bab iv analisa terhadap alasan-alasan kepala dinas kependudukan

advertisement
BAB IV
ANALISA TERHADAP ALASAN-ALASAN KEPALA DINAS KEPENDUDUKAN DAN
PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA DALAM MENCATATKAN PERKAWINAN PASANGAN
BEDA AGAMA DITINJAU DARI TEORI SOSIAL DAN ATURAN HUKUM PERUNDANGAN
PERKAWINAN YANG BERLAKU
“Akal manusia memiliki keterbatasan dalam menilai kebenaran dan kebaikan.Sebagai
makhluk ciptaan, manusia takkan mampu meneliti setiap aspek yang ada di belakang
suatu permasalahan, termasuk permasalahan-permasalahan yang menyangkut
hubungannya dengan pribadi-pribadi lain dalam sistem sosial . Itulah sebabnya di dunia
ini kebenaran selalu besifat relatif. Kebenaran insani lebih sering merupakan hasil
kesepakatan antar manusia.”1
A. PENGANTAR
Prinsip dasar di atas merupakan sebuah pengalaman manusiawi, di mana
kebenaran-kebenaran yang kita hidupi merupakan hasil dari sebuah kesepakatan insan
yang satu dengan insan yang lainnya. Sehingga kebenaran insani sangat dibatasi oleh
ruang dan waktu. Kebenaran mutlak ada di tangan Tuhan tetapi bagaimanapun juga
nurani manusia punya tendensi untuk menuju kebaikan dan kebenaran. Dalam jiwa dan
benak manusia penilaian tentang yang baik mesti harus dilaksanakan. Karena hal ini
merupakan sebuah penggerak awal dari sebuah pertimbangan moral.2
Pertimbangan prinsip dasar di atas tentunya akan mendasari pemikiran penulis
dalam melakukan sebuah analisis dalam bab ini. Secara khusus, pada bab IV ini, penulis
akan melakukan analisa data dengan cara mempertemukan antara Teori Sosial dan
Aturan Hukum Perkawinan tertulis
seperti
yang tertulis dalam bab II, dengan
prakteknya yang berkaitan dengan alasan-alasan dan kebijakan yang diambil oleh Kepala
1
2
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm 43
Ibid, 44
39
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga dalam mencatatkan perkawinan
khususnya pasangan yang berbeda agama.
B. ANALISA DATA
Diluar Kota Salatiga masalah pencatatan perkawinan beda agama menjadi
polemik, terkendala, bahkan masih terjadi penolakan. Akan tetapi berbeda dengan yang
terjadi di Kota Salatiga. Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Salatiga sebagai
representasi kehadiran negara (baca: dalam hal ini Pemerintahan Kota) telah
melaksanakan pencatatan perkawinan (khusus: pasangan beda agama) sejak tahun
2000 sampai dengan tahun 2014 .
Tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 , Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Salatiga telah beberapa kali mengalami pergantian Kepala Dinas. Akan tetapi
kebijakan yang diambil berkenaan pencatatan perkawinan khusus beda agama tetap
sama. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa alasan-alasan / pertimbangan Pemerintahan
Kota, dalam hal ini diwakili oleh Kepala Dinas dan Kependudukan Pencatatan Sipil
dalam melaksanakan pencatatan perkawinan pasangan beda agama?
Dalam bab ini, penulis mencoba memaparkan hasil penelitian/wawacara
dilapangan yang akan di soroti dari sudut pandang teori sosial dan tinjauan hukum
undang-undang perkawinan di Indonesia.
Dalam teori sosial , perkawinan merupakan sebuah realitas sosial yang bisa
dimaknai sebagai sebuah sistem sosial. Dimana di dalam sebuah sistem sosial (baca:
Perkawinan) tersebut kait mengkait dengan banyak faktor “individu”. Seperti : (1)
Walikota (2)
Kepala Dinas Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil, (3) Pihak
Pengadilan . Masing-masing individu tersebut memiliki struktur sosial 3 : ada posisi dan
3
Struktur sosial adalah konsep perumusan asas hubungan antarindividu dalam kehidupan
masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu;
40
peran.
4
. Dimana posisi dan peran masing-masing individu tersebut saling berkaitan /
berhubungan satu dengan yang lain.
