hubungan infeksi hiv dengan lesi prakanker serviks

advertisement
HUBUNGAN INFEKSI HIV DENGAN LESI PRAKANKER
SERVIKS
dr. A.A.N. Jaya Kusuma, SpOG(K)
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD / RS SANGLAH
DENPASAR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Virus HIV ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang
komponen sistem imun manusia, yakni sel CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari
virus ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui
mekanisme tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka
terjadilah kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan
membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan inilah
yang disebut dengan AIDS (1,12).
Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena
gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini dapat
terlihat dari perbedaan pelaporan jumlah penderita HIV/AIDS antara Badan Intel CIA
Amerika Serikat dengan Ditjen PPM & PL Depkes RI. Menurut Badan Intel CIA Amerika
Serikat, di Indonesia, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2007 adalah
sebesar 270.000 kasus yang menduduki peringkat ke-25 di dunia dengan angka kematian
dilaporkan sebanyak 8.700 kasus yang merupakan peringkat ke-36 di dunia. Sedangkan dari
data yang didapatkan pada Ditjen PPM & PL Depkes RI, angka kematian oleh karena AIDS
dari tahun 1987 sampai dengan tahun 2009 adalah 3806 kasus. Propinisi Bali merupakan
propinsi dengan prevalensi AIDS terbanyak ke-dua sampai dengan bulan Agustus 2010
sebesar 49,16%. Populasi umur 20-29 tahun adalah populasi terbanyak pengidap HIV/AIDS
dan lebih dari 25% penderita AIDS adalah wanita.
Pada tahun 1993, US Centers for Disease Controls (CDC) melaporkan bahwa Kanker
serviks merupakan kanker yang paling banyak (1,3%) ditemukan pada para wanita penderita
AIDS sehingga Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat
menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinis dari stadium AIDS.
Dibandingkan dengan keganasan lain yang terjadi pada penderita AIDS, kanker serviks
dilaporkan memiliki keadaan klinis dan status imun yang lebih baik (2,23). Oleh karena itu,
diagnosa kanker serviks sering terlambat ditegakkan maupun terlewatkan dan kanker serviks
didapatkan tiga kali lebih banyak pada wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan yang
tidak terinfeksi (3). Kanker serviks sendiri merupakan kanker yang terbanyak kedua yang
terjadi pada wanita di dunia, hampir 80% di antaranya terjadi di negara berkembang. Hal ini
disebabkan karena belum adanya program skrining untuk kanker serviks (4).
Angka kejadian kanker serviks di Amerika Serikat telah berkurang sebanyak 70%
karena adanya program skrining nasional sehingga lesi prakanker serviks dapat terdeteksi dan
1
diterapi lebih dini (5). Program skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV
berbeda dengan wanita yang tidak terinfeksi. Program skrining pada wanita yang terinfeksi
HIV menurut CDC Amerika Serikat tahun 2006, dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun
setelah seseorang dinyatakan terinfeksi HIV, sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum
ada pedoman untuk skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV.
Seperti yang telah diketahui, etiologi dari lesi prakanker serviks dan kanker serviks
adalah infeksi laten dari virus HPV (Human PapilommaVirus) pada serviks uteri. Infeksi
HPV terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Virus HPV berdasarkan risiko menyebabkan
kanker terdiri atas 3 klasifikasi, yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko
rendah. Kelompok risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18, sedangkan risiko rendah adalah
HPV tipe 6 dan 11 (6). Hubungan antara infeksi kedua virus, yakni HPV dan HIV merupakan
hal yang unik, kedua hal tersebut terjadi pada wanita yang memiliki gaya hidup sosial
berisiko tinggi, seperti hubungan seksual yang dimulai sejak usia muda, berganti-ganti
pasangan seksual, dan wanita dengan pasangan seksual yang berisiko tinggi. Jenis HPV yang
banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 18
(7). Hal ini disebabkan karena sistem imun pada penderita HIV tidak dapat berfungsi dengan
baik untuk melawan virus HPV tersebut sehingga timbulah lesi prakanker serviks (8).
Wanita yang terinfeksi HIV mempunyai risiko dua hingga dua belas kali lebih banyak
didapatkannya lesi prakanker serviks daripada yang tidak terinfeksi (4). Prevalensi lesi
prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV di Spanyol sebesar 17,7 % dan 40% pada
wanita yang telah memasuki stadium AIDS, sedangkan pada wanita yang tidak terinfeksi
HIV sebesar 3,08%. Gangguan pada sistem imun tubuh yang terjadi akibat infeksi dari virus
HIV merupakan penyebab tingginya prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks (9).
Indikator yang digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah
CD4. Sampai pada saat ini, hubungan antara CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker
serviks masih menimbulkan kontroversi.
Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian
lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya,
dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar CD4 >
500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada CD4 < 500/mm³ sebesar 38,7%. Pada penelitian ini
dapat terlihat bahwa semakin rendahnya status imun penderita HIV, semakin tinggi
prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (10). Sedangkan pada penelitian di Italia,
yang mencari hubungan kadar CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks pada
2
pasien HIV melaporkan bahwa tidak didapatkannya hubungan antara penurunan jumlah CD4
dengan peningkatan prevalensi maupun derajat dari lesi prakanker serviks (11)
Interaksi antara infeksi virus HPV dan HIV merupakan interaksi yang kompleks
karena sistem imun yang berperan pada kedua virus ini saling mempengaruhi satu dengan
yang lain.
3
BAB II
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS
2.1
HIV
AIDS merupakan suatu sindroma yang disebabkan oleh infeksi virus HIV, ditandai
dengan terjadinya suatu immunosupresi yang pada akhirnya menyebabkan rentannya tubuh
terhadap infeksi opurtunistik, keganasan, wasting syndrome, dan degenerasi sistem saraf
pusat. Sampai dengan saat ini dikenal dua tipe virus HIV, yaitu virus HIV-1 dan HIV-2.
