Persoalan-Persoalan Mesjid di Medan Oleh: Hasan Bakti Nasution Abstraksi Perkembangan kota Medan secara ekonomi, politik, pendidikan, dan lain-lain tidak berlangsung secara simetris dengan perkembangan pembangunan mesjid. Hal ini disebabkan oleh eksistensi masjid yang sarat dengan persoalan internal. Secara umum terdapat 5 (lima) persoalan mesjid di Kota Medan, yaitu perencanaan yang kurang matang, pengurus/pengelola yang tidak kuat, tidak semua masjid memiliki kepemilikan lahan masjid, banyakya penggusuran mesjid, dan cara pandang yang salah masyatakat. Jika aneka persoalan tersebut tidak ditangani secara cepat tidak mustahil bahwa suatu ketika mesjid akan hilang dari kota Medan, seperti halnya yang terjadi di Pulau Pinang Malaysi. Oleh karena itu harus dilakukan penyesaian kasuistik, kasus perkasus sesuai dengan 5 (lima) faktor yang melatarinya. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan semua pihak, yaitu Pemerintah, pejabat Kementerian Agama, ormas Islam, pengelola masjid, dan masyarakat. Term kunci: Persoalan-persoalan, mesjid, Medan Pendahuluan Dalam usianya yang mencapai 400-an tahun, Medan telah mengalami berbagai perkembangan. Medan sudah dinobatkan sebagai kota Metropolitan yang menyajikan berbagai fasilitas modern, seperti daerah perkantoran, pusat bisnis, mall modern, perumahan modern, pusat kuliner, perhotelan, rumah sakit, dan lain-lain di samping pusta-pusat pendidikan. Di kota ini terdapat beberapa universitas negeri dan swasta, seperti Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Islam Negeri (UNIMED), Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Universitas Muslim Nusantara (UMN) Alwashliyah, Universitas Al-Washliyah (UNIVA), dan sebagainya. Berbagai fasilitas modern tersebut sudah barang tentu membawa dampak positif bagi masyarakat, seperti kemudahan hidup, ketersediaan lapangan kerja, dan sebagainya. Namun perkembangan tersebut tidak sebanding lurus dengan perkembangan rumah ibadah, khususnya mesjid. Hampir tidak ada pertambahan mesjid di Medan, yang ada hanya pengurangan atau kehilangan mesjid. Ironinya, pengurangan atau kehilangan mesjid tersebut adalah sebagai imbas langsung dari perkembangan kota Medan. Banyak faktor tentunya mengapa fenomena itu terjadi, seperti nanti akan dijelaskan. Namun terlepas dari faktor tersebut, fakta ini menimbulkan dampak bagi pembinaan umat Islam. Seperti dimaklumi bahwa keberadaan mesjid erat kaitannya dengan keberadaan umat Islam, karena mesjid selain sebagai tempat pelaksanaan ibadah Islam (shalat, peringatan hari besar, dan lain-lain), mesjid juga berperan sebagai simbol kebaradaan umat Islam di suatu daerah. Dengan kehilangan mesjid dari suatu daerah, maka secara simbolik, Islam telah hilang dari daerah tersebut. Itulah sebabnya para raja-raja Islam menjadikan mesjid sebagai bagian dari kebijakan pembangunan yang dilakukan. Hal ini terbukti dengan penamaan mesjid dengan nama penguasa ketika itu, seperti mesjid Ibn Thulun di Mesir, mesjid Umar di Jerussalem, mesjid Sultan Deli di Kota Medan, mesjid Sultan Othman di Belawan, dan sebagainya. Melalui mesjid itulah dilaksanakan pembinaan umat, sehingga mesjid menjadi basecamp (markas) pembinaan umat, baik pada saat damai maupun ketika menghadapi kolonialis Belanda. Namun seiring dengan pergantian penguasa, apalagi diambil alih oleh bukan Islam, maka mesjid akan menjadi korban kebijakan. Akibatnya mesjid diganti dengan museum, seperti yang dialami mesjid Aya Sophia yang dijadikan Mustafa Kamal Ataturk, penguasa Turki menjadikan mesjid. Atau mesjid menjadi rumah ibadah agama lain (gereja), seperti yang terjadi di Spanyol di mana mesjid jami’ Cordova berubah menjadi katedral. Atau seperti yang terjadi di Ayodhia India, di mana mesjid Shabri dibongkar dan di atas reruntuhannya dibangun kuil dewa Rama. Hal yang sama terjadi di kota Medan. Di kota yang berpenghuni mayoritas Muslim ini ternyata tak mampu mempertahankan keberadaan mesjidnya, sehingga hilang satu persatu. Akibatnya mesjid telah kehilangan fungsi sebagai pusat pembinaan umat, karena selain eksistensinya yang sudah hilang, juga kurang mampu diberdayakan oleh umat Islam sehingga mesjid hanya sekedar simbol keberadaan umat saja. Menyikapi fenomena ini tentu membutuhkan pengkajian serius, seperti persoalan apa saja yang dihadapi mesjid di Kota Medan. Kemudian jika terjadi penghilangan mesjid, karena pembongkaran atau penggusuran mesjid, apa dampak yang dimunculkan dengan hilangnya mesjid tersebut, dan sebagainya. Didasarkan pada beberapa persoalan tersebutlah tulisan ini dilakukan. Untuk memperoleh data yang akurat dilakukan penelusuran terhadap beberapa sumber, baik data tertulis maupun tertulis. Data tertulis diperoleh dari literatur dan data-data di Kantor Kementerian Agama, Majelis Ulama dan lain-lain. Sedangkan data tidak tertulis diperoleh melalui wawancara