Daftar Isi Laporan Penelitian Perbandingan Osmolaritas, Kadar Natrium dan Klorida Plasma setelah Pemberian NaCl–RL (3:1) dengan Ringerfundin pada Pasien Tumor Otak Fardian Martinus, Iwan Fuadi, Tatang Bisri ........................................................................ 1–7 Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Zafrullah Khany Jasa, Fachrul Jamal, Imam Hidayat ................................................................ 8–14 Laporan Kasus Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik dengan Jalan Nafas Sulit Sandhi Cristanto, Siti Chasnak Saleh, Bambang J. Oetoro, Sri Rahardjo.................................... 15–24 Manajemen Anestesi pada Pasien Sindroma Kauda Equina e.c. SOL Ekstrameduler Intradural dengan Kehamilan Ferra Mayasari, Tubagus Yuli R., Iwan Fuadi ........................................................................... 25–31 Penanganan Anestesi pada Operasi Atlas Meningioma Yunita Susanto Putri, Dewi Yulianti Bisri .................................................................................. 32–36 Tinjauan Pustaka Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri ................................................................................................ 37–47 Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf Buyung Hartiyo Laksono, Bambang J. Oetoro, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh.................. 48–57 Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus Kenanga Marwan S, Eri Surahman, Siti Chasnak Saleh ............................................................. 58–68 Perbandingan Osmolaritas, Kadar Natrium dan Klorida Plasma setelah Pemberian NaCl–RL (3:1) dengan Ringerfundin pada Pasien Tumor Otak Fardian Martinus, Iwan Fuadi, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Latar Belakang dan Tujuan : Kristaloid NaCl 0,9% merupakan cairan dasar yang sering digunakan pada perioperatif pasien tumor otak, namun berpotensi menyebabkan asidosis hiperkloremia sehingga dikombinasikan dengan Ringer Laktat. Ringerfundin, kristaloid yang komposisi elektrolitnya hampir “ideal”, namun belum banyak penelitiannya dalam kasus bedah saraf. Tujuan penelitian adalah membandingkan pemberian cairan kombinasi NaCl 0,9%: RL (3:1) dengan cairan Ringerfundin pada pasien tumor otak untuk melihat osmolaritas, natrium dan klorida plasma. Subjek dan Metode: Penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) pada 36 pasien tumor otak yang menjalani kraniotomi, di Rumah Sakit Hasan Sadikin. Sampel dibagi menjadi kelompok NaCl 0,9%:RL (3:1) dan kelompok Ringerfundin. Dilakukan pemeriksaan natrium, klorida plasma dan osmolaritas plasma sebelum dan setelah pemberian cairan sebanyak 1 liter. Data penelitian dianalisis dengan uji t. Hasil: Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna kedua kelompok setelah pemberian cairan dalam perhitungan osmolaritas plasma 291,42 vs 290,21 (p=0,63) dan natrium plasma 141,28 vs 141,06 (p=0,82). Terdapat perbedaan yang bermakna kadar klorida kelompok NaCl 0,9%: RL dibandingkan dengan kelompok ringerfundin 106,33 vs 104,39 (p=0,02). Simpulan: Ringerfundin dapat menjadi cairan alternatif dari NaCl 0,9%: RL dengan tidak menyebabkan perubahan pada osmolaritas, peningkatan kadar natrium dan kadar klorida plasma. Kata Kunci : kraniotomi tumor otak, NaCl 0,9%, osmolaritas, ringerfundin, RL JNI 2014;3 (1): 1‒7 The Comparison of Osmolarity, Plasma Natrium and Chloride Level After Administering NaCI-RL (3:1) and Ringerfundin in Brain Tumor Patients Undergoing Craniotomy Abstract Background and Objective: One of most commonly used crystalloid for perioperative fluid administration in patients with brain tumor is NaCl 0,9%, and because it has potential to cause hyperchloremic acidosis, its administration usually combined with Ringer Lactate. Ringerfundin is a crystalloid solution which contains electrolyte composition that is considered as the most “ideal” solution, but has not been frequently used in neurosurgery procedure. The aim of this study is to compare the plasma osmolarity, sodium and chloride levels in brain tumor patient after the administration NaCl 0,9% combined with: RL solution in 3:1 ratio and after ringerfundin administration. Subject and Method: Thirty six patients underwent craniotomy tumor removal were assigned randomly to receive NaCl 0,9%: RL (3:1) or ringerfundin solutions. Sodium and chloride plasma level and calculated plasma osmolarity were recorded at baseline and after one liter of fluid adminisitration. Data were analyzed with by using t-test analysis. Result: Statistic analysis showed no significant differences between the two groups in calculated plasma osmolarity (291,42 vs 290,21; (p=0,63) and sodium plasma level (141,28 vs 141,06; (p=0,82). A significant increased in chloride plasma level after one liter of fluid administration was observed in NaCl 0,9%: RL group compared to ringerfundin group (106,33 vs 104,39 respectively; (p=0,02). Conclusion: Ringerfundin is safe and can be use as an alternative fluid aside the most commonly used fluid combination using NaCl 0,9% and RL solutions, without causing changes in plasma osmolarity, and sodium or chloride plasma level. Key words: craniotomy tumor removal, NaCl 0,9%, osmolarity, ringerfundin, RL JNI 2014;3 (1): 1‒7 1 2 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Penatalaksanaan cairan intraoperatif pada pasien yang menjalani operasi otak merupakan tantangan khusus bagi ahli anestesi. Pasien operasi otak sering mengalami perubahan yang sangat cepat pada volume intravaskuler yang disebabkan oleh perdarahan, pemberian diuretik kuat, atau kejadian diabetes insipidus. Tekanan tinggi intrakranial akibat edema serebral diketahui sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas yang paling sering pada periode intraoperatif dan pascaoperatif.1,2 Perpindahan cairan melewati sawar darah otak (blood brain barrier/BBB) ditentukan oleh perbedaan osmolaritas total. Bila osmolalitas plasma berkurang, perubahan osmotik akan mendorong air ke jaringan otak. Bahkan, perubahan osmolalitas plasma yang kecil (kurang dari 5%) meningkatkan kandungan air otak dan tekanan intrakranial. Cairan yang mengandung natrium bebas yang lebih kecil dari natrium plasma, ketika diberikan dalam jumlah banyak, akan mengurangi osmolalitas plasma, mendorong air melewati BBB ke dalam jaringan otak, dan meningkatkan kandungan air dalam otak serta tekanan intrakranial. Banyak peneliti yang mengemukakan fakta bahwa Ringer Laktat (RL) yang digunakan sebagai larutan intravena, tidak betul-betul isotonik. Pemberian RL pada pasien bedah saraf dibatasi karena hipoosmoler bila dibandingkan dengan osmolaritas plasma. Oleh karena itu, pasien dengan gangguan otak biasanya mendapatkan cairan yang mengandung NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mOsm/L sebagai cairan dasar dan penggantian puasa. Penting untuk diingat bahwa pemberian NaCl 0,9% dalam jumlah besar dapat menginduksi asidosis metabolik hiperkloremik tergantung dosisnya.3-5 Untuk mengurangi terjadinya hal tersebut di RSUP. Dr. Hasan Sadikin digunakan kombinasi 3 NaCl 0,9%: 1 RL. NaCl 0,9% mempunyai osmolaritas 308 mOsm/l dan RL mempunyai osmolaritas 274 mOsm/l. Penggunaan kombinasi kedua larutan kristaloid tersebut dengan perbandingan tiga banding satu secara perhitungan matematis akan didapatkan osmolaritas 299 mOsm/l, dengan kandungan elektrolit natrium 148 mmol/L dan klorida 142,5 mmol/L. Balanced solution terbaru, ringerfundin mempunyai osmolaritas 304 mOsm/L dengan kandungan natrium 140 mmol/L dan klorida 127 mmol/L, telah diluncurkan di pasaran, menggunakan buffer yang terdiri dari asetat dan maleat, yang merupakan prekursor dari bikarbonat. Keunggulan cairan terbaru ini dibandingkan NaCl 0,9% pada operasi otak belum banyak dibuktikan.6-8 Suatu penelitian yang membandingkan antara pemberian NaCl 0,9% dengan balanced solution (ringerfundin) pada pasien yang menjalani operasi perdarahan subaraknoid menunjukkan pada kelompok NaCl 0,9% yang memiliki osmolaritas 308 dengan kandungan natrium 154 mmol/L dan klorida 154 mmol/L, terdapat lebih banyak pasien yang menderita hiperkloremi, hiperosmolaritas, dan keseimbangan cairan yang positif, sedangkan pada kelompok balanced solution tidak dapat menyebabkan hiponatremia atau hipoosmolaritas. Penelitian lain membandingkan pemberian hydroxyethyl starch (HES) yang berbahan dasar NaCl 0,9% dibandingkan dengan berbahan dasar balanced solution pada pasien anak, sebagai cairan perioperatif operasi mayor menunjukkan bahwa ketidak seimbangan asam basa dan perubahan elektrolit dapat diminimalisir dengan pemberian HES yang berbahan dasar balanced solution dari pada NaCl 0,9%.4,8 II. Subjek dan Metode Penelitian eksperimental dengan melakukan uji klinis rancangan acak lengkap terkontrol, tersamar tunggal (Single blind randomized controlled trial). Dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik. Penelitian dilakukan pada 36 subjek pasien tumor otak yang akan menjalani operasi kraniotomi elektif dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I-II dengan berat badan ideal body mass index (BMI) 20‒25 kg/m2. Kriteria eksklusi dalam pemilihan subjek penelitian adalah pasien dengan riwayat penyakit hipertensi, diabetes, gangguan fungsi ginjal dan ketidak seimbangan elektrolit. Pasien dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi. Sambil dilakukan pemasangan jalur vena, pasien diambil darah untuk diperiksa kadar BUN, glukosa darah dan kadar elektrolit natrium dan 3 Perbandingan Osmolaritas, Kadar Natrium dan Klorida Plasma setelah Pemberian NaCl–RL (3:1) dengan Ringerfundin pada Pasien Tumor Otak klorida, selanjutnya di pasang alat pantau tanda vital. Dilakukan pemberian cairan pada kelompok I mendapatkan cairan NaCl 0,9% sebanyak 750 mL dilanjutkan RL sebanyak 250 ml, sedangkan pada kelompok II mendapatkan ringerfundin sebanyak 1000 mL. Pemberian terbagi atas: pertama pemberian cairan diberikan untuk mengganti puasa sebanyak 10 mL/kgBB selama 30 menit kemudian dilakukan induksi anestesi, lalu dilanjutkan pemberian cairan sisanya selama 30 menit berikutnya. Induksi anestesi dengan menggunakan propofol 2 mg/kg BB, intubasi difasilitasi vecuronium 0,1 mg/kg BB, fentanyl 3 mcg/kg, lidokain 1,5 mg/kgBB. Ventilasi kendali diberikan dengan volume tidal 8 ml/kg dan respirasi 12 x/menit. Pemeliharaan dengan isofluran dengan kombinasi air: O2=2:1 dengan menggunakan fresh gas flow 4 L/menit. Setelah mendapatkan cairan sebanyak total 1 liter, kedua kelompok kembali dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar BUN, glukosa darah dan kadar elektrolit natrium dan klorida setelah pemberian cairan. Setelah pengambilan darah yang kedua, pemberian cairan tetap dilanjutkan untuk kebutuhan dasar pasien untuk kelompok I mendapatkan NaCl 0,9%: RL (3:1) dan kelompok II mendapatkan ringerfundin sampai prosedur anestesi selesai. Data hasil penelitian diuji dengan uji-t berpasangan (paired sample), dengan kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p<0,05. Table 1. Karakteristik Umum Subjek Penelitian Kedua Kelompok Perlakuan III. Hasil Berikut perbandingan karakteristik umum subjek penelitian berdasarkan umur, jenis kelamin, Glasgow Coma Scale awal, berat badan, tinggi badan, BMI pada kedua kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang berarti kedua kelompok relatif homogen tidak berbeda secara bermakna (p>0,05). Berdasarkan pada tabel 2, hasil uji statistik yang menggunakan uji t tidak berpasangan (t non-paired) pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,56) pada hasil pengukuran kadar natrium plasma saat awal sebelum (baseline) pemberian cairan pada kelompok ringerfundin dibandingkan dengan NaCl 0,9%: RL perbandingan 3:1. Variabel Kelompok NaCl-RL (n=18) Ringerfundin (n=18) Rerata (SD) 28,22 (7,42) 29,11 (7,79) Rentang 18 – 40 18 – 40 Laki-laki (%) 8 (45) 7 (39) Perempuan (%) 10 (55) 11 (61) 14 2 (11) 1 (6) 15 16 (89) 17 (94) Rerata (SD) 60,72 (5,94) 60,66 (6,58) Rentang 54 – 76 50 – 70 Nilai p Umur (thn) 0,94 Jenis Kelamin 0,70 GCS awal 0,82 Berat Badan (kg) 0,44 Tinggi Badan (cm) Rerata (SD) 1 6 1 , 3 8 163,67 (7,47) 0,95 (7,42) Rentang 150 – 178 160 – 176 Rerata (SD) 23,6 (1,53) 23,2 (1,40) Rentang 20 – 25 20 – 25 Supratentorial (%) 12 (67) 13 (72) Infratentorial (%) 6 (33) 5 (28) Meningioma (%) 8 (44) 8 (44) Astrositoma (%) 3 (16) 4 (22) Glioma (%) 3 (16) 3 (16) BMI (kg/m2) 0,20 Lokasi tumor otak 0,60 Diagnosis klinis 0,88 Meduloblastoma 4 (22) 3 (16) (%) Keterangan: Nilai p dihitung berdasarkan uji t (umur, GCS awal, berat badan, tinggi badan, dan BMI) dan chi kuadrat (jenis kelamin, lokasi tumor otak dan diagnosis klinis). SD = simpangan baku Hasil uji statistik menggunakan uji t berpasangan (t paired) pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan kadar natrium plasma yang bermakna (p=0,82) pada masing-masing kelompok, baik kelompok ringerfundin maupun kelompok NaCl 0,9%: RL (3:1) setelah pemberian cairan. Perbandingan peningkatan kadar natrium plasma setelah pemberian cairan 4 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 2. Perbandingan Osmolaritas Plasma Kelompok NaCl-RL (3:1) Kelompok Ringerfundin Natrium (mmol) Baseline Setelah pemberian cairan BUN Baseline Setelah pemberian cairan Glukosa Darah Sewaktu Baseline Setelah pemberian cairan Osmolaritas Baseline Setelah pemberian cairan P 139,61 (3,01) 141,28(2,78) 139,22(2,96) 141,06(2,96) 9,67 (3,03) 8,02 (3,33) 8,38 (3,16) 6,08 (2,33) 97,3 (14,6) 108 (16,2) 96 (13,7) 107 (12,8) 288,08 (6,86) 291,42 (5,47) 0,11 286,77 (6,44) 290,21 (6,03) 0,11 P 0,56 0,63 Nilai p dihitung berdasarkan uji t test. Nilai p bermakna bila (p <0,05) pada kelompok ringerfundin dibandingkan dengan NaCl 0,9%: RL (3:1) diuji statistik dengan uji t tidak berpasangan (t non paired) pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kadar natrium yang bermakna (p=0,63) pada kedua kelompok setelah pemberian cairan. Berdasarkan tabel 3, hasil uji statistik yang menggunakan uji t tidak berpasangan (t nonpaired) pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,69) pada hasil pengukuran pada masing-masing kelompok, baik kelompok ringerfundin maupun kelompok NaCl 0,9%: RL (3:1) setelah pemberian cairan. Perbandingan peningkatan kadar natrium plasma setelah pemberian cairan pada kelompok ringerfundin dibandingkan dengan NaCl 0,9%: RL (3:1) di uji statistik dengan uji t tidak berpasangan (t non-paired) pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kadar natrium yang bermakna (p=0,81) pada kedua kelompok setelah pemberian cairan. Tabel 3. Perbandingan Kadar Natrium Kadar Natrium Baseline Setelah pemberian cairan P Kelompok NaCl-RL (3:1) 139,61 (3,01) 141,28 (2,78) 0,07 Kelompok Ringerfundin 139,22 (2,96) 141,06 (2,96) 0,094 P 0,69 0,81 Nilai p dihitung berdasarkan uji t test. Nilai p bermakna bila (p <0,05). kadar natrium plasma saat awal sebelum (baseline) pemberian cairan pada kelompok Ringerfundin dibandingkan dengan NaCl 0,9%: RL perbandingan 3:1. Hasil uji statistik menggunakan uji t berpasangan (t paired) pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan kadar natrium plasma yang bermakna (p=0,8) Berdasarkan tabel 4, hasil uji statistik menggunakan t tidak berpasangan (t non-paired) pada tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,45) pada hasil pengukuran kadar klorida plasma saat awal sebelum (baseline) pemberian cairan pada kelompok ringerfundin dibandingkan dengan NaCl 0,9%: RL perbandingan 3:1. Perbandingan Osmolaritas, Kadar Natrium dan Klorida Plasma setelah Pemberian NaCl–RL (3:1) dengan Ringerfundin pada Pasien Tumor Otak 5 Tabel 4. Perbandingan Kadar Klorida Kadar Klorida Kelompok NaCl-RL (3:1) Baseline 103,33 Setelah pemberian cairan 106,33 P 0,01 Kelompok Ringerfundin P 104,06 104,39 0,72 0,45 0,02 Nilai p dihitung berdasarkan uji t test. Nilai p bermakna bila (p <0,05) Uji statistik menggunakan uji t berpasangan (t paired) pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak terdapat peningkatan kadar klorida plasma yang bermakna (p=0,72) pada kelompok ringerfundin setelah pemberian cairan dibandingkan saat awal. Namun pada kelompok NaCl 0,9%: RL (3:1) terdapat peningkatan kadar klorida plasma yang bermakna (p=0,01) setelah pemberian cairan dibandingkan saat awal. Perbandingan peningkatan kadar klorida plasma setelah pemberian cairan pada kelompok ringerfundin dibandingkan dengan NaCl 0,9%: RL (3:1) dan diuji statistik dengan uji-t tidak berpasangan (t non-paired) pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar klorida yang bermakna (p=0,01) pada kelompok NaCl 0,9%: RL (3:1) dibandingkan dengan kelompok ringerfundin setelah pemberian cairan. IV. Pembahasan Dari nilai rerata dan simpangan baku karakteristik umum subjek penelitian, pada tiap kelompok (tabel 1), terlihat bahwa umur, jenis kelamin, GCS awal, berat badan, tinggi badan, dan Body Mass Index (BMI) pada kedua kelompok perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna, sehingga pasien relatif homogen dan layak dibandingkan. Plasma osmolaritas dipengaruhi paling besar oleh natrium dan anion penyertanya, glukosa dan urea, menyebabkan osmolaritas dihitung perkiraannya dengan rumus penambahan sederhana dari konsentrasi molar tiap komponennya yaitu: Posm = 2Na + glukosa + urea Dimana konsentrasi natrium, glukosa dan urea dinyatakan dalam mmol/L, dengan demikian natrium merupakan penentu terbesar osmolaritas plasma mengingat besarnya pengaruh nilainya dalam perhitungan rumus diatas.1,9 Kadar glukosa darah merupakan salah satu penentu nilai osmolaritas terhitung walaupun pengaruhnya tidak sebesar kadar natrium plasma. Nilai yang didapat dari hasil pemeriksaan laboratorium dalam gram/dL, nilai ini harus dikonversi menjadi mmol/L. Urea merupakan salah satu komponen penentu osmolaritas plasma, meskipun urea dimasukkan dalam perhitungan osmolaritas, namun dapat melewati membran sel dan tidak mempengaruhi volume kompartemen. Sama halnya seperti pada glukosa, nilai yang didapat dari hasil pemeriksaan laboratorium dalam mg/dL, sehingga untuk mendapatkan nilai dalam mmol/L harus dibagi bilangan 2,8.10,11 Rumus akhir yang dipergunakan untuk perhitungan osmolaritas adalah: Posm = 2Na + Glukosa/18 + BUN/2,8 Dari hasil penelitian didapatkan hanya sedikit peningkatan nilai natrium setelah pemberian cairan terhadap nilai natrium awal pada kedua kelompok, dimana perbandingan peningkatan natrium tersebut tidak berbeda secara bermakna. Demikian pula pada peningkatan kadar glukosa kedua kelompok, hanya terdapat sedikit peningkatan dan pada kedua kelompok perbedaan peningkatan tersebut tidak bermakna. Sedangkan pada nilai BUN terjadi sedikit penurunan nilai BUN yang tidak bermakna bila dibandingkan dengan nilai awal maupun dibandingkan kedua kelompok. Berdasarkan rumus osmolaritas di atas, hasil osmolaritas plasma kedua kelompok setelah pemberian cairan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (p=0,11), walaupun nilai osmolaritas pada kedua kelompok didapatkan sedikit