etika aparatur dalam melayani masyarakat

advertisement
ETIKA APARATUR DALAM MELAYANI MASYARAKAT 1
Oleh
Drs. Faris Ihsan, M.Si 2
Abstraksi
Etika aparatur pemerintah sangat diperlukan dalam melayani
masyarakat. Disamping itu perilaku aparatur tadi akan mempengaruhi
bukan hanya dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat yang dilayani.
Masyarakat berharap adanya jaminan bahwa para aparatur dalam
menjalankan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik
senantiasa mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan
kedudukannya. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan
pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih
tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat
pemerintahan. Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia,
seharusnya para pemberi pelayanan publik harus mempelajari normanorma etika yang bersifat universal, karena dapat digunakan sebagai
penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi norma-norma tersebut juga
terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut sebaiknya
tidak secara kaku.
Kata Kunci : Aparatur, Etika, Nilai, Masyarakat
A. Pendahuluan
Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi
landasan sikap, perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicitacitakan. Dengan pegangan moral itu mana yang baik dan mana yang buruk, benar
dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena itu dimanapun
kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin
dikesampingkan. Semua warganegara berkepentingan dengan etika. Etika adalah
dunianya filsafat, nilai, dan moral.Administrasi adalah dunia keputusan dan
tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk,
1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB
2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB
1
sedangkan administrasi adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang
diinginkan (get the job done). Pembicaraan tentang etika dalam administrasi
adalah
bagaimana
mengaitkan
keduanya,
bagaimana
gagasan-gagasan
administrasi seperti ketertiban, efisiensi, kemanfaatan, produktivitas dapat
menjelaskan etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasan gagasan dasar etika
mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk itu dapat menjelaskan
hakikat administrasi. Sebagaimana diketahui, birokrasi atau administrasi publik
memiliki kewenangan bebas untuk bertindak dalam rangka memberikan
pelayanan umum serta menciptakan kesejahteraan masyarakat Untuk itu, kepada
birokrasi diberikan kekuasaan regulatif, yakni tindakan hukum yang sah untuk
mengatur kehidupan masyarakat melalui instrumen yang disebut kebijakan publik.
Sebagai suatu produk hukum, kebijakan publik berisi perintah (keharusan)
atau larangan. Barangsiapa yang melanggar perintah atau melaksanakan
perbuatan tertentu yang dilarang, maka ia akan dikenakan sanksi tertentu pula.
Inilah implikasi yuridis dari suatu kebijakan publik. Dengan kata lain, pendekatan
yuridis terhadap kebijakan publik kurang memperhatikan aspek dampak dan
kemanfaatan dari kebijakan tersebut. Itulah sebabnya, sering kita saksikan bahwa
kebijakan pemerintah sering ditolak oleh masyarakat (public veto) karena kurang
mempertimbangkan dimensi etis dan moral dalam masyarakat. Oleh karena itu,
suatu kebijakan publik hendaknya tidak hanya menonjolkan nilai-nilai benarsalah, tetapi harus lebih dikembangkan kepada sosialisasi nilai-nilai baik –
buruk. Sebab, suatu tindakan yang benar menurut hukum, belum tentu baik secara
moral dan etis.
Wacana kebijakan publik, telah lama didengungkan akan makna pentingnya
orientasi pada pelayanan publik. Titik fokusnyapun terarah pada pemenuhan
2
kebutuhan- kebutuhan publik, bukan pada si pembuat kebijakan tersebut.
Namun demikian semakin dikaji dan ditelaah kedalaman makna dari konsepsi
pelayanan publik tersebut, maka dalam dunia nyata semakin jauh makna hakiki
dari pelayanan publik tersebut diimplementasikan secara tepat. Organisasi publik
(pemerintah) sebagai institusi yang membawa misi pelayanan publik, akhir-akhir
ini semakin gencar mengkampanyekan dan saling berlomba untuk memberikan
dan mengimplementasikan makna hakiki dari pelayanan publik tersebut, namun
demikian di dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan yang diinginkan.