Virus HIV yang pertama kali diidentifkasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris tahun
1983 dan diketahui karakteristiknya secara sepenuhnya oleh Robert Gallo dan Jay Levy,
peneliti di Amerika Serikat pada tahun 1986. Sedangkan virus HIV-2 diisolasi dari pasien di
Afrika Barat pada tahun 1986 (1,12).
HIV adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasar strukturnya, HIV termasuk famili retrovirus,
termasuk virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Secara morfologik HIV
berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Inti dari virus
terdiri atas suatu protein sedangkan selubungnya terdiri atas suatu glikoprotein. Protein dari
inti terdiri atas genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada
waktu replikasi virus yang disebut dengan enzim reverse transcriptase. Genom virus pada
dasarnya terdiri atas gen, bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti,
enzim reverse transcriptas , maupun glikoprotein dari selubung. Sedangkan selubung yang
terdiri atas glikoprotein, ternyata memiliki peran yang penting dalam terjadinya infeksi oleh
karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap resptor spesifik CD4 dari sel host. Melalui
mikroskop elektron, dapat terlihat bahwa HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang
dibentuk oleh dua protein utama envelope virus gp 120 di sebelah luar dan gp 41 yang
terletak pada transmembran (1,12).
4
Gambar 1. Morfologi Virus HIV-1 (Sumber : Abbas, 2010)
2.2
Patofisiologi infeksi HIV
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai macam cara yaitu secara
vertikal, horizontal, dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung
dengan diperantarai benda tajam yang menembus pembuluh darah maupun tidak langsung
melalui kulit atau mukosa yang tidak intak. Begitu memasuki sirkulasi sistemik, Virus HIV
dapat dideteksi di dalam darah dalam waktu 4-11 hari sejak paparan pertama. Selama di
dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut.
Keadaan ini disebut sindroma retroviral akut, dimana terjadi penurunan CD4 dan
peningkatan HIV-RNA Viral-load. Viral-load akan meningkat dengan cepat pada awal
infeksi dan selanjutnya akan menurun sampai titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya
infeksi, Viral-load akan kemudian meningkat perlahan dan CD4 akan menurun (13).
Pada fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Berbagai sel
dapat menjadi sel target dari HIV yaitu CD4, makrofag, dan sel dendritik, akan tetapi HIV
virion (virus-virus baru) cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T tersebut penting
untuk menentukan progresivitas dari penyakit. HIV cenderung memilih target limfosit T
karena pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal
bagi gp 120 pada permukaan envelope dari HIV. Meskipun telah terjadi kompleks gp 120 dan
reseptor CD4, virus HIV ini masih belum dapat masuk ke dalam limfosit T melalui proses
internalisasi karena proses ini membutuhkan peran dari co-receptor CCR5 dan CXCR4 yang
juga berada di permukaan limfosit T. Peran dari CCR5 dan CXCR4 memperkuat stabilitas
dan intensitas ikatan gp 120 dan CD4 pada regio V terutama V3. Semakin kuat dan
meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu
5
terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp 41. Dengan peran gp 41
transmembran, maka permukaan luar dari HIV terjadi fusi dengan membran plasma CD4.
Sedangkan inti HIV selanjutnya masuk ke dalam limfosit T sambil membawa enzim reverse
transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma CD4 yang terinfeksi, bagian inti HIV yaitu RNA
(single stranded RNA) akan berusaha menyesuaikan dengan konfigurasi double-stranded
DNA dengan bantuan enzim reverse-transcriptase yang telah dipersiapkan tersebut.
Selanjutnya terjadi penyatuan virion dengan DNA polimerase, terbentuklah cDNA atau
proviral DNA (12).
Begitu terbentuk proviral DNA, proses berikutnya adaalah upaya memasuki ke dalam
inti limfosit T, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase.
Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi
dan translasi. Kondisi ini disebut dengan keadaan laten dan untuk mengaktifkan provirus ini
diperlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti antigen,
sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor κB (NF-κB) sehingga menjadi
aktif dan berikatan pada 5’ LTR (Long Terminal Repeats) yang mengapit gen-gen tersebut.
LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF-κB menginduksi
replikasi DNA. Induktor NF-κB sehingga cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi
mikroorganisme
lain.
Mikroorganisme
lain
yang
memicu
infeksi
sekunder
dan
mempengaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, jamur, virus, maupun protozoa. Dari
keempat golongan mikroorganisme tersebut, yang paling berpengaruh terhadap percepatan
replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA (12).
Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA secara struktur berfungsi
sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida, yang akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang
fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host,
sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar
dari sel, akan menginfeksi sel target yang berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu
melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru (1).
Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun
dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah CD4
melalui beberapa mekanisme, sebagai berikut (1):
6
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya
penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi
dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis makro molekul.
2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang terinfeksi HIV dengan
CD4 yang tidak terinfeksi.
3. Respons imun humoral dan selular terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel
yang terinfeksi virus. Namun respon ini bisa menyebabkan disfungsi imun akibat
eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya (innocent-bystander).
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp 120 di regio V3 dengan
reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian
sel melalui apoptosis.
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp 70, sehingga fungsi sitoprotektif,
pengaturan irama, dan waktu folding protein terganggu, terjadi misfolding dan denaturasi
protein, jejas, dan kematian sel.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah CD4
secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm³ menjadi 200/mm³ atau lebih rendah
lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan
individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko
terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder
menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya (12).
7
Gambar 2. Perjalanan Penyakit HIV (Sumber : Abbas, 2010)
2.3
Perjalanan infeksi HIV
Perjalanan infeksi HIV, jumlah CD4, jumlah virus, dan gejala klinis melalui 3 fase,
yaitu (1) :
 Fase infeksi akut.
