BAB I PENDAHULUAN “Kemiskinan tidak turun dari langit, kemiskinan mengudara dari struktur yang membatu di bumi” (Anonymous) A. 1. Latar Belakang Permasalahan Permasalahan Apa masalah terbesar yang pernah dimiliki oleh umat manusia? Pertanyaan ini sepertinya tidak akan pernah bisa habis dijawab oleh siapapun dan melalui cara apapun. Mungkin pertanyaan, “Masalah apa yang selalu dihadapi oleh setiap manusia dalam kehidupannya?” bisa menjadi sesuatu yang lebih mudah untuk dijawab. Meskipun pada kondisi praktisnya jawaban atas pertanyaan ini akan berujung juga pada keragaman. Sebagai sebuah wacana pembuka, kata “keadilan” mungkin bisa menunjukkan permasalahan induk manusia. Sebuah tradisi masalah yang telah muncul semenjak zaman awal peradaban manusia. Skema keadilan ini selalu mengibaratkan bahwa ada kaum yang lebih utama untuk menghadapi kaum yang lebih tertinggal, atau kaum yang lebih berharga menghadapi kaum yang tidak berharga. Pada tataran aksiologis, kedua kelompok ini berlawanan dalam dimensi atau taraf yang berbeda serta saling meng-atas-i dan mem-bawahi. Kondisi ini yang kemudian pada akhirnya menciptakan sebuah kontur baru dalam peradaban 1 2 manusia pada masa selanjutnya. Istilah-istilah seperti perbudakan, dominasi teritori, dan penjajahan merupakan domain masalah turunan dari keadilan. Namun ada satu kata kunci yang juga kemudian muncul dalam sejarah kemanusiaan dan sekaligus muncul sebagai core-problem dari semua istilah yang dikemukakan di atas, terutama dalam menyikapi keadilan, kata itu yaitu “kemiskinan”. Kata kemiskinan telah menjadi begitu akrab di telinga dan mata umat manusia sejak lama. Peradaban manusia di pelbagai tempat dan zaman juga selalu diikuti oleh kata ini. Apabila kata “kemiskinan” muncul, maka akan dengan mudah terbayang sekelompok orang dengan sandang yang jauh dari kata mewah bahkan mungkin jauh dari sekedar layak pakai, kondisi fisik yang memprihatinkan baik dari segi kesehatan maupun kebersihan, kesedihan dan kemuraman yang terpancar dari sorot mata mereka, dan gambaran miris lainnya. Sekali lagi kondisi ini selalu muncul dalam peradaban yang telah dibangun oleh manusia. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kemiskinan selama ini seolah menjadi bagian dari semua peradaban manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dimulai sebuah percakapan kritis filosofis mengenai sebab munculnya kemiskinan. Jika ditinjau menurut perspektif ilmu-ilmu sosial, kemiskinan bersumber dari berbagai faktor yang pada intinya merupakan konsekuensi langsung atas berlakunya sebuah sistem sosial-ekonomi secara timpang dan tidak adil yang berlaku terus menerus dan hampir tidak terkontrol (Mukhtasar, 2000: 1). Adanya ketimpangan dan ketidakadilan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kemiskinan ini, berakibat memunculkan dua kelompok yaitu yang 3 menguasai sistem serta mengambil keuntungan darinya, serta kelompok yang tidak diuntungkan yang terdiri atas orang-orang tidak berdaya. Bukan saja tidak memperoleh keuntungan, kelompok ini juga tidak pernah dilibatkan dalam segala keputusan yang sesungguhnya menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup mereka. Kondisi tersebut di atas merupakan sebuah sistem yang dijalankan oleh sekelompok orang dengan tidak adil dan merugikan, sehingga menciptakan ketidakseimbangan dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya eksploitasi dan penindasan. Sebagai amanah budaya dan sejarah, maka ketertindasan sebetulnya bukanlah sebuah kondisi alamiah yang tercipta begitu saja. Penindasan merupakan sebuah kondisi yang dihadirkan secara sengaja dan tersistem oleh pihak tertentu. Untuk itu, ketertindasan sudah seharusnya tidak menjadi sebuah hal yang harus dipasrahkan begitu saja kepada Tuhan apalagi bahkan kemudian menjadi terbiasa dengannya, melainkan manusia harus selalu berusaha dengan segala daya upaya untuk dapat bebas dari ketertindasan tersebut. Dengan membebaskan diri dari ketertindasan, maka selanjutnya manusia dapat menolong sesama untuk juga bebas dari ketertindasan. Pemikiran semacam ini yang kemudian melahirkan berbagai upaya manusia untuk membebaskan diri dan sesamanya dari ketertindasan. Masalah keadilan yang kemudian mengerucut kepada timbulnya penindasan merupakan awal munculnya sikap manusia dalam mengupayakan kebebasan dan pembebasan ini. Kenyataan bahwa sebagian dari para manusia yang tertindas menjadikan spiritualitas dan religusitas sebagai „obat‟ dari rasa menderita akibat penindasan, 4 dengan cara meyakini bahwa hal tersebut adalah takdir dari Sang Kuasa, menjadikan religiusitas terkesan melemahkan manusia yang memilikinya. Kepasrahan diri atas kondisi yang di-ada-kan kepadanya oleh sesama manusia, pada akhirnya membuat