
disampaikan kepada undangan oleh kyainya. Pembacaan
naskah berjanji ini tidak hanya untuk menyambut kelahiran
bayi saja, tetapi juga untuk semua kegiatan upacara daur
hidup, dan bahkan untuk menyambut hari Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus. Mengapa ketika menyabut hari
kemerdekaan harus juga membacakan berjanji, bagi mereka
kelahiran republik ini merupakan anugerah luar biasa bagi
rakyat Indonesia dan lebih penting dari segala-galanya dalam
perjalanan hidupnya.
Oleh karena itu menyambut
kemerdekaan di kalangan Betawi tidak sekdar mendatangkan
dangdut dan layar tancep, tetapi banyak diantaranya diawali
dengan tahlil dan pembacaan berjanji.
Upacara Perkawinan
Dalam perkawinan, secara garis besar prosesi yang
dilakukan tidak jauh berbeda dengan tradisi kaum muslim
Jawa. Secara detail tidak mungkin dapat dijabarkan disini.
Namun, perkawinan yang mereka lakukan dengan cara
melalui perantara ataupun tidak, kemudian ada lamaran dan
mengantar makanan, perabot rumah tangga dan sejumlah
uang. Pada hari H-nya, seringkali menanggap orkes dangdut
atau layar tancep, bahkan sekedar pesta perkawinan saja,
namun pesta selalu meriah dengan banyak undangan. Jumlah
nilai nominal uang dari para undangan (ampau) bervariasi,
antara Rp 5.000 s.d Rp 100.000. Namun biasanya beberapa
kerabat atau kawan menyumbang keperluan pesta, seperti
beras, aqua, biaya tenda, biaya hiburan dan sebagainya
tergantung dari kemauan mereka. Ini adalah bentuk salah satu
solidaritas yang sampai hari ini masih dipertahankan,
sehingga semua orang Betawi bisa menjalankan pesta
perkawinannya secara meriah.
Upacara Kematian
Ketika anggota masyarakat meninggal, mereka beramairamai melakukan ta’ziah, menyolatkan jenazah, mengantar ke
120 kubur dan tahlil yang disambung membaca al qur’an di
rumah selama 1 minggu. Ketika menyolatkan jenazah,
biasanya ada salah satu petugas dari pihak keluarga
membawa kantong berisi uang, kemudian berputar
mengelilingi para jama’ah yang menyolatkan jenazah. Yang
mereka lakukan adalah memasukkan amplop ke kantongkantong para jama’ah ketika sedang berdoa.
Pada saat jenazah telah dikuburkan, maka diantara
mereka segera memasang tenda (2 x 2 m) lengkap dengan
tempat duduk di atas makam yang baru dikubur untuk
keperluan membaca al Qur’an. Pembacaan al Qur’an itu
dilakukan selama 1 minggu dengan secara estafet. Dalam
kegiatan membaca al Qur’an seperti ini biasanya juga ada
group-groupnya yang terkadang juga bersaing untuk
mendapatkan kesempatan. Sehari semalam biasanya
dilakukan oleh 6 orang dengan biaya rata-rata perhari 2 juta.
Jika dilakukan selama 7 hari maka minimal mereka
mengeluarkan uang sebanyak 14 juta. Oleh karenanya tidak
jarang, mereka harus menjual tanah untuk keperluan itu. Kyai
tidak kuasa menghalangi atau menyarankan tidak perlu
seperti itu. Tapi tradisi tetap harus dijaga meskipun harus
membayar mahal. Jika tidak dilakukan membaca al Qur’an di
kuburan menurut pandangan masyarakat dianggap sebagai
anak tak berbakti dan bahkan durhaka. Pembacaan al Qur’an
itu konon katanya untuk menunda siksa kubur, karena
disamping dikirim pahala membaca al Qur’an, malaikat masih
mendengar orang membaca al Qur’an sehingga tidak
menanyai si ahli kubur, tetapi asyik mendengarkan bacaan
merdu dari al Qur’an itu.
Sistim kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, komunitas Betawi menganut
patrilineal, yaitu keluarga yang menempatkan laki-laki
sebagai yang superior. Bila ada keluarga memiliki anak laki
121
dan perempuan, asal yang perempuan sudah dinikahkan,
maka dia menjadi tanggungan suami sepenuhnya. Dalam hal
waris mereka seperti di Jawa, yaitu separuh dari laki-laki.
Dalam keluarga selalu ada ayah, ibu, anak, nenek atau kakek
yang hidup berkumpul di antara mereka. Merekapun sering
melakukan silaturahmi di antara sanak saudara mereka, baik
saudara yang dekat maupun jauh. Reuni keluarga banyak
mereka lakukan, minimal dalam upacara daur hidup mereka
akan berkumpul, seperti kelahiran, pernikahan dan kematian.
Varian Muslim Modernis
Upacara kelahiran, perkawinan, kematian,
kekerabatan
dan sistim
Bagi muslim modernis (Muhammadiyah) di kalangan
komunitas Betawi sangat kontras dalam mengamalkan tradisi
daur hidup dengan muslim tradisional. Ketika anak lahir
mereka selamatan dengan aqiqah dan memtong kambing
sesuai dengan ketentuan. Tidak ada maulidan dan pembacaan
berjanji/rawi, tapi silaturahmi dalam bentuk ceramah agama,
ramah tamah dan kemudian menyantap makanan yang menu
utamanya adalah daging kambing. Kalangan muslim
modernis lebih simpel dan praktis dalam melakukan upacara
menyambut kelahiran bayi.
Dalam upacara perkawinan, mereka juga melakukan
secara simpel. Bagi yang berada menanggap orkes dangdut,
bagi kalangan menengah cukup selamatan dengan
mengundang sanak saudara dan simpatisan mereka saja.
Pestapun tidak dipersiapkan berhari-hari seperti di kalangan
muslim tradisional. Semua keperluan diurus oleh aktifis
ranting Muhammadiyah (urusan dapur diurus oleh ibu-ibu
Aisyiah dan pemasangan tenda, pengadaan kursi oleh
pemuda dan kaum bapak). Tuan rumah menyediakan dana
secukupnya. Biasanya pesta dilakukan sangat singkat
122 meskipun di rumah, layaknya pesta di gedung. Sehingga tuan
rumah tidak begitu lelah.
Pada upacara kematian, muslim modernis lebih unik
lagi. Pada waktu ada anggota keluarga meninggal, maka
sanak kerabat (bukan kelompok dia saja) berdatangan
melakukan ta’ziah. Semua konsumsi untuk keluarga dan
mereka yang ta’ziah diurus oleh pengurus dan anggota
Ranting Muhammadiyah, sehingga yang berduka tidak harus
repot-repot untuk memasak makanan.Tidak ada pembacaan
tahlil selama 7 hari, apa lagi membaca al-Qur’an 7 hari di
kuburan yang biayanya sangat mahal, sepertti yang biasa
dilakukan oleh kalangan muslim tradisional. Yang mereka
lakukan dalam seminggu di rumah duka adalah pengajian
ranting dengan menempatkan tuan rumah senyamannyamannya, tidak perlu masak, tidak perlu belanja dan
sebagainya.
Mengurus jenazah bagi mereka sangat simpel, yaitu
dimandikan, dikafani, disholati dan didoakan, setelah jenazah
dimakamkan, prosesi pemakaman diakhiri dengan doa.
Menurut faham kalangan muslim modernis, selanjutnya
terserah ahli kubur, karena hanya amal perbuatan ahli kubur
sendiri yang mengakibatkan ahli kubur mendapat siksa kubur
atau tidak, demikian pula kehidupanya setelah meninggal.
Tidak ada pengiriman hadiah pahala kepada ahli kubur
sebagaimana dilakukan oleh santri tradisional, karena
menurut mereka pengiriman hadiah pahala tidak akan sampai
dan tidak ada dalil yang kuat tentang hal itu11.
11 Diolah dari hasil wawancara dengan Muhammad Nasir, pensiuan guru
agama yang sekarang sebagai sespuh di Cabang Muhammadiyah Pinang dan
Cipondoh.
123
Peranan Kyai Pada Masyarakat Betawi
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ekspresi dan
artikulasi kultural masyarakat kota Tangerang yang mulai
cenderung metropolis, terbuka, moderat, simpatik, dan lugas
(tanpa banyak basa-basi), serta jauh dari karakter feodalistik.
Kehidupan
sosial
keagamaan
masyarakat
justru
memperlihatkan tradisi feodalisme keagamaan, karena para
tokoh agamalah yang dipandang menempati strata tertinggi
dalam lapisan sosial, sehingga sangat dihormati masyarakat.
Jika ada orang ingin melakukan pembaharuan kehidupan
beragama, dia akan langsung berhadapan dengan anak buah
kyai yang “memagarinya”. Sedikit saja aktifis membuat
kekeliruan, maka seluruh cita-cita pembaharuan dapat kandas
di tengah jalan, karena peran orang yang hidup di sekitar
kehidupan kyai. Oleh karenanya, posisi kyai luar biasa
tingginya di mata masyarakat, bahkan di mata para pejabat
pemerintah. Di antara keduanya berusaha untuk tidak
bertabrakan kepentingan, tetapi malah saling mendukung.
Pemerintah butuh legitimasi para kyai dan kyai butuh
perlindungan
pemerintah.
Sebuah
situasi
yang
membahagiakan rakyat jika keduanya (ulama dan umara)
saling mendukung dan melindungi untuk kemaslahatan umat.
Kyai Yusuf misalnya, meskipun bukan kyai besar dan tidak
memiliki pesantren besar, tetapi sangat dihormati oleh
komunitas Betawi Tangerang.
Hampir semua kyai pemilik pesantren di Tangerang
pernah berguru/mengaji kepada Kyai Yusuf ini, sehingga
pada saat-saat tertentu rumah Kyai yusuf ini sangat ramai
dikunjungi oleh bekas-bekas muridnya yang sekarang sudah
menjadi kyai. Bahkan Walikota Tangerang saat ini (Wahidin
Halim) yang kebetulan juga Betawi asli sering silaturahmi ke
kediaman Kyai yusuf ini untuk mendapat dukungan moral
dan dorongan psikologis keagamaan. Bagi masyarakat Betawi
pinggiran (Tangerang), Kyai Yusuf ini sangat memberkahi
124 siapa saja yang datang kepadanya, tutur katanya
menyejukkan, motivasi agama dan keduaniaannya seperti
mengetahui siapa tamunya, berkatanya tidak pernah keras,
tidak pernah terlihat marah, sangat bersahaja, perkataanya
selalu menjadi obat penenang. Banyak masyarakat datang
kepadanya untuk berbagai keperluan.
Peranan Jawara pada Masyarakat Betawi
Kota Tangerang secara geografis adalah masuk wilayah
Banten sejak jaman kerajaan Banten dahulu. Oleh karena itu
budayanya juga lebih dipengaruhi oleh Banten dan Cina.
Sebagaimana diketahui budaya adanya para Jawara adalah di
Banten ini. Para Jawara ini sangat dekat dengan para tokoh
agama dan tokoh masyarakat. Mereka mengawal dengan setia
terhadap mereka yang dipandang harus dihormati. Meskipun
para Jawara tidak selalu berada di dekat kyai, tetapi mereka
merupakan body guard bagi para kyai. Jika terjadi sesuatu pada
kyai, maka merekalah yang segera turun gelanggang untuk
menghalaunya.
125
126 BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Komunitas Betawi mampu mempertahankan tradisi
agamanya, karena semua tradisi itu dikemas dalam bentuk
sebagai bagian dari kepercayaan agama yang harus terus
diamalkan dan oleh karenanya semua media yang sifatnya
dapat mengumpulkan orang menjalankan ajaran agama
sekaligus mempertahankannya sesuai dengan paham
keagamaan yang mereka miliki;
2. Konfigurasi yang terjadi antara komunitas Betawi dengan
komunitas lainnya adalah saling membutuhkan sekaligus
asimilasi. Mungkin saja pada suatu saat nanti posisi
komunitas Betawi bersama tradisinya juga akan pudar
seiring dengan asimilasi penduduk Betawi dengan
pendatang dalam bentuk perkawinan yang terus
berlangsung;
3. Tradisi
keagamaan
memang
tidak
mengalami
perkembangan, tetapi dapat dipertahankan oleh siapa saja
yang mengaku sebagai Betawi, terutama yang santri
tradisional meskipun mengalami perubahan. Namun
perubahan bukan menyangkut norma dan tatacara
melaksanakan tradisi, yang berubah hanyalah tempat dan
teknis belaka;
Rekomendasi
Dari penelitian ini, rekomendasi yang dapat
disampaikan kepada pihak terkait untuk melakukan
intervensi dalam kehidupan sosial keagamaan agar komunitas
Betawi tetap mampu bertahan dalam mempertahankan
tradisinya adalah memfasilitasi mereka dalam berbagai
127
bentuk yang sedapat mungkin bisa dilaksanakan. Misalnya,
menyelenggarakan festival marawis, tanjidor, pembacaan
barzanji, rawi, dan sebagainya. Karena tradisi-tradisi tersebut
di samping dipandang sebagai tradisi yang baik, untuk
melestarikannya perlu dana yang tidak sedikit. Jika
pemerintah atau siapapun peduli akan pelestarian tradisitradisi tersebut, masyarakat Betawi akan lebih bergairah dan
semakin giat melestarikan tradisi-tradisi yang mereka miliki
itu.
128 DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta 2002.
Buchori, Ahmad, (Anak Betawi Nyang, Insya-Allah, Enggak
Ketinggalan Zaman).
Faisal, Sanafiah, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”
dalam Burhan Bungiin, Ed Metodologi Penelitian
Kualitatif: Metodologio penelitian Ke Araha Ragam
kontemporer, jakarta, Raja Grafindi Persada, 2004.
Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan
Analisis Historis, Mitra Cendekia, Jakarta, 2004.
Maharsi, Varian Keagamaan Masyarakat Pesisir Pantai Selatan,
Bantul Yogyakarta, UIN Yogyakarta, 2004.
Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2000.
Sodiqin, Ali, Tradisi Keagamaan Masyarakat Pesisir Selatan (Studi
tentang Masyarakat Trisik Kulon Progo), dalam Jurnal
Penelitian Agama, Pusat Penelitian UIN Yogyakarta,
Yogyakarta, 2004, hal. 381. Lihat pula Kuntowijoyo,
Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta, Tiara Wacana,
1999.
http://anakbetawi.blogdrive.com/archive/12.html
-o0o-
129
130 DAKWAH PLURALISTIK
IKATAN JAMA’AH AHLUL BAIT INDONESIA
DI KOTA BANDUNG
Oleh:
Achmad Rosidi
DAKWAH PLURALISTIK
IKATAN JAMA’AH AHLUL BAIT
INDONESIA DI KOTA BANDUNG
Achmad Rosidi
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
erjalanan sejarah umat Islam Nusantara sejak masa
perjuangan sampai masa kemerdekaan hingga
terbentuknya republik ini ditandai dengan
kebersinggungan dengan berbagai aliran dan faham
keagamaan, baik yang muncul dan tumbuh dari dalam
maupun dari luar negeri. Pada era milenium ketiga, tepatnya
orde pasca reformasi, sebagai dampak globalisasi dan iklim
sosial-politik serta keterbukaan menempatkan Indonesia
sebagai tempat yang subur bagi pertumbuhan dan
perkembangan sebuah organisasi, termasuk organisasi
keagamaan. Realitas demikian muncul disebabkan para aktifis
organisasi tersebut ingin mencari solusi atas berbagai
persoalan yang dipandang belum mampu dipecahkan oleh
wadah atau organisasi yang ada. Lahir dan berkembangnya
berbagai wacana (discourse) keagamaan menjadi bahan yang
menarik bagi banyak kalangan. Indikasi bagi peningkatan
jumlah masyarakat yang terdidik secara modern tetapi
memiliki social origin Islam yang menambah keberagaman
corak pemikiran itu dan berujung pada upaya penggalian
wacana keagamaan baru yang positif, kritis, historis dan
terbuka.
P
131
Salah satu gerakan yang kemudian menjadi ormas Islam
adalah Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Kelompok
ini cepat mencuat ke publik, disebabkan salah satunya oleh
ketokohan pendirinya, yaitu DR. KH. Jalaluddin Rakhmat,
seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Bandung.
Ormas ini secara terang-terangan menamakan diri sebagai
pecinta Ahlul Bait sehingga banyak kalangan kaum muslimin
Indonesia
memandang
IJABI
bermadzhab
Syi’ah.1
Perjumpaannya dengan pemikiran dan madzhab Ahlul Bayt
(Syi’ah) tersebut mengantarkannya sebagai tokoh yang giat
mengembangkan pemikiran dan faham ajaran Syi’ah di
Indonesia.2 Revolusi Islam Iran tahun 1979 turut
menginspirasi pendirian organisasi ini. Revolusi ini dipimpin
oleh Imam Khomeini, seorang pencinta Ahlul Bayt dari
kalangan Syi’ah Imamiyah.
Sebagai ormas keagamaan, IJABI memiliki misi dakwah
dan memperluas wilayah kepengurusan di seluruh wilayah
Nusantara. Namun demikian, IJABI tidak mentahbiskan
dirinya sebagai gerakan transnasional seperti halnya Hizbut
Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan lain sebagainya. Sesuai
dengan visi dan misinya, IJABI lahir sebagai gerakan yang
menghimpun pecinta Ahlul Bait apapun madzhab dan
keyakinannya. Sebagai gerakan intelektual, ia mengusung
pluralisme dan toleransi. Dan ini yang menjadikan IJABI
__________________
1 Ahul Bait Nabi adalah keluarga dan kerabat dekat Nabi. Syi’ah
mendefinisikan Ahlul Bait adalah Nabi dan keluarga keturunan Imam Ali bin Abi
Thalib dan Fathimah Az-Zahra. Syi’ah di Timur Tengah (Iran, Irak, Syiria, Arab Saudi
dan Libanon) menamakan diri dengan pecinta Ahlul Bait. Dan IJABI sendiri secara
transparan menyatakan menganut madzhab Syi’ah, tetapi sudah disesuaikan dengan
konteks Indonesia.
2 Wawancara dengan KH Jalaluddin Rahmat. Beliau sering menjadi
narasumber mengenai Iran dan Syi’ah, dan banyak tulisannya yang membahas
pemikiran Syi’ah. Menurutnya, IJABI bukan gerakan transnasional meski diakui
bahwa IJABI mendapat pengaruh dari Ayatullah Sistani, tokoh gerakan Hezbullah di
Libanon ataupun pengaruh Iran.
132 mendapatkan hati kalangan intelektual, terutama komunitas
kampus.3 Konsep pluralisme tersebut menyatakan bahwa
Islam dapat hidup berdampingan dengan kepercayaan dan
agama lain dengan penuh kedamaian dan memberikan
kebebasan kepada masing-masing pemeluk agama untuk
menjalankan agamanya tanpa batasan.4
Pertikaian antara Sunni dan Syi’ah, semula disebabkan
oleh politik. Syi’ah menuduh para sahabat mengambil alih hak
Ali sebagai Khalifah sepeninggal Rasulullah. Dari masalah
politik kemudian berkembang dalam masalah akidah dan
madzhab fiqih. Doktrin iman Syi’ah mempercayai konsep
imamah, raj’ah, taqiyah, dan badâ.5 Doktrin ini berlangsung sejak
era awal kemunculan Syi’ah (kecuali raj’ah). Dengan
mengetahui doktrin ini, sebuah gerakan dapat dikategorikan
masuk dalam kelompok Syi’ah atau bukan. Doktrin yang
nampak jelas pada IJABI adalah masalah imamah, sedangkan
masalah imamah yang membedakan Syi’ah dengan kelompok
lain. Para tokoh dan pengikut IJABI maklum dengan hal ini
dan menyadari sepenuhnya jika mayoritas penduduk muslim
Indonesia adalah muslim Sunni. Antara Syi’ah dan Sunni
sering tidak sepaham dan selalu terjadi aksi penolakan.
Akhirnya IJABI dituduh mengembangkan faham Syiah.
Kasus pun muncul, beberapa kali anggota IJABI mengalami
__________________
3 Makalah, oleh Prof. Dr. HM Atho Mudzhar (EDISI REVISI), disampaikan
pada Seminar “Membumikan Pemikiran Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Globalisasi”,
diselenggarakan oleh Yayasan Dakwah Malaysia-Indonesia (YADMI) dan Pengurus
Wilayah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Timur, pada 28 Desember 2008, di
Hotel Inna Simpang, Surabaya, Jawa Timur, hal. 8.
4 al-Banna, Gamal, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur'an, Menara, Bekasi, 2006,
hal. 32. Pemikiran pluralistik banyak mengikuti pemikiran Gamal al-Banna.
5 Makalah, Prof. Dr. HM. Atho Mudzhar, Ibid hal. 9. Dalam makalah
tersebut disebutkan pernyataan Jalaluddin secara diplomatis dan bernuansa taqiyah, ia
mengatakan: “Kami memperjuangkan syariat Islam yang bisa diterima non-Muslim”.
Dikatakannya pula, “IJABI bersama non Muslim sedang memperjuangkan syariat
Islam.”
133
penolakan umat Islam Ahl as-Sunnah, bahkan tidak jarang
terjadi aksi anarkhis. Salah satu contoh aksi anarkhis terhadap
pengikut IJABI terjadi di Bondowoso.6 Yang masih
berlangsung hingga saat ini terjadi di Madura.
Perbedaan cara pandang politik keagamaan justru
menjadi persoalan umat, padahal umat membutuhkan solusi
atas persoalan yang dihadapi, seperti masalah ekonomi,
pendidikan, kesenjangan sosial dan moral. Peluang inilah
yang dipandang IJABI sebagai sebuah sarana dakwah dengan
pendekatan persamaan, keadilan dan kesetaraan dengan
melekatkan diri sebagai pecinta Ahlul Bait. Pendekatan itu
adalah pendekatan pluralistik, yaitu menghormati dan
mengapresiasi perbedaan dan tidak memaksakan pemahaman
dan penafsiran mengenai keselamatan dan kebenaran kepada
pihak lain. Mengutip pernyataan Imam yang ma’shum, yaitu
dengan mendahukan akhlak di atas fiqih (madzab, termasuk
madzhab pemikiran dan aliran). IJABI hendak menampilkan
wajah Islam yang benar-benar rahmatan lil álamin, Islam yang
rasional-progresif (modern) namun tidak meninggalkan
pedoman al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Islam tersebut yang
mengharmoniskan aktivitas dan metode pendekatan fikir dan
zikir secara proporsional, mendayung di antara dikotomi dua
faham yang berbenturan keras, yaitu liberalisme dan
fundamentalisme literal.7
Kehadiran IJABI di satu sisi mendapatkan resistensi dari
mainstream umat Islam di Indonesia yang mayoritas Sunni.
__________________
6 Syaukani, Imam, Telaah Tindak Kekerasan terhadap Ikatan Jama’ah Ahlul Bait
Indonesia di Kabupaten Bondowoso, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2008,
hal. 30.
7 Menurut Jalal, Tuhan menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan
untuk menguji kaum muslimin, seberapa banyak memberikan konstribusi kebaikan
kepada umat manusia. Kepada Tuhan-lah semua agama itu kembali, maka seseorang
tidak boleh mengambil alih kewenangan Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan
agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa.
134 IJABI yang terkristal menjadi organisasi dituduh secara
sistemik berfaham Syi’ah hendak menyebarkan ajarannya di
Indonesia dan merupakan penetrasi revolusi Iran. Apapun
bentuknya, Syi’ah dipandang tidak berubah sejak zaman
klasik hingga sekarang.8 Sedang di sisi lain IJABI tidak
memperoleh dukungan dari penganut Syi’ah Indonesia,
karena dipimpin oleh bukan Habib (keturunan Nabi).9 IJABI
berada di persimpangan, antara Sunni dan Syi’ah. Terlebih
lagi IJABI mengusung dakwah pluralistik (neo-pluralisme)
yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Dari latar belakang di atas, penulis memandang perlu
untuk melakukan kajian mendalam mengenai dakwah plural
tersebut secara komprehensif dengan melakukan penelusuran
dari sumber pustaka, observasi maupun wawancara dari
sumber yang valid.
Untuk memfokuskan kajian, penelitian ini diformulasikan dalam rumusan-rumusan masalah sebagai berikut;
pertama, bagaimana latar belakang munculnya IJABI; kedua,
bagaimana dakwah pluralistik yang dikembangkan oleh
IJABI; ketiga, apa manhaj dakwah yang menjadi panutannya.;
keempat, bidang apa saja yang menjadi fokus dakwah
pluralistik yang dijalankan IJABI; kelima, apa faktor
pendukung dan penghambat dakwah pluralistik yang
dilakukan oleh IJABI.
__________________
8 Resistensi ini belum massive, masih perkasus di seluruh Indonesia, seperti
kejadian Bondowoso (lih; hasil penelitian Imam Syaukani tentang hal ini) dan di
Madura yang hingga kini kasusnya masih berlangsung.
9 Pernyataan ini dilontarkan oleh Miftah Fauzi Rakhmat, putra KH
Jalaluddin Rakhmat. Walaupun polemik tersebut menurut A Hidayat (sektretaris
LKAB) kini sudah tidak dipersoalkan. Menurut Hidayat, para Habib Syi’ah di
Indonesia tidak sejalan, karena belum waktunya Syi’ah membentuk organisasi di
Indonesia. Langkah IJABI dipandang tergesa-gesa.
135
Metodologi
Dalam kajian ini, untuk memperoleh data, penulis
menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach).
Sedangkan tahapan yang dipakai adalah; a) penentuan fokus
kajian. Informasi awal diperoleh melalui internet, makalah,
publikasi ilmiah (jurnal, buku-buku, dsb), dari media cetak
maupun elektronik dan dari diskusi melalui milist (dunia
maya). Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang bahwa
IJABI melakukan gerakan intelektual dengan berbalut
pluralisme. Kemudian, persoalan difokus pada IJABI dengan
pertimbangan gaya dakwah plural ini memunculkan
kontroversi, baik di kalangan mainstream umat Islam,
khususnya di Kota Bandung. Fakta yang pernah terjadi kantor
sekretariat IJABI pernah didatangi oleh Forum Umat Islam
pimpinan KH Athian Ali, disebabkan IJABI mendukung
Ahmadiyah dan membantu orang-orang Kristen dalam
melakukan aksi sosial. Isyu ini tentu saja sangat merisaukan.;10
Kedua, pengayaan informasi terhadap fokus masalah
yang ditelaah melalui eksplorasi dokumen dan literatur;
Ketiga, melakukan observasi langsung ke lapangan (field
research) sekaligus mengumpulkan informasi terkait dari
pihak-pihak yang dinilai dapat menjelaskan masalah secara
komprehensif, seperti: para pelaku, korban, kepolisian,
kejaksaan, ulama, pemerintah daerah, anggota masyarakat
sekitar tempat kejadian perkara (TKP), dan mereka yang
diduga sebagai pemicu konflik; dan Keempat, melakukan
__________________
10 Di media massa dan elektronik pernah dimuat komentar tetang kegiatan
IJABI, seperti di beberapa media berikut ini: “Pengajian Syiah Diserang Massa, Polisi
Diminta Bertindak Fair”, 28/12/2006, de-tik.com; “Seputar Pengusiran Jamaah IJABI di
Bondowoso”, 5/1/2007, NU Online; “Tolak Kelompok IJABI”, 12/4/2007, Surya
Online; “Kehadiran Aliran Syiah Ditentang Warga” dalam Suara Rakyat, 8/6/2006;
“Bahaya Ajaran Syiah terhadap Ajaran Ahl as-Sunnah waljamaah” dalam Buser,
6/8/2006.
136 analisis data, baik data tertulis (dokumen, berita di surat
kabar, majalah) maupun rekaman hasil wawancara (recording)
dengan memegang prinsip triangulasi secara konsisten.11
Untuk memperoleh data, metode yang dipergunakan
adalah observasi lapangan, wawancara dan sumber data
sekunder. Peneliti melakukan observasi di Kota Bandung
dengan melihat dinamika dan gambaran IJABI berdasarkan
situasi mereka berada.12
Kajian Teori
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru,
mengajak dan memanggil orang untuk mencari ridha,
beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis
aqidah, syari'at dan akhlak Islam.13 Kata dakwah merupakan
masdar “da’watun” (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang
berarti panggilan, seruan atau ajakan.14 Sedangkan secara
istilah, dakwah menurut beberapa definisi sebagai berikut:
1. Menurut Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong
manusia untuk berbuat kebaikan dan mengikuti petunjuk
(agama) menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah
dari perbuatan mungkar, agar memperoleh kebahagiaan
dunia akhirat.15
__________________
11 Ida Bagoes Mantra. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Cet. I.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004; Burhan Bungin. Ed. Analisis Data Penelitian
Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. hlm. 186-194.
12 James A Black, at.al, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Refika Aditama,
Bandung, hal. 285.
13 Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama, Kamus Istilah Keagamaan Islam, Jakarta, hal. 3.
14 Ali Aziz, Muhammad, Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Sunan
Ampel, Surabaya, 1993, hal. 3.
15 Mahfudz, Syaikh Ali, Hidayatul Mursyidin, Dar al-Ma’rifah, tt., hal. 17.
137
2. Dakwah menurut Abu Bakar Atjeh adalah seruan kepada
semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran
Allah yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan
nasehat yang baik.16
3. Dalam buku Ilmu Dakwah, Toha Yahya Umar
menyebutkan bahwa dakwah adalah mengajak manusia
dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan
perintah Allah, untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia
akhirat.17
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disebutkan di
sini bahwa dakwah merupakan proses penyampaian ajaran
Islam dari seseorang atau individu kepada individu atau
kelompok lain. Materi yang disampaikan itu berupa perintah
melakukan kebaikan dan larangan berbuat kejahatan (amr
ma’ruf nahi munkar). Upaya penyampaian risalah (dakwah) itu
dilakukan secara sadar dengan maksud dan tujuan untuk
membentuk pribadi yang shaleh, keluarga yang bertaqwa,
umat yang terbaik, taat menjalankan ajaran Islam.18 Kata
dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata
"Islam", sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan Ilmu Islam"
atau ad-dakwah al-Islamiyah.
Orang yang menyampaikan dakwah –da’i/-muballigh –
adalah orang-orang yang memiliki dasar-dasar keilmuan
tentang Islam secara komprehensif, karena persoalan yang
dihadapi
oleh
kaum
Muslimin
sangat
komplek.
Da’i/muballigh harus memberikan contoh (suritauladan)
yang baik bagi umatnya. Da’i/muballigh sebagai ujung
__________________
16 Atjeh, Abu Bakar, Beberapa Catatan mengenai Dakwah Islam, Ramadani,
Solo, 1979, hal. 6.
17 Oemar, Thoha Yahya, Ilmu Dakwah, Wijaya Jakarta, 1976, hal. 1.
18 Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, Paramadina, Jakarta, 2004, hal. 45.
138 tombak kemajuan Islam memiliki tugas berat, namun sangat
mulia di sisi Allah.
Sedangkan sasaran dakwah adalah masyarakat luas
yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Maka tugas
da’i/muballigh adalah menyampaikan ajaran Islam agar
mudah diterima oleh masyarakat luas. Pluralistik dalam
bahasa Inggris berasal dari kata plural (adj) berkaitan dengan
dengan bentuk jamak (plural) lebih dari satu. Pluralistic juga
pluralist (adj) dari kata plural (sifat), yaitu dari keragaman
dalam sebuah komunitas masyarakat (dalam ilmu sosial),
seperti keragaman ras, politik, agama dan kepercayaan.
Keragaman itu terutama agama dan kepercayaan akan baik
dan harmonis manakala para penganutnya dapat hidup
bersama penuh kedamaian dalam suatu komunitas.19 Istilah
pluralistik berkaitan dengan plural (jamak, keragaman).
Jadi dakwah pluralistik yaitu ragam metode dakwah
untuk menyampaikan risalah (Islam) kepada mad’u (sasaran
dakwah, umat - red) dengan melihat dan memahami
keragaman mad’u, meliputi keragaman organisasi politik, latar
belakang pendidikan, ormas, madzhab dan agama serta
perbedaan-perbedaan lainnya. Dengan dakwah pluralistik,
da’i tidak mempersoalkan perbedaan hal-hal yang mendasar
lainnya yang ada pada mad’u. Yang prinsip dan diutamakan
adalah menjunjung tinggi akhlak mulia.
Paradigma keagamaan pluralistik yang ditempuh oleh
IJABI tidak memandang agama lain dari sudut pandang
agamanya sendiri (Islam), yang mengakibatkan penilaian
kriteria kebenaran iman dan teologi berdasarkan kebenaran
menurut hati nuraninya. Kebenaran agama dipandang secara
__________________
19 English Dictionary, Oxford, Advanced Learner’s Dictionary, Oxford
University Press, UK, 2000, p. 971.
139
obyektif, benar menurut keyakinan masing-masing penganut
agama dan keyakinannya. Paradigma keagamaan pluralistik
tidak memandang agama sendiri lebih baik (benar) daripada
agama dan keyakinan orang lain.20
Paradigma keagamaan pluralistik memandang agama
lain dari sudut pandang agama tersebut dan menjadikan
kriteria kebenaran iman dan teologi itu menurut perspektif
agama itu sendiri. Para pemikir pluralistik hendak berada
dalam kerangka cara berpikir yang demikian. Tingkat
perbedaannya berada pada pemahaman masing-masing. John
Hick (An Interpretation of Religion, 1989 dan Rainbow of Faiths,
1995) yang memakai dasar filosofis untuk posisi pluralistik,
misalnya, melakukan sebuah terobosan baru yang disebutnya
“sebuah tafsiran religius tetapi tidak konvensional atas
agama-agama dalam keragaman bentuknya”. Menurut Hick,
“filosof agama dewasa ini harus memperhitungkan, tidak
hanya pemikiran dan pengalaman dalam agamanya sendiri,
tetapi pada dasarnya pikiran dan pengalaman agama seluruh
umat manusia”. Hick mendefinisikan agama sebagai “ragam
tanggapan manusia terhadap hal yang transenden”, dan
tanggapan terhadap realitas transenden yang tunggal itu ada
banyak.
Namun keragaman tanggapan itu harus dapat menjawab
perbedaan kepercayaan, pengalaman teologi ajaran, kitab suci,
ritual, tata tertib, etika dan cara hidup kepada agama lain,
dengan tidak mengklaim kebenaran sendiri. Akan tetapi
persoalannya, bagaimana menjelaskan “keragaman jawaban”
itu? Bagaimana menjelaskan perbedaan kepercayaan, bentuk
pengalaman, teologi-ajaran, kitab suci, ritus, tata tertib, etika
__________________
20http://myresponsability.wordpress.com/2008/08/04/mencari-kriteriakebenaran-religius-lintas-agama/
140 dan cara hidup, aturan dan organisasi sosial, dan sebagainya?
Bagaimana
mempertanggungjawabkan
sebuah
klaim
kebenaran yang merupakan dasar berpikir khas agamaagama?
Prinsip pluralitas adalah kesejajaran, toleransi dan saling
melengkapi. Plularitas agama lebih baik daripada satu agama.
Dengan adanya keberagaman akan tercipta kondisi saling
berlomba dalam kebajikan. Sikap toleransi dan saling
melengkapi lebih baik daripada sikap saling berseberangan.
Pluralisme atas dasar toleransi merupakan anugerah dan
kesempurnaan, mengajak pada nilai-nilai cinta, kebaikan dan
keadilan. Dengan nilai-nilai kelebihan yang dimiliki oleh
masing-masing agama, akan tercipta kondisi saling berlomba
dan berperan dalam membangun peradaban.21
Kajian Terdahulu
Tentang IJABI, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama telah melakukan
kajian, yakni;
1. Penelitian yang dilakukan oleh Drs. Wakhid Sugiyarto
berjudul: Ikatan Jama’ah Ahlul Bait. Kajian ini
menghasilkan temuan sebagai berikut:
a. IJABI adalah organisasi keagamaan baru yang
mengembangkan ajaran Islam versi Ahlul Bait, karena
ajaran Islam garis Suni dipandang kurang lengkap
rujukannya. IJABI memandang mayoritas umat Islam
telah meninggalkan ajaran Islam garis Ahlul Bait,
padahal
secara
historis
dan
ilmiah
dapat
dipertanggungjawabkan;
__________________
21
al-Banna, Gamal, Ibid, hal. 34
141
b. IJABI merupakan salah satu icon gerakan Syi’ah di
Indonesia,
meskipun
sesungguhnya
IJABI
mengajarkan semua firqah dan madzhab dan non
sektarian;
c. IJABI mengajak kaum muslim untuk kritis dalam
menerima ajaran Islam dari siapapun dan dari
manapun untuk menghindari kepalsuan dan
kesesatan;
d. Kanwil Departemen Agama Jawa barat dan Kantor
Departemen Agama Kota Bandung belum mengenal
sama sekali eksistensi IJABI.
e. Penelitian ini juga mengemukakan gerakan pluralisme
IJABI, tetapi tidak membahas secara khusus. Fokus
kajiannya adalah pada keorganisasian IJABI.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Drs. H. Umar R Soeroer,
MM (alm) yang berjudul Ikatan Jama’ah Ahlul Bait di
Makassar. Penelitian ini menyimpulkan:
a. IJABI didirikan bedasarkan ketidakrelaan para tokoh
pendiri IJABI, atas hilangnya sumber ajaran kebenaran
Islam, yaitu sumber ajaran Islam yang berasal dari
kalangan Ahlul Bait.
b. Basis IJABI di Makassar terdiri dari anak-anak muda
yang progresif. Ketertarikan anak muda Makassar
(aktivis mahasiswa) bergabung dengan IJABI tidak
terlepas dari persentuhan mereka dengan pemikiranpemikiran revolusioner Iran, seperti Ali Syariati, Thaba
Thabai dan Imam Khomeini yang mereka kaji melalui
forum kajian. Buku-buku pemikir Iran itu berhaluan
Ahlul Bait (Syiah) yang revolusioner, kritis dan pluralis
sehingga memunculkan ketertarikan tersendiri.
142 c. IJABI Makassar dalam melaksanakan berbagai
program bekerjasama dengan berbagai lembaga
eksternal seperti: Universitas Hasanuddin Makassar,
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,
Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (NU), PW
Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia Sulawesi
Selatan, Ikatan Mesjid Mushallah Indonesia Makassar
(IMMIM), melakukan bakti sosial. Selain itu, IJABI juga
membangun kerjasama dengan lembaga: ICAS
Paramadina Jakarta, ICRP Jakarta, LSM OASE Jakarta,
The Jalal Center for The Englightenment (JCE),
Yayasan Muthahari Bandung, Prophetic Philosophy
Center (PPC) Makassar, Akademi Filsafat Lentera
(AFL) Makassar, dll.
d. Masyarakat memandang tidak ada untungnya
mempertentangkan paham Syiah atau bukan Syiah.
Sebagai paham, lebih baik dibiarkan saja. Kepada
masyarakat diserahkan untuk memilih, menerima atau
menolak kehadiran Ikatan Jemaah Ahli Bait Indonesi
(IJABI). Karena belum tentu semua jemaah Ahlul Bait
adalah penganut paham Syiah. Yang jelas mereka
adalah kumpulan orang-orang yang mencintai
keluarga Rasulullah Saw.
3. Penelitian oleh Imam Syaukani, S.Ag, MH tentang Konflik
Sunni-Syi’ah di Bondowoso yang menyimpulkan:
a. Pertama, resistensi terhadap IJABI (khususnya kasus
Jambesari)
merupakan
puncak
akumulasi
ketidaksenangan sebagian masyarakat Bondowoso
terhadap keberadaan Syiah.
b. Kedua, ketidakterusterangan penganut Syiah dan
miskinnya informasi yang benar tentang Syiah
143
membuat sebagian masyarakat menerima begitu saja
informasi negatif tentang Syiah yang dibawa kalangan
anti-Syiah.
c. Ketiga, masyarakat mudah terprovokasi, karena bagi
masyarakat pendhalungan, segala bentuk pelecehan
terhadap agama bila perlu harus dilawan dengan tidak
kekerasan, kendati harus mengorbankan nyawa
sekalipun.
d. Keempat, kurangnya peran mediasi MUI dan
Departemen Agama dalam mengayomi anggota
masyarakat yang berbeda keyakinan, bahkan ironisnya
ditengarai ikut menyebarkan virus kebencian terhadap
penganut Syiah.
Beberapa kajian di atas juga membahas masalah
pluralisme, dan gerakan dakwah yang dilakukan oleh IJABI
dengan strategi ini. Namun, secara spesifik dalam ketiga
penelitian tersebut tidak dijelaskan lebih spesifik mengenai
seluk beluk dakwah pluralistik, sasaran-sasarannya, sarana,
obyek kegiatan dakwahnya dan sebagainya. Oleh karena itu,
penelitian ini hendak menyorot masalah dakwah pluralistik
yang dikem-bangkan oleh IJABI dan mengetahuinya lebih
mendalam.
Sistematika Pembahasan
Kajian ini disusun berdasarkan sistematika pembahasan
berikut ini: Bab Pertama, adalah bab Pendahuluan. Pada bab ini
disajikan latar belakang masalah yang memuat alasan memilih
judul penelitian dan fokus penelitian yang diformulasikan
dalam rumusan masalah. Dipaparkan pula metode penelitian,
kerangka teoritik, dan sistematika pembahasan. Bab Kedua,
sekilas IJABI dan Dakwah Pluralistik. Pada bab ini disajikan
karakteristik IJABI dan dakwah plural yang digeluti oleh
144 IJABI, dianggap dapat membantu memperjelas hasil
penelitian. Bab Ketiga, alasan mengapa resistensi itu terjadi.
Keempat, dakwah pluralistik perspektif IJABI yang merupakan
hasil analisis aktivitas dakwah IJABI dengan menggunakan
konsep pluralisme. Juga menjelaskan wacana Syiah dan IJABI
di Indonesia sejak kemunculanya hingga fase perkembangan
dan pengiriman kader pelajar ke Qom, Iran. Bab kelima adalah
Penutup berisi kesimpulan, yang merupakan temuan
penelitian, dan saran-saran.
145
146 BAB II
SEKILAS IJABI DAN DAKWAH
PLURALISTIK
Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)
Sekilas Sejarah Pendirian
O
rganisasi ini dideklarasikan pada tanggal 1 Juli 2000,
bertempat di Gedung Merdeka Bandung. IJABI
berakta Notaris di Bandung pada hari Senin, 26 Juni
2006 di hadapan Notaris Erny Kencanawati, SH.MH. Sebagai
tokoh pendiri IJABI adalah Dr. H. Djalaluddin Rahmat, M.Sc,
dan Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Ing. Dalam acara deklarasi
ini dihadiri oleh Gus Dur yang waktu itu masih menjabat
sebagai Presiden RI.22
Visi, Misi dan Karakteristik
Visi IJABI adalah menghimpun para pecinta Ahlulbait
(as) apapun madzhabnya. Sedangkan misi yang diemban
adalah: pertama, pencerahan pemikiran Islam; dan kedua,
pemberdayaan mustadh’afin. Pencerahan pemikiran Islam
meliputi; a) memperkenalkan ajaran Ahlul Bait (as); b)
membantah secara intelektual argumentasi yang menyerang
Ahlul Bait (as); c) menyediakan wahana untuk studi kritis
tentang ilmu-ilmu Islam; d) mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan Islam; e) melakukan penelitian dan kajian tentang
ajaran dan masyarakat Islam.
Misi
pemberdayaan
mustadh’afin
meliputi;
a)
mempersatukan para pengikut Ahlul Bait (as); b) membangun
__________________
22 Sugiarto, Wakhid, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2008, hal. 13.
147
perekonomian masyarakat Ahlul Bait (as); c) menyediakan
bantuan kepada mereka yang membutuhkan; d) memberikan
bantuan hukum kepada para pengikut Ahlul Bait (as); e)
meningkatkan kekuatan politik Ahlul Bait (as).
Karakteristik yang dibangun oleh IJABI adalah; a) tidak
berpolitik; b) non-sektarian; c) mengutamakan akhlak; d)
menjunjung persaudaraan; dan e) mencerahkan pemikiran.
Kepengurusan Organisasi
Kepengurusan organisasi IJABI terdiri dari Dewan Syuro,
Tanfidziyah, Sekjen dan Bendahara. Sebagai Ketua Dewan
Syuro adalah KH Jalaluddin Rakhmat. Sedangkan yang
duduk di Ketua Tanfidziyah adalah H. Furqon Bukhori.
Secara hierarki, kepengurusan dari tingkat pusat hingga
daerah adalah Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus
Daerah, dan Pengurus Cabang. Organisasi ini, di dalam negeri
memiliki 29 Koordinator Wilayah, 83 pengurus daerah, 145
pengurus cabang. Sedangkan di luar negeri perwakilan ada di
Iran, Maroko, Mesir dan Saudi Arabia. Jumlah anggota
seluruhnya adalah 2,5 juta orang.23
Program Kaderisasi
Masalah kaderisasi merupakan masalah yang sangat
penting dan harus diperhatikan bagi kelangsungan sebuah
organisasi. IJABI sangat intensif melakukan pembinaan para
kader, terutama kader-kader yang memiliki loyalitas dan
kualitas SDM yang dapat diandalkan. Pendidikan kader
dilakukan melalui pembinaan mental intelektual yang
dilakukan secara berkala mingguan, bulanan dan tahunan.
Secara terstruktur, IJABi tidak membuka lembaga pendidikan
kader dengan kurikulum doktrin IJABI. Namun, IJABI
mendorong para kader yang memiliki kualitas SDM untuk
__________________
23
148 Dikutip dari “Profile IJABI 2000-2007”.
melanjutkan pendidikan tinggi. Khusus pengiriman kader
IJABI ke Iran, wujudnya adalah bantuan rekomendasi
pimpinan IJABI yang bertujuan memudahkan para kader
secara teknis dapat belajar di Iran, sedangkann persoalan
finansial diserahkan kepada masing-masing kader.24
Pembinaan kaderisasi seluruh Indonesia secara terjadwal
dilakukan 3 bulan sekali, yang disebut konsolidasi bertempat
di Jakarta. Agenda pertemuan 3 bulan itu adalah training
keagamaan; training mengenai pupuk organik; trai ning
pengembangan proyek sosial dan proyek pem bangunan
ekonomi lainnya.25
Bekerja
sama
dengan
Depdiknas,
IJABI
menyelenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM),
salah satu PKBM yang dinilai sukses oleh Diknas berlokasi di
Purwokerto.26
Paham Keagaamaan yang Dikembangkan
Madzhab Pemikiran
Teologi
Secara teologi, IJABI mengikut faham Syi’ah (faham
Ahlul Bait) golongan Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah dan Isma’
iliyah. Mayoritas anggota IJABI adalah Syi’ah Imamiyah. Tapi
IJABI membuka kesempatan kepada siapa saja, tidak harus
mengikuti madzhab mayoritas ini. Karena sifat IJABI yang
pluralistik menjadikannya dapat menerima siapa saja.27
__________________
Wawancara dengan Furqan Bukhori, Ketua Umum IJABI.
Wawancara dengan KH. Jalaluddin Rakhmat.
26 Wawancara dengan Furqan Bukhori
27 Wawancara dengan KH. Jalaluddin Rakhmat. Sebagai contoh, pengurus
IJABI wilayah Bali, sekretarisnya adalah orang Hindu, yang terpenting ia mencintai
Imam Ali.
24
25
149
Moral
Landasan moral dakwah IJABI berdasarkan pada
tuntunan al-Hadits al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagaimana
yang tercantum dalam salah satu karakteristik IJABI yakni
menjunjung persaudaraan dan non-sektarian. IJABI memiliki
landasan moral untuk mengajak setiap orang dari apapun
golongan dan madzhabnya menjalankan agama sebagaimana
diajarkan oleh para imam Ahlul Bait. Sebagai sesama umat,
IJABI berupaya memberikan perhatian pada mustadh’afin dan
membantu mereka. Karena jumlah mustadh’afin di Indonesia
adalah mayoritas.
Madzhab Keagamaan
Praktek Ibadah
Faksi Syi’ah anggota IJABI dalam praktek ibadah terbagi
dalam tiga (3) madzhab besar, yakni: a) Syi’ah Ima
miyah/Ja’fariah/Itsna’asyariyah; b) Zaidiyah; dan c) Isma’
iliyah. Secara rutin anggota IJABI melakukan do’a Kumayl
dan Jausyan Kabir.28 Anggota IJABI (mayoritas Syi’ah
Imamiyah), mengambil referensi fiqih ibadah kepada Imam
Ali Khamaini Iran.29
Mayoritas anggota IJABI berasal dari Arab dan non-Arab
mengikuti madzhab Syi’ah Imamiyah. Sedangkan pengikut
Zaidiyah kebanyakan adalah warga Syi’ah Indonesia
keturuhan Arab. Syi’ah Zaidiyah terbilang hampir mirip
dengan madzhab Sunni. Syi’ah Ismailiyah dianut oleh warga
IJABI Bali, mereka kebanyakan keturunan India.30
Sebagaimana dipaparkan oleh Ketua Umum dan Ketua
Dewan Syuro, Syi’ah yang dianut oleh IJABI tidak
__________________
Wawancara dengan Ust. Miftah Fauzi Rakhmat dan Babul Ulum.
Wawancara dengan Furqan Bukhori
30 Wawancara dengan KH. Jalaluddin Rakhmat.
28
29
150 sepenuhnya mengikuti Syi’ah Timur Tengah. Contohnya,
IJABI melarang warganya untuk mut’ah meskipun mut’ah
adalah doktrin Syi’ah.
Kegiatan Sosial Keagamaan
Kegiatan keagamaan yang rutin diselenggarakan oleh
IJABI dengan melibatkan masyarakat lingkungan, diantaranya
pemotongan hewan kurban, buka puasa bersama, pengajian
rutin menjelang buka puasa dan pengajian mingguan.31
Perayaan hari-hari besar seperti ’Asyuro, Kegiatan keagamaan
bersama pemeluk agama lain seperti perayaan Natal bersama
yang diselenggarakan di gereja Kota Bandung.32
Sementara itu, kegiatan sosial dengan melibatkan umat
(Kristen, Katolik, Budha) antara lain bakti sosial, membagikan
sembako, membagikan pakaian pantas pakai, khitanan massal,
penyuluhan kesehatan, pemeriksaan medis dan pengobatan
gratis, pemberian makanan padat gizi dan bersih
lingkungan.33
Dakwah Pluralistik
Prinsip, Metode dan Aktivitas Dakwah
Penganut agama apapun baik Islam, Kristen dan agamaagama lain di dunia ada yang berfaham eksklusif, yang
beranggapan bahwa hanya orang yang memeluk agamanya
yang masuk surga. Di luar agamanya, tidak akan masuk
surga. Cara pandang demikian berdasarkan pada benar dan
salah, hitam dan putih.34
Islam datang sebagai agama besar secara kuantitas, namun
di dalamnya terdapat berbagai madzhab. Dua madzhab
__________________
Wawancaraa dengan Sukardi, bagian kepemudaan IJABI Bandung.
Wawancara dengan Harmonis, Sekretaris IJABI Jawa Barat.
33 Profil IJABI tahun 2000-2007.
34 Wawancara dengan Ust. Ma’mun, Ketua IJABI Jawa Barat.
31
32
151
terbesar dalam Islam adalah Sunni dan Syi’ah. Masing-masing
bila bersikap eksklusif, dirinya paling benar akan masuk surga
dan yang lain salah akan masuk neraka, sebetulnya hal
demikian itu telah mengecilkan kelompok besar umat Islam.35
Metode dakwah yang digunakan adalah dengan
pendekatan kemanusiaan, kesamaan sebagai makhluk Tuhan.
Manusia di depan Tuhan memiliki kedudukan yang sama,
kebutuhan yang sama dan hajat yang sama yaitu hajat
membutuhkan dan menyembah Tuhan.
Kegiatan dakwah biasanya dilakukan bertepatan dengan
momentum-momentum tertentu, seperti pada perayaan harihari besar umat beragama, perayaan hari-hari nasional, pada
saat ada musibah dan sebagainya. Contoh kegiatan yang
pernah dilakukan adalah bakti sosial oleh Pengurus Wilayah
Fathimiyah Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia Jawa Barat.
Kegiatan bakti sosial ini dilaksanakan di Pondok Pesantren
Al-Mukarromah Pasirhonje Padasuka Bandung pada 27
Februari 2005. Kegiatan ini melibatkan 5 orang dokter, 5 orang
perawat, 7 orang apoteker, 3 orang asisten apoteker, bagian
pendaftaran 3 orang dan 12 orang bagian umum. Selain
kegiatan pengobatan, juga dibagikan pakaian bekas layak
pakai kepada pasien yang berobat di kegiatan ini. Jumlah
pasien yang ikut dalam kegiatan ini sebanyak 260 orang.
Tenaga medis didatangkan dari Rumah Sakit Baromeus
Bandung RS. Baromeus Jl. Juanda No 100 Bandung.
Kegiatan serupa juga dilaksanakan di Dusun Singkup
Nanggerang Kecamatan Tanjungsari Sumedang Jawa Barat
pada tanggal 1 Mei 2005. Jumlah pasien mencapai 380 orang.
Dokter yang terlibat sebanyak 4 orang, perawat sebanyak 5
orang dan apoteker 1 orang. Para pasien memberikan kesan
yang sangat baik dan memunculkan kegembiraan mereka
__________________
35
152 Ibid.
seraya mengharapkan kegiatan ini terus dilaksanakan tiap
tahun.
Pelaku Dakwah
Para pelaku dakwah IJABI adalah seluruh anggota IJABI
dari apapun latar belakangnya, dengan melakukan kerjasama
dengan pihak-pihak yang memiliki kesamaan ide dengan
IJABI. Pada prinsipnya medan dakwah sangat luas, sehingga
bagi IJABI sangat penting merangkul siapa saja yang bisa
diajak untuk mengembangkan dakwahnya, terutama pihakpihak yang mencintai Ahlul Bait, apapun madzhabnya. Para
pecinta Ahlul Bait tersebut tidak harus masuk menjadi
anggota IJABI.
Sarana Dakwah
Sarana dakwah yang ditempuh oleh IJABI adalah
dengan cara pemberdayaan umat di beberapa sektor, seperti
pendidikan, ekonomi, budaya. Sektor pendidikan, IJABI
bekerjasama dengan pemerintah mendirikan Pusat Kegiatan
Belajar Mengajar, dan ini tergolong sukses. Juga
menyelenggarakan training-training yang memberikan
wawasan keilmuan. Perbaikan ekonomi IJABI menggandeng
beberapa instansi yang memiliki keahlian di bidangnya,
seperti cara berternak, cara membuat pupuk organik dan lain
sebagainya.
153
154 BAB III
DAKWAH PLURALISTIK IJABI
Dakwah Pluralistik Perspektif IJABI
A
ktivitas dakwah pluralistik IJABI merupakan sebuah
warna dakwah yang dikembangkan oleh kelompok
ini. Memang, telah banyak ragam dakwah dan
keberagaman itu adalah khazanah yang bernilai mahal artinya
bagi eksistensi umat Islam. IJABI sangat mafhum bahwa
kemajemukan (pluralitas) merupakan sunnatullah yang
tersurat dalam al-Qur'an. Pluralistik dakwah IJABI juga
terinspirasi oleh arus pemikiran cendekiawan muslim
kontemporer, salah satunya adalah seorang tokoh dari Mesir,
Gamal al-Banna.36
Gamal Al Banna juga dikenal sebagai seorang tokoh
pembaruan fikih di Mesir. Pembaruan yang dilakukan Gamal
di bidang fiqih dipandang kontroversi. Pembaruan fikih telah
cukup lama menggelegar di dunia Islam. Pada bulan
Desember 1995 al-Banna menggulirkan wacana pembaruan
fikih dengan diluncurkan buku yang berjudul Nahwa Fiqhin
Jadid (menuju fikih baru) jilid pertama. Kemudian disusul
dengan jilid kedua (1997), dan terakhir jilid ketiga (1999).
Langkah Gamal langsung “menusuk” jantung persoalan; yaitu
dasar hukum Islam. Sebagaimana dimaklumi, dasar hukum
Islam yang populer selama ini adalah; al-Qur’an, Hadis, Ijma’
__________________
36 Gamal al-Banna adalah adik tokoh pendiri gerakan Islam sayap kanan
Ikhwanul Muslimin di Mesir. Menurut Jalaluddin Rakhmat, Gamal al-Banna itu
berubah dari seorang eksklusif menjadi pluralis. (Lihat: Jalaluddin Rakhmat: Islam dan
Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006. hal. 19).
155
dan Qiyas. Dengan buku ini Gamal merombak dan menata
ulang dasar hukum Islam di atas menjadi; Akal, Nilai-nilai
Universal Alquran, Sunnah dan Adat Istiadat.37
Konsep pluralitas – dalam bahasa Arab yaitu
ta’addudiyah – adalah suatu hal yang wajar (sunnatullaIh)
sebagaimana digali oleh al-Banna berdasarkan kenyataan
pluralistik umat Islam, dan itu didasarkan pada konsep alQur'an. Al-Qur'an menyeru dan memberikan pemahaman
otentik mengenai pluralisme. Gamal al-Banna mengulas
masalah pluralitas dengan berpijak dari konsep dan prinsip
penting dalam Islam, yaitu tauhid. Dengan konsep tauhid itu,
Gamal al-Banna menyatakan bahwa selain Allah adalah nisbi
dan plural. Hanya Allah yang Esa. Keyakinan demikian
menurut Gamal al-Banna dapat menumbuhkan kesadaran
bahwa kemutlakan hanya milik Allah, dan yang selain-Nya
adalah plural. Ketauhidan yang benar akan membawa
kesadaran terhadap pluralitas.
Dengan mengakui keesaan Allah dan pluralitas dalam
al-Qur'an, Gamal al-Banna ingin mempertegas bahwa
mengakui adanya pluralitas di dalam masyarakat berarti
penegasan kepada prinsip utama dalam Islam, yakni tauhid
kepada Allah. Pengakuan terhadap pluralitas berarti
pengakuan terhadap adanya masyarakat (Muslim) yang tidak
berwajah tunggal, monoton, dan stagnan, melainkan plural
dan beraneka ragam.38
Sebagai sunnatullah, pluralitas manusia tidak akan bisa
dihilangkan sampai kapan pun hingga akhir zaman. Dalam
pluralitas
terdapat
makna
perbedaan,
persamaan,
__________________
http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=6&id=482.
Azyumardi Azra dalam pengantar buku: Pluralitas dalam Masyarakat Islam,
karya Gamal al-Banna, (terj) MataAir, 2006, hal. viii.
37
38
156 keberagaman yang sangat fitrah, universal dan abadi. Tanpa
adanya pluralitas, manusia tidak akan mungkin meraih
kesuksesan dan bahkan ia tidak mungkin dapat menjalankan
kehidupan.39 Pluralitas merupakan karunia yang tetap
memiliki nilai-nilai positif dan akan memperkaya sikap hidup
bersama dan kompetisi yang sehat sebagaimana dalam alQur'an, yaitu berlomba-lomba dalam kebajikan.
Doktrin pluralis menyatakan bahwa semua pemeluk
agama memiliki peluang yang sama untuk memperoleh
keselamatan dan masuk surga berdasarkan kriteria masingmasing.40 Dalam buku Gamal al-Banna dinyatakan:
”Keberanian luar biasa dalam merampas wewenang Allah!
Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah
mereka yang menenggelamkan manusia ke dalam neraka?
Atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu?
Bagaimana kesadaran mereka atas rahmat Allah yang tidak
terbatas yang membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus
lipat kebaikan? Kasih sayang seorang ibu hanyalah satu dari
seratus kasih sayang-Nya. Dia tidak akan menenggelamkan
manusia ke dalam neraka, kecuali manusia-manusia
pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di
muka bumi”.41
__________________
Ibid.
Rakhmat, Jalaluddin: Islam dan Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006. hal. 20
41 al-Banna, Gamal, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, Menara, Bekasi, 2006,
39
40
hal. 41.
157
Metode dakwah plural ini sebagai metode dakwah yang
dilakukan oleh IJABI pada saat berhadapan dan
berkomunikasi dengan agama dan aliran di luar Islam dan
aliran kepercayaan. Sedangkan prinsip dakwah yang
dilakukan pada saat berhadapan dengan internal umat Islam.
dengan mendahulukan akhlak di atas fiqih
Gerakan dakwah pluralistik IJABI tidak mengusung
pluralisme agama yang diusung oleh kelompok Islam Liberal.
Antara pluralisme dakwah IJABI dan isyu pluralisme agama
Islam Liberal terdapat perbedaan yang mendasar.42 IJABI
tidak
sepakat
dengan
gagasan
pluralisme
agama
(menyamakan kedudukan semua agama). Pluralisme yang
dikembangkan saat ini telah sampai ke level operasional ranah
kehidupan sosial, seperti diperbolehkannya kawin beda
agama.43
__________________
Wawancara dengan H. Furqan bukhori.
Husaini, Adian,. Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang tegas dan Tidak
Kontroversial, al-Kautsar, Jakarta, 2005, hal. 35.
42
43
158 BAB IV
WACANA SYIAH DAN IJABI
Klasifikasi Kelompok Umat Islam
S
ebelum sampai pada pembicaraan mengenai
Syi’ah di Indonesia, terlebih dahulu perlu
diketahui kelompok-kelompok yang ada di tubuh
umat Islam. Merujuk pada pendapat Syaikh Abdul Halim
Mahmud,44 kelompok-kelompok umat Islam terbagi menjadi
dua (2) kelompok besar, yakni ahzab diniyah (partai-partai
politik) dan firaq diniyah (kelompok-kelompok keagamaan).
Ahzab diniyah tidak berkaitan dengan persoalan akidah
kecuali hanya sepintas. Sedangkan firaq diniyah tidak berkaitan
dengan persoalan-persoalan pemerintahan kecuali sepintas.
Partai politik masa silam adalah Syi’ah dan Khawarij,
sedangkan kelompok keagamaan (sesuai dengan urutan masa)
adalah Musyabbihah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan aliran Ibnu
Taimiyah (salaf). Syaikh Abdul Halim Mahmud dan Syaikh
Muhammad al-Husain al-Kasyif al-Ghitha sepakat bahwa
imamah merupakan ciri utama yang membedakan dengan
kelompok lain.45
Ahl as-Sunnah wal Jama’ah
__________________
44 Syaikh Abdul Halim Mahmud adalah mantan pemimpin al-Azhar yang
sunni dan sufi. Pendapat beliau mendukung Syaikh Muhammad al-Husain al-Kasyif
al-Ghitha, tokoh kenamaan Syi’ah.
45 Shihab, Muhammad Quraish, Sunnah-Syi’ah, Bergandengan Tangan.
Mungkinkah? Lentera Hati, Ciputat, 2007, hal. 54
159
Sunnah artinya tradisi, dan Ahl as-Sunnah berarti orangorang yang konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad
SAW dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta para
sahabat. Tidak dapat dikatakan secara pasti, kelompokkelompok yang termasuk Ahl as-Sunnah. Ada yang
berpendapat bahwa Ahl as-Sunnah muncul sebagai reaksi atas
paham Mu’tazilah pimpinan Washil bin Atha. Selain
Mu’tazilah terdapat Maturidiyah (Samarkand dan Bukhara)
yang tradisionalis dan lebih dekat dengan Asy’ariyah.
Maturidiyah dan Asy’ariyah akhirnya disebut dengan Ahl asSunnah.
Syaikh al-Azhar Salim al-Bisyri pernah mengirimkan
surat kepada tokoh Syi’ah Abdul Husain Syarafuddin alMusawi. Ditulis di dalam surat itu bahwa Ahl as-Sunnah
adalah golongan terbesar kaum muslimin yang mengikuti
aliran Asy’ari dalam urusan akidah dan keempat imam
madzhab (Malik, Syafi’i, Ahmad dan Hanafi) dalam urusan
syari’ah.46 Sedangkan menurut Muhammad ‘Imarah – guru
besar Universitas al-Azhar Kairo Mesir – Ahl as-Sunnah
adalah:
”Mayoritas umat Islam yang anutannya menyatakan
bahwa manusia diciptakan Allah dan bahwa baik dan
buruk adalah karena Qadha dan Qadar-Nya. Mereka
enggan membicarakan pergulatan/perselisihan para
sahabat Nabi menyangkut kekuasaan. Mereka juga
memperurutkan keutamaan khulafa’ ar-Rasyidin sesuai dg
urutan masa kekuasaan mereka. Mereka membaiat siapa
yang memegang kekuasaan, baik penguasa yang taat
maupun yang durhaka dan menolak revolusi dan
pembangkangan sebagai cara untuk mengubah keadilan
__________________
46
160 Ibid. hal. 58.
dan penganiayaan. Mereka berpendapat bahwa rizki
bersumber dari Allah, baik rizki yang halal maupun yang
haram”.47
Syi’ah
Sebenarnya kelompok Syi’ah juga menamai diri mereka
dengan Ahl as-Sunnah, karena mereka juga mengikuti
tuntunan Sunnah Nabi sebagaimana kewajiban umat Islam
menjadikan Nabi sebagai panutan. Karena tanpa mengikuti
Nabi, niscaya keislaman seseorang akan menjadi sia-sia.
Kata Syi’ah secara etimologi berarti pengikut, pendukung,
pembela, pecinta yang semuanya mengarah kepada makna
dukungan kepala individu dan kelompok tertentu. Menurut
Jawad Maghniyah – ulama Syi’ah – menyatakan bahwa Syi’ah
adalah kelompok yang meyakini ketetapan Nabi mengenai
khalifah pengganti beliau dan telah menunjuak Ali.48 Definisi
‘Ali Muhammad al-Jurjani – seorang sunni – penganut Asy’ari
menyatakan bahwa Syi’ah adalah mereka yang mengikuti
Sayyidina ‘Ali r.a. dan percaya bahwa beliau adalah Imam
sesudah Rasul SAW dan percaya bahwa imamah tidak keluar
dari beliau dan keturunannya.49 Pengertian Syi’ah yang
terakhir tertuju pada Syi’ah Itsna’asyariyah (Syi’ah mayoritas).
Sejarah Munculnya Syiah
Pada waktu Rasulullah SAW wafat, sebagian para
sahabat Muhajirin dan Anshor berkumpul di Saqifah untuk
membicarakan pengganti Rasulullah SAW dalam urusan
pemerintahan. Wahyu kenabian memang telah putus seiring
wafatnya Nabi, namun urusan negara harus dicari
__________________
Ibid, hal. 59.
Maghniyah, Muhammad Jawad, Asy-Syi’ah wa al-Hakimun, Percekan alAhliah Beirut, cet. II, 1962, hal. 14.
49 ‘Ali bin Muhammad al-Jurjani, At-Ta’rifat, Dar al-Kitab al-Mashry, Cairo,
cet. I, 1991, hal. 142.
47
48
161
penggantinya. Pada saat itu, Umar bin Khatab mengusulkan
agar Abu Bakar al-Shiddiq ditunjuk sebagai Khalifah.
Sebagian besar sahabat menyetujuinya, maka untuk pertama
kali sepeninggal Rasullullah, Abu Bakar dibaiat untuk
menjadi khalifah. Peristiwa tersebut berlangsung saat jenazah
Nabi belum dimakamkan. Perbincangan politik di Saqifah ini
mengundang kritik, karena urusan jenazah Nabi belum
dituntaskan, tetapi umat Islam sudah membicarakan
kekuasaan. Peristiwa Saqifah ini menjadi cikal bakal
tumbuhnya benih perpecahan politik-teologis umat Islam,
dalam dua faksi besar: Sunni dan Syi’ah.50 Bagi kalangan
Syiah, kesepakatan politik di Saqifah itu merupakan
penyerobotan atas hak Ali bin Abi Thalib, yang dipandang
sebagai pewaris yang sah kepemimpinan Islam (imamah)
pasca-Rasulullah. Bagi kalangan Sunni, peristiwa di Saqifah
itu jadi obyek kajian menarik untuk mendiskusikan
mekanisme pengangkatan pemimpin dalam Islam.
Dari persoalan politik, lambat laun persoalan Syi’ah
merambah ke persoalan akidah dan madzhab fiqih. Semula
Syi’ah menganggap Ali bin Abi Thalib yang paling berhak
menjadi khalifah setelah Nabi sesuai dengan petunjuk Allah
melalui Al-Qur'an dan hadits Rasulullah. Syi’ah juga
mengakui bahwa Rasulullah telah menunjuk dua belas
khalifah setelahnya. Mereka seluruhnya adalah keturunan Ali
bin Abi Thalib. Imam bagi Syi’ah memiliki dimensi teologis,
sosial politik dan hukum. Para imam adalah orang yang
sempurna dan terpilih sejak di dunia dan akhirat.
Sekte-sekte Syi’ah
Sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu,
terdapat sekte-sekte dalam Syi’ah. Kemunculan sekte-sekte ini
berlatar belakang perbedaan pendapat tentang beberapa hal
__________________
50
162 http://www.gatra.com/artikel.php?id=100485.
yang dipandang prinsipil. Sekte-sekte Syi’ah yang besar
diantaranya Ghulat, Imamiyah, Isma’iliyah dan Zaidiyah.
Masing-masing kemudian juga pecah menjadi beberapa sekte
kecil.
Aqidah Syi’ah
Dalam Sunni, rukun iman adalah pertama, iman kepada
Allah; kedua, iman pada para malaikat; ketiga, iman pada
Rasul-rasul-Nya,; keempat, iman pada kitab-kitab-Nya; kelima,
iman pada hari kiamat; keenam, iman pada qadla dan qadar.
Sedangkan dalam keyakinan Syi’ah, rukun iman, yaitu;
pertama, ma’rifatullah: iman kepada Allah, pada para malaikat
dan kitab-kitab-Nya; kedua, keadilan Allah: qadla dan qadar;
ketiga, Nubuwah; keempat, Imamah; kelima, hari pembalasan.
Ajaran Sunni mengenal rukun Islam yaitu; syahadat,
sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan rukun Islam menurut
Syi’ah adalah ma’rifatullah, shalat, puasa Ramadhan, zakat
dan khumus, haji dan jihad membela agama (dengan jiwa dan
harta). Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang, Syi’ah
mempercayai konsep imamah, raja’, taqiyah, dan badâ.
Imamah
Konsep imamah yakni mempercayai Ali bin Abi Thalib
merupakan yang paling berhak menggantikan Nabi sebagai
Imam (khalifah) daripada para sahabat. Syi’ah menuduh para
sahabat telah merampas hak itu dari Imam Ali. Syi’ah juga
meyakini bahwa Imam Ali dan keturunannya (Ahlul Bait)
adalah Imam yang ma’shum dan periwayatan hadits dari para
imam ma’shum ini lebih utama daripada Hadits yang
diriwayatkan dari jalur para sahabat. Tidak jarang Syi’ah
menunjukkan kebencian kepada para sahabat Nabi dan ini
yang sering menjadi pemicu konflik antara Ahl as-Sunnah dan
Syi’ah. Konsep imamah di kalangan Syi’ah Imamiyah
berdasarkan pada kaidah perurutan dari ayah ke anak yang
163
terbesar kecuali pada Imam Hasan dan Imam Husein. Walau
demikian, imamah tidak berpihak pada keturunan Imam
Hasan, tetapi hanya pada keturunan Imam Husein.
Berikutnya adalalah Imam Ali Zainal Abidin, lalu pada
putranya Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq. Putera Imam
Ja’far yang terbesar adalah Ismail, tetapi karena Ismail wafat
saat ayahnya masih hidup, maka ia menunjuk putranya yang
lain, yaitu Musa bin Ja’far (al-Kadzim) menjadi Imam
menggantikannya bila ia wafat. Kaidah ini terlanggar, karena
jika diterapkan maka setelah Imam Ja’far adalah Ismail. Jika
Ismail meninggal, maka sebenarnya putera Ismail yang
menjadi Imam, tetapi berpindah ke Musa bin Ja’far (alKadzim). Di sinilah munculnya Syi’ah Ismailiyah yang
mempercayai bahwa Imam yang ketujuh adalah Ismail bin
Ja’far Ash-Shadiq.51
Doktrin Ahl as-Sunnah hampir mirip dengan Mu’tazilah
mengenai masalah imamah dan berbeda dengan Syi’ah
Itsna’asyariah.52
Syi’ah
Ahl as-Sunnah
Mu’tazilah
Itsna’asyariyah
a. Imamah termasuk a. Imamah
tidak a. Imamah masalah
masalah ushul dan
termasuk
ushul
furu’iyah, bukan
rukun iman.
atau rukun iman,
ushul.
tetapi
masalah
furu’iyah.
b.Imamah bukan
b.Imamah
b.Urusan imamah
urusan umum,
ditetapkan secara
diserahkan kepada
tetapi ditunjuk
musyawarah,
umat, oleh umat dari
untuk umat.
pemilihan, ikhtiar,
umat dan dipilih
__________________
51 Shihab, Muhammad Quraish, Sunnah-Syi’ah, Bergandengan Tangan.
Mungkinkah? Lentera Hati, Ciputat, 2007, hal.172
52 Zidny, Irfan, Bunga Rampai Ajaran Syi’ah, kumpulan makalah dalam
“Mengapa Kita Menolak Syi’ah”, LPPI, Jakarta, 1998, hal. 43-45.
164 pendapat dan
secara musyawarah
ijma’, bukan
(ijma’ dengan ikhtiar
ditunjuk.
dan pendapat).
c. Para imam adalah c. Imam tidak
c. Para imam adalah
ma’shum secara
disyaratkan
manusia biasa.
mutlak.
ma’shum dan
tidak tersembunyi.
d. Imamah sistem
d. Imamah sistem
d. Imamah sistem
kepemimpinan
kepemimpinan
kepemimpinan
kharismatik.
publik,
publik, kharismanya
kharismanya
karena kredibilitas
karena kredibilitas
imam.
imam.
e. Imam adalah
e. Imam memiliki
e. Orang biasa yang
manusia luar biasa
kedalaman ilmu
memiliki kapabilitas,
yang tidak
pengetahuan
berpegang pada aldimiliki oleh
agama,
Qur’an dan Hadits
manusia biasa,
kemampuan dan
dapat menjadi
tapi ditentukan
sempurna anggota
imam.
Tuhan.
badan.
Raj’ah
Doktrin raj’ah artinya secara bahasa adalah kembali.
Sedang menurut kepercayaan Syi’ah, adalah: kembalinya
hidup di pentas bumi ini sejumlah orang yang telah
meninggal dunia. Keyakinan ini muncul pada masa kehadiran
imam ke-12, yakni Imam Mahdi sebelum hari kiamat. Raj’ah
yang dianut oleh Syi’ah Imamiyah yaitu Allah akan
menghidupkan
kembali
Imam
az-Zaman
al-Mahdi,
sekelompok orang dari pengikutnya yang telah meninggal
agar mereka memperoleh keberuntungan karena membela
dan mendukung beliau serta memyaksikan negaranya
dibangun. Allah juga menghidupkan kembali musuh-musuh
beliau agar membalas dendam terhadap mereka. Dengan
demikian mereka meraih kelezatan melalui apa yang mereka
165
saksikan dari hak dan ketinggian kalimat pendukungnya.53
Namun Raj’ah ini tidak menjadi titik penekanan akidah
Syi’ah, karena definisinya yang masih belum terang. Dengan
begitu, pengingkaran pada doktrin ini tidak masuk kategori
pengingkaran (keluar dari agama).
Taqiyah
Taqiyah dari segi bahasa artinya pemeliharaan atau
penghindaran. Sedangkan secara istilah, taqiyah adalah
meninggalkan sesuatu yang wajib demi memelihara diri atau
menghindar dari ancaman atau gangguan. Taqiyah sebenarnya
telah lazim dipakai orang sebagai praktek sembunyisembunyi untuk memperluas ajarannya. Secara umum, Syi’ah
sangat kental dan intens menggunakan taqiyah ini.
Badâ
Badâ secara bahasa artinya penampakan, diketahuinya
sesuatu setelah sebelumnya tidak nampak atau tidak
diketahui. Syi’ah mengakui konsep ini (badâ). Sifat badâ
dinisbahkan dan terjadi pada Allah swt bahwa pengetahuan
Allah terbatas, tadinya diketahui-Nya, namun setelah berlalu
sekian waktu ternyata apa yang Dia ketahui itu keliru.54
Syi’ah di Indonesia
Periode Awal Kedatangan
Pada tanggal 11 Februari 1979 Syah Iran, rezim diktator
Reza Pahlevi tumbang oleh sebuah Revolusi spektakuler yang
dipimpin oleh Ayatullah Khomeini.55 Sejak revolusi itu,
__________________
53 Shihab, Muhammad Quraish, ibid. hal. 186. kalimat tersebut bersumber
dari Bihar al-Anwar yang dinukilnya dari surat as-Sayyid al-Murtadha sebagai
jawaban atas pertanyaan penduduk ar-Ray.
54 Shihab, Muhammad Quraish, ibid. hal. 169.
55 Imam Khomeini berasal dari Kota Khomein, sebuah kota berjarak 349 km
sebelah barat daya Teheran. Khomeini adalah pemimpin spiritual karismatik di mata
kaum Syi’ah Iran dengan gelar Ayatollah Ruhullah.
166 paham Syi’ah merambah ke berbagai Negara. Gema jihad
melawan kemungkaran dari Iran dikumandangkan dan
memperoleh sambutan dan respon positif umat Islam dunia.
Gerakan ekspansi semangat revolusi paham Syi’ah ini ada
yang menyebut sebagai ekspor revolusi. Gerakan ini sempat
memunculkan kekhawatiran sebagian umat Islam, terutama
kalangan Sunni. Gaung revolusi itu pun sampai di Indonesia.
Buku-buku terbitan Iran pun membanjiri Indonesia,
terlebih lagi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Syi’ah yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait kemudian
berkembang pesat. Di beberapa kota di Indonesia seperti
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa
kota yang lain di luar Jawa. Gerakan yang ditempuh oleh
penggiat madzhab Ahlul Bait ini ada yang agresif dan ada
yang lambat. Ada yang secara frontal dan ada yang secara
lembut.
Tujuan
utama
dari
gerakan ini
adalah
memperkenalkan Syi’ah kepada panggung politik dunia
untuk mengakui keberadaan Syi’ah sebagai salah satu aliran
yang sah di dunia Islam.56 Untuk mengetahui apa dan siapa
Syi’ah memang agak sulit, karena salah satu doktrin gerakan
ini (taqiyah) menjadi bagian penting dalam aqidah Syi’ah.57
__________________
56 Abdullah al-Kaff, Thohir, Perkembangan Syi’ah di Indonesia, (bunga rampai:
Mengapa Kita Menolak Syi’ah). Ed. Umar Abduh&Kirtos Away, LPPI, Jakarta, 1998, hal.
55.
57
Abdullah al-Kaff. Ibid. hal. 56. dengan taqiyah, seseorang
memutarbalikkan fakta untuk menutup-nutupi sesuatu keyakinan dan mengutarakan
sesuatu yang tidak diyakininya. Keharusan taqiyah ini disandarkan pada sikap Imam
Ja’far al-Shadiq (imam ke 6) yang menyatakan: “Taqiyah adalah agamaku dan agama
bapak-bapakku, seseorang tidak dianggap beragama bila tidak ber-taqiyah”. (Lih.
Ushulul Kaafi, Juz II, hal. 219). Sedangkan taqiyah menurut Madzhab Sunni
disandarkan pada al-Qur'an dan al-Hadits secara tekstual. Taqiyah tidak wajib
hukumnya, namun ia menjadi mubah pada saat menghadapi kaum musyirikin demi
menjaga jiwa dari siksaan yang menimpa sehingga tidak mudah-mudah ber-taqiyah.
167
Setiap orang Syi’ah harus bertaqiyah di depan siapa saja,
baik orang mu’min (yang bukan madzhabnya) maupun
dengan orang kafir atau ketika kalah beradu argumentasi,
untuk menjaga keselamatannya dan pada saat kondisi
minoritas.58
Periode Pasca Revolusi Iran
Keberadaan Syiah di Indonesia mengalami momentum
sejak terjadinya Revolusi Islam yang dimotori para mullah
pada 1979. Pengaruh ajaran dan pemikiran madzhab Syiah
cukup besar di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini antara
lain dapat dilihat dari marak terbitnya buku-buku karya para
pemikir Syiah, seperti Ali Syariati dan Murtadha Mutahhari,
maupun buku-buku yang mengkaji madzhab Syiah.
Kelompok-kelompok studi yang mengkhususkan diri
pada kajian tentang madzhab Syiah juga bermunculan di
berbagai daerah di Indonesia. Di Bandung, Jawa Barat berdiri
Yayasan Muthahhari..59 Di Pekalongan, Jawa Tengah berdiri
Pesantren al-Hadi yang dipimpin Ahmad Baraqbah, alumni
Qum, Iran. Secara jelas, beliau mengakui bahwa pesantren
yang didirikannya itu adalah pesantren Syiah satu-satunya di
Pekalongan”. Di Bangil, Jawa Timur, berdiri Yayasan
Pesantren Islam (YAPI) secara terbuka menyatakan diri
sebagai penganut madzhab Syiah.
Kantong-kantong Syiah di Jawa Timur yang lain adalah
Surabaya, Situbondo, Malang, Bondowoso, dan Jember.
Alumni YAPI telah tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan,
__________________
Ibid.
Muthahhari adalah nama seorang tokoh Syi’ah terkemuka. Yayasan
Muthahari bergerak di bidang pendidikan. Ust. Miftah membantah kalau Muthahari
dijadikan wadah kaderisasi anggota IJABI, walaupun tidak dapat dipungkiri Kepala
Sekolah dan beberapa orang guru adalah anggota IJABI.
58
59
168 mereka membuka cabang di Sorong dan Ambon. Sementara
itu di Makassar, Sulawesi Selatan, sejak April 1994 berdiri
Yayasan al-Islah, sebuah forum sosial yang secara khusus
mendalami ajaran Syiah. Maraknya penyebaran Syiah ini
tidak hanya berlangsung di pelosok daerah saja, tapi di Jakarta
pun banyak terdapat lembaga kajian Syiah. Sekurangkurangnya terdapat 25 yayasan dan lembaga kajian yang
khusus mengkaji doktrin Syiah.60
Menurut Achmad Alatas – Ketua Yayasan Nuruts
Tsaqolain yang berpusat di Masjid Husainiyyah, Jl. Boom
Lama No. 2 Semarang – menyatakan bahwa Habib Abdul
Kadir Bafaqih, pimpinan Pondok Pesantren al-Khairat Bangsri
Jepara sebagai ulama yang pertama kali terang-terangan
menahbiskan diri sebagai penganut Syiah di Jawa Tengah. Ia
sebelumnya
bermadzhab
Sunni.
Kemudian
mulai
mengajarkan
akidah
Syiah
kepada
santri-santrinya.
Konsekuensi dari pilihan itu, sebagian santri pindah ke lain
tempat. Tapi dari para santri yang bertahan, faham Syiah
kemudian berkembang.61
Yayasan/lembaga organisasi Syi’ah di Indonesia di
antaranya, Yayasan Pesantren Islam (YAPI) Bangil Jatim,
Yayasan al-Muntazhar Jakarta, Yayasan al-Jawad Bandung,
Yayasan Mulla Shadra Bogor, Yayasan al-Muhibbin
Probolinggo Jatim, dan Pesantren al-Hadi Pekalongan.
Sedangkan majalah dan bulletin Syiah yang beredar di
Indonesia di antaranya: al-Majalah Yaum al-Quds diterbitkan
oleh Seksi Pers dan Penerangan Kedutaan Iran di Jakarta, al-
__________________
60 A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed). Ulumul Qur’an, No. 4,
Vol. VI, Th. 1995; Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan.
2000. hlm. 33.
61
http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/11/nas07.htm.
169
Majalah al-Mawaddah Forum Komunikasi Ahlul Bait
Indonesia (FKABI), Bulletin al-Jawad, Majalah al-Hikmah,
Yayasan Muthahari Bandung, Majalah al-Musthafa Jakarta,
Bulletin al-Ghadir, Yayasan al-Jawad, Bulletin At-Tanwir
Yayasan Muthahhari dan Bulletin Ibnu Sabil Pekalongan.
Pengiriman Kader Pelajar Ke Qum
Kader-kader yang belajar di Iran tidak dapat dilacak
keberadaannya meskipun oleh KBRI. Mereka belajar di Iran
bukan di perguruan tinggi, melainkan di pondok-pondok
milik para Mullah (hauzah). Keberangkatan para kader ke Iran
hingga kini tidak melalui prosedur resmi.62 Menurut
Jalaluddin Rakhmat, keberangkatan kader-kader Syi’ah ke
Iran tidak melalui prosedur resmi seperti beasiswa dari
Pemerintah Iran.63
Lembaga yang paling menonjol telah mengirimkan
santri-santri ke Iran yakni Pesantren YAPI Bangil dan
Pesantren al-Hadi Pekalongan. Karena keberangkatan mereka
ke Qum sebagai kader, maka sepulangnya dari Iran, para
kader itu membuka pengajian-pengajian Syi’ah di berbagai
tempat atau ditugaskan ke beberapa wilayah di Indonesia
seperti Ambon, Manado, Gorontalo, Sorong, Papua, Maluku,
Kupang dan Flores dengan misi menyebarkan faham Syi’ah.64.
Faksi-Faksi Syi’ah di Indonesia
Ketergabungan dengan organisasi atau tidaknya, Syi’ah
di Indonesia secara garis besar dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar; yaitu:
__________________
62 Abdullah al-Kaff, Thohir. Ibid. hal. 67 mengutip Jurnal Ulumul Qur’an No
4 vol. VI, tahun 1995 hal. 102.
63 Jurnal Ulumul Qur’an No 4 vol. VI tahun 1995, dalam wawancara dengan
Jalaluddin Rakhmat.
64 Abdullah al-Kaff, Thohir. Ibid. hal 68.
170 Syi’ah tergabung dalam IJABI
Ketika IJABI dideklarasikan di Bandung dan mengusung
wacana Ahlul Bait, semua media baik cetak maupun
elektronik mengkategorikan IJABI sebagai Syiah. Misalnya
Metro Bandung pada 2 Juli
2000, menulis judul
pemberitaannya: Lama Disembunyikan, Syiah pun Lahirlah.
Tabloid Mingguan TEKAD tanggal 10-16 Juli 2000
mencantumkan sebuah gambar yang pada indeksnya ditulis:
Syiah di Iran: Di Indonesia Organisasi bernama Ahlul Bait. Begitu
pula dengan GATRA yang menulis anak judul: Deklarasi Syiah.
Para aktivis IJABI mengakui bahwa IJABI memang berbasis
pada ideologi Syiah. Tetapi IJABI tidak dihadirkan di
Indonesia sebagai bagian organisasi internasional. IJABI tidak
berposisi sebagai cabang Syiah Indonesia yang memiliki garis
struktural dengan organisasi Syiah di Iran.
IJABI adalah organisasi independen yang mencoba
mengumpulkan para pecinta Ahlul Bait di Indonesia yang
jumlahnya sangat banyak. Kalaupun IJABI memiliki
hubungan yang intens dengan Iran (terbukti dengan
banyaknya anggota IJABI yang melanjutkan kuliah di Iran),
hal tersebut karena adanya persamaan visi sebagai sesama
penganut ideologi Ahlul Bait. IJABI berhaluan Syiah Itsna
Asyariyah moderat (Syi’ah Ushuliyah). Syi’ah modern banyak
berkembang di Irak.65 IJABI termasuk Syi’ah Ushuliyah,
karena dipandang lebih moderat dalam melakukan penafsiran
dan pemahaman agama.
__________________
65 Sebagaimana diketahui, Syiah Itsna Asyariyah terbagi menjadi dua, yaitu
Akhabariyah dan Ushuliyah. Syiah Akhbariyah adalah kelompok Syiah
fundamentalis dan tekstualis, sedangkan Syiah Ushuliyah adalah Syiah yang
mengusung wacana moderat dan demokrasi.
171
Sebagai gerakan Syi’ah moderat, IJABI didirikan dalam
konteks ke Indonesiaan dan menjungjung tinggi nilai-nilai
moralitas Indonesia. Seperti kawin mut’ah, melalui ketetapan
anggaran dasarnya, IJABI melarang anggotanya untuk
melakukan kawin mut’ah, meski mut’ah dianggap sebagai
bagian dari ajaran Syi’ah.66
Deklarasi IJABI pada tahun 2000 dimaknai sebagai ikrar
dan deklarasi spirit persatuan kaum muslimin berdasarkan
kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, sebagai pengembang
amanah yang senantiasa memelihara sunnah beliau. IJABI
sebagai suatu ormas, tidak memiliki kebijakan untuk
mengintervensi penerapan syariat/madzhab tertentu kepada
anggotanya maupun simpatisan.
Syi’ah non-IJABI
Pada tahun 2000, menurut pengakuan Ahmad Baraqbah
– salah seorang alumni Qum Iran – menyebutkan bahwa
terdapat tidak kurang dari 40 Yayasan Syi’ah yang tersebar di
seluruh kota besar, seperti Malang, Jember, Pontianak, Jakarta,
Bangil,
Samarinda,
Banjarmasin
dan
sebagainya,
kemungkinan saat ini telah bertambah lagi. Tetapi dari sekian
banyak lembaga dan yayasan, tidak semua menjadi anggota
IJABI. Antara lain yang tidak berada di bawah koordinasi
IJABI adalah Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) yang
berpusat di Bintaro. Sedangkan kelompok lainnya berjalan
sendiri-sendiri.
Walau demikian, komunikasi antar penganut Syi’ah di
Indonesia tetap terjalin. Hal ini dapat disaksikan pada
perayaan hari-hari besar Syi’ah (Asyuro, Ghadir Khum dsb).
__________________
66 Soeroer, Umar R, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia di Makassar,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama,
Jakarta, 2008, hal. 42.
172 Lembaga yang mengkoordinir kegiatan penganut Syi’ah
adalah ICC (Islamic Culture and Civilization) Jakarta.67 ICC
merupakan sebuah lembaga dakwah yang memiliki hubungan
yang intensif dengan pemerintah Iran, sehingga banyak
kalangan menilai misi Iran dalam menyebarkan paham Syi’ahnya melalui pintu ICC.
IJABI: Antara Organisasi Dakwah atau Sekte Syiah?
IJABI yang lahir sebagai gerakan intelektual dengan
berbalut pluralisme dan toleransi68 sejak semula dipandang
sebagai kelompok yang bermadzhab Syi’ah. Namun, ciri
khasnya yang tidak sama dengan kelompok Syi’ah lainnya
pun kemudian memunculkan pertanyaan apakah IJABI itu
organisasi keagamaan berfaham Syi’ah yang bergerak di
bidang dakwah atau kelompok keagamaan yang memiliki
faham dan ciri khas ritual tersendiri? Atau dalam ilmu sosial
disebut dengan sekte, dalam hal ini sekte Syi’ah.
Dalam Oxford Dictionary disebutkan:
”Sect (noun) a small group of people who belong to particular
religion but who have some beliefs or practices which sparate
them from the rest of the group”.69
Bryan Wilson memberikan pengertian mengenai sekte
dalam pernyataan berikut:
The concept of the sect has a very distinctive history. In
English, it is a term that designates a religiously separated
group, but in its historical usage in Christendom it carried a
distinctly pejorative connotation. A sect was a movement
committed to heretical belief and often to ritual acts and
__________________
Wawancara dengan Abdullah Beik, Sekretaris ICC Jakarta.
Makalah Prof. Dr. HM Atho Mudzhar. Ibid.
69 English Dictionary, ibid. p. 1154.
67
68
173
practice, that departed from orthodox religius procedurs. In
practice, the Christian sect often rejected the liturgical
ceremonial of the churches, and it declared itself competent
without the services of priest (who claimed to have a monopoly
of legitimate religius functioning as intermediaries between
God and men). 70
Sedangkan dalam Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial
disebutkan, konsep mengenai sekte dan gerakan kepercayaan
biasanya mengacu pada kelompok religius atau kelompok
semu, kecil maupun besar dengan bentuk organisasi yang
sederhana maupun rumit yang oleh anggota-anggotanya atau
bukan anggotanya dianggap sebagai sebuah penyimpangan
hubungannya dengan konteks doktrin dan budaya yang lebih
luas. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi
non-pengikut, namun memiliki konotasi positif bagi para
pengikutnya. Ciri khas kelompok kecil tersebut sama dengan
kelompok lainnya, yaitu cenderung menjunjung solidaritas
internal kelompok dan identifikasi personal kelompoknya,
sedangkan kelompok semu yang bersifat gerakan kepercayaan
tidak mampu secara sistematis menciptakan kohesi
(keterpaduan) kelompoknya dan melakukan pertukaran ide.71
Menurut investigasi para sosiolog, sekte yang mencari
anggota sebanyak mungkin cenderung melupakan komitmen
awal mereka. Sementara sekte yang menekankan pada doktrin
__________________
70 Wilson, Bryan, Religion in Sociological Perspective, Oxford University Press,
New York, 1982, p. 89.
71 Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, terjemah:
Haris Munandar, et.al, Rajawali Press, Jakarta, 2000, p. 951. Dalam ilmu sosial,
perbedaan antara sekte dan gerakan kepercayaan dipandang tidak terlalu penting
untuk membedakannya. Dalam agama Kristen, istilah sekte digunakan bertujuan
untuk ”merendahkan” karena dipandang menyimpang dari doktrin resmi. Beberapa
organisasi gerakan sekte memberi pengaruh amat penting terhadap perkembangan
konsepsi barat tentang individualisme, organisasi relawan dan organisasi.
174 esoterik
(difahami
orang-orang
tertentu)
memiliki
kemungkinan kecil untuk melakukan hal tersebut sehingga
kelompoknya tetap kecil.72 Sebagian sekte keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dituduh melakukan usaha mencuci
otak para pengikutnya. Dalam pengalaman sejarah sosial di
barat, sekte kadangkala terjerumus dalam tindak kekerasan
fisik tragis, seperti tindakan bunuh diri seperti beberapa kali
yang terjadi di Eropa.73
Dalam tradisi Kristen, suatu sekte yang muncul nyatanyata menunjukkan beberapa karakter, diantaranya: a)
pengikut sekte bersikap tertutup (eksklusif); b) cenderung
mengklaim dirinya paling benar dan yang di luar dirinya
dianggap salah; c) membentuk sebuah organisasi yang solid;
d) sekte terbentuk atas dasar sukarela para pengikutnya; e)
sekte menuntut kesetiaan para pengikut; f) sekte terbentuk
sebagai wujud protes pada agama/kepercayaan yang ada.74
IJABI sebagaimana termaktub dalam AD/ART-nya,
adalah organisasi dakwah yang berupaya menghimpun para
pecinta Ahlul Bayt Nabi apapun madzhabnya. Para pecinta
Ahlul Bayt Nabi disandarkan pada kelompok Syi’ah. Tujuan
terdekat dari upaya ini adalah terciptanya persatuan dan
kesatuan, keharmonisan, perdamaian dan toleransi antar
kelompok dan penganut agama/kepercayaan sehingga dapat
hidup berdampingan penuh dengan keakraban.
Sebagaimana telah dipaparkan di bab terdahulu,
eksistensi IJABI mengundang pertanyaan kalangan umat
Islam sebagai bagian dari gerakan revolusi Islam Iran di
seluruh penjuru dunia. Stigma IJABI sebagai penganut faham
__________________
Ibid. p. 952.
Ibid. p. 953.
74 Wilson, Bryan. Ibid. hal. 92.
72
73
175
dan madzhab Syi’ah dan berkiblat ke Iran. Dalam wawancara,
KH Jalaluddin Rakhmat dan H. Furqon menyatakan bahwa
IJABI menganut faham Syi’ah Imamiyah berhaluan ushuli
(moderat). Sedangkan madzhab fiqihnya adalah Ja’fari. Syi’ah
yang telah dikemas dan disesuaikan dengan kondisi
masyarakat Indonesia, tidak seperti yang diimplementasikan
oleh penganut Syi’ah di timur tengah (Iran). Hubungan atau
komunikasi dengan Iran berlangsung mutualisme, hubungan
hubungan silaturrahim.
176 BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dari paparan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Ikatan Jama’ah Ahlul Bayt Indonesia (IJABI) muncul
dilatarbelakangi oleh keprihatinan orang-orang yang
terhimpun dalam organisasi ini terhadap perkembangan
umat Islam saat ini yang terpecah belah, walaupun
penyebabnya adalah kepentingan, politik, ekonomi dan
sebab lain. Ketokohan KH Jalaluddin Rakhmat sangat
berpengaruh bagi eksistensi IJABI dan menjadi figur
sentral kelompok ini. IJABI memandang selama ini umat
Islam (khususnya umat Islam Indonesia) periwayatan
ajaran Nabi banyak mengambil dari jalur sahabat, kurang
memperhatikan periwayatan dari jalur Ahlul Bait.
2. Dakwah pluralistik yang dikembangkan oleh IJABI
didasarkan pada prinsip kebenaran yang berbeda-beda
menurut perspektif penganutnya. Latar belakang
kesamaan sebagai makhluk Tuhan dan sama-sama menuju
Tuhan. Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran Tuhan
yang dianut oleh masing-masing umat beragama, tidak
mengklaim diri sendiri yang paling benar, kemudian
menyalahkan yang lain. Kebenaran mutlak yang diyakini
oleh IJABI adalah agama Islam, dengan mengikuti
madzhab Ahlul Bait.
3. Manhaj dakwah yang menjadi panutan IJABI adalah
faham Syi’ah Imamiyah kelompok ushuli (moderat).
Menyetujui ijtihad, karena dengan ijtihad akan
177
memperoleh pahala di akhirat meskipun ijtihad tersebut
keliru. Dakwah pluralistik dipandang sebagai salah satu
ijtihad yang ditempuh oleh IJABI.
4. Bidang-bidang yang menjadi fokus dakwah pluralistik
IJABI adalah bidang sosial, ekonomi, pendidikan. Di
bidang sosial, dengan bekerja sama dengan Walubi dan
Rumah Sakit Baromeus Bandung IJABI melaksanakan
kegiatan penyuluhan kesehatan, pengobatan gratis dan
khitanan massal. Di bidang pendidikan, bekerja sama
secara rutin dengan pemeluk Katholik dan Kristen
melakukan kajian mendalami masalah agama. Pada bulan
Ramadhan, IJABI melaksanakan acara buka bersama dan
pengajian menjelang buka puasa. Peserta kajian tersebut
beberapa orang berasal dari komunitas Katolik dan
Kristen.
5. Faktor pendukung bagi gerakan dakwah pluralistik ini
adalah:
a. Gerakan IJABI
berkomunikasi
masyarakat.
yang moderat sehingga mudah
dengan
berbagai
kelompok
b. Sosok Ketokohan KH Jalaluddin Rahmat sebagai
cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki
jaringan yang luas dengan berbagai komunitas.
Bahkan sampai ke luar negeri.
c. Sumberdaya manusia IJABI banyak dari kalangan
kampus dan berada di wilayah kota. Kondisi demikian
dengan sendirinya dapat membuka cakrawala
pemikiran yang lebih luas.
d. IJABI mulai diterima masyarakat dan lebih mudah
melakukan kerjasama dengan instansi lain walaupun
berbeda latar belakang agama meskipun di beberapa
tempat masih terdapat resistensi terhadap IJABI.
178 e. Sudah ada kerjasama dengan elemen umat Islam
(ormas) lainnya, seperti dengan Muhammadiyah dan
NU meskipun belum intensif.
f.
Lembaga-lembaga yang didirikan oleh IJABI (seperti
PKBM) cukup berhasil, sehingga menambah
kepercayaan pihak lain, baik pemerintah maupun
masyarakat luas. SMU Plus Muthahari, walaupun
bukan lembaga milik IJABI, namun Pimpinan dan
guru-gurunya adalah kebanyakan anggota IJABI.
Sekolah ini termasuk sekolah yang berkualitas dan
percontohan.
Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah:
a. Dari segi sumber dana, masih mengandalkan iuran
dari anggota.
b. Stigma sebagai penyebar faham Syi’ah di Indonesia
sehingga mendapatkan resistensi di beberapa daerah.
B. Rekomendasi
Dari hasil kajian di atas, peneliti merekomendasikan
beberapa hal berikut:
1. IJABI hendaknya terbuka kepada kelompok lain untuk
mengurangi stigma sebagai penyebar faham Syiah.
2. Sejauh mungkin dihindari penyebab konflik seperti
menampakkan keutamaan Ahlul Bait dan merendahkan
sahabat Nabi.
3. Departemen Agama (Bimas Islam) direkomendasikan
untuk memfasilitasi sharing idea, khususnya mengenai
dakwah Islamiyah antara IJABI dan ormas-ormas lainnya.
179
180 DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Muhammad Ali, Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah Sunan
Ampel, Surabaya, 1993.
Atjeh, Abu Bakar, Beberapa Catatan mengenai Dakwah Islam,
Ramadani, Solo, 1979.
Banna, Gamal Al-, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, Menara,
Bekasi, 2006.
____, Pluralitas dalam Masyarakat Islam, (terj) MataAir, 2006
Black, James A, at.al, Metode dan Masalah Penelitian Sosial,
Refika Aditama, Bandung.t.t.
Burhan Bungin. Ed. Analisis Data Penelitian Kualitatif:
Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan
Model Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2006.
English Dictionary, Oxford, Advanced Learner’s Dictionary,
Oxford University Press, UK, 2000.
