BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Pengertian Diabetes melitus merupakan suatu penyakit heterogen yang didefinisikan berdasarkan adanya hiperglikemia (Ganong & McPhee, 2010). Guyton dan Hall (2007) menjelaskan bahwa DM merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Menurut American Diabetes Association (ADA) (2010), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. 2.1.2 Kriteria Diagnostik Kriteria diagnostik DM menurut ADA (2010) yaitu jika ditemukan kondisi sebagai berikut: 1. HbA1C ≥ 6,5% 2. Kadar gula darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl 3. Terdapat trias klinis DM (poliuria, polidipsi, dan penurunan berat badan) dan kadar gula darah acak (GDA) ≥ 200 mg/dl. 4. Kadar gula darah 2 jam post prandial (PP) atau tes toleransi glukosa oral (TTGO) 75 gram anhididrous yang dilarutkan dalam air (standar WHO) ≥ 200 mg/dl. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) tahun 2011, kecurigaan adanya DM dapat dilihat apabila terdapat gejala klasik seperti poliuria, 6 7 polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Gejala lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Kriteria diagnosis DM meliputi: 1. Gejala klasik DM ditambah dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L). 2. Gejala klasik DM ditambah dengan kadar glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dl (7,0 mmol/L). 3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L). 2.1.3 Klasifikasi Menurut PERKENI (2011) menyatakan bahwa terdapat empat klasifikasi DM, diantaranya : 1. Diabetes melitus tipe 1 Diabetes melitus tipe 1 disebut juga dengan DM tergantung insulin yang disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin (Guyton & Hall, 2007). Diabetes melitus tipe 1 dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu autoimun dan idiopatik. Kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pankreas yang menyebabkan defisiensi insulin berat (Guyton & Hall, 2007; Ganong & McPhee, 2010). Sebagian kecil kausa DM tipe 1 tidak diketahui atau idiopatik. Subtipe ini lebih sering ditemukan pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan Asia (Price & Wilson, 2006). 2. Diabetes melitus tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 disebut juga dengan DM tidak tergantung insulin yang disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin. Tipe ini 10 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan tipe 1. Diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi pada orang dewasa usia 30 8 tahun ke atas, akan tetapi akhir-akhir ini banyak dijumpai pula pada usia dibawah 20 tahun. Prevalensi DM tipe 2 meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini berkaitan dengan peningkatan resistensi terhadap efek insulin di tempat-tempat kerjanya serta penurunan sekresi insulin oleh pankreas. Diabetes melitus tipe ini sering (80% kasus) berkaitan dengan obesitas. Obesitas merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan resistensi insulin (Ganong & McPhee, 2010; Guyton & Hall, 2007). 3. Diabetes melitus tipe lain Diabetes melitus tipe ini terjadi karena etiologi lain, seperti defek genetik sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (Ganong & McPhee, 2010). 4. Diabetes melitus gestasional Diabetes melitus tipe ini terjadi pada 4% wanita hamil, dapat kambuh pada kehamilan berikutnya, dan cenderung sembuh setelah melahirkan. Faktor risiko terjadinya DM gestasional ialah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat DM gestasional terdahulu. Pasien-pasien yang memiliki predisposisi DM secara genetik mungkin akan memperlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan. Diabetes melitus gestasional biasanya terjadi pada paruh kedua gestasi, yang dipicu oleh peningkatan kadar hormon-hormon seperti somatomamotropin khorion, progesteron, kortisol, dan prolaktin yang memiliki efek counterregulatory anti-insulin (Ganong & McPhee, 2010; Price & Wilson, 2006). 2.1.4 Patofisologi 9 Diabetes melitus tipe 2 disebut juga dengan DM tidak tergantung insulin. Penyebab DM ini yaitu menurunnya sensitivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin yang sering disebut dengan resistensi insulin. Penurunan sensitivitas insulin menganggu penggunaan dan penyimpanan karbohidrat. Hal ini yang akan meningkatkan konsentrasi insulin plasma (hiperinsulinemia) sebagai upaya kompensasi oleh sel beta pankreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan terhadap efek metabolisme insulin (Guyton & Hall, 2007). Gangguan metabolik yang terjadi tergantung pada derajat penurunan kerja insulin. Jaringan adiposa paling peka terhadap kerja insulin. Oleh karena itu, rendahnya aktivitas insulin dapat menyebabkan penekanan lipolisis dan peningkatan penyimpanan lemak. Kadar insulin yang lebih tinggi diperlukan untuk melawan efek glukagon di hati dan menghambat pengeluaran glukosa oleh hati (Ganong & McPhee, 2010). Penurunan ringan kerja insulin mula-mula bermanifestasi sebagai ketidakmampuan jaringan peka-insulin untuk mengurangi beban glukosa. Secara klinis hal ini menimbulkan hiperglikemia pasca makan. Pasien DM tipe 2 yang masih menghasilkan insulin tetapi mengalami peningkatan resistensi insulin akan memperlihatkan gangguan uji toleransi glukosa. Jika efek insulin semakin menurun dan efek glukagon terhadap hati tidak mendapatkan perlawanan yang berarti maka terjadi hiperglikemia pasca makan dan hiperglikemia puasa. Selain menyebabkan gangguan metabolik, DM juga menyebabkan beragam penyulit kronik yang menjadi penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang 10 berkaitan dengan penyakit ini. Penyulit DM sebagian besar disebabkan oleh kelainan vaskular yang mengenai sistem mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan beberapa tipe neuropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit vaskular perifer) (Ganong & McPhee, 2010). 