BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) Human Immunodeficiency Virus merupakan Virus yang menyebabkan rusaknya / melemahnya sistem kekebalan tubuh manusia. HIV membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak. Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV -1 dan HIV-2. HIV 1 adalah virus HIV yang pertama diidentifikasi oleh Luc Moontainer di Institut Pasteur Paris, tahun 1983. HIV-2 berhasil di isolasi dari pasien Afrika Barat tahun 1986 ( Levinson W, Jawetz E, 2003). HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun ( Price SA, Wilson LM, 2006). HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia. HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika Barat. Kedua spesies berawal di Afrika 4 Universitas Sumatera Utara Barat dan tengah, menular dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis. HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte . HIV-1 memiliki 3 kelompok atau grup yang telah berhasil diidentifikasi berdasarkan perbedaan pada envelope-nya yaitu M, N, dan O . Kelompok M yang paling besar prevalensinya dan dibagi kedalam 8 subtipe berdasarkan seluruh genomnya, yang masing-masing berbeda secara geografis . Subtipe yang paling besar prevalensinya adalah subtipe B (banyak ditemukan di Afrika dan Asia), subtipe A dan D (banyak ditemukan di Afrika), dan C (banyak ditemukan di Afrika dan Asia); subtipe-subtipe ini merupakan bagian dari kelompok M dari HIV-1. Ko-infeksi dengan subtipe yang berrbeda meningkatkan sirkulasi bentuk rekombinan (CRFs) Human Immunodeficiency virus adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam Famili Retroviridae, sub family Lentiviridae, genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya termasuk Family retrovirus termasuk virus RNA yang biasanya menyerang organ vital sistem kekebalan manusia seperti sel T CD4, makrofag, dan sel dendritik. Virus HIV secara langsung dan tidak langsung merusak sel T CD4, padahal sel T CD4 di butuhkan agar sistem 5 Universitas Sumatera Utara kekebalan tubuh berfungsi dengan baik. Jika virus HIV membunuh sel T CD4 sampai terdapat kurang dari 200 sel T CD4 permikro liter darah, maka kekebalan seluler akan hilang (Highleyman, 2007) Secara alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa diibaratkan seperti mesin fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin fotocopynya setelah mendapatkan hasil copy virus baru dalam jumlah yang cukup banyak. Sehingga lama-kelamaan sel kekebalan kita habis dan jumlah virus menjadi sangat banyak (Kelly J et al, 1994; Ngowi BJ et al, 2008) Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lain-lain. II.2. PATOGENESE HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu vertikal, horizontal dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan di perantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak. Setelah berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat di deteksi di dalam darah (Nasroudin, 2007) 6 Universitas Sumatera Utara Virus memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Kelompok terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T4 yang mengatur reaksi sistem kekebalan manusia. Sel-sel target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrit, sel langerhans dan sel mikroglia. Setelah mengikat molekul CD4 melalui transkripsi terbalik maka beberapa DNA yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam sel target dan membentuk provirus. Provirus dapat menghasilkan protein virus baru, yang bekerja menyerupai pabrik untuk virus-virus baru. Sel target normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti biasanya dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebarkan anak-anaknya. Secara klinis, ini berarti orang tersebut terinfeksi seumur hidupnya. . Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan. Aktifasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr, herpes simpleks dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4 lainnya. Karena proses infeksi dan pengambil alihan sel T4 mengakibatkan kelainan dari kekebalan, maka ini memungkinkan berkembangnya neoplasma dan infeksi opportunistic. Sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan 7 Universitas Sumatera Utara terinfeksi oleh HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV, tempat primernya adalah jaringan limfoid. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut jika orang tersebut tidak sedang menghadapi infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun, reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (65%) tetap menderita HIV/AIDS yang simptomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut terinfeksi (Djuanda A,1999, Tjokonegoro A, Utama, 1994) II.3. GAMBARAN KLINIS Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati. 8 Universitas Sumatera Utara Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu : 1. Infeksi HIV stadium pertama . Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening. 2. Persisten generalized limfadenopati. Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di mulut. 3. AIDS relative complex (ARC) Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua. 4. Full blown AIDS. Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. 9 Universitas Sumatera Utara Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya. II.4. KRITERIA DIAGNOSIS II.4.1. Diagnosis terinfeksi HIV Diagnosis di tegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti di tegakkan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium yang di mulai dengan uji penapisan / penyaringan dengan menentukan adanya anti body anti HIV kemudian di lanjutkan dengan uji pemastian dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu Western Blot Assay karena mampu mendeteksi komponen komponen yang terkandung pada HIV (Attili Suresh VS, 2006: Bartlet JG,Gallant JT, 2006) Di Indonesia Western Blot belum merata di lakukan secara rutin maka dapat di lakukan pemeriksaan laboratorium dengan 3 metode yang berbeda (salah satu yang di anjurkan ELISA). Di katakan terinfeksi HIV apabila ketiga pemeriksaan laboratorium dari metode yang berbeda tersebut menunjukkan hasil reaktif (Nasroudin, 2007) 10 Universitas Sumatera Utara II.4.2. Diagnosa AIDS Di indonesia diagnosis AIDS ditegakkan bila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang kurangnya ditemukan dua tanda mayor dan satu tanda minor (Nasroudin, 2007) 1.Tanda mayor a. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 1 bulan b. Diare kronik lebih dari 1 bulan. c. Demam menetap lebih dari 1 bulan intermitten dan konstan d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologist. e. Enselopati HIV. 2.Tanda minor a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan. b. Dermatitis generalisata. c. Herpes zoster rekuren. d. Infeksi herpes simpleks virus kronik progresif e. Kandidiasis orofaringeal f. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita. g. Retinitis oleh virus sitomegalo (Nasroudin, 2007) 11 Universitas Sumatera Utara II.4.3. Diagnosis status imun Dapat di lihat dari hasil pemeriksaan limfosit total dan atau CD4, penentuan kepadatan virus atau beban virus (viral load) Penetapan status AIDS di nyatakan berdasarkan adanya infeksi sekunder dan atau manifestasi keganasan atau berdasarkan CD4 yang rendah (< 200 sel/mm3) ( Price SA, Wilson LM, 2006) II.5. CD4 Sel CD4 adalah semacam sel darah putih atau limfosit dan ini bagian yang penting dari sistem kekebalan tubuh manusia. Disebut juga sel T-4, sel pembantu atau kadang sel CD4 Ketika manusia terinfeksi HIV sel yang paling sering terinfeksi adalah sel CD4, dan menjadi bagian dari sel tersebut. Ketika sel CD4 menggandakan diri untuk melawan infeksi apa pun, sel tersebut juga membuat banyak duplikasi HIV. Semakin menurunnya sel CD4 berarti sistem kekebalan tubuh kita semakin rusak dan semakin rendahnya jumlah CD4 yang ada dalam tubuh manusia, semakin mungkin kita akan mudah sakit atau mungkin akan mengalami infeksi oportunistik (Burban SD, 2007) Karena jumlah CD4 sering berubah-ubah biasanya dokter lebih menggunakan presentase sel CD4 yaitu perbandingan dengan limfosit total. 