mikrosistem remaja yang ketergantungan obat

advertisement
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
MIKROSISTEM REMAJA YANG KETERGANTUNGAN OBAT
William Gunawan
Universitas Atma Jaya
Jakarta
[email protected]
Abstrak
In Indonesian context, teenage drug addiction become a major issue that need further
attention and intervention. This research was aimed to identify and and described the
microsystem of drugs addiction in teenager. Using Bronfrenbrenner’s ecology theory and
Leontyev’s activity system theory this research used a qualitative approach to describe the
pattern and dynamic of three recovering teenager with drug addiction. The result showed
that family aspect, school and peer pressure played an important factor in the microsystem
of teenager with drug addict. There were also found that the same activity system occurred
in the life of teenager with drug addict.
Kata kunci : mikrosystem, activity system, teenager, drug addict.
Pendahuluan
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) semakin hari
semakin meningkat. Menurut Hawari (2002), masalah Narkoba ini sudah merupakan
ancaman nasional bagi kelangsungan bangsa dan negara Republik Indonesia. Hal
ini disebabkan sebagian besar penderitanya adalah kaum remaja, anak bangsa
yang merupakan generasi penerus dan pewaris. Pada tahun 1999, menurut data
dari Mabes Polri tercatat 1.833 kasus narkotika yang terungkap dengan tersangka
2.595 orang, jumlah itu naik menjadi 3.478 kasus dengan tersangka 4.955 orang
pada 2000. Pada tahun 2001 jumlah ini naik lagi dengan 4.850 kasus lebih dengan
tersangka yang meningkat pula, sedangkan di tahun 2002 diperkirakan akan
mencapai lebih dari 6.000 kasus. (Kompas CyberMedia, 11 Desember 2001).
Saat ini diperkirakan sekitar 3,4 juta orang atau seperempat dari jumlah warga
DKI Jakarta dan sekitarnya menjadi pengguna Narkotika, zat adiktif, psikotropika,
dan obat-obatan berbahaya (Konsorsium LSM Program Penanggulangan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan (P4) Narkoba DKI Jakarta dalam Kompas Cyber
166
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Media, 21 Oktober 2003). Dari jumlah itu, 85 persen pengguna adalah remaja dan
pemuda berusia antara 15 tahun sampai 35 tahun. Sisanya orang dewasa di atas 35
tahun. (Kompas Cyber Media, 21 Oktober 2003). Lewat penelitian yang dilakukan
oleh Kanwil Depdiknas DKI, terungkap bahwa sebanyak 1.015 siswa di 166 SMU di
Jakarta selama tahun 1999/2000 terlibat penyalahgunaan narkoba. Dari 1.015 siswa
tersebut, 315 telah dikeluarkan dari sekolah karena ditemukan mengedarkan
narkoba, sedangkan 700 siswa lainnya ditindak dengan pembinaan. (Kompas Cyber
Media, 4 Agustus 2000).
Menurut data Recon Indo (Research Consultant Indonesia), tes urin yang
dilakukan terhadap 1.029 siswa dari 64 SMU di Jakarta menunjukkan bahwa 28
persen atau 290 siswa ditemukan sebagai pecandu berat dan juga pengedar
narkoba. (Kompas Cyber Media, 28 Juni 2000). Hawari (dalam Soekedy, 2002)
mengatakan bahwa di Jakarta, diperkirakan lebih dari 100.000 siswa sekolah dasar,
menengah dan atas (5%) dari seluruh 1.806.657 orang siswa SD, SLTP, dan SLTA
menjadi korban narkoba.
Walaupun telah dilakukan penelitian-penelitian dan upaya pencegahan
terhadap penyalahgunaan narkoba di Indonesia, bahkan sampai tahun 2000 tercatat
sudah berdiri lebih dari 100 LSM dan panti rehabilitasi yang menangani masalah
narkoba ini secara khusus, namun semua upaya penanganan dan penelitian yang
dilakukan belum mampu menjawab semua permasalahan yang ada (Somar, 2001).
Lebih lanjut Somar (2001) memaparkan bahwa falsafah penanggulangan narkoba
pada umumnya dan rehabilitasi pecandu pada khususnya, haruslah berubah dan
disempurnakan terus menerus.
Soekedy (2002) menambahkan, peningkatan jumlah pemakai narkoba secara
dramatis disebabkan beberapa aspek dan yang terutama adalah karena
penanganan narkoba selama ini hanya bersifat parsial, dengan tidak menuntaskan
akar masalahnya secara komprehensif, mulai dari hulu sampai hilir, dan tidak
mempengaruhi agen-agen masyarakat yang berperan dalam pencegahan narkoba.
Menurutnya, pencegahan yang dilakukan harus dilakukan secara konseptual dengan
visi menjangkau jauh ke depan, disertai misi yang jelas, serta mudah untuk
dilaksanakan oleh masyarakat dengan biaya yang relatif murah.
Menurut Edward (1998), program pencegahan penyalahgunaan narkoba yang
efektif seharusnya memiliki ruang lingkup yang menyeluruh dan komprehensif.
Program itu hendaknya mengenali setiap aspek dan strategi yang dibutuhkan untuk
167
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
mencapai sasaran. Program ini juga seharusnya mampu menjangkau dan
mempengaruhi secara langsung orang-orang yang signifikan untuk memberikan
perubahan seperti orang tua, pemberi teladan, pembimbing remaja dan pihak
pendidik. Bahkan seharusnya juga mampu mengubah kebijakan publik secara
intens, dan mengubah norma-norma di masyarakat. Program ini diikuti dengan
proses yang jelas dan terencana, suatu struktur kerjasama yang saling menguatkan,
tujuan yang realistik dan dapat diukur dan dilengkapi dengan prosedur untuk
evaluasi.
Program pencegahan yang dilakukan biasanya bersumber dari temuan-temuan
hasil penelitian yang sudah ada. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka
disusunlah suatu program-program pencegahan yang praktis dan tepat guna. Akan
tetapi, sesuai pendapat Somar (2001) penelitian holistik tentang penyebab dan
pencegahan Ketergantungan Obat masih belum ditemukan, khususnya dalam
konteks Indonesia. Ia mengemukakan bahwa penelitian yang ada cenderung masih
terbatas dan bersifat parsial. Menurut Somar (2001), diperlukan
landasan
pendekatan masalah narkoba yang bersifat komprehensif, terpadu dan holistik, baik
terhadap si pecandu maupun terhadap keluarganya dan lingkungan-lingkungan
lainnya.
Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menguatkan pendapat Somar
tersebut. Misalnya yang terlihat dalam penelitian Hawari (1995, 2000, 2002) dan
Yanny (2001).
Hawari (2002) menemukan beberapa hasil penelitian tentang
narkoba, antara lain meliputi faktor keluarga, teman kelompok, keberadaan narkoba,
sekolah, dan pengaruh masyarakat. Penelitiannya menunjukkan bahwa keadaan
keluarga yang tidak kondusif atau memiliki disfungsi keluarga mempunyai resiko
relatif (estimated relative risk) 7,9 (dalam skala 0-10) bagi anak/ remaja terlibat
penyalahgunaan/ Ketergantungan Obat. Sedangkan teman sebaya dinyatakan
sebagai
faktor
pencetus
sebesar
81,3%
terhadap
kemungkinan
remaja
menyalahgunakan narkoba atau relapse.
Senada dengan Hawari, menurut Yanny (2001), ada beberapa hal yang secara
langsung mempengaruhi penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan oleh remaja,
antara lain: (1) faktor dari dalam individu, yaitu rasa ingin tahu, kesenangan atau
kenikmatan, gangguan kepribadian dan (2) faktor dari luar, meliputi: 1.Tekanan
sebaya (peer pressure); 2.Kondisi keluarga; 3.Kondisi sekolah; 4.Lingkungan tempat
tinggal dan 5.Pengaruh Masyarakat.
168
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Sussman (dalam Edwards, 1998) menyatakan bahwa penelitian yang
berhubungan dengan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkoba yang
dilakukan selama ini berdasar pada suatu asumsi yang sederhana, bersifat linear,
dan menerapkan model penyebab yang tidak terfokus. Berdasarkan fakta-fakta di
atas, terlihat jelas bahwa diperlukan suatu penelitian dengan menggunakan
pendekatan yang komprehensif, holistik dan mempertimbangan keterkaitan antar
berbagai faktor yang menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan obat.
Menurut
Edwards
(1998)
faktor-faktor
yang
menyebabkan
terjadinya
penyalahgunaan narkoba dapat dijelaskan dengan menggunakan model ekologis
Bronfrenbrenner. Bahkan menurut Sussman (dalam Edwards, 1998), model
transaksional ekologis, adalah model yang paling tepat untuk menjawab
permasalahan penyalahgunaan narkoba, karena model pencegahan ini mampu
menanggulangi bahkan mencegah terjadinya penyalahgunaan secara dini mulai dari
lingkungan mereka yang terdekat. (Edwards, 1998).
Dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah
adalah: Bagaimana
gambaran mikrosistem dari kehidupan para remaja yang ketergantungan obat?
Penelitian ini bertujuan untuk mengambarkan bagaimana dinamika
mikrosistem
dalam kehidupan para remaja yang ketergantungan obat. Manfaat penelitian ini
bermanfaat untuk memperkaya wawasan ilmu pengetahuan di bidang psikologi
remaja, dan juga diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian lebih lanjut dalam
bidang ini. Selain itu juga bermanfaat untuk menggambarkan sub-sub sistem dalam
mikrosistem pada kehidupan remaja yang ketergantungan obat. Juga memberikan
masukan kepada lembaga-lembaga sosial yang ada seperti keluarga, sekolah,
pemerintah dan masyarakat untuk terlibat lebih dalam dalam menyelesaikan
masalah ketergantungan obat ini.
Tinjauan Teoritis
Model Ekologis Brofenbrenner
Menurut Bronfenbrenner (dalam Berns, 1997), interaksi antara konteks sosial
individu dan pengalaman-pengalamannya menentukan tingginya derajat individu
untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya dan menyadari potensipotensinya. Berdasarkan model Brofenbrenner, ada empat
struktur dasar –
mikrosistem, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem – yang didalamnya relasi
dan interaksi saling berhubungan untuk membentuk pola yang mempengaruhi
169
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
perkembangan manusia (Berns, 1997). Model ekologis yang dikembangkan
Brofenbrenner berfungsi sebagai panduan untuk penelitian proses sosialisasi yang
kompleks, yang mempengaruhi tingkah laku individu.
Gambar 1. Mikrosistem Remaja
Mikrosistem adalah struktur dasar pertama yang mengacu pada seseorang
yang melakukan aktivitas-aktivitas dan berhubungan dengan orang-orang yang
signifikan (significant others) seperti keluarga, sekolah, teman sebaya, atau
masyarakat sekitar (community) (Berns, 1997). Selanjutnya Berns, (1997)
menambahkan satu elemen lagi dalam mikrosistem yaitu media. Menurutnya, media
- seperti televisi, video, buku-buku, musik, radio, dan komputer – menyajikan suatu
gambaran yang memperlihatkan seluruh dunia dan dapat diamati oleh individu.
