7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Bakar Fosil dan Polusi Udara Aktivitas manusia sangat bergantung pada tersedianya energi, baik itu energi yang berasal dari cahaya matahari, panas bumi, dan yang paling banyak dimanfaatakan adalah sumber energi dari konversi bahan bakar fosil yaitu minyak bumi. Selain sumbernya yang mudah ditemukan diberbagai belahan dunia, proses produksi minyak bumi tergolong lebih mudah. Minyak bumi telah menjadi pilihan utama sumber energi yang dimanfaatkan saat ini. Sejarah panjang antara manusia yang memanfaatkan bahan bakar fossil sudah dimulai oleh bangsa Babylonia, yaitu menggunakan minyak bumi sebagai pelapis dinding batu dalam membangun (Simanzhenkov, 2003). Bangsa Yunani menggunakan minyak bumi sebagai senjata untuk berperang. Mereka melumuri panah mereka dengan minyak dan membakarnya ketika berperang, yang terkenal dengan istilah Greek Fire. Sedangkan Industri minyak bumi sendiri sudah dimulai sejak tahun 1859 di Pennsylvenia, Amerika Serikat (Simanzhenkov, 2003). Revolusi industri di Inggris dan Eropa pada akhir abad ke18 hingga abad ke-19, menjadi pendorong semakin banyaknya penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama segala bentuk aktivitas manusia. Baik dari aspek pabrikan, pertambangan, pertanian, dan yang paling berkembang sangat pesat hingga akhir abad ke-20 adalah industri transportasi dan perminyakan itu sendiri (Anonim, 2015a). Transportasi menggunakan bahan bakar fosil baik jenis bahan bakar gasoline, avtur untuk pesawat dan diesel yang digunakan dalam berbagai jenis industri. 8 Penggunaan bahan bakar fossil hingga tahun 2015 mencapai 93,7 juta barrel per hari, dengan peningkatan pertahunnya mencapai 1,9 juta barrel per tahun (Anonim, 2015b). Menurut data yang didapat dacri Kepolisan RI, Indonesia sendiri memiliki jumlah kendaraan bermotor sebanyak 104 juta unit pada tahun 2013 (Anonim, 2015c). Jumlah yang besar ini tentunya masih didominasi jenis kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil. Emisi-emisi pembakaran yang dihasilkan kendaraan bermotor adalah salah satu agen penyebab polusi udara. Menurut Likens (2011), emisi pembakaran bahan bakar yang menghasilkan , , ammonia dan lain-lain ini adalah penyebab utama terbentuknya hujan asam. Siklus terbentuknya hujan asam sendiri dapat dilihat pada Gambar 2.1. Sulfur dioksida bereaksi dengan oksigen di udara dengan reaksi kimia sebagai berikut ; + Sulfur dioksida ( ), adalah salah satu agen terbentuknya hujan asam. Hasil pembakaran sempurna hanya menciptakan dan serta . jika pembakaran tersebut tidak sempurna, hasil pembakaran ini menghasilkan partikelpartikel karbon dan hidrokarbon kompleks serta senyawa organik yang teroksidasi sebagian itu akan menjadikan kandungan pada awan menjadi asam (Goubin et al, 2006), dan jika hujan dengan kandungan asam ini turun ke tanah akan mengakibatkan penurunan pH pada tanah dan peningkatan tingkat korosi pada bahan logam. Penurunan pH hingga pH 3,7 mengindikasikan tanah yang tercemar 80 kali lebih asam jika dibandingkan dengan tanah yang tidak tercemar. Dampak dari hujan asam ini juga dapat mengakibatkan kematian pada organisme air, tanaman pertanian, dan kerusakan pada gedung (Gunam et al., 2006). 