Husaini, Adian,. Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang
tegas dan Tidak Kontroversial, al-Kautsar, Jakarta, 2005.Ida
Bagoes Mantra. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian
Sosial. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Jurjani, ‘Ali bin Muhammad al-, At-Ta’rifat, Dar al-Kitab alMashry, Cairo, cet. I, 1991.
Jurnal Ulumul Qur’an No 4 vol. VI tahun 1995, dalam
wawancara dengan Jalaluddin Rakhmat.
Kaff, Thohir Abdullah al-, Perkembangan Syi’ah di Indonesia,
(bunga rampai: Mengapa Kita Menolak Syi’ah). Ed. Umar
Abduh&Kirtos Away, LPPI, Jakarta, 1998, hal. 55.Kuper,
Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial,
181
terjemah: Haris Munandar, et.al, Rajawali Press, Jakarta,
2000.
Mahfudz, Syaikh Ali, Hidayatul Mursyidin, Dar al-Ma’rifah, tt.
Maghniyah, Muhammad Jawad, Asy-Syi’ah wa al-Hakimun,
Percekan al-Ahliah Beirut, cet. II, 1962.
Mudzhar, M Atho, “Membumikan Pemikiran Ahlus Sunnah
Wal Jamaah di Era Globalisasi”, Makalah disampaikan
pada Seminar diselenggarakan oleh Yayasan Dakwah
Malaysia-Indonesia (YADMI) dan Pengurus Wilayah
Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Timur, di Hotel
Inna Simpang, Surabaya, Jawa Timur, pada 28 Desember
2008,
Oemar, Thoha Yahya, Ilmu Dakwah, Wijaya Jakarta, 1976.
Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Kamus Istilah Keagamaan Islam,
Jakarta.Rakhmat, Jalaluddin: Islam dan Pluralisme,
Serambi, Jakarta, 2006.
Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, Paramadina, Jakarta, 2004.
Shihab, Muhammad Quraish, Sunnah-Syi’ah, Bergandengan
Tangan. Mungkinkah? Lentera Hati, Ciputat, 2007.
Soeroer, Umar R, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia di
Makassar, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama, Jakarta, 2008.
Sugiarto, Wakhid, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama, 2008.
Syaukani, Imam, Telaah Tindak Kekerasan terhadap Ikatan
Jama’ah Ahlul Bait Indonesia di Kabupaten Bondowoso,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2008.
182 Wilson, Bryan, Religion in Sociological Perspective, Oxford
University Press, New York, 1982, p. 89.
Zainuddin, A. Rahman dan M. Hamdan Basyar (ed). Ulumul
Qur’an, No. 4, Vol. VI, Th. 1995; Syiah dan Politik di
Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan. 2000.
Zidny, Irfan, Bunga Rampai Ajaran Syi’ah, kumpulan makalah
dalam “Mengapa Kita Menolak Syi’ah”, LPPI, Jakarta, 1998,
hal. 43-45.
Wawancara:
1. Furqan Bukhori, Ketua Umum Ikatan Jama’ah Ahlul
bait Indonesia.
2. KH. Jalaluddin Rakhmat.
3. Ust. Miftah Fauzi Rakhmat dan Babul Ulum.
4. Sukardi, bagian kepemudaan IJABI Bandung.
5. Harmonis, Sekretaris IJABI Jawa Barat.
6. Ma’mun, Ketua IJABI Jawa Barat.
7. KH Rafani Akhyar, Sekretaris MUI Jawa Barat.
8. A Hidayat, Sekretaris LKAB Jakarta.
9. Abdullah Beik, Sekretaris ICC Jakarta.
10. Habib Haikal Husein Alaydrus
11. Mahmud.
Situs internet:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/11/nas07.htm.
http://www.gatra.com/artikel.php?id=100485.
http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=6&id
=482.
-o0o-
183
184 KEBEBASAN BERAGAMA ATAU
BERKEPERCAYAAN
DALAM PANDANGAN TOKOH ORMAS ISLAM
KOTA DEPOK
Oleh:
Imam Syaukani
KEBEBASAN BERAGAMA BERKEPERCAYAAN
DALAM PANDANGAN TOKOH ORMAS
ISLAM KOTA DEPOK
Imam Syaukani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
K
ebebasan beragama atau berkepercayaan (freedom
of religion or belief) merupakan salah satu tema
penting yang kini menjadi bahan perbincangan
banyak kalangan, baik domestik maupun internasional.
Dalam konteks Indonesia, wacana kebebasan beragama telah
disinggung dalam UUD 1945, seperti tertuang dalam Pasal 29
ayat (2) yang menyatakan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Pasca amandemen UUD 1945, jaminan kebebasan
beragama atau berkepercayaan di Indonesia semakin kuat dengan dirumuskannya Pasal 28E yang menyatakan: (1) Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali;
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan nuraninya; dan
185
(3) Setiap orang berhak atau kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat.
Dan lebih ditegaskan lagi oleh Pasal 28I yang
menyatakan: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun; (2) Setiap
orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; (3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban dan; (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah;
Selain UUD 1945, mempunyai UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Jaminan kebebasan beragama
atau berkepercayaan terdapat Pasal 22 yang berbunyi: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Adanya pengaturan iru menunjukkan bahwa Indonesia
berkomitmen memberikan jaminan kebebasan beragama atau
berkepercayaan kepada warganya. Jaminan itu semakin kuat
dengan
kesediaan
Indonesia
meratifikasi
Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights) sebagaimana tertuang
dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
186 Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, di mana pada Pasal 18
menyebutkan: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri,
dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk
menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran; (2) Tidak
seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya
untuk
menganut
atau
menetapkan
agama
atau
kepercayaannya sesuai dengan pilihannya; (3) Kebebasan
menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan
seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan
hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan,
ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak
dan kebebasan mendasar orang lain; dan (4) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang
tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anakanak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Dengan adanya jaminan normatif tersebut, sudah barang
tentu setiap warga negara Indonesia secara normatif bebas
memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Permasalahannya, adanya jaminan kebebasan beragama
atau berkepercayaan dalam peraturan perundang-undangan
tersebut ternyata tidak serta merta berjalan sesuai keinginan.
Sebaliknya, Indonesia merupakan salah satu negara yang
sering mendapat sorotan terkait dengan pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan. Ada beberapa lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga akademis, baik nasional maupun asing, yang memberikan catatan kritis
terhadap pelaksanaan kebebasan beragama atau berke 187
percayaan di Indonesia, di antaranya adalah the Bureau of
Democracy, Human Rights, and Labor Amerika Serikat (2007),
The Wahid Institute (2008), Inisiatif Masyarakat Partisipatif
untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL) (2006), Setara Institute (2009), dan Center for Religious and Cross-cultural Studies
(CRCS) Universitas Gadjah Mada (2008). Beberapa masalah
yang disoroti adalah belum adanya jaminan pencatatan bagi
perkawinan beda agama, pelarangan dan pelabelan sesat bagi
komunitas keagamaan non-mainstream, tindak kekerasan
terhadap komunitas umat beragama minoritas, pelarangan
pendirian rumah ibadat dan perusakan rumah ibadat,
pengucilan bagi orang yang melakukan pindah agama
(konversi), dan lain-lain.
Di antara agama besar di dunia yang sering disikapi
dengan penuh curiga dan pesimis dalam kaitannya dengan
kebebasan beragama atau berkepercayaan adalah Islam. Islam
dipandang sebagai agama yang tidak kompatibel dengan
HAM. Pandangan ini menimbulkan kritik dan penolakan dari
kalangan akademisi Muslim. Mereka tidak setuju jika Islam
dinilai tidak kompatibel dengan HAM. Sebab bila dibandingkan dengan Barat, Islam bahkan lebih awal berbicara
HAM. Sejarah HAM di Barat dimulai dengan Magna Charta
(1215)1 yang kemudian berlanjut pada Bill of Rights (1689),2 De 1Piagam ini merupakan bentuk kompromi pembagian kekuasaan antara Raja
John dengan para bangsawan. Piagam ini juga membatasi kekuasan Raja John di
Inggris. Menurut Scott Davidson (1993), pada Magna Charta (1215) belum terdapat
ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan hak-hak atau kebebasan individu.
2Dibandingkan dengan Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), menurut
Davidson (1993) lebih menjanjikan dalam memberikan perlindungan terhadap hakhak atau kebebasan individu. Pada Bill of Rights (1689)—judul panjangnya berbunyi,
An Act Declaring the Rights and Liberties of the Subject and Setting the Succesion of the
Crown—terdapat ketentuan-ketentuan per-lindungan terhadap hak-hak atau
kebebasan individu. Dalam sejarahnya, Bill of Rights(1689) disahkan setelah terjadi
revolusi yang dikenal dengan nama Glorious Revolution yang berhasil memaksa turun
Raja James II dari takhta kekuasaan.
188 claration of Independence, USA (1776),3 Deklarasi Hak-hak
Manusia dan Warganegara (Déclaration des Droits de l’Homme et
du Citoyen), Prancis 1789,4 Four Freedom (Roosevelt) pada 1941,5
dan puncaknya pada Universal Declaration of Human Rights
(1948). Sementara Islam semenjak abad ke-7 M telah berbicara
tentang kebebasan termasuk kebebasan beragama atau berkepercayaan seperti diungkap di beberapa ayat dalam alQur’an (Wahyu Hidayati, 2008).
Ebrahim Moosa mengungkap setidaknya dua cerita yang
dapat dijadikan bukti adanya kaitan kompatibel antara Islam
dengan HAM. Pertama, pidato perpisahan Nabi Muhammad
ketika melaksanakan haji wada’ yang menegaskan kembali visi
Islam terhadap perlindungan hak-hak dasar manusia.
Substansi pidato Nabi Muhammad pada haji wada’ itu,
menurut Moosa, pada dasarnya merupakan penegasan belaka
terhadap kandungan beberapa ayat al-Quran yang berbicara
tentang perlindungan terhadap pemilihan harta, martabat,
dan kehormatan manusia. Kedua, sejumlah tindakan yang
dilakukan oleh para khalifah rasyidah dalam menindak pelang 3Dalam deklarasi kemerdekaan Amerika yang disusun oleh Thomas Jafferson
ini terdapat penegasan bahwa setiap manausia memiliki kedudukan yang sama.
Dalam deklrasi ini, antara lain terdapat pernyataan seperti beri-kut:”We hold these
truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator
with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of
Happiness.--That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving
their just powers from the consent of the governed,--That whenever any Form of Government
becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alter or to abolish it, and to
institute new Government, laying its foundation on such principles and organizing its powers
in such form, as to them shall seem most likely to effect their Safety and Happiness”
(Encyclopedia Britannica 2008).
4Deklarasi menitikberatkan pada lima hak asasi: pemilikan harta (propiété),
kebebasan (liberté), persamaan (egalité), keamanan (securité), dan perlawanan terhadap
penindasan (resistence é l’oppression).
5Empat kebebasan (four freedoms) merupakan prinsip-prinsip hak asasi
manusia yang dirumuskan oleh presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada
6 Januari 1941 dalam II (1939-1945) yang terdiri dari: freedom of speech and expression,
freedom of worship, freedom from want, and freedom from fear (Encarta, 2008). 189
garan HAM. Salah satu contoh yang paling baik dalam penegakan HAM adalah tindakan yang dilakukan Khalifah kedua,
Umar ibn Khattab yang memberikan teguran kepada
Gubernur Mesir, Amr ibn Ash karena memberikan sanksi
hukum tanpa melewati proses pengadilan. Kedua cerita
sejarah ini, menurut Moosa, sering dijadikan rujukan oleh
kalangan Islam untuk memperkuat argumen teologis
keterkaitan antara Islam dengan HAM modern.
Dengan membandingkan sejarah tersebut, maka
kalangan Islam menolak jika Islam dianggap tidak kompatibel
dengan HAM. Tetapi yang perlu dipertimbangkan juga, tidak
sedikit dari kalangan Islam yang menggunakan pertimbangan
teologis ketika bersikap secara eksklusif terhadap kelompok
agama dan keyakinan lain yang bisa mengarah pada
pelanggaran kebebasan beragama atau berkepercayaan. Sikap
eksklusif tersebut dapat saja muncul karena doktrin dalam
Islam sebagaimana termuat dalam al-Quran memungkinkan
banyak penafsiran. Di satu pihak, al-Quran memberikan
pengakuan terhadap kebebasan beragama seperti termaktub
dalam surat al-Baqarah ayat 256, asy-Syura ayat 48, alGhasyiah ayat 21, Yunus ayat 99, al-Kahfi ayat 29, Qaf (ayat
45), dan al-Kafirun ayat 6. Ayat-ayat tersebut menurut
Mohammad Hashim Kamali (2006) merupakan bukti bahwa
Islam merupakan agama yang memberi penguatan
(affirmative) terhadap kebebasan beragama dan pluralisme.
Tetapi di pihak lain, dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang
memungkinkan–setelah memperoleh penafsiran berdasarkan
pendekatan tertentu—bisa menciptakan hubungan yang rumit
antara Islam dengan HAM.
Sementara itu, Abdullahi Ahmed an-Naim (1998)
menemukan setidaknya lima kasus dalam al-Qur’an yang
sering digunakan oleh kalangan Islam untuk membenarkan
190 tindakan diskriminatifnya karena alasan gender dan
perbedaan agama serta keyakinan. Keenam kasus yang
dimaksud an-Na’im dipaparkan berikut ini: Pertama, laki-laki
Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi
(Ahli Kitab), sedangkan laki-laki Kristen dan Yahudi tidak
boleh mengawini perempuan Muslim. Laki-laki dan
perempuan Muslim tidak boleh mengawini orang musyrik
(Q.S.al-Maidah: 5 dan al-Baqarah: 221). Kedua, perbedaan
agama menjadi penghalang adanya hubungan saling
mewarisi. Seorang Muslim tidak dapat mewarisi atau
mewariskan kepada nonmuslim, demikian sebaliknya. Ketiga,
laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat orang
perempuan dalam waktu yang bersamaan, sedang perempuan
hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (Q.S. al-Nisa: 2).
Keempat, seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan
isterinya, atau seorang isteri dan isteri-isterinya dengan
meninggalkan begitu saja tanpa akad, talak, tanpa
berkewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran
atas tindakannya itu. Sebaliknya, perempuan hanya dapat bercerai dengan kerelaan suami atau surat keputusan pengadilan
yang mengizinkannya dengan alasan-alasan khusus, seperti
ketidakmampuan suami dan keengganannya untuk mengurus
isteri (Q.S. al-Baqarah: 226-232). Kelima, dalam pewarisan,
seorang perempuan Muslim menerima bagian yang lebih sedikit daripada bagian laki-laki Muslim, ketika keduanya berada
dalam kedekatan hubungan kekeluargaan yang sama dengan
yang meninggal (Q.S.al-Nisa: 11 dan 176).
Berdasarkan uraian di atas, barangkali kita sepakat
bahwa tafsir atas kebebasan beragama atau berkepercayaan di
kalangan muslim tidak seragam. Masing-masing pihak
mempunyai argumen teologisnya sendiri-sendiri. Bagi
kalangan muslim liberalis, apa yang dilakukan Ahmadiyah,
al-Qiyadah al-Islamiyah, dan Lia Eden misalnya, merupakan
191
bagian dari pelaksanaan kebebasan beragama atau
berkepercayaan, sehingga negara wajib melindungi dan
masyarakat wajib menghormati. Namun, tidak demikian bagi
FPI dan HTI misalnya, apa yang dilakukan kelompokkelompok tersebut adalah penistaan atau penodaan agama,
sehingga perlu diambil tindakan tegas, baik secara hukum
maupun sosial.
Dengan demikian, pertimbangan teologis, baik eksklusif
maupun inklusif, tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam
diskursus
dan
praksis
kebebasan
beragama
atau
berkepercayaan. Mengikuti penjelasan teoritik dalam sosiologi
bahwa tindakan manusia antara lain dipengaruhi oleh sistem
makna yang dimilikinya, maka persoalan kebebasan
beragama di Indonesia juga bisa dirunut pada sistem makna
yang digunakan oleh masyarakat. Dalam konteks inilah, mengungkapkan sistem makna yang digunakan oleh masyarakat
dalam memberikan landasan teoritis dan praksis kebebasan
beragama atau berkepercayaan menjadi penting dilakukan.
B.
Fokus Masalah
Berdasarkan elaborasi tersebut, tampak wacana
kebebasan beragama atau berkepercayaan di kalangan muslim
cukup dinamis sekaligus kontroversial. Sebagian muslim
menolak dengan tegas bahwa Islam tidak menjamin
kebebasan beragama atau berkepercayaan, tetapi mereka juga
tidak bisa menafikan realitas bila ada sebagian muslim yang
menolak keberadaan komunitas agama lain karena perbedaan
paham keagamaan. Persoalannya, sebagaimana disinggung di
atas, penolakan tersebut tidak dilakukan dengan cara yang
beradab tetapi dilakukan dengan cara kekerasan. Ironisnya,
bolehnya tindak kekerasan tersebut konon dilandasi ajaran
normatif dari al-Quran. Berarti, sikap toleransi dan intoleransi
umat muslim muncul sebagai perwujudan pemahaman
192 mereka terhadap kitab suci. Kendati kita harus percaya bahwa
kesimpulan itu bukan satu-satunya penjelasan, tetapi setidaktidaknya bisa dijadikan sebagai pedoman dini untuk
merumuskan dan membatasi fokus masalah.
Fokus masalah yang hendak diungkap melalui
penelitian ini adalah dalam bentuk pertanyaan berikut: (1)
bagaimana sistem makna yang digunakan oleh tokoh ormas
Islam Kota Depok dalam memberikan landasan teoritis dan
praktis kebebasan beragama atau berkepercayaan; dan (2) bagaimana implementasi sistem makna tersebut, terutama dalam
menyikapi praksis kebebasan beragama atau berkepercayaan
seperti nikah beda agama, pendirian rumah ibadat, penyiaran
agama, konversi dan proselitisme agama, serta kedudukan
komunitas beragama non-mainstream.
C. Tujuan Penelitian
Merujuk fokus masalah di atas maka tujuan penelitian
ini adalah hendak mengungkapkan dasar pemikiran, konstruk
pengetahuan keagamaan, dan sosial tokoh ormas Islam Kota
Depok dalam memahami kebebasan beragama dan
berkepercayaan, dan kemungkinan aktualisasi kontruks
pengetahuan tersebut dalam ranah sosial, khususnya terkait
dengan masalah nikah beda agama, pendirian rumah ibadat,
penyiaran agama, konversi dan proselitisme agama, serta
kedudukan komunitas beragama non-mainstream, seperti Ahmadiyah, al-Qiyadah al-Islamiyah, dan Komunitas Eden.
D. Urgensi Penelitian
Penelitian dengan tema kebebasan beragama dan
berkepercayaan ini menurut hemat peneliti punya nilai
penting. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah:
Pertama, wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan
suka tidak suka telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam
193
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Adanya
jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan dalam
konstitusi dan undang-undang mengingatkan segenap masyarakat untuk ikut serta menaatinya. Kedua, masih adanya
tanggapan negatif bahwa negara Indonesia---termasuk di dalamnya umat Islam---belum memberikan apresiasi yang
memadai terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan.
Ini ditandai dengan masih ditemukannya kasus pelarangan
nikah beda agama, pelarangan pendirian rumah ibadat,
pengucilan terhadap mereka yang pindah agama (dari Islam
ke agama lain), pembatasan terhadap kegiatan penyiaran
agama, dan pelabelan sesat terhadap kelompok umat
beragama minoritas non-mains-tream, seperti Ahmadiyah, alQiyadah al-Islamiyah, Lia Aminuddin, yang berujung pada
tindakan anarkis terhadap mereka. Ketiga, namun di lain
pihak ada pula sekelompok umat Islam yang melakukan
pembelaan terhadap kelompok-kelompok minoritas tersebut
atas dasar bahwa kebebasan beragama atau berkepercayaan
merupakan hak yang tidak bisa dikurangi.
Adanya dua pandangan yang bertolak belakang di atas
menjadikan penelitian ini penting, setidaknya dalam upaya
mengetahui dasar pemikiran, konstruk pengetahuan, dan
sosial tokoh ormas Islam tersebut dalam memahami dan
menyikapi wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan.
Dengan diketahuinya masalah-masalah di atas maka akan
terkumpul seperangkat informasi penting tentang pandangan
tokoh ormas Islam mengenai kebebasan beragama atau
berkepercayaan. Bagi pemerintah, informasi itu sudah barang
tentu sangat penting, sebab dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan merumuskan kebijakan-kebijakan pembinaan
kehidupan beragama secara lebih komprehensif dan sesuai
kebutuhan di lapangan.
194 E.
Prior Research
Masalah dalam penelitian ini sebenarnya pernah dikaji
oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian
terdahulu (prior research) yang dapat dikemukakan di bagian
ini, antara lain:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Suhadi, Kawin
Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar Islam (2006). Penelitian ini
penting diungkap karena masalah yang dipilih—kawin lintas
agama—sering dijadikan sebagai salah satu contoh kasus
kajian HAM di Indonesia. Di Indonesia, kawin lintas agama
dianggap telah memiliki ketetapan hukum oleh hampir
seluruh umat Islam. Pada bagian pembahasan “Kawin Lintas
Agama di Indonesia”, Suhadi memaparkan dua konstruksi
terhadap hukum kawin lintas agama. Pertama, konstruksi
yang dilakukan oleh ormas keislaman. Kedua, konstruksi
kawin lintas agama yang terdapat dalam peraturan hukum
(positif) di Indonesia. Suhadi hanya membahas konstruksi
yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan
Muhammadiyah. Suhadi sengaja melewatkan pembahasan
konstruksi yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Berdasarkan penelusuran Suhadi terhadap pembahasan masail addiniyah (masalah-masalah agama) dalam sidang-sidang
Muktamar dan Munas Ulama sejak Muktamar NU ke-1 pada
1926 di Surabaya sampai Muktamar NU ke-29 pada 1994 di
Tasikmalaya, kawin lintas agama sama sekali tidak dibahas.
Dengan
demikian,
dibandingkan
dengan
NU,
Muhammadiyah dan MUI, telah memiliki pandangan resmi
terhadap status hukum kawin lintas agama, yakni melarang.
Pandangan MUI dan Muhammadiyah ini sejalan dengan
ketentuan peraturan hukum positif di Indonesia yang juga
melarang praktik kawin lintas agama.
195
Ketentuan hukun kawin lintas agama tersebut, baik yang
dikonstruksi oleh MUI, Muhammadiyah, dan pemerintah
Indonesia, menimbulkan ketidakpuasan dari kelompok yang
disebut Suhadi dengan “Islam progresif”. Ketidakpuasan
kelompok ini didasarkan pada argumen kebebasan beragama.
Kelompok inilah yang kemudian mencetuskan Counter Legal
Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Sebagai draf
tandingan, maka CLD-KHI memiliki pandangan berbeda
terhadap hukum kawin lintas agama. Pada Pasal 54 CLD-KHI
dikemukakan: (1) Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam
dibolehkan; (2) Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam
dilakukan berdasarkan prinsip saling menghargai dan menjunjung
tinggi hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan
masing-masing. Tetapi CLD-KHI tidak dapat diproses ke
tahapan selanjutnya setelah mendapatkan kritik tajam dari
MUI, MMI, DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia), dan LPPI
(Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam).
Penelitian berikutnya yang perlu disebut adalah,
Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru
(2004). Penelitian ini ingin mengungkap ketimpangan relasi
antara negara dengan agama dan aliran kepercayaan selama
kekuasaan rezim Orde Baru. Dalam penelitian ini, Orde Baru
digambarkan sebagai rezim yang memiliki watak hegemonik.
Selama kekuasaan Orde Baru, hampir semua aspek kehidupan
dalam masyarakat tidak bisa lepas dari kendalinya sebagaimana juga terjadi pada agama. Agama sebenarnya menempati
wilayah privat yang perlu dibebaskan dari campur tangan
negara. Tetapi selama kekuasaan Orde Baru, agama tidak bisa
mengelak dari pengaruh negara. Salah satu modus intervensi
yang diungkap dalam penelitian ini adalah, negara ikut
menentukan keabsahan suatu agama sehingga berkembang
konsep “agama resmi” dan “agama tidak resmi”. Intervensi
negara ini ternyata menimbulkan dampak yang serius. Setelah
negara berhasil menciptakan serta memberikan pengakuan
196 secara formal terhadap “agama resmi”, maka berbagai sistem
ajaran yang telah berkembang dalam masyarakat yang tidak
bisa didefinisikan sebagai agama (resmi) mengalami proses
peminggiran. Penelitian ini memilih lima kelompok—kecuali
Konghucu yang perlu diberi catatan khusus setelah terjadi
perubahan signifikan pada kepresidenan Abdurrahman
Wahid—“agama tidak resmi” sebagai contoh kasus intervensi
negara beserta dampak yang ditimbulkannya. Kelima
kelompok tersebut adalah: Darul Arqam, Saksi Yehova,
Konghucu (sebelum diakui sebagai agama resmi), Kaharingan,
dan Agama Djawi-Sunda.
Penelitian yang ingin mengungkap ketimpangan relasi
antara negara, agama, dan masyarakat juga dilakukan oleh
tim peneliti dari The Wahid Institute. Hasil penelitian The
Wahid Institute telah dipublikasikan dengan judul, Politisasi
Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia
(2007). Meskipun tidak menyebut penelitian, Menekuk Agama,
Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru, yang terbit tiga
tahun sebelumnya, temuan penelitian The Wahid Institute ini
memperkuat penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan
oleh The Wahid Institute berhasil mengungkap tiga hal.
Pertama, meskipun terjadi perubahan politik penting, dari
Orde Baru ke Reformasi, negara ternyata belum berhasil
menjaga jarak dengan agama. Penelitian ini mengkaji
Ahmadiyah, Yusman Roy, dan Yayasan Kanker-Narkoba
Cahaya Alam (YKNCA) Probolinggo, sebagai contoh kasus
intervensi negara terhadap kehidupan agama. Kedua, dalam
penelitian juga diungkap aksi kekerasan yang dilakukan
masyarakat terhadap kelompok minoritas. Aksi kekerasan
yang diungkap dalam penelitian ini adalah yang dialami oleh
komunitas Nasrani yang tergabung dalam Gereja Pantekosta
di Indonesia (GPdI) dan Gereja Kristen Jawa Kronelan. Ketiga,
penelitian ini juga mengungkap sisi lain penegakan syariat
Islam di Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan. Menurut pe 197
nelitian tim The Wahid Institute, formalisasi syariat tersebut
menimbulkan keresahan terhadap masyarakat adat dan dari
kelompok minoritas non-Islam. Dengan mengacu pada tiga
hal tersebut, The Wahid Institute ingin mengungkapkan
suatu kenyataan penting bahwa perubahan politik dari Orde
Baru ke Reformasi tidak disertai pada perubahan yang
menggembirakan di bidang HAM lebih-lebih kebebasan
beragama atau berkepercayaan.
Melengkapi pelacakan terhadap penelitian terdahulu,
perlu disebut juga penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyu
Hidayati yang berjudul, Apakah Kebebasan Beragama = Bebas
Pindah Agama?: Perspektif Hukum Islam dan HAM (2008).
Penelitian ini mengkaji masalah murtad (riddah/ apostasy) yang
sering dikaitkan dengan isu kebebasan beragama atau
berkepercayaan. Karena adanya konsep riddah ini, Islam
mendapatkan pencitraan sebagai agama yang tidak
mendukung
semangat
kebebasan
beragama
atau
berkepercayaan seperti ditekankan dalam konsep HAM
modern. Dalam pandangan Hidayati, konsep riddah memang
bisa menimbulkan kesan adanya gap dan kontradiksi antara
Islam dengan HAM jika tidak segera dicarikan solusi melalui
penafsiran kembali yang bertanggung jawab. Penafsiran
tersebut menurut Hidayati sangat mungkin bisa dilakukan,
sebab di satu pihak, al-Qur’an menjunjung tinggi HAM, dan
mengakui prinsip kebebasan beragama, kendati di pihak lain,
al-Qur’an mengecam dan menghukum secara keras orang
yang berpaling dari Islam atau menjadi kafir sesudah Islam
(riddah) seperti dikemukakan dalam surat an-Nisa’ ayat 89.
Hukum riddah tersebut menurut Hidayati tetap bisa
ditafsirkan kembali untuk mencari kompromi dengan HAM
yang membolehkan konversi agama. Ada dua langkah
mendasar yang ditawarkan oleh Hidayati untuk mencari jalan
kompromi tersebut, yakni sebagai berikut:
198 Pertama, Mengembalikan hukum riddah pada prinsip
dasarnya, yakni kebebasan beragama yang bertanggung
jawab. Kebebasan yang dimaksud oleh Islam adalah
kebebasan yang masih menaati aturan-aturan dan norma,
bukan kebebasan yang tanpa batas. Pada prinsipnya, Islam
sangat menjunjung tinggi kebebasan dan tanggung jawab
seseorang dalam beragama. Seseorang beriman atau tidak
merupakan pilihan pribadi perorangan. Namun pilihan itu
mengandung konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan. Kebebebasan yang bertanggung jawab ini akan
berdampak keluar dan ke dalam. Keluar terwujud dalam
bentuk toleransi sedangkan ke dalam terwujud dalam bentuk
ketaatan yang tinggi.
Langkah kedua yang ditawarkan oleh Hidayati adalah
dengan memahami kembali konteks historis hukum riddah.
Berikut pernyataan Hidayati:
Tidak melaksanakan hukuman mati terhadap orang
murtad, karena hukuman itu, selain penuh dengan latar
belakang politik Madinah abad ke-7 M, juga sudah tidak
sesuai dengan konteks masyarakat modern yang
cenderung sekuler. Situasi sosio-historis era modern yang
menganut teokrasi seperti awal Islam tapi menganut
demokrasi sekuler dalam wadah nation-state, jelas tidak
bisa menerima hukum mati bagi si murtad. Dalam situasi
seperti ini, hukuman mati bagi si murtad jelas tidak
mungkin dapat dilaksanakan.
Berdasarkan penelusuran setidaknya pada empat
penelitian terdahulu tersebut diperoleh suatu gambaran
bahwa isu kebebasan beragama atau berkepercayaan
merupakan obyek kajian yang menarik.
199
200 BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN
KONSEPTUAL
A. Kerangka Teoritik
pakah yang menyebabkan adanya sikap dan perilaku
yang memberikan penghargaan atau sebaliknya,
melakukan
pelanggaran
terhadap
kebebasan
beragama atau berkepercayaan? Apakah pelanggaran yang
dilakukan oleh masyarakat ada kaitannya dengan cara
pandang suatu kelompok kepada kelompok yang lain berdasarkan satu bacaan atau pengalaman tertentu? Ada beberapa
kerangka teoritik yang bisa digunakan untuk menjawab
pertanyaan tersebut, di antaranya studi yang dilakukan oleh
Fatimah Husein, Muslim-Christian Relations in the New Order
Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslim Perspectives
(2005). Hubungan Muslim dan Kristen yang menjadi fokus
studi Husein merupakan topik penting sekaligus sensitif.
Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembangan Islam
dan Kristen di Indonesia.
A
Dalam pandangan Husein, relasi antara Islam dan
Kristen tidak bisa dilepaskan dari cara pandang masingmasing pemeluk agama tersebut terhadap agamanya sendiri
maupun agama kelompok lain. Dalam studinya Husein
mengungkap dua cara pandang dominan di kalangan Muslim
yang mempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni: eksklusif
(exclusive) dan inklusif (inclusive). Muslim eksklusif memiliki
keyakinan Islam sebagai agama terakhir untuk mengoreksi
(kesalahan) agama lain. Cara pandang ini menurut Husein
201
menimbulkan sikap tidak toleran (intolerance) terhadap keberadaan agama lain. Sedangkan Muslim inklusif memiliki
keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar.
Meskipun begitu, mereka tidak menegasikan agama di luar Islam yang juga dapat memberikan keselamatan (salvation) bagi
pemeluknya. Dengan cara pandang ini, Muslim inklusif
bersikap lebih terbuka terhadap kelompok agama lain.
Kategori yang dibuat Husein bisa digunakan untuk
menjelaskan proses pelanggaran kebebasan beragama atau
berkepercayaan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan
demikian dapat dikatakan pelanggaran yang dilakukan
masyarakat dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap
kelompok agama dan kepercayaan lain. Di antara dua cara
pandang tersebut (eksklusif dan inklusif) yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran adalah cara pandang eksklusif.
Sekadar mempertegas definisi eksklusivisme dari Husein,
perlu dikutip juga penjelasan Joseph Runzo (2003) apa yang
disebut dengan religious exclusivism, yakni sikap keagamaan
yang menganggap bahwa satu-satunya agama yang benar
hanya agama dan keyakinan yang dipeluknya, sedangkan
agama dan kepercayaan lain salah. Mengapa ada yang
berpandangan eksklusif, sementara lainnya inklusif? Apakah
cara pandang tersebut dipengaruhi oleh doktrin agama? Jika
eksklusivisme dipengaruhi oleh doktrin agama dan
(eksklusivisme) berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan, apakah bisa
dikatakan agama perlu bertanggung jawab terhadap
pelanggaran tersebut? Sederatan pertanyaan ini perlu
dikemukakan karena tidak jarang muncul sikap curiga dan
pesimistis terhadap kontribusi agama dalam menegakkan
kebebasan beragama.
202 Selain persoalan adanya truth claim sebagai perwujudan
paham keagamaan eksklusif, faktor persaingan mencari
pengikut sebanyak-banyaknya bisa pula menjadi penyebab
pelanggaran atas kebebasan beragama atau berkepercayaan.
Sebab, masing-masing pihak yang berbeda keyakinan tersebut
tentu tidak ingin tidak mendapatkan pengikut. Bagi
komunitas agama tertentu, banyaknya pengikut berkaitan erat
dengan tingkat kemakmuran secara ekonomi. Sehingga,
tidaklah aneh bila masing-masing umat beragama saling
berlomba-lomba memperebutkan pengikut, bahkan terkadang
dengan cara-cara yang tidak etis. Salah satu teori yang bisa
dikemukakan di sini adalah teori balapan (race theory) yang
dikemukakan Schrieke dalam kaitannya dengan penyebaran
Islam (dan Kristen) di Kepulauan Melayu-Nusantara.
Schrieke, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra (2002),
mengatakan adalah suatu kenyataan bahwa tidak mungkin
memahami penyebaran Islam di Nusantara jika orang tidak
memperhitungkan permusuhan antara para pedagang muslim
dan bangsa Portugis. Sarjana Belanda itu mengungkapkan
bahwa terjadi persaingan antara Islam dan Kristen pada abad
ke-16 sebagai kelanjutan Perang Salib (crusade). Schrieke
menekankan, melebihi faktor apa pun, semangat Perang Salib
dengan cara berikut:
Semangat agama yang tercermin dalam tradisi Perang
Salib dan kenangan perjuangan yang pahit melawan
bangsa Moors di Semenanjung Iberia sudah pasti terus
menjadi suatu motivasi yang sangat penting....Unsur
agama juga tetap menjadi faktor yang signifikan dalam
politik Spanyol pada masa-masa berikutnya. Bagi
penduduk Semenanjung (Iberia), pengikut Muhammad
adalah kaum “Moor”, sebuah sasaran kebencian.
203
Teori ini ditolak oleh Naquib Al-Attas tetapi didukung
oleh Reid melalui kajian mutakhirnya. Dengan menerima
secara tersirat argumen dasar Schrieke, Reid menyatakan
bahwa yang terjadi sejak paruh abad ke-15 dan ke-17 adalah
semakin menguatnya polarisasi dan eksklusivisme agama
khususnya antara kaum Muslimin dan Kristiani. Peningkatan
polarisasi yang lebih tajam di antara para penganut kedua
agama ini pada dasarnya disebabkan oleh “balapan di antara
mereka” untuk mendapatkan para pemeluk baru. Sebagaimana dikemukakan oleh Reid, bahwa pada abad ke-16
sejumlah besar orang, baik di perkotaan maupun pedesaan
dengan jelas berpindah agama, masuk Islam, dan selanjutnya
mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian integral dari komunitas Islam internasional. Menurut Reid, identifikasi diri
menguat disebabkan oleh dua faktor, yaitu hubungan laut
yang bersifat langsung dan intensif antara kawasan Asia
Tenggara dan Laut Merah, dan polarisasi yang lebih tajam
antara kawasan Dunia Islam (Dar al-Islam) dan kawasan nonIslam (Dar al-Harb).
Lebih dari sekadar persaingan mendapatkan pemeluk
baru, ada penjelasan lain yang lebih “mengerikan” terkait
persaingan antara Islam dan Kristen, yakni apa yang disebut
Martin van Bruinessen, sebagaimana dikutip Mujiburrahman
(2008), sebagai teori konspirasi ahli kitab yang beredar di masyarakat muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam teori konspirasi ini, orang-orang Yahudi dan Kristen
atau ahl al-kitab tidak lagi dilihat sebagai saudara dalam garis
turunan dari agama Ibrahim, melainkan musuh-musuh politik
yang bersekongkol untuk menghancurkan Islam. Kekalahan
negara-negara Arab dalam perang melawan Israel serta
penderitaan yang berlarut-larut bangsa Palestina dan disusul
oleh negara-negara Timur Tengah lainnya seperti Afghanistan
dan Irak, telah dijadikan dasar bagi teori konspirasi Yahudi
internasional untuk menghancurkan Islam. Tidak itu saja, para
204 pemikir muslim yang sekolah di Barat, atau mengusung ideide liberal, dengan gampang dituduh sebagai agen Yahudi.
Jurnal keislaman Ulumul Qur’an yang seringkali memuat
pemikiran-pemikiran kritis misalnya, oleh kalangan tertentu
sempat diplesetkan menjadi Ulumul Talmud untuk
mengesankan adanya kaitan jurnal itu dengan Yahudi.
Memang dalam dunia politik tidak jarang terjadi
persekongkolan atau konspirasi. Tetapi jika orang selalu
menggunakan teori konspirasi untuk menjelaskan semua
masalah, maka akan terjadi penyederhanaan yang amat
berbahaya. Tetapi mengapa teori konspirasi menimbulkan
daya tarik yang kuat? Martin Bruinessen mengatakan:
Teori-teori konspirasi mempunyai daya tarik kuat
karena merupakan penjelasan yang mudah dipahami
dan sekaligus menunjukkan kambing hitam. Teori
konspirasi meletakkan tanggung jawab atas segala hal
yang tidak disenangi pada orang lain. Demikian
penganut teori itu tidak usah mengungkapkan
kekurangan, kelemahan dan kesalahannya sendiri, tidak
perlu mengeritik diri sendiri karena semua hal dianggap
kejahatan pihak lawan. Teori semacam ini menghalangi
orang untuk melihat sebab-sebab yang sebenarnya,
sehingga tidak atau tidak mungkin mengubah keadaan
yang tidak disenangi.
Semangat pengkambinghitaman atau teori konspirasi,
sebagaimana dapat kita saksikan, digunakan pula oleh
kelompok umat beragama tertentu untuk menyudutkan
kelompok umat beragama yang lain.
B.
Kerangka Konseptual
Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan
Istilah kunci dalam penelitian ini adalah kebebasan
beragama atau berkepercayaan (freedom of religion or belief).
205
Apa kebebasan itu? Lorens Bagus (1996) menjelaskan,
kebebasan adalah kualitas tidak adanya rintangan nasib,
keharusan, atau keadaan di dalam keputusan atau tindakan
seseorang. Pengertian lain menyatakan, kebebasan adalah
suatu keadaan tiadanya penghalang paksaan, beban atau
kewajiban.
Apakah agama (religion) dan kepercayaan (belief) itu?
Dalam perbincangan sehari-hari, istilah agama lebih sering
digunakan daripada istilah kepercayaan. Namun demikian,
tidak berarti istilah agama mudah didefinisikan. Istilah agama
biasanya---untuk memudahkan pemahaman terhadap arti
agama---dihubungkan dengan nama-nama agama yang sudah
dikenal seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, dan
Konghucu. Tetapi dalam kajian ilmu-ilmu sosial, sosiologi,
misalnya, pemahaman terhadap arti agama tidak sesederhana
seperti pada perbincangan sehari-hari tersebut. Dalam
sosiologi dibedakan antara pengertian agama secara eksklusif
dan inklusif. Dalam pengertian yang inklusif, agama tidak
hanya mencakup sistem-sistem yang teistik yang menekankan
pada kepercayaan pada hal-hal yang bersifat supranatural,
tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti
komunisme, nasionalisme, atau humanism. Hal ini berbeda
dengan pengertian eksklusif terhadap agama. Dalam pengertian eksklusif, agama hanya dibatasi pada sistem-sistem
teistik, yakni yang memiliki seperangkat kepercayaan dan
ritual. Elemen ini terorganisasikan secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota suatu masyarakat atau beberapa
segmen suatu masyarakat.
Dengan demikian, pemikiran-pemikiran pribadi bukan
merupakan agama sepanjang pemikiran itu bersifat pribadi
dan tidak termasuk dalam semacam kumpulan doktrin dan
ritual yang lebih besar (pemikiran tersebut mungkin saja
206 bersifat religius, tetapi tidak merupakan agama). Berdasarkan
pada pengertian eksklusif ini, sistem-sistem nonteistik tidak
diakui sebagai agama karena tidak mencakup dunia
supranatural. Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi,
merupakan agama dalam pengertian eksklusif. Sedangkan
komunisme, humanisme, nasionalisme tidak bisa disebut sebagai agama (Sanderson, 1991). Dalam konteks penelitian ini,
pengertian agama yang dipilih adalah yang eksklusif.
Bagaimana dengan istilah kepercayaan? Dalam
perbincangan sehari-hari, antara agama dan kepercayaan sulit
dibedakan sebab kepercayaan merupakan elemen utama
agama. Stround’s Judicial Dictionary, seperti dikutip Natan
Lerner (2000), mengemukakan: “The essential elements of religion
are belief in and worship of God.” Di sini, perbedaan antara
agama dan kepercayaan menjadi kabur. Tetapi jika
mencermati rumusan Universal Declaration of Human Rights,
kepercayaan memerlukan pengertian tersendiri sehingga
dapat ditemukan perbedaan dengan agama. Pada Pasal 18
Universal Declaration of Human Rights terdapat rumusan
sebagai berikut:
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and
religion; this rights includes freedom to change his religion of
belief (cetak tebal dari penulis), and freedom either alone or in
community with others and in public or private, to manifest
his religion or belief (cetak tebal dari penulis)in teaching,
practice, worship and observance.
Pada Pasal 18 tersebut, Istilah “kepercayaan” dua kali
mengikuti istilah “agama”. “Kepercayaan”, menurut Natan
Lerner (2004) perlu ditafsirkan secara benar dalam kaitannya
dengan istilah “agama”. Penyebutan istilah kepercayaan
setelah agama (religion or belief) pada Pasal 18 tersebut serta di
beberapa instrumen HAM lainnya, tampaknya dimaksudkan
207
untuk memberikan penegasan bahwa di luar kepercayaan
yang melekat pada agama (kepercayaan teistik), juga terdapat
kepercayaan nonteistik (seperti ateistik, agnostik, dan
rasionalistik) yang perlu diakui dan dilindungi oleh instrumen
HAM. Di Indonesia, keberadaan pengikut kepercayaan
nonteistik terutama yang berbentuk ateistik mungkin sulit
dilacak keberadaannya. Tetapi kepercayaan yang berbentuk
apa yang disebut dengan “aliran kepercayaan”, jauh
melampaui jumlah “agama resmi” di Indonesia yang masih
berkisar di angka enam (Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Buddha, dan Konghucu). Sejauh ini belum terdapat data yang
pasti mengenai jumlah “aliran kepercayaan” tersebut. Buku,
Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru
(2004), memperkirakan jumlah “aliran kepercayaan” sebanyak
100 hingga 300 kelompok. Sedangkan menurut perkiraan
Kontras, “aliran kepercayaan” di Indonesia berjumlah sekitar
517 kelompok. Istilah kepercayaan (belief)—di samping agama
(religion)—yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada kelompok-kelompok “aliran kepercayaan” yang tidak
masuk dalam kategori agama. Penelitian ini juga menggunakan pengertian “kepercayaan” yang dibuat Lerner untuk
memahami kelompok-kelompok keagamaan di luar arus
utama (nonmainstream) terutama yang muncul dalam masyarakat Islam seperti Ahmadiyah, Lia Aminudin, al-Qiyadah alIslamiyah, dan kelompok-kelompok lainnya.
Kebebasan beragama (freedom of religion) adalah hak
yang tidak diciptakan oleh masyarakat atau negara, melainkan
suatu anugerah yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok keagamaan melalui hakikat kemanusiaannya.
Baidhawi (2005) menjelaskan bahwa dalam masyarakat plural
yang ditengarai dengan kehadiran bersama perbedaan dan keragaman, maka perbedaan dan keragaman agama-agama (almillah) yang hidup bersama dan berdampingan (live together)
208 tercakup dalam definisi kebebasan beragama. Agama-agama,
apakah yang disebut sebagai agama monoteistik seperti
Yahudi, Kristen, dan Islam, atau agama-agama nonmonoteistik seperti Manichaenisme, Zoroaster, dan Hindu, atau
agama-agama Barat maupun Timur seperti Tao, Konghucu
dan Buddha, serta agama-agama asli seperti animisme dan
dinamisme, memiliki hak yang sama untuk hidup dan
tumbuh kembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Agama-agama itu diperkenankan untuk dipeluk dan diyakini
secara bebas oleh setiap individu yang memilihnya menjadi
pegangan hidup.
Sebagai salah satu hak yang paling fundamental,
pelaksanaan kebebasan beragama didasarkan pada delapan
norma6 sebagai berikut: Pertama, internal freedom (kebebasan
internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan
beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap
individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau
mengubah agama dan kepercayaannya. Kedua, external freedom
(kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan
mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai
bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam pengajaran,
praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan
beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik di
wilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga bisa
dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain. Ke 6Menurut Nicola Colbran, Legal Advisor, Norwegian Centre for Human Rights,
University of Oslo, kedelapan norma tersebut juga merupakan inti hak kebebasan
beragama atau berkepercayaan. Pandangan ini dikemukakan oleh Colbran pada saat
menyajikan makalah, Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan, pada workshop
dengan tema, Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan
Tantangan, kerjasama antara Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) ,
University of Oslo, dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta. Workshop dilaksanakan pada 13-15
November 2007.
209
tiga, noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan
adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan
dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan
kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu
agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapapun.
Keempat, nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan
norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan
bahwa seluruh individu di dalam wilayah kekuasaanya dan
yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau
berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik
dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status
kelahiran. Kelima, rights of parent and guardian (hak orang tua
dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban
menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah
secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan
moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan
mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan
atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau
berkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri.
Keenam, corporate freedom and legal status (kebebasan
berkumpul dan mem-peroleh status hukum). Aspek penting
kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam
kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas
keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk
asosiasi. Ketujuh, limits of permissible restrictions on external
freedom (pembatasan yang diperkenankan terhadap kebebasan
eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai
pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi
keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan hakhak dasar lainnya. Kedelapan, nonderogability. Negara tidak
210 boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun.
Pada bagian ini perlu disebut juga pemikiran M. Dawam
Rahardjo. Sebagai intelektual muslim, Rahardjo memiliki
pemikiran dengan spektrum yang begitu luas. Salah satu yang
menjadi kepedulian intelektual Rahardjo adalah pluralisme
agama atau kemajemukan agama. Terhadap masalah tersebut
yang juga bersentuhan dengan isu kebebasan beragama atau
berkepercayaan, Rahardjo memiliki pandangan yang tegas
(firm). Ketegasan Rahardjo antara lain dapat dicermati pada
artikelnya, Dasasila Kebebasan Beragama, yang dimuat dalam
situs Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam artikel tersebut,
Rahardjo dengan tegas mengatakan bahwa agama merupakan
persoalan individu yang tidak boleh diintervensi oleh otoritas
manapun baik negara maupun institusi keagaman tertentu.
Untuk memperkuat argumennya ini, Rahardjo merujuk pada
prinsip lâ rahbâniyyah fil Islâm (tidak ada otoritas keagamaan
dalam Islam). Sebab, bagi Rahardjo, otoritas keagamaan selalu
cenderung pada pengurangan kebebasan beragama. Padahal
iman tidak bisa dipaksakan oleh otoritas apa pun
sebagaimana juga ditekankan oleh prinsip lâ ikrâha fid dîn
(tidak ada paksaan dalam agama). Untuk menjamin
pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan,
menurut Rahardjo, keberadaan undang-undang (UU) mutlak
diperlukan. Dalam undang-undang yang disebut Rahardjo
dengan Undang-undang (UU) Kebebasan Beragama ini perlu
memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dengan
cakupan sebagai berikut: Pertama, kebebasan beragama dalam
arti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama
yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah
menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
211
Kedua, kebebasan untuk tidak beragama. Walaupun
UUD menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, kebebasan beragama juga berarti bebas untuk
tidak percaya kepada Tuhan atau untuk berkepercayaan ateis.
Tetapi tidak semua ateisme yang dapat diberi jaminan.
Rahardjo membatasi ateisme dalam bentuknya sebagai
wacana ilmiah yang dapat memperoleh jaminan. Sementara
ateisme yang bersifat antiagama dan anti-Tuhan, Rahardjo
merekomendasikan agar dilarang oleh negara, karena
bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ketiga, kebebasan berpindah agama, yang
setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke
agama lain. Menurut Rahardjo, alih-alih pindah agama
merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai riddah,
melainkan sebuah upaya menemukan kesadaran baru dalam
beragama. Rahardjo juga menolak jika orang yang pindah
agama disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti
mempunyai agama lain, melainkan menentang perintah
Tuhan.7
7Sekalipun di Indonesia banyak yang melakukan konversi ke agama lain,
misalnya dari Islam ke non-Islam, tetapi pelaku konversi tersebut tidak mendapatkan
sanksi berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia. Hal ini agak berbeda
dengan negara yang berpenduduk mayoritas Islam lainnya. Salah satu contoh kasus
yang mendapat perhatian luas, bahkan dari kalangan internasional adalah kasus yang
menimpa Lina Joy. Semula warga negara Malaysia itu bernama Azlina Jailani. Tetapi
setelah pindah dari agama Islam ke Kristen pada usia 26 tahun, perempuan beretnis
Melayu itu, berubah nama menjadi Lina Joy. Konversi yang dilakukan oleh Joy tidak
mendapat pengesahan dari Pengadilan Federal Malaysia kendatipun Joy sendiri
sangat menginginkannya untuk mencantumkan identitas baru (agama Kristen) dalam
MyKad (Kartu Tanda Penduduk/KTP) Malaysia. Menurut argumen pihak Pengadilan
Tinggi Federal, yang berhak membolehkan penggantian identitas agama pada KTP
Joy adalah Pengadilan Syariah Islam. Sementara Joy menolak argumen Pengadilan
Tinggi Federal karena dirinya penganut agama Kristen yang tidak perlu mengikuti
ketentuan Pengadilan Syariah Islam. Penolakan pihak Pengadilan Tinggi Federal
berdampak pula terhadap rencana pernikahan Joy dengan kekasihnya yang juga
seorang Kristen. Pernikahan antara Muslim dan non-Muslim tidak diperbolehkan
berdasarkan
ketentuan
hukum
Malaysia
dan
hukum
syariah
(http://www.rileks.com/ragam/detnew/-31052007025922.html)
212 Keempat, kebebasan beragama menyebarkan agama
(berdakwah). Menurut Rahardjo, aktivitas dakwah yang perlu
dilindungi adalah yang tidak dilakukan melalui kekerasan
maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung.
Selain dakwah tanpa kekerasan atau nirkekerasan, kegiatan
dakwah juga perlu menghindari dari praktik tidak etis seperti
diutarakan Rahardjo berikut ini:
Kegiatan (dakwah) untuk mencari pengikut, dengan
pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak
dari keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis
dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu,
adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan
martabat manusia, dengan cara 'membeli' kepercayaan
seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh
dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak
disertai syarat masuk agama tertentu.
Penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan
keselamatan secara langsung dari orang ke orang atau
dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan
tujuan proliterasi adalah tindakan yang tidak sopan dan
sangat mengganggu, karena itu harus dilarang. Kegiatan
penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak dilarang,
tetapi upaya kristenisasi atau islamisasi sebagai proliterasi
tidak diperkenankan. Jika tata cara penyebaran agama bisa
diatur, tidak akan ada lagi tuduhan kristenisasi, islamisasi,
atau pemurtadan.
Kelima, kebebasan beragama mencakup juga sikap adil
negara terhadap semua agama. Agar negara bisa bertindak
secara adil, negara, kata Rahardjo, perlu merevisi kebijakan
yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan terhadap
kelompok agama tertentu. Rahardjo mencontohkan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) yang mengharuskan pencantuman
identitas agama. Kebijakan ini dinilai Rahardjo bisa membuka
213
peluang favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk atau mereka
yang berpengaruh di pemerintahan.
Keenam, negara harus memperbolehkan perkawinan
antara dua orang yang berbeda agama, jika hal itu sudah
menjadi keputusan pribadi dan keluarga yang bersangkutan.
Otoritas agama boleh saja mengeluarkan fatwa yang
mengharamkan perkawinan lintasagama, atau keluarga dan
individu boleh menganggap haram pernikahan antara
pemeluk agama yang berbeda. Namun, fatwa itu tidak
mengikat negara dan pandangan keluarga dan individu itu
hanya berlaku pada dirinya sendiri.
Ketujuh, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa
diberi hak untuk menentukan agama yang dipilih untuk
dipelajari. Pilihan tidak boleh berlaku otomatis menurut
agama orang tua, walaupun orang tua bisa memengaruhi,
bahkan menentukan pilihan anak-anaknya. Hak itu mencakup
pilihan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu.
Namun minimal ada keharusan bagi setiap siswa atau
mahasiswa untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika,
misalnya berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting
bagi pembentukan warganegara yang baik.
Kedelapan, dalam perkembangan hidup beragama, setiap
warga berhak membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan
mendirikan
agama
baru,
asal
tidak
mengganggu
ketenteraman umum dan melakukan praktik-praktik yang
melanggar hukum dan tata susila, atau menipu dengan kedok
agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang ingin
mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau
kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran
beberapa agama, sesuai dengan pilihan anggota atau peserta,
selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu akidah
214 agama sebagai syarat. Kesembilan, negara maupun suatu
otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh membuat keputusan
hukum yang menyatakan suatu aliran keagamaan sebagai
sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan
praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila.
Namun otoritas keagamaan bisa memberi penerangan dan
bimbingan yang berkenaan dengan soal ibadah, akidah, dan
syariat, tapi tidak mengikat siapa pun, baik negara maupun
warga negara.
Persoalannya sekarang, bila ada kebebasan beragama
adakah pembatasan atas kebebasan beragama? Sebab, secara
antinomis, bila ada kebebasan berarti ada pembatasan. Terkait
masalah ini Baidhawi (2005) kembali menjelaskan bahwa kita
juga memerlukan penjelasan tentang batasan-batasan yang
diperbolehkan untuk mengeliminasi apapun yang laten dari
agama atau kepercayaan itu sendiri. Pembatasan atas
kebebasan beragama utamanya bertujuan untuk menjaga lima
hal, yaitu: Pertama, menjaga keselamatan publik. Tujuan ini
membuka kemungkinan diperbolehkannya larangan-larangan
tertentu secara terbatas atas manifestasi publik dari agama,
seperti pertemuan-pertemuan, prosesi, seremoni keagamaan,
dan lain-lain; jika bahaya tertentu yang muncul mengancam
keselamatan orang-orang baik kehidupan, integritas,
kesehatan, atau kepemilikan mereka, di mana ancamanancaman yang berhubungan dengan agama/kepercayaan atas
keselamatan manusia atau kepemilikan ada, negara memiliki
wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan yang
dibutuhkan dan proporsional untuk melindungi keselamatan
publik, temasuk melarang, membubarkan pertemuanpertemuan keagamaan yang berpotensi atau terbukti dapat
memantik kekacauan dan keresahan, dan dalam kasus ekstrim
boleh jadi negara melarang atau membubarkan kelompokkelompok keagamaan tertentu yang dipandang sangat
215
berbahaya menurut kacamata undang-undang dan hukum
yang berlaku. Kelompok-kelompok yang mengatasnamakan
agama tertentu dengan misimisi brutal dan penuh kekerasan,
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan termasuk
melalui serangan-serangan, penculikan, teror, bom bunuh diri,
dapat dilarang keberadaannya melalui keputusan-keputusan
hukum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kedua, menjaga tatanan publik. Termasuk dalam
kategori ini adalah pembatasan atas manifestasi eksternal
kebebasan beragama apabila dapat mengacaukan tatanan
publik, semata-mata untuk menjaga koeksistensi dan
kehidupan bersama semua umat manusia. Aturan yang
melarang muslimah untuk memakai jilbab, turban bagi orang
Sikh, memanjangkan jenggot bagi Buddhis, dan sebagainya
tidak dapat dibenarkan dengan alasan klausa untuk menjaga
tatanan publik. Sebab, benda-benda material dan simbolsimbol keagamaan semacam itu tidak memberikan ancaman
bagi tatanan sosial. Pembatasan lain yang dapat diterapkan
adalah ditetapkannya syarat-syarat bagi komunitas-komunitas
keagamaan agar meregistrasikan diri sebagai komunitas legal
dan memperoleh status pengakuan dari negara. Negara juga
memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi dalam
membuat aturan-aturan mengenai pertemuan-pertemuan
publik atau pendirian rumah ibadat. Pengalaman di Indonesia
menunjukkan secara nyata bahwa konflik atau ketegangan
antarumat beragama banyak tumbuh dari sengketa pendirian
rumah-rumah ibadat. Namun, bila aturan-aturan itu
digunakan secara semena-mena dan diskriminatif atas
kelompok-kelompok keagamaan tertentu, maka aturan ini
merupakan pelanggaran atas kebebasan beragama itu sendiri.
Ketiga, menjaga kesehatan publik. Contohnya adalah
pelarangan Pemerintah Belanda atas petani Protestan yang
216 menolak menjadi anggota layanan kesehatan bagi ternak
mereka karena alasan-alasan keagamaan, atau larangan atas
praktik pemotongan alat kelamin perempuan yang dilakukan
oleh kebudayaan-kebudayaan atau agama-agama di Afrika,
atau larangan atas praktik-praktik sekte keagamaan tertentu
yang berhubungan dengan pemakaian obat narkotika atau bunuh diri sebagai jalan menju keselamatan dan pembebasan.
Sekte Davidian di bawah pimpinan David Koresh yang
mengguncang publik Amerika Serikat beberapa tahun lalu
dengan kasus bunuh diri massal, adalah contoh yang layak
bagi negara untuk memiliki satu atau lain alasan pelarangan
atau pembatasan tertentu atas kebebasan beragama.
Keempat, menjaga moral. Contohnya adalah adanya
tradisi pengorbanan dalam setiap agama. Ada bentuk-bentuk
korban berupa persembahan hasil pertanian seperti dijumpai
pada beberapa masyarakat di Tengger dan masyarakat adat
lainnya di berbagai belahan dunia. Ada pula persembahan
dengan mengorbankan binatang ternak seperti dikenal dalam
agama-agama monoteis: Islam, Yahudi, dan Kristen. Namun,
dalam beberapa kasus, dijumpai pula pengorbanan dengan
mempersembahkan manusia. Dalam kasus terakhir, negara
bukan saja memiliki hak, akan tetapi wajib ikut campur untuk
melindungi hak hidup manusia sebagai bagian dari hak asasi
yang fundamental. Tidak ada satu pun sistem modern yang
menerima ritus pengorbanan manusia.
Kelima, menjaga hak dan kebebasan orang lain.
Pembatasan atas proselitisme misalnya, diperlukan agar
aktivitas misi atau dakwah agama-agama tidak melanggar hak
dan kebebasan beragama orang lain yang menjadi sasaran.
Pembatasan ini menggarisbawahi larangan melakukan aktivitas pemurtadan secara paksa dan tekanan melalui
kekuatan uang maupun politik dan militer. Pembatasan juga
217
bermaksud agar kegiatan dan aktivitas misi dan proselitisme
tidak melampaui batas kewajaran sehingga membolehkan
penghujatan atau penghinaan atas agama atau kepercayaan
orang lain. Ujaran, ceramah, khutbah, dan orasi penuh
kebencian (hatred speech) harus dilarang secara hukum dan
dapat ditetapkan menjadi perbuatan kriminal.
Pembatasan-pembatasan di atas sesungguhnya bukan
bertujuan untuk mengekang hak dan kebebasan beragama itu
sendiri, namun lebih diarahkan sebagai upaya antisipasif dan
preventif atas ekses dan dampak laten yang seringkali tidak
diharapkan dari manifestasi hak dan kebebasan beragama
yang melampaui batas dan tidak bertanggung jawab.
218 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Metode Penelitian
1.
Pendekatan Analisis Wacana (Discourse Analysis)
S
ebagaimana tampak pada elaborasi di atas,
kebebasan beragama dan berkepercayaan
merupakan subyek kajian yang unik. Ia bukan
benda fisik yang dengan mudah ditera. Ia sebuah konsep,
sebuah kumpulan pernyataan, atau dalam Foucault dalam The
Archeology of Knowledge adalah sebuah wacana (discourse).
Menurutnya, the term discourse can be defined as the group of
statements that belong to a single system of formation; thus I shall be
able to speak of clinical discourse, economic discourse, the discourse
of natural history, psychiatric discourse (istilah wacana dapat
didefinisikan sebagai kumpulan pernyataan yang termasuk
dalam satu sistem informasi tertentu; jadi saya dapat berbicara
tentang wacana klinik, wacana ekonomi, wacana sejarah
alamiah, wacana psikiatrik) dan menurut peneliti, dapat
berbicara pula tentang wacana kebebasan beragama atau
berkepercayaan. Dalam hal ini, hiruk pikuk argumen tentang
kebebasan beragama atau berkepercayaan, baik yang
menerima atau pun menolak, dianggap sebagai kumpulan
pernyataan yang perlu dianalisis secara lebih lanjut.
Atas dasar itu maka, penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis wacana. Secara singkat kita dapat
menyatakan bahwa analisis wacana adalah suatu cara atau
metode untuk mengkaji wacana (discourse) yang terdapat atau
terkandung di dalam pesan-pesan komunikasi baik secara
219
tekstual maupun kontekstual. Ada tiga paradigma yang
menjadi pondasi analisis wacana, yaitu positivis-empiris
(lazim juga disebut positivisme), konstruktivisme, dan kritis
(A.S. Hikam, 1996). Pertama, positivis-empiris. Salah satu
cirinya adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Inti
bahasannya, apakah suatu pernyataan disampaikan secara
benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan
demikian
analisis
wacana
dimaksudkan
untuk
menggambarkan tata aturan ayat, bahasa, dan pengertian
bersama. Kedua, konstruktivisme. Menolak pemisahan antara
subjek dan objek bahasa. Menempatkan subjek sebagai aktor
sentral dalam kegiatan wacana. Subjek boleh melakukan
kontrol terhadap maksud-maksud yang ada dalam wacana.
Ketiga, kritis. Di sini, analisis wacana menekankan pada
konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna. Individu tidak dipandang sebagai subjek
yang netral, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh
kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Dalam pandangan
paradigma kritis bahasa tidak dipahami sebagai medium
netral melainkan sebagai representasi yang berperan dalam
membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu,
maupun strategi-strategi di dalamnya. Karenanya, analisis
wacana digunakan untuk menguraikan segala sesuatu yang
ada di dalam setiap proses bahasa.
Secara garis besar, kita dapat menyatakan bahwa
terdapat dua pendekatan dalam analisis wacana (Keiko
Matsuki, 1996). Pertama, pendekatan sosiolinguistik yang
menitikberatkan persoalan-persoalan bahasa secara mikro,
seperti persoalan formasi tekstual dari wacana, atau bentukbentuk serta fungsi-fungsi dari lambang-lambang bahasa yang
digunakan dalam teks. Pende-katan ini seringkali dikritik
sebagai terkesan kurang mementingkan proses-proses
makrohistoris dari teks bersangkutan. Kedua, pendekatan
220 sosiokultural yang melihat wacana sebagai praktik sosial.
Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada praktik sosial
kehidupan manusia, dan menempatkan wacana sebagai
tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan prosesproses simbolik, seperti kekuasaan (power) dan ideologi.
Pendekatan ini lebih menempatkan lambang-lambang dalam
konteks situasional maupun historis secara lebih luas sehingga
lebih dekat dengan semiotika.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiokultural.
Sebab, peneliti berhipotesis bahwa wacana kebebasan
beragama atau berkepercayaan bukanlah kumpulan pernyataan yang netral atau berdiri sendiri---meminjam Foucault--melainkan tumbuh dan berkembang dalam konteks relasirelasi kuasa. Karena wacana, bagi Foucault, tidak berdiri sendiri melainkan tumbuh dalam relasi-relasi kuasa, maka
wacana bukan sekadar pernyataan kosong tanpa efek nyata,
melainkan mewujud dalam praktik-praktik di masyarakat.
Sejauh mana sebuah wacana menjadi kenyataan dalam praktik
tentu tergantung pada relasi-relasi kuasa yang ada. Relasirelasi kuasa yang dimaksud di sini adalah para subjek, yaitu
siapa yang membuat suatu wacana. Posisi mereka sangat
penting untuk diketahui dalam kajian yang menggunakan
analisis wacana. Sebab, wacana yang dibuat oleh seseorang
yang dianggap sebagai tokoh publik tentu berbeda dengan
wacana yang dibuat oleh orang biasa. Foucault menyarankan
agar kita menanyakan:
Who, among the totality of speaking individuals, is accorded the
right to use this sort of language? Who is qualified to do so?
Who derives from it his own special quality, his prestige, and
from whom, in return, does he receive if not the assurance, at
least the presumtion that what he says is true? What is the
status of the individuals who---alone---have the right, sanctioned
221
by law or tradition, judicially defined or spontaneously accepted,
to proffer such a discourse?
Siapa di antara individu-indvidu yang bicara, yang
mendapatkan hak untuk menggunakan bahasa semacam
ini? Siapa yang mengambil dari adanya kualitas khusus
dirinya, prestisenya dan sebaliknya dari siapa dia
menerima, jika bukan kepastian sekurang-kurangnya dugaan, bahwa apa yang dikatakan adalah benar? Apakah
status dari individu-individu yang secara khusus
mempunyai hak, disahkan oleh hukum atau tradisi,
didefinisikan secara juridis atau diterima secara spontan,
untuk menawarkan wacana semacam itu.
Foucault juga menyarankan agar kita menanyakan,
lembaga apa, jika ada, yang diatasnamakan oleh si pembuat
wacana? Wacana yang dikemukakan oleh cendekiawan tanpa
latar belakang organisasi tertentu akan berbeda dengan
wacana seorang tokoh yang memimpin sebuah organisasi
besar. Fatwa MUI yang mengharamkan natal bersama tahun
1981 menimbulkan ketegangan antara Buya Hamka sebagai
Ketua MUI dan pemerintah. Padahal lama sebelumnya, yakni
tahun 1974, Hamka sudah membuat fatwa yang sama di
majalah yang diasuhnya, Panji Masyarakat, tanpa ada
keributan. Saat itu Hamka memang belum menjadi Ketua
MUI. Dari penjelasan tersebut kita dapat meletakkan
penelitian ini pada koridor yang tepat, yakni ketika peneliti
menjadikan tokoh ormas Islam sebagai informan yang harus
diungkap pendapatnya terkait wacana kebebasan beragama
atau berkepercayaan. Selain karena kedudukan mereka,
peneliti menduga para tokoh ormas ini pun memiliki konstruk
pengetahuan yang memadai terkait masalah yang akan
ditanyakan.
222 Dalam penelitian tentang kebebasan beragama atau
berkeyakinan ini, pendekatan analisis wacana sangat penting,
sebab pendekatan ini menyarankan untuk memperhatikan
bagaimana strategi diskursif, yakni cara menalar dan
berargumentasi yang dikembangkan oleh si pembicara dalam
mengemukakan wacana itu. Kadang-kadang, sebuah wacana
dikembangkan dalam argu menargumen yang koheren, tapi
bisa juga kontradiktif, melompat-lompat atau mengalami
penyesuaian-penyesuaian (appropriations). Dalam kasus fatwa
yang mengharamkan natal bersama, argumen yang dipakai
adalah bahwa pengertian natal dalam agama Kristen adalah
syirik dalam pandangan akidah Islam. Sedangkan dalam
kasus penelitian ini, kita akan berupaya mengungkapkan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi para tokoh ormas
Islam dalam menyampaikan argumennya tentang kebebasan
beragama atau berkepercayaan.
2.
Metode Pengumpulan Data
a.
Wawancara
Disebabkan penelitian ini hendak mengungkapkan sistem
makna yang melandasi argumen tokoh ormas Islam tentang
wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan maka
metode pengumpulan data yang paling tepat adalah dengan
menggunakan wawancara (interview). Sebab, sebagai suatu
metode ilmiah, wawancara lazim digunakan untuk melacak
berbagai gejala tertentu dari perspektif orang-orang yang
terlibat (the actors own perspective). Seperti dikatakan oleh
Lindlof dalam Pawito (2008), dengan menggunakan metode
interview peneliti dapat to learn about things that cannot be
observed directly by other means (dapat mempelajari hal-hal yang
tampaknya
memang
tidak
dapat
dilacak
dengan
menggunakan cara atau metode lain). Di sini orang-orang
yang diwawancarai (informan, interviewees) lalu berfungsi
223
sebagai pengamat yang kemudian melaporkan kepada
peneliti (dengan memberikan jawaban atas pertanyaan
peneliti) mengenai gejala-gejala yang sedang diteliti,
sebagaimana tertuang dalam pertanyaan-pertanyaan.
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan terhadap
informan dari kalangan pimpinan ormas Islam Kota Depok
atau tokoh cendekiawan atau ulama yang diafiliasikan pada
satu ormas Islam tertentu, yang dianggap representatif untuk
bisa menjelaskan tentang objek yang tengah di kaji. Guna
memperoleh informan yang tepat maka peneliti terlebih
dahulu akan mencari informasi ke sekretariat kantor ormas
Islam yang bersangkutan, setidak-tidaknya mengetahui terlebih dahulu struktur organisasinya. Dari struktur organisasi itu
setidaknya akan diketahui siapa-siapa saja informan yang
patut diwawancarai. Memperhatikan struktur organisasi maka
unsur pimpinan organisasi menjadi informan yang peneliti
berikan prioritas.
Selain informan yang tercantum dalam kepengurusan
organisasi, peneliti juga menyadari tentang pentingnya
informan non-pimpinan tetapi dianggap sebagai orang yang
diakui ketokohannya dalam organisasi yang bersangkutan.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini informan yang akan
diwawancarai dapat dibagi dua, yaitu mereka (tokoh) ormas
Islam yang tercantum sebagai pimpinan organisasi dan
mereka (tokoh) ormas Islam yang tidak tercantum sebagai
pengurus. Pemilihan terhadap dua posisi ini, didasarkan pada
pertimbangan bahwa biasanya ada perbedaan sudut pandang
seseorang ketika dia masih dalam kepengurusan dengan yang
belum. Mereka yang tergabung dalam kepengurusan biasanya
cenderung hati-hati dan penuh pertimbangan, karena mereka
tengah menjadi pimpinan yang setiap ucapannya akan
diperhatikan anggotanya atau masyarakat. Dalam mencari
224 informan non-pimpinan ini, peneliti akan bertanya secara acak
kepada para pengurus dan masyarakat tentang siapa-siapa
tokoh yang dimaksud. Nama yang peling sering disebut itulah
yang akan dijadikan sebagai informan.
Salah satu pertimbangan untuk menentukan informan
adalah juga faktor umur, tingkat dan latar belakang
pendidikan (agama dan nonagama). Dalam penelitian ini akan
dibagi sedemikian rupa agar pemilihan dan pemilahan
informan berdasarkan umur, tingkat dan latar belakang
pendidikan dapat dilakukan secara proporsional. Keragaman
karakteristik informan tersebut diharapkan dapat membantu
pesebaran informasi terkait masalah pokok penelitian secara
lebih lebih beragam pula. Dalam melakukan wawancara,
peneliti melakukan dengan dua cara, yaitu mempertanyakan
masalah yang telah disiapkan terlebih dahulu daftar
pertanyaannya dan pertanyaan spontan berdasarkan isu-isu
yang mencuat saat wawancara dilakukan.8
Ormas Islam yang dipilih dalam penelitian ini adalah
mereka yang sudah diduga sebelumnya berdasarkan
penelitian mempunyai spektrum pemikiran yang tidak
seragam. Dalam hal ini dipilih ormas Islam yang cenderung
mempunyai pemikiran moderat seperti Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), al-Irsyad,
dan mereka yang cenderung mempunyai pemikiran radikal
dan transnasional seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
dan Forum Umat Islam (FUI) serta ormas Islam yang dijumpai
di lapangan. Wawancara juga dilakukan terhadap mereka
yang digolongkan sebagai kelompok keagamaan non 8Ada tiga jenis wawancara: (a) wawancara percakapan informal (the informal
conversational interview), (b) wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara
(interview guide), dan (c) wawancara dengan menggunakan open-ended standard.
225
mainstream seperti Ahmadiyah misalnya. Pemilihan terhadap
Ahmadiyah dimaksudkan agar informasi tentang objek kajian
lebih komprehensif.
Tabel 1
Jumlah Tokoh
Struktura
Non
l
struktural
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
Nama Ormas Islam
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nahdlatul Ulama (NU)
Muhammadiyah
Al-Irsyad
Persatuan Islam (PERSIS)
Front Pembela Islam (FPI)
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
Rencana Informan Penelitian
b.
Pengamatan (Observation)
Guna melengkapi wawancara dilakukan pengamatan
(observasi). Ada dua jenis metode pengamatan, yaitu: (a)
observasi dengan ikut terlibat dalam kegiatan komunitas yang
diteliti (participant observation), dan (b) observasi tidak terlibat
(nonparticipant observation). Penelitian ini menggunakan jenis
metode pengamatan tidak terlibat. Observasi dalam penelitian
yang menggunakan pendekatan analisis wacana hanya
sebatas sebagai pelengkap bagi data yang diperoleh melalui
proses wawancara. Ia hanya mengonfirmasikan kemungkinan
adanya korelasi antara pernyataan yang disampaikan secara
verbal oleh para tokoh ormas Islam tersebut dengan perilaku
tokoh ormas Islam itu di lapangan. Misalnya, ada demonstrasi
menentang pendirian rumah ibadat, penolakan terhadap
226 kegiatan penyiaran agama, konversi agama atau proselitisme,
dan lain-lain.
3.
Analisis Data
Prosedur analisis data dilakukan baik dalam pengumpulan
data maupun setelah pengumpulan data selesai. Teknik
analisis data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif
Miles dan Huberman (1994). Teknik analisis ini pada dasarnya
terdiri dari tiga komponen: reduksi data (data reduction),
penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian
kesimpulan (drawing and verifying conclusion) (Syam, 2005).
Reduksi data bukan asal membuang data yang tidak
diperlukan, melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh
peneliti selama analisis data dilakukan dan merupakan
langkah yang tak terpisahkan dari analisis data.
Dalam reduksi data, data yang ditemukan lewat
wawancara mendalam dan observasi diklasifikasi sesuai
dengan pengelompokan datanya. Misalnya, data tentang
kawin beda agama, penyiaran agama, konversi atau
proselitisme agama, dan kelompok agama non-mainstream.
Maka, seluruh data dari informan maupun subjek penelitian
diklasifikasi sesuai dengan konsep-konsep tersebut. Dalam
komponen reduksi data ini kelihatan bahwa peneliti akan
mendapatkan data yang sangat sulit untuk diidentifikasi pola
serta temanya, atau mungkin kurang relevan untuk tujuan
penelitian sehingga data bersangkutan terpaksa harus
disimpan (diredusir) dan tidak termasuk yang akan dianalisis.
Dalam penyajian data dilakukan pengorganisasian
data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan
(kelompok) data yang lain sehingga seluruh data yang
dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan karena
dalam penelitian kualitatif data biasanya beraneka ragam per 227
spektif dan terasa bertumpuk maka penyajian data pada
umumnya diyakini sangat membantu proses analisis. Dalam
hubungan ini, data yang tersaji berupa kelompok-kelompok
atau gugusan-gugusan yang kemudian saling dikait-kaitkan
sesuai kerangka teori yang digunakan.
Pada penarikan data pengujian kesimpulan, peneliti
pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan
mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau
kecenderungan dari display data yang telah dibuat. Ada
kalanya kesimpulan telah tergambar sejak awal, namun
kesimpulan final tidak pernah dapat dirumuskan secara
memadai tanpa peneliti menyelesaikan analisis seluruh data
yang ada. Peneliti dalam kaitan ini masih harus
mengonfirmasi, mempertajam, atau mungkin merevisi
kesimpulan-kesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada
kesimpulan final berupa proporsi-proporsi ilmiah mengenai
gejala atau realitas yang diteliti.
Pengumpulan data Reduksi data Penyajian data Penarikan/pengujian kesimpulan Gambar 1
Analisis data Model Interaktif dari Miles dan Huberman
228 Selain menggunakan analisis data interaktif Miles dan
Huberman, karena para informan berasal dari ormas Islam
yang cenderung mempunyai ideologi yang berbeda, maka
penelitian ini juga menggunakan analisis komparatif,
terutama yang terkait dengan pola pemikiran masing-masing
tokoh tersebut dalam memahami kebebasan beragama atau
berkepercayaan.
B.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan dasar pemikiran, tujuan, urgensi, kerangka
teoritik, kerangka konseptual, dan metode penelitian, maka
kerangka pemikiran penelitian ini diskemakan sebagai
berikut:
Civil Society
Sosiokultural
Wacana
Kebebasan
Beragama atau
Berkepercayaan
Politik
Keagamaan
Pemerintah
Globalisasi:
HAM dan
Demokrasi
Gambar 2
Skema Kerangka Pemikiran Penelitian
229
230 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Konsep HAM
Berkepercayaan
dan
Kebebasan
Beragama
atau
ari berbagai literatur yang sempat dibaca, saya
melihat bahwa discourse kebebasan beragama
atau berkepercayaan (KBB) pada saat ini tidak
bisa dilepaskan dari perbincangan tentang nilai universalitas
atau partikularitas hak asasi manusia (HAM). Dalam tataran
teori, setidaknya ada empat aliran pemikiran terhadap HAM,
yaitu: Pertama, pandangan universal absolut. Pandangan ini
melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana
dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM internasional,
seperti The International Bill of Human Rights. Dalam hal ini
profil sosial budaya melekat pada masing-masing bangsa
tidak diperhitungkan. Kedua, pandangan universal relatif.
Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah
universal, namun demikian perkecualian dan pembatasan
yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap
diakui keberadaannya. Ketiga, pandangan partikular absolut.
Pandangan ini melihat HAM sebagai persoalan masingmasing bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat,
khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya
dokumen-dokumen internasional. Keempat, pandangan
partikularistis relatif. Dalam pandangan ini, HAM dilihat di
samping sebagai masalah universal juga merupakan masalah
nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumendokumen HAM internasional harus diselaraskan, diserasikan,
D
231
dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya
bangsa.9
Berangkat dari teori di atas, saya mengajukan
pertanyaan kepada beberapa informan tentang apakah HAM
dan KBB bersifat universal atau partikular? Persoalan ini
menjadi bahan perbincangan menarik di antara para
informan. Farkhan AR Fachruddin, Ketua Pimpinan Daerah
Muhammadiyah (PDM) Depok, mengatakan, KBB merupakan
salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan. Apalagi, kata
Farkhan, Islam merupakan agama yang mengajarkan bahwa
setiap manusia punya hak, Islam memberikan garis antara
mana yang benar dan mana yang salah. Untuk memperkuat
pandangannya tersebut, Farkhan mengutip al-Qur’an surat alKahfi ayat 29: ”Kebenaran itu datangnya dari Allah, siapa yang
mau beriman silahkan, siapa yang mau mengingkarinya silahkan...”.
Dalam pemahaman Farkhan, melalui ayat tersebut, Islam
sebenarnya telah memberikan dasar yang autentik dalam menyikapi perbedaan pilihan agama tiap-tiap manusia. ”Semua
itu menunjukkan, bahwa silahkan Anda memilih ajaran agama
masing-masing”, tandas Farkhan. Selain mencari pendasaran
secara teologis dalam al-Qur’an, dalam menjelaskan tentang
pentingnya kebebasan dalam beragama dan berkepercayaan,
Farkhan juga mendasarkan pada kenyataan obyektif
kehidupan manusia yang membutuhkan kebebasan. Manusia,
menurut
Farkhan
membutuhkan
kebebasan
untuk
menciptakan kehidupan yang harmonis, sejahtera, dan jauh
dari kekerasan.
Pandangan Farkhan sejalan dengan Mujahid, salah satu
tokoh MUI Kota Depok. Menurut Mujahid, kebebasan
beragama dan kepercayaan merupakan kebebasan seseorang
9Saharuddin Daming. “Pelarangan Ajaran Sesat dalam Perspektif Hukum dan
HAM” dalam Harmoni. Vol. VII. Nomor 25. Januari-Maret 2008. hlm. 74-75.
232 untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan tuntunan
yang diajarkan oleh agama masing-masing menurut kepercayaan yang telah dipahami. Setiap orang beragama,
membutuhkan
kebebasan
dalam
pengertian
seperti
dikemukakan Mujahid tersebut. Ketika ditanyakan mengenai
pentingnya kebebasan beragama, Mujahid memberikan
jawaban:
Kebebasan beragama diperlukan untuk menjamin
masyakat yang hidup di lingkungan secara damai dan
harmonis karena al-Qur’an mengajarkan bahwa agamamu
adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku.
Kebebasan beragama dan kepercayaan dalam masyarakat
diperlukan untuk mencipkan kondisi yang aman dan damai secara rahmatan lil `alamin. Ibadah Kepada Allah dan
hubungan toleransi dengan manusia dengan cara saling
menghargai antar umat manusia.
Kebebasan menurut Mujahid merupakan kebutuhan
universal setiap umat beragama. Mujahid tidak setuju jika
kebebasan beragama selalu dikaitkan dengan pandangan dari
luar terutama Barat. Pandangan dikotomik tersebut, menurut
Mujahid, seperti ingin mengesankan bahwa agama,
katakanlah Islam, tidak memiliki doktrin yang bisa dikaitkan
dengan kebebasan agama. Padahal, kata Mujahid lebih lanjut,
dalam Islam terdapat doktrin yang dekat dengan konsep
kebebasan beragama. Mujahid kemudian menukil ayat
populer yang sering dikutip ketika membicarakan hubungan
Islam dengan kebebasan beragama. Ayat yang dikutip
Mujahid berbunyi, laa ikraha fiddin, dan lakum dinukum
waliyadin.
Sebagaimana dua tokoh di atas, Yusdiarto, Ketua
Pimpinan Cabang al-Irsyad al-Islamiyah, berpendapat bahwa
Islam memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama.
233
Dia pun setuju jika surat al-Baqarah ayat 256 dijadikan dasar
pemberian jaminan kebebasan beragama dalam Islam.
Namun, dia menambahkan bahwa ayat itu jangan hanya
dibaca sepotong-potong. Ayat tersebut menurutnya harus
dibaca lebih lengkap, setidaknya sampai pada, qad tabayyana
rusydu min al-ghayy (sesungguhnya telah jelas daripada jalan
yang salah). Ayat ini menurut Yusdiarto penting dibaca agar
tidak
menimbulkan
kesalahpahaman
bahwa
Islam
memberikan jaminan kebebasan tanpa batas. Padahal, maksud
jaminan kebebasan dalam Islam tidak demikian. Setelah la
ikraha fiddin, ada kelanjutan qad tabayyana rusydu min al-ghayy.
Kelanjutan tersebut dalam pandangan Yusdiarto mengandung
maksud, di satu pihak, Islam memberikan kebebasan. Tetapi,
di pihak lain, Islam memberikan penegasan bahwa yang benar
telah jelas, yaitu Islam. Dengan penegasan tersebut, Islam
melarang keras terhadap orang yang sudah memeluk Islam
pindah agama. ”Jadi bebas beragama, tapi tidak ada kebebasan
pindah agama”, tekan Yusdiarto. Yusdiarto tampaknya ingin
memberikan batasan yang jelas terhadap kebebasan
beragama. Bagi Yusdiarto, terhadap orang yang belum masuk
Islam diperlakukan prinsip kesukarelaan. ”Mau beriman ya,
mau tetap kafir, silahkan, asalkan jangan menganggu Islam”, lanjut
Yusdiarto.10 Untuk mempertegas kembali prinsip kesukarelaan dalam Islam, Yusdiarto kembali menukil pernyataan alQur’an, lakum dinukum waliyadin. Ayat ini menurut Yusdiarto
hanya berlaku bagi non-muslim. Sebagai kelanjutan adanya
prinsip kesukarelaan, Islam, kata Yusdiarto lebih lanjut,
menekankan toleransi terhadap non-muslim. Tetapi terhadap
pemeluk Islam, tidak berlaku lagi prinsip kesukarelaan.
10Guna mengetahui pengertian kafir dan perlunya berhati-hati dalam
pelabelan kafir pada seorang muslim, selengkapnya baca Abdullah bin Abdil Aziz alJibrin. Vonis Kafir dalam Timbangan Islam. Jakarta: Pustaka Imam Syafi`i. 2007;
Harifuddin Cawidu. Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991.
234 Seorang muslim, kata Yusdiarto, harus memegang teguh
kebenarannya agama, tidak boleh pindah kepada agama lain.
Pandangan Yusdiarto mendapat dukungan dari M.
Achmadi Yusuf, salah satu tokoh Muhammadiyah.
Sebagaimana Yusdiarto, Achmadi juga menggunakan surat alBaqarah ayat 256 ketika menjelaskan kebebasan beragama
dalam Islam. Achmadi juga berpandangan, pernyataan alQur’an, la ikraha fiddin, hanya berlaku bagi non-muslim,
sementara bagi muslim, berlaku pernyataan al-Qur’an
berikutnya, qad tabayyana rusydu min al-ghayy. ”Kalau sudah
memilih Islam, ya masuk Islam yang sebenar-benarnya”, kata
Achmadi.
Dimyathi Badruzzaman, Ketua MUI Kota Depok.
Dimyathi berpandangan bahwa KBB merupakan hal yang
paling fundamental dalam kehidupan beragama. Indonesia,
kata Dimyathi, perlu memberikan jaminan terhadap KBB. Di
mata Dimyathi, jaminan terhadap KBB tidak bisa ditawar lagi
mengingat negara Indonesia telah mengakui dan meratifikasi
kovenan undang-undang internasional yang berhubungan
dengan HAM. Selanjutnya Dimyathi berpandangan, hubungan antara Islam dengan HAM dan KBB tidak saling
bertentangan, tetapi kompatibel. ”Dari sudut pandang Islam,
Islam sangat menghormati keragaman, pluralitas, termasuk HAM
dan kebebasan beragama”, tegas Dimyathi. Dimyathi juga
merujuk pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 untuk
memperkuat pandangannya tersebut. Ayat ini menurut
Dimyathi merupakan salah satu bentuk justifikasi yang
kongkrit dari Islam terhadap kemajemukan dan kebebasan
agama. Pendapat Dimyathi ini sejalan dengan Burhanuddin
Marzuki, tokoh NU di Cipayung, Depok. ”Orang lain tidak
perlu dipaksa menyembah Tuhan yang disebut Allah itu”, kata
Marzuki. Oleh karena itu, Marzuki tidak membenarkan
235
terhadap aktivitas penyebaran agama (dakwah) terhadap
orang yang sudah punya agama. ”Sangat keliru. Jangan
mengajak orang yang sudah beragama. Seperti orang Islam pun
tidak boleh mengajak orang yang sudah punya agama. Begitu juga
sebaliknya”, kata Marzuki. Pandangan Marzuki ini didasarkan
pada prinsip kesadaran dan kesukarelaan dalam memilih
suatu agama. Marzuki bahkan menganggap sebagai suatu hal
yang wajar jika ada orang pindah agama selama atas
kesadaran sendiri, bukan karena dipaksa oleh orang lain.
”Orang boleh pindah agama, asal bukan paksaan, tetapi kesadaran
sendiri. Kalau dipaksa berarti pemerkosaan terhadap agama lain”,
kata Marzuki lebih lanjut. Kendati terkesan memiliki
pandangan yang longgar, Marzuki tetap tidak memungkiri
terhadap adanya konsekuensi bagi pelaku konversi. Pelaku
konversi, menurut Marzuki, tetap dianggap murtad. Konsekuensi berikutnya, pelaku konversi tidak mendapatkan hak
waris. Tetapi Marzuki menolak dengan keras terhadap
pandangan bahwa pelaku konversi dapat dihukumi halal
darahnya. Pandangan seperti itu, kata Marzuki, tidak bisa
dibenarkan. ”Pandangan seperti itu, ya keliru. Yang halal itu,
bukan orang yang pindah agama. Tetapi yang menganggu orang
Islam. Mau pindah agama, tidak apa-apa. Asalkan tidak menganggu
pada agama yang pertama”, jelas Marzuki.11
Pandangan Marzuki tersebut senada dengan Tri Wahyu
Hidayati yang melakukan kajian ulang terhadap hukum
riddah. Hidayati berkesimpulan bahwa:
11Hadits tentang “Siapa saja yang berpindah agama akan dibunuh”
merupakan hadits ahad. Fakta sejarah, Nabi Saw sendiri ataupun para sahabatnya
tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk Islam, juga tidak pernah
menghukum mati seseorang hanya karena menukar keimanannya. Mohammad
Hashim Kamali. Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Freedom of Expression in Islam).
Bandung: Mizan. 1996. hlm. 120-142.
236 “(1).....hukum riddah pada prinsip dasarnya, yaitu kebebasan
beragama yang bertanggung jawab. Kebebasan yang
dimaksud oleh Islam adalah kebebasan yang masih menaati
aturan-aturan dan norma, bukan kebebasan yang tanpa
batas. Pada prinsipnya, Islam sangat menunjung tinggi
kebebasan dan tanggung jawab seseorang dalam beragama.
Tidak ada paksaan dalam beragama. Seseorang beriman
atau tidak merupakan pilihan pribadi perorangan. Namun
pilihan itu mengandung konsekuensi yang harus
dipertanggungjawabkan. Kebebasan yang bertanggung
jawab ini akan berdampak keluar dan ke dalam. Keluar
terwujud dalam bentuk toleransi sedangkan ke dalam
terwujud dalam bentuk ketaatan yang tinggi. (2) Tidak
melaksanakan hukuman mati terhadap orang murtad, karena
hukuman itu, selain penuh dengan latar belakang politik
Madinah abad ke-7 M, juga sudah tidak sesuai dengan
konteks masyarakat modern yang cenderung sekuler. (3)
Walaupun tidak dikenai hukuman mati, keluar dari Islam
sebagai sebuah tindakan hukum yang bebas, tetapi memiliki
konsekuensi hukum sebagaimana tindakan-tindakan hukum
yang lain. Konsekuensi hukum itu berupa hukuman perdata
sebagaimana telah diatur dalam fiqih Islam.12
Mujahid, coba memberikan penjelasan bernada filosofis
terhadap fenomena keragaman yang sering menimbulkan
persoalan ketika dikaitkan dengan aktivitas dakwah atau
penyebaran agama. Dalam pandangan Mujahid, keragaman
merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Mujahid
menyayangkan pendapat sementara kalangan yang melihat
keragaman agama secara artifisial. Dia mencontohkan
keberagamaan masing-masing komunitas agama dalam
12Tri Wahyu Hidayati. Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama:
Perspektif Hukum Islam dan HAM. Salatiga: STAIN Press & JP Books. 2008. hlm. 180181.
237
menyebut nama Tuhannya. Bagi Mujahid, cara penyebutan
nama Tuhan merupakan bagian dari pluralitas seperti
diungkapkan berikut ini:
Istilahnya pun juga sangat plural. Kata Tuhan, kita yang
beragama Islam menyebut dengan Allah. Sedang orang
Hindu menyebut Sang Hyang Widhi Wasa. Orang Kristen
juga dengan Yesus. Tapi, intinya, masing-masing pemeluk
agama ingin menyembah Tuhannya.
Komitmen mengabdi pada Tuhan, dalam pandangan
Mujahid, merupakan salah satu dimensi kebajikan agama
yang wajib dihormati oleh siapa pun. Kelompok lain yang
berbeda agama tidak boleh mengancam kelompok lain hanya
karena alasan perbedaan dalam menyebut nama Tuhannya.
Semua umat beragama, kata Mujahid, perlu dibebaskan dari
rasa takut. Menurut pandangan Mujahid, bebas dari rasa takut
merupakan salah satu hak asasi yang memperoleh jaminan
dalam al-Qur’an. Untuk memperkuat pernyataan ini, Mujahid,
mengutip surat al-Qurasy ayat yang keempat: ”...dan
mengamankan mereka dari rasa takut”. Ayat ini menurut Mujahid
dapat dijadikan dasar memberikan rasa aman, bebas dari
ketakutan, terhadap kelompok agama lain. ”Dalam beragama
kita tidak boleh suka mengancam, apalagi menyengsarakan kelompok
lain. Repotnya, sekarang ini kalau sudah menyengsarakan kelompok
lain dianggap jihad. Padahal itu bertentangan dengan pernyataan alQur’an dalam surat Qurasy ayat keempat”, kata Mujahid. Dengan
kata, mengutip Irshan Manji, tantangan umat Islam terbesar
dan fundamental saat ini adalah bagaimana mereka bisa
menciptakan situasi kondusif agar siapapun bisa “beriman
tanpa rasa takut”.13
13Bandingkan dengan Irshad Manji. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat
Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher. 2008.
238 Masalah KBB ditanyakan pula terhadap aktivis JAI dan
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Basuki Ahmad,
muballigh JAI, menyatakan bahwa kebebasan beragama
sejatinya bukan konsep yang asing dalam Islam karena dalam
al-Qur’an terdapat doktrin “lakum dînukum wa liya dîn”.
Dengan doktrin ini, Islam, menurut Ahmad, di samping
mengakui adanya kebebasan dalam beragama, juga menekankan sikap toleransi terhadap paham dan agama lain.
Ahmad menjelaskan:
Islam memang memberikan semacam kebebasan dalam
kehidupan beragama. Untuk hubungan antarumat
beragama, Islam mengajarkan toleransi, adapun tentang
hubungan intra-agama, di Indonesia kan ada berbagai firqoh
atau golongan, yaitu NU, Muhammadiyah, dan lain
sebagainya. Mereka sebaiknya beraktivitas sesuai dengan
kepercayaan masing-masing asalkan tidak jauh dari rukun
Iman dan rukun Islam. Sejauh di bawah koridor tersebut,
saya kira tidak masalah. Kebebasan berkepercayaan
merupakan hak asasi yang paling pokok dan mendasar,
terutama di Indoensia konteksnya dengan UUD 45. Di situ
ditegaskan bahwa setiap orang berhak memeluk agama
berdasarkan kepercayaannya masing-masing. Jadi menurut
saya, sangat relevan antara konsep HAM dengan agama
yang kita anut.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh tokoh dari LDII,
Sunarto. Ditegaskan oleh Sunarto, kebebasan pada dasarnya
merupakan salah satu fitrah manusia. Tidak mungkin
manusia hidup tanpa kebebasan. Kehidupan agama juga
membutuhkan kebebasan. Kebebasan beragama menurut
pemahaman Sunarto adalah kebebasan mengekspresikan
suatu paham keagamaan atas kesadaran sendiri, bukan karena
ancaman dari pihak lain.
239
Dari paparan di atas tampak beberapa informan yang
diwawancarai memberikan apresiasi positif terhadap konsep
HAM dan KBB dalam kaitannya dengan Islam. KBB
mempunyai landasan teologis yang cukup kuat dalam tradisi
Islam. Sedikit pandangan berbeda dikemukakan oleh informan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam pandangan
aktivis HTI, Hudzaifah al-Ayubi, konsep kebebasan beragama
tidak berlaku universal. Konsep tersebut, menurut Hudzaifah,
hanya bisa diterapkan terhadap kalangan non-Muslim.
Hudzaifah memahami kebebasan beragama dalam pengertian
non-Muslim memiliki kebebasan keluar dari agamanya dan
memilih Islam, tetapi tidak sebaliknya. Bagi orang yang sudah
beragama Islam tidak lagi memiliki kebebasan keluar dari
Islam. Lebih jelasnya berikut pernyataan Hudzaifah:
Bagi kalangan non-Muslim, mereka bisa memilih masuk
masuk Islam atau tidak, karena dalam al-Quran di
sebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Konteks kebebasan beragama ini jika diterapkan juga pada
orang Islam akan bermasalah, yang menurut pendapat
kami tidak tepat, karena ketika seseorang sudah
menetapkan diri untuk memilih Islam maka ia dituntut
untuk menjaga keislamannya. Bahkan dalam al-Quran
sendiri disebutkan, jangan sekali-kali engkau mati kecuali
dalam keadaan berIslam. Dan bahkan, lebih jelas lagi
untuk seseorang yang sudah masuk Islam, dia tidak boleh
seenaknya keluar-masuk Islam, kemudian murtad,
kemudian Islam lagi. Ini dalam Islam hukumnya sangat
jelas dan tegas, bagi mereka yang keluar dari Islam dengan
penuh kesadaran dan setelah diseru pada Islam tidak
mengindahkan atau tidak mau, maka akan terkena hukuman sebagaimana yang telah disampaikan dalam suatu
hadits bahwa orang mengganti agamanya, maka orang
tersebut boleh dibunuh. Itulah hukuman bagi orang yang
240 murtad, sehingga dalam konteks ini seharusnya kita
sebagai umat Islam harus hati-hati menggunakan istilah
kebebasan beragama itu. Sekali lagi kalau ini diterapkan
pada komunitas Muslim, ini yang tidak bisa diterima.
Kalau ini di-gebyah uyah, digeneralisasi semuanya tentu
tidak sepakat, dalam pengertian dengan penjelasan seperti
tadi. Karena kalau seperti itu nanti orang akan
sembarangan. Saya tidak tahu apakah dalam hal ini dalam
perundang-undangan sudah dirinci atau tidak. Karena
ketika seseorang itu sudah masuk Islam dan kemudian dia
punya hak karena alasan kebebasan beragama dia bisa
berpindah-pindah sesuai dengan nafsunya, sesuai
keinginannya, bahkan sampai sekarang ini berkembang
pemahaman, karena kebebasan beragama itu, maka boleh
untuk tidak beragama. Terus terang jika ini diterapkan
bagi umat Islam tentu kita tidak sepakat, karena hal ini
bertentangan dengan hukum yang ditetapkan dalam
Islam.
Aktivis HTI lain, Arifin, sependapat dengan pemikiran
Hudzaifah. Menurut Arifin, dalam Islam memang terdapat
konsep kebebasan beragama seperti dinyatakan oleh alQur’an, la ikraha fiddin. Tetapi pernyataan al-Qur’an ini,
menurut Arifin, hanya berlaku bagi non-muslim. Sementara
bagi orang muslim sendiri diberlakukan pernyataan al-Qur’an
dalam surat al-Baqarah ayat 208: “Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah
kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu”. Ayat ini dalam pemahaman Arifin
merupakan pembatasan kebebasan beragama terhadap orang
Islam. Bagi orang yang sudah beragama Islam, ditegaskan
241
oleh Arifin, tidak ada pilihan lagi, kecuali tetap dengan
keislamannya, tidak boleh pindah kepada agama lain.14
Pembatasan yang dilakukan oleh aktivis HTI terhadap
konsep kebebasan, dipengaruhi oleh cara pandang terhadap
konsep HAM. Berbeda dengan informan terutama dari
Muhammadiyah dan NU, pemahaman Hudzaifah terhadap
HAM mencerminkan pemahaman para aktivis HTI pada
umumnya, yakni cenderung menolak terhadap konsep HAM
karena berasal dari Barat. Dengan demikian, kata Hudzaifah,
HAM tidak perlu dipaksakan penerapannya terhadap masyarakat Islam. Dalam kepercayaan Hudzaifah, menerapkan
HAM terhadap masyarakat Islam, sama artinya Barat
melakukan hegemoni terhadap Islam. Secara panjang lebar
Hudzaifah memberikan alasan:
HAM itu istilah baru, yang kalau dalam kacamata Islam
tentu tidak dikenal dan bahkan kalau kita mencermati secara
lebih dalam, HAM itu akan banyak pertentangannya dengan
Islam. Kenapa? Pertama, kalau kita lihat dari aspek latar
belakang sejarah kemunculannya, bahwa HAM itu muncul
abad ke-8, di mana pada masa itu banyak terjadi kezaliman,
penindasan atas nama agama, khususnya dalam hal ini
Nasrani, dan kemudian ada Renaissance. Ada orang-orang
14Pandangan aktivis HTI tentang konversi agama (dari Islam ke agama lain)
memiliki kesamaan dengan pandangan resmi HTI. Dalam situs resmi HTI,
http://hizbut-tahrir.or.id, ditemukan setidaknya dua artikel yang membahas masalah
konversi agama, yaitu: “Seputar Orang Murtad” dan “Hukuman Mati bagi Orang
Murtad”. Pada kedua artikel ini, HTI mengungkapkan secara tegas bahwa pindah
dari Islam ke agama lain merupakan tindakan murtad yang dilarang keras oleh Islam.