Keluarga merupakan salah satu konteks dalam mikrosistem yang memainkan
peranan yang sangat penting dalam pembentukkan tingkah laku individu. Sebuah
keluarga terdiri atas: seorang suami, istri, dan anak mereka. Keluarga semacam ini
disebut sebagai keluarga inti (nuclear family) (Berns, 1997). Keluarga merupakan
agen
sosialisasi
utama
yang
memiliki
pengaruh
paling
signifikan
dalam
perkembangan individu (Berns, 1997). Menurut Garbarino (dalam Berns, 1997),
anak yang tidak dirawat dan dicintai secara adekuat kemungkinan akan mengalami
masalah-masalah perkembangan. Jika suasana rumah tidak menyokong, maka
anak menjadi tidak bertanggung jawab dan melakukan perbuatan anti sosial dan
amoral (Gunarsa, 1995). Sebaliknya jika orang tua dapat memberikan pemahaman
dan memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangannya, maka anak
akan berperilaku wajar (Nadeak, 1991).
170
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Karakteristik dari keluarga yang sehat adalah adanya kasih dan penerimaan,
komunikasi terbuka, kedekatan, keyakinan tinggi akan nilai-nilai dan standar, dan
kemampuan menghadapi masalah. Sedangkan karakteristik keluarga yang tidak
sehat adalah terdapatnya egoisme, komunikasi yang buruk, aturan-aturan yang
kaku, dan tidak berhubungan dengan masyarakat sekitar. (Berns, 1997)
Allison (1999, mengutip Leone, Greenburg, Trickett, & Spero, 1989)
menemukan bahwa pelajar yang termasuk dalam behaviorally disordered dan
dilayani di sekolah yang khusus, memiliki tingkat penyalahgunaan obat yang lebih
tinggi dibandingkan remaja normal yang mengikuti program pendidikan biasa atau
pelajar biasa yang menerima pendidikan khusus dalam sekolah umum. Allison
(1999, mengutip Elmquist, Morgan & Bolds, 1992) juga menyatakan bahwa pelajar
yang termasuk behaviorally disordered memiliki tingkat penyalahgunaan obat yang
lebih tinggi dibandingkan pelajar yang termasuk nondisabled students dan learningdisabled students. Achir (1989), menjelaskan mengenai peranan guru yang selain
sebagai seorang pendidik, juga harus berperan sebagai seorang konselor bagi
murid. Peran guru yang penting adalah memberi dorongan dan pengarahan ke arah
mana murid akan mencari sendiri sumber informasi yang dibutuhkan. Peranan ini
makin diperlukan apalagi pada masa krisis moneter dan ekonomi yang melanda
Indonesia saat ini, diprediksi bahwa remaja / orang muda yang populasinya 85 juta
(44%) dari seluruh jumlah penduduk Indonesia akan mengalami kesulitan yang lebih
dalam untuk mendapatkan pendidikan maupun mengembangkan dirinya (Kompas
CyberMedia, 2001).
Teman sebaya adalah orang-orang yang memiliki kesamaan gender, usia,
status sosial dan ketertarikan (Berns, 1997). Hubungan teman sebaya yang
bermasalah biasanya dihubungkan dengan munculnya sejumlah masalah psikologis
dan tingkah laku selama remaja sampai dewasa. Teman sebaya juga memainkan
peranan penting dalam mengembangkan atau menghambat perkembangan
psikologis remaja. Dalam perjuangan mencari identitas, teman sebaya menyediakan
sejumlah model dan umpan balik yang tidak didapatkan remaja dari orang dewasa.
Dalam konteks kelompok sebaya, remaja dapat mencoba berbagai peranan yang
berbeda dan meniru berbagai identitas yang berlainan (Rice, 1993).
Loeb (dalam Adams & Gullota, 1983), membuat empat penggolongan
kelompok teman sebaya. Kelompok pertama sifatnya informal dan tidak memiliki
sosialisasi yang berkesinambungan. Kelompok ini seperti geng-geng jalanan,
171
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
merupakan kelompok yang sifatnya delinkuen atau nakal. Pada umumnya, mereka
melakukan tindakan yang menyimpang dari norma-norma. Kelompok kedua memiliki
aturan-aturan tertentu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Contoh kelompok ini
adalah kelompok penggemar (fans club). Setiap anggota memiliki kedekatan
emosional melalui pemujaan terhadap tokoh idola mereka seperti bintang film atau
grup musik tertentu. Kelompok ketiga terfokus pada pengalaman-pengalaman yang
berorientasi pada dunia dewasa. Keanggotaan kelompok ada yang ditentukan
berdasarkan pilihan sendiri, ada juga yang berdasarkan pilihan orangtua. Contoh
kelompok ini seperti kelompok musik, atau kelompok olah raga. Kelompok keempat
sifatnya formal dan disponsori oleh orang dewasa. Kelompok ini memiliki tujuantujuan formal dan aturan-aturan perilaku. Contoh kelompok ini adalah kelompok
pramuka.
Remaja mengutamakan kesenangan, hura-hura dan hidup mewah yang
semata-mata memikirkan kepuasan dan kesenangan yang sementara. Semboyan
mereka adalah “EGP” alias “Emang gue pikirin”. Di masa krisis ini kecenderungan ini
memang berkurang, tapi tetap menonjol sebagai salah satu sisi negatif pengaruh
teman sebaya (Gatra, Januari 1998). Adams dan Gullota (1983), menegaskan
bahwa bila yang dipilih remaja adalah kelompok yang delinkuen, maka umumnya
penggunaan obat-obatan sering menjadi bagian aktivitas kelompok. Pengaruh
kelompok teman sebaya bukan hanya pada perkembangan sosial, tetapi juga pada
perkembangan kognitif dan psikologis individu. Jadi apa yang dipikirkan oleh temanteman di dalam kelompok teman sebaya, kemungkinan akan menjadi pemikiran
individu remaja.
Masyarakat merupakan mikrosistem utama yang memungkinkan anak untuk
dapat belajar dengan langsung berbuat (learning by doing) (Berns, 1997).
Indonesia,
Di
saat ini masyarakat kota mengalami begitu banyak perubahan dan
menimbulkan suatu budaya transisi yang tidak kunjung berhenti. Salah satu hal yang
mendasar dalam perubahan budaya ini adalah perubahan komunikasi anatar
manusia. Dengan tulisan-tulisan yang memenuhi kota, maka manusia kota
cenderung berkomunikasi dengan penglihatan sebagai tumpuannya. Sedangkan
suara dan pendengaran dianggap sebagai sesuatu yang dapat diabaikan (Chandra,
1998). Komunikasi dengan masyarakat tentunya lebih melibatkan penglihatan, saling
meniru dan melakukan tanpa adanya percakapan dan perbincangan. Toko-toko,
perumahan, tempat orang bekerja, taman dan tempat lain yang ada di lingkungan
172
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
masyarakat penting bagi remaja untuk dapat mengamati bagaimana orang-orang
bekerja dan berinteraksi. Selain itu, kualitas hubungan antara anak dengan orangorang di lingkungannya akan sangat mempengaruhi sikap remaja.
Mesosistem adalah struktur dasar kedua yang meliputi ikatan dan hubungan
timbal balik antara dua elemen atau lebih yang berada dalam mikrosistem (Berns,
1997). Hubungan itu misalnya seperti, hubungan antara keluarga dengan sekolah
atau keluarga dengan teman sebaya remaja. Eksosistem mengacu pada konteks
yang tidak menjadikan remaja sebagai seorang partisipan aktif, melainkan
mempengaruhi remaja melalui salah satu konteks yang ada di mikrosistem (Berns,
1997). Pengaruhnya bersifat tidak langsung, melalui mikrosistem. Misalnya,
terjadinya demonstrasi di dekat sekolah akan mempengaruhi proses belajar
mengajar dan sosialisasi anak di sekolah. Struktur dasar makrosistem terdiri atas
lingkungan dan subkultur individu, dengan referensi tertentu terhadap sistem
kepercayaan, gaya hidup, pilihan hidup, serta pola-pola perubahan sosial (Berns,
1997). Makrosistem adalah konteks yang lebih global sifatnya. Contohnya adalah
negara Indonesia, status ekonomi menengah atau kurang, agama dan sebagainya.
The Activity System
Menurut Leontyev (1982), aktivitas manusia adalah suatu ‘evolutionary
achievement.’ Menurutnya, manusia dan mahkluk hidup lain tidak sekedar
beradaptasi pada lingkungan, melainkan juga mengkonstruknya. Engestrom (1987)
lebih lanjut mengatakan bahwa suatu tindakan yang bersifat ‘ecological’ dan ‘natural’
akan berubah menjadi bersifat ‘economic’ dan ‘historical’. Ia mengusulkan suatu
model ‘activity system’ yang mampu menggambarkan dan menganalisa beragam
interaksi manusia dalam berbagai aktivitas.
Dalam konteks mikrosistem dari seorang remaja yang ketergantungan obat,
maka yang menjadi subjek adalah individu remaja yang bersangkutan, objek adalah
perilaku menggunakan obat yang dikonsumsi, sedangkan problem space adalah
lingkungan mikrosistem dimana remaja terlibat, yaitu di sekolah, keluarga, pergaulan
sebaya, ataupun
kelompok aktivitas dimana subjek terlibat dan obat digunakan
sebagai alat / instrumen. Outcomes dalam hal ini adalah hasil yang didapatkan dari
pemakaian obat, apakah rasa puas, kebebasan, dan sebagainya. “division of labour”
menggambarkan pembagian tugas yang muncul di antara komunitas pemakai,
apakah sebagai Bandar, pengedar, atau pemakai biasa
173
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Gambar 2. Activity System
Activity system juga dapat menunjukkan hubungan antar satu system dengan
yang bahwa obat adalah instrumen, tetapi untuk menghasilkan obat itu sendiri, juga
merupakan suatu activity system dimana si obat berfungsi sebagai instrumen juga,
tetapi dengan outcomes untuk menghasilkan keuntungan, sementara community
dan division of labour-nya sedikit berbeda. Dengan menggunakan activity system,
maka gambaran mikrosistem dari kehidupan remaja yang ketergantungan obat
menjadi lebih jelas dan lebih dapat dimengerti. Hal ini disebabkan karena perilaku
remaja yang ketergantungan obat seringkali melewati batas-batas mikrosistem.
Misalnya, remaja yang memakai obat, bisa berinteraksi dengan banyak kelompok
dan teman sebaya untuk melakukan tingkah laku mengkonsumsi obat. Itu sebabnya
activity system memiliki kelebihan untuk dapat menjelaskan perilaku manusia yang
kompleks dan unik (Leontyev, 1977).
Remaja
Remaja, kata ini identik dengan istilah adolescence yang berasal dari bahasa
Inggris, dari kata bahasa Latin yaitu adolescere. Kata ini berarti bertumbuh atau
bertumbuh menuju kematangan, dikenal juga sebagai suatu masa peralihan. Masa
peralihan yang dimaksud adalah masa seorang remaja dapat menunjukkan sifat
anak-anak dan sifat orang dewasa dalam waktu yang berdekatan. Masa peralihan ini
juga ditandai dengan berkembangnya hormon-hormon yang memberikan perubahan
174
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
fisik dari anak-anak menjadi seorang dewasa
(secara fisik) yang mampu
menghasilkan keturunan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Balai Pustaka, 1996) kata
remaja berarti mulai dewasa, sudah cukup umur untuk kawin. Masa remaja menurut
E.H. Erikson (dalam Rice, 1993) dapat didefinisikan: Adolesensia merupakan suatu
masa di mana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas. Identitas
mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain.
Sedangkan menurut pakar psikologi remaja dari Indonesia, Dra. Y. Singgih D.
Gunarsa (1990), masa remaja didefinisikan masa peralihan dari masa anak ke
masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan
memasuki masa dewasa.
