1 PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN MUSIK TALEMPONG DI

advertisement
PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN MUSIK TALEMPONG
DI JURUSAN PENDIDIKAN SENDRATASIK
FBSS UNIVERSITAS NEGERI PADANG
Syeilendra, S.Kar, M.Hum
ABSTRACT
This article describes about a topic of talempong music instrument learning at
Sendratasik Department, Faculty of Languages Letters and Arts, Padang State
University. Generally, talempong can be observed about its history, classification,
sound apparatus, art genre, form and size, tone system, talempong players, and
playing techniques.
Keywords: talempong, music instrument, ensamble, signals
A. Pendahuluan
Kehidupan manusia dalam dimensi waktu dan ruang yang melakukan. setiap
konsep, kegiatan, dan wujud menghasilkan sesuatu yang terangkum dalam
kebudayaan. Sebagai hasil dari kebudayaan manusia yang bersumber dari belajar
salah satunya adalah unsur kesenian. Salah satu unsur kesenian tersebut dapat dilihat
dalam budaya masyarakat Minangkabau seperti seni vokal seni instrumental.
Kebudayaan terdiri dari unsur-unsur yang universal dan didukung oleh
sekelompok masyarakat tertentu mempunyai ciri kebudayaan yang khas, yang
membedakannya dari kelompok masyarakat lain. Meski demikian, antara individu,
keluarga, masyarakat dan bangsa yang berbeda-beda itu dapat terjadi kontak budaya.
Budaya ini dapat pula bermigrasi sesuai dengan perpindahan manusia dari satu
tempat ke tempat lainnya. Dalam lingkungan barunya kebudayaan manusia ini
berkembang pula secara ekologis. Demikian pula yang terjadi pada etnis
Minangkabau, termasuk salah satu artifak kebudayaannya, yaitu instrumen musik
talempong/calempong.
Alat musik talempong yang terbuat dari campuran besi, tembaga, kuningan
yang banyak dijumpai dan dipergunakan hampir semua jenis musik tradisional yang
1
ada di Indonesia. Apalagi instrumen musik yang termasuk dalam kategori keluarga
gong yang berpencu (knobbed gong) bentuk sama ukuran dan jenis suaranya berbeda.
Seperti yang ditulis oleh Hood (1958:5) sebagai berikut:
“…… traditional music metallophone, gamelan og central of
Java has a brother in Sunda a causin in Bali, another causin in
Siam, a distant realtif in South Philipines, and perhaps an
central father in Indo China. Same other members of the
family have wanderedof ten East Java, Madura, Sumatera, and
Kalimatan”
Berdasarkan pendapat tersebut bahwa instrumen musik seperti diuraikan di
atas terdapat juga di Minangkabau di mana Hood juga menyebutkan instrumen
tersebut juga ada di Sumatera (Minangkabau) bagi masyarakat diberi nama dengan
‘talempong’ .
Dalam ensiklopedi musik dan tari Minangkabau, (1977) dikatakan bahwa
talempong sudah lama dikenal di daerah Minangkabau, bahkan menunjukkan
identitas daerah dan hampir setiap daerah di Minangkabau mempunyai instrumen
musik talempong.
Di dalam kebudayaan Minangkabau, terdapat istilah yang erat kaitannya
dengan musik, tari, dan pamainan (permainan). Musik dalam kebudayaan
masyarakat Minangkabau dikonsepkan sebagai bunyi-bunyian, yang terdiri dari
musik vokal dan musik instrumental. Talempong merupakan salah satu bentuk
kesenian yang termasuk ke dalam musik instrumental, namun dapat juga disertai
dengan vokal. Dengan demikian, istilah talempong memiliki arti sebagai salah satu
genre kesenian (pamainan) Minangkabau, termasuk ke dalam kategori bunyibunyian. Bunyi-bunyian yang dimaksud dalam adat Minangkabau adalah bunyi
musik tradisional yang dihasilkan oleh alat musik karawitan beserta dengan
vokalnya. Vokal yang lazim diistilahkan oleh masyarakat Minangkabau adalah
“dendang”
Konsep permainan talempong dalam konteks kebudayaan Minangkabau
tercermin dalam salah satu peribahasa adatnya yaitu : “Baaguang batalempong,
2
bapupuik batang padi” yang artinya, membunyikan atau memukul gong dan
talempong” meniup puput batang padi yang makna budayanya adalah musik
talempong sudah menjadi bagian dari upacara adat di Minangkabau.
