BAB I PENDAHULUAN A. Latar bealakang Al-Qur’an merupakan kitab yang menjadi petinjuk bagi ummat Islam, namun teks AlQur’an sendiri masih bersifat global. Globalnya teks Al-Qur’an tersebut sehingga membutuhkan penafsiran / penakwilan dalam memahami kandungan makna yang dikandung dalam Al-Qur’an yangmasih bersifat global tersebut. Kegiatan menafsirkan ayat Al-Qur’an sendiri telah dimulai dari zaman Nabi SAW di mana masih merupakan masa transisi turunnya kitab yang Agung ini ke dunia. Namun belakangan ini kegiatan manfsirkan ayat Al-Qur’an terus berkembang seiring berkembangnya zaman. Metode, corak, dan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an pun mulai bermunculan sesuai dengan madzhab-madzhab yang dianut oleh para mufassir itu sendiri. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan, itu jelas mempengaruhi hasil penafsiran. Hingga saat ini ada beberapa corak dan madzhab tafsir yang berkembang antara lain; tafsir fiqih, tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir adaby ijtima’i, tafsir ilmi dll. Dalam makalah kali ini kami mencoba menjabarkan tentang salah satu madzhab tafsir yang berkembang dalam zaman sekarang ini, yakni tafsir ilmi. Mulai dari penegertian, asal dan perkembangan tafsir ilmi, pro-kontra seputar tafsir ilmi, serta contoh-contoh penafsirannya. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian tafsir ilmi? 2. Bagaimana asal mula munculnya dan sejarah perekmbangan tafsir ilmi? 3. Bagaimana pandangan para ulama terhadap tafsir ilmi? 4. Siapa saja tokoh-tokoh tafsir ilmi? 5. Bagaimana contoh-contoh ayat yang ditafsirkan secara ilmi? Tafsir Ilmi 1 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian tafsir ilmi Kata Tafsir adalah bentuk kata benda dari Fassara-Yufassiru-Tafsir.secara bahasa berasal dari suku kata Fa-sa-ra maknanya adalah: Penjelasan, keterangan(al-bayan)1. Adapun dikalangan mufassir, kata tafsir merupakan istilah yang khas ia memiliki pengertian tersendiri yang sedikit berbeda dengan arti bahasa.ada banyak pengertian tafsir yang dikemukakan oleh ulama, misalnya menurut Abu Hayan sebagai berikut2: علم يبحث عن كيفية النطق بالفاظ القرأن و مد لوالتها واحكامهااالفرادية واالتركبيية ومعانيهاالتي يحمل عليها حا لة التركيب “Ilmu yang membahas mengenai tata cara lafadz-lafadz al-qur’an,dalil-dalil,aturan-aturan ditinjau dari kata(mufradat),susunan kalimat,serta penjelasan makna yang terkandung dalam susunan kalimat”. Sedangkan kata Ilmu secara bahasa diartikan pengetahuan3المعرفة M Husain Az-Zahabi mendefenisikan Tafsir Ilmi sebagai berikut: Tafsir Ilmi adalah tafsir yang mengangkat terminologi ilmiah di dalam statemenstatemen al-qur’an dan penulisnya berusaha menggali berbagi disiplin keilmuan dan pandangan-pandangan filsafat4. Tafsir 'ilmy sebagai penafsiran ayat-ayat kawniyyah yang terdapat di dalam alQur’an dengan mengaitkannya dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul saat sekarang.5 Dan ada juga sebagian ulama mengartikan Tafsir ilmy’ sebagai sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat kawniyyah yang sesuai dengan tuntutan dasar-dasar bahasa, ilmu pengetahuan dan hasil-hasil penelitian alam. 1 .Achmad Warson,Kamus,hal 1055 . Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassiruun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003) vol. II hlm 14 3 .Achmad Warson,Kamus,hal 966 4 . Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassiruun, vol. II hlm 474 5 Sayyid Agil Husin al-Munawwar. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hlm.72 2 Tafsir Ilmi 2 Tafsir ‘ilmi ialah penafsiran al-Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Perintah untuk menggali pengetahuan berkenaan dengan tanda-tanda Allah pada alam semesta memang banyak dijumpai di dalam al-Qur’an. Inilah alasan yang mendorong para mufasir corak ini untuk menulis tafsirnya.6 B. Latar belakang tafsir ilmi Perkembangan sebuah model penafsiran al-Qu’an pada dasarnya juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan, ini terbukti dengan hadirnya model tafsir ilmi. Model tafsir ini berangkat dari sebuah asumsi bahwa al-qur’an merupakan kitab suci yang didalamnya mengandung berbagai informasi ilmu, baik yang terkait dengan persoalan agama maupun isyarat-isyrat ilmu pengetahuan. Al-qur’an merupakan kitab yang tidak saja untuk manusia abad ke 7 M,tetapi juga untuk manusia di era Modren-Kontemporer yang meniscayakan adanya perkembangan dunia ilmu pengetahuan. Tafsir ilmi sebenanya sudah muncul sejak abad keempat Hijriyah, tepatnya pada masa Daulah Bani Abbas, ketika umat Islam berada pada keemasan, ketika umat islam memimpin peradaban dunia. Kecenderungan tafsir ilmi saat itu terjadi karena akibat efek dari tranformasi ilmu pengetahuan dan keinginan para ulama untuk melakukan kompromi antara ajaran Islam (al-qur’an) dengan perkembangan peradaban dunia luar, sebagai akibat dan gerakan penerjemahan buku-buku asing kedalam dunia islam dan perkembangan yang terjadi didunia islam itu sendiri7. Namun,tafsir model ini semakin surut dan lenyap pada abad setelahnya,bisa jadi karena saat itu larangannya lebih dominan daripada pembolehannya. Hingga pada akhirnya pada abad 19 Eropa mulai menduduki negara-negara islam, ilmu-ilmu sains tentang alam pun sedikit demi sedikit diperkenalkan. Dari situ umat islam milai menyadari akan pentingnya adanya tafsir ilmi karena banyak kesesuain antara nash alqur’an dengan hasil-hasil penelitian ilmu pengetahuan8. Dari penjelasan diatas,terlihat bahwa latar belakang munculnya model tafsir ilmi dapat dipetakan dalam dua faktor yaitu: 6 Quraisy Shihab, dkk. Sejarah dan Ulum Al-Qur’an.(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) hlm. 183 .Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir al-Asr al-Hadist (Beirut: Dar al-Fikr, 1987) hal 7 245. 8 .Abdul Mustaqim, Kontroversi tentang corak Tfasir Ilmi, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadist, VII, Oktober 2006,hal 26-27. Tafsir Ilmi 3 Yang Pertama, Faktor internal yang terdapat dalam teks al-qur’an sendiri, dimana sebagian ayat-ayatnya sangat menganjurkan manusia untuk selalu melakukan penelitian dan pengamatan terhadap ayat-ayat kauniyah atau ayat-ayat kosmologi, bahkan adapula ayat alqur’an yang disinyalir memberikan isyarat untuk membangun teori-teori ilmiah dan sains modren,karena seperti dikatakan Muhammad Syahrur,wahyu al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan akal dan realitas9. Kedua, faktor eksternal, yakni adanya perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan sains modren, dengan ditemukannya teori-teori ilmu pengetahuan, para ilmuwan muslim (pendukung tafsir ilmi) berusaha untuk melakukan kompromi antara al-Qur’an dan sains serta mencari justifikasi teologis terhadap sebuah teori ilmiah. Mereka juga membuktikan