BAB I PENDAHULUAN “Kemiskinan tidak turun dari

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
“Kemiskinan tidak turun dari langit, kemiskinan mengudara dari struktur yang
membatu di bumi”
(Anonymous)
A.
1.
Latar Belakang Permasalahan
Permasalahan
Apa masalah terbesar yang pernah dimiliki oleh umat manusia?
Pertanyaan ini sepertinya tidak akan pernah bisa habis dijawab oleh siapapun dan
melalui cara apapun. Mungkin pertanyaan, “Masalah apa yang selalu dihadapi
oleh setiap manusia dalam kehidupannya?” bisa menjadi sesuatu yang lebih
mudah untuk dijawab. Meskipun pada kondisi praktisnya jawaban atas pertanyaan
ini akan berujung juga pada keragaman.
Sebagai sebuah wacana pembuka, kata “keadilan” mungkin bisa
menunjukkan permasalahan induk manusia. Sebuah tradisi masalah yang telah
muncul semenjak zaman awal peradaban manusia. Skema keadilan ini selalu
mengibaratkan bahwa ada kaum yang lebih utama untuk menghadapi kaum yang
lebih tertinggal, atau kaum yang lebih berharga menghadapi kaum yang tidak
berharga. Pada tataran aksiologis, kedua kelompok ini berlawanan dalam dimensi
atau taraf yang berbeda serta saling meng-atas-i dan mem-bawahi. Kondisi ini
yang kemudian pada akhirnya menciptakan sebuah kontur baru dalam peradaban
1
2
manusia pada masa selanjutnya. Istilah-istilah seperti perbudakan, dominasi
teritori, dan penjajahan merupakan domain masalah turunan dari keadilan. Namun
ada satu kata kunci yang juga kemudian muncul dalam sejarah kemanusiaan dan
sekaligus muncul sebagai core-problem dari semua istilah yang dikemukakan di
atas, terutama dalam menyikapi keadilan, kata itu yaitu “kemiskinan”.
Kata kemiskinan telah menjadi begitu akrab di telinga dan mata umat
manusia sejak lama. Peradaban manusia di pelbagai tempat dan zaman juga selalu
diikuti oleh kata ini. Apabila kata “kemiskinan” muncul, maka akan dengan
mudah terbayang sekelompok orang dengan sandang yang jauh dari kata mewah
bahkan mungkin jauh dari
sekedar layak pakai, kondisi
fisik
yang
memprihatinkan baik dari segi kesehatan maupun kebersihan, kesedihan dan
kemuraman yang terpancar dari sorot mata mereka, dan gambaran miris lainnya.
Sekali lagi kondisi ini selalu muncul dalam peradaban yang telah dibangun oleh
manusia.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kemiskinan selama ini seolah menjadi
bagian dari semua peradaban manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu
dimulai sebuah percakapan kritis filosofis mengenai sebab munculnya
kemiskinan. Jika ditinjau menurut perspektif ilmu-ilmu sosial, kemiskinan
bersumber dari berbagai faktor yang pada intinya merupakan konsekuensi
langsung atas berlakunya sebuah sistem sosial-ekonomi secara timpang dan tidak
adil yang berlaku terus menerus dan hampir tidak terkontrol (Mukhtasar, 2000: 1).
Adanya ketimpangan dan ketidakadilan sebagai salah satu faktor yang
menyebabkan kemiskinan ini, berakibat memunculkan dua kelompok yaitu yang
3
menguasai sistem serta mengambil keuntungan darinya, serta kelompok yang
tidak diuntungkan yang terdiri atas orang-orang tidak berdaya. Bukan saja tidak
memperoleh keuntungan, kelompok ini juga tidak pernah dilibatkan dalam segala
keputusan yang sesungguhnya menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup
mereka.
Kondisi tersebut di atas merupakan sebuah sistem yang dijalankan oleh
sekelompok orang dengan tidak adil dan merugikan, sehingga menciptakan
ketidakseimbangan dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya eksploitasi
dan penindasan. Sebagai amanah budaya dan sejarah, maka ketertindasan
sebetulnya bukanlah sebuah kondisi alamiah yang tercipta begitu saja. Penindasan
merupakan sebuah kondisi yang dihadirkan secara sengaja dan tersistem oleh
pihak tertentu. Untuk itu, ketertindasan sudah seharusnya tidak menjadi sebuah
hal yang harus dipasrahkan begitu saja kepada Tuhan apalagi bahkan kemudian
menjadi terbiasa dengannya, melainkan manusia harus selalu berusaha dengan
segala daya upaya untuk dapat bebas dari ketertindasan tersebut. Dengan
membebaskan diri dari ketertindasan, maka selanjutnya manusia dapat menolong
sesama untuk juga bebas dari ketertindasan.
Pemikiran semacam ini yang kemudian melahirkan berbagai upaya
manusia untuk membebaskan diri dan sesamanya dari ketertindasan. Masalah
keadilan yang kemudian mengerucut kepada timbulnya penindasan merupakan
awal munculnya sikap manusia dalam mengupayakan kebebasan dan pembebasan
ini. Kenyataan bahwa sebagian dari para manusia yang tertindas menjadikan
spiritualitas dan religusitas sebagai „obat‟ dari rasa menderita akibat penindasan,
4
dengan cara meyakini bahwa hal tersebut adalah takdir dari Sang Kuasa,
menjadikan religiusitas terkesan melemahkan manusia yang memilikinya.