Dalam pembagian usia yang jelas terhadap masa remaja dapat ditujukan pada
seluruh proses perkembangan psikis dalam masa remaja dengan batas umur 12
sampai 22 tahun sesuai kondisi Indonesia menurut Dra. Singgih (Gunarsa, 1990,
dalam Mulyono, 1992). Selanjutnya, dalam pembahasan lebih dalam masa remaja
dapat dibagi ke dalam tiga bagian besar sesuai perkembangan dan perubahannya,
yaitu: (a) Remaja Dini, 12 – 15 tahun. Masa perubahan fisik (pubertas) dimana
tercapai kematangan seksual; (b) Remaja Madya, 15 – 18 tahun. Masa remaja
berusaha menemukan diri dalam hubungan dengan teman, keluarga, masyarakat;
(c) Remaja Lanjut, 18 – 22 tahun. Remaja mulai menempatkan diri dan mulai
memasuki lingkungan orang dewasa.
Menurut Erikson (1975/1989), masa remaja adalah masa krisis normatif,
sebuah masa normal berkembangnya konflik, remaja dihadapkan pada revolusi
fisiologis dalam diri mereka dan dengan tugas-tugas nyata sebagai orang dewasa
yang ditandai dengan berfluktuasinya kekuatan ego. Pada masa inilah seorang
individu harus mengembangkan suatu identitas pribadi (personal identity) dan
menghindari bahaya dari kekaburan peran (role diffusion) atau kekaburan identitas
(identity diffusion). Kunci untuk menemukan identitas menurut Erikson, sangat
bergantung pada interaksi remaja dengan orang-orang lain. Melalui bereaksi
terhadap orang lain yang berpengaruh, remaja memilih dan memutuskan dari sekian
banyak elemen yang dapat menjadi bagian dari identitas akhirnya. Melalui orang
lain, remaja belajar mengenali dirinya, mengetahui bahwa dia seorang yang pemalu,
menarik, atau seorang yang jelek. Identitas akhir dari seorang remaja adalah hasil
175
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
dari pengenalan timbal balik antara remaja dan masyarakat / lingkungan (Steirnberg,
1993 dan Santrock, 1998).
Secara umum, mereka yang menyalahgunakan narkoba dapat dibagi dalam 3
golongan besar, yaitu: (1) Ketergantungan primer, ditandai dengan adanya
kecemasan dan depresi, yang pada umunya terdapat pada orang dengan
kepribadian tidak stabil. Mereka ini sebetulnya dapat digolongkan orang yang
menderita sakit (pasien) namun salah atau tersesat ke narkoba dalam upaya untuk
mengobati dirinya sendiri yang seharusnya meminta pertolongan ke dokter
(psikiater). Golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman;
(2) Ketergantungan reaktif, yaitu (terutama) terdapat pada remaja karena dorongan
ingin tahu, bujukan dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta pengaruh teman
kelompok sebaya (peer group pressure). Mereka ini sebenarnya merupakan korban
(victim), golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman; (3)
Ketergantungan simptomatis, yaitu penyalahgunaan/Ketergantungan Obat sebagai
salah satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, pada umumnya terjadi
pada orang dengan kepribadian antisosial (psikopat) dan pemakaian narkoba itu
untuk kesenangan semata. Mereka dapat digolongkan sebagai kriminal karena
seringkali mereka juga merangkap sebagai pengedar (pusher). Mereka ini selain
memerlukan terapi dan rehabilitasi juga hukuman.
Singkatnya, penyalahgunaan/Ketergantungan Obat adalah suatu kondisi yang
dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu gangguan jiwa, yaitu gangguan mental
dan perilaku (mental and behavior disorder) akibat penyalahgunaan narkoba.
Akibatnya penyalahguna narkoba tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam
masyarakat dan menunjukkan perilaku maladaptive. Kondisi demikian dapat dilihat
pada hendaya (impairment) dalam fungsi sosial, pekerjaan atau sekolah,
ketidakmampuan untuk mengendalikan diri dan menghentikan pemakaian narkoba,
dan yang dapat menimbulkan gejala putus narkoba (withdrawal symptoms) jika
pemakaian narkoba itu dihentikan (Hawari, 2002).
Narkotika dan Jenis-jenis Obat Lainnya
Narkotika secara farmakologik adalah opioida, menurut UU no 22, tahun 1997,
yang dimaksud dengan Narkotika meliputi Opioida, Canabis (ganja) dan Cocain. Zat
adiktif dan obat berbahaya adalah zat yang menimbulkan ketergantungan bagi
pemakainya, yang meliputi Alkohol, Nikotin, Kafein; yang termasuk psikotropika
176
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
adalah bahan atau substansi yang dapat mempengaruhi atau mengubah kondisi
mental dan perilaku pemakainya, yang meliputi Amfetamin. Halusinogen, Sedativa
dan Hipnotika; sedangkan yang digolongkan zat adiktif lain adalah PCP, Solven dan
Inhalansia. Semua jenis yang dicantumkan di atas dapat mengakibatkan efek
ketergantungan pada pemakainya.
Narkotika: Istilah "narkotika" mungkin ada hubungannya dengan kata "narkan"
(bahasa Yunani) yang berarti menjadi kaku. Dalam dunia kedokteran dikenal juga
istilah narkose atau narkosis yang berarti dibiuskan. Obat narkose yaitu obat yang
dipakai untuk pembiusan dalam pembedahan. Dalam undang-undang narkotika no 9
tahun 1976, Bab I ketentuan Pasal 1, yang termasuk narkotika meliputi tiga
kelompok yaitu opioida, koka dan ganja. Opioid (Opiat): "Opioid" atau "opiat"
berasal dari kata "opium", jus dari bunga opium, Papaver somniverum, yang
mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin. Nama "opioid" juga
digunakan untuk "opiat", yaitu suatu preparat atau derivat dari opium dan narkotik
sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak didapatkan dari opium.
Morfin: Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin
merupaakan alkaloida
utama dari opium (C17H19NO3). Morfin rasanya pahit,
berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna.
Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. Heroin (putaw): Heroin
mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat
yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir-akhir ini. Heroin,
yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi
mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan,
penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia
bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforiknya
yang baik. Codein: Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek
codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya
untuk menimbulkan
ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara
pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.
Demerol: Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat
ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak
berwarna. Methadon: Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam
pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati
overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik
177
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
(opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (Dolphine),
pentazocine (Talwin), dan propocyphene (Darvon). Saat ini Methadone banyak
digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah
dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas obat
tersebut dalah nalaxone (Narcan), naltrxone (Trexan), nalorphine, levalorphane, dan
apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis
telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine, butorphanol (Stadol),
dan buprenorphine (Buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa
buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid.
Nama popoler jenis opioid: putauw, etep, PT, putih.
Kokain: Kokain adalah zat yang adiktif yang sering disalahgunakan dan
merupakan zat yang sangat berbahaya. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan
dari tanaman belukar Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, dimana
daun dari tanaman belukar ini biasanya dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat
untuk mendapatkan efek stimulan. Saat ini Kokain masih digunakan sebagai
anestetik lokal, khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan,
karena efek vasokonstriksifnya juga membantu. Kokain diklasifikasikan sebagai
suatu narkotik, bersama dengan morfin dan heroin karena efek adiktif dan efek
merugikannya telah dikenali. Nama lain untuk Kokain adalah Snow, coke, girl, lady
dan crack (kokain dalam bentuk yang paling murni dan bebas basa untuk
mendapatkan efek yang lebih kuat).
Kanabis (Ganja): Kanabis adalah nama singkat untuk tanaman Cannabis
sativa. Semua bagian dari tanaman mengandung kanabioid psikoaktif. Tanaman
kanabis biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong kecil - kecil dan digulung menjadi
rokok (disebut joints). Bentuk yang paling paten berasal dari tanaman yang
berbunga atau dari eksudat resin yang dikeringkan dan berwarna coklat-hitam yang
berasal dari daun yang disebut hashish atau hash. Nama yang umum untuk Kanabis
adalah, marijuana, grass, pot, weed, tea, Mary Jane. Nama lain untuk
menggambarkan tipe Kanabis dalam berbagai kekuatan adalah hemp, chasra,
bhang, dagga, dinsemilla, ganja, cimenk.
178
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai
pendekatan yang sesuai untuk menjawab permasalahan yang muncul. Menurut
Strauss dan Corbin (1990), istilah penelitian kualitatif berarti segala macam
penelitian yang hasilnya bukan berupa hasil perhitungan statistik.
Pendekatan
kualitatif lebih menghargai data sebagai data yang mempunyai arti secara intrinsik,
berbeda dengan pendekatan kuantitatif yang mengubah data ke dalam angka-angka
yang objektif dan reliabel. (Neuman, 2000, dalam Alsa, 2003).
Penelitian dengan pendekatan kualitatif memiliki beberapa karakteristik yaitu
studi dalam situasi ilmiah, analisis induktif, kontak personal langsung di lapangan,
perspektif holistik, perspektif dinamis, orientasi pada kasus unik, netralitas empirik,
fleksibilitas desain, dan peneliti sebagai instrumen kunci (Poerwandari, 1998).
Sampel Penelitian adalah remaja, laki-laki dan perempuan yang berusia antara 2026 tahun. Sampel hendaknya pernah mengikuti Pendidikan sekolah formal antara
SMA atau Perguruan Tinggi, dengan asumsi untuk mendapatkan konteks
mikrosistem yang tepat. Sampel juga dipastikan adalah seorang remaja yang
ketergantungan obat / user yang sudah memiliki pengalaman pemakaian obat
selama lebih dari 1 tahun. Sampel ini diambil dengan menggunakan pengambilan
sampel dengan kriteria tertentu. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998), logika
yang mendasari pendekatan ini adalah penelitian akan mereview dan mempelajari
semua kasus yang memenuhi kriteria penting tertentu yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sampel dalam penelitian ini
didapatkan melalui kenalan Panti
Rehabilitasi atau Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta.
Teknik yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara.
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan karena peneliti bermaksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu
berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap
isu tersebut (Poerwandari, 1998). Menurut Kerlinger (2000), wawancara (interview)
adalah situasi peran antar-pribadi bersemuka (face-to-face), ketika seseorang-yakni
pewawancara-mengajukan
pertanyaan-pertanyan
yang
dirancang
untuk
memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, kepada
seseorang yang diwawancara, atau responden. Ada dua cara pembedaan tipe
wawancara dalam tataran yang luas: terstruktur dan tak-terstruktur atau standar dan
179
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
tak-standar. Dalam penelitian ini akan digunakan wawancara standar yang
mempergunakan pedoman terstandar yang terbuka, skedul wawancara telah
dipersiapkan secara cermat untuk memperoleh informasi yang relevan dengan
masalah
penelitian.
Dalam
wawancara
standar,
pertanyaan-pertanyaan,
runtutannya, dan perumusan kata-katanya sudah “harga mati”, artinya sudah
ditetapkan dan tidak boleh diubah-ubah. Pewawancara masih punya kebebasan
tertentu dalam mengajukan pertanyaan, tetapi itu relatif kecil (Kerlinger, 2000).
