DINAMIKA KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI ERA REFORMASI Editor: Haidlor Ali Ahmad Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Pusitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2010 i Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Dinamika Kehidupan Keagamaan di Era Reformasi Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010 xii + 612 hlm; 21 x 29 cm ISBN 978-979-797-285-1 Hak Cipta 2010, pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, September 2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama DINAMIKA KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI ERA REFORMASI Editor: Haidlor Ali Ahmad Desain cover dan Lay out oleh: H. Zabidi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540 Diterbitkan oleh: Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta Anggota IKAPI No. 387/DKI/09 Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620 Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522 ii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI P eneliti adalah ujung tombak bagi tugas pokok dan fungsi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Tugas peneliti yang cukup berat itu haruslah didukung oleh profesionalisme para penelitinya, sehingga produk-produk penelitiannya menjadi layak untuk dirujuk dan dijadikan bahan penyusunan kebijakan pimpinan Kementerian Agama. Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai bagian dari unit Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam melaksanakan kegiatan penelitian individual yang dibimbing oleh para seniornya, memang baik untuk dilanjutkan. Masa pembinaan sebagai peneliti yang dialami oleh para senior dan peneliti muda sangatlah berbeda, setidaknya dari sisi waktu penelitian lapangan, diversifikasi teori dan metodologi peneliti-an. Para peneliti senior pernah dibina dengan dana yang cukup besar dan waktu sekitar enam bulan, sehingga penelitian lapangan dilakukan cukup lama serta bimbingan penulisan yang seirus dari para mentornya. Oleh karena itu kualitas produknya cukup baik yang dirasakan dewasa ini, sementara para peneliti yang saat ini menduduki jabatan peneliti muda harus dibimbing oleh para peneliti senior itu agar mempunyai kemampuan yang setara dan berkualitas baik. Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi terlaksananya penelitian di bidang keagamaan. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan bimbingan peneliti agar para peneliti memiliki kemampuan memadai, melakukan iii penelitian mandiri untuk menjadi peneliti yang berkualitas, handal, profesional dan obyektif terhadap kebenaran hasil penelitian menjadi sangat penting. Di samping itu, hasil kerjanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan administratif yang mampu mendukung kebijakan di bidang pembangunan agama sesuai dengan visi dan misi Kementerian Agama. Kami menyambut baik diterbitkannya hasil penelitian para peserta bimbingan Peneliti Muda Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Semoga bermanfaat. Jakarta, September 2010 Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA. NIP: 19570414 198203 1 003 iv PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN P uslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai salah satu unit kerja penelitian memiliki peran strategis bagi terlaksananya program-program penelitian dan pengembangan agama. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, Pasal 776 menyatakan bahwa Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang kehidupan beragama, pengamalan dan kerukunan antar umat beragama, serta pembinaan UPT Litbang Agama didasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Kepala Badan. Salah satu faktor yang menjadi pendorong tercapainya fungsi-fungsi Puslitbang Kehidupan Keagamaan adalah tenaga peneliti yang memiliki kemampuan memadai untuk melakukan penelitian atau melakukan tugas-tugas lainnya. Dalam rangka menyiapkan para peneliti muda untuk menjadi peneliti yang berkualitas, maka dirasakan perlu memberi kesempatan kepada para peneliti muda untuk melakukan penelitian individual mandiri melalui sebuah program yang disebut Pembimbingan Penelitian. Tujuan kegiatan Pembimbingan Penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan kepenelitian para peneliti muda di lingkungan Puslitbang Kehidupan Keagamaan untuk melakukan penelitian mandiri di bawah bimbingan seorang konsultan sehingga akan diperoleh hasil penelitian yang lebih berkualitas. Buku ini merupakan laporan lengkap hasil kegiatan Penelitian pembimbingan yang telah dilaksanakan dalam v tahun anggaran 2009. Dengan selesainya seluruh proses kegiatan sampai tersusunnya laporan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat yang telah berkenan mengizinkan kami untuk melaksanakan kegiatan ini. Terima kasih juga kepada para konsultan dan peserta Penelitian Pembimbingan yang telah melaksanakan tugasnya masing-masing. Kami berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi pihak- pihak terkait untuk merumuskan berbagai kebijakan tentang kehidupan beragama. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kami memohon agar apa yang kami lakukan dapat memberi dan menjadi bagian dari amal ibadat. Kami juga berharap kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan kegiatan ini ke depan. Jakarta, September 2010 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. H. Abd.Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005 vi PENGANTAR EDITOR P uji syukur kehadlirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya buku hasil penelitian peserta Pembimbingan Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2009 ini dapat diterbitkan. Buku yang berada dihadapan para pembaca ini merupakan tulisan para peneliti muda Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2009 di bawah bimbingan Prof. Dr. HM Ridwan Lubis, Prof. Abd. Rahman Mas’ud Ph.D. dan Drs. H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA, APU. Buku ini menyajikan hasil penelitian peserta bimbingan penelitian sehingga hasilnya cukup variatif, karena masingmasing peneliti memilih obyek studi dengan berbagai pertimbangan masing-masing. Hasil penelitian yang dihimpun dalam buku ini adalah sebagai berikut: 1. Hubungan LSM – Pemerintah, dimana dalam posisinya masing-masing telah cukup berperan dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. 2. Komunitas Betawi mampu mempertahankan tradisi agamanya, karena semua tradisi itu dikemas dalam bentuk kegiatan keagamaan sebagai bagian dari kepercayaan dan ajaran agama yang harus diamalkan. 3. Ada keragaman dalam pandangan aktivis dan tokoh muslim di Depok terkait dengan pemahaman tentang HAM, kebebasan beragama dan berkepercayaan. Ada informan yang berpadangan inklusif dan ada pula yang eksklusif. Informan yang berpandangan inklusif menerima gagasan universal HAM termasuk ketentuan kebebasan beragama atau berkepercayaan. HAM tidak perlu dipandang sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam. Informan yang berpandangan eksklusif vii meng-gunakan alasan teologis dan historis. Secara teologis Islam memiliki sumber autentik yang dapat dijadikan legitimasi penerimaan umat Islam terhadap HAM, yakni al-Quran. 4. Kebijakan Walikota Depok melakukan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dimasudkan dalam rangka menjalankan kewajiban untuk mencegah terjadinya konflik. Namun Jemaat HKBP dan persekutuan gereja-gereja setempat menolak pencabut-an IMB tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan PBM. Dasar pertimbangan yang kuat mendukung keputus-an Walikota Depok melakukan pencabutan IMB tersebut adalah kehendak/kemauan masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui Forum Solidaritas Umat Muslim (FSUM) Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul dan Limo. 5. Fenomena menurunnya perolehan suara parpol Islam karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor dimaksud antara lain adanya friksi-friksi di dalam partai; kurang jelasnya visi dan misi partai, partai mulai kehilangan ideologi dan cenderung pragmatis, sistem kaderisasi yang kurang mapan kecuali PKS; tidak jelasnya orientasi dalam memperjuangkan kepentingan umat, khususnya umat Islam; dan terjadinya krisis ketokohan yang dapat menyatukan umat Islam. Dalam perkembangannya, muncul keinginan terjadinya penggabungan partai Islam menjadi hanya satu atau dua parpol Islam saja sehingga dapat menggalang kekuatan untuk mencapai elektoral treshold. 6. Pengembangan komunitas basis di Paroki Kampung Sawah dilakukan melalui berbagai bidang yaitu melalui pember-dayaan ekonomi, perberdayaan lingkungan hidup, pelayan-an kesehatan gratis, mengangkat kultur viii Betawi dalam kegiatan keagamaan. Bentuk pengembangan komunitas basis melalui inkulturisasi merupakan hal yang paling dominan di Paroki ini. Demikian, semoga buku ini bermanfaat untuk kepentingan penelitian di kemudian hari, dan dapat menambah wawasan bagi para pembaca umumnya, dan khususnya dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi kebijakan pemerintah cq. instansi terkait dalam pembinaan kehidupan beragama dan berdemokrasi di negeri ini. Atas segala kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam buku ini mohon dimaklumi. Kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan di masa depan. Jakarta, Juli 2010 Editor Haidlor Ali Ahmad ix x DAFTAR ISI Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat ............ Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Pengantar Editor............................................................. Daftar Isi.............................................................................. iii v vii xi 1. Peran dan Hubungan LSM dengan Pemerintah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia Oleh: Akmal Salim Ruhana, S. HT.I………………….. 1 2. Tradisi dan Varian Keagamaan Komunitas Betawi di Tangerang Banten Oleh: Drs. Wakhid Sugiyarto ……………… ……. 81 3. Dakwah Plurasitik Ikatan Jema’ah Ahlul Bayt Indonesia (IJABI) di Kota Bandung Oleh: Achmad Rosidi, S. Ag………........ …………… 131 4. Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan dalam Pandangan Tokoh Ormas Islam Kota Depok Oleh: Imam Syaukani, S. Ag, MH……… ………… 185 5. Pandangan Pemimpin Ormas Islam Tentang Perolehan Suara Parpol Islam Pada Pemilu Legislatif 2009 di DKI Jakarta Oleh: Reslawati, S. Ag, M.Si. …………………………. 275 xi 6. Analisis Kebijakan Walikota Depok tentang Pencabutan IMB Rumah Ibadat dan Gedung Serba Guna HKBP Pangkalan Jati Gandul, Kecamatan Limo Kota Depok Oleh: Drs. Ahsanul Khalikin………………....... 337 7. Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Banten terhadap Tayangan Infotainmen di Televisi Oleh: Muchtar, S. Ag………………………………. 467 8. Gerakan Komunitas Basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi Oleh: Reza Perwira, S. Th.I ................................. 515 9. Studi Kasus tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Oleh: Drs. Zaenal Abidin, M. Si ……………………… xii 569 PERAN DAN HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA Oleh: Akmal Salim Ruhana PERAN DAN HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA Akmal Salim Ruhana BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah asca runtuhnya pemerintah Orde Baru di tahun 1998, Indonesia memasuki babak baru yang disebut Orde Reformasi. Orde ini ditandai dengan terjadinya fase liberalisasi politik dan berlangsungnya iklim demokratisasi yang kian membaik. Setelah melalui praktik demokrasisetengah-hati di bawah rezim otoritarian, kini demokrasi Indonesia kian dikokohkan dengan diperkuatnya elemenelemen penopangnya, yang salahsatunya ditandai dengan semakin berperannya kekuatan masyarakat sipil (civil society). P Ada tiga pilar penopang sebuah negara demokrasi, yaitu: pemerintahan yang kuat, sektor swasta (bisnis dan industrial) yang kompeten, dan masyarakat sipil yang berdaya. Ketiga pilar ini bersifat komplementatif, karena ketiadaan salah satunya akan mengganggu keseluruhan sistem yang berjalan. Sebuah pemerintahan yang kuat dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sektor swasta yang kompeten dapat menciptakan lapangan kerja dan berperan sebagai ladang tumbuhnya investasi di sebuah negara sehingga demokrasi dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Dan 1 sebuah masyarakat sipil yang berdaya akan senantiasa mendinamisasi perubahan untuk berjalannya peran pemerintahan dan sektor swasta dengan baik. Salahsatu pilar penguatan masyarakat sipil (civil society) adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Keberadaannya kini diyakini sangat diperlukan dalam turut serta memberdayakan masyarakat sekaligus menjadi balancingpower terhadap peran Pemerintah. Secara kuantitatif jumlahnya pun kian bertambah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, jumlah LSM telah bertambah secara signifikan dari hanya berjumlah sekitar 10.000 pada tahun 1996 menjadi sekitar 70.000 pada tahun 2000.1 Masyarakat pun kini kian menerima keberadaan dan perannya, berbeda dengan zaman Orde Baru dahulu, dimana LSM sering ditolak dan dicurigai karena kerap diidentikkan dengan kelompok antipemerintah, oposan, atau bahkan dituduh sebagai agen asing. Demikian juga Pemerintah, dalam beberapa hal telah merasa terbantu dengan berbagai program pemberdayaan dan pendampingan masyarakat — yang notabene adalah sebagian dari tugas pokoknya— yang dilakukan oleh LSM. Namun demikian, hubungan LSM dan pemerintah ternyata tidak selalu berjalan manis. Fungsi balancing dan pressure LSM dengan corak kritisnya vis a vis paradigma social order-nya pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan, misalnya, kerapkali menimbulkan konflik wacana yang justeru membuat masyarakat bingung. Problemnya memang bukan pada LSM yang harus tidak kritis atau pemerintah yang harus membiarkan kekacauan, tetapi mungkin pada etika berdemokrasi atau justeru pencerdasan masyarakat. Pada kasus prapenerbitan SKB tentang Ahmadiyah, misalnya, masyarakat bingung oleh pembelaan mati-matian kepada Ahmadiyah atas nama HAM oleh beberapa LSM, di satu sisi, berhadapan 1 2 Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/ 972516.htm, diakses pada 19 Juni 2009. dengan alasan pemeliharaan ketertiban masyarakat oleh pemerintah di sisi lain, yang berakibat terbelahnya masyarakat dan bahkan konflik fisik yang tidak perlu. Dalam konteks kasus lain, dahulu di masa pemerintahan Presiden Megawati, disharmoni LSM-pemerintah juga kerap terjadi. Misalnya, seorang fungsionaris partai melontarkan kekesalannya terhadap sikap LSM dalam masalah amandemen UUD 1945, dengan mengatakan LSM sebagai agen kepentingan asing (Radio Nederland, 17/4/2002). Juga, Jenderal Ryamizard Ryacudu, saat itu KSAD, saat menanggapi sikap kritis LSM atas darurat militer di Aceh, menyebut LSM sebagai salah satu pintu yang digunakan asing untuk kepentingan mereka (Jawa Pos, 1/1/2004). Juga ketika AM Hendropriyono, waktu itu kepala BIN, yang akan mengusir Sydney Jones (Direktur ICG) dan 20 LSM lain dengan dalih adanya sinyalemen LSM-LSM itu akan ‘menjual’ bangsa (Kompas, 5/6/2004). Sebaliknya, pemerintah kerapkali dibuat ‘merah telinga’ ketika bahasa kritik yang disampaikan LSM-LSM itu kurang elegan, yakni terkait berbagai laporan tahunan (annual report) mereka yang dirilis ke publik secara masif tanpa ada komunikasi-konfirmasi dari pihak pemerintah. Pernyataan dan respon atas pernyataan dalam kasus-kasus ini nyata-nyata telah menciptakan disharmoni hubungan LSM-pemerintah. Maka keteganganketegangan yang melibatkan komponen civil society, swasta dan pemerintah pun terjadi. Hal ini tentu saja mengganggu keseimbangan ritme tiga penopang demokrasi sebagaimana disebutkan di atas. Sementara itu, kerukunan adalah kebutuhan semua pihak. Pemerintah, pihak swasta, maupun masyarakat sipil membutuhkan dan mendambakan kondisi rukun tersebut. Maka, karenanya, pemeliharaan kerukunan adalah tugasbersama. Dalam konteks kehidupan beragama, kerukunan umat beragama adalah tanggungjawab bersama umat beragama (baca: masyarakat dan swasta) serta pemerintah. 3 Tanpa upaya-bersama (sinergi) itu beban pemeliharaan kerukunan sulit dipikul. Lantas, apa yang sebaiknya diperankan oleh LSM dan pemerintah dalam menghadapi kondisi ini? Di sinilah penelitian ini menemukan urgensinya. Memang, saat ini telah banyak upaya dalam rangka pemeliharaan kerukunan yang dilakukan baik oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan dan upaya fasilitasi lainnya, maupun oleh LSM dengan berbagai kiprahnya untuk pemeliharaan kerukunan dan perdamaian. Sayangnya, berbagai upaya dan program yang dilakukan belum terintegrasi secara baik melainkan seperti berjalan sendirisendiri dalam rencana dan ekspektasinya masing-masing. Padahal, hanya ada satu Indonesia, dan semua mengharapkan kerukunan sejati yang sama. Pemerintah ingin negara ini aman dan tertib sehingga pembangunan bangsa berjalan dengan baik ke arah kesejahteraan bersama, di sisi lain, LSM sebagai komponen civil society pun berupaya membantu masyarakat meraih kesejahteraan dalam suasana berkeadilan. Penting ditegaskan, integrasi-sinergis yang perlu dilakukan bukan dalam arti penyatuan program-teknis, melainkan terciptanya sikap saling memahami dan sinergi dalam tujuan yang sama meski dengan pilihan cara yang beragam. Tanpa integrasisinergis itu maka upaya pemeliharaan kerukunan akan senantiasa parsial dan, boleh jadi dalam kasus tertentu, menjadi kontraproduktif. Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian ini dirancang untuk menemukan langkah integrasi-sinergis yang bisa dilakukan oleh LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini dipandang perlu karena selama ini upaya yang telah dilakukan oleh masing-masing pihak masih dinilai belum terintegrasi dengan baik, sehingga dapat 4 mengakibatkan inefficiency atau bahkan terjadi konfrontasi yang kontraproduktif bagi kerukunan. Untuk memperjelas inti permasalahan yang dikaji, berikut adalah sejumlah pertanyaan penelitian yang dicoba jawab oleh penelitian ini: 1. Bagaimana peran LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia? 2. Bagaimana pola hubungan antara LSM dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan tersebut? 3. Mungkinkah dilakukan sinergi antara LSM dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan? Jika ya, dalam bentuk apa sinergi dapat dilakukan? Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui peran LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. 2. Mengetahui pola hubungan LSM dan pemerintah dalam proses pemeliharaan kerukunan tersebut. 3. Mengetahui kemungkinan dilakukannya sinergi antara LSM dan pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan, dan mengetahui bentuk sinergi dimaksud. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan menghasilkan gambaran tentang posisi dan peran LSM-pemerintah serta rumusan alternatif pola-pola hubungan yang dapat dikembangkan untuk terciptanya sinergi yang baik antara LSM dan pemerintah dalam upaya-bersama memelihara kerukunan umat beragama di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat 5 memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokratisasi dan kerukunan umat beragama serta kerukunan nasional. Kerangka Dasar Teoritik Penelitian ini berangkat dari teori tentang civil society dalam kaitannya sebagai bagian dari pilar pengokoh suatu negara demokrasi. Mengoreksi Aristoteles yang mengidentikkan civil society dengan negara, juga konsep negara-kotanya Cicero, atau hanya sisi-etisnya Adam Ferguson, G.W.F. Hegel mengatakan civil society sebagai elemen ideologis kelas dominan. Hal ini pun sekaligus reaksi atas tesis Thomas Paine yang memisahkan civil society dari negara. Namun Hegel mengabsahkan intervensi terhadap wilayah sipil, dengan alasan kelemahan masyarakat sipil yang tidak mampu eksis tanpa adanya pengaturan dari yang otoritatif. Kemudian Marx mengusulkan pelenyapan civil society yang disebutnya masyarakat borjuis, dengan dalih menuju tatanan masyarakat tanpa kelas. Lebih ideologis, Gramsci justeru melihat civil society itu perlu sebagai ruang perebutan hegemoni di luar kekuatan negara. Akhirnya, Tocqueville menegaskan pentingnya civil society sebagai penyeimbang negara—hasil pengamatannya pada pengalaman demokrasi Amerika yang demokrasinya kian kuat dengan adanya kekuatan di luar negara. Membantah Hegel, Tocqueville meyakini civil society cukup otonom dan bukan subordinan, serta mempunyai kapasitas politik cukup tinggi untuk mengimbangi kekuatan negara.2 Dengan demikian, perimbangan kekuatan itu diyakini akan memperkokoh suatu negara demokrasi. Berikut gambaran pola hubungan elemen civil society, sektor swasta, dan negara, yang melakukan take and give dan berjalan seimbang sinergistis. 2 Perdebatan konsep civil society ini melalui beberapa fase yang selengkapnya dapat dibaca di bagian lain tulisan ini (pada pembahasan LSM dan civil society). 6 Gambar 1 Skema Hubungan LSM-Pemerintah-Swasta NEGARA/PEMERINTAH berperan menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil; membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; menyediakan public service yang efektif dan accountable; menegakkan HAM; melindungi lingkungan hidup; dan mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik. SWASTA/PASAR berperan menjalankan industri; menciptakan lapangan kerja; menyediakan insentif bagi karyawan; meningkatkan standar hidup masyarakat; memelihara lingkungan hidup; menaati peraturan; dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat. CIVIL SOCIETY berperan menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; mempengaruhi kebijakan publik; sebagai sarana checks and balances pemerintah; mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; mengembangkan SDM; dan sebagai sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat. Dengan demikian, jika dalam sebuah negara terjadi ketidakseimbangan di antara ketiga penopang demokrasi itu, maka negara demokrasi tidak akan kokoh bahkan justeru dapat bergeser. Maksudnya, jika negara terlalu kuat sementara civil society dan swasta lemah, maka negara akan cenderung otoriter dan tidak demokratis lagi. Jika kekuatan civil society terlampau kuat dan negara lemah, maka negara cenderung ke arah sosialisme, dan jika pasar terlampau kuat, sementara negara 7 dan civil society lemah, maka kekacauan dapat terjadi karena ketiadaan otoritas pemaksa/penertib. Sementara itu, negara (baca: pemerintah) sendiri menginginkan dirinya kuat. Karena ideologi developmentalisme yang dianut negara-negara berkembang sangat meniscayakan adanya stabilitas sosial, demi tercapainya berbagai rencana pembangunan. Mansour Fakih3 mengatakan kata ‘pembangunan’ (terjemahan dari developmentalisme) menjadi diskursus yang dominan di Indonesia (sebagai negara berkembang) terutama pada masa Orde Baru. Kata itu sudah menjadi ruh bagi periode pembangunan ‘repelita’ di Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Soeharto. Namun, kritiknya, pembangunan itu sering disalahposisikan ke dalam berbagai konteks, konotasi ideologi dan politik tertentu, padahal pembangunan adalah bagian dari teori perubahan sosial. Beberapa teori mengenai hubungan LSM dan Pemerintah telah banyak disampaikan para ahli. Salahsatunya adalah yang disampaikan Drs. H. Dadang Solihin, MA, ahli LSM dari PACIVIS-UI yang juga pernah menjabat Deputi di BAPPENAS. Menurutnya, relasi antara CSO/Civil Society Organization (yang LSM berada di dalam lingkupannya) dengan pemerintah, dapat terjadi dalam lima kondisi.4 Pertama, apa yang disebutnya autonomous benign neglect. Pada kondisi ini pemerintah tidak menganggap posisi CSO sebagai ancaman dan tidak melakukan intervensi terhadap CSO; serta CSO dapat bekerja secara mandiri dan independen. Kedua, facilitation/ promotion. Dimana Pemerintah menganggap CSO sebagai entitas yang keberadaannya bersifat komplementer; dan Tugas pemerintah Lihat, Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 12-13. 4 Lihat, “Format Hubungan dan Kerjasama Pemerintah, Media, serta Private Sector dengan NGO dalam Penguatan Civil Society,” slide pemaparan Drs. H. Dadang Solihin, MA, dalam Pacivis-NGO-Management Certificate Program, di FISIP-UI Depok, 17 Maret 2006. Slide diunduh melalui www.4shared.com, atau juga tersedia di www.dadangsolihin.com. 3 8 untuk menyediakan kondisi yang kondusif bagi beroperasinya CSO. Ketiga, collaboration cooperation. Kondisi dimana Pemerintah menganggap bekerja sama dengan CSO lebih menguntungkan bagi pencapaian tujuan pemerintah. Keempat, cooptation/-absorbtion. Pada kondisi ini Pemerintah melakukan kontrol terhadap CSO baik dalam konteks programatik maupun ideologis. Hal ini dilakukan dengan adanya suplai finansial, penghambatan terhadap ijin eksekusi program CSO, dan sebagainya. Dan kelima, containment/ sabotage/dissolution. Dalam kondisi ini Pemerintah melihat CSO sebagai tantangan dan juga ancaman, sehingga pemerintah menghambat kerja CSO, dan bahkan sampai pada tindakan. Dalam perspektif yang lebih berimbang, Afan Gaffar5 menjelaskan pola hubungan LSM-negara seperti tergambar dalam tabel berikut ini. Dimensi Ruang Publik Orientasi isu Finansial Organisasional Tabel 1 Pola Hubungan LSM-Negara Strategi LSM vis a vis Strategi Pemerintah vis a vis LSM Pemerintah/negara Memengaruhi agenda Menetapkan agenda pembangunan, mengkritik, dan prioritas dan mengajukan alternatif pembangunan, dan kebijakan. memonitor alternatif apa yang dapat diterima. Memobilisasi dukungan Membantu sumber dana, sehingga menjadi keuangan Ornop, mandiri dan terlepas dari mengatur dan campur tangan dan menyetujui pengawasan pemerintah. penggunaannya untuk pembangunan. Menjaga kemandirian, Membantu proses menghindari campur tangan administrasi Ornop, pemerintah dalam urusan mengatur kegiatan 5 Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 216, yang juga dikutip Culla, dalam op.cit. hlm. 82. 9 Kebijakan administrasi, pembuatan keputusan, dan pelaksanaan di lapangan. Memengaruhi dialog dalam pembentukan kebijakan dengan melakukan advokasi, guna meningkatkan kualitas lingkungan pembuatan kebijakan. mereka dan pelaksanaan kegiatan di lapangan. Membantu kebijakan, melakukan dialog, mengatur akses ke pembuatan keputusan, dan memelihara kontrol atas lingkungan pembuatan kebijakan. Kajian Terdahulu Penelitian dan kajian tentang LSM telah banyak dilakukan oleh para akademisi. Sebuah tulisan yang cukup komprehensif yang mengkaji tentang geliat LSM di Indonesia adalah tulisan karya-masterpiece Dr. Mansour Fakih berjudul Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Buku yang merupakan refleksi penulis tentang sejarah pergolakan LSM 80-90an ini senantiasa menjadi rujukan para pemerhati gerakan sosial di Indonesia. Melalui proses riset partisipatif dan studi kolaboratif, Fakih menyimpulkan bahwa LSM berada dalam posisi struktural ideologi sebagai bagian dari hegemoni negara, dan karenanya terdapat indikasi teoritis bahwa sebagian besar gerakan LSM di Indonesia (pada konteks waktu penelitian itu dilakukan, akhir 80-an dan awal-90-an. Pen.) lebih merupakan bagian dari negara daripada bagian dari masyarakat sipil. Kajian lain tentang LSM, yang relatif baru (2006), dilakukan oleh Adi Suryadi Culla. Dalam bukunya yang berasal dari disertasi ini, tergambar dinamika hubungan LSMnegara yang senantiasa dipengaruhi konstelasi politik dan interaksi aktor-aktor dan institusi keduanya yang kerap menimbulkan hubungan keduanya tidak selalu mudah didefinisikan. Temuannya yang ‘merekonstruksi’ tesis selama ini tentang hubungan LSM-negara adalah bahwa negara dapat 10 berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil, artinya hubungan antara masyarakat sipil dan negara bersifat crosscutting dan tidak dikotomis. Kajiannya yang melihat peran YLBHI dan Walhi ini diberi judul Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006). Kajian terdahulu lainnya, sebagaimana disebut oleh Culla dalam Rekonstruksi Civil Society,6 adalah disertasi karya Muhammad Atho'illah Shohibul Hikam berjudul The State Grassroots Politics and Civil Society: A Study of Social Movements Under Indonesia's New Order,1989-1994 (Amerika Serikat: University of Hawai, 1995) yang mengkaji gerakan politik grassroots dengan mengangkat beberapa kasus serikat pekerja di Indonesia era Orde Baru. Kemudian tesis Adi Suryadi Culla sendiri, berjudul Masyarakat Madani di Indonesia: Studi Kasus Petisi 50 (Jakarta: Universitas Indonesia, 1999) yang mengkaji "Petisi 50" dengan menggunakan konsep masyarakat sipil. Kemudian, dengan perspektif ilmu politik, kajian tentang LSM dilakukan oleh M. Dawam Rahardjo, dkk. berjudul Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Masyarakat Sipil: Analisis Perbandingan Misi dan Visi Ornop dan Ormas Berbasis Keagamaan (1999). Selain itu, penelitian Deden Ridwan dan Dewi Nurjulianti berjudul Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia: Sebuah Laporan dari Penelitian dan Seminar (1999), dan penelitian PPIM-IAIN Jakarta berjudul Islam dan Civil Society: Pandangan Muslim Indonesia (2002), suntingan Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, dkk. Kemudian kajian Ahmad Baso berjudul Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran "Civil Society" dalam Islam Indonesia (1999). Selain itu masih banyak kajian berupa sejumlah disertasi mengenai LSM yang ditulis para doktor yang turut memperkaya pustaka di bidang kajian LSM ini. 6 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 12-14. 11 Dari kajian-kajian terdahulu sebagaimana tersebut di atas, terlihat penelitian dan kajian yang dilakukan kebanyakan masih berkutat pada masalah perdebatan mengenai konsep civil society, hubungan LSM-negara, LSM dalam setting politik tertentu, dan lainnya. Kecuali penelitian M. Dawam Rahardjo dkk., penelitian dan kajian tersebut belum ada yang secara khusus melihat peran LSM bidang agama atau bidang kerukunan di Indonesia. Maka, terdapat ‘ruang kosong’ yang mencoba diisi oleh penulis, yakni peran dan hubungan LSM dan Pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. LSM yang dimaksud di sini adalah khusus LSM yang bergerak di bidang kerukunan, dan lingkup perannya berada pada konteks pemeliharaan kerukunan umat beragama. Disinilah distingsi penelitian ini. Definisi Operasional Secara etimologis, ‘peran’ diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat.7 Sedangkan dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud peran adalah kiprah atau segala sesuatu yang dilakukan oleh LSM dan Pemerintah dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. Tegasnya, meliputi visi, misi, tugas-fungsi, program-program, dan kegiatan yang mereka miliki dan lakukan terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama. ‘Hubungan’ berarti kondisi kontak, sangkut-paut, atau pertalian.8 Dalam penelitian ini, hubungan yang dimaksud adalah segala kondisi yang saling menghubungkan antara LSM dan Pemerintah, baik dalam bentuk kerjasama, aksi-reaksi, perang wacana, dan sebagainya. Adapun lembaga swadaya masyarakat (LSM) diartikan dalam berbagai istilah dan arti. Seperti diketahui, LSM juga 7 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, cet. X. Ibid. 12 seringkali disebut ornop (organisasi non-pemerintah), atau NGO (non-governmental organization), atau istilah lain sejenisnya. Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih menggunakan istilah LSM, dengan pertimbangan makna netral-substantif dan terasa lebih familiar di dalam masyarakat luas. Secara etimologis, LSM bermakna organisasi yang bukan bagian dari pemerintah dan melakukan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan secara istilah, LSM berarti organisasi swasta yang menjalankan kegiatan untuk meringankan penderitaan, mengentaskan kemiskinan, memelihara lingkungan hidup, menyediakan layanan sosial dasar atau melakukan kegiatan pengembangan masyarakat, yang mencoba untuk mengisi ruang yang tidak akan atau tidak dapat diisi oleh pemerintah.9 Lebih jauh mengenai istilah, arti, dan seluk beluk LSM akan dibahas pada bagian tersendiri tulisan ini. Dalam penelitian ini, yang dimaksud LSM adalah LSM yang bergerak di bidang kerukunan umat beragama— selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan. Yakni LSM yang dalam program kerjanya atau dalam wacana dan aksinya tersangkut paut dengan masalah kerukunan umat beragama. Lebih tegasnya, penelitian ini membatasi pada beberapa LSM yang dianggap mewakili jenis LSM ini, yaitu: the WAHID Institute, SETARA Institute, dan ICRP. Ketiga LSM Kerukunan ini dipilih karena kami nilai mereka sudah cukup konsisten di bidang ini dan cukup established, terlihat salahsatunya dari ‘kultur’ penerbitan Annual Report Kehidupan Beragama yang telah secara periodik setiap tahun dikeluarkannya. ‘Pemerintah’ diartikan melalui konsep negara. Bahwa negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Sementara itu, dalam negara terdapat tiga unsur, yakni: rakyat, 9 Diambil dari ensiklopedia bebas, www.wikipedia.com, dengan kata kunci “NGO”. 13 wilayah, dan pemerintahan. Pemerintahan itu sendiri adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintahan, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam.10 Adapun ‘Pemerintah’ dalam konteks penelitian ini diwakili oleh Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian, dan Kejaksaan, karena keempat institusi ini memiliki tugas pokok dan fungsi terkait dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama. Kerukunan umat beragama, sebagaimana didefinisikan di dalam PBM No. 9 dan 8 tahun 2006,11 adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. Dalam kamus, ‘sinergi’ berarti kegiatan atau operasi gabungan; kegiatan tergabung yang pengaruhnya biasanya lebih besar daripada jumlah total pengaruh masing-masing satu 10 11 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hlm. 18 Lihat Bab I Pasal I butir 1 dan 2, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, yang diterbitkan tanggal 21 Maret 2006. 14 per satu.12 Sedangkan dalam konteks penelitian ini, sinergi adalah kerjasama yang tidak harus selalu berupa kegiatan atau program, melainkan adanya kesalingpahaman. Sekali lagi, kerjasama yang perlu dilakukan bukan dalam arti penyatuan program-teknis, melainkan terciptanya sikap saling memahami dan sinergi dalam tujuan sama meski dengan pilihan cara beragam. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan motode pokok yang dipergunakan adalah deskriptif-analitis. Data yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka dan wawancara dipaparkan secara utuh, kemudian dilakukan proses analisa sesuai kebutuhan problem penelitian ini. Pengumpulan data terutama dilakukan dengan menelusuri bahan pustaka, dan kemudian melalui sejumlah wawancara langsung dan tertulis (melalui email) dengan berbagai narasumber dan informan kunci yang dianggap relevan. Diantara yang diwawancarai adalah ketua/anggota LSM (WI, SETARA, ICRP), pejabat pemerintah dan kalangan akademisi serta pengamat/praktisi LSM. Informasi dari dunia maya cukup banyak menyumbang tulisan ini, karena profil dan informasi seputar kiprah LSM dan pemerintah (yang dibutuhkan peneliti) cukup melimpah tersedia di dalamnya. Pembatasan lokasi memang tidak relevan dalam penelitian ini, selain bahwa pengumpulan data dilakukan kepada LSM-LSM dan beberapa institusi di tingkat pusat (DKI Jakarta) dan, jika diperlukan, di kota lain yang dilakukan melalui bantuan email (wawancara-tertulis) dan telepon (wawancara-jarak jauh). Dalam menganalisis data digunakan Analisis Data Kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982), yakni dengan meng 12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999, c.X. 15 organisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.13 Penelitian ini dilakukan sendiri oleh penulis pada bulan Agustus-Desember 2009, atas biaya dinas. 13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm. 248. 16 BAB II HUBUNGAN LSM DENGAN PEMERINTAH U ntuk memahami peran dan hubungan LSM dan pemerintah, penting untuk terlebih dahulu mengenal profil dan kiprah keduanya. Hal ini untuk menjadi bekal dan landasan dalam melihat posisi-posisi keduanya dalam percaturan hubungan dimaksud. Berikut paparan serba sekilas mengenai keduanya. Memahami LSM LSM, Ornop/NGO, SHO, atau PVO? Mengenai istilah mana yang lebih tepat digunakan: LSM, ornop/NGO, atau PVO, ternyata bukan perkara mudah, melainkan telah melalui perdebatan yang cukup lama di kalangan aktivis LSM sendiri. Namun, secara historis, hal ini dapat dipahami mengingat istilah-istilah itu tidak bebas nilai dan sangat terkait konteks politik pada setiap masanya. Berikut gambaran perdebatan istilah tersebut, sebagaimana diulas dengan baik oleh Culla.14 Pertama, istilah ornop, adalah terjemahan harfiah dari NGO (non-govermental organizations) yang telah dikenal dalam pergaulan internasional--sebagaimana tercantum dalam Bab 10 Pasal 71 Piagam PBB. Istilah NGO merujuk pada organisasi non-negara yang mempunyai kaitan dengan badan-badan PBB yang perlahan-lahan menyebar dan dipakai oleh komunitas internasional. Ketika masuk ke Indonesia, istilah asing itu menjadi Ornop, organisasi non-pemerintah. Pemerintah kemudian bereaksi keras. Beberapa aktivis juga kurang "sreg" dengan istilah itu karena dinilai merujuk pada dikotomi 14 Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 63-67. Disarikan dan direformulasi seperlunya oleh penulis. 17 ideologis maupun politis antara pemerintah (government) dan non-pemerintah (non-government). Istilah NGO atau Ornop dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah. Kemudian muncul istilah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga pengembangan swadaya masyarakat (LPSM) yang dipakai sebagai pengganti ornop. Istilah LSM muncul dari hasil perdebatan para peserta lokakarya kerjasama terpadu pengembangan pedesaan yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di tahun 1978, di Ungaran, Jawa Tengah. Sedangkan LPSM muncul dari saran Dr. Ki Sarino Mangunpranoto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang juga dikenal sebagai salahseorang tokoh gerakan Taman Siswa. Selanjutnya, beberapa aktivis kemudian menemukan istilah lain dengan membandingkan apa yang sering dipakai oleh Kementerian Kerja Sama Internasional Jerman Barat, yaitu SelfHelp Promoting Institute (SHPI) dan Self-Help Organization (SHO). Atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO. Lembaga Swadaya Masyarakat sering kali dipakai secara bergantian dengan istilah Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang merujuk pada kelompok-kelompok yang dibentuk oleh masyarakat dalam arti luas. Meskipun LPSM dan KSM mempunyai varian masing-masing, istilah yang kelihatannya lebih sering dipergunakan adalah LSM karena esensi sebenarnya tidak berubah. Maka pada tahun 1981, untuk memudahkan pemahaman di kalangan masyarakat, disepakati menggunakan satu istilah saja, yakni LSM. Maka, penulis menggunakan istilah LSM karena dinilai lebih tepat dan ‘ramah’ digunakan.15 15 Bandingkan dengan A.S. Culla dan George Aditjondro yang lebih memilik ornop daripada LSM, karena dengan menggunakan istilah LSM, katanya, dapat 18 Sementara itu, di dalam peraturan perundang-undangan Negara Republik Indonesia, perihal LSM diatur dalam UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun pengertian LSM di UU ini lebih bias pada pengertian ormas, bukan ornop/LSM. Adapun dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 yang dalam lampiran II-nya menggunakan istilah LSM, mendefinisikan LSM sebagai berikut: Organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.16 Dari definisi ini dan penelusuran yang dilakukan oleh Culla, ditemukan beberapa ciri umum suatu LSM, yakni: bersifat kesukarelaan, non-profit oriented (tidak berorientasi mencari keuntungan), dan non-coersion (tidak menggunakan kekerasan atau alat pemaksa).17 Majelis Agama dan FKUB: LSM? Ada pertanyaan yang cukup menarik dalam konteks umat beragama, apakah majelis-majelis atau ormas-ormas agama (seperti NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, dsb.) dapat dikategorikan sebagai LSM? Pertanyaan ini mengemuka karena asosiasi yang muncul ketika menyebut kata LSM adalah organisasi-organisasi non-pemerintah yang banyak bergerak di dunia aksi-advokasi massa, sementara kelompok-kelompok umat beragama sepertinya keluar dari lingkup istilah ini. Sebenarnya, dalam hal kenonpemerintahan, majelis/ormas memungkinkan masuknya LSM yang didukung pemerintah (distingsi pemerintah dan non-pemerintah jadi kabur); kata ‘swadaya’ menjadi ganjalan karena faktanya disokong dana dari luar negeri; dan adanya keharusan menjadi sebuah ‘lembaga’ terlebih dahulu (established). 16 Adi Suryadi Culla, op. cit., hlm. 69. 17 Ibid., hlm. 72 19 agama pun dapat dikategorikan sebagai LSM. Namun demikian, sesungguhnya ada perbedaan. Bahwa ormas mencakup seluruh bidang pembangunan, sedangkan LSM lebih khusus “meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial.”18 M. Dawam Rahardjo, yang mengutip Tocquiville, membedakannya dengan menyebut ada empat macam kelompok bentukan masyarakat: organisasi keagamaan yang berpusat di gereja, organisasi masyarakat lokal, organisasi ketetanggaan atau persaudaraan, dan organisasi terkait kewarganegaraan.19 Meski begitu, Azyumardi Azra menyebut ormas seperti NU dan Muhammadiyah, misalnya, dengan sebutan Religious-Based Civil Society.20 Lain halnya dengan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang kini telah ada di 33 provinsi dan di 392 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Di dalam Pasal 1 Butir 6 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006,21 disebutkan definisinya sebagai berikut: Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Maka, FKUB yang merupakan forum (sejenis organisasi) yang dibentuk oleh masyarakat dan beranggotakan pemuka agama (baca: warga masyarakat), dalam hal kenonpemerintahannya memang dapat dikategorikan sebagai ornop/LSM. Ibid., hlm. 69. Lihat M. Dawam Rahardjo, “Tiga Dasar Teori LSM”, dalam Republika, 9 November 1994; seperti dikutip Culla, ibid, hlm. 70. 20 Wawancara-tertulis dengan Azyumardi Azra pada 25 November 2009. 21 PBM itu selengkapnya adalah “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.” PBM inilah yang menjadi landasan pembentukan dan keberadaan FKUB. 18 19 20 Namun demikian, seperti halnya majelis agama, FKUB belum dapat disebut sebagai LSM dalam kategori konteks penelitian ini—selain jikapun dimasukkan LSM maka dikategorikan ‘GoNGO’ (Government NGO) alias ‘LSM plat merah,’ karena aktivitasnya jelas-jelas difasilitasi dan didanai Pemerintah melalui APBN/APBD. LSM dan Konsep Civil Society Seperti diketahui, kajian tentang LSM tidak dapat dipisahkan dari penjelasan tentang hakikat civil society, karena LSM adalah salahsatu bagian penting civil society tersebut. Wacana tentang civil society memang telah berumur lama, bahkan sejak zaman filusuf Yunani dahulu. Berikut ini gambaran rentetan kronologis fase perkembangan pemahaman civil society dari masa ke masa.22 Aristoteles (384-322 SM) memandang civil society sebagai sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri. Pandangan ini merupakan fase pertama sejarah wacana civil society. Tentu saja pandangan ini telah berubah sama sekali dengan rumusan civil society yang berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sipil di luar dan penyeimbang lembaga negara. Mazhab pandangan Aristoteles tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704 M). Pada masa Aristoteles, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike yang dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. 22 Dikutip dan direformulasi dari A. Ubaedillah dan Abdul Rozak (Peny.), op.cit., hlm. 244-248. 21 Berbeda dengan Aristoteles, Marcus Tullius Cicero (10643 SM) menamakannya dengan societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisir. Menurut Thomas Hobbes (1588-1679 M), sebagai entitas negara, civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak, sehingga ia mampu mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Sedangkan John Locke (1632-1704 M), berpendapat, kehadiran civil society adalah untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifatnya yang demikian itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional. Fase kedua, pada tahun 1767, Adam Ferguson mengembangkan wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia. Berbeda dengan pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Pemahamannya ini lahir tidak lepas dari pengaruh dampak revolusi industri dan kapitalisme yang melahirkan ketimpangan sosial yang mencolok. Menurut Ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. la yakin bahwa publik secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentimen moral yang dapat menghalangi munculnya kembali despotisme. Fase ketiga, pada 1792 Thomas Paine mulai memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesa negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya 22 dibatasi. Menurut pandangan ini, negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut mazhab ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna sesuatu masyarakat sipil, semakin besar pula peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri. Menurut Paine, civil society adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan, tanpa intervensi negara. Bahkan, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya. Fase keempat, wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M) dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Dalam pandangan ketiganya, civil society merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Lebih lanjut Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat 3 (tiga) entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan, sedangkan masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Hegel tidak memandang civil society sebagai arena untuk praktik politik yang mengakibatkan monopoli negara. Menurutnya, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan memiliki hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society. Dari pandangan ini, maka intervensi negara terhadap wilayah masyarakat sipil tidaklah dianggap sebagai tindakan ilegal (melanggar hukum) 23 mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal dan hanya pada level negara politik bisa berlangsung secara murni dan utuh. Selain itu, masyarakat sipil memiliki kelemahan yang identik, dimana mereka tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri dan tidak mampu mempertahankan keberadaannya tanpa dukungan keteraturan politik dan ketertundukan pada institusi yang lebih tinggi yang bernama negara. Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas. Lain lagi Antonio Gramsci, ia tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Gramsci meletakannya pada superstruktur yang berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemonik di luar kekuatan negara, aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat. Pandangan Gramsci ini memberikan peran penting kepada kaum cendekiawan sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik. Fase kelima, wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian, yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M). Bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi Amerika, pemikiran Tocqueville tentang civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara dimana pun akan mampu mengimbangi dan 24 mengontrol kekuatan negara. Tocqueville lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun tersubordinasi dari lembaga negara. Pandangan civil society ala Tocquevillian ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga memiliki komitmen terhadap kepentingan publik. Dari kelima fase tersebut di atas, dapatlah kiranya tergambar (terasosiasikan) posisi LSM dalam hubungannya dengan negara (baca: Pemerintah). Fase kelima inilah, yang menempatkan civil society sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara, yang berlaku hingga hari ini. a. Tipologi dan Ideologi LSM Meruyaknya berbagai LSM di Indonesia, secara sekilas, memberi kesan tidak adanya satupun ruang di dalam masyarakat yang tidak diisi oleh salahsatu dari mereka. Terhadap masalah korupsi, misalnya, banyak LSM bergerak, seperti: Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparancy International Indonesia (TII), dan lain sebagainya. Di bidang penegakan HAM lebih banyak lagi, diantaranya: KontraS, ELSAM, IMPARSIAL, Demos, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam hal yang sangat spesifik, misalnya dalam masalah penyelenggaraan haji, penggunaan APBN/APBD, reformasi kepolisian, dan sebagainya. Bak cendawan di musim hujan, semuanya muncul dan bergerak mengawal kerja dan kinerja pemerintah. Di sisi lain, ternyata ada pula beberapa LSM yang terkesan ‘membantu’ peran Pemerintah dalam pelaksanaan program-programnya. LSM jenis ini lebih mengambil posisi sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah, partner atau ‘sahabat’ Pemerintah. Di sisi lain lagi, ada LSM yang terkesan memfasilitasi kepentingan asing dalam kaitannya dengan agenda-agenda mereka di Indonesia. Mereka pun kerap disebut LSM komprador asing. 25 Untuk mendudukkan secara jelas posisi-posisi LSM tersebut dalam kaitannya dengan pilar-pilar demokrasi lainnya, penting menegaskan tipologi dan kategorisasi mereka. Meski hal ini tidak mudah, namun identifikasi dan positioning ini harus dilakukan untuk membantu mendudukkan masalah dan menganalisanya kemudian. Seperti diketahui bahwa sangat sedikit referensi teoretis yang dapat dijadikan acuan analisis tentang LSM di Indonesia. Namun demikian, telah ada beberapa kategorisasi yang telah dilakukan beberapa akademisi. Misalnya pendapat Philip Eldridge23 tentang peta LSM di Indonesia yang mendasarkan pada tiga model pendekatan dalam konteks penjalinan hubungan antara LSM dan Pemerintah. Pertama, "Kerja Sama Tingkat Tinggi: Pembangunan Akar Rumput" (High Level Partnership: Grassroots Development). LSM yang masuk dalam kategori ini seringkali menekankan kerjasama dalam programprogram pembangunan Pemerintah seraya berusaha mempengaruhi rancangan maupun implementasi programprogram ini agar bergerak ke arah yang lebih partisipatoris serta menyentuh dan melibatkan akar-rumput. Kegiatan LSM jenis ini umumnya lebih mengarah pada hal-hal berkaitan langsung dengan proyek pembangunan bersifat teknis ketimbang advokasi ataupun substansi. Kedua, "Politik Tingkat Tinggi: Mobilisasi Akar-Rumput" (High Level Politics: Grassroots Mobilization). LSM dalam kategori ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegiatan politik, mengembangkan gagasan berdasarkan kerangka berpikir teori sosialradikal, aksi kritis terhadap falsafah dan praktik kekuasaan pemerintah (negara), dan maka kemudian LSM kategori ini umumnya tidak melibatkan diri dalam program-program pembangunan pemerintah. Kalaupun melakukan kerja sama, mereka lebih mementingkan peran sebagai pembela masya 23 Philip Eldridge, “Ornop dan Negara” dalam Prisma, No.7, Thn. XVIII, 1989, hlm. 33-55 dalam Adi Suryadi Culla, op.cit. hlm. 74-75. 26 rakat, dan tetap kritis-reaktif terhadap isu-isu kebijakan Pemerintah. Dan ketiga, "Penguatan Akar-Rumput" (Empowerment at the Grassroots). LSM jenis ini biasanya memilih untuk memusatkan perhatian pada usaha "peningkatan kesadaran" dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput. LSM tipe ketiga ini tidak terlalu berminat menjalin kontak dengan pemerintah, dan juga tidak tertarik untuk melakukan aksi-aksi perubahan politik. LSM jenis ini biasanya berusaha menghindari program atau kegiatankegiatan yang mempunyai pretensi politis tertentu. Kategorisasi lain diberikan oleh "Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik",24 yang mendasarkan pada orientasi kegiatan LSM tersebut dan masyarakat basis pendukungnya. Berdasarkan sejarah perkembangannya, kegiatan-kegiatan LSM dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, LSM yang terlibat kegiatan natural sosial (charity) dan berorientasi karikatif. Mereka memberi bantuan kepada kaum miskin, masyarakat yang menderita karena bencana, perang, dan sebagainya. Kedua, LSM yang bergerak dalam kegiatan berorientasi perubahan dan pembangunan (change and development) masyarakat serta pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community development). LSM tipe kedua ini bekerja untuk dan bersama masyarakat dalam periode waktu lebih panjang dengan maksud membantu masyarakat menolong diri sendiri (helping people to help themselves). LSM tipe ini dikenal sebagai LSM Pembangunan atau Developmentalis. Dan ketiga, LSM yang tidak hanya bergerak dalam bidang pelayanan masyarakat, tetapi juga melakukan pembelaan (advokasi). LSM tipe ini melihat masalah yang dihadapi masyarakat tidak hanya bersumber dari mereka sendiri, tetapi juga tidak terlepas dari struktur yang dipaksakan dari luar. LSM tipe ini dikenal sebagai LSM advokasi. 24 Adi Suryadi Culla, op.cit., hlm. 76-77. 27 Kategori lain yang juga dapat dipakai untuk memahami LSM di Indonesia adalah kategori yang dibuat oleh Mansour Fakih25. Berdasarkan konstruksi tipologis paradigma LSM di Indonesia, Mansour Fakih membuat tiga tipologi LSM. Pertama, tipe konformis, yang bekerja berdasarkan paradigma bantuan karitatif. Motivasi utama yang melandasi program dan aktivitas LSM tipe ini adalah menolong rakyat dan membantu mereka yang membutuhkan. Mereka berorientasi proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada. Kedua, LSM tipe reformis, yang mendasarkan pada "ideologi" modernisasi dan developmentalisme. Perlunya meningkatkan "partisipasi" rakyat dalam pembangunan adalah tema utama paradigma itu. Tesis pokok paradigma tersebut adalah bahwa keterbelakangan mayoritas rakyat disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dengan mentalitas, perilaku, dan kultur rakyat. Di tingkat aksi, untuk mencapai tujuan itu, hal terpenting adalah berjuang mempengaruhi pemerintah agar pendekatan dan metodologi yang ditawarkan akan dipakai dan diimplementasikan pemerintah. Ketiga, tipe transformatif, yang mempertanyakan paradigma mainstream serta ideologi yang tersembunyi di dalamnya. Menurut perspektif ini, salahsatu penyebab "masalah" rakyat adalah karena berkembangnya diskursus pembangunan dan struktur yang timpang dalam sistem yang ada. LSM yang menggunakan pendekatan transformatif ini mendasarkan kegiatan pada metodologi transformatif, yaitu proses pendidikan untuk memunculkan kesadaran kritis dan menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan sosial. Kategorisasi lain diberikan oleh M. Nurul Amin.26 Menurutnya, jenis LSM dapat dibagi menjadi dua golongan. Pertama, LSM yang di kalangan aktivis sering dikatakan sebagai 25 26 Ibid, hlm. 77-79. Seperti disebutkan di dalam artikelnya di Harian Umum Bisnis Indonesia, 6 Desember 1994. Informasi ditemukan melalui googling. 28 LSM pelat merah, yakni LSM yang dibentuk atas inisiatif pemerintah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan pada level tertentu. Perannya lebih banyak pada dukungan atas program yang dicanangkan pemerintah dan tentu saja dana berasal dari Pemerintah. Contoh jenis ini antara lain PKK dan Dharma Wanita. Dan kedua, LSM yang dibentuk oleh kalangan yang umumnya berada pada kelas menengah, seperti: intelektual, mahasiswa, ataupun sejumlah orang yang concern pada kesejahteraan masyarakat. Umumnya LSM jenis ini mengambil jarak dan kritis terhadap pemerintah, dan bergerak dengan sokongan dana dari organisasi atau yayasan tertentu di luar atau dalam negeri. Mereka antara lain LBH, Walhi, dan banyak lainnya. Namun banyak juga LSM jenis ini yang cukup akomodatif dengan Pemerintah. Ditambahkan jenis ketiga, yakni LSM yang dibentuk atas dasar ikatan tradisional, seperti perkumpulan-perkumpulan primordial kedaerahan, seperti: Gerakan Masyarakat Jawa Barat (Gema Jabar), Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA), dan sebagainya. b. Profil LSM Kerukunan Sebagaimana disinggung di dalam latar belakang masalah, data pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 menyebutkan, ada sekitar 70.000 buah LSM pada tahun 2000.27 Dalam sumber lain disebutkan data direktori kelompok masyarakat sipil (baca: LSM) yang spesifik membidangi masalah perdamaian dan resolusi konflik yang saat ini mencapai 823 buah.28 Beberapa diantara sekian banyak LSM tersebut teridentifikasi sebagai LSM yang bergerak di bidang kebebasan beragama atau kerukunan beragama, yang dalam kajian ini selanjutnya cukup disebut LSM Kerukunan. Lihat http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/17/pustaka/ diakses pada 19 Juni 2009. 28 Lihat www.direktori-perdamaian.org 27 972516.htm, 29 Labeling LSM Kerukunan didasarkan pada visi dan misi, kiprah, serta program-program unggulan yang dilakukan LSM tersebut, yang bergerak di sekitar masalah kerukunan umat beragama. Jumlahnya saat ini secara common sense cukup banyak, terutama dapat teridentifikasi pada saat muncul suatu kasus keagamaan, seperti Kasus Ahmadiyah beberapa waktu lalu. Namun demikian, penelitian ini hanya akan membatasi LSM kerukunan pada 3 buah LSM saja, yakni The WAHID Institute, SETARA Institute, dan ICRP, yang dinilai telah cukup established dan konsisten di bidangnya. Ketiga LSM Kerukunan ini aktif melakukan kegiatan di bidang-bidang yang terkait dengan agama, mereka juga memiliki wahana informasi di dunia maya yang cukup ter-update dengan baik (setidaknya hingga penelitian ini dilakukan), dan memiliki tradisi penerbitan annual report di bidang kehidupan beragama. The WAHID Institute (WI) 29 The WAHID Institute didirikan secara resmi pada tanggal 7 September 2004 di Hotel Four Seasons, Kuningan, Jakarta. Namun demikian, pergulatan ide pendiriannya sesungguhnya sudah dimulai setahun sebelumnya, sejak didirikannya website Abdurrahman Wahid, yakni: www.gusdur.net pada 17 Agustus 2001, serta peluncuran buku Biografi Gus Dur versi bahasa Indonesia; dan website pribadi Gus Dur versi Inggris pada 3 Juli 2003, di Jakarta. Gusdur memang menjadi sentral, buktinya, selain namanya yang dipakai untuk nama LSM ini, visi yang diusung LSM inipun berbunyi “untuk mewujudkan prinsipprinsip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk membangun pemikiran Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.” Sedangkan misi yang diembannya adalah menyebarkan gagasan Muslim progresif yang 29 Sebagian besar informasi di bagian ini dikutip dari www.wahidinstitute.org, diunduh tanggal 7 September 2009. 30 mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat dunia Islam dan Barat. Struktur Keorganisasian The WAHID Institute digagas oleh K.H. Abdurrahman Wahid, Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy. Sejumlah nama besar berjejer sebagai sesepuh LSM ini, yaitu: K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, dan Wimar Witoelar. Selain itu, ada juga dewan pengawas yang terdiri dari: Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi, dan Prof. Dr. Sue Kenny. Sedangkan di jajaran pengurus harian, posisi direktur dijabat oleh Yenny Zannuba Wahid, dan Ahmad Suaedy sebagai direktur eksekutif. Keduanya dibantu oleh sejumlah staf, yaitu: Ainun Chomsun, Gamal Ferdhi, Widhi Cahya, M. Subhi Azhari, Rifa Ilyasa, Nurul Huda Ma'arif, dan Du'aa. Selain itu, ada juga dua tenaga outsource, yaitu: Christopher Paul Holm (editor copy), dan Arif Hakim Budiawan (translator). Ada juga yang dinamakan “rekanan”, yang terdiri dari: Siane Indriani, Priya Sembada, KH. Hussen Muhammad, Rm. Benny Susetyo, JH Wenas, Acep Zamzam Noer, M. Syafiq Hasyim, Farha Ciciek, A. Rumadi, Marzuki Wahid, Bisri Effendy, Trisno S. Sutanto, M. Jadul Maula, M. Imam Aziz, Abdul Moqsith Ghazali, Masykur Maskub, Hikmat Budiman, dan Mufti Makarim al-Akhlaq. LSM yang mendapat funding dari The Asia Foundation ini beralamat di Jl. Taman Amir Hamzah No. 8, Jakarta 10320. Nomor telepon 021-3928233, 021-3145671, dan nomor faks 021 31 3928250. Di dunia maya, dapat dikunjungi di alamat: www.wahidinstitute.org dan www.gusdur.net, dan untuk berkirim surat elektronik melalui: [email protected] dan [email protected]. Program Untuk merealisasikan visi dan misi tersebut di atas, sejumlah program telah dibuat. Besaran program dimaksud adalah kampanye islam, pluralisme dan demokrasi; penerbitan dan perpustakaan; capacity building untuk jaringan muslim progresif; dan pendidikan. Diantara turunan programnya antara lain adalah:30 1. Kampanye Pemikiran Islam Progresif dan Pluralisme melalui: www.wahidinstitute.org, sisipan majalah, sisipan surat kabar, bulletin (NAWALA), newsletter, dialog televisi, talkshow radio, index isu pluralisme di Indonesia (MIoRI dan Annual Report), penerbitan buku, kampanye Islam damai di mancanegara, membangun komunitas informal, promosi budaya pesantren, seminar/diskusi, kunjungan rutin informal ke tokoh agama Islam lokal. 2. Pendidikan Kelas Ushul Fiqh Progresif, terdiri dari: Kelas “Islam dan Pluralisme”, Pelatihan Creative Writing, dan Pemberian Beasiswa Riyanto. 3. Perpustakaan, terdiri dari: digitalisasi dokumentasi, dan penambahan koleksi buku dengan tema buku: Islam, demokrasi dan pluralisme. 4. Advokasi dan penguatan masyarakat akar rumput 30 Lihat, Lampiran Laporan Tahunan The WAHID Institute 2008, Pluralisme Beragama dan Berkeyakinan, “Menapaki Bangsa yang Kian Retak”, Jakarta: The WAHID Institute dan TIFA Foundation, 2009, hlm. 125. 32 Khusus mengenai program-kegiatan The WAHID Institute di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, antara lain sebagai berikut:31 1. Memfasilitasi dialog para pemimpin agama di atas (kalangan elit) dan di bawah (grassroot) 2. Memfasilitasi kaum muda untuk berdialog di antara mereka melalui berbagai cara terutama event budaya dan sosial, dan juga kerja bareng dalam masyarakat, bukan hanya muda tapi juga kalangan tua. Di samping dalam bidang ekonomi dan sosial, juga dalam kesenian dan budaya lainnya. 3. Melakukan riview secara berkesinambungan terhadap berbagai UU dan peraturan lainnya, baik yang mendorong maupun menghalangi kerukunan antar umat beragama. 4. Melakukan pemantauan, pendataan, analisis dan briefing secara publik tentang berbagai problem dan pengalaman pemecahan masalah melalui berbagai penerbitan (buku, leaflet, artikel, website) tentang situasi mutakhir, dan rekomendasi yang perlu dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, politisi, dan lain-lain. 5. Bersama-sama dengan jaringan lain melakukan advokasi bagi korban yang kontra kerukunan beragama. Dari paparan visi, misi, dan program The WAHID Institute di atas, tampak peran besar LSM ini yang turut mendukung upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. 31 Wawancara-tertulis dengan A. Suaedy, Direktur Eksekutif the WAHID Institute, 17 Desember 2009. 33 SETARA Institute32 SETARA Institute didirikan tahun 2006 oleh sekumpulan individu yang peduli pada promosi gagasan dan praksis pluralisme, humanitarian, demokrasi, dan hak asasi manusia, yang bersifat perorangan dan suka rela. Para pendiri itu adalah Abdurrahman Wahid, Ade Rostiana S., Azyumardi Azra, Bambang Widodo Umar, Bara Hasibuan, Benny K. Harman, Benny Soesetyo, Bonar Tigor Naipospos, Budi Joehanto, Damianus Taufan, Despen Ompusunggu, Hendardi, Ismail Hasani, Kamala Chandrakirana, Luhut MP Pangaribuan, M. Chatib Basri, Muchlis T, Pramono Anung W, Rachlan Nashidik, Rafendi Djamin, R. Dwiyanto Prihartono, Robertus Robert, Rocky Gerung, Saurip Kadi, Suryadi A. Radjab, Syarif Bastaman, Theodorus W. Koerkeritz, dan Zumrotin KS. Mereka adalah orang-orang yang peduli pada penghapusan atau pengurangan diskriminasi dan intoleransi atas dasar agama, etnis, suku, warna kulit, gender, dan strata sosial lainnya serta peningkatan solidaritas atas mereka yang lemah dan dirugikan. SETARA Institute didedikasikan bagi pencapaian cita-cita di mana setiap orang diperlakukan setara dengan menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan bertujuan memuliakan manusia. SETARA Institute percaya bahwa suatu masyarakat demokratis akan mengalami kemajuan apabila tumbuh saling pengertian, penghormatan dan pengakuan terhadap keberagaman. Namun, diskriminasi dan intoleransi masih terus berlangsung di sekitar kita bahkan mengarah pada kekerasan. Karena itu langkah-langkah memperkuat rasa hormat atas keberagaman dan hak-hak manusia dengan membuka partisipasi yang lebih luas diharapkan dapat memajukan demokrasi 32 Dikutip dari www.setara-institute.org 34 dan perdamaian. SETARA Institute mengambil bagian untuk mendorong terciptanya kondisi politik yang terbuka berdasarkan penghormatan atas keberagaman, pembelaan hakhak manusia, penghapusan sikap intoleran dan xenophobia. Visi dan Misi Visi organisasi ini adalah mewujudkan perlakuan setara, plural dan bermartabat atas semua orang dalam tata sosial politik demokratis. Visi ini ditopang oleh sejumlah nilai luhur, yakni: kesetaraan, kemanusiaan, pluralisme, dan demokrasi. Untuk mencapai visi tersebut, organisasi ini mengemban misi: (a) mempromosikan, pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia; (b) melakukan studi dan advokasi kebijakan publik di bidang pluralisme, humanitarian, demokrasi dan hak asasi manusia; (c) melancarkan dialog dalam penyelesaian konflik; dan (d) melakukan pendidikan publik. Struktur Keorganisasian Di dalam struktur Dewan Nasional, Azyumardi Azra menjabat sebagai ketua, Benny Soesetyo sebagai sekretaris, dengan anggota: Kamala Chandrakirana, M. Chatib Basri, dan Rafendi Djamin. Sedangkan di jajaran Badan Pengurus, ketua dijabat oleh Hendardi, dengan wakil ketua Bonar Tigor Naipospos, dan sekretaris R. Dwiyanto Prihartono, serta Wakil Sekretaris Damianus Taufan. Bendahara dijabat Ade Rostina Sitompul, dan Ismail Hasani menjabat sebagai Manager Program. Program Diantara program unggulan yang dilakukan SETARA adalah berbagai kajian dan penelitian terkait toleransi dan kebebasan beragama, yang pada akhir tahun atau pada suatu 35 periode tertentu diterbitkan dan di-publish dalam situsnya (www.setara-institute.org), baik berupa Annual Report (Laporan Tahunan) maupun laporan penelitian topik tertentu. Ditambahkan Ismail Hasani, Direktur Program SETARA Institute,33 diantara program yang berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama antara lain: 1. Secara rutin menerbitkan laporan-laporan tentang kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia, yang berbasis data pemantauan di berbagai daerah. SETARA berpandangan bahwa kerukunan otentik dan genuine harus dibangun di atas landasan pengakuan dan penghormatan terhadap berbagai agama/keyakinan. Kerukunan yang didesain dengan paksa, dipastikan hanya melahirkan kerukunan semu yang mudah terkoyak. Pengalaman selama masa Orde Baru adalah pelajaran berharga bahwa kerukunan yang digambarkan dalam bentuk trilogi kerukunan kenyataannya nihil. Dengan laporan yang diterbitkan, SETARA Institute berharap ada peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya toleransi. Laporan juga mengarahkan rekomendasi praktis dan strategis bagi pemerintah untuk memperkuat toleransi. 2. Hal lain yang dilakukan adalah menggelar diskusi-diskusi publik untuk membangun pemahaman bersama tentang penghormatan atas hak beragama/berkeyakinan. Pada tahun 2008, misalnya, menggelar 10 diskusi di 10 kota. Sedangkan di tahun 2009 dilakukan 12 diskusi di 12 kota. Dari paparan visi, misi, dan program di atas, tampak peran SETARA Institute yang juga turut mendukung upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. 33 Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 36 ICRP 34 ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) adalah sebuah organisasi berbadan hukum yayasan yang bersifat nonsektarian, non-profit, non-pemerintah dan independen yang bergerak di bidang interfaith dan dialog agama-agama. Dibidani kelahirannya oleh para tokoh antar agama, ICRP berusaha menyebarkan tradisi dialog dalam pengembangan kehidupan keberagamaan yang humanis dan pluralis di tanah air. Para tokoh itu diantaranya ialah Djohan Effendi, Siti Musdah Mulia, dan Sudhamek AWS. Dalam kepengurusan 2003-2006 juga tercantum nama wakil-wakil kelompok agama/kepercayaan, seperti Rm Ig Ismartono SJ (Katolik), KH. Abdul Muhaimin (Islam), Pdt. Yudho Purowidagdo (Kristen Protestan), KS Lindasari Wiharja (Khonghucu), dan P. Djatikusumah (Kepercayaan Adat Sunda Wiwitan).35 Jauh sebelum diresmikannya ICRP pada 12 Juli 2000 oleh Presiden RI Abdurrahman Wahid, upaya-upaya dialog lintas agama sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Semenjak berdirinya, upaya mentradisikan dialog yang terbangun sebelumnya senantiasa dipertahankan oleh ICRP. Selain itu, ICRP turut aktif pula berkontribusi dalam pengembangan studi perdamaian dan resolusi konflik. ICRP menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga keagamaan dan antar-iman maupun individu sebagai bagian dari pengembangan dialog antaragama serta semangat penghargaan atas realitas perbedaan keyakinan di masyarakat. Selain itu, ICRP juga turut aktif berjejaring dengan lembaga-lembaga yang concern memperjuangkan pluralisme dan perdamaian untuk melawan ketidakadilan sistem sosial, gender, HAM dsb. 34 35 Bagian ini dikutip dari: www.icrp-online.org St. Sularto, “Mencari Model Hubungan Antarkelompok,” H.U. Kompas, 26 Oktober 2007. 37 Program Untuk mencapai tujuannya, ICRP didukung oleh 6 bidang kerja: Bidang Advokasi dan Jaringan, Bidang Pendidikan dan Pelatihan, Bidang Penelitian dan Pengembangan, Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi, Bidang Perempuan & Agama dan Bidang Pemuda.36 1. Bidang Advokasi dan Jaringan. Bidang ini melakukan program kerja: Memediasi dialog antar tokoh-tokoh agama dan kepercayaan dan antara pemuka agama & kepercayaan dengan pemerintah dalam kerangka perjuangan hak-hak kebebasan berkeyakinan dan studi perdamaian di Indonesia; mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan organisasi maupun individu yang peduli atas berbagai isu agama untuk perdamaian; melakukan advokasi atas kasus-kasus kekerasan atas nama agama; dan melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk memperjuangkan kebijakan propluralisme dan perdamaian dalam kehidupan lintas agama di Indonesia. 2. Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Program kerjanya yaitu: menyelenggarakan pelatihan dalam kerangka pengembangan wacana interfaith, rekonsiliasi, pluralisme dan perdamaian; menyelenggarakan pendidikan kuliah agamaagama bekerja sama dengan perguruan tinggi maupun lembaga lain yang memiliki visi-misi serupa; memfasilitasi diskusi untuk pengembangan wacana interfaith dan pluralisme di kalangan komunitas agama, aktivis dan masyarakat luas; dan menyelenggarakan pendidikan perdamaian untuk kalangan akademisi, praktisi dan pegiat pendidikan di tiap tingkatan. 3. Bidang Penelitian dan Pengembangan. Bidang ini memiliki program kerja: melakukan studi/penelitian untuk mema 36 Ibid. 38 hami dinamika pluralisme iman/agama di Indonesia; mengembangkan jaringan (networking) penelitian bertema interfaith; merumuskan rekomendasi bagi perubahan kebijakan (policy reform) dalam memperkuat pluralisme agama/iman; dan membangun database bertemakan pluralisme agama/iman. 4. Bidang Informasi, Komunikasi & Publikasi. Diantara programnya ialah: mengelola penerbitan majalah (interfaith magazine), buku, website dan lainnya sebagai wahana publikasi dan komunikasi-informasi seputar dinamika pluralisme dan perdamaian di Indonesia; mengembangkan dan mengelola perpustakaan sebagai pusat dokumentasi dan informasi agama untuk perdamaian; mendokumentasikan berbagai informasi relevan tentang dinamika pluralisme di Indonesia; dan mengkomunikasikan aktivitas dan perjuangan interfaith pada khalayak melalui berbagai media yang relevan. 5. Bidang Perempuan dan Agama. Program kerjanya yaitu: mengampanyekan prinsip kesadaran dan kesetaraan gender pada tiap lini kehidupan terutama dalam kerangka lintas iman; mendorong penekanan gender mainstreaming dalam setiap aktivitas dan kebijakan internal maupun eksternal lembaga; mengadvokasi kebijakan yang pro-keadilan dan kesetaraan gender; dan mengembangkan jaringan dan kerjasama dengan lembaga maupun individu pemerhati masalah perempuan. 6. Bidang Pemuda. Bidang ini memiliki program: membangun kesadaran pluralisme di kalangan generasi muda melalui berbagai aktivitas; melaksanakan rangkaian kegiatan terpadu untuk pengembangan wacana pluralisme dan perdamaian di kalangan generasi muda; mengelola kegiatan lintas iman yang berorientasi pada pengembangan pemuda untuk perdamaian; dan memfasilitasi pemberdayaan 39 jaringan kemitraan di kalangan generasi muda untuk mengembangkan pemahaman pluralisme di Indonesia. Selain itu, ditambahkan oleh Djohan Effendi,37 yang terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama, diantara halhal yang dilakukan ICRP yaitu: 1. Menghimpun pribadi-pribadi yang “concern” dan punya komitmen terhadap masalah kerukunan umat beragama. 2. Menggalang masyarakat sipil untuk memperjuangkan kebebasan berkeyakinan. 3. Membela dan memperjuangkan kelompok-kelompok minoritas yang hak kebebasan berkeyakinan mereka diperkosa. 4. Mengingatkan kalangan penguasa bahwa tanggung jawab konstitusional mereka untuk menegakkan konstitusi termasuk kebebasan berkeyakinan. Dari paparan di atas, tampak ICRP juga memiliki peran yang cukup besar dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Memahami Pemerintah Paradigma Pemerintah Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam. Untuk mewujudkan dan melayani kepentingan warga negaranya, Pemerintah melakukan berbagai langkah dan upaya terencana dan sistematis. Langkah dan upaya itulah yang 37 Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. 40 dinamakan pembangunan. Sementara itu, pembangunan juga merupakan paradigma yang biasa dipakai oleh negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang yang baru bangkit pasca Perang Dunia II. Kata ini sejalan dengan teori developmenttalisme atau modernisasi di Barat. Tetapi kata ‘pembangunan’ di Indonesia telah disalahartikan dengan lebih politis, yakni ketika masa Orde Baru, dimana kata itu seakan-akan telah diakuisisi sebagai trademark pemerintahannya. Maka dikenallah REPELITA dan PELITA lima tahunan itu. Dikatakan Mansour Fakih: Sejak tahun 1967, pemerintahan militer di Indonesia di bawah Soeharto menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow ini dan menjadikannya landasan pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang terkenal dengan Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Dengan demikian, selama pemerintahan Orde Baru, Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan teori pembangunan kapitalistik yang bertumpu pada ideologi dan teori modernisasi dan adaptasi serta implementasi teori pertumbuhan itu.38 Hingga saat ini Indonesia masih terus membangun. Meski tanpa PELITA dan GBHN, Pemerintah tetap membuat rencana capaian pembangunan yang dikenal dengan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang dibuat lima tahunan. Untuk merealisasikan rencana tersebut, Pemerintah sangat memerlukan adanya stabilitas sosial, politik dan keamanan nasioanal. Stabilitas tersebut merupakan prasyarat adanya pembangunan. Karena tanpa adanya keamanan, misalnya, Pemerintah tidak dapat membangun infrastruktur dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan masyarakat. Demikian pula, tanpa keamanan, investor asing yang ingin turut membangun negeri tidak dapat berinvestasi. 38 Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002. Hlm. 57 41 Singkat kata, paradigma yang dianut Pemerintah adalah paradigma pembangunan, yang untuk ini sangat mempersyaratkan adanya stabilitas sosial, politik, dan keamanan masyarakat. Stabilitas tersebut dapat terejawantah dengan adanya keteraturan melalui berbagai peraturan perundangan dan kebijakan Pemerintah, demi ketenteraman dan ketertiban. ‘Pemerintah’ dalam Konteks Dalam penelitian ini, Pemerintah diwakili oleh 4 institusi, yaitu: Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung RI. Keempat institusi ini perlu dikenali, tertutama pada tugas, fungsi, visi, misi, dan program kegiatannya untuk melihat gambaran tentang perannya dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Berikut profil mereka. Departemen Agama Bagian dari aparat pemerintah yang membidangi masalah agama adalah Departemen Agama. Departemen ini dipimpin oleh seorang Menteri Agama, seorang Sekretaris Jenderal dan sejumlah Eselon I, yakni: Direktur Jenderal Bimbingan Agama Islam, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Kristen, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Katolik, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Hindu, Direktur Jenderal Bimbingan Agama Buddha, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh, dan Kepala Badan Litbang dan Diklat. Departemen Agama pusat berkantor di Jalan Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta Pusat. Beberapa eselon I dan II berada di luar komplek kantor pusat ini, yakni Pusat Kerukunan Umat Beragama yang berkantor di Jl. Kramat Raya, Jakarta; Badan Litbang dan Diklat yang berkantor-sementara di Gd. Bayt Al-Qur’an Komplek TMII Jakarta Timur; dan Inspektorat Jenderal Departemen Agama yang berkantorsementara di Jl. Cipete Raya, Jakarta Selatan. Dua yang terakhir 42 ini semula berkantor-tetap di Jl. M.H. Thamrin (gedung lama Departemen Agama), namun kantor tersebut saat ini sedang dalam proses renovasi. Tugas dan Fungsi Departemen ini mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang keagamaan, dan memiliki fungsi menyelenggarakan hal-hal berikut: 1. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang keagamaan; 2. Pelaksanaan urusan Pemerintah di bidang keagamaan; 3. Pengelolaan barang milik/kekayaan Negara; 4. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang pembinaan kehidupan keagamaan; dan 5. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang pelaksanaan tugas dan fungsi Departemen kepada Presiden. 39 Visi dan Misi Adapun visi yang diusung Departemen Agama, sebagaimana ditegaskan di dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 8 Tahun 2006, adalah “terwujudnya masyarakat Indonesia yang taat beragama, maju, sejahtera, dan cerdas serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Untuk mewujudkan visi tersebut, dibuat sejumlah misi (yang juga termuat di dalam PMA yang sama), sebagai berikut: 1. Meningkatkan kualitas bimbingan, pemahaman, pengamalan, dan pelayanan kehidupan beragama; 2. Meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan; 3. Meningkatkan kualitas pendidikan umat beragama; 4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan haji; 5. Memberdayakan umat beragama dan lembaga keagamaan; 6. Memperkokoh kerukunan umat 39 Selengkapnya tugas pokok dan fungsi diatur di dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. 43 beragama; dan 7. Mengembangkan keselarasan pemahaman keagamaan dengan wawasan kebangsaan Indonesia. Program terkait Kerukunan Umat Beragama Departemen Agama menegaskan dua kebijakan besar dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, yaitu: (1) Memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah kerukunan umat beragama (KUB), dan (2) Memberikan ramburambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama. Sejalan dengan tugas-fungsi serta visi-misi di atas, Departemen Agama juga melakukan sejumlah kegiatan yang mengejawantahkan harapan dan misi tersebut. Diantara program-program yang berkaitan dengan upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah sebagai berikut: 1. Peningkatkan pemahaman keagamaan yang moderat; 2. Perubahan paradigma pendekatan dalam membangun kerukunan antar umat beragama dari pendekatan formal, struktural menjadi pendekatan humanis-kultural; 3. Penanganan daerah konflik; 4. Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); 5. Orientasi pemberdayaan tenaga rekonsiliasi; 6. Peningkatan wawasan multikultural bagi para guru agama; 7. Peningkatan wawasan kerukunan bagi para penyiar agama; 8. Perkemahan pemuda lintas agama; dan 9. Temu karya pemuda lintas agama40 Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mendorong kerukunan umat beragama, adalah sebagai berikut:41 1. Memperkuat landasan/dasar-dasar (aturan/etika bersama) tentang kerukunan internal dan antar umat beragama Lihat, Pemaparan (slide) berjudul “Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, yang disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Prof. DR. HM. Atho Mudzhar, dalam berbagai acara/seminar terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama. 41 Ibid. 40 44 2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi yang ideal untuk menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi 3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama 4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilainilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia 5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementtatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilainilai Ketuhanan 6. Mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap unsur dan lapisan masyarakat 7. Menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh karena itu hendaknya hal ini dapat dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama. Departemen Dalam Negeri Berkantor di Jl. Medan Merdeka, Departemen Dalam Negeri dipimpin oleh seorang Menteri Dalam Negeri, dengan seorang Sekretaris Jenderal, dan sejumlah eselon I, seperti Direktur Jenderal Otonomi Daerah, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik. Terkait dengan LSM, pada Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri ini terdapat Direktorat Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan dan Politik, lebih spesifik lagi, Sub Direktorat Fasilitasi Organisasi Keagamaan dan LSM, yang memiliki tugas dan fungsi 45 salahsatunya melakukan pendataan, pembinaan, dan pengawasan terhadap ormas-ormas keagamaan dan LSM-LSM.42 Departemen Dalam Negeri mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang urusan dalam negeri. Fungsi-fungsi yang diampunya adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang urusan dalam negeri dan otonomi daerah; b. Pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pelayanan administrasi Departemen; c. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan serta pendidikan dan pelatihan tertentu dalam rangka mendukung kebijakan di bidang urusan dalam negeri dan otonomi daerah; d. Pelaksanaan pengawasan fungsional. Visi dan Misi Visi yang ingin dicapainya adalah “terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik, sistem politik yang demokratis, pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat dalam wadah NKRI.” Adapun misi yang diembannya adalah menetapkan kebijaksanaan nasional dan memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya : 1. Memelihara dan memantapkan keutuhan NKRI; 2. Memelihara ketentraman dan ketertiban umum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara: 3. Memantapkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan yang desentralistik;. 42 Wawancara dengan Drs. Denty Ierdan, Kasubdit Fasilitasi Ormas Keagamaan dan LSM, pada 20 Desember 2009. 46 4. Memantapkan pengelolaan keuangan daerah yang efektif, efisien, akuntabel dan auditabel; 5. Memantapkan sistem politik dalam negeri yang demokratis dalam negara kesatuan republik indonesia; 6. Meningkatkan keberdayaan masyarakat ekonomi, sosial budaya, dan politik; dalam aspek 7. Mengembangkan keserasian hubungan pusat-daerah, antar daerah dan antar kawasan, serta kemandirian daerah dalam pengelolaan pembangunan secara berkelanjutan dan berbasis kependudukan. Selain visi dan misi tersebut, Departemen Dalam Negeri juga menetapkan strategi dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Strategi dimaksud adalah menetapkan kebijaksanaan nasional dan memfasilitasi penyelenggaraan pemerintahan dalam upaya: 1. Menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Memantapkan efektifitas pemerintahan daerah; 3. Memberdayakan masyarakat; 4. Mengembangkan keserasian hubungan pusat-daerah serta keserasian antar daerah dan antar kawasan; dan 5. Memelihara ketentraman dan ketertiban umum dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Program Strategis Kemudian, mengacu pada visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan, Departemen Dalam Negeri menetapkan 13 program strategis yang terbagi atas 8 program utama dan 5 program penunjang. Yang termasuk program utama adalah: 1. Program penguatan integrasi nasional; 2. Program pengembangan manajemen perlindungan dan ketentraman masyarakat, serta ketertiban umum; 3. Program fasilitas dan pemantapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah; 4. Program pemantapan pengelolaan keuangan daerah; 5. Program pengembangan kelembagaan dan sistem politik 47 demokratis: 6. Program peningkatan keberdayaan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan: 7. Program pembinaan pembangunan daerah dan wilayah; dan 8. Program pengembangan dan pembinaan administrasi kependudukan. Sedangkan program penunjang, adalah: 1. Program pengembangan kerjasama internasional; 2. Program pembinaan dan penegakan hukum serta peningkatan kepemerintahan yang baik; 3. Program penelitian dan pengembangan pemerintahan dan politik dalam negeri; 4. Program peningkatan kapasitas SDM aparatur; dan 5. Program peningkatan kelembagaan pengelolaan sumber daya alam dan konservasi lingkungan. 3. Kepolisian Negara Republik Indonesia43 Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah kepolisian nasional di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Unsur pimpinan Mabes Polri adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), yang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Wakil Kapolri (Wakapolri), serta sejumlah unsur pembantu pimpinan dan staf pelaksana. Visi dan Misi Polri yang mampu menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang selalu dekat dan bersama-sama masyarakat, serta sebagai penegak hukum yang profesional dan proposional yang selalu menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia, pemelihara keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera. 43 Informasi utama pada bagian ini diambil dari situs resmi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang beralamat di: www.polri.go.id dan ensiklopedia bebas www.wikipedia.com. 48 Adapun misi Polri adalah sebagai berikut: 1. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace) sehingga masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis; 2. Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat (law abiding citizenship); 3. Menegakkan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan; 4. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia; 5. Mengelola SDM Polri secara profesional dalam mencapai tujuan Polri yaitu terwujudnya keamanan dalam negeri sehingga dapat mendorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat; 6. Meningkatkan upaya konsolidasi ke dalam (internal Polri) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri ke depan; 7. Memelihara soliditas institusi Polri dari berbagai pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi; 8. Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan NKRI; dan 9. Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang berbhineka tunggal ika. Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Polri tersebut di atas, telah ditetapkan sasaran yang hendak dicapai, yaitu: a. Di bidang kamtibmas: tercapainya situasi kamtibmas yang kondusif bagi penyelenggaraan pembangunan nasional; terciptanya suatu proses penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan, bebas KKN dan menjunjung tinggi hak azasi manusia; terwujudnya aparat penegak hukum yang memiliki integritas dan kemampuan profesional yang tinggi serta mampu bertindak tegas adil dan berwibawa; kesadaran 49 hukum dan kepatuhan hukum masyarakat yang meningkat yang terwujud dalam bentuk partisipasi aktif dan dinamis masyarakat terhadap upaya Binkamtibmas yang semakin tinggi; dan kinerja Polri yang lebih profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sehingga disegani dan mendapat dukungan kuat dari masyarakat untuk mewujudkan lingkungan kehidupan yang lebih aman dan tertib. a. Bidang keamanan dalam negeri: tercapainya kerukunan antar umat beragama dalam kerangka interaksi sosial yang intensif serta tumbuhnya kesadaran berbangsa guna menjamin keutuhan bangsa yang ber Bhineka Tunggal Ika; dan tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kejaksaan Republik Indonesia44 Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI 44 Informasi utama pada bagian ini diambil dari situs resmi Kejaksaan Republik Indonesia, yang beralamat di: www.kejaksaan.go.id 50 sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004). Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Visi dan misi Visi dan misi Kejaksaan tercantum di dalam Instruksi Jaksa Agung RI No: INS-002/ A/JA/1/2005 tentang Perencanaan Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan RI tahun 2005. Visi yang diusung Kejaksaan tersebut adalah "Mewujudkan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam negara hukum berdasarkan Pancasila.” Sedangkan misi yang diemban sebagai upaya untuk mencapai visi tersebut di atas, adalah: 1. Menyatukan tata pikir, tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum 51 2. Optimalisasi pemberantasan pelanggaran HAM KKN dan penuntasan 3. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Tugas dan Wewenang Berdasarkan Pasal 30 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, berikut adalah tugas dan wewenang Kejaksaan: 1. Di bidang pidana, yaitu: melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus, dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: peningkatan kesadaran hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengawasan peredaran barang cetakan; pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; dan penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. 52 Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tanggal 15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem), Jaksa Agung bertindak sebagai koordinator dalam pengawasan aliran kepercayaan masyarakat. Tim ini beranggotakan perwakilan dari Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kementerian Budaya dan Pariwisata, BIN, Kepolisian, dan Kejaksaan sendiri. Dalam kaitan Bakor Pakem inilah Kejaksaan terkait erat dengan upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dari paparan 4 profil instansi Pemerintah di atas, dapat diketahui bahwa keempatnya memiliki tugas, fungsi, dan wewenang serta peran dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia—yang merupakan bagian penting dari kerukunan nasional. Keempat instansi ini pada pelaksanaannya kerap menyatu dalam satu label: Pemerintah. 53 54 BAB III HUBUNGAN LSM KERUKUNAN DAN PEMERINTAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Kerjasama LSM-Pemerintah T elah banyak kerjasama yang pernah dilakukan antara LSM dengan Pemerintah di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama. Beberapa contoh kerjasama itu diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Departemen Agama (Badan Litbang dan Diklat; dan Pusat Kerukunan Umat Beragama) telah melaksanakan sejumlah kerjasama dengan sejumlah ormas dan LSM dalam menyosialisasikan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006. Beberapa partner kerjasama itu ialah: Lembaga Kerukunan Umat Beragama (LKUB) Jakarta. 2. Departemen Agama juga telah dua kali melakukan Dialog Kebangsaan yang bekerjasama dengan LSM Front Persatuan Nasional (FPN), di Jakarta. 3. Departemen Agama (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) telah bekerjasama dengan LSM lokal di Cirebon bernama Center for Economic and Population Studies (CEPoS), untuk melakukan pelatihan kader perdamaian untuk wilayah III Cirebon, yang bertempat di Kuningan pada awal Desember 2009. 4. Departemen Dalam Negeri (Ditjen Kesbangpol) telah beberapa kali melakukan kerjasama dengan beberapa LSM sejak tahun 2004 hingga 2009 dalam kegiatan “Pengembangan Wawasan Kebangsaan dan Cinta Tanah Air.” 55 Meski sejumlah kerjasama telah pernah dilakukan dengan berbagai ormas dan LSM sebagaimana tertera di atas, namun kerjasama serupa belum dapat dilakukan dengan beberapa LSM lainnya, seperti dengan 3 LSM yang diangkat profilnya di dalam penelitian ini. The WAHID Institute, misalnya, mengaku belum pernah melakukan kerjasama dalam suatu program-bersama atau suatu kegiatan bersama. Meski demikian, sebatas mengundang wakil pemerintah sebagai peserta, pernah dilakukan. Berikut penuturan Ahmad Suaedy, Direktur Eksekutif The WAHID Institute:45 ”Kerjasama dengan MoU belum pernah (dilakukan, pen), tetapi berusaha bersinergi, selalu. Misalnya, ketika mengadakan kegiatan mengundang dari pegawai Depag atau MUI, atau pejabat lainnya seperti Depdagri dan parlemen”. Demikian juga dengan SETARA Institute, sebagaimana dikatakan Ismail Hasani, Direktur Program SETARA,46 belum pernah melakukan kerjasama dengan Pemerintah. Dikatakan Ismail: ”Kerjasama institusional belum pernah. Tapi pelibatan secara informal baik mengundang sebagai narasumber atau peserta lokakarya pernah dilakukan. SETARA juga melibatkan institusi pemerintah dalam hal pendokumentasian kasus-kasus kebebasan beragama yang telah kami lakukan selama 3 tahun terakhir. Relasi yang selama ini terbangun adalah bahwa SETARA adalah lembaga pemantau yang memantau dan menghasilkan rekomendasi. Diharapkan pemerintah bisa menjalankan rekomendasi masyarakat sipil”. Senada dengan kedua hal tersebut, Djohan Effendi, mantan ketua ICRP, mengatakan lembaganya belum pernah bekerjasama dengan Pemerintah, seraya mengajukan kritik 45 46 Wawancara pada 17 Desember 2009. Wawancara pada 25 November 2009. 56 kepada Pemerintah yang menganggapnya tidak mau melihat ICRP sebagai mitra. Dikatakannya:47 ”Belum pernah (dilakukan kerjasama dengan Pemerintah, pen.), sebab kalangan Pemerintah, khususnya Departemen Agama, agaknya tidak memandang ICRP sebagai mitra”. Selain interaksi dalam bentuk kerjasama sebagaimana digambarkan di atas, sering pula terjadi interaksi yang saling berhadapan antara LSM dengan Pemerintah, terutama terjadi di aras wacana. Hal-hal seperti ini biasanya terjadi pada saat terjadi suatu kasus yang memperhadap-hadapkan suatu kebijakan Pemerintah dengan kepentingan ‘sebagian’ warga masyarakat. Dalam posisi ini, LSM kerapkali menjadi ‘advokat’nya sebagian kalangan masyarakat itu. Untuk menunjukkan gambaran kondisi interaksiberhadapan tersebut, kasus penanganan masalah Ahmadiyah di Indonesia beberapa waktu lalu, layak untuk dijadikan contoh. Sebagaimana diketahui, di saat menjelang dan pasca diterbitkannya SKB tentang Ahmadiyah,48 beberapa LSM bersama sebagian warga masyarakat yang seaspirasi, melakukan berbagai langkah untuk mencegah rencana Pemerintah mengeluarkan SKB untuk menangani Kasus Ahmadiyah tersebut. Sebuah aliansi luas dan longgar AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) yang terdiri atas 70 kelompok agama dan LSM, misalnya, melakukan beberapa kali demonstrasi dan aksi penggalangan opini massa menolak SKB Pembubaran Ahmadiyah. Sebetulnya, dalam konteks penanganan masalah Ahmadiyah tersebut, pihak-pihak yang berhadapan secara fisik 47 48 Wawancara pada 6 Desember 2009. Selengkapnya SKB itu berjudul Surat Keputusan Bersama (SKB) Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tanggal 9 Juni 2008. 57 adalah massa yang pro dengan yang kontra pembubaran Ahmadiyah. Pemerintah sendiri tidak berada di salahsatu blok yang bertentangan tersebut, melainkan netral. Pemerintah berkali-kali menegaskan posisinya yang tidak memihak, karena bagi Pemerintah, kasus Ahmadiyah bukan mengenai sesat atau tidaknya sesuatu aliran, melainkan faktor terganggunya ketertiban masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Agama saat itu, Muhammad M. Basyuni, sebagai berikut: “Bagi Pemerintah, masalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia mempunyai dua sisi. Pertama, Ahmadiyah adalah penyebab lahirnya pertentangan dalam masyarakat yang berakibat terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat. Sisi kedua, warga JAI adalah korban tindakan kekerasan sebagian masyarakat. Kedua sisi ini harus ditangani Pemerintah.” 49 Kemudian terkait penerbitan SKB tentang Ahmadiyah tersebut, Muhammad M. Basyuni pun kembali menegaskan: “SKB itu bukanlah bentuk intervensi Pemerintah terhadap keyakinan warga masyarakat, melainkan upaya Pemerintah untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang”.50 Dalam suatu kesempatan, meski dalam konteks lain, Dr. Ir. Suhatmansyah, Direktur Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan dan Orpol, Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri, juga menegaskan posisi Pemerintah dalam hubungannya dengan agama. Dikatakannya: “Pemerintah tidak masuk pada masalah agama, karena itu hak asasi. Negara (hanya) mengatur hubungan antar agama”.51 Penjelasan Menteri Agama RI (saat itu), Muhammad M. Basyuni, pada pertemuannya dengan para Duta Besar Negara-negara Uni Eropa yang berkunjung ke ruang kerjanya pada 10 Juli 2008. 50 Ibid. 51 Diucapkannya pada suatu wawancara di dalam program berita Redaksi Pagi TransTV, Minggu, 13 Desember 2009 Pkl. 06.40 wib. 49 58 Sementara itu, interaksi-berhadapan antara LSM dan Pemerintah terjadi di aras wacana, terutama menjelang dan pasca diterbitkannya SKB tersebut. Sejumlah LSM, misalnya, melansir sikapnya mengenai kebijakan Pemerintah itu melalui laporan tahunannya dan berbagai press-release. Salahsatunya adalah The WAHID Institute, yang seakan menjawab penegasan Menteri Agama di atas, membuat pernyataan dalam Laporan Tahunan-nya,52 sebagai berikut: “Munculnya SKB ini merupakan buah dari desakan massa yang menuntut pemerintah membubarkan Ahmadiyah. Bahkan, SKB ini dikeluarkan persis di hari ketika ribuan pengunjuk rasa anti Ahmadiyah berdemonstrasi di depan istana. SKB ini juga tidak dapat dilepaskan dari upaya pemerintah, dalam hal ini kepolisian, untuk menangkap Munarman sebagai tersangka tragedi Monas.” “Terlepas dari situasi tersebut ada hal substansial yang bisa dilihat. SKB ini secara eksplisit mengakui, perdebatan tentang Ahmadiyah adalah soal tafsir agama. Hal itu sebagaimana tercantum dalam poin dua. Di sana ada kata “menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya”. Sejauh menyangkut tafsir agama, sebenarnya pemerintah tidak punya urusan untuk melakukan pemihakan. Tafsir agama adalah bagian dari hak beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa dikriminalisasi. Karena itu, dengan SKB itu sebenarnya pemerintah sudah terjebak pada pemihakan soal tafsir agama”. Demikian juga SETARA Institute, menolak SKB dengan merekomendasikan hal berikut dalam Laporan Tahunannya:53 The Wahid Institute bekerjasama dengan Yayasan TIFA, Laporan Tahunan The Wahid Institute 2008, Pluralisme Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Menapaki Bangsa yang Kian Retak, Jakarta:. 10 Desember 2008, dan di-publish secara luas melalui website: www.wahidinstitute.org. 53 SETARA Institute, Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Jakarta, 2009, dan di-publish secara luas melalui website: www.setara-institute.org. 52 59 “Presiden harus mencabut SKB Pembatasan Ahmadiyah, karena secara formal dan substansial kebijakan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan termasuk dan yang utama bertentangan dengan konstitusi. SKB juga telah secara nyata mengeskalasi pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di tahun 2008”. Pendapat-pendapat ini dan sejumlah kritik lainnya terkait kebijakan-kebijakan Pemerintah di bidang agama, dibuat dan dipublikasikan secara luas melalui jaringan internet yang mereka miliki. Demikian juga sebagian kritik ini didiseminasikan melalui buku cetakan dan acara seminar atau workshop yang cukup massif dilakukan. The WAHID Institute, misalnya, telah menerbitkan buku berjudul Kala Fatwa Jadi Penjara (2006) dan Politisasi Agama dan Konflik Komunal, Beberapa Isu Penting di Indonesia (2007), yang ditulis oleh Ahmad Suaedy dan kawan-kawan.54 Sedangkan SETARA sudah 22 kali menggelar diskusi di 22 kota di Indonesia, pada dua tahun terakhir ini. Selain itu, sejumlah laporan penelitian dan buletin berkala pun mereka terbitkan dan publikasikan ke masyarakat luas. Secara wacana, Pemerintah sesungguhnya sebagai pihak yang sedang dikritik dan diserang. Namun Pemerintah lebih sering melayaninya dengan ‘mendengar aspirasi’ dan memberikan penjelasan-penjelasan yang bersifat ‘menjelaskan’ daripada mengalamatkan pada satu persatu pendapat ataupun kritik itu. Misalnya, ketika SKB Ahmadiyah yang diterbitkan Pemerintah dituduh sebagai pemihakan tafsir agama dan melanggar konstitusi, Pemerintah menjawabnya dengan mengeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB)55 yang menjelaskan Buku-buku itu adalah: Ahmad Suaedy, dkk, Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006) dan Ahmad Suaedy, dkk, Politisasi Agama dan Konflik Komunal, Beberapa Isu Penting di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007). 55 Selengkapnya SEB itu berjudul: Surat Edaran Bersama (SEB) Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Nomor: SE/SJ/1322/2008, Nomor: 54 60 tentang posisi SKB terhadap keyakinan seseorang, dan terhadap hukum/konstitusi. Bahwa di dalam Bagian B angka 1 tentang Kedudukan Hukum SKB, butir a dan b, dijelaskan kesesuaian-kesesuaian kedudukan hukum SKB dengan beberapa pasal dalam UUD 1945 (Amandemen) dan UU No.1/PNPS/1965. Demikian juga dalam butir c, dijelaskan bahwa: SKB ini bukanlah intervensi Pemerintah terhadap keyakinan seseorang, melainkan upaya Pemerintah sesuai kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang untuk menjaga dan memupuk ketentraman beragama dan ketertiban bermasyarakat yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran paham keagamaan menyimpang. Begitu pula, pada saat beberapa pihak menggugat PBM No.9 dan 8 Tahun 2006 karena dinilai masih kurang jelas dan multitafsir, maka Pemerintah mengeluarkan “Buku Tanya Jawab PBM,” yang menjawab dan menjelaskan pertanyaanpertanyaan yang ada di masyarakat tersebut. Demikianlah, interaksi-berhadapan (dalam bentuk perang wacana) ini pun sesungguhnya adalah sebentuk kerjasama dengan peran masing-masing yang saling berhadapan. Meski terkadang kondisi ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat yang kurang dapat memahaminya, namun dengan proses ini aspirasi masyarakat bisa tersampaikan, dan Pemerintah menjadi lebih bijak dan tidak sewenang-wenang dalam pengambilan keputusan. Interaksi-berhadapan itu bukan suatu rekayasa-konspiratif, melainkan suatu fitrah atau kewajaran SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, Nomor: SE/119/921.D.III/ 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008; Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008; Nomor: 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tanggal 6 Agustus 2008. Lihat Buku Sosialisasi SKB, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, 2008. 61 alamiah dalam suatu percaturan antara ‘eksekutor’ dan ‘evaluator; antara pihak yang diberi otoritas untuk membuat kebijakan, dengan pihak pengontrol sekaligus yang akan menjadi objek kebijakan; antara Pemerintah dan masyarakat (termasuk di dalamnya LSM). Beberapa ‘Kerikil’ Hubungan LSM-Pemerintah Hubungan kerjasama ataupun interaksi-berhadapan sebagaimana diulas di atas, memang tidak selamanya baik. Beberapa ‘kerikil’ yang mengendala kesediaan bekerjasama atau mengerasnya aksi-reaksi di antara keduanya, kerap ditemukan. Kendala itu ada yang bersifat ideologis, politis, maupun sebatas kesalahfahaman (psikologis). Secara ideologis, kedua pihak yakni LSM dan Pemerintah, berpijak pada dua ideologi-paradigmatis yang berbeda. LSM, dengan ideologi kritisnya, by nature didirikan sebagai balancing atau counterpart bagi Pemerintah yang memeluk ‘ideologi pembangunanisme’. Ideologi Pemerintah ini tidak lepas dari posisi Indonesia sebagai negara di dunia ketiga (negara berkembang) yang tengah dengan serius terus membangun dan menata kehidupan bangsa yang lebih baik. Untuk tujuan itu, Pemerintah memerlukan stabilitas sosialpolitik. Di lain sisi, LSM terus ‘merecoki’ (baca: mengkritisi) Pemerintah agar tidak berlaku sewenang-wenang atas nama pembangunan, dalam satu dan lain hal, melabrak kepentingan masyarakat. LSM, misalnya, secara ideologis-politis mengeritik paradigma yang dipakai Pemerintah dalam menangani hal pembangunan di bidang agama, sebagaimana disampaikan The WAHID Institute, sebagai berikut: “Ada hal yang mendasar yang harus didiskusikan terlebih dahulu sebelum menilai tindakan Pemerintah, yaitu terutama tentang persepsi negara dan pemerintah atas agama dan harmonisasi antara konstitusi dengan perundang-undangan 62 yang berkaitan dan berbagai aturan lainnya. Pemerintah pada umumnya masih mengikuti UU dan aturan yang tidak sejalan dengan konstitusi, meskipun ada niat baik untuk melakukannya. Selanjutnya, usaha-usaha itu juga masih terlalu dekat dengan kepentingan politik (kekuasaan) sehingga seringkali terjebak hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini terjadi terutama di daerah. Pemerintah juga sering tidak memperhatikan berbagai pemikiran di luar pemerintah, dan mencurigai inisitif masyarakat terutama kalangan NGO sebagai akan menganggu pemerintah, terutama di daerah. Pemerintah, seperti di sektor lain, seperti penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, perlu menjalin dan bersinergi dengan masyarakat.”56 Hal senada dikemukakan Ismail Hasani dari SETARA Institute, yang mempertanyakan paradigma ‘pengaturan’ yang dipakai Pemerintah, sebagai berikut: “Dalam pandangan kami, pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat yang dilakukan oleh pemerintah belum berpijak pada paradigma yang tepat. Matematika jumlah umat dalam hal intensitas pemberian layanan, jelas bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Semetara dalam hal pengaturan, SETARA Institute memandang bahwa pengaturan dalam hal jaminan beragama/berkeyakinan harus direvisi atau bahkan dicabut karena tidak lagi sesuai dengan Konstitusi. Kekurangan utamanya adalah pada paradigma ‘pengaturan’ agama bukan pada penjaminan kebebasan beragama. Selama paradigma ini tidak berubah, maka catatan dan kritik atas peran pemerintah tetap akan muncul”.57 Adapun Djohan Effendi, mantan ketua ICRP, melihat ketiadaan visi, kebijakan, dan program yang jelas yang dipakai Pemerintah dalam pengembangan kebijakan kerukunan umat beragama. Dikatakannya:“Masih kurang dan belum mempu- 56 57 Wawancara-tertulis dengan A. Suaedy pada 17 Desember 2009. Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 63 nyai visi, kebijakan dan program yang jelas untuk pengembangan kerukunan hidup umat beragama.”58 Di sisi lain, interaksi LSM-Pemerintah tidak jarang terganggu oleh ditemukannya kenyataan dimana integritas dan akuntabilitas beberapa LSM yang mulai dipertanyakan. Kenyataan bernada kendala-psikologis ini, misalnya, adanya kekurangpercayaan masyarakat (dan Pemerintah) atas ketulusan misi yang diemban oleh suatu LSM. Bahwa ‘perjuangan’ LSM yang mendampingi/mengadvokasi masyarakat melawan Pemerintah terkadang dianggap sebagai pesanan kepentingan asing yang notabene menjadi donornya. Terkait ini, menarik menyimak otokritik yang disampaikan Ridwan Al-Makassary ketika ia mengobservasi integritas dan akuntabilitas LSM vis a vis donor asing. Dikatakannya: “Sejak tahun 1970-an, kalangan LSM benar-benar menikmati “surga” aliran dana tersebut dengan mudah (easy money). Karenanya, mereka sering dituding menjadi perpanjangan tangan donor asing. Bahkan, ada asumsi bahwa LSM-LSM tersebut bekerja untuk mendukung agenda donor asing ketimbang menunaikan kepentingan domestik. LSM menjual kemiskinan, menjual negara, agen-agen kapitalis adalah di antara aneka tuduhan dari pihak pemerintah atau pihak-pihak yang merasa gerah dengan agenda LSM. Situasi ini tidak jarang merepotkan para aktivis LSM, terutama dalam menegosiasikan agenda-agenda sosial politik yang diperjuangkannya. Kesulitannya adalah bagaimana LSM meyakinkan pihak dalam negeri bahwa agenda mereka bebas dari campur tangan pihak asing”.59 Kecurigaan inilah salahsatunya yang kerap membayangbayangi kalangan masyarakat tertentu ataupun Pemerintah ketika hendak bekerjasama dengan LSM: bagaimana meya 58 59 Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. Ridwan al-Makassary, “Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat: Beberapa Observasi”, Working Paper, dalam http://www. interseksi.org/publications/essays/articles/akuntabilitas_lsm.html. 64 kinkan bahwa agenda kerja LSM adalah murni ‘perjuangan’ dan bukan ‘order’ pihak asing. Terlebih, kebanyakan LSM menggunakan donor asing untuk keberlanjutan finansialnya, sebagaimana penelitian Rustam Ibrahim pada tahun 2005 yang menemukan data dari 25 LSM yang ditelitinya bahwa mayoritas responden (65%) mengandalkan sumber bantuan luar negeri, dan hanya 35% yang menggunakan sumber dana dalam negeri.60 Selain itu, adanya beberapa (oknum) LSM yang menyimpang turut memperburuk citra LSM karena sebagian masyarakat pada akhirnya melakukan generalisasi. Ada empat bentuk aktivisme LSM yang menyimpang—menurut observasi LP3ES: “Pertama, LSM yang memiliki tautan yang kuat dengan lingkar kekuasaan, terutama dalam aktivitas dukung mendukung calon pejabat di berbagai level. Kedua, LSM yang sengaja dibentuk untuk memperebutkan atau menampung proyek pemerintah (daerah). Kehadiran LSM ini untuk menyahuti peluang kebijakan berbagai negara-negara donor yang mensyaratkan peran serta masyarakat dalam proyek pembangunan. Umumnya LSM ini dibentuk atau melibatkan pegawai Pemda setempat bersama kroninya. Ketiga, LSM yang bertujuan untuk meraih keuntungan ekonomi dengan berkedok LSM yang melakukan kegiatan investigasi, mengkritik dengan pendekatan wachtdog, namun ujung-ujungnya transaksi money politics digelar di belakang layar. Keempat, ada kelompok yang mengidentikkan diri sebagai LSM, yang justru mengabsahkan tindak kekerasan dan anarkhi”.61 Dalam Ridwan Al-Makassary, “Akuntabilitas LSM,” ibid, mengutip Hamid Abidin, “Transparansi dan Akuntabilitas LSM: Problem dan Ikhtiar”, dalam Hamid Abidin dan Mimin Rukmini (ed), Kritik dan Otokritik LSM: Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: PIRAC, Ford Foundation dan Tifa, 2004, h. 66. 61 Ibid. 60 65 Kritik lain disampaikan Azyumardi Azra, yang masih melihat resistensi terhadap LSM dari sebagian kelompok masyarakat. Dikatakannya: LSM-LSM ini telah memainkan peran penting dalam pemeliharaan dan pemberdayaan kerukunan beragama. Hanya saja mereka cenderung elitis dan dicurigai kelompok-kelompok literal dan garis keras Muslim, yang menganggap mereka sebagai terlalu ‘liberal’ dan ‘pluralis’.62 Dari gambaran di atas, ‘kerikil-kerikil’ di sekitar hubungan LSM-Pemerintah memang ada dan dapat mengendala terjadinya kerjasama-sinergis. Namun hal ini bukan berarti kerjasama itu tidak dapat dilakukan. Upaya sinergi, saling mendekat-tapiberjarak, tampaknya telah mulai dilakukan. Upaya Sinergi Dapatkah LSM dan Pemerintah bersinergi dalam upaya pemeliharaan kerukunan? Jawabannya, sangat mungkin bisa. Sekali lagi, upaya saling mendekat-tapi-berjarak tampaknya telah mulai dilakukan. Meski beranjak dari paradigma dan ideologi yang berbeda, LSM dan Pemerintah nampaknya bersepakat bahwa kerukunan umat beragama adalah tujuanbersama. Aura kesalahfahaman pun mulai sirna. Meski demikian, meraka tetap ‘berjarak’ karena by nature posisi masing-masing harus tetap independen. Menarik mencermati pernyataan Ahmad Suaedy dari the WAHID Institute yang biasanya menggunakan bahasa ‘beritaburuk’ dalam mengkritik Pemerintah. Dikatakannya: ”Kami sering berbeda pendapat (dengan Pemerintah, pen.) dan sering mengkritik, tetapi itu tidak berarti menganggap Pemerintah tidak penting. Justeru kami anggap penting karena itu kami terus melakukan counterpart, apakah dengan kerjasama atau mengkritik. Contohnya, tentang FKUB tersebut. Namun kami tanpa kerjasama langsung, kami melakukan penguatan 62 Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. 