Kepasrahan diri atas kondisi yang di-ada-kan kepadanya oleh sesama manusia,
pada akhirnya membuat situasi penderitaan dan penindasan yang tidak kunjung
berhenti di sebagian ruang kehidupan masyarakat.
Kondisi demikian disadari oleh para pihak yang ingin melakukan
perubahan. Apabila salah satu penyebab dari terjadinya situasi penderitaan dan
ketertindasan yang terus berputar adalah sikap pasrah atas nama religiusitas, maka
berarti pengaruh religiusitas terhadap kehidupan manusia sangatlah besar. Jika
semua di dunia ini memiliki dua sisi layaknya mata uang, maka yang
„melemahkan‟ dapat menjadi sama besarnya ketika „menguatkan‟. Religiusitas
yang mengandung kepasrahan apabila dibongkar kembali untuk fungsi lainnya,
dapat menjadi sebuah motivasi perjuangan. Religiusitas yang digabungkan dengan
kehendak membebaskan diri yang kemudian tercakup dalam sebuah disiplin
pemikiran yang disebut teologi pembebasan.
Teologi pembebasan merupakan sebuah perwujudan perjuangan manusia
untuk mengembalikan kodratnya sebagai makhluk yang bebas. Bebas dari segala
bentuk penindasan, eksploitasi, dan kemiskinan, sebagaimana semangat Religius
yang sesungguhnya sangat menjunjung kebebasan manusia dalam batas-batas
tertentu. Pada umumnya semangat religiusitas yang demikian kebanyakan
dipergunakan untuk persoalan-pesoalan sosial lainnya seperti problematika yang
berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam gender, politik, dan pendidikan.
5
Sedangkan untuk permasalahan kemiskinan pada umumnya lebih banyak
dialihkan sebagai persoalan ekonomi.
Penelitian ini, oleh karena itu bermaksud untuk melihat kemiskinan dari
sudut pandang yang belum banyak disadari oleh berbagai pihak, karena
kemiskinan tidak hanya milik satu sudut pandang saja. Sebagaimana yang ditulis
Paul Polak (2008) dalam bukunya tentang pentingnya cara baru dalam berfikir
dan bertindak terhadap kemiskinan
“Development donors, multinational corporations, universities,
agriculture and irrigation research institutions, ordinary people
all over the world, and most importantly, poor people themselves
will need to adopt new ways of thinking about poverty and new
ways of acting in order to end it.”
(Polak, 2008: 183)
Hal di atas, sebagaimana disebutkan oleh Polak terjadi karena upaya-upaya
pengentasan kemiskinan hingga saat ini sepertinya belum mampu memberikan
hasil yang dapat dirasakan secara signifikan oleh kaum miskin di berbagai
Negara, khususnya negara-negara di Asia. Lalu apakah sesungguhnya yang
membuat orang menjadi miskin? Apa yang mampu dilakukan oleh umat manusia
terhadap kemiskinan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi salah satu bagian
yang berusaha dikaji dalam penelitian ini.
Untuk mendapatkan sebuah porsi yang ideal, terutama dalam membahas
masalah kemiskinan ini perlu dilakukan usaha pembidikan yang jeli dalam
menentukan aspek-aspek pentingnya. Aspek kewilayahan atau geografis yang
akan dijadikan sasaran kajian merupakan aspek pertama yang harus ditentukan.
Hingga saat ini, wilayah-wilayah yang masuk dalam teritori benua Asia masih
6
dianggap cukup mendesak untuk dikaji. Kemiskinan bahkan pada beberapa
kondisi telah dianggap identik dengan sebagian wilayah Asia, terutama di bagian
Selatan dan Tenggara. Untuk itu, penelitian ini akan mengambil dan membatasi
kajiannya pada wilayah-wilayah Asia Selatan dan Tenggara yang merupakan
wilayah di Asia dengan jumlah kemiskinan yang cukup banyak.
Aspek penting lainnya adalah mengenai kacamata teori yang akan
digunakan. Hal ini tentu saja akan melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki
kontribusi yang jelas, di dalam bidang kemiskinan maupun teologi pembebasan.
Etnisitas tentu saja akan sangat mempengaruhi pemilihan tokoh yang akan
digunakan dalam mengkaji hal ini. Dengan membawa nama teologi tentu juga di
sisi lain akan mengungkit agama-agama yang berperan besar pada bentangan
sosio-geografis di Asia Selatan dan Tenggara. Maka, pada akhirnya nama Asghar
Ali Engineer dianggap tepat untuk dijadikan sebagai tokoh yang pemikirannya
akan digunakan dalam membaca masalah kemiskinan di Asia Selatan dan
Tenggara ini.
Hal lain yang juga cukup perlu diperhatikan adalah bentangan yang
muncul pada Asia Selatan dan Tenggara bukan hanya masalah geografis namun
juga sosial. Sehingga untuk mengatasi permasalahan sosio-religi yang tentu saja
akan muncul dalam penelitian ini, pemikiran tokoh teologi pembebasan lain yaitu
Aloysius Pieris rasanya tepat untuk dikomparasi dengan Asghar guna membaca
skema besar Teologi Pembebasan khususnya mengenai kemiskinan. Kedua tokoh
tersebut dinilai bisa untuk mengungkap permasalahan kemiskinan yang ada di
7
Asia Selatan dan Tenggara serta memiliki nama besar dalam bidang teologi
pembebasan, terutama dari sudut pandang Islam dan Katolik.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, dapat
dirumuskan beberapa permasalahan yang ingin diangkat sebagai berikut:
a. Apa makna kemiskinan struktural?
b. Bagaimana pemikiran Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar
Ali Engineer?
c. Apa makna kemiskinan struktural dalam Teologi Pembebasan Aloysius
Pieris dan Asghar Ali Engineer?
d. Bagaimana relevansi Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar
Ali Engineer dalam permasalahan kemiskinan di Indonesia?