mendalam (debt intervieu) kepada beberapa sumber sebagai tokoh kunci di Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara dan Kota Medan, Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Kota Medan, Alainsi Ormas Islam, dan Lembaga Advokasi Umat Islam (LADUI) MUI Sumatera Utara. Selain itu diadakan observasi, yaitu mengadakan pengamatan secara langsung di tengah masyarakat, khususnya lokasi yang mengalami penggusuran mesjid. Semua data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan analisa kualitatif. Data yang diperoleh dari Kantor Kementerian Agama, berupa gambaran penduduk, rumah ibadah, dan lain-lain, termasuk angket, akan dianalisa secara kuantitatif dalam bentuk angka dan persentase. Sedangkan data yang diperoleh dari wawancara akan dianalisa secara kualitatif dalam bentuk statemen. Selanjutnya data yang dianalisa melalui kedua metode tersebut disusun secara deskriptif, yaitu berupaya menggambarkan data yang ada sehingga tergambar apa adanya yang menjadi persoalan-persoalan mesjid di Medan. Makalah ini dikelompokkan kepada lima bagian, yaitu pendahuluan, gambaran umum tentang mesjid, persoalan-persoalan mesjid di Medan, dan penutup. Gambaran Umum Mesjid Sebelum menguraikan beberapa persoalan masjid di Medan sebagai persoalan pokok tulisan ini, terlebih dahulu diberikan gambaran umum tetang mesjid, yaitu: Pengertian masjid. Kata masjid atau mesjid berasal dari bahasa Arab, yaitu kata kerja ”sajada” yang berarti sujud (Sayyed Hossein Nashr, 1993), hlm. 51), beralih menjadi kata keterangan tempat (zharaf makan), yaitu masjid sebagai tempat sujud, posisi ketiga dalam shalat ketika dahi orang yang mengerjakan sembahyang (shalat) menyentuh tanah dalam kepatuhan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Sayyed Hossein Nashr, 1993), hlm. 51. Dengan demikian masjid mengandung arti sebagai tempat umat Islam melaksanakan shalat. Perubahan sebutan masjid menjadi mesjid (a menjadi e) sebenarnya adalah pengaruh bahasa Indonesia yang selalu menggunakan awalan me. Dalam perkembangan kemudian, kata mesjid mempunyai pengertian tertentu, yaitu bangunan atau gedung atau suatu lingkungan yang ditembok untuk digunakan sebagai tempat menunaikan ibadah shalat, baik shalat wajib (fardhu) secara mutlak yaitu shalat lima waktu, maupun shalat Jum’at dan shalat 2 (dua) hari raya, yaitu IdulFithri dan Idul Adha. Pengertian mesjid sebagai bangunan atau kompleks bangunan merupakan wujud dari aspek fisik dalam kebudayaan Islam (Dwihastoro, 1989:3). Arti mesjid sebagai bangunan fisik seperti diuraikan di atas sebenarnya sudah ada sejak masa awal perjuangan Nabi Muhammad SAW, misalnya Mesjid Al-Haram di Mekkah dan mesjid yang dibangun pertama kali oleh Nabi pada tahun pertama Hijriah yaitu Mesjid Nabawi di Madinah. Mesjid Nabawi pada awalnya adalah sebuah bangunan sederhana yang terletak di samping tempat tinggal nabi, dindingnya dibuat dari batu bata, tiangnya dari pohon kurma, sedang atapnya dari pelepah. Mesjid Nabawi merupakan mesjid utama ketiga setelah Mesjid al-Haram (Mekkah) dan Masjidil Aqsa di Baitulmakdis (Yerusalaem) (Widyosiswoyo, 2002: 3). Mesjid dalam al-Qur’an dan Hadits. Kata mesjid disebut beberapa kali di dalam Kitab suci al-Qur’an dalam berbagai bentuknya. Kamus Fathurrahman menyebutkan kata masjid dalam dua bentuk, yaitu dalam bentuk mufrad (singular, al-masjid, masjida), terdapat pada beberapa surat, seperti surat alBaqarah/2: 144, 149, 150, 191, 192, dan 217). Kemudian terdapat pula pada surat lainnya, yaitu at-Taubah/9: 8, 20, dan 108; al-Maidah/5: 3; al-Isra/17: 1 dan 7; al-Hajj/22: 25; alFath/48: 25; al-Kahfi/ : 12. Kemudian dalam bentuk jama’ (plural, al-masajid, masajid), terdapat pada surat al-Baqarah/2: 114. Juga pada ayat lainnya, yaitu al-Baqarah/2: 187. Kemudian terdapat pada surat lainnya, yaitu al-Hajj/22: 40; at-Taubah/9: 18 dan 19; dan al-Jinn/72: 18. Selain dalam al-Qur’an, dalam al-hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua, juga terdapat kata mesjid paling tidak dalam dua konteks, yaitu dalam konteks lokasi pelaksanaan shalat, yaitu dapat dilaksanakan di bumi manapun, seperti Hadits Riwayat Imam Bukhari, Nabi bersabda yang artinya: “Juílat liya al-ardh masajida/Seluruh jagat telah dijadikan bagiku mesjid (tempat sujud)” (H.R. Bukhari Muslim). Kemudian dalam konteks yang kedua ialah mengenai perintah sekaligus keutamaan membangun masjid. Berbeda dengan hadits tentang lokasi pelaksanaan shalat dapat dilakukan di bumi mana saja yang diriwayatkan secara mandiri Imam Bukhari dan Imam Muslim, hadits tentang perintah dan keutamaan membangun masjid ini diriwayatkan secara bersama oleh Imam Bukhari Muslim sehingga termasuk dalam kategori muttafaq álayh, yang artinya:”barang siapa membangun mesjid karena Allah, niscaya Allah akan membangun rumahnya di Surga”. Fungsi mesjid. Mesjid tidak hanya sekedar