HIV - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.
II.1. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)
Human Immunodeficiency Virus merupakan Virus yang
menyebabkan rusaknya / melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia. HIV
membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak.
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV
-1 dan HIV-2. HIV 1 adalah virus HIV yang pertama diidentifikasi oleh Luc
Moontainer di Institut Pasteur Paris, tahun 1983. HIV-2 berhasil di isolasi dari
pasien Afrika Barat tahun 1986 ( Levinson W, Jawetz E, 2003). HIV-1 lebih
mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber
dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 kebanyakan berada di
Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal
dari simpanse Pan troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2
berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau,
Gabon, dan Kamerun ( Price SA, Wilson LM, 2006).
HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan
merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia. HIV-2
kebanyakan masih terkurung di Afrika Barat. Kedua spesies berawal di Afrika
4
Universitas Sumatera Utara
Barat dan tengah, menular dari primata ke manusia dalam sebuah proses
yang dikenal sebagai zoonosis.
HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus
(SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte
troglodyte .
HIV-1 memiliki 3 kelompok atau grup yang telah berhasil
diidentifikasi berdasarkan perbedaan pada envelope-nya yaitu M, N, dan O .
Kelompok M yang paling besar prevalensinya dan dibagi kedalam 8 subtipe
berdasarkan seluruh genomnya, yang masing-masing berbeda secara
geografis . Subtipe yang paling besar prevalensinya adalah subtipe B
(banyak ditemukan di Afrika dan Asia), subtipe A dan D (banyak ditemukan di
Afrika), dan C (banyak ditemukan di Afrika dan Asia); subtipe-subtipe ini
merupakan bagian dari kelompok M dari HIV-1. Ko-infeksi dengan subtipe
yang berrbeda meningkatkan sirkulasi bentuk rekombinan (CRFs)
Human Immunodeficiency virus adalah virus sitopatik diklasifikasikan
dalam Famili Retroviridae, sub family Lentiviridae, genus Lentivirus.
Berdasarkan strukturnya termasuk Family retrovirus termasuk virus RNA
yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel
T CD4, makrofag, dan sel dendritik. Virus HIV secara langsung dan tidak
langsung merusak sel T CD4, padahal sel T CD4 di butuhkan agar sistem
5
Universitas Sumatera Utara
kekebalan tubuh berfungsi dengan baik. Jika virus HIV membunuh sel T CD4
sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4 permikro liter darah, maka
kekebalan seluler akan hilang (Highleyman, 2007)
Secara alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa
diibaratkan seperti mesin fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin
fotocopynya setelah mendapatkan hasil copy virus baru dalam jumlah yang
cukup banyak. Sehingga lama-kelamaan sel kekebalan kita habis dan jumlah
virus menjadi sangat banyak (Kelly J et al, 1994; Ngowi BJ et al, 2008)
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan
yang berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma,
cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk
menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lain-lain.
II.2. PATOGENESE
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu
vertikal, horizontal dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik
secara langsung dengan di perantarai benda tajam yang mampu menembus
dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa
yang tidak intak. Setelah berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak
paparan pertama HIV dapat di deteksi di dalam darah (Nasroudin, 2007)
6
Universitas Sumatera Utara
Virus memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang
mempunyai molekul CD4. Kelompok terbesar yang mempunyai molekul CD4
adalah limfosit T4 yang mengatur reaksi sistem kekebalan manusia. Sel-sel
target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrit, sel langerhans dan sel
mikroglia. Setelah mengikat molekul CD4 melalui transkripsi terbalik maka
beberapa DNA yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam
sel target dan membentuk provirus. Provirus dapat menghasilkan protein
virus baru, yang bekerja menyerupai pabrik untuk virus-virus baru. Sel target
normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti biasanya dan dalam
proses ini provirus juga ikut menyebarkan anak-anaknya. Secara klinis, ini
berarti orang tersebut terinfeksi seumur hidupnya.
.