3. Keaslian Penelitian
Pencarian hasil penelitian yang relevan dengan tema penelitian di
lingkungan Fakultas Filsafat, secara terpisah banyak yang meneliti tentang
teologi pembebasan dengan berbagai objek materi, seperti kemanusiaan,
keadilan, dan gender.
Sedangkan hasil pencarian terhadap penelitian mengenai kemiskinan
berdasarkan teologi pembebasan menemukan penelitian yang membahas
mengenai teologi pembebasan Asghar Ali Engineer. Peneliti menemukan Thesis
karya Mukhtasar Syamsuddin yang berjudul Teologi Pembebasan Menurut
8
Asghar Ali Engineer; Makna dan Relevansinya Dalam Konteks Pluralitas Agama
di Asia di tahun 2000. Penelitian ini membahas mengenai problematika pluralitas
agama di Asia berlandaskan Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer.
Sedangkan penelitian yang membahas mengenai pemikiran Aloysius
Pieris, ditemukan karya ilmiah berupa laporan penelitian berjudul Makna
Kemiskinan Dalam Konteks Teologi Pembebasan Aloysius Pieris oleh M.
Mukhtasar dan Farid (2000). Penelitian ini menggali pemikiran Aloysius Pieris
tentang kemiskinan dengan menggunakan kerangka filsafat sehingga ditemukan
makna kemiskinan menurut Aloysius Pieris. Penelitian tersebut menggunakan
landasan teori Filsafat Agama. Serta skripsi karya Eduard Ratu Dopo (1993) yang
berjudul Teologi Pembebasan dalam konteks Kemiskinan dan Pluri-Religi di
Asia Menurut Aloysius Pieris. Skripsi tersebut memiliki titik tekan pemikiran
pluri-religi khas Aloysius Pieris serta kaitannya dengan perkembangan kehidupan
umat Nasrani di Indonesia.
Sejauh pencarian yang dilakukan, belum ada penelitian filsafat yang
meneliti kemiskinan struktural berdasarkan hasil komparasi dari pemikiran
teologi pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer yang mengarah ke
sebuah solusi pembebasan kemiskinan di Indonesia. Sehingga penelitian ini dapat
dijamin keasliannya.
9
B.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab persoalan yang dipaparkan
dalam perumusan masalah di atas, yaitu:
1. Menganalisis penyebab timbulnya kemiskinan struktural di Asia
2. Menganalisa pandangan teologi pembebasan Asghar Ali Engineer dan
Aloysius Pieris.
3. Mencari makna kemiskinan struktural berdasarkan pemikiran Asghar Ali
Engineer dan Aloysius Pieris.
4. Merefleksikan dan menemukan relevansi praktis terhadap persoalan
kemiskinan dan upaya pembebasan kemiskinan di Indonesia.
C.
Manfaat Penelitian
Setiap penelitian akademis yang dilakukan harus memiliki manfaat bagi
banyak pihak. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Penelitian Filsafat
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan
pemikiran filosofis mengenai teologi pembebasa, terutama yang
berkaitan dengan salah satu permasalahan besar manusia di sepanjang
jaman, yaitu kemiskinan. Dengan sudut pandang teologi pembebasan,
diharapkan penelitian ini mampu menghasilkan wacana teologis filosofis
yang membebaskan.
10
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi serta
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang persoalan kemiskinan,
baik untuk bidang sosial, teologi, bahkan ekonomi.
3. Bagi bangsa Indonesia
Diharapkan agar penelitian ini bisa memberikan pengetahuan baru bagi
masyarakat Indonesia, serta menstimulan agar masyarakat terbiasa untuk
berfikir secara filosofis dalam melihat permasalahan kemiskinan.
D.
Tinjauan Pustaka
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kata „kemiskinan‟ bukanlah
suatu istilah yang terdengar asing. Namun ketika makna dan pengertian
kemiskinan harus dijabarkan hanya dalam sebuah definisi saja, maka tidak akan
pernah cukup untuk mewakili fakta tentang kemiskinan itu sendiri. Oleh karena
itu, muncul lah berbagai definisi tentang kemiskinan dari berbagai aspek.
Beragamnya definisi tentang kemiskinan tentu dapat dirasa semakin
memperjelas
dalam
memperoleh
gambaran tentang kemiskinan.Sehingga
pengertian kemiskinan tidak menjadi sempit dan hanya berkutat pada satu sudut
pandang yang coba untuk dihias berbagai macam pengertian, namun
sesungguhnya tidaklah berbeda. Dalam penelitian ini akan dipaparkan beberapa
definisi kemiskinan yang dianggap dapat mewakili sudut pandang yang beraneka
ragam tersebut.