Musik talempong erat kaitannya dengan berbagai macam upacara adat di
Minangkabau yang digunakan untuk upacara pengangkatan penghulu baru (pimpinan
suku), pesta perkawinan, penghormatan tamu-tamu agung, sebagai musik pengiring
tari-tarian tradisional dan tari kreasi, sebagai ansambel musik. dan lain-lainnya. Di
samping itu musik talempong, juga digunakan untuk berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan kepercayaan, seperti mencari kayu untuk menjadikan rumah,
meminta hujan menjelang panen padi, dan ada juga digunakan untuk acara menolak
bala ( Adam, 1986/1987:5 )
Talempong adalah salah satu warisan budaya masyarakat Minangkabau yang
diperoleh dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Talempong mempunyai
pengertian sebagai jenis ansambel musik dan alat musik. Talempong mempunyai
pengertian sebagai jenis ansambel musik dalam sistem klasifikasi musik tradisional
Minangkabau, termasuk kedalam alat musik pukul, sampai sekarang talempong
terutama diproduksi oleh masyarakat Sungai Puar Bahuhampu dan sekitarnya, yang
berada di Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dalam pendidikan musik tradisional
di jurusan Sendratasik, mahasiswa sangat sulit untuk memahaminya terutama yang
berkaitan dengan pembelajaran yang berhubungan langsung dengan proses
pengajaran yang dilakukan oleh pengampu mata kuliah serta untuk pemahaman
konsep-konsep teoretis tentang musik talempong itu sendiri. Dalam proses
pembelajaran musik talempong pada umumnya mahasiswa sangat lemah untuk bisa
mampu terutama untuk bisa membaca tulisan musik (partitur) yang diterapkan
dengan konsep-konsep teori musik barat secara umum. Sedangkan untuk bisa
mempraktikkan dalam bentuk ansambel musik mengalami kesulitan baik secara
individual dan maupun dalam bentuk kelompok. Hal ini dikarenakan oleh beberapa
faktor seperti: (1) jam pertemuan sangat sedikit, (2) alat musik yang tersedia belum
3
memadai, (3) ruang praktikum belum ada, (4) beban kredit sangat kecil ( 2 SKS) (5)
terlalu dini pengeluaran mata kuliah, (6) metoda pembelajaran belum maksimal dan
faktor lain-lainnya.
Kalau dilihat dalam kurikulum Sendratasik pada prodi musik yang
ditawarkan untuk program strata satu 144 sampai 160 sks, mata kuliah musik tradisi
hanya satu buah dengan bobot 2 sks. Hal ini sangat mengkawatirkan untuk
perkembangan musik tradisional dan apalagi bagi mahasiswa prodi musik untuk
mampu memahami serta mempraktikan dalam memainkan alat musik khususnya
musik talempong. Sementara apabila para mahasiswa sudah mulai turun kelapangan
untuk menjadi guru di SD, SMP, SMA semua mereka dituntut oleh kurikulum dalam
mata pelajaran seni budaya untuk lebih banyak mengajarkan musik tradisional
talempong (muatan lokal) dalam proses pembelajaran di sekolah masing-masing baik
secara ilmu pengetahuan maupun dalam bentuk ansambel musik, atau untuk
mengiringi tari-tarian tradisional dan tari-tari kreasi.
B. Sistim Pembelajaran Musik Tradisi di Sendratasik
Pembelajaran musik tradisi pada jurusan Sendratasik dengan bobot 2 sks
sangat mengkhawatirkan dalam pelaksanaannya seperti yang sudah diuraikan di atas.
Maka perlu disikapi supaya tidak berlarut-larut masalah ini timbul setiap tahunnya.
Pada awal perkuliahan dimulai para mahasiswa akan diperkenalkan dengan silabus
mata kuliah dan keberadaan mata kuliah di dalam kurikulum jurusan Sendratasik,
serta hal-hal yang harus disiapkan oleh seluruh mahasiswa yang akan mengikuti
kuliah tatap muka selama 16 kali dengan dosen pengampu mata kuliah.
Materi perkuliahan berdasarkan silabus, akan memberikan pengetahuan musik
tradisional Minangkabau secara umum dan khususnya lebih ditekankan para materi
musik talempong yang berhubungan dengan sejarah alat musik, sebagai alat bunyi,
klasifikasi alat musik, genre kesenian, sistim nada, bentuk dan ukuran, pemain, dan
teknik memainkan. Kemudian baru proses pembelajaran yang mengacu pada
praktikum.