9 Gambar 2.1 Sumber polusi udara (Anonim, 2015) 2.2 Senyawa Sulfur Pada Minyak Bumi Minyak bumi memiliki berbagai kandungan senyawa kimia, diantaranya 86% karbon, 11,8% Hidrogen, Nitrogen dan Oksigen kurang dari 2%. Sadangkan Sulfur sendiri memiliki kandungan hingga 2% pada minyak bumi (Simanzhenkov, 2003). Jumlah sulfur sendiri pada Minyak bumi diantara skala 1000 ppm hingga di atas 30.000 ppm. Tipikal konsentrasi sulfur pada solar (diesel) berada pada kadar 5000 ppm (Monticello, 2000). Kandungan sulfur ini termasuk thiol, sulfida, polisulfida, thiopenic, dan alkil-subtitusi isomer dari komponen thiopenic yang juga mengandung berbagai cincin aromatik. Sulfur aromatik heterosiklik seperti thiofene, dibenzotiofena, benzotiofena, dan benzonaphtotiofena yang termasuk kedalam karsiogenik (Karim et al., 2010). Sulfur telah menjadi salah satu agen utama polusi di udara. Sulfur yang masih terkandung dalam bahan bakar akan mengkontaminasi udara menjadi Sulfur Oxide ( Sulfur Dioxide ( ). Kebanyakan dari sulfur ini akan mengikat air di udara, baik ) hingga Sulfur trioxide ( ). Sulfur Dioxide ( ) dalam jumlah besar termasuk dalam gas beracun. World Health Organitation (WHO) 10 menganjurkan batas kadar Sulfur Dioxide ( ) ini tidak lebih dari 0.5 ppm dalam 24 jam maksimal paparan. Konsentrasi sebesar 6-12 ppm dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan; 20 ppm menyebabkan iritasi mata; dan 10,000 ppm akan menyebaban iritasi di kulit hanya dalam hitungan menit (Czaplicka et al., 2013). Bahan bakar berupa turunan minyak bumi sendiri dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, diantaranya (Simanzhenkov, 2003) : - Low sulfur Oil ; mengandung tidak lebih dari 0,5% sulfur, bensin kurang dari 0 % dan Solar kurang dari 0,2% sulfur. - High sulfur petroleum ; Mengandung 2% sulfur baik pada bensin maupun diesel. Dibenzotiofena (DBT) sendiri adalah salah satu sulfur aromatik yang terkandung di dalam minyak bumi baik berupa bensin dan solar. Dibenzotiofena adalah cincin tiga aromatik poli aromatik heterosiklik (PAH), yang diantaranya 2 cincin aromatik dan 1 cincin penta yang berada ditengah cincin aromatik yang berada di siklopenta. Rumus molekul dari dibenzotiofena dapat dlihat pada Gambar 2.2 Sulfur ini memilki massa kandungan molekul yang tinggi serta dapat ditemukan pada minyak bumi yang belum di proses. Sulfur pada minyak bumi biasanya megandung seri homolog yang berupa kandungan alkyl C1 hingga C3 dari dibenztiofena (Irwin, 1997). Menurut Ulfa et al. (2013), Dibenzotiofena (DBT) bersifat kurang reaktif (sukar di-desulfurisasi), jika DBT dapat di desulfurisasi maka komponen yang lain dapat disingkirkan. Berbagai senyawa sulfur hidrokarbon dapat dilihat pada Gambar 2.3. 11 Gambar 2.2 Struktur kimia dari sulfur yang terkandung di minyak bumi (Karim et al., 2010) Gambar 2.3 Tipe sulfur mengandung komponen organik (Shennan, 1996 dalam Prayuenyong, 2002) 2.3. Penurunan kandungan sulfur 2.3.1 Hidrodesulfurisasi Bahan bakar sebagai sumber energi pada dasarnya menggunakan proses psikokimia untuk tercipta, seperti destilasi dan katalis kimiawi pada kondisi suhu tinggi dan tekanan yang drastis (Simanzhenkov, 2003). Hidrodesulfurisasi (HDS) adalah teknik konvensional yang digunakan khusus untuk mengurangi sulfur dari solar, bekerja pada suhu 200-450°C dan memakai tekanan skala 150-200 psig dalam katalis inorganik (Gupta, 2004). Teknik ini dilakukan guna menghasilkan bahan bakar solar yang berada pada takaran LSD atau low sulfur petro diesel (<300 ppm Sulfur), proses ini menghilangkan berbagai jenis sulfur pada solar, 12 serta polar Oksigen dan nitrogen yang bedampak buruk pada sifat pelumas bahan bakar (Hou dan Shaw, 2008). Aktivitas HDS sendiri tidak dapat diprediksi hanya dengan menggunakan pengukuran konvensional seperti total sulfur, logam, ataupun