11
Beberapa mengartikan kemiskinan dalam lingkup yang luas dengan
memasukkan dimensi-dimensi sosial dan moral. Kemudian ada pula yang
mendefinisikan kemiskinan secara lebih spesifik pada kondisi ketidakmampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
Wolf Scott (1979) mendefinisikan kemiskinan dalam tiga kesimpulan,
yaitu kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan yang diterima
seseorang dalam bentuk uang dan keuntungan-keuntungan non material.Sehingga
kemiskinan secara luas meliputi kekurangan pendidikan, kesehatan yang buruk,
serta kekurangan transportasi.
Kesimpulan kedua, yaitu tidak memiliki maupun kekurangan asset-aset
dalam bentuk tanah, emas, peralatan, dan lain sebagainya. Kesimpulan ini
berkaitan dengan kekurangan dalam hal materi maupun benda-benda penunjang
produksi. Yang terakhir, tidak memiliki atau kekurangan dalam segi kebebasan,
hak-hak atas kelayakan dalam pekerjaan, rumah tangga, dan kehidupan.Dengan
melihat definisi tersebut, maka kemiskinan tidak hanya berkutat di seputaran
kekurangan harta benda saja. Esensi kemiskinan adalah menyangkut probabilitas
orang atau keluarga miskin itu untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha
serta taraf kehidupannya (Suyanto, 2013: 2). Kemiskinan bukan lagi sekedar
kuantitas yang direpresentasikan dalam bentuk angka, namun juga meliputi
kualitas.
Menurut Muhammad Soekarni, kemiskinan secara umum dibagi menjadi
dua jenis, yakni kemiskinan mutlak (absolute poverty) dan kemiskinan relatif atau
relative poverty (Soekarni, 2005:124). Kemiskinan absolut dapat diketahui dari
12
hubungannya dengan garis kemiskinan atau poverty line. Seseorang dapat
dikatakan miskin secara mutlak apabila pendapatan dan pengeluarannya berada di
bawah ataupun tepat pada garis kemiskinan tertentu. Adapun tingginya garis
kemiskinan tersebut ditetapkan oleh pemerintah di tiap negara berdasarkan
kondisi obyektif yang ada. Kemiskinan absolut diartikan sebagai suatu keadaaan
di mana tingkat pendapatan absolut dari satu orang tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pemukiman, kesehatan dan
pendidikan (Suyanto, 2013:3).
Selanjutnya jenis yang kedua yaitu kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan
yang dihubungkan dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran kelompok lain.
Kemiskinan ini ditentukan dari sebuah perbandingan pengeluaran atau pendapatan
antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Kelompok yang pendapatan atau
pengeluarannya lebih rendah dapat dikatakan relatif miskin. Bank dunia
memberikan kriteria perbandingan antara jumlah penduduk berpendapatan
terendah dengan prosentase yang meeka dapatkan dari perndapatan nasional,
sehingga dapat digolongkan menjadi ketidakmerataan yang sangat timpang,
sedang dan yang rendah (Suyatno, 2013: 3)
Penduduk
miskin
sangat
erat
dengan
ketidakmampuan,
ketidakberdayaan, serta ketidakpunyaan. Emil Salim mendeskripsikan hal-hal
yang tidak dimiliki oleh penduduk miskin yaitu;
1.Mutu tenaga kerja yang tinggi
2.Jumlah modal usaha yang memadahi
3.Luas tanah dan sumber alam yang mencukupi
4.Keterampilan dan keahlian yang cukup tinggi
13
5.Kondisi fisik jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik
6.Rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan
Semakin dalam orang tenggelam dalam jurang kemiskinan, semakin
banyak dan meningkat pula mutu berbagai faktor-faktor ini diperlukan
keluar dari jurang kemiskinan.
(Emil Salim dalam Soemardjan, 1980:35)
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa semakin parah taraf
kemiskinan seseorang, maka semakin diperlukan peningkatan mutu terhadap
faktor yang justru tidak dimiliki penduduk miskin, untuk dapat bebas dari
kemiskinan. Atau dengan kata lain, kemiskinan berbanding lurus dengan
kebutuhan peningkatan mutu faktor yang tidak dimiliki. Namun sayangnya,
kebutuhan tidak selalu mudah terpenuhi, terutama bagi orang-orang yang dilanda
kemiskinan.
Persoalan
terhadapnya.
Yusuf
kemiskinan
Qaradhawi
juga
melahirkan
dalam
bukunya
banyak
sudut
”Teologi
pandang
Kemiskinan”,
membedakan pandangan terhadap kemiskinan menjadi lima pandangan, yaitu;
pandangan pengkultus kemiskinan, pandangan Jabariyah, pandangan penyeru
kesalehan individual, pandangan Kapitalisme, serta pandangan Sosialisme-Marxis
(Qaradhawi, 2002). Namun menurut Qaradhawi, pandangan-pandangan tersebut
memiliki banyak kelemahan sehingga tidak menghasilkan solusi yang dapat
menjawab problema kemiskinan.
Terjadinya kemiskinan juga disebabkan atau justru diperkuat oleh
pemanfaatan struktur budaya, etika politik, dan bahkan agama secara
keliru.Kemiskinan tidak lepas dari pengaruh kasta, ras, dan tradisi yang tidak lagi
14
manusiawi, semenetara politik melalui ideologi kapitalistiknya secara terangterangan mempertahanan sistem ekonomi dan struktur sosial budaya yang tidak
adil (Mukhtasar, 2000: 1).