Secara umum ada dua hal yang sangat berperan bagi organisasi pemerintah
(birokrasi) didalam mengimplementasikan konsepsi mengenai pelayanan publik
tersebut. Yang pertama adalah faktor komitmen untuk melaksanakan kebijakan
yang sudah ada. Disini birokrasi dituntut untuk mempunyai komitmen yang jelas
melalui visi dan misi organisasi untuk melaksanakan fungsi pelayanan dengan
baik. Yang kedua adalah faktor aparatur pelaksana (birokrat) yang menjalankan
fungsi pelayanan tersebut. Disini setiap individu yang menjalankan fungsi
pelayanan harus mengacu pada komitmen organisasional yang telah dituangkan di
dalam visi dan misi organisasi tersebut. Jika kedua hal tersebut dijadikan sebagai
acuan di dalam pelaksanaan fungsi pelayanan, maka akan membentuk suatu etika
yang dijadikan sebagai pedoman didalam setiap perilaku birokrat untuk
melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati.
Isu tentang etika birokrasi di dalam pelayanan publik di Indonesia selama ini
kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju,
meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan
publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen
yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam literatur
3
tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu
elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus
keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan pelayanan publik itu sendiri.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya
persoalan yang dihadapi oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di
dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik, yang ditandai dengan adanya
pergeseran paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada aspek
peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance
yang tidak hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi
melibatkan seluruh komponen bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta
dan masyarakat (publik) secara keseluruhan. Alasan mendasar mengapa pelayanan
publik harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang
harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki “tanggung
jawab” atau responsibility. Dalam memberikan pelayanan ini pemerintah
diharapkan secara profesional melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan
politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan.
Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan
atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua
aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan
publik atau
masyarakatnya,
tidak
selamanya
benar.
Banyak
kasus
membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan
struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat
pemerintahan.
4
B. Nilai Etika
Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan,
penuntun apa yang harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga
sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai apakah sifat, perilaku, tindakan
atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk. Oleh
karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian
bahwa sesuatu tadi dikatakan baik, atau buruk. Etika menurut Bertens (2000)
“seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan
Darwin dalam Wahyudi (2007) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral
yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku
individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat.Selanjutnya Darwin
juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai
seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia
dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai
dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi
negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan
tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji.
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan,
referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam
menjalan
tugas
dan
kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik
kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.
Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan
lembaga- lembaga publik (Agencies) dan birokrat untuk mengendalikan
5
bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan dari luar organisasinya.
Strategi untuk mengendalikan harapan- harapan dari akuntabilitas administrasi
publik tadi akan melibatkan dua faktor kritis, yaitu bagaimana kemampuan
mendefinisikan dan mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh
manajemen pemerintahan. Kedua derajat kontrol keseluruhan terhadap harapanharapan yang telah didefiniskan para birokrat tadi.
C. Pelayanan Masyarakat
Sebagai perwujudan amanah negara kemudian dilahirkan Undang-Undang No.
25 Tahun 2009 yang mengatur tentang Pelayanan Publik. Pada Pasal 1 ayat (1)
disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai
dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administrasif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Keputusan
Negara
(Meneg
PAN)
Menteri
Negara
Pendayagunaan
Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003,
Aparatur
memberikan
pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan
oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan. Pelayanan prima merupakan terjemahan dari istilah “Excellent
Service”
yang
secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik dan atau
pelayanan yang terbaik. Disebut sangat baik atau terbaik, karena sesuai dengan
standar pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan
pelayanan. Apabila instansi pelayanan belum memiliki standar pelayanan, maka
pelayanan disebut sangat baik atau terbaik atau akan menjadi prima, manakala
6
dapat atau mampu memuaskan pihak yang dilayani (pelanggan). Jadi pelayanan
prima dalam hal ini sesuai dengan harapan pelanggan.
Lembaga Administrasi Negara (2009), memberikan kriteria-kriteria pelayanan
tersebut antara lain: (1) Kesederhanaan,; (2) Reliabilitas, meliputi konsistensi
dari kinerja;(3) Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi
pelayanan sesuai dengan urutan waktunya; (4) Kecakapan para petugas
pelayanan,; (5) Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan
dengan petugas,; (6) Keramahan,; (7) Keterbukaan,; (8) Komunikasi antara
petugas dan pelanggan; (9) Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara
pelanggan dan penyedia pelayanan; (10) Kejelasan dan kepastian, yaitu
mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal
waktu penyelesaian layanan tersebut; (11) Keamanan, yaitu usaha untuk
memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan; (12) Mengerti apa yang
diharapkan pelanggan,; (13) Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata
dari pelayanan; (14) Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi
pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapai ; (15) Ekonomis, yaitu
agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara realistis. Berdasarkan
penjelasan di atas pelayanan dapat diartikan memproses pelayanan kepada
masyarakat, baik berupa barang atau jasa melalui tahapan, prosedur,
persyaratan-persyaratan, waktu dan pembiayaan yang dilakukan secara
transparan untuk mencapai kepuasan penerima layanan.