kandungan asphaltene-nya saja. Untuk memilih strategi proses yang efektif, dibutuhkan berbagai properti seperti reaksi kritikal yang terdapat di setiap tingkatan (Speight, 2008). Tabel 2.1 menunjukan aspek-aspek yang dikonversi dari proses HDS dan proses Hidrolisis (Hydrotreater) yang lain, selama proses pengilangan minyak bumi. Tabel 2.1 Hasil akhir dari hidroproses selama pengilangan minyak Reaksi Bahan Baku Bahan baku katalis reformer Bahan bakar Diesel (Solar) Destilasi bahan bakar minyak Bahan baku kilang minyak Bahan baku batu bara Minyak pelumas kenderaaan Bahan baku katalis pemecah Bahan baku batu bara Bahan baku katalis pemecah Tujuan Mengurangi katalis yang beracun Spesifikasi Lingkungan Spesifikasi Lingkungan Mengurangi katalis yang beracun Mengurangi kandungan sulfur pada batu bara Meningkatkan stabilitas Mengurangi katalis yang beracun Mengurangi katalis yang beracun Menghindari disposisi logam Menghindari terciptanya gumpalan Menghindari rusaknya katalis Menghindari disposisi logam Bahan baku kilang minyak Menghindari terciptanya gumpalan Menghindari rusaknya katalis Mengurangi terciptanya gumpalan Bahan baku katalis pemecah pada katalis Mengurangi hasil gumpalan Residu Mengurangi hasil gumpalan Minyak berat Sumber: Speight (2008) 13 Selama kondisi proses HDS, senyawa Thiol mengalami reaksi yang menyebabkan terbukanya rantai karbon dan Sulfida Siklik dikonversi menjadi jenuh tergantung dari komponen aromatiknya. Gambar 2.4 menunjukkan reaksi yang terjadi selama proses HDS, yaitu benzotiofena dikonversi menjadi senyawa alkil aromatik, sementara dibenzotiofena biasanya dikonversi menjadi berbagai varian biphenyl (Speight, 2008). Gambar 2.4 Reaksi hidrodesulfurisasi dari beberapa tipe komponen sulfur pada minyak bumi (Speight, 2008) 2.3.2. Biodesulfurisasi Desulfurisasi secara biologis mempunyai potensi menjadi pengembangan dari teknologi hilir seperti metode Hidrodesulfurisasi (HDS). Berbagai varian metode dikembangkan untuk menyempurnakan proses HDS berdasarkan mikrobiologis desulfurisasi secara anaerobik dan aeorobik (Gupta, 2004). Katalis biologis bekerja di berbagai jangkauan kondisi. Termasuk penentuan suhu dan tekanan, yang sebelumnya diseleksi secara selektif untuk mengurangi biaya 14 energi, emisi minimal, dan tidak adanya turunan produk samping yang tidak diinginkan. Serta menyempurnakan teknik HDS yang terlebih dahulu dilakukan pada proses turunan minyak bumi. Seperti yang diungkapkan di atas bahwa banyak senyawa sulfur aromatik yang tidak terdegradasi pada proses yang menggunakan tekanan dan suhu tinggi. Dibenzotiofena (DBT) sudah menjadi model komponen utama pada berbagai penelitian BDS. Berbagai jenis kultur mikroba, termasuk Gram-positif dan Gram-negatif kultur bakteri telah diisolasi bedasarkan kemampuannya untuk memanfaatkan DBT (molekul terkait) sebagai sumber Sulfur (Kilbane, 2006) Gambar 2.5 menunjukan skema biodesulfurisasi pada pathway 4S, dszC gene sebagai DBT monooksidase (DszC) katalis yang mengkonversi DBT menjadi DBT sulfone (DBTSO2). Enzim dszA gene sebagai Dibenzothiopena-5,5dioksida monooksigenase (DszA) katalis yang mengkonversi DBTSO2 menjadi 2hydroxylbiphenil-2-sulfinate (HBPSi). Serta enzim dszB gene sebagai 2hydroxylbiphenil-2-sulfinate sulfinolyase (DszB) katalis yang mengkonversi HBPSi menjadi 2-Hydroxybiphenyl (2-HBP) dan Sulfinate. dszABC gene tecatat sebagai operon yang dapat ditemukan dalam plasmid yang besar pada bakteri yang mempunyai kemampuan desulfurisasi (Monticello, 2000). Enzimologi dari skema desulfurisasi