Keadilan yang seharusnya terjadi di setiap lapisan masyarakat pada
kenyataannya tidak dapat terwujud.Sebut saja salah satu yang terkait langsung
dengan kesejahteraan yaitu keadilan ekonomi yang menjadi hak setiap
masyarakat. MacPherson mendefinisikan keadilan ekonomi sebagai sebuah aturan
main tentang hubungan ekonomi yang didasarkan prinsip-prinsip etika, yang
bersumber pada hukum-hukum alam, hukum Tuhan, atau pada sifat sosial
manusia (Mubyarto, 1990: 21).
Kemiskinan sudah menjadi masalah yang terstruktur, melibatkan semua
lapisan masyarakat. Struktur sendiri bersifat sosial sehingga hanya dapat diubah
jika seluruh kelompok sosial terlibat. Kemiskinan dalam kategori ekonomis
demikian itulah kiranya yang memicu munculnya gagasan dan aksi pembebasan
(Mukhtasar, 2000: 2).Secara historis gagasan ini dan aksi ini dirintis pertama kali
dari belahan dunia Amerika Latin, Amerika Utara, kemudian disusul Afrika serta
belahan dunia Asia.
Kemiskinan dalam konteks teologi pembebasan merupakan representasi
dari keadaan kemanusiaan yang tak lagi manusiawi dan karena itu segala praktekpraktek manipulatif atas nilai-nilai etis dan agama harus disingkirkan (Mukhtasa,
2000:2).Agama khususnya telogi harus dapat ditransformasi untuk menata
kembali struktur sosial yang tidak adil.
15
Asia, yang sebagian besar Negara nya dimasukkan dalam golongan
Negara dunia ketiga, seringkali menjadi sasaran praktek eksploitasi dan
manipulasi yang terus menerus menyebabkan ketimpangan yang semakin besar
antara di Negara dunia ketiga. Sangat dimungkinkan bahwa ekonomi dunia akan
mencapai keseimbangannya jika ekonomi Barat menghapuskan pemborosan dan
pengerukan kekayaan dunia ketiga yang menyebabkan kemiskinan yang abadi.
Kemiskinan terparah di Asia berada di Asia selatan yang meliputi
Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka. Kendati demikian, sebuah
harapan baik terhadap kemajuan perekonomian Asia Selatan mulai muncul
sebagaimana yang dikatakan oleh Deepa Narayan dan Elena Glinskaya (2007):
“South Asia usd to make headlines as home to the largest number
of the world’s poor. While the region still has close to one-quarter
of all humanity and almost 40 per cent of the world’s poor people,
the dynamic economies of south Asia are increasingly in the news
for more positive reason”
(Narayan, 2007: 2)
Kemajuan yang terjadi hanya akan menjadi angin segar sesaat apabila
tidak berkelanjutan dalam prosesnya. Kemajuan pertumbuhan ekonomi Negaranegara di Asia tidak lantas menjadi ukuran dari meratanya kemajuan dan
kemakmuran perekonomian inidvidu maupun kelompok masyarakatnya.Seperti
yang telah diketahui bahwa masih sangat banyak penduduk Asia yang hidup
dalam jeratan kemiskinan.
Masyarakat Asia yang masih kental dengan relijiusitas, tentu akan sangat
mudah untuk menerima solusi teologis terhadap permasalahan kemiskinan.
Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer, dua tokoh teologi pembebasan dari Asia
16
nampaknya telah melakukan upaya tersebut. Oleh karena itu perlu untuk digali
lebih dalam lagi pemikiran Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer guna
menemukan sebuah solusi yang filosofis dan mampu menjadi sebuah alternatif
baru.
E.
Landasan Teori
Teologi pembebasan terdiri dari kata “teologi” dan “pembebasan”.Kata
„teologi‟ berasal dari istilah Yunani yang berarti pembicaraan tentang „tuhantuhan‟ atau „Tuhan‟, khususnya secara legendaris atau filosofis (Mukhtasar, 2000:
17). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „teologi‟ berarti
pengetahuan Ketuhanan (mengenai sifat dasar Allah, dasar kepercayaan kepada
Allah dan agama, terutama berdasar pada kitab suci), (KBBI, 2005: 1177). Dalam
Oxford Dictionary, Theology berati study of or system of religion; rasional
analysis of a religious faith.
Teologi pada dasarnya adalah usaha sadar dari orang Kristen untuk
mendengarkan bisikan wahyu-sabda yang dinyatakan oleh Tuhan dalam sejarah,
menyerap pengetahuan tentangnya
dengan menggunakan metode-metode
keilmuan dan untuk merefleksikan tuntutan-tuntutan langkahnya pada tindakan
(Rehner dan Vorgrimler dalam Mukhtasar, 2000: 84).
Sementara itu di dalam Islam, teologi identik dengan ilmu-ilmu atau
sikap-sikap yang berhadapan dengan sebuah kepastian akan Tuhan. Tradisi Islam
menyebut teologi dengan beberapa istilah, nama yang paling populer adalah
17
Ushuluddin. Istilah ushuluddin merupakan gabungan dua kata yaitu ushul dan addin yang bisa diartikan dengan pokok-pokok atau kumpulan pondasi agama
(Abdul dan Rosihin, 2011: 13). Maka bisa dikatakan istilah teologi atau
ushuluddin dalam tradisi Islam merupakan sikap yang berkaitan langsung dengan
agama dalam memahami ketuhanan.
