TINJAUAN PUSTAKA Campylobacter jejuni

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Campylobacter jejuni
Campylobacter jejuni pertama kali diisolasi pada tahun 1909 dari plasenta fetus
ternak. Dalam perkembangannya genus Campylobacter jejuni dibagi atas :
1. Campylobacter fetus yang bersifat oportunitis
2. Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli yang bersifat patogen untuk
manusia
Kampilobakteriosis pada umumnya disebabkan oleh Campylobacter jejuni
dan Campylobacter coli. C. jejuni dan C. coli bersifat termofilik, Gram-negatif,
berbentuk langsing dan melengkung, dan dapat bergerak (OIE 2008 dan Schlundt et
al. 2004).
Beberapa spesies Campylobacter yang telah diketahui adalah :
Campylobacter fetus, Campylobacter jejuni, Campylobacter coli, Campylobacter
upsaliensis, Campylobacteri hyointestinalis, Campylobacteri lari, Campylobacteri
sputorum, Campylobacter mucosalis dan Campylobacter rectus (Lesmana 2003).
Campylobacter jejuni merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang
bengkok (wing shape) atau seperti huruf “S” atau batang spiral (pada sel yang sudah
tua berbentuk kokoid atau bulat). Memiliki ukuran lebar 0.2-0.9 µm dan panjang 0.55.0 µm. Bakteri ini tidak membentuk spora. Alat gerak bakteri ini berupa 1 buah
flagella di kedua ujungnya dengan arah gerak positif. Campylobacter jejuni hidup
pada kondisi mikroaerofilik (CO2 10%, 02 5% dan N2 85%). Bakteri ini bersifat
invasif dan mampu membentuk toksin yang menyerupai toksin kolera. Pengkulturan
C. jejuni dalam media perlu ditambahkan antibiotika untuk mencegah persaingan
dengan mikroflora lainnya. Koloni akan tumbuh bulat, meninggi, tembus sinar tetapi
tidak transparan (translucent), dan kadang-kadang bersifat mukoid. Bakteri dapat di
identifikasi dengan serangkaian uji biokimia (Lesmana 2003 dan Dharmojono 2001).
Gejala Klinis
Menurut Lesmana (2003) gejala klinis infeksi Campylobacter jejuni di Negara
maju berbeda dari yang ditemukan di Negara berkembang. Anak-anak di Negara
5
tropis yang menderita Campylobacter jejuni menunjukkan gejala diare tanpa tanda
peradangan. Infeksi yang bersifat simptomatik biasanya terjadi pada usia dibawah 1
tahun, sedangkan infeksi asimptomatik banyak dijumpai pada usia anak yang lebih
dari 1 tahun. Patogenesis C. jejuni masih kurang dipahami. C. jejuni menimbukan
enterokolitis akut yang tidak mudah dibedakan dengan penyakit yang disebabkan
oleh patogen enterik lainnya (Schlundt et al. 2004). Gejala infeksi Campylobacter
jejuni dapat bervariasi namun gejala utamanya adalah : malaise, demam, nyeri perut,
diare yang berlangsung beberapa hari sampai lebih dari 1 minggu (mengandung darah
atau hanya air saja) serta mual dan muntah. Infeksi ekstra intestinal akibat
Campylobacter jejuni yang dapat terjadi, meliputi : bakteriemia, meningitis, abortus,
sepsis neonatorum dan sindrom Guillain-Barre.
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelainan paralitik dari sistem saraf perifer.
Tidak semua jenis Campylobacter jejuni dapat menyebabkan sindrom ini, hanya
beberapa serotipe tertentu saja, diantaranya yang paling banyak adalah serotipe O:19.
Patogenesis dari sindrom ini belum dapat dijelaskan secara pasti namun diduga akibat
suatu bagian yang mirip gangliosida di dalam lipopolisakarida Campylobacter jejuni
mengadakan reaksi silang dengan jaringan syaraf perifer. Waktu inkubasi infeksi
Campylobacter jejuni biasanya berlangsung antara 2 sampai 4 hari, dengan jarak
antara 1 sampai 10 hari, tergantung dari dosis yang masuk (Viray dan Lynch 2012).
Menurut Center for Food Security and Public Health Iowa State University
Cillege of Veterinary Medicine (2003) Campylobacter jejuni dapat menyerang sapi,
kambing, domba, kalkun, anjing, kucing, marmot, babi, primata dan spesies lainnya.
Hewan dapat terinfeksi tanpa menunjukkan gejala klinis. Masa inkubasi infeksi ini
sangat singkat. Simptom enteritis muncul dalam 3 hari pada anak anjing, anak ayam
dan ayam dewasa. Gejala yang tampak adalah timbulnya diare dengan feses yang
berwarna kekuningan kadang disertai mucus atau darah.
Latar Belakang Timbulnya Resistensi Antimikroba pada Bakteri
Pada dunia peternakan antimikroba digunakan untuk terapi infeksi penyakit dan
imbuhan pakan. Pemakaian sebagai imbuhan pakan ditujukan untuk memperbaiki
6
penampilan ternak, peningkatkan produksi ternak, pemacu pertambahan bobot, serta
efisiensi penggunaan pakan. Pemakaian antibiotik sebagai imbuhan pakan biasanya
digunakan pada industri ternak potong, terutama ternak ayam dan babi serta ternak
penghasil susu untuk konsumsi manusia (EMEA 1999, Furuya dan Lowy 2006).