Untuk mengantisipasi tingkah laku membohong yang sering dilakukan oleh
seorang pecandu, maka peneliti mengadakan proses triangulasi, yaitu proses yang
dilakukan untuk menjaga kualitas data penelitian kualitatif, antara lain dilakukan
dengan metode triangulasi. Triangulasi dalam penelitian ini meliputi: (1) triangulasi
dengan sumber, dilakukan dengan membandingkan dan mengecek ulang data hasil
pengamatan dengan hasil wawancara; (2) triangulasi dengan metode, dilakukan
dengan membandingkan dan mengecek ulang informasi dari pengamatan,
wawancara, dan tes akhir tindakan dengan metode yang digunakan dalam tindakan;
dan (3) triangulasi dengan teori, dilakukan untuk membandingkan data hasil
tindakan, pengamatan, dan wawancara dengan teori yang terkait (Miles &
Huberman, 1992). Triangulasi dilakukan dengan cara mewawancarai “significant
others” dari objek untuk melakukan cross check / pemeriksaan silang terhadap
keterangan dari responden. Proses ini dapat dilakukan dengan mengunjungi
keluarga responden, sekolah responden, dan wawancara dengan teman sebaya
ataupun orang-orang dekat lainnya.
Hasil Penelitian
Gambaran Subjek Penelitian
Tabel 1. Gambaran Subjek Penelitian
RESP USIA AGAMA
SUKU
BANGSA
TEMPAT
TINGGAL
SOSIAL
EKONOMI
R
26
KRISTEN
TIONGHOA
JAKARTA BARAT
MENENGAH
H
23
BUDHA
TIONGHOA
JAKARTA UTARA
MENENGAH
ATAS
T
24
KRISTEN
TORAJA
JAKARTA SELATAN
MENENGAH
ATAS
180
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Analisa Intra Kasus
Responden R
Perkenalannya yang pertama dengan narkoba terjadi pada tahun 1994,
sewaktu R duduk di kelas 1 SMU, dengan pertama kali mengkonsumsi pil BK yang
didapat dari temannya. Perkenalan pertama itu didasari oleh rasa ingin tahu
terhadap ‘barang hebat’ yang bisa membuatnya melupakan masalah. R mengatakan
bahwa ia merasa tertantang untuk memuaskan rasa ingin tahunya dan menunjukkan
rasa solidaritasnya bersama-sama kelompoknya. Tapi, R juga menambahkan faktor
lain selain ingin tahu yang membuatnya mengkonsumsi obat terlarang untuk
pertama kali. Dari penelusuran lebih lanjut, didapati bahwa R memiliki “traumatic
experience” dalam hidupnya, berupa penganiayaan fisik yang dilakukan oleh
ayahnya. Selain itu, R mengakui ada masalah di rumah.
Bagi R, narkoba merupakan objek yang menghasilkan berbagai outcomes,
antara lain sebagai instrumen pelengkap bagi aktivitas bersama teman-temannya,
juga sebagai instrumen untuk menghasilkan outcomes untuk membantu dirinya
melepaskan ketegangan hidupnya. Berdasarkan
bagan di atas, dapat terlihat
adanya activity system utama yang terjadi pada saat pertama kali R memakai obat,
yaitu tindakan yang terlihat dan diketahui umum bahwa R tertarik memakai obat
sebagai rasa solider terhadap teman-temannya, disamping juga ada dua activity lain
yang juga menjelaskan alasan R tertarik memakai obat untuk pertama kalinya, yaitu
sekunder dan tersier. Pada activity system utama, perilaku mengkonsumsi obat yang
dilakukan R bertujuan untuk menghasilkan solidaritas agar diterima kelompok,
sehingga dalam activity system utama ini, yang menjadi objek adalah peer pressure
yang dihadapi.
Pada activity system sekunder, perilaku R bertujuan menghasilkan outcome
untuk memuaskan rasa ingin tahu, karena melihat dan mengamati dari lingkungan
sekeliling
bahwa
perilaku
menggunakan
narkoba
sepertinya
menarik
dan
memberikan pengalaman khusus. Pada activity system tersier, R menghadapi
masalah dari keluarganya, sehingga ia menggunakan obat sebagai instrumen untuk
melarikan diri dari masalaah dan hasilnya masalahnya menjadi hilang. Dalam hal ini
activity system berhasil menjelaskan bahwa terhadap satu tindakan yang sama ada
bermacam outcomes yang ditampilkan.
181
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Dalam bersekolah, R jarang sekali menggunakan instrumen yang diperlukan
untuk mendapatkan outcomes maksimal dari sekolah, juga seringkali melanggar
aturan-aturan yang ada, yang berbuntut pada perpindahan R yang cukup sering di
berbagai sekolah. R sering bolos, tidak membawa buku, dan mencontek saat
ulangan, R juga pernah dua kali dikeluarkan dari sekolah, menghindari pemanggilan
orang tua, berkelahi dengan teman, bahkan berkelahi dengan guru. Menurut R,
kegagalannya di sekolah dengan dua kali dikeluarkan, dan harus menyogok di
sekolah yang baru disebabkan oleh buruknya kualitas sekolah tempat dia belajar,
juga karena guru yang tidak mampu menjadi pendidik yang baik, dan aktivitas dari
teman-temannya yang mempengaruhi dia. Dari penuturan R, terlihat bahwa R
memiliki masalah di sekolah, yaitu berupa prestasi buruk dan kegagalan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, R tercatat beberapa kali dikeluarkan
karena berkelahi dan dipanggil orang tuanya karena membolos dan melanggar
peraturan. Perilaku R membolos adalah suatu instrumen/ alat yang dilakukan untuk
menghindari hukuman dan sanksi yang lebih berat dari pihak sekolah.
Selain itu, pada akhirnya perilaku membolos, kabur dari sekolah, bermain bola
pada saat pelajaran, yang pada awalnya adalah instrumen untuk melarikan diri dari
kenyataan kegagalannya di sekolah, perlahan mulai digantikan oleh narkoba. R
mulai menggunakan obat untuk menjadi jalan keluar atas stress yang dihadapinya,
dalam hal ini obat-obatan mulai menjadi instrumen utama yang akhirnya justru
memperburuk kondisinya. Selain bersekolah, lingkup mikrosistem lain dari R adalah
kegiatan nongkrong yang dilakukannya bersama teman-temannya, baik kelompok
kecil sejumlah tiga orang maupun bersama kelompok besar geng motornya. Dalam
nongkrong itu, trjadi pembagian tugas, di dalam kelompok ada anggota yang
berperan sebagai bos, pengatur tempat, pemakaian, dan sebagainya, channel
sebagai sumber informasi dimana bisa mendapatkan obat, Bandar tempat obat bisa
diambil, dan pembeli obat, serta pemakai.
Sedangkan objek yang dikonsumsi berbeda, pada awalnya R mengkonsumsi
BK, kemudian beralih ke cimeng dan akhirnya menggunakan inex & extasy. Bagi R,
pada mulanya kegiatan nongkrong adalah sebagi suatu instrumen untuk
menghilangkan ke-BTan di rumah, dengan lingkungan komunitas rumah yang penuh
masalah, akhirnya R melakukan kegiatan nongkrong berupa ikut dalam geng motor
yang dilanjutkan dengan kegiatan pergi ke diskotek. Dalam aktivitas tersebut, obat
tidak berfungsi sebagai instrumen pengganti tetapi lebih berfungsi untuk
182
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
memberikan perasaan diterima dalam kelompok karena sesama pemakai. Bagi R,
keluarga merupakan suatu tempat, komunitas bersama yang tidak berjalan sesuai
dengan keinginannya. Keluarga R adalah keluarga yang kurang harmonis, orang
tuanya sering bertengkar, dan ayahnya adalah pecandu alkohol. Aturan-aturan /
Rules yang berlaku dalam keluarga R sering diterapkan tidak tepat, karena ayahnya
cenderung otoriter dan suka melakukan kekerasan, sedangkan ibunya lebih pasif
dan pengalah. R juga merasakan bahwa dia kurang diterima dalam community di
rumahnya, baik oleh ayah, ibu, maupun saudara-saudaranya. Ia merasa bahwa
ayah-ibunya pilih kasih terhadap dirinya. Menurut R, ketidaknyamanannya di rumah
banyak disebabkan oleh perilaku ayahnya. Semua hal yang dialami R mencapai
puncaknya pada waktu R dipukul oleh ayahnya sewaktu mabok dan R diusir oleh
ayahnya. Selain itu, tindakan R pindah kos juga disebabkan agar R bisa lebih bebas
dalam melakukan aktivitasnya menggunakan narkoba.
Dalam hal ini, R memiliki lingkungan rumah yang kurang menyokong, sehingga
tingkah laku menggunakan obat yang pada awalnya bersifat coba-coba, mendapat
‘pembenaran’ untuk terus dilakukan. Orang tua R, terutama ayahnya, juga gagal
memberikan pemahaman dan perhatian yang besar terhadap tingkah laku R, malah
memberikan pengajaran dalam bentuk otoriter yang semakin memperburuk
situasinya. R akhirnya mengambil langkah untuk keluar dari trumah dan pindah kos.
Dalam hal ini tempat kos bukanlah menjadi komunitas barunya, tetapi menjadi suatu
instrumen untuk melarikan diri dari kenyataan di rumah. Pada akhirnya, perilaku
pindah kos ini menjadi suatu komunitas baru bagi R untuk menggunakan obat. Jika
digambarkan, maka activity systemnya akan seperti berikut: Di kalangan pecandu
narkotika, sebenarnya tidak ada istilah sembuh untuk pemakainya. Semua orang
yang mengkonsumsi narkoba biasanya menyebut diri mereka recovering (masih
dalam proses penyembuhan) dibandingkan dengan recovered (sudah sembuh).
Bagi R, lepas dari Ketergantungan Obat dimulai sejak tahun 1998 sampai
2000, dan terpotong ketika R pergi berpetualang ke kota Surabaya dan Semarang.
Selama masa itu, R mengatakan bahwa dia berkali-kali mengunjungi panti
rehabilitasi, RSKO dan berbagai lembaga penyembuhan, namun dorongan
sekelilingnya membuatnya terus relapse dan relapse lagi. Masa-masa setelah lepas
dari ketergantungan obat, dilaluinya dengan penuh tantangan dan harapan, namun
R merasa yakin bahwa dia mampu mengatasi sakitnya itu bersama dukungan
lingkungan sekeliling dan terutama Tuhan.
183
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Responden H
Pertama kali H berkenalan dengan narkoba pada waktu diadakan suatu pesta
perpisahan kelulusannya dari SMP, waktu itu dan beberapa orang temannya pergi
ke villa orang tuanya di Puncak, dan di dalam pesta itu, ternyata ada salah seorang
temannya yang membawa, dan mereka mencoba itu bersama-sama. Jadi, keinginan
untuk mengkonsumsi narkoba pertama kalinya karena dorongan rasa ingin tahu dan
pengaruh teman sebaya yang mendorong. Dan pengalaman pertama itu ternyata
tidak memberikan kesan yang baik untuk H.
Bagi H, narkoba merupakan objek yang menghasilkan berbagai outcomes,
antara lain sebagai instrumen pelengkap bagi aktivitas bersama teman-temannya,
juga sebagai instrumen untuk menghasilkan outcomes untuk membantu dirinya
melepaskan ketegangan hidupnya. Terlihat adanya activity system utama yang
terjadi pada saat pertama kali H memakai obat, yaitu supaya diterima oleh
kelompok, teman-temannya, disamping juga ada dua activity lain yang juga
menjelaskan alasan H tertarik memakai obat untuk pertama kalinya, yaitu sekunder
dan tersier. Pada activity system sekunder, perilaku H bertujuan menghasilkan
outcome untuk memuaskan rasa ingin tahu, karena melihat dan mengamati dari
lingkungan sekeliling bahwa perilaku menggunakan narkoba sepertinya menarik dan
memberikan pengalaman khusus. Pada activity system tersier, R menghadapi
masalah dari keluarganya, sehingga ia menggunakan obat sebagai instrumen untuk
melarikan diri dari masalah dan hasilnya masalahnya menjadi hilang.