tempat ibadah, dalam rangka meningkatkan hubungan manusia dengan Tuhan (hablumminallah), tetapi mesjid juga memiliki fugsi sosial kemasyarakatan (hablumminnas). Kedua fungsi secara umum ini dapat dijabarkan kepada banyak fungsi, sebagai berikut: 1. Fungsi ritual, yaitu mesjid dijadikan sebagai tempat mengabdi kepada Allah dalam arti ibadah terbatas (ibadah mahdhah), yaitu sebagai tempat sujud atau melaksanakan shalat, baik shalat wajib (mafrudhat) maupun shalat sunat (nafilat). Selain itu, di mesjid juga dilaksanakan acara peringatan hari-hari besar Islam (PHBI), dan kegiatan keagamaan lainnya, sejalan dengan prinsip bahwa mesjid adalah tempat membina umat. 2. Fungsi sosial, yaitu masjid dijadikan sebagai tempat perkumpulan sosial seperti dicontohkan Nabi ketika membangun masjid Nabawi, yang dibangun di di jantung kota Madinah yang kelak disebut masjid Nabawi. Mesjid Nabawi ini memiliki makna dan fungsi yang sangat penting, yakni sebagai pusat segala aktivitas umat Islam. Di Mesjid Nabawi umat Islam menyatukan diri dalam persaudaraan cinta yang universal (ukhuwah) melalui nuansa kenabian untuk menuju atmosfer ke-Maha Esa-an Allah SWT, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Dimesjid seorang mukmin laksana matahari yang terpantul di air”. Di Mesjid Nabawi cahaya terefleksi dalam perjuangan umat Islam pada periode Madinah (Thoha, (2002). 3. Fungsi ekonomi, yaitu masjid dijadikan sebagai sentra ekonomi seperti terlihat pada masjid Nabawi Madinah. Hal ini terkait dengan hadirnya jamaah secara rutin di lokasi ini, yang sudah barangtentu memiliki kebutuhan transaksi ekonomi. 4. Fungsi pendidikan, yaitu mesjid sebagai tempat pendidikan agama dikenal dengan istilah madrasah. Nabi Muhammad SAW mendidik para sahabat di Mesjid Madinah, diruang khusus sebelah utara mesjid yang dinamakan shuffah. 5. Fungsi politik, yaitu masjid dijadikan sebagai basecamp pejuang kemerdekaan, baik sebagai tempat konsolidasi perjuangan maupun penginapan para keluarga korban. Dalam era kemerdekaan, secara variatif, fungsi ini juga terus berlanjut, terutama dalam kondisi konflik politik. Ketika terjadi kerusuhan sara di Ambon beberapa tahun yang lalu, masjid mengambil peran ini secara dominan, sehingga terkenallah nama masjid AlFata. Dalan konteks Medan, seiring dengan banyaknya penggusuran mesjid, peran politik sebagai basis perjuangan mempertahankan mesjid, mesjid menjadi basecamp, seperti mesjid Raudhatul Islam. Begitu juga mesjid Al-Ikhlas jalan Timor, dan kini mesjid Nurul Hidayah Medan Estate. Bagaimana posisi mesjid dijadikan sebagai basis perjuangan ini diuraikan berikutnya. 6. Fungsi kegiatan tareqat,yaitu mesjid dijadikan sebagai pusat kegiatan tareqat, sejalan dengan perkembangan tareqat di Indonesia. Terdapat relasi yang sinerjis di antara corak pengembangan Islam dan kehadiran mesjid di Indonesia, yaitu corak Islam yang mistis dengan keberadaan masjid yang berkaitan erat, berjalin berkelindan. Mesjid-mesjid bersejarah (masyad) dan mesjid-mesjid tua di Indonesia secara khusus mendapat perhatian dari masyarakat. Hampir semua mesjid-mesjid tersebut wujud perhatiannya berbau unik dan mistik dan dianggap tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Wujud perhatian yang diperlihatkan oleh sebagian masyarakat antara lain mereka melakukan ziarah dan menginap untuk beberapa lama di mesjid tua dengan harapan akan memperoleh barokah, melaksanakan nadzar, cepat mendapatkan pasangan hidup/cepat kaya, naik pangkat dan jabatan dan lain-lain. Unsur-unsur dan Arsitektur Mesjid Tidak terdapat model yang baku tentang bangunan mesjid, karena biasanya sangat terkait dengan model bangunan di suatu daerah, dan model bangunan itu juga terkait dengan kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu, yang paling penting ialah terdapat unsur-unsur utama dari bangunan mesjid. Begitu juga dengan arsitektur mesjid, sebagai hasil proses perancangan dan pembangunan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Oleh karena itu bangunan dan arsitektur mesjid adalah bangunan untuk sembahyang bersama (berjamaah) pada hari Jum’at dan ibadah Islam lainnya dengan fungsi majemuk sesuai dengan perkembangan zaman, budaya dan tempat suatu masyarakat (Sumalyo, 2000: 7). Berikut akan dijelaskan beberapa unsur yang seharusnya dimiliki mesjid, yaitu: Bangunan utama, yaitu bangunan induk sesuai dengan ukuran mesjid. Biasanya bangunan utama ini memiliki segi empat sesuai dengan bentuk ka’bah yang segi empat. Ada juga yang agak memanjang ke belakang. Bentuk mesjid lainnya ialah disesuaikan dengan posisi tanah. Hal ini terjadi seringkali karena pertimbangan luas dan posisi tanah bukan menjadikan pertimbangan utama ketika membangun mesjid. Bentuk lainnya ialah segi 6 (enam). Mihrab, yaitu bangunan yang agak menonjol bagian arah kiblat (arah matahari terbanam). Untuk Indonesia, sesuai