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virion
jumlahnya berjuta-juta. Viremia dari begitu banyak virion memicu munculnya sindrom
infeksi akut dengan gejala yang mirip sindroma flu yang juga mirip dengan infeksi
mononukleosa. Diperkirakan bahwa sekitar 50-70% orang yang terinfeksi HIV
mengalami sindroma infeksi akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan
gejala umum, yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, nyeri kepala, dll.
Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan
limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih
diatas 500/mm³ dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi
HIV.
8
 Fase infeksi laten.
Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik
Folikuler (SDF) di pusat germanitivum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat
dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang
ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian
virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe, sehingga
penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit . Pada
fase ini jumlah CD4 menurun sekitar 500/mm³ sampai 200/mm³. Meskipun telah terjadi
serokonversi positif, individu umumnya belum menampakan gejala klinis (asimtomatis).
Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke
delapan setelah infeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat
pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan
kulit yang berulang, penyakit infeksi yang berulang. Gejala ini merupakan tanda awal
munculnya infeksi opurtunistik.
 Fase infeksi kronis.
Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang
diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe
sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahan ke dalam darah,
Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi
sistemik. Respons imun tidak mampu meredan jumlah virion yang berlebihan tersebut.
Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV semakin banyak. Terjadi penurunan
CD4 hingga dibawah 200/mm³. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun
menurun dan penderita semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi
sekunder dan juga ditemukannya beberapa jenis kanker. Progresivitas penyakit ini
membawa penderita ke arah AIDS.
Selain 3 fase tersebut, didapatkan pula periode masa jendela, yakni periode dimana
pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukan hasil negatif walaupun virus sudah ada di
dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup
terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam
waktu 3-6 minggu sampai 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting
diperhatikan karena pada masa ini, penderita sudah mampu dan potensial dalam menularkan
ke orang lain.
9
2.4
Manifestasi klinis infeksi HIV
Klasifikasi klinis dan CD4 dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
Amerika Serikat (18).
 Kategori Klinis A
o Infeksi HIV asimptomatis
o Limfadenopati generalisata yang menetap
o Infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi
HIV akut.
 Kategori Klinis B
Terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV
yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling kurang satu dari keadaan :
o Angiomatosis
o Kandidasis orofaringeal
o Kandidiasis vulvovaginal
o Displasia servikal
o Demam 38,5ºC atau diare lebih dari 1 bulan
o Herpes Zooster
o ITP
o Penyakit radang panggul
o Neuropati perifer
 Kategori Klinis C
o Kandidiasis pada bronkus, trakea, dan paru
o Kandidiasis esofagus
o Kanker leher rahim
o Coccidiomycosis yang menyebar atau di paru
o Kriptokokosis ekstrapulmoner
o Retinitis cytomegalovirus
o Ensefalopati HIV
o Herpers Simpleks ulkus kronis lebih 1 bulan
o Histoplasmosis sistemik atau ekstrapulmoner
o Kaposi’s Sarkoma
o Limofoma imunoblastik
o Limfoma primer pada otak
o TB di berbagai tempat
10
o PCP
o Pneumonia berulang
o Septicemia Salmonela berulang
o Toksoplasmosis ensefalitis
o HIV wasting syndrome
Tabel 1. Klasifikasi klinis dan CD4 orang dewasa menurut CDC
Limfosit T-CD4
Kategori A
(asimtomatis, infeksi akut)
Kategori B
Kategori C
(Simtomatis)
(AIDS)
>500/mm³
A1
B2
C1
200-499/mm³
A2
B2
C2
<200/mm³
A3
B3
C3
11
BAB III
LESI PRAKANKER SERVIKS
3.1
Pendahuluan
Lesi prakanker pada serviks dikenal juga dengan sebutan lesi intraepitelial serviks
(Cervical Intraephtielial Neoplasia) merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma
serviks. Pada umumnya lesi prakanker serviks ini berawal dari daerah Squamocolumnar
Junction pada serviks uteri yang mengalami proses metaplasia. Proses metaplasia ini paling
aktif terjadi pada masa setelah menrche dan setelah proses kehamilan, sehingga lesi
prakanker banyak didapatkan pada masa-masa ini. Daerah Squamocolumnar Junction yang
mengalami proses metaplasia ini akan lebih rentan terpapar oleh faktor-faktor risiko
terjadinya suatu lesi prakanker (6,14).
3.2
Etiologi lesi prakanker serviks
Infeksi HPV (Human Papilomma Virus) terdeteksi pada 99,7% kanker serviks
sehingga infeksi HPV merupakan infeksi yang sangat penting pada perjalanan penyakit
kanker serviks. Pada suatu penelitian case-control juga dijumpai infeksi HPV pada lesi
prakanker dan kanker invasif. Kejadian infeksi HPV risiko tinggi dijumpai sejumlah 80%
pada CIN II, 90% pada CIN III dan sejumlah 98% pada kanrsinoma serviks invasif (6,15).
Berdasarkan hasil temuan pada penelitian epidemiologi, tipe HPV diklasifikasikan
dalam tiga klasifikasi yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko rendah.
Kelompok yang termasuk risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18 sedangkan yang termasuk
risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 (6,14,15).
3.3
Respon immunologi terhadap infeksi Human Papilloma Virus
Secara umum, sistem kekebalan tubuh pada manusia terbagi dua, yaitu sistem
kekebalan tubuh humoral dan selular. Kedua sistem kekebalan tubuh ini berperan pada
infeksi virus HPV. Namun respon sel selular lebih berperan aktif. Respon kekebalan tubuh
seluler diperantarai oleh sel T, terdapat dua kelas utama sel T, yaitu CD 8 yang
mengekspresikan Cytotoxic T Lymphocytes (CTL) dan CD 4 yang mengekspresikan sel T
Helper . Sel-sel T ini tidak menghasilkan antibodi dan tidak dapat mengenali antigen yang
dapat larut. Reseptor sel T dari kedua kelas sel berhubungan secara langsung dengan antigen
peptida yang dihadirkan oleh molekul Human Leucocyte Antigen (HLA) pada permukaan sel.