66 terhadap para aktivis FKUB di daerah mengingat peran mereka penting jadi perlu empowering kepada mereka. Dan di berbagai daerah, pengurus FKUB menjadi bagian dari jaringan WI. Kami senang jika Pemerintah bersedia bekerja sama untuk memperbaiki bersama”.63 Ditambahkan Suaedy, mengenai langkah-langkah yang seharusnya dilakukan oleh the WAHID Institute dan Pemerintah dalam upaya-bersama memelihara kerukunan, yakni: ”Pertama, harus ada kajian bersama secara teratur dan berkesinambungan tentang berbagai kendala, baik UU, aturan maupun fenomena sosial politik. Lalu dilahirkan semacam rekomendasi untuk diantarkan ke berbagai lembaga yang berkaitan. Kedua, perumusan isu dan langkah-langkah strategis, serta berbagi tugas dan jika dimungkinkan kerjasama dalam hal-hal tertentu; dan ketiga, evaluasi berkelanjutan secara bersama, sehingga bisa introspeksi masing-masing. Dan dari sana bisa saling memperbaiki diri dan juga perbaikan terhadap strategi, program, dan sebagainya.”64 Adapun Djohan Effendi, meski berpendapat bahwa yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah Presiden dan Menteri Agama, namun secara jelas menegaskan pentingnya kerjasama LSM-Pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dikatakannya: “Kedua-duanya (LSM dan Pemerintah, pen.) perlu bekerja sama, mendialogkan masalah-masalah kerukunan hidup umat beragama. Kalangan Departemen Agama jangan memandang sebelah mata terhadap organisasi-organisasi dan lembagalembaga lintas iman. Mestinya mereka diperlakukan sebagai mitra kerjasama.”65 Azyumardi Azra, dalam kapasitasnya sebagai pakar civil society dan pemerhati LSM, berpendapat tentang perlunya meningkatkan hubungan dan komunikasi antara LSM dan Wawancara-tertulis pada 17 Desember 2009. Ibid. 65 Wawancara-tertulis pada 6 Desember 2009. 63 64 67 Pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dikatakannya: “Seharusnya Pemerintah, khususnya Departemen Agama, menjalin hubungan dan komunikasi yang workable dengan semua LSM advokasi maupun religious-based civil society; karena Pemerintah tidak memiliki kapasitas memadai untuk mengembangkan kerukunan umat beragama. Tanpa keterlibatan mereka, usaha Pemerintah tidak bakal berhasil baik”.66 Searah dengan itu, Ade Syukron Hanas, peneliti pada Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Jakarta, yang banyak mengkaji masalah civil society, yang juga seorang aktivis suatu LSM, berpendapat senada dengan menekankan pentingnya saling percaya dan adanya kesetaraan. Dikatakannya: “Dalam era kenegaraan sekarang, pola hubungan antara State dan NGO bukan lagi vis a vis, tapi perlu ditingkatkan pada level “saling mengisi dan membantu.” Tentu saja hal ini perlu adanya kepercayaan antara dua pihak, dan posisi yang sejajar”.67 Pemerintah nampaknya kini sudah berkenan menjalin kerjasama dengan LSM, terbukti dari dilibatkannya wakil LSM dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah, atau bahkan menyerahkan programnya untuk dikerjasamakan dengan LSM-LSM yang relevan atau beririsan dengan tugas dan fungsinya. Selain faktor tumbuhnya kesediaan bekerjasama itu, hemat penulis, kini jajaran birokrasi pemerintahan banyak diisi oleh orang-orang mantan aktivis LSM. Maka, kerjasama ke arah sinergi menjadi sangat mungkin dilakukan. Dengan demikian, sinergi antara LSM kerukunan dan Pemerintah telah mulai terjalin, baik dengan LSM-LSM yang ‘kontra’ Pemerintah, lebih-lebih LSM-LSM yang ‘ramah’ 66 67 Wawancara-tertulis pada 25 November 2009. Wawancara-tertulis pada 5 Desember 2009. 68 dengan Pemerintah. Sinergi itu dilakukan dalam bentuk kerjasama-langsung maupun interaksi-berhadapan. Dalam upaya mewujudkan sinergi dalam kerjasama antara LSM dan Pemerintah, Diah Y. Rahardjo68 menyebutkan ada beberapa prinsip kerjasama yang patut diperhatikan pada proses perencanaannya. Pertama, membangun kepercayaan dan komunikasi yang baik. Berbagai cara dapat dilakukan, diantaranya mencari orang kunci yang dipandang cukup arif dan dapat menerima perbedaan dan membuka komunikasi. Kedua, adalah menerima perbedaan atau pluralisme. Tekanan dalam prinsip perbedaan adalah kesefahaman bahwa masing masing pihak berdiri pada posisi masing masing. Ketiga, kejelasan dalam peran dan keterwakilan dalam bekerjasama. Prinsip ini harus dimulai dan diperjelas dalam awal kerjasama, siapa akan berperan apa dan siapa akan mewakili siapa. Keempat, kesetaraan dalam posisi dan struktur sosial. Kelima, kesepakatan terhadap etika kerjasama. Berkaitan dengan kerjasama yang akan dibangun dengan LSM, etika ini sebaiknya dibangun bersama dan dicantumkan secara tertulis. Dan keenam adalah kejelasan dalam mekanisme tanggung gugat. Prinsip ini juga ditanamkan untuk mulai memikirkan mekanisme pada tanggung gugat publik pada program pengembangan masyarakat. 68 Diah Y. Raharjo, “Membangun Kemitraan dengan Organisasi Non-Pemerintah dalam Program Community Development”, dalam Bambang Rudito, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development, (Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development/ICSD), 2003, hlm. 86-91. 69 70 BAB IV ANALISA eran LSM dan Pemerintah dalam pemeliharaan kerukunan dapat dilihat secara nyata dari paparan visi dan misi, juga sejumah program masing-masing mereka--seperti dapat diidentifikasi dari paparan profil mereka di atas. Peran-peran itu secara sekilas seperti bersinggungan dalam saling beririsan pada titik-titik tertentu. Berikut ini matriks perbandingan profil peran keduanya, untuk melihat titik-sama dan titik-bedanya. P Tabel 2 Matriks Titik-temu/Perbandingan Profil/Peran LSM-Pemerintah Hal Cuplikan Visi LSM … mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agamaagama, multikulturalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia …(WI) mewujudkan perlakuan setara, plural & bermartabat atas semua orang dalam tata sosial politik demokratis. (SETARA) menyebarkan tradisi dialog dalam pengembangan kehidupan keberagamaan yang humanis dan pluralis di tanah air. (ICRP) menyebarkan gagasan Muslim progresif yang mengedepankan toleransi dan saling pengertian di masyarakat dunia Islam dan Barat. (WI) Pemerintah … serta saling menghormati antar sesama pemeluk agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam wadah NKRI.” (Depag) … sistem politik yang demokratis, pembangunan daerah & pemberdayaan masyarakat dlm wadah NKRI. (Dpdagri) ... mewujudkan keamanan dalam negeri dalam suatu kehidupan nasional yang demokratis dan masyarakat yang sejahtera. (Polri) Memperkokoh kerukunan umat beragama. (Depag) 71 melancarkan dialog dalam penyelesaian konflik (SETARA) memperjuangkan pluralisme dan perdamaian untuk melawan ketidak-adilan sistem sosial, gender, HAM (ICRP) Cuplikan Program Memfasilitasi dialog para pemimpin agama di atas (kalangan elit) dan di bawah (grassroot). (WI) Menggelar diskusi-diskusi publik untuk membangun pemahaman bersama tentang penghormatan atas hak beragama/berkeyakinan. (SETARA) Mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan organisasi maupun individu yang peduli atas berbagai isu agama untuk perdamaian. (ICRP) WI mengadakan “Workshop Penguatan Kapasitas bagi Para Pemuka Agama dan Dewan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Berbasis Toleransi” Memelihara Ketenteraman dan Ketertiban Umum dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. (Depdagri) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan normanorma dan nilai-nilai yang berlaku. (Polri) mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi yang ideal untuk menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi. (Depag) Program penguatan integrasi nasional (Depdagri) Tercapainya kerukunan antar umat beragama dalam kerangka interaksi sosial yang intensif (Polri) Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum (PAKEM): pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. (Kejaksaan) Dari matriks di atas, tergambar adanya peran-peran dan sekaligus titik-titik temu pada tataran tujuan yang ingin dicapai baik oleh LSM maupun Pemerintah, dalam upaya pemeliharaan kerukunan. Titik temu itu diantaranya, baik LSM maupun Pemerintah menginginkan terwujudnya keamanan, ketertiban, kerukunan, perdamaian, kehidupan yang lebih demokratis, toleransi antarumat beragama, saling pengertian, 72 dialog dan kerjasama. Memang, cara dan strategi yang dilakukan untuk meraih keinginan itu terkadang berbeda atau bahkan berhadapan-diametris dan juga kerapkali ‘terganggu’ oleh adanya kendala-kendala hubungan di antara keduanya. Namun demikian, peran-peran itu tetap terlaksana dan menjadi kontribusi tersendiri bagi upaya pemeliharaan kerukunan. Kemudian, untuk memahami peran dan hubungan antara keduanya, matriks tipologi LSM berikut ini akan sangat membantu mendudukkan posisi dan bentuk hubungan itu. Tabel 3 Matriks Tipologi LSM Versi Tipologi LSM Philip Eldridge Tim LP3ES Mansour Fakih M. Nurul Amin Tipe I Kooperatif-terlibat dengan Pemerintah "Kerja Sama Tingkat Tinggi: Pembangunan Akar Rumput" LSM Developmentalis Tipe Reformis LSM Plat Merah Tipe II Kooperatif-tak terlibat dengan Pemerintah "Penguatan AkarRumput" LSM Karitatif Tipe Konformis LSM Kedaerahan(?) Tipe III Non-kooperatif, kritis terhadap Pemerintah "Politik Tingkat Tinggi: Mobilisasi AkarRumput" LSM Advokasi Tipe Transformatif LSM Kritis Untuk LSM tipe I, hubungan yang terjadi adalah hubungan kooperatif-terlibat antara LSM dan Pemerintah. LSM dapat bekerjasama atau bahkan turut mendukung programprogram pembangunan yang diemban oleh Pemerintah. Pembiayaan kerjasama ini biasanya berasal dari Pemerintah. Kerjasama ini dapat terjadi karena sifat dan karakter LSM Tipe I yang compatible dengan ideologi Pemerintah atau sifat apolitik yang dimilikinya. Kondisi relasi autonomous benign neglect, facilitation/promotion, dan bahkan collaboration cooperation terjadi disini. 73 Untuk LSM tipe II, hubungan yang terjadi adalah kooperatif-tak terlibat dengan Pemerintah. Tipe ini jelas-jelas apolitis dan lebih melihat suatu kerjasama dibutuhkan karena urgensitas substantif. Misalnya, karena kondisi gempa, bencana banjir, dan sebagainya, maka kerjasama antar pihak dilakukan, tanpa ada pretensi dan tendensi tertentu diantara keduanya, selama karitas yang diunggulkan. Kondisi relasi facilitation/ promotion, dan collaboration cooperation tampak menonjol dalam konteks ini. Sedangkan untuk LSM tipe III, hubungan yang terjadi adalah non-kooperatif dan kritikal terhadap Pemerintah. Karakter LSM tipe ini adalah politis, advokatif, transformatif, kritis, bahkan kadang-kadang radikal. Kondisi relasi Cooptation/ Absorbtion dan Containment/Sabotage/Dissolution nampak disini. Kerjasama dalam konteks LSM tipe III ini lebih bersifat tesaantitesa-sintesa. Bahwa LSM selalu berupaya mendekonstruksi apapun kebijakan pemerintah, untuk terimbanginya kekuatanotoritatif pemerintah, agar tidak menjadi otoritarian. Jadi, sesungguhnya tetap bekerjasama meski dalam posisi berhadapan. Lalu, bagaimana sinergi dapat dilakukan? Masih menggunakan tipologi di atas, maka terhadap tipe I dan II, kerjasama-sinergis dapat dilakukan dengan fasilitasi kerjasama ataupun pelibatan. Kesamaan visi menjadi acuan. Sedangkan bagi LSM tipe III, kerjasama-sinergis dapat dilakukan dengan menjadikannya sparring-partner yang mutualistis. Pemerintah, dalam suatu topik/masalah tertentu, dapat mengundang LSM jenis ini untuk menyerap berbagai aspirasi dan harapanharapannya, dan kemudian menjadikannya sebagai bahan koreksi ataupun masukan (sejenis second opinion) bagi proses pengambilan kebijakan yang akan dilakukan. 74 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan D ari pemaparan yang cukup panjang di atas, dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. LSM maupun Pemerintah, dalam posisinya masing-masing, telah cukup berperan di dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari visi, misi, program, dan kiprah nyata LSM dan Pemerintah tersebut, yang telah mengarah secara nyata pada upaya pemeliharaan kerukunan tersebut. 2. Pola hubungan yang terjadi antara LSM dan Pemerintah di dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama, secara garis besar ada dua. Pertama, kerjasama-langsung yang berupa pelibatan dan pendelegasian program. Dan kedua, interaksi-berhadapan yakni berupa sparring partner yang saling mengoreksi dan melengkapi satu sama lain. 3. Sinergi antara LSM dan Pemerintah dapat dilakukan. Adapun bentuk-bentuk sinergi itu antara lain dengan: perumusan agenda dan pembagian kerja sesuai kapasitasnya; kerjasama-teknis pelaksanaan suatu programbersama, pelibatan dalam suatu proses pengambilan keputusan, dan lain-lain. B. Saran Beberapa saran dapat disampaikan, sebagai berikut: 1. LSM maupun Pemerintah perlu terus meningkatkan perannya dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama, 75 dengan variasi program kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan senantiasa mengusahakan kerjasama-sinergis dalam pelaksanaannya. 2. Baik LSM maupun Pemerintah sebaiknya mengedepankan titik-temu tujuan, dan strategi-cara mewujudkannya yang dapat menghormati posisi masing-masing. Adanya perbedaan dasar pijakan dan paradigma, hendaknya dikalahkan oleh pentingnya ketercapaian tujuan yang hampir bersamaan itu. Dalam konteks pemeliharaan kerukunan umat beragama, misalnya, tujuan terciptanya ketertiban dan kerukunan masyarakat harus diprioritaskan. 3. Dalam melaksanakan kerjasama, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip: membangun kepercayaan dan komunikasi yang baik, menerima perbedaan atau pluralisme, kejelasan dalam peran dan keterwakilan dalam bekerjasama, kesetaraan dalam posisi dan struktur sosial, kesepakatan terhadap etika kerjasama, dan kejelasan dalam mekanisme tanggung gugat. 76 DAFTAR PUSTAKA Buku Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Badan Litbang dan Diklat, Buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, tanggal 9 Juni 2008. Jakarta: 2009 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: 1999, cet. X. Culla, Adi Suryadi, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2006. Eldridge, Philip, “Ornop dan Negara dalam Prisma, No.7, Thn. XVIII, 1989, hlm. 33-55 dalam Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2006). Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar, 2002). _____ , Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. 77 Raharjo, Diah Y., “Membangun Kemitraan dengan Organisasi NonPemerintah dalam Program Community Development”, dalam Bambang Rudito, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development, (Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development/ICSD, 2003) Rudito, Bambang, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development, (Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development/ICSD, 2003) SETARA Institute, Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Jakarta:, 2009. The WAHID Institute dan TIFA Foundation, Pluralisme Beragama dan Berkeyakinan, “Menapaki Bangsa yang Kian Retak”, Laporan Tahunan The WAHID Institute 2008, Jakarta:, 2009. Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak (Peny.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006). Situs Internet http://www2.kompas.com/kompas--etak/0404/17/pustaka/972516.htm, diakses 19 Juni 2009. www.wikipedia.com, dengan kata kunci “NGO”. www.lp3es.or.id www.direktori-perdamaian.org www.wahidinstitute.org, diunduh tanggal 7 September 2009. www.setara-institute.org www.icrp-online.org http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/akuntabilitas_lsm.html . 78 Lain-lain Mudzhar, M. Atho, “Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, slide pemaparan yang disampaikan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, dalam berbagai acara/seminar terkait pemeliharaan kerukunan umat beragama. Solihin, Dadang, “Format Hubungan dan Kerjasama Pemerintah, Media, serta Private Sector dengan NGO dalam Penguatan Civil Society,” slide pemaparan dalam Program Pacivis-NGO-Management Certificate, di FISIP-UI Depok, 17 Maret 2006, diunduh dari www.4shared.com, atau www.dadangsolihin.com. -o0o- 79 80 TRADISI DAN VARIAN KEAGAMAAN KOMUNITAS BETAWI DI TANGERANG BANTEN Oleh: Wakhid Sugiyarto TRADISI DAN VARIAN KEAGAMAAN KOMUNITAS BETAWI DI TANGERANG BANTEN Wakhid Sugiyarto BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang E tnis Betawi adalah salah satu etnis di Indonesia yang mendiami wilayah Jakarta dan sekitarnya. Jumlah etnis ini sekitar 22 % di Jakarta, 40 % di Tangerang, 30 % di Depok dan 30% di Bekasi. Menurut Yasmine Zaki Sahab, etnis Betawi ini terbentuk sekitar awal abad yang lalu yang didasarkan atas penelitian sejarawan Australia, Lance Castle. Pada awal abad ini, kesadaran masyarakat sebagai Betawi belum mengakar. Menurut Parsudi Suparlan, komunitas ini sadar sebagai Betawi adalah sejak tahun 1923 M. Husni Thamrin, tokoh Betawi mendirikan “Perkoempoelan Kaoem Betawi” yang membangkitkan kebanggaan etnis Betawi dan menyadari dirinya sebagai orang Betawi. Etnis Betawi ini pada mulanya merupakan komunitas dominan di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Seiring dengan modernisasi kota dalam bentuk pembangunan ibukota dan sekitarnya maupun perubahan tata ruang kota, mengakibatkan terjadi perubahan komposisi penduduk dan penggunaan lahan. Perubahan komposisi penduduk itu 81 karena adanya migrasi penduduk terus menerus hingga hari ini. Modernisasi kota ini telah menempatkan Jakarta dan sekitarnya sebagai kota yang paling menjanjikan bagi masyarakat pedesaan dan mendorong terjadinya migrasi tetap maupun musiman. Perubahan tata ruang tersebut telah mendesak dan menggusur tidak saja komunitas urban dari kampungkampung kumuh, tetapi juga secara pelan tetapi pasti menyingkirkan dan mendorong komunitas Betawi ke pinggiran kota atau luar kota, seperti; Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang. Akhirnya komposisi penduduk di wilayah sekitar Kota Jakarta juga berubah. Jumlah komunitas Betawi menjadi lebih banyak dari pada sebelumnya, termasuk di Kota Tangerang. Meskipun modernisasi telah terjadi, komunitas Betawi memiliki ketahanan atau afinitas luar biasa dalam mempertahankan tradisi, baik tradisi sosial maupun tradisi keagamaan. Tradisi sosial diperlihatkan dalam bentuk solidaritas yang kuat antar mereka, terutama ditunjukkan dalam pesta-pesta yang berkaitan dengan daur hidup masyarakat atau ketika kepentingan bersama terancam oleh kelompok lain. Kasus sering terjadinya keributan di pasarpasar tradisional antara pedagang Betawi dengan Madura di Kebayoran Lama, Kramatjati, Tanah Abang, Mangga Dua, Grogol, Cikokol, Bekasi dan sebagainya, adalah karena adanya kesadaran kolektif kepentingan bersama mereka berkaitan dengan tempat usaha. Dalam tradisi keagamaan, etnis Betawi kuat memegang tradisi, yang mungkin juga berbeda dengan tradisi keagamaan kaum santri tradisional di Jawa. Hal ini terlihat misalnya dalam setiap upacara daur kehidupan, hampir selalu melibatkan kesenian Betawi yang berbau agama. Jenis 82 kesenian Betawi yang bercorak dan dipengaruhi agama sangat beragam, Seolah tidak ada budaya lain yang datang mendesak. Mereka tetap menjalankan tradisi keagamaanya. Tradisi itu dikemas lebih baik sehingga tidak kehilangan daya tarik untuk terus dipertahankan. Seluruh tradisi keagamaan itu begitu dijaga kuat oleh kalangan tua maupun muda secara turun temurun. Di kalangan majelis taklim ibu-ibu, salah satu kegiatan rutinnya adalah mempertahankan dan mengembangkan tradisi keagamaan. Etnis Betawi yang umumnya beragama Islam, jika menggunakan teori Clifford Geertz, maka komunitas Betawi dapat dipilah dalam dua kategori saja, yaitu santri tradisional dan santri modernis1. Kategori abangan tidak tepat dikategorikan kepada komunitas Betawi. Meskipun ada orang Betawi yang belum menjalankan syariat sebagaimana orang Jawa abangan, tetapi budaya yang diimplementasikan adalah layaknya budaya santri. Berbeda dengan di Jawa, budaya orang abangan adalah budaya Jawa lama (pra Islam). Dalam komunitas Betawi, para jawara yang tidak shalat dan puasa, atau tidak taat menjalankan ajaran agama, namun kepada para Kyai mereka begitu hormat. Komunitas Betawi sejak dahulu sudah memiliki varian keagamaan sebagai dasar pengelompokan berdasarkan keagamaan. Sebagian besar dari mereka menyebut dirinya sebagai kelompok ahlu sunnah wa aljamaah atau kalangan Nahdliyin. Kelompok inilah yang sangat kuat mempertahankan berbagai tradisi keagamaan, baik yang berkaitan dengan upacara daur hidup, hari keagamaan maupun kesenian bernuansa keagamaan. Sehingga kelompok ini dapat dikategorikan sebagai kelompok tradisional. Selain 1 Maharsi, Varian Keagamaan Masyarakat Pesisir Pantai Selatan, Bantul Yogyakarta, UIN Yogyakarta, 2004, hal 371. 83 kelompok tradisional terdapat varian lain yaitu kelompok modernis. Kelompok ini umumnya sebagai pengikut/simpatisan ormas Muhammadiyah. Disamping itu, di kalangan orang-orang Betawi terdapat pula penganut Jema’at Ahmadiyah (JAI) dengan jumlah cukup besar. Modernisasi yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, termasuk Kota Tangerang, tidak mampu menyapu tradisi dan varian keagamaan dari pendukungnya. Ketahanan komunitas Betawi dalam membentengi tradisi keagamaan yang selama ini dianggap benar, baik dan merupakan bagian dari agama luar biasa. Majelis-majelis taklim, anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu dan pesantren salaf, masih bertebaran di hampir seluruh pelosok wilayah yang dihuni komunitas Betawi. Dalam setiap majelis dan pesantren salaf selalu diajarkan dan dibiasakan memperaktekkan tradisi keagamaan yang telah mapan tersebut. Sementara itu, di kalangan modernis memiliki majelis tersendiri, baik untuk anak-anak, ibu-ibu, remaja dan bapak-bapak. Seluruh lembaga yang melakukan pembinaan keagamaan kepada masyarakat baik di kalangan muslim tradisional maupun muslim modernis berjalan dengan baik. Menurut Ralp Linton, sebagaimana dikutif oleh Ali Sodiqin, tradisi keagamaan adalah keseluruhan cara kehidupan dari suatu masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan, seperti dalam bentuk misalnya upacara keagamaan yang dianggap sebagai kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang merujuk pada realitas tertinggi yang lain daripada pengalaman sehari-hari2. Dalam kehidupan sehari2 Ali Sodiqin, Tradisi Keagamaan Masyarakat Pesisir Selatan (Studi tentang Masyarakat Trisik Kulon Progo), dalam Jurnal Penelitian Agama, Pusat Penelitian UIN 84 hari agama sudah menjadi kebutuhan primer manusia. Agama memberi arah isi dan warna keseimbangan serta kelangsungan hidup manusia. Agama juga dapat dikatakan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur kehidupan dan menjadi pedoman hidup. Dalam pandangan tentang kepercayaan terhadap suatu yang trasenden, agama menawarkan ritus dan liturgi agar bisa memasuki hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa dan kekuatan suci lainnya. Di mana dalam hubungannya tersebut akan terjalin keterkaitan antara manusia dengan Tuhan. Dari sini akan terlihat lewat perilaku manusia dalam kesehariannya3. Dengan begitu, manusia dapat mengatasi permasalahan pada dirinya dari rasa ketakutan dan kekhawatiran yang selalu menghantuinya. Adapun tentang dilaksanakan ritus (upacara) itu bisa dilihat dari tingkah laku keagamaan seseorang atau kelompok masyarakat sesuai dengan varian keagamaannya, karena pada hakekatnya keberadaan ritus sendiri tergantung sikap mental dan emosional kelompok masyarakat sesuai dengan varian keagamaan pada konteks sosiokultural dilaksanakannya upacara (ritus). Ritus merupakan bagian tingkah laku keagamaan yang masih aktif dan juga dapat diamati keberadaannya4. Dari kenyataan-kenyataan itu, menunjukkan bahwa sikap dan perilaku manusia yang disalurkan melalui kebudayaan atau tradisi keagamaan dan memengaruhi keberagaman manusia melalui pengalaman keagamaan. Keberagamaan manusia tidak akan lepas dari zaman serta kebudayaan yang Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hal. 381. Lihat pula Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999, hal. 3) 3 Ibid, hal. 382 4 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Analisis Historis, Mitra Cendekia, Jakarta, 2004, hal. 61 - 63 85 diamalkan oleh suatu kelompok keagamaan atau varian keagamaan masyarakat. Jadi relegiusitas itu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan varian keagamaan yang dianut oleh sebuah masyarakat. Penjelasan di atas ingin menunjukkan bahwa kedudukan agama sangat penting bagi kehidupan manusia, agama merupakan struktur sistem penting yang melengkapi seluruh sistem sosial keagamaan, sehingga ada semacam penekanan dalam hal pemujaan terhadap sesuatu atau benda yang dianggap memunyai kekuatan supranatural yang obyeknya tidak dapat dilihat oleh manusia. Perilaku seperti itu bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan atau filsafat manusia kebudayaan sederhana, dimana gejala semacam itu masih nampak pada suatu fenomena keagamaan di masyarakat sekarang ini. Hal seperti ini juga sebagaimana yang terjadi pada pengalaman kepercayaan keagamaan masyarakat komunitas Betawi. Dalam kehidupan sosial budaya pada komunitas Betawi, pelaksanaanya terjadi pergeseran yang mengindikasikan adanya tarik menarik antara keyakinan komunitas Betawi sebagai pribumi dan keyakinan komunitas lain sebagai pendatang. Kebudayaan komunitas Betawi dalam realitasnya dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa yang tentu saja sebagai pendatang, terutama dalam pesta-pesta dan dunia seni. Sementara kepercayaan keagamaan dan tingkah laku keagamaan dipengaruhi oleh budaya Banten dan Jawa. Semua kebudayaan itu bersatu dalam implementasi budaya yang akhirnya menjadi ciri kehidupan sosial keagamaan dan budaya khas Betawi. Dalam realitasnya, terlihat begitu berbeda dengan tradisi keagamaan kumunitas Jawa dan Banten maupun dengan Tionghoa, begitupun dalam Budaya. 86 Sistem kepercayaan keagamaan dan varian keagamaan komunitas Betawi ini menjadi sangat menarik untuk dikaji, untuk melihat dan mengetahui latar belakang dan implikasinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Betapa banyak budaya khas Betawi yang bernuansa Islam tetapi belum diketahui maknanya. Mengapa dan bagaimana sebenarnya budaya khas Betawi itu diimplementasikan dan dipertahankan oleh komunitas Betawi. Kajian kebijakan bagi pembinaan kehidupan keagamaan untuk komunitas Betawi di Tangerang menjadi sangat relevan karena Tangerang adalah penyangga kehidupan ibukota Jakarta, sebagai kota satelitnya ibukota Jakarta dan posisinya yang di persimpangan jalan akibat gempuran migrasi dan budaya modern. Perumusan Masalah Penelitian Bertitik tolak dari latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut; a. Mengapa komunitas Betawi mampu mempertahankan tradisi agama dari serbuan budaya luar? b. Bagaimana konfigurasi yang terjadi, antar komunitas Betawi yang masih berada di wilayah asalanya dengan komunitas Betawi yang berpindah ke wilayah pinggiran? c. Apakah tradisi keagamaan seperti maulid nabi mengalami perkembangan dan perubahan? Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan komunitas Betawi mempertahankan tradisi agama dari desakan dan pengaruh budaya luar; 87 2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan konfigurasi yang terjadi, antar komunitas Betawi yang masih berada di wilayah asalnya dengan komunitas Betawi yang sudah terdesak ke wilayah pinggiran. 3. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan tradisi Betawi yang telah mengalami perkembangan dan perubahan, Metode Penelitian Sifat dan LokasiPenelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kasus yang akan menghimpun dan mendeskripsikan data tentang; Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah wilayah Kota Tangerang. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa komunitas Betawi di kota Tangerang ini cukup besar jumlahnya, di samping terdapat komunitas Tionghoa yang hampir sama besarnya. Sumber data Untuk menghasilkan penelitian yang memadai dan lengkap, maka peranan sumber data atau informan (responden : kuantitatif) menjadi sangat penting kedudukannya. Informan adalah orang-orang yang dipandang mengetahui dan dapat menjelaskan secara baik tentang jenis atau nama, makna, tujuan, keyakinan yang menempel pada setiap upacara keagamaan, waktu upacara, tata cara upacara, biaya rata rata, peserta dan user, terutama yang menjadi fokus kajian yaitu tradisi maulid nabi, kemampuan komunitas Betawi bertahan dalam tradisi keagamaan, konfigurasi yang terjadi, antar komunitas Betawi berada di wilayah asalnya dengan komunitas Betawi pindahan dari Jakarta. Kemudian juga data yang berkaitan dengan pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan tradisi 88 sosial keagamaan serta mengetahui dan mampu menjelaskan dengan baik tentang varian keagamaan di kalangan komunitas Betawi di Kota Tangerang. Dari data yang ingin diperoleh dalam penelitian ini maka informan yang dipandang sangat penting untuk dimintai keterangan atau konfirmasi adalah tokoh ormas keagamaan, tokoh ormas kalangan Betawi (FBR, Forkabi, FPI dan BPPKB), tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dan kalangan masyarakat yang menjadi pioner dalam mempertahankan tradisi keagamaan (kyai, ustadz, ustadzah, santri dan komunitas Betawi awam/bukan tokoh). Dengan demikian analisis yang dapat digunakan di sini adalah dua pisau analisis yaitu analisi sosiologis dan analisis antropologis yang diharapkan data yang diperoleh begitu lengkap dan komprehensif, sehingga dapat menghasilkan sebuah profil komunitas Betawi Baru yang kosmopolitan dan relegius. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas; a) Wawancara dengan informan tersebut diatas dengan menggunakan pedoman pengumpulan data. b) Pengamatan terlibat berkenaan masyarakat sasarn penelitian. dengan aktifitas c) Studi dokumentasi, yaitu kajian terhadap sumber tertulis nonpustaka yang ada relevansinya dengan judul penelitian ini. Pengolahan Data Data yang terkumpul diolah dengan melakukan seleksi dan klasifikasi data. Selanjutnya dianalisis dengan melakukan 89 komparasi data yang dihasilkan dari berbagai sumber data atau crossceck dan interpretasi yaitu menafsirkan data yang diperoleh di lapangan tersebut atau disebut dengan justifikasi data. Analisis Data. Analisis data dilakukan secara analitik deskriptif dan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data hasil wawancara, studi dokumen dan observasi yang terkait dengan fokus penelitian dan kajian. Penjelasan Konsep Untuk mengarahkan kajian ini menjadi kajian yang terfokus, maka perlu adanya penjelasan konsep judul penelitian ini. Tradisi keagamaan merujuk pada makna tradisi dan keagamaan. Tradisi dalam bahasa Inggris disebut tradition dan dalam bahasa latin disebut traditio. Ditinjau dari sejarah munculnya tradisi ini adalah karena merupakan adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilainilai, aturan-aturan perilaku, dan sebagainya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia merupakan warisan sosio kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompokkelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif, jika dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan. Tradisi juga bersifat reaksioner jika berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari masa lampau dalam menghadapi sesuatu yang setara tetapi baru. Ada semacam kondisi kompetitif antara sesuatu yang lama yang dicoba dipertahankan dengan sesuatu yang baru yang bermaksud menggantikan perannya dalam mengikat kehidupan sosial dalam tradisi baru. Dalam ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan atau konsensus tak 90 tertulis yang dipedomani untuk mendapatkan suatu hasil yang dicita-citakan dari suatu ilmu5. Kata keagamaan berasal dari kata agama yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Agama dalam bahsa Inggris disebut religion, dalam bahasa Latin disebut religio. Dalam pengertian umum, agama merujuk pada dua unsur, yaitu orang mempertimbangkan sesuatu secara amat hati-hati, obyeknyapun sangat istimewa dan agung yang akhirnya harus mendapat perhatian yang istimewa dari lainnya. Agama memberi sifat ”terikat kepada”, maksudnya terikat kepada asal usul pertama dan tujuan yang terakhir. Karena hal yang pertama dan yang terakhir ini mendapat perhatian lebih besar daripada yang lain, dan sangat pantas mendapat perhatian dari yang lain. ”Terikat kepada” maupun hal yang pertama dan terakhir, maka dalam implementasinya menjadi pegangan manusia yang diperjuangkan dengan penuh semangat. Bahkan pembelaannya sampai menyangkut hidup dan mati para pendukungnya, yang dalam bahasa agama disebut dengan jihad6. Agama berkaitan dengan masalah hubungan manusia dengan Tuhan. Segala sesuatu menerima eksistensinya dari Tuhan karena berasal dari Tuhan. Segala sesuatu juga berjuang untuk kembali kepada Tuhan. Namun manusia adalah satu-satunya mahluk yang menjalankan agama. Karena sebagai roh manusia sekaligus sadar akan hubungannya dengan Tuhan Allah dan menjalankan hubungan itu dengan bebas. Yakni, manusia mengetahui bahwa Tuhan adalah asal usulnya dan tujuannya serta mengetahui situasi ini. Agama bergumul dengan apa yang paling luhur, dengan memeluk 5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002, hal.1115 - 1116 6 Ibid hal 12 - 13 91 agama manusia berjuang untuk memenuhi kewajiban moralnya yang utama dan mencapai kesempurnaannya yang tertinggi. Dalam agama, manusia secara keseluruhan berbalik kepada Tuhan. Karena itu agama mencakup semua kekuatan jiwa manusia yang lebih tinggi, pengetahuan, kehendak dan perasaan. Tetapi karena agama yang dihayati lebih merupakan suatu pemberian diri dari pada pengetahuan, agama secara istimewa tampak sebagai produk kemauan yang tertanam dalam perasaan dan memandang di dalam Tuhan Allah eksistensi mutlak dan ini diterima sebagai nilai mutlak atau absolut7. Dalam kehidupan sosial, secara khusus istilah agama merujuk pada sebuah institusi (lembaga) dengan sekelompok orang-orang yang berkumpul secara teratur untuk suatu ibadat dan menerima seperangkat ajaran yang menawarkan cara menghubungkan individu dengan sesuatu yang dipandang sebagai hakekat terdalam dan tertinggi dari kenyataan. Manusia menurut kodratnya terarah pada hidup bermasyarakat, maka agama tidak bisa hanya menjadi persoalan pribadi dan individu. Pada kenyataannya agama juga didorong oleh adanya komunitas. Karena itu agama berada dalam komunitas dan kemudian kehidupan relegiusitas mencapai perkembangan yang penuh dalam komunitas. Dengan demikian keagamaan berarti kehidupan manusia yang berkaitan dengan agama yang diimplementasikan oleh komunitas. Kehidupan keagamaan berarti gejala-gejala dari agama yang terekspresikan dalam kehidupan komunitas atau masyarakat, baik itu ungkapan kata-kata, perilaku, atau simbol-simbol yang biasa dipergunakan oleh manusia untuk mendekat kepada Tuhan. 7 92 Ibid, hal. 13 Tradisi keagamaan akhirnya bermakna dan terekspresikan dalam adat istiadat, ritus-ritus atau upacara, ajaranajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan perilaku, dan sebagainya yang diwarnai dan/atau didasarkan pada ajaran agama atau keyakinan agama yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menjadi warisan sosiokultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompokkelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang, progresif dan bersifat reaksioner serta menjadi konsensus tak tertulis yang dipedomani oleh suatu kehidupan komunitas masyarakat. Varian Keagamaan Varian keagamaan ini sebenarnya merujuk pada tulisan Clifford Gertzs yang membagi masyarakat Jawa dalam tiga kategori, yaitu varian abangan, santri dan priayi. Jadi varian dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pengelompokan masyarakat secara keagamaan, yang untuk komunits Betawi terdiri dari dua varian yaitu muslim tradisional dan muslim modernis. Muslim tradisional merujuk pada komunitas santri (Jawa) yang taat menjalankan perintah agama dan memiliki tradisi keagamaan yang akomodatif dengan budaya lokal. Artinya bahwa kebudayaan lokal yang dipandang fungsional bagi masyarakat dipertahankan dan dikemas dalam bingkai keagamaan (Islam) sehingga memiliki cita rasa keagamaan Islam. Masyarakat pendukungnya pun memandang tradisi ini sebagai keharusan keagamaan untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan momen-momen keagamaan yang memang telah menjadi kelaziman. Setiap komunitas kelompok, termasuk komunitas santri tradisional juga memiliki tokoh sentral yang sangat dihormati. Tokoh sentral dari komunjitas santri tradisional ini adalah 93 kyai dan ustadz. Komunitas ini biasanya kalau belajar agama di pesantren tradisional (salaf) atau ustadz–ustadz dari kalangan tradisional. Hampir pasti bahwa para kyai di kalangan komunitas Betawi merupakan jebolan pesantren salaf. Oleh karena itu lulusannya pun memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi pendukung kelompok atau varian santri tradisional pula. Komunitas santri tradisional Betawi, meskipun mereka ada yang kurang taat menjalankan perintah agama, namun dalam kehidupan sehari-hari mereka ini sangat taat kepada para kyai. Muslim modernis merujuk pada komunitas santri (Jawa) yang taat menjalankan perintah agama Islam. Tetapi kurang akomodatif terhadap budaya lokal, sehingga mereka begitu berbeda cita rasanya sebagai santri jika dibandingkan dengan komunitas santri tradisional. Di kalangan komunitas betawi ini, santri modernis banyak mendirikan lembaga pendidikan umum, yang ditambah pula dengan pelajaran agama yang lebih banyak dari pada sekolah umum lainnya. Komunitas ini terhimpun dalam sebuiah organisasi keagamaan yang disebut persyaraikatan Muhammadiyah. Di kalangan Muhammadiyah ini, rupanya tidak ada tokoh sentral yang benar-benar dijadikan panutan secara umum. Umumnya mereka menjalankan pembinaan keagamaan sebagaimana digariskan oleh organisasi saja, yaitu pengajian anak-anak, remaja, pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak dengan waktu yang berbeda-beda. Namun demikian lebh detilnya akan dapat diketahui setelah dilakukan penelitian. Sistematika Penulisan Tulisan ini disajikan dengan sistematika sebagai berikut; Bab I berisi tentang pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, 94 metode penelitian, penulisan. penjelasan konsep, dan sistematika Pada Bab II dideskripsikan tentang wilayah penelitian, meliputi geografis dan demografi Kota Tangerang, kapitalisasi ekonomi dan segresi kelas yang terjadi di Kota Tangerang, dinamika kehidupan beragama, dan dinamika kehidupan politik di Tangerang. Pada bab IV dideskrepsikan tentang etnis, tradisi dan varian keagamaan yaitu mengenai etnis Betawi mencari jati diri, klasifikasi etnis Betawi dan tradisi komunitas Betawi. Dalam bab ini dideskrepsikan pula mengenai varian keagamaan komunitas Betawi Tangerang, yaitu varian Muslim tradisional yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, kematian dan sistem kekerabatan. Begitu juga yang berkaitan dengan varian Muslim modernis yang berkaitan juga dengan kelahiran, perkawinan, kematian dan sistem kekerabatan. Kemudian bab ini akan ditutup dengan deskripsi tentang peranan kyai dan peranan jawara pada masyarakat Betawi Bab IV merupakan penutup yang mengenaikesimpulan masa depan tradisi keagamaan. menjelaskan dan varian 95 96 BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis dan Demografi ota Tangerang adalah sebuah kota yang berdiri tahun 1996 yang merupakan pecahan dari Kabupaten Tangerang yang sekarang telah menjadi tiga daerah tingkat II yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan terakhir yang baru diresmikan adalah Kota Tangerang Selatan. Kota Tangerang dibelah oleh sungai Cisadane yang meluap ketika musim hujan dan mengakibatkan bencana banjir di beberapa lokasi di Kota Tangerang. Kota Tangerang sangat strategis karena berbatasan dengan DKI Jakarta, terdapat pelabuhan udara Sukarno Hata, dan sangat baik untuk kawasan industri. Kota Tangerang telah berkembang pesat dan padat penduduk. Masyarakat Tangerang yang secara sosio-kultural merupakan masyarakat urban. Tidak ada satu kelompok sosial pun yang berada di wilayah Kota Tangerang ini dipandang sebagai kelompok dominan, baik secara politik, budaya, maupun etnik. Etnik pendatang terbesar adalah etnik Jawa, disusul oleh etnik Sunda. Etnik Betawi yang kemungkinan merupakan penghuni pertama Kota Tangerang yang secara kultural lebih dekat dengan budaya Banten. Etnik Betawi sekarang menempati pinggiran kota, seperti Ciledug, Cipondoh, Karang Tengah, Larangan dan Pinang. Wilayah tersebut sekarang sudah mulai dipenuhi oleh kaum urban dari berbagai daerah di Indonesia. Sementara itu di pusat kota, seperti di Karawaci, Tangerang, Cipondoh, Benda, Jatiuwung K 97 sudah menjadi kampung-kampung kaum urban yang padat. Jadi Kota Tengarang tidak mengacu kepada budaya atau etnik tertentu, melainkan sekedar wilayah administrative belaka (Kota Tangerang Dalam Angka 2008). Modernisasi yang dilakukan Belanda pada masa lalu dengan memukimkan etnis Cina di berbagai kawasan pondok, otomatis memaksanya untuk membuat jalan-jalan transportasi dari dan ke berbagai pondok tersebut. Pembangunan jalan kereta api dari Jakarta ke Rangkas Bitung dan Merak akhir abad 19, menjadikan wilayah Tangerang menjadi semakin ramai. Modernisasi itu kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru sehingga Kota Tangerang berkembang pesat. Modernisasi itu didukung penuh oleh kaum bermodal (kaum kapitalis) yang semakin mempercepat kemajuan di wilayah perkotaan, bahkan melahirkan pusatpusat kota baru di sekitarnya, seperti BSD dan Alam Sutra. Implikasinya, Kota Tangerang menjelma menjadi pusat eksploitasi perekonomian besar-besaran yang menyedot sumber daya potensial dari berbagai penjuru Nusantara sebagaimana Kota Jakarta. Urbanisasi massa pun yang berasal dari berbagai daerah yang utamanya Jawa dan Sunda, dengan aneka etnik, budaya, bahasa dan agama terus mengalir memadati seluruh kawasan kota dan melahirkan berbagai komplek perumahan baru yang terus dibangun. Pada akhirnya, perkembangan modernisasi kota yang diiringi ledakan urbanisasi menciptakan konfigurasi sosial kota yang rumit, majemuk dan paradoksal akibat diferensiasi sosial yang tajam antara kelompok sosial mapan dengan kelompok massa apung dengan jumlahnya yang mayoritas dan akan terus bertambah (Diolah dari Kota Tangerang Dalam Angka 2003). Sebagai kota yang dinamis, Tangerang senantiasa dibayangi ledakan demografis. Khusus di pusat perkotaan, 98 bangunan mall dan perumahan penduduknya terlihat berjubel dan penuh sesak. Di sepanjang jalan mulai dihinggapi oleh kemacetan dan kesemrawutan terutama didekat pasar-pasar tradisional, mall-mall dan sekitar rumah sakit umum (RSU) Kota Tangerang. Kota Tangerang dengan jumlah penduduk 1,416,842 jiwa pada tahun 2003 dengan luas wilayah 17.729,794 hektar dengan rata-rata jumlah penduduk per km mencapai 165.639 jiwa, jelas memperlihatkan betapa Kota Tangerang merupakan sebuah kota yang sangat padat. Dalam kurun waktu 5 tahun yaitu tahun 1998 – 2003 pertumbuhan penduduk Kota Tangerang terdeteksi sebesar 15.76% (3.94% pertahun), suatu pertumbuhan penduduk yang sangat besar. Jumlah rumah tangganya sebanyak 382,402 KK, jumlah anggota rumah tangga rata-rata di Kota Tangerang adalah 3,71 jiwa (Diolah dari Kota Tangerang Dalam Angka 2003). Pesatnya pertumbuhan Tangerang dipercepat keberadaan Bandara Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya termasuk wilayah Kota Tangerang. Gerbang perhubungan udara Indonesia itu membuka peluang bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa yang luas di KotaTangerang. Wilayah Tangerang juga disiapkan bagi aktifitas perdagangan dan industri, pusat pemukiman untuk menjaga keserasian pembangunan DKI Jakarta. Berdasarkan Kepres No. 54 tahun 1989 Tangerang harus mengalokasikan 3000 ha lahan untuk industri. Secara demografis dapat dilihat pada tabel berikut; 99 Tabel: 1 Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kota Tangerang Tahun 2003 NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Kecamatan Cileduk Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari Batuceper Benda 2003 2002 Luas (Km 2) 8.769 9.397 10.474 17.900 21.590 15.765 13.475 9.611 14.405 9.543 16.077 11.583 5.919 165.639 164.639 Jml Penduduk 99.010 126.039 88.039 133.921 111.451 117.950 155.959 126.328 126.237 107.816 85.775 75.300 62828 1.476.842 1.375.225 Kepadatan Penduduk 11.291 13.413 8.427 7.477 5.162 7.473 11.574 13.144 8.763 11.763 5.335 6.502 10.615 8.641 8.238 Sumber Data: Kota Tangerang Dalam Angka 2003 B. Kapitalisasi Ekonomi dan Segresi Kelas Dinamika modernisasi kota yang dimulai sejak jaman Belanda dan dipacu pada masa Orde Baru, berdampak terhadap difrensiasi kelas sosial berdasarkan kemampuannya. Sektor-sektor ekonomi strategis dalam bentuk firma, properti, industri, dan transportasi besar menjadi andalan utama pendapatan asli daerah (PAD) dikuasai kaum bermodal yang umumnya terdiri dari kelompok sosial non-pribumi, khususnya etnis Tionghoa. Meskipun kuantitas mereka minoritas (inferioritas), akan tetapi dalam segi penguasaan sektor ekonomi strategis, menguasai dan berposisi mayoritas (superioritas). Di samping itu yang termasuk kelompok sosial 100 mapan ini antara lain kelompok birokrat pemerintah dan politisi. Sementara, penduduk pribumi Kota Tangerang secara mayoritas menguasai sektor-sektor ekonomi pinggiran dalam bentuk –meminjam konsep Geertz- perekonomian bazaar. Berbeda dengan model perekonomian firma di mana perniagaan dan industri berlangsung melalui seperangkat pranata sosial yang impersonal, yang mengorganisir berbagai pekerjaan berspesial dengan memperhatikan tujuan produksi dan distribusinya. Perekonomian bazzar didasarkan atas kegiatan-kegiatan tidak terikat yang dilakukan oleh sekumpulan pedagang komoditi yang bersaing sangat ketat dan berhubungan satu sama lain melalui transaksi yang ad hoc (tidak menentu) (McGee, 1996: 36). Kebanyakan penduduk kota adalah dari kalangan grass roots yang bekerja di sektor-sektor ekonomi informal yang kurang menjanjikan, seperti; jasa, warung tenda, warung makan, pedagang kaki lima, pedagang sayur, pedagang buah, bakso dan sebagainya. Dilihat dari status sosio-etniknya, kelompok sosial dari etnik Tionghoa berada di pusat-pusat perkotaan menguasai sektor ekonomi strategis sebagai pebisnis dan wirausahawan mapan. Sementara itu kelompok sosial pribumi yang mayoritas terdiri atas etnik Jawa, Sunda dan Betawi pinggiran menguasai sektor ekonomi yang relatif kurang strategis. Hubungan antara Tionghoa dan pribumi ini, meskipun hampir tidak pernah terjadi konflik terbuka –kecuali percikan dari imbas huru hara di Jakarta- terjalin dalam bentuk kerjasama dalam perdagangan dan industri. Tentu saja dalam hal ini etnis Tionghoa sebagai dominant minority dan pribumi sebagai undominant mayority karena secara ekonomi posisi pribumi yang pada umumnya berada bawah. Sementara itu 101 pemerintah sendiri dalam permasalahan perburuhan– pabrikasi misalnya- hampir tidak pernah berpihak kepada para buruh, meskipun manajemen perusahaan sering bertindak semena-mena terhadap para buruh. Kondisi seperti ini, sebenarnya telah diciptakan oleh Belanda sejak masa kolonial dahulu, yaitu dengan menciptakan kelas-kelas sosial, seperti penempatan strata satu bagi etnis Eropa, strata kedua bagi golongan Tionghoa dan Timur Asing, dan strata tiga untuk Pribumi yang dibedakan haknya oleh pemerintah Belanda, yang merupakan strategi devide et impera Belanda guna memindahkan konflik pribumi terhadap pemerintah ke orang-orang Tionghoa yang kemudian tetap diwarisi secara sosial hingga hari ini (Nurcholish Madjid, 1996). Dari stratifikasi sosial-ekonomi di atas, dapat dimengerti bahwa masyarakat lokal tidak berdaya menghadapi persaingan ekonomi dalam kontruksi sosial kota yang semakin tajam nuansa kapitalisme. Ketidakberdayaan mereka tidak dapat dimengerti semata-mata karena mereka kurang pendidikan dan keahlian yang memadai, meski sesungguhnya variable ini memunyai keterkaitan yang tidak bisa dinafikan. Dalam pandangan Tamrin Amal Tamagola (2003:54), ketidakberdayaan, marginalisasi, dan ketidakadilan yang menerpa masyarakat sebenarnya disebabkan oleh kekerasan struktural, yaitu penutupan akses ke kelas yang lebih tinggi, dan pencegahan kontrol atas berbagai sumberdaya strategis. Dampak berikut akibat ketidakberdayaan ekonomi ini adalah ketidakberdayaan dalam berbagai sisi kehidupan, termasuk di dalamnya secara politik. C. Dinamika Kehidupan Beragama Secara antropologis, Kota Tangerang telah menjelma menjadi kawasan lempengan budaya (cultural faults), tempat berjumpanya kelompok-kelompok sosial yang semakin plural 102 karena tingkat urbanisasinya yang tinggi. Keberadaan etnik Jawa- Sunda dan Betawi yang cukup dominan dalam jumlah tetapi ternyata tidak dalam budaya, sehingga masyarakat Kota Tangerang tidak berbudaya Jawa, Sunda atau Betawi. Pelabelan yang semata-mata didasarkan pada pertimbangan dominasi etnik tertentu di Tangerang, tidak pas meskipun kaum urban terbesar berasal dari Jawa. Secara umum, ekspresi dan artikulasi kultural masyarakat Kota Tangerang telah cenderung metropolis, terbuka, moderat, simpatik, dan lugas (tanpa banyak basabasi), serta jauh dari karakter feodal. Kota Tangerang meskipun pada masa lalu merupakan bagian dari Kerajaan Banten, tetapi karena letaknya yang relatif jauh, sehingga budaya feodal khas kerajaan tidak mengakar di masyarakat. Kondisi masyarakat justru memperlihatkan tradisi feodalisme keagamaan, karena para tokoh agamalah yang dipandang menempati strata tertinggi dalam lapisan sosial, sehingga sangat dihormati masyarakat. Jika ada seorang ingin melakukan pembaharuan kehidupan beragama, dia akan berhadapan dengan anak buah kyai yang “memagarinya”. Sedikit saja aktifis membuat kekeliruan, maka seluruh cita-cita pembaharuan dapat kandas di tengah jalan, karena peran orang yang berada di sekitar kyai. Dari sisi relgiusitas, masyarakat kota Tangerang cenderung sebagai Islam tradisional berhaluan “Ahlu Sunnah Wal Jama’ah” (Aswaja) yang inklusif. Teologi ini menyumbang kontribusi besar sebagai social capital bagi pengembangan kultur moderatisme bagi masyarakat. Dalam teologi Aswaja terdapat empat prinsip dasar yang sudah begitu popular yaitu tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan amar ma’ruf nahi munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran). Kultur relegiusitas yang terbangun 103 di Kota Tangerang, tentu melibatkan nilai-nilai tradisional keagamaan di atas. Di bawah ini dapat dilihat tabel tentang jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut. Tabel: 2 Jumlah Pemeluk Agama Di Kota Tangerang Tahun 2008 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Kecamatan Cileduk Larangan Karang Tengah Cipondoh Pinang Tangerang Karawaci Cibodas Jatiuwung Periuk Neglasari Batuceper Benda 2003 2002 Islam 93.813 113.000 133.578 119.883 122.192 78.448 90.275 67.964 117.391 70.381 55.790 105.240 101.446 1.271.100 1.213.923 PEMELUK AGAMA Katolik Protestan Hindu 1.743 2.757 319 3.486 7.333 382 4.427 7.043 959 2.316 3.217 343 1.660 1.860 234 3.658 4.542 498 4.082 6.939 416 1.739 2.797 343 3.905 7.171 504 1.613 2.059 398 1.104 1.636 129 1.746 2.962 195 3.427 5.615 525 34.926 55.933 5.342 33.386 53.454 6.113 Budha 379 2.127 9.952 280 263 1.052 5.105 2.465 4.950 11.326 3.157 606 5.540 49.541 47.383 Sumber Data: Kota Tangerang Dalam Angka 2003 Pluralitas pemahaman keagamaan bagi masyarakat Kota Tangerang semakin meningkat seiring dengan semakin dihargainya hak berbeda pendapat di kalangan masyarakat kota. Revitalisasi organisasi, asosiasi, dan forum sosialkeagamaan tumbuh dan berkembang di Kota Tangerang yang mempengaruhi dinamika kehidupan beragamanya. Di Kota Tangerang terdapat berbagai ormas keagamaan, antara lain Muhammadiyah, MA, Persis, LDII, MTA, HT, NU, FPI, dan Jama’ah Tabligh. Keberadaan organisasi sosial-keagamaan 104 dan asosiasi keagamaan itu merupakan modal sosial strategis yang dapat didayagunakan untuk tujuan pengembangan civil society, termasuk di dalamnya sumber daya politik bagi politisi partai Islam. Di Kota tangerang tidak ada etnis yang dominan, meskipun penduduknya sebagian besar dari Jawa, Sunda dan Betawi. Semua berjalan sendiri-sendiri dan melebur menjadi kehidupan sosial keagamaan yang dinamis, meskipun terkadang masih ada kelompok eksklusif karena sulit menerima pemahaman agama dari kelompok lain. Tetapi secara umum tidak ada masalah. Tetapi sebenarnya ada baiknya pula kondisi seperti ini, sebab dengan begitu peluang keberagaman dalam memahami agama dan pembentukan masyarakat sipil menjadi semakin terbuka”. (Wawancara Tabiih Hadi, Pejabat Pemda Kota Tangerang, 3/9 2004). D. Dinamika Kehidupan Politik di Tangerang Jumlah pemeluk agama Islam di Kota Tangerang sebesar 1.271.100 jiwa atau 89,71% itu merupakan daerah potensial bagi partai-partai Islam untuk menangguk dukungan dan mendapatkan kepercayaan sebagai artikulator politik masyarakat di DPRD Kota Tangerang. Namun partai politik Islam, masih dipahami sebagai sama saja dengan yang lain, sehingga umat Islam kurang mendukung partai Islam. Kebetulan partai Islam yang berlaga pada masa yang cukup lama (masa Orde Baru) gagal mengambil kepercayaan hati umat Islam. Secara keseluruhan, perolehan partai politik Islam dalam pemilu 2004 belum menunjukkan perolehan suara dan kursi yang mayoritas. Justru partai yang dipandang lebih akomodatif terhadap semua lapisan, golongan, agama dan kepentingan adalah Partai Golkar. Dalam pemilu itu 2004 mendapatkan 179.631 suara atau delapan (8) kursi. Urutan kedua diduduki PKS dengan perolehan sebesar 164.023 suara 105 8 kursi. Di bawah ini dapat dilihat rekapitulasi jumlah suara dan jumlah kursi yang diperoleh partai politik di DPRD Kota Tangerang. Tabel: 3 Rekapitulasi Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik di DPRD Kota Tangerang Pada Pemilu Lagislatif 2004 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Nama Partai Politik Partai Golkar PK-Sejahtera Partai Demokrat PPP PDIP Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Bintang Reformasi (PBR) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Bulan Bintang (PBB) PPDK Jumlah Sumber Data: Jml Suara 179.631 164.023 148.809 118.732 117.422 105.956 41.789 37.895 29.150 14.722 754.959 Jml Kursi 8 8 7 5 5 5 2 2 2 1 45 Diolah dari Dokumentasi KPUD Kota Tangerang Tahun 2004 Kecenderungan mayoritas penduduk Kota Tangerang beragama Islam sebanyak 1.271.100 jiwa atau 89,71% ternyata masih kurang signifikan jika dibandingkan dengan partai Masyumi tahun 50-an. Pada masa itu, Partai Masyumi di Kabupaten Tangerang mampu meraih suara sekitar 69%, posisi kedua ditempati oleh PNI 15 %, ketiga PSII 5 % baru kemudian disusul oleh partai-partai lain (Bakri, 1955). Pada saat ini partai Islam yang berhasil mendapatkan kursi adalah PKS, PPP, PBR dan PBB. Sementara yang lain tidak mendapatkan satu kursipun di DPRD II, DPRD I dan DPR RI. Keempat partai di atas hanya mampu mengumpulkan 17 kursi atau 353.693 suara atau 45.4% dari 754.959 suara (Diolah dari Data KPUD Kota Tangerang, 2004). 106 Dalam pemilu tahun 2004 itu, nampak Partai Golkar mendapatkan kursi 8 buah atau 179.631 suara dan PKS yang muda mendapatkan 8 kursi pula, tetapi jumlah suara masih di bawah Partai Golkar yaitu 164.022 suara, berarti hanya bertaut sedikit yaitu 15.609 suara. Kedua partai ini terlihat sebagai partai paling perkasa di Kota Tangerang. Sementara itu PPP yang dapat digolongkan sebagai partai Islam tertua hanya mendapatkan 5 kursi. Partai paling muda tetapi fenomenal adalah Partai Demokrat, dimana baru sekali mengikuti Pemilu sudah langsung mendapatkan kursi yang signifikan di DPRD, yaitu menyabet 7 kursi. 107 108 BAB III ETNIS, TRADISI DAN VARIAN KEAGAMAAN 1. Eksistensi Etnis Betawi di Tangerang ada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada muncul sebagai kategori baru dalam data sensus. Pada waktu itu jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia. Antropolog Universitas Indonesia, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. P Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional. Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang pusat kerajaan Tarumanagara, sehingga pengaruh bahasa Melayu sangat kuat. Selain itu, perjanjian 109 antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik keroncong. Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga —menjadi minoritas. Pada tahun 1961, etnis Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, etnis Betawi tidaklah pernah terpinggirkan atau dipinggirkan dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai etnis yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah etnis Betawi hadir di bumi Nusantara8. 2. Klasifikasi Etnis Betawi Sebuah penelitan pada tahun 1989-1990 dan 1991-1992 menunjukkan bahwa penduduk asli Kota Jakarta yang biasa dipanggil sebagai orang Betawi dapat dibedakan atas macammacam kelompok. Mereka cukup berbeda dalam arti latar belakang sosial-ekonomi serta lokasi distribusi sebagai akibat perjalanan sejarah yang berbeda. Untuk istilah yang sering dikenakan pada kelompok ini, peneliti tersebut menggolongkan mereka sebagai Betawi Tengah, Betawi Pinggir dan Betawi Udik. Pembagian ini sermata-mata untuk kepentingan kemudahan analisa belaka. Orang Betawi yang hidup di daerah kota dipanggil “Betawi Kota”, mereka menyebut dirinya sebagai penduduk 8 110 Ahmad Buchori(Anak Betawi nyang, insya-Allah, enggak ketinggalan zaman) asli Kota Jakarta. Orang Betawi yang ada di pinggiran Kota Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Depok dinamakan 'Betawi Ora'. Orang “Betawi Ora” adalah yang seharusnya “sebagai penduduk asli Kota Jakarta karena mereka yang secara ketat dan konsisten menyandang tradisi Betawi, sementara orang Betawi Kota amat dipengaruhi oleh tradisi di luar ke-Betawian sehingga cara hidup mereka berbeda dari “Betawi Ora”. Sumber-sumber tertulis yang ada mengenai Betawi yang tidak mempersoalkan kelompok Betawi mana yang mereka bicarakan telah mengakibatkan generalisasi kesimpulan yang akhirnya kurang pas dengan kenyataan di lapangan. Untuk mempermudah dalam melakukan analisis, maka etnis Betawi dapat diklasifikasikan sebagai berikut; Betawi Tengah Populasi penduduk asli Betawi yang bermukim di daerah kota saat ini sedikit sekali. Kebanyakan dari mereka tinggal secara berkelompok dari satu keturunan atau kerabat. Untuk wilayah Jakarta, mereka tinggal tersisa di daerah Sawah Besar, sebagian kecil di Taman Sari, Gang Ketapang, Kebon Jeruk, Krukut, Kebon Jeruk dan daerah Pekojan. Sebagian dari mereka masih menganut beberapa gaya hidup tempo dulu. Hal ini dapat kita lihat pada acara-acara perkawinan, lebaran, khitanan, maupun di dalam kehidupan mereka bermasyarakat. Walaupun ada pergeseran budaya pada generasi muda Betawi, baik itu pria maupun wanita namun dalam soal agama mereka tetap memegang teguh, seperti mengaji bagi anak-anak usia belasan tahun, majlis ta'lim bagi kaum ibu dan tadarusan bagi kaum pria. Bahasa yang seringkali digunakan oleh mereka adalah dialek Betawi Tengah. Mereka yang termasuk Betawi Tengah adalah mereka yang dalam sejarah perkembangan Kota Jakarta dulu dinamakan keresidenan Batavia dan sekarang termasuk 111 Jakarta Pusat, sebagian Jakarta Barat, sebagian Jakarta Utara dan sebagian lagi Jakarta Timur. Lokasi ini merupakan bagian dari Kota Jakarta yang paling urban sifatnya. Bagian inilah yang dalam tahap-tahap permulaan Kota Jakarta dilanda arus urbanisasi dan modernisasi yang paling tinggi. Salah satu akibatnya adalah orang Betawi yang tinggal di daerah ini adalah orang yang paling tinggi tingkat kawin campurnya bila dibandingkan dengan orang-orang Betawi yang tinggal di bagian pinggir Kota Jakarta ataupun etnis-etnis lainnya di Jakarta. Dan Mereka yang tergolong sebagai Betawi Udik adalah penduduk asli di sekitar Jakarta termasuk Bogor, Tangerang dan Bekasi. Dahulu daerah ini termasuk daerah administrasi Batavia, tetapi kini mereka termasuk daerah administrasi Jawa Barat dan Banten . Oleh karena itu secara kultural mereka adalah orang Betawi tetapi karena perubahan batas administratif maka kini termasuk orang yang tinggal di daerah administratif Jawa Barat dan Banten9. Betawi Udik Ada dua tipe Betawi Udik, yaitu mereka yang tinggal di daerah bagian Utara Jakarta dan bagian Barat Jakarta maupun Tangerang, mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Dan lainnya adalah mereka yang tinggal di sebelah timur maupun di Selatan Jakarta, Bekasi dan Bogor yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Sunda. Mereka umumnya berasal dari kelas ekonomi bawah yang pada umumnya lebih bertumpu pada bidang pertanian. Taraf pendidikan mereka demikian rendah bila dibandingkan dengan tahap pendidikan yang dicapai oleh orang Betawi Tengah dan Betawi Pinggir. Peran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari orang Betawi Udik berbeda dengan 9 112 http://anakbetawi.blogdrive.com/archive/12.html peran agama Islam di antara orang Betawi Tengah dan Betawi Pinggir di mana pada kedua kelompok Betawi terakhir tersebut agama Islam memegang peran yang penting dan menentukan dalam tingkah laku pola kehidupan mereka sehari-hari. Sekarang telah terjadi perubahan dalam pekerjaan dan pendidikan di antara orang Betawi Udik di mana secara perlahan-lahan tingkat dan pola pekerjaan mereka mendekati pola pekerjaan dan pola pendidikan orang Betawi Tengah dan Betawi Pinggir. Sejalan dengan modernisasi, komunitas Betawi udik cukup berhasil melakukan mobilitas vertikal10. Betawi Pinggir Sementara orang Betawi Tengah adalah lebih superior dalam arti latar belakang sosial ekonomi dibandingkan dengan kelompok Betawi lainnya, dalam bidang pendidikan agama. Sejak dulu, orang Betawi Tengah cenderung menyekolahkan anaknya ke sekolah umum sebagai pendidikan formal mereka. Sedangkan orang Betawi Pinggir menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren sebagai pendidikan formal mereka. Itu sebabnya orang Betawi menolak bila mereka dianggap tertinggal dalam arti pendidikan bila dibandingkan dengan kelompok lainnya di Indonesia, yang benar adalah mereka mempunyai ciri pendidikan yang berbeda dengan suku lainnya. Perbedaan persepsi antara orang non-Betawi dengan persepsi orang Betawi mengenai Betawi disebabkan karena pengetahuan orang non-Betawi adalah gambaran mengenai orang Betawi yang hidup dipinggiran Kota Jakarta dan umumnya berasal dari lapisan sosial ekonomi bawah. 10 http://anakbetawi.blogdrive.com/archive/12.html 113 Tradisi Komunitas Betawi Tradisi Menyambut Bulan Puasa Sebagai etnis yang belum menemukan jati dirinya sebagai suku Betawi, namun mereka telah memiliki tradisi keagamaan dan kesenian yang telah mengakar. Bagi warga Betawi, tradisi keagamaan merupakan perjalanan hidup yang terus mereka pertahankan. Tradisi menyambut bulan suci Ramadhan misalnya, sangat mereka nanti-nantikan. Sehari menjelang Ramadhan terlihat kesibukan luar biasa di rumahrumah. Ibu-ibu belanja lebih banyak ketimbang hari biasa untuk menyiapkan makan sahur. Tradisi Ziarah kubur Ada lagi tradisi yang hingga kini masih terus dilakukan, yakni tradisi ziarah kubur dan membaca al Qur’an di kuburan untuk mengirimkan pahala mengajinya kepada yang berada di kuburan menjelang puasa. Di masyarakat Betawi, tidak dikenal yang disebut nyekar, yang dikenal hanya ziarah kubur. Ziarah kubur dilakukan khusus kaum pria. Ziarah kubur dilakukan sebagai penghormatan dan mendoakan arwah orang tua dan keramat. Banyak yang membaca surat Yasin atau membaca tahlil, sambil membersihkan makam kerabat. Ziarah ini benar-benar mengakar di masyarakat Betawi Kota tangerang. Pada saat-saat tertentu mereka tidak hanya ziarah kubur di sekitarnya atau leluhur kerabatnya, tetapi juga makam-makam para wali yang dipandang keramat oleh mereka. Oleh karena itu ziarah mereka bisa keliling tanah Jawa dari Banten sampai Banyuwangi, bahkan ke Bali dan Nusa Tenggara Barat. Mereka menyebutnya safari makam keramat yang dimulai dari Banten, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Semarang, Klaten, Yogyakarta, Kudus, Tuban, Gresik, Malang, Banyuwangi. Perjalanan safari makam keramat itu dilakukan secara berombongan. Mereka menyewa bis dan melakukan perjalanan seperti konvoi ke berbagai daerah tujuan tersebut. 114 Mereka di sana tidak lupa membaca al Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada sang wali keramat. Tradisi Khatam Al – Qur’an di Masjid Ada tradisi yang sudah berlangsung puluhan bahkan lebih dari satu abad di masjid-masjid tua Jakarta dan Bogor, yakni khatam al Quran di bulan Ramadlan. Masjid-masjid tua itu dikelola oleh para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Memang tradisi itu berasal dari Hadramaut. Di Indonesia, khususnya Jakarta, tradisi itu diikuti masyarakat luas. Besarnya minat masyarakat terlihat dari membludaknya jamaah. Acara biasanya dimulai dengan berbuka puasa bersama, dilanjutkan dengan shalat Magrib, Isya dan kemudian tarawih. Yang hadir hingga memenuhi pekarangan dan pelataran masjid. Meskipun sudah berlangsung ratusan tahun, ternyata yang hadir jumlahnya makin banyak. Mereka datang bukan hanya dari Jakarta, tapi sekitar Jabotabek. Yang unik, mereka datang tanpa diundang, karena masjid-masjid yang menyelenggarakan acara itu dari tahun ke tahun waktunya tidak pernah berbeda. Tanjidor, Musik Jazz Betawi Betawi sangat kaya dengan ragam kesenian tradisional. Maklum sejak berabad-abad kota ini sudah didatangi beragam bangsa, antara lain bangsa Portugis yang datang sebelum Belanda. Bangsa dari Eropa Selatan itu ikut memasukkan unsur keseniannya dalam bentuk musik tanjidor. Karena dimainkan oleh sepuluh bahkan sampai belasan orang dengan berbagai alat musik, sehingga ada yang mengkategorikannya sebagai ''musik jazz Betawi''. Perkiraan asal muasalnya dari Portugis, karena berasal dari kata ''tanger'', yang berarti memainkan alat musik--pada pawai militer atau upacara keagamaan. Entah kenapa, kata ''tanger'' kemudian diucapkan jadi tanjidor. 115 Seni Sambrah, Ngibing dan Joged Kata sambrah berasal dari bahasa Arab, samarokh, yang artinya berkumpul atau pesta. Kata samarokh oleh orang Betawi diucapkan menjadi sambrah. Dalam kesenian Betawi, sambrah menjadi jenis kesenian musik atau orkes sambrah dan tonil sambrah. Orkes atau tonil ini biasa pentas di tempat orang berkumpul dan memeriahkan pesta. Seni sambrah, ngibing dan joget ini sangat digemari oleh komunitas Betawi. Orang-orang banyak yang terkadang terlalu nekat, menjual tanah hanya untuk pesta perkawinan atau khitanan. Tanda dimulainya hajatan adalah setelah tuan rumah meledakkan ratusan petasan yang dimulai dari petasan kecil dan diakhiri dengan dentuman beberapa petasan besar yang suaranya memekakkan telinga. Setelah itu, para penerima tamu dengan seragam khas muslim berjilbab menyambut tamu dan irama musik pun mulai mengalun. Seni Marawis Dua remaja berbaju koko asyik menari dengan iringan musik yang khas. Kakinya jinjit dan dihentak-hentakan mengikuti irama. Sesekali kedua remaja itu mengangkat tangannya. Saat tempo musiknya semakin cepat maka kaki pun semakin menghentak, dan tarian pun semakin bersemangat. Seni musik dan tarian yang mereka mainkan ini adalah seni marawis. Seni ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad yang lalu. Menurut Hasan Shahab, pegiat seni marawis Betawi, seni ini dinamakan marawis karena menggunakan alat musik khas yang disebut marawis. Seni Lenong Lenong, sebuah teater tradisional asli Betawi, berkembang sejak akhir abad 19. Sebelumnya masyarakat mengenal komedi stambul dan teater bangsawan yang dimainkan bermacam etnis dengan menggunakan bahasa 116 Melayu. Orang Betawi menirunya, dan lahirlah lenong. Sampai 1960-an, di pinggiran Jakarta bila ada hajatan hampir selalu nanggap lenong. Diiringi musik gambang kromong yang dipengaruhi alat musik unsur Cina, seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Alat musik selebihnya adalah khas Betawi, antara lain gambang keromong, gong, kendang, kempor, dan kecrekan. Kuatnya unsur Cina karena dulu orkes ini dibina dan dikembangkan oleh masyarakat keturunan Cina. Tapi lenong bukan cuma sarana hiburan atau rekreasi, tapi sekaligus mencerminkan ekspresi perjuangan dan protes sosial. Lakonnya mengandung pesan moral, menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Seni Topeng Seni yang digemari kalangan masyarakat Betawi lainnya adalah Topeng Betawi. Banyak yang mempersamakan jenis kesenian ini dengan lenong. Padahal ada perbedaan. Kalau lenong pengiringnya musik gambang keromong, sedagkan topeng musik Betawi asli. Kalau lenong menceritakan para jagoan melawan tuan tanah jahat, topeng menceritakan kehidupan masyarakat sehari-hari. Seni topeng ini dipengaruhi oleh kesenian Sunda. Seni Rebana Jabotabek sudah berkembang menjadi kota megapolitan, tapi kesenian rebana masih tetap mendapat tempat di hati masyarakatnya. Di tiap kampung yang ada pesantren, madrasah, majelis taklim, dan masjid dapat kita jumpai kesenian rebana. Seni ini sering ditampilkan untuk merayakan peringatan Maulid Nabi atau khitanan. Menurut seniman Betawi, Yahya Andi Saputra, rebana sampai ke Betawi dibawa oleh balatentara Kerajaan Islam Mataram pimpinan Sultan Agung ketika dua kali menyerang kota Batavia (1628 dan 1629). Lepas dari kegagalan untuk menaklukkan VOC, tapi banyak punggawa Mataram yang 117 kemudian menetap di Jakarta. Di antaranya menjadi mubaligh yang handal dan mewariskan sejumlah masjid tua. Rebana Biang Kata rebana, konon berasal dari kata ''Robbana'', yang berarti ''Tuhan kami''. Lama kelamaan alat musiknya disebut rebana, atau mengucapkannya dengan lafal robana, seperti di Ciganjur, Kebayoran Lama, dan Pondok Pinang. Di Jakarta, terdapat ratusan grup rebana dan kasidahan. Di samping manggung pada acara keagamaan, mereka juga menerima panggilan main pada acara-acara hiburan. Setiap grup rebana punya lagu yang berbeda. Bahkan kini, di samping menyanyikan lagu-lagu berirama padang pasir (Timur Tengah), juga lagu Melayu dan dangdut. Terutama dimainkan oleh grup ''rebana biang'' karena rebananya besar. Rebana Hadrah Kekhasannya adalah terdapat ”adu zikir”. Dimana biasanya ditampilkan dua grup yang silih berganti membawakan syair diwan hadroh. Grup yang kalah umumnya karena kurang hafal ketika membawakan syair. Yang dimaksud dengan ”adu dzikir” sebenarnya merupakan salah satu cara untuk mempertahankan seni tradisional yang dianggap sebagai bagian dari keyakinan keagamaan. Komunitas Betawi memandang bahwa meskipun kesenian, jika dilakukan dengan benar dan tidak melanggar normanorma dan norma kehidupan sosial kemasyarakatan akan mendapatkan pahala. Alasan mengejar pahala inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab mengapa komunitas Betawi sebisa-bisanya mempertahankan tradisi rebana hadrah ini. Rebana Burdah Kesenian rebana burdah dikembangkan oleh keluarga Ba'mar yang berasal dari Hadramaut. Keluarga ini tinggal di 118 Kampung Kuningan Barat, Mampang Parapatan, Jakarta Selatan. Sesepuh keluarga Ba'mar yang melahirkan kesenian rebana burdah adalah Sayid Abdullah Ba'mar, seorang yang kaya raya. Di masa jayanya, dia adalah pemilik sebagian besar tanah di kawasan segi tiga emas, Kuningan, dan Jl Gatot Subroto, Jakarta. Tuan tanah dan peternak ratusan sapi itu menganjurkan semua anak cucunya belajar rebana burdah. Lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri, berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, muncul kesenian rebana maukhid yang dikembangkan oleh Habib Husein Alhadad. Varian Muslim Tradisional Upacara Kelahiran Varian Muslim Tradisional yang dimaksud disini adalah masyarakat muslim Betawi yang yang sering menyebut dirinya sebagai penganut ahlu sunnah wal jama’ah (aswaja). Dalam tradisinya yang tetap dipertahankan sampai hari ini yang berkaitan dengan tradisi daur hidup mungkin memiliki sedikit perbedaan dengan daerah lain. Namun maksud dan tujuannya masih sama. Ketika menyambut kelahiran anak misalnya, mereka tidak mesti melaksanakan aqiqah, yaitu memotong kambing 1 ekor untuk menyambut bayi perempuan dan 2 ekor untuk menyambut kelahiran anak lakilaki. Namun demikian mereka pasti melaksanakan upacara selamatan dengan nasi tumpeng komplit dengan lauk pauknya seperti telur, ayam dan sayuran. Kemudian tidak lupa pula mereka menyiapkan bubur merah putih juga dalam selamatan itu. Dalam upacara itu selalu dibacakan naskah berjanji yang dipimpin oleh kyai atau ustadz. Bayi diangkat diputar ke seluruh undangan untuk dipotong rambutnya. Pada saat inilah sang bayi diberi nama oleh orang tuanya dan 119 disampaikan kepada undangan oleh kyainya. Pembacaan naskah berjanji ini tidak hanya untuk menyambut kelahiran bayi saja, tetapi juga untuk semua kegiatan upacara daur hidup, dan bahkan untuk menyambut hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Mengapa ketika menyabut hari kemerdekaan harus juga membacakan berjanji, bagi mereka kelahiran republik ini merupakan anugerah luar biasa bagi rakyat Indonesia dan lebih penting dari segala-galanya dalam perjalanan hidupnya. Oleh karena itu menyambut kemerdekaan di kalangan Betawi tidak sekdar mendatangkan dangdut dan layar tancep, tetapi banyak diantaranya diawali dengan tahlil dan pembacaan berjanji. Upacara Perkawinan Dalam perkawinan, secara garis besar prosesi yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan tradisi kaum muslim Jawa. Secara detail tidak mungkin dapat dijabarkan disini. Namun, perkawinan yang mereka lakukan dengan cara melalui perantara ataupun tidak, kemudian ada lamaran dan mengantar makanan, perabot rumah tangga dan sejumlah uang. Pada hari H-nya, seringkali menanggap orkes dangdut atau layar tancep, bahkan sekedar pesta perkawinan saja, namun pesta selalu meriah dengan banyak undangan. Jumlah nilai nominal uang dari para undangan (ampau) bervariasi, antara Rp 5.000 s.d Rp 100.000. Namun biasanya beberapa kerabat atau kawan menyumbang keperluan pesta, seperti beras, aqua, biaya tenda, biaya hiburan dan sebagainya tergantung dari kemauan mereka. Ini adalah bentuk salah satu solidaritas yang sampai hari ini masih dipertahankan, sehingga semua orang Betawi bisa menjalankan pesta perkawinannya secara meriah. Upacara Kematian Ketika anggota masyarakat meninggal, mereka beramairamai melakukan ta’ziah, menyolatkan jenazah, mengantar ke 120 kubur dan tahlil yang disambung membaca al qur’an di rumah selama 1 minggu. Ketika menyolatkan jenazah, biasanya ada salah satu petugas dari pihak keluarga membawa kantong berisi uang, kemudian berputar mengelilingi para jama’ah yang menyolatkan jenazah. Yang mereka lakukan adalah memasukkan amplop ke kantongkantong para jama’ah ketika sedang berdoa. Pada saat jenazah telah dikuburkan, maka diantara mereka segera memasang tenda (2 x 2 m) lengkap dengan tempat duduk di atas makam yang baru dikubur untuk keperluan membaca al Qur’an. Pembacaan al Qur’an itu dilakukan selama 1 minggu dengan secara estafet. Dalam kegiatan membaca al Qur’an seperti ini biasanya juga ada group-groupnya yang terkadang juga bersaing untuk mendapatkan kesempatan. Sehari semalam biasanya dilakukan oleh 6 orang dengan biaya rata-rata perhari 2 juta. Jika dilakukan selama 7 hari maka minimal mereka mengeluarkan uang sebanyak 14 juta. Oleh karenanya tidak jarang, mereka harus menjual tanah untuk keperluan itu. Kyai tidak kuasa menghalangi atau menyarankan tidak perlu seperti itu. Tapi tradisi tetap harus dijaga meskipun harus membayar mahal. Jika tidak dilakukan membaca al Qur’an di kuburan menurut pandangan masyarakat dianggap sebagai anak tak berbakti dan bahkan durhaka. Pembacaan al Qur’an itu konon katanya untuk menunda siksa kubur, karena disamping dikirim pahala membaca al Qur’an, malaikat masih mendengar orang membaca al Qur’an sehingga tidak menanyai si ahli kubur, tetapi asyik mendengarkan bacaan merdu dari al Qur’an itu. Sistim kekerabatan Dalam sistem kekerabatan, komunitas Betawi menganut patrilineal, yaitu keluarga yang menempatkan laki-laki sebagai yang superior. Bila ada keluarga memiliki anak laki 121 dan perempuan, asal yang perempuan sudah dinikahkan, maka dia menjadi tanggungan suami sepenuhnya. Dalam hal waris mereka seperti di Jawa, yaitu separuh dari laki-laki. Dalam keluarga selalu ada ayah, ibu, anak, nenek atau kakek yang hidup berkumpul di antara mereka. Merekapun sering melakukan silaturahmi di antara sanak saudara mereka, baik saudara yang dekat maupun jauh. Reuni keluarga banyak mereka lakukan, minimal dalam upacara daur hidup mereka akan berkumpul, seperti kelahiran, pernikahan dan kematian. Varian Muslim Modernis Upacara kelahiran, perkawinan, kematian, kekerabatan dan sistim Bagi muslim modernis (Muhammadiyah) di kalangan komunitas Betawi sangat kontras dalam mengamalkan tradisi daur hidup dengan muslim tradisional. Ketika anak lahir mereka selamatan dengan aqiqah dan memtong kambing sesuai dengan ketentuan. Tidak ada maulidan dan pembacaan berjanji/rawi, tapi silaturahmi dalam bentuk ceramah agama, ramah tamah dan kemudian menyantap makanan yang menu utamanya adalah daging kambing. Kalangan muslim modernis lebih simpel dan praktis dalam melakukan upacara menyambut kelahiran bayi. Dalam upacara perkawinan, mereka juga melakukan secara simpel. Bagi yang berada menanggap orkes dangdut, bagi kalangan menengah cukup selamatan dengan mengundang sanak saudara dan simpatisan mereka saja. Pestapun tidak dipersiapkan berhari-hari seperti di kalangan muslim tradisional. Semua keperluan diurus oleh aktifis ranting Muhammadiyah (urusan dapur diurus oleh ibu-ibu Aisyiah dan pemasangan tenda, pengadaan kursi oleh pemuda dan kaum bapak). Tuan rumah menyediakan dana secukupnya. Biasanya pesta dilakukan sangat singkat 122 meskipun di rumah, layaknya pesta di gedung. Sehingga tuan rumah tidak begitu lelah. Pada upacara kematian, muslim modernis lebih unik lagi. Pada waktu ada anggota keluarga meninggal, maka sanak kerabat (bukan kelompok dia saja) berdatangan melakukan ta’ziah. Semua konsumsi untuk keluarga dan mereka yang ta’ziah diurus oleh pengurus dan anggota Ranting Muhammadiyah, sehingga yang berduka tidak harus repot-repot untuk memasak makanan.Tidak ada pembacaan tahlil selama 7 hari, apa lagi membaca al-Qur’an 7 hari di kuburan yang biayanya sangat mahal, sepertti yang biasa dilakukan oleh kalangan muslim tradisional. Yang mereka lakukan dalam seminggu di rumah duka adalah pengajian ranting dengan menempatkan tuan rumah senyamannyamannya, tidak perlu masak, tidak perlu belanja dan sebagainya. Mengurus jenazah bagi mereka sangat simpel, yaitu dimandikan, dikafani, disholati dan didoakan, setelah jenazah dimakamkan, prosesi pemakaman diakhiri dengan doa. Menurut faham kalangan muslim modernis, selanjutnya terserah ahli kubur, karena hanya amal perbuatan ahli kubur sendiri yang mengakibatkan ahli kubur mendapat siksa kubur atau tidak, demikian pula kehidupanya setelah meninggal. Tidak ada pengiriman hadiah pahala kepada ahli kubur sebagaimana dilakukan oleh santri tradisional, karena menurut mereka pengiriman hadiah pahala tidak akan sampai dan tidak ada dalil yang kuat tentang hal itu11. 11 Diolah dari hasil wawancara dengan Muhammad Nasir, pensiuan guru agama yang sekarang sebagai sespuh di Cabang Muhammadiyah Pinang dan Cipondoh. 123 Peranan Kyai Pada Masyarakat Betawi Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ekspresi dan artikulasi kultural masyarakat kota Tangerang yang mulai cenderung metropolis, terbuka, moderat, simpatik, dan lugas (tanpa banyak basa-basi), serta jauh dari karakter feodalistik. Kehidupan sosial keagamaan masyarakat justru memperlihatkan tradisi feodalisme keagamaan, karena para tokoh agamalah yang dipandang menempati strata tertinggi dalam lapisan sosial, sehingga sangat dihormati masyarakat. Jika ada orang ingin melakukan pembaharuan kehidupan beragama, dia akan langsung berhadapan dengan anak buah kyai yang “memagarinya”. Sedikit saja aktifis membuat kekeliruan, maka seluruh cita-cita pembaharuan dapat kandas di tengah jalan, karena peran orang yang hidup di sekitar kehidupan kyai. Oleh karenanya, posisi kyai luar biasa tingginya di mata masyarakat, bahkan di mata para pejabat pemerintah. Di antara keduanya berusaha untuk tidak bertabrakan kepentingan, tetapi malah saling mendukung. Pemerintah butuh legitimasi para kyai dan kyai butuh perlindungan pemerintah. Sebuah situasi yang membahagiakan rakyat jika keduanya (ulama dan umara) saling mendukung dan melindungi untuk kemaslahatan umat. Kyai Yusuf misalnya, meskipun bukan kyai besar dan tidak memiliki pesantren besar, tetapi sangat dihormati oleh komunitas Betawi Tangerang. Hampir semua kyai pemilik pesantren di Tangerang pernah berguru/mengaji kepada Kyai Yusuf ini, sehingga pada saat-saat tertentu rumah Kyai yusuf ini sangat ramai dikunjungi oleh bekas-bekas muridnya yang sekarang sudah menjadi kyai. Bahkan Walikota Tangerang saat ini (Wahidin Halim) yang kebetulan juga Betawi asli sering silaturahmi ke kediaman Kyai yusuf ini untuk mendapat dukungan moral dan dorongan psikologis keagamaan. Bagi masyarakat Betawi pinggiran (Tangerang), Kyai Yusuf ini sangat memberkahi 124 siapa saja yang datang kepadanya, tutur katanya menyejukkan, motivasi agama dan keduaniaannya seperti mengetahui siapa tamunya, berkatanya tidak pernah keras, tidak pernah terlihat marah, sangat bersahaja, perkataanya selalu menjadi obat penenang. Banyak masyarakat datang kepadanya untuk berbagai keperluan. Peranan Jawara pada Masyarakat Betawi Kota Tangerang secara geografis adalah masuk wilayah Banten sejak jaman kerajaan Banten dahulu. Oleh karena itu budayanya juga lebih dipengaruhi oleh Banten dan Cina. Sebagaimana diketahui budaya adanya para Jawara adalah di Banten ini. Para Jawara ini sangat dekat dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Mereka mengawal dengan setia terhadap mereka yang dipandang harus dihormati. Meskipun para Jawara tidak selalu berada di dekat kyai, tetapi mereka merupakan body guard bagi para kyai. Jika terjadi sesuatu pada kyai, maka merekalah yang segera turun gelanggang untuk menghalaunya. 125 126 BAB IV PENUTUP Kesimpulan Dari deskripsi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut; 1. Komunitas Betawi mampu mempertahankan tradisi agamanya, karena semua tradisi itu dikemas dalam bentuk sebagai bagian dari kepercayaan agama yang harus terus diamalkan dan oleh karenanya semua media yang sifatnya dapat mengumpulkan orang menjalankan ajaran agama sekaligus mempertahankannya sesuai dengan paham keagamaan yang mereka miliki; 2. Konfigurasi yang terjadi antara komunitas Betawi dengan komunitas lainnya adalah saling membutuhkan sekaligus asimilasi. Mungkin saja pada suatu saat nanti posisi komunitas Betawi bersama tradisinya juga akan pudar seiring dengan asimilasi penduduk Betawi dengan pendatang dalam bentuk perkawinan yang terus berlangsung; 3. Tradisi keagamaan memang tidak mengalami perkembangan, tetapi dapat dipertahankan oleh siapa saja yang mengaku sebagai Betawi, terutama yang santri tradisional meskipun mengalami perubahan. Namun perubahan bukan menyangkut norma dan tatacara melaksanakan tradisi, yang berubah hanyalah tempat dan teknis belaka; Rekomendasi Dari penelitian ini, rekomendasi yang dapat disampaikan kepada pihak terkait untuk melakukan intervensi dalam kehidupan sosial keagamaan agar komunitas Betawi tetap mampu bertahan dalam mempertahankan tradisinya adalah memfasilitasi mereka dalam berbagai 127 bentuk yang sedapat mungkin bisa dilaksanakan. Misalnya, menyelenggarakan festival marawis, tanjidor, pembacaan barzanji, rawi, dan sebagainya. Karena tradisi-tradisi tersebut di samping dipandang sebagai tradisi yang baik, untuk melestarikannya perlu dana yang tidak sedikit. Jika pemerintah atau siapapun peduli akan pelestarian tradisitradisi tersebut, masyarakat Betawi akan lebih bergairah dan semakin giat melestarikan tradisi-tradisi yang mereka miliki itu. 128 DAFTAR PUSTAKA Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2002. Buchori, Ahmad, (Anak Betawi Nyang, Insya-Allah, Enggak Ketinggalan Zaman). Faisal, Sanafiah, “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial” dalam Burhan Bungiin, Ed Metodologi Penelitian Kualitatif: Metodologio penelitian Ke Araha Ragam kontemporer, jakarta, Raja Grafindi Persada, 2004. Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Analisis Historis, Mitra Cendekia, Jakarta, 2004. Maharsi, Varian Keagamaan Masyarakat Pesisir Pantai Selatan, Bantul Yogyakarta, UIN Yogyakarta, 2004. Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. Sodiqin, Ali, Tradisi Keagamaan Masyarakat Pesisir Selatan (Studi tentang Masyarakat Trisik Kulon Progo), dalam Jurnal Penelitian Agama, Pusat Penelitian UIN Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hal. 381. Lihat pula Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1999. http://anakbetawi.blogdrive.com/archive/12.html -o0o- 129 130 DAKWAH PLURALISTIK IKATAN JAMA’AH AHLUL BAIT INDONESIA DI KOTA BANDUNG Oleh: Achmad Rosidi DAKWAH PLURALISTIK IKATAN JAMA’AH AHLUL BAIT INDONESIA DI KOTA BANDUNG Achmad Rosidi BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang erjalanan sejarah umat Islam Nusantara sejak masa perjuangan sampai masa kemerdekaan hingga terbentuknya republik ini ditandai dengan kebersinggungan dengan berbagai aliran dan faham keagamaan, baik yang muncul dan tumbuh dari dalam maupun dari luar negeri. Pada era milenium ketiga, tepatnya orde pasca reformasi, sebagai dampak globalisasi dan iklim sosial-politik serta keterbukaan menempatkan Indonesia sebagai tempat yang subur bagi pertumbuhan dan perkembangan sebuah organisasi, termasuk organisasi keagamaan. Realitas demikian muncul disebabkan para aktifis organisasi tersebut ingin mencari solusi atas berbagai persoalan yang dipandang belum mampu dipecahkan oleh wadah atau organisasi yang ada. Lahir dan berkembangnya berbagai wacana (discourse) keagamaan menjadi bahan yang menarik bagi banyak kalangan. Indikasi bagi peningkatan jumlah masyarakat yang terdidik secara modern tetapi memiliki social origin Islam yang menambah keberagaman corak pemikiran itu dan berujung pada upaya penggalian wacana keagamaan baru yang positif, kritis, historis dan terbuka. P 131 Salah satu gerakan yang kemudian menjadi ormas Islam adalah Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Kelompok ini cepat mencuat ke publik, disebabkan salah satunya oleh ketokohan pendirinya, yaitu DR. KH. Jalaluddin Rakhmat, seorang cendekiawan muslim yang berasal dari Bandung. Ormas ini secara terang-terangan menamakan diri sebagai pecinta Ahlul Bait sehingga banyak kalangan kaum muslimin Indonesia memandang IJABI bermadzhab Syi’ah.1 Perjumpaannya dengan pemikiran dan madzhab Ahlul Bayt (Syi’ah) tersebut mengantarkannya sebagai tokoh yang giat mengembangkan pemikiran dan faham ajaran Syi’ah di Indonesia.2 Revolusi Islam Iran tahun 1979 turut menginspirasi pendirian organisasi ini. Revolusi ini dipimpin oleh Imam Khomeini, seorang pencinta Ahlul Bayt dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Sebagai ormas keagamaan, IJABI memiliki misi dakwah dan memperluas wilayah kepengurusan di seluruh wilayah Nusantara. Namun demikian, IJABI tidak mentahbiskan dirinya sebagai gerakan transnasional seperti halnya Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin dan lain sebagainya. Sesuai dengan visi dan misinya, IJABI lahir sebagai gerakan yang menghimpun pecinta Ahlul Bait apapun madzhab dan keyakinannya. Sebagai gerakan intelektual, ia mengusung pluralisme dan toleransi. Dan ini yang menjadikan IJABI __________________ 1 Ahul Bait Nabi adalah keluarga dan kerabat dekat Nabi. Syi’ah mendefinisikan Ahlul Bait adalah Nabi dan keluarga keturunan Imam Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra. Syi’ah di Timur Tengah (Iran, Irak, Syiria, Arab Saudi dan Libanon) menamakan diri dengan pecinta Ahlul Bait. Dan IJABI sendiri secara transparan menyatakan menganut madzhab Syi’ah, tetapi sudah disesuaikan dengan konteks Indonesia. 2 Wawancara dengan KH Jalaluddin Rahmat. Beliau sering menjadi narasumber mengenai Iran dan Syi’ah, dan banyak tulisannya yang membahas pemikiran Syi’ah. Menurutnya, IJABI bukan gerakan transnasional meski diakui bahwa IJABI mendapat pengaruh dari Ayatullah Sistani, tokoh gerakan Hezbullah di Libanon ataupun pengaruh Iran. 132 mendapatkan hati kalangan intelektual, terutama komunitas kampus.3 Konsep pluralisme tersebut menyatakan bahwa Islam dapat hidup berdampingan dengan kepercayaan dan agama lain dengan penuh kedamaian dan memberikan kebebasan kepada masing-masing pemeluk agama untuk menjalankan agamanya tanpa batasan.4 Pertikaian antara Sunni dan Syi’ah, semula disebabkan oleh politik. Syi’ah menuduh para sahabat mengambil alih hak Ali sebagai Khalifah sepeninggal Rasulullah. Dari masalah politik kemudian berkembang dalam masalah akidah dan madzhab fiqih. Doktrin iman Syi’ah mempercayai konsep imamah, raj’ah, taqiyah, dan badâ.5 Doktrin ini berlangsung sejak era awal kemunculan Syi’ah (kecuali raj’ah). Dengan mengetahui doktrin ini, sebuah gerakan dapat dikategorikan masuk dalam kelompok Syi’ah atau bukan. Doktrin yang nampak jelas pada IJABI adalah masalah imamah, sedangkan masalah imamah yang membedakan Syi’ah dengan kelompok lain. Para tokoh dan pengikut IJABI maklum dengan hal ini dan menyadari sepenuhnya jika mayoritas penduduk muslim Indonesia adalah muslim Sunni. Antara Syi’ah dan Sunni sering tidak sepaham dan selalu terjadi aksi penolakan. Akhirnya IJABI dituduh mengembangkan faham Syiah. Kasus pun muncul, beberapa kali anggota IJABI mengalami __________________ 3 Makalah, oleh Prof. Dr. HM Atho Mudzhar (EDISI REVISI), disampaikan pada Seminar “Membumikan Pemikiran Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Globalisasi”, diselenggarakan oleh Yayasan Dakwah Malaysia-Indonesia (YADMI) dan Pengurus Wilayah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Timur, pada 28 Desember 2008, di Hotel Inna Simpang, Surabaya, Jawa Timur, hal. 8. 4 al-Banna, Gamal, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur'an, Menara, Bekasi, 2006, hal. 32. Pemikiran pluralistik banyak mengikuti pemikiran Gamal al-Banna. 5 Makalah, Prof. Dr. HM. Atho Mudzhar, Ibid hal. 9. Dalam makalah tersebut disebutkan pernyataan Jalaluddin secara diplomatis dan bernuansa taqiyah, ia mengatakan: “Kami memperjuangkan syariat Islam yang bisa diterima non-Muslim”. Dikatakannya pula, “IJABI bersama non Muslim sedang memperjuangkan syariat Islam.” 133 penolakan umat Islam Ahl as-Sunnah, bahkan tidak jarang terjadi aksi anarkhis. Salah satu contoh aksi anarkhis terhadap pengikut IJABI terjadi di Bondowoso.6 Yang masih berlangsung hingga saat ini terjadi di Madura. Perbedaan cara pandang politik keagamaan justru menjadi persoalan umat, padahal umat membutuhkan solusi atas persoalan yang dihadapi, seperti masalah ekonomi, pendidikan, kesenjangan sosial dan moral. Peluang inilah yang dipandang IJABI sebagai sebuah sarana dakwah dengan pendekatan persamaan, keadilan dan kesetaraan dengan melekatkan diri sebagai pecinta Ahlul Bait. Pendekatan itu adalah pendekatan pluralistik, yaitu menghormati dan mengapresiasi perbedaan dan tidak memaksakan pemahaman dan penafsiran mengenai keselamatan dan kebenaran kepada pihak lain. Mengutip pernyataan Imam yang ma’shum, yaitu dengan mendahukan akhlak di atas fiqih (madzab, termasuk madzhab pemikiran dan aliran). IJABI hendak menampilkan wajah Islam yang benar-benar rahmatan lil álamin, Islam yang rasional-progresif (modern) namun tidak meninggalkan pedoman al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Islam tersebut yang mengharmoniskan aktivitas dan metode pendekatan fikir dan zikir secara proporsional, mendayung di antara dikotomi dua faham yang berbenturan keras, yaitu liberalisme dan fundamentalisme literal.7 Kehadiran IJABI di satu sisi mendapatkan resistensi dari mainstream umat Islam di Indonesia yang mayoritas Sunni. __________________ 6 Syaukani, Imam, Telaah Tindak Kekerasan terhadap Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia di Kabupaten Bondowoso, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2008, hal. 30. 7 Menurut Jalal, Tuhan menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji kaum muslimin, seberapa banyak memberikan konstribusi kebaikan kepada umat manusia. Kepada Tuhan-lah semua agama itu kembali, maka seseorang tidak boleh mengambil alih kewenangan Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apapun, termasuk dengan fatwa. 134 IJABI yang terkristal menjadi organisasi dituduh secara sistemik berfaham Syi’ah hendak menyebarkan ajarannya di Indonesia dan merupakan penetrasi revolusi Iran. Apapun bentuknya, Syi’ah dipandang tidak berubah sejak zaman klasik hingga sekarang.8 Sedang di sisi lain IJABI tidak memperoleh dukungan dari penganut Syi’ah Indonesia, karena dipimpin oleh bukan Habib (keturunan Nabi).9 IJABI berada di persimpangan, antara Sunni dan Syi’ah. Terlebih lagi IJABI mengusung dakwah pluralistik (neo-pluralisme) yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam. Dari latar belakang di atas, penulis memandang perlu untuk melakukan kajian mendalam mengenai dakwah plural tersebut secara komprehensif dengan melakukan penelusuran dari sumber pustaka, observasi maupun wawancara dari sumber yang valid. Untuk memfokuskan kajian, penelitian ini diformulasikan dalam rumusan-rumusan masalah sebagai berikut; pertama, bagaimana latar belakang munculnya IJABI; kedua, bagaimana dakwah pluralistik yang dikembangkan oleh IJABI; ketiga, apa manhaj dakwah yang menjadi panutannya.; keempat, bidang apa saja yang menjadi fokus dakwah pluralistik yang dijalankan IJABI; kelima, apa faktor pendukung dan penghambat dakwah pluralistik yang dilakukan oleh IJABI. __________________ 8 Resistensi ini belum massive, masih perkasus di seluruh Indonesia, seperti kejadian Bondowoso (lih; hasil penelitian Imam Syaukani tentang hal ini) dan di Madura yang hingga kini kasusnya masih berlangsung. 9 Pernyataan ini dilontarkan oleh Miftah Fauzi Rakhmat, putra KH Jalaluddin Rakhmat. Walaupun polemik tersebut menurut A Hidayat (sektretaris LKAB) kini sudah tidak dipersoalkan. Menurut Hidayat, para Habib Syi’ah di Indonesia tidak sejalan, karena belum waktunya Syi’ah membentuk organisasi di Indonesia. Langkah IJABI dipandang tergesa-gesa. 135 Metodologi Dalam kajian ini, untuk memperoleh data, penulis menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach). Sedangkan tahapan yang dipakai adalah; a) penentuan fokus kajian. Informasi awal diperoleh melalui internet, makalah, publikasi ilmiah (jurnal, buku-buku, dsb), dari media cetak maupun elektronik dan dari diskusi melalui milist (dunia maya). Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang bahwa IJABI melakukan gerakan intelektual dengan berbalut pluralisme. Kemudian, persoalan difokus pada IJABI dengan pertimbangan gaya dakwah plural ini memunculkan kontroversi, baik di kalangan mainstream umat Islam, khususnya di Kota Bandung. Fakta yang pernah terjadi kantor sekretariat IJABI pernah didatangi oleh Forum Umat Islam pimpinan KH Athian Ali, disebabkan IJABI mendukung Ahmadiyah dan membantu orang-orang Kristen dalam melakukan aksi sosial. Isyu ini tentu saja sangat merisaukan.;10 Kedua, pengayaan informasi terhadap fokus masalah yang ditelaah melalui eksplorasi dokumen dan literatur; Ketiga, melakukan observasi langsung ke lapangan (field research) sekaligus mengumpulkan informasi terkait dari pihak-pihak yang dinilai dapat menjelaskan masalah secara komprehensif, seperti: para pelaku, korban, kepolisian, kejaksaan, ulama, pemerintah daerah, anggota masyarakat sekitar tempat kejadian perkara (TKP), dan mereka yang diduga sebagai pemicu konflik; dan Keempat, melakukan __________________ 10 Di media massa dan elektronik pernah dimuat komentar tetang kegiatan IJABI, seperti di beberapa media berikut ini: “Pengajian Syiah Diserang Massa, Polisi Diminta Bertindak Fair”, 28/12/2006, de-tik.com; “Seputar Pengusiran Jamaah IJABI di Bondowoso”, 5/1/2007, NU Online; “Tolak Kelompok IJABI”, 12/4/2007, Surya Online; “Kehadiran Aliran Syiah Ditentang Warga” dalam Suara Rakyat, 8/6/2006; “Bahaya Ajaran Syiah terhadap Ajaran Ahl as-Sunnah waljamaah” dalam Buser, 6/8/2006. 136 analisis data, baik data tertulis (dokumen, berita di surat kabar, majalah) maupun rekaman hasil wawancara (recording) dengan memegang prinsip triangulasi secara konsisten.11 Untuk memperoleh data, metode yang dipergunakan adalah observasi lapangan, wawancara dan sumber data sekunder. Peneliti melakukan observasi di Kota Bandung dengan melihat dinamika dan gambaran IJABI berdasarkan situasi mereka berada.12 Kajian Teori Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk mencari ridha, beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam.13 Kata dakwah merupakan masdar “da’watun” (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.14 Sedangkan secara istilah, dakwah menurut beberapa definisi sebagai berikut: 1. Menurut Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan mengikuti petunjuk (agama) menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan mungkar, agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.15 __________________ 11 Ida Bagoes Mantra. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004; Burhan Bungin. Ed. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. hlm. 186-194. 12 James A Black, at.al, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung, hal. 285. 13 Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kamus Istilah Keagamaan Islam, Jakarta, hal. 3. 14 Ali Aziz, Muhammad, Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 1993, hal. 3. 15 Mahfudz, Syaikh Ali, Hidayatul Mursyidin, Dar al-Ma’rifah, tt., hal. 17. 137 2. Dakwah menurut Abu Bakar Atjeh adalah seruan kepada semua manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik.16 3. Dalam buku Ilmu Dakwah, Toha Yahya Umar menyebutkan bahwa dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah, untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.17 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disebutkan di sini bahwa dakwah merupakan proses penyampaian ajaran Islam dari seseorang atau individu kepada individu atau kelompok lain. Materi yang disampaikan itu berupa perintah melakukan kebaikan dan larangan berbuat kejahatan (amr ma’ruf nahi munkar). Upaya penyampaian risalah (dakwah) itu dilakukan secara sadar dengan maksud dan tujuan untuk membentuk pribadi yang shaleh, keluarga yang bertaqwa, umat yang terbaik, taat menjalankan ajaran Islam.18 Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan Ilmu Islam" atau ad-dakwah al-Islamiyah. Orang yang menyampaikan dakwah –da’i/-muballigh – adalah orang-orang yang memiliki dasar-dasar keilmuan tentang Islam secara komprehensif, karena persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslimin sangat komplek. Da’i/muballigh harus memberikan contoh (suritauladan) yang baik bagi umatnya. Da’i/muballigh sebagai ujung __________________ 16 Atjeh, Abu Bakar, Beberapa Catatan mengenai Dakwah Islam, Ramadani, Solo, 1979, hal. 6. 17 Oemar, Thoha Yahya, Ilmu Dakwah, Wijaya Jakarta, 1976, hal. 1. 18 Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, Paramadina, Jakarta, 2004, hal. 45. 138 tombak kemajuan Islam memiliki tugas berat, namun sangat mulia di sisi Allah. Sedangkan sasaran dakwah adalah masyarakat luas yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Maka tugas da’i/muballigh adalah menyampaikan ajaran Islam agar mudah diterima oleh masyarakat luas. Pluralistik dalam bahasa Inggris berasal dari kata plural (adj) berkaitan dengan dengan bentuk jamak (plural) lebih dari satu. Pluralistic juga pluralist (adj) dari kata plural (sifat), yaitu dari keragaman dalam sebuah komunitas masyarakat (dalam ilmu sosial), seperti keragaman ras, politik, agama dan kepercayaan. Keragaman itu terutama agama dan kepercayaan akan baik dan harmonis manakala para penganutnya dapat hidup bersama penuh kedamaian dalam suatu komunitas.19 Istilah pluralistik berkaitan dengan plural (jamak, keragaman). Jadi dakwah pluralistik yaitu ragam metode dakwah untuk menyampaikan risalah (Islam) kepada mad’u (sasaran dakwah, umat - red) dengan melihat dan memahami keragaman mad’u, meliputi keragaman organisasi politik, latar belakang pendidikan, ormas, madzhab dan agama serta perbedaan-perbedaan lainnya. Dengan dakwah pluralistik, da’i tidak mempersoalkan perbedaan hal-hal yang mendasar lainnya yang ada pada mad’u. Yang prinsip dan diutamakan adalah menjunjung tinggi akhlak mulia. Paradigma keagamaan pluralistik yang ditempuh oleh IJABI tidak memandang agama lain dari sudut pandang agamanya sendiri (Islam), yang mengakibatkan penilaian kriteria kebenaran iman dan teologi berdasarkan kebenaran menurut hati nuraninya. Kebenaran agama dipandang secara __________________ 19 English Dictionary, Oxford, Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, UK, 2000, p. 971. 139 obyektif, benar menurut keyakinan masing-masing penganut agama dan keyakinannya. Paradigma keagamaan pluralistik tidak memandang agama sendiri lebih baik (benar) daripada agama dan keyakinan orang lain.20 Paradigma keagamaan pluralistik memandang agama lain dari sudut pandang agama tersebut dan menjadikan kriteria kebenaran iman dan teologi itu menurut perspektif agama itu sendiri. Para pemikir pluralistik hendak berada dalam kerangka cara berpikir yang demikian. Tingkat perbedaannya berada pada pemahaman masing-masing. John Hick (An Interpretation of Religion, 1989 dan Rainbow of Faiths, 1995) yang memakai dasar filosofis untuk posisi pluralistik, misalnya, melakukan sebuah terobosan baru yang disebutnya “sebuah tafsiran religius tetapi tidak konvensional atas agama-agama dalam keragaman bentuknya”. Menurut Hick, “filosof agama dewasa ini harus memperhitungkan, tidak hanya pemikiran dan pengalaman dalam agamanya sendiri, tetapi pada dasarnya pikiran dan pengalaman agama seluruh umat manusia”. Hick mendefinisikan agama sebagai “ragam tanggapan manusia terhadap hal yang transenden”, dan tanggapan terhadap realitas transenden yang tunggal itu ada banyak. Namun keragaman tanggapan itu harus dapat menjawab perbedaan kepercayaan, pengalaman teologi ajaran, kitab suci, ritual, tata tertib, etika dan cara hidup kepada agama lain, dengan tidak mengklaim kebenaran sendiri. Akan tetapi persoalannya, bagaimana menjelaskan “keragaman jawaban” itu? Bagaimana menjelaskan perbedaan kepercayaan, bentuk pengalaman, teologi-ajaran, kitab suci, ritus, tata tertib, etika __________________ 20http://myresponsability.wordpress.com/2008/08/04/mencari-kriteriakebenaran-religius-lintas-agama/ 140 dan cara hidup, aturan dan organisasi sosial, dan sebagainya? Bagaimana mempertanggungjawabkan sebuah klaim kebenaran yang merupakan dasar berpikir khas agamaagama? Prinsip pluralitas adalah kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi. Plularitas agama lebih baik daripada satu agama. Dengan adanya keberagaman akan tercipta kondisi saling berlomba dalam kebajikan. Sikap toleransi dan saling melengkapi lebih baik daripada sikap saling berseberangan. Pluralisme atas dasar toleransi merupakan anugerah dan kesempurnaan, mengajak pada nilai-nilai cinta, kebaikan dan keadilan. Dengan nilai-nilai kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing agama, akan tercipta kondisi saling berlomba dan berperan dalam membangun peradaban.21 Kajian Terdahulu Tentang IJABI, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama telah melakukan kajian, yakni; 1. Penelitian yang dilakukan oleh Drs. Wakhid Sugiyarto berjudul: Ikatan Jama’ah Ahlul Bait. Kajian ini menghasilkan temuan sebagai berikut: a. IJABI adalah organisasi keagamaan baru yang mengembangkan ajaran Islam versi Ahlul Bait, karena ajaran Islam garis Suni dipandang kurang lengkap rujukannya. IJABI memandang mayoritas umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam garis Ahlul Bait, padahal secara historis dan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan; __________________ 21 al-Banna, Gamal, Ibid, hal. 34 141 b. IJABI merupakan salah satu icon gerakan Syi’ah di Indonesia, meskipun sesungguhnya IJABI mengajarkan semua firqah dan madzhab dan non sektarian; c. IJABI mengajak kaum muslim untuk kritis dalam menerima ajaran Islam dari siapapun dan dari manapun untuk menghindari kepalsuan dan kesesatan; d. Kanwil Departemen Agama Jawa barat dan Kantor Departemen Agama Kota Bandung belum mengenal sama sekali eksistensi IJABI. e. Penelitian ini juga mengemukakan gerakan pluralisme IJABI, tetapi tidak membahas secara khusus. Fokus kajiannya adalah pada keorganisasian IJABI. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Drs. H. Umar R Soeroer, MM (alm) yang berjudul Ikatan Jama’ah Ahlul Bait di Makassar. Penelitian ini menyimpulkan: a. IJABI didirikan bedasarkan ketidakrelaan para tokoh pendiri IJABI, atas hilangnya sumber ajaran kebenaran Islam, yaitu sumber ajaran Islam yang berasal dari kalangan Ahlul Bait. b. Basis IJABI di Makassar terdiri dari anak-anak muda yang progresif. Ketertarikan anak muda Makassar (aktivis mahasiswa) bergabung dengan IJABI tidak terlepas dari persentuhan mereka dengan pemikiranpemikiran revolusioner Iran, seperti Ali Syariati, Thaba Thabai dan Imam Khomeini yang mereka kaji melalui forum kajian. Buku-buku pemikir Iran itu berhaluan Ahlul Bait (Syiah) yang revolusioner, kritis dan pluralis sehingga memunculkan ketertarikan tersendiri. 142 c. IJABI Makassar dalam melaksanakan berbagai program bekerjasama dengan berbagai lembaga eksternal seperti: Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (NU), PW Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan, Ikatan Mesjid Mushallah Indonesia Makassar (IMMIM), melakukan bakti sosial. Selain itu, IJABI juga membangun kerjasama dengan lembaga: ICAS Paramadina Jakarta, ICRP Jakarta, LSM OASE Jakarta, The Jalal Center for The Englightenment (JCE), Yayasan Muthahari Bandung, Prophetic Philosophy Center (PPC) Makassar, Akademi Filsafat Lentera (AFL) Makassar, dll. d. Masyarakat memandang tidak ada untungnya mempertentangkan paham Syiah atau bukan Syiah. Sebagai paham, lebih baik dibiarkan saja. Kepada masyarakat diserahkan untuk memilih, menerima atau menolak kehadiran Ikatan Jemaah Ahli Bait Indonesi (IJABI). Karena belum tentu semua jemaah Ahlul Bait adalah penganut paham Syiah. Yang jelas mereka adalah kumpulan orang-orang yang mencintai keluarga Rasulullah Saw. 3. Penelitian oleh Imam Syaukani, S.Ag, MH tentang Konflik Sunni-Syi’ah di Bondowoso yang menyimpulkan: a. Pertama, resistensi terhadap IJABI (khususnya kasus Jambesari) merupakan puncak akumulasi ketidaksenangan sebagian masyarakat Bondowoso terhadap keberadaan Syiah. b. Kedua, ketidakterusterangan penganut Syiah dan miskinnya informasi yang benar tentang Syiah 143 membuat sebagian masyarakat menerima begitu saja informasi negatif tentang Syiah yang dibawa kalangan anti-Syiah. c. Ketiga, masyarakat mudah terprovokasi, karena bagi masyarakat pendhalungan, segala bentuk pelecehan terhadap agama bila perlu harus dilawan dengan tidak kekerasan, kendati harus mengorbankan nyawa sekalipun. d. Keempat, kurangnya peran mediasi MUI dan Departemen Agama dalam mengayomi anggota masyarakat yang berbeda keyakinan, bahkan ironisnya ditengarai ikut menyebarkan virus kebencian terhadap penganut Syiah. Beberapa kajian di atas juga membahas masalah pluralisme, dan gerakan dakwah yang dilakukan oleh IJABI dengan strategi ini. Namun, secara spesifik dalam ketiga penelitian tersebut tidak dijelaskan lebih spesifik mengenai seluk beluk dakwah pluralistik, sasaran-sasarannya, sarana, obyek kegiatan dakwahnya dan sebagainya. Oleh karena itu, penelitian ini hendak menyorot masalah dakwah pluralistik yang dikem-bangkan oleh IJABI dan mengetahuinya lebih mendalam. Sistematika Pembahasan Kajian ini disusun berdasarkan sistematika pembahasan berikut ini: Bab Pertama, adalah bab Pendahuluan. Pada bab ini disajikan latar belakang masalah yang memuat alasan memilih judul penelitian dan fokus penelitian yang diformulasikan dalam rumusan masalah. Dipaparkan pula metode penelitian, kerangka teoritik, dan sistematika pembahasan. Bab Kedua, sekilas IJABI dan Dakwah Pluralistik. Pada bab ini disajikan karakteristik IJABI dan dakwah plural yang digeluti oleh 144 IJABI, dianggap dapat membantu memperjelas hasil penelitian. Bab Ketiga, alasan mengapa resistensi itu terjadi. Keempat, dakwah pluralistik perspektif IJABI yang merupakan hasil analisis aktivitas dakwah IJABI dengan menggunakan konsep pluralisme. Juga menjelaskan wacana Syiah dan IJABI di Indonesia sejak kemunculanya hingga fase perkembangan dan pengiriman kader pelajar ke Qom, Iran. Bab kelima adalah Penutup berisi kesimpulan, yang merupakan temuan penelitian, dan saran-saran. 145 146 BAB II SEKILAS IJABI DAN DAKWAH PLURALISTIK Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Sekilas Sejarah Pendirian O rganisasi ini dideklarasikan pada tanggal 1 Juli 2000, bertempat di Gedung Merdeka Bandung. IJABI berakta Notaris di Bandung pada hari Senin, 26 Juni 2006 di hadapan Notaris Erny Kencanawati, SH.MH. Sebagai tokoh pendiri IJABI adalah Dr. H. Djalaluddin Rahmat, M.Sc, dan Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Ing. Dalam acara deklarasi ini dihadiri oleh Gus Dur yang waktu itu masih menjabat sebagai Presiden RI.22 Visi, Misi dan Karakteristik Visi IJABI adalah menghimpun para pecinta Ahlulbait (as) apapun madzhabnya. Sedangkan misi yang diemban adalah: pertama, pencerahan pemikiran Islam; dan kedua, pemberdayaan mustadh’afin. Pencerahan pemikiran Islam meliputi; a) memperkenalkan ajaran Ahlul Bait (as); b) membantah secara intelektual argumentasi yang menyerang Ahlul Bait (as); c) menyediakan wahana untuk studi kritis tentang ilmu-ilmu Islam; d) mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam; e) melakukan penelitian dan kajian tentang ajaran dan masyarakat Islam. Misi pemberdayaan mustadh’afin meliputi; a) mempersatukan para pengikut Ahlul Bait (as); b) membangun __________________ 22 Sugiarto, Wakhid, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2008, hal. 13. 147 perekonomian masyarakat Ahlul Bait (as); c) menyediakan bantuan kepada mereka yang membutuhkan; d) memberikan bantuan hukum kepada para pengikut Ahlul Bait (as); e) meningkatkan kekuatan politik Ahlul Bait (as). Karakteristik yang dibangun oleh IJABI adalah; a) tidak berpolitik; b) non-sektarian; c) mengutamakan akhlak; d) menjunjung persaudaraan; dan e) mencerahkan pemikiran. Kepengurusan Organisasi Kepengurusan organisasi IJABI terdiri dari Dewan Syuro, Tanfidziyah, Sekjen dan Bendahara. Sebagai Ketua Dewan Syuro adalah KH Jalaluddin Rakhmat. Sedangkan yang duduk di Ketua Tanfidziyah adalah H. Furqon Bukhori. Secara hierarki, kepengurusan dari tingkat pusat hingga daerah adalah Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah, dan Pengurus Cabang. Organisasi ini, di dalam negeri memiliki 29 Koordinator Wilayah, 83 pengurus daerah, 145 pengurus cabang. Sedangkan di luar negeri perwakilan ada di Iran, Maroko, Mesir dan Saudi Arabia. Jumlah anggota seluruhnya adalah 2,5 juta orang.23 Program Kaderisasi Masalah kaderisasi merupakan masalah yang sangat penting dan harus diperhatikan bagi kelangsungan sebuah organisasi. IJABI sangat intensif melakukan pembinaan para kader, terutama kader-kader yang memiliki loyalitas dan kualitas SDM yang dapat diandalkan. Pendidikan kader dilakukan melalui pembinaan mental intelektual yang dilakukan secara berkala mingguan, bulanan dan tahunan. Secara terstruktur, IJABi tidak membuka lembaga pendidikan kader dengan kurikulum doktrin IJABI. Namun, IJABI mendorong para kader yang memiliki kualitas SDM untuk __________________ 23 148 Dikutip dari “Profile IJABI 2000-2007”. melanjutkan pendidikan tinggi. Khusus pengiriman kader IJABI ke Iran, wujudnya adalah bantuan rekomendasi pimpinan IJABI yang bertujuan memudahkan para kader secara teknis dapat belajar di Iran, sedangkann persoalan finansial diserahkan kepada masing-masing kader.24 Pembinaan kaderisasi seluruh Indonesia secara terjadwal dilakukan 3 bulan sekali, yang disebut konsolidasi bertempat di Jakarta. Agenda pertemuan 3 bulan itu adalah training keagamaan; training mengenai pupuk organik; trai ning pengembangan proyek sosial dan proyek pem bangunan ekonomi lainnya.25 Bekerja sama dengan Depdiknas, IJABI menyelenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM), salah satu PKBM yang dinilai sukses oleh Diknas berlokasi di Purwokerto.26 Paham Keagaamaan yang Dikembangkan Madzhab Pemikiran Teologi Secara teologi, IJABI mengikut faham Syi’ah (faham Ahlul Bait) golongan Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah dan Isma’ iliyah. Mayoritas anggota IJABI adalah Syi’ah Imamiyah. Tapi IJABI membuka kesempatan kepada siapa saja, tidak harus mengikuti madzhab mayoritas ini. Karena sifat IJABI yang pluralistik menjadikannya dapat menerima siapa saja.27 __________________ Wawancara dengan Furqan Bukhori, Ketua Umum IJABI. Wawancara dengan KH. Jalaluddin Rakhmat. 