2.1.5 Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan diabetes adalah untuk mencegah komplikasi dan menormalkan aktivitas insulin di dalam tubuh. Penatalaksanaan DM terdiri dari empat pilar yaitu edukasi, diet, latihan jasmani dan pengobatan secara farmakologi (PERKENI, 2011). Empat pilar penatalaksanaan DM, diantaranya: 1. Edukasi Tujuan dari edukasi adalah mendukung usaha pasien yang menderita diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya, mengetahui cara pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan atau komplikasi yang mungkin timbul secara dini, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, diserta perubahan perilaku kesehatan yang diperlukan (Suzanna, 2014). 2. Diet Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik, yaitu karbohidrat : 45-65 % total asupan energi, protein: 10-20 % total asupan energi, lemak: 20-25% kebutuhan kalori. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, usia, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk 11 laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kebutuhan kalori pasien diabetes pada dasarnya tidak berbeda dengan orang non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktivitas fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan agar mendekati ideal (PERKENI, 2006). 3. Latihan jasmani Latihan jasmani merupakan salah satu dari pilar penatalaksanaan DM tipe 2. Latihan jasmani dapat meningkatkan kebutuhan bahan bakar tubuh oleh otot yang aktif dan terjadi pula reaksi tubuh yang kompleks meliputi fungsi sirkulasi, metabolisme, dan susunan saraf pusat otonom. Latihan jasmani akan mengakibatkan glikogen pada hati dan otot cepat diakses untuk digunakan sebagai sumber energi saat latihan jasmani terutama pada beberapa atau permulaan latihan jasmani dimulai, sehingga setelah 30 menit akan terjadi penurunan kadar glukosa darah. Latihan jasmani dapat dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit. Latihan ini sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani (PERKENI, 2011; Rachmawati, 2010). 4. Farmakologi Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan (PERKENI, 2011). 2.1.6 Komplikasi Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang (kronis). 1. Komplikasi akut a. Ketoasidosis Diabetik (KAD) 12 Penurunan aktivitas insulin tidak hanya menyebabkan peningkatan kadar glukosa serum tapi menyebabkan pula ketoasidosis. Tanpa adanya insulin lipolisis terpacu, sehingga asam-asam lemak dihasilkan dan cenderung diubah menjadi badan keton di hati oleh efek glukagon yang tidak terimbangi (Ganong & McPhee, 2010). Trias KAD yaitu hiperglikemia (300-600 mg/dl), asidosis, dan ketosis (PERKENI, 2011). b. Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dl. Hipoglikemia sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah penurunan kesdaran hingga koma). Pengelolaan segera diperlukan apabila terjadi hipoglikemia. Serangan hipoglikemia yang sering dan lama dapat menyebabkan kematian otak permanen atau bahkan kematian (PERKENI, 2011; Price & Wilson, 2006). c. Hiperglikemia Hiperosmolar Koma Non Ketotik (HHNK) Komplikasi ini sering muncul pada DM tipe 2. Hiperglikemia (600-1200 mg/dl) terjadi tanpa adanya ketosis, dan tanpa tanda dan gejala asidosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas (330-380 mOs/ml) (PERKENI, 2011; Price & Wilson, 2006). 2. Komplikasi kronis a. Komplikasi makroangiopati Makroangiopati memiliki gambaran histopatologis berupa arterosklerosis yang disebabkan oleh penimbunan sorbitol dalam tunika intima vaskular. Makroangiopati dapat menyebabkan arterosklerosis mengenai arteri-arteri penyumbatan perifer, maka vaskular. Jika menyebabkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai dengan klaudikasio intermiten 13 dan ganggren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika arterosklerosis mengenai arteri koronaria dan aorta, maka dapat menyebabkan angina dan infark miokardium (Price & Wilson, 2006). b. Komplikasi mikroangiopati 1) Retinopati diabetik Hiperglikemia dapat menyebabkan retinopati (Sitompul, 2011). Penimbunan sorbitol pada lensa mata menyebabkan kebutan dan katarak. Manifestasi dini dari retinopati yaitu mikroaneurisma dari arteriol retina. Hal ini mengakibatkan pendarahan, neovaskularisasi, dan jaringan parut pada retina dapat menyebabkan kebutaan (Price & Wilson, 2006). 