situasi penderitaan dan penindasan yang tidak kunjung berhenti di sebagian ruang kehidupan masyarakat. Kondisi demikian disadari oleh para pihak yang ingin melakukan perubahan. Apabila salah satu penyebab dari terjadinya situasi penderitaan dan ketertindasan yang terus berputar adalah sikap pasrah atas nama religiusitas, maka berarti pengaruh religiusitas terhadap kehidupan manusia sangatlah besar. Jika semua di dunia ini memiliki dua sisi layaknya mata uang, maka yang „melemahkan‟ dapat menjadi sama besarnya ketika „menguatkan‟. Religiusitas yang mengandung kepasrahan apabila dibongkar kembali untuk fungsi lainnya, dapat menjadi sebuah motivasi perjuangan. Religiusitas yang digabungkan dengan kehendak membebaskan diri yang kemudian tercakup dalam sebuah disiplin pemikiran yang disebut teologi pembebasan. Teologi pembebasan merupakan sebuah perwujudan perjuangan manusia untuk mengembalikan kodratnya sebagai makhluk yang bebas. Bebas dari segala bentuk penindasan, eksploitasi, dan kemiskinan, sebagaimana semangat Religius yang sesungguhnya sangat menjunjung kebebasan manusia dalam batas-batas tertentu. Pada umumnya semangat religiusitas yang demikian kebanyakan dipergunakan untuk persoalan-pesoalan sosial lainnya seperti problematika yang berkenaan dengan hak dan kewajiban dalam gender, politik, dan pendidikan. 5 Sedangkan untuk permasalahan kemiskinan pada umumnya lebih banyak dialihkan sebagai persoalan ekonomi. Penelitian ini, oleh karena itu bermaksud untuk melihat kemiskinan dari sudut pandang yang belum banyak disadari oleh berbagai pihak, karena kemiskinan tidak hanya milik satu sudut pandang saja. Sebagaimana yang ditulis Paul Polak (2008) dalam bukunya tentang pentingnya cara baru dalam berfikir dan bertindak terhadap kemiskinan “Development donors, multinational corporations, universities, agriculture and irrigation research institutions, ordinary people all over the world, and most importantly, poor people themselves will need to adopt new ways of thinking about poverty and new ways of acting in order to end it.” (Polak, 2008: 183) Hal di atas, sebagaimana disebutkan oleh Polak terjadi karena upaya-upaya pengentasan kemiskinan hingga saat ini sepertinya belum mampu memberikan hasil yang dapat dirasakan secara signifikan oleh kaum miskin di berbagai Negara, khususnya negara-negara di Asia. Lalu apakah sesungguhnya yang membuat orang menjadi miskin? Apa yang mampu dilakukan oleh umat manusia terhadap kemiskinan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi salah satu bagian yang berusaha dikaji dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan sebuah porsi yang ideal, terutama dalam membahas masalah kemiskinan ini perlu dilakukan usaha pembidikan yang jeli dalam menentukan aspek-aspek pentingnya. Aspek kewilayahan atau geografis yang akan dijadikan sasaran kajian merupakan aspek pertama yang harus ditentukan. Hingga saat ini, wilayah-wilayah yang masuk dalam teritori benua Asia masih 6 dianggap cukup mendesak untuk dikaji. Kemiskinan bahkan pada beberapa kondisi telah dianggap identik dengan sebagian wilayah Asia, terutama di bagian Selatan dan Tenggara. Untuk itu, penelitian ini akan mengambil dan membatasi kajiannya pada wilayah-wilayah Asia Selatan dan Tenggara yang merupakan wilayah di Asia dengan jumlah kemiskinan yang cukup banyak. Aspek penting lainnya adalah mengenai kacamata teori yang akan digunakan. Hal ini tentu saja akan melibatkan tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi yang jelas, di dalam bidang kemiskinan maupun teologi pembebasan. Etnisitas tentu saja akan sangat mempengaruhi pemilihan tokoh yang akan digunakan dalam mengkaji hal ini. Dengan membawa nama teologi tentu juga di sisi lain akan mengungkit agama-agama yang berperan besar pada bentangan sosio-geografis di Asia Selatan dan Tenggara. Maka, pada akhirnya nama Asghar Ali Engineer dianggap tepat untuk dijadikan sebagai tokoh yang pemikirannya akan digunakan dalam membaca masalah kemiskinan di Asia Selatan dan Tenggara ini. Hal lain yang juga cukup perlu diperhatikan adalah bentangan yang muncul pada Asia Selatan dan Tenggara bukan hanya masalah geografis namun juga sosial. Sehingga untuk mengatasi permasalahan sosio-religi yang tentu saja akan muncul dalam penelitian ini, pemikiran tokoh teologi pembebasan lain yaitu Aloysius Pieris rasanya tepat untuk dikomparasi dengan Asghar guna membaca skema besar Teologi Pembebasan khususnya mengenai kemiskinan. Kedua tokoh tersebut dinilai bisa untuk mengungkap permasalahan kemiskinan yang ada di 7 Asia Selatan dan Tenggara serta memiliki nama besar dalam bidang teologi pembebasan, terutama dari sudut pandang Islam dan Katolik. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang ingin diangkat sebagai berikut: a. Apa makna kemiskinan struktural? b. Bagaimana pemikiran Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer? c. Apa makna kemiskinan struktural dalam Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer? d. Bagaimana relevansi Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer dalam permasalahan kemiskinan di Indonesia? 3. Keaslian Penelitian Pencarian hasil penelitian yang relevan dengan tema penelitian di lingkungan Fakultas Filsafat, secara terpisah banyak yang meneliti tentang teologi pembebasan dengan berbagai objek materi, seperti kemanusiaan, keadilan, dan gender. Sedangkan hasil pencarian terhadap penelitian mengenai kemiskinan berdasarkan teologi pembebasan menemukan penelitian yang membahas mengenai teologi pembebasan Asghar Ali Engineer. Peneliti menemukan Thesis karya Mukhtasar Syamsuddin yang berjudul Teologi Pembebasan Menurut 8 Asghar Ali Engineer; Makna dan Relevansinya Dalam Konteks Pluralitas Agama di Asia di tahun 2000. Penelitian ini membahas mengenai problematika pluralitas agama di Asia berlandaskan Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer. Sedangkan penelitian yang membahas mengenai pemikiran Aloysius Pieris, ditemukan karya ilmiah berupa laporan penelitian berjudul Makna Kemiskinan Dalam Konteks Teologi Pembebasan Aloysius Pieris oleh M. Mukhtasar dan Farid (2000). Penelitian ini menggali pemikiran Aloysius Pieris tentang kemiskinan dengan menggunakan kerangka filsafat sehingga ditemukan makna kemiskinan menurut Aloysius Pieris. Penelitian tersebut menggunakan landasan teori Filsafat Agama. Serta skripsi karya Eduard Ratu Dopo (1993) yang berjudul Teologi Pembebasan dalam konteks Kemiskinan dan Pluri-Religi di Asia Menurut Aloysius Pieris. Skripsi tersebut memiliki titik tekan pemikiran pluri-religi khas Aloysius Pieris serta kaitannya dengan perkembangan kehidupan umat Nasrani di Indonesia. Sejauh pencarian yang dilakukan, belum ada penelitian filsafat yang meneliti kemiskinan struktural berdasarkan hasil komparasi dari pemikiran teologi pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer yang mengarah ke sebuah solusi pembebasan kemiskinan di Indonesia. Sehingga penelitian ini dapat dijamin keasliannya. 9 B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menjawab persoalan yang dipaparkan dalam perumusan masalah di atas, yaitu: 1. Menganalisis penyebab timbulnya kemiskinan struktural di Asia 2. Menganalisa pandangan teologi pembebasan Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris. 3. Mencari makna kemiskinan struktural berdasarkan pemikiran Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris. 4. Merefleksikan dan menemukan relevansi praktis terhadap persoalan kemiskinan dan upaya pembebasan kemiskinan di Indonesia. C. Manfaat Penelitian Setiap penelitian akademis yang dilakukan harus memiliki manfaat bagi banyak pihak. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Penelitian Filsafat Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran filosofis mengenai teologi pembebasa, terutama yang berkaitan dengan salah satu permasalahan besar manusia di sepanjang jaman, yaitu kemiskinan. Dengan sudut pandang teologi pembebasan, diharapkan penelitian ini mampu menghasilkan wacana teologis filosofis yang membebaskan. 10 2. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi serta memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang persoalan kemiskinan, baik untuk bidang sosial, teologi, bahkan ekonomi. 3. Bagi bangsa Indonesia Diharapkan agar penelitian ini bisa memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat Indonesia, serta menstimulan agar masyarakat terbiasa untuk berfikir secara filosofis dalam melihat permasalahan kemiskinan. D. Tinjauan Pustaka Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, kata „kemiskinan‟ bukanlah suatu istilah yang terdengar asing. Namun ketika makna dan pengertian kemiskinan harus dijabarkan hanya dalam sebuah definisi saja, maka tidak akan pernah cukup untuk mewakili fakta tentang kemiskinan itu sendiri. Oleh karena itu, muncul lah berbagai definisi tentang kemiskinan dari berbagai aspek. Beragamnya definisi tentang kemiskinan tentu dapat dirasa semakin memperjelas dalam memperoleh gambaran tentang kemiskinan.Sehingga pengertian kemiskinan tidak menjadi sempit dan hanya berkutat pada satu sudut pandang yang coba untuk dihias berbagai macam pengertian, namun sesungguhnya tidaklah berbeda. Dalam penelitian ini akan dipaparkan beberapa definisi kemiskinan yang dianggap dapat mewakili sudut pandang yang beraneka ragam tersebut. 