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang
terinfeksi diaktifkan. Aktifasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh
antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus
seperti sitomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr, herpes simpleks dan
hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan,
replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan
dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma
darah dan menginfeksi sel-sel CD4 lainnya. Karena proses infeksi dan
pengambil alihan sel T4 mengakibatkan kelainan dari kekebalan, maka ini
memungkinkan berkembangnya neoplasma dan infeksi opportunistic.
Sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan
7
Universitas Sumatera Utara
terinfeksi oleh HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang
perjalanan infeksi HIV, tempat primernya adalah jaringan limfoid.
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status
kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut jika orang tersebut tidak
sedang menghadapi infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat.
Namun, reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya
sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi.
Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh
sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang
terinfeksi HIV (65%) tetap menderita HIV/AIDS yang simptomatik dalam
waktu 10 tahun sesudah orang tersebut terinfeksi (Djuanda A,1999,
Tjokonegoro A, Utama, 1994)
II.3. GAMBARAN KLINIS
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam
yang menyerupai flu biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya
berupa penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula,
berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati.
8
Universitas Sumatera Utara
Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu :
1.
Infeksi HIV stadium pertama .
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan
juga terjadi gejala-gejala yang mirip influenza atau terjadi
pembengkakan kelenjar getah bening.
2.
Persisten generalized limfadenopati.
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat
pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang
jelas dan sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3.
AIDS relative complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga
mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh
kekebalan tubuh. Disini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu,
demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan
berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah
dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.
4.
Full blown AIDS.
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat
rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu.
9
Universitas Sumatera Utara
Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang
meluas, tuberculosis oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem
saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang
penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum
waktunya.
II.4. KRITERIA DIAGNOSIS
II.4.1. Diagnosis terinfeksi HIV
Diagnosis di tegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti di tegakkan dengan melakukan
pemeriksaan laboratorium yang di mulai dengan uji penapisan / penyaringan
dengan menentukan adanya anti body anti HIV kemudian di lanjutkan dengan
uji pemastian dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu Western Blot
Assay karena mampu mendeteksi komponen komponen yang terkandung
pada HIV (Attili Suresh VS, 2006: Bartlet JG,Gallant JT, 2006)
Di Indonesia Western Blot belum merata di lakukan secara rutin
maka dapat di lakukan pemeriksaan laboratorium dengan 3 metode yang
berbeda (salah satu yang di anjurkan ELISA). Di katakan terinfeksi HIV
apabila ketiga pemeriksaan laboratorium dari metode yang berbeda tersebut
menunjukkan hasil reaktif (Nasroudin, 2007)
10
Universitas Sumatera Utara
II.4.2. Diagnosa AIDS
Di indonesia diagnosis AIDS ditegakkan bila menunjukkan tes HIV
positif dan sekurang kurangnya ditemukan dua tanda mayor dan satu tanda
minor (Nasroudin, 2007)
1.Tanda mayor
a. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan.
c. Demam menetap lebih dari 1 bulan intermitten dan konstan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologist.
e. Enselopati HIV.
2.Tanda minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalisata.
c. Herpes zoster rekuren.
d. Infeksi herpes simpleks virus kronik progresif
e. Kandidiasis orofaringeal
f. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
g. Retinitis oleh virus sitomegalo (Nasroudin, 2007)
11
Universitas Sumatera Utara
II.4.3. Diagnosis status imun
Dapat di lihat dari hasil pemeriksaan limfosit total dan atau CD4,
penentuan kepadatan virus atau beban virus (viral load)
Penetapan status AIDS di nyatakan berdasarkan adanya infeksi
sekunder dan atau manifestasi keganasan atau berdasarkan CD4 yang
rendah (< 200 sel/mm3) ( Price SA, Wilson LM, 2006)
II.5. CD4
Sel CD4 adalah semacam sel darah putih atau limfosit dan ini
bagian yang penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Disebut juga sel
T-4, sel pembantu atau kadang sel CD4
Ketika manusia terinfeksi HIV sel yang paling sering terinfeksi
adalah sel CD4, dan menjadi bagian dari sel tersebut. Ketika sel CD4
menggandakan diri untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga
membuat banyak duplikasi HIV. Semakin menurunnya sel CD4 berarti sistem
kekebalan tubuh kita semakin rusak dan semakin rendahnya jumlah CD4
yang ada dalam tubuh manusia, semakin mungkin kita akan mudah sakit
atau mungkin akan mengalami infeksi oportunistik (Burban SD, 2007)
Karena jumlah CD4 sering berubah-ubah biasanya dokter lebih
menggunakan presentase sel CD4 yaitu perbandingan dengan limfosit total.
