BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena lingkungan yang paling menjadi perhatian di dunia saat ini. Perubahan iklim menurut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam Intergovenmental Panel on Climate Change (IPCC) (2007) didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi pada iklim akibat perubahan komposisi atmosfer baik secara langsung maupun tidak langsung yang diamati melalui variabilitas iklim periode waktu tertentu. Salahsatu penyebab dari perubahan iklim adalah pemanasan global. Pemanasan global diawali dengan pemanasan secara lokal di beberapa tempat tertentu dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya, salahsatunya adalah perubahan iklim perkotaan. Istilah perkotaan sendiri diambil dari kata dasar kota. Kota adalah suatu daerah yang di dalamnya terdapat masyarakat manusia yang sangat heterogen dan komplek dan sudah mengalami proses interrelasi baik sesama manusia maupun antara manusia dan lingkungannya (Yunus, 2000). Definisi tersebut menjelaskan kepadatan aktivitas kota dengan berbagai sarananya seperti gedung, permukiman, jalur jalan transportasi dan komunikasi, industri, dan tempat rekreasi. Sementara perkotaan didefinisikan sebagai suatu kawasan permukiman bukan pedesaan namun memiliki nuansa kekotaan dengan satu kesatuan jaringan dalam penyediaan sarana maupun prasarana sehingga memiliki simpul kegiatan yang saling terkait satu sama lain (Suwarno, 2001). Perkembangan perkotaan dari masa ke masa berpengaruh pada perubahan iklim perkotaan. Hujan merupakan parameter ketiga yang terdampak oleh perubahan iklim perkotaan setelah bencana alam dan suhu seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Kondisi ini terjadi di 67 % kota di dunia di mana 40% di antaranya mengalami perubahan iklim perkotaan. (Carmin, dkk, 2012). Penambahan lahan terbangun serta aktivitas transportasi yang tinggi membuat suhu permukaan meningkat sehingga akan menurunkan tekanan udara sehingga daerah dengan tekanan rendah akan menjadi 1 daerah tujuan angin. Hal ini berakibat pada peningkatan curah hujan di daerah tersebut. Gambar 1.1. Dampak perubahan iklim perkotaan (Sumber: Carmin, dkk, 2012) Terdapat dua jenis perubahan hujan yang terjadi yaitu hujan di atas normal dan hujan di bawah normal. Kondisi normal hujan ditentukan berdasarkan rata-rata curah hujan selama 30 tahun yang nilainya berbeda menurut zona musim tertentu. Zona musim sendiri dikelompokkan berdasarkan persamaan distribusi data curah hujan per dasarian. Hujan di atas normal menunjukkan curah hujan dengan nilai perbandingan 115% dari kondisi normal. Apabila ini terjadi maka dampak negatif yang ditimbulkan adalah kejadian banjir. Sementara hujan di bawah normal menunjukkan curah hujan yang kurang dari 85% dari kondisi normal (BMKG, 2014). Fenomena kekeringan menjadi masalah yang ditimbulkan apabila kondisi ini terjadi. Jenis hujan yang terdampak di antaranya adalah hujan konvektif. Perubahan suhu ini berdampak pada perubahan karakteristik hujan karena pada dasarnya dinamika cuaca saling berhubungan antar parameternya termasuk antara suhu dan hujan. Kenaikan suhu akan memicu pembentukan awan-awan konvektif yang apabila sudah jenuh akan terjadi hujan konvektif. Ciri hujan konvektif adalah hujan dalam waktu singkat dengan intensitas tinggi (Widodo, 1998). Kejadian ini dapat menyebabkan banjir yang juga dipengaruhi oleh perkembangan permukiman dan lahan terbangun lainnya. 2 Intensitas hujan konvektif di daerah perkotaan dapat semakin meningkat pada musim kemarau. Penelitian dari Ganeshan dan kawan-kawan (2013) menunjukkan bahwa di daerah perkotaan yaitu Minneapolis dan Washington DC mengalami peningkatan curah hujan pada musim kemarau diakibatkan oleh fenomena pulau bahang berdasarkan data iklim dan cuaca tahun 2007-2008. Begitu pula dengan penelitian oleh Han dan kawan-kawan (2014) yang menunjukkan bahwa China bagian selatan mengalami peningkatan curah hujan ekstrim pada musim kemarau selama 50 tahun terakhir. Pemanasan yang semakin tinggi di permukaan membuat suhu permukaan di daerah ini semakin tinggi. Hasil dari kedua penelitian tersebut menyebutkan bahwa perubahan tekanan udara akibat perbedaan suhu yang signifikan antara daerah rural dan urban sebagai penyebab utama peningkatan curah hujan di musim kemarau. Salahsatu kawasan yang berpotensi mengalami perubahan hujan adalah daerah Perkotaan Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Perkotaan Yogyakarta merupakan daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan terus mengalami pertambahan penduduk. Daerah Perkotaan Yogyakarta meliputi seluruh Kota Yogyakarta dan sebagian Kecamatan Gamping, Mlati, dan Depok yang masuk dalam Kabupaten Sleman, serta sebagian Kecamatan Kasihan, Sewon, dan Banguntapan yang masuk ke dalam Kabupaten Bantul. Dinamika pertumbuhan jumlah penduduk di daerah Perkotaan Yogyakarta ditunjukkan oleh Tabel 1.1. Jumlah penduduk dihitung dari jumlah penduduk Kota Yogyakarta per tahun 2010 hingga 2014 ditambah dengan jumlah penduduk Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul yang masuk ke dalam daerah Perkotaan Yogyakarta yang ditentukan dengan metode rerata timbang. Tabel tersebut menunjukkan pertumbuhan penduduk yang positif dari tahun ke tahun. Nilai prosentase pertumbuhan penduduknya juga terus bertambah dari awalnya hanya 0.9% tahun 2011 menjadi 2.2% pada tahun 2014 hingga jumlah penduduk pada tahun ini menyentuh angka 1.023.382 jiwa. Luas daerah Perkotaan Yogyakarta hanya 82,58 km2 sehingga membuat kepadatan penduduk pada tahun 2014 mencapai 12.405 jiwa/km2. 3 Tabel 1.1. Data kependudukan daerah Perkotaan Yogyakarta tahun 2010-2014 Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2010 973.586 2011 982.316 0.9 2012 989.963 0.8 2013 1.011.778 1.1 2014 1.023.382 2.2 (Sumber : DIY dalam Angka, 2014) Luas (km2) Kepadatan penduduk (jiwa / km2) 82, 58 11.801 11.907 12.000 12.264 12.405 Kota Yogyakarta merupakan pusat dan ibukota dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Perkembangan yang pesat mendorong daerah di sekitarnya yaitu daerah perkotaan untuk ikut pula berkembang. Gambar 1.2 merupakan citra lokasi yang sama pada tahun 2010 dan 2014 di sebagian daerah Perkotaan Yogyakarta tepatnya di ringroad timur. Hal ini menunjukkan betapa pesatnya pembangunan di daerah Perkotaan Yogyakarta. Identitasnya sebagai kota budaya dan kota pendidikan menambah populasi di kawasan ini sehingga perubahan cuaca terutama hujan akan sangat berdampak pada aktivitas masyarakat. 2010 2014 Gambar 1.2. Perubahan penutup lahan di sebagian daerah Perkotaan Yogyakarta yang terlihat dari citra tahun 2010 dan 2014 (Sumber : Citra Google Earth tahun 2010 dan 2014) 4 Pengamatan kondisi cuaca melalui citra satelit di Indonesia telah mulai banyak dilakukan dalam skala nasional. Sementara itu untuk skala lokal, metode pengamatan cuaca ini masih sangat jarang dilakukan akibat dari ketersediaan data citra satelit dengan resolusi spasial yang cukup masih sangat kurang. Demikian juga dengan pengamatan hujan konvektif yang membutuhkan resolusi temporal yang baik karena kejadiannya relatif singkat dan resolusi spasial yang baik pula karena diterapkan untuk daerah penelitian yang kecil yaitu daerah Perkotaan Yogyakarta. Maka dari itu, citra MTSAT merupakan citra yang paling baik untuk dipilih karena resolusi temporalnya sangat baik yaitu per- 1 jam walaupun resolusi spasial untuk saluran yang digunakan, yaitu IR1, tidak cukup baik dengan nilai 4 km. Akan tetapi resolusi tersebut masih dapat mencakup daerah Perkotaan Yogyakarta dengan jumlah 9 piksel sehingga masih dapat digunakan walaupun hasilnya kurang akurat secara spasial. Pengamatan melalui satelit dilakukan karena keterbatasan data sinoptik yang ada di sekitar daerah Perkotaan Yogyakarta. Dinamika kependudukan perkotaan dan perubahan iklim dan cuaca di perkotaan akan saling berpengaruh dan berdampak satu sama lain. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang identifikasi fenomena hujan konvektif pada musim kemarau di Kota Yogyakarta. Penelitian ini diberi judul “Identifikasi Kejadian Hujan Konvektif Menggunakan Citra MTSAT 2R pada Musim Kemarau di Daerah Perkotaan Yogyakarta Tahun 2014.” 1.2. Rumusan Masalah Kota Yogyakarta merupakan kota yang padat penduduk dengan aktivitas yang tinggi sehingga mendorong daerah disekitarnya untuk berkembang menjadi daerah Perkotaan Yogyakarta. Hal ini berdampak pada aktivitas manusia yang tinggi termasuk perubahan penggunaan lahan dan transportasi yang menyumbang gas rumah kaca sehingga mempengaruhi dinamika udara di atasnya salah satunya adalah kejadian hujan berupa hujan konvektif. Hujan di DIY sendiri sebagian besar merupakan hujan orografis yang dipengaruhi oleh keberadaan Gunungapi Merapi dan perbukitan di sekelilingnya 5 seperti Perbukitan Menoreh dan Perbukitan Baturagung. Oleh karena itu dipilih daerah Perkotaan Yogyakarta sebagai daerah kajian hujan konvektif karena sifatnya yang merupakan inland city yang letaknya cukup jauh dari pegunungan maupun pesisir seperti syarat yang diuraikan oleh Ganeshan dan kawan-kawan (2013) dalam menentukan daerah kajian hujan konvektif. Hal ini dilakukan untuk mengkhususkan kajian pada objek hujan berjenis hujan konvektif. Indonesia mengalami dua kali pergantian musim setiap tahunnya yakni musim hujan dan musim kemarau (Aldrian, 2008). Hal ini dipengaruhi oleh pergantian angina muson barat dan angin muson timur yang merupakan hasil dari interkasi tekanan udara di pantai Australia dan Pegunungan Tibet di Asia. Angin muson barat yang bertiup dari Asia ke Australia menyebabkan musim penghujan sementara angina muson timur yang bertiup dari Australia ke Asia menyebabkan musim kemarau. Kajian yang dipilih adalah musim kemarau tahun 2014. Daerah Perkotaan Yogyakarta masuk ke dalam Zona Musim (ZOM) 138. Zona musim ini berdasarkan analisis data normalnya selama 30 tahun (1981-2010) mengalami musim kemarau selama 18 dasarian yaitu April dasarian III sampai dengan Oktober dasarian II. Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis musim kemarau oleh BMKG Yogyakarta tahun 2014, musim kemarau di daerah ini dimulai pada April dasarian II hingga November dasarian I dengan pertimbangan analisis curah hujan per dasarian kurang dari 50 mm. Kondisi ini menunjukkan musim kemarau dimulai lebih awal dan berakhir lebih lama dibandingkan tahun normalnya. Namun berdasarkan curah hujannya, musim kemarau tahun 2014 di zona ini termasuk dalam kategori normal dengan curah hujan berada pada rentang 85%-115% dari rata-rata hujan normalnya. (BMKG, 2014) Citra MTSAT merupakan citra yang memiliki resolusi temporal yang baik yaitu merekam setiap 1 jam sehingga tepat digunakan untuk mengetahui variasi konvektif harian. Saat ini citra MTSAT yang beroperasi adalah MTSAT 2R (Replacement 2) dan seperti citra MTSAT sebelumnya juga banyak digunakan untuk mengidentifikasi fenomena konvektif baik harian, bulanan, maupun tahunan di 6 Indonesia dan hingga saat ini menjadi salahsatu acuan dari BMKG dalam memprediksi serta menganalisis cuaca di Indonesia. Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut. 1. Apakah terdapat kejadian hujan konvektif pada musim kemarau tahun 2014 di daerah Perkotaan Yogyakarta? 2. Bagaimana sebaran hujan konvektif secara spasial di daerah Perkotaan Yogyakarta berdasarkan data hujan stasiun dan indetifikasi awan konvektif dari citra MSTAT 2R pada musim kemarau tahun 2014? 3. Bagaimana variasi temporal harian hujan konvektif di daerah Perkotaan Yogyakarta berdasarkan pembentukan awan konvektif dari citra MTSAT 2R pada musim kemarau tahun 2014? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi kejadian hujan konvektif pada musim kemarau tahun 2014 di daerah Perkotaan Yogyakarta. 2. Mengetahui sebaran spasial hujan konvektif di daerah Perkotaan Yogyakarta dengan citra MSTAT 2R pada musim kemarau tahun 2014. 3. Mengetahui variasi temporal harian hujan konvektif di daerah Perkotaan Yogyakarta dengan citra MTSAT 2R pada musim kemarau tahun 2014. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil yang berguna bagi masyarakat dan institusi pemerintah salahsatunya dengan memberikan informasi mengenai kemungkinan dampak perubahan iklim dengan munculnya kejadian hujan konvektif pada musim kemarau di daerah Perkotaan Yogyakarta. Infromasi ini kemudian dapat dijadikan sebagai referensi dalam perencanaan tata ruang kota dan perkotaan, terutama dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman perubahan iklim. Secara lebih lanjut dari sisi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dari penelitian lebih lanjut tentang pemodelan proses konvektif di 7 Indonesia serta pengembangan penggunaan data spasial seperti data satelit untuk berbagai keperluan di Indonesia. 1.5. 1.5.1. Tinjauan Pustaka Iklim dan Cuaca Iklim dan cuaca merupakan kondisi yang menggambarkan atmosfer. iklim adalah hasil dari proses atmosfer pada periode waktu panjang dan cakupan wilayah yang luas sementara cuaca menggambarkan proses dan gejala fisis yang terjadi di atmosfer di satu waktu tertentu pada daerah yang sempit (Tjasyono, 2004). Iklim dan cuaca memiliki beberapa unsur yang menciptakan karakteristik di suatu wilayah berbeda satu sama lain. Unsur-unsur ini menjadi variabel sekaligus parameter yang digunakan untuk menentukan karakteristik wilayah. Unsur-unsur iklim dan cuaca antara lain adalah suhu, tekanan udara, kelembaban, dan curah hujan (Prawirowardoyo, 1996). Setiap unsur tersebut membentuk suatu interaksi yang dinamis disebut dengan dinamika atmosfer. Dinamika atmosfer merupakan suatu sistem atmosfer yang apabila terjadi perubahan pada suatu unsur maka akan berpengaruh pada unsur lainnya. Salahsatu contoh nyata hasil perubahan dari suatu parameter adalah pemanasan global. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu bumi secara global di atas ratarata peningkatan sebelumnya. Fenomena ini merupakan penyebab utama dari perubahan iklim seperti yang dinyatakan oleh IPCC dalam “Climate Change, The IPCC Scientific Assesment” (IPCC, 2007). Peningkatan suhu dimulai secara lokal terlebih dahulu yaitu di suatu area tertentu dengan penyebab tertentu kemudian meluas ke area lain. Salahsatu dampak dari perubahan iklim adalah pergeseran musim. 1.5.2. Tipe Musim di Indonesia Indonesia terletak di daerah tropis dengan posisi yang strategis, antara Benua Asia dan Australia serta diapit oleh Samudera Pasifik dan Hindia. Negara ini merupakan negara kepulauan dengan banyak selat dan teluk yang menyebabkan wilayah Indonesia rentan terhadap perubahan iklim dan atau cuaca. Terdapat beberapa 8 hal yang berpengaruh terhadap kondisi iklim dan cuaca di Indonesia di antaranya adalah El Nino dan La Nina, dipole mode, sirkulasi monsun Asia-Australiam Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ), dan suhu muka laut (Aldrian, 2008). Musim merupakan suatu sistem pembagian tahun yang didasarkan pada karakteristik iklim di wilayah tertentu. Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki dua jenis musim yaitu musim hujan (curah hujan per dasarian >50 mm) dan musim kemarau (curah hujan per dasarian <50 mm). Secara klimatologis, wilayah Indonesia memiliki tiga pola musim yang dibedakan berdasarkan periode hujan dan kemarau yaitu pola musim monsoon dengan satu puncak hujan dan satu puncak kemarau, pola musim ekuatorial dengan dua puncak hujan dalam satu tahun, dan pola hujan lokal yang periode hujan dan kemaraunya sulit untuk diprediksi (BMKG, 2014). 1.5.3. Tipe-Tipe Hujan Hujan merupakan salahsatu jenis presipitasi dalam bentuk air di mana presipitasi didefinisikan sebagai jatuhan air dalam bentuk cair maupun padat (es) ke permukaan bumi yang disebut sebagai endapan berupa gerimis, salju, dan batu es hujan (hail) (Tjasyono, 2004). Istilah yang biasa digunakan untuk menyebut jumlah hujan adalah curah hujan dinyatakan dalam milimeter (mm) atau inci (1 inci = 25,4 mm). Curah hujan 1 mm menunjukkan bahwa ketebalan hujan yang menutup permukaan setebal 1 mm dengan asumsi air tersebut tidak meresap ke dalam tanah atau teruapkan ke atmosfer. Hujan akan membentuk suatu pola yang berbeda di setiap lokasi disebut dengan pola hujan. (Haynes, 1947) Karakteristik hujan di Indonesia dipengaruhi oleh letak geografisnya sehingga setiap lokasi memiliki karakteristik yang berbeda. Tjasyono (2004) menyebutkan terdapat tiga (3) macam hujan berdasarkan faktor penyebab pengangkatannya yaitu sebagai berikut: 1. Hujan Orografik Hujan yang dihasilkan dari pengangkatan mekanis udara akibat rintangan berupa pegunungan atau permukaan yang kasar. Tipe hujan ini sangat menonjol pada daerah dengan topografi yang tidak rata dan hujan yang dihasilkannya tergantung 9 pada rintangan yang ada. Udara yang naik akan mengakibatkan hujan orografik sementara udara yang turun pada lereng di bawah angin akan mengalami pemanasan dan bersifat kering yang disebut sebagai daerah bayangan hujan. 2. Hujan Konvergensi dan Frontal Hujan konvergensi merupakan hujan yang disebabkan oleh pertemuan dua massa udara yang besar dan tebal sehingga terjadi gerakan ke atas. Kenaikan udara ini menyebabkan pertumbuhan awan dan kejadian hujan. Apabila massa udara yang bertemu memiliki perbedaan suhu dan massa jenis yang signifikan maka massa udara hangat akan dipaksa naik di atas massa udara yang lebih dingin. Bidang batas antara kedua massa udara ini disebut dengan front sehingga hujan yang disebabkan oleh kondisi ini disebut dengan hujan frontal. 3. Hujan Konvektif Hujan konvektif adalah hujan yang dihasilkan dari naiknya udara panas dalam udara yang lebih ringan atau rapat atau dingin di sekitarnya. Kenaikan secara vertikal dari massa udara panas yang mendingin tiba-tiba akan menimbulkan hujan konvektif dengan sifat hujan deras. Linsley dan kawan-kawan (1996) menjelaskan bahwa perbedaan temperatur ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut. a. Pemanasan yang tidak sama pada permukaan b. Pendinginan yang tidak sama pada lapisan puncak udara c. Pengangkatan mekanis saat udara melewati gelombang yang lebih dingin di rintangan pegunungan 1.5.4. Perkotaan Perkotaan merupakan perkembangan dari wilayah kota. Kota merupakan tempat dengan akumulasi penduduk dan kegiatannya. Penduduk di sini dapat diartikan penduduk yang berdomisili di kota tersebut maupun di luar kota namun memiliki akses yang tinggi menuju kota tersebut. Perkotaan didefinisikan sebagai suatu kota dengan wilayah pengaruhnya. Sementara secara fungsional, suatu perkotaan dapat 10 meliputi kota-kota kecil yang mempunyai sifat saling bergantung dengan kota induknya (Yunus, 2000). Batas dari kota sebenarnya merupakan batas adminitratif yang ditentukan oleh peraturan-peraturan daerah. Sementara batas dari perkotaan cenderung merupakan batas fisik di antaranya adalah sarana dan prasarana serta batas sosial seperti interaksi ekonomi yang sangat dinamis dan bernuansa kekotaan. Perkembangan ini bergerak dari kota induk menuju ke kota-kota kecil di sekitarnya. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari munculnya kesadaran tentang adanya ketergantungan kota induk pada kota kecil di sekitarnya (Lang dalam Zulkaidi, 2006). 1.5.5. Iklim Perkotaan Iklim perkotaan atau biasa dikenal dengan urban climate merupakan iklim yang tercipta dari aktivitas perkotaan hasil populasi yang ada di dalamnya. Nurjani (2015) menjelaskan bahwa penelitian terhadap iklim kota mulai banyak dilakukan karena pesatnya perkembangan kota walaupun terdapat kesulitan dikarenakan keterbatasan data meteorologi serta bentang kota yang sangat kompleks. Skala penelitian iklim kota juga dijelaskan dalam penelitian tersebut di mana skala terbagi menjadi dua yaitu Urban Canopy Layer (UCL) mulai dari permukaan tanah hingga bangunan atau vegetasi yang ada dan Urban Boundary Layer (UBL) yang merupakan wilayah di atas UCL merujuk pada Oke (1987). Suhu di perkotaan biasanya lebih hangat daripada daerah rural di sekitarnya (Oke, 1987). Kondisi ini disebut dengan fenomena pulau bahang kota. Fenomena pulau bahang dapat semakin meningkat intensitasnya terutama pada malam hari di saat kondisi langit cerah, terutama pada musim kemarau. Hal ini karena radiasi tinggi yang diterima selama siang disimpan kemudian baru dilepaskan saat malam. Fenomena ini sangat berpengaruh secara luas terhadap kejadian atau fenomena yang terkait dengan iklim dan cuaca di daerah tersebut meliputi kondisi iklim sekarang, pola iklim, perubahan iklim global, variabilitas hujan, komposisi atmosfer, mitigasi dan adaptasi, serta pulau bahang kota seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1.3. 11 Gambar 1.3. Parameter yang berpengaruh terhadap iklim perkotaan (urban climate) (Sumber : Blake, dkk, 2011) Skema tersebut menunjukkan bahwa kondisi iklim saat ini dapat diketahui dengan membandingkan tren atau pola iklim dari tahun-tahun sebelumnya. Perubahan yang dapat dilihat antara kondisi iklim saat ini dan sebelumnya adalah munculnya fenomena pulau bahang atau urban heat island di mana suhu di suatu area (perkotaan) lebih tinggi dibandingkan suhu di daerah (rural) sekitarnya. Kejadian ini disebabkan oleh banyak hal berupa permasalahan lingkungan yang kompleks di antaranya adalah peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas manusia seperi industri dan transportasi (Watson, 2012). Proses yang terjadi adalah meningkatnya radiasi bumi ke atmosfer akibat berkurangnya serapan panas permukaan bumi. Salahsatu dampak yang terjadi adalah meningkatnya intensitas hujan di perkotaan. 1.5.6. Curah Hujan di Perkotaan Jumlah vegetasi yang berkurang akibat pembangunan yang pesat membuat evapotranspirasi berkurang sehingga kelembaban di daerah perkotaan menurun. Namun jumlah awan dan curah hujan di daerah perkotaan relatif lebih banyak (Prawirowardoyo, 1983 dalam Nurjani, 2015). Aerosol yang dilepaskan dari aktivitas-aktivitas di perkotaan seperti industri dan presipitasi terdiri dari berbagai macam unsur kimia dan komponen.. Aerosol ini 12 dapat berperan sebagai inti kondensasi awan yang berpengaruh pada peningkatan pembentukan awan dan hujan. Selain itu, peningkatan suhu menyebabkan tekanan udara berkurang sehingga menyebabkan daerah perkotaan menjadi daerah tujuan angin dengan udara yang relatif lebih dingin sehingga menjenuhkan uap air yang dikandungnya dan membentuk awan. Selain itu, efek halangan berupa bangunan cenderung membuat awan-awan bergerak lebih lambat. Kondisi-kondisi ini menyebabkan potensi hujannya lebih tinggi. (Landsberg, 1981). Jenis hujan yang biasa terjadi di perkotaan adalah hujan konvektif (Han, dkk, 2014). 1.5.7. Awan dan Hujan Konvektif Awan merupakan kumpulan uap air yang meluap menjadi titik-titik air. Terdapat dua jenis awan yang biasa ditemukan di wilayah tropis yang digolongkan berdasarkan mekanisme dominan dari gerak vertikalnya yaitu awan konvektif dan awan stratiform. Awan stratiform terbentuk karena gerakan vertikal yang kontinu (berkelanjutan) dan menyebar luas. Faktor penyebabnya adalah gerak orografis atau kenaikan frontal akibat adanya rintangan ataupun konvergensi dalam skala besar. Hujan yang disebabkan oleh awan stratiform muncul dari proses kristal es dengan kadar air yang lebih rendah dan masa hidupnya relatif lama. Sementara itu jenis awan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah awan konvektif. (ITB, 2011) Awan konvektif terbentuk pada kolom udara dengan pergerakan vertikal saat udara memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan lingkungannya. Perbedaan suhu mengakibatkan terbentuknya awan-awan konvektif di mana terbentuknya awan menjadi syarat utama dalam kejadian hujan. Hal ini menyebabkan udara tersebut terangkat ke atas dan membentuk daerah korvegensi yang berbeda kerapatannya dengan daerah sekitarnya. Kondisi ini membuat udara tertarik masuk ke kolom yang prosesnya disebut dengan entertainment (Suaydhi, dkk, 2008) Apabila udara mengandung uap air maka saat tiba masa jenuh akan terjadi hujan. Proses pembentukan awan konvektif secara sederhana pada tahap entertainment ditunjukkan oleh Gambar 1.4. Awan jenis konvektif dapat mencapai level tropopause. 13 Gambar 1.4. Proses entertainment pada pembentukan awan konvektif (Sumber: Suaydhi, dkk, 2008) Awan-awan konvektif disebut pula awan cumoliform yang oleh Curry dan Webster (1999) dalam Wirawan (2012) dikategorikan menjadi empat jenis menurut tingkat perkembangannya yaitu fair weather cumulus, towering cumulus, cumulonimbus, dan mesoscale convective complexes. Fair weather cumulus masih merupakan awan konvektif tunggal dengan skala horizontal vertical 1 km. Towering cumulus memiliki skala yang lebih lebar dari 1 km dan seringkali menghasilkan hujan. Cumolonimbus merupakan awan konvektif dengan lebar mencapai puluhan kilometer dengan ketinggian yang dapat melebihi tropopause yang ditandai dengan keberadaan anvil atau puncak yang melebar menyerupai landasan sehingga sering menyebabkan hujan konvektif yang bisa lebih lebat dari hujan jenis lain. Sementara itu mesoscale convective complexes (MSC) merupakan kumpulan dari cumulonimbus sehingga hujan konvektif yang dihasilkan dapat lebih lebat. Hujan konvektif dihasilkan dari awan-awan konvektif yang sudah jenuh dan biasanya dalam waktu yang singkat karena masa hidup awan konvektif relatif singkat. Seperti yang diuraikan oleh Linsley dan kawan-kawan (1996) bahwa hujan konvektif salahsatunya diakibatkan oleh perbedaan temperatur akibat pemanasan yang tidak sama pada permukaan sehingga kemungkinan hujan konvektif banyak terdapat di daerah perkotaan. Hujan ini seringkali memiliki intensitas yang tinggi dengan curah hujan tinggi dalam waktu singkat. 14 1.5.8. Penginderaan Jauh untuk Cuaca Cuaca merupakan komponen alam yang sangat penting dan berpengaruh dalam kehidupan manusia. Kebutuhan akan data cuaca semakin meluas salahsatunya adalah data hujan. Data hujan yang biasa dicatat oleh stasiun hujan seringkali tidak dapat memberikan data dengan spasial dan temporal yang optimal. Oleh karena itu kemudian muncul suatu alat baru yaitu sistem satelit penginderaan jauh untuk menyediakan data cuaca dengan spasial dan temporal yang lebih baik (Barret, dkk, 1981). Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni yang mempelajari tentang suatu obyek di permukaan bumi, atmosfer, atau antariksa dengan suatu alat berupa sensor atau pengindera tanpa menyentuh obyek kajian secara langsung. Salahsatu alat dari penginderaan jauh adalah satelit. Satelit untuk pengamatan cuaca mulai digunakan setelah Perang Dunia II. Terdapat dua jenis orbit satelit yaitu orbit polar dengan pergerakan dari kutub ke kutub serta orbit geostasioner yang bergerak searah dengan rotasi bumi (Sutanto, 1986). Penggunaan kedua orbit ini dalam satelit cuaca disesuaikan dengan cakupan wilayah yang akan dikaji. Untuk daerah tropis seperti Indonesia misalnya lebih baik digunakan satelit dengan orbit geostasioner karena letaknya tepat di atas kathulistiwa dan mengorbit sesuai rotasi bumi sehingga dapat merekam keseluruhan wilayah Indonesia. Satelit yang digunakan untuk perekaman hujan salahsatunya adalah MTSAT. Multi-Functional Transport Sattelite atau MTSAT adalah satelit dengan orbit geostasioner yang dioperasikan oleh Japan Meteorolygcal Agency (JMA) dengan posisi berada pada 140o -145o BT pada ketinggian 35800 km. Cakupan areanya adalah 70o LU – 20o LS, 70o – 160o BT, 0,05 derajat dan pixel 1800 x 1800 (dalam kilometer). Satelit ini memiliki 2 resolusi spasial yaitu 4 km untuk saluran inframerah (IR1, IR2, IR3, dan IR4) dan 1 km untuk saluran tampak (VIS) dengan resolusi temporal 30 menit untuk belahan bumi utara dan 60 menit untuk belahan bumi selatan. Wahana ini memiliki tiga axis stabilized dan membawa dua misi utama yakni misi meteorologi dan komunikasi penerbangan. Jenis-jenis saluran yang ada pada MTSAT beserta fungsinya adalah sebagai berikut. (JMA, 2014) 15 1. Inframerah a. Inframerah 1 (IR1), panjang gelombang : 10,3 – 11.3 μm, berfungsi untuk melakukan observasi permukaan bumi, gejala atmosfer dan awan pada siang dan malam hari. b. Inframerah 2 (IR2), panjang gelombang : 11,5 – 12,5 μm, berfungsi untuk observasi awan tinggi, gejala atmosfer, dan permukaan bumi pada siang dan malam hari. c. Inframerah 3 (IR3), panjang gelombang : 6,5 – 7,0 μm, berfungsi untuk melakukan observasi uap air, awan tinggi dan gejala atmosfer. d. Inframerah 4 (IR4), panjang gelombang : 3,5 – 4,0 μm, berfungsi untuk melakukan observasi permukaan bumi, awan, dan kabut. e. Visibel, panjang gelombang 0,55 - 0,9 μm berfungsi untuk melakukan observasi awan dan permukaan bumi saat siang hari. 1.6. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai hujan konvektif telah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Salahsatu penelitian tentang hujan konvektif di Indonesia adalah penelitian oleh Kusumawati dan kawan-kawan (2008) yang berjudul “Variasi Spasial dan Temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa Berdasarkan Citra Satelit”. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menentukan variasi temporal dan spasial hujan konvektif di Pulau Jawa dengan menggunakan citra satelit GMS-6 (MTSAT 1R) pada bulan Mei 2007 hingga bulan Februari 2008 dengan mengekstraksi data kecerahan atau brightness temperature (Tb) sebagai representasi dari suhu puncak awan dari citra satelit untuk menunjukkan pembentukan dan penguraian awan dengan menggunakan statistik gradiennya. Peneltian ini menunjukkan bahwa hujan konvektif banyak terjadi di Pulau Jawa. Hasil tersebut menunjukkan secara temporal tidak terlihat perbedaan yang besar antara hujan konvektif rata-rata bulanan, tahunan, maupun musiman. Sementara secara spasial, hujan konvektif banyak terjadi di daratan Pulau Jawa sebelah selatan dan barat walaupun hampir selalu berawal di daerah bagian utara Jawa. 16 Metode gradien temperatur yaitu selisih suhu kecerahan (Tb) dari citra MTSAT pada jam tertentu dengan jam sebelumnya juga diterapkan dalam penelitian ini. Namun lokasi serta periode yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Kusumawati dan kawan-kawan (2008). Lokasi yang digunakan pada penelitian ini lebih sempit dari Pulau Jawa yaitu di daerah Perkotaan Yogyakarta saja dengan periode hanya pada musim kemarau tahun 2014. Penelitian tentang hujan konvektif di daerah tropis juga dilakukan di luar Indonesia, salahsatunya di Thailand. Bumrungklang dan kawan-kawan (2009) dalam penelitiannya berjudul “An Analysis of Seasonal Thunderstorm Cloud Distribution and Its Relation to Rainfall Occurance in Thailand Using Remotely Sensed Data” juga menggunakan citra MTSAT tahun 2006 sebagai bahan analisis. Salahsatu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi jenis awan berdasarkan suhu puncak awan yang didapatkan dari suhu kecerahan (brightness temperature) saluran IR 1. Keberadaan awan-awan tinggi yang tidak berpotensi hujan seperti awan sirus juga dipisahkan karena memiliki rentang suhu puncak yang sama dengan awan penghasil hujan seperti kumulonimbus apabila hanya dilihat dari ekstraksi saluran IR1 saja. Awan tinggi ini dipisahkan dengan teknik split windows berupa selisih suhu kecerahan IR1-IR2 dengan ΔTb > 1.5 K. Salah satu hasil yang ditemukan Bumrungklang dan kawan-kawan menyebutkan bahwa awan-awan konvektif yang tumbuh di Thailand pada musim kemarau dapat mencapai <175 K (<-98 oC) yang tumbuh lebih tinggi daripada awan konvektif pada umumnya. Bahkan pada musim kemarau juga terjadi hujan es di mana suhu puncak awan lebih rendah dari 200 K (73oC) yang terbentuk di waktu yang sangat singkat, lebih cepat dibandingkan awan konvektif yang terbentuk pada musim hujan maupun musim dingin. Citra MTSAT yang digunakan pada penelitian di Thailand tersebut merupakan MTSAT 1R yang pada tahun 2014 tidak lagi beroperasi sehingga pada penelitian ini digunakan citra MTSAT 2R. Klasifikasi Bumrungklang dan kawankawan (2010) digunakan dalam penelitian ini untuk menentukan jenis awan dengan pertimbangan lokasi kajian yang sama-sama berada di daerah tropis. Metode yang digunakan pada penelitian tersebut diadaptasi oleh penelitian ini. Jenis awan 17 didapatkan dari ekstraksi suhu kecerahan daril saluran IR1 sebagai SPA serta selisih suhu kecerahan dari saluran IR1-IR2. Penelitian tentang anomali hujan pada musim kemarau di daerah perkotaan telah banyak dilakukan di luar negeri. Penelitian yang baru salahsatunya dilakukan oleh Ganeshan dan kawan-kawan (2013) yang berjudul “A Multi-city Analysis of the UHI-influence on Warm Season Rainfall” yang diterbitkan dalam jurnal Elsevier. Penelitian ini menggunakan sampel 18 kota yang masuk ke dalam kawasan kota dan perkotaan di Amerika Serikat yang dianalisis secara statistik kuantitatif dari data permukaan dengan resolusi spasial temporal yang tinggi berupa data National Land Cover Dataset (NLCD) untuk tutupan lahan, Real-Time Mesoscale Analysis (RTMA) untuk data infomasi lapisan udara atas, NCEP/EMC tingkat IV untuk data hujan, serta data dari North America Regional Reanalysis (NARR) untuk mengetahui data tekanan permukaan dan serta angin lapisan udara atas. Berdasarkan analisis harian pada musim kemarau bulan Juni, Juli, Agustus (JJA) tahun 2007-2008 ditemukan bahwa fenomena pulau bahang kota berpengaruh secara dominan terhadap perkotaan yang masuk ke dalam inland cities terutama saat siang-sore hari serta malam hari. Saat siang-sore hari badai menyebar dan melingkup seluruh kota yang masuk dalam inland cities namun curah hujan yang intensif hanya muncul di daerah tujuan angin di kota. Sementara peningkatan curah hujan terjadi pada malam hari dengan badai yang memusat terlihat jelas terjadi di inland cities tersebut. Persamaan penelitian Ganeshan dan kawan-kawan (2013) dengan penelitian ini adalah pemilihan lokasi kajian yang merupakan inland city. Namun penelitian ini menggunakan daerah Perkotaan Yogyakarta sebagai daerah penelitian sementara Ganeshan dan kawan-kawan menggunakan kota-kota di Amerika Serikat. Periode kajian yang dipilih juga sama yaitu pada musim kemarau, namun pada penelitian ini tidak digunakan bulan Juni, Juli, dan Agustus melainkan bulan Mei, Juni, dan Juli. Metode penentuan sebaran spasial hujan menggunakan data arah tujuan angin juga diadaptasi dalam penelitian ini. Secara ringkas deskripsi penelitian terdahulu dan perbandingannya dengan penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 1.2. 18 No Penelitian Tabel 1.2. Penelitian terdahulu terkait hujan konvektif di perkotaan Tujuan Utama Metode Hasil Ekstraksi data black body temperature dari citra satelit yang Menentukan variasi mencerminkan suhu pembentukan temporal dan spasial hujan dan penguraian awan dengan konvektif di Pulau Jawa menggunakan statistik gradiennya tahun 2006. dari citra satelit GMS-6 (MTSAT 1R). Secara temporal tidak terlihat perbedaan yang besar antara hujan konvektif rata-rata bulanan, tahunan, maupun musimam. Sementara secara spasial, hujan konvektif banyak terjadi di daratan Pulau Jawa sebelah selatan dan barat walaupun hampir selalu berawal di daerah bagian utara Jawa. 2. Bumrungklang, dkk (2009), “An Analysis of Seasonal Thunderstorm Cloud Distribution and Its Relation to Rainfall Occurance in Thailand Using Remotely Sensed Data” Menganalisis hubungan antara intensitas hujan dan karakteristik awan (suhu puncak awan dan tutupan awan) di Thailand dengan beberapa studi kasus pilihan tahun 2006 dan 2007. Ekstraksi suhu kecerahan sebagai suhu puncak awan dari citra MTSAT 1R saluran IR1 dan penerapan teknik split windows IR1-IR2 untuk memisahkan awan tinggi dari awan konvektif. Awan-awan konvektif yang tumbuh di Thailand pada musim kemarau dapat tumbuh lebih tinggi daripada awan konvektif pada umumnya. Bahkan terjadi hujan es di mana suhu puncak awan < 200 K (-73oC) yang terbentuk dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan awan konvektif pada musim hujan. 3. Mengidentifikasi pulau bahang kota sebagai Ganeshan, dkk (2013) yang penyebab dari anomali hujan berjudul “A Multi-city Analysis harian (diurnal dan of the UHI-influence on Warm nokturnal) di 18 sampel Season Rainfall” perkotaan Amerika Serikat pada periode kemarau (Juni, Juli, Agustus) 2007-2008. Overlay dan analisis statistik dari data spasial berupa data penutup lahan (National Land Cover Dataset (NLCD), Real-Time Mesoscale Analysis (RTMA) (infomasi lapisan udara atas), NCEP/EMC tingkat IV (data hujan), serta data cuaca permukaan dari North America Regional Reanalysis (NARR) 1. Kusumawati, dkk (2008), Variasi Spasial dan temporal Hujan Konvektif di Pulau Jawa Berdasarkan Citra Satelit Fenomena pulau bahang kota berpengaruh secara dominan terhadap perkotaan yang masuk ke dalam inland cities berupa badai yang menyebar saat siang-sore hari melingkupi seluruh kota yang masuk dalam inland cities dan peningkatan curah hujan terjadi pada malam hari. 19 No 4. Penelitian Tujuan Utama Metode Fawzia (2015), “Identifikasi Kejadian Hujan Konvektif Menggunakan Citra MTSAT pada Musim Kemarau Tahun 2014 di Daerah Perkotaan Yogyakarta” Mengidentifikasi hari hujan konvektif beserta sebaran spasial dan variasi temporalnya pada musim kemarau tahun 2014 di daerah Perkotaan Yogyakarta Mengindentifikasi jenis awan konvektif dari citra MTSAT periode dan wilayah kajian ditumpangtindihkan dengan kejadian hujan sebenarnya hasil pengukuran stasiun hujan. Hasil Hujan konvektif terjadi pada musim kemarau tahun 2014 di daerah Perkotaan Yogyakarta dengan total 10 kejadian. Daerah tujuan angin mengalami kejadian hujan konvektif paling besar dengan sebaran spasial dominan terjadi di daerah perkotaan daripada di daerah kota. Hujan konvektif lebih banyak terjadi pada malam hari (nocturnal convective system) dibandingkan dengan pagi hari maupun siang hari. 20 1.7. Kerangka Pemikiran Peningkatan aktivitas di daerah perkotaan Yogyakarta akan meningkatan suhu permukaan. Kondisi ini semakin memburuk saat musim kemarau dengan suhu yang lebih tinggi terutama saat radiasi matahari maksimal. Hal ini berakibat pada kondisi udara yang tidak stabil sehingga udara menjadi semakin cepat naik ke atas secara vertikal dan membentuk awan-awan konvektif yang terekam oleh citra MTSAT 2R (gradien IR1 negatif). Apabila jenuh, awan-awan ini akan menyebabkan hujan konvektif (gradien IR1 positif). Hujan tercatat pada stasiun hujan di sekitar daerah Perkotaan Yogyakarta sehingga dapat diketahui curah hujan sebenarnya yang terjadi di lapangan. Kejadian hujan yang tercatat pada citra kemudian dibandingkan dengan data hujan sebenarnya dari hasil pencatatan stasiun hujan untuk mengetahui mana yang merupakan hujan konvektif. Secara skematis dan sederhana, kerangka penelitian disajikan pada Gambar 1.5. Identifikasi Kejadian Hujan Konvektif pada Musim Kemarau di Daerah Perkotaan Yogyakarta Tahun 2014 Menggunakan Citra MTSAT Peningkatan suhu permukaan pada musim kemarau di daerah Perkotaan Yogyakarta Kolom udara bergerak secara vertikal dengan suhu yang lebih tinggi dari lingkungan di sekitarnya Kemunculan awan-awan konvektif (jenis awan diamati berdasarkan suhu puncak awan (SPA)) dan kejadian hujan konvektif yang terekam oleh citra MTSAT 2R Pembentukan Awan Konvektif (Tb gradien negatif), Hujan Konvektif (Tb gradient positif) Hujan tercatat di stasiun hujan sekitar daerah Perkotaan Yogyakarta Perbandingan kejadian hujan yang terekam pada citra dengan kejadian hujan sebenarnya dari stasiun hujan Hujan konvektif Karakteristik Spasiotemporal Hujan Konvektif pada Musim Kemarau Tahun 2014 21 Gambar 1.5. Kerangka pemikiran teoritik 1.8. Batasan Operasional Awan konvektif : Merupakan awan jenis cumuliform yang terbentuk akibat aktivitas konvektif di permukaan (Tjasyono, 2004). Daerah Perkotaan Yogyakarta : Daerah di Yogyakarta yang memiliki nuansa kekotaan meliputi seluruh Kota Yogyakarta dan beberapa kecamatan di sekitarnya, dibatasi oleh jalan lingkar (ringroad) (Suwarno, 2001). Hujan konvektif : Merupakan hujan yang disebabkan oleh awan-awan konvektif yang jenuh berupa hujan lebat dalam waktu yang singkat (Tjasyono, 2004). Identifikasi : Menentukan atau menetapkan identitas suatu benda (KBBI online, 2015) MTSAT : Merupakan singkatan dari Multi-Functional Transport Sattelite. MTSAT adalah salahsatu satelit yang digunakan untuk pengamatan cuaca dengan resolusi temporal 1 jam dan resolusi spasial 1 km dan 4 km. Terdapat dua jenis kanal yaitu kanal inframerah (IR1 – IR4) dan kanal tampak (visible). (JMA, 2014) Musim Kemarau : Merupakan musim di mana curah hujan per dasarian < 50 mm (BMKG, 2014) Perkotaan : Merupakan suatu ekosistem yang selalu dipadati dengan sarana prasarana buatan manuasi seperti jalan, jembatan, bangunan, dan lain-lain sebagai perkembangan dari kota serta menghasilkan banyak limbah sehingga tidak dapat menjaga keseimbangannya sendiri. (Marten, 1991, dalam Kumurur, 2010) 22 Suhu kecerahan (Tb) : Merupakan suhu yang didapatkan dari hasil konversi nilai terang gelap (pixels grey) yang dimiliki oleh setiap piksel dengan rentang pixels grey 0-255 yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai brightness temperature (Bumrungklang, dkk, 2010). Suhu puncak awan (SPA) : Merupakan suhu pada puncak awan yang sering diindikasikan sebagai suhu inti awan (Widodo, 1998) 23