11 Beberapa mengartikan kemiskinan dalam lingkup yang luas dengan memasukkan dimensi-dimensi sosial dan moral. Kemudian ada pula yang mendefinisikan kemiskinan secara lebih spesifik pada kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Wolf Scott (1979) mendefinisikan kemiskinan dalam tiga kesimpulan, yaitu kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan yang diterima seseorang dalam bentuk uang dan keuntungan-keuntungan non material.Sehingga kemiskinan secara luas meliputi kekurangan pendidikan, kesehatan yang buruk, serta kekurangan transportasi. Kesimpulan kedua, yaitu tidak memiliki maupun kekurangan asset-aset dalam bentuk tanah, emas, peralatan, dan lain sebagainya. Kesimpulan ini berkaitan dengan kekurangan dalam hal materi maupun benda-benda penunjang produksi. Yang terakhir, tidak memiliki atau kekurangan dalam segi kebebasan, hak-hak atas kelayakan dalam pekerjaan, rumah tangga, dan kehidupan.Dengan melihat definisi tersebut, maka kemiskinan tidak hanya berkutat di seputaran kekurangan harta benda saja. Esensi kemiskinan adalah menyangkut probabilitas orang atau keluarga miskin itu untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya (Suyanto, 2013: 2). Kemiskinan bukan lagi sekedar kuantitas yang direpresentasikan dalam bentuk angka, namun juga meliputi kualitas. Menurut Muhammad Soekarni, kemiskinan secara umum dibagi menjadi dua jenis, yakni kemiskinan mutlak (absolute poverty) dan kemiskinan relatif atau relative poverty (Soekarni, 2005:124). Kemiskinan absolut dapat diketahui dari 12 hubungannya dengan garis kemiskinan atau poverty line. Seseorang dapat dikatakan miskin secara mutlak apabila pendapatan dan pengeluarannya berada di bawah ataupun tepat pada garis kemiskinan tertentu. Adapun tingginya garis kemiskinan tersebut ditetapkan oleh pemerintah di tiap negara berdasarkan kondisi obyektif yang ada. Kemiskinan absolut diartikan sebagai suatu keadaaan di mana tingkat pendapatan absolut dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pemukiman, kesehatan dan pendidikan (Suyanto, 2013:3). Selanjutnya jenis yang kedua yaitu kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang dihubungkan dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran kelompok lain. Kemiskinan ini ditentukan dari sebuah perbandingan pengeluaran atau pendapatan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Kelompok yang pendapatan atau pengeluarannya lebih rendah dapat dikatakan relatif miskin. Bank dunia memberikan kriteria perbandingan antara jumlah penduduk berpendapatan terendah dengan prosentase yang meeka dapatkan dari perndapatan nasional, sehingga dapat digolongkan menjadi ketidakmerataan yang sangat timpang, sedang dan yang rendah (Suyatno, 2013: 3) Penduduk miskin sangat erat dengan ketidakmampuan, ketidakberdayaan, serta ketidakpunyaan. Emil Salim mendeskripsikan hal-hal yang tidak dimiliki oleh penduduk miskin yaitu; 1.Mutu tenaga kerja yang tinggi 2.Jumlah modal usaha yang memadahi 3.Luas tanah dan sumber alam yang mencukupi 4.Keterampilan dan keahlian yang cukup tinggi 13 5.Kondisi fisik jasmaniah dan rohaniah yang cukup baik 6.Rangkuman hidup yang memungkinkan perubahan dan kemajuan Semakin dalam orang tenggelam dalam jurang kemiskinan, semakin banyak dan meningkat pula mutu berbagai faktor-faktor ini diperlukan keluar dari jurang kemiskinan. (Emil Salim dalam Soemardjan, 1980:35) Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa semakin parah taraf kemiskinan seseorang, maka semakin diperlukan peningkatan mutu terhadap faktor yang justru tidak dimiliki penduduk miskin, untuk dapat bebas dari kemiskinan. Atau dengan kata lain, kemiskinan berbanding lurus dengan kebutuhan peningkatan mutu faktor yang tidak dimiliki. Namun sayangnya, kebutuhan tidak selalu mudah terpenuhi, terutama bagi orang-orang yang dilanda kemiskinan. Persoalan terhadapnya. Yusuf kemiskinan Qaradhawi juga melahirkan dalam bukunya banyak sudut ”Teologi pandang Kemiskinan”, membedakan pandangan terhadap kemiskinan menjadi lima pandangan, yaitu; pandangan pengkultus kemiskinan, pandangan Jabariyah, pandangan penyeru kesalehan individual, pandangan Kapitalisme, serta pandangan Sosialisme-Marxis (Qaradhawi, 2002). Namun menurut Qaradhawi, pandangan-pandangan tersebut memiliki banyak kelemahan sehingga tidak menghasilkan solusi yang dapat menjawab problema kemiskinan. Terjadinya kemiskinan juga disebabkan atau justru diperkuat oleh pemanfaatan struktur budaya, etika politik, dan bahkan agama secara keliru.Kemiskinan tidak lepas dari pengaruh kasta, ras, dan tradisi yang tidak lagi 14 manusiawi, semenetara politik melalui ideologi kapitalistiknya secara terangterangan mempertahanan sistem ekonomi dan struktur sosial budaya yang tidak adil (Mukhtasar, 2000: 1). Keadilan yang seharusnya terjadi di setiap lapisan masyarakat pada kenyataannya tidak dapat terwujud.Sebut saja salah satu yang