12
CTL akan berinteraksi dengan HLA kelas 1 sedangkan T helper cell akan berinteraksi dengan
HLA kelas II, yang dikenal dengan Antigen Presenting Cell (APC) (12,15)
Sel Langerhans, suatu APC yang terdapat pada epitel mulut rahim yang berperan
untuk mengambil memproses, dan mentransportasi antigen ke kelenjar getah bening pelvis
kemudian menuju ke mulut rahim. Di sini terjadi induksi sel T dan respons CTL melawan
HPV secara umum. Sel Th-1 yang mensekresi IFN-ɤ bersama dengan antibodi penetral akan
mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan menghambat pembentukan
virus yang menginfeksi sel sekitar. Pada pemeriksaan histologi dari lesi yang disebabkan oleh
HPV tipe resiko rendah memperlihatkan adanya infiltrasi dari CD-4 possitive T Helper cell
dan makrofag pada respons hipersentivitas tipe lambat. Sedangkan pada kanker mulut rahim
didapatkan Tumor Infiltrating Lymphocytes (TILs) yang didominasi oleh CD8 – positive T
Cells.Proliferasi dari sel T helper dalam memberikan respons terhadap protein HPV hampir
selalu berhubungan dengan pembangkitan CTLs spesifik yang dapat memberantas lesi HPV
(15).
3.4
Faktor risiko lesi prakanker serviks
Faktor risiko terjadinya lesi prakanker serviks antara lain (6,16) :
 Faktor Demografik :
o Ras/etnis
o Status sosial ekonomi yang rendah
o Usia
 Faktor tingkah laku sosial & kebiasaan :
o Program skrining kanker serviks yang belum memadai
o Hubungan seksual di usia muda & berganti-ganti pasangan
o Malnutrisi
o Merokok
 Faktor Medis :
o Infeksi menular seksual
o Angka paritas
o Immunosupresi
3.5
Perjalanan alamiah lesi prakanker serviks
Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang menjadi lesi intraepitelial
serviks. Jika seorang penderita dengan seksual aktif terinfeksi oleh HPV risiko tinggi, 80%
13
akan menjadi transien dan tidak akan menjadi lesi intraepitelial serviks dan HPV sendiri akan
hilang dalam kurun waktu 6-8 bulan. Sedangkan 20% sisanya, infeksi virus ini tidak
menghilang dan terjadilah infeksi yang persisten (14,15).
Dari 20% yang mengalami infeksi virus HPV yang persisten inilah dapat berkembang
menjadi suatu lesi intraaepitelial serviks derajat I (CIN I) yang secara klasik dinyatakan dapat
berkembang menjadi CIN II dan kemudian menjadi CIN III, kemudian berkembang menjadi
lesi invasif atau karsinoma. Konsep regresi spontan serta lesi yang persisten menyatakan
bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, banyak faktor yang
berpengaruh, antara lain faktor eksogen (rokok, infeksi menular seksual), faktor virus (tipe
virus HPV), dan faktor penjamu (immunosupresi) (6).
Tabel 2 Perjalanan Alami CIN (Ostor, 1993)
Regression
Persistence
Progress to CIN III
CIN I
57%
32%
11%
1%
CIN II
43%
35%
22%
5%
CIN III
32%
< 56%
-
Progresss to invasion
> 12%
Dalam klasifikasi Bethesda, diperkenalkan dua kategori untuk derajat lesi prakanker,
lesi derajat rendah (Low grade-squamous epithelial lession  LSIL) dan lesi derajat tinggi
(High grade-squamous epithelial lession  HSIL). LSIL setara dengan CIN I sedangkan
HSIL setara dengan CIN II dan CIN III). CIN I dikatagorikan derajat rendah karena hanya
12% dari CIN I yang berkembang ke derajat yang lebih berat, sedangkan CIN II dan CIN III
mempunyai risiko yang lebih besar menjadi lesi invasif bila tidak mendapatkan penaganan
yang tepat. Pada CIN I atau LSIL, infeksi HPV yang dijumpai umumnya infeksi HPV tipe 6
dan 11, dimana kedua tipe HPV ini tidak menyebabkan progresivitas ke derajat yang lebih
tinggi. Pada HSIL terdapat hubungan yang lebih kuat dengan infeksi HPV tipe 16 dan 18,
dimana kedua tipe ini memiliki onkoprotein. Infeksi ini dapat menyebabkan perubahan lesi
langsung pada NIS II tanpa melalui NIS I (6,13).
14
CIN I
Squamocolu
mnar
Junction
Infeksi
Latent
HPV
CIN II
CIN III
Lesi Invasif
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks (Sumber : Andrijono, 2010)
15
BAB IV
LESI PRAKANKER SERVIKS PADA PENDERITA HIV
4.1 Kejadian lesi prakanker serviks pada penderita HIV
Cervical Intraepithelial Neoplasia yang disebabkan oleh infeksi virus HPV ditemukan
lebih banyak dan lebih buruk perjalanan penyakitnya pada penderita HIV dibandingkan
dengan yang tidak terinfeksi. Peneliti lain melaporkan bahwa risiko berkembangnya CIN
pada penderita HIV meningkat lima kali lebih banyak, dan immunosupresi yang disebabkan
oleh infeksi HIV merupakan peran utama dari pathogensis penyakit ini (17,24,27).
Pada wanita yang terinfeksi HIV dengan status imun yang tidak menurun secara
signifikan memiliki prevalensi lesi prakanker serviks yang hampir sama dengan wanita yang
tidak terinfeksi HIV. Hal ini menunjukan bahwa status imun memiliki peran yang penting
dalam perkembangan terjadinya suatu lesi prakanker serviks. Salah satu indikator yang paling
umum digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah CD4.
Pada wanita yang terinfeksi HIV, penurunan dari jumlah CD4, sebagai indikator penurunan
sistem imun, meningkatkan frekuensi dan stadium dari lesi prakanker serviks (18,29).
Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian
lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya,
dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar limfosit T –
CD4 > 500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada CD4 < 500/mm³ sebesar 38,7%. Pada
penelitian ini dapat terlihat bahwa semakin rendahnya status imun penderita HIV, semakin
tinggi prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (10).
Progresivitas lesi prakanker serviks pada penderita HIV dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu
status imun yang ditandai dengan kadar CD4, HIV viral load, dan jenis HPV yang
menginfeksi.(26) Rendahnya kadar CD4, HIV viral load yang tinggi dan tipe HPV resiko
tinggi akan meningkatkan progresivitas dari lesi prakanker serviks itu sendiri. Progresivitas
lesi prakanker serviks pada pasien dengan CD4 < 200/mm³ meningkat 6,67 kali dibandingkan
dengan CD4 > 200/mm³. (30)
4.2
Patofisiologi lesi prakanker serviks pada penderita HIV
Pada keadaan dimana sistem immunitas tertekan pada penderita HIV, infeksi virus-
virus onkogenik seperti Epstein-Barr virus (EBV), Human Papilloma Virus (HPV), Hepatitis
B Virus (HBV), dan Herpes Simplex Virus (HSV) seringkali ditemukan dan virus-virus ini
dapat menginfeksi sel-sel target yang spesifik dan menyebabkan proliferasi polyclonal.
16
Modifikasi sistem imun pada tubuh seseorang yang telah terinfeksi oleh HIV merupakan hal
yang mempunyai peran yang sangat penting pada patogenesis dari perjalanan penyakit suatu
keganasan yang disebabkan oleh HIV. Sifat umum klinis dari keganasan yang didapatkan
pada penderita HIV adalah pertumbuhannya lebih agresif, tidak berespon baik dengan
penanganan konvensional, dan prognosis yang buruk (8,25).
Pada kasus infeksi HIV, US Centers of Disease Control (CDC) memberikan batasan
bahwa AIDS merupakan suatu keadaan yang ditandai adanya infeksi opurtunistik, degenerasi
pada sistem saraf pusat, dan keganasan. Pada tahun 1993, berdasarkan pelaporan yang ada
bahwa kejadian cervical intraepithelial lession yang meningkat pada penderita HIV, maka
CDC menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinisnya (19). Kejadian
kanker serviks pada penderita HIV meningkat 4,9 kali lebih banyak jika dibandingkan
dengan orang yang tidak menderita HIV dan perjalanan penyakitnya lebih cepat dan lebih
buruk(32).
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa penyebab dari kanker serviks adalah
infeksi dari HPV. Hubungan antara HPV dan HIV merupakan hubungan yang kompleks dan
belum sepenuhnya diketahui dengan baik. Faktor risiko dari kedua virus ini hampir sama
yaitu dalam faktor perilaku seksual yang tidak baik. Pada penderita HIV, insidens
ditemukannya abnormalitas hasil pemeriksaan sitologi dan histologi yang disebabkan HPV
pada traktus urogenitalis bawah lebih tinggi dibandingkan pada yang tidak terinfeksi HIV (8).
Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV tipe risiko tinggi
yaitu tipe 18. Koinfeksi HPV pada penderita HIV ditemukan sebanyak 97,3% pada biopsi.
(20,22).
4.3
Immunologi lesi prakanker serviks pada penderita HIV
Pada pasien dengan infeksi HIV, sistem imun yang terganggu adalah sistem imun
spesifik yang terbagi atas dua, yakni humoral dan selular. Sistem imun humoral diperankan
oleh sel limfosit B sedangkan sistem imun selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel CD4,
yang merupakan target sel dari virus HIV merupakan salah satu komponen dari sel limfosit T
yang berfungsi untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi dari sel B dan juga berperan
dalam mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba intraselular. Jadi sel CD4 ini
berperan aktif dalam mengendalikan sistem imun selular dan sistem imun humoral. Pada
pasien dengan infeksi HIV terjadi gangguan fungsi sistem imun karena adanya penurunan
dari jumlah sel CD4.(34) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, virus HIV menyerang sel
17
CD4 karena adanya reseptor yang merupakan pasangan ideal gp 120 dan gp 41 pada bagian
envelope dari virus HIV (12).
Selain menyerang sel CD4, virus HIV juga menyerang komponen sistem imun selular
lainnya yaitu sel-sel dendritik, pada khususnya sel langerhans (bentuk immature dari sel
dendritik) yang terletak pada epidermis dan mukosa saluran gastrointestinal dan genitalia. Sel
langerhans merupakan antigen presenting cell yang spesifik untuk sel CD4. Sel langerhans
ini berperan pada saat masuknya virus HIV melalui mukosa, yakni pada saat penularan
melalui hubungan seksual. Virus HIV yang masuk melewati mukosa akan ditangkap oleh sel
langerhans yang selanjutnya akan dibawa ke kelenjar getah bening lokal yang akhirnya akan
direspon oleh sel CD4. Ketika sel langerhans dan sel CD4 yang terinfeksi oleh virus HIV,
fungsi dari sel-sel tersebut akan hilang (1,12).
Sel Langerhans pada epitel mulut rahim ini juga berperan untuk mengambil
memproses, dan mentransportasi HPV ke kelenjar getah bening pelvis kemudian menuju ke
mulut rahim. Di sini terjadi induksi sel T dan respons CTL melawan HPV secara umum. Sel
Th-1 yang mensekresi IFN-ɤ bersama dengan dengan antibodi penetral akan mengontrol
infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan menghambat pembentukan virus yang
menginfeksi sel sekitar (15,21). Sistem imun yang aktif berperan pada timbulnya lesi
prakanker serviks yang disebabkan oleh infeksi inisial olrh High Risk HPV adalah sistem
imun humoral dan lokal, sedangkan sistem imun seluler berperan pada infeksi persisten dari
virus HPV, mekanisme dari sistem imun ini belum diketahui sepenuhnya (16).