dengang fatwa MUI tahun arah matahari terbenam itu mengarah ke Barat Laut, sebagai tempat imam dan sering juga sebagai tempat mimbar. Mihrab merupakan sebuah ceruk atau ruang relatif kecil masuk kedalam dinding, sebagai tanda arah kiblat yaitu ke arah Ka’bah di Mekkah. Mihrab biasanya berbentuk setengah lingkaran atau persegi dipakai sebagai tempat imam memimpin shalat. Jika melihat posisi mesjid Nabawi pada era awal bangunan ini tidak nampak, karena bangunan masjid hanya bersegi empat, baru pada era belakangan bangunan ini muncul. Karena ini bermunculan teori tentang asal mirab tersebut. Ada teori yang menyatakan bahwa mihrab sebagai ruang petunjuk arah kiblat diadopsi dari bagian ruang depan gereja atau kuil di Persia. Mihrab sendiri dalam bahasa arab haraba berarti melawan atau berperang. Beberapa sejarawan menganggap bahwa istilah ini lebih berasal dari Persia yaitu lubang yang tidak tembus atau cekungan (niche) pada Kuil Mithraistik. Penafsiran yang berbeda dikemukakan oleh Dr. Muhammad Taqi-ud-Din al-Hilali dan Dr. Muhammad Muhsin Khan dalam cetakan Al-Qur’an King Fahd Complex; Saudi Arabia, mihrab berarti tempat shalat (kecil) atau ruang privasi, namun bukan arah atau petunjuk tempat shalat apalagi ruang imam. Kendati pada ulama berbeda pendapat tentang keberadaan mihrab dalam mesjid, kini mihrab telah menjadi suatu kelaziman di dalam arsitektur mesjid dan dianggap merupakan bagian terpenting pada mesjid. Menara, yaitu sebagai bangunan tersendiri yang menjulang tinggi. Jumlah menara ini bervariasi sesuai dengan filosofi yang menjadi dasar bangunan menara. Ada yang hanya membangun satu menara sesuai fungsinya sebagai mercu suar mesjid. Ada juga yang empat buah sesuai dengan arah mata angin yang empat atau jumlah sahabat yang empat, namun ada juga yang sampai delapan bangunan seperti menara mesjid Nabawi di Madinah. Secara geografis dan sejarah perkembangan Islam, perkembangan bentuk arsitektur mesjid dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok. Buku The Mosque yang disunting oleh Martin Frisman dan Hasan Unddin Khan (1997) mengelompokkannya menjadi sembilan yaitu Arab dan sekitarnya, Spanyol, Afrika Utara; Iran, Asia Tengah; Anatolia; India; SubSahara Afrika Barat; Asia timur; Cina; dan Asia Tenggara (Sumalyo, 2002: 2). Lebih khusus dalam sejarah Islah gambaran perkembangan arsitektur mesjid dapat dikelompokkan sesuai perkembangannya, yaitu masa Nabi Muhammad SAW (610-632); masa Khulafaur Rasyidin (632-661); masa Khalifah Bani Ummaiyah/Muawiyah (Damaskus (661-750) dan spanyol (757-1236); dan masa khalifah Bani Abbasiyah (750-1258). Masa dinasti Seljuk; Masa Dinasti Utsmaniah di Turki (Sumalyo, 2002: 2). Dalam perkembanganya, arsitektur mesjid berkembang semakin kompleks karena kecenderungan arsitektur mesjid tersebut memasukkan budaya daerah (vernacularisme), namun perkembangan itu tidak lepas pula dari pengaruh bentuk dan konsep yang lebih dahulu ada. Sebagai contoh pemakaian kubah yang sudah ada sejak abad ke-1 zaman Romawi dan dikembangkan pada zaman Bizantium sejak abad ke-3 dan zaman-zaman berikutnya. Awal perkembangan Islam abad ke-7 terutama bersamaan dengan masa kejayaan Bizantium (abad ke-3-16), maka penggunaan kubah cukup menonjol dalam arsitektur mesjid. Seiring dengan perkembangan era globalisasi dengan ciri utamanya saling hubungan antar budaya manusia, percampuran unsur budaya dalam arsitektur mesjid kini semakin kompleks terutama dalam aspek perhubungan dan teknologi komunikasi. Semakin banyak orang berpergian dan berkomunikasi semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh, sehingga bercampuran budaya semakin cepat dan kompleks. Mimbar, adalah unsur yang keempat dari sebuah masjid. Kata minbar berasal dari bahasa Arab yaitu terdiri dari huruf m, n, b, r, , yaitu yang berarti kursi, singgasana atau tahta, karena posisi bangunannya yang tinggi minimal 3 (tiga) anak tangga dan ada yang sampai 21 anak tanggal seperti mimbar mesjid Sulaimaniyya di Istanbul Turki. Mimbar dibuat umumnya terbuat dari kayu yang dihias atau diukir merupakan kursi tinggi untuk mendudukinya melalui beberapa anak tangga. Mimbar digunakan sebagai tempat berkhutbah atau ceramah sebelum dilakukan shalat Jum’at, atau pada kegiatan ceramah lainnya. Biasanya mimbar berdampingan dengan mihrab di sebelah kananya, menghadap ke jamaah. Atau posisi minbar berada di sebelah kanan imam ketika shalat. Pada masa lalu mimbar mesjid Al-Aqsa di Yerusalem, Pelestina pernah memiliki zawiyah untuk perempuan (Aboebakar, 1995: 304). Kubah, merupakan bagian atas mesjid, bentuknya bermacam-macam sesuai dengan kawasan bangunan masjid. Ada dalam bentuk bola terpancung yang dijadikan atap. Pembuatan kubah pertama kali dilakukan pada Mesjid Al-Sakhra atau Mesjid Umar di Yerusalem pada masa Khalifah Abdul Malik (685-688) dari dinasti Umaiyah. Dari sini