Menurut Feed Animal Compedium (Anonim 2002) antimikroba yang
direkomendasikan dipakai sebagai imbuhan pakan unggas adalah penisilin, basitrasin,
streptomisin, eritromisin, tilosin, neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin,
linkomisin, spiramisin dan virginiamisin. Dosis antimikroba yang digunakan sebagai
imbuhan pakan biasanya lebih rendah dibanding dosis pengobatan.
Pemakaian antimikroba sebagai imbuhan pakan dengan dosis yang tidak tepat
dapat memicu resistensi mikroba terhadap bakteri. Akibat yang akan terjadi jika
pemakaian antimikroba seperti hal diatas maka hanya bakteri resisten yang mampu
bertahan hidup dalam ekosistemnya sedangkan bakteri yang sensitif akan tereliminasi
(Furuya dan Lowy 2006).
Menurut WHO (2002) pengobatan yang dilakukan tanpa resep dokter akan
mengakibatkan ukuran dosis menjadi tidak tepat bisa lebih rendah atau lebih tinggi,
bahkan jangka waktu penggunaannya juga tidak diperhitungkan dengan baik dan
benar. Pada beberapa negara pembelian antimikroba dapat dilakukan tanpa ada resep
dokter, hal ini menimbulkan terjadinya resistensi terhadap antimikroba. Rumah sakit
merupakan salah satu komponen kritis dalam penyebaran resistensi antimikroba.
Kombinasi antara tingginya jumlah pasien, penggunaan antimikroba secara intensif
dalam jangka waktu lama, terjadinya resistensi silang akibat infeksi nosokomial oleh
bakteri patogen yang resisten yang dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi
bakteri resisten. Penanganan infeksi bakteri resisten di rumah sakit membutuhkan
biaya yang mahal dan sulit dilakukan karena obat yang digunakan biasanya tidak
tersedia setiap saat dan beberapa sediaan antimikroba untuk terapi infeksi bakteri
resisten masih terdapat pembatasan impor. Pencegahan infeksi sederhana biasanya
dilakukan pencucian tangan, penggantian sarung tangan setiap penanganan pasien.
Komponen kritis lainnya adalah penggunaan antimikroba oleh industri peternakan
yang menggunakan antibiotik sebagai imbuhan pakan dan sebagai terapi
7
penanggulangan penyakit tanpa pengawasan dokter hewan. Luasnya penggunaan
antimikroba dalam terapi dan imbuhan pakan pada hewan secara tidak langsung
meningkatkan
risiko
terjadinya
resistensi
bakteri
seperti
Salmonella
dan
Campylobacter jejuni dan memiliki kemungkinan bakteri tersebut dapat masuk dalam
makanan yang kemudian menginfeksi manusia (WHO 2002).
Resistensi bakteri merupakan masalah yang harus mendapat perhatian khusus
karena menyebabkan terjadinya banyak kegagalan pada terapi dengan antimikroba.
Berbagai strategi disusun untuk mengatasi masalah resistensi, diantaranya dengan
mencari antimikroba baru atau menciptakan antimikroba semisintetik. Meskipun
demikian ternyata usaha ini belum dapat memecahkan masalah. Kehadiran
antimikroba baru diikuti jenis resitensi baru dari bakteri sebagai pertahanan hidup.
Penggunaan bermacam-macam antimikroba yang tersedia telah mengakibatkan
munculnya banyak jenis bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu jenis
antimikroba (multiple drug resistance).
Resistensi Bakteri Terhadap Antimikroba
Menurut The Committee for Veterinary Medical Products, istilah resistensi
antimikroba mengacu pada dua pengertian, yaitu resistensi mikrobial dan resistensi
klinik. Resistensi mikrobial adalah suatu proses biologi yang terkait dengan berbagai
mekanisme resistensi yang melibatkan peran gen resistensi dalam satu bakteri.
Resistensi mikrobial dipengaruhi oleh suatu enzim yang membuat agen antimikroba
tidak aktif (EMEA 1999, Fluit et al. 2001). Resistensi klinis adalah resistensi bakteri
berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap bakteri setelah pengobatan. Pengertian
resistensi klinik berkaitan dengan keberhasilan suatu pengobatan dengan antimikroba
yang tergantung dari dosis yang diberikan, spesies agen penyakit, mekanisme
farmakokinetik antimikroba, status pertahanan tubuh inang dan konsentrasi
antimikroba yang dapat mencapai bakteri dalam organ atau jaringan tubuh induk
semang (EMEA 1999, Fluit et al. 2001).
Peneliti dari Jepang melaporkan pertama kali mengenai adanya gen resistensi
yang dapat berpindah antar bakteri (Davies 1997). Gen bakteri yang mengendalikan
8
resistensi terhadap antimikroba ternyata dapat berpindah antara DNA kromosom dan
DNA ekstra kromosom bakteri, baik antar spesies yang sama maupun spesies yang
berbeda atau antara bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif (Courvalin
1994, Tassios et al. 1997, Ling et al. 1998, Nastasi et al. 2000).
Resistensi kromosomal adalah resistensi yang timbul karena adanya mutasi
susunan asam nukleat dalam kromosom bakteri. Mutasi tersebut mengakibatkan
terjadinya sintesis protein atau makromolekul lain yang berbeda sehingga
mengganggu aktivitas antimikroba terhadap sel inang. Mutasi dalam kromosom
terjadi karena pendedahan yang terus menerus (Anonim 2006). Perkembangan
resistensi antimikroba karena mutasi biasanya spesifik terhadap antimikroba tertentu
atau spesifik untuk golongan antimikroba yang sama atau berdekatan dan sifat ini
dapat diturunkan (EMEA 1999).