4
Dalam pelaksanaan perkuliahan dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 200
orang yang terdiri dari 4 kelas, sangat terasa sekali para mahasiswa lemah dan sulit
untuk bisa memahami tentang pengetahuan musik tradisional (Minangkabau
khususnya) serta sangat lemah untuk mampu membaca notasi musik dan tidak
mampu memainkan beberapa buah ansambel musik baik secara individu maupun
berkelompok.
Masalah ini dilihat lebih jauh terjadinya kekeliruan dalam proses belajar
mengajar yang dilaksanakan, karena para mahasiswa tidak banyak dibekali dengan
pemahaman
konsep-konsep
musik
tradisional
Minangkabau
terutama
yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan secara teoretis untuk bisa mengerti dan
memahami keberadaan musik tradisonal tersebut. Maka dari itu alangkah baiknya
lebih diutamakan tentang ilmu pengetahuan musik tradisional lebih banyak
ketimbang langsung memainkan alat musik itu sendiri.
C. Sejarah Alat Musik Talempong Minangkabau
Sejarah alat musik talempong Minangkabau berdasarkan sejarahnya
ditemukan dua sumber. Penemuan pertama sumber menurut unsur folklor, keduanya
sumber menurut unsur sejarah.
1. Unsur Folklorik
Unsur folklorik talempong yang dimaksudkan adalah unsur (cerita) mengenai
talempong, yang bersifat folklor. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif,
yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun. Diantara kolektif macam apa
saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Salah satu
ciri folklor adalah sifat yang pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang (kadangkadang) tidak sesuai dengan logika umum. Folklor terbagi kedalam beberapa bentuk,
salah satunya adalah cerita-cerita rakyat antara lain mitos, legenda, dongeng, dan
sebagainya. Suatu folklor tidak berhenti menjadi falklor apabila telah diterbitkan
dalan bentuk cetakan atau rekaman yang tetap memiliki identitas folklornya selama
kita mengetahui bahwa ia berasal dari peredaran lisan.
5
Unsur folklor talempong kebanyakan bersumber dari “tambo’, yaitu kisah
yang disampaikan secara oral, yang berlangsung turun-temurun. Cerita-cerita yang
menceritakan asal-usul talempong dapat dibagi menjadi dua versi. Versi pertama,
menyatakan talempong dibuat dan berkembang di Minangkabau. Versi yang kedua
mengatakan talempong berasal dari Yunani (sebagai asal-usul nenek moyang suku
Minangkabau) berkembang di India Belakang, dan seterusnya dibawa ke
Minangkabau
Versi pertama berasal dari Pariangan Padang Panjang (asal mula nenek
moyang Minangkabau). Dari sini talempong menyebar dan berkembang keseluruh
pelosok Minangkabau yang dibawa oleh nenek moyang suku bangsa Minangkabau
pada waktu memperluas wilayah pemukiman. Menurut versi pertama juga dipercaya
bahwa nenek moyang suku bangsa Minangkabau berasal dari puncak Gunung
Merapi. Menurut versi yang kedua, bahwa talempong berasal dari India Belakang
yang dibawa oleh nenek moyang suku bangsa Minangkabau, yang dipercayai
keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain.
2. Catatan Sejarah Kedatangan Talempong
M.D Mansoer (1970:31) dalam bukunya Sedjarah Minangkabau menyatakan
bahwa kedatangan nenek moyang suku bangsa Minangkabau dapat disimpulkan
seperti di bawah ini. Pertama, bangsa yang pertama datang yang mendiami
Minangkabau adalah bangsa Austronesia (Melayu-Polinesia) disebut juga sebagai
Melayu-Tua yang datang secara bergelombang dari daratan Asia Tenggara dalam
ikatan keluarga, yang mempergunakan perahu bercadik. Ini adalah hasil kebudayaan
khas Austronesia. Kedatangan mereka diperkirakan dimulai sejak tahun 2000 SM.
Mereka adalah pendukung kebudayaan neolitikum (zaman batu baru), dengan ciri-ciri
utama ialah pertanian, peternakan, dan menganut adat matrilineal. Kedua, pada tahun
500-300 SM datang bangsa baru ke Minangkabau yang juga datang secara
bergelombang, dari daratan Asia Tenggara. Mereka adalah bangsa yang serumpun
dengan Austronesia. (Proto-Malay) yaitu bangsa Melayu-muda, dan merupakan
pendukung kebudayaan perunggu.