kemudian lahir bermacam-macam bantuk kubah. Dari aliran Arab, bentuk kubah yang terkenal selain Mesjid Al-Sakhra adalah Mesjid Damaskus di Syria (706). Dari aliran Moor dikenal antara lain Cordoba di Spanyol (785), Qairawan di Tunisia (836). Pelataran, yaitu bangunan bagian luar mesjid. Dalam bahasa Arab disebut dengan shuffah, dan karena sahabat banyak yang menempati bangunan tersebut dan mereka selalu berada pada shaf terdepan setiap kali shalat. Sebab itulah mereka disebut dengan ahlussuffah, yaitu mereka yang menempati pelataran mesjid. Bentuk pelataran ini umumnya dalam bentuk letter U, yaitu melingkari semua sisi mesjid kecuali sisi arah kiblat. Contoh pelataran ini nampak pada mesjid-mesjid lama, seperti masjid Raya Al-Mashun, mesjid Azizi di Langkat, dan lain-lain. Namun belakangan, seiring dengan keterbatasan lahan, sisi luar ini hilang, karena bentuk bangunan mesjid dissuaikan dengan ketersediaan lahan, sehingga ada yang di bagian belajang dan ada yang di samping saja. Ruang perkantoran kenaziran, ruangan ini biasanya berada di sebelah kiri atau sebelah kanan mihrab yang diperuntukkan bagi perkantoran pengelola mesjid. Tetapi ada juga dalam bentuk bangunan khusus perkantoran, sehingga bangunan yang di sisi kiri dan kanan mihrab digunakan sebagai ruang pengaturan shound system dan pendingin ruangan (AC). Namun tidak semua mesjid memiliki ruangan ini karena ruangan yang terbatas. Mengenai ruang perkantoan ini sangat tergantung dengan luas lahan mesjid dan kemampuan pengelola mesjid. Rumah penjaga mesjid, idealnya unsur ini penting walau tidak semua mesjid memilikinya, bahkan, mesjid jarang sekali memiliki bangunan ini. Hal ini disebabkan oleh karena biasanya yang jaga adalah yang masih berstatus lajang sehingga tidak memebutuhkan rumah khusus. Faktor lainnya ialah karena keterbatasan space mesjid, sehingga tidak ada tempat khusus yang dapat dijadikan sebagia rumah penjaga secara khusus. Namun di beberapa mesjid ada walaupun bangunannya sederhana menempel di mesjid. Sejarah pendirian masjid Secara umum sejarah pendirian mesjid memiliki kesamaan di antara satu dengan yang lain, yaitu didirikan oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam menjalankan ibadah shalat lima waktu, kemudian tempat mengadakan kegiatan pembinaan keimanan dan keislaman, baik terhadap orangtua maupun remaja. Ciri utama dari mesjid ini ialah mesjid bersama yang dibangun secara bertahap, sehingga semakin lama semakin besar dan semakin cantik terkait dengan kemampuan ekonomi masyarakat di sekitar mesjid. Namun dalam fase belakangan, seiring dengan munculnya kesadaran para aghniya, banyak juga yang mendapat bantuan aghniya atau dari perkantoran. Kemudian sering dengan era reformasi yang salah satunya ialah dengan pilkada langsung, banyak juga calom kepala daerah yang memberikan perhatian terhadap mesjid, sehingga semakin memeprcepat penyeelsaian mesjid atau semakin mempercantik mesjid. Selain itu ada juga mesjid yang dibangun secara individu sehingga sering disebut dengan mesjid keluarga. Pembangunannya biasanya dilakukan sekaligus, langsung jadi karena telah tersedia dana yang cukup sesuai dengan desain mesjid yang direncanakan. Sejarah pembangunan mesjid lainnya ialah melalui perkantoran. Ini terkait dengan semangat keagamaan dari pimpinan kantor. Pembangunan ini sering kali lebih cantik dari mesjid biasa. Sekedar contoh, di Medan terdapat mesjid di gedung keuangan Medan, Makodam I BB, dan di Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Mesjid dengan biaya milyaran ini mungkin dibangun karena kesadaran pimpinan kantor dan seluruh pimpinan teras dan staf. Selain di dua lokasi tersebut banyak terdapat bangunan mesjid lain, seperti di PLN, Tirtanadi, dan lain-lain. Argumentasi pembangunan ini tentu untuk mempermudah pegawai melaksanakan shalat Jum’at sehingga tidak perlu meninggalkan tugas di kantor. Kegunaan lainnya mesjid di perkantoran ialah sebagai tempat pembinaan mental keagamaan pegawai dan perajurit di perkantorannya maisng-masing. Banyak perkantoran di Medan, seperti PLN, Makodam I, Mapoldasu yang mengadakan pengajian rutin Senin atau Kamis. Persoalan-Persoalan Mesjid Bagian ini akan menguraikan berbagai persoalan yang menimpa mesjid di ota Medan. Persoalannya mencakup: perencanaan, pengurus/pengelola, penggusuran mesjid, beberapa kasus, cara pandang yang salah, dampak kehilangan mesjid, dan penyelesaian antisipatif. Semuanya akan diuraikan satu persatu. Perencanaan adalah hal yang sangat penting baik dalam ilmu futurologi (ilmu tentang masa depan) maupun ilmu managemen. Dalam al-Qur’an hal menjadi perhatian khusus sebagaimana terekam surat al-Hasyr/59: 18. Gambaran masa depan, terutama yang berkaitan dengan kondisi umat Islam, juga diuraikan dalam berbagai hadits Nabi Muhammad Saw. Persoalan perencanaan secara sistimatis dibahas oleh ilmu