Plasmid merupakan elemen genetik yang terdapat diluar kromosom yang
dimiliki oleh sebagian bakteri gram positif, gram negatif dan beberapa khamir
(EMEA 1999). Plasmid dapat bereplikasi sendiri tanpa bergantung dari kromosom
dan plasmid mengandung materi genetik. Plasmid berperan penting dalam evolusi,
metabolisme, fertilitas. Plasmid mengandung berbagai macam gen seperti gen
resistensi terhadap antimikroba dan logam berat, gen pengendali produksi toksin, gen
perangsang pertumbuhan tumor dan lain-lain (Anonim 2006). Plasmid pengendali
gen resistensi adalah plasmid R yang ditemukan di Jepang saat terjadi wabah disentri
oleh Shigella dysentrie. Sifat resistensi pada plasmid lebih mudah berpindah daripada
dalam kromosom, karena plasmid dapat dipindahkan antar sel baik yang sama
maupun berbeda spesies (Courvalin 1994, Davies 1997).
Resistensi bakteri adalah suatu keadaaan dimana kehidupan bakteri itu sama
sekali tidak terganggu oleh kehadiran antimikroba. Sifat ini merupakan suatu
mekanisme pertahanan tubuh dari suatu makhluk hidup. Penggunaan antimikroba
secara berlebihan dan tidak selektif akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk
bertahan (Craig dan Stitzel 2005). Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap
antimikroba tergantung pada jenis bakteri, yaitu resistensi antimikroba oleh bakteri
gram negatif dan bakteri gram positif.
9
Menurut Peleg and Hooper (2010) terdapat beberapa mekanisme resistensi
antimikroba dari bakteri gram negatif yang digunakan sebagai perlawanan terhadap
antimikroba. Mekanisme-mekanisme tersebut adalah:
-
Resistensi melalui penutupan celah atau pori (loss of porins) pada dinding sel
bakteri, sehingga menurunkan jumlah obat yang melintasi membran sel;
peningkatan produksi betalaktamase dalam periplasmik, sehingga merusak
struktur betalaktam;
-
Peningkatan aktivitas pompa keluaran (efflux pump) pada transmembran,
sehingga bakteri akan membawa obat keluar sebelum memberikan efek;
-
Modifikasi enzim-enzim, sehingga antimikroba tidak dapat berinteraksi dengan
tempat target;
-
Mutasi tempat target, sehingga mengahambat bergabungnya antimikroba dengan
tempat aksi;
-
Modifikasi
atau
mutasi
ribosomal,
sehingga
mencegah
bergabungnya
antimikroba yang menghambat sistesis protein bakteri;
-
Mekanisme langsung terhadap metabolik (metabolic bypass mechanism), yang
merupakan enzim alternatif untuk melintasi efek penghambatan antimikroba; dan
-
Mutasi dalam lipopolisakarida, yang biasanya terjadi pada antimikroba
polimiksin, sehingga tidak dapat berikatan dengan targetnya.
10
Gambar 1 Mekanisme Resistensi Bakteri Gram Negatif (Peleg dan Hooper 2010)
Hasil studi yang dilakukan Arias dan Murray (2009) menggambarkan
mekanisme resistensi antimikroba yang umum terdapat pada bakteri gram positif
sebagai contoh adalah bakteri Methicillin-Resistant Staphylococccus aureus.
Mekanisme resistensi dapat ditempuh melalui 4 jalur, yaitu : 1) peningkatan produksi
enzim betalaktamase (penisilinase), sehingga menurunkan afinitas penisilin-binding
protein (PBP) terhadap antimikroba betalaktam; 2) resistensi tingkat tinggi pada
glikopeptida yang menyebabkan pemindahan atau mutasi asam amino terakhir dari
prekursor peptidoglikan (D-alanine [D-Ala] ke D-lactate [D-Lac]); 3) resistensi
tingkat rendah pada glikopeptida yang berhubungan dengan peningkatan sintesis
peptidoglikan, yaitu penambahan lapisan dinding bakteri yang menyebabkan
terjadinya pengentalan dinding sel, sehingga menghambat antimikroba melintasi
membran sel dan tidak dapat berinteraksi dengan prekursor yang ada dalam
sitoplasma; dan 4) resistensi melibatkan modifikasi atau mutasi dari DNA atau
ribosomal RNA (rRNA).
11
Gambar 2 Mekanisme resistensi bakteri gram positif (Sumber: Arias dan Murray,
2009)
Klasifikasi, Farmakodinamika dan Farmakokinetika Antimikroba
Klasifikasi Antimikroba
Menurut Giguere (2006) antimikroba adalah zat-zat yang dihasilkan oleh
berbagai spesies mikroba maupun yang dibuat secara sintetik yang dalam jumlah
kecil dapat membunuh/menghambat pertumbuhan mikroba lain (bakteri, jamur dll.).
Obat antimikroba dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kelompok yaitu :
target
mikroorganisme,
aktivitas
antibakteri,
kemampuan
bakterisidal
atau
bakteriostatik serta waktu dan konsentrasi obat, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1) Target mikroorganisme
Antibakteri digambarkan sebagai spektrum sempit jika hanya menghambat
bakteri saja atau dikatakan berspektrum luas jika dapat menghambat bakteri,
12
mikoplasma,
rikettsia
dan
klamidia.
Spektrum
aktivitas
terhadap
target
mikroorganisme dijelaskan pada Tabel 1.