2) Nefropati diabetik Manifestasi dini dari nefropati diabetik yaitu proteinuria dan hipertensi. Fungsi nefron yang hilang secara terus-menurus dapat menyebabkan pasien menderita insufisiensi ginjal dan uremia (Price & Wilson, 2006). 3) Neuropati diabetik Komplikasi ini disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosasorbitol-fruktosa) akibat kekurangan insulin. Penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol dapat menimbulkan neuropati (Price & Wilson, 2006). 2.2 Kontrol Glikemik 2.2.1 Pengertian Kontrol glikemik mengacu pada seberapa besar perbedaan metabolisme karbohidrat seseorang dari nilai standar. Terdapat beberapa cara untuk mengukur biokimia dari kontrol glikemik. Pengukuran kontrol glikemik ini berfungsi untuk 14 menilai konsentrasi glukosa darah untuk mengukur metabolisme glukosa (Gemmell, 2007). Kontrol glikemik diukur dengan menggunakan tes darah. Tes ini dapat menilai kontrol glikemik jangka pendek dan jangka panjang. Pasien DM dapat mengukur kontrol glikemiknya secara mandiri dengan menggunakan glucometer. Pengukuran dengan glucometer dapat menilai kontrol glikemik jangka pendek. Kontrol glikemik jangka panjang dapat dinilai dengan pengecekan HbA1C. Pengecekan HbA1C memberikan pasien DM estimasi mengenai kontrol glikemiknya selama 1-3 bulan (Gemmell, 2007). Kontrol glikemik merupakan suatu dasar dalam pengelolaan atau manajemen DM. Kontrol glikemik yang baik berarti menjaga kadar glukosa darah dalam kisaran normal, sehingga dapat terhindar dari hiperglikemia atau hipoglikemia (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2009). Kontrol glikemik yang ketat akan meningkatkan keberhasilan pengelolaan DM dan dapat dipantau dari kadar glukosa darah. Penderita DM yang mendapatkan terapi obat oral harus memantau glukosa darah puasa, sedangkan mereka yang sedang mendapatkan terapi insulin harus lebih sering memeriksa kadar glukosa sewaktu, misalnya sebelum makan. Pemantauan harus dilakukan lebih sering apabila pasien dalam keadaan tidak sehat (Davey, 2005). 2.2.2 Pengaturan Kadar Glukosa Darah Pankreas selain memiliki fungsi pencernaan juga berfungsi untuk menyekresikan dua hormon yang penting yaitu insulin dan glukagon, yang sangat penting dalam 15 pengaturan metabolisme glukosa, lipid, dan protein secara normal (Guyton & Hall, 2007). Insulin disekresi ketika terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Insulin bersirkulasi dalam plasma dan bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor insulin yang terdapat di permukaan sel sasaran seperti di hati, otot, dan lemak. Insulin berkerja melalui sistem perantara kedua untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa yang berada di luar membran sel. Molekul transporter glukosa yang disebut transporter glukosa GLUT-4 berperan penting dalam transportasi glukosa ke sebagian besar sel. Glukosa dapat digunakan segera untuk menghasilkan energi melalui siklus Krebs atau dapat disimpan di dalam sel sebagai glikogen. Glukosa yang masuk ke dalam sel menyebabkan kadar glukosa dalam darah menurun, sehingga menurunkan stimulasi pelepasan insulin lebih lanjut (Corwin, 2009). Hati melepaskan glukosa kembali ke dalam sirkulasi darah ketika kadar glukosa darah mulai menurun sampai pada kadar yang rendah di antara waktu-waktu makan. Pelepasan glukosa oleh hati berlangsung melalui beberapa peristiwa. Beberapa peristiwa tersebut yaitu berkurangnya kadar glukosa darah menyebabkan berkurangnya sekresi insulin oleh pankreas, yang selanjutnya akan mengembalikan semua efek penyimpanan glikogen, terutama menghentikan sintesis glikogen lebih lanjut dalam hati dan mencegah ambilan glukosa lebih jauh. Insulin yang sekresinya berkurang menyebabkan pengaktifan enzim fosforilase yang menyebabkan pemecahan glikogen menjadi glukosa fosfat. 16 Keadaan ini menyebabkan glukosa bebas berdifusi kembali ke dalam darah (Guyton & Hall, 2007). Rendahnya kadar glukosa darah menyebabkan disekresikannya glukagon oleh sel α pulau Langerhans. Glukagon mempengaruhi metabolisme melalui efeknya di hati dan jaringan lainnya. Glukagon memiliki efek yang berlawanan dengan insulin dengan bekerja secara katabolik untuk mempertahankan kadar glukosa darah dengan merangsang pengeluaran glukosa oleh hati. Hal ini terjadi dengan merangsang penguraian cadangan glikogen hati (glikogenolisis) dan sintesis glukosa oleh hati (glukoneogenesis). Glukoneogenesis adalah pembentukan glukosa baru dengan cara mengubah asam amino dan gliserol menjadi glukosa dan menyebabkan penguraian simpanan glikogen untuk digunakan sebagai sumber energi selain glukosa. Glukagon juga merangsang oksidasi asam lemak dan ketogenesis sehingga menghasilkan bahan sumber energi alternatif yang dapat digunakan oleh otak ketika glukosa tidak tersedia (Ganong & McPhee, 2010; Corwin, 2009). Selama masa puasa, pankreas akan melepaskan secara terus menerus sejumlah kecil insulin bersama dengan glukagon. Insulin dan glukagon secara bersamasama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa di hati. Hati pada mulanya menghasilkan glukosa melalui pemecahan glikogen. Setelah 8-12 jam tanpa makan, hati membentuk glukosa dari zat-zat selain karbohidrat yang mencakup asam-asam amino (Corwin, 2009). 