Interaksi antara infeksi virus HPV dan HIV merupakan interaksi yang kompleks
karena sistem imun yang berperan pada kedua virus ini saling mempengaruhi satu dengan
yang lain. Pada saat virus HIV telah menginfeksi seseorang dan menyebabkan kegagalan dari
fungsi sistem imun spesifik, tubuh tidak dapat melawan adanya suatu infeksi peristen dari
HPV. Pada sebuah penelitian in vitro yang mempelajari interaksi molekular dari HIV dan
HPV, melaporkan bahwa HIV gene (tat protein) dapat menimbulkan ekspresi onko protein
E6 dan E7 dari HPV yang akhirnya meningkatkan perkembangan sifat onkogenik dari HPV
(8).
4.4
Penanganan Lesi Prakanker Serviks pada penderita HIV
Sampai pada saat ini masih belum didapatkan konsensus mengenai penanganan lesi
prakanker serviks pada penderita HIV. Masih banyak penelitian-penelitian yang dilakukan
untuk penanganan lesi prakanker serviks. Dari penelitian yang telah dilakukan, penanganan
lesi prakanker serviks pada penderita HIV sebaiknya dilakukan lebih agresif (30). Dari salah
18
satu penelitian mengatakan bahwa penatalaksanaan yang dianjurkan untuk lesi CIN 1 adalah
langsung dengan terapi surgikal dibandingkan dengan terapi ablatif. Oleh karena belum
adanya konsensus penanganan lesi prakanker serviks pada penderita HIV, tindakan prevensi
dan skrining awal lebih dianjurkan pada penderita HIV.(35,33) Pada penderita HIV yang lesi
prakanker serviksnya telah mendapatkan terapi harus mendapatkan follow-up yang lebih baik
dan kemungkinan mendapatkan terapi ulangan. (28,32)
Sama dengan progresivitas, rekurensi lesi prakanker serviks pada penderita HIV juga
dipengaruhi oleh kadar CD4, HIV viral load, dan jenis HPV yang menginfeksi. Rekurensi
lesi prakanker serviks pada pasien dengan CD4 < 200 /mm³ meningkat 4,88
kali
dibandingkan dengan CD4 > 200 /mm³. (30,24) Sedangkan pada HIV viral load diatas 20.000
kopi/mL meningkat 6,12 kali dibandingkan dengan HIV viral load diatas 20.000 kopi/mL.
Angka rekurensi lesi prakanker serviks yang diterapi dengan konisasi didapatkan lebih
rendah dibandingkan dengan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) (35).
Pada penelitian lain dianjurkan juga untuk memberikan HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy) bersamaan dengan terapi surgikal yang dilakukan (36). Tujuan dari
HAART adalah meningkatkan sistem imun dari penderita HIV yang pada akhirnya akan
memberikan efek pada rekurensi, progresivitas, dan regresi dari lesi prakanker serviks itu
sendiri (37).
Pola regresi dari lesi prakanker serviks pada penderita HIV berhubungan dengan kadar
CD-4 dan HIV viral load penderita HIV tersebut (30,33). Pada penderita HIV(+) dengan
kadar CD-4 tinggi dan HIV viral load rendah, didapatkan peningkatan regresi dari lesi
prakanker serviks(39) .Lesi prakanker serviks pada penderita HIV dapat mengalami regresi
terutama pada yang diberikan terapi HAART. Pada sebuah studi observational, didapatkan
47% wanita dengan HIV dalam terapi HAART yang lesi prakanker serviknya mengalami
regresi (38).
19
BAB V
RINGKASAN
AIDS merupakan suatu sindroma yang disebabkan oleh infeksi HIV, ditandai dengan
terjadinya suatu immunosupresi yang pada akhirnya menyebabkan renatannya tubuh terhadap
infeksi opurtunistik, keganasan, wasting syndrome, dan degenerasi sistem saraf pusat.
Berbagai sel dapat menjadi sel target dari HIV yaitu CD4, makrofag, dan sel dendritik, akan
tetapi HIV virion cenderung menyerang limfosit T. Hal ini dikarenakan pada permukaan
limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan
ideal bagi gp 120 pada
permukaan envelope dari HIV. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi
penurunan jumlah CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm³ menjadi
200/mm³ atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem
imun sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan
meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS.
Pada keadaan dimana sistem immunitas tertekan pada penderita HIV, infeksi virusvirus onkogenik seperti Epstein-Barr virus (EBV), Human Papilloma Virus (HPV), Hepatitis
B Virus (HBV), dan Herpes Simplex Virus (HSV) seringkali ditemukan dan virus-virus ini
dapat menginfeksi sel-sel target yang spesifik dan menyebabkan proliferasi polyclonal. Pada
penderita HIV, insidens ditemukannya abnormalitas hasil pemeriksaan sitologi dan histologi
yang disebabkan HPV pada traktus urogenitalis bawah lebih tinggi dibandingkan pada yang
tidak terinfeksi HIV. Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan
HPV tipe risiko tinggi yang menyebabkan lesi prakanker serviks yaitu tipe 16. Risiko
berkembangnya lesi prakanker serviks pada penderita HIV meningkat lima kali lebih banyak,
dan immunosupresi yang disebabkan oleh infeksi HIV merupakan peran utama dari
patogensis penyakit ini.
Selain menyerang sel CD4, virus HIV juga menyerang komponen sistem imun selular
lainnya yaitu sel langerhans yang terletak pada epidermis dan mukosa saluran gastrointestinal
dan genitalia. Sel langerhans merupakan antigen presenting cell yang spesifik untuk sel CD4.