6
Minangkabau telah didiami oleh masyarakat pendukung kebudayaan
perunggu, yaitu bangsa Melayu-muda (Proto-Malay) semenjak tahun
300 SM.
Mereka juga datang secara bergelombang dan membawa keluarga dan kebudayaan
mereka yang dapat dibuktikan dengan ditemukan adanya bejana perunggu berbentuk
periuk besar di daerah Kerinci. Bejana perunggu yang ditemukan di daerah Kerinci
itu mempunyai motif hiasan spiral yang umum dijumpai di Asia Tenggara pada
waktu itu. Di daerah Bangkinang juga ditemukan peninggalan kebudayaan perunggu
berupa bejana-bejana kecil dan beberapa jenis barang-barang lainnya, yang belum
diketahui kegunaanya. Lukisan yang terdapat pada bejana perunggu (nekara) diduga
ada hubungannya dengan kebudayaan Dong-son . Dong-son adalah nama tempat di
sebelah selatan kota Hanoi Vietnam. Nama tempat itu dipakai untuk penamaan atas
ciri kebudayaan zaman perunggu di Asia Tenggara. Karena itu tempat itulah
ditemukan pertamakali benda-benda sejarah dari zaman perunggu di Asia Tenggara
seperti di Yanmar, Thailand, dan Indonesia.
Pencampuran antara Malayu-tua
dengan Melayu-muda itu menurunkan
keturunan nenek moyang suku bangsa Minangkabau. Jika menurut catatan sejarah,
nenek moyang suku bangsa Minangkabau datang dari Vietnam. Mereka datang secara
bergerombolan dengan membawa seluruh kebudayaannya yaitu zaman perunggu,
sebelum tahun 300 S.M. Seperti dalam tulisan Margareth J. Kartomi,
dalam
artikelnya menyatakan bahwa pengrajin perunggu yang andal dari Tonkin datang ke
Minangkabau beberapa abad sebelum Masehi.
Penulis menduga pada zaman perunggu inilah talempong dibawa oleh nenek
moyang Minangkabau ke daerah Minangkabau. Berdasarkan sumber yang ditemukan
bahwa bentuk talempong yang dibawa nenek moyang suku bangsa Minangkabau
sama seperti talempong yang ada sekarang. Kenyataan yang lain adalah alat musik
yang sama yaitu( gong chimes / set of gongs) juga terdapat; di Asia Tenggara seperti
di Pilipina, Malaysia, Thailand, Jawa, Bali dan Brunei.
Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pada
zaman perunggu inilah talempong dibawa oleh nenek moyang Minangkabau ke
7
Minangkabau. Bentuk talempong yang dibawa oleh nenek moyang suku bangsa
Minangkabau sama seperti yang ada sekarang. Bentuk alat ini dikategorikan ke dalam
jenis gong yang mempunyai nada. tetapi dengan ukurannya yang jauh lebih kecil dari
ukuran gong yang umum dikenal. Bentuk dan ukuran talempong yang terdapat di
seluruh Minangkabau relatif sama ukurannya dengan talempong yang terdapat di
seluruh Indonesia atau pun yang terdapat di luar daerah Indonesia.
D. Talempong Sebagai Alat Bunyi
Secara umum masyarakat Minangkabau mengkonsepkan musik sebagai
bunyi-bunyian asli. Orang Minangkabau pada zaman dahulu sudah mempunyai istilah
yang sama. Ahmad Nadjir Yunus (1986:131) memperjelaskan tentang bunyi-bunyian
di Minangkabau berasal dari kata : “Aluang bunian” yang artinya adalah “a” berarti
tidak ( bukan ), “luang” ialah bunyi (udara) yang keluar dari lobang, sedangkan
“bunian” ialah gaib atau halus. Misalnya orang “bunia” ialah bunyi yang dihasilkan
oleh manusia. Bunyian berarti alat musik, sedangkan bunyi/buni berarti suara (musik)
yang dihasilkan oleh alat bunyian.