Di dalam suatu sistem sosial terdapat individu yang memiliki hak dan tanggung
jawab yang besar dalam bertindak. Hak dan tanggung jawab yang besar ini nampak dan
terwujud dalam peran dan tindakan yang dilakukan individu tersebut. Salah satu
individu yang berperan dan bertindak dalam sistem sosial (baca: perkawinan) ini adalah
Kepala Dinasdukcapil Kota Salatiga. Kepala Dinasdukcapil sebagai individu yang memiliki
posisi dan peran mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan atau
menentukan sebuah kebijakan yang berpengaruh terhadap khalayak. Dan kebijakan
yang diambil tentunya juga atas pertimbangan legalitas (baca: peraturan perundangan),
persetujuan, dan sepengetahuan dari individu lain
yang dalam struktur memiliki
hubungan yang terkait dengannya. Seperti: Walikota dan Kepala Pengadilan.
Kebijakan yang berdasarkan pertimbangan “legalitas” yang dimaksud di atas
adalah kebijakan mengenai pencatatan perkawinan khususnya bagi pasangan beda
agama. Perlu diketahui bahwa praktek di berbagai tempat , hampir sebagian besar di
beberapa daerah di Indonesia, beberapa pemerintah kota (baca; dalam hal ini Kepala
dinasdukcapil) belum bersedia mencatatkan perkawinan khususnya bagi pasangan beda
agama. Perkawinan semacam ini dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan UU
perkawinan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 yang berbunyi: Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Dan apabila
harus di catatkan maka harus melalui proses
pengadilan, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang
administrasi dan kependudukan Pasal 35a: Yang dimaksud dengan "Perkawinan yang
ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang
berbeda agama. Jadi sebelum perkawinan pasangan beda agama ini di catatkan harus
terlerbih dahulu melalui penetapan pengadilan. Jika pasangan berbeda agama ini tidak
4
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: posisi/po·si·si/ n 1 letak: kedudukan (orang, barang); 2
jabatan; pangkat (dalam jabatan). Sedangkan peran1/pe·ran/ n adalah perangkat tingkah yang diharapkan
dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat;
41
bersedia melalui penetapan pengadilan maka pihak Dinasdukcapil setempat tidak
bersedia mencatatkan.
Berbeda dengan apa yang terjadi di Salatiga, Kepala Dinasdukcapil khususnya
pada periode tahun 2000-2014 bahkan sampai dengan saat ini memiliki kebijakan
bahwa perkawinan pasangan beda agama dapat dicatatkan perkawinannya dengan
beberapa pertimbangan
peraturan perundang-undangan perkawinan yang ada,
pertimbangan moral dan norma dalam masyarakat.
Aturan, Norma, Hukum yang digunakan oleh Kepala Dinasdukcapil Salatiga dalam
menerima dan mencatatkan perkawinan beda agama yaitu Pasal 2 Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974, Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006,
dan Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dijelaskan :
1. Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku
Pasal 2 ayat satu (1) dan dua (2) diatas dipahami bahwa hukum agama
dilaksanakan terlebih dahulu setelah itu baru dicatatkan secara negara. Atas dasar
pemahaman ini maka perkawinan yang telah dilakukan dan dinyatakan absah di
hadapan pemuka agama menurut Kepala Dinas sudah bisa dicatatkan. Pemahaman
terhadap Pasal 2 ayat 1 dan 2 Tahun 1974 juga sesuai dengan pasal 34 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 tahun 2006 : tentang administrasi kependudukan yang menetapkan
bahwa :
“ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan”.
42
dan Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden yang memberikan penegasan bahwa:
perkawinan yang sah menurut agama yang disertai dengan bukti pemberkatan/surat
nikah secara absah dan prosedural dapat dicatatkan.
Jadi beberapa dasar hukum perundang-undangan yang digunakan oleh Kepala
dinasdukcapil Salatiga diatas dalam rangka untuk menjawab kebutuhan sosial
masyarakatnya. Dikarenakan salah satu hukum perkawinan di negeri ini , seperti Pasal 2
Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
dirasa belum mampu menjawab
kebutuhan sosial masyarakatnya. Masih ada perbedaan pemahaman diantara para
pemerintah kota (baca: kepala Dinasdukcapil) setempat dan juga para pemimpin
agama setempat. Sehingga Kepala Dinasdukcapil Kota Salatiga dengan beberapa
pertimbangan dasar hukum diatas membangun komunikasi bersama Walikota, Pihak
Pengadilan dan juga para pemuka agama di kota Salatiga mencari sebuah solusi dengan
cara meng-interaksikan kebijakan dengan berbagai aturan/norma/hukum dan situasi
yang ada untuk mencapai sebuah tujuan, yaitu terpenuhinya kepentingan umum dan
tercapainya tujuan bersama.