Pengertian
kata
„pembebasan‟
adalah
proses,
cara,
perbuatan
memerdekakan (tidak dijajah, diperintah, atau dipengaruhi oleh negara lain atau
kekuasaan asing), (KBBI, 2005: 118-119). Sebuah analisis historis tentang
munculnya istilah „pembebasan‟ menunjukkan bahwa pada awalnya merupakan
reaksi terhadap istilah „pembangunan‟ (development) yang dianggap oleh
kalangan teologi pembebasan dari Amerika Latin telah membawa misi sistem
ekonomi politik liberal dan kapitalis yang merusak kehidupan rakyat (Mukhtasar,
2000: 86). Nitiprawiro menyebutkan tiga macam isi arti pembebasan; pembebasan
dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik (Gutierrez), alienasi
kultural (Galilea), atau kemiskinan dan ketidakdilan (Munoz), dan dari ketiganya
yang hendak ditampilkan adalah kebebasan sebagai wujud nyata yang membentuk
rumusan konseptual Teologi Pembebasan (Mukhtasar, 2000: 86).
Teologi
pembebasan
bisa
dipandang
sebagai
suatu
usaha
kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di
sekitarnya. Dalam kasus kelahiran teologi pembebasan, masalah kongkret yang
dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin pada awal tahun 1960-an juga
18
dilatarbelakangi oleh adanya kondisi yang menyengsarakan rakyat miskin pada
saat itu.
Michael Lowy memetakan ajaran dasar para teolog pembebasan yang
ditemukan dalam karya tulis mereka yang telah mampu membentuk pergeseran
dari ajaran tradisional mapan pada saat itu. Beberapa diantaranya yang terpenting
adalah tentang gugatan moral dan sosial terhadap sistem yang tidak adil,
perjuangan kaum miskin menuntut kebebasan, serta kecaman terhadap teologi
tradisional (Lowy, 1999).
Teologi pembebasan menggunakan agama sebagai sebuah dasar atau
landasan untuk bergerak. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia.
Michael Amaladoss dalam bukunya “Teologi Pembebasan Asia” menulis tentang
agama-agama di Asia yang identik dengan pembebasan, seperti agama Hindu,
Buddha, Kong Hu Cu, Kristiani, Islam, dan juga agama-agama kosmis
(Amaladoss, 2002).
Teologi pembebasan berbeda dengan teologi tradisional. Apabila teologi
tradisional bersifat tekstual, maka teologi pembebasan bersifat kontekstual,
sehingga memerlukan upaya yang kritis dan mendalam, radikal, sebagai suatu
upaya kontektualisasi. Dengan demikian, teologi pembebasan dapat dimasukan
sebagai suatu pemikiran filosofis, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan
dalam penelitian kefilsafatan.
Pemikiran Aloysius Pieris tidak hanya menjadi satu-satunya pemikiran
yang akan menjadi landasan filosofis dalam penelitian ini, tawaran konsep yang
diberikan oleh Asghar Ali juga menjadi pemikiran filsafat yang memperkaya
19
penelitian ini. Jika dalam banyak penjelasan bahwa teologi pembebasan adalah
mengenai sikap anti-penindasan, maka tentu tindakan yang menjadi fokus utama
adalah keberpihakan kepada orang-orang yang tertindas. Asghar Ali menyatakan
bahwa semestinya di dalam kehidupan ini tidak ada penindasan yang dilakukan
oleh siapapun dan atas nama apapun.
Allah sendiri menegaskan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi
suatu masyarakat. Secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran bahwa perintah
yang diberikan kepada nabi Muhammad adalah untuk selalu berbuat adil.
Sehingga bisa dikatakan bahwa ketakwaan sebagai simbol dari kondisi sosial
sempurna yang dimiliki manusia akan selalu berbarengan dengan keadilan. Maka,
pembebasan merujuk kepada tradisi keislaman adalah tentang segala bentuk usaha
untuk mencapai keadilan, salah satunya melalui kajian teologi pembebasan.
(Asghar, 2009: 7)
Asghar Ali dan Pieris mungkin boleh dikatakan sebagai figur sentral
dalam menyebarkan teologi pembebasan di wilayah Asia, khususnya Asia
Selatan. Kendati latar belakang kedua tokoh tersebut adalah wilayah Asia Selatan,
namun secara kultural pencapaian yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut di
atas nampaknya akan sangat bisa digunakan di Asia bagian Tenggara. Hal ini bisa
disimpulkan dari kesamaan bentuk kondisi-kondisi ketertindasan yang dimiliki
oleh Negara di Asia Tenggara. Semuanya dalam skema umum dan vital sangat
mirip, disebabkan faktor penyebab yang tidak terlalu jauh berbeda.
Kemiskinan, dalam hal ini dipersoalkan dan salah satunya dibahas dari
ketergantungan masyarakat di beberapa negara kepada sistem agama yang dianut.
20
Sehingga dibutuhkan sebuah masukan pemikiran baru dalam bentuk menarik
sebagai usaha menemukan solusi yang lebih efektif.