Pandangan HTI ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Imran ayat 86-90. Ayat ini
dijadikan dasar oleh HTI untuk melarang orang yang telah memeluk Islam berpindah
kepada agama lain. HTI juga memiliki pandangan yang tegas terkait dengan sanksi
bagi orang yang murtad. Selain akan mendapatkan sanksi dari Allah di akhirat—HTI
mendasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 217, an-Nisa’ ayat 137, al-Maidah
ayat 21, dan Muhammad ayat 25—orang yang murtad , tegas HTI, bisa diberi sanksi
hukuman mati jika tidak mau diajak kembali kepada Islam. Pandangan HTI ini
didasarkan pada hadist Nabi: “Siapa saja yang mengubah agamanya, bunuhlah dia.”
242 filosof yang kemudian mendobrak hal tersebut. Maka
terjadilah kompromi dan lahirlah ide sekularisme;
pemisahan agama dari kehidupan. Di saat itu ada sebagian
yang mulai memunculkan konsep HAM, sekitar tahun 1700an, pertama kali dipakai pada Revolusi Perancis, kemudian
dipakai lagi dalam Revolusi Amerika. Baru kemudian secara
lebih luas diformalkan ketika lahir PBB, yang memang
kesepakatan itu dibuat oleh negara-negara PBB, yang
memang bukan komunitas negara-negara Islam, yang
berkembang khususnya setelah perang dunia ke-2. Negaranegara Barat ini, setelah ada PBB, kemudian mereka juga
memenangkan Perang Dunia ke-2, sehingga mereka lebih
leluasa memiliki kesempatan untuk menguasai negaranegara lain, khususnya negara-negara Islam yang saat itu
justru mulai dalam keadaan lemah, terpuruk, pasca-Khilafah
Utsmani.
Akhirnya
mereka
semakin
mempunyai
kesempatan untuk membesarkan ide dan konsep HAM itu
sebagai sesuatu yang seolah-olah baik, karena memang
realitasnya, sebagian besar negeri-negeri Islam dalam
keadaan yang terbelakang, terzalimi. Diharapkan, dengan
produk HAM ini kemudian menjadi konsep yang disambut
dan diterima oleh kaum muslimin, dan memang sebagian
kena. Mereka membeli produk itu. Padahal, kalau kita
perhatikan lebih lanjut dari aspek sejarah, dasar yang
dipakai berserta rincian dari apa-apa yang dimaksud dalam
HAM itu, bila dikaitkan dengan Islam, maka akan lebih
banyak pertentangan. Bahkan lebih lanjut saat ini, kita lihat
justru HAM ini malah lebih banyak dipakai oleh negaranegara besar sebagai alat politik mereka. Sehingga,
misalnya, kemudian dikaitkan antara HAM dan investasi,
ada syarat-syarat di situ yang dicantumkan dalam letter of
interest, kemudian dikaitkan dalam antara HAM dengan,
misalnya memberikan sesuatu. Artinya ini menjadi sesuatu
243
yang mau tidak mau, ketika suatu negeri, misalnya negeri
Islam itu memang membutuhkan sesuatu, maka Negara
tersebut harus mengikuti syarat-syarat tersebut. Apalagi
ketika kita melihat antara konsep dan teori yang dikembangkan banyak sekali yang ternyata di lapangan berbeda
jauh. Apakah ini kemudian disebut tidak komitmen atau
apa. Justru di situlah letak kelemahannya. Selain itu, HAM
selama ini hanya dijadikan sebagai alat untuk negara-negara
berkembang, khususnya negara-negara Islam. Jadi dari
berbagai aspek, mulai dari aspek teori, jika kita kritisi,
banyak hal yang memang berseberangan dengan Islam.
Sementara dalam aspek praktiknya, banyak yang tidak
sesuai dengan apa yang digembar-gemborkan selama ini. Itu
kalau kita lihat. Karena itulah, HTI pernah mengeluarkan
sebuah buku kecil yang memberikan penjelasan mengenai
bahaya yang termasuk bagian dari cara-cara dan strategi
Amerika yang memang dalam hal ini untuk menjajakan
ideologinya. Salah satunya adalah HAM itu.
Selain adanya potensi hegemoni tersebut, Hudzaifah
juga menemukan perbedaan fundamental antara HAM
dengan Islam sehingga HAM tidak mudah diterapkan dalam
masyarakat Islam. Perbedaan fundamental yang dimaksud
Hudzaifah adalah, konsep HAM dari Barat lebih mengutamakan kebebasan individual. Pada poin ini, tegas
Hudzaifah, antara Islam dan Barat tidak dapat dipertemukan.
Dengan menempatkan kebebasan individu di atas segalagalanya, Barat kata Hudzaifah, sebenarnya mengidap
pandangan reduksionis terhadap manusia. Manusia hanya
dilihat pada sisi kebaikannya. Padahal, manusia, lanjut
Hudzaifah, memiliki dua potensi sekaligus: baik dan buruk;
positif dan negatif. Potensi ini menurut Hudzaifah sengaja diabaikan dalam konsep HAM dari Barat karena dilahirkan dari
ideologi sekuler yang membuat pemisahan antara agama
244 dengan kehidupan. Dengan adanya potensi negatif tersebut,
maka kata Hudzaifah, kehidupan manusia bisa berkembang
secara negatif pula jika hanya dibingkai dengan kebebasan.
Berikut pernyataan Hudzaifah lebih lengkap:
Memang HAM lahir dari ideologi sekuler yang memisahkan
antara agama dan kehidupan, dan memang mereka
cenderung mendewakan kebebasan individu itu. Bahkan
kalau perlu, kebebasan individu itu harus di atas kebebasan
masyarakat dan kebebasan komunal. Kenapa? Karena ini
juga terkait dengan pandangan Barat ketika melihat fakta
bahwa menurut mereka masyarakat itu didefinisikan tidak
lebih dari sekumpulan individu, sehingga ketika individuindividu itu diberi kebebasan, maka akan menjadi baiklah
mereka. Ini berkaitan dengan pamahaman mereka dalam
mengartikan tabiat manusia. Menurut mereka, manusia
adalah
sesuatu
yang
pada
dasarnya
memiliki
kecenderungan baik, asalkan diberi kebebasan. Karena
justru itu dihalangi atau dibatasi maka mereka akan
memberontak dan akan mencari pelampiasan-pelampiasan
yang berakibat buruk. Ini menurut mereka, dan ini
bertentangan dengan pandangan Islam.
Penekanan pada kebebasan individual dalam konsep
HAM dinilai lebih lanjut oleh Hudzaifah terbukti memberikan
dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Dengan
kebebasan individual, kata Hudzaifah, HAM seperti ingin
membentuk individu yang lebih mengabdi pada kehendak
dirinya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Maka,
HAM, lanjut Hudzaifah, identik dengan ketidakteraturan.
Hudzaifah kemudian membandingkan dengan Islam. Tidak
seperti pandangan Barat yang lebih mengutamakan individu,
Islam, tegas Fikri, lebih menekankan pada proses interaksi
antarindividu atas prinsip persamaan pikiran dan perasaan.
245
Prinsip ini akan mendorong individu memikirkan berbagai
akibat yang muncul terhadap individu lainnya ketika
melakukan sesuatu. Karena manusia memiliki potensi
bertindak negatif, maka manusia perlu peraturan. Dari mana
peraturan tersebut? Hudzaifah dengan lugas menjawab,
peraturan tersebut harus bersumber dari Allah. Hanya dengan
peraturan dari Allah, manusia, kata Hudzaifah, bisa terbebas
dari perangkap kebebasan semu sebagaimana yang diimpikan
oleh konsep HAM Barat.
Hudzaifah tampaknya belum merasa cukup melakukan
kritik terhadap konsep HAM Barat hanya dari sisi
paradigmanya. Dengan maksud ingin menunjukkan kembali
kelemahan konsep HAM Barat, Hudzaifah coba memberikan
apa yang ia sebut dengan bukti-bukti empirik. Ada tiga
macam kebebasan yang ia kritik dari konsep HAM Barat.
Pertama, kebebasan berpendapat. Dalam penilaian Hudzaifah,
kebebasan berpendapat sebagai derivasi dari konsep HAM
Barat telah terbukti menimbulkan dampak negatif, terutama
terhadap Islam, karena dilakukan tanpa adanya koridor yang
jelas. Berikut pernyataan Hudzaifah:
Kalau mereka, segala sesuatu boleh dibicarakan, menulis
apapun dilindungi oleh undang-undang. Menurut
mereka,itu bagian dari hak asasi.Maka semuanya bisa
dilakukan. Itu kreatifitas menurut mereka. Kalau dalam
Islam, tidak seperti itu. Setiap perilaku, perbuatan, maupun
perkataan harus terikat dengan hukum-hukum syariah.
Nah, kalau dalam masalah menyampaikan pendapat, dalam
Islam rambu-rambunya jelas, fa lyaqul khairan aw liyasmut.
Kita dituntut membicarakan pendapat yang benar saja, tidak
boleh pendapat yang merusak aqidah umat, yang kemudian
mengarah kepada kemaksiatan. Itu yang tidak boleh
dilakukan. Nah, karena itu, kita, misalnya melihat fakta
246 tentang kasus-kasus pelecehan terhadap Nabi Muhammad
melalui pembuatan karikatur. Itu kan mereka dasarkan pada
kebebasan berpendapat. Tapi, apakah seperti itu, jelas kita
akan menolak. Kalau dalam pandangan Islam, jelas tidak
perlu dengan istilah kebebasan seperti itu. Dalam Islam jelas
ada aturannya, bagaimana menyampaikan pendapat. Kita
boleh berpendapat, tapi ada koridornya, yaitu selama tidak
bertentangan dengan hukum-hukum syariah yang sudah
ditetapkan.
Konsep kebebasan berikutnya yang mendapat sorotan
dari Hudzaifah adalah kebebasan kepemilikan, seperti
pernyataan berikut ini:
Kalau HAM boleh apa saja, dengan menghalalkan segala
cara untuk memperoleh kepemilikan, baik caranya, maupun
dalam hal distribusi pemanfaatannya. Caranya bisa berjualbeli dengan bisnis narkoba, tidak perduli, selama ada
permintaan, maka itu menjadi lahan bisnis. Karena
mengagungkan kebebasan individu, mereka meminggirkan
kepentingan masyarakat, padahal itu justru akan merusak
kepentingan masyarakat. Nah, kalau dalam Islam tidak.
Secara kuantitas, dalam Islam tidak ditentukan. Artinya
boleh seseorang itu jadi konglomerat, kaya raya, memiliki
apa saja boleh. Kemudian cara perolehannya, kualitasnya
yang dibatasi. Kalau yang tadi kan, kualitas maupun
kuantitasnya tidak dibatasi. Kalau Komunis dan Sosialis,
kuantitasnya yang dibatasi, tapi kalau Islam, kualitasnya
yang dibatasi, jadi nggak boleh sembarangan. Mencarinya
dengan cara-cara yang diharamkan tidak boleh. Cara mentasharruf-kan atau mendistribusikannya tidak boleh asalasalan. Mentang-mentang itu duitnya sendiri dipakai
mabuk-mabukkan. Itu tidak boleh. Kalau dalam Islam, itu
247
diatur oleh Allah. Hukum syariat itu mesti mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia.
Terakhir yang mendapat sorotan Hudzaifah adalam
kebebasan berperilaku seperti paparan berikut ini:
Kebebasan berperilaku, ini juga begitu, sama halnya,
misalnya cara berpakaian, tingkah laku, free sex, pergaulan
bebas. Iini adalah buah dari apa yang dicoba mereka
lindungi dengan berdalih atas nama HAM. Sekarang kan
banyak undang-undang seperti itu. Misalnya undangundang kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Maka,
seorang anak yang mestinya menjadi tanggung jawab orang
tua, dalam pengawasan dan pendidikan orangtua, ketika si
anak itu, katakanlah pacaran, bahkan sampai melakukan free
sex, kalau dalam pandangan HAM, itu diberi kebebasan.
Orang tua tidak berhak menghukum, bahkan orang tua bisa
diadili dan dilaporkan ke kepolisian kalau justru
mengingatkan dengan keras, demi mendidik anak ini tidak
bisa. Ini banyak pertentangan. Kalau kita mau mengkaji
secara mendalam antara Islam dan Barat, ya itu. Kita harus
mengungkap di balik ini apa? Bahaya bagi kaum muslim,
harus dilihat. Umat Islam kalau mau hidupnya baik,
kembali saja pada aturan Islam yang lebih simpel, lebih
lugas, lebih jelas aturannya, tidak bias dan tidak dipakai
seenaknya begitu, karena ada pengawasan untuk
melaksanakan aturan Islam. Karena melaksanakan itu bagi
seorang Muslim bernilai ibadah. Karena pengawasannya
langsung dari Allah, keterkaitannya terhadap hukum itu
adalah keterkaitannya dengan melaksanakan perintah Allah,
yaitu keimanan, jauh lebih kuat sekadar, misalnya ikatan
ketika harus menggunakan aturan yang tidak asli dan tidak
sesuai dengan karakter seorang Muslim.
248 Sisi negatif kebebasan sebagai derivasi dari konsep
HAM dari Barat seperti diungkap oleh Hudzaifah, dipertegas
lagi oleh rekannya, Alwan. Dalam pandangan Alwan, sisi
negatif tersebut wajar terjadi karena Barat melakukan
privatisasi pada agama, agama hanya menjadi urusan individual pemeluk agama dengan Tuhan. Alwan menolak
dengan tegas konsep privatisasi agama. HTI, kata Alwan,
justru ingin memperjuangkan agama (syariat) bisa
memainkan peran penting di sektor publik agar kehidupan
manusia semakin baik. Kebaikan yang dimaksud Alwan
adalah kebaikan bagi seluruh manusia tanpa membedakan
agama. Karena dalam syariat Islam terkandung kebaikan
universal, maka, kata Alwan lebih lanjut, orang tidak perlu
takut pada syariat Islam. ”Non-muslim pun akan dimuliakan
dengan syariat Islam”, tegas Alwan. Jaminan kemuliaan, begitu
Alwan menyebut, tidak perlu dipertanyakan karena syariat
Islam merupakan produk hukum dari Allah. Alwan kemudian
mengontraskan dengan hukum sekuler yang dihasilkan
melalui mekanisme demokrasi. Apabila dibandingkan dengan
hukum sekuler, syariat Islam menurut Alwan, jauh lebih baik.
Berikut penuturan Alwan:
Ada di sebagian umat Islam itu setengah menerima
terhadap demokrasi, cuma mereka kan tidak melihat filosofi
dasar dari demokrasi itu sendiri. Seperti kebebasan dari
rakyat untuk rakyat. Kalau sudah menyangkut dari rakyat
untuk rakyat itu kan artinya kedaulatan atau hak untuk
membuat hukum yang diterapkan dalan kehidupan umat
manusia kan diserahkan kepada rakyat. Terus dari rakyat
untuk rakyat sekalipun melalui eksekutif untuk
melaksanakan di parlemen ada legislatif untuk konteks
kekuasaan. Persoalan yang jelas tidak sinkron di dalam
wacana pemikiran HTI tidak lain adalah ketika produk
hukum dari rakyat. Rakyat itu manusia yang punya
249
keterbatasan dan kelemahan, sementara Allah menjadikan
diri-Nya sebagai pembuat hukum UU untuk seluruh umat
manusia, hukum itu dari Allah.15
Para aktivis HTI tampaknya memiliki pandangan yang
sama terhadap kelebihan syariat Islam vis a vis hukum sekuler
dalam memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama.
Azam, aktivis HTI lain, juga memberikan jawaban yang sama
ketika ditanyakan pandangan Islam tentang kebebasan
beragama. Sebagaimana dikemukakan Fikri dan Alwan, Azam
juga menepis kekhawatiran banyak pihak, bahwa jika syariat
Islam diterapkan, agama di luar Islam akan terancam. Di
bawah ini pernyataan Azam tentang jaminan kebebasan
beragama dalam syariat Islam:
Meskipun HTI merupakan salah satu gerakan pendukung
penegakan syariat Islam, tetapi HTI tetap mengakui
adanya kebebasan beragama. Karena konsep syariat
formal yang ingin ditegakkan oleh HTI merupakan konsep
Islam yang kaffah yang di dalamnya mencakup pula
tentang pengakuan terhadap kebebasan beragama
sebagaimana konsep dalam al-Qur’an yaitu, ”lakum
diinukum wa li ad-diin” dan ”la ikraha fi ad-diin”.
Maknanya adalah bahwa, penerapan syariat secara formal
bukan berarti bahwa penegak syariat tidak menghargai
eksistensi agama lain. Sebab dalam konsep syariat formal,
eksistensi agama lain selain Islam tetap dihargai. Bahkan
pada tahap tertentu, terdapat jaminan terhadap harta,
kehormatan serta darahnya dan mereka juga berhak
memperoleh jaminan kesejahteraan dari negara apabila
15Bandingkan dengan Yusuf al-Qardhawi. Minoritas Nonmuslim di dalam
Masyarakat Islam. Bandung: Karisma. 1994.
250 mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak
mampu secara ekonomis.
Pandangan kritis terhadap konsep kebebasan beragama
atau berkepercayaan juga diungkap oleh aktivis Forum
Mudzakarah Syariat Islam (Formasi), A. Saifuddin. Saifuddin
tidak menampik terhadap doktrin, “tidak ada paksaan dalam
beragama”, seperti dinyatakan al-Qur’an dalam surat alBaqarah ayat 256. Namun, sebagaimana dipahami oleh Fikri
dari HTI, penerapan doktrin ini, menurut Saifuddin, tidak
berlaku secara universal. Doktrin tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap orang yang sudah memeluk Islam. Bagi
orang yang sudah memeluk Islam, tegas Saifuddin, tidak
boleh pindah kepada agama lain.
Kami selaku Muslim memahami bahwa kebebasan
beragama dalam Islam itu ada standarnya, artinya bahwa
Islam itu tidak boleh ada paksaan. Boleh kita memilih
agama, tetapi kalau sudah beragama Islam, maka harus
komitmen dengan agamanya. Bentuk komitmennya yaitu
dengan mengakui bahwa agama yang dipeluknya itu
paling benar. Muncul pandangan bahwa kebebasan
beragama artinya bahwa semua agama itu dianggap
benar. Nah, dalam Islam tidak begitu. Ketika kita
memahami kalau mereka beragama lain, itu silahkan, itu
kepercayaan mereka. Apabila setiap agama itu dianggap
benar, itu yang dalam Islam tidak ada konsepnya.
Aktivis FPI di Depok, Achwan, mengungkapkan
pandangan yang sama seperti dikemukakan Saifuddin.
Achwan juga mengatakan bahwa dalam Islam berlaku konsep
kebebasan agama. Achwan juga mendasarkan pada al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 256 ketika menjelaskan kebebasan
beragama dalam pandangan Islam. Tetapi, sebagaimana
Saifuddin, Achwan juga memberikan pembatasan, bahwa ayat
251
tersebut hanya berlaku terhadap non-muslim. Terhadap nonmuslim, kata Achwan, tidak boleh dipaksa masuk kepada
Islam. Tetapi terhadap muslim berlaku ketentuan sebaliknya,
tidak boleh keluar atau pindah kepada agama lain. Achwan
bahkan mengungkap adanya sanksi yang berat terhadap
pelaku konversi seperti pernyataan berikut ini:
Dalam Islam pindah agama itu tidak boleh. Ada sanksi berat
bagi seorang yang murtad. Sanksi bagi mereka yang pindah
agama (murtad) adalah dibunuh dalam konteks negara
Islam. Permurtadan-permurtadan yang ada itu akan cepat
selesai, karena orang yang pindah agama tidak ada hak
hidup lagi dan orang akan takut. Sehingga itu akan cepat
selesai.
Dari paparan di atas tampak jawaban informan terbelah
ke dalam dua pandangan. Di antara informan ada yang
berpandangan bahwa HAM dan KBB merupakan konsep
yang universal. Sedangkan yang lain berpandangan
sebaliknya. Perbedaan cara pandang ini berpengaruh terhadap penerimaan mereka terhadap konsep HAM dan KBB.
Bagi yang berpandangan universalis, HAM dan KBB merupakan konsep yang dapat dipertemukan dengan Islam.
Sedangkan bagi yang berpandangan partikularis atau
eksklusif, HAM dan KBB tidak bisa digeneralisasikan terhadap Islam. Dalam pandangan mereka, Islam memiliki konsep
tersendiri yang berbeda dengan konsep HAM dan KBB dari
Barat.
Namun, perlu dipahami, pengertian universalitas dalam
konteks pandangan para tokoh ormas Islam Kota Depok
tersebut bukan dalam pengertian yang dimaksud dalam teori
universal absolut dan universal relatif, namun lebih condong
pada pandangan partikularistis relatif dan kemudian
partikularistis absolut. Yang tergolong partikularistik relatif
252 adalah informan dari kalangan MUI, NU, Muhammadiyah, alIrsyad, dan Formasi. Sedangkan yang cenderung
partikularistis absolut dari kalangan informan HTI dan FPI.
Perbedaan cara pandang tersebut dengan sendirinya
diharapkan berbeda pula dalam menyikapi bagaimana konsep
KBB itu diimplementasikan. Dalam konteks ini menarik
kiranya terlebih dahulu mencermati apa yang disampaikan
salah seorang informan dari Desantara, Muhammad Nur
Khoiron. Khoiron mengeritik bahwa kendati pada tataran
normatif, Islam memberikan justifikasi terhadap kemajemukan dan kebebasan beragama atau berkepercayaan, tetapi pada
tataran empirik, kerap ditemukan kesenjangan. Menurut
Khoiron, tidak sedikit dari umat Islam yang justru lebih mengutamakan cara kekerasan terhadap kelompok minoritas
seperti penuturan berikut ini:
Saya menyadari betul dan bisa merasakan betul selama ini
saya bergesekan, berinteraksi, berdialog dengan mereka.
Dari situ kita bisa merasakan. Di samping itu, fakta realitas
yang mengukuhkan kepercayaan saya, di samping fakta
dogmatik, bahwa ajaran Islam dalam pandangan saya itu
mengakui tentang itu, dan itu ditambah dengan faktual di
lapangan, saya melihat betapa kelompok-kelompok
minoritas
yang
terdiskriminasi,
katakalah,
kaum
Ahmadiyah, saya akrab dengan mereka, kemudian
kelompok-kelompok non-Muslim, baik Kristen, Protestan,
dan sebagainya.
Khoiron memiliki analisis menarik terhadap fenomena
kekerasan agama pada wilayah publik. Menurut Khoiron,
agama sejatinya bisa dijauhkan dari kekerasan jika agama bisa
diposisikan sebagai wilayah otonom yang tidak bisa
diintervensi oleh kekuatan politik manapun termasuk negara.
Posisi seperti ini, menurut Khoiron, justru akan memberikan
253
keuntungan pada agama. ”Ketika agama sudah masuk pada ranah
negara, pasti agama akan menjadi alat politik bagi kelompok
tertentu, untuk kepentingan politik”. Demikian dikatakan
Khoiron. Salah satu bentuk politisasi agama yang disoroti
Khoiron adalah melakukan pencitraan terhadap ”tindakan
kriminal” yang sebenarnya tidak berkaitan dengan motif
keagamaan, tetapi seringkali dikaitkan dengan praktik
penodaan terhadap agama. Padahal, menurut Khoiron, tidak
semua tindakan (kriminal) diberlakukan sebagai praktik
penodaan agama, tetapi bentuk pelanggaran biasa.
Misalkan seseorang beragama, kemudian ia mencederai
agama lain, tanpa diatur dalam delik agama pun, ini
sudah
mengandung
pelanggaran
HAM,
sudah
menggangu ketertiban umum, dan sebagainya. Jadi yang
penting ini jangan diatur pada pasal dalam bentuk agama.
Dengan kata lain, saya tegaskan bahwa agama jangan
sampai masuk pada wilayah negara, karena itu akan
menjadi sangat rawan.
Keuntungan berikutnya yang diperoleh agama jika
diposisikan pada wilayah otonom adalah, eksistensi agama
pada masing-masing individu akan lebih kuat tanpa perlu
diganggu oleh penilaian orang lain. Berikut pernyataan
Khoiron:
Kebebasan beragama itu adalah hak manusia yang paling
asasi. Orang tidak bisa menyalahkan orang lain dalam hal
ini, itu hak pribadi betul. Biarkan orang lain menilai, tapi
tetap menjadi hak pribadi bagi seseorang untuk
menyatakan; dia meyakini sesuatu sebagai agama atau
bahkan tidak sama sekali.16
254 B.
Implementasi
Berkepercayaan
Kebebasan
Beragama
atau
Ada dua persoalan yang selama proses penelitian
mendapatkan respon yang cukup memadai dari para
informan terkait pelaksanaan KBB, yaitu pendirian rumah
ibadat dan keberadaan kelompok keagamaan minoritas nonmainstream.
Pendirian Rumah Ibadat
Farkhan menyadari pendirian rumah ibadat berpotensi
menimbulkan kesalahpahaman, bahkan konflik antara
kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Dalam
pandangan Farkhan, pendirian rumah ibadat sebenarnya
merupakan hak bagi kelompok agama manapun. Farkhan
lantas membuat pengandaian, jika Muhammadiyah sebagai
kelompok minoritas dihalangi untuk mendirikan rumah
ibadat, Farkhan akan menyampaikan protes.
Farkhan menyadari terhadap kesulitan yang dialami
oleh kelompok minoritas ketika mau mendirikan rumah
ibadat. Masalah ini menurut Farkhan semestinya tidak perlu
terjadi jika masing-masing kelompok memahami Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9
Tahun 2006 dan Nomor: 8 tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat.
Farkhan memiliki pandangan terhadap
peraturan tersebut sebagai berikut:
16Pandangan yang menempatkan negara untuk tidak intervensi dalam urusan
agama banyak dikemukakan para pakar, di antaranya dapat dibaca dari hasil
penelitian Tedi Kholiludin. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus
“Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: RaSAIL Media Group. 2009.
255
Secara asasi memang kita harus mempersilahkan
mereka memiliki atau mendirikan rumah ibadat, tetapi
dalam pelaksanaanya telah diatur dalam peraturan menteri
bersama yang telah diatur dua tahun yang lalu. Itu dalam
rangka mejaga, supaya kebebasan itu terjamin. Seandainya
tidak ada aturan itu, karena tingkat perkembangan
masyarakat masih rendah, maka harus diatur supaya
kebebasan itu bisa ditegakkan, kalau tidak, bisa terjadi
anarki di tengah-tengah masyarakat.
Pandangan positif terhadap Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri disampaikan juga oleh
tokoh Muhammadiyah lain, M. Achmadi Yusuf. Yusuf
menyadari jika pada masing-masing agama ada kewajiban apa
yang disebut olehnya, membimbing umat dari pengaruh luar.
Kewajiban ini menuntut pendirian rumah ibadat. Agar
pendirian rumah ibadat tersebut tidak menimbulkan
keresahan dari kelompok lain, maka, kata Yusuf, pemerintah
perlu melakukan regulasi. Berikut penuturan Yusuf:
Dalam hal pendirian rumah ibadat, memang perlu diatur,
dan pemerintah saya kira sudah bijak mengaturnya, antara
lain kalau dalam suatu masyarakat ada banyak pemeluknya,
ya silahkan. Tetapi, kalau tidak ada, kalau didirikan rumah
ibadat bisa menimbulkan keresahan. Misalnya membangun
masjid, di mana di situ umatnya tidak ada sama sekali, itu
tidak bisa didirikan masjid. Jadi di Indonesia seperti itu. Toh,
gereja juga bisa didirikan jika umatnya ada. Tetapi, kalau
ditempatkan di tengah-tengah umat Islam, di mana orang
Kristen tidak ada, apa motifnya. Jadi saya kira yang diatur
oleh pemerintah melalui keputusan bersama dua menteri,
sudah benar. Peraturan itu bukan melarang, tetapi
mengatur.
256 Ketika masalah pendirian gereja ditanyakan kepada
Yusuf, spontan menjawab:
Selama diakui pemerintah, boleh-boleh saja didirikan gereja,
Muhammadiyah welcome, karena ”lakum dinukum wa
liyadin”. Secara hukum silahkan, selama tidak menganggu
masyarakat. Justru keberadaan mereka sebagai ”fastabiqul
khairat”.
Tokoh dari NU, Achyanuddin Syakier, juga
mengungkapkan ”ketidakberatan” terhadap pendirian gereja
selama didasarkan pada aturan pemerintah. Secara pribadi
Syakier mengaku tidak ada masalah dengan adanya
komunitas Kristen dan pendirian gereja di Depok. Syakier
bahkan menganggap keberadaan komunitas Kristen
merupakan ”mitra” agar umat Islam terpacu dalam
mengembangkan dakwah. Persoalannya hanya apabila gereja
itu didirikan di tengah-tengah pemukiman yang mayoritas
muslim sedangkan jumlah umat Kristen sangat kecil. Sikap
ekstra hati-hati juga diungkap oleh Didi Asnadi, aktivis
PERSIS. Asnadi juga mengatakan bahwa secara pribadi
pendirian gereja di Depok bukan persoalan seperti dituturkan
berikut ini:
Boleh-boleh saja gereja didirikan. Kan Pancasila di sini.
Selama mereka tidak melakukan kegiatan yang merusak
orang-orang Islam, dan mengajak keluar dari Islam, itu
nggak apa-apa. Ini kembali pada Pancasila. Pada masa
khalifah setelah rasulullah, negara-negara yang dikuasai
oleh khalifah yang empat, gereja itu tetap dibiarin, tidak
dipugar. Artinya mereka diberi kebebasan untuk beribadah
menurut agama mereka.
Namun, manakala ditanyakan tentang dicabutnya izin
mendirikan bangunan (IMB) Gereja HKBP oleh Walikota
257
Depok, dengan sangat berhati-hati Asnadi memberikan
komentarnya:
Saya yakin umat Kristen kecewa. Namun, mereka juga perlu
mengerti bahwa keberadaan gereja mereka ditolak oleh
warga. Sepanjang yang saya tahu, penolakan warga bukan
baru kali ini saja. Sejak Mei 1999, muncul protes dari Forum
Umat Islam di Cinere. Pada Oktober 2008, warga Cinere
yang tergabung dalam Forum Masyarakat Muslim se-Depok
kembali memprotes pembangunan gereja HKBP Cinere.
Karena penolakan warga itulah, pada tahun 2000, Badrul
Kamal, Walikota Depok waktu itu menghentikan
pembangunan gereja HKBP Cinere.
Penolakan tegas dikemukakan secara tegas oleh aktivis
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Depok, Nuim
Hidayat.
Pencabutan IMB itu wajar saja, sebab berdasarkan
catatan pihaknya, hanya sedikit penduduk Kristen di situ
dan juga telah ada gereja tak jauh dari wilayah itu.
Sedangkan aktivis Forum Masyarakat Muslim se-Depok,
Dodi KH menyatakan:
FMM se-Depok menolak pembangunan gereja karena
perizinannya tidal memenuhi syarat yang ada dan sudah
menyalahi peraturan. Pasalnya, pembangunan tersebut
masih menggunakan izin mendirikan bangunan (IMB) lama.
Selain itu, nama warga yang tercantum dalam izin
lingkungan yang diberikan pihak panitia pembangunan
gereja untuk mendapatkan IMB sebagian besar ilegal atau
palsu. Dari nama-nama yang tercantum dalam 'izin
lingkungan paling hanya segelintir orang yang benar-benar
warga dekat lingkungan pembangunan gereja.
258 Kelompok Keagamaan Non-Mainstream
Salah satu fenomena sosial keagaman yang menarik
diperhatikan adalah munculnya berbagai aliran dan faham
keagamaan baru di Indonesia yang memiliki perbedaan
dengan kelompok arus utama (mainstream), seperti NU,
Muhammadiyah, al-Irsyad, dan PERSIS. Kemunculan aliran
dan faham keagamaan baru itu menurut M. Mukhsin Jamil
merupakan implikasi dari dua faktor utama yaitu faktor
internal yang lahir dari dinamika modernisasi agama-agama
yang pada umumnya memiliki problem intelektual, dan faktor
eksternal berupa proses modernisasi sosial yang terus
berlangsung melalui pembangunan.17 Sebagian di antara
mereka dianggap masih dalam jalur mainstream atau sudah
kembali ke jalur yang benar (al-ruju` ila al-haq)18 dan beberapa
yang lain dianggap menyimpang dari mainstream sehingga
patut divonis sesat menyesatkan.19
Salah satu aliran dan faham keagamaan baru yang
dianggap menyimpang dari mainstream dan sesat
menyesatkan adalah Ahmadiyah. Ahmadiyah sebenarnya
memiliki sejarah panjang di Indonesia. Menurut beberapa ahli,
Ahmadiyah masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-20.
Ahmadiyah juga memiliki anggota yang tersebar hampir di
seluruh wilayah di Indonesia. Kendati memiliki sejarah
panjang di Indonesia, ternyata Ahmadiyah selalu mendapat
17M. Mukhsin Jamil. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2008. hlm. 195.
18Salah satu kelompok keagamaan yang dianggap “sudah kembali ke jalan
yang benar” atau setidaknya tengah menuju ke sana adalah Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII). Baca selengkapnya Habib Setiawan dkk. After New Paradigm: Catatan
Para Ulama tentang LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Jakarta: PSIM Institute.
2008..
19Kajian menarik terkait aliran menyimpang yang mendapat sorotan tajam dan
sebagiannya terkena hukum tindak pidana delik agama dapat ditelusuri dari hasil
penelitian IGM. Nurdjana. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009..
259
sorotan, kritik, hujatan, dan bahkan, tindak kekerasan dari
kelompok lain.
Terlepas tindak kekerasan yang dilakukan terhadap
Ahmadiyah, yang dengan alasan apapun tidak bisa
dibenarkan, Farkhan memandang bahwa Ahmadiyah
merupakan aliran yang melenceng jauh dari koridor agama
Islam. Oleh karena itu, kata Farkhan:
Sebagai umat Islam kita harus memperingatkan kalau
itu suatu hal yang salah dan menunjukkan yang benar
seperti apa. Karena kita punya kewajiban untuk
memurnikan agama Islam sesuai dengan aturan yang ada
dalam al-Quran dan Hadist. Peringatan juga perlu kita
lakukan agar orang lain tidak mudah melecehkan agama
kita dengan ajaran-ajaran yang keliru.
Menurut tokoh FPI, Habib Idrus al-Gadri, kelompok
keagamaan seperti Ahmadiyah dan sejenisnya harus dilarang.
Khusus terhadap Ahmadiyah, al-Gadri menilai, kendati
menggunakan label Islam, tetapi dari sisi substansi ajaran,
Ahmadiyah bertentangan dengan dengan akidah Islam.
Bahkan ajaran Ahmadiyah oleh Said dinilai mengarah pada
proses pemurtadan. ”Ajaran Ahmadiyah meresahkan masyarakat.
Maka Ahmadiyah perlu dilarang”, kata al-Gadri.
Pandangan al-Gadri didukung oleh Hudzaifah al-Ayubi
dan Saifuddin. Keduanya tidak setuju jika keberadaan
kelompok keagamaan baru seperti Ahmadiyah diserahkan
kepada seleksi alamiah. Sebab dalam pandangannya, ajaran
Ahmadiyah menyimpang dari ketentuan fundamental dalam
Islam, terutama pada aspek aqidah dan ritual. Berikut
penuturan al-Ayubi:
Menurut pandangan saya, aliran Ahmadiyah merupakan
aliran sesat. Karena aliran tersebut telah keluar dari
260 konteks ajaran Islam yang sebenarnya. Menyiakapi
permasalahan ini, saya sependapat dengan pendapat
ketua MUI yang mengatakan bahwa apabila mereka
menginginkan membuat aliran baru, seyogyanya mereka
tidak menyandarkan aliran tersebut pada ajaran Islam.
Jadi mereka lebih baik membuat ajaran baru atau agama
baru, dan itu tidak masalah. Sebab itu merupakan salah
satu wujud kebebasan beragama.
Saefuddin juga berpandangan, Ahmadiyah merupakan
kelompok yang menyimpang dari Islam. Pengakuan
Ahmadiyah bahwa setelah Nabi Muhammad masih ada nabi
baru, yakni Mirza Ghulam Ahmad, menurut Saifuddin, bisa
dijadikan dasar yang kuat untuk mengeksklusi Ahmadiyah
dari Islam. “Kalau memang paham keyakinannya selama yang kita
kenal mengakui sebagai nabi, padahal dalam al-Quran itu jelas tidak
ada lagi nabi setelah Rasul. Ini artinya apa, mereka termasuk pihak
yang memang keluar dari Islam”, tegas Saifuddin. Sikap tegas
yang diperlihatkan Saifuddin, di samping dimaksudkan untuk
memberikan efek jera agar di masa yang akan datang tidak
ada lagi yang berani mengulangi tindakan Ahmadiyah, juga
untuk melindungi akidah umat Islam.
Pembenahan akidah, al-Ayubi menyebut demikian,
merupakan tugas yang tidak bisa ditawar oleh umat Islam. AlAyubi mengungkapkan keraguannya terhadap pranata
hukum di Indonesia dalam menangani berbagai kelompok
keagamaan baru dan sempalan. ”Hukum di Indonesia tidak
pernah jelas karena tidak berani didasarkan pada hukum Islam”,
kata al-Ayubi. Dalam penilaian al-Ayubi, ketidakjelasan dan
ketidakberanian tersebut karena Indonesia tidak berani
melepaskan diri dari dominasi aturan internasional yang
berkedok HAM.
261
Mereka masuk melalui produk undang-undang yang
dijadikan alat untuk bargaining, misalnya atas nama HAM,
kemudian dilembagakan. Sebenarnya, kalau umat Islam
mau berpikir, apa sih yang membuat kita menerima
kovenan internasional HAM. Atas dasar apa kemudian kita
menerima itu. Dulu saja pada jamannya Bung Karno kita
keluar dari PBB saja kan tidak ada yang mempersoalkan
konsekuensinya. Paling konsekuensinya, yang namanya
internasional itu, tergantung pada sikap dan kedaulatan
kita. Karena kita tidak punya sikap percaya diri, yang
akhirnya kita hanya menjadi follower. Anehnya, kita yang
mayoritas muslim kenapa harus terikat dengan yang begitubegitu, kok kita sangat ta’zim dengan semua itu, tapi justru
meninggalkan atau tidak terikat dengan syariat Islam yang
sesungguhnya, mestinya diapresiasi dan dipegang sebagai
wujud keimanan dan kecintaan kepada Allah SWT. Mana
yang ditakuti? Sekadar prinsip-prinsip Jenewa atau alQuran. Ini yang menjadi ironi dan kontradiksi.
Bagi Dimyati Badruzzaman, Ketua MUI Depok,
kebebasan secara terbatas perlu diterapkan dalam kehidupan
beragama untuk memberikan perlindungan terhadap
kemurnian agama. Oleh karena itu, ia mendukung
diterbitkannya SKB tentang Ahmadiyah. Ia menganggap
konsep kebebasan terbatas sebagai hal mendesak diterapkan
setelah belakangan di Indonesia bermunculan pelbagai
kelompok dalam Islam yang ia nilai telah menyimpang dari
kemurnian ajaran Islam seperti yang dilakukan Ahmadiyah.
Dalam pandangan doktor tafsir hadits itu, Ahmadiyah,
merupakan bentuk penyimpangan dari kebebasan beragama.
“Ahmadiyah merupakan kelompok keagamaan yang
menyimpang. Ketika sudah menyimpang dari syariah dan
menyimpang dari aturan Allah dan Rasul-Nya yang tidak
262 mengajarkan model-model seperti Ahmadiyah yang
menganggap setelah Nabi Muhammad ada lagi nabi, jelas
harus ditindak. Tentu melalui jalur hukum, tidak boleh main
hakim sendiri. Nah, artinya itu harus ada yang meluruskan.
Ahmadiyah telah melampaui kebebasan beragama dalam
Islam. Kebebasan beragama itu kan dia menyakini sebuah
kepercayaan yang sudah ada, itu sudah bukan kebebasan
beragama lagi, kalau kebebasan beragama itu kan dia
menyakini sebuah kepercayaan yang sudah ada, dan
memang ada dasarnya dalam al-Quran, tapi kalau sudah
seperti itu, ya tidak bisa.ah ada, dan memang ada dasarnya
dalam al-Quran, tapi kalau sudah seperti itu, ya tidak
bisa.Dalam Islam harus ada standar. Seandainya itu
menyimpang dari standar Islam, seperti ia mengakui adanya
nabi lagi, ini kan sudah jelas penyimpangan. Kecuali kalau
dia mungkin tidak mengaku Islam. Artinya, silahkan
membuat pemahaman akan kepercayaan baru lagi, mungkin
sumbernya apa, lain lagi, tapi ini mengaku kelompok Islam,
tapi ternyata menyimpang. Nabi Muhammad itu sudah
khâtam annabiyyîn, tidak ada lagi penerusnya, ada nabi lagi
itu kan aneh. Dalam al-Quran juga sudah divonis bahwa
setelah Muhammad tidak ada lagi nabi”.
Kendati lebih menekankan pada kebebasan terbatas,
Badruzzaman menolak jika Islam dinilai sebagai agama yang
anti terhadap HAM. Dibandingkan dengan Barat, Islam, kata
Badruzzaman, justru lebih awal memelopori dalam
memberikan penghargaan terhadap eksistensi agama lain.
Badruzzaman
memberi
contoh
konsep
toleransi.
Badruzzaman menolak dengan tegas terhadap penilaian dari
kalangan luar bahwa Islam adalah agama yang anti terhadap
eksistensi agama lain. Islam, tegas Badruzzaman, sejak 15
abad yang lalu telah berbicara toleransi terhadap agama lain.
263
Berkaitan dengan munculnya HAM itu, pada dasarnya
Islam sudah mempeloporinya 15 abad yang lalu. Kan
selama ini seolah-olah HAM lahir dari Barat. HAM
sebenarnya sudah diawali oleh Islam, dan HAM dalam
Islam itu jauh lebih baik daripada HAM yang muncul dari
Barat. Sedangkan kalau ada ajaran tentang toleransi, Islam
itu sudah moyangnya toleransi. Itu bukan hal baru dalam
Islam, misalnya, kebebasan beragama, itu sudah muncul
sejak jaman Nabi Adam. Munculnya Qobil, anaknya
Adam, yang sudah tidak mau mengikuti jejak agama
bapaknya, ya sudah. Artinya Nabi Adam angkat tangan
karena Allah tidak berkehandak. Ya tidak apa-apa. Tetap
dihargai sebagai anak, dalam hal kepercayaan, ya sudah.
Jadi konsep-konsep begini ini insya Allah sudah lengkap.
Tentang pandangan Islam mengenai HAM, kebebasan
beragama, toleransi, itu sudah diajarkan oleh Allah dalam
firman-Nya, ”lakum dînukum wa liya dîn” (bagimu
agamamu, bagiku agamaku). Tidak lantas ada paksaan ini
paksaan itu. Sudahlah, kalau Islam itu, dialog antar-agama
ya siap. Sesama muslim atau non-Muslim Rasul itu
menghargai. Bahkan perlindungan terhadap kaum Yahudi
di Madinah itu luar biasa, ”Kalian harus siap melangkahi
nyawaku kalau sampai menggangu orang-orang Yahudi
yang tidak pernah mengganggu kalian”. Sampai-sampai
Rasulullah menaruhkan nyawanya. Rasul itu sangat
perduli terhadap orang-orang yang berbeda agama. Itulah;
ajaran Islam sangat indah. Dalam Islam kita yakin bahwa
Islam itu rahmat bagi semua alam, ”Wamâ arsalnâka illa
rahmatan lil ’âlamîn”, tidaklah aku mengutusmu
Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi semua alam.
Dengan alasan Islam menekankan pada toleransi,
Badruzzaman
mengungkapkan
penolakan
terhadap
264 pencitraan yang dilakukan kalangan luar bahwa Islam
merupakan agama yang ekspansif.
Tidak ada yang namanya Islam itu ekspansif. Kalau terjadi
miskomunikasi, itu berarti pemahamannya terhadap Islam
yang mungkin ada sekat yang belum dipahami. Jadi, Islam
pada intinya damai, namanya saja Islam, Islam itu
menyelamakan. Cuma memang ada faktor-faktor yang
terkadang berusaha untuk mengeruhkan Islam itu sendiri.
Nah, ini yang seharusnya diusahakan untuk diberi
pemahaman. Misalnya Islam identik dengan teroris, dalam
Islam itu kan tidak ada, tapi isunya seolah-olah Islam itu
dianggap agama teroris. Kalau oknumnya saya sepakat,
bisa saja terjadi, karena pemahaman terhadap Islam itu
sepotong-potong. Dalam Islam tidak ada prinsip
ekspansif, menyerang, bahkan Islam kalau minoritas
malah diintervensi, itulah realitasnya. Kalau sampai
begitu, saya tidak pas. Coba lihat di Indonesia, mayoritas
Muslim, tapi tidak pernah ada gangguan pada yang minoritas, malah mereka merasa terlindungi karena Islam
mengajarkan seperti itu. Jadi jika Islam itu dibilang teroris
kita kurang enjoy.
265
266 BAB V
PENUTUP
ari paparan di atas tampak ada keragaman
pandangan aktivis dan tokoh Muslim di Depok
tentang HAM dan kebebasan beragama atau
berkepercayaan. Keragaman pandangan para informan
tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan diskursus
Islam dan HAM yang telah berkembang sebelumnya, yang
dapat dibaca dari berbagai literatur. Jika dibuatkan kategorisasi, maka ada informan yang memiliki pandangan inklusif,
sedangkan lainnya lagi berpandangan eksklusif. Informan
yang berpandangan inklusif, menerima gagasan universal
HAM termasuk ketentuan kebebasan beragama atau
berkepercayaan. Bagi mereka, HAM tidak perlu dipandang
sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam. Di samping
karena telah banyak negara berpenduduk mayoritas Islam
mengakui dan meratifikasi instrumen HAM yang dikeluarkan
PBB, informan yang berpandangan inklusif menggunakan
alasan teologis dan historis. Secara teologis, Islam memiliki
sumber autentik yang dapat dijadikan legitimasi penerimaan
umat Islam terhadap HAM. Sumber yang dimaksud adalah alQur’an.
D
Menurut pemahaman kelompok inklusif, dalam alQur’an terdapat banyak ayat yang dapat meneguhkan ide-ide
utama HAM yang muncul dari Barat. Ayat-ayat al-Qur’an
yang sering dikutip oleh kelompok inklusif adalah: surat alBaqarah (2) ayat 256; al-Kahfi (18) ayat 29; surat al-Kafirun
(109) ayat 6. Menurut mereka, ayat-ayat tersebut merupakan
267
bukti pengakuan Islam terhadap kebebasan beragama atau
berkepercayaan yang ditekankan oleh HAM. Dengan berlandaskan pada setidaknya tiga ayat dalam al-Qur’an itu,
kelompok inklusif kemudian berpandangan bahwa agama
sejatinya merupakan masalah privat (individual) yang tidak
boleh diintervensi oleh pihak manapun termasuk oleh negara.
Karena sebagai masalah privat, pilihan seseorang terhadap
agama tertentu perlu dihormati serta tidak boleh memaksa
orang lain untuk memeluk agama tertentu. “Silahkan Anda
memilih ajaran agama masing-masing”, kata salah seorang
informan yang berpandangan inklusif. Informan lainnya
menegaskan: “Orang lain tidak perlu dipaksa menyembah Tuhan
yang disebut Allah itu”. Kelompok ini—sebagai kelanjutan dari
sikap inklusifnya—bahkan mengangap hal yang biasa
terhadap orang lain yang pindah atau konversi terhadap
agama lain. “Orang boleh pindah agama, asal bukan paksaan, tetapi
kesadaran sendiri”, kata salah seorang informan. Bagi mereka,
pindah agama juga perlu dipandang sebagai pilihan pribadi
yang otonom. Karena itu, mereka tidak setuju terhadap
wacana hukuman mati yang diberlakukan terhadap orang
yang pindah agama.
Pandangan di atas berbeda dengan pandangan informan
yang dikategorikan eksklusif. Jika pandangan inklusif
menepis adanya kontradisi antara HAM dengan Islam,
sementara bagi kelompok eksklusif, cenderung menempatkan
HAM dan Islam dalam posisi yang bertentangan sehingga
tidak bisa diterapkan pada masyarakat Islam. Mereka
berpandangan, konsep HAM yang dicetuskan oleh PBB tidak
bisa diberlakukan secara universal karena lebih didominasi
oleh pandangan Barat. Salah satu yang menjadi sasaran kritik
mereka adalah pada aspek kebebasan beragama atau
berkepercayaan yang ditekankan oleh HAM. Dalam
pandangan mereka, kebebasan beragama atau berkepercayaan
268 tidak bisa diberlakukan secara universal terhadap masyarakat
Islam kendatipun al-Qur’an sering menyinggung masalah
kebebasan. Kebebasan dalam al-Qur’an, hanya berlaku secara
eksternal. Sementara terhadap umat Islam sendiri yang sudah
memeluk agama Islam tidak ada pilihan lagi selain tetap
memeluk agamanya. Bagi mereka, jika ada orang Islam
pindah pada agama lain, maka orang tersebut disebut murtad
yang dapat diberi sanksi hukuman mati. Sebagai kelanjutan
dari sikap eksklusif tersebut, mereka menunjukkan sikap
ekstra hati-hati terhadap kelompok keagamaan nonmainstream
seperti Ahmadiyah, Lia Aminuddin, dan al Qiyadah al
Islamiyah. Terhadap kelompok-kelompok ini mereka mengungkapkan ketidaksetujuannya jika negara memberikan
perlindungan. Dalam pandangan mereka, kelompok
keagamaan nonmainstream tersebut perlu dilarang dan
dibubarkan agar Islam steril dari segala bentuk penodaan dan
pelecehan.
Mencermati pandangan kelompok eksklusif ini,
tampaknya mereka cenderung memosisikan agama sebagai
masalah publik sehingga bisa diintervensi oleh pihak-pihak
luar seperti negara. Karena agama dipandang sebagai masalah
publik, mereka menyetujui terhadap kebijakan negara yang
mengatur kehidupan beragama seperti pendirian rumah
ibadat dan pelarangan terhadap aliran dan faham keagamaan
menyimpang. Menurut mereka, negara boleh mengatur dan
melakukan intervensi terhadap kehidupan agama jika
dipandang bisa menciptakan rasa aman. Dan intervensi
negara oleh mereka tidak perlu dipandang sebagai
pelanggaran HAM.
Cara pandang antara kelompok inklusif dan eksklusif
tampaknya sulit dipertemukan. Dapat diperkirakan pula,
perkembangan
wacana
kebebasan
beragama
dan
269
berkeyakinan akan tetap terbagi ke dalam dua pandangan
tersebut. Perkiraan ini didasarkan pada proses demokratisasi
transisional yang sedang berjalan di Indonesia. Apa kaitan
antara proses ini dengan wacana kebebasan beragama atau
berkepercayaan baik yang eksklusif maupun inklusif?
Demokratisasi transisional—sebagai tahapan kedua dalam
demokrasi—ditandai dengan dengan keterbukaan. Pada
tahapan inilah berbagai elemen masyarakat memperoleh
kebebasan untuk mengartikulasikan pendapatnya sekalipun
berbeda dengan negara dan kelompok lain. Wacana keagamaan juga berkembang pesat pada tahapan yang disebut juga
era refomasi ini.
Oleh karena itu, munculnya wacana inklusif dan
eksklusif semestinya tidak perlu dipandang sebagai hal yang
aneh. Hanya yang perlu mendapat perhatian adalah,
bagaimana perbedaan wacana tersebut tidak berakibat pada
terjadinya praktik anarkis seperti yang marak belakangan ini.
Hal ini perlu mendapat perhatian karena pada setiap
terjadinya praktik anarkis yang bernuansakan perbedaan
agama dan paham keagamaan terdapat kaitan dengan wacana
keagamaan tertentu. Sebagai contoh adalah kekerasan di
Kampus Mubarak, Parung, Bogor yang menimpa pengikut
Ahmadiyah pada 15 Juli 2005. Kekerasan tersebut dilakukan
oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan Islam yang
tidak sepaham dengan paham keagamaan Ahmadiyah. Yang
tidak kalah memperihatinkan, kekerasan tersebut—dan
beberapa kekerasan lainnya di Indonesia—seperti berjalan
mudah karena sebagaimana dikemukakan Kholiluddin (2009),
negara maupun aparat keamanan terkesan melakukan “politik
pembiaran” pada saat terjadinya kekerasan. Kholiluddin
menyayangkan sikap Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
yang cenderung menjadi silent majority yang tidak memberi
respons memadai terhadap kasus-kasus kekerasan.
270 Meskipun keragaman wacana tidak mungkin bisa
dihindarkan, tidak berarti pengembangan wacana yang lebih
afirmatif terhadap HAM dan kebebasan beragama atau
berkepercayaan tidak bisa dilakukan. Cara yang bisa
ditempuh antara lain dengan memanfatkan istitusi pendidikan umat Islam seperti yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama untuk mempromosikan HAM dan
kebebasan beragama atau berkeyakinan.]
271
272 KEPUSTAKAAN
Abdullah, Saiful. Hukum Aliran Sesat: Konsepsi Kebijakan Penal
dan Non-Penal Policy Aliran Sesat di Indonesia. Malang:
SETARA Press. 2009.
Baidhawi, Zakiyuddin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta:
PSAP. 2005.
Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian
Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan
Bintang. 1991.
Harmoni, Volume VII, Nomor 25, Januari-Maret 2008.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (Ed.). Passing
Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 1998.
Jamil, M. Mukhsin. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2008.
Kholiludin Tedi. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan,
Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil.
Semarang: RaSAIL. 2009.
Litle, David dkk. Kajian Lintaskultural Islam-Barat: Kebebasan
Agama dan Hak-hak Asasi Manusia (Human Rights and the
Conlifct of Cultures: Western and Islamic Pers[ectives on
Religious Liberty). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1997.
Manji, Irshad. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam
Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher. 2008.
Nurdjana, IGM. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
273
Qardhawi, Yusuf. Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat
Islam. Bandung: Karisma. 1994.
Saidi, Anas (Ed.). Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan
Agama Orde Baru. Jakarta: Desantara. 2004.
Setiawan, Habib dkk. After New Paradigm: Catatan Para Ulama
tentang LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Jakarta:
PSIM Institute. 2008.
Suaedy, Ahmad. Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa
Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
2007.
Suhendra dan Ahmad Dimyathi Badruzzaman. Jejak Langkah
Islam di Depok. Depok: MUI. 2007.
*******************
274 PANDANGAN PEMIMPIN ORMAS ISLAM
TERHADAP PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK
ISLAM PADA PEMILU LEGISLATIF 2009
DI DKI JAKARTA
Oleh:
Reslawati, S.Ag, M.Si
PANDANGAN PEMIMPIN ORMAS ISLAM
TERHADAP PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK
ISLAM PADA PEMILU LEGISLATIF 2009
DI DKI JAKARTA1
Reslawati, S. Ag, M. Si2
Abstraksi
Kajian ini difokuskan pada pandangan pemimpin ormas Islam terhadap
perolehan suara partai politik Islam pada pemilu legislative di DKI Jakarta. Lokus
kajian di laksanakan di Propinsi DKI Jakarta. Dengan metode kualitatif dan
pendekatan fenomenologis. Kajian ini menghasilkan antara lain: Penyebab
penurunan perolehan suara partai politik Islam di sebabkan berbagai faktor, baik
internal maupun ekternal partai yaitu adanya friksi-friksi didalam partai;visi dan
misinya tidak jelas, parpaol Islam saat ini sangat pragmatis, tidak ideologis; Ada
keinginan bahwa parpol Islam bergabung menjadi hanya satu atau dua parpol Islam
saja atau cukup mengosentrasikan pada parpol Islam yang sudah ada dan lolos
elektrol treshold agar potensi dan kosentrasi umat tidak terpecah belah; adanya
signifikasi yang cukup tajam antara perolehan penurunan suara parpol Islam
dengan pengambilan keputusan parpol Islam di legislatif, bila perolehan suara
parpol Islam kecil secara otomatis jumlah wakil parpol Islam di legislatif juga kecil,
maka saat rapat dilegislatif dan di voting maka suara parpol Islam kalah;
Masyarkat menginginkan kehadiran wakilnya dilegislatif
betul-betul
refresentasi mewakili umat Islam yang mampu berjuang untuk kepentingan umat
Islam dan diaktualisasikan dalam bentuk memunculkan ide dan pembuat serta
pengambilan keputusan yang teraktualisasi dalam bentuk Perda, RUU maupun UU
yang bercirikan nilai-nilai ajaran agama Islam di legislatif (DPRD/DPRD);
Dalam mewujudkan UU yang menyangkut kepentingan keagamaan
(khusunya Islam) tidak ada perbedaan yang signifikan antara partai-partai yang
berbasis/ideologi agama dengan yang bukan. Semua partai tidak mempersoalkan
substansi UU sebagai diskriminasi kepada elemen-elemen bangsa. Karena semua
parpol pada akhirnya menyetujui lahirnya UU.
Keyword: Pandangan, Pemimpin Ormas Islam, Partai Politik Islam
1 Laporan hasil penelitian Pembimbingan Kehidupan Keagamaan Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2 Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI 275
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Permasalahan
B
erdasarkan sejarah bangsa Indonesia perolehan
suara parpol Islam setiap pemilu ada
kecenderungan semakin menurun. Makin
turunnya minat konstituen terhadap parpol Islam dan parpol
yang berplatform Islam terjadi karena beberapa faktor,
menurut hasil lembaga survey Indonesia (LSI), tanggal 2
Nopember tahun 2006, antara lain:diasumsi-kan karena
ketidakmampuan parpol Islam dalam menggunakan isu
agama dalam pemilu; b. Diduga parpol Islam tidak mampu
menawarkan program-program yang menyentuh kebutuhan
rakyat secara umum dan umat Islam khususnya, misalnya
program tentang negara kesejahteraan, pemerintahan yang
bersih dan berwibawa; c. Diduga parpol Islam tidak mewakili
aspirasi umat Islam dalam menjalankan misi dan visinya
sebagai parpola Islam. Perjalanan sistem politik yang berlaku
sejak orde lama, orde baru dan orde reformasi menunjukkan
adanya pergeseran kekuatan politik umat Islam.
Pada masa orde lama, pemerintah Indonesia hanya
mampu melaksanakan satu kali pemilu yakni, 1955 diikuti 52
kontestan parpol dan perorangan. Yang berhasil mendapat
kursi DPR sebanyak 27 parpol. Dari jumlah 27 parpol tersebut
terdapat 6 parpol Islam yakni Masyumi, NU, PSII, Perti, Aksi
Kemenangan Umat Islam, Partai Politik Tharikat Islam.
Sedangkan sisanya, 21 parpol termasuk parpol nasional atau
parpol non agama. Sistem politik yang dikembangkan orde
276 baru pada pemilu 1971 terdapat 4 parpol Islam (NU, Parmusi,
PSII dan Perti) di antara 10 konstestan. Pemilu 1971 yang
dimenangkan Golkar dengan perolehan 62,80 persen memberi
gambaran parpol Islam tidak dominan. Jumlah suara
diperoleh 4 parpol Islam adalah 27,12 persen. Perampingan
jumlah parpol dianggap sebagai strategi paling kuat untuk
melangeergengkan kekuasaan orde baru. Sehingga waktu itu
terdapat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) fusi 4 parpol
Islam tanggal 5 Januari 1973, dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) fusi 5 parpol yakni PNI, Parkindo, Murba, IPKI, Partai
Katolik tanggal 10 Januari 1973. Pada pemilu 1977 berdasar
kan UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Parpol dan Golkar,
diikuti hanya tiga kontestan yakni PPP, Golkar, dan PDI.
Format politik pada pemilu 1977 itu dianggap sebagai
bersatunya umat Islam dalam satu wadah parpol.
PPP dapat sokongan jurkam handal yang dikenal
memiliki konstituen besar seperti Nurcholish Madjid, Ridwan
Saidi (HMI), Rhoma Irama (artis dangdut), M Natsir, Kasman
Singodimedjo (mantan tokoh Masyumi). Mereka membesarkan suara PPP bersama tokoh-tokoh kharismatik dari NU,
Parmusi, PSII dan Perti. Waktu itu PPP dapat suara 29, 29
persen, naik sebesar 2,18 persen. Sedangkan perolehan suara
Golkar dan PDI mengalami penurunan. PPP naik menjadi
sebanyak 99 kursi. Sehingga komposisi perolehan kursi di
DPR RI, Golkar 232 kursi, PPP 99 kursi, dan PDI 29 kursi.
Pemilu 1977 merupakan masa jaya PPP sebagai parpol
Islam yang ternyata tidak mampu diraih lagi pada 4 kali
pemilu berikutnya selama orde baru. Pada masa orde baru
perolehan suara PPP dan PDI selalu naik turun selama pemilu
1982 hingga 1997, hal ini terjadi karena dilanda konflik
internal. PPP sekalipun sebagai partai Islam tidak pernah
mengembangkan isu-isu agama seperti masalah syariat Islam,
277
presiden Islam, dan negara Islam, namun PPP tetap sebagai
kekuatan parpol nomor dua di Indonesia. Karena parpol
nomor satunya tetap Golkar. Kondisi itu ikut memperkuat
anggapan bahwa parpol nasionalis/nonagama lebih diminati
rakyat dari pada parpol Islam.
Tumbangnya kekuasaan orde baru telah mengantarkan
pelaksanaan pemilu dipercepat. Pemilu 1999 merupakan ajang
pesta demokrasi model multi parpol. Ada 48 parpol yang
disahkan sebagai peserta pemilu 1999, yakni 3 parpol lama
(Partai Golkar, PPP, dan PDI) ditambah 45 parpol baru. Hasil
pemilu menunjukkan bahwa parpol nasionalis/non agama
lebih dominan menguasai rangking 1 dan 2 yakni PDI
Perjuangan dan Partai Golkar.Ternyata pada sistem politik
yang makin demokratis, parpol Islam tidak mampu
menunjukkan kemenangan yang signifikan. Karena mereka
tidak mampu mengembangkan isu-isu strategis yang benarbenar menjadi kebutuhan bangsa Indonesia. Isu-isu yang
mereka bawakan ternyata tidak berimbang, masih berkutat
pada soal politik dan agama. Padahal isu-isu lainnya seperti
ekonomi, pemerataan pendidikan, keadilan, dan sebagainya
tidak mendapat porsi yang menarik.
Penyebaran konstituen umat Islam justru mempengaruhi
anjloknya suara PPP yang selama orde baru dikenal sebagai
satu-satunya parpol yang berlabel Islam. Perolehan suara PPP
terpuruk karena konstituennya berpindah ke parpol baru.
Sejumlah parpol baru yang mengurangi jumlah suara PPP
adalah parpol terbuka yang berplatform Islam (PKB, PAN),
dan parpol yang berazas Islam yakni PBB, PK, Partai
Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU),
PSII, Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai
Kebangkitan Muslim Indonesia, PSII 1905, Partai Politik Islam
Indonesia Masyumi, Partai Islam Demokrat (PID), Partai
278 Persatuan, Partai Suni, Partai Ummat Muslimin Indonesia.
Sebagian besar parpol Islam itu gulung tikar karena sepi
peminat, sehingga pada pemilu 2004 tidak eksis lagi. Pemilu
2004 yang diikuti 24 parpol itu memberikan konfigurasi yang
sama yakni parpol nasionalis/non agama lebih diminati
rakyat3.
Berdasarkan perhitungan suara pada pesta demokrasi
pemilihan umum legislatife tahun 2009, yang diikuti 44
parpol, terdiri dari 36 partai nasionalis/non agama, 6 parpol
berazaskan Islam (Partai Keadilan Sejahtera 7.88 %, PPP 5,32
%, PBB 1.79 %, PBR 1.21 %, Parti Kebangkitan Nasional Ulama
1.47 %, Partai Nadhdlatul Ummah Indonesia 0.14 %) dan 2
parpol terbuka berplatform Islam {(PKB 4.94 % dan PAN
6.01)}4. Kalau kita perhatikan dari setiap pemilu legislative
setiap tahunnya terjadi pergeseran ataupun dinamika tehadap
perolehan suara parpol Islam. Sedangkan partai Demokrat
merupakan partai yang sangat diuntungkan dari adanya
pergeseran pemilih partai Islam tersebut, dimana suara Partai
Demoktat yang hanya 7.4 % pada tahun 2004 bisa melejit
menjadi 20.85 % pada tahun 2009 ini. Sedangkan Golkar dan
PDIP relatif signifikan. Hal ini menjadi pertanyaan besar,
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim tetapi dalam
pemilu legislatif dari satu pemilu ke pemilu berikutnya parpol
Islam tidak pernah menjadi pemenang dalam pemilu legislatif
tersebut, dan bahkan mengalami pergeseran semakin
menurun yang cukup signifikan. Untuk itulah hal ini perlu
dicarikan penyebabnya yang harus dicarikan solusi agar
parpol Islam tetap merupakan partai pilihan bagi umat Islam
3 Heriyanto, Slamet. Islam, Parpol, Pemilu 2004. http.www. wikipedi. 02
Nopember 2006. 4 Hasil penghitungan suara sah parpol peserta pemilu dalam pemilu anggota
DPR, DPD dan DPRD tahun 2009, Media Center Komisi Pemilihan Umum 279
khususnya dan masih diperlukan sebagai wadah aspirasi bagi
umat Islam dikemudian hari.
Kita ketahui bahwa dalam parpol Islam, individuindividunya juga berasal dari berbagai pengurus ormas Islam,
sedangkan ormas Islam pun merupakan wadah aspirasi umat
Islam. Untuk itulah sangat saling keterkaitan antara ormas
Islam dan parpol Islam sebagai wadah aspirasi umat Islam.
Bila perolehan suara parpol Islam semakin hari semakin
menurun, secara otomatis keterwakilan umat Islam di
parlemen juga semakin sedikit. Ini akan berdampak semakin
sedikitnya umat Islam yang menyuarakan aspirasi dan
keinginan umat Islam diparlemen, sehingga dalam pembuatan
maupun pengambilan keputusan berkenaan dengan Undangundang sebagai harapan umat Islam kurang berjalan mulus.
Oleh karena itu selama ini, betapa sulitnya perwakilan umat
Islam yang ada di parlemen dalam memperjuangkan UU
tentang Perkawinan, UU tentang Wakaf, UU tentang Zakat,
UU tentang Haji menjadi suatu Undang-undang, sekalipun di
parlemen mayoritas anggotanya muslim.
Perjuangan umat Islam yang ada di parlemen berkenaan
aspirasi umat Islam tentang Undang-undang sesuai dengan
keinginan umat Islam tersebut bukan berarti umat Islam ingin
mendirikan negara Islam, tetapi hanya ingin mengatur secara
kenegaraan keinginan umat Islam sesuai dengan ajaran agama
Islam untuk kepentingan umat Islam semata, agar tertib,
teratur dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Selama ini,
masih terdapat perbedaan persepsi yang cukup mendalam
dalam memahami berbagai ajaran agama Islam tentang mu’amalat. Namun dengan diaturnya melalui Undang-undang,
maka hakim tertinggi dalam mengatur dan memutus perkara
umat diserahkan dan diatur oleh negara, agar tidak terjadi
perbedaan yang tajam diantara intern umat beragama.
280 Dengan semakin kecilnya tingkat perbedaan persepsi umat
beragama secara tidak langsung telah menciptakan harmoni
intern umat beragama yang diatur oleh Undang-undang.
Selain itu, keberadaan perwakilan umat Islam di
parlemen yang diwakili oleh parpol Islam, akan sangat efektif
melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh politik yang
beragama non Islam. Sehingga hal-hal yang berhubungan
dengan sikap-sikap inklusifisme, eklusifisme umat beragama
dapat diminimalisir secara langsung oleh perwakilan umat
Islam yang ada di parlemen dalam menjelaskan berbagai
pandangan miring tentang umat Islam yang dianggap keluar
dari “maesntremnya”. Departemen Agama, yang selama ini
masih identik dengan aspirasi Islam baik politik maupun
kultural, bertugas melakukan reorientasi kebijakan-kebijakan
agama di Departemen Agama. Kebijakan yang dikeluarkan
antara lain menyangkut tentang hubungan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam upaya mencari landasan
dari persatuan komunitas-komunitas agama. Negara Pancasila
mengakui wewenang Departemen Agama dan kebijakankebijakan keagamaan sebagai bagian yang integral dari
kebijakan politik pemerintah5. Oleh karena itu ekistensi
Departemen Agama memerlukan dukungan politik.
Dukungan politik diperoleh dari parpol, terutama bagaimana
parpol yang mengusung ideologi agama atau yang
berplatform/ berbasis agama dalam menyusun UU
keagamaan, seperti UU Haji, UU Perkawinan, UU Perbankan
Syari’ah,dll. Apakah UU yang diusulkan tersebut mendapat
5 Mufid, Syafi’i. Departemen Agama dan Upaya Menjaga Equilibrium Bangsa,
dalam buku Diskriminasi Disekeliling Kita: negara, Politik, dan Multikulturalisme.
Hal. 63. Institut DIAN/Interfidei. 2008.
281
dukungan dari partai-partai berbasis agama atau partai tidak
berbasis agama. Berangkat dari persoalan tersebut, maka
penelitian ini sangat relevan untuk dilakukan. Untuk
mengungkap hal tersebut penelusuran dimulai dengan
adanya dugaan bahwa terjadinya penurunan perolehan suara
parpol Islam dalam pemilu legislatif akan berdampak pada
semakin sedikitnya perwakilan umat Islam di parlemen.
Dengan demikian, diduga akan semakin sulit aspirasi umat
Islam memperoleh dukungan politik di parlemen untuk
mewujudkan harapan umat Islam dalam bentuk UU.
B. Perumusaan Masalah
Dari deskripsi di atas dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
a. Apa penyebab pergeseran penurunan perolehan suara
parpol Islam dalam pemilu legislatif 2009 di DKI Jakarta
b. Bagaimana pandangan pemimpin ormas Islam tentang
penurunan perolehan suara parpol Islam pada pemilu
legislatif di Jakarta
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penyebab
pergeseran penurunan perolehan suara parpol Islam
dalam pemilu legislatif tahun 2009
b. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pandangan
pemimpin ormas Islam tentang penurunan perolehan
suara parpol Islam pada pemilu legislatif 2009 di Jakarta.
282 D. Kerangka Berfikir:
Perolehan Suara Parpol
Islam:
Kurangnya Partisipasi SDM Lema
Pragmatis Donasi Lemahnya manajemen Model Komunikas
i non Friksi Interna
l
Kampanye Lemahnya Kaderisasi Pandang
an
Pimpina
n Ormas
Islam:
N
Muham
madiyah MU
I
Dari diagram alur berfikir penelitian tersebut dapat
dideskripsikan sebagai berikut: bahwa mulai dari zaman orde
lama, orde baru dan orde reformasi jumlah perolehan suara
parpol Islam semakin hari semakin menurun hal ini
dibuktikan dengan prosentasae perolehan suara dari setiap
kali pemilihan umum seperti yang tergambar pada latar
belakang masalah. Adapun faktor penyebab terjadinya
penurunan perolehan suara parpol Islam tersebut
diasumsikan disebabkan 2 (dua) faktor yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari adanya
pragmatise cara berfikir dan bertindak parpol Islam, dimana
para pengurus/anggota parpo Islam yang tadinya berfikiran
idiologis telah bergeser pada hal-hal yang sangat pragmatis.
Sehingga nilai-nilai perjuangan sebagai cita-cita luhur dari
sebuah parpol Islam dapat bergeser pada kepentingan
pragmatisme sesaat, yang hanya memenuhi kebutuhan partai
sesaat juga;
283
Sumberdaya parpol Islam yang lemah, dalam artian
pengurus/anggota parpol Islam secara kapabilitas belum
mempunyai kemampuan yang sangat memadai sehubungan
untuk membangun parpol lebih berkualitas sesuai dengan
visi, misi dan cita-cita parpol Islam. Adanya friksi internal,
terjadinya konflik kepentingan secara internal di tubuh parpol
Islam berdampak pada macetnya roda organisasi dan
terjadinya perpecahan di dalam tubuh partai serta
menyebabkan pengurus/anggota parpol Islam keluar dari
parpol dan hijrah ke parpol lain atau mendirikan parpol baru;
Lemahnya pengelolaan/manajemen pada parpol, tidak
dikelolah secara professional sesuai dengan strutur yang ada
dalam parpol tersebut, terjadinya overlapping job secara
operasionalisasi dan tidak tertibnya administrasi serta kurang
transfaransi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan
parpol. lemahnya kaderisasi, dimana kaderisasi partai tidak
dibangun dengan sistem yang kuat, mulai dari rekrutmen
keanggotaan, pembinaan, maupun pengembangan kader yang
mumpuni, sehinga tidak terjadi kaderisasi yang secara
berkesinambungan yang dapat meneruskan estafeta
kepemimpinan maupun meneruskan program-program
kepartaian;
Model komunikasi yang dibangun bersifat non parti
sipatori, artinya komunikasi yang dibangun dipartai hanya
bersifat linier tetapi tidak bersifat feetback, parpol tidak mem
buka peluang komunikasi yang efektif dan timbal balik, baik
kepada anggota maupun masyarakat pendukungnya dan
masyarakat luas; lemahnya kampanye yang diakibatkan
kurangnya dukungan finansial dari dalam parpol Islam;
ketidakmampuan membangun image, parpol Islam baik secara
organisatoris maupun secara individual tidak mampu
membangun image positif bagi parpo, bahkan cenderung
bersikap negative, dimana beberapa kasus yang muncul ada
284 beberapa kader parpol yang masuk penjara karena terjerat
kasus korupsi dan persoalan moral.
Sedangkan Faktor eksternal terdiri dari; kurangnya
partisipasi masyarakat; khusunya umat muslim kurang
berminat untuk berperan aktif secara langsung kepada parpol
Islam, karena parpol Islam tidak menjanjikan programprogram yang dapat mewakili kepentingan masyarakat
banyak terutama umat Islam; parpol Islam, karena
dikhawatirkan bila parpol Islam berjaya ada asumsi bahwa
parpol Islam akan mendirikan negara Islam, dan menegakkan
syari’at Islam tidak fleksibel. Selain itu, Parpol Islam sebagai
basis kekuatan politik umat Islam yang terlembaga,
diharapkan dapat menjadi wadah aspirasi umat Islam dalam
pengambilan kebijakan, keputusan yang sangat fundamental
dalam menentukan arah perjalanan kepentingan umat Islam
melalui
lembaga legislatif berupa produk perundangundangan yang mengedepankan kepentingan umat Islam di
Indonesia umumnya DKI Jakarta Khususnya. Dari berbagai
faktor internal dan eksternal inilah penelitian ini akan melihatnya
dari sudut pandang pemimpin partai politik Islam sebagai croos
check balik.
E. Kerangka Konseptual
1. Pandangan/persepsi
Kita ketahui bahwa perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, kecakapan dan pengalaman orang itu
sendiri tentang suatu objek. Dengan kata lain perilaku
seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsinya terhadap
suatu objek. Oleh karena itu, persepsi seseorang berperanan
penting didalam pencapaian tujuan tertentu, karena tindakan
seseorang maupun kegiatannya sehari-hari dipengaruhi
persepsinya terhadap rangsangan dari luar dirinya serta
285
kemampuannya mengambil keputusan terhadap rangsangan
tersebut. Persepsi dapat diartikan sebagai proses pengamatan
pada
panca
indera
ditransformasikan
ke
dalam
pengorganisasian kesan yang diamati oleh pengamat6.
Persepsi timbul karena adanya dua faktor, yaitu factor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal tergantung pada proses
pemahaman sesuatu termasuk di dalamnya system nilai,
tujuan, kepercayaan dan tanggapannya terhadap hasil yang
dicapai, sedangkan faktor eksternal, yakni lingkungan.
Pandangan/Persepsi adalah suatu proses membuat
penilaian (impression) mengenai berbagai macam hal yang
terdapat
di dalam lapangan penginderaan seseorang7.
Pembuatan penilaian atau pembentukan kesan ini pada
hakekatnya suatu upaya memberikan makna kepada hal-hal
tersebut. Menurut Miftah, persepsi pada hakekatnya adalah
proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam
memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui
penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan
penciuman. Persepsi dapat menambah dan mengurangi
kejadian sesungguhnya yang diinderakan oleh seseorang atau
dengan kata lain persepsi mengenai suatu objek terlepas dari
soal tepat atau tidaknya dan hal ini dapat dijadikan sebagai
pegangan sementara waktu.
Sedangkan menurut Mar’at, persepsi adalah proses
pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi.
Persepsi ini dipengaruhi oleh factor-faktor pengalaman,
proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya terhadap suatu
objek dengan kacamata sendiri yang diwarnai oleh nilai dari
6 W. Michel dan NH. Michel, Essentials of Psychology (New York : Random
House, Inc, 1980), p. 81 7 Wrightsman, Social Psychology Indonesia the 80’s, dikutip langsung oleh
Subyakto, Psychology Sosial (Jakarta: Haruhita, 1988, h. 23 286 kepribadiannya. Persepsi seseorang terhadap suatu objek akan
berbeda satu sama lain. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti pengalaman, proses belajar, cakrawala dan
pengetahuan masing-masing orang. Perbedaan persepsi tiaptiap orang terhadap suatu objek disebabkan oleh karena
adanya perbedaan perhatian, harapan, kebutuhan, system
nilai dan ciri kepribadiannya. Persepsi yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah pandangan/penglihatan, pengamatan,
pengetahuan, penilaian dari seseorang/kelompok yang
terorganisir dalam suatu lembaga berkenaan informasi
tentang perolehan suara parpol Islam pada pemilu legislatif
yang terjadi dan berkembang dilingkunganya.
F. Pemimpin Ormas Islam
Menurut Kartini Kartono (2004:33): pemimpin adalah
seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan di
satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain
untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi
mencapai satu atau beberapa tujuan. Sedangkan menurut
Winardi (2000:32) bahwa pemimpin terdiri dari pemimpin
formal (formal leader) dan pemimpin non formal.
Pemimpin formal adalah seorang yang oleh organisasi
tertentu ditunjuk untuk memangku jabatan dalam struktur
organisasi yang ada dengan segala hak dan kewajibannya
yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi
tersebut yang ditetapkan sejak semula. Sedangkan pemimpin
non formal adalah suatu kemampuan yang melekat pada diri
seseorang yang memimpin tergantung dari macam-macam
faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Adapun
peran pemimpin sangatlah erat dengan fungsi yang
diembannya. Pemimpin harus dapat berperan sebagai sumber
ide, perencana, wakil kelompok, seorang ahli, pengawas,
hakim/ wasit, pemegang tanggung jawab, dan sebagai ayah.
287
Organisasi masyarakat merupakan suatu wadah di mana
berkumpul berbagai orang yang mempunyai tujuan yang
sama dan mempunyai basis kekuatan massa pendukungnya.
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT untuk
umat manusia di bumi yang berpegang pada ajaran Al Qur’an
dan Al Hadis. Jadi yang dimaksud dengan Ormas Islam di sini
adalah Organisasi yang mempunyai kekuatan massa umat
Islam yang berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam. Adapun
Pemimpin Ormas Islam yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah pemimpin/pimpinan yang memimpin organisasi
massa yang berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam. Dalam
penelitian ini, Pimpinan Muhammadiyah, Pimpinan NU dan
Pimpinan MUI diasumsikan memiliki integritas berpegang
pada nilai-nilai ajaran Islam dan mempunyai massa yang
nyata. Khusus MUI diasumsikan massanya adalah semua
umat Islam Indonesia.
G. Partai Politik Islam
Secara etimologi partai politik berasal dari kata partai
dan politik. Kata partai berasal dari bahasa Ingrris “part” yang
berarti menunjuk kepada seseorang yang seazas, sehaluan dan
setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik, yang
dalam bahasa Inggris, politik berarti ilmu yang mengatur
ketatanegaraan, atau seni mengatur, mengurus negara dan
ilmu kenegaraan. Carl J. Friedrich mengatakan, partai politik
adalah sekelompok manusia yang terorganisisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan
terhadap pemerintahan bagi pemimpin partainya dan,
berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat idial maupun material.
Menurut Sigmund Neumann (1956), partai politik adalah
organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk
menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan
288 rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda..
Senada dengan hal tersebut Ramlan Surbakti menambahkan
partai politik sebagai kelompok anggota yang terorganisir
secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi
dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui
pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna
melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun,
sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang
hidup dalam masyarakat. Dari sinilah kemudian muncul
istilah partai Islam, atau partai yang berlandaskan pada
simbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran
Islam.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya
muslim tak dapat mengelakan dengan menjamurnya partaipartai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik
secara tekstual maupun substansial, seperti PKS, PPP, dan
PBB yang secara tegas menamakan dirinya partai Islam,
namun ada juga partai politik yang latarbelakang berdirinya
dimotori oleh organisasi sosial keagamaan, namun
menyatakan sebagai partai terbuka bagi penganut agama
manapun, yaitu PKB dan PAN. Dari uraian diatas dapat
dikatakan bahwa secara umum partai politik Islam yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah partai politik yang
berlandas kan/berazaskan Islam, parpol Islam yang
berplatform Islam, Parpol yang menggunakan simbol-simbol
Islam, penganut Islam maupun substansi Islam yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai nilai-nilai
dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan
cara konstitusional, serta menumbuhkan partisipasi
masyarakat.
289
H. Pemilihan Umum Legislatif
Pemilihan umum (pemilu) biasanya diasumsikan
sebagai pesta demokrasi yang berlangsung 5 (lima) tahun
sekali, yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Pada
pemilu di pilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin
pemerintahan berdasarkan pemilihan. Menurut Anas
Urbaningrum, mantan anggota KPU, pemilu adalah sebuah
kompetisi berbagai kekuatan politik, harus membuka
kompetisi yang fair dan transparan. Dalam artian bahwa
masing-masing kontestan pemilu berkesempatan dan
mempunyai peluang yang sama untuk mengekspresikan
ideologi politiknya masing-masing. Melalui mekanisme itu
akan terjadi proses belajar antara satu kontestan dengan
kontestan yang lain serta terbangun pluralism politik. Rakyat
yang akhirnya memberikan penilaian (KPU: 2004:25).
Legislatif merupakan sebagai sebuah wadah perwakilan
aspirasi rakyat yang memilih anggotannya. Yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.
I.
Lokasi, sasaran, dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta, dengan sasaran
penelitian pada Pemimpin Ormas Islam terbesar di Indonesia
yaitu Pimpinan NU Wilayah DKI, Pimpinan Muhammadiyah
Wilayah DKI dan MUI Wilayah DKI Jakarta. Dengan
pertimbangan ketiga ormas Islam ini dianggap mewakili basis
kekuatan terbesar umat Islam dan lebih banyak
bersinggungan dengan persoalan politik serta signifikan
dalam memberikan pernyataan politik berkenaan dengan
pemilu legislatif dalam rangka pembimbingan, mengarahkan
dan mempengaruhi keputusan umat untuk menentukan
pilihan. Adapun pengumpulan data lapangan dilakukan pada
bulan Juli 2009. Penelitian ini dibatasi pada pemilu legislatif
290 tahun 2009, yang berlangsung mulai 16 maret 2009 s.d. 5 April
2009.
J.
Teknik pengumpulan data dan analisis data
Adapun teknik pengumpulan data dengan cara
mengirimkan surat resmi dari Puslitbang Kehidupan
Keagamaan kepada Pemimpin Ormas Islam untuk melakukan
wawancara mendalam dengan pemimpin ormas Islam (NU,
Muhammadiyah dan MUI) Wilayah DKI Jakarta. Selain itu,
sebagai data sekunder penelitian ini juga melakukan telaah
terhadap berbagai dokumen, buku-buku, jurnal, hasil
penelitian, dll.
Dari informasi yang digali tersebut kemudian
dideskriptifkan dan di komparasi dari perolehan suara parpol
Islam pada zaman reformasi ini terhadap zaman orde baru
dan orde lama serta di dukung dengan teori-teori yang
berhubungan dengan persoalan yang dikaji. Dari analisis ini
diketahui sebab terjadinya penurunan perolehan suara parpol
Islam dan pandangan pemimpin ormasl Islam terhadap hal
tersebut.
291
292 BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN
A. SEKILAS PERJALANAN PERGERAKAN ORMAS ISLAM
S
etahun setelah berdirinya Boedi Oetomo lahirlah
gerakan yang bermotifkan perjuangan untuk
perbaikan ekonmi yang berbasis Islam, yaitu
Sjarekat Dagang Islam (SDI) lahir 1909 di Solo dipimpin Haji
Samanhudi. SDI berasaskan perjuangan ekonomi umat yang
dilandasi oleh politik keagamaan. Syarekat Islam (SI-1911),
sebagai perubahan dari Sjarikat Dagang Islam, dipimpin
Tjokroaminoto. Bedanya, SI lebih memiliki wawasan
kebangsaan, merupakan organisasi perjuangan politik
berlandaskan Islam, berwatak ideologi kebangsaan. Aktivitas
SI sejak awal merupakan gerakan politik, sehingga dalam
sejarah Indonesia SI merupakan partai politik pertama yang
bercorak nasionalis. Yang menarik dari SI bahwa ia mampu
mengidentitaskan diri dengan aspirasi politik Bumi Putera
untuk perjuangan kemerdekaan (Ma’arif, Syafi’i: 1983).
Pada tahun 1912 lahir perkumpulan pergerakan muslim
bernama Muhammadiyah, didirikan oleh KH. Achmad
Dahlan. Muhammadiyah tercatat sebagai gerakan pembaruan
Islam pertama di Indonesia. Sebagai organisasi sosial
keagamaan, Muhammadiyah melakukan pemurnian ajaran
Islam, terutama dalam akidah dan ibadah, dengan jalan
membersihkan dari pengaruh Bid’ah, khurafat, tahayul, dan
pengaruh bentuk-bentuk amalan yang mengandung
sinkretisme. Pada tahun 1926, di Surabaya, Jawa Timur,
terbentuklah organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah)
293
bernama Nadhlatul Ulama, yang artinya kebangkitan ulama,
berpaham ahlusunah wal jamaah, yang didirikan oleh KH.
Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim dan para ulama terkenal
lainnya. NU lebih dikenal dengan sebutan gerakan Islam
tradisonal. Dalam perjalanannya NU beberapa kali berubah
sosok. Pertama kali berdiri sebagai organisasi massa
keagamaan, membangun jami’iyyah diniyah, namun dalam
pergolakan politik, NU berubah bentuk menjadi partai politik,
kemudian kembali menjadi Ormas Keagamaan, dan kembali
menjadi partai politik. Dimasa Orde baru, NU kembali ke
khittah utnuk menjadi organisasi massa keagamaan.
Pada tahun 1930, SI berganti nama menjadi Partai
Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Setelah terjadi perubahan
nama menjadi PSII, muncul dua faksi yang di dlm tubuh PSII
yang dipimpin Haji Agus salim dan Soekiman Wijo Sandjojo.
Antara tahun 1932-1936 terjadi pemisahan besar-besaran
ditubuh PSII. Ada yang mendirikan partai politik Islam baru
disampin PSI dengan Partai Islam Indonesia (Perti). Di pimpin
oleh Dr Soekiman Sedangkan pada pemisahan terakhir
dipimpin oleh H. Agus Salim mendirikan partai baru yang
diberi nama Penyedar. Kemudian disusul lagi dengan
mendirikan Komite Pembela Kebenaran PSII dipimpin oleh
Soekarmadji Kartosoewirjo (Karim, Rusli: 1983:74).
Ketika terjadi pergolakan antara ideologi semakin tajam,
dan makin seriusnya ancaman terhadap eksistensi partai
politik maupun pergerakkan sosial keagmaan islam lainnya,
maka pada tahun 1937, timbul inisiatif untuk melakukan
pengelompokkan kekuatan organisasi Islam dalam Majlisul
Islam A’la Indonesia (MIAI), yang mendapat dukungan dari
para ulama Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Syarikat
Islam, dan organisasi Islam lainnya. MAIA didirikan di
surabaya, 21 September 1937. Para pendirinya antara lain: KH
294 Muhammad Dahlan, KH Mas mansyur (Muhammadiyah), KH
Abdul Wahab Hasbullah (NU), dan W. Wondoamineso
(Syarikat Islam). Salah satu tujuan MIAI adalah untuk
mensinergikan potensi umat Islam Indonesia yang selama ini
habis energinya hanya untuk urusan khilafiyah antara satu
organisasi Islam dengan lainnya yang bersifat furu’iyah
semata, sehingga akan merugikan perjuangan umat Islam
secara universal. Dalam waktu singkat MIAI mendapat
dukungan yang luas dari Al Irsyad dan Al Khariyah di
Surabaya, Al Islam di Surakarta (Solo), Hidayatullah
Islamiyah di Banyuwangi Jawa Timur, Perserikatan Ulama di
Jawa Barat, dll.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kelompok
pendukung ideologi Islam membentuk sebuah partai poltik
yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Pada 7
Nopember 1945. Tujuannya adalah menegakkan kedaulatan
negara dan agama Islam, serta melaksanakan cita-cita Islam
dalam urusan negara. Lahirnya partai Masyumi merupakan
cerminan kehidupan demokrasi pada waktu itu. Pada masa
revolusi fisik, tahun 1945-1950, Masyumi mempunyai
angkatan perang sendiri yang dinamakan pasukan Sabilillah
dan Hizbullah. Masyumi merupakan perkumpulan dari
empat organisasi Islam yaitu: Muhammadiyah, Nadhlatul
Ulama (NU), Perikatan Umat Islam (PUI), dan Persatuan
Umat Islam Indonesia (PUII). Masyumi berdasarkan sejarah
kelahirannya berasal dari Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Pada tahun 1948, PSII yang dulu sempat tenggelam
dihidupkan kembali, dengan demikian kosentrasi umat Islam
terpecah belah, yang selama ini bersemangat berhimpun
dalam satu wadah tunggal Masyumi. NU sebagai anggota
Masyumi yang amat potensial dalam memberikan dukungan
massa bagi tegaknya Masyumi, tiba-tiba pada tahun 1953
295
memisahkan diri dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai
partai politik. Begitupula dengan Muhammadiyah yang ikut
melepaskan diri dari Masyumi sebelum Masyumi membubarkan diri pada tahun 1960. Masyumi membubarkan diri
sebelum dibubarkan Presiden Soekarno. Pada tahun 1964,
ketika muncul alternatif pemerintah untuk mengembangkan
organisasi fungsional dengan terbentuknya Sekber Golkar,
Muhammadiyah ikut pula berbaur di dalamnya (Kirbiantoro:
2009: 45).
Pada zaman orde baru, Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), yang dianggap jelmaan ”Masyumi Baru”, para
tokoh Masyumi lama banyak bergabung didalamnya,
termasuk Muhammadiyah sebagai pendukung beridirnya
Parmusi. Kemudian pada awal reformasi, lahir pula Partai
Bulan Bintang (PBB), yang dianggap juga sebagai penerus
pewaris nilai-nilai Masyumi, namun Muhammadiyah terlibat
dan sebagai basis kekuatan Partai Amanat Nasional (PAN)
melalui sidang Tanwir di Semarang tahun 1998. Sedangkan
NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kalau kita
perhatikan dan analisis lebih dalam dari perjalanan mulai
lahirnya pergerakan ormas keagamaan sampai terbentuknya
partai politik yang ada di Indonesia hingga saat ini.
Sesungguhnya Parpol Islam saat ini seakan merupakan
penjelmaan atau reinkarnasi dari parpol Islam yang dulu
pernah ada di republik ini.
B. SEKILAS PARPOL ISLAM
Dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia telah terjadi
suatu dinamika perkembangan muncul dan tenggelamnya
partai politik Islam. Setelah kemerdekaan (orde lama) parpol
Islam bermunculan bak cendawan di musim hujan. Ketika
orde baru parpo Islam berfusi dalam satu wadah yaitu PPP. Di
Zaman reformasi parpol Islam seakan kembali pada kondisi
296 orde lama, dimana parpol Islam bermunculan kembali dengan
”baju” baru. Berdirinya parpol Islam perlu dilihat dari
latarbelakang perkembangan politik di Indonesia pada masa
bersangkutan. Ini akan memungkinkan kita untuk melakukan
penilaian tentang kedudukan partai, kekuatan dan
kelemahannya, disamping tentunya melihat kemampuan para
pemimpinnya (Deliar Noer: 2000:47). Berikut ini sekilas
tentang Parpol Islam (Majalah Dakwah: 2008) yang ada saat
ini, yaitu:
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Partai Islam yang paling senior dalam Pemilu 2009
adalah Partai Persatuan Pembangunan. Partai berlambang
Ka’bah ini berdiri sejak 5 Januari 1973, dibawah pemerintahan
presiden Soeharto yang sentralistik, seluruh partai yang ikut
pemilu tahun 1971 dipaksa bergabung dalam tiga (3) partai
besar. Partai-partai Islam berfusi dalam satu wadah yaitu PPP.
Adapun unsur penopang PPP pada saat itu adalah Partai
Syarikat Islam (PSII), Muslimin Indonesia (MI), Nahdlatul
Ulama (NU) dan dan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Fusi partai
yang dipaksakan itu menghasilkan konflik berkepanjangan,
terjadi pertentangan secara internal di dalam tubuh PPP.
Selama dua dasawarsa kepemimpinan PPP dipimpin oleh
Muslimin Indonesia, dan pada Muktamar tahun 1998,
dipimpin oleh NU. Namun ketika reformasi bergulir, sejumlah
tokoh dari unsur pendiri PPP mendirikan partai baru yang
berazaskan Islam, hingga akhirnya 15 parpol Islam maupun
berplatform Islam berebut kursi di pemilu 1999 yang
mengakibatkan perolehan suara PPP merosot.
2. Partai Bulan Bintang (PBB)
Salah satu unsur yang keluar dari PPP adalah mantan
pendukung dan simpatisan partai Masyumi yang di awal orde
297
baru berubah nama menjadi Parmusi. Para simpatisan dan
pendukung partai Masyumi ini akhirnya mendirikan partai
yang bernama Partai Bulan Bintang yang berazaskan Islam.
Penyumbang suara partai ini berasal dari Nusa Tenggara
Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah. Partai yang didirikan pada tanggal 17 Juli
1998 dan dideklarasikan di halaman Masjid Al Azhar Jakarta.
Partai ini sempat mengalami friksi internal yang mengakibat
kan keluarnya sejumlah tokoh pendirinya.
Menjelang tahun 2009, partai ini sempat dinyatakan
gagal melewati electoral treshold sehingga akan berganti nama
menjadi Partai Bintang Bulan. Namun mereka dinyatakan
lolos dan tetap dengan nama semula. Adapun Visinya adalah
terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami,
dengan Misi Partai adalah membangun masyarakat dan
bangsa Indonesia yang maju, mandiri berkepribadian tinggi,
cerdas, berkeadilan, demokarasi dan turut menciptakan
perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.
3. Partai Bintang Reformasi (PBR)
Partai pecahan PPP lainnya adalah Partai Bintang
Reformasi. Semua bermula ketika Musyawara Kerja Nasional
(Mukernas) II (PPP) pada tahun 2001 yang memutuskan
menunda pelaksanaan Muktamar PPP dari seharusnya
dilaksanakan pada tahun 2003 menjadi setelah pemilu tahun
2004. Penundaan ini secara otomatis memperpanjang masa
jabatan Ketua Umum PPP Hamzah Haz hingga usai pemilu
2004. Keputusan ini memicu protes keras dari beberapa
kelompok di dalam tubuh PPP. Upaya untuk menyatukan
kedua kelompok ini telah dilakukan. Namun upaya untuk
mempersatukan PPP akhirnya pupus juga. Beberapa hari
setelah peringatan hari ulang tahun PPP pada 5 Januari 2002,
298 da’i kondang Zainuddin MZ mengajukan pengunduran diri
dari posisinya sebagai salah satu ketua PPP. Dan pada 20
Januari, PPP Reformasi secara resmi dideklarasikan. Pada
tahun 2003, melalui Muktamar Luar Biasa PPP Reformasi,
nama PPP Reformasi diubah menjadi Partai Bintang
Reformasi. Hal tersebut mengikuti Undang-undang Partai
Politik yang melarang partai mempunyai nama, tanda,
gambar, dan lambang yang sama dengan partai politik lain.
PBR berideologi Islam.
4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Partai Islam paling diperhitungkan sebagai penambang
suara adalah PKS. PKS didirikan di Jakarta pada 20 April 2002
(atau tanggal 9 Jumadil 'Ula 1423 H) dan merupakan
kelanjutan dari Partai Keadilan (PK) yang didirikan di Jakarta
pada 20 Juli 1998 (atau 26 Rabi'ul Awwal 1419 H). Adapun
Visi PKS terbagi atas visi umum dan visi khusus. Visi Umum:
"Sebagai partai da’wah penegak keadilan dan
kesejahteraan dalam bingkai persatuan ummat dan
banga". Visi Khusus:” Partai berpengaruh baik secara
kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam
mewujudkan masyarakat Indonesia yang Madani. Dari
visi yang dimiliki, Visi ini akan mengarahkan PKS
sebagai: partai da'wah yang memperjuangkan Islam
sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara; Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran
Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan
bangsa di berbagai bidang; Kekuatan yang mempelopori
dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan
yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem
Islam yang rahmat-an lil ‘alamin; Akselerator bagi
perwujudan masyarakat madani di Indonesia.
299
Sedangkan misinya adalah: menyebarluaskan
da'wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai
anashir taghyir; Mengembangkan institusi-institusi
kemasyarakatan yang Islami di berbagai bidang sebagai
markaz taghyir dan pusat solusi; Membangun opini
umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi
penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa
rahmat; Membangun kesadaran politik masyarakat,
melakukan pembelaan, pelayanan dan pemberdayaan
hak-hak kewarganegaraannya; menegakkan amar ma'ruf
nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten dan
kontinyu dalam bingkai hukum dan etika Islam; Secara
aktif melakukan komunikasi, silaturahim, kerjasama dan
ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam
untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan wihdatulummah, dan dengan berbagai komponen bangsa lainnya
untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir
agenda reformasi; Ikut memberikan kontribusi positif
dalam menegakkan keadilan dan menolak kedhaliman
khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang
tertindas. Dalam pemilihan umum perolehan suaranya
cenderung terus meningkat. PKS memiliki kader yang terdiri
orang muda dan memiliki massa yang cukup banyak dari
berbagai perguruan tinggi, masjid dan masyarakat.
5. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Partai Kebangkitan Bangsa dideklarasikan pada 23 Juli
1998 di Jakarta. Meskipun terlahir dari ibu kandungnya NU
tapi dalam deklarasinya, PKB bertekad mengembangkan
sikap demokratis dan bersifat inkusif. Walaupun bukan partai
Islam, PKB mayoritas mutlak pendukungnya adalah kaum
300 Nahdiyin. Partai ini pula yang menggerogoti PPP di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Meski tergolong parpol baru pada
tahun 1999, namun PKB mampu memperoleh suara yang
sangat signifkan pada pemilu tahun itu dan menempati
urutan ke empat setelah PDI Perjuangan, Partai Golkar dan
PPP.
6. Partai Amanat Nasional (PAN)
PAN merupakan partai nasionalis berbasis massa
Islam. Kelahiran PAN dibidani oleh Majelis Amanat Rakyat
(MARA), salah satu organ gerakan reformasi pada era
pemerintahan Soeharto, PPSK Muhamadiyah, dan kelompok
Tebet. PAN dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus, 1988
oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais,
mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Goenawan
Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert
Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal Basri
MA, A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao dan lainnya.
Sebelumnya pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus 1998 di
Bogor, mereka sepakat membentuk Partai Amanat Bangsa
(PAB) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Amanat
Nasional (PAN).
PAN bertujuan menjunjung tinggi dan menegakkan
kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material dan spiritual.
Cita-cita partai berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan
kemajemukan. Selebihnya PAN menganut prinsip nonsekta
rian dan nondiskriminatif. Untuk mewujudkan Indonesia baru,
PAN pernah melontarkan gagasan wacana dialog bentuk
negara federasi sebagai jawaban atas ancaman disintegrasi.
Titik sentral dialog adalah keadilan dalam mengelola sumber
daya sehingga rakyat seluruh Indonesia dapat benar-benar
merasakan sebagai warga bangsa (Selengkapnya di Platform
Partai Amanat Nasional). Hampir 80 persen konstituen
301
mereka adalah simpatisan Muhammadiyah. Partai yang
dideklarasikan pada tahun 1998 ini, dimotori tokoh reformasi
Amien Rais. Kelahirannya waktu itu dinilai bakalan
mengguncang dominasi PDIP danPartai Golkar, apalagi
dipimpin Amien Rais. Namun prediksi orang luput. Dalam
pemilu 1999 dan 2004, PAN hanya memperoleh 7 persen
suara.
C. Penyebab Penurunan Peroehan Suara parpol Islam
dalam Pandangan Pemimpin Islam
Dari hasil perolehan suara pada pemilu legislatif yang
pernah dilakukan di Indonesia perolehan suara partai politik
Islam secara nasional dari pemilu kepemilu cenderung
menurun, seperti dideskripsikan diawal, begitu pula untuk
tingkat Propinsi DKI Jakarta. Dalam penelitian ini, peneliti
hanya ingin menelusuri, mengungkap dan membandingkan
penurunan perolehan suara partai politik Islam pada tingkat
Propinsi DKI Jakarta pada pemilu legislatif 2009 dengan
pemilu tahun 2004.