terkait langsung dengan kesejahteraan yaitu keadilan ekonomi yang menjadi hak setiap masyarakat. MacPherson mendefinisikan keadilan ekonomi sebagai sebuah aturan main tentang hubungan ekonomi yang didasarkan prinsip-prinsip etika, yang bersumber pada hukum-hukum alam, hukum Tuhan, atau pada sifat sosial manusia (Mubyarto, 1990: 21). Kemiskinan sudah menjadi masalah yang terstruktur, melibatkan semua lapisan masyarakat. Struktur sendiri bersifat sosial sehingga hanya dapat diubah jika seluruh kelompok sosial terlibat. Kemiskinan dalam kategori ekonomis demikian itulah kiranya yang memicu munculnya gagasan dan aksi pembebasan (Mukhtasar, 2000: 2).Secara historis gagasan ini dan aksi ini dirintis pertama kali dari belahan dunia Amerika Latin, Amerika Utara, kemudian disusul Afrika serta belahan dunia Asia. Kemiskinan dalam konteks teologi pembebasan merupakan representasi dari keadaan kemanusiaan yang tak lagi manusiawi dan karena itu segala praktekpraktek manipulatif atas nilai-nilai etis dan agama harus disingkirkan (Mukhtasa, 2000:2).Agama khususnya telogi harus dapat ditransformasi untuk menata kembali struktur sosial yang tidak adil. 15 Asia, yang sebagian besar Negara nya dimasukkan dalam golongan Negara dunia ketiga, seringkali menjadi sasaran praktek eksploitasi dan manipulasi yang terus menerus menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara di Negara dunia ketiga. Sangat dimungkinkan bahwa ekonomi dunia akan mencapai keseimbangannya jika ekonomi Barat menghapuskan pemborosan dan pengerukan kekayaan dunia ketiga yang menyebabkan kemiskinan yang abadi. Kemiskinan terparah di Asia berada di Asia selatan yang meliputi Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka. Kendati demikian, sebuah harapan baik terhadap kemajuan perekonomian Asia Selatan mulai muncul sebagaimana yang dikatakan oleh Deepa Narayan dan Elena Glinskaya (2007): “South Asia usd to make headlines as home to the largest number of the world’s poor. While the region still has close to one-quarter of all humanity and almost 40 per cent of the world’s poor people, the dynamic economies of south Asia are increasingly in the news for more positive reason” (Narayan, 2007: 2) Kemajuan yang terjadi hanya akan menjadi angin segar sesaat apabila tidak berkelanjutan dalam prosesnya. Kemajuan pertumbuhan ekonomi Negaranegara di Asia tidak lantas menjadi ukuran dari meratanya kemajuan dan kemakmuran perekonomian inidvidu maupun kelompok masyarakatnya.Seperti yang telah diketahui bahwa masih sangat banyak penduduk Asia yang hidup dalam jeratan kemiskinan. Masyarakat Asia yang masih kental dengan relijiusitas, tentu akan sangat mudah untuk menerima solusi teologis terhadap permasalahan kemiskinan. Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer, dua tokoh teologi pembebasan dari Asia 16 nampaknya telah melakukan upaya tersebut. Oleh karena itu perlu untuk digali lebih dalam lagi pemikiran Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer guna menemukan sebuah solusi yang filosofis dan mampu menjadi sebuah alternatif baru. E. Landasan Teori Teologi pembebasan terdiri dari kata “teologi” dan “pembebasan”.Kata „teologi‟ berasal dari istilah Yunani yang berarti pembicaraan tentang „tuhantuhan‟ atau „Tuhan‟, khususnya secara legendaris atau filosofis (Mukhtasar, 2000: 17). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), „teologi‟ berarti pengetahuan Ketuhanan (mengenai sifat dasar Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasar pada kitab suci), (KBBI, 2005: 1177). Dalam Oxford Dictionary, Theology berati study of or system of religion; rasional analysis of a religious faith. Teologi pada dasarnya adalah usaha sadar dari orang Kristen untuk mendengarkan bisikan wahyu-sabda yang dinyatakan oleh Tuhan dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentangnya dengan menggunakan metode-metode keilmuan dan untuk merefleksikan tuntutan-tuntutan langkahnya pada tindakan (Rehner dan Vorgrimler dalam Mukhtasar, 2000: 84). Sementara itu di dalam Islam, teologi identik dengan ilmu-ilmu atau sikap-sikap yang berhadapan dengan sebuah kepastian akan Tuhan. Tradisi Islam menyebut teologi dengan beberapa istilah, nama yang paling populer adalah 17 Ushuluddin. Istilah ushuluddin merupakan gabungan dua kata yaitu ushul dan addin yang bisa diartikan dengan pokok-pokok atau kumpulan pondasi agama (Abdul dan Rosihin, 2011: 13). Maka bisa dikatakan istilah teologi atau ushuluddin dalam tradisi Islam merupakan sikap yang berkaitan langsung dengan agama dalam memahami ketuhanan. Pengertian kata „pembebasan‟ adalah proses, cara, perbuatan memerdekakan (tidak dijajah, diperintah, atau dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing), (KBBI, 2005: 