2) Aktivitas antibakteri
Beberapa obat antimikroba hanya menghambat bakteri gram negatif atau gram
positif saja sehingga disebut memiliki aktivitas yang sempit, sedangkan antimikroba
dengan aktivitas spektrum yang luas memiliki kemampuan menghambat atau bekerja
pada bakteri gram negatif dan positif. Definisi ini tidak sepenuhnya mutlak karena
beberapa jenis antimikroba dapat bekerja terhadap kedua kelompok bakteri baik gram
positif dan negatif tetapi hanya menghambat sebagian jenis bakteri dari keduanya.
Aktifitas beberapa jenis antimikroba terhadap kelompok bakteri gram positif maupun
negatif dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 1. Spektrum obat antimikroba (Sumber : Giguere 2006)
Antimikroba
Aminoglikosida
Beta-laktam
Kloramfenikol
Fluorokuinolon
Linkosamid
Makrolid
Oksazolidinon
Pleuromutilin
Tetrasiklin
Streptogramin
Sulfonamid
Trimethoprim
Keterangan
: +/-
Bakteri
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Fungi
-
Kelas mikroorganisme
Mikoplasma
riketsia
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
= hanya melawan beberapa jenis protozoa
klamidia
+
+
+
+
+
+
+
-
protozoa
+/+/+/+/+
+
13
Tabel 2. Aktivitas beberapa antimikroba (Sumber : Giguere 2006)
Bakteri aerob
Aktivitas
Bakteri
anaerob
Contoh
Gram
Gram
Gram
Gram
+
-
+
-
+
+
+
+
Cukup
+
+
+
(+)
Generasi ke 3 dan 4 sepalosporin
luas
+
(+)
+
(+)
Generasi ke 2 sepalosporin
(+)
(+)
(+)
(+)
Tetrasiklin
+
+/-
+
(+)
Ampisillin; amoksisilin; generasi 1 cephalosporin
+
-
+
(+)
+
+/-
+
(+)
+/-
+
-
-
Monobaktan; aminoglikosida
(+)
+
-
-
Generasi ke 2 fluorokuinolon
(+)
(+)
-
-
Trimetroprim-sulfa
-
-
+
+
Nitromidazol
+
-
(+)
(+)
Sangat
luas
Sempit
Keterangan :
karbapenam; kloramfenikol; generasi ke 3
fluorokuinolon (siprofloksasin); glycylcyline
Penisilin; linkosamid; glikopeptida, streptogramin;
oxazolidinon
Makrolid (erythromycin)
Rimfamisin
+
= aktivitas sangat baik
(+)
= aktivitas cukup
+/-
= aktivitas terbatas
-
= tidak ada aktivitas atau diabaikan
3) Kemampuan bakterisidal dan bakteriostatik
Beberapa jenis antimikroba menghambat pertumbuhan bakteri pada suatu
konsentrasi, atau disebut konsentrasi penghambatan minimum “Minimum Inhibitory
Concentration” (MIC), namun membutuhkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk
membunuh atau konsentrasi pembunuhan minimum “Minimum Bactericidal
Concentraton” (MBC). Pada pengenceran tinggi suatu antimikroba dapat
menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri maka antimikroba disebut sebagai
bakteriostatik namun pada pengenceran yang hampir sama atau sama
dapat
membunuh bakteri maka antimikroba disebut bakterisidal. Sehingga terdapat dua
14
pengelompokkan yaitu : Bakteriostatik (kloramfenikol, tetrasiklin) dan Bakterisidal
(beta-lactam, aminoglikosida). Hal ini tidak berlaku mutlak karena bergantung juga
pada konsentrasi obat dan jenis mikroba target. Salah satu contohnya adalah benzyl
penisilin dari kelompik bakterisidal namun pada konsentrasi rendah dapat sebagai
bakteriostatik.
4) Waktu dan Konsentrasi obat
Antimikroba seringkali diklasifikasikan berdasarkan aktifitas waktu atau
konsentrasi
yang
bergantung
pada
farmakodinamik.
Farmakodinamik
obat
menggambarkan efek obat terhadap bakteri. Farmakokinetik obat menggambarkan
konsentrasi obat dalam serum host yang melalui proses absorpsi, distribusi,
metabolisme dan eliminasi. Ketika digabungkan dengan nilai MIC dapat
memprediksi kemungkinan pemusnahan bakteri dan keberhasilan pengobatan.
Beberapa jenis antimikroba mampu meningkatkan efek bakterisidal jika dilakukan
penambahan konsentrasi. Beberapa jenis antimikroba juga membutuhkan waktu
cukup lama dan konsentrasi tinggi untuk dapat bekerja efektif seperti fluoroquinolone
dan aminoglikosida.
Antimikroba dikenal sebagai agen antimikroba, yaitu obat yang digunakan
untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pada tahun 1927, Alexander
Fleming menemukan antimikroba pertama yaitu penisilin. Istilah "antibiotik" awalnya
dikenal sebagai senyawa alami yang dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain
yang membunuh bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Beberapa
antimikroba merupakan senyawa sintetis (tidak dihasilkan oleh mikroorganisme)
yang juga dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Secara teknis,
istilah "agen antibakteri" mengacu pada kedua senyawa alami dan sintetis, akan tetapi
banyak orang menggunakan kata "antimikroba" untuk merujuk kepada keduanya.
Meskipun antimikroba memiliki banyak manfaat, tetapi penggunaannya telah
berkontribusi tehadap terjadinya resistensi. (Katzung 2007). Antimikroba dapat
digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja maupun struktur kimianya.
15
Berdasarkan aktivitasnya, antimikroba dibagi menjadi dua golongan besar,
yaitu (Ganiswara 1995, Lüllmann et al. 2005):
1. Antimikroba kerja luas (broad spektrum), yaitu agen yang dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.
Golongan ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan
sebagian besar bakteri. Yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan
derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
2. Antimikroba kerja sempit (narrow spektrum) adalah golongan ini hanya aktif
terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah penisilina,
streptomisin, neomisin, basitrasin.
