HUBUNGAN INFEKSI HIV DENGAN LESI PRAKANKER SERVIKS dr. A.A.N. Jaya Kusuma, SpOG(K) BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RS SANGLAH DENPASAR 2011 BAB I PENDAHULUAN Virus HIV ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang komponen sistem imun manusia, yakni sel CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui mekanisme tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka terjadilah kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan inilah yang disebut dengan AIDS (1,12). Angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat dan telah terjadi fenomena gunung es, jumlah penderita yang ada lebih banyak daripada yang dilaporkan. Hal ini dapat terlihat dari perbedaan pelaporan jumlah penderita HIV/AIDS antara Badan Intel CIA Amerika Serikat dengan Ditjen PPM & PL Depkes RI. Menurut Badan Intel CIA Amerika Serikat, di Indonesia, jumlah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2007 adalah sebesar 270.000 kasus yang menduduki peringkat ke-25 di dunia dengan angka kematian dilaporkan sebanyak 8.700 kasus yang merupakan peringkat ke-36 di dunia. Sedangkan dari data yang didapatkan pada Ditjen PPM & PL Depkes RI, angka kematian oleh karena AIDS dari tahun 1987 sampai dengan tahun 2009 adalah 3806 kasus. Propinisi Bali merupakan propinsi dengan prevalensi AIDS terbanyak ke-dua sampai dengan bulan Agustus 2010 sebesar 49,16%. Populasi umur 20-29 tahun adalah populasi terbanyak pengidap HIV/AIDS dan lebih dari 25% penderita AIDS adalah wanita. Pada tahun 1993, US Centers for Disease Controls (CDC) melaporkan bahwa Kanker serviks merupakan kanker yang paling banyak (1,3%) ditemukan pada para wanita penderita AIDS sehingga Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinis dari stadium AIDS. Dibandingkan dengan keganasan lain yang terjadi pada penderita AIDS, kanker serviks dilaporkan memiliki keadaan klinis dan status imun yang lebih baik (2,23). Oleh karena itu, diagnosa kanker serviks sering terlambat ditegakkan maupun terlewatkan dan kanker serviks didapatkan tiga kali lebih banyak pada wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi (3). Kanker serviks sendiri merupakan kanker yang terbanyak kedua yang terjadi pada wanita di dunia, hampir 80% di antaranya terjadi di negara berkembang. Hal ini disebabkan karena belum adanya program skrining untuk kanker serviks (4). Angka kejadian kanker serviks di Amerika Serikat telah berkurang sebanyak 70% karena adanya program skrining nasional sehingga lesi prakanker serviks dapat terdeteksi dan 1 diterapi lebih dini (5). Program skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV berbeda dengan wanita yang tidak terinfeksi. Program skrining pada wanita yang terinfeksi HIV menurut CDC Amerika Serikat tahun 2006, dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun setelah seseorang dinyatakan terinfeksi HIV, sedangkan di Indonesia sampai saat ini belum ada pedoman untuk skrining kanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV. Seperti yang telah diketahui, etiologi dari lesi prakanker serviks dan kanker serviks adalah infeksi laten dari virus HPV (Human PapilommaVirus) pada serviks uteri. Infeksi HPV terdeteksi pada 99,7% kanker serviks. Virus HPV berdasarkan risiko menyebabkan kanker terdiri atas 3 klasifikasi, yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko rendah. Kelompok risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18, sedangkan risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 (6). Hubungan antara infeksi kedua virus, yakni HPV dan HIV merupakan hal yang unik, kedua hal tersebut terjadi pada wanita yang memiliki gaya hidup sosial berisiko tinggi, seperti hubungan seksual yang dimulai sejak usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, dan wanita dengan pasangan seksual yang berisiko tinggi. Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV risiko tinggi, yaitu HPV tipe 18 (7). Hal ini disebabkan karena sistem imun pada penderita HIV tidak dapat berfungsi dengan baik untuk melawan virus HPV tersebut sehingga timbulah lesi prakanker serviks (8). Wanita yang terinfeksi HIV mempunyai risiko dua hingga dua belas kali lebih banyak didapatkannya lesi prakanker serviks daripada yang tidak terinfeksi (4). Prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV di Spanyol sebesar 17,7 % dan 40% pada wanita yang telah memasuki stadium AIDS, sedangkan pada wanita yang tidak terinfeksi HIV sebesar 3,08%. Gangguan pada sistem imun tubuh yang terjadi akibat infeksi dari virus HIV merupakan penyebab tingginya prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks (9). Indikator yang digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah CD4. Sampai pada saat ini, hubungan antara CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks masih menimbulkan kontroversi. Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya, dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar CD4 > 500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada CD4 < 500/mm³ sebesar 38,7%. Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa semakin rendahnya status imun penderita HIV, semakin tinggi prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (10). Sedangkan pada penelitian di Italia, yang mencari hubungan kadar CD4 dengan prevalensi terjadinya lesi prakanker serviks pada 2 pasien HIV melaporkan bahwa tidak didapatkannya hubungan antara penurunan jumlah CD4 dengan peningkatan prevalensi maupun derajat dari lesi prakanker serviks (11) Interaksi antara infeksi virus HPV dan HIV merupakan interaksi yang kompleks karena sistem imun yang berperan pada kedua virus ini saling mempengaruhi satu dengan yang lain. 3 BAB II HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS 2.1 HIV AIDS merupakan suatu sindroma yang disebabkan oleh infeksi virus HIV, ditandai dengan terjadinya suatu immunosupresi yang pada akhirnya menyebabkan rentannya tubuh terhadap infeksi opurtunistik, keganasan, wasting syndrome, dan degenerasi sistem saraf pusat. Sampai dengan saat ini dikenal dua tipe virus HIV, yaitu virus HIV-1 dan HIV-2. Virus HIV yang pertama kali diidentifkasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur, Paris tahun 1983 dan diketahui karakteristiknya secara sepenuhnya oleh Robert Gallo dan Jay Levy, peneliti di Amerika Serikat pada tahun 1986. Sedangkan virus HIV-2 diisolasi dari pasien di Afrika Barat pada tahun 1986 (1,12). HIV adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasar strukturnya, HIV termasuk famili retrovirus, termasuk virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Secara morfologik HIV berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Inti dari virus terdiri atas suatu protein sedangkan selubungnya terdiri atas suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri atas genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada waktu replikasi virus yang disebut dengan enzim reverse transcriptase. Genom virus pada dasarnya terdiri atas gen, bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transcriptas , maupun glikoprotein dari selubung. Sedangkan selubung yang terdiri atas glikoprotein, ternyata memiliki peran yang penting dalam terjadinya infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap resptor spesifik CD4 dari sel host. Melalui mikroskop elektron, dapat terlihat bahwa HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope virus gp 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak pada transmembran (1,12). 4 Gambar 1. Morfologi Virus HIV-1 (Sumber : Abbas, 2010) 2.2 Patofisiologi infeksi HIV HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai macam cara yaitu secara vertikal, horizontal, dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang menembus pembuluh darah maupun tidak langsung melalui kulit atau mukosa yang tidak intak. Begitu memasuki sirkulasi sistemik, Virus HIV dapat dideteksi di dalam darah dalam waktu 4-11 hari sejak paparan pertama. Selama di dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut. Keadaan ini disebut sindroma retroviral akut, dimana terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral-load. Viral-load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan selanjutnya akan menurun sampai titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, Viral-load akan kemudian meningkat perlahan dan CD4 akan menurun (13). Pada fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Berbagai sel dapat menjadi sel target dari HIV yaitu CD4, makrofag, dan sel dendritik, akan tetapi HIV virion (virus-virus baru) cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T tersebut penting untuk menentukan progresivitas dari penyakit. HIV cenderung memilih target limfosit T karena pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 pada permukaan envelope dari HIV. Meskipun telah terjadi kompleks gp 120 dan reseptor CD4, virus HIV ini masih belum dapat masuk ke dalam limfosit T melalui proses internalisasi karena proses ini membutuhkan peran dari co-receptor CCR5 dan CXCR4 yang juga berada di permukaan limfosit T. Peran dari CCR5 dan CXCR4 memperkuat stabilitas dan intensitas ikatan gp 120 dan CD4 pada regio V terutama V3. Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh proses interaksi lebih lanjut yaitu 5 terjadi fusi membran HIV dengan membran sel target atas peran gp 41. Dengan peran gp 41 transmembran, maka permukaan luar dari HIV terjadi fusi dengan membran plasma CD4. Sedangkan inti HIV selanjutnya masuk ke dalam limfosit T sambil membawa enzim reverse transcriptase. Begitu memasuki sitoplasma CD4 yang terinfeksi, bagian inti HIV yaitu RNA (single stranded RNA) akan berusaha menyesuaikan dengan konfigurasi double-stranded DNA dengan bantuan enzim reverse-transcriptase yang telah dipersiapkan tersebut. Selanjutnya terjadi penyatuan virion dengan DNA polimerase, terbentuklah cDNA atau proviral DNA (12). Begitu terbentuk proviral DNA, proses berikutnya adaalah upaya memasuki ke dalam inti limfosit T, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi ini disebut dengan keadaan laten dan untuk mengaktifkan provirus ini diperlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host ini teraktivasi oleh induktor seperti antigen, sitokin, atau faktor lain maka sel akan memicu nuclear factor κB (NF-κB) sehingga menjadi aktif dan berikatan pada 5’ LTR (Long Terminal Repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF-κB menginduksi replikasi DNA. Induktor NF-κB sehingga cepat memicu replikasi HIV adalah intervensi mikroorganisme lain. Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan mempengaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, jamur, virus, maupun protozoa. Dari keempat golongan mikroorganisme tersebut, yang paling berpengaruh terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA (12). Enzim polimerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA secara struktur berfungsi sebagai RNA genomik dan mRNA. RNA keluar dari nukleus, mRNA mengalami translasi menghasilkan polipeptida, yang akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim yang fungsional. Inti virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang lengkap dan matang. Virus yang sudah lengkap ini keluar dari sel, akan menginfeksi sel target yang berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109-1011 virus baru (1). Secara perlahan tetapi pasti limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah CD4 melalui beberapa mekanisme, sebagai berikut (1): 6 1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus yang tidak berintegrasi dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis makro molekul. 