118-119). Sebuah analisis historis tentang munculnya istilah „pembebasan‟ menunjukkan bahwa pada awalnya merupakan reaksi terhadap istilah „pembangunan‟ (development) yang dianggap oleh kalangan teologi pembebasan dari Amerika Latin telah membawa misi sistem ekonomi politik liberal dan kapitalis yang merusak kehidupan rakyat (Mukhtasar, 2000: 86). Nitiprawiro menyebutkan tiga macam isi arti pembebasan; pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik (Gutierrez), alienasi kultural (Galilea), atau kemiskinan dan ketidakdilan (Munoz), dan dari ketiganya yang hendak ditampilkan adalah kebebasan sebagai wujud nyata yang membentuk rumusan konseptual Teologi Pembebasan (Mukhtasar, 2000: 86). Teologi pembebasan bisa dipandang sebagai suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran teologi pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat. Kelahiran teologi pembebasan di Amerika Latin pada awal tahun 1960-an juga 18 dilatarbelakangi oleh adanya kondisi yang menyengsarakan rakyat miskin pada saat itu. Michael Lowy memetakan ajaran dasar para teolog pembebasan yang ditemukan dalam karya tulis mereka yang telah mampu membentuk pergeseran dari ajaran tradisional mapan pada saat itu. Beberapa diantaranya yang terpenting adalah tentang gugatan moral dan sosial terhadap sistem yang tidak adil, perjuangan kaum miskin menuntut kebebasan, serta kecaman terhadap teologi tradisional (Lowy, 1999). Teologi pembebasan menggunakan agama sebagai sebuah dasar atau landasan untuk bergerak. Paham ini hampir terdapat pada semua agama di dunia. Michael Amaladoss dalam bukunya “Teologi Pembebasan Asia” menulis tentang agama-agama di Asia yang identik dengan pembebasan, seperti agama Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Kristiani, Islam, dan juga agama-agama kosmis (Amaladoss, 2002). Teologi pembebasan berbeda dengan teologi tradisional. Apabila teologi tradisional bersifat tekstual, maka teologi pembebasan bersifat kontekstual, sehingga memerlukan upaya yang kritis dan mendalam, radikal, sebagai suatu upaya kontektualisasi. Dengan demikian, teologi pembebasan dapat dimasukan sebagai suatu pemikiran filosofis, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian kefilsafatan. Pemikiran Aloysius Pieris tidak hanya menjadi satu-satunya pemikiran yang akan menjadi landasan filosofis dalam penelitian ini, tawaran konsep yang diberikan oleh Asghar Ali juga menjadi pemikiran filsafat yang memperkaya 19 penelitian ini. Jika dalam banyak penjelasan bahwa teologi pembebasan adalah mengenai sikap anti-penindasan, maka tentu tindakan yang menjadi fokus utama adalah keberpihakan kepada orang-orang yang tertindas. Asghar Ali menyatakan bahwa semestinya di dalam kehidupan ini tidak ada penindasan yang dilakukan oleh siapapun dan atas nama apapun. Allah sendiri menegaskan bahwa keadilan merupakan ukuran tertinggi suatu masyarakat. Secara eksplisit disebutkan dalam al-Quran bahwa perintah yang diberikan kepada nabi Muhammad adalah untuk selalu berbuat adil. Sehingga bisa dikatakan bahwa ketakwaan sebagai simbol dari kondisi sosial sempurna yang dimiliki manusia akan selalu berbarengan dengan keadilan. Maka, pembebasan merujuk kepada tradisi keislaman adalah tentang segala bentuk usaha untuk mencapai keadilan, salah satunya melalui kajian teologi pembebasan. (Asghar, 2009: 7) Asghar Ali dan Pieris mungkin boleh dikatakan sebagai figur sentral dalam menyebarkan teologi pembebasan di wilayah Asia, khususnya Asia Selatan. Kendati latar belakang kedua tokoh tersebut adalah wilayah Asia Selatan, namun secara kultural pencapaian yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut di atas nampaknya akan sangat bisa digunakan di Asia bagian Tenggara. Hal ini bisa disimpulkan dari kesamaan bentuk kondisi-kondisi ketertindasan yang dimiliki oleh Negara di Asia Tenggara. Semuanya dalam skema umum dan vital sangat mirip, disebabkan faktor penyebab yang tidak terlalu jauh berbeda. Kemiskinan, dalam hal ini dipersoalkan dan salah satunya dibahas dari ketergantungan masyarakat di beberapa negara kepada sistem agama yang dianut. 