Pengertian talempong sebagai buni (bunyi) adalah pada musik (alat saat
talempong dimainkan. Bunyi yang dimaksud adalah komposisi musik atau lagu-lagu
yang dihasilkan, sebagai produk bunyi alat musik talempong yang dimainkan oleh
pemain talempong. Wawancara dengan Yusaf Rahman (1996), terpenting dalam
bermain talempong adalah bunyi yang atau suaranya yang dihasilkan, yang bisa
dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa talempong
dalam pengertian sebagai musik merupakan produksi bunyi, dari alat musik
talempong yang dimainkan oleh pemain talempong. Berdasarkan aturan-aturan
tertentu, misalnya cara memainkan dalam teknik interlocking yang terdapat dalam
permainan talempong pacik.
Dalam konteks musikal istilah talempong mengandung pengertian sebagai
genre kesenian, sebagai alat musik (nama kelompok alat musik), dan sebagai musik.
Pada sebagian masyarakat; Minangkabau ada juga yang menyebutkan calempong
(nama seperangkat alat musik), dan sebagai musik.
8
D. Klasifikasi Instrumen Musik Talempong
Berdasarkan sistem klasifikasi musik tradisional Minangkabau talempong
termasuk kepada alat musik pukul. Dalam sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh
Curt Sachs dan Eric M. Von Horn Bostel, dalam karyanya yang berjudul Systematik
der Music Instrumente Ein Versuch, alat musik talempong dapat diklasifikasikan dari
tingkat yang paling umum ke tingkat yang paling khusus sebagai berikut.
Dalam numerik I idiofon, yaitu bahan alat musik itu sendiri, terdiri dari benda
padat dan atau lentur, menghasilkan bunyi, tanpa membutuhkan membran atau senar
yang diregangkan. Selanjutnya ke dalam numerik II yaitu alat musik idiofon yang
dipukul. Alat musik ini getaran suaranya terjadi dengan memukul ke atas
permukaannya. Selanjutnya ke dalam numerik III yaitu alat musik idiofon yang
dipukul secara langsung. Pemainnya sendiri melakukan gerakan memukul apakah
dengan perantaraan mekanis yang telah dirancang, pukulan (beater), keyboard, atau
dengan menarik tali gantungan, dan sejenisnya yang bukan sebagai materi alat
musiknya. Alat musik ini secara definitif adalah pemainnya dapat mengaplikasikan
pukulan secara pribadi, dan alat musik ini dilengkapi dengan keperluan perkusi.
Alat musik talempong ini selanjutnya dapat diklasifikasikan ke dalam
numerik III.2 yaitu alat musik idiofon perkusi. Alat musik ini masing-masing dipukul
dengan objek yang bukan penghasil bunyi (non-sonorous), seperti tangan, stik,
pemukul, atau juga badan manusia dan tanah.
Selanjutnya dapat diklasifikasikan ke dalam numerik III.24 yaitu alat musik
vesel perkusi. Lebih jauh termasuk ke dalam numerik III.241 yaitu alat musik gong.
Getarannya yang terkuat berada di pencu dan sekitarnya. Alat musik ini misalnya
terdapat di Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.
Dalam akhir rangkaian klasifikasi ini alat musik talempong termasuk ke
dalam numerik III.241.2 yaitu seperangkat gong (gong chimes).
E. Talempong Sebagai Genre Kesenian
Kesenian dalam kebudayaan Minangkabau disebut sebagai pamainan
(permainan), termasuk didalamnya bunyi-bunyian yang maknanya hampir sama
9
dengan musik. Musik terdiri dari musik vokal dan musik instrumental. Talempong
merupakan salah satu bentuk kesenian yang termasuk ke dalam musik instrumental.
Dengan demikian, istilah talempong memiliki arti sebagai salah satu genre kesenian
pamainan (permainan) Minangkabau yang termasuk ke dalam kategori bunyibunyian. Bunyi-bunyian mengandung dua arti yaitu buni atau bunyian, atau alat
bunyian. Bunyian berarti alat musik sedangkan buni atau bunyi berarti suara (musik)
yang dihasilkan oleh alat musik.
Talempong merupakan salah satu bentuk kesenian yang termasuk ke dalam
musik instrumental, namun dapat juga disertai dengan vokal. Dengan demikian,
istilah talempong memiliki arti sebagai salah satu genre kesenian (pamainan)
Minangkabau yang termasuk ke dalam kategori bunyi-bunyian.
Konsep bunyi-bunyian di Minangkabau dapat dibagi dua pengertian yaitu (1)
bunyi suara manusia atau vokal yang disebut dengan dendang dan (2) bunyi dari alat
musik itu sendiri disebut dengan instrumental. Maka talempong termasuk ke dalam
musik instrumental.