2. Syncytia formation yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang terinfeksi HIV dengan CD4 yang tidak terinfeksi. 3. Respons imun humoral dan selular terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun respon ini bisa menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya (innocent-bystander). 4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk mengeliminasi sel yang terinfeksi. 5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp 120 di regio V3 dengan reseptor CD4 limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis. 6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp 70, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama, dan waktu folding protein terganggu, terjadi misfolding dan denaturasi protein, jejas, dan kematian sel. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm³ menjadi 200/mm³ atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya (12). 7 Gambar 2. Perjalanan Penyakit HIV (Sumber : Abbas, 2010) 2.3 Perjalanan infeksi HIV Perjalanan infeksi HIV, jumlah CD4, jumlah virus, dan gejala klinis melalui 3 fase, yaitu (1) : Fase infeksi akut. Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virion jumlahnya berjuta-juta. Viremia dari begitu banyak virion memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang mirip sindroma flu yang juga mirip dengan infeksi mononukleosa. Diperkirakan bahwa sekitar 50-70% orang yang terinfeksi HIV mengalami sindroma infeksi akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum, yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, nyeri kepala, dll. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun. Jumlah limfosit T pada fase ini masih diatas 500/mm³ dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV. 8 Fase infeksi laten. Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) di pusat germanitivum kelenjar limfe menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten. Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian virus terakumulasi di kelenjar limfe dan terjadi replikasi di kelenjar limfe, sehingga penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit . Pada fase ini jumlah CD4 menurun sekitar 500/mm³ sampai 200/mm³. Meskipun telah terjadi serokonversi positif, individu umumnya belum menampakan gejala klinis (asimtomatis). Fase ini berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke delapan setelah infeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada mukosa dan kulit yang berulang, penyakit infeksi yang berulang. Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi opurtunistik. Fase infeksi kronis. Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi replikasi virus yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahan ke dalam darah, Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu meredan jumlah virion yang berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV semakin banyak. Terjadi penurunan CD4 hingga dibawah 200/mm³. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan penderita semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder dan juga ditemukannya beberapa jenis kanker. Progresivitas penyakit ini membawa penderita ke arah AIDS. Selain 3 fase tersebut, didapatkan pula periode masa jendela, yakni periode dimana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukan hasil negatif walaupun virus sudah ada di dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam waktu 3-6 minggu sampai 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada masa ini, penderita sudah mampu dan potensial dalam menularkan ke orang lain. 9 2.4 Manifestasi klinis infeksi HIV Klasifikasi klinis dan CD4 dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat (18). Kategori Klinis A o Infeksi HIV asimptomatis o Limfadenopati generalisata yang menetap o Infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. Kategori Klinis B Terdiri atas kondisi dengan gejala pada remaja atau orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling kurang satu dari keadaan : o Angiomatosis o Kandidasis orofaringeal o Kandidiasis vulvovaginal o Displasia servikal o Demam 38,5ºC atau diare lebih dari 1 bulan o Herpes Zooster o ITP o Penyakit radang panggul o Neuropati perifer Kategori Klinis C o Kandidiasis pada bronkus, trakea, dan paru o Kandidiasis esofagus o Kanker leher rahim o Coccidiomycosis yang menyebar atau di paru o Kriptokokosis ekstrapulmoner o Retinitis cytomegalovirus o Ensefalopati HIV o Herpers Simpleks ulkus kronis lebih 1 bulan o Histoplasmosis sistemik atau ekstrapulmoner o Kaposi’s Sarkoma o Limofoma imunoblastik o Limfoma primer pada otak o TB di berbagai tempat 10 o PCP o Pneumonia berulang o Septicemia Salmonela berulang o Toksoplasmosis ensefalitis o HIV wasting syndrome Tabel 1. Klasifikasi klinis dan CD4 orang dewasa menurut CDC Limfosit T-CD4 Kategori A (asimtomatis, infeksi akut) Kategori B Kategori C (Simtomatis) (AIDS) >500/mm³ A1 B2 C1 200-499/mm³ A2 B2 C2 <200/mm³ A3 B3 C3 11 BAB III LESI PRAKANKER SERVIKS 3.1 Pendahuluan Lesi prakanker pada serviks dikenal juga dengan sebutan lesi intraepitelial serviks (Cervical Intraephtielial Neoplasia) merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma serviks. Pada umumnya lesi prakanker serviks ini berawal dari daerah Squamocolumnar Junction pada serviks uteri yang mengalami proses metaplasia. Proses metaplasia ini paling aktif terjadi pada masa setelah menrche dan setelah proses kehamilan, sehingga lesi prakanker banyak didapatkan pada masa-masa ini. Daerah Squamocolumnar Junction yang mengalami proses metaplasia ini akan lebih rentan terpapar oleh faktor-faktor risiko terjadinya suatu lesi prakanker (6,14). 