17 2.2.3 Pengukuran Kontrol Glikemik Kontrol glikemik dapat diukur menggunakan beberapa cara seperti pemeriksaan gula darah puasa, gula darah sewaktu, gula darah 2 jam post prandial, HbA1C, tekanan darah, kolesterol total, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein), kolesterol HDL (High Density Lipoprotein), trigliserida, dan indeks massa tubuh (IMT). Pengukuran kontrol glikemik berdasarkan kadar glukosa darah puasa dapat digunakan untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai (PERKENI, 2006). Berikut merupakan kriteria kontrol glikemik (pengendalian DM) Tabel 1. Kriteri Pengendalian DM Indikator Glukosa darah puasa (mg/dl) Glukosa darah 2 jam (mg/dl) HbA1C (%) Kolesterol Total (mg/dl) Kolesterol LDL (mg/dl) Kolesterol HDL (mg/dl) Trigeliserida (mg/dl) Indeks Massa Tubuh (kg/m2) Tekanan darah (mmHg) Baik 80-<100 80-144 <6,5 <200 <100 Pria: >40 Wanita: >50 <150 18,5- <23 ≤130/80 Sedang 100-125 145-179 6,5-8 200-239 100-129 Buruk ≥126 ≥180 >8 ≥240 ≥130 150-199 23-25 >130-140/ >80-90 ≥200 >25 >140/90 (Sumber: PERKENI, 2006) 2.2.4 Pengukuran Kadar Glukosa Darah Puasa Pencapaian kontrol glikemik ditekankan pada pencapaian nilai kadar glukosa darah puasa dan A1C (Ceriello, Colagiuri, Gerich, & Tuomilehto, 2008). Pengukuran kadar glukosa darah puasa dapat dilakukan jika sebelumnya telah melakukan puasa (tidak makan dan minum kecuali air putih) selama 8-12 jam (ADA, 2009). Pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler dengan menggunakan alat glucometer memiliki kekurangan dibandingkan dengan pemeriksaan darah plasma 18 karena apabila kadar hematokrit rendah maka secara semu akan meningkatkan hasil pengukuran dan sebaliknya jika kadar hematokrit tinggi dapat menurunkan hasil pengukuran. Pengukuran glukosa darah vena dan kapiler saat puasa memiliki hasil yang identik, namun tidak untuk pengukuran kadar glukosa darah 2 jam post prandial (Laboratorium Kesehatan, 2010). Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan ketika melakukan pemeriksaan darah kapiler seperti penggunaan darah kapiler yang biasanya digunakan adalah darah tetesan pertama dimana darah tetesan pertama lebih banyak mengandung serosa sehingga dapat mengubah hasil pemeriksaan. Pembersihan area penusukan dengan kapas alkohol sebelum dilakukan penusukan sebaiknya ditunggu hingga kering karena alkohol dapat mempengaruhi keakuratan (Berman, Snyder, Kozier, & Erb, 2009). 2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah Kadar glukosa darah puasa dipengaruhi oleh beberapa hal seperti produksi glukosa hepar dan ambilan glukosa jaringan perifer (Price & Wilson, 2006). Kadar glukosa darah puasa juga dipengaruhi oleh faktor endogen yaitu humoral factor seperti hormon insulin dan glukagon. Mekanisme kerja dari insulin puasa yaitu dengan menghambat produksi glukosa endogen yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glukogenolisis. Insulin puasa ini berperan melalui efek inhibisi hormon glukagon terhadap mekanisme produksi endogen secara berlebihan. Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin tinggi tingkat kadar glukosa darah puasa oleh karena semakin tinggi tingkat resistensi insulin akan 19 menyebabkan semakin rendahnya kemampuan inhibisinya terhadap proses glukoneogenesis dan glukogenolisis (Sudoyo, 2006). Kadar glukosa darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat meningkatkan ambilan glukosa oleh otot dan tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Aktivitas fisik yang dilakukan secara berlebihan dapat menurunkan kadar glukosa darah, sehingga latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu pilar dari pengelolaan DM khususnya hiperglikemia (PERKENI, 2011). Asupan makanan terutama melalui makan berenergi tinggi atau kaya karbohidrat dan serat rendah dapat mengganggu stimulasi sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Asupan lemak di dalam tubuh perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap kepekaan insulin. Usia juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah karena pertambahan usia dapat menyebabkan penurunan toleransi tubuh terhadap glukosa karena kadar insulin juga dipengaruhi oleh usia. Rentang usia dewasa tengah merupakan rentang usia yang berisiko tinggi terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (PERKENI, 2006). 2.3 Diabetes Self Care Management 2.3.1 Konsep Dasar Self Care Self care merupakan salah satu teori keperawatan yang dikemukakan oleh Dorothea Orem. Definisi self care menurut Orem adalah suatu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraannya sesuai dengan keadaan, baik sehat maupun sakit (Tomey & Alligood, 2006). 20 Tujuan dari self care ini adalah meningkatkan kemandirian pasien. Teori ini meyakini bahwa semua manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan self care dan mereka memiliki hak untuk mendapatkan kebutuhan itu sendiri, kecuali bila tidak mampu. Perawat mengupayakan agar pasien mampu mandiri dalam memenuhi semua kebutuhan tersebut, begitu pula dengan pasien DM. Pasien DM diharapkan mampu melakukan diabetes self care management tanpa bantuan dari orang lain karena perilaku tersebut merupakan tanggungjawab setiap pasien DM (Kusniawati, 2011). 