secara oksidasi telah ditetapkan melalui enzim murni dari berbagai sepesies bakteria yang berkompeten dalam proses desulfurisasi dan berbagai hasil analisis genetik (Kilbane, 2006). Hasil penelitian beberapa peneliti menemukan beberapa bakteri yang mempunyai potensi dalam mendegradasi sulfur, diantaranya Rhodococus rhodochorus IGTS8, Pseudomonas sp., Desufovibrio desulfurican, dan Brevibacterium sp. (Setti dan 15 Lazarani, 1997). Dan hanya beberapa dari strain mikroba saja yang mampu mendegradasi sulfur pada suhu tinggi, sebab hasil yang diharapkan dari biodesulfurisasi sendiri yaitu biaya yang lebih sedikit untuk menurunkan suhu (energi) tentuya tidak memotong rantai karbon pada bahan bakar itu sendiri. Gambar 2.5 Skema Biodesulfurisasi dari degradasi DBT secara Oksidasi (Monticello, 2000) 2.4 Isolasi Bakteri Pendegradasi Sulfur Dari Tanah Tercemar Langkat, Sumatera Utara Bakteri adalah salah satu mikroorganisme yang tersebar luas diberbagai lapisan permukaan di bumi, tidak terkecuali di tanah yang tercemar oleh industry perminyakan. Peran bakteri pada tanah tidak hanya sebagai penyubur serta penyeimbang juga berperan sebagai agen pendegradasi senyawa hidrokarbon dan senyawa organic serta aromatic yang kompleks yang berasal dari tumpahan minyak bumi (Ambarazaitiene et al¸2013). Kemampuan dari berbagai bakteri ini yang nantinya digunakan sebagai dasar dalam penyembpurnaan proses pengilangan minyak guna menghilangkan senyawa sulfur organik ataupun aromatic pada kandungan minyak bumi. 16 Prastya (2015), telah mengisolasi beberapa bakteri yang berpotensial mendegradasi kandungan sulfur aromatik pada minyak bumi. Bakteri yang diisolasi dari tanah tercemar minyak bumi di Langkat Sumatera Utara mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi dibenzotiofena. Terdapat sepuluh isolat yang berpotensi mendegradasi dibenzotiofena dengan OD660 berkisar dari 0,599-1,137 dan tingkat degradasi berkisar dari 18,66-69,88%. Isolat LSU20 mempunyai kemampuan tertinggi dalam mendegradasi 200 ppm dibenzotiofena dalam tetradekana yaitu sebesar 69,88%. Berdasarkan karakteristik koloni, isolat LSU20 memiliki bentuk tidak beraturan, ukuran sedang, berwarna krem, tepian rata dan elevasi cembung. Berdasarkan uji morfologi sel, isolat LSU20 merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang (bacilli), dengan ukuran sel 2 µm, motil dan berdasarkan uji biokimiawi dengan menggunakan API 20E spesies isolat LSU20 adalah Pseudomonas sp. 2.5 Pertumbuhan Bakteri (Growth Cells) Bakteri sebagai salah satu makhluk hidup bersel tunggal juga melakukan proses pertumbuhan dengan cara membelah diri. Hal ini ditandai oleh bertambahnya jumlah bakteri yang terbentuk bukan dari besarnya ukuran dari bakteri tersebut. Normalnya pertumbuhan bakteri terbentuk dari proses pembelahan biner (Funke, 2013). Pembelahan biner (Fission Binery) adalah tahap suatu sel menduplikasi diri menjadi dua sel anak (daughter cell). Kedua sel baru ini memiliki sifat yang sama dengan sel tunggal diawal pembelahan, baik dari segi struktur DNA dan lainya (Funke, 2013). 