26 Wawancara dengan Furqan Bukhori 27 Wawancara dengan KH. Jalaluddin Rakhmat. Sebagai contoh, pengurus IJABI wilayah Bali, sekretarisnya adalah orang Hindu, yang terpenting ia mencintai Imam Ali. 24 25 149 Moral Landasan moral dakwah IJABI berdasarkan pada tuntunan al-Hadits al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagaimana yang tercantum dalam salah satu karakteristik IJABI yakni menjunjung persaudaraan dan non-sektarian. IJABI memiliki landasan moral untuk mengajak setiap orang dari apapun golongan dan madzhabnya menjalankan agama sebagaimana diajarkan oleh para imam Ahlul Bait. Sebagai sesama umat, IJABI berupaya memberikan perhatian pada mustadh’afin dan membantu mereka. Karena jumlah mustadh’afin di Indonesia adalah mayoritas. Madzhab Keagamaan Praktek Ibadah Faksi Syi’ah anggota IJABI dalam praktek ibadah terbagi dalam tiga (3) madzhab besar, yakni: a) Syi’ah Ima miyah/Ja’fariah/Itsna’asyariyah; b) Zaidiyah; dan c) Isma’ iliyah. Secara rutin anggota IJABI melakukan do’a Kumayl dan Jausyan Kabir.28 Anggota IJABI (mayoritas Syi’ah Imamiyah), mengambil referensi fiqih ibadah kepada Imam Ali Khamaini Iran.29 Mayoritas anggota IJABI berasal dari Arab dan non-Arab mengikuti madzhab Syi’ah Imamiyah. Sedangkan pengikut Zaidiyah kebanyakan adalah warga Syi’ah Indonesia keturuhan Arab. Syi’ah Zaidiyah terbilang hampir mirip dengan madzhab Sunni. Syi’ah Ismailiyah dianut oleh warga IJABI Bali, mereka kebanyakan keturunan India.30 Sebagaimana dipaparkan oleh Ketua Umum dan Ketua Dewan Syuro, Syi’ah yang dianut oleh IJABI tidak __________________ Wawancara dengan Ust. Miftah Fauzi Rakhmat dan Babul Ulum. Wawancara dengan Furqan Bukhori 30 Wawancara dengan KH. Jalaluddin Rakhmat. 28 29 150 sepenuhnya mengikuti Syi’ah Timur Tengah. Contohnya, IJABI melarang warganya untuk mut’ah meskipun mut’ah adalah doktrin Syi’ah. Kegiatan Sosial Keagamaan Kegiatan keagamaan yang rutin diselenggarakan oleh IJABI dengan melibatkan masyarakat lingkungan, diantaranya pemotongan hewan kurban, buka puasa bersama, pengajian rutin menjelang buka puasa dan pengajian mingguan.31 Perayaan hari-hari besar seperti ’Asyuro, Kegiatan keagamaan bersama pemeluk agama lain seperti perayaan Natal bersama yang diselenggarakan di gereja Kota Bandung.32 Sementara itu, kegiatan sosial dengan melibatkan umat (Kristen, Katolik, Budha) antara lain bakti sosial, membagikan sembako, membagikan pakaian pantas pakai, khitanan massal, penyuluhan kesehatan, pemeriksaan medis dan pengobatan gratis, pemberian makanan padat gizi dan bersih lingkungan.33 Dakwah Pluralistik Prinsip, Metode dan Aktivitas Dakwah Penganut agama apapun baik Islam, Kristen dan agamaagama lain di dunia ada yang berfaham eksklusif, yang beranggapan bahwa hanya orang yang memeluk agamanya yang masuk surga. Di luar agamanya, tidak akan masuk surga. Cara pandang demikian berdasarkan pada benar dan salah, hitam dan putih.34 Islam datang sebagai agama besar secara kuantitas, namun di dalamnya terdapat berbagai madzhab. Dua madzhab __________________ Wawancaraa dengan Sukardi, bagian kepemudaan IJABI Bandung. Wawancara dengan Harmonis, Sekretaris IJABI Jawa Barat. 33 Profil IJABI tahun 2000-2007. 34 Wawancara dengan Ust. Ma’mun, Ketua IJABI Jawa Barat. 31 32 151 terbesar dalam Islam adalah Sunni dan Syi’ah. Masing-masing bila bersikap eksklusif, dirinya paling benar akan masuk surga dan yang lain salah akan masuk neraka, sebetulnya hal demikian itu telah mengecilkan kelompok besar umat Islam.35 Metode dakwah yang digunakan adalah dengan pendekatan kemanusiaan, kesamaan sebagai makhluk Tuhan. Manusia di depan Tuhan memiliki kedudukan yang sama, kebutuhan yang sama dan hajat yang sama yaitu hajat membutuhkan dan menyembah Tuhan. Kegiatan dakwah biasanya dilakukan bertepatan dengan momentum-momentum tertentu, seperti pada perayaan harihari besar umat beragama, perayaan hari-hari nasional, pada saat ada musibah dan sebagainya. Contoh kegiatan yang pernah dilakukan adalah bakti sosial oleh Pengurus Wilayah Fathimiyah Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia Jawa Barat. Kegiatan bakti sosial ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Mukarromah Pasirhonje Padasuka Bandung pada 27 Februari 2005. Kegiatan ini melibatkan 5 orang dokter, 5 orang perawat, 7 orang apoteker, 3 orang asisten apoteker, bagian pendaftaran 3 orang dan 12 orang bagian umum. Selain kegiatan pengobatan, juga dibagikan pakaian bekas layak pakai kepada pasien yang berobat di kegiatan ini. Jumlah pasien yang ikut dalam kegiatan ini sebanyak 260 orang. Tenaga medis didatangkan dari Rumah Sakit Baromeus Bandung RS. Baromeus Jl. Juanda No 100 Bandung. Kegiatan serupa juga dilaksanakan di Dusun Singkup Nanggerang Kecamatan Tanjungsari Sumedang Jawa Barat pada tanggal 1 Mei 2005. Jumlah pasien mencapai 380 orang. Dokter yang terlibat sebanyak 4 orang, perawat sebanyak 5 orang dan apoteker 1 orang. Para pasien memberikan kesan yang sangat baik dan memunculkan kegembiraan mereka __________________ 35 152 Ibid. seraya mengharapkan kegiatan ini terus dilaksanakan tiap tahun. Pelaku Dakwah Para pelaku dakwah IJABI adalah seluruh anggota IJABI dari apapun latar belakangnya, dengan melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki kesamaan ide dengan IJABI. Pada prinsipnya medan dakwah sangat luas, sehingga bagi IJABI sangat penting merangkul siapa saja yang bisa diajak untuk mengembangkan dakwahnya, terutama pihakpihak yang mencintai Ahlul Bait, apapun madzhabnya. Para pecinta Ahlul Bait tersebut tidak harus masuk menjadi anggota IJABI. Sarana Dakwah Sarana dakwah yang ditempuh oleh IJABI adalah dengan cara pemberdayaan umat di beberapa sektor, seperti pendidikan, ekonomi, budaya. Sektor pendidikan, IJABI bekerjasama dengan pemerintah mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar, dan ini tergolong sukses. Juga menyelenggarakan training-training yang memberikan wawasan keilmuan. Perbaikan ekonomi IJABI menggandeng beberapa instansi yang memiliki keahlian di bidangnya, seperti cara berternak, cara membuat pupuk organik dan lain sebagainya. 153 154 BAB III DAKWAH PLURALISTIK IJABI Dakwah Pluralistik Perspektif IJABI A ktivitas dakwah pluralistik IJABI merupakan sebuah warna dakwah yang dikembangkan oleh kelompok ini. Memang, telah banyak ragam dakwah dan keberagaman itu adalah khazanah yang bernilai mahal artinya bagi eksistensi umat Islam. IJABI sangat mafhum bahwa kemajemukan (pluralitas) merupakan sunnatullah yang tersurat dalam al-Qur'an. Pluralistik dakwah IJABI juga terinspirasi oleh arus pemikiran cendekiawan muslim kontemporer, salah satunya adalah seorang tokoh dari Mesir, Gamal al-Banna.36 Gamal Al Banna juga dikenal sebagai seorang tokoh pembaruan fikih di Mesir. Pembaruan yang dilakukan Gamal di bidang fiqih dipandang kontroversi. Pembaruan fikih telah cukup lama menggelegar di dunia Islam. Pada bulan Desember 1995 al-Banna menggulirkan wacana pembaruan fikih dengan diluncurkan buku yang berjudul Nahwa Fiqhin Jadid (menuju fikih baru) jilid pertama. Kemudian disusul dengan jilid kedua (1997), dan terakhir jilid ketiga (1999). Langkah Gamal langsung “menusuk” jantung persoalan; yaitu dasar hukum Islam. Sebagaimana dimaklumi, dasar hukum Islam yang populer selama ini adalah; al-Qur’an, Hadis, Ijma’ __________________ 36 Gamal al-Banna adalah adik tokoh pendiri gerakan Islam sayap kanan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Menurut Jalaluddin Rakhmat, Gamal al-Banna itu berubah dari seorang eksklusif menjadi pluralis. (Lihat: Jalaluddin Rakhmat: Islam dan Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006. hal. 19). 155 dan Qiyas. Dengan buku ini Gamal merombak dan menata ulang dasar hukum Islam di atas menjadi; Akal, Nilai-nilai Universal Alquran, Sunnah dan Adat Istiadat.37 Konsep pluralitas – dalam bahasa Arab yaitu ta’addudiyah – adalah suatu hal yang wajar (sunnatullaIh) sebagaimana digali oleh al-Banna berdasarkan kenyataan pluralistik umat Islam, dan itu didasarkan pada konsep alQur'an. Al-Qur'an menyeru dan memberikan pemahaman otentik mengenai pluralisme. Gamal al-Banna mengulas masalah pluralitas dengan berpijak dari konsep dan prinsip penting dalam Islam, yaitu tauhid. Dengan konsep tauhid itu, Gamal al-Banna menyatakan bahwa selain Allah adalah nisbi dan plural. Hanya Allah yang Esa. Keyakinan demikian menurut Gamal al-Banna dapat menumbuhkan kesadaran bahwa kemutlakan hanya milik Allah, dan yang selain-Nya adalah plural. Ketauhidan yang benar akan membawa kesadaran terhadap pluralitas. Dengan mengakui keesaan Allah dan pluralitas dalam al-Qur'an, Gamal al-Banna ingin mempertegas bahwa mengakui adanya pluralitas di dalam masyarakat berarti penegasan kepada prinsip utama dalam Islam, yakni tauhid kepada Allah. Pengakuan terhadap pluralitas berarti pengakuan terhadap adanya masyarakat (Muslim) yang tidak berwajah tunggal, monoton, dan stagnan, melainkan plural dan beraneka ragam.38 Sebagai sunnatullah, pluralitas manusia tidak akan bisa dihilangkan sampai kapan pun hingga akhir zaman. Dalam pluralitas terdapat makna perbedaan, persamaan, __________________ http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=6&id=482. Azyumardi Azra dalam pengantar buku: Pluralitas dalam Masyarakat Islam, karya Gamal al-Banna, (terj) MataAir, 2006, hal. viii. 37 38 156 keberagaman yang sangat fitrah, universal dan abadi. Tanpa adanya pluralitas, manusia tidak akan mungkin meraih kesuksesan dan bahkan ia tidak mungkin dapat menjalankan kehidupan.39 Pluralitas merupakan karunia yang tetap memiliki nilai-nilai positif dan akan memperkaya sikap hidup bersama dan kompetisi yang sehat sebagaimana dalam alQur'an, yaitu berlomba-lomba dalam kebajikan. Doktrin pluralis menyatakan bahwa semua pemeluk agama memiliki peluang yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga berdasarkan kriteria masingmasing.40 Dalam buku Gamal al-Banna dinyatakan: ”Keberanian luar biasa dalam merampas wewenang Allah! Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yang menenggelamkan manusia ke dalam neraka? Atas dasar apa mereka membangun kesimpulan itu? Bagaimana kesadaran mereka atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan? Kasih sayang seorang ibu hanyalah satu dari seratus kasih sayang-Nya. Dia tidak akan menenggelamkan manusia ke dalam neraka, kecuali manusia-manusia pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi”.41 __________________ Ibid. Rakhmat, Jalaluddin: Islam dan Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006. hal. 20 41 al-Banna, Gamal, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, Menara, Bekasi, 2006, 39 40 hal. 41. 157 Metode dakwah plural ini sebagai metode dakwah yang dilakukan oleh IJABI pada saat berhadapan dan berkomunikasi dengan agama dan aliran di luar Islam dan aliran kepercayaan. Sedangkan prinsip dakwah yang dilakukan pada saat berhadapan dengan internal umat Islam. dengan mendahulukan akhlak di atas fiqih Gerakan dakwah pluralistik IJABI tidak mengusung pluralisme agama yang diusung oleh kelompok Islam Liberal. Antara pluralisme dakwah IJABI dan isyu pluralisme agama Islam Liberal terdapat perbedaan yang mendasar.42 IJABI tidak sepakat dengan gagasan pluralisme agama (menyamakan kedudukan semua agama). Pluralisme yang dikembangkan saat ini telah sampai ke level operasional ranah kehidupan sosial, seperti diperbolehkannya kawin beda agama.43 __________________ Wawancara dengan H. Furqan bukhori. Husaini, Adian,. Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang tegas dan Tidak Kontroversial, al-Kautsar, Jakarta, 2005, hal. 35. 42 43 158 BAB IV WACANA SYIAH DAN IJABI Klasifikasi Kelompok Umat Islam S ebelum sampai pada pembicaraan mengenai Syi’ah di Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui kelompok-kelompok yang ada di tubuh umat Islam. Merujuk pada pendapat Syaikh Abdul Halim Mahmud,44 kelompok-kelompok umat Islam terbagi menjadi dua (2) kelompok besar, yakni ahzab diniyah (partai-partai politik) dan firaq diniyah (kelompok-kelompok keagamaan). Ahzab diniyah tidak berkaitan dengan persoalan akidah kecuali hanya sepintas. Sedangkan firaq diniyah tidak berkaitan dengan persoalan-persoalan pemerintahan kecuali sepintas. Partai politik masa silam adalah Syi’ah dan Khawarij, sedangkan kelompok keagamaan (sesuai dengan urutan masa) adalah Musyabbihah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan aliran Ibnu Taimiyah (salaf). Syaikh Abdul Halim Mahmud dan Syaikh Muhammad al-Husain al-Kasyif al-Ghitha sepakat bahwa imamah merupakan ciri utama yang membedakan dengan kelompok lain.45 Ahl as-Sunnah wal Jama’ah __________________ 44 Syaikh Abdul Halim Mahmud adalah mantan pemimpin al-Azhar yang sunni dan sufi. Pendapat beliau mendukung Syaikh Muhammad al-Husain al-Kasyif al-Ghitha, tokoh kenamaan Syi’ah. 45 Shihab, Muhammad Quraish, Sunnah-Syi’ah, Bergandengan Tangan. Mungkinkah? Lentera Hati, Ciputat, 2007, hal. 54 159 Sunnah artinya tradisi, dan Ahl as-Sunnah berarti orangorang yang konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta para sahabat. Tidak dapat dikatakan secara pasti, kelompokkelompok yang termasuk Ahl as-Sunnah. Ada yang berpendapat bahwa Ahl as-Sunnah muncul sebagai reaksi atas paham Mu’tazilah pimpinan Washil bin Atha. Selain Mu’tazilah terdapat Maturidiyah (Samarkand dan Bukhara) yang tradisionalis dan lebih dekat dengan Asy’ariyah. Maturidiyah dan Asy’ariyah akhirnya disebut dengan Ahl asSunnah. Syaikh al-Azhar Salim al-Bisyri pernah mengirimkan surat kepada tokoh Syi’ah Abdul Husain Syarafuddin alMusawi. Ditulis di dalam surat itu bahwa Ahl as-Sunnah adalah golongan terbesar kaum muslimin yang mengikuti aliran Asy’ari dalam urusan akidah dan keempat imam madzhab (Malik, Syafi’i, Ahmad dan Hanafi) dalam urusan syari’ah.46 Sedangkan menurut Muhammad ‘Imarah – guru besar Universitas al-Azhar Kairo Mesir – Ahl as-Sunnah adalah: ”Mayoritas umat Islam yang anutannya menyatakan bahwa manusia diciptakan Allah dan bahwa baik dan buruk adalah karena Qadha dan Qadar-Nya. Mereka enggan membicarakan pergulatan/perselisihan para sahabat Nabi menyangkut kekuasaan. Mereka juga memperurutkan keutamaan khulafa’ ar-Rasyidin sesuai dg urutan masa kekuasaan mereka. Mereka membaiat siapa yang memegang kekuasaan, baik penguasa yang taat maupun yang durhaka dan menolak revolusi dan pembangkangan sebagai cara untuk mengubah keadilan __________________ 46 160 Ibid. hal. 58. dan penganiayaan. Mereka berpendapat bahwa rizki bersumber dari Allah, baik rizki yang halal maupun yang haram”.47 Syi’ah Sebenarnya kelompok Syi’ah juga menamai diri mereka dengan Ahl as-Sunnah, karena mereka juga mengikuti tuntunan Sunnah Nabi sebagaimana kewajiban umat Islam menjadikan Nabi sebagai panutan. Karena tanpa mengikuti Nabi, niscaya keislaman seseorang akan menjadi sia-sia. Kata Syi’ah secara etimologi berarti pengikut, pendukung, pembela, pecinta yang semuanya mengarah kepada makna dukungan kepala individu dan kelompok tertentu. Menurut Jawad Maghniyah – ulama Syi’ah – menyatakan bahwa Syi’ah adalah kelompok yang meyakini ketetapan Nabi mengenai khalifah pengganti beliau dan telah menunjuak Ali.48 Definisi ‘Ali Muhammad al-Jurjani – seorang sunni – penganut Asy’ari menyatakan bahwa Syi’ah adalah mereka yang mengikuti Sayyidina ‘Ali r.a. dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Rasul SAW dan percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.49 Pengertian Syi’ah yang terakhir tertuju pada Syi’ah Itsna’asyariyah (Syi’ah mayoritas). Sejarah Munculnya Syiah Pada waktu Rasulullah SAW wafat, sebagian para sahabat Muhajirin dan Anshor berkumpul di Saqifah untuk membicarakan pengganti Rasulullah SAW dalam urusan pemerintahan. Wahyu kenabian memang telah putus seiring wafatnya Nabi, namun urusan negara harus dicari __________________ Ibid, hal. 59. Maghniyah, Muhammad Jawad, Asy-Syi’ah wa al-Hakimun, Percekan alAhliah Beirut, cet. II, 1962, hal. 14. 49 ‘Ali bin Muhammad al-Jurjani, At-Ta’rifat, Dar al-Kitab al-Mashry, Cairo, cet. I, 1991, hal. 142. 47 48 161 penggantinya. Pada saat itu, Umar bin Khatab mengusulkan agar Abu Bakar al-Shiddiq ditunjuk sebagai Khalifah. Sebagian besar sahabat menyetujuinya, maka untuk pertama kali sepeninggal Rasullullah, Abu Bakar dibaiat untuk menjadi khalifah. Peristiwa tersebut berlangsung saat jenazah Nabi belum dimakamkan. Perbincangan politik di Saqifah ini mengundang kritik, karena urusan jenazah Nabi belum dituntaskan, tetapi umat Islam sudah membicarakan kekuasaan. Peristiwa Saqifah ini menjadi cikal bakal tumbuhnya benih perpecahan politik-teologis umat Islam, dalam dua faksi besar: Sunni dan Syi’ah.50 Bagi kalangan Syiah, kesepakatan politik di Saqifah itu merupakan penyerobotan atas hak Ali bin Abi Thalib, yang dipandang sebagai pewaris yang sah kepemimpinan Islam (imamah) pasca-Rasulullah. Bagi kalangan Sunni, peristiwa di Saqifah itu jadi obyek kajian menarik untuk mendiskusikan mekanisme pengangkatan pemimpin dalam Islam. Dari persoalan politik, lambat laun persoalan Syi’ah merambah ke persoalan akidah dan madzhab fiqih. Semula Syi’ah menganggap Ali bin Abi Thalib yang paling berhak menjadi khalifah setelah Nabi sesuai dengan petunjuk Allah melalui Al-Qur'an dan hadits Rasulullah. Syi’ah juga mengakui bahwa Rasulullah telah menunjuk dua belas khalifah setelahnya. Mereka seluruhnya adalah keturunan Ali bin Abi Thalib. Imam bagi Syi’ah memiliki dimensi teologis, sosial politik dan hukum. Para imam adalah orang yang sempurna dan terpilih sejak di dunia dan akhirat. Sekte-sekte Syi’ah Sebagaimana telah disebutkan pada bab terdahulu, terdapat sekte-sekte dalam Syi’ah. Kemunculan sekte-sekte ini berlatar belakang perbedaan pendapat tentang beberapa hal __________________ 50 162 http://www.gatra.com/artikel.php?id=100485. yang dipandang prinsipil. Sekte-sekte Syi’ah yang besar diantaranya Ghulat, Imamiyah, Isma’iliyah dan Zaidiyah. Masing-masing kemudian juga pecah menjadi beberapa sekte kecil. Aqidah Syi’ah Dalam Sunni, rukun iman adalah pertama, iman kepada Allah; kedua, iman pada para malaikat; ketiga, iman pada Rasul-rasul-Nya,; keempat, iman pada kitab-kitab-Nya; kelima, iman pada hari kiamat; keenam, iman pada qadla dan qadar. Sedangkan dalam keyakinan Syi’ah, rukun iman, yaitu; pertama, ma’rifatullah: iman kepada Allah, pada para malaikat dan kitab-kitab-Nya; kedua, keadilan Allah: qadla dan qadar; ketiga, Nubuwah; keempat, Imamah; kelima, hari pembalasan. Ajaran Sunni mengenal rukun Islam yaitu; syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan rukun Islam menurut Syi’ah adalah ma’rifatullah, shalat, puasa Ramadhan, zakat dan khumus, haji dan jihad membela agama (dengan jiwa dan harta). Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang, Syi’ah mempercayai konsep imamah, raja’, taqiyah, dan badâ. Imamah Konsep imamah yakni mempercayai Ali bin Abi Thalib merupakan yang paling berhak menggantikan Nabi sebagai Imam (khalifah) daripada para sahabat. Syi’ah menuduh para sahabat telah merampas hak itu dari Imam Ali. Syi’ah juga meyakini bahwa Imam Ali dan keturunannya (Ahlul Bait) adalah Imam yang ma’shum dan periwayatan hadits dari para imam ma’shum ini lebih utama daripada Hadits yang diriwayatkan dari jalur para sahabat. Tidak jarang Syi’ah menunjukkan kebencian kepada para sahabat Nabi dan ini yang sering menjadi pemicu konflik antara Ahl as-Sunnah dan Syi’ah. Konsep imamah di kalangan Syi’ah Imamiyah berdasarkan pada kaidah perurutan dari ayah ke anak yang 163 terbesar kecuali pada Imam Hasan dan Imam Husein. Walau demikian, imamah tidak berpihak pada keturunan Imam Hasan, tetapi hanya pada keturunan Imam Husein. Berikutnya adalalah Imam Ali Zainal Abidin, lalu pada putranya Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq. Putera Imam Ja’far yang terbesar adalah Ismail, tetapi karena Ismail wafat saat ayahnya masih hidup, maka ia menunjuk putranya yang lain, yaitu Musa bin Ja’far (al-Kadzim) menjadi Imam menggantikannya bila ia wafat. Kaidah ini terlanggar, karena jika diterapkan maka setelah Imam Ja’far adalah Ismail. Jika Ismail meninggal, maka sebenarnya putera Ismail yang menjadi Imam, tetapi berpindah ke Musa bin Ja’far (alKadzim). Di sinilah munculnya Syi’ah Ismailiyah yang mempercayai bahwa Imam yang ketujuh adalah Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq.51 Doktrin Ahl as-Sunnah hampir mirip dengan Mu’tazilah mengenai masalah imamah dan berbeda dengan Syi’ah Itsna’asyariah.52 Syi’ah Ahl as-Sunnah Mu’tazilah Itsna’asyariyah a. Imamah termasuk a. Imamah tidak a. Imamah masalah masalah ushul dan termasuk ushul furu’iyah, bukan rukun iman. atau rukun iman, ushul. tetapi masalah furu’iyah. b.Imamah bukan b.Imamah b.Urusan imamah urusan umum, ditetapkan secara diserahkan kepada tetapi ditunjuk musyawarah, umat, oleh umat dari untuk umat. pemilihan, ikhtiar, umat dan dipilih __________________ 51 Shihab, Muhammad Quraish, Sunnah-Syi’ah, Bergandengan Tangan. Mungkinkah? Lentera Hati, Ciputat, 2007, hal.172 52 Zidny, Irfan, Bunga Rampai Ajaran Syi’ah, kumpulan makalah dalam “Mengapa Kita Menolak Syi’ah”, LPPI, Jakarta, 1998, hal. 43-45. 164 pendapat dan secara musyawarah ijma’, bukan (ijma’ dengan ikhtiar ditunjuk. dan pendapat). c. Para imam adalah c. Imam tidak c. Para imam adalah ma’shum secara disyaratkan manusia biasa. mutlak. ma’shum dan tidak tersembunyi. d. Imamah sistem d. Imamah sistem d. Imamah sistem kepemimpinan kepemimpinan kepemimpinan kharismatik. publik, publik, kharismanya kharismanya karena kredibilitas karena kredibilitas imam. imam. e. Imam adalah e. Imam memiliki e. Orang biasa yang manusia luar biasa kedalaman ilmu memiliki kapabilitas, yang tidak pengetahuan berpegang pada aldimiliki oleh agama, Qur’an dan Hadits manusia biasa, kemampuan dan dapat menjadi tapi ditentukan sempurna anggota imam. Tuhan. badan. Raj’ah Doktrin raj’ah artinya secara bahasa adalah kembali. Sedang menurut kepercayaan Syi’ah, adalah: kembalinya hidup di pentas bumi ini sejumlah orang yang telah meninggal dunia. Keyakinan ini muncul pada masa kehadiran imam ke-12, yakni Imam Mahdi sebelum hari kiamat. Raj’ah yang dianut oleh Syi’ah Imamiyah yaitu Allah akan menghidupkan kembali Imam az-Zaman al-Mahdi, sekelompok orang dari pengikutnya yang telah meninggal agar mereka memperoleh keberuntungan karena membela dan mendukung beliau serta memyaksikan negaranya dibangun. Allah juga menghidupkan kembali musuh-musuh beliau agar membalas dendam terhadap mereka. Dengan demikian mereka meraih kelezatan melalui apa yang mereka 165 saksikan dari hak dan ketinggian kalimat pendukungnya.53 Namun Raj’ah ini tidak menjadi titik penekanan akidah Syi’ah, karena definisinya yang masih belum terang. Dengan begitu, pengingkaran pada doktrin ini tidak masuk kategori pengingkaran (keluar dari agama). Taqiyah Taqiyah dari segi bahasa artinya pemeliharaan atau penghindaran. Sedangkan secara istilah, taqiyah adalah meninggalkan sesuatu yang wajib demi memelihara diri atau menghindar dari ancaman atau gangguan. Taqiyah sebenarnya telah lazim dipakai orang sebagai praktek sembunyisembunyi untuk memperluas ajarannya. Secara umum, Syi’ah sangat kental dan intens menggunakan taqiyah ini. Badâ Badâ secara bahasa artinya penampakan, diketahuinya sesuatu setelah sebelumnya tidak nampak atau tidak diketahui. Syi’ah mengakui konsep ini (badâ). Sifat badâ dinisbahkan dan terjadi pada Allah swt bahwa pengetahuan Allah terbatas, tadinya diketahui-Nya, namun setelah berlalu sekian waktu ternyata apa yang Dia ketahui itu keliru.54 Syi’ah di Indonesia Periode Awal Kedatangan Pada tanggal 11 Februari 1979 Syah Iran, rezim diktator Reza Pahlevi tumbang oleh sebuah Revolusi spektakuler yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini.55 Sejak revolusi itu, __________________ 53 Shihab, Muhammad Quraish, ibid. hal. 186. kalimat tersebut bersumber dari Bihar al-Anwar yang dinukilnya dari surat as-Sayyid al-Murtadha sebagai jawaban atas pertanyaan penduduk ar-Ray. 54 Shihab, Muhammad Quraish, ibid. hal. 169. 55 Imam Khomeini berasal dari Kota Khomein, sebuah kota berjarak 349 km sebelah barat daya Teheran. Khomeini adalah pemimpin spiritual karismatik di mata kaum Syi’ah Iran dengan gelar Ayatollah Ruhullah. 166 paham Syi’ah merambah ke berbagai Negara. Gema jihad melawan kemungkaran dari Iran dikumandangkan dan memperoleh sambutan dan respon positif umat Islam dunia. Gerakan ekspansi semangat revolusi paham Syi’ah ini ada yang menyebut sebagai ekspor revolusi. Gerakan ini sempat memunculkan kekhawatiran sebagian umat Islam, terutama kalangan Sunni. Gaung revolusi itu pun sampai di Indonesia. Buku-buku terbitan Iran pun membanjiri Indonesia, terlebih lagi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Syi’ah yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait kemudian berkembang pesat. Di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa kota yang lain di luar Jawa. Gerakan yang ditempuh oleh penggiat madzhab Ahlul Bait ini ada yang agresif dan ada yang lambat. Ada yang secara frontal dan ada yang secara lembut. Tujuan utama dari gerakan ini adalah memperkenalkan Syi’ah kepada panggung politik dunia untuk mengakui keberadaan Syi’ah sebagai salah satu aliran yang sah di dunia Islam.56 Untuk mengetahui apa dan siapa Syi’ah memang agak sulit, karena salah satu doktrin gerakan ini (taqiyah) menjadi bagian penting dalam aqidah Syi’ah.57 __________________ 56 Abdullah al-Kaff, Thohir, Perkembangan Syi’ah di Indonesia, (bunga rampai: Mengapa Kita Menolak Syi’ah). Ed. Umar Abduh&Kirtos Away, LPPI, Jakarta, 1998, hal. 55. 57 Abdullah al-Kaff. Ibid. hal. 56. dengan taqiyah, seseorang memutarbalikkan fakta untuk menutup-nutupi sesuatu keyakinan dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Keharusan taqiyah ini disandarkan pada sikap Imam Ja’far al-Shadiq (imam ke 6) yang menyatakan: “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku, seseorang tidak dianggap beragama bila tidak ber-taqiyah”. (Lih. Ushulul Kaafi, Juz II, hal. 219). Sedangkan taqiyah menurut Madzhab Sunni disandarkan pada al-Qur'an dan al-Hadits secara tekstual. Taqiyah tidak wajib hukumnya, namun ia menjadi mubah pada saat menghadapi kaum musyirikin demi menjaga jiwa dari siksaan yang menimpa sehingga tidak mudah-mudah ber-taqiyah. 167 Setiap orang Syi’ah harus bertaqiyah di depan siapa saja, baik orang mu’min (yang bukan madzhabnya) maupun dengan orang kafir atau ketika kalah beradu argumentasi, untuk menjaga keselamatannya dan pada saat kondisi minoritas.58 Periode Pasca Revolusi Iran Keberadaan Syiah di Indonesia mengalami momentum sejak terjadinya Revolusi Islam yang dimotori para mullah pada 1979. Pengaruh ajaran dan pemikiran madzhab Syiah cukup besar di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini antara lain dapat dilihat dari marak terbitnya buku-buku karya para pemikir Syiah, seperti Ali Syariati dan Murtadha Mutahhari, maupun buku-buku yang mengkaji madzhab Syiah. Kelompok-kelompok studi yang mengkhususkan diri pada kajian tentang madzhab Syiah juga bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. Di Bandung, Jawa Barat berdiri Yayasan Muthahhari..59 Di Pekalongan, Jawa Tengah berdiri Pesantren al-Hadi yang dipimpin Ahmad Baraqbah, alumni Qum, Iran. Secara jelas, beliau mengakui bahwa pesantren yang didirikannya itu adalah pesantren Syiah satu-satunya di Pekalongan”. Di Bangil, Jawa Timur, berdiri Yayasan Pesantren Islam (YAPI) secara terbuka menyatakan diri sebagai penganut madzhab Syiah. Kantong-kantong Syiah di Jawa Timur yang lain adalah Surabaya, Situbondo, Malang, Bondowoso, dan Jember. Alumni YAPI telah tersebar di seluruh Indonesia. Bahkan, __________________ Ibid. Muthahhari adalah nama seorang tokoh Syi’ah terkemuka. Yayasan Muthahari bergerak di bidang pendidikan. Ust. Miftah membantah kalau Muthahari dijadikan wadah kaderisasi anggota IJABI, walaupun tidak dapat dipungkiri Kepala Sekolah dan beberapa orang guru adalah anggota IJABI. 58 59 168 mereka membuka cabang di Sorong dan Ambon. Sementara itu di Makassar, Sulawesi Selatan, sejak April 1994 berdiri Yayasan al-Islah, sebuah forum sosial yang secara khusus mendalami ajaran Syiah. Maraknya penyebaran Syiah ini tidak hanya berlangsung di pelosok daerah saja, tapi di Jakarta pun banyak terdapat lembaga kajian Syiah. Sekurangkurangnya terdapat 25 yayasan dan lembaga kajian yang khusus mengkaji doktrin Syiah.60 Menurut Achmad Alatas – Ketua Yayasan Nuruts Tsaqolain yang berpusat di Masjid Husainiyyah, Jl. Boom Lama No. 2 Semarang – menyatakan bahwa Habib Abdul Kadir Bafaqih, pimpinan Pondok Pesantren al-Khairat Bangsri Jepara sebagai ulama yang pertama kali terang-terangan menahbiskan diri sebagai penganut Syiah di Jawa Tengah. Ia sebelumnya bermadzhab Sunni. Kemudian mulai mengajarkan akidah Syiah kepada santri-santrinya. Konsekuensi dari pilihan itu, sebagian santri pindah ke lain tempat. Tapi dari para santri yang bertahan, faham Syiah kemudian berkembang.61 Yayasan/lembaga organisasi Syi’ah di Indonesia di antaranya, Yayasan Pesantren Islam (YAPI) Bangil Jatim, Yayasan al-Muntazhar Jakarta, Yayasan al-Jawad Bandung, Yayasan Mulla Shadra Bogor, Yayasan al-Muhibbin Probolinggo Jatim, dan Pesantren al-Hadi Pekalongan. Sedangkan majalah dan bulletin Syiah yang beredar di Indonesia di antaranya: al-Majalah Yaum al-Quds diterbitkan oleh Seksi Pers dan Penerangan Kedutaan Iran di Jakarta, al- __________________ 60 A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed). Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, Th. 1995; Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan. 2000. hlm. 33. 61 http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/11/nas07.htm. 169 Majalah al-Mawaddah Forum Komunikasi Ahlul Bait Indonesia (FKABI), Bulletin al-Jawad, Majalah al-Hikmah, Yayasan Muthahari Bandung, Majalah al-Musthafa Jakarta, Bulletin al-Ghadir, Yayasan al-Jawad, Bulletin At-Tanwir Yayasan Muthahhari dan Bulletin Ibnu Sabil Pekalongan. Pengiriman Kader Pelajar Ke Qum Kader-kader yang belajar di Iran tidak dapat dilacak keberadaannya meskipun oleh KBRI. Mereka belajar di Iran bukan di perguruan tinggi, melainkan di pondok-pondok milik para Mullah (hauzah). Keberangkatan para kader ke Iran hingga kini tidak melalui prosedur resmi.62 Menurut Jalaluddin Rakhmat, keberangkatan kader-kader Syi’ah ke Iran tidak melalui prosedur resmi seperti beasiswa dari Pemerintah Iran.63 Lembaga yang paling menonjol telah mengirimkan santri-santri ke Iran yakni Pesantren YAPI Bangil dan Pesantren al-Hadi Pekalongan. Karena keberangkatan mereka ke Qum sebagai kader, maka sepulangnya dari Iran, para kader itu membuka pengajian-pengajian Syi’ah di berbagai tempat atau ditugaskan ke beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon, Manado, Gorontalo, Sorong, Papua, Maluku, Kupang dan Flores dengan misi menyebarkan faham Syi’ah.64. Faksi-Faksi Syi’ah di Indonesia Ketergabungan dengan organisasi atau tidaknya, Syi’ah di Indonesia secara garis besar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar; yaitu: __________________ 62 Abdullah al-Kaff, Thohir. Ibid. hal. 67 mengutip Jurnal Ulumul Qur’an No 4 vol. VI, tahun 1995 hal. 102. 63 Jurnal Ulumul Qur’an No 4 vol. VI tahun 1995, dalam wawancara dengan Jalaluddin Rakhmat. 64 Abdullah al-Kaff, Thohir. Ibid. hal 68. 170 Syi’ah tergabung dalam IJABI Ketika IJABI dideklarasikan di Bandung dan mengusung wacana Ahlul Bait, semua media baik cetak maupun elektronik mengkategorikan IJABI sebagai Syiah. Misalnya Metro Bandung pada 2 Juli 2000, menulis judul pemberitaannya: Lama Disembunyikan, Syiah pun Lahirlah. Tabloid Mingguan TEKAD tanggal 10-16 Juli 2000 mencantumkan sebuah gambar yang pada indeksnya ditulis: Syiah di Iran: Di Indonesia Organisasi bernama Ahlul Bait. Begitu pula dengan GATRA yang menulis anak judul: Deklarasi Syiah. Para aktivis IJABI mengakui bahwa IJABI memang berbasis pada ideologi Syiah. Tetapi IJABI tidak dihadirkan di Indonesia sebagai bagian organisasi internasional. IJABI tidak berposisi sebagai cabang Syiah Indonesia yang memiliki garis struktural dengan organisasi Syiah di Iran. IJABI adalah organisasi independen yang mencoba mengumpulkan para pecinta Ahlul Bait di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak. Kalaupun IJABI memiliki hubungan yang intens dengan Iran (terbukti dengan banyaknya anggota IJABI yang melanjutkan kuliah di Iran), hal tersebut karena adanya persamaan visi sebagai sesama penganut ideologi Ahlul Bait. IJABI berhaluan Syiah Itsna Asyariyah moderat (Syi’ah Ushuliyah). Syi’ah modern banyak berkembang di Irak.65 IJABI termasuk Syi’ah Ushuliyah, karena dipandang lebih moderat dalam melakukan penafsiran dan pemahaman agama. __________________ 65 Sebagaimana diketahui, Syiah Itsna Asyariyah terbagi menjadi dua, yaitu Akhabariyah dan Ushuliyah. Syiah Akhbariyah adalah kelompok Syiah fundamentalis dan tekstualis, sedangkan Syiah Ushuliyah adalah Syiah yang mengusung wacana moderat dan demokrasi. 171 Sebagai gerakan Syi’ah moderat, IJABI didirikan dalam konteks ke Indonesiaan dan menjungjung tinggi nilai-nilai moralitas Indonesia. Seperti kawin mut’ah, melalui ketetapan anggaran dasarnya, IJABI melarang anggotanya untuk melakukan kawin mut’ah, meski mut’ah dianggap sebagai bagian dari ajaran Syi’ah.66 Deklarasi IJABI pada tahun 2000 dimaknai sebagai ikrar dan deklarasi spirit persatuan kaum muslimin berdasarkan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi, sebagai pengembang amanah yang senantiasa memelihara sunnah beliau. IJABI sebagai suatu ormas, tidak memiliki kebijakan untuk mengintervensi penerapan syariat/madzhab tertentu kepada anggotanya maupun simpatisan. Syi’ah non-IJABI Pada tahun 2000, menurut pengakuan Ahmad Baraqbah – salah seorang alumni Qum Iran – menyebutkan bahwa terdapat tidak kurang dari 40 Yayasan Syi’ah yang tersebar di seluruh kota besar, seperti Malang, Jember, Pontianak, Jakarta, Bangil, Samarinda, Banjarmasin dan sebagainya, kemungkinan saat ini telah bertambah lagi. Tetapi dari sekian banyak lembaga dan yayasan, tidak semua menjadi anggota IJABI. Antara lain yang tidak berada di bawah koordinasi IJABI adalah Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB) yang berpusat di Bintaro. Sedangkan kelompok lainnya berjalan sendiri-sendiri. Walau demikian, komunikasi antar penganut Syi’ah di Indonesia tetap terjalin. Hal ini dapat disaksikan pada perayaan hari-hari besar Syi’ah (Asyuro, Ghadir Khum dsb). __________________ 66 Soeroer, Umar R, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia di Makassar, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Jakarta, 2008, hal. 42. 172 Lembaga yang mengkoordinir kegiatan penganut Syi’ah adalah ICC (Islamic Culture and Civilization) Jakarta.67 ICC merupakan sebuah lembaga dakwah yang memiliki hubungan yang intensif dengan pemerintah Iran, sehingga banyak kalangan menilai misi Iran dalam menyebarkan paham Syi’ahnya melalui pintu ICC. IJABI: Antara Organisasi Dakwah atau Sekte Syiah? IJABI yang lahir sebagai gerakan intelektual dengan berbalut pluralisme dan toleransi68 sejak semula dipandang sebagai kelompok yang bermadzhab Syi’ah. Namun, ciri khasnya yang tidak sama dengan kelompok Syi’ah lainnya pun kemudian memunculkan pertanyaan apakah IJABI itu organisasi keagamaan berfaham Syi’ah yang bergerak di bidang dakwah atau kelompok keagamaan yang memiliki faham dan ciri khas ritual tersendiri? Atau dalam ilmu sosial disebut dengan sekte, dalam hal ini sekte Syi’ah. Dalam Oxford Dictionary disebutkan: ”Sect (noun) a small group of people who belong to particular religion but who have some beliefs or practices which sparate them from the rest of the group”.69 Bryan Wilson memberikan pengertian mengenai sekte dalam pernyataan berikut: The concept of the sect has a very distinctive history. In English, it is a term that designates a religiously separated group, but in its historical usage in Christendom it carried a distinctly pejorative connotation. A sect was a movement committed to heretical belief and often to ritual acts and __________________ Wawancara dengan Abdullah Beik, Sekretaris ICC Jakarta. Makalah Prof. Dr. HM Atho Mudzhar. Ibid. 69 English Dictionary, ibid. p. 1154. 67 68 173 practice, that departed from orthodox religius procedurs. In practice, the Christian sect often rejected the liturgical ceremonial of the churches, and it declared itself competent without the services of priest (who claimed to have a monopoly of legitimate religius functioning as intermediaries between God and men). 70 Sedangkan dalam Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial disebutkan, konsep mengenai sekte dan gerakan kepercayaan biasanya mengacu pada kelompok religius atau kelompok semu, kecil maupun besar dengan bentuk organisasi yang sederhana maupun rumit yang oleh anggota-anggotanya atau bukan anggotanya dianggap sebagai sebuah penyimpangan hubungannya dengan konteks doktrin dan budaya yang lebih luas. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi non-pengikut, namun memiliki konotasi positif bagi para pengikutnya. Ciri khas kelompok kecil tersebut sama dengan kelompok lainnya, yaitu cenderung menjunjung solidaritas internal kelompok dan identifikasi personal kelompoknya, sedangkan kelompok semu yang bersifat gerakan kepercayaan tidak mampu secara sistematis menciptakan kohesi (keterpaduan) kelompoknya dan melakukan pertukaran ide.71 Menurut investigasi para sosiolog, sekte yang mencari anggota sebanyak mungkin cenderung melupakan komitmen awal mereka. Sementara sekte yang menekankan pada doktrin __________________ 70 Wilson, Bryan, Religion in Sociological Perspective, Oxford University Press, New York, 1982, p. 89. 71 Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, terjemah: Haris Munandar, et.al, Rajawali Press, Jakarta, 2000, p. 951. Dalam ilmu sosial, perbedaan antara sekte dan gerakan kepercayaan dipandang tidak terlalu penting untuk membedakannya. Dalam agama Kristen, istilah sekte digunakan bertujuan untuk ”merendahkan” karena dipandang menyimpang dari doktrin resmi. Beberapa organisasi gerakan sekte memberi pengaruh amat penting terhadap perkembangan konsepsi barat tentang individualisme, organisasi relawan dan organisasi. 174 esoterik (difahami orang-orang tertentu) memiliki kemungkinan kecil untuk melakukan hal tersebut sehingga kelompoknya tetap kecil.72 Sebagian sekte keagamaan yang tumbuh dan berkembang dituduh melakukan usaha mencuci otak para pengikutnya. Dalam pengalaman sejarah sosial di barat, sekte kadangkala terjerumus dalam tindak kekerasan fisik tragis, seperti tindakan bunuh diri seperti beberapa kali yang terjadi di Eropa.73 Dalam tradisi Kristen, suatu sekte yang muncul nyatanyata menunjukkan beberapa karakter, diantaranya: a) pengikut sekte bersikap tertutup (eksklusif); b) cenderung mengklaim dirinya paling benar dan yang di luar dirinya dianggap salah; c) membentuk sebuah organisasi yang solid; d) sekte terbentuk atas dasar sukarela para pengikutnya; e) sekte menuntut kesetiaan para pengikut; f) sekte terbentuk sebagai wujud protes pada agama/kepercayaan yang ada.74 IJABI sebagaimana termaktub dalam AD/ART-nya, adalah organisasi dakwah yang berupaya menghimpun para pecinta Ahlul Bayt Nabi apapun madzhabnya. Para pecinta Ahlul Bayt Nabi disandarkan pada kelompok Syi’ah. Tujuan terdekat dari upaya ini adalah terciptanya persatuan dan kesatuan, keharmonisan, perdamaian dan toleransi antar kelompok dan penganut agama/kepercayaan sehingga dapat hidup berdampingan penuh dengan keakraban. Sebagaimana telah dipaparkan di bab terdahulu, eksistensi IJABI mengundang pertanyaan kalangan umat Islam sebagai bagian dari gerakan revolusi Islam Iran di seluruh penjuru dunia. Stigma IJABI sebagai penganut faham __________________ Ibid. p. 952. Ibid. p. 953. 74 Wilson, Bryan. Ibid. hal. 92. 72 73 175 dan madzhab Syi’ah dan berkiblat ke Iran. Dalam wawancara, KH Jalaluddin Rakhmat dan H. Furqon menyatakan bahwa IJABI menganut faham Syi’ah Imamiyah berhaluan ushuli (moderat). Sedangkan madzhab fiqihnya adalah Ja’fari. Syi’ah yang telah dikemas dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia, tidak seperti yang diimplementasikan oleh penganut Syi’ah di timur tengah (Iran). Hubungan atau komunikasi dengan Iran berlangsung mutualisme, hubungan hubungan silaturrahim. 176 BAB V PENUTUP Kesimpulan Dari paparan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ikatan Jama’ah Ahlul Bayt Indonesia (IJABI) muncul dilatarbelakangi oleh keprihatinan orang-orang yang terhimpun dalam organisasi ini terhadap perkembangan umat Islam saat ini yang terpecah belah, walaupun penyebabnya adalah kepentingan, politik, ekonomi dan sebab lain. Ketokohan KH Jalaluddin Rakhmat sangat berpengaruh bagi eksistensi IJABI dan menjadi figur sentral kelompok ini. IJABI memandang selama ini umat Islam (khususnya umat Islam Indonesia) periwayatan ajaran Nabi banyak mengambil dari jalur sahabat, kurang memperhatikan periwayatan dari jalur Ahlul Bait. 2. Dakwah pluralistik yang dikembangkan oleh IJABI didasarkan pada prinsip kebenaran yang berbeda-beda menurut perspektif penganutnya. Latar belakang kesamaan sebagai makhluk Tuhan dan sama-sama menuju Tuhan. Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran Tuhan yang dianut oleh masing-masing umat beragama, tidak mengklaim diri sendiri yang paling benar, kemudian menyalahkan yang lain. Kebenaran mutlak yang diyakini oleh IJABI adalah agama Islam, dengan mengikuti madzhab Ahlul Bait. 3. Manhaj dakwah yang menjadi panutan IJABI adalah faham Syi’ah Imamiyah kelompok ushuli (moderat). Menyetujui ijtihad, karena dengan ijtihad akan 177 memperoleh pahala di akhirat meskipun ijtihad tersebut keliru. Dakwah pluralistik dipandang sebagai salah satu ijtihad yang ditempuh oleh IJABI. 4. Bidang-bidang yang menjadi fokus dakwah pluralistik IJABI adalah bidang sosial, ekonomi, pendidikan. Di bidang sosial, dengan bekerja sama dengan Walubi dan Rumah Sakit Baromeus Bandung IJABI melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan, pengobatan gratis dan khitanan massal. Di bidang pendidikan, bekerja sama secara rutin dengan pemeluk Katholik dan Kristen melakukan kajian mendalami masalah agama. Pada bulan Ramadhan, IJABI melaksanakan acara buka bersama dan pengajian menjelang buka puasa. Peserta kajian tersebut beberapa orang berasal dari komunitas Katolik dan Kristen. 5. Faktor pendukung bagi gerakan dakwah pluralistik ini adalah: a. Gerakan IJABI berkomunikasi masyarakat. yang moderat sehingga mudah dengan berbagai kelompok b. Sosok Ketokohan KH Jalaluddin Rahmat sebagai cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki jaringan yang luas dengan berbagai komunitas. Bahkan sampai ke luar negeri. c. Sumberdaya manusia IJABI banyak dari kalangan kampus dan berada di wilayah kota. Kondisi demikian dengan sendirinya dapat membuka cakrawala pemikiran yang lebih luas. d. IJABI mulai diterima masyarakat dan lebih mudah melakukan kerjasama dengan instansi lain walaupun berbeda latar belakang agama meskipun di beberapa tempat masih terdapat resistensi terhadap IJABI. 178 e. Sudah ada kerjasama dengan elemen umat Islam (ormas) lainnya, seperti dengan Muhammadiyah dan NU meskipun belum intensif. f. Lembaga-lembaga yang didirikan oleh IJABI (seperti PKBM) cukup berhasil, sehingga menambah kepercayaan pihak lain, baik pemerintah maupun masyarakat luas. SMU Plus Muthahari, walaupun bukan lembaga milik IJABI, namun Pimpinan dan guru-gurunya adalah kebanyakan anggota IJABI. Sekolah ini termasuk sekolah yang berkualitas dan percontohan. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah: a. Dari segi sumber dana, masih mengandalkan iuran dari anggota. b. Stigma sebagai penyebar faham Syi’ah di Indonesia sehingga mendapatkan resistensi di beberapa daerah. B. Rekomendasi Dari hasil kajian di atas, peneliti merekomendasikan beberapa hal berikut: 1. IJABI hendaknya terbuka kepada kelompok lain untuk mengurangi stigma sebagai penyebar faham Syiah. 2. Sejauh mungkin dihindari penyebab konflik seperti menampakkan keutamaan Ahlul Bait dan merendahkan sahabat Nabi. 3. Departemen Agama (Bimas Islam) direkomendasikan untuk memfasilitasi sharing idea, khususnya mengenai dakwah Islamiyah antara IJABI dan ormas-ormas lainnya. 179 180 DAFTAR PUSTAKA Aziz, Muhammad Ali, Ilmu Dakwah, Fakultas Dakwah Sunan Ampel, Surabaya, 1993. Atjeh, Abu Bakar, Beberapa Catatan mengenai Dakwah Islam, Ramadani, Solo, 1979. Banna, Gamal Al-, Doktrin Pluralisme dalam al-Qur’an, Menara, Bekasi, 2006. ____, Pluralitas dalam Masyarakat Islam, (terj) MataAir, 2006 Black, James A, at.al, Metode dan Masalah Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung.t.t. Burhan Bungin. Ed. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2006. English Dictionary, Oxford, Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, UK, 2000. Husaini, Adian,. Pluralisme Agama: Haram, Fatwa MUI yang tegas dan Tidak Kontroversial, al-Kautsar, Jakarta, 2005.Ida Bagoes Mantra. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Jurjani, ‘Ali bin Muhammad al-, At-Ta’rifat, Dar al-Kitab alMashry, Cairo, cet. I, 1991. Jurnal Ulumul Qur’an No 4 vol. VI tahun 1995, dalam wawancara dengan Jalaluddin Rakhmat. Kaff, Thohir Abdullah al-, Perkembangan Syi’ah di Indonesia, (bunga rampai: Mengapa Kita Menolak Syi’ah). Ed. Umar Abduh&Kirtos Away, LPPI, Jakarta, 1998, hal. 55.Kuper, Adam dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, 181 terjemah: Haris Munandar, et.al, Rajawali Press, Jakarta, 2000. Mahfudz, Syaikh Ali, Hidayatul Mursyidin, Dar al-Ma’rifah, tt. Maghniyah, Muhammad Jawad, Asy-Syi’ah wa al-Hakimun, Percekan al-Ahliah Beirut, cet. II, 1962. Mudzhar, M Atho, “Membumikan Pemikiran Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Era Globalisasi”, Makalah disampaikan pada Seminar diselenggarakan oleh Yayasan Dakwah Malaysia-Indonesia (YADMI) dan Pengurus Wilayah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Timur, di Hotel Inna Simpang, Surabaya, Jawa Timur, pada 28 Desember 2008, Oemar, Thoha Yahya, Ilmu Dakwah, Wijaya Jakarta, 1976. Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kamus Istilah Keagamaan Islam, Jakarta.Rakhmat, Jalaluddin: Islam dan Pluralisme, Serambi, Jakarta, 2006. Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, Paramadina, Jakarta, 2004. Shihab, Muhammad Quraish, Sunnah-Syi’ah, Bergandengan Tangan. Mungkinkah? Lentera Hati, Ciputat, 2007. Soeroer, Umar R, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia di Makassar, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Jakarta, 2008. Sugiarto, Wakhid, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2008. Syaukani, Imam, Telaah Tindak Kekerasan terhadap Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia di Kabupaten Bondowoso, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2008. 182 Wilson, Bryan, Religion in Sociological Perspective, Oxford University Press, New York, 1982, p. 89. Zainuddin, A. Rahman dan M. Hamdan Basyar (ed). Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, Th. 1995; Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan. 2000. Zidny, Irfan, Bunga Rampai Ajaran Syi’ah, kumpulan makalah dalam “Mengapa Kita Menolak Syi’ah”, LPPI, Jakarta, 1998, hal. 43-45. Wawancara: 1. Furqan Bukhori, Ketua Umum Ikatan Jama’ah Ahlul bait Indonesia. 2. KH. Jalaluddin Rakhmat. 3. Ust. Miftah Fauzi Rakhmat dan Babul Ulum. 4. Sukardi, bagian kepemudaan IJABI Bandung. 5. Harmonis, Sekretaris IJABI Jawa Barat. 6. Ma’mun, Ketua IJABI Jawa Barat. 7. KH Rafani Akhyar, Sekretaris MUI Jawa Barat. 8. A Hidayat, Sekretaris LKAB Jakarta. 9. Abdullah Beik, Sekretaris ICC Jakarta. 10. Habib Haikal Husein Alaydrus 11. Mahmud. Situs internet: http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/11/nas07.htm. http://www.gatra.com/artikel.php?id=100485. http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=6&id =482. -o0o- 183 184 KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN DALAM PANDANGAN TOKOH ORMAS ISLAM KOTA DEPOK Oleh: Imam Syaukani KEBEBASAN BERAGAMA BERKEPERCAYAAN DALAM PANDANGAN TOKOH ORMAS ISLAM KOTA DEPOK Imam Syaukani BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah K ebebasan beragama atau berkepercayaan (freedom of religion or belief) merupakan salah satu tema penting yang kini menjadi bahan perbincangan banyak kalangan, baik domestik maupun internasional. Dalam konteks Indonesia, wacana kebebasan beragama telah disinggung dalam UUD 1945, seperti tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasca amandemen UUD 1945, jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan di Indonesia semakin kuat dengan dirumuskannya Pasal 28E yang menyatakan: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan nuraninya; dan 185 (3) Setiap orang berhak atau kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dan lebih ditegaskan lagi oleh Pasal 28I yang menyatakan: (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun; (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban dan; (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah; Selain UUD 1945, mempunyai UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan terdapat Pasal 22 yang berbunyi: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; dan (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Adanya pengaturan iru menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen memberikan jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan kepada warganya. Jaminan itu semakin kuat dengan kesediaan Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) sebagaimana tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan 186 Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, di mana pada Pasal 18 menyebutkan: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya; (3) Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain; dan (4) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anakanak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Dengan adanya jaminan normatif tersebut, sudah barang tentu setiap warga negara Indonesia secara normatif bebas memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Permasalahannya, adanya jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan dalam peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak serta merta berjalan sesuai keinginan. Sebaliknya, Indonesia merupakan salah satu negara yang sering mendapat sorotan terkait dengan pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan. Ada beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga akademis, baik nasional maupun asing, yang memberikan catatan kritis terhadap pelaksanaan kebebasan beragama atau berke 187 percayaan di Indonesia, di antaranya adalah the Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor Amerika Serikat (2007), The Wahid Institute (2008), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL) (2006), Setara Institute (2009), dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (2008). Beberapa masalah yang disoroti adalah belum adanya jaminan pencatatan bagi perkawinan beda agama, pelarangan dan pelabelan sesat bagi komunitas keagamaan non-mainstream, tindak kekerasan terhadap komunitas umat beragama minoritas, pelarangan pendirian rumah ibadat dan perusakan rumah ibadat, pengucilan bagi orang yang melakukan pindah agama (konversi), dan lain-lain. Di antara agama besar di dunia yang sering disikapi dengan penuh curiga dan pesimis dalam kaitannya dengan kebebasan beragama atau berkepercayaan adalah Islam. Islam dipandang sebagai agama yang tidak kompatibel dengan HAM. Pandangan ini menimbulkan kritik dan penolakan dari kalangan akademisi Muslim. Mereka tidak setuju jika Islam dinilai tidak kompatibel dengan HAM. Sebab bila dibandingkan dengan Barat, Islam bahkan lebih awal berbicara HAM. Sejarah HAM di Barat dimulai dengan Magna Charta (1215)1 yang kemudian berlanjut pada Bill of Rights (1689),2 De 1Piagam ini merupakan bentuk kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dengan para bangsawan. Piagam ini juga membatasi kekuasan Raja John di Inggris. Menurut Scott Davidson (1993), pada Magna Charta (1215) belum terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan hak-hak atau kebebasan individu. 2Dibandingkan dengan Magna Charta (1215), Bill of Rights (1689), menurut Davidson (1993) lebih menjanjikan dalam memberikan perlindungan terhadap hakhak atau kebebasan individu. Pada Bill of Rights (1689)—judul panjangnya berbunyi, An Act Declaring the Rights and Liberties of the Subject and Setting the Succesion of the Crown—terdapat ketentuan-ketentuan per-lindungan terhadap hak-hak atau kebebasan individu. Dalam sejarahnya, Bill of Rights(1689) disahkan setelah terjadi revolusi yang dikenal dengan nama Glorious Revolution yang berhasil memaksa turun Raja James II dari takhta kekuasaan. 188 claration of Independence, USA (1776),3 Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warganegara (Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen), Prancis 1789,4 Four Freedom (Roosevelt) pada 1941,5 dan puncaknya pada Universal Declaration of Human Rights (1948). Sementara Islam semenjak abad ke-7 M telah berbicara tentang kebebasan termasuk kebebasan beragama atau berkepercayaan seperti diungkap di beberapa ayat dalam alQur’an (Wahyu Hidayati, 2008). Ebrahim Moosa mengungkap setidaknya dua cerita yang dapat dijadikan bukti adanya kaitan kompatibel antara Islam dengan HAM. Pertama, pidato perpisahan Nabi Muhammad ketika melaksanakan haji wada’ yang menegaskan kembali visi Islam terhadap perlindungan hak-hak dasar manusia. Substansi pidato Nabi Muhammad pada haji wada’ itu, menurut Moosa, pada dasarnya merupakan penegasan belaka terhadap kandungan beberapa ayat al-Quran yang berbicara tentang perlindungan terhadap pemilihan harta, martabat, dan kehormatan manusia. Kedua, sejumlah tindakan yang dilakukan oleh para khalifah rasyidah dalam menindak pelang 3Dalam deklarasi kemerdekaan Amerika yang disusun oleh Thomas Jafferson ini terdapat penegasan bahwa setiap manausia memiliki kedudukan yang sama. Dalam deklrasi ini, antara lain terdapat pernyataan seperti beri-kut:”We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the pursuit of Happiness.--That to secure these rights, Governments are instituted among Men, deriving their just powers from the consent of the governed,--That whenever any Form of Government becomes destructive of these ends, it is the Right of the People to alter or to abolish it, and to institute new Government, laying its foundation on such principles and organizing its powers in such form, as to them shall seem most likely to effect their Safety and Happiness” (Encyclopedia Britannica 2008). 4Deklarasi menitikberatkan pada lima hak asasi: pemilikan harta (propiété), kebebasan (liberté), persamaan (egalité), keamanan (securité), dan perlawanan terhadap penindasan (resistence é l’oppression). 5Empat kebebasan (four freedoms) merupakan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dirumuskan oleh presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt pada 6 Januari 1941 dalam II (1939-1945) yang terdiri dari: freedom of speech and expression, freedom of worship, freedom from want, and freedom from fear (Encarta, 2008). 189 garan HAM. Salah satu contoh yang paling baik dalam penegakan HAM adalah tindakan yang dilakukan Khalifah kedua, Umar ibn Khattab yang memberikan teguran kepada Gubernur Mesir, Amr ibn Ash karena memberikan sanksi hukum tanpa melewati proses pengadilan. Kedua cerita sejarah ini, menurut Moosa, sering dijadikan rujukan oleh kalangan Islam untuk memperkuat argumen teologis keterkaitan antara Islam dengan HAM modern. Dengan membandingkan sejarah tersebut, maka kalangan Islam menolak jika Islam dianggap tidak kompatibel dengan HAM. Tetapi yang perlu dipertimbangkan juga, tidak sedikit dari kalangan Islam yang menggunakan pertimbangan teologis ketika bersikap secara eksklusif terhadap kelompok agama dan keyakinan lain yang bisa mengarah pada pelanggaran kebebasan beragama atau berkepercayaan. Sikap eksklusif tersebut dapat saja muncul karena doktrin dalam Islam sebagaimana termuat dalam al-Quran memungkinkan banyak penafsiran. Di satu pihak, al-Quran memberikan pengakuan terhadap kebebasan beragama seperti termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 256, asy-Syura ayat 48, alGhasyiah ayat 21, Yunus ayat 99, al-Kahfi ayat 29, Qaf (ayat 45), dan al-Kafirun ayat 6. Ayat-ayat tersebut menurut Mohammad Hashim Kamali (2006) merupakan bukti bahwa Islam merupakan agama yang memberi penguatan (affirmative) terhadap kebebasan beragama dan pluralisme. Tetapi di pihak lain, dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang memungkinkan–setelah memperoleh penafsiran berdasarkan pendekatan tertentu—bisa menciptakan hubungan yang rumit antara Islam dengan HAM. Sementara itu, Abdullahi Ahmed an-Naim (1998) menemukan setidaknya lima kasus dalam al-Qur’an yang sering digunakan oleh kalangan Islam untuk membenarkan 190 tindakan diskriminatifnya karena alasan gender dan perbedaan agama serta keyakinan. Keenam kasus yang dimaksud an-Na’im dipaparkan berikut ini: Pertama, laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau Yahudi (Ahli Kitab), sedangkan laki-laki Kristen dan Yahudi tidak boleh mengawini perempuan Muslim. Laki-laki dan perempuan Muslim tidak boleh mengawini orang musyrik (Q.S.al-Maidah: 5 dan al-Baqarah: 221). Kedua, perbedaan agama menjadi penghalang adanya hubungan saling mewarisi. Seorang Muslim tidak dapat mewarisi atau mewariskan kepada nonmuslim, demikian sebaliknya. Ketiga, laki-laki Muslim dapat mengawini hingga empat orang perempuan dalam waktu yang bersamaan, sedang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (Q.S. al-Nisa: 2). Keempat, seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan isterinya, atau seorang isteri dan isteri-isterinya dengan meninggalkan begitu saja tanpa akad, talak, tanpa berkewajiban memberikan berbagai alasan atau pembenaran atas tindakannya itu. Sebaliknya, perempuan hanya dapat bercerai dengan kerelaan suami atau surat keputusan pengadilan yang mengizinkannya dengan alasan-alasan khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya untuk mengurus isteri (Q.S. al-Baqarah: 226-232). Kelima, dalam pewarisan, seorang perempuan Muslim menerima bagian yang lebih sedikit daripada bagian laki-laki Muslim, ketika keduanya berada dalam kedekatan hubungan kekeluargaan yang sama dengan yang meninggal (Q.S.al-Nisa: 11 dan 176). Berdasarkan uraian di atas, barangkali kita sepakat bahwa tafsir atas kebebasan beragama atau berkepercayaan di kalangan muslim tidak seragam. Masing-masing pihak mempunyai argumen teologisnya sendiri-sendiri. Bagi kalangan muslim liberalis, apa yang dilakukan Ahmadiyah, al-Qiyadah al-Islamiyah, dan Lia Eden misalnya, merupakan 191 bagian dari pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan, sehingga negara wajib melindungi dan masyarakat wajib menghormati. Namun, tidak demikian bagi FPI dan HTI misalnya, apa yang dilakukan kelompokkelompok tersebut adalah penistaan atau penodaan agama, sehingga perlu diambil tindakan tegas, baik secara hukum maupun sosial. Dengan demikian, pertimbangan teologis, baik eksklusif maupun inklusif, tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam diskursus dan praksis kebebasan beragama atau berkepercayaan. Mengikuti penjelasan teoritik dalam sosiologi bahwa tindakan manusia antara lain dipengaruhi oleh sistem makna yang dimilikinya, maka persoalan kebebasan beragama di Indonesia juga bisa dirunut pada sistem makna yang digunakan oleh masyarakat. Dalam konteks inilah, mengungkapkan sistem makna yang digunakan oleh masyarakat dalam memberikan landasan teoritis dan praksis kebebasan beragama atau berkepercayaan menjadi penting dilakukan. B. Fokus Masalah Berdasarkan elaborasi tersebut, tampak wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan di kalangan muslim cukup dinamis sekaligus kontroversial. Sebagian muslim menolak dengan tegas bahwa Islam tidak menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan, tetapi mereka juga tidak bisa menafikan realitas bila ada sebagian muslim yang menolak keberadaan komunitas agama lain karena perbedaan paham keagamaan. Persoalannya, sebagaimana disinggung di atas, penolakan tersebut tidak dilakukan dengan cara yang beradab tetapi dilakukan dengan cara kekerasan. Ironisnya, bolehnya tindak kekerasan tersebut konon dilandasi ajaran normatif dari al-Quran. Berarti, sikap toleransi dan intoleransi umat muslim muncul sebagai perwujudan pemahaman 192 mereka terhadap kitab suci. Kendati kita harus percaya bahwa kesimpulan itu bukan satu-satunya penjelasan, tetapi setidaktidaknya bisa dijadikan sebagai pedoman dini untuk merumuskan dan membatasi fokus masalah. Fokus masalah yang hendak diungkap melalui penelitian ini adalah dalam bentuk pertanyaan berikut: (1) bagaimana sistem makna yang digunakan oleh tokoh ormas Islam Kota Depok dalam memberikan landasan teoritis dan praktis kebebasan beragama atau berkepercayaan; dan (2) bagaimana implementasi sistem makna tersebut, terutama dalam menyikapi praksis kebebasan beragama atau berkepercayaan seperti nikah beda agama, pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, konversi dan proselitisme agama, serta kedudukan komunitas beragama non-mainstream. C. Tujuan Penelitian Merujuk fokus masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah hendak mengungkapkan dasar pemikiran, konstruk pengetahuan keagamaan, dan sosial tokoh ormas Islam Kota Depok dalam memahami kebebasan beragama dan berkepercayaan, dan kemungkinan aktualisasi kontruks pengetahuan tersebut dalam ranah sosial, khususnya terkait dengan masalah nikah beda agama, pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, konversi dan proselitisme agama, serta kedudukan komunitas beragama non-mainstream, seperti Ahmadiyah, al-Qiyadah al-Islamiyah, dan Komunitas Eden. D. Urgensi Penelitian Penelitian dengan tema kebebasan beragama dan berkepercayaan ini menurut hemat peneliti punya nilai penting. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah: Pertama, wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan suka tidak suka telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam 193 kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Adanya jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan dalam konstitusi dan undang-undang mengingatkan segenap masyarakat untuk ikut serta menaatinya. Kedua, masih adanya tanggapan negatif bahwa negara Indonesia---termasuk di dalamnya umat Islam---belum memberikan apresiasi yang memadai terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan. Ini ditandai dengan masih ditemukannya kasus pelarangan nikah beda agama, pelarangan pendirian rumah ibadat, pengucilan terhadap mereka yang pindah agama (dari Islam ke agama lain), pembatasan terhadap kegiatan penyiaran agama, dan pelabelan sesat terhadap kelompok umat beragama minoritas non-mains-tream, seperti Ahmadiyah, alQiyadah al-Islamiyah, Lia Aminuddin, yang berujung pada tindakan anarkis terhadap mereka. Ketiga, namun di lain pihak ada pula sekelompok umat Islam yang melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok minoritas tersebut atas dasar bahwa kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan hak yang tidak bisa dikurangi. Adanya dua pandangan yang bertolak belakang di atas menjadikan penelitian ini penting, setidaknya dalam upaya mengetahui dasar pemikiran, konstruk pengetahuan, dan sosial tokoh ormas Islam tersebut dalam memahami dan menyikapi wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan. Dengan diketahuinya masalah-masalah di atas maka akan terkumpul seperangkat informasi penting tentang pandangan tokoh ormas Islam mengenai kebebasan beragama atau berkepercayaan. Bagi pemerintah, informasi itu sudah barang tentu sangat penting, sebab dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan merumuskan kebijakan-kebijakan pembinaan kehidupan beragama secara lebih komprehensif dan sesuai kebutuhan di lapangan. 194 E. Prior Research Masalah dalam penelitian ini sebenarnya pernah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian terdahulu (prior research) yang dapat dikemukakan di bagian ini, antara lain: Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Suhadi, Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar Islam (2006). Penelitian ini penting diungkap karena masalah yang dipilih—kawin lintas agama—sering dijadikan sebagai salah satu contoh kasus kajian HAM di Indonesia. Di Indonesia, kawin lintas agama dianggap telah memiliki ketetapan hukum oleh hampir seluruh umat Islam. Pada bagian pembahasan “Kawin Lintas Agama di Indonesia”, Suhadi memaparkan dua konstruksi terhadap hukum kawin lintas agama. Pertama, konstruksi yang dilakukan oleh ormas keislaman. Kedua, konstruksi kawin lintas agama yang terdapat dalam peraturan hukum (positif) di Indonesia. Suhadi hanya membahas konstruksi yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah. Suhadi sengaja melewatkan pembahasan konstruksi yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU). Berdasarkan penelusuran Suhadi terhadap pembahasan masail addiniyah (masalah-masalah agama) dalam sidang-sidang Muktamar dan Munas Ulama sejak Muktamar NU ke-1 pada 1926 di Surabaya sampai Muktamar NU ke-29 pada 1994 di Tasikmalaya, kawin lintas agama sama sekali tidak dibahas. Dengan demikian, dibandingkan dengan NU, Muhammadiyah dan MUI, telah memiliki pandangan resmi terhadap status hukum kawin lintas agama, yakni melarang. Pandangan MUI dan Muhammadiyah ini sejalan dengan ketentuan peraturan hukum positif di Indonesia yang juga melarang praktik kawin lintas agama. 195 Ketentuan hukun kawin lintas agama tersebut, baik yang dikonstruksi oleh MUI, Muhammadiyah, dan pemerintah Indonesia, menimbulkan ketidakpuasan dari kelompok yang disebut Suhadi dengan “Islam progresif”. Ketidakpuasan kelompok ini didasarkan pada argumen kebebasan beragama. Kelompok inilah yang kemudian mencetuskan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI). Sebagai draf tandingan, maka CLD-KHI memiliki pandangan berbeda terhadap hukum kawin lintas agama. Pada Pasal 54 CLD-KHI dikemukakan: (1) Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dibolehkan; (2) Perkawinan orang Islam dengan bukan Islam dilakukan berdasarkan prinsip saling menghargai dan menjunjung tinggi hak kebebasan menjalankan ajaran agama dan keyakinan masing-masing. Tetapi CLD-KHI tidak dapat diproses ke tahapan selanjutnya setelah mendapatkan kritik tajam dari MUI, MMI, DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia), dan LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam). Penelitian berikutnya yang perlu disebut adalah, Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru (2004). Penelitian ini ingin mengungkap ketimpangan relasi antara negara dengan agama dan aliran kepercayaan selama kekuasaan rezim Orde Baru. Dalam penelitian ini, Orde Baru digambarkan sebagai rezim yang memiliki watak hegemonik. Selama kekuasaan Orde Baru, hampir semua aspek kehidupan dalam masyarakat tidak bisa lepas dari kendalinya sebagaimana juga terjadi pada agama. Agama sebenarnya menempati wilayah privat yang perlu dibebaskan dari campur tangan negara. Tetapi selama kekuasaan Orde Baru, agama tidak bisa mengelak dari pengaruh negara. Salah satu modus intervensi yang diungkap dalam penelitian ini adalah, negara ikut menentukan keabsahan suatu agama sehingga berkembang konsep “agama resmi” dan “agama tidak resmi”. Intervensi negara ini ternyata menimbulkan dampak yang serius. Setelah negara berhasil menciptakan serta memberikan pengakuan 196 secara formal terhadap “agama resmi”, maka berbagai sistem ajaran yang telah berkembang dalam masyarakat yang tidak bisa didefinisikan sebagai agama (resmi) mengalami proses peminggiran. Penelitian ini memilih lima kelompok—kecuali Konghucu yang perlu diberi catatan khusus setelah terjadi perubahan signifikan pada kepresidenan Abdurrahman Wahid—“agama tidak resmi” sebagai contoh kasus intervensi negara beserta dampak yang ditimbulkannya. Kelima kelompok tersebut adalah: Darul Arqam, Saksi Yehova, Konghucu (sebelum diakui sebagai agama resmi), Kaharingan, dan Agama Djawi-Sunda. Penelitian yang ingin mengungkap ketimpangan relasi antara negara, agama, dan masyarakat juga dilakukan oleh tim peneliti dari The Wahid Institute. Hasil penelitian The Wahid Institute telah dipublikasikan dengan judul, Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia (2007). Meskipun tidak menyebut penelitian, Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru, yang terbit tiga tahun sebelumnya, temuan penelitian The Wahid Institute ini memperkuat penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh The Wahid Institute berhasil mengungkap tiga hal. Pertama, meskipun terjadi perubahan politik penting, dari Orde Baru ke Reformasi, negara ternyata belum berhasil menjaga jarak dengan agama. Penelitian ini mengkaji Ahmadiyah, Yusman Roy, dan Yayasan Kanker-Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Probolinggo, sebagai contoh kasus intervensi negara terhadap kehidupan agama. Kedua, dalam penelitian juga diungkap aksi kekerasan yang dilakukan masyarakat terhadap kelompok minoritas. Aksi kekerasan yang diungkap dalam penelitian ini adalah yang dialami oleh komunitas Nasrani yang tergabung dalam Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) dan Gereja Kristen Jawa Kronelan. Ketiga, penelitian ini juga mengungkap sisi lain penegakan syariat Islam di Maros dan Pangkep Sulawesi Selatan. Menurut pe 197 nelitian tim The Wahid Institute, formalisasi syariat tersebut menimbulkan keresahan terhadap masyarakat adat dan dari kelompok minoritas non-Islam. Dengan mengacu pada tiga hal tersebut, The Wahid Institute ingin mengungkapkan suatu kenyataan penting bahwa perubahan politik dari Orde Baru ke Reformasi tidak disertai pada perubahan yang menggembirakan di bidang HAM lebih-lebih kebebasan beragama atau berkepercayaan. Melengkapi pelacakan terhadap penelitian terdahulu, perlu disebut juga penelitian yang dilakukan oleh Tri Wahyu Hidayati yang berjudul, Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama?: Perspektif Hukum Islam dan HAM (2008). Penelitian ini mengkaji masalah murtad (riddah/ apostasy) yang sering dikaitkan dengan isu kebebasan beragama atau berkepercayaan. Karena adanya konsep riddah ini, Islam mendapatkan pencitraan sebagai agama yang tidak mendukung semangat kebebasan beragama atau berkepercayaan seperti ditekankan dalam konsep HAM modern. Dalam pandangan Hidayati, konsep riddah memang bisa menimbulkan kesan adanya gap dan kontradiksi antara Islam dengan HAM jika tidak segera dicarikan solusi melalui penafsiran kembali yang bertanggung jawab. Penafsiran tersebut menurut Hidayati sangat mungkin bisa dilakukan, sebab di satu pihak, al-Qur’an menjunjung tinggi HAM, dan mengakui prinsip kebebasan beragama, kendati di pihak lain, al-Qur’an mengecam dan menghukum secara keras orang yang berpaling dari Islam atau menjadi kafir sesudah Islam (riddah) seperti dikemukakan dalam surat an-Nisa’ ayat 89. Hukum riddah tersebut menurut Hidayati tetap bisa ditafsirkan kembali untuk mencari kompromi dengan HAM yang membolehkan konversi agama. Ada dua langkah mendasar yang ditawarkan oleh Hidayati untuk mencari jalan kompromi tersebut, yakni sebagai berikut: 198 Pertama, Mengembalikan hukum riddah pada prinsip dasarnya, yakni kebebasan beragama yang bertanggung jawab. Kebebasan yang dimaksud oleh Islam adalah kebebasan yang masih menaati aturan-aturan dan norma, bukan kebebasan yang tanpa batas. Pada prinsipnya, Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan dan tanggung jawab seseorang dalam beragama. Seseorang beriman atau tidak merupakan pilihan pribadi perorangan. Namun pilihan itu mengandung konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan. Kebebebasan yang bertanggung jawab ini akan berdampak keluar dan ke dalam. Keluar terwujud dalam bentuk toleransi sedangkan ke dalam terwujud dalam bentuk ketaatan yang tinggi. Langkah kedua yang ditawarkan oleh Hidayati adalah dengan memahami kembali konteks historis hukum riddah. Berikut pernyataan Hidayati: Tidak melaksanakan hukuman mati terhadap orang murtad, karena hukuman itu, selain penuh dengan latar belakang politik Madinah abad ke-7 M, juga sudah tidak sesuai dengan konteks masyarakat modern yang cenderung sekuler. Situasi sosio-historis era modern yang menganut teokrasi seperti awal Islam tapi menganut demokrasi sekuler dalam wadah nation-state, jelas tidak bisa menerima hukum mati bagi si murtad. Dalam situasi seperti ini, hukuman mati bagi si murtad jelas tidak mungkin dapat dilaksanakan. Berdasarkan penelusuran setidaknya pada empat penelitian terdahulu tersebut diperoleh suatu gambaran bahwa isu kebebasan beragama atau berkepercayaan merupakan obyek kajian yang menarik. 199 200 BAB II KERANGKA TEORITIK DAN KONSEPTUAL A. Kerangka Teoritik pakah yang menyebabkan adanya sikap dan perilaku yang memberikan penghargaan atau sebaliknya, melakukan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan? Apakah pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat ada kaitannya dengan cara pandang suatu kelompok kepada kelompok yang lain berdasarkan satu bacaan atau pengalaman tertentu? Ada beberapa kerangka teoritik yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut, di antaranya studi yang dilakukan oleh Fatimah Husein, Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslim Perspectives (2005). Hubungan Muslim dan Kristen yang menjadi fokus studi Husein merupakan topik penting sekaligus sensitif. Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembangan Islam dan Kristen di Indonesia. A Dalam pandangan Husein, relasi antara Islam dan Kristen tidak bisa dilepaskan dari cara pandang masingmasing pemeluk agama tersebut terhadap agamanya sendiri maupun agama kelompok lain. Dalam studinya Husein mengungkap dua cara pandang dominan di kalangan Muslim yang mempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni: eksklusif (exclusive) dan inklusif (inclusive). Muslim eksklusif memiliki keyakinan Islam sebagai agama terakhir untuk mengoreksi (kesalahan) agama lain. Cara pandang ini menurut Husein 201 menimbulkan sikap tidak toleran (intolerance) terhadap keberadaan agama lain. Sedangkan Muslim inklusif memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar. Meskipun begitu, mereka tidak menegasikan agama di luar Islam yang juga dapat memberikan keselamatan (salvation) bagi pemeluknya. Dengan cara pandang ini, Muslim inklusif bersikap lebih terbuka terhadap kelompok agama lain. Kategori yang dibuat Husein bisa digunakan untuk menjelaskan proses pelanggaran kebebasan beragama atau berkepercayaan yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan pelanggaran yang dilakukan masyarakat dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap kelompok agama dan kepercayaan lain. Di antara dua cara pandang tersebut (eksklusif dan inklusif) yang berpotensi menimbulkan pelanggaran adalah cara pandang eksklusif. Sekadar mempertegas definisi eksklusivisme dari Husein, perlu dikutip juga penjelasan Joseph Runzo (2003) apa yang disebut dengan religious exclusivism, yakni sikap keagamaan yang menganggap bahwa satu-satunya agama yang benar hanya agama dan keyakinan yang dipeluknya, sedangkan agama dan kepercayaan lain salah. Mengapa ada yang berpandangan eksklusif, sementara lainnya inklusif? Apakah cara pandang tersebut dipengaruhi oleh doktrin agama? Jika eksklusivisme dipengaruhi oleh doktrin agama dan (eksklusivisme) berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan, apakah bisa dikatakan agama perlu bertanggung jawab terhadap pelanggaran tersebut? Sederatan pertanyaan ini perlu dikemukakan karena tidak jarang muncul sikap curiga dan pesimistis terhadap kontribusi agama dalam menegakkan kebebasan beragama. 202 Selain persoalan adanya truth claim sebagai perwujudan paham keagamaan eksklusif, faktor persaingan mencari pengikut sebanyak-banyaknya bisa pula menjadi penyebab pelanggaran atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Sebab, masing-masing pihak yang berbeda keyakinan tersebut tentu tidak ingin tidak mendapatkan pengikut. Bagi komunitas agama tertentu, banyaknya pengikut berkaitan erat dengan tingkat kemakmuran secara ekonomi. Sehingga, tidaklah aneh bila masing-masing umat beragama saling berlomba-lomba memperebutkan pengikut, bahkan terkadang dengan cara-cara yang tidak etis. Salah satu teori yang bisa dikemukakan di sini adalah teori balapan (race theory) yang dikemukakan Schrieke dalam kaitannya dengan penyebaran Islam (dan Kristen) di Kepulauan Melayu-Nusantara. Schrieke, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra (2002), mengatakan adalah suatu kenyataan bahwa tidak mungkin memahami penyebaran Islam di Nusantara jika orang tidak memperhitungkan permusuhan antara para pedagang muslim dan bangsa Portugis. Sarjana Belanda itu mengungkapkan bahwa terjadi persaingan antara Islam dan Kristen pada abad ke-16 sebagai kelanjutan Perang Salib (crusade). Schrieke menekankan, melebihi faktor apa pun, semangat Perang Salib dengan cara berikut: Semangat agama yang tercermin dalam tradisi Perang Salib dan kenangan perjuangan yang pahit melawan bangsa Moors di Semenanjung Iberia sudah pasti terus menjadi suatu motivasi yang sangat penting....Unsur agama juga tetap menjadi faktor yang signifikan dalam politik Spanyol pada masa-masa berikutnya. Bagi penduduk Semenanjung (Iberia), pengikut Muhammad adalah kaum “Moor”, sebuah sasaran kebencian. 203 Teori ini ditolak oleh Naquib Al-Attas tetapi didukung oleh Reid melalui kajian mutakhirnya. Dengan menerima secara tersirat argumen dasar Schrieke, Reid menyatakan bahwa yang terjadi sejak paruh abad ke-15 dan ke-17 adalah semakin menguatnya polarisasi dan eksklusivisme agama khususnya antara kaum Muslimin dan Kristiani. Peningkatan polarisasi yang lebih tajam di antara para penganut kedua agama ini pada dasarnya disebabkan oleh “balapan di antara mereka” untuk mendapatkan para pemeluk baru. Sebagaimana dikemukakan oleh Reid, bahwa pada abad ke-16 sejumlah besar orang, baik di perkotaan maupun pedesaan dengan jelas berpindah agama, masuk Islam, dan selanjutnya mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian integral dari komunitas Islam internasional. Menurut Reid, identifikasi diri menguat disebabkan oleh dua faktor, yaitu hubungan laut yang bersifat langsung dan intensif antara kawasan Asia Tenggara dan Laut Merah, dan polarisasi yang lebih tajam antara kawasan Dunia Islam (Dar al-Islam) dan kawasan nonIslam (Dar al-Harb). Lebih dari sekadar persaingan mendapatkan pemeluk baru, ada penjelasan lain yang lebih “mengerikan” terkait persaingan antara Islam dan Kristen, yakni apa yang disebut Martin van Bruinessen, sebagaimana dikutip Mujiburrahman (2008), sebagai teori konspirasi ahli kitab yang beredar di masyarakat muslim di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam teori konspirasi ini, orang-orang Yahudi dan Kristen atau ahl al-kitab tidak lagi dilihat sebagai saudara dalam garis turunan dari agama Ibrahim, melainkan musuh-musuh politik yang bersekongkol untuk menghancurkan Islam. Kekalahan negara-negara Arab dalam perang melawan Israel serta penderitaan yang berlarut-larut bangsa Palestina dan disusul oleh negara-negara Timur Tengah lainnya seperti Afghanistan dan Irak, telah dijadikan dasar bagi teori konspirasi Yahudi internasional untuk menghancurkan Islam. Tidak itu saja, para 204 pemikir muslim yang sekolah di Barat, atau mengusung ideide liberal, dengan gampang dituduh sebagai agen Yahudi. Jurnal keislaman Ulumul Qur’an yang seringkali memuat pemikiran-pemikiran kritis misalnya, oleh kalangan tertentu sempat diplesetkan menjadi Ulumul Talmud untuk mengesankan adanya kaitan jurnal itu dengan Yahudi. Memang dalam dunia politik tidak jarang terjadi persekongkolan atau konspirasi. Tetapi jika orang selalu menggunakan teori konspirasi untuk menjelaskan semua masalah, maka akan terjadi penyederhanaan yang amat berbahaya. Tetapi mengapa teori konspirasi menimbulkan daya tarik yang kuat? Martin Bruinessen mengatakan: Teori-teori konspirasi mempunyai daya tarik kuat karena merupakan penjelasan yang mudah dipahami dan sekaligus menunjukkan kambing hitam. Teori konspirasi meletakkan tanggung jawab atas segala hal yang tidak disenangi pada orang lain. Demikian penganut teori itu tidak usah mengungkapkan kekurangan, kelemahan dan kesalahannya sendiri, tidak perlu mengeritik diri sendiri karena semua hal dianggap kejahatan pihak lawan. Teori semacam ini menghalangi orang untuk melihat sebab-sebab yang sebenarnya, sehingga tidak atau tidak mungkin mengubah keadaan yang tidak disenangi. Semangat pengkambinghitaman atau teori konspirasi, sebagaimana dapat kita saksikan, digunakan pula oleh kelompok umat beragama tertentu untuk menyudutkan kelompok umat beragama yang lain. B. Kerangka Konseptual Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan Istilah kunci dalam penelitian ini adalah kebebasan beragama atau berkepercayaan (freedom of religion or belief). 205 Apa kebebasan itu? Lorens Bagus (1996) menjelaskan, kebebasan adalah kualitas tidak adanya rintangan nasib, keharusan, atau keadaan di dalam keputusan atau tindakan seseorang. Pengertian lain menyatakan, kebebasan adalah suatu keadaan tiadanya penghalang paksaan, beban atau kewajiban. Apakah agama (religion) dan kepercayaan (belief) itu? Dalam perbincangan sehari-hari, istilah agama lebih sering digunakan daripada istilah kepercayaan. Namun demikian, tidak berarti istilah agama mudah didefinisikan. Istilah agama biasanya---untuk memudahkan pemahaman terhadap arti agama---dihubungkan dengan nama-nama agama yang sudah dikenal seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, dan Konghucu. Tetapi dalam kajian ilmu-ilmu sosial, sosiologi, misalnya, pemahaman terhadap arti agama tidak sesederhana seperti pada perbincangan sehari-hari tersebut. Dalam sosiologi dibedakan antara pengertian agama secara eksklusif dan inklusif. Dalam pengertian yang inklusif, agama tidak hanya mencakup sistem-sistem yang teistik yang menekankan pada kepercayaan pada hal-hal yang bersifat supranatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanism. Hal ini berbeda dengan pengertian eksklusif terhadap agama. Dalam pengertian eksklusif, agama hanya dibatasi pada sistem-sistem teistik, yakni yang memiliki seperangkat kepercayaan dan ritual. Elemen ini terorganisasikan secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota suatu masyarakat atau beberapa segmen suatu masyarakat. Dengan demikian, pemikiran-pemikiran pribadi bukan merupakan agama sepanjang pemikiran itu bersifat pribadi dan tidak termasuk dalam semacam kumpulan doktrin dan ritual yang lebih besar (pemikiran tersebut mungkin saja 206 bersifat religius, tetapi tidak merupakan agama). Berdasarkan pada pengertian eksklusif ini, sistem-sistem nonteistik tidak diakui sebagai agama karena tidak mencakup dunia supranatural. Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, merupakan agama dalam pengertian eksklusif. Sedangkan komunisme, humanisme, nasionalisme tidak bisa disebut sebagai agama (Sanderson, 1991). Dalam konteks penelitian ini, pengertian agama yang dipilih adalah yang eksklusif. Bagaimana dengan istilah kepercayaan? Dalam perbincangan sehari-hari, antara agama dan kepercayaan sulit dibedakan sebab kepercayaan merupakan elemen utama agama. Stround’s Judicial Dictionary, seperti dikutip Natan Lerner (2000), mengemukakan: “The essential elements of religion are belief in and worship of God.” Di sini, perbedaan antara agama dan kepercayaan menjadi kabur. Tetapi jika mencermati rumusan Universal Declaration of Human Rights, kepercayaan memerlukan pengertian tersendiri sehingga dapat ditemukan perbedaan dengan agama. Pada Pasal 18 Universal Declaration of Human Rights terdapat rumusan sebagai berikut: Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this rights includes freedom to change his religion of belief (cetak tebal dari penulis), and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief (cetak tebal dari penulis)in teaching, practice, worship and observance. Pada Pasal 18 tersebut, Istilah “kepercayaan” dua kali mengikuti istilah “agama”. “Kepercayaan”, menurut Natan Lerner (2004) perlu ditafsirkan secara benar dalam kaitannya dengan istilah “agama”. Penyebutan istilah kepercayaan setelah agama (religion or belief) pada Pasal 18 tersebut serta di beberapa instrumen HAM lainnya, tampaknya dimaksudkan 207 untuk memberikan penegasan bahwa di luar kepercayaan yang melekat pada agama (kepercayaan teistik), juga terdapat kepercayaan nonteistik (seperti ateistik, agnostik, dan rasionalistik) yang perlu diakui dan dilindungi oleh instrumen HAM. Di Indonesia, keberadaan pengikut kepercayaan nonteistik terutama yang berbentuk ateistik mungkin sulit dilacak keberadaannya. Tetapi kepercayaan yang berbentuk apa yang disebut dengan “aliran kepercayaan”, jauh melampaui jumlah “agama resmi” di Indonesia yang masih berkisar di angka enam (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Sejauh ini belum terdapat data yang pasti mengenai jumlah “aliran kepercayaan” tersebut. Buku, Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru (2004), memperkirakan jumlah “aliran kepercayaan” sebanyak 100 hingga 300 kelompok. Sedangkan menurut perkiraan Kontras, “aliran kepercayaan” di Indonesia berjumlah sekitar 517 kelompok. Istilah kepercayaan (belief)—di samping agama (religion)—yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada kelompok-kelompok “aliran kepercayaan” yang tidak masuk dalam kategori agama. Penelitian ini juga menggunakan pengertian “kepercayaan” yang dibuat Lerner untuk memahami kelompok-kelompok keagamaan di luar arus utama (nonmainstream) terutama yang muncul dalam masyarakat Islam seperti Ahmadiyah, Lia Aminudin, al-Qiyadah alIslamiyah, dan kelompok-kelompok lainnya. Kebebasan beragama (freedom of religion) adalah hak yang tidak diciptakan oleh masyarakat atau negara, melainkan suatu anugerah yang dimiliki oleh setiap individu atau kelompok keagamaan melalui hakikat kemanusiaannya. Baidhawi (2005) menjelaskan bahwa dalam masyarakat plural yang ditengarai dengan kehadiran bersama perbedaan dan keragaman, maka perbedaan dan keragaman agama-agama (almillah) yang hidup bersama dan berdampingan (live together) 208 tercakup dalam definisi kebebasan beragama. Agama-agama, apakah yang disebut sebagai agama monoteistik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau agama-agama nonmonoteistik seperti Manichaenisme, Zoroaster, dan Hindu, atau agama-agama Barat maupun Timur seperti Tao, Konghucu dan Buddha, serta agama-agama asli seperti animisme dan dinamisme, memiliki hak yang sama untuk hidup dan tumbuh kembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Agama-agama itu diperkenankan untuk dipeluk dan diyakini secara bebas oleh setiap individu yang memilihnya menjadi pegangan hidup. Sebagai salah satu hak yang paling fundamental, pelaksanaan kebebasan beragama didasarkan pada delapan norma6 sebagai berikut: Pertama, internal freedom (kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang memiliki hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya. Kedua, external freedom (kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam pengajaran, praktik, peribadatan, ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik di wilayah pribadi maupun publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain. Ke 6Menurut Nicola Colbran, Legal Advisor, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, kedelapan norma tersebut juga merupakan inti hak kebebasan beragama atau berkepercayaan. Pandangan ini dikemukakan oleh Colbran pada saat menyajikan makalah, Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan, pada workshop dengan tema, Memperkuat Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Prospek dan Tantangan, kerjasama antara Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) , University of Oslo, dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM-UII), Yogyakarta. Workshop dilaksanakan pada 13-15 November 2007. 209 tiga, noncoercion (tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapapun. Keempat, nondiscrimination (tanpa diskriminasi). Berdasarkan norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di dalam wilayah kekuasaanya dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainnya, asal-usul bangsa, kekayaan, status kelahiran. Kelima, rights of parent and guardian (hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Keenam, corporate freedom and legal status (kebebasan berkumpul dan mem-peroleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi. Ketujuh, limits of permissible restrictions on external freedom (pembatasan yang diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan dan moral dan hakhak dasar lainnya. Kedelapan, nonderogability. Negara tidak 210 boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun. Pada bagian ini perlu disebut juga pemikiran M. Dawam Rahardjo. Sebagai intelektual muslim, Rahardjo memiliki pemikiran dengan spektrum yang begitu luas. Salah satu yang menjadi kepedulian intelektual Rahardjo adalah pluralisme agama atau kemajemukan agama. Terhadap masalah tersebut yang juga bersentuhan dengan isu kebebasan beragama atau berkepercayaan, Rahardjo memiliki pandangan yang tegas (firm). Ketegasan Rahardjo antara lain dapat dicermati pada artikelnya, Dasasila Kebebasan Beragama, yang dimuat dalam situs Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam artikel tersebut, Rahardjo dengan tegas mengatakan bahwa agama merupakan persoalan individu yang tidak boleh diintervensi oleh otoritas manapun baik negara maupun institusi keagaman tertentu. Untuk memperkuat argumennya ini, Rahardjo merujuk pada prinsip lâ rahbâniyyah fil Islâm (tidak ada otoritas keagamaan dalam Islam). Sebab, bagi Rahardjo, otoritas keagamaan selalu cenderung pada pengurangan kebebasan beragama. Padahal iman tidak bisa dipaksakan oleh otoritas apa pun sebagaimana juga ditekankan oleh prinsip lâ ikrâha fid dîn (tidak ada paksaan dalam agama). Untuk menjamin pelaksanaan kebebasan beragama atau berkepercayaan, menurut Rahardjo, keberadaan undang-undang (UU) mutlak diperlukan. Dalam undang-undang yang disebut Rahardjo dengan Undang-undang (UU) Kebebasan Beragama ini perlu memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dengan cakupan sebagai berikut: Pertama, kebebasan beragama dalam arti kebebasan untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. 211 Kedua, kebebasan untuk tidak beragama. Walaupun UUD menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan beragama juga berarti bebas untuk tidak percaya kepada Tuhan atau untuk berkepercayaan ateis. Tetapi tidak semua ateisme yang dapat diberi jaminan. Rahardjo membatasi ateisme dalam bentuknya sebagai wacana ilmiah yang dapat memperoleh jaminan. Sementara ateisme yang bersifat antiagama dan anti-Tuhan, Rahardjo merekomendasikan agar dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketiga, kebebasan berpindah agama, yang setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Menurut Rahardjo, alih-alih pindah agama merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai riddah, melainkan sebuah upaya menemukan kesadaran baru dalam beragama. Rahardjo juga menolak jika orang yang pindah agama disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti mempunyai agama lain, melainkan menentang perintah Tuhan.7 7Sekalipun di Indonesia banyak yang melakukan konversi ke agama lain, misalnya dari Islam ke non-Islam, tetapi pelaku konversi tersebut tidak mendapatkan sanksi berdasarkan ketentuan hukum positif di Indonesia. Hal ini agak berbeda dengan negara yang berpenduduk mayoritas Islam lainnya. Salah satu contoh kasus yang mendapat perhatian luas, bahkan dari kalangan internasional adalah kasus yang menimpa Lina Joy. Semula warga negara Malaysia itu bernama Azlina Jailani. Tetapi setelah pindah dari agama Islam ke Kristen pada usia 26 tahun, perempuan beretnis Melayu itu, berubah nama menjadi Lina Joy. Konversi yang dilakukan oleh Joy tidak mendapat pengesahan dari Pengadilan Federal Malaysia kendatipun Joy sendiri sangat menginginkannya untuk mencantumkan identitas baru (agama Kristen) dalam MyKad (Kartu Tanda Penduduk/KTP) Malaysia. Menurut argumen pihak Pengadilan Tinggi Federal, yang berhak membolehkan penggantian identitas agama pada KTP Joy adalah Pengadilan Syariah Islam. Sementara Joy menolak argumen Pengadilan Tinggi Federal karena dirinya penganut agama Kristen yang tidak perlu mengikuti ketentuan Pengadilan Syariah Islam. Penolakan pihak Pengadilan Tinggi Federal berdampak pula terhadap rencana pernikahan Joy dengan kekasihnya yang juga seorang Kristen. Pernikahan antara Muslim dan non-Muslim tidak diperbolehkan berdasarkan ketentuan hukum Malaysia dan hukum syariah (http://www.rileks.com/ragam/detnew/-31052007025922.html) 212 Keempat, kebebasan beragama menyebarkan agama (berdakwah). Menurut Rahardjo, aktivitas dakwah yang perlu dilindungi adalah yang tidak dilakukan melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Selain dakwah tanpa kekerasan atau nirkekerasan, kegiatan dakwah juga perlu menghindari dari praktik tidak etis seperti diutarakan Rahardjo berikut ini: Kegiatan (dakwah) untuk mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, dengan cara 'membeli' kepercayaan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu. Penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan keselamatan secara langsung dari orang ke orang atau dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan tujuan proliterasi adalah tindakan yang tidak sopan dan sangat mengganggu, karena itu harus dilarang. Kegiatan penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak dilarang, tetapi upaya kristenisasi atau islamisasi sebagai proliterasi tidak diperkenankan. Jika tata cara penyebaran agama bisa diatur, tidak akan ada lagi tuduhan kristenisasi, islamisasi, atau pemurtadan. Kelima, kebebasan beragama mencakup juga sikap adil negara terhadap semua agama. Agar negara bisa bertindak secara adil, negara, kata Rahardjo, perlu merevisi kebijakan yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan terhadap kelompok agama tertentu. Rahardjo mencontohkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mengharuskan pencantuman identitas agama. Kebijakan ini dinilai Rahardjo bisa membuka 213 peluang favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk atau mereka yang berpengaruh di pemerintahan. Keenam, negara harus memperbolehkan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama, jika hal itu sudah menjadi keputusan pribadi dan keluarga yang bersangkutan. Otoritas agama boleh saja mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perkawinan lintasagama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda. Namun, fatwa itu tidak mengikat negara dan pandangan keluarga dan individu itu hanya berlaku pada dirinya sendiri. Ketujuh, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi hak untuk menentukan agama yang dipilih untuk dipelajari. Pilihan tidak boleh berlaku otomatis menurut agama orang tua, walaupun orang tua bisa memengaruhi, bahkan menentukan pilihan anak-anaknya. Hak itu mencakup pilihan untuk tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Namun minimal ada keharusan bagi setiap siswa atau mahasiswa untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika, misalnya berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan warganegara yang baik. Kedelapan, dalam perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendirikan agama baru, asal tidak mengganggu ketenteraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila, atau menipu dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran beberapa agama, sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu akidah 214 agama sebagai syarat. Kesembilan, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh membuat keputusan hukum yang menyatakan suatu aliran keagamaan sebagai sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila. Namun otoritas keagamaan bisa memberi penerangan dan bimbingan yang berkenaan dengan soal ibadah, akidah, dan syariat, tapi tidak mengikat siapa pun, baik negara maupun warga negara. Persoalannya sekarang, bila ada kebebasan beragama adakah pembatasan atas kebebasan beragama? Sebab, secara antinomis, bila ada kebebasan berarti ada pembatasan. Terkait masalah ini Baidhawi (2005) kembali menjelaskan bahwa kita juga memerlukan penjelasan tentang batasan-batasan yang diperbolehkan untuk mengeliminasi apapun yang laten dari agama atau kepercayaan itu sendiri. Pembatasan atas kebebasan beragama utamanya bertujuan untuk menjaga lima hal, yaitu: Pertama, menjaga keselamatan publik. Tujuan ini membuka kemungkinan diperbolehkannya larangan-larangan tertentu secara terbatas atas manifestasi publik dari agama, seperti pertemuan-pertemuan, prosesi, seremoni keagamaan, dan lain-lain; jika bahaya tertentu yang muncul mengancam keselamatan orang-orang baik kehidupan, integritas, kesehatan, atau kepemilikan mereka, di mana ancamanancaman yang berhubungan dengan agama/kepercayaan atas keselamatan manusia atau kepemilikan ada, negara memiliki wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan dan proporsional untuk melindungi keselamatan publik, temasuk melarang, membubarkan pertemuanpertemuan keagamaan yang berpotensi atau terbukti dapat memantik kekacauan dan keresahan, dan dalam kasus ekstrim boleh jadi negara melarang atau membubarkan kelompokkelompok keagamaan tertentu yang dipandang sangat 215 berbahaya menurut kacamata undang-undang dan hukum yang berlaku. Kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu dengan misimisi brutal dan penuh kekerasan, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan termasuk melalui serangan-serangan, penculikan, teror, bom bunuh diri, dapat dilarang keberadaannya melalui keputusan-keputusan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedua, menjaga tatanan publik. Termasuk dalam kategori ini adalah pembatasan atas manifestasi eksternal kebebasan beragama apabila dapat mengacaukan tatanan publik, semata-mata untuk menjaga koeksistensi dan kehidupan bersama semua umat manusia. Aturan yang melarang muslimah untuk memakai jilbab, turban bagi orang Sikh, memanjangkan jenggot bagi Buddhis, dan sebagainya tidak dapat dibenarkan dengan alasan klausa untuk menjaga tatanan publik. Sebab, benda-benda material dan simbolsimbol keagamaan semacam itu tidak memberikan ancaman bagi tatanan sosial. Pembatasan lain yang dapat diterapkan adalah ditetapkannya syarat-syarat bagi komunitas-komunitas keagamaan agar meregistrasikan diri sebagai komunitas legal dan memperoleh status pengakuan dari negara. Negara juga memiliki kewajiban untuk melakukan intervensi dalam membuat aturan-aturan mengenai pertemuan-pertemuan publik atau pendirian rumah ibadat. Pengalaman di Indonesia menunjukkan secara nyata bahwa konflik atau ketegangan antarumat beragama banyak tumbuh dari sengketa pendirian rumah-rumah ibadat. Namun, bila aturan-aturan itu digunakan secara semena-mena dan diskriminatif atas kelompok-kelompok keagamaan tertentu, maka aturan ini merupakan pelanggaran atas kebebasan beragama itu sendiri. Ketiga, menjaga kesehatan publik. Contohnya adalah pelarangan Pemerintah Belanda atas petani Protestan yang 216 menolak menjadi anggota layanan kesehatan bagi ternak mereka karena alasan-alasan keagamaan, atau larangan atas praktik pemotongan alat kelamin perempuan yang dilakukan oleh kebudayaan-kebudayaan atau agama-agama di Afrika, atau larangan atas praktik-praktik sekte keagamaan tertentu yang berhubungan dengan pemakaian obat narkotika atau bunuh diri sebagai jalan menju keselamatan dan pembebasan. Sekte Davidian di bawah pimpinan David Koresh yang mengguncang publik Amerika Serikat beberapa tahun lalu dengan kasus bunuh diri massal, adalah contoh yang layak bagi negara untuk memiliki satu atau lain alasan pelarangan atau pembatasan tertentu atas kebebasan beragama. Keempat, menjaga moral. Contohnya adalah adanya tradisi pengorbanan dalam setiap agama. Ada bentuk-bentuk korban berupa persembahan hasil pertanian seperti dijumpai pada beberapa masyarakat di Tengger dan masyarakat adat lainnya di berbagai belahan dunia. Ada pula persembahan dengan mengorbankan binatang ternak seperti dikenal dalam agama-agama monoteis: Islam, Yahudi, dan Kristen. Namun, dalam beberapa kasus, dijumpai pula pengorbanan dengan mempersembahkan manusia. Dalam kasus terakhir, negara bukan saja memiliki hak, akan tetapi wajib ikut campur untuk melindungi hak hidup manusia sebagai bagian dari hak asasi yang fundamental. Tidak ada satu pun sistem modern yang menerima ritus pengorbanan manusia. Kelima, menjaga hak dan kebebasan orang lain. Pembatasan atas proselitisme misalnya, diperlukan agar aktivitas misi atau dakwah agama-agama tidak melanggar hak dan kebebasan beragama orang lain yang menjadi sasaran. Pembatasan ini menggarisbawahi larangan melakukan aktivitas pemurtadan secara paksa dan tekanan melalui kekuatan uang maupun politik dan militer. Pembatasan juga 217 bermaksud agar kegiatan dan aktivitas misi dan proselitisme tidak melampaui batas kewajaran sehingga membolehkan penghujatan atau penghinaan atas agama atau kepercayaan orang lain. Ujaran, ceramah, khutbah, dan orasi penuh kebencian (hatred speech) harus dilarang secara hukum dan dapat ditetapkan menjadi perbuatan kriminal. Pembatasan-pembatasan di atas sesungguhnya bukan bertujuan untuk mengekang hak dan kebebasan beragama itu sendiri, namun lebih diarahkan sebagai upaya antisipasif dan preventif atas ekses dan dampak laten yang seringkali tidak diharapkan dari manifestasi hak dan kebebasan beragama yang melampaui batas dan tidak bertanggung jawab. 218 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Metode Penelitian 1. Pendekatan Analisis Wacana (Discourse Analysis) S ebagaimana tampak pada elaborasi di atas, kebebasan beragama dan berkepercayaan merupakan subyek kajian yang unik. Ia bukan benda fisik yang dengan mudah ditera. Ia sebuah konsep, sebuah kumpulan pernyataan, atau dalam Foucault dalam The Archeology of Knowledge adalah sebuah wacana (discourse). Menurutnya, the term discourse can be defined as the group of statements that belong to a single system of formation; thus I shall be able to speak of clinical discourse, economic discourse, the discourse of natural history, psychiatric discourse (istilah wacana dapat didefinisikan sebagai kumpulan pernyataan yang termasuk dalam satu sistem informasi tertentu; jadi saya dapat berbicara tentang wacana klinik, wacana ekonomi, wacana sejarah alamiah, wacana psikiatrik) dan menurut peneliti, dapat berbicara pula tentang wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan. Dalam hal ini, hiruk pikuk argumen tentang kebebasan beragama atau berkepercayaan, baik yang menerima atau pun menolak, dianggap sebagai kumpulan pernyataan yang perlu dianalisis secara lebih lanjut. Atas dasar itu maka, penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana. Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis wacana adalah suatu cara atau metode untuk mengkaji wacana (discourse) yang terdapat atau terkandung di dalam pesan-pesan komunikasi baik secara 219 tekstual maupun kontekstual. Ada tiga paradigma yang menjadi pondasi analisis wacana, yaitu positivis-empiris (lazim juga disebut positivisme), konstruktivisme, dan kritis (A.S. Hikam, 1996). Pertama, positivis-empiris. Salah satu cirinya adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Inti bahasannya, apakah suatu pernyataan disampaikan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan demikian analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan ayat, bahasa, dan pengertian bersama. Kedua, konstruktivisme. Menolak pemisahan antara subjek dan objek bahasa. Menempatkan subjek sebagai aktor sentral dalam kegiatan wacana. Subjek boleh melakukan kontrol terhadap maksud-maksud yang ada dalam wacana. Ketiga, kritis. Di sini, analisis wacana menekankan pada konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dipandang sebagai subjek yang netral, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di masyarakat. Dalam pandangan paradigma kritis bahasa tidak dipahami sebagai medium netral melainkan sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Karenanya, analisis wacana digunakan untuk menguraikan segala sesuatu yang ada di dalam setiap proses bahasa. Secara garis besar, kita dapat menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan dalam analisis wacana (Keiko Matsuki, 1996). Pertama, pendekatan sosiolinguistik yang menitikberatkan persoalan-persoalan bahasa secara mikro, seperti persoalan formasi tekstual dari wacana, atau bentukbentuk serta fungsi-fungsi dari lambang-lambang bahasa yang digunakan dalam teks. Pende-katan ini seringkali dikritik sebagai terkesan kurang mementingkan proses-proses makrohistoris dari teks bersangkutan. Kedua, pendekatan 220 sosiokultural yang melihat wacana sebagai praktik sosial. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada praktik sosial kehidupan manusia, dan menempatkan wacana sebagai tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan prosesproses simbolik, seperti kekuasaan (power) dan ideologi. Pendekatan ini lebih menempatkan lambang-lambang dalam konteks situasional maupun historis secara lebih luas sehingga lebih dekat dengan semiotika. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiokultural. Sebab, peneliti berhipotesis bahwa wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan bukanlah kumpulan pernyataan yang netral atau berdiri sendiri---meminjam Foucault--melainkan tumbuh dan berkembang dalam konteks relasirelasi kuasa. Karena wacana, bagi Foucault, tidak berdiri sendiri melainkan tumbuh dalam relasi-relasi kuasa, maka wacana bukan sekadar pernyataan kosong tanpa efek nyata, melainkan mewujud dalam praktik-praktik di masyarakat. Sejauh mana sebuah wacana menjadi kenyataan dalam praktik tentu tergantung pada relasi-relasi kuasa yang ada. Relasirelasi kuasa yang dimaksud di sini adalah para subjek, yaitu siapa yang membuat suatu wacana. Posisi mereka sangat penting untuk diketahui dalam kajian yang menggunakan analisis wacana. Sebab, wacana yang dibuat oleh seseorang yang dianggap sebagai tokoh publik tentu berbeda dengan wacana yang dibuat oleh orang biasa. Foucault menyarankan agar kita menanyakan: Who, among the totality of speaking individuals, is accorded the right to use this sort of language? Who is qualified to do so? Who derives from it his own special quality, his prestige, and from whom, in return, does he receive if not the assurance, at least the presumtion that what he says is true? What is the status of the individuals who---alone---have the right, sanctioned 221 by law or tradition, judicially defined or spontaneously accepted, to proffer such a discourse? Siapa di antara individu-indvidu yang bicara, yang mendapatkan hak untuk menggunakan bahasa semacam ini? Siapa yang mengambil dari adanya kualitas khusus dirinya, prestisenya dan sebaliknya dari siapa dia menerima, jika bukan kepastian sekurang-kurangnya dugaan, bahwa apa yang dikatakan adalah benar? Apakah status dari individu-individu yang secara khusus mempunyai hak, disahkan oleh hukum atau tradisi, didefinisikan secara juridis atau diterima secara spontan, untuk menawarkan wacana semacam itu. Foucault juga menyarankan agar kita menanyakan, lembaga apa, jika ada, yang diatasnamakan oleh si pembuat wacana? Wacana yang dikemukakan oleh cendekiawan tanpa latar belakang organisasi tertentu akan berbeda dengan wacana seorang tokoh yang memimpin sebuah organisasi besar. Fatwa MUI yang mengharamkan natal bersama tahun 1981 menimbulkan ketegangan antara Buya Hamka sebagai Ketua MUI dan pemerintah. Padahal lama sebelumnya, yakni tahun 1974, Hamka sudah membuat fatwa yang sama di majalah yang diasuhnya, Panji Masyarakat, tanpa ada keributan. Saat itu Hamka memang belum menjadi Ketua MUI. Dari penjelasan tersebut kita dapat meletakkan penelitian ini pada koridor yang tepat, yakni ketika peneliti menjadikan tokoh ormas Islam sebagai informan yang harus diungkap pendapatnya terkait wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan. Selain karena kedudukan mereka, peneliti menduga para tokoh ormas ini pun memiliki konstruk pengetahuan yang memadai terkait masalah yang akan ditanyakan. 222 Dalam penelitian tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan ini, pendekatan analisis wacana sangat penting, sebab pendekatan ini menyarankan untuk memperhatikan bagaimana strategi diskursif, yakni cara menalar dan berargumentasi yang dikembangkan oleh si pembicara dalam mengemukakan wacana itu. Kadang-kadang, sebuah wacana dikembangkan dalam argu menargumen yang koheren, tapi bisa juga kontradiktif, melompat-lompat atau mengalami penyesuaian-penyesuaian (appropriations). Dalam kasus fatwa yang mengharamkan natal bersama, argumen yang dipakai adalah bahwa pengertian natal dalam agama Kristen adalah syirik dalam pandangan akidah Islam. Sedangkan dalam kasus penelitian ini, kita akan berupaya mengungkapkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi para tokoh ormas Islam dalam menyampaikan argumennya tentang kebebasan beragama atau berkepercayaan. 2. Metode Pengumpulan Data a. Wawancara Disebabkan penelitian ini hendak mengungkapkan sistem makna yang melandasi argumen tokoh ormas Islam tentang wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan maka metode pengumpulan data yang paling tepat adalah dengan menggunakan wawancara (interview). Sebab, sebagai suatu metode ilmiah, wawancara lazim digunakan untuk melacak berbagai gejala tertentu dari perspektif orang-orang yang terlibat (the actors own perspective). Seperti dikatakan oleh Lindlof dalam Pawito (2008), dengan menggunakan metode interview peneliti dapat to learn about things that cannot be observed directly by other means (dapat mempelajari hal-hal yang tampaknya memang tidak dapat dilacak dengan menggunakan cara atau metode lain). Di sini orang-orang yang diwawancarai (informan, interviewees) lalu berfungsi 223 sebagai pengamat yang kemudian melaporkan kepada peneliti (dengan memberikan jawaban atas pertanyaan peneliti) mengenai gejala-gejala yang sedang diteliti, sebagaimana tertuang dalam pertanyaan-pertanyaan. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan terhadap informan dari kalangan pimpinan ormas Islam Kota Depok atau tokoh cendekiawan atau ulama yang diafiliasikan pada satu ormas Islam tertentu, yang dianggap representatif untuk bisa menjelaskan tentang objek yang tengah di kaji. Guna memperoleh informan yang tepat maka peneliti terlebih dahulu akan mencari informasi ke sekretariat kantor ormas Islam yang bersangkutan, setidak-tidaknya mengetahui terlebih dahulu struktur organisasinya. Dari struktur organisasi itu setidaknya akan diketahui siapa-siapa saja informan yang patut diwawancarai. Memperhatikan struktur organisasi maka unsur pimpinan organisasi menjadi informan yang peneliti berikan prioritas. Selain informan yang tercantum dalam kepengurusan organisasi, peneliti juga menyadari tentang pentingnya informan non-pimpinan tetapi dianggap sebagai orang yang diakui ketokohannya dalam organisasi yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini informan yang akan diwawancarai dapat dibagi dua, yaitu mereka (tokoh) ormas Islam yang tercantum sebagai pimpinan organisasi dan mereka (tokoh) ormas Islam yang tidak tercantum sebagai pengurus. Pemilihan terhadap dua posisi ini, didasarkan pada pertimbangan bahwa biasanya ada perbedaan sudut pandang seseorang ketika dia masih dalam kepengurusan dengan yang belum. Mereka yang tergabung dalam kepengurusan biasanya cenderung hati-hati dan penuh pertimbangan, karena mereka tengah menjadi pimpinan yang setiap ucapannya akan diperhatikan anggotanya atau masyarakat. Dalam mencari 224 informan non-pimpinan ini, peneliti akan bertanya secara acak kepada para pengurus dan masyarakat tentang siapa-siapa tokoh yang dimaksud. Nama yang peling sering disebut itulah yang akan dijadikan sebagai informan. Salah satu pertimbangan untuk menentukan informan adalah juga faktor umur, tingkat dan latar belakang pendidikan (agama dan nonagama). Dalam penelitian ini akan dibagi sedemikian rupa agar pemilihan dan pemilahan informan berdasarkan umur, tingkat dan latar belakang pendidikan dapat dilakukan secara proporsional. Keragaman karakteristik informan tersebut diharapkan dapat membantu pesebaran informasi terkait masalah pokok penelitian secara lebih lebih beragam pula. Dalam melakukan wawancara, peneliti melakukan dengan dua cara, yaitu mempertanyakan masalah yang telah disiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaannya dan pertanyaan spontan berdasarkan isu-isu yang mencuat saat wawancara dilakukan.8 Ormas Islam yang dipilih dalam penelitian ini adalah mereka yang sudah diduga sebelumnya berdasarkan penelitian mempunyai spektrum pemikiran yang tidak seragam. Dalam hal ini dipilih ormas Islam yang cenderung mempunyai pemikiran moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), al-Irsyad, dan mereka yang cenderung mempunyai pemikiran radikal dan transnasional seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Forum Umat Islam (FUI) serta ormas Islam yang dijumpai di lapangan. Wawancara juga dilakukan terhadap mereka yang digolongkan sebagai kelompok keagamaan non 8Ada tiga jenis wawancara: (a) wawancara percakapan informal (the informal conversational interview), (b) wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide), dan (c) wawancara dengan menggunakan open-ended standard. 225 mainstream seperti Ahmadiyah misalnya. Pemilihan terhadap Ahmadiyah dimaksudkan agar informasi tentang objek kajian lebih komprehensif. Tabel 1 Jumlah Tokoh Struktura Non l struktural 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 Nama Ormas Islam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nahdlatul Ulama (NU) Muhammadiyah Al-Irsyad Persatuan Islam (PERSIS) Front Pembela Islam (FPI) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Rencana Informan Penelitian b. Pengamatan (Observation) Guna melengkapi wawancara dilakukan pengamatan (observasi). Ada dua jenis metode pengamatan, yaitu: (a) observasi dengan ikut terlibat dalam kegiatan komunitas yang diteliti (participant observation), dan (b) observasi tidak terlibat (nonparticipant observation). Penelitian ini menggunakan jenis metode pengamatan tidak terlibat. Observasi dalam penelitian yang menggunakan pendekatan analisis wacana hanya sebatas sebagai pelengkap bagi data yang diperoleh melalui proses wawancara. Ia hanya mengonfirmasikan kemungkinan adanya korelasi antara pernyataan yang disampaikan secara verbal oleh para tokoh ormas Islam tersebut dengan perilaku tokoh ormas Islam itu di lapangan. Misalnya, ada demonstrasi menentang pendirian rumah ibadat, penolakan terhadap 226 kegiatan penyiaran agama, konversi agama atau proselitisme, dan lain-lain. 3. Analisis Data Prosedur analisis data dilakukan baik dalam pengumpulan data maupun setelah pengumpulan data selesai. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif Miles dan Huberman (1994). Teknik analisis ini pada dasarnya terdiri dari tiga komponen: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusion) (Syam, 2005). Reduksi data bukan asal membuang data yang tidak diperlukan, melainkan merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti selama analisis data dilakukan dan merupakan langkah yang tak terpisahkan dari analisis data. Dalam reduksi data, data yang ditemukan lewat wawancara mendalam dan observasi diklasifikasi sesuai dengan pengelompokan datanya. Misalnya, data tentang kawin beda agama, penyiaran agama, konversi atau proselitisme agama, dan kelompok agama non-mainstream. Maka, seluruh data dari informan maupun subjek penelitian diklasifikasi sesuai dengan konsep-konsep tersebut. Dalam komponen reduksi data ini kelihatan bahwa peneliti akan mendapatkan data yang sangat sulit untuk diidentifikasi pola serta temanya, atau mungkin kurang relevan untuk tujuan penelitian sehingga data bersangkutan terpaksa harus disimpan (diredusir) dan tidak termasuk yang akan dianalisis. Dalam penyajian data dilakukan pengorganisasian data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan (kelompok) data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan karena dalam penelitian kualitatif data biasanya beraneka ragam per 227 spektif dan terasa bertumpuk maka penyajian data pada umumnya diyakini sangat membantu proses analisis. Dalam hubungan ini, data yang tersaji berupa kelompok-kelompok atau gugusan-gugusan yang kemudian saling dikait-kaitkan sesuai kerangka teori yang digunakan. Pada penarikan data pengujian kesimpulan, peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat. Ada kalanya kesimpulan telah tergambar sejak awal, namun kesimpulan final tidak pernah dapat dirumuskan secara memadai tanpa peneliti menyelesaikan analisis seluruh data yang ada. Peneliti dalam kaitan ini masih harus mengonfirmasi, mempertajam, atau mungkin merevisi kesimpulan-kesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final berupa proporsi-proporsi ilmiah mengenai gejala atau realitas yang diteliti. Pengumpulan data Reduksi data Penyajian data Penarikan/pengujian kesimpulan Gambar 1 Analisis data Model Interaktif dari Miles dan Huberman 228 Selain menggunakan analisis data interaktif Miles dan Huberman, karena para informan berasal dari ormas Islam yang cenderung mempunyai ideologi yang berbeda, maka penelitian ini juga menggunakan analisis komparatif, terutama yang terkait dengan pola pemikiran masing-masing tokoh tersebut dalam memahami kebebasan beragama atau berkepercayaan. B. Kerangka Pemikiran Berdasarkan dasar pemikiran, tujuan, urgensi, kerangka teoritik, kerangka konseptual, dan metode penelitian, maka kerangka pemikiran penelitian ini diskemakan sebagai berikut: Civil Society Sosiokultural Wacana Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan Politik Keagamaan Pemerintah Globalisasi: HAM dan Demokrasi Gambar 2 Skema Kerangka Pemikiran Penelitian 229 230 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Konsep HAM Berkepercayaan dan Kebebasan Beragama atau ari berbagai literatur yang sempat dibaca, saya melihat bahwa discourse kebebasan beragama atau berkepercayaan (KBB) pada saat ini tidak bisa dilepaskan dari perbincangan tentang nilai universalitas atau partikularitas hak asasi manusia (HAM). Dalam tataran teori, setidaknya ada empat aliran pemikiran terhadap HAM, yaitu: Pertama, pandangan universal absolut. Pandangan ini melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM internasional, seperti The International Bill of Human Rights. Dalam hal ini profil sosial budaya melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan. Kedua, pandangan universal relatif. Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal, namun demikian perkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya. Ketiga, pandangan partikular absolut. Pandangan ini melihat HAM sebagai persoalan masingmasing bangsa, tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen-dokumen internasional. Keempat, pandangan partikularistis relatif. Dalam pandangan ini, HAM dilihat di samping sebagai masalah universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumendokumen HAM internasional harus diselaraskan, diserasikan, D 231 dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya bangsa.9 Berangkat dari teori di atas, saya mengajukan pertanyaan kepada beberapa informan tentang apakah HAM dan KBB bersifat universal atau partikular? Persoalan ini menjadi bahan perbincangan menarik di antara para informan. Farkhan AR Fachruddin, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Depok, mengatakan, KBB merupakan salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan. Apalagi, kata Farkhan, Islam merupakan agama yang mengajarkan bahwa setiap manusia punya hak, Islam memberikan garis antara mana yang benar dan mana yang salah. Untuk memperkuat pandangannya tersebut, Farkhan mengutip al-Qur’an surat alKahfi ayat 29: ”Kebenaran itu datangnya dari Allah, siapa yang mau beriman silahkan, siapa yang mau mengingkarinya silahkan...”. Dalam pemahaman Farkhan, melalui ayat tersebut, Islam sebenarnya telah memberikan dasar yang autentik dalam menyikapi perbedaan pilihan agama tiap-tiap manusia. ”Semua itu menunjukkan, bahwa silahkan Anda memilih ajaran agama masing-masing”, tandas Farkhan. Selain mencari pendasaran secara teologis dalam al-Qur’an, dalam menjelaskan tentang pentingnya kebebasan dalam beragama dan berkepercayaan, Farkhan juga mendasarkan pada kenyataan obyektif kehidupan manusia yang membutuhkan kebebasan. Manusia, menurut Farkhan membutuhkan kebebasan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, sejahtera, dan jauh dari kekerasan. Pandangan Farkhan sejalan dengan Mujahid, salah satu tokoh MUI Kota Depok. Menurut Mujahid, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan kebebasan seseorang 9Saharuddin Daming. “Pelarangan Ajaran Sesat dalam Perspektif Hukum dan HAM” dalam Harmoni. Vol. VII. Nomor 25. Januari-Maret 2008. hlm. 74-75. 232 untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama masing-masing menurut kepercayaan yang telah dipahami. Setiap orang beragama, membutuhkan kebebasan dalam pengertian seperti dikemukakan Mujahid tersebut. Ketika ditanyakan mengenai pentingnya kebebasan beragama, Mujahid memberikan jawaban: Kebebasan beragama diperlukan untuk menjamin masyakat yang hidup di lingkungan secara damai dan harmonis karena al-Qur’an mengajarkan bahwa agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Kebebasan beragama dan kepercayaan dalam masyarakat diperlukan untuk mencipkan kondisi yang aman dan damai secara rahmatan lil `alamin. Ibadah Kepada Allah dan hubungan toleransi dengan manusia dengan cara saling menghargai antar umat manusia. Kebebasan menurut Mujahid merupakan kebutuhan universal setiap umat beragama. Mujahid tidak setuju jika kebebasan beragama selalu dikaitkan dengan pandangan dari luar terutama Barat. Pandangan dikotomik tersebut, menurut Mujahid, seperti ingin mengesankan bahwa agama, katakanlah Islam, tidak memiliki doktrin yang bisa dikaitkan dengan kebebasan agama. Padahal, kata Mujahid lebih lanjut, dalam Islam terdapat doktrin yang dekat dengan konsep kebebasan beragama. Mujahid kemudian menukil ayat populer yang sering dikutip ketika membicarakan hubungan Islam dengan kebebasan beragama. Ayat yang dikutip Mujahid berbunyi, laa ikraha fiddin, dan lakum dinukum waliyadin. Sebagaimana dua tokoh di atas, Yusdiarto, Ketua Pimpinan Cabang al-Irsyad al-Islamiyah, berpendapat bahwa Islam memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama. 233 Dia pun setuju jika surat al-Baqarah ayat 256 dijadikan dasar pemberian jaminan kebebasan beragama dalam Islam. Namun, dia menambahkan bahwa ayat itu jangan hanya dibaca sepotong-potong. Ayat tersebut menurutnya harus dibaca lebih lengkap, setidaknya sampai pada, qad tabayyana rusydu min al-ghayy (sesungguhnya telah jelas daripada jalan yang salah). Ayat ini menurut Yusdiarto penting dibaca agar tidak menimbulkan kesalahpahaman bahwa Islam memberikan jaminan kebebasan tanpa batas. Padahal, maksud jaminan kebebasan dalam Islam tidak demikian. Setelah la ikraha fiddin, ada kelanjutan qad tabayyana rusydu min al-ghayy. Kelanjutan tersebut dalam pandangan Yusdiarto mengandung maksud, di satu pihak, Islam memberikan kebebasan. Tetapi, di pihak lain, Islam memberikan penegasan bahwa yang benar telah jelas, yaitu Islam. Dengan penegasan tersebut, Islam melarang keras terhadap orang yang sudah memeluk Islam pindah agama. ”Jadi bebas beragama, tapi tidak ada kebebasan pindah agama”, tekan Yusdiarto. Yusdiarto tampaknya ingin memberikan batasan yang jelas terhadap kebebasan beragama. Bagi Yusdiarto, terhadap orang yang belum masuk Islam diperlakukan prinsip kesukarelaan. ”Mau beriman ya, mau tetap kafir, silahkan, asalkan jangan menganggu Islam”, lanjut Yusdiarto.10 Untuk mempertegas kembali prinsip kesukarelaan dalam Islam, Yusdiarto kembali menukil pernyataan alQur’an, lakum dinukum waliyadin. Ayat ini menurut Yusdiarto hanya berlaku bagi non-muslim. Sebagai kelanjutan adanya prinsip kesukarelaan, Islam, kata Yusdiarto lebih lanjut, menekankan toleransi terhadap non-muslim. Tetapi terhadap pemeluk Islam, tidak berlaku lagi prinsip kesukarelaan. 10Guna mengetahui pengertian kafir dan perlunya berhati-hati dalam pelabelan kafir pada seorang muslim, selengkapnya baca Abdullah bin Abdil Aziz alJibrin. Vonis Kafir dalam Timbangan Islam. Jakarta: Pustaka Imam Syafi`i. 2007; Harifuddin Cawidu. Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991. 234 Seorang muslim, kata Yusdiarto, harus memegang teguh kebenarannya agama, tidak boleh pindah kepada agama lain. Pandangan Yusdiarto mendapat dukungan dari M. Achmadi Yusuf, salah satu tokoh Muhammadiyah. Sebagaimana Yusdiarto, Achmadi juga menggunakan surat alBaqarah ayat 256 ketika menjelaskan kebebasan beragama dalam Islam. Achmadi juga berpandangan, pernyataan alQur’an, la ikraha fiddin, hanya berlaku bagi non-muslim, sementara bagi muslim, berlaku pernyataan al-Qur’an berikutnya, qad tabayyana rusydu min al-ghayy. ”Kalau sudah memilih Islam, ya masuk Islam yang sebenar-benarnya”, kata Achmadi. Dimyathi Badruzzaman, Ketua MUI Kota Depok. Dimyathi berpandangan bahwa KBB merupakan hal yang paling fundamental dalam kehidupan beragama. Indonesia, kata Dimyathi, perlu memberikan jaminan terhadap KBB. Di mata Dimyathi, jaminan terhadap KBB tidak bisa ditawar lagi mengingat negara Indonesia telah mengakui dan meratifikasi kovenan undang-undang internasional yang berhubungan dengan HAM. Selanjutnya Dimyathi berpandangan, hubungan antara Islam dengan HAM dan KBB tidak saling bertentangan, tetapi kompatibel. ”Dari sudut pandang Islam, Islam sangat menghormati keragaman, pluralitas, termasuk HAM dan kebebasan beragama”, tegas Dimyathi. Dimyathi juga merujuk pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 untuk memperkuat pandangannya tersebut. Ayat ini menurut Dimyathi merupakan salah satu bentuk justifikasi yang kongkrit dari Islam terhadap kemajemukan dan kebebasan agama. Pendapat Dimyathi ini sejalan dengan Burhanuddin Marzuki, tokoh NU di Cipayung, Depok. ”Orang lain tidak perlu dipaksa menyembah Tuhan yang disebut Allah itu”, kata Marzuki. Oleh karena itu, Marzuki tidak membenarkan 235 terhadap aktivitas penyebaran agama (dakwah) terhadap orang yang sudah punya agama. ”Sangat keliru. Jangan mengajak orang yang sudah beragama. Seperti orang Islam pun tidak boleh mengajak orang yang sudah punya agama. Begitu juga sebaliknya”, kata Marzuki. Pandangan Marzuki ini didasarkan pada prinsip kesadaran dan kesukarelaan dalam memilih suatu agama. Marzuki bahkan menganggap sebagai suatu hal yang wajar jika ada orang pindah agama selama atas kesadaran sendiri, bukan karena dipaksa oleh orang lain. ”Orang boleh pindah agama, asal bukan paksaan, tetapi kesadaran sendiri. Kalau dipaksa berarti pemerkosaan terhadap agama lain”, kata Marzuki lebih lanjut. Kendati terkesan memiliki pandangan yang longgar, Marzuki tetap tidak memungkiri terhadap adanya konsekuensi bagi pelaku konversi. Pelaku konversi, menurut Marzuki, tetap dianggap murtad. Konsekuensi berikutnya, pelaku konversi tidak mendapatkan hak waris. Tetapi Marzuki menolak dengan keras terhadap pandangan bahwa pelaku konversi dapat dihukumi halal darahnya. Pandangan seperti itu, kata Marzuki, tidak bisa dibenarkan. ”Pandangan seperti itu, ya keliru. Yang halal itu, bukan orang yang pindah agama. Tetapi yang menganggu orang Islam. Mau pindah agama, tidak apa-apa. Asalkan tidak menganggu pada agama yang pertama”, jelas Marzuki.11 Pandangan Marzuki tersebut senada dengan Tri Wahyu Hidayati yang melakukan kajian ulang terhadap hukum riddah. Hidayati berkesimpulan bahwa: 11Hadits tentang “Siapa saja yang berpindah agama akan dibunuh” merupakan hadits ahad. Fakta sejarah, Nabi Saw sendiri ataupun para sahabatnya tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk Islam, juga tidak pernah menghukum mati seseorang hanya karena menukar keimanannya. Mohammad Hashim Kamali. Kebebasan Berpendapat dalam Islam (Freedom of Expression in Islam). Bandung: Mizan. 1996. hlm. 120-142. 236 “(1).....hukum riddah pada prinsip dasarnya, yaitu kebebasan beragama yang bertanggung jawab. Kebebasan yang dimaksud oleh Islam adalah kebebasan yang masih menaati aturan-aturan dan norma, bukan kebebasan yang tanpa batas. Pada prinsipnya, Islam sangat menunjung tinggi kebebasan dan tanggung jawab seseorang dalam beragama. Tidak ada paksaan dalam beragama. Seseorang beriman atau tidak merupakan pilihan pribadi perorangan. Namun pilihan itu mengandung konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan. Kebebasan yang bertanggung jawab ini akan berdampak keluar dan ke dalam. Keluar terwujud dalam bentuk toleransi sedangkan ke dalam terwujud dalam bentuk ketaatan yang tinggi. (2) Tidak melaksanakan hukuman mati terhadap orang murtad, karena hukuman itu, selain penuh dengan latar belakang politik Madinah abad ke-7 M, juga sudah tidak sesuai dengan konteks masyarakat modern yang cenderung sekuler. (3) Walaupun tidak dikenai hukuman mati, keluar dari Islam sebagai sebuah tindakan hukum yang bebas, tetapi memiliki konsekuensi hukum sebagaimana tindakan-tindakan hukum yang lain. Konsekuensi hukum itu berupa hukuman perdata sebagaimana telah diatur dalam fiqih Islam.12 Mujahid, coba memberikan penjelasan bernada filosofis terhadap fenomena keragaman yang sering menimbulkan persoalan ketika dikaitkan dengan aktivitas dakwah atau penyebaran agama. Dalam pandangan Mujahid, keragaman merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Mujahid menyayangkan pendapat sementara kalangan yang melihat keragaman agama secara artifisial. Dia mencontohkan keberagamaan masing-masing komunitas agama dalam 12Tri Wahyu Hidayati. Apakah Kebebasan Beragama = Bebas Pindah Agama: Perspektif Hukum Islam dan HAM. Salatiga: STAIN Press & JP Books. 2008. hlm. 180181. 237 menyebut nama Tuhannya. Bagi Mujahid, cara penyebutan nama Tuhan merupakan bagian dari pluralitas seperti diungkapkan berikut ini: Istilahnya pun juga sangat plural. Kata Tuhan, kita yang beragama Islam menyebut dengan Allah. Sedang orang Hindu menyebut Sang Hyang Widhi Wasa. Orang Kristen juga dengan Yesus. Tapi, intinya, masing-masing pemeluk agama ingin menyembah Tuhannya. Komitmen mengabdi pada Tuhan, dalam pandangan Mujahid, merupakan salah satu dimensi kebajikan agama yang wajib dihormati oleh siapa pun. Kelompok lain yang berbeda agama tidak boleh mengancam kelompok lain hanya karena alasan perbedaan dalam menyebut nama Tuhannya. Semua umat beragama, kata Mujahid, perlu dibebaskan dari rasa takut. Menurut pandangan Mujahid, bebas dari rasa takut merupakan salah satu hak asasi yang memperoleh jaminan dalam al-Qur’an. Untuk memperkuat pernyataan ini, Mujahid, mengutip surat al-Qurasy ayat yang keempat: ”...dan mengamankan mereka dari rasa takut”. Ayat ini menurut Mujahid dapat dijadikan dasar memberikan rasa aman, bebas dari ketakutan, terhadap kelompok agama lain. ”Dalam beragama kita tidak boleh suka mengancam, apalagi menyengsarakan kelompok lain. Repotnya, sekarang ini kalau sudah menyengsarakan kelompok lain dianggap jihad. Padahal itu bertentangan dengan pernyataan alQur’an dalam surat Qurasy ayat keempat”, kata Mujahid. Dengan kata, mengutip Irshan Manji, tantangan umat Islam terbesar dan fundamental saat ini adalah bagaimana mereka bisa menciptakan situasi kondusif agar siapapun bisa “beriman tanpa rasa takut”.13 13Bandingkan dengan Irshad Manji. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher. 2008. 238 Masalah KBB ditanyakan pula terhadap aktivis JAI dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Basuki Ahmad, muballigh JAI, menyatakan bahwa kebebasan beragama sejatinya bukan konsep yang asing dalam Islam karena dalam al-Qur’an terdapat doktrin “lakum dînukum wa liya dîn”. Dengan doktrin ini, Islam, menurut Ahmad, di samping mengakui adanya kebebasan dalam beragama, juga menekankan sikap toleransi terhadap paham dan agama lain. Ahmad menjelaskan: Islam memang memberikan semacam kebebasan dalam kehidupan beragama. Untuk hubungan antarumat beragama, Islam mengajarkan toleransi, adapun tentang hubungan intra-agama, di Indonesia kan ada berbagai firqoh atau golongan, yaitu NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Mereka sebaiknya beraktivitas sesuai dengan kepercayaan masing-masing asalkan tidak jauh dari rukun Iman dan rukun Islam. Sejauh di bawah koridor tersebut, saya kira tidak masalah. Kebebasan berkepercayaan merupakan hak asasi yang paling pokok dan mendasar, terutama di Indoensia konteksnya dengan UUD 45. Di situ ditegaskan bahwa setiap orang berhak memeluk agama berdasarkan kepercayaannya masing-masing. Jadi menurut saya, sangat relevan antara konsep HAM dengan agama yang kita anut. Pendapat yang sama dikemukakan oleh tokoh dari LDII, Sunarto. Ditegaskan oleh Sunarto, kebebasan pada dasarnya merupakan salah satu fitrah manusia. Tidak mungkin manusia hidup tanpa kebebasan. Kehidupan agama juga membutuhkan kebebasan. Kebebasan beragama menurut pemahaman Sunarto adalah kebebasan mengekspresikan suatu paham keagamaan atas kesadaran sendiri, bukan karena ancaman dari pihak lain. 239 Dari paparan di atas tampak beberapa informan yang diwawancarai memberikan apresiasi positif terhadap konsep HAM dan KBB dalam kaitannya dengan Islam. KBB mempunyai landasan teologis yang cukup kuat dalam tradisi Islam. Sedikit pandangan berbeda dikemukakan oleh informan dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam pandangan aktivis HTI, Hudzaifah al-Ayubi, konsep kebebasan beragama tidak berlaku universal. Konsep tersebut, menurut Hudzaifah, hanya bisa diterapkan terhadap kalangan non-Muslim. Hudzaifah memahami kebebasan beragama dalam pengertian non-Muslim memiliki kebebasan keluar dari agamanya dan memilih Islam, tetapi tidak sebaliknya. Bagi orang yang sudah beragama Islam tidak lagi memiliki kebebasan keluar dari Islam. Lebih jelasnya berikut pernyataan Hudzaifah: Bagi kalangan non-Muslim, mereka bisa memilih masuk masuk Islam atau tidak, karena dalam al-Quran di sebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Konteks kebebasan beragama ini jika diterapkan juga pada orang Islam akan bermasalah, yang menurut pendapat kami tidak tepat, karena ketika seseorang sudah menetapkan diri untuk memilih Islam maka ia dituntut untuk menjaga keislamannya. Bahkan dalam al-Quran sendiri disebutkan, jangan sekali-kali engkau mati kecuali dalam keadaan berIslam. Dan bahkan, lebih jelas lagi untuk seseorang yang sudah masuk Islam, dia tidak boleh seenaknya keluar-masuk Islam, kemudian murtad, kemudian Islam lagi. Ini dalam Islam hukumnya sangat jelas dan tegas, bagi mereka yang keluar dari Islam dengan penuh kesadaran dan setelah diseru pada Islam tidak mengindahkan atau tidak mau, maka akan terkena hukuman sebagaimana yang telah disampaikan dalam suatu hadits bahwa orang mengganti agamanya, maka orang tersebut boleh dibunuh. Itulah hukuman bagi orang yang 240 murtad, sehingga dalam konteks ini seharusnya kita sebagai umat Islam harus hati-hati menggunakan istilah kebebasan beragama itu. Sekali lagi kalau ini diterapkan pada komunitas Muslim, ini yang tidak bisa diterima. Kalau ini di-gebyah uyah, digeneralisasi semuanya tentu tidak sepakat, dalam pengertian dengan penjelasan seperti tadi. Karena kalau seperti itu nanti orang akan sembarangan. Saya tidak tahu apakah dalam hal ini dalam perundang-undangan sudah dirinci atau tidak. Karena ketika seseorang itu sudah masuk Islam dan kemudian dia punya hak karena alasan kebebasan beragama dia bisa berpindah-pindah sesuai dengan nafsunya, sesuai keinginannya, bahkan sampai sekarang ini berkembang pemahaman, karena kebebasan beragama itu, maka boleh untuk tidak beragama. Terus terang jika ini diterapkan bagi umat Islam tentu kita tidak sepakat, karena hal ini bertentangan dengan hukum yang ditetapkan dalam Islam. Aktivis HTI lain, Arifin, sependapat dengan pemikiran Hudzaifah. Menurut Arifin, dalam Islam memang terdapat konsep kebebasan beragama seperti dinyatakan oleh alQur’an, la ikraha fiddin. Tetapi pernyataan al-Qur’an ini, menurut Arifin, hanya berlaku bagi non-muslim. Sementara bagi orang muslim sendiri diberlakukan pernyataan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 208: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. Ayat ini dalam pemahaman Arifin merupakan pembatasan kebebasan beragama terhadap orang Islam. Bagi orang yang sudah beragama Islam, ditegaskan 241 oleh Arifin, tidak ada pilihan lagi, kecuali tetap dengan keislamannya, tidak boleh pindah kepada agama lain.14 Pembatasan yang dilakukan oleh aktivis HTI terhadap konsep kebebasan, dipengaruhi oleh cara pandang terhadap konsep HAM. Berbeda dengan informan terutama dari Muhammadiyah dan NU, pemahaman Hudzaifah terhadap HAM mencerminkan pemahaman para aktivis HTI pada umumnya, yakni cenderung menolak terhadap konsep HAM karena berasal dari Barat. Dengan demikian, kata Hudzaifah, HAM tidak perlu dipaksakan penerapannya terhadap masyarakat Islam. Dalam kepercayaan Hudzaifah, menerapkan HAM terhadap masyarakat Islam, sama artinya Barat melakukan hegemoni terhadap Islam. Secara panjang lebar Hudzaifah memberikan alasan: HAM itu istilah baru, yang kalau dalam kacamata Islam tentu tidak dikenal dan bahkan kalau kita mencermati secara lebih dalam, HAM itu akan banyak pertentangannya dengan Islam. Kenapa? Pertama, kalau kita lihat dari aspek latar belakang sejarah kemunculannya, bahwa HAM itu muncul abad ke-8, di mana pada masa itu banyak terjadi kezaliman, penindasan atas nama agama, khususnya dalam hal ini Nasrani, dan kemudian ada Renaissance. Ada orang-orang 14Pandangan aktivis HTI tentang konversi agama (dari Islam ke agama lain) memiliki kesamaan dengan pandangan resmi HTI. Dalam situs resmi HTI, http://hizbut-tahrir.or.id, ditemukan setidaknya dua artikel yang membahas masalah konversi agama, yaitu: “Seputar Orang Murtad” dan “Hukuman Mati bagi Orang Murtad”. Pada kedua artikel ini, HTI mengungkapkan secara tegas bahwa pindah dari Islam ke agama lain merupakan tindakan murtad yang dilarang keras oleh Islam. Pandangan HTI ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Imran ayat 86-90. Ayat ini dijadikan dasar oleh HTI untuk melarang orang yang telah memeluk Islam berpindah kepada agama lain. HTI juga memiliki pandangan yang tegas terkait dengan sanksi bagi orang yang murtad. Selain akan mendapatkan sanksi dari Allah di akhirat—HTI mendasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 217, an-Nisa’ ayat 137, al-Maidah ayat 21, dan Muhammad ayat 25—orang yang murtad , tegas HTI, bisa diberi sanksi hukuman mati jika tidak mau diajak kembali kepada Islam. Pandangan HTI ini didasarkan pada hadist Nabi: “Siapa saja yang mengubah agamanya, bunuhlah dia.” 242 filosof yang kemudian mendobrak hal tersebut. Maka terjadilah kompromi dan lahirlah ide sekularisme; pemisahan agama dari kehidupan. Di saat itu ada sebagian yang mulai memunculkan konsep HAM, sekitar tahun 1700an, pertama kali dipakai pada Revolusi Perancis, kemudian dipakai lagi dalam Revolusi Amerika. Baru kemudian secara lebih luas diformalkan ketika lahir PBB, yang memang kesepakatan itu dibuat oleh negara-negara PBB, yang memang bukan komunitas negara-negara Islam, yang berkembang khususnya setelah perang dunia ke-2. Negaranegara Barat ini, setelah ada PBB, kemudian mereka juga memenangkan Perang Dunia ke-2, sehingga mereka lebih leluasa memiliki kesempatan untuk menguasai negaranegara lain, khususnya negara-negara Islam yang saat itu justru mulai dalam keadaan lemah, terpuruk, pasca-Khilafah Utsmani. Akhirnya mereka semakin mempunyai kesempatan untuk membesarkan ide dan konsep HAM itu sebagai sesuatu yang seolah-olah baik, karena memang realitasnya, sebagian besar negeri-negeri Islam dalam keadaan yang terbelakang, terzalimi. Diharapkan, dengan produk HAM ini kemudian menjadi konsep yang disambut dan diterima oleh kaum muslimin, dan memang sebagian kena. Mereka membeli produk itu. Padahal, kalau kita perhatikan lebih lanjut dari aspek sejarah, dasar yang dipakai berserta rincian dari apa-apa yang dimaksud dalam HAM itu, bila dikaitkan dengan Islam, maka akan lebih banyak pertentangan. Bahkan lebih lanjut saat ini, kita lihat justru HAM ini malah lebih banyak dipakai oleh negaranegara besar sebagai alat politik mereka. Sehingga, misalnya, kemudian dikaitkan antara HAM dan investasi, ada syarat-syarat di situ yang dicantumkan dalam letter of interest, kemudian dikaitkan dalam antara HAM dengan, misalnya memberikan sesuatu. Artinya ini menjadi sesuatu 243 yang mau tidak mau, ketika suatu negeri, misalnya negeri Islam itu memang membutuhkan sesuatu, maka Negara tersebut harus mengikuti syarat-syarat tersebut. Apalagi ketika kita melihat antara konsep dan teori yang dikembangkan banyak sekali yang ternyata di lapangan berbeda jauh. Apakah ini kemudian disebut tidak komitmen atau apa. Justru di situlah letak kelemahannya. Selain itu, HAM selama ini hanya dijadikan sebagai alat untuk negara-negara berkembang, khususnya negara-negara Islam. Jadi dari berbagai aspek, mulai dari aspek teori, jika kita kritisi, banyak hal yang memang berseberangan dengan Islam. Sementara dalam aspek praktiknya, banyak yang tidak sesuai dengan apa yang digembar-gemborkan selama ini. Itu kalau kita lihat. Karena itulah, HTI pernah mengeluarkan sebuah buku kecil yang memberikan penjelasan mengenai bahaya yang termasuk bagian dari cara-cara dan strategi Amerika yang memang dalam hal ini untuk menjajakan ideologinya. Salah satunya adalah HAM itu. Selain adanya potensi hegemoni tersebut, Hudzaifah juga menemukan perbedaan fundamental antara HAM dengan Islam sehingga HAM tidak mudah diterapkan dalam masyarakat Islam. Perbedaan fundamental yang dimaksud Hudzaifah adalah, konsep HAM dari Barat lebih mengutamakan kebebasan individual. Pada poin ini, tegas Hudzaifah, antara Islam dan Barat tidak dapat dipertemukan. Dengan menempatkan kebebasan individu di atas segalagalanya, Barat kata Hudzaifah, sebenarnya mengidap pandangan reduksionis terhadap manusia. Manusia hanya dilihat pada sisi kebaikannya. Padahal, manusia, lanjut Hudzaifah, memiliki dua potensi sekaligus: baik dan buruk; positif dan negatif. Potensi ini menurut Hudzaifah sengaja diabaikan dalam konsep HAM dari Barat karena dilahirkan dari ideologi sekuler yang membuat pemisahan antara agama 244 dengan kehidupan. Dengan adanya potensi negatif tersebut, maka kata Hudzaifah, kehidupan manusia bisa berkembang secara negatif pula jika hanya dibingkai dengan kebebasan. Berikut pernyataan Hudzaifah lebih lengkap: Memang HAM lahir dari ideologi sekuler yang memisahkan antara agama dan kehidupan, dan memang mereka cenderung mendewakan kebebasan individu itu. Bahkan kalau perlu, kebebasan individu itu harus di atas kebebasan masyarakat dan kebebasan komunal. Kenapa? Karena ini juga terkait dengan pandangan Barat ketika melihat fakta bahwa menurut mereka masyarakat itu didefinisikan tidak lebih dari sekumpulan individu, sehingga ketika individuindividu itu diberi kebebasan, maka akan menjadi baiklah mereka. Ini berkaitan dengan pamahaman mereka dalam mengartikan tabiat manusia. Menurut mereka, manusia adalah sesuatu yang pada dasarnya memiliki kecenderungan baik, asalkan diberi kebebasan. Karena justru itu dihalangi atau dibatasi maka mereka akan memberontak dan akan mencari pelampiasan-pelampiasan yang berakibat buruk. Ini menurut mereka, dan ini bertentangan dengan pandangan Islam. Penekanan pada kebebasan individual dalam konsep HAM dinilai lebih lanjut oleh Hudzaifah terbukti memberikan dampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Dengan kebebasan individual, kata Hudzaifah, HAM seperti ingin membentuk individu yang lebih mengabdi pada kehendak dirinya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain. Maka, HAM, lanjut Hudzaifah, identik dengan ketidakteraturan. Hudzaifah kemudian membandingkan dengan Islam. Tidak seperti pandangan Barat yang lebih mengutamakan individu, Islam, tegas Fikri, lebih menekankan pada proses interaksi antarindividu atas prinsip persamaan pikiran dan perasaan. 245 Prinsip ini akan mendorong individu memikirkan berbagai akibat yang muncul terhadap individu lainnya ketika melakukan sesuatu. Karena manusia memiliki potensi bertindak negatif, maka manusia perlu peraturan. Dari mana peraturan tersebut? Hudzaifah dengan lugas menjawab, peraturan tersebut harus bersumber dari Allah. Hanya dengan peraturan dari Allah, manusia, kata Hudzaifah, bisa terbebas dari perangkap kebebasan semu sebagaimana yang diimpikan oleh konsep HAM Barat. Hudzaifah tampaknya belum merasa cukup melakukan kritik terhadap konsep HAM Barat hanya dari sisi paradigmanya. Dengan maksud ingin menunjukkan kembali kelemahan konsep HAM Barat, Hudzaifah coba memberikan apa yang ia sebut dengan bukti-bukti empirik. Ada tiga macam kebebasan yang ia kritik dari konsep HAM Barat. Pertama, kebebasan berpendapat. Dalam penilaian Hudzaifah, kebebasan berpendapat sebagai derivasi dari konsep HAM Barat telah terbukti menimbulkan dampak negatif, terutama terhadap Islam, karena dilakukan tanpa adanya koridor yang jelas. Berikut pernyataan Hudzaifah: Kalau mereka, segala sesuatu boleh dibicarakan, menulis apapun dilindungi oleh undang-undang. Menurut mereka,itu bagian dari hak asasi.Maka semuanya bisa dilakukan. Itu kreatifitas menurut mereka. Kalau dalam Islam, tidak seperti itu. Setiap perilaku, perbuatan, maupun perkataan harus terikat dengan hukum-hukum syariah. Nah, kalau dalam masalah menyampaikan pendapat, dalam Islam rambu-rambunya jelas, fa lyaqul khairan aw liyasmut. Kita dituntut membicarakan pendapat yang benar saja, tidak boleh pendapat yang merusak aqidah umat, yang kemudian mengarah kepada kemaksiatan. Itu yang tidak boleh dilakukan. Nah, karena itu, kita, misalnya melihat fakta 246 tentang kasus-kasus pelecehan terhadap Nabi Muhammad melalui pembuatan karikatur. Itu kan mereka dasarkan pada kebebasan berpendapat. Tapi, apakah seperti itu, jelas kita akan menolak. Kalau dalam pandangan Islam, jelas tidak perlu dengan istilah kebebasan seperti itu. Dalam Islam jelas ada aturannya, bagaimana menyampaikan pendapat. Kita boleh berpendapat, tapi ada koridornya, yaitu selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum syariah yang sudah ditetapkan. Konsep kebebasan berikutnya yang mendapat sorotan dari Hudzaifah adalah kebebasan kepemilikan, seperti pernyataan berikut ini: Kalau HAM boleh apa saja, dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepemilikan, baik caranya, maupun dalam hal distribusi pemanfaatannya. Caranya bisa berjualbeli dengan bisnis narkoba, tidak perduli, selama ada permintaan, maka itu menjadi lahan bisnis. Karena mengagungkan kebebasan individu, mereka meminggirkan kepentingan masyarakat, padahal itu justru akan merusak kepentingan masyarakat. Nah, kalau dalam Islam tidak. Secara kuantitas, dalam Islam tidak ditentukan. Artinya boleh seseorang itu jadi konglomerat, kaya raya, memiliki apa saja boleh. Kemudian cara perolehannya, kualitasnya yang dibatasi. Kalau yang tadi kan, kualitas maupun kuantitasnya tidak dibatasi. Kalau Komunis dan Sosialis, kuantitasnya yang dibatasi, tapi kalau Islam, kualitasnya yang dibatasi, jadi nggak boleh sembarangan. Mencarinya dengan cara-cara yang diharamkan tidak boleh. Cara mentasharruf-kan atau mendistribusikannya tidak boleh asalasalan. Mentang-mentang itu duitnya sendiri dipakai mabuk-mabukkan. Itu tidak boleh. Kalau dalam Islam, itu 247 diatur oleh Allah. Hukum syariat itu mesti mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Terakhir yang mendapat sorotan Hudzaifah adalam kebebasan berperilaku seperti paparan berikut ini: Kebebasan berperilaku, ini juga begitu, sama halnya, misalnya cara berpakaian, tingkah laku, free sex, pergaulan bebas. Iini adalah buah dari apa yang dicoba mereka lindungi dengan berdalih atas nama HAM. Sekarang kan banyak undang-undang seperti itu. Misalnya undangundang kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Maka, seorang anak yang mestinya menjadi tanggung jawab orang tua, dalam pengawasan dan pendidikan orangtua, ketika si anak itu, katakanlah pacaran, bahkan sampai melakukan free sex, kalau dalam pandangan HAM, itu diberi kebebasan. Orang tua tidak berhak menghukum, bahkan orang tua bisa diadili dan dilaporkan ke kepolisian kalau justru mengingatkan dengan keras, demi mendidik anak ini tidak bisa. Ini banyak pertentangan. Kalau kita mau mengkaji secara mendalam antara Islam dan Barat, ya itu. Kita harus mengungkap di balik ini apa? Bahaya bagi kaum muslim, harus dilihat. Umat Islam kalau mau hidupnya baik, kembali saja pada aturan Islam yang lebih simpel, lebih lugas, lebih jelas aturannya, tidak bias dan tidak dipakai seenaknya begitu, karena ada pengawasan untuk melaksanakan aturan Islam. Karena melaksanakan itu bagi seorang Muslim bernilai ibadah. Karena pengawasannya langsung dari Allah, keterkaitannya terhadap hukum itu adalah keterkaitannya dengan melaksanakan perintah Allah, yaitu keimanan, jauh lebih kuat sekadar, misalnya ikatan ketika harus menggunakan aturan yang tidak asli dan tidak sesuai dengan karakter seorang Muslim. 248 Sisi negatif kebebasan sebagai derivasi dari konsep HAM dari Barat seperti diungkap oleh Hudzaifah, dipertegas lagi oleh rekannya, Alwan. Dalam pandangan Alwan, sisi negatif tersebut wajar terjadi karena Barat melakukan privatisasi pada agama, agama hanya menjadi urusan individual pemeluk agama dengan Tuhan. Alwan menolak dengan tegas konsep privatisasi agama. HTI, kata Alwan, justru ingin memperjuangkan agama (syariat) bisa memainkan peran penting di sektor publik agar kehidupan manusia semakin baik. Kebaikan yang dimaksud Alwan adalah kebaikan bagi seluruh manusia tanpa membedakan agama. Karena dalam syariat Islam terkandung kebaikan universal, maka, kata Alwan lebih lanjut, orang tidak perlu takut pada syariat Islam. ”Non-muslim pun akan dimuliakan dengan syariat Islam”, tegas Alwan. Jaminan kemuliaan, begitu Alwan menyebut, tidak perlu dipertanyakan karena syariat Islam merupakan produk hukum dari Allah. Alwan kemudian mengontraskan dengan hukum sekuler yang dihasilkan melalui mekanisme demokrasi. Apabila dibandingkan dengan hukum sekuler, syariat Islam menurut Alwan, jauh lebih baik. Berikut penuturan Alwan: Ada di sebagian umat Islam itu setengah menerima terhadap demokrasi, cuma mereka kan tidak melihat filosofi dasar dari demokrasi itu sendiri. Seperti kebebasan dari rakyat untuk rakyat. Kalau sudah menyangkut dari rakyat untuk rakyat itu kan artinya kedaulatan atau hak untuk membuat hukum yang diterapkan dalan kehidupan umat manusia kan diserahkan kepada rakyat. Terus dari rakyat untuk rakyat sekalipun melalui eksekutif untuk melaksanakan di parlemen ada legislatif untuk konteks kekuasaan. Persoalan yang jelas tidak sinkron di dalam wacana pemikiran HTI tidak lain adalah ketika produk hukum dari rakyat. Rakyat itu manusia yang punya 249 keterbatasan dan kelemahan, sementara Allah menjadikan diri-Nya sebagai pembuat hukum UU untuk seluruh umat manusia, hukum itu dari Allah.15 Para aktivis HTI tampaknya memiliki pandangan yang sama terhadap kelebihan syariat Islam vis a vis hukum sekuler dalam memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama. Azam, aktivis HTI lain, juga memberikan jawaban yang sama ketika ditanyakan pandangan Islam tentang kebebasan beragama. Sebagaimana dikemukakan Fikri dan Alwan, Azam juga menepis kekhawatiran banyak pihak, bahwa jika syariat Islam diterapkan, agama di luar Islam akan terancam. Di bawah ini pernyataan Azam tentang jaminan kebebasan beragama dalam syariat Islam: Meskipun HTI merupakan salah satu gerakan pendukung penegakan syariat Islam, tetapi HTI tetap mengakui adanya kebebasan beragama. Karena konsep syariat formal yang ingin ditegakkan oleh HTI merupakan konsep Islam yang kaffah yang di dalamnya mencakup pula tentang pengakuan terhadap kebebasan beragama sebagaimana konsep dalam al-Qur’an yaitu, ”lakum diinukum wa li ad-diin” dan ”la ikraha fi ad-diin”. Maknanya adalah bahwa, penerapan syariat secara formal bukan berarti bahwa penegak syariat tidak menghargai eksistensi agama lain. Sebab dalam konsep syariat formal, eksistensi agama lain selain Islam tetap dihargai. Bahkan pada tahap tertentu, terdapat jaminan terhadap harta, kehormatan serta darahnya dan mereka juga berhak memperoleh jaminan kesejahteraan dari negara apabila 15Bandingkan dengan Yusuf al-Qardhawi. Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam. Bandung: Karisma. 1994. 250 mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang tidak mampu secara ekonomis. Pandangan kritis terhadap konsep kebebasan beragama atau berkepercayaan juga diungkap oleh aktivis Forum Mudzakarah Syariat Islam (Formasi), A. Saifuddin. Saifuddin tidak menampik terhadap doktrin, “tidak ada paksaan dalam beragama”, seperti dinyatakan al-Qur’an dalam surat alBaqarah ayat 256. Namun, sebagaimana dipahami oleh Fikri dari HTI, penerapan doktrin ini, menurut Saifuddin, tidak berlaku secara universal. Doktrin tersebut tidak bisa diberlakukan terhadap orang yang sudah memeluk Islam. Bagi orang yang sudah memeluk Islam, tegas Saifuddin, tidak boleh pindah kepada agama lain. Kami selaku Muslim memahami bahwa kebebasan beragama dalam Islam itu ada standarnya, artinya bahwa Islam itu tidak boleh ada paksaan. Boleh kita memilih agama, tetapi kalau sudah beragama Islam, maka harus komitmen dengan agamanya. Bentuk komitmennya yaitu dengan mengakui bahwa agama yang dipeluknya itu paling benar. Muncul pandangan bahwa kebebasan beragama artinya bahwa semua agama itu dianggap benar. Nah, dalam Islam tidak begitu. Ketika kita memahami kalau mereka beragama lain, itu silahkan, itu kepercayaan mereka. Apabila setiap agama itu dianggap benar, itu yang dalam Islam tidak ada konsepnya. Aktivis FPI di Depok, Achwan, mengungkapkan pandangan yang sama seperti dikemukakan Saifuddin. Achwan juga mengatakan bahwa dalam Islam berlaku konsep kebebasan agama. Achwan juga mendasarkan pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 ketika menjelaskan kebebasan beragama dalam pandangan Islam. Tetapi, sebagaimana Saifuddin, Achwan juga memberikan pembatasan, bahwa ayat 251 tersebut hanya berlaku terhadap non-muslim. Terhadap nonmuslim, kata Achwan, tidak boleh dipaksa masuk kepada Islam. Tetapi terhadap muslim berlaku ketentuan sebaliknya, tidak boleh keluar atau pindah kepada agama lain. Achwan bahkan mengungkap adanya sanksi yang berat terhadap pelaku konversi seperti pernyataan berikut ini: Dalam Islam pindah agama itu tidak boleh. Ada sanksi berat bagi seorang yang murtad. Sanksi bagi mereka yang pindah agama (murtad) adalah dibunuh dalam konteks negara Islam. Permurtadan-permurtadan yang ada itu akan cepat selesai, karena orang yang pindah agama tidak ada hak hidup lagi dan orang akan takut. Sehingga itu akan cepat selesai. Dari paparan di atas tampak jawaban informan terbelah ke dalam dua pandangan. Di antara informan ada yang berpandangan bahwa HAM dan KBB merupakan konsep yang universal. Sedangkan yang lain berpandangan sebaliknya. Perbedaan cara pandang ini berpengaruh terhadap penerimaan mereka terhadap konsep HAM dan KBB. Bagi yang berpandangan universalis, HAM dan KBB merupakan konsep yang dapat dipertemukan dengan Islam. Sedangkan bagi yang berpandangan partikularis atau eksklusif, HAM dan KBB tidak bisa digeneralisasikan terhadap Islam. Dalam pandangan mereka, Islam memiliki konsep tersendiri yang berbeda dengan konsep HAM dan KBB dari Barat. Namun, perlu dipahami, pengertian universalitas dalam konteks pandangan para tokoh ormas Islam Kota Depok tersebut bukan dalam pengertian yang dimaksud dalam teori universal absolut dan universal relatif, namun lebih condong pada pandangan partikularistis relatif dan kemudian partikularistis absolut. Yang tergolong partikularistik relatif 252 adalah informan dari kalangan MUI, NU, Muhammadiyah, alIrsyad, dan Formasi. Sedangkan yang cenderung partikularistis absolut dari kalangan informan HTI dan FPI. Perbedaan cara pandang tersebut dengan sendirinya diharapkan berbeda pula dalam menyikapi bagaimana konsep KBB itu diimplementasikan. Dalam konteks ini menarik kiranya terlebih dahulu mencermati apa yang disampaikan salah seorang informan dari Desantara, Muhammad Nur Khoiron. Khoiron mengeritik bahwa kendati pada tataran normatif, Islam memberikan justifikasi terhadap kemajemukan dan kebebasan beragama atau berkepercayaan, tetapi pada tataran empirik, kerap ditemukan kesenjangan. Menurut Khoiron, tidak sedikit dari umat Islam yang justru lebih mengutamakan cara kekerasan terhadap kelompok minoritas seperti penuturan berikut ini: Saya menyadari betul dan bisa merasakan betul selama ini saya bergesekan, berinteraksi, berdialog dengan mereka. Dari situ kita bisa merasakan. Di samping itu, fakta realitas yang mengukuhkan kepercayaan saya, di samping fakta dogmatik, bahwa ajaran Islam dalam pandangan saya itu mengakui tentang itu, dan itu ditambah dengan faktual di lapangan, saya melihat betapa kelompok-kelompok minoritas yang terdiskriminasi, katakalah, kaum Ahmadiyah, saya akrab dengan mereka, kemudian kelompok-kelompok non-Muslim, baik Kristen, Protestan, dan sebagainya. Khoiron memiliki analisis menarik terhadap fenomena kekerasan agama pada wilayah publik. Menurut Khoiron, agama sejatinya bisa dijauhkan dari kekerasan jika agama bisa diposisikan sebagai wilayah otonom yang tidak bisa diintervensi oleh kekuatan politik manapun termasuk negara. Posisi seperti ini, menurut Khoiron, justru akan memberikan 253 keuntungan pada agama. ”Ketika agama sudah masuk pada ranah negara, pasti agama akan menjadi alat politik bagi kelompok tertentu, untuk kepentingan politik”. Demikian dikatakan Khoiron. Salah satu bentuk politisasi agama yang disoroti Khoiron adalah melakukan pencitraan terhadap ”tindakan kriminal” yang sebenarnya tidak berkaitan dengan motif keagamaan, tetapi seringkali dikaitkan dengan praktik penodaan terhadap agama. Padahal, menurut Khoiron, tidak semua tindakan (kriminal) diberlakukan sebagai praktik penodaan agama, tetapi bentuk pelanggaran biasa. Misalkan seseorang beragama, kemudian ia mencederai agama lain, tanpa diatur dalam delik agama pun, ini sudah mengandung pelanggaran HAM, sudah menggangu ketertiban umum, dan sebagainya. Jadi yang penting ini jangan diatur pada pasal dalam bentuk agama. Dengan kata lain, saya tegaskan bahwa agama jangan sampai masuk pada wilayah negara, karena itu akan menjadi sangat rawan. Keuntungan berikutnya yang diperoleh agama jika diposisikan pada wilayah otonom adalah, eksistensi agama pada masing-masing individu akan lebih kuat tanpa perlu diganggu oleh penilaian orang lain. Berikut pernyataan Khoiron: Kebebasan beragama itu adalah hak manusia yang paling asasi. Orang tidak bisa menyalahkan orang lain dalam hal ini, itu hak pribadi betul. Biarkan orang lain menilai, tapi tetap menjadi hak pribadi bagi seseorang untuk menyatakan; dia meyakini sesuatu sebagai agama atau bahkan tidak sama sekali.16 254 B. Implementasi Berkepercayaan Kebebasan Beragama atau Ada dua persoalan yang selama proses penelitian mendapatkan respon yang cukup memadai dari para informan terkait pelaksanaan KBB, yaitu pendirian rumah ibadat dan keberadaan kelompok keagamaan minoritas nonmainstream. Pendirian Rumah Ibadat Farkhan menyadari pendirian rumah ibadat berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, bahkan konflik antara kelompok mayoritas dengan kelompok minoritas. Dalam pandangan Farkhan, pendirian rumah ibadat sebenarnya merupakan hak bagi kelompok agama manapun. Farkhan lantas membuat pengandaian, jika Muhammadiyah sebagai kelompok minoritas dihalangi untuk mendirikan rumah ibadat, Farkhan akan menyampaikan protes. Farkhan menyadari terhadap kesulitan yang dialami oleh kelompok minoritas ketika mau mendirikan rumah ibadat. Masalah ini menurut Farkhan semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing kelompok memahami Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 dan Nomor: 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Farkhan memiliki pandangan terhadap peraturan tersebut sebagai berikut: 16Pandangan yang menempatkan negara untuk tidak intervensi dalam urusan agama banyak dikemukakan para pakar, di antaranya dapat dibaca dari hasil penelitian Tedi Kholiludin. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: RaSAIL Media Group. 2009. 255 Secara asasi memang kita harus mempersilahkan mereka memiliki atau mendirikan rumah ibadat, tetapi dalam pelaksanaanya telah diatur dalam peraturan menteri bersama yang telah diatur dua tahun yang lalu. Itu dalam rangka mejaga, supaya kebebasan itu terjamin. Seandainya tidak ada aturan itu, karena tingkat perkembangan masyarakat masih rendah, maka harus diatur supaya kebebasan itu bisa ditegakkan, kalau tidak, bisa terjadi anarki di tengah-tengah masyarakat. Pandangan positif terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri disampaikan juga oleh tokoh Muhammadiyah lain, M. Achmadi Yusuf. Yusuf menyadari jika pada masing-masing agama ada kewajiban apa yang disebut olehnya, membimbing umat dari pengaruh luar. Kewajiban ini menuntut pendirian rumah ibadat. Agar pendirian rumah ibadat tersebut tidak menimbulkan keresahan dari kelompok lain, maka, kata Yusuf, pemerintah perlu melakukan regulasi. Berikut penuturan Yusuf: Dalam hal pendirian rumah ibadat, memang perlu diatur, dan pemerintah saya kira sudah bijak mengaturnya, antara lain kalau dalam suatu masyarakat ada banyak pemeluknya, ya silahkan. Tetapi, kalau tidak ada, kalau didirikan rumah ibadat bisa menimbulkan keresahan. Misalnya membangun masjid, di mana di situ umatnya tidak ada sama sekali, itu tidak bisa didirikan masjid. Jadi di Indonesia seperti itu. Toh, gereja juga bisa didirikan jika umatnya ada. Tetapi, kalau ditempatkan di tengah-tengah umat Islam, di mana orang Kristen tidak ada, apa motifnya. Jadi saya kira yang diatur oleh pemerintah melalui keputusan bersama dua menteri, sudah benar. Peraturan itu bukan melarang, tetapi mengatur. 256 Ketika masalah pendirian gereja ditanyakan kepada Yusuf, spontan menjawab: Selama diakui pemerintah, boleh-boleh saja didirikan gereja, Muhammadiyah welcome, karena ”lakum dinukum wa liyadin”. Secara hukum silahkan, selama tidak menganggu masyarakat. Justru keberadaan mereka sebagai ”fastabiqul khairat”. Tokoh dari NU, Achyanuddin Syakier, juga mengungkapkan ”ketidakberatan” terhadap pendirian gereja selama didasarkan pada aturan pemerintah. Secara pribadi Syakier mengaku tidak ada masalah dengan adanya komunitas Kristen dan pendirian gereja di Depok. Syakier bahkan menganggap keberadaan komunitas Kristen merupakan ”mitra” agar umat Islam terpacu dalam mengembangkan dakwah. Persoalannya hanya apabila gereja itu didirikan di tengah-tengah pemukiman yang mayoritas muslim sedangkan jumlah umat Kristen sangat kecil. Sikap ekstra hati-hati juga diungkap oleh Didi Asnadi, aktivis PERSIS. Asnadi juga mengatakan bahwa secara pribadi pendirian gereja di Depok bukan persoalan seperti dituturkan berikut ini: Boleh-boleh saja gereja didirikan. Kan Pancasila di sini. Selama mereka tidak melakukan kegiatan yang merusak orang-orang Islam, dan mengajak keluar dari Islam, itu nggak apa-apa. Ini kembali pada Pancasila. Pada masa khalifah setelah rasulullah, negara-negara yang dikuasai oleh khalifah yang empat, gereja itu tetap dibiarin, tidak dipugar. Artinya mereka diberi kebebasan untuk beribadah menurut agama mereka. Namun, manakala ditanyakan tentang dicabutnya izin mendirikan bangunan (IMB) Gereja HKBP oleh Walikota 257 Depok, dengan sangat berhati-hati Asnadi memberikan komentarnya: Saya yakin umat Kristen kecewa. Namun, mereka juga perlu mengerti bahwa keberadaan gereja mereka ditolak oleh warga. Sepanjang yang saya tahu, penolakan warga bukan baru kali ini saja. Sejak Mei 1999, muncul protes dari Forum Umat Islam di Cinere. Pada Oktober 2008, warga Cinere yang tergabung dalam Forum Masyarakat Muslim se-Depok kembali memprotes pembangunan gereja HKBP Cinere. Karena penolakan warga itulah, pada tahun 2000, Badrul Kamal, Walikota Depok waktu itu menghentikan pembangunan gereja HKBP Cinere. Penolakan tegas dikemukakan secara tegas oleh aktivis Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Depok, Nuim Hidayat. Pencabutan IMB itu wajar saja, sebab berdasarkan catatan pihaknya, hanya sedikit penduduk Kristen di situ dan juga telah ada gereja tak jauh dari wilayah itu. Sedangkan aktivis Forum Masyarakat Muslim se-Depok, Dodi KH menyatakan: FMM se-Depok menolak pembangunan gereja karena perizinannya tidal memenuhi syarat yang ada dan sudah menyalahi peraturan. Pasalnya, pembangunan tersebut masih menggunakan izin mendirikan bangunan (IMB) lama. Selain itu, nama warga yang tercantum dalam izin lingkungan yang diberikan pihak panitia pembangunan gereja untuk mendapatkan IMB sebagian besar ilegal atau palsu. Dari nama-nama yang tercantum dalam 'izin lingkungan paling hanya segelintir orang yang benar-benar warga dekat lingkungan pembangunan gereja. 258 Kelompok Keagamaan Non-Mainstream Salah satu fenomena sosial keagaman yang menarik diperhatikan adalah munculnya berbagai aliran dan faham keagamaan baru di Indonesia yang memiliki perbedaan dengan kelompok arus utama (mainstream), seperti NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, dan PERSIS. Kemunculan aliran dan faham keagamaan baru itu menurut M. Mukhsin Jamil merupakan implikasi dari dua faktor utama yaitu faktor internal yang lahir dari dinamika modernisasi agama-agama yang pada umumnya memiliki problem intelektual, dan faktor eksternal berupa proses modernisasi sosial yang terus berlangsung melalui pembangunan.17 Sebagian di antara mereka dianggap masih dalam jalur mainstream atau sudah kembali ke jalur yang benar (al-ruju` ila al-haq)18 dan beberapa yang lain dianggap menyimpang dari mainstream sehingga patut divonis sesat menyesatkan.19 Salah satu aliran dan faham keagamaan baru yang dianggap menyimpang dari mainstream dan sesat menyesatkan adalah Ahmadiyah. Ahmadiyah sebenarnya memiliki sejarah panjang di Indonesia. Menurut beberapa ahli, Ahmadiyah masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-20. Ahmadiyah juga memiliki anggota yang tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kendati memiliki sejarah panjang di Indonesia, ternyata Ahmadiyah selalu mendapat 17M. Mukhsin Jamil. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. hlm. 195. 18Salah satu kelompok keagamaan yang dianggap “sudah kembali ke jalan yang benar” atau setidaknya tengah menuju ke sana adalah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Baca selengkapnya Habib Setiawan dkk. After New Paradigm: Catatan Para Ulama tentang LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Jakarta: PSIM Institute. 2008.. 19Kajian menarik terkait aliran menyimpang yang mendapat sorotan tajam dan sebagiannya terkena hukum tindak pidana delik agama dapat ditelusuri dari hasil penelitian IGM. Nurdjana. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.. 259 sorotan, kritik, hujatan, dan bahkan, tindak kekerasan dari kelompok lain. Terlepas tindak kekerasan yang dilakukan terhadap Ahmadiyah, yang dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan, Farkhan memandang bahwa Ahmadiyah merupakan aliran yang melenceng jauh dari koridor agama Islam. Oleh karena itu, kata Farkhan: Sebagai umat Islam kita harus memperingatkan kalau itu suatu hal yang salah dan menunjukkan yang benar seperti apa. Karena kita punya kewajiban untuk memurnikan agama Islam sesuai dengan aturan yang ada dalam al-Quran dan Hadist. Peringatan juga perlu kita lakukan agar orang lain tidak mudah melecehkan agama kita dengan ajaran-ajaran yang keliru. Menurut tokoh FPI, Habib Idrus al-Gadri, kelompok keagamaan seperti Ahmadiyah dan sejenisnya harus dilarang. Khusus terhadap Ahmadiyah, al-Gadri menilai, kendati menggunakan label Islam, tetapi dari sisi substansi ajaran, Ahmadiyah bertentangan dengan dengan akidah Islam. Bahkan ajaran Ahmadiyah oleh Said dinilai mengarah pada proses pemurtadan. ”Ajaran Ahmadiyah meresahkan masyarakat. Maka Ahmadiyah perlu dilarang”, kata al-Gadri. Pandangan al-Gadri didukung oleh Hudzaifah al-Ayubi dan Saifuddin. Keduanya tidak setuju jika keberadaan kelompok keagamaan baru seperti Ahmadiyah diserahkan kepada seleksi alamiah. Sebab dalam pandangannya, ajaran Ahmadiyah menyimpang dari ketentuan fundamental dalam Islam, terutama pada aspek aqidah dan ritual. Berikut penuturan al-Ayubi: Menurut pandangan saya, aliran Ahmadiyah merupakan aliran sesat. Karena aliran tersebut telah keluar dari 260 konteks ajaran Islam yang sebenarnya. Menyiakapi permasalahan ini, saya sependapat dengan pendapat ketua MUI yang mengatakan bahwa apabila mereka menginginkan membuat aliran baru, seyogyanya mereka tidak menyandarkan aliran tersebut pada ajaran Islam. Jadi mereka lebih baik membuat ajaran baru atau agama baru, dan itu tidak masalah. Sebab itu merupakan salah satu wujud kebebasan beragama. Saefuddin juga berpandangan, Ahmadiyah merupakan kelompok yang menyimpang dari Islam. Pengakuan Ahmadiyah bahwa setelah Nabi Muhammad masih ada nabi baru, yakni Mirza Ghulam Ahmad, menurut Saifuddin, bisa dijadikan dasar yang kuat untuk mengeksklusi Ahmadiyah dari Islam. “Kalau memang paham keyakinannya selama yang kita kenal mengakui sebagai nabi, padahal dalam al-Quran itu jelas tidak ada lagi nabi setelah Rasul. Ini artinya apa, mereka termasuk pihak yang memang keluar dari Islam”, tegas Saifuddin. Sikap tegas yang diperlihatkan Saifuddin, di samping dimaksudkan untuk memberikan efek jera agar di masa yang akan datang tidak ada lagi yang berani mengulangi tindakan Ahmadiyah, juga untuk melindungi akidah umat Islam. Pembenahan akidah, al-Ayubi menyebut demikian, merupakan tugas yang tidak bisa ditawar oleh umat Islam. AlAyubi mengungkapkan keraguannya terhadap pranata hukum di Indonesia dalam menangani berbagai kelompok keagamaan baru dan sempalan. ”Hukum di Indonesia tidak pernah jelas karena tidak berani didasarkan pada hukum Islam”, kata al-Ayubi. Dalam penilaian al-Ayubi, ketidakjelasan dan ketidakberanian tersebut karena Indonesia tidak berani melepaskan diri dari dominasi aturan internasional yang berkedok HAM. 261 Mereka masuk melalui produk undang-undang yang dijadikan alat untuk bargaining, misalnya atas nama HAM, kemudian dilembagakan. Sebenarnya, kalau umat Islam mau berpikir, apa sih yang membuat kita menerima kovenan internasional HAM. Atas dasar apa kemudian kita menerima itu. Dulu saja pada jamannya Bung Karno kita keluar dari PBB saja kan tidak ada yang mempersoalkan konsekuensinya. Paling konsekuensinya, yang namanya internasional itu, tergantung pada sikap dan kedaulatan kita. Karena kita tidak punya sikap percaya diri, yang akhirnya kita hanya menjadi follower. Anehnya, kita yang mayoritas muslim kenapa harus terikat dengan yang begitubegitu, kok kita sangat ta’zim dengan semua itu, tapi justru meninggalkan atau tidak terikat dengan syariat Islam yang sesungguhnya, mestinya diapresiasi dan dipegang sebagai wujud keimanan dan kecintaan kepada Allah SWT. Mana yang ditakuti? Sekadar prinsip-prinsip Jenewa atau alQuran. Ini yang menjadi ironi dan kontradiksi. Bagi Dimyati Badruzzaman, Ketua MUI Depok, kebebasan secara terbatas perlu diterapkan dalam kehidupan beragama untuk memberikan perlindungan terhadap kemurnian agama. Oleh karena itu, ia mendukung diterbitkannya SKB tentang Ahmadiyah. Ia menganggap konsep kebebasan terbatas sebagai hal mendesak diterapkan setelah belakangan di Indonesia bermunculan pelbagai kelompok dalam Islam yang ia nilai telah menyimpang dari kemurnian ajaran Islam seperti yang dilakukan Ahmadiyah. Dalam pandangan doktor tafsir hadits itu, Ahmadiyah, merupakan bentuk penyimpangan dari kebebasan beragama. “Ahmadiyah merupakan kelompok keagamaan yang menyimpang. Ketika sudah menyimpang dari syariah dan menyimpang dari aturan Allah dan Rasul-Nya yang tidak 262 mengajarkan model-model seperti Ahmadiyah yang menganggap setelah Nabi Muhammad ada lagi nabi, jelas harus ditindak. Tentu melalui jalur hukum, tidak boleh main hakim sendiri. Nah, artinya itu harus ada yang meluruskan. Ahmadiyah telah melampaui kebebasan beragama dalam Islam. Kebebasan beragama itu kan dia menyakini sebuah kepercayaan yang sudah ada, itu sudah bukan kebebasan beragama lagi, kalau kebebasan beragama itu kan dia menyakini sebuah kepercayaan yang sudah ada, dan memang ada dasarnya dalam al-Quran, tapi kalau sudah seperti itu, ya tidak bisa.ah ada, dan memang ada dasarnya dalam al-Quran, tapi kalau sudah seperti itu, ya tidak bisa.Dalam Islam harus ada standar. Seandainya itu menyimpang dari standar Islam, seperti ia mengakui adanya nabi lagi, ini kan sudah jelas penyimpangan. Kecuali kalau dia mungkin tidak mengaku Islam. Artinya, silahkan membuat pemahaman akan kepercayaan baru lagi, mungkin sumbernya apa, lain lagi, tapi ini mengaku kelompok Islam, tapi ternyata menyimpang. Nabi Muhammad itu sudah khâtam annabiyyîn, tidak ada lagi penerusnya, ada nabi lagi itu kan aneh. Dalam al-Quran juga sudah divonis bahwa setelah Muhammad tidak ada lagi nabi”. Kendati lebih menekankan pada kebebasan terbatas, Badruzzaman menolak jika Islam dinilai sebagai agama yang anti terhadap HAM. Dibandingkan dengan Barat, Islam, kata Badruzzaman, justru lebih awal memelopori dalam memberikan penghargaan terhadap eksistensi agama lain. Badruzzaman memberi contoh konsep toleransi. Badruzzaman menolak dengan tegas terhadap penilaian dari kalangan luar bahwa Islam adalah agama yang anti terhadap eksistensi agama lain. Islam, tegas Badruzzaman, sejak 15 abad yang lalu telah berbicara toleransi terhadap agama lain. 263 Berkaitan dengan munculnya HAM itu, pada dasarnya Islam sudah mempeloporinya 15 abad yang lalu. Kan selama ini seolah-olah HAM lahir dari Barat. HAM sebenarnya sudah diawali oleh Islam, dan HAM dalam Islam itu jauh lebih baik daripada HAM yang muncul dari Barat. Sedangkan kalau ada ajaran tentang toleransi, Islam itu sudah moyangnya toleransi. Itu bukan hal baru dalam Islam, misalnya, kebebasan beragama, itu sudah muncul sejak jaman Nabi Adam. Munculnya Qobil, anaknya Adam, yang sudah tidak mau mengikuti jejak agama bapaknya, ya sudah. Artinya Nabi Adam angkat tangan karena Allah tidak berkehandak. Ya tidak apa-apa. Tetap dihargai sebagai anak, dalam hal kepercayaan, ya sudah. Jadi konsep-konsep begini ini insya Allah sudah lengkap. Tentang pandangan Islam mengenai HAM, kebebasan beragama, toleransi, itu sudah diajarkan oleh Allah dalam firman-Nya, ”lakum dînukum wa liya dîn” (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Tidak lantas ada paksaan ini paksaan itu. Sudahlah, kalau Islam itu, dialog antar-agama ya siap. Sesama muslim atau non-Muslim Rasul itu menghargai. Bahkan perlindungan terhadap kaum Yahudi di Madinah itu luar biasa, ”Kalian harus siap melangkahi nyawaku kalau sampai menggangu orang-orang Yahudi yang tidak pernah mengganggu kalian”. Sampai-sampai Rasulullah menaruhkan nyawanya. Rasul itu sangat perduli terhadap orang-orang yang berbeda agama. Itulah; ajaran Islam sangat indah. Dalam Islam kita yakin bahwa Islam itu rahmat bagi semua alam, ”Wamâ arsalnâka illa rahmatan lil ’âlamîn”, tidaklah aku mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat bagi semua alam. Dengan alasan Islam menekankan pada toleransi, Badruzzaman mengungkapkan penolakan terhadap 264 pencitraan yang dilakukan kalangan luar bahwa Islam merupakan agama yang ekspansif. Tidak ada yang namanya Islam itu ekspansif. Kalau terjadi miskomunikasi, itu berarti pemahamannya terhadap Islam yang mungkin ada sekat yang belum dipahami. Jadi, Islam pada intinya damai, namanya saja Islam, Islam itu menyelamakan. Cuma memang ada faktor-faktor yang terkadang berusaha untuk mengeruhkan Islam itu sendiri. Nah, ini yang seharusnya diusahakan untuk diberi pemahaman. Misalnya Islam identik dengan teroris, dalam Islam itu kan tidak ada, tapi isunya seolah-olah Islam itu dianggap agama teroris. Kalau oknumnya saya sepakat, bisa saja terjadi, karena pemahaman terhadap Islam itu sepotong-potong. Dalam Islam tidak ada prinsip ekspansif, menyerang, bahkan Islam kalau minoritas malah diintervensi, itulah realitasnya. Kalau sampai begitu, saya tidak pas. Coba lihat di Indonesia, mayoritas Muslim, tapi tidak pernah ada gangguan pada yang minoritas, malah mereka merasa terlindungi karena Islam mengajarkan seperti itu. Jadi jika Islam itu dibilang teroris kita kurang enjoy. 265 266 BAB V PENUTUP ari paparan di atas tampak ada keragaman pandangan aktivis dan tokoh Muslim di Depok tentang HAM dan kebebasan beragama atau berkepercayaan. Keragaman pandangan para informan tersebut tampaknya tidak jauh berbeda dengan diskursus Islam dan HAM yang telah berkembang sebelumnya, yang dapat dibaca dari berbagai literatur. Jika dibuatkan kategorisasi, maka ada informan yang memiliki pandangan inklusif, sedangkan lainnya lagi berpandangan eksklusif. Informan yang berpandangan inklusif, menerima gagasan universal HAM termasuk ketentuan kebebasan beragama atau berkepercayaan. Bagi mereka, HAM tidak perlu dipandang sebagai konsep yang bertentangan dengan Islam. Di samping karena telah banyak negara berpenduduk mayoritas Islam mengakui dan meratifikasi instrumen HAM yang dikeluarkan PBB, informan yang berpandangan inklusif menggunakan alasan teologis dan historis. Secara teologis, Islam memiliki sumber autentik yang dapat dijadikan legitimasi penerimaan umat Islam terhadap HAM. Sumber yang dimaksud adalah alQur’an. D Menurut pemahaman kelompok inklusif, dalam alQur’an terdapat banyak ayat yang dapat meneguhkan ide-ide utama HAM yang muncul dari Barat. Ayat-ayat al-Qur’an yang sering dikutip oleh kelompok inklusif adalah: surat alBaqarah (2) ayat 256; al-Kahfi (18) ayat 29; surat al-Kafirun (109) ayat 6. Menurut mereka, ayat-ayat tersebut merupakan 267 bukti pengakuan Islam terhadap kebebasan beragama atau berkepercayaan yang ditekankan oleh HAM. Dengan berlandaskan pada setidaknya tiga ayat dalam al-Qur’an itu, kelompok inklusif kemudian berpandangan bahwa agama sejatinya merupakan masalah privat (individual) yang tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun termasuk oleh negara. Karena sebagai masalah privat, pilihan seseorang terhadap agama tertentu perlu dihormati serta tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk agama tertentu. “Silahkan Anda memilih ajaran agama masing-masing”, kata salah seorang informan yang berpandangan inklusif. Informan lainnya menegaskan: “Orang lain tidak perlu dipaksa menyembah Tuhan yang disebut Allah itu”. Kelompok ini—sebagai kelanjutan dari sikap inklusifnya—bahkan mengangap hal yang biasa terhadap orang lain yang pindah atau konversi terhadap agama lain. “Orang boleh pindah agama, asal bukan paksaan, tetapi kesadaran sendiri”, kata salah seorang informan. Bagi mereka, pindah agama juga perlu dipandang sebagai pilihan pribadi yang otonom. Karena itu, mereka tidak setuju terhadap wacana hukuman mati yang diberlakukan terhadap orang yang pindah agama. Pandangan di atas berbeda dengan pandangan informan yang dikategorikan eksklusif. Jika pandangan inklusif menepis adanya kontradisi antara HAM dengan Islam, sementara bagi kelompok eksklusif, cenderung menempatkan HAM dan Islam dalam posisi yang bertentangan sehingga tidak bisa diterapkan pada masyarakat Islam. Mereka berpandangan, konsep HAM yang dicetuskan oleh PBB tidak bisa diberlakukan secara universal karena lebih didominasi oleh pandangan Barat. Salah satu yang menjadi sasaran kritik mereka adalah pada aspek kebebasan beragama atau berkepercayaan yang ditekankan oleh HAM. Dalam pandangan mereka, kebebasan beragama atau berkepercayaan 268 tidak bisa diberlakukan secara universal terhadap masyarakat Islam kendatipun al-Qur’an sering menyinggung masalah kebebasan. Kebebasan dalam al-Qur’an, hanya berlaku secara eksternal. Sementara terhadap umat Islam sendiri yang sudah memeluk agama Islam tidak ada pilihan lagi selain tetap memeluk agamanya. Bagi mereka, jika ada orang Islam pindah pada agama lain, maka orang tersebut disebut murtad yang dapat diberi sanksi hukuman mati. Sebagai kelanjutan dari sikap eksklusif tersebut, mereka menunjukkan sikap ekstra hati-hati terhadap kelompok keagamaan nonmainstream seperti Ahmadiyah, Lia Aminuddin, dan al Qiyadah al Islamiyah. Terhadap kelompok-kelompok ini mereka mengungkapkan ketidaksetujuannya jika negara memberikan perlindungan. Dalam pandangan mereka, kelompok keagamaan nonmainstream tersebut perlu dilarang dan dibubarkan agar Islam steril dari segala bentuk penodaan dan pelecehan. Mencermati pandangan kelompok eksklusif ini, tampaknya mereka cenderung memosisikan agama sebagai masalah publik sehingga bisa diintervensi oleh pihak-pihak luar seperti negara. Karena agama dipandang sebagai masalah publik, mereka menyetujui terhadap kebijakan negara yang mengatur kehidupan beragama seperti pendirian rumah ibadat dan pelarangan terhadap aliran dan faham keagamaan menyimpang. Menurut mereka, negara boleh mengatur dan melakukan intervensi terhadap kehidupan agama jika dipandang bisa menciptakan rasa aman. Dan intervensi negara oleh mereka tidak perlu dipandang sebagai pelanggaran HAM. Cara pandang antara kelompok inklusif dan eksklusif tampaknya sulit dipertemukan. Dapat diperkirakan pula, perkembangan wacana kebebasan beragama dan 269 berkeyakinan akan tetap terbagi ke dalam dua pandangan tersebut. Perkiraan ini didasarkan pada proses demokratisasi transisional yang sedang berjalan di Indonesia. Apa kaitan antara proses ini dengan wacana kebebasan beragama atau berkepercayaan baik yang eksklusif maupun inklusif? Demokratisasi transisional—sebagai tahapan kedua dalam demokrasi—ditandai dengan dengan keterbukaan. Pada tahapan inilah berbagai elemen masyarakat memperoleh kebebasan untuk mengartikulasikan pendapatnya sekalipun berbeda dengan negara dan kelompok lain. Wacana keagamaan juga berkembang pesat pada tahapan yang disebut juga era refomasi ini. Oleh karena itu, munculnya wacana inklusif dan eksklusif semestinya tidak perlu dipandang sebagai hal yang aneh. Hanya yang perlu mendapat perhatian adalah, bagaimana perbedaan wacana tersebut tidak berakibat pada terjadinya praktik anarkis seperti yang marak belakangan ini. Hal ini perlu mendapat perhatian karena pada setiap terjadinya praktik anarkis yang bernuansakan perbedaan agama dan paham keagamaan terdapat kaitan dengan wacana keagamaan tertentu. Sebagai contoh adalah kekerasan di Kampus Mubarak, Parung, Bogor yang menimpa pengikut Ahmadiyah pada 15 Juli 2005. Kekerasan tersebut dilakukan oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan Islam yang tidak sepaham dengan paham keagamaan Ahmadiyah. Yang tidak kalah memperihatinkan, kekerasan tersebut—dan beberapa kekerasan lainnya di Indonesia—seperti berjalan mudah karena sebagaimana dikemukakan Kholiluddin (2009), negara maupun aparat keamanan terkesan melakukan “politik pembiaran” pada saat terjadinya kekerasan. Kholiluddin menyayangkan sikap Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang cenderung menjadi silent majority yang tidak memberi respons memadai terhadap kasus-kasus kekerasan. 270 Meskipun keragaman wacana tidak mungkin bisa dihindarkan, tidak berarti pengembangan wacana yang lebih afirmatif terhadap HAM dan kebebasan beragama atau berkepercayaan tidak bisa dilakukan. Cara yang bisa ditempuh antara lain dengan memanfatkan istitusi pendidikan umat Islam seperti yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama untuk mempromosikan HAM dan kebebasan beragama atau berkeyakinan.] 271 272 KEPUSTAKAAN Abdullah, Saiful. Hukum Aliran Sesat: Konsepsi Kebijakan Penal dan Non-Penal Policy Aliran Sesat di Indonesia. Malang: SETARA Press. 2009. Baidhawi, Zakiyuddin. Kredo Kebebasan Beragama. Jakarta: PSAP. 2005. Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991. Harmoni, Volume VII, Nomor 25, Januari-Maret 2008. Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (Ed.). Passing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1998. Jamil, M. Mukhsin. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Kholiludin Tedi. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: RaSAIL. 2009. Litle, David dkk. Kajian Lintaskultural Islam-Barat: Kebebasan Agama dan Hak-hak Asasi Manusia (Human Rights and the Conlifct of Cultures: Western and Islamic Pers[ectives on Religious Liberty). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1997. Manji, Irshad. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher. 2008. Nurdjana, IGM. Hukum dan Aliran Kepercayaan Menyimpang di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. 273 Qardhawi, Yusuf. Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam. Bandung: Karisma. 1994. Saidi, Anas (Ed.). Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru. Jakarta: Desantara. 2004. Setiawan, Habib dkk. After New Paradigm: Catatan Para Ulama tentang LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Jakarta: PSIM Institute. 2008. Suaedy, Ahmad. Politisasi Agama dan Konflik Komunal: Beberapa Isu Penting di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute. 2007. Suhendra dan Ahmad Dimyathi Badruzzaman. Jejak Langkah Islam di Depok. Depok: MUI. 2007. ******************* 274 PANDANGAN PEMIMPIN ORMAS ISLAM TERHADAP PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM PADA PEMILU LEGISLATIF 2009 DI DKI JAKARTA Oleh: Reslawati, S.Ag, M.Si PANDANGAN PEMIMPIN ORMAS ISLAM TERHADAP PEROLEHAN SUARA PARTAI POLITIK ISLAM PADA PEMILU LEGISLATIF 2009 DI DKI JAKARTA1 Reslawati, S. Ag, M. Si2 Abstraksi Kajian ini difokuskan pada pandangan pemimpin ormas Islam terhadap perolehan suara partai politik Islam pada pemilu legislative di DKI Jakarta. Lokus kajian di laksanakan di Propinsi DKI Jakarta. Dengan metode kualitatif dan pendekatan fenomenologis. Kajian ini menghasilkan antara lain: Penyebab penurunan perolehan suara partai politik Islam di sebabkan berbagai faktor, baik internal maupun ekternal partai yaitu adanya friksi-friksi didalam partai;visi dan misinya tidak jelas, parpaol Islam saat ini sangat pragmatis, tidak ideologis; Ada keinginan bahwa parpol Islam bergabung menjadi hanya satu atau dua parpol Islam saja atau cukup mengosentrasikan pada parpol Islam yang sudah ada dan lolos elektrol treshold agar potensi dan kosentrasi umat tidak terpecah belah; adanya signifikasi yang cukup tajam antara perolehan penurunan suara parpol Islam dengan pengambilan keputusan parpol Islam di legislatif, bila perolehan suara parpol Islam kecil secara otomatis jumlah wakil parpol Islam di legislatif juga kecil, maka saat rapat dilegislatif dan di voting maka suara parpol Islam kalah; Masyarkat menginginkan kehadiran wakilnya dilegislatif betul-betul refresentasi mewakili umat Islam yang mampu berjuang untuk kepentingan umat Islam dan diaktualisasikan dalam bentuk memunculkan ide dan pembuat serta pengambilan keputusan yang teraktualisasi dalam bentuk Perda, RUU maupun UU yang bercirikan nilai-nilai ajaran agama Islam di legislatif (DPRD/DPRD); Dalam mewujudkan UU yang menyangkut kepentingan keagamaan (khusunya Islam) tidak ada perbedaan yang signifikan antara partai-partai yang berbasis/ideologi agama dengan yang bukan. Semua partai tidak mempersoalkan substansi UU sebagai diskriminasi kepada elemen-elemen bangsa. Karena semua parpol pada akhirnya menyetujui lahirnya UU. Keyword: Pandangan, Pemimpin Ormas Islam, Partai Politik Islam 1 Laporan hasil penelitian Pembimbingan Kehidupan Keagamaan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2 Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI 275 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Permasalahan B erdasarkan sejarah bangsa Indonesia perolehan suara parpol Islam setiap pemilu ada kecenderungan semakin menurun. Makin turunnya minat konstituen terhadap parpol Islam dan parpol yang berplatform Islam terjadi karena beberapa faktor, menurut hasil lembaga survey Indonesia (LSI), tanggal 2 Nopember tahun 2006, antara lain:diasumsi-kan karena ketidakmampuan parpol Islam dalam menggunakan isu agama dalam pemilu; b. Diduga parpol Islam tidak mampu menawarkan program-program yang menyentuh kebutuhan rakyat secara umum dan umat Islam khususnya, misalnya program tentang negara kesejahteraan, pemerintahan yang bersih dan berwibawa; c. Diduga parpol Islam tidak mewakili aspirasi umat Islam dalam menjalankan misi dan visinya sebagai parpola Islam. Perjalanan sistem politik yang berlaku sejak orde lama, orde baru dan orde reformasi menunjukkan adanya pergeseran kekuatan politik umat Islam. Pada masa orde lama, pemerintah Indonesia hanya mampu melaksanakan satu kali pemilu yakni, 1955 diikuti 52 kontestan parpol dan perorangan. Yang berhasil mendapat kursi DPR sebanyak 27 parpol. Dari jumlah 27 parpol tersebut terdapat 6 parpol Islam yakni Masyumi, NU, PSII, Perti, Aksi Kemenangan Umat Islam, Partai Politik Tharikat Islam. Sedangkan sisanya, 21 parpol termasuk parpol nasional atau parpol non agama. Sistem politik yang dikembangkan orde 276 baru pada pemilu 1971 terdapat 4 parpol Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti) di antara 10 konstestan. Pemilu 1971 yang dimenangkan Golkar dengan perolehan 62,80 persen memberi gambaran parpol Islam tidak dominan. Jumlah suara diperoleh 4 parpol Islam adalah 27,12 persen. Perampingan jumlah parpol dianggap sebagai strategi paling kuat untuk melangeergengkan kekuasaan orde baru. Sehingga waktu itu terdapat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) fusi 4 parpol Islam tanggal 5 Januari 1973, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) fusi 5 parpol yakni PNI, Parkindo, Murba, IPKI, Partai Katolik tanggal 10 Januari 1973. Pada pemilu 1977 berdasar kan UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Parpol dan Golkar, diikuti hanya tiga kontestan yakni PPP, Golkar, dan PDI. Format politik pada pemilu 1977 itu dianggap sebagai bersatunya umat Islam dalam satu wadah parpol. PPP dapat sokongan jurkam handal yang dikenal memiliki konstituen besar seperti Nurcholish Madjid, Ridwan Saidi (HMI), Rhoma Irama (artis dangdut), M Natsir, Kasman Singodimedjo (mantan tokoh Masyumi). Mereka membesarkan suara PPP bersama tokoh-tokoh kharismatik dari NU, Parmusi, PSII dan Perti. Waktu itu PPP dapat suara 29, 29 persen, naik sebesar 2,18 persen. Sedangkan perolehan suara Golkar dan PDI mengalami penurunan. PPP naik menjadi sebanyak 99 kursi. Sehingga komposisi perolehan kursi di DPR RI, Golkar 232 kursi, PPP 99 kursi, dan PDI 29 kursi. Pemilu 1977 merupakan masa jaya PPP sebagai parpol Islam yang ternyata tidak mampu diraih lagi pada 4 kali pemilu berikutnya selama orde baru. Pada masa orde baru perolehan suara PPP dan PDI selalu naik turun selama pemilu 1982 hingga 1997, hal ini terjadi karena dilanda konflik internal. PPP sekalipun sebagai partai Islam tidak pernah mengembangkan isu-isu agama seperti masalah syariat Islam, 277 presiden Islam, dan negara Islam, namun PPP tetap sebagai kekuatan parpol nomor dua di Indonesia. Karena parpol nomor satunya tetap Golkar. Kondisi itu ikut memperkuat anggapan bahwa parpol nasionalis/nonagama lebih diminati rakyat dari pada parpol Islam. Tumbangnya kekuasaan orde baru telah mengantarkan pelaksanaan pemilu dipercepat. Pemilu 1999 merupakan ajang pesta demokrasi model multi parpol. Ada 48 parpol yang disahkan sebagai peserta pemilu 1999, yakni 3 parpol lama (Partai Golkar, PPP, dan PDI) ditambah 45 parpol baru. Hasil pemilu menunjukkan bahwa parpol nasionalis/non agama lebih dominan menguasai rangking 1 dan 2 yakni PDI Perjuangan dan Partai Golkar.Ternyata pada sistem politik yang makin demokratis, parpol Islam tidak mampu menunjukkan kemenangan yang signifikan. Karena mereka tidak mampu mengembangkan isu-isu strategis yang benarbenar menjadi kebutuhan bangsa Indonesia. Isu-isu yang mereka bawakan ternyata tidak berimbang, masih berkutat pada soal politik dan agama. Padahal isu-isu lainnya seperti ekonomi, pemerataan pendidikan, keadilan, dan sebagainya tidak mendapat porsi yang menarik. Penyebaran konstituen umat Islam justru mempengaruhi anjloknya suara PPP yang selama orde baru dikenal sebagai satu-satunya parpol yang berlabel Islam. Perolehan suara PPP terpuruk karena konstituennya berpindah ke parpol baru. Sejumlah parpol baru yang mengurangi jumlah suara PPP adalah parpol terbuka yang berplatform Islam (PKB, PAN), dan parpol yang berazas Islam yakni PBB, PK, Partai Nahdlatul Ummat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), PSII, Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, PSII 1905, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Islam Demokrat (PID), Partai 278 Persatuan, Partai Suni, Partai Ummat Muslimin Indonesia. Sebagian besar parpol Islam itu gulung tikar karena sepi peminat, sehingga pada pemilu 2004 tidak eksis lagi. Pemilu 2004 yang diikuti 24 parpol itu memberikan konfigurasi yang sama yakni parpol nasionalis/non agama lebih diminati rakyat3. Berdasarkan perhitungan suara pada pesta demokrasi pemilihan umum legislatife tahun 2009, yang diikuti 44 parpol, terdiri dari 36 partai nasionalis/non agama, 6 parpol berazaskan Islam (Partai Keadilan Sejahtera 7.88 %, PPP 5,32 %, PBB 1.79 %, PBR 1.21 %, Parti Kebangkitan Nasional Ulama 1.47 %, Partai Nadhdlatul Ummah Indonesia 0.14 %) dan 2 parpol terbuka berplatform Islam {(PKB 4.94 % dan PAN 6.01)}4. Kalau kita perhatikan dari setiap pemilu legislative setiap tahunnya terjadi pergeseran ataupun dinamika tehadap perolehan suara parpol Islam. Sedangkan partai Demokrat merupakan partai yang sangat diuntungkan dari adanya pergeseran pemilih partai Islam tersebut, dimana suara Partai Demoktat yang hanya 7.4 % pada tahun 2004 bisa melejit menjadi 20.85 % pada tahun 2009 ini. Sedangkan Golkar dan PDIP relatif signifikan. Hal ini menjadi pertanyaan besar, Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim tetapi dalam pemilu legislatif dari satu pemilu ke pemilu berikutnya parpol Islam tidak pernah menjadi pemenang dalam pemilu legislatif tersebut, dan bahkan mengalami pergeseran semakin menurun yang cukup signifikan. Untuk itulah hal ini perlu dicarikan penyebabnya yang harus dicarikan solusi agar parpol Islam tetap merupakan partai pilihan bagi umat Islam 3 Heriyanto, Slamet. Islam, Parpol, Pemilu 2004. http.www. wikipedi. 02 Nopember 2006. 4 Hasil penghitungan suara sah parpol peserta pemilu dalam pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009, Media Center Komisi Pemilihan Umum 279 khususnya dan masih diperlukan sebagai wadah aspirasi bagi umat Islam dikemudian hari. Kita ketahui bahwa dalam parpol Islam, individuindividunya juga berasal dari berbagai pengurus ormas Islam, sedangkan ormas Islam pun merupakan wadah aspirasi umat Islam. Untuk itulah sangat saling keterkaitan antara ormas Islam dan parpol Islam sebagai wadah aspirasi umat Islam. Bila perolehan suara parpol Islam semakin hari semakin menurun, secara otomatis keterwakilan umat Islam di parlemen juga semakin sedikit. Ini akan berdampak semakin sedikitnya umat Islam yang menyuarakan aspirasi dan keinginan umat Islam diparlemen, sehingga dalam pembuatan maupun pengambilan keputusan berkenaan dengan Undangundang sebagai harapan umat Islam kurang berjalan mulus. Oleh karena itu selama ini, betapa sulitnya perwakilan umat Islam yang ada di parlemen dalam memperjuangkan UU tentang Perkawinan, UU tentang Wakaf, UU tentang Zakat, UU tentang Haji menjadi suatu Undang-undang, sekalipun di parlemen mayoritas anggotanya muslim. Perjuangan umat Islam yang ada di parlemen berkenaan aspirasi umat Islam tentang Undang-undang sesuai dengan keinginan umat Islam tersebut bukan berarti umat Islam ingin mendirikan negara Islam, tetapi hanya ingin mengatur secara kenegaraan keinginan umat Islam sesuai dengan ajaran agama Islam untuk kepentingan umat Islam semata, agar tertib, teratur dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Selama ini, masih terdapat perbedaan persepsi yang cukup mendalam dalam memahami berbagai ajaran agama Islam tentang mu’amalat. Namun dengan diaturnya melalui Undang-undang, maka hakim tertinggi dalam mengatur dan memutus perkara umat diserahkan dan diatur oleh negara, agar tidak terjadi perbedaan yang tajam diantara intern umat beragama. 280 Dengan semakin kecilnya tingkat perbedaan persepsi umat beragama secara tidak langsung telah menciptakan harmoni intern umat beragama yang diatur oleh Undang-undang. Selain itu, keberadaan perwakilan umat Islam di parlemen yang diwakili oleh parpol Islam, akan sangat efektif melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh politik yang beragama non Islam. Sehingga hal-hal yang berhubungan dengan sikap-sikap inklusifisme, eklusifisme umat beragama dapat diminimalisir secara langsung oleh perwakilan umat Islam yang ada di parlemen dalam menjelaskan berbagai pandangan miring tentang umat Islam yang dianggap keluar dari “maesntremnya”. Departemen Agama, yang selama ini masih identik dengan aspirasi Islam baik politik maupun kultural, bertugas melakukan reorientasi kebijakan-kebijakan agama di Departemen Agama. Kebijakan yang dikeluarkan antara lain menyangkut tentang hubungan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam upaya mencari landasan dari persatuan komunitas-komunitas agama. Negara Pancasila mengakui wewenang Departemen Agama dan kebijakankebijakan keagamaan sebagai bagian yang integral dari kebijakan politik pemerintah5. Oleh karena itu ekistensi Departemen Agama memerlukan dukungan politik. Dukungan politik diperoleh dari parpol, terutama bagaimana parpol yang mengusung ideologi agama atau yang berplatform/ berbasis agama dalam menyusun UU keagamaan, seperti UU Haji, UU Perkawinan, UU Perbankan Syari’ah,dll. Apakah UU yang diusulkan tersebut mendapat 5 Mufid, Syafi’i. Departemen Agama dan Upaya Menjaga Equilibrium Bangsa, dalam buku Diskriminasi Disekeliling Kita: negara, Politik, dan Multikulturalisme. Hal. 63. Institut DIAN/Interfidei. 2008. 281 dukungan dari partai-partai berbasis agama atau partai tidak berbasis agama. Berangkat dari persoalan tersebut, maka penelitian ini sangat relevan untuk dilakukan. Untuk mengungkap hal tersebut penelusuran dimulai dengan adanya dugaan bahwa terjadinya penurunan perolehan suara parpol Islam dalam pemilu legislatif akan berdampak pada semakin sedikitnya perwakilan umat Islam di parlemen. Dengan demikian, diduga akan semakin sulit aspirasi umat Islam memperoleh dukungan politik di parlemen untuk mewujudkan harapan umat Islam dalam bentuk UU. B. Perumusaan Masalah Dari deskripsi di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: a. Apa penyebab pergeseran penurunan perolehan suara parpol Islam dalam pemilu legislatif 2009 di DKI Jakarta b. Bagaimana pandangan pemimpin ormas Islam tentang penurunan perolehan suara parpol Islam pada pemilu legislatif di Jakarta C. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan penyebab pergeseran penurunan perolehan suara parpol Islam dalam pemilu legislatif tahun 2009 b. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pandangan pemimpin ormas Islam tentang penurunan perolehan suara parpol Islam pada pemilu legislatif 2009 di Jakarta. 282 D. Kerangka Berfikir: Perolehan Suara Parpol Islam: Kurangnya Partisipasi SDM Lema Pragmatis Donasi Lemahnya manajemen Model Komunikas i non Friksi Interna l Kampanye Lemahnya Kaderisasi Pandang an Pimpina n Ormas Islam: N Muham madiyah MU I Dari diagram alur berfikir penelitian tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: bahwa mulai dari zaman orde lama, orde baru dan orde reformasi jumlah perolehan suara parpol Islam semakin hari semakin menurun hal ini dibuktikan dengan prosentasae perolehan suara dari setiap kali pemilihan umum seperti yang tergambar pada latar belakang masalah. Adapun faktor penyebab terjadinya penurunan perolehan suara parpol Islam tersebut diasumsikan disebabkan 2 (dua) faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari adanya pragmatise cara berfikir dan bertindak parpol Islam, dimana para pengurus/anggota parpo Islam yang tadinya berfikiran idiologis telah bergeser pada hal-hal yang sangat pragmatis. Sehingga nilai-nilai perjuangan sebagai cita-cita luhur dari sebuah parpol Islam dapat bergeser pada kepentingan pragmatisme sesaat, yang hanya memenuhi kebutuhan partai sesaat juga; 283 Sumberdaya parpol Islam yang lemah, dalam artian pengurus/anggota parpol Islam secara kapabilitas belum mempunyai kemampuan yang sangat memadai sehubungan untuk membangun parpol lebih berkualitas sesuai dengan visi, misi dan cita-cita parpol Islam. Adanya friksi internal, terjadinya konflik kepentingan secara internal di tubuh parpol Islam berdampak pada macetnya roda organisasi dan terjadinya perpecahan di dalam tubuh partai serta menyebabkan pengurus/anggota parpol Islam keluar dari parpol dan hijrah ke parpol lain atau mendirikan parpol baru; Lemahnya pengelolaan/manajemen pada parpol, tidak dikelolah secara professional sesuai dengan strutur yang ada dalam parpol tersebut, terjadinya overlapping job secara operasionalisasi dan tidak tertibnya administrasi serta kurang transfaransi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan parpol. lemahnya kaderisasi, dimana kaderisasi partai tidak dibangun dengan sistem yang kuat, mulai dari rekrutmen keanggotaan, pembinaan, maupun pengembangan kader yang mumpuni, sehinga tidak terjadi kaderisasi yang secara berkesinambungan yang dapat meneruskan estafeta kepemimpinan maupun meneruskan program-program kepartaian; Model komunikasi yang dibangun bersifat non parti sipatori, artinya komunikasi yang dibangun dipartai hanya bersifat linier tetapi tidak bersifat feetback, parpol tidak mem buka peluang komunikasi yang efektif dan timbal balik, baik kepada anggota maupun masyarakat pendukungnya dan masyarakat luas; lemahnya kampanye yang diakibatkan kurangnya dukungan finansial dari dalam parpol Islam; ketidakmampuan membangun image, parpol Islam baik secara organisatoris maupun secara individual tidak mampu membangun image positif bagi parpo, bahkan cenderung bersikap negative, dimana beberapa kasus yang muncul ada 284 beberapa kader parpol yang masuk penjara karena terjerat kasus korupsi dan persoalan moral. Sedangkan Faktor eksternal terdiri dari; kurangnya partisipasi masyarakat; khusunya umat muslim kurang berminat untuk berperan aktif secara langsung kepada parpol Islam, karena parpol Islam tidak menjanjikan programprogram yang dapat mewakili kepentingan masyarakat banyak terutama umat Islam; parpol Islam, karena dikhawatirkan bila parpol Islam berjaya ada asumsi bahwa parpol Islam akan mendirikan negara Islam, dan menegakkan syari’at Islam tidak fleksibel. Selain itu, Parpol Islam sebagai basis kekuatan politik umat Islam yang terlembaga, diharapkan dapat menjadi wadah aspirasi umat Islam dalam pengambilan kebijakan, keputusan yang sangat fundamental dalam menentukan arah perjalanan kepentingan umat Islam melalui lembaga legislatif berupa produk perundangundangan yang mengedepankan kepentingan umat Islam di Indonesia umumnya DKI Jakarta Khususnya. Dari berbagai faktor internal dan eksternal inilah penelitian ini akan melihatnya dari sudut pandang pemimpin partai politik Islam sebagai croos check balik. E. Kerangka Konseptual 1. Pandangan/persepsi Kita ketahui bahwa perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, kecakapan dan pengalaman orang itu sendiri tentang suatu objek. Dengan kata lain perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsinya terhadap suatu objek. Oleh karena itu, persepsi seseorang berperanan penting didalam pencapaian tujuan tertentu, karena tindakan seseorang maupun kegiatannya sehari-hari dipengaruhi persepsinya terhadap rangsangan dari luar dirinya serta 285 kemampuannya mengambil keputusan terhadap rangsangan tersebut. Persepsi dapat diartikan sebagai proses pengamatan pada panca indera ditransformasikan ke dalam pengorganisasian kesan yang diamati oleh pengamat6. Persepsi timbul karena adanya dua faktor, yaitu factor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tergantung pada proses pemahaman sesuatu termasuk di dalamnya system nilai, tujuan, kepercayaan dan tanggapannya terhadap hasil yang dicapai, sedangkan faktor eksternal, yakni lingkungan. Pandangan/Persepsi adalah suatu proses membuat penilaian (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat di dalam lapangan penginderaan seseorang7. Pembuatan penilaian atau pembentukan kesan ini pada hakekatnya suatu upaya memberikan makna kepada hal-hal tersebut. Menurut Miftah, persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi dapat menambah dan mengurangi kejadian sesungguhnya yang diinderakan oleh seseorang atau dengan kata lain persepsi mengenai suatu objek terlepas dari soal tepat atau tidaknya dan hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan sementara waktu. Sedangkan menurut Mar’at, persepsi adalah proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi oleh factor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya terhadap suatu objek dengan kacamata sendiri yang diwarnai oleh nilai dari 6 W. Michel dan NH. Michel, Essentials of Psychology (New York : Random House, Inc, 1980), p. 81 7 Wrightsman, Social Psychology Indonesia the 80’s, dikutip langsung oleh Subyakto, Psychology Sosial (Jakarta: Haruhita, 1988, h. 23 286 kepribadiannya. Persepsi seseorang terhadap suatu objek akan berbeda satu sama lain. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan masing-masing orang. Perbedaan persepsi tiaptiap orang terhadap suatu objek disebabkan oleh karena adanya perbedaan perhatian, harapan, kebutuhan, system nilai dan ciri kepribadiannya. Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pandangan/penglihatan, pengamatan, pengetahuan, penilaian dari seseorang/kelompok yang terorganisir dalam suatu lembaga berkenaan informasi tentang perolehan suara parpol Islam pada pemilu legislatif yang terjadi dan berkembang dilingkunganya. F. Pemimpin Ormas Islam Menurut Kartini Kartono (2004:33): pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu demi mencapai satu atau beberapa tujuan. Sedangkan menurut Winardi (2000:32) bahwa pemimpin terdiri dari pemimpin formal (formal leader) dan pemimpin non formal. Pemimpin formal adalah seorang yang oleh organisasi tertentu ditunjuk untuk memangku jabatan dalam struktur organisasi yang ada dengan segala hak dan kewajibannya yang berkaitan dengannya untuk mencapai sasaran organisasi tersebut yang ditetapkan sejak semula. Sedangkan pemimpin non formal adalah suatu kemampuan yang melekat pada diri seseorang yang memimpin tergantung dari macam-macam faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Adapun peran pemimpin sangatlah erat dengan fungsi yang diembannya. Pemimpin harus dapat berperan sebagai sumber ide, perencana, wakil kelompok, seorang ahli, pengawas, hakim/ wasit, pemegang tanggung jawab, dan sebagai ayah. 287 Organisasi masyarakat merupakan suatu wadah di mana berkumpul berbagai orang yang mempunyai tujuan yang sama dan mempunyai basis kekuatan massa pendukungnya. Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT untuk umat manusia di bumi yang berpegang pada ajaran Al Qur’an dan Al Hadis. Jadi yang dimaksud dengan Ormas Islam di sini adalah Organisasi yang mempunyai kekuatan massa umat Islam yang berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam. Adapun Pemimpin Ormas Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemimpin/pimpinan yang memimpin organisasi massa yang berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam. Dalam penelitian ini, Pimpinan Muhammadiyah, Pimpinan NU dan Pimpinan MUI diasumsikan memiliki integritas berpegang pada nilai-nilai ajaran Islam dan mempunyai massa yang nyata. Khusus MUI diasumsikan massanya adalah semua umat Islam Indonesia. G. Partai Politik Islam Secara etimologi partai politik berasal dari kata partai dan politik. Kata partai berasal dari bahasa Ingrris “part” yang berarti menunjuk kepada seseorang yang seazas, sehaluan dan setujuan terutama di bidang politik. Sedangkan politik, yang dalam bahasa Inggris, politik berarti ilmu yang mengatur ketatanegaraan, atau seni mengatur, mengurus negara dan ilmu kenegaraan. Carl J. Friedrich mengatakan, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pemimpin partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idial maupun material. Menurut Sigmund Neumann (1956), partai politik adalah organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan 288 rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongangolongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.. Senada dengan hal tersebut Ramlan Surbakti menambahkan partai politik sebagai kelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat. Dari sinilah kemudian muncul istilah partai Islam, atau partai yang berlandaskan pada simbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi ajaran Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim tak dapat mengelakan dengan menjamurnya partaipartai yang menamakan dirinya sebagai partai Islam, baik secara tekstual maupun substansial, seperti PKS, PPP, dan PBB yang secara tegas menamakan dirinya partai Islam, namun ada juga partai politik yang latarbelakang berdirinya dimotori oleh organisasi sosial keagamaan, namun menyatakan sebagai partai terbuka bagi penganut agama manapun, yaitu PKB dan PAN. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa secara umum partai politik Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah partai politik yang berlandas kan/berazaskan Islam, parpol Islam yang berplatform Islam, Parpol yang menggunakan simbol-simbol Islam, penganut Islam maupun substansi Islam yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional, serta menumbuhkan partisipasi masyarakat. 289 H. Pemilihan Umum Legislatif Pemilihan umum (pemilu) biasanya diasumsikan sebagai pesta demokrasi yang berlangsung 5 (lima) tahun sekali, yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Pada pemilu di pilih wakil-wakil rakyat dan pemimpin pemerintahan berdasarkan pemilihan. Menurut Anas Urbaningrum, mantan anggota KPU, pemilu adalah sebuah kompetisi berbagai kekuatan politik, harus membuka kompetisi yang fair dan transparan. Dalam artian bahwa masing-masing kontestan pemilu berkesempatan dan mempunyai peluang yang sama untuk mengekspresikan ideologi politiknya masing-masing. Melalui mekanisme itu akan terjadi proses belajar antara satu kontestan dengan kontestan yang lain serta terbangun pluralism politik. Rakyat yang akhirnya memberikan penilaian (KPU: 2004:25). Legislatif merupakan sebagai sebuah wadah perwakilan aspirasi rakyat yang memilih anggotannya. Yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. I. Lokasi, sasaran, dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di DKI Jakarta, dengan sasaran penelitian pada Pemimpin Ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Pimpinan NU Wilayah DKI, Pimpinan Muhammadiyah Wilayah DKI dan MUI Wilayah DKI Jakarta. Dengan pertimbangan ketiga ormas Islam ini dianggap mewakili basis kekuatan terbesar umat Islam dan lebih banyak bersinggungan dengan persoalan politik serta signifikan dalam memberikan pernyataan politik berkenaan dengan pemilu legislatif dalam rangka pembimbingan, mengarahkan dan mempengaruhi keputusan umat untuk menentukan pilihan. Adapun pengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Juli 2009. Penelitian ini dibatasi pada pemilu legislatif 290 tahun 2009, yang berlangsung mulai 16 maret 2009 s.d. 5 April 2009. J. Teknik pengumpulan data dan analisis data Adapun teknik pengumpulan data dengan cara mengirimkan surat resmi dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan kepada Pemimpin Ormas Islam untuk melakukan wawancara mendalam dengan pemimpin ormas Islam (NU, Muhammadiyah dan MUI) Wilayah DKI Jakarta. Selain itu, sebagai data sekunder penelitian ini juga melakukan telaah terhadap berbagai dokumen, buku-buku, jurnal, hasil penelitian, dll. Dari informasi yang digali tersebut kemudian dideskriptifkan dan di komparasi dari perolehan suara parpol Islam pada zaman reformasi ini terhadap zaman orde baru dan orde lama serta di dukung dengan teori-teori yang berhubungan dengan persoalan yang dikaji. Dari analisis ini diketahui sebab terjadinya penurunan perolehan suara parpol Islam dan pandangan pemimpin ormasl Islam terhadap hal tersebut. 291 292 BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. SEKILAS PERJALANAN PERGERAKAN ORMAS ISLAM S etahun setelah berdirinya Boedi Oetomo lahirlah gerakan yang bermotifkan perjuangan untuk perbaikan ekonmi yang berbasis Islam, yaitu Sjarekat Dagang Islam (SDI) lahir 1909 di Solo dipimpin Haji Samanhudi. SDI berasaskan perjuangan ekonomi umat yang dilandasi oleh politik keagamaan. Syarekat Islam (SI-1911), sebagai perubahan dari Sjarikat Dagang Islam, dipimpin Tjokroaminoto. Bedanya, SI lebih memiliki wawasan kebangsaan, merupakan organisasi perjuangan politik berlandaskan Islam, berwatak ideologi kebangsaan. Aktivitas SI sejak awal merupakan gerakan politik, sehingga dalam sejarah Indonesia SI merupakan partai politik pertama yang bercorak nasionalis. Yang menarik dari SI bahwa ia mampu mengidentitaskan diri dengan aspirasi politik Bumi Putera untuk perjuangan kemerdekaan (Ma’arif, Syafi’i: 1983). Pada tahun 1912 lahir perkumpulan pergerakan muslim bernama Muhammadiyah, didirikan oleh KH. Achmad Dahlan. Muhammadiyah tercatat sebagai gerakan pembaruan Islam pertama di Indonesia. Sebagai organisasi sosial keagamaan, Muhammadiyah melakukan pemurnian ajaran Islam, terutama dalam akidah dan ibadah, dengan jalan membersihkan dari pengaruh Bid’ah, khurafat, tahayul, dan pengaruh bentuk-bentuk amalan yang mengandung sinkretisme. Pada tahun 1926, di Surabaya, Jawa Timur, terbentuklah organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah) 293 bernama Nadhlatul Ulama, yang artinya kebangkitan ulama, berpaham ahlusunah wal jamaah, yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim dan para ulama terkenal lainnya. NU lebih dikenal dengan sebutan gerakan Islam tradisonal. Dalam perjalanannya NU beberapa kali berubah sosok. Pertama kali berdiri sebagai organisasi massa keagamaan, membangun jami’iyyah diniyah, namun dalam pergolakan politik, NU berubah bentuk menjadi partai politik, kemudian kembali menjadi Ormas Keagamaan, dan kembali menjadi partai politik. Dimasa Orde baru, NU kembali ke khittah utnuk menjadi organisasi massa keagamaan. Pada tahun 1930, SI berganti nama menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Setelah terjadi perubahan nama menjadi PSII, muncul dua faksi yang di dlm tubuh PSII yang dipimpin Haji Agus salim dan Soekiman Wijo Sandjojo. Antara tahun 1932-1936 terjadi pemisahan besar-besaran ditubuh PSII. Ada yang mendirikan partai politik Islam baru disampin PSI dengan Partai Islam Indonesia (Perti). Di pimpin oleh Dr Soekiman Sedangkan pada pemisahan terakhir dipimpin oleh H. Agus Salim mendirikan partai baru yang diberi nama Penyedar. Kemudian disusul lagi dengan mendirikan Komite Pembela Kebenaran PSII dipimpin oleh Soekarmadji Kartosoewirjo (Karim, Rusli: 1983:74). Ketika terjadi pergolakan antara ideologi semakin tajam, dan makin seriusnya ancaman terhadap eksistensi partai politik maupun pergerakkan sosial keagmaan islam lainnya, maka pada tahun 1937, timbul inisiatif untuk melakukan pengelompokkan kekuatan organisasi Islam dalam Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI), yang mendapat dukungan dari para ulama Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Syarikat Islam, dan organisasi Islam lainnya. MAIA didirikan di surabaya, 21 September 1937. Para pendirinya antara lain: KH 294 Muhammad Dahlan, KH Mas mansyur (Muhammadiyah), KH Abdul Wahab Hasbullah (NU), dan W. Wondoamineso (Syarikat Islam). Salah satu tujuan MIAI adalah untuk mensinergikan potensi umat Islam Indonesia yang selama ini habis energinya hanya untuk urusan khilafiyah antara satu organisasi Islam dengan lainnya yang bersifat furu’iyah semata, sehingga akan merugikan perjuangan umat Islam secara universal. Dalam waktu singkat MIAI mendapat dukungan yang luas dari Al Irsyad dan Al Khariyah di Surabaya, Al Islam di Surakarta (Solo), Hidayatullah Islamiyah di Banyuwangi Jawa Timur, Perserikatan Ulama di Jawa Barat, dll. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, kelompok pendukung ideologi Islam membentuk sebuah partai poltik yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Pada 7 Nopember 1945. Tujuannya adalah menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam, serta melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan negara. Lahirnya partai Masyumi merupakan cerminan kehidupan demokrasi pada waktu itu. Pada masa revolusi fisik, tahun 1945-1950, Masyumi mempunyai angkatan perang sendiri yang dinamakan pasukan Sabilillah dan Hizbullah. Masyumi merupakan perkumpulan dari empat organisasi Islam yaitu: Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam (PUI), dan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Masyumi berdasarkan sejarah kelahirannya berasal dari Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Pada tahun 1948, PSII yang dulu sempat tenggelam dihidupkan kembali, dengan demikian kosentrasi umat Islam terpecah belah, yang selama ini bersemangat berhimpun dalam satu wadah tunggal Masyumi. NU sebagai anggota Masyumi yang amat potensial dalam memberikan dukungan massa bagi tegaknya Masyumi, tiba-tiba pada tahun 1953 295 memisahkan diri dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik. Begitupula dengan Muhammadiyah yang ikut melepaskan diri dari Masyumi sebelum Masyumi membubarkan diri pada tahun 1960. Masyumi membubarkan diri sebelum dibubarkan Presiden Soekarno. Pada tahun 1964, ketika muncul alternatif pemerintah untuk mengembangkan organisasi fungsional dengan terbentuknya Sekber Golkar, Muhammadiyah ikut pula berbaur di dalamnya (Kirbiantoro: 2009: 45). Pada zaman orde baru, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang dianggap jelmaan ”Masyumi Baru”, para tokoh Masyumi lama banyak bergabung didalamnya, termasuk Muhammadiyah sebagai pendukung beridirnya Parmusi. Kemudian pada awal reformasi, lahir pula Partai Bulan Bintang (PBB), yang dianggap juga sebagai penerus pewaris nilai-nilai Masyumi, namun Muhammadiyah terlibat dan sebagai basis kekuatan Partai Amanat Nasional (PAN) melalui sidang Tanwir di Semarang tahun 1998. Sedangkan NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kalau kita perhatikan dan analisis lebih dalam dari perjalanan mulai lahirnya pergerakan ormas keagamaan sampai terbentuknya partai politik yang ada di Indonesia hingga saat ini. Sesungguhnya Parpol Islam saat ini seakan merupakan penjelmaan atau reinkarnasi dari parpol Islam yang dulu pernah ada di republik ini. B. SEKILAS PARPOL ISLAM Dalam kehidupan perpolitikan di Indonesia telah terjadi suatu dinamika perkembangan muncul dan tenggelamnya partai politik Islam. Setelah kemerdekaan (orde lama) parpol Islam bermunculan bak cendawan di musim hujan. Ketika orde baru parpo Islam berfusi dalam satu wadah yaitu PPP. Di Zaman reformasi parpol Islam seakan kembali pada kondisi 296 orde lama, dimana parpol Islam bermunculan kembali dengan ”baju” baru. Berdirinya parpol Islam perlu dilihat dari latarbelakang perkembangan politik di Indonesia pada masa bersangkutan. Ini akan memungkinkan kita untuk melakukan penilaian tentang kedudukan partai, kekuatan dan kelemahannya, disamping tentunya melihat kemampuan para pemimpinnya (Deliar Noer: 2000:47). Berikut ini sekilas tentang Parpol Islam (Majalah Dakwah: 2008) yang ada saat ini, yaitu: 1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Islam yang paling senior dalam Pemilu 2009 adalah Partai Persatuan Pembangunan. Partai berlambang Ka’bah ini berdiri sejak 5 Januari 1973, dibawah pemerintahan presiden Soeharto yang sentralistik, seluruh partai yang ikut pemilu tahun 1971 dipaksa bergabung dalam tiga (3) partai besar. Partai-partai Islam berfusi dalam satu wadah yaitu PPP. Adapun unsur penopang PPP pada saat itu adalah Partai Syarikat Islam (PSII), Muslimin Indonesia (MI), Nahdlatul Ulama (NU) dan dan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Fusi partai yang dipaksakan itu menghasilkan konflik berkepanjangan, terjadi pertentangan secara internal di dalam tubuh PPP. Selama dua dasawarsa kepemimpinan PPP dipimpin oleh Muslimin Indonesia, dan pada Muktamar tahun 1998, dipimpin oleh NU. Namun ketika reformasi bergulir, sejumlah tokoh dari unsur pendiri PPP mendirikan partai baru yang berazaskan Islam, hingga akhirnya 15 parpol Islam maupun berplatform Islam berebut kursi di pemilu 1999 yang mengakibatkan perolehan suara PPP merosot. 2. Partai Bulan Bintang (PBB) Salah satu unsur yang keluar dari PPP adalah mantan pendukung dan simpatisan partai Masyumi yang di awal orde 297 baru berubah nama menjadi Parmusi. Para simpatisan dan pendukung partai Masyumi ini akhirnya mendirikan partai yang bernama Partai Bulan Bintang yang berazaskan Islam. Penyumbang suara partai ini berasal dari Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Partai yang didirikan pada tanggal 17 Juli 1998 dan dideklarasikan di halaman Masjid Al Azhar Jakarta. Partai ini sempat mengalami friksi internal yang mengakibat kan keluarnya sejumlah tokoh pendirinya. Menjelang tahun 2009, partai ini sempat dinyatakan gagal melewati electoral treshold sehingga akan berganti nama menjadi Partai Bintang Bulan. Namun mereka dinyatakan lolos dan tetap dengan nama semula. Adapun Visinya adalah terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami, dengan Misi Partai adalah membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokarasi dan turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam. 3. Partai Bintang Reformasi (PBR) Partai pecahan PPP lainnya adalah Partai Bintang Reformasi. Semua bermula ketika Musyawara Kerja Nasional (Mukernas) II (PPP) pada tahun 2001 yang memutuskan menunda pelaksanaan Muktamar PPP dari seharusnya dilaksanakan pada tahun 2003 menjadi setelah pemilu tahun 2004. Penundaan ini secara otomatis memperpanjang masa jabatan Ketua Umum PPP Hamzah Haz hingga usai pemilu 2004. Keputusan ini memicu protes keras dari beberapa kelompok di dalam tubuh PPP. Upaya untuk menyatukan kedua kelompok ini telah dilakukan. Namun upaya untuk mempersatukan PPP akhirnya pupus juga. Beberapa hari setelah peringatan hari ulang tahun PPP pada 5 Januari 2002, 298 da’i kondang Zainuddin MZ mengajukan pengunduran diri dari posisinya sebagai salah satu ketua PPP. Dan pada 20 Januari, PPP Reformasi secara resmi dideklarasikan. Pada tahun 2003, melalui Muktamar Luar Biasa PPP Reformasi, nama PPP Reformasi diubah menjadi Partai Bintang Reformasi. Hal tersebut mengikuti Undang-undang Partai Politik yang melarang partai mempunyai nama, tanda, gambar, dan lambang yang sama dengan partai politik lain. PBR berideologi Islam. 