managemen, dengan menempatkan perencanaan pada anak tangga pertama dari lima unsur kajian managemen, yaitu plaining/programming (perencanaan), actuating (pelaksana-an), controling (pengawasan), dan evaluating (evaluasi). Oleh karena itu, adanya perencanaan menjadi kata kunci kesuksesan dalam kajian manajemen, termasuk di dalamnya ilmu tentang kepemimpinan (leadership), karena seorang pemimpin harus menguasai ilmu managemen. Kendati perencanaan begitu penting, adalah hal yang sangat memilukan bahwa persoalan mesjid yang pertama yang dihadapi mesjid di Kota Medan ialah kurangnya perencanaan pembangunan mesjid, sehingga mesjid dibangun tanpa studi kelayakan dari segi lokasi dan perkembangan tata kota. Persyaratan pembangunan mesjid, biasanya, hanya dilakukan di atas tanah waqaf, jika mungkin di pinggir jalan atau pinggir sungai. Akibatnya muncullah persoalan-persoalan yang mengiringinya, seperti: a. Luas mesjid/lahan mesjid yang tidak ideal. Hal ini terjadi karena persoalan ini tidak menjadi prioritas ketika membangun mesjid, karena yang penting harus adanya mesjid, bagaimana urusan setelahnya seperti daya tampung, posisi mesjid, dan lain-lain menjadi terabaikan. Akibatnya terdapat suatu mesjid dibangun apa adanya, misalnya kecil dan rendah. Akibatnya begitu mesjid selesai dan mulai dimanfaatkan sudah muncul masalah baru yaitu ukurannya yang kurang besar sehingga tidak mampu menampung jamaah. Kemudian karena dibangun rendah sedangkan posisinya di tengah jalan besar, ketika pembangunan jalan berlangsung sudah muncul pula masalah baru, yaitu kewtinggian mesjid sudah sama bahkan di bawah badan jalan, sehingga sampah-sampah atau abu secara mudah beterbangan dan masuk ke dalam mesjid. b. Bangunan mesjid yang rawan penggusuran. Hal ini terjadi karena lokasi mesjid yang berada di pinggir jalan, sehingga ketika terjadi pelebaran jalan mau tidak mau lahan mesjid akan kenjadi korban. Hal ini diperparah lagi jika posisinya berada di perempatan mesjid. Sekedar sampel, lihatlah misalnya mesjid Al-Jihad yang berada di pulau Brayan Medan. Mesjid ini mengalami penyempitan karena terjadi pelebaran jalan dari dua arah karena posisinya di perempatan jalan. Diperparah lagi bahwa di lahan mesjid tersebut dibangun jalan layang dari arah Utara dan Selatan. Setelah jalan layang selesai dibangun posisi jalan otomatis berada di bawah jalan. Hal ini tentu, selain mengurangi kekhusukan shalat juga menyebabkan kebisingan. Kurangnya perencanaan tersebut kemudian menimbul-kan persoalan baru, seperti pengecilan lahan mesjid bahkan penggusuran mesjid, seperti akan diuraikan selanjutnya. Persoalan kepemilikan tanah, persoalan kedua mesjid di kota Medan ialah masalah kepemilikan tanah, apakah sebagai waqaf atau bukan. Persoalan ini tampil terkait dengan dua persoalan. Pertama, tanah yang dimiliki perseorangan. Masalahnya ialah lahan mesjid diwaqafkan pemilik secara lisan lalu dibangunlah masjid di atasnya. Ketika ia wafat, salah seorang atau beberapa orang anaknya menuntut bahwa lahan tersebut milik merka yang harus diwariskan. Nazir measjid tidak bisa bertahan karena belum memiliki akte waqaf, sehingga sulit dipertahankan secara hukum. Akhirnya mesjidpun dibongkar. Kedua, tanah yang dimiliki lembaga atau badan, baik negara ataupun Pemerintah. Hal ini muncul pada lahan-lahan PTP yang beralih kepemilikan kepada pengusaha/ pengembang, yang umumnya dari bukan Muslim, dan hal ini kelak menjadi persoalan serius. Kasus ini nampak pada mesjid Raudhatul Islam, mesjid Al-Ikhlas jalan Timor, dan Nurul Hidayat Medan Estate. Pengurus/pengelola, persoalan mesjid ketiga yang sering muncul di Kota Medan ialah pengelola atau pengurus mesjid. Persoalan ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya kurang jelasnya mekanisme pergantian pengurus, karena tidak memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga kepengurusan mesjid. Atau bisa saja anggaran dasarnya ada, namun dikaburkan atau sengaja dihilangkan oleh pengurus yang ada, sehingga secara leluasa dapat menguasai mesjid tersebut. Keniginan untuk menjadi pengurus ini tentu dilatari oleh banyak faktor, baik faktor ekonomi maupun sosial. Faktor ekonomi ialah dugaan penyalahgunaan dana-dana mesjid, seperti dana infak yang tidak disetor keseluruhan. Konflik mesjid Agung Medan antara lain dipicu oleh ketidak percayaan jamaah kepada pengelola dalam pengelolaan keuangan. Walau belum pernah diedit secara akuntansi, namun dugaan ini ada benarnya, karena ketika dihitung secara transparan memang terjadi kenaikan perolehan jumlah infak. Bahkan meningkat mencapai seratus persen lebih. Adapun faktor sosial ialah jabatan nazir dipandang memiliki nilai sosial berupa penghargaan dari jamaah. Tentu hal ini sarat dengan keriyaan, namun fakta ini tidak jarang terjadi dalam kepengurusan mesjid di Kota Medan. Argumentasi pendukung untuk pandangan ini