kebenaran al-qur’an secara ilmiah-empiris,tidak hanya secara teologis-normatif. C. Sejarah perkembangan tafsir ilmi dan tokoh-tokohnya Secara historis, kecenderungan penafsiran al-Qur’an secara ilmiah sudah muncul semenjak masa perkembangan ilmu pengetahuan di era dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid (169-194 H/ 785-809 M) dan al-Makmun (198H/813 M). Munculnya kecenderungan ini sebagai akibat pada penerjemahan kitab-kitab ilmiah yang pada mulanya dimaksudkan untuk mencoba mencari hubungan dan kecocokan antara pernyataan yang diungkapkan di dalam al-Qur’an dengan hasil penemuan ilmiah (sains). Gagasan ini selanjutnya ditekuni oleh imam al-Ghazali dan ulama-ulama lain yang sependapat dengan dia. Rekaman akan fenomena ini antara lain dituangkan oleh Fahruddin al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib.10 Bisa dikatakan, Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) patut untuk dikedepankan ketika membahas munculnya penafsiran secara ilmiah. Hal ini diakui oleh seluruh penulis Ahlusunnah dan riset lapangan juga membuktikan hal itu.11 Sebelum Fakhruddin, al-Ghazali (505 H) dalam bukunya, Jawahir al-Qur’an juga telah menyebutkan penafsiran beberapa ayat al-Qur’an yang dipahami dengan menggunakan beberapa disiplin ilmu, seperti: astronomi, perbintangan, kedokteran, dan lain sebagainya. Jika upaya al-Ghazali ini kita anggap sebagai 9 .Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur’an Qira’ah Mu’assirah (Damaskus:Ahali li al-Nasyr wa alTawzi,1992).hal 194,dikutip Abdul Mustaqim, ’’Kontroversi tentang corak Tafsir Ilmi’’ ,Jurnal Studi ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadist, VII, Oktober 2006, hal 29. 10 Sayid Musa Husaini, Metode Penafsiran Saintis di Dalam Buku-buku Tafsir Modern, (online)(http://quran.al-shia.com/id/metode/01.htm. di akses: 11 Nov 2013) 11 Ibid. Tafsir Ilmi 4 langkah pertama bagi kemunculan penafsiran ilmiah, tidak diragukan lagi bahwa al-Ghazali sendiri belum berhasil merealisasikan metode tersebut. Setelah satu abad berlalu, barulah arRazi di dalam Mafatih al-Ghaib-nya berhasil merealisasikan metode penafsiran yang pernah menjadi percikan pemikiran al-Ghazali itu.12 Pasca masa ar-Razi, tendensi penafsiran ilmiah ini diteruskan dan menghasilkan buku-buku tafsir yang sedikit banyak terpengaruh oleh teori penafsiran Fahruddin ar-Razi dalam ruang lingkup yang agak terbatas. Diantara karya itu adalah: Ghara’ib Al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan, karya An-Nasyaburi (w. 728 H), Anwar at-Tanzil wa Asrar atTa’wil, karya Al-Baidhawi (w. 791 H), dan Ruh al-Ma’ani fa Tafsir al-Qur’an al-Adzim wa Sab’al-Matsani, karya Al-Alusi (w. 1217 H). Melalui buku-buku tafsir itu, para pengarangnya telah melakukan penafsiran saintis atas ayat-ayat al-Qur’an. Selain mereka, terdapat beberapa mufassir lain, seperti Ibn Abul Fadhl al-Marasi (w. 655 H), Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H), dan Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) yang termasuk dalam golongan para mufassir yang memiliki tendensi penafsiran saintis. Meskipun demikian, sebenarnya para mufassir ini tidak dapat dimasukkan mutlak dalam kategori mufassirin yang memiliki aliran saintis dalam menafsirkan al-Qur’an, karena mereka hanya mengklaim bahwa al-Qur’an memuat semua jenis dan disiplin ilmu pengetahuan. Sebelum mereka pun, sebagian sahabat telah