12 Universitas Sumatera Utara Jika hasil tes CD4 = 34% berarti 34% dari limfosit kita adalah CD4. Angka normal berkisar 30 - 60%. Di bawah 14% menunjukan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh. Hal ini adalah tanda AIDS pada orang yang terinfeksi HIV. Jumlah CD4 normal adalah 410 sel/mm3 – 1590 sel/mm3, bila jumlah CD4 dibawah 350/mm3, atau dibawah 14%, kita dianggap AIDS, (Definisi Depkes). Jumlah CD4 dipakai bersama untuk meramalkan berapa lama kita akan tetap sehat. II.5.1. Tes CD4. Tes ini adalah tes baku untuk menilai prognosis berlanjut ke AIDS atau kematian, untuk membentuk diagnosis diferensial pada pasien bergejala, dan untuk mengambil keputusan terapeutik mengenai terapi antiretroviral (ART) dan profilaksis untuk patogen oportunistik. Jumlah CD4 adalah indikator yang paling diandalkan untuk prognosis (Chen R Y et al, 2007). II.5.1.1. Teknik Cara baku untuk menentukan jumlah CD4 memakai flow cytometer 13 Universitas Sumatera Utara II.5.1.2 Flow cytometri Flow cytometri adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik permukaan setiap sel dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi menurut karakteristik masing-masing secara automatis melalui suatu celah yang ditembus oleh seberkas sinar laser. Metode flow cytometry terus berkembang sejalan dengan perkembangan elektrik komputer dan reagen, termasuk digunakannya monoklonal antibodi. Sampai saat ini, pengukuran dengan flow cytometry menggunakan label flouresensi, selain mengukur jumlah, ukuran sel, juga dapat mendeteksi petanda dinding sel, granula intraseluler, struktur intra sitoplasmik, dan inti sel. Interpretasi klinik. Penggunaan alat BD FACS Calibur dapat memberikan informasi yang penting pada klinisi untuk membantu menegakkan diagnosa suatu penyakit. Informasi yang dapat diperoleh antara lain aplikasi diagnosa anemia, leukemia, serta beberapa keadaan lain seperti Paroksismal, Nokturnal, Hemoglobin (PNH), memonitor penderita dengan infeksi virus HIV, maupun membedakan tipe leukemia dan limpoma. 14 Universitas Sumatera Utara Monitoring status imunologi pada infeksi HIV bisa diakukan dengan metode flow cytometri. Seperti diketahui bahwa virus HIV menginfeksi limposit T helper atau melalui antigen CD 4. Limposit yang terinfeksi ini kemudian lisis ketika virion baru dilepaskan atau dipindahkan oleh sistem imun selular. Pada infeksi HIV yang progresif, CD 4 T-limposit jumlahnya menurun. Jumlah absolut CD 4 merupakan pengukuran yang penting untuk memprediksi, menentukan derajat, dan memonitoring progresifitas serta respons terhadap pengobatan pada infeksi HIV. Pemeriksaan jumlah virus melengkapi pemeriksaan labolatorium untuk monitoring penyakit. Besarnya berbanding terbalik dengan CD 4, jadi jumlah CD 4 dan jumlah virus secara langsung menunjukkan status imun penderita. Ini berguna untuk menentukan diagnosa, prognosa, dan manajemen pengobatan pada penderita yang terinfeksi HIV 15 Universitas Sumatera Utara II.5.1.3. Frekuensi tes Tes CD4 sebaiknya diulang setiap tiga sampai enam bulan untuk pasien yang belum diobati dengan ART dan jangka waktu dua sampai empat bulan pada pasien yang memakai ART. Tes tersebut sebaiknya diulangi bila hasil tidak konsisten dengan kecenderungan sebelumnya. Frekuensi akan berbeda-beda tergantung keadaan individu. Kalau tidak diobati, jumlah CD4 akan menurun rata-rata 4 persen per tahun untuk setiap log viral load. Dengan terapi awal atau perubahan terapi, usulan adalah dilakukan tes CD4 (serta viral load) pada 4, 8 sampai 12, dan 16 sampai 24 minggu. II.6. LIMFOSIT Limfosit dapat di bedakan dalam dua kelompok besar, yaitu limfosit T, dan B. Baik limfosit T maupun B, keduanya harus mampu secara spesifik mengenali sel sel dan benda lain yang tidak di butuhkan untuk di hancurkan atau di netralisasi karena berbeda dari sel sel normal, perbedaan tersebut di mungkinkan dengan adanya antigen (Scanlon VC, Sanders T, 2007). Antigen adalah molekul kompleks berukuran besar yang mencetuskan respon imun spesifik terhadap dirinya sendiri apabila antigen tersebut masuk ke dalam tubuh. Protein asing adalah yang paling sering di jumpai ( Sherwood L, 2001). 16 Universitas Sumatera Utara Limfosit T, bertanggung jawab dalam pembentukan limfosit teraktivasi yang dapat membentuk imunitas yang di perantarai sel, dan limfosit B, bertanggung jawab dalam pembentukan antibody yang memberikan imunitas humoral ( Guyton AC, M. D, Hall JE, 1997) Fungsi utama limfosit B adalah sebagai imunitas anti body humoral. Masing masing sel B mampu mengenali antigen spesifik dan mempunyai kemampuan untuk mensekresi antibody spesifik. Limfosit T Limfosit T mempunyai 2 fungsi utama yaitu: 1. Regulasi system imun. 2. Membunuh sel yang menghasilkan antigen target khusus Masing masing sel T mempunyai marker permukaan seperti CD4, CD8, dan CD3 yang membedakannya dengan sel lain. Sel CD4 adalah sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. HIV menyerang CD4, dengan secara langsung yaitu sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T, secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang di sebut sampul gp 120 dan anti p24 17 Universitas Sumatera Utara berinteraksi dengan CD4 yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC) ( Nursalam, Kurniawati ND, 2002) Jenis jenis sel T dan fungsinya: 1. Sel T Pembantu merupakan sel T yang jumlahnya paling banyak kira kira 75 % dari limfosit T sel ini membantu melakukan fungsi system imun dan bertindak sebagai pengatur utama system imun. 2. Sel T Sitotoksik(sel pembunuh) merupakan sel penyerang yang mampu langsung membunuh mikroorganisme 3. Sel T Supresor, sel yang mempunyai kemampuan untuk menekan fungsi sel T sitotoksik dan sel T pembantu, menjaganya agar jangan menyebabkan reaksi imun yang berlebihan yang dapat merusak tubuh ( Guyton AC, M. D, Hall JE, 1997) 18 Universitas Sumatera Utara II.7. JENIS JENIS PEMERIKSAAN HIV/AIDS HIV/AIDS termasuk jajaran penyakit yang mempunyai tingkat penularan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena seringkali seseorang tidak menyadari bahwa dirinya telah terinfeksi HIV, sehingga menjadi sumber penularan bagi orang lain. Seseorang terkena HIV biasanya diketahui jika telah terjadi Sindrom Defisiensi Imun Dapatan (AIDS) yang ditandai antara lain penurunan berat badan, diare berkepanjangan, Sarkoma Kaposi, dan beberapa gejala lainnya. Berkembangnya teknologi pemeriksaan saat ini mengijinkan kita untuk mendeteksi HIV lebih dini. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain adalah : II.7.1. Dipstick test HIV Test ini sering di gunakan sebagai test awal untuk mendeteksi anti bodi HIV-1 atau HIV-2 pada serum, plasma atau darah dari orang yang di anggap mempunyai resiko terpapar dengan virus HIV, namun bila hasil tidak reaktif belum dapat dikatakan bahwa belum pernah terpapar dengan virus HIV. 19 Universitas Sumatera Utara II.7.2. Test Saliva Test ini untuk mendeteksi antibody HIV pada saliva pasien dengan menggunakan alat OraSure test dengan akurasi 99,8%. Seperti di ketahui saliva merupakan cairan tubuh yang dapat menularkan penyebaran dari virus HIV. Test ini di gunakan untuk pemeriksaan virus HIV pada orang penderita hemophilia yang sulit di ambil darahnya karena resiko perdarahan dan orang yang menggunakan obat anti koagulan. II.7.3. Test urine. Urine merupakan cairan tubuh yang mengandung virus HIV namun konsentrasinya rendah sehingga dapat di gunakan untuk test anti body HIV dengan akurasi 99,8%. Indikasi untuk penderita hemopilia dan yang sulit mengambil sample darah karena pembuluh darah yang buruk. II.7.4. ELISA ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan setelah minggu ke 12 setelah 20 Universitas Sumatera Utara terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine. Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur. Hasil positif pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV ( Price SA, Wilson LM, 2006) II.7.5. Western Blot Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western Blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus yang tidak dapat disimpulkan sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih 21 Universitas Sumatera Utara sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya (Price SA, Wilson LM, 2006) Tes ini untuk mendeteksi antibodi HIV -1. Alat ini mengandung virus HIV yang sudah di lemahkan dengan psoralen dan sinar ultra violet. Protein specific HIV-1 di kelompokkan sesuai dengan berat molekulnya dengan elektroforesis pada larutan sodium dodecysulfat, larutan ini di campur dengan serum yang akan di periksa, kemudian di simpan dalam incubator, kemudian di nilai skor reaksi berdasarkan intensitasnya. Bila hasil tidak reaktif seseorang pasti tidak terpapar