4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Islam paling diperhitungkan sebagai penambang suara adalah PKS. PKS didirikan di Jakarta pada 20 April 2002 (atau tanggal 9 Jumadil 'Ula 1423 H) dan merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan (PK) yang didirikan di Jakarta pada 20 Juli 1998 (atau 26 Rabi'ul Awwal 1419 H). Adapun Visi PKS terbagi atas visi umum dan visi khusus. Visi Umum: "Sebagai partai da’wah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan ummat dan banga". Visi Khusus:” Partai berpengaruh baik secara kekuatan politik, partisipasi, maupun opini dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang Madani. Dari visi yang dimiliki, Visi ini akan mengarahkan PKS sebagai: partai da'wah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan bangsa di berbagai bidang; Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam yang rahmat-an lil ‘alamin; Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia. 299 Sedangkan misinya adalah: menyebarluaskan da'wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anashir taghyir; Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami di berbagai bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi; Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat; Membangun kesadaran politik masyarakat, melakukan pembelaan, pelayanan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya; menegakkan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten dan kontinyu dalam bingkai hukum dan etika Islam; Secara aktif melakukan komunikasi, silaturahim, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan wihdatulummah, dan dengan berbagai komponen bangsa lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir agenda reformasi; Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak kedhaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas. Dalam pemilihan umum perolehan suaranya cenderung terus meningkat. PKS memiliki kader yang terdiri orang muda dan memiliki massa yang cukup banyak dari berbagai perguruan tinggi, masjid dan masyarakat. 5. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Kebangkitan Bangsa dideklarasikan pada 23 Juli 1998 di Jakarta. Meskipun terlahir dari ibu kandungnya NU tapi dalam deklarasinya, PKB bertekad mengembangkan sikap demokratis dan bersifat inkusif. Walaupun bukan partai Islam, PKB mayoritas mutlak pendukungnya adalah kaum 300 Nahdiyin. Partai ini pula yang menggerogoti PPP di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Meski tergolong parpol baru pada tahun 1999, namun PKB mampu memperoleh suara yang sangat signifkan pada pemilu tahun itu dan menempati urutan ke empat setelah PDI Perjuangan, Partai Golkar dan PPP. 6. Partai Amanat Nasional (PAN) PAN merupakan partai nasionalis berbasis massa Islam. Kelahiran PAN dibidani oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA), salah satu organ gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto, PPSK Muhamadiyah, dan kelompok Tebet. PAN dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus, 1988 oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal Basri MA, A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao dan lainnya. Sebelumnya pada pertemuan tanggal 5-6 Agustus 1998 di Bogor, mereka sepakat membentuk Partai Amanat Bangsa (PAB) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Amanat Nasional (PAN). PAN bertujuan menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material dan spiritual. Cita-cita partai berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. Selebihnya PAN menganut prinsip nonsekta rian dan nondiskriminatif. Untuk mewujudkan Indonesia baru, PAN pernah melontarkan gagasan wacana dialog bentuk negara federasi sebagai jawaban atas ancaman disintegrasi. Titik sentral dialog adalah keadilan dalam mengelola sumber daya sehingga rakyat seluruh Indonesia dapat benar-benar merasakan sebagai warga bangsa (Selengkapnya di Platform Partai Amanat Nasional). Hampir 80 persen konstituen 301 mereka adalah simpatisan Muhammadiyah. Partai yang dideklarasikan pada tahun 1998 ini, dimotori tokoh reformasi Amien Rais. Kelahirannya waktu itu dinilai bakalan mengguncang dominasi PDIP danPartai Golkar, apalagi dipimpin Amien Rais. Namun prediksi orang luput. Dalam pemilu 1999 dan 2004, PAN hanya memperoleh 7 persen suara. C. Penyebab Penurunan Peroehan Suara parpol Islam dalam Pandangan Pemimpin Islam Dari hasil perolehan suara pada pemilu legislatif yang pernah dilakukan di Indonesia perolehan suara partai politik Islam secara nasional dari pemilu kepemilu cenderung menurun, seperti dideskripsikan diawal, begitu pula untuk tingkat Propinsi DKI Jakarta. Dalam penelitian ini, peneliti hanya ingin menelusuri, mengungkap dan membandingkan penurunan perolehan suara partai politik Islam pada tingkat Propinsi DKI Jakarta pada pemilu legislatif 2009 dengan pemilu tahun 2004. Dari data perolehan suara parpol Islam pada pemilu legislatif tahun 2009, PKB dari 4 suara tinggal 1 suara, PAN tinggal 4 suara, PKS agak stabil, Partai Bulan Bintang (PBB) tidak dapat sama sekali, PPP tetap, dari 7 suara ke 7 suara. Ada asumsi bahwa penurunan perolehan suara parpol Islam disebabkan berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terjadi baik sengaja maupun tidak dalam organisasi parpol itu sendiri baik berbentuk fisik/materi, fiansial maupun sumberdaya manusia nya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ditimbulkan atau intervensi dari pihak luar organisasi yang berdampak pada intern oraganisasi. Penulis telah mewawancarai 3 (tiga) pemimpin ormas Islam (PW 302 Muhammadiyah, PW NU, MUI). Hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pandangan Pemimpin PW Muhammadiyah Menurut pandangan pemimpin Wilayah Muhammadiyah, sesungguhnya partai politik Islam yang berazaskan Islam yaitu PBB, PKS, PPP, sedangkan yang berplatfor/berbasiskan massa Islam adalah PKB dan PAN. Kalau kita amati sesungguhnya kiprah parpol Islam/berbasis Islam sama saja dengan partai politik lainnya yang ada diparlemen. Setelah reformasi partai Islam/berplatform Islam melahirkan hal-hal yang pragmatis, hal ini sangat berbeda sekali dengan partai Islam tempo dulu yang pertarungannya ideologis. Zaman orde baru, parpol Islam tidak pragmatis tetapi dikondisikan dan dikendalikan penguasa pada saat itu untuk patuh kepada pemerintah. Setelah reformasi, parpol Islam masih memiliki idealisme untuk perjuangan ideologi dan itu terjadi ketika pada pemilu pertama 1999. Tetapi setelah pemilu tahun 2004, ideologi mereka mulai kendor dan Parpol berasas dan berplatform Islam mulai bergeser kepada bagaimana mensejahterakan individu atau kelompoknya saja bukan kepada umat Islam secara keseluruhan. Ini salah satu yang membuat respon umat Islam terhadap parpol Islam sangat rendah, akibat parpol Islam sudah tidak memperjuangkan aspirasi umat Islam. Mereka tidak menegakkan syari’at Islam yang sesungguhnya sebagai lahan perjuangan parpol Islam. Sehingga tidak ada perbedaan yang sangat signifikan antara parpol Islam/berbasis Islam dengan partai berasaskan bukan Islam dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. Bahkan terkesan parpol Islam/berbasis Islam berorientasi pada nilai-nilai pragmatis materialis. Padahal kalau kita amati, sesungguhnya dari sumber pendanaan parpol Islam tidak lemah untuk membiayai 303 perjuangan parpolnya. Namun demikian, mereka tetap terjebak pada pragmatisme sesaat guna memenuhi kebutuhn sesaat. Kelemahan mereka justru terjadi bukan karena kekurangan dana partai, tetapi karena kurangnya komitmen mereka untuk membiayai dan membesarkan partai secara kelembagaan. Partai-partai seperti: PPP, PKS, PBB, PKB, PAN sesungguhnya tidaklah kesulitan dalam pendanaan untuk perjuangan parpol, kecuali partai-partai Islam yang kecil, seperti PKNU yang pendanaannya cukup lemah. Apalagi dengan sistem pemilihan umum secara langsung yang berlaku saat ini. Anggota parpol Islam yang menjadi calon legislatif dan ditempatkan di daerah tertentu harus jadi anggota legisltif, karena bila tidak jadi yang mencalonkan akan merasa dirugikan. Hal ini disebabkan dana yang dikeluarkan calon legislatif langsung diberikan ke daerah pemilihnya dan tidak melalui kas parpol, misalnya membuat kaos, spanduk, sembako, dan sebagainya. Sehingga dana untuk partai hampir tidak ada atau sekedarnya saja karena tersedot untuk biaya kampanye. Bila mereka ditempatkan di daerah yang mereka pasti masuk atau calon jadi, mereka mau berkorban habishabisan untuk mengeluarkan uangnya baik untuk parpol apalagi untuk para pemilihnya. Sesungguhnya parpol Islam bukan tidak punya uang tetapi dalam mengelolah/menajemen dana partai yang kurang baik. Selain itu dalam tubuh parpol terjadi friksi-friksi yang sangat tajam, kalaupun tidak ada friksi, maka sengaja dibentuk baik dari eksternal maupun dari internal parpol Islam. Hal ini terjadi, karena ada orang yang mempunyai kepentingan tertentu di partai tersebut, sehingga perlu dibentuk friksi-friksi. Adapun kepentingan dalam artian kalau secara nasional terjadinya kepentingn koalisi. Dengan demikian, butuh pengelolaan friksi di partai. Kita ketahui bahwa dalam mengelolah parpol tidak seperti 304 mengurusi/mengelola ormas atau orgnisasi profesi. Misalnya harus ada sekretariat. Kalau diparpol nuansanya politik, jadi dalam pengelolaan partai juga politis, tidak professional seperti organisasi profesi atau perusahan. Jadi siapa yang berkuasa di kantor maka dialah yang berkuasa di partai. Jadi pengelolaan partai politik tidak bisa disamakan dengan organisasi lainnya. Karena karaterisktiknya sangat berbeda, mereka dapat transparan di kelompok mereka, tetapi belum tentu dengan orang di luar mereka. Selain hal tersebut yang mengakibatkan penurunan perolehan suara parpol, pola kaderisasi juga merupakan salah satu penyebabnya. dimana sedikit sekali parpol mempunyai sistem dan mekanisme perekrutan dan kaderisasi, dari beberapa parpol Islam yang kelihatan lumayan baik hanya PKS, dimana bentuk kaderisasi dilakukan melalui pengajianpengajian. Bila di lihat dari anggota PKS yang anggotanya hanya 105-110 ribu dan mereka dapat perolehan suara melebihi jumlah keanggotaan yang ada, menyangka suatu hal yang luar biasa. Ini suatu bukti bahwa dengan berkomunikasi melalui pengajian, dan tercatat dengan dibuktikan melalui kartu keanggotaan dapat menciptakan kader-kader kedepan, sehingga parpol tidak mengalami krisis kaderisasi. Tidak hanya itu saja, parpol Islam juga harus membangun image dan jaringan yang bagus. Biarpun jaringan bagus tetapi image jelek, juga akan berpengaruh terhadap orang yang akan memilih. Parpol Islam cenderung imagenya kurang positif dimata masyarakat, karena dianggap berprilaku sama saja dengan parpol non Islam. Dalam sosialisasi image parpol Islam juga sangat lemah, image positif seharusnya diketahui oleh media. Parpol Islam sangat lemah melakukan pencitraan diri yang dipublikasi oleh media. Padahal dalam partai harus ada yang mengurus image untuk 305 membentuk opini publik agar parpol dan orang-orangnya mempunyai nilai positif dimata masyarakat. Selain itu, parpol juga sering menjanjikan programprogram mereka, tetapi apakah mereka tetap konsisten untuk menepati janjinya setelah mereka terpilih? Ini juga dipertanyakan umat. Jadi ada unsur ketidak percayaan umat pada parpol Islam, sehingga partisipasi masyarakat tehadap parpol Islam juga kurang, apalagi sampai ingin membantu dalam hal pendanaan. Masyarakat tidak mungkin mendanai partai karena sudah tidak jamannya. Masyumi besar dahulu karena dibiayai oleh Muhammadiyah, dll, karena jelas apa yang akan diperjuangkan untuk umat Islam, yaitu pertarungan ideologi, tetapi sekarang tidak mungkin. Masyarakat dan pengusaha juga melihat terlebih dahulu kalau ingin membantu parpol Islam. Mereka rugi atau tidak, apakah mereka membantu hanya membuang kotoran kelaut atau dapat menggarami laut. Pengusaha cenderung membantu partai besar, karena harapan untuk menang sangat besar. Ditambah lagi ada pemikiran segelintir orang apabila parpol Islam menang, maka maka akan menidirikan negara Islam. Hal ini sangatlah keliru, masyarakat tidak mungkin sampai berfikiran bahwa parpol Islam akan mendirikan negara Islam, tetapi kalau ingin menegakkan syari’at Islam mungkin saja bisa terjadi. Persoalannya masyarakat sudah tidak percaya dengan janji-janji parpol Islam untuk menegakkan syari’at Islam. Parpol Islam hanya janji dan slogan saja untuk menegakkan syari’at Islam, sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada parpol Islam. Kalau parpol Islam benar akan menegakkan syari’at Islam, kemungkinan 20%50% umat Islam akan memilih parpol Islam tersebut, apalagi mayoritas bangsa ini adalah beragama Islam. Katakanlah PPB berjanji 30% benar akan memperjuangkan syari’at Islam dan 306 itu benar-benar mereka perjuangkan, maka mungkin saja umat Islam 15% akan memilih parpol Islam tersebut dan PBB akan memperoleh suara dari 30% itu. Persoalannya masyarakat tidak percaya parpol Islam akan memperjuangkannya. Keinginan masyarakat untuk ditegakkan syari’at Islam masih sangat kental sampai saat ini, namun jumlahnya tidak banyak dan tidak mau demonstratif. Mungkin suatu saat ini akan muncul, contohnya cita-cita Muhammadiyah menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud syari’at Islam yang sesungguhnya. Anggota Muhammadiyah sangat banyak dan tersebar dimana-mana. Katakanlah yang berideologi seperti itu tidak banyak, tetapi sangat signifikan. Bahkan parpol non Islam/nasionalis mau membantu secara substansi, tetapi itupun bila tidak mengganggu kepentingan mereka, bila mengganggu mereka tidak akan mau. Adapun ide untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam diparlemen, biasanya mucul dari luar parlemen, misalnya didiskusikan terlebih dulu di MUI, parpol Islam punya anggotanya di MUI, sehingga di parlemen hanya kesepakatan saja. Kalau ingin menegakkan syari’at Islam parpol Islam seharusnya mempunyai performan partai dan profil pengurusnya yang berakhlak baik, tapi ternyata tidak, mereka sama saja dengan yang lain, masih mau menerima suap, berakhlak kurang baik. 2. Pandangan Pemimpin Majelis Ulama Indonesia Bahwa sejak beberapa tahun terakhir respon umat Islam terhadap parpol Islam sangat rendah, disebabkan partai Islam terpragmentasi keberbagai partai, jadi tidak menyatu dalam satu partai seperti waktu dulu pada tahun 1977 suara parpol Islam yang menyatu ke dalam PPP. Perolehan suara sangat signifikan dan menang dalam pemilu mengalahkan partai Golkar dan PDI. Kemudian pada era reformasi dibuka keran 307 kebebasan dalam bidang politik, ormas Islam yang dulu tidak mengurusi politik menjadi euphoria dan terjun kedunia politik. NU yang semula kembali ke khittah 1926 membentuk PKB, kemudian Muhammadiyah membentuk PAN, warisan Masyumi membentuk PBB. Akhirnya dengan euphoria itu kita bertanya, sebetulnya parpol Islam itu memperjuangkan apa? apabila ingin memeperjuangkan Islam seharusnya mereka bersatu, kalau seperti sekarang keadaannya parpol Islam baik yang berasaskan Islam maupun yang berplatform Islam lebih dominan memperjuangkan kepentingan kelompok. Bahkan karena merasa aspirasinya tidak terakomodir mereka pecah lagi mendirikan partai baru, PAN pecah menjadi Partai Matahari Bangsa (PMB), PKB pecah menjadi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Hal ini menunjukkan betapa ambisinya pemimpin Islam untuk menjadi pemimpin partai, sehingga lebih mengedepankan kepentingan individu dan kelompok bukan kepentingan untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam. Padahal umat semakin cerdas, jadi umat saat ini tidak selamanya menyalurkan aspirasinya kepada partai yang bersimbol ataupun berasaskan Islam, misalnya untuk memperjuangkan UU anti pornografi dan porno aksi, itu tidak selamanya melalui jalur partai Islam karena partai Islam minoritas. Bahkan melalui partai yang mayoritas di parlemen, seperti partai nasionalis. Pada saat ini pragmatisme telah melanda umat Islam, ketika partai-partai nasionalis menjanjikan materi kepada pemilih yang tadinya mempertimbangkan ideologi Islam, kini mereka telah menjadi luntur. Ideologi untuk menegakkan syari’at Islam yang menjadi perjuangan parpol Islam pada waktu lampau, saat ini sudah luntur menjadi pragmatisme. Sehingga yang menang pemilu atau pilkada bagi mereka yang 308 punya uang, ini sebuah realitas, jadi wilayah yang seharusnya menjadi medan perjuangan untuk umat menjadi terkooptasi karena kepentingan pragmatis sesaat. Di DKI mulai tahun 1999, terutama tahun 2004, kiyai-kiyai sudah diingatkan untuk tidak ramai-ramai menjadi anggota DPRD. Karena ketika para kiyai banyak yang terjun kedunia politik, mereka akan terpecah-pecah, terpragmentasi. Tapi karena masing-masing egois dan merasa punya pendukung umat, akhirnya mereka semua maju bertarung dalam pencalonan. Ketika maju suaranya terpecah, padahal kita ketahui bahwa untuk mendapatkan kursi harus dengan suara terbanyak. Jadi ketika para kiyai, para ustad merasa dirinya banyak pendukung dan yakin kalau akan menang, maka ketika maju malah kalah. Belakangan ini santri juga tidak ingin memilih para kiyai yang ada di parpol, karena menganggap para kiyai pragmatis. 3. Pandangan Pemimpin Nadhlatul Ulama Kalau dilihat dari prosentase suara yang diperoleh parpol Islam, ini menunjukkan bahwa parpol Islam kurang didukung oleh umat Islam. Perolehan suara parpol Islam yang ada saat ini berbanding terbalik dengan umat Islam yang mayoritas di Indonesia. Dalam sejarah, partai politik nasionalis selalu menang. Hal ini menunjukkan bahwa banyak umat tidak begitu suka membawa persoalan agama masuk ke arena politik. Melihat banyaknya parpol Islam saat ini, masyarakat beranggapan parpol Islam tidak bersatu, mereka hanya memunculkan egoisme masing-masing, sehingga tidak ada figur bagi tokoh Islam dalam bidang politik. Dalam persoalan ini, luput dari perhatian kita. Di NU saat ini sedang melakukan evaluasi, kenapa NU yang besar tidak mampu menghantarkan kader terbaiknya kepada pucuk pimpinan politik. Di DKI Jakarta, malah lebih parah, partai Islam yang eksis hanya PKS. Partai Islam sesungguhnya harus serius untuk memikirkan hal ini. 309 Selain itu, seharusnya para pemimpin parpol Islam menyadari, kenapa Parpol Islam ditinggalkan oleh umat. Hal ini dikarenakan ketidak mampuan parpol Islam menjual program yang menarik perhatian umat, parpol Islam hanya menjual ayat, hadis saja. Padahal umat lebih cerdas untuk menilai siapa yang mempejuangkan aspirasi mereka, ditambah lagi pendanaan dan manajemen parpol dalam mengurusi parpol sangat lemah. Padahal dana parpol Islam berasal dari umat, oleh karena itu mereka harus mampu menarik simpati umat kalau ingin mendapatkan dukungan dari umat. Apalagi terjun kedunia politik saat ini sangat mahal, karena semua pakai uang. Berbeda dengan dulu, parpol Islam sangat ideologis tanpa dibayar orang mau berjuang. Pada saat sekarang tidak ada uang, tidak ada kaos, tidak ada ongkos orang tidak mau berjuang untuk partai. Keadaan seperti ini merupakan kesalahan Golkar yang menjadi penguasa di republik selama ini. Dulu orang di didik Golkar dengan pola pendekatan memberi sesuatu, sehingga orang berfikir pragmatis dan orang mendukung karena diberi uang bukan karena benar-benar ingin memilih caleg tersebut, bahkan ada pemikiran dari para pemilih bahwa mumpung calegnya belum terpilih kita mintakan sesuatu sekarang kepada caleg tesebut, karena kalau sudah terpilih belum tentu mau memberi, dsb. Dalam pandangan pemimpin PW NU, faktor kaderisasi bukanlah penyebab perolehan suara parpol Islam menurun. Bagi partai yang berbasis Islam seperti NU dan Muhammadiyah tidak terlalu sulit untuk mencari kader partai, begitu juga seperti PKS. Adapun hal yang dapat mengakibatkan perolehan suara parpol Islam menurun dikarenakan tidak ada figur yang kharismatik dan di segani serta figur yang dapat menyatukan umat. Dulu PKB kuat 310 karena ada pigur tunggal, PAN juga begitu ketika ada Amin Rais, tapi sekarang tidak kuat karena sudah terpecah-pecah. Sehingga masa depan parpol Islam semakin suram, apabila tidak cepat berbenah. Apalagi kepercayaan kepada calon legislatif sangat menipis karena setelah menjadi anggota dewan kredibilitas mereka dipertanyakan karena kurang memperhatikan kepada rakyat yang memilih. Contoh: banyak UU yang dibuat para anggota dewan tetapi pada pelaksanaanya tidak konsisten. Mereka hanya memproduksi UU, persoalan UU tersebut dilaksanakan atau tidak, mereka sudah tidak ambil peduli. Seperti juga UU tentang lalu lintas, yang tidak terlalu serius dalam pelaksaannya. Dewan yang membuat UU terkadang terkesan masa bodoh dengan produknya sendiri. Ditambah lagi soal ketokohan, orang parpol tidak ada yang bisa jadi panutan, sehingga rasa memiliki umat terhadap parpol Islam menipis. NU dan yang lainnya mempunyai problem yang sama, masalah institusi dan faktor kepemimpinan. Pada saat sekarang figur dan imam di parpol Islam tidak jelas jadi tidak bisa dipanutin. Apalagi lagi sarana organisasi tidak memadai dan semakin menipis. Pada masa orde baru, kekhawatiran pemerintah mungkin saja ketakutan, apabila umat Islam menang ada anggapan akan mendirikan negara Islam, makanya parpol Islam dipecah belah biar tidak menjadi kekuatan politik yang besar pada masa itu. D. Pandangan Pemimpina Ormas Islam tentang Penurunan Suara Parpol Islam (PW Muhammadiyah, PW NU dan MUI) Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada ketiga pemimpin ormas Islam tersebut ternyata dalam kiprahnya, parpol Islam/berpaltform Islam tidak selamanya mewakili 311 kepentingan umat Islam secara signifikan. Bahkan parpol non Islam atau nasionalis, yang di dalamnya banyak terdapat orang Islam justeru yang banyak berjuang untk kepentingan umat Islam, demikian diungkapkan Farid Idris Nawawi dari PW Muhammadiyah, contohnya: adanya UU Perkawinan justru yang memperjuangkan adalah Partai Golkar, sehingga partai Golkar sebagai partai nasional dianggap justru mewakili kepentingan/aspirasi umat Islam pada saat itu. Lain lagi dengan proses dalam mewujudkan UU Perbankan, kecenderungan parpol untuk memperjuangkanya cukup banyak, karena selain substansi dan banyak yang akan memberi bantuan dana karena ada kepentingan didalamnya, sehingga dalam perolehan suara parpol Islam merosot dari tahun ketahun, coba lihat perbandingan perolehan suara parpol Islam di DKI Jakarta adalah PKB 4 suara tinggal 1 suara, PAN tinggal 4 suara, PKS agak stabil, PBB tidak dapat sama sekali suara, PPP tetap. Faktor penyebabnya karena partai Islam tidak mempunyai basis umat Islam yang kuat, tokoh parpolnya tidak mencerminkan tokoh Islam, di era demokrasi seperti saat ini mereka tidak mempunyai integritas seperti tokoh Natsir, kalaupun ada orang seperti Natsir saat ini maka dia akan tersingkirkan, mereka mau menerima sogokan. Kalau kita perhatikan sesungguhnya visi dan visi parpol Islam berdasarkan AD/ART mereka semua bagus, tetapi pada pelaksanaannya kurang pas. Dalam pengambilan keputusan ketika pembuatan UU untuk kepentingan umat Islam, parpol Islam terkadang bukanlah pencetus ide, bahkan pencetus idenya dari parpol nasionalis, namun perjuangan mereka untuk menjadikannya UU tetap saja ada walaupun tidak terlalu besar perjuangannya. Kader ormas keagamaan yang ada di berbagai parpol nasionalis justru yang menjadi 312 kekuatan terbesar untuk menyampaikan pesan moral agama melalui legislatif. Sehingga umat malas membantu parpol Islam karena dianggap kurang peduli dan kurang mau membantu rakyat miskin secara karya nyata. Begitupula dengan pengusaha-pengusaha muslim yang sukses tetap berpikiran apabila uang mereka masuk ke partai, maka calon legislatif atau partai yang dibantu harus menjadi anggota legislatif dan mendapatkan kursi, baru mereka mau membantu. Kalau mereka mau membantu secara ikhlas tanpa pamrih, sesungguhnya hampir tidak ada orang seperti itu saat ini. Umat Islam sedikit sekali yang memikirkan saudaranya yang lain. Katakanlah seperti umat Islam yang ada di Saudi Arabia, Pakistan, Iran, hampir tidak ada yang mau membantu untuk perjuangan parpol Islam di Indonesia, kalaupun ada paling PKS, itupun karena kebanyakan kadernya yang merupakan alumni dari Timur Tengah. Seharusnya kepentingan umat Islam paralel dengan kepentingan kelompok/individu, harus ada solusi untuk memparalelkan, dimana kepentingan umat tetap jalan dan kepentingan individu/kelompok juga tidak dirugikan. Kalau kita melihat komposisi umat saat ini, idealnya pada tahun 2014 partai Islam lebih menyatukan gerak langkah perjuangan dalam satu visi dan misi yang sama. Kalau tidak, maka kedepan parpol Islam akan semakin ditinggalkan umat. Umat/masyarakat semakin cerdas, ada juga masyarakat yang berfikiran tidak ada parpol Islam juga tidak menjadi persoalan, asalkan aspirasi umat Islam dapat diakomodir. Namun demikian, sebagian umat masih menginginkan parpol Islam itu harus tetap ada, Kalaupun harus ada cukup kosentrasikan saja parpol Islam yang lolos elektrol threshold, tidak perlu menambah yang baru. Kalaupun pada suatu saat nanti umat tidak menginginkan adanya parpol Islam sama 313 sekali, maka kita tetap yakin bahwa teman muslim yang berada di parpol yang nasionalis tetap menyuarakan suara Islam. harapan seperti itu dapat saja terwujud tergantung dengan dominasi atau tidak orang Islam berada di dalamnya atau penguasanya harus orang Islam yang komit terhadap kepentingan umat Islam. Hal terpenting untuk saat ini adalah bagaimana mensetting umat Islam yang komit terhadap kepentingan umat Islam menguasai pucuk dan menyebar di partai-partai besar yang tidak berasaskan Islam dan umat Islam menguasai pucuk pimpinan pada berbagai lembaga negara seperti MPR, DPR, Golkar, PDIP, dll. a. Pandangan Pemimpin Majelis Ulama Indonesia Pada saat ini orang tidak lagi melihat medan perjuangan umat Islam harus lewat parpol Islam. sebab ketika di dalam parpol nasional itu banyak orang Islam, mereka memperjuangkan kepentingan umat Islam, jadi tidak perlu dengan simbol partai Islam. Partai Islam namanya tetapi perilakunya tidak menunjukkan perilaku yang Islami, akhlaknya tidak dapat dipertanggung jawabkan, akhirnya orang melihat tidak ada istimewahnya untuk dipilih. Ketika dalam suatu kasus mereka mau menerima suap, maka apa bedanya dengan partai yang tidak bersimbol Islam. Pada hal, dalam hal pendanaan, parpol Islam sesungguhnya tidak kekurangan dalam menjalankan roda partainya. Dana mereka sudah sangat memadai tetapi karena keserakahan, kesempatan yang ada untuk berbuat curang, lemahnya pengawasan dan kontrol maka mereka yang semulanya baik, ketika masuk kedalam kondisi yang seperti itu terbawa arus dan akhirnya ikut larut. Sedangkan dari sisi kaderisasi partai Islam masih lemah sehingga berpengaruh pada penurunan suara parpol. 314 Selain itu, saat ini tidak ada tokoh parpol Islam yang disegani seperti dulu. Kalau dulu, umat yakin mereka itu ikhlas berjuang untuk membela agama, karena mereka tidak banyak mengambil keuntungan materi dalam berpolitik, kalaupun ada untuk perjuangan umat. Tidak seperti sakarang umat Islam yang berada di parpol Islam justeru bersikap hedonis, kecil sekali upaya memperjuangkan kepentingan umat. Selama ini, ada kekhawatiran bila parpol Islam menang maka umat Islam akan mendirikan negara Islam, sesung guhnya salah besar. Sekalipun parpol Islam menang tidak mungkin mereka akan mendirikan negara Islam. karena umat Islam ini memiliki beragam aliran, ada yang melakukan melalui pendekatan Kultural, ada yang tradisional, liberali, radikali dan nasionalis. Kalau kita perhatikan saat ini terlalu banyak partai Islam, sehingga perlu direduksi, karena tidak selamanya partai Islam memperjuangkan kepentingan umat Islam. Mereka senang konflik, akan lebih baik kalau ada satu parpol Islam saja, sehingga kekuatan umat menyatu. Dengan demikian, kontrol akan lebih bisa dilakukan, kesibukan parpol akan lebih tinggi. Orang Islam saat ini pesimis terhadap partai Islam? UU apakah yang sudah mereka perjuangkan untuk umat? Kalaupun ada, yang memilih partai Islam sangat minim, karena parpol Islam tidak akan memenuhi suara korum. UU Perkawinan saja kalau tidak didukung TNI/ABRI maka belum tentu berhasil. UU yang sudah ada, itu bukan semata-mata perjuangan parpol Islam, partai Islam tidak akan bisa menggoalkannya, karena jumlah mereka yang tidak signifikan di parlemen, pasti mereka akan kalah dalam pengambilan keputusan. Partai Islam sebaiknya hanya satu saja dan bila perlu ada kaukus umat Islam di legislatif, ada kepentingan bersama yang ingin 315 diperjuangkan. Karena kita tetap berkeyakinan umat Islam yang tersebar di berbagai partai nasionalis masih ada sentuhan kepada perjuangan umat Islam, bahkan mungkin lebih kental dari pada mereka yang berada di parpol Islam. Mereka dapat melakukan deal-deal politik untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam. Menyoroti perbandingan perolehan suara parpol Islam pada 2004-2009 semakin merosot dan malah parah, hampir semua turun. Ini terjadi lantaran umat sudah tidak respek lagi terhadap parpol Islam. Banyaknya Menteri bukan berarti dapat membantu perjuangan umat Islam diparlemen. Partai Demokrat biarpun bukan partai Islam, karena platform parpolnya Islam atau tokoh ormasnya Islam, mereka pasti masih mempertimbangkan kepentingan umat Islam. Pada saat sekarang tokoh parpol Islam tidak dapat dikatagorikan tokoh bagi umat tetapi tokoh kelompok, Karena daya rekat mereka lemah, wawasan keIslamannya terbatas, kemampuannya untuk menjangkau atau merangkul umat terbatas. Sehingga mereka hanya menjadi tokoh dikalangan kelompok mereka saja. Saat ini perjuangan parpol Islam itu kabur, perjuangannya hanya mengejar kekuasaan. Dalam kontek negara dan agama, sesungguhnya antara agama dan negara saling membutuhkan. Misalnya tentang Keluarga Berencana (KB), sebelum menyentuh masyarakat pemerintah/negara harus melalui pendekatan kepada ulama. Kalau ulama tidak menerima KB, maka program KB tidak akan jalan. mereka saling membutukan, saling menguntungkan. Seharusnya umat Islam bangga dengan adanya parpol Islam, tetapi pada kenyataannya mereka lebih memilih partai nasionalis. Di DKI semua sekretaris parpol nasionalis 316 dipegang oleh umat Kristen. Seharusnya dipegang oleh umat Islam. Parpol Islam harus tetap ada sebagi simbol keagamaan, kalau tidak nanti parpol Islam diisi oleh para koruptorkoruptor. Namun bila parpol Islam terlalu banyak, umat juga akan semakin bingung dan terpecah kosentrasinya, lagi pula bila banyak parpol tidak efisien terutama dalam pembiayaan, negara dirugikan hanya untuk membantu parpol walaupun jumlah bantuannya tidak banyak. Faktor yang menghambat parpol dalam meningkatkan suara parpol Islam antara lain karena sikap pragmatis mereka, sehingga mereka tidak dipilih umat. Dimana parpol Islam yang ada, sudah tidak seperti dulu yang jelas perjuangan ideologinya. b. Pandangan Pemimpin Wilayah Nadhlatul Ulama Parpol berlatar belakang agama kurang ukhuwah. Seharusnya parpol Islam satu saja, agar kekuatan parpol menyatu, atau kalaupun harus dua parpol Islam dengan pertimbangan karena ada dua kekuatan dominan ormas keagamaan terbesar yang dianggap representatif mempunyai basis kekuatan umat dan massa yang real yaitu Muhammadiyah dan NU. Parpol Islam saat ini mengalami kemerosotan, karena tidak ada figur yang dapat menjadi panutan dan menyatukan umat Islam, kalau dulu parpol Islam lebih menonjolkan figur dan ketokohan seorang pemimpin partai Islam. Ketika zaman orde baru parpol Islam dibonsai oleh pemerintah dan harus mengikuti maunya pemerintah. Saat reformasi ormas Islam yang tadinya sudah lama tidak terlibat dirana politik, justru mengalami euphoria kehidupan politik dan berlomba-lomba membentuk partai politik Islam. NU mencoba membentuk PKB, pada saat itu umat bersimpati tinggi terhadap PKB karena mau berjuang untuk kepentingan umat, sehingga memperoleh suara yang besar. Saat PKB akan 317 besar, ada pihak-pihak yang memecah belah PKB, pihak dari luar Indonesia seperti Amerika, atau dari luar partai lainnya yang tidak suka PKB menjadi besar, di tambah lagi terjadinya friksi-friksi internal yang mengakibatkan PKB terpecah, sehingga PKB saat ini tidak ada figur yang dapat dijadikan panutan umat. Akhirnya umat memilih partai yang dapat menyenangkan dirinya. Apalagi saat ini tokoh parpol Islam belum dianggap mewakili sepenuhnya aspirasi umat Islam. Parpol Islam juga dipertanyakan umat berkenaan perjuangannya untuk kepentingan umat Islam di legislatif, terutama dalam membuat dan mengambil keputusan tentang UU yang berpihak bagi kepentingan umat Islam. Contohnya UU tentang Perkawinan yang diperjuangkan oleh partai non Islam (Golkar). Dari ketidak jelasan perjuangan parpol Islam saat ini, ada asumsi di masyarakat bahwa apabila parpol Islam tidak ada, maka kepentingan untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam sangatlah gamang. Perjuangan sangat tergantung kepada siapa pemimpinya. Kalu pemimpinnya mempunyai komitmen yang kuat terhadap perjuangan umat Islam, maka diminta ataupun tidak dia akan memperjuangkannya. Tetapi bila komitmennya tidak kuat maka cerita soal perjuangan kepentingan umat Islam akan terabaikan. Berkenaan dengan adanya kaderisasi di berbagai parpol Islam, saat ini hanya PKS yang merupakan partai kaderisasi, namun demikian PKS merupakan partai yang tertutup dan sekaligus partai dakwah. Tertutup dalam artian pemimpin PKS mengakui adanya kebersamaan di antara para kader PKS tetapi di grass root kader partai ribut soal furu’iyah; PKS partai dakwah tetapi berdakwah untuk bagaimana umat ikut dengan dakwah mereka. Jadi tidak terbuka untuk umat yang lain. 318 Dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam khususnya masyarakat umumnya, diharapkan parpol Islam yang ada dilegislatif berjuang keras untuk menggoalkan kebijakan dan keputusan berkenaan RUU maupun UU. Namun dalam hal ini, perjuangan parpol Islam tidak begitu signifikan, walaupun kita pahami betapa sulit dan membutuhkan biaya yang cukup besar serta loby keberbagai unsur yang terkait dengan RUU maupun UU yang dimaksud, seperti RUU Pornografi dan Porno Aksi untuk menyelamatkan generasi bangsa, sangat berlarut-larut pembahasan dan memutuskannya. Bagaimana mungkin parpol Islam dapat menang dalam pengambilan keputusan di parlemen, kalau dalam perolehan suara pada pemilu legislatif baru-baru ini di DKI perolehan suara parpol Islam semakin parah, misalkan saja PKB dari 4 suara menjadi 1 suara, Gerindra partai baru dapat 6 kursi. PKB mengalami kemerosotan diakibatkan faktor internal, dimana figur Gusdur tidak bisa diabaikan begitu saja. PAN masih lumayan karena dibantu oleh calon legslatif artisnya yang mau bekerja sehingga dapat membantu perolehan suara. Suara PKS stabil, PBR dari 1 suara menjadi nol suara, PMB nol kursi. Kalau kita amati perkembangan partai politik Islam, PKS punya masa depan yang cukup baik, karena sumberdaya manusianya yang banyak berpendidikan tinggi. Khusus PKB yang mengalami kemerosotan yang cukup tajam, akibat friksi-friksi di tubuh PKB maupun NU sebagai basis kekuatan PKB. Kita ketahui NU sejak awal berdirinya bukan merupakan sebuah partai tetapi karena ada oknumoknum yang terpengaruh dengan arus yang ada, maka NU terlibat dunia keperpolitikan. Seharusnya NU dikembalikan pada khittahnya. Dengan NU maupun Muhamadiyah terjun di dunia politik umat terpecah-pecah, sehingga sekarang ini 319 tokoh bukan lagi menjadi tuntunan tetapi menjadi tontonan. Kalau betul ormas maupun partai Islam ingin menjadi besar tergantung dengan pencitraan mereka sendiri. Seperti PKS yang mampu memberikan pencitraan positif kepada umat. PKS menjadikan partainya sebagai partai peduli kepada umat Islam dan masyarakat umumnya, sehingga PKS mendapatkan simpati dari masyarakat. Kalau kita perhatikan keadaan parpol Islam saat ini, dalam mengemban visi dan misinya berdasarkan selera masing-masing, tidak betul-betul ingin memperjuangkan kepentingan umat yang lebih besar. Partai Islam lebih mementingkan pragmatisme, sehingga pihak luar dapat lebih mudah mengintervensi parpol Islam dan memecah belah partai. Ini dilakukan semata-mata demi kepentingan tertentu. Adapun keinginan sebagian umat untuk bersatu dalam satu partai sangat kuat tetapi sulit diwujudkan, karena semua mau jadi pemimpin. Persoalan lainnya adalah kepemimpinan ulama Islam tersebar tidak seperti syi’ah dan Katolik yang berada dibawah satu kepemimpinan. Konsep imamah kita tidak satu, kiyai NU bicara tentang sesuatu hal, tetapi kiyai yang berada di pelosok-pelosok belum tentu setuju, ini jadi rumit juga. Karena kepemimpinan umat Islam tidak bisa tunggal, sehingga apabila satu pemimpin Islam memfatwakan sesuatu, itu belum tetntu diikuti oleh umat Islam apalagi tokoh Islam lainnya. Hubungan antara agama dengan negara yang tidak relevan untuk dipertentangkan, karena antara agama dan negara saling berhubungan dan saling membutuhkan. Negara butuh mengatur warga dalam ketentuan perundangundangan. Umat membutuhkan negara untuk jaminan hidup dan perlindungan. Ketika perolehan suara parpol Islam menurun maka keterwakilan umat Islam di legislatif 320 menurun, sehingga perjuangan terhadap pembuatan, pengambilan keputusan dalam pembuatan UU juga semakin kecil. Bila suara parpol Islam kecil maka saat rapat di legislatif dan divoting maka suara parpol Islam kalah, kecuali dengan lobi-lobi politik yang kuat. Faktor yang mengahambat dalam peningkatan perolehan suara parpol Islam dikarenakan kurangnya ukhuwah di antara tokoh parpol Islam itu sendiri. Selain itu pemimpin parpol Islam tidak ada yang siap untuk dipimpin oleh yang lainnya, semuannya ingin menjadi pemimpin. Strategi kedepan adalah merapatkan barisan umat, menguatkan ukhuwah, menghindarkan hal-hal yang sifatnya khilafiyah dan bangun pencitraan yang positif untuk meraih simpati massa. Analisis dan Pembahasan Setelah mengamati apa yang diungkapkan ke tiga pemimpin ormas Islam (PW Muhammadiyah, PW NU dan MUI) seperti dideskripsi diatas, menunjukkan bahwa ada kecenderungan yang sama dalam memandang penyebab penurunan perolehan suara parpol Islam yang berdampak pada semakin sedikit perwakilan parpol Islam di parlemen. Ketiga pemimpin ormas Islam mempunyai pandangan yang sama bahwa kiprah parpol Islam dan parpol berbasis Islam saat ini sama saja dengan partai politik lainnya yang ada di parlemen, tidak ada perbedaan menonjol terutama dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. Bahkan setelah reformasi partai Islam dan partai berplatform Islam melahirkan hal-hal yang pragmatis, hanya memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok. Hal ini sangat berbeda sekali dengan partai Islam tempo dulu yang memperjuangkan ideologi, memperjuangkan kesejahteraan rakyat/umat. Kehadiran parpol Islam seperti PKS, PBB, PAN dan PKB yang dianggap sebagian kalangan merupakan pragmentasi 321 parpol Islam tahun 1955-an seperti Masyumi, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Perhimpunan Tarbiyah Islamiyah, Serta Partai Persatuan Tharekat Indonesia yang tokoh-tokoh pendirinya berasal dari tokoh-tokoh ormas sosial keagamaan. Tokoh-tokoh yang berlatar belakang agama tersebut menjadi harapan yang sangat besar di mata umat, kehadiran mereka diharapkan dapat memberikan warna dan nuansa religius dalam berbagai kegiatan partai politik. Namun harapan tersebut tidak selamanya dapat terwujud sesuai dengan harapan umat Islam, Partai politik tidaklah sama dengan ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, MUI, dll. Dimana tokoh ormas keagamaan lebih berkosentrasi dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan, sedangkan partai politik cenderung berpikiran pragmatis, bermuatan politis, tendensius, bersifat pamrih sehingga banyak politisi berlatar belakang agama yang terjebak pada memperjuangkan kepentingan sesaat. Menurut Imam Yahya, politisi berlatar agama saat ini pada gilirannya menggiring kearah logika kekuasaan (the logic of power) yang cenderung kooptatif, hegemonik dan korup. Akibatnya kekuatan logika (the power of logic) yang dimiliki tokoh agama, seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan pengabdian menjadi sirna. Selain itu, sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa dunia politik itu penuh dengan ”kekotoran”, hal ini dikarenakan para politisi tidak menjunjung tinggi etika politik dan perilaku politik dengan cara yang baik dan santun. Sedangkan tokoh agama dianggap sebagai penjaga moralitas umat yang dapat memberikan uswah/contoh keteladanan bagi umat dalam masyarakat. Sehingga wajar kalau beberapa kalangan menginginkan agar tokoh agama tidak berpolitik demi menjaga kemuliaan dan keluhuran moral serta tugas mulia para kiyai sehingga tidak terkontaminasi dalam kolaborasi perpolitikan yang kurang terpuji. 322 Berpolitik dan berdakwah bagi kiyai sama pentingnya. Namun akan menjadi dilematis bagi tokoh agama bila dalam waktu bersamaan menjalani tugas sebagai pemimpin parpol. Tokoh agama harus melakukan perannya sesuai dengan posisi dan kedudukannya di partai politik yang cenderung penuh dengan ”kekotoran”. Sementara peran tokoh agama adalah menjaga amar makruf nahi mungkar. Kyai sebagai kontrol kepada masyarakat, sebagai pemberi solusi pemecahan permasalahan umat, sebagai panutan dan perekat umat dalam rangka menciptakan keharmonisasian dan integrasi bangsa. Namun pada kenyataannya, terungkap dari yang disampaikan ketiga pemimpin ormas Islam tersebut di atas bahwa para tokoh parpol yang notabenya adalah kebanyakan tokoh agama dan berlatar belakang keagamaan tidak mencerminkan sikap yang menjunjung tinggi moralitas tersebut. Bahkan ada beberapa tokoh parpol Islam yang terlibat kasus amoral, korupsi, sehingga menghantarkan mereka ke dalam bui (penjara). Hal ini sangat tragis dan sangat mencoreng serta merusak pencitraan tokoh maupun parpol Islam secara kelembagaan di mata masyarakat/umat. Menurut Ridwan Lubis, kekalahan partai-partai Islam disebabkan antara lain oleh, pertama, penampilan partai-partai Islam kurang meyakinkan. Umat Islam ragu terhadap partaipartai Islam, apakah mampu menjalankan politik secara etis. Keraguan ini disebabkan oleh penyebarannya perjuangan Islam ke dalam banyak parpol. Kedua, terjadinya konflik dikalangan tokoh-tokoh Islam8. Ditambah lagi kepemimpinan partai belum mampu memfungsikan partai sebagai medium 8 Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama. Hal.176. Departemen Agama RI. 2005. 323 artikulasi kepentingan umat Islam, demikian diungkapkan Allan A Samson,yang dikutipoleh Din Syamsuddin9. Fenomena lainnya adalah sikap umat Islam Indonesia yang mampu menerima kehadiran gerbong politik dengan latar belakang agama yang beragam serta menerima manifestasi Islam yang beragam pula. Terbukti dukungan paling besar umat Islam tidak diberikan kepada organisasi gerakaan Islam yang dianggap memperjuangkan diberlakukannya syari’at Islam di wilayah publik. Suatu hal yang wajar karena pengaruh modernisasi, perubahan ekonomi, urbanisasi dan sejumlah faktor lainnya, ungkap Anas Urbaningrum10. Demikian pula banyak suara parpol Islam yang lari keparpol non Islam atau berbasis Islam dikarenakan berbagai faktor, menurut Dr. Lili Romli,11 larinya suara pemilih partai Islam ke Partai Demokrat dipengaruhi dua hal. Pertama, ketokohan SBY. Kedua, mesin diluar partai yang aktif bergerak di komunitas pemilih Islam, yaitu semacam ormas keagamaan Majelis Dzikir SBY Nurussalam (MDZ), lembaga ini tidak berada di dalam struktur Partai Demokrat, bahkan sudah lahir sebelum SBY jadi presiden, lembaga ini menjadi modal politik tersendiri di kalangan pemilih Islam. Seperti yang diungkapkan oleh ke tiga pemimpin ormas Islam di atas, bahwa parpol Islam atau yang berbasis Islam tidak mampu menawarkan berbagai program kegiatan yang 9 Din Syamsuddin. Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia dalam buku Problematika Politik Islam di Indonesia. Bunga Rampai. Editor Abuddin. Grasindo. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan UIN Jakarta Press, Jakarta. 2002.Hal. 28. 10 Anas Urbaningrum, Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Indo Pos, 04 Februari 2007 11 Lili Romli, Direktur Puskopal UI. Parpol Islam Diminta Untuk Poros Tengah. Republika Newsroom, 11 Desember 2008. 324 dapat menampung aspirasi dan keinginan umat Islam, bahkan program yang dilakukan cenderung sama dan tidak ada bedanya dengan partai non Islam. Sehingga pemilih Islam akhirnya memilih partai lain yang dapat menampung aspirasi mereka. Pendapat ketiga pemimpin ormas Islam tersebut seiring dengan ungkapan Syaiful Mujani12, yaitu selama partai Islam atau partai berbasis ormas Islam tidak melakukan proses revitalisasi terhadap program dan kinerjanya, maka tidak akan terjadi perubahan politik secara signifikan. Seharusnya parpol Islam melakukan adaptasi dan reorientasi sesuai de ngan kecenderungan umat yang lebih plural dalam orientasi politik publik. Lebih lanjut beliau mengungkapkan, bahwa banyak dari parpol Islam dan berbasis Islam mengusung isu Islam, tapi bagaimana aplikasi kebijakan ideologi Islamnya tidak jelas. Selain itu, kendati simpatisan dan aktivis sejumlah organisasi gerakan Islamis banyak yang berasal dari kaum terpelajar, bahkan tamatan universitas, mereka memiliki kendala dana. Ironisnya sumber-sumber keuangan utama di tanah air tetap dimonopoli kelompok-kelompok politik sekuler. Para aktivis itu, lanjut Syaiful Mujani, pada umumnya berasal dari lapisan menengah-bawah. Tidak jarang, mereka harus kompromi dengan kekuatan ”uang sekuler” untuk mendukung keberlangsungan organisasi mereka. Terutama, ketika mereka masuk ke arena politik yang lebih besar di tingkat nasional. Apa yang terjadi kemudian, bukanya Islamisasi, malah sekulerisasi kekuatan politik Islamis yang 12 Syaiful Mujani, Direktur Lembaga Survey Indonesia (LSI) dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Parpol Islam Bakal Terus Merosot. Jawa Pos. 5 Februari 2007. 325 mereka bangun sendiri. Contoh konkritnya adalah PKS dan PPP yang semakin sekuler. Karena itu transformasi platform dan orientasi program serta kebijakan menjadi kunci penting bagi partai Islam dan partai berbasis ormas Islam untuk menghindari keterpurukannya di hadapan publik, terutama untuk di masa depan. Sekalipun kondisi parpol Islam atau parpol berbasis Islam tersebut mengalami kemunduran yang sangat signifikan di mata pemilih, terutama umat Islam, namun ketiga pemimpin ormas Islam tersebut tetap menginginkan tetap adanya parpol Islam secara kelembagaan, agar aspirasi umat Islam tetap dapat tersalurkan secara kelembagaan pula. Namun demikian, ketiga pemimpin ormas Islam tersebut menginginkan agar parpol Islam tidak terpragmentasi dan tersebar menjadi berbagai partai. Parpol Islam sebaiknya menyatu dalam satu parpol Islam atau dua parpol Islam saja, atau kalau ingin adil ada tiga parpol Islam saja yang sudah ada di optimalkan, sehingga konsentrasi umat tidak terpecahpecah dan tidak hanya terjebak pada persoalan politik saja, masih banyak lahan garapan lain yang harus menjadi perhatian para tokoh Islam, seperti dibidang ekonomi, sosial, budaya, HAM, kemanusiaan, dll. Banyak umat yang masih terlantar dan butuh perhatian. Menurut Din Syamsuddin kekuatan politik Islam yang tersebar dibanyak parpol hendaknya tidak menjadi titik lemah tetapi justeru menjadi kekuatan umat Islam pada ranah politik. Lebih lanjut ia menyampaikan, bahwa banyaknya parpol Islam selain berpotensi memecah belah umat Islam, juga dapat membawa kekalahan politik. Kalaupun ada parpol yang memperoleh tambahan suara karena mengambil suara saudaranya sendiri dari parpol Islam. Untuk itu kekuatan umat Islam harus menyatu, bila tidak maka kekuatan politik 326 Islam akan semakin melemah dan parpol Islam hanya menjadi penyerta arus kekuatan lain. Senada dengan hal tersebut, Alfan Alfian mengungkapkan bahwa telah terjadi pergeseran elit politik Islam pada pemilu 2009. Ego elit politik Islam sangat besar yang membuat perolehan suara parpol Islam tidak signifikan dan membuat kekuatan Islam terserak-serak. Ego politik Islam yang tidak membuat gerakan yang bersatu, tapi terpecah-pecah. Selain itu banyak muncul elit politik yang meminggirkan peran tokoh yang mengurusi khusus soal agama. Toko-tokoh Islam berpolitik ”semua” sehingga yang mengurusi agama semakin sedikit.13 Melihat fakta yang ada, dapat diasumsikan bahwa bila perolehan suara parpol Islam menurun maka secara otomatis perwakilan umat Islam di parlemen juga menjadi sedikit. Dengan jumlah perwakilan yang sedikit akan berpengaruh pada pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan undang-undang. Dari pendapat ketiga pemimpin ormas Islam tersebut di atas, dapat direkam bahwa perjuangan untuk mewujudkan peraturan perundang-undang yang mengatur kepentingan umat Islam dan terwujud dalam bentuk Undang-undang tidak akan tercapai bila tidak mendapat dukungan yang kuat dari parpol di luar parpol Islam. Ini terjadi dikarenakan suara parpol Islam di parlemen/DPR tidak signifikan. Kita ketahui, selama ini betapa sulitnya sebuah RUU untuk diputuskan di DPR, apa lagi bila RUU atau UU tersebut dianggap bernuansa agama. Masih kita ingat betapa beratnya RUU Perkawinan (1973) mendapatkan tantangan dari Fraksi 13 Alfan Alfian. Elit Politik Islam Jangan Egois. Harian Republika. 17 Juli 2008. 327 ABRI, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi PDI karena dianggap mengandung ketentuan-ketentuan yang bertentang an dengan hukum Islam. RUU tersebut disetujui setelah ketentuan-ketentuan yang kontroversial dihilangkan atas desakan kekuatan ekstra parlemen. Begitu juga dengan RUU Peradilan Agama (1988) yang beberapa fraksi di DPR keberatan dengan adanya RUU tersebut, berakibat juga pro dan kontra di luar DPR. Kesulitan untuk mewujudkan RUU menjadi UU terhalang kendala politik, maka KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang lahir dari keinginan untuk mewujudkan kesatuan dan kepastian hukum terapan Peradilan Agama dan merupakan produk Lokakarya (Februari 1988) yang disetujui oleh ulama Indonesia, disebar luaskan oleh Menteri Agama hanya berdasarkan Instruksi Presiden No.1 tahun 1991. Bentuk hukum Inpres ini merupakan sebuah terobosan baru, karena beratnya kendala politik untuk menjadikannya UU. Tahun 2006, ada lagi keinginan 56 anggota dewan yang meminta pemerintah mencabut perda yang disinyalir bernuansa syari’at Islam yang dimotori Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), dan kita ketahui dari 56 anggota dewan yang menginginkan dicabutnya perda-perda tersebut ada yang berasal dari PPP, walaupun pada akhirnya 134 anggota DPR beragama Islam mendukung terhadap perda bernuansa syari’at Islam tersebut. Ke 134 anggota DPR tersebut berasal dari FPPP 42 orang, FPKS 30 orang, FPAN 30 orang, FPBD 10 orang, FPG 6 orang, FPD 5 orang, dan FPKB 3 orang. Namun demikina, ada juga UU yang diajukan tidak mengalami hambatan dan berjalan lancar, seperti pada tahun 1988, diajukannya RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang merupakan RUU usulan inisiatif DPR. Tidak ada kontroversi mengenai RUU ini, karena mendapat dukungan dari semua 328 fraksi dan mendapat sambutan baik dari pemerintah. Begitu pula pada tahun 1999, pemerintah menyampaikan RUU pengelolaan Zakat. Semua fraksi di DPR menyambut positif RUU ini sehingga pembahasannya berjalan lancar. RUU pengelolaan zakat disetujui DPR pada tanggal 14 September 1999, disahkan dan diundangkan oleh Presiden pada 23 September 1999 menjadi UU No. 38tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat. Dari deskripsi pro dan kontranya proses perjuangan dalam pengusulan RUU tersebut di atas, secara fakta bahwa partai politik Islam tidak menunjukkan kemauan dan kemampuan untuk mengusulkan dibuatnya UU berkaitan dengan hukum Islam. Hal ini terlihat betap lemahnya kekuatan parpol Islam yang berada di parlemen yang diakibatkan rendahnya jumlah anggota parpol Islam yang terwakili di parlemen/DPR. Namun demikian, fakta juga yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya parpol non Islam tidak mempersoalkan substansi dari UU tersebut bila mengatur kepentingan dari salah satu umat beragama untuk mengatur keteraturan dan ketertiban dalam beribadah, seperti UU haji dan UU Pengelolaan Zakat yang disetujui semua fraksi di DPR dan berjalan lancar. Sehingga kita dapat mengatakan kondisi tersebut menunjukkan bahwa sikap parpol Islam/berbasis Islam hampir tidak ada bedanya secara signifikan dengan parpol non Islam memandang substansi produk sebuah UU sekalipun berkenaan dengan penyelenggaraan ibadah dalam suatu agama dan diberlakukan untuk agama tertentu. Namun bila UU tersebut dianggap isinya secara substansial mengarah pada kepentingan umum dan dianggap kontroversial maka akan menyulut api penolakan terhadap RUU tersebut. 329 330 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan D ari pendapat ke-3 (tiga) ormas Islam (Muhammdiyah, MUI dan NU), yang dideskripsikan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Menurunnya perolehan suara partai politik Islam di sebabkan faktor, baik internal maupun eksternal partai yaitu adanya friksi-friksi didalam partai;visi dan misinya tidak jelas, parpaol Islam saat ini sangat pragmatis, tidak ideologis; tidak adanya sistem kaderisasi yang mapan kecuali PKS; tidak jelasnya orientasi dalam memperjuang kan kepentingan umat, khusunya umat Islam; tidak adanya figur tokoh politik yang dapat merangkul dan menyatukan umat Islam, yang ada hanya tokoh kelompok saja; partai kurang dianggap sebagai wadah aspirasi umat Islam; Dalam memperjuangkan kepentingan umat Islam, cenderung dilakukan partai nasionalis, sehingga umat tidak merasa terwakili dalam parpol Islam; kurangnya ukhuwah di antara pemimpin parpol Islam; Kurangnya pencitraan positif yang dipublikasikan lewat media massa. 2. Ada keinginan bahwa parpol Islam bergabung menjadi hanya satu atau dua parpol Islam saja atau cukup mengosentrasikan pada parpol Islam yang sudah ada dan lolos elektrol treshold agar potensi dan kosentrasi umat tidak terpecah belah; ada signifikasi yang cukup tajam 331 antara perolehan penurunan suara parpol Islam dengan pengambilan keputusan parpol Islam di legislatif, bila perolehan suara parpol Islam kecil secara otomatis jumlah wakil parpol Islam di legislatif juga kecil, maka saat rapat dilegislatif dan di voting maka suara parpol Islam kalah. masyarkat menginginkan kehadiran wakilnya di legislatif betul-betul representasi mewakili umat Islam yang mampu berjuang untuk kepentingan umat Islam teraktualisasi dalam bentuk Perda, RUU maupun UU yang bercirikan nilai-nilai ajaran agama Islam di legislatif (DPRD/DPRD); tidak adanya dikotomi antara negara dan agama, antara agama dan negara saling membutuhkan dalam kehidupan berbagsa dan negara. Dalam mewujudkan UU yang menyangkut kepentingan keagamaan (khusunya Islam) tidak ada perbedaan yang signifikan antara partai-partai yang berbasis/ideologi agama dengan yang bukan. Semua partai tidak mempersoalkan substansi UU sebagai diskriminasi kepada elemen-elemen bangsa. Karena semua parpol pada akhirnya menyetujui lahirnya UU. B. Rekomendasi 1. Parpol Islam perlu bercermin lebih dalam atas kekagalannya dalam meningkatkan perolehan suara di legislatif dengan cara berbenah diri dengan mengambil startegi dan langkah-langkah yang tepat, mencari simpati umat; merubah orientasi pragmatis menjadi ideologis memperjuangkan kepentingan umat Islam; membangun citra positif di masyarakat; menyatukan dan merangkul umat; memunculkan figur tokoh politik yang dapat diterima semua kelompok dan golongan; 332 2. Parpol Islam mempertimbangkan keinginan umat untuk mengkonsentrasikan diri dan melebur dalam satu, dua wadah parpol Islam atau kosentrasi dan memperkuat parpol yang ada agar potensi umat yang ada menjadi kekuatan yang besar; meningkatkan jumlah suara parpol Islam di legislatif agar dapat menjadi pelopor dan garda terdepan dalam pengambilan keputusan dalam pembuatan Perda, RUU, UU, dan lain-lain yang bercirikan nilainilai Islam untuk kepentingan umat yang lebih besar; sebagai parpol yang mampu menyatukan umat dalam memahami tidak adanya dikotomi antara agama dan negara melalui jalur politik. Kementerian Agama tidak perlu khawatir tidak akan mendapatkan dukungan politik dalam mengusulkan RUU berkenaan kepentingan kehidupan umat beragama kepada DPR, sekalipun di DPR perolehan suara parpol Islam cukup lemah, namun parpol non Islam lainnya tetap akan mendukung bila secara substansial RUU yang diajukan betul-betul untuk ketertiban dan keteraturan umat dalam menyelenggarakan ibadah dalam kehidupan keagamaannya, seperti UU Haji dan UU Pengelola Zakat. 333 334 DAFTAR PUSTAKA Alfian, Alfan. Elit Politik Islam Jangan Egois. Harian Republika. 17 Juli 2008. Hasil penghitungan suara sah parpol peserta pemilu dalam pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2009, Media Center Komisi Pemilihan Umum Heriyanto, Slamet. Islam, Parpol, Pemilu 2004. http.www. wikipedi. 02 Nopember 2006. Karim, M Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983. Kartono, Kartini, Pemimpin dan Rajagrafindo, Jakarta. 2004. Kepemimpinan, PT. Kirbiyanto, Pergulatan Ideologi Partai Politik di Indonesia: Nasionalisme-Islamisme, Komunimisme_Militerisme, Golden Terayon Press, Jakarta, 2009. Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemilu Legislatif 2004. Tanpa Penerbit. 2005. Lubis Ridwan, Cetak Biru Peran Agama. Departemen Agama RI. 2005. Majalah Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia. No.7 Tahun ke1, September 2008. Dakwah. Mujani, Syaiful, Parpol Islam Bakal Terus Merosot. Jawa Pos. 5 Februari 2007. Mufid, Syafi’i. Departemen Agama dan Upaya Menjaga Equilibrium Bangsa, dalam buku Diskriminasi Disekeliling Kita: negara, Politik, dan Multikulturalisme. Institut DIAN/Interfidei. 2008. 335 Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, Penerbit Mizan. 2000. Romli, Lili. Parpol Islam Diminta Untuk Poros Tengah. Republika Newsroom, 11 Desember 2008. Syamsuddin, Din. Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia dalam buku Problematika Politik Islam di Indonesia. Bunga Rampai. Abuddin (Ed). Grasindo. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia bekerjasama dengan UIN Jakarta Press, Jakarta. 2002. Urbaningrum, Anas. Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Indo Pos, 04 Februari 2007 Winardi, Kepemimpinan dalam Manajemen, PT. Rineka Cipta. 2000. W. Michel dan NH. Michel, Essentials of Psychology (New York : Random House, Inc, 1980), p. 81 Subyakto, Psychology Sosial (Jakarta: Haruhita, 1988, h. 23 336 ANALISIS KEBIJAKAN WALIKOTA DEPOK TENTANG PENCABUTAN IMB RUMAH IBADAT DAN GEDUNG SERBAGUNA HKBP PANGKALAN JATI, GANDUL, KECAMATAN LIMO-KOTA DEPOK TAHUN 2009 Oleh: Ahsanul Khalikin ANALISIS KEBIJAKAN WALIKOTA DEPOK TENTANG PENCABUTAN IMB RUMAH IBADAT DAN GEDUNG SERBAGUNA PANGKALAN JATI, GANDUL KECAMATAN LIMO – KOTA DEPOK TAHUN 2009 Ahsanul Khalikin BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang U ndang-undang Dasar Tahun 1945 memberikan kepada "semua orang, hak untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masingmasing" dan menyatakan bahwa "negara adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Pemerintah secara umum menghormati kebebasan beragama. Kasus konflik keagamaan di seputar keberadaan rumah ibadat masih banyak terjadi pada tahun 2008. Dalam catatan riset Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) disebutkan setidaknya terdapat 12 kasus yang menyangkut masalah keberadaan rumah ibadat sepanjang tahun 2008. Kasus-kasus yang senyatanya terjadi bisa lebih dari jumlah itu.1 Menyangkut ijin pendirian rumah ibadat, pada tahun 2006 Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri telah 1 Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Center for Religious and Crosscultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2008, Diterbitkan pada Desember 2008, p. 3. 337 mengeluarkan Peraturan Bersama (PBM) yang antara lain mengatur ijin pendirian rumah ibadat. PBM di masa depan diharapkan bisa lebih memberi kepastian hukum bukan saja mengenai syarat-syarat apa yang harus dipenuhi masyarakat, tapi juga pemberian jaminan keamanan terhadap keberadaan rumah ibadat –terutama terhadap kelompok minoritas di suatu daerah yang rentan konflik— dan kebebasan pemeluknya untuk beribadah. Selama ini, di beberapa daerah pemerintah dan polisi masih terlihat gamang memberikan jaminan perlindungan keamanan bagi pembangunan rumah ibadat – bahkan yang telah berijin, terutama jika ada ancaman kekerasan dari kelompok yang tidak bisa menerima pluralisme.2 Dalam ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang disebut (PBM) tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat Bab IV Pendirian Rumah Ibadat Pasal 13 dijelaskan: ayat (1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguhsungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Ayat (2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak 2 Ibid. 338 terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau propinsi.3 Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat dalam ketentuan PBM dijelaskan bahwa; Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung (Pasal 14 ayat 1).4 Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 3. b) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepada desa. c) Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota; dan d) Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 14 ayat (2)].5 Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban 3 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, Cet. Kedua, 2006. p. 48 4 Ibid, p. 49 5 Ibid. 339 memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat [PBM, Pasal 14 ayat (3)]. Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis [PBM, Pasal 15].6 Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat [PBM, Pasal 16 ayat (1)]. Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (Sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) [PBM, Pasal 16 ayat (2)].7 Berdasarkan ketentuan persyaratan pendirian rumah ibadat PBM Pasal 15 tersebut, ternyata Walikota Depok yang telah menerbitkan Surat Keputusannya nomor: 645.8/144/ Kpts/Sos/Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009 tentang Pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP di Jalan Pesanggrahan, Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, tidak sesuai dengan rekomendasi tertulis dari FKUB Kota Depok. SK tersebut menjadi kontroversial dan mendapat protes dari pihak Jemaat HKBP Pangkalan Jati Gandul, dan akhirnya berbuntut gugatan ke PTUN Propinsi Jawa Barat. Realitas ini oleh sekelompok masyarakat dipandang belum mencerminkan visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Depok 2006-2011, antara lain; adanya kondisi sosial budaya Kota Depok yang sudah mengarah pada budaya metropolis yang multi etnis dan agama. Karena itulah, peneliti merasa tertarik untuk 6 7 340 Ibid,p. 50 Ibid. mengetahui lebih mendalam Kebijakan Walikota Depok (Ir. Nurmahmudi) mengeluarkan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKPB Pangkalan Jati Gandul tertanggal 13 Maret 2009. Masalah Penelitian Dalam permasalah ini penelitian difokuskan pada "Kebijakan Walikota Depok tentang pencabutan IMB rumah ibadat Gereja HKBP Cinere Kec. Limo – Kota Depok". Adapun fokus permasalahan tersebut, perlu dirumuskan dalam beberapa masalah, yaitu; 1. Apakah kebijakan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok sesuai dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006. 2. Apakah dasar pertimbangan Walikota Depok mencabut IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini, maka tujuan penelitian ini ingin; 1. Mengetahui status kebijakan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok dilihat dari sudut pendekatan peraturan UU No. 32 Tahun 2004, Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006. 2. Mengetahui dasar pertimbangan Walikota Depok tentang pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. 341 Hasil Penelitian ini akan bermanfaat untuk; 1. Penulis dan pembaca mengetahui secara jelas alasan historis dan yuridis terjadinya kasus pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan jati Gandul. 2. Aparat setempat, tokoh agama dan masyarakat, serta warga masyarakat; dapat memahami perundang-undangan dan PBM, sehingga tidak terjadi konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. 3. Pemerintah Kota Depok; sebagai bahan alternatif dalam melakukan solusi yang harus dilakukan terkait dalam kasus pecabutan IMB rumah ibadat. 4. Depag, Depdagri dan majelis-majelis agama; bahan pertimbangan membantu pemerintah daerah guna membenahi, dan menyusun peraturan daerah yang terkait dengan IMB Rumah Ibadat. Kerangka Pikiran Terbitnya Surat Keputusan (SK) Walikota Depok nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009 tentang Pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP di Jalan Pesanggrahan, Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, menjadi dasar gugatan pihak Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pangkalan Jati Gandul, yang didampingi kuasa hukum Junimart Girsang SH. Langkah yang dilakukan adalah menggugat Wali Kota Depok ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Gugatan pihak Jemaat HKBP itu terdaftar No.23/G/2009/PTUN-BDG, dan PTUN Bandung akan melakukan pemeriksaan pendahuluan hingga 14 hari ke 342 depan, dimana sekarang ini sedang dalam proses sidang di Pengadilan. Selama ini, pihak HKBP masih mengantongi IMB tertanggal 13 Juni 1998 ditandatangi Sekretaris Wilayah Daerah (Setwilda) Bogor Drs. H. Dadang Soekaria, AK, dan saat itu Depok masih menjadi bagian wilayah Bogor. Namun setelah 10 tahun bersamaan berdirinya Kota Depok, Wali Kota Depok Ir. Nurmahmudi mengeluarkan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKPB Pangkalan Jati Gandul tertanggal 13 Maret 2009. Menurut pihak Jemaat HKBP melalui kuasa hukumnya Junimart Girsang secara hukum mereka tidak melanggar ataupun mengaibakan ketentuan Peraturan Daerah (Perda) nomor: 3 tahun 2006 tentang ketentuan Bangunan dan Retribusi, tapi kenapa Pemkot Depok justru mencabut IMB.” Pengajuan gugatan sengketa ke PTUN Bandung, diakui Junimart Girsang, untuk mendudukan permasalahan yang sebenarnya. Jemaat HKPB Pangkalan Jati Gandul keberatan dengan keputusan administrasi dari Walikota dan menuntut untuk membatalkan SK pencabutan tersebut karena tidak ada alasan yang jelas secara hukum. Sementara itu, Walikota Depok Ir. Nurmahmudi, dalam surat keputusannya menyatakan pembangunan gedung milik HKBP Pangkalan Jati Gandul tidak dapat terselesaikan karena terjadi penolakan oleh warga di sekitar lokasi. Pencabutan izin ini ditujukan untuk menghindari kembali terjadinya konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan. Walikota Depok yang telah menerbitkan Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serba guna HKBP Pangkalan Jati Gandul, menjadi menarik untuk dilakukan penelitian. Karena dalam ketentuan persyaratan pendirian rumah ibadat 343 Walikota Depok seharusnya mempertimbangkan rekomendasi tertulis dari FKUB Kota Depok untuk dilanjutkan pembangunannya sesuai keputusan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, yang dituangkan dalam bentuk tertulis [PBM Pasal 15]. A. Kerangka Teori 1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan (policy) menurut asal kata adalah diturunkan dari bahasa Yunani Polis yang artinya kota (city).8 Dapat ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintah yang mengarahkan untuk mengelola kegiatannya. Secara terminologi, definisi kebijakan adalah berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka mengejar tujuannya”.9 Definisi lain dijelaskan oleh Gamage dan Pang, bahwa :”kebijakan adalah terdiri dari pernyataan tentang sasaran dan satu atau lebih pedoman yang luas untuk mencapai sasaran tersebut dapat dicapai yang dilaksanakan bersama, memberikan kerangka kerja bagi pelaksanaan program”.10 Kebijakan (policy) adalah keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.11 Bogue dan Saunders,12 menyimpulkan bahwa 8 William G. Monahan and Herbert R. Hengst, Contemporery Educational Administration (New York:Macmillan Publishing, Co,Inc.1982), p.223. 9 Ibid, p.224. 10 David Thenuwara Gamage and Nicholas Sun-Keung Pang, Leadership and Management in Education (Hongkong:The Chinese University Press, 2003),p.171. 11 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik ( Jakarta: Suara Bebas, 2006),p.17. 344 kebijakan adalah menjelaskan sasaran umum organisasi berisikan alasan bagi eksistensi dan menyediakan arah pembuatan keputusan bagi pencapaian sasaran”. Berdasarkan pendapat pendapat pertama kebijakan berarti seperangkat tujuan-tujuan, prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing sesuatu organisasi. Demikian mencakup keseluruhan petunjuk organisasi”. Pendapat kedua, lebih cenderung pada pemahaman kebijakan adalah hasil keputusan manajemen puncak yang dibuat dengan hati-hati yang intinya berupa tujuan-tujuan, prinsip dan aturan-aturan yang mengarahkan kegiatan orang dalam organisasi. Sedangkan pendapat ketiga mempertegas bahwa kebijakan menekankan sifatnya yang bersumber dari pemerintah dan untuk semua orang. Pendapat keempat lebih mengacu kepada hakikat kebijakan sebagai petunjuk dalam organisasi. Berdasarkan pendapat di atas disimpulkan bahwa kebijakan adalah hasil pengambilan keputusan oleh manajemen puncak berupa tujuan, prinsip dan aturan berkaitan dengan hal-hal strategis untuk mengarahkan para manajer dan personil menentukan masa depan organisasi. Keputusan yang disebut kebijakan adalah keputusan strategis yang berfungsi menjadi patokan pelaksanaan manajemen . Istilah “public” dalam rangkaian kata “public policy” mengandung tiga konotasi, yaitu: pemerintah, masyarakat dan umum. Spektrum pemaknaan ini adalah mencakup subyek, obyek, dan lingkungan dari kebijakan.13 12 E.G Bogue and Robert L. Sauders, The Educational Manager: Artist and Practitioner (California: Wardsworth Publishing Company, 1976), p.128. 13 Said Zainal Abidin,op.cit.p.22. 345 Pemaknaan di atas sejalan dengan definisi yang diajukan Newton dan Tarrant, bahwa kebijakan seringkali merupakan garis besar dari kerangka kerja resmi dari pemerintah dan menyatakan bagaimana suatu organisasi melaksanakan tanggung jawabnya. Kebijakan dapat secara resmi tersuarakan dan terbagi pada satu manajemen atau level politik”.14 Dengan demikian, kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah yang dengan kewenangannya dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Kebijakan publik sebagai apa yang dihasilkan pemerintah dapat merupakan kebijakan umum, kebijakan teknis, dan kebijakan operasional pada tingkat yang paling rendah pada organisasi pelaksana. Terkait dengan ketentuan PBM, sebagian warga masyarakat memang ada yang mempertanyakan mengapa masalah agama diatur oleh pemerintah, bukankah itu merupakan bagian dari kebebasan beragama.15 Dalam Peraturan Bersama ini dijelaskan bahwa yang diatur oleh Peraturan Bersama ini bukanlah aspek doktrin agama yang merupakan kewenangan masing-masing agama, melainkan hal-hal yang terkait dengan lalu lintas para pemeluk agama yang juga warga negara Indonesia pemeluk agama lain dalam mengamalkan ajaran agama mereka. Karena itu pengaturan ini sama sekali tidak mengurangi kebebasan beragama yang disebut dalam Pasal 29 UUD 1945. Beribadat dan membangun rumah ibadat adalah dua hal yang berbeda. Beribadat adalah ekspresi keagamaan seseorang kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan membangun rumah ibadat adalah tindakan yang 14 Colin Newton and Tonny Tarrant, Managing Change in Schools (London: Routladge, 1992), p.125. 15 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, loc cit, p. 8 - 9 346 berhubungan dengan warga negara lainnya kepemilikan, kedekatan lokasi, dan sebagainya.16 karena Karena itu maka prinsip yang dianut dalam Peraturan Bersama ini ialah bahwa pendirian sebuah rumah ibadat harus memenuhi peraturan perundang-undangan yang ada, kemudian dalam waktu yang sama harus tetap menjaga kerukunan umat beragama dan menjaga ketentraman serta ketertiban masyarakat. Inilah prinsip sekaligus tujuan dari Peraturan Bersama ini. Tentu saja Peraturan Bersama ini dari segi yuridis formal tidaklah sekuat undang-undang, karena setiap peraturan memang pada dasarnya adalah lebih rendah dari pada peraturan perundangan yang ada di atasnya. Tetapi kehadiran sebuah PBM tidaklah dilarang dalam sistem peraturan perundangan di Indonesia.17 Peraturan Bersama ini juga menghilangkan keraguan sementara orang yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah tidak mempunyai kewenangan dan tanggung jawab di bidang kehidupan keagamaan, sebagaimana dipahami sepintas dari Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Subtansi Peraturan Bersama ini secara tersirat menegaskan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan pemerintah pusat di bidang agama adalah pada aspek kebijakannya. Sedangkan pada aspek pelaksanaan pembangunan dan kehidupan beragama itu sendiri tentu saja dapat dilakukan oleh semua warga masyarakat Indonesia di seluruh tanah air termasuk oleh pemerintahan daerah. Lebih jauh bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah bagian penting dari pembinaan kerukunan nasional yang menjadi tanggung jawab kita semua.18 Ibid. Ibid. 18 Ibid. 16 17 347 2. Fungsi kebijakan Hakikat kebijakan adalah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan, maka format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan untuk dipedomani oleh pimpinan, staf dan personil organisasi, serta dalam proses interaksinya dengan lingkungan eksternal. Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (Policimaking) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem”.19 Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan. Sebagai pernyataan verbal atau tertulis atau tersirat dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh pimpinan sebagai garis besar tindakan organisasi, maka kebijakan merupakan produk keputusan. Kebijakan memberikan kontribusi sebagai: (1) pedoman untuk bertindak, (2) pembatas perilaku, dan (3) bantuan bagi pengambil keputusan”.20 Keberadaan kebijakan adalah penting sebagai pedoman perilaku dalam berbagai aktivitas strategis organisasi pemerintah pada level puncak, menengah, dan rendah. Pada level puncak pemerintah mengeluarkan Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan pemerintah, keputusan menteri, peraturan daerah, dan pada 19 John Thomas Thompson, Policymaking in American Education (New Jersey: Englewood Cliffs, 1976), p.31. 20 Aris Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan (Jakarta: Buletin LPMP, No.9, 1995),p.7. 348 tingkat operasional keputusan Dinas-Dinas, dan pengaturan operasional pada level organisasi pelaksana. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 3. Jenjang Kebijakan Kebijakan adalah cara terstandar berpikir tentang dan melakukan sesuatu. Kebijakan memberikan bagi keseragaman perlakuan/tindakan terhadap masalah-masalah dan orang dalam organisasi. Penyimpangan dari kebijakan bisa mengarah kurangnya efisiensi. Mungkin dalam hal biaya lebih dan kurang efektif. Suatu kebijakan adalah pernyataan umum yang dirancang untuk mengarahkan pemikiran seseorang tentang membuat keputusan dalam organisasi. Secara khusus kebijakan adalah suatu pengertian tugas dari tindakan untuk diikuti atas keadaan tertentu. Kebijakan nampak seringkali hanya dilaksanakan daripada sengaja tertulis langsung. Kebijakan adalah produk pengambilan keputusan strategis. Sebagai keputusan strategis maka jenjang kebijakan dihubungkan dengan jenjang manajemen, yaitu: a) Manajemen Puncak. Kebijakan yang disusun oleh jenjang ini berasal dari hampir semua sumber. b) Manajemen Menengah. Kebijakan yang ditetapkan jenjang ini cenderung mengikuti perintah atau referensi dari manajemen puncak atau manajemen menengah.. 349 c) Manajemen Operasi. Kebijakan yang ditetapkan jenjang manajemen operasi biasanya berlaku untuk kegiatan operasi dan bidang fungsi semua organisasi”.21 Mengacu kepada pendapat di atas disimpulkan bahwa kebijakan manajemen puncak dijabarkan oleh kebijakan manajemen menengah. Sedangkan kebijakan manajemen menengah dijabarkan oleh manajemen operasi dalam kegiatan keseharian personil organisasi. Proses Kebijakan Kebijakan memberikan sesuatu hal umum sebagai garis pedoman bagi semua pegawai dalam melaksanakan tugas mereka. Kebijakan memberikan arah untuk dan memberikan standar bagi membuat keputusan. Kebijakan adalah cara terstandar dalam berpikir tentang melakukan sesuatu. Dengan demikian, ada tiga proses yang ditempuh dalam kebijakan, yaitu; formulasi, implementasi dan evaluasi.22 Ketiga proses kebijakan dimaksud diuraikan agar secara holistik makna kebijakan sebagai suatu proses manajemen dapat dipahami dengan baik. Sedangkan tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan sebagaimana dikemukakan Dunn,23 penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian/evaluasi kebijakan”. Kajian ini memfokuskan proses kebijakan yang meliputi: formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Ibid,p.20. Allen J Putt and J Fred Springer, Policy Research (New Jersey: Prentice Hall, 19890),p.30. 23 William N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2003).p.35. 21 22 350 1. Formulasi kebijakan Pembuatan kebijakan dalam pemerintahan termasuk aktivitas politis. Dalam konteks ini, aktivitas politis dijelaskan bahwa pembuatan kebijakan adalah sebagai proses pembuatan kebijakan yang divisualisasikan berisikan serangkaian tahap yang saling bergantung dan diatur menurut urutan waktu; penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Mengacu kepada Newton dan Tarrant, yang mengemukakan pendapat Velzen, et al, bahwa: pembuatan kebijakan adalah langkah awal yang mencakup identifikasi bidang umum, analisis, penyusunan sasaran, menetapkan rangkaian pelaksanaan, menjajaki administratif, dimensi politik dan masyarakat, negosiasi dan konsultasi dan formulasi akhir dan menampilkan kebijakan”.24 Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perumusan kebijakan adalah proses menganalisis masalah, menyusun sasaran untuk dilaksanakan dalam tindakan kebaikan bagi masyarakat. Dalam melaksanakan proses perumusan kebijakan, terlebih dahulu dilakukan analisis kebijakan. Karena kegiatan analisis kebijakan adalah kegiatan pokok dalam perumusan kebijakan untuk memberikan pijakan awal bagi suatu keharus pembuatan suatu kebijakan”.25 Keberadaan analisis kebijakan merupakan rangkaian dari penilaian formulasi kebijakan. Dijelaskan bahwa:”policy analysis is an applied social science disciplne which use multiple methods of inquiry and argument to produce and transform policy Colin Newton dan Tony Tarrant, op.cit.pp.125-126. Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi (Jakarta: Elek Computindo, 2003), p.86. 24 25 351 relevant information that may be utilized in political setting to resolve policy problems”. Analisis kebijakan merupakan penerapan disiplin ilmu sosial yang menggunakan berbagai metode penyelidikan dalam konteks argumentasi dan debat publik untuk menciptakan secara kritis, menaksir dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan”.26 Analisis kebijakan sebagaimana dikemukakan Bardach adalah suatu aktivitas politik dan sosial, oleh sebab itu seseorang yang tertarik di bidang ini memerlukan suatu tanggung jawab mental dan intelektual dari kualitas hasil pekerjaan atau kegiatan ini di bidang analisis kebijakan”.27 Selanjutnya menurut Patton dan Sawicky dalam Nugroho, analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan baik kebijakan yang baru sama sekali, atau kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada”.28 Analisis kebijakan memiliki tiga pendekatan, yaitu: (1) pendekatan empiris, berupaya menjawab permasalahan faktafakta, (2) pendekatan evaluatif, berupaya mencari nilai atas sesuatu, (3) pendekatan normatif, memberikan upaya tindakan atas apa yang harus dilakukan”.29 Analisis kebijakan merupakan proses pengkajian kebijakan untuk dapat memahami kebijakan dengan baik dan benar serta pada akhirnya dapat memberikan penjelasan dan saran dalam pelaksanaan kebijakan sebagai upaya untuk mencapai efektivitas kebijakan. William Dunn, Op.cit. p.35. Riant, D Nugroho, Op.cit. p.84. 28 Bardach Eugene, A Practical Guide for Policy Analysis The Eighfold to One Effective Problem Solving (New York: Catham House Publishers of Seven Bridges Press, 2000).p.xiii. 29 William Dun, Op.cit. p.97-98. 26 27 352 Terdapat tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu: prospektif, retrospektif dan integratif. Analisis kebijakan prospektif melibatkan produksi dan transformasi informasi sebelum pelaksanaan kebijakan dimulai dan dilaksanakan (biasanya dilakukan oleh ahli ekonomi), ahli sistem dan ahli operation research). Analisis kebijakan retrospektif merupakan usaha memproduksi dan mentransformasi infomasi sesudah kebijakan dilaksanakan (biasanya dilakukan oleh ilmuwan yang berorientasi kepada disiplin ilmu dan aplikasi kebijakan). Sedangkan analisis kebijakan integraif adalah analisis yang lebih komprehensif dan mengkombinasikan prospektif dan retrospektif. Dalam kegiatan ini analisis dilakukan secara terus menerus/berkelanjutan.30 Dalam menggunakan bentuk analisis kebijakan ini, perlu disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan para pelaku analisis kebijakan dalam berbagai bidang dan organisasi. Tegasnya, analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa atau seluruh tahap proses pembuatan kebijakan, tergantung tipe masalah yang dihadapi. Formulasi kebijakan mengandung beberapa isi penting yang dijadikan sebagai pedoman tindakan sesuai yang direncanakan. Adapun isi kebijakan mencakup: (1) Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, (2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) Derajat perubahan yang diinginkan, (4) Kedudukan pembuat kebijakan, (5) (siapa) pelaksana program, (6) Sumberdaya yang dikerahkan.31 Sedangkan dalam konteks implementasinya, maka kebijakan berisikan: (1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi pelaksana yang terlibat, (2) Karakteristik lembaga dan penguasa, (3) Kepatuhan dan daya tanggap. 30 31 Ibid, p.99. Ibid, p.27. 353 Selain itu, hal yang penting adalah informasi yang cukup dalam perumusan kebijakan. Menurut Tangkilisan, jika pembuat keputusan tidak memiliki informasi dalam implementasi, mereka tidak akan tahu apa yang harus dilakukan dengan hasil-hasil studi evaluasi”.32 Formulasi kebijakan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk bidang kebijakan, keputusan dan alternatif keperluan. Berkenaan dengan masalah di atas digambarkan oleh Jauch dan Glueck,33 dalam buku “Business Policy and Strategic Management”, yaitu: bidang perkebunan dan peralatan, perencanaan produksi dan kontrol, tenaga kerja dan penempatan, rancangan produksi, pengorganisasian dan manajemen”. Dengan demikian, pembuatan kebijakan efektif adalah kesesuaian dan penerimaan tujuan pada semua level untuk meningkatkan peluang organisasi mencapai sasaran dan tidak membuang energi dengan konflik”.34 Dapat disimpulkan bahwa formulasi kebijakan merupakan proses membuat kebijakan berdasarkan kebutuhan untuk memecahkan persoalan masyarakat dalam mencapai kehidupan lebih baik. 2. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.. Dijelaskan oleh Putt dan Springer,35 implementasi kebijakan adalah serangkaian aktivitas dan keputusan yang 32 Hessel Nogi S Tangkilisan, Implementasi Kebijakan Publik (Yoyakarta: Lukman Offset, 2003).p.10. 33 Laurence R. Jauch and William Glueck, Business Policy and Strategic Management (Singapura: McGraw Hill, 1988), p.351. 34 Colin Newton dan Tony Tarrant, op.cit.p.126. 35 Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.45. 354 memudahkan pernyataan kebijakan terwujud ke dalam praktik organisasi. dalam formulasi Bagaimanapun, tujuan kebijakan adalah melakukan intervensi. Oleh karena itu, implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri. Implementasi kebijakan dalam konteks manajemen adalah berada dalam kerangka organizing-leading-controling. Dengan demikian ketika kebijakan sudah dibuat, maka tugas penting yang mesti dilaksanakan adalah mengorganisasikan dan melaksanakan kepemimpinan untuk mengarahkan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan tersebut. Di mana posisi kepemimpinan dalam implementasi kebijakan? Seorang pemimpin organisasi non profit adalah seseorang yang memimpin orang-orang, modal, dan sumberdaya itelektual organisasi untuk menggerakkannya menuju arah yang benar”, tepatnya adalah: (1) memimpin sumberdaya berarti mengumpulkannya, memfokuskan perhatian, dan memberi inspirasi atau memberdayakan penggunaan semuanya, (2) menggerakkan organisasi bermakna memperkuatnya, menggerakkan hambatan kepada kemajuan, membuat perubahan penting untuk meningkatkan kinerja dan memungkinkan organisasi untuk belajar dan bertumbuh, (3) arah yang benar bermakna seseorang yang membuat kemungkinan kontribusi terbesar atas jangka panjang kepada masyarakat atau klien tertentu atau masyarakat yang menciptakan organisasi untuk melayaninya”.36 Ada empat peran utama kepemimpinan efektif, yaitu: sebagai penentu arah, agen perubahan, juru bicara, dan pelatih. Keempat peran ini secara bersama-sama merupakan 36 Charles C Manzs, dan Henry P. Sim, Jr, The New Super Leadership (San Fransisco: Bernett Koehler Publishers, inc, 2000). p.6. 355 pekerjaan pemimpin visioner”.37 Keempat peran kepemimpinan ini sama pentingnya untuk mencapai keberhasilan. Dalam menjalankan peran tersebut, kepemimpinan dijalankan dengan dukungan kemampuan, sifat, dan kepribadian pemimpin untuk mempengaruhi”. Sebagai penentu arah, pimpinan harus mengembangkan visi dan membagi kepada semua orang untuk mewujudkannya. Untuk memerankan sebagai agen perubahan, pemimpin harus mampu mengantisipasi perkembangan dunia luar, menilai implikasi, menciptakan perasaan pentingnya prioritas perubahan melalui visi untuk pelaksanaan dan pemberdayaan orang menuju perubahan. Sebagai juru bicara, pemimpin harus mampu bernegosiasi dengan organisasi lain, membangun jaringan kerja, memberikan gagasan sumberdaya atau informasi bagi organisasi. Sedangkan sebagai pelatih, pemimpin harus memberdayakan staf dan pegawai agar bersemangat mengejar visi. Sebagai pelatih, pemimpin juga menjadi teladan dalam usaha mewujudkan visi menjadi kenyataan”. Tangkilisan,38 berpendapat bahwa pelaksanaan kebijakan memerlukan sejumlah keputusan dan tindakan. Ada empat faktor penting dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposis atau sikap dan struktur birokrasi”. Para pelaksana kebijakan mesti tahu apa yang harus dikerjakan, Keputusan kebijakan dan peraturan implementasi mesti ditransmisikan kepada personalia yang tepat sebelum bisa diikut. Komunikasi ini membutuhkan keakuratan dan dapat diterima para pelaksana. Jika kebijakan harus 37 38 356 Burt Nanus, Visionary Leadership (San Fansisco: Jossey Bass 1992).p.15. Hessel Nogi S Tangkilisan, op.cit.p.11. diimplementasikan secara tepat, format kebijakan yang diimplementasikan harus diterima secara jelas.39 Ada dua pilihan langkah impelementasi kebijakan, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program, atau dapat melalui kebijakan derivat (turunan) dari kebijakan publik tersebut. Secara umum digambarkan oleh Dwijowijoto, 40 sebagai berikut: Kebijakan Publik Kebijakan Publik Program Intervensi Kegiatan Intervensi Proyek Intervensi Publik/Masyarakat/penerima keuntungan Gambar 1 : Implementasi Kebijakan 39 Ibid, p.19. Lihat pula Riant Nugroho Dwijowijoto, Implementasi Kebijakan Publik (Yogyakarta: Lukman Ofset, 2003). 40 Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.18. 357 Proses implementasi kebijakan dapat dikemukakan di sini bahwa kebijakan Publik dalam bentuk Undang-Undang, maka menuntut adanya kebijakan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Daerah (Perda). Dalam hal ini Perda merupakan peraturan atau kebijakan penjelas atau sering diistilahkan peraturan pelaksanaan. Adapun kebijakan publik yang langsung operasional antara lain: Kepres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan lain-lain. Proses formulasi kebijakan dan penyusunan sasaran adalah untuk melaksanakan kebijakan ke dalam tindakan memerlukan pekerjaan baik yang terinci. Kebijakan dapat bersumber dari sejumlah level dan sumber, yaitu pemerintah pusat, daerah, administrator, guru, kepala sekolah, orang tua dan jarang sekali dari siswa”.41 Bagaimanapun keberadaan implementasi kebijakan sebagaimana dikemukakan dalam gambar di atas, bahwa dimulai dari program, proyek dan kegiatan. Ini proses implementasi kebijakan. Model ini adalah hal yang lazim diaplikasikan dalam manajemen sektor publik. Sejalan dengan pernyataan di atas bahwa,42 implementasi kebijakan memerlukan banyak keputusan dan tindakan seperti; menjamin dan menguatkan berbagai arahan, dan peraturan, mengeluarkan dan membuat penemuan, rekrutmen dan pembinaan personil, menghargai dan membuat kontrak, menciptakan unit organisasi baru supervisi staf, membuat anggaran dan menciptakan bentuk menganalisis laporan. 41 42 358 Colin Newton and Tonny Tarrant, op.cit.p.126. Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.45. Implementasi kebijakan bermakna pengembangan kriteria khusus dalam praktik bagi pembuatan keputusan yang mencapai maksud kebijakan. Dalam implementasi kebijakan maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana prakondisi untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap dan struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut berkerja secara simultan, baik berfungsi dalam memudahkan pelaksanaan kebijakan dan dapat pula menghambat proses pelaksanaan. Perlu ditegaskan bahwa implementasi kebijakan adalah proses dinamis yang mencakup keempat variabel tersebut. a. Komunikasi Proses komunikasi ekfektif diperlukan dalam kerangka pelaksanaan kebijakan.43 Secara umum mengacu kepada pendapat Robbins bahwa: ”komunikasi adalah memindahkan makna dari seseorang kepada orang lain sehingga informasi dan gagasan dapat tersampaikan”.44 Komunikasi yang baik adalah bila makna yang dikirimkan oleh pengirim pesan dimengerti secara tepat oleh penerima pesan. Komunikasi berlangsung antara individu dengan individu (interpersonal), komunikasi dalam diri individu (intrapersonal), dan komunikasi massa”. Ivancevic dan Matesson, menjelaskan bahwa komunikasi yang mengalir dari individu kepada individu dalam tatap muka atau latar kelompok adalah komunikasi interpersonal”.45 Hal yang diharapkan sebagai muara Ibid, p.46. 44 Stephen P. Robbins, Essentials of Organizational Behavior (New Jersey:Prestice Hall, 1984),p.93. 45 John M. Ivancevich and Michael T. Matesson, Organizational Behavior (New York: McGraw Hill, 2002), p.503. 43 359 komunikasi adalah lahirnya saling pengertian sebagai akibat pesan yang dikirimkan kepada penerima pesan sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Pemahaman di atas sejalan dengan Gibson, et al, mengemukakan bahwa: effective communication is the result of the common understanding between the communicator and the receiver”.46 Pendapat ini menegaskan komunikasi melibatkan seseorang yang berusaha menciptakan makna dalam diri penerima pesan. Dalam berlangsungnya proses komunikasi mengandung lima elemen, yaitu: komunikator, pesan, media, penerima pesan, dan umpan balik”. Dilihat dari segi jenis informasi dalam komunikasi ada yang verbal maupun non verbal merupakan sifat dasar dalam pertukaran pesan yang terjadi dalam kehidupan individu dan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan wahana bagi individu dan kelompok dalam menyampaikan ide, pikiran atau perasaan dalam interaksi satu sama lain. Tanpa komunikasi tak akan ada interaksi antara seseorang dengan orang lain, tak akan ada interaksi antar kelompok. Itu artinya, pimpinan harus mengkomunikasikan kepada bidang yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan supaya mereka memahami kebijakan yang menjadi tanggung jawabnya. Perlu disampaikan kepada personalia yang tepat, kebijakan yang jelas, akurat dan konsisten. Komunikasi dimaksudkan sebagai prakondisi sebelum kebijakan dilaksanakan. Karena itu kewenangan harus diberikan kepada pelaksana dan perlu pula diberikan ruang 46 James L. Gibson, John M. Ivancevich and James H. Donnelly, Jr, Organization: Behavior, Structure, and Process, (Amerika: Richard D Irwins, 1997), p.408. 360 kreativitas dan adaptasinya dalam pelaksanaan kebijakan. Jadi tidak semuanya rinci, karena pemberdayaan personil juga diperlukan setiap organisasi. Untuk mengimplementasikan kebijakan secara tepat, ukuran implementasi mesti tidak hanya diterima, namun kebijakan yang dilaksanakan bagi mereka mesti juga jelas. Jika tidak, para pelaksana akan kacau dengan apa yang seharusnya mereka lakukan dan mereka akan memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan dimaksud. Widodo,47 menjelaskan komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan (policy implementors). Komunikasi adalah perekat organisasi dan koordinasi adalah asal muasal dari kerja sama tim serta terbentuknya sinergi dan integrasi dalam pelaksanaan kebijakan. b. Sumberdaya Betapapaun jelasnya proses komunikasi kebijakan kepada pelaksana kebijakan dan betapapun perintah dan kewenangan sudah diberikan, tapi kalau sumberdaya (resources) yang tersedia tidak mendukung hal ini dapat menghambat pelaksanaan kebijakan. Adapun pentingnya masalah sumberdaya ini mencakup; jumlah staf yang tepat, keahlian yang diperlukan, informasi yang relevan tentang cara melaksanakan kebijakan dan berbagai komponen lainnya. Jika sumberdaya tidak cukup, berarti kebijakan tidak akan terlaksana, karena prosedur kerja, kegiatan yang ditetapkan tidak dapat dibumikan dalam memenuhi tujuan 47 Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik (Malang:Bayumedia Publishing, 2007),p.97. 361 dan harapan stakeholders, atau pelanggan. Dwijowijoto,48 berpendapat bahwa kekuasaan atau power adalah syarat bagi keefektifan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan, maka kebijakan akan tetap berupa kebijakan-tanpa ada pengaruh dari target kebijakan”. Putt dan Springer,49 menjelaskan implementasi kebijakan memerlukan keputusan tentang anggaran dan hasil/produktivitas”. Tentu saja sumberdaya yang utama dalam organisasi adalah sumberdaya manusia. Sumberdaya tidak hanya berkenaan dengan kekuasaan seseorang/pelaksana membuat keputusan tentang anggaran untuk melaksanakan kebijakan, atau otoritas mengambil keputusan, tetapi juga berkenaan dengan peralatan, material, informasi, dan sumberdaya finansial/pembiayaan”.50 Hanya dengan ketersediaan sumberdaya organisasi yang mencukupi, maka kebijakan dapat diimplementasikan oleh pelaksana kebijakan dalam mencapai visi, misi dan tujuan yang diharapkan. c. Disposisi Disposisi atau sikap di sini dimaksudkan adalah sikap pelaksana kebijakan. Hal ini terkait dengan adanya sikap yang kuat bagi pelaksana yang memiliki kapasitas dalam melaksanakan kebijakan. Itu artinya, para pelaksana kebijakan yang ditetapkan dengan kemampuannya memang harus terdorong sepenuh hati atau memiliki komitmen melaksanakan kebijakan dimaksud. Di sini diperlukan keseimbangan pandangan bahwa kebijakan dilaksanakan memenuhi tujuan pribadi dan tuijuan organisasi sehingga Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.178. Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.49. 50 Leo Agustino, Dasar-Dasar Kebijakan Publik (Bandung: Alfabeta, 2006),p.142. 48 49 362 kebijakan menyentuh harapan yang sejatinya adalah mencapai tujuan. Betapapun kapasitas pelaksana diakui signifikan, tapi kalau sikap tidak kondusif bagi pelaksana kebijakan maka kebijakan hanya tinggal angan-angan atau sekedar ada saja. Motivasi, komitmen, dan dukungan pelaksanaan kebijakan dapat ditumbuhkan dengan melibatkan personil dalam menyusun sasaran, mengikut teori Goal-Setting Theory, 51bahwa; bekerjasama dengan pegawai menyusun sasaran berimplikasi pada penyediaan target untuk motivasi, membuat sasaran khusus daripada umum, dengan implikasi melakukan yang terbaik, serta memberikan umpan balik, sebab tindakan memberikan umpan balik membimbing perilaku. Bahkan membantu mengatasi hambatan dalam kinerja dan bertujuan mengkoreksi tindakan”. Dapat disimpulkan bahwa, sikap dan kemampuan pelaksana kebijakan dalam melaksanakan kebijakan harus menjadi perhatian para manajer tinggi, menengah dan pelaksana dalam mencapai visi, misi dan tujuan kebijakan. d. Struktur Birokrasi Bila para pelaksana sudah tahu apa yang akan dikerjakan karena dikomunikasikan dan mau melaksanakannya, namun kebijakan kadang terhambat karena struktur birokrasi. Koordinasi menjadi faktor struktur birokrasi yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan. Bagaimanapun, dalam pelaksanaan kebijakan melibatkan banyak orang, bidang dan lingkungan yang mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan kebijakan. Jadi apa yang disebut prosedur tetap (protap), atau standard operasional procedure 51 Waren R. Plunkett, Raymond F Attner, dan Gemmy S. Allen, Management: Meeting and Exceeding Customer Expectations (New York: Thomson South Western, 2005),p.438. 363 (SOP) merupakan cara-cara yang ditempuh bagi kelancaran kebijakan agar berjalan dengan baik. Bagaimanapun, pelaksanaan kebijakan merupakan momentum penting dari keseluruhan kebijakan suatu organisasi, karena terkait dengan pelaku dan lingkungan kebijakan sebagai suatu sistem sebagaimana pendapat Dye, dalam Widodo,52. Dijelaskannya pula bahwa implementasi kebijakan adalah proses yang memerlukan tindakan-tindakan sistematis, dari pengorganisasian, interpretasi dan aplikasi kebijakan sehingga terlaksana dengan baik mencapai kinerja kebijakan. Dalam kajian ini, perlu diungkapkan bahwa model implementasi kebijakan berkaitan dengan jenis teknik yang digunakan dalam pelaksanaan kebijakan. Pertama, implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke bawah” (top down), dan “bawah ke atas “ (bottom up)., dan pemilihan implementasi kebijakan yang berpola paksa (command and control) dan mekanisme pasar (economic incentive)”.53 Ada beberapa variabel yang termasuk sebagai faktor yang mempengaruhi kebijakan publik, yaitu: (1) aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi, (2) karakteristik dari agen pelaksana/implementor, (3) Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan, (4) Kecenderungan (disposision) dari pelaksana implementor. Dalam implementasi kebijakan, pendekatan sistem dapat digunakan untuk memudahkan memahami berbagai variabel terkait dan menentukan pencapaian tujuan kebijakan. 52 53 364 Joko Widodo, Op.cit.pp.13 & 90. Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.176. Interaksi berbagai variabel dalam implementasi kebijakan publik dapat diungkapkan pada gambar berikut: Standar dan tujuan Kebijakan publik Karakteristik Agen pelaksana Sumberdaya Gambar 2: Aktivitas implement asi dan komunikasi antarorgan Kecenderungan dari pelaksana Kinerja Kebijakan publik Kondisi ekonomi, sosial dan politik Interaksi antar variabel dalam implementasi kebijakan Publik Menurut Jauch dan Glueck,54 ada beberapa proposisi dalam implementasi kebijakan sebagai berikut: 1) Lembaga yang mempersiapkan pelaksanaan kebijakan dan rencana bagi pilihan strategi akan lebih efektif daripada yang tidak melakukan, 2) Lembaga yang memiliki kemampuan strategi, pengalaman dan kepribadian yang cocok dengan strategi akan lebih efektif, 3) Lembaga yang memiliki rencana pengembangan karir akan lebih efektif daripada tidak memiliki, 54 Laurence R. Jauch and William Glueck, op.cit. p.366-367. 365 4) Pemimpin yang melaksanakan konsep pengembangan organisasi akan lebih efektif melaksanakan strategi perubahan”. 3. Evaluasi Kebijakan Suatu kebijakan tidak boleh dibiarkan begitu saja setelah dilaksanakan. Begitu pelaksanaan kebijakan berlangsung selanjutnya perlu diperiksa. Sebagai proses manajemen, pengawasan adalah keharusan atau diperlukan sebagai proses pemantauan atau evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan publik dilaksanakan sebagai proses untuk mengetahui sejauhmana keefektivan kebijakan publik guna dipertanggung jawabkan kepada semua pihak terkait (stakeholders) nya. Dengan kata lain, sejauhmana tujuan kebijakan tersebut telah tercapai. Di sisi lain, evaluasi dipergunakan untuk mengetahui kesenjangan antara harapan/tujuan dengan kenyataan yang dicapai.55 Dengan demikian evaluasi bukan dimaksudkan mencapai kesalahan para pelaksana kebijakan, akan tetapi pesan utamanya adalah supaya kekurangan dan kelemahan dalam pelaksanaan kebijakan dapat diperbaiki sehingga pencapaian tujuan lebih maksimal. Tepatnya, evaluasi kebijakan samata-mata bersifat positif dan konstruktif. Putt dan Springer,56 menjelaskan evaluasi adalah langkah menerima umpan balik yang utama dari proses kebijakan. Jadi analisis kebijakan memberikan sejumlah jenis informasi dalam pase ini. Evaluasi kebijakan memberikan informasi yang membolehkan stakeholders mengetahui apa yang terjadi berikutnya dari maksud kebijakan. Evaluasi juga 55 56 366 Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.184. Allen J Putt and J Fred Springer, op.cit.p.48. memberikan pemaparan aktivitas implementasi kebijakan. Pada tingkat kompleksitas lebih besar, evaluasi dimaksudkan untuk mengidentifikasi tingkat keberhasilan pelaksanaan yang dicapai sesuai sasaran.57 Akhirnya, evaluasi dapat memberikan pemahaman terhadap alasan keberhasilan kebijakan atau kegagalan dan dapat memberikan saran terhadap tindakan untuk memberdayakan pencapaian sasaran kebijakan. Lebih lanjut dijelaskannya, tujuan evaluasi kebijakan adalah mempelajari pencapaian sasaran dari pengalaman terdahulu. Tanpa pengujian pelaksanaan dan hasil usaha, ada sedikit kemungkinan peningkatan program. Di sini paling tidak ada beberapa sasaran evaluasi kebijakan, sebagaimana pendapat Glaser, Abelson, dan Garrison, yaitu: • Menentukan seluruh kebijakan dan nilai kebijakan dalam pencapaian maskud sasaran, • Mengidentifikasi keberhasilan dan kegagalan komponen kebijakan, • Penerimaan program strategik yang merupakan kontribusi terbaik terhadap keberhasilan implementasi kebijakan, • Penilaian efek samping yang tidak diharapkan atau akibat yang tidak diinginkan dari usaha kebijakan. Perspektif lain dapat ditambahkan bahwa manajer perlu memiliki pemahaman bahwa evaluasi kebijakan bukan hanya berfokus pada evaluasi pelaksanaan kebijakan saja, akan tetapi evaluasi kebijakan mencakup evaluasi perumusan kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan dan evaluasi lingkungan kebijakan. Karena ketiga bagian itulah yang 57 Colin Newton and Tonny Tarrant, op.cit.p.127. 367 menentukan keberhasilan kebijakan. Jadi evaluasi sebenarnya penilaian terhadap hasil yang dicapai dari pelaksanaan kebijakan yang oleh pelaksana dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya, kemampuan pelaksana dan lingkungan yang mengitarinya. Mengacu kepada Dunn,58 evaluasi kebijakan dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assesment). Dengan demikian, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi kebijakan memberikan informasi yang benar dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Di sini evaluasi memberikan kontribusi pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Bahkan evaluasi memberikan kontribusi pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Di sini diperjelas keberadaan evaluasi kebijakan, yang mencakup: evaluasi formulasi kebijakan, evaluasi implementasi kebijakan, dan evaluasi lingkungan kebijakan/kinerja kebijakan”.59 Dalam kaitan ini evaluasi kebijakan mencakup tiga bidang kegiatan utama, yaitu: pemantauan kinerja, melaksanakan pengaruh evaluasi dan melaksanakan evaluasi proses. 1) Monitoring Program 58 59 368 William Dunn, op.cit, p.180. Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.186. Monitoring program mencakup pengumpulan data secara sistematik dan berkelanjutan atau aktivitas program. Informasi itu mencakup dua jenis utama, yaitu: • Masukan adalah sumberdaya yang dibutuhkan dengan pelaksanaan aktivitas program. Anggaran biaya dan waktu merupakan masukan dasar pelayanan sebagai pengukuran efisiensi. • Hasil adalah produk dari aktivitas program. Sejumlah kasus proses, jumlah hambatan, jumlah hambatan pernyataan kalimat, dan keempat adalah contoh ukuran hasil pelayanan sebagai indikator efektivitas. Pemantauan program juga mencakup pengembangan indikaor kinerja yang terstandar dan sistem pelaporan. Dengan demikian harus ada indikator kinerja yang terstandar sebagai acuan penilaian, karena dengan begitu akan mudah mengukur keberhasilan pelaksanaan kebijakan di lapangan. Selain itu, sebagai proses menajemen yang memerlukan data, maka ada proses pelaporan yang diatur oleh manajemen untuk memudahkan proses penilaian pihak manajemen puncak. 2) Evaluasi Pengaruh Evaluasi pengaruh dilaksanakan untuk menentukan tingkatan pencapaian kebijakan yang sesuai sebagaimana dimaksudkan dalam sasaran”.60 Evaluasi pengaruh adalah lebih dari pengembangan monitoring program, yang berarti pengaruh evaluasi ini adalah berkenaan dengan fokus perubahan dalam hal sosial dan kondisi pisik. Sebagaimana halnya dalam program pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, pemantauan mungkin memerlukan sejumlah 60 William Dunn, op.cit, p.182. 369 dokumen mengenai penggunaan jam dalam belajar. Evaluasi pengaruh memiliki fokus atas hasil dari pembelajaran, yaitu persentase pelajar yang mencapai tingkatan ahli dalam membaca setelah beberapa periode masa pembelajaran. Pelaksanaan analisis evaluasi pengaruh adalah mengembangkan pengukuran atas fokus jangka pendek dan jangka panjang baik yang mencapai tujuan maupun tujuan yang tidak tercapai, dan tidak hanya sederhana masalah pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian evaluasi pengaruh secara ideal memberikan lebih daripada suatu deskripsi dari perubahan dalam pengukuran sasaran program implementasi. Tetapi juga analisis usaha merancang kajian bahwa membiarkan mereka menentukan berapa banyak perubahan ini dicirikan dalam kebijakan yang dievaluasi secara baik. 3) Evaluasi Proses Evaluasi proses adalah menentukan mengapa program dilaksanakan pada level ini dan apakah dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja”61. Berdasarkan hal ini, evaluasi proses berkenaan dengan identifikasi jaringan khusus antara aktivitas pelaksanaan kebijakan dengan kinerja program. Temuan kajian ini tidak dimaksudkan menentukan apakah program mencapai sasaran khusus, sebagai suatu pengaruh evaluasi, tetapi untuk mengembangkan rekomendasi bagi peningkatan prosedur program implementasi. a. Evaluasi Formulasi Kebijakan Secara umum, evaluasi formulasi kebijakan publik berkenaan dengan apakah formulasi kebijakan publik telah dilaksanakan dengan cara: 61 370 Ibid.p.184. 1) Menggunakan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan, karena setiap masalah publik memerlukan model formulasi kebijakan publik yang berlainan, 2) Mengarah kepada permasalahan inti, karena setiap pemecahan masalah harus benar-benar mengarah kepada inti permasalahan, 3) Mengikuti prosedur yang diterima secara bersama, baik dalam rangka keabsahan maupun juga dalam rangka kesamaan dan keterpaduan langkah perumusan, 4) Mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal, baik dalam bentuk sumber daya waktu, dana, manusia dan kondisi lingkungan strategis”.62 Dengan demikian model formulasi yang dipilih merupakan ukuran yang standar dan dapat digunakan untuk menilai proses formulasi. Jadi secara praktis paling tidak ada sebelas model evaluasi formulasi kebijakan publik, yaitu: (1) model kelembagaan, (2) model proses, (3) model kelompok, (4) model elit, (5) model rasional, (6) model inkremental, (7) model teori permainan, (8) model pilihan publik, (9) model sistem, (10) model demokratis, dan (11) model perumusan strategis”.63 a. Fungsi Evaluasi Evalusi kebijakan merupakan tahap penting dalam kebijakan publik. Ada beberapa fungsi evaluasi kebijakan publik, yaitu: 62 63 Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.188. Ibid.p.108. 371 Pertama, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu: seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini evaluasi mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu (misal perbaikan kesehatan) dan target tertentu (sebagai contoh 20 % pengurangan penyakit kronis pada tahun 1990) telah dicapai. Kedua, evaluasi kebijakan memberi sumbangan klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. Nilai juga dikritik dengan menanyakan secara sistematis kepantasan tujuan dan target dalam hubungan dengan masalah yang dituju. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran, analisis dapat menguji alternatif sumber nilai (misalnya kelompok kepentingan dan pegawai negeri, kelompok-kelompok klien) maupun landasan mereka dalam berbagai bentuk rasionalitas (teknik, eknomis, legal, sosial, substantif). Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi tentang tidak memadainya kinerja kebijakan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang masalah kebijakan. Dari tiga fungsi di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem aktivitas kebijakan harus menyediakan tujuan bagi menjamin peninjauan ulang, evaluasi dan revisi kebijakan”. 64 Maka revisi kebijakan dilakukan dengan menunjukkan bahwa alternatif kebijakan yang diunggulkan sebelumnya perlu diganti dengan yang lain. 64 372 E.G Bogue and Robert L. Sauders,op.cit.p.139. Sebagian besar pemahaman evaluasi kebijakan publik berada pada domain ini. Hal ini bisa dipahami, karena tahap implementasi kebijakan merupakan faktor penting dari kebijakan yang harus dilihat benar-benar. Mengacu kepada Effendi,65 tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan menjawab pertanyaan pokok berikut: 1) Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi kebijakan publik (variasi dari outcome) terhadap variabel independen tertentu. 2) Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan variasi itu? Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi implementasi kebijakan yang mempengaruhi variasi outcome dari implementasi kebijakan. Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut waktu evaluasi, yaitu; sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan dan setelah dilaksanakan. Evaluasi sebelum pelaksanaan yang disebut Dun,66 sebagai evaluasi summatif. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses. Sedangkan evaluasi setelah kebijakan yang juga disebut sebagai evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan atau evaluasi pengaruh (outcome) kebijakan. Sedangkan versi lain dari pendapat Dunn, bahwa evaluasi kebijakan menggunakan pendekatan : (1) evaluasi semu, dengan tujuan, menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi valid tentang hasil kebijakan, (2) evaluasi formal yang bertujuan, menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan dan (3) evaluasi keputusan teoretik dengan 65 66 Riant Nugroho Dwijowijoto,op.cit.p.194. William N Dunn, op.cit, p.24. 373 tujuan menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan. Kebijakan publik yang dilaksanakan oleh berbagai organisasi pemerintahan menuntut pencapaian sasaran dengan dukungan sumberdaya, komunikasi, sumberdaya yang ada serta struktur birokrasi yang kondusif. Oleh sebab itu, bagi pembuat dan pelaksana kebijakan publik dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang ekonomi, pendidikan, agama, politik, pemerintahan, transportasi maupun perdagangan memerlukan perhatian yang sungguhsungguh terhadap berbagai instrumen dalam melakukan evaluasi kebijakan publik. Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik dapat digambarkan sebagai berikut: Kesesuaian dengan Metode implementasi Kesesuaian dengan tujuan evaluasi Evaluator Kesesuaian dengan kompetensi Implementasi Kebijakan Kesesuaian dengan sumberdaya yang ada Kesesuaian dengan lingkungan evaluasi Gambar 3 Evaluasi Implementasi kebijakan 374 Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa Evaluator harus memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut: 1) Evaluator harus menyesuaikan alat ukurnya dengan model atau metode implementasi kebijakan. Pada dasarnya setiap metode implementasi kebijakan di dalam dirinya telah menyediakan alat ukur bagi keberhasilan/kinerja implementasi kebijakan. 2) Evaluator harus menyesuaikan evaluasinya dengan tujuan dari evaluasi yang dibebankan kepadanya. 3) Evaluator harus menyesuaikan diri evaluasinya dengan kompetensi keilmuan dan metodologis yang dimilikinya. Seorang evaluator dengan kompetensi ekonomi diharapkan tidak melakukan evaluasi politik. 