2.3.2 Pengertian Diabetes Self Care Management (DSCM) merupakan latihan perawatan diri (kinerja aktual terhadap aktivitas self care) yang dilakukan oleh individu untuk mengatur atau memanajemen diabetesnya (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, & Davis, 2005). Tujuan dari DSCM ini adalah untuk mencapai target dari kontrol glikemik pada pasien DM, yaitu level glukosa darah yang sedekat mungkin dengan nilai normal. Diabetes self care management ini merupakan bagian yang esensial (dasar) dari manajemen DM untuk menurunkan risiko terjadinya komplikasi DM (Gharaibeh, 2012). 2.3.3 Aspek dari Diabetes Self-Care Management Aspek-aspek yang termasuk ke dalam DSCM meliputi healthy eating (makan sehat), being active (latihan jasmani), taking medication (obat-obatan), monitoring glukosa darah, problem solving (pemecahan masalah), dan reducing risk (menurunkan terjadinya risiko) (Gharaibeh, 2012). 1. Healthy eating (makan sehat) 21 Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap pasien diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada pasien diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu (PERKENI, 2011). Pasien DM yang mengalami kelebihan berat badan, perlu untuk mengurangi berat badannya. Pasien DM juga perlu untuk memakan makanan yang rendah lemak dan kolesterol serta makan makanan yang banyak mengandung serat dan rendah sodium (ADA, 2012). Para pasien diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2011). Penyakit jantung dapat menjadi penyebab kematian pada pasien DM, sehingga ADA merekomendasikan pencegahan dan pengobatan diabetes agar serupa dengan pencegahan dan pengobatan penyakit jantung (Mashburn, 2012). Franz et al. (2010) meninjau fakta dan panduan pelaksanaan nutrisi untuk pasien DM dan melaporkan bahwa dukungan terhadap kebiasaan diet meliputi konsistensi intake karbohidrat, pengaturan dosis insulin agar sesuai dengan intake karbohidrat, penggantian makanan yang mengandung sukrosa, intake 22 protein yang biasa, diet nutrisi untuk menjaga kesehatan jantung, strategi pengelolaan berat badan, aktivitas fisik regular, dan monitoring glukosa darah secara mandiri. Menurut PERKENI (2011) komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari : a. Karbohidrat 1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. 2) Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan 3) Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. 4) Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain 5) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. 6) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake) 7) Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. b. Lemak 1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. 2) Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori 3) Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. 4) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). 5) Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari. c. Protein 1) Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi. 23 2) Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dan lainnya), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe. 3) Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi. d. Natrium 1) Anjuran asupan natrium untuk pasien diabetes sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. 2) Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg. 3) Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit. e. Serat 1) Seperti halnya masyarakat umum pasien diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. 2) Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari. f. Pemanis alternatif Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori. Pemanis yang termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Jenis dari pemanis gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Kandungan kalori pemanis berkalori sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari perlu diperhitungkan dalam penggunaan pemanis berkalori. Fruktosa tidak dianjurkan 24 digunakan pada pasien diabetes karena efek samping pada lemak darah. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake) 2. Being Active (Olahraga atau Latihan Jasmani) Orang dengan diabetes dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani dengan jumlah yang sama dengan masyarakat umum (ADA, 2012). Manfaat dari olahraga ini ditentukan berdasarkan intensitas dan durasi latihan, terutama untuk kesehatan jantung. Penurunan berat badan, peningkatan kesejahteraan psikologis, dan kontrol glukosa darah yang lebih baik merupakan tujuan dari latihan untuk orang dengan diabetes tipe 2. Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan (PERKENI, 2011). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani. Bagi mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan (PERKENI, 2011). 