memiliki klaim yang serupa dan hingga kini tak seorang pun yang berani memasukkan sahabat tersebut ke dalam kategori mufassirin yang memiliki tendensi penafsiran saintis. Pasca periode tafsir Ruh al-Ma’ani, pada permualaan abad ke-4 Hijriyah, metode penafsiran saintis mengalami kemajuan yang pesat. Tercatat, para mufassir seperti: Muhammad bin Ahmad al-Iskandarani (w. 1306 H), dalam Kasyf al-Asrar an-Nuraniyah alQur’aniyah-nya, Al-Kawakibi (w. 1320 H), dalam Thaba’i al-Istibdad wa Mashari alIsti’bad-nya, Muhammad Abduh (w.1325 H) dalam Tafsir Juz’Amma-nya, dan AthThanthawi (w.1358 H) dalam Jawahir al-Qur’an-nya, masing-masing menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara saintis. Contoh penafsiran saintis al-Qur’an yang paling gamblang adalah buku tafsir al-Iskandarani dan ath-Thanthawi di mana dengan sedikit perbedaan, mereka telah berusaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui ilmu pengetahuan empiris (tajribi) dan penemuan-penemuan manusia. 12 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 94. Tafsir Ilmi 5 Pemikiran penafsiran secara ilmiah mengalami perkembangan yang lebih pesat sampai sekarang ini, sehingga memberi dorongan yang cukup besar bagi para ilmuan untuk menulis buku tafsir yang didasarkan atas pemikirin ilmiah secara tematik (al-maudhu’i).13 Pada masa sekarang inipun juga bermunculan berbagai kitab penafsiran ilmiah yang bersifat maudhu’iy seperti Afzalurrahman dengan Qur’anic Sciences-nya dimana menurutnya “al-Qur’an dan ilmu pengetahuan itu sama-sama mengandung kebenaran dan tidak ada pertentangan diantara keduanya”.14 Ada juga Maurice Bucaille dengan The Bible, The Qur’an and Science-nya, Abbas Mahmud al-‘Aqqad dengan Tafsir al-Falsafah alQur’aniyah-nya dan masih banyak lagi tafsir-tafsir lainnya. Meluasnya corak penafsiran ilmiah ini menurut Quraish Shihab setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, pertama adalah merupakan reaksi terhadap ketertinggalan umat Islam dalam bidang kemajuan ilmu pengetahuan dan teklnologi dari dunia barat. Karena ketertingggalan ini mereka berusaha mencari kompensasi sebagai sebuah shock therapy atau sebagai salah satu upaya untuk menutupi rasa rendah diri yang berlebihan (inferiority complex) yang melanda mereka. Salah satunya dengan mengingat kejayaan-kejayaan yang pernah diraih umat Islam pada masa lalu yang baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat Islam dalam menafsirkan al-Qur'an. Maka tidaklah mengherankan ketika ada penemuan baru, para cendekiawan muslim sepertinya berlomba-lomba untuk mencari ayat-ayat al-Qur'an yang berkesesuaian dengan penemuan tersebut dan serta merta mengatakan bahwa apa yang ditemukan sebenarnya sudah tercantum dalam al-Qur'an. Faktor kedua yang menjadikan cendekiawan muslim melakukan hal ini sebagai reaksi atas resistansi yang besar dari gereja terhadap ilmu pengetahuan yang disebabkan adanya pertentangan penemuan ilmiah dengan kepercayaan atau teori-teori tertentu yang diyakini kebenarannya dan kesuciannya oleh gereja. Pertentangan ini mengakibatkan terjadinya kekejaman dan penindasan terhadap ilmuwan yang dianggap kafir dan berhak mendapat kutukan. Hal ini menimbulkan keyakinan di kalangan umum bahwa ilmu pengetahuan bertentangan dengan agama. Pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan ini memberikan pengaruh terhadap cendekiawan muslim. Mereka khawatir