D. Etika Aparatur Pemerintah
Masalah etika aparatur pemerintah adalah masalah yang menjadi kepedulian
dan keprihatinan para pakar dibidang ini. Ia menjadi masalah di negara yang
7
paling maju sekalipun, yakni di negara seperti Amerika Serikat yang telah
berdiri selama dua seperempat abad, yang konstitusi dan gagasan-gagasan
idealnya menjadi contoh bagi konstitusi dan gagasan-gagasan dasar banyak
negara lain, dan yang administrasinya juga menjadi rujukan administrasi di
banyak negara lain. Negara-negara lain yang telah lanjut usianya, seperti
Inggris, Prancis, dan Jepang, juga mengalami masalah yang sama, yaitu
persoalan dalam etika birokrasinya. Di negara- negara itu birokrasi diandalkan
untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, yang bersifat jujur dan
adil, dan keseluruhan sistemnya diarahkan untuk menjamin adanya hal itu.
Namun, ternyata mereka tetap saja menghadapi masalah dalam birokrasinya,
yang terlihat dari banyaknya skandal yang melibatkan birokrasi mereka. Dengan
latar belakang pandangan itu, adalah wajar apabila di negara yang baru
membangun ditemukan pula masalah yang sama. Bahkan sulit untuk
dibantah, meskipun perlu ada kajian yang lebih dalam, bahwa di negara
berkembang masalah etika ini proporsinya jauh lebih besar. Pandangan itu
didukung oleh observasi yang umum dalam kondisi administrasi di negaranegara berkembang seperti antara lain sebagai berikut. Pertama, belum tercipta
tradisi administrasi yang baik, yang menjaga timbulnya masalah etika seminimal
mungkin. Negara berkembang sedang mengembangkan administrasinya, yang
sesuai dengan kebudayaannya, tetapi mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku
umum. Negara- negara itu tidak mempunyai banyak rujukan, karena tidak dapat
melanjutkan administrasi yang berasal dari masa kolonial, yang tujuan
keberadaannya
berbeda
dengan administrasi dalam negara yang merdeka.
Kedua, adanya keterbatasan dalam sumber daya,
yang
pengembangan
bisa
administrasi
yang
baik
tidak
menyebabkan
cepat berjalan.
8
Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya
manusia (SDM). SDM administrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan
profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah
karena keterbatasan dana pemerintah. Ketiga, administrasi hidup dalam suatu
sistem politik, dan di banyak negara berkembang sistem politik itu sendiri masih
berkembang.Peran politik yang besar itu, acapkali tidak diimbangi dengan
kebertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat seperti layaknya dalam
sebuah sistem demokrasi. Dengan demikian, masalah etika dalam administrasi
negara yang sedang membangun jauh lebih rumit dibandingkan dengan
masalah etika di negara yang sudah maju, yang dari uraian di atas juga kita
ketahui sudah cukup rumit. Dengan kata lain, variabelnya lebih luas dan
ketidakpastiannya lebih besar. Oleh karena itu, akan sangat keliru apabila orang
berpendapat bahwa memperbaiki birokrasi di negara berkembang adalah
pekerjaan mudah.
Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika
sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika
perorangan maupun etika organisasi adalah pekerjaan yang memerlukan
kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler, tetapi
akan lebih banyak bersifat inkremental.
E. Etika Aparatur Pemerintah Dalam Melayani Masyarakat
Etika administrasi negara dari American Society for Public Administration
Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara, menyebutkan prinsip-prinsip
etika pelayanan sebagai berikut :
1.
Pelayanan terhadap publik harus diutamakan;
9
2.
Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan
publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya;
3.
Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila
hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari
cara terbaik untuk memberi pelayanan publik;
4.
Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi dministrator
publik.
5.
Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan
tidak dapat ditolerir;
6
Sistem merit
dan kesempatan kerja yang sama harus didukung,
diimplementasikan dan dipromosikan;
7.
Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat
dibenarkan;
8.
Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy
merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus
dipromosikan;
9.
Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif
keputusan;
10. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan,
tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.
Selanjutnya asas-asas
etika itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang
memuat 5 asas etika dan 6 asas mutu yang wajib di indahkan dan dijalankan oleh
para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu sebagai
berikut :
10
1.
Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak
pribadi,
kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar
supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranatapranata negara;
2.
Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam
pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi;
3.
Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja
menurut penilaian kecakapan serta tata-acara tindakan yang tidak
membeda-bedakan guna menjamin
kesempatan
yang
sama
pada
penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat terhadap orang-orang yang
memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat;
4.
Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah
pengurusan keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka
berada dalam kesulitan karena usaha yang bertanggung jawab untuk
memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah penggunaan
yang demikian;
5.
Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap
dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas
pelayanan terhadap diri sendiri;
6.
Berjuang
kearah
keunggulan
berkeahlian
perseorangan
dan
menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang
berusaha memasuki bidang administrasi negara;
7.
Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan
suatu sikap yang positif dan secara membangun mendukung tata hubungan
yang terbuka, daya cipta, pengabdian, dan welas asih;
11
8.
Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa
yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi;
9.
Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut
hukum untuk memajukan kepentingan umum atau masyarakat;
10. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk
mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang
muncul dan menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian,
kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan daya guna;
11. Menghormati,
berusaha
mendukung,
menelaah,
dan
bilamana
perlu
untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan
negara bagian serta hukum- hukum lainnya yang mengatur hubunganhubungan diantara badan-badan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabahnasabah, dan semua warga negara
Etika sangat diperlukan dalam praktek administrasi publik untuk dapat dijadikan
pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh administrasi
publik. Disamping itu perilaku birokrasi tadi akan mempengaruhi bukan hanya
dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat
yang dilayani. Masyarakat berharap
adanya jaminan bahwa para birokrat dalam menjalankan kebijakan politik dan
memberikan pelayanan publik yang dibiayai oleh dana publik senantiasa
mendasarkan diri pada nilai etika yang selaras dengan kedudukannya. Birokrasi
merupakan sebuah sistem, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan untuk
terus berbuat bertambah baik untuk organisasinya maupun kewenangannya (big
bureaucracy, giant bureaucracy), perlu menyandarkan diri pada nilai-nilai etika.
Dengan demikian maka etika (termasuk etika birokrasi) mempunyai dua fungsi,
yaitu : pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara
12
(birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam organisasi tadi dinilai baik, terpuji dan tidak tercela; kedua,
etika birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan
birokrasi publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Seperangkat nilai dalam
etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi
birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya antara lain
adalah : (1) efisiensi, artinya tidak boros, sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi
publik dikatakan baik jika mereka efisien; (2) membedakan milik pribadi
dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan
pribadi; (3) impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama
antara orang yang satu dengan lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi,
dilakukan secara formal, maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan
untuk menghindari urusan perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan
tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi.
Siapa yang salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya
mendapatkan penghargaan; (4) merytal system, nilai ini berkaitan dengan
rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan pegawai atau
promosi pegawai tidak di dasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan
pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan
(capable),
dan
pengalaman
(experience),
sehingga
menjadikan
yang
bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya); (5) responsible, nilai ini
adalah
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban
birokrasi
publik
dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya; (6) accountable, nilai ini merupakan
tanggung jawab yang bersifat obyektif, sebab birokrasi dikatakan akuntabel
13
bilamana
mereka
dinilai
mempertanggungjawabkan
obyektif
segala
oleh
macam
masyarakat
perbuatan,
karena
sikap
dapat
dan
sepak
terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu
berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik
(pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik); (7)
responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya
keluhan,
tanggap
terhadap
masalah dan aspirasi masyarakat dengan cepat dipahami dan
berusaha memenuhi, tidak suka menunda-nunda waktu atau memperpanjang alur
pelayanan. Berkaitan dengan nilai-nilai etika birokrasi sebagaimana digambarkan
di atas, maka dapat pula dikatakan bahwa jika nilai-nilai etika birokrasi tersebut
telah dijadikan sebagai norma serta diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, maka hal ini akan dapat
mencegah timbulnya tindakan kolusi, korupsi dan nepotisme, ataupun bentukbentuk penyelewengan lainnya dalam tubuh birokrasi, kendatipun tidak ada
lembaga pengawasan. Namun demikian harus dimaklumi pula bahwa etika
birokrasi belum cukup untuk menjamin tidak terjadi perilaku KKN pada tubuh
birokrasi. Hal yang lebih penting adalah kembali kepada kepribadian dari
masing-masing pelaku (manusianya). Dengan kata lain bahwa kontrol pribadi
dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri setiap individu
birokrat sangat berperan dalam membentuk perilakunya. Dengan adanya kontrol
pribadi yang kuat pada diri setiap individu maka akan dapat mencegah
munculnya
niat
untuk
melakukan
tindakan-tindakan
mal-administrasi
(penyelewengan).