Salah satu aktivitas yang dilakukan oleh H selama masa-masa menggunakan
narkoba adalah bersekolah. Pada awalnya, H bersekolah di sekolah yang cukup
baik, yaitu SMU TXXX.. Guru-guru di sekolah ini lebih ketat, peduli dan cukup
perhatian kepadanya. Karena tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah TXXX, H
akhirnya tinggal kelas dan harus pindah ke sekolah lain. Sekolah barunya, CXXX,
ternyata memiliki kondisi yang lebih buruk dari TXXX. Selain itu, di sekolah CXXX,
guru-gurunya sering absen dan tidak memberikan teladan dan bimbingan yang baik
sebagai seorang guru. H
menambahkan bahwa di sekolah ini, guru-gurunya
memiliki moral rendah dan dapat disuap. H juga menceritakan bahwa dia dua kali
dikeluarkan dari sekolah, yakni di CK dan di Diakonia. H mengaku hanya memiliki
beberapa teman dekat di sekolah, di antaranya adalah teman yang sering bersamasama mengkonsumsi obat, dengan teman-teman lainnya.
184
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Dari penuturan H, terlihat bahwa H memiliki masalah di sekolah, yaitu berupa
prestasi buruk dan kegagalan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah,
R tercatat beberapa kali dikeluarkan karena berbagai kasus dan dipanggil orang
tuanya karena membolos dan melanggar peraturan. Dari uraian ini dapat dijelaskan
bahwa perilaku H membolos adalah suatu instrumen/ alat yang dilakukan untuk
menghindari hukuman dan sanksi yang lebih berat dari pihak sekolah.
Perilaku membolos yang pada awalnya adalah instrumen untuk melarikan diri
dari kenyataan kegagalannya di sekolah, perlahan mulai digantikan oleh narkoba. H
mulai menggunakan obat untuk menjadi jalan keluar atas stress yang dihadapinya,
dalam hal ini obat-obatan mulai menjadi instrumen utama yang akhirnya justru
memperburuk kondisinya. Salah satu aktivitas utama yang menjadi activity system
dari perilaku H menggunakan narkoba adalah geng motor. H mulai mengikuti geng
motor sejak tahun 1997, dan menjadi salah satu community utama dalam
mengkonsumsi narkoba, tapi di sisi lain geng motor ini juga menjadi objek aktivitas
yang di dalamnya ia dapat merealisasikan dirinya dan mendapatkan outcome
berupa kebebasan sebebasnya, di sisi lain, geng motor ini juga dapat berperan
sebagai instrumen dalam hal memenuhi kebutuhannya untuk mendapatkan teman
dan menghilangkan kesepian hatinya.
Dalam analisa ini akan dititik beratkan pada fungsi geng motor sebagai
community tempat H mengkonsumsi obat, yang di dalamnya terdapat aturanaturan dan pembagian tugas antar anggota. Aturan–aturan yang terdapat dalam
geng motor ini cukup banyak, aturan utamanya tentu saja harus memiliki motor,
yang diutamakan bukan jenis motor bebek, dan juga penggunaan atribut tertentu.
Aturan lain adalah mengenai tarohan yang dilakukan, dan pembagian uang hasil
kemenangan. Aturan lainnya adalah mengenai penampilan dan atribut-atribut yang
digunakan. Selain itu juga ada semacam ritual bagi anggota baru, yakni semacam
perploncoan dari yang senior, dimana calon anggota harus mengikuti segala
perintah dari senior. Mengenai kehadiran dalam setiap kegiatan nongkrong atau
pertemuan, biasanya fleksibel, begitu juga dengan waktu kedatangan. Pengaturan
waktu dan kegiatan bersama kelompok biasanya dilakukan oleh bos. Bos adalah
yang dituakan, ditakuti dan dihormati oleh anggota, dan mendapatkan perlakukan
khusus. Penentuan kegiatan tidak dilakukan secara otoriter atau sekehendak bos,
melainkan lebih bersifat kekeluargaan.
185
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
H memiliki orang tua yang kaya raya, semua kebutuhannya terpenuhi dan H
diberikan kesempatan menikmati kemewahan hidup. Tetapi H menyadari bahwa
keluarganya memiliki satu kekurangan yang dinginkannya, yaitu rasa kasih sayang
dan kedekatan. Menurutnya, orang tuanya sibuk dan kurang memberikan perhatian
yang diidamkannya, ia merasa bahwa jarang terjadi komunikasi yang hidup dan
hangat di tengah keluarganya. Menurut H, kedua orang tuanya sibuk sekali karena
baik ayah maupun ibunya adalah pekerja, sehingga jarang meluangkan waktu untuk
mengobrol. Ayah H juga cuek dan pendiam, jarang bertanya dan mengobrol.
Walaupun ayah dan ibunya memberi perhatian, menurut H, itu tidak cukup dan
bukan yang diinginkannya, karena ayah H lebih suka mengomel daripada
mendengarkan, demikian juga ibunya yang lebih suka bertanya secara basa basi,
dan bukan atas dasar hubungan yang hangat.
H juga menambahkan bahwa kedua orang tuanya sering memberikan stigmastigma negatif kepada dirinya dan membanding-bandingkannya dengan kakaknya. H
juga merasa kesal karena sering dibanding-bandingkan dan diperlakukan berbeda
oleh kedua orang tuanya. Selain hubungannya yang kurang baik dengan kedua
orang tuanya, H juga memiliki hubungan yang buruk dengan kakak perempuannya.
Ayah H juga seorang ayah yang otoriter, yang tidak segan-segan memukul anaknya,
bahkan dengan benda-benda keras. H mengungkapkan bahwa ayahnya sering
memukuli dirinya, dan sempat terjadi beberapa kali perselisihan dan perbedaan
pendapat antara dirinya dengan ayahnya. Orang tua H juga merupakan keluarga
yang berkonflik, suami – istri tersebut ternyata saling berselisih dan seringkali
bertengkar di rumah. H mengatakan bahwa tingkah laku kedua orang tuanya sangat
mengganggu, bahkan kadangkala akibatnya dirasakan secara fisik, namun H tidak
dapat menghentikannya, sehingga akhirnya H beralih untuk bermain musik, sampai
kemudian terjerumus dalam lingkaran setan narkoba. H merasa stres di rumah
karena
kondisi
sekelilingnya,
dan
akhirnya
sering
bermain
band
untuk
menghilangkan stressnya. Ia bermain sendiri atau bersama dengan temantemannya, dan seringkali aktivitas ini akhirnya ditambahkan dengan mengkonsumsi
obat.
H tercatat tiga kali melakukan upaya untuk sembuh dari ketergantungan
dengan mengunjungi RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) dan panti
rehabilitasi, dua kali di dalam negri dan yang terakhir di luar negeri. Dalam upayanya
untuk sembuh H tidak mengalami banyak hambatan, karena ketergantungan obat
186
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
yang dialami H masih dalam tahap yang rendah. Aktivitasnya dalam menggunakan
narkoba tergolong pemakai pemula yang tidak variatif, hanya menggunakan inex
saja, dengan beberapa kali mencoba jenis narkoba lainnya, masih dapat dikontrol
dan belum menimbulkan efek yang serius. Pada saat H diketahui menggunakan
obat, setelah tertangkap basah, pihak keluarga langsung melakukan berbagai
tindakan preventif untuk mencegah aktivitas mengkonsumsi narkoba itu terus
berlangsung, antara lain dengan cara melarang H keluar rumah. Begitu pula pada
saat diketahui menggunakan obat untuk kedua kalinya. Tindakan preventif lainnya
dilakukan dengan memutus akses H dengan pihak-pihak penyalur dengan
menempatkan seorang pengawas untuk mendampingi H dalam melakukan
kegiatannya, seorang sopir sekaligus penjaga yang memiliki kepribadian tegas dan
berasal dari kalangan militer.
Walaupun demikian, H tetap mengkonsumsi obat, sampai akhirnya keluarga H
memutuskan untuk mengirimkan H keluar negeri, mengikuti program rehabilitasi
dengan metode NA (Narcotic Anonymous) selama 3 bulan, dan akhirnya
disekolahkan di sekolah Kristen berasrama di kota Kuching, Malaysia. H juga
menambahkan, pada saat di asrama, keinginannya untuk memakai tetap ada, hanya
karena H tinggal di asrama, dan tidak memiliki channel di sana, akhirnya H tidak
relapse kembali. Setelah mengikuti terapi, H tidak langsung sembuh, tetapi
menjalani kehidupan yang terkondisikan bebas narkoba karena tinggal di lingkungan
asrama, baru akhirnya setelah beberapa bulan, dan terbiasa, titik kesadaran H
muncul, dan H pun mengambil tekad untuk sembuh. Kesembuhan H diawali dengan
kesembuhan
fisik
yang
diikuti
dengan
kegiatan
rohani
yang
mendukung
kesembuhan psikologisnya.
Responden T
T pertama kali mencoba narkoba pada saat dia duduk di kelas 3 SMP. Ia
mengatakan bahwa perkenalannya pertama kali hanya semata-mata karena
dorongan rasa ingin tahu, dan kegiatan nongkrong dengan teman yang memiliki
perilaku yang sama. Pertama kali menggunakan narkoba, T mendapatkan cimeng
dari teman-teman sekolahnya, walau mereka tidak berani menggunakannya di
lingkungan sekolah. Menurut T, pada saat mengkonsumsi narkoba untuk pertama
kalinya, T tidak memiliki motivasi apapun dari dalam dan luar dirinya selain hanya
untuk mencoba saja. T mengaku mengikuti ajakan teman-temannya untuk mencoba
187
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
hanya supaya bisa diterima dalam kelompok dan merasa diakui saja, sebagai suatu
tindakan setia kawan semata. Menurut T, kesan pertama yang dirasakannya pada
saat mengkonsumsi narkoba biasa saja, dan lebih banyak dikuasai kenikmatan tidak
sadar secara psikis yang membuatnya ingin mengulanginya lagi.
T menjadi Ketergantungan Obat setelah 6 bulan mengkonsumsinya, sewaktu
dia duduk di kelas I SMU DBXX. Kegiatan ini menjadi suatu aktivitas khusus bagi T
karena T praktis tidak mampu lagi melakukan kegiatan lainnya selain mengkonsumsi
obat, karena dosisnya mencapai pemakaian 6 jam sekali. Bagi T, narkoba adalah
instrumen yang digunakannya dalam melakukan aktivitas memakai narkoba untuk
mendapatkan outcomes yang berbeda dalam sejarah pemakaian obatnya. Pertama
kali memakai, maka narkoba adalah instrumen untuk menunjukkan perasaan
kompak dan setia kawan kepada teman sekelompoknya. Selanjutnya, pada saat
mulai kecanduan, maka outcomes yang ingin dicapai adalah kepuasan dan
kenikmatan fisik maupun psikologis yang didapatnya karena mengkonsumsi
narkoba. Walaupun perilaku itu ditambahkan dengan kegiatan lain, merokok atau
musik, tetap tidak terlalu berpengaruh untuk memberikan kenikmatan itu. Pada saat
T mulai meningkatkan peranannya dari pemakai menjadi pengedar, bahkan bandar
yang cukup besar, aktivitas mengkonsumsi obat memiliki outcomes yang berbeda
lagi, dimana motif ekonomi untuk mendapatkan uang mulai muncul.
T menambahkan aktivitas itu biasanya menjadi suatu pola yang tidak
terelakkan bagi pengguna narkoba yang sudah cukup parah, seperti suatu siklus
yang terus menerus. Objek yang digunakannya pun berbeda-beda, awalnya T
mengkonsumsi cimeng, karena mudah dan tersedia dari teman-temannya, kemudian
sempat mencoba beberapa jenis obat lainnya, namun jenis yang paling banyak
dikonsumsinya adalah putaw. T memiliki komunitas khusus tempat dia biasa
memakai obat. Seiring dengan tingkat kecanduan yang makin tinggi, komunitas
tempat T mengkonsumsi obat pun mulai berbeda, karena kelima orang temannya itu
mempunya channel masing-masing. Selanjutnya, ikatan dengan kelima orang
temannya menjadi terputus. Komunitas yang diikuti T selama mengkonsumsi obat,
mempunyai jaringan yang luas, dan memiliki kedekatan yang cukup. Walaupun
komunitasnya besar dan luas, tidak ada pengikat apa-apa di antara semua pemakai
ini selian karena sama-sama mengkonsumsi putaw, dalam hal ini Objek berubah
fungsi sebagai instrumen untuk menghasilkan suatu komunitas. Yang menarik,
mengungkapkan bahwa objek yang dipakai menentukan komunitas yang diikuti,
188
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
setiap jenis narkotika yang segolongan, terutama efek dan cara penggunaannya,
memiliki komunitas yang berbeda-beda.
Menurut pengalaman T, komunitas inex biasanya mengkonsumsinya bersamasama di diskotek, sambil tripping dan berjoget. Dalam menggunakan narkoba,
biasanya ada semacam cara-cara dan aturan khusus yang dijalankannya. Misalnya
dalam hal tempat, pengguna narkoba mempunyai beberapa criteria. Selain itu, di
antara sesama pemakai juga ada semacam kode etik yaitu dalam hal menggunakan
tempat untuk mengkonsumsi narkoba. Di kalangan komunitas pemakai, biasanya
juga terdapat pembagian tugas satu dengan yang lain, antara, bandar, channel, atau
pemakai. Sebagai pemakai, biasanya lebih sulit mendapatkan barang, harus
memiliki channel. Sebagai pemakai, aktivitasnya banyak dihabiskan untuk mencari
stok barang. Seorang pacandu yang sudah masuk tahapan pecandu berat, biasanya
dikondisikan oleh rules yang mengatur dosis pemakaian. Selain menjadi pecandu, T
akhirnya
meningkat menjadi Bandar. Menurut T,
pada awalnya
T
tidak
merencanakan menjadi Bandar, hanya karena kebutuhan yang terus meningkat, dan
kebutuhan untuk mendapatkan da untuk membeli, akhirnya T memutuskan menjadi
bandar untuk menjamin tersedianya stok bagi dirinya sendiri. Sebagai bandar, T
memiliki jaringan yang cukup besar,T sempat menjadi penyalur untuk daerah
Jakarta, Malang dan Bali.
Sebagai seorang bandar, juga terjadi aturan-aturan yang eksplisit maupun
implisit, misalnya dalam hal jumlah barang yang dijual. Selain itu, Bandar juga
umumnya haruslah orang yang bisa dipercaya, artinya tidak akan menjerumuskan
atau menipu pemakai. Menjadi bandar juga memiliki resiko lebih tinggi untuk
mengalami OD (Over Dosis) yang bisa berlanjut kepada kematian. Sebagai Bandar,
T dan kawan-kawannya juga memiliki kode etik untuk saling menjaga satu sama
lain, tidak membocorkan rahasia ataupun saling menjatuhkan satu sama lain. Tetapi
walaupun demikian, karena alasan ekonomis, tidak terhindarkan di kalangan
sesama Bandar kadangkala terjadi persaingan bisnis yang berbuntut saling
menjatuhkan dan saling makan satu dengan yang lain, termasuk kawan dekat
sekalipun.
Perilaku makan-memakan antar sesama bandar ini dilakukan dengan cara
merebut wilayah atau menjual barang dengan harga murah. Pada mulanya T
menggunakan putaw semata-mata karena coba-coba, namun seiring dengan
meningkatnya dosis, maka aktivitas ini menjadi suatu ritual yang harus dilakukan
189
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
untuk mendapatkan rasa kenikmatan dan kepuasan dari perilaku mengkonsumsi
obat dan untuk mencegah datangnya sakaw. Namun akhirnya, karena adanya
kebutuhan ekonomi untuk menghasilkan obat, perilaku T menjadi suatu kegiatan
yang bermotif ekonomis dan T beralih dari pemakai menjadi bandar. Dalam hal ini
komunitasnya sama, instrumennya pun sama, tetapi outcomes yang dihasilkannya
berbeda. Hal inilah yang membuat T menjadi semakin bergantung pada narkoba
karena adanya siklus saling mempengaruhi antara kedua aktivitas tersebut.
Keluarga T cukup berada, termasuk kalangan ekonomi menengah ke atas,
ayahnya adalah bekas Kepala Cabang salah satu instansi pemerintah di Jakarta.
Rumahnya cukup luas dan memiliki kolam renang. T dan semua kakak-kakaknya
memiliki kendaraan pribadi berupa mobil masing-masing. Namun, menurut T,
keluarganya memiliki kekurangan dalam hal komunikasi, masing-masing hidup
sendiri-sendiri.
T juga tidak menyukai kondisi di rumahnya, menurutnya hubungan dengan
ayah dan ibunya kurang dekat, mereka dikesankan kaku dan kuno. Ayahnya juga
bersikap kaku dan pilih kasih, sebagai anak laki-laki satu-satunya, T sering
menerima perlakuan buruk, bahkan dibeda-bedakan dengan kakak-kakaknya. T juga
merasa tidak terlalu dekat dengan kedua kakaknya, mereka jarang bicara dan
cenderung melakukan aktivitas masing-masing di rumah. T suka menggunakan
putaw di rumah, terutama di kamarnya. Walaupun demikian, ia jarang ketahuan
karena letak dan posisi kamarnya yang strategis. Aktivitas T mengkonsumsi obat
akhirnya ketahuan oleh orang tuanya karena adanya perbedaan sikap yang secara
tidak sadar mulai sering ditunjukkan. Pada saat memakai obat, dan ketagihan itu
muncul, biasanya T menunjukkan perilaku yang negatif. Selain itu, perilaku negatif
dari T juga mengganggu orang-orang di sekelilingnya.
Kondisi keluarga T sebenarnya termasuk biasa-biasa saja, jarang ada konflik
baik internal antar anggota keluarga maupun eksternal dengan orang lain. Tetapi T
merasa kesepian di rumahnya, T merasa kurang komunikasi, masing-masing
anggota keluarga sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga untuk mengatasi itu,
ditambah lagi dengan efek obat yang memberikan rasa ketagihan, perilaku T
mengkonsumsi obat semakin meninggi. Namun akhirnya sejalan dengan semakin
baiknya komunikasi dan penerimaan dari keluarganya T bisa menerima dirinya dan
mulai mengurangi penggunaan narkoba. Dalam hal ini, obat berfungsi sebagai
instrumen untuk menghilangkan kesepiannya dan mendapatkan kenikmatan.
190
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Menurut T, keluarganya juga berperan penting dalam proses kesembuhannya,
terutama ibunya.
Dalam bersekolah, T tidak mampu memanfaatkan sekolah untuk mencapai
outcomes berupa nilai dan prestasi yang diinginkan, bahkan T tercatat pindah
sekolah sebanyak lima kali dan dikeluarkan sebanyak 3 kali. T mendapatkan
kebiasaan mengkonsumsi narkoba dari sekolahnya di SMU DBXX, sewaktu duduk di
kelas 1, pada saat dia bersekolah selama 6 bulan, dan akhirnya kecanduan. Karena
prestasinya jelek dan perilakunya buruk, T akhirnya ‘diminta untuk keluar’ dari
sekolahnya dan pindah ke sekolah lamanya sewaktu SMP dulu, SMU PXXX.
Perilaku T di sekolah sangat buruk, sering membolos, tidak mematuhi pelanggaran
sekolah, bahkan nyaris tidak pernah datang ke sekolah, sehingga akhirnya T
dikeluarkan sekali lagi, dan pindah sekolah.
Selanjutnya, T melanjutkan sekolah ke Makassar selama satu tahun, yang
memperburuk kondisinya karena disana ia bertemu dengan teman SD-nya dulu
yang menjadi Bandar, dan praktis T tidak aktif bersekolah, sama seperti keadaannya
di Jakarta. Di Makassar, T tidak bersekolah, karena menjadi Bandar dan tidak ada
yang mengontrol, tapi hebatnya, T bisa mendapatkan ijazah SMU-nya disana
dengan jalan belakang, sebuah potret yang menunjukkan buruknya mutu sekolah di
Indonesia. Secara keseluruhan, T tidak mengikuti kegiatan sekolah sama sekali,
jarang berinteraksi dengan guru karena lebih sering membolos. Tetapi kualitas
manajemen sekolah yang buruk mendukung T untuk pindah-pindah sekolah
walaupun
tanpa
melalui
prosedur
resmi.
Hampir
dalam
semua
proses
perpindahannya dari satu sekolah ke sekolah yang lain, T menggunakan uang
pelicin, bahkan juga pada saat membeli ijazah. T sangat berkeinginan untuk lepas
dari ketergantungannya, di tahun keduanya mengkonsumsi obat, T mulai melakukan
berbagai usaha untuk sembuh,
Semuanya berjalan tanpa direncanakan dan bersifat acak, jika ada keinginan
atau paksaan maka T akan masuk rehab, namun tidak lama biasanya, setelah
keluar rehab, T akan memakai lagi. Mudah sekali bagi T untuk relapse setelah
keluar dari panti rehabilitasi, bahkan dua hari setelah keluar dari panti, T bisa mulai
memakai obat kembali. T berpendapat bahwa mudahnya dia untuk relapse adalah
karena banyaknya faktor-faktor yang mendukung untuk melakukannya. Upaya T
untuk sembuh memakan waktu yang cukup lama. Menurutnya waktu yang lama itu
dikarenakan ketergantungan psikologis yang lebih sulit untuk disembuhkannya. T
191
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
benar-benar sembuh setelah mengikuti berbagai metode dan terapi. T mengingat
dengan jelas kapan muncul titik kesadaran baginya untuk sembuh. Setelah itu, T
mengaku
dirinya
bersih
dari pengaruh obat-obatan.
Tetapi, dampak dari
mengkonsumsi nakoba yang dilakukannya beberapa tahun yang lalu, masih terasa
sampai sekarang.