peningkatan dibandingkan nilai perhitungan awal (RF sebelum 286,77, setelah 290, 21 dan NaCl: RL sebelum 288,08, setelah 291,42). Pada hasil penelitian dalam kadar natrium tidak didapatkan perbedaan bermakna setelah pemberian 6 Jurnal Neuroanestesi Indonesia cairan sebanyak 1 liter pada kelompok ringerfundin maupun kelompok NaCl 0,9%: RL (3:1) dimana rerata natrium masing-masing kelompok setelah penelitian adalah 141,28 dan 141,06. Alasan mengapa hal itu dapat terjadi adalah adanya mekanisme yang menjaga keseimbangan natrium di dalam tubuh, sehingga apabila tidak dalam kondisi ekstrim misalnya pemberian cairan dalam jumlah banyak, gangguan pada otak atau pemberian natrium dalam konsentrasi tinggi (hipertonic saline), tubuh akan cenderung menjaga keseimbangan natrium dalam nilai normal. Mekanisme yang digunakan tubuh dalam menjaga nilai natrium tetap normal adalah natriuresis dengan pengaturan kadar ADH.12, 13 Penelitian acak buta ganda tentang efek pemberian cairan NaCl 0,9% dan ringerfundin terhadap elektrolit dan keseimbangan cairan pada pasien perdarahan subaraknoid menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna pada peningkatan kadar natrium pada kedua kelompok tersebut. Walaupun kadar natrium agak lebih tinggi pada kelompok NaCl daripada ringerfundin hal ini disebabkan konsentrasl NaCl 0,9% murni 154 mmol daripada ringerfundin 140 mmol. Perbedaan 14 mmol ini menyebabkan perbedaan peningkatan natrium plasma walaupun secara statistik perbandingan peningkatan natrium kedua kelompok tersebut dinilai tidak bermakna.4 Pada penelitian lain yang membandingkan pemberian HES yang berbahan dasar NaCl 0,9% dengan yang berbahan dasar cairan balans pada pasien anak perioperatif menunjukkan bahwa pada kadar natrium pada masingmasing kelompok tidak terjadi peningkatan. Bahkan kadar natrium pada kelompok NaCl 0,9% setelah pemberian cairan lebih rendah daripada nilai awal. Hal ini menunjukkan bahwa respon tubuh terhadap pemberian NaCl 0,9% sesuai dengan pembahasan di atas.8 Pada penelitian ini didapatkan peningkatan klorida yang bermakna pada kelompok NaCl 0,9%: RL (3:1) daripada kelompok ringerfundin setelah pemberian cairan sebanyak 1 liter (p=0,02). Peningkatan kadar klorida pada kelompok NaCl 0,9%: RL dari nilai awal 103,33 menjadi 106,33, diuji secara statistik sangat bermakna (p=0,01), sedangkan peningkatan kadar klorida pada kelompok ringerfundin dari nilai awal 104,06 menjadi 104,39 dinilai tidak bermakna secara statistik (p=0,72). Pada penggunaan kombinasi 3 NaCl 0,9%: 1 RL. secara perhitungan matematis akan didapatkan osmolaritas 299 mOsm/L, dengan kandungan elektrolit natrium 148 mmol/L dan klorida 142,5 mmol/L. Oleh karena konsentrasi klorida gabungan kedua cairan tersebut masih lebih tinggi dari konsentrasi klorida plasma (rentang normal 95‒105 mmol/L). Pada penelitian lain mengenai kombinasi pemakaian normal salin dan RL dalam volume besar untuk cairan intravena selama operasi tulang belakang menunjukkan bahwa kombinasi normal salin dan RL masih berpotensi menimbulkan terjadinya asidosis hiperkloremi.11,14 Keuntungan dari ringerfundin adalah sedikit hiperosmoler sehingga dapat mengurangi edema otak dan TIK serta tidak menimbulkan hiperkloremik asidosis seperti halnya NaCl 0,9%. Pada penelitian mengenai pemberian cairan NaCl 0,9% dengan ringerfundin menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan NaCl 0,9% akan menunjukkan kejadian hiperkloremik dengan dibandingkan pada ringerfundin.2,6 Peningkatan klorida dianggap cukup penting menurut teori Stewart dalam menyebabkan asidosis. Penentu konsentrasi hidrogen utama dalam tubuh adalah strong ions difference (SID) dan hiperkloremia yang bermakna dapat menurunkan SID sehingga menyebabkan asidosis metabolik. Menurut Stewart, SID dihitung dengan persamaan: SID = [Na+] + [K+] + [Ca2+] + [Mg2+] – [Cl–] – [UA–] Natrium dan klorida merupakan kation dan anion yang berperan penting dalam persamaan tersebut. Oleh karena itu, persamaan tersebut (tanpa mengabaikan kation dan anion yang mempunyai peranan penting lainnya) disederhanakan oleh Fencl menjadi: SID = [Na+] + [K+] – [Cl–] Berdasarkan rumus tersebut maka klorida merupakan anion yang memegang peranan penting, sehingga pada peningkatan klorida dapat menyebabkan penurunan SID sehingga dapat menyebabkan asidosis.15-17 Perbandingan Osmolaritas, Kadar Natrium dan Klorida Plasma setelah Pemberian NaCl–RL (3:1) dengan Ringerfundin pada Pasien Tumor Otak V. Simpulan Pemberian cairan NaCl 0,9%: RL dengan perbandingan 3:1 pada pasien tumor otak menunjukkan perhitungan osmolaritas yang hanya sedikit berbeda, kadar natrium yang hampir sama dibandingkan dengan kelompok pasien yang mendapatkan cairan ringerfundin intraoperatif. Namun terdapat peningkatan kadar klorida yang cukup bermakna pada kelompok NaCl-RL dibandingkan dengan kelompok ringerfundin. Daftar Pustaka 1. Rusa R, Zornow MH. Fluid management during craniotomy. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2011:147-60. 7 8. Sumpelmann R, Witt L, Brutt M, Osterkorn D, Koppert W, Osthaus WA. Changes in acid-base, electrolyte and hemoglobin concentration during infusion of hydroxyethylstarch 130/0.42/6 : 1 in normal saline or in balanced electrolyte solution in children. Pediatric Anesthesia 2010; 20:100-4. 9. Verbalia JG. How does the brain sense osmolality? JAm Soc Nephrol 2007;18:3056-9. 10. Prough DS, Svensen CH. Perioperative fluid management. IARS: Review Course Lecture, 2006:84-96. 11. Guidet B, Soni N, Rocca GD, Kozek S, Vallet B, Annene D, dkk. A balanced view of balanced solution. Critical Care 2010;14:1-12. 2. Bisri T. Resusitasi cairan pada cedera otak. Dalam: Bisri T, editor. Penanganan Neuroanesthesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2012:209-28. 12. Bourque CW, Ciura S, Trudel E, Stachniak TJE, Naeni RS. Neurophysiological characterization of mammalian osmosensitive neurones. Exp Physiol 2007;92.3:499-505. 3. Tommasino C. Fluid management. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, editor. Handbook of Neuroanesthesia, edisi 4, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007:379-95. 13. Penney MD. Sodium, water and potassium. Dalam: Marshal WJ, Bangert SK. Editor. Clinical biochemistry: metabolic and clinical aspects, edisi 2. Philadelphia: ChurchillLivingstone Elsevier; 2008:28-66. 4. Lehman L, Bendel S, Uehlinger DE, Takala J, Schafer M, Reinert M, dkk. Randomized, double-blind trial of the effect of fluid composition on electrolyte, acid base, and fluid hemostasis in patients early after subarachnoid hemorrhage. Neurocrit Care. 2012;46(4):673-8. 5. Muller L, Lefrant JY. Metabolic effect of plasma expanders. TATM 2010;11(suppl.3):10-21. 6. Zander L. Fluid management, edisi 2. Mainz: Bibliomed; 2009, 9-40. 7. Zadak Z, Hyspler R, Hronek M, Ticha A. The energetic and metabolic effect of ringerfundin (B.Braun) infusion and comparison with plasma-lyte (Baxter) in healthy volunteers. Acta Medica 2010;53(3):131-7. 14. Eti Z, Takil A, Umuroglu T, Irmak P, Gogus FY. The combination of normal saline and lactated ringers solution for large intravascular volume infusion. Marmara Medical Journal 2004;17(1):22-7. 15. Story DA. Hyperchloremic acidosis: another misnomer? Clinical Care and Resuscitation 2004;6:188-92. 16. Constable PD. Hiperchloremic acidosis: the classic example of strong ion acidosis. Anaesth Analg 2003;96:919-22. 17. Schuck O, Matousovic K. Relation between pH and the strong ion difference (SID) in body fluid. Biomed papers 2005;149(1):69-73.27 Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Zafrullah Khany Jasa*), Fachrul Jamal*), Imam Hidayat**) *)Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif ,**)Bagian Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas SyiahkualaRSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Kraniotomi evakuasi hematoma dan kraniektomi dekompresi merupakan suatu tindakan definitif terhadap pasien cedera kepala berat. Perlu dilakukan suatu evaluasi untuk mengetahui luaran tindakan pembedahan sebagai informasi dalam memperbaiki dan mengurangi morbiditas dan mortalitas baik di bidang anestesi maupun bedah saraf. Subjek dan Metode: Penelitian deskriptif ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin terhadap 83 pasien pasien cedera kepala berat yang dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi yang kemudian di rawat di ICU selama tahun 2012. Pasien dilakukan operasi dalam 24 jam setelah masuk rumah sakit dan kemudian dirawat di ICU. Dilakukan pencatatan umur, jenis kelamin dan luaran setelah operasi yaitu perbaikan fungsi motorik dan angka kematian selama rawatan 5 hari di ICU. Hasil: Pasien yang masuk dalam penelitian dengan jumlah 56 (67%) laki-laki dan 27 (33%) perempuan dengan usia sebagian besar 15-20 tahun 27% usia lebih dari 40 tahun 35%. Terdapat perbaikan fungsi motorik dalam skala penilaian GCS pada pasien setelah operasi terutama pada skala motorik 1 sampai 3 menjadi skala 2 sampai 5 setelah operasi. Angka kematian dalam 5 hari rawatan mencapai 57% (48 pasien) dan pasien yang hidup setelah 5 hari pasca operasi 43% (35 pasien). Sebagian besar kematian terjadi pada perawatan hari ke 2 (25%) dan hari ke 3 (35%). Simpulan: Tindakan operasi kraniotomi untuk evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi pada pasien cedera kepala berat dapat memperbaiki fungsi motorik dan angka kematian 57% setelah 5 hari rawatan awal di ICU. Kata kunci: cedera kepala berat, kranitomi, kraniektomi, luaran JNI 2014;3 (1): 8‒14 Postoperative Outcome of Patients with Severe Traumatic Brain Injury Undergoing Craniotomy to Evacuate Hematoma or Decompressive Craniectomy at Dr. Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh Abstract Backgroud and Objective: Craniotomy to evacuate hematoma and decompressive craniectomy is definitive treatment for severe head injury patients. We need to evaluate the outcome after surgery as the basis information for improve management and to reduce mortality and morbidity rate in neuroanesthesia or neurosurgery as well. Subject and Method: This descriptive research was conducted in Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh on 83 severe head injury patients undergoing craniotomy to evacuate hematoma or decompressive craniectomy continued with postoperative care in the intensive care unit in 2012. Age, sex, and outcome motoric function on GCS scale and morbidity were recorded during 5 day care in the ICU. Results: Eighty three severe head injury patients at Zainoel Abidin Hospital Banda Aceh underwent craniotomy to evacuate hematoma or decompressive craniectomy continued with postoperative care in the ICU in 2012 were included with 56 (67%) male and 27(33%) female, aged 15‒20 y.o (27%) and >40 y.o (35%). Motoric function was improved from 1‒3 to 2‒5 according to GCS scale after the surgery. There were 48 (57%) patients died and 35 (43%) patients survived after undergoing surgery and 5 day tratment in the ICU. Most of death happened on day 2 (25%) and day 3 (35%). Conclusion: Craniotomy to evacute hematoma or decompressive craniectomy may improve the motoric function with mortality rate 57% during initial 5 day in ICU. Key words: severe head injury, craniotomy, craniectomy, outcome JNI 2014;3 (1): 8‒14 8 Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh I. Pendahuluan Cedera otak traumatik merupakan penyebab utama kematian di seluruh dunia pada usia antara 5 sampai 35 tahun.1 Angka kematian lebih tinggi pada negara sedang berkembang dan golongan ekonomi menengah. Angka kematian akibat cedera kepala diramalkan akan menjadi penyebab kematian ketiga terbesar dari seluruh kematian di dunia pada tahun 2010.2 Cedera otak traumatik dapat diklasifikasikan berdasarkan beratnya trauma yang terjadi, pada tingkat kesadaran segera setelah cedera otak, ataupun berdasarkan kerusakan struktur dari jaringan otak yang dijumpai pada pemeriksaaan CT-Scan. Penggolongan yang dipakai pada sebagian besar pusat pelayanan kesehatan adalah berdasarkan tingkat kesadaran setelah cedera otak, dengan skor glasgow coma scale (GCS), dibagi menjadi cedera otak ringan bila GCS 14–15, cedera otak sedang bila GCS 9–13 dan cedera otak berat bila GCS ≤8. Penggolongan ini selain untuk menentukan penatalaksanaan yang akan dilakukan, juga berguna dalam menentukan prognosis. Makin berat cedera otak traumatik yang terjadi maka makin buruk prognosisnya.3-4 Angka kematian pasien cedera otak berat adalah 39 sampai 51%.6 di Asia, dimana sebagian besar merupakan negara sedang berkembang dengan populasi dan transportasi yang meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir angka kejadian cedera otak traumatik cenderung lebih tinggi.7 Pasien cedera otak berat mempunyai resiko timbulnya peningkatan tekanan intrakranial sehingga perlu dilakukan usaha segera untuk menurunkannya.8 Pembedahan merupakan tindakan terhadap cedera otak primer dan struktur disekitarnya yang mengalami perubahan atau gangguan, sedangkan pencegahan terhadap cedera otak sekunder dilakukan dengan pemberian terapi obat-obatan dan perawatan di ruang intensif.9-10 Tindakan kraniektomi dekompresi yang dilakukan segera setelah cedera kepala berat masih memberikan hasil yang berbeda-beda. Luaran operasi kraniektomi dekompresi terutama ditentukan oleh skor GCS awal pasien dan cepatnya tindakan dilakukan. Namun luaran tersebut tidak hanya ditentukan oleh tindakan operasi yang dilakukan, tetapi 9 juga terhadap pencegahan dan penatalaksanaan berbagai hal yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder seperti hipoksia, hipotensi, hipertermia dan hiperglikemia. Berbagai penelitian dapat menunjukkan bahwa tindakan kraniektomi dekompresi dapat mengurangi lama tinggal di ruang terapi intensif (intensive care unit/ICU), tetapi pada berberapa penelitian lainnya masih merupakan kontroversi.11-13 Untuk itu penulis perlu melakukan suatu penelitian terhadap luaran pasien cedera kepala traumatik berat di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin terhadap hasil tindakan operasi yang dilakukan selama ini, untuk mendapatkan gambaran sebagai bahan evaluasi dan sumber informasi yang berguna baik dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. II. Subjek dan Metode Penelitian ini dilakukan pada pasien cedera kepala berat oleh karena trauma yang dilakukan operasi kraniotomi evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh selama tahun 2012. Pasien diklasifikasikan sebagai cedera kepala berat dengan GCS ≤ 8, berusia 14 tahun keatas, terjadi perdarahan subdural atau intraserebral serta diffuse axonal injury (DAI) disertai edema serebral. Pasien dengan epidural tidak termasuk dalam pasien penelitian karena perbaikan GCS yang bermakna dan perbaikan fungsi motorik yang segera meningkat pascaoperasi. Pasien dilakukan operasi kraniotomi evakuasi hematomaa atau kraniektomi dekompresi dalam 24 jam setelah tiba di rumah sakit dan setelah operasi kemudian pasien di rawat di ICU. Dilakukan evaluasi terhadap perbaikan fungsi motorik dalam 5 hari perawatan, serta angka kematian pada penderita. Pasien yang meninggal sebelum 24 jam pascaoperasi tetap dimasukkan dalam penelitian ini namun pasien cedera kepala berat dengan perdarahan epidural tidak menjadi bagian dalam penelitian ini. Data hasil penelitian kemudian dikumpulkan secara kumulatif selama periode penelitian, dikelompokkan dalam karakteristik umur, kelamin dan indikasi operasi, serta penilaian luaran dalam yaitu perbaikan fungsi motorik dan angka kematian dalam 5 hari 10 Jurnal Neuroanestesi Indonesia rawatan pertama di ICU. Fungsi motorik dinilai berdasarkan pengukuran motorik pada skala GCS dan dinilai berdasarkan nilai maksimal selama 5 hari rawatan di ICU. Data kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan persentase. pascaoperasi di ICU dan hasil pengamatan ditunjukkan pada table 2 dibawah ini. Penilaian motorik 1 sampai 3 pada skala GCS pada 75 pasien (90%) meningkat menjadi 2 sampai 5 pada 70 pasien (85%) setelah operasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan fungsi motorik pada skala GCS pada subjek penelitian secara umum setelah dilakukan operasi. Pasien yang tidak mengalami peningkatan fungsi motorik sebagian besar meninggal selama perawatan seperti yang ditunjukkan pada tabel 3. Pada beberapa pasien, fungsi motorik yang meningkat kemudian turun kembali karena perburukan oleh berbagai komplikasi selama perawatan terutama pneumonia karena ventilator, dan adanya penyakit penyerta pada pasien yang sudah ada sebelumnya atau timbul kemudian yaitu diabetes mellitus atau diabetes insipidus, gagal ginjal akut, dan hipertensi. Sebagian besar pasien ini kemudian meninggal dalam 5 hari perawatan di ICU. Angka kematian pada penderita setelah operasi adalah 48 orang (57%) dari seluruh pasien penelitian selama 5 hari rawatan di ICU. Kematian berdasarkan lamanya dirawat di ICU ditunjukkan pada Tabel 3. Angka kematian penderita berdasarkan hari rawatan sebagian besar terjadi pada hari ke 1 sampai hari ke 3 perawatan. Umumnya pasien III. Hasil Selama tahun 2012 terdapat 83 pasien cedera kepala berat di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin yang dilakukan kraniotomi evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi dan kemudian dirawat di ICU. Karakteristik subjek penelitian ditunjukkan pada Tabel 1 dibawah. Dari tabel 1 dibawah tampak bahwa lebih dari duapertiga pasien penelitian adalah laki-laki (67%). Berdasarkan kelompok umur maka pasien penelitian yang paling banyak adalah berusia diatas 40 tahun yaitu 29 orang (35%) dan pada usia 15‒20 tahun yaitu 22 orang (27%). Tindakan operasi kraniotomi evakuasi hematoma dilakukan terutama untuk mengevakuasi perdarahan intraserebral 59%, dan perdarahan subdural 19%. Kraniektomi dekompresi yang dilakukan untuk mengurangi tekanan intrakranial adalah 22% dari seluruh kasus dalam penelitian ini. Pemeriksaan terhadap perbaikan fungsi motorik dilakukan tiap hari selama 5 hari perawatan Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Kelamin: -Laki-laki -Perempuan Umur : - 15-20 tahun - 21-25 tahun - 26-30 tahun - 31-35 tahun - 36-40 tahun - Lebih dari 40 tahun Indikasi Operasi - Perdarahan Subdural - Perdarahan Intraserebral -DAI Jumlah (N) Persentase (%) 56 27 67 33 22 5 9 7 11 29 27 6 11 8 13 35 16 49 18 19 59 22 Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tabel 2. Perbaikan Fungsi Motorik setelah Operasi Penilaian Fungsi Motorik Motorik sebelum operasi 1 2 3 4 5 6 Motorik setelah operasi 1 2 3 4 5 6 Jumlah (N) Persentase (%) 23 35 17 6 2 0 28 42 20 7 2 0 12 33 20 9 8 1 14 40 24 11 10 1 meninggal disebabkan sepsis karena pneumonia, dan menderita diabetes mellitus atau diabetes insipidus. Angka kehidupan setelah operasi 5 hari kemudian adalah 35 pasien (43%). Pasien yang tetap hidup setelah hari perawatan di ICU sebagian besar kemudian dipindahkan ke ruang perawatan High Care Unit atau Ruang Rawat Bedah setelah diekstubasi atau dilakukan trakheostomi. Angka kematian setelah pasien dipindahkan dari ICU tidak dilakukan pencatatan pada penelitian ini. Tabel 3. Kematian Penderita setelah Operasi Kraniektomi Dekompresi Angka kematian Setelah : = 1 hari atau lebih cepat = 2 hari = 3 hari = 4 hari = 5 hari Jumlah (N) Persentase (%) 7 12 17 5 7 15 25 35 10 15 IV. Pembahasan Selama tahun 2012 terdapat 83 kasus pasien cedera kepala berat yang dilakukan operasi 11 yang menjadi subjek penelitian. Angka ini tidak menunjukkan jumlah pasien cedera kepala berat secara keseluruhan di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh selama tahun 2012 karena pasien cedera kepala berat dengan perdarahan epidural yang dilakukan tindakan operasi tidak dimasukkan dalam penelitian oleh karena perbaikan GCS dan motorik yang meningkat pascaoperasi. Kasus pada lakilaki 56 pasien (67%) lebih banyak daripada wanita yaitu 27 pasien (33%). Namun secara epidemiologi angka kasus cedera kepala berat berdasarkan jenis kelamin pada pasien penelitian secara umum tidak jauh berbeda dengan epidemiologi kasus cedera kepala terhadap jenis kelamin pada berbagai penelitian di dunia. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa insiden cedera kepala berat lebih banyak pada lakilaki dibandingkan perempuan. Suatu penelitian di Swiss menunjukkan angkan cedera kepala berat 60% pada laki-laki dibandingkan wanita 40%.14 Penelitian di Singapura menunjukkan angka cedera kepala berat pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan adalah 7 berbanding 1.15 Kasus cedera kepala berat pada penelitian sebagian besar pada usia 15–20 tahun yaitu 22 pasien (27%) dan usia 40 tahun keatas 29 pasien (35%). Banyak studi epidemiologi menunjukkan bahwa kasus cedera kepala berat lebih banyak diderita pada usia lanjut dan anak-anak. Hal ini dikuti dengan mortalitas pasien cedera kepala berat yang lebih tinggi pada anak-anak dan usia lanjut.2,7 Sebagian besar tindakan pembedahan terhadap cedera kepala traumatik dilakukan untuk mengevakuasi hematoma intraserebral pada 49 pasien (59%) dan hematoma subdural 16 pasien (19%). Sebagian besar kerusakan primer setelah mendapat trauma kepala adalah perdarahan intrakranial. Perbedaan timbulnya hematoma intrakranial sangat ditentukan kecepatan dan ketepatan pemeriksaan radiologis CT-Scan kepala yang dilakukan setelah cedera kepala. Tindakan operasi untuk mengurangi tekanan intrakranial oleh edema otak tanpa disertai adanya hematoma intrakranial masih menjadi kontroversi.13 Perbaikan fungsi motorik skor GCS pada penelitian menunjukkan peningkatan dari skala 1–3 pada 90% kasus meningkat menjadi 12 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 2–5 pada 85% kasus. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan operasi yang dilakukan dapat meningkatkan fungsi neurologis pascaoperasi, meskipun luaran jangka panjang ditentukan oleh berbagai faktor lain. Tindakan dan terapi awal prahospital dan preoperatif pada pasien cedera kepala berat untuk mencegah timbulnya cedera otak sekunder berperan penting dalam menurunkan mortalitas dan mortalitas pasien cedera kepala. Cedera otak akibat trauma ataupun stroke yang dapat menyebabkan iskemia otak, sangat dipengaruhi oleh beratnya trauma pada sel-sel otak atau cedera otak sekunder yang timbul sebagai komplikasi dari cedera otak primer. Keadaan yang terjadi setelah fase trauma primer yaitu hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperpireksia, hipokapnia dan hiperglikemia dapat menimbulkan cedera sekunder dan memperburuk luaran cedera otak. Kerusakan neurologis dan vaskular dapat menjadi pemicu timbulnya edema otak dan iskemia otak yang pada akhirnya dapat menjadi vegetative state atau kematian.14-16 Angka kematian pasien penelitian setelah operasi adalah 48 pasien (57%) dengan 36 pasien (75%) meninggal pada 3 hari pertama dirawat di ruang ICU. Angka kematian pasien cedera kepala berat pada penelitian diberbagai rumah sakit di dunia sangat bervariasi. Hal ini ditentukan oleh standar terapi yang dilakukan, kondisi klinis awal pada kasus serta pantauan yang dilakukan selama perawatan di ICU. Angka kematian setelah kraniotomi dekompresi pada suatu penelitian di Mesir terhadap pasien cedera kepala dengan GCS 5–11 tahun 2006 adalah 45% dari seluruh pasien. Usia dan kondisi klinis awal merupakan faktor utama yang mempengaruhi luaran pada penelitian ini. Operasi kraniektomi dekompresi dapat meningkatkan angka kehidupan dan perbaikan fungsi neurologis yang lebih baik pada pasien setelah 9 bulan kemudian. Penelitian lainnya di India menunjukkan angka kehidupan 8 pasien (67%) dari 12 pasien cedera kepala yang dilakukan operasi kraniotomi dekompresi selama periode waktu tertentu.17-18 Tindakan kraniektomi dekompresi dapat menurunkan tekanan intrakranial menjadi 20 mmHg pada 80% pasien yang dioperasi. Namun penelitian lainnya mendapatkan bahwa operasi kraniektomi dekompresi untuk menurunkan tekanan intrakranial memberikan luaran yang lebih buruk dibandingkan dengan standar terapi yang dilakukan. Angka kematian pasien yang dilakukan kraniektomi dekompresi adalah 70% dibandingkan 51% pada kontrol dengan terapi standar. Hal ini memberikan suatu pertimbangan hati-hati pada setiap tindakan pembedahan kraniektomi untuk tujuan menurunkan tekanan intrakranial. Sebaiknya operasi pada pasien ini hanya dilakukan setelah terapi standar tidak berhasil menurunkan tekanan intrakranial.13 Tindakan kraniotomi dekompresi telah terbukti pada berbagai penelitian memberikan hasil yang lebih baik dalam mempertahankan kehidupan dan mempersingkat waktu tinggal di ICU. Namun penatalaksanaan di ICU melalui berbagai pantauan, tindakan dan terapi yang diberikan yang lebih spesifik terhadap sistem saraf pusat dan neuromuskular membuat angka kehidupan dan kembalinya fungsi neurologis (morbiditas) dapat menjadi lebih baik. Penatalaksanaan cedera kepala sebaiknya sudah diberikan sejak pertama kali ditempat kejadian. Hal ini sangat menentukan dalam mendapatkan kondisi klinis yang lebih baik sebelum tindakan definitif pembedahan dilakukan kemudian di rumah sakit. Untuk itu dokter umum dan paramedis punya peran penting dalam melakukan penatalaksanaan prahospital dan preoperatif terhadap pasien cedera kepala traumatik.19 Luaran jangka panjang dari pasien cedera kepala berat sangat bervariasi tergantung dari berbagai faktor. Suatu penelitian terhadap luaran 2 sampai 5 tahun kemudian pada pasien cedera kepala berat angka kehidupan yang baik secara fisik dan fungsional, tetapi fungsi kognitif dan emosional yang buruk. Rehabilitasi medis merupakan faktor paling penting dalam memperbaiki luaran jangka panjang terutama dalam memperbaiki fungsi motorik dan kualitas hidup penderita.19-20 V. Simpulan Angka kematian pada pasien cedera kepala traumatik berat di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh selama tahun 2012 yang dilakukan operasi kraniotomi evakuasi hematoma atau kraniektomi dekompresi pada 5 hari pertama perawatan pascaoperasi di ICU adalah 57%. Luaran Pasien Cedera Kepala Berat yang Dilakukan Operasi Kraniotomi Evakuasi Hematoma atau Kraniektomi Dekompresi di RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Luaran kematian pasien cedera kepala berat, tidak hanya ditentukan oleh cepatnya tindakan operasi dilakukan, tetapi juga terdapat peran penting dalam terapi dan tindakan yang dilakukan prahospital dan preoperatif. Tindakan prahospital dan preoperatif serta pembedahan segera sangat mempengaruhi luaran jangka panjang terhadap kualitas hidup pasien cedera kepala berat. Daftar Pustaka 1. Perel PA. Predicting outcome after traumatic brain injury: practical prognostic models based on large cohort of international patients. BMJ Online. 2013:1–10 2. Murray CJL, Lopez AD. Global mortality, disability, and the contribution of risk factors: global burden of disease study. The Lancet. 1997; 349:1436–41. 3. Eynon CA. What is the best outcome from severe head injury? JICS. 2008; 9(3):1–2 4. Bruns J, Hauser WA. The epidemiology of traumatic brain injury: a review. Epilepsia 2003; 44(10): 2–10. 5. Lopez A. The global burden of disease, 19902020. Nature Medicine 1998; 4(11):1241–43. 6. Puvanachandra P, Hyder AA. The burden of traumatic brain injury in Asia: a call for research. Pak J of Neurol Sci. 2009; 4(1):27–32. 7. Murthy TVSP, Bhatia P, Sandhu K, Prabhakar T, Gogna RL. Secondary brain injury: prevention and intensive care management. IJNT. 2005; 2 (1):7–12 8. Ahmed S, Khan S, Agrawal D, Sharman BS. Out come in head injured patients: experience at a level 1 trauma centre. IJNT. 2009; 6(2): 119–22. 9. Vicente EG, Rey VG, Manikon M, Ashworth S, Wilson MH. Does early decompressive craniectomy improve outcome? Experience from an active UK recruiter centre. Case 13 Reports in Critical Care; 2013: 1-3. 10. Lotfy M, Said AE, Sakr S. Decompressive craniectomy after traumatic brain injury: postoperative clinical outcome. EJNPN; 2010; 47(2): 255-9. 11. Aarabi B, Hesdorffer DC, Ahn ES, Aresco C, Scalea TM, Eisenberg HM. Outcome following decompressive craniectomy for malignant swelling due to severe head injury. J Neurosurg. 2006; 104: 469–79 12. Honeybul S. Decompressive craniectomy for severe traumatic brain injury: a review of its current status. J Neurol Neurophysiol 2012, S 9:1–9 13. Kapadia FN, Masurkar VA, Sankhe MS, Gursahani RD. An audit of decompressive craniectomies. Indian J Crit Care Med 2006;10(1):21–4 14. Cynthia L. Felix H, Gale G. Whiteneck, Amitabh, DeVivo MJ. Mortality over four decades after traumatic brain injury rehabilitation: a retrospective cohort study. Arch Phys Med Rehabil. 2009;90:1506–12. 15. Bulger EM, Nathens AB, Rivana FP, Moore M, MacKenzie EJ, Jurkovich GJ. Management of severe head injury: institutional variations in care and effect on outcome. Critical Care Medicine 2002; 30(8):1870–5. 16. Elma E, Osterwalderb JJ, Grabera C, Schoettkerc P, Stockerd R, Zanggere P. Severe traumatic brain injury in Switzerland– feasibility and first results of a cohort study. Swiss Med wkly. 2008; 138(23-24): 327–34 17. Bhat R, Hudson K, Sabzevari C. An evidencebased approach to severe traumatic brain injury. Emergency Medicine Practice. 2008:1–5 18. deGuise E, LeBlanc J, Feyz M, Meyer K. Long-term outcome after severe traumatic brain injury: the McGill interdisciplinary prospective study. J Head Trauma Rehabil 14 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 2008; 23(5): 294–303 19. Perel P, Roberts I, Bouamara O, Woodford M, Mooney K, Lecky F. Intracranial bleeding in patients with traumatic brain injury: a prognostic study. BMC Emergency Medicine. 2009;9(15): 1–8. 20. Naalt JVD. Prediction of outcome in mild to moderate head injury: a review. Clin Exp Neuropsych. 2010; 23(6): 837–51. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik dengan Jalan Nafas Sulit Sandhi Christanto*), Siti Chasnak Saleh**), Bambang J. Oetoro***), Sri Rahardjo****) *)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Mitra Keluarga Hospital Sidoarjo, **)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Jakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Abstrak Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Walaupun terdapat cara diagnosis dan penatalaksanaan yang semakin mutakhir, prognosis tetap jauh dari harapan. Disamping derajat keparahan cedera primer merupakan faktor utama yang menentukan luaran, cedera sekunder yang disebabkan oleh hipotensi, hipoksemia, hiperkarbia, hiperglikemia, hipoglikemia dan lain lain, yang timbul seiring waktu setelah cedera awal, menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari jaringan otak, memperberat luaran pada cedera kepala traumatik. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada pencegahan dan pengelolaan cedera sekunder karena cedera sekunder dapat dihindari dan diterapi. Seorang laki-laki, 46 tahun berat badan 100 kg, tinggi badan 175 cm ditemukan di pinggir jalan dengan dugaan akibat kecelakaan lalu lintas, setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju napas 16–18 x/menit, tekanan darah 160/90 mmHg, laju nadi 75 x/menit, skor GCS E2M5V2, pemeriksaan pupil kiri reaktif 3 mm, kanan sulit dievaluasi karena terdapat hematoma, terdapat lateralisasi dengan bagian tubuh kanan terlihat lebih aktif. Hasil CT Scan menunjukkan perdarahan subdural frontotemporoparietal kanan, perdarahan intraserebral dengan volume 21,8 cc, perdarahan subarachnoid frontotemporal kanan, pergeseran garis tengah sebesar 1,13 cm ke kiri, fraktur temporal kanan serta edema serebri. Keputusan tindakan kraniotomi evakuasi perdarahan segera dilakukan demi keselamatan pasien. Penatalaksanaan cedera kepala pada periode perioperatif yang meliputi evaluasi cepat, resusitasi berkesinambungan (serebral maupun sistemik), intervensi pembedahan dini, penatalaksanaan terapi intensif, diharapkan dapat memberikan jalan keluar potensial yang mungkin dapat memperbaiki luaran dari pasien dengan cedera kepala. Kata kunci: cedera kepala traumatik, penatalaksanaan perioperatif JNI 2014;3 (1): 15‒24 Perioperative Management of Traumatic Brain Injury with Difficult Airway Abstract Traumatic brain injury is major public health problem and leading cause of death and disability worldwide. Despite the modern diagnosis and treatment pathways, the prognosis remains poor. While severity of primary injury is the major factor to determine the outcomes, the secondary injury caused by hypotension, hypoxemia hypercarbia, hyperglicemia, hypoglicemia and et cetera, thet develop overtime after the onset of injury may cause further damage to brain tissues and worsen the outcome. Traumatic brain injury management currently focuses on prevention and secondary injury, treatment, since secondary injury is largely preventable and treatable. A 46 years old male patient, weighted 100 kgs, height 175 cm was found on the street as the suspect of traffic accident. On examination no obstruction in the airway, respiratory rate was16‒18 x/minute, blood pressure was 160/90 mmHg, heart rate was 75x/minute, GCS scale was E2M5V2. The cranial hemorrhage was found in the right frontotemporal, intracerebral (approximately 21,8 cc), cerebral edema, and the midline shift more than 1 cm were seen on brain CT-Scan examination. The decision of emergency craniotomy evacuation was immediately made to save the live of the patient. The management in perioperative period involving rapid evaluation, continued with resuscitation (cerebral and systemic), early surgical intervention intensive care management, may be a potential window that will improve the outcome of traumatic brain injury patients Key words: traumatic brain injury, perioperative management JNI 2014;3 (1): 15‒24 15 16 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Cedera kepala traumatik adalah salah satu masalah kesehatan utama di masyarakat dan pemicu kecacatan serta kematian di seluruh dunia.1 Lebih dari 1,7 juta orang di Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya dan sekitar 275 ribu orang menjalani perawatan serta terdapat lebih dari 50 ribu kasus kematian. Cedera kepala traumatik banyak terjadi pada usia dewasa muda dibawah usia 45 tahun dan anak– anak usia 1–15 tahun dengan penyebab utama adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh dari ketinggian.1,2 Klasifikasi cedera kepala menurut derajat keparahannya berdasarkan pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS) pascaresusitasi dibagi menjadi cedera kepala ringan (GCS 13–15), cedera kepala sedang (GCS 9–12), dan cedera kepala berat (GCS < 8). Cedera kepala ringan merupakan kasus terbanyak dan 8–10% sisanya merupakan cedera sedang dan berat.2 Selama 20 tahun terakhir penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala telah meningkat secara bermakna dan pedoman penatalaksanaan berbasis bukti telah dikembangkan.1 Brain Trauma Foundation (BTF) pada tahun 1996 menerbitkan pedoman penatalaksanaan cedera kepala traumatik berat yang pertama dan diterima oleh American Association of Neurological Surgeon dan disahkan oleh World Health Organization Commitee in Neurotraumatology, kemudian berturut-turut edisi revisi kedua dan ketiga dipublikasikan pada tahun 2000 dan 2007.3 Patofisiologi cedera kepala melibatkan cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang disebabkan trauma mekanis terhadap tulang kepala dan jaringan otak sedangkan cedera sekunder merupakan proses kompleks yang mengikuti dan memperberat cedera primer sehingga menimbulkan kematian sel melalui proses biokimia yang dimulai dengan iskemia.3,4 Penatalaksanaan cedera kepala dewasa ini difokuskan pada pencegahan dan pengelolaan cedera sekunder dan hal ini melandasi penatalaksanaan modern cedera kepala yang terdiri dari resusitasi dan stabilisasi pra rumah sakit dan unit gawat darurat, pembedahan serta manajemen terapi intensif. Walaupun dengan adanya diagnosis dan penatalaksanaan yang semakin mutakhir, prognosis tetap jauh dari harapan sehingga perhatian untuk peningkatan dan penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan.1-3 II. Kasus Laki-laki berusia 46 tahun dengan berat badan 100 kg dan tinggi badan 175 cm dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar setelah ditemukan di pinggir jalan dengan dugaan mengalami kecelakaan lalu lintas. Pemeriksaan Fisik Airway: bebas, keluar darah dari kedua lubang hidung, pasien leher pendek. Breathing: respirasi 16–18x/menit, jejas di dada tidak ada, gerak dada simetris, suara napas vesikuler, tidak didapatkan ronki maupun wheezing. Circulation: perfusi hangat kering merah, tekanan darah 160/90mmHg, laju nadi 70–75 x/menit. Disability: kesadaran pascaresusitasi E2M5V2, pemeriksaan pupil kiri diameter 3 mm reaktif, kanan sulit dievaluasi karena hematoma. Terdapat lateralisasi dengan bagian kanan tubuh lebih aktif. Pemeriksaan abdomen tidak didapatkan jejas, supel, pemeriksaan bagian tubuh lain tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan CT-scan didapatkan perdarahan intraserebral di temporal kanan ukuran 3,8 x 2,8 x 4cm dengan perkiraan volume 21,8 cc, perdarahan subdural frontotemporoparietal kanan ketebalan 6 mm, perdarahan subarachnoid frontotemporal kanan, midline shift 1,13 cm ke kiri, fraktur temporal kanan, fraktur sinus maksilaris kanan dan edema serebri, craniocervical junction, C1 dan C2 tak tampak fraktur dan dislokasi. Foto polos leher AP dan lateral tidak didapatkan fraktur maupun dislokasi. Foto polos thorak dan pelvis tidak didapatkan kelainan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 14,2 g%, leukosit 23.850/mm3, trombosit 254.000/mm3, hematokrit 44%, waktu perdarahan 1 menit 50 detik, waktu pembekuan 9 menit, waktu prothrombin 10,5 detik, APTT 29,1 detik, SGOT 80, SGPT 84, kreatinin 1,1 mg/dL, ureum 28mg/dL, natrium 146 mmol/L, kalium Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik dengan Jalan Nafas Sulit 17 Gambar 1. Gambaran Perdarahan Subdural Frontotemporal Kanan Gambar 2. Gambaran Perdarahan Intraserebral Temporal Kanan 3,40 mmol/L, gula darah sewaktu 222 mg/dL. diperlukan), sevoflurane 1–1,5 %, O2/udara bebas. Cairan rumatan: ringerfundin 1,5 mL/kg/jam, diberikan manitol tambahan 100 mL selama 20 menit sebelum membuka