kalau-kalau penyakit pertentangan ini timbul pula dalam dunia Islam sehingga mereka senantiasa berusaha 13 14 Ibid, hlm 95-96 Afzalur Rahman, Qur’anic Sciences, (London : The Muslim Schools Trust, 1981) , hal 1. Tafsir Ilmi 6 membuktikan hubungan yang sangat erat antara ilmu pengetahuan dengan agama terutama alQur'an, walaupun terkadang langkah mereka terlampau jauh dalam membuktikan hal itu.15 Adapun tokoh-tokoh penafsir ilmi kontempoter selain yang di sebut di atas menurut Ali Hasan Al-‘Aridl adalah:16 1. Dr. al-Kauniyah Ahmad Al-Ghamrawi dalam kitabnya Sunanullah al-Kauniyah dan al-Islam fi ‘Ashr al-‘ilmi. 2. Dr. Abdul Aziz dalam al-Islam wa al-Thib al-Hadist. 3. Al-Syekh Thanthawi Jauhari 4. Ahmad Mukhtar al-Ghozali dalam Riyadh al-Mukhtar. 5. Al-Ustadz Hanafi Ahmad dalam al-Tafsir al-‘ilmi Li al-Ayat al-Kauniyah fi alQur’an al-Karim. 6. Al-Alamah Wahid al-Din Khan dalam al-Islam Yatahadda. Sedangkan menurut Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, tokoh-tokoh penafsir ilmi kontemporer lainnya yaitu:17 1. As-Syekh Muhammad Abduh. 2. Muhammad Jamaluddin al-Qasimi dalam Mahaasinu at-Ta’wil 3. Mahmud Syukri al-Aluusi (w. 1992 M) dalam buku Maa Dalli ‘Alaihi al-Qur’anu Mimmaa ya’dhidu al-Hai’ata al-Jadiidata al-Qawiimatu al-Burhan (Dalil-dalil alQur’an yang meneguhkan ilmu astronomi modern, dengan argumentasi kuat). 4. Abdul Hamid bin Badis dalam Tafsiru Ibni Badis fii Majaalisi at-Tadzkiiri min Kalaami al-Hakimi al-Khabiir (Tafsir Ibnu Badis mengenai Firman Dzat Yang Maha Bijak dan Maha Tahu dalam forum-forum kajian). 5. Musthafa Shadiq ar-Rafi’i dalam bukunya I’jaazu al-Qur’ani wa Balaghtu anNabawiyah (Mukjizat al-Qur’an dan Balaghah Kenabian). D. Pro-kontra pandangan ulama tentang tafsir ilmi 15 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan masyarakat, Cet XIX (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 102. 16 Ali Hasan Al-‘Aridl. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akram, cet. II (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 62-63. 17 Abdul Majid Abdussalam al-Muntasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, terj. Mohammad Maghfur Wachid. Judul asli Ittijaahat at-Tafsiir fi al-Ashri ar-Rahin, (Bangil: Al-Izzah, 1997) hlm. 279. Tafsir Ilmi 7 Tafsir ilmi berusaha menafsirkan ayat Al-Qur'an berusaha mengukuhkan berbagai istilah ilmu pengetahuan dan berusaha melahirkan berbagai ilmu baru dalam Al-Qur'an.18 Dalam tafsir ini umumnya membahas tentang alam dan kejadian-kejadiannya (kauniyah) dan berusaha untuk membuktikan bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat semua ilmu atau pengetahuan yang ada di dunia ini, baik yang telah lewat maupun yang akan datang. Bahkan menurut mereka (yang menggandrungi tafsir ilmi ini) masih banyak ilmu yang belum tergali dalam Al-Qur'an. Kelahiran corak penfasiran ini bersamaan dengan kemajuan pesat kebudayaan Islam. Tuntutuan perkembangan ilmu juga mendorong penafsiran secara ilmiah. Dari ulama klasik, yang mendukung penafsiran semacam ini di antaranya adalah Imam AlGhazali dan Al-Suyuthi. Mereka mendukung penfasiran ini berargumen: 1. Allah SWT memberikan peluang luas untuk melakukan istidlal (penarikan kesimpulan dan pelajaran) dari hal-hal yang Allah SWT tampilkan dalam Al-Qur'an, seperti keadaan bumi dan langit, pergantian siang dan malam, tingkah pola pergerakan dan keadaan benda-benda angkasa dan keadaan alam lainnya. Apabila mengkaji hal-hal seperti itu tidak diperkenankan, maka tentunya hal-hal tersebut tidak ditampilkan dalam Al-Qur'an. 2. Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an yang berbunyi: اها َوَزيَّنَّا َها َوَما ََلَا ِم ْن فُ ُروج َّ أَفَ لَ ْم يَ ْنظُُروا إِ ََل َ الس َم ِاء فَ ْوقَ ُه ْم َك ْي َ َف بَنَ ْي ن Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun ? (Q.S Qaaf : 6) Dalam ayat tersebut Allah SWT mendorong untuk melakukan perenungan dan pemikiran tentang bagaimana kejadian tersebut. 3. Dengan menggunakan pendekatan tafsie ilmi, penemuan-penemuan baru bisa digunakan sebagai penegasan terhadap kemukjizatan yang terdapat dalam Al-Qur'an. 4. Allah SWT akan mengisi jiwa seseorang dengan keimanan terhadap keagungan-Nya ketika ia menafsiri Al-Qur'an dengan ayat-ayat tertentu dan makhluk-makhluk yang sangat renik dengan menggambarkannya melalui ilmu pengetahuan yang ada.19 18 Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, Al-Tafsir Wa Al-Mufassiruun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003) vol. II hlm 349 19 Fahd ibn Abdurrahman Al-Rumi, buhuts fi ushul al-tafsir wa minhajuhu, (t.tp: Maktabah al-Taubah, t.th) hlm 97 Tafsir Ilmi 8 Sedangkan orang-orang yang menolak adanya penfasiran macam ini terhadap AlQur'an berargumen: 1. Kemukjizatan Al-Qur'an ialah sudah menjadi suatu yang pasti dan tidak butuh halhal lain untuk menjelaskannya seperti penfasiaran macam ini terkadang bisa mengaburka kemukjizatan Al-Qur'an. 2. Dorongan Al-Qur'an untuk melakukan penalaran dan perenungan pada peristiwa dan ilmu-ilmu merupakan suatu ajakan yang menyeluruh dan bersifat pengambilan pelajaran (i’tibar), bukan untuk menjelaskannya secara mendalam dan menggali ilmu-ilmunya. 3. Penafsiran dengan corak ini memaksa penafsir untuk melakukan “lompatan yang jauh” dalam memaknai dan manfasirkan ayat Al-Qur'an dari makna luar (zhahir) ayat tersebut. 4. Tafsir ilmi menjerumuskan orang yang mendalaminya pada kesalahan dalam mengkompromikan dua istilah dari dua kutub yang berbeda (Al-Qur'an dan ilmun pengetahuan sains) 5. Ilmu-ilmu yang tergali dalam penafsiran ini hanya bersifat sementara dan akan berubah ketika ada penemuan-penemuan baru yang lebih besar. Hal ini membuat AlQur'an tidak bisa untuk menemukan pijakan sebagai sumber dari segala ilmu, karena terus berubah penafsirannya.20 Di antara yang menolak adanya penafsiran seperti ini adalah Abu Ishaq Al-Syatibi (w. 790 H) yang disampaikannya dalam kitab al-muwafaqat. E. Contoh-contoh penafsiran dengan tafsir ilmi Contoh Q.S al-Baqarah [02]: 61 yang bercerita tentang kaum Nabi Musa yang tidak puas dengan makan satu jenis makanan di pegunungan ِ وإِ ْذ قُلْتم ي موسى لَن نَصِب علَى طَعام و ض ِم ْن بَ ْقلِ َها َ َّاحد فَا ْدعُ لَنَا َرب ُ ِك ُيْ ِر ْج لَنَا ِِمَّا تُ ْنب ُ ت ْاْل َْر َ َ َ َ ْ ْ َ ُ َ ُْ َ ِ ِ ِ ِ ال أَتَ ْستَ ْب ِدلُو َن الَّ ِذي ُه َو أَ ْد َن ِِبلَّ ِذي ُه َو َخ ْي ر َ َصلِ َها ق َ ََوقثَّائ َها َوفُوم َها َو َع َدس َها َوب 20 Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (refleksi anak muda pesantren), Al-Qur'an Kita Studi Ilmu, Sejarah Dan Tafsir Kalamullah, (Kediri: Lirboyo Press, 2011) hlm 248-249 Tafsir Ilmi 9 Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Thantowi Jauhari (w. 1940 M) mengomentari ayat ini dengan mengambil teori ilmiah Eropa, yakni bahwa model kehidupan Baduwi di pedesaan atau pegunungan, yang