F. Sistim Nada Talempong
Sistim nada talempong ditemukan di dalam masyarakat Minangkabau sangat
sulit ditelusuri, ada yang menamakan talempong “limo atau anam”, yang ditemukan
diberbagai daerah di Minangkabau. Setelah dimainkan ternyata ditemukan lima buah
nada yaitu dengan nama pentatonik tradisional yang dimainkan dalam teknik
interlocking ( dengan cara dijinjing/dipacik dengan nama talempong pacik ).
Semenjak berdirinya ASKI Padang Panjang pada tanggal 14 April 1966, salah
satu jurusannya adalah musik yang lebih banyak menggunakan konsep-konsep musik
Barat, yang sekali gus terkontaminasinya oleh jurusan karawitan dengan kehadiran
jurusan musik barat.tersebut.
Perkembangan talempong semenjak adanya jurusan musik barat tersebut
sangat pesat karena keberadaan musik talempong yang bersistim nada pentatonik
(lima nada) dicoba oleh salah seorang Dosen yang bernama Murad St. Saidi untuk
melarasnya menjadikan lima nada diatonis dengan nada dasar c, d, e, f, g (do, re, mi,
10
fa, sol), pelarasan nada ini dilakukan pada bulan Agustus 1968 dalam rangka
memperingati HUT. RI ke 23 di kota Padang.
Tujuan pelarasan ini dilakukan adalah mencoba mengembangkan musik
talempong yang berkolaborasi dengan alat musik barat, yang memainkan lagu Andam
Oi dalam bentuk melodi yang memakai lima nada diatonis yang berasal dari
seperangkat talempong pacik.
Semenjak tahun itulah lembaga tinggi seni yang membawa perubahan dalam
bentuk inovasi dari perkembangan sistim nada talempong. Kemudian dengan
munculnya talempong dengan sistim nada diatonisasi lima nada tersebut, maka
dikembangkan oleh Yusyaf Rahman dalam lima nada menjadi tujuh nada dengan
nada dasar c, d, e, f, g, a, b, c. (do, re, mi, fa, sol, la, si, do) yang diletakkan di atas rea
atau standar kayu yang siap memainkan beberapa lagu-lagu Minangkabau dalam
bentuk komposisi musik yang ditata dengan baik yang sesuai dengan aturan yang
berlaku di dalam teori musik Barat.
Perangkat talempong ini disebut dengan nama Talempong Kreasi Baru yang
sekarang banyak ditemukan diberbagai sekolah menengah dan di perguruan tinggi di
Sumatera Barat dan bahkan di Indonesia.
G. Bentuk dan Ukuran
Talempong adalah musik pukul yang terdapat di Minangkabau. Dalam
pengertian ini talempong adalah seperangkat alat musik pukul yang terbuat dari
campuran logam perunggu, tembaga / kuningan, dan seng / besi. Bentuk alat ini
dikategorikan ke dalam jenis gong. Tetapi dengan ukuran yang jauh lebih kecil dari
ukuran gong yang umum dikenal.
Pengukuran talempong ini telah dilakukan oleh Boestaoel Arifin Adam
dibeberapa kenagarian di Minangkabau, termasuk daerah-daerah yang mempunyai
perangkat talempong di seluruh Indonesia. Bahwa ukuran talempong di Minangkabau
relatif sama dengan talempong yang terdapat di luar daerah Minangkabau seperti
bentuk dan ukuran di bawah ini:
11
1. Tinggi seluruhnya 8,5 sampai 9 cm
2. Tinggi dinding 5 sampai 6 cm
3. Garis tengah bawah 12,5 sampai dengan 16cm
4. Garis tengah atas 16,5 sampai 17 cm
5. Garis tengah pencu atau tombol 2,5 sampai 4 cm
6. Tebal alat 2 sampai 3 mm
Bentuk dan Ukuran Talempong Minangkabau
H. Pemain Talempong
12
Mengenai pemain talempong, tidak ada ketentuan khusus baik itu mengenai
jenis kelamin, usia ataupun status sosial. Akan tetapi pada umumnya talempong lebih
banyak dimainkan oleh kaum pria dari pada kaum wanita.
Merriam (1964:123) menjelaskan bahwa seorang pemusik tidak lebih dari
orang lain mana saja; mereka adalah juga sebagai anggota masyarakat. Begitu juga
halnya pada pemain musik talempong di Minangkabau. Dalam kehidupan sehari-hari
kedudukan pemain talempong adalah sama dengan anggota masyarakat lainnya.