Penggolongan antimikroba berdasarkan cara kerjanya pada bakteri adalah
sebagai berikut (Ganiswara 1995; Lüllmann et al. 2005):
1. Antimikroba yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri,
misalnya penisilin, sefalosporin, carbapenem, basitrasin, vankomisin, sikloserin.
2. Antimikroba yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba, yang termasuk
kelompok ini adalah polimiksin, golongan polien serta berbagai antibakteri
kemoterapetik.
3. Antimikroba yang bekerja dengan menghambat sintesa protein, yang termasuk
golongan ini adalah kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin dan
antimikroba golongan aminoglikosida.
4. Antimikroba yang bekerja melalui penghambatan sintesis asam nukleat bakteri,
yang termasuk golongan ini adalah asam nalidiksat, rifampisin, sulfonamid,
trimetoprim.
5. Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan
sulfon.
Penggolongan antimikroba berdasarkan gugus kimianya dibagi atas (Katzung
2007) :
1. Senyawa Beta-laktam dan Penghambat Sintesis Dinding Sel Lainnya. Mekanisme
aksi penisilin dan antimikroba yang mempunyai struktur mirip dengan β-laktam
16
adalah menghambat pertumbuhan bakteri melalui pengaruhnya terhadap sintesis
dinding sel. Dinding sel ini tidak ditemukan pada sel-sel tubuh manusia dan
hewan, antara lain: golongan penisilin, sefalosporin dan sefamisin serta betalaktam
lainnya.
2. Kloramfenikol, Tetrasiklin, Makrolida, Clindamisin dan Streptogramin
Golongan agen ini berperan dalam penghambatan sintesis protein bakteri dengan
cara mengikat dan mengganggu ribosom, antara lain: kloramfenikol, tetrasiklin,
makrolida, klindamisin, streptogramin, oksazolidinon.
3. Aminoglikosida
Golongan Aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin, kanamisin,
amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan lain-lain.
4. Sulfonamida, Trimethoprim, dan Kuinolon
Sulfonamida, aktivitas antimikroba secara kompetitif menghambat sintesis
dihidropteroat. Antimikroba golongan Sulfonamida, antara lain Sulfasitin,
sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine, sulfamethoksazole, sulfapiridin,
sulfadoxine dan golongan pirimidin adalah trimethoprim. Trimethoprim dan
kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol menghambat bakteri melalui jalur asam
dihidrofolat reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam dihidrofolik
protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis. Fluoroquinolon adalah quinolones
yang
mempunyai
mekanisme
menghambat
sintesis
DNA
bakteri
pada
topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV. Golongan obat ini adalah
asam nalidiksat, asam oksolinat, sinoksasin, siprofloksasin, levofloksasin,
slinafloksasin,
enoksasin,
gatifloksasin,
lomefloksasin,
moxifloksasin,
norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin dan trovafloksasin dan lain-lain.
Farmakodinamika dan Farmakokinetika Antimikroba
Keberhasilan pengobatan suatu infeksi mikoba dipengaruhi oleh jenis
antimikroba yang digunakan saat terapi, berikut adalah pembahasan farmakodinamika
dan farmakokinetika menurut Sugiarto (2009) :
17
a. Eritromisin
Eritromisin merupakan antimikroba yang masuk dalam kelompok makrolida.
Obat ini sulit larut dalam air (0,1%) namun dapat langsung larut pada zat-zat pelarut
organik. Larutan ini cukup stabil pada suhu 4 oC, tetapi aktivitasnya dapat hilang
dengan cepat pada suhu 20oC dan kondisi asam. Eritromisin memiliki aktivitas
farmakodinamik antimikroba yang efektif terhadap organisme-organisme gram
positif, terutama Pneumokokkus, Streptokokkus, dan Corynebacteria, dalam
konsentrasi plasma sebesar 0,02 mg/mL. Selain itu mycoplasma, legionella,
Chlamydia trachomatis, Chlamydia psittaci, Chlamydia pneumonia, helicobacter,
Listeria, dan Mycobacteria tertentu, juga rentan terhadap eritromisin. Demikian pula
organisme-organisme gram negatif, seperti spesies Neisseria, Bordetella pertussis,
Batonella henselae, dan Batonella quintana (agen-agen penyebab pada penyakit cat
scratch dan angiomatosis basiler), beberapa spesies rickettisia, Tropenome pallidum,
serta spesies Campylobacter jejuni.
Antimikroba ini bekerja dengan cara menghambat sintesa protein Hambatan
sintesis protein terjadi melalui ikatan ke RNA ribosom 50S. Sintesis protein
terhambat karena reaksi-reaksi translokasi aminoasil dan hambatan pembentuk awal.
Resistensi terhadap eritromisin biasanya dikode oleh plasmid. Terdapat 3 mekanisme
yang telah dikenal yaitu :
1) Penurunan permeabilitas membran sel atau pengaliran keluar (efflux) yang aktif
2) Produksi esterase (oleh enterobacteriaceae) yang menghidrolisi makrolida
3) Modifikasi situs ikatan ribosom (disebut juga preoteksi ribosom) oleh mutasi
kromosom atau oleh metilase pengganti atau penginduksi makrolida.