Perkembangan utama teologi Asia sebetulnya baru berlangsung sejak
beberapa dekade yang lalu karena kebanyakan upaya rintisan sebelumnya kandas
pada masalah sinkretisme (Rubianti dalam Mukhtasar 2000). Maka dapat
disimpulkan bahwa tidaklah mudah merumuskan konsep teologi pembebasan Asia
dengan kongkrit, lengkap, dan aplikatif. Diantara sekian banyak aneka teolog
Asia, adalah Pieris sendiri yang boleh dikatakan menyediakan kerangka paling
jelas untuk teologi pembebasan Asia (Mukhtasar, 2000). Pieris memandang Asia
sebagai tempat yang sangat kental dengan corak teologis, ia mengemukakan
kesimpulan bahwa semua agama „kitab-kitab suci‟ sedunia lahir di benua Asia
(Pieris, 1997:12)
Teologi pembebasan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk
Tuhan yang memiliki kebebasan. Bukan seperti doktrin yang berkembang dalam
teologi tradisional, bahwa ketundukan manusia kepada kehendak Tuhan
mengimplikasikan adanya penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Metode dalam berteologi harus diperbaharui oleh tantangan
dunia ketiga sehingga mempunyai relevansi bagi Asia yang tidak dimiliki oleh
teologi klasik Ecumenical Association of Third World Theologians (Mukhtasar,
2000).
Pieris menyoroti teologi tradisional dari dunia Barat yang sudah mulai
diperbaharui sejak abad ke 19 dan mengalami terobosan besar dalam pikiran
teologis pada pertengahan abad ke 20 dengan puncaknya yaitu teologi modern
21
yang terbuka terhadap dunia, dengan pusat utama pembaharuan di lingkup yang
berbahasa Prancis dan Jerman (Pieris, 1997: 14-15).
Islam pada sisi lain, sebetulnya tidak memiliki sebuah kondisi yang
bertentangan apa yang disebarkan oleh Pieris. Melalui teologi pembebasannya,
Asghar berkali-kali mengungkapkan bahwa nabi Muhammad adalah pembebas
umat yang tertindas. Argumentasinya adalah orang-orang yang membantu nabi
Muhammad kebanyakan berasal dari kaum miskin dan lemah. Sosok Muhammad
sama dengan soso Musa yang muncul di tengah-tengah orang Yahudi. Mereka
merindukan sebuah kebebasan dan kemudian ada seseorang yang menawarkan
semua jalan menuju impian tertinggi mereka. Asia Selatan dan Tenggara yang
telah terlanjur dicap sebagai negara ketiga, tentu saja merasakan kesempitan ruang
sosial. Terutama paksaan untuk menerima sistem-sistem atau corak-corak yang
kebarat-baratan. Hal inilah yang ditentang oleh Pieris dan tentu saja hal yang
sama juga dilakukan oleh Asghar Ali.
Sebelumnya, bagi Pieris para teolog dari dunia pertama sesungguhnya
tidak sejalan dengan teolog dunia ketiga yang menekankan kebebasan manusia
sebagai titah Tuhan secara langsung untuk para manusia yang tertindas,
sebagaimana dikutip langsung;
“Many first world theologians committed to social justice follow
their pastoral magisterium in using the human rights language as
a theological discourse whose primarily addresses could only be
the wielders of power and the accumulators of wealth, including
the governments of rich nations. The third world theologians on
the contrary take human liberation as God’s specific language
22
primarily addressed to and easily understood by the poor and
oppressed”
(Pieris, 1988: 522)
Memang, sesungguhnya teologi pembebasan melakukan kritik atas
teologi tradisional yang banyak dipengaruhi unsur kepentingan. Namun fungsi
refleksif kritis teologi itu tidak menggantikan fungsi teologi yang lain, yang tetap
diandalkan dan diperlukan (Guiterez dalam Mukhtasar, 2000). Dalam konteks
sejarah konkrit, persfektif baru tentang pentingnya indigenisasi yang berarti
menghubungkan pola-pola pemikiran, budaya, simbolisme dan imajinasi, tradisitradisi keagamaan dan kebudayaan setempat dengan inti pewartaan Kristiani
sedemikian sehingga dalam proses penyuburan silang lahirlah sesuatu yang dapat
berakar dan tumbuh dalam iklim setempat, telah muncul teologi Kristen dalam
konteks Asia (Mukhtasar, 2000).
Dalam beberapa kondisi khusus, terlebih yang berkaitan dengan
hubungan sosial masyarakat di Asia Tenggara, pengaruh Islam memang tidak bisa
ditinggalkan. Meskipun dalam realitas yang ada, teologi pembebasan adalah
produk yang telah dilekatkan kepada kaum Nasrani yang dalam hal ini didominasi
oleh orang-orang Katolik. Namun demikian, konsep pembebasan yang dipahami
oleh orang-orang Islam sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Muhammad Iqbal
seorang pujangga dan pemikir revolusioner Islam yang juga berasal dari tanah
Asia pernah mengungkapkan, bahwa Nabi Muhammad telah naik hingga langit
tertinggi, namun beliau kemudian turun lagi. (Iqbal, 2002: 204)
23
Pandangan yang disampaikan oleh Iqbal di atas atau yang memang
dipahami demikian oleh mayoritas ahli-ahli keislaman, merupakan patron prilaku
pembebasan yang diperkenalkan oleh Muhammad. Untuk itu tidak bisa dikatakan
bahwa teologi pembebasan atau mungkin dapat disebut juga dengan pengertian
usaha pembebasan yang didasarkan kepada wahyu Tuhan adalah sebuah tradisi
yang juga diperkenalkan oleh Islam. Dengan mengatakan seperti ini, sebagaimana
yang dipahami bahwa tradisi keagamaan adalah tradisi yang tidak bisa dilepaskan
dari efektifitas yang diberikan.