25 Umpierre et al. (2011) meninjau lebih dari 4.000 penelitian yang menunjukkan bahwa latihan aerobik selama 150 menit per minggu secara terstruktur, pelatihan resistensi, atau kombinasi keduanya, dikaitkan dengan A1C yang lebih rendah. Latihan dikombinasikan dengan modifikasi gaya hidup, pendidikan, kesadaran diet, dan dukungan sosial dapat meningkatkan sensitivitas insulin (O'Gorman, & Krook 2011). Individu dengan diabetes harus memantau kadar glukosa darah mereka untuk mencegah kejadian hipoglikemik yang berkaitan dengan berolahraga. 3. Taking medication Pengelolaan DM menurut PERKENI (2011) dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Obat hipoglikemik oral dapat segera diberikan pada keadaan tertentu secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai dengan indikasi. Kondisi tertentu tersebut yaitu keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: a. b. c. d. e. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion Penghambat glukoneogenesis (metformin) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. DPP-IV inhibitor 26 Selain terapi oral terdapat juga terapi berupa suntikan, yang termasuk di dalamnya yaitu : a. Insulin Insulin diperlukan pada keadaan seperti penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, ima, stroke), kehamilan dengan DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. Efek samping terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. b. Agonis GLP-1 Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang umum sering digunakan dalam pengobatan DM tipe 2 yaitu sulfonilurea, thiazolidinediones, dan insulin. Sulfonilurea digunakan 27 untuk merangsang pelepasan insulin, sedangkan thiazolidinediones digunakan untuk membantu meningkatkan sensitivitas insulin. Insulin harus digunakan bersama-sama dan bukan sebagai pengganti diet dan olahraga. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah dan pengelolaan diabetes tipe 2 (Mashburn, 2012). 4. Monitoring Pemantauan diri pada pasien DM meliputi pemantauan kadar glukosa darah, tekanan darah, pemeriksaan kaki, berat badan, dan pencapaian tujuan (Boren, Gunlock, Schaefer, & Albright, 2007; McAndrew, Schneider, & Leventhal, 2007). Perilaku pemantauan diri bertujuan untuk mencegah atau memperlambat perkembangan komplikasi diabetes (McAndrew, Schneider, & Leventhal, 2007; ADA, 2009). Pemantauan tekanan darah merupakan pemantauan yang efektif dalam mendeteksi dan membantu mengontrol hipertensi, yang merupakan faktor risiko utama untuk penyakit pembuluh darah jantung dan otak dan komplikasi mikrovaskuler (McAndrew, Schneider, & Leventhal, 2007). Self-monitor Blood Glucose (SMBG) merupakan alat yang memandu strategi pengelolaan glikemik dan memiliki potensi untuk meningkatkan pemecahan masalah dan keterampilan pengambilan keputusan bagi pasien diabetes dan tenaga pelayanan kesehatan mereka (AADE, 2010). Pengecekan level glukosa darah secara rutin atau regular menggunakan glucometer merupakan salah satu hal yang terpenting dalam mengelola diabetes. Self monitoring of blood glucose menyediakan pasien DM informasi yang mereka butuhkan untuk menilai bagaimana makanan, aktivitas fisik, dan 28 obat-obatan mempengaruhi kadar glukosa darah mereka. Hal ini dapat memfasilitasi penyesuaian lebih tepat waktu rejimen terapi dan mendukung fleksibilitas dalam perencanaan makan, aktivitas fisik, dan pemberian obat (Boren, Gunlock, Schaefer, & Albright, 2007; McAndrew, Schneider, & Leventhal, 2007). 5. Problem solving Kendala pada manajemen diri diabetes dapat ditemui setiap hari. Sangat penting untuk mengetahui bagaimana cara untuk menemukan solusi bagi masalah yang tak terduga. Masalah sehari-hari atau stres dapat menempatkan tubuh di bawah tekanan dan mengakibatkan fluktuasi dramatis dalam kadar gula darah (Mashburn, 2012). American Association Diabetes Educators (AADE) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai perilaku yang dipelajari untuk penyelesaian masalah (AADE, 2010). Pelatihan pemecahan masalah akan mengajarkan kita mengenai kontrol diri yang baik dan keterampilan perawatan diri. Pemecahan masalah merupakan kemampuan yang dapat membantu untuk berpikir lebih jelas, berpikir ke depan dan membuat rencana, lebih efisien dalam mengambil keputusan, lebih efektif dalam menangani masalah lainnya, menghindari konflik yang tidak diharapkan, dan meningkatkan kekuatan pribadi (Budde, 2009). Pemecahan masalah ini meliputi menghasilkan serangkaian strategi potensial, memilihan strategi yang paling tepat, menerapkan strategi, dan mengevaluasi efektivitas dari strategi tersebut. 29 Beberapa bukti mengaitkan rendahnya tingkat pemecahan masalah dengan rendahnya hasil glikemik. Secara keseluruhan, bukti menunjukkan bahwa pelatihan pemecahan masalah dapat menjadi alat intervensi yang efektif (Meece, 2006; Hill & Gemmell, 2007; Tomky, 2007; Stetson et al, 2010). Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme aksi dan pendekatan optimal untuk standarisasi penilaian dan intervensi (AADE, 2010). 