Farmakokinetika eritromisin basa adalah dihancurkan oleh asam lambung dan
harus diberikan dengan salut enterik. Dosis oral sebesar 2 g/hari menghasilkan
konsentrasi basa eritromisin serum dan konsentrasi ester sekitar 2 mg/mL. Akan
tetapi, yang aktif secara mikrobiologis adalah basanya, sementara konsentrasinya
cenderung sama tanpa memperhitungkan formulasi. Waktu paruh serum adalah 1,5
jam dalam kondisi normal dan 5 jam pada pasien dengan anuria. Penyesuaian untuk
gagal ginjal tidak diperlukan. Eritromisin tidak dapat dibersihkan melalui dialisis.
18
Sebagian besar eritromisin diekskresikan dalam empedu, hilang dalam feses, dan
hanya 5% yang diekskresikan dalam urine. Obat yang telah diabsorbsi didistribusikan
secara luas, kecuali dalam otak dan cairan serebrospinal. Eritromisin diangkut oleh
leukosit polimorfonukleus dan makrofag. Obat ini dapat menembus plasenta dan
mencapai janin.
b. Tetrasiklin
Antimikroba
golongan
tetrasiklin
yang
pertama
ditemukan
adalah
klortetrasiklin kemudian ditemukan oksitetrasiklin. Tetrasiklin sendiri dibuat secara
semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari species Streptomyces
lain. Demeklosiklin, doksisiklin dan minosiklin juga termasuk antibiotik golongan
tetrasiklin. Farmakodinamik golongan tetrasiklin adalah menghambat sintesis protein
bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya
antimikroba ke dalam ribosom bakteri gram negatif yakni proses pertama yang
disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik dan proses kedua yakni sistem transport
aktif. Setelah masuk maka antibiotik berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi
masuknya tRNA-asam amino pada lokasi asam amino.
Efek Antimikroba golongan tetrasiklin pada umumnya sama (sebab
mekanismenya sama), namun terdapat perbedaan kuantitatif dan aktivitas masingmasing derivat terhadap kuman tertentu. Hanya mikroba yang cepat membelah yang
dipengaruhi obat ini. Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat
bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman.
Spektrum antimikroba Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas
yang meliputi kuman gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik. Selain aktif
terhadap bakteri juga aktif terhadap mikoplasma, riketsia, klamidia dan protozoa
tertentu. Pada umunya tetrasiklin tidak digunakan untuk pengobatan infeksi oleh
Streptokokus karena lebih efektif dengan penisilin G, eritromisin, sefalosporin;
kecuali doksisiklin yang digunakan untuk pengobatan sinusitis pada orang dewasa
yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan S. pyogenes. banyak strain S. aureus yang
resisten terhadap tetrasiklin.
19
Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin dalam pengobatan
infeksi batang gram-positif seperti B. anthracis, Erysipelas, Clostridium tetani dan
Listeria monocytogenes. Kebanyakan strain N. gonorrhoeae sensitif terhadap
tetrasiklin, tetapi N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (PPNG) biasanya resisten
terhadap tetrasiklin.
Efektivitas tetrasiklin tinggi pada infeksi bakteri batang gram-negatif seperti
Brucella, Francisella tularensis, Pseudomonas mallei, Pseudomonas pseudomallei,
Vibrio
cholorae,
Campylobacter
fetus,
Haemophyllus
ducreyi,
dan
Calymmatobacterium granulomatis, Yersinia pestis, Pasteurella multocida, Spirillum
minor, Leptotrichia buccalis, Bordetella pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium.
Strain tertentu H. influenza diketahui sensitif namun E. coli, klebsiella, enterobacter,
Proteus indol positif dan Pseudomonas umumnya resisten.
Tetrasiklin merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma
pneumoniae, Ureaplasma urealyticum, Chlamydia trachomatis, Chlamydia psittaci
dan berbagai riketsia. Selain itu juga aktif terhadap Borrelia recurrentis, Treponema
pertenue, Actinomyces israelii, dalam kadar tinggi aktif menghambat Entamoeba
histolytica. Resistensi tetrasiklin terhadap beberapa spesies kuman terutama
Streptokokus beta hemolotikus, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Str. pneumoniae,
N. gonorrhoeae, Bacteroides, Shigella, dan S. aureus. Resistensi terhadap satu jenis
tetrasiklin biasanya disertai resistensi terhadap semua tetrasiklin lainnya, kecuali
minosiklin pada resistensi S.aureus dan doksisiklin pada resistensi B. fragilis.
Farmakokinetik tetrasiklin sekitar 30-80% tetrasiklin diserap dalam saluran
cerna. Absorpsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus. Adanya
makanan dalam lambung menghambat penyerapan. Absorpsi dihambat pada derajat
tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan
suatu zat lain yang sukar diserap seperti aluminium hidroksid, garam kalsium dan
magnesium yang biasanya terdapat dalam antasida, dan juga ferum. Tetrasiklin
diberikan sebelum makan atau 2 jam sesudah makan. Untuk distribusi dalam plasma,
semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi.
Dalam cairan cerebro spinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar
20
dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi
ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Metabolisme dalam tubuh obat
golongan tetrasiklin disimpan di hati, limpa dan sumsum tulang serta di dentin dan
email gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin dapat menembus sawar urin
dan terdapat dalam ASI dalam kadar yang relatif tinggi.
Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan minosiklin daya
penetrasinya ke jaringan lebih baik. Golongan tetrasiklin di ekskresi melalui urin
dengan filtrasi glomerolus dan melalui empedu. Pemberiaan per oral kira-kira 2055% golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang
diekskresi oleh hati ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum.
Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi
enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah
terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati
obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi
melalui tinja.