Berangkat dari situasi dan menyoroti pengambilan kebijakan oleh Pemerintah
Kota Salatiga (Baca: Kepala Dinasdukcapil) maka Teori Talcott Parsons, teori struktural
fungsional merupakan salah satu teori yang bisa dipakai untuk melihat semua proses
yang berlangsung. Dan diharapkan pendekatan dari teori ini dapat membantu
memberikan alternatif penanganan dan alternatif
solusi tentang pencatatan
perkawinan pasangan beda agama ini. Dan juga menolong para pembuat kebijakan dan
pengambil keputusan untuk memilki pemahaman yang benar dan dasar yang kuat di
dalam pengambilan keputusan mengenai pencatatan perkawinan bagi pasangan yang
berbeda agama tersebut.
Berdasarkan informasi yang saya terima dari salah satu mantan kepala
dinasdukcapil Salatiga yaitu “Bapak D” , ketegangan-ketegangan yang berkaitan dengan
adanya multi tafsir tentang Undang perkawinan No 1 tahun 1974 dan pencatatan
43
perkawinan pasangan beda agama memang sudah dirasakan sejak awal-awal tahun
2000-an. Sehingga dirasakan ketegangan yang ada ini perlu dicarikan solusi. Seperti
teorinya Parsons, kondisi yang seperti ini memang merangsang perlunya penyesuaian
(adaptation), memperjumpakan aturan perundangan
yang berlaku (baca: undang-
undang Perkawinan dan undang-undang yang lain) sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada. Dan untuk menghubungkan aturan dengan situasi yang ada di lapangan
memang dibutuhkan seorang atau banyak aktor. Para aktor inilah yang akan saling
berkomunikasi
dan
mencoba
mencari
alternatif-alternatif
solusi
dengan
menginteraksikan dan menginteraksikan diri dengan berbagai aturan / norma / hukum
dan situasi yang ada untuk mencapai tujuan (goal maintenance) tertentu yang
diharapkan.
Teori Aksi dan Hukum (Modifikasi dari Teori Struktural Fungsional)
Nilai,
Norma
,
Aktor:
Walikota
Salatiga,
Kepala
Dinasdukcapil
Salatiga, Pihak
Pengadilan
Salatiga dan
Cara 1:
Menyarankan salah
satu calon mengikuti
agama pasangannya
Cara 2: Memberikan
pemahaman kepada
salah satu pasangan
untuk bersedia
Menundukkan diri
pada agama
pasangannya
Cara 3: melalui
penetapan
pegadilan sesuai
dengan uu
Situasi : Ketegangan
dalam mencatatkan
perkawinan pasangan
beda agama
44
Tujuan:
Terlaksanan
ya
pencatatan
perkawinan
bagi
pasangan
Berdasarkan gambar diatas, posisi Kepala Dinasdukcapil Salatiga memang
sebagai aktor, salah satu pengambil kebijakan bersama dengan Walikota . Selain dengan
Walikota, Kepala dinasdukcapil juga berkoordinasi dengan aktor lain yaitu Pihak
Pengadilan Kota Salatiga dan Para pemuka agama baik dari Kristen, Katolik, Khonghucu,
Budha dan Hindu. Perjumpaan para aktor inilah yang kemudian saling mempengaruhi.
Seperti dalam teori Parson tentang pembagian masyarakat sebagi sebagai sistem
sosial, didalamnya terdapat orientasi motivational ini terbagi lagi atas 3 bagian dimensi
salah satunya yaitu dimensi kognitif. Dalam dimensi Kognitif ini, Para aktor yang ada
dalam sistem tersebut berusaha untuk “sharing pemahaman”. Berdasarkan informasi
dari mantan Kepala Dinas , Dinasdukcapil Salatiga, khususnya periode tahun 2000
sampai dengan tahun 2014
dalam setiap triwulan
selalu mengusahakan sebuah
pertemuan bersama dalam rangka koordinasi baik dengan Walikota dan Para pemuka
Agama setempat. Tujuannya adalah menyamakan “persepsi” tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan pelayanan umum.
Sebagai sebuah lembaga sosial yang melayani kepentingan masyarakat,
Dinasdukcapil perlu menyediakan sebuah “ruang “ atau “wadah” yang berdimensi
kognitif yang digunakan bersama-sama dengan para aktor yang ada untuk memahami
sebuah arti pekawinan dan pencatatan perkawinan yang akan dilakukan. Melihat
persoalan dari banyak perspektif, baik itu sisi sosial maupun norma,nilai dan hukum
yang berlaku dalam masyarakat.