4) Evaluator harus menyesuaikan diri dengan sumberdaya yang dimiliki mulai sumber daya waktu, manusia, alat atau teknologi dana, sistem, manajemen, bahkan sumberdaya kepemimpinan yang ada. 5) Evaluator harus menyesuaikan diri dengan lingkungan evaluasi agar ia bisa diterima dengan baik oleh lingkungan yang akan dievaluasinya”. B. Metodologi Penelitian 1. Sasaran Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Depok sesuai dengan fokus masalahnya adalah tentang Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok. 375 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini akan meneliti secara mendalam berbagai aspek terkait Kebijakan Walikota Depok tentang Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. Sehingga apa saja yang terjadi atas pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul ini bisa terlihat dengan lengkap dan utuh yang dilakukan dengan mengumpulkan data maupun informasi yang terkait penelitian ini. Pengumpulan data penelitian ini, akan menggunakan beberapa informan kunci untuk mengetahui data dan sumber data yang konkrit, guna menelusuri berbagai komponen yang terkait. Peneliti mewawancarai beberapa informan kunci, di antaranya; Kepala Kantor Departemen Agama Kota Depok, Pengurus FKUB Kota Depok, Panitia Pembangunan dan Jemaat HKBP Pangkalan Jati Gandul, tokoh agama Islam dan masyarakat, dan warga masyarakat yang terlibat langsung dalam penolakan dibangunnya rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, dll. Selain informan kunci juga dianggap perlu mewawancarai beberapa informan lainnya yang dianggap mengerti dan mengetahui dalam proses pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dengan menggunakan wawancara; berdasarkan instrumen pengumpulan data yang telah disusun sebelumnya oleh peneliti dengan memperhatikan berbagai aspek yang terkait dalam penelitian ini. Selain itu peneliti melakukan impropesasi kepada informan khususnya informan kunci agar informasi data yang 376 mereka berikan lengkap, jelas, akurat, dan dapat dipercaya. Kegiatan wawancara ini bisa juga dilakukan dengan cara dialog dengan beberapa panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, tokoh agama dan masyarakat, aktifis keagamaan, serta warga masyarakat disekitarnya. Sedangkan teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi adalah mencermati fisik bangunan rumah ibadat HKBP, fisik kondisi lingkungan sosial masyarakat sekitarnya, bukti autintik surat menyurat Surat Keputusan (SK) Bupati Bogor Nomor 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998 tentang pemberian IMB rumah ibadat dan gedung serba guna Gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul tahun 1998 serta SK Walikota Depok nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/ Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009 tentang Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. 4. Data yang Dihimpun Data-data yang dihimpun berdasarkan data dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Data hasil wawancara diperoleh berdasarkan informasi tentang latar belakang dan alasan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP oleh Walikota Depok, pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok bila dihubungkan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dan PBM, dasar pertimbangan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok, sikap Kepala Kandepag Kota Depok dalam merekomendasikan kepada Walikota Depok, pemahaman Ormas keagamaan tentang ketentuan PBM, respon pengurus 377 FKUB terkait dengan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP oleh Walikota Depok, langkahlangkah yang dilakukan pengurus FKUB Kota Depok dalam membangun solidaritas internal dan eksternal dengan tokohtokoh agama, panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, masyarakat yang terlibat kebijakan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. Observasi dilakukan pada sitting lokasi rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, dan masyarakat sekitarnya, serta alasan Walikota Depok dan Kepala Biro Hukum Depok selaku konseptornya. Dan dokumen yang digali adalah IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul yang diterbitkan tertanggal 13 Juni 1998 ditandatangi Sekretaris Wilayah Daerah (Setwilda) Bogor dijabat Drs. H. Dadang Soekaria, AK dan saat itu Depok masih menjadi bagian wilayah Bogor maupun Surat Keputusan (SK) Walikota Depok nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tertanggal 27 Maret 2009 tentang Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. Dan juga dari sumber lain yang relevan, misalnya jurnal, buku dan media publik maupun data-data dari lembaga lainnya. 5. Analisis Data Langkah pertama yang dilakukan adalah mengecek beberapa kelengkapan dan kebenaran informasi dan data yang dihasilkan. Setelah semuanya sudah sesuai yang diharapkan, selanjutnya akan masuk pada proses analisis data sebagai berikut; data akan diklasifikasi, diinterpretasi, dan diberi makna sehingga dapat dianalisa untuk dijadikan kesimpulan dan rekomendasi dalam penelitian ini. 378 BAB II KOTA DEPOK DALAM LINTAS SEJARAH A. Sejarah Kota Depok W ilayah Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas, atau Kota Depok yang kita kenal sekarang, pada zaman kerajaan Pajajaran (kerajaan Sunda) atau mungkin juga sebelumnya merupakan daerah yang penting karena letaknya yang strategis, yakni: 1. Letaknya ada di pinggir sungai Ciliwung. Pada zaman Pajajaran dan juga sebelumnya (kerajaan Tarumanegara) sungai merupakan prasarana transportasi yang utama. 2. Ada di tengah-tengah antara Pakuan (ibu kota) dan Sunda Kelapa (kota pelabuhan Pajajaran). 3. Di Depok terdapat pelabuhan kecil yang bernama Cipanganteur, lokasinya di Kampung Mangga, sebelum Perum Pesona Khayangan sekarang. 4. Dari Cipanganteur sampai ke Sunda Kelapa aliran sungai Ciliwung relatif tenang jadi mudah dilayari perahu-perahu kecil. Pelabuhan utama di sepanjang sungai Ciliwung yaitu Pakuan (ibu kota Pajajaran), Muara Beres dan Sunda Kelapa (rekonstruksi Ten Dam H.). Letak Muara Beres ada di sebelah Selatan Depok kurang lebih 12 km, kini desa Sukahati dan desa Keradinan. Muara Beres adalah kerajaan kecil (kerajaan daerah) di bawah kerajaan pusat, yaitu kerajaan Pajajaran. Jadi Depok termasuk wilayah kerajaan Muara Beres. 379 Nama Depok di zaman Pajaran belum ada, nama Depok baru muncul sesudah agama Islam masuk ke Depok. Jadi penamaan Depok di sini hanya sebagai petunjuk tempat untuk memudahkan pembaca mengetahui lokasi dimaksud. Dari Sunda Kelapa sampai ke Pakuan memerlukan dua hari pelayaran/naik perahu (Tom Pires). Karena letak Depok ada di tengah-tengah antara Sunda Kelapa dan Pakuan, Depok dijadikan tempat singgah. Hasil bumi dari Depok dan sekitarnya dibawa ke Sunda Kelapa melalui pelabuhan Cipanganteur dengan perahu atau getek. Begitu pula para pedagang dari Sunda Kelapa terutama orang Melayu dan Cina banyak yang datang ke Depok untuk berbelanja, terjadilah transaksi yang ramai di sekitar pelabuhan Cipanganteur. Sebagai alat tukar dipergunakan mata uang Cina yang berbentuk koin diantaranya Ceitis dan Calais (Tom Pires). Dengan banyaknya orang Melayu dan orang Cina datang ke Depok, maka terjadilah pembauran budaya. Bahasa Sunda, Melayu dan Cina dijadikan alat komunikasi. Dari bahasa tersebut inilah terbentuknya bahasa Melayu Depok. Dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Dengan ramainya Depok menjadi pusar jual beli, tidaklah heran kalau di Depok terbentuklah pemukimanpemukiman yang padat. Di lokasi yang sekarang kelurahan Depok saja, terdapat lima kampung dalam bahasa Sunda yaitu: Parung Serap, Parung Balingbing, Bojong Jati, Parung Malela, dan Kampung Mangga. Sedangkan nama tempat lainnya di luar kelurahan Depok, misalnya Cikumpa, Cimanggis, Karang Anyar (kini Sengon), Parung Bingung, Cinere, Pebuaran, dan Susukan. Berdasarkan asal kata namanya, jelas kampung-kampung terbentuk sejak zaman 380 Pajajaran dan tidak pernah ditinggal penghuninya. Sebab kalau ditinggal oleh penghuninya, bila datang penduduk yang baru tentunya nama tersebut akan disesuaikan dengan penduduk yang baru. Seperti untuk nama lokasi; Kukusan, Kemiri, Beji, Rawageni, Rawadenok, Pesona Depok, Kota Kembang; Kukusan, Kemiri, Beji, Rawageni, Rawadenok, Pesona Depok, Kota Kembang, dan lainnya. Penghuni kampung-kampung yang terbentuk zaman Pajajaran itulah yang kemudian menjadi penduduk asli Depok. Suatu kesalahan besar dan menyesatkan, YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein) dalam makalahnya pada seminar sehari di Depok menulis beberapa kesimpulan, diantaranya; pertama, sejarah Depok diawali dengan kedatangan Cornelis Chastelein. Kedua, pada kata pengantar makalah tersebut ditulis: " Cornelis Chastelein yang membangun Depok tempo dulu bersama 150 orang budak belian yang disebut cikal bakal warga asli Depok. Pendapat YLCC ini berarti sebelum Cornelis Chastelein datang, Depok dalam keadaan kosong tak berpenghuni. Tentunya, hal ini tidak sesuai fakta sejarah di mana telah ada kampung-kampung yang terbentuk sejak zaman Pajajaran dan mereka terus menghuni kampung-kampung itu secara turunmenurun hingga kini. Dalam sejarah keberadaan kerajaan Pajajaran sudah ada pada abad ke 15, sedangkan Cornelis Chastelein datang pada abad ke 18. Disini terdapat tenggang waktu 300 tahun. Apakah dalam kurun waktu 300 tahun itu penghuni kampung-kampung yang telah ada sejak zaman Pajajaran berkurang atau bertambah? Bisa jadi, bukti otentik kepemilikan Cornelis Chastelein atas tanah Depok sejak tahun 1696 itu memperkuat bahwa Cornelis Chastelein bersama para budaknya datang setelah Depok berpenghuni. 381 Pada tahun 1974 J.W. De Vries bekerjasama dengan Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan penelitian terhadap orang-orang Depok Kristen Protestan sebagai ahli waris Chastelein. Tujuan penelitian pada pokoknya ingin mengetahui sampai sejauhmana penggunaan bahasa Belanda oleh orang-orang Depok Kristen setelah Indonesia merdeka. Metode yang digunakan J.W. Vries adalah wawancara. Sebagai respondenya adalah khusus orang-orang Kristen Protestan Depok. Tempatnya di rumah Soetarto R. Ketua RK ( kini RW) II desa Pancoran Mas kecamatan Depok, jalan Siliwangi. Selain itu, J.W. De Vries juga menuliskan sejarah Depok, tentunya sesuai persinya. Berdasarkan penelitian itu, kesimpulan J.W. De Vries mengenai sejarah Depok sebagai berikut, adalah: pertama, orang-orang Depok Kristen adalah ahli waris Chastelein dan keturunannya adalah penduduk asli Depok. Kedua, orangorang Melayu yang beragama Islam datang kemudian, yaitu warga pindahan dari Jakarta. Kesimpulan J.W. De Vries dibuat karena yang diwawancarai hanya segolongan orang saja, yaitu orang Kristen, tidak ada bahan pembandingnya. Tentu saja kesimpulannya pun tidak obyektif. Karena De Vries melihatnya pada tahun 1974. Memang benar pada tahun 1974 banyak sekali orang Jakarta yang pindah ke Depok (keterangan Drs. Soemarso selaku camat dan PPAT kecamatan Depok). Tetapi apakah mungkin selama 300 tahun lalu orang Jayakarta pindah ke Depok. Pada tahun 1703 Abraham van Riebeek melakukan perjalanan dari Batavia ke Bogor mengikuti aliran Ciliwung (De Preanger Chappen onde he Nederland Bestuur, tahun 1911Haan De) dalam catatannya Riebeek menyebutkan namanama tempat yang dilaluinya diantaranya: Cililitan, Tanjung (Barat), Sringsing (Serengseng), Pondok Cina, Depok, dan 382 seterusnya. Tentunya Van Riebeek mengetahui nama-nama tempat tersebut dari penduduk. Sebab nama-nama tempat itu baru dicatat belum masuk ke dalam peta. Pada tahun 1998 RM Jonathans menulis Sejarah Singkat Masyarakat Kristen Depok, pada halaman 5 alinea 4, ia menulis nama Depok itu telah ada sebelum tanah tersebut dimiliki oleh Cornelis Chastelein. Dengan demikian nama Depok bukan sebagai singkatan dari berbagai julukan yang telah dikaitkan dengan nama Cornelis ChasteleinDepok tersebut. RM Jonathans mengira Depok (padepokan) itu tempat pertapaan orang Hindu. Padepokan disebut juga paguron (Islam). Istilah "Depok" baru ada setelah agama Islam masuk seperti Padepokan Syekh Quro di Kerawang (1418), Padepokan Syekh Kahfi di Gunung Jati (1420). Padepokan adalah tempat pendidikan agama Islam, guru dan murid ada pada satu kompleks. Pada waktu belajar guru dan murid ada pada satu (Depok). Kurikulum selain pelajaran agama juga diajarkan cara bertani dan silat. Istilah selanjutnya dinamakan pesantren (tempat santri). RM Jonathans sebetulnya sudah mengetahui bahwa sebelum Cornelis Chastelein datang, Depok sudah dihuni orang Islam. Tetapi, mengapa Lembaga Cornelis Chastelein (LCC) begitu bersikukuh menyatakan bahwa Chastelein dan para budaknya sebagai penduduk yang pertama di Depok tanpa bukti dan argumentasi yang jelas? Mungkin tujuannya kalau Chastelein dan para budak tersebut diakui secara luas bahwa mereka sebagai penduduk asli Depok, mereka akan diakui pula berjasa membangun Depok dari awal. Maka kedatangan Cornelis Chastelein di Depok dijadikan sebagai titi-mangsa hari jadi Depok. Karena menurut LCC hari jadi Depok yang sekarang sudah salah (lihat makalah yang dibuat LCC pada seminar sehari di Depok) kalaupun analisa ini 383 benar, kita perlu mengkaji dahulu siapa Cornelis Chastelein itu yang sebenarnya. Sebagai catatan, Cornelis Chastelein adalah warga negara Belanda, keturunan Prancis. Tidak realistis dan tidak etis, kedatangan bangsa asing ke Depok dijadikan titi-mangsa hari jadi Depok. Tidakkah kedatangan Jan Peterseon Ceon ke Jayakarta tidak dijadikan sebagai hari jadi kota Jakarta? Perlu dicatat, Cornelis Chastelein mungkin berjasa dengan membebaskan sebagian dari budaknya yang mau memeluk agama Kristen Protestan dan diberi tanah yang sangat luas (1244 ha) tetapi jangan diartikan Cornelis Chastelein pun berjasa kepada warga Depok. Menurut pendapat penulis; Djamhur, dkk, Jejak Langkah Islam di Depok (Kembali ke akar sejarah kembali ke sumber syariah, 2007) bahwa siapapun orangnya, kapan dia datang dan dari mana asalnya serta agama apa yang dianutnya, kalau sudah jadi warga Depok jadilah warga Depok yang baik. Setiap warga Depok perlu punya kesadaran memiliki Depok serta bertanggung jawab secara bersama-sama memajukan Depok demi kepentingan bersama. Penulisan sejarah lokal seperti Depok ini diakui oleh penulis bahwa memang terasa agak sulit karena minimnya bahan tertulis. Terutama tulisan peristiwa sejarah zaman dahulu. Hal ini bisa dipahami karena Depok bukanlah wilayah yang penting dilihat dari segi pemerintahan. Selain itu, orang Sunda tidak memiliki tradisi menulis yang baik, karena mereka hidup secara nomaden sebagai peladang. Peristiwa sejarah pada umumnya diabadikan dalam bentuk cerita rakyat (folk lord). Bahkan peristiwa yang penting pun seperti perjanjian antara Pajajaran dengan Portugis dilukiskan dalam cerita rakyat "Jimat Layang Salaka Domas". Kalau saja orang Portugis tidak menulis Padrao atau Padrom yang 384 ditemukan di desa Tugu mungkin peristiwa tersebut tidak ada data otentiknya. Untung saja, setiap peristiwa sejarah bisa dipastikan meninggalkan jejak yang kita kenal dengan istilah benda sejarah. Dari cerita rakyat dan peninggalan sejarah suatu analisa dan kesimpulan dapat dibuat. Dan suatu kesimpulan mungkin saja berbeda tergantung siapa dan untuk tujuan apa disusun. Terkadang karena berbeda kepentingan akan berbeda pula pandangan, dan berbeda pula kesimpulan. Karena itu, Prof. Dr. Nugroho Notosoesanto memberi peringatan kepada kita, yaitu "sudah saatnya bangsa Indonesia menulis sejarahnya sendiri jangan tergantung pada sejarawan bangsa Belanda. B. Arti Kata Depok Pernah ada karya tulis yang dimuat di beberapa majalah yang mengartikan nama Depok sebagai akronim dalam bahasa Belanda. Begitu pula uraiannya selalu dihubunghubungkan dengan pengembangan agama Kristen. Akronim untuk kata Depok adalah sebagai berikut: Pertama, Depok adalah De Earste Protestante Organisatie van Kristenen. Kedua, Depok adalah Deze Emheid Predikt On Kristus. Ketiga, Depok adalah De Earste Proteatanche Onderdan Kristen. Keempat, Dewan Ekonomi Penduduk Orang-Orang Kristen. Pada mulanya diduga tulisan di beberapa surat kabar tidak ada pengaruhnya terhadap masyarakat, khususnya warga Depok. Tetapi pernah Drs. Utji Sanusi memberitahukan bahwa ada warga Depok yang mengusulkan agar nama Kota (Administratif) Depok diganti saja menjadi Kota (Administratif) Pancoran Mas, karena nama Depok itu dari bahasa Belanda. Walaupun tidak seluruhnya warga Depok 385 berpendapat demikian, namun setidak-tidaknya ada sebagian orang yang percaya bahwa Depok itu merupakan akronim yang diciptakan dari bahasa Belanda. Agar tidak menimbulkan penafsiran yang keliru mengenai nama Depok, di bawah ini dijelaskan beberapa kelemahan dari teori dan pendapat tersebut. Pertama, biasanya akronim itu diciptakan hanya mempunyai arti tertentu. Misalnya PARKINDO dan MAWI. Kedua kata itu tidak boleh diartikan lain kecuali Partai Kristen Indonesia dan Majelis Agung Wali Gereja Indonesia. Di sini jelas bahwa Depok tidak bisa dianggap akronim yang diciptakan, namun bisa dikatakan sebagai akronim yang diurai, sesuai selera dan cita rasa seseorang. Dan tidak salah pula bila penghuni Perumnas yang pindah dari Jakarta pada awal tahun 1977 menyebut Depok sebagai Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. Kedua, Depok adalah nama desa yang umum terdapat di Jawa bahkan di daerah Nusa Tenggara juga terdapat desa yang bernama Depok. Jadi, Depok yang dipakai sebagai nama kota ini bukan satu-satunya nama kota di Indonesia. Ketiga, kalau Depok diartikan seperti di atas, lalu bagaimana dengan akronim nama Depok lainnya yang ada di Sumedang, Cirebon, Semarang, Sleman dan lain-lain. Dan apa pula kepanjangannya. Keempat, andaikata Cornelis Chastelein memberikan nama kepada sebidang tanah yang dibelinya, tentu nama itu memakai nama dari bahasa Belanda. Tidak nama Sunda atau nama Jawa. Sama halnya seperti tanah yang dibelinya di daerah Senen diberi nama Weltevreden. 386 Kelima, sebelum Cornelis Chastelein Cornelis Chastelein membeli tanah Depok, nama Depok itu sebetulnya telah ada seperti yang telah diceritakan Abraham van Riebeek dalam catatannya (uraian mengenai ini akan dibahas pada bagian berikutnya). Jelaslah bahwa kata Depok bukan berasal dari bahasa asing. Tetapi lebih mungkin bahasa Sunda atau Jawa. Dalam bahasa Sunda, Depok berarti duduk. Kata jadian dari Depok yaitu Padepokan. Arti yang sebenarnya berarti tempat duduk. Sedang dalam penggunaan bahasa sehari-hari Padepokan bisa diartikan tempat tinggal atau kampung halaman. Bisa juga diartikan sebagai tempat pendidikan, seperti pesantren. Keenam, pemakaian akronim pada abad ke 16 belum lazim digunakan. Akronim mengapa tempat pendidikan pada zaman dahulu dinamakan Padepokan? Sebenarnya ini akibat dari kebiasaan seorang guru di mana ketika memberikan pelajaran kepada murid-muridnya duduk bersila. Ada indikasi yang pertama kali dinamakan padepokan hanya tempat belajar saja. Lama kelamaan seluruh lokasi di sekitarnya dinamakan padepokan, dan akhirnya jadi Depok. C. Letak Kota Depok Sebelum Fatahilah (Falatehan) mengerahkan pasukannya menuju Pakuan pada tahun 1527, nama Depok disini belum dikenal. Sementara di daerah lain, seperti Sleman dan Cirebon, nama Depok telah lama berdiri yang berfungsi sebagai sebuah institusi yang mempersiapkan tenaga ahli di dalam beberapa bidang ilmu; ilmu agama, ilmu bela negara, dan ilmu tentang pertanian. Biasanya Depok atau Padepokan dibangun di perbatasan garis demarkasi yang memisahkan antara daerah yang telah memeluk agama Islam dengan daerah yang masih menyembah dewa atau berhala. Di 387 Padepokan inilah juru dakwah yang handal yang pada waktunya disusupkan keseberang garis demarkasi untuk berdakwah. Di bidang ilmu bela negara, pemuda-pemuda yang berbadan sehat dilatih dengan berbagai keterampilan bela diri, mempergunakan senjata dan mempelajari taktik dan strategi peperangan. Sedangkan di bidang pertanian diajarkan cara meneruka sawah, membajak dengan mempergunakan hewan, bercocok tanam dan sebagainya. Seperti diketahui, bahwa sebelum agama Islam datang ke Jawa Barat, penduduk pribumi belum mengenal cara bersawah, mereka menanam padi di huma (lading). Bidang pertanian termasuk kebutuhan vital dalam mempersiapkan logistik pasukan dan sekaligus mengangkat derajat hidup pribumi setempat. Titik letak lokasi padepokan pada kurun waktu sebelum Depok diresmikan menjadi Kota Administratif, bila kita bertanya kepada orang-orang tua pribumi muslim tentang dimana letak Depok yang sebenarnya, maka spontan mereka akan menunjukkan daerah sekitar jalan Siliwangi, yang ketimurnya berbatasan dengan kali Ciliwung, sedangkan ke barat berbatasan dengan jalan Kartini dan sebagian jalan Margonda, ke utara dengan kampung Magga atau Parung Malela dan ke selatan dengan Parung Belimbing. Selanjutnya bila kita bertanya kepada penduduk yang bermukim di areal tersebut, dengan bangga mereka akan menyebut bahwa memang inilah yang disebut Depok. Dan lebih bangga lagi, bahwa merekalah penduduk pribumi asli Depok ini. Memang terasa sangat lucu penduduk pribumi muslim yang bermukim di sekitar Depok tadi tidak sudi disebut sebagai orang Depok, mereka selalu menyebut dirinya dengan menyebut kampung kecil kelahirannya. Misalnya, "saya 388 bukan orang Depok, tetapi orang kampung Lio". Padahal kampung Lio itu hanya dibatasi rel kereta api saja dari areal Depok. Jawaban-jawaban seperti di atas seakan terasa wajar jika kita mengetahui dari dekat latar belakang makna jawaban itu. Penduduk yang bermukim di areal tersebut di zaman Belanda oleh penjajah didiskriminasikan dari penduduk yang beragama Islam yang bermukim di sekitar areal Depok. Mereka waktu itu 100% beragama Kristen dan status kewarganegaraan mereka sama dengan Belanda. Disamping itu mereka mempunyai otoritas memiliki ladang dan persawahan yang dikerjakan oleh penduduk pribumi muslim. Dengan memiliki tanah yang cukup luas yang diwarisi Cornelis Chastelein, otomatis mereka menjadi Tuan Tanah yang memiliki wewenang membuat peraturan yang memberatkan penggarap sawah dan ladang. Derita dan nestafa inilah yang membuat antipati berkepanjangan terhadap tuan tanah dan penjajah, sehingga penduduk pribumi enggan disebut sebagai orang Depok. Faktor lain yang membuat rancu di mana letak areal Depok itu ialah karena sejak awal Depok itu bukan nama desa atau nama kelurahan, tetapi semata-mata nama areal, yaitu areal padepokan. Kelurahan Depok sekarang tadinya bernama desa parung Belimbing, di zaman kemerdekaan berubah nama menjadi desa Pancoran Mas. Baru ketika Depok dijadikan kota administratif menjadi kelurahan Depok. Sebelumnya pernah diangkat menjadi nama kewadenaan dan nama kecamatan. Alasan ilmiah yang memperkuat di mana titik letak Depok itu adalah hasil ekspedisi seorang Inspektur Jenderal VOC pada tahun 1704 yang bernama Abraham van Reebek. Orang Belanda ini berjalan dari Sunda Kelapa menuju Pakuan 389 (Bogor) dengan menulusuri kali Ciliwung ke arah selatan. Dalam perjalannya, dia menuliskan desa atau tempat penting yang dilewatinya, di mulai dari Tanjung Barat, Lenteng Agung, Srengseng, Pondok Cina, Depok, Pondok Pucung (Pondok Terong), Pabuaran, Bojong Gede dan seterusnya. Jadi jelas bahwa Depok itu adalah areal yang terletak dipinggir kali Ciliwung. Sebelum Fatahillah membuka padepokan, pasukannya lebih dahulu turun di pelabuhan Cipanganteur, sekarang penduduk menyebutnya Rau, yang terletak di sebelah timur Parung Malela atau di ujung sebelah Perumahan Pesona Depok. Di zaman dahulu sampai zaman Pajajaran, bahkan di zaman awal penajajahan Belanda, kali Ciliwung yang mengalir dari kaki pegunungan di selatan Bogor menuju Sunda Kelapaberfungsi sebagai transportasi air yang dilalui oleh perahu dan getik (rakit) yang lalu lalang siang dan malam. Kali Ciliwung sendiri dalam bahasa lisan Sunda tadinya diucapkan dengan sebutan Kali Ciriung, Riung dalam bahasa Sunda berarti bertemu (ririungan), memang kali itu di hulunya terdiri dari beberapa sungai kecil yang akhirnya menyatu menjadi Kali Ciriung. Kemudian setelah diangkat menjadi bahasa tulisan berubah menjadi Ciliwung, penyebabnya karena Belanda yang meregistrasi nama-nama kali bertanya-tanya kepada orang Cina yang tidak bisa mengucapkan huruf "R" sehingga dijawab menjadi Ciliwung, si Belanda langsung saja menulis apa yang diucapkan itu dan jadilah namanya Kali Ciliwung seperti sekarang. Di samping kali Ciliwung ini terdapat beberapa pelabuhan penting tempat turun naiknya penumpang yang hendak bepergian ke utara atau ke selatan dengan membawa barang dagangan/hasil bumi. Salah satu pelabuhan penting di zaman itu adalah Cipanganteur, pelabuhan ini berfungsi 390 utama bagi penduduk baik sebelah barat seperti Parung, Bojong Sari, Cinere, Parung Bingung, dan lain-lain. Atau dari sebelah timur seperti Cimanggis, Cisalak, Cibinong dan lainlain. Letaknya yang strategis inilah yang mendorong Fatahillah menjadikan lokasi ini sebagai padepokan. Disamping alasan-alasan yang cukup akurat ini, terdapat juga pendapat lain yang menyebut bahwa letak padepokan itu di Kramat Beji dengan pemimpin Uyut Beji. Memang tidak begitu janggal mengeluarkan pendapat demikian, karena dipenghujung kejatuhan kesultanan Banten, Pangeran Purbaya dalam upaya dirinya hendak hijrah ke Cirebon setelah mahkotanya direbut oleh kakaknya Sultan Kohar yang bergelar Raja Ali yang berpihak kepada Belanda, Pangeran Purbaya singgah di Depok bersama pengikutnya, yang di dalamnya terdapat Syekh Yusuf (pahlawan asal Sulawesi, kemudian ditangkap Belanda dan dibuang ke Afrika Selatan dan wafat di sana), dan Uyut Beji disapa dengan nama demikian karena tadinya beliau membuka pesantren di desa Beji di tanah Banten. Setelah sampai di Depok, didapatinya padepokan yang dibangun Fatahillah telah kosong. Pasukan Islam telah ditarik mundur setelah Raja Ali menyerahkan daerah Jayakarta dan Bogor kepada Belanda. Melihat keadaan yang memperihatinkan itu, Uyut Beji memohon kepada Pangeran Purbaya agar dia dijinkan tinggal di daerah ini. Sepaninggalan Pangeran Purbaya, Uyut Beji mengumpulkan sisa-sisa penduduk untuk meneruskan pengajian dan kegiatan lain seperti yang dilakukan oleh padepokan lama. Tidak sampai sepuluh tahun kegiatan itu berjalan tercium oleh Belanda, terjadilah pertempuran. Uyut Beji syahid di medan pertempuran dan dimakamkan di tempat beliau mengabdi selama kurun waktu itu. Dari awal tempat itu tidak disebut sebagai padepokan, malah sampai sekarang 391 orang mengenalnya sebagai makam Kramat Beji. Bukti kegiatan beliau selama memimpin pengajian disana, sampai kini masih tersimpan beberapa senjata berupa keris dan tombak yang merupakan alat perang di zaman dahulu, kalau boleh disebut bahwa Kramat Beji adalah padepokan jilid dua atau yang terakhir. D. Bahasa Melayu Depok Disebut bahasa Melayu Depok, karena memang terdapat perbedaan-perbedaan kecil dengan bahasa Melayu Betawi yang oleh penduduk Jakarta sendiri disebut sebagai bahasa betawi ora. Ora disini bukan berarti nora, hanya karena penduduk Depok dalam mengucapkan "tidak" memakai bahasa Jawa yaitu "ora". Pemakaian bahasa ini bukan hanya di Depok malah meluas ke daerah timur, Cimanggis, Cisalak, dan sekitarnya, ke daerah barat Ciputat, Sawangan, Parung dan sekitarnya. Selain bahasa yang diselip-selipkan dengan bahasa Jawa, juga terdapat disisipan bahasa Sunda dan Cina: kadang-kadang terasa bahwa bahasa Depok lebih orisinil melayunya dari bahasa melayu betawi, seperti akhiran IN dan pengucapan E, seperti; ngapain, nyebelin, kerokin, mengape, dimane, maunye, dalam pengucapan dialeg Depok, dituturkan persis bahasa Indonesia yang benar. Mereka bertutur kalau Betawi "ngapain" dan seterusnya, orang Depok bertutur; mengapa, menyebalkan, dikerok, dimana, maunya. Begitu juga dengan akhiran E, orang Depok menuturkan secara orisinil seperti; mengape, jadi mengapa, apa, dimana, kemana dan sekitarnya. Terjadinya perbedaan kedua bahasa ini, memberi petunjuk bahwa penduduk pribumi Depok bukan pindahan dari betawi sebagaimana yang ditulis oleh J. De Vries pada tahun 1974. Namun demikian penduduk Betawi atau Jakarta 392 lebih dahulu memakai bahasa Melayu, sebab bahasa ini adalah bahasa yang awalnya berbasis Riau, kemudian berkembang menjadi bahasa pengantar (lingua franka) di pelabuhan-pelabuhan nusantara yang disinggahi oleh pedagang-pedagang dan awak kapal yang berasal dari berbagai daerah. Pemakaian ucapan akhiran E di Jakarta dipengaruhi oleh dialeg Riau, akhiran ini kemungkinan dari pengaruh dialeg Bali. Sedangkan di Depok sendiri berbahasa Melayu itu baru menjadi bahasa sehari-hari setelah agama Islam atau setelah pasukan Fatahillah membuka padepokan di daerah ini. Seperti kita ketahui panglima pasukan Fatahillah berasal dari pelabuhan Samudera Pasai, beliau tidak bisa berbahasa Jawa dan Sunda, bahasa yang dipakainya adalah bahasa pelabuhan di Pasai yaitu bahasa Melayu dengan dialeg nasional. Lambat laun bahasa yang dipakai panglima sudah barang tentu diikuti oleh bawahannya, kemudian tentu berkembang kepada lapisan yang paling bawah bahkan sampai kepada lapisan masyarakat biasa. Sering dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa bahasa penduduk pribumi Jakarta dan sekitarnya dari zaman purbakala telah berbahasa melayu. Pendapat ini setelah dipertemukan dengan fakta di lapangan, mengandung kelemahan yang cukup signifikan, diantaranya bahasa yang melakat kepada nama beberapa tempat kecamatan, kelurahan dan sebagainya, baik di Jakarta maupun Depok seperti; Cilincing, Cililitan, Cipinang, Cipete, Cilandak. Awalan Ci adalah suatu indikasi bahwa tempat itu dahulunya dibangun oleh orang Sunda. Karena tempat-tempat yang berawalan Ci menyebar ke seantero pelosok Jakarta dan Depok, sukar untuk dipungkiri bahwa yang memberi nama tempat itu tidak lain adalah orang Sunda yang merupakan penduduk turun temurun dari zaman dahulu. Adalah tidak mungkin orang 393 yang berbahasa melayu akan menamakannya nama tempatnya bukan dengan bahasa ibunya. Hampir bisa dipastikan bahwa sebelum Sunda Kelapa berubah menjadi pelabuhan nusantara, penduduk setempat berbahasa Sunda. Perubahan besar-besaran terjadi setelah Fatahillah menduduki Sunda Kelapa. Kurun waktu pemakaian bahasa Melayu di Jakarta lebih tua dibandingkan dengan pemakaiannya di Depok. Pemakaian bahasa Melayu di daerah ini dipercepat dan diperkuat oleh suasana status quo antara Jayakarta dengan Pajajaran. Hampir setengah abad terputus komunikasi penduduk antara kedua kekeuasaan ini, sehingga kemudian timbul rasa kegamangan bagi penduduk yang ada dibelakang garis demarkasi untuk tetap memakai bahasa Sunda, terutama bagi generasi yang lahir selama kurun waktu antara jatuhnya Sunda Kelapa dengan jatuhnya Pajajaran selama hampir 55 tahun sampai tahun 70-an, masih sering kedengaran kalimat makian yang berasal dari zaman status quo dahulu itu, bila seseorang jengkel atau kurang senang terhadap kata atau perbuatan seseorang entah itu anak, isteri atau orang lain, maka spontan yang merasa jengkel akan berucap PAJAJARAN LU. Pada masa sekarang lontaran makian itu tidak terlalu menyengat dirasakan, lain halnya di zaman status quo, makian demikian berdampak buruk bagi yang dimaki. Ingat saja betapa tajamnya dirasakan ketika tahun 70-an orang memaki seseorang dengan perkataan GESTAPU LU atau sekarang teroris lu. Kegamangan inilah yang mempengaruhi perubahan bahasa secara signifikan sampai sekarang. Fatahillah menduduki Sunda Kelapa pada tahun 1527, Maulana Yusuf baru bisa menembus benteng Pakuan pada tahun 1572, lima puluh lima tahun Jayakarta dan Depok terpisah dari bahasa ibunya (Sunda), tenggang waktu yang 394 demikian lama, meninggalkan jejak langkah yang masih bisa ditelusuri sampai sekarang, selama 55 tahun itu daerah mana saja yang dikuasai oleh Fatahillah dan pengikutnya. Jawabnya adalah daerah yang memakai bahasa Melayu. Di sekitar daerah kini masuk dalam daerah pemerintahan kota Depok masih terdapat penduduk yang berbahasa Sunda seperti Lewinanggung, berarti daerah itu belum tersentuh pengaruh Islam sebelum Pajajaran jatuh. Begitu daerah selatan dan barat di luar Depok yang berbahasa Melayu, perubahan bahasa dan agamanya sama dengan apa yang dialami oleh pribumi Depok. Walaupun demikian sisa-sisa bahasa Sunda masih bisa didengar dalam percakapan sehari-hari seperti "udah enggal" artinya sudah hampir waktunya, "urup be" artinya pantas saja, kembang paeh artinya bunga yang gagal menjadi buah dan ora "kecandak" artinya harganya tidak cocok dan banyak lagi. Kelihatan pemakaian bahasa dirangkai dengan bahasa Melayu atau bahasa Jawa. E. Islam Masuk ke Depok Kota Depok di sepanjang Ciliwung yaitu; Pakuan, Muara Beres dan Sunda Kelapa (rekonstruksi H. Ten Dam). Pelabuhan kecil di Depok yaitu Cipanganteur disebut juga Rau. Letaknya dekat perumahan Pesona Depok. Aliran Ciliwung dari Cipanganteur sampai Sunda Kelapa relatif tenang tidak sederas dari Cipanganteur sampai ke Pakuan. Transportasi sungai dari Depok ke Sunda Kelapa lebih mudah, begitu pula sebaliknya. Karena itu tidak heran kalau di sekitar Depok banyak kampung yang relatif besar. Misalnya; Parung Serab (Kota Kembang), Parung Belimbing, Parung Malela, Karang Anyar (kini Sengon). Jadi jelas Depok merupakan hunian yang padat pada zaman Pajajaran. Disini 395 nampak jelas kebohongan J.W. De Vries yang menyatakan bahwa Depok merupakan tanah kosong tanpa penghuni sebelum Cornelis Chastelein datang. Kembali tentang Pajajaran dan Cirebon, gambaran kekuatan pertahanan Pajajaran, yakni benteng pertahanan Pajajaran berlapis tiga yaitu; benteng luar. Diantaranya Benteng Muara Beres, Benteng Kota dan Benteng Keraton. Jumlah tentara cukup besar, persenjataan tombak gagang pendek (tombak lempar), panah dan keris. Bahkan Leuwi Sipatahunan merupakan alat pertahanan juga. Kekuatan militer Cirebon terdiri dari tentara Demak yang dipimpin Faletehan yang merupakan tentara elit dari kesultanan Demak yang dilengkapi meriam, mereka sangat mahir bertempur di lautan dan di pantai, tentara Cirebon persenjataannya sama dengan tentara Pajajaran, hanya jumlahnya lebih sedikit. Setelah persiapan untuk menyerang ke jantung pusat pemerintahan Pajajaran yaitu Pakuan dianggap cukup, berangkatlah pasukan gabungan Cirebon, Demak, Banten dan Jayakarta. Penyerangan ke Pakuan menggunakan dua jalur yaitu jalur Ciliwung dan jalur Cisadane. Dengan perhitungan, istana Pakuan ada diantara dua sungai ini. Pasukan Cirebon dan Demak melalui jalur Ciliwung sedangkan pasukan Banten melalui sungai Cisadane. Sebagai petunjuk jalan yaitu Raden Syafei, cucu Prabu Surawisesa yang tinggal di Sunda Kelapa dan telah masuk Islam. Pemusan logistik ditempatkan di Depok karena Depok paling strategis untuk menghadapi tentara Pajajaran yang dipusatkan di benteng Muara Beres. Jarak Depok Muara Beres sekitar 12 kilometer. Sedangkan hubungan transportasi Depok-Sunda Kelapa mudah dan cepat. 396 Perencanaan yang demikian matang itu ternyata dalam pelaksanaannya berbeda. Kesulitan demi kesulitan bermunculan. Meriam-meriam Demak ternyata di daerah yang berbukit dan berhutan tidak bisa dipergunakan karena kesulitan membawanya. Kesulitan lain tentara Demak yang mahir bertempur di pantai, tidak berdaya di hutan dan dipegunungan. Sebaliknya tentata Pajajaran sangat mahir bertempur di pegunungan. Dengan tombak-tombak yang pendek mampu mengenai sasarannya dengan tepat dari jarak jauh. Kelebihan tentara Pajajaran selain jumlah tentara cukup banyak, juga menguasai medan dan berlindung di benteng yang kuat (Muara Beres). Sedang kelemahannya moril prajurit merosot. Mereka masih trauma dengan kekalahan di Banten dan Sunda Kelapa. Mereka sudah takut sebelum bertempur, semangat prajurit Pajajaran yang tersisa hanya karena tokoh utama Prabu Siliwangi masih ada. Kelemahan tentara Islam selain jumlah sedikit dan tidak bisa menggunakan meriam, juga karena benteng Muara Beres hanya bisa dijebol dengan mempergunakan meriam. Sedangkan kelebihan tentara Islam semangat bertempur mereka tinggi karena didasari oleh keimanan. Kalau mereka gugur dalam pertempuran akan masuk surga. Dalam kurun waktu 6 tahun (1529-1535) benteng Muara Beres diserang oleh tentara Islam sampai 15 kali. Tentara Banten yang mempergunakan jalur Cisadane bertahan di Ciseeng. Mereka tidak berani meneruskan menuju ke Pakuan kalau benteng Muara Beres belum direbut tentara Islam. Akhirnya tentara Banten ini ditarik dan digabungkan dengan tentara Cirebon/Demak yang dipusatkan di Depok. Diantara tentara Banten itu ada seorang tentara wanita yang 397 bernama Ratu Maemunah. Ratu Maemunah setelah perang selesai menetap di Bojonggede untuk terus menyebarkan Islam. Makamnya ada di komplek Batu Tapak. Lokasinya sebelah Timur Stasiun Bojonggede. Suami Ratu maemunah, Raden Pakpak, menyebarkan agama Islam di daerah Ciamis. Di Bojonggede Ratu Maemunah lebih terkenal dengan sebutan Ratu Anti. Perang antara Cirebon, Demak dan Banten melawan Pajajaran yang berkepanjangan sungguh sangat melelahkan bagi kedua belah pihak. Juga tokoh-tokoh utamanya yaitu Sunan Gunung Jati, Faletehan dan Prabu Siliwangi sudah sangat sepuh. Mereka mengadakan genjatan senjata pada tahun 1535. Faletehan meletakkan jabatan sebagai Dipati Jayakarta digantikan oleh Tubagus Angke. Faletehan kembali ke Cirebon dan meninggal di Cirebon. Makamnya di bukit Jati, Syarif Hidayatullah juga kembali ke padepokannya di bukit Jati Cirebon sampai meninggal tahun 1568, tak lama setelah Faletehan meninggal. Syarif Hidayatullah dikuburkan di bukit Jati bersebelahan dengan Faletehan. Begitu pula Prabu Siliwangi setelah meninggal digantikan oleh Prabu Surawisesa. Di Banten, Maulana Hasanudin meninggal pada tahun 1570 digantikan puteranya Maulana Yusuf (1570-1580). Tentara Demak juga ditarik dari front terdepan (Depok) tetapi tidak kembali ke Demak. Mereka memilih tinggal di Serang (ibukota Kesultanan Banten). Dan di Depok menikah dengan penduduk pribumi. Masa damai ini oleh masing-masing pihak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Di Pajajaran Prabu Surawisesa memperkuat benteng kota dan benteng Keraton serta 398 membuat prasasti (Prasasti Batu Tulis) untuk mengenang Prabu Siliwangi. Di Banten dengan bantuan tentara Demak yang ada di sana tokoh muda Maulana Yusuf telah berhasil membuat meriam kecil yang mudah dibawa kemana-mana. Maulana Yusuf juga melatih prajurit yang mampu bertempur di hutan. Pasukan Cirebon, Jayakarta dan pasukan Cirebon yang ada di Depok tetap pada posisinya untuk menjaga kalau-kalau Pajajaran mengadakan serangan balik, tetapi pasukan inipun perlu diremajakan. Sedangkan penduduk kampung-kampung yang ada di sekitar Depok sejak tentara Islam Depok (sekitar tahun 1529) langsung masuk agama Islam walaupun baru membaca syahadat saja. Dengan adanya tentara gabungan Demak, Cirebon dan Banten yang cukup lama di Depok terjadilah pembauran budaya. Bahasa yang dipergunakan di Depok terdiri dari bahasa Sunda, Melayu, sedikit bahasa Cina, dan bahasa Jawa sehingga unsurnya terdiri dari empat bahasa yaitu; bahasa Melayu Kuno, Sunda, Jawa dan Cina. Agama Islam yang awalnya hanya dianut oleh penduduk sekitar Depok dengan adanya tentara Islam di Depok semakin meluas ke tempattempat yang jauh dari Depok. Pada awal pemerintahannya (1570), Maulana Yusuf sudah merasa kuat untuk menyerang Pajajaran. Penyerangan dipusatkan untuk merebut benteng Muara Beres. Pasukan Pajajaran yang ada di Muara Beres memilih bertempur di luar benteng. Terjadilah pertempuran habis-habisan di Kedung Waringin, tepatnya di depan pintu gerbang benteng. Dalam pertempuran ini, Banten sudah menggunakan meriammeriam kecil. Sekalipun kalah dalam jumlah tentara tetapi menang dalam jumlah senjata. Korban jiwa dalam 399 pertempuran ini dari kedua belah pihak sangat banyak. Karena itu tempat pertempuran itu disebut Kedungjiwa. Tentara Pajajaran tidak mampu menahan gempuran meriam Banten. Tentara Pajajaran akhirnya lari menyelamatkan diri masuk ke dalam benteng. Tetapi benteng tidak bisa bertahan lama karena digempur dengan meriam yang hanya dibuat dari tanah yang ditinggikan dan ditanami pohon bambu yang rapat. Pintu gerbangnya memang terbuat dari balok-balok kayu jati. Dengan kekalahan prajurit Pajajaran di kedungjiwa terbukalah jalan untuk menuju Pakuan. Setelah perang antara Banten dan Pajajaran selesai, kehidupan Depok kembali seperti sediakala. Penduduk kembali bercocok tanam dan bersawah. Begitu juga kehidupan beragama (Islam) berjalan sekalipun tidak ada guru yang mengajari mereka. Para pedagang Melayu dan Cina datang dan berlabuh di Cipanganteur untuk membeli hasil bumi dari Depok dan sekitarnya dan membawa ke pelabuhan Jayakarta. Kadang-kadang orang Depok sendiri yang pergi ke Jayakarta dengan mempergunakan getek. Di atas getek ditaruh keranjang-keranjang yang berisi hasil bumi dari Depok. Sampai di di Jayakarta getek yang terbuat dari bambu beserta hasil bumi dari Depok dijual. Mereka kembali ke Depok dengan menumpang perahu pedagang-pedagang Melayu. Cara berdagang dengan mempergunakan getek ini terus berlanjut sampai tahun 1976. Setelah jalan Margonda berfungsi, aktifitas ekonomi melalui Ciliwung terhenti. Perkembangan agama Islam di Depok karena pengaruh dari luar masih terjadi. Setelah Sultan Agung Raja Mataram gagal menyerang kedudukan VOC dari laut, penyerangan dilakukan dari darat. Pasukan Mataram dipusatkan di Kedunghalang Bogor. Walaupun masuk wilayah Bogor 400 kekuasaan Banten, tetapi karena tidak ada pemerintahan Islam di sana maka dengan bebas Mataram masuk ke Bogor. Pasukan Mataram memanfaatkan pelabuhan Muara Beres untuk pangkalan getek. Begitu pula benteng Muara Beres dipergunakan sebagai benteng tentara Mataram dengan mengadakan perubahan di sebelah utara dipasang pagar besi. Karena itu orang Bojonggede menamakan tempat itu Pagarresi (pagar besi). Penyerangan tentara Mataram melalui jalur Ciliwung ke Jayakarta merupakan tentara gabungan dengan tentara Dipati Ukur (Bandung). Tentara inti Mataram melalui jalan darat lewat Karawang. Dengan dipergunakannya kembali sungai Ciliwung untuk kegiatan perang merupakan suasana baru untuk penduduk Depok. Percampuran peradaban pun kembali terjadi. Pelabuhan Cipanganteur (Rau) mendapat nama lain yaitu Mampangan (Bendungan) kembali ramai. Sultan Banten yang kempat, yaitu Abdul Mufakir tidak ikut membantu Mataram melawan VOC walaupun menyadari keberadaan VOC di Jayakarta merupakan ancaman bagi Banten. Banten merasa curiga kepada Mataram, apakah Mataram murni ingin mengusir VOC dari Jayakarta atau merupakan bagian ekspansi Mataram untuk menguasai tanah Sunda. Sikap Banten ini beralasan karena sebelum Mataram menyerang Batavia terlebih dahulu Mataram menguasai tanah Priangan dengan kekuatan senjata. Walaupun sering dikemas dengan istilah yang muluk "mempersatukan". Penyerangan Mataram ke Batavia kembali gagal karena logistik Mataram yang ada di Karawang dihancurkan VOC. Dipati Ukur oleh Sultan Agung dituduh berkhianat, karena penyerangan melalui jalur Ciliwung tidak berhasil dengan baik. Dipati Ukur dianggap telah melakukan disersi. 401 Keberadaan tentara Mataram di Bogor dan Depok rupanya tidak berlangsung lama karena pengaruh budaya Mataram di Bogor dan sekitarnya tidak nampak jelas, berbeda dengan di wilayah Priangan. Pengaruh budaya Mataram telah merubah pola tanam padi yang asalnya berladang menjadi pola tanam sawah. Bahasa Sunda di tatar Sunda yang asalnya tidak ada undak-usuk (tingkatan) berubah menjadi bahasa kasar, bahasa menengah dan bahasa halus. Begitu pula dalam seni karawitan. Sekalipun Depok pada masa Pajajaran dan Zaman Islam hanya perkempungan biasa, tetapi mempunyai posisi yang penting sebagai penghubung antara Bogor-Jakarta, begitu pula sebaliknya. Karena itu setiap kejadian sejarah baik di Bogor maupun di Jakarta imbasnya akan sampai ke Depok. Ibarat pemain film, Bogor dan Jayakarta pemeran utamanya, Depok peran pembantunya. Sekalipun peranannya kecil tetapi menentukan. F. Tekanan Penjajah Terhadap Umat Islam di Depok Secara resmi, Bogor dan Depok menjadi wilayah kekuasaan VOC pada tahun 1684, tetapi baru menata pemerintahan di wilayah Bogor pada awal abad ke-18. Namun VOC mendapat kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahan. Yaitu menjangkau lapisan masyarakat untuk memungut pajak. Karena belum ada aparat pemerintahan untuk melaksanakannya. Berbeda dengan Cianjur atau daerah lainnya yang sudah ada pemerintahan tingkat Kadepaten yang dikepalai oleh seorang Dipati (Bupati) sebelum VOC berkuasa di tempat tersebut. Setelah VOC berkuasa di tempat tersebut, langsung para Bupati itu dijadikan aparat pemerintahan Belanda. Para 402 Bupati itulah yang bertanggung jawab kepada VOC terutama mengenai pajak dan perintah-perintah lainnya. Sedangkan di Bogor dan Depok pemerintahan itu tidak ada tetapi pajak harus masuk. Untuk itulah VOC menunjuk pihak swasta yang diberi wewenang penuh atas nama VOC yang dikenal dengan Tuan Tanah. Selanjutnya, terbentuklah Tuan Tanah Bojonggede, Tuan Tanah Citayam, Tuan Tanah Cinere, Tuan Tanah Sawangan, Tuan Tanah Mampang, dan Tuan Tanah Beji. Dan setelah Depok ditangani oleh Gementee Bestur Depok, penderitaan umat Islam di Depok dan sekitarnya kian parah. Karena telah terjadi penjajahan ganda: dijajah oleh Belanda dan dijajah juga oleh Tuan Tanah. Untuk operasionalnya, dibentuk pemerintahan sipil yang terdiri dari seorang camat, beberapa orang mandor (setingkat kepala desa), beberapa orang pecalang dan beberapa puluh tenaga keamanan (tukang pukul). Tuan tanah bertanggung jawab ke VOC yaitu harus menyetorkan pajak sejumlah yang telah ditentukan VOC. Depok sering disebut-sebut sebagai pusat pengembangan agama Kristen. Pada awal abad ke-18 seorang Belanda keturunan Prancis bernama Cornelis Chastelein mantan pegawai negeri Read Van Indie membeli tanah Depok seluas 1.244 ha. Tanah ini dipergunakan menanam kopi dan tebu. Karena rempah-rempah di Erofah sudah mulai kurang laku. Chastelein terkenal sebagai salah seorang sponsor penanaman kopi dan gula tebu. Untuk mengerjakan tanahnya itu, Chastelein mempergunakan budak yang dibelinya di Makasar. Umumnya budak-budak itu tawanan perang Belanda. Untuk mengembangkan agama Kristen di Depok, Chastelein menawarkan kepada budak-budaknya yang 403 bersedia untuk masuk ke Agama Kristen sebidang tanah yang luas, milik Chastelein di Depok. Disamping itu dibebaskan dari perbudakan. Yang bersedia masuk agama Kristen dari budak-budaknya itu hanya duabelas orang atau keluarga. Berdasarkan surat wasiat Chastelein tanggal 13 Maret 1714, secara resmi keduabelas orang tersebut masuk agama Kristen, mereka mendapat tanah seluas kurang lebih 100 hektar, sama luasnya dengan kelurahan Depok Jaya. Dalam surat wasiat Chastelein itu, juga dicantumkan bahwa hasil dari tanah itu untuk pengembangan agama Kristen. Keduabelas budak yang beralih agama dari Islam ke Kristen, namanya dirubah seperti: Jacob, Jonathans, Joseph, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense,Isak dan Zadokh. Untuk lebih memperluas penyebaran agama Kristen, selanjutnya didirikan sekolah seminari. Yaitu sekolah yang mendidik calon-calon penyebar agama Kristen. Alumninya disebarkan ke seluruh Indonesia. Bekas kantor Bestur sekarang jadi rumah sakit Harapan. Dan bekas gedung seminari sekarang jadi gedung SDN Depok II. Meskipun Depok merupakan pusat pengembangan agama Kristen, tetapi agama Kristen tidak berkembang. Tidak ada seorangpun dari penganut Islam yang masuk agama Kristen, sekalipun umat Islam ditekan dan ditindas. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya keimanan umat Islam di Depok. Agama Islam di Depok dan sekitarnya terus berkembang. Embah Lamperes disebut juga Embah Tanah mengembangkan agama Islam di Cikumpa dan Cipayung. Makam Lamperes di Pekuburan Umum jalan ke Pemda Bogor, tepatnya sekarang jalan rumah makan Pondok Gurame. 404 BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Pemerintahan D epok bermula dari sebuah Kecamatan yang berada di lingkungan Kewedanaan (Pembantu Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor, kemudian pada tahun 1976 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun pengembang yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa yang semakin pesat sehingga diperlukan kecepatan pelayanan. Pada tahun 1981 Pemerintah membentuk Kota Administratif Depok berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1981 yang peresmiannya pada tanggal 18 Maret 1982 oleh Menteri dalam Negeri (H. Amir Machmud) yang terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan dan 17 (tujuh belas) Desa, yaitu : 1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu Desa Depok, Desa Depok Jaya, Desa Pancoran Mas, Desa Mampang, Desa Rangkapan Jaya, Desa Rangkapan Jaya Baru. 2. Kecamatan Beji, terdiri dari 5 (lima) Desa, yaitu : Desa Beji, Desa Kemiri Muka, Desa Pondok Cina, Desa Tanah Baru, Desa Kukusan. 405 3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 6 (enam) Desa, yaitu : Desa Mekarjaya, Desa Sukma Jaya, Desa Sukamaju, Desa Cisalak, Desa Kalibaru, Desa Kalimulya. Selama kurun waktu 17 tahun Kota Administratif Depok berkembang pesat baik dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Khususnya bidang Pemerintahan semua Desa berganti menjadi Kelurahan dan adanya pemekaran Kelurahan, sehingga pada akhirnya Depok terdiri dari 3 (Kecamatan) dan 23 (dua puluh tiga) Kelurahan, yaitu : 1. Kecamatan Pancoran Mas, terdiri dari 6 (enam) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Depok, Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Pancoran Mas, Kelurahan Rangkapan Jaya, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru. 2. Kecamatan Beji terdiri dari (enam) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Beji, Kelurahan Beji Timur, Kelurah Pondok Cina, Kelurahan Kemirimuka, Kelurahan Kukusan, Kelurahan Tanah Baru. 3. Kecamatan Sukmajaya, terdiri dari 11 (sebelas) Kelurahan, yaitu : Kelurahan Sukmajaya, Kelurahan Suka Maju,. Kelurahan Mekarjaya, Kelurahan Abadi Jaya, Kelurahan Baktijaya, Kelurahan Cisalak, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Kalimulya, Kelurahan Kali Jaya, Kelurahan Cilodong, Kelurahan Jati Mulya, Kelurahan Tirta Jaya. Dari tahun 1982 - 1999, penyelenggaraan pemerintah Kota Administratif Depok mengalami pergantian Kepemimpinan sebagai berikut : 1. Drs. Moch Rukasah Suradimadja (Alm) [Walikotatif] 1982 - 1984 2. Drs. H.M.I Tamdjid [Walikotatif] 406 1984 - 1988 3. Drs. Abdul Wachyan [Walikotatif] 1988 - 1991 4. Drs. Moch. Masduki [Walikotatif] 1991 - 1992 5. Drs. H.Sofyan Safari Hamim [Walikotatif] 1992 - 1996 6. Drs. H. Yuyun WS [Plh Walikotatif] 1996 - 1997 7. H. Badrul Kamal [Walikotatif] 1997 - 1999 Dengan semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar Kota Administratif Depok diangkat menjadi Kotamadya dengan harapan pelayanan menjadi maksimum. Disis lain Pemerintah Kabupaten Bogor bersama – sama Pemerintah Propinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan tesebut, dan mengusulkannya kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan Undang – undang No. 15 tahun 1999, tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999, dan diresmikan tanggal 27 April 1999 berbarengan dengan Pelantikan Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II Depok yang dipercayakan kepada Drs. H. Badrul Kamal yang pada waktu itu menjabat sebagai Walikota Kota Administratif Depok. Momentum peresmian Kotamadya Daerah Tk. II Depok dan pelantikan pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II Depok dapat dijadikan suatu landasan yang bersejarah dan tepat untuk dijadikan hari jadi Kota Depok. Berdasarkan Undang – undang nomor 15 tahun 1999 Wilayah Kota Depok meliputi wilayah Administratif, terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan sebagaimana tersebut diatas ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor, yaitu : 407 1. Kecamatan Cimanggis, yang terdiri dari 1 (satu) Kelurahan dan 12 (dua belas) Desa , yaitu : Kelurahan Cilangkap, Desa Pasir Gunung Selatan, Desa Tugu, Desa Mekarsari, Desa Cisalak Pasar, Desa Curug, Desa Hajarmukti, Desa Sukatani, Desa Sukamaju Baru, Desa Cijajar, Desa Cimpaeun, Desa Leuwinanggung. 2. Kecamatan Sawangan, yang terdiri dari 14 (empat belas) Desa, yaitu : Desa Sawangan, Desa Sawangan Baru, Desa Cinangka, Desa Kedaung, Desa Serua, Desa Pondok Petir, Desa Curug, Desa Bojong Sari, Desa Bojong Sari Baru, Desa Duren Seribu, Desa Duren Mekar, Desa Pengasinan Desa Bedahan, Desa Pasir Putih. 3. Kecamatan Limo yang terdiri dari 8 (delapan) Desa, yaitu : Desa Limo, Desa Meruyung, Desa Cinere, Desa Gandul, Desa Pangkalan Jati, Desa Pangkalan Jati Baru, Desa Krukut, Desa Grogol. 4. Dan ditambah 5 (lima) Desa dari Kecamatan Bojong Gede, yaitu : Desa Cipayung, Desa Cipayung Jaya, Desa Ratu Jaya, Desa Pondok Terong, Desa Pondok Jaya. Kota Depok selain merupakan Pusat Pemerintahan yang berbatasan langsung dengan Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta juga merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk kota pemukiman, Kota Pendidikan, Pusat pelayanan perdagangan dan jasa, Kota pariwisata dan sebagai kota resapan air. B. Kondisi Demografis Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2008 mencapai 1.503.677 jiwa yang terdiri dari 780.092 laki-laki dan 723.585 perempuan. Laju pertumbuhan penduduknya mencapai 3,43%, sedangkan ratio jenis kelamin 102. 408 Kecamatan Cimanggis adalah salah kecamatan yang paling banyak penduduknya bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yaitu 412.388 jiwa, sedangkan kecamatan penduduk yang paling sedikit adalah Kecamatan Beji dengan jumlah penduduk 143.190 jiwa. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel Penduduk Kota Depok Menurut Kecamatan Tahun 2008 No Kecamatan 1 Sawangan 2 Laki-Laki Perempuan Jumlah 88.692 81.035 169.727 Pancoran Mas 143.153 131.950 275.103 3 Sukmajaya 197.361 170.970 350.331 4 Cimanggis 214.221 198.167 412.388 5 Beji 75.303 67.887 143.190 6 Limo 79.362 73.576 152.938 780.092 723.585 1.503.677 Jumlah Sumber: Kota Depok Dalam Angka 2008 Masyarakat Kota Depok dalam rangka meningkatkan harkat dan martabatnya melalui lembaga pendidikan terdapat sejumlah pendidikan umum dan pendidikan khusus (agama). Untuk jenjang Taman Kanak-Kanak sebanyak 314 buah, Sekolah Dasar 372 buah (285 Negeri dan 87 swasta), Sekolah Menengah Pertama 150 buah (14 Negeri dan 136 Swasta), Sedangkan Sekolah Menengah Atas 53 buah (6 Negeri 47 Swasta), Sedangkan sekolah kejuruan 68 buah (5 Negeri dan 63 Swasta), perguruan tinggi ada Universitas Indonesia, Universitas Jayabaya, Universitas Gunadarma dan Akademi Caraka Nusantara dengan berbagai jurusan. Sedangkan pendidikan agama terdapat Madrasah Diniyah terdapat 63 409 buah, Pesantren 63 buah, Majlis Taklim 1.071 buah serta TPQ/TKQ sebanyak 344 buah.67 Dibidang keagamaan terdapat sejumlah penganut agama Islam sebanyak 1.319.224 jiwa, Kristen 78.587 jiwa, Katolik 52.573 jiwa, Hindu 8.782 jiwa, Buddha 10.551 jiwa dan Khonghucu 285 jiwa. Untuk mengetahui jumlah penganut agama perkecamatan berikut ini dijelaskan: Kecamatan Sawangan sebanyak 208.116 jiwa, Pancoran Mas 271.576 jiwa, Sukmajaya 247.263 jiwa, Cimanggis 438.222 jiwa, Beji 152.635 jiwa, dan Limo 152.190 jiwa. Adapun rumah ibadat yang ada terdiri dari masjid 768 buah, langgar 851 buah, mushala 895 buah, gereja Katholik 6 buah, gereja Kristen 62 buah, vihara 2 buah, Pura 2 buah. C. Bentuk, Arti, Lambang Kota Depok Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor : 01 Tahun 1999 Tentang Hari Jadi dan Lambang Kota Depok adalah Lambang Kota Depok berbentuk Perisai bersisi 5 (lima) dengan warna dasar biru yang didalamnya terdapat gambar, warna dan bentuk serta di bagian atas terdapat tulisan “KOTA DEPOK” dan dibagian bawah terdapat tulisan “PARICARA DHARMA” dengan warna putih. Lambang Kota terdiri dari 3 (tiga) bagian, dengan perincian sebagai berikut : Bagian Depan terdiri dari : Gambar Kujang dengan posisi tegak; Kujang merupakan senjata/alat kerja masyarakat Jawa Barat, Kujang dianggap sebagai manifestasi satria-satria Pajajaran, yang identik dengan nilai-nilai kejuangan pahlawan Depok, yang memiliki sifat tak gentar dalam menegakkan kebenaran dan rela berkorban; Pada gambar Kujang terdapat 67 410 Badan Pusat Statistik, 2008, Kota Depok Dalam Angka, hal. 84,. 2(dua) buah Lubang, dengan lengkungan luar sebanyak 7 (tujuh) buah dan tangkai (gagang) mempunyai lekukan 4 (empat) buah, yang dikelilingi rangkain padi dan bunga kapas yang terdiri dari 9 (sembilan) butir padi dan 9 (sembilan) kuntum bunga kapas yang mempunyai arti Kota Depok dilahirkan pada tanggal “27 April 1999”. Padi dan Kapas melambangkan cita-cita pemerintahan dan masyarakat Kota Depok guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran; Di bawah gambar Kujang terdapat gambar sebuah mata pena dan gambar sebuah buku terbuka, yang melambangkan Depok sebagai Kota Pendidikan. Bagian Tengah terdiri dari : Gambar Pendopo merupakan simbol Pusat Pemerintahan Kota Depok dalam melaksanakan tugas Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Gambar Bangunan Gedung melambangkan Kota Depok sebagai Kota Pemukiman serta sebagai pusat perdagangan dan jasa; Gambar tumpukan batu bata membentuk rangkaian kesatuan yang menggambarkan dinamika masyarakat Kota Depok dalam melaksanakan Pembangunan di segala bidang; Gambar gelombang air menggambarkan aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Depok melambangkan kesuburan serta menunjukkan Depok sebagai Kota Resapan Air; Bagian dasar terdiri dari : Bentuk Perisai yang memiliki 5 (lima) sisi melambangkan tameng dan benteng, yang mampu mengayomi, memberikan rasa aman dan tentram baik lahir maupun batin bagi masyarakat Depok serta melambangkan ketahanan fisik dan mental masyarakat Depok dalam menghadapi segala macam gangguan, halangan dan tantangan yang datang dari manapun juga terhadap kehidupan Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dan ke 5 (lima) sisi tersebut 411 melambangkan pula fungsi/pesan yang diemban oleh Pemerintah Kota Depok yaitu sebagai : Kota Pemukiman, Kota Pendidikan, Pusat Perdagangan dan Jasa, Kota Wisata dan Kota Resapan Air. Tulisan “Kota Depok” menunjukkan sebutan bagi Kota dan Pemerintah Kota Depok; Tulisan Paricara Dharma : berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata Paricara yang berarti Abdi, sedangkan Dharma adalah kebaikan kebenaran dan keadilan jadi Paricara Dharma mengandung makna bahwa Pemerintah Kota Depok sebagai Abdi Masyarakat dan Abdi Negara senantiasa mengutamakan kepada kebaikan, kebenaran dan keadilan. Warna dalam lambang Kota mempunyai arti sebagai berikut : 1. Kuning emas melambangkan kemuliaan; 2. Merah bata melambangkan keberanian; 3. Putih melambangkan kesucian; 4. Hijau melambangkan harapan menunjukkan Daerah yang subur; masa depan serta wawasan dan 5. Hitam melambangkan keteguhan; 6. Warna Biru melambangkan kerjernihan pikiran. keluasan D. Visi dan Misi Kota Depok Visi dan misi jangka menengah lima tahunan, yang akan ditetapkan pemangku jabatan WaliKota selama periode jabatannya tahun 2006-2011, mencerminkan prioritas pembangunan Kota Depok untuk lima tahun ke depan. 412 VISI RPJMD Kota Depok untuk lima tahun ke depan, yaitu: ”Menuju Kota Depok yang melayani dan mensejahterakan”. Visi Walikota yang tertuang dalam RPJMD Kota Depok lima tahun ke depan, terkandung pengertian yaitu Melayani berarti meningkatkan kualitas pelayanan aparatur dan penyediaan sarana dan prasarana bagi warga Depok dengan meningkatkan kemampuan lembaga dan aparatur pemerintahan dalam memberikan dan menyediakan barangbarang publik dengan cara-cara yang paling efisien dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut serta dalam pembangunan daerah. Mensejahterakan berarti meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan potensi ekonomi yang dapat memberikan lapangan pekerjaan dan kehidupan bagi masyarakat banyak dan juga keuangan daerah. Visi RPJMD Kota Depok 2006-2011, mencerminkan bahwa titik berat pembangunan lima tahun ke depan Kota Depok adalah penataan pemerintahan yang berorientasi pada kualitas pelayanan dan penyediaan barang-barang publik dan juga penyediaan sarana prasarana ekonomi untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat, sebagai landasan untuk tahapan pembangunan RPJMD berikutnya. Visi jangka menengah lima tahunan Kota Depok, dilandasi oleh analisis kondisi umum daerah saat ini dan prediksi kondisi umum ke depan Kota Depok salah satunya yaitu: Adanya kondisi sosial budaya Kota Depok yang saat ini sudah mengarah pada budaya metropolis yang multi etnis dan dari berbagai tingkat intelektualitas, namun masih dalam ikatan satu homogenitas agama tanpa mengucilkan agama minoritas. Di masa depan, kondisi sosial budaya yang ada akan terus berkembang dan ikatan homogenitas agama akan masih ada dengan kadar yang berbeda. 413 Misi RPJMD Kota Depok Untuk mewujudkan Visi RPJMD Kota Depok lima tahun ke depan, maka telah dirumuskan Misi RPJMD tahun 2006-2011 yaitu: a. Mewujudkan pelayanan yang ramah, cepat dan transparan, b. membangun dan mengelola sarana dan prasarana infrastruktur yang cukup, baik dan merata, c. mengembangkan perekonomian masyarakat, dunia usaha dan keuangan daerah, d. meningkatkan kualitas keluarga, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat berlandaskan nilainilai agama. Penjabaran 4 (empat) misi RPJMD Kota Depok Tahun 2006-2011 dimaksudkan untuk memayungi arah kebijakan dan strategi pencapaian program pembangunan lima tahunan. 414 BAB IV TEMUAN LAPANGAN A. Latar Belakang Pembangunan 1. Riwayat berdirinya Gereja G ereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pangkalan Jati - Gandul didirikan pada tahun 1980. Pada awal berdirinya, jemaatnya berjumlah kurang lebih 11 (sebelas) kepala keluarga, yang tinggal di Kompleks Hankam, Kompleks TNI AL Pangkalan Jati dan Perumahan BPK Gandul. Kebaktian hari minggu pada mulanya diselengarakan di rumah salah seorang keluarga. Nama gereja HKBP Pangkalan Jati - Gandul diambil dari nama kedua desa tersebut, dengan memadukannya menjadi Pangkalan Jati Gandul. Secara administratif gereja ini berada dibawah pembinaan HKBP Resort Kebayoran Selatan, Jl. Asem II Cipete Jakarta Selatan. Jumlah anggota jemaatnya pada saat ini telah mencapai kurang lebih 350 KK, dan mereka itu bertempat tinggal disekitar Cinere, Limo, Meruyung, Pangkalan Jati, Gandul, Rawa Kopi, Pondok Labu, Pondok Cabe, Cirendeu, Desa Pisangan/Ciputat dan Cilandak. Meskipun usianya sudah kurang lebih 20 tahun, namun hingga kini belum mempunyai bangunan gereja dan masih menumpang di rumah ibadah Bahtera Allah, Jl. Baros No.1 Pangkalan Jati milik persekutuan Oikumene warga Kristen Kompleks TNI AL, Pangkalan Jati dan kebaktiannya setiap hari minggu dimulai pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul 415 12.30 WIB. Mengingat anggota jemaat gereja itu dari tahun ke tahun jumlahnya semakin bertambah, sementara gedung ibadah yang digunakan sekarang tidak mampu lagi menampung warga jemaat, terutama kegiatan pembinaan anak-anak sekolah minggu, anak remaja dan pemuda belum dapat dilakukan. Didorong oleh kebutuhan akan perlunya memiliki sebuah Gereja sendiri, maka pada tanggal, 11 September 1988, Majelis Gereja telah membentuk sebuah panitia pembanguanan gereja, dengan tugas membangun gereja yang lokasinya mudah dijangkau oleh seluruh anggota jemaat. 2. Upaya Mendapatkan Tanah Gereja Sebagai realisasi dari pelaksanaan tugas tersebut Panitia Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati – Gandul telah memperoleh tanah seluas 1000 m², dari HKBP Distrik VIII Jawa – Kalimantan yang berlokasi di Bukit Cinere Indah. Tanah tersebut dibeli HKBP Distrik VIII Jawa – Kalimantan dari PT. Urecon Utama. Dalam Master Plan yang dibuat oleh Ketua Bappeda Tingkat II Bogor, sesuai SK. Gubernur Propinsi Jawa Barat No. 26/AII/6/SK/1975 dan No. 27/AII/6/SK/1975 tanggal 12 Januari 1975, secara jelas dicantumkan peruntukannya untuk bangunan gereja HKBP. Lokasi gereja HKBP pada mulanya terletak di Jalan Pesanggrahan II Blok N Cinere, tetapi ketika pengelolaan tanahnya dialihkan dari PT. Urecon Utama kepada PT. Bukit Cinere Indah, tanah gereja HKBP di rekolasi ke lokasi baru di Jalan Puri Pesanggrahan IV Kav. NT-24, yang berbatasan dengan Jalan Bandung. Lokasi baru ini menurut PT. Bulit Cinere Indah peruntukannya adalah untuk fasilitas sosial (fasos). Di lokasi baru inilah gereja HKBP akan dibangun. 416 3. Pengrusakan Membangun Izin Gereja Setelah Panitia Pembanguna Gereja HKBP Pangkalan Jati – Gandul memperoleh tanah untuk bangunan gereja, maka dimulailah usaha-usaha pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja kepada Pemda Tingkat II Bogor. Karena gereja yang akan dibangun terletak di lokasi PT. Bukit Cinere Indah, maka permohonan IMB kepada Pemda Tingkat II Bogor diajukan melalui PT. Bukit Cinere Indah. Permohonan IMB selalu dikembalikan, karena ada persyaratan yang harus dilengkapi, antara lain harus ada persyaratan dari warga masyarakat setempat. Seharusnya persetujuan warga itu tidak perlu karena gereja yang akan dibangun terletak di lokasi Pengembang (developer) dan tanahnya pun masih kosong, serta bangunan disekitarnya belum ada. Setelah kurang lebih 10 (sepuluh) tahun, yakni pada tanggal 13 Juni 1998 Pemda Tingkat II Bogor mengeluarkan IMB No. 453.2/229.TKB/1998, tentang Izin Mendirikan Bangunan tempat ibadah dan Gedung Serba Guna. Bahwa IMB tersebut dikeluarkan Pemda Tingkat II Bogor setelah mempertimbangkan semua persyaratan administrasi yang diperlukan termasuk Surat Pernyataan persetujuan warga masyarakat setempat, selain itu sebelum IMB dikeluarkan lokasi tanah gereja pun ditinjau dua kali oleh sebuah Tim dari dinas/kantor terkait di lingkungan Pemda Tingkat II Bogor, yakni pada tanggak 18 Januari 1982 dan 17 April 1996. 4. Pembangunan dan Kendala yang Dihadapi Dengan telah di terbitkannya IMB oleh Pemda Tingkat II Bogor, maka pada tanggal 24 Oktober 1998, dilakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembanguan gereja HKBP tersebut. Sesuai dengan rencana dan IMB yang disetujui Pemda Tingkat II Bogor bahwa 417 gedung yang akan dibangun di lokasi tersebut adalah Tempat Ibadah dan Gedung Seba Guna. Mengingat dana pembangunan belum mencukupi maka pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sesuai dengan jumlah dana yang tersedia. Pembangunan tahap pertama meliputi : Pembuatan saluran air (got), Pembuatan pagar (kawat berduri), Perataan tanah, Pemasangan turap (batu kali), dan jalan masuk. Tahap kedua meliputi : Pekerjaan pondasi, Pemasangan tiang pancang, Pengecoran lantai dan Instalasi listrik. Ketika pelaksanaan tahap pertama selesai dikerjakan, pada bulan Mei 1999, secara tidak di duga-duga telah timbul reaksi pernyataan keberatan dari warga masyarakat dan dari Forum Komunikasi Persatuan Umat Islam Kecamatan Limo dan sekitarnya (FKPUI). Mereka itu menulis Surat Pernyataan keberatan kepada aparat keamanan, bahkan telah memasang 2 (dua) buah spanduk di depan lokasi gereja. Alasannya adalah soal lingkungan dan keabsahan IMB. Pada tanggal 31 Mei 1999 telah diadakan pertemuan bertempat di ruang rapat Walikota Depok. Peserta rapat adalah beberapa anggota Panitia Pembangunan Gereja HKBP dan para pejabat dari lingkungan Walikota Depok. Pjs Walikota (Bapak Drs. H. Badrul Kamal) pada kesempatan itu mengatakan : a. Bahwa terhitung sejak tanggal 27 April 1999, Kecamatan Depok telah diresmikan menjadi Kotamadya, dan Kecamatan Limo termasuk salah satu wilayah Kodya Depok. b. Telah timbul reaksi pernyataan keberatan dari warga masyarakat terhadap pembangunan gereja HKBP di Jalan Puri Pesanggrahan IV Kav. NT-24 Cinere. Untuk mencegah terjadinya gejolak konflik sosial yang dapat mengganggu kampanye dan pelaksanaan Pemilu dipandang perlu untuk mencari jalan penyelesaiannya. c. Secara legal HKBP telah mempunyai IMB, tetapi masalah legal belumlah cukup karena ada permasalahan lain yang juga 418 penting untuk mendapatkan perhatian, lingkungan dan sosial masyarakat. yaitu masalah Sesuai dengan saran-saran Pemerintah dan Alat keamanan selama Pemilu pembangunan dihentikan. Satu bulan sesudah Pemilu, pembangunan dilaksanakan kembali. Dalam pembangunan tahap kedua, pada tanggal 7 Juli 2000 Camat Limo mengundang Panitia Pembangunan Gereja. Pada rapat tersebut Camat Limo mengatakan agar pembangunan gereja dihentikan sementara, berhubung adanya keberatan dari warga masyarakat. Pada tanggal 8 Juli 2000 Walikota Depok mengundang Panitia Pembangunan Gereja, berhubung undangan tidak samapai, Panitia tidak dapat hadir. Tanggal 8 Juli 2000 Walikota tersebut sejak tanggal 10 Juli 2000 pembangunan dihentikan, sedang pemeliharaan alat-alat dan lapangan terus diadakan, tanggal 14 Juli 2000, ada pihak memasang 2 (dua) buah spanduk di depan gereja menuntut penghentian pembangunan, kemudian tanggal 3 Agustus 2000 spanduk tersebut diturunkan. Untuk mengatasi masalah lingkungan dan sosial disekitar lokasi pembangunan, panitia telah dan sedang melaksanakan langkah-langkah sbb : a. Meningkatkan sosialisasi kepada warga masyarakat dengan mendekatkan diri kepada lingkungan, terutama kepada tokoh masyarakat dan tokoh ulama. b. Tanggal 29 Juli 2000, menghadiri pertemuan dengan tokoh/ulama di rumah H. Syamsi B. Nasution selaku ketua FKPUI. Pada kesempatan tersebut ditanyakan mengenai kelanjutan pembangunan Gereja HKBP. Menurut H. Syamsi B. Nasution, sedang menunggu jawaban edaran angket setuju/tidak setuju pembangunan Gereja HKBP kepada warga disekitar 0-1500 meter dari lokasi Gereja. 419 c. Mengikuti pertemuan Forum Komunikasi Umat Beragama se-Kecamatan Limo, yang diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 2000 bertempat di Gedung Graha Jalan Bhakti, Jl. Jati Raya Barat, Komp. TNI AL Pangkalan Jati. Pertemuan ini telah mengasilkan sebuah deklarasi mengenai kerukunan Antar Umat Beragama se-Kecamatan Limo. Deklarasi tersebut telah ditanda tangani oleh Ketua Forum Komunikasi dan tokoh-tokoh dari masing-masing agama, yaitu Islam, Katolik, Protestaan, Hindu dan Budha. Penandatanganan deklarasi Forum Komunukasi dan Kerukunan Umat Beragama tersebut juga disaksikan oleh Wakil Walikota Kodya Depok, Camat Limo, Muspida dan Muspika se-Kotamadya Depok dan Kecamatan Limo serta perkumpulan pemuda dan berbagai group kesenian. d. Ikut aktif dalam Forum Komunikasi Oikumene seKecamatan Limo. 5. Rencana Kelanjutan Pembangunan Berdasarkan pada uraian tersebut diatas maka Panitia telah merumuskan rencana lanjutan pembangunan Gereja HKBP di Jl. Puri Pesanggrahan IV Kav. NT-24 Cinere: a. Kepada semua pihak yang terkait, terutama kepada lingkungan sosial dan penghuni sekitar lokasi, 350 keluarga HKBP Pangkalan Jati – Gandull yang sebagian besar adalah masyarakat ekonomi sederhana, pegawai negeri, dan alatalat negara yang selama 20 tahun menumpang tempat ibadah, dimana selama 12 tahun telah mengusahakan tanah, IMB dan mengumpulkan dana pembangunan memohon pengertian dan bantuan untuk melanjutkan pembangunan tingkat dasar (Ruang Serba Guna). b. Kepada lingkungan tetangga dan masyarakat sekitarnya, penanganan lingkungan sosial akan ditingkatkan, demikian juga pekerja serta penjaga yang terlibat akan 420 diutamakan tenaga setempat. Bentuk dari bangunan dasar Serba Guna tersebut sangat sederhana agar tidak ada kesan penonjolan rumah ibadah. c. Kepada kelompok umat beragama di daerah Kecamatan Limo dan sekitarnya, terutama kepada Forum Komunikasi untuk Persatuan Umat Islam Kecamatan Limo dan sekitarnya, HKBP mohon pengertian, dan kerjasama. Forum Komunikasi dan Kerukunan Umat Beragama yang telah dideklarasikan pendiriannya dimana HKBP juga ikut aktif melalui Forum Komunukasi Oikumene, kiranya dapat dibina dan dikembangkan. Bila pada waktu yang lalu ada kekurangan komunikasi, maka kami akan meningkatkan kerjasma, dan komunikasi kepada semua Umat Beragama di daerah Cinere tersebut. d. Kepada pihak Pemerintah, RT, RW, Lurah, Camat dan Walikota dan kepada Alat Keamanan di Kecamatan Limo panitia mohon pengertian dan petunjuk agar Panitia melanjutkan pembangunan tersebut.68 B. Kronologis Pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul 1. Respon masyarakat terhadap rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul Respon masyarakat muslim terhadap gereja khususnya yang terkait pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP yang terletak di Komplek Perumahan Bukit Cinere Indah (BCI) tepatnya di kavling NT 24 Jl. Pesanggrahan IV/Jl. Bandung sejak tahun 1998, yang tergabung dalam Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali 68 http://hkbpcinere.tripod.com/ 421 konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan. Kronologis kejadiannya tercatat dan dibukukan secara jelas dan mudah dipahami; a. Lokasi (SITE) Lahan Rencana Gereja Di dalam surat perjanjian antara PT. Bukit Cinere Indah dengan pihak HKBP tertanggal 31 Agustus 1992, dinyatakan bahwa lokasi lahan yang dibeli dari PT. Urecon Utama, tanggal 25 Juni 1980 adalah di RW. 14 Blok N. Dan di dalam laporan HKBP yang ditandatangani oleh Ir. M. Simatupang (Ketua Panitia Pembangunan Gereja)tertanggal 12 September 2000 dinyatakan bahwa lokasi Blok N dimaksud adalah di Jalan Pesanggrahan II seluas 1000m² dimana sebagaimana nyatanya; Jl. Puri Pesanggrahan II RW. 14 Blok N sekarang ini adalah semata-mata untuk perumahan, dan bukan untuk fasilitas sosial. Di dalam Surat Perjanjian tanggal 31 Agustus 1992 tersebut di atas, oleh PT. Bukit Cinere Indah yang disetujui oleh Pihak HKBP bahwa lokasi tersebut dipindahkan ke Jl. Puri Pesanggrahan IV RW 14 Kaveling NT 24 dan luasnya dirubah menjadi 4209m², dan dikatakan pula diperuntukkan bagi gereja. Padahal PT. Bukit Cinere Indah sebenarnya tidak berwenang menentukan begitu saja di kaveling NT 24 itu untuk gereja. Yang berwenang menentukan peruntukkan tata ruang lahan adalah Pemda. Lagi pula pada tahun 1992 itu telah banyak rumah-rumah yang dimukimi warga muslim. Warga bersedia membeli rumah di lokasi tersebut karena mengetahui bahwa di sekitarnya tidak akan dibangun gereja. Terbukti pula, bahwa pada Berita Acara Serah Terima No. 593.6/43/XII/2001 tanggal 10 Desember 2001 antara PT. Bukit Cinere Indah dan Walikota Depok, tidak dinyatakan 422 adanya FASOS untuk gereja, yang ada hanyalah untuk taman kanak-kanak, dan mushalla. Setelah mendapat lahan di blok NT 24 tersebut di atas; HKBP mulai mengadakan persiapan-persiapan untuk mengurus IMB dari kabupaten Bogor (sebelum tanggal 27 April 1999, wilayah Depok masih berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten Bogor). Untuk mengurus IMB gereja tersebut pihak HKBP mau tidak mau harus mendatangi warga sekitar lokasi yang pada umumnya beragama Islam; untuk minta persetujuan. Tentu saja warga menjadi resah: apalagi saat itu hanya ± 50 m² dari lokasi rencana gereja itu telah berdiri sebuah Masjid yang didirikan oleh RW. 10 Jl. Bandung. Masjid itu sekarang dirubah jadi gedung Sekolah Dasar, setelah masjid baru dibangun lebih besar, dan diberi nama Husnul Khatimah di dalam Kompleks RW. 10 yang jaraknya ± 75m dari lokasi yang direncanakan oleh HKBP membangun gereja. Warga muslim RW 14 dan RW 16 yang dihubungi HKBP seluruhnya tidak setuju dan menolak rencana pembangunan gereja di kompleks Bukit Cinere Indah, RW 14 dan RW 16. Pihak PT. Bukit Cinere Indah yang dimintai tolong mengurus IMB oleh HKBP juga tegas-tegas tidak menyanggupi, karena tidak memperoleh persetujuan warga. Sebagai langkah antisipasi pengurus RW 14 dan RW 16 atas permintaan Bapak Camat Limo; guna meredam keresahan masyarakat agar tidak berkembang menjadi isu SARA dst; pada tanggal 17 Desember 1995 mengadakan pertemuan bertempat di rumah sekretaris RW 14 yang dihadiri oleh unsur: Pemerintahan Desa Cinere, Pihak warga di wakili oleh pengurus RW 14 & RW 16, Pengurus Perkumpulan Pengajian BCI, Tokoh-tokoh masyarakat BCI. 423 Dari pertemuan tersebut disimpulkan bahwa warga kompleks Bukit Cinere Indah (BCI) menolak rencana pendirian gereja HKBP di Blok NT 24 Bukit Cinere Indah; dan penolakan tersebut tertuang di dalam Surat Kepada Kepala Desa Cinere No. 11/RW/XII/95 tertanggal 30 Desember 1995 dengan tembusan sebagai berikut: Bupati Bogor, Camat Limo, Pengurus RW 14 & RW 16, Tokoh masyarakat. diantara warga masyarakat yang menolak dari RW 14 & RW 10, dan lokasi tempat tinggalnya tepat sekitar rencana lokasi gereja dimaksud, bahkan menyampaikan Surat Pernyataan bahwa dari dulu hingga sekarang mereka tetap menolak rencana gereja. b. IMB; SK Bupati Kdh Tingkat II Bogor Sekalipun dapat tantangan dari masyarakat muslim sekitar lokasi tersebut. Entah bagaimana prosesnya; sedangkan masyarakat terutama pihak warga, RT dan RW sekitar lokasi tidak pernah menyetujui/merekomendasikan, namun nyatanya IMB tersebut di atas terbit juga. IMB tersebut ditandatangani SETWILDA Kabupaten Bogor No. 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998. Berdasarkan IMB tersebut di atas; pihak HKBP pun cepat-cepat melakukan persiapan pembangunan. Batu pertama diletakkan tanggal 24 Oktober 1998, diikuti dengan kegiatan fisik lainnya. Masyarakatpun semakin resah dan bergolak. Pada tanggal 16 April 1999 Ketua RT 04/14 yaitu RT dimana gereja dimaksud berlokasi; menandatangani surat bersama Ketua RW 14 no. 3/RW/Ket/99. Surat itu ditandatangani juga (diketahui) oleh Kapolsek Sawangan; Ketua RW 16; dan Tokoh-tokoh masyarakat BCI yang mana mereka itu, sekarang 424 sebagian besar masih ada. Surat tersebut berisikan penolakan pembangunan gereja di Jalan Bandung/Puri Pesanggrahan IV; dan minta agar IMB yang telah terbit ditinjua kembali. Surat tersebut ditujukan kepada: Kepala Desa Cinere, Camat Limo, Bupati Kdh Tingkat II Bogor, Kapolsek Cinere/Sawangan, dan Gubernur Kdh Tingkat I Jawa Barat. Sejak tanggal 27 April 1999 Kotamadya Depok resmi berdiri sendiri terpisah dari Kabupaten Dati II Bogor, dengan Pjs Walikota adalah Drs. H. Badrul Kamal. Guna menyatukan kekuatan, umat Muslim sekitar lokasi mendirikan suatu Forum yang disebut Forum Komunikasi untuk Persatuan Umat Islam (FKPUI) diketuai oleh Bapak Syamsi B. Nasution, bermarkas di Masjid Khatimah RW 10 Jl. Banjar. Pada tanggal 9 Mei 1999, FKPUI mengundang masyarakat muslim sekitar untuk melakukan do'a bersama dengan menyelenggarakan Istighozah Kubro bertempat di Jl. Bandung Cinere, memohon kepada Allah agar gereja di Jl. Puri Pasanggrahan IV/Jl. Bandung tidak jadi dibangun. Pada tanggal 31 Mei 1999 Bapak Pjs Walikota Depok memanggil Panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul ke kantor Walikota dan disitu dijelaskan bahwa agar pembangunan gereja dihentikan untuk meredam gejolak sosial yang lebih besar, pembangunanpun kemudian dihentikan. Namun setelah selesai Pemilu 1999, ternyata pihak HKBP meneruskan pembangunan dengan memulai menanam tiang pancang, pondasi dsb. Masyarakat tahu bahwa kegiatan sebenarnya telah diminta berhenti oleh yang berwenang, namun sekarang mulai lagi; lalu bergolak lagi antara lain melalui protes-protes tertulis. 425 Pada tanggal 29 Juni 2000 Polsek Sawangan mengirim surat kepada Camat dengan surat no. B/600/VI/2000 yang pada intinya agar IMB pembangunan gereja ditinjau kembali. Tanggal 7 Juli 2000, Camat Limo minta agar HKBP menghentikan sementara pembangunan untuk menghindari bentrokan di lapangan. Dan pada tanggal 8 Juli 2000 Bapak Walikota Depok mengeluarkan surat no. 300/923-Tib minta agar panitia pembangunan gereja menghentikan kegiatan pembangunan, sambil menunggu keputusan lebih lanjut dari Walikota Depok. d. Masa "dorman" tanpa kegiatan Sejak dikeluarkannya surat Walikota tertanggal 8 Juli 2000 tersebut di atas, kegiatan pembangunan gereja praktis dorman (terhenti) hingga akhir tahun 2007. Namun ternyata sembari "dorman" tersebut pihak panitia pembangunan gereja HKBP tetap melakukan gerakan kesana kemari, bergerilya, lobby, entah apalagi dengan berbagai cara. Sementara itu; pada tahun 2006 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 9 dan no. 8 tahun 2006 yang intinya menyatakan bahwa suatu rumah ibadat dapat didirikan bila masyarakat sekitar lokasi tidak keberatan; dan mendapat surat rekomendasi persetujuan dari Kantor Departemen Agama setempat dan FKUB (Kerukunan umat Beragama) setempat. Sesudah dorman tersebut, secara terang-terangan dan tertulis, kegiatan HKBP dimulai lagi dengan upaya mempengaruhi Ketua RW 14 Bukit Cinere Indah melalui sepucuk surat no. 48/DVII/RI/P.J.G/X/2007 tanggal 10 Oktober 2007 yang intinya mohon dukungan Ketua RW 14 agar pembangunan gereja di Jl. Puri Pasanggrahan IV/Jl. 426 Bandung dapat dimulai lagi. Surat ditandatangani Pimpinan Jemaat HKBP yaitu Bapak Victor E. Napitupulu. Surat tersebut dijawab oleh Ketua RW 14 (Sdr. Soetomo Wirioputro) dengan surat tanggal 5 Desember 2007 no. 049/KRW/XII/07 yang menyatakan tidak keberatan. Seorang Ketua RW sebenarnya tidak memiliki kewenagan untuk menyetujui suatu pembangunan di lokasi RW. Apalagi hal ini menyangkut rumah ibadat khususnya lagi gereja, yang sejak awal ditentang masyarakat. Surat Ketua RW 14 No. 049/KRW/XII/07 tertanggal 5 Desember 2007 ternyata akibatnya sangat fatal. Surat itu telah tersebar kemana-mana oleh HKBP yang menyatakan bahwa HKBP telah dapat membangun kembali gereja di Jl. Bandung/Jl. Puri Pesanggrahan IV Blok NT 24 karena warga telah tidak keberatan. Padahal, warga yang benar-benar bertempat tinggal di sekitar lokasi tetap keberatan dan menolak rencana pembangunan gereja (Lampiran 6a s/d/ 6d). Surat tersebut juga dijadikan landasan untuk HKBP mengirim surat tanggal 18 Desember 2007 kepada FKUB Depok, menyatakan bahwa HKBP akan mulai lagi membangun gereja di kavleng NT 24 Bukit Cinere Indah karena warga masyarakat telah tidak keberatan. Di dalam surat dinyatakan bahwa pembangunan akan dimulai lagi pada awal bulan Januari 2008. e. Panitia HKBP mulai lagi meneruskan pembangunan Berbekal surat Ketua RW 14 tanggal 5 Desember 2007 pada awal Januari 2008 HKBP mulai lagi penerusan pembangunan gereja. Masyarakat muslim sekitar lokasipun bangkit lagi memprotes sehingga terjadi lagi pergolakanpergolakan di dalam masyarakat. Pada tanggal 23 Januari 2008, bertempat di aula Masjid Raya Cinere; pertemuan 427 diadakan antara tokoh-tokoh muslim Cinere dan mengundang Lurah Cinere Bapak Isa Anshori. Di dalam butir 10 notulen rapat tersebut, Bapak Lurah juga menyatakan bahwa pihak HKBP telah berupaya memanipulasi persetujuan warga. Setelah terlebih dalu mengecek ke lapangan; Bapak Lurah Cinere menandatangani surat no. 450.2/08/I/2008 tertanggal 26 Januari 2008 ditujukan kepada pimpinan gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul; dan minta agar penerusan (pembangunan kembali gereja) dihentikan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Ditegaskan pula bahwa bila HKBP berkehendak membangun kembali gereja, diminta agar memenuhi ketentuan di dalam Peraturan Bersama Dua Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006. Pada tanggal 28 Januari 2008 pembangunan gereja kembali behenti (dorman kedua). Masa dorman kedua ini berlangsung hingga awal bulan September 2008. Sementara itu, Ketua RW 14 Cinere (Sdr. Soetomo Wirioputro) dengan mengeluarkan surat no. 002/KRW/I/2008 tanggal 27 Januari 2008 menyatakan mencabut surat RW 14 tertanggal 5 Desember 2007; dan menyatakan pula agar pimpinan Jemaat HKBP menghentikan lanjutan pembangunan gereja sebagaimana diinginkan oleh warga muslim. Sayang surat pencabutan RW 14 tersebut momentnya sudah hilang, karena surat persetujuan RW 14 tanggal 5 Desember 2007 itu telah dijadikan dasar dan disebar ileh HKBP; dan telah disampaikan kepada FKUB Depok dengan tembusan kemanamana. Surat pencabutan dari RW 14 tanggal 27 Januari 2008 itupun tidak pernah diexposed oleh HKBP. Sementara itu, warga muslim Cinere terus berupaya meyakinkan pihak-pihak yang berwenang agar tidak menyetujui pembangunan kembali gereja HKBP Cinere. 428 Tanggal 6 Februari 2008 tokoh-tokoh masyarakat muslim yang bergabung di dalam Pengajian Keluarga BCI dan Majelis Ta'lim Nurul Mukmin menandatangani Surat Bersama yang ditujukan kepada bapak Walikota Depok. Surat tersebut no. 02/II/2008. Pada tanggal 11 Februari 2008 Ketua Umum Masjid Raya Cinere menandatangani Surat Penolakan Gereja no. 64/PMRC/II/2008 ditujukan kepada Bapak Walikota Depok yang antara lain berisikan: a) Dari sejak semula hingga sekarang rencana pembangunan gereja di Jl. Bandung/Jl. Puri Pesanggrahan IV Cinere ditentang masyarakat muslim tidak saja dari sekitar lokasi, tapi juga dari pemukiman sekitar seperti Pangkalan Jati, Gandul, Pondok Cabe, dsb. b) Mohon agar Bapak Walikota Depok berkenan mencabut IMB gereja HKBPdi Jl. Bandung/Jl. Puri Pesanggrahan IV Cinere tersebut. Dan surat no. 65/PMAC/II/2008 ditujukan kepada FKUB Depok dengan berintikan permohonan yang sama. Tanggal 4 Maret 2008 Pengajian Keluarga BCI dan Majelis Ta'lim Nurul Mukmin sekali lagi menulis surat ditujukan kepada Bapak Walikota Depok. Surat tersebut bernomor 04/III/2008 dengan dilampiri satu bandel penolakan warga sebanyak 670 orang atau sebanyak 31 halaman. Pengajian keluarga BCI bersama ibu-ibu yang tergabung di dalam Majelis Ta'lim Nurul Mukmin Cinere menyampaikan surat bersama tanggal 12 mei 2008 ditujukan kepada: Bapak Walikota Depok no. 10/V/2008, dan Kandep Agama Depok 429 dan FKUB Depok no. 11/V/2008. Kepada Walikota Depok dilampiri 721 pernyataan penolakan warga (29 halaman). Surat Lurah Cinere no. 450.2/70 tanggal 17 Juli 2008; meralat surat; yang mana salah satu kalimat dalam surat tanggal 26 Januari 2008 yaitu yang berbunyi FKUB Depok menjadi Walikota Depok. Sehingga, intinya menjadi bernunyi: Gereja HKBP Cinere tidak dapat diteruskan tanpa persetujuan Walikota Depok. f. Desakan masyarakat mulai mendapat tanggapan yang berwenang Menanggapi desakan masyarakat muslim yang bertubitubi; pihak-pihak yang berwenang di Kotamadya Depok mulai menyadari akan kesungguh-sungguhan masyarakat muslim Cinere dan sekitarnya tentang keinginan agar pembangunan gereja HKBP tersebut tidak jadi dibangun di Kompleks BCI Cinere; dan mulai memberikan tanggapan. FKUB Kota Depok dengan surat yang "Diberi" nomor 023/FKUB/VI/2008 tanggal 2 Juni 2008 (disebut "diberi") karena prosesnya sebenarnya jauh sesuadah itu yaitu bulan Oktober 2008. Surat tersebut disusul dengan surat no. 026/FKUB/VI/2008 tanggal 20 Oktober 2008 khusus butir 3 yang intinya FKUB menyatakan penolakan pembangunan gereja HKBP dan berpihak kepada aspirasi masyarakat muslim dan meminta agar pihak Walikota bertindak tegas. Kantor Departemen Agama Kota Depok, dengan surat no. Kd 10.22/I/HM.00/1126/2008 tanggal 9 Juni 2008; telah dengan tegas memberikan rekoemendasi kepada Walikota Depok guna menghentikan pembangunan gereja HKBP Cinere. 430 Tanggal 13 Agustus 2008 Bapak Camat Limo mengeluarkan surat no. 4502/422-Pemb ditujukan kepada Bapak Walikota Depok segera mengambil keputusan karena masyarakat muslim sekitar Cinere dari dulu hingga sekarang tetap menolak rencana dibangunnya gereja HKBP di Cinere. g. Panitia HKBP mulai lagi membangun, dan kali ini lebih nekat Suasana dorman tersebut dalam butir e.3, ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 2 September 2008 dan disaatsaat ummat muslim sedang mulai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan 1429 H/2008; panitia gereja mulai membangun lagi secara terang-terangan dengan mengerah-kan ± 20 orang buruh pekerja didatangkan dari Cilacap Jawa Tengah. Yang dulu baru berupa tiang pancang dan fondasi dengan secepat kilat bekerja siang malam selama ± 2 minggu disulap menjadi suatu kondisi "dak" siap cor. Melihat situasi yang demikian rawan; dan dapat menimbulkan konflik horizontal antar warga; Bapak Lurah Cinere bertindak sigap dan segera mengeluarkan surat no. 4110/90-Pemb tanggal 5 September 2008; yang intinya, minta agar pembangunan gereja segera dihentikan karena tidak sesuai ketentuan. Namun apa hendak dikata, yang dulu-dulu surat resmi pihak kelurahan selalu diindahkan dan dipatuhi; kali ini sama sekali tidak digubris; dan pembangunan jalan terus, siang malam. Selama pelaksanaan pembangunan tersebut pihak HKBP melibatkan pengamanan dari salah satu parpol "PDIP" lengkap dengan Satgasnya. Disamping itu di dalam bangunan gereja dikibarkan bendera Parpol tersebut dengan berbagai ukuran. Setelah diadakan konfirmasi kepada Pimpinan Parpol 431 baik Pusat, Cabang Depok maupun Ranting Cinere, bahwa gerakan tersebut di luar pengetahuan Partai, maka FSUM minta bantuan pada Polsek Limo untuk mensterilkan lokasi guna mencegah terjadinya konflik terbuka. Setelah itu pihak HKBP juga mengerahkan salah satu organisasi masyarakat guna mengamankan kegiatan pembangunannya. Sejalan dengan yang dilakukan FSUM minta bantuan pada butir g.2. terhadap Parpol tersebut, akhirnya oknum ormas tersebut dapat disterilkan dengan bantuan dari Polsek Limo. ummat muslim pun tidak tinggal diam spanduk yang diturunkan di pasang kembali dan begitu seterusnya. Pada tanggal 14 September 2008 Takmir Masjid Khusnul Khatimah mengirim surat kepada Polsek Cinere; Surat no. 14/MHK/IX/2008 yang menyatakan pihak panitia gereja HKBP telah bertindak melawan aparat Pemda yang syah, melanggar peraturan; dan karenanya, mohon agar Polsek Cinere bertindak; yaitu menghentikan pembangunan yang nekat itu. Tanggal 17 September 2008 malam jam 19.30 wib Komandan Polsek Cinere didampingi beberapa anak buah; datang ke lokasi gereja guna melihat langsung kejadian di lapangan. Pada tanggal 18 September 2008 Kapolsek Cinere memanggil panitia pembangunan gereja untuk datang ke kantor Polsek Cinere. Besoknya tanggal 19 September 2008 kegiatanpun berhenti, dan para pekerja yang dari Cilacap pulang ke kampungnya masing-masing. Sejak tanggal 19 September 2008 tersebut, kegiatan pembangunan gereja HKBP Cinere "dorman" lagi. 432 h. Panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul berlaku licik dan memancing terjadinya konflik horizontal Menyaksikan kelicikan pihak panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung sergauna HKBP Pangkalan Jati Gandul yang berkali-kali secara diam-diam dan mendadak membangun kembali gereja tanpa landasan hukum sedikitpun dari yang berwenang Pemda Depok, dan berkali-kali pula berhenti bila dipergoki; maka umat muslimpun berupaya lebih menggalang kewaspadaan; dan berupaya mendesak pihak-pihak yang berwenang di Kota Depok agar segera mencabut secara resmi IMB tahun 1998 dari Kabupaten Bogor yang ada ditangan panitia pembangunan rumah ibadat dan gedung sergauna HKBP Pangkalan Jati Gandul. Pada awal September 2008 Ketua DKM Masjid Raya Cinere (Bp. H. Budi Waluyo) melaporkan kepada Bapak Walikota Depok tentang ketegangan antara umat muslim dengan pihak HKBP yang dapat mengarah menjadi Konflik Horizontal (laporan melalui SMS). Atas dasar laporan tersebut (melalui SMS) Bapak Walikota Depok memberikan arahan: • Agar tetap koordinasi dengan aparat Polsek dan Koramil terdekat (Limo). • Agar dicegah jangan sampai terjadi tindakan anarkis dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Atas dasar butir h.1. tersebut pada tanggal 19 September 2008 selepas shalat Isya perwakilan-perwakilan umat muslim BCI, Cinere, Pondok Cabe, Gandul, Limo dan Pangkalan Jati mengadakan pertemuan di aula Masjid Raya Cinere dipimpin oleh Ketua DKM Masjid Raya Cinere Bapak Budi Waluyo. Pada pertemuan itu umat muslim sepakat membentuk Forum 433 Solidaritas Ummat Muslim (FSUM). Sebagai Ketua ditunjuk Bapak Budi Waluyo dan Sekretaris Bapak Abdurrahman; keduanya berasal dari Masjid Raya Cinere. Ketua-ketua DKM Masjid yang ada di sekitar desa-desa sekeliling Cinere ditunjuk sebagai koordinator masing-masing wilayah, di tingkat lapangan ditunjuk pula koordinator lapangan (korlap) yang bertugas mengkoordinasikan personilpersonil di masing-masing lapangan. Pada tanggal 20 September 2008 ± 100 orang perwakilan ummat muslim yang tergabung di dalam FSUM beramairamai mendatangi Kantor FKUB Depok, dengan dikawal aparat Polsek Limo, menyampaikan aspirasi dan petisi penolakan dari warga terhadap gereja HKBP di Cinere. Demo tersebut diterima oleh Ketua FKUB Depok beserta jajarannya; dan mendapat pengawalan ketat dari Polres Depok (lihat foto Lampiran 23). Pada tanggal 22 September 2008; camat Limo mengundang para ketua DKM yang terkait, Kapolsek Limo, Danramil Limo, Ketua MUI Limo, Lurah Cinere dan Tokoh Gereja Limo, guna membicarakan perkembangan yang ada sekitar kemarahan ummat muslim dengan adanya penerusan pembangunan gereja HKBP di Jl. Puri Pesanggrahan IV BCI, Cinere. Di dalam pertemuan tersebut semua unsur memberikan saran dan pendapat; yang inti kesimpulannya: • Gereja tidak bisa dibangun bila tidak memenuhi ketentuan Peraturan Bersama Dua Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006 • Bila di lapangan masih ada kegiatan agar segera laporkan kepada pihak aparat yang berwenang. Kendatipun mendapat protes dan tantangan dari ummat muslim Cinere dan sekitarnya; walaupun dalam masa-masa 434 tertentu pembangunan dihentikan (dorman); namun kenyataannya panitia pembangunan gereja HKBP tidak berhenti berupaya meneruskan pembangunan.Sesudah hari raya Idul Fitri 1429 H, tepatnya tanggal 12 Oktober 2008 jam 06.00 pagi; tiba Lagi ± 20 orang pekerja dari Cilacap untuk rencananya mulai bekerja lagi hari senin tanggal, 13 Oktober 2008. Namun kali ini umat muslim Cinere, Limo, Pangkalan Jati, Gandul, dan Pondok Cabe, sudah hampir hilang kesabaran, langsung bergerak menghadapi pihak panitia pembangunan gereja HKBP yang nekat itu. Malam-malam tanggal 12 Oktober 2008 sekitar jam 21.00 wib, ummat muslim mendatangi lokasi gereja; dengan didampingi aparat Polsek Limo, dengan tujuan untuk memberikan peringatan agar pekerja yang ada tidak melanjutkan pekerjaannya. Karena peristiwa itu dilakukan pada malam hari, maka para pekerja yang ada lari menyelamatkan diri; dan pada jam 04.00 pagi hari senin tanggal 13 Oktober 2008, semua pekerja itupun sudah tidak ada lagi ditempat. Pembangunan gerejapun mengalami "dorman" lagi. a. Ummat Muslim Cinere tidak mau kecolongan lagi. Untuk mengawasi dari dekat perkembangan yang terjadi di lapangan; maka di Jl. Bandung ± 50 m lokasi calon gereja dibangunlah sebuah POSKO pengawasan. Posko tersebut walaupun tidak setiap saat namun tiap hari selalu didatangi oleh petugas/anggota FSUM guna melakukan pemantauan dari dekat. b. Pada tanggal 26 Oktober 2008, dengan prakarsai oleh FSUM; menyelenggarakan Istighozah dengan mengundang seluruh ummat muslim Cinere dan sekitarnya, yang tergabung di dalam DKM seperti: Husnul Khatimah 435 Cinere: Husnul Khatimah Cinere,, Imam Bonjol Pangkalan Jati, An Nur BPK yang seluruhnya tidak kurang dari 17 DKM meliputi ± 1000 orang ummat muslim. Guna menepis pendapat bahwa yang menolak pembangunan gereja HKBP adalah orang-orang yang berdomisili di luar wilayah Cinere, maka panitia menolak keikutsertaan berbagai organisasi muslim/Islam di luar wilayah Cinere. Sehingga jama'ah yang datang hanya; benar-benar dari masyarakat yang berdomisili di sekitar Cinere. c. Desakan-desakan melalui surat-surat terus dilancarkan ke FSUM Pada tanggal 8 Januari 2009 melalui surat no. 020/FSUM/I/ 2009; FSUM Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya; mendesak Walikota Depok agar mencabut IMB yang telah dikeluarkan oleh Bapak Bupati Bogor melalui Setwildanya pada tahun 1998; karena satu-satunya yang dijadikan dasar oleh pihak HKBP untuk bersikeras meneruskan pembangunan adalah IMB tahun 1998 tersebut. Surat FSUM tersebut di atas mendapat tanggapan positif dari Bapak Bupati Bogor. Tanggal 6 Februari 2009 dengan surat no. 452.2/35/HK; pada intinya Bapak Bupati Bogor menyatakan bahwa berdasarkan UU RI No. 15 tahun 1999, kecamatan Limo masuk ke dalam wilayah administrasi Kodya Depok, dan karenanya sepenuhnya berada di bawah tanggungjawab Walikota Depok. Surat tersebut disampaikan juga kepada Bapak Walikota Depok. d. Pada tanggal 19 Februari 2009; melalui surat no. 022/FSUM/II/2009 Ketua FSUM sekali lagi menyampaikan surat kepada Bapak Walikota Depok; dengan menjelaskan secara kronologis alasan-alasan/dasar hukum yang dapat dipergunakan dalam 436 mempertimbangkan pencabutan IMB yang diterbitkan oleh Setwilda Kabupaten Bogor tahun 1998 tersebut; sekali lagi Ketua FSUM mohon agar Bapak Walikota Depok berkenan mencabut/membatalkan IMB gereja HKBP dimaksud. e. Pada tanggal 27 Maret 2009; mulalui Surat Keputusan no. 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 Bapak Walikota Depok resmi mencabut IMB No. 453.2/229/TKB/1998 tertanggal 13 Juni 1998 yaitu IMB untuk gereja dan gedung serbaguna HKBP yang berlokasi di Jl. Puri Pesanggrahan IV Kaveling NT 24 Kelurahan Cinere. f. Pihak HKBP rupanya tidak dapat menerima keputusan Walikota Depok tersebut, dan pada tanggal 7 Mei 2009 telah mendaftarkan pengaduan di Peradilan Tata Usaha Negara (PRATUN) Bandung. Sidang pertama telah berlangsung tanggal 2 Juni 2009 dan dilanjutkan tanggal 9 Juni 2009 seterusnya tanggal 23 Juni 2009. Dengan demikian, permasalahan gereja HKBP di Jl. Puri Pesanggrahan IV/Jl. Bandung Cinere, Depok telah memasuki ranah hukum, dengan pihak yang berperkara terdiri dari HKBP di satu pihak dan Walikota Depok beserta jajarannya di pihak lain. 2. FKUB Kota Depok a. Permohonan HKBP Pangkalan Jati Gandul Terkait Pembangunan Kembali Tempat Ibadat dan Ruang Serba Guna Surat permohonan pembangunan kembali tempat ibadat dan ruang serba guna yang ditujukan kepada FKUB Kota Depok oleh HKBP Pangkalan Jati Gandul dengan nomor: 87/D. VIII/R1/PJG/XII/2007 adalah sebagai berikut: 437 1. Lokasi/tempat bangunan; Jl. Bandung/Jl. Puri Pesanggarahan IV Kav. NT-24 Bukit Cinere Indah No. 014 Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok. 2. Perizinan yang ada; a. IMB (Izin Mendirikan Bangunan) No. 453.2/229/TKB/1998, tanggal 13 Juni 1998 yang dikeluarkan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bogor, b. Surat dari warga sekitar lokasi, tentang tidak keberatan untuk pembangunan kembali Tempat Ibadat dan Gedung Serba Guna, c. Surat dari Pengurus Rukun Warga RW.014 Bukit Cinere Indah No. 049/KRW/XII/07 tanggal 5 Desember 2007, perihal Persetujuan dan tidak keberatan pembangunan kembali Gereja HKBP. 3. Data Jemaat HKBP yang menginginkan tempat ibadat, sesuai daftar Ruas Ni Huria (Anggota Jemaat) HKBP Pangkalan Jati Gandul, Ressort Kebayoran Selatan, Distrik VIII Jawa Kalimantan Tahun 2007: • • • • • Kelurahan Cinere Kecamatan Limo Kelurahan Ciputat, Tanggerang Jakarta Selatan Daerah lainnya Jumlah : 161 orang : 493 orang : 66 orang : 262 orang : 37 orang 1.019 orang Hal tersebut di atas, kami sampaikan sesuai dengan PBM tentang persyaratan pembangunan rumah ibadat, dimana disyaratkan adanya koordinasi dengan FKUB tingkat Kotamadya dan instansi terkait lainnya untuk pelaksanaan pembangunan tempat rumah ibadat dimaksud. Perlu kami sampaikan bahwa kami akan memulai pembangunan kembali Tempat Ibadat dan Gedung Serba Guna pada awal Januari 2008. Untuk itu kami harapkan 438 adanya pertemuan koordinasi antara kami dan FKUB Kodya Depok. Waktu dan tempat kami serahkan sepenuhnya kepada FKUB Kodya Depok. b. Rekomendasi FKUB Kota Depok untuk Panitia Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul Terkait dengan kebijakan pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadat dan gedung serbaguna atas nama HKBP Pangkalan Jati Gandul, yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Walikota Depok Nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009. Pihak Pimpinan FKUB Kota Depok sebelumnya telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul tanggal 2 Juni 2008 berdasarkan surat permohonan Jemaat HKBP Pangkalan Jati Gandul Resort Kebayoran Selatan No. 87/D.VIII/R1/-PJG/XII/2007 tanggal 18 Desember 2007 perihal permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP di Jl. Pesanggrahan IV/Jl. Bandung Kawasan Cinere, Kecamatan Limo, dalam konsedaran menimbang: 1. Bahwa pendirian rumah ibadat harus didasarkan pada keperluan nyata dengan pelaksanaannya tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum; 2. Bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama antarumat beragama, pemerintah daerah dan pemerintah; 3. Bahwa sehubungan dengan permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul perlu dikeluarkan Rekomendasi tertulis. 439 Dalam Surat Keputusan FKUB Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul tanggal 2 Juni 2008 konsedaran mengingat: a) Bab IV Pasal 13 (1) dan (2), Pasal 14 (1) dan (2) PBM No. 9 dan No. 8 tahun 2006, dan b) Pedoman Kerja dan Kode Etik FKUB Kota Depok. Selanjutnya dalam Surat FKUB Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul tanggal 2 Juni 2008 konsedaran memperhatikan: 1. Aspirasi masyarakat khususnya kalangan masyarakat Muslim Cinere dan sekitarnya yang menyatakan keberatan dan menolak pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di lingkungan mereka; 2. Surat penghentian pembangunan no. 300/923-Tb tanggal 8 Juli 2000 dari Walikota Depok kepada Ketua Panitia Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul; 3. Pendapat dan saran yang disampaikan dalam rapat koordinasi antarinstansi terkait tanggal 18 April 2008 di Kantor Kesbang Linmas Kota Depok; 4. Laporan hasil investigasi kelompok kerja FKUB Kota Depok di bawah koordinasi Sdr. Slamet Riyadi; 5. Pendapat dan saran yang disampaikan dalam rapat pleno khusus membahas agenda permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di kawasan Cinere, tanggal 31 Mei 2008. 440 Bagian akhir Surat Keputusan Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul tanggal 2 Juni 2008 menetapkan: Pertama, Memberikan rekomendasi kepada Walikota Depok untuk segera melakukan pendekatan kepada pihakpihak terkait dengan semangat kekeluargaan demi mencegah terjadinya salah paham yang mengarah pada situasi yang disharmoni; Kedua, menetapkan solusi final bagi berakhirnya masalah yang telah berlangsung lama, sejak penolakan pertama oleh masyarakat pada tahun 1992. Ketiga, keputusan ini berlaku sejak dikeluarkan. c. Surat FSUM Terkait Penolakan Rekomendasi FKUB FSUM merespon rekomendasi FKUB Kota Depok nomor 023/FKUB/VI2008 tanggal 2 Juni 2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dengan nomor suratnya: 004/FSUM/X/2008 tentang Penolakan Rekomendasi FKUB Kota Depok tersebut berpendapat dan menyatakan: 1. Tidak memahami dan tidak mengerti keseluruhan dari SK tersebut, terutama: • Tidak ada sama sekali akomodasi tuntutan masyarakat FSUM sebagaimana tercantum dalam petisi FSUM dan pertemuan dengan pihak FKUB tanggal 20 September 2008. • Bagaimana pertimbangan FKUB sehingga surat yang dikeluarkan 2 Juni 2008 baru dikirim dan diterima oleh FSUM pada bulan Oktober, setelah penyampaian aspirasinya pada tanggal 20 September 2008. 441 • Mengapa keputusan tersebut tentang: permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul bukan : penolakan pembangunan HKBP yang secara nyata di lapangan telah 2 (dua) kali menimbulkan suasana instabilitas baik dalam kerukunan umat beragama maupun ketertiban masyarakat sehingga memberikan kesan dan nuansa untuk diterbitkannya IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di Jl. Bandung, Cinere. 2. FSUM mendesak pada FKUB agar: • Mengeluarkan rekomendasi "Menolak Pendirian rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul" sebagai bahan pertimbangan Walikota mengeluarkan keputusan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul yang ada dan tidak menerbitkan IMB baru untuk selamalamanya (surat FSUM Nomor: 2/FSUM/X/2008) • Mencabut SK No. 23/FKUB/VI/2008 tanggal 2 Juni 2008, karena bertentangan dengan aspirasi Umat Islam Cq. FSUM yang disampaikan di kantor FKUB 20 September 2008 sekaligus ikut memelihara kerukunan umat beragama dan ketertiban masyarakat di wilayah Depok pada umumnya, wilayah kecamatan Limo pada khususnya, sesuai tujuan dikeluarkannya PBM. d. Penolakan Rekomendasi FKUB Kota Depok Sehubungan dengan rekomendasi FKUB Kota Depok tersebut di atas, kemudian dilakukan ralat kembali Surat Penolakan Rekomendasi oleh pihak FKUB Kota Depok No. 026/FKUB/X/2008 atas dasar pertimbangan surat FSUM no. 442 004/FSUM/X/2008 tertanggal 17 Oktober 2008, yang ditujukan kepada Pengurus FSUM. Bunyi surat tersebut adalah: Permohonan maaf apabila rekomendasi kami tidak sepenuhnya memenuhi aspirasi FSUM Cinere dan sekitarnya, dan permohonan maaf atas ketidakcermatan yang bisa mengundang kesan adanya rekayasa. Meskipun telah berusaha seteliti mungkin, diakui sebagai manusia memiliki banyak kelemahan. Kami telah menjelaskan kepada delegasi FSUM pada tanggal 20 September 2008 di ruang rapat FKUB, disaksikan para perwira Polres Metro Depok dan Pejabat Kantor Kesbang Linmas, bahwa sebelum mereka datang telah ada sejumlah pernyataan keberatan dan penolakan dibangunnya HKBP Cinere. Kami memang tidak menyebut secara eksplisit dan rinci aspirasi semua kelompok masyarakat yang menyatakan keberatan dan penolakan. Namun jiwa dan semangatnya sudah tercermin pada butir 1 (klausal memperhatikan) yang menyatakan, kami memperhatikan aspirasi masyarakat khususnya kalangan Muslim Cinere dan sekitarnya yang menyatakan keberatan dan menolak pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di lingkungan mereka. Sebelum FSUM menyampaikan aspirasi, 20 September 2008, pleno FKUB menetapkan rekomendasi yang akan dikeluarkan tanggal 7 Juni 2008, namun pengirimannya menunggu kelengkapan dokumen penghentian pembangunan yang telah kami mintakan dari jajaran Pemkot Depok. 443 Ternyata H. Syarif dari FSUM kemudian menyerahkan surat Walikota Depok bernomor 300/923-Tb tanggal 8 Juli 2000 tentang penghentian pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, yang FKUB tunggu. Dengan tambahan data yang FKUB cantumkan pada butir 2 (klausal memperhatikan), Pengurus FKUB memutuskan agar Rekomendasi yang telah disepakati segera disampaikan kepada Walikota, dengan penyesuaian sesuai perkembangan yang terjadi. Apapun penyebabnya kami menegaskan bahwa hal itu terjadi semata-mata kesalahan manusiawi, bukan karena ada maksud-maksud lain. Untuk itu kami mohon maap, dan bersedia meralatnya dengan ucapan terima kasih atas koreksi yang telah disampaikan. kami dapat memahami pendapat dan interpretasi warga masyarakat tentang tugas dan fungsi FKUB, namun perlu disampaikan, wewenang untuk diterbitkannya IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul sepenuhnya menjadi tugas dan tanggungjawab Walikota dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadat. FKUB sebatas menyampaikan rekomendasi tertulis seperti telah diatur dalam PBM. Sehubungan dengan surat FSUM No. 004/FSUM/ X/2008 tanggal 17 Oktober 2008 terkait butir 2 huruf (a) dan (b), agar FKUB menolak pendirian rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, kami mohon maaf, bahwa hal itu tidak dapat dilakukan oleh FKUB, karena dalam melaksanakan tugasnya, FKUB harus tunduk pada PBM. 444 3. Rekomendasi Kandepag Kota Depok Kepala Kantor Departemen Agama Kota Depok sebagai instansi pemerintah yang berada di wilayah Kodya Depok yang sesuai dengan ketentuan PBM adalah fungsi dan tugasnya memberikan rekomendasi kepada Kepala Daerah Tingkat Kab/Kota. Dalam hal ini Kepala Kandepag Kota Depok memberikan rekoendasi kepada Walikota Depok dengan nomor: Kd.10.22/HM.00/1126/2008 perihal Rekoendasi Penolakan Pembangunan Kembali rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul Jl. Puri Pesanggrahan IV/Jl. Bandung Bukit – Cinere Indah. Alasan rekomendasi berdasarkan surat Pengajian Keluarga Bukit Cinere Indah/Majelis Taklim Nurul Mu'min Nomor : 11/V/2008, tanggal 12 Mei 2008, perihal Penolakan Pembangunan Kembali rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dimaksudkan: untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan kami merekomendasikan kepada Walikota Depok untuk menghentikan/menolak permohonan izin pembangunan gereja tersebut, karena tidak sesuai/belum memenuhi peraturan/ perundang-undangan yang berlaku antara lain mendapatkan izin lingkungan. C. Kebijakan Walikota Depok tentang pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul terkait dengan Ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan PBM. 1. Latar belakang kebijakan Kebijakan Walikota Depok Nomor: 645.8/144/Kpts/ Sos/ Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang pencabutan IMB tempat ibadat dan gedung serbaguna atas nama HKBP di 445 Jalan Pesanggarahan pertimbangan: Cinere, Limo-Depok dengan a. Tanggal 13 Juni 1998 Bupati KDH TK. II Bogor telah mengeluarkan Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tempat ibadah dan gedung serbaguna Atas nama HKBP di Jl. Pesanggarahan atau yang sekarang dikenal dengan Jalan Bandung-Cinere, Limo-Depok; b. Dalam pelaksanaannya sejak dikeluarkan IMB sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai saat ini, pembangunan gereja dan gedung serbaguna milik HKBP dimaksud tidak dapat terselesaikan, dikarenakan terjadi penolakan oleh warga disekitar lokasi yang tergabung dalam Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan; c. Untuk menjaga hal-hal yang tidak dinginkan berupa aksi massa secara spontan dan tidak terkendali yang dilakukan masyarakat, pada tanggal 8 Juli 2000 Pemerintah Kota Depok telah mengeluarkan surat dengan nomor 300/923TIB yang ditujukan kepada Ketua Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul untuk menghentikan kegiatan pembangunan gereja dan gedung serbaguna tersebut. d. Pihak HKBP saat ini masih berupaya untuk melaksanakan pembangunan gereja dan gedung serbaguna dengan berdasarkan IMB yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor sebagaimana dimaksud pada huruf a; 446 e. Terhadap upaya sebagaimana dimaksud pada huruf d, pihak Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya telah menyampaikan penolakan kepada Walikota Depok melalui surat Nomor 022/FSUM/II/-2009 tanggal 19 Februari 2009 perihal penolakan pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul di Jl. Bandung-Cinere, Limo-Depok; f. Berdasarkan Pasal 27 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Walikota selaku Kepala Daerah mempunyai kewajiban memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; g. Dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf f serta untuk mencegah terjadinya konflik di lapangan atas pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP di Jl. Pesanggarahan atau yang sekarang dikenal dengan Jl. Bandung –Cinere, Limi-Depok, maka dengan berdasarkan kepada Pasal 27 huruf c, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Rekomendasi dari Kantor Departemen Agama Kota Depok Nomor KD.10.22/I/HM.00/1126/2008 dan Surat Keputusan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, Pemerintah Kota Depok perlu mengambil sikap atas rencana pembangunan gereja dan gedung serbaguna HKBP dimaksud; 447 h. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g perlu ditetapkan Keputusan Walikota tentang Pencabutan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat dan Gedung Serbaguna HKBP di Jl. Pesanggrahan-Cinere, Limo-Depok. Dalam Surat Keputusan Walikota Depok Nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009 konsedaran mengingat: a. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3828); b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua 448 atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); e. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); g. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksana Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat; h. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 07 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kota Depok (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2008 Nomor 07); i. Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 08 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kota Depok Tahun 2008 Nomor 08). 449 Selanjutnya dalam Surat Keputusan Walikota Depok Nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009 konsedaran memperhatikan: a. Keputusan Bupati Bogor Nomor 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998 tentang izin Mendirikan Bangunan (IMB) Tempat Ibadat dan Gedung Serbaguna; b. Surat Walikota Depok Nomor: 300/923-Tib tanggal 8 Juli 2000 tentang Penghentian Pembangunan; c. Surat Keputusan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Nomor: 023/FKUB/VI/2008 tanggal 2 Juni 2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. d. Surat Kepala Kantor Departemen Agama Kota Depok Nomor: Kd.10.22/I/HM.00/1128/2008 tanggal 9 Juni 2008 tentang Rekomendasi Penolakan Pembangunan Kembali rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. Bagian akhir Surat Keputusan Walikota Depok Nomor: 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tanggal 27 Maret 2009 menetapkan: Pertama, mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Tempat Ibadat dan Gedung Serbaguna atas nama HKBP Pangkalan Jati Gandul yang beralamat di Jl. Pesanggrahan IV Kav. NT-24 Kelurahan Cinere Kecamatan Limo Depok yang diperbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Nomor : 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998. Kedua, Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. 