12
Universitas Sumatera Utara
Jika hasil tes CD4 = 34% berarti 34% dari limfosit kita adalah CD4. Angka
normal berkisar 30 - 60%. Di bawah 14% menunjukan kerusakan parah pada
sistem kekebalan tubuh. Hal ini adalah tanda AIDS pada orang yang
terinfeksi HIV.
Jumlah CD4 normal adalah 410 sel/mm3 – 1590 sel/mm3, bila jumlah
CD4 dibawah 350/mm3, atau dibawah 14%, kita dianggap AIDS, (Definisi
Depkes). Jumlah CD4 dipakai bersama untuk meramalkan berapa lama kita
akan tetap sehat.
II.5.1. Tes CD4.
Tes ini adalah tes baku untuk menilai prognosis berlanjut ke AIDS
atau kematian, untuk membentuk diagnosis diferensial pada pasien
bergejala, dan untuk mengambil keputusan terapeutik mengenai terapi
antiretroviral (ART) dan profilaksis untuk patogen oportunistik. Jumlah CD4
adalah indikator yang paling diandalkan untuk prognosis (Chen R Y et al,
2007).
II.5.1.1. Teknik
Cara baku untuk menentukan jumlah CD4 memakai flow cytometer
13
Universitas Sumatera Utara
II.5.1.2 Flow cytometri
Flow cytometri adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan
memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik
masing-masing secara automatis melalui suatu celah yang ditembus oleh
seberkas sinar laser.
Metode flow cytometry terus berkembang sejalan dengan
perkembangan elektrik komputer dan reagen, termasuk digunakannya
monoklonal antibodi. Sampai saat ini, pengukuran dengan flow cytometry
menggunakan label flouresensi, selain mengukur jumlah, ukuran sel, juga
dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraseluler, struktur intra
sitoplasmik, dan inti sel.
Interpretasi klinik.
Penggunaan alat BD FACS Calibur dapat memberikan informasi
yang penting pada klinisi untuk membantu menegakkan diagnosa suatu
penyakit. Informasi yang dapat diperoleh antara lain aplikasi diagnosa
anemia, leukemia, serta beberapa keadaan lain seperti Paroksismal,
Nokturnal, Hemoglobin (PNH), memonitor penderita dengan infeksi virus HIV,
maupun membedakan tipe leukemia dan limpoma.
14
Universitas Sumatera Utara
Monitoring status imunologi pada infeksi HIV bisa diakukan dengan
metode flow cytometri. Seperti diketahui bahwa virus HIV menginfeksi
limposit T helper atau melalui antigen CD 4. Limposit yang terinfeksi ini
kemudian lisis ketika virion baru dilepaskan atau dipindahkan oleh sistem
imun selular. Pada infeksi HIV yang progresif, CD 4 T-limposit jumlahnya
menurun. Jumlah absolut CD 4 merupakan pengukuran yang penting untuk
memprediksi, menentukan derajat, dan memonitoring progresifitas serta
respons terhadap pengobatan pada infeksi HIV. Pemeriksaan jumlah virus
melengkapi pemeriksaan labolatorium untuk monitoring penyakit. Besarnya
berbanding terbalik dengan CD 4, jadi jumlah CD 4 dan jumlah virus secara
langsung menunjukkan status imun penderita. Ini berguna untuk menentukan
diagnosa, prognosa, dan manajemen pengobatan pada penderita yang
terinfeksi HIV
15
Universitas Sumatera Utara
II.5.1.3. Frekuensi tes
Tes CD4 sebaiknya diulang setiap tiga sampai enam bulan untuk
pasien yang belum diobati dengan ART dan jangka waktu dua sampai empat
bulan pada pasien yang memakai ART. Tes tersebut sebaiknya diulangi bila
hasil tidak konsisten dengan kecenderungan sebelumnya. Frekuensi akan
berbeda-beda tergantung keadaan individu. Kalau tidak diobati, jumlah CD4
akan menurun rata-rata 4 persen per tahun untuk setiap log viral load.