6. Reducing risks Rendahnya pengelolaan diabetes dapat menyebabkan permasalahan jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Mengurangi risiko didefinisikan sebagai penerapan perilaku pengurangan risiko yang efektif untuk mencegah atau memperlambat perkembangan komplikasi diabetes (AADE, 2010). Banyak aktivitas yang dapat membantu dalam menurunkan risiko tersebut, seperti berhenti merokok, mengontrol tekanan darah, perawatan kaki, pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri, pemeliharaan mata dan gigi. Mengurangi terjadinya risiko dapat membantu dalam memperbaiki kualitas hidup dan kuantitas kehidupan orang dengan diabetes (AADE, 2008). 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Diabetes Self Care Management Faktor-faktor yang mempengaruhi pasien DM dalam melakukan Self Care Management antara lain: 1. Faktor eksternal a. Dukungan sosial Dukungan keluarga merupakan salah satu bagian dari dukungan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Febriantini (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara dukungan keluarga dengan kadar glukosa darah. 30 Hal ini sesuai dengan teori dukungan keluarga, dimana dukungan keluarga termasuk dalam faktor penguat yang membuat seseorang lebih merasa bersemangat dalam melakukan perubahan perilaku sehingga pasien lebih memperhatikan apa yang sedang dijalankannya (Notoatmodjo, 2005). Keluarga juga berpengaruh kepada psikologis penderita DM tipe 2 yang akan menimbulkan mekanisme koping yang adaptif sehingga keadaan psikologis penderita DM tipe 2 terhindar dari stres akibat dari pengobatan dan diet yang dijalankan (Soegondo, 2008) b. Komunikasi petugas kesehatan Komunikasi yang efektif antara petugas kesehatan dan pasien akan mendorong perilaku self care yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan pencapaian hasil yang memuaskan. Penjelasan mengenai tujuan pengobatan, masalah yang mungkin dijumpai, tindakan yang harus dilakukan dalam self care diabetes, dan strategi dalam melakukan manajemen penyakit merupakan salah satu hal yang penting dalam mencapai tujuan pengelolaan DM. Peningkatan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan akan meningkatkan kepuasan dan kepatuhan terhadap perencanaan pengobatan yang harus dijalankan dan meningkatkan status kesehatan melalui peningkatan self management. Aspek komunikasi yang dibutuhkan dalam menunjang efektivitas self care diabetes yaitu pendidikan kesehatan yang berhubungan dengan tindakan self care diabetes yang meliputi penjelasan tentang diet, latihan, monitoring glukosa darah, obat-obatan, dan perawatan kaki (Kusniawati, 2011). 2. Faktor internal 31 a. Diabetes knowledge (DK) Diabetes knowledge merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh pasien DM tentang penyakitnya, diet, aktivitas fisik, pemantauan glukosa darah, dan pengobatan. Pasien DM yang memiliki diabetes knowledge yang baik akan meningkatkan kepercayaan dirinya untuk melakukan diabetes self care management (Sousa & Zauszniewski, 2005). b. Self care agency (SCA) Self care agency merupakan kemampuan pasien DM untuk melakukan self care managementnya. Beberapa penelitian melaporkan bahwa self agency dapat mempengaruhi pelaksanaan self care management pada penderita DM (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, & Davis, 2005; Sigurdardottir, 2005). c. Self efficacy (SE) Self efficacy atau keyakinan terhadap efektivitas pelaksanaan diabetes merupakan pemahaman pasien DM mengenai pentingnya self care diabetes dalam mengelola DM tipe 2. Self efficacy merupakan salah satu tindakan yang efektif dalam pengelolaan DM tipe 2. Pemahaman tersebut akan merefleksikan keyakinan pada diri mengenai sejauhmana tindakan self care diabetes tersebut dapat membantu pasien dalam mengontrol glukosa darahnya. Perilaku self care tersebut akan menjadi tanggung jawab pasien dalam mengelola penyakitnya (Xu Yi, Toobert, Savage, Pan, & Whitmer, 2008). d. Motivasi Motivasi merupakan kondisi internal yang membangkitkan seseorang untuk bertindak dan mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu dan membuat seseorang untuk tetap tertarik dalam kegiatan tertentu. Kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik jika terdapat dukungan 32 baik internal maupun ekternal individu tersebut (Nursalam & Efendi, 2008). Motivasi merupakan faktor yang mempengaruhi pasien DM tipe 2 dalam melakukan self care diabetes terutama dalam hal mempertahankan diet dan monitoring glukosa darah. Motivasi dan pelaksanaan self care diabetes memiliki hubungan yang positif (Shigaki, Kruse, Mehr, Sheldon, Bin, & Moore, , 2010) e. Aspek emosional Aspek emosional dilaporkan memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku self care. Para pasien DM tipe 2 biasanya mengalami masalah emosional seperti sedih, stres, khawatir, dan bosan terhadap perawatan dan pengobatan yang harus dilakukan. Aspek emosional akan mempengaruhi perilaku self care. Oleh karena itu, penyesuaian emosional sangat diperlukan untuk keberhasilan program perawatan DM (Sigurdardottir, 2005). f. Sosial ekonomi Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang membutuhkan biaya yang cukup mahal dalam perawatannya. Penelitian yang dilakukan oleh Bai, Chiou, & Chang (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial ekonomi maka perilaku self care akan semakin meningkat. Apabila status sosial ekonomi memadai maka pasien DM dapat melakukan perawatan DM dengan baik sehingga dapat terhindar atau memperlambat terjadinya komplikasi akibat DM. g. Demografi 1) Usia Usia memiliki hubungan yang positif dengan penerapan DSCM, yang artinya semakin meningkat usia maka akan terjadi peningkatan penerapan DSCM. Hal ini dikarenakan peningkatan usia menyebabkan 33 peningkatan kematangan atau kedewasaan, sehingga orang dapat berfikir secara rasional mengenai manfaat yang akan dicapai jika ia melakukan DSCM secara adekuat (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, & Davis, 2005). 