20 Sehingga dibutuhkan sebuah masukan pemikiran baru dalam bentuk menarik sebagai usaha menemukan solusi yang lebih efektif. Perkembangan utama teologi Asia sebetulnya baru berlangsung sejak beberapa dekade yang lalu karena kebanyakan upaya rintisan sebelumnya kandas pada masalah sinkretisme (Rubianti dalam Mukhtasar 2000). Maka dapat disimpulkan bahwa tidaklah mudah merumuskan konsep teologi pembebasan Asia dengan kongkrit, lengkap, dan aplikatif. Diantara sekian banyak aneka teolog Asia, adalah Pieris sendiri yang boleh dikatakan menyediakan kerangka paling jelas untuk teologi pembebasan Asia (Mukhtasar, 2000). Pieris memandang Asia sebagai tempat yang sangat kental dengan corak teologis, ia mengemukakan kesimpulan bahwa semua agama „kitab-kitab suci‟ sedunia lahir di benua Asia (Pieris, 1997:12) Teologi pembebasan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki kebebasan. Bukan seperti doktrin yang berkembang dalam teologi tradisional, bahwa ketundukan manusia kepada kehendak Tuhan mengimplikasikan adanya penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Tuhan Yang Maha Kuasa. Metode dalam berteologi harus diperbaharui oleh tantangan dunia ketiga sehingga mempunyai relevansi bagi Asia yang tidak dimiliki oleh teologi klasik Ecumenical Association of Third World Theologians (Mukhtasar, 2000). Pieris menyoroti teologi tradisional dari dunia Barat yang sudah mulai diperbaharui sejak abad ke 19 dan mengalami terobosan besar dalam pikiran teologis pada pertengahan abad ke 20 dengan puncaknya yaitu teologi modern 21 yang terbuka terhadap dunia, dengan pusat utama pembaharuan di lingkup yang berbahasa Prancis dan Jerman (Pieris, 1997: 14-15). Islam pada sisi lain, sebetulnya tidak memiliki sebuah kondisi yang bertentangan apa yang disebarkan oleh Pieris. Melalui teologi pembebasannya, Asghar berkali-kali mengungkapkan bahwa nabi Muhammad adalah pembebas umat yang tertindas. Argumentasinya adalah orang-orang yang membantu nabi Muhammad kebanyakan berasal dari kaum miskin dan lemah. Sosok Muhammad sama dengan soso Musa yang muncul di tengah-tengah orang Yahudi. Mereka merindukan sebuah kebebasan dan kemudian ada seseorang yang menawarkan semua jalan menuju impian tertinggi mereka. Asia Selatan dan Tenggara yang telah terlanjur dicap sebagai negara ketiga, tentu saja merasakan kesempitan ruang sosial. Terutama paksaan untuk menerima sistem-sistem atau corak-corak yang kebarat-baratan. Hal inilah yang ditentang oleh Pieris dan tentu saja hal yang sama juga dilakukan oleh Asghar Ali. Sebelumnya, bagi Pieris para teolog dari dunia pertama sesungguhnya tidak sejalan dengan teolog dunia ketiga yang menekankan kebebasan manusia sebagai titah Tuhan secara langsung untuk para manusia yang tertindas, sebagaimana dikutip langsung; “Many first world theologians committed to social justice follow their pastoral magisterium in using the human rights language as a theological discourse whose primarily addresses could only be the wielders of power and the accumulators of wealth, including the governments of rich nations. The third world theologians on the contrary take human liberation as God’s specific language 22 primarily addressed to and easily understood by the poor and oppressed” (Pieris, 1988: 522) Memang, sesungguhnya teologi pembebasan melakukan kritik atas teologi tradisional yang banyak dipengaruhi unsur kepentingan. Namun fungsi refleksif kritis teologi itu tidak menggantikan fungsi teologi yang lain, yang tetap diandalkan dan diperlukan (Guiterez dalam Mukhtasar, 2000). Dalam konteks sejarah konkrit, persfektif baru tentang pentingnya indigenisasi yang berarti menghubungkan pola-pola pemikiran, budaya, simbolisme dan imajinasi, tradisitradisi keagamaan dan kebudayaan setempat dengan inti pewartaan Kristiani sedemikian sehingga dalam proses penyuburan silang lahirlah sesuatu yang dapat berakar dan tumbuh dalam iklim setempat, telah muncul teologi Kristen dalam konteks Asia (Mukhtasar, 2000). Dalam beberapa kondisi khusus, terlebih yang berkaitan dengan hubungan sosial masyarakat di Asia Tenggara, pengaruh Islam memang tidak bisa ditinggalkan. Meskipun dalam realitas yang ada, teologi pembebasan adalah produk yang telah dilekatkan kepada kaum Nasrani yang dalam hal ini didominasi oleh orang-orang Katolik. Namun demikian, konsep pembebasan yang dipahami oleh orang-orang Islam sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Muhammad Iqbal seorang pujangga dan pemikir revolusioner Islam yang juga berasal dari tanah Asia pernah mengungkapkan, bahwa Nabi Muhammad telah naik hingga langit tertinggi, namun beliau kemudian turun lagi. (Iqbal, 2002: 204) 23 Pandangan yang disampaikan oleh Iqbal di atas atau yang memang dipahami demikian oleh mayoritas ahli-ahli keislaman, merupakan patron prilaku pembebasan yang diperkenalkan oleh Muhammad. Untuk itu tidak bisa dikatakan bahwa teologi pembebasan atau mungkin dapat disebut juga dengan pengertian usaha pembebasan yang didasarkan kepada wahyu Tuhan adalah sebuah tradisi yang juga diperkenalkan oleh Islam. Dengan mengatakan seperti ini, sebagaimana yang dipahami bahwa tradisi keagamaan adalah tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari efektifitas yang diberikan. Untuk masyarakat Islam yang berada dalam sistem keagamaan Islami, maka tentu pandangan teologi pembebasan yang lebih cocok adalah yang juga diperkenalkan atau diajarkan oleh pemeluk kepercayaan yang sama. Beberapa kemungkinan alasan yang mendasarinya seperti sumber keimanan yang sama, dasar teologis yang sama, serta pemahaman-pemahaman yang berlandaskan kesamaan agama yang lebih mudah untuk diterima oleh umat Islam. Maka, penelitian ini juga menggunakan pandangan teologis milik Asghar Ali Engineer sebagai yang akan disandingkan untuk kemudian diperbandingkan dengan pandangan teologi Pieris dalam masalah kemiskinan di kawasan Asia Selatan dan Tenggara. 