Dengan terapi awal atau perubahan terapi, usulan adalah dilakukan tes CD4
(serta viral load) pada 4, 8 sampai 12, dan 16 sampai 24 minggu.
II.6. LIMFOSIT
Limfosit dapat di bedakan dalam dua kelompok besar, yaitu limfosit T,
dan B. Baik limfosit T maupun B, keduanya harus mampu secara spesifik
mengenali sel sel dan benda lain yang tidak di butuhkan untuk di hancurkan
atau di netralisasi karena berbeda dari sel sel normal, perbedaan tersebut di
mungkinkan dengan adanya antigen (Scanlon VC, Sanders T, 2007). Antigen
adalah molekul kompleks berukuran besar yang mencetuskan respon imun
spesifik terhadap dirinya sendiri apabila antigen tersebut masuk ke dalam
tubuh. Protein asing adalah yang paling sering di jumpai ( Sherwood L,
2001).
16
Universitas Sumatera Utara
Limfosit T, bertanggung jawab dalam pembentukan limfosit
teraktivasi yang dapat membentuk imunitas yang di perantarai sel, dan
limfosit B, bertanggung jawab dalam pembentukan antibody yang
memberikan imunitas humoral ( Guyton AC, M. D, Hall JE, 1997)
Fungsi utama limfosit B adalah sebagai imunitas anti body humoral. Masing
masing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai
kemampuan untuk mensekresi antibody spesifik.
Limfosit T
Limfosit T mempunyai 2 fungsi utama yaitu:
1.
Regulasi system imun.
2.
Membunuh sel yang menghasilkan antigen target khusus
Masing masing sel T mempunyai marker permukaan seperti CD4,
CD8, dan CD3 yang membedakannya dengan sel lain. Sel CD4 adalah sel
yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat
antigen target khusus.
HIV menyerang CD4, dengan secara langsung yaitu sampul HIV
yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T, secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang di sebut sampul gp 120 dan anti p24
17
Universitas Sumatera Utara
berinteraksi dengan CD4 yang kemudian menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen (APC) ( Nursalam, Kurniawati ND, 2002)
Jenis jenis sel T dan fungsinya:
1. Sel T Pembantu
merupakan sel T yang jumlahnya paling banyak kira kira 75 % dari
limfosit T sel ini membantu melakukan fungsi system imun dan bertindak
sebagai pengatur utama system imun.
2. Sel T Sitotoksik(sel pembunuh)
merupakan sel penyerang yang mampu langsung membunuh
mikroorganisme
3. Sel T Supresor,
sel yang mempunyai kemampuan untuk menekan fungsi sel T
sitotoksik dan sel T pembantu, menjaganya agar jangan menyebabkan reaksi
imun yang berlebihan yang dapat merusak tubuh ( Guyton AC, M. D, Hall JE,
1997)
18
Universitas Sumatera Utara
II.7. JENIS JENIS PEMERIKSAAN HIV/AIDS
HIV/AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat
penularan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang tidak
menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV, sehingga menjadi sumber
penularan bagi orang lain.
Seseorang terkena HIV biasanya diketahui jika telah terjadi
Sindrom Defisiensi Imun Dapatan (AIDS) yang ditandai antara lain penurunan
berat badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan beberapa gejala
lainnya.
Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita
untuk mendeteksi HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain
adalah :
II.7.1. Dipstick test HIV
Test ini sering di gunakan sebagai test awal untuk mendeteksi anti
bodi HIV-1 atau HIV-2 pada serum, plasma atau darah dari orang yang di
anggap mempunyai resiko terpapar dengan virus HIV, namun bila hasil tidak
reaktif belum dapat dikatakan bahwa belum pernah terpapar dengan virus
HIV.
19
Universitas Sumatera Utara
II.7.2. Test Saliva
Test ini untuk mendeteksi antibody HIV pada saliva pasien dengan
menggunakan alat OraSure test dengan akurasi 99,8%.
Seperti di ketahui saliva merupakan cairan tubuh yang dapat
menularkan penyebaran dari virus HIV. Test ini di gunakan untuk
pemeriksaan virus HIV pada orang penderita hemophilia yang sulit di ambil
darahnya karena resiko perdarahan dan orang yang menggunakan obat anti
koagulan.
II.7.3. Test urine.
Urine merupakan cairan tubuh yang mengandung virus HIV namun
konsentrasinya rendah sehingga dapat di gunakan untuk test anti body HIV
dengan akurasi 99,8%. Indikasi untuk penderita hemopilia dan yang sulit
mengambil sample darah karena pembuluh darah yang buruk.
II.7.4. ELISA
ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi
antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya
diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah
20
Universitas Sumatera Utara
terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli menganjurkan
pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan
aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang
terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air
liur, atau urine.
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan
ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan
sampel darah jari dan air liur.
Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang
diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu
Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini.
Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua
kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul
telah terinfeksi HIV ( Price SA, Wilson LM, 2006)
II.7.5. Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi
terhadap HIV. Western Blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena
pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus yang tidak
dapat disimpulkan sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih
21
Universitas Sumatera Utara
sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya (Price SA, Wilson LM,
2006)
Tes ini untuk mendeteksi antibodi HIV -1. Alat ini mengandung virus
HIV yang sudah di lemahkan dengan psoralen dan sinar ultra violet. Protein
specific HIV-1 di kelompokkan sesuai dengan berat molekulnya dengan
elektroforesis pada larutan sodium dodecysulfat, larutan ini di campur dengan
serum yang akan di periksa, kemudian di simpan dalam incubator, kemudian
di nilai skor reaksi berdasarkan intensitasnya. Bila hasil tidak reaktif
seseorang pasti tidak terpapar dengan virus HIV.
II.7.6. IFA
IFA (Indirect Fluorescent Antibody) juga meurupakan pemeriksaan
konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya pemeriksaan diatas, IFA juga
mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan
ini adalah biayanya sangat mahal.
II.7.7. PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa
langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih
cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal
dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya
22
Universitas Sumatera Utara
dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain itu,
PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test)
darah atau organ yang akan didonorkan ( Nursalam, Ninuk DK, 2002)
II.8. SISTEM TAHAPAN WHO UNTUK INFEKSI DAN PENYAKIT HIV
Pada tahun 1990, WHO mengelompokkan berbagai infeksi dan
kondisi AIDS dengan memperken alkan system tahapan utuk pasien yang
terinfeksi dengan virus HIV-1. Sistem ini kemudian di perbaharui pada
September 2005.
Tabel 1. Stadium infeksi HIV pada orang dewasa oleh WHO.
Klinis stadium I
1. Asimtomatik
2. Limfadenopati menyeluruh dan persisten
Skala penampilan 1: asimptomatik, aktivitas normal
23
Universitas Sumatera Utara
Klinis stadium II.
1. Penurunan berat badan < 10 %
2. Manifestasi mukokutaneus yang ringan
(dermatitis seboreika, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mulut yang
berulang, angular chelitis).