Seperti dalam wawancara dengan salah satu mantan kepala dinasdukcapil “Ibu
A “ periode 2000-20014 bahwa beliau sebagai pelayan masyarakat (Dinasdukcapil) harus
memiliki
prioritas utama yaitu melayani,
mengedepankan pelayanan kepada
masyarakat. Dirinya yang mewakili Dinasdukcapil harus sungguh-sungguh melayani
kepentingan masyarakat, me-representasikan- kehadiran
negara dalam kehidupan
warganya, dalam hal ini kehidupan religiusitas warganya yang berkaitan dengan
perkawinan.
45
Berdasarkan pemahaman dan berbagai pertimbangan yang dikemukakan di atas
maka para mantan kepala dinasdukcapil periode 2000-2014 mengambil sebuah
kebijakan yaitu melaksanakan pencatatan perkawinan khususnya bagi pasangan beda
agama. Adapun beberapa alternatif yang dapat di tempuh oleh pasangan yang berbeda
keyakinan agar perkawinannya sah dan bisa dicatatkan , antara lain:
(1) Bagi mereka yang salah satunya menyatakan mau mengikuti agama pihak yang
lain, secara hukum itu berarti ia menundukkan diri kepada hukum agama yang
diikuti, maka perkawinan dilangsungkan sesuai dengan hukum agama yang
diikutinya, perkawinan sah dan bisa dicatatkan.
(2) Masing – masing pihak mempertahankan agamanya, akan tetapi bagi pihak yang
tidak kristen mau melangsungkan perkawinan secara kristen (misalnya dengan
pemberkatan, dan pemimpin agama Kristen yang ditunjuk gereja sanggup
melakukannya)
maka
perkawinan
telah
terjadi
dan
sah.
Sedangkan
pencatatannya oleh pejabat pencatatan perkawinan dikantor catatan sipil atau
di tempat dimana berlangsungnya perkawinan.
(3) Bagi kedua belah pihak dimana masing mempertahankan agamanya dan tidak
ada yang bersedia menikah berdasarkan hukum agama pihak yang lain, maka
harus ada ijin dari Pengadilan setempat dan harus ada pernyataan dari pemimpin
agama maisng – masing bahwa mereka tidak sanggup melangsungkan
perkawinan bagi calon pengantin. Pengadilan atas pertimbangannya akan
menerima atau menolak permintaan mempelai, dan apabila menerima
permohonan mempelai, pengadilan setempat akan memerintahkan kepada
pejabat kantor catatan sipil setempat untuk atas nama Negara melangsungkan
pernikahan pihak yang berkepentingan.
Memperhatikan beberapa alternatif kebijakan yang telah diambil oleh Bapak dan
Ibu Mantan Kepala Dinasdukcapil Kota Salatiga periode tahun 2000-2014 maka
pengambilan keputusan yang diambil tersebut merupakan sebuah interaksi antara hak
46
dan tanggung jawab individu (Baca: Pribadi Kepala Dinasdukcapil) dalam menjawab
realitas sosial. Dan juga interaksi antar individu satu dengan yang lain. Sehingga interaksi
internal dalam diri dan interaksi dengan sesuatu yang eksternal di luar diiri melahirkan
sebuah tindakan. Yaitu tindakan etis-situasional dengan mempertimbangkan aspek
sosiologis. Adalah tidak dibenarkan ketika secara terus menerus terjadi kekosongan
hukum atau tidak ada peraturan hukum yang mewadahi perkawinan bagi pasangan
beda agama. Sehingga situasi etis yang semacam ini akhirnya menuntut adanya peran
nyata dari para Kepala Dinasdukcapil untuk dapat menggunakan kewenangannya dalam
mengambil kebijakan yang menjunjung tinggi hak asasi dan kebebasan manusia. Hak
asasi dan kebebebasan seseorang untuk menentukan pasangan bagi hidupnya.
Keputusan etis para kepala dinasdukcapil Salatiga pada tahun 2000- 2014
tentang pelayanan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama
tentunya menjadi sebuah upaya etis untuk mencegah terjadinya sebuah proses
pengurusan yang panjang, sulit bahkan berbelit-belit. Seperti pasangan yang berbeda
keyakinan tersebut harus melaksanakan perkawinan melalui penetapan pengadilan,
mereka harus menikah di luar negeri atau perkawinan mereka hanya dilaksanakan
secara adat saja tanpa harus di catatkan. Jadi kebijakan yang diambil oleh para kepala
dinas ini adalah sebuah sikap etis untuk menyelesaikan persoalan etis-situasional dalam
masyarakatnya.
47
48
Download