Dari data perolehan suara parpol Islam pada pemilu
legislatif tahun 2009, PKB dari 4 suara tinggal 1 suara, PAN
tinggal 4 suara, PKS agak stabil, Partai Bulan Bintang (PBB)
tidak dapat sama sekali, PPP tetap, dari 7 suara ke 7 suara. Ada
asumsi bahwa penurunan perolehan suara parpol Islam
disebabkan berbagai faktor, baik faktor internal maupun
faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terjadi baik
sengaja maupun tidak dalam organisasi parpol itu sendiri baik
berbentuk fisik/materi, fiansial maupun sumberdaya manusia
nya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang
ditimbulkan atau intervensi dari pihak luar organisasi yang
berdampak pada intern oraganisasi. Penulis telah
mewawancarai 3 (tiga) pemimpin ormas Islam (PW
302 Muhammadiyah, PW NU, MUI). Hasil wawancara tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pandangan Pemimpin PW Muhammadiyah
Menurut pandangan pemimpin Wilayah Muhammadiyah, sesungguhnya partai politik Islam yang berazaskan Islam
yaitu PBB, PKS, PPP, sedangkan yang berplatfor/berbasiskan
massa Islam adalah PKB dan PAN. Kalau kita amati
sesungguhnya kiprah parpol Islam/berbasis Islam sama saja
dengan partai politik lainnya yang ada diparlemen. Setelah
reformasi partai Islam/berplatform Islam melahirkan hal-hal
yang pragmatis, hal ini sangat berbeda sekali dengan partai
Islam tempo dulu yang pertarungannya ideologis.
Zaman orde baru, parpol Islam tidak pragmatis tetapi
dikondisikan dan dikendalikan penguasa pada saat itu untuk
patuh kepada pemerintah. Setelah reformasi, parpol Islam
masih memiliki idealisme untuk perjuangan ideologi dan itu
terjadi ketika pada pemilu pertama 1999. Tetapi setelah
pemilu tahun 2004, ideologi mereka mulai kendor dan Parpol
berasas dan berplatform Islam mulai bergeser kepada
bagaimana mensejahterakan individu atau kelompoknya saja
bukan kepada umat Islam secara keseluruhan. Ini salah satu
yang membuat respon umat Islam terhadap parpol Islam
sangat rendah, akibat parpol Islam sudah tidak memperjuangkan aspirasi umat Islam. Mereka tidak menegakkan syari’at
Islam yang sesungguhnya sebagai lahan perjuangan parpol
Islam. Sehingga tidak ada perbedaan yang sangat signifikan
antara parpol Islam/berbasis Islam dengan partai berasaskan
bukan Islam dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Bahkan terkesan parpol Islam/berbasis Islam berorientasi
pada nilai-nilai pragmatis materialis.
Padahal kalau kita amati, sesungguhnya dari sumber
pendanaan parpol Islam tidak lemah untuk membiayai
303
perjuangan parpolnya. Namun demikian, mereka tetap
terjebak pada pragmatisme sesaat guna memenuhi kebutuhn
sesaat. Kelemahan mereka justru terjadi bukan karena
kekurangan dana partai, tetapi karena kurangnya komitmen
mereka untuk membiayai dan membesarkan partai secara
kelembagaan. Partai-partai seperti: PPP, PKS, PBB, PKB, PAN
sesungguhnya tidaklah kesulitan dalam pendanaan untuk
perjuangan parpol, kecuali partai-partai Islam yang kecil,
seperti PKNU yang pendanaannya cukup lemah. Apalagi
dengan sistem pemilihan umum secara langsung yang berlaku
saat ini. Anggota parpol Islam yang menjadi calon legislatif
dan ditempatkan di daerah tertentu harus jadi anggota
legisltif, karena bila tidak jadi yang mencalonkan akan merasa
dirugikan. Hal ini disebabkan dana yang dikeluarkan calon
legislatif langsung diberikan ke daerah pemilihnya dan tidak
melalui kas parpol, misalnya membuat kaos, spanduk,
sembako, dan sebagainya. Sehingga dana untuk partai hampir
tidak ada atau sekedarnya saja karena tersedot untuk biaya
kampanye. Bila mereka ditempatkan di daerah yang mereka
pasti masuk atau calon jadi, mereka mau berkorban habishabisan untuk mengeluarkan uangnya baik untuk parpol
apalagi untuk para pemilihnya. Sesungguhnya parpol Islam
bukan tidak punya uang tetapi dalam mengelolah/menajemen dana partai yang kurang baik.
Selain itu dalam tubuh parpol terjadi friksi-friksi yang
sangat tajam, kalaupun tidak ada friksi, maka sengaja
dibentuk baik dari eksternal maupun dari internal parpol
Islam. Hal ini terjadi, karena ada orang yang mempunyai
kepentingan tertentu di partai tersebut, sehingga perlu
dibentuk friksi-friksi. Adapun kepentingan dalam artian kalau
secara nasional terjadinya kepentingn koalisi. Dengan
demikian, butuh pengelolaan friksi di partai. Kita ketahui
bahwa
dalam
mengelolah
parpol
tidak
seperti
304 mengurusi/mengelola ormas atau orgnisasi profesi. Misalnya
harus ada sekretariat. Kalau diparpol nuansanya politik, jadi
dalam pengelolaan partai juga politis, tidak professional
seperti organisasi profesi atau perusahan. Jadi siapa yang
berkuasa di kantor maka dialah yang berkuasa di partai. Jadi
pengelolaan partai politik tidak bisa disamakan dengan
organisasi lainnya. Karena karaterisktiknya sangat berbeda,
mereka dapat transparan di kelompok mereka, tetapi belum
tentu dengan orang di luar mereka.
Selain hal tersebut yang mengakibatkan penurunan
perolehan suara parpol, pola kaderisasi juga merupakan salah
satu penyebabnya. dimana sedikit sekali parpol mempunyai
sistem dan mekanisme perekrutan dan kaderisasi, dari
beberapa parpol Islam yang kelihatan lumayan baik hanya
PKS, dimana bentuk kaderisasi dilakukan melalui pengajianpengajian. Bila di lihat dari anggota PKS yang anggotanya
hanya 105-110 ribu dan mereka dapat perolehan suara
melebihi jumlah keanggotaan yang ada, menyangka suatu hal
yang luar biasa. Ini suatu bukti bahwa dengan berkomunikasi
melalui pengajian, dan tercatat dengan dibuktikan melalui
kartu keanggotaan dapat menciptakan kader-kader kedepan,
sehingga parpol tidak mengalami krisis kaderisasi.
Tidak hanya itu saja, parpol Islam juga harus
membangun image dan jaringan yang bagus. Biarpun jaringan
bagus tetapi image jelek, juga akan berpengaruh terhadap
orang yang akan memilih. Parpol Islam cenderung imagenya
kurang positif dimata masyarakat, karena dianggap
berprilaku sama saja dengan parpol non Islam. Dalam
sosialisasi image parpol Islam juga sangat lemah, image positif
seharusnya diketahui oleh media. Parpol Islam sangat lemah
melakukan pencitraan diri yang dipublikasi oleh media.
Padahal dalam partai harus ada yang mengurus image untuk
305
membentuk opini publik agar parpol dan orang-orangnya
mempunyai nilai positif dimata masyarakat.
Selain itu, parpol juga sering menjanjikan programprogram mereka, tetapi apakah mereka tetap konsisten untuk
menepati janjinya setelah mereka terpilih? Ini juga
dipertanyakan umat. Jadi ada unsur ketidak percayaan umat
pada parpol Islam, sehingga partisipasi masyarakat tehadap
parpol Islam juga kurang, apalagi sampai ingin membantu
dalam hal pendanaan. Masyarakat tidak mungkin mendanai
partai karena sudah tidak jamannya. Masyumi besar dahulu
karena dibiayai oleh Muhammadiyah, dll, karena jelas apa
yang akan diperjuangkan untuk umat Islam, yaitu
pertarungan ideologi, tetapi sekarang tidak mungkin.
Masyarakat dan pengusaha juga melihat terlebih dahulu kalau
ingin membantu parpol Islam. Mereka rugi atau tidak, apakah
mereka membantu hanya membuang kotoran kelaut atau
dapat menggarami laut. Pengusaha cenderung membantu
partai besar, karena harapan untuk menang sangat besar.
Ditambah lagi ada pemikiran segelintir orang apabila
parpol Islam menang, maka maka akan menidirikan negara
Islam. Hal ini sangatlah keliru, masyarakat tidak mungkin
sampai berfikiran bahwa parpol Islam akan mendirikan
negara Islam, tetapi kalau ingin menegakkan syari’at Islam
mungkin saja bisa terjadi. Persoalannya masyarakat sudah
tidak percaya dengan janji-janji parpol Islam untuk menegakkan syari’at Islam. Parpol Islam hanya janji dan slogan saja
untuk menegakkan syari’at Islam, sehingga masyarakat sudah
tidak percaya lagi kepada parpol Islam. Kalau parpol Islam
benar akan menegakkan syari’at Islam, kemungkinan 20%50% umat Islam akan memilih parpol Islam tersebut, apalagi
mayoritas bangsa ini adalah beragama Islam. Katakanlah PPB
berjanji 30% benar akan memperjuangkan syari’at Islam dan
306 itu benar-benar mereka perjuangkan, maka mungkin saja
umat Islam 15% akan memilih parpol Islam tersebut dan PBB
akan memperoleh suara dari 30% itu.
Persoalannya masyarakat tidak percaya parpol Islam
akan memperjuangkannya. Keinginan masyarakat untuk
ditegakkan syari’at Islam masih sangat kental sampai saat ini,
namun jumlahnya tidak banyak dan tidak mau demonstratif.
Mungkin suatu saat ini akan muncul, contohnya cita-cita
Muhammadiyah menjunjung tinggi agama Islam sehingga
terwujud syari’at Islam yang sesungguhnya. Anggota
Muhammadiyah sangat banyak dan tersebar dimana-mana.
Katakanlah yang berideologi seperti itu tidak banyak, tetapi
sangat signifikan. Bahkan parpol non Islam/nasionalis mau
membantu secara substansi, tetapi itupun bila tidak
mengganggu kepentingan mereka, bila mengganggu mereka
tidak akan mau. Adapun ide untuk memperjuangkan
kepentingan umat Islam diparlemen, biasanya mucul dari luar
parlemen, misalnya didiskusikan terlebih dulu di MUI, parpol
Islam punya anggotanya di MUI, sehingga di parlemen hanya
kesepakatan saja. Kalau ingin menegakkan syari’at Islam
parpol Islam seharusnya mempunyai performan partai dan
profil pengurusnya yang berakhlak baik, tapi ternyata tidak,
mereka sama saja dengan yang lain, masih mau menerima
suap, berakhlak kurang baik.
2. Pandangan Pemimpin Majelis Ulama Indonesia
Bahwa sejak beberapa tahun terakhir respon umat Islam
terhadap parpol Islam sangat rendah, disebabkan partai Islam
terpragmentasi keberbagai partai, jadi tidak menyatu dalam
satu partai seperti waktu dulu pada tahun 1977 suara parpol
Islam yang menyatu ke dalam PPP. Perolehan suara sangat
signifikan dan menang dalam pemilu mengalahkan partai
Golkar dan PDI. Kemudian pada era reformasi dibuka keran
307
kebebasan dalam bidang politik, ormas Islam yang dulu tidak
mengurusi politik menjadi euphoria dan terjun kedunia
politik. NU yang semula kembali ke khittah 1926 membentuk
PKB, kemudian Muhammadiyah membentuk PAN, warisan
Masyumi membentuk PBB. Akhirnya dengan euphoria itu kita
bertanya, sebetulnya parpol Islam itu memperjuangkan apa?
apabila ingin memeperjuangkan Islam seharusnya mereka
bersatu, kalau seperti sekarang keadaannya parpol Islam baik
yang berasaskan Islam maupun yang berplatform Islam lebih
dominan memperjuangkan kepentingan kelompok.
Bahkan karena merasa aspirasinya tidak terakomodir
mereka pecah lagi mendirikan partai baru, PAN pecah
menjadi Partai Matahari Bangsa (PMB), PKB pecah menjadi
Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Hal ini
menunjukkan betapa ambisinya pemimpin Islam untuk
menjadi pemimpin partai, sehingga lebih mengedepankan
kepentingan individu dan kelompok bukan kepentingan
untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam. Padahal
umat semakin cerdas, jadi umat saat ini tidak selamanya
menyalurkan aspirasinya kepada partai yang bersimbol
ataupun berasaskan Islam, misalnya untuk memperjuangkan
UU anti pornografi dan porno aksi, itu tidak selamanya
melalui jalur partai Islam karena partai Islam minoritas.
Bahkan melalui partai yang mayoritas di parlemen, seperti
partai nasionalis.
Pada saat ini pragmatisme telah melanda umat Islam,
ketika partai-partai nasionalis menjanjikan materi kepada
pemilih yang tadinya mempertimbangkan ideologi Islam, kini
mereka telah menjadi luntur. Ideologi untuk menegakkan
syari’at Islam yang menjadi perjuangan parpol Islam pada
waktu lampau, saat ini sudah luntur menjadi pragmatisme.
Sehingga yang menang pemilu atau pilkada bagi mereka yang
308 punya uang, ini sebuah realitas, jadi wilayah yang seharusnya
menjadi medan perjuangan untuk umat menjadi terkooptasi
karena kepentingan pragmatis sesaat. Di DKI mulai tahun
1999, terutama tahun 2004, kiyai-kiyai sudah diingatkan untuk
tidak ramai-ramai menjadi anggota DPRD. Karena ketika para
kiyai banyak yang terjun kedunia politik, mereka akan
terpecah-pecah, terpragmentasi. Tapi karena masing-masing
egois dan merasa punya pendukung umat, akhirnya mereka
semua maju bertarung dalam pencalonan. Ketika maju
suaranya
terpecah, padahal kita ketahui bahwa untuk
mendapatkan kursi harus dengan suara terbanyak. Jadi ketika
para kiyai, para ustad merasa dirinya banyak pendukung dan
yakin kalau akan menang, maka ketika maju malah kalah.
Belakangan ini santri juga tidak ingin memilih para kiyai yang
ada di parpol, karena menganggap para kiyai pragmatis.
3. Pandangan Pemimpin Nadhlatul Ulama
Kalau dilihat dari prosentase suara yang diperoleh
parpol Islam, ini menunjukkan bahwa parpol Islam kurang
didukung oleh umat Islam. Perolehan suara parpol Islam yang
ada saat ini berbanding terbalik dengan umat Islam yang
mayoritas di Indonesia. Dalam sejarah, partai politik
nasionalis selalu menang. Hal ini menunjukkan bahwa banyak
umat tidak begitu suka membawa persoalan agama masuk ke
arena politik. Melihat banyaknya parpol Islam saat ini,
masyarakat beranggapan parpol Islam tidak bersatu, mereka
hanya memunculkan egoisme masing-masing, sehingga tidak
ada figur bagi tokoh Islam dalam bidang politik. Dalam
persoalan ini, luput dari perhatian kita. Di NU saat ini sedang
melakukan evaluasi, kenapa NU yang besar tidak mampu
menghantarkan kader terbaiknya kepada pucuk pimpinan
politik. Di DKI Jakarta, malah lebih parah, partai Islam yang
eksis hanya PKS. Partai Islam sesungguhnya harus serius
untuk memikirkan hal ini.
309
Selain itu, seharusnya para pemimpin parpol Islam
menyadari, kenapa Parpol Islam ditinggalkan oleh umat. Hal
ini dikarenakan ketidak mampuan parpol Islam menjual
program yang menarik perhatian umat, parpol Islam hanya
menjual ayat, hadis saja. Padahal umat lebih cerdas untuk
menilai siapa yang mempejuangkan aspirasi mereka,
ditambah lagi pendanaan dan manajemen parpol dalam
mengurusi parpol sangat lemah. Padahal dana parpol Islam
berasal dari umat, oleh karena itu mereka harus mampu
menarik simpati umat kalau ingin mendapatkan dukungan
dari umat.
Apalagi terjun kedunia politik saat ini sangat mahal,
karena semua pakai uang. Berbeda dengan dulu, parpol Islam
sangat ideologis tanpa dibayar orang mau berjuang. Pada saat
sekarang tidak ada uang, tidak ada kaos, tidak ada ongkos
orang tidak mau berjuang untuk partai. Keadaan seperti ini
merupakan kesalahan Golkar yang menjadi penguasa di
republik selama ini. Dulu orang di didik Golkar dengan pola
pendekatan memberi sesuatu, sehingga orang berfikir
pragmatis dan orang mendukung karena diberi uang bukan
karena benar-benar ingin memilih caleg tersebut, bahkan ada
pemikiran dari para pemilih bahwa mumpung calegnya
belum terpilih kita mintakan sesuatu sekarang kepada caleg
tesebut, karena kalau sudah terpilih belum tentu mau
memberi, dsb.
Dalam pandangan pemimpin PW NU, faktor kaderisasi
bukanlah penyebab perolehan suara parpol Islam menurun.
Bagi partai yang berbasis Islam seperti NU dan
Muhammadiyah tidak terlalu sulit untuk mencari kader
partai, begitu juga seperti PKS. Adapun hal yang dapat
mengakibatkan perolehan suara parpol Islam menurun
dikarenakan tidak ada figur yang kharismatik dan di segani
serta figur yang dapat menyatukan umat. Dulu PKB kuat
310 karena ada pigur tunggal, PAN juga begitu ketika ada Amin
Rais, tapi sekarang tidak kuat karena sudah terpecah-pecah.
Sehingga masa depan parpol Islam semakin suram, apabila
tidak cepat berbenah. Apalagi kepercayaan kepada calon
legislatif sangat menipis karena setelah menjadi anggota
dewan kredibilitas mereka dipertanyakan karena kurang
memperhatikan kepada rakyat yang memilih. Contoh: banyak
UU yang dibuat para anggota dewan tetapi pada
pelaksanaanya tidak konsisten. Mereka hanya memproduksi
UU, persoalan UU tersebut dilaksanakan atau tidak, mereka
sudah tidak ambil peduli. Seperti juga UU tentang lalu lintas,
yang tidak terlalu serius dalam pelaksaannya. Dewan yang
membuat UU terkadang terkesan
masa bodoh dengan
produknya sendiri.
Ditambah lagi soal ketokohan, orang parpol tidak ada
yang bisa jadi panutan, sehingga rasa memiliki umat terhadap
parpol Islam menipis. NU dan yang lainnya mempunyai
problem yang sama, masalah institusi dan faktor
kepemimpinan. Pada saat sekarang figur dan imam di parpol
Islam tidak jelas jadi tidak bisa dipanutin. Apalagi lagi sarana
organisasi tidak memadai dan semakin menipis. Pada masa
orde baru, kekhawatiran pemerintah mungkin saja ketakutan,
apabila umat Islam menang ada anggapan akan mendirikan
negara Islam, makanya parpol Islam dipecah belah biar tidak
menjadi kekuatan politik yang besar pada masa itu.
D. Pandangan Pemimpina Ormas Islam tentang Penurunan
Suara Parpol Islam (PW Muhammadiyah, PW NU dan
MUI)
Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada ketiga
pemimpin ormas Islam tersebut ternyata dalam kiprahnya,
parpol Islam/berpaltform Islam tidak selamanya mewakili
311
kepentingan umat Islam secara signifikan. Bahkan parpol non
Islam atau nasionalis, yang di dalamnya banyak terdapat
orang Islam justeru yang banyak berjuang untk kepentingan
umat Islam, demikian diungkapkan Farid Idris Nawawi dari
PW Muhammadiyah, contohnya: adanya UU Perkawinan
justru yang memperjuangkan adalah Partai Golkar, sehingga
partai Golkar sebagai partai nasional dianggap justru
mewakili kepentingan/aspirasi umat Islam pada saat itu.
Lain lagi dengan proses dalam mewujudkan UU
Perbankan, kecenderungan parpol untuk memperjuangkanya
cukup banyak, karena selain substansi dan banyak yang akan
memberi bantuan dana karena ada kepentingan didalamnya,
sehingga dalam perolehan suara parpol Islam merosot dari
tahun ketahun, coba lihat perbandingan perolehan suara
parpol Islam di DKI Jakarta adalah PKB 4 suara tinggal 1
suara, PAN tinggal 4 suara, PKS agak stabil, PBB tidak dapat
sama sekali suara, PPP tetap. Faktor penyebabnya karena
partai Islam tidak mempunyai basis umat Islam yang kuat,
tokoh parpolnya tidak mencerminkan tokoh Islam, di era
demokrasi seperti saat ini mereka tidak mempunyai integritas
seperti tokoh Natsir, kalaupun ada orang seperti Natsir saat
ini maka dia akan tersingkirkan, mereka mau menerima
sogokan.
Kalau kita perhatikan sesungguhnya visi dan visi parpol
Islam berdasarkan AD/ART mereka semua bagus, tetapi pada
pelaksanaannya kurang pas. Dalam pengambilan keputusan
ketika pembuatan UU untuk kepentingan umat Islam, parpol
Islam terkadang bukanlah pencetus ide, bahkan pencetus
idenya dari parpol nasionalis, namun perjuangan mereka
untuk menjadikannya UU tetap saja ada walaupun tidak
terlalu besar perjuangannya. Kader ormas keagamaan yang
ada di berbagai parpol nasionalis justru yang menjadi
312 kekuatan terbesar untuk menyampaikan pesan moral agama
melalui legislatif. Sehingga umat malas membantu parpol
Islam karena dianggap kurang peduli dan kurang mau
membantu rakyat miskin secara karya nyata. Begitupula
dengan pengusaha-pengusaha muslim yang sukses tetap
berpikiran apabila uang mereka masuk ke partai, maka calon
legislatif atau partai yang dibantu harus menjadi anggota
legislatif dan mendapatkan kursi, baru mereka mau
membantu. Kalau mereka mau membantu secara ikhlas tanpa
pamrih, sesungguhnya hampir tidak ada orang seperti itu saat
ini. Umat Islam sedikit sekali yang memikirkan saudaranya
yang lain. Katakanlah seperti umat Islam yang ada di Saudi
Arabia, Pakistan, Iran, hampir tidak ada yang mau membantu
untuk perjuangan parpol Islam di Indonesia, kalaupun ada
paling PKS, itupun karena kebanyakan kadernya yang
merupakan alumni dari Timur Tengah.
Seharusnya kepentingan umat Islam paralel dengan
kepentingan kelompok/individu, harus ada solusi untuk
memparalelkan, dimana kepentingan umat tetap jalan dan
kepentingan individu/kelompok juga tidak dirugikan. Kalau
kita melihat komposisi umat saat ini, idealnya pada tahun
2014 partai Islam lebih menyatukan gerak langkah perjuangan
dalam satu visi dan misi yang sama. Kalau tidak, maka
kedepan parpol Islam akan semakin ditinggalkan umat.
Umat/masyarakat semakin cerdas, ada juga masyarakat yang
berfikiran tidak ada parpol Islam juga tidak menjadi
persoalan, asalkan aspirasi umat Islam dapat diakomodir.
Namun demikian, sebagian umat masih menginginkan
parpol Islam itu harus tetap ada, Kalaupun harus ada cukup
kosentrasikan saja parpol Islam yang lolos elektrol threshold,
tidak perlu menambah yang baru. Kalaupun pada suatu saat
nanti umat tidak menginginkan adanya parpol Islam sama
313
sekali, maka kita tetap yakin bahwa teman muslim yang
berada di parpol yang nasionalis tetap menyuarakan suara
Islam. harapan seperti itu dapat saja terwujud tergantung
dengan dominasi atau tidak orang Islam berada di dalamnya
atau penguasanya harus orang Islam yang komit terhadap
kepentingan umat Islam.
Hal terpenting untuk saat ini adalah bagaimana mensetting umat Islam yang komit terhadap kepentingan umat
Islam menguasai pucuk dan menyebar di partai-partai besar
yang tidak berasaskan Islam dan umat Islam menguasai
pucuk pimpinan pada berbagai lembaga negara seperti MPR,
DPR, Golkar, PDIP, dll.
a. Pandangan Pemimpin Majelis Ulama Indonesia
Pada saat ini orang tidak lagi melihat medan perjuangan
umat Islam harus lewat parpol Islam. sebab ketika di dalam
parpol nasional itu banyak orang Islam, mereka memperjuangkan kepentingan umat Islam, jadi tidak perlu dengan
simbol partai Islam. Partai Islam namanya tetapi perilakunya
tidak menunjukkan perilaku yang Islami, akhlaknya tidak
dapat dipertanggung jawabkan, akhirnya orang melihat tidak
ada istimewahnya untuk dipilih. Ketika dalam suatu kasus
mereka mau menerima suap, maka apa bedanya dengan
partai yang tidak bersimbol Islam. Pada hal, dalam hal
pendanaan, parpol Islam sesungguhnya tidak kekurangan
dalam menjalankan roda partainya. Dana mereka sudah
sangat memadai tetapi karena keserakahan, kesempatan yang
ada untuk berbuat curang, lemahnya pengawasan dan kontrol
maka mereka yang semulanya baik, ketika masuk kedalam
kondisi yang seperti itu terbawa arus dan akhirnya ikut larut.
Sedangkan dari sisi kaderisasi partai Islam masih lemah
sehingga berpengaruh pada penurunan suara parpol.
314 Selain itu, saat ini tidak ada tokoh parpol Islam yang
disegani seperti dulu. Kalau dulu, umat yakin mereka itu
ikhlas berjuang untuk membela agama, karena mereka tidak
banyak mengambil keuntungan materi dalam berpolitik,
kalaupun ada untuk perjuangan umat. Tidak seperti sakarang
umat Islam yang berada di parpol Islam justeru bersikap
hedonis, kecil sekali upaya memperjuangkan kepentingan
umat. Selama ini, ada kekhawatiran bila parpol Islam menang
maka umat Islam akan mendirikan negara Islam, sesung
guhnya salah besar. Sekalipun parpol Islam menang tidak
mungkin mereka akan mendirikan negara Islam. karena umat
Islam ini memiliki beragam aliran, ada yang melakukan
melalui pendekatan Kultural, ada yang tradisional, liberali,
radikali dan nasionalis.
Kalau kita perhatikan saat ini terlalu banyak partai
Islam, sehingga perlu direduksi, karena tidak selamanya
partai Islam memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Mereka senang konflik, akan lebih baik kalau ada satu parpol
Islam saja, sehingga kekuatan umat menyatu. Dengan
demikian, kontrol akan lebih bisa dilakukan, kesibukan parpol
akan lebih tinggi. Orang Islam saat ini pesimis terhadap partai
Islam? UU apakah yang sudah mereka perjuangkan untuk
umat? Kalaupun ada, yang memilih partai Islam sangat
minim, karena parpol Islam tidak akan memenuhi suara
korum. UU Perkawinan saja kalau tidak didukung TNI/ABRI
maka belum tentu berhasil.
UU yang sudah ada, itu bukan semata-mata perjuangan
parpol Islam, partai Islam tidak akan bisa menggoalkannya,
karena jumlah mereka yang tidak signifikan di parlemen, pasti
mereka akan kalah dalam pengambilan keputusan. Partai
Islam sebaiknya hanya satu saja dan bila perlu ada kaukus
umat Islam di legislatif, ada kepentingan bersama yang ingin
315
diperjuangkan. Karena kita tetap berkeyakinan umat Islam
yang tersebar di berbagai partai nasionalis masih ada
sentuhan kepada perjuangan umat Islam, bahkan mungkin
lebih kental dari pada mereka yang berada di parpol Islam.
Mereka dapat melakukan deal-deal politik untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam.
Menyoroti perbandingan perolehan suara parpol Islam
pada 2004-2009 semakin merosot dan malah parah, hampir
semua turun. Ini terjadi lantaran umat sudah tidak respek lagi
terhadap parpol Islam. Banyaknya Menteri bukan berarti
dapat membantu perjuangan umat Islam diparlemen. Partai
Demokrat biarpun bukan partai Islam, karena platform
parpolnya Islam atau tokoh ormasnya Islam, mereka pasti
masih mempertimbangkan kepentingan umat Islam.
Pada saat sekarang tokoh parpol Islam tidak dapat
dikatagorikan tokoh bagi umat tetapi tokoh kelompok, Karena
daya rekat mereka lemah, wawasan keIslamannya terbatas,
kemampuannya untuk menjangkau atau merangkul umat
terbatas. Sehingga mereka hanya menjadi tokoh dikalangan
kelompok mereka saja. Saat ini perjuangan parpol Islam itu
kabur, perjuangannya hanya mengejar kekuasaan.
Dalam kontek negara dan agama, sesungguhnya antara
agama dan negara saling membutuhkan. Misalnya tentang
Keluarga Berencana (KB), sebelum menyentuh masyarakat
pemerintah/negara harus melalui pendekatan kepada ulama.
Kalau ulama tidak menerima KB, maka program KB tidak
akan jalan. mereka saling membutukan, saling menguntungkan.
Seharusnya umat Islam bangga dengan adanya parpol
Islam, tetapi pada kenyataannya mereka lebih memilih partai
nasionalis. Di DKI semua sekretaris parpol nasionalis
316 dipegang oleh umat Kristen. Seharusnya dipegang oleh umat
Islam. Parpol Islam harus tetap ada sebagi simbol keagamaan,
kalau tidak nanti parpol Islam diisi oleh para koruptorkoruptor. Namun bila parpol Islam terlalu banyak, umat juga
akan semakin bingung dan terpecah kosentrasinya, lagi pula
bila banyak parpol tidak efisien terutama dalam pembiayaan,
negara dirugikan hanya untuk membantu parpol walaupun
jumlah bantuannya tidak banyak. Faktor yang menghambat
parpol dalam meningkatkan suara parpol Islam antara lain
karena sikap pragmatis mereka, sehingga mereka tidak dipilih
umat. Dimana parpol Islam yang ada, sudah tidak seperti
dulu yang jelas perjuangan ideologinya.
b. Pandangan Pemimpin Wilayah Nadhlatul Ulama
Parpol berlatar belakang agama kurang ukhuwah.
Seharusnya parpol Islam satu saja, agar kekuatan parpol
menyatu, atau kalaupun harus dua parpol Islam dengan
pertimbangan karena ada dua kekuatan dominan ormas
keagamaan terbesar yang dianggap representatif mempunyai
basis kekuatan umat dan massa yang real yaitu
Muhammadiyah dan NU. Parpol Islam saat ini mengalami
kemerosotan, karena tidak ada figur yang dapat menjadi
panutan dan menyatukan umat Islam, kalau dulu parpol
Islam lebih menonjolkan figur dan ketokohan seorang
pemimpin partai Islam.
Ketika zaman orde baru parpol Islam dibonsai oleh
pemerintah dan harus mengikuti maunya pemerintah. Saat
reformasi ormas Islam yang tadinya sudah lama tidak terlibat
dirana politik, justru mengalami euphoria kehidupan politik
dan berlomba-lomba membentuk partai politik Islam. NU
mencoba membentuk PKB, pada saat itu umat bersimpati
tinggi terhadap PKB karena mau berjuang untuk kepentingan
umat, sehingga memperoleh suara yang besar. Saat PKB akan
317
besar, ada pihak-pihak yang memecah belah PKB, pihak dari
luar Indonesia seperti Amerika, atau dari luar partai lainnya
yang tidak suka PKB menjadi besar, di tambah lagi terjadinya
friksi-friksi internal yang mengakibatkan PKB terpecah,
sehingga PKB saat ini tidak ada figur yang dapat dijadikan
panutan umat. Akhirnya umat memilih partai yang dapat
menyenangkan dirinya.
Apalagi saat ini tokoh parpol Islam belum dianggap
mewakili sepenuhnya aspirasi umat Islam. Parpol Islam juga
dipertanyakan umat berkenaan perjuangannya untuk
kepentingan umat Islam di legislatif, terutama dalam
membuat dan mengambil keputusan tentang UU yang
berpihak bagi kepentingan umat Islam. Contohnya UU
tentang Perkawinan yang diperjuangkan oleh partai non Islam
(Golkar). Dari ketidak jelasan perjuangan parpol Islam saat ini,
ada asumsi di masyarakat bahwa apabila parpol Islam tidak
ada, maka kepentingan untuk memperjuangkan aspirasi umat
Islam sangatlah gamang. Perjuangan sangat tergantung
kepada siapa pemimpinya. Kalu pemimpinnya mempunyai
komitmen yang kuat terhadap perjuangan umat Islam, maka
diminta ataupun tidak dia akan memperjuangkannya. Tetapi
bila komitmennya tidak kuat maka cerita soal perjuangan
kepentingan umat Islam akan terabaikan.
Berkenaan dengan adanya kaderisasi di berbagai parpol
Islam, saat ini hanya PKS yang merupakan partai kaderisasi,
namun demikian PKS merupakan partai yang tertutup dan
sekaligus partai dakwah. Tertutup dalam artian pemimpin
PKS mengakui adanya kebersamaan di antara para kader PKS
tetapi di grass root kader partai ribut soal furu’iyah; PKS partai
dakwah tetapi berdakwah untuk bagaimana umat ikut dengan
dakwah mereka. Jadi tidak terbuka untuk umat yang lain.
318 Dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam
khususnya masyarakat umumnya, diharapkan parpol Islam
yang ada dilegislatif berjuang keras untuk menggoalkan
kebijakan dan keputusan berkenaan RUU maupun UU.
Namun dalam hal ini, perjuangan parpol Islam tidak begitu
signifikan, walaupun kita pahami betapa sulit dan
membutuhkan biaya yang cukup besar serta loby keberbagai
unsur yang terkait dengan RUU maupun UU yang dimaksud,
seperti RUU Pornografi dan Porno Aksi untuk
menyelamatkan generasi bangsa, sangat berlarut-larut
pembahasan dan memutuskannya.
Bagaimana mungkin parpol Islam dapat menang dalam
pengambilan keputusan di parlemen, kalau dalam perolehan
suara pada pemilu legislatif baru-baru ini di DKI perolehan
suara parpol Islam semakin parah, misalkan saja PKB dari 4
suara menjadi 1 suara, Gerindra partai baru dapat 6 kursi.
PKB mengalami kemerosotan diakibatkan faktor internal,
dimana figur Gusdur tidak bisa diabaikan begitu saja. PAN
masih lumayan karena dibantu oleh calon legslatif artisnya
yang mau bekerja sehingga dapat membantu perolehan suara.
Suara PKS stabil, PBR dari 1 suara menjadi nol suara, PMB nol
kursi. Kalau kita amati perkembangan partai politik Islam,
PKS punya masa depan yang cukup baik, karena sumberdaya
manusianya yang banyak berpendidikan tinggi.
Khusus PKB yang mengalami kemerosotan yang cukup
tajam, akibat friksi-friksi di tubuh PKB maupun NU sebagai
basis kekuatan PKB. Kita ketahui NU sejak awal berdirinya
bukan merupakan sebuah partai tetapi karena ada oknumoknum yang terpengaruh dengan arus yang ada, maka NU
terlibat dunia keperpolitikan. Seharusnya NU dikembalikan
pada khittahnya. Dengan NU maupun Muhamadiyah terjun
di dunia politik umat terpecah-pecah, sehingga sekarang ini
319
tokoh bukan lagi menjadi tuntunan tetapi menjadi tontonan.
Kalau betul ormas maupun partai Islam ingin menjadi besar
tergantung dengan pencitraan mereka sendiri. Seperti PKS
yang mampu memberikan pencitraan positif kepada umat.
PKS menjadikan partainya sebagai partai peduli kepada umat
Islam dan masyarakat umumnya, sehingga PKS mendapatkan
simpati dari masyarakat.
Kalau kita perhatikan keadaan parpol Islam saat ini,
dalam mengemban visi dan misinya berdasarkan selera
masing-masing, tidak betul-betul ingin memperjuangkan
kepentingan umat yang lebih besar. Partai Islam lebih
mementingkan pragmatisme, sehingga pihak luar dapat lebih
mudah mengintervensi parpol Islam dan memecah belah
partai. Ini dilakukan semata-mata demi kepentingan tertentu.
Adapun keinginan sebagian umat untuk bersatu dalam
satu partai sangat kuat tetapi sulit diwujudkan, karena semua
mau jadi pemimpin. Persoalan lainnya adalah kepemimpinan
ulama Islam tersebar tidak seperti syi’ah dan Katolik yang
berada dibawah satu kepemimpinan. Konsep imamah kita
tidak satu, kiyai NU bicara tentang sesuatu hal, tetapi kiyai
yang berada di pelosok-pelosok belum tentu setuju, ini jadi
rumit juga. Karena kepemimpinan umat Islam tidak bisa
tunggal, sehingga apabila satu pemimpin Islam memfatwakan
sesuatu, itu belum tetntu diikuti oleh umat Islam apalagi
tokoh Islam lainnya.
Hubungan antara agama dengan negara yang tidak
relevan untuk dipertentangkan, karena antara agama dan
negara saling berhubungan dan saling membutuhkan. Negara
butuh mengatur warga dalam ketentuan perundangundangan. Umat membutuhkan negara untuk jaminan hidup
dan perlindungan. Ketika perolehan suara parpol Islam
menurun maka keterwakilan umat Islam di legislatif
320 menurun, sehingga perjuangan terhadap pembuatan,
pengambilan keputusan dalam pembuatan UU juga semakin
kecil. Bila suara parpol Islam kecil maka saat rapat di legislatif
dan divoting maka suara parpol Islam kalah, kecuali dengan
lobi-lobi politik yang kuat. Faktor yang mengahambat dalam
peningkatan perolehan suara parpol Islam dikarenakan
kurangnya ukhuwah di antara tokoh parpol Islam itu sendiri.
Selain itu pemimpin parpol Islam tidak ada yang siap untuk
dipimpin oleh yang lainnya, semuannya ingin menjadi
pemimpin. Strategi kedepan adalah merapatkan barisan umat,
menguatkan ukhuwah, menghindarkan hal-hal yang sifatnya
khilafiyah dan bangun pencitraan yang positif untuk meraih
simpati massa.
Analisis dan Pembahasan
Setelah mengamati apa yang diungkapkan ke tiga
pemimpin ormas Islam (PW Muhammadiyah, PW NU dan
MUI) seperti dideskripsi diatas, menunjukkan bahwa ada
kecenderungan yang sama dalam memandang penyebab
penurunan perolehan suara parpol Islam yang berdampak
pada semakin sedikit perwakilan parpol Islam di parlemen.
Ketiga pemimpin ormas Islam mempunyai pandangan yang
sama bahwa kiprah parpol Islam dan parpol berbasis Islam
saat ini sama saja dengan partai politik lainnya yang ada di
parlemen, tidak ada perbedaan menonjol terutama dalam
memperjuangkan aspirasi umat Islam. Bahkan setelah
reformasi partai Islam dan partai berplatform Islam
melahirkan hal-hal yang pragmatis, hanya memperjuangkan
kepentingan individu dan kelompok. Hal ini sangat berbeda
sekali dengan partai Islam tempo dulu yang memperjuangkan
ideologi, memperjuangkan kesejahteraan rakyat/umat.
Kehadiran parpol Islam seperti PKS, PBB, PAN dan PKB
yang dianggap sebagian kalangan merupakan pragmentasi
321
parpol Islam tahun 1955-an seperti Masyumi, NU, Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII), Perhimpunan Tarbiyah
Islamiyah, Serta Partai Persatuan Tharekat Indonesia yang
tokoh-tokoh pendirinya berasal dari tokoh-tokoh ormas sosial
keagamaan. Tokoh-tokoh yang berlatar belakang agama
tersebut menjadi harapan yang sangat besar di mata umat,
kehadiran mereka diharapkan dapat memberikan warna dan
nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik.
Namun harapan tersebut tidak selamanya dapat terwujud
sesuai dengan harapan umat Islam, Partai politik tidaklah
sama dengan ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah,
MUI, dll. Dimana tokoh ormas keagamaan lebih berkosentrasi
dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan, sedangkan
partai politik cenderung berpikiran pragmatis, bermuatan
politis, tendensius, bersifat pamrih sehingga banyak politisi
berlatar belakang agama yang terjebak pada memperjuangkan
kepentingan sesaat. Menurut Imam Yahya, politisi berlatar
agama saat ini pada gilirannya menggiring kearah logika
kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif,
hegemonik dan korup. Akibatnya kekuatan logika (the power of
logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang
mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna.
Selain itu, sebagian besar masyarakat berpendapat
bahwa dunia politik itu penuh dengan ”kekotoran”, hal ini
dikarenakan para politisi tidak menjunjung tinggi etika politik
dan perilaku politik dengan cara yang baik dan santun.
Sedangkan tokoh agama dianggap sebagai penjaga moralitas
umat yang dapat memberikan uswah/contoh keteladanan
bagi umat dalam masyarakat. Sehingga wajar kalau beberapa
kalangan menginginkan agar tokoh agama tidak berpolitik
demi menjaga kemuliaan dan keluhuran moral serta tugas
mulia para kiyai sehingga tidak terkontaminasi dalam
kolaborasi perpolitikan yang kurang terpuji.
322 Berpolitik dan berdakwah bagi kiyai sama pentingnya.
Namun akan menjadi dilematis bagi tokoh agama bila dalam
waktu bersamaan menjalani tugas sebagai pemimpin parpol.
Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan posisi
dan kedudukannya di partai politik yang cenderung penuh
dengan ”kekotoran”.
Sementara peran tokoh agama adalah menjaga amar
makruf nahi mungkar. Kyai sebagai kontrol kepada masyarakat,
sebagai pemberi solusi pemecahan permasalahan umat,
sebagai panutan dan perekat umat dalam rangka menciptakan
keharmonisasian dan integrasi bangsa. Namun pada kenyataannya, terungkap dari yang disampaikan ketiga pemimpin
ormas Islam tersebut di atas bahwa para tokoh parpol yang
notabenya adalah kebanyakan tokoh agama dan berlatar
belakang keagamaan tidak mencerminkan sikap yang
menjunjung tinggi moralitas tersebut. Bahkan ada beberapa
tokoh parpol Islam yang terlibat kasus amoral, korupsi,
sehingga menghantarkan mereka ke dalam bui (penjara). Hal
ini sangat tragis dan sangat mencoreng serta merusak
pencitraan tokoh maupun parpol Islam secara kelembagaan di
mata masyarakat/umat.
Menurut Ridwan Lubis, kekalahan partai-partai Islam
disebabkan antara lain oleh, pertama, penampilan partai-partai
Islam kurang meyakinkan. Umat Islam ragu terhadap partaipartai Islam, apakah mampu menjalankan politik secara etis.
Keraguan ini disebabkan oleh penyebarannya perjuangan
Islam ke dalam banyak parpol. Kedua, terjadinya konflik
dikalangan tokoh-tokoh Islam8. Ditambah lagi kepemimpinan
partai belum mampu memfungsikan partai sebagai medium
8
Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama. Hal.176. Departemen Agama RI.
2005. 323
artikulasi kepentingan umat Islam, demikian diungkapkan
Allan A Samson,yang dikutipoleh Din Syamsuddin9.
Fenomena lainnya adalah sikap umat Islam Indonesia
yang mampu menerima kehadiran gerbong politik dengan
latar belakang agama yang beragam serta menerima
manifestasi Islam yang beragam pula. Terbukti dukungan
paling besar umat Islam tidak diberikan kepada organisasi
gerakaan
Islam
yang
dianggap
memperjuangkan
diberlakukannya syari’at Islam di wilayah publik. Suatu hal
yang wajar karena pengaruh modernisasi, perubahan
ekonomi, urbanisasi dan sejumlah faktor lainnya, ungkap
Anas Urbaningrum10.
Demikian pula banyak suara parpol Islam yang lari
keparpol non Islam atau berbasis Islam dikarenakan berbagai
faktor, menurut Dr. Lili Romli,11 larinya suara pemilih partai
Islam ke Partai Demokrat dipengaruhi dua hal. Pertama,
ketokohan SBY. Kedua, mesin diluar partai yang aktif
bergerak di komunitas pemilih Islam, yaitu semacam ormas
keagamaan Majelis Dzikir SBY Nurussalam (MDZ), lembaga
ini tidak berada di dalam struktur Partai Demokrat, bahkan
sudah lahir sebelum SBY jadi presiden, lembaga ini menjadi
modal politik tersendiri di kalangan pemilih Islam.
Seperti yang diungkapkan oleh ke tiga pemimpin ormas
Islam di atas, bahwa parpol Islam atau yang berbasis Islam
tidak mampu menawarkan berbagai program kegiatan yang
9 Din Syamsuddin. Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia
dalam buku Problematika Politik Islam di Indonesia. Bunga Rampai. Editor Abuddin.
Grasindo. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan UIN Jakarta
Press, Jakarta. 2002.Hal. 28. 10 Anas Urbaningrum, Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Indo Pos, 04 Februari
2007 11 Lili Romli, Direktur Puskopal UI. Parpol Islam Diminta Untuk Poros
Tengah. Republika Newsroom, 11 Desember 2008. 324 dapat menampung aspirasi dan keinginan umat Islam, bahkan
program yang dilakukan cenderung sama dan tidak ada
bedanya dengan partai non Islam. Sehingga pemilih Islam
akhirnya memilih partai lain yang dapat menampung aspirasi
mereka.
Pendapat ketiga pemimpin ormas Islam tersebut seiring
dengan ungkapan Syaiful Mujani12, yaitu selama partai Islam
atau partai berbasis ormas Islam tidak melakukan proses
revitalisasi terhadap program dan kinerjanya, maka tidak
akan terjadi perubahan politik secara signifikan. Seharusnya
parpol Islam melakukan adaptasi dan reorientasi sesuai de
ngan kecenderungan umat yang lebih plural dalam orientasi
politik publik. Lebih lanjut beliau mengungkapkan, bahwa
banyak dari parpol Islam dan berbasis Islam mengusung isu
Islam, tapi bagaimana aplikasi kebijakan ideologi Islamnya
tidak jelas. Selain itu, kendati simpatisan dan aktivis sejumlah
organisasi gerakan Islamis banyak yang berasal dari kaum
terpelajar, bahkan tamatan universitas, mereka memiliki
kendala dana. Ironisnya sumber-sumber keuangan utama di
tanah air tetap dimonopoli kelompok-kelompok politik
sekuler.
Para aktivis itu, lanjut Syaiful Mujani, pada umumnya
berasal dari lapisan menengah-bawah. Tidak jarang, mereka
harus kompromi dengan kekuatan ”uang sekuler” untuk
mendukung keberlangsungan organisasi mereka. Terutama,
ketika mereka masuk ke arena politik yang lebih besar di
tingkat nasional. Apa yang terjadi kemudian, bukanya
Islamisasi, malah sekulerisasi kekuatan politik Islamis yang
12 Syaiful Mujani, Direktur Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan Dosen UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Parpol Islam Bakal Terus Merosot. Jawa Pos. 5 Februari
2007. 325
mereka bangun sendiri. Contoh konkritnya adalah PKS dan
PPP yang semakin sekuler. Karena itu transformasi platform
dan orientasi program serta kebijakan menjadi kunci penting
bagi partai Islam dan partai berbasis ormas Islam untuk
menghindari keterpurukannya di hadapan publik, terutama
untuk di masa depan.
Sekalipun kondisi parpol Islam atau parpol berbasis
Islam tersebut mengalami kemunduran yang sangat signifikan
di mata pemilih, terutama umat Islam, namun ketiga
pemimpin ormas Islam tersebut tetap menginginkan tetap
adanya parpol Islam secara kelembagaan, agar aspirasi umat
Islam tetap dapat tersalurkan secara kelembagaan pula.
Namun demikian, ketiga pemimpin ormas Islam tersebut
menginginkan agar parpol Islam tidak terpragmentasi dan
tersebar menjadi berbagai partai. Parpol Islam sebaiknya
menyatu dalam satu parpol Islam atau dua parpol Islam saja,
atau kalau ingin adil ada tiga parpol Islam saja yang sudah
ada di optimalkan, sehingga konsentrasi umat tidak terpecahpecah dan tidak hanya terjebak pada persoalan politik saja,
masih banyak lahan garapan lain yang harus menjadi
perhatian para tokoh Islam, seperti dibidang ekonomi, sosial,
budaya, HAM, kemanusiaan, dll. Banyak umat yang masih
terlantar dan butuh perhatian.
Menurut Din Syamsuddin kekuatan politik Islam yang
tersebar dibanyak parpol hendaknya tidak menjadi titik lemah
tetapi justeru menjadi kekuatan umat Islam pada ranah
politik. Lebih lanjut ia menyampaikan, bahwa banyaknya
parpol Islam selain berpotensi memecah belah umat Islam,
juga dapat membawa kekalahan politik. Kalaupun ada parpol
yang memperoleh tambahan suara karena mengambil suara
saudaranya sendiri dari parpol Islam. Untuk itu kekuatan
umat Islam harus menyatu, bila tidak maka kekuatan politik
326 Islam akan semakin melemah dan parpol Islam hanya menjadi
penyerta arus kekuatan lain.
Senada dengan hal tersebut, Alfan Alfian mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran elit politik Islam pada
pemilu 2009. Ego elit politik Islam sangat besar yang membuat
perolehan suara parpol Islam tidak signifikan dan membuat
kekuatan Islam terserak-serak. Ego politik Islam yang tidak
membuat gerakan yang bersatu, tapi terpecah-pecah. Selain
itu banyak muncul elit politik yang meminggirkan peran
tokoh yang mengurusi khusus soal agama. Toko-tokoh Islam
berpolitik ”semua” sehingga yang mengurusi agama semakin
sedikit.13
Melihat fakta yang ada, dapat diasumsikan bahwa bila
perolehan suara parpol Islam menurun maka secara otomatis
perwakilan umat Islam di parlemen juga menjadi sedikit.
Dengan jumlah perwakilan yang sedikit akan berpengaruh
pada pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan
penetapan undang-undang.
Dari pendapat ketiga pemimpin ormas Islam tersebut di
atas, dapat direkam bahwa perjuangan untuk mewujudkan
peraturan perundang-undang yang mengatur kepentingan
umat Islam dan terwujud dalam bentuk Undang-undang tidak
akan tercapai bila tidak mendapat dukungan yang kuat dari
parpol di luar parpol Islam. Ini terjadi dikarenakan suara
parpol Islam di parlemen/DPR tidak signifikan.
Kita ketahui, selama ini betapa sulitnya sebuah RUU
untuk diputuskan di DPR, apa lagi bila RUU atau UU tersebut
dianggap bernuansa agama. Masih kita ingat betapa beratnya
RUU Perkawinan (1973) mendapatkan tantangan dari Fraksi
13
Alfan Alfian. Elit Politik Islam Jangan Egois. Harian Republika. 17 Juli 2008. 327
ABRI, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi PDI karena
dianggap mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentang
an dengan hukum Islam. RUU tersebut disetujui setelah
ketentuan-ketentuan yang kontroversial dihilangkan atas
desakan kekuatan ekstra parlemen.
Begitu juga dengan RUU Peradilan Agama (1988) yang
beberapa fraksi di DPR keberatan dengan adanya RUU
tersebut, berakibat juga pro dan kontra di luar DPR. Kesulitan
untuk mewujudkan RUU menjadi UU terhalang kendala
politik, maka KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang lahir dari
keinginan untuk mewujudkan kesatuan dan kepastian hukum
terapan Peradilan Agama dan merupakan produk Lokakarya
(Februari 1988) yang disetujui oleh ulama Indonesia, disebar
luaskan oleh Menteri Agama hanya berdasarkan Instruksi
Presiden No.1 tahun 1991. Bentuk hukum Inpres ini
merupakan sebuah terobosan baru, karena beratnya kendala
politik untuk menjadikannya UU.
Tahun 2006, ada lagi keinginan 56 anggota dewan yang
meminta pemerintah mencabut perda yang disinyalir
bernuansa syari’at Islam yang dimotori Fraksi Partai Damai
Sejahtera (FPDS), dan kita ketahui dari 56 anggota dewan
yang menginginkan dicabutnya perda-perda tersebut ada
yang berasal dari PPP, walaupun pada akhirnya 134 anggota
DPR beragama Islam mendukung terhadap perda bernuansa
syari’at Islam tersebut. Ke 134 anggota DPR tersebut berasal
dari FPPP 42 orang, FPKS 30 orang, FPAN 30 orang, FPBD 10
orang, FPG 6 orang, FPD 5 orang, dan FPKB 3 orang.
Namun demikina, ada juga UU yang diajukan tidak
mengalami hambatan dan berjalan lancar, seperti pada tahun
1988, diajukannya RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang
merupakan RUU usulan inisiatif DPR. Tidak ada kontroversi
mengenai RUU ini, karena mendapat dukungan dari semua
328 fraksi dan mendapat sambutan baik dari pemerintah. Begitu
pula pada tahun 1999, pemerintah menyampaikan RUU
pengelolaan Zakat. Semua fraksi di DPR menyambut positif
RUU ini sehingga pembahasannya berjalan lancar. RUU
pengelolaan zakat disetujui DPR pada tanggal 14 September
1999, disahkan dan diundangkan oleh Presiden pada 23
September 1999 menjadi UU No. 38tahun 1999 tentang
pengelolaan Zakat.
Dari deskripsi pro dan kontranya proses perjuangan
dalam pengusulan RUU tersebut di atas, secara fakta bahwa
partai politik Islam tidak menunjukkan kemauan dan
kemampuan untuk mengusulkan dibuatnya UU berkaitan
dengan hukum Islam. Hal ini terlihat betap lemahnya
kekuatan parpol Islam yang berada di parlemen yang
diakibatkan rendahnya jumlah anggota parpol Islam yang
terwakili di parlemen/DPR.
Namun demikian, fakta juga yang mengungkapkan
bahwa sesungguhnya parpol non Islam tidak mempersoalkan
substansi dari UU tersebut bila mengatur kepentingan dari
salah satu umat beragama untuk mengatur keteraturan dan
ketertiban dalam beribadah, seperti UU haji dan UU
Pengelolaan Zakat yang disetujui semua fraksi di DPR dan
berjalan lancar. Sehingga kita dapat mengatakan kondisi
tersebut menunjukkan bahwa sikap parpol Islam/berbasis
Islam hampir tidak ada bedanya secara signifikan dengan
parpol non Islam memandang substansi produk sebuah UU
sekalipun berkenaan dengan penyelenggaraan ibadah dalam
suatu agama dan diberlakukan untuk agama tertentu. Namun
bila UU tersebut dianggap isinya secara substansial mengarah
pada kepentingan umum dan dianggap kontroversial maka
akan menyulut api penolakan terhadap RUU tersebut.
329
330 BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
D
ari
pendapat
ke-3
(tiga)
ormas
Islam
(Muhammdiyah,
MUI
dan
NU),
yang
dideskripsikan di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Menurunnya perolehan suara partai politik Islam di
sebabkan faktor, baik internal maupun eksternal partai
yaitu adanya friksi-friksi didalam partai;visi dan misinya
tidak jelas, parpaol Islam saat ini sangat pragmatis, tidak
ideologis; tidak adanya sistem kaderisasi yang mapan
kecuali PKS; tidak jelasnya orientasi dalam memperjuang
kan kepentingan umat, khusunya umat Islam; tidak
adanya figur tokoh politik yang dapat merangkul dan
menyatukan umat Islam, yang ada hanya tokoh kelompok
saja; partai kurang dianggap sebagai wadah aspirasi umat
Islam; Dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam,
cenderung dilakukan partai nasionalis, sehingga umat
tidak merasa terwakili dalam parpol Islam; kurangnya
ukhuwah di antara pemimpin parpol Islam; Kurangnya
pencitraan positif yang dipublikasikan lewat media massa.
2. Ada keinginan bahwa parpol Islam bergabung menjadi
hanya satu atau dua parpol Islam saja atau cukup
mengosentrasikan pada parpol Islam yang sudah ada dan
lolos elektrol treshold agar potensi dan kosentrasi umat
tidak terpecah belah; ada signifikasi yang cukup tajam
331
antara perolehan penurunan suara parpol Islam dengan
pengambilan keputusan parpol Islam di legislatif, bila
perolehan suara parpol Islam kecil secara otomatis jumlah
wakil parpol Islam di legislatif juga kecil, maka saat rapat
dilegislatif dan di voting maka suara parpol Islam kalah.
masyarkat menginginkan kehadiran wakilnya di legislatif
betul-betul representasi mewakili umat Islam yang
mampu berjuang untuk kepentingan umat Islam
teraktualisasi dalam bentuk Perda, RUU maupun UU yang
bercirikan nilai-nilai ajaran agama Islam di legislatif
(DPRD/DPRD); tidak adanya dikotomi antara negara dan
agama, antara agama dan negara saling membutuhkan
dalam kehidupan berbagsa dan negara. Dalam
mewujudkan UU yang menyangkut kepentingan
keagamaan (khusunya Islam) tidak ada perbedaan yang
signifikan antara partai-partai yang berbasis/ideologi
agama dengan yang bukan. Semua partai tidak
mempersoalkan substansi UU sebagai diskriminasi kepada
elemen-elemen bangsa. Karena semua parpol pada
akhirnya menyetujui lahirnya UU.
B. Rekomendasi
1. Parpol Islam perlu bercermin lebih dalam atas
kekagalannya dalam meningkatkan perolehan suara di
legislatif dengan cara berbenah diri dengan mengambil
startegi dan langkah-langkah yang tepat, mencari simpati
umat; merubah orientasi pragmatis menjadi ideologis
memperjuangkan kepentingan umat Islam; membangun
citra positif di masyarakat; menyatukan dan merangkul
umat; memunculkan figur tokoh politik yang dapat
diterima semua kelompok dan golongan;
332 2. Parpol Islam mempertimbangkan keinginan umat untuk
mengkonsentrasikan diri dan melebur dalam satu, dua
wadah parpol Islam atau kosentrasi dan memperkuat
parpol yang ada agar potensi umat yang ada menjadi
kekuatan yang besar; meningkatkan jumlah suara parpol
Islam di legislatif agar dapat menjadi pelopor dan garda
terdepan dalam pengambilan keputusan dalam pembuatan Perda, RUU, UU, dan lain-lain yang bercirikan nilainilai Islam untuk kepentingan umat yang lebih besar;
sebagai parpol yang mampu menyatukan umat dalam
memahami tidak adanya dikotomi antara agama dan
negara melalui jalur politik. Kementerian Agama tidak
perlu khawatir tidak akan mendapatkan dukungan politik
dalam mengusulkan RUU
berkenaan kepentingan
kehidupan umat beragama kepada DPR, sekalipun di DPR
perolehan suara parpol Islam cukup lemah, namun parpol
non Islam lainnya tetap akan mendukung bila secara
substansial RUU yang diajukan betul-betul untuk
ketertiban dan keteraturan umat dalam menyelenggarakan
ibadah dalam kehidupan keagamaannya, seperti UU Haji
dan UU Pengelola Zakat.
333
334 DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Alfan. Elit Politik Islam Jangan Egois. Harian Republika. 17 Juli
2008.
Hasil penghitungan suara sah parpol peserta pemilu dalam
pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009,
Media Center Komisi Pemilihan Umum
Heriyanto, Slamet. Islam, Parpol, Pemilu 2004. http.www.
wikipedi. 02 Nopember 2006.
Karim, M Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Rajawali,
Jakarta, 1983.
Kartono,
Kartini, Pemimpin dan
Rajagrafindo, Jakarta. 2004.
Kepemimpinan,
PT.
Kirbiyanto, Pergulatan Ideologi Partai Politik di Indonesia:
Nasionalisme-Islamisme,
Komunimisme_Militerisme,
Golden Terayon Press, Jakarta, 2009.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemilu Legislatif 2004.
Tanpa Penerbit. 2005.
Lubis Ridwan, Cetak Biru Peran Agama. Departemen Agama RI. 2005.
Majalah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. No.7 Tahun ke1, September 2008. Dakwah.
Mujani,
Syaiful, Parpol Islam Bakal Terus Merosot. Jawa Pos. 5
Februari 2007.
Mufid,
Syafi’i. Departemen Agama dan Upaya Menjaga
Equilibrium Bangsa, dalam buku Diskriminasi
Disekeliling
Kita:
negara,
Politik,
dan
Multikulturalisme. Institut DIAN/Interfidei. 2008.
335
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, Penerbit Mizan.
2000.
Romli, Lili. Parpol Islam Diminta Untuk Poros Tengah. Republika
Newsroom, 11 Desember 2008.
Syamsuddin, Din. Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di
Indonesia dalam buku Problematika Politik Islam di
Indonesia. Bunga Rampai. Abuddin (Ed). Grasindo.
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama
dengan UIN Jakarta Press, Jakarta. 2002.
Urbaningrum, Anas. Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Indo Pos,
04 Februari 2007
Winardi, Kepemimpinan dalam Manajemen, PT. Rineka Cipta.
2000.
W. Michel dan NH. Michel, Essentials of Psychology (New York
: Random House, Inc, 1980), p. 81
Subyakto, Psychology Sosial (Jakarta: Haruhita, 1988, h. 23
336 ANALISIS KEBIJAKAN WALIKOTA DEPOK
TENTANG PENCABUTAN IMB RUMAH IBADAT DAN
GEDUNG SERBAGUNA HKBP PANGKALAN JATI,
GANDUL, KECAMATAN LIMO-KOTA DEPOK
TAHUN 2009
Oleh:
Ahsanul Khalikin
ANALISIS KEBIJAKAN WALIKOTA DEPOK
TENTANG PENCABUTAN IMB RUMAH IBADAT DAN
GEDUNG SERBAGUNA PANGKALAN JATI, GANDUL
KECAMATAN LIMO – KOTA DEPOK
TAHUN 2009
Ahsanul Khalikin
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
U
ndang-undang Dasar Tahun 1945 memberikan
kepada "semua orang, hak untuk beribadah
menurut agama dan kepercayaannya masingmasing" dan menyatakan bahwa "negara adalah berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Pemerintah secara umum
menghormati kebebasan beragama.
Kasus konflik keagamaan di seputar keberadaan rumah
ibadat masih banyak terjadi pada tahun 2008. Dalam catatan
riset Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)
disebutkan setidaknya terdapat 12 kasus yang menyangkut
masalah keberadaan rumah ibadat sepanjang tahun 2008.
Kasus-kasus yang senyatanya terjadi bisa lebih dari jumlah itu.1
Menyangkut ijin pendirian rumah ibadat, pada tahun
2006 Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri telah
1 Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Laporan Tahunan Kehidupan
Beragama Di Indonesia Tahun 2008, Diterbitkan pada Desember 2008, p. 3. 337
mengeluarkan Peraturan Bersama (PBM) yang antara lain
mengatur ijin pendirian rumah ibadat. PBM di masa depan
diharapkan bisa lebih memberi kepastian hukum bukan saja
mengenai syarat-syarat apa yang harus dipenuhi masyarakat,
tapi juga pemberian jaminan keamanan terhadap keberadaan
rumah ibadat –terutama terhadap kelompok minoritas di
suatu daerah yang rentan konflik— dan kebebasan
pemeluknya untuk beribadah. Selama ini, di beberapa daerah
pemerintah dan polisi masih terlihat gamang memberikan
jaminan perlindungan keamanan bagi pembangunan rumah
ibadat – bahkan yang telah berijin, terutama jika ada ancaman
kekerasan dari kelompok yang tidak bisa menerima
pluralisme.2
Dalam ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang
disebut (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan
Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat Bab IV Pendirian
Rumah Ibadat Pasal 13 dijelaskan: ayat (1) Pendirian rumah
ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguhsungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi
pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa. Ayat (2) Pendirian rumah ibadat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap
menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi
peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Dalam hal
keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah
kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak
2 Ibid. 338 terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk
digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota
atau propinsi.3
Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat dalam ketentuan
PBM dijelaskan bahwa; Pendirian rumah ibadat harus
memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis
bangunan gedung (Pasal 14 ayat 1).4
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan khusus meliputi:
a) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah
ibadat paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang
disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas
wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3.
b) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam
puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepada desa.
c) Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen Agama
kabupaten/kota; dan
d) Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota [PBM Menag
dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 14 ayat
(2)].5
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b
belum
terpenuhi,
pemerintah
daerah
berkewajiban
3 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama, Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat, Cet. Kedua, 2006. p. 48 4 Ibid, p. 49 5 Ibid. 339
memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat
[PBM, Pasal 14 ayat (3)]. Rekomendasi FKUB sebagaimana
dimaksud Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil
musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan
dalam bentuk tertulis [PBM, Pasal 15].6 Permohonan pendirian
rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 diajukan
oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada
bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat [PBM,
Pasal 16 ayat (1)]. Bupati/walikota memberikan keputusan
paling lambat 90 (Sembilan puluh) hari sejak permohonan
pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) [PBM, Pasal 16 ayat (2)].7
Berdasarkan ketentuan persyaratan pendirian rumah
ibadat PBM Pasal 15 tersebut, ternyata Walikota Depok yang
telah menerbitkan Surat Keputusannya nomor: 645.8/144/
Kpts/Sos/Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009 tentang
Pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP di Jalan Pesanggrahan,
Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, tidak sesuai
dengan rekomendasi tertulis dari FKUB Kota Depok. SK
tersebut menjadi kontroversial dan mendapat protes dari
pihak Jemaat HKBP Pangkalan Jati Gandul, dan akhirnya
berbuntut gugatan ke PTUN Propinsi Jawa Barat.
Realitas ini oleh sekelompok masyarakat dipandang
belum mencerminkan visi Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok 2006-2011, antara
lain; adanya kondisi sosial budaya Kota Depok yang sudah
mengarah pada budaya metropolis yang multi etnis dan
agama. Karena itulah, peneliti merasa tertarik untuk
6
7
340 Ibid,p. 50 Ibid. mengetahui lebih mendalam Kebijakan Walikota Depok (Ir.
Nurmahmudi) mengeluarkan pencabutan IMB rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKPB Pangkalan Jati Gandul
tertanggal 13 Maret 2009.
Masalah Penelitian
Dalam permasalah ini penelitian difokuskan pada
"Kebijakan Walikota Depok tentang pencabutan IMB rumah
ibadat Gereja HKBP Cinere Kec. Limo – Kota Depok". Adapun
fokus permasalahan tersebut, perlu dirumuskan dalam
beberapa masalah, yaitu;
1. Apakah kebijakan pencabutan IMB rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh
Walikota Depok sesuai dengan ketentuan UU No. 32 Tahun
2004 dan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9
dan 8 Tahun 2006.
2. Apakah dasar pertimbangan Walikota Depok mencabut
IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan
Jati Gandul.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini, maka tujuan
penelitian ini ingin;
1. Mengetahui status kebijakan pencabutan IMB rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh
Walikota Depok dilihat dari sudut pendekatan peraturan
UU No. 32 Tahun 2004, Peraturan Bersama Menag dan
Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006.
2. Mengetahui dasar pertimbangan Walikota Depok tentang
pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul.
341
Hasil Penelitian ini akan bermanfaat untuk;
1. Penulis dan pembaca mengetahui secara jelas alasan
historis dan yuridis terjadinya kasus pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan jati
Gandul.
2. Aparat setempat, tokoh agama dan masyarakat, serta
warga masyarakat; dapat memahami perundang-undangan
dan PBM, sehingga tidak terjadi konflik dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
3. Pemerintah Kota Depok; sebagai bahan alternatif dalam
melakukan solusi yang harus dilakukan terkait dalam
kasus pecabutan IMB rumah ibadat.
4. Depag, Depdagri dan majelis-majelis agama; bahan
pertimbangan membantu pemerintah daerah guna
membenahi, dan menyusun peraturan daerah yang terkait
dengan IMB Rumah Ibadat.
Kerangka Pikiran
Terbitnya Surat Keputusan (SK) Walikota Depok nomor:
645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009
tentang Pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP di Jalan Pesanggrahan,
Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, menjadi
dasar gugatan pihak Jemaat Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) Pangkalan Jati Gandul, yang didampingi kuasa
hukum Junimart Girsang SH. Langkah yang dilakukan adalah
menggugat Wali Kota Depok ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Bandung. Gugatan pihak Jemaat HKBP itu
terdaftar No.23/G/2009/PTUN-BDG, dan PTUN Bandung
akan melakukan pemeriksaan pendahuluan hingga 14 hari ke
342 depan, dimana sekarang ini sedang dalam proses sidang di
Pengadilan.
Selama ini, pihak HKBP masih mengantongi IMB
tertanggal 13 Juni 1998 ditandatangi Sekretaris Wilayah
Daerah (Setwilda) Bogor Drs. H. Dadang Soekaria, AK, dan
saat itu Depok masih menjadi bagian wilayah Bogor. Namun
setelah 10 tahun bersamaan berdirinya Kota Depok, Wali Kota
Depok Ir. Nurmahmudi mengeluarkan pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKPB Pangkalan Jati
Gandul tertanggal 13 Maret 2009.
Menurut pihak Jemaat HKBP melalui kuasa hukumnya
Junimart Girsang secara hukum mereka tidak melanggar
ataupun mengaibakan ketentuan Peraturan Daerah (Perda)
nomor: 3 tahun 2006 tentang ketentuan Bangunan dan
Retribusi, tapi kenapa Pemkot Depok justru mencabut IMB.”
Pengajuan gugatan sengketa ke PTUN Bandung, diakui
Junimart Girsang, untuk mendudukan permasalahan yang
sebenarnya. Jemaat HKPB Pangkalan Jati Gandul keberatan
dengan keputusan administrasi dari Walikota dan menuntut
untuk membatalkan SK pencabutan tersebut karena tidak ada
alasan yang jelas secara hukum. Sementara itu, Walikota
Depok Ir. Nurmahmudi, dalam surat keputusannya
menyatakan pembangunan gedung milik HKBP Pangkalan
Jati Gandul tidak dapat terselesaikan karena terjadi penolakan
oleh warga di sekitar lokasi. Pencabutan izin ini ditujukan
untuk menghindari kembali terjadinya konflik di lapangan
pada saat pembangunan dilaksanakan.
Walikota Depok yang telah menerbitkan Pencabutan
IMB rumah ibadat dan gedung serba guna HKBP Pangkalan
Jati Gandul, menjadi menarik untuk dilakukan penelitian.
Karena dalam ketentuan persyaratan pendirian rumah ibadat
343
Walikota Depok seharusnya mempertimbangkan rekomendasi
tertulis dari FKUB Kota Depok untuk dilanjutkan
pembangunannya sesuai keputusan hasil musyawarah dan
mufakat dalam rapat FKUB, yang dituangkan dalam bentuk
tertulis [PBM Pasal 15].
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan (policy) menurut asal kata adalah diturunkan
dari bahasa Yunani Polis yang artinya kota (city).8 Dapat
ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari
semua bagian pemerintah yang mengarahkan untuk
mengelola kegiatannya.
Secara terminologi, definisi kebijakan adalah berkenaan
dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola
formal yang
sama-sama diterima pemerintah/lembaga
sehingga dengan hal itu mereka mengejar tujuannya”.9
Definisi lain dijelaskan oleh Gamage dan Pang, bahwa
:”kebijakan adalah terdiri dari pernyataan tentang sasaran dan
satu atau lebih pedoman yang luas untuk mencapai sasaran
tersebut dapat dicapai yang dilaksanakan bersama,
memberikan kerangka kerja bagi pelaksanaan program”.10
Kebijakan (policy) adalah keputusan pemerintah yang
bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota
masyarakat.11 Bogue dan Saunders,12 menyimpulkan bahwa
8 William G. Monahan and Herbert R. Hengst, Contemporery Educational
Administration (New York:Macmillan Publishing, Co,Inc.1982), p.223. 9 Ibid, p.224. 10 David Thenuwara Gamage and Nicholas Sun-Keung Pang, Leadership and
Management in Education (Hongkong:The Chinese University Press, 2003),p.171. 11 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik ( Jakarta: Suara Bebas, 2006),p.17. 344 kebijakan adalah menjelaskan sasaran umum organisasi
berisikan alasan bagi eksistensi dan menyediakan arah
pembuatan keputusan bagi pencapaian sasaran”.
Berdasarkan pendapat pendapat pertama kebijakan
berarti seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta
peraturan-peraturan yang membimbing sesuatu organisasi.
Demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi”.
Pendapat kedua, lebih cenderung pada pemahaman kebijakan
adalah hasil keputusan manajemen puncak yang dibuat
dengan hati-hati yang intinya berupa tujuan-tujuan, prinsip
dan aturan-aturan yang mengarahkan kegiatan orang dalam
organisasi. Sedangkan pendapat ketiga mempertegas bahwa
kebijakan menekankan sifatnya yang bersumber dari
pemerintah dan untuk semua orang. Pendapat keempat lebih
mengacu kepada hakikat kebijakan sebagai petunjuk dalam
organisasi.
Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa
kebijakan adalah hasil pengambilan keputusan oleh
manajemen puncak berupa tujuan, prinsip dan aturan
berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para
manajer dan personil menentukan masa depan organisasi.
Keputusan yang disebut kebijakan adalah keputusan strategis
yang berfungsi menjadi patokan pelaksanaan manajemen .
Istilah “public” dalam rangkaian kata “public policy”
mengandung tiga konotasi, yaitu: pemerintah, masyarakat
dan umum. Spektrum pemaknaan ini adalah mencakup
subyek, obyek, dan lingkungan dari kebijakan.13
12 E.G Bogue and Robert L. Sauders, The Educational Manager: Artist and
Practitioner (California: Wardsworth Publishing Company, 1976), p.128. 13 Said Zainal Abidin,op.cit.p.22. 345
Pemaknaan di atas sejalan dengan definisi yang
diajukan Newton dan Tarrant, bahwa kebijakan seringkali
merupakan garis besar dari kerangka kerja resmi dari
pemerintah dan menyatakan bagaimana suatu organisasi
melaksanakan tanggung jawabnya. Kebijakan dapat secara
resmi tersuarakan dan terbagi pada satu manajemen atau level
politik”.14
Dengan demikian, kebijakan publik adalah kebijakan
pemerintah yang dengan kewenangannya dapat memaksa
masyarakat untuk mematuhinya. Kebijakan publik sebagai
apa yang dihasilkan pemerintah dapat merupakan kebijakan
umum, kebijakan teknis, dan kebijakan operasional pada
tingkat yang paling rendah pada organisasi pelaksana.
Terkait dengan ketentuan PBM, sebagian warga
masyarakat memang ada yang mempertanyakan mengapa
masalah agama diatur oleh pemerintah, bukankah itu
merupakan bagian dari kebebasan beragama.15
Dalam
Peraturan Bersama ini dijelaskan bahwa yang diatur oleh
Peraturan Bersama ini bukanlah aspek doktrin agama yang
merupakan kewenangan masing-masing agama, melainkan
hal-hal yang terkait dengan lalu lintas para pemeluk agama
yang juga warga negara Indonesia pemeluk agama lain dalam
mengamalkan ajaran agama mereka. Karena itu pengaturan
ini sama sekali tidak mengurangi kebebasan beragama yang
disebut dalam Pasal 29 UUD 1945. Beribadat dan membangun
rumah ibadat adalah dua hal yang berbeda. Beribadat adalah
ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan membangun rumah ibadat adalah tindakan yang
14 Colin Newton and Tonny Tarrant, Managing Change in Schools (London:
Routladge, 1992), p.125.
15 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama, loc cit, p. 8 - 9 346 berhubungan dengan warga negara lainnya
kepemilikan, kedekatan lokasi, dan sebagainya.16
karena
Karena itu maka prinsip yang dianut dalam Peraturan
Bersama ini ialah bahwa pendirian sebuah rumah ibadat harus
memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada,
kemudian dalam waktu yang sama harus tetap menjaga
kerukunan umat beragama dan menjaga ketentraman serta
ketertiban masyarakat. Inilah prinsip sekaligus tujuan dari
Peraturan Bersama ini. Tentu saja Peraturan Bersama ini dari
segi yuridis formal tidaklah sekuat undang-undang, karena
setiap peraturan memang pada dasarnya adalah lebih rendah
dari pada peraturan perundangan yang ada di atasnya. Tetapi
kehadiran sebuah PBM tidaklah dilarang dalam sistem
peraturan perundangan di Indonesia.17
Peraturan Bersama ini juga menghilangkan keraguan
sementara orang yang menyatakan bahwa pemerintahan
daerah tidak mempunyai kewenangan dan tanggung jawab di
bidang kehidupan keagamaan, sebagaimana dipahami
sepintas dari Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Subtansi Peraturan Bersama ini
secara tersirat menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
kewenangan pemerintah pusat di bidang agama adalah pada
aspek kebijakannya. Sedangkan pada aspek pelaksanaan
pembangunan dan kehidupan beragama itu sendiri tentu saja
dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat Indonesia di
seluruh tanah air termasuk oleh pemerintahan daerah. Lebih
jauh bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah
bagian penting dari pembinaan kerukunan nasional yang
menjadi tanggung jawab kita semua.18
Ibid. Ibid. 18 Ibid. 16
17
347
2. Fungsi kebijakan
Hakikat kebijakan adalah berupa keputusan yang
substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan, maka
format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk
dipedomani oleh pimpinan, staf dan personil organisasi, serta
dalam proses interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan
kebijakan. Pembuatan kebijakan (Policimaking) adalah terlihat
sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan
kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem”.19 Proses
pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan
eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output
(keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada
pembuat kebijakan.
Sebagai pernyataan verbal atau tertulis atau tersirat
dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh
pimpinan sebagai garis besar tindakan organisasi, maka
kebijakan merupakan produk keputusan.
Kebijakan memberikan kontribusi sebagai: (1) pedoman
untuk bertindak, (2) pembatas perilaku, dan (3) bantuan bagi
pengambil keputusan”.20 Keberadaan kebijakan adalah
penting sebagai pedoman perilaku dalam berbagai aktivitas
strategis organisasi pemerintah pada level puncak, menengah,
dan rendah. Pada level puncak pemerintah mengeluarkan
Undang-undang,
peraturan
pemerintah,
keputusan
pemerintah, keputusan menteri, peraturan daerah, dan pada
19 John Thomas Thompson, Policymaking in American Education (New Jersey:
Englewood Cliffs, 1976), p.31. 20 Aris Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan (Jakarta:
Buletin LPMP, No.9, 1995),p.7. 348 tingkat operasional keputusan Dinas-Dinas, dan pengaturan
operasional pada level organisasi pelaksana.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam
bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi dan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
3. Jenjang Kebijakan
Kebijakan adalah cara terstandar berpikir tentang dan
melakukan sesuatu. Kebijakan memberikan bagi keseragaman
perlakuan/tindakan terhadap masalah-masalah dan orang
dalam organisasi. Penyimpangan dari kebijakan bisa
mengarah kurangnya efisiensi. Mungkin dalam hal biaya lebih
dan kurang efektif.
Suatu kebijakan adalah pernyataan umum yang
dirancang untuk mengarahkan pemikiran seseorang tentang
membuat keputusan dalam organisasi. Secara khusus
kebijakan adalah suatu pengertian tugas dari tindakan untuk
diikuti atas keadaan tertentu. Kebijakan nampak seringkali
hanya dilaksanakan daripada sengaja tertulis langsung.
Kebijakan adalah produk pengambilan keputusan
strategis. Sebagai keputusan strategis maka jenjang kebijakan
dihubungkan dengan jenjang manajemen, yaitu:
a) Manajemen Puncak. Kebijakan yang disusun oleh jenjang
ini berasal dari hampir semua sumber.
b) Manajemen Menengah. Kebijakan yang ditetapkan jenjang
ini cenderung mengikuti perintah atau referensi dari
manajemen puncak atau manajemen menengah..
349
c) Manajemen Operasi. Kebijakan yang ditetapkan jenjang
manajemen operasi biasanya berlaku untuk kegiatan
operasi dan bidang fungsi semua organisasi”.21
Mengacu kepada pendapat di atas disimpulkan bahwa
kebijakan manajemen puncak dijabarkan oleh kebijakan
manajemen menengah. Sedangkan kebijakan manajemen
menengah dijabarkan oleh manajemen operasi dalam kegiatan
keseharian personil organisasi.
Proses Kebijakan
Kebijakan memberikan sesuatu hal umum sebagai garis
pedoman bagi semua pegawai dalam melaksanakan tugas
mereka. Kebijakan memberikan arah untuk dan memberikan
standar bagi membuat keputusan. Kebijakan adalah cara
terstandar dalam berpikir tentang melakukan sesuatu.
Dengan demikian, ada tiga proses yang ditempuh dalam
kebijakan, yaitu; formulasi, implementasi dan evaluasi.22
Ketiga proses kebijakan dimaksud diuraikan agar secara
holistik makna kebijakan sebagai suatu proses manajemen
dapat dipahami dengan baik. Sedangkan tahap-tahap dalam
proses pembuatan kebijakan sebagaimana dikemukakan
Dunn,23 penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian/evaluasi
kebijakan”.
Kajian ini
memfokuskan proses kebijakan yang
meliputi: formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan.
Ibid,p.20. Allen J Putt and J Fred Springer, Policy Research (New Jersey: Prentice Hall,
19890),p.30. 23 William N Dunn,
Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta:
Gajahmada University Press, 2003).p.35. 21
22
350 1. Formulasi kebijakan
Pembuatan kebijakan dalam pemerintahan termasuk
aktivitas politis. Dalam konteks ini, aktivitas politis dijelaskan
bahwa pembuatan kebijakan adalah sebagai proses
pembuatan kebijakan yang divisualisasikan berisikan
serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur
menurut urutan waktu; penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan
penilaian kebijakan.
Mengacu kepada Newton dan Tarrant, yang
mengemukakan pendapat Velzen, et al, bahwa: pembuatan
kebijakan adalah langkah awal yang mencakup identifikasi
bidang umum, analisis, penyusunan sasaran, menetapkan
rangkaian pelaksanaan, menjajaki administratif, dimensi
politik dan masyarakat, negosiasi dan konsultasi dan
formulasi akhir dan menampilkan kebijakan”.24
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
perumusan kebijakan adalah proses menganalisis masalah,
menyusun sasaran untuk dilaksanakan dalam tindakan
kebaikan bagi masyarakat.
Dalam melaksanakan proses perumusan kebijakan,
terlebih dahulu dilakukan analisis kebijakan. Karena kegiatan
analisis kebijakan adalah kegiatan pokok dalam perumusan
kebijakan untuk memberikan pijakan awal bagi suatu keharus
pembuatan suatu kebijakan”.25
Keberadaan analisis kebijakan merupakan rangkaian
dari penilaian formulasi kebijakan. Dijelaskan bahwa:”policy
analysis is an applied social science disciplne which use multiple
methods of inquiry and argument to produce and transform policy
Colin Newton dan Tony Tarrant, op.cit.pp.125-126. Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan
Evaluasi (Jakarta: Elek Computindo, 2003), p.86. 24
25
351
relevant information that may be utilized in political setting to
resolve policy problems”. Analisis kebijakan merupakan
penerapan disiplin ilmu sosial yang menggunakan berbagai
metode penyelidikan dalam konteks argumentasi dan debat
publik untuk menciptakan secara kritis, menaksir dan
mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan”.26
Analisis kebijakan sebagaimana dikemukakan Bardach
adalah suatu aktivitas politik dan sosial, oleh sebab itu
seseorang yang tertarik di bidang ini memerlukan suatu
tanggung jawab mental dan intelektual dari kualitas hasil
pekerjaan atau kegiatan ini di bidang analisis kebijakan”.27
Selanjutnya menurut Patton dan Sawicky dalam
Nugroho, analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan
untuk dibuatnya sebuah kebijakan baik kebijakan yang baru
sama sekali, atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi
dari kebijakan yang ada”.28
Analisis kebijakan memiliki tiga pendekatan, yaitu: (1)
pendekatan empiris, berupaya menjawab permasalahan faktafakta, (2) pendekatan evaluatif, berupaya mencari nilai atas
sesuatu, (3) pendekatan normatif, memberikan upaya
tindakan atas apa yang harus dilakukan”.29
Analisis kebijakan merupakan proses pengkajian
kebijakan untuk dapat memahami kebijakan dengan baik dan
benar serta pada akhirnya dapat memberikan penjelasan dan
saran dalam pelaksanaan kebijakan sebagai upaya untuk
mencapai efektivitas kebijakan.
William Dunn, Op.cit. p.35. Riant, D Nugroho, Op.cit. p.84. 28 Bardach Eugene, A Practical Guide for Policy Analysis The Eighfold to One
Effective Problem Solving (New York: Catham House Publishers of Seven Bridges
Press, 2000).p.xiii. 29 William Dun, Op.cit. p.97-98. 26
27
352 Terdapat tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu:
prospektif, retrospektif dan integratif. Analisis kebijakan
prospektif melibatkan produksi dan transformasi informasi
sebelum pelaksanaan kebijakan dimulai dan dilaksanakan
(biasanya dilakukan oleh ahli ekonomi), ahli sistem dan ahli
operation research). Analisis kebijakan retrospektif merupakan
usaha memproduksi dan mentransformasi infomasi sesudah
kebijakan dilaksanakan (biasanya dilakukan oleh ilmuwan
yang berorientasi kepada disiplin ilmu dan aplikasi
kebijakan). Sedangkan analisis kebijakan integraif adalah
analisis yang lebih komprehensif dan mengkombinasikan
prospektif dan retrospektif. Dalam kegiatan ini analisis
dilakukan secara terus menerus/berkelanjutan.30
Dalam menggunakan bentuk analisis kebijakan ini,
perlu disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan para pelaku
analisis kebijakan dalam berbagai bidang dan organisasi.
Tegasnya, analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi
yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa atau
seluruh tahap proses pembuatan kebijakan, tergantung tipe
masalah yang dihadapi.
Formulasi kebijakan mengandung beberapa isi penting
yang dijadikan sebagai pedoman tindakan sesuai yang
direncanakan. Adapun isi kebijakan mencakup: (1)
Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, (2) Jenis
manfaat yang akan dihasilkan, (3) Derajat perubahan yang
diinginkan, (4) Kedudukan pembuat kebijakan, (5) (siapa)
pelaksana program, (6) Sumberdaya yang dikerahkan.31
Sedangkan dalam konteks implementasinya, maka kebijakan
berisikan: (1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi pelaksana
yang terlibat, (2) Karakteristik lembaga dan penguasa, (3)
Kepatuhan dan daya tanggap.
30
31
Ibid, p.99. Ibid, p.27. 353
Selain itu, hal yang penting adalah informasi yang
cukup dalam perumusan kebijakan. Menurut Tangkilisan, jika
pembuat keputusan tidak memiliki informasi dalam
implementasi, mereka tidak akan tahu apa yang harus
dilakukan dengan hasil-hasil studi evaluasi”.32
Formulasi kebijakan dapat diwujudkan dalam berbagai
bentuk bidang kebijakan, keputusan dan alternatif keperluan.
Berkenaan dengan masalah di atas digambarkan oleh Jauch
dan Glueck,33 dalam buku “Business Policy and Strategic
Management”, yaitu: bidang perkebunan dan peralatan,
perencanaan produksi dan kontrol,
tenaga kerja dan
penempatan, rancangan produksi, pengorganisasian dan
manajemen”.
Dengan demikian, pembuatan kebijakan efektif adalah
kesesuaian dan penerimaan tujuan pada semua level untuk
meningkatkan peluang organisasi mencapai sasaran dan tidak
membuang energi dengan konflik”.34
Dapat disimpulkan bahwa formulasi kebijakan
merupakan proses membuat kebijakan berdasarkan
kebutuhan untuk memecahkan persoalan masyarakat dalam
mencapai kehidupan lebih baik.
2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara
yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai
tujuannya.. Dijelaskan oleh Putt dan Springer,35 implementasi
kebijakan adalah serangkaian aktivitas dan keputusan yang
32 Hessel Nogi S Tangkilisan,
Implementasi Kebijakan Publik (Yoyakarta:
Lukman Offset, 2003).p.10. 33 Laurence R. Jauch
and William Glueck, Business Policy and Strategic
Management (Singapura: McGraw Hill, 1988), p.351. 34 Colin Newton dan Tony Tarrant, op.cit.p.126. 35 Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.45. 354 memudahkan pernyataan kebijakan
terwujud ke dalam praktik organisasi.
dalam
formulasi
Bagaimanapun, tujuan kebijakan adalah melakukan
intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan
sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri.
Implementasi kebijakan dalam konteks manajemen adalah
berada dalam kerangka organizing-leading-controling. Dengan
demikian ketika kebijakan sudah dibuat, maka tugas penting
yang mesti dilaksanakan adalah mengorganisasikan dan
melaksanakan
kepemimpinan
untuk
mengarahkan
pelaksanaan dan pengendalian kebijakan tersebut. Di mana
posisi kepemimpinan dalam implementasi kebijakan?
Seorang pemimpin organisasi non profit adalah
seseorang yang memimpin orang-orang, modal, dan
sumberdaya itelektual organisasi untuk menggerakkannya
menuju arah yang benar”, tepatnya adalah: (1) memimpin
sumberdaya berarti mengumpulkannya, memfokuskan
perhatian, dan memberi inspirasi atau memberdayakan
penggunaan semuanya, (2) menggerakkan organisasi
bermakna memperkuatnya, menggerakkan hambatan kepada
kemajuan, membuat perubahan penting untuk meningkatkan
kinerja dan memungkinkan organisasi untuk belajar dan
bertumbuh, (3) arah yang benar bermakna seseorang yang
membuat kemungkinan kontribusi terbesar atas jangka
panjang kepada masyarakat atau klien tertentu atau
masyarakat yang
menciptakan
organisasi
untuk
melayaninya”.36
Ada empat peran utama kepemimpinan efektif, yaitu:
sebagai penentu arah, agen perubahan, juru bicara, dan
pelatih. Keempat peran ini secara bersama-sama merupakan
36 Charles C Manzs, dan Henry P. Sim, Jr, The New Super Leadership (San
Fransisco: Bernett Koehler Publishers, inc, 2000). p.6. 355
pekerjaan
pemimpin
visioner”.37
Keempat
peran
kepemimpinan ini sama pentingnya untuk mencapai
keberhasilan.
Dalam
menjalankan
peran
tersebut,
kepemimpinan dijalankan dengan dukungan kemampuan,
sifat, dan kepribadian pemimpin untuk mempengaruhi”.
Sebagai penentu arah, pimpinan harus mengembangkan
visi
dan
membagi
kepada
semua
orang
untuk
mewujudkannya. Untuk memerankan sebagai agen
perubahan, pemimpin harus mampu mengantisipasi
perkembangan dunia luar, menilai implikasi, menciptakan
perasaan pentingnya prioritas perubahan melalui visi untuk
pelaksanaan dan pemberdayaan orang menuju perubahan.
Sebagai juru bicara, pemimpin harus mampu bernegosiasi
dengan organisasi lain, membangun jaringan kerja,
memberikan gagasan sumberdaya atau informasi bagi
organisasi. Sedangkan sebagai pelatih, pemimpin harus
memberdayakan staf dan pegawai agar bersemangat mengejar
visi. Sebagai pelatih, pemimpin juga menjadi teladan dalam
usaha mewujudkan visi menjadi kenyataan”.
Tangkilisan,38
berpendapat
bahwa
pelaksanaan
kebijakan memerlukan sejumlah keputusan dan tindakan.
Ada empat faktor penting dalam mengimplementasikan
kebijakan, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposis atau sikap
dan struktur birokrasi”.
Para pelaksana kebijakan mesti tahu apa yang harus
dikerjakan, Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi
mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat sebelum
bisa diikut. Komunikasi ini membutuhkan keakuratan dan
dapat diterima para pelaksana. Jika kebijakan harus
37
38
356 Burt Nanus, Visionary Leadership (San Fansisco: Jossey Bass 1992).p.15. Hessel Nogi S Tangkilisan, op.cit.p.11. diimplementasikan secara tepat, format kebijakan yang
diimplementasikan harus diterima secara jelas.39
Ada dua pilihan langkah impelementasi kebijakan,
yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program-program, atau dapat melalui kebijakan derivat
(turunan) dari kebijakan publik tersebut. Secara umum
digambarkan oleh Dwijowijoto, 40 sebagai berikut:
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik
Program Intervensi
Kegiatan Intervensi
Proyek Intervensi
Publik/Masyarakat/penerima
keuntungan
Gambar 1 : Implementasi Kebijakan
39 Ibid, p.19. Lihat pula Riant Nugroho Dwijowijoto, Implementasi Kebijakan
Publik (Yogyakarta: Lukman Ofset, 2003). 40 Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.18. 357
Proses implementasi kebijakan dapat dikemukakan di
sini bahwa kebijakan Publik dalam bentuk Undang-Undang,
maka menuntut adanya kebijakan turunan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah (Perda). Dalam
hal ini Perda merupakan peraturan atau kebijakan penjelas
atau sering diistilahkan peraturan pelaksanaan. Adapun
kebijakan publik yang langsung operasional antara lain:
Kepres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah,
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan
lain-lain.
Proses formulasi kebijakan dan penyusunan sasaran
adalah untuk melaksanakan kebijakan ke dalam tindakan
memerlukan pekerjaan baik yang terinci. Kebijakan dapat
bersumber dari sejumlah level dan sumber, yaitu pemerintah
pusat, daerah, administrator, guru, kepala sekolah, orang tua
dan jarang sekali dari siswa”.41
Bagaimanapun keberadaan implementasi kebijakan
sebagaimana dikemukakan dalam gambar di atas, bahwa
dimulai dari program, proyek dan kegiatan. Ini proses
implementasi kebijakan. Model ini adalah hal yang lazim
diaplikasikan dalam manajemen sektor publik.
Sejalan dengan pernyataan di atas bahwa,42
implementasi kebijakan memerlukan banyak keputusan dan
tindakan seperti; menjamin dan menguatkan berbagai arahan,
dan peraturan, mengeluarkan dan membuat penemuan,
rekrutmen dan pembinaan personil, menghargai dan
membuat kontrak, menciptakan unit organisasi baru supervisi
staf, membuat anggaran dan menciptakan bentuk
menganalisis laporan.
41
42
358 Colin Newton and Tonny Tarrant, op.cit.p.126. Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.45. Implementasi kebijakan bermakna pengembangan
kriteria khusus dalam praktik bagi pembuatan keputusan
yang mencapai maksud kebijakan. Dalam implementasi
kebijakan maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana
prakondisi untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan, yaitu:
komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap dan struktur
birokrasi.
Keempat faktor tersebut berkerja secara simultan, baik
berfungsi dalam memudahkan pelaksanaan kebijakan dan
dapat pula menghambat proses pelaksanaan. Perlu ditegaskan
bahwa implementasi kebijakan adalah proses dinamis yang
mencakup keempat variabel tersebut.
a. Komunikasi
Proses komunikasi ekfektif diperlukan dalam kerangka
pelaksanaan kebijakan.43 Secara umum mengacu kepada
pendapat Robbins bahwa: ”komunikasi adalah memindahkan
makna dari seseorang kepada orang lain sehingga informasi
dan gagasan dapat tersampaikan”.44 Komunikasi yang baik
adalah bila makna yang dikirimkan oleh pengirim pesan
dimengerti secara tepat oleh penerima pesan. Komunikasi
berlangsung antara individu dengan individu (interpersonal),
komunikasi dalam diri individu (intrapersonal), dan
komunikasi massa”.
Ivancevic
dan
Matesson,
menjelaskan
bahwa
komunikasi yang mengalir dari individu kepada individu
dalam tatap muka atau latar kelompok adalah komunikasi
interpersonal”.45 Hal yang diharapkan sebagai muara
Ibid, p.46. 44 Stephen P. Robbins, Essentials of Organizational Behavior (New Jersey:Prestice
Hall, 1984),p.93. 45 John M. Ivancevich and Michael T. Matesson, Organizational Behavior (New
York: McGraw Hill, 2002), p.503. 43
359
komunikasi adalah lahirnya saling pengertian sebagai akibat
pesan yang dikirimkan kepada penerima pesan sehingga
terjadi perubahan tingkah laku.
Pemahaman di atas sejalan dengan Gibson, et al,
mengemukakan bahwa: effective communication is the result of
the common understanding between the communicator and the
receiver”.46 Pendapat ini menegaskan komunikasi melibatkan
seseorang yang berusaha menciptakan makna dalam diri
penerima pesan.
Dalam berlangsungnya proses komunikasi mengandung
lima elemen, yaitu: komunikator, pesan, media, penerima
pesan, dan umpan balik”. Dilihat dari segi jenis informasi
dalam komunikasi ada yang verbal maupun non verbal
merupakan sifat dasar dalam pertukaran pesan yang terjadi
dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan
wahana bagi individu dan kelompok dalam menyampaikan
ide, pikiran atau perasaan dalam interaksi satu sama lain.
Tanpa komunikasi tak akan ada interaksi antara seseorang
dengan orang lain, tak akan ada interaksi antar kelompok.
Itu artinya, pimpinan harus mengkomunikasikan
kepada bidang yang bertanggung jawab dalam melaksanakan
kebijakan supaya mereka memahami kebijakan yang menjadi
tanggung jawabnya. Perlu disampaikan kepada personalia
yang tepat, kebijakan yang jelas, akurat dan konsisten.
Komunikasi dimaksudkan sebagai prakondisi sebelum
kebijakan dilaksanakan. Karena itu kewenangan harus
diberikan kepada pelaksana dan perlu pula diberikan ruang
46
James L. Gibson, John M. Ivancevich and James H. Donnelly, Jr,
Organization: Behavior, Structure, and Process, (Amerika: Richard D Irwins, 1997), p.408. 360 kreativitas dan adaptasinya dalam pelaksanaan kebijakan. Jadi
tidak semuanya rinci, karena pemberdayaan personil juga
diperlukan setiap organisasi.
Untuk mengimplementasikan kebijakan secara tepat,
ukuran implementasi mesti tidak hanya diterima, namun
kebijakan yang dilaksanakan bagi mereka mesti juga jelas. Jika
tidak,
para pelaksana akan kacau dengan apa yang
seharusnya mereka lakukan dan mereka akan memiliki
kewenangan untuk melaksanakan kebijakan dimaksud.
Widodo,47 menjelaskan komunikasi kebijakan berarti
merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari
pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan (policy
implementors). Komunikasi adalah perekat organisasi dan
koordinasi adalah asal muasal dari kerja sama tim serta
terbentuknya sinergi dan integrasi dalam pelaksanaan
kebijakan.
b. Sumberdaya
Betapapaun jelasnya proses komunikasi kebijakan
kepada pelaksana kebijakan dan betapapun perintah dan
kewenangan sudah diberikan, tapi kalau sumberdaya
(resources) yang tersedia tidak mendukung hal ini dapat
menghambat pelaksanaan kebijakan. Adapun pentingnya
masalah sumberdaya ini mencakup; jumlah staf yang tepat,
keahlian yang diperlukan, informasi yang relevan tentang cara
melaksanakan kebijakan dan berbagai komponen lainnya.
Jika sumberdaya tidak cukup, berarti kebijakan tidak
akan terlaksana, karena prosedur kerja, kegiatan yang
ditetapkan tidak dapat dibumikan dalam memenuhi tujuan
47 Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik (Malang:Bayumedia Publishing,
2007),p.97. 361
dan harapan stakeholders, atau pelanggan. Dwijowijoto,48
berpendapat bahwa kekuasaan atau power adalah syarat bagi
keefektifan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang
berasal dari kekuasaan, maka kebijakan akan tetap berupa
kebijakan-tanpa ada pengaruh dari target kebijakan”.
Putt dan Springer,49 menjelaskan implementasi
kebijakan memerlukan keputusan tentang anggaran dan
hasil/produktivitas”. Tentu saja sumberdaya yang utama
dalam organisasi adalah sumberdaya manusia. Sumberdaya
tidak
hanya
berkenaan
dengan
kekuasaan
seseorang/pelaksana membuat keputusan tentang anggaran
untuk melaksanakan kebijakan, atau otoritas mengambil
keputusan, tetapi juga berkenaan dengan peralatan, material,
informasi, dan sumberdaya finansial/pembiayaan”.50 Hanya
dengan ketersediaan sumberdaya organisasi yang mencukupi,
maka kebijakan dapat diimplementasikan oleh pelaksana
kebijakan dalam mencapai visi, misi dan tujuan yang
diharapkan.
c.
Disposisi
Disposisi atau sikap di sini dimaksudkan adalah sikap
pelaksana kebijakan. Hal ini terkait dengan adanya sikap yang
kuat bagi pelaksana yang memiliki kapasitas dalam
melaksanakan kebijakan. Itu artinya, para pelaksana kebijakan
yang ditetapkan dengan kemampuannya memang harus
terdorong
sepenuh
hati
atau
memiliki
komitmen
melaksanakan kebijakan dimaksud. Di sini diperlukan
keseimbangan pandangan bahwa kebijakan dilaksanakan
memenuhi tujuan pribadi dan tuijuan organisasi sehingga
Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.178. Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.49. 50 Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2006),p.142. 48
49
362 kebijakan menyentuh harapan yang sejatinya adalah mencapai
tujuan. Betapapun kapasitas pelaksana diakui signifikan, tapi
kalau sikap tidak kondusif bagi pelaksana kebijakan maka
kebijakan hanya tinggal angan-angan atau sekedar ada saja.
Motivasi, komitmen, dan dukungan pelaksanaan kebijakan
dapat ditumbuhkan dengan melibatkan personil dalam
menyusun sasaran, mengikut teori Goal-Setting Theory,
51bahwa;
bekerjasama dengan pegawai menyusun sasaran
berimplikasi pada penyediaan target untuk motivasi,
membuat sasaran khusus daripada umum, dengan implikasi
melakukan yang terbaik, serta memberikan umpan balik,
sebab tindakan memberikan umpan balik membimbing
perilaku. Bahkan membantu mengatasi hambatan dalam
kinerja dan bertujuan mengkoreksi tindakan”.