Awalnya, T tidak menyadari sama sekali, karena dampaknya tidak terasa
secara langsung, bahkan T tidak ambil pusing, sampai ia diberitahu oleh Dokter
yang merawatnya. Bahkan, setelah diperiksa, dampak dari mengkonsumsi obat
mengakibatkan dirinya positif terkena Hepatitis C dan dokter telah memberi vonis
usianya sekitar 10 tahun saja. Menurutnya, kesembuhan adalah suatu proses yang
panjang, dan yang penting adalah kemauan dari dalam untuk sembuh. Dari
pengalaman T, T menyatakan bahwa salah satu program yang baik untuk
penyembuhannya adalah program “Terapi Komunitas”. Terapi itu bagus karena ada
aktivitas bersama yang dikembangkan, dan ada komunitas yang saling menjaga. T
berpendapat bahwa komunitas sesama rehab adalah komunitas yang baik untuk
tetap menjaga seorang eks pecandu untuk kembali relapse. Menurutnya, dengan
bergabung bersama, dirinya merasakan dorongan semangat dan motivasi untuk
menjauhkan diri dari narkoba. Hal lain yang juga cukup penting untuk menentukan
keberhasilan seorang pecandu untuk tetap bersih dan tidak relapse adalah kesiapan
dari anggota keluarga dan orang-orang sekitar untuk menyediakan lingkungan
pendukung yang baik, yang bisa memahami dan membantu eks pecandu
menghadapi tantangan dan kenangan masa lalunya. Bagi T sendiri, keinginannya
dari dalam diri untuk sembuh lebih berperan untuk membantu proses bebas
narkoba, walaupun demikian dukungan keluarganya juga dirasa penting.
Lebih lanjut, T membagi pengalamannya bahwa tidak ada rumusan baku bagi
seseorang eks pecandu tentang cara dan waktu untuk sembuh, masing-masing
memiliki waktunya sendiri-sendiri. Jadi, kesimpulan bagi T adalah After Care itu
adalah suatu proses penting bagi kesembuhan seseorang. Tetapi T sudah memiliki
strategi khusus jika keinginan itu sudah datang, salah satunya adalah dengan
berkumpul bersama teman-teman pecandu di panti rehabilitasi. Menurut T, saat ini
tempat paling aman bagi dirinya dan bagi para eks pecandu lain adalah panti
rehabilitasi.
192
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Analisa Antar Kasus
Proses Menjadi Ketergantungan Obat
Ketiga responden mengkonsumsi narkoba pertama kali pada usia remaja, R
pada usia 16 tahun, T pada usia 15 tahun dan H pada usia 15 tahun. Pertama kali, R
mencoba pil BK, sedangkan H dan T pertama kali menggunakan ganja (cimeng).
Ketiganya terlebih dulu menjadi perokok atau setidaknya pernah mencoba
rokok sebelum mengkonsumsi narkoba. R sudah menjadi perokok selama setahun
sebelum mengkonsumsi narkoba. H baru mulai-mulai mencoba merokok sekitar 3
bulan sebelum mengkonsumsi narkoba. T sudah menjadi perokok berat sekitar 2
tahun sebelum akhirnya mengkonsumsi narkoba.
Tabel 2. Perbandingan Latar Belakang Responden
No
Kriteria
Perbandingan
R
H
T
1
Usia saat ini
26
23
24
2
Jenis kelamin
Pria
Pria
Pria
3
Anak ke…
dari … saudara
pertama dari 4
kedua dari 5
bungsu dari 3
4
Agama
Kristen
Budha
Kristen
5
Suku Bangsa
Tionghoa
Tionghoa
Toraja
6
Tempat tinggal
Jakarta Barat
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
7
Sosial Ekonomi
Menengah
Menengah ke atas
Menengah ke atas
8
Pendidikan Terakhir
SMU
SMU
Pernah Kuliah
9
Pekerjaan
Salesman
Wiraswasta
Relawan
10
Obat yang dikonsumsi
Inex
Inex
11
12
Tingkat Kecaduan
Activity system yang
dimiliki selama perilaku
mengkonsumsi narkoba
putau
cimeng 1-2x
cimeng
putau 1-2 x
inex
Tahapan sedang
Tahapan rendah
Tahapan tinggi/ atas
Ketergantungan reaktif rendah
Ketergantungan reaktif
rendah
Ketergantungan reaktif
tinggi
sekolah
sekolah
mengkonsumsi narkoba
nongkrong
geng motor
keluarga
keluarga
keluarga
sekolah
mengikuti rehabilitasi
mengikuti rehabilitasi
193
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Ketiga responden mencoba narkoba pertama kali karena rasa ingin tahu dan
supaya diterima di kelompok. Ketiganya diajak mencoba narkoba oleh temantemannya. R diajak oleh teman sekolahnya sewaktu kelas 1 SMU karena penasaran
melihat teman-temannya yang memakai menawarkan “barang bagus” kepadanya. H
memakai obat pertama kalinya pada waktu pesta kelulusannya dari SMP, dan
merasa solider dengan teman-teman lainnya sehingga terbujuk untuk memakai. T
merasa penasaran karena ditawarkan oleh teman-temannya.
Pada responden R dan H, selain rasa ingin tahu, faktor permasalahan yang
dialami mereka di sekolah dan di rumah juga menjadi faktor pendorong. Pada saat
mencoba mengkonsumsi narkoba pertama kali, ketiga subjek tidak merasakan
sesuatu kenikmatan fisik yang membuatnya ingin mengulangi aktivitas tersebut. R
menyatakan bahwa pengalaman pertamanya biasa saja. Bahkan H menyatakan
bahwa pertama kali mengkonsumsi narkoba, dia merasa sakit seperti ditusuk-tusuk.
Demikian juga T yang mengatakan bahwa dia tidak merasakan apa-apa, hanya
biasa saja.
Tabel 3. Proses Ketergantungan Obat
No
Kriteria Perbandingan
R
H
T
1
Usia pada saat
mengkonsumsi narkoba pertama
16 tahun
15 tahun
15 tahun
2
Obat yang dikonsumsi
pertama kali
pil BK
ganja (cimeng)
ganja (cimeng)
3
Perilaku merokok
setahun sebelum mencoba
mulai mencoba rokok 3
bulan
sudah dua tahun menjadi
narkoba sudah perokok
sebelum mengkonsumsi
narkoba
perokok berat sebelum
pertama kali
mengkonsumsi
narkoba
4
5
Alasan mencoba
pertama
Perasaan pada waktu
mencoba narkoba
pertama kali
diajak teman, ingin tahu
mendapat 'jalan keluar' dari
diajak teman, ingin tahu
mendapat 'jalan keluar'
dari
masalah
masalah
biasa saja
merasa sakit, dada
seperti
ditusuk-tusuk
194
diajak teman, ingin tahu
biasa saja
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Activity System remaja yang Ketergantungan Obat
Dalam aktivitas menggunakan narkoba, Objek yang berbeda menghasilkan
suatu outcomes dan activity yang berbeda. Pada R dan H, keduanya mengkonsumsi
narkoba jenis inex, R adalah pemakai dalam tahapan sedang, dengan variasi
menggunakan cimeng dan putaw sedangkan H adalah pemakai dalam tahapan
rendah dengan hanya menggunakan inex. Pada R, dan H aktivitas yang sering
dilakukannya adalah mengikuti geng motor dan mengunjungi diskotek dengan
tingkat intensitas lebih tinggi pada H. Hu juga masih memiliki komunitas bermain
band yang lebih aktif dibandingkan R Di sisi lain, pada saat yang sama, T tidak
memiliki komunitas apapun juga dan praktis tidak melakukan aktivitas apa-apa
selain
daripada
menggunakan
narkoba
dan
aktivitas-aktivitas
yang
mendampinginya yaitu aktivitas merokok dan menjadi bandar putaw.
Perbedaan ini dapat dijelaskan karena adanya perbedaan tingkat antara R
sebagai pengguna tahap sedang, H pengguna tahap pemula, dan T sebagai
pengguna tahap atas / lanjut. Juga berdasarkan pemakaian objek yang berbeda,
yaitu inex dan cimeng yang dikonsumsi oleh R, inex saja yang dikonsumsi oleh H,
dan putaw, cimeng dan inex yang dikonsumsi oleh T. Inex adalah stimulan yang
memiliki tingkat ketergantungan menengah, cimeng adalah tergolong depresan
dengan
tingkat
ketergantungan
menengah-tinggi,
sedangkan
putaw adalah
depresan dengan tingkat ketergantungan tinggi.
Penelitian juga menunjukkan pada saat outcomes yang diharapkan dari suatu
aktivitas berubah, maka berubah pula pula activity seseorang dalam menggunakan
objek yang sama.
Pada perilaku awal mencoba narkoba maka outcomes utama yang didapat
adalah untuk memuaskan rasa ingin tahu, dan sebagai rasa solidaritas, dengan
tambahan pada R dan H untuk melarikan diri dari permaslahan di sekolah dan di
rumah. Dengan outcomes demikian,
perilaku menggunakan narkoba tidak
menghasilkan perubahan pada komunitas sebelumnya (teman-teman sebaya
pengguna rokok), aturan-aturan maupun interaksi dan hubungan di antara mereka.
Namun ketika outcomes yang diharapkan dari kegiatan mengkonsumsi obat berubah
menjadi mendapatkan
kenikmatan,
maka
perilaku
mulai berubah,
dengan
menghasilkan komunitas baru (geng motor, geng putaw) dan aktivitas yang berbeda,
baik secara intensitas, aturan-aturan, pembagian tugas antar anggota dan
195
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
sebagainya. Demikian juga pada saat outcomes yang diharapkan berubah menjadi
motif ekonomis, maka aktivitas berubah lagi, dengan perilaku baru.
Tabel 4. Perbandingan Activity System
N
o
1
Activity
System
Mengkonsums
i Narkoba
R
H
T
tidak memiliki activity
system
tidak memiliki activity
system
utama : sebagai pemakai,
ini secara langsung
ini secara langsung
SMU TXXX , SMU CX,
SMU DXXx
aktivitas ini tidak
berlangsung
dengan baik karena
digantikan
dengan aktivitas
mengkonsumsi
narkoba
untuk menghilangkan
stress dari
sekolah
SMP/ SMU PXXX
SMU PXXX, SXX Makassar
aktivitas ini tidak
berlangsung
dengan baik karena
digantikan
dengan aktivitas
mengkonsumsi
narkoba
untuk menghilangkan stress
dari
sekolah
ikut bergabung dlm
geng motor
tidak memiliki activity system
ini
karena bergabung dalam
kelompok pemakai dan kemudian
2
Bersekolah
SMU BXXX, SXXx,
SMU WX pindah2 terus
aktivitas ini tidak
berlangsung
dengan baik karena
digantikan
dengan aktivitas
mengkonsumsi
narkoba
untuk menghilangkan
stress dari
sekolah
3
Nongkrong/
nongkrong & ke diskotek,
ikut dalam geng motor
tapi tidak
secara resmi dan rutin
ke diskotek/
geng motor
aktivitas
untuk menghilangkan
stress
dari rumah dan dari
sekolah
4
Keluarga
Memiliki orang tua yang
otoriter
sering memukul, ayah
pemabuk,
akhirnya tidak tahan di
rumah
dan pindah ke kos-kosan
utk
menghindar dan dapat
menggunakan narkoba dengan
bebas.
secara resmi dan rutin
aktivitas
untuk menghilangkan
stress
menggunakan putaw,
awalnya
bersama, kemudian
sendirian
untuk kepuasan dan
kenikmatan
sekunder : sebagai bandar
mengedarkan putaw, soliter
untuk mendapat banyak
uang
pemakai yg secara rutin
dari rumah dan dari
sekolah
mengkonsumsi narkoba baik
sendiri maupun bersama
memiliki orang tua yg
kurang perhatian, sering cekcok,
tidak dekat
memiliki kamar sendiri
yg bebas,
dengan fasilitas
lengkap,
senang main band di
rumah
dan kadangkala main
band
sambil memakai obat
Kurang dekat dengan orang
tua
dan saudara lain, jarang
berko-
196
munikasi.kurang perhatian
kadang mengkonsumsi
narkoba
di rumah. Akhirnya kabur
dari
rumah dan pindah-pindah
kos
setelah menjadi pengedar,
untuk menghindari polisi
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Penelitian juga menunjukkan bahwa pada saat aktivitas utama mengambil
sebagian besar waktu dan kesempatan dalam suatu rentang waktu, maka aktivitas
lain yang dilakukan dalam waktu yang sama tidak akan mencapai hasil yang
diinginkan, kecuali jika aktivitas itu sejalan dengan memiliki komunitas, rules dan
division of labor yang sama. Hal ini jelas sekali pada objek T. T yang melakukan
aktivitas secara intens pada perilaku menggunakan obat (6 jam sekali) tidak mampu
menjalankan aktivitasnya di sekolah dengan baik (bolos, tidak naik, dikeluarkan 3
kali, dan akhirnya membeli ijazah), juga tidak mampu berinteraksi dengan baik
dalam keluarga bahkan tidak mampu melakukan aktivitas lainnya. Sedangkan pada
objek H, yang menggunakan narkoba dengan intensitas 2-3 kali seminggu, masih
dapat mengikuti aktivitas tersebut dengan lebih baik, bahkan dapat melakukan
aktivitas lainnya yaitu geng motor dan main band.
Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas mengkonsumsi obat semakin intens
seiring meningkatnya waktu. Perilaku ini disebabkan pengaruh objek dalam hal ini
obat yang mampu memberikan pengaruh dan daya tarik untuk melakukan aktivitas
ini terus menerus.
Proses Menjadi Sembuh dari Ketergantungan Obat
Aktivitas untuk lepas dari ketergantungan obat merupakan suatu upaya yang
tidak mudah untuk dilakukan. Perubahan outcomes yang diharapkan dengan
sekaligus mengubah objek, komunitas, rules dan division of labor, menimbulkan
suatu kutub yang tarik menarik. Seorang pecandu yang berupaya melepaskan diri
dari ketergantungan obat akan menghadapi perubahan besar karena activity
systemnya harus berubah. Dalam kasus T, dimana activity system yang dimilikinya
dalam menggunakan obat didukung oleh aktivitas sekunder berupa aktivitas
merokok, dan menjadi bandar, maka perjuangan untuk sembuh menjadi sangat
berat. T membutuhkan waktu empat tahun dengan mengunjungi berbagai panti
rehabilitasi, rumah sakit dan klinik, sedangkan bagi R yang activity systemnya lebih
beragam, diperlukan waktu sekitar 2 tahun, begitu juga bagi H, yang hanya
memerlukan waktu kurang dari setahun untuk dapat pulih kembali.
Dalam rangka aktivitas untuk sembuh dari ketergantungan, terlihat ada pola
yang sama yang dilakukan oleh ketiga objek, yaitu bahwa ketiganya berusaha
197
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
melepaskan diri dari activity system yang ada dengan langsung melakukan
penarikan diri sepenuhnya, baik dengan komunitas, dengan objek, dengan
instrumen maupun konteks mikrosistem yang mereka hadapi saat itu. Pada objek
R, hal itu dilakukan dengan cara merantau ke luar kota selama setahun, sedangkan
pada subjek H dilakukan dengan cara belajar di Malaysia selama tiga tahun, dan
pada subjek T dilakukan dengan cara pindah ke Makassar. Dari ketiga usaha itu,
hanya subjek H yang berhasil, sedagkan bagi subjek R dan T, langkah tersebut
hanya memperparah dan melanjutkan aktivitas mereka menggunakan obat dengan
komunitas yang berbeda di lokasi yang berbeda, tapi dengan subjek, objek, rules,
division of labor dan outcomes yang hampir sama. Sedangkan pada H, langkah
tersebut berhasil karena H tidak mendapatkan komunitas, objek, rules maupun
division of labor yang sama, walaupun outcomes yang sama masih diharapkan.
Tabel 5 Perbandingan Proses Kesembuhan dari Ketergantungan Obat
No
1
Kriteria
Perbandingan
Proses
kesembuhan
R
H
T
sebelumnya sempat
mencoba
ketahuan pada waktu
ada
razia di sekolah,
kemudian
oleh keluarga
langsung
dipindahkan ke
Malaysia
keluar masuk ke
berbagai
panti rehabilitasi di
Jakarta,
pindah keluar kota - ke
Surabaya, namun
ternyata
malah tambah parah,
kemudian
pulang ke Jakarta,
masuk ke
berbagai panti rehab
selama sekitar tiga
tahun
keluar masuk sebelum
akhirnya
benar-benar
memutuskan utk
berhenti total dari
mengkonsumsi narkoba
2
3
Lamanya
mengkonsumsi
narkoba
Hari Ulang Tahun
berhenti
mengkonsumsi
narkoba
mengikuti rehabilitasi
singkat di sana dan
dimasukkan ke
sekolah berasrama
mengikuti berbagai
metode,
sampai akhirnya bisa
sembuh
dengan mengikuti
metode
Terapi Komunitas
Delapan tahun
(1994 - 2002)
Tiga tahun
(1998 - 2001)
Lima Tahun
(1994 - 1999)
Februari 2002
Desember 2001
November 1999
198
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Penutup
Ketergantungan obat adalah suatu perilaku yang muncul karena serangkaian
tindakan yang mempengaruhinya. Dari penelitian didapatkan ada berbagai macam
faktor yang mendorong remaja mencoba obat untuk pertama kalinya, antara lain
faktor rasa ingin tahu, tekanan kelompok sebaya (pada repsonden R, H dan T) dan
permasalahan dalam keluarga atau sekolah (pada responden R dan H).
Remaja dalam periode masa perkembangannya mendapatkan banyak
perubahan-perubahan yang seringkali membuatnya bingung dan menimbulkan
masalah-masalah. Remaja ingin menyelesaikan permasalahan tersebut, tetapi
seringkali menggunakan cara yang salah, pada ketiga responden, remaja melarikan
diri dari masalah itu dan menggunakan cara-cara yang salah untuk menghadapi
masalah itu, antara lain dengan cara masuk dalam aktivitas/ kelompok yang
delinkuen (nongkrong, geng motor, teman-teman diskotek). Di tempat tersebut,
akhirnya remaja merasa terjebak karena masalah bukan semakin berkurang tetapi
semakin membesar seperti bola salju. Dalam keadaan demikian, remaja yang sudah
akrab dengan lingkungan teman-teman pemakai narkoba akan terdorong utnuk
menggunakan narkoba, dan sebelum sempat disadari, efek narkoba telah
memberikan rasa ketergantungan yang parah.
Untuk memperluas wawasan tentang perilaku mengkonsumsi narkoba,
penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan memperdalam hasil dan menganalisa
faktor-faktor yang menyebabkan remaja mengkonsumsi obat. Penelitian dapat juga
dilakukan dengan penelitian lanjutan dengan cakupan yang lebih luas, yaitu
mencakup struktur mikrosistem, ekosistem, dan makrosistem. Keluarga adalah unit
sosial terkecil yang mempengaruhi kehidupan manusia. Dari penelitian ini terlihat
bahwa keluarga memegang peran yang penting bagi pencegahan bahkan
kesembuhan remaja pengguna narkoba. Karena itu orang tua perlu menciptakan
suasana keluarga yang lebih kondusif, aman dan membangun sehingga remaja
dapat merasa nyaman. Diskusi dan saling membagi di antara sesama anggota
keluarga perlu dikembangkan sejak awal.
Sekolah merupakan salah satu tempat dimana remaja menghabiskan waktu
dan bersosialisai. Lingkungan sekolah yang baik dengan guru-guru yang berkualitas
akan meningkatkan kemampuan remaja dalam mengembangkan diri dan memenuhi
tugas perkembangannya. Oleh karena itu sekolah harus mampu memberikan
199
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
pendidikan yang baik dengan guru-guru yang berkualitas dan mampu berperan
sebagai pembimbing.
Lembaga pemerintah dapat mengambil bagian untuk mengurangi pemakain
narkoba dengan berbagai cara. Secara preventif dapat dilakukan dengan cara
penyuluhan, baik melalui media, sekolah, atau kegiatan masyarakat lainnya. Secara
rehabilitatif, kualitas dari metode dan terapi untuk rehabilitasi perlu terus
ditingkatkan, demikian juga dengan kualitas dari panti rehabilitasi tersebut harus
terus dipantau. Secara represif, peranan kepolisisan dan masyarakat dengan
gerakan-gerakan anti narkoba dan pemberian hukuman berat kepada pengedar
perlu terus dilakukan. Namun juga perlu diperhatikan penanganan khusus kepada
para korban narkoba agar mereka dapat sembuh dan kembali ke masyarakat
dengan berhasil.
Untuk remaja, kiranya perlu membentengi diri dengan iman, pengetahuan dan
penguasaan teknologi sehingga dapat berkompetisi dengan baik di masa yang akan
datang dan mengurangi resiko stress. Aktivitas rohani di masa remaja juga
merupakan suatu kegiatan yang perlu terus dilakukan.
Daftar Pustaka
Achir, Y.A. (1989) Diktat Psikologi Pendidikan (tidak diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia.
Adams, G.R. & Gullota, T. (1983). Adolescent Life Experiences. Montery, CA :
Wadsworth, Inc.
Berns, Roberta, M., (1997). Child, Family, School, Community, Socialization and
Support. Forth Worth: Holt, Rinehart & Winston, Inc.
Edwards, Cecile H. (1998). An Ecological Model for Prevention of Drugs Use in Journal of
Alcohol and Drugs Education. Howard University, USA.
Eriksson, E. H. (1989). Identitas dan siklus hidup manusia (A. Cremers, Pen,). Jakarta :
Gramedia. (karya asli diterbitkan tahun 1975).
Gunarsa, Yulia Singgih D., Psikologi Remaja. (1989). Cetakan ke-10. Jakarta : PT BPK
Gunung Mulia.
Gunarsa, Singgih D., Psikologi Perkembangan. (1990). Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia.
Hawari. (2002). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol & Zat
Adiktif). Cetakan ke-4. Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
Gatra, No.7 TAHUN IV.3 Januari 1998, hal. 21-30.
Nadeak, W. (1991). Memahami anak remaja. Yogyakarta : Kanisius.
Poerwandari, E.K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : LPSP3
UI.
Pusat Pengembangan & Pembinaan Bahasa. (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Rice, Philip L., (1990). The Adolescen (edisi ke-6). Massachusetts : Allyn & Bacon.
Santrock, J.W. (1998). Adolescence (edisi ke-7). New York : McGraw Hill.
Soekedy. Ed. (2002). Menyiram Bara Narkoba. Jakarta : Millenium Publisher.
200
Jurnal NOETIC Psychology
ISSN : 2088-0359
Volume 2 Nomor 2, Juni-Desember 2012
Somar, Lambertus. (2001). Rehabilitasi pecandu narkoba. Jakarta : PT.Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Steirnberg, L. (1993). Adolescence. USA : McGraw Hill.
Strauss, A & Corbin, J. (1990). Basic of qualitative research : Grounded theory,
procedures, and techniques. Newbury Park, CA : Sage.
Yanny, Dwi L., (2001). Narkoba, Pencegahan dan Penanganannya. Jakarta :
Elex Media Komputindo.
201
Download