2) Jenis kelamin Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan penerapan DCSM, dimana dijelaskan bahwa jenis kelamin perempuan menunjukkan perilaku self care yang lebih baik dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki (Sousa, Zauszniewki, Musil, Lea, & Davis, 2005). 3) Durasi Menurut Bai, Chiou, & Chang (2009) lamanya menderita DM berpengaruh terhadap pelaksanaan self care. Pasien DM yang lebih lama menderita DM memiliki skor self care yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien DM yang durasi DMnya lebih pendek. Durasi DM yang lebih lama pada umumnya memiliki pemahaman yang adekuat tentang pentingnya self care diabetes. 2.4 Hubungan Diabetes Self Care Management terhadap Kontrol Glikemik pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan manifestasi klinis hilangnya toleransi karbohidrat yang sering dikaitkan dengan terjadinya hiperglikemia yang dapat disebabkan oleh penurunan sekresi insulin. Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi baik itu komplikasi akut maupun kronis yang nantinya dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah. Komplikasi DM dapat dicegah dengan mempertahankan kadar glukosa darah sedekat mungkin dengan target artinya dengan cara melakukan kontrol 34 glikemik yang baik (CDC, 2014). Self care management merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mencapai kontrol glikemik yang baik (Ganong & McPhee, 2010; Shrivastava, Shrivastava , & Ramasamy, 2013). Diabetes Self Care Management merupakan latihan perawatan diri (kinerja aktual terhadap aktivitas self care) yang dilakukan oleh individu untuk mengatur atau memanajemen diabetesnya yang terdiri dari healthy eating (makan sehat), being active (latihan jasmani), taking medication (obat-obatan), monitoring glukosa darah, problem solving (pemecahan masalah), dan reducing risk (menurunkan terjadinya risiko) (Gharaibeh, 2012). Latihan jasmani pada penderita DM memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan kadar gula dalam darah, dimana saat melakukan latihan jasmani terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menyebabkan penurunan glukosa darah. Selain itu dengan latihan jasmani dapat menurunkan berat badan, meningkatkan fungsi kardiovaskuler dan respirasi, menurunkan LDL dan meningkatkan HDL yang berarti dapat meningkatkan kontrol glikemik (Indriyani, Supriyatno, & Santoso, 2007). Diet juga mempengaruhi kontrol glikemik pasien DM. Semakin rendah penyerapan karbohidrat, maka semakin rendah kadar glukosa darah. Kandungan serat yang tinggi dalam makanan akan mempunyai indeks glikemik yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Nadimin, Ayu, dan Sadariah (2009) menyatakan bahwa penderita diabetes melitus yang mendapatkan diet tinggi serat memiliki penurunan kadar gula darah yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok 35 kontrol. Selain itu kontrol glikemik juga dapat dicapai dengan pemberian obatobatan DM, pemantauan diri, dan pengurangan risiko (Gharaibeh, 2012). Pemantauan diri pada pasien DM meliputi pemantauan kadar glukosa darah, tekanan darah, pemeriksaan kaki, berat badan, dan pencapaian tujuan (Boren, Gunlock, Schaefer, & Albright, 2007; McAndrew, Schneider, & Leventhal, 2007). Informasi dan instruksi pada pemantauan diri untuk perawatan kaki akan meningkatkan perawatan diri dan mengurangi komplikasi (McAndrew, Schneider, & Leventhal, 2007; ADA, 2009). Self monitoring blood glucose akan memberikan pasien diabetes informasi yang mereka butuhkan untuk menilai bagaimana makanan, aktivitas fisik, dan obat-obatan mempengaruhi kadar glukosa darah mereka. Mengurangi risiko didefinisikan sebagai penerapan perilaku pengurangan risiko yang efektif untuk mencegah atau memperlambat perkembangan komplikasi diabetes (AADE, 2010). Banyak aktivitas yang dapat membantu dalam menurunkan risiko tersebut, seperti berhenti merokok, mengontrol tekanan darah, perawatan kaki, pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri, pemeliharaan mata dan gigi (AADE, 2008). Diabetes self care management dipengaruhi banyak hal salah satunya self efficacy dan self agency. Beberapa penelitian melaporkan bahwa self efficacy dan atau self agency dapat mempengaruhi pelaksanaan self care management pada pasien DM (Hunt et al., 2012; Sousa, Zauszniewski, Musil, Lea, & Davis, 2005; Sigurdardottir, 2005). Baik self efficacy maupun self agency berpengaruh terhadap kontrol glikemik pasien DM (Sousa & Zauszniewski, 2005).