biasanya orang mengkonsumsi makanan manna wa salwa (jenis makanan yang tanpa efek samping) dengan kondisi udara yang bersih, jauh lebih baik daripada model kehidupan di perkotaan yang biasanya orang suka mengkonsumsi makanan siap saji, daging-daging, dan berbagai ragam makanan lainnya, ditambah lagi polusi udara yang sangat membahayakan kesehatan.21 Contoh lain dapat ditemukan dalam penafsiran M. Abduh terhadap surat al-Fil [105]: 3-4 yang menafsirkan kata thayran ababil (burung Ababil) dengan mikroba dan kata al-hijarah (batu) dengan kuman penyakit.22 Atau, penafsiran Abdul al-Razq Nawfal pada Q.S. al-A’raf [07]: 189 ِ هو الَّ ِذي َخلَ َق ُكم ِمن نَ ْفس و اح َدة َو َج َع َل ِم ْن َها َزْو َج َها لِيَ ْس ُك َن إِلَْي َها ْ ْ َ َُ hua alldzi khalaqakum min al-nafsi al-wahidah waja’ala minha zawjaha, ia menafsirkan kata nafsu al-wahidah (diri yang satu) dengan proton dan zawjaha dengan pasangannya elektron, dan masing-masing keduanya membentuk unsur atom.23 bisa dilihat juga dalam penafsiran ayat dalam surah Yasiin ayat 38: َّ َو ك تَ ْق ِد ُير ال َْع ِزي ِز ال َْعلِ ِيم َ ِس ََتْ ِري لِ ُم ْستَ َقر ََلَا َذل ُ الش ْم Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui. (QS. Yaasin: 38) 21 : Tantawi Jauwhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim al-Mushtamil ‘ala ‘Ajaib Badai’ alMukawwanat wa Gharib al-Ayat al-Bahirat al-Musama Tafsir Tantawi Jawhari, Juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2004), hlm. 66-67 sebagaimana dikutub dalam Supiana dan M. Karman.Ulumul Qur’an. (Bandung:Pustaka Islamika, 2002) hlm 316 22 M. Abduh, Tafsir Juz ‘Amma (Mesir: Al-Jam’iyyah al-Khairiyyah, 1341 H), h. 5-6. 23 M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Dar al-Manar, 1954), h. 208-212. Tafsir Ilmi 10 Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan gerakan lahiriah matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan sains baru, para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari menuju suatu titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega. Semua penafsiran itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di beberapa kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan rangka mendukung metode penafsiran ilmiah.24 24 Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm 97 Tafsir Ilmi 11 BAB III KESIMPULAN Dari berbagai macam faktor tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa ada banyak tujuan dan motif tertentu dari kemunculan tafsir ilmi ditunjukkan oleh para ulama. Adapun semuanya itu dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Untuk memahami al-Qur’an secara lebih mendalam, khususnya yang berkaitan dengan ayat-ayat kauniah atau ayat-ayat tentang alam semesta. 2. Untuk menggali teori-teori sains baru di dalam al-Qur’an. 3. Untuk menegaskan sikap Islam terhadap ilmu pengetahuan, bahwa tidak ada pertentangan antara kitab suci al-Qur’an dengan sains, bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan akal manusia dan kemajuan. 4. Untuk membuktikan kemukjizatan al-Qur’an dari sisi keilmiahannya. 5. Untuk menarik perhatian non-muslim untuk mempelajari lebih jauh tentang Islam bahwa agama Islam sangat apresiatif terhadap ilmu pengetahuan dan kemajuan. Untuk memperkenalkan penemuan-penemuan baru sains kepada umat Islam, mendorong mereka agar mau tertarik belajar ilmu pengetahuan umum dan mengembangkannya. Tafsir Ilmi 12