Sel langerhans ini berperan pada saat masuknya virus HIV melalui mukosa, yakni pada saat
penularan melalui hubungan seksual. Virus HIV yang masuk melewati mukosa akan
ditangkap oleh sel langerhans yang selanjutnya akan dibawa ke kelenjar getah bening lokal
yang akhirnya akan direspon oleh sel CD4. Ketika sel langerhans dan sel CD4 yang terinfeksi
oleh virus HIV, fungsi dari sel-sel tersebut akan hilang. Sel Langerhans pada epitel mulut
rahim ini juga berperan untuk mengambil memproses, dan mentransportasi HPV ke kelenjar
20
getah bening pelvis kemudian menuju ke mulut rahim. Di sini terjadi induksi sel T dan
respons CTL melawan HPV secara umum. Sel Th-1 yang mensekresi IFN-ɤ bersama dengan
dengan antibodi penetral akan mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel
dengan menghambat pembentukan virus yang menginfeksi sel sekitar.
Interaksi antara infeksi virus HPV dan HIV merupakan interaksi yang kompleks
karena sistem imun yang berperan pada kedua virus ini saling mempengaruhi satu dengan
yang lain. Pada saat virus HIV telah menginfeksi seseorang dan menyebabkan kegagalan dari
fungsi sistem imun spesifik, tubuh tidak dapat melawan adanya suatu infeksi peristen dari
HPV dan HIV gene (tat protein) dapat menimbulkan ekspresi onko protein E6 dan E7 dari
HPV yang akhirnya meningkatkan perkembangan sifat onkogenik dari HPV.
Sampai pada saat ini masih belum didapatkan konsensus mengenai penanganan lesi
prakanker serviks pada penderita HIV. Masih banyak penelitian-penelitian yang dilakukan
untuk penanganan lesi prakanker serviks. Terapi surgikal lebih dianjurkan dibandingkan
dengan terapi ablatif pada penanganan lesi prakanker serviks dengan infeksi HIV.
21
Infeksi virus
HIVHIV
pada pada
darah,
Infeksi
virus
mukosa
Infeksi HPV pada lapisan basal
dan para basal serviks
darah, mucosa vagina
Aktivasi CD4, makrofag,
dan sel dendritik sebagai
APC
GAGAL
Infeksi terbentuk dalam
jaringan limfoid lokal
Aktivasi sel
langerhans (sel
dendritik spesifik)
sebagai APC
infeksi terbentuk
dalam jaringan
limfoid lokal
(CTL & sel Th)
Sindroma HIV akut,
penyebaran ke seluruh tubuh
(VIREMIA)
Terbentuk Antibodi anti HIV dan
CTL spesifik HIV
(Kontrol parsial replikasi virus)
Infeksi kronik , terjadi
peningkatan replikasi virus
Virus HPV gagal
dieradikasi
Infeksi HPV
persistent
G
A
G
A
L
Protein E6 dan E7 HPV
berikatan dengan p53 dan Rb
sel
Apoptosis dan supressor
tumor
Penghancuran jaringan limfoid,
deplesi CD 4
Perubahan keganasan
Gambar 4. Perjalanan lesi prakanker serviks pada penderita HIV (Sumber : Abbas, 2010 &
Andrijono, 2010)
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Nasronudin, 2007.HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial.
Airlangga University Press.
2. Maiman, M.; Fruchter, R.G.; Clark, M.; Arrastia, C.D.; Matthews, R. & Gates, E.J. 1997.
Cervical cancer as an AIDS-defining illness. Obstet Gynecol 89, 76–80.
3. Chiasson G.; Manigart, Y. & Konopnicki, D. 2005. Management and outcome of
cervical intraepithelial neoplasia lesions: a study of matched cases according to HIV
status. Gynecologic Oncology 96 : 112–118.
4. Chirenje, Z.M. 2005. HIV and cancer of the cervix. Clinical Obstetrics and Gynaecology
19 : 269–276.
5. Stier, E. 2003. Cervical neoplasia and the HIV-infected patient. Hematol Oncol Clin N
Am17 : 873– 88.
6. Andrijono. 2010. Kanker Servik Edisi I. Divisi Onkologi, Dept Obstetri-Ginekologi
FKUI, Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
7. Klevens, R.M.; Fleming, P.I.; Mays, M.A. & Frey, R. 1996. Characteristics of Women
With AIDS and Invasive Cervical Cancer. The American College of Obstetricians and
Gynecologists 88 : 269-273.
8. Boccalon, M.; Tirelli, U.; Sopracordevole, F. & Vaccher, E. 1996. Intra-epithelial and
Invasive Cervical Neoplasia During HIV Infection. European Journal of Cancer 32A :
2212-2217.
9. Delmas, M.C.; Larsen, C.; Benthema, B.; Hamers, F.F. & Bergeron, C. 2000. Cervical
squamous intraepithelial lesions in HIV-infected women: prevalence, incidence and
regression. AIDS 14:1775-1784.
10. Hocke, C.; Leroy, V. & Morlat, P. 1998. Cervical dysplasia and human
immunodeficiency virus infection in women: prevalence and associated factors. Eur J
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 81 : 69–76.
11. Spinillo, A.; Capuzzo, E.; Tenti,P.; Santolo, A.; Piazzi, G. & Iasci, A. 1998. Adequacy of
Screening Cervical Cytology among Human Immunodeficiency Virus-Seropositive
Women. Gynecol Oncol 69, 109–113.
12. Abbas, A.K. & Lichtman, A.H. 2010. Congenital and Acquired Immunodefeciencies.
In:Cellular and Molecular Immunology:The Immune System in Defense and Disease 6th
ed. W.B. Sauders company, 2010 : 476-488.
13. Holmes, K.K. et al. 2008. Genital Human Papilloma Virus Infection. In : Holmes
Sexually Transmitted Disseases 4th ed. The McGraw-Hill, 2008 : 489-508.
14. Berek, J.S. et al. 2007. Benign Disease of the Female Reproduvtive Track. In : Berek &
Novak’s Gynecology 14th ed. Lippincot Williams & Wilkins, 2007 : 431-504.
23
15. Rasjidi, I; Sulistiyanto, H. 2007. Vaksin Human PapillomaVirus dan Eradikasi Kanker
Mulut Rahim. CV. Sagung Seto, 2007: 37-45.