17 Pertumbuhan bakteri memiliki beberapa fase (phase) (Funke, 2013), diantaranya: (1) Lag phase, yaitu fase dimana suatu sel berbubah sangat sedikit yang disebabkan suatu sel yang tidak segera bereproduksi dalam medium pertumbuhan yang baru, hal ini berlangsung selama satu jam hingga beberapa hari. (2) Log phase, yaitu fase yang paling aktif dari sebuah sel yang disebabkan pembelahan dari sel yang sedang dalam keadaan terbaiknya dalam menghasilkan metabolic. Bagi kebutuhan industri fase ini adalah fase paling efisien dalam tujuan pemanfaatan suatu bakteri (sel). (3) Stationary phase, yaitu suatu fase bakteri atau sel memiliki angka pertumbuhan dan kematian yang sama yang menyebabkan jumlah sel yang terbentuk tidak lebih tinggi atau setara. (4) Death phase adalah fase yang tingkat kematian sel lebih besar dan sel terus berkurang tanpa ada pembentukan sel baru lagi. Hal ini dapat terjadi selama beberap hari seusai dengan kemampuan bertahan hidup dari sel tersebut. pada Gambar 2.6 dapat dilihat grafik fase pertumbuhan dari sel mikroorganisme. Gambar 2.6 Kurva pertumbuhan bakteri. (Black, 2012) Ada beberapa faktor mempengaruhi pertumbuhan sel, diantaranya adalah suhu, pH, dan Nutrisi (Funke, 2013). Berbagai bakteri memiliki sifat-sifat yang berbeda dalam pertumbuhan sel dan waktu pertumbuhannya. Akan dijelaskan 18 beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sel (Growth Cell) pada bakteri pendegradasi sulfur. 2.5.1. Suhu Kebanyakan dari mikroorganisme tumbuh pada suhu yang sama dengan suhu tubuh manusia. Namun, beberapa bakteria mampu tumbuh pada suhu yang sangat ekstrim. Tentunya pada suhu ini seluruh organisme eukarotik tidak mampu bertahan atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. Setiap spesies bakteri tumbuh pada suatu kisaran suhu tertentu. Atas dasar ini maka bakteri dapat dibedakan diklasifikasikan sebagai: psikofil, tumbuh pada pada 0 s.d 30˚C; mesofil, yang tumbuh pada 25 s.d 40˚C; dan termofil, yang tumbuh pada 50˚C atau lebih (Pelczar, 1986). Pertumbuhan berbagai spesies bakteri dibagi atas beberapa bagian yaitu pada temperatur minimal, maksimal, dan optimal. Suhu pertumbuhan minimum adalah terletak pada temperatur terendah suatu spesies akan tumbuh. Suhu pertumbuhan optimal adalah temperatur yang paling efisien, yang akan memacu pertumbuhan terbaik suatu spesies. Sedangkan suhu pertumbuhan maksimal adalah temperatur yang paling tinggi dimana pertumbuhan dapat berlangsung. Pada Gambar 2.7 di bawah kita dapat melihat respon antar area suhu dimana suhu pertumbuhan optimal selalu berada paling tinggi dari area. Hal ini disebabkan jika suhu yang terlalu tinggi menghambat aktifnya sistem enzimatis pada sel (Funke et al., 2013) Penelitian terdahulu telah menemukan berbagai strain bakteri yang berpotensi sebagai biokatalis pada proses biodesulfurisasi. Berbagai strain tersebut memiliki suhu optimal yang beragam diantaranya spesies Gordona strain 19 CYKS1 (Rhee et al., 1998) dan G. rubropertinctus strain T08 (Matsui et al., 2001) pada suhu 30˚C, spesies R. erythropolis strain sp. IGTS8 pada suhu 35˚C (Watkins et al., 2003), spesies Encherichia coli pada suhu 37˚C (Reichmuth et al, 2000) , dan spesies Paenibacillus Strain (Konishi et al., 1997) dan Mycobacterium phlei Strain GTIS10 (Keyser et al., 2002) mampu tumbuh optimal pada suhu 50˚C. Gambar 2.7 Tingkat pertumbuhan yang berbeda dari berbagai tipe mikroorganisme pada ransangan temperatur (Funke et al., 2013) 2.5.2. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman optimal kebanyakan dari bakteria terletak diantara pH 6,5 dan 7,5. Namun beberapa bakteri mampu bertahan kadar pH yang paling rendah atau asam, bakteri ini biasa disebut acidophiles (Funke et al., 2013). Salah satu jenis bakteri yang ditemukan di air limbah yang telah terkontaminasi dari tambang batu bara dan mengoksidasi sulfur menjadi asam sulfida, mampu bertahan hidup pada pH 1. Bagi kebanyakan spesies, nilai pH minimum dan maksimum ialah 4 dan 9. 