Dapat disimpulkan bahwa, sikap dan kemampuan
pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan harus
menjadi perhatian para manajer tinggi, menengah dan
pelaksana dalam mencapai visi, misi dan tujuan kebijakan.
d. Struktur Birokrasi
Bila para pelaksana sudah tahu apa yang akan
dikerjakan
karena
dikomunikasikan
dan
mau
melaksanakannya, namun kebijakan kadang terhambat karena
struktur birokrasi. Koordinasi menjadi faktor struktur
birokrasi yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan.
Bagaimanapun, dalam pelaksanaan kebijakan melibatkan
banyak orang, bidang dan lingkungan yang mempengaruhi
kelancaran dan keberhasilan kebijakan. Jadi apa yang disebut
prosedur tetap (protap), atau standard operasional procedure
51 Waren R. Plunkett, Raymond F Attner, dan Gemmy S. Allen, Management:
Meeting and Exceeding Customer Expectations (New York: Thomson South Western,
2005),p.438. 363
(SOP) merupakan cara-cara yang ditempuh bagi kelancaran
kebijakan agar berjalan dengan baik.
Bagaimanapun, pelaksanaan kebijakan merupakan
momentum penting dari keseluruhan kebijakan suatu
organisasi, karena terkait dengan pelaku dan lingkungan
kebijakan sebagai suatu sistem sebagaimana pendapat Dye,
dalam Widodo,52. Dijelaskannya pula bahwa implementasi
kebijakan adalah proses yang memerlukan tindakan-tindakan
sistematis, dari pengorganisasian, interpretasi dan aplikasi
kebijakan sehingga terlaksana dengan baik mencapai kinerja
kebijakan.
Dalam kajian ini, perlu diungkapkan bahwa model
implementasi kebijakan berkaitan dengan jenis teknik yang
digunakan
dalam
pelaksanaan
kebijakan.
Pertama,
implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah”
(top down), dan “bawah ke atas “ (bottom up)., dan pemilihan
implementasi kebijakan yang berpola paksa (command and
control) dan mekanisme pasar (economic incentive)”.53
Ada beberapa variabel yang termasuk sebagai faktor
yang mempengaruhi kebijakan publik, yaitu: (1) aktivitas
implementasi dan komunikasi antar organisasi, (2)
karakteristik dari agen pelaksana/implementor, (3) Kondisi
ekonomi, sosial dan politik, dan, (4) Kecenderungan
(disposision) dari pelaksana implementor.
Dalam implementasi kebijakan, pendekatan sistem
dapat digunakan untuk memudahkan memahami berbagai
variabel terkait dan menentukan pencapaian tujuan kebijakan.
52
53
364 Joko Widodo, Op.cit.pp.13 & 90. Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.176. Interaksi berbagai variabel dalam implementasi kebijakan
publik dapat diungkapkan pada gambar berikut:
Standar
dan tujuan
Kebijakan
publik
Karakteristik
Agen
pelaksana
Sumberdaya
Gambar 2:
Aktivitas
implement
asi dan
komunikasi
antarorgan
Kecenderungan
dari pelaksana
Kinerja
Kebijakan
publik
Kondisi ekonomi,
sosial dan politik
Interaksi antar variabel dalam implementasi
kebijakan Publik
Menurut Jauch dan Glueck,54 ada beberapa proposisi
dalam implementasi kebijakan sebagai berikut:
1) Lembaga yang mempersiapkan pelaksanaan kebijakan dan
rencana bagi pilihan strategi akan lebih efektif daripada
yang tidak melakukan,
2) Lembaga yang memiliki kemampuan strategi, pengalaman
dan kepribadian yang cocok dengan strategi akan lebih
efektif,
3) Lembaga yang memiliki rencana pengembangan karir akan
lebih efektif daripada tidak memiliki,
54
Laurence R. Jauch and William Glueck, op.cit. p.366-367. 365
4) Pemimpin yang melaksanakan konsep pengembangan
organisasi akan lebih efektif melaksanakan strategi
perubahan”.
3. Evaluasi Kebijakan
Suatu kebijakan tidak boleh dibiarkan begitu saja setelah
dilaksanakan. Begitu pelaksanaan kebijakan berlangsung
selanjutnya perlu diperiksa. Sebagai proses manajemen,
pengawasan adalah keharusan atau diperlukan sebagai proses
pemantauan atau evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan
publik dilaksanakan sebagai proses untuk mengetahui
sejauhmana keefektivan kebijakan publik guna dipertanggung
jawabkan kepada semua pihak terkait (stakeholders) nya.
Dengan kata lain, sejauhmana tujuan kebijakan tersebut telah
tercapai. Di sisi lain, evaluasi dipergunakan untuk mengetahui
kesenjangan antara harapan/tujuan dengan kenyataan yang
dicapai.55
Dengan demikian evaluasi bukan dimaksudkan
mencapai kesalahan para pelaksana kebijakan, akan tetapi
pesan utamanya adalah supaya kekurangan dan kelemahan
dalam pelaksanaan kebijakan dapat diperbaiki sehingga
pencapaian tujuan lebih maksimal. Tepatnya, evaluasi
kebijakan samata-mata bersifat positif dan konstruktif.
Putt dan Springer,56 menjelaskan evaluasi adalah
langkah menerima umpan balik yang utama dari proses
kebijakan. Jadi analisis kebijakan memberikan sejumlah jenis
informasi dalam pase ini. Evaluasi kebijakan memberikan
informasi yang membolehkan stakeholders mengetahui apa
yang terjadi berikutnya dari maksud kebijakan. Evaluasi juga
55
56
366 Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.184. Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.48. memberikan pemaparan aktivitas implementasi kebijakan.
Pada tingkat kompleksitas lebih besar, evaluasi dimaksudkan
untuk mengidentifikasi tingkat keberhasilan pelaksanaan
yang dicapai sesuai sasaran.57 Akhirnya, evaluasi dapat
memberikan pemahaman
terhadap alasan keberhasilan
kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan saran
terhadap tindakan untuk memberdayakan
pencapaian
sasaran kebijakan.
Lebih lanjut dijelaskannya, tujuan evaluasi kebijakan
adalah mempelajari pencapaian sasaran dari pengalaman
terdahulu. Tanpa pengujian pelaksanaan dan hasil usaha, ada
sedikit kemungkinan peningkatan program. Di sini paling
tidak ada beberapa sasaran evaluasi kebijakan, sebagaimana
pendapat Glaser, Abelson, dan Garrison, yaitu:
• Menentukan seluruh kebijakan dan nilai kebijakan dalam
pencapaian maskud sasaran,
• Mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalan komponen
kebijakan,
• Penerimaan program strategik yang merupakan kontribusi
terbaik terhadap keberhasilan implementasi kebijakan,
• Penilaian efek samping yang tidak diharapkan atau akibat
yang tidak diinginkan dari usaha kebijakan.
Perspektif lain dapat ditambahkan bahwa manajer perlu
memiliki pemahaman bahwa evaluasi kebijakan bukan hanya
berfokus pada evaluasi pelaksanaan kebijakan saja, akan
tetapi evaluasi kebijakan mencakup evaluasi perumusan
kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi
lingkungan kebijakan. Karena ketiga bagian itulah yang
57
Colin Newton and Tonny Tarrant, op.cit.p.127. 367
menentukan keberhasilan kebijakan. Jadi evaluasi sebenarnya
penilaian terhadap hasil yang dicapai dari pelaksanaan
kebijakan yang oleh pelaksana dilaksanakan sesuai dengan
sumberdaya, kemampuan pelaksana dan lingkungan yang
mengitarinya.
Mengacu kepada Dunn,58 evaluasi kebijakan dapat
disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka
(rating) dan penilaian (assesment). Dengan demikian, evaluasi
berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau
manfaat hasil kebijakan. Evaluasi kebijakan memberikan
informasi yang benar dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan
kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Di
sini evaluasi memberikan kontribusi pada klarifikasi dan
kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan
dan target. Bahkan evaluasi memberikan kontribusi pada
aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya termasuk
perumusan masalah dan rekomendasi.
Di sini diperjelas keberadaan evaluasi kebijakan, yang
mencakup: evaluasi formulasi kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan/kinerja
kebijakan”.59
Dalam kaitan ini evaluasi kebijakan mencakup tiga
bidang kegiatan utama, yaitu:
pemantauan kinerja,
melaksanakan pengaruh evaluasi dan melaksanakan evaluasi
proses.
1) Monitoring Program
58
59
368 William Dunn, op.cit, p.180. Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.186. Monitoring program mencakup pengumpulan data secara
sistematik dan berkelanjutan atau aktivitas program.
Informasi itu mencakup dua jenis utama, yaitu:
• Masukan adalah sumberdaya yang dibutuhkan dengan
pelaksanaan aktivitas program. Anggaran biaya dan waktu
merupakan masukan dasar pelayanan sebagai pengukuran
efisiensi.
• Hasil adalah produk dari aktivitas program. Sejumlah
kasus proses, jumlah hambatan, jumlah hambatan
pernyataan kalimat, dan keempat adalah contoh ukuran
hasil pelayanan sebagai indikator efektivitas.
Pemantauan program juga mencakup pengembangan
indikaor kinerja yang terstandar dan sistem pelaporan.
Dengan demikian harus ada indikator kinerja yang terstandar
sebagai acuan penilaian, karena dengan begitu akan mudah
mengukur keberhasilan pelaksanaan kebijakan di lapangan.
Selain itu, sebagai proses menajemen yang memerlukan data,
maka ada proses pelaporan yang diatur oleh manajemen
untuk memudahkan proses penilaian pihak manajemen
puncak.
2)
Evaluasi Pengaruh
Evaluasi pengaruh dilaksanakan untuk menentukan
tingkatan pencapaian kebijakan yang sesuai sebagaimana
dimaksudkan dalam sasaran”.60 Evaluasi pengaruh adalah
lebih dari pengembangan monitoring program, yang berarti
pengaruh evaluasi ini adalah berkenaan dengan fokus
perubahan dalam hal sosial dan kondisi pisik. Sebagaimana
halnya dalam program pembelajaran bahasa Inggris sebagai
bahasa kedua, pemantauan mungkin memerlukan sejumlah
60
William Dunn, op.cit, p.182. 369
dokumen mengenai penggunaan jam dalam belajar. Evaluasi
pengaruh memiliki fokus atas hasil dari pembelajaran, yaitu
persentase pelajar yang mencapai tingkatan ahli dalam
membaca setelah beberapa periode masa pembelajaran.
Pelaksanaan
analisis
evaluasi
pengaruh
adalah
mengembangkan pengukuran atas fokus jangka pendek dan
jangka panjang baik yang mencapai tujuan maupun tujuan
yang tidak tercapai, dan tidak hanya sederhana masalah
pelaksanaan pekerjaan.
Dengan demikian evaluasi pengaruh secara ideal
memberikan lebih daripada suatu deskripsi dari perubahan
dalam pengukuran sasaran program implementasi. Tetapi
juga analisis usaha merancang kajian bahwa membiarkan
mereka menentukan berapa banyak perubahan ini dicirikan
dalam kebijakan yang dievaluasi secara baik.
3) Evaluasi Proses
Evaluasi proses adalah menentukan mengapa program
dilaksanakan pada level ini dan apakah dapat dilakukan
untuk meningkatkan kinerja”61. Berdasarkan hal ini, evaluasi
proses berkenaan dengan identifikasi jaringan khusus antara
aktivitas pelaksanaan kebijakan dengan kinerja program.
Temuan kajian ini tidak dimaksudkan menentukan apakah
program mencapai sasaran khusus, sebagai suatu pengaruh
evaluasi, tetapi untuk mengembangkan rekomendasi bagi
peningkatan prosedur program implementasi.
a. Evaluasi Formulasi Kebijakan
Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik
berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik telah
dilaksanakan dengan cara:
61
370 Ibid.p.184. 1) Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah
yang hendak diselesaikan, karena setiap masalah publik
memerlukan model formulasi kebijakan publik yang
berlainan,
2) Mengarah kepada permasalahan inti, karena setiap
pemecahan masalah harus benar-benar mengarah kepada
inti permasalahan,
3) Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik
dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka
kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan,
4) Mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal,
baik dalam bentuk sumber daya waktu, dana, manusia dan
kondisi lingkungan strategis”.62
Dengan demikian model formulasi yang dipilih
merupakan ukuran yang standar dan dapat digunakan untuk
menilai proses formulasi. Jadi secara praktis paling tidak ada
sebelas model evaluasi formulasi kebijakan publik, yaitu: (1)
model kelembagaan, (2) model proses, (3) model kelompok,
(4) model elit, (5) model rasional, (6) model inkremental, (7)
model teori permainan, (8) model pilihan publik, (9) model
sistem, (10) model demokratis, dan (11) model perumusan
strategis”.63
a. Fungsi Evaluasi
Evalusi kebijakan merupakan tahap penting dalam
kebijakan publik. Ada beberapa fungsi evaluasi kebijakan
publik, yaitu:
62
63
Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.188. Ibid.p.108. 371
Pertama, evaluasi memberi informasi yang valid dan
dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu: seberapa
jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai
melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi
mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misal
perbaikan kesehatan) dan target tertentu (sebagai contoh 20 %
pengurangan penyakit kronis pada tahun 1990) telah dicapai.
Kedua, evaluasi kebijakan memberi sumbangan
klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari
pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan
mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai
juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis
kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan
masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan
dan sasaran, analisis dapat menguji alternatif sumber nilai
(misalnya kelompok kepentingan dan pegawai negeri,
kelompok-kelompok klien) maupun landasan mereka dalam
berbagai bentuk rasionalitas (teknik, eknomis, legal, sosial,
substantif).
Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi
metode metode analisis kebijakan lainnya, termasuk
perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang
tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi
sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan.
Dari tiga fungsi di atas, dapat disimpulkan bahwa
sistem aktivitas kebijakan harus menyediakan tujuan bagi
menjamin peninjauan ulang, evaluasi dan revisi kebijakan”. 64
Maka revisi kebijakan dilakukan dengan menunjukkan bahwa
alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu
diganti dengan yang lain.
64
372 E.G Bogue and Robert L. Sauders,op.cit.p.139. Sebagian besar pemahaman evaluasi kebijakan publik
berada pada domain ini. Hal ini bisa dipahami, karena tahap
implementasi kebijakan merupakan faktor penting dari
kebijakan yang harus dilihat benar-benar. Mengacu kepada
Effendi,65 tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik
adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator
kinerja yang digunakan menjawab pertanyaan pokok berikut:
1) Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik?
Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi
kebijakan publik (variasi dari outcome) terhadap variabel
independen tertentu.
2) Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan variasi itu?
Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri,
organisasi implementasi kebijakan yang mempengaruhi
variasi outcome dari implementasi kebijakan.
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut
waktu evaluasi, yaitu; sebelum dilaksanakan, pada waktu
dilaksanakan dan setelah dilaksanakan. Evaluasi sebelum
pelaksanaan yang disebut Dun,66 sebagai evaluasi summatif.
Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi
proses. Sedangkan evaluasi setelah kebijakan yang juga
disebut sebagai evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan
atau evaluasi pengaruh (outcome) kebijakan. Sedangkan versi
lain dari pendapat Dunn, bahwa evaluasi kebijakan
menggunakan pendekatan : (1) evaluasi semu, dengan tujuan,
menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi valid tentang hasil kebijakan, (2) evaluasi formal
yang bertujuan, menggunakan metode deskriptif untuk
menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai
hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan
program kebijakan dan (3) evaluasi keputusan teoretik dengan
65
66
Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.194. William N Dunn, op.cit, p.24. 373
tujuan menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan
informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan
yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai
pelaku
kebijakan.
Kebijakan publik yang dilaksanakan oleh berbagai
organisasi pemerintahan menuntut pencapaian sasaran
dengan dukungan sumberdaya, komunikasi, sumberdaya
yang ada serta struktur birokrasi yang kondusif. Oleh sebab
itu, bagi pembuat dan pelaksana kebijakan publik dalam
berbagai bidang kehidupan, baik bidang ekonomi,
pendidikan, agama, politik, pemerintahan, transportasi
maupun perdagangan memerlukan perhatian yang sungguhsungguh terhadap berbagai instrumen dalam melakukan
evaluasi kebijakan publik.
Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik
dapat digambarkan sebagai berikut:
Kesesuaian dengan Metode
implementasi
Kesesuaian dengan
tujuan evaluasi
Evaluator
Kesesuaian
dengan
kompetensi
Implementasi
Kebijakan
Kesesuaian dengan
sumberdaya yang
ada
Kesesuaian dengan
lingkungan evaluasi
Gambar 3 Evaluasi Implementasi kebijakan
374 Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa
Evaluator harus memperhatikan beberapa ketentuan sebagai
berikut:
1) Evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model
atau metode implementasi kebijakan. Pada dasarnya setiap
metode implementasi kebijakan di dalam dirinya telah
menyediakan alat ukur bagi keberhasilan/kinerja
implementasi kebijakan.
2) Evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan
dari evaluasi yang dibebankan kepadanya.
3) Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan
kompetensi keilmuan dan metodologis yang dimilikinya.
Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan
tidak melakukan evaluasi politik.
4) Evaluator harus menyesuaikan diri dengan sumberdaya
yang dimiliki mulai sumber daya waktu, manusia, alat atau
teknologi dana, sistem, manajemen, bahkan sumberdaya
kepemimpinan yang ada.
5) Evaluator harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
evaluasi agar ia bisa diterima dengan baik oleh lingkungan
yang akan dievaluasinya”.
B. Metodologi Penelitian
1. Sasaran Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Depok sesuai
dengan fokus masalahnya adalah tentang Pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul oleh Walikota Depok.
375
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian
ini akan meneliti secara mendalam berbagai aspek terkait
Kebijakan Walikota Depok tentang Pencabutan IMB rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul.
Sehingga apa saja yang terjadi atas pencabutan IMB rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul
ini bisa terlihat dengan lengkap dan utuh yang dilakukan
dengan mengumpulkan data maupun informasi yang terkait
penelitian ini.
Pengumpulan data penelitian ini, akan menggunakan
beberapa informan kunci untuk mengetahui data dan sumber
data yang konkrit, guna menelusuri berbagai komponen yang
terkait. Peneliti mewawancarai beberapa informan kunci, di
antaranya; Kepala Kantor Departemen Agama Kota Depok,
Pengurus FKUB Kota Depok, Panitia Pembangunan dan
Jemaat HKBP Pangkalan Jati Gandul, tokoh agama Islam dan
masyarakat, dan warga masyarakat yang terlibat langsung
dalam penolakan dibangunnya rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, dll. Selain informan
kunci juga dianggap perlu mewawancarai beberapa informan
lainnya yang dianggap mengerti dan mengetahui dalam
proses pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan
wawancara; berdasarkan instrumen pengumpulan data yang
telah
disusun
sebelumnya
oleh
peneliti
dengan
memperhatikan berbagai aspek yang terkait dalam penelitian
ini. Selain itu peneliti melakukan impropesasi kepada
informan khususnya informan kunci agar informasi data yang
376 mereka berikan lengkap, jelas, akurat, dan dapat dipercaya.
Kegiatan wawancara ini bisa juga dilakukan dengan cara
dialog dengan beberapa panitia pembangunan rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, tokoh
agama dan masyarakat, aktifis keagamaan, serta warga
masyarakat disekitarnya.
Sedangkan
teknik
pengumpulan
data
dengan
menggunakan observasi adalah mencermati fisik bangunan
rumah ibadat HKBP, fisik kondisi lingkungan sosial
masyarakat sekitarnya, bukti autintik surat menyurat Surat
Keputusan (SK) Bupati Bogor Nomor 453.2/229/TKB/1998
tanggal 13 Juni 1998 tentang pemberian IMB rumah ibadat dan
gedung serba guna Gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul tahun
1998 serta SK Walikota Depok nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/
Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009 tentang Pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul.
4. Data yang Dihimpun
Data-data yang dihimpun berdasarkan data dari hasil
wawancara, observasi dan dokumentasi. Data hasil
wawancara diperoleh berdasarkan informasi tentang latar
belakang dan alasan pencabutan IMB rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP oleh Walikota Depok, pencabutan
IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan
Jati Gandul oleh Walikota Depok bila dihubungkan dengan
ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dan PBM, dasar
pertimbangan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok,
sikap
Kepala
Kandepag
Kota
Depok
dalam
merekomendasikan kepada Walikota Depok, pemahaman
Ormas keagamaan tentang ketentuan PBM, respon pengurus
377
FKUB terkait dengan pencabutan IMB rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP oleh Walikota Depok, langkahlangkah yang dilakukan pengurus FKUB Kota Depok dalam
membangun solidaritas internal dan eksternal dengan tokohtokoh agama, panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, masyarakat yang
terlibat kebijakan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul.
Observasi dilakukan pada sitting lokasi rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, dan
masyarakat sekitarnya, serta alasan Walikota Depok dan
Kepala Biro Hukum Depok selaku konseptornya. Dan
dokumen yang digali adalah IMB rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul yang diterbitkan
tertanggal 13 Juni 1998 ditandatangi Sekretaris Wilayah
Daerah (Setwilda) Bogor dijabat Drs. H. Dadang Soekaria, AK
dan saat itu Depok masih menjadi bagian wilayah Bogor
maupun Surat Keputusan (SK) Walikota Depok nomor:
645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009
tentang Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul. Dan juga dari sumber lain yang
relevan, misalnya jurnal, buku dan media publik maupun
data-data dari lembaga lainnya.
5. Analisis Data
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengecek
beberapa kelengkapan dan kebenaran informasi dan data
yang dihasilkan. Setelah semuanya sudah sesuai yang
diharapkan, selanjutnya akan masuk pada proses analisis data
sebagai berikut; data akan diklasifikasi, diinterpretasi, dan
diberi makna sehingga dapat dianalisa untuk dijadikan
kesimpulan dan rekomendasi dalam penelitian ini.
378 BAB II
KOTA DEPOK DALAM LINTAS
SEJARAH
A. Sejarah Kota Depok
W
ilayah Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran
Mas, atau Kota Depok yang kita kenal sekarang,
pada zaman kerajaan Pajajaran (kerajaan
Sunda) atau mungkin juga sebelumnya merupakan daerah
yang penting karena letaknya yang strategis, yakni:
1. Letaknya ada di pinggir sungai Ciliwung. Pada zaman
Pajajaran dan juga sebelumnya (kerajaan Tarumanegara)
sungai merupakan prasarana transportasi yang utama.
2. Ada di tengah-tengah antara Pakuan (ibu kota) dan Sunda
Kelapa (kota pelabuhan Pajajaran).
3. Di Depok terdapat pelabuhan kecil yang bernama
Cipanganteur, lokasinya di Kampung Mangga, sebelum
Perum Pesona Khayangan sekarang.
4. Dari Cipanganteur sampai ke Sunda Kelapa aliran sungai
Ciliwung relatif tenang jadi mudah dilayari perahu-perahu
kecil.
Pelabuhan utama di sepanjang sungai Ciliwung yaitu
Pakuan (ibu kota Pajajaran), Muara Beres dan Sunda Kelapa
(rekonstruksi Ten Dam H.). Letak Muara Beres ada di sebelah
Selatan Depok kurang lebih 12 km, kini desa Sukahati dan
desa Keradinan. Muara Beres adalah kerajaan kecil (kerajaan
daerah) di bawah kerajaan pusat, yaitu kerajaan Pajajaran. Jadi
Depok termasuk wilayah kerajaan Muara Beres.
379
Nama Depok di zaman Pajaran belum ada, nama Depok
baru muncul sesudah agama Islam masuk ke Depok. Jadi
penamaan Depok di sini hanya sebagai petunjuk tempat
untuk memudahkan pembaca mengetahui lokasi dimaksud.
Dari Sunda Kelapa sampai ke Pakuan memerlukan dua
hari pelayaran/naik perahu (Tom Pires). Karena letak Depok
ada di tengah-tengah antara Sunda Kelapa dan Pakuan,
Depok dijadikan tempat singgah.
Hasil bumi dari Depok dan sekitarnya dibawa ke Sunda
Kelapa melalui pelabuhan Cipanganteur dengan perahu atau
getek. Begitu pula para pedagang dari Sunda Kelapa terutama
orang Melayu dan Cina banyak yang datang ke Depok untuk
berbelanja, terjadilah transaksi yang ramai di sekitar
pelabuhan Cipanganteur. Sebagai alat tukar dipergunakan
mata uang Cina yang berbentuk koin diantaranya Ceitis dan
Calais (Tom Pires). Dengan banyaknya orang Melayu dan
orang Cina datang ke Depok, maka terjadilah pembauran
budaya. Bahasa Sunda, Melayu dan Cina dijadikan alat
komunikasi. Dari bahasa tersebut inilah terbentuknya bahasa
Melayu
Depok.
Dalam
perkembangan
selanjutnya
dipengaruhi oleh bahasa Jawa.
Dengan ramainya Depok menjadi pusar jual beli,
tidaklah heran kalau di Depok terbentuklah pemukimanpemukiman yang padat. Di lokasi yang sekarang kelurahan
Depok saja, terdapat lima kampung dalam bahasa Sunda
yaitu: Parung Serap, Parung Balingbing, Bojong Jati, Parung
Malela, dan Kampung Mangga. Sedangkan nama tempat
lainnya di luar kelurahan Depok, misalnya Cikumpa,
Cimanggis, Karang Anyar (kini Sengon), Parung Bingung,
Cinere, Pebuaran, dan Susukan. Berdasarkan asal kata
namanya, jelas kampung-kampung terbentuk sejak zaman
380 Pajajaran dan tidak pernah ditinggal penghuninya. Sebab
kalau ditinggal oleh penghuninya, bila datang penduduk yang
baru tentunya nama tersebut akan disesuaikan dengan
penduduk yang baru. Seperti untuk nama lokasi; Kukusan,
Kemiri, Beji, Rawageni, Rawadenok, Pesona Depok, Kota
Kembang; Kukusan, Kemiri, Beji, Rawageni, Rawadenok,
Pesona Depok, Kota Kembang, dan lainnya.
Penghuni kampung-kampung yang terbentuk zaman
Pajajaran itulah yang kemudian menjadi penduduk asli
Depok. Suatu kesalahan besar dan menyesatkan, YLCC
(Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein) dalam makalahnya
pada seminar sehari di Depok menulis beberapa kesimpulan,
diantaranya; pertama, sejarah Depok diawali dengan
kedatangan Cornelis Chastelein. Kedua, pada kata pengantar
makalah tersebut ditulis: " Cornelis Chastelein yang
membangun Depok tempo dulu bersama 150 orang budak
belian yang disebut cikal bakal warga asli Depok.
Pendapat YLCC ini berarti sebelum Cornelis Chastelein
datang, Depok dalam keadaan kosong tak berpenghuni.
Tentunya, hal ini tidak sesuai fakta sejarah di mana telah ada
kampung-kampung yang terbentuk sejak zaman Pajajaran dan
mereka terus menghuni kampung-kampung itu secara turunmenurun hingga kini.
Dalam sejarah keberadaan kerajaan Pajajaran sudah ada
pada abad ke 15, sedangkan Cornelis Chastelein datang pada
abad ke 18. Disini terdapat tenggang waktu 300 tahun.
Apakah dalam kurun waktu 300 tahun itu penghuni
kampung-kampung yang telah ada sejak zaman Pajajaran
berkurang atau bertambah? Bisa jadi, bukti otentik
kepemilikan Cornelis Chastelein atas tanah Depok sejak tahun
1696 itu memperkuat bahwa Cornelis Chastelein bersama para
budaknya datang setelah Depok berpenghuni.
381
Pada tahun 1974 J.W. De Vries bekerjasama dengan
Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan penelitian
terhadap orang-orang Depok Kristen Protestan sebagai ahli
waris Chastelein. Tujuan penelitian pada pokoknya ingin
mengetahui sampai sejauhmana penggunaan bahasa Belanda
oleh orang-orang Depok Kristen setelah Indonesia merdeka.
Metode yang digunakan J.W. Vries adalah wawancara.
Sebagai respondenya adalah khusus orang-orang Kristen
Protestan Depok. Tempatnya di rumah Soetarto R. Ketua RK (
kini RW) II desa Pancoran Mas kecamatan Depok, jalan
Siliwangi. Selain itu, J.W. De Vries juga menuliskan sejarah
Depok, tentunya sesuai persinya.
Berdasarkan penelitian itu, kesimpulan J.W. De Vries
mengenai sejarah Depok sebagai berikut, adalah: pertama,
orang-orang Depok Kristen adalah ahli waris Chastelein dan
keturunannya adalah penduduk asli Depok. Kedua, orangorang Melayu yang beragama Islam datang kemudian, yaitu
warga pindahan dari Jakarta. Kesimpulan J.W. De Vries
dibuat karena yang diwawancarai hanya segolongan orang
saja, yaitu orang Kristen, tidak ada bahan pembandingnya.
Tentu saja kesimpulannya pun tidak obyektif. Karena De Vries
melihatnya pada tahun 1974. Memang benar pada tahun 1974
banyak sekali orang Jakarta yang pindah ke Depok
(keterangan Drs. Soemarso selaku camat dan PPAT kecamatan
Depok). Tetapi apakah mungkin selama 300 tahun lalu orang
Jayakarta pindah ke Depok.
Pada tahun 1703 Abraham van Riebeek melakukan
perjalanan dari Batavia ke Bogor mengikuti aliran Ciliwung
(De Preanger Chappen onde he Nederland Bestuur, tahun 1911Haan De) dalam catatannya Riebeek menyebutkan namanama tempat yang dilaluinya diantaranya: Cililitan, Tanjung
(Barat), Sringsing (Serengseng), Pondok Cina, Depok, dan
382 seterusnya. Tentunya Van Riebeek mengetahui nama-nama
tempat tersebut dari penduduk. Sebab nama-nama tempat itu
baru dicatat belum masuk ke dalam peta.
Pada tahun 1998 RM Jonathans menulis Sejarah Singkat
Masyarakat Kristen Depok, pada halaman 5 alinea 4, ia
menulis nama Depok itu telah ada sebelum tanah tersebut
dimiliki oleh Cornelis Chastelein. Dengan demikian nama
Depok bukan sebagai singkatan dari berbagai julukan yang
telah dikaitkan dengan nama Cornelis ChasteleinDepok
tersebut. RM Jonathans mengira Depok (padepokan) itu
tempat pertapaan orang Hindu. Padepokan disebut juga
paguron (Islam). Istilah "Depok" baru ada setelah agama Islam
masuk seperti Padepokan Syekh Quro di Kerawang (1418),
Padepokan Syekh Kahfi di Gunung Jati (1420). Padepokan
adalah tempat pendidikan agama Islam, guru dan murid ada
pada satu kompleks. Pada waktu belajar guru dan murid ada
pada satu (Depok). Kurikulum selain pelajaran agama juga
diajarkan cara bertani dan silat. Istilah selanjutnya dinamakan
pesantren (tempat santri).
RM Jonathans sebetulnya sudah mengetahui bahwa
sebelum Cornelis Chastelein datang, Depok sudah dihuni
orang Islam. Tetapi, mengapa Lembaga Cornelis Chastelein
(LCC) begitu bersikukuh menyatakan bahwa Chastelein dan
para budaknya sebagai penduduk yang pertama di Depok
tanpa bukti dan argumentasi yang jelas? Mungkin tujuannya
kalau Chastelein dan para budak tersebut diakui secara luas
bahwa mereka sebagai penduduk asli Depok, mereka akan
diakui pula berjasa membangun Depok dari awal. Maka
kedatangan Cornelis Chastelein di Depok dijadikan sebagai
titi-mangsa hari jadi Depok. Karena menurut LCC hari jadi
Depok yang sekarang sudah salah (lihat makalah yang dibuat
LCC pada seminar sehari di Depok) kalaupun analisa ini
383
benar, kita perlu mengkaji dahulu siapa Cornelis Chastelein
itu yang sebenarnya.
Sebagai catatan, Cornelis Chastelein adalah warga
negara Belanda, keturunan Prancis. Tidak realistis dan tidak
etis, kedatangan bangsa asing ke Depok dijadikan titi-mangsa
hari jadi Depok. Tidakkah kedatangan Jan Peterseon Ceon ke
Jayakarta tidak dijadikan sebagai hari jadi kota Jakarta? Perlu
dicatat, Cornelis Chastelein mungkin berjasa dengan
membebaskan sebagian dari budaknya yang mau memeluk
agama Kristen Protestan dan diberi tanah yang sangat luas
(1244 ha) tetapi jangan diartikan Cornelis Chastelein pun
berjasa kepada warga Depok. Menurut pendapat penulis;
Djamhur, dkk, Jejak Langkah Islam di Depok (Kembali ke akar
sejarah kembali ke sumber syariah, 2007) bahwa siapapun
orangnya, kapan dia datang dan dari mana asalnya serta
agama apa yang dianutnya, kalau sudah jadi warga Depok
jadilah warga Depok yang baik. Setiap warga Depok perlu
punya kesadaran memiliki Depok serta bertanggung jawab
secara bersama-sama memajukan Depok demi kepentingan
bersama.
Penulisan sejarah lokal seperti Depok ini diakui oleh
penulis bahwa memang terasa agak sulit karena minimnya
bahan tertulis. Terutama tulisan peristiwa sejarah zaman
dahulu. Hal ini bisa dipahami karena Depok bukanlah
wilayah yang penting dilihat dari segi pemerintahan. Selain
itu, orang Sunda tidak memiliki tradisi menulis yang baik,
karena mereka hidup secara nomaden sebagai peladang.
Peristiwa sejarah pada umumnya diabadikan dalam bentuk
cerita rakyat (folk lord). Bahkan peristiwa yang penting pun
seperti perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis dilukiskan
dalam cerita rakyat "Jimat Layang Salaka Domas". Kalau saja
orang Portugis tidak menulis Padrao atau Padrom yang
384 ditemukan di desa Tugu mungkin peristiwa tersebut tidak ada
data otentiknya.
Untung saja, setiap peristiwa sejarah bisa dipastikan
meninggalkan jejak yang kita kenal dengan istilah benda
sejarah. Dari cerita rakyat dan peninggalan sejarah suatu
analisa dan kesimpulan dapat dibuat. Dan suatu kesimpulan
mungkin saja berbeda tergantung siapa dan untuk tujuan apa
disusun. Terkadang karena berbeda kepentingan akan
berbeda pula pandangan, dan berbeda pula kesimpulan.
Karena itu, Prof. Dr. Nugroho Notosoesanto memberi
peringatan kepada kita, yaitu "sudah saatnya bangsa
Indonesia menulis sejarahnya sendiri jangan tergantung pada
sejarawan bangsa Belanda.
B. Arti Kata Depok
Pernah ada karya tulis yang dimuat di beberapa majalah
yang mengartikan nama Depok sebagai akronim dalam
bahasa Belanda. Begitu pula uraiannya selalu dihubunghubungkan dengan pengembangan agama Kristen. Akronim
untuk kata Depok adalah sebagai berikut: Pertama, Depok
adalah De Earste Protestante Organisatie van Kristenen. Kedua,
Depok adalah Deze Emheid Predikt On Kristus. Ketiga, Depok
adalah De Earste Proteatanche Onderdan Kristen. Keempat,
Dewan Ekonomi Penduduk Orang-Orang Kristen.
Pada mulanya diduga tulisan di beberapa surat kabar
tidak ada pengaruhnya terhadap masyarakat, khususnya
warga Depok. Tetapi pernah Drs. Utji Sanusi memberitahukan
bahwa ada warga Depok yang mengusulkan agar nama Kota
(Administratif)
Depok
diganti
saja
menjadi
Kota
(Administratif) Pancoran Mas, karena nama Depok itu dari
bahasa Belanda. Walaupun tidak seluruhnya warga Depok
385
berpendapat demikian, namun setidak-tidaknya ada sebagian
orang yang percaya bahwa Depok itu merupakan akronim
yang diciptakan dari bahasa Belanda.
Agar tidak menimbulkan penafsiran yang keliru
mengenai nama Depok, di bawah ini dijelaskan beberapa
kelemahan dari teori dan pendapat tersebut.
Pertama, biasanya akronim itu diciptakan hanya
mempunyai arti tertentu. Misalnya PARKINDO dan MAWI.
Kedua kata itu tidak boleh diartikan lain kecuali Partai Kristen
Indonesia dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia. Di sini
jelas bahwa Depok tidak bisa dianggap akronim yang
diciptakan, namun bisa dikatakan sebagai akronim yang
diurai, sesuai selera dan cita rasa seseorang. Dan tidak salah
pula bila penghuni Perumnas yang pindah dari Jakarta pada
awal tahun 1977 menyebut Depok sebagai Daerah Elit
Pemukiman Orang Kota.
Kedua, Depok adalah nama desa yang umum terdapat di
Jawa bahkan di daerah Nusa Tenggara juga terdapat desa
yang bernama Depok. Jadi, Depok yang dipakai sebagai nama
kota ini bukan satu-satunya nama kota di Indonesia.
Ketiga, kalau Depok diartikan seperti di atas, lalu
bagaimana dengan akronim nama Depok lainnya yang ada di
Sumedang, Cirebon, Semarang, Sleman dan lain-lain. Dan apa
pula kepanjangannya.
Keempat, andaikata Cornelis Chastelein memberikan
nama kepada sebidang tanah yang dibelinya, tentu nama itu
memakai nama dari bahasa Belanda. Tidak nama Sunda atau
nama Jawa. Sama halnya seperti tanah yang dibelinya di
daerah Senen diberi nama Weltevreden.
386 Kelima, sebelum Cornelis Chastelein Cornelis Chastelein
membeli tanah Depok, nama Depok itu sebetulnya telah ada
seperti yang telah diceritakan Abraham van Riebeek dalam
catatannya (uraian mengenai ini akan dibahas pada bagian
berikutnya). Jelaslah bahwa kata Depok bukan berasal dari
bahasa asing. Tetapi lebih mungkin bahasa Sunda atau Jawa.
Dalam bahasa Sunda, Depok berarti duduk. Kata jadian dari
Depok yaitu Padepokan. Arti yang sebenarnya berarti tempat
duduk. Sedang dalam penggunaan bahasa sehari-hari
Padepokan bisa diartikan tempat tinggal atau kampung
halaman. Bisa juga diartikan sebagai tempat pendidikan,
seperti pesantren.
Keenam, pemakaian akronim pada abad ke 16 belum
lazim digunakan. Akronim mengapa tempat pendidikan pada
zaman dahulu dinamakan Padepokan? Sebenarnya ini akibat
dari kebiasaan seorang guru di mana ketika memberikan
pelajaran kepada murid-muridnya duduk bersila. Ada
indikasi yang pertama kali dinamakan padepokan hanya
tempat belajar saja. Lama kelamaan seluruh lokasi di
sekitarnya dinamakan padepokan, dan akhirnya jadi Depok.
C. Letak Kota Depok
Sebelum Fatahilah (Falatehan) mengerahkan pasukannya menuju Pakuan pada tahun 1527, nama Depok disini
belum dikenal. Sementara di daerah lain, seperti Sleman dan
Cirebon, nama Depok telah lama berdiri yang berfungsi
sebagai sebuah institusi yang mempersiapkan tenaga ahli di
dalam beberapa bidang ilmu; ilmu agama, ilmu bela negara,
dan ilmu tentang pertanian. Biasanya Depok atau Padepokan
dibangun di perbatasan garis demarkasi yang memisahkan
antara daerah yang telah memeluk agama Islam dengan
daerah yang masih menyembah dewa atau berhala. Di
387
Padepokan inilah juru dakwah yang handal yang pada
waktunya disusupkan keseberang garis demarkasi untuk
berdakwah.
Di bidang ilmu bela negara, pemuda-pemuda yang
berbadan sehat dilatih dengan berbagai keterampilan bela diri,
mempergunakan senjata dan mempelajari taktik dan strategi
peperangan. Sedangkan di bidang pertanian diajarkan cara
meneruka sawah, membajak dengan mempergunakan hewan,
bercocok tanam dan sebagainya. Seperti diketahui, bahwa
sebelum agama Islam datang ke Jawa Barat, penduduk
pribumi belum mengenal cara bersawah, mereka menanam
padi di huma (lading). Bidang pertanian termasuk kebutuhan
vital dalam mempersiapkan logistik pasukan dan sekaligus
mengangkat derajat hidup pribumi setempat.
Titik letak lokasi padepokan pada kurun waktu sebelum
Depok diresmikan menjadi Kota Administratif, bila kita
bertanya kepada orang-orang tua pribumi muslim tentang
dimana letak Depok yang sebenarnya, maka spontan mereka
akan menunjukkan daerah sekitar jalan Siliwangi, yang
ketimurnya berbatasan dengan kali Ciliwung, sedangkan ke
barat berbatasan dengan jalan Kartini dan sebagian jalan
Margonda, ke utara dengan kampung Magga atau Parung
Malela dan ke selatan dengan Parung Belimbing. Selanjutnya
bila kita bertanya kepada penduduk yang bermukim di areal
tersebut, dengan bangga mereka akan menyebut bahwa
memang inilah yang disebut Depok. Dan lebih bangga lagi,
bahwa merekalah penduduk pribumi asli Depok ini.
Memang terasa sangat lucu penduduk pribumi muslim
yang bermukim di sekitar Depok tadi tidak sudi disebut
sebagai orang Depok, mereka selalu menyebut dirinya dengan
menyebut kampung kecil kelahirannya. Misalnya, "saya
388 bukan orang Depok, tetapi orang kampung Lio". Padahal
kampung Lio itu hanya dibatasi rel kereta api saja dari areal
Depok.
Jawaban-jawaban seperti di atas seakan terasa wajar jika
kita mengetahui dari dekat latar belakang makna jawaban itu.
Penduduk yang bermukim di areal tersebut di zaman Belanda
oleh penjajah didiskriminasikan dari penduduk yang
beragama Islam yang bermukim di sekitar areal Depok.
Mereka waktu itu 100% beragama Kristen dan status
kewarganegaraan mereka sama dengan Belanda. Disamping
itu mereka mempunyai otoritas memiliki ladang dan
persawahan yang dikerjakan oleh penduduk pribumi muslim.
Dengan memiliki tanah yang cukup luas yang diwarisi
Cornelis Chastelein, otomatis mereka menjadi Tuan Tanah
yang memiliki wewenang membuat peraturan yang
memberatkan penggarap sawah dan ladang. Derita dan
nestafa inilah yang membuat antipati berkepanjangan
terhadap tuan tanah dan penjajah, sehingga penduduk
pribumi enggan disebut sebagai orang Depok.
Faktor lain yang membuat rancu di mana letak areal
Depok itu ialah karena sejak awal Depok itu bukan nama desa
atau nama kelurahan, tetapi semata-mata nama areal, yaitu
areal padepokan. Kelurahan Depok sekarang tadinya bernama
desa parung Belimbing, di zaman kemerdekaan berubah nama
menjadi desa Pancoran Mas. Baru ketika Depok dijadikan kota
administratif menjadi kelurahan Depok. Sebelumnya pernah
diangkat menjadi nama kewadenaan dan nama kecamatan.
Alasan ilmiah yang memperkuat di mana titik letak
Depok itu adalah hasil ekspedisi seorang Inspektur Jenderal
VOC pada tahun 1704 yang bernama Abraham van Reebek.
Orang Belanda ini berjalan dari Sunda Kelapa menuju Pakuan
389
(Bogor) dengan menulusuri kali Ciliwung ke arah selatan.
Dalam perjalannya, dia menuliskan desa atau tempat penting
yang dilewatinya, di mulai dari Tanjung Barat, Lenteng
Agung, Srengseng, Pondok Cina, Depok, Pondok Pucung
(Pondok Terong), Pabuaran, Bojong Gede dan seterusnya. Jadi
jelas bahwa Depok itu adalah areal yang terletak dipinggir kali
Ciliwung.
Sebelum Fatahillah membuka padepokan, pasukannya
lebih dahulu turun di pelabuhan Cipanganteur, sekarang
penduduk menyebutnya Rau, yang terletak di sebelah timur
Parung Malela atau di ujung sebelah Perumahan Pesona
Depok. Di zaman dahulu sampai zaman Pajajaran, bahkan di
zaman awal penajajahan Belanda, kali Ciliwung yang
mengalir dari kaki pegunungan di selatan Bogor menuju
Sunda Kelapaberfungsi sebagai transportasi air yang dilalui
oleh perahu dan getik (rakit) yang lalu lalang siang dan
malam. Kali Ciliwung sendiri dalam bahasa lisan Sunda
tadinya diucapkan dengan sebutan Kali Ciriung, Riung dalam
bahasa Sunda berarti bertemu (ririungan), memang kali itu di
hulunya terdiri dari beberapa sungai kecil yang akhirnya
menyatu menjadi Kali Ciriung. Kemudian setelah diangkat
menjadi bahasa tulisan berubah menjadi Ciliwung,
penyebabnya karena Belanda yang meregistrasi nama-nama
kali bertanya-tanya kepada orang Cina yang tidak bisa
mengucapkan huruf "R" sehingga dijawab menjadi Ciliwung,
si Belanda langsung saja menulis apa yang diucapkan itu dan
jadilah namanya Kali Ciliwung seperti sekarang.
Di samping kali Ciliwung ini terdapat beberapa
pelabuhan penting tempat turun naiknya penumpang yang
hendak bepergian ke utara atau ke selatan dengan membawa
barang dagangan/hasil bumi. Salah satu pelabuhan penting
di zaman itu adalah Cipanganteur, pelabuhan ini berfungsi
390 utama bagi penduduk baik sebelah barat seperti Parung,
Bojong Sari, Cinere, Parung Bingung, dan lain-lain. Atau dari
sebelah timur seperti Cimanggis, Cisalak, Cibinong dan lainlain. Letaknya yang strategis inilah yang mendorong
Fatahillah menjadikan lokasi ini sebagai padepokan.
Disamping alasan-alasan yang cukup akurat ini,
terdapat juga pendapat lain yang menyebut bahwa letak
padepokan itu di Kramat Beji dengan pemimpin Uyut Beji.
Memang tidak begitu janggal mengeluarkan pendapat
demikian, karena dipenghujung kejatuhan kesultanan Banten,
Pangeran Purbaya dalam upaya dirinya hendak hijrah ke
Cirebon setelah mahkotanya direbut oleh kakaknya Sultan
Kohar yang bergelar Raja Ali yang berpihak kepada Belanda,
Pangeran Purbaya singgah di Depok bersama pengikutnya,
yang di dalamnya terdapat Syekh Yusuf (pahlawan asal
Sulawesi, kemudian ditangkap Belanda dan dibuang ke Afrika
Selatan dan wafat di sana), dan Uyut Beji disapa dengan nama
demikian karena tadinya beliau membuka pesantren di desa
Beji di tanah Banten. Setelah sampai di Depok, didapatinya
padepokan yang dibangun Fatahillah telah kosong. Pasukan
Islam telah ditarik mundur setelah Raja Ali menyerahkan
daerah Jayakarta dan Bogor kepada Belanda. Melihat keadaan
yang memperihatinkan itu, Uyut Beji memohon kepada
Pangeran Purbaya agar dia dijinkan tinggal di daerah ini.
Sepaninggalan Pangeran Purbaya, Uyut Beji mengumpulkan
sisa-sisa penduduk untuk meneruskan pengajian dan kegiatan
lain seperti yang dilakukan oleh padepokan lama.
Tidak sampai sepuluh tahun kegiatan itu berjalan
tercium oleh Belanda, terjadilah pertempuran. Uyut Beji
syahid di medan pertempuran dan dimakamkan di tempat
beliau mengabdi selama kurun waktu itu. Dari awal tempat
itu tidak disebut sebagai padepokan, malah sampai sekarang
391
orang mengenalnya sebagai makam Kramat Beji. Bukti
kegiatan beliau selama memimpin pengajian disana, sampai
kini masih tersimpan beberapa senjata berupa keris dan
tombak yang merupakan alat perang di zaman dahulu, kalau
boleh disebut bahwa Kramat Beji adalah padepokan jilid dua
atau yang terakhir.
D. Bahasa Melayu Depok
Disebut bahasa Melayu Depok, karena memang terdapat
perbedaan-perbedaan kecil dengan bahasa Melayu Betawi
yang oleh penduduk Jakarta sendiri disebut sebagai bahasa
betawi ora. Ora disini bukan berarti nora, hanya karena
penduduk Depok dalam mengucapkan "tidak" memakai
bahasa Jawa yaitu "ora". Pemakaian bahasa ini bukan hanya di
Depok malah meluas ke daerah timur, Cimanggis, Cisalak,
dan sekitarnya, ke daerah barat Ciputat, Sawangan, Parung
dan sekitarnya. Selain bahasa yang diselip-selipkan dengan
bahasa Jawa, juga terdapat disisipan bahasa Sunda dan Cina:
kadang-kadang terasa bahwa bahasa Depok lebih orisinil
melayunya dari bahasa melayu betawi, seperti akhiran IN dan
pengucapan E, seperti; ngapain, nyebelin, kerokin, mengape,
dimane, maunye, dalam pengucapan dialeg Depok,
dituturkan persis bahasa Indonesia yang benar. Mereka
bertutur kalau Betawi "ngapain" dan seterusnya, orang Depok
bertutur; mengapa, menyebalkan, dikerok, dimana, maunya.
Begitu juga dengan akhiran E, orang Depok menuturkan
secara orisinil seperti; mengape, jadi mengapa, apa, dimana,
kemana dan sekitarnya.
Terjadinya perbedaan kedua bahasa ini, memberi
petunjuk bahwa penduduk pribumi Depok bukan pindahan
dari betawi sebagaimana yang ditulis oleh J. De Vries pada
tahun 1974. Namun demikian penduduk Betawi atau Jakarta
392 lebih dahulu memakai bahasa Melayu, sebab bahasa ini
adalah bahasa yang awalnya berbasis Riau, kemudian
berkembang menjadi bahasa pengantar (lingua franka) di
pelabuhan-pelabuhan nusantara yang disinggahi oleh
pedagang-pedagang dan awak kapal yang berasal dari
berbagai daerah. Pemakaian ucapan akhiran E di Jakarta
dipengaruhi oleh dialeg Riau, akhiran ini kemungkinan dari
pengaruh dialeg Bali. Sedangkan di Depok sendiri berbahasa
Melayu itu baru menjadi bahasa sehari-hari setelah agama
Islam atau setelah pasukan Fatahillah membuka padepokan di
daerah ini. Seperti kita ketahui panglima pasukan Fatahillah
berasal dari pelabuhan Samudera Pasai, beliau tidak bisa
berbahasa Jawa dan Sunda, bahasa yang dipakainya adalah
bahasa pelabuhan di Pasai yaitu bahasa Melayu dengan dialeg
nasional. Lambat laun bahasa yang dipakai panglima sudah
barang tentu diikuti oleh bawahannya, kemudian tentu
berkembang kepada lapisan yang paling bawah bahkan
sampai kepada lapisan masyarakat biasa.
Sering dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa
bahasa penduduk pribumi Jakarta dan sekitarnya dari zaman
purbakala telah berbahasa melayu. Pendapat ini setelah
dipertemukan dengan fakta di lapangan, mengandung
kelemahan yang cukup signifikan, diantaranya bahasa yang
melakat kepada nama beberapa tempat kecamatan, kelurahan
dan sebagainya, baik di Jakarta maupun Depok seperti;
Cilincing, Cililitan, Cipinang, Cipete, Cilandak. Awalan Ci
adalah suatu indikasi bahwa tempat itu dahulunya dibangun
oleh orang Sunda. Karena tempat-tempat yang berawalan Ci
menyebar ke seantero pelosok Jakarta dan Depok, sukar untuk
dipungkiri bahwa yang memberi nama tempat itu tidak lain
adalah orang Sunda yang merupakan penduduk turun
temurun dari zaman dahulu. Adalah tidak mungkin orang
393
yang berbahasa melayu akan menamakannya nama
tempatnya bukan dengan bahasa ibunya. Hampir bisa
dipastikan bahwa sebelum Sunda Kelapa berubah menjadi
pelabuhan nusantara, penduduk setempat berbahasa Sunda.
Perubahan besar-besaran terjadi setelah Fatahillah menduduki
Sunda Kelapa. Kurun waktu pemakaian bahasa Melayu di
Jakarta lebih tua dibandingkan dengan pemakaiannya di
Depok. Pemakaian bahasa Melayu di daerah ini dipercepat
dan diperkuat oleh suasana status quo antara Jayakarta
dengan Pajajaran. Hampir setengah abad terputus komunikasi
penduduk antara kedua kekeuasaan ini, sehingga kemudian
timbul rasa kegamangan bagi penduduk yang ada dibelakang
garis demarkasi untuk tetap memakai bahasa Sunda, terutama
bagi generasi yang lahir selama kurun waktu antara jatuhnya
Sunda Kelapa dengan jatuhnya Pajajaran selama hampir 55
tahun sampai tahun 70-an, masih sering kedengaran kalimat
makian yang berasal dari zaman status quo dahulu itu, bila
seseorang jengkel atau kurang senang terhadap kata atau
perbuatan seseorang entah itu anak, isteri atau orang lain,
maka spontan yang merasa jengkel akan berucap
PAJAJARAN LU.
Pada masa sekarang lontaran makian itu tidak terlalu
menyengat dirasakan, lain halnya di zaman status quo,
makian demikian berdampak buruk bagi yang dimaki. Ingat
saja betapa tajamnya dirasakan ketika tahun 70-an orang
memaki seseorang dengan perkataan GESTAPU LU atau
sekarang teroris lu. Kegamangan inilah yang mempengaruhi
perubahan bahasa secara signifikan sampai sekarang.
Fatahillah menduduki Sunda Kelapa pada tahun 1527,
Maulana Yusuf baru bisa menembus benteng Pakuan pada
tahun 1572, lima puluh lima tahun Jayakarta dan Depok
terpisah dari bahasa ibunya (Sunda), tenggang waktu yang
394 demikian lama, meninggalkan jejak langkah yang masih bisa
ditelusuri sampai sekarang, selama 55 tahun itu daerah mana
saja yang dikuasai oleh Fatahillah dan pengikutnya. Jawabnya
adalah daerah yang memakai bahasa Melayu. Di sekitar
daerah kini masuk dalam daerah pemerintahan kota Depok
masih terdapat penduduk yang berbahasa Sunda seperti
Lewinanggung, berarti daerah itu belum tersentuh pengaruh
Islam sebelum Pajajaran jatuh.
Begitu daerah selatan dan barat di luar Depok yang
berbahasa Melayu, perubahan bahasa dan agamanya sama
dengan apa yang dialami oleh pribumi Depok. Walaupun
demikian sisa-sisa bahasa Sunda masih bisa didengar dalam
percakapan sehari-hari seperti "udah enggal" artinya sudah
hampir waktunya, "urup be" artinya pantas saja, kembang
paeh artinya bunga yang gagal menjadi buah dan ora
"kecandak" artinya harganya tidak cocok dan banyak lagi.
Kelihatan pemakaian bahasa dirangkai dengan bahasa Melayu
atau bahasa Jawa.
E. Islam Masuk ke Depok
Kota Depok di sepanjang Ciliwung yaitu; Pakuan,
Muara Beres dan Sunda Kelapa (rekonstruksi H. Ten Dam).
Pelabuhan kecil di Depok yaitu Cipanganteur disebut juga
Rau. Letaknya dekat perumahan Pesona Depok. Aliran
Ciliwung dari Cipanganteur sampai Sunda Kelapa relatif
tenang tidak sederas dari Cipanganteur sampai ke Pakuan.
Transportasi sungai dari Depok ke Sunda Kelapa lebih
mudah, begitu pula sebaliknya. Karena itu tidak heran kalau
di sekitar Depok banyak kampung yang relatif besar.
Misalnya; Parung Serab (Kota Kembang), Parung Belimbing,
Parung Malela, Karang Anyar (kini Sengon). Jadi jelas Depok
merupakan hunian yang padat pada zaman Pajajaran. Disini
395
nampak jelas kebohongan J.W. De Vries yang menyatakan
bahwa Depok merupakan tanah kosong tanpa penghuni
sebelum Cornelis Chastelein datang.
Kembali tentang Pajajaran dan Cirebon, gambaran
kekuatan pertahanan Pajajaran, yakni benteng pertahanan
Pajajaran berlapis tiga yaitu; benteng luar. Diantaranya
Benteng Muara Beres, Benteng Kota dan Benteng Keraton.
Jumlah tentara cukup besar, persenjataan tombak gagang
pendek (tombak lempar), panah dan keris. Bahkan Leuwi
Sipatahunan merupakan alat pertahanan juga.
Kekuatan militer Cirebon terdiri dari tentara Demak
yang dipimpin Faletehan yang merupakan tentara elit dari
kesultanan Demak yang dilengkapi meriam, mereka sangat
mahir bertempur di lautan dan di pantai, tentara Cirebon
persenjataannya sama dengan tentara Pajajaran, hanya
jumlahnya lebih sedikit.
Setelah persiapan untuk menyerang ke jantung pusat
pemerintahan Pajajaran yaitu Pakuan dianggap cukup,
berangkatlah pasukan gabungan Cirebon, Demak, Banten dan
Jayakarta. Penyerangan ke Pakuan menggunakan dua jalur
yaitu jalur Ciliwung dan jalur Cisadane. Dengan perhitungan,
istana Pakuan ada diantara dua sungai ini. Pasukan Cirebon
dan Demak melalui jalur Ciliwung sedangkan pasukan Banten
melalui sungai Cisadane.
Sebagai petunjuk jalan yaitu Raden Syafei, cucu Prabu
Surawisesa yang tinggal di Sunda Kelapa dan telah masuk
Islam. Pemusan logistik ditempatkan di Depok karena Depok
paling strategis untuk menghadapi tentara Pajajaran yang
dipusatkan di benteng Muara Beres. Jarak Depok Muara Beres
sekitar 12 kilometer. Sedangkan hubungan transportasi
Depok-Sunda Kelapa mudah dan cepat.
396 Perencanaan yang demikian matang itu ternyata dalam
pelaksanaannya
berbeda.
Kesulitan
demi
kesulitan
bermunculan. Meriam-meriam Demak ternyata di daerah
yang berbukit dan berhutan tidak bisa dipergunakan karena
kesulitan membawanya. Kesulitan lain tentara Demak yang
mahir bertempur di pantai, tidak berdaya di hutan dan
dipegunungan. Sebaliknya tentata Pajajaran sangat mahir
bertempur di pegunungan. Dengan tombak-tombak yang
pendek mampu mengenai sasarannya dengan tepat dari jarak
jauh.
Kelebihan tentara Pajajaran selain jumlah tentara cukup
banyak, juga menguasai medan dan berlindung di benteng
yang kuat (Muara Beres). Sedang kelemahannya moril prajurit
merosot. Mereka masih trauma dengan kekalahan di Banten
dan Sunda Kelapa. Mereka sudah takut sebelum bertempur,
semangat prajurit Pajajaran yang tersisa hanya karena tokoh
utama Prabu Siliwangi masih ada.
Kelemahan tentara Islam selain jumlah sedikit dan tidak
bisa menggunakan meriam, juga karena benteng Muara Beres
hanya bisa dijebol dengan mempergunakan meriam.
Sedangkan kelebihan tentara Islam semangat bertempur
mereka tinggi karena didasari oleh keimanan. Kalau mereka
gugur dalam pertempuran akan masuk surga. Dalam kurun
waktu 6 tahun (1529-1535) benteng Muara Beres diserang oleh
tentara Islam sampai 15 kali.
Tentara Banten yang mempergunakan jalur Cisadane
bertahan di Ciseeng. Mereka tidak berani meneruskan menuju
ke Pakuan kalau benteng Muara Beres belum direbut tentara
Islam. Akhirnya tentara Banten ini ditarik dan digabungkan
dengan tentara Cirebon/Demak yang dipusatkan di Depok.
Diantara tentara Banten itu ada seorang tentara wanita yang
397
bernama Ratu Maemunah. Ratu Maemunah setelah perang
selesai menetap di Bojonggede untuk terus menyebarkan
Islam. Makamnya ada di komplek Batu Tapak. Lokasinya
sebelah Timur Stasiun Bojonggede. Suami Ratu maemunah,
Raden Pakpak, menyebarkan agama Islam di daerah Ciamis.
Di Bojonggede Ratu Maemunah lebih terkenal dengan sebutan
Ratu Anti.
Perang antara Cirebon, Demak dan Banten melawan
Pajajaran yang berkepanjangan sungguh sangat melelahkan
bagi kedua belah pihak. Juga tokoh-tokoh utamanya yaitu
Sunan Gunung Jati, Faletehan dan Prabu Siliwangi sudah
sangat sepuh. Mereka mengadakan genjatan senjata pada
tahun 1535.
Faletehan meletakkan jabatan sebagai Dipati Jayakarta
digantikan oleh Tubagus Angke. Faletehan kembali ke
Cirebon dan meninggal di Cirebon. Makamnya di bukit Jati,
Syarif Hidayatullah juga kembali ke padepokannya di bukit
Jati Cirebon sampai meninggal tahun 1568, tak lama setelah
Faletehan meninggal. Syarif Hidayatullah dikuburkan di bukit
Jati bersebelahan dengan Faletehan. Begitu pula Prabu
Siliwangi setelah meninggal digantikan oleh Prabu
Surawisesa.
Di Banten, Maulana Hasanudin meninggal pada tahun
1570 digantikan puteranya Maulana Yusuf (1570-1580).
Tentara Demak juga ditarik dari front terdepan (Depok) tetapi
tidak kembali ke Demak. Mereka memilih tinggal di Serang
(ibukota Kesultanan Banten). Dan di Depok menikah dengan
penduduk pribumi.
Masa damai ini oleh masing-masing pihak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Di Pajajaran Prabu Surawisesa
memperkuat benteng kota dan benteng Keraton serta
398 membuat prasasti (Prasasti Batu Tulis) untuk mengenang
Prabu Siliwangi. Di Banten dengan bantuan tentara Demak
yang ada di sana tokoh muda Maulana Yusuf telah berhasil
membuat meriam kecil yang mudah dibawa kemana-mana.
Maulana Yusuf juga melatih prajurit yang mampu bertempur
di hutan.
Pasukan Cirebon, Jayakarta dan pasukan Cirebon yang
ada di Depok tetap pada posisinya untuk menjaga kalau-kalau
Pajajaran mengadakan serangan balik, tetapi pasukan inipun
perlu diremajakan. Sedangkan penduduk kampung-kampung
yang ada di sekitar Depok sejak tentara Islam Depok (sekitar
tahun 1529) langsung masuk agama Islam walaupun baru
membaca syahadat saja.
Dengan adanya tentara gabungan Demak, Cirebon dan
Banten yang cukup lama di Depok terjadilah pembauran
budaya. Bahasa yang dipergunakan di Depok terdiri dari
bahasa Sunda, Melayu, sedikit bahasa Cina, dan bahasa Jawa
sehingga unsurnya terdiri dari empat bahasa yaitu; bahasa
Melayu Kuno, Sunda, Jawa dan Cina. Agama Islam yang
awalnya hanya dianut oleh penduduk sekitar Depok dengan
adanya tentara Islam di Depok semakin meluas ke tempattempat yang jauh dari Depok.
Pada awal pemerintahannya (1570), Maulana Yusuf
sudah merasa kuat untuk menyerang Pajajaran. Penyerangan
dipusatkan untuk merebut benteng Muara Beres. Pasukan
Pajajaran yang ada di Muara Beres memilih bertempur di luar
benteng. Terjadilah pertempuran habis-habisan di Kedung
Waringin, tepatnya di depan pintu gerbang benteng. Dalam
pertempuran ini, Banten sudah menggunakan meriammeriam kecil. Sekalipun kalah dalam jumlah tentara tetapi
menang dalam jumlah senjata. Korban jiwa dalam
399
pertempuran ini dari kedua belah pihak sangat banyak.
Karena itu tempat pertempuran itu disebut Kedungjiwa.
Tentara Pajajaran tidak mampu menahan gempuran
meriam Banten. Tentara Pajajaran akhirnya lari menyelamatkan diri masuk ke dalam benteng. Tetapi benteng tidak bisa
bertahan lama karena digempur dengan meriam yang hanya
dibuat dari tanah yang ditinggikan dan ditanami pohon
bambu yang rapat. Pintu gerbangnya memang terbuat dari
balok-balok kayu jati. Dengan kekalahan prajurit Pajajaran di
kedungjiwa terbukalah jalan untuk menuju Pakuan.
Setelah perang antara Banten dan Pajajaran selesai,
kehidupan Depok kembali seperti sediakala. Penduduk
kembali bercocok tanam dan bersawah. Begitu juga kehidupan
beragama (Islam) berjalan sekalipun tidak ada guru yang
mengajari mereka. Para pedagang Melayu dan Cina datang
dan berlabuh di Cipanganteur untuk membeli hasil bumi dari
Depok dan sekitarnya dan membawa ke pelabuhan Jayakarta.
Kadang-kadang orang Depok sendiri yang pergi ke Jayakarta
dengan mempergunakan getek. Di atas getek ditaruh
keranjang-keranjang yang berisi hasil bumi dari Depok.
Sampai di di Jayakarta getek yang terbuat dari bambu beserta
hasil bumi dari Depok dijual. Mereka kembali ke Depok
dengan menumpang perahu pedagang-pedagang Melayu.
Cara berdagang dengan mempergunakan getek ini terus
berlanjut sampai tahun 1976. Setelah jalan Margonda
berfungsi, aktifitas ekonomi melalui Ciliwung terhenti.
Perkembangan agama Islam di Depok karena pengaruh
dari luar masih terjadi. Setelah Sultan Agung Raja Mataram
gagal menyerang kedudukan VOC dari laut, penyerangan
dilakukan dari darat. Pasukan Mataram dipusatkan di
Kedunghalang Bogor. Walaupun masuk wilayah Bogor
400 kekuasaan Banten, tetapi karena tidak ada pemerintahan
Islam di sana maka dengan bebas Mataram masuk ke Bogor.
Pasukan Mataram memanfaatkan pelabuhan Muara Beres
untuk pangkalan getek. Begitu pula benteng Muara Beres
dipergunakan sebagai benteng tentara Mataram dengan
mengadakan perubahan di sebelah utara dipasang pagar besi.
Karena itu orang Bojonggede menamakan tempat itu
Pagarresi (pagar besi). Penyerangan tentara Mataram melalui
jalur Ciliwung ke Jayakarta merupakan tentara gabungan
dengan tentara Dipati Ukur (Bandung). Tentara inti Mataram
melalui jalan darat lewat Karawang.
Dengan dipergunakannya kembali sungai Ciliwung
untuk kegiatan perang merupakan suasana baru untuk
penduduk Depok. Percampuran peradaban pun kembali
terjadi. Pelabuhan Cipanganteur (Rau) mendapat nama lain
yaitu Mampangan (Bendungan) kembali ramai.
Sultan Banten yang kempat, yaitu Abdul Mufakir tidak
ikut membantu Mataram melawan VOC walaupun menyadari
keberadaan VOC di Jayakarta merupakan ancaman bagi
Banten. Banten merasa curiga kepada Mataram, apakah
Mataram murni ingin mengusir VOC dari Jayakarta atau
merupakan bagian ekspansi Mataram untuk menguasai tanah
Sunda. Sikap Banten ini beralasan karena sebelum Mataram
menyerang Batavia terlebih dahulu Mataram menguasai tanah
Priangan dengan kekuatan senjata. Walaupun sering dikemas
dengan istilah yang muluk "mempersatukan".
Penyerangan Mataram ke Batavia kembali gagal karena
logistik Mataram yang ada di Karawang dihancurkan VOC.
Dipati Ukur oleh Sultan Agung dituduh berkhianat, karena
penyerangan melalui jalur Ciliwung tidak berhasil dengan
baik. Dipati Ukur dianggap telah melakukan disersi.
401
Keberadaan tentara Mataram di Bogor dan Depok
rupanya tidak berlangsung lama karena pengaruh budaya
Mataram di Bogor dan sekitarnya tidak nampak jelas, berbeda
dengan di wilayah Priangan. Pengaruh budaya Mataram telah
merubah pola tanam padi yang asalnya berladang menjadi
pola tanam sawah. Bahasa Sunda di tatar Sunda yang asalnya
tidak ada undak-usuk (tingkatan) berubah menjadi bahasa
kasar, bahasa menengah dan bahasa halus. Begitu pula dalam
seni karawitan.
Sekalipun Depok pada masa Pajajaran dan Zaman Islam
hanya perkempungan biasa, tetapi mempunyai posisi yang
penting sebagai penghubung antara Bogor-Jakarta, begitu
pula sebaliknya. Karena itu setiap kejadian sejarah baik di
Bogor maupun di Jakarta imbasnya akan sampai ke Depok.
Ibarat pemain film, Bogor dan Jayakarta pemeran utamanya,
Depok peran pembantunya. Sekalipun peranannya kecil tetapi
menentukan.
F. Tekanan Penjajah Terhadap Umat Islam di Depok
Secara resmi, Bogor dan Depok menjadi wilayah
kekuasaan VOC pada tahun 1684, tetapi baru menata
pemerintahan di wilayah Bogor pada awal abad ke-18. Namun
VOC mendapat kesulitan dalam menjalankan roda
pemerintahan. Yaitu menjangkau lapisan masyarakat untuk
memungut pajak. Karena belum ada aparat pemerintahan
untuk melaksanakannya. Berbeda dengan Cianjur atau daerah
lainnya yang sudah ada pemerintahan tingkat Kadepaten
yang dikepalai oleh seorang Dipati (Bupati) sebelum VOC
berkuasa di tempat tersebut.
Setelah VOC berkuasa di tempat tersebut, langsung para
Bupati itu dijadikan aparat pemerintahan Belanda. Para
402 Bupati itulah yang bertanggung jawab kepada VOC terutama
mengenai pajak dan perintah-perintah lainnya.
Sedangkan di Bogor dan Depok pemerintahan itu tidak
ada tetapi pajak harus masuk. Untuk itulah VOC menunjuk
pihak swasta yang diberi wewenang penuh atas nama VOC
yang dikenal dengan Tuan Tanah. Selanjutnya, terbentuklah
Tuan Tanah Bojonggede, Tuan Tanah Citayam, Tuan Tanah
Cinere, Tuan Tanah Sawangan, Tuan Tanah Mampang, dan
Tuan Tanah Beji.
Dan setelah Depok ditangani oleh Gementee Bestur
Depok, penderitaan umat Islam di Depok dan sekitarnya kian
parah. Karena telah terjadi penjajahan ganda: dijajah oleh
Belanda dan dijajah juga oleh Tuan Tanah. Untuk
operasionalnya, dibentuk pemerintahan sipil yang terdiri dari
seorang camat, beberapa orang mandor (setingkat kepala
desa), beberapa orang pecalang dan beberapa puluh tenaga
keamanan (tukang pukul). Tuan tanah bertanggung jawab ke
VOC yaitu harus menyetorkan pajak sejumlah yang telah
ditentukan VOC.
Depok
sering
disebut-sebut
sebagai
pusat
pengembangan agama Kristen. Pada awal abad ke-18 seorang
Belanda keturunan Prancis bernama Cornelis Chastelein
mantan pegawai negeri Read Van Indie membeli tanah Depok
seluas 1.244 ha. Tanah ini dipergunakan menanam kopi dan
tebu. Karena rempah-rempah di Erofah sudah mulai kurang
laku. Chastelein terkenal sebagai salah seorang sponsor
penanaman kopi dan gula tebu. Untuk mengerjakan tanahnya
itu, Chastelein mempergunakan budak yang dibelinya di
Makasar. Umumnya budak-budak itu tawanan perang
Belanda.
Untuk mengembangkan agama Kristen di Depok,
Chastelein menawarkan kepada budak-budaknya yang
403
bersedia untuk masuk ke Agama Kristen sebidang tanah yang
luas, milik Chastelein di Depok. Disamping itu dibebaskan
dari perbudakan. Yang bersedia masuk agama Kristen dari
budak-budaknya itu hanya duabelas orang atau keluarga.
Berdasarkan surat wasiat Chastelein tanggal 13 Maret 1714,
secara resmi keduabelas orang tersebut masuk agama Kristen,
mereka mendapat tanah seluas kurang lebih 100 hektar, sama
luasnya dengan kelurahan Depok Jaya.
Dalam surat wasiat Chastelein itu, juga dicantumkan
bahwa hasil dari tanah itu untuk pengembangan agama
Kristen. Keduabelas budak yang beralih agama dari Islam ke
Kristen, namanya dirubah seperti: Jacob, Jonathans, Joseph,
Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense,Isak dan
Zadokh.
Untuk lebih memperluas penyebaran agama Kristen,
selanjutnya didirikan sekolah seminari. Yaitu sekolah yang
mendidik calon-calon penyebar agama Kristen. Alumninya
disebarkan ke seluruh Indonesia. Bekas kantor Bestur
sekarang jadi rumah sakit Harapan. Dan bekas gedung
seminari sekarang jadi gedung SDN Depok II.
Meskipun Depok merupakan pusat pengembangan
agama Kristen, tetapi agama Kristen tidak berkembang. Tidak
ada seorangpun dari penganut Islam yang masuk agama
Kristen, sekalipun umat Islam ditekan dan ditindas. Hal ini
menunjukkan betapa kuatnya keimanan umat Islam di Depok.
Agama Islam di Depok dan sekitarnya terus
berkembang. Embah Lamperes disebut juga Embah Tanah
mengembangkan agama Islam di Cikumpa dan Cipayung.
Makam Lamperes di Pekuburan Umum jalan ke Pemda Bogor,
tepatnya sekarang jalan rumah makan Pondok Gurame.
404 BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH
PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Pemerintahan
D
epok bermula dari sebuah Kecamatan yang
berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu
Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor,
kemudian pada tahun 1976 perumahan mulai dibangun baik
oleh Perum Perumnas maupun pengembang yang kemudian
diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia
(UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa yang semakin
pesat sehingga diperlukan kecepatan pelayanan.
Pada tahun 1981 Pemerintah membentuk Kota
Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 43 tahun 1981 yang peresmiannya pada tanggal 18
Maret 1982 oleh Menteri dalam Negeri (H. Amir Machmud)
yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa,
yaitu :
1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu
Desa Depok, Desa Depok Jaya, Desa Pancoran Mas, Desa
Mampang, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan Jaya
Baru.
2. Kecamatan Beji, terdiri dari 5 (lima) Desa, yaitu : Desa Beji,
Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina, Desa Tanah Baru,
Desa Kukusan.
405
3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu :
Desa Mekarjaya, Desa Sukma Jaya, Desa Sukamaju, Desa
Cisalak, Desa Kalibaru, Desa Kalimulya.
Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok
berkembang
pesat
baik
dibidang
Pemerintahan,
Pembangunan dan Kemasyarakatan. Khususnya bidang
Pemerintahan semua Desa berganti menjadi Kelurahan dan
adanya pemekaran Kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok
terdiri dari 3 (Kecamatan) dan 23 (dua puluh tiga) Kelurahan,
yaitu :
1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Kelurahan,
yaitu : Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya,
Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahan Rangkapan Jaya,
Kelurahan Rangkapan Jaya Baru.
2. Kecamatan Beji terdiri dari (enam) Kelurahan, yaitu :
Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurah Pondok
Cina, Kelurahan Kemirimuka, Kelurahan Kukusan,
Kelurahan Tanah Baru.
3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan,
yaitu : Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan Suka Maju,.
Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Abadi Jaya, Kelurahan
Baktijaya, Kelurahan Cisalak, Kelurahan Kalibaru,
Kelurahan Kalimulya, Kelurahan Kali Jaya, Kelurahan
Cilodong, Kelurahan Jati Mulya, Kelurahan Tirta Jaya.
Dari tahun 1982 - 1999, penyelenggaraan pemerintah
Kota Administratif Depok mengalami pergantian Kepemimpinan sebagai berikut :
1. Drs. Moch Rukasah Suradimadja (Alm) [Walikotatif] 1982
- 1984
2. Drs. H.M.I Tamdjid [Walikotatif]
406 1984 - 1988
3. Drs. Abdul Wachyan [Walikotatif]
1988 - 1991
4. Drs. Moch. Masduki [Walikotatif]
1991 - 1992
5. Drs. H.Sofyan Safari Hamim [Walikotatif] 1992 - 1996
6. Drs. H. Yuyun WS [Plh Walikotatif] 1996 - 1997
7. H. Badrul Kamal [Walikotatif]
1997 - 1999
Dengan semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan
aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar Kota
Administratif Depok diangkat menjadi Kotamadya dengan
harapan pelayanan menjadi maksimum. Disis lain Pemerintah
Kabupaten Bogor bersama – sama Pemerintah Propinsi Jawa
Barat
memperhatikan
perkembangan
tesebut,
dan
mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat dan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan Undang – undang No. 15 tahun 1999,
tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tk. II Depok yang
ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan diresmikan
tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan Pelantikan Pejabat
Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II Depok yang
dipercayakan kepada Drs. H. Badrul Kamal yang pada waktu
itu menjabat sebagai Walikota Kota Administratif Depok.
Momentum peresmian Kotamadya Daerah Tk. II Depok dan
pelantikan pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II
Depok dapat dijadikan suatu landasan yang bersejarah dan
tepat untuk dijadikan hari jadi Kota Depok.
Berdasarkan Undang – undang nomor 15 tahun 1999
Wilayah Kota Depok meliputi wilayah Administratif, terdiri
dari 3 (tiga) Kecamatan sebagaimana tersebut diatas ditambah
dengan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
Bogor, yaitu :
407
1. Kecamatan Cimanggis, yang terdiri dari 1 (satu) Kelurahan
dan 12 (dua belas) Desa , yaitu : Kelurahan Cilangkap, Desa
Pasir Gunung Selatan, Desa Tugu, Desa Mekarsari, Desa
Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Hajarmukti, Desa
Sukatani, Desa Sukamaju Baru, Desa Cijajar, Desa
Cimpaeun, Desa Leuwinanggung.
2. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat belas)
Desa, yaitu : Desa Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa
Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua, Desa Pondok Petir,
Desa Curug, Desa Bojong Sari, Desa Bojong Sari Baru, Desa
Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan Desa
Bedahan, Desa Pasir Putih.
3. Kecamatan Limo yang terdiri dari 8 (delapan) Desa, yaitu :
Desa Limo, Desa Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul,
Desa Pangkalan Jati, Desa Pangkalan Jati Baru, Desa
Krukut, Desa Grogol.
4. Dan ditambah 5 (lima) Desa dari Kecamatan Bojong Gede,
yaitu : Desa Cipayung, Desa Cipayung Jaya, Desa Ratu
Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya.
Kota Depok selain merupakan Pusat Pemerintahan yang
berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota
Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, Kota
Pendidikan, Pusat pelayanan perdagangan dan jasa, Kota
pariwisata dan sebagai kota resapan air.
B. Kondisi Demografis
Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2008
mencapai 1.503.677 jiwa yang terdiri dari 780.092 laki-laki dan
723.585 perempuan. Laju pertumbuhan penduduknya
mencapai 3,43%, sedangkan ratio jenis kelamin 102.
408 Kecamatan Cimanggis adalah salah kecamatan yang paling
banyak penduduknya bila dibandingkan dengan kecamatan
lainnya yaitu 412.388 jiwa, sedangkan kecamatan penduduk
yang paling sedikit adalah Kecamatan Beji dengan jumlah
penduduk 143.190 jiwa. Hal ini dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
Tabel
Penduduk Kota Depok Menurut Kecamatan Tahun 2008
No
Kecamatan
1
Sawangan
2
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
88.692
81.035
169.727
Pancoran Mas
143.153
131.950
275.103
3
Sukmajaya
197.361
170.970
350.331
4
Cimanggis
214.221
198.167
412.388
5
Beji
75.303
67.887
143.190
6
Limo
79.362
73.576
152.938
780.092
723.585
1.503.677
Jumlah
Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2008
Masyarakat Kota Depok dalam rangka meningkatkan
harkat dan martabatnya melalui lembaga pendidikan terdapat
sejumlah pendidikan umum dan pendidikan khusus (agama).
Untuk jenjang Taman Kanak-Kanak sebanyak 314 buah,
Sekolah Dasar 372 buah (285 Negeri dan 87 swasta), Sekolah
Menengah Pertama 150 buah (14 Negeri dan 136 Swasta),
Sedangkan Sekolah Menengah Atas 53 buah (6 Negeri 47
Swasta), Sedangkan sekolah kejuruan 68 buah (5 Negeri dan
63 Swasta), perguruan tinggi ada Universitas Indonesia,
Universitas Jayabaya, Universitas Gunadarma dan Akademi
Caraka Nusantara dengan berbagai jurusan. Sedangkan
pendidikan agama terdapat Madrasah Diniyah terdapat 63
409
buah, Pesantren 63 buah, Majlis Taklim 1.071 buah serta
TPQ/TKQ sebanyak 344 buah.67
Dibidang keagamaan terdapat sejumlah penganut
agama Islam sebanyak 1.319.224 jiwa, Kristen 78.587 jiwa,
Katolik 52.573 jiwa, Hindu 8.782 jiwa, Buddha 10.551 jiwa dan
Khonghucu 285 jiwa. Untuk mengetahui jumlah penganut
agama perkecamatan berikut ini dijelaskan: Kecamatan
Sawangan sebanyak 208.116 jiwa, Pancoran Mas 271.576 jiwa,
Sukmajaya 247.263 jiwa, Cimanggis 438.222 jiwa, Beji 152.635
jiwa, dan Limo 152.190 jiwa. Adapun rumah ibadat yang ada
terdiri dari masjid 768 buah, langgar 851 buah, mushala 895
buah, gereja Katholik 6 buah, gereja Kristen 62 buah, vihara 2
buah, Pura 2 buah.
C. Bentuk, Arti, Lambang Kota Depok
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor : 01
Tahun 1999 Tentang Hari Jadi dan Lambang Kota Depok
adalah Lambang Kota Depok berbentuk Perisai bersisi 5 (lima)
dengan warna dasar biru yang didalamnya terdapat gambar,
warna dan bentuk serta di bagian atas terdapat tulisan “KOTA
DEPOK” dan dibagian bawah terdapat tulisan “PARICARA
DHARMA” dengan warna putih.
Lambang Kota terdiri dari 3 (tiga) bagian, dengan
perincian sebagai berikut :
Bagian Depan terdiri dari : Gambar Kujang dengan
posisi tegak; Kujang merupakan senjata/alat kerja masyarakat
Jawa Barat, Kujang dianggap sebagai manifestasi satria-satria
Pajajaran, yang identik dengan nilai-nilai kejuangan pahlawan
Depok, yang memiliki sifat tak gentar dalam menegakkan
kebenaran dan rela berkorban; Pada gambar Kujang terdapat
67
410 Badan Pusat Statistik, 2008, Kota Depok Dalam Angka, hal. 84,. 2(dua) buah Lubang, dengan lengkungan luar sebanyak 7
(tujuh) buah dan tangkai (gagang) mempunyai lekukan 4
(empat) buah, yang dikelilingi rangkain padi dan bunga kapas
yang terdiri dari 9 (sembilan) butir padi dan 9 (sembilan)
kuntum bunga kapas yang mempunyai arti Kota Depok
dilahirkan pada tanggal “27 April 1999”. Padi dan Kapas
melambangkan cita-cita pemerintahan dan masyarakat Kota
Depok guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran; Di
bawah gambar Kujang terdapat gambar sebuah mata pena
dan gambar sebuah buku terbuka, yang melambangkan
Depok sebagai Kota Pendidikan.
Bagian Tengah terdiri dari : Gambar Pendopo
merupakan simbol Pusat Pemerintahan Kota Depok dalam
melaksanakan tugas Pemerintahan, Pembangunan dan
Kemasyarakatan. Gambar Bangunan Gedung melambangkan
Kota Depok sebagai Kota Pemukiman serta sebagai pusat
perdagangan dan jasa; Gambar tumpukan batu bata
membentuk rangkaian kesatuan yang menggambarkan
dinamika masyarakat Kota Depok dalam melaksanakan
Pembangunan di segala bidang; Gambar gelombang air
menggambarkan aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota
Depok melambangkan kesuburan serta menunjukkan Depok
sebagai Kota Resapan Air;
Bagian dasar terdiri dari : Bentuk Perisai yang memiliki
5 (lima) sisi melambangkan tameng dan benteng, yang
mampu mengayomi, memberikan rasa aman dan tentram baik
lahir maupun batin bagi masyarakat Depok serta
melambangkan ketahanan fisik dan mental masyarakat Depok
dalam menghadapi segala macam gangguan, halangan dan
tantangan yang datang dari manapun juga terhadap
kehidupan Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila. Dan ke 5 (lima) sisi tersebut
411
melambangkan pula fungsi/pesan yang diemban oleh
Pemerintah Kota Depok yaitu sebagai : Kota Pemukiman, Kota
Pendidikan, Pusat Perdagangan dan Jasa, Kota Wisata dan
Kota Resapan Air.
Tulisan “Kota Depok” menunjukkan sebutan bagi Kota
dan Pemerintah Kota Depok; Tulisan Paricara Dharma :
berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata Paricara
yang berarti Abdi, sedangkan Dharma adalah kebaikan
kebenaran dan keadilan jadi Paricara Dharma mengandung
makna bahwa Pemerintah Kota Depok sebagai Abdi
Masyarakat dan Abdi Negara senantiasa mengutamakan
kepada kebaikan, kebenaran dan keadilan.
Warna dalam lambang Kota mempunyai arti sebagai
berikut :
1. Kuning emas melambangkan kemuliaan;
2. Merah bata melambangkan keberanian;
3. Putih melambangkan kesucian;
4. Hijau melambangkan harapan
menunjukkan Daerah yang subur;
masa
depan
serta
wawasan
dan
5. Hitam melambangkan keteguhan;
6. Warna Biru melambangkan
kerjernihan pikiran.
keluasan
D. Visi dan Misi Kota Depok
Visi dan misi jangka menengah lima tahunan, yang akan
ditetapkan pemangku jabatan WaliKota selama periode
jabatannya tahun 2006-2011, mencerminkan prioritas
pembangunan Kota Depok untuk lima tahun ke depan.
412 VISI RPJMD Kota Depok untuk lima tahun ke depan,
yaitu: ”Menuju Kota Depok yang melayani dan mensejahterakan”.
Visi Walikota yang tertuang dalam RPJMD Kota Depok lima
tahun ke depan, terkandung pengertian yaitu Melayani
berarti meningkatkan kualitas pelayanan aparatur dan
penyediaan sarana dan prasarana bagi warga Depok dengan
meningkatkan
kemampuan
lembaga
dan
aparatur
pemerintahan dalam memberikan dan menyediakan barangbarang publik dengan cara-cara yang paling efisien dan
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut serta
dalam pembangunan daerah. Mensejahterakan berarti
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dengan
mengembangkan potensi ekonomi yang dapat memberikan
lapangan pekerjaan dan kehidupan bagi masyarakat banyak
dan juga keuangan daerah.
Visi RPJMD Kota Depok 2006-2011, mencerminkan
bahwa titik berat pembangunan lima tahun ke depan Kota
Depok adalah penataan pemerintahan yang berorientasi pada
kualitas pelayanan dan penyediaan barang-barang publik dan
juga penyediaan sarana prasarana ekonomi untuk menunjang
peningkatan ekonomi masyarakat, sebagai landasan untuk
tahapan pembangunan RPJMD berikutnya.
Visi jangka menengah lima tahunan Kota Depok,
dilandasi oleh analisis kondisi umum daerah saat ini dan
prediksi kondisi umum ke depan Kota Depok salah satunya
yaitu: Adanya kondisi sosial budaya Kota Depok yang saat ini
sudah mengarah pada budaya metropolis yang multi etnis
dan dari berbagai tingkat intelektualitas, namun masih dalam
ikatan satu homogenitas agama tanpa mengucilkan agama
minoritas. Di masa depan, kondisi sosial budaya yang ada
akan terus berkembang dan ikatan homogenitas agama akan
masih ada dengan kadar yang berbeda.
413
Misi RPJMD Kota Depok Untuk mewujudkan Visi
RPJMD Kota Depok lima tahun ke depan, maka telah
dirumuskan
Misi
RPJMD
tahun
2006-2011
yaitu:
a. Mewujudkan pelayanan yang ramah, cepat dan transparan,
b. membangun dan mengelola sarana dan prasarana
infrastruktur yang cukup, baik dan merata, c. mengembangkan perekonomian masyarakat, dunia usaha dan keuangan
daerah, d. meningkatkan kualitas keluarga, pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat berlandaskan nilainilai agama. Penjabaran 4 (empat) misi RPJMD Kota Depok
Tahun 2006-2011 dimaksudkan untuk memayungi arah
kebijakan dan strategi pencapaian program pembangunan
lima tahunan.
414 BAB IV
TEMUAN LAPANGAN
A. Latar Belakang Pembangunan
1. Riwayat berdirinya Gereja
G
ereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
Pangkalan Jati - Gandul didirikan pada tahun 1980.
Pada awal berdirinya, jemaatnya berjumlah kurang
lebih 11 (sebelas) kepala keluarga, yang tinggal di Kompleks
Hankam, Kompleks TNI AL Pangkalan Jati dan Perumahan
BPK Gandul. Kebaktian hari minggu pada mulanya
diselengarakan di rumah salah seorang keluarga. Nama gereja
HKBP Pangkalan Jati - Gandul diambil dari nama kedua desa
tersebut, dengan memadukannya menjadi Pangkalan Jati Gandul.
Secara administratif gereja ini berada dibawah
pembinaan HKBP Resort Kebayoran Selatan, Jl. Asem II
Cipete Jakarta Selatan. Jumlah anggota jemaatnya pada saat
ini telah mencapai kurang lebih 350 KK, dan mereka itu
bertempat tinggal disekitar Cinere, Limo, Meruyung,
Pangkalan Jati, Gandul, Rawa Kopi, Pondok Labu, Pondok
Cabe, Cirendeu, Desa Pisangan/Ciputat dan Cilandak.
Meskipun usianya sudah kurang lebih 20 tahun, namun
hingga kini belum mempunyai bangunan gereja dan masih
menumpang di rumah ibadah Bahtera Allah, Jl. Baros No.1
Pangkalan Jati milik persekutuan Oikumene warga Kristen
Kompleks TNI AL, Pangkalan Jati dan kebaktiannya setiap
hari minggu dimulai pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul
415
12.30 WIB. Mengingat anggota jemaat gereja itu dari tahun ke
tahun jumlahnya semakin bertambah, sementara gedung
ibadah yang digunakan sekarang tidak mampu lagi
menampung warga jemaat, terutama kegiatan pembinaan
anak-anak sekolah minggu, anak remaja dan pemuda belum
dapat dilakukan. Didorong oleh kebutuhan akan perlunya
memiliki sebuah Gereja sendiri, maka pada tanggal, 11
September 1988, Majelis Gereja telah membentuk sebuah
panitia pembanguanan gereja, dengan tugas membangun
gereja yang lokasinya mudah dijangkau oleh seluruh anggota
jemaat.
2. Upaya Mendapatkan Tanah Gereja
Sebagai realisasi dari pelaksanaan tugas tersebut Panitia
Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangkalan Jati – Gandul telah memperoleh tanah seluas 1000
m², dari HKBP Distrik VIII Jawa – Kalimantan yang berlokasi
di Bukit Cinere Indah. Tanah tersebut dibeli HKBP Distrik VIII
Jawa – Kalimantan dari PT. Urecon Utama. Dalam Master Plan
yang dibuat oleh Ketua Bappeda Tingkat II Bogor, sesuai SK.
Gubernur Propinsi Jawa Barat No. 26/AII/6/SK/1975 dan
No. 27/AII/6/SK/1975 tanggal 12 Januari 1975, secara jelas
dicantumkan peruntukannya untuk bangunan gereja HKBP.
Lokasi gereja HKBP pada mulanya terletak di Jalan
Pesanggrahan II Blok N Cinere, tetapi ketika pengelolaan
tanahnya dialihkan dari PT. Urecon Utama kepada PT. Bukit
Cinere Indah, tanah gereja HKBP di rekolasi ke lokasi baru di
Jalan Puri Pesanggrahan IV Kav. NT-24, yang berbatasan
dengan Jalan Bandung. Lokasi baru ini menurut PT. Bulit
Cinere Indah peruntukannya adalah untuk fasilitas sosial
(fasos). Di lokasi baru inilah gereja HKBP akan dibangun.
416 3. Pengrusakan Membangun Izin Gereja
Setelah Panitia Pembanguna Gereja HKBP Pangkalan
Jati – Gandul memperoleh tanah untuk bangunan gereja,
maka dimulailah usaha-usaha pengurusan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) gereja kepada Pemda Tingkat II Bogor.
Karena gereja yang akan dibangun terletak di lokasi PT. Bukit
Cinere Indah, maka permohonan IMB kepada Pemda Tingkat
II Bogor diajukan melalui PT. Bukit Cinere Indah.
Permohonan IMB selalu dikembalikan, karena ada
persyaratan yang harus dilengkapi, antara lain harus ada
persyaratan dari warga masyarakat setempat. Seharusnya
persetujuan warga itu tidak perlu karena gereja yang akan
dibangun terletak di lokasi Pengembang (developer) dan
tanahnya pun masih kosong, serta bangunan disekitarnya
belum ada.
Setelah kurang lebih 10 (sepuluh) tahun, yakni pada
tanggal 13 Juni 1998 Pemda Tingkat II Bogor mengeluarkan
IMB No. 453.2/229.TKB/1998, tentang Izin Mendirikan
Bangunan tempat ibadah dan Gedung Serba Guna. Bahwa
IMB tersebut dikeluarkan Pemda Tingkat II Bogor setelah
mempertimbangkan semua persyaratan administrasi yang
diperlukan termasuk Surat Pernyataan persetujuan warga
masyarakat setempat, selain itu sebelum IMB dikeluarkan
lokasi tanah gereja pun ditinjau dua kali oleh sebuah Tim dari
dinas/kantor terkait di lingkungan Pemda Tingkat II Bogor,
yakni pada tanggak 18 Januari 1982 dan 17 April 1996.
4. Pembangunan dan Kendala yang Dihadapi
Dengan telah di terbitkannya IMB oleh Pemda Tingkat II
Bogor, maka pada tanggal 24 Oktober 1998, dilakukan
peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya
pembanguan gereja HKBP tersebut. Sesuai dengan rencana
dan IMB yang disetujui Pemda Tingkat II Bogor bahwa
417
gedung yang akan dibangun di lokasi tersebut adalah Tempat
Ibadah dan Gedung Seba Guna. Mengingat dana
pembangunan belum mencukupi maka pelaksanaannya
dilakukan secara bertahap sesuai dengan jumlah dana yang
tersedia. Pembangunan tahap pertama meliputi : Pembuatan
saluran air (got), Pembuatan pagar (kawat berduri), Perataan
tanah, Pemasangan turap (batu kali), dan jalan masuk. Tahap
kedua meliputi : Pekerjaan pondasi, Pemasangan tiang
pancang, Pengecoran lantai dan Instalasi listrik.
Ketika pelaksanaan tahap pertama selesai dikerjakan,
pada bulan Mei 1999, secara tidak di duga-duga telah timbul
reaksi pernyataan keberatan dari warga masyarakat dan dari
Forum Komunikasi Persatuan Umat Islam Kecamatan Limo
dan sekitarnya (FKPUI). Mereka itu menulis Surat Pernyataan
keberatan kepada aparat keamanan, bahkan telah memasang 2
(dua) buah spanduk di depan lokasi gereja. Alasannya adalah
soal lingkungan dan keabsahan IMB. Pada tanggal 31 Mei
1999 telah diadakan pertemuan bertempat di ruang rapat
Walikota Depok. Peserta rapat adalah beberapa anggota
Panitia Pembangunan Gereja HKBP dan para pejabat dari
lingkungan Walikota Depok.
Pjs Walikota (Bapak Drs. H. Badrul Kamal) pada
kesempatan itu mengatakan : a. Bahwa terhitung sejak
tanggal 27 April 1999, Kecamatan Depok telah diresmikan
menjadi Kotamadya, dan Kecamatan Limo termasuk salah
satu wilayah Kodya Depok. b. Telah timbul reaksi pernyataan
keberatan dari warga masyarakat terhadap pembangunan
gereja HKBP di Jalan Puri Pesanggrahan IV Kav. NT-24
Cinere. Untuk mencegah terjadinya gejolak konflik sosial yang
dapat mengganggu kampanye dan pelaksanaan Pemilu
dipandang perlu untuk mencari jalan penyelesaiannya. c.
Secara legal HKBP telah mempunyai IMB, tetapi masalah legal
belumlah cukup karena ada permasalahan lain yang juga
418 penting untuk mendapatkan perhatian,
lingkungan dan sosial masyarakat.
yaitu
masalah
Sesuai dengan saran-saran Pemerintah dan Alat
keamanan selama Pemilu pembangunan dihentikan. Satu
bulan sesudah Pemilu, pembangunan dilaksanakan kembali.
Dalam pembangunan tahap kedua, pada tanggal 7 Juli
2000 Camat Limo mengundang Panitia Pembangunan Gereja.
Pada rapat tersebut Camat Limo mengatakan agar
pembangunan gereja dihentikan sementara, berhubung
adanya keberatan dari warga masyarakat. Pada tanggal 8 Juli
2000 Walikota Depok mengundang Panitia Pembangunan
Gereja, berhubung undangan tidak samapai, Panitia tidak
dapat hadir. Tanggal 8 Juli 2000 Walikota tersebut sejak
tanggal 10 Juli 2000 pembangunan dihentikan, sedang
pemeliharaan alat-alat dan lapangan terus diadakan, tanggal
14 Juli 2000, ada pihak memasang 2 (dua) buah spanduk di
depan gereja menuntut penghentian pembangunan, kemudian
tanggal 3 Agustus 2000 spanduk tersebut diturunkan.
Untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial
disekitar lokasi pembangunan, panitia telah dan sedang
melaksanakan langkah-langkah sbb :
a. Meningkatkan sosialisasi kepada warga masyarakat
dengan mendekatkan diri kepada lingkungan, terutama
kepada tokoh masyarakat dan tokoh ulama.
b. Tanggal 29 Juli 2000, menghadiri pertemuan dengan
tokoh/ulama di rumah H. Syamsi B. Nasution selaku ketua
FKPUI. Pada kesempatan tersebut ditanyakan mengenai
kelanjutan pembangunan Gereja HKBP. Menurut H.
Syamsi B. Nasution, sedang menunggu jawaban edaran
angket setuju/tidak setuju pembangunan Gereja HKBP
kepada warga disekitar 0-1500 meter dari lokasi Gereja.
419
c. Mengikuti pertemuan Forum Komunikasi Umat Beragama
se-Kecamatan Limo, yang diselenggarakan pada tanggal 19
Agustus 2000 bertempat di Gedung Graha Jalan Bhakti, Jl.
Jati Raya Barat, Komp. TNI AL Pangkalan Jati. Pertemuan
ini telah mengasilkan sebuah deklarasi mengenai
kerukunan Antar Umat Beragama se-Kecamatan Limo.
Deklarasi tersebut telah ditanda tangani oleh Ketua Forum
Komunikasi dan tokoh-tokoh dari masing-masing agama,
yaitu Islam, Katolik, Protestaan, Hindu dan Budha.
Penandatanganan deklarasi Forum Komunukasi dan
Kerukunan Umat Beragama tersebut juga disaksikan oleh
Wakil Walikota Kodya Depok, Camat Limo, Muspida dan
Muspika se-Kotamadya Depok dan Kecamatan Limo serta
perkumpulan pemuda dan berbagai group kesenian.
d. Ikut aktif dalam Forum Komunikasi Oikumene seKecamatan Limo.
5.
Rencana Kelanjutan Pembangunan
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas maka Panitia
telah merumuskan rencana lanjutan pembangunan Gereja
HKBP di Jl. Puri Pesanggrahan IV Kav. NT-24 Cinere:
a. Kepada semua pihak yang terkait, terutama kepada
lingkungan sosial dan penghuni sekitar lokasi, 350 keluarga
HKBP Pangkalan Jati – Gandull yang sebagian besar adalah
masyarakat ekonomi sederhana, pegawai negeri, dan alatalat negara yang selama 20 tahun menumpang tempat
ibadah, dimana selama 12 tahun telah mengusahakan
tanah, IMB dan mengumpulkan dana pembangunan
memohon pengertian dan bantuan untuk melanjutkan
pembangunan tingkat dasar (Ruang Serba Guna).
b. Kepada lingkungan tetangga dan masyarakat sekitarnya,
penanganan lingkungan sosial akan ditingkatkan,
demikian juga pekerja serta penjaga yang terlibat akan
420 diutamakan tenaga setempat. Bentuk dari bangunan dasar
Serba Guna tersebut sangat sederhana agar tidak ada kesan
penonjolan rumah ibadah.
c. Kepada kelompok umat beragama di daerah Kecamatan
Limo dan sekitarnya, terutama kepada Forum Komunikasi
untuk Persatuan Umat Islam Kecamatan Limo dan
sekitarnya, HKBP mohon pengertian, dan kerjasama.