Kode etik pelayanan publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi
seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain
14
masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik
karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila,
bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel
bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan
kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk
mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih
berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat
dalam bekerja. Dalam konteks ini, yang lebih penting adalah bahwa kode etik itu
tidak hanya sekedar ada, tetapi juga dinilai tingkat implementasinya dalam
kenyataan. Bahkan berdasarkan penilaian implementasi tersebut, kode etik
tersebut kemudian dikembangkan atau direvisi agar selalu sesuai dengan tuntutan
perubahan jaman.
Kita mungkin perlu belajar dari negara lain yang sudah memiliki kedewasaan
beretika. Di Amerika Serikat, misalnya, kesadaran beretika dalam pelayanan
publik telah begitu meningkat sehingga banyak profesi pelayanan publik yang
telah memiliki kode etik. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan
publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public
Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan
serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan
perilaku
ketabahan,
para anggotanya
respek,
antara
menaruh
lain integritas,
perhatian,
kebenaran, kejujuran,
keramahan,
cepat
tanggap,
mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional,
pengembangan
profesionalisme,
komunikasi
terbuka
dan
transparansi,
kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan
15
publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan,
dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.
F. Kesimpulan
Dalam praktek pelayanan publik saat ini di Indonesia, seharusnya para pemberi
pelayanan publik harus mempelajari norma-norma etika yang bersifat universal,
karena dapat digunakan sebagai penuntun tingkah lakunya. Akan tetapi normanorma tersebut juga terikat situasi sehingga menerima norma-norma tersebut
sebaiknya tidak secara kaku. Bertindak seperti ini menunjukan suatu kedewasaan
dalam beretika. Dialog menuju konsensus dapat membantu memecahkan dilema
tersebut. Kelemahan kita terletak pada ketiadaan atau terbatasnya kode etik.
Demikian pula kebebasan dalam menguji dan mempertanyakan norma-norma
moralitas yang berlaku belum ada, bahkan seringkali kaku terhadap normanorma moralitas yang sudah ada tanpa melihat perubahan jaman.
Daftar Pustaka
Buku :
Adam Malik, 2009, Etika Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta.
Bertens, K, 2000, Etika, Seri Filsafat Atma Jaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Budi Winarno, 2002, Teori dan Proses dan Kebijakan Publik, MedPress, Jakarta
Buyung, Bulizuar, 2010, Manajemen Pelayanan Publik, FISIP UI, Jakarta
Darmawan, Cecep, 2006, Transparansi Birokrasi Menuju Birokrasi yang Sehat,
PKPPW Univ. Padjadjaran, Bandung
Effendi, Sofian, 2008, Alternatif Kebijaksanaan Perencanaan Administrasi, Fisipol
UGM, Yogyakarta.
Kartono, Kartini, 2013, Pathologi Sosial, Edisi Baru, Rajawali Press, Jakarta
LAN RI, 2009, Bahan Diklat Bagi Pengelola Diklat : Evaluasi Diklat, LAN, Jakarta
Lubis, Mochtar, 2007, Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri, Bhratara Karya Aksara,
Jakarta
Miftah Thoha, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Media
Prenada Group, Jakarta
Pandji Santosa, 2008, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance,
Refika Aditama, Jakarta
16
Wahyudi Kumorotomo, 2007, Etika Adminstrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta
Dokumen :
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang
Pelayanan Publik
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 Tentang
Pokok-pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Keputusan
Menteri
Negara
Pendayagunaan
Aparatur
Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003, Tentang Pelayanan Publik
Akses Internet :
Website BKD dan Diklat Provinsi NTB : http:///bkddiklat.ntbprov.go.id (diserahkan
ke Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB tanggal 30 Januari 2014).
17
Download