20 Pada kultivasi bakteri dalam suatu medium yang pH awalnya disesuaikan pada kadar 7, maka kemungkinan pH ini akan berubah akibat adanya senyawa asam atau basa yang dihasilkan selama pertumbuhannya. Hal ini menyebabkan penghambatan pada pertumbuhan suatu organisme untuk seterusnya. Pergeseran pH dapat dihambat dengan menggunakan larutan penyangga yaitu suatu kombinasi garam-garam fosfat seperti dan , digunakan secara luas dalam media bakteriologis untuk tujuan ini (Konishi et al., 1997 ). Tabel 2.2 memperlihatkan beberapa jenis bakteri dan ketahanannya dalam beberapa kadar pH. Tabel 2.2 pH minimum, optimal, dan maksimum untuk pertumbuhan beberapa spesies bakteri. Kisaran pH untuk Pertumbuhan Bakteri Batas bawah Optimal Batas atas 0,5 2,0-3,5 6,0 4,0-4,5 5,4-6,3 7,0-8,0 Stophylococcus aureus 4,2 7,0-7,5 9,3 Azotobacter sp. 5,5 7,0-7,5 8,5 Chlorobium limicola Thermus aquaticus Sumber: Konishi et al. (1997) 6,0 6,8 7,0 6,0 7,5-7,8 9,5 Thiobacillus thiooxidans Acetobacter aceti Beberapa bakteri pendegradasi sulfur yang telah ditemukan memiliki pH media awal optimal pada kisaran pH 6,5 – 7. Berbagai bakteri tersebut antara lain, Sphingomonas Subarctica T7b (Gunam et al, 2006), Isolat strain KWN5 (Supatha et al, 2010) dan isolat strain RIPI-22 (Rashtchi, 2004). 2.5.3. Sumber Carbon ( ) Kebanyakan dari bakteri menggunakan karbon sebagai sumber energinya, dan banyak juga yang memanfaatkan karbon sebagai salah satu pembangun 21 komponen untuk mensintesa sel (Black, 2012). Energi ini terbentuk dari proses glikolisis, fermentasi, dan siklus krebs yang terjadi selama pertumbuhan sel (Black, 2012). Berikut akan dijelaskan beberapa sumber karbon yang banyak digunakan beberapa peneliti untuk mengoptimalkan pertumbuhan dari berbagai bakeri pendegradasi sulfur yang telah berhasil ditemukannya. 2.5.3.1. Glukosa Salah satu sumber karbon sebagai energi adalah glukosa. Glukosa adalah salah satu senywa yanang membentuk karbohidrat termasuk golongan monosakarida, yang hanya mengadung satu pasang kelompok aldehida atau keton (Myers, 2003). Formula molekul dari glukosa adalan C6H12O6, juga digunakan sebagai sintesis asam amino dan komponen pembentuk dari makhluk hidup (Laberge, 2008). Glukosa juga disebut dextrosa yang banyak juga terdapat di sirup jagung. Sebagai salah satu senyawa utama yang dibutuhkan makhluk hidup untuk sumber energi, glukosa dapat ditemukan dalam getah tumbuhan dan aliran darah manusia (Anonim, 2015d). Pada bakteri, gukosa berperan sebagai salah satu reaksi biokimia yang sangat kompleks, dimana terjadi reaksi oksidasi yaitu : Reaksi di atas menciptakan energi dari oksidasi glukosa pada makhluk hidup. Pada Gambar 2.8 menunjukan rantai kimia dari glukosa dan fruktosa. Glukosa berperan penting dalam pertumbuhan bakteri pendegradasi sulfur Strain Paenibacillus (Ishi et al, 1997) dan bakteri strain Sphingomonas (White et al, 1996), mampu memanfaatkan dengan baik glukosa sebagai sumber karbon pertumbuhannya. 22 2.5.3.2. Sukrosa Sukrosa adalah salah satu jenis gula yang jangkauan distribusi terluas dan mudah diproduksi dengan kuantitas yang sangat besar. Sembilan puluh simbilan persen sukrosa berasal dari gula tebu (Saccharum offcinarum,). Dari beberapa wilayah yang berbeda, sukrosa juga didapatkan dari berbagai tipe tanaman (~1% dari seluruh produksi), seperti tanaman kurma (Phoenix sylvestris), tanaman kelapa (Cocos nucifera), tanaman lontar (Borassus flabellifera), dan lain-lain (ICMSF, 2005). Gambar 2.8 Rantai Hidrokarbon glukosa dan fruktosa (Anonim, 2015) Rumus molekul dari sukrosa sendiri adalah seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.9 Berat molekul yang dimiliki sukrosa adalah sebesar 342.29648 g/mol dan titik didih berada pada suhu 187,5°C dengan bentuk berwarna putih dan berupa padatan (anonnim, 2015). Sulfolobus acidocaldarius diketahui mampu tumbuh baik dan memiliki aktivitas desulfurisasi yang cukup tinggi dengan sukrosa sebagai sumber karbon pertumbuhannya (Ju dan Padmesh, 1998). 