Sebagai anggota masyarakat mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dengan anggota masyarakat lain. Pemain tidak harus berasal dari suku tertentu. Setiap
warga masyarakat boleh saja menjadi pemusik talempong. Untuk memperoleh status
menjadi pemusik, sepenuhnya berdasarkan kemampuan yang didapat dengan cara
berjuang dalam waktu latihan yang berdasarkan kemampuan yang didapat dengan
cara berjuang dalam waktu
latihan
yang berdasarkan prestasi. Secara pribadi,
mereka berusaha atau melalui persaingan untuk mendapatkan status sebagai pemain
talempong, dan antara sesama pemain mereka saling menghormati. Status pemain
musik talempong tidak berhubungan langsung dengan adat. Akan tetapi pada waktu
akan bertugas untuk memainkan talempong. Di dalam adat pada waku memainkan,
kedudukan mereka menjadi penting, sebab mereka dipandang sebagai ahli dan
dihormati. Pada saat itu mereka dihargai secara moril maupun materil.
I. Teknik Memainkan Talempong
Teknik memainkan alat musik talempong Minangkabau yang ditemui dalam
masyarakat ada dua cara: (1) teknik tradisional (interlocking); dan (2) teknik melodis
1. Teknik Tradisional (interlocking)
Secara
tradisional
dalam
memainkan
talempong
dalam
masyarakat
Minangkabau dengan cara dijinjing yang dimainkan oleh tiga orang, setiap pemain
memegang dua buah talempong dengan cara dijinjing dengan tangan kiri dan dipukul
dengan tangan kanan yang memakai kayu pemukul (stik). Talempong yang dijinjing
dengan tangan kiri (atau kanan) tersebut berada dalam posisi vertikal. Talempong
yang sebelah atas dijepit dengan ibu jari dan telunjuk, sedangkan talempong yang
13
sebelah bawah digantung pada jari tengah, jari manis, dan jari kelingking. Sedangkan
jari telunjuk berfungsi sebagai pemisah antara talempong yang keduanya agar tidak
bersentuhan. Dengan demikian, nada yang dihasilkan akan menjadi nyaring
kedengaran.
Setiap pemain talempong pacik memainkan pola ritemnya masing-masing
yang sesuai jenis lagu yang akan dimainkan. Ada pemain yang berperan sebagai
talempong anak, talempong dasar atau pambaok dan talempong paningkah atau
panyaua.
Teknik memainkan talempong seperti ini di Minangkabau disebut permainan
talempong pacik. Cara memainkan seperti ini dalam pengertian etnomusikologi
dengan nama teknik interlocking yaitu cara yang dipakai dalam membentuk suatu
komposisi melodis gabungan (resultant melodis) maupun ritme dengan cara membagi
tugas antara dua atau lebih pemain. Masing-masing pemain memainkan pola ritme
berbeda dan saling isi mengisi, yang akhirnya menjadi satu kesatuan komposisi
musik.
Proses pembelajaran pada teknik memainkan untuk lagu-lagu yang
dibelajarkan banyak menemukan masalah dan menyita waktu yang memerlukan jam
pertemuan yang panjang sementara waktu yang tersedia 2 kali 50 menit untuk 16 kali
tatap muka dalam satu semester. Masalah lain ditambah dengan jumlah mahasiswa
yang banyak. Proses pembelajaran yang dijalankan sangat tidak memadai. Apalagi
tujuan dari pratikum alat musik talempong mampu mencapai kompetensi dasar yang
sudah digariskan dalam silabus mata kuliah yaitu mampu memain dan menguasai
teknik permainan dari lagu-lagu yang dipraktikkan.
Metoda pembelajaran dilakukan menggunakan metoda ceramah, demontrasi,
drill atau kerja kelompok. Proses awal para mahasiswa harus mampu membaca notasi
musik dan menghafalkan pola ritem dari setiap bagian alat musik talempong yang
akan dimainkan. Setelah menguasai semua pola ritem dari lagu yang akan dimainkan
barulah diperkenankan untuk mempraktekkan kealat musik yang dipilih. Pada tahap
menggabungkan pola ritem dari setiap bagian talempong, muncullah masalah baru
14
dimana hampir semua mahasiswa tidak mampu menyatukan bunyi yang akan
membentuk interlocking.