Untuk masyarakat Islam yang berada dalam sistem keagamaan Islami,
maka tentu pandangan teologi pembebasan yang lebih cocok adalah yang juga
diperkenalkan atau diajarkan oleh pemeluk kepercayaan yang sama. Beberapa
kemungkinan alasan yang mendasarinya seperti sumber keimanan yang sama,
dasar teologis yang sama, serta pemahaman-pemahaman yang berlandaskan
kesamaan agama yang lebih mudah untuk diterima oleh umat Islam. Maka,
penelitian ini juga menggunakan pandangan teologis milik Asghar Ali Engineer
sebagai yang akan disandingkan untuk kemudian diperbandingkan dengan
pandangan teologi Pieris dalam masalah kemiskinan di kawasan Asia Selatan dan
Tenggara.
24
F.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan mengenai
pemikiran tokoh dengan metode hermeneutika, yang di dalam proses
pembuatannya diupayakan pada tiga hal:
1.
Bahan dan Materi Penelitian
Peneliti mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan
penelitian ini dari berbagai sumber. Pustaka yang digunakan diklasifikasikan
menjadi pustaka primer dan pustaka sekunder :
Kepustakaan primer adalah penelitian sosio-filosofis tentang kemiskinan
serta karya tulis Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer, baik berupa buku
maupun jurnal.
Kepustakaan sekunder berupa buku-buku dan data lainnya seperti
skripsi, tesis, ataupun penelitian sejenis lainnya yang berkaitan dengan tema dan
dapat menunjang jalannya penelitian ini.
2. Tahapan Penelitian
Adapun penelitian ini berjalan dalam tahap-tahap yang telah ditempuh
sebagai berikut :
a. Pengumpulan data, yaitu pencarian literatur yang berkaitan dengan tema
penelitian.
25
b. Pengolahan data, yaitu mengelompokkan data menurut keperluan
penelitian kemudian melakukan analisis terhadap data yang telah
terkumpul.
c. Penyusunan
hasil
penelitian,
yaitu
membuat
laporan
penelitian
berdasarkan data yang telah diperoleh melalui kedua tahap sebelumnya.
3. Analisis Data
Berdasarkan buku “Metodologi Penelitian Filsafat” karya Anton Bakker
dan Achmad Charis Zubair, penelitian ini menggunakan Metode Hermeneutik
dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut:
a. Interpretasi : Peneliti berusaha memahami isi dari data yang telah
ditemukan dan menguraikan makna dari data tersebut secara objektif.
b. Kesinambungan historis : mencari relasi pemikiran Asghar Ali Engineer
dan Aloysius Pieris dengan fenomena kemiskinan di Asia yang ada pada
saat ini.
c. Deskripsi : Peneliti menguraikan secara teratur konsepsi pemikiran Asghar
Ali Engineer dan Aloysius Pieris sesuai dengan masalah yang diteliti.
d. Komparasi : Peneliti melakukan analisis komparatif terhadap pemikiran
Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris
e. Heuristika : Peneliti berusaha menemukan sebuah pemahaman baru.
26
G.
Hasil Yang Dicapai
Hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini berdasarkan permasalahan
dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh pemahaman mengenai Kemiskinan struktural di Asia
2. Memperoleh pemahaman terhadap pandangan Teologi Pembebasan
Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer.
3. Menemukan konsep kemiskinan
struktural berdasarkan pemikiran
Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer.
4. Menemukan relevansi terhadap persoalan kemiskinan dan upaya
pemebebasan kemiskinan di Indonesia, yang diharapkan dapat dilanjutkan
oleh penelitian-penelitian berikutnya sehingga dapat menjadi suatu solusi.
H.
Sistematika Penelitian
Hasil penelitian ini akan dituliskan berdasarkan sistematika sebagai
berikut:
Bab I, berisi penjelasan secara umum mengenai penelitian yang dilakukan. Secara
berurutan terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, hasil telah dicapai, dan sistematika penelitian.
Bab II, berisi biografi dan pemikiran tokoh yang diangkat dalam penelitian yaitu
Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris, berupa riwayat hidup dan karya-karya
27
yang berhubungan dengan teologi pembebasan, latar belakang pemikiran,
pandangan teologi pembebasan, serta pandangan khas kedua tokoh. Pada bab ini
juga dibahas komparasi pemikiran kedua tokoh tersebut.
Bab III, berisi penjelasan tentang kemiskinan di Asia Selatan dan Tenggara yang
terdiri dari gambaran umum berupadata kemiskinan di Asia secara global,
pandangan tokoh-tokoh besar tentang kemiskinan di Asia, serta permasalahan di
Asia yang timbul karena kemiskinan, terutama di kawasan Selatan dan Tenggara.
Bab IV, memaparkan hasil analisis berupa komparasi konsep pemikiran kedua
tokoh mengenai pandangan terhadap kemiskinan. Dalam bab ini juga dibahas
hasil akhir dari analisis terhadap pembebasan kemiskinan struktural berdasarkan
pemikiran kedua tokoh, yang kemudian direlevansikan dengan usaha pembebasan
kemiskinan struktural di Indonesia.
Bab V, merupakan bab penutup yang berisi rangkuman sejumlah kesimpulan
umum, dan mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.
Download