23 2.5.3.3. Gliserol Gliserol adalah senyawa kimia yang terbuntuk dari tiga molekul karbon dengan 3 alkohol fungsional grup yang terdapat juga di triglycerides. Gliserol termasuk juga komponen pokok dari seluruh asam lemak yang ada pada makanan dan tubuh. Asam lemak sendiri mengandung panjang rantai karbon sebanyak 12 s.d 24 karbon atom. (Labarge, 2008). Struktur kimia dari gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.10 Gliserol pertama kali ditemukan oleh Scheele pada tahun 1779, dengan memanaskan campuran minyak zaitun (olive oil) dan litharge, kemudian membilasnya dengan air. Bilasan dengan air tersebut, menghasilkan suatu larutan berasa manis, yang disebutnya sebagai “the sweet principle of fats”. Sejak 1784, Scheele membuktikan bahwa substansi yang sama dapat diperoleh dari minyak nabati dan lemak hewan seperti lard dan butter. Pada tahun 1811, Chevreul memberi nama hasil temuan ini dengan sebutan gliserin, yang berasal dari bahasa Yunani yaitu glyceros, yang berarti manis. Kemudian pada 1823, Chevreul mendapatkan paten untuk pertama kalinya atas manufaktur gliserin, yang kemudian berkembang menjadi industri lemak dan sabun (Swern, 2000). Gambar 2.9 Rumus molekul pembentuk sukrosa (Anonim, 2015e) 24 Gliserol telah digunakan oleh beberapa peneliti sebagai sumber karbon pertumbuhan bakteri pendegradasi sulfur dalam proses BDS. Bakteri-bakteri yang mampu memanfaatkan gliserol untuk tumbuh dan mendegradasi sulfur aromatik jenis DBT diantaranya, bakter Rhodococcus sp. strain MUT23 (Etemadifar et al., 2008) dan bakteri Rhodococcus sp. strain X7B (Ping et al., 2002). 2.5.3.4 Asam sitrat Asam sitrat atau citric acid berasal dari bahasa latin citrus, pohon sitrus, dengan buah yang dihasilkan adalah lemon. Asam yang pertama kali dihasilkan dari isolasi dari perasan lemon oleh seorang peneliti dari swedia, Carl Scheele pada tahun 1784. Konsep dari pengaruh pembuatan asam sitrat sebagai produksi yang berguna berasal dari penelitian yang dilakukan Pasteur tentang fermentasi. Berbagai stari atau mikroorganisme yang mampu menghasilkan asam sitrat antara lain Aspergillus sp., Acremonium sp., dan lain-lain (Kristiansen, 2002). Gambar 2.10 Struktur kimia dari Gliserol pada Triglyceride (Labarge, 2008) Asam sitrat banyak digunakan pada bahan tambahan makanan dan minuman. Penggunaanya tergantung tiga jenis kegunaan yaitu: keasaman, rasa, dan pembentuk garam. Struktur kimia dari asam sitrat sendiri adalah 2-hydroxy- 25 1,2,3-propanetricarboxylic acid. Asam sitrat juga membentuk dari jajaran garam logam termasuk copper, iron, magnesium, manganese, dan kandungan lain yang sangat complex (Kristiansen, 2002). Struktur kimia dari As. Sitrat bias dilihat pada Gambar.2.11. Gambar 2.11 Struktur kimia Asam Sitrat (sumber: Anonim, 2015) Beberapa bakteri menghasilkan asam sitrat sebagai hasil fermentasi juga mampu memanfaatkan asam sitrat sebagai sumber karbon. Menurut Siddik et al (2008), bakteri Bacillus subtilis B112 mampu memanfaatkan berbagai jenis asam organik pada media pertumbuhan starin tersebut yang salah satunya adalah asam sitrat.