24 F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan mengenai pemikiran tokoh dengan metode hermeneutika, yang di dalam proses pembuatannya diupayakan pada tiga hal: 1. Bahan dan Materi Penelitian Peneliti mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan penelitian ini dari berbagai sumber. Pustaka yang digunakan diklasifikasikan menjadi pustaka primer dan pustaka sekunder : Kepustakaan primer adalah penelitian sosio-filosofis tentang kemiskinan serta karya tulis Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer, baik berupa buku maupun jurnal. Kepustakaan sekunder berupa buku-buku dan data lainnya seperti skripsi, tesis, ataupun penelitian sejenis lainnya yang berkaitan dengan tema dan dapat menunjang jalannya penelitian ini. 2. Tahapan Penelitian Adapun penelitian ini berjalan dalam tahap-tahap yang telah ditempuh sebagai berikut : a. Pengumpulan data, yaitu pencarian literatur yang berkaitan dengan tema penelitian. 25 b. Pengolahan data, yaitu mengelompokkan data menurut keperluan penelitian kemudian melakukan analisis terhadap data yang telah terkumpul. c. Penyusunan hasil penelitian, yaitu membuat laporan penelitian berdasarkan data yang telah diperoleh melalui kedua tahap sebelumnya. 3. Analisis Data Berdasarkan buku “Metodologi Penelitian Filsafat” karya Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, penelitian ini menggunakan Metode Hermeneutik dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut: a. Interpretasi : Peneliti berusaha memahami isi dari data yang telah ditemukan dan menguraikan makna dari data tersebut secara objektif. b. Kesinambungan historis : mencari relasi pemikiran Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris dengan fenomena kemiskinan di Asia yang ada pada saat ini. c. Deskripsi : Peneliti menguraikan secara teratur konsepsi pemikiran Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris sesuai dengan masalah yang diteliti. d. Komparasi : Peneliti melakukan analisis komparatif terhadap pemikiran Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris e. Heuristika : Peneliti berusaha menemukan sebuah pemahaman baru. 26 G. Hasil Yang Dicapai Hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini berdasarkan permasalahan dan tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh pemahaman mengenai Kemiskinan struktural di Asia 2. Memperoleh pemahaman terhadap pandangan Teologi Pembebasan Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer. 3. Menemukan konsep kemiskinan struktural berdasarkan pemikiran Aloysius Pieris dan Asghar Ali Engineer. 4. Menemukan relevansi terhadap persoalan kemiskinan dan upaya pemebebasan kemiskinan di Indonesia, yang diharapkan dapat dilanjutkan oleh penelitian-penelitian berikutnya sehingga dapat menjadi suatu solusi. H. Sistematika Penelitian Hasil penelitian ini akan dituliskan berdasarkan sistematika sebagai berikut: Bab I, berisi penjelasan secara umum mengenai penelitian yang dilakukan. Secara berurutan terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil telah dicapai, dan sistematika penelitian. Bab II, berisi biografi dan pemikiran tokoh yang diangkat dalam penelitian yaitu Asghar Ali Engineer dan Aloysius Pieris, berupa riwayat hidup dan karya-karya 27 yang berhubungan dengan teologi pembebasan, latar belakang pemikiran, pandangan teologi pembebasan, serta pandangan khas kedua tokoh. Pada bab ini juga dibahas komparasi pemikiran kedua tokoh tersebut. Bab III, berisi penjelasan tentang kemiskinan di Asia Selatan dan Tenggara yang terdiri dari gambaran umum berupadata kemiskinan di Asia secara global, pandangan tokoh-tokoh besar tentang kemiskinan di Asia, serta permasalahan di Asia yang timbul karena kemiskinan, terutama di kawasan Selatan dan Tenggara. Bab IV, memaparkan hasil analisis berupa komparasi konsep pemikiran kedua tokoh mengenai pandangan terhadap kemiskinan. Dalam bab ini juga dibahas hasil akhir dari analisis terhadap pembebasan kemiskinan struktural berdasarkan pemikiran kedua tokoh, yang kemudian direlevansikan dengan usaha pembebasan kemiskinan struktural di Indonesia. Bab V, merupakan bab penutup yang berisi rangkuman sejumlah kesimpulan umum, dan mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.