450 6. Tanggapan Panitia Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul Umat Kristen dan Persekutuan Gereja-Gereja Setempat (Kota Depok) menolak pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul yang beralamat di Jalan Puri Pesanggarahan IV Kav NT-24 Kelurahan Cinere Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. Penolakan tersebut karena dasar pencabutan IMB tidak mengacu kepada Peber Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksana Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala daerah dalam kerukunan Umat Beragama, pemberdayaan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadat. Sebelumnya Gereja tersebut telah mendapat IMB yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Nomor 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998, namun keputusan tersebut dibatalkan oleh Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail melalui keputusannya Nomor 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 menyatakan mencabut IMB rumah Ibadat dan gedung serbaguna atas nama HKBP Pangakalan Jati Gandul pada 27 Maret 2009. Menurut Nur Mahmudi keputusan tersebut diambilnya sudah dengan sangat hati-hati atas pertimbangan karena disinyalir IMB tersebut bermasalah dan tidak valid, Nur Mahmudi yang adalah mantan Presiden PKS dan juga mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan di era Presiden Abdurahman Wahid juga mengatakan bahwa sebelum mengeluarkan pencabutan izin tersebut dia telah melakukan konsultasi dengan para muspida setempat, dan terakhir dengan Bupati Bogor Rahmat Yasin mengenai bagaimana 451 sikap yang harus diambil terhadap rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul tersebut. Gereja dan gedung serba guna didirikan di atas tanah seluas 5000 meter persegi yang dibeli oleh jemaat pada tahun 1997, namun pembangunan tersebut mengalami penundaan dikarenakan keterbatasan biaya. Satu-satunya upaya jemaat HKBP dalam memperjuangkan hak-haknya adalah harus menempuh jalur hukum, yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jawa Barat. Akhirnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung memenangkan gugatan HKBP Cinere atas Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail yang mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP. Kelanjutan perkara ini, kabarnya akan ada tuntutan memori banding dari Nur Mahmudi ke Kejaksaan Tinggi di Jakarta. Kerukunan hidup antar umat beragama masih merupakan masalah serius, pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul oleh Walikota Depok. Kita tahu ini hanya salah satu peristiwa hambatan yang dialami oleh gereja-gereja di Indonesia kendatipun SKB 1969 telah diganti Peraturan Bersama Menag dan Mendagri 2006. Kita mendapat kesan pemerintah mengambil “sikap aman” dengan membiarkan masyarakat menghadapi sendiri masalah pelanggaran HAM. Pemerintah mengambil “sikap aman” dengan membiarkan sekelompok orang menutup atau merusak rumah ibadah, menghancurkan warung-warung dan melakukan razia. Bahkan ketika terjadi musibah rakyat seperti dibiarkan berjuang sendiri. Di mana peranan pemerintah menegakkan hukum dan mengayomi masyarakat seperti digariskan di dalam undang-undang? 452 Sangat memprihatinkan, hidup di sebuah negara yang melindungi hak-hak warga negaranya untuk bebas melakukan Ibadah, ternyata ada oknum pejabat berwenang yang justru tidak senang dengan adanya pendirian rumah ibadat bagi masyarakat tertentu. D. Dasar Pertimbangan Walikota Depok Mencabut IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul. 1. Hubungan Kebijakan Walikota Depok dengan PBM Dalam pelaksanaannya sejak dikeluarkan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Cinere, pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna milik HKBP dimaksud tidak dapat terselesaikan, dikarenakan terjadi penolakan oleh warga di sekitar lokasi yang tergabung dalam Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya yang ditandai dengan terjadinya beberapa kali konflik di lapangan pada saat pembangunan dilaksanakan. Untuk menjaga hal-hal yang tidak dinginkan berupa aksi massa secara spontan dan tidak terkendali yang dilakukan masyarakat, pada tanggal 8 Juli 2000 Pemerintah Kota Depok telah mengeluarkan surat dengan nomor 300/923-TIB yang ditujukan kepada Ketua Pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul untuk menghentikan kegiatan pembangunan gereja dan gedung serbaguna tersebut. Pihak HKBP saat ini masih berupaya untuk melaksanakan pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna dengan berdasarkan IMB yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. 453 Forum Solidaritas Umat Muslim Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo dan sekitarnya telah menyampaikan penolakan kepada Walikota Depok melalui surat Nomor 022/FSUM/II/2009 tanggal 19 Februari 2009 perihal penolakan pembangunan gereja HKBP Cinere. Berdasarkan Pasal 27 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Walikota selaku Kepala Daerah mempunyai kewajiban memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Dalam rangka menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud serta untuk mencegah terjadinya konflik di lapangan atas pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, maka dengan berdasarkan kepada Pasal 27 huruf c, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, Rekomendasi dari Kantor Departemen Agama Kota Depok Nomor KD.10.22/I/HM.00/1126/2008 dan Surat Keputusan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul, Pemerintah Kota Depok perlu mengambil sikap atas rencana pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dimaksud;Respon FKUB terhadap kebijakan Walikota Depok. 454 BAB V ANALISA K ota administrasi Depok merupakan kota metropolitan, kehidupan masyarakatnya sangat beragam, seperti; etnik, budaya, dan agama. Aspek keyakinan beragama masyarakatnya menunjukkan penganut Islam jumlahnya sangat besar yaitu 1.319.224 jiwa (89,97%), dari sejumlah penduduk 1.503.677, bila dibandingkan dengan penganut agama-agama lainnya seperti; Kristen (5,23%), Katolik (3,50%), Hindu (0,58%), Buddha (0,70%) dan Konghuchu (0,02%). Berbagai keputusan dan kebijakan Walikota Depok harus memperhatikan dari berbagai keperluan dan kepentingan lapisan masyarakat yang ada, termasuk dalam hal ini masalah pendirian rumah ibadat oleh masing-masing penganut agamanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan otonomi daerah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 22 huruf a menyebutkan dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehubungan dengan masalah pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangakalan Jati Gandul oleh Walikota Depok Nomor 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/-2009 tanggal, 27 Maret 2009, yang berakibat menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Kristen khususnya Jemaat HKBP dan masyarakat Muslim yang ada disekitar lokasi pembangunan 455 rumah ibadat, bahkan melibatkan beberapa tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat luas yang ada di wilayah kecamatan Limo. Meskipun sebelumnya Gereja tersebut telah mengantongi IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangakalan Jati Gandul yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Nomor 453.2/229/TKB/1998 tanggal 13 Juni 1998. Keputusan Walikota Depok tentang pencabutan IMB ini dalam rangka menjalankan kewajiban untuk mencegah terjadinya konflik di lapangan atas pembangunan rumah ibadat HKBP Pangakalan Jati Gandul. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 27 huruf c dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan 26 undang-undang ini, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban: memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Namun, pada tataran rialitas keputusan pencabutan IMB ini ternyata menuai protes/penolakan dan ditempuh melalui jalur hukum oleh pihak panitia pembangunan rumah ibadat HKBP Pangakalan Jati Gandul ke PTUN Bandung dengan menggugat Walikota Depok selaku pembuat keputusan pencabutan IMB rumah ibadat. Alasan panitia pembangunan dan Jemaat HKBP menolak pencabutan IMB adalah tidak mengacu kepada PBM. Dalam Bab VI Pasal 21 ayat (1) perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat. Ayat (2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak 456 memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota. Ayat (3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat. Salah satu alasan yang kuat mendukung dikeluarkannya keputusan pencabutan IMB adalah kehendak/kemauan masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui FSUM Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo telah menyampaikan penolakan kepada Walikota Depok melalui surat Nomor 022/FSUM/II/2009 tanggal 19 Februari 2009. Selain itu, adanya rekomendasi dari Kepala Kantor Depag Kota Depok Nomor KD.10.22/I/HM.00/1126/2008 tentang penolakan pembangunan rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dan Surat Keputusan FKUB Kota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008 tentang Rekomendasi Permohonan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangakalan Jati Gandul. Selanjutnya rekomendasi FKUB tersebut dilakukan ralat kembali dengan perihal Penolakan Rekomendasi oleh pihak FKUB Kota Depok dengan no. 026/FKUB/X/2008 atas dasar pertimbangan surat FSUM no. 004/FSUM/X/2008 tertanggal 17 Oktober 2008, yang ditujukan kepada Pengurus FSUM. Keputusan Walikota Depok ini juga dipandang oleh Jemaat HKBP dan masyarakat Kristen adalah mendiskriminasikan pihak minoritas yang tinggal di wilayah Kota Depok, semestinya seorang Walikota adalah figur publik yang bisa mengayomi berbagai kelompok masyarakat yang ada. Berarti masalah ini, tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 32 457 Tahun 2004 Pasal 28 huruf a Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang: membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain. Respon keberatan masyarakat FSUM Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo terkait IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul dapat penulis pahami secara simbolik adalah ketidaksenangan mereka terhadap tata krama ataupun perilaku orang Batak dalam melakukan pembangunan rumah ibadat tersebut yang tidak memperdulikan psikologis, dan sosial budaya kehidupan masyarakat Islam orang Depok. Disisi lain dapat penulis pahami adanya predijuce suatu ancaman kelangsungan Islam masyarakat Depok terhadap penyebaran keimanan (teologis) Kristen oleh sekelompok masyarakat Batak yang ada dilingkungan Jemaat HKBP. Sedangkan posisi ataupun peranan FKUB Kota Depok terkait kasus pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangkalan Jati Gandul ini telah membuat surat rekomendasi kepada Walikota Depok Nomor 023/FKUB/VI/2008: Pertama, untuk segera melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait dengan semangat kekeluargaan demi mencegah terjadinya salah paham yang mengarah pada situasi yang disharmoni; Kedua, menetapkan solusi final bagi berakhirnya masalah yang telah berlangsung lama, sejak penolakan pertama oleh masyarakat pada tahun 1992. Ketiga, keputusan ini berlaku sejak dikeluarkan. 458 Rekomendasi ini ternyata mendapat penolakan keras oleh pihak FSUM, kemudian dilakukan ralat kembali Surat Penolakan Rekomendasi oleh pihak FKUB Kota Depok No. 026/FKUB/X/2008 atas dasar pertimbangan surat FSUM no. 004/FSUM/X/2008 tertanggal 17 Oktober 2008, yang ditujukan kepada Pengurus FSUM. Rekomendasi tersebut intinya adalah: 1. Telah menjelaskan kepada delegasi FSUM pada tanggal 20 September 2008 di ruang rapat FKUB, disaksikan para perwira Polres Metro Depok dan Pejabat Kantor Kesbang Linmas, bahwa sebelum mereka datang telah ada sejumlah pernyataan keberatan dan penolakan dibangunnya HKBP Pangkalan Jati Gandul. 2. Memang tidak menyebut secara eksplisit dan rinci aspirasi semua kelompok masyarakat yang menyatakan keberatan dan penolakan. Namun jiwa dan semangatnya sudah tercermin pada butir 1 (klausal memperhatikan) yang menyatakan, kami memperhatikan aspirasi masyarakat khususnya kalangan Muslim Cinere dan sekitarnya yang menyatakan keberatan dan menolak pembangunan gereja HKBP di lingkungan mereka. 3. FKUB dapat memahami pendapat dan interpretasi warga masyarakat tentang tugas dan fungsinya, wewenang untuk diterbitkannya IMB gereja HKBP sepenuhnya menjadi tugas dan tanggungjawab Walikota dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pendirian rumah ibadat. FKUB sebatas menyampaikan rekomendasi tertulis seperti telah diatur dalam PBM. 4. Sehubungan dengan surat FSUM tersebut, agar FKUB menolak pendirian gereja HKBP Pangkalan Jati Gandul, 459 kami mohon maaf, bahwa hal itu tidak dapat dilakukan oleh FKUB, karena dalam melaksanakan tugasnya, FKUB harus tunduk pada PBM. Dengan demikian, FKUB Kota Depok telah berupaya melakukan tugas dan fungsinya sesuai ketentuan PBM, namun adanya surat ralat rekomendasi penolakan pencabutan IMB tersebut menjadikan tugas dan fungsinya tidak tegas dan dapat terpengaruh dengan keinginan ataupun desakan pihak FSUM dan masyarakat sekitarnya. 460 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan B erdasarkan penjelasan di atas, dalam penelitian ini dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Kebijakan Walikota Depok melakukan pencabutan IMB rumah ibadat dan gedung serbaguna HKBP Pangakalan Jati Gandul dimaksudkan dalam rangka menjalankan kewajiban untuk mencegah terjadinya konflik. Namun Jemaat HKBP dan persekutuan gereja-gereja setempat menolak pencabutan IMB tersebut, karena sesungguhnya tidak mengacu kepada PBM. 2. Semestinya Walikota Depok adalah figur publik yang bisa mengayomi berbagai kelompok masyarakat yang ada, sesuai Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 28 huruf a. 3. Dasar pertimbangan yang kuat mendukung keputusan Walikota Depok melakukan pencabutan IMB tersebut adalah kehendak/kemauan masyarakat di lingkungan sekitarnya melalui FSUM Cinere, Pondok Cabe, Pangkalan Jati, Krukut, Maruyung, Gandul, Limo. B. Rekomendasi Dari hasil penelitian ini yang dapat penulis sampaikan dalam rekomendasi adalah: 461 1. Pemerintah perlu meningkatkan sosialisiasi PBM lebih intensif dan berkelanjutan kepada aparat pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan warga masyarakat agar dapat memahami ketentuan perundang-undangan sehingga tidak terjadi konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. 2. Perlu ketegasan dari FKUB kab/kota dalam bersikap dan memberikan rekomendasi dalam menerbitkan dan meninjau IMB rumah ibadat sesuai dengan PBM kepada pihak bupati/walikota tanpa tekanan dari pihak manapun. 3. Dalam menerbitkan dan meninjau IMB rumah ibadat, pemerintah kab/kota wajib mengacu kepada ketentuan PBM dan aspirasi masyarakat tanpa memihak kepada kelompok tertentu. 4. Kasus-kasus yang terkait dengan penerbitan dan peninjauan IMB rumah ibadat perlu menjadi dasar pertimbangan Depag, Depdagri serta majelis-majelis agama dalam rangka membenahi, dan menyusun kebijakan peraturan pemerintah daerah sesuai PBM. 462 DAPTAR PUSTAKA Aris Pongtuluran, Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan (Jakarta: Buletin LPMP, No.9, 1995). Allen J Putt and J Fred Springer, Policy Research (New Jersey: Prentice Hall, 19890). Bardach Eugene, A Practical Guide for Policy Analysis The Eighfold to One Effective Problem Solving (New York: Catham House Publishers of Seven Bridges Press, 2000). Burt Nanus, Visionary Leadership (San Fansisco: Jossey Bass 1992). Colin Newton and Tonny Tarrant, Managing Change in Schools (London: Routladge, 1992). Charles C Manzs, dan Henry P. Sim, Jr, The New Super Leadership (San Fransisco: Bernett Koehler Publishers, inc, 2000). David Thenuwara Gamage and Nicholas Sun-Keung Pang, Leadership and Management in Education (Hongkong:The Chinese University Press, 2003). E.G Bogue and Robert L. Sauders, The Educational Manager: Artist and Practitioner (California: Wardsworth Publishing Company, 1976). Hessel Nogi S Tangkilisan, Implementasi Kebijakan Publik (Yoyakarta: Lukman Offset, 2003). James L. Gibson, John M. Ivancevich and James H. Donnelly, Jr, Organization: Behavior, Structure, and Process, (Amerika: Richard D Irwins, 1997). 463 John M. Ivancevich and Michael T. Matesson, Organizational Behavior (New York: McGraw Hill, 2002). Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik (Malang:Bayumedia Publishing, 2007). John Thomas Thompson, Policymaking in American Education (New Jersey: Englewood Cliffs, 1976). Laurence R. Jauch and William Glueck, Business Policy and Strategic Management (Singapura: McGraw Hill, 1988). Leo Agustino, Dasar-Dasar Alfabeta, 2006). Kebijakan Publik (Bandung: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, Cet. Kedua, 2006. Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia Tahun 2008, Diterbitkan pada Desember 2008. Riant Nugroho Dwijowijoto, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi (Jakarta: Elek Computindo, 2003). Riant Nugroho Dwijowijoto, Implementasi Kebijakan Publik (Yogyakarta: Lukman Ofset, 2003). 464 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik ( Jakarta: Suara Bebas, 2006). Stephen P. Robbins, Essentials of Organizational Behavior (New Jersey:Prestice Hall, 1984). William G. Monahan and Herbert R. Hengst, Contemporery Educational Administration (New York:Macmillan Publishing, Co,Inc.1982). William N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2003). Waren R. Plunkett, Raymond F Attner, dan Gemmy S. Allen, Management: Meeting and Exceeding Customer Expectations (New York: Thomson South Western, 2005). 465 466 RESPON MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) PROPINSI BANTEN TERHADAP TAYANGAN INFOTAINMEN DI TELEVISI Oleh: Muchtar RESPON MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) PROPINSI BANTEN TERHADAP TAYANGAN INFOTAIMEN DI TELEVISI Muchtar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah erubahan sosial terwujud sebagai peristiwa, proses, dan arah perkembangan. Yang bisa mengalami perubahan adalah kedudukan dan peranan, kolektif, aturan-aturan ataupun nilai-nilai struktur sosial. Perubahan tersebut bisa terjadi secara terbatas dan bisa secara menyeluruh, peristiwa tertentu bisa mengakibatkan perubahan pada satuan atau satuan yang terbatas tanpa mengakibatkan perubahan pada keseluruhan sistem. Perubahan sosial tertentu bisa saja terjadi tanpa upaya yang sengaja diadakan dan bisa juga terjadi sebagai akibat upaya yang sengaja diadakan.1 P Televisi memiliki peranan sangat penting dalam rangka menyampaikan informasi, pesan-pesan maupun berita kepada masyarakat disamping media ini sangat mudah diakses dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Cara ini dipandang sangat efektif dan menarik serta efesisen karena 1 Sudjangi, Agama dan Masyarakat,Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama, hal, 168, tahun 1992/1993. 467 dapat menjangkau semua lapisan masyarakat, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman. Acara televisi sangat digemari oleh masyarakat terutama di perkotaan, karena televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media lainnya, antara lain kecepatan, kemudahan dan kesegaran topiknya (immediatelly), berkelanjutan (continuity), suasana keakraban dan kedekatan pemirsanya (intimacy) serta komunikasi bersifat langsung (directness). (Phiggins dalam Arraiyyah dan Anwar, R. 2001).2 Oleh karena itu program-program di Televisi terus dikembangkan seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman , baik yang dilakukan oleh TVRI sebagai lembaga penyiaran publik maupun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, INDOSIAR, AN-TV, TV-7 dan lain-lainnya yang kesemuanya menyajikan program khusus dan menarik hati pemirsa seperti infotainment, sinetron dan lain-lainnya yang kadangkala kurang mengindahkan kultur dan budaya bangsa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai moral bangsa sehingga mengundang banyak protes dari sebagian masyarakat pemirsa televisi. Namun, materi-materi siaran infotainment di televisi belum diketakui secara komprehensif, baik tema kajian, materi kajian ini menggunakan kata-kata investigatif maupun aktualisasi kajian, serta refrensi yang digunakannya, dengan fokus pada siaran infotainment. Barang tentu apa yang disajikan oleh infotainment patut kita pertanyakan kualitasnya. Bahkan beberapa pihak mengatakan infotainment bukan bagian dari jurnalistik, meskipun salah satu tayangan ini menggunakan embel-embel investigative. Jika ingin dikatakan sebagai bagian jurnalistik, mungkin perlu ada 2 Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, hal, 126, Vol VI, tahun 2008; 468 penataran atau pelatihan ulang bagi pengelola bisnis ini agar menyajikan liputan cover both side dan bukan berita “konon” dimana dengan hanya merekam gambar rumah atau mobilnya sudah dianggap mendapat quotatin. Di masyarakat berita-berita mengenai artis sudah sangat familiar untuk didengarkan atau diikuti berita tentang kehidupan artis. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat kita yang selalu merasa ingin mengetahui, mengikuti khabar dari kehidupan yang dijalani idolanya. Bagi orang yang kurang mengidolakan artis mungkin akan sangat jarang dan bahkan tidak menyukai berita-berita seperti itu untuk dikonsumsi. Dalam media cetak dan elektronik, acara infotainment merupakan acara yang mampu menyedot pemirsa yang cukup banyak, sebab acara ini menampilkan sisi kehidupan artis yang sudah tentu memiliki penggemar. Adanya figur artis sebagai sang idola membuat jutaan pasang mata menyenangi acara ini. Disamping itu acara ini mampu mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga tidak heran, kalau media elektronik berlomba-lomba menyuguhkan dengan berbagai macam penamaan. Ada yang namanya Go Spot, Silet, Kasak kusuk, Kroscek dan lain sebagainya. 3 Penampilan selebritis dalam acara infotainment ini sering sebagai ajang terselubung untuk meraih popularitas. Tidak heran banyak sensasi yang dilakukan para selebritis agar dunia infotainment melirik kehidupannya. Sehingga dengan demikian, wajah mereka senantiasa eksis di layar televisi . Mereka tidak kalah saing dengan artis lain. Semakin sensasional seorang artis akan berpengaruh pada rating bayaran tiap kali seorang selebritis tampil. 3 Isu Dari Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, Infotainment: Gosip Atau Ghibah.Tuesday, 24 Juni, 2008, 10:45. 469 Sayangnya, masyarakat sering disuguhkan berita-berita sensasi selebbritis yang jauh dari kesan kemaslahatan, mereka lebih banyak mengandung unsur mudharat. Berita yang ditampilkan umumnya tentang permasalahan yang sifatnya menembus kehidupan etika sosial yang penuh dengan nuansa glamour, dan kontra moral yang sebenarnya tidak pantas dipublikasikan. Kehidupan perceraian artis, perselingkuhan, perkelahian, kehidupan bebas gonta ganti pasangan, dunia malam (clubbing) dan yang sejenis lainnya. Infotainment yang disuguhkan kepada kita dikemas dengan bahasa gosip. Jika kita perhatikan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (1988), gosip memiliki arti obbrolan tentang seseorang, cerita negatip tentang seseorang, dan pergunjingan. Peristilahan gosip sesungguhnya merupakan istilah lama, namun semakin popular seiring dengan maraknya persaingan dunia infotainment di dunia pertelevisian. Gosip merupakan bahasa media elektronik untuk meuniversalkan bahasa yang fokusnya membicarakan permasalahan seseorang yang belum jelas tentu benar atau tidak. Dari sudut pandang jurnalistik (infotainment) adalah bila sebuah informasi sudah ada sumbernya maka hal ini dianggap layak dan sah untuk diberitakan. Terlepas gossip atau tidaknya informasi itu tidak terlalu dipermasalahkan. Permasalahan yang timbul dikemudian hari apabila ada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan tersebut. Kerugian bisa menyangkut nama baik, reputasi, baik artis, tokoh, pemimpin maupun sebuah lembaga. Gosip dalam Islam sesungguhnya dikatagorikan sebagai perbuatan tidak terpuji, sebab secara substansial memiliki kesamaan dengan ghibah, baik dari segi cara, sifat maupun dampak yang ditimbulkannya. Dari segi cara, infotainment, 470 gosip dan ghibah sama-sama sumbernya hanya saja sang informent tidak mengetahuinya. Dari segi sifatnya, sudah tentu sama-sama berita yang masih samar dan belum tentu akurat, sehingga melahirkan prasangka (suhudzhan) dan mencari-cari aib orang lain (tajayus). Dari segi dampak negatipnya sama-sama berpotensi menimbulkan kerugian di tengah-tengah masyarakat, merusak tali silaturrahmi, persaudaraan, menghidupkan api permusuhan dan pertentangan. Disinilah kita sesungguhnya harus waspada terhadap trend gosip, infotainment menjadi “virus” dan membuat kita menjadi hobi bergosip (infotainment) dalam kehidupan. Disadari atau tidak, dewasa ini persoalan gosip menggosip terlihat semakin semarak di dalam masyarakat kita. Jangan sampai kita. Hingga hari ini, tayangan infotainment di layar televisi Indonesia masih menjadi konttraversi, Dewan Pers – bersama Program The European Initiative for Democracy and Human Right (EIDEHR) European Commision - dalam diskusi pada 21 Nopember 2005 yang mempertanyakan apakah infotainment termasuk jurnalistik. Setahun kemudian, Universitas Paramadina Jakarta menggelar seminar dengan tema serupa. Sementara Perstuan Wartawan Indonesia (PWI) mengakui bahwa infotainment sebagai karya yurnalistik. Dalam institusi PWI, secara mengakomodasi jurnalis infotainment yang mendaftarkan diri ke dalam organisasi ini. Secara resmi ada Departemen Infotainment sejak akhir Desember 2005. Diluar diskusi Dewan Pers dan seminar Universitas Paramadina, ada yang merumuskan: Infotainment dikategorikan jurnalistik, “hanya saja, ada jurnalistik bagus dan ada tak bagus”. Dan “infotainment termasuk yang tak bagus”. Yang lain menyatakan infotainment terlalu memasuki wilayah 471 privasi, sementara –pasti- para mempersoalkan jabaran “privasi” itu. pekerja infotainment Lebih jauh bahkan pekerja infotainment berujar bahwa “perselingkuhan perlu dibongkar, karena itu menyangkut moral”, Dalam logika pekerja infotainment dan pemilik tayangan yang sering memberitakan perselingkuhan, perkawinan, perceraian, persoalan rumah tangga, perpacaran sesama lajang dan bujang, atau perkasihan suami/istri dengan lelaki/ perempuan lain, tayangan infotainment mengemban kritik sosial dan moral, mengingat selebritas adalah juga figur publik. Salah satu puncaknya, Agustus 2006, Ulama Nahdlatul Ulama (NU) usai bermuktamar di Surabaya menfatwakan bahwa infotainment haram hukumnya karena memasuki wilayah ghibah alias gunjingan, bahkan fitnah karena tak terbukti kebenaranya. 4 B. Rumusan Masalah Tayangan infotainment mendapat apresiasi yang luar biasa banyak dari masyarakat, itulah kenyataan yang terjadi dalam masyarakat kita. Mereka lebih menyukai tayangan yang berbau infotainment dari pada tayangan yang bersifat realitas seperti berita. Keadaan itu seakan tak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka, sehingga tiada hari tanpa posip. Ini akan menjadi contoh yang kurang baik jika terus menerus masyarakat disuguhi tayangan seperti tersebut diatas. Bahkan penontonnya dengan mudah menirukan setiap apa yang dikerjakan artis itu. Tentu akan membawa dampak buruk jika setiap hari masyarakat mengkomsumsi berbagai tayangan kehidupan artis yang tidak selalu ada sisi 4Dari Wikipedia, Bahasa Inndonnesia , Insiklopedia bebas, Langsung ke Navigasi, Pelajaran Jurnalistik dari Infotainment , Rabu tanggal 03 januari 2007. 472 positipnya. Hal ini perlu dimiliki setiap individu ketika menghadapi hal semacam diatas adalah tetap berupaya dapat menyaring informasi yang diterima. Setiap informasi yang masuk harus dapat dibedakan mana yang harus dikonsumsi dan mana yang tidak layak untuk diketahui. Berbagai hal yang menyangkut informasi yang kurang layak dapat menyebabkan masyarakat semakin terpuruk dengan tayangan yang disajikan oleh media. Melek media dibutuhkan disaat banyak informasi yang disajikan media sudah mengalami degradasi moral. Tayangan infotainment adalah contok yang dapat dinilai sebagai tayangan yang mementingkan sisi produser dan menjerat konsumen dengan berbagai kemasan yang unik dan menarik. Ketika kritik dan hujatan banyak menghujam produsen acara infotainment dalam hal ini media televisi, yang demikian itu membuktikan adanya suatu sisi negatif yang ditimbulkan tayangan tersebut. Berbagai dampak yang kurang baik muncul di masyarakat kita mulai pola hidup yang hedonis dan berbagai dampak yang lain menjadi acuan banyak pihak yang mengecam adanya tayangan ini. Memang pada dasarnya masyarakat kita masih belum siap, mereka hanya dapat mengkonsumsi tapi belum dapat memikirkan efek sampingnya. Karena yang mereka inginkan dari media dalam hal ini media televisi adalah hiburan, dan hiburan yang mereka inginkan adalah yang murah dan dapat dikonsumsi kapanpun, maka televisi adalah jawabannya. Sudah menjadi rahasia umum kalau dunia pertelevisian kita dewasa kini sedang mengalami sebuah “euphoria” berbagai tayangan tanpa sensur ketat seperti masa Orde Baru memberikan “kebebasan”. Kemudian batasan-batasan moralitas menjadi kurang diperhatikan. Anak-anak sebagai 473 generasi penerus bangsa terlihat terbuka sekali dalam melihat berbagai tayangan televisi.5 Dalam era globalisasi yang demikian maju dan tidak ada sekat ini dapat menghasilkan diantaranya: Pertama, akses informasi yang sangat mudah dan cepat, kedua, akses informasi sangat terbuka dan relative tidak mampu untuk disaring (difilter), ketiga, Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya yang sangat santun mengalami revolosi budaya dan kadang-kadang berlawanan dengan hati nurani bangsa. Keempat yaitu sebagai kesatuan masyarakat, kita mengalami “cultural shock”, yang hebat tidak ada sebuah koridor atau pembatas jembatan penghalang yang mampu menjembatani atau menghalangi/mencegah gelombang derasnya arus globalisasi tersebut. Tayangan yang di sajikan televisi kita sekarang ini dalam setiap sajian berusaha untuk menarik sponsor maupun sutradara, karena hal itu akan menghidupkan stasiun televisi tersebut. Stasiun televisi berusaha menampilkan “membagibagi kue” iklan dengan cara menyamakan thema-thema suguhan sinetron maupun infotainment di setiap televisi dan masih banyak lagi. C. Pertanyaan Penelitian Dari latar belakangi permasalah tersebut diatas maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah : 1. Infotaiment seperti apa yang dilarang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk ditayangkan di televisi; 2. Bagaimana bentuk respon MUI (pemerintah) terhadap permasalahan tayangan infotainment yang dianggap 5 Reslawaty Yasid Gumay, Bidan, Media Komunikasi Bidan Dan Keluarga Indonesia, hal 30, edisi, No: 4 / 20006 474 dapat merusak masa depan anak-anak dan kurang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa Indonesia; D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui tujuan pelarangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap penayangan infotainment di televisi; 2. Mengetahui bentuk respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap tayangan infotainment yang dianggap oleh sebagian masyarakat banyak mengandung madharatnya bila dibandingkan dengan manfaatnya. E. Batasan Operasional Pada dasarnya media massa dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu media massa cetak (press), media masa ekeltronik dan media massa online. Media masa cetak dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk seperti surat kabar atau koran, majalah tabloid, bulletin dan sebagainya (paper based). Sedangkan media-media yang dikatagorikan sebagai media elektronik di antaranya adalah televisi, radio dan film (electronic based). Adapun media masa online adalah media yang menggunakan computer yang disambungkan dengan line telephon sebagai dasarnya. Adapun fungsi suratkabar adalah untuk informasi, edukasi dan hiburan. Fungsi informasi berkaitan dengan penyampaian berita-berita yang menarik dn aktual kepada khalayak, misalnya informasi tentang musibah atau bencana alam. Fungsi edukaksi berkaitan dengan isi suratkabar yang dapat bermanfaat bagi khalayak . Sedangkan fungsi hiburan agar khalayak dapat rileks dan terhibur dengan menyajikan isi seperti gossip, berita selebritis, cerita pendek, dan humor dan sebagainya. 475 Perkembangan pertelevisian kini semakin banyak seiring dengan perkembangan zaman. Fenomena televisi ini merupakan jawaban dari besarnya audiens yang menginginkan televiisi bukan hanya menyajikan informasi, tetapi juga televisi dapat memberikan inspirasi dan menambah wawasan dan pengalaman dan juga sudah merupakan sebagai kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari disamping sebagai sarana hiburan dirumah. Televisi dewasa ini sudah memposisikan sebagai kebutuhan sarana keluarga yang dapat memberikan kesempatan kepada audiens untuk memilih acaranya yang diinginkan. Ini sesuai dengan uses and gratification theory yang menyebutkan bahwa audiens melakukan pembedaan dalam menggunakan media sehingga mereka memilih dan aktif dalam memenuhi kebutuhnnya melalui media (Little john, 2005 ; 266). Dengan lain kata dapat disimpulkan bahwa audiens secara bertanggung jawab memilih acara dan jenis informasi yang dibutuhkannya melalui media yang dianggap relevan dengan dipengaruhi system sosial dimana dirinya berada.6 Media televisi mampu memberikan dampak afektip dimana audiens dapat turut merasakan iba, sedih, haru, gembira dan lain sebagainya. Bahkan media televisi juga mampu memberikan efek membangkinkan rangsangan untuk melakukan perilaku, tindakan atau kegiatan tertentu (Ardianto & Erdinaya, 2005: 54-55). Televisi juga mampu membentuk pengetahuan, persepsi, respon, dan sikap individu maupun kelompok. Pertanyaan ini juga diperkuat oleh stimulation theory yang menyebutkan bahwa menonton 6 Fatma Dian Pratiwi, dkk, Persepai Anak Muda Tentang Radio uslim, Program Studi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Klijaga Yogyakarta, hal3, 2009 476 adegan dalam media dapat menstimulus individu untuk bertindak seperti apa yang di tontonnya. Penelitian yang dilakukan oleh psikolog Leonard Berkowitz dan koleganya di Universitas Wisconsin membuktikan teori tersebut (Dominick, 2007:429), Ini juga berbanding lurus dengan social learning theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura (Saverin & Tankard, 2001:276, Wartella, et,al 2002:401). Menurut teori ini, banyak sekali dampak dari media yang terjadi melalui proses pembelajaran sosial melalui pengamatan dan pengalaman yang dimiliki individu maupun kelompok. Untuk menghindari terjadinya missinterpretation maka perlu dijelaskan batasan operasional tersebut. Pada zaman dahulu televisi belum ada yang memberitakan artis namun dimedia cetak ada yang memulai pemberitaan tentang artis, meskipun isi berita masih hanya menampilkan berita bukan yang masih mengandung gossip (infotainment). Media cetak pada waktu yang telah lalu ada yang dibredel misalnya tabloit yang dipimpin oleh Arwendo Atmowiloto. Tabloit “Monitor” tersebut kemudian berubah menjadi tabloit “Bintang’. Kemudian berkembang kejar kejaran menjadi berbau gosip dan seterusnya.7 Gosip atau desas desus (Inggris: Rumor) adalah selentingan berita, yang tersebar luas dan sekaligus menjadi rahasia umum di publik tetapi kebenarannya diragukan atau merupakan berita negatip (Gosip dari Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas langsung ke navigasi, Cari). Isu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dipekirakan terjadi atau tidak terjadi di masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, moneter, sosial, politik, hukum, pembangunan nasional, bencana alam, hari kiamat, ataupun 7 Gosip Wikipedia, Bahasa Indonesia, Insklopedia Bebas, tahun 2008. 477 tentang krisis. Gosip dalam Islam sesungguhnya dikatagori kan sebagai perbuatan tidak terpuji, sebab secara substansial memiliki kesamaan dengan ghibah, baik dari segi cara, sifat maupun dampak yang ditimbulkannya. Dari segi cara, gossip dan ghibah sama-sama ada sumbernya hanya saja sang informan tidak jelas mengetahuinya. Dari segi sifatnya, sudah tentu sama-sama berita yang masih samar-samar dan belum tentu akurat, sehingga melahirkan prasangka (zhan) dan mencarcari aib orang lain (tajayus). Dari segi dampak negatifnya sama-sama berpotennsi menimbulkan kerugian di tengahtengah mayarakat, merusak tali persaudaraan, menghidupkan api permusuhan dan pertentangan. Sedangkan definisi ghibah dapat diketahui dari dialog Nabi dengan para sahabat yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan At-Turmuzi, Nabi bertanya kepada para sahabat: Tahukah kalian apakah ghibah itu? Menjawab pertanyaan; Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Nabi menjelaskan ghibah itu adalah bicarakan apa yang tidak disenangi (keburukan) orang lain di belakangnya. Salah seorang sahabat kemudian bertanya. Bagaimana seandainya yang dibicarakan itu benar, apakah itu juga dinamai ghibah. Rasul menjawab, itulah ghibah. Sedang jika apa yang disampaikan salah itulah dia buthan (fitnah). Dalam dunia infotainment, sudah tentu terdapat berita kehidupan artis yang positif dan negatif. Sebab tidak semua berita yang ditampilkan adalah sisi buruk kehidupan artis. Jika sisi baik yang ditampilkan/diungkapkan dalam berita, berdasarkan hadist Rasulullah di atas, maka unsur ghibah tidak terdapat. Permasalahannya, ketika sisi buruk artis diberitakan, maka telah masuk pada nuansa ghibah, terlepas dari suka atau tidak sukanya sang artis. Sebab masih 478 ditemukan indikasi artis melakukan perbuatan sensasional negatip untuk ajang popularitas. Istilah jurnalistik infotainment masih menyisakan berbagai persoalan delimatis. Selain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sejumlah organisasi yurnalis menolak memasukkan kerja infotainment ke dalam ranah kerja jurnalistik. Walaupun masih membuka perdebatan, namun pendapat ini beralasan mengingat rapuhnya epistimologi jurnalistik infotainment. Kerapuhan tersebut semakin diperparah lagi dengan berbagai pelanggaran etika jurnalistik dalam infotainment. Namun Kita tidak bisa menutup mata, karena faktanya menunjukkan bahwa acara infotainment memang diminati oleh pemersa televisi. Mengabaikan fakta ini berarti mengabaikan fakta sosial dan dapat saja disebut sebagai a sosial. Dalam situasi seperti ini, sangat gegabah bila dengan mudah kemudian kita menyebut kerja infotainment.8 Respon dalam Kamus Bahasa Inddonesia yang dikeluarkan oleh pengarang Bandung berarti jawaban, sikap, dan reaksi serta pernyataan; Respon adalah reaksi yang dinyatakan dalam bentuk ucapan, sikap dan tindakan oleh seseorang atau sekelompok orang ataupun pejabat pemerintah daerah akibat munculnya dari stimulus yang datang dalam bentuk informasi, ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain; Respon adalah istilah yang sering digunakan oleh psikologi untuk menanamkan reaksi terhadap rangsang yang diterima oleh panca indera. Respon biasanya diwujudkan dalam bentuk perilaku yang dimunculkan setelah dilakukan perangsangan. Dalam teori behaviorisme menggunakan istilah respon yang dipasangkan dengan rangsang dalam menjelaskan proses terbentuknya perilaku. 8 Iswandi Syahputra, jurnalistik Infotainment, Kancah Baru Jurnalistik dalam Industri Televisi, Pilar Media, Yogyakarta, Tahun 2006, Hal, 106. 479 Respon adalah perilaku yang muncul dikarenakan adanya rangsang dari lingkungan. Jika rangsang dan respon dipasangkan atau dikondisikan maka akan membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan. Oleh karena itu respon sangat penting di dalam mencapai tujuan tertentu, karena tindakan seseorang dipengaruhi oleh respon terhadap rangsangan dari luar dirinya. Serta kemampuannya dalam mengambil suatu tindakan dan keputusan terhadap apa yang dilihatnya. Respon disini dapat dirtikan sebagai proses pengamatan oleh panca indera ditransfer kedalam pengorganisasian kesan yang diamati oleh pengamat. Pandangan/persepsi adalah suatu proses membuat penilaian (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat di dalam lapangan pengindraan seseorang.9 Persepsi dapat diartikan sebagai proses pengamatan panca indera ditranswormasikan ke dalam pengorganisasian kesan yang diamati oleh pengamat.10 Menurut Miftah, persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Persepsi dapat menambah dan mengurangi kejadian sesungguhnya yang diinderakan oleh seseorang atau dengan kata lain persepsi mengenai suatu objek terlepas dari soal tepat atau tidaknya dan hal ini dapat dijadikan sebagai pegangan sementara waktu. Sementara itu, Mar’at mengemukakan bahwa persepsi adalah proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya 9 Wrightsman, Sosial Psychology Indonesia The 80’s, oleh Subyakto, Psychology Sosil, Jakarta, Haruhita, hal 23. 10 W. Michel dan NH. Michel, Essentials of Psychology (New York: Random House, Inc, 1980), p, 81. 480 terhadap suatu objek dengan kacamata sendiri yang diwarnai oleh nilai dari kepribadiannya. Persepsi seseorang terhadap suatu objek akan berbeda satu sama lain. Hal ini dipengaruhi oleh factor-faktor seperti pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan masing-masing orang. Perbedaan persepsi tiap-tiap orang terhadap suatu objek disebabkan oleh karena adanya perbedaan perhatian, harapan, kebutuhan, system nilai dan ciri kepribadiannya. Yang dimaksud respon dalam penelitian disini ialah pandangan atau penglihatan dan pengamatan serta pengetahuan, penilaian dari seseorang atau kelompok yang terorganisir dalam suatu lembaga berkenaan dengan informasi tentang infotainment yang disiarkan oleh televisi. Pemerintah; pejabat pemerintah daerah dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai hubungan dengan masalah siaran di televisi untuk menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dalam penelitian ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) khususnya di Propinsi Banten dan televisi Indonesia sebagai penyelenggara siaran dimaksud.11 F. Ruang Lingkup Peneltian Ruang lingkup penelitian ini dikonsentrasikan antara lain respon MUI khususnya di Propinsi Banten berkaitan dengan penayangan infotainment di televisi yang dianggap haram untuk ditonton. Dan bagaimana MUI memberikan respon terhadap penayangan infotainment yang dilarang di televisi. Dalam rangka menggali informasi yang dapat memberikan sumbangan kepada pemirsa agar dapat menfilter informasi mana yang bermanfaat dan mana yang kurang bermanfaat/bagi pemirsa televisi. Selain itu pula perlu dilakukan kajian-kajian dan kegiatan sejenisnya untuk dapat 11 Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, hal, 5 tahun 2007. 481 meningkatkan pengetahuan/wawasan pemirsa televisi agar lebih berhati-hati menyaksikan penayangan televisi khususnya penayangan infotainment dan sejenisnya. G. Data Yang Akan Dihimpun Dalam penelitian yang akan dihimpun dan di analisa terdari dari informasi MUI sebagai data primer dan sekunder yang berkaitan penayangan dengan infotainment antara lain: 1. Dasar pemikiran para ulama dalam merespon penayangan infotainment di televisi berhubungan dengan, ketentuan dan norma-norma yang berhubungan dengan pemirsa televisi; 2. Respon/pandangan MUI berkaitan dengan panayangan tersebut baik dari segi bentuk, metode mapupun marteri yang ditayangkannya. 3. Yang menjadi nara sumber atau informen adalah MUI khususnya di Propinsi Banten/daerah penelitian dalam rangka memperdalam hasil kajian tersebut perlu dilakukan wawancara mendalam diantaranya adalah tokoh-tokoh agama Islam dan masyarakat bila memungkinkan. H. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus yang bersifat kualitatif. Dengan demikian yang akan dilakukan adalah pengamatan secara langsung/terlibat dengan cara menyaksikan tayangan televisi baik bersama keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial untuk kemudian dianalisa. 482 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan informan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai masalah sekitar penayangan infotainment di televisi. Data kualitatif yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, wawancara dilakukan dengan sejumlah aparat pemerintah dalam hal ini adalah MUI daerah (Propinsi Banten), tokoh agama, dan bila masih memungkinkan untuk memperdalam data bisa dilakukan menggunakan data sekunder seperti koran, klipping, buku-buku serta dokumentasi yang ada kaitannya dengan masalah tersebut. Teknik wawancara ini digunakan untuk menjaring data tentang respon MUI terhadap penayangan infotainment yang sekarang sedang marak di televisi. Adapun sasaran penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Banten dengan berbagai pertimbangan antara lain: a). Karena masyarakat di Provinsi Banten ini masih kental memegang tradisi dan menjunjung tinggi kultur/budaya yang khas dengan budaya sunda dan sebagai daerah yang mayoritas beragama Islam; b). Adakah pengaruh tayangan infotainment terhadap kehidupan masyarakat setempat dan bagaimana respon MUI Provinsi Banten; Menurut James Spradley, informan dipilih dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut: informan tersebut mengetahui tentang penayangan infotainment yang disiarkan oleh televisi tentang baik buruknya menyaksikan tayangan tersebut bagi pemersa TV. Dan mempunyai pengetahuan tentang tayangan infotainment tersebut serta memiliki waktu untuk diwawancarai atau paling tidak mengetahui seluk beluk penayangan infotinment, atau pemersa yaitu masyarakat umum dengan catatan yang lebih diutamakan 483 adalah pemirsa yang aktif mengikuti tayangan infotainment tersebut. Sedangkan informen dipilih antara lain pejabat pemerintah, MUI ulama tokoh agama/kyai dan tokoh masyarakat. Untuk melengkapi data tersebut dilakukan kajian pustaka baik berita-berita koran, majalah buku-buku dan brosur yang ada kaitan dengan penayangan infotainment tersebut. Sedangkan data yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah melalui tahap katagorisasi, klarifikasi, interpretasi, komparasi dan kemudian data tersebut dianalisis. Untuk kemudian ditarik kesimpulan yang berisikan respon MUI terhadap tayangan infotainment dalam rangka mencari solusi penyelesaian secara bijaksana. I. Sistimatika Penulisan Laporan Penulisan laporan ini terdiri dari 4 bab yaitu: Bab pertama memuat pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, batasan operasional, ruang lingkup penelitian, data yang akan dikumpulkan, serta metodologi penelitian. Adapun bab 2) berisikan antara lain gambaran umum wilayah peneilitian Provinnsi Banten, sekilas sejaran singkat Propinnsi Banten, kondisi geografis dan demografi, pemerintahan, kependudukan dan pendidikan serta kehidupan sosial keagamaan. Sedangkan bab 3 Respon MUI Provinnsi Banten terhadap tayangan infotainment di televisi terdiri dari : Asal mula siaran infotainment di televisi sedangkan bab 4 penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran. 484 BAB. II GAMBARAN UMUM PROPINSI BANTEN A. Sekilas Sejarah Singkat Banten anten adalah wilayah yang sudah dikenal dan sejak abad ke XIV. Mula-mula Banten merupakan pelabuhan yang sangat ramai disinggahi kapal dan dikunjungi pedagang dari berbagai wilayah hingga Eropa yang kemudian menjajah bangsa ini. Sejak tahun 1330 M orang sudah mengenal sebuah negara yang saat ini disebut Banten. Wilayah tersebut pernah dikuasai oleh Kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk, yang kemudian oleh Demak. Pada masa-masa itu kerajaan Demak merupakan kekuatan terbesar di Nusantara. Tahun 1524 – 1525 M para pedagang Islam berdatangan ke Banten dan saat itulah dimulai penyebaran agama Islam di Banten. Sekitar dua abad kemudian berdiri Kadipaten Banten di Surosowan pada tanggal, 8 Oktober 1526 M. Pada tahun 1552 – 1570 M Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan menjadi Sultan Banten pertama. Sejak itu dimulailah pemerintahan kesultanan yang di akhiri oleh Sultan Muhammad Rafi’uddin (1813 – 1820) merupakan sultan ke dua puluh setelah sultan dan rakyat Banten terus berlanjut hingga detik terakhir kali penjajah berada di bumi Banten. B Setelah memasuki masa kemerdekaan muncul keinginan rakyat Banten untuk membentuk sebuah propinsi. Niatan tersebut pertama kali mencuat di tahun 1953 yang kemudian pada tahun 1963 terbentuk Panitia Propinsi Banten di 485 pendopo Kabupaten Serang. Dalam pertemuan antara Panitia Provinsi Banten dengan DPR-GR sepakat untuk memperjuangkan terbentuknya Provinsi Banten. Pada tanggal 25 Oktobber 1970 Sidang Pleno Musyawarah Besar Banten mengesahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten. Namun ternyata perjuangan untuk membentuk Provinsi Banten dan terpisah dari Propinsi Jawa Barat untuk sementara gagal. Barulah di era reformasi menjadi salah satau wilayah yang pertama mengajukan pemisahan dengan Propinsi Jawa Barat.12 B. Kondisi Geografis Dan Demografi Melalui Undang-Undang nomor 23 tahun 2000, status Karisedenan Banten Propinsi Jawa Barat berubah menjadi Propinsi Banten. Wilayah Propinsi Banten mempunyai luas 9018,64 km persegi, terdiri empat kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang dan Kabupaten Tangerang serta dua Kota yaiitu Kota Cilegon dan Kota Tangerang. Wilayah Propinsi Banten berada batas astronomis 105’11” – 1106’12” BT dan 5’750” – 7’1’1”LS, mempunyai posisi stategis pada lintas perdagangan internansional dan nasional. Batas wilayah Propinsi Banten antara lain, sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah timur dengan Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Pasifik dan sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda; Sedangkan ekosistem wilayah Banten pada dasarnya terdiri dari: 12 486 Banten Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, hal 2 tahun 2008. a. Lingkungan pantai utara yang merupakan ekosestem sawah irigasi teknis dan setengah teknis, kawasan pemukiman dan industri; b. Kawasan Banten bagian tengah berupa irigasi terbatas dan kebun campur, sebagian berupa pemukiman pedesaan dan ketersediaan air cukup dengan kuantitas yang stabil; c. Kawasan Banten bagian selatan sekitar Gunung HalimunKendeng hingga Malingping, Leuwi Damar, Bayat berupa pegunungan yang relatip sulit untuk di akses, namun menyimpang potensi sumber daya alam; d. Banten bagian barat (Saketi, DAS (Daerah Aliran Sungai) Cidano dan lereng kompleks Gunung Karang – Aseupan dan Pulorasi sampai pantai DAS Ciliman – Pandeglang dan serang bagian Barat) yang kaya akan potensi air, merupakan kawasa pertanian yang masih perlu ditingkatkan (intensifikasi); e. Ujung Kulon sebagai Taman Nasional Konservasi Badak Jawa (Rhini Sondicus); f. DAS Cibaliung – Malingping, merupakan cekungan yang kaya air tetapi belum dimanfaatkan secara efektif dan produktif. Sekelilingnya berupa bukit-bukit bergelombang dengan rona lingkungan kebun campur dan talun, hutan rakyat tidak terlalu produktif;13 Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh angin munson (Monson Trade) dan gelombang La Nina El Nino. Saat musim penghujan (Nopember – Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera, Samudra Hindia, sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni 13 I b I d, hal 3. 487 Agustus), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara, terlebih lagi bila berlangsung El Nino; Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar bantaran 22 derajat celcius dan 32 derajat derajat celcius, sedangkan suhu dipegunungan dengan ketinggian antara 400 -1.350 M dapat mencapai antara 18 derajat celcius – 29 derajat celcius. Banyak pulau-pulau yang berpotensi bagi masyarakat Banten sekitar 55 pulau,yang tersebar di wilayah Banten maupun di perbatasan wilayah Banten. Sedangkan sungaisungai yang melewati Banten sekitar 91 sungai. C. Pemerintahan Provinsi Banten sebagai salah satu Propinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempunyai sistem pemerintahan yang sama dengan propinsi lainnya. Unit pemerintahan di bawah Propinsi adalah kabupaten/kota masing-masing kabupaten/kota terdiri dari beberapa kecamatan terbagi habis dalam beberapa desa/kelurahan. Propinsi Banten terbagi dalam 4 kabupaten (Pandeglang, Lebak, Pangerang dan Cilegon) dan 2 kota yaitu kota (Tangerang dan Cilegon). Jumlah kecamatan di seluruh Banten sebanyak 152. Sedangkan jumlah desa/kelurahan pada tahun 2006 sebanyak 1.242 desa. Jumlah anggota DPRD di Propinsi Banten sebanyak 75 orang yang terdiri dari 70 orang laki-laki dan 5 orang perempuan, yang terdiri dari 9 fraksi. Sebagai lembaga legislatif yang salah satu tugasnya adalah membuat peraturan perundang-undangan, DPRD Propinsi Banten telah menghasilkan 7 buah surat Keputusan Pimpinan Dewan, 51 buah Surat Keputusan Dewan dan 5 buah Peraturan Daerah. 488 D. Kependudukan Penduduk Banten berdasarkan dari hasil sensus penduduk menunjukkan jumlah yang terus bertambah. Pada tahun 1961 jumlah penduduk Banten hanya 2.438.574 jiwa dan pada tahun 1971 jumlah penduduk menjadi 3.045.154 jiwa, meningkat menjadi 4.015.837 jiwa pada tahun 1980 dan 5.967.907 jiwa pada tahun 1990. Dan pada tahun 2000 jumlah penduduk tersebut berdasarkan hasil sensus penduduk 2000 (SP 2000) telah bertambah menjadi sebanyak 8.096.809 jiwa dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 9.423.367 jiwa. Kecenderungan penduduk yang terus bertambah dari periode sensus yang satu ke sensus atau survey berikutnya tentunya buhan hanya disebabkan pertambahan penduduk sacara alamiah, tetapi tidak terlepas dari kecenderungan migran baru yang datang karena daya tarik Provinsi Banten, baik dilihat dari potensi daerah seperti banyaknya perusahaan industri, besar/sedang di daerah Cilegon. Tangerang dan Serang serta potensi pariwisata di Pandeglang, Serang dan daerah lainnya. E. Pendidikan Jumlah penduduk Banten pada usia 7 – 24 tahun yang masih/sedang sekolah pada tahun 2007 tercatat sekitar 2,16 juta orang yang terdiri dari 1,12 juta laki-laki dan 1.04 juta perempuan. Secara presentase sebagian bsa adalah anak usia 7 -12 tahun, 58,71%, sementara anak usia 13 – 15 tahun sebsar 21,96%. Jika di konversikan ke dalam tingkat pendidikan , penduduk yang bersekolah kebanyakan masih setingkat Sekolah Dasar. Pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung sekolah, perpustakaan dan buku-buku penunjang pelajaran serta tenga pendidik (guru) yang memadai. Untuk tingka sekolah dasar ada 489 sebanyak 4.384 buah dengan jumlah siswa sebanyak 1.23.903 anak, guru ada 48.066 orang, sehingga terhitung ratio guru – murid sebesar 25.67 yang artinya setiap satu orang guru membimbing sekitar 25 orang siswa. Pada sekolah Menengah/Lanjutan Tingkat Pertama terdapat sebanyak 752 sekolah dengan kapasitas murid yang mengikuti pendidikan sebanyak 310.238 siswa. Dan tenaga pengajar (guru) sebanyak 16.268 orang guru atau ratio sekitar 19,07. Selanjutnya jumlah sekolah Lanjutan Atas terdapat 550 sekolah yang terdiri dari 347 SMU dan 203 SMK (sekolah kejuruan) dengan jumlah siswa keseluruhan sebanyak 211.920 orang, meliputi mereka yang sekolah di SMU sebanyak 127.048 (59,95%) yang lainnya sebanyak 84.872 (40,05%) bersekolah dan 5.068 orang (37,89%) sebagai guru SMK. Secara keseluruhan ratio guru – murid sebesar 15,84 atau setiap guru mengajar antara 16 – 18 orang siswa. Sampai dengan tahun 2007, tingkat pendidikan penduduk Banten usia 10 tahun keatas sebagian besar hanya tamat Sekolah Dasar yang besarnya kurang lebih 58,10%, meliputi mereka yang tamat SD/sederajat sebanyak 31,34% dan yang tidak/belum tamat SD/sederajat sebesar 26,76%. Pada tingkat sekolah Menengah/lanjutan, yang telah menamatkan pendidikan setingkat SLTP sebesaLTA sebagai persyaratan bagi angkatan kerja dalam mengikuti kompetisi di bursa pasar kerja. Krisis di dunia pendidikan dikaitkan dengan pangsa pasar tenaga kerja dapat diamati darai relatif rendahnya tingkat pendidikan yang ditamatkan pada jenjang SLTA ke atas (dengan asumsi seandainya sebagian dari mereka termasuk angkatan kerja) yang besarnya baru sekitar 24,08%. Diharapkan tingkat pendidikan penduduk di masa mendatang dapat lebih ditingkatkan dalam rangka 490 mempersiapkan tenaga kerja melalui pendidikan standar minimal. F. Kehidupan Sosial, Keagamaan Mobilitas kehidupan sosial masyarakatnya baik dari dan luar kota sangat lancar dengan fasilitas transportasi yang cukup memadai seperti adanya pelabuhan penyeberangan Merak Bakahuni Lampung serta lapangan terbang Sukarno Hatta, jalur lalu lintas darat maupun udara yang menghubungkan antara Jakarta dan merak ke Sumatera dan begitu sebaliknya membuat perdagangan menjadi ramai dan beragama. Di pusat ibu kota Provinsi dihuni oleh para pedagang, pegawai dan pengusaha, dan di pantai ada nelayan dan saudagar ikan yang dijual ke perkotaan maupun ke kota-kota lain yang ada di sekitarnya seperti ke Jakarta, Bogor dan daerah sekitarnya, sedangkan di daerah dataran rendah di diami oleh penduduk pedesaan yang matapencahariaan bertani maupun berladang/berkebun dan home industry. Masyarakat Banten dilahirkan dalam suasana masyarakat muslim. Mereka dianggap Islam sejak lahir, dan karena itu diharapkan bersikap dan bertingkah laku seperti muslim. Mereka belajar agama sejak dini. Mula-mula di lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi keluarga, kemudian belajar mengenal agama Islam dalam komunitas, yakni mengaji melalui guru ngaji. Pendidikan tahap ini dilakukan dalam surau, masjid, atau cukup di rumah saja. Cara yang lebih formal bisa melalui madrasah. Mereka juga belajar agama di sekolah-sekolah negeri Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah menengah Atas serta di Perguruan Tinggi. 491 Oleh karena itu, dapat dipahami apabila mereka telah meresapkan Islam sepanjang hidupnya. Islam telah menjadi citra diri mereka. Dalam hal ini, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Mereka menganggap Islam sebagai sumber norma-norma dan etika yang mereka pegang dalam kehidupan sehari-hari.Disamping itu juga unnsur yang paling fundamental dari keyakinan keyakinan Islam yang mengatur sikap dan tingkah laku umat adalah rukun iman dan rukun Islam. Kedua rukun itu harus dilaksanakan setiap hari dalam tingkah laku umat Islam. Komposisi penduduk di Propinsi Banten menurut penganut agama: Penduduk Menurut Agama No Agama 1 Islam 2 Jumlah Prosentase 8.422.256 jiwa 91,20% Kristen Protestan 706.695 jiwa 5.45% 3 Katolik 96,612 jiwa 1,26% 4 Hindu 94.145 jiwa 0,89% 5 Budha 103.659 jiwa 1,20% Jumlah 9.423.367 jiwa 100% Sumber data Kanwil Depag Prop. Banten, hal 133, tahun 2008. Dari jumlah penduduk Propinsi Banten 9.423.367 jiwa, dengan perincian sebagai beikut: umat Islam sebanyak 8.422.256 orang atau 91,20%,yang merupakan jumlah penduduk terbesar di Propinsi Banten kemudian diikuti oleh penganut agama Kristen Protetan sebanyak 706.695 orang atau 5.45%, dan Katolik 96.612 orang atau 1,26%, Hindu 94.145 orang atau 0,89%, dan Buddha 103.659 orang atau 1,20%. Masyarakat Banten dalam menjalankan kehidupan keagamaan pada umumnya cukup baik dan pelayanan kepada pemeluk agama Islam dengan berbagai bentuk 492 kegiatan, mulai dari masih anak-anak, dan pendidikan pra sekolah, sekolah madrasah dari jenjang pendidikan dasar, menengah, atas juga perguruan tinggi. Sementara pelayanan diberikan kepada pemeluk agama Islam dengan berbagai bentuk seperti di luar sekolah yaitu dengan melalui kelompok-kelompok pengajian, baik diperuntukkan bagi anak-anak, remaja dan dewasa. Hampir di setiap masjid-masjid dan mushalah atau langgar dilaksanakan secara rutin pengajian-pengajian dan kegiatan hari besar keagamaan. Selain itu masjid-masjid yang sudah menggunaan manajemen dan organisasi yang baik selain dilakukan pengajian secara rutin juga dilaksanakan kegiatan kelompok remaja seperti perpustakaan Islam, santunan anak yatim piatu, koperasi dllnya, kadang-kadang bekerja sama dengan kelompok pengajian, Aisyiah dari Muhammadiyah, Muslimah NU, MUI Banten, Wanita Islam dan LSM Islam, lainnya. Sarana tempat ibadah bagi pemeluk agama dapat tergambar pada tabel dibawah ini: Tabel IV Jumlah Rumah Ibadah di Provinsi Banten Kota/Kabupaten Islam Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Jumlah 3.578 bh 3.782 bh 9.760 bh 5.719 bh 867 bh 974 bh 24.680 bh Kristen Katolik Hindu Buddha Katolik 5 bh 1 bh 1 bh 6 bh 3 bh 2 bh 317 bh 18 bh 5 bh 37 bh 21 bh 2bh 1 bh 4 bh 287 bh 12 bh 5 bh 35 bh 8 bh 1 bh 2 bh 644 bh 37 bh 11 bh 81 bh Sumber: Kanwil Dep. Agama Provinsi Banten, hal 132; 493 Selain masjid dijadikan sebagai tempat shalat dan ibadah lainnya juga dijadikan sebagai tempat syiar agama Islam disamping dilakukan melalui media elektronik yaitu radio dan TV Banten, seperti ceramah agama (Tanya jawab), Isro Mi’roj, Maulid, Nuzulul Qur’an dan kadang-kadang mendatangkan penceramah dari luar daerah seperti dari Jakarta, Bandung dan daerah sekitarnya. Jika dilihat dari cara pemahaman keagamaan masyarakat Banten belum sepenuhnya melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan apa yang sampaikan oleh Rasulullah SAW, pada umumnya masyarakat masih ada yang mempercayai yang berbau mistik (animisme dan dinamisme) seperti acara debus. Yang pernah dilarang oleh MUI Kota Banten karena mengandung sirik. Hal ini masih banyak dijumpai di pedesaan dan daerah pedalaman di Provinsi Banten. 494 BAB III RESPON MAJELIS ULAMA INDONESIA PROPINSI BANTEN TERHADAP TAYANGAN INFOTAINMENT DI TELEVISI A. Awal Mula Siaran Infotainment Di Televisi ila kita mau sedikit cermat mengamati tayangan program televisi, terutama acara televisi yang menyajikan berbagai ragam hiburan, seperti kuis, reality show, kontes-kontesan dan sintron, kita akan menemukan berbagai produk imitasi dari berbagai produk serupa di negara lain. Dari berbagai ragam tayangan hiburan tersebut memang ada yang secara terbuka mengadopsi acara sejenis dari acara aslinya. Tayangan seperti Indonesian Idol dan Fear Faktor termasuk jenis tayangan yang diadopsi dari tayangan aslinya pada sebuah stasiun televisi di Amerika.Tayangan tersebut dapat ditayangkan di Indonesia menyerupai tayangan asli dari negara asalnya, tentu setelah mendapatkan lisensi. Tentu saja sebelum membeli lisensi program tayangan tersebut, stasiun televisi yang bersangkutan melakukan berbagai analisis dan pengujian terhadap penonton selera pasar penonton dan pengiklan di Indonesia. B Konsep Infotainment awalnya dari John Hopkins University (JHU), Baltimore, AS. Universitas yang terkenal dengan berbagai riset-riset kedokterannya tersebut memiliki jaringan organisasi Nirlaba Internasional yang bergerak dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan ummat manusia melalui berbagai aspek kesehatan. Misi kemanusiaan JHU di bidang kesehatan di dukung oleh Center of 495 Communication Program (CCP) yang bertugas mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan guna mengubah perilaku kesehatan masyarakat. Untuk itu pakar komunikasi (termasuk di dalam Everet M. Rogers ahli komunikasi pembangunan) di CCP merumuskan berbagai metode penyampaian pesanpesan kesehatan yang secara efektip dapat mengubah perilaku positif. Salah satu kosep pesan yang dihasilkan adalah infotainment. Ide dasar konsep infotainment berawal dari asumsi informasi kendati dibutuhkan oleh masyarakat namun tidak dapat diterima begitu saja, apalagi untuk kepentingan merubah sikap negatif menjadi sikap positif manusia. Karena itu diperlukan semacam pancingan khusus untuk mengambil perhatian masyarakat. Pilihannya adalah dengan menyusupkan entertainment (hiburan) yang menarik perhatian mayarakat di tengah-tengah penyampaian information (informasi). Dari sini kemudian muncul istilah infotainment, yaitu kemasan acara yang bersifat informatif namun dibungkus dan disisipi dengan entertainment untuk menarik perhatian khalayak sehingga informasi sebagai pesan utamanya dapat diterima. Dalam prakteknya, JHU menggunakan sejumlah endorser hingga menampilkan konser musik bagi kaum muda untuk menyampaikan pesan pesan kesehatan tertentu. Konsep ini kemudian dipinjam oleh media massa, khususnya televisi Indonesia. Jadilah infotainment seperti formula ajaib yang dapat menyihir pemirsa untuk betah berlama-lama di depan layar kaca televisinya. Kata infotainment merupakan neologisme, atau kata bentukan baru yang menggabungkan information dan entertainment. Sekedar pembanding, dikenal juga istilah edutainment, yaitu perpaduan antara education dan entertainment yang dapat diartikan secara sederhana sebagai 496 acara pendidikan yang dikemas dalam bentuk yang menghibur. Pendidikan sebagai inti acaranya, sedangkan hiburan sebagai metode atau cara menyampaikan pendidikan sebagai substansi tayangan acaranya. Bila kita merujuk latar belakang historis munculnya konsep infotainment, edutainment sebagai pembandingnya, maka seharusnya acara sejenis infotainment yang ditayangkan di sejumlah televisi di Idonesia bermakna informasi yang dikemas dalam bentuk yang menghibur. Informasi sebagai inti acara yang disampaikan kepada publik dengan menggunakan metode atau cara menghibur. Anehnya, makna infotainment yang terjadi dalam industri televisi Indonesia adalah informasi tentang hiburan. Sisi hiburan dijadikan substansi untuk disampaikan kepada masyarakat. Sejauh ini sisi hiburan yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan dan memang benar-benar menghibur, sebenarnya tidak menjadi masalah. Justru masalah semakin parah karena pengertian hiburan sudah mengalami distorsi dan penyimpangan makna yang sangat mendalam. Sebagai contoh, apakah mengetahui siapa anak yang dilahirkan Mayangsari merupakan hiburan? Atau, apakah tanggal perkawinan Dewi Sandra dan Glenn merupakan informasi yang berkualitas bagi publik? Bila jawaban atas dua pertanyaan tersebut iya, berarti ada yang tidak beres dengan kognisi sosial atau logika. Memang, logika industri berbeda dengan logika sosial.14(Ibid, Iswadi Sahputra, hal, 68). Di masyarakat rupanya sudah seperti sangat familiar untuk mendengarkan atau mengikuti berita tentang artis. Hal ini dikarenakan sifat masyarakat kita yang selalu merasa penasaran dan ingin mengetahui, mengikuti kabar terakhir dari kehidupan yang dijalani oleh idolanya. Bagi orang yang 14 I bi d, Iswandi Sahputra, hal 68. 497 kurang mengidolakan artis mungkin akan sangat jarang dan bahkan tidak menyukai berita-berita seperti itu untuk dikonsumsi. Di Indonesia pada jaman dahulu, pastinya belum ada pemberitaan tentang artis seperti sekarang ini. Hampir semua televisi kecuali Metro TV menayangkan acara infotainment yang isinya berita tentang gossip terutama bagi artis. Begiyu juga dengan media cetak yang juga muncul begitu banyaknya disusul lagi dengan adanya media internet. Maka lengkaplah sudah semua media diisi dengan pemberitaan tentang artis. Beberapa artis memanfaatkan pemberitaan sebagai media untuk meningkatkan popularitas. Sehingga artis sangat senang ketika diekspose oleh media. Akan tetapi media terkadang juga dijadikan sebagai kambing hitam dengan mencari kejelekan atis untuk mendapatkan berita. Artis yang kurang popular akan merasa tidak mampu menembus pasar selebritis tana air. Yang jelas dua komponen yaitu artis dan media memang memiliki ketergantungan satu sama lain. Artis yang tidak pernah tayang/muncul juga akan berpengaruh dengan penghasilannya, kecuali si artis memiliki bisnis sendiri. Yang menjadi bahasan ini adalah sejak kapan masyarakat mengkonsumsi pemberitaan infotainment? Ketika televisi belum ada yang memberitakan tentang artis, media cetak ada yang memulai pemberitaan tentang artis. Namun isi berita masih terbatas menampilkan beritaberita, bukan yang mengandung gossip. Setelah itu, banyaklah media mulai berlomba-lomba untuk mencari informasi (infotainment) mengenai artis yang masih berbau gosip saja sudah disodorkan ke pemirsa/ konsumen, karena ingin menunjukkan upaya mencari berita yang tercepat antara benar dan tidaknya urusan belakang. 498 (veven Sp, Wardhana Advisor di German Technical Cooperation, Program Good Governance in Population Administration, 27 – 11 – 2008). B. Penayangan Infotainment di Televisi (RCTI, SCTV, TPI, INDOSIAR, AN-TV DAN TV-7) Desain penayangan beberapa kasus seperti percerian di kalangan artis dan lain-lainnya dalam pemaparan di TV, para pengelola televisi sepertinya memahami betul psikologi para pemirsa masyarakat Indonesia yang memiliki karakter berubah-ubah. Mereka menyukai apa yang ditayangkan televisi sehingga terjebak dalam budaya massa yang artificial. Sambil berkata, inilah selera penonton, sehingga para pemainnya mendasain dan memproduk berbagai acara berbagi produk acara seperti di TPI sidik, TransTV ada gossip, RCTI dengan Sillet, Cek & Ricek dan Kabar Kabari, serta Trans-7 Gossip Karena alasan keinginan pasar/pemirsa yang selalu berubah, tidak heran bila sebuah produsen selalu menampilkan acara berubah-ubah. Adanya infotainment bertujuan untuk menghibur, tentu hal yang baik-baik saja. Masalahnya adalah pertama ketika infotainment menjadi banyak dan kompetisi semakin panas. Kedua apakah berita yang mereka cari adalah berita yang diinginkan oleh publik. Seperti apa yang media tayangkan yang terjadi di Indonesia kini berita tentang infotainment dan sejenisnya selalu ada di layar televisi. Contoh saja tentang kasus perceraian Gusti Randa dan Nia Paramitha dan Bambang Trihatmojo atau Parto dengan istri keduanya diuber-uber pencari berita sehingga terlihat dalam kondisi yang tidak nyaman untuk diekspos. Kalau berita yang berkembang dapat mengkonstruksi kesadaran positif masyarakat sebenarnya tidak perlu 499 dipermasalahkan. Apabila berita yang tidak benar (gossip) yang berkembang sudah sangat sifatnya privasi apalagi gossip tersebut bertendensi untuk menghancurkan karakter seseorang, bukan hanya merugikan orang yang bersangkutan tapi juga membohongi pemirsa televisi. Infotainment bukan saja tega tetapi sudah bertindak keterlaluan dan kejam terhadap hak seseorang. Program siaran infotainment yang ditayangkan di televisi setiap hari yang diselingi dengan iklan dan banyak mengandung muatan hiburan, Merupakan bisnis yang banyak menghasilkan keuntungan besar dengan modal yang tidak begitu mahal. C. Respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Banten Hasil wawancara dan diskusi dengan para responden, tentang respon/pandangan MUI di Kota Serang Propinnsi Banten dan beberapa tokoh agama Islam dan pimpinan pengurus organisasi Islam terhadap tayangan infotainment dapat dikemukakan beberapa hal. Secara umum tontonan/ hiburan di televisi banyak mengandung negatifnya dari pada positifnya seperti kekerasan, pornografi, kepercayaan mistik, dan adegan anak membentak-bentak orang yang lebih tua/ dewasa, perkelaian antar siswa sekolah, dan trend rambut warna warni. Tanpa disadari, masuknya tontonan semacam itu di ruang keluarga Indonesia telah mengakibatkan terjadinya proses sosialisasi tindak kekerasan, pornografi, mistik, supranatural. Di daerah Banten pengaruh itu masih bisa dihindari dengan dibentengi oleh akidah yang kuat yang terbina sejak ketika masih anak-anak. (wawancara dengan pengurus Majelis Ulama Indonesia Propinsi Banten). Pertama, tayangan infotainment di televisi dinilai oleh pengurus MUI Kota Serang Propvinsi Banten dan tokoh 500 agama cukup mendapat respon/tanggapan serius karena infotainment yang di tayangkan oleh televisi dinilai banyak mengandung madhorotnya bila dibanding dengan manfaatnya. Walaupun tidak dipungkiri masyarakat sendiri menggemari berita berita tentang infotainment sebab acara ini memenuhi hasrat keinginan pemersa televisi yang ingin mengetahui akan kehidupan orang lain. Jika yang diberitakan makin seru, dramatis, dan kontraversial, makin asyik orang tersebut untuk menyaksikannya. Jika hal yang remeh itu kita tonton sepanjang hari dan terus menerus, maka memori kita pun hanya mengarahkan pada hal yang remeh dan dangkal. Akhirnya wajar jika apa yang kita percakapkan pun hanya seputar gosip belaka, sehingga kita akan kehilangan untuk menyadari substansi, perenungan, kedalaman dan hal-hal penting untuk hidup. Kedua, respon/pandangan yang disampaikan oleh Drs. Sibli Sarja dan Drs. H. Syaifuddin Chotib, Sekretaris Umum MUI Provinsi Banten dan Drs. KH. Alwi Nawawi Ketua MUI Kota Cilegon tentang infotainment yang ada baru wacana terhadap penayangan, dimana bila ada kunjungan MUI Pusat maka pengurus MUI Propinsi Banten memberikan informasi dan usulan tentang bahayanya infotainment, bila dilihat dari sisi manfaatnya kurang sekali karena yang ditayangkan infotainment hanya membuka aib keluarga, ikut mencampuri urusan rumah tangga orang dan terlalu memasuki wilayah orang lain serta melanggar hak azasi manusia. Dari penayangan tersebut dampaknya sangat besar antara lain: (a). Tayangan infotainment sangat flugar yaitu berani membuka aib orang lain yang dianggap tabu oleh masyarakat Propinsi Banten khususnya di Kota Serang. Dengan adanya pemberitaan yang bertentangan dengan kaedah agama (seperti berita konflik suami istri, rumah tangga seseorang, dll). Apalagi bila ada orang yang kawin sirih mereka berani 501 pada tuduhan berbuat fitnah dll. (b). Penayangan infotainment lebih banyak unsur negatifnya (buruk sangka) , banyak memasuki rahasia orang lain oleh karena itu sebaiknya infotainment dihentikan saja karena mengganggu umat Islam atau diganti dengan acara yang lain sebagai pengganti acara tersebut. Ketiga, secara umum tayangan infotainment bila ditinjau dari segi manfaat bagi pemirsa televisi hampir tidak ada dan lebih banyak mengandung madhorot. Demikian juga seperti acara The Master, dan Hipnotis MUI Propinsi Banten sudah memberikan peringatan secara keras dan himbauan kepada masyarakat kususnya di Propinsi Banten bahwa acara tersebut haram untuk di tonton, karena orang diperdaya untuk mengikuti keinginan orang lain. Untuk menjaga agar masyarakat tidak terbawa arus oleh tayangan tersebut maka sebaiknya acara infotainment dan sejenisnya yang diperbolehkan adalah yang lebih banyak mengandung manfaatnya dari pada madhorotnya jangan hanya mengejar keuntungan materi dengan mengorbankan yang lain. Al Qur’an S. An-Nur dijelaskan bahwa: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, maka mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”.(An-Nur, 19). Keempat, KH. Syaifuddin Hasan wakil Ketua Pimpinan wilayah Muhammadiyah Banten, Ketua Bidang dakwah, dan Direktur LP POM MUI dan KH. Ma’mur Mashur Ketua PW NU Banten, menjelaskan bahwa efek dari penayangan infotainment dapat menimbulkan perpecahan dikalangan masyarakat, bila hal ini telah terjadi maka PP Muhammadiyah akan mengeluarkan tarjih, tetapi sepanjang belum melanggar 502 undang undang sulit untuk melarangnya. Ada beberapa saran yang perlu diperhatikan bahwa: Lembaga sensor (KPI) harus diberdayakan secara maksimal dan MUI sendiri harus lebih aktif. Siaran-siaran yang ditampilkan sebaiknya dapat memberikan pendidikan kepada pemirsa/masyarakat seperti dakwah di televisi, baik itu dalam bentuk ceramah maupun interaktip sehingga acara semacam itu lama-lama banyak diminati oleh masyarakat dan akan dirasakan manfaatnya. Untuk menghindari tayangan infotainment, sebaiknya kegiatan di masyarakat lebih diaktifkan seperti pengajianpengajian, akhlak/akidah di kuatkan sehingga ibu-ibu atau pemirsa televisi bisa berkurang untuk menikmati acara televisi di rumah. Jika mereka menyaksikan tayangan tersebut sudah dibekali akhlak yang baik sehingga tidak mudah termakan oleh tayangan tersebut. Disamping itu ormas Islam harus mampu memberikan perhatian terhadap tayangan tersebut. Dari Aisyiah belum ada informasi adanya dampak negatip dimasyarakat. Karena Aisyiah sendiri untuk meningkatkan keimanan anggota/jamaahnya selalu menekankan pembinaan akhlak dan keimanan sejak dini untuk membekali kelak mereka setelah dewasa. Untuk di Propinsi Banten khususnya kota Serang dampak negatif tayangan infotainment belum begitu dirasaakan di masyarakat karena masyarakat kususnya di Kota Serang dibekali ilmu agama yang sudah ditanamkan sejak dini. Kelima, menurut KH. Tubagus Fathul Ngadhim Chotib penasehat MUI Banten menjelaskan bahwa pada tahun 2007 permasalah infotaiment pernah dibicarakan oleh komisi B tetapi tidak menghasilkan himbauan ataupun fatwa yang menyatakan infotainment haram/dilarang. Namun ia tidak setuju penayangan di televisi TV Banten sampai sekarang ini tidak menayangkan acara infotainment, menurutnya tayangan 503 tersebut banyak mengandung unsur ghibah yaitu menjelekkan orang lain dan membuka aib orang lain. Pengaruh dari tayangan tersebut antara lain: (a). menjelekkan/membuka aib sesamanya sudah dianggap suatu hal yang biasa; (b). Sudah hilang/berkurang memiliki rasa malu, sehingga mereka melakukan perbuatan yang menjurus kepada kekerasan, flugar, pamer aurat, KDRT, dsb. Hal yang seperti itu seharusnya ditutup rapat-rapat; (c). Suami istri saling curiga mencurigai yang dapat menimbulkan perpecahan rumah tangga/perceraian; (d). Adanya kebebasan pers yang berlebihan sehingga norma-norma etika pers sudah tidak dihiraukan lagi; (e). Mandulnya badan sensor film di MUI, votting selalu kalah karena jumlah anggota lebih sedikit; Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penayangan infotainment, antara lain: (a). Frekwensi tayangan harus dikurangi; (b). Mengirim surat kepada media televisi memberi masukan terhadap bahaya tayangan infotainment terhadap masyarakat terutama pada generasi muda (c). Tayangan seperti itu sebaiknya pada jam-jam tertentu agar tidak ditonton oleh anak-anak (d) Perbanyak tausiah, dakwah, dan siaran agama yang sifatnya mendidik; Keenam, menurut Prof. Dr. H. Fauzan Iman (guru besar IAIN Serang Banten) disamping infotainment banyak mengandung madharatnya bila dibandingkan dengan manfaatnya juga dilihat secara sosial bahwa infotainment banyak mengandung issu negatif . Secara internal bahwa infotainment (seperti silet, kasak kusuk, kroscek, dllnya) banyak hal-hal yang sifatnya pribadi yang belum pasti kebenarannya, yang dibicarakan masalah aib/rahasia yang sifatnya pribadi. Sehingga orang tersebut menjadi tidak 504 bermartabat, tetapi ada yang merasa bangga bila diberitakan, di layar televisi. Dijelaskan bahwa infotainment/gossip dalam Islam dikatagorikan sebagai perbuatan tidak terpuji, sebab secara substansi memilki kesamaan dengan ghibah,baik dari segi cara, sifat maupun dampak yang ditimbulkannya. Dari segi cara, infotainment dan ghibah sama-sama ada sumbernya hanya saja sang informan tidak jelas mengetahuinya. Dari segi sifatnya, sudah tentu sama-sama berita yang masih samar dan belum tentu akurat, sehingga melahirkan prasangka (zhan) dan mencari-cari aib orang lain (tajassus). Dari segi dampak negatifnya, sama-sama berpotensi menimbulkan permusuhan dan perpecahan Ditegaskan, bahwa infotainment menurut dia hukumnya haram untuk ditayangkan. Bila masih ingin ditayangkan, maka seharusnya diubah cara penyajiannya sehingga dapat memberikan pendidikan dan manfaat pada masyarakat. Bila dilihat dari segi ekonomi infotainment bisa dianggap mendatangkan keuntungan yang cukup besar tetapi negatifnya akan lebih berbahaya di masyarakat. Moral, idola semua ini dapat merusak masyarakat. Bisa jadi dengan gayanya bahwa mereka merasa tidak bersalah dan tidak malu, tidak terhukum malah sebaliknya merasa bangga. Kalau rasa malu sudah hilang sehingga mempengaruhi masyarakat seperti orang ramai-ramai berdemo orang yang di demo tidak peduli dan masa bodoh dan sudah tidak mengindahkan norma-norma, etika dan lain sebagainya. Selanjutnya saran MUI khusus Provinsi Banten dan MUI Pusat harus berani bertindak tegas terutama terhadap lembaga sensor (sekarang Komisi Penyiaran Indonesia) dan harus lebih berani menghadapi persoalan terhadap tayangan 505 yang provokatif. Disamping ada muatan diadakan penelitian lebih lanjut. lain yang perlu Kemudian perlu ditambah siaran yang sifatnya mendidik dan agamis dan juga ditempatkan orang orang yang memiliki wawasan keagamaan luas serta orang-orang yang dapat menampilkan film-film yang agamis dan mendidik. Sedangkan untuk mencari solusinya perlu tenaga dari MUI bekerjasama dengan produser agar film yang ditampilkan dapat bervariasi dan agamis sehingga tidak membosankan bagi pemirsa televisi dan memiliki nilai-nilai positif. Ketujuh, dari berbagai sumber baik dari kalangan cendekiawan muslim maupun ormas Islam (seperti: HTI, NU, PW Fatayat, Muizzuddin, KH. Ma’rus Muslim Ketua FKKM, KH. Kasman DM dari Persis dan Abd Karim pengurus BAZIS Cilegon dll) menyatakan bahwa penayangan infotainment disekitar dunia hiburan selebritis yang saat sekarang ini banyak digemari oleh kaum ibu-ibu, anak remaja dan lainnya, biasanya isi infotainment sekitar gossip, yang diangkat yaitu sekitar aib seseorang seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), informasi sosial yang sedang berkembang dan digemari oleh masyarakat. Biasanya masalah infotainment bermuatan negatif/ghibah cukup tinggi. Sebaiknya siaran seperti itu dihentikan saja karena banyak madhorotnya dari pada kebaikkannya (exploitasi) diganti tayangan lain yang lebih bermanfaat. Dampak dari penayangan tersebut banyak negatif baik untuk kalangan orang dewasa, remaja, anak-anak, terutama bagi kaum ibu-ibu. Waktunya dihabiskan untuk menyaksikan acara tersebut sehingga mereka sudah mengangggap hal-hal semacam itu sudah biasa bukan merupakan suatu aib yang seharusnya ditutup-tutupi. Terkadang dijadikan contoh dan praktek dalam kehidupan mereka yang seharusnya dijauhi/ 506 dibuang seperti contoh kasus perselingkuhan, dan kawin sirih dsb. KDRT, perceraian, Respon terhadap tayangan tersebut adalah: (a). Sebaiknya tontonan semacam itu harus dihindari/ditinggalkan dan sebagai gantinya dilakukan tayangan yang positif seperti pengajian-pengajian untuk menghindari tontonan yang kurang bermanfaat bahkan mengandung maksiat, dan membuat fitnah; (b) Seharusnya para alim ulama dapat merespon dan meluruskan media massa baik di tingkat lokal maupun nasional dan membangun opini bahwa hal semacam itu tidak layah ditonton. Adapun langkah-langkah untuk mengatasi hal tersebut, sekarang ini sebatas menyampaikan informmasi dan menyadarkan masyarakat, bahwa infoteinment disamping sebagai hiburan juga berbahaya bagi kehidupan moral masyarakat; Perlu adanya fatwa MUI baik di tingkat pusat maupun di tingkat daealam hal ini pemerintah harus mengawal/ mengawasi secara selektip terhadap penayangan acara-acara di TV swasta. Untuk membuat fatwa tentunya diperlukan data kualitatif atau pendapat halayak/masyarakat, bahwa moral harus dikedepankan, sedangkan toleransi harus punya misi dan visi yang jelas dan jangan berpihak pada pemilik modal. Adapun suara tokoh masyarakat terutama umat Islam perlu menyuarakannya secara bulat. Departemen Agama harus bisa mengambil tindakan yang pada akhirnya sampai pada usulan penutupan penyiaran infotainment di TV. Respon tokoh masyarakat harus dilakukan dan MUI perlu kajian lebih mendalam dengan hasil akhir penerbitan fatwa pelarangan peredaran acara tersebut. Disamping itu MUI perlu melengkapi dengan infrastuktur dan pemerintah 507 mengadopsi dengan fatwa tersebut. Bila perlu diterbitkan UU berbasis fatwa termasuk UU pornografi. Sedangkan Ketua MUI Drs. H. Hamidan di Hotel Aston, Rabu 29 Agustus 2009. menyampaikan pernyataan bahwa meski MUI belum mengeluarkan fatwa haram tentang tayangan Infotainment yang sarat dengan pergunjingan, namun MUI menghimbau masyarakat agar tidak menonton tayangan yang mengandung unnsur ghibah itu, karena dalam Islam ghibah hukumnya haram. Selanjutnya KH. Ma’aruf Amin menjelaskan bahwa yang diharamkan itu isi berita yang membuka aib seseorang. Seandainya berita itu tidak benar akan menjadi fitnah, kalaupun itu benar tapi menyangkut pribadi seseorang dan membuka aib itu tidak diperbolehkan. Untuk itu MUI menyarakan agar mass media tidak melakukan hal semacam itu. Kebebasan pers bukan tanpa batas. MUI akan memberikan bimbingan yang bersifat edukatif dan persuasif. Begitu juga Din Syamsuddin, Wakil Ketua Umum MUI mengingatkan agar pembuat tayangan infotainment dapat memberikan pesan moral, dan tidak hanya menampilkan sisi negatifnya seseorang di depan umum, melainkan juga menampilkan sisi posiitifnya, sehingga bisa menjadi teladan bagi masyarakat. Sedangkan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (PBNU) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan kalau tayangan berisikan gossip, yang membongkar aib seseorang, dikategorikan “haram”. Sedangkan Wakil Ketua Departemen Infotainment, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Remmy Soetansyah, pada intinya sependapat dengan fatwa itu, namun hanya untuk gossip saja yang “haram” dan bukan infotainmentnya.(Kamis, 29 Agustus 2009). 508 D. Analisa Televisi sebagai media massa memiliki peran yang sangat penting dan strategis di era globalisasi. Tayangantayangan yang disuguhkan oleh stasiun televisi mampu menjadi sarana dan prasarana yang tepat dan dapat menyedot banyak pemirsa baik dikalangan anak-anak, remaja dan dewasa secara efektip dan mempunyai dampak yang kuat kepada pemirsanya. Oleh karena itu para pengusaha, pebisnis dan politisi banyak menggunakan sebagai salah satu alat untuk untuk menyampaikan kepentingan dirinya atau kelompoknya. Bagi masyarakat pada umumnya, acara TV dibutuhkan sebagai sarana hiburan, menambah informasi, wawasan, dan Ilmu pengetahuan serta tehnologi. Namun dominasi ini ditempati oleh sarana hiburan dan penambahan informasi yang diperoleh melalui pemberitaan kejadian, peristiwa maupun kasus lain yang terjadi dalam kehidupan. Dampak dari pada tayangan infotainment memberikan dampak yang kurang baik kepada penonton karena tayangan tersebut banyak mengandung unsur negatipnya (madhorotnya) bila dibandingkan dari pada manfaatnya. Oleh sebab itu baik MUI di Propinsi Banten maupun tokoh agama dan masyarakatnya mengimbau untuk tidak menonton paling tidak mengurangi acara infotainment dan sejenisnya. Umumnya masyarakat Indoneisa masih tergolong pada masyarakat, mendengar, melihat dan menonton. Dengan melihat ataupun menonton cara lebih mudah dilakukan, bahkan dengan dalam keadaan santaipun kita bisa menikmati acara infotainment di televisi. Sedangkan lembaga kontrol terhadap media audio visual (TV) yang ada di Indoneisa saat sekarang ini belum mampu melakukan kontrol secara maksimal. Siaran stasiun televisi tidak dapat dilakukan blocking. Kecuali bila ada kemauan dari 509 pengelola televisi yang bersangkutan. KPI sendiri tidak mampu melakukan pencegahan terhadap pengguna alat penangkap siaran televisi dengan menggunakan antenna parabola atau antenna TV cable. Dengan demikian pemirsa televisi bebas memilih stasiun mana yang tayangan dipandang sesuai dengan keinginan/kebutuhan. Padahal tidak semua tayangan televisi isi muatannya mengandung nilai-nilai yang positif bahkan dapat merusah pemirsa televisi. Di sisi lain, televisi tidak bisa di cegah kepemilikannya karena sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan televisi juga dapat digunakan oleh pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan program-program kegiatan yang diperuntukkan bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu yang dibutuhkan disini adalah sinergi antara berbagai unsur masyarakat untuk memberikan warna kepada siran muatan televisi dan sekaligus berpartisipasi dalam melakukan kontrol terhadap pengelolaan televisi agar dapat melakukan seleksi terhadap program acara tayangan yang akan disajikan kepada pemirsanya. 510 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ari uraian diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik tentang respon MUI Propinsi Banten terhadap penayangan infotainment di televisi sebagai berikut: D 1. MUI Banten menghimbau masyarakat agar tidak menonton infoteiment karena tidak sesuai dengan budaya kita. Di dalam Islam perbuatan semacam itu dikatagorikan ghibah dan hukumnya haram. Alangkah baiknya tayangan seperti itu dicarikan solusinya sebagai pengganti acara tersebut sehingga tidak merugikan kepada produsen; 2. Dampak dari tayangan infotainment di Banten belum begitu dirasakan efek negatifnya di masyarakat. Oleh karena MUI Banten merasa belum perlu mengeluarkan fatwa pelarangan, karena pada umunya masyarakatnya sudah dibekali pendidikan agama yang cukup. MUI Banten menghimbau kepada masyarakat khususnya di daerah Banten agar selektif dalam menyaksikan tayangantayangan di televisi. 3. Penayangan infotainment yang menampilkan tindak kekerasan yang berdampak negatip ketimbang positif, dan cederung mempromosikan cara pemirsa berfikir dan berperilaku kekerasan ketimbang hal lain, sebaiknya dihentikan. 511 B. Saran-Saran Beberapa yang perlu direkomenasikan adalah: 1. Dalam rangka memenuhi kepentingan para pebisnis terutama dari pihak production house dalam memberikan hiburan pada masyarakat, maka sebaiknya pihak produsen dan stasiun televisi tidak mengedepankan materi dan keuntungan dari pada kepentingan misi dan visinya. Sebaiknya penayangan acara lebih banyak mengandung unsur yang positif (manfaat) dan dapat menguntungkan dua belah pihak. 2. Sebaiknya pembuatan tayangan infotainment dapat memberikan pesan moral, tidak hanya menampilkan sisi negatif seseorang di depan umum, dan sebaiknya menonjolkan sisi positifnya sehingga bisa menjadi teladan bagi masyarakat’; 3. Perlu dikembangkan kerjasama lintas instansi yang ada untuk menjadikan media massa TV menjadi media bagi pemberdayaan masyarakat. Dan memfungsikan KPI untuk mengontrol terhadap proses siaran TV yang dapat diakses masyarakat pemirsa di Banten. 512 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Propinsi Banten, 2008; Bidan Media Komunikasi Bidan Keluarga Indonesia, Edisi 4 tahun 2006; Burhan Bungin, Pornomedia, Sosiolgi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika & Perayaan Sexs di Media Massa, Jakarta, Prenada Media, 2005; Fatma Diah Pratiwi, Persepsi Anam Muda Tentang Radio Muslim, Program Studi Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009; Gosip (Infotainment), Wikipedia bahasa Ensiklopedi bebas, 24 Juni 2008; Indonesia, Iswadi Sahputra, Jurnalistik Infotainment, Koncah Baru Jurnalistik Dalam Industri Televisi, (Yogyakarta, Nuansa Aksara, 2006; Mohammad Sobary, kesalehan Sosial, LKIS, Yoyakrta, Thun 2007; Mursyid Ali, Problematika Komunikasi, Antar Umat Beragama, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Proyek Peningkatan Kerukunan Umat beragama, Jakarta, 2000; Sudjangi, Agama dan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI, 1992/1993. 513 Puslitbang Lektur Keagamaan, Baan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Vol 126, 2008; W. Wichel dan NH Michel, Essentials Of Psykology (New York : Random House, Inc, 1980; Wrightsman, Social Psyhology Indonesia The 80,S, Oleh Subagyo, Psychology Sosial, Jakarta : Haruhita, 1998. 514 GERAKAN KOMUNITAS BASIS DI PAROKI KAMPUNG SAWAH ST. SERVATIUS BEKASI Oleh: Reza Perwira GERAKAN KOMUNITAS BASIS DI PAROKI KAMPUNG SAWAH ST. SERVATIUS BEKASI. Reza Perwira BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang S alah satu agama yang berkembang dan memberdayakan umatnya berdasarkan ajaranajarannya di Indonesia adalah agama Katolik. Dalam konteks Gereja Katolik, berbagai upaya telah dilakukan pihak gereja agar umatnya tetap berpegang pada ajaran yang seragam, sehingga mengurangi kemungkinan pemisahan paham keagamaan yang berbeda. Namun demikian, paham yang relatif berbeda dengan ajaran resmi Vatikan, tetap saja muncul, seperti Teologi Pembebasan yang radikal di Amerika Latin, atau pandangan skismatik dari kelompok Parisian Hati Suci di kalangan keturunan Irlandia dan kelompok Maria Sang Penebus di kalangan keturunan Polandia, yang keduanya berada di Amerika Serikat.1 Pada perkembangannya, ajaran-ajaran yang diterapkan oleh Gereja Katolik di Indonesia sebagai pewartaan kepada umatnya tidak hanya selalu bersifat wahyu Tuhan, namun juga melalui ajaran sosial gereja yang berdasarkan firman Tuhan. Melalui ajaran sosial Gereja, ditegaskan kembali 1 Aziz, Abdul (2005): Ortodoksi dan Potensi Penyimpangan Studi tentang Umat Katolik Timor-Timur. Harmoni, Vol. IV (13): 79. 515 bahwa Gereja tidak dapat menjalankan tugas pewartaannya tanpa keterlibatan konkrit dalam masalah kemasyarakatan. Ajaran sosial Gereja merupakan salah satu aspek dimensi profetik Gereja. Melalui ajaran sosialnya, Gereja menjalankan tugas pewartaannya (dengan memberi ajaran), sekaligus mewujudkan keterlibatannya dalam menyelesaikan masalahmasalah sosial masyarakat. Masalah sosial masyarakat, sejak memasuki era reformasi, bangsa Indonesia masih menghadapi masalah dan tantangan yang sangat berat. Permasalahan yang paling dominan bagi masyarakat Indonesia salah satunya adalah masalah kemiskinan. Namun dalam hal ini, kemiskinan bukanlah akibat kesalahan dan kehendak orang miskin sendiri melainkan karena adanya struktur sosial (aturan main dalam masyarakat), yang membuat proses: ekonomi. politik, sosial, ideologi maupun budaya menjadi suatu proses yang hanya berpihak pada sekelompok orang saja dan sementara itu menekan pihak tertentu yang pada akhirnya dikategorikan sebagai kelompok orang miskin. Pdt. Mungki A. Sasmita, S.Th, MA dalam tulisannya yang berjudul Tantangan Eksternal dan Peluang Bagi Suatu Pembangunan Jemaat2 menyatakan bahwa peran gereja yang hadir secara aktual dan relevan memandang fenomena kemiskinan sebagai tantangan yang harus dijawab. Semangat megachurch tidak mungkin dapat mengatasi fenomena kemiskinan ini, karena concern gereja tersebut bukan pada penghapusan kemiskinan namun menciptakan gereja super yang sarat dengan kemegahan dan kemewahan. 2 Sasmita, Mungki A. 2006. Tantangan Eksternal dan Peluang Bagi Suatu Pembangunan Jemaat. http://www.gki.or.id/, diakses tanggal 28 April 2009. 516 Berangkat dari fenomena tersebut, Gereja Katolik di Indonesia sehingga melakukan refleksi bersama untuk mencoba menghadapi pelbagai masalah dan tantangan, bahkan ancaman yang dialami, dengan merumuskan solusisolusi demi terciptanya kehidupan dunia yang menghargai asas-asas kemanusiaan dengan menciptakan formula untuk menjawab permasalah umat. Pada tanggal 1-5 Nopember 2000 Gereja Katolik Indonesia melaksanakan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI TAHUN 2000) di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor. Dalam sidang yang bertema Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru tersebut membahas tentang permasalahan-permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bagian integral bangsa, umat Katolik Indonesia dipandang sepenuhnya ikut menghadapi permasalahan dan tantangan-tantangan tersebut.3 Dari hasil sidang itu, para uskup sangat mengapresiasi hal-hal yang baik khususnya dalam bidang kerjasama antara awam dan rohaniwan, antara hirarki dengan umat, dan antara perempuan dengan laki-laki. Para uskup juga sangat menghargai kerjasama tersebut dan berharap agar semangat kerjasama itu dilanjutkan dan ditumbuhkembangkan di dalam pembinaan umat basis di keuskupan-keuskupan. Terkait dengan pemberdayaan komunitas-komunitas basis, para uskup juga menghimbau kepada masing-masing keuskupan untuk mengamati dengan cermat hidup Gereja setempat, mempertahankan unsur-unsur yang baik dan mengubah hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Kerajaan Allah. Hendaknya digali lagi ajaran-ajaran resmi 3 Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2000. Di akses melalui web site pada tanggal 28 April 2009 di http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen. 517 Gereja, seperti Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatis tentang Gereja) dan Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern), untuk memberikan landasan yang kokoh. Pada tahun 2005, Sidang Agung kembali diadakan di tempat yang sama yaitu di Wisma Kinasih, Bogor, 16-20 November 2005. Dihadiri 343 utusan dari 36 keuskupan di Indonesia, 36 uskup, 96 imam/biarawan/biarawati, dan wakil-wakil lembaga kemasyarakatan. Sidang Agung yang untuk kedua kalinya diselenggarakan ini merupakan perhelatan besar. Sidang tersebut menghadirkan Indonesia mini, dilihat dari persoalan bangsa Indonesia aktual dan dari keragaman peserta yang berasal dari Sabang sampai Merauke. Dipandang dari sisi Gereja Katolik, bangsa Indonesia masih berada dalam suasana ketidakadaban publik. Sehingga gereja berusaha menerobos kebuntuan dengan mengajak jemaat gereja untuk melakukan perubahan dari suasana ketidakadaban ke suasana berkeadaban publik dengan melakukan pendalaman atas persoalan aktual dan melakukan perubahan. Dalam istilah teknis SAGKI 2005 yaitu berubah dari habitus (kebiasaan) lama ke habitus baru, dari suasana cara hidup tidak beradab menjadi cara hidup dan suasana yang beradab.4 4 Dalam telaah sosiologis, menurut Ignas Kleden, habitus bersifat generatif, kebiasaan yang sudah terbentuk tidak bersifat statis, tetapi cenderung menghasilkan persepsi dan tindakan-tindakan tertentu dan dapat dialihtempatkan menjadi kebiasaan yang terbentuk dalam kehidupan rohani seseorang yang dapat ditransfer ke kehidupan sosial tanpa rujukan langsung ke norma-norma keagamaan yang menjadi dasar. Sedangkan keunggulan-keunggulan habitus menyebabkan keterbatasan dalam penerapan. Salah satunya ialah dia tidak bersifat reflektif sekalipun kehidupan rohani menuntut refleksi terus-menerus dengan rujukan kepada nilai-nilai dan motivasi yang melandasi tindakan. Dikutip dalam tulisan Sularto, St. 2005. Dari Habitus Lama ke Habitus Baru. Koran Tempo. 2 Desember 2005.. 518 Pada sidang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2006, dikeluarkanlah sebuah Nota Pastoral dengan judul Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama; Keadilan bagi Semua melalui Pendekatan Sosio-Ekonomi. Secara garis besar, dalam Nota Pastoral (NP) tersebut berisikan permasalahan pokok mengenai kondisi sosial ekonomi bangsa Indonesia yang memprihatinkan sehingga sebagai bagian dari bangsa Indonesia Gereja Katolik Indonesia merasa perlu untuk ikut serta dalam menangani masalah sosial-ekonomi tersebut. Kedua SAGKI tersebut, memiliki pesan khusus kepada para uskup untuk lebih menguatkan dan menumbuhkan komunitas-komunitas basis ini menjadi salah satu cara Gereja berperan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis dan manusiawi. Namun demikian, perkembangan komunitas basis yang menjadi sorotan penting dalam dua sidang tersebut diyakini saat ini masih banyak mendapatkan tantangan dan hambatan seperti apa yang diharapkan dalam dua sidang tersebut. Perkembangan pelaksanaan ajaran sosial gereja tentang komunitas basis di berbagai paroki5 di beberapa wilayah di Indonesia yang dilaksanakan di paroki-paroki di Indonesia yang juga dilaksanakan di salah satu paroki yang berada di wilayah Bekasi yaitu Paroki Kampung Sawah St. Servatius. Paroki ini memiliki sejarah panjang terkait dengan jemaatnya yang berbeda etnis, sehingga mempunyai ciri yang khas dalam pelaksanaan ajaran sosial gereja tersebut. 5 Paroki dalam Bahasa Inggris yaitu parish, adalah suatu tipe pembagian administratif. Paroki dalam Gereja Katolik Roma di Indonesia adalah wilayah gereja di bawah Keuskupan. Paroki dipimpin oleh seorang Pastor Kepala Paroki dan beberapa Pastor Pembantu. Wilayah dibawah paroki biasa disebut Lingkungan, yang dikepalai oleh seorang Ketua Lingkungan. 519 Banyak hal yang menjadi pertanyaan dalam ajaran sosial komunitas basis yang dikembangkan. Apakah ajaran komunitas basis yang diterapkan oleh Gereja Katolik di Indonesia bersumber dari ajaran yang diterapkan oleh Vatikan atau Negara lain? Di mana letak perbedaan komunitas basis di Negara lain dengan di Indonesia? Apakah komunitas basis yang berkembang di Indonesia merupakan ajaran sosial gereja yang bersumber dari Kitab Suci? Apakah gerakan komunitas basis yang diterapkan sudah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan serta harapan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia? Berdasarkan alasan-alasan dan pertanyaan tersebut, perlu dilakukan penelitian dengan judul Gerakan Komunitas Basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam kajian ini adalah: 1. Apa makna komunitas basis menurut Gereja Vatikan, gereja di Negara lain, dan Gereja Katolik Indonesia? 2. Apakah pertumbuhan gerakan komunitas basis di Indonesia sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan harapan pada SAGKI Tahun 2000 dan 2005? 3. Bagaimana aktivitas gerakan komunitas basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi? 4. Sejauhmana relevansi gerakan komunitas basis di Paroki Kampung Sawah St. pemberdayaan umat? Servatius Bekasi terhadap Tujuan Penelitian Secara umum kajian ini ingin memperoleh gambaran tentang sejauhmana perkembangan komunitas basis yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan harapan pada SAGKI 520 tahun 2000 dan 2005 yang diperankan di Paroki Kampung Sawah-St. Servatius Bekasi. Di sisi lain, penelitian ini berusaha mengangkat salah satu bentuk ajaran sosial keagamaan yang mengembangkan pemberdayaan umat melalui gerakan komunitas basis. Secara rinci penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui makna komunitas basis menurut Gereja Vatikan, gereja di negara lain, dan Gereja Katolik Indonesia. 2. Mengetahui pertumbuhan gerakan komunitas basis di Indonesia yang sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan harapan pada SAGKI Tahun 2000 dan 2005. 3. Mengetahui aktivitas gerakan komunitas basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi. 4. Mengetahui sejauhmana relevansi gerakan komunitas basis di Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi terhadap pemberdayaan umat. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk; pertama, mendapatkan informasi tentang komunitas basis yang telah di laksanakan sesuai dengan dengan visi, misi, tujuan, dan harapan pada SAGKI Tahun 2000 dan 2005; kedua, mendapatkan strategi relevan untuk Gereja Katolik secara umum dalam melaksanakan ajaran sosial keagamaan melalui aktivitas gerakan komunitas basis di Paroki Kampung SawahSt. Servatius Bekasi. Ketiga, sebagai kebijakan terkait dengan pembinaan umat Katolik. Kajian Penelitian Terdahulu Kampung Sawah merupakan gejala unik dalam konteks budaya Betawi. Wilayah tersebut merupakan kampung Betawi pertama yang agama warganya beraneka. Sejak seabad 521 lampau, warga setempat ada yang beragama Islam, Protestan, maupun Katolik. Gejala ini sedikit "menyimpang" dari kelaziman warga betawi yang identik dengan Islam. Penyimpangan itulah yang menarik perhatian Abdul Azis, peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Departemen Agama (Balitbang Depag), untuk mengkaji profil kerukunan beragama di kampung tersebut, pada 1996. Menurut beliau, kerukunan beragama di Indonesia memiliki basis budaya yang lebih kokoh dibanding Eropa. Sejarah Eropa kental pengalaman konflik antaragama, namun masyarakat nusantara tidak demikian. Perbedaan agama di Kampung Sawah sering kali melahirkan kreasi lokal dalam mengembangkan kerukunan antar agama. Pada kajian lain, Lerman Sinaga, dalam tesisnya berbicara tentang Interaksi Etnis Betawi Berbeda Agama (Tinjauan dari Segi Stereotip, Prasangka dan Etnosentrisme Serta Gaya Komunikasi di Kampung Sawah, Pondok Gede Bekasi). Beliau mengatakan bahwa sikap etnosentrisme etnis Betawi yang beragama Islam terhadap yang memeluk agama Katolik dan sebaliknya ternyata juga berdimensi positif. Artinya dalam interaksi mereka tidak ditemukan kelompok (orang) yang mempunyai sikap yang menganggap hanya norma-norma, nilai-nilai agama, dan perilaku kelompoknya sendiri yang baik, sementara kelompok (orang lain) dilihat sebagai jelek, tidak benar dan tidak penting. Pada kajian lain adalah penelitian Yasmine Z Shahab untuk desertasi doktornya (l989 dan l992). Penelitian ini mengungkapkan tentang asal usul agama Kristen di Kampung Sawah. Yasmine menemukan bahwa tersebarnya sebagian anggota dari komunitas Kampung Sawah ke daerah-daerah tersebut terjadi beberapa saat setelah Indonesia merdeka. Ketika itu warga pribumi yang sebelumnya sering 522 diperlakukan secara berbeda oleh kalangan Kristen melampiaskan kecemburuannya dengan melakukan balas dendam dengan menekan dan mengusir mereka dari sana. Maka terjadilah diasfora pada warga Kristen Kampung Sawah itu. Pada beberapa kajian terdahulu, penelitian lebih ditekankan kepada profil kerukunan beragama masyarakat Kampung Sawah, masyarakat Kampung Sawah beretnis Betawi yang beragama Islam, dan asal usul orang Betawi yang beragama Katolik. Sedikit banyak penelitian tersebut berorientasi pada masalah sosial. Maka pada kesempatan ini, penelitian yang dilakukan lebih berorientasi pada perkembangan gerakan keagamaan yang terfokus kepada ajaran sosial gereja Katolik di Paroki Kampung Sawah melalui Komunitas Basis. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang difokuskan pada perolehan data deskriptif melalui studi kepustakaan dan dokumentasi, wawancara secara mendalam serta pengamatan. Pendekatan naturalistik juga ditempuh dalam upaya menemukan, menggali, dan menggambarkan realitas secara holistik. Studi kepustakaan dan dokumentasi dilakukan dengan cara menelaah dokumen yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Wawancara dilakukan dengan sejumlah informan, terdiri dari pengurus Paroki Kampung Sawah-St. Servatius Bekasi beserta pengurus yang membawahi gerakan komunitas basis, Pembimas Katolik di Kandepag Kota Bekasi, jemaat yang terlibat dalam kegiatan komunitas basis, serta beberapa tokoh agama Katolik. Sedangkan pengamatan dilakukan dengan cara mengamati beberapa kegiatan ajaran 523 sosial kemasyarakatan gereja, terutama ajaran sosial dalam pengembangan komunitas basis. Kerangka Konseptual Gerakan keagamaan merupakan respon terhadap perubahan sosial sekaligus memberikan makna terhadap perubahan. Ada yang mengambil bentuk proaktif dan reaktif, semuanya mengindikasikan adanya tekanan perubahan secara penuh dalam kebudayaan dan masyarakat. Gerakan keagamaan juga berusaha untuk muncul kembali menundukkan perubahan sosial tersebut dengan cara penafsiran baru dan eksperimen-eksperimen melalui respon praktis.6 Gerakan keagamaan atau dapat disebut pula dengan gerakan sosial keagamaan, sering juga dikenal dengan gerakan revitalisasi dan gerakan milenari. Gerakan revitalisasi adalah gerakan keagamaan yang berupaya untuk menciptakan eksistensi yang baru atau disebut direvitalisasi yang dipandang tepat untuk kondisi saat ini. Gerakan milenari, yaitu suatu gerakan keagamaan untuk mengantisipasi tibanya suatu masa seribu tahun (millenium), suatu masa yang diyakini penuh kedamaian, harmonis dan makmur dengan hadirnya pemimpin kharismatik yang dipandang mesias (ratu adil).7 Di lain pihak, gerakan keagamaan tersebut bisa mengembangkan relasi sosial yang bersifat komunal, dalam arti lebih mengedepankan hubungan yang bersifat afektual, atau melibatkan hubungan timbal-balik yang akrab, dan secara bersama-sama oleh kebiasaan dan kearifan lokal. Gerakan keagamaan tersebut bisa pula mengembangkan relasi 6 Beckford, James A. (ed). 1986. New Religious Movement and Rapid Social Change. London. SAGE Publications Inc. Introduction. p. ix-xv. 7 Giddens, Antoni. 1993. Sociology. Cambridge: Polity Press. h. 643. 524 sosial yang bersifat asosiasional, atau lebih mengedepankan hubungan yang bersifat impersonal dalam bingkai ideologi politik tertentu yang dianggap sesuai dengan wahyu atau firman Tuhan. Komunitas basis yang dipahami sebagai salah satu cara baru hidup menggereja adalah: “Satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok, maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam Kitab Suci. Komunitas basis seperti itu terbuka untuk membangun suatu komunitas yang juga merangkul saudara-saudara beriman lain… Komunitas basis itu diinspirasikan oleh teladan hidup umat perdana seperti dituliskan dalam Kitab Suci. Dengan demikian, komunitas basis bukan sekedar istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis dalam pergumulan iman”.8 Dua SAGKI tahun 2000 dan tahun 2005 mengeluarkan pesan khusus kepada para uskup untuk lebih menguatkan dan menumbuhkan komunitas-komunitas basis di Parokiparoki di berbagai daerah di Indonesia.9 Perkembangan pelaksanaan komunitas basis di berbagai daerah diyakini banyak mendapatkan respon yang berbeda baik dari masingmasing paroki maupun masyarakat sekitar yang berbeda agama sehingga perlu dibuat format ideal yang disesuaikan dengan masyarakat dan budaya wilayah-wilayah itu sendiri. 8 Margana. 2004. Komunitas Basis: Gerak Menggereja Kontekstual. Yogyakarta: Kanisius. h. 30-31. 9 Pada SAGKI tahun 2000, gagasan tentang komunitas basis dilandasi kepada banyaknya konflik bernuansa agama di berbagai daerah di Indonesia yang melibatkan jemaat Katolik dan umat beragama lain sehingga perlu dicari resolusi atas konflik-konflik tersebut. Sedangkan pada SAGKI tahun 2005, gagasan tentang komunitas basis dilandasi untuk membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera, demokratis, dan manusiawi. 525 Gereja atau paroki yang berada di setiap wilayah Indonesia berdampingan dengan komunitas lokal yang majemuk. Ajaran sosial gereja seperti komunitas basis setidaknya mempengaruhi kehidupan ekonomi, hubungan kemasyarakatan, dan kualitas kerukunan masyarakat lokal. 526 BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Sejarah Kota Bekasi S ejak zaman kolonial Belanda, Bekasi merupakan wilayah kabupaten yang berkedudukan di Jatinegara. Setelah kemerdekaan status ini dikukuhkan dengan UU Nomor 14 Tahun 1950 mengenai pembentukan Kabupaten Bekasi, dengan wilayah yang terdiri dari empat kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke kota Bekasi (Jl. Ir. H Juanda), yang kemudian pada tahun 1982 gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. Ahmad Yani, Bekasi. Pesatnya perkembangan kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif Bekasi pada tahun 1982 yang terdiri atas empat kecamatan yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, yang seluruhnya meliputi 18 Kelurahan dan 8 desa. Pada perkembangannya Kota Administratif Bekasi terus bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan roda perekonomian yang semakin bergairah. Sehingga status Kota Administratif Bekasi pun kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya (sekarang "kota") pada tahun 1996. Pada awalnya perekonomian Bekasi hanya berkembang di sepanjang Jl. Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km 527 dari Alun-alun kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat Pusat Pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun 1978, serta beberapa departemen store dan bioskop. Sejak tahun 1993, pusat perekonomian bergeser ke sepanjang Jl. Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra niaga. Kini pusat perekonomian telah berkembang hingga Jl. K.H Noer Ali (Kalimalang), Kranji, dan Harapan Indah. Geografi dan Demografi Kota Bekasi, merupakan kota besar kelima yang terletak di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini terletak di sebelah timur Jakarta; berbatasan dengan Jakarta Timur di barat, Kabupaten Bekasi di utara dan timur, Kabupaten Bogor di selatan, serta Kota Depok di sebelah barat daya. Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan Jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok, dan Cikarang; serta menjadi tempat tinggal para komuter yang bekerja di Jakarta. Oleh karena itu, ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kotakota di wilayah Jabotabek.. Lokasi penelitian ini adalah masyarakat Paroki Kampung Sawah-St. Servatius di Bekasi. Wilayah Kampung Sawah, yang mayoritas penduduknya adalah etnis Betawi, masuk dalam wilayah Kota Bekasi Kecamatan Pondok Melati Kelurahan Jati Melati. Sedangkan Paroki Kampung Sawah-St. Servatius beralamat di Jl. Raya Kampung Sawah No. 89 Rt 06/04 Kelurahan Jati Melati Kecamatan Pondok Melati. Wilayah Kotamadya Bekasi mempunyai 12 Kecamatan yang dibagi lagi atas 56 kelurahan. Kecamatan tersebut antara lain: Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Bantar Gebang, Pondok Gede, Jati Asih, Jati Sampurna, Rawa Lumbu, Medan Satria, Pondok Melati, dan Mustika Jaya. Kecamatan Pondok Melati yang merupakan tempat penelitian 528 ini dilakukan adalah kecamatan baru yang mulai beroperasi pada tahun 2004. Kecamatan Pondok Melati sebagai wilayah penelitian ini mempunyai 4 Kelurahan, yaitu: Jati Rahayu, Jati Warna, Jati Melati, dan Jati Murni. Walaupun secara administrastif masuk ke dalam wilayah provinsi Jawa Barat, apabila dilihat dari sisi etniskultural, umumnya penduduk di Bekasi khususnya wilayah penduduk Kampung Sawah berlatar belakang etnis-kultur Betawi-Sunda. Bahkan sebagian lagi berkultur Jawa. Seperti halnya masyarakat di sekitar Jakarta-Bogor-DepokTangerang-Bekasi (Jabodetabek), kultur budaya masyarakat Kota Bekasi masih memiliki nuansa budaya Betawi (dalam Muhajir, 2003 disebutkan ”Betawi Pinggiran” atau ”Betawi Ora” bagi sekitar pinggiran Kota Jakarta). Sosial, Ekonomi dan Kependudukan Selain menjadi wilayah pemukiman, Kota Bekasi juga berkembang sebagai Kota perdagangan, jasa dan industri. Untuk menunjang perkembangannya, Pemkot Bekasi telah mengembangkan Satuan Pelayanan Satu Atap (SPSA) yang mendapatkan Citra Pelayanan Publik Tingkat Nasional. Pemkot Bekasi terus mengembangkan fasilitas-fasilitas yang mendukung aktifitas masyarakat, seperti pasar tradisional dan modern, perumahan, tempat ibadat, sarana pendidikan dan kesehatan. Dukungan sarana transportasi darat di Kota Bekasi, terus dievaluasi dan dikembangkan. Bus dan stasiun KA Bekasi telah memiliki trayek cukup banyak sehingga mobilitas masyarakat, barang dan jasa sehari-hari dapat berjalan dengan lancar. Memiliki akses langsung ke pelabuhan Tanjung Priuk dan Bandara Soekarno Hatta melalui jalur bebas hambatan pintu tol Bekasi Barat dan Bekasi Timur melintasi Jakarta, atau sebaliknya. Posisi Kota Bekasi juga semakin penting berada di 529 jalur tol Jakarta Cikampek setelah dibangunnya jalan tol Cipularang, yang menghubungkan secara cepat antara Bandung dengan Jakarta. Saat ini juga telah mulai dijalankan pengembangan jalan tol JORR (Jakarta Out Ring Road) yang menghubungkan tol Jagorawi dengan Cikunir. Sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang diunggulkan, ini sesuai dengan Visi Kota Bekasi, yaitu unggul dalam jasa dan perdagangan, kini berkembang sangat pesat. Selain itu, banyak juga industri kecil yang berkembang dan telah dapat membuka pasar internasional. Perdagangan ikan hias yang ada di Kota Bekasi saat ini merupakan komoditi terbesar di Asia Tenggara yang dieksport ke berbagai negara Australia, Belanda dan Selandia Baru. Sektor industri besar juga telah menetapkan Kota Bekasi sebagai kawasan perindustrian yang dapat memberikan keuntungan bagi pengusaha lokal maupun internasional. Berkembangnya berbagai potensi daeah di Kota Bekasi, juga tidak lepas dari adanya fasilitas akomodasi seperti perhotelan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan sendiri, selalu menyiapkan segala fasilitas apabila investor akan masuk di Kota Bekasi. Demikian pula fasilitas perbankan dan perumahan. Dilihat dari kontribusi terhadap pendapatan daerah, industri pengolahan merupakan yang paling banyak, diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Meskipun sedikit, lahan pertanian juga ikut menyumbang terhadap APBD Kota Bekasi. Para petani terutama tersebar di bagian utara Kota Bekasi, yang relatif tertinggal dengan daerah di sekitar pusat kota. Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia, di Bekasi juga terjadi ketimpangan ekonomi. Sehingga di satu sisi banyak dijumpai gelandangan, pengemis, dan pengamen, di 530 sisi lain, banyak terlihat mobil-mobil mewah.yang lalu lalang di jalan Kota Bekasi Kegiatan perekonomian di Kota Bekasi cukup menggeliat, hal ini terlihat dari banyaknya mall, pertokoan, bank, serta restoran. Kota Bekasi juga menjadi pilihan bagi warga Jabotabek yang hendak berwisata belanja, karena di Bekasi terdapat Mall Metropolitan, Mega Bekasi Hypermal, Bekasi Square, Plaza Pondok Gede, Grand Mal, Bekasi Cyber Park, dan Bekasi Trade Centre. Pusat belanja hypermarket seperti Carrefour, Giant, Makro, dan Hypermart. Perumahan mewah dengan fasilitas kota mandiri juga banyak berkembang disini, seperti Kemang Pratama dan Harapan Indah. Pengembang Summarecon Agung juga berencana membangun kota mandiri Summarecon Bekasi seluas 300 hektar di Bekasi Utara. Kehidupan Keagamaan Komposisi penduduk Kota Bekasi berdasarkan agama tahun 2008 yang bersumber dari Kantor Departemen Agama Kota Bekasi adalah sebanyak 2.001.899 jiwa dengan rincian sebagai berikut; Islam sebanyak 1.748.044 jiwa (87,31%), Kristen sebanyak 129.102 jiwa (6,44%), Katolik sebanyak 72.047 jiwa (3,59%), Hindu sebanyak 30.183 jiwa (1,50%), Buddha sebanyak 21.521 jiwa, dan lain-lain sebanyak 1.002 jiwa (0,05%). Jumlah Penduduk Kecamatan Pondok Melati berdasarkan agama menurut data tahun 2008 yang bersumber dari Kepala Seksi Penamas Kantor Departemen Agama Kota Bekasi, adalah sebagai berikut: 531 Tabel 1 Data Penduduk Kecamatan Pondok Melati Berdasarkan Agama Tahun 2008 No. Agama Jumlah Penduduk 1. Islam 93.535 jiwa 2. Kristen 8.984 jiwa 3. Katolik 8.323 jiwa 4. Hindu 603 jiwa 5. Buddha 6. Konghucu Jumlah 4.768 jiwa 11 jiwa 116.224 jiwa Untuk data rumah ibadat yang berada di bawah Kecamatan Pondok Melati adalah sebagai berikut: Masjid 53 buah, musholla/langgar 74 buah, dan gereja 8 buah dengan jumlah total 135 buah. Menurut informasi dari Kepala Kantor Urusan Agama Pondok Melati, rumah ibadat seperti vihara, pura, dan klenteng di wilayah tersebut masih belum ada. 532 BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN GERAKAN KOMUNITAS BASIS Ajaran Sosial Gereja Komunitas Basis Katolik melalui Gerakan ada Konsili Vatikan II10 yang diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII bertujuan untuk memperbaharui gereja secara spiritual dengan cara kembali ke sumber tadisi suci yang lama baik yang tertulis (kitab suci) maupun yang lisan, seperti dari para bapa gereja dan tulisan para orang kudus. Dengan harapan, gereja dapat memperoleh kesegaran baru sehingga dapat menjawab tantangan zaman dan iman Katolik dapat diterapkan di dalam kehidupan seharihari. Dalam Konsili Vatikan II tersebut, dilakukan beberapa pembahasan terkait dengan permasalahan umat maupun ajaran gereja Katolik yang salah satunya adalah pembahasan tentang ajaran sosial gereja. Pembahasan-pembahasan yang didiskusikan terangkum P 10 Konsili (pertemuan) uskup sedunia yang diadakan di Vatikan, Roma pada tahun 1962-1965. Konsili merupakan suatu proses penemuan kembali Gereja dalam cahaya iman yang sejati dan dalam dialog dengan dunia. Konsili juga mengangkat berbagai aspek gereja: keberadaan serta hakekatnya yang benar, misinya yang ditemukan kembali dalam cahaya Injil dan iman. Pada Konsili ini menghasilkan banyak keputusan yang membuat ibadat Gereja Katolik menjadi lebih modern. Hanya ada tiga konsili Gereja Katolik yang telah diadakan sejak abad ke-16; Konsili Trente (1545-1563), Konsili Vatikan Pertama (1869-1879), dan Konsili Vatikan Kedua (19621965). Keene, Michael. 2006. Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, dan Pengaruhnya di Seluruh Dunia. Yogyakarta: Kanisius. 533 dalam dokumen-dokumen sebagai bahan diskusi para uskup sedunia. Dokumen tersebut mencakup tiga (3) dokumen besar, antara lain; pertama, konstitusi, yang terdiri dari (1) konstitusi dogmatis tentang wahyu ilahi (dei verbum), konstitusi dogmatis tentang gereja (lumen gentium), konstitusi tentang liturgi suci (sacrosanctum concilium), dan konstitusi pastoral tentang gereja dalam dunia modern (gaudium et spes). Kedua, pernyataan, yang terdiri dari pernyataan tentang pendidikan Kristen (gravissimus educationis), pernyataan tentang hubungan gereja dengan agamaagama bukan kristen (nostra aetate), dan pernyataan tentang kebebasan beragama (dignitatis humanae). Ketiga, dekrit, terdiri dari tujuh buah dekrit yaitu dekrit tentang kegiatan misioner gereja (ad gentes), dekrit tentang pelayanan dan kehidupan para imam (presbyterorum ordinis), dekrit tentang kerasulan awam (apostolicam actuositatem), dekrit tentang pembinaan iman (optatam totius), dekrit tentang pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (perfectae caritatis), dekrit tentang tugas pastoral para uskup dalam gereja (christus dominus), dekrit tentang ekumenisme (unitatis redintegratio), dekrit tentang Gereja-gereja Timur Katolik (orientalium ecclesiarum), dan dekrit tentang upaya-upaya komunikasi sosial (inter mirifica). Dari ketiga dokumen besar dan beberapa pembahasan di dalamnya, salah satu pembahasan yang paling disoroti adalah konstitusi pastoral tentang gereja dalam dunia modern (gaudium et spes). Dokumen tersebut 534 dikeluarkan tahun 1965, dan merupakan salah satu dokumen paling penting dalam tradisi sosial gereja. Dalam dokumen tersebut terdapat tema-tema khusus yang disoroti, yaitu (1) Gereja dan Panggilan Manusia, berisikan tentang martabat manusia, masyarakat manusia, kerja manusia di dunia, dan gereja dalam dunia modern. (2) Beberapa keprihatinan utama, berisikan tentang perkawinan dan keluarga, perkembangan kebudayan, kehidupan sosial-ekonomi, kehidupan politik, dan perdamaian. Berangkat dari konsili Vatikan II, pada tanggal 11 Oktober 1992, bertepatan pada hari ulang tahun ketiga puluh pembukaan Konsili Vatikan II, dilaksanakan pengesahan dan penerbitan "Katekismus Gereja Katolik" oleh Paus Yohanes Paulus II yang isinya menekankan untuk menerapkan petunjuk-petunjuk secara konkret dan tepat pada tiap gereja lokal dan pada gereja seluruhnya sehingga dengan seksama memelihara kesatuan iman dan kesetiaan kepada ajaran Katolik. Isi dokumen secara khusus tidak berbicara tentang komunitas basis tapi lebih ditekankan tentang hal-hal yang dapat dilakukan terkait dengan ajaran-ajaran gereja. Secara lebih fokus, komunitas basis yang berkembang merupakan ajaran sosial gereja. Ajaran sosial gereja dapat ditemukan secara tertulis di dalam surat apostolik dari paus maupun enseklik-enseklik. Dalam enseklik Redemptoris Missio, Paus Yohanes Paulus II secara khusus berbicara tentang komunitas basis: 535 “Suatu fenomena yang sedang tumbuh dengan cepat di gereja-gereja muda - sesuatu yang kadang-kadang didorong oleh para uskup dan konferensinya sebagai prioritas pastoral – adalah apa yang dinamakan ‘komunitas basis gerejawi’ yang kini terbukti menjadi pusat yang baik bagi pembinaan Kristen dan penyebaran missioner. Ini adalah sekelompok orang Kristen pada tingkat keluarga ataupun dalam lingkungan terbatas berkumpul bersama untuk berdoa, membaca al-kitab, mengadakan katakese, dan berdiskusi tentang masalahmasalah manusiawi dan gerejawi, dengan maksud untuk melihat komitmen bersama. Jemaat-jemaat ini merupakan tanda adanya kehidupan di dalam gereja suatu sarana pembinaan dan penginjilan, dan suatu titik pangkal yang kokoh bagi suatu masyarakat baru yang dilandaskan pada peradaban cinta.”11 Pada awal dan pertengahan tahun 1970, Konsili Vatikan II menjadi bahan rujukan oleh Gereja Mindanao dan Sulu di Negara Filipina dalam meremajakan kembali Paroki dan Keuskupan menuju komunitas basis gerejawi yang swapraja, swadaya, swakelola. Berbagai prakarsa para misionaris dan imam-imam dengan mengubah gereja institusional menjadi upaya-upaya membawa kabar baik dan cara semangat hidup melalui pengesahan komunitas basis gerejawi sebagai daya dorong pastoral. Hal tersebut juga diikuti dan didukung oleh keuskupan 11 Kirchberger. Georg & John Mansford Prior (ed). 2007. Kekuatan Ketiga Kekristenan: Seabad Gerakan Pantekostal 1906-2006. Maumere: Penerbit Ledalero. h.255257. 536 keuskupan lainnya di Filipina sehingga komunitas basis mulai berkembang di negara tersebut. Disisi lain, komunitas basis yang berkembang di Amerika Latin menjadi jalan keluar bagi masyarakat miskin dan tertindas di wilayah ini dengan berusaha menghayati kitab suci di tengah-tengah suasana pemerintahan yang demokratis. Namun demikian gerakan komunitas basis di Amerika Latin tidak semudah yang diperkirakan. Banyak tantangan yang datang justru dari orang-orang Katolik sendiri yang berada di pihak rezim militer dukungan Amerika Serikat yang mencurigai gerakan komunitas basis sebagai gerakan kiri yang dekat dengan sosialis dan komunis. Rezim pemerintahan yang didukung oleh Amerika Serikat yang saat itu melarang dengan keras semua gerakan yang berideologi Marxisme dan Komunisme termasuk Gerakan komunitas basis sebagai gerakan pembela kaum miskin dan tertindas termasuk dalam gerakan tersebut. Sehingga tercatat ribuan tokoh yang mengembangkan dan menggerakkan komunitas basis ditangkap, ditahan, bahkan dibunuh. Termasuk para pastor dan suster yang membela kepentingan rakyat dianggap menentang rezim militer yang berkuasa. Dalam sejarah Gereja Katolik selama 2000 tahun, gerakan komunitas basis di Amerika Latin merupakan martir12 terbesar dalam sejarah karena melibatkan ratusan bahkan ribuan dibunuh dalam kurun waktu 12 Pengikut gereja yang rela berkorban jiwa, raga, dan harta demi kepentingan ajaran gereja. 537 1970-1980. Namun penindasan dan pembasmian aktivis gerakan komunitas basis di Amerika Latin terus bergulir dan tidak meredakan keinginan para penerusnya. Secara independen mereka tetap bergerak membela kepentingan sesamanya yang miskin, tidak mampu, dan masyarakat terpinggirkan. Dari kejadian pembunuhan dari gerakan komunitas basis tersebut banyak memengaruhi masyarakat untuk tidak lagi ikut dalam gerakan tersebut. Namun pengaruh yang luar biasa berimbas kepada negara-negara lain di Amerika Latin untuk tetap mengembangkan gerakan komunitas basis tersebut. Gerakan Komunitas Basis di Indonesia Cikal bakal umat Katolik di Keuskupan Agung Jakarta sudah mulai ada ketika Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC, 1619-1799) berkuasa di Batavia. Pada masa itu banyak orang "Portugis hitam", yang menjadi tawanan VOC. Portugis hitam itu adalah sebutan untuk orang-orang India, Srilanka, Melayu yang telah menjadi Katolik. Mereka menerima nama Portugis dari wali baptisnya, dan memakai adat budaya Portugis dalam kehidupan keseharian. Ketika VOC mengalahkan bangsa Portugis, orang-orang Portugis hitam ini juga ikut ditawan oleh VOC. Karena agama Protestan sangat kuat berpengaruh pada pemerintah Belanda maka kegiatan keagamaan orang Katolik sangat dipersulit. Banyak dari antara orang-orang Portugis hitam ini yang kemudian pindah ke agama Protestan, agar mereka dapat terbebas dari status tawanan. Tetapi tidak sedikit dari mereka yang dalam hati tetap Katolik dan melakukan ibadah Katolik secara sembunyi-sembunyi. Begitu juga di antara para 538 pegawai dan tentara VOC yang berasal dari Belgia, Jerman, dan Perancis banyak yang menjadi Katolik. VOC sangat menghambat pelayanan para imam Katolik sehingga mereka melayani orang-orang Katolik secara sembunyi-sembunyi. Dalam keadaan yang serba sulit di abad 18, imam-imam Katolik dari pelbagai bangsa banyak yang singgah di Batavia dan sempat melayani umat, meskipun dengan resiko bila diketahui oleh pemerintah. Pastor Egidius d’Abreu, SJ dibunuh di Kasteel Batavia (Maret 1624) pada zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, karena mengajar agama dan merayakan misa kudus. Pastor Aleksander Rhodes, SJ dipaksa menyaksikan pembakaran salib dan alat-alat peribadatan, lalu diusir. Yoanes Kratz, seorang Austria juga terpaksa meninggalkan Batavia. Ia adalah seorang dermawan yang sangat membantu imamimam Katolik. Ketika VOC mengetahui perbuatannya usaha Kratz dipersulit. Saat masa keemasan VOC telah purna pada tahun 1799, peta politik Negeri Belanda berubah setelah kekuasaan beralih di bawah kendali Raja Louis Napoleon dari Perancis yang beragama Katolik. Ia adalah saudara dari Kaisar Napoleon I. Penguasa Batavia pada waktu itu Marsekal H.W. Daendels (1808-1811). Pergantian penguasa ini mengubah sikap penguasa kolonial terhadap orang Katolik. Imam-imam diijinkan untuk merayakan Misa Kudus secara terbuka. Pemerintah juga memberikan sebuah gereja Protestan di Gang Kenanga Utara untuk beribadat bagi orang Katolik berkebangsaan Belanda. Saat itu, Revolusi Perancis sedang membakar daratan Eropa dengan semboyan “Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan”. Atas persetujuan Gubernur Du Bus de Ghisignies, seorang bangsawan Belgia, pada tanggal 8 Mei 539 1807 Paus Pius VII mendirikan Prefektur Apostolik di Hindia Belanda, yang mencakup hampir seluruh wilayah Hindia Belanda. Prefek Apostolik pertama adalah Pastor Jacobus Nelissen Pr. Gubernur Du Bus de Ghisignies juga menghadiahkan tempat kediaman tentara dan wakil gubernur jenderal kepada Umat Katolik sebagai tempat ibadat (1830). Pada awalnya, sebagian besar umat Katolik yang berada di Indonesia adalah orang Eropa dan baru pada tahun 1930-an umat Katolik dari orang pribumi dan Tionghoa mulai bertumbuh. Cakupan wilayah Vikariat Apostolik begitu luas, tetapi tenaga imam hanya sedikit. Seperti diketahui, selama hampir satu abad (1807-1902) semua umat Katolik di Hindia Belanda ada di bawah Prefek Apostolik dan atau Vikariat Apostolik. Kemudian, berangsur-angsur wilayah gerejani di luar Jawa dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia. Kemudian Malang, Surabaya, Bandung, Purwokerto, Semarang dipisahkan dan menjadi vikariat apostolik tersendiri. Maka sejak 1940 Vikariat Apostolik Batavia hanya meliputi Keuskupan Agung Jakarta dan Bogor. Berdasarkan keputusan Paus Yohanes XXIII pada tanggal 3 Januari 1961 status Vikariat Apostolik ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung. Pada waktu itu yang menjadi Vikaris Apostolik di Batavia adalah Mgr. A. Djajasapoetra, SJ. Dengan perubahan status hirarki ini maka beliau menjadi Uskup Agung pertama di Jakarta. Mulai dari situlah pengembangan ajaran-ajaran Katolik secara berangsur-angsur mendapat tempat dan mulai berkembang di Indonesia serta di dukung oleh pemerintah. Terkait dengan perkembangan Gereja Katolik beserta ajaran-ajarannya di Indonesia, pertumbuhan gerakan komunitas basis sebagai bagian dari ajaran Katolik di Indonesia sedikit banyak mengadopsi dari negara-negara 540 yang lebih dulu mengembangkan komunitas basis, antara lain Amerika Latin, Filipina, dan Afrika Selatan. Gerakan komunitas basis sebagai gerakan menggereja bukan hanya berkembang di negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Di sejumlah negara Afrika, yang penduduknya heterogen juga tumbuh subur. Oleh karena itu sebagian gerakan komunitas basis yang dikembangkan di Indonesia mendapat inspirasi dari benua itu. Misalnya, model gerakan komunitas basis di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Metode dan model yang dikembangkan lembaga pastoral di bawah federasi para uskup di Asia juga banyak diambil dari Afrika Selatan. Adalah Lumko, sebuah lembaga pastoral yang dibentuk oleh Konferensi Waligereja dari lima negara Afrika (Bostwana, Swetzirland, Namibia, Mozambique, dan Afrika Selatan). Lembaga ini banyak menerbitkan berbagai bahan training, metode, dan publikasi untuk pengembangan dan pemberdayaan komunitas basis. Terkait dengan itu, pada tanggal 1-5 November 2000 di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor diadakan Sidang Agung Gereja Katolik (SAGKI). Sebanyak 381 umat Katolik utusan dari keuskupan-keuskupan seluruh Indonesia yang terdiri dari para uskup, sejumlah imam dan biarawan/biarawati melakukan sharing (berbagi pengalaman), refleksi, dan diskusi bersama tentang kehadiran dan perutusan umat Katolik di tengah pergumulan bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis di segala bidang kehidupan. Tema Sidang tersebut adalah “Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Indonesia Baru.” Pada SAGKI tahun 2000, gagasan tentang komunitas basis dilandasi kepada banyaknya konflik bernuansa agama di berbagai daerah di Indonesia yang melibatkan jemaat Katolik dan umat beragama lain sehingga perlu dicari solusi atas 541 konflik-konflik tersebut. Sidang Agung tersebut juga didasarkan pada Konsili Vatikan II (1962-1965), gereja mulai sungguh-sungguh menyadari bahwa perutusan apostolik yang dipercayakan kepadanya oleh Tuhan seharusnya dilakukan bersama masyarakat. Gereja adalah garam dan ragi di tengah-tengah masyarakat (bdk. Mt. 5:13; Mt. 13:33). Agar perutusan itu sungguh terwujud nyata, gereja perlu bertumbuh dan berkembang dengan memberikan kesaksian hidup. Sidang agung ini menghasilkan rumusan secara umum yaitu memfokuskan diri pada pertumbuhan dan pengembangan komunitas basis yang didasarkan pada keyakinan bahwa daya hidup umat Katolik terletak pada basisnya dan pembaharuan gereja harus berasal dari basis. Keyakinan ini sudah diungkapkan juga oleh para Uskup seAsia: "Gereja tidak dapat menunaikan misi pelayanannya tanpa bersifat setempat (lokal). Sebab gereja hanya menjadi gereja bila mendarah daging dalam suatu bangsa dan kebudayaannya, di tempat yang khusus dan pada waktu yang khusus pula".13 Upaya pemberdayaan umat ini dilakukan untuk mewujudkan gereja sebagai persekutuan komunitaskomunitas. Arti komunitas basis dan bagaimana perwujudan serta pengembangannya perlu ditemukan oleh komunitaskomunitas setempat. Oleh karena itu, pengalamanpengalaman berkomunitas basis direfleksikan dalam sidang agung ini. Dengan demikian umat Katolik Indonesia dapat menempatkan diri dalam semangat demokrasi dan pemberdayaan rakyat yang menjadi tujuan paling dasar reformasi di Indonesia. 13 Lokakarya V Office of the Laity, FABC; "Jemaat-jemaat Kristiani Basis dan Pelayanan-pelayanan Setempat" (Seri Dokumentasi FABC. No.1). Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katoli Indoensia Tahun 2000. http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen. di akses pada tanggal hari Senin, 22 Juni 2009. 542 Pada SAGKI yang kedua pada tahun 2005, yang dihadiri oleh 343 utusan dari 36 keuskupan di Indonesia, 96 imam/biarawan/biarawati, dan wakil-wakil lembaga kemasyarakatan, berlangsung di Wisma Kinasih, Bogor, 16-20 Nopember 2005. Dalam sidang ini masih memfokuskan pembicaraan tentang komunitas basis yang berorientasi untuk mengajak bangsa ini menerobos kebuntuan, mengajak berubah dari suasana ketidakadaban publik ke suasana berkeadaban publik. Mengajak bangsa ini melakukan pendalaman atas persoalan aktual dan melakukan perubahan. Dalam SAGKI 2005 diperoleh istilah berubah dari habitus (kebiasaan) lama ke habitus baru, dari suasana cara hidup tidak beradab menjadi cara hidup dan suasana yang beradab. Penekanan tentang komunitas basis yang didengungkan pada SAGKI tahun 2005 adalah ajakan gerakan yang bukan merupakan hal baru bagi gereja. Berbeda dengan keberadaan gereja Katolik di negara lain, gereja Katolik Indonesia adalah khas. Pluralitas masyarakat Indonesia dalam segala bidang menyebabkan kegiatan kegembalaan pun disampaikan secara khas. Gereja sebagai konstitusi dan sebagai komunitas umat hadir serta melakukan gerakan bersama dengan komunitas lain. Ia tidak bisa bertindak sebagai kaum muda menjadi perintis gerakan. Karena itu, sebagian besar peserta SAGKI 2005 adalah kaum muda di bawah usia 40 tahun. Berarti sudah saatnya pula hierarki gereja yang selama ini terkesan kurang memberi kepercayaan dan kesempatan perlu memercayakan kepeloporan kaum muda. Gereja sudah saatnya mengembangkan serangkaian tindakan dan kebijakan inovatif dengan tujuan meningkatkan kapasitas kaum muda. Berangkat dari dua SAGKI yang fokus tentang komunitas basis, pada sidang KWI tahun 2006 mengeluarkan sebuah Nota Pastoral dengan judul Habitus Baru Demi 543 Kesejahteraan Bersama; Keadilan bagi Semua: Pendekatan SosioEkonomi. Secara garis besar Nota Pastoral (NP) ini berisikan 4 (empat) hal pokok antara lain; Pertama, melihat kondisi Indonesia; dan dari kondisi Indonesia ini kemudian secara khusus dirumuskan "Masalah Sosio-Ekonomi". Kedua, "Masalah Sosio-Ekonomi" itu kemudian dipandang serta diartikan dalam terang iman, sehingga sampai pada "Tanggapan Pastoral". Ketiga, "Tanggapan Pastoral" tersebut dicermati kembali untuk menentukan arah "Gerakan SosioEkonomi". Keempat, bersama arah "Gerakan Sosio-Ekonomi" itu ditentukan rancangan gerakan yang hendak diupayakan untuk memperbaiki keadaan hidup bersama di Indonesia melalui usaha sosio-ekonomi. Nota Pastoral mencoba tersebut mengajak gereja melakukan langkah-langkah ke depan yang lebih konkrit14, yaitu: Gereja Membaharui Komitmen Panggilan gereja adalah untuk mewartakan harapan akan keadilan di tengah dunia yang ditandai dengan pelbagai praktek ketidakadilan. Harapan tersebut dapat terpenuhi jika ada sikap pertobatan, termasuk di dalam tubuh gereja itu sendiri. Gereja menghayati pertobatannya dengan cara: Pertama, membarui tekad untuk bersama kaum miskin dan lemah terus menumbuhkan sikap berani memulai dengan kekuatan dan potensi yang ada, betapa pun kecilnya, tanpa menggantungkan diri pada inisiatif pemilik modal besar. Kedua, mendorong mereka yang diberkati dengan kekuatan ekonomi besar agar lebih jujur dan seksama dalam mencari jalan untuk memperbaiki hidup kaum 14 http://lulukwidyawanpr.blogspot.com/2006/11/nota-pastoral-kwi-2006habitus-baru.html. diakses pada hari Senin, 22 Juni 2009. 544 miskin dan lemah. Ketiga, mendorong dan mendesak para pembuat kebijakan publik untuk berubah dari kecenderungan memperdagangkan jabatan dan mandat rakyat bagi keuntungan sendiri menuju keberanian membuat dan melaksanakan kebijakan publik yang sungguh-sungguh berpihak kepada kaum miskin dan cita-cita kesejahteraan bersama. Keempat, mendorong para cerdik-cendekia untuk aktif terlibat mengkaji dan menentang gagasan serta cara-cara berpikir, termasuk dalam bidang ekonomi, yang merugikan kaum miskin dan lemah. Kajian itu diharapkan menjadi jalan bagi penemuan cara berpikir dan gagasan-gagasan yang menempatkan kesejahteraan bersama sebagai cita-cita utama. Prinsip-Prinsip Perekonomian yang Adil Perekonomian yang berkeadilan terarah pada peningkatan kesejahteraan bersama dan pelestarian seluruh alam ciptaan. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kesetaraan martabat setiap manusia. Manusia tidak boleh dikorbankan demi keuntungan. Sebaliknya manusia harus selalu "menjadi subjek, dasar dan tujuan" dari setiap kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi. Kedua, kesejahteraan bersama. Selain mempunyai hak setiap orang juga mempunyai tanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, karena ia hanya dapat hidup dalam kebersamaan. Tolok-ukur tak terbantah dari kesejahteraan bersama sebuah masyarakat adalah mutu kehidupan warganya yang paling lemah. 545 Ketiga, solidaritas. Solidaritas adalah kesetiakawaan untuk bersama-sama melihat persoalan, mencari dan merencanakan jalan keluarnya, melaksanakan dan mengevaluasinya menurut tolok-ukur kesejahteraan bersama. Prinsip solidaritas adalah kekuatan warga untuk mengorganisir diri menjadi kekuatan sosial, ekonomis dan politis. Keempat, subsidiaritas. Prinsip ini menegaskan apa yang dapat dilakukan oleh unit yang lebih kecil tidak boleh diambil-alih oleh unit yang lebih besar. Dengan memperhatikan prinsip ini kekuatan-kekuatan ekonomi yang besar tidak menyingkirkan usaha-usaha kaum miskin dan lemah menuju kesejahteraan bersama. Prinsip ini juga mendorong unit yang kecil untuk mengorganisir diri menjadi suatu kekuatan ekonomi yang mandiri. Prioritas Pemberdayaan Potensi dan Energi Ekonomi Rakyat Segala usaha dalam rupa kebijakan publik dan kerjasama dengan pemilik modal berskala besar harus diarahkan pada proses pemberdayaan itu. Prioritas ini mendesak dan untuk itu dperlukan beberapa langkah; pertama, gerakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga masyarakat yang miskin, bukan dengan program dan proses yang melahirkan ketergantungan, melainkan melalui upaya-upaya yang membuat potensi dan energi ekonomi mereka muncul dan berjalan. Kedua, gerakan untuk memberdayakan kelompokkelompok khusus dalam kaum miskin yang secara ekonomi aktif dan yang mempunyai potensi serta energi untuk berkembang. Terutama sangat penting gerakan 546 pemberdayaan melalui pendidikan kewirausahaan dan pembentukan modal tanpa menggantungkan diri pada modal dari sumber modal bersekala besar ataupun pemerintah. Ketiga, gerakan untuk mendidik dan membentuk modal secara mandiri. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan sikap saling percaya, kejujuran dalam usaha, kreativitas, inovasi, kualitas, ketepatan waktu, pola hidup hemat dan sebagainya. Keempat, gerakan untuk mendesakkan pengadaan infrastruktur sosial ekonomi yang lebih seimbang di Indonesia, dengan memberi perhatian khusus untuk pengembangan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal. Kelima, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik dalam bidang ekonomi agar tetap terfokus pada usaha menguatkan dan memberdayakan potensi dan energi ekonomi kaum miskin serta lemah. Keenam, gerakan untuk memantau arah kebijakan publik, dengan perhatian khusus pada pelaksanaan tatakelola yang baik dan pencegahan kolusi serta jual-beli kebijakan publik. Ketujuh, gerakan bersama mereka yang berkehendak baik dan semua pihak, baik pemerintah maupun dunia usaha, untuk membentuk jaringan usahausaha kecil dan mikro yang melatih serta menghadirkan lapangan kerja bagi mereka yang tidak trampil dalam masyarakat. 547 Kedelapan, gerakan untuk melestarikan lingkungan sebagai upaya ekologis yang tidak boleh diabaikan dalam usaha peningkatan kesejahteraan ekonomis. Mengembangkan Tanggung Jawab Sosial Rakyat Menyikapi makin sulitnya kehidupan masyarakat akibat himpitan kemiskinan dan kesulitan mengembangkan masa depan manusia, KWI mendorong pentingnya membangun harga diri dan keswadayaan. Selain itu, KWI juga mendorong untuk menjalin kebersamaan dan kemitraan dengan sesama warga bangsa. Penting pula disuarakan pemikiran yang lebih seksama dari pemerintah dan pengusaha agar rakyat kebanyakan mendapat ruang dan kesempatan yang memadai guna meningkatkan kehidupan ekonomi mereka. Makna komunitas basis sendiri menurut J. Sunarka, SJ pada tulisannya tentang Komunitas-Basis yang Berdaya Bagi Indonesia Baru dalam Konvenda IV Pembaharuan Karismatik Katolik di Surabaya 2 Juli 2001, komunitasbasis adalah komunitas yang paling bawah, yang menjadi penyangga bagi komunitas-komunitas yang lain. Komunitas yang lain adalah komunitas menengah. Masing-masing komunitas ini sifatnya majemuk. Komunitas-basis masih dapat dirinci lagi: ada komunitasbasis bawah, ada komunitas-basis menengah dan ada komunitas-basis atas. Demikian pula komunitas-basismenengah masih dapat dirinci lagi menjadi komunitasbasis-menengah bawah, komunitas-basis-menengah menengah dan komunitas-basis-menengah atas. Sedangkan 548 komunitas-basis-atas juga dapat dibeda-bedakan sebagai komunitas-basis-atas yang bawah, yang menengah dan yang atas.15 Ada tiga macam Komunitas-basis, yakni: pertama, Komunitas-basis Gerejani (KBG); kedua, Komunitas-Basis Antar Iman (KBAI); dan ketiga, Komunitas-Basis Manusiawi (KBM). Ciri yang membuat sebutan-sebutan itu adalah warga dan kesamaan keyakinan mereka dalam persekutuan. Warga KBG dalam perkembangannya harus mengalami keterbukaan terjadap KBAI dan KBM. Dengan demikian pendalaman iman dan penyatuannya dengan hidup sehari-hari makin hari makin berkembang ke sikap kebersamaan yang meluas. Komunitas-Basis Gerejani (KBG) Komunitas-Basis Gerejani (KBG) adalah persekutuan yang relatif kecil, antara 15 sampai 20 keluarga yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan Firman Tuhan, membahas berbagi masalah-masalah harian bersama dan mencari pemecahannya. Sebagai satuan kristiani, KBG terdiri dari anggota yang saling mengenal. Mereka tidak hanya mengenal nama semua anggota lain, tetapi juga riwayat hidup dan harapan masing-masing rekan. KBG bukan suatu gerakan di dalam gereja, tetapi adalah gereja itu sendiri, yang sedang bergerak maju. 15 (http://www.bukumisa.co.cc/public_html/uskup/Mgr.%20Sunarka/komunitasbasis.html) di akses pada tanggal 5 Mei 2009. 549 KBG bukan untuk orang-orang tertentu (kaum bapa atau ibu, kaum profesional, atau hanya bagi orang yang rajin dan saleh saja), melainkan untuk semua orang, yang mau ambil bagian, baik anggota gereja, sekitar gereja, maupun luar gereja sekalipun. KBG merupakan paguyuban terapan mendasar gerejani, merupakan satuan basis gerejani itu sendiri. KBG memperjuangkan keadilan, membela kaum tertindas dan bermediasi di tengah kerusuhan yang direkayasa oleh kaum elite. Di dalam KBG iman dan kehidupan harian disatukan. KBG merayakan, memperdalam imannya, mendengarkan firman Tuhan yang mendorong dan menjernihkan, sambil mempertebal pilihan untuk hidup, bertindak dan bersikap sebagi saudara dan saudari semua orang. Visi alkitabiah bertumbuh melalui sharing pemahaman kitab suci. Sifat KBG menghantar anggotanya kepada sikap sosial dan sekaligus melampaui batas karya sosial. Komunitas-Basis Antar Iman (KBAI) KBAI adalah persekutuan yang relatif kecil antar orang-orang yang mempunyai berbagai keyakinan. Kekhususan masing-masing tradisi religius dalam komunitas dapat bertemu dan saling memperkaya dalam berbagai hal, baik secara territorial, fungsional maupun kategorial. Dalam KBAI penghayat iman yang berbedabeda dapat bersama-sama mencari dan menemukan Yang Maha Menghendaki dan Menetukan hidup, serta mengikuti-Nya. Pada tingkat ini masing-masing mengalami wawasan intrareligius. Di antara satu sama 550 lain ada proses saling pendalaman iman, yang membuahkan suatu proses transformatif kehidupan dari warga KBAI. Dalam keterbatasan masing-masing tradisi, penghayatan iman kristiani dan penghayatan iman lain itu akan saling mengisi saling memperkaya sehingga terjadilah proses synergi iman. KBAI memperjuangkan kerukunan dan kesejahteraan hidup antar umat beriman. Keragaman beragama merupakan kekayaan yang dapat saling menolong dan bukan untuk saling memusuhi, membenci, atau bahkan untuk saling membunuh dan membinasakan. Komunitas-Basis Manusiawi (KBM) KBM adalah persekutuan dan persaudaraan yang tidak terbatasi oleh iman dan agama tertentu, melainkan oleh pengalaman hidup bersama sebagai manusia, dengan kepedulian manusiawi bersama pula. Itulah komunitas kecil (umumnya terdiri dari orang-orang kecil juga) yang terlibat dalam tindakan-tindakan sosial. KBM terbentuk untuk perjuangan mengurangi atau menghapus penderitaan, sehingga masyarakat dan lingkungan hidup menjadi lebih adil dan lestari. Dalam KBM, masing-masing anggota membawa serta hidupnya yang sering tercecer dan terpisah-pisah. Sehingga hidup yang terpisah-pisah itu disatukan di dalam kehangatan persaudaraan. KBM merupakan usaha berbagai pengalaman dan berbagai rasa, dapat berkembang subur menuju transformasi kehidupan bersama. 551 BAB IV AKTIVITAS GERAKAN KOMUNITAS BASIS DI PAROKI KAMPUNG SAWAH ST. SERVATIUS BEKASI Paroki Kampung Sawah-St. Servatius Bekasi B erdirinya Paroki Kampung Sawah St. Servatius berawal dari pembabtisan 18 orang Kampung Sawah oleh Pastor Bernardus Schweitz. Setahun setelah pembabtisan itu, Pastor Bernardus membeli rumah sederhana untuk dijadikan tempat ibadat walaupun pada saat itu masih tinggal di Jatinegara. Oleh karena itu Pastor Bernardus mengangkat Engku Natanael sebagai ketua stasi sekaligus guru agama bersama dengan Markus Ibrahim Kaiin. Pada tahun 1902-1904 Gereja Katolik dilarang menyelenggarakan kegiatan di Kampung Sawah. Namun pada tahun 1922 Rm. J. van der Loo, SJ mendirikan gereja baru yang dilengkapi sebuah menara di tanah persawahan, di lokasi gereja saat ini. Pada tahun 1935, saat itu gereja dipimpin oleh Pastor Oscar Cremers, OFM yang tercatat sebagai pastor pertama yang tinggal di Kampung Sawah. Pada tahun itu juga Pastor Oscar memberkati sebuah poliklinik yang bernama Melania yang masih ada sampai saat ini. Pada tanggal 24 Oktober 1936, Pastor Oscar memberkati sekolah misi dengan nama Rooms Katholieke Vervolgschool. Pada tahun inilah tercatat lahirnya tradisi memberkati panen padi sebagai ungkapan rasa syukur 552 umat yang di kemudian hari selalu dirayakan setiap tanggal 13 Mei sebagai tradisi “Sedekah Bumi”. Pada tanggal 23 September 1937, Vikaris Apolistik Djakarta, Monseigneur Petrus Willekens, SJ mengangkat stasi Kampung Sawah menjadi paroki sendiri dan gereja Kampung Sawah diberkati dengan nama Santo Antonius dari Padua. Paroki Kampung Sawah menjadi paroki kelima di Keuskupan Agung Jakarta setelah Katedral (1808), Matraman (1909), Kramat (1920), dan Theresia (1930). Gereja Kampung Sawah sempat dirusak dan dibakar oleh pihak yang tidak dikenal pada tahun 1945. Pada tahun 1946 terkumpul lagi umat Katolik Kampung Sawah sebanyak 90 orang. Pada tahun 1949, Pastor P.F. Soerjomoerdjito, Pr merehabilitasi gereja dan pastoran. Tahun 1972-1973, para pastor Kampung Sawah tinggal di Cililitan sehingga Kampung Sawah menjadi stasi kembali. Sehingga pada tahun 1978, datanglah Suster Pauline, OSU yang menjadi kepala SMP Strada di Kampung Sawah. Kemudian Suster Paulin menggagas terbentuknya proyek Karang Kitri Kampung Sawah yang bertujuan untuk membantu warga yang tidak mampu. Pada tahun 1988, Aloysius Yus Noron, yang merupakan putra asli Kampung Sawah ditahbiskan sebagai imam asli Kampung Sawah pertama setelah 92 tahun pembabtisan yang pertama. Sejak saat itu, seni budaya Betawi seperti pentas topeng, wayang kulit Betawi, pakaian adat Betawi, dan iringan musik tanjidor kerap digunakan oleh pastor-pastor selanjutnya dalam berbagai kegiatan di gereja Kampung Sawah. Pada tahun 1994, nama Paroki St. Antonius diganti menjadi St. Servatius. Adalah Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ yang memberkati Gereja Santo Servatius Kampung Sawah. Pemberkatan gereja diikuti oleh 4.294 umat paroki yang 553 dimeriahkan oleh pesta rakyat yang dimeriahkan dengan musik tanjidor.16 Tradisi Betawi yang diadopsi oleh gereja sebagai kegiatan rutin setiap tanggal 13 Mei adalah tradisi “sedekah bumi”. Sedekah Bumi adalah tradisi masyarakat dalam mensyukuri berkah panen yang diberikan Tuhan kepada umatnya. Dahulu, dalam lingkungan orang-orang Kampung Sawah, acara ungkapan syukur ini lebih dikenal dengan sebutan “bebaritan”, yaitu sebuah upacara animisme kuno memohon keselamatan kepada dengaeng, dedemit, atau si penunggu di suatu tempat tertentu. Pada acara ini, orang-orang berkumpul di suatu tempat, biasanya tempat-tempat “angker” yang diyakini penduduk sebagai tempat dengeang. Semua makanan yang dibawa oleh masyarakat dikumpulkan dan ditata sejajar serta diberi alas daun pisang yang lebar dan panjang. Setelah makanan ditata sedemikian rupa, orang-orang yang hadir mengambil tempat berbaris sejajar dengan tatanan makanan tadi. Kemudian pemimpin upacara yang berdiri paling ujung memulai upacara dengan doa-doa. Setelah doa selesai, masing-masing orang mengambil makanan yang berada di hadapannya dan memakannya bersama-sama. Kampung Sawah memiliki 2 stasi yang juga menjadi wilayah pelayanannya, yaitu Stasi Cakung Payangan dan Stasi Kranggan. Stasi Cakung Payangan atau Wilayah Ignatius, pertama kali “diresmikan” 11 September 1996 lewat pemilihan ketua lingkungan, yang pada waktu itu masih terdiri dari 1 lingkungan. Menurut Ignatius Bejo, “Kegiatannya meliputi arisan, koor ibu-ibu dan belajar kitab suci bersama Sutrisno.” Sutrisno inilah yang diminta Romo Kurris untuk membentuk lingkungan di Cakung Payangan. 16 Paroki St. Servatius (Kampung Sawah). 2009. http://www.servatiuskampungsawah.org diakses pada hari Senin, 22 Juni 2009. 554 Data terakhir (2004), stasi yang telah memiliki kapel ini memiliki 5 lingkungan dan 608 umat. Sementara itu, Stasi Kranggan atau Wilayah Andreas, semula terdiri dari 5 lingkungan. Umat di wilayah ini terdapat kapel untuk beribadat setiap hari Minggu. Namun, pada tahun 2003, terjadi “pengusiran secara paksa” dari masyarakat sekitar akibat isu-isu yang tidak dapat dipertangungjawabkan. Data terakhir (2004), Stasi Kranggan memiliki 8 lingkungan dan 953 umat. Kini tengah mengumpulkan dana untuk membangun paroki baru, Paroki Stanislaus. Sejarah gereja Kampung Sawah adalah sejarah umat Katolik Betawi Kampung Sawah. Pada 13 Mei 1996, di hari peringatan St Servatus, enam pria dan enam wanita tampil ke depan altar di gereja darurat dilantik menjadi anggota Perkerabatan Santo Servatius. Kedua belas “babe” dan “enya” itu dipilih dari penduduk setempat yang aktif di tengah umat Katolik Kampung Sawah. Mereka adalah Gregorius Pepe, Maria Baiin Adam Noron, Sulaiman Kadiman, Ester Kaiin Pepe, Johanes Surachmat Kaiin, Sabina Supinah Kadiman Tjiploen, Johanes Pepe, Johana Djaim Halim, Frans Napiun, Johana Nasiran Kapniel Oyan, Yosef Ismael Niman dan Elisabet Kaiin Kuding. Pembentukan perkerabatan Santo Servatius merupakan penghidupan kembali dari suatu tradisi kuno dalam gereja Katolik yang dalam ekspresi imannya yang suka menampilkan bentuk-bentuk lahiriah untuk nilai-nilai spiritual. Para babe mengenakan busana seragam bercorak Betawi terdiri dari celana komprang hitam, baju sadaria putih, sarung merah dan peci hitam yang dihiasi cap Servatius. Para enyak memakai sarung batik Pekalongan, kebaya putih dan kerudung dengan cap yang sama seperti para pria. Semua anggota 555 memakai sepotong mantel hitam. Pesta pelantikan dimeriahkan oleh korps musik tanjidor. A. Program Paroki Kampung Sawah-St. Servatius Bekasi melalui Gerakan Komunitas Basis Seperti paroki-paroki lainnya, paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi mempunyai dewan paroki yang membantu pastor paroki bersama para pastor pembantu dan wakil-wakil umat yang bertugas memikirkan, memutuskan, dan melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan paroki dalam membimbing umat supaya dapat menghayati dan mengamalkan imannya dalam masyarakat. Untuk itu, Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi menyusun pengurus dewan paroki St. Servatius untuk periode 20092012 yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 2 Pengurus Dewan Paroki St. Servatius Periode 2009-2012 Ketua Umum : Yohanes Franciskus Chris Purba, SJ Ketua 1 : A. Soetanto, SJ Ketua 2 : Agustinus Suharyadi, SJ Wakil Ketua : Barnabas Eddy Pepe Sekertaris 1 : Aloysius Eko Praptanto Sekretaris 2 : Aloycius Erwin Bendahara 1 : Richardus Kristiono Bendahara 2 : Ludovicus Gunarso 556 Anggota : I Ketut Swabawa Maria V. G. Mei Lie Herman Sani Stephanus Dalam melaksanakan tugas-tugas dan pengembangan ajaran gereja, selain dewan paroki dibentuk pula struktur dalam menunjang dan mengorganisir beberapa kegiatan gereja, salah satunya adalah pengurus Orang Muda Katolik (OMK) koordinatorat lingkungan. Kepengurusan ini merupakan salah satu struktur organisasi gereja yang penting dalam pengembangan ajaran komunitas basis di gereja ini. Oleh karena itu dibentuklah beberapa seksi-seksi, antara lain: seksi kepemudaan, seksi kerasulan awam (meliputi bidang katekese, kerasulan kitab suci, dan komunikasi sosial) dan seksi pewartaan (meliputi bidang katekese, keraasulan kitab suci dan komunikasi sosial). Berdasarkan data yang diperoleh, disebutkan beberapa program terkait dengan pengembangan masyarakat (komunitas basis) yang di komandoi oleh pengurus perwakilan OMK koordinatorat lingkungan dari seksi kepemudaan, antara lain: 1. Berkerjasama dengan sie kerawam mengadakan acara “Ngeriung Bareng 2009” dengan tujuan memelihara silaturahmi dengan masyarakat Kampung Sawah. Acara tersebut dihadiri oleh perwakilan tokoh dari 5 pemuka agama dan pejabat daerah. Acara ini sekaligus dalam rangka memenuhi himbauan Uskup tanggal 1 Januari 2009 sebagai Hari Perdamaian 557 Sedunia (Vatikan), serta penanaman pohon perdamaian bersama-sama di area parkir paroki Kampung Sawah. 2. Temu Mudika dan Pelatihan Organisasi (TEMPO) I 21-22 Februari 2009 dengan melibatkan pembicara dari Paroki dan Romo dari Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Jakarta. 3. Temu Mudika dan Pelatihan Organisasi (TEMPO) II. Acara tersebut dilaksanakan di Wisma Jesuits Cisarua 23-24 Mei 2009. 4. Opera Magna (merupakan Usulan dari Frater Dwiko) merupakan kegiatan berjalan dari Paroki Kampung Sawah menuju Katedral. 5. Membantu panitia paskah wilayah ignatius dalam bidang teknis audio/visual & dokumentasi misa. 6. Pembentukan panitia untuk kegiatan perayaan hari kemerdekaan RI 17 Agustus 2009. 7. Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI), kegiatan yang dilaksanakan 2 tahunan. 8. Mengikuti lomba koor OMK KAJ, yang melibatkan 40 OMK dilaksanakan dalam rangka hari sumpah pemuda 2009. 9. Persiapan misa 25 tahun KKMK KAJ di Manggala Wana Bhakti, 15 Nov 2009 (seksi kepemudaan Kampung Sawah diminta untuk membantu dalam bidang misa gaya Betawi). Seksi Kepemudaan bekerja 558 sama dengan beberapa elemen masyarakat yang ada di Kampung Sawah. 10. Pertemuan triwulanan seksi kepemudaan tingkat keuskupan agung Jakarta. Selain program yang diselenggarakan oleh OMK seksi kepemudaan, pada seksi kerasulan awam juga mempunyai beberapa program, yaitu: 1. Acara “ngeriung bareng” yang melibatkan tokoh agama dan warga masyarakat setempat. 2. Sosialisasi pemilu tahap pertama (pleno). 3. "Pembinaan Iman Anak di Keluarga dan Masyarakat" untuk orang tua peserta komuni pertama, bekerja sama dengan seksi pewartaan bidang katekese. 4. Pembekalan OMK tentang "hidup bermasyarakat" bekerja sama dengan seksi kepemudaan. 5. Sosialisasi pemilu bersama WKRI cabang Servatius, pengurus OMK dan masyarakat di lingkungan paroki. 6. Festival Budaya Kampung Sawah yang melibatkan masyarakat Kampung Sawah beserta instansi terkait dan para tokoh agama. 7. Sarasehan dan lomba tentang kebangsaan. 8. Sarasehan tentang pemuda dan bangsa, bekerja sama dengan sie kepemudaan, diikuti dengan lomba mengarang. 559 Dalam pengembangan ajaran-ajaran sosial gereja melalui komunitas basis, pihak Paroki St. Servatius lebih menerjemahkan kata komunitas basis dengan kata bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena kata bermasyarakat lebih mudah difahami khususnya oleh jemaat paroki tersebut maupun oleh masyarakat sekitar yang notebonenya mempunyai pendidikan yang sangat beragam. Pemberdayaan komunitas basis telah dilaksanakan sejak Paroki St. Servatius berdiri yang dibuktikan dengan hadirnya jemaat dari etnis Betawi. Seperti yang sudah diketahui bahwa jemaat dari paroki ini berasal dari berbagai etnis termasuk etnis Betawi. Pengembangan komunitas basis dengan cara bermasyarakat diaplikasikan oleh pihak gereja melalui pemberdayaan ekonomi (memberikan pinjaman lunak), pemberdayaan Lingkungan hidup (membuat sumur biopori), kesehatan (kesehatan gratis) budaya (mengangkat kultur Betawi dalam kegiatan keagamaan). Dalam konsep komunitas basis, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara melihat kebutuhan dari masyarakat itu sendiri, oleh karena itu beberapa program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Paroki Kampung Sawah St. Servatius berdasarkan SAGKI (2000 dan 2005) dapat dikatakan sudah sesuai. Seksi-seksi yang dibentuk oleh gereja mencoba menstimulasi dengan melaksanakan beberapa kegiatan dengan melibatkan masyarakat sekitar sehingga hal-hal yang dibutuhkan masyarakat dapat terkuak. Dari sisi ekonomi, jemaat gereja maupun masyarakat Kampung Sawah mayoritas berprofesi 560 sebagai petani, pedagang, dan wiraswasta. Oleh karena itu melalui koperasi gereja, pihak paroki mengakomodir kebutuhan masyarakat setempat untuk memberikan pinjaman lunak untuk mendukung usaha mereka. Dari sisi lingkungan hidup, gereja memprakarsai adanya sumur biopori yang berguna bagi kepentingan masyarakat Kampung Sawah karena air tanah di wilayah tersebut cenderung tidak bagus. Pada sisi kesehatan, gereja juga sering kali mengadakan pemeriksaan kesehatan secara cuma-cuma untuk masyarakat di sekitar Kampung Sawah. Hal itu dilakukan karena kondisi kesehatan masyarakat yang berubah-ubah tergantung dari musim di Indonesia.17 Bentuk pengembangan komunitas basis yang paling dominan di Paroki ini adalah melalui jalur budaya. Sering kali gereja melaksanakan beberapa ritual ajaran gereja menggunakan etnis Betawi. Hal itu dilakukan karena wilayah Gereja St. Servatius berada di wilayah yang mempunyai masyarakat mayoritas beretnis Betawi dan sudah sejak lama bagian dari jemaat paroki ini berasal dari etnis Betawi. Beberapa kegiatan gereja dengan menggunakan budaya Betawi diterima dengan baik, dan melalui budaya Betawi pula komunikasi gereja dengan masyarakat sekitar menjadi lebih mudah. Satu hal utama yang coba ditumbuhkan adalah penghargaan dan pengembangan hidup berdasarkan kearifan lokal. Pendidikan terbuka yang dipadu dengan pemberian 17 Di olah dari hasil wawancara peneliti dengan Aloysius Eko Praptanto, Sekretaris I Pengurus Dewan Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi pada tanggal 18 Desember 2009. 561 ruang pada kearifan lokal ternyata menghadirkan nilai lain yang terkadang sulit dijumpai di tempat lain yaitu toleransi antarkelompok umat beragama. Antarwarga asli Kampung Sawah masih terikat hubungan kerabat. Meski agama berbeda-beda. Ini menjadi salah satu modal terjaganya kerukunan beragama di antara masyarakat Kampung Sawah. Hubungan kerabat itu tak saja berupa hubungan darah, melainkan juga melalui jalur perkawinan. Banyak terjadi kawin silang antarpemeluk agama berbeda. Ada yang kemudian melebur ke agama pasangannya. Ada juga yang bertahan pada agama masing-masing. 562 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ada tanggal 11 Oktober 1992, bertepatan pada hari ulang tahun ketiga puluh pembukaan Konsili Vatikan II, dilaksanakan pengesahan dan penerbitan "Katekismus Gereja Katolik" oleh Paus Yohanes Paulus II yang isinya menekankan untuk menerapkan petunjuk-petunjuk secara konkrit dan tepat pada tiap gereja lokal dan pada gereja seluruhnya sehingga dengan seksama memelihara kesatuan iman dan kesetiaan kepada ajaran Katolik. Isi dokumen secara khusus tidak berbicara tentang komunitas basis tapi lebih ditekankan tentang hal-hal yang dapat dilakukan terkait dengan ajaran-ajaran gereja. Secara lebih fokus, komunitas basis yang berkembang merupakan ajaran sosial gereja. Ajaran sosial gereja dapat ditemukan secara tertulis di dalam surat apostolik dari paus maupun enseklik-enseklik. P SAGKI yang terfokus tentang komunitas basis, sidang KWI tahun 2006 mengeluarkan sebuah nota pastoral (NP) dengan judul Habitus Baru Demi Kesejahteraan Bersama; Keadilan bagi Semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi. Secara garis besar NP ini berisikan 4 (empat) hal pokok antara lain; Pertama, melihat kondisi Indonesia, kemudian secara khusus dirumuskan masalah sosio-ekonomi. Kedua, masalah sosioekonomi itu kemudian dipandang serta diartikan dalam terang iman, sehingga sampai pada tanggapan pastoral. Ketiga, tanggapan pastoral tersebut dicermati kembali untuk 563 menentukan arah gerakan sosio-ekonomi. Keempat, bersama arah gerakan sosio-ekonomi itu ditentukan rancangan gerakan yang hendak diupayakan untuk memperbaiki keadaan hidup bersama di Indonesia melalui usaha sosio-ekonomi. NP mencoba tersebut mengajak gereja melakukan langkahlangkah ke depan yang lebih konkrit. Pengembangan komunitas basis di Paroki Kampung Sawah dengan cara bermasyarakat, kegiatan yang lebih konkrit melalui pemberdayaan ekonomi (memberikan pinjaman lunak), pemberdayaan lingkungan hidup (membuat sumur biopori), kesehatan (kesehatan gratis) budaya (mengangkat kultur Betawi dalam kegiatan keagamaan). Dalam konsep komunitas basis, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara melihat kebutuhan dari masyarakat itu sendiri, oleh karena itu beberapa program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Paroki Kampung Sawah St. Servatius berdasarkan SAGKI (2000 dan 2005) dapat dikatakan sudah sesuai. Seksi-seksi yang dibentuk oleh gereja mencoba menstimulasi dengan melaksanakan beberapa kegiatan dengan melibatkan masyarakat sekitar sehingga halhal yang dibutuhkan masyarakat dapat terkuak. Bentuk pengembangan komunitas basis melalui inkulturasi merupakan hal yang paling dominan di Paroki ini. Sering kali gereja melaksanakan beberapa ritual ajaran gereja menggunakan etnis Betawi. Hal itu dilakukan karena wilayah gereja St. Servatius berada di wilayah mayoritas etnis Betawi dan sudah sejak lama bagian dari jemaat paroki ini berasal dari etnis Betawi. Beberapa kegiatan gereja dengan menggunakan budaya Betawi diterima dengan baik, dan melalui budaya Betawi pula komunikasi gereja dengan masyarakat sekitar menjadi lebih mudah. 564 B. Rekomendasi Pemerintah dipandang perlu mendukung dan memfasilitasi beberapa kegiatan sosial keagamaan seperti gerakan komunitas basis, sehingga pemberdayaan masyarakat akan lebih terarah serta kesejahteraan masyarakat dapat terus meningkat. Gerakan Keagamaan Katolik melalui komunitas basis merupakan bentuk dari ajaran sosial gereja yang perlu dikembangkan dan diorganisir secara lebih baik sehingga harapan dari masyarakat dapat terwujud. Segala elemen terkait yaitu; pihak gereja, pemerintah, maupun jemaat diharapkan dapat saling mendukung dengan melaksanakan tugas masing-masing secara baik dan tidak sebatas hanya mencari kepentingan sepihak. Perlu dilakukan keselarasan dalam membina umat Katolik oleh pihak pemerintah (Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama) dan keuskupan sebagai lembaga keagamaan demi terlaksananya ajaran-ajaran sosial gereja yang dikembangkan oleh paroki-paroki. 565 566 Daftar Pustaka Aziz, Abdul (2005): Ortodoksi dan Potensi Penyimpangan Studi tentang Umat Katolik Timor-Timur. Harmoni, Vol. IV (13): 79. Beckford, James A. (ed). 1986. New Religious Movement and Rapid Social Change. London. SAGE Publications Inc. Introduction. Giddens, Antoni 1993. Sociology. Cambridge: Polity Press. J.B. Banawiratma. 2000. Komunitas Basis Gerejani. Komisi Kateketik KWI. Keene, Michael. 2006. Kristianitas: Sejarah, Ajaran, Ibadat, Keprihatinan, dan Pengaruhnya di Seluruh Dunia. Yogyakarta: Kanisius. Kirchberger. Georg & John Mansford Prior (ed). 2007. Kekuatan Ketiga Kekristenan: Seabad Gerakan Pantekostal 1906-2006. Maumere: Penerbit Ledalero. Lokakarya V Office of the Laity, FABC; "Jemaat-jemaat Kristiani Basis dan Pelayanan-pelayanan Setempat" (Seri Dokumentasi FABC. No.1). Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000. Margana, A. 2000. Komunitas Basis: Kontekstual. Jogyakarta: Kanisius. Gerak Menggereja Pengumatan Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia. 2000. Paroki St. Servatius (Kampung Sawah). 2009. Sularto, St. 2005. Dari Habitus Lama ke Habitus Baru. Koran Tempo 2 Desember. Sasmita, Mungki A. 2006. Tantangan Eksternal dan Peluang Bagi Suatu Pembangunan Jemaat. 567 Tim Penyusun Sejarah dan Wajah Paroki. Setajug Catatan, Sejarah Gereja Kampung Sawah. Dokumentasi Paroki ST. Servatius. WEB: http://lulukwidyawanpr.blogspot.com/2006/11/notapastoral-kwi-2006-habitus-baru.html. diakses pada hari Senin, 22 Juni 2009. http://www.bukumisa.co.cc/public_html/uskup/Mgr.%20S unarka/komunitas-basis.html. Di akses pada tanggal 5 Mei 2009. http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen. di akses pada tanggal hari Senin, 22 Juni 2009. http://www.ekaristi.org/dokumen/dokumen, di akses tanggal 28 April 2009. http://www.servatius-kampungsawah.org diakses hari Senin, 22 Juni 2009. http://www.gki.or.id/, diakses tanggal 28 April 2009. Informan wawancara: 1. Romo Benny Susetyo, Tokoh Agama Katolik. 2. Aloysius Eko Praptanto, Sekretaris I Pengurus Dewan Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi. 3. Ludovicus Gunarso, Bendahara II Pengurus Dewan Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi. 4. Rosentina, Kasie Katolik Kantor Departemen Agama Kota Bekasi. 5. Stanislos Saptadi, jemaat Paroki Kampung Sawah St. Servatius Bekasi. -o0o- 568 STUDI KASUS TENTANG PENETAPAN KUOTA HAJI KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008 Oleh: Zaenal Abidin STUDI KASUS TENTANG PENETAPAN KUOTA HAJI KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2008 Oleh: Zaenal Abidin BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah I badah haji merupakan pelaksanaan rukun Islam kelima yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh pemeluk agama Islam yang mampu (istito’ah); Menunaikan ibadah haji merupakan bentuk perwujudan keimanan dan ketakwaan terhadap ALLAH SWT. Pelaksanaan ibadah haji merupakan pembinaan dan penempaan diri melalui pendalaman, pemahaman serta peningkatan pengamalan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam dalam upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan guna membentuk akhlak yang mulia. Terbentuknya akhlak mulia tersebut dapat diperlihatkan melalui sikap lahir dan batin yang makin tunduk dan patuh pada perintah dan menjahui segala larangan ajaran agama Islam, serta meningkatnya kualitas ibadah, etos kerja dan perilaku yang lebih santun. Pelaksanaan pelayanan ibadah haji selalu diiringi dengan berbagai permasalahan yang sifatnya berbeda-beda; dimana secara kumulatif memperlihatkan bahwa kualitas penyelenggaraan ibadah haji oleh pemerintah (Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Depkes, Pemprov, Kanwil 569 Dep. Agama, Pemkab/kota, Kandepag, KUA, dsb.) belum maksimal. Penyelenggaraan pelayanan ibadah haji melibatkan berbagai pihak dan lintas departemen, namun Departemen Agama merupakan pihak yang paling bertanggungjawab. Untuk mewujudkan good governance, maka pemerintah harus terus berupaya meningkatkan pelayanan penyelenggaraan ibadah haji. Rangkaian pelayanan ibadah haji yang pada beberapa tahun ini kuotanya kurang lebih 207.000 calon jamaah mencakup berbagai aspek dan tahapan. Pada tahapan pendaftaran dan persiapan, permasalahan yang dihadapi pemerintah antara lain adalah: pertama, masalah penentuan kuota, kemungkinan adanya pemalsuan KTP pendaftar dari daerah tertentu ke daerah yang diinginkan, pungutan yang dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari RT, RW, desa/kelurahan, dan puskesmas, serta kandepag. Pemerintah dalam hal pendaftaran haji sudah mengupayakan beberapa perbaikan antara lain dengan mengharuskan pendaftar datang dan mengurus sendiri (tidak boleh diwakilkan) sejak dari RT, bank sampai ke kandepag; namun upaya ini mendapat tantangan dari para penyedia jasa perjalanan ibadah haji (KBIH). Kedua, penentuan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), setiap tahunnya menjadi sorotan berbagai pihak, yang harus mendapat persetujuan DPR. Permasalahan yang dihadapi Menteri Agama adalah harus menghitung semua komponen yang diperlukan berulang kali baik terkait pelayanan di dalam negeri maupun selama berada di Saudi Arabia. Permasalahan lain yang timbul adalah kecenderungan mengulur-ulur waktu penentuan BPIH dikarenakan DPR belum menyetujui. Hal ini mengakibatkan tertundanya waktu penentuan BPIH dan 570 tertundanya pelunasan pembayaran BPIH yang di lakukan calhaj ke bank. Ketiga, hal-hal kelambanan sebagaimana tersebut di atas dapat menimbulkan permasalahan dalam pembuatan SK kuota haji kab/kota yang menjadi otoritas gubernur yang terpaksa dibuat dalam waktu yang sangat pendek bahkan waktunya nyaris bersamaan calhaj harus mengikuti bimbingan manasik yang diselenggarakan KUA. Dalam rentang waktu yang sangat pendek dimana kandepag harus melaksanakan bimbingan manasik, itulah kejadian di Provinsi Jabar tahun 2008, mencuat di mana calhaj yang sudah mengikuti manasik ternyata tidak masuk dalam kuota (batal berangkat). Permasalahan kuota haji Provinsi Jabar pada tahun 2008 pun, mencuat di berbagai pemberitaan di media massa, antara lain di Harian Terbit, 5 Juni 2008 dengan judul ”6.100 Calon Jema’ah Haji Bekasi Terancam Gagal Berangkat Akibat SK Gubernur Jabar”. Berita tersebut isinya kurang lebih, sekitar 6.100 calon jamaah haji Bekasi terancam gagal berangkat haji tahun 2008 ini karena adanya SK Gubernur Jabar yang membatasi kuota haji Bekasi. Sehingga hanya 1.900 orang yang dapat dipastikan bisa diberangkatkan. Sebagai masukan, ada baiknya sub kuota per kota ditunda dulu hingga orang yang sudah terlanjur daftar dan membayar lunas tidak sampai gagal berangkat. Kemudian untuk kuota per kota di lihat kemampuan masing-masing kota. Misalnya kota X hanya mampu memberangkatkan 500 jemaah pada tahun-tahun sebelumnya, tidak perlu diberi jatah 2.000 atau lebih.” Suara Karya, Rabu, 13 Agustus 2008, dengan judul “Calhaj Ancam Blokir Asrama Haji”, intinya kurang lebih, sekretaris calhaj Kota Bekasi, Hasnul Kholid Pasaribu, Senin di Bekasi mengatakan, Gubernur Jabar harus melaksanakan 571 keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan gugatan calhaj Kota Bekasi pada 6 Agustus 2008.” Republika, Kamis 26 Juni 2008 dengan judul “Cabut SK Kuota Haji” inti beritanya, Walikota Bekasi, Mochtar Mohamad, mendesak Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan, segera mencabut surat keputusan (SK) kuota haji dari Kota Bekasi. Desakan itu disampaikan Mochtar melalui surat yang dilayangkan pada Rabu (25/6/2008) lalu.” Dari berbagai pemberitaan terkait dengan penetapan kuota haji di Provinsi Jabar tahun 2008 di atas peneliti ingin mengetahui lebih jauh permasalahan-permasalahan yang ada, sebagai studi evaluasi kebijakan. Perumusan Masalah Surat Keputusan (SK) Gubernur Jabar tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M Tahun 2008 berlaku sejak ditetapkan oleh Pemprov Jabar pada tanggal 29 Mei 2008. Untuk itu permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah proses pembuatan kebijakan Surat Keputusan Gubernur Jabar tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M dilakukan? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jabar tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M? 3. Bagaimana peran dan kepentingan aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan Surat Keputusan Gubernur Jabar tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M diaktualisasikan? 572 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan sejauh mana proses pembuatan kebijakan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M. 2. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan lahirnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M. 3. Untuk mengetahui dan mendiskripsikan apa saja peran dan kepentingan aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M. Metodologi Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokus penelitian di Pemprov Jabar, Kanwil Departemen Prov. Jabar dan Kandepag Kota Bekasi dan Kabupaten Cianjur. Setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian, yakni: pertama, Pemprov. Jabar dan Kanwil Departemen Prov. Jabar merupakan lembaga/institusi di mana proses perumusan kebijakan publik sampai dengan terbitnya SK Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M Tahun 2008. Kedua, pengumpulan data berupa informasi dari responden melalui wawancara dan data sekunder berada pada lembaga/instansi Kandepag Kota Bekasi dan Kandepag Kab. 573 Cianjur. Ketiga, karena keterbatasan penelitian; di mana kasus yang diteliti merupakan kejadian yang menonjol. 1. Desain Penelitian Studi terkait proses perumusan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sebagaimana dikatakan oleh Sugiyono (1998: 4), bahwa ”metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alami (natural) di mana peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci”. Hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Sementara menurut Stake (1995: 37) ”penelitian kualitatif lebih menekankan pada pemahaman hubungan yang komplek di antara semua unsur yang ada dan kemudian mendeskripsikannya”. Oleh karena itu penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Untuk mempertajam pemahaman terhadap obyek yang diteliti, penelitian kualitatif penetapan kuota haji di Prov. Jabar juga harus melihat latar belakang historis agar dapat memperjelas pembaca tentang obyek-obyek yang akan diteliti. 2. Sampel dan Responden Sampel dan responden yang akan diambil dalam penelitian ini adalah orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam proses perumusan dalam kebijakan tentang penentuan kuota haji Prov. Jabar tahun 2008, baik di lingkungan Pemprov Jabar, Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar, dan Kandepag Kota Bekasi, serta Kandepag Kab. Cianjur. Untuk itu pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan kebijakan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008M yang akan dijadikan responden adalah: 574 a. Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar b. Sekretaris Daerah Pemprov Jabar c. Kepala Bidang Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar d. Kepala Kandepag Kab./Kota Bekasi dan Cianjur. e. Kepala Seksi Haji Kandepag Kab./Kota Bekasi dan Cianjur. 3. Teknik Pengumpulan Data Data yang diperlukan dan akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: pertama, data primer yaitu yang langsung diperoleh dari responden yang terlibat dalam proses perumusan SK Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008 M. Kedua, adalah data sekunder berupa data statistik Prov. Jabar, laporan tahunan Kabid Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar, dokumentasi, peraturan-peraturan, kliping surat kabar dan sumber-sumber dari internet yang terkait dengan penelitian ini. Adapun untuk memperoleh data tersebut penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara mendalam, yaitu teknik pengumpulan data dengan jalan tanya-jawab langsung dengan responden yang terkait dengan subyek penelitian. b. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui data statistik, peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, laporan tahunan Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar, kliping dari berbagai media cetak maupun dari sumber-sumber internet. 575 4. Teknik Analisis Data Mengenai analisis data Sofian Effendi (1989) mendefinisikan bahwa analisis data merupakan suatu proses di mana data itu disederhanakan ke dalam sebuah bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipresentasikan. Dari berbagai pendapat, Moleong (1998) menyimpulkan bahwa analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan oleh data. Pekerjaan analisis data adalah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikannya. Teknik analisa data menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif. Teknik ini bertujuan untuk menggambarkan fenomena tertentu secara lebih terinci. 576 BAB II KERANGKA TEORI A. Kebijakan Publik engertian kebijakan publik (public policy) sangat luas dan bervariasi, karena masing-masing ahli mempunyai sudut pandang yang berbeda. Definisi kebijakan publik menurut Dye, seperti dikutip Islamy (1991: 18) ialah bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan publik harus meliputi semua “tindakan” pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintahpun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah. P Effendi (1999) menjelaskan bahwa analisis kebijakan publik terdiri dari analisis tentang kebijakan dan analisis dalam kebijakan. Analisis tentang kebijakan publik ialah analisis untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya masalah kebijakan dan bagaimana memecahkan masalah tersebut serta bagaimana pula konsekuensi dari tindakan itu. Sedangkan analisis dalam kebijakan publik adalah analisis untuk menghasilkan informasi yang paling relevan untuk disampaikan kepada pembuat kebijakan, sehingga mereka dapat membuat kebijakan yang lebih baik. 577 Dunn (1998: 1) mengatakan bahwa “analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan”. Bentuk analisis kebijakan adalah bentuk penelitian terapan yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang masalahmasalah publik guna memperoleh solusi yang lebih baik, dan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi. Pembuatan sebuah kebijakan juga merupakan masalah yang komplek, karena banyak faktor atau kekuatan yang ikut mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Proses perumusan yang rumit dan sulit, bukanlah akhir karena masih dihadang oleh apakah kebijakan publik itu mudah atau lancar dalam implementasinya. Seringkali ditemukan beberapa kesalahan umum dalam proses pembuatan kebijakan yang disebabkan faktor-faktor atau aktor-aktor yang terlibat. Menurut Nigro dan Nigro (1980), dalam Islamy (1994: 25-26) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan, yaitu: a. Adanya pengaruh tekanan dari luar. Seringkali para administrator membuat keputusan karena adanya tekanan dari luar. Walaupun ada pendekatan pembuatan keputusan secara rasional-komprehensif di mana kebijakan yang diambil harus mempetimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional, tetapi proses dalam pembuatan kebijakan/keputusan tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, yang berarti tekanan-tekanan dari luar akan ikut mempengaruhi proses pembuatan kebijakan/keputusan. b. Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme). Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumbersumber dan waktu; yang ketika sekali dipergunakan untuk 578 membiayai program, cenderung akan selalu diikuti oleh para pengambil keputusan walaupun cenderung kebijakan seperti itu salah dan perlu diubah. Kebiasaan lama akan terus diikuti, lebih-lebih kalau kebijakan itu sudah dipandang memuaskan. Kebiasaan lama seringkali diwarisi oleh administrator yang yang biasanya akan segan untuk mengkritik kebiasaan lama yang selama ini dijalankan oleh pendahulunya. c. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam keputusan yang dibuat banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, misalnya dalam proses penerimaan/pengangkatan pegawai, seringkali faktor sifat pribadi pembuatan keputusan berperan besar sekali. d. Adanya pengaruh kelompok luar. Lingkungan sosial pembuat kebijakan berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan. Seringkali pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman-pengalaman orang lain yang sebelumnya berada di luar bidang pemerintahan. e. Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan terdahulu juga mempunyai pengaruh pada pembuatan kebijakan. Seringkali ditemukan beberapa kesalahan umum dalam proses pembuatan kebijakan, faktor-faktor dan kesalahankesalahan yang sering ditemukan dalam proses pembutan kebijakan publik, juga aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Nigro dan Nigro (Islamy, 1994: 27-30) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat 7 (tujuh) kesalahan umum dalam proses pembuatan kebijakan, antara lain: a. Cara berfikir yang sempit (cognitive nearsightedness). Adanya kecenderungan manusia membuat keputusan 579 untuk memenuhi kebutuhan seketika, sehingga melupakan antisipasi masa depan. Seringkali pembuat kebijakan hanya mempertimbangkan satu aspek saja dengan melupakan aspek-aspek yang lain, sehingga gagal mengenali masalah yang lain. b. Adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu (assumption that future will repeat past). Bahwa dalam suatu masa yang labil orang akan bertingkah laku sebagaimana pendahulunya di masa lalu. Kendatipun terjadinya perubahan-perubahan yang besar dari perilaku orang, masih banyak pejabat yang secara picik beranggapan bahwa perubahan itu normal dan akan segera kembali seperti sedia kala. Padahal dalam membuat keputusan atau kebijakan harus meramalkan masa yang akan datang yang bisa berbeda dengan masa lalu. c. Terlampau menyederhanakan sesuatu (oversimplication). Selain adanya kecenderungan berpikir sempit, ada pula kecenderungan untuk terlampau menyederhanakan sesuatu, di mana dalam melihat suatu masalah hanya mengamati gejala-gejala masalah tersebut tanpa mencoba mengamatinya secara mendalam. Dengan pola bertindak yang sederhana, tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalah, tetapi bisa jadi justru menimbulkan masalah baru. d. Terlampau menggantungkan pada pengalaman satu orang (over reliance on one’s experience). Pada umumnya banyak orang meletakkan bobot yang besar pada pengalaman di masa lampau dan penilaian pribadi. Walaupun pengalaman seorang pejabat di masa lampau lebih baik dalam membuat keputusan, tetapi mengandalkan hanya pada pengalaman satu orang bukanlah pedoman yang terbaik. 580 e. Keputusan yang dilandasi oleh prakonsepsi pembuat kebijakan (preconceived nations). Dalam banyak kasus keputusan seringkali dilandaskan pada prakonsepsi pembuatan kebijakan. Keputusan yang bersifat administratif akan lebih baik hasilnya kalau didasarkan pada penemuan-penemuan ilmu sosial, tetapi pada praktiknya sering diabaikan bila bertentangan dengan gagasan atau konsepsi pembuat kebijakan. f. Tidak adanya keinginan untuk melakukan percobaan (unwillingness to experiment). Untuk mengetahui apakah suatu kebijakan dapat diimplementasikan atau tidak adalah dengan mengetesnya pada ruang lingkup yang terbatas. Adanya tekanan waktu, dan pekerjaan yang menumpuk menyebabkan pembuat keputusan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan proyek percobaan. g. Mempunyai cukup fakta beberapa orang enggan untuk membuat suatu keputusan, karena dianggap membuat keputusan sebagai tugas yang berat, penuh risiko, kurangnya dukungan lembaga atau atasan, lemahnya sistem pendelegasian dan sebagainya. B. Kuota Haji Penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan pelaksanaan ibadah haji. Dimana calon jemaah haji adalah warga negara yang beragama Islam, memenuhi syarat, dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang diperintahkan kewajiban bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi setiap muslim adalah hanya satu kali saja, tetapi kenyataannya sering umat Islam yang mampu 581 secara ekonomi akan melaksanakan ibadah haji berulang kali. Persoalan makin banyaknya umat Islam yang mampu menjadikan pendaftaran haji menjadi rumit, dikarenakan kuota yang terbatas dan yang membutuhkan sangat banyak. Dalam bukunya Achmad Nidjam dan Alatief Hanan (2006: 36-37), antara lain disebutkan bahwa melihat animo masyarakat dan ketersediaan fasilitas dalam pelayanan haji, maka pada tahun 1952 dibentuk perusahaan pelayaran PT. Pelayaran Muslim, yang disetujui oleh Menteri Agama sebagai satu-satunya perusahaan yang menjadi Panitia Haji, sebagai hasil Keputusan Konferensi PHI. Besarnya animo untuk menunaikan ibadah haji, sementara fasilitas yang tersedia sangat terbatas, mendorong Menteri Agama memberlakukan sitem quotum, yaitu jumlah jatah (kuota) yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat kepada daerah berdasarkan minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji dari masingmasing daerah dengan pertimbangan skala prioritas. Penetapan kuota dilakukan secara berjenjang, yaitu daerahdaerah atau karesidenan menetapkan untuk propinsi dan propinsi mengatur kuota untuk daerah di bawah wewenangnya. Penetapan kuota oleh pemerintah pusat dimaksudkan agar: Pertama, kuota dapat dipergunakan (terpakai) untuk daerah-daerah secara adil. Kedua, penyesuaian kuota dapat direncanakan secara tepat sehingga memudahkan pemberangkatan di masing-masing pelabuhan. Ketiga, menjaga agar kuota tidak sampai terbuang dan sia-sia, karena disatu pihak ada yang kekurangan sedangkan di pihak lain terdapat kelebihan. Keempat, untuk pengontrolan dan pengendalian, sehingga tidak terjadi jual-beli kuota. Melihat kenyataan ini, bahwa penentuan kuota haji di Indonesia sudah sejak lama juga menjadi permasalahan penting. Kuota yang terbatas harus di bagi secara adil dan 582 merata bagi seluruh daerah. Jumlah jamaah haji (kuota) masing-masing negara ditetapkan sesuai dengan hasil keputusan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam Sedunia (KTT OKI) di Amman, Jordania, pada tahun 1987, yaitu sebesar 1 per mil dari jumlah penduduk muslim suatu negara. Berdasarkan kuota yang ditetapkan dalam KTT OKI, maka porsi nasional jamaah haji Indonesia selanjutnya dialokasikan ke masing-masing provinsi di seluruh Indonesia, jamaah haji khusus, dan petugas haji. Pembagian kuota sesuai dengan SK Gubernur Jawa Barat tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429 H/2008, juga berdasarkan kuota nasional yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1429H dimana Provinsi Jawa Barat memperoleh kuota sebanyak 37.620 orang yang terdiri dari 37.366 jemaah haji dan 254 petugas daerah (TPHD dan TKHD). Oleh karena itu, dengan melihat uraian diatas kita ketahui bahwa pembagian kuota sudah menjadi permasalahan kita bersama dan sejak dahulu pembagiannya diatur oleh peperintah. Agar pembagian kuota haji dapat adil dan merata semua pihak melakukan/ikut campur dari dunia oleh negaranegara OKI, nasional oleh Departemen Agama dan provinsi oleh Gubernur. 583 584 BAB III DESKRIPSI SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA BARAT TENTANG PENETAPAN KUOTA HAJI KABUPATEN/KOTA TAHUN 1429H/2008M A. Latar Belakang Penetapan Kuota Haji Jawa Barat roses pendaftaran haji adalah merupakan fase pertama dari keseluruhan penyelenggaraan haji dimana calon haji terlibat langsung dan proaktif dengan pemerintah sebagai penyelenggara haji melalui Departemen Agama. Jumlah jamaah haji untuk masingmasing negara telah ditetapkan sesuai dengan hasil keputusan Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam Sedunia (KTT OKI) di Amman, Jordania, tahun 1987 yaitu sebesar 1 per mil dari jumlah penduduk Islam suatu negara. Untuk itu pemerintah melalui Menteri Agama setiap tahun mengeluarkan keputusan terkait dengan pembagian kuota masing-masing provinsi. Keputusan Menteri Agama Nomor 20 tahun 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Tahun 1429H, jumlah kuota Jabar sebesar 37.620 terbagi menjadi jamaah haji sebanyak 37.366 dan petugas daerah (TPHD, TKHD) sebanyak 254 orang. P Dasar hukum yang digunakan dalam SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2009 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M masih menggunakan UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Didalam Pasal 14 ayat (2) Gubernur/kepala daerah tingkat I selaku koordinator 585 menetapkan kuota untuk kabupaten/kotamadya. Walaupun sudah keluar UU yang baru yaitu UU 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, dimana dalam Pasal 12 diyatakan bahwa Gubernur dapat membagi kuota kepada Kab/Kota. Dari ke 2 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji baik yang lama maupun yang baru substansi terkait dengan kuota tidak menunjukkan adanya perubahan, yang isinya sama bahwa gubernur mempunyai kewenangan untuk menetapkan kuota kab/kota. Untuk melihat jumlah kuota haji Prov. Jabar tahun 2000 s.d. 2008 adalah Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1 Data Kuota Haji Provinsi Jawa Barat Tahun 2000-2008 No Tahun Jumlah Jamaah 1 2000 36.000 2 3 4 5 6 7 8 9 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 22.643 35.000 26.000 24.050 23.700 30.017 37.366 37.366 Dari Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa sejak tahun 2000 sampai 2008 kuota haji Prov. Jabar mengalami pasang surut, dimana pada tahun 2001 jumlah kuotanya paling sedikit hanya 22.643 orang. Pada tahun 2007 dan 2008 jamaahnya sebanyak 37.366 orang, artinya seluruh kuota habis terpakai 586 sesuai Keputusan Menteri Agama tentang Penetapan Kuota Haji. Pengaturan kuota haji yang dilakukan masing-masing provinsi pada prinsipnya harus memperhatikan keadilan dan proporsional, karena itu Pemprov Jawa Barat dengan Kanwil Departemen Agama Prov. Jawa Barat berusaha mencari formulasi yang tepat terkait dengan kuota haji. Prov. Jabar jika tetap menggunaankan kuota provinsi tidak membagi menjadi kuota kab/kota, maka menjadikan daerah-daerah kota akan mendominasi kuota dan daerah kabupaten akan dirugikan. Banyaknya usulan, pertimbangan, dan dukungan kepada Gubernur Jabar dari dari masing-masing Kab/Kota terkait dengan perubahan penetapan sistem kuota haji di kab/kota dari Bupati, Walikota, dan DPRD se Jabar. Mayoritas kab/kota di Jawa Barat (18 dari 25 kab/kota) menghendaki adanya perubahan dari kuota provinsi menjadi kuota kab/kota, karena kuota provinsi dianggap kurang adil dimana ada kotakota yang mendominasi jumlah pendaftar, sehingga tidak rasional lagi dengan jumlah penduduknya. Misalkan masih menggunakan kuota provinsi seperti selama ini, maka Kota Bekasi pada tahun 2008 terdaftar 15 ribu pendaftar calon haji dan diperkirakan yang masuk kuota dan diberangkatkan sebanyak 11 ribu calon haji Pada waktu terjadi gugatan pada SK Gubernur Jabar tentang kuota haji pendaftaran haji masih berlangsung di Kab. Cianjur dan Kab. Sukabumi dimana pendaftarnya masih kurang dari kuota yang diterima. Maka diambil langkah dengan dibagikan secara proporsional ke kab/kota yang membutuhkan. Kuota kab/kota dibuat dalam usaha untuk mendekati rasa keadilan dimana selama ini calon haji Prov. Jawa Barat didominasi orang kota dengan fasilitas yang lengkap. Dimana besarnya kuota dirumuskan oleh Kanwil 587 bersama Peprov Jabar yang dihadiri oleh para Kabagsos kab/kota, Kakandepag dan Kasi Haji se Jawa Barat. B. Penetapan Kuota Haji Tahun 2008 Pembagian kuota Kab/kota sampai saat ini baru dilakukan oleh beberapa 5 provinsi (provinsi yang telah membagi kuota kab/kota adalah Jabar, Kalbar, Kaltim, Sulsel, dan Maluku Utara). Provinsi yang tidak menetapkan kuota kab/kota akan menerapkan kuota berdasarkan urut kacang pendaftaran calon jamaah haji. Pembagian calon jamaah 1 per mil yang ditetapkan oleh Menteri Agama setiap tahun adalah kuota provinsi, tidak untuk membagi kuota per kab/kota. Berdasarkan kuota provinsi hal ini bisa terjadi kota tertentu akan memperoleh kuota banyak, dan sebaliknya di sisi lain kabupaten tertentu calon jamaahnya sangat sedikit. Pembagian kuota kab/kota seperti yang dilakukan oleh 5 provinsi di atas sebenarnya mengarah pada pembagian yang lebih adil dan proporsional, hal ini mengingat pada umumnya daerah kabupaten memiliki keterbatasan-keterbatasan dibandingkan daerah kota di mana semua fasilitas sudah tersedia (Kandepag, Bank, dan Puskesmas). Penerapan perhitungan kuota 1 per mil jamaah haji dari jumlah penduduk Islam saat ini sudah tidak sesuai lagi, dimana penduduk muslim dunia semakin bertambah banyak. Namun Departemen Agama dalam menetapkan kuota haji provinsi masih merujuk pada kuota 1 per mil sesuai dengan keputusan OKI. Kenyataanya penduduk yang beragama Islam di seluruh daerah terus bertambah, kontradiksi dengan KMA tentang Penetapan Kuota Haji yang masih menggunakan data lama, karena itu banyak pihak yang mempersoalkan. Agar hal tersebut tidak terjadi lagi, maka Departemen Agama perlu meminta data penduduk masing-masing provinsi ke BPS sebagai legalitas statistik. 588 Sesuai dengan KMA Nomor 20 Tahun 2008, jumlah kuota 207.000 dari jumlah penduduk muslim Indonesia kurang lebih 230 juta, dari hal ini sudah dapat dilihat kesalahan perhitungan dengan menggunakan 1 per mil. Kuota Jabar sebanyak 37.366 dibagi dengan penduduk yang beragama Islam sebanyak 40.900.000 jiwa, kalau dihitung 1 per mil maka akan mendapat kuota 40.900 kuota. Dimana pada tahun 2008 SK Gubernur Jawa Barat dalam menetapkan kuota haji kab/kota tetap mengikuti dasar perhitungan 1 per mil murni seperti pembagian dari pemerintah. Namun hal ini ternyata menjadi gejolak yang sangat tinggi walau sebenarnya masih tetap memperhatikan daerah-daerah yang daftar antrian (waitting list) calon jamaahnya lebih banyak. Untuk melihat jumlah kuota haji kab/kota se Prov. Jabar pada tahun 2008 dan 2009 dapat di lihat pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2 Jumlah Kuota Haji Kab/Kota Provinsi Jawa Barat 2008 dan 2009 No Kabupaten/Kota Penduduk Islam Perhitungan 1 per mil Tahun 2008 Tahun 2009 Kabupaten 1 Bogor 4,020,858 4,021 3,815 3,140 2 Sukabumi 2,279,469 2,279 1,939 1,545 3 Cianjur 2,110,916 2,111 1,991 1,243 4 Bandung 4,274,431 4,274 3,862 2,424 5 Garut 2,134,437 2,134 2,045 1,639 6 Tasikmalaya 1,645,476 1,645 1,550 1,320 7 Ciamis 1,975,038 1,975 1,325 1,324 8 Kuningan 1,895,660 1,896 953 870 589 9 Cirebon 2,425,073 2,425 2,233 2,249 10 Majalengka 1,156,892 1,157 1,090 1,060 11 Sumedang 1,080,819 1,081 1,047 835 12 Indramayu 1,686,244 1,686 1,567 1,642 13 Subang 1,506,198 1,506 1,387 1,145 14 Purwakarta 809,661 810 806 699 15 Karawang 1,787,519 1,788 1,766 1,849 16 Bekasi 1,933,480 1,933 1,780 1,838 17 Bandung Barat - Kota - 979 18 Bogor 818,640 819 754 1,096 19 Sukabumi 252,272 252 231 243 20 Bandung 2,576,540 2,577 2,648 2,915 21 Cirebon 275,465 275 254 319 22 Bekasi 1,748,044 1,748 1,974 3,825 23 Depok 1,306,842 1,307 1,203 1,872 24 Cimahi 484,104 484 515 572 25 26 Tasikmalaya Banjar 546,989 168,809 547 169 476 155 567 156 40,899,876 40,900 37,366 37,366 Jumlah Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa pembagian kuota kab/kota pada tahun 2008 angkanya mendekati perhitungan 1 per mil disesuaikan dengan pembagian kuota nasional. Kuota kab/kota pada tahun 2009 mengalami perubahan selain menggunakan rumus perhitungan 1 per mil dan jumlah pendaftar masing-masing kab/kota. Kuota tahun 2009 dengan perhitungan rumusan yang baru terlihat hanya Kota Sukabumi dan Kota Banjar yang mendapatkan jatah 590 kuota tidak melebihi perhitungan 1 per mil penduduk muslim. Masing-masing pemerintah provinsi selalu akan membela rakyat dan masyarakat setempat, lebih-lebih terkait dengan penetapan kuota haji dengan per hitungan 1 per mil. Gubernur Jawa Barat akan lebih memprioritaskan masyarakat asli Jawa Barat, namun beberapa kasus di beberapa kota banyak pedaftar yang bukan penduduk asli (dengan KTP numpang alamat dan alamat fiktif). Menurut H. Iding Samarkondy, SH Kabid Haji Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar pada umumnya di kabupaten waiting list resmi warga Jawa Barat, dan di kota agak semu yang artinya banyak pendaftar yang jati dirinya diragukan. Banyak pendaftar haji yang sebetulnya bukan penduduk daerah tersebut namun bisa menunjukkan KTP, walau dari pihak Kandepag melarang namun terpaksa harus menerima, karena mempunyai persyaratan-persyaratan sesuai dengan ketentuan. Kenyataan di Kota Bekasi pada tahun 2007 dan 2008 hampir 1 kloter pada waktu pemulangan tidak balik ke Kota Bekasi, pada waktu pemulangan haji se tiba di tanah air langsung menuju kedaerah asalnya di luar Jabar. Gejolak yang terjadi terkait SK Gubernur Jabar tentang kuota haji adalah di KBIH di Kota Bekasi, Kota Depok dan Kota Bandung, diketahui bahwa jamaah KBIH banyak berasal dari luar provinsi, hal ini dapat diketahui setelah pemulangan jamaah haji dimana bahasa, pakaian dan perjalanannya berbeda (ke provinsi lain). Penurunan kuota haji di Kota Bekasi dan Kota Depok setelah diberlakukan SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2009 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M, menjadi perhitungan 1 per mil penduduk muslim masingmasing kab/kota. Misalkan Kota Bekasi pada tahun 2006 dan 591 2007 porsinya lebih dari 6.000 jamaah dibandingkan dengan SK Gubernur menurun menjadi hanya 1,974 jamaah. Hal ini menjadi persoalan yang besar sehingga pihak-pihak yang terlibat pelayanan haji di Kota Bekasi tidak menerima kuota pada tahun 2008. Persoalan ini mencuat sampai terjadi gugatan ke PTUN Bandung. Pada waktu gugatan tentang kuota haji kepada Gubernur Jawa Barat di PTUN Bandung yang duduk di kursi panas/pengadilan adalah Gubernur yang dikuasakan kepada Kepala Biro Hukum, dimana dimenangkan oleh penggugat terjadi perdebatan dan diskusi yang panjang di pihak pemda dan Kanwil Dep. Agama Prov,. Jabar. Penasehat hukum dari Biro Hukum Pemprov Jawa Barat meminta Gubernur untuk banding, kalau tidak banding berarti menerima kekalahan yang berarti harus mencabut SK yang sudah ada. Hal yang paling berat adalah diperkirakan penggugat tidak berhenti sampai disitu tetapi akan menuntut perdatanya (ganti rugi), terus siapa yang akan menerima ganti rugi. Pemprov mendatangkan ahli hukum yang menyampaikan bahwa Gubernur (janji) yang pernah disampaikan bisa diabaikan sebagai janji pribadi. Para ahli akhirnya menyarankan untuk meminta fatwa ke Mahkamah Agung. Surat dari Pemprov Jawa Barat memohon petunjuk ke Mahkamah Agung (MA), dan jawaban MA tidak ada kata kecuali harus banding. Sehingga dalam 1 hari fatwa Ketua MA Bagir Manan menyatakan Gubernur harus banding, dan setelah Gubernur banding ke PTUN Tinggi di Jakarta, sampai sekarang keputusannya tidak ada yang tahu. Undang-undang Haji Nomor 13 tahun 2008 sudah ada pada waktu SK sehingga seharusnya sudah berlaku, tetapi secara substansi terkait dengan Kuota walaupun belum ada PP atau KMAnya, namun walau tidak ada PP dan KMA kalau 592 substansinya tidak sama maka akan tidak berlaku lagi. Yang mengajukan gugatan ke PTUN Bandung ada 4 penggugat, yaitu 2 dari Kota Bekasi dan 2 dari Kota Depok. Penggugat Kota Depok 1 dimentahkan oleh Ketua PTUN, sebelum melalui persidangan karena tidak memenuhi persyaratan. Penggugat Kota Bekasi 1 Pemprov Jabar dimenangkan, dimana penggugat Kota Bekasi 2 penggugat menang, serta penggugat Kota Depok 2 dimenangkan. Kasus penggugat Kota Bekasi 2 Gubernur banding ke PTUN Tinggi Jakarta dengan meminta fatwa dari Makamah Agung. Ketika penggugat Kota Bekasi 2 dimenangkan PTUN Bandung, penggugat menuntut kepada Gubernur dan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh supaya SK Gubernur tersebut dicabut dan kembali ke kuota provinsi. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh supaya membuka SISKOHAT dengan menerapkan kuota provinsi, karena sedang banding belum berhak membuka SISKOHAT sebelum ada keputusan banding dari PTUN Tinggi Jakarta. Namun Pemprov Jabar sudah mempersiapkan kalau kalah di banding akan kasasi, sampai sekarang keputusannya tidak ada yang mengetahuinya.. C. Beberapa Persoalan Pendaftar Haji Kondisi masing-masing provinsi yang sangat berbeda, dimana sekarang sudah ada yang jumlah antriannya 10 tahun dan ada yang kurang dari 2 tahun. Kenyataan di lapangan menujukkan bahwa calon jamaah haji banyak yang menginginkan berangkat lebih cepat, sehingga banyak yang mencari daerah yang lebih awal pemberangkatnya. Perhitungan penetapan kuota 1 per mil menggunakan jumlah penduduk beragama Islam sudah adil, namun melekat persyaratan yaitu yang istitoah yang masing-masing daerah 593 berbeda termasuk dari sisi usia, kemampuan ekonomi calon jamaah dan fasilitas yang tersedia. Dibeberapa daerah kondisi calon jamaah haji saat ini sudah terkontaminasi bertambahnya penduduk dari provinsi lain, yang menyulitkan bagi aparat Departemen Agama. Dimana muatan-muatan dari luar yang salah dan hal itu bukan tugas dari Departemen Agama, misalkan terkait dengan kependudukan (KTP). Hasil verifikasi data calon jamaah haji pada umumnya pembuat KTP calon jamaah haji, hanya numpang alamat atau alamat fiktif untuk mendaftar haji di Jawa Barat. Dimana difasilitasi oleh Kelompok Bimbingan Haji (KBIH) atau kolektor yang bekerjasama dengan oknum aparat kelurahan dan kecamatan tertentu, sedangkan calon jamaah haji tidak terlibat secara langsung. Agar supaya penduduk tidak lari dari daerahnya dan mendaftar ke daerah lain harus ada perubahan kebijakan oleh Departemen Agama, dimana perhitungannya tidak hanya penduduk beragama Islam, tetapi juga berdasarkan antrian. Konsekuensinya ada beberapa provinsi yang akan turun drastis kuotanya seperti Jawa Barat, namun hal itu kita secara bersama mengatasnamakan orang Indonesia saja, dimana perlu adanya kelapangan dada sehingga tidak ada yang antri cukup 2 tahun di isis lain ada yang harus sabar antri sampai dengan 10 tahun. Beberapa kebijakan yang sudah dilakukan untuk menekan terkait dengan pindahan pendaftar haji dari luar provinsi adalah sebagai berikut: 1. Pada tahun 2007 pendaftaran diperketat tidak boleh menggunakan KTP sementara; 2. Pada tahun 2008 pendaftaran harus melampirkan kartu keluarga (KK); 594 3. Pada tahun 2009 harus ada pernyataan dari Lurah/Kepala Desa diatas materai Rp. 6000,- yang menyatakan bahwa calon pendaftar benar-benar penduduk/warga setempat. Dimana yang bersangkutan dan pendaftar harus datang sendiri ke tempat pendaftaran di Kandepag tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, karena akan dilakukan sidik jari dan pemotretan langsung. Surat Pendaftaran Pergi Haji (SPPH) hasil print out harus asli Siskohat, kalau sebelumnya sudah dibawa oleh KBIH dengan foto hasil skaner. D. Evaluasi Penyelenggaraan Haji Pelaksanaan penyelenggaraan haji setiap tahun dilakukan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Agama. Evaluasi yang dilakukan Kanwil Departemen Agama Prov. Jawa Barat dengan melibatkan seluruh unit terkait antara lain pemerintah kab/kota, Kakandepag dan Kasi Haji, Ormas Islam, DPRD dan KBIH, serta beberapa instansi terkait lainnya. Hasil rapat evaluasi tahun 2007 antara lain sebagai berikut: Tahap pertama hasil rapat evaluasi penlenggaraan ibadah haji Provinsi Jawa Barat Embrakasi Jakarta Bekasi Tahun 1428H/2007 yang dilaksanakan pada tanggal 15 Pebruari 2008 bertempat di Asrama Haji Bekasi, terkait dengan pendaftaran ada beberapa saran sebagai berikut: 1. peserta rapat secara aklamasi menyepakati bahwa pada tahun 1429H/2008M pembagian kuota haji Provinsi Jawa Barat dari kuota provinsi menjadi kuota kabupaten /kota, dengan acuan pembagian kepada jumlah penduduk muslim x 1 per mil. 2. Kesepakatan ditindak lanjuti dengan penghitungan pembagian kuota kab/kota setelah memperoleh data yang 595 valid tentang penduduk muslim masing-masing kab/kota. Selanjutnya akan ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat selaku koordinator penyelenggaraan haji dan umroh dan dilaporkan kepada Menteri Agama RI Up. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh untuk untuk dilakukan perubahan pada SISKOHAT. 3. Perlu adanya political will dari Gubenrnur Jawa Barat adanya sinyalemen banyaknya pendaftar dari luar provinsi yang menggunakan porsi haji Jawa Barat dengan melakukan langkah-langkah yang preventif. 4. Tata cara pendaftaran harus lebih gencar disosialisasikan kepada masyarakat dengan tahapan-tahapan pendaftaran, seperti pendaftaran dilakukan sendiri oleh pendaftar yang sementara ini banyak diwakilkan kepada orang lain, yang tidak sesuai dengan PP Nomor 15 Tahun 2006. Tahapan kedua di Bandung pada tanggal 29 April 2008 dilakukan rapat koordinasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kanwil Departemen Agama Provinsi Jawa Barat dengan Kepala Bagian Kesra/Sosial, Kepala Kandepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umrah se Jawa Barat, antara lain disepakati beberapa hal: 1. Dalam rangka memenuhi keadilan masyarakat, prioritas pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat Jawa Barat yang proporsional, maka disepakati adanya perubahan kuota haji provinsi menjadi kuota haji kab/kota dan diberlakukan Tahun 1429H/2008M. 2. Dasar pembagian kuota haji kab/kota didasarkan pada pembagian 1/1000 (satu permil) dari jumlah penduduk muslim yang diselaraskan dengan kuota yang tersedia. Tahapan ketiga adanya surat dukungan kepada Gubernur Jawa Barat baik dari pemkab/pemkot dan DPRD masing596 masing kab/kota yang isinya mendukung rencana Gubernur untuk memberlakukan kuota haji kab/kota Tahun 1429H/2008M. Tahap keempat pada tanggal 29 Mei 2009 Gubernur Jawa Barat menetapkan Keputusan Gubenur Jawa Barat Nomor: 451.14/Kep.283-Yansos/2008 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M. Jamaah Kota Bekasi banyak yang bergejolak dan melakukan protes bukan karena kurang sosialisasi dalam pemberlakuan kuota kab./kota, karena proses sosialisasi sudah dilakukan. Namun oleh KBIH pemberlakuan kuota kab./kota seolah-olah dadakan. Walaupun menuai protes dan gejolak yang cukup tinggi pada tahun 2008, Prov. Jabar pada tahun 2009 akan tetap memberlakukan kuota kab/kota. Ada perubahan perhitunggan rumus yang digunakan dimana tahun 2008 hanya megunakan perhitungan 1 penduduk muslim per mil, tahun 2009 dengan perhitungan penduduk muslim dan jumlah jumlah pendaftar (waiting list) masingmasing kab/kota. Rumusnya pada tahun 2009 adalah dengan memperhatikan 2 sisi, yaitu pertama jumlah penduduk muslim masing-masing kab/kota di bagi kuota provinsi, kedua jumlah pendaftar masing-masing kab/kota pada saat akan menetapkan kuota dibagi kuota provinsi. Hasil perhitungan pertama dan kedua dijumlahkan dibagi 2 menjadi kuota kab/kota, dengan perhitungan ini maka hasilnya akan lebih adil, karena memperhatikan 2 sisi. A. Dukungan Dalam Penyusunan SK Penetapan Kuota Haji Kab/Kota SK Gubernur tentang Penetapan Kuota Haji Kab./Kota Tahun 1429H/2008M menuai banyak protes dari beberapa kota, sementara yang mendukung lebih banyak. Jika kuota 597 tetap pada kuota provinsi, akan terjadi kondisi yang lebih tidak berimbang/lebih banyak dominasi daerah kota dan akan berkurang secara signifikan bagi daerah kabupaten. Kabupaten Cianjur dan Sukabumi pada waktu penyusunan SK, karena pendaftarannya belum mencapai hasil 1 per mil maka ditetapkan kuotanya berdasarkan pendaftaran pada waktu itu, dimana sisanya dibagikan secara proporsional ke beberapa kab/kota. Mayoritas kab/kota di Jawa Barat (18 dari 25 kab/kota) menghendaki adanya perubahan dari kuota provinsi menjadi kuota kab/kota, karena kuota provinsi dianggap kurang adil dimana ada kota-kota yang mendominasi jumlah pendaftar, sehingga tidak rasional lagi dengan jumlah penduduknya. Hasilnya seluruh peserta rapat yang diwakili oleh Kandepag dan pemkab/pemkot masing-masing kab/kota menyepakati angka tersebut. Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar dan Asisten III Pemprov Jabar, berdasarkan hasil rapat mengusulkan kepada Gubernur dimana Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar membuat surat usulan. Surat secara tertulis Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar kepada Gubernur tidak memuat akan diterapkan kuota kab/kota, namun langsung berupa usulan angka kuota masing-masing kab/kota. Draf SK ditelaah oleh Biro Hukum yang melibatkan Kabid Haji dan Umroh yang SKnya ditanda tangani oleh Gubernur pada waktu menjelang pergantian Gubernur (disini masyarakat mengaitkan adanya unsur politik, namun sesuai dengan ketentuan SK Gubernur tersebut sudah benar ) . Ada yang menyudutkan Gubenur sudah tidak berhak tanda tangan, karena sudah domisioner. Namun memang pada masa kampaye Gubernur (cuti) dan sebelum ada Gubenur baru dilantik, maka Gubenur lama tetap menjabat 598 kembali dan berwenang untuk mennanda tangani SK tersebut. Didalam rapat sudah berkembang isu bahwa Kota Bekasi dan Kota Depok mengusulkan agar kuota kab/kota tidak diberlakukan pada tahun 2008 dengan pertimbangan di 2 kota tersebut daftar antrianya sangat panjang. Namun hal ini kurang dihiraukan, karena banyak daerah yang mengetahui bahwa beberapa kota di sekitar Jakarta terdapat banyak pendaftar dari luar Jabar. B. Aktor-Aktor Dalam Perumusan Kebijakan Kabag Agama dan Assisten Kesra Pemprov Jabar, Kabid Haji dan Umroh Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar diminta menyampaikan bahwa tindakannya akan dibawa kesepakatan dengan Kandepag dan Pemkab/Pemkot se Jawa Barat. Pemprov dalam hal ini Asisten Kesra dan Kabag Agama menyarankan dalam penetapan kuota tidak dibawa ke musyawarah untuk mencari mufakat, namun sudah ditetapkan bahwa kuota kab/kota akan dilaksanakan pada tahun 2008. Dimana dalam rapat hanya membicarakan kesepakatan angka/kuota masing-masing kab/kota. Musyawarah yang dilaksanakan pada waktu rapat mengundang semua pihak, dimana musyawarah untuk cros cek data penduduk muslim masing-masing kab/kota. Dimana ada beberapa daerah mengalami perubahan, yang rasional dapat diakomodir dan yang ada data pendukung statistik dirangkum untuk mencari angka 1/mil masing-masing penduduk muslim kab/kota dengan meyesuaikan dengan kuota provinsi. Pembahasan selanjutnya adalah tahapan Kab. Cianjur dan Kab. Sukabumi, karena pendaftarannya belum mencapai hasil 1/mil yang ditetapkan kuotanya berdasarkan pendaftaran pada waktu itu, dimana sisanya dibagikan secara proporsional ke beberapa kab/kota yang lain. Hasilnya masing-masing kab/kota menyepakati angka kuota tersebut 599 oleh seluruh peserta rapat yang diwakili oleh Kandepag dan Pemkab/pemkot, Kakanwil dan Asisten III, dasar hasil rapat ini yang diusulkan kepada Gubernur dengan Kanwil membuat surat usulan. Dimana Perubahan kuota provinsi ke kab/kota oleh Asisten III tidak dimusyawarahkan lagi. Hasilnya Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar membuat surat usulan kepada Gubernur Jabar yang ditelaah oleh Biro Hukum yang melibatkan Kabid Haji dan keluar SK Gubernur pada waktu menjelang pergantian Gubenur. Ada yang menyudutkan Gubenur sudah tidak berhak tanda tangan, karena sudah domisioner dimana memang pada masa kampaye gubernur (cuti) dan sebelum ada Gubenur yang baru Gubenur lama tetap menjabat kembali. Usulan yang berkembang dalam rapat dari Kota Bekasi dan Kota Depok bahwa kuota kab/kota tidak diberlakukan pada tahun 2008, karena ada pertimbangan antrian calon jamaah (waiting list) yang panjang. Namun akhirnya seluruh kab/kota menandatangani hasil pembagian kuota yang akan diajukan kepada Gubernur. 600 BAB V ANALISIS SEBAB DAN PROSES PERUMUSAN SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA BARAT TENTANG PENETAPAN KUOTA HAJI KABUPATEN/KOTA TAHUN 1429H/2008M A. Proses Pembuatan Kebijakan Publik enetapan kuota haji Provinsi Jawa Barat yang berdasarkan urut kacang yang selama ini dilakukan dirasa kurang memperhatikan prinsip keadilan dan proporsionalitas oleh masing-masing daerah. Hal ini mengingat jumlah pendaftar masing-masing kab/kota lebih banyak dari kuota. SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Kab./Kota Tahun 1429H/2008M, merupakan “tindakan” yang dilakukan oleh Pemprov Jabar. Menurut Dye, seperti dikutip Islamy (1991:18) ialah bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan publik harus meliputi semua “tindakan” pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintahpun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” oleh pemerintah. P 601 Pemberlakuan kuota haji kab/kota di Prov. Jabar Tahun 2008 dimulai dari rapat evaluasi penyelenggaraan ibadah haji Prov Jabar Embarkasi Jakarta Bekasi Tahun 2007, yang dilaksanakan pada 15 Pebruari 2008 bertempat di Asrama Haji Bekasi. Rapat dihadiri oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelayanan haji, antara lain: Dirjen PHU, Gubernur Jabar, Kakanwil dan Kabid Haji dan Umroh Dep. Agama Prov. Jabar, MUI Jabar, Kadepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji dan Pimpinan BPS BPIH tingkat Kanwil. Hasil rapat antara lain disebutkan dalam pendaftaran: pertama bahwa secara aklamasi menyepakati pada tahun 1429H-2008M, pembagian kuota jamaah haji dirubah dari kuota provinsi menjadi kuota kab/kota; kedua perlu adanya political will dari Gubernur Jabar tentang sinyalemen banyaknya pendaftar dari luar Prov. Jabar. Langkah berikutnya dilakukan rapat koordinasi pembagian kuota haji kab/kota se Jawa Barat pada 29 April 2008 yang dihadiri oleh Pemprov Jabar, Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar, Kabag Kesra/Sosial, Kepala Kandepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umroh kab/kota se Jabar. Hasilnya antara lain disepakati hal-hal sebagai berikut: pertama dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat dan pembagian yang proporsional, maka disepakati adanya perubahan kuota haji provinsi menjadi kuota haji kab/kota; kedua dasar pembagian kuota haji kab/kota didasarkan pada pembagian satu per mil dari jumlah penduduk muslim kab/kota. Hasilnya masing-masing kab/kota menyepakati angka kuota tersebut oleh seluruh peserta rapat yang diwakili oleh Kandepag dan Pemkab/pemkot, Kakanwil dan Asisten III, dasar hasil rapat ini yang diusulkan kepada Gubernur dengan Kanwil membuat surat usulan. Dimana Perubahan kuota provinsi ke kab/kota oleh Asisten III tidak dimusyawarahkan 602 lagi. Selanjutnya Kepala Kanwil Departemen Agama Prov. Jabar membuat surat usulan kepada Gubernur Jabar yang ditelaah oleh Biro Hukum yang melibatkan Kabid Haji dan keluar SK Gubernur pada waktu menjelang pergantian Gubenur. Proses selanjutnya menjadi SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M. B. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Lahirnya SK Perubahan kuota haji di Prov. Jabar menjadi kuota kab/kota tahun 2008 merupakan usaha Pemprov Jabar dengan pertimbangan dalam rangka meningkatkan pelayanan, pembinaan, perlindungan kepada calon jamaah haji dengan memperhatikan prinsip keadilan dan proporsionalitas. Hal ini terlihat bahwa masing-masing kab/kota memperoleh kuota yang mempunyai dasar yang benar dengan penggunakan perhitungan sesuai dengan KTT OKI dan kuota nasional. Jadi kalaupun ada beberapa daerah yang tidak mendukung pada prinsipnya pemerintah provinsi sudah berusaha mencari formasi kuota yang adil bagi seluruh daerah di Jabar. Lahirnya SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M antara lain didorong oleh: 1. Penerapan kuota kab/kota sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, bahwa Gubernur/kepala daerah tingkat I selaku koordinator menetapkan kuota untuk kabupaten/kota. 2. Mayoritas kab/kota di Jabar (18 dari 25 kab/kota) menghendaki adanya perubahan dari kuota provinsi 603 menjadi kuota kab/kota, agar menemukan keadilan dan proporsional untuk seluruh daerah. formasi 3. Merupakan langkah perbaikan dari kota-kota yang mendominasi pendaftaran dari luar provinsi dengan cara menggunakan KTP Jawa Barat. C. Peran dan Kepentingan Aktor-Aktor Yang Terlibat Perubahan kuota haji di Prov. Jabar diawali dari pelaksanaan evaluasi dimana setiap tahun penyelenggaraan haji masing-masing Kanwil Dep. Agama melakukan evaluasi untuk melihat kekurangan dalam pelayanan haji pada tahun yang berjalan. Sesuai dengan prinsip manajemen bahwa evaluasi untuk memperbaiki segala bentuk kebijakan maupun implementasinya, merupakan langkah yang harus dilakukan. Dalam evaluasi menghasilkan beberapa hal, seperti pertimbangan pemberlakuan kuota haji kab/kota. Kuota haji kab/kota di Prov. Jabar Tahun 2008 dimulai dari hasil rapat evaluasi penyelenggaraan ibadah haji Prov Jabar Embarkasi Jakarta Bekasi Tahun 2007, yang dilaksanakan pada 15 Pebruari 2008 bertempat di Asrama Haji Bekasi. Rapat dihadiri oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelayanan haji, antara lain: Dirjen PHU, Gubernur Jabar, Kakanwil dan Kabid Haji dan Umroh Dep. Agama Prov. Jabar, MUI Jabar, Kadepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji dan Pimpinan BPS BPIH tingkat Kanwil. Langkah berikutnya dilakukan rapat koordinasi pembagian kuota haji kab/kota se Jawa Barat pada 29 April 2008 yang dihadiri oleh Pemprov Jabar, Kanwil Dep. Agama Prov. Jabar, Kabag Kesra/Sosial, Kepala Kandepag dan Kasi Penyelenggaraan Haji dan Umroh kab/kota se Jabar. Kedua rapat menghasilkan hal-hal sebagai berikut: pertama dalam rangka memenuhi rasa keadilan masyarakat dan pembagian yang proporsional, maka 604 disepakati adanya perubahan kuota haji provinsi menjadi kuota haji kab/kota; kedua dasar pembagian kuota haji kab/kota didasarkan pada pembagian satu per mil dari jumlah penduduk muslim kab/kota. Melihat proses yang dilakukan diatas diketahui bahwa semua pihak sudah terlibat dalam proses lahirnya SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M. Pemprov Jabar sudah berusaha mengakomodir seluruh stakeholder dalam pelayanan haji, oleh karena itu mestinya diterima oleh semua pihak. 605 606 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan pa yang dapat disimpulkan dari deskripsi dan analisis uraian diatas bahwa keterbatasan kuota haji yang terjadi saat ini harus menjadi perhatian Gubernur Jawa Barat dan aparatur Departemen Agama, dimana harus dicarikan formulasi yang tepat agar kuota haji yang terbatas dapat dibagi secara adil untuk seluruh lapisan masyarakat. Gubernur mempunyai kewenangan untuk menetapkan kuota provinsi atau kuota kab/kota, dimana pada tahun 2008 dan 2009 dirasakan oleh sebagian pihak belum adil. Diharapkan kedepan Gubernur Jawa Barat dapat menetapkan kuota haji secara adil dan proporsional oleh masing-masing kab/kota. A Kenyataan di lapangan bahwa calon jamaah haji banyak yang menginginkan berangkat lebih cepat, sehingga banyak calhaj mencari jalan keluar dengan pindah alamat ke daerah/provinsi lain yang lebih awal pemberangkatnya. Hasil evaluasi penyelenggaraan haji Prov. Jabar 2007 adanya sinyalemen banyak pendaftar dari luar provinsi yang menggunakan porsi haji Jawa Barat, dimana tujuan yang paling banyak menjadi sasaran adalah wilayah yang berdekatan dengan DKI Jakarta. Terbukti benar sesuai hasil Tim Verifikasi Data Calon Jamaah Haji Asal Jawa Barat Tahun 2008, bahwa banyak calhaj dari luar Jabar dengan menggunakan modus numpang alamat/alamat fiktif di Kota Bekasi dan Kota Depok. Banyaknya calhaj yang menggunakan porsi haji Jawa Barat, menjadi penyebab utama yang 607 menimbulkan masalah dan menyebabkan permasalahan dalam pelayanan haji tahun 2008. kerumitan Pelaksanaan penyelenggaraan haji setiap tahun dilakukan evaluasi baik oleh Departemen Agama maupun oleh masing-masing kanwil departemen agama dengan melibatkan seluruh unit terkait antara lain pemprov, pemerintah kab/kota, Kabid Haji dan Umroh, Kakandepag dan Kasi Haji, Ormas Islam, DPRD dan KBIH. Hasil rapat tahun 2007 disepakati antara lain pembagian kuota haji Provinsi Jawa Barat akan dirubah dari kuota provinsi menjadi kuota kabupaten/kota setelah memperoleh data yang valid, akan ditindak lanjuti dengan penghitungan pembagian kuota kab/kota. Sebagian besar kab/kota di Jawa Barat (18 dari 25 kab/kota) menghendaki adanya perubahan kuota provinsi menjadi kuota kab/kota. Kuota provinsi dianggap kurang adil dimana daerah kota mendominasi jumlah pendaftar, sehingga tidak rasional lagi dengan jumlah penduduknya. Ada gugatan terhadap SK Gubernur Jawa Barat Nomor: 451 14/Kep.283-Yansos/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang Penetapan Kuota Haji Kabupaten/Kota Tahun 1429H/2008M, penyebabnya antara lain adalah bahwa kuota kab/kota baru pertama kali ditetapkan di Prov. Jabar, dimana waktunya sudah sangat pendek berbarengan dengan pelatihan manasik haji. Dengan perhitungkan pembagian kuota 1 per mil penduduk muslim yang bditetapkan pada tahun 2008, terjadi perubahan yang signifikan antara masing-masing daerah dimana daerah-daerah tertentu kuotanya turun secara signifikan, dan ada daerah yang kuotanya tidak terpenuhi. Kejadian ini banyak menimbulkan protes warga masyarakat kepada Gubernur, melalui proses peradilan yang hasilnya imbang ada yang dimenagkan oleh penggugat dan ada yang dimenangkan oleh tergugat. 608 B. Saran Pembagian kuota kab/.kota di Prov. Jawa Barat saat ini sudah berjalan 2 tahun, dimana setiap tahun harus dilakukan evaluasi untuk mencari formulasi angka yang tepat yang diharapkan dapat memenuhi keadilan seluruh warga masyarakat. Semua pihak yang terkait dalam pendaftaran haji harus ikut serta mensukseskan terwujudnya kuota yang adil untuk seluruh daerah di Jawa Barat, terutama masing-masing pihak (Desa/Kelurahan dan KBIH) untuk meninggalkan praktek perpindahan KTP yang terjadi di wilayah Jawa Barat. Adanya waktu yang cukup untuk mengsosialisasikan kuota masing-masing kab/kota, sehingga masyarakat siap untuk menerima. Penetapan kuota tahun 2009 yang sudah menggunakan modifikasi antara perhitungan 1/mil penduduk dengan memperhitungkan daftar antrian masih dirasakan kurang memberi keadilan bagi seluruh daerah, hal ini misalnya dengan perhitungan 1/mil penduduk muslim Kota Bekasi kuotanya 1.748 orang dengan rumus yang memperhitungan antrian menjadi memperoleh kuota 3.825 orang. Perhitungan yang sama untuk Kab. Cianjur kuotanya 2.111 orang dan hanya memperoleh kuota 1.243 orang. Dimana semua pihak sudah mengetahui bahwa dasar yang paling kuat untuk menentukan kuota haji adalah 1/mil penduduk muslim, oleh karena itu dalam penentuan kuota haji setiap tahunnya perlu dilakukan evaluasi dengan melibatkan seluruh daerah di Prov. Jabar. 609 610 DAFTAR PUSTAKA Allison, Graham T, 1971, Essence of Decision: Explaining The Cuban Missile Crisis, Boston: Little, Brown and Company. Dunn, William N., 1998, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua (terjemahan), Gadjah Mada University Press. Effendi, Sofian (1999), Analisis Kebijakan Publik. bahan kuliah MAP-UGM, Yogyakarta. Islamy, M. Irfan, 1991, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Mantra, Ida Bagus dan Kasto, 1995, “Penentuan Sampel”, dalam Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta. Moleong, Lexj, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung. Nidjam Achmad dan Hanan Alatief, 2006 ”Manajemen Haji”, Edisi Revisi, Penerbit Mediacita, Jakarta Timur Stake, Robert E., 1995, The Art of Case Study Research, California: Sage Publication, Inc. Suharto, Edi, 2006, Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung. Wahab, A. Solichin, 1997, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Bidang Penyelenggaraan Haji, Zakat dan Wakaf, Kanwil Dep. Agama Provinsi Jawa Barat Tahun 2009, Data Jemaah 611 Haji Jawa Barat Dalam Angka-angka Dari Tahun 20012008. Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi/ Debarkasi Jakarta, Bekasi, Laporan Operasional Pemberangkatan dan Pemulangan Haji Embarkasi/ Debarkasi Jakarta Bekasi 1429/2008M 612