Forum Komunikasi dan Kerukunan Umat Beragama yang
telah dideklarasikan pendiriannya dimana HKBP juga ikut
aktif melalui Forum Komunukasi Oikumene, kiranya dapat
dibina dan dikembangkan. Bila pada waktu yang lalu ada
kekurangan komunikasi, maka kami akan meningkatkan
kerjasma, dan komunikasi kepada semua Umat Beragama
di daerah Cinere tersebut.
d. Kepada pihak Pemerintah, RT, RW, Lurah, Camat dan
Walikota dan kepada Alat Keamanan di Kecamatan Limo
panitia mohon pengertian dan petunjuk agar Panitia
melanjutkan pembangunan tersebut.68
B. Kronologis Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul
1. Respon masyarakat terhadap rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul
Respon masyarakat muslim terhadap gereja khususnya
yang terkait pembangunan rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP yang terletak di Komplek Perumahan Bukit
Cinere Indah (BCI) tepatnya di kavling NT 24 Jl. Pesanggrahan
IV/Jl. Bandung sejak tahun 1998, yang tergabung dalam
Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe,
Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan
sekitarnya yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali
68
http://hkbpcinere.tripod.com/ 421
konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan.
Kronologis kejadiannya tercatat dan dibukukan secara jelas
dan mudah dipahami;
a. Lokasi (SITE) Lahan Rencana Gereja
Di dalam surat perjanjian antara PT. Bukit Cinere Indah
dengan pihak HKBP tertanggal 31 Agustus 1992, dinyatakan
bahwa lokasi lahan yang dibeli dari PT. Urecon Utama,
tanggal 25 Juni 1980 adalah di RW. 14 Blok N. Dan di dalam
laporan HKBP yang ditandatangani oleh Ir. M. Simatupang
(Ketua Panitia Pembangunan Gereja)tertanggal 12 September
2000 dinyatakan bahwa lokasi Blok N dimaksud adalah di
Jalan Pesanggrahan II seluas 1000m² dimana sebagaimana
nyatanya; Jl. Puri Pesanggrahan II RW. 14 Blok N sekarang ini
adalah semata-mata untuk perumahan, dan bukan untuk
fasilitas sosial.
Di dalam Surat Perjanjian tanggal 31 Agustus 1992
tersebut di atas, oleh PT. Bukit Cinere Indah yang disetujui
oleh Pihak HKBP bahwa lokasi tersebut dipindahkan ke Jl.
Puri Pesanggrahan IV RW 14 Kaveling NT 24 dan luasnya
dirubah menjadi 4209m², dan dikatakan pula diperuntukkan
bagi gereja.
Padahal PT. Bukit Cinere Indah sebenarnya tidak
berwenang menentukan begitu saja di kaveling NT 24 itu
untuk gereja. Yang berwenang menentukan peruntukkan tata
ruang lahan adalah Pemda. Lagi pula pada tahun 1992 itu
telah banyak rumah-rumah yang dimukimi warga muslim.
Warga bersedia membeli rumah di lokasi tersebut karena
mengetahui bahwa di sekitarnya tidak akan dibangun gereja.
Terbukti pula, bahwa pada Berita Acara Serah Terima
No. 593.6/43/XII/2001 tanggal 10 Desember 2001 antara PT.
Bukit Cinere Indah dan Walikota Depok, tidak dinyatakan
422 adanya FASOS untuk gereja, yang ada hanyalah untuk taman
kanak-kanak, dan mushalla.
Setelah mendapat lahan di blok NT 24 tersebut di atas;
HKBP mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk
mengurus IMB dari kabupaten Bogor (sebelum tanggal 27
April 1999, wilayah Depok masih berada di dalam wilayah
administrasi Kabupaten Bogor). Untuk mengurus IMB gereja
tersebut pihak HKBP mau tidak mau harus mendatangi warga
sekitar lokasi yang pada umumnya beragama Islam; untuk
minta persetujuan. Tentu saja warga menjadi resah: apalagi
saat itu hanya ± 50 m² dari lokasi rencana gereja itu telah
berdiri sebuah Masjid yang didirikan oleh RW. 10 Jl. Bandung.
Masjid itu sekarang dirubah jadi gedung Sekolah Dasar,
setelah masjid baru dibangun lebih besar, dan diberi nama
Husnul Khatimah di dalam Kompleks RW. 10 yang jaraknya ±
75m dari lokasi yang direncanakan oleh HKBP membangun
gereja.
Warga muslim RW 14 dan RW 16 yang dihubungi HKBP
seluruhnya tidak setuju dan menolak rencana pembangunan
gereja di kompleks Bukit Cinere Indah, RW 14 dan RW 16.
Pihak PT. Bukit Cinere Indah yang dimintai tolong mengurus
IMB oleh HKBP juga tegas-tegas tidak menyanggupi, karena
tidak memperoleh persetujuan warga.
Sebagai langkah antisipasi pengurus RW 14 dan RW 16
atas permintaan Bapak Camat Limo; guna meredam
keresahan masyarakat agar tidak berkembang menjadi isu
SARA dst; pada tanggal 17 Desember 1995 mengadakan
pertemuan bertempat di rumah sekretaris RW 14 yang
dihadiri oleh unsur: Pemerintahan Desa Cinere, Pihak warga
di wakili oleh pengurus RW 14 & RW 16, Pengurus
Perkumpulan Pengajian BCI, Tokoh-tokoh masyarakat BCI.
423
Dari pertemuan tersebut disimpulkan bahwa warga
kompleks Bukit Cinere Indah (BCI) menolak rencana pendirian
gereja HKBP di Blok NT 24 Bukit Cinere Indah; dan penolakan
tersebut tertuang di dalam Surat Kepada Kepala Desa Cinere
No. 11/RW/XII/95 tertanggal 30 Desember 1995 dengan
tembusan sebagai berikut: Bupati Bogor, Camat Limo,
Pengurus RW 14 & RW 16, Tokoh masyarakat.
diantara warga masyarakat yang menolak dari RW 14 &
RW 10, dan lokasi tempat tinggalnya tepat sekitar rencana
lokasi gereja dimaksud, bahkan menyampaikan Surat
Pernyataan bahwa dari dulu hingga sekarang mereka tetap
menolak rencana gereja.
b.
IMB; SK Bupati Kdh Tingkat II Bogor
Sekalipun dapat tantangan dari masyarakat muslim
sekitar lokasi tersebut. Entah bagaimana prosesnya;
sedangkan masyarakat terutama pihak warga, RT dan RW
sekitar lokasi tidak pernah menyetujui/merekomendasikan,
namun nyatanya IMB tersebut di atas terbit juga. IMB tersebut
ditandatangani
SETWILDA
Kabupaten
Bogor
No.
453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998.
Berdasarkan IMB tersebut di atas; pihak HKBP pun
cepat-cepat melakukan persiapan pembangunan. Batu
pertama diletakkan tanggal 24 Oktober 1998, diikuti dengan
kegiatan fisik lainnya.
Masyarakatpun semakin resah dan bergolak. Pada
tanggal 16 April 1999 Ketua RT 04/14 yaitu RT dimana gereja
dimaksud berlokasi; menandatangani surat bersama Ketua
RW 14 no. 3/RW/Ket/99. Surat itu ditandatangani juga
(diketahui) oleh Kapolsek Sawangan; Ketua RW 16; dan
Tokoh-tokoh masyarakat BCI yang mana mereka itu, sekarang
424 sebagian besar masih ada. Surat tersebut berisikan penolakan
pembangunan gereja di Jalan Bandung/Puri Pesanggrahan IV;
dan minta agar IMB yang telah terbit ditinjua kembali. Surat
tersebut ditujukan kepada: Kepala Desa Cinere, Camat Limo,
Bupati Kdh Tingkat II Bogor, Kapolsek Cinere/Sawangan, dan
Gubernur Kdh Tingkat I Jawa Barat.
Sejak tanggal 27 April 1999 Kotamadya Depok resmi
berdiri sendiri terpisah dari Kabupaten Dati II Bogor, dengan
Pjs Walikota adalah Drs. H. Badrul Kamal.
Guna menyatukan kekuatan, umat Muslim sekitar lokasi
mendirikan suatu Forum yang disebut Forum Komunikasi
untuk Persatuan Umat Islam (FKPUI) diketuai oleh Bapak
Syamsi B. Nasution, bermarkas di Masjid Khatimah RW 10 Jl.
Banjar. Pada tanggal 9 Mei 1999, FKPUI mengundang
masyarakat muslim sekitar untuk melakukan do'a bersama
dengan menyelenggarakan Istighozah Kubro bertempat di Jl.
Bandung Cinere, memohon kepada Allah agar gereja di Jl.
Puri Pasanggrahan IV/Jl. Bandung tidak jadi dibangun.
Pada tanggal 31 Mei 1999 Bapak Pjs Walikota Depok
memanggil Panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul ke kantor Walikota
dan disitu dijelaskan bahwa agar pembangunan gereja
dihentikan untuk meredam gejolak sosial yang lebih besar,
pembangunanpun kemudian dihentikan.
Namun setelah selesai Pemilu 1999, ternyata pihak
HKBP meneruskan pembangunan dengan memulai menanam
tiang pancang, pondasi dsb. Masyarakat tahu bahwa kegiatan
sebenarnya telah diminta berhenti oleh yang berwenang,
namun sekarang mulai lagi; lalu bergolak lagi antara lain
melalui protes-protes tertulis.
425
Pada tanggal 29 Juni 2000 Polsek Sawangan mengirim
surat kepada Camat dengan surat no. B/600/VI/2000 yang
pada intinya agar IMB pembangunan gereja ditinjau kembali.
Tanggal 7 Juli 2000, Camat Limo minta agar HKBP
menghentikan sementara pembangunan untuk menghindari
bentrokan di lapangan. Dan pada tanggal 8 Juli 2000 Bapak
Walikota Depok mengeluarkan surat no. 300/923-Tib minta
agar panitia pembangunan gereja menghentikan kegiatan
pembangunan, sambil menunggu keputusan lebih lanjut dari
Walikota Depok.
d. Masa "dorman" tanpa kegiatan
Sejak dikeluarkannya surat Walikota tertanggal 8 Juli
2000 tersebut di atas, kegiatan pembangunan gereja praktis
dorman (terhenti) hingga akhir tahun 2007. Namun ternyata
sembari "dorman" tersebut pihak panitia pembangunan gereja
HKBP tetap melakukan gerakan kesana kemari, bergerilya,
lobby, entah apalagi dengan berbagai cara.
Sementara itu; pada tahun 2006 Pemerintah RI
mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri no. 9 dan no. 8 tahun 2006 yang intinya
menyatakan bahwa suatu rumah ibadat dapat didirikan bila
masyarakat sekitar lokasi tidak keberatan; dan mendapat surat
rekomendasi persetujuan dari Kantor Departemen Agama
setempat dan FKUB (Kerukunan umat Beragama) setempat.
Sesudah dorman tersebut, secara terang-terangan dan
tertulis, kegiatan HKBP dimulai lagi dengan upaya
mempengaruhi Ketua RW 14 Bukit Cinere Indah melalui
sepucuk surat no. 48/DVII/RI/P.J.G/X/2007 tanggal 10
Oktober 2007 yang intinya mohon dukungan Ketua RW 14
agar pembangunan gereja di Jl. Puri Pasanggrahan IV/Jl.
426 Bandung dapat dimulai lagi. Surat ditandatangani Pimpinan
Jemaat HKBP yaitu Bapak Victor E. Napitupulu.
Surat tersebut dijawab oleh Ketua RW 14 (Sdr. Soetomo
Wirioputro) dengan surat tanggal 5 Desember 2007 no.
049/KRW/XII/07 yang menyatakan tidak keberatan. Seorang
Ketua RW sebenarnya tidak memiliki kewenagan untuk
menyetujui suatu pembangunan di lokasi RW. Apalagi hal ini
menyangkut rumah ibadat khususnya lagi gereja, yang sejak
awal ditentang masyarakat.
Surat Ketua RW 14 No. 049/KRW/XII/07 tertanggal 5
Desember 2007 ternyata akibatnya sangat fatal. Surat itu telah
tersebar kemana-mana oleh HKBP yang menyatakan bahwa
HKBP telah dapat membangun kembali gereja di Jl.
Bandung/Jl. Puri Pesanggrahan IV Blok NT 24 karena warga
telah tidak keberatan. Padahal, warga yang benar-benar
bertempat tinggal di sekitar lokasi tetap keberatan dan
menolak rencana pembangunan gereja (Lampiran 6a s/d/ 6d).
Surat tersebut juga dijadikan landasan untuk HKBP mengirim
surat tanggal 18 Desember 2007 kepada FKUB Depok,
menyatakan bahwa HKBP akan mulai lagi membangun gereja
di kavleng NT 24 Bukit Cinere Indah karena warga
masyarakat telah tidak keberatan. Di dalam surat dinyatakan
bahwa pembangunan akan dimulai lagi pada awal bulan
Januari 2008.
e. Panitia HKBP mulai lagi meneruskan pembangunan
Berbekal surat Ketua RW 14 tanggal 5 Desember 2007
pada awal Januari 2008 HKBP mulai lagi penerusan
pembangunan gereja. Masyarakat muslim sekitar lokasipun
bangkit lagi memprotes sehingga terjadi lagi pergolakanpergolakan di dalam masyarakat. Pada tanggal 23 Januari
2008, bertempat di aula Masjid Raya Cinere; pertemuan
427
diadakan antara tokoh-tokoh muslim Cinere dan mengundang
Lurah Cinere Bapak Isa Anshori. Di dalam butir 10 notulen
rapat tersebut, Bapak Lurah juga menyatakan bahwa pihak
HKBP telah berupaya memanipulasi persetujuan warga.
Setelah terlebih dalu mengecek ke lapangan; Bapak
Lurah Cinere menandatangani surat no. 450.2/08/I/2008
tertanggal 26 Januari 2008 ditujukan kepada pimpinan gereja
HKBP Pangkalan Jati Gandul; dan minta agar penerusan
(pembangunan kembali gereja) dihentikan agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak dinginkan. Ditegaskan pula bahwa bila
HKBP berkehendak membangun kembali gereja, diminta agar
memenuhi ketentuan di dalam Peraturan Bersama Dua
Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006. Pada tanggal 28 Januari 2008
pembangunan gereja kembali behenti (dorman kedua). Masa
dorman kedua ini berlangsung hingga awal bulan September
2008.
Sementara itu, Ketua RW 14 Cinere (Sdr. Soetomo
Wirioputro) dengan mengeluarkan surat no. 002/KRW/I/2008 tanggal 27 Januari 2008 menyatakan mencabut surat
RW 14 tertanggal 5 Desember 2007; dan menyatakan pula agar
pimpinan Jemaat HKBP menghentikan lanjutan pembangunan
gereja sebagaimana diinginkan oleh warga muslim. Sayang
surat pencabutan RW 14 tersebut momentnya sudah hilang,
karena surat persetujuan RW 14 tanggal 5 Desember 2007 itu
telah dijadikan dasar dan disebar ileh HKBP; dan telah
disampaikan kepada FKUB Depok dengan tembusan kemanamana. Surat pencabutan dari RW 14 tanggal 27 Januari 2008
itupun tidak pernah diexposed oleh HKBP.
Sementara itu, warga muslim Cinere terus berupaya
meyakinkan pihak-pihak yang berwenang agar tidak
menyetujui pembangunan kembali gereja HKBP Cinere.
428 Tanggal 6 Februari 2008 tokoh-tokoh masyarakat muslim yang
bergabung di dalam Pengajian Keluarga BCI dan Majelis
Ta'lim Nurul Mukmin menandatangani Surat Bersama yang
ditujukan kepada bapak Walikota Depok. Surat tersebut no.
02/II/2008.
Pada tanggal 11 Februari 2008 Ketua Umum Masjid
Raya Cinere menandatangani Surat Penolakan Gereja no.
64/PMRC/II/2008 ditujukan kepada Bapak Walikota Depok
yang antara lain berisikan:
a) Dari sejak semula hingga sekarang rencana pembangunan
gereja di Jl. Bandung/Jl. Puri Pesanggrahan IV Cinere
ditentang masyarakat muslim tidak saja dari sekitar lokasi,
tapi juga dari pemukiman sekitar seperti Pangkalan Jati,
Gandul, Pondok Cabe, dsb.
b) Mohon agar Bapak Walikota Depok berkenan mencabut
IMB gereja HKBPdi Jl. Bandung/Jl. Puri Pesanggrahan IV
Cinere tersebut.
Dan surat no. 65/PMAC/II/2008 ditujukan kepada
FKUB Depok dengan berintikan permohonan yang sama.
Tanggal 4 Maret 2008 Pengajian Keluarga BCI dan
Majelis Ta'lim Nurul Mukmin sekali lagi menulis surat
ditujukan kepada Bapak Walikota Depok. Surat tersebut
bernomor 04/III/2008 dengan dilampiri satu bandel
penolakan warga sebanyak 670 orang atau sebanyak 31
halaman.
Pengajian keluarga BCI bersama ibu-ibu yang tergabung
di dalam Majelis Ta'lim Nurul Mukmin Cinere menyampaikan
surat bersama tanggal 12 mei 2008 ditujukan kepada: Bapak
Walikota Depok no. 10/V/2008, dan Kandep Agama Depok
429
dan FKUB Depok no. 11/V/2008. Kepada Walikota Depok
dilampiri 721 pernyataan penolakan warga (29 halaman).
Surat Lurah Cinere no. 450.2/70 tanggal 17 Juli 2008;
meralat surat; yang mana salah satu kalimat dalam surat
tanggal 26 Januari 2008 yaitu yang berbunyi FKUB Depok
menjadi Walikota Depok. Sehingga, intinya menjadi bernunyi:
Gereja HKBP Cinere tidak dapat diteruskan tanpa persetujuan
Walikota Depok.
f.
Desakan masyarakat mulai mendapat tanggapan yang
berwenang
Menanggapi desakan masyarakat muslim yang bertubitubi; pihak-pihak yang berwenang di Kotamadya Depok
mulai menyadari akan kesungguh-sungguhan masyarakat
muslim Cinere dan sekitarnya tentang keinginan agar
pembangunan gereja HKBP tersebut tidak jadi dibangun di
Kompleks BCI Cinere; dan mulai memberikan tanggapan.
FKUB Kota Depok dengan surat yang "Diberi" nomor
023/FKUB/VI/2008 tanggal 2 Juni 2008 (disebut "diberi")
karena prosesnya sebenarnya jauh sesuadah itu yaitu bulan
Oktober 2008. Surat tersebut disusul dengan surat no.
026/FKUB/VI/2008 tanggal 20 Oktober 2008 khusus butir 3
yang intinya FKUB menyatakan penolakan pembangunan
gereja HKBP dan berpihak kepada aspirasi masyarakat
muslim dan meminta agar pihak Walikota bertindak tegas.
Kantor Departemen Agama Kota Depok, dengan surat
no. Kd 10.22/I/HM.00/1126/2008 tanggal 9 Juni 2008; telah
dengan tegas memberikan rekoemendasi kepada Walikota
Depok guna menghentikan pembangunan gereja HKBP
Cinere.
430 Tanggal 13 Agustus 2008 Bapak Camat Limo
mengeluarkan surat no. 4502/422-Pemb ditujukan kepada
Bapak Walikota Depok segera mengambil keputusan karena
masyarakat muslim sekitar Cinere dari dulu hingga sekarang
tetap menolak rencana dibangunnya gereja HKBP di Cinere.
g. Panitia HKBP mulai lagi membangun, dan kali ini lebih
nekat
Suasana dorman tersebut dalam butir e.3, ternyata tidak
berlangsung lama. Pada tanggal 2 September 2008 dan disaatsaat ummat muslim sedang mulai melaksanakan ibadah puasa
Ramadhan 1429 H/2008; panitia gereja mulai membangun lagi
secara terang-terangan dengan mengerah-kan ± 20 orang
buruh pekerja didatangkan dari Cilacap Jawa Tengah. Yang
dulu baru berupa tiang pancang dan fondasi dengan secepat
kilat bekerja siang malam selama ± 2 minggu disulap menjadi
suatu kondisi "dak" siap cor.
Melihat situasi yang demikian rawan; dan dapat
menimbulkan konflik horizontal antar warga; Bapak Lurah
Cinere bertindak sigap dan segera mengeluarkan surat no.
4110/90-Pemb tanggal 5 September 2008; yang intinya, minta
agar pembangunan gereja segera dihentikan karena tidak
sesuai ketentuan. Namun apa hendak dikata, yang dulu-dulu
surat resmi pihak kelurahan selalu diindahkan dan dipatuhi;
kali ini sama sekali tidak digubris; dan pembangunan jalan
terus, siang malam.
Selama pelaksanaan pembangunan tersebut pihak HKBP
melibatkan pengamanan dari salah satu parpol "PDIP"
lengkap dengan Satgasnya. Disamping itu di dalam bangunan
gereja dikibarkan bendera Parpol tersebut dengan berbagai
ukuran. Setelah diadakan konfirmasi kepada Pimpinan Parpol
431
baik Pusat, Cabang Depok maupun Ranting Cinere, bahwa
gerakan tersebut di luar pengetahuan Partai, maka FSUM
minta bantuan pada Polsek Limo untuk mensterilkan lokasi
guna mencegah terjadinya konflik terbuka.
Setelah itu pihak HKBP juga mengerahkan salah satu
organisasi masyarakat guna mengamankan kegiatan
pembangunannya. Sejalan dengan yang dilakukan FSUM
minta bantuan pada butir g.2. terhadap Parpol tersebut,
akhirnya oknum ormas tersebut dapat disterilkan dengan
bantuan dari Polsek Limo.
ummat muslim pun tidak tinggal diam spanduk yang
diturunkan di pasang kembali dan begitu seterusnya. Pada
tanggal 14 September 2008 Takmir Masjid Khusnul Khatimah
mengirim surat kepada Polsek Cinere; Surat no.
14/MHK/IX/2008 yang menyatakan pihak panitia gereja
HKBP telah bertindak melawan aparat Pemda yang syah,
melanggar peraturan; dan karenanya, mohon agar Polsek
Cinere bertindak; yaitu menghentikan pembangunan yang
nekat itu.
Tanggal 17 September 2008 malam jam 19.30 wib
Komandan Polsek Cinere didampingi beberapa anak buah;
datang ke lokasi gereja guna melihat langsung kejadian di
lapangan. Pada tanggal 18 September 2008 Kapolsek Cinere
memanggil panitia pembangunan gereja untuk datang ke
kantor Polsek Cinere. Besoknya tanggal 19 September 2008
kegiatanpun berhenti, dan para pekerja yang dari Cilacap
pulang ke kampungnya masing-masing. Sejak tanggal 19
September 2008 tersebut, kegiatan pembangunan gereja HKBP
Cinere "dorman" lagi.
432 h. Panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul berlaku licik dan memancing
terjadinya konflik horizontal
Menyaksikan kelicikan pihak panitia pembangunan
rumah ibadat dan gedung sergauna HKBP Pangkalan Jati
Gandul yang berkali-kali secara diam-diam dan mendadak
membangun kembali gereja tanpa landasan hukum sedikitpun
dari yang berwenang Pemda Depok, dan berkali-kali pula
berhenti bila dipergoki; maka umat muslimpun berupaya
lebih menggalang kewaspadaan; dan berupaya mendesak
pihak-pihak yang berwenang di Kota Depok agar segera
mencabut secara resmi IMB tahun 1998 dari Kabupaten Bogor
yang ada ditangan panitia pembangunan rumah ibadat dan
gedung sergauna HKBP Pangkalan Jati Gandul.
Pada awal September 2008 Ketua DKM Masjid Raya
Cinere (Bp. H. Budi Waluyo) melaporkan kepada Bapak
Walikota Depok tentang ketegangan antara umat muslim
dengan pihak HKBP yang dapat mengarah menjadi Konflik
Horizontal (laporan melalui SMS). Atas dasar laporan tersebut
(melalui SMS) Bapak Walikota Depok memberikan arahan:
•
Agar tetap koordinasi dengan aparat Polsek dan Koramil
terdekat (Limo).
•
Agar dicegah jangan sampai terjadi tindakan anarkis dari
pihak yang tidak bertanggung jawab.
Atas dasar butir h.1. tersebut pada tanggal 19 September
2008 selepas shalat Isya perwakilan-perwakilan umat muslim
BCI, Cinere, Pondok Cabe, Gandul, Limo dan Pangkalan Jati
mengadakan pertemuan di aula Masjid Raya Cinere dipimpin
oleh Ketua DKM Masjid Raya Cinere Bapak Budi Waluyo.
Pada pertemuan itu umat muslim sepakat membentuk Forum
433
Solidaritas Ummat Muslim (FSUM). Sebagai Ketua ditunjuk
Bapak Budi Waluyo dan Sekretaris Bapak Abdurrahman;
keduanya berasal dari Masjid Raya Cinere.
Ketua-ketua DKM Masjid yang ada di sekitar desa-desa
sekeliling Cinere ditunjuk sebagai koordinator masing-masing
wilayah, di tingkat lapangan ditunjuk pula koordinator
lapangan (korlap) yang bertugas mengkoordinasikan personilpersonil di masing-masing lapangan.
Pada tanggal 20 September 2008 ± 100 orang perwakilan
ummat muslim yang tergabung di dalam FSUM beramairamai mendatangi Kantor FKUB Depok, dengan dikawal
aparat Polsek Limo, menyampaikan aspirasi dan petisi
penolakan dari warga terhadap gereja HKBP di Cinere. Demo
tersebut diterima oleh Ketua FKUB Depok beserta jajarannya;
dan mendapat pengawalan ketat dari Polres Depok (lihat foto
Lampiran 23).
Pada tanggal 22 September 2008; camat Limo
mengundang para ketua DKM yang terkait, Kapolsek Limo,
Danramil Limo, Ketua MUI Limo, Lurah Cinere dan Tokoh
Gereja Limo, guna membicarakan perkembangan yang ada
sekitar kemarahan ummat muslim dengan adanya penerusan
pembangunan gereja HKBP di Jl. Puri Pesanggrahan IV BCI,
Cinere. Di dalam pertemuan tersebut semua unsur
memberikan saran dan pendapat; yang inti kesimpulannya:
• Gereja tidak bisa dibangun bila tidak memenuhi ketentuan
Peraturan Bersama Dua Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006
• Bila di lapangan masih ada kegiatan agar segera laporkan
kepada pihak aparat yang berwenang.
Kendatipun mendapat protes dan tantangan dari ummat
muslim Cinere dan sekitarnya; walaupun dalam masa-masa
434 tertentu pembangunan dihentikan (dorman); namun
kenyataannya panitia pembangunan gereja HKBP tidak
berhenti berupaya meneruskan pembangunan.Sesudah hari
raya Idul Fitri 1429 H, tepatnya tanggal 12 Oktober 2008 jam
06.00 pagi; tiba Lagi ± 20 orang pekerja dari Cilacap untuk
rencananya mulai bekerja lagi hari senin tanggal, 13 Oktober
2008.
Namun kali ini umat muslim Cinere, Limo, Pangkalan
Jati, Gandul, dan Pondok Cabe, sudah hampir hilang
kesabaran, langsung bergerak menghadapi pihak panitia
pembangunan gereja HKBP yang nekat itu. Malam-malam
tanggal 12 Oktober 2008 sekitar jam 21.00 wib, ummat muslim
mendatangi lokasi gereja; dengan didampingi aparat Polsek
Limo, dengan tujuan untuk memberikan peringatan agar
pekerja yang ada tidak melanjutkan pekerjaannya. Karena
peristiwa itu dilakukan pada malam hari, maka para pekerja
yang ada lari menyelamatkan diri; dan pada jam 04.00 pagi
hari senin tanggal 13 Oktober 2008, semua pekerja itupun
sudah tidak ada lagi ditempat. Pembangunan gerejapun
mengalami "dorman" lagi.
a. Ummat Muslim Cinere tidak mau kecolongan lagi.
Untuk mengawasi dari dekat perkembangan yang
terjadi di lapangan; maka di Jl. Bandung ± 50 m lokasi calon
gereja dibangunlah sebuah POSKO pengawasan. Posko
tersebut walaupun tidak setiap saat namun tiap hari selalu
didatangi oleh petugas/anggota FSUM guna melakukan
pemantauan dari dekat.
b. Pada tanggal 26 Oktober 2008, dengan prakarsai oleh
FSUM; menyelenggarakan Istighozah dengan mengundang
seluruh ummat muslim Cinere dan sekitarnya, yang
tergabung di dalam DKM seperti: Husnul Khatimah
435
Cinere: Husnul Khatimah Cinere,, Imam Bonjol Pangkalan
Jati, An Nur BPK yang seluruhnya tidak kurang dari 17
DKM meliputi ± 1000 orang ummat muslim. Guna menepis
pendapat bahwa yang menolak pembangunan gereja HKBP
adalah orang-orang yang berdomisili di luar wilayah
Cinere, maka panitia menolak keikutsertaan berbagai
organisasi muslim/Islam di luar wilayah Cinere. Sehingga
jama'ah yang datang hanya; benar-benar dari masyarakat
yang berdomisili di sekitar Cinere.
c. Desakan-desakan melalui surat-surat terus dilancarkan ke
FSUM
Pada tanggal 8 Januari 2009 melalui surat no. 020/FSUM/I/
2009; FSUM Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, krukut,
Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya; mendesak Walikota
Depok agar mencabut IMB yang telah dikeluarkan oleh Bapak
Bupati Bogor melalui Setwildanya pada tahun 1998; karena
satu-satunya yang dijadikan dasar oleh pihak HKBP untuk
bersikeras meneruskan pembangunan adalah IMB tahun 1998
tersebut. Surat FSUM tersebut di atas mendapat tanggapan
positif dari Bapak Bupati Bogor. Tanggal 6 Februari 2009
dengan surat no. 452.2/35/HK; pada intinya Bapak Bupati
Bogor menyatakan bahwa berdasarkan UU RI No. 15 tahun
1999, kecamatan Limo masuk ke dalam wilayah administrasi
Kodya Depok, dan karenanya sepenuhnya berada di bawah
tanggungjawab Walikota Depok. Surat tersebut disampaikan
juga kepada Bapak Walikota Depok.
d. Pada tanggal 19 Februari 2009; melalui surat no.
022/FSUM/II/2009
Ketua
FSUM
sekali
lagi
menyampaikan surat kepada Bapak Walikota Depok;
dengan menjelaskan secara kronologis alasan-alasan/dasar
hukum
yang
dapat
dipergunakan
dalam
436 mempertimbangkan pencabutan IMB yang diterbitkan oleh
Setwilda Kabupaten Bogor tahun 1998 tersebut; sekali lagi
Ketua FSUM mohon agar Bapak Walikota Depok berkenan
mencabut/membatalkan IMB gereja HKBP dimaksud.
e. Pada tanggal 27 Maret 2009; mulalui Surat Keputusan no.
645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 Bapak Walikota Depok
resmi mencabut IMB No. 453.2/229/TKB/1998 tertanggal
13 Juni 1998 yaitu IMB untuk gereja dan gedung serbaguna
HKBP yang berlokasi di Jl. Puri Pesanggrahan IV Kaveling
NT 24 Kelurahan Cinere.
f. Pihak HKBP rupanya tidak dapat menerima keputusan
Walikota Depok tersebut, dan pada tanggal 7 Mei 2009
telah mendaftarkan pengaduan di Peradilan Tata Usaha
Negara (PRATUN) Bandung. Sidang pertama telah
berlangsung tanggal 2 Juni 2009 dan dilanjutkan tanggal 9
Juni 2009 seterusnya tanggal 23 Juni 2009.
Dengan demikian, permasalahan gereja HKBP di Jl. Puri
Pesanggrahan IV/Jl. Bandung Cinere, Depok telah memasuki
ranah hukum, dengan pihak yang berperkara terdiri dari
HKBP di satu pihak dan Walikota Depok beserta jajarannya di
pihak lain.
2. FKUB Kota Depok
a. Permohonan HKBP Pangkalan Jati Gandul Terkait
Pembangunan Kembali Tempat Ibadat dan Ruang Serba
Guna
Surat permohonan pembangunan kembali tempat ibadat
dan ruang serba guna yang ditujukan kepada FKUB Kota
Depok oleh HKBP Pangkalan Jati Gandul dengan nomor:
87/D. VIII/R1/PJG/XII/2007 adalah sebagai berikut:
437
1. Lokasi/tempat
bangunan;
Jl.
Bandung/Jl.
Puri
Pesanggarahan IV Kav. NT-24 Bukit Cinere Indah No. 014
Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok.
2. Perizinan yang ada; a. IMB (Izin Mendirikan Bangunan)
No. 453.2/229/TKB/1998, tanggal 13 Juni 1998 yang
dikeluarkan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bogor, b.
Surat dari warga sekitar lokasi, tentang tidak keberatan
untuk pembangunan kembali Tempat Ibadat dan Gedung
Serba Guna, c. Surat dari Pengurus Rukun Warga RW.014
Bukit Cinere Indah No. 049/KRW/XII/07 tanggal 5
Desember 2007, perihal Persetujuan dan tidak keberatan
pembangunan kembali Gereja HKBP.
3. Data Jemaat HKBP yang menginginkan tempat ibadat,
sesuai daftar Ruas Ni Huria (Anggota Jemaat) HKBP
Pangkalan Jati Gandul, Ressort Kebayoran Selatan, Distrik
VIII Jawa Kalimantan Tahun 2007:
•
•
•
•
•
Kelurahan Cinere
Kecamatan Limo
Kelurahan Ciputat, Tanggerang
Jakarta Selatan
Daerah lainnya
Jumlah
: 161 orang
: 493 orang
: 66 orang
: 262 orang
: 37 orang
1.019 orang
Hal tersebut di atas, kami sampaikan sesuai dengan
PBM tentang persyaratan pembangunan rumah ibadat,
dimana disyaratkan adanya koordinasi dengan FKUB tingkat
Kotamadya dan instansi terkait lainnya untuk pelaksanaan
pembangunan tempat rumah ibadat dimaksud.
Perlu kami sampaikan bahwa kami akan memulai
pembangunan kembali Tempat Ibadat dan Gedung Serba
Guna pada awal Januari 2008. Untuk itu kami harapkan
438 adanya pertemuan koordinasi antara kami dan FKUB Kodya
Depok. Waktu dan tempat kami serahkan sepenuhnya kepada
FKUB Kodya Depok.
b.
Rekomendasi FKUB Kota Depok untuk Panitia
Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul
Terkait dengan kebijakan pencabutan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) tempat ibadat dan gedung serbaguna atas
nama HKBP Pangkalan Jati Gandul, yang ditetapkan dalam
Surat Keputusan Walikota Depok Nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009. Pihak Pimpinan FKUB
Kota Depok sebelumnya telah mengeluarkan Surat Keputusan
Nomor
023/FKUB/VI/2008
tentang
Rekomendasi
Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangkalan Jati Gandul tanggal 2 Juni 2008 berdasarkan surat
permohonan Jemaat HKBP Pangkalan Jati Gandul Resort
Kebayoran Selatan No. 87/D.VIII/R1/-PJG/XII/2007 tanggal
18 Desember 2007 perihal permohonan IMB rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP di Jl. Pesanggrahan IV/Jl. Bandung
Kawasan Cinere, Kecamatan Limo, dalam konsedaran
menimbang:
1. Bahwa pendirian rumah ibadat harus didasarkan pada
keperluan nyata dengan pelaksanaannya tetap menjaga
kerukunan
umat
beragama,
tidak
mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum;
2. Bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi
tanggung jawab bersama antarumat beragama, pemerintah
daerah dan pemerintah;
3. Bahwa sehubungan dengan permohonan IMB rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul
perlu dikeluarkan Rekomendasi tertulis.
439
Dalam Surat Keputusan FKUB Kota Depok Nomor
023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul tanggal 2 Juni 2008 konsedaran mengingat: a) Bab IV
Pasal 13 (1) dan (2), Pasal 14 (1) dan (2) PBM No. 9 dan No. 8
tahun 2006, dan b) Pedoman Kerja dan Kode Etik FKUB Kota
Depok.
Selanjutnya dalam Surat FKUB Kota Depok Nomor
023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul tanggal 2 Juni 2008 konsedaran memperhatikan:
1. Aspirasi masyarakat khususnya kalangan masyarakat
Muslim Cinere dan sekitarnya yang menyatakan keberatan
dan menolak pembangunan rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di lingkungan
mereka;
2. Surat penghentian pembangunan no. 300/923-Tb tanggal 8
Juli 2000 dari Walikota Depok kepada Ketua Panitia
Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangkalan Jati Gandul;
3. Pendapat dan saran yang disampaikan dalam rapat
koordinasi antarinstansi terkait tanggal 18 April 2008 di
Kantor Kesbang Linmas Kota Depok;
4. Laporan hasil investigasi kelompok kerja FKUB Kota
Depok di bawah koordinasi Sdr. Slamet Riyadi;
5. Pendapat dan saran yang disampaikan dalam rapat pleno
khusus membahas agenda permohonan IMB rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di
kawasan Cinere, tanggal 31 Mei 2008.
440 Bagian akhir Surat Keputusan Forum Kerukunan Umat
Beragama Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang
Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul tanggal 2 Juni 2008
menetapkan:
Pertama, Memberikan rekomendasi kepada Walikota
Depok untuk segera melakukan pendekatan kepada pihakpihak terkait dengan semangat kekeluargaan demi mencegah
terjadinya salah paham yang mengarah pada situasi yang
disharmoni; Kedua, menetapkan solusi final bagi berakhirnya
masalah yang telah berlangsung lama, sejak penolakan
pertama oleh masyarakat pada tahun 1992. Ketiga, keputusan
ini berlaku sejak dikeluarkan.
c. Surat FSUM Terkait Penolakan Rekomendasi FKUB
FSUM merespon rekomendasi FKUB Kota Depok nomor
023/FKUB/VI2008 tanggal 2 Juni 2008 tentang Rekomendasi
Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangkalan
Jati
Gandul
dengan
nomor
suratnya:
004/FSUM/X/2008 tentang Penolakan Rekomendasi FKUB
Kota Depok tersebut berpendapat dan menyatakan:
1. Tidak memahami dan tidak mengerti keseluruhan dari SK
tersebut, terutama:
• Tidak ada sama sekali akomodasi tuntutan masyarakat
FSUM sebagaimana tercantum dalam petisi FSUM dan
pertemuan dengan pihak FKUB tanggal 20 September 2008.
• Bagaimana pertimbangan FKUB sehingga surat yang
dikeluarkan 2 Juni 2008 baru dikirim dan diterima oleh
FSUM pada bulan Oktober, setelah penyampaian
aspirasinya pada tanggal 20 September 2008.
441
• Mengapa keputusan tersebut tentang: permohonan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul bukan : penolakan pembangunan HKBP yang
secara nyata di lapangan telah 2 (dua) kali menimbulkan
suasana instabilitas baik dalam kerukunan umat beragama
maupun ketertiban masyarakat sehingga memberikan
kesan dan nuansa untuk diterbitkannya IMB rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di Jl.
Bandung, Cinere.
2. FSUM mendesak pada FKUB agar:
• Mengeluarkan rekomendasi "Menolak Pendirian rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul"
sebagai
bahan
pertimbangan
Walikota
mengeluarkan keputusan pencabutan IMB rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul yang
ada dan tidak menerbitkan IMB baru untuk selamalamanya (surat FSUM Nomor: 2/FSUM/X/2008)
• Mencabut SK No. 23/FKUB/VI/2008 tanggal 2 Juni 2008,
karena bertentangan dengan aspirasi Umat Islam Cq.
FSUM yang disampaikan di kantor FKUB 20 September
2008 sekaligus ikut memelihara kerukunan umat beragama
dan ketertiban masyarakat di wilayah Depok pada
umumnya, wilayah kecamatan Limo pada khususnya,
sesuai tujuan dikeluarkannya PBM.
d. Penolakan Rekomendasi FKUB Kota Depok
Sehubungan dengan rekomendasi FKUB Kota Depok
tersebut di atas, kemudian dilakukan ralat kembali Surat
Penolakan Rekomendasi oleh pihak FKUB Kota Depok No.
026/FKUB/X/2008 atas dasar pertimbangan surat FSUM no.
442 004/FSUM/X/2008 tertanggal 17 Oktober 2008, yang
ditujukan kepada Pengurus FSUM. Bunyi surat tersebut
adalah:
Permohonan maaf apabila rekomendasi kami tidak
sepenuhnya memenuhi aspirasi FSUM Cinere dan sekitarnya,
dan permohonan maaf atas ketidakcermatan yang bisa
mengundang kesan adanya rekayasa. Meskipun telah
berusaha seteliti mungkin, diakui sebagai manusia memiliki
banyak kelemahan.
Kami telah menjelaskan kepada delegasi FSUM pada
tanggal 20 September 2008 di ruang rapat FKUB, disaksikan
para perwira Polres Metro Depok dan Pejabat Kantor Kesbang
Linmas, bahwa sebelum mereka datang telah ada sejumlah
pernyataan keberatan dan penolakan dibangunnya HKBP
Cinere.
Kami memang tidak menyebut secara eksplisit dan rinci
aspirasi semua kelompok masyarakat yang menyatakan
keberatan dan penolakan. Namun jiwa dan semangatnya
sudah tercermin pada butir 1 (klausal memperhatikan) yang
menyatakan, kami memperhatikan aspirasi masyarakat
khususnya kalangan Muslim Cinere dan sekitarnya yang
menyatakan keberatan dan menolak pembangunan rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di
lingkungan mereka.
Sebelum FSUM menyampaikan aspirasi, 20 September
2008, pleno FKUB menetapkan rekomendasi yang akan
dikeluarkan tanggal 7 Juni 2008, namun pengirimannya
menunggu kelengkapan dokumen penghentian pembangunan yang telah kami mintakan dari jajaran Pemkot Depok.
443
Ternyata H. Syarif dari FSUM kemudian menyerahkan
surat Walikota Depok bernomor 300/923-Tb tanggal 8 Juli
2000 tentang penghentian pembangunan rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, yang FKUB
tunggu.
Dengan tambahan data yang FKUB cantumkan pada
butir 2 (klausal memperhatikan), Pengurus FKUB
memutuskan agar Rekomendasi yang telah disepakati segera
disampaikan kepada Walikota, dengan penyesuaian sesuai
perkembangan yang terjadi.
Apapun penyebabnya kami menegaskan bahwa hal itu
terjadi semata-mata kesalahan manusiawi, bukan karena ada
maksud-maksud lain. Untuk itu kami mohon maap, dan
bersedia meralatnya dengan ucapan terima kasih atas koreksi
yang telah disampaikan.
kami dapat memahami pendapat dan interpretasi warga
masyarakat tentang tugas dan fungsi FKUB, namun perlu
disampaikan, wewenang untuk diterbitkannya IMB rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul
sepenuhnya menjadi tugas dan tanggungjawab Walikota
dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama,
pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadat. FKUB
sebatas menyampaikan rekomendasi tertulis seperti telah
diatur dalam PBM.
Sehubungan dengan surat FSUM No. 004/FSUM/
X/2008 tanggal 17 Oktober 2008 terkait butir 2 huruf (a) dan
(b), agar FKUB menolak pendirian rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, kami mohon maaf,
bahwa hal itu tidak dapat dilakukan oleh FKUB, karena dalam
melaksanakan tugasnya, FKUB harus tunduk pada PBM.
444 3. Rekomendasi Kandepag Kota Depok
Kepala Kantor Departemen Agama Kota Depok sebagai
instansi pemerintah yang berada di wilayah Kodya Depok
yang sesuai dengan ketentuan PBM adalah fungsi dan
tugasnya memberikan rekomendasi kepada Kepala Daerah
Tingkat Kab/Kota. Dalam hal ini Kepala Kandepag Kota
Depok memberikan rekoendasi kepada Walikota Depok
dengan
nomor:
Kd.10.22/HM.00/1126/2008
perihal
Rekoendasi Penolakan Pembangunan Kembali rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul Jl. Puri
Pesanggrahan IV/Jl. Bandung Bukit – Cinere Indah.
Alasan rekomendasi berdasarkan surat Pengajian
Keluarga Bukit Cinere Indah/Majelis Taklim Nurul Mu'min
Nomor : 11/V/2008, tanggal 12 Mei 2008, perihal Penolakan
Pembangunan Kembali rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul dimaksudkan: untuk
mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan kami
merekomendasikan
kepada
Walikota
Depok
untuk
menghentikan/menolak permohonan izin pembangunan
gereja tersebut, karena tidak sesuai/belum memenuhi
peraturan/ perundang-undangan yang berlaku antara lain
mendapatkan izin lingkungan.
C. Kebijakan Walikota Depok tentang pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan
Jati Gandul terkait dengan Ketentuan Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 dan PBM.
1. Latar belakang kebijakan
Kebijakan Walikota Depok Nomor: 645.8/144/Kpts/
Sos/ Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang pencabutan
IMB tempat ibadat dan gedung serbaguna atas nama HKBP di
445
Jalan
Pesanggarahan
pertimbangan:
Cinere,
Limo-Depok
dengan
a. Tanggal 13 Juni 1998 Bupati KDH TK. II Bogor telah
mengeluarkan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
tempat ibadah dan gedung serbaguna Atas nama HKBP di
Jl. Pesanggarahan atau yang sekarang dikenal dengan Jalan
Bandung-Cinere, Limo-Depok;
b. Dalam
pelaksanaannya
sejak
dikeluarkan
IMB
sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai saat ini,
pembangunan gereja dan gedung serbaguna milik HKBP
dimaksud tidak dapat terselesaikan, dikarenakan terjadi
penolakan oleh warga disekitar lokasi yang tergabung
dalam Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok
Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo
dan sekitarnya yang ditandai dengan terjadinya beberapa
kali konflik di lapangan pada saat pembangunan
dilaksanakan;
c. Untuk menjaga hal-hal yang tidak dinginkan berupa aksi
massa secara spontan dan tidak terkendali yang dilakukan
masyarakat, pada tanggal 8 Juli 2000 Pemerintah Kota
Depok telah mengeluarkan surat dengan nomor 300/923TIB yang ditujukan kepada Ketua Pembangunan rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul
untuk menghentikan kegiatan pembangunan gereja dan
gedung serbaguna tersebut.
d. Pihak HKBP saat ini masih berupaya untuk melaksanakan
pembangunan gereja dan gedung serbaguna dengan
berdasarkan IMB yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kabupaten Bogor sebagaimana dimaksud pada huruf a;
446 e. Terhadap upaya sebagaimana dimaksud pada huruf d,
pihak Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok
Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo
dan sekitarnya telah menyampaikan penolakan kepada
Walikota Depok melalui surat Nomor 022/FSUM/II/-2009
tanggal 19 Februari 2009 perihal penolakan pembangunan
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul di Jl. Bandung-Cinere, Limo-Depok;
f. Berdasarkan Pasal 27 huruf c Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008, Walikota selaku Kepala Daerah mempunyai
kewajiban memelihara ketenteraman dan ketertiban
masyarakat;
g. Dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada huruf f serta untuk mencegah terjadinya
konflik di lapangan atas pembangunan rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP di Jl. Pesanggarahan atau yang
sekarang dikenal dengan Jl. Bandung –Cinere, Limi-Depok,
maka dengan berdasarkan kepada Pasal 27 huruf c,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Rekomendasi dari
Kantor Departemen Agama Kota Depok Nomor
KD.10.22/I/HM.00/1126/2008 dan Surat Keputusan
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Depok
Nomor
023/FKUB/VI/2008
tentang
Rekomendasi
Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul, Pemerintah Kota Depok
perlu mengambil sikap atas rencana pembangunan gereja
dan gedung serbaguna HKBP dimaksud;
447
h. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan
huruf g perlu ditetapkan Keputusan Walikota tentang
Pencabutan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat dan
Gedung Serbaguna HKBP di Jl. Pesanggrahan-Cinere,
Limo-Depok.
Dalam Surat Keputusan Walikota Depok Nomor:
645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009
konsedaran mengingat:
a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan
Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3828);
b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua
448 atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
g. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pedoman Pelaksana Tugas Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat;
h. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang
Menjadi Kewenangan Pemerintah Kota Depok (Lembaran
Daerah Kota Depok Tahun 2008 Nomor 07);
i. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2008
tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah
Kota Depok Tahun 2008 Nomor 08).
449
Selanjutnya dalam Surat Keputusan Walikota Depok
Nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret
2009 konsedaran memperhatikan:
a. Keputusan Bupati Bogor Nomor 453.2/229/TKB/1998
tanggal 13 Juni 1998 tentang izin Mendirikan Bangunan
(IMB) Tempat Ibadat dan Gedung Serbaguna;
b. Surat Walikota Depok Nomor: 300/923-Tib tanggal 8 Juli
2000 tentang Penghentian Pembangunan;
c. Surat Keputusan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) Nomor: 023/FKUB/VI/2008 tanggal 2 Juni 2008
tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul.
d. Surat Kepala Kantor Departemen Agama Kota Depok
Nomor: Kd.10.22/I/HM.00/1128/2008 tanggal 9 Juni 2008
tentang Rekomendasi Penolakan Pembangunan Kembali
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul.
Bagian akhir Surat Keputusan Walikota Depok Nomor:
645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009
menetapkan:
Pertama, mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Tempat Ibadat dan Gedung Serbaguna atas nama HKBP
Pangkalan Jati Gandul yang beralamat di Jl. Pesanggrahan IV
Kav. NT-24 Kelurahan Cinere Kecamatan Limo Depok yang
diperbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Nomor
: 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998.
Kedua, Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
450 6. Tanggapan Panitia Pembangunan rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul
Umat Kristen dan Persekutuan Gereja-Gereja Setempat
(Kota Depok) menolak pencabutan IMB rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul yang
beralamat di Jalan Puri Pesanggarahan IV Kav NT-24
Kelurahan Cinere Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat.
Penolakan tersebut karena dasar pencabutan IMB tidak
mengacu kepada Peber Menteri Agama dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelaksana Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
daerah dalam kerukunan Umat Beragama, pemberdayaan
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian
Rumah Ibadat.
Sebelumnya Gereja tersebut telah mendapat IMB yang
diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Nomor
453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998, namun keputusan
tersebut dibatalkan oleh Wali Kota Depok Nur Mahmudi
Ismail melalui keputusannya Nomor 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 menyatakan mencabut IMB rumah Ibadat dan
gedung serbaguna atas nama HKBP Pangakalan Jati Gandul
pada 27 Maret 2009.
Menurut Nur Mahmudi keputusan tersebut diambilnya
sudah dengan sangat hati-hati atas pertimbangan karena
disinyalir IMB tersebut bermasalah dan tidak valid, Nur
Mahmudi yang adalah mantan Presiden PKS dan juga mantan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan di era Presiden
Abdurahman Wahid juga mengatakan bahwa sebelum
mengeluarkan pencabutan izin tersebut dia telah melakukan
konsultasi dengan para muspida setempat, dan terakhir
dengan Bupati Bogor Rahmat Yasin mengenai bagaimana
451
sikap yang harus diambil terhadap rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul tersebut.
Gereja dan gedung serba guna didirikan di atas tanah
seluas 5000 meter persegi yang dibeli oleh jemaat pada tahun
1997, namun pembangunan tersebut mengalami penundaan
dikarenakan keterbatasan biaya. Satu-satunya upaya jemaat
HKBP dalam memperjuangkan hak-haknya adalah harus
menempuh jalur hukum, yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jawa Barat. Akhirnya Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Bandung memenangkan gugatan HKBP
Cinere atas Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail yang
mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadat dan
gedung serbaguna HKBP. Kelanjutan perkara ini, kabarnya
akan ada tuntutan memori banding dari Nur Mahmudi ke
Kejaksaan Tinggi di Jakarta.
Kerukunan hidup antar umat beragama masih
merupakan masalah serius, pencabutan IMB rumah ibadat
dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh
Walikota Depok. Kita tahu ini hanya salah satu peristiwa
hambatan yang dialami oleh gereja-gereja di Indonesia
kendatipun SKB 1969 telah diganti Peraturan Bersama Menag
dan Mendagri 2006. Kita mendapat kesan pemerintah
mengambil “sikap aman” dengan membiarkan masyarakat
menghadapi sendiri masalah pelanggaran HAM. Pemerintah
mengambil “sikap aman” dengan membiarkan sekelompok
orang menutup atau merusak rumah ibadah, menghancurkan
warung-warung dan melakukan razia. Bahkan ketika terjadi
musibah rakyat seperti dibiarkan berjuang sendiri. Di mana
peranan pemerintah menegakkan hukum dan mengayomi
masyarakat seperti digariskan di dalam undang-undang?
452 Sangat memprihatinkan, hidup di sebuah negara yang
melindungi hak-hak warga negaranya untuk bebas
melakukan Ibadah, ternyata ada oknum pejabat berwenang
yang justru tidak senang dengan adanya pendirian rumah
ibadat bagi masyarakat tertentu.
D. Dasar Pertimbangan Walikota Depok Mencabut IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul.
1. Hubungan Kebijakan Walikota Depok dengan PBM
Dalam pelaksanaannya sejak dikeluarkan IMB rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Cinere, pembangunan
rumah ibadat dan gedung serbaguna milik HKBP dimaksud
tidak dapat terselesaikan, dikarenakan terjadi penolakan oleh
warga di sekitar lokasi yang tergabung dalam Forum
Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan
Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya yang
ditandai dengan terjadinya beberapa kali konflik di lapangan
pada saat pembangunan dilaksanakan.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak dinginkan berupa
aksi massa secara spontan dan tidak terkendali yang
dilakukan masyarakat, pada tanggal 8 Juli 2000 Pemerintah
Kota Depok telah mengeluarkan surat dengan nomor
300/923-TIB yang ditujukan kepada Ketua Pembangunan
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul untuk menghentikan kegiatan pembangunan gereja
dan gedung serbaguna tersebut. Pihak HKBP saat ini masih
berupaya untuk melaksanakan pembangunan rumah ibadat
dan gedung serbaguna dengan berdasarkan IMB yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor.
453
Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe,
Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan
sekitarnya telah menyampaikan penolakan kepada Walikota
Depok melalui surat Nomor 022/FSUM/II/2009 tanggal 19
Februari 2009 perihal penolakan pembangunan gereja HKBP
Cinere.
Berdasarkan Pasal 27 huruf c Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008,
Walikota selaku Kepala Daerah mempunyai kewajiban
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Dalam
rangka menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud serta
untuk mencegah terjadinya konflik di lapangan atas
pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangkalan Jati Gandul, maka dengan berdasarkan kepada
Pasal 27 huruf c, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Rekomendasi
dari Kantor Departemen Agama Kota Depok Nomor
KD.10.22/I/HM.00/1126/2008 dan Surat Keputusan Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Depok Nomor
023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati
Gandul, Pemerintah Kota Depok perlu mengambil sikap atas
rencana pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna
HKBP Pangkalan Jati Gandul dimaksud;Respon FKUB
terhadap kebijakan Walikota Depok.
454 BAB V
ANALISA
K
ota administrasi Depok merupakan kota
metropolitan, kehidupan masyarakatnya sangat
beragam, seperti; etnik, budaya, dan agama.
Aspek keyakinan beragama masyarakatnya menunjukkan
penganut Islam jumlahnya sangat besar yaitu 1.319.224 jiwa
(89,97%),
dari
sejumlah
penduduk
1.503.677,
bila
dibandingkan dengan penganut agama-agama lainnya seperti;
Kristen (5,23%), Katolik (3,50%), Hindu (0,58%), Buddha
(0,70%) dan Konghuchu (0,02%).
Berbagai keputusan dan kebijakan Walikota Depok
harus memperhatikan dari berbagai keperluan dan
kepentingan lapisan masyarakat yang ada, termasuk dalam
hal ini masalah pendirian rumah ibadat oleh masing-masing
penganut agamanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan otonomi
daerah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 22
huruf a menyebutkan dalam menyelenggarakan otonomi,
daerah mempunyai kewajiban: melindungi masyarakat,
menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan masalah pencabutan IMB rumah
ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangakalan Jati Gandul
oleh Walikota Depok Nomor 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/-2009
tanggal, 27 Maret 2009, yang berakibat menimbulkan pro dan
kontra di kalangan umat Kristen khususnya Jemaat HKBP dan
masyarakat Muslim yang ada disekitar lokasi pembangunan
455
rumah ibadat, bahkan melibatkan beberapa tokoh agama,
tokoh masyarakat dan masyarakat luas yang ada di wilayah
kecamatan Limo. Meskipun sebelumnya Gereja tersebut telah
mengantongi IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangakalan Jati Gandul yang diterbitkan Pemerintah
Kabupaten Bogor dengan Nomor 453.2/229/TKB/1998
tanggal 13 Juni 1998.
Keputusan Walikota Depok tentang pencabutan IMB ini
dalam rangka menjalankan kewajiban untuk mencegah
terjadinya konflik di lapangan atas pembangunan rumah
ibadat HKBP Pangakalan Jati Gandul. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 27 huruf
c dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dan 26 undang-undang ini, kepala
daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban:
memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Namun, pada tataran rialitas keputusan pencabutan
IMB ini ternyata menuai protes/penolakan dan ditempuh
melalui jalur hukum oleh pihak panitia pembangunan rumah
ibadat HKBP Pangakalan Jati Gandul ke PTUN Bandung
dengan menggugat Walikota Depok selaku pembuat
keputusan pencabutan IMB rumah ibadat.
Alasan panitia pembangunan dan Jemaat HKBP
menolak pencabutan IMB adalah tidak mengacu kepada PBM.
Dalam Bab VI Pasal 21 ayat (1) perselisihan akibat pendirian
rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh
masyarakat setempat. Ayat (2) Dalam hal musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai,
penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Bupati/Walikota
dibantu kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota
melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak
456 memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran
FKUB kabupaten/kota. Ayat (3) Dalam hal penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui
pengadilan setempat.
Salah
satu
alasan
yang
kuat
mendukung
dikeluarkannya
keputusan
pencabutan
IMB
adalah
kehendak/kemauan masyarakat di lingkungan sekitarnya
melalui FSUM Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut,
Maruyung, Gandul, Limo telah menyampaikan penolakan
kepada Walikota Depok melalui surat Nomor 022/FSUM/II/2009 tanggal 19 Februari 2009.
Selain itu, adanya rekomendasi dari Kepala Kantor
Depag Kota Depok Nomor KD.10.22/I/HM.00/1126/2008
tentang penolakan pembangunan rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dan Surat Keputusan
FKUB Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang
Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangakalan Jati Gandul. Selanjutnya rekomendasi FKUB
tersebut dilakukan ralat kembali dengan perihal Penolakan
Rekomendasi oleh pihak FKUB Kota Depok dengan no.
026/FKUB/X/2008 atas dasar pertimbangan surat FSUM no.
004/FSUM/X/2008 tertanggal 17 Oktober 2008, yang
ditujukan kepada Pengurus FSUM.
Keputusan Walikota Depok ini juga dipandang oleh
Jemaat HKBP dan masyarakat Kristen adalah mendiskriminasikan pihak minoritas yang tinggal di wilayah Kota Depok,
semestinya seorang Walikota adalah figur publik yang bisa
mengayomi berbagai kelompok masyarakat yang ada. Berarti
masalah ini, tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 32
457
Tahun 2004 Pasal 28 huruf a Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dilarang: membuat keputusan yang secara khusus
memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni,
golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok
masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau
golongan masyarakat lain.
Respon keberatan masyarakat FSUM Cinere, Pondok
Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo
terkait IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP
Pangkalan Jati Gandul dapat penulis pahami secara simbolik
adalah ketidaksenangan mereka terhadap tata krama ataupun
perilaku orang Batak dalam melakukan pembangunan rumah
ibadat tersebut yang tidak memperdulikan psikologis, dan
sosial budaya kehidupan masyarakat Islam orang Depok.
Disisi lain dapat penulis pahami adanya predijuce suatu
ancaman kelangsungan Islam masyarakat Depok terhadap
penyebaran keimanan (teologis) Kristen oleh sekelompok
masyarakat Batak yang ada dilingkungan Jemaat HKBP.
Sedangkan posisi ataupun peranan FKUB Kota Depok
terkait kasus pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung
serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul ini telah membuat
surat rekomendasi kepada Walikota Depok Nomor
023/FKUB/VI/2008: Pertama, untuk segera melakukan
pendekatan kepada pihak-pihak terkait dengan semangat
kekeluargaan demi mencegah terjadinya salah paham yang
mengarah pada situasi yang disharmoni; Kedua, menetapkan
solusi final bagi berakhirnya masalah yang telah berlangsung
lama, sejak penolakan pertama oleh masyarakat pada tahun
1992. Ketiga, keputusan ini berlaku sejak dikeluarkan.
458 Rekomendasi ini ternyata mendapat penolakan keras
oleh pihak FSUM, kemudian dilakukan ralat kembali Surat
Penolakan Rekomendasi oleh pihak FKUB Kota Depok No.
026/FKUB/X/2008 atas dasar pertimbangan surat FSUM no.
004/FSUM/X/2008 tertanggal 17 Oktober 2008, yang
ditujukan kepada Pengurus FSUM. Rekomendasi tersebut
intinya adalah:
1. Telah menjelaskan kepada delegasi FSUM pada tanggal 20
September 2008 di ruang rapat FKUB, disaksikan para
perwira Polres Metro Depok dan Pejabat Kantor Kesbang
Linmas, bahwa sebelum mereka datang telah ada sejumlah
pernyataan keberatan dan penolakan dibangunnya HKBP
Pangkalan Jati Gandul.
2. Memang tidak menyebut secara eksplisit dan rinci aspirasi
semua kelompok masyarakat yang menyatakan keberatan
dan penolakan. Namun jiwa dan semangatnya sudah
tercermin pada butir 1 (klausal memperhatikan) yang
menyatakan, kami memperhatikan aspirasi masyarakat
khususnya kalangan Muslim Cinere dan sekitarnya yang
menyatakan keberatan dan menolak pembangunan gereja
HKBP di lingkungan mereka.
3. FKUB dapat memahami pendapat dan interpretasi warga
masyarakat tentang tugas dan fungsinya, wewenang
untuk diterbitkannya IMB gereja HKBP sepenuhnya
menjadi tugas dan tanggungjawab Walikota dalam rangka
memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan
FKUB dan pendirian rumah ibadat. FKUB sebatas
menyampaikan rekomendasi tertulis seperti telah diatur
dalam PBM.
4. Sehubungan dengan surat FSUM tersebut, agar FKUB
menolak pendirian gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul,
459
kami mohon maaf, bahwa hal itu tidak dapat dilakukan
oleh FKUB, karena dalam melaksanakan tugasnya, FKUB
harus tunduk pada PBM.
Dengan demikian, FKUB Kota Depok telah
berupaya melakukan tugas dan fungsinya sesuai
ketentuan PBM, namun adanya surat ralat rekomendasi
penolakan pencabutan IMB tersebut menjadikan tugas
dan fungsinya tidak tegas dan dapat terpengaruh dengan
keinginan ataupun desakan pihak FSUM dan masyarakat
sekitarnya.
460 BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
B
erdasarkan penjelasan di atas, dalam penelitian
ini dapat diambil beberapa simpulan sebagai
berikut:
1. Kebijakan Walikota Depok melakukan pencabutan IMB
rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangakalan
Jati Gandul dimaksudkan dalam rangka menjalankan
kewajiban untuk mencegah terjadinya konflik. Namun
Jemaat HKBP dan persekutuan gereja-gereja setempat
menolak pencabutan IMB tersebut, karena sesungguhnya
tidak mengacu kepada PBM.
2. Semestinya Walikota Depok adalah figur publik yang bisa
mengayomi berbagai kelompok masyarakat yang ada,
sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 28 huruf
a.
3. Dasar pertimbangan yang kuat mendukung keputusan
Walikota Depok melakukan pencabutan IMB tersebut
adalah kehendak/kemauan masyarakat di lingkungan
sekitarnya melalui FSUM Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan
Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo.
B. Rekomendasi
Dari hasil penelitian ini yang dapat penulis sampaikan
dalam rekomendasi adalah:
461
1. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisiasi PBM lebih
intensif dan berkelanjutan kepada aparat pemerintah,
tokoh agama, tokoh masyarakat, dan warga masyarakat
agar dapat memahami ketentuan perundang-undangan
sehingga tidak terjadi konflik dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa.
2. Perlu ketegasan dari FKUB kab/kota dalam bersikap dan
memberikan rekomendasi dalam menerbitkan dan
meninjau IMB rumah ibadat sesuai dengan PBM kepada
pihak bupati/walikota tanpa tekanan dari pihak manapun.
3. Dalam menerbitkan dan meninjau IMB rumah ibadat,
pemerintah kab/kota wajib mengacu kepada ketentuan
PBM dan aspirasi masyarakat tanpa memihak kepada
kelompok tertentu.
4. Kasus-kasus yang terkait dengan penerbitan dan
peninjauan IMB rumah ibadat perlu menjadi dasar
pertimbangan Depag, Depdagri serta majelis-majelis agama
dalam rangka membenahi, dan menyusun kebijakan
peraturan pemerintah daerah sesuai PBM.
462 DAPTAR PUSTAKA
Aris Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan
Keputusan (Jakarta: Buletin LPMP, No.9, 1995).
Allen J Putt and J Fred Springer, Policy Research (New Jersey:
Prentice Hall, 19890).
Bardach Eugene, A Practical Guide for Policy Analysis The
Eighfold to One Effective Problem Solving (New York:
Catham House Publishers of Seven Bridges Press,
2000).
Burt Nanus, Visionary Leadership (San Fansisco: Jossey Bass
1992).
Colin Newton and Tonny Tarrant, Managing Change in Schools
(London: Routladge, 1992).
Charles C Manzs, dan Henry P. Sim, Jr, The New Super
Leadership (San Fransisco: Bernett Koehler Publishers,
inc, 2000).
David Thenuwara Gamage and Nicholas Sun-Keung Pang,
Leadership
and
Management
in
Education
(Hongkong:The Chinese University Press, 2003).
E.G Bogue and Robert L. Sauders, The Educational Manager:
Artist and Practitioner (California: Wardsworth
Publishing Company, 1976).
Hessel Nogi S Tangkilisan, Implementasi Kebijakan Publik
(Yoyakarta: Lukman Offset, 2003).
James L. Gibson, John M. Ivancevich and James H. Donnelly,
Jr, Organization: Behavior, Structure, and Process,
(Amerika: Richard D Irwins, 1997).
463
John M. Ivancevich and Michael T. Matesson, Organizational
Behavior (New York: McGraw Hill, 2002).
Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik (Malang:Bayumedia
Publishing, 2007).
John Thomas Thompson, Policymaking in American Education
(New Jersey: Englewood Cliffs, 1976).
Laurence R. Jauch and William Glueck, Business Policy and
Strategic Management (Singapura: McGraw Hill,
1988).
Leo
Agustino, Dasar-Dasar
Alfabeta, 2006).
Kebijakan
Publik
(Bandung:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama, Peraturan Bersama Menag dan
Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan
Pendirian Rumah Ibadat, Cet. Kedua, 2006.
Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Center for
Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)
Universitas Gadjah Mada, Laporan Tahunan Kehidupan
Beragama Di Indonesia Tahun 2008, Diterbitkan pada
Desember 2008.
Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik: Formulasi,
Implementasi, dan Evaluasi (Jakarta: Elek Computindo,
2003).
Riant Nugroho Dwijowijoto, Implementasi Kebijakan Publik
(Yogyakarta: Lukman Ofset, 2003).
464 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik ( Jakarta: Suara Bebas,
2006).
Stephen P. Robbins, Essentials of Organizational Behavior (New
Jersey:Prestice Hall, 1984).
William G. Monahan and Herbert R. Hengst, Contemporery
Educational Administration (New York:Macmillan
Publishing, Co,Inc.1982).
William
N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik
(Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2003).
Waren R. Plunkett, Raymond F Attner, dan Gemmy S. Allen,
Management: Meeting and Exceeding Customer
Expectations (New York: Thomson South Western,
2005).
465
466 RESPON MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
PROPINSI BANTEN
TERHADAP TAYANGAN INFOTAINMEN DI TELEVISI
Oleh:
Muchtar
RESPON MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
PROPINSI BANTEN TERHADAP TAYANGAN
INFOTAIMEN DI TELEVISI
Muchtar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
erubahan sosial terwujud sebagai peristiwa, proses,
dan arah perkembangan. Yang bisa mengalami
perubahan adalah kedudukan dan peranan, kolektif,
aturan-aturan ataupun nilai-nilai struktur sosial. Perubahan
tersebut bisa terjadi secara terbatas dan bisa secara
menyeluruh, peristiwa tertentu bisa mengakibatkan
perubahan pada satuan atau satuan yang terbatas tanpa
mengakibatkan perubahan pada keseluruhan sistem.
Perubahan sosial tertentu bisa saja terjadi tanpa upaya yang
sengaja diadakan dan bisa juga terjadi sebagai akibat upaya
yang sengaja diadakan.1
P
Televisi memiliki peranan sangat penting dalam rangka
menyampaikan informasi, pesan-pesan maupun berita kepada
masyarakat disamping media ini sangat mudah diakses dan
tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Cara
ini dipandang sangat efektif dan menarik serta efesisen karena
1 Sudjangi, Agama dan Masyarakat,Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama, Departemen Agama, hal, 168, tahun 1992/1993. 467
dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, sesuai dengan
tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman.
Acara televisi sangat digemari oleh masyarakat terutama
di perkotaan, karena televisi memiliki kelebihan dibandingkan
dengan media lainnya, antara lain kecepatan, kemudahan dan
kesegaran topiknya (immediatelly), berkelanjutan (continuity),
suasana keakraban dan kedekatan pemirsanya (intimacy) serta
komunikasi bersifat langsung (directness). (Phiggins dalam
Arraiyyah dan Anwar, R. 2001).2
Oleh karena itu program-program di Televisi terus
dikembangkan seiring dengan perkembangan dan kemajuan
zaman , baik yang dilakukan oleh TVRI sebagai lembaga
penyiaran publik maupun televisi swasta seperti RCTI, SCTV,
TPI, INDOSIAR, AN-TV, TV-7 dan lain-lainnya yang
kesemuanya menyajikan program khusus dan menarik hati
pemirsa seperti infotainment, sinetron dan lain-lainnya yang
kadangkala kurang mengindahkan kultur dan budaya bangsa
yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai moral bangsa
sehingga mengundang banyak protes dari sebagian
masyarakat pemirsa televisi.
Namun, materi-materi siaran infotainment di televisi
belum diketakui secara komprehensif, baik tema kajian, materi
kajian ini menggunakan kata-kata investigatif maupun
aktualisasi kajian, serta refrensi yang digunakannya, dengan
fokus pada siaran infotainment. Barang tentu apa yang
disajikan oleh infotainment patut kita pertanyakan
kualitasnya. Bahkan beberapa pihak mengatakan infotainment
bukan bagian dari jurnalistik, meskipun salah satu tayangan
ini menggunakan
embel-embel investigative. Jika ingin
dikatakan sebagai bagian jurnalistik, mungkin perlu ada
2 Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI, hal, 126, Vol VI, tahun 2008; 468 penataran atau pelatihan ulang bagi pengelola bisnis ini agar
menyajikan liputan cover both side dan bukan berita “konon”
dimana dengan hanya merekam gambar rumah atau mobilnya
sudah dianggap mendapat quotatin.
Di masyarakat berita-berita mengenai artis sudah sangat
familiar untuk didengarkan atau diikuti berita tentang
kehidupan artis. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat kita
yang selalu merasa ingin mengetahui, mengikuti khabar dari
kehidupan yang dijalani idolanya. Bagi orang yang kurang
mengidolakan artis mungkin akan sangat jarang dan bahkan
tidak menyukai berita-berita seperti itu untuk dikonsumsi.
Dalam media cetak dan elektronik, acara infotainment
merupakan acara yang mampu menyedot pemirsa yang
cukup banyak, sebab acara ini menampilkan sisi kehidupan
artis yang sudah tentu memiliki penggemar. Adanya figur
artis sebagai sang idola membuat jutaan pasang mata
menyenangi acara ini. Disamping itu acara ini mampu
mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga tidak heran,
kalau media elektronik berlomba-lomba menyuguhkan
dengan berbagai macam penamaan. Ada yang namanya Go
Spot, Silet, Kasak kusuk, Kroscek dan lain sebagainya. 3
Penampilan selebritis dalam acara infotainment ini
sering sebagai ajang terselubung untuk meraih popularitas.
Tidak heran banyak sensasi yang dilakukan para selebritis
agar dunia infotainment melirik kehidupannya. Sehingga
dengan demikian, wajah mereka senantiasa eksis di layar
televisi . Mereka tidak kalah saing dengan artis lain. Semakin
sensasional seorang artis akan berpengaruh pada rating
bayaran tiap kali seorang selebritis tampil.
3 Isu Dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Infotainment:
Gosip Atau Ghibah.Tuesday, 24 Juni, 2008, 10:45. 469
Sayangnya, masyarakat sering disuguhkan berita-berita
sensasi selebbritis yang jauh dari kesan kemaslahatan, mereka
lebih banyak mengandung unsur mudharat. Berita yang
ditampilkan umumnya tentang permasalahan yang sifatnya
menembus kehidupan etika sosial yang penuh dengan nuansa
glamour, dan kontra moral yang sebenarnya tidak pantas
dipublikasikan. Kehidupan perceraian artis, perselingkuhan,
perkelahian, kehidupan bebas gonta ganti pasangan, dunia
malam (clubbing) dan yang sejenis lainnya.
Infotainment yang disuguhkan kepada kita dikemas
dengan bahasa gosip. Jika kita perhatikan dalam kamus Besar
Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1988), gosip memiliki
arti obbrolan tentang seseorang, cerita negatip tentang
seseorang,
dan
pergunjingan.
Peristilahan
gosip
sesungguhnya merupakan istilah lama, namun semakin
popular seiring dengan
maraknya persaingan dunia
infotainment di dunia pertelevisian. Gosip merupakan bahasa
media elektronik
untuk meuniversalkan bahasa yang
fokusnya membicarakan permasalahan seseorang yang belum
jelas tentu benar atau tidak.
Dari sudut pandang jurnalistik (infotainment) adalah
bila sebuah informasi sudah ada sumbernya maka hal ini
dianggap layak dan sah untuk diberitakan. Terlepas gossip
atau tidaknya informasi itu tidak terlalu dipermasalahkan.
Permasalahan yang timbul dikemudian hari apabila ada
pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan
tersebut. Kerugian bisa menyangkut nama baik, reputasi, baik
artis, tokoh, pemimpin maupun sebuah lembaga.
Gosip dalam Islam sesungguhnya dikatagorikan sebagai
perbuatan tidak terpuji, sebab secara substansial memiliki
kesamaan dengan ghibah, baik dari segi cara, sifat maupun
dampak yang ditimbulkannya. Dari segi cara, infotainment,
470 gosip dan ghibah sama-sama sumbernya hanya saja sang
informent tidak mengetahuinya. Dari segi sifatnya, sudah
tentu sama-sama berita yang masih samar dan belum tentu
akurat, sehingga melahirkan prasangka (suhudzhan) dan
mencari-cari aib orang lain (tajayus). Dari segi dampak
negatipnya sama-sama berpotensi menimbulkan kerugian di
tengah-tengah masyarakat, merusak tali silaturrahmi,
persaudaraan, menghidupkan api permusuhan dan
pertentangan.
Disinilah kita sesungguhnya harus waspada terhadap
trend gosip, infotainment menjadi “virus” dan membuat kita
menjadi hobi bergosip (infotainment) dalam kehidupan.
Disadari atau tidak, dewasa ini persoalan gosip menggosip
terlihat semakin semarak di dalam masyarakat kita. Jangan
sampai kita.
Hingga hari ini, tayangan infotainment di layar televisi
Indonesia masih menjadi konttraversi, Dewan Pers – bersama
Program The European Initiative for Democracy and Human Right
(EIDEHR) European Commision - dalam diskusi pada 21
Nopember 2005 yang mempertanyakan apakah infotainment
termasuk jurnalistik. Setahun kemudian, Universitas
Paramadina Jakarta menggelar seminar dengan tema serupa.
Sementara Perstuan Wartawan Indonesia (PWI) mengakui
bahwa infotainment sebagai karya yurnalistik. Dalam institusi
PWI, secara mengakomodasi jurnalis infotainment yang
mendaftarkan diri ke dalam organisasi ini. Secara resmi ada
Departemen Infotainment sejak akhir Desember 2005.
Diluar diskusi Dewan Pers dan seminar Universitas
Paramadina, ada yang merumuskan: Infotainment dikategorikan jurnalistik, “hanya saja, ada jurnalistik bagus dan ada tak
bagus”. Dan “infotainment termasuk yang tak bagus”. Yang
lain menyatakan infotainment terlalu memasuki wilayah
471
privasi, sementara –pasti- para
mempersoalkan jabaran “privasi” itu.
pekerja
infotainment
Lebih jauh bahkan pekerja infotainment berujar bahwa
“perselingkuhan perlu dibongkar, karena itu menyangkut
moral”, Dalam logika pekerja infotainment dan pemilik
tayangan yang sering memberitakan perselingkuhan,
perkawinan, perceraian, persoalan rumah tangga, perpacaran
sesama lajang dan bujang, atau perkasihan suami/istri dengan
lelaki/ perempuan lain, tayangan infotainment mengemban
kritik sosial dan moral, mengingat selebritas adalah juga figur
publik.
Salah satu puncaknya, Agustus 2006, Ulama Nahdlatul
Ulama (NU) usai bermuktamar di Surabaya menfatwakan
bahwa infotainment haram hukumnya karena memasuki
wilayah ghibah alias gunjingan, bahkan fitnah karena tak
terbukti kebenaranya. 4
B. Rumusan Masalah
Tayangan infotainment mendapat apresiasi yang luar
biasa banyak dari masyarakat, itulah kenyataan yang terjadi
dalam masyarakat kita. Mereka lebih menyukai tayangan
yang berbau infotainment dari pada tayangan yang bersifat
realitas seperti berita. Keadaan itu seakan tak dapat
dipisahkan dari kehidupan mereka, sehingga tiada hari tanpa
posip. Ini akan menjadi contoh yang kurang baik jika terus
menerus masyarakat disuguhi tayangan seperti tersebut
diatas. Bahkan penontonnya dengan mudah menirukan
setiap apa yang dikerjakan artis itu. Tentu akan membawa
dampak buruk jika setiap hari masyarakat mengkomsumsi
berbagai tayangan kehidupan artis yang tidak selalu ada sisi
4Dari Wikipedia, Bahasa Inndonnesia , Insiklopedia bebas, Langsung ke
Navigasi, Pelajaran Jurnalistik dari Infotainment , Rabu tanggal 03 januari 2007. 472 positipnya. Hal ini perlu dimiliki setiap individu ketika
menghadapi hal semacam diatas adalah tetap berupaya dapat
menyaring informasi yang diterima. Setiap informasi yang
masuk harus dapat dibedakan mana yang harus dikonsumsi
dan mana yang tidak layak untuk diketahui. Berbagai hal
yang menyangkut informasi yang kurang layak dapat
menyebabkan masyarakat semakin terpuruk dengan tayangan
yang disajikan oleh media. Melek media dibutuhkan disaat
banyak informasi yang disajikan media sudah mengalami
degradasi moral. Tayangan infotainment adalah contok yang
dapat dinilai sebagai tayangan yang mementingkan sisi
produser dan menjerat konsumen dengan berbagai kemasan
yang unik dan menarik.
Ketika kritik dan hujatan banyak menghujam produsen
acara infotainment dalam hal ini media televisi, yang
demikian itu membuktikan adanya suatu sisi negatif yang
ditimbulkan tayangan tersebut. Berbagai dampak yang
kurang baik muncul di masyarakat kita mulai pola hidup
yang hedonis dan berbagai dampak yang lain menjadi acuan
banyak pihak yang mengecam adanya tayangan ini. Memang
pada dasarnya masyarakat kita masih belum siap, mereka
hanya dapat mengkonsumsi tapi belum dapat memikirkan
efek sampingnya. Karena yang mereka inginkan dari media
dalam hal ini media televisi adalah hiburan, dan hiburan yang
mereka inginkan adalah yang murah dan dapat dikonsumsi
kapanpun, maka televisi adalah jawabannya.
Sudah menjadi rahasia umum kalau dunia pertelevisian
kita dewasa kini sedang mengalami sebuah “euphoria”
berbagai tayangan tanpa sensur ketat seperti masa Orde Baru
memberikan
“kebebasan”.
Kemudian
batasan-batasan
moralitas menjadi kurang diperhatikan. Anak-anak sebagai
473
generasi penerus bangsa terlihat terbuka sekali dalam melihat
berbagai tayangan televisi.5
Dalam era globalisasi yang demikian maju dan tidak ada
sekat ini dapat menghasilkan diantaranya: Pertama, akses
informasi yang sangat mudah dan cepat, kedua, akses
informasi sangat terbuka dan relative tidak mampu untuk
disaring (difilter), ketiga, Indonesia sebagai negara yang kaya
akan budaya yang sangat santun mengalami revolosi budaya
dan kadang-kadang berlawanan dengan hati nurani bangsa.
Keempat yaitu sebagai kesatuan masyarakat, kita mengalami
“cultural shock”, yang hebat tidak ada sebuah koridor atau
pembatas jembatan penghalang yang mampu menjembatani
atau menghalangi/mencegah gelombang derasnya arus
globalisasi tersebut.
Tayangan yang di sajikan televisi kita sekarang ini
dalam setiap sajian berusaha untuk menarik sponsor maupun
sutradara, karena hal itu akan menghidupkan stasiun televisi
tersebut. Stasiun televisi berusaha menampilkan “membagibagi kue” iklan dengan cara menyamakan thema-thema
suguhan sinetron maupun infotainment di setiap televisi dan
masih banyak lagi.
C. Pertanyaan Penelitian
Dari latar belakangi permasalah tersebut diatas maka
yang menjadi pertanyaan penelitian adalah :
1.
Infotaiment seperti apa yang dilarang oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) untuk ditayangkan di televisi;
2. Bagaimana bentuk respon MUI (pemerintah) terhadap
permasalahan tayangan infotainment yang dianggap
5 Reslawaty Yasid Gumay, Bidan, Media Komunikasi Bidan Dan Keluarga
Indonesia, hal 30, edisi, No: 4 / 20006 474 dapat merusak masa depan anak-anak dan kurang sesuai
dengan ajaran agama dan budaya bangsa Indonesia;
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tujuan pelarangan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) terhadap penayangan infotainment di
televisi;
2. Mengetahui bentuk respon Majelis Ulama Indonesia (MUI)
terhadap tayangan infotainment yang dianggap oleh
sebagian masyarakat banyak mengandung madharatnya
bila dibandingkan dengan manfaatnya.
E. Batasan Operasional
Pada dasarnya media massa dapat diklasifikasikan
dalam beberapa jenis, yaitu media massa cetak (press), media
masa ekeltronik dan media massa online. Media masa cetak
dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk seperti surat kabar
atau koran, majalah tabloid, bulletin dan sebagainya (paper
based). Sedangkan media-media yang dikatagorikan sebagai
media elektronik di antaranya adalah televisi, radio dan film
(electronic based). Adapun media masa online adalah media
yang menggunakan computer yang disambungkan dengan
line telephon sebagai dasarnya.
Adapun fungsi suratkabar adalah untuk informasi,
edukasi dan hiburan. Fungsi informasi berkaitan dengan
penyampaian berita-berita yang menarik dn aktual kepada
khalayak, misalnya informasi tentang musibah atau bencana
alam. Fungsi edukaksi berkaitan dengan isi suratkabar yang
dapat bermanfaat bagi khalayak . Sedangkan fungsi hiburan
agar khalayak dapat rileks dan terhibur dengan menyajikan isi
seperti gossip, berita selebritis, cerita pendek, dan humor dan
sebagainya.
475
Perkembangan pertelevisian kini semakin banyak seiring
dengan perkembangan zaman. Fenomena televisi ini
merupakan
jawaban
dari
besarnya
audiens
yang
menginginkan televiisi bukan hanya menyajikan informasi,
tetapi juga televisi dapat memberikan inspirasi dan
menambah wawasan dan pengalaman dan juga sudah
merupakan sebagai kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari
disamping sebagai sarana hiburan dirumah.
Televisi dewasa ini sudah memposisikan sebagai
kebutuhan sarana keluarga yang dapat memberikan
kesempatan kepada audiens untuk memilih acaranya yang
diinginkan. Ini sesuai dengan uses and gratification theory yang
menyebutkan bahwa audiens melakukan pembedaan dalam
menggunakan media sehingga mereka memilih dan aktif
dalam memenuhi kebutuhnnya melalui media (Little john,
2005 ; 266). Dengan lain kata dapat disimpulkan bahwa
audiens secara bertanggung jawab memilih acara dan jenis
informasi yang dibutuhkannya melalui media yang dianggap
relevan dengan dipengaruhi system sosial dimana dirinya
berada.6
Media televisi mampu memberikan dampak afektip
dimana audiens dapat turut merasakan iba, sedih, haru,
gembira dan lain sebagainya. Bahkan media televisi juga
mampu memberikan efek membangkinkan rangsangan untuk
melakukan perilaku, tindakan atau kegiatan tertentu
(Ardianto & Erdinaya, 2005: 54-55). Televisi juga mampu
membentuk pengetahuan, persepsi, respon, dan sikap
individu maupun kelompok. Pertanyaan ini juga diperkuat
oleh stimulation theory yang menyebutkan bahwa menonton
6 Fatma Dian Pratiwi, dkk, Persepai Anak Muda Tentang Radio uslim,
Program Studi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Klijaga
Yogyakarta, hal3, 2009 476 adegan dalam media dapat menstimulus individu untuk
bertindak seperti apa yang di tontonnya. Penelitian yang
dilakukan oleh psikolog Leonard Berkowitz dan koleganya di
Universitas Wisconsin membuktikan teori tersebut (Dominick,
2007:429), Ini juga berbanding lurus dengan social learning
theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura (Saverin &
Tankard, 2001:276, Wartella, et,al 2002:401). Menurut teori ini,
banyak sekali dampak dari media yang terjadi melalui proses
pembelajaran sosial melalui pengamatan dan pengalaman
yang dimiliki individu maupun kelompok. Untuk
menghindari terjadinya missinterpretation maka perlu
dijelaskan batasan operasional tersebut.
Pada zaman dahulu televisi belum ada yang
memberitakan artis namun dimedia cetak ada yang memulai
pemberitaan tentang artis, meskipun isi berita masih hanya
menampilkan berita bukan yang masih mengandung gossip
(infotainment). Media cetak pada waktu yang telah lalu ada
yang dibredel misalnya tabloit yang dipimpin oleh Arwendo
Atmowiloto. Tabloit “Monitor” tersebut kemudian berubah
menjadi tabloit “Bintang’. Kemudian berkembang kejar
kejaran menjadi berbau gosip dan seterusnya.7
Gosip atau desas desus (Inggris: Rumor) adalah
selentingan berita, yang tersebar luas dan sekaligus menjadi
rahasia umum di publik tetapi kebenarannya diragukan atau
merupakan berita negatip (Gosip dari Wikipedia Bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas langsung ke navigasi, Cari).
Isu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat
dipekirakan terjadi atau tidak terjadi di masa mendatang,
yang menyangkut ekonomi, moneter, sosial, politik, hukum,
pembangunan nasional, bencana alam, hari kiamat, ataupun
7
Gosip Wikipedia, Bahasa Indonesia, Insklopedia Bebas, tahun 2008. 477
tentang krisis. Gosip dalam Islam sesungguhnya dikatagori
kan sebagai perbuatan tidak terpuji, sebab secara substansial
memiliki kesamaan dengan ghibah, baik dari segi cara, sifat
maupun dampak yang ditimbulkannya. Dari segi cara, gossip
dan ghibah sama-sama ada sumbernya hanya saja sang
informan tidak jelas mengetahuinya. Dari segi sifatnya, sudah
tentu sama-sama berita yang masih samar-samar dan belum
tentu akurat, sehingga melahirkan prasangka (zhan) dan
mencarcari aib orang lain (tajayus). Dari segi dampak negatifnya sama-sama berpotennsi menimbulkan kerugian di tengahtengah mayarakat, merusak tali persaudaraan, menghidupkan
api permusuhan dan pertentangan.
Sedangkan definisi ghibah dapat diketahui dari dialog
Nabi dengan para sahabat yang diriwayatkan oleh Muslim,
Abu Daud dan At-Turmuzi, Nabi bertanya kepada para
sahabat: Tahukah kalian apakah ghibah itu? Menjawab
pertanyaan; Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Nabi
menjelaskan ghibah itu adalah bicarakan apa yang tidak
disenangi (keburukan) orang lain di belakangnya. Salah
seorang sahabat kemudian bertanya. Bagaimana seandainya
yang dibicarakan itu benar, apakah itu juga dinamai ghibah.
Rasul menjawab, itulah ghibah. Sedang jika apa yang
disampaikan salah itulah dia buthan (fitnah).
Dalam dunia infotainment, sudah tentu terdapat berita
kehidupan artis yang positif dan negatif. Sebab tidak semua
berita yang ditampilkan adalah sisi buruk kehidupan artis.
Jika sisi baik yang ditampilkan/diungkapkan dalam berita,
berdasarkan hadist Rasulullah di atas, maka unsur ghibah
tidak terdapat. Permasalahannya, ketika sisi buruk artis
diberitakan, maka telah masuk pada nuansa ghibah, terlepas
dari suka atau tidak sukanya sang artis. Sebab masih
478 ditemukan indikasi artis melakukan perbuatan sensasional
negatip untuk ajang popularitas.
Istilah jurnalistik infotainment masih menyisakan
berbagai persoalan delimatis. Selain Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI), sejumlah organisasi yurnalis menolak
memasukkan kerja infotainment ke dalam ranah kerja
jurnalistik. Walaupun masih membuka perdebatan, namun
pendapat ini beralasan mengingat rapuhnya epistimologi
jurnalistik infotainment. Kerapuhan tersebut semakin
diperparah lagi dengan berbagai pelanggaran etika jurnalistik
dalam infotainment. Namun Kita tidak bisa menutup mata,
karena faktanya menunjukkan bahwa acara infotainment
memang diminati oleh pemersa televisi. Mengabaikan fakta
ini berarti mengabaikan fakta sosial dan dapat saja disebut
sebagai a sosial. Dalam situasi seperti ini, sangat gegabah bila
dengan mudah kemudian kita menyebut kerja infotainment.8
Respon dalam Kamus Bahasa Inddonesia yang
dikeluarkan oleh pengarang Bandung berarti jawaban, sikap,
dan reaksi serta pernyataan; Respon adalah reaksi yang
dinyatakan dalam bentuk ucapan, sikap dan tindakan oleh
seseorang atau sekelompok orang ataupun pejabat pemerintah
daerah akibat munculnya dari stimulus yang datang dalam
bentuk informasi, ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh
orang atau kelompok lain; Respon adalah istilah yang sering
digunakan oleh psikologi untuk menanamkan reaksi terhadap
rangsang yang diterima oleh panca indera. Respon biasanya
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dimunculkan setelah
dilakukan perangsangan. Dalam teori behaviorisme
menggunakan istilah respon yang dipasangkan dengan
rangsang dalam menjelaskan proses terbentuknya perilaku.
8 Iswandi Syahputra, jurnalistik Infotainment, Kancah Baru Jurnalistik dalam
Industri Televisi, Pilar Media, Yogyakarta, Tahun 2006, Hal, 106. 479
Respon adalah perilaku yang muncul dikarenakan adanya
rangsang dari lingkungan. Jika rangsang
dan respon
dipasangkan atau dikondisikan maka akan membentuk
tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan. Oleh
karena itu respon sangat penting di dalam mencapai tujuan
tertentu, karena tindakan seseorang dipengaruhi oleh respon
terhadap rangsangan dari luar dirinya. Serta kemampuannya
dalam mengambil suatu tindakan dan keputusan terhadap
apa yang dilihatnya. Respon disini dapat dirtikan sebagai
proses pengamatan oleh panca indera ditransfer kedalam
pengorganisasian kesan yang diamati oleh pengamat.
Pandangan/persepsi adalah suatu proses membuat
penilaian (impression) mengenai berbagai macam hal yang
terdapat di dalam lapangan pengindraan seseorang.9 Persepsi
dapat diartikan sebagai proses pengamatan panca indera
ditranswormasikan ke dalam pengorganisasian kesan yang
diamati oleh pengamat.10 Menurut Miftah, persepsi pada
hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap
orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya,
baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan,
perasaan dan penciuman. Persepsi dapat menambah dan
mengurangi kejadian sesungguhnya yang diinderakan oleh
seseorang atau dengan kata lain persepsi mengenai suatu
objek terlepas dari soal tepat atau tidaknya dan hal ini dapat
dijadikan sebagai pegangan sementara waktu.
Sementara itu, Mar’at mengemukakan bahwa persepsi
adalah proses pengamatan seseorang yang berasal dari
komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya
9 Wrightsman, Sosial Psychology Indonesia The 80’s, oleh Subyakto,
Psychology Sosil, Jakarta, Haruhita, hal 23. 10 W. Michel dan NH. Michel, Essentials of Psychology (New York: Random
House, Inc, 1980), p, 81. 480 terhadap suatu objek dengan kacamata sendiri yang diwarnai
oleh nilai dari kepribadiannya. Persepsi seseorang terhadap
suatu objek akan berbeda satu sama lain. Hal ini dipengaruhi
oleh factor-faktor seperti pengalaman, proses belajar,
cakrawala dan pengetahuan masing-masing orang. Perbedaan
persepsi tiap-tiap orang terhadap suatu objek disebabkan oleh
karena adanya perbedaan perhatian, harapan, kebutuhan,
system nilai dan ciri kepribadiannya. Yang dimaksud respon
dalam penelitian disini ialah pandangan atau penglihatan dan
pengamatan serta pengetahuan, penilaian dari seseorang atau
kelompok yang terorganisir dalam suatu lembaga berkenaan
dengan informasi tentang infotainment yang disiarkan oleh
televisi. Pemerintah; pejabat pemerintah daerah dalam hal ini
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai hubungan
dengan masalah siaran di televisi untuk menjalankan fungsi
dan tugasnya sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Dalam penelitian ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
khususnya di Propinsi Banten dan televisi Indonesia sebagai
penyelenggara siaran dimaksud.11
F. Ruang Lingkup Peneltian
Ruang lingkup penelitian ini dikonsentrasikan antara
lain respon MUI khususnya di Propinsi Banten berkaitan
dengan penayangan infotainment di televisi yang dianggap
haram untuk ditonton. Dan bagaimana MUI memberikan
respon terhadap penayangan infotainment yang dilarang di
televisi. Dalam rangka menggali informasi yang dapat
memberikan sumbangan kepada pemirsa agar dapat menfilter
informasi mana yang bermanfaat dan mana yang kurang
bermanfaat/bagi pemirsa televisi. Selain itu pula perlu
dilakukan kajian-kajian dan kegiatan sejenisnya untuk dapat
11 Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI, hal, 5 tahun 2007. 481
meningkatkan pengetahuan/wawasan pemirsa televisi agar
lebih berhati-hati menyaksikan penayangan televisi
khususnya penayangan infotainment dan sejenisnya.
G. Data Yang Akan Dihimpun
Dalam penelitian yang akan dihimpun dan di analisa
terdari dari informasi MUI sebagai data primer dan sekunder
yang berkaitan penayangan dengan infotainment antara lain:
1. Dasar pemikiran para ulama dalam merespon penayangan
infotainment di televisi berhubungan dengan, ketentuan
dan norma-norma yang berhubungan dengan pemirsa
televisi;
2. Respon/pandangan MUI berkaitan dengan panayangan
tersebut baik dari segi bentuk, metode mapupun marteri
yang ditayangkannya.
3. Yang menjadi nara sumber atau informen adalah MUI
khususnya di Propinsi Banten/daerah penelitian dalam
rangka memperdalam hasil kajian tersebut perlu
dilakukan wawancara mendalam diantaranya adalah
tokoh-tokoh agama Islam dan masyarakat bila
memungkinkan.
H. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus yang
bersifat kualitatif. Dengan demikian yang akan dilakukan
adalah pengamatan secara langsung/terlibat dengan cara
menyaksikan tayangan televisi baik bersama keluarga
maupun masyarakat pada umumnya. Penelitian kualitatif
memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam
kehidupan sosial untuk kemudian dianalisa.
482 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan wawancara mendalam dengan informan untuk
mendapatkan informasi tentang berbagai masalah sekitar
penayangan infotainment di televisi.
Data kualitatif yang dibutuhkan dalam penelitian ini
dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara,
wawancara dilakukan dengan sejumlah aparat pemerintah
dalam hal ini adalah MUI daerah (Propinsi Banten), tokoh
agama, dan bila masih memungkinkan untuk memperdalam
data bisa dilakukan menggunakan data sekunder seperti
koran, klipping, buku-buku serta dokumentasi yang ada
kaitannya dengan masalah tersebut. Teknik wawancara ini
digunakan untuk menjaring data tentang respon MUI
terhadap penayangan infotainment yang sekarang sedang
marak di televisi.
Adapun sasaran penelitian ini mengambil lokasi di
Provinsi Banten dengan berbagai pertimbangan antara lain: a).
Karena masyarakat di Provinsi Banten ini masih kental
memegang tradisi dan menjunjung tinggi kultur/budaya yang
khas dengan budaya sunda dan sebagai daerah yang
mayoritas beragama Islam; b). Adakah pengaruh tayangan
infotainment terhadap kehidupan masyarakat setempat dan
bagaimana respon MUI Provinsi Banten;
Menurut James Spradley, informan dipilih dengan
memperhatikan kriteria sebagai berikut: informan tersebut
mengetahui tentang penayangan infotainment yang disiarkan
oleh televisi tentang baik buruknya menyaksikan tayangan
tersebut bagi pemersa TV. Dan mempunyai pengetahuan
tentang tayangan infotainment tersebut serta memiliki waktu
untuk diwawancarai atau paling tidak mengetahui seluk
beluk penayangan infotinment, atau pemersa yaitu
masyarakat umum dengan catatan yang lebih diutamakan
483
adalah pemirsa yang aktif mengikuti tayangan infotainment
tersebut. Sedangkan informen dipilih antara lain pejabat
pemerintah, MUI ulama tokoh agama/kyai dan tokoh
masyarakat. Untuk melengkapi data tersebut dilakukan kajian
pustaka baik berita-berita koran, majalah buku-buku dan
brosur yang ada kaitan dengan penayangan infotainment
tersebut.
Sedangkan data yang berhasil dikumpulkan kemudian
diolah melalui tahap katagorisasi, klarifikasi, interpretasi,
komparasi dan kemudian data tersebut dianalisis. Untuk
kemudian ditarik kesimpulan yang berisikan respon MUI
terhadap tayangan infotainment dalam rangka mencari solusi
penyelesaian secara bijaksana.
I.
Sistimatika Penulisan Laporan
Penulisan laporan ini terdiri dari 4 bab yaitu: Bab
pertama memuat pendahuluan yang berisikan latar belakang
masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian, batasan operasional, ruang lingkup penelitian, data
yang akan dikumpulkan, serta metodologi penelitian.
Adapun bab 2) berisikan antara lain gambaran umum
wilayah peneilitian Provinnsi Banten, sekilas sejaran singkat
Propinnsi Banten, kondisi geografis dan demografi, pemerintahan, kependudukan dan pendidikan serta kehidupan sosial
keagamaan.
Sedangkan bab 3 Respon MUI Provinnsi Banten
terhadap tayangan infotainment di televisi terdiri dari : Asal
mula siaran infotainment di televisi sedangkan bab 4 penutup
yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
484 BAB. II
GAMBARAN UMUM PROPINSI
BANTEN
A. Sekilas Sejarah Singkat Banten
anten adalah wilayah yang sudah dikenal dan
sejak abad ke XIV. Mula-mula Banten
merupakan pelabuhan yang sangat ramai
disinggahi kapal dan dikunjungi pedagang dari berbagai
wilayah hingga Eropa yang kemudian menjajah bangsa ini.
Sejak tahun 1330 M orang sudah mengenal sebuah negara
yang saat ini disebut Banten. Wilayah tersebut pernah
dikuasai oleh Kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah
Mada dan Raja Hayam Wuruk, yang kemudian oleh Demak.
Pada masa-masa itu kerajaan Demak merupakan kekuatan
terbesar di Nusantara. Tahun 1524 – 1525 M para pedagang
Islam
berdatangan ke Banten dan saat itulah dimulai
penyebaran agama Islam di Banten. Sekitar dua abad
kemudian berdiri Kadipaten Banten di Surosowan pada
tanggal, 8 Oktober 1526 M. Pada tahun 1552 – 1570 M Maulana
Hasanuddin Panembahan Surosowan menjadi Sultan Banten
pertama. Sejak itu dimulailah pemerintahan kesultanan yang
di akhiri oleh Sultan Muhammad Rafi’uddin (1813 – 1820)
merupakan sultan ke dua puluh setelah sultan dan rakyat
Banten terus berlanjut hingga detik terakhir kali penjajah
berada di bumi Banten.
B
Setelah memasuki masa kemerdekaan muncul keinginan
rakyat Banten untuk membentuk sebuah propinsi. Niatan
tersebut pertama kali mencuat di tahun 1953 yang kemudian
pada tahun 1963 terbentuk Panitia Propinsi Banten di
485
pendopo Kabupaten Serang. Dalam pertemuan antara Panitia
Provinsi
Banten
dengan
DPR-GR
sepakat
untuk
memperjuangkan terbentuknya Provinsi Banten. Pada tanggal
25 Oktobber 1970 Sidang Pleno Musyawarah Besar Banten
mengesahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten.