3.2 Etiologi lesi prakanker serviks Infeksi HPV (Human Papilomma Virus) terdeteksi pada 99,7% kanker serviks sehingga infeksi HPV merupakan infeksi yang sangat penting pada perjalanan penyakit kanker serviks. Pada suatu penelitian case-control juga dijumpai infeksi HPV pada lesi prakanker dan kanker invasif. Kejadian infeksi HPV risiko tinggi dijumpai sejumlah 80% pada CIN II, 90% pada CIN III dan sejumlah 98% pada kanrsinoma serviks invasif (6,15). Berdasarkan hasil temuan pada penelitian epidemiologi, tipe HPV diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi yaitu risiko tinggi, kemungkinan risiko tinggi, dan risiko rendah. Kelompok yang termasuk risiko tinggi adalah HPV tipe 16 dan 18 sedangkan yang termasuk risiko rendah adalah HPV tipe 6 dan 11 (6,14,15). 3.3 Respon immunologi terhadap infeksi Human Papilloma Virus Secara umum, sistem kekebalan tubuh pada manusia terbagi dua, yaitu sistem kekebalan tubuh humoral dan selular. Kedua sistem kekebalan tubuh ini berperan pada infeksi virus HPV. Namun respon sel selular lebih berperan aktif. Respon kekebalan tubuh seluler diperantarai oleh sel T, terdapat dua kelas utama sel T, yaitu CD 8 yang mengekspresikan Cytotoxic T Lymphocytes (CTL) dan CD 4 yang mengekspresikan sel T Helper . Sel-sel T ini tidak menghasilkan antibodi dan tidak dapat mengenali antigen yang dapat larut. Reseptor sel T dari kedua kelas sel berhubungan secara langsung dengan antigen peptida yang dihadirkan oleh molekul Human Leucocyte Antigen (HLA) pada permukaan sel. 12 CTL akan berinteraksi dengan HLA kelas 1 sedangkan T helper cell akan berinteraksi dengan HLA kelas II, yang dikenal dengan Antigen Presenting Cell (APC) (12,15) Sel Langerhans, suatu APC yang terdapat pada epitel mulut rahim yang berperan untuk mengambil memproses, dan mentransportasi antigen ke kelenjar getah bening pelvis kemudian menuju ke mulut rahim. Di sini terjadi induksi sel T dan respons CTL melawan HPV secara umum. Sel Th-1 yang mensekresi IFN-ɤ bersama dengan antibodi penetral akan mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan menghambat pembentukan virus yang menginfeksi sel sekitar. Pada pemeriksaan histologi dari lesi yang disebabkan oleh HPV tipe resiko rendah memperlihatkan adanya infiltrasi dari CD-4 possitive T Helper cell dan makrofag pada respons hipersentivitas tipe lambat. Sedangkan pada kanker mulut rahim didapatkan Tumor Infiltrating Lymphocytes (TILs) yang didominasi oleh CD8 – positive T Cells.Proliferasi dari sel T helper dalam memberikan respons terhadap protein HPV hampir selalu berhubungan dengan pembangkitan CTLs spesifik yang dapat memberantas lesi HPV (15). 3.4 Faktor risiko lesi prakanker serviks Faktor risiko terjadinya lesi prakanker serviks antara lain (6,16) : Faktor Demografik : o Ras/etnis o Status sosial ekonomi yang rendah o Usia Faktor tingkah laku sosial & kebiasaan : o Program skrining kanker serviks yang belum memadai o Hubungan seksual di usia muda & berganti-ganti pasangan o Malnutrisi o Merokok Faktor Medis : o Infeksi menular seksual o Angka paritas o Immunosupresi 3.5 Perjalanan alamiah lesi prakanker serviks Infeksi Human Papilloma Virus persisten dapat berkembang menjadi lesi intraepitelial serviks. Jika seorang penderita dengan seksual aktif terinfeksi oleh HPV risiko tinggi, 80% 13 akan menjadi transien dan tidak akan menjadi lesi intraepitelial serviks dan HPV sendiri akan hilang dalam kurun waktu 6-8 bulan. Sedangkan 20% sisanya, infeksi virus ini tidak menghilang dan terjadilah infeksi yang persisten (14,15). Dari 20% yang mengalami infeksi virus HPV yang persisten inilah dapat berkembang menjadi suatu lesi intraaepitelial serviks derajat I (CIN I) yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi CIN II dan kemudian menjadi CIN III, kemudian berkembang menjadi lesi invasif atau karsinoma. Konsep regresi spontan serta lesi yang persisten menyatakan bahwa tidak semua lesi prakanker akan berkembang menjadi lesi invasif, banyak faktor yang berpengaruh, antara lain faktor eksogen (rokok, infeksi menular seksual), faktor virus (tipe virus HPV), dan faktor penjamu (immunosupresi) (6). Tabel 2 Perjalanan Alami CIN (Ostor, 1993) Regression Persistence Progress to CIN III CIN I 57% 32% 11% 1% CIN II 43% 35% 22% 5% CIN III 32% < 56% - Progresss to invasion > 12% Dalam klasifikasi Bethesda, diperkenalkan dua kategori untuk derajat lesi prakanker, lesi derajat rendah (Low grade-squamous epithelial lession LSIL) dan lesi derajat tinggi (High grade-squamous epithelial lession HSIL). LSIL setara dengan CIN I sedangkan HSIL setara dengan CIN II dan CIN III). CIN I dikatagorikan derajat rendah karena hanya 12% dari CIN I yang berkembang ke derajat yang lebih berat, sedangkan CIN II dan CIN III mempunyai risiko yang lebih besar menjadi lesi invasif bila tidak mendapatkan penaganan yang tepat. Pada CIN I atau LSIL, infeksi HPV yang dijumpai umumnya infeksi HPV tipe 6 dan 11, dimana kedua tipe HPV ini tidak menyebabkan progresivitas ke derajat yang lebih tinggi. Pada HSIL terdapat hubungan yang lebih kuat dengan infeksi HPV tipe 16 dan 18, dimana kedua tipe ini memiliki onkoprotein. Infeksi ini dapat menyebabkan perubahan lesi langsung pada NIS II tanpa melalui NIS I (6,13). 