16. Schorge, et al. 2008. Preinvasive Lesions of the Lower Genital Tract. In : Williams
Gynecology 1st ed. The McGraw-Hill, 2008 : 1224-1284.
17. Mandelblatt, J.S.; Kanetsky, P.; Eggert, L. & Gold, K. 1999. Is HIV Infection a Cofactor
for Cervical Squamous Cell Neoplasia ? Cancer Epidemiology, Biomarkers &
Prevention 8 : 97-106.
18. Maiman, M.; Fruchter, R.G; Guy, L.; Cuthill, S.; Levine, P. & Serur, E. 1993. Human
immunodeficiency virus infection and invasive cervical carcinoma. Cancer 71:402– 6.
19. Centers for Disease Control and Prevention. 1993. Revised classification system for HIV
infection and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents and
adults. MMWR 41:1–19.
20. Ellerbrock, T.V. et al. 2000. Incidence of Cervical Squamous Intraepithelial Lesions in
HIV-InfectedWomen. JAMA 283(8):1031-1037.
21. Bell, M.C.; Schmidt-Grimminger; Turbat-Herrera, E. & Tucker, A. 2000. HIV Patients
Have Increased Lymphocyte Infiltrates in CIN Lesions. Gynecologic Oncology 76 : 315–
319.
22. Bongain,A; Rampal,A & Durant, J. 1996. Cervical Intra-epithelial Neoplasia in woman
infected with Human Imunodefficiency Virus. Eur J Obstetrics & Gynecology and
Reproductive Biology 65 : 195-199.
23. Bower, M.; Mazhar, D. & Stebbing, J. 2006. Should Cervical Cancer Be an Acquired
Immunodeficiency Syndrome–Defining Cancer ? Journal of clinical oncology 24 : 24172419.
24. Davis, A.T.; Chakraborty, H.; Flowers, L. & Mosunjac, M.B. 2001. Cervical Dysplasia
in Women Infected with the Human Immunodeficiency Virus (HIV): A Correlationwith
HIV Viral Load and CD4 Count. Gynecologic Oncology 80 : 350–354.
25. Harris, T.G. et al. 2005. Incidence of Cervical Squamous Intraepithelial Lesions
Associated With HIV Serostatus, CD4 Cell Counts, and Human Papillomavirus Test
Results. JAMA 293(12) : 1471-1476.
26. Heard, I.; Tassie, J.M. & Schmitz, V. 2000. Increased Risk of Cervical Disease Among
Human Immunodeficiency Virus–Infected Women With Severe Immunosuppression and
High Human Papillomavirus Load. The American College of Obstetricians and
Gynecologists 96 : 403-409.
27. Holcom, K.; Abulafia, O. & Matthew, R.P. 1999. The Significance of ASCUS Cytology
in HIV-Positive Women. Gynecologic Oncology 75 : 118–121.
28. Maiman, M. 1998. Management of Cervical Neoplasia in Human Immunodeficiency
Virus-Infected Women. Journal of the National Cancer Institute Monographs 23 : 45-49.
24
29. Maiman, M.; Fruchter, R.G.; Sedlis, A. & Feldman, J. 1998. Prevalence, Risk Factors,
and Accuracy of Cytologic Screening for Cervical Intraepithelial Neoplasia in Women
with the Human Immunodeficiency Virus. Gynecologic Oncology 68, 233–239.
30. Nappi, L.; Carrieroa, L.; Bettocchia, S.; Herrerob, J.; Vimercatia, A. & Putignano, G.
2005. Cervical squamous intraepithelial lesions of low-grade in HIV-infected women:
recurrence, persistence, and progression, in treated and untreated women. Eur Journal
of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 121 : 226–232.
31. Spinillo, A.; Capuzzo, E.; Tenti,P.; Santolo, A.; Piazzi, G. & Iasci, A. 1998. Adequacy of
Screening Cervical Cytology among Human Immunodeficiency Virus-Seropositive
Women. Gynecol Oncol 69, 109–113.
32. Suwankanta, N.; Kietpeerakool, C. & Srisomboon, J. 2008. Underlying Histopathology
of HIV-infected Women with Squamous Cell Abnormalities on Cervical Cytology. Asian
Pacific Journal of Cancer Prevention Vol 9: 441-444.
33. Tate, D.R. & Anderson, R.J. 2002. Recrudescence of cervical dysplasia among women
who are infected with the human immunodeficiency virus: A case-control analysis. Am J
Obstet Gynecol 186:880-882.
34. Taylor, G.; Wolff, T.; Khanna, N.; Furth, P. & Langenberg, P. 2004. Genital Dysplasia
in Women Infected with Human Immunodeficiency Virus. JABFP 17 : 108-113.
35. Reimers, L.; Sotardi, S.; Daniel, D.; Chiu, L; Daryl L. 2010. Outcomes after an excisional
procedure for cervical intraepithelial neoplasiain HIV-infected wome. Gynecol Oncol .
2010.
36. Robinson, W.; Hamilton, C.; Michaels, H.;Kissinger, P.2001.Effect of excisional therapy
and highly active antiretroviral therapy on cervical intraepithelial neoplasia in women
infected with human immunodeficiency virus. Am J Obstet Gynecol 184:538-543.
37. Minkoff, H.; Ahdieh, L.; Massad, S.; Anastos, K.; Watts, H. 2001. The effect of highly
active antiretroviral therapy on cervical cytologic changes associated with oncogenic
HPV among HIV-infected women. JAIDS 15 : 2157-2164.
38. Orlando, G.; Fasolo,M.; Schiavni, M.; Signori, R.; Cargnei, A.. 1999. Role of highly
active antiretroviral therapy in human pailoma virus induced genital dysplasia in HIV-1
infected patiens. JAIDS 13: 424-425.
39. Ho, GYF.; Burk, R.; Klein, S.; 1995. Persistent Genital human pailoma virus infection as
a risk factor for persistent cervical dysplasia. J Natl Cancer Inst 87:1365-1371.
25
Download