Persoalan ini selalu muncul pada tahap awal dalam memainkan talempong
pacik. Sebagai solusi awal diharapkan ketabahan dan keseriusan untuk bisa
merasakan musikalitas yang menyangkut pada kemampuan seseorang dalam
menyerap nilai-nilai harmonisasi dalam musik talempong.
2. Teknik Melodis
Teknik memainkan talempong yang kedua ini adalah talempong yang
diletakkan di atas real atau rancakan. Dalam teknik memainkan tidak jauh berbeda
dengan teknik yang pertama yaitu dipukul dengan stik atau kayu pemukul yang sudah
mempunyai ukuran tertentu, tetapi setiap pemain memegang dua buah stik dengan
teknik melodis yang menggunakan kedua tangan untuk memegang stik. Di samping
itu mahasiswa sudah menguasai melodi lagu dan tanpa melihat partitur musik atau
lagu yang akan dimainkan, serta menguasai pola ritme untuk talempong pengiring.
Dalam memainkan sebuah lagu harus memakai tempo yang teratur dan ritmis.
Talempong yang sudah memakai real atau rancakan ini biasanya sudah distem
nadanya atau dilaras menurut ukuran nada musik Barat. Adapun nada dasar sebagai
acuan adalah memakai tangga nada diatonis dengan nada dasar C = Do atau D = Do.
Setiap real talempong ini mempunyai nada satu oktaf seperti c, d, e, f, g, a, b, c’ yang
dilengkapi dengan nada-nada kromatik khusus untuk talempong melodi.
Perangkat talempong yang seperti ini disebut dengan nama “Talempong
Kreasi Baru”, dimana semua aturan yang dipakai dalam permainan sudah mengacu
pada teori musik Barat. Dalam teknik memainkan adanya perangkat talempong yang
berperan sebagai melodi dan ada perangkat talempong berperan sebagai ritme atau
pengiring. Sedangkan peranan talempong sebagai ritme hanya untuk mengiringi
talempong melodi pada waktu melodi sedang jalan dengan pola ritme tertentu yang
berdasarkan progresi akord.
K. Kesimpulan
15
1. Talempong adalah alat musik tradisional Minangkabau yang ditemui diberbagai
daerah di Minangkabau yang digunakan untuk berbagai upacara adat dan sebagai
alat musik pengiring tari-tarian tradisional dan tari-tari kreasi di Minangkabau.
2. Alat musik talempong mengandung beberapa permasalahan terutama dari kajian
sejarah alat musik, klasifikasi alat musik, sebagai alat bunyian, bentuk dan
ukuran, sistem nada, dan teknik memainkan.
J. Saran
1. Mata kuliah musik tradisi sebaiknya dilaksanakan pada semester lanjut minimal
pada semester 4 dimana mahasiswa prodi musik sudah banyak lulus beberapa
mata kuliah penunjang seperti menguasai teori musik dasar dan lanjut, dikte dan
solfegio, apresiasi seni dan lain-lainnya.
2. Mata kuliah musik tradisi sebaiknya dilaksanakan selama 2 semester dengan
bobot 3 sks minimal.
3. Silabus mata kuliah perlu direvisi dan dikembangkan dalam bentuk SAP, Hend
Out, dan Buku Ajar.
4. Jurusan Sendratasik perlu merevisi kurikulum yang harus disesuaikan dengan
kebutuhan di lapangan atau di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Boestanoel Arifin. 1986/1987. Talempong Musik Tradisi Minangkabau.
Padang Panjang. Akademi Seni Kerawitan Indonesia
Backus, John. 1977. The Acoustical Foundations of Music. New York. W.W Norton
& Company
Hood, Mantle. 1958. Javanes Gamelan in The World of Music. Yogyakarta:
Kedaulatan Rakyat
..........1982. The Ethnomusicologist. Kent : The Kent Univesity Press.
Kartomi, Margaret J. 1980. Artikelnya “Musical Strata in Sumatera.java and Bali
Mansoer, M. D. 1970. Sedjarah Minangkabau. Jakarta. Bhatara
16
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago. Northwestern
University Press
Muhammad Takari. 1993. Klasifikasi Alat-Alat Musik. Medan. USU
Sadie, Stanley (ed). 1984. The New Grove Dictionary of Muical Instrumentals. ( Vol
I ). London. Macmillan Press Ltd
17
Download