14 CIN I Squamocolu mnar Junction Infeksi Latent HPV CIN II CIN III Lesi Invasif Gambar 3. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks (Sumber : Andrijono, 2010) 15 BAB IV LESI PRAKANKER SERVIKS PADA PENDERITA HIV 4.1 Kejadian lesi prakanker serviks pada penderita HIV Cervical Intraepithelial Neoplasia yang disebabkan oleh infeksi virus HPV ditemukan lebih banyak dan lebih buruk perjalanan penyakitnya pada penderita HIV dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi. Peneliti lain melaporkan bahwa risiko berkembangnya CIN pada penderita HIV meningkat lima kali lebih banyak, dan immunosupresi yang disebabkan oleh infeksi HIV merupakan peran utama dari pathogensis penyakit ini (17,24,27). Pada wanita yang terinfeksi HIV dengan status imun yang tidak menurun secara signifikan memiliki prevalensi lesi prakanker serviks yang hampir sama dengan wanita yang tidak terinfeksi HIV. Hal ini menunjukan bahwa status imun memiliki peran yang penting dalam perkembangan terjadinya suatu lesi prakanker serviks. Salah satu indikator yang paling umum digunakan dalam menentukan status imun pada penderita HIV adalah jumlah CD4. Pada wanita yang terinfeksi HIV, penurunan dari jumlah CD4, sebagai indikator penurunan sistem imun, meningkatkan frekuensi dan stadium dari lesi prakanker serviks (18,29). Pada sebuah penelitian di Bordeaux, Perancis yang mencari hubungan antara kejadian lesi prakanker serviks pada wanita yang terinfeksi HIV dengan faktor-faktor risikonya, dilaporkan prevalensi lesi prakanker serviks pada wanita yang memiliki kadar limfosit T – CD4 > 500/mm³ sebesar 13,6% sedangkan pada CD4 < 500/mm³ sebesar 38,7%. Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa semakin rendahnya status imun penderita HIV, semakin tinggi prevalensi terjadinya lesi prakanker pada serviks (10). Progresivitas lesi prakanker serviks pada penderita HIV dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu status imun yang ditandai dengan kadar CD4, HIV viral load, dan jenis HPV yang menginfeksi.(26) Rendahnya kadar CD4, HIV viral load yang tinggi dan tipe HPV resiko tinggi akan meningkatkan progresivitas dari lesi prakanker serviks itu sendiri. Progresivitas lesi prakanker serviks pada pasien dengan CD4 < 200/mm³ meningkat 6,67 kali dibandingkan dengan CD4 > 200/mm³. (30) 4.2 Patofisiologi lesi prakanker serviks pada penderita HIV Pada keadaan dimana sistem immunitas tertekan pada penderita HIV, infeksi virus- virus onkogenik seperti Epstein-Barr virus (EBV), Human Papilloma Virus (HPV), Hepatitis B Virus (HBV), dan Herpes Simplex Virus (HSV) seringkali ditemukan dan virus-virus ini dapat menginfeksi sel-sel target yang spesifik dan menyebabkan proliferasi polyclonal. 16 Modifikasi sistem imun pada tubuh seseorang yang telah terinfeksi oleh HIV merupakan hal yang mempunyai peran yang sangat penting pada patogenesis dari perjalanan penyakit suatu keganasan yang disebabkan oleh HIV. Sifat umum klinis dari keganasan yang didapatkan pada penderita HIV adalah pertumbuhannya lebih agresif, tidak berespon baik dengan penanganan konvensional, dan prognosis yang buruk (8,25). Pada kasus infeksi HIV, US Centers of Disease Control (CDC) memberikan batasan bahwa AIDS merupakan suatu keadaan yang ditandai adanya infeksi opurtunistik, degenerasi pada sistem saraf pusat, dan keganasan. Pada tahun 1993, berdasarkan pelaporan yang ada bahwa kejadian cervical intraepithelial lession yang meningkat pada penderita HIV, maka CDC menambahkan kanker serviks sebagai salah satu kategori klinisnya (19). Kejadian kanker serviks pada penderita HIV meningkat 4,9 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan orang yang tidak menderita HIV dan perjalanan penyakitnya lebih cepat dan lebih buruk(32). Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa penyebab dari kanker serviks adalah infeksi dari HPV. Hubungan antara HPV dan HIV merupakan hubungan yang kompleks dan belum sepenuhnya diketahui dengan baik. Faktor risiko dari kedua virus ini hampir sama yaitu dalam faktor perilaku seksual yang tidak baik. Pada penderita HIV, insidens ditemukannya abnormalitas hasil pemeriksaan sitologi dan histologi yang disebabkan HPV pada traktus urogenitalis bawah lebih tinggi dibandingkan pada yang tidak terinfeksi HIV (8). Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV tipe risiko tinggi yaitu tipe 18. Koinfeksi HPV pada penderita HIV ditemukan sebanyak 97,3% pada biopsi. (20,22). 4.3 Immunologi lesi prakanker serviks pada penderita HIV Pada pasien dengan infeksi HIV, sistem imun yang terganggu adalah sistem imun spesifik yang terbagi atas dua, yakni humoral dan selular. Sistem imun humoral diperankan oleh sel limfosit B sedangkan sistem imun selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel CD4, yang merupakan target sel dari virus HIV merupakan salah satu komponen dari sel limfosit T yang berfungsi untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi dari sel B dan juga berperan dalam mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba intraselular. Jadi sel CD4 ini berperan aktif dalam mengendalikan sistem imun selular dan sistem imun humoral. Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi gangguan fungsi sistem imun karena adanya penurunan dari jumlah sel CD4.