dengan virus HIV. II.7.6. IFA IFA (Indirect Fluorescent Antibody) juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Seperti halnya pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal. II.7.7. PCR Test PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan virus HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu, biasanya hanya 22 Universitas Sumatera Utara dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ yang akan didonorkan ( Nursalam, Ninuk DK, 2002) II.8. SISTEM TAHAPAN WHO UNTUK INFEKSI DAN PENYAKIT HIV Pada tahun 1990, WHO mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperken alkan system tahapan utuk pasien yang terinfeksi dengan virus HIV-1. Sistem ini kemudian di perbaharui pada September 2005. Tabel 1. Stadium infeksi HIV pada orang dewasa oleh WHO. Klinis stadium I 1. Asimtomatik 2. Limfadenopati menyeluruh dan persisten Skala penampilan 1: asimptomatik, aktivitas normal 23 Universitas Sumatera Utara Klinis stadium II. 1. Penurunan berat badan < 10 % 2. Manifestasi mukokutaneus yang ringan (dermatitis seboreika, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mulut yang berulang, angular chelitis). 3. Herpes zoster dalam 5 tahun terahir. 4. Infeksi saluran nafas yang berulang (sinusitis bacterial). Klinis stadium III 1. Penurunan berat badan > 10 % 2. Diare kronik dan demam yang tidak bisa di jelaskan > 1 bulan. 3. Kandidiasis oral (thsrush). 4. Oral hairy (leukoplakia) 5. Tuberkulosis paru dalam tahun sebelumnya. 6. Infeksi bakteri yang berat (yakni pneumonia, pyomyositis) 24 Universitas Sumatera Utara Klinis stadium IV. 1. HIV wasting syndrome. 2. Pneumocystis carinii pneumonia. 3. Toxoplasmosis otak. 4. Cryptosporidiosis dengan diare > 1 bulan. 5. Cryptococcosis ekstra paru. 6. Penyakit cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa atau kelenjar limfe. 7. Infeksi virus herpes simpleks mukokutaneus > 1 bulan, atau infeksi saluran cerna 8. Progressive multifocal leucoencephalopathy. 9. Micosisendemic diseminata.(histoplasosis, coccidioidimycosis) 10. Candidiasis esophagus, trakea, bronkus, atau paru paru 11. Atypical mycibacteriosis disseminated. 12. Non thypoid salmonella septicaemia 13. Tuberkulosis ekstra paru. 14. Limfoma. 15. Sarkoma Kaposi. 16. Ensefalopati HIV (Nursalam, Ninuk DK, 2002) 25 Universitas Sumatera Utara II.9. PENGOBATAN II.9.1. Pedoman memulai terapi pada ODHA dewasa menurut Depkes RI (2009). II.9.1.1. Bila tersedia pemeriksaan CD4 1. Stadiumklinis 1 dan 2 ARV dimulai bila CD4 ≤ 200/mm3 2. Stadium 3 ; Jumlah CD4 200 – 350 sel /mm3 pertimbangkan terapi sebelum CD4 < 200 sel /mm3 Pada kehamilan atau TB : - Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil dengan CD4 < 350/ mm3 - Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan CD4 < 350/mm3 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat. 3. Stadium 4 terapi ARV di mulai tanpa memandang jumlah CD4 Universitas Sumatera Utara Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 26 1. Stadium 1 terapi ARV tidak di berikan 2. Stadium 2 bila jumlah limfosit total < 1200/mm3 3. Stadium 3 dan 4 terapi ARV di mulai tanpa memandang jumlah limfosit total II.9.2. Regimen dan efek samping. II.9.2.1. Pembagian golongan ARV. 1. Nucleoside reserve tanscriptase inhibitors (NsRTI) Abacavir(ABC), Didanosine (ddl), Lamivudine (3TC), Stavudin (d4T) , Zidovudine(ZDV/AZT) 2. Non nucleoside reserve transcriptase inhibitors (NNRTI) Efavirenz (EFV/EFZ), Nevirapine (NVP). 3. Protease Inhibitors (PI) Indinavir(IDV), Ritonavir(RTV,r), Lopinavir + ritonavir (LPV/r), Universitas Sumatera Utara Nelvinafir (NFV), Saquinavir (SQV). II.9.2.2. Toksisitas ARV lini pertama dan obat pengganti yang di rekomendasikan WHO, 2006. Obat ARV Toksisitas ARV pengganti. ABC Reaksi hipersensitif AZT Anemia berat atau neutropenia TDF atau d4T atau ABC. Intoleransi gastrointestinal berat TDF atau d4T atau ABC Asidosis lactate TDF atau ABC Asidosis lactate TDF Aatau ABC Lipoatropi TDF atau ABC Neuropati perifer AZT atau TDF atau ABC. Toksisitas renal AZT atau TDF atau ABC Toksisitas SSP berat NVP atau TDFatau ABC. EFV Teratognik NVP atau ABC NVP Reaksi hipersensitif. TDF atau ABC. D4T TDF AZT atau TDF atau d4T Universitas Sumatera Utara