duramater. Saat membuka duramater didapatkan hemodinamik stabil tekanan darah rerata 70–80 mmHg, nadi 80–85x/mnt, saturasi 99–100%, serta slack brain. Operasi evakuasi hematoma dan dekompresi kraniectomi berlangsung selama 3 jam, total urine 1000 mL, perdarahan 500 mL, cairan masuk ringerfundin 1000 mL, voluven 500 mL, hemodinamik relatif stabil tekanan darah rerata berkisar 70–95 mmHg, nadi 75–90x/mnt, saturasi 99–100 %, temperatur 36–36,50. Pasien dengan pengelolaan jalan napas preoperatif yang sulit, derajat kesadaran preoperatif borderline (GCS 9), edema serebri, pergeseran garis Penatalaksanaan Anestesi Persiapan alat untuk intubasi sulit (laringoskop blade no. 3 dan 4, laringoskop McCoy, stylet), pemberian cairan NaCl 0,9% 250 cc 0,5 jam sebelum induksi, posisi pasien tetap head up. Monitor prainduksi antara lain tekanan darah non invasif, pulse oxymeter, electrokardiografi (EKG). Didapatkan tekanan darah 150/90 mmHg, laju nadi 100x/menit, saturasi O2 98 %, EKG irama sinus. Induksi: fentanyl 150 µg dimasukkan perlahan, propofol 120 mg, setelah diyakini bisa melakukan ventilasi diberikan rocuronium 70 mg, lidokain total 100 mg, propofol dosis kedua 50 mg (digunakan ideal body weight 75 kg). Bagian depan neck collar dilepas dilakukan in line immobilisasi, laringoskopi dengan blade Macintosh no. 3 terlihat epiglotis saja tanpa terlihat struktur glottis lainnya, (klasifikasi Cormack Lehane 3), kemudian intubasi dihentikan, dilakukan ventilasi O2/udara bebas dan sevoflurane 1%, diganti dengan blade McCoy. Propofol 30 mg ditambahkan sebelum usaha intubasi ulang. Tekanan darah rerata selama proses induksi dan intubasi berada di kisaran 70–95 mmHg. Pemeliharaan Anestesi: Ventilasi mekanik: volume tidal 8 mL/kgBB, frekuensi napas 12x/menit, I : E ratio 1 : 2, PEEP 0, FiO2 0,6. Propofol: 2–10 mg/kg/jam (syringe pump), vecuronium 0,8–1 ɥg/kg/menit (syringe pump), fentanyl bolus 50ug tambahan (bila Gambar 2. Pemantauan Tekanan Darah Rerata selama Operasi 18 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 99%, frekuensi napas 14–16 x/menit. Status Neurologik: GCS E4M6V5 motorik 5/5, pupil kiri 3 mm reflex cahaya +, pupil kanan sulit dievaluasi karena hematoma palpebra, tidak ada kejang, tidak ada gangguan saraf kranialis. Terapi O2 nasal 1 L/menit, posisi kepala head up, infus ringerfundin 1500 mL dan NaCl 500 mL selama 24 jam, analgetik dexketoprofen, omeprazol 2 x 40 mg, MgSO4 8 gr/24 jam syringe pump (terakhir). Pasien sudah minum dan makan bubur, fentanyl dihentikan. Gambar 3. Pemantauan Laju Nadi selama Operasi tengah yang cukup lebar, diputuskan untuk tidak dilakukan ekstubasi di kamar operasi. Perawatan Pascabedah Pasien dirawat di ruang perawatan intensif, pernapasan dibantu ventilasi mekanik dengan modus SIMV volume control, propofol 20– 40 mg/jam, fentanyl 50 ug/jam, analgetik dexketoprofen, omeprazol 2 x 40 mg, ceftriakson 2 x 1 gram, MgSO4 2 gr selama 15 menit, lanjut 8 gram dalam 24 jam selama 2 hari, posisi kepala head up, cairan rumatan ringerfundin 1500 mL dan NaCl 0,9% 500 mL selama 24 jam pertama. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, gula darah acak pascaoperasi, serta rencana CT-scan kontrol 6 jam pascaoperasi. Perawatan Hari Pertama Hemodinamik stabil tekanan darah rerata antara 80–100 mmHg, laju nadi 80–90x/menit, saturasi oksigen 99%, temperatur 36–36,5, hasil CT-scan ulangan edema cerebri berkurang, subdural hematoma dan intrakranial hematoma tak tampak, dan tidak didapatkan lesi contra coup. Hasil gula darah 140 mg/dL, natrium 145 meq/L, kalium 5,0 meq/L, hasil gas darah pH: 7,45 PaCO2: 31,0 PaO2: 128, SaO2: 95,6%. Evaluasi derajat kesadaran setelah propofol dihentikan didapatkan GCS 3 x 6, weaning ventilator mulai dilakukan kemudian setelah cukup kuat pasien diekstubasi. Perawatan Hari Kedua Status Generalis: keadaan umum baik, tensi 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, SaO2 Perawatan Lanjutan Hari ketiga sampai hari keempat pasien hemodinamik baik, status neurologis baik, pasien dipindahkan ke ruang intermediat kemudian alih rawat di ruangan. Setelah hari ketujuh pasien pulang dari ruangan. III. Pembahasan Penatalaksanaan cedera kepala dewasa ini difokuskan pada pencegahan dan pengelolaan cedera sekunder dalam hal ini melandasi penatalaksanaan modern cedera kepala yang terdiri dari resusitasi dan stabilisasi prarumah sakit dan unit gawat darurat, evakuasi pembedahan, kontrol tekanan intrakranial (TIK), menjaga perfusi otak, multi modal monitoring, optimalisasi lingkungan fisiologis.1 Penatalaksanaan pra rumah sakit merupakan salah satu titik kritis dalam mencegah terjadinya cedera sekunder namun hal ini tidak dilakukan karena pasien diterima oleh tenaga kesehatan setelah sampai di rumah sakit. Penatalaksanaan di unit gawat darurat pasien ini, diberikan O2 masker 8L/menit, dipasang neck collar, infus ringerfundin 100 cc/jam, posisi head up 15–30 derajat, manitol 200 cc diteteskan selama 20 menit setelah stabil pasien siap dilakukan pemeriksaan penunjang lain. Survei primer menyeluruh diikuti oleh resusitasi terhadap cedera yang mengancam jiwa, segera dilakukan saat pasien tiba di unit gawat darurat.8 Jalan napas harus selalu bebas untuk mencegah terjadinya peningkatan TIK yang akan memperberat cedera yang sudah terjadi. Intubasi sering diperlukan untuk: • Menghilangkan obstruksi jalan napas. Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik dengan Jalan Nafas Sulit • Proteksi terhadap resiko aspirasi. • Kontrol ventilasi . Kriteria indikasi untuk dilakukan intubasi yaitu bila: • GCS < 8. • Pernapasan irreguler. • Frekuensi napas < 10 atau > 40 per menit. • Volume tidal < 3,5 mL/kgBB • Vital capacity < 15 mL/ kgBB • PaO2 < 70 mmHg. • PaCO2 > 50 mmHg. Stabilitas kardiovaskuler sangat penting dijaga sebab hipotensi dan hipertensi dapat memperburuk luaran pasien cedera kepala. Hipotensi jarang disebabkan hanya oleh cedera kepala saja. Kehilangan darah yang berasal dari cedera di tempat lain, cedera spinal, tamponade jantung, tension pneumothoraks adalah penyebab yang harus menjadi pertimbangan.7 Hipotensi bersamaan dengan cedera kepala membahayakan hemodinamik otak dan menyebabkan iskemia otak, atas dasar tersebut pemeliharaan tekanan darah optimal termasuk pemilihan cairan dan pertimbangan penggunaan vasopressor dirasa sangat penting.1 Brain Trauma Foundation Guidelines telah merekomendasikan untuk menghindari hipotensi (sistolik <90 mmHg) dan mempertahankan tekanan perfusi otak (CPP) 50– 70 mmHg. Cairan kristalloid isotonis non glukosa merupakan pilihan utama untuk pasien cedera kepala traumatik. Peran cairan koloid sampai saat ini masih kontroversial sedangkan salin hipertonis mungkin dapat menguntungkan bila digunakan sebagai cairan resusitasi cedera kepala karena meningkatkan volume intravaskular sekaligus menurunkan TIK.1 Hipertensi sering terjadi pada cedera kepala dan merupakan akibat pelepasan katekolamin oleh proses trauma serta usaha tubuh dalam mempertahankan perfusi otak akibat peningkatan TIK. Mengendalikan TIK dapat mengurangi respon tekanan darah, penggunaan adrenergik blocking agent dipertimbangkan bila usaha pengendalian TIK tidak dapat menurunkan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah yang tidak terkontrol dapat merugikan karena meningkatkan pembentukan edema dan TIK.6,7 Tujuan resusitasi cedera kepala berikutnya adalah pengendalian TIK. Pada pasien yang belum dilakukan intubasi, TIK dapat dikendalikan sementara dengan pemberian manitol (0,25– 19 1 gr/kgBB) dan posisi head up 15–300 dan memberi cukup waktu sampai tindakan definitif dapat dilakukan. Dalam melakukan kedua tindakan ini tetap waspada terhadap efek samping penurunan tekanan darah yang dapat mempengaruhi hemodinamik dan memperberat iskemia yang telah terjadi di dalam otak.7 Setelah pasien dalam keadaan stabil, dilakukan penilaian neurologik yang meliputi fungsi kesadaran dengan menggunakan skor GCS serta penilaian pupil yang meliputi ukuran pupil, respon, dan asimetrisitas kanan dan kiri. Pemeriksaan radiologik seperti CTscan tanpa kontras merupakan pilihan, pada CT-scan kepala dapat menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan TIK seperti pergeseran garis tengah (midline shift), adanya massa intrakranial (hematoma) yang memerlukan pembedahan evakuasi. Gambaran craniocervical junction dapat dilakukan sebagai tambahan untuk menyingkirkan adanya cedera servikal tinggi.7 Setelah resusitasi dan stabilisasi pada kasus ini didapatkan penilaian total skor GCS adalah 9, namun jalan napas pasien memiliki potensi terjadi obstruksi karena pasien ini gemuk dan pada pemeriksaan jalan napas didapatkan tanda-tanda sulit ventilasi dan intubasi seperti leher pendek, adanya perdarahan yang masih keluar dari hidung dan gigi ompong. Resiko aspirasi dapat terjadi karena tidak diketahui secara pasti kapan terakhir dan berapa banyak asupan makanan pada pasien ini. Keputusan untuk melakukan intubasi di kamar operasi karena alat dan bantuan dari rekan kerja serta situasi lebih mendukung untuk pengelolaan jalan napas yang sulit. Resiko terdapat cedera leher yang membutuhkan usaha dalam mempertahankan posisi inline, memperkuat alasan melakukan pengelolaan jalan napas definitif di kamar operasi. Selama di UGD dan ruang radiologi pasien siap dilakukan intubasi bila kondisi memburuk. Permasalahan perioperatif pasien ini adalah masalah jalan napas dan cervical spine: pasien obesitas dengan leher pendek, gigi ompong, darah keluar dari kedua lubang hidung, risiko aspirasi (makan minum terakhir tidak diketahui, kemungkinan motilitas gaster yang memanjang, darah di jalan napas), risiko injury spine (pasien trauma dengan gangguan kesadaran dan jejas diatas klavikula). 20 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Masalah pernapasan: risiko hipoksia dan hiperkarbia yang dapat disebabkan karena obstruksi jalan napas karena penurunan kesadaran. Masalah sirkulasi: pasien dengan tekanan darah yang meningkat yang dapat memperberat edema serebri, pasien berisiko mengalami hipotensi pasca induksi anestesi yang dapat memperberat iskemia serebri yang mungkin sedang berlangsung. Masalah neurologik: pasien dengan derajat kesadaran yang menurun menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan berisiko terjadi herniasi bila dilakukan penanganan yang salah. Penatalaksanaan Anestesi Sasaran utama dari penatalaksanaan anestesi pasien cedera kepala adalah 6-9: mengendalikan TIK dan pemeliharaan CPP (perfusi serebral), melindungi jaringan saraf dari iskemia dan cedera (brain protection), menyediakan kondisi pembedahan yang adekuat (slack brain). Prinsip pengelolaan anestesi dikenal sebagai ABCDE neuroanestesi yaitu6: A) airway, jalan napas yang selalu bebas sepanjang waktu, B) breathing, ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi adekuat dan normokapnea, C) circulation, menghindari peningkatan atau penurunan tekanan darah yang berlebih, menghindari faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral, menjaga kondisi normotensia, normoglikemia, isoosmolar selama anestesi, D) drugs, hindari obat dan tehnik anestesi yang dapat meningkatkan TIK, dan beri obat–obatan yang mempunyai efek proteksi otak, E) enviroment, kontrol temperatur dengan target suhu inti 350 di kamar operasi. Pasien yang datang ke kamar operasi dengan jalan nafas bebas, laju napas 16x/menit tanpa terpasang pipa endotrakeal dengan derajat kesadaran GCS E2M5V2, segera dilakukan pengendalian jalan napas dan oksigenasi. Dokter anestesi harus waspada bahwa pasien cedera kepala sering disertai isi lambung yang penuh, penurunan volume intravaskuler, dan potensial mengalami cedera servikal,8,9 maka penekanan cricoid dan mempertahankan posisi in line dari servikal dilakukan selama prosedur laringoskopi dan intubasi.7 Pengelolaan jalan napas yang sulit merujuk pada algoritma yang dianjurkan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA).6 Keadaan klinis dan stabilitas hemodinamik menentukan pilihan tehnik induksi. Induksi dapat dilakukan dengan dosis titrasi anestesi intravena (propofol) untuk meminimalkan instabilitas sirkulasi. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat diberikan dengan atau tanpa priming dose untuk memfasilitasi intubasi dalam waktu yang singkat. Fentanyl 1–4 ug/kg diberikan untuk mengurangi respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5 mg/kgBB diberikan 90 detik sebelum laringoskopi untuk mencegah peningkatan TIK.9 Saat berada di kamar operasi pasien dipasang monitor, diposisikan head up, alat-alat intubasi sulit serta bantuan telah siap, kemudian dilakukan preoksigenasi dengan harapan mengisi fungsional residual capacity (FRC) sehingga pada saat intubasi sulit terdapat waktu lebih sebelum terjadi hipoksemia. Mode stat tekanan darah non invasif untuk memantau tekanan darah secara ketat diaktifkan. Induksi dipilih dengan cara modifikasi rapid sequence induction dengan cricoid pressure menggunakan rocuronium karena ada risiko aspirasi. Intubasi dilakukan dengan mempertahankan posisi in line. Penggunaan laringoskop McCoy cukup membantu dalam memfasilitasi proses intubasi pasien ini sehingga akibat dari intubasi sulit seperti hipoksia, peningkatan tekanan darah dapat dihindari. Tehnik dan obat anestesi yang ideal untuk rumatan anestesia sebaiknya mempunyai kemampuan yang mencakup antara lain mampu menurunkan TIK, mempertahankan CPP, menjaga stabilitas kardiovaskular, dan memiliki efek proteksi otak terhadap bahaya iskemia.6,9 Anestetika inhalasi menurunkan metabolisme otak namun dapat menyebabkan vasodilatasi serebral yang mengakibatkan peningkatan aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF), dan TIK pada konsentrasi lebih dari 1 MAC. Efek vasodilatasi serebral dapat diminimalisasi dengan menggunakan obat tersebut pada konsentrasi yang rendah.1 Nitrous Oxide meningkatkan metabolisme otak (CMRO2) dan menyebabkan vasodilatasi serebral yang mengakibatkan peningkatan TIK, sehingga Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik dengan Jalan Nafas Sulit penggunaannya sebaiknya dihindari pada cedera kepala traumatik.1 Obat anestesi intravena seperti thiopental dan propofol menurunkan CBF dan CMRO2 sehingga dapat menurunkan TIK, selain itu obat anestesi intravena memiliki efek minimal pada autoregulasi dan reaktifitas terhadap CO2 yang dapat memberi keuntungan pada anestesi pasien cedera kepala.1,10 Rumatan anestesia pasien ini menggunakan kombinasi antara obat anestesi inhalasi (sevoflurane) dan anestesi intravena (propofol kontinyu) dengan tujuan mencapai level anestesi yang adekuat sehingga gejolak hemodinamik dan susunan saraf pusat tidak terjadi dan juga mendapat keuntungan dari sifat masing–masing obat seperti efek neuroprotektif dari sevoflurane sambil meminimalkan efek vasodilatasi dari anestesi inhalasi tersebut dengan membatasi konsentrasi obat. Propofol membantu mempertahankan level anestesi dan mempunyai sifat vasokonstriksi serebral. N2O tidak digunakan pada pasien ini karena penggunaannya dapat meniadakan efek neuroprotektif dari obat-obat lain, dan pada konsentrasi tertentu N2O dapat meningkatkan aliran darah otak dan CMRO2, sehingga penggunaannya dihindari untuk kasus-kasus sulit. Pengaturan sistem respirasi intraoperatif pada pasien dengan cedera kepala yaitu dengan menyesuaikan ventilasi mekanik sehingga didapatkan kondisi normokapnea (PaCO2 sekitar 35mmHg) dan mengatur fraksi inspirasi oksigen (FiO2) sampai didapatkan PaO2 antara 100–200 mmHg serta menghindari PEEP yang terlalu besar karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrathorakal yang akan mengganggu drainase vena serebral dan meningkatkan 1,6,9 TIK. Pengaturan sistem sirkulasi intraoperatif diharapkan dapat mempertahankan pada kondisi normovolemia, normotensi dan isoosmolar.6,9 Kadar gula darah juga dipertahankan pada keadaan normoglikemia. Pasien dengan tindakan neurosurgikal sebaiknya dibangunkan dari anestesi secepatnya sehingga dapat segera dilakukan penilaian status neurologisnya sebagai evaluasi dari hasil pembedahan,7 namun secara umum pasien cedera kepala sedang mengalami atau mempunyai potensi terjadinya edema serebri, sehingga menjalani “slow weaning” dan penundaan proses ekstubasi (delayed 21 extubation).7,9 Indikasi melakukan pulih sadar lambat (late emergens) antara lain: • Derajat kesadaran yang buruk preoperatif • Pengelolaan jalan napas yang sulit preoperatif • Resiko untuk terjadi atau memperberat edema serebri (operasi lama, pembedahan ekstensif dengan perdarahan banyak, dekat area vital, dan lainnya) Pasien dengan derajat kesadaran preoperatif yang baik serta menjalani prosedur tanpa penyulit diharapkan untuk bangunkan dan ekstubasi di kamar operasi. Pulih sadar yang lancar (smooth emergence) dengan pengendalian tekanan darah serta menghindari reflek batuk diperlukan untuk mencegah edema otak dan pembentukan hematoma pascaoperasi.6,7 Lidokain dan fentanyl efektif menekan refleks batuk dan respon hipertensif saat pasien akan dibangunkan. Obat– obatan esmolol, labetalol dapat juga diberikan sebagai pencegahan respon hipertensif dan mengurangi batuk saat pulih sadar dan ekstubasi. Pada pasien ini pengelolaan jalan napas preoperatif yang sulit, mengalami edema serebri, GCS 9, diputuskan untuk dilakukan ekstubasi setelah evaluasi CT-scan dan kondisi pasien yang lebih stabil. Penatalaksanaan Terapi Intensif Cedera Kepala Pasien cedera kepala biasanya telah dilakukan resusitasi, stabilisasi dan mendapatkan pengobatan di unit gawat darurat dan kamar operasi sebelum dikirim ke ruang perawatan intensif (ICU). Pasien cedera kepala mendapatkan perawatan intensif di ICU yang terdiri dari perawatan umum yang ketat dan perawatan lain yang bertujuan untuk yaitu antara lain4,5: • Stabilisasi pasien bila masih dalam keadaan yang belum stabil • Optimalisasi terhadap oksigen dan hemodinamik otak • Pencegahan dan terapi dari hipertensi intrakranial • Mempertahankan CPP yang stabil dan adekuat • Pencegahan terhadap cedera sekunder Setelah operasi selesai pasien langsung dipindahkan ke ICU dan menjalani berbagai tindakan lanjutan. Posisi kepala netral dan head up 22 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 15–300 dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan memperbaiki drainase vena serebral.3,6,7 Posisi ini dapat memicu terjadinya hipotensi yang menurunkan perfusi serebral, memperberat iskemia, mempengaruhi luaran. Menjaga hemodinamik yang stabil dilakukan pada pasien ini dengan menghindari keadaan hipotensi dan hipertensi. Hipotensi memperburuk perfusi yang sudah terganggu akibat trauma kepala dan hipertensi dapat memperberat edema otak dan meningkatkan TIK. Melakukan ventilasi kendali mencegah hipoksia dan mempertahankan keadaan normokapnea pada pasien ini, bertujuan untuk mengendalikan sementara aliran darah otak sehingga dapat menurunkan TIK. Ventilasi mekanik dapat dilakukan apabila difasilitasi dengan pemberian sedatif-analgetik yang adekuat. Obat-obatan sedatif-analgetik juga meminimalkan agitasi, menurunkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen otak sehingga sangat menguntungkan dalam pengelolaan cedera kepala. Propofol dipilih karena memiliki keuntungan lebih dalam supresi metabolik serta waktu paruh yang pendek sehingga evaluasi derajat kesadaran dapat segera dilakukan setelah pemberian obat dihentikan. Efek hipotensi dan komplikasi seperti propofol infusion syndrome perlu diwaspadai bila propofol digunakan.3,4,7,12 Analgesia diberikan golongan dexketoprofen dan infus kontinyu fentanyl yang semuanya memiliki efek minimal terhadap hemodinamik.12 Pengendalian edema otak dan TIK dapat dilakukan dengan pemberian cairan hiperosmoler yang dalam kasus ini digunakan manitol. Manitol bekerja sebagai osmotik diuretika dengan jalan meningkatkan osmolaritas serum dan menciptakan perbedaan tekanan osmotik.3-12 Pemeriksaan osmolaritas serum dilakukan berkala untuk mencegah peningkatan osmolaritas akibat manitol yang diberikan, karena bila osmolaritas serum lebih dari 320 mOsm/kg H2O dapat terjadi efek samping berupa efek balik peningkatan TIK, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit serta gagal ginjal.3,13,14 Terapi intensif umum Terapi cairan dan nutrisi Tujuan dari pengelolaan cairan adalah tercapainya serta memelihara keadaan euvolemia atau hipervolemia ringan (CVP 8–10 mmHg) karena balans negatif sering dihubungkan dengan luaran yang tidak baik.3 Cairan kristalloid isotonik seperti normal saline (NS) merupakan cairan pilihan, cairan hipotonis seperti ½ NS, ¼ NS, D5,D5 ½ NS, D5 ¼ NS harus dihindari, cairan sedikit hipotonis seperti ringer laktat bukan merupakan pilihan dalam resusitasi pasien cedera kepala terutama dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan penurunan osmolaritas serum.3,4,7 Cairan yang mengandung glukosa seperti D10 atau lebih sebaiknya dihindari pada 24–48 jam pertama kecuali timbul keadaan hipoglikemia. Tujuan dari pengelolaan cairan pada cedera kepala adalah tercapai keadaan normovolemia, normotensi, normoglikemia, dan isoosmolar.4-7 Pada pasien ini dalam 24 jam pertama diberikan cairan ringerfundin dan NaCl 0,9% yang keduanya bersifat isoosmoler tanpa mengandung glukosa. Pasien dengan cedera kepala biasanya mengalami hipermetabolik, hiperkatabolik, dengan perubahan fungsi gastrointestinal sehingga sering mengalami malnutrisi yang akan meningkatkan angka mortalitas.3,4 Pemberian nutrisi sejak permulaan direkomendasikan bila stabilitas hemodinamik tercapai. Brain Trauma Foundation merekomendasikan pemberian 140% dari kebutuhan basal (±30 kcal/kgBB) pada pasien non paralisa, 100% dari kebutuhan basal (±25 kcal/kgBB) pada pasien dengan relaksan.3 Nutrisi enteral lebih dipilih namun pada kasus dengan residu volume gastrik yang tinggi atau disertai dengan trauma abdomen dapat dikombinasikan dengan nutrisi parenteral.4 Pasien ini telah dilakukan ekstubasi 6 jam setelah operasi dan dengan derajat kesadaran yang baik, asupan peroral dapat diberikan tanpa keluhan dengan demikian keuntungan pemberian nutrisi dapat diperoleh secara maksimal. Kontrol gula darah Pasien cedera kepala berat sering mengalami stress hiperglikemia, dan dihubungkan dengan luaran neurologik yang jelek,3,4,6 namun hipoglikemia akibat kontrol gula yang terlalu ketat juga mempengaruhi hasil akhir dari cedera kepala. Sehingga pada fase akut cedera kepala target kadar glukosa yang diharapkan berkisar Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Kepala Traumatik dengan Jalan Nafas Sulit antara 80–180 mg/dL.1 Pada pasien ini gula darah pascaoperasi di level antara 125–150 mg/dL. Daily Care perawatan harian seperti pasien intensif lainnya: perubahan posisi berkala, perawatan mata, kebersihan oral dan kulit, pencegahan terhadap peptic ulcer, deep vein thrombosis, pencegahan terhadap ancaman infeksi, pemberian bowel regimen untuk mencegah konstipasi dan peningkatan tekanan abdomen yang bisa mengganggu TIK, fisioterapi. Intervensi obat–obatan neuroprotektif: Beragam obat neuroprotektif sedang dalam penelitian namun sampai saat ini pada penelitian fase 3 belum menunjukkan adanya keuntungan yang dapat diberikan, meski secara teori obat–obat ini memiliki profil yang baik. 4,11 Magnesium yang diberikan pada pasien ini, bekerja sebagai calcium channel antagonist dan N Methyl D-Aspartat (NMDA) reseptor antagonis, karena fungsinya tersebut diharapkan memberi efek yang menguntungkan pada pasien cedera kepala. Sampai saat ini belum ditemukan hasil yang signifikan pada penelitian–penelitian yang menggunakan obat ini. 2,15,16 Obat-obatan yang lain seperti calcium channel antagonist, aminosteroid, glutamat antagonist, dexahabinol secara teori memberi efek proteksi pada otak namun sampai saat ini belum ditemukan hasil yang signifikan pada berbagai penelitian yang telah dilakukan.2,15,16 Monitoring pasien cedera kepala sangat penting sebagai pedoman dalam optimalisasi terapi.4 Monitoring ini berguna dalam mendeteksi secara dini proses-proses yang mengakibatkan cedera sekunder (proses sistemik atau proses intrakranial). Parameter umum yang rutin digunakan adalah elektrokardiografi, pulse oxymetri, end tidal CO2 (ETCO2), tekanan darah arterial, tekanan vena sentral (CVP), temperatur sistemik, urine output, pemeriksaan gas darah, serum elektrolit, gula darah, dan osmolaritas plasma.9,10 Monitoring neurologik seperti pemeriksaan neurologis klinis yang meliputi penilaian derajat kesadaran, pemeriksaan pupil, motorik, sensorik, 23 saraf kranialis dilakukan pada pasien ini segera setelah hasil CT-scan tidak didapatkan perdarahan lain di daerah kepala dan edema serebri berkurang. Pemeriksaan neurologis lain seperti TIK monitor dan saturasi oksigen vena jugularis (SJVO2) diperlukan terutama untuk pasien yang belum dapat dievaluasi derajat kesadarannya karena masih memerlukan pemakaian ventilasi mekanik dan pemberian sedasi atau pelumpuh otot. IV. Simpulan Periode perioperatif sangat penting dalam penatalaksanaan cedera kepala traumatik, dimana pada periode ini pasien dapat terpapar cedera sekunder yang mempengaruhi perjalanan penyakit dan memberi kontribusi pada keluaran akhir dari pasien tersebut. Periode ini juga merupakan kesempatan untuk cepat mendeteksi dan melakukan koreksi cedera sekunder dan memberi ruang untuk memulai intervensi yang dapat memperbaiki hasil penanganan pada cedera kepala. Penanganan cedera kepala yang meliputi perawatan jalan napas dan sistem respirasi, optimalisasi hemodinamik, pengendalian TIK serta tindakan lain yang kesemuanya bertujuan untuk mencegah terjadinya cedera sekunder, menjaga perfusi dan oksigenasi serebral, memerlukan usaha pemahaman yang baik antara multidisiplin baik dari neurointensivist, bedah saraf, para perawat, fisioterapist untuk mendapatkan hasil yang optimal. Pada kasus ini telah diusahakan untuk menghindari dan mengelola cedera sekunder agar didapatkan luaran yang diinginkan. Bila dilihat secara fisik maka luaran yang didapat cukup memuaskan namun perlu dilakukan evaluasi menyeluruh dalam jangka waktu yang lama untuk mengetahui adanya gangguan dari fungsi kognitif dan emosi dari pasien. Daftar Pustaka 1. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain injury. Int J Crit Illn Inj Sci 2011. 2. Moppet IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early 24 Jurnal Neuroanestesi Indonesia management. Br J Anaesth 2007; 99 : 18–31. 3. Haddad S, Arabi YM. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. SJTREM 2012, 20: 12. 4. Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care management. Br J Anaesth 2007; 99 : 32–42 Medical Media; 2000, 99–109. 12. Flower O, Hellings S. Sedation in traumatic brain injury. Emerg Med Int 2012. 13. Ropper AH. Hyperosmoler therapy for raised intracranial pressure. N Engl J Med 2012; 367: 746–52. 5. Dash HH. Prehospital care of head injured patients. Neurol India 2008; 56 (4): 415–9. 14. Wallcot BP, Kahle KT, Simmard JM. Novel treatment targets for cerebral edema. Neurotherapeutics 2012; (9): 65–72. 6. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik. Bandung: Universitas Padjadjaran;2012. 15. Sen AP, Gulati A. Use of magnesium in traumatic brain injury. Neurotherapeutics 2010; (7): 91–99. 7. Gopinath SP, Robertson CS. Management of severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Smith DS, eds. Anesthesia and Neurosurgery. USA: Mosby Inc; 2001, 663–85. 16. Vink R, Cook NL, Heuvel C. Magnesium in acute and chronic brain injury: an update. Magnesium Research 2009; (3): 158–62. 8. Mangat HS. Severe traumatic brain injury. American Academy of Neurology 2012; 18 (3): 532–46. 9. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012, 98–115. 10. Steiner LA, Andrews PJD. Monitoring the injured brain: ICP and CBF. Br J Anaesth 2006; 97: 26–38. 11. Czosnyka M. Monitoring intracranial pressure. Dalam: Matta BF, Menon DK, Tunner JM, ed. Textbook of Neuroanaesthesia and Critical Care. London: Greenwich 17. Xiong Y, Mahmood A, Chopp M. Neurorestorative treatments for traumatic brain injury. Discov Med 2010; 10 (54): 434– 442. 18. Noguchi CT, Asavaritikrai P, Teng R, Jia Y. Role of erythropoietin in the brain. Crit Rev Oncol Hemato 2007; 64 (2): 159–71. 19. Weir J, Steyerberg EW, Butcher I. Does the extended Glasgow Outcome Scale add value to the conventional Glasgow Outcome Scale? Journal of Neurotrauma 2011; 29: 53–58. 20. Wilson JTL, Pettigrew LE, Teasdale GM. Structure interviews for the Glasgow Outcome Scale: guideline for their use. Journal of Neurotrauma 1998; 573–85. Manajemen Anestesi pada Pasien Sindroma Kauda Equina e.c. SOL Ekstrameduler Intradural dengan Kehamilan Ferra Mayasari, Tubagus Yuli R, Iwan Fuadi Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Manajemen anestesi untuk pasien hamil untuk operasi non-obstetrik jarang dilakukan, dan menimbulkan sejumlah tantangan bagi spesialis anestesiologi karena manajemen anestesi harus mempertimbangkan kehidupan ibu dan janin. Pertimbangan anestesi untuk wanita hamil dengan operasi non obstetri meliputi perubahan kardiovaskular dan hematologi, sistem respiratori, sistem gastrointestinal, dan sistem saraf pusat serta perifer serta pada kasus ini adalah posisi yang ekstrim. Seorang wanita berusia 26 tahun dengan sindroma kauda equina e.c. SOL ekstramedula intradural dengan G3P2A0 gravida 25‒26 minggu yang dilakukan tindakan laminektomi pengangkatan tumor dalam anestesi umum dengan posisi miring kekiri. Operasi dapat dilaksanakan tanpa adanya komplikasi, pascaoperasi baik ibu maupun janin dalam keadaan sehat. Keberhasilan manajemen anestesi pada operasi non-obstetrik selama kehamilan tergantung kepada kerjasama multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif, perhatian terhadap fisiologi maternal dan fetus, serta perawatan suportif periode postoperatif. Mempertahankan stabilitas maternal, waktu optimal melakukan tindakan, dan pemilihan obat serta teknik anestesi yang tepat merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu dan fetus. Kata Kunci: kehamilan, operasi non-obstetrik, sindroma kauda equina JNI 2014;3 (1): 25‒31 Anesthesia Management of Pregnant Patient with Cauda Equine Syndrome e.c. Extramedulary Intradural SOL Abstract Anesthesia management for non-obstetric surgery during pregnancy is relatively uncommon and challenges the anesthesiologist since anesthesia management must consider both mother and fetal safety. Anesthesia management for non-obstetric pregnant women is considered covering difference in cardiovascular and hematologic changes, respiratory system, gastrointestinal system, central nervous system and peripheral nervous system, and in this case extreme position for operation. For this case, a 26 year old woman with Cauda Equina Syndrome e.c. Extramedullary Intradural SOL with G3P2A0 25‒26 weeks pregnancy underwent Laminectomy for Tumor Removal under general anesthesia. The surgery was preceded without any complication, both mother and fetal recovered uneventfully. The successful of anesthesia management for non-obstetric surgery during pregnancy depends on multidisciplines coordination, comprehensive preoperative management, careful monitoring on maternal and fetal physiology, and supportive postoperative care. Maintaining maternal stability, determination of the optimal time for surgery, and selection of proper medication and anesthesia technique are the most important things to be considered for mother and fetal safety. Key words: cauda equina syndrom, non-obstetric surgery, pregnancy JNI 2014;3 (1): 25‒31 25 26 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Operasi non-obstetrik selama kehamilan menimbulkan sejumlah tantangan bagi spesialis anestesiologi karena manajemen anestesi harus mempertimbangkan kehidupan ibu dan janin.1 Angka kejadian wanita hamil yang membutuhkan operasi non obstetrik selama kehamilan persentasenya antara 0,75% sampai dengan 2,2%.2 Sedangkan angka kejadian ibu hamil yang mengalami laminektomi belum dapat dipublikasikan, dan wanita hamil yang mengalami sindroma kauda equina sendiri angkanya hanya sedikit.3 Pada kehamilan terjadi sejumlah perubahan fisiologi maternal yang mempengaruhi manajemen anestesi, meliputi perubahan kardiovaskuler dan hematologi, sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem saraf pusat serta sistem saraf perifer. Adanya perubahan-perubahan fisiologis pada wanita hamil tersebut menyebabkan perubahan respon terhadap prosedur anestesi.4 Prosedur anestesi dan operasi non-obstetrik selama kehamilan menimbulkan resiko potensial terhadap fetus berupa abnormalitas kongenital, abortus spontan yang terutama diakibatkan oleh stres dari ibu5, kematian fetus intrauterin, dan persalinan prematur. Walaupun hal ini masih kontroversi, namun beberapa jurnal anestesi mengatakan bahwa tidak ada obat anestesi yang secara pasti menyebabkan efek teratogenik pada manusia.6-8 II. Kasus Seorang wanita berusia 26 tahun dengan diagnosis Sindroma kauda equina e.c. SOL ekstramedula intradural dengan G3P2A0 gravida 25-26 minggu. Pasien dikonsulkan dari Bagian Bedah Saraf Subdivisi Spine kepada Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin untuk dilakukan laminektomi pengangkatan tumor. Anamnesa Pasien dirawat di Bagian Penyakit Saraf sejak 9 hari sebelum dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf, dengan keluhan utama kedua tungkai tidak dapat digerakkan. Sejak 4 bulan sebelum masuk ke rumah sakit kedua tungkai pasien tidak dapat digerakkan, sehingga pasien harus berbaring di tempat tidur, keluhan disertai nyeri punggung yang dirasakan bertambah terutama saat berpindah posisi, dan perasaan baal mulai pinggang ke bawah. Untuk keluhan nyerinya pasien mendapatkan terapi paracetamol 3x1 gram intravena. Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh tidak dapat buang air kecil dan buang air besar, saat ini pasien menggunakan kateter urine. Pasien sedang hamil anak ketiga, usia kehamilan 6 bulan, riwayat persalinan sebelumnya melalui persalinan normal. Bayi masih dirasakan bergerak aktif. Penyakit penyerta lainnya disangkal oleh pasien. Riwayat alergi disangkal. Riwayat operasi sebelumnya pada bulan September 2013 saat kehamilan berusia 2 bulan untuk operasi usus buntu dalam anestesi umum, namun tidak didapatkan masalah anestesi. Pemeriksaan Fisik Kesadaran komposmentis, berat badan kurang lebih 60 kg. Tekanan darah 100/65 mmHg, laju nadi 96 x/menit (reguler), laju nafas 20 x/menit, suhu 36,80 C, saturasi O2 98% dengan udara bebas. Visual Analogue Score (VAS) untuk nyeri pasien adalah 8‒9 dengan terapi parasetamol 3x1 gram intravena. Dari pemeriksaan fisik lainnya didapatkan konjungtiva pasien anemis; abdomen cembung lembut dengan tinggi fundus uteri setinggi pusat, dilakukan pemeriksaan janin oleh teman sejawat dari Bagian Obstetri dan Ginekologi, didapatkan denyut jantung janin (DJJ) 140‒160 x/menit; pada ekstrimitas didapatkan edema pretibial bilateral, motorik ekstrimitas bawah 1/1 dan hipestesi setinggi segmen lumbal II ke bawah. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium didapatkan hemoglobin 9,5 gram/ dL dengan hematokrit 29%, leukosit 6700/mm3, trombosit 188.000/mm3. Faktor pembekuan, elektrolit, gula darah, fungsi hati dan fungsi ginjal masih dalam batas normal. Foto toraks didapatkan adanya kardiomegali tanpa bendungan paru. Elektrokardiografi ritme sinus dengan laju nadi 98x/m. Magnetic Ressonance Imaging (MRI) lumbal didapatkan massa ektra medular, intradural batas tegas tepi regular setinggi verterbra lumbal II-IV, menyebabkan stenosis Manajemen Anestesi pada Pasien Sindroma Kauda Equina e.c. SOL Ekstrameduler Intradural dengan Kehamilan 27 Gambar 1. MRI Pasien kanalis spinalis, diduga suatu neurinoma. Ultrasonografi oleh Bagian Obstetri dan Ginekologi hasilnya adalah hamil tunggal, letak kepala sesuai umur kehamilan 23-24 minggu. Rencana akan dilakukan anestesi umum. Pengelolaan Anestesi Penatalaksanaan preoperatif, pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi, diberikan premedikasi dengan ranitidin intravena di ruangan, pasien telah terpasang infus diberikan cairan rumatan ringer laktat (RL) 90cc/jam (setelah pasien puasa), konsultasi dengan Bagian Obstetri dan Ginekologi untuk penilaian kesejahteraan janin pada saat operasi berlangsung dan pascaoperasi, tokolitik diberikan 2 jam sebelum operasi berupa isoxsuprine tablet 10 mg per oral. Setelah didiskusikan dengan bagian Bedah Saraf, akhirnya diputuskan untuk melakukan laminektomi dengan posisi lateral kiri, karena pasien dengan kondisi kehamilan 25‒26 minggu. Untuk mempermudah pembedahan, meja operasi juga akan dimiringkan ke arah kiri. Pasien masuk kamar operasi dalam keadaan komposmentis, dilakukan pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 130/70 (90) mmHg, laju nadi 120 x/menit, laju nafas 18 x/menit, suhu 36,50C, saturasi O2 99 % dengan binasal kanul 3 L/menit. Denyut jantung janin (DJJ) 150‒160 x/menit. Punggung kanan pasien diganjal dengan menggunakan bantal. Lalu dilakukan preoksigenasi dengan menggunakan face mask selama 1 menit dengan menggunakan oksigen 100%. Setelah itu dilakukan induksi anestesi intavena dengan menggunakan fentanil 100 µg, propofol 100 mg, dan atrakurium 25mg. Dilakukan ventilasi menggunakan dengan oksigen dan air sebanyak 6 L/menit, sevoflurane 2 vol% sampai onset pelumpuh otot tercapai lalu dilakukan intubasi menggunakan pipa Gambar 2. Posisi pasien hamil dengan lateral dekubitus kiri serta menambahkan kemiringan dari meja operasi 28 Jurnal Neuroanestesi Indonesia endotrakheal non kingking dengan balon no. 6,5 kedalaman 19 cm. Setelah dilakukan fikasi dari ETT dan dipastikan tekanan darah dan volume cairan tubuh cukup, pasien diposisikan dengan posisi lateral decubitus kiri dan meja operasi juga dimiringkan ke arah kiri diberikan juga proteksi untuk ancaman penekanan saraf pada mata dengan bantalan berbentuk donat; ganjal pada kepala agar posisi kepala dan bahu sejajar tidak terlalu menekuk; bantalan pada aksila untuk mencegah penekanan pada pleksus brakhialis; serta bantalan pada bagian pelvis. Dilakukan rumatan anestesi dengan oksigen dan air 4 L/menit dan anestetika volatil sevofluran 1 vol%. Obat