(34) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, virus HIV menyerang sel 17 CD4 karena adanya reseptor yang merupakan pasangan ideal gp 120 dan gp 41 pada bagian envelope dari virus HIV (12). Selain menyerang sel CD4, virus HIV juga menyerang komponen sistem imun selular lainnya yaitu sel-sel dendritik, pada khususnya sel langerhans (bentuk immature dari sel dendritik) yang terletak pada epidermis dan mukosa saluran gastrointestinal dan genitalia. Sel langerhans merupakan antigen presenting cell yang spesifik untuk sel CD4. Sel langerhans ini berperan pada saat masuknya virus HIV melalui mukosa, yakni pada saat penularan melalui hubungan seksual. Virus HIV yang masuk melewati mukosa akan ditangkap oleh sel langerhans yang selanjutnya akan dibawa ke kelenjar getah bening lokal yang akhirnya akan direspon oleh sel CD4. Ketika sel langerhans dan sel CD4 yang terinfeksi oleh virus HIV, fungsi dari sel-sel tersebut akan hilang (1,12). Sel Langerhans pada epitel mulut rahim ini juga berperan untuk mengambil memproses, dan mentransportasi HPV ke kelenjar getah bening pelvis kemudian menuju ke mulut rahim. Di sini terjadi induksi sel T dan respons CTL melawan HPV secara umum. Sel Th-1 yang mensekresi IFN-ɤ bersama dengan dengan antibodi penetral akan mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan menghambat pembentukan virus yang menginfeksi sel sekitar (15,21). Sistem imun yang aktif berperan pada timbulnya lesi prakanker serviks yang disebabkan oleh infeksi inisial olrh High Risk HPV adalah sistem imun humoral dan lokal, sedangkan sistem imun seluler berperan pada infeksi persisten dari virus HPV, mekanisme dari sistem imun ini belum diketahui sepenuhnya (16). Interaksi antara infeksi virus HPV dan HIV merupakan interaksi yang kompleks karena sistem imun yang berperan pada kedua virus ini saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Pada saat virus HIV telah menginfeksi seseorang dan menyebabkan kegagalan dari fungsi sistem imun spesifik, tubuh tidak dapat melawan adanya suatu infeksi peristen dari HPV. Pada sebuah penelitian in vitro yang mempelajari interaksi molekular dari HIV dan HPV, melaporkan bahwa HIV gene (tat protein) dapat menimbulkan ekspresi onko protein E6 dan E7 dari HPV yang akhirnya meningkatkan perkembangan sifat onkogenik dari HPV (8). 4.4 Penanganan Lesi Prakanker Serviks pada penderita HIV Sampai pada saat ini masih belum didapatkan konsensus mengenai penanganan lesi prakanker serviks pada penderita HIV. Masih banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk penanganan lesi prakanker serviks. Dari penelitian yang telah dilakukan, penanganan lesi prakanker serviks pada penderita HIV sebaiknya dilakukan lebih agresif (30). Dari salah 18 satu penelitian mengatakan bahwa penatalaksanaan yang dianjurkan untuk lesi CIN 1 adalah langsung dengan terapi surgikal dibandingkan dengan terapi ablatif. Oleh karena belum adanya konsensus penanganan lesi prakanker serviks pada penderita HIV, tindakan prevensi dan skrining awal lebih dianjurkan pada penderita HIV.(35,33) Pada penderita HIV yang lesi prakanker serviksnya telah mendapatkan terapi harus mendapatkan follow-up yang lebih baik dan kemungkinan mendapatkan terapi ulangan. (28,32) Sama dengan progresivitas, rekurensi lesi prakanker serviks pada penderita HIV juga dipengaruhi oleh kadar CD4, HIV viral load, dan jenis HPV yang menginfeksi. Rekurensi lesi prakanker serviks pada pasien dengan CD4 < 200 /mm³ meningkat 4,88 kali dibandingkan dengan CD4 > 200 /mm³. (30,24) Sedangkan pada HIV viral load diatas 20.000 kopi/mL meningkat 6,12 kali dibandingkan dengan HIV viral load diatas 20.000 kopi/mL. Angka rekurensi lesi prakanker serviks yang diterapi dengan konisasi didapatkan lebih rendah dibandingkan dengan LEEP (loop electrosurgical excision procedure) (35). Pada penelitian lain dianjurkan juga untuk memberikan HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) bersamaan dengan terapi surgikal yang dilakukan (36). Tujuan dari HAART adalah meningkatkan sistem imun dari penderita HIV yang pada akhirnya akan memberikan efek pada rekurensi, progresivitas, dan regresi dari lesi prakanker serviks itu sendiri (37). Pola regresi dari lesi prakanker serviks pada penderita HIV berhubungan dengan kadar CD-4 dan HIV viral load penderita HIV tersebut (30,33). Pada penderita HIV(+) dengan kadar CD-4 tinggi dan HIV viral load rendah, didapatkan peningkatan regresi dari lesi prakanker serviks(39) .Lesi prakanker serviks pada penderita HIV dapat mengalami regresi terutama pada yang diberikan terapi HAART. Pada sebuah studi observational, didapatkan 47% wanita dengan HIV dalam terapi HAART yang lesi prakanker serviknya mengalami regresi (38). 19 BAB V RINGKASAN AIDS merupakan suatu sindroma yang disebabkan oleh infeksi HIV, ditandai dengan terjadinya suatu immunosupresi yang pada akhirnya menyebabkan renatannya tubuh terhadap infeksi opurtunistik, keganasan, wasting syndrome, dan degenerasi sistem saraf pusat. Berbagai sel dapat menjadi sel target dari HIV yaitu CD4, makrofag, dan sel dendritik, akan tetapi HIV virion cenderung menyerang limfosit T. Hal ini dikarenakan pada permukaan limfosit T terdapat reseptor CD4 yang merupakan pasangan ideal bagi gp 120 pada permukaan envelope dari HIV. Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm³ menjadi 200/mm³ atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan risiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Pada keadaan dimana sistem immunitas tertekan pada penderita HIV, infeksi virusvirus onkogenik seperti Epstein-Barr virus (EBV), Human Papilloma Virus (HPV), Hepatitis B Virus (HBV), dan Herpes Simplex Virus (HSV) seringkali ditemukan dan virus-virus ini dapat menginfeksi sel-sel target yang spesifik dan menyebabkan proliferasi polyclonal. Pada penderita HIV, insidens ditemukannya abnormalitas hasil pemeriksaan sitologi dan histologi yang disebabkan HPV pada traktus urogenitalis bawah lebih tinggi dibandingkan pada yang tidak terinfeksi HIV. Jenis HPV yang banyak menginfeksi pada penderita HIV merupakan HPV tipe risiko tinggi yang menyebabkan lesi prakanker serviks yaitu tipe 16. Risiko berkembangnya lesi prakanker serviks pada penderita HIV meningkat lima kali lebih banyak, dan immunosupresi yang disebabkan oleh infeksi HIV merupakan peran utama dari patogensis penyakit ini. Selain menyerang sel CD4, virus HIV juga menyerang komponen sistem imun selular lainnya yaitu sel langerhans yang terletak pada epidermis dan mukosa saluran gastrointestinal dan genitalia. Sel langerhans merupakan antigen presenting cell yang spesifik untuk sel CD4. Sel langerhans ini berperan pada saat masuknya virus HIV melalui mukosa, yakni pada saat penularan melalui hubungan seksual. Virus HIV yang masuk melewati mukosa akan ditangkap oleh sel langerhans yang selanjutnya akan dibawa ke kelenjar getah bening lokal yang akhirnya akan direspon oleh sel CD4. Ketika sel langerhans dan sel CD4 yang terinfeksi oleh virus HIV, fungsi dari sel-sel tersebut akan hilang. Sel Langerhans pada epitel mulut rahim ini juga berperan untuk mengambil memproses, dan mentransportasi HPV ke kelenjar 20 getah bening pelvis kemudian menuju ke mulut rahim. Di sini terjadi induksi sel T dan respons CTL melawan HPV secara umum. Sel Th-1 yang mensekresi IFN-ɤ bersama dengan dengan antibodi penetral akan mengontrol infeksi virus yang menyebabkan pecahnya sel dengan menghambat pembentukan virus yang menginfeksi sel sekitar. Interaksi antara infeksi virus HPV dan HIV merupakan interaksi yang kompleks karena sistem imun yang berperan pada kedua virus ini saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Pada saat virus HIV telah menginfeksi seseorang dan menyebabkan kegagalan dari fungsi sistem imun spesifik, tubuh tidak dapat melawan adanya suatu infeksi peristen dari HPV dan HIV gene (tat protein) dapat menimbulkan ekspresi onko protein E6 dan E7 dari HPV yang akhirnya meningkatkan perkembangan sifat onkogenik dari HPV. Sampai pada saat ini masih belum didapatkan konsensus mengenai penanganan lesi prakanker serviks pada penderita HIV. Masih banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk penanganan lesi prakanker serviks. Terapi surgikal lebih dianjurkan dibandingkan dengan terapi ablatif pada penanganan lesi prakanker serviks dengan infeksi HIV. 21 Infeksi virus HIVHIV pada pada darah, Infeksi virus mukosa Infeksi HPV pada lapisan basal dan para basal serviks darah, mucosa vagina Aktivasi CD4, makrofag, dan sel dendritik sebagai APC GAGAL Infeksi terbentuk dalam jaringan limfoid lokal Aktivasi sel langerhans (sel dendritik spesifik) sebagai APC infeksi terbentuk dalam jaringan limfoid lokal (CTL & sel Th) Sindroma HIV akut, penyebaran ke seluruh tubuh (VIREMIA) Terbentuk Antibodi anti HIV dan CTL spesifik HIV (Kontrol parsial replikasi virus) Infeksi kronik , terjadi peningkatan replikasi virus Virus HPV gagal dieradikasi Infeksi HPV persistent G A G A L Protein E6 dan E7 HPV berikatan dengan p53 dan Rb sel Apoptosis dan supressor tumor Penghancuran jaringan limfoid, deplesi CD 4 Perubahan keganasan Gambar 4. Perjalanan lesi prakanker serviks pada penderita HIV (Sumber : Abbas, 2010 & Andrijono, 2010) 22 DAFTAR PUSTAKA 1. Nasronudin, 2007.HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Airlangga University Press. 2. Maiman, M.; Fruchter, R.G.; Clark, M.; Arrastia, C.D.; Matthews, R. & Gates, E.J. 1997. Cervical cancer as an AIDS-defining illness. Obstet Gynecol 89, 76–80. 3. Chiasson G.; Manigart, Y. & Konopnicki, D. 2005. Management and outcome of cervical intraepithelial neoplasia lesions: a study of matched cases according to HIV status. Gynecologic Oncology 96 : 112–118. 4. Chirenje, Z.M. 2005. HIV and cancer of the cervix. Clinical Obstetrics and Gynaecology 19 : 269–276. 5. Stier, E. 2003. Cervical neoplasia and the HIV-infected patient. Hematol Oncol Clin N Am17 : 873– 88. 6. Andrijono. 2010. Kanker Servik Edisi I. Divisi Onkologi, Dept Obstetri-Ginekologi FKUI, Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 7. Klevens, R.M.; Fleming, P.I.; Mays, M.A. & Frey, R. 1996. Characteristics of Women With AIDS and Invasive Cervical Cancer. The American College of Obstetricians and Gynecologists 88 : 269-273. 8. Boccalon, M.; Tirelli, U.; Sopracordevole, F. & Vaccher, E. 1996. Intra-epithelial and Invasive Cervical Neoplasia During HIV Infection. European Journal of Cancer 32A : 2212-2217. 9. Delmas, M.C.; Larsen, C.; Benthema, B.; Hamers, F.F. & Bergeron, C. 2000. Cervical squamous intraepithelial lesions in HIV-infected women: prevalence, incidence and regression. AIDS 14:1775-1784. 10. Hocke, C.; Leroy, V. & Morlat, P. 1998. Cervical dysplasia and human immunodeficiency virus infection in women: prevalence and associated factors. Eur J Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 81 : 69–76. 11. Spinillo, A.; Capuzzo, E.; Tenti,P.; Santolo, A.; Piazzi, G. & Iasci, A. 1998. Adequacy of Screening Cervical Cytology among Human Immunodeficiency Virus-Seropositive Women. Gynecol Oncol 69, 109–113. 