tentuya ialah mengapa masih bertahannya seseorang sebagai pengurus, padahal secara ekonnomi tidak memperoleh keuntungan secara ekonomis. Persoalan kepengurusan lainnya ialah pengelolaan keuangan yang tidak transparan, sehingga menimbulkan kekurang percayaan anggota. Akibatnya terjadi konflik internal yang berakibat pada lemahnya pengelolaan mesjid. Tidak jarang pada munculnya dualisme kepengurusan. Dalam hal ini, biasanya, pengurus yang lebih dekat dengan pejabarat terkait (KUA, Camat, dan lain-lain) akan mengambil keuntungan. Misalnya, pengurus yang lebih dekat dengan KUA atau Camat atau kedua-duanya akan mendapat legalitas sebagai pengruus mesjid. Dalam konteks pembongkaran mesjid di Kota Medan sekitar, pengurus yang mendapat legalitas ialah pengurus yang mendukung pembongkaran mesjid tersebut, seperti yang terjadi pada mesjid Raudhatul Islam, Nurul Hidayah, dan sebagainya. Sebab itu bisa dipastikan bahwa pengurus yang ada adalah ”buatan” pengembang (developer) untuk memuluskan rencana pembongkaran mesjid. Tentu dilakukan dengan bernaung pada legalitas surat menyurat. Penggusuran mesjid, persoalan ketiga mesjid di kota Medan ialah terjadinya penggusuran mesjid atau bahasa halusnya relokasi dari suatu tempat ke tempat lain. Penggusuran atau relokasi ini juga terjadi karena beberapa faktor, seperti: a. Perpindahan kepemilikan tanah dari satu orang atau lembaga kepada orang lain b. Perpindahan penduduk dari suatu daerah sehingga mesjid tinggal sendiri menjadi faktor kedua penggusuran mesjid. Dalam berbagai kasus, faktor ini bersamaan dengan faktor pertama, yaitu perpindahan kepemilikan tanah. c. Perluasan jalan menjadi faktor penggusuran mesjid, sesuai dengan posisi mesjid yang selalu berada di pinggir jalan. Ketika terjadi perluasan jalan sebagai akibat dari perkembangan tatakota, maka mau tidak mau mesjid menjadi korban. d. Pembangunan real estate atau pertokoan juga menjadikan mesjid sebagai pihak yang jadi korban penggusuran, seperti terjadi di jalan Pancing dengan pembangunan MMC. e. Pemahaman keagamaan yang terlalu mempermudah urusan mesjid (tasahul). Faktor lainnya yang juga sangat yerkait ialah pemahaman agama yang serba mudah (tasahul). Misalnya, salah satu alasan kebolehan pemindahan mesjid ialah mashlahat atau kemashlahatan bersama. Masalahnya apa yang dimaksud dengan mashlahat, menjadi perdebatan di kalangan ahli agama (ulama), sehingga terjadi polarisai di antara tasahul, tasyaddud dan tasamuh. Beberapa faktor penggusuran di atas secara mudah dapat dilihat pada beberapa kasus mesjid di kota Medan yang sudah tergusur, yaitu mesjid Al-Ikhlash Jalan Timor. Mesjid ini digusur alias dibongkar karena terjadi perpindahan kepemilikan dari Pangdam I BB kepada penguasa Cina. Kemudian mesjid Raudhatul Jannah belakang hotel Emerald jalan Putri Hijau. Mesjid lainnya ialah mesjid Nurul Hidayah Pancing. Mesjid ini, seperti juga mesjid Raudhatul Jannah adalah milik PTPN-2 yang kemudian beralih kepemilikan kepada pengembang Cina. Cara pandang yang salah, beberapa faktor penggusuran di atas sebenarnya tidak akan berlanjut pada penggusuran jika dibangun sebuah mindset yang tidak salah. Adapun kesalahan mindset dimaksud ialah: a. Mesjid dianggap sebagai hanya tempat ibadah bagi masyarakat sekitar, sehingga ketika masyarakat sekitar berpindah tempat, maka mesjid tidak lagi dibutuhkan dan sudah bisa diongkar. Untuk kasus dusun terpencil, mungkin pemahaman ini ada benarnya. Namun untuk kasus Medan yang dihuni oleh banyak masyarakat, carapandang ini menjadi kurang tepat, karena masih banyak masyarakat yang lewat yang membutuhkan mesjid. b. Mesjid adalah milik pribadi atau lembaga tertentu sehingga ketika sang pribadi atau lembaga tertentu tidak lagi membutuhkannya, bisa saja memindahkan atau membongkar mesjid tersebut. Padahal MUI sudah mengeluarkan fatwa bahwa yang namanya mesjid adalah harta waqaf sehingga tidak bisa diambil alih atau dialih fungsikan tanpa melalui proses ruislag, sebagaimana diatur pada Surat Edaran yang dikeluarkan MUI Sumut, yang kemudian dikukuhkan pada Rapat Kerja Nasional MUI se Indonesia. c. Konsep mashlahat yang sangat dangkal, seperti disebut di atas, mashlahat dimaknakan terlalu terbuka sehingga yang namanya ada kepentingan sudah dimaknakan mashlahat. Padahal mashlahat memiliki beberapa kriteria, seperti untuk kepentingan orang banyak dan umat Islam, kemashlahatan harus bersifat pasti, dan sebagainya. d. Mesjid merusak pemandangan karena identik dengan keterbelakangan. Kesan ini tentu muncul dari kalangan bukan Islam. Dalam salah satu dialog tentang keberadaan mesjid Nurul Hidayah jalan Willem Iskandar/Pancing Medan pandangan ini muncul, ketika salah seorang pegawai kabupaten (yang bukan Muslim) ditanya mengenai keberadaan mesjid tersebut. Argumentasi yang diajukan mengapa mesjid ini dipindahkan ialah karena merusak