pelumpuh otot atrakurium diberikan intermiten, pernafasan dikontrol. Diberikan tokolitik terbutalin sulfat sebanyak 2 ampul dilarutkan dalam 500 cc RL dengan tetesan 8 tetes/ menit. Hemodinamik selama operasi stabil dengan tekanan darah diastolik berkisar antara 90‒115 mmHg. Operasi berlangsung selama 5 jam, total perdarahan kurang lebih 900cc dengan diuresis 200cc/jam. Total cairan intraoperatif kristaloid 2500cc, koloid (gelatin) 500cc, Packed Red Cell (PRC) 200 mL. Analgetik pascaoperasi diberikan parasetamol 3x1 gram dan fentanil kontinyu 25‒50 µg/jam (syringe pump). Obat pencegah Postoperative Nausea and Vomitus (PONV) diberikan deksametason 10 mg dan ondansetron 6 mg. Pasien diekstubasi dengan keadaan bangun. Pengelolaan Pascaoperasi Keadaan pasien komposmentis dengan tekanan darah 130/80 (97) mmHg, laju nadi 100 x/menit, laju nafas 18 x/menit, suhu 350C, SpO2 98–99 % dengan binasal kanul 3 L/menit, dan VAS 4 diberikan analgetik kontinyu fentanil 50 µg/ jam. Pasien diobservasi selama 4 jam di ruang pemulihan lalu dipindahkan ke ruangan high care. Setelah dua hari dirawat di ruangan high care, pasien dipindahkan ke ruangan biasa. Dalam follow up anestesi, keluhan nyeri pasien berkurang, VAS 2-3 dengan analgetik paracetamol 3x1 gram, motorik ekstrimitas bawah pasien meningkat menjadi 3/3. Keadaan janin juga diperiksa berkala oleh teman sejawat Obstetri dan Ginekologi, dengan DJJ berkisar antara 120-140 x/menit dan pergerakan janin juga masih dirasakan oleh ibu. III. Pembahasan Sindroma kauda equina ditandai dengan adanya nyeri yang radikuler pada kaki, bokong, perineal, dan daerah perianal. Defisit motorik dan sensorik juga dapat ditemukan pada pasien dengan sindroma kauda equina.9 Operasi untuk sindroma equina karena adanya herniasi dari diskus intervertebralis merupakan operasi emergensi. Prognosis bertambah buruk apabila waktu dari onset munculnya gejala sampai dilakukannya dekompresi semakin lama.3 Pada pasien ini terdapat sindroma kauda equina yang mengalami progresivitas dalam perburukan gejala neurologis yaitu perburukan fungsi vegetatif dalam 2 minggu terakhir saat dirawat di Bagian Neurologi. Setelah dirawat tanpa ada perbaikan dari rasa nyeri pasien dengan VAS 8-9 yang dapat memicu kontraksi prematur dan adanya progresivitas dalam kelainan neurologis. Dilakukan joint conference, yang hasilnya diputuskan untuk melakukan operasi laminektomi, namun karena kehamilan baru mencapai 25‒26 minggu tidak memungkinan untuk dilakukannya terminasi kehamilan, mengingat maturitas dari paru janin belum sempurna.10 Penundaan operasi sampai paru-paru janin matur pada trimester ketiga juga tidak memungkinkan.11 Karena terjadi kegawatdaruratan dari bidang neurologis, akhirnya diputuskan untuk melakukan laminektomi dalam posisi lateral dekubitus kiri dengan tambahan memiringkan meja operasi ke kiri untuk mempermudah operator. Untuk pasien ini, posisi prone bukan pilihan padahal untuk laminektomi pada umumnya dilakukan dengan posisi tersebut, akhirnya dipilih posisi lateral dekubitus kiri karena pasien dalam keadaan hamil 25‒26 minggu. Pada pasien ini untuk monitoring janin pun hanya dilakukan pada saat sebelum induksi dan setelah operasi selesai saat pasien sudah dalam keadaan terlentang, karena saat operasi berlangsung teman sejawat dari Bagian Obstetri dan Ginekologi kesulitan untuk memeriksa DJJ karena posisi pasien. Satu laporan mengatakan keberhasilan operasi lumbar disc dalam posisi lateral pada wanita hamil 33 minggu tanpa monitoring kesejahteraan janin pada saat operasi.12 Dengan posisi ibu Manajemen Anestesi pada Pasien Sindroma Kauda Equina e.c. SOL Ekstrameduler Intradural dengan Kehamilan yang miring ke kiri dan optimal oksigenisasi, ventilasi alveolar, pemantauan tekanan darah arterial ibu, diharapkan tidak terjadi adanya perburukan terhadap janin.12 Perlu diingat bahwa saat pasien yang teranestesi dan diposisikan miring, akan terjadi gangguan yang signifikan terhadap ventilasi, perfusi dan sirkulasi. Kurang lebih 55% dari volume tidal masuk ke dalam ke paru yang nondependent. Paru yang dependent akan relatif kurang terventilasi dan mengalami perfusi berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan hipoksemia pada pasien-pasien tertentu yang mengalami gangguan paru. Posisi miring juga dikaitkan dengan komplikasi pada mata, pleksus brachialis, dan nervus-nervus lainnya.13 Pada pasien ini pasien diposisikan miring setelah dipastikan volume cairan cukup dan diberikan ganjalan berupa bantalan berbentuk donat untuk daerah kepala untuk melindungi mata dan wajah, gulungan kain pada bagian aksila serta pelvis. Pada pasien ini juga tidak terjadi hipoksemia karena sebelumnya tidak terdapat kelainan pada paru-paru. Anestesi untuk obstetrik berbeda dengan tindakan anestesi lain karena, terjadi perubahan-perubahan fisiologis dan anatomi yang dimulai pada tiga bulan terakhir kehamilan,6 dan ada dua individu yang perlu diperhatikan, yaitu ibu dan janin,14 adanya resiko muntah, regurgitasi, aspirasi setiap saat, serta efek obat yang diberikan dapat mempengaruhi janin karena beberapa obat dapat menembus sawar darah plasenta.15 Kesejahteraan janin untuk operasi pada waktu kritis dimana masih terjadinya pertumbuhan dari janin perlu dipertimbangkan pemakaian obat yang berbahaya bagi janin, perfusi uteroplasenta perlu dijaga setiap saat untuk mencegak asfiksia dari janin, dan pencegahan persalinan prematur serta terapi untuk mencegah hal tersebut.16 Pada pasien ini telah diberikan terapi profilaksis untuk mencegah kontraksi prematur dengan pemberian tokolitik preoperatif dan kontinyu saat operasi berlangsung. Perubahan fisiologis didapatkan pada ibu hamil, mulai dari perubahan dari berat badan dan komposisi, sistem pernafasan, perubahan volume darah dan sistem kardiovaskuler, perubahan pada ginjal, saluran cerna, muskuloskeletal, dermatologi, mammae, mata, sampai perubahan 29 pada sistem saraf pusat serta perifer.15 Perubahan pada hematologi ibu menyebabkan volume darah ibu meningkat selama kehamilan yang dimulai pada trimester pertama sebanyak 15% dan meningkat dengan cepat pada trimester kedua menjadi 50%, dan trimester ketiga 55%. Volume plasma meningkat 40‒50%, sedangkan sel darah merah meningkat 15‒20% yang menyebabkan terjadinya anemia fisiologis. Hemodilusi ini menyebabkan viskositas darah menurun kurang lebih 20%.15 Pada pasien ini didapatkan hemoglobin 9,5 dengan hematokrit 29% menunjukkan adanya anemia yang fisiologis karena kehamilan. Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi dari vena kava inferior ketika wanita hamil tersebut berada pada posisi supine, dan hal ini akan menyebabkan penurunan aliran balik vena/venous return dan hipotensi.17 Pada pasien ini dipilih untuk miring ke kiri untuk posisi operasi mengingat adanya penekanan aortokaval pada ibu hamil. Perubahan fisiologis dalam sistem respirasi menyebabkan konsumsi oksigen meningkat 30‒40% selama kehamilan, peningkatan ini terjadi terutama oleh kebutuhan metabolik fetus, uterus, plasenta dan sekunder oleh kenaikan kerja jantung dan paru. Produksi CO2 menunjukan perubahan yang sama dengan konsumsi oksigen, menyebabkan naiknya ventilasi semenit (Minute Ventilation/MV).15 Ventilasi semenit meningkat pada kehamilan aterm kira-kira 45% diatas nilai waktu tidak hamil, dikarenakan peningkatan volume tidal 45% sedangkan frekuensi nafas tidak berubah. Pada kehamilan aterm Fungsional Residual Capacity (FRC), Expiratory Reserve Volume (ERV), dan Residual Volume (RV) menurun. Karena adanya penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan MAC akan menyebabkan parturien lebih sensitif terhadap anestetika inhalasi daripada wanita yang tidak hamil. Dibutuhkan juga preoksigenasi sebelum dilakukannya intubasi karena pada ibu hamil FRC menurun sehingga mudah terjadinya desaturasi, maka dari itu penting untuk dilakukan preoksigenasi sebelum induksi. Pembesaran kapiler pada mukosa nasal, orofaring, dan laring dimulai pada trimester pertama dan meningkat secara progresif sepanjang kehamilan. Karena 30 Jurnal Neuroanestesi Indonesia terjadinya perubahan anatomis, dan mukosa saluran nafas menjadi edematous, meningkatnya vaskularisasi, dan rapuh maka dilakukan intubasi dengan ukuran pipa endotrakeal yang lebih kecil dan pada pascaoperasi perlu dipastikan untuk tidak terjadinya edema pada jalan nafas yang akan menyebabkan penyulit pada saat ekstubasi pasien.15 Pada saluran cerna, perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan merupakan faktor predisposisi terjadinya regurgitasi esofageal dan aspirasi paru. Uterus yang membesar menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan merubah posisi normal gastrooesophageal junction. Pergerakan saluran cerna, absorpsi makanan dan tekanan sfingter esofageal bagian distal menurun, disebabkan karena peningkatan kadar progesteron plasma. Peningkatan sekresi hormon gastrin juga akan meningkatkan sekresi asam lambung. Pembesaran uterus akan menyebabkan gaster terbagi menjadi bagian fundus dan antrum, sehingga tekanan intragastrik akan meningkat. Dibutuhkan puasa yang lebih lama, namun karena terlambatnya pengosongan lambung, semua pasien hamil dianggap sebagai pasien dengan lambung penuh. Profilaksis untuk aspirasi pun perlu diberikan seperti antasid non partikulat, antagonis H2 reseptor seperti ranitidin, beberapa ahli anestesi ada yang memberikan prokinetik seperti metoklopramid.17 Pada pasien ini diberikan ranitidin secara intravena sebagai profilaksis untuk aspirasi. Perubahan pada susunan saraf pusat menyebabkan menurunnya Minimal Alveolar Concentration (MAC) 25‒40%, peningkatan konsentrasi progesteron dan endorfin adalah penyebab penurunan MAC tersebut.15 Pada pasien ini, diberikan rumatan volatil antara 1‒1,5 vol% dengan menggunakan sevofluran. Analgetik merupakan manajemen pascaoperasi yang memegang peranan penting untuk menunjang suksesnya operasi, analgetik yang adekuat akan mencegah rasa sakit yang dapat meningkatkan katekolamin pada sistem sirkulasi, sehingga perfusi uteroplasenta tidak terganggu. Pada pasien ini diberikan analgetik fentanil kontinyu 25‒50 µg/jam dan parasetamol 3x1 gram intravena karena VAS pasien antara 7‒8 setelah operasi. Apabila kehamilan dapat dipertahankan pada satu minggu setelah operasi, insidensi kelahiran prematur akan sama dengan pasien hamil lainnya yang tidak mengalami operasi.17 IV. Simpulan Tindakan pembedahan non-obstetrik selama kehamilan menimbulkan sejumlah tantangan bagi spesialis anestesiologi karena manajemen anestesi harus mempertimbangkan kehidupan ibu dan fetus. Untuk pengelolaan pascaoperasi, keberhasilan manajemen anestesi pada operasi non-obstetrik selama kehamilan bergantung kepada kerjasama multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif, perhatian terhadap fisiologi maternal dan janin, serta perawatan pascaoperasi dan obat analgetik yang adekuat. Mempertahankan stabilitas maternal, waktu optimal melakukan tindakan, dan pemilihan obat serta teknik anestesi yang tepat merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu dan janin. Daftar Pustaka 1. Hawkins JL. Anesthesia for pregnant patient undergoing nonobstetric surgery. ASA annual meeting refresher course lectures. Park Ridge2006:430. 2. Gadalla F. Appendectomy for a pregnant patient. Dalam: Yao FS, Fontes ML, Malhotra V, eds. Yao & Artusio's anesthesiology problem oriented patient management. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008; 948-61. 3. Al-Areibi A, Coveney L, Singh S, Katsiris S. Case report: anesthetic management for sequential caesarean delivery and laminectomy. Can J Anesth. 2007;54(6):47174. 4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric anesthesia. Dalam: Strauss M, Lebowitz H, Boyle PJ, eds. Clinical Anesthesiology. McGraw-Hill Companies; 2006, 890-921. Manajemen Anestesi pada Pasien Sindroma Kauda Equina e.c. SOL Ekstrameduler Intradural dengan Kehamilan 31 5. Allaert S, Carlier S, Wayne L, Vertomen D, Dutre P. First trimester anesthesia exposure and fetal outcome. Acta Anaesth Belg. 2007;58:119-23. 12. Kathirgamanathan A, Jardine AD, Levy DM, Grevitt MP. Lumbar disc surgery in the third trimester with the fetus in utero. Int J Obstet Anesth. 2006;15(2):181-2. 6. Fanzago E. Anesthesia for non obstetric surgery in pregnant patient. Minerva Anesthesiol. 2003;69:416-27. 13. Knight DJ, Mahajan RP. Patient positioning in anaesthesia. Br J Anaesth CEACCP. 2004;4(5):160-3. 7. Kuczkowski KM. The safety of anaesthetics in pregnant women. Expert Opin Drug Saf. Mar 2006;5(2):251-64. 14. Van De Velde M, De Buck F. Anesthesia for non-obstetric surgery in the pregnant patient. Minerva Anestesiol. 2007;73(4):235-40. 8. Littleford J. Effect on the fetus and newborn of maternal analgesia and anesthesia: a review. Can J Anesth. 2004;51:586-609. 15. Bisri T, Wahjoeningsih S, Suwondo BS. Anestesi obstetri. Bandung: Komisi Pendidikan SpAnKAO KATI; 2013. 9. Reihani-Kermani H. Cauda equina syndrome in pregnancy.Arch Iranian Med. 2003;6:146-8. 16. Reitman E, Flood P. Anaesthetic consideration for non-obstetric surgery during pregnancy. Br J Anaesth. 2011;107(suppl 1):i72-8. 10. Herbert WN, Peng T. Fetal lung maturity. ACOG Practice Bulletin. 2008;97. 11. Qaiser R, Black P. Neurosurgery in pregnancy. Semin Neurol. 2007;27(5):476-81. 17. Hool A. Anesthesia in pregnancy for nonobstetric surgery. Anaesthesia tutorial of the week. 2010;185:1-9. Penanganan Anestesi pada Operasi Atlas Meningioma Yunita Susanto Putri, Dewi Yulianti Bisri Departemen Anestesiolgi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Angka kejadian spinal meningioma di Amerika adalah 25 % dari seluruh tumor di regio spinal dan empat kali lebih banyak muncul pada perempuan usia lebih dari 40 tahun dibandingkan pada laki-laki. Delapan puluh persen terjadi di daerah vertebra thorakal, 15% di cervikal, 3% di lumbal dan 2% di foramen magnum. Seorang wanita berusia 42 tahun, GCS 15 dengan diagnosa atlas meningioma, yang dilakukan operasi laminectomu untuk pengangkatan tumor. Pasien mengeluh kesemutan mulai dari tangan kiri diikuti tangan kanan, kaki kiri diikuti kaki kanan sejak 10 bulan yang lalu. Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengeluh lemas bila berjalan yang disertai kelemahan kedua tangan, disertai keterbatasan gerak dari leher, tidak ada gangguan berkemih dan defekasi. Intubasi dilakukan dengan cara inline position, operasi berlangsung selama 7 jam dengan total perdarahan 650 cc, rumatan anestesi menggunakan isofluran 0,8–1 vol%, dexmedetomidine 0,2–0,7 mcg/kgbb/jam dan vecuronium 1 mcg/kgbb/mnt. Pascaoperasi pasien tidak diekstubasi, dirawat Neurosurgery Critical Care Unit (NCCU), pernafasan dibantu mesin bantu nafas dengan mode Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV) dan baru diekstubasi 12 jam pascaoperasi. Tiga hari pascaoperasi pasien dipindahkan ke ruangan dengan GCS 15 dan keadaaan hemodinamik stabil. Kata kunci: atlas meningioma, edema pascaoperasi, laminektomi pengangkatan tumor, posisi inline, spinal meningioma JNI 2014;3 (1): 32‒36 Abstract Anesthesia Management in Atlas Meningioma Surgery The incidence rate of spinal meningioma in the US is 25% of all tumors in the spinal region and appears four times more in women aged over 40 years old than in men. Eighty percent occurs in the thoracal, 15% in the cervical, 3% in the lumbar and 2% in the foramen magnum. This is a case of a 42-year-old woman with GCS 15 who was diagnosed with high cervical meningioma underwent laminectomy tumor removal. Patient experienced numbness on the left referring to the right hand and left referring to the right hand foot since 10 months ago. Since 2 months ago the patient experienced limp with weakness on both hands and limited neck motion. Patients had no disturbance in micturition and defecation. Intubation was done by inline position while the surgery lasted for 7 hours with 650cc bleeding. Anesthesia was maintained using isoflurane 0.81 vol %, dexmedetomidine 0.2-0.7 mcg/kg/h and vecuronium 1 mcg/kg/mnt. After surgery, the patient was not extubated and admitted to NCCU (Neurosurgery Critical Care Unit) with ventilator-mode SIMV (Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation). Extubation was performed 12 hours postoperative. Three days after surgery patient was transferred to inpatient ward with GCS 15 and stable hemodynamic status. Key words: high cervical meningioma, inline position, laminectomy tumor removal, postoperative edema, spinal meningioma JNI 2014;3 (1): 32‒36 32 Penanganan Anestesi pada Operasi Atlas Meningioma I. Pendahuluan Angka kejadian spinal meningioma di Amerika adalah 25 % dari seluruh tumor di regio spinal dan 7,5‒12,7% dari seluruh meningioma, biasanya mengenai wanita lanjut usia. Lokasi tersering pada spinal meningioma adalah thoraks (67‒84%), cervikal (14‒27%) dan lumbal (2‒14%).1,2 Keluhan yang terjadi tergantung dari lokasi dan ukuran lesi, dapat berupa kejang, gangguan penglihatan atau pendengaran, kelemahan anggota gerak atas ataupun bawah.3 Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan cervikal meningioma memerlukan perhatian khusus saat penanganan jalan nafas, leher harus diimobilisasi sehingga intubasi harus dilakukan dengan inline position yaitu dengan bantuan asisten untuk stabilisasi leher.4 Pascaoperasi tumor medula spinalis pada level tinggi dapat menyebabkan terjadinya edema pada daerah operasi sehingga dapat mengkibatkan terjadinya gangguan pernafasan dan hilangnya refleks menelan, maka sebaiknya pasien tidak diekstubasi, terutama bila lokasi tumor diatas C5.4 33 139 Kalium 3.9 Klorida 5.17. Pemeriksaan foto thorax tidak menunjukkan adanya kelainan. Dari hasil pemeriksaan MRI didapatkan hasil tampak massa berukuran 2x1,5x2,5 cm pada cervikal setinggi C1‒C2, ekstramedular, solid dengan efek massa terlihat adanya penekanan medulla spinalis ke sisi kiri setinggi C1‒C2 yang Gambar 1. MRI Cervikal tanpa Kontras II. Kasus Anamnesa Wanita berusia 42 tahun mengeluh kesemutan mulai dari tangan kiri diikuti tangan kanan, kaki kiri diikuti kaki kanan sejak 10 bulan yang lalu. Sejak 2 bulan yang lalu pasien mengeluh lemas bila berjalan yang disertai kelemahan kedua tangan. Pasien tidak ada gangguan berkemih dan defekasi. Pemeriksaan Fisik Saat dikonsulkan pasien dalam keadaan kompos mentis dengan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 88 x/menit, laju nafas 18 x/menit, saturasi oksigen 98% dengan udara bebas, berat badan 50 kg. Dari pemeriksaan didapatkan adanya keterbatasan gerak dari leher dan kelemahan keempat anggota gerak, dengan skor motorik anggota gerak atas 1|2 dan anggota gerak bawah 2|2, penurunan fungsi sensorik dari mulai setinggi C‒4. Hasil Laboratorium: PT 14.7 INR 1.1 APTT 27.3 Hemoglobin 12.8 g/dL Hematokrit 39% Leukosit 7400/mm3 Trombosit 229000/mm3 SGOT 17 SGPT 14 Ureum 21 Kreatinin 0.72 Gula darah sewaktu 95 g/dL Natrium Gambar 2. MRI Cervikal dengan Kontras dapat menyebabkan upper cervikal myelopathy. Pengelolaan Anestesi Preoksigenasi dengan O2 6 liter permenit selama 5 menit setelah itu