12. Abbas, A.K. & Lichtman, A.H. 2010. Congenital and Acquired Immunodefeciencies. In:Cellular and Molecular Immunology:The Immune System in Defense and Disease 6th ed. W.B. Sauders company, 2010 : 476-488. 13. Holmes, K.K. et al. 2008. Genital Human Papilloma Virus Infection. In : Holmes Sexually Transmitted Disseases 4th ed. The McGraw-Hill, 2008 : 489-508. 14. Berek, J.S. et al. 2007. Benign Disease of the Female Reproduvtive Track. In : Berek & Novak’s Gynecology 14th ed. Lippincot Williams & Wilkins, 2007 : 431-504. 23 15. Rasjidi, I; Sulistiyanto, H. 2007. Vaksin Human PapillomaVirus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim. CV. Sagung Seto, 2007: 37-45. 16. Schorge, et al. 2008. Preinvasive Lesions of the Lower Genital Tract. In : Williams Gynecology 1st ed. The McGraw-Hill, 2008 : 1224-1284. 17. Mandelblatt, J.S.; Kanetsky, P.; Eggert, L. & Gold, K. 1999. Is HIV Infection a Cofactor for Cervical Squamous Cell Neoplasia ? Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention 8 : 97-106. 18. Maiman, M.; Fruchter, R.G; Guy, L.; Cuthill, S.; Levine, P. & Serur, E. 1993. Human immunodeficiency virus infection and invasive cervical carcinoma. Cancer 71:402– 6. 19. Centers for Disease Control and Prevention. 1993. Revised classification system for HIV infection and expanded surveillance case definition for AIDS among adolescents and adults. MMWR 41:1–19. 20. Ellerbrock, T.V. et al. 2000. Incidence of Cervical Squamous Intraepithelial Lesions in HIV-InfectedWomen. JAMA 283(8):1031-1037. 21. Bell, M.C.; Schmidt-Grimminger; Turbat-Herrera, E. & Tucker, A. 2000. HIV Patients Have Increased Lymphocyte Infiltrates in CIN Lesions. Gynecologic Oncology 76 : 315– 319. 22. Bongain,A; Rampal,A & Durant, J. 1996. Cervical Intra-epithelial Neoplasia in woman infected with Human Imunodefficiency Virus. Eur J Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 65 : 195-199. 23. Bower, M.; Mazhar, D. & Stebbing, J. 2006. Should Cervical Cancer Be an Acquired Immunodeficiency Syndrome–Defining Cancer ? Journal of clinical oncology 24 : 24172419. 24. Davis, A.T.; Chakraborty, H.; Flowers, L. & Mosunjac, M.B. 2001. Cervical Dysplasia in Women Infected with the Human Immunodeficiency Virus (HIV): A Correlationwith HIV Viral Load and CD4 Count. Gynecologic Oncology 80 : 350–354. 25. Harris, T.G. et al. 2005. Incidence of Cervical Squamous Intraepithelial Lesions Associated With HIV Serostatus, CD4 Cell Counts, and Human Papillomavirus Test Results. JAMA 293(12) : 1471-1476. 26. Heard, I.; Tassie, J.M. & Schmitz, V. 2000. Increased Risk of Cervical Disease Among Human Immunodeficiency Virus–Infected Women With Severe Immunosuppression and High Human Papillomavirus Load. The American College of Obstetricians and Gynecologists 96 : 403-409. 27. Holcom, K.; Abulafia, O. & Matthew, R.P. 1999. The Significance of ASCUS Cytology in HIV-Positive Women. Gynecologic Oncology 75 : 118–121. 28. Maiman, M. 1998. Management of Cervical Neoplasia in Human Immunodeficiency Virus-Infected Women. Journal of the National Cancer Institute Monographs 23 : 45-49. 24 29. Maiman, M.; Fruchter, R.G.; Sedlis, A. & Feldman, J. 1998. Prevalence, Risk Factors, and Accuracy of Cytologic Screening for Cervical Intraepithelial Neoplasia in Women with the Human Immunodeficiency Virus. Gynecologic Oncology 68, 233–239. 30. Nappi, L.; Carrieroa, L.; Bettocchia, S.; Herrerob, J.; Vimercatia, A. & Putignano, G. 2005. Cervical squamous intraepithelial lesions of low-grade in HIV-infected women: recurrence, persistence, and progression, in treated and untreated women. Eur Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 121 : 226–232. 31. Spinillo, A.; Capuzzo, E.; Tenti,P.; Santolo, A.; Piazzi, G. & Iasci, A. 1998. Adequacy of Screening Cervical Cytology among Human Immunodeficiency Virus-Seropositive Women. Gynecol Oncol 69, 109–113. 32. Suwankanta, N.; Kietpeerakool, C. & Srisomboon, J. 2008. Underlying Histopathology of HIV-infected Women with Squamous Cell Abnormalities on Cervical Cytology. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention Vol 9: 441-444. 33. Tate, D.R. & Anderson, R.J. 2002. Recrudescence of cervical dysplasia among women who are infected with the human immunodeficiency virus: A case-control analysis. Am J Obstet Gynecol 186:880-882. 34. Taylor, G.; Wolff, T.; Khanna, N.; Furth, P. & Langenberg, P. 2004. Genital Dysplasia in Women Infected with Human Immunodeficiency Virus. JABFP 17 : 108-113. 35. Reimers, L.; Sotardi, S.; Daniel, D.; Chiu, L; Daryl L. 2010. Outcomes after an excisional procedure for cervical intraepithelial neoplasiain HIV-infected wome. Gynecol Oncol . 2010. 36. Robinson, W.; Hamilton, C.; Michaels, H.;Kissinger, P.2001.Effect of excisional therapy and highly active antiretroviral therapy on cervical intraepithelial neoplasia in women infected with human immunodeficiency virus. Am J Obstet Gynecol 184:538-543. 37. Minkoff, H.; Ahdieh, L.; Massad, S.; Anastos, K.; Watts, H. 2001. The effect of highly active antiretroviral therapy on cervical cytologic changes associated with oncogenic HPV among HIV-infected women. JAIDS 15 : 2157-2164. 38. Orlando, G.; Fasolo,M.; Schiavni, M.; Signori, R.; Cargnei, A.. 1999. Role of highly active antiretroviral therapy in human pailoma virus induced genital dysplasia in HIV-1 infected patiens. JAIDS 13: 424-425. 39. Ho, GYF.; Burk, R.; Klein, S.; 1995. Persistent Genital human pailoma virus infection as a risk factor for persistent cervical dysplasia. J Natl Cancer Inst 87:1365-1371. 25