pemandangan. Yah, mungkin menurut komentator yang kebetulan bukan Muslim. Padahal mesjid ini sangat strategis di persimpangan yang terdapat banyak tempat umum, seperti gedung serba guna, pertokoan, dan beberapa universitas yang tentu dilalui mahasiswa. e. Mesjid mendatangkan sial. Mungkin ini dikaitkan dengan suara azan di mesjid yang selalu dikumandangkan setiap waktu, membuat para setan berlarian. Larinya setan ini bagi pemahaman kelompok tertentu adalah sial, karena keberadaan setan terkait dengan keberuntungan. Dampak Kehilangan Mesjid Hilangnya mesjid menimbulkan dampak yang holistik terhadap umat Islam, yaitu: a. Dampak teologis, yaitu Hilangnya mesjid akan menimbulkan dampak teologis, yaitu pudarnya keimanan suatu masyarakat yang tidak memiliki mesjid. Betapa tidak, keberadaan mesjid berarti tidak bisa lagi diukur keimanan seseorang, karena mesjid menjadi sebuah media pembangunan iman dan takwa. Di sisi lain, hilangnya mesjid akan menyulitkan umat Islam menjalankan ajaran agamanya. Ini tentu pada ahirnya berujung pada semakin menipisnya iman secara gradual dan sangat boleh jadi akan hilang sama sekali. b. Dampak sosiologis, yaitu semakin berkurangnya reasi sosial di sebuah masyarakat, karena mereka tidak lagi memiliki media/sarana ketika ingin mengadakan relasi sosial. Mesjid, sebagaimana diuraikan di atas sejatinya adalah sarana ibadah dan sosial sekaligus, karena di sana terjadi interskasi masyarakat. c. Dampak psikologis, yaitu semakin berkurang ikatan psikologi, yang pada akhirnya akan menimbulkan prilaku menyimpang, karena tidak tersedia lagi media penyelesaian masalah. d. Dampak historis, yaitu hilangnya Islam sebagai sejara. Sebagaimana dimaklumi bahwa kebenaran sejarah haruslah didukung oleh fakta dan data, seperti artefak, bangunan, benda peninggalan sejarah. Dengan hilangnya mesjid berarti data dan fakta agama Islam di sana akan hilang, karena kebenarannya tidak lagi didukung oleh data sejarah dan fakta sejarah, dua hal yang menjadi kata kunci rielnya sesuatu dalam pandangan sejarah. Kehilangan sejarah ini tentu akan menghilangkan peran para raja dan daí Islam dahulu yang mengorbankan jiwa dan hartanya untuk kehadiran dan perkembangan Islam. Betapa naifnya generasi kemudian hanya karena pertimbangan sesaat memupus sejarah panjang umat Islam. e. Dampak simbol keagamaan, yaitu hilangnya simbol keagamaan dari sebuah komunitas, yang dalam hal ini Kota Medan. Sebagimana dimaklumi bahwa sebuah agama dapat diukur dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan nilai yang dikandung, dan pendekatan simbol yang ditampilkan. Kedua hal ini memiliki keterkaitan yang dependen (tidak terpisahkan), yaitu nilai harus dimanifestasikan dalam simbol dan simbol haruslah berpijak pada nilai yang diembannya. Penutup Dari uraian di atas dapat diruuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut: 1. Mesjid memiliki beberapa unsur, yaitu bangunan utama, mimbar, mihrab, qubah, pelataran, ruang perkantoran, dan lain-lain. Sedangkan fungsi mesjid ialah fungsi ritual, fungsi sosial, fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan sebagainya. 2. Persoalan-persoalan mesjid di Kota Medan mencakup berbagai hal, yaitu: perencanaan, pengurus/pengelola, penggusuran mesjid, cara pandang yang salah, dan dampak kehilangan mesjid. 3. Khusus penggusuran, penggusuran terjadi karena beberapa faktor, seperti perpindahan kepemilikan lahan mesjid, pembangunan ruko dan kompleks baru, 4. Pengurangan kuantitas mesjid memiliki dampak secara teologis dan sosial. Dampak sosialnya ialah semakin hilangnya simbol-simbol Islam dari kota Medan, digantikan oleh simbol agama lain. Kemudian semakin sulitnya umat Islam menjalankan ajaran agamanya, yaitu melaksanakan shalat karena semakin jarangnya mesjid di kota Medan. Kondisi ini memiliki dampak teologis yaitu semakin menipisnya keimanan yang diukur dengan semakin berkurangnya semangat mempertahankan simbol-simbol Islam. Menepis berbagai persoalan mesjid di atas maka perlu penyelesaian yang bersifat kausitik, kasus perkasus. Hal ini tentu melibatkan semua pihak; pemerintah, pejabat Kementerian Agama, pengelola mesjid, dan masyarakat secara umum. Melalui kerjasama semua pihak diharapkan berbagai persoalan masjid dapat disebelsaikan. Daftar Bacaan Abdul Rachim, Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan (Bandung: Angkasa, 1993). Abdul Bagir Zein, Mesjid-mesjid Bersejarah di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). H. Aboebakar, Sedjarah Mesdjid dan Amal Ibadah di Dalamnya (Jakarta, 1983). M. Israr, Sejarah Kesenian Islam (Jakarta: PT. Pembangunan, 1975). Sayyed Hossein Nashr, Spiritualitas dan Seni Islam (Bandung: Mizan, 1993). Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pusaka Antara, 1975). Yulianto, Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Islam (Yogyakarta: UGM Press, 2000).