Namun ternyata perjuangan untuk membentuk Provinsi
Banten dan terpisah dari Propinsi Jawa Barat untuk sementara
gagal. Barulah di era reformasi menjadi salah satau wilayah
yang pertama mengajukan pemisahan dengan Propinsi Jawa
Barat.12
B. Kondisi Geografis Dan Demografi
Melalui Undang-Undang nomor 23 tahun 2000, status
Karisedenan Banten Propinsi Jawa Barat berubah menjadi
Propinsi Banten. Wilayah Propinsi Banten mempunyai luas
9018,64 km persegi, terdiri empat kabupaten yaitu Kabupaten
Pandeglang, Lebak, Serang dan Kabupaten Tangerang serta
dua Kota yaiitu Kota Cilegon dan Kota Tangerang.
Wilayah Propinsi Banten berada batas astronomis
105’11” – 1106’12” BT dan 5’750” – 7’1’1”LS, mempunyai
posisi stategis pada lintas perdagangan internansional dan
nasional.
Batas wilayah Propinsi Banten antara lain, sebelah utara
berbatasan dengan laut Jawa, sebelah timur dengan Provinsi
DKI Jakarta dan Jawa Barat, sebelah Selatan berbatasan
dengan Samudera Pasifik dan sebelah barat berbatasan
dengan Selat Sunda;
Sedangkan ekosistem wilayah Banten pada dasarnya
terdiri dari:
12
486 Banten Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, hal 2 tahun 2008. a. Lingkungan pantai utara yang merupakan ekosestem
sawah irigasi teknis dan setengah teknis, kawasan
pemukiman dan industri;
b. Kawasan Banten bagian tengah berupa irigasi terbatas dan
kebun campur, sebagian berupa pemukiman pedesaan
dan ketersediaan air cukup dengan kuantitas yang stabil;
c. Kawasan Banten bagian selatan sekitar Gunung HalimunKendeng hingga Malingping, Leuwi Damar, Bayat berupa
pegunungan yang relatip sulit untuk di akses, namun
menyimpang potensi sumber daya alam;
d. Banten bagian barat (Saketi, DAS (Daerah Aliran Sungai)
Cidano dan lereng kompleks Gunung Karang – Aseupan
dan Pulorasi sampai pantai DAS Ciliman – Pandeglang
dan serang bagian Barat) yang kaya akan potensi air,
merupakan kawasa pertanian yang masih perlu
ditingkatkan (intensifikasi);
e. Ujung Kulon sebagai Taman Nasional Konservasi Badak
Jawa (Rhini Sondicus);
f.
DAS Cibaliung – Malingping, merupakan cekungan yang
kaya air tetapi belum dimanfaatkan secara efektif dan
produktif. Sekelilingnya berupa bukit-bukit bergelombang
dengan rona lingkungan kebun campur dan talun, hutan
rakyat tidak terlalu produktif;13
Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh angin
munson (Monson Trade) dan gelombang La Nina El Nino.
Saat musim penghujan (Nopember – Maret) cuaca didominasi
oleh angin barat (dari Sumatera, Samudra Hindia, sebelah
selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang
melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni 13
I b I d, hal 3. 487
Agustus), cuaca didominasi oleh angin timur yang
menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang
keras terutama di wilayah bagian pantai utara, terlebih lagi
bila berlangsung El Nino;
Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar
bantaran 22 derajat celcius dan 32 derajat derajat celcius,
sedangkan suhu dipegunungan dengan ketinggian antara 400
-1.350 M dapat mencapai antara 18 derajat celcius – 29 derajat
celcius. Banyak pulau-pulau yang berpotensi bagi masyarakat
Banten sekitar 55 pulau,yang tersebar di wilayah Banten
maupun di perbatasan wilayah Banten. Sedangkan sungaisungai yang melewati Banten sekitar 91 sungai.
C. Pemerintahan
Provinsi Banten sebagai salah satu Propinsi dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, mempunyai sistem pemerintahan yang sama dengan propinsi lainnya. Unit pemerintahan di
bawah Propinsi adalah kabupaten/kota masing-masing
kabupaten/kota terdiri dari beberapa kecamatan terbagi habis
dalam beberapa desa/kelurahan.
Propinsi Banten terbagi dalam 4 kabupaten (Pandeglang,
Lebak, Pangerang dan Cilegon) dan 2 kota yaitu kota
(Tangerang dan Cilegon). Jumlah kecamatan di seluruh
Banten sebanyak 152. Sedangkan jumlah desa/kelurahan pada
tahun 2006 sebanyak 1.242 desa.
Jumlah anggota DPRD di Propinsi Banten sebanyak 75
orang yang terdiri dari 70 orang laki-laki dan 5 orang
perempuan, yang terdiri dari 9 fraksi. Sebagai lembaga
legislatif yang salah satu tugasnya adalah membuat peraturan
perundang-undangan,
DPRD
Propinsi
Banten
telah
menghasilkan 7 buah surat Keputusan Pimpinan Dewan, 51
buah Surat Keputusan Dewan dan 5 buah Peraturan Daerah.
488 D. Kependudukan
Penduduk Banten berdasarkan dari hasil sensus
penduduk menunjukkan jumlah yang terus bertambah. Pada
tahun 1961 jumlah penduduk Banten hanya 2.438.574 jiwa
dan pada tahun 1971 jumlah penduduk menjadi 3.045.154
jiwa, meningkat menjadi 4.015.837 jiwa pada tahun 1980 dan
5.967.907 jiwa pada tahun 1990. Dan pada tahun 2000 jumlah
penduduk tersebut berdasarkan hasil sensus penduduk 2000
(SP 2000) telah bertambah menjadi sebanyak 8.096.809 jiwa
dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 9.423.367 jiwa.
Kecenderungan penduduk yang terus bertambah dari
periode sensus yang satu ke sensus atau survey berikutnya
tentunya buhan hanya disebabkan pertambahan penduduk
sacara alamiah, tetapi tidak terlepas dari kecenderungan
migran baru yang datang karena daya tarik Provinsi Banten,
baik dilihat dari potensi daerah seperti banyaknya perusahaan
industri, besar/sedang di daerah Cilegon. Tangerang dan
Serang serta potensi pariwisata di Pandeglang, Serang dan
daerah lainnya.
E. Pendidikan
Jumlah penduduk Banten pada usia 7 – 24 tahun yang
masih/sedang sekolah pada tahun 2007 tercatat sekitar 2,16
juta orang yang terdiri dari 1,12 juta laki-laki dan 1.04 juta
perempuan. Secara presentase sebagian bsa adalah anak usia 7
-12 tahun, 58,71%, sementara anak usia 13 – 15 tahun sebsar
21,96%. Jika di konversikan ke dalam tingkat pendidikan ,
penduduk yang bersekolah kebanyakan masih setingkat
Sekolah Dasar. Pemerataan kesempatan mendapatkan
pendidikan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan
prasarana pendidikan seperti gedung sekolah, perpustakaan
dan buku-buku penunjang pelajaran serta tenga pendidik
(guru) yang memadai. Untuk tingka sekolah dasar ada
489
sebanyak 4.384 buah dengan jumlah siswa sebanyak 1.23.903
anak, guru ada 48.066 orang, sehingga terhitung ratio guru –
murid sebesar 25.67 yang artinya setiap satu orang guru
membimbing sekitar 25 orang siswa.
Pada sekolah Menengah/Lanjutan Tingkat Pertama
terdapat sebanyak 752 sekolah dengan kapasitas murid yang
mengikuti pendidikan sebanyak 310.238 siswa. Dan tenaga
pengajar (guru) sebanyak 16.268 orang guru atau ratio sekitar
19,07. Selanjutnya jumlah sekolah Lanjutan Atas terdapat 550
sekolah yang terdiri dari 347 SMU dan 203 SMK (sekolah
kejuruan) dengan jumlah siswa keseluruhan sebanyak 211.920
orang, meliputi mereka yang sekolah di SMU sebanyak
127.048 (59,95%) yang lainnya sebanyak 84.872 (40,05%)
bersekolah dan 5.068 orang (37,89%) sebagai guru SMK. Secara
keseluruhan ratio guru – murid sebesar 15,84 atau setiap guru
mengajar antara 16 – 18 orang siswa.
Sampai dengan tahun 2007, tingkat pendidikan
penduduk Banten usia 10 tahun keatas sebagian besar hanya
tamat Sekolah Dasar yang besarnya kurang lebih 58,10%,
meliputi mereka yang tamat SD/sederajat sebanyak 31,34%
dan yang tidak/belum tamat SD/sederajat sebesar 26,76%.
Pada tingkat sekolah Menengah/lanjutan, yang telah
menamatkan pendidikan setingkat SLTP sebesaLTA sebagai
persyaratan bagi angkatan kerja dalam mengikuti kompetisi di
bursa pasar kerja. Krisis di dunia pendidikan dikaitkan
dengan pangsa pasar tenaga kerja dapat diamati darai relatif
rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan pada jenjang
SLTA ke atas (dengan asumsi seandainya sebagian dari
mereka termasuk angkatan kerja) yang besarnya baru sekitar
24,08%. Diharapkan tingkat pendidikan penduduk di masa
mendatang dapat lebih ditingkatkan dalam rangka
490 mempersiapkan tenaga kerja melalui pendidikan standar
minimal.
F. Kehidupan Sosial, Keagamaan
Mobilitas kehidupan sosial masyarakatnya baik dari dan
luar kota sangat lancar dengan fasilitas transportasi yang
cukup memadai seperti adanya pelabuhan penyeberangan
Merak Bakahuni Lampung serta lapangan terbang Sukarno
Hatta, jalur lalu lintas
darat maupun udara yang
menghubungkan antara Jakarta dan merak ke Sumatera dan
begitu sebaliknya membuat perdagangan menjadi ramai dan
beragama. Di pusat ibu kota Provinsi dihuni oleh para
pedagang, pegawai dan pengusaha, dan di pantai ada
nelayan dan saudagar ikan yang dijual ke perkotaan maupun
ke kota-kota lain yang ada di sekitarnya seperti ke Jakarta,
Bogor dan daerah sekitarnya, sedangkan di daerah dataran
rendah di diami oleh penduduk pedesaan yang
matapencahariaan bertani maupun berladang/berkebun dan
home industry.
Masyarakat
Banten
dilahirkan
dalam
suasana
masyarakat muslim. Mereka dianggap Islam sejak lahir, dan
karena itu diharapkan bersikap dan bertingkah laku seperti
muslim. Mereka belajar agama sejak dini. Mula-mula di
lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi keluarga,
kemudian belajar mengenal agama Islam dalam komunitas,
yakni mengaji melalui guru ngaji. Pendidikan tahap ini
dilakukan dalam surau, masjid, atau cukup di rumah saja.
Cara yang lebih formal bisa melalui madrasah. Mereka juga
belajar agama di sekolah-sekolah negeri Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah menengah Atas
serta di Perguruan Tinggi.
491
Oleh karena itu, dapat dipahami apabila mereka telah
meresapkan Islam sepanjang hidupnya. Islam telah menjadi
citra diri mereka. Dalam hal ini, Islam tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan mereka. Mereka menganggap Islam sebagai
sumber norma-norma dan etika yang mereka pegang dalam
kehidupan sehari-hari.Disamping itu juga unnsur yang paling
fundamental dari keyakinan keyakinan Islam yang mengatur
sikap dan tingkah laku umat adalah rukun iman dan rukun
Islam. Kedua rukun itu harus dilaksanakan setiap hari dalam
tingkah laku umat Islam.
Komposisi penduduk di Propinsi Banten menurut
penganut agama:
Penduduk Menurut Agama
No
Agama
1
Islam
2
Jumlah
Prosentase
8.422.256 jiwa
91,20%
Kristen Protestan
706.695 jiwa
5.45%
3
Katolik
96,612 jiwa
1,26%
4
Hindu
94.145 jiwa
0,89%
5
Budha
103.659 jiwa
1,20%
Jumlah
9.423.367 jiwa
100%
Sumber data Kanwil Depag Prop. Banten, hal 133, tahun 2008.
Dari jumlah penduduk Propinsi Banten 9.423.367 jiwa,
dengan perincian sebagai beikut: umat Islam sebanyak
8.422.256 orang atau 91,20%,yang merupakan jumlah
penduduk terbesar di Propinsi Banten kemudian diikuti oleh
penganut agama Kristen Protetan sebanyak 706.695 orang atau
5.45%, dan Katolik 96.612 orang atau 1,26%, Hindu 94.145
orang atau 0,89%, dan Buddha 103.659 orang atau 1,20%.
Masyarakat Banten dalam menjalankan kehidupan
keagamaan pada umumnya cukup baik dan pelayanan
kepada pemeluk agama Islam dengan berbagai bentuk
492 kegiatan, mulai dari masih anak-anak, dan pendidikan pra
sekolah, sekolah madrasah dari jenjang pendidikan dasar,
menengah, atas juga perguruan tinggi. Sementara pelayanan
diberikan kepada pemeluk agama Islam dengan berbagai
bentuk seperti di luar sekolah yaitu dengan melalui
kelompok-kelompok pengajian, baik diperuntukkan bagi
anak-anak, remaja dan dewasa.
Hampir di setiap masjid-masjid dan mushalah atau
langgar dilaksanakan secara rutin pengajian-pengajian dan
kegiatan hari besar keagamaan. Selain itu masjid-masjid yang
sudah menggunaan manajemen dan organisasi yang baik
selain dilakukan pengajian secara rutin juga dilaksanakan
kegiatan kelompok remaja seperti perpustakaan Islam,
santunan anak yatim piatu, koperasi dllnya, kadang-kadang
bekerja sama dengan kelompok pengajian, Aisyiah dari
Muhammadiyah, Muslimah NU, MUI Banten, Wanita Islam
dan LSM Islam, lainnya.
Sarana tempat ibadah bagi pemeluk agama dapat
tergambar pada tabel dibawah ini:
Tabel IV
Jumlah Rumah Ibadah di Provinsi Banten
Kota/Kabupaten
Islam
Pandeglang
Lebak
Tangerang
Serang
Kota Tangerang
Kota Cilegon
Jumlah
3.578 bh
3.782 bh
9.760 bh
5.719 bh
867 bh
974 bh
24.680 bh
Kristen Katolik Hindu Buddha
Katolik
5 bh
1 bh
1 bh
6 bh
3 bh
2 bh
317 bh
18 bh
5 bh
37 bh
21 bh
2bh
1 bh
4 bh
287 bh
12 bh
5 bh
35 bh
8 bh
1 bh
2 bh
644 bh
37 bh 11 bh
81 bh
Sumber: Kanwil Dep. Agama Provinsi Banten, hal 132;
493
Selain masjid dijadikan sebagai tempat shalat dan ibadah
lainnya juga dijadikan sebagai tempat syiar agama Islam
disamping dilakukan melalui media elektronik yaitu radio
dan TV Banten, seperti ceramah agama (Tanya jawab), Isro
Mi’roj, Maulid, Nuzulul Qur’an dan kadang-kadang
mendatangkan penceramah dari luar daerah seperti dari
Jakarta, Bandung dan daerah sekitarnya.
Jika dilihat dari cara pemahaman keagamaan
masyarakat Banten belum sepenuhnya melaksanakan ajaran
Islam sesuai dengan apa yang sampaikan oleh Rasulullah
SAW, pada umumnya masyarakat masih ada yang
mempercayai yang berbau mistik (animisme dan dinamisme)
seperti acara debus. Yang pernah dilarang oleh MUI Kota
Banten karena mengandung sirik. Hal ini masih banyak
dijumpai di pedesaan dan daerah pedalaman di Provinsi
Banten.
494 BAB III
RESPON MAJELIS ULAMA INDONESIA
PROPINSI BANTEN TERHADAP
TAYANGAN INFOTAINMENT DI TELEVISI
A. Awal Mula Siaran Infotainment Di Televisi
ila kita mau sedikit cermat mengamati tayangan
program televisi, terutama acara televisi yang
menyajikan berbagai ragam hiburan, seperti kuis,
reality show, kontes-kontesan dan sintron, kita akan
menemukan berbagai produk imitasi dari berbagai produk
serupa di negara lain. Dari berbagai ragam tayangan hiburan
tersebut memang ada yang secara terbuka mengadopsi acara
sejenis dari acara aslinya. Tayangan seperti Indonesian Idol
dan Fear Faktor termasuk jenis tayangan yang diadopsi dari
tayangan aslinya pada sebuah stasiun televisi di
Amerika.Tayangan tersebut dapat ditayangkan di Indonesia
menyerupai tayangan asli dari negara asalnya, tentu setelah
mendapatkan lisensi. Tentu saja sebelum membeli lisensi
program
tayangan
tersebut,
stasiun
televisi
yang
bersangkutan melakukan berbagai analisis dan pengujian
terhadap penonton selera pasar penonton dan pengiklan di
Indonesia.
B
Konsep Infotainment awalnya dari John Hopkins
University (JHU), Baltimore, AS. Universitas yang terkenal
dengan berbagai riset-riset kedokterannya tersebut memiliki
jaringan organisasi Nirlaba Internasional yang bergerak dalam
misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan ummat
manusia melalui berbagai aspek kesehatan. Misi kemanusiaan
JHU di bidang kesehatan di dukung oleh Center of
495
Communication Program (CCP) yang bertugas mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan guna mengubah perilaku
kesehatan masyarakat. Untuk itu pakar komunikasi (termasuk
di dalam Everet M. Rogers ahli komunikasi pembangunan) di
CCP merumuskan berbagai metode penyampaian pesanpesan kesehatan yang secara efektip dapat mengubah perilaku
positif. Salah satu kosep pesan yang dihasilkan adalah
infotainment.
Ide dasar konsep infotainment berawal dari asumsi
informasi kendati dibutuhkan oleh masyarakat namun tidak
dapat diterima begitu saja, apalagi untuk kepentingan
merubah sikap negatif menjadi sikap positif manusia. Karena
itu diperlukan semacam pancingan khusus untuk mengambil
perhatian
masyarakat.
Pilihannya
adalah
dengan
menyusupkan entertainment (hiburan)
yang menarik
perhatian mayarakat di tengah-tengah penyampaian
information (informasi). Dari sini kemudian muncul istilah
infotainment, yaitu kemasan acara yang bersifat informatif
namun dibungkus dan disisipi dengan entertainment untuk
menarik perhatian khalayak sehingga informasi sebagai pesan
utamanya dapat diterima. Dalam prakteknya, JHU
menggunakan sejumlah endorser hingga menampilkan konser
musik bagi kaum muda untuk menyampaikan pesan pesan
kesehatan tertentu. Konsep ini kemudian dipinjam oleh media
massa, khususnya televisi Indonesia. Jadilah infotainment
seperti formula ajaib yang dapat menyihir pemirsa untuk
betah berlama-lama di depan layar kaca televisinya.
Kata infotainment merupakan neologisme, atau kata
bentukan baru yang menggabungkan information dan
entertainment. Sekedar pembanding, dikenal juga istilah
edutainment, yaitu perpaduan antara education dan
entertainment yang dapat diartikan secara sederhana sebagai
496 acara pendidikan yang dikemas dalam bentuk yang
menghibur. Pendidikan sebagai inti acaranya, sedangkan
hiburan sebagai metode atau cara menyampaikan pendidikan
sebagai substansi tayangan acaranya.
Bila kita merujuk latar belakang historis munculnya
konsep infotainment, edutainment sebagai pembandingnya,
maka seharusnya acara sejenis infotainment yang ditayangkan
di sejumlah televisi di Idonesia bermakna informasi yang
dikemas dalam bentuk yang menghibur. Informasi sebagai
inti acara yang disampaikan kepada publik dengan
menggunakan metode atau cara menghibur. Anehnya, makna
infotainment yang terjadi dalam industri televisi Indonesia
adalah informasi tentang hiburan. Sisi hiburan dijadikan
substansi untuk disampaikan kepada masyarakat. Sejauh ini
sisi hiburan yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan
dan memang benar-benar menghibur, sebenarnya tidak
menjadi masalah. Justru masalah semakin parah karena
pengertian hiburan sudah mengalami distorsi dan
penyimpangan makna yang sangat mendalam. Sebagai
contoh, apakah mengetahui siapa anak yang dilahirkan
Mayangsari merupakan hiburan? Atau, apakah tanggal
perkawinan Dewi Sandra dan Glenn merupakan informasi
yang berkualitas bagi publik? Bila jawaban atas dua
pertanyaan tersebut iya, berarti ada yang tidak beres dengan
kognisi sosial atau logika. Memang, logika industri berbeda
dengan logika sosial.14(Ibid, Iswadi Sahputra, hal, 68).
Di masyarakat rupanya sudah seperti sangat familiar
untuk mendengarkan atau mengikuti berita tentang artis. Hal
ini dikarenakan sifat masyarakat kita yang selalu merasa
penasaran dan ingin mengetahui, mengikuti kabar terakhir
dari kehidupan yang dijalani oleh idolanya. Bagi orang yang
14
I bi d, Iswandi Sahputra, hal 68. 497
kurang mengidolakan artis mungkin akan sangat jarang dan
bahkan tidak menyukai berita-berita seperti itu untuk
dikonsumsi.
Di Indonesia pada jaman dahulu, pastinya belum ada
pemberitaan tentang artis seperti sekarang ini. Hampir semua
televisi kecuali Metro TV menayangkan acara infotainment
yang isinya berita tentang gossip terutama bagi artis. Begiyu
juga dengan media cetak yang juga muncul begitu banyaknya
disusul lagi dengan adanya media internet. Maka lengkaplah
sudah semua media diisi dengan pemberitaan tentang artis.
Beberapa artis memanfaatkan pemberitaan sebagai
media untuk meningkatkan popularitas. Sehingga artis sangat
senang ketika diekspose oleh media. Akan tetapi media
terkadang juga dijadikan sebagai kambing hitam dengan
mencari kejelekan atis untuk mendapatkan berita. Artis yang
kurang popular akan merasa tidak mampu menembus pasar
selebritis tana air. Yang jelas dua komponen yaitu artis dan
media memang memiliki ketergantungan satu sama lain. Artis
yang tidak pernah tayang/muncul juga akan berpengaruh
dengan penghasilannya, kecuali si artis memiliki bisnis
sendiri. Yang menjadi bahasan ini adalah sejak kapan
masyarakat mengkonsumsi pemberitaan infotainment?
Ketika televisi belum ada yang memberitakan tentang
artis, media cetak ada yang memulai pemberitaan tentang
artis. Namun isi berita masih terbatas menampilkan beritaberita, bukan yang mengandung gossip.
Setelah itu, banyaklah media mulai berlomba-lomba
untuk mencari informasi (infotainment) mengenai artis yang
masih berbau gosip saja sudah disodorkan ke pemirsa/
konsumen, karena ingin menunjukkan upaya mencari berita
yang tercepat antara benar dan tidaknya urusan belakang.
498 (veven Sp, Wardhana Advisor di German Technical Cooperation,
Program Good Governance in Population Administration, 27 – 11 –
2008).
B. Penayangan Infotainment di Televisi (RCTI, SCTV, TPI,
INDOSIAR, AN-TV DAN TV-7)
Desain penayangan beberapa kasus seperti percerian di
kalangan artis dan lain-lainnya dalam pemaparan di TV, para
pengelola televisi sepertinya memahami betul psikologi para
pemirsa masyarakat Indonesia yang memiliki karakter
berubah-ubah. Mereka menyukai apa yang ditayangkan
televisi sehingga terjebak dalam budaya massa yang artificial.
Sambil berkata, inilah selera penonton, sehingga para
pemainnya mendasain dan memproduk berbagai acara
berbagi produk acara seperti di TPI sidik, TransTV ada gossip,
RCTI dengan Sillet, Cek & Ricek dan Kabar Kabari, serta
Trans-7 Gossip Karena alasan keinginan pasar/pemirsa yang
selalu berubah, tidak heran bila sebuah produsen selalu
menampilkan acara berubah-ubah.
Adanya infotainment bertujuan untuk menghibur, tentu
hal yang baik-baik saja. Masalahnya adalah pertama ketika
infotainment menjadi banyak dan kompetisi semakin panas.
Kedua apakah berita yang mereka cari adalah berita yang
diinginkan oleh publik. Seperti apa yang media tayangkan
yang terjadi di Indonesia kini berita tentang infotainment dan
sejenisnya selalu ada di layar televisi. Contoh saja tentang
kasus perceraian Gusti Randa dan Nia Paramitha dan
Bambang Trihatmojo atau Parto dengan istri keduanya
diuber-uber pencari berita sehingga terlihat dalam kondisi
yang tidak nyaman untuk diekspos.
Kalau berita yang berkembang dapat mengkonstruksi
kesadaran positif masyarakat sebenarnya tidak perlu
499
dipermasalahkan. Apabila berita yang tidak benar (gossip)
yang berkembang sudah sangat sifatnya privasi apalagi gossip
tersebut bertendensi untuk menghancurkan karakter
seseorang, bukan hanya merugikan orang yang bersangkutan
tapi juga membohongi pemirsa televisi. Infotainment bukan
saja tega tetapi sudah bertindak keterlaluan dan kejam
terhadap hak seseorang.
Program siaran infotainment yang ditayangkan di
televisi setiap hari yang diselingi dengan iklan dan banyak
mengandung muatan hiburan, Merupakan bisnis yang banyak
menghasilkan keuntungan besar dengan modal yang tidak
begitu mahal.
C. Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Banten
Hasil wawancara dan diskusi dengan para responden,
tentang respon/pandangan MUI di Kota Serang Propinnsi
Banten dan beberapa tokoh agama Islam dan pimpinan
pengurus organisasi Islam terhadap tayangan infotainment
dapat dikemukakan beberapa hal. Secara umum tontonan/
hiburan di televisi banyak mengandung negatifnya dari pada
positifnya seperti kekerasan, pornografi, kepercayaan mistik,
dan adegan anak membentak-bentak orang yang lebih tua/
dewasa, perkelaian antar siswa sekolah, dan trend rambut
warna warni. Tanpa disadari, masuknya tontonan semacam
itu di ruang keluarga Indonesia telah mengakibatkan
terjadinya proses sosialisasi tindak kekerasan, pornografi,
mistik, supranatural. Di daerah Banten pengaruh itu masih
bisa dihindari dengan dibentengi oleh akidah yang kuat yang
terbina sejak ketika masih anak-anak. (wawancara dengan
pengurus Majelis Ulama Indonesia Propinsi Banten).
Pertama, tayangan infotainment di televisi dinilai oleh
pengurus MUI Kota Serang Propvinsi Banten dan tokoh
500 agama cukup mendapat respon/tanggapan serius karena
infotainment yang di tayangkan oleh televisi dinilai banyak
mengandung
madhorotnya
bila
dibanding
dengan
manfaatnya. Walaupun tidak dipungkiri masyarakat sendiri
menggemari berita berita tentang infotainment sebab acara ini
memenuhi hasrat keinginan pemersa televisi yang ingin
mengetahui akan kehidupan orang lain. Jika yang diberitakan
makin seru, dramatis, dan kontraversial, makin asyik orang
tersebut untuk menyaksikannya. Jika hal yang remeh itu kita
tonton sepanjang hari dan terus menerus, maka memori kita
pun hanya mengarahkan pada hal yang remeh dan dangkal.
Akhirnya wajar jika apa yang kita percakapkan pun hanya
seputar gosip belaka, sehingga kita akan kehilangan untuk
menyadari substansi, perenungan, kedalaman dan hal-hal
penting untuk hidup.
Kedua, respon/pandangan yang disampaikan oleh Drs.
Sibli Sarja dan Drs. H. Syaifuddin Chotib, Sekretaris Umum
MUI Provinsi Banten dan Drs. KH. Alwi Nawawi Ketua MUI
Kota Cilegon tentang infotainment yang ada baru wacana
terhadap penayangan, dimana bila ada kunjungan MUI Pusat
maka pengurus MUI Propinsi Banten memberikan informasi
dan usulan tentang bahayanya infotainment, bila dilihat dari
sisi manfaatnya kurang sekali karena yang ditayangkan
infotainment hanya membuka aib keluarga, ikut mencampuri
urusan rumah tangga orang dan terlalu memasuki wilayah
orang lain serta melanggar hak azasi manusia. Dari
penayangan tersebut dampaknya sangat besar antara lain: (a).
Tayangan infotainment sangat flugar yaitu berani membuka
aib orang lain yang dianggap tabu oleh masyarakat Propinsi
Banten khususnya di Kota Serang. Dengan adanya
pemberitaan yang bertentangan dengan kaedah agama
(seperti berita konflik suami istri, rumah tangga seseorang,
dll). Apalagi bila ada orang yang kawin sirih mereka berani
501
pada tuduhan berbuat fitnah dll. (b). Penayangan
infotainment lebih banyak unsur negatifnya (buruk sangka) ,
banyak memasuki rahasia orang lain oleh karena itu
sebaiknya infotainment dihentikan saja karena mengganggu
umat Islam atau diganti dengan acara yang lain sebagai
pengganti acara tersebut.
Ketiga, secara umum tayangan infotainment bila ditinjau
dari segi manfaat bagi pemirsa televisi hampir tidak ada dan
lebih banyak mengandung madhorot. Demikian juga seperti
acara The Master, dan Hipnotis MUI Propinsi Banten sudah
memberikan peringatan secara keras dan himbauan kepada
masyarakat kususnya di Propinsi Banten bahwa acara tersebut
haram untuk di tonton, karena orang diperdaya untuk
mengikuti keinginan orang lain. Untuk menjaga agar
masyarakat tidak terbawa arus oleh tayangan tersebut maka
sebaiknya acara infotainment dan sejenisnya yang diperbolehkan adalah yang lebih banyak mengandung manfaatnya dari
pada madhorotnya jangan hanya mengejar keuntungan materi
dengan mengorbankan yang lain.
Al Qur’an S. An-Nur dijelaskan bahwa: “Sesungguhnya
orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu
(berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,
maka mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di
akhirat. Dan Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui”.(An-Nur, 19).
Keempat, KH. Syaifuddin Hasan wakil Ketua Pimpinan
wilayah Muhammadiyah Banten, Ketua Bidang dakwah, dan
Direktur LP POM MUI dan KH. Ma’mur Mashur Ketua PW
NU Banten, menjelaskan bahwa efek dari penayangan
infotainment dapat menimbulkan perpecahan dikalangan
masyarakat, bila hal ini telah terjadi maka PP Muhammadiyah
akan mengeluarkan tarjih, tetapi sepanjang belum melanggar
502 undang undang sulit untuk melarangnya. Ada beberapa saran
yang perlu diperhatikan bahwa: Lembaga sensor (KPI) harus
diberdayakan secara maksimal dan MUI sendiri harus lebih
aktif. Siaran-siaran yang ditampilkan sebaiknya dapat
memberikan pendidikan kepada pemirsa/masyarakat seperti
dakwah di televisi, baik itu dalam bentuk ceramah maupun
interaktip sehingga acara semacam itu lama-lama banyak
diminati oleh masyarakat dan akan dirasakan manfaatnya.
Untuk menghindari tayangan infotainment, sebaiknya
kegiatan di masyarakat lebih diaktifkan seperti pengajianpengajian, akhlak/akidah di kuatkan sehingga ibu-ibu atau
pemirsa televisi bisa berkurang untuk menikmati acara televisi
di rumah. Jika mereka menyaksikan tayangan tersebut sudah
dibekali akhlak yang baik sehingga tidak mudah termakan
oleh tayangan tersebut. Disamping itu ormas Islam harus
mampu memberikan perhatian terhadap tayangan tersebut.
Dari Aisyiah belum ada informasi adanya dampak
negatip dimasyarakat. Karena Aisyiah sendiri untuk
meningkatkan
keimanan
anggota/jamaahnya
selalu
menekankan pembinaan akhlak dan keimanan sejak dini
untuk membekali kelak mereka setelah dewasa. Untuk di
Propinsi Banten khususnya kota Serang dampak negatif
tayangan infotainment belum begitu dirasaakan di
masyarakat karena masyarakat kususnya di Kota Serang
dibekali ilmu agama yang sudah ditanamkan sejak dini.
Kelima, menurut KH. Tubagus Fathul Ngadhim Chotib
penasehat MUI Banten menjelaskan bahwa pada tahun 2007
permasalah infotaiment pernah dibicarakan oleh komisi B
tetapi tidak menghasilkan himbauan ataupun fatwa yang
menyatakan infotainment haram/dilarang. Namun ia tidak
setuju penayangan di televisi TV Banten sampai sekarang ini
tidak menayangkan acara infotainment, menurutnya tayangan
503
tersebut banyak mengandung unsur ghibah yaitu menjelekkan
orang lain dan membuka aib orang lain.
Pengaruh dari tayangan tersebut antara lain: (a).
menjelekkan/membuka aib sesamanya sudah dianggap suatu
hal yang biasa; (b). Sudah hilang/berkurang memiliki rasa
malu, sehingga mereka melakukan perbuatan yang menjurus
kepada kekerasan, flugar, pamer aurat, KDRT, dsb. Hal yang
seperti itu seharusnya ditutup rapat-rapat; (c). Suami istri
saling curiga mencurigai yang dapat menimbulkan
perpecahan rumah tangga/perceraian; (d). Adanya kebebasan
pers yang berlebihan sehingga norma-norma etika pers sudah
tidak dihiraukan lagi; (e). Mandulnya badan sensor film di
MUI, votting selalu kalah karena jumlah anggota lebih
sedikit;
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
penayangan infotainment, antara lain: (a). Frekwensi tayangan
harus dikurangi; (b). Mengirim surat kepada media televisi
memberi masukan terhadap bahaya tayangan infotainment
terhadap masyarakat terutama pada generasi muda (c).
Tayangan seperti itu sebaiknya pada jam-jam tertentu agar
tidak ditonton oleh anak-anak (d) Perbanyak tausiah, dakwah,
dan siaran agama yang sifatnya mendidik;
Keenam, menurut Prof. Dr. H. Fauzan Iman (guru besar
IAIN Serang Banten) disamping infotainment banyak
mengandung madharatnya bila dibandingkan dengan
manfaatnya juga dilihat secara sosial bahwa infotainment
banyak mengandung issu negatif . Secara internal bahwa
infotainment (seperti silet, kasak kusuk, kroscek, dllnya)
banyak hal-hal yang sifatnya pribadi yang belum pasti
kebenarannya, yang dibicarakan masalah aib/rahasia yang
sifatnya pribadi. Sehingga orang tersebut menjadi tidak
504 bermartabat, tetapi ada yang merasa bangga bila diberitakan,
di layar televisi.
Dijelaskan bahwa infotainment/gossip dalam Islam
dikatagorikan sebagai perbuatan tidak terpuji, sebab secara
substansi memilki kesamaan dengan ghibah,baik dari segi cara,
sifat maupun dampak yang ditimbulkannya. Dari segi cara,
infotainment dan ghibah sama-sama ada sumbernya hanya saja
sang informan tidak jelas mengetahuinya. Dari segi sifatnya,
sudah tentu sama-sama berita yang masih samar dan belum
tentu akurat, sehingga melahirkan prasangka (zhan) dan
mencari-cari aib orang lain (tajassus). Dari segi dampak
negatifnya, sama-sama berpotensi menimbulkan permusuhan
dan perpecahan
Ditegaskan, bahwa infotainment menurut dia hukumnya
haram untuk ditayangkan. Bila masih ingin ditayangkan,
maka seharusnya diubah cara penyajiannya sehingga dapat
memberikan pendidikan dan manfaat pada masyarakat.
Bila dilihat dari segi ekonomi infotainment bisa
dianggap mendatangkan keuntungan yang cukup besar tetapi
negatifnya akan lebih berbahaya di masyarakat. Moral, idola
semua ini dapat merusak masyarakat. Bisa jadi dengan
gayanya bahwa mereka merasa tidak bersalah dan tidak malu,
tidak terhukum malah sebaliknya merasa bangga. Kalau rasa
malu sudah hilang sehingga mempengaruhi masyarakat
seperti orang ramai-ramai berdemo orang yang di demo tidak
peduli dan masa bodoh dan sudah tidak mengindahkan
norma-norma, etika dan lain sebagainya.
Selanjutnya saran MUI khusus Provinsi Banten dan MUI
Pusat harus berani bertindak tegas terutama terhadap
lembaga sensor (sekarang Komisi Penyiaran Indonesia) dan
harus lebih berani menghadapi persoalan terhadap tayangan
505
yang provokatif. Disamping ada muatan
diadakan penelitian lebih lanjut.
lain yang perlu
Kemudian perlu ditambah siaran yang sifatnya
mendidik dan agamis dan juga ditempatkan orang orang yang
memiliki wawasan keagamaan luas serta orang-orang yang
dapat menampilkan film-film yang agamis dan mendidik.
Sedangkan untuk mencari solusinya perlu tenaga dari MUI
bekerjasama dengan produser agar film yang ditampilkan
dapat bervariasi dan agamis sehingga tidak membosankan
bagi pemirsa televisi dan memiliki nilai-nilai positif.
Ketujuh, dari berbagai sumber baik dari kalangan
cendekiawan muslim maupun ormas Islam (seperti: HTI, NU,
PW Fatayat, Muizzuddin, KH. Ma’rus Muslim Ketua FKKM,
KH. Kasman DM dari Persis dan Abd Karim pengurus BAZIS
Cilegon dll) menyatakan bahwa penayangan infotainment
disekitar dunia hiburan selebritis yang saat sekarang ini
banyak digemari oleh kaum ibu-ibu, anak remaja dan lainnya,
biasanya isi infotainment sekitar gossip, yang diangkat yaitu
sekitar aib seseorang seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), informasi sosial yang sedang berkembang dan
digemari oleh masyarakat. Biasanya masalah infotainment
bermuatan negatif/ghibah cukup tinggi. Sebaiknya siaran
seperti itu dihentikan saja karena banyak madhorotnya dari
pada kebaikkannya (exploitasi) diganti tayangan lain yang
lebih bermanfaat.
Dampak dari penayangan tersebut banyak negatif baik
untuk kalangan orang dewasa, remaja, anak-anak, terutama
bagi kaum ibu-ibu. Waktunya dihabiskan untuk menyaksikan
acara tersebut sehingga mereka sudah mengangggap hal-hal
semacam itu sudah biasa bukan merupakan suatu aib yang
seharusnya ditutup-tutupi. Terkadang dijadikan contoh dan
praktek dalam kehidupan mereka yang seharusnya dijauhi/
506 dibuang
seperti
contoh
kasus
perselingkuhan, dan kawin sirih dsb.
KDRT,
perceraian,
Respon terhadap tayangan tersebut adalah: (a). Sebaiknya tontonan semacam itu harus dihindari/ditinggalkan dan
sebagai gantinya dilakukan tayangan yang positif seperti
pengajian-pengajian untuk menghindari tontonan yang
kurang bermanfaat bahkan mengandung maksiat, dan
membuat fitnah; (b) Seharusnya para alim ulama dapat
merespon dan meluruskan media massa baik di tingkat lokal
maupun nasional dan membangun opini bahwa hal semacam
itu tidak layah ditonton.
Adapun langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut,
sekarang ini sebatas menyampaikan informmasi dan
menyadarkan masyarakat, bahwa infoteinment disamping
sebagai hiburan juga berbahaya bagi kehidupan moral
masyarakat; Perlu adanya fatwa MUI baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daealam hal ini pemerintah harus
mengawal/ mengawasi secara selektip terhadap penayangan
acara-acara di TV swasta.
Untuk membuat fatwa tentunya diperlukan data
kualitatif atau pendapat halayak/masyarakat, bahwa moral
harus dikedepankan, sedangkan toleransi harus punya misi
dan visi yang jelas dan jangan berpihak pada pemilik modal.
Adapun suara tokoh masyarakat terutama umat Islam
perlu menyuarakannya secara bulat. Departemen Agama
harus bisa mengambil tindakan yang pada akhirnya sampai
pada usulan penutupan penyiaran infotainment di TV.
Respon tokoh masyarakat harus dilakukan dan MUI
perlu kajian lebih mendalam dengan hasil akhir penerbitan
fatwa pelarangan peredaran acara tersebut. Disamping itu
MUI perlu melengkapi dengan infrastuktur dan pemerintah
507
mengadopsi dengan fatwa tersebut. Bila perlu diterbitkan UU
berbasis fatwa termasuk UU pornografi.
Sedangkan Ketua MUI Drs. H. Hamidan di Hotel Aston,
Rabu 29 Agustus 2009. menyampaikan pernyataan bahwa
meski MUI belum mengeluarkan fatwa haram tentang
tayangan Infotainment yang sarat dengan pergunjingan,
namun MUI menghimbau masyarakat agar tidak menonton
tayangan yang mengandung unnsur ghibah itu, karena dalam
Islam ghibah hukumnya haram. Selanjutnya KH. Ma’aruf
Amin menjelaskan bahwa yang diharamkan itu isi berita yang
membuka aib seseorang. Seandainya berita itu tidak benar
akan menjadi fitnah, kalaupun itu benar tapi menyangkut
pribadi seseorang dan membuka aib itu tidak diperbolehkan.
Untuk itu MUI menyarakan agar mass media tidak
melakukan hal semacam itu. Kebebasan pers bukan tanpa
batas. MUI akan memberikan bimbingan yang bersifat
edukatif dan persuasif.
Begitu juga Din Syamsuddin, Wakil Ketua Umum MUI
mengingatkan agar pembuat tayangan infotainment dapat
memberikan pesan moral, dan tidak hanya menampilkan sisi
negatifnya seseorang di depan umum, melainkan juga
menampilkan sisi posiitifnya, sehingga bisa menjadi teladan
bagi masyarakat.
Sedangkan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PBNU)
telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan kalau tayangan
berisikan gossip, yang membongkar aib seseorang,
dikategorikan “haram”. Sedangkan Wakil Ketua Departemen
Infotainment, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Remmy
Soetansyah, pada intinya sependapat dengan fatwa itu,
namun hanya untuk gossip saja yang “haram” dan bukan
infotainmentnya.(Kamis, 29 Agustus 2009).
508 D. Analisa
Televisi sebagai media massa memiliki peran yang
sangat penting dan strategis di era globalisasi. Tayangantayangan yang disuguhkan oleh stasiun televisi mampu
menjadi sarana dan prasarana yang tepat dan dapat menyedot
banyak pemirsa baik dikalangan anak-anak, remaja dan
dewasa secara efektip dan mempunyai dampak yang kuat
kepada pemirsanya. Oleh karena itu para pengusaha, pebisnis
dan politisi banyak menggunakan sebagai salah satu alat
untuk untuk menyampaikan kepentingan dirinya atau
kelompoknya.
Bagi masyarakat pada umumnya, acara TV dibutuhkan
sebagai sarana hiburan, menambah informasi, wawasan, dan
Ilmu pengetahuan serta tehnologi. Namun dominasi ini
ditempati oleh sarana hiburan dan penambahan informasi
yang diperoleh melalui pemberitaan kejadian, peristiwa
maupun kasus lain yang terjadi dalam kehidupan. Dampak
dari pada tayangan infotainment memberikan dampak yang
kurang baik kepada penonton karena tayangan tersebut
banyak mengandung unsur negatipnya (madhorotnya) bila
dibandingkan dari pada manfaatnya. Oleh sebab itu baik MUI
di Propinsi Banten maupun tokoh agama dan masyarakatnya
mengimbau untuk tidak menonton paling tidak mengurangi
acara infotainment dan sejenisnya. Umumnya masyarakat
Indoneisa masih tergolong pada masyarakat, mendengar,
melihat dan menonton. Dengan melihat ataupun menonton
cara lebih mudah dilakukan, bahkan dengan dalam keadaan
santaipun kita bisa menikmati acara infotainment di televisi.
Sedangkan lembaga kontrol terhadap media audio visual
(TV) yang ada di Indoneisa saat sekarang ini belum mampu
melakukan kontrol secara maksimal. Siaran stasiun televisi
tidak dapat dilakukan blocking. Kecuali bila ada kemauan dari
509
pengelola televisi yang bersangkutan. KPI sendiri tidak
mampu melakukan pencegahan terhadap pengguna alat
penangkap siaran televisi dengan menggunakan antenna
parabola atau antenna TV cable. Dengan demikian pemirsa
televisi bebas memilih stasiun mana yang tayangan
dipandang sesuai dengan keinginan/kebutuhan. Padahal
tidak semua tayangan televisi isi muatannya mengandung
nilai-nilai yang positif bahkan dapat merusah pemirsa televisi.
Di sisi lain, televisi tidak bisa di cegah kepemilikannya
karena sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan televisi
juga dapat digunakan oleh pemerintah dalam memberikan
informasi yang terkait dengan program-program kegiatan
yang diperuntukkan bagi peningkatan pelayanan masyarakat.
Oleh karena itu yang dibutuhkan disini adalah sinergi antara
berbagai unsur masyarakat untuk memberikan warna kepada
siran muatan televisi dan sekaligus berpartisipasi dalam
melakukan kontrol terhadap pengelolaan televisi agar dapat
melakukan seleksi terhadap program acara tayangan yang
akan disajikan kepada pemirsanya.
510 BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
ari uraian diatas ada beberapa kesimpulan yang
dapat ditarik tentang respon MUI Propinsi Banten
terhadap penayangan infotainment di televisi
sebagai berikut:
D
1. MUI Banten menghimbau masyarakat agar tidak
menonton infoteiment karena tidak sesuai dengan budaya
kita. Di dalam Islam perbuatan semacam itu dikatagorikan
ghibah dan hukumnya haram. Alangkah baiknya tayangan
seperti itu dicarikan solusinya sebagai pengganti acara
tersebut sehingga tidak merugikan kepada produsen;
2. Dampak dari tayangan infotainment di Banten belum
begitu dirasakan efek negatifnya di masyarakat. Oleh
karena MUI Banten merasa belum perlu mengeluarkan
fatwa pelarangan, karena pada umunya masyarakatnya
sudah dibekali pendidikan agama yang cukup. MUI
Banten menghimbau kepada masyarakat khususnya di
daerah Banten agar selektif dalam menyaksikan tayangantayangan di televisi.
3. Penayangan infotainment yang menampilkan tindak
kekerasan yang berdampak negatip ketimbang positif, dan
cederung mempromosikan cara pemirsa berfikir dan
berperilaku kekerasan ketimbang hal lain, sebaiknya
dihentikan.
511
B. Saran-Saran
Beberapa yang perlu direkomenasikan adalah:
1. Dalam rangka memenuhi kepentingan para pebisnis
terutama dari pihak production house dalam memberikan
hiburan pada masyarakat, maka sebaiknya pihak
produsen dan stasiun televisi tidak mengedepankan
materi dan keuntungan dari pada kepentingan misi dan
visinya. Sebaiknya penayangan acara lebih banyak
mengandung unsur yang positif (manfaat) dan dapat
menguntungkan dua belah pihak.
2. Sebaiknya pembuatan tayangan infotainment dapat
memberikan pesan moral, tidak hanya menampilkan sisi
negatif seseorang di depan umum, dan sebaiknya
menonjolkan sisi positifnya sehingga bisa menjadi teladan
bagi masyarakat’;
3. Perlu dikembangkan kerjasama lintas instansi yang ada
untuk menjadikan media massa TV menjadi media bagi
pemberdayaan masyarakat. Dan memfungsikan KPI untuk
mengontrol terhadap proses siaran TV yang dapat diakses
masyarakat pemirsa di Banten.
512 DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Propinsi Banten, 2008;
Bidan Media Komunikasi Bidan Keluarga Indonesia, Edisi 4
tahun 2006;
Burhan Bungin, Pornomedia, Sosiolgi Media, Konstruksi
Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Sexs di
Media Massa, Jakarta, Prenada Media, 2005;
Fatma Diah Pratiwi, Persepsi Anam Muda Tentang Radio
Muslim, Program Studi Komunikasi Fakultas Ilmu
sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009;
Gosip
(Infotainment),
Wikipedia
bahasa
Ensiklopedi bebas, 24 Juni 2008;
Indonesia,
Iswadi Sahputra, Jurnalistik Infotainment, Koncah Baru
Jurnalistik Dalam Industri Televisi, (Yogyakarta,
Nuansa Aksara, 2006;
Mohammad Sobary, kesalehan Sosial, LKIS, Yoyakrta, Thun
2007;
Mursyid
Ali, Problematika Komunikasi, Antar Umat
Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangan
Agama, Proyek Peningkatan Kerukunan Umat
beragama, Jakarta, 2000;
Sudjangi, Agama dan Masyarakat, Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Departemen Agama RI,
1992/1993.
513
Puslitbang Lektur Keagamaan, Baan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, Vol 126, 2008;
W. Wichel dan NH Michel, Essentials Of Psykology (New York :
Random House, Inc, 1980;
Wrightsman, Social Psyhology Indonesia The 80,S, Oleh Subagyo,
Psychology Sosial, Jakarta : Haruhita, 1998.
514 GERAKAN KOMUNITAS BASIS DI
PAROKI KAMPUNG SAWAH
ST. SERVATIUS BEKASI
Oleh:
Reza Perwira
GERAKAN KOMUNITAS BASIS DI PAROKI
KAMPUNG SAWAH ST. SERVATIUS BEKASI.
Reza Perwira
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
S
alah satu agama yang berkembang dan
memberdayakan umatnya berdasarkan ajaranajarannya di Indonesia adalah agama Katolik.
Dalam konteks Gereja Katolik, berbagai upaya telah dilakukan
pihak gereja agar umatnya tetap berpegang pada ajaran yang
seragam, sehingga mengurangi kemungkinan pemisahan
paham keagamaan yang berbeda. Namun demikian, paham
yang relatif berbeda dengan ajaran resmi Vatikan, tetap saja
muncul, seperti Teologi Pembebasan yang radikal di Amerika
Latin, atau pandangan skismatik dari kelompok Parisian Hati
Suci di kalangan keturunan Irlandia dan kelompok Maria
Sang Penebus di kalangan keturunan Polandia, yang
keduanya berada di Amerika Serikat.1
Pada perkembangannya, ajaran-ajaran yang diterapkan
oleh Gereja Katolik di Indonesia sebagai pewartaan kepada
umatnya tidak hanya selalu bersifat wahyu Tuhan, namun
juga melalui ajaran sosial gereja yang berdasarkan firman
Tuhan. Melalui ajaran sosial Gereja, ditegaskan kembali
1 Aziz, Abdul (2005): Ortodoksi dan Potensi Penyimpangan Studi tentang
Umat Katolik Timor-Timur. Harmoni, Vol. IV (13): 79. 515
bahwa Gereja tidak dapat menjalankan tugas pewartaannya
tanpa keterlibatan konkrit dalam masalah kemasyarakatan.
Ajaran sosial Gereja merupakan salah satu aspek dimensi
profetik Gereja. Melalui ajaran sosialnya, Gereja menjalankan
tugas pewartaannya (dengan memberi ajaran), sekaligus
mewujudkan keterlibatannya dalam menyelesaikan masalahmasalah sosial masyarakat.
Masalah sosial masyarakat, sejak memasuki era
reformasi, bangsa Indonesia masih menghadapi masalah dan
tantangan yang sangat berat. Permasalahan yang paling
dominan bagi masyarakat Indonesia salah satunya adalah
masalah kemiskinan. Namun dalam hal ini, kemiskinan
bukanlah akibat kesalahan dan kehendak orang miskin sendiri
melainkan karena adanya struktur sosial (aturan main dalam
masyarakat), yang membuat proses: ekonomi. politik, sosial,
ideologi maupun budaya menjadi suatu proses yang hanya
berpihak pada sekelompok orang saja dan sementara itu
menekan pihak tertentu yang pada akhirnya dikategorikan
sebagai kelompok orang miskin.
Pdt. Mungki A. Sasmita, S.Th, MA dalam tulisannya
yang berjudul Tantangan Eksternal dan Peluang Bagi Suatu
Pembangunan Jemaat2 menyatakan bahwa peran gereja yang
hadir secara aktual dan relevan memandang fenomena
kemiskinan sebagai tantangan yang harus dijawab. Semangat
megachurch tidak mungkin dapat mengatasi fenomena
kemiskinan ini, karena concern gereja tersebut bukan pada
penghapusan kemiskinan namun menciptakan gereja super
yang sarat dengan kemegahan dan kemewahan.
2 Sasmita, Mungki A.
2006. Tantangan Eksternal dan Peluang Bagi Suatu
Pembangunan Jemaat. http://www.gki.or.id/, diakses tanggal 28 April 2009. 516 Berangkat dari fenomena tersebut, Gereja Katolik di
Indonesia sehingga melakukan refleksi bersama untuk
mencoba menghadapi pelbagai masalah dan tantangan,
bahkan ancaman yang dialami, dengan merumuskan solusisolusi demi terciptanya kehidupan dunia yang menghargai
asas-asas kemanusiaan dengan menciptakan formula untuk
menjawab permasalah umat.
Pada tanggal 1-5 Nopember 2000 Gereja Katolik
Indonesia melaksanakan Sidang Agung Gereja Katolik
Indonesia (SAGKI TAHUN 2000) di Wisma Kinasih, Caringin,
Bogor. Dalam sidang yang bertema Memberdayakan Komunitas
Basis Menuju Indonesia Baru tersebut membahas tentang
permasalahan-permasalahan yang dialami oleh bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bagian integral bangsa,
umat Katolik Indonesia dipandang sepenuhnya ikut
menghadapi
permasalahan
dan
tantangan-tantangan
tersebut.3
Dari hasil sidang itu, para uskup sangat mengapresiasi
hal-hal yang baik khususnya dalam bidang kerjasama antara
awam dan rohaniwan, antara hirarki dengan umat, dan antara
perempuan dengan laki-laki. Para uskup juga sangat
menghargai kerjasama tersebut dan berharap agar semangat
kerjasama itu dilanjutkan dan ditumbuhkembangkan di
dalam pembinaan umat basis di keuskupan-keuskupan.
Terkait dengan pemberdayaan komunitas-komunitas
basis, para uskup juga menghimbau kepada masing-masing
keuskupan untuk mengamati dengan cermat hidup Gereja
setempat, mempertahankan unsur-unsur yang baik dan
mengubah hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat
Kerajaan Allah. Hendaknya digali lagi ajaran-ajaran resmi
3 Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2000. Di akses
melalui web site pada tanggal 28 April 2009 di http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen. 517
Gereja, seperti Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis tentang
Gereja) dan Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang
Gereja dalam Dunia Modern), untuk memberikan landasan
yang kokoh.
Pada tahun 2005, Sidang Agung kembali diadakan di
tempat yang sama yaitu di Wisma Kinasih, Bogor, 16-20
November 2005. Dihadiri 343 utusan dari 36 keuskupan di
Indonesia, 36 uskup, 96 imam/biarawan/biarawati, dan
wakil-wakil lembaga kemasyarakatan. Sidang Agung yang
untuk kedua kalinya diselenggarakan ini merupakan
perhelatan besar. Sidang tersebut menghadirkan Indonesia
mini, dilihat dari persoalan bangsa Indonesia aktual dan dari
keragaman peserta yang berasal dari Sabang sampai Merauke.
Dipandang dari sisi Gereja Katolik, bangsa Indonesia
masih berada dalam suasana ketidakadaban publik. Sehingga
gereja berusaha menerobos kebuntuan dengan mengajak
jemaat gereja untuk melakukan perubahan dari suasana
ketidakadaban ke suasana berkeadaban publik dengan
melakukan pendalaman atas persoalan aktual dan melakukan
perubahan. Dalam istilah teknis SAGKI 2005 yaitu berubah
dari habitus (kebiasaan) lama ke habitus baru, dari suasana cara
hidup tidak beradab menjadi cara hidup dan suasana yang
beradab.4
4 Dalam telaah sosiologis, menurut Ignas Kleden, habitus bersifat generatif,
kebiasaan yang sudah terbentuk tidak bersifat statis, tetapi cenderung menghasilkan
persepsi dan tindakan-tindakan tertentu dan dapat dialihtempatkan menjadi
kebiasaan yang terbentuk dalam kehidupan rohani seseorang yang dapat ditransfer
ke kehidupan sosial tanpa rujukan langsung ke norma-norma keagamaan yang
menjadi dasar. Sedangkan keunggulan-keunggulan habitus menyebabkan
keterbatasan dalam penerapan. Salah satunya ialah dia tidak bersifat reflektif
sekalipun kehidupan rohani menuntut refleksi terus-menerus dengan rujukan kepada
nilai-nilai dan motivasi yang melandasi tindakan. Dikutip dalam tulisan Sularto, St.
2005. Dari Habitus Lama ke Habitus Baru. Koran Tempo. 2 Desember 2005.. 518 Pada sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
tahun 2006, dikeluarkanlah sebuah Nota Pastoral dengan
judul Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama; Keadilan bagi
Semua melalui Pendekatan Sosio-Ekonomi. Secara garis besar,
dalam Nota Pastoral (NP) tersebut berisikan permasalahan
pokok mengenai kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia
yang memprihatinkan sehingga sebagai bagian dari bangsa
Indonesia Gereja Katolik Indonesia merasa perlu untuk ikut
serta dalam menangani masalah sosial-ekonomi tersebut.
Kedua SAGKI tersebut, memiliki pesan khusus kepada
para uskup untuk lebih menguatkan dan menumbuhkan
komunitas-komunitas basis ini menjadi salah satu cara Gereja
berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil,
sejahtera, demokratis dan manusiawi. Namun demikian,
perkembangan komunitas basis yang menjadi sorotan penting
dalam dua sidang tersebut diyakini saat ini masih banyak
mendapatkan tantangan dan hambatan seperti apa yang
diharapkan dalam dua sidang tersebut.
Perkembangan pelaksanaan ajaran sosial gereja tentang
komunitas basis di berbagai paroki5 di beberapa wilayah di
Indonesia yang dilaksanakan di paroki-paroki di Indonesia
yang juga dilaksanakan di salah satu paroki yang berada di
wilayah Bekasi yaitu Paroki Kampung Sawah St. Servatius.
Paroki ini memiliki sejarah panjang terkait dengan jemaatnya
yang berbeda etnis, sehingga mempunyai ciri yang khas
dalam pelaksanaan ajaran sosial gereja tersebut.
5 Paroki dalam Bahasa Inggris yaitu parish, adalah suatu tipe pembagian
administratif. Paroki dalam Gereja Katolik Roma di Indonesia adalah wilayah gereja
di bawah Keuskupan. Paroki dipimpin oleh seorang Pastor Kepala Paroki dan
beberapa Pastor Pembantu. Wilayah dibawah paroki biasa disebut Lingkungan, yang
dikepalai oleh seorang Ketua Lingkungan. 519
Banyak hal yang menjadi pertanyaan dalam ajaran sosial
komunitas basis yang dikembangkan. Apakah ajaran
komunitas basis yang diterapkan oleh Gereja Katolik di
Indonesia bersumber dari ajaran yang diterapkan oleh Vatikan
atau Negara lain? Di mana letak perbedaan komunitas basis di
Negara lain dengan di Indonesia? Apakah komunitas basis
yang berkembang di Indonesia merupakan ajaran sosial gereja
yang bersumber dari Kitab Suci? Apakah gerakan komunitas
basis yang diterapkan sudah sesuai dengan visi, misi, dan
tujuan serta harapan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia?
Berdasarkan alasan-alasan dan pertanyaan tersebut,
perlu dilakukan penelitian dengan judul Gerakan Komunitas
Basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam kajian ini adalah:
1. Apa makna komunitas basis menurut Gereja Vatikan,
gereja di Negara lain, dan Gereja Katolik Indonesia?
2. Apakah pertumbuhan gerakan komunitas basis di
Indonesia sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan harapan
pada SAGKI Tahun 2000 dan 2005?
3. Bagaimana aktivitas gerakan komunitas basis di Paroki
Kampung Sawah St. Servatius Bekasi?
4. Sejauhmana relevansi gerakan komunitas basis di Paroki
Kampung Sawah St.
pemberdayaan umat?
Servatius
Bekasi
terhadap
Tujuan Penelitian
Secara umum kajian ini ingin memperoleh gambaran
tentang sejauhmana perkembangan komunitas basis yang
sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan harapan pada SAGKI
520 tahun 2000 dan 2005 yang diperankan di Paroki Kampung
Sawah-St. Servatius Bekasi. Di sisi lain, penelitian ini berusaha
mengangkat salah satu bentuk ajaran sosial keagamaan yang
mengembangkan pemberdayaan umat melalui gerakan
komunitas basis.
Secara rinci penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui makna komunitas basis menurut Gereja
Vatikan, gereja di negara lain, dan Gereja Katolik
Indonesia.
2. Mengetahui pertumbuhan gerakan komunitas basis di
Indonesia yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan
harapan pada SAGKI Tahun 2000 dan 2005.
3. Mengetahui aktivitas gerakan komunitas basis di Paroki
Kampung Sawah St. Servatius Bekasi.
4. Mengetahui sejauhmana relevansi gerakan komunitas
basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi
terhadap pemberdayaan umat.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk;
pertama, mendapatkan informasi tentang komunitas basis
yang telah di laksanakan sesuai dengan dengan visi, misi,
tujuan, dan harapan pada SAGKI Tahun 2000 dan 2005; kedua,
mendapatkan strategi relevan untuk Gereja Katolik secara
umum dalam melaksanakan ajaran sosial keagamaan melalui
aktivitas gerakan komunitas basis di Paroki Kampung SawahSt. Servatius Bekasi. Ketiga, sebagai kebijakan terkait dengan
pembinaan umat Katolik.
Kajian Penelitian Terdahulu
Kampung Sawah merupakan gejala unik dalam konteks
budaya Betawi. Wilayah tersebut merupakan kampung
Betawi pertama yang agama warganya beraneka. Sejak seabad
521
lampau, warga setempat ada yang beragama Islam, Protestan,
maupun Katolik. Gejala ini sedikit "menyimpang" dari
kelaziman warga betawi yang identik dengan Islam.
Penyimpangan itulah yang menarik perhatian Abdul Azis,
peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Agama,
Departemen Agama (Balitbang Depag), untuk mengkaji profil
kerukunan beragama di kampung tersebut, pada 1996.
Menurut beliau, kerukunan beragama di Indonesia
memiliki basis budaya yang lebih kokoh dibanding Eropa.
Sejarah Eropa kental pengalaman konflik antaragama, namun
masyarakat nusantara tidak demikian. Perbedaan agama di
Kampung Sawah sering kali melahirkan kreasi lokal dalam
mengembangkan kerukunan antar agama.
Pada kajian lain, Lerman Sinaga, dalam tesisnya
berbicara tentang Interaksi Etnis Betawi Berbeda Agama
(Tinjauan dari Segi Stereotip, Prasangka dan Etnosentrisme Serta
Gaya Komunikasi di Kampung Sawah, Pondok Gede Bekasi). Beliau
mengatakan bahwa sikap etnosentrisme etnis Betawi yang
beragama Islam terhadap yang memeluk agama Katolik dan
sebaliknya ternyata juga berdimensi positif. Artinya dalam
interaksi mereka tidak ditemukan kelompok (orang) yang
mempunyai sikap yang menganggap hanya norma-norma,
nilai-nilai agama, dan perilaku kelompoknya sendiri yang
baik, sementara kelompok (orang lain) dilihat sebagai jelek,
tidak benar dan tidak penting.
Pada kajian lain adalah penelitian Yasmine Z Shahab
untuk desertasi doktornya (l989 dan l992). Penelitian ini
mengungkapkan tentang asal usul agama Kristen di Kampung
Sawah. Yasmine menemukan bahwa tersebarnya sebagian
anggota dari komunitas Kampung Sawah ke daerah-daerah
tersebut terjadi beberapa saat setelah Indonesia merdeka.
Ketika itu warga pribumi yang sebelumnya sering
522 diperlakukan secara berbeda oleh kalangan Kristen
melampiaskan kecemburuannya dengan melakukan balas
dendam dengan menekan dan mengusir mereka dari sana.
Maka terjadilah diasfora pada warga Kristen Kampung Sawah
itu.
Pada beberapa kajian terdahulu, penelitian lebih
ditekankan kepada profil kerukunan beragama masyarakat
Kampung Sawah, masyarakat Kampung Sawah beretnis
Betawi yang beragama Islam, dan asal usul orang Betawi yang
beragama Katolik. Sedikit banyak penelitian tersebut
berorientasi pada masalah sosial. Maka pada kesempatan ini,
penelitian yang dilakukan lebih berorientasi pada
perkembangan gerakan keagamaan yang terfokus kepada
ajaran sosial gereja Katolik di Paroki Kampung Sawah melalui
Komunitas Basis.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
difokuskan pada perolehan data deskriptif melalui studi
kepustakaan dan dokumentasi, wawancara secara mendalam
serta pengamatan. Pendekatan naturalistik juga ditempuh
dalam upaya menemukan, menggali, dan menggambarkan
realitas secara holistik.
Studi kepustakaan dan dokumentasi dilakukan dengan
cara menelaah dokumen yang relevan dengan permasalahan
yang dikaji. Wawancara dilakukan dengan sejumlah
informan, terdiri dari pengurus Paroki Kampung Sawah-St.
Servatius Bekasi beserta pengurus yang membawahi gerakan
komunitas basis, Pembimas Katolik di Kandepag Kota Bekasi,
jemaat yang terlibat dalam kegiatan komunitas basis, serta
beberapa tokoh agama Katolik. Sedangkan pengamatan
dilakukan dengan cara mengamati beberapa kegiatan ajaran
523
sosial kemasyarakatan gereja, terutama ajaran sosial dalam
pengembangan komunitas basis.
Kerangka Konseptual
Gerakan keagamaan merupakan respon terhadap
perubahan sosial sekaligus memberikan makna terhadap
perubahan. Ada yang mengambil bentuk proaktif dan reaktif,
semuanya mengindikasikan adanya tekanan perubahan secara
penuh dalam kebudayaan dan masyarakat. Gerakan
keagamaan juga berusaha untuk muncul kembali
menundukkan perubahan sosial tersebut dengan cara
penafsiran baru dan eksperimen-eksperimen melalui respon
praktis.6
Gerakan keagamaan atau dapat disebut pula dengan
gerakan sosial keagamaan, sering juga dikenal dengan
gerakan revitalisasi dan gerakan milenari. Gerakan revitalisasi
adalah gerakan keagamaan yang berupaya untuk
menciptakan eksistensi yang baru atau disebut direvitalisasi
yang dipandang tepat untuk kondisi saat ini. Gerakan milenari,
yaitu suatu gerakan keagamaan untuk mengantisipasi tibanya
suatu masa seribu tahun (millenium), suatu masa yang diyakini
penuh kedamaian, harmonis dan makmur dengan hadirnya
pemimpin kharismatik yang dipandang mesias (ratu adil).7
Di lain pihak, gerakan keagamaan tersebut bisa
mengembangkan relasi sosial yang bersifat komunal, dalam
arti lebih mengedepankan hubungan yang bersifat afektual,
atau melibatkan hubungan timbal-balik yang akrab, dan
secara bersama-sama oleh kebiasaan dan kearifan lokal.
Gerakan keagamaan tersebut bisa pula mengembangkan relasi
6 Beckford, James A. (ed). 1986. New Religious Movement and Rapid Social
Change. London. SAGE Publications Inc. Introduction. p. ix-xv. 7 Giddens, Antoni. 1993. Sociology. Cambridge: Polity Press. h. 643. 524 sosial yang bersifat asosiasional, atau lebih mengedepankan
hubungan yang bersifat impersonal dalam bingkai ideologi
politik tertentu yang dianggap sesuai dengan wahyu atau
firman Tuhan.
Komunitas basis yang dipahami sebagai salah satu cara
baru hidup menggereja adalah:
“Satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul
secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah
sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial,
dan mencari pemecahannya dalam Kitab Suci. Komunitas basis
seperti itu terbuka untuk membangun suatu komunitas yang juga
merangkul saudara-saudara beriman lain… Komunitas basis itu
diinspirasikan oleh teladan hidup umat perdana seperti dituliskan
dalam Kitab Suci. Dengan demikian, komunitas basis bukan sekedar
istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis
dalam pergumulan iman”.8
Dua SAGKI tahun 2000 dan tahun 2005 mengeluarkan
pesan khusus kepada para uskup untuk lebih menguatkan
dan menumbuhkan komunitas-komunitas basis di Parokiparoki di berbagai daerah di Indonesia.9 Perkembangan
pelaksanaan komunitas basis di berbagai daerah diyakini
banyak mendapatkan respon yang berbeda baik dari masingmasing paroki maupun masyarakat sekitar yang berbeda
agama sehingga perlu dibuat format ideal yang disesuaikan
dengan masyarakat dan budaya wilayah-wilayah itu sendiri.
8 Margana. 2004. Komunitas Basis: Gerak Menggereja Kontekstual. Yogyakarta:
Kanisius. h. 30-31. 9 Pada SAGKI tahun 2000, gagasan tentang komunitas basis dilandasi kepada
banyaknya konflik bernuansa agama di berbagai daerah di Indonesia yang
melibatkan jemaat Katolik dan umat beragama lain sehingga perlu dicari resolusi atas
konflik-konflik tersebut. Sedangkan pada SAGKI tahun 2005, gagasan tentang
komunitas basis dilandasi untuk membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera,
demokratis, dan manusiawi. 525
Gereja atau paroki yang berada di setiap wilayah Indonesia
berdampingan dengan komunitas lokal yang majemuk. Ajaran
sosial
gereja
seperti
komunitas
basis
setidaknya
mempengaruhi kehidupan ekonomi, hubungan kemasyarakatan, dan kualitas kerukunan masyarakat lokal.
526 BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH
PENELITIAN
Sejarah Kota Bekasi
S
ejak zaman kolonial Belanda, Bekasi merupakan
wilayah kabupaten yang berkedudukan di
Jatinegara. Setelah kemerdekaan status ini
dikukuhkan dengan UU Nomor 14 Tahun 1950 mengenai
pembentukan Kabupaten Bekasi, dengan wilayah yang terdiri
dari empat kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Pada
tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara
ke kota Bekasi (Jl. Ir. H Juanda), yang kemudian pada tahun
1982 gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali
dipindahkan ke Jl. Ahmad Yani, Bekasi.
Pesatnya perkembangan kecamatan Bekasi menuntut
dimekarkannya kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif
Bekasi pada tahun 1982 yang terdiri atas empat kecamatan
yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat,
dan Bekasi Utara, yang seluruhnya meliputi 18 Kelurahan dan
8 desa. Pada perkembangannya Kota Administratif Bekasi
terus bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan
pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan roda
perekonomian yang semakin bergairah. Sehingga status Kota
Administratif Bekasi pun kembali ditingkatkan menjadi
Kotamadya (sekarang "kota") pada tahun 1996.
Pada awalnya perekonomian Bekasi hanya berkembang
di sepanjang Jl. Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km
527
dari Alun-alun kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini
terdapat Pusat Pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun
1978, serta beberapa departemen store dan bioskop. Sejak
tahun 1993, pusat perekonomian bergeser ke sepanjang Jl.
Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra
niaga. Kini pusat perekonomian telah berkembang hingga Jl.
K.H Noer Ali (Kalimalang), Kranji, dan Harapan Indah.
Geografi dan Demografi
Kota Bekasi, merupakan kota besar kelima yang terletak
di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak di sebelah
timur Jakarta; berbatasan dengan Jakarta Timur di barat,
Kabupaten Bekasi di utara dan timur, Kabupaten Bogor di
selatan, serta Kota Depok di sebelah barat daya. Bekasi
merupakan salah satu kota penyangga di wilayah
megapolitan Jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan,
Bogor, Depok, dan Cikarang; serta menjadi tempat tinggal
para komuter yang bekerja di Jakarta. Oleh karena itu,
ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kotakota di wilayah Jabotabek..
Lokasi penelitian ini adalah masyarakat Paroki
Kampung Sawah-St. Servatius di Bekasi. Wilayah Kampung
Sawah, yang mayoritas penduduknya adalah etnis Betawi,
masuk dalam wilayah Kota Bekasi Kecamatan Pondok Melati
Kelurahan Jati Melati. Sedangkan Paroki Kampung Sawah-St.
Servatius beralamat di Jl. Raya Kampung Sawah No. 89 Rt
06/04 Kelurahan Jati Melati Kecamatan Pondok Melati.
Wilayah Kotamadya Bekasi mempunyai 12 Kecamatan
yang dibagi lagi atas 56 kelurahan. Kecamatan tersebut antara
lain: Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Utara,
Bantar Gebang, Pondok Gede, Jati Asih, Jati Sampurna, Rawa
Lumbu, Medan Satria, Pondok Melati, dan Mustika Jaya.
Kecamatan Pondok Melati yang merupakan tempat penelitian
528 ini dilakukan adalah kecamatan baru yang mulai beroperasi
pada tahun 2004. Kecamatan Pondok Melati sebagai wilayah
penelitian ini mempunyai 4 Kelurahan, yaitu: Jati Rahayu, Jati
Warna, Jati Melati, dan Jati Murni.
Walaupun secara administrastif masuk ke dalam
wilayah provinsi Jawa Barat, apabila dilihat dari sisi etniskultural, umumnya penduduk di Bekasi khususnya wilayah
penduduk Kampung Sawah berlatar belakang etnis-kultur
Betawi-Sunda. Bahkan sebagian lagi berkultur Jawa. Seperti
halnya
masyarakat
di
sekitar
Jakarta-Bogor-DepokTangerang-Bekasi (Jabodetabek), kultur budaya masyarakat
Kota Bekasi masih memiliki nuansa budaya Betawi (dalam
Muhajir, 2003 disebutkan ”Betawi Pinggiran” atau ”Betawi
Ora” bagi sekitar pinggiran Kota Jakarta).
Sosial, Ekonomi dan Kependudukan
Selain menjadi wilayah pemukiman, Kota Bekasi juga
berkembang sebagai Kota perdagangan, jasa dan industri.
Untuk menunjang perkembangannya, Pemkot Bekasi telah
mengembangkan Satuan Pelayanan Satu Atap (SPSA) yang
mendapatkan Citra Pelayanan Publik Tingkat Nasional.
Pemkot Bekasi terus mengembangkan fasilitas-fasilitas yang
mendukung aktifitas masyarakat, seperti pasar tradisional dan
modern, perumahan, tempat ibadat, sarana pendidikan dan
kesehatan.
Dukungan sarana transportasi darat di Kota Bekasi,
terus dievaluasi dan dikembangkan. Bus dan stasiun KA
Bekasi telah memiliki trayek cukup banyak sehingga mobilitas
masyarakat, barang dan jasa sehari-hari dapat berjalan dengan
lancar. Memiliki akses langsung ke pelabuhan Tanjung Priuk
dan Bandara Soekarno Hatta melalui jalur bebas hambatan
pintu tol Bekasi Barat dan Bekasi Timur melintasi Jakarta, atau
sebaliknya. Posisi Kota Bekasi juga semakin penting berada di
529
jalur tol Jakarta Cikampek setelah dibangunnya jalan tol
Cipularang, yang menghubungkan secara cepat antara
Bandung dengan Jakarta. Saat ini juga telah mulai dijalankan
pengembangan jalan tol JORR (Jakarta Out Ring Road) yang
menghubungkan tol Jagorawi dengan Cikunir.
Sektor industri dan perdagangan merupakan sektor
yang diunggulkan, ini sesuai dengan Visi Kota Bekasi, yaitu
unggul dalam jasa dan perdagangan, kini berkembang sangat
pesat. Selain itu, banyak juga industri kecil yang berkembang
dan telah dapat membuka pasar internasional. Perdagangan
ikan hias yang ada di Kota Bekasi saat ini merupakan
komoditi terbesar di Asia Tenggara yang dieksport ke
berbagai negara Australia, Belanda dan Selandia Baru. Sektor
industri besar juga telah menetapkan Kota Bekasi sebagai
kawasan perindustrian yang dapat memberikan keuntungan
bagi pengusaha lokal maupun internasional.
Berkembangnya berbagai potensi daeah di Kota Bekasi,
juga tidak lepas dari adanya fasilitas akomodasi seperti
perhotelan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan sendiri,
selalu menyiapkan segala fasilitas apabila investor akan
masuk di Kota Bekasi. Demikian pula fasilitas perbankan dan
perumahan.
Dilihat dari kontribusi terhadap pendapatan daerah,
industri pengolahan merupakan yang paling banyak, diikuti
sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Meskipun sedikit,
lahan pertanian juga ikut menyumbang terhadap APBD Kota
Bekasi. Para petani terutama tersebar di bagian utara Kota
Bekasi, yang relatif tertinggal dengan daerah di sekitar pusat
kota. Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, di
Bekasi juga terjadi ketimpangan ekonomi. Sehingga di satu sisi
banyak dijumpai gelandangan, pengemis, dan pengamen, di
530 sisi lain, banyak terlihat mobil-mobil mewah.yang lalu lalang
di jalan Kota Bekasi
Kegiatan perekonomian di Kota Bekasi cukup
menggeliat, hal ini terlihat dari banyaknya mall, pertokoan,
bank, serta restoran. Kota Bekasi juga menjadi pilihan bagi
warga Jabotabek yang hendak berwisata belanja, karena di
Bekasi terdapat Mall Metropolitan, Mega Bekasi Hypermal,
Bekasi Square, Plaza Pondok Gede, Grand Mal, Bekasi Cyber
Park, dan Bekasi Trade Centre. Pusat belanja hypermarket
seperti Carrefour, Giant, Makro, dan Hypermart.
Perumahan mewah dengan fasilitas kota mandiri juga
banyak berkembang disini, seperti Kemang Pratama dan
Harapan Indah. Pengembang Summarecon Agung juga
berencana membangun kota mandiri Summarecon Bekasi
seluas 300 hektar di Bekasi Utara.
Kehidupan Keagamaan
Komposisi penduduk Kota Bekasi berdasarkan agama
tahun 2008 yang bersumber dari Kantor Departemen Agama
Kota Bekasi adalah sebanyak 2.001.899 jiwa dengan rincian
sebagai berikut; Islam sebanyak 1.748.044 jiwa (87,31%),
Kristen sebanyak 129.102 jiwa (6,44%), Katolik sebanyak
72.047 jiwa (3,59%), Hindu sebanyak 30.183 jiwa (1,50%),
Buddha sebanyak 21.521 jiwa, dan lain-lain sebanyak 1.002
jiwa (0,05%).
Jumlah
Penduduk
Kecamatan
Pondok
Melati
berdasarkan agama menurut data tahun 2008 yang bersumber
dari Kepala Seksi Penamas Kantor Departemen Agama Kota
Bekasi, adalah sebagai berikut:
531
Tabel 1
Data Penduduk Kecamatan Pondok Melati
Berdasarkan Agama Tahun 2008
No.
Agama
Jumlah Penduduk
1.
Islam
93.535 jiwa
2.
Kristen
8.984 jiwa
3.
Katolik
8.323 jiwa
4.
Hindu
603 jiwa
5.
Buddha
6.
Konghucu
Jumlah
4.768 jiwa
11 jiwa
116.224 jiwa
Untuk data rumah ibadat yang berada di bawah
Kecamatan Pondok Melati adalah sebagai berikut: Masjid
53 buah, musholla/langgar 74 buah, dan gereja 8 buah
dengan jumlah total 135 buah. Menurut informasi dari
Kepala Kantor Urusan Agama Pondok Melati, rumah
ibadat seperti vihara, pura, dan klenteng di wilayah
tersebut masih belum ada.
532 BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN
GERAKAN KOMUNITAS BASIS
Ajaran Sosial Gereja
Komunitas Basis
Katolik
melalui
Gerakan
ada Konsili Vatikan II10 yang diprakarsai oleh
Paus
Yohanes
XXIII
bertujuan
untuk
memperbaharui gereja secara spiritual dengan
cara kembali ke sumber tadisi suci yang lama baik yang
tertulis (kitab suci) maupun yang lisan, seperti dari para
bapa gereja dan tulisan para orang kudus. Dengan
harapan, gereja dapat memperoleh kesegaran baru
sehingga dapat menjawab tantangan zaman dan iman
Katolik dapat diterapkan di dalam kehidupan seharihari. Dalam Konsili Vatikan II tersebut, dilakukan
beberapa pembahasan terkait dengan permasalahan
umat maupun ajaran gereja Katolik yang salah satunya
adalah pembahasan tentang ajaran sosial gereja.
Pembahasan-pembahasan yang didiskusikan terangkum
P
10 Konsili (pertemuan) uskup sedunia yang diadakan di Vatikan, Roma pada
tahun 1962-1965. Konsili merupakan suatu proses penemuan kembali Gereja dalam
cahaya iman yang sejati dan dalam dialog dengan dunia. Konsili juga mengangkat
berbagai aspek gereja: keberadaan serta hakekatnya yang benar, misinya yang
ditemukan kembali dalam cahaya Injil dan iman. Pada Konsili ini menghasilkan
banyak keputusan yang membuat ibadat Gereja Katolik menjadi lebih modern. Hanya
ada tiga konsili Gereja Katolik yang telah diadakan sejak abad ke-16; Konsili Trente
(1545-1563), Konsili Vatikan Pertama (1869-1879), dan Konsili Vatikan Kedua (19621965). Keene, Michael. 2006. Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, dan
Pengaruhnya di Seluruh Dunia. Yogyakarta: Kanisius. 533
dalam dokumen-dokumen sebagai bahan diskusi para
uskup sedunia. Dokumen tersebut mencakup tiga (3)
dokumen besar, antara lain; pertama, konstitusi, yang
terdiri dari (1) konstitusi dogmatis tentang wahyu ilahi
(dei verbum), konstitusi dogmatis tentang gereja (lumen
gentium), konstitusi tentang liturgi suci (sacrosanctum
concilium), dan konstitusi pastoral tentang gereja dalam
dunia modern (gaudium et spes).
Kedua, pernyataan, yang terdiri dari pernyataan
tentang pendidikan Kristen (gravissimus educationis),
pernyataan tentang hubungan gereja dengan agamaagama bukan kristen (nostra aetate), dan pernyataan
tentang kebebasan beragama (dignitatis humanae).
Ketiga, dekrit, terdiri dari tujuh buah dekrit yaitu
dekrit tentang kegiatan misioner gereja (ad gentes), dekrit
tentang pelayanan dan kehidupan para imam
(presbyterorum ordinis), dekrit tentang kerasulan awam
(apostolicam actuositatem), dekrit tentang pembinaan iman
(optatam totius), dekrit tentang pembaharuan dan
penyesuaian hidup religius (perfectae caritatis), dekrit
tentang tugas pastoral para uskup dalam gereja (christus
dominus),
dekrit
tentang
ekumenisme
(unitatis
redintegratio), dekrit tentang Gereja-gereja Timur Katolik
(orientalium ecclesiarum), dan dekrit tentang upaya-upaya
komunikasi sosial (inter mirifica).
Dari ketiga dokumen besar dan beberapa
pembahasan di dalamnya, salah satu pembahasan yang
paling disoroti adalah konstitusi pastoral tentang gereja
dalam dunia modern (gaudium et spes). Dokumen tersebut
534 dikeluarkan tahun 1965, dan merupakan salah satu
dokumen paling penting dalam tradisi sosial gereja.
Dalam dokumen tersebut terdapat tema-tema khusus
yang disoroti, yaitu (1) Gereja dan Panggilan Manusia,
berisikan tentang martabat manusia, masyarakat
manusia, kerja manusia di dunia, dan gereja dalam dunia
modern. (2) Beberapa keprihatinan utama, berisikan
tentang perkawinan dan keluarga, perkembangan
kebudayan, kehidupan sosial-ekonomi, kehidupan
politik, dan perdamaian.
Berangkat dari konsili Vatikan II, pada tanggal 11
Oktober 1992, bertepatan pada hari ulang tahun ketiga
puluh pembukaan Konsili Vatikan II, dilaksanakan
pengesahan dan penerbitan "Katekismus Gereja Katolik"
oleh Paus Yohanes Paulus II yang isinya menekankan
untuk menerapkan petunjuk-petunjuk secara konkret
dan tepat pada tiap gereja lokal dan pada gereja
seluruhnya sehingga dengan seksama memelihara
kesatuan iman dan kesetiaan kepada ajaran Katolik. Isi
dokumen secara khusus tidak berbicara tentang
komunitas basis tapi lebih ditekankan tentang hal-hal
yang dapat dilakukan terkait dengan ajaran-ajaran
gereja. Secara lebih fokus, komunitas basis yang
berkembang merupakan ajaran sosial gereja. Ajaran
sosial gereja dapat ditemukan secara tertulis di dalam
surat apostolik dari paus maupun enseklik-enseklik.
Dalam enseklik Redemptoris Missio, Paus Yohanes
Paulus II secara khusus berbicara tentang komunitas
basis:
535
“Suatu fenomena yang sedang tumbuh dengan cepat di
gereja-gereja muda - sesuatu yang kadang-kadang
didorong oleh para uskup dan konferensinya sebagai
prioritas pastoral – adalah apa yang dinamakan
‘komunitas basis gerejawi’ yang kini terbukti menjadi
pusat yang baik bagi pembinaan Kristen dan penyebaran
missioner. Ini adalah sekelompok orang Kristen pada
tingkat keluarga ataupun dalam lingkungan terbatas
berkumpul bersama untuk berdoa, membaca al-kitab,
mengadakan katakese, dan berdiskusi tentang masalahmasalah manusiawi dan gerejawi, dengan maksud untuk
melihat
komitmen
bersama.
Jemaat-jemaat
ini
merupakan tanda adanya kehidupan di dalam gereja
suatu sarana pembinaan dan penginjilan, dan suatu titik
pangkal yang kokoh bagi suatu masyarakat baru yang
dilandaskan pada peradaban cinta.”11
Pada awal dan pertengahan tahun 1970, Konsili
Vatikan II menjadi bahan rujukan oleh Gereja Mindanao
dan Sulu di Negara Filipina dalam meremajakan kembali
Paroki dan Keuskupan menuju komunitas basis gerejawi
yang swapraja, swadaya, swakelola. Berbagai prakarsa
para misionaris dan imam-imam dengan mengubah
gereja institusional menjadi upaya-upaya membawa
kabar baik dan cara semangat hidup melalui pengesahan
komunitas basis gerejawi sebagai daya dorong pastoral.
Hal tersebut juga diikuti dan didukung oleh keuskupan 11 Kirchberger. Georg & John Mansford Prior (ed). 2007. Kekuatan Ketiga
Kekristenan: Seabad Gerakan Pantekostal 1906-2006. Maumere: Penerbit Ledalero. h.255257. 536 keuskupan lainnya di Filipina sehingga komunitas basis
mulai berkembang di negara tersebut.
Disisi lain, komunitas basis yang berkembang di
Amerika Latin menjadi jalan keluar bagi masyarakat
miskin dan tertindas di wilayah ini dengan berusaha
menghayati kitab suci di tengah-tengah suasana
pemerintahan yang demokratis. Namun demikian
gerakan komunitas basis di Amerika Latin tidak
semudah yang diperkirakan. Banyak tantangan yang
datang justru dari orang-orang Katolik sendiri yang
berada di pihak rezim militer dukungan Amerika Serikat
yang mencurigai gerakan komunitas basis sebagai
gerakan kiri yang dekat dengan sosialis dan komunis.
Rezim pemerintahan yang didukung oleh Amerika
Serikat yang saat itu melarang dengan keras semua
gerakan yang berideologi Marxisme dan Komunisme
termasuk Gerakan komunitas basis sebagai gerakan
pembela kaum miskin dan tertindas termasuk dalam
gerakan tersebut. Sehingga tercatat ribuan tokoh yang
mengembangkan dan menggerakkan komunitas basis
ditangkap, ditahan, bahkan dibunuh. Termasuk para
pastor dan suster yang membela kepentingan rakyat
dianggap menentang rezim militer yang berkuasa.
Dalam sejarah Gereja Katolik selama 2000 tahun,
gerakan komunitas basis di Amerika Latin merupakan
martir12 terbesar dalam sejarah karena melibatkan
ratusan bahkan ribuan dibunuh dalam kurun waktu
12 Pengikut gereja yang rela berkorban jiwa, raga, dan harta demi kepentingan
ajaran gereja. 537
1970-1980. Namun penindasan dan pembasmian aktivis
gerakan komunitas basis di Amerika Latin terus bergulir
dan tidak meredakan keinginan para penerusnya. Secara
independen
mereka
tetap
bergerak
membela
kepentingan sesamanya yang miskin, tidak mampu, dan
masyarakat terpinggirkan. Dari kejadian pembunuhan
dari gerakan komunitas basis tersebut banyak
memengaruhi masyarakat untuk tidak lagi ikut dalam
gerakan tersebut. Namun pengaruh yang luar biasa
berimbas kepada negara-negara lain di Amerika Latin
untuk tetap mengembangkan gerakan komunitas basis
tersebut.
Gerakan Komunitas Basis di Indonesia
Cikal bakal umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta
sudah mulai ada ketika Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC, 1619-1799) berkuasa di Batavia. Pada masa itu banyak
orang "Portugis hitam", yang menjadi tawanan VOC. Portugis
hitam itu adalah sebutan untuk orang-orang India, Srilanka,
Melayu yang telah menjadi Katolik. Mereka menerima nama
Portugis dari wali baptisnya, dan memakai adat budaya
Portugis dalam kehidupan keseharian.
Ketika VOC mengalahkan bangsa Portugis, orang-orang
Portugis hitam ini juga ikut ditawan oleh VOC. Karena agama
Protestan sangat kuat berpengaruh pada pemerintah Belanda
maka kegiatan keagamaan orang Katolik sangat dipersulit.
Banyak dari antara orang-orang Portugis hitam ini yang
kemudian pindah ke agama Protestan, agar mereka dapat
terbebas dari status tawanan. Tetapi tidak sedikit dari mereka
yang dalam hati tetap Katolik dan melakukan ibadah Katolik
secara sembunyi-sembunyi. Begitu juga di antara para
538 pegawai dan tentara VOC yang berasal dari Belgia, Jerman,
dan Perancis banyak yang menjadi Katolik.
VOC sangat menghambat pelayanan para imam Katolik
sehingga mereka melayani orang-orang Katolik secara
sembunyi-sembunyi. Dalam keadaan yang serba sulit di abad
18, imam-imam Katolik dari pelbagai bangsa banyak yang
singgah di Batavia dan sempat melayani umat, meskipun
dengan resiko bila diketahui oleh pemerintah. Pastor Egidius
d’Abreu, SJ dibunuh di Kasteel Batavia (Maret 1624) pada
zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen,
karena mengajar agama dan merayakan misa kudus. Pastor
Aleksander Rhodes, SJ dipaksa menyaksikan pembakaran
salib dan alat-alat peribadatan, lalu diusir. Yoanes Kratz,
seorang Austria juga terpaksa meninggalkan Batavia. Ia
adalah seorang dermawan yang sangat membantu imamimam Katolik. Ketika VOC mengetahui perbuatannya usaha
Kratz dipersulit.
Saat masa keemasan VOC telah purna pada tahun
1799, peta politik Negeri Belanda berubah setelah kekuasaan
beralih di bawah kendali Raja Louis Napoleon dari Perancis
yang beragama Katolik. Ia adalah saudara dari Kaisar
Napoleon I. Penguasa Batavia pada waktu itu Marsekal H.W.
Daendels (1808-1811). Pergantian penguasa ini mengubah
sikap penguasa kolonial terhadap orang Katolik. Imam-imam
diijinkan untuk merayakan Misa Kudus secara terbuka.
Pemerintah juga memberikan sebuah gereja Protestan di Gang
Kenanga Utara untuk beribadat bagi orang Katolik
berkebangsaan Belanda.
Saat itu, Revolusi Perancis sedang membakar daratan
Eropa dengan semboyan “Kemerdekaan, Persamaan, dan
Persaudaraan”. Atas persetujuan Gubernur Du Bus de
Ghisignies, seorang bangsawan Belgia, pada tanggal 8 Mei
539
1807 Paus Pius VII mendirikan Prefektur Apostolik di Hindia
Belanda, yang mencakup hampir seluruh wilayah Hindia
Belanda. Prefek Apostolik pertama adalah Pastor Jacobus
Nelissen Pr. Gubernur Du Bus de Ghisignies juga
menghadiahkan tempat kediaman tentara dan wakil gubernur
jenderal kepada Umat Katolik sebagai tempat ibadat (1830).
Pada awalnya, sebagian besar umat Katolik yang berada
di Indonesia adalah orang Eropa dan baru pada tahun 1930-an
umat Katolik dari orang pribumi dan Tionghoa mulai
bertumbuh. Cakupan wilayah Vikariat Apostolik begitu luas,
tetapi tenaga imam hanya sedikit. Seperti diketahui, selama
hampir satu abad (1807-1902) semua umat Katolik di Hindia
Belanda ada di bawah Prefek Apostolik dan atau Vikariat
Apostolik. Kemudian, berangsur-angsur wilayah gerejani di
luar Jawa dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia.
Kemudian Malang, Surabaya, Bandung, Purwokerto,
Semarang dipisahkan dan menjadi vikariat apostolik
tersendiri. Maka sejak 1940 Vikariat Apostolik Batavia hanya
meliputi Keuskupan Agung Jakarta dan Bogor.
Berdasarkan keputusan Paus Yohanes XXIII pada
tanggal 3 Januari 1961 status Vikariat Apostolik ditingkatkan
menjadi Keuskupan Agung. Pada waktu itu yang menjadi
Vikaris Apostolik di Batavia adalah Mgr. A. Djajasapoetra, SJ.
Dengan perubahan status hirarki ini maka beliau menjadi
Uskup Agung pertama di Jakarta. Mulai dari situlah
pengembangan ajaran-ajaran Katolik secara berangsur-angsur
mendapat tempat dan mulai berkembang di Indonesia serta di
dukung oleh pemerintah.
Terkait dengan perkembangan Gereja Katolik beserta
ajaran-ajarannya di Indonesia, pertumbuhan gerakan
komunitas basis sebagai bagian dari ajaran Katolik di
Indonesia sedikit banyak mengadopsi dari negara-negara
540 yang lebih dulu mengembangkan komunitas basis, antara lain
Amerika Latin, Filipina, dan Afrika Selatan. Gerakan
komunitas basis sebagai gerakan menggereja bukan hanya
berkembang di negara yang mayoritas penduduknya
beragama Katolik. Di sejumlah negara Afrika, yang
penduduknya heterogen juga tumbuh subur. Oleh karena itu
sebagian gerakan komunitas basis yang dikembangkan di
Indonesia mendapat inspirasi dari benua itu. Misalnya, model
gerakan komunitas basis di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Metode dan model yang dikembangkan lembaga pastoral di
bawah federasi para uskup di Asia juga banyak diambil dari
Afrika Selatan. Adalah Lumko, sebuah lembaga pastoral yang
dibentuk oleh Konferensi Waligereja dari lima negara Afrika
(Bostwana, Swetzirland, Namibia, Mozambique, dan Afrika
Selatan). Lembaga ini banyak menerbitkan berbagai bahan
training, metode, dan publikasi untuk pengembangan dan
pemberdayaan komunitas basis.
Terkait dengan itu, pada tanggal 1-5 November 2000 di
Wisma Kinasih, Caringin, Bogor diadakan Sidang Agung
Gereja Katolik (SAGKI). Sebanyak 381 umat Katolik utusan
dari keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia yang terdiri
dari para uskup, sejumlah imam dan biarawan/biarawati
melakukan sharing (berbagi pengalaman), refleksi, dan diskusi
bersama tentang kehadiran dan perutusan umat Katolik di
tengah pergumulan bangsa Indonesia yang sedang mengalami
krisis di segala bidang kehidupan. Tema Sidang tersebut
adalah “Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia
Baru.”
Pada SAGKI tahun 2000, gagasan tentang komunitas
basis dilandasi kepada banyaknya konflik bernuansa agama di
berbagai daerah di Indonesia yang melibatkan jemaat Katolik
dan umat beragama lain sehingga perlu dicari solusi atas
541
konflik-konflik tersebut. Sidang Agung tersebut juga
didasarkan pada Konsili Vatikan II (1962-1965), gereja mulai
sungguh-sungguh menyadari bahwa perutusan apostolik
yang dipercayakan kepadanya oleh Tuhan seharusnya
dilakukan bersama masyarakat. Gereja adalah garam dan ragi
di tengah-tengah masyarakat (bdk. Mt. 5:13; Mt. 13:33). Agar
perutusan itu sungguh terwujud nyata, gereja perlu
bertumbuh dan berkembang dengan memberikan kesaksian
hidup.
Sidang agung ini menghasilkan rumusan secara umum
yaitu
memfokuskan
diri
pada
pertumbuhan
dan
pengembangan komunitas basis yang didasarkan pada
keyakinan bahwa daya hidup umat Katolik terletak pada
basisnya dan pembaharuan gereja harus berasal dari basis.
Keyakinan ini sudah diungkapkan juga oleh para Uskup
seAsia: "Gereja tidak dapat menunaikan misi pelayanannya
tanpa bersifat setempat (lokal). Sebab gereja hanya menjadi
gereja bila mendarah daging dalam suatu bangsa dan
kebudayaannya, di tempat yang khusus dan pada waktu yang
khusus pula".13 Upaya pemberdayaan umat ini dilakukan
untuk mewujudkan gereja sebagai persekutuan komunitaskomunitas. Arti komunitas basis dan bagaimana perwujudan
serta pengembangannya perlu ditemukan oleh komunitaskomunitas setempat. Oleh karena itu, pengalamanpengalaman berkomunitas basis direfleksikan dalam sidang
agung ini. Dengan demikian umat Katolik Indonesia dapat
menempatkan diri dalam semangat demokrasi dan
pemberdayaan rakyat yang menjadi tujuan paling dasar
reformasi di Indonesia.
13 Lokakarya V Office of the Laity, FABC; "Jemaat-jemaat Kristiani Basis dan
Pelayanan-pelayanan Setempat" (Seri Dokumentasi FABC. No.1). Pengumatan Hasil
Sidang
Agung
Gereja
Katoli
Indoensia
Tahun
2000.
http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen. di akses pada tanggal hari Senin, 22 Juni 2009. 542 Pada SAGKI yang kedua pada tahun 2005, yang dihadiri
oleh 343 utusan dari 36 keuskupan di Indonesia, 96
imam/biarawan/biarawati,
dan
wakil-wakil
lembaga
kemasyarakatan, berlangsung di Wisma Kinasih, Bogor, 16-20
Nopember 2005. Dalam sidang ini masih memfokuskan
pembicaraan tentang komunitas basis yang berorientasi untuk
mengajak bangsa ini menerobos kebuntuan, mengajak
berubah dari suasana ketidakadaban publik ke suasana
berkeadaban publik. Mengajak bangsa ini melakukan
pendalaman atas persoalan aktual dan melakukan perubahan.
Dalam SAGKI 2005 diperoleh istilah berubah dari habitus
(kebiasaan) lama ke habitus baru, dari suasana cara hidup
tidak beradab menjadi cara hidup dan suasana yang beradab.
Penekanan tentang komunitas basis yang didengungkan
pada SAGKI tahun 2005 adalah ajakan gerakan yang bukan
merupakan hal baru bagi gereja. Berbeda dengan keberadaan
gereja Katolik di negara lain, gereja Katolik Indonesia adalah
khas. Pluralitas masyarakat Indonesia dalam segala bidang
menyebabkan kegiatan kegembalaan pun disampaikan secara
khas. Gereja sebagai konstitusi dan sebagai komunitas umat
hadir serta melakukan gerakan bersama dengan komunitas
lain. Ia tidak bisa bertindak sebagai kaum muda menjadi
perintis gerakan. Karena itu, sebagian besar peserta SAGKI
2005 adalah kaum muda di bawah usia 40 tahun. Berarti
sudah saatnya pula hierarki gereja yang selama ini terkesan
kurang memberi kepercayaan dan kesempatan perlu
memercayakan kepeloporan kaum muda. Gereja sudah
saatnya mengembangkan serangkaian tindakan dan kebijakan
inovatif dengan tujuan meningkatkan kapasitas kaum muda.
Berangkat dari dua SAGKI yang fokus tentang
komunitas basis, pada sidang KWI tahun 2006 mengeluarkan
sebuah Nota Pastoral dengan judul Habitus Baru Demi
543
Kesejahteraan Bersama; Keadilan bagi Semua: Pendekatan SosioEkonomi. Secara garis besar Nota Pastoral (NP) ini berisikan 4
(empat) hal pokok antara lain; Pertama, melihat kondisi
Indonesia; dan dari kondisi Indonesia ini kemudian secara
khusus dirumuskan "Masalah Sosio-Ekonomi". Kedua,
"Masalah Sosio-Ekonomi" itu kemudian dipandang serta
diartikan dalam terang iman, sehingga sampai pada
"Tanggapan Pastoral". Ketiga, "Tanggapan Pastoral" tersebut
dicermati kembali untuk menentukan arah "Gerakan SosioEkonomi". Keempat, bersama arah "Gerakan Sosio-Ekonomi"
itu ditentukan rancangan gerakan yang hendak diupayakan
untuk memperbaiki keadaan hidup bersama di Indonesia
melalui usaha sosio-ekonomi. Nota Pastoral mencoba tersebut
mengajak gereja melakukan langkah-langkah ke depan yang
lebih konkrit14, yaitu:
Gereja Membaharui Komitmen
Panggilan gereja adalah untuk mewartakan harapan
akan keadilan di tengah dunia yang ditandai dengan
pelbagai praktek ketidakadilan. Harapan tersebut dapat
terpenuhi jika ada sikap pertobatan, termasuk di dalam
tubuh
gereja
itu
sendiri.
Gereja
menghayati
pertobatannya dengan cara: Pertama, membarui tekad
untuk bersama kaum miskin dan lemah terus
menumbuhkan sikap berani memulai dengan kekuatan
dan potensi yang ada, betapa pun kecilnya, tanpa
menggantungkan diri pada inisiatif pemilik modal besar.
Kedua, mendorong mereka yang diberkati dengan
kekuatan ekonomi besar agar lebih jujur dan seksama
dalam mencari jalan untuk memperbaiki hidup kaum
14
http://lulukwidyawanpr.blogspot.com/2006/11/nota-pastoral-kwi-2006habitus-baru.html. diakses pada hari Senin, 22 Juni 2009. 544 miskin dan lemah. Ketiga, mendorong dan mendesak
para pembuat kebijakan publik untuk berubah dari
kecenderungan memperdagangkan jabatan dan mandat
rakyat bagi keuntungan sendiri menuju keberanian
membuat dan melaksanakan kebijakan publik yang
sungguh-sungguh berpihak kepada kaum miskin dan
cita-cita kesejahteraan bersama. Keempat, mendorong
para cerdik-cendekia untuk aktif terlibat mengkaji dan
menentang gagasan serta cara-cara berpikir, termasuk
dalam bidang ekonomi, yang merugikan kaum miskin
dan lemah. Kajian itu diharapkan menjadi jalan bagi
penemuan cara berpikir dan gagasan-gagasan yang
menempatkan kesejahteraan bersama sebagai cita-cita
utama.
Prinsip-Prinsip Perekonomian yang Adil
Perekonomian yang berkeadilan terarah pada
peningkatan kesejahteraan bersama dan pelestarian
seluruh alam ciptaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut: Pertama, kesetaraan martabat setiap
manusia. Manusia tidak boleh dikorbankan demi
keuntungan. Sebaliknya manusia harus selalu "menjadi
subjek, dasar dan tujuan" dari setiap kegiatan, termasuk
kegiatan ekonomi.
Kedua, kesejahteraan bersama. Selain mempunyai
hak setiap orang juga mempunyai tanggungjawab untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama, karena ia hanya
dapat hidup dalam kebersamaan. Tolok-ukur tak
terbantah dari kesejahteraan bersama sebuah masyarakat
adalah mutu kehidupan warganya yang paling lemah.
545
Ketiga, solidaritas. Solidaritas adalah kesetiakawaan
untuk bersama-sama melihat persoalan, mencari dan
merencanakan jalan keluarnya, melaksanakan dan
mengevaluasinya menurut tolok-ukur kesejahteraan
bersama. Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga
untuk mengorganisir diri menjadi kekuatan sosial,
ekonomis dan politis.
Keempat, subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan apa
yang dapat dilakukan oleh unit yang lebih kecil tidak
boleh diambil-alih oleh unit yang lebih besar. Dengan
memperhatikan prinsip ini kekuatan-kekuatan ekonomi
yang besar tidak menyingkirkan usaha-usaha kaum
miskin dan lemah menuju kesejahteraan bersama.
Prinsip ini juga mendorong unit yang kecil untuk
mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan ekonomi
yang mandiri.
Prioritas Pemberdayaan Potensi dan Energi Ekonomi Rakyat
Segala usaha dalam rupa kebijakan publik dan
kerjasama dengan pemilik modal berskala besar harus
diarahkan pada proses pemberdayaan itu. Prioritas ini
mendesak dan untuk itu dperlukan beberapa langkah;
pertama, gerakan untuk memenuhi kebutuhan dasar
warga masyarakat yang miskin, bukan dengan program
dan proses yang melahirkan ketergantungan, melainkan
melalui upaya-upaya yang membuat potensi dan energi
ekonomi mereka muncul dan berjalan.
Kedua, gerakan untuk memberdayakan kelompokkelompok khusus dalam kaum miskin yang secara
ekonomi aktif dan yang mempunyai potensi serta energi
untuk berkembang. Terutama sangat penting gerakan
546 pemberdayaan melalui pendidikan kewirausahaan dan
pembentukan modal tanpa menggantungkan diri pada
modal dari sumber modal bersekala besar ataupun
pemerintah.
Ketiga, gerakan untuk mendidik dan membentuk
modal secara mandiri. Hal ini tentu tidak dapat
dilepaskan dari proses pembentukan sikap saling
percaya, kejujuran dalam usaha, kreativitas, inovasi,
kualitas, ketepatan waktu, pola hidup hemat dan
sebagainya.
Keempat, gerakan untuk mendesakkan pengadaan
infrastruktur sosial ekonomi yang lebih seimbang di
Indonesia, dengan memberi perhatian khusus untuk
pengembangan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal.
Kelima, gerakan untuk memantau arah kebijakan
publik dalam bidang ekonomi agar tetap terfokus pada
usaha menguatkan dan memberdayakan potensi dan
energi ekonomi kaum miskin serta lemah.
Keenam, gerakan untuk memantau arah kebijakan
publik, dengan perhatian khusus pada pelaksanaan tatakelola yang baik dan pencegahan kolusi serta jual-beli
kebijakan publik.
Ketujuh,
gerakan
bersama
mereka
yang
berkehendak baik dan semua pihak, baik pemerintah
maupun dunia usaha, untuk membentuk jaringan usahausaha kecil dan mikro yang melatih serta menghadirkan
lapangan kerja bagi mereka yang tidak trampil dalam
masyarakat.
547
Kedelapan, gerakan untuk melestarikan lingkungan
sebagai upaya ekologis yang tidak boleh diabaikan
dalam usaha peningkatan kesejahteraan ekonomis.
Mengembangkan Tanggung Jawab Sosial Rakyat
Menyikapi makin sulitnya kehidupan masyarakat
akibat
himpitan
kemiskinan
dan
kesulitan
mengembangkan masa depan manusia, KWI mendorong
pentingnya membangun harga diri dan keswadayaan.
Selain itu, KWI juga mendorong untuk menjalin
kebersamaan dan kemitraan dengan sesama warga
bangsa. Penting pula disuarakan pemikiran yang lebih
seksama dari pemerintah dan pengusaha agar rakyat
kebanyakan mendapat ruang dan kesempatan yang
memadai guna meningkatkan kehidupan ekonomi
mereka.
Makna komunitas basis sendiri menurut J. Sunarka,
SJ pada tulisannya tentang Komunitas-Basis yang Berdaya
Bagi Indonesia Baru dalam Konvenda IV Pembaharuan
Karismatik Katolik di Surabaya 2 Juli 2001, komunitasbasis adalah komunitas yang paling bawah, yang menjadi
penyangga bagi komunitas-komunitas yang lain.
Komunitas yang lain adalah komunitas menengah.
Masing-masing komunitas ini sifatnya majemuk.
Komunitas-basis masih dapat dirinci lagi: ada komunitasbasis bawah, ada komunitas-basis menengah dan ada
komunitas-basis atas. Demikian pula komunitas-basismenengah masih dapat dirinci lagi menjadi komunitasbasis-menengah
bawah,
komunitas-basis-menengah
menengah dan komunitas-basis-menengah atas. Sedangkan
548 komunitas-basis-atas juga dapat dibeda-bedakan sebagai
komunitas-basis-atas yang bawah, yang menengah dan
yang atas.15
Ada tiga macam Komunitas-basis, yakni: pertama,
Komunitas-basis Gerejani (KBG); kedua, Komunitas-Basis
Antar Iman (KBAI); dan ketiga, Komunitas-Basis
Manusiawi (KBM). Ciri yang membuat sebutan-sebutan
itu adalah warga dan kesamaan keyakinan mereka
dalam
persekutuan.
Warga
KBG
dalam
perkembangannya harus mengalami keterbukaan
terjadap KBAI dan KBM. Dengan demikian pendalaman
iman dan penyatuannya dengan hidup sehari-hari makin
hari makin berkembang ke sikap kebersamaan yang
meluas.
Komunitas-Basis Gerejani (KBG)
Komunitas-Basis
Gerejani
(KBG)
adalah
persekutuan yang relatif kecil, antara 15 sampai 20
keluarga yang mudah berkumpul secara berkala untuk
mendengarkan Firman Tuhan, membahas berbagi
masalah-masalah harian bersama dan mencari
pemecahannya. Sebagai satuan kristiani, KBG terdiri dari
anggota yang saling mengenal. Mereka tidak hanya
mengenal nama semua anggota lain, tetapi juga riwayat
hidup dan harapan masing-masing rekan.
KBG bukan suatu gerakan di dalam gereja, tetapi
adalah gereja itu sendiri, yang sedang bergerak maju.
15
(http://www.bukumisa.co.cc/public_html/uskup/Mgr.%20Sunarka/komunitasbasis.html) di akses pada tanggal 5 Mei 2009. 549
KBG bukan untuk orang-orang tertentu (kaum bapa atau
ibu, kaum profesional, atau hanya bagi orang yang rajin
dan saleh saja), melainkan untuk semua orang, yang mau
ambil bagian, baik anggota gereja, sekitar gereja, maupun
luar gereja sekalipun. KBG merupakan paguyuban
terapan mendasar gerejani, merupakan satuan basis
gerejani itu sendiri.
KBG memperjuangkan keadilan, membela kaum
tertindas dan bermediasi di tengah kerusuhan yang
direkayasa oleh kaum elite. Di dalam KBG iman dan
kehidupan harian disatukan. KBG merayakan,
memperdalam imannya, mendengarkan firman Tuhan
yang
mendorong
dan
menjernihkan,
sambil
mempertebal pilihan untuk hidup, bertindak dan
bersikap sebagi saudara dan saudari semua orang. Visi
alkitabiah bertumbuh melalui sharing pemahaman kitab
suci. Sifat KBG menghantar anggotanya kepada sikap
sosial dan sekaligus melampaui batas karya sosial.
Komunitas-Basis Antar Iman (KBAI)
KBAI adalah persekutuan yang relatif kecil antar
orang-orang yang mempunyai berbagai keyakinan.
Kekhususan masing-masing tradisi religius dalam
komunitas dapat bertemu dan saling memperkaya dalam
berbagai hal, baik secara territorial, fungsional maupun
kategorial. Dalam KBAI penghayat iman yang berbedabeda dapat bersama-sama mencari dan menemukan
Yang Maha Menghendaki dan Menetukan hidup, serta
mengikuti-Nya. Pada tingkat ini masing-masing
mengalami wawasan intrareligius. Di antara satu sama
550 lain ada proses saling pendalaman iman, yang
membuahkan suatu proses transformatif kehidupan dari
warga KBAI. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi,
penghayatan iman kristiani dan penghayatan iman lain
itu akan saling mengisi saling memperkaya sehingga
terjadilah proses synergi iman. KBAI memperjuangkan
kerukunan dan kesejahteraan hidup antar umat beriman.
Keragaman beragama merupakan kekayaan yang dapat
saling menolong dan bukan untuk saling memusuhi,
membenci, atau bahkan untuk saling membunuh dan
membinasakan.
Komunitas-Basis Manusiawi (KBM)
KBM adalah persekutuan dan persaudaraan yang
tidak terbatasi oleh iman dan agama tertentu, melainkan
oleh pengalaman hidup bersama sebagai manusia,
dengan kepedulian manusiawi bersama pula. Itulah
komunitas kecil (umumnya terdiri dari orang-orang kecil
juga) yang terlibat dalam tindakan-tindakan sosial.
KBM terbentuk untuk perjuangan mengurangi atau
menghapus penderitaan, sehingga masyarakat dan
lingkungan hidup menjadi lebih adil dan lestari. Dalam
KBM, masing-masing anggota membawa serta hidupnya
yang sering tercecer dan terpisah-pisah. Sehingga hidup
yang terpisah-pisah itu disatukan di dalam kehangatan
persaudaraan. KBM merupakan usaha berbagai
pengalaman dan berbagai rasa, dapat berkembang subur
menuju transformasi kehidupan bersama.
551
BAB IV
AKTIVITAS GERAKAN KOMUNITAS BASIS
DI PAROKI KAMPUNG SAWAH
ST. SERVATIUS BEKASI
Paroki Kampung Sawah-St. Servatius Bekasi
B
erdirinya Paroki Kampung Sawah St. Servatius
berawal dari pembabtisan 18 orang Kampung
Sawah oleh Pastor Bernardus Schweitz. Setahun
setelah pembabtisan itu, Pastor Bernardus membeli rumah
sederhana untuk dijadikan tempat ibadat walaupun pada saat
itu masih tinggal di Jatinegara. Oleh karena itu Pastor
Bernardus mengangkat Engku Natanael sebagai ketua stasi
sekaligus guru agama bersama dengan Markus Ibrahim Kaiin.
Pada tahun 1902-1904 Gereja Katolik dilarang
menyelenggarakan kegiatan di Kampung Sawah. Namun
pada tahun 1922 Rm. J. van der Loo, SJ mendirikan gereja baru
yang dilengkapi sebuah menara di tanah persawahan, di
lokasi gereja saat ini.
Pada tahun 1935, saat itu gereja dipimpin oleh Pastor
Oscar Cremers, OFM yang tercatat sebagai pastor pertama
yang tinggal di Kampung Sawah. Pada tahun itu juga Pastor
Oscar memberkati sebuah poliklinik yang bernama Melania
yang masih ada sampai saat ini. Pada tanggal 24 Oktober 1936,
Pastor Oscar memberkati sekolah misi dengan nama Rooms
Katholieke Vervolgschool. Pada tahun inilah tercatat lahirnya
tradisi memberkati panen padi sebagai ungkapan rasa syukur
552 umat yang di kemudian hari selalu dirayakan setiap tanggal
13 Mei sebagai tradisi “Sedekah Bumi”.
Pada tanggal 23 September 1937, Vikaris Apolistik
Djakarta, Monseigneur Petrus Willekens, SJ mengangkat stasi
Kampung Sawah menjadi paroki sendiri dan gereja Kampung
Sawah diberkati dengan nama Santo Antonius dari Padua.
Paroki Kampung Sawah menjadi paroki kelima di Keuskupan
Agung Jakarta setelah Katedral (1808), Matraman (1909),
Kramat (1920), dan Theresia (1930).
Gereja Kampung Sawah sempat dirusak dan dibakar
oleh pihak yang tidak dikenal pada tahun 1945. Pada tahun
1946 terkumpul lagi umat Katolik Kampung Sawah sebanyak
90 orang. Pada tahun 1949, Pastor P.F. Soerjomoerdjito, Pr
merehabilitasi gereja dan pastoran.
Tahun 1972-1973, para pastor Kampung Sawah tinggal
di Cililitan sehingga Kampung Sawah menjadi stasi kembali.
Sehingga pada tahun 1978, datanglah Suster Pauline, OSU
yang menjadi kepala SMP Strada di Kampung Sawah.
Kemudian Suster Paulin menggagas terbentuknya proyek
Karang Kitri Kampung Sawah yang bertujuan untuk
membantu warga yang tidak mampu. Pada tahun 1988,
Aloysius Yus Noron, yang merupakan putra asli Kampung
Sawah ditahbiskan sebagai imam asli Kampung Sawah
pertama setelah 92 tahun pembabtisan yang pertama.
Sejak saat itu, seni budaya Betawi seperti pentas topeng,
wayang kulit Betawi, pakaian adat Betawi, dan iringan musik
tanjidor kerap digunakan oleh pastor-pastor selanjutnya
dalam berbagai kegiatan di gereja Kampung Sawah.
Pada tahun 1994, nama Paroki St. Antonius diganti
menjadi St. Servatius. Adalah Julius Kardinal Darmaatmadja,
SJ yang memberkati Gereja Santo Servatius Kampung Sawah.
Pemberkatan gereja diikuti oleh 4.294 umat paroki yang
553
dimeriahkan oleh pesta rakyat yang dimeriahkan dengan
musik tanjidor.16
Tradisi Betawi yang diadopsi oleh gereja sebagai
kegiatan rutin setiap tanggal 13 Mei adalah tradisi “sedekah
bumi”. Sedekah Bumi adalah tradisi masyarakat dalam
mensyukuri berkah panen yang diberikan Tuhan kepada
umatnya. Dahulu, dalam lingkungan orang-orang Kampung
Sawah, acara ungkapan syukur ini lebih dikenal dengan
sebutan “bebaritan”, yaitu sebuah upacara animisme kuno
memohon keselamatan kepada dengaeng, dedemit, atau si
penunggu di suatu tempat tertentu.
Pada acara ini, orang-orang berkumpul di suatu tempat,
biasanya tempat-tempat “angker” yang diyakini penduduk
sebagai tempat dengeang. Semua makanan yang dibawa oleh
masyarakat dikumpulkan dan ditata sejajar serta diberi alas
daun pisang yang lebar dan panjang. Setelah makanan ditata
sedemikian rupa, orang-orang yang hadir mengambil tempat
berbaris sejajar dengan tatanan makanan tadi. Kemudian
pemimpin upacara yang berdiri paling ujung memulai
upacara dengan doa-doa. Setelah doa selesai, masing-masing
orang mengambil makanan yang berada di hadapannya dan
memakannya bersama-sama.
Kampung Sawah memiliki 2 stasi yang juga menjadi
wilayah pelayanannya, yaitu Stasi Cakung Payangan dan Stasi
Kranggan. Stasi Cakung Payangan atau Wilayah Ignatius,
pertama kali “diresmikan” 11 September 1996 lewat
pemilihan ketua lingkungan, yang pada waktu itu masih
terdiri dari 1 lingkungan. Menurut Ignatius Bejo,
“Kegiatannya meliputi arisan, koor ibu-ibu dan belajar kitab
suci bersama Sutrisno.” Sutrisno inilah yang diminta Romo
Kurris untuk membentuk lingkungan di Cakung Payangan.
16 Paroki St. Servatius (Kampung Sawah). 2009. http://www.servatiuskampungsawah.org diakses pada hari Senin, 22 Juni 2009. 554 Data terakhir (2004), stasi yang telah memiliki kapel ini
memiliki 5 lingkungan dan 608 umat.
Sementara itu, Stasi Kranggan atau Wilayah Andreas,
semula terdiri dari 5 lingkungan. Umat di wilayah ini terdapat
kapel untuk beribadat setiap hari Minggu. Namun, pada
tahun 2003, terjadi “pengusiran secara paksa” dari masyarakat
sekitar akibat isu-isu yang tidak dapat dipertangungjawabkan. Data terakhir (2004), Stasi Kranggan memiliki
8 lingkungan dan 953 umat. Kini tengah mengumpulkan dana
untuk membangun paroki baru, Paroki Stanislaus.
Sejarah gereja Kampung Sawah adalah sejarah umat
Katolik Betawi Kampung Sawah. Pada 13 Mei 1996, di hari
peringatan St Servatus, enam pria dan enam wanita tampil ke
depan altar di gereja darurat dilantik menjadi anggota
Perkerabatan Santo Servatius. Kedua belas “babe” dan “enya”
itu dipilih dari penduduk setempat yang aktif di tengah umat
Katolik Kampung Sawah. Mereka adalah Gregorius Pepe,
Maria Baiin Adam Noron, Sulaiman Kadiman, Ester Kaiin
Pepe, Johanes Surachmat Kaiin, Sabina Supinah Kadiman
Tjiploen, Johanes Pepe, Johana Djaim Halim, Frans Napiun,
Johana Nasiran Kapniel Oyan, Yosef Ismael Niman dan
Elisabet Kaiin Kuding.
Pembentukan
perkerabatan
Santo
Servatius
merupakan penghidupan kembali dari suatu tradisi
kuno dalam gereja Katolik yang dalam ekspresi imannya
yang suka menampilkan bentuk-bentuk lahiriah untuk
nilai-nilai spiritual. Para babe mengenakan busana
seragam bercorak Betawi terdiri dari celana komprang
hitam, baju sadaria putih, sarung merah dan peci hitam
yang dihiasi cap Servatius. Para enyak memakai sarung
batik Pekalongan, kebaya putih dan kerudung dengan
cap yang sama seperti para pria. Semua anggota
555
memakai sepotong mantel hitam. Pesta pelantikan
dimeriahkan oleh korps musik tanjidor.
A. Program
Paroki Kampung Sawah-St. Servatius
Bekasi melalui Gerakan Komunitas Basis
Seperti paroki-paroki lainnya, paroki Kampung
Sawah St. Servatius Bekasi mempunyai dewan paroki
yang membantu pastor paroki bersama para pastor
pembantu dan wakil-wakil umat yang bertugas
memikirkan, memutuskan, dan melaksanakan segala
sesuatu yang berkaitan dengan paroki dalam
membimbing umat supaya dapat menghayati dan
mengamalkan imannya dalam masyarakat. Untuk itu,
Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi menyusun
pengurus dewan paroki St. Servatius untuk periode 20092012 yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2
Pengurus Dewan Paroki St. Servatius Periode 2009-2012
Ketua Umum
: Yohanes Franciskus Chris Purba, SJ
Ketua 1
: A. Soetanto, SJ
Ketua 2
: Agustinus Suharyadi, SJ
Wakil Ketua
: Barnabas Eddy Pepe
Sekertaris 1
: Aloysius Eko Praptanto
Sekretaris 2
: Aloycius Erwin
Bendahara 1
: Richardus Kristiono
Bendahara 2
: Ludovicus Gunarso
556 Anggota
: I Ketut Swabawa
Maria V. G. Mei Lie
Herman Sani
Stephanus
Dalam
melaksanakan
tugas-tugas
dan
pengembangan ajaran gereja, selain dewan paroki
dibentuk pula struktur dalam menunjang dan
mengorganisir beberapa kegiatan gereja, salah satunya
adalah pengurus Orang Muda Katolik (OMK)
koordinatorat lingkungan. Kepengurusan ini merupakan
salah satu struktur organisasi gereja yang penting dalam
pengembangan ajaran komunitas basis di gereja ini. Oleh
karena itu dibentuklah beberapa seksi-seksi, antara lain:
seksi kepemudaan, seksi kerasulan awam (meliputi
bidang katekese, kerasulan kitab suci, dan komunikasi
sosial) dan seksi pewartaan (meliputi bidang katekese,
keraasulan kitab suci dan komunikasi sosial).
Berdasarkan data yang diperoleh, disebutkan
beberapa program terkait dengan pengembangan
masyarakat (komunitas basis) yang di komandoi oleh
pengurus perwakilan OMK koordinatorat lingkungan
dari seksi kepemudaan, antara lain:
1. Berkerjasama dengan sie kerawam mengadakan acara
“Ngeriung Bareng 2009” dengan tujuan memelihara
silaturahmi dengan masyarakat Kampung Sawah.
Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan tokoh dari 5
pemuka agama dan pejabat daerah. Acara ini
sekaligus dalam rangka memenuhi himbauan Uskup
tanggal 1 Januari 2009 sebagai Hari Perdamaian
557
Sedunia (Vatikan), serta penanaman pohon
perdamaian bersama-sama di area parkir paroki
Kampung Sawah.
2. Temu Mudika dan Pelatihan Organisasi (TEMPO) I
21-22 Februari 2009 dengan melibatkan pembicara
dari Paroki dan Romo dari Komisi Kepemudaan
Keuskupan Agung Jakarta.
3. Temu Mudika dan Pelatihan Organisasi (TEMPO) II.
Acara tersebut dilaksanakan di Wisma Jesuits Cisarua
23-24 Mei 2009.
4. Opera Magna (merupakan Usulan dari Frater Dwiko)
merupakan kegiatan berjalan dari Paroki Kampung
Sawah menuju Katedral.
5. Membantu panitia paskah wilayah ignatius dalam
bidang teknis audio/visual & dokumentasi misa.
6. Pembentukan panitia untuk kegiatan perayaan hari
kemerdekaan RI 17 Agustus 2009.
7. Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI), kegiatan yang
dilaksanakan 2 tahunan.
8. Mengikuti lomba koor OMK KAJ, yang melibatkan 40
OMK dilaksanakan dalam rangka hari sumpah
pemuda 2009.
9. Persiapan misa 25 tahun KKMK KAJ di Manggala
Wana Bhakti, 15 Nov 2009 (seksi kepemudaan
Kampung Sawah diminta untuk membantu dalam
bidang misa gaya Betawi). Seksi Kepemudaan bekerja
558 sama dengan beberapa elemen masyarakat yang ada
di Kampung Sawah.
10. Pertemuan triwulanan seksi kepemudaan tingkat
keuskupan agung Jakarta.
Selain program yang diselenggarakan oleh OMK
seksi kepemudaan, pada seksi kerasulan awam juga
mempunyai beberapa program, yaitu:
1. Acara “ngeriung bareng” yang melibatkan tokoh
agama dan warga masyarakat setempat.
2. Sosialisasi pemilu tahap pertama (pleno).
3. "Pembinaan Iman Anak di Keluarga dan Masyarakat"
untuk orang tua peserta komuni pertama, bekerja
sama dengan seksi pewartaan bidang katekese.
4. Pembekalan OMK tentang "hidup bermasyarakat"
bekerja sama dengan seksi kepemudaan.
5. Sosialisasi pemilu bersama WKRI cabang Servatius,
pengurus OMK dan masyarakat di lingkungan
paroki.
6. Festival Budaya Kampung Sawah yang melibatkan
masyarakat Kampung Sawah beserta instansi terkait
dan para tokoh agama.
7. Sarasehan dan lomba tentang kebangsaan.
8. Sarasehan tentang pemuda dan bangsa, bekerja sama
dengan sie kepemudaan, diikuti dengan lomba
mengarang.
559
Dalam pengembangan ajaran-ajaran sosial gereja
melalui komunitas basis, pihak Paroki St. Servatius lebih
menerjemahkan kata komunitas basis dengan kata
bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena kata
bermasyarakat lebih mudah difahami khususnya oleh
jemaat paroki tersebut maupun oleh masyarakat sekitar
yang notebonenya mempunyai pendidikan yang sangat
beragam. Pemberdayaan komunitas basis telah
dilaksanakan sejak Paroki St. Servatius berdiri yang
dibuktikan dengan hadirnya jemaat dari etnis Betawi.
Seperti yang sudah diketahui bahwa jemaat dari paroki
ini berasal dari berbagai etnis termasuk etnis Betawi.
Pengembangan komunitas basis dengan cara
bermasyarakat diaplikasikan oleh pihak gereja melalui
pemberdayaan ekonomi (memberikan pinjaman lunak),
pemberdayaan Lingkungan hidup (membuat sumur
biopori),
kesehatan
(kesehatan
gratis)
budaya
(mengangkat kultur Betawi dalam kegiatan keagamaan).
Dalam konsep komunitas basis, pemberdayaan
masyarakat dilakukan dengan cara melihat kebutuhan
dari masyarakat itu sendiri, oleh karena itu beberapa
program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan
oleh Paroki Kampung Sawah St. Servatius berdasarkan
SAGKI (2000 dan 2005) dapat dikatakan sudah sesuai.
Seksi-seksi yang dibentuk oleh gereja mencoba
menstimulasi dengan melaksanakan beberapa kegiatan
dengan melibatkan masyarakat sekitar sehingga hal-hal
yang dibutuhkan masyarakat dapat terkuak.
Dari sisi ekonomi, jemaat gereja maupun
masyarakat Kampung Sawah mayoritas berprofesi
560 sebagai petani, pedagang, dan wiraswasta. Oleh karena
itu melalui koperasi gereja, pihak paroki mengakomodir
kebutuhan masyarakat setempat untuk memberikan
pinjaman lunak untuk mendukung usaha mereka. Dari
sisi lingkungan hidup, gereja memprakarsai adanya
sumur biopori yang berguna bagi kepentingan
masyarakat Kampung Sawah karena air tanah di wilayah
tersebut cenderung tidak bagus. Pada sisi kesehatan,
gereja juga sering kali mengadakan pemeriksaan
kesehatan secara cuma-cuma untuk masyarakat di
sekitar Kampung Sawah. Hal itu dilakukan karena
kondisi kesehatan masyarakat yang berubah-ubah
tergantung dari musim di Indonesia.17
Bentuk pengembangan komunitas basis yang paling
dominan di Paroki ini adalah melalui jalur budaya.
Sering kali gereja melaksanakan beberapa ritual ajaran
gereja menggunakan etnis Betawi. Hal itu dilakukan
karena wilayah Gereja St. Servatius berada di wilayah
yang mempunyai masyarakat mayoritas beretnis Betawi
dan sudah sejak lama bagian dari jemaat paroki ini
berasal dari etnis Betawi. Beberapa kegiatan gereja
dengan menggunakan budaya Betawi diterima dengan
baik, dan melalui budaya Betawi pula komunikasi gereja
dengan masyarakat sekitar menjadi lebih mudah. Satu
hal utama yang coba ditumbuhkan adalah penghargaan
dan pengembangan hidup berdasarkan kearifan lokal.
Pendidikan terbuka yang dipadu dengan pemberian
17 Di olah dari hasil wawancara peneliti dengan Aloysius Eko Praptanto,
Sekretaris I Pengurus Dewan Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi pada
tanggal 18 Desember 2009. 561
ruang pada kearifan lokal ternyata menghadirkan nilai
lain yang terkadang sulit dijumpai di tempat lain yaitu
toleransi antarkelompok umat beragama.
Antarwarga asli Kampung Sawah masih terikat
hubungan kerabat. Meski agama berbeda-beda. Ini
menjadi salah satu modal terjaganya kerukunan
beragama di antara masyarakat Kampung Sawah.
Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan darah,
melainkan juga melalui jalur perkawinan. Banyak terjadi
kawin silang antarpemeluk agama berbeda. Ada yang
kemudian melebur ke agama pasangannya. Ada juga
yang bertahan pada agama masing-masing.
562 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
ada tanggal 11 Oktober 1992, bertepatan pada hari
ulang tahun ketiga puluh pembukaan Konsili
Vatikan II, dilaksanakan pengesahan dan
penerbitan "Katekismus Gereja Katolik" oleh Paus Yohanes
Paulus II yang isinya menekankan untuk menerapkan
petunjuk-petunjuk secara konkrit dan tepat pada tiap gereja
lokal dan pada gereja seluruhnya sehingga dengan seksama
memelihara kesatuan iman dan kesetiaan kepada ajaran
Katolik. Isi dokumen secara khusus tidak berbicara tentang
komunitas basis tapi lebih ditekankan tentang hal-hal yang
dapat dilakukan terkait dengan ajaran-ajaran gereja. Secara
lebih fokus, komunitas basis yang berkembang merupakan
ajaran sosial gereja. Ajaran sosial gereja dapat ditemukan
secara tertulis di dalam surat apostolik dari paus maupun
enseklik-enseklik.
P
SAGKI yang terfokus tentang komunitas basis, sidang
KWI tahun 2006 mengeluarkan sebuah nota pastoral (NP)
dengan judul Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama;
Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi. Secara garis
besar NP ini berisikan 4 (empat) hal pokok antara lain;
Pertama, melihat kondisi Indonesia, kemudian secara khusus
dirumuskan masalah sosio-ekonomi. Kedua, masalah sosioekonomi itu kemudian dipandang serta diartikan dalam
terang iman, sehingga sampai pada tanggapan pastoral.
Ketiga, tanggapan pastoral tersebut dicermati kembali untuk
563
menentukan arah gerakan sosio-ekonomi. Keempat, bersama
arah gerakan sosio-ekonomi itu ditentukan rancangan gerakan
yang hendak diupayakan untuk memperbaiki keadaan hidup
bersama di Indonesia melalui usaha sosio-ekonomi. NP
mencoba tersebut mengajak gereja melakukan langkahlangkah ke depan yang lebih konkrit.
Pengembangan komunitas basis di Paroki Kampung
Sawah dengan cara bermasyarakat, kegiatan yang lebih
konkrit melalui pemberdayaan ekonomi (memberikan
pinjaman lunak), pemberdayaan lingkungan hidup (membuat
sumur biopori), kesehatan (kesehatan gratis) budaya
(mengangkat kultur Betawi dalam kegiatan keagamaan).
Dalam konsep komunitas basis, pemberdayaan masyarakat
dilakukan dengan cara melihat kebutuhan dari masyarakat itu
sendiri, oleh karena itu beberapa program pemberdayaan
masyarakat yang dilaksanakan oleh Paroki Kampung Sawah
St. Servatius berdasarkan SAGKI (2000 dan 2005) dapat
dikatakan sudah sesuai. Seksi-seksi yang dibentuk oleh gereja
mencoba menstimulasi dengan melaksanakan beberapa
kegiatan dengan melibatkan masyarakat sekitar sehingga halhal yang dibutuhkan masyarakat dapat terkuak.
Bentuk pengembangan komunitas basis melalui
inkulturasi merupakan hal yang paling dominan di Paroki ini.
Sering kali gereja melaksanakan beberapa ritual ajaran gereja
menggunakan etnis Betawi. Hal itu dilakukan karena wilayah
gereja St. Servatius berada di wilayah mayoritas etnis Betawi
dan sudah sejak lama bagian dari jemaat paroki ini berasal
dari etnis Betawi. Beberapa kegiatan gereja dengan
menggunakan budaya Betawi diterima dengan baik, dan
melalui budaya Betawi pula komunikasi gereja dengan
masyarakat sekitar menjadi lebih mudah.
564 B. Rekomendasi
Pemerintah dipandang perlu mendukung dan
memfasilitasi beberapa kegiatan sosial keagamaan seperti
gerakan komunitas basis, sehingga pemberdayaan masyarakat
akan lebih terarah serta kesejahteraan masyarakat dapat terus
meningkat.
Gerakan Keagamaan Katolik melalui komunitas basis
merupakan bentuk dari ajaran sosial gereja yang perlu
dikembangkan dan diorganisir secara lebih baik sehingga
harapan dari masyarakat dapat terwujud. Segala elemen
terkait yaitu; pihak gereja, pemerintah, maupun jemaat
diharapkan dapat saling mendukung dengan melaksanakan
tugas masing-masing secara baik dan tidak sebatas hanya
mencari kepentingan sepihak.
Perlu dilakukan keselarasan dalam membina umat
Katolik oleh pihak pemerintah (Ditjen Bimas Katolik
Departemen Agama) dan keuskupan sebagai lembaga
keagamaan demi terlaksananya ajaran-ajaran sosial gereja
yang dikembangkan oleh paroki-paroki.
565
566 Daftar Pustaka
Aziz, Abdul (2005): Ortodoksi dan Potensi Penyimpangan
Studi tentang Umat Katolik Timor-Timur. Harmoni,
Vol. IV (13): 79.
Beckford, James A. (ed). 1986. New Religious Movement and
Rapid Social Change. London. SAGE Publications Inc.
Introduction.
Giddens, Antoni 1993. Sociology. Cambridge: Polity Press.
J.B. Banawiratma. 2000. Komunitas Basis Gerejani. Komisi
Kateketik KWI.
Keene, Michael. 2006. Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat,
Keprihatinan, dan Pengaruhnya di Seluruh Dunia.
Yogyakarta: Kanisius.
Kirchberger. Georg & John Mansford Prior (ed). 2007. Kekuatan
Ketiga Kekristenan: Seabad Gerakan Pantekostal 1906-2006.
Maumere: Penerbit Ledalero.
Lokakarya V Office of the Laity, FABC; "Jemaat-jemaat
Kristiani Basis dan Pelayanan-pelayanan Setempat"
(Seri Dokumentasi FABC. No.1). Pengumatan Hasil
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000.
Margana, A. 2000. Komunitas Basis:
Kontekstual. Jogyakarta: Kanisius.
Gerak
Menggereja
Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia.
2000.
Paroki St. Servatius (Kampung Sawah). 2009.
Sularto, St. 2005. Dari Habitus Lama ke Habitus Baru. Koran
Tempo 2 Desember.
Sasmita, Mungki A. 2006. Tantangan Eksternal dan Peluang
Bagi Suatu Pembangunan Jemaat.
567
Tim Penyusun Sejarah dan Wajah Paroki. Setajug Catatan,
Sejarah Gereja Kampung Sawah. Dokumentasi Paroki ST.
Servatius.
WEB:
http://lulukwidyawanpr.blogspot.com/2006/11/notapastoral-kwi-2006-habitus-baru.html. diakses pada hari
Senin, 22 Juni 2009.
http://www.bukumisa.co.cc/public_html/uskup/Mgr.%20S
unarka/komunitas-basis.html. Di akses pada tanggal 5
Mei 2009.
http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen. di akses pada tanggal
hari Senin, 22 Juni 2009.
http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen, di akses tanggal 28
April 2009.
http://www.servatius-kampungsawah.org diakses hari Senin, 22
Juni 2009.
http://www.gki.or.id/, diakses tanggal 28 April 2009.
Informan wawancara:
1. Romo Benny Susetyo, Tokoh Agama Katolik.
2. Aloysius Eko Praptanto, Sekretaris I Pengurus Dewan
Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi.
3. Ludovicus Gunarso, Bendahara II Pengurus Dewan Paroki
Kampung Sawah St. Servatius Bekasi.
4. Rosentina, Kasie Katolik Kantor Departemen Agama Kota
Bekasi.
5. Stanislos Saptadi, jemaat Paroki Kampung Sawah St.
Servatius Bekasi.
-o0o-
568 STUDI KASUS TENTANG PENETAPAN
KUOTA HAJI KABUPATEN/KOTA
DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008
Oleh:
Zaenal Abidin
STUDI KASUS TENTANG PENETAPAN KUOTA
HAJI KABUPATEN/KOTA
DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008
Oleh: Zaenal Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
I
badah haji merupakan pelaksanaan rukun Islam
kelima yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan
oleh pemeluk agama Islam yang mampu
(istito’ah); Menunaikan ibadah haji merupakan bentuk
perwujudan keimanan dan ketakwaan terhadap ALLAH SWT.
Pelaksanaan ibadah haji merupakan pembinaan dan
penempaan diri melalui pendalaman, pemahaman serta
peningkatan pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran Islam dalam upaya peningkatan kualitas keimanan dan
ketakwaan guna membentuk akhlak yang mulia.
Terbentuknya akhlak mulia tersebut dapat diperlihatkan
melalui sikap lahir dan batin yang makin tunduk dan patuh
pada perintah dan menjahui segala larangan ajaran agama
Islam, serta meningkatnya kualitas ibadah, etos kerja dan
perilaku yang lebih santun.
Pelaksanaan pelayanan ibadah haji selalu diiringi
dengan berbagai permasalahan yang sifatnya berbeda-beda;
dimana secara kumulatif memperlihatkan bahwa kualitas
penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah (Ditjen
Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Depkes, Pemprov, Kanwil
569
Dep. Agama, Pemkab/kota, Kandepag, KUA, dsb.) belum
maksimal. Penyelenggaraan pelayanan ibadah haji melibatkan
berbagai pihak dan lintas departemen, namun Departemen
Agama merupakan pihak yang paling bertanggungjawab.
Untuk mewujudkan good governance, maka pemerintah harus
terus berupaya meningkatkan pelayanan penyelenggaraan
ibadah haji.
Rangkaian pelayanan ibadah haji yang pada beberapa
tahun ini kuotanya kurang lebih 207.000 calon jamaah
mencakup berbagai aspek dan tahapan. Pada tahapan
pendaftaran dan persiapan, permasalahan yang dihadapi
pemerintah antara lain adalah: pertama, masalah penentuan
kuota, kemungkinan adanya pemalsuan KTP pendaftar dari
daerah tertentu ke daerah yang diinginkan, pungutan yang
dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari RT, RW,
desa/kelurahan, dan puskesmas, serta kandepag. Pemerintah
dalam hal pendaftaran haji sudah mengupayakan beberapa
perbaikan antara lain dengan mengharuskan pendaftar datang
dan mengurus sendiri (tidak boleh diwakilkan) sejak dari RT,
bank sampai ke kandepag; namun upaya ini mendapat
tantangan dari para penyedia jasa perjalanan ibadah haji
(KBIH).
Kedua, penentuan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH),
setiap tahunnya menjadi sorotan berbagai pihak, yang harus
mendapat persetujuan DPR. Permasalahan yang dihadapi
Menteri Agama adalah harus menghitung semua komponen
yang diperlukan berulang kali baik terkait pelayanan di dalam
negeri maupun selama berada di Saudi Arabia. Permasalahan
lain yang timbul adalah kecenderungan mengulur-ulur waktu
penentuan BPIH dikarenakan DPR belum menyetujui. Hal ini
mengakibatkan tertundanya waktu penentuan BPIH dan
570 tertundanya pelunasan pembayaran BPIH yang di lakukan
calhaj ke bank.
Ketiga, hal-hal kelambanan sebagaimana tersebut di atas
dapat menimbulkan permasalahan dalam pembuatan SK
kuota haji kab/kota yang menjadi otoritas gubernur yang
terpaksa dibuat dalam waktu yang sangat pendek bahkan
waktunya nyaris bersamaan calhaj harus mengikuti
bimbingan manasik yang diselenggarakan KUA. Dalam
rentang waktu yang sangat pendek dimana kandepag harus
melaksanakan bimbingan manasik, itulah kejadian di Provinsi
Jabar tahun 2008, mencuat di mana calhaj yang sudah
mengikuti manasik ternyata tidak masuk dalam kuota (batal
berangkat).
Permasalahan kuota haji Provinsi Jabar pada tahun 2008
pun, mencuat di berbagai pemberitaan di media massa, antara
lain di Harian Terbit, 5 Juni 2008 dengan judul ”6.100 Calon
Jema’ah Haji Bekasi Terancam Gagal Berangkat Akibat SK
Gubernur Jabar”. Berita tersebut isinya kurang lebih, sekitar
6.100 calon jamaah haji Bekasi terancam gagal berangkat haji
tahun 2008 ini karena adanya SK Gubernur Jabar yang
membatasi kuota haji Bekasi. Sehingga hanya 1.900 orang
yang dapat dipastikan bisa diberangkatkan. Sebagai masukan,
ada baiknya sub kuota per kota ditunda dulu hingga orang
yang sudah terlanjur daftar dan membayar lunas tidak sampai
gagal berangkat. Kemudian untuk kuota per kota di lihat
kemampuan masing-masing kota. Misalnya kota X hanya
mampu memberangkatkan 500 jemaah pada tahun-tahun
sebelumnya, tidak perlu diberi jatah 2.000 atau lebih.”
Suara Karya, Rabu, 13 Agustus 2008, dengan judul
“Calhaj Ancam Blokir Asrama Haji”, intinya kurang lebih,
sekretaris calhaj Kota Bekasi, Hasnul Kholid Pasaribu, Senin di
Bekasi mengatakan, Gubernur Jabar harus melaksanakan
571
keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang
memenangkan gugatan calhaj Kota Bekasi pada 6 Agustus
2008.”
Republika, Kamis 26 Juni 2008 dengan judul “Cabut SK
Kuota Haji” inti beritanya, Walikota Bekasi, Mochtar
Mohamad, mendesak Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan,
segera mencabut surat keputusan (SK) kuota haji dari Kota
Bekasi. Desakan itu disampaikan Mochtar melalui surat yang
dilayangkan pada Rabu (25/6/2008) lalu.”
Dari berbagai pemberitaan terkait dengan penetapan
kuota haji di Provinsi Jabar tahun 2008 di atas peneliti ingin
mengetahui lebih jauh permasalahan-permasalahan yang ada,
sebagai studi evaluasi kebijakan.
Perumusan Masalah
Surat Keputusan (SK) Gubernur Jabar tentang
Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M
Tahun 2008 berlaku sejak ditetapkan oleh Pemprov Jabar pada
tanggal 29 Mei 2008. Untuk itu permasalahan yang akan
diangkat dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah proses pembuatan kebijakan Surat
Keputusan Gubernur Jabar tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M dilakukan?
2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan lahirnya Surat
Keputusan Gubernur Jabar tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M?
3. Bagaimana peran dan kepentingan aktor-aktor yang terlibat
dalam proses pembuatan Surat Keputusan Gubernur Jabar
tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429
H/2008M diaktualisasikan?
572 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan sejauh mana
proses pembuatan kebijakan Surat Keputusan Gubernur
Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota
Tahun 1429 H/2008M.
2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan lahirnya Surat Keputusan
Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M.
3. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan apa saja peran dan
kepentingan aktor-aktor yang terlibat dalam proses
pembuatan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang
Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429
H/2008M.
Metodologi Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokus penelitian di Pemprov
Jabar, Kanwil Departemen Prov. Jabar dan Kandepag Kota
Bekasi dan Kabupaten Cianjur. Setidaknya ada 3 (tiga) alasan
yang menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi
penelitian, yakni: pertama,
Pemprov. Jabar dan Kanwil
Departemen Prov. Jabar merupakan lembaga/institusi di
mana proses perumusan kebijakan publik sampai dengan
terbitnya SK Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota
Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M Tahun 2008.
Kedua, pengumpulan data berupa informasi dari responden
melalui wawancara dan data sekunder berada pada
lembaga/instansi Kandepag Kota Bekasi dan Kandepag Kab.
573
Cianjur. Ketiga, karena keterbatasan penelitian; di mana kasus
yang diteliti merupakan kejadian yang menonjol.
1. Desain Penelitian
Studi terkait proses perumusan Surat Keputusan
Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Sebagaimana dikatakan oleh Sugiyono
(1998: 4), bahwa ”metode kualitatif adalah metode penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alami (natural) di mana peneliti berfungsi sebagai instrumen
kunci”. Hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
dari pada generalisasi. Sementara menurut Stake (1995: 37)
”penelitian kualitatif lebih menekankan pada pemahaman
hubungan yang komplek di antara semua unsur yang ada dan
kemudian mendeskripsikannya”. Oleh karena itu penelitian
ini bersifat deskriptif kualitatif. Untuk mempertajam
pemahaman terhadap obyek yang diteliti, penelitian kualitatif
penetapan kuota haji di Prov. Jabar juga harus melihat latar
belakang historis agar dapat memperjelas pembaca tentang
obyek-obyek yang akan diteliti.
2. Sampel dan Responden
Sampel dan responden yang akan diambil dalam
penelitian ini adalah orang atau pihak-pihak yang terlibat
dalam proses perumusan dalam kebijakan tentang penentuan
kuota haji Prov. Jabar tahun 2008, baik di lingkungan
Pemprov Jabar, Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar, dan
Kandepag Kota Bekasi, serta Kandepag Kab. Cianjur. Untuk
itu pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan kebijakan
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Tentang Penetapan
Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M yang akan
dijadikan responden adalah:
574 a. Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar
b. Sekretaris Daerah Pemprov Jabar
c. Kepala Bidang Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama Prov.
Jabar
d. Kepala Kandepag Kab./Kota Bekasi dan Cianjur.
e. Kepala Seksi Haji Kandepag Kab./Kota Bekasi dan Cianjur.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dan akan dikumpulkan dalam
penelitian ini adalah: pertama, data primer yaitu yang
langsung diperoleh dari responden yang terlibat dalam proses
perumusan SK Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota
Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M. Kedua, adalah
data sekunder berupa data statistik Prov. Jabar, laporan
tahunan Kabid Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama Prov.
Jabar, dokumentasi, peraturan-peraturan, kliping surat kabar
dan sumber-sumber dari internet yang terkait dengan
penelitian ini.
Adapun untuk memperoleh data tersebut penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara mendalam, yaitu teknik pengumpulan data
dengan jalan tanya-jawab langsung dengan responden
yang terkait dengan subyek penelitian.
b. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui
data statistik, peraturan-peraturan, keputusan-keputusan,
laporan tahunan Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama
Prov. Jabar, kliping dari berbagai media cetak maupun dari
sumber-sumber internet.
575
4. Teknik Analisis Data
Mengenai analisis data Sofian Effendi (1989)
mendefinisikan bahwa analisis data merupakan suatu proses
di mana data itu disederhanakan ke dalam sebuah bentuk
yang lebih mudah dibaca dan dipresentasikan. Dari berbagai
pendapat, Moleong (1998) menyimpulkan bahwa analisa data
adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat
ditemukan tema dan dirumuskan oleh data. Pekerjaan analisis
data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan,
memberikan kode, dan mengkategorikannya.
Teknik analisa data menggunakan teknik analisa
deskriptif kualitatif. Teknik ini bertujuan untuk menggambarkan fenomena tertentu secara lebih terinci.
576 BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kebijakan Publik
engertian kebijakan publik (public policy) sangat luas
dan bervariasi, karena masing-masing ahli
mempunyai sudut pandang yang berbeda. Definisi
kebijakan publik menurut Dye, seperti dikutip Islamy (1991:
18) ialah bahwa apabila pemerintah memilih untuk
melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan
publik harus meliputi semua “tindakan” pemerintah, jadi
bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan
pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu
sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintahpun
termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena
“sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan
mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan
“sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah.
P
Effendi (1999) menjelaskan bahwa analisis kebijakan
publik terdiri dari analisis tentang kebijakan dan analisis
dalam kebijakan. Analisis tentang kebijakan publik ialah
analisis untuk mengetahui faktor-faktor apa yang
menyebabkan terjadinya masalah kebijakan dan bagaimana
memecahkan masalah tersebut serta bagaimana pula
konsekuensi dari tindakan itu. Sedangkan analisis dalam
kebijakan publik adalah analisis untuk menghasilkan
informasi yang paling relevan untuk disampaikan kepada
pembuat kebijakan, sehingga mereka dapat membuat
kebijakan yang lebih baik.
577
Dunn (1998: 1) mengatakan bahwa “analisis kebijakan
adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam
proses pembuatan kebijakan”. Bentuk analisis kebijakan
adalah bentuk penelitian terapan yang dilakukan untuk
memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang masalahmasalah publik guna memperoleh solusi yang lebih baik, dan
dapat memecahkan persoalan yang dihadapi.
Pembuatan sebuah kebijakan juga merupakan masalah
yang komplek, karena banyak faktor atau kekuatan yang ikut
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Proses
perumusan yang rumit dan sulit, bukanlah akhir karena masih
dihadang oleh apakah kebijakan publik itu mudah atau lancar
dalam implementasinya. Seringkali ditemukan beberapa
kesalahan umum dalam proses pembuatan kebijakan yang
disebabkan faktor-faktor atau aktor-aktor yang terlibat.
Menurut Nigro dan Nigro (1980), dalam Islamy (1994:
25-26) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam
pembuatan kebijakan, yaitu:
a. Adanya pengaruh tekanan dari luar. Seringkali para administrator membuat keputusan karena adanya tekanan dari
luar. Walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan
secara rasional-komprehensif di mana kebijakan yang
diambil harus mempetimbangkan alternatif-alternatif yang
akan dipilih berdasarkan penilaian rasional, tetapi proses
dalam pembuatan kebijakan/keputusan tidak dapat
dipisahkan dari dunia nyata, yang berarti tekanan-tekanan
dari luar akan ikut mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan/keputusan.
b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme). Kebiasaan
lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumbersumber dan waktu; yang ketika sekali dipergunakan untuk
578 membiayai program, cenderung akan selalu diikuti oleh
para pengambil keputusan walaupun cenderung kebijakan
seperti itu salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama akan
terus diikuti, lebih-lebih kalau kebijakan itu sudah
dipandang memuaskan. Kebiasaan lama seringkali diwarisi
oleh administrator yang yang biasanya akan segan untuk
mengkritik kebiasaan lama yang selama ini dijalankan oleh
pendahulunya.
c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam
keputusan yang dibuat banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat
pribadinya, misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pegawai, seringkali faktor sifat pribadi
pembuatan keputusan berperan besar sekali.
d. Adanya pengaruh kelompok luar. Lingkungan sosial pembuat
kebijakan berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan.
Seringkali pembuatan keputusan dilakukan dengan
mempertimbangkan pengalaman-pengalaman orang lain
yang sebelumnya berada di luar bidang pemerintahan.
e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman latihan dan
pengalaman sejarah pekerjaan terdahulu juga mempunyai
pengaruh pada pembuatan kebijakan.
Seringkali ditemukan beberapa kesalahan umum dalam
proses pembuatan kebijakan, faktor-faktor dan kesalahankesalahan yang sering ditemukan dalam proses pembutan
kebijakan publik, juga aktor yang terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan. Nigro dan Nigro (Islamy, 1994: 27-30)
mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 7 (tujuh)
kesalahan umum dalam proses pembuatan kebijakan, antara
lain:
a. Cara berfikir yang sempit (cognitive nearsightedness).
Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan
579
untuk memenuhi kebutuhan seketika, sehingga melupakan
antisipasi masa depan. Seringkali pembuat kebijakan hanya
mempertimbangkan satu aspek saja dengan melupakan
aspek-aspek yang lain, sehingga gagal mengenali masalah
yang lain.
b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa
lalu (assumption that future will repeat past). Bahwa dalam
suatu masa yang labil orang akan bertingkah laku
sebagaimana pendahulunya di masa lalu. Kendatipun
terjadinya perubahan-perubahan yang besar dari perilaku
orang, masih banyak pejabat yang secara picik
beranggapan bahwa perubahan itu normal dan akan segera
kembali seperti sedia kala. Padahal dalam membuat
keputusan atau kebijakan harus meramalkan masa yang
akan datang yang bisa berbeda dengan masa lalu.
c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (oversimplication).
Selain adanya kecenderungan berpikir sempit, ada pula
kecenderungan untuk terlampau menyederhanakan
sesuatu, di mana dalam melihat suatu masalah hanya
mengamati gejala-gejala masalah tersebut tanpa mencoba
mengamatinya secara mendalam. Dengan pola bertindak
yang sederhana, tidak sepenuhnya dapat mengatasi
masalah, tetapi bisa jadi justru menimbulkan masalah baru.
d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang
(over reliance on one’s experience). Pada umumnya banyak
orang meletakkan bobot yang besar pada pengalaman di
masa lampau dan penilaian pribadi. Walaupun
pengalaman seorang pejabat di masa lampau lebih baik
dalam membuat keputusan, tetapi mengandalkan hanya
pada pengalaman satu orang bukanlah pedoman yang
terbaik.
580 e. Keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi pembuat
kebijakan (preconceived nations). Dalam banyak kasus
keputusan seringkali dilandaskan pada prakonsepsi
pembuatan
kebijakan.
Keputusan
yang
bersifat
administratif akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan
pada penemuan-penemuan ilmu sosial, tetapi pada
praktiknya sering diabaikan bila bertentangan dengan
gagasan atau konsepsi pembuat kebijakan.
f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan
(unwillingness to experiment). Untuk mengetahui apakah
suatu kebijakan dapat diimplementasikan atau tidak adalah
dengan mengetesnya pada ruang lingkup yang terbatas.
Adanya tekanan waktu, dan pekerjaan yang menumpuk
menyebabkan pembuat keputusan tidak memiliki
kesempatan untuk melakukan proyek percobaan.
g. Mempunyai cukup fakta beberapa orang enggan untuk
membuat suatu keputusan, karena dianggap membuat
keputusan sebagai tugas yang berat, penuh risiko,
kurangnya dukungan lembaga atau atasan, lemahnya
sistem pendelegasian dan sebagainya.
B. Kuota Haji
Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan
yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
pelaksanaan ibadah haji. Dimana calon jemaah haji adalah
warga negara yang beragama Islam, memenuhi syarat, dan
telah mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Ibadah haji merupakan
rukun Islam kelima yang diperintahkan kewajiban bagi setiap
orang Islam yang mampu menunaikannya. Kewajiban
menunaikan ibadah haji bagi setiap muslim adalah hanya satu
kali saja, tetapi kenyataannya sering umat Islam yang mampu
581
secara ekonomi akan melaksanakan ibadah haji berulang kali.
Persoalan makin banyaknya umat Islam yang mampu
menjadikan pendaftaran haji menjadi rumit, dikarenakan
kuota yang terbatas dan yang membutuhkan sangat banyak.
Dalam bukunya Achmad Nidjam dan Alatief Hanan
(2006: 36-37), antara lain disebutkan bahwa melihat animo
masyarakat dan ketersediaan fasilitas dalam pelayanan haji,
maka pada tahun 1952 dibentuk perusahaan pelayaran PT.
Pelayaran Muslim, yang disetujui oleh Menteri Agama sebagai
satu-satunya perusahaan yang menjadi Panitia Haji, sebagai
hasil Keputusan Konferensi PHI. Besarnya animo untuk
menunaikan ibadah haji, sementara fasilitas yang tersedia
sangat terbatas, mendorong Menteri Agama memberlakukan
sitem quotum, yaitu jumlah jatah (kuota) yang telah ditetapkan
oleh pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan minat
masyarakat untuk menunaikan ibadah haji dari masingmasing daerah dengan pertimbangan skala prioritas.
Penetapan kuota dilakukan secara berjenjang, yaitu daerahdaerah atau karesidenan menetapkan untuk propinsi dan
propinsi mengatur kuota untuk daerah di bawah wewenangnya. Penetapan kuota oleh pemerintah pusat dimaksudkan
agar: Pertama, kuota dapat dipergunakan (terpakai) untuk
daerah-daerah secara adil. Kedua, penyesuaian kuota dapat
direncanakan
secara
tepat
sehingga
memudahkan
pemberangkatan di masing-masing pelabuhan. Ketiga,
menjaga agar kuota tidak sampai terbuang dan sia-sia, karena
disatu pihak ada yang kekurangan sedangkan di pihak lain
terdapat kelebihan. Keempat, untuk pengontrolan dan
pengendalian, sehingga tidak terjadi jual-beli kuota.
Melihat kenyataan ini, bahwa penentuan kuota haji di
Indonesia sudah sejak lama juga menjadi permasalahan
penting. Kuota yang terbatas harus di bagi secara adil dan
582 merata bagi seluruh daerah. Jumlah jamaah haji (kuota)
masing-masing negara ditetapkan sesuai dengan hasil
keputusan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi
Islam Sedunia (KTT OKI) di Amman, Jordania, pada tahun
1987, yaitu sebesar 1 per mil dari jumlah penduduk muslim
suatu negara. Berdasarkan kuota yang ditetapkan dalam KTT
OKI, maka porsi nasional jamaah haji Indonesia selanjutnya
dialokasikan ke masing-masing provinsi di seluruh Indonesia,
jamaah haji khusus, dan petugas haji. Pembagian kuota sesuai
dengan SK Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota
Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008, juga berdasarkan
kuota nasional yang ditetapkan berdasarkan Keputusan
Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2008 tentang Penetapan
Kuota Haji Tahun 1429H dimana Provinsi Jawa Barat
memperoleh kuota sebanyak 37.620 orang yang terdiri dari
37.366 jemaah haji dan 254 petugas daerah (TPHD dan
TKHD). Oleh karena itu, dengan melihat uraian diatas kita
ketahui bahwa pembagian kuota sudah menjadi permasalahan
kita bersama dan sejak dahulu pembagiannya diatur oleh
peperintah. Agar pembagian kuota haji dapat adil dan merata
semua pihak melakukan/ikut campur dari dunia oleh negaranegara OKI, nasional oleh Departemen Agama dan provinsi
oleh Gubernur.
583
584 BAB III
DESKRIPSI SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR
JAWA BARAT TENTANG PENETAPAN KUOTA
HAJI KABUPATEN/KOTA
TAHUN 1429H/2008M
A. Latar Belakang Penetapan Kuota Haji Jawa Barat
roses pendaftaran haji adalah merupakan fase
pertama dari keseluruhan penyelenggaraan haji
dimana calon haji terlibat langsung dan proaktif
dengan pemerintah sebagai penyelenggara haji melalui
Departemen Agama. Jumlah jamaah haji untuk masingmasing negara telah ditetapkan sesuai dengan hasil keputusan
Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam
Sedunia (KTT OKI) di Amman, Jordania, tahun 1987 yaitu
sebesar 1 per mil dari jumlah penduduk Islam suatu negara.
Untuk itu pemerintah melalui Menteri Agama setiap tahun
mengeluarkan keputusan terkait dengan pembagian kuota
masing-masing provinsi. Keputusan Menteri Agama Nomor
20 tahun 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1429H,
jumlah kuota Jabar sebesar 37.620 terbagi menjadi jamaah haji
sebanyak 37.366 dan petugas daerah (TPHD, TKHD) sebanyak
254 orang.
P
Dasar hukum yang digunakan dalam SK Gubernur Jawa
Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei
2009 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun
1429H/2008M masih menggunakan UU Nomor 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Didalam Pasal 14 ayat
(2) Gubernur/kepala daerah tingkat I selaku koordinator
585
menetapkan kuota untuk kabupaten/kotamadya. Walaupun
sudah keluar UU yang baru yaitu UU 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, dimana dalam Pasal 12
diyatakan bahwa Gubernur dapat membagi kuota kepada
Kab/Kota. Dari ke 2 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji baik
yang lama maupun yang baru substansi terkait dengan kuota
tidak menunjukkan adanya perubahan, yang isinya sama
bahwa gubernur mempunyai kewenangan untuk menetapkan
kuota kab/kota. Untuk melihat jumlah kuota haji Prov. Jabar
tahun 2000 s.d. 2008 adalah Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1
Data Kuota Haji Provinsi Jawa Barat
Tahun 2000-2008
No
Tahun
Jumlah Jamaah
1
2000
36.000
2
3
4
5
6
7
8
9
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
22.643
35.000
26.000
24.050
23.700
30.017
37.366
37.366
Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa sejak tahun 2000
sampai 2008 kuota haji Prov. Jabar mengalami pasang surut,
dimana pada tahun 2001 jumlah kuotanya paling sedikit
hanya 22.643 orang. Pada tahun 2007 dan 2008 jamaahnya
sebanyak 37.366 orang, artinya seluruh kuota habis terpakai
586 sesuai Keputusan Menteri Agama tentang Penetapan Kuota
Haji.
Pengaturan kuota haji yang dilakukan masing-masing
provinsi pada prinsipnya harus memperhatikan keadilan dan
proporsional, karena itu Pemprov Jawa Barat dengan Kanwil
Departemen Agama Prov. Jawa Barat berusaha mencari
formulasi yang tepat terkait dengan kuota haji. Prov. Jabar jika
tetap menggunaankan kuota provinsi tidak membagi menjadi
kuota kab/kota, maka menjadikan daerah-daerah kota akan
mendominasi kuota dan daerah kabupaten akan dirugikan.
Banyaknya usulan, pertimbangan, dan dukungan kepada
Gubernur Jabar dari dari masing-masing Kab/Kota terkait
dengan perubahan penetapan sistem kuota haji di kab/kota
dari Bupati, Walikota, dan DPRD se Jabar. Mayoritas kab/kota
di Jawa Barat (18 dari 25 kab/kota) menghendaki adanya
perubahan dari kuota provinsi menjadi kuota kab/kota,
karena kuota provinsi dianggap kurang adil dimana ada kotakota yang mendominasi jumlah pendaftar, sehingga tidak
rasional lagi dengan jumlah penduduknya. Misalkan masih
menggunakan kuota provinsi seperti selama ini, maka Kota
Bekasi pada tahun 2008 terdaftar 15 ribu pendaftar calon haji
dan diperkirakan yang masuk kuota dan diberangkatkan
sebanyak 11 ribu calon haji
Pada waktu terjadi gugatan pada SK Gubernur Jabar
tentang kuota haji pendaftaran haji masih berlangsung di Kab.
Cianjur dan Kab. Sukabumi dimana pendaftarnya masih
kurang dari kuota yang diterima. Maka diambil langkah
dengan dibagikan secara proporsional ke kab/kota yang
membutuhkan. Kuota kab/kota dibuat dalam usaha untuk
mendekati rasa keadilan dimana selama ini calon haji Prov.
Jawa Barat didominasi orang kota dengan fasilitas yang
lengkap. Dimana besarnya kuota dirumuskan oleh Kanwil
587
bersama Peprov Jabar yang dihadiri oleh para Kabagsos
kab/kota, Kakandepag dan Kasi Haji se Jawa Barat.
B. Penetapan Kuota Haji Tahun 2008
Pembagian kuota Kab/kota sampai saat ini baru
dilakukan oleh beberapa 5 provinsi (provinsi yang telah
membagi kuota kab/kota adalah Jabar, Kalbar, Kaltim, Sulsel,
dan Maluku Utara). Provinsi yang tidak menetapkan kuota
kab/kota akan menerapkan kuota berdasarkan urut kacang
pendaftaran calon jamaah haji. Pembagian calon jamaah 1 per
mil yang ditetapkan oleh Menteri Agama setiap tahun adalah
kuota provinsi, tidak untuk membagi kuota per kab/kota.
Berdasarkan kuota provinsi hal ini bisa terjadi kota tertentu
akan memperoleh kuota banyak, dan sebaliknya di sisi lain
kabupaten tertentu calon jamaahnya sangat sedikit.
Pembagian kuota kab/kota seperti yang dilakukan oleh 5
provinsi di atas sebenarnya mengarah pada pembagian yang
lebih adil dan proporsional, hal ini mengingat pada umumnya
daerah
kabupaten
memiliki
keterbatasan-keterbatasan
dibandingkan daerah kota di mana semua fasilitas sudah
tersedia (Kandepag, Bank, dan Puskesmas).
Penerapan perhitungan kuota 1 per mil jamaah haji dari
jumlah penduduk Islam saat ini sudah tidak sesuai lagi,
dimana penduduk muslim dunia semakin bertambah banyak.
Namun Departemen Agama dalam menetapkan kuota haji
provinsi masih merujuk pada kuota 1 per mil sesuai dengan
keputusan OKI. Kenyataanya penduduk yang beragama Islam
di seluruh daerah terus bertambah, kontradiksi dengan KMA
tentang Penetapan Kuota Haji yang masih menggunakan data
lama, karena itu banyak pihak yang mempersoalkan. Agar hal
tersebut tidak terjadi lagi, maka Departemen Agama perlu
meminta data penduduk masing-masing provinsi ke BPS
sebagai legalitas statistik.
588 Sesuai dengan KMA Nomor 20 Tahun 2008, jumlah
kuota 207.000 dari jumlah penduduk muslim Indonesia
kurang lebih 230 juta, dari hal ini sudah dapat dilihat
kesalahan perhitungan dengan menggunakan 1 per mil. Kuota
Jabar sebanyak 37.366 dibagi dengan penduduk yang
beragama Islam sebanyak 40.900.000 jiwa, kalau dihitung 1 per
mil maka akan mendapat kuota 40.900 kuota. Dimana pada
tahun 2008 SK Gubernur Jawa Barat dalam menetapkan kuota
haji kab/kota tetap mengikuti dasar perhitungan 1 per mil
murni seperti pembagian dari pemerintah. Namun hal ini
ternyata menjadi gejolak yang sangat tinggi walau sebenarnya
masih tetap memperhatikan daerah-daerah yang daftar
antrian (waitting list) calon jamaahnya lebih banyak. Untuk
melihat jumlah kuota haji kab/kota se Prov. Jabar pada tahun
2008 dan 2009 dapat di lihat pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2
Jumlah Kuota Haji Kab/Kota Provinsi Jawa Barat
2008 dan 2009
No
Kabupaten/Kota
Penduduk
Islam
Perhitungan 1
per mil
Tahun 2008
Tahun 2009
Kabupaten
1
Bogor
4,020,858
4,021
3,815
3,140
2
Sukabumi
2,279,469
2,279
1,939
1,545
3
Cianjur
2,110,916
2,111
1,991
1,243
4
Bandung
4,274,431
4,274
3,862
2,424
5
Garut
2,134,437
2,134
2,045
1,639
6
Tasikmalaya
1,645,476
1,645
1,550
1,320
7
Ciamis
1,975,038
1,975
1,325
1,324
8
Kuningan
1,895,660
1,896
953
870
589
9
Cirebon
2,425,073
2,425
2,233
2,249
10
Majalengka
1,156,892
1,157
1,090
1,060
11
Sumedang
1,080,819
1,081
1,047
835
12
Indramayu
1,686,244
1,686
1,567
1,642
13
Subang
1,506,198
1,506
1,387
1,145
14
Purwakarta
809,661
810
806
699
15
Karawang
1,787,519
1,788
1,766
1,849
16
Bekasi
1,933,480
1,933
1,780
1,838
17
Bandung Barat
-
Kota
-
979
18
Bogor
818,640
819
754
1,096
19
Sukabumi
252,272
252
231
243
20
Bandung
2,576,540
2,577
2,648
2,915
21
Cirebon
275,465
275
254
319
22
Bekasi
1,748,044
1,748
1,974
3,825
23
Depok
1,306,842
1,307
1,203
1,872
24
Cimahi
484,104
484
515
572
25
26
Tasikmalaya
Banjar
546,989
168,809
547
169
476
155
567
156
40,899,876
40,900
37,366
37,366
Jumlah
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa pembagian
kuota kab/kota pada tahun 2008 angkanya mendekati
perhitungan 1 per mil disesuaikan dengan pembagian kuota
nasional. Kuota kab/kota pada tahun 2009 mengalami
perubahan selain menggunakan rumus perhitungan 1 per mil
dan jumlah pendaftar masing-masing kab/kota. Kuota tahun
2009 dengan perhitungan rumusan yang baru terlihat hanya
Kota Sukabumi dan Kota Banjar yang mendapatkan jatah
590 kuota tidak melebihi perhitungan 1 per mil penduduk
muslim.
Masing-masing pemerintah provinsi selalu akan
membela rakyat dan masyarakat setempat, lebih-lebih terkait
dengan penetapan kuota haji dengan per hitungan 1 per mil.
Gubernur Jawa Barat akan lebih memprioritaskan masyarakat
asli Jawa Barat, namun beberapa kasus di beberapa kota
banyak pedaftar yang bukan penduduk asli (dengan KTP
numpang alamat dan alamat fiktif). Menurut H. Iding
Samarkondy, SH Kabid Haji Kanwil Departemen Agama
Prov. Jabar pada umumnya di kabupaten waiting list resmi
warga Jawa Barat, dan di kota agak semu yang artinya banyak
pendaftar yang jati dirinya diragukan. Banyak pendaftar haji
yang sebetulnya bukan penduduk daerah tersebut namun bisa
menunjukkan KTP, walau dari pihak Kandepag melarang
namun terpaksa harus menerima, karena mempunyai
persyaratan-persyaratan sesuai dengan ketentuan. Kenyataan
di Kota Bekasi pada tahun 2007 dan 2008 hampir 1 kloter pada
waktu pemulangan tidak balik ke Kota Bekasi, pada waktu
pemulangan haji se tiba di tanah air langsung menuju
kedaerah asalnya di luar Jabar. Gejolak yang terjadi terkait SK
Gubernur Jabar tentang kuota haji adalah di KBIH di Kota
Bekasi, Kota Depok dan Kota Bandung, diketahui bahwa
jamaah KBIH banyak berasal dari luar provinsi, hal ini dapat
diketahui setelah pemulangan jamaah haji dimana bahasa,
pakaian dan perjalanannya berbeda (ke provinsi lain).
Penurunan kuota haji di Kota Bekasi dan Kota Depok
setelah diberlakukan SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451
14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2009 tentang
Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M,
menjadi perhitungan 1 per mil penduduk muslim masingmasing kab/kota. Misalkan Kota Bekasi pada tahun 2006 dan
591
2007 porsinya lebih dari 6.000 jamaah dibandingkan dengan
SK Gubernur menurun menjadi hanya 1,974 jamaah. Hal ini
menjadi persoalan yang besar sehingga pihak-pihak yang
terlibat pelayanan haji di Kota Bekasi tidak menerima kuota
pada tahun 2008. Persoalan ini mencuat sampai terjadi
gugatan ke PTUN Bandung.
Pada waktu gugatan tentang kuota haji kepada
Gubernur Jawa Barat di PTUN Bandung yang duduk di kursi
panas/pengadilan adalah Gubernur yang dikuasakan kepada
Kepala Biro Hukum, dimana dimenangkan oleh penggugat
terjadi perdebatan dan diskusi yang panjang di pihak pemda
dan Kanwil Dep. Agama Prov,. Jabar. Penasehat hukum dari
Biro Hukum Pemprov Jawa Barat meminta Gubernur untuk
banding, kalau tidak banding berarti menerima kekalahan
yang berarti harus mencabut SK yang sudah ada. Hal yang
paling berat adalah diperkirakan penggugat tidak berhenti
sampai disitu tetapi akan menuntut perdatanya (ganti rugi),
terus siapa yang akan menerima ganti rugi. Pemprov
mendatangkan ahli hukum yang menyampaikan bahwa
Gubernur (janji) yang pernah disampaikan bisa diabaikan
sebagai janji pribadi. Para ahli akhirnya menyarankan untuk
meminta fatwa ke Mahkamah Agung. Surat dari Pemprov
Jawa Barat memohon petunjuk ke Mahkamah Agung (MA),
dan jawaban MA tidak ada kata kecuali harus banding.
Sehingga dalam 1 hari fatwa Ketua MA Bagir Manan
menyatakan Gubernur harus banding, dan setelah Gubernur
banding ke PTUN Tinggi di Jakarta, sampai sekarang
keputusannya tidak ada yang tahu.
Undang-undang Haji Nomor 13 tahun 2008 sudah ada
pada waktu SK sehingga seharusnya sudah berlaku, tetapi
secara substansi terkait dengan Kuota walaupun belum ada
PP atau KMAnya, namun walau tidak ada PP dan KMA kalau
592 substansinya tidak sama maka akan tidak berlaku lagi. Yang
mengajukan gugatan ke PTUN Bandung ada 4 penggugat,
yaitu 2 dari Kota Bekasi dan 2 dari Kota Depok. Penggugat
Kota Depok 1 dimentahkan oleh Ketua PTUN, sebelum
melalui persidangan karena tidak memenuhi persyaratan.
Penggugat Kota Bekasi 1 Pemprov Jabar dimenangkan,
dimana penggugat Kota Bekasi 2 penggugat menang, serta
penggugat Kota Depok 2 dimenangkan. Kasus penggugat
Kota Bekasi 2 Gubernur banding ke PTUN Tinggi Jakarta
dengan meminta fatwa dari Makamah Agung.
Ketika penggugat Kota Bekasi 2 dimenangkan PTUN
Bandung, penggugat menuntut kepada Gubernur dan Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Umroh supaya SK Gubernur
tersebut dicabut dan kembali ke kuota provinsi. Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Umroh supaya membuka
SISKOHAT dengan menerapkan kuota provinsi, karena
sedang banding belum berhak membuka SISKOHAT sebelum
ada keputusan banding dari PTUN Tinggi Jakarta. Namun
Pemprov Jabar sudah mempersiapkan kalau kalah di banding
akan kasasi, sampai sekarang keputusannya tidak ada yang
mengetahuinya..
C. Beberapa Persoalan Pendaftar Haji
Kondisi masing-masing provinsi yang sangat berbeda,
dimana sekarang sudah ada yang jumlah antriannya 10 tahun
dan ada yang kurang dari 2 tahun. Kenyataan di lapangan
menujukkan bahwa calon jamaah haji banyak yang
menginginkan berangkat lebih cepat, sehingga banyak yang
mencari daerah yang lebih awal pemberangkatnya.
Perhitungan penetapan kuota 1 per mil menggunakan
jumlah penduduk beragama Islam sudah adil, namun melekat
persyaratan yaitu yang istitoah yang masing-masing daerah
593
berbeda termasuk dari sisi usia, kemampuan ekonomi calon
jamaah dan fasilitas yang tersedia. Dibeberapa daerah kondisi
calon jamaah haji saat ini sudah terkontaminasi bertambahnya
penduduk dari provinsi lain, yang menyulitkan bagi aparat
Departemen Agama. Dimana muatan-muatan dari luar yang
salah dan hal itu bukan tugas dari Departemen Agama,
misalkan terkait dengan kependudukan (KTP). Hasil verifikasi
data calon jamaah haji pada umumnya pembuat KTP calon
jamaah haji, hanya numpang alamat atau alamat fiktif untuk
mendaftar haji di Jawa Barat. Dimana difasilitasi oleh
Kelompok Bimbingan Haji (KBIH) atau kolektor yang
bekerjasama dengan oknum aparat kelurahan dan kecamatan
tertentu, sedangkan calon jamaah haji tidak terlibat secara
langsung.
Agar supaya penduduk tidak lari dari daerahnya dan
mendaftar ke daerah lain harus ada perubahan kebijakan oleh
Departemen Agama, dimana perhitungannya tidak hanya
penduduk beragama Islam, tetapi juga berdasarkan antrian.
Konsekuensinya ada beberapa provinsi yang akan turun
drastis kuotanya seperti Jawa Barat, namun hal itu kita secara
bersama mengatasnamakan orang Indonesia saja, dimana
perlu adanya kelapangan dada sehingga tidak ada yang antri
cukup 2 tahun di isis lain ada yang harus sabar antri sampai
dengan 10 tahun.
Beberapa kebijakan yang sudah dilakukan untuk
menekan terkait dengan pindahan pendaftar haji dari luar
provinsi adalah sebagai berikut:
1. Pada tahun 2007 pendaftaran diperketat tidak boleh
menggunakan KTP sementara;
2. Pada tahun 2008 pendaftaran harus melampirkan kartu
keluarga (KK);
594 3. Pada tahun 2009 harus ada pernyataan dari Lurah/Kepala
Desa diatas materai Rp. 6000,- yang menyatakan bahwa
calon pendaftar benar-benar penduduk/warga setempat.
Dimana yang bersangkutan dan pendaftar harus datang
sendiri ke tempat pendaftaran di Kandepag tidak boleh
diwakilkan kepada orang lain, karena akan dilakukan sidik
jari dan pemotretan langsung. Surat Pendaftaran Pergi Haji
(SPPH) hasil print out harus asli Siskohat, kalau
sebelumnya sudah dibawa oleh KBIH dengan foto hasil
skaner.
D. Evaluasi Penyelenggaraan Haji
Pelaksanaan penyelenggaraan haji setiap tahun
dilakukan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Agama.
Evaluasi yang dilakukan Kanwil Departemen Agama Prov.
Jawa Barat dengan melibatkan seluruh unit terkait antara lain
pemerintah kab/kota, Kakandepag dan Kasi Haji, Ormas
Islam, DPRD dan KBIH, serta beberapa instansi terkait
lainnya. Hasil rapat evaluasi tahun 2007 antara lain sebagai
berikut:
Tahap pertama hasil rapat evaluasi penlenggaraan ibadah haji
Provinsi Jawa Barat Embrakasi Jakarta Bekasi Tahun
1428H/2007 yang dilaksanakan pada tanggal 15 Pebruari 2008
bertempat di Asrama Haji Bekasi, terkait dengan pendaftaran
ada beberapa saran sebagai berikut:
1. peserta rapat secara aklamasi menyepakati bahwa pada
tahun 1429H/2008M pembagian kuota haji Provinsi Jawa
Barat dari kuota provinsi menjadi kuota kabupaten /kota,
dengan acuan pembagian kepada jumlah penduduk
muslim x 1 per mil.
2. Kesepakatan ditindak lanjuti dengan penghitungan
pembagian kuota kab/kota setelah memperoleh data yang
595
valid tentang penduduk muslim masing-masing kab/kota.
Selanjutnya akan ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat
selaku koordinator penyelenggaraan haji dan umroh dan
dilaporkan kepada Menteri Agama RI Up. Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Umroh untuk untuk dilakukan
perubahan pada SISKOHAT.
3. Perlu adanya political will dari Gubenrnur Jawa Barat
adanya sinyalemen banyaknya pendaftar dari luar provinsi
yang menggunakan porsi haji Jawa Barat dengan
melakukan langkah-langkah yang preventif.
4. Tata cara pendaftaran harus lebih gencar disosialisasikan
kepada masyarakat dengan tahapan-tahapan pendaftaran,
seperti pendaftaran dilakukan sendiri oleh pendaftar yang
sementara ini banyak diwakilkan kepada orang lain, yang
tidak sesuai dengan PP Nomor 15 Tahun 2006.
Tahapan kedua di Bandung pada tanggal 29 April 2008
dilakukan rapat koordinasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat,
Kanwil Departemen Agama Provinsi Jawa Barat dengan
Kepala Bagian Kesra/Sosial, Kepala Kandepag dan Kasi
Penyelenggaraan Haji dan Umrah se Jawa Barat, antara lain
disepakati beberapa hal:
1. Dalam rangka memenuhi keadilan masyarakat, prioritas
pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat Jawa Barat
yang proporsional, maka disepakati adanya perubahan
kuota haji provinsi menjadi kuota haji kab/kota dan
diberlakukan Tahun 1429H/2008M.
2. Dasar pembagian kuota haji kab/kota didasarkan pada
pembagian 1/1000 (satu permil) dari jumlah penduduk
muslim yang diselaraskan dengan kuota yang tersedia.
Tahapan ketiga adanya surat dukungan kepada Gubernur
Jawa Barat baik dari pemkab/pemkot dan DPRD masing596 masing kab/kota yang isinya mendukung rencana Gubernur
untuk memberlakukan kuota haji kab/kota Tahun
1429H/2008M.
Tahap keempat pada tanggal 29 Mei 2009 Gubernur Jawa Barat
menetapkan Keputusan Gubenur Jawa Barat Nomor:
451.14/Kep.283-Yansos/2008 tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M.
Jamaah Kota Bekasi banyak yang bergejolak dan
melakukan protes bukan karena kurang sosialisasi dalam
pemberlakuan kuota kab./kota, karena proses sosialisasi
sudah dilakukan. Namun oleh KBIH pemberlakuan kuota
kab./kota seolah-olah dadakan. Walaupun menuai protes dan
gejolak yang cukup tinggi pada tahun 2008, Prov. Jabar pada
tahun 2009 akan tetap memberlakukan kuota kab/kota. Ada
perubahan perhitunggan rumus yang digunakan dimana
tahun 2008 hanya megunakan perhitungan 1 penduduk
muslim per mil, tahun 2009 dengan perhitungan penduduk
muslim dan jumlah jumlah pendaftar (waiting list) masingmasing kab/kota. Rumusnya pada tahun 2009 adalah dengan
memperhatikan 2 sisi, yaitu pertama jumlah penduduk muslim
masing-masing kab/kota di bagi kuota provinsi, kedua jumlah
pendaftar masing-masing kab/kota pada saat akan
menetapkan kuota dibagi kuota provinsi. Hasil perhitungan
pertama dan kedua dijumlahkan dibagi 2 menjadi kuota
kab/kota, dengan perhitungan ini maka hasilnya akan lebih
adil, karena memperhatikan 2 sisi.
A. Dukungan Dalam Penyusunan SK Penetapan Kuota Haji
Kab/Kota
SK Gubernur tentang Penetapan Kuota Haji Kab./Kota
Tahun 1429H/2008M menuai banyak protes dari beberapa
kota, sementara yang mendukung lebih banyak. Jika kuota
597
tetap pada kuota provinsi, akan terjadi kondisi yang lebih
tidak berimbang/lebih banyak dominasi daerah kota dan akan
berkurang secara signifikan bagi daerah kabupaten.
Kabupaten Cianjur dan Sukabumi pada waktu penyusunan
SK, karena pendaftarannya belum mencapai hasil 1 per mil
maka ditetapkan kuotanya berdasarkan pendaftaran pada
waktu itu, dimana sisanya dibagikan secara proporsional ke
beberapa kab/kota. Mayoritas kab/kota di Jawa Barat (18 dari
25 kab/kota) menghendaki adanya perubahan dari kuota
provinsi menjadi kuota kab/kota, karena kuota provinsi
dianggap kurang adil dimana ada kota-kota yang
mendominasi jumlah pendaftar, sehingga tidak rasional lagi
dengan jumlah penduduknya.
Hasilnya seluruh peserta rapat yang diwakili oleh
Kandepag dan pemkab/pemkot masing-masing kab/kota
menyepakati angka tersebut. Kepala Kanwil Departemen
Agama Prov. Jabar dan Asisten III Pemprov Jabar,
berdasarkan hasil rapat mengusulkan kepada Gubernur
dimana Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar
membuat surat usulan. Surat secara tertulis Kepala Kanwil
Departemen Agama Prov. Jabar kepada Gubernur tidak
memuat akan diterapkan kuota kab/kota, namun langsung
berupa usulan angka kuota masing-masing kab/kota. Draf SK
ditelaah oleh Biro Hukum yang melibatkan Kabid Haji dan
Umroh yang SKnya ditanda tangani oleh Gubernur pada
waktu menjelang pergantian Gubernur (disini masyarakat
mengaitkan adanya unsur politik, namun sesuai dengan
ketentuan SK Gubernur tersebut sudah benar ) .
Ada yang menyudutkan Gubenur sudah tidak berhak
tanda tangan, karena sudah domisioner. Namun memang
pada masa kampaye Gubernur (cuti) dan sebelum ada
Gubenur baru dilantik, maka Gubenur lama tetap menjabat
598 kembali dan berwenang untuk mennanda tangani SK tersebut.
Didalam rapat sudah berkembang isu bahwa Kota Bekasi dan
Kota Depok mengusulkan agar kuota kab/kota tidak
diberlakukan pada tahun 2008 dengan pertimbangan di 2 kota
tersebut daftar antrianya sangat panjang. Namun hal ini
kurang dihiraukan, karena banyak daerah yang mengetahui
bahwa beberapa kota di sekitar Jakarta terdapat banyak
pendaftar dari luar Jabar.
B. Aktor-Aktor Dalam Perumusan Kebijakan
Kabag Agama dan Assisten Kesra Pemprov Jabar, Kabid
Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar diminta
menyampaikan bahwa tindakannya akan dibawa kesepakatan
dengan Kandepag dan Pemkab/Pemkot se Jawa Barat.
Pemprov dalam hal ini Asisten Kesra dan Kabag Agama
menyarankan dalam penetapan kuota tidak dibawa ke
musyawarah untuk mencari mufakat, namun sudah
ditetapkan bahwa kuota kab/kota akan dilaksanakan pada
tahun 2008. Dimana dalam rapat hanya membicarakan
kesepakatan angka/kuota masing-masing kab/kota.
Musyawarah yang dilaksanakan pada waktu rapat
mengundang semua pihak, dimana musyawarah untuk cros
cek data penduduk muslim masing-masing kab/kota. Dimana
ada beberapa daerah mengalami perubahan, yang rasional
dapat diakomodir dan yang ada data pendukung statistik
dirangkum untuk mencari angka 1/mil masing-masing
penduduk muslim kab/kota dengan meyesuaikan dengan
kuota provinsi. Pembahasan selanjutnya adalah tahapan Kab.
Cianjur dan Kab. Sukabumi, karena pendaftarannya belum
mencapai hasil 1/mil yang ditetapkan kuotanya berdasarkan
pendaftaran pada waktu itu, dimana sisanya dibagikan secara
proporsional ke beberapa kab/kota yang lain. Hasilnya
masing-masing kab/kota menyepakati angka kuota tersebut
599
oleh seluruh peserta rapat yang diwakili oleh Kandepag dan
Pemkab/pemkot, Kakanwil dan Asisten III, dasar hasil rapat
ini yang diusulkan kepada Gubernur dengan Kanwil
membuat surat usulan. Dimana Perubahan kuota provinsi ke
kab/kota oleh Asisten III tidak dimusyawarahkan lagi.
Hasilnya Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar
membuat surat usulan kepada Gubernur Jabar yang ditelaah
oleh Biro Hukum yang melibatkan Kabid Haji dan keluar SK
Gubernur pada waktu menjelang pergantian Gubenur. Ada
yang menyudutkan Gubenur sudah tidak berhak tanda
tangan, karena sudah domisioner dimana memang pada masa
kampaye gubernur (cuti) dan sebelum ada Gubenur yang baru
Gubenur lama tetap menjabat kembali.
Usulan yang berkembang dalam rapat dari Kota Bekasi
dan Kota Depok bahwa kuota kab/kota tidak diberlakukan
pada tahun 2008, karena ada pertimbangan antrian calon
jamaah (waiting list) yang panjang. Namun akhirnya seluruh
kab/kota menandatangani hasil pembagian kuota yang akan
diajukan kepada Gubernur.
600 BAB V
ANALISIS SEBAB DAN PROSES PERUMUSAN
SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA BARAT
TENTANG PENETAPAN KUOTA HAJI
KABUPATEN/KOTA TAHUN 1429H/2008M
A. Proses Pembuatan Kebijakan Publik
enetapan kuota haji Provinsi Jawa Barat yang
berdasarkan urut kacang yang selama ini dilakukan
dirasa kurang memperhatikan prinsip keadilan dan
proporsionalitas oleh masing-masing daerah. Hal ini
mengingat jumlah pendaftar masing-masing kab/kota lebih
banyak dari kuota. SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451
14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang
Penetapan Kuota Haji Kab./Kota Tahun 1429H/2008M,
merupakan “tindakan” yang dilakukan oleh Pemprov Jabar.
Menurut Dye, seperti dikutip Islamy (1991:18) ialah bahwa
apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka
harus ada tujuannya dan kebijakan publik harus meliputi
semua “tindakan” pemerintah, jadi bukan semata-mata
merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat
pemerintah saja. Di samping itu sesuatu yang tidak
dilaksanakan oleh pemerintahpun termasuk kebijakan publik.
Hal ini disebabkan karena “sesuatu yang tidak dilakukan”
oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang
sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” oleh
pemerintah.
P
601
Pemberlakuan kuota haji kab/kota di Prov. Jabar Tahun
2008 dimulai dari rapat evaluasi penyelenggaraan ibadah haji
Prov Jabar Embarkasi Jakarta Bekasi Tahun 2007, yang
dilaksanakan pada 15 Pebruari 2008 bertempat di Asrama Haji
Bekasi. Rapat dihadiri oleh semua pihak yang terlibat dalam
penyelayanan haji, antara lain: Dirjen PHU, Gubernur Jabar,
Kakanwil dan Kabid Haji dan Umroh Dep. Agama Prov.
Jabar, MUI Jabar, Kadepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji
dan Pimpinan BPS BPIH tingkat Kanwil. Hasil rapat antara
lain disebutkan dalam pendaftaran: pertama bahwa secara
aklamasi menyepakati pada tahun 1429H-2008M, pembagian
kuota jamaah haji dirubah dari kuota provinsi menjadi kuota
kab/kota; kedua perlu adanya political will dari Gubernur
Jabar tentang sinyalemen banyaknya pendaftar dari luar Prov.
Jabar.
Langkah berikutnya dilakukan rapat koordinasi
pembagian kuota haji kab/kota se Jawa Barat pada 29 April
2008 yang dihadiri oleh Pemprov Jabar, Kanwil Dep. Agama
Prov. Jabar, Kabag Kesra/Sosial, Kepala Kandepag dan Kasi
Penyelenggaraan Haji dan Umroh kab/kota se Jabar. Hasilnya
antara lain disepakati hal-hal sebagai berikut: pertama dalam
rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat dan pembagian
yang proporsional, maka disepakati adanya perubahan kuota
haji provinsi menjadi kuota haji kab/kota; kedua dasar
pembagian kuota haji kab/kota didasarkan pada pembagian
satu per mil dari jumlah penduduk muslim kab/kota.
Hasilnya masing-masing kab/kota menyepakati angka
kuota tersebut oleh seluruh peserta rapat yang diwakili oleh
Kandepag dan Pemkab/pemkot, Kakanwil dan Asisten III,
dasar hasil rapat ini yang diusulkan kepada Gubernur dengan
Kanwil membuat surat usulan. Dimana Perubahan kuota
provinsi ke kab/kota oleh Asisten III tidak dimusyawarahkan
602 lagi. Selanjutnya Kepala Kanwil Departemen Agama Prov.
Jabar membuat surat usulan kepada Gubernur Jabar yang
ditelaah oleh Biro Hukum yang melibatkan Kabid Haji dan
keluar SK Gubernur pada waktu menjelang pergantian
Gubenur. Proses selanjutnya menjadi SK Gubernur Jawa Barat
Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008
tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun
1429H/2008M.
B. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Lahirnya SK
Perubahan kuota haji di Prov. Jabar menjadi kuota
kab/kota tahun 2008 merupakan usaha Pemprov Jabar
dengan
pertimbangan
dalam
rangka
meningkatkan
pelayanan, pembinaan, perlindungan kepada calon jamaah
haji dengan memperhatikan prinsip keadilan dan
proporsionalitas. Hal ini terlihat bahwa masing-masing
kab/kota memperoleh kuota yang mempunyai dasar yang
benar dengan penggunakan perhitungan sesuai dengan KTT
OKI dan kuota nasional. Jadi kalaupun ada beberapa daerah
yang tidak mendukung pada prinsipnya pemerintah provinsi
sudah berusaha mencari formasi kuota yang adil bagi seluruh
daerah di Jabar. Lahirnya SK Gubernur Jawa Barat Nomor:
451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang
Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M
antara lain didorong oleh:
1. Penerapan kuota kab/kota sesuai dengan Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, bahwa
Gubernur/kepala daerah tingkat I selaku koordinator
menetapkan kuota untuk kabupaten/kota.
2. Mayoritas kab/kota di Jabar (18 dari 25 kab/kota)
menghendaki adanya perubahan dari kuota provinsi
603
menjadi kuota kab/kota, agar menemukan
keadilan dan proporsional untuk seluruh daerah.
formasi
3. Merupakan langkah perbaikan dari kota-kota yang
mendominasi pendaftaran dari luar provinsi dengan cara
menggunakan KTP Jawa Barat.
C. Peran dan Kepentingan Aktor-Aktor Yang Terlibat
Perubahan kuota haji di Prov. Jabar diawali dari
pelaksanaan evaluasi dimana setiap tahun penyelenggaraan
haji masing-masing Kanwil Dep. Agama melakukan evaluasi
untuk melihat kekurangan dalam pelayanan haji pada tahun
yang berjalan. Sesuai dengan prinsip manajemen bahwa
evaluasi untuk memperbaiki segala bentuk kebijakan maupun
implementasinya, merupakan langkah yang harus dilakukan.
Dalam evaluasi menghasilkan beberapa hal, seperti
pertimbangan pemberlakuan kuota haji kab/kota.
Kuota haji kab/kota di Prov. Jabar Tahun 2008 dimulai
dari hasil rapat evaluasi penyelenggaraan ibadah haji Prov
Jabar Embarkasi Jakarta Bekasi Tahun 2007, yang
dilaksanakan pada 15 Pebruari 2008 bertempat di Asrama Haji
Bekasi. Rapat dihadiri oleh semua pihak yang terlibat dalam
penyelayanan haji, antara lain: Dirjen PHU, Gubernur Jabar,
Kakanwil dan Kabid Haji dan Umroh Dep. Agama Prov.
Jabar, MUI Jabar, Kadepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji
dan Pimpinan BPS BPIH tingkat Kanwil. Langkah berikutnya
dilakukan rapat koordinasi pembagian kuota haji kab/kota se
Jawa Barat pada 29 April 2008 yang dihadiri oleh Pemprov
Jabar, Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar, Kabag Kesra/Sosial,
Kepala Kandepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umroh
kab/kota se Jabar. Kedua rapat menghasilkan hal-hal sebagai
berikut: pertama dalam rangka memenuhi rasa keadilan
masyarakat dan pembagian yang proporsional, maka
604 disepakati adanya perubahan kuota haji provinsi menjadi
kuota haji kab/kota; kedua dasar pembagian kuota haji
kab/kota didasarkan pada pembagian satu per mil dari
jumlah penduduk muslim kab/kota.
Melihat proses yang dilakukan diatas diketahui bahwa
semua pihak sudah terlibat dalam proses lahirnya SK
Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008
tanggal 29 Mei 2008 tentang Penetapan Kuota Haji
Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M. Pemprov Jabar sudah
berusaha mengakomodir seluruh stakeholder dalam pelayanan
haji, oleh karena itu mestinya diterima oleh semua pihak.
605
606 BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
pa yang dapat disimpulkan dari deskripsi dan
analisis uraian diatas bahwa keterbatasan kuota haji
yang terjadi saat ini harus menjadi perhatian
Gubernur Jawa Barat dan aparatur Departemen Agama,
dimana harus dicarikan formulasi yang tepat agar kuota haji
yang terbatas dapat dibagi secara adil untuk seluruh lapisan
masyarakat. Gubernur mempunyai kewenangan untuk
menetapkan kuota provinsi atau kuota kab/kota, dimana
pada tahun 2008 dan 2009 dirasakan oleh sebagian pihak
belum adil. Diharapkan kedepan Gubernur Jawa Barat dapat
menetapkan kuota haji secara adil dan proporsional oleh
masing-masing kab/kota.
A
Kenyataan di lapangan bahwa calon jamaah haji banyak
yang menginginkan berangkat lebih cepat, sehingga banyak
calhaj mencari jalan keluar dengan pindah alamat ke
daerah/provinsi lain yang lebih awal pemberangkatnya. Hasil
evaluasi penyelenggaraan haji Prov. Jabar 2007 adanya
sinyalemen banyak pendaftar dari luar provinsi yang
menggunakan porsi haji Jawa Barat, dimana tujuan yang
paling banyak menjadi sasaran adalah wilayah yang
berdekatan dengan DKI Jakarta. Terbukti benar sesuai hasil
Tim Verifikasi Data Calon Jamaah Haji Asal Jawa Barat Tahun
2008, bahwa banyak calhaj dari luar Jabar dengan
menggunakan modus numpang alamat/alamat fiktif di Kota
Bekasi dan Kota Depok. Banyaknya calhaj yang menggunakan
porsi haji Jawa Barat, menjadi penyebab utama yang
607
menimbulkan masalah dan menyebabkan
permasalahan dalam pelayanan haji tahun 2008.
kerumitan
Pelaksanaan penyelenggaraan haji setiap tahun
dilakukan evaluasi baik oleh Departemen Agama maupun
oleh masing-masing kanwil departemen agama dengan
melibatkan seluruh unit terkait antara lain pemprov,
pemerintah kab/kota, Kabid Haji dan Umroh, Kakandepag
dan Kasi Haji, Ormas Islam, DPRD dan KBIH. Hasil rapat
tahun 2007 disepakati antara lain pembagian kuota haji
Provinsi Jawa Barat akan dirubah dari kuota provinsi menjadi
kuota kabupaten/kota setelah memperoleh data yang valid,
akan ditindak lanjuti dengan penghitungan pembagian kuota
kab/kota. Sebagian besar kab/kota di Jawa Barat (18 dari 25
kab/kota) menghendaki adanya perubahan kuota provinsi
menjadi kuota kab/kota. Kuota provinsi dianggap kurang adil
dimana daerah kota mendominasi jumlah pendaftar, sehingga
tidak rasional lagi dengan jumlah penduduknya.
Ada gugatan terhadap SK Gubernur Jawa Barat Nomor:
451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang
Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M,
penyebabnya antara lain adalah bahwa kuota kab/kota baru
pertama kali ditetapkan di Prov. Jabar, dimana waktunya
sudah sangat pendek berbarengan dengan pelatihan manasik
haji. Dengan perhitungkan pembagian kuota 1 per mil
penduduk muslim yang bditetapkan pada tahun 2008, terjadi
perubahan yang signifikan antara masing-masing daerah
dimana daerah-daerah tertentu kuotanya turun secara
signifikan, dan ada daerah yang kuotanya tidak terpenuhi.
Kejadian ini banyak menimbulkan protes warga masyarakat
kepada Gubernur, melalui proses peradilan yang hasilnya
imbang ada yang dimenagkan oleh penggugat dan ada yang
dimenangkan oleh tergugat.
608 B. Saran
Pembagian kuota kab/.kota di Prov. Jawa Barat saat ini
sudah berjalan 2 tahun, dimana setiap tahun harus dilakukan
evaluasi untuk mencari formulasi angka yang tepat yang
diharapkan dapat memenuhi keadilan seluruh warga
masyarakat. Semua pihak yang terkait dalam pendaftaran haji
harus ikut serta mensukseskan terwujudnya kuota yang adil
untuk seluruh daerah di Jawa Barat, terutama masing-masing
pihak (Desa/Kelurahan dan KBIH) untuk meninggalkan
praktek perpindahan KTP yang terjadi di wilayah Jawa Barat.
Adanya waktu yang cukup untuk mengsosialisasikan kuota
masing-masing kab/kota, sehingga masyarakat siap untuk
menerima.
Penetapan kuota tahun 2009 yang sudah menggunakan
modifikasi antara perhitungan 1/mil penduduk dengan
memperhitungkan daftar antrian masih dirasakan kurang
memberi keadilan bagi seluruh daerah, hal ini misalnya
dengan perhitungan 1/mil penduduk muslim Kota Bekasi
kuotanya 1.748 orang dengan rumus yang memperhitungan
antrian menjadi memperoleh kuota 3.825 orang. Perhitungan
yang sama untuk Kab. Cianjur kuotanya 2.111 orang dan
hanya memperoleh kuota 1.243 orang. Dimana semua pihak
sudah mengetahui bahwa dasar yang paling kuat untuk
menentukan kuota haji adalah 1/mil penduduk muslim, oleh
karena itu dalam penentuan kuota haji setiap tahunnya perlu
dilakukan evaluasi dengan melibatkan seluruh daerah di
Prov. Jabar.
609
610 DAFTAR PUSTAKA
Allison, Graham T, 1971, Essence of Decision: Explaining The
Cuban Missile Crisis, Boston: Little, Brown and
Company.
Dunn, William N., 1998, Pengantar Analisis Kebijakan Publik,
Edisi Kedua (terjemahan), Gadjah Mada University
Press.
Effendi, Sofian (1999), Analisis Kebijakan Publik. bahan kuliah
MAP-UGM, Yogyakarta.
Islamy, M. Irfan, 1991, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan
Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Mantra, Ida Bagus dan Kasto, 1995, “Penentuan Sampel”,
dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed),
Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta.
Moleong, Lexj, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda
Karya, Bandung.
Nidjam Achmad dan Hanan Alatief, 2006 ”Manajemen Haji”,
Edisi Revisi, Penerbit Mediacita, Jakarta Timur
Stake, Robert E., 1995, The Art of Case Study Research,
California: Sage Publication, Inc.
Suharto, Edi, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta,
Bandung.
Wahab, A. Solichin, 1997, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Bidang Penyelenggaraan Haji, Zakat dan Wakaf, Kanwil Dep.
Agama Provinsi Jawa Barat Tahun 2009, Data Jemaah
611
Haji Jawa Barat Dalam Angka-angka Dari Tahun 20012008.
Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/
Debarkasi Jakarta, Bekasi, Laporan Operasional
Pemberangkatan dan Pemulangan Haji Embarkasi/
Debarkasi Jakarta Bekasi 1429/2008M
612 
Download