3. Herpes zoster dalam 5 tahun terahir.
4. Infeksi saluran nafas yang berulang (sinusitis bacterial).
Klinis stadium III
1. Penurunan berat badan > 10 %
2. Diare kronik dan demam yang tidak bisa di jelaskan > 1 bulan.
3. Kandidiasis oral (thsrush).
4. Oral hairy (leukoplakia)
5. Tuberkulosis paru dalam tahun sebelumnya.
6. Infeksi bakteri yang berat (yakni pneumonia, pyomyositis)
24
Universitas Sumatera Utara
Klinis stadium IV.
1. HIV wasting syndrome.
2. Pneumocystis carinii pneumonia.
3. Toxoplasmosis otak.
4. Cryptosporidiosis dengan diare > 1 bulan.
5. Cryptococcosis ekstra paru.
6. Penyakit cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa atau
kelenjar limfe.
7. Infeksi virus herpes simpleks mukokutaneus > 1 bulan, atau infeksi
saluran cerna
8. Progressive multifocal leucoencephalopathy.
9.
Micosisendemic diseminata.(histoplasosis,
coccidioidimycosis)
10. Candidiasis esophagus, trakea, bronkus, atau paru paru
11. Atypical mycibacteriosis disseminated.
12. Non thypoid salmonella septicaemia
13. Tuberkulosis ekstra paru.
14. Limfoma.
15. Sarkoma Kaposi.
16. Ensefalopati HIV (Nursalam, Ninuk DK, 2002)
25
Universitas Sumatera Utara
II.9. PENGOBATAN
II.9.1. Pedoman memulai terapi pada ODHA dewasa menurut Depkes RI
(2009).
II.9.1.1. Bila tersedia pemeriksaan CD4
1. Stadiumklinis 1 dan 2 ARV dimulai bila CD4 ≤ 200/mm3
2. Stadium 3 ;
Jumlah CD4 200 – 350 sel /mm3 pertimbangkan terapi sebelum
CD4 < 200 sel /mm3
Pada kehamilan atau TB :
-
Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan CD4 < 350/ mm3
-
Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4 < 350/mm3 dengan
TB paru atau infeksi bakterial berat.
3. Stadium 4 terapi ARV di mulai tanpa memandang jumlah CD4
Universitas Sumatera Utara
Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4
26
1. Stadium 1 terapi ARV tidak di berikan
2. Stadium 2 bila jumlah limfosit total < 1200/mm3
3. Stadium 3 dan 4 terapi ARV di mulai tanpa memandang jumlah limfosit
total
II.9.2. Regimen dan efek samping.
II.9.2.1. Pembagian golongan ARV.
1. Nucleoside reserve tanscriptase inhibitors (NsRTI)
Abacavir(ABC), Didanosine (ddl), Lamivudine (3TC), Stavudin (d4T)
, Zidovudine(ZDV/AZT)
2. Non nucleoside reserve transcriptase inhibitors (NNRTI)
Efavirenz (EFV/EFZ), Nevirapine (NVP).
3. Protease Inhibitors (PI)
Indinavir(IDV), Ritonavir(RTV,r), Lopinavir + ritonavir (LPV/r),
Universitas Sumatera Utara
Nelvinafir (NFV), Saquinavir (SQV).
II.9.2.2. Toksisitas ARV lini pertama dan obat pengganti yang di
rekomendasikan WHO, 2006.
Obat ARV
Toksisitas
ARV pengganti.
ABC
Reaksi hipersensitif
AZT
Anemia berat atau neutropenia
TDF atau d4T atau ABC.
Intoleransi gastrointestinal berat
TDF atau d4T atau ABC
Asidosis lactate
TDF atau ABC
Asidosis lactate
TDF Aatau ABC
Lipoatropi
TDF atau ABC
Neuropati perifer
AZT atau TDF atau ABC.
Toksisitas renal
AZT atau TDF atau ABC
Toksisitas SSP berat
NVP atau TDFatau ABC.
EFV
Teratognik
NVP atau ABC
NVP
Reaksi hipersensitif.
TDF atau ABC.
D4T
TDF
AZT atau TDF atau d4T
Universitas Sumatera Utara
Download