diinduksi dengan menggunakan fentanyl 2 mcg/kgbb, propofol 2 mg/kgbb, lidokain 1,5 mg/kgbb, vekuronium 0,1 mg/kgbb, setelah pasien tertidur diberikan 34 Jurnal Neuroanestesi Indonesia anestesi topikal lidokain pada pharing dan dilakukan ventilasi tekanan positif dengan O2: udara = 50:50 dan isofluran 1,5 vol% dengan inline position. Lima menit setelahnya, pasien diintubasi dengan inline position menggunakan blade laringoskop, ETT non-kinking nomor 7,0. Setelah itu dilakukan pemasangan CVC di subclavia kanan, pipa nasogastrik dan kateter urin. Kemudian pasien diposisikan telungkup dengan tetap menjaga kestabilan leher pasien. Rumatan anestesi menggunakan isofluran 0,8‒1 vol%, dexdemetomidine 0,2‒0,7 mcg/kg/jam dan Grafik 1. Grafik Hemodinamik Durante Operasi Gambar 3. Prosedur Intubasi dengan Stabilisasi Leher5 vekuronium 1 mcg/kg/menit. Operasi berlangsung selama 7 jam dengan total perdarahan 650 cc. Pengelolaan Pascabedah Setelah operasi selesai, pasien tidak diekstubasi dan dirawat NCCU. Saat tiba di NCCU, pasien masih dalam kesadaran dipengaruhi obat (propofol) dan disambungkan dengan mesin bantu nafas dengan mode SIMV TV 350 RR 10 PEEP 5 FiO2 50% dan tersedasi dengan propofol 2,5 mg/kgbb/menit. Delapan jam setelahnya, sedasi dihentikan dan mesin bantu nafas mulai disapih sambil melihat respon nafas dan hemodinamik pasien. Dua belas jam pascabedah, keadaan pasien komposmentis dengan hemodinamik stabil, Grafik 2. Grafik Hemodinamik selama di NCCU motorik ekstremitas kanan atas perbaikan menjadi 3|3 sedangkan motorik ekstremitas bawah masih 2|2 dan saturasi oksigen 100% dengan mode CPAP PS 5 PEEP 5 FiO2 40%, dilakukan ekstubasi. Tiga hari pascaoperasi, pasien dipindahkan ke ruangan dengan keadaan umum komposmentis, tekanan darah 130/83 mmHg, denyut jantung 87x/menit, laju nafas 18 x/menit, saturasi oksigen 100% dengan kanul binasal 2 liter permenit, motorik ekstremitas atas 3|3, ekstremitas bawah 2|2, sensorik hipestesi setinggi C‒4. III. Pembahasan Insidensi spinal meningioma 25 % dari seluruh tumor di regio spinal dan empat kali lebih banyak muncul pada perempuan usia lebih dari 40 tahun Penanganan Anestesi pada Operasi Atlas Meningioma dibandingkan pada laki-laki. Delapan puluh persen terjadi di daerah vertebra thorakal, 15 % di cervikal, 3% di lumbal dan 2% di foramen magnum.6,7 Meningioma pada daerah vertebra cervikal akan memberikan gejala klinis seperti nyeri dan kaku pada bagian leher, kelemahan tangan dan kaki juga dapat disertai gangguan sensoris seperti rasa kebas.8 Pada pasien ini ditemukan adanya nyeri dan kaku pada bagian leher yang menyebabkan pasien tidak dapat menggerakan lehernya dengan bebas disertai kelemahan tangan dan kaki sehingga pasien tidak dapat berjalan, disertai rasa kebas dari mulai setinggi C‒4. Lesi pada segmen spinal tinggi dapat menyebabkan adanya gangguan pernafasan karena adanya gangguan persarafan pada diafragma, sehingga pada saat pre-operasi harus dinilai betul mengenai fungsi pernafasannya.8 Pada pasien ini tidak didapatkan adanya gangguan pernafasan, pasien dapat bernafas dengan baik tanpa adanya tanda-tanda sesak. Pada meningioma dengan lesi setinggi cervikal, intubasi dilakukan dalam inline position agar leher dalam keadaan stabil untuk mencegah terjadi cedera cervikal akibat tindakan intubasi.6 Sebelum intubasi pasien diposisikan dahulu dengan posisi fleksi leher semampu pasien setelah itu leher pasien dipegang oleh asisten untuk mendapatkan inline position sebagai pencegahan terjadinya cedera sekunder pada daerah cervikal, setelah itu dilakukan induksi menggunakan fentanyl 100 mcg, propofol 100 mg, lidokain 70 mg, vekuronium 5 mg, setelah pasien tertidur dilakukan ventilasi tekanan positif dengan O2: udara = 50:50 dan isofluran 1,5 vol% dan diberikan topikal anestesi lidokain pada daerah pharing untuk mencegah terjadinya lonjakan hemodinamik saat intubasi. Setelah 5 menit, dilakukan intubasi oral dengan ETT non-kinking nomor 7 dengan inline position. Hampir semua operasi pada daerah tulang belakang membutuhkan posisi pasien telungkup, jadi pasien diintubasi dalam keadaan telentang, setelah itu diposisikan telungkup. Pada saat memposisikan pasien menjadi telungkup perlu dijaga leher dalam posisi netral.b Rumatan anestesi harus dapat menghasilkan kedalaman anestesi yang baik.8 Selama operasi berlangsung, pasien mendapatkan inhalasi 35 isofluran 0,8‒1 vol% dan melalui intravena diberikan dexdemetomidine 0,2‒0,7 mcg/ kg/jam dan vecuronium 1 mcg/kg/menit. Keputusan untuk dilakukan ekstubasi cepat pada pasien pascaoperasi tumor spinal tergantung dari letak tingginya tumor, fungsi pernafasan pasien, durasi dan tingkat kesulitan operasi, bila akan dilakukan ekstubasi cepat, pasien harus dalam keadaan sadar penuh saat akan diekstubasi. Pasien dengan letak tumor pada tingkat tinggi (atlas meningioma), dianjurkan dilakukan pemantauan ketat selama 48‒72 jam pascaoperasi karena pada saat ini dapat terjadi edema pada daerah operasi yang bisa menyebabkan terjadinya penekanan pada medula spinalis yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan hilangnya refleks menelan.10 Setelah operasi selesai, pasien tidak diekstubasi dan selanjutnya dirawat di Neurosurgery Critical Care Unit (NCCU) selama 3 hari. Saat tiba di NCCU, pasien masih dalam kesadaran dipengaruhi obat (propofol 25 mcg/kgbb/menit) dan terhubung dengan mesin bantu nafas dengan mode SIMV TV 350 RR 10 PEEP 5 FiO2 50%. Delapan jam setelah sedasi dihentikan dan mesin bantu nafas mulai disapih sambil melihat respon nafas dan hemodinamik pasien. Duabelas jam pascaoperasi, keadaan pasien komposmentis dengan hemodinamik stabil dan saturasi oksigen 100% dengan mode CPAP PS 5 PEEP 5 FiO2 40%, disertai adanya perbaikan gerak motorik dari kedua tangan, lalu dilakukan ekstubasi. Tiga hari pascaoperasi pasien dipindahkan ke ruangan biasa dalam keadaan komposmentis, hemodinamik stabil dan motorik ekstremitas atas perbaikan dibandingkan sebelum operasi. IV. Simpulan Penatalaksanaan pasien dengan atlas meningioma meliputi preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi. Saat preoperasi harus dilakukan penilaian fungsi pernafasan dan kardiovaskular dengan baik. Induksi dan intubasi harus dilakukan dalam keadaan leher immobilisasi sehingga diperlukan asisten untuk menstabilkan leher. Keputusan untuk dilakukan ekstubasi cepat pada pasien pascaoperasi tumor spinal tergantung dari letak tingginya tumor, fungsi pernafasan pasien, durasi 36 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dan tingkat kesulitan operasi, bila akan dilakukan ekstubasi cepat, pasien harus dalam keadaan sadar penuh saat akan diekstubasi. Selama 48‒72 jam pascaoperasi, pasien harus diobservasi ketat untuk melihat fungsi pernafasannya karena edema pascaoperasi. 5. Stene JE. Anesthesia for the critically ill trauma patient. Dalam: Siegel HJ, ed: Trauma emergency surgery and critical care. Melbourne: Churchill Livingstone; 1987, 843. 6. Metwally MYM. Textbook of neuroimaging. A CD-ROM publication. WEB-CO agency for electronic publication. Version 104a. October 2009. 1. Gottfried ON, Gluf W, Quinones-Hinojosa A, Kan Peter, Schmidt MH. Spinal meningiomas: surgical management and outcome. Neurosurg Focus. 2003;14(6) 7. Rack BL, Harrop JS, Hanna A, Ratliff J. Cervical meningioma: case report and literature review. Spinal Cord Med. 2008; 31(3): 302–5. Daftar Pustaka 2. Ernest EA. Cervikal-Medullary Meningioma [Diunduh 5 Januari 2014]. Diakses dari http://www.practicalpainmanagement.com/ pain/maxillofacial/cervikal-medullarymeningioma 3. Park JK. Black PM, Shih HA. Meningioma (Beyond the Basics)[Diunduh tanggal 3 Januari 2014]. Diakses dari http://www.uptodate.com/ contents/meningioma-beyond-the-basics 4. Bisri T, Wargahadibrata HA, Surahman E. Neuroanestesi. Edisi 2. Bandung: Bagian Anestesi dan Perawatan Intensif FK Unpad. 1997, 239-45. 8. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2005, 1081-2. 9. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology. Edisi 4. Amerika Serikat: McGraw-Hill Companies; 2006, 608-9. 10. Stier GR, Giffin JP, Cole DJ, Onesti S, Fried E. Spinal cord: injury and procedures. Dalam: Newfiled P, Cottrell JE, editors. Handbook of Neuroanesthesia. Edisi 4. Amerika Serikat: Lippincott Williams & Wilkins. 2007, 251-2. Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Abstrak Kognisi adalah proses untuk mengetahui atau berpikir, memilih, mengerti, mengingat, dan menggunakan informasi. Gangguan kognitif adalah gangguan dalam melakukan perhatian dan konsentrasi, proses dan mengerti informasi, ingatan, komunikasi, perencanaan, organisasi, pemikiran, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, mengendalikan rangsangan dan hasrat. Lebih dari 50.000 orang meninggal setiap tahun akibat cedera otak traumatik (COT) dan 70.000–90.000 mengalami kecatatan permanen di USA. Walaupun pasien dengan COT sedang, secara fisik mengalami pemulihan penuh, tapi sering mengalami perubahan tingkah laku jangka lama yang mempengaruhi pekerjaan, cara hidup, dan keluarganya. Setelah COT yang lebih berat, gangguan kognitif merupakan masalah paling umum dan memberikan kontribusi lebih daripada gangguan fisik. Luasnya defisit kognitif ditunjukkan oleh 1) beratnya diffuse axonal injury (DAI) yang ditunjukkan lamanya posttraumatic amnesia (PTA), luasnya atropi umum, dan 2) lokasi, dalamnya, dan volume lesi serebral fokal. Terapi difokuskan pada rehabilitasi neurokognisi. Sampai saat ini tidak ada terapi untuk cedera otak primer dan terapi yang dilakukan adalah mengurangi cedera sekunder yang dipicu oleh cedera primer. Jadi secara umum tetap menggunakan ABCDE neuroanestesi/neuroresusitasi dan secara khusus dengan pemberian infus lidokain, natrium laktat hipertonik, obat kholinergic, catecholaminergic, tricyclic antidepressants. Kata kunci: cedera otak traumatik, disfungsi kognitif JNI 2014;3 (1): (37‒47) Prevention and Management of Cognitive Dysfunction after TBI Abstract Cognition is the act of knowing or thinking process. It includes the ability to choose, understand, remember and use information. Cognition function disorder includes disturbances in accessing and optimizing attention and concentration, processing and understanding information, memory, communication, planning, organizing, and assembling, reasoning, problem-solving, decision-making, and judgment, controlling impulses, desires and being patient. More than 50,000 people die from traumatic brain injury (TBI) each year and other 70,000–90,000 people are permanently disabled in the US. Even individuals with moderate head injuries who appear to be physically fully recovered, often have long lasting behavioral sequelae, which in turn affects the individual’s occupation, lifestyle and interaction with family members. After a more severe injury, cognitive function disorder is considered more common compared to physical impairment. The extent of cognitive function deficit after TBI is reflected by a number of factors 1) the severity of diffuse axonal injury, as indicated by the length of post traumatic amnesia (PTA), the extent of generalized atrophy; and 2) the location, depth, and volume of focal cerebral lesions. Therapy is focused to neuro cognitive rehabilitation. Until now, there is no specific therapy for primary brain injury and commonly applied therapy is focused on reducing secondary brain injury. In general, the ABCDE of neuroanesthesia/neuroresuscitation is still commonly used, and in specific case, the need to administration of lidocaine infusion, sodium lactate hyperosmolar, cholinergic, catecholaminergic, and tricyclic antidepressants. Key words: cognitive dysfunction, traumatic brain injury JNI 2014;3 (1): 37‒47 37 38 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Lebih dari 50 ribu orang meninggal setiap tahun akibat cedera otak traumatik (COT) dan 70 ribu sampai 90 ribu mengalami kecatatan permanen di USA. Walaupun pasien dengan cedera otak traumatik sedang secara fisik mengalami pemulihan penuh, sering mengalami perubahan tingkah laku yang berlangsung lama seperti mudah lupa, prosesing ide lambat, mudah tersinggung serta ketidakmampuan berkonsentrasi, yang akan mempengaruhi pekerjaannya, cara hidup, dan keluarganya. Sampai saat ini tidak ada terapi untuk cedera otak primer dan terapi yang dilakukan adalah mengurangi cedera sekunder yang dipicu oleh cedera primer.1,2 Defisit fungsi kognitif sering terjadi pada pasien pascacedera otak traumatik. Pada beberapa puluh tahun yang lalu selama pengelolaan pasien cedera otak traumatik, seorang spesialis anestesi hanya memikirkan pasien jangan sampai meninggal di meja operasi dan bertanggung jawab sampai 24 jam pascabedah dengan outcome minimal kembali ke keadaan sebelum operasi. Dengan bertambah majunya ilmu anestesi, pengelolaan pasien yang dilakukan operasi berlanjut ke ruangan dan luaran pasien dinilai berdasarkan parameter Glasgow Outcome Scale (GOS) dan sekarang dengan extended GOS (GOSE), (tabel 1 dan 2). Saat pengelolaan pasien perioperatif, spesialis anestesiologi selain melakukan tindakan untuk memberikan fasilitas pembedahan juga mempertahankan perfusi otak yang adekuat serta mengendalikan tekanan intrakranial. Pengelolaan berdasarkan Brain Trauma Foundation guideline (BTF), masih tetap tidak dapat menghilangkan komplikasi defisit fungsi kognitif pascabedah pada pasien yang selamat. Brain Trauma Foundation Guideline hanya berdasarkan pada pengelolaan tekanan intrakranial dan tekanan perfusi otak, belum dilaksanakan pengelolaan ke tingkat seluler. Hal ini terlihat belum dicantumkannya proteksi otak secara farmakologik pada BTF guideline. Proteksi otak atau resusitasi otak pada BTF guideline hanya memberikan mannitol dan barbiturat.2-4 Kalau kita lihat kaskade iskemia setelah COT akibat pasokan oksigen lebih rendah dari kebutuhan, maka dari setiap perubahan telah dilakukan berbagai penelitian untuk memblok kaskade sehingga tidak terjadi kematian sel akibat cedera otak sekunder.5 Kesulitan dalam pelaksanaan di klinik adalah banyaknya kegagalan aplikasi klinis dari penelitian hewan coba yang berhasil baik ke pemakaian klinis pada manusia. Berbagai penelitian telah dicoba untuk memperbaiki luaran klinis. Kejadian cedera kepala di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung dari tahun 2008‒2011, terdiri dari cedera kepala berat 109 orang, cedera kepala sedang 1086 orang, dan cedera kepala ringan 1641 orang.6 Oleh karena itu, masalah kemungkinan terjadinya gangguan fungsi kognitif setelah cedera kepala sangat besar, karena disfungsi kognitif dapat terjadi setelah cedera kepala ringan.7 Cedera otak traumatik menimbulkan banyak kematian, sedangkan pada pasien yang selamat terjadi gangguan fungsi kognitif permanen dan perubahan tingkah laku yang akan mempengaruhi kehidupannya, keluarga, dan teman-temannya. Gangguan yang paling banyak terlihat adalah manisfestasi kognitif dan manifestasi tingkah laku. Manifestasi kognitif yang sering terlihat adalah hilangnya ingatan, menurunnya kecepatan menerima informasi, dan kekakuan kognitif. Manifestasi tingkah laku yang sering terlihat adalah agitasi, tidak dapat mengendalikan emosi, dan emosi yang labil. Walaupun defisit-defisit ini sering permanen, pelatihan fungsi kognitif dan pengelolaan tingkah laku dapat memodulasi respons. Fokus perawatan adalah pada reorganisasi dari kemampuannya daripada memodifikasi respons abnormal. II. Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik Depresi klinis terjadi dengan tingkatan kejadian yang nyata pada pasien yang mengalami cedera otak traumatik dan membawa kearah gangguan fungsional dan psikososial. Penelitian menemukan bahwa sampai 77% pasien COT mengalami depresi berat. Sampai 35% pasien dengan COT ringan, yang merupakan porsi terbesar dari COT, mengalami depresi. Faktor etiologi yang mendasari comorbid depresi pada COT masih belum jelas walaupun beberapa peneliti mendukung bahwa perubahan Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik neurokimia dan reaksi psikososial pada cedera neurologik ikut berperanan. Gangguan kognitif lazim terjadi setelah COT, termasuk COT ringan. Kriteria diagnosis untuk episode depresi berat termasuk berkurangnya kemampuan berpikir dan konsentrasi, akan tetapi pengaruh komorbid depresi dan COT pada kognitif kurang jelas.7 Efek neurobehavioral cedera kepala tertutup pada dewasa muda adalah perubahan kognisi, mood, dan fungsi sosial yang mengurangi kualitas hidup untuk pasien dan keluarganya. Perubahan-perubahan ini sering mengganggu usaha rehabilitasi, kembalinya ke pekerjaan, dan hubungan keluarga. Penemuan lain yang signifikan adalah gangguan emosi dan sekuele kognitif seperti lambat berpikir, mudah tersinggung, dan defisit memori lebih kuat daripada gangguan fisik. Keluarga dari pasien dengan cedera kepala berat dalam 6 bulan setelah cedera kepala menguraikan perubahan memori dan konsentrasi pasien yang buruk. Banyak dari simptomsimptom ini tetap ada sampai 7 tahun kemudian. Banyak penelitian baru telah menkonfirmasikan insidensi yang tinggi dari perubahan tingkah laku dan kognitif setelah cedera kepala tertutup (Closed Head Injury/CHI). Penelitian pada orang yang selamat dari cedera kepala sedang dan berat tentang fungsi pada 1 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun setelah cedera, menunjukkan bahwa pada 1 bulan, masalah paling besar adalah fatig, gangguan memori, dizziness (pusing/ pening), dan konsentrasi. Masalah memori dan mudah tersinggung menetap sampai 1 dan 2 tahun. Penelitian lain menguji orang-orang yang selamat dari cedera kepala berat dengan GOS good recovery atau moderate disability, menunjukkan pada 5‒8 tahun setelah cedera, keluarganya melaporkan keluhan pasien berupa ingatan yang buruk, fatig, rasa bermusuhan. Penelitian-penelitian sebelumnya mempunyai outcome khas pada dewasa muda yang selamat dari cedera kepala. Sebagai hasilnya sangat sedikit diketahui tentang sekuele tingkah laku dan pola pemulihan pada pasien yang lebih tua usia 50 tahunan. Walaupun insidensi cedera kepala paling tinggi di usia 18-30 tahun, akan tetapi, cedera kepala merupakan masalah yang nyata pada usia yang lebih tua. Lebih jauh lagi, penelitian pada pasien usia muda lebih fokus 39 pada cedera kepala berat. Walaupun mortalitas setelah cedera kepala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, jumlah pasien yang berumur lebih tua dengan cedera kepala ringan dan sedang mungkin dapat selamat dan karena itu memerlukan rehabilitasi setelah periode akut dan supervisi keluarganya. Jadi penting untuk menguji pola perubahan tingkah laku yang ditemukan pada kelompok umur yang lebih tua. Penelitian pada kelompok yang lebih tua ini menunjukkan adanya penurunan fungsi kognitif, mood, dan fungsi sosial. Perubahan paling menonjol adalah penurunan memori, komprehensi, dan konsentrasi, peningkatan kegelisahan dan iritabilitas. Perubahan mood berupa rasa putus asa dan merasa tidak berharga. Pada pasien yang berusia muda, menyebabkan keluarga merasa stres dan merusak hubungan satu sama lain.8 Disfungsi memori setelah cedera otak traumatik ringan sering terlihat di klinis, tapi keadaan yang mendasarinya dari kehilangan fungsi ini belum jelas. Satu penelitian dengan melakukan cedera otak memakai lateral fluid percussion ringan pada tikus, untuk melihat adanya disfungsi memori, kehilangan sel neuron pada daerah spesifik di hipocampus, dan rusaknya sawar darah otak. Penilaian dengan menggunakan Moris Water Maze (MWM) untuk melihat hilangnya memori tikus 42 jam setelah trauma. Ternyata ada korelasi yang nyata antara skor memori pascatrauma dengan kehilangan sel pada hilus dentate girus jadi ada hubungan antara defisit kognitif dengan perubahan neuropatologik pada hippocampus. 