Efek samping penggunaan tetrasiklin yaitu : 1) gangguan lambung akibat
penekanan epigastrik biasanya disebabkan iritasi ari mukosa lambung dan sering kali
terjadi pada penderita yang tidak patuh yang diobati dengan obat ini; 2) efek terhadap
kalsifikasi jaringan akibat deposit dalam tulang dan pada gigi timbul selama
kalsifikasi pada anak yang berkembang, hal ini menyebabkan pewarnaan dan
hipoplasi pada gigi dan menganggu pertumbuhan sementara; 2) hepatotoksisitas fatal
telah diketahui timbul apabila obat ini diberikan pada perempuan hamil dengan dosis
tinggi terutama bila penderita tersebut juga pernah mengalami pielonefritis; 3) efek
fototoksisitas, misalnya luka terbakar matahari apabila pasien dalam terapi tetrasiklin
terpajan oleh sinar Ultra Violet; 4) efek gangguan keseimbangan misalnya pusing,
mual, muntah terjadi bila mendapat minosiklin yang menumpuk dalam endolimfe
telinga dan mempengaruhi fungsinya Pseudomotor serebri; 5) efek hipertensi
intrakranial benigna ditandai dengan sakit kepala dan pandangan kabur yang dapat
terjadi pada orang dewasa. Meskipun penghentian meminum obat membalikkan
kondisi, namun tidak jelas apakah dapat terjadi sekuela permanen; 6) Superinfeksi,
21
berupa pertumbuhan berlebihan dari kandida (misalnya dalam vagina) atau
stafilokokus resisten (dalam usus) dapat terjadi.
c. Kloramfenikol
Kloramfenikol di isolasi pertama kali dari Streptomyces venezuelae. Karena
daya anti mikrobanya yang kuat, maka penggunaannya meluas hingga tahun 1950,
dan diketahui obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal. Karena
toksisitasnya, penggunaan obat ini dibatasi hanya untuk mengobati infeksi yang
mengancam kehidupan dan tidak ada alternatif lain.
Farmakodinamik kloramfenikol adalah bekerja dengan mengikat sub unit 50S
ribosom bakteri dan menghambat sintesis protein bakteri. Pengambatan terjadi pada
produksi enzim peptidil trasferase yang merupakan katalisator untuk pembentukan
ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Karena kemiripan ribosom
mitokondria mamalia dengan bakteri, sintesis protein pada organela ini dihambat
dengan kadar kloramfenikol tinggi. Tingginya kadar kloramfenikol dalam darah akan
menimbulkan toksisitas sumsum tulang. Efek toksiknya pada sel mamalia terutama
terlihat pada sistem hemopoetik dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja
obat ini.
Spektrum antibakteri kloramfenikol cukup luas meliputi gram positif dan
negatif seperti D. pneumoniae, Streptomyces pyogenes, Streptomycesviridans,
Neiserria, Haemophilus, Bacillus sp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. multocida, C.
diphtheriae, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan
bakteri anaerob. Diketahui bahwa beberapa strain D. pneumoniae, H. influenzae dan
N. meningitidis bersifat resisten. Sifat resisten juga terjadi pada kelompok
Enterobactericeae
sedangkan S. aureus umumnya masih sensitif. Kloramfenikol
efektif terhadap kebanyakan strain E.coli, K. pneumoniae dan Pr. mirabilis serta
strain Serratia, Providencia, dan Proteus rettgerii resisten, juga kebanyakan strain
Pseudomonas aeruginosa dan strain tertentu Salmonella typhi.
Farmakokinetik kloramfenikol melalui pemberian secara oral dijelaskan sebagai
berikut : kloramfenikol diserap dengan cepat kemudian mencapai kadar puncak
22
dalam darah dalam 2 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan
albumin. Obat ini diditribusikan ke berbagai jaringan tubuh, termasuk otak, cairan
cerebrospinal dan mata. Dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam
glukoronat oleh enzim glukuronil transferase. Dalam waktu 24 jam, 80-90%
kloramfenikol yang diberikan per oral telah diekskresi melalui urin dan hanya 5-10%
dalam bentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk konjugasi glukuronat atau
hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutama
melalui filtrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus.
Efek samping pemberian kloramfenikol adalah : 1) efek reaksi hematologik,
yang dapat terjadi dalam 2 bentuk : bentuk pertama yaitu reaksi toksik dengan
manifestasi depresi sumsum tulang. Kelainan darah yang terlihat yaitu anemia,
retikulositopenia, peningkatan serum ion dan iron binding capacity serta vakuolisasi
seri eritrosit bentuk muda. Bentuk kedua memiliki prognosis sangat buruk karena
anemia yang timbul bersifat irreversible akibat manifestasi sebagai anemia aplastik
dengan pansitopenia; 2) reaksi alergi kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan
kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis menyerupai reaksi Herxheimer pada
pengobatan demam tifoid dengan insidensi yang sangat jarang; 3) Reaksi alergi pada
saluran cerna bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan
enterokolitis; 4) efek Gray baby syndrome dapat terjadi pada masa neonatus karena
tubuh bayi memiliki kapasitas rendah dalam mengglukuronidasi antimikroba serta
belum sempurnanya fungsi ginjalnya untuk ekskresi obat.kedua hal tersebut
menyebabkan penumpukan kloramfenikol sampai tingkat yang mengganggu fungsi
ribosom mitokondria kemudian menyebabkan masuknya makanan terganggu,
menekan pernafasan, kardiovaskular kolaps, sianosis (”grey baby syndrome”) dan
kematian; 5) efek reaksi neurologik dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung,
delirium, dan sakit kepala. Pengobatan menggunakan kloramfenikol dalam waktu
lama dapat menyebabkan neuritis perifer atau neuropati optik.
23
d. Amoksisilin
Amoksisilin adalah antimikroba yang termasuk ke dalam golongan penisilin.
Beberapa contoh obat yang termasuk ke dalam golongan adalah ampicillin,
piperacillin dan ticarcillin. Karena berada dalam satu golongan maka semua obat
tersebut mempunyai mekanisme kerja yang mirip. Amoksisilin bersifat bakterisidal
terhadap mikroorganisme rentan melalui mekanisme penghambatan biosintesis
dinding sel mukopeptida selama multiplikasi.
Menurut Amin AS et al. (1994), farkmako dinamik amoksisilin adalah
menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi dalam
sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel bakteri tersusun atas polimer polisakarida dan
polisakarida yang berikatan silang kompleks yakni peptidoglikan (murein,
mukopeptida) polisakarida ini mengandung gula amino yang berpasangan yakni Nasetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat. Suatu peptida mengandung lima asam
amino dikaitkan dengan gula asam N-asetilmuramat dan berahir di D-alanil-D-alanin.
Enzim Penisilin Binding Protein (PBP) memotong alanin terminal tersebut
pada proses pembentukan suatu ikatan silang dengan peptida didekatnya. Ikatan
silang tersebut membuat struktur dinding sel menjadi kaku. Antibiotik betalaktam
secara struktural merupakan analog substrat PBP yaitu D-alanin-D-alanial berikatan
secara kovalen dengan tempataktif di PBP. Ikatan ini menghambat reaksi
transpeptidase yang menyebabkan penghentian sintesis peptidoglikan sehingga sel
akan mati.
Sintesis dinding sel bakteri yang tidak sempurna menyebabkan sel-sel bakteri
menyerap air secara osmosis, bakteri gram positif dan gram negatif memiliki masingmasing 10-30 dan 3-5 kali tekanan osmotik intraseluler dari lingkungan eksternal.
Amoksisilin lebih efektif terhadap bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif
dan menunjukkan keberhasilan yang lebih besar dibandingkan penisilin dan antibiotik
lain, misalnya : ampicillin, azithromycin,
clarithromycin, cefuroxime dan
doxycycline, dalam pengobatan berbagai infeksi / penyakit.
Farmakokinetik amoksilin diketahui bahwa amoksilin diabsorbsi dengan baik
pada saluran cerna. Bersifat antimikroba spektrum luas dan memiliki bioavailabilitas
24
oral yang tinggi (70-90%) dengan tingkat puncak plasma yang terjadi dalam 1 sampai
2 jam. Amoksisilin yang diberikan secara oral akan menghasilkan peningkatan kadar
darah dua kali lipat lebih tinggi. Distribusi amoksisilin pada tubuh adalah hati, ginjal,
empedu, usus, limfa dan semen. Tingkat obat yang sangat rendah ditemukan dalam
aqueous humor, dan tingkat rendah yang ditemukan dalam air mata, keringat dan
saliva. Sekitar 17-20% terikat pada protein plasma, terutama albumin. Ekskresi
amoksisilin terutama adalah ginjal, sehingga menyebabkan konsentrasi sangat tinggi
pada urine, selain itu amoksisilin juga disekresi dalam susu.
e. Siprofloksasin
Siprofloksasin adalah sintetik kemoterapi antibiotik dari golongan obat
fluorokuinolon. Antibakteri ini adalah generasi kedua fluorokuinolon. Mekanisme
kerjanya dalam membunuh bakteri adalah dengan menghambat dengan enzim yang
diperlukan untuk sintesis DNA dan protein. Siprofloksasin pertama kali dipatenkan
pada tahun 1983 oleh Bayer AG dan kemudian disetujui oleh US Food and Drug
Administration (FDA) pada tahun 1987. Siprofloksasin disetujui FDA untuk
digunakan pada manusia dan hewan. Siprofloksasin adalah antibiotik spektrum luas
yang aktif terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Mekanisme kerjanya
yaitu dengan cara menghambat
DNA girase, topoisomerase tipe II, dan
topoisomerase IV, enzim yang diperlukan untuk pemisahan DNA bakteri, sehingga
menghambat pembelahan sel.
Mekanisme ini juga dapat mempengaruhi replikasi sel mamalia. Meskipun
kuinolon sangat beracun bagi sel-sel mamalia dalam kultur, mekanisme kerjanya
sitotoksik tidak diketahui. Kuinolon yang menginduksi kerusakan DNA pertama kali
dilaporkan pada tahun 1986 (Hussy et al. 1986).
Penelitian terbaru telah menunjukkan korelasi antara sitotoksisitas sel mamalia
dari kuinolon dan induksi mikro nukleus. Beberapa fluoroquinolon dapat
menyebabkan cedera pada kromosom sel eukariotik. Masih menjadi perdebatan
mengenai apakah ada atau tidak kerusakan DNA sebagai salah satu mekanisme aksi.
25
Reaksi yang merugikan parah dialami oleh beberapa pasien saat diberikan terapi
fluorokuinolon.
Pemberian 200-400 mg siprofloksasin secara intra vena akan menghasilkan
level obat dalam serum yang sama dengan pemberian dengan dosis 500 mg per oral.
Bioavailabilitas siprofloksasin sekitar 70-80%. Pemberian siprofloksasin secara
intravena selama 60 menit setiap 8 jam menghasilkan kadar serum obat yang sama
seperti 750 mg secara oral setiap 12 jam. Siprofloksasin memiliki waktu paruh 4 jam.
Download