9 Kognitif adalah proses untuk mengetahui atau berpikir, hal itu termasuk memilih, mengerti, mengingat, dan menggunakan informasi. Termasuk dalam kognitif adalah perhatian dan konsentrasi, proses dan mengerti informasi, ingatan, komunikasi, perencanaan, organisasi, dan asembling, pemikiran/pertimbangan, pemecahan masalah, decision-making dan pengambilan keputusan, mengendalikan rangsangan dan hasrat. Bagaimana Cedera Otak Traumatik mempengaruhi kognitif dan apa yang dapat kita lakukan? Setelah COT banyak yang mengalami masalah dengan perhatian, konsentrasi, bicara dan bahasa, belajar dan ingatan, reasoning, perencanaan, 40 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dan pemecahan masalah. Seseorang dengan COT mungkin tidak dapat fokus, memberikan perhatian, atau berpikir dalam satu pemikiran dalam saat bersamaan. Hal ini mungkin akibat dari gelisah dan mudah bingung, kesulitan menyelesaikan satu proyek atau bekerja lebih dari satu tugas dalam saat yang sama, masalah dalam melakukan pembicaraan atau duduk dalam jangka lama. Disebabkan karena skil untuk perhatian adalah suatu “building block” dari level skill yang tinggi (seperti ingatan dan pemikiran), pasien dengan masalah perhatian dan konsentrasi sering menunjukkan gejala dari masalah kognitif lainnya.10-13 sampai skil visual dan waktu reaksi telah ditest oleh spesialis.10-13 Untuk memperbaiki dan mengerti proses informasi dapat dilakukan dengan membentuk perhatian penuh pada apa yang sedang dicoba untuk dimengerti, untuk mengurangi kebingungan. Perlu diberikan waktu lebih lama untuk berfikir tentang informasi tersebut sebelum melakukannya. Apabila diperlukan, informasi perlu dibaca ulang dan dibuat catatan dan simpulan dengan kata-kata sendiri. Bila diperlukan, diminta mengulanginya dengan cara lain atau bicara lambat, mengulangi apa yang didengar untuk menjamin bahwa pasien sudah mengerti dengan betul.10-13 Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki masalah perhatian dan konsentrasi? Memperbaiki masalah perhatian dan konsentrasi dapat dilakukan dengan mengurangi kebingungan misalnya bekerja ditempat yang tenang, fokus pada satu pekerjaan saja pada saat yang sama, mulai mempraktekkan skil perhatian yang sederhana, mempraktekkan (misalnya membaca satu paragraf) di kamar yang tenang. Kemudian ditingkatkan secara bertahap (misalnya membaca ceritra pendek atau bekerja ditempat yang ribut/ gaduh dan beristirahat bila merasa lelah.10-13 Masalah Bahasa dan Komunikasi Masalah komunikasi dapat menyebabkan seseorang dengan COT sulit untuk mengerti dan mengekresikan komunikasi seperti kesulitan memikirkan kata-kata yang tepat, kesulitan memulai percakapan atau mengerti apa yang dikatakan orang lain, melantur, sulit dengan bahasa yang komplek seperti mengemukakan pemikiran dalam kalimat yang terorganisir, kesulitan dalam komunikasi pemikiran dan perasaan dengan menggunakan ekspresi muka, tekanan suara dan bahasa tubuh (komunikasi non-verbal), kesulitan dalam membaca emosi orang lain dan tidak merespons dengan baik pada perasaan orang lain atau situasi sosial, salah mengerti banyolan atau sindiran tajam.10-13 Masalah dalam Prosesing dan Mengerti Informasi Setelah cedera otak, kemampuan seseorang untuk memproses dan mengerti informasi sering lambat dan menimbulkan masalah-masalah sebagai berikut: membutuhkan waktu lama untuk memahami apa yang dikatakan orang lain, membutuhkan waktu lebih lama untuk mengerti dan mengikuti petunjuk, kesulitan dalam mengikuti pertunjukkan di TV atau film, membutuhkan waktu lama untuk membaca dan mengerti informasi tertulis termasuk buku, koran atau majalah, lambat bereaksi, lambat melakukan aktivitas fisik termasuk aktivitas sehari-hari seperti memasak atau ganti pakaian. Lambat bereaksi, khusus penting untuk menyetir kendaraan karena menjadi tidak aman kalau tidak mampu bereaksi cepat terhadap penanda seperti lampu stopan atau tanda bahaya lainnya. Seseorang dengan COT tidak boleh menyetir Upaya memperbaiki bahasa dan komunikasi dengan bantuan terapist bicara untuk mengidentifikasi daerah yang membutuhkan kerja. Masalah komunikasi dapat diperbaiki dalam jangka lama setelah cedera otak. Kata-kata yang ramah dan tonus suara yang lembut. Hati-hati untuk tidak berbicara “talk down” (bicara dengan tinggi hati, menghentikan pembicaraannya). Bila bicara dengan seseorang yang telah mengalami cedera otak, tanyakan apakah dia tidak mengerti apa yang kita katakan, atau berikan pertanyaan supaya kita tahu apakah dia sudah mengerti apa yang kita katakan atau tidak. Jangan bicara terlalu cepat atau terlalu banyak, batasi pembicaraan pada suatu saat. Kembangkan gerakan sebagai tanda, misalnya mengangkat jari dsb bila dia sudah menyelesakan topik pembicaraannya.10-13 Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik Masalah belajar dan mengingat informasi baru Seseorang dengan COT mungkin mempunyai kesulitan dalam belajar dan mengingat informasi baru dan kejadian baru. Mereka mungkin kesulitan mengingat kejadian yang terjadi beberapa minggu atau bulan sebelum cedera (walaupun sering pulih dengan berlangsungnya waktu). Seseorang dengan COT umumnya mampu mengingat kejadian yang berlangsung di masa lampau. Mereka mungkin mempunyai masalalah dalam mengingat keseluruhan kejadian atau percakapan. Karena itu, coba untuk “fill the gaps” dari informasi yang hilang.10-13 Untuk memperbaiki masalah ingatan dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1. Melakukan bersamaan tugas dan aktivitas harian yang telah terstruktur. 2. Belajar untuk menggunakan bantuan memori seperti memory notebooks, kalender, jadwal harian, tugas harian. 3. Mencurahkan waktu dan perhatian untuk me review dan mempraktekkan informasi baru. 4. Istirahat dan mengkonsentrasi untuk mengurangi kecemasan sebanyak mungkin. 5. Obat-obat tertentu. Masalah Perencanaan dan Organisasi Seseorang dengan COT mungkin mengalami kesulitan merencanakan kegiatan hariannya, mereka mempunyai kesulitan dengan tugas yang memerlukan pekerjaan bertahap seperti halnya mencuci atau memasak.10-13 Untuk memperbaiki perencanaan dan organisasi dapat dilakukan dengan cara membuat daftar apa yang perlu dikerjakan dan kapan dikerjakannya. Tentukan mana yang akan dikerjakan pertama kali. Bagi aktivitas ke tahapan yang lebih kecil.10-13 Masalah dengan pemikiran, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan Seseorang dengan COT mungkin mengalami kesulitan mengingat bila ada masalah, yang merupakan tahapan pertama dalam pemecahan masalah. Mereka mempunyai masalah dalam menganalisa informasi dan mengubah cara berpikir. Bila melakukan pemecahan masalah, mereka sulit menentukan pemecahan terbaik. Mereka mungkin membuat keputusan cepat 41 tanpa memikirkan konsekuensinya atau tidak bisa memberikan keputusan terbaik.10-13 Untuk memperbaiki pemikiran dan pemecahan masalah tersebut seorang terapist bicara atau psikologist yang berpengalaman dalam rehabilitasi kognitif dapat mengajar pendekatan terorganisir untuk pemecahan masalah harian. Bekerja melalui strategi pemecahan masalah tahap demi tahap dalam tulisan: mendefinisikan masalah, kemungkinan pemecahan masalah, pro dan kontra setiap pemecahan masalah, dicoba untuk melakukan solusi terbaik, evaluasi keberhasilan pemecahan masalah yang dilakukan, dicoba melakukan solusi yang lain bila solusi yang pertama tidak berhasil.10-13 Tingkah laku yang tidak pantas, memalukan atau impulsif Seseorang dengan cedera otak mungkin tidak bisa mengontrol diri dan sebagai akibatnya mereka melakukan tindakan yang tidak pantas atau impulsif dalam situasi sosial. Mereka mungkin menyangkal bahwa mereka punya masalah kognitif, kecuali kalau kelihatan secara nyata. Mereka mungkin mengatakan terluka atau berpikiran tidak sensitif, bekerja diluar kebiasaannya, mereka tidak menyadari bahwa tingkah lakunya tidak menyamankan orang lain.10-13 Penyebab dari tingkah laku yang tidak pantas atau impulsif adalah akibat dari penurunan kemampuan pemikiran atau kehilangan kendali. Seseorang yang telah kena cedera tidak bisa berpikir bahwa “bila mengatakan atau mengerjakan hal tersebut, bisa terjadi sesuatu yang buruk”. Kesadaran diri memerlukan keterampilan berpikir yang kompleks sering melemah setelah cedera otak. Hal yang dapat dilakukan keluarga terhadap hal tersebut adalah memikirkan sebelumnya tentang situasi yang mungkin membawa kearah keputusan yang buruk, memberikan umpan balik yang mendukung dan realistik tentang apa yang dilihat sebagai perbuatan yang tidak pantas, memberikan harapan yang jelas untuk tingkah laku yang diinginkan sebelum kejadian, rencanakan dan latih interaksi sosial yang dapat diperkirakan dan lakukan secara konsisten, buat isarat verbal dan non-verbal untuk tanda “stop and think”. 42 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Sebagai contoh, geleng kepala untuk tanda tidak. Bila terjadi tingkah laku yang tidak diingini, hentikan semua aktivitas yang sedang dikerjakan, misalnya apabila terjadi hal yang tidak diinginkan dan kita ada di mall, maka segera pulang.10-13 Tabel 1. Glasgow Outcome Scale (GOS) 1 2 Death Vegetative state D VS 3 4 5 Severe disability Moderate disability Good recovery SDMDGR- III. Pencegahan Tabel 2. Extended Glasgow Outcome Scale (GOSE) 1 2 3 4 5 Death Vegetative state Lower severe disability Upper severe disability Lower moderate disability 6 7 8 Upper moderate disability MD+ Lower good recovery GRUpper good recovery GR+ The Montreal Cognitive Assessment (MOCA) dirancang sebagai instrument skrining yang cepat untuk disfungsi kognitif ringan. MOCA menilai berbagai domain kognitif yang berbeda: atensi dan konsentrasi, fungsi eksekutif, memori, bahasa, keterampilan visuokonstruksi, konsep berpikir, kalkulasi, dan orientasi. Waktu yang dibutukan untuk menggunakan MOCA kira-kira 10 menit. Total skor 30 dan skor 26 keatas dianggap normal. D VS SDSD+ MD- Pemeriksaan gangguan fungsi kognitif dengan Mini Mental State Examination (MMSE) atau The Montreal Cognitive Assessment (MOCA).14 Pencegahan terjadinya disfungsi kognitif setelah cedera otak traumatik adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Kalau kita lihat pengelolaan perioperatif adalah berdasarkan pada Brain Trauma Foundation Guideline tahun 2007 untuk pengelolaan prabedah dan pascabedah, sedangkan untuk teknik anestesi adalah berdasarkan pengelolaan prabedah ditambah dengan pemberian obat-obat anestesi dengan memperhatikan konsep farmakologik brain protection. Secara garis besar selama pengelolaan perioperatif adalah mempertahankan tekanan perfusi otak adekuat, mengendalikan tekanan intrakranial, jadi secara umum adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder yang dipicu oleh cedera otak primer.2-4 Tabel 3. Interpretasi MMSE Metode Skor Interpretasi Single cutoff <24 Abnormal Rentang <21 >25 Peningkatan odds dari demensia Penurunan odds dari demensia Edukasi 21 <23 <24 Abnormal untuk pendidikan kelas 8 Abnormal untuk pendidikan setingkat SMA Abnormal untuk pendidikan setingkat perguruan tinggi Beratnya 24-30 18-23 0-17 Tidak ada gangguan kognitif Gangguan kognitif ringan Gangguan kognitif berat Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik 43 Tabel 4. Obat untuk Memperbaiki Kognitif setelah COT Obat Cholinergik Physostigmine (not recommended) Cytidine-5’-diphosphocholine Obat Catekholaminergik Psychostimulants Amantadine Bromocriptine Levodopa Obat Lain Tricyclic antidepressants ? Selective serotonin reuptake inhibitor antidepressants ? Pergolide, pramipexole, ropinirole (other dopamine receptor agonists ? Atomoxetine (selective norepinephrine reuptake inhibitor) ? Guanfacine (selective 2A-adrenergic agonist) IV. Terapi Gangguan Kognitif Tindakan untuk memperbaiki gangguan kognitif setelah COT difokuskan pada rehabilitasi neurokognisi, termasuk kombinasi pendekatan restoratif dan kompensatori kerusakan atau kehilangan fungsi. Tindakan ini termasuk strategi farmakologik untuk memperbesar rehabilitasi dan pemulihan fungsional. COX‒2 inhibitor: Kontribusi dari COX‒2 otak pada fungsi kognitif baru-baru ini menjadi topik yang diteliti secara intens. Banyak penelitian yang telah menunjukkan keuntungan COX‒2 inhibitor dalam memperbaiki fungsi memori setelah cedera otak traumatik. Pengobatan yang memicu overekpresi COX‒2 dalam otak mempengaruhi fungsi kognitif. Sebagai contoh, penyuntikan IL1β ke hipokampus dorsal bilateral secara nyata mengganggu memori kerja (working memory) dan gangguan ini dikurangi dengan pemberian diclofenac, suatu COX‒2 inhibitor parsial. Memori kerja juga terganggu pada tikus yang diberi suntikan prostaglandin E2 pada intrahipokampus bilateral. Menariknya, pengobatan dengan non-selektif COX‒2 inhibitor menyebabkan defisit terus menerus pada pembelajaran spatial dalam Moris Watermaze. Beberapa penelitian menunjukkan peranan unik dari COX‒2 dan inhibitornya dalam kognisi dan demensia. Keadaan yang memicu overekpresi COX2 memegang peranan dalam penurunan kognitif.16 Hasil dari beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan obat-obatan yang dipakai saat pasien dikelola oleh spesialis anestesi, mampu memperbaiki disfungsi kognitif. Pemberian infus lidokain 1 mg/kgBB/jam menurunkan kadar IL‒6 dan PLA2 pada pada cedera otak traumatik sedang serta ada korelasi antara penurunan IL‒6 dan PLA2 dengan perbaikan fungsi kognitif yang diukur dengan Mini Mental State Examination (MMSE).17 Pemberian natrium laktat hipertonik 1,5 mL/ kg intravena dan diberikan dalam waktu 20 menit mampu memperbaiki gangguan fungsi kognitif yang diukur dengan MMSE setelah cedera kepala sedang.18 Tingkat kognitif dinilai dengan skala MMSE sebelum dan sesudah perlakuan dengan membandingkan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa skor MMSE meningkat pada kedua kelompok, 24 jam pascabedah, namun lebih tinggi pada kelompok lidokain. Dengan pengujian statistik paired t test terlihat perbedaan yang bermakna baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol antara skala MMSE sebelum perlakuan dengan sesudah perlakuan. 44 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 6 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol terjadi peningkatan MMSE sebesar 2,30 dari 16,80±4,00 menjadi 19,10±3,45 (p<0,05), sedangkan pada kelompok perlakuan meningkat sebesar 4,60 dari 18,20±3,56 menjadi 22,80±5,58 dan bermakna (p<0,05). Pengukuran MMSE dilakukan dengan 11 pertanyaan atau perintah sederhana, terdiri dari 7 wilayah kognitif; orientasi waktu, orientasi tempat, pencatatan 3 kata,perhatian dan kalkulasi, Lampiran: Pemeriksaan MMSE dan MOCA Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik 45 46 Jurnal Neuroanestesi Indonesia mengingat 3 kata,bahasa, dan konstruksi visual, dilakukan oleh tenaga terlatih selama sekitar 10 menit. Total skala 30 dan subyek menggambarkan kemampuan kognitif berdasarkan observasi langsung kelengkapan tes/perintah. Tingkat penilaian terdiri dari: tidak ada kegagalan kognitif (24‒30); kegagalan kognitif ringan (18‒24) dan kegagalan kognitif berat (0‒17).17 Hasil uji korelasi yang menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara penurunan IL‒6 dan PLA2 dengan perbaikan fungsi kognitif yang dibuktikan dengan meningkatnya skala MMSE. Hal tersebut berarti bahwa terjadinya penurun fungsi kognitif adalah akibat inflamasi dan kerusakan membran sel. Dengan penurunan proses inflamasi yang terlihat dari penurunan IL‒6 dan pengurangan kerusakan jaringan yang terlihat dari penurunan PLA2, maka infus lidokain intravena dapat memperbaiki penurunan fungsi kognitif.17 V. Simpulan Disfungsi kognitif pasca cedera otak traumatik dapat dicegah dengan mencegah terjadinya cedera sekunder. Pengobatan tidak berdasarkan kelainan fungsi kognitif tapi bagaimana menyesuaikan pasien dengan gangguan fungsi kognitif yang telah terjadi. Ada beberapa macam obat yang telah digunakan akan tetapi hasilnya belum memuaskan. Daftar Pustaka 1. Rice AC, Zsoldos R, Chen T, Wilson MS, Alessandri B, Hamm RJ, Bullock MR. Lactate administration attenuates cognitive deficits following traumatic brain injury. Brain Research 2002; 928:156–59. 2. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s neuroanesthesia, edisi ke–5, Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010: 317–26. 3. Bullock RM, Povlishock TJ. Guideline for the management of severe traumatic brain injury. J Neurotrauma 2007;24,S1 4. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of neuroanesthesia. Edisi ke–5. Philadelphia: Walter Kluwers Lippincott Williams & Wilkins; 2012,98–114. 5. Hou JY, Kass SI. Physiology and metabolism of the brain and spinal cord. Edisi ke–5. Philadelphia: Walter Kluwers Lippincott Williams & Wilkins; 2012, 1–19. 6. Moya N, Fuadi I, Muthalib N. Angka kejadian dan outcome cedera otak di RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2008-2010. JNI 2013;2(2):89–94 7. Fann JR, Uomoto JM, Katon WJ. Cognitive improvement with treatment of depression following mild traumatic brain injury. Psychosomatics 2001; 42:48–54 8. Goldstein FC, Levin HS, Goldman WP, Kalechstein AD, Clark AN, Kenehan-Altonen T. Cognitive and behavioral sequelae of closed head injury in older adults according to their significant others. The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 1999; 11:38–44) 9. Hicks RR, Smith DH, Lowenstein DH, Saint Marie R, McIntosh TK. Mild experimental brain injury in the rat induces cognitive deficits associated with regional neuronal loss in the hippocampus. Winter 1993;10(4):405–14. 10. Managing Cognitive Issues. Dalam: Making Life Work after Head Injury. South Carolina Department of Disabilities and Special Needs. www.state.sc.us/ddsn/pubs/head/issues.htm 11. Guideposts to Recognition: Cognition, Memo¬ry and Brain Injury. Dalam: The Road to Rehabilitation. Brain Injury Association of America. www.biausa.org/publications/ roadToRehab3.pdf 12. Cognitive and Communication Disorders. Dalam: TBI Resource Guide. Centre for Neuro Skills. www.neuroskills.com/cogcomm.shtml Pencegahan dan Pengobatan Disfungsi Kognitif setelah Cedera Otak Traumatik 13. Cognitive Rehabilitation, Brain Injury Resource Center. www.headinjury.com/ rehabcognitive.html 14. Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR. "Mini-mental state": a practical method for grading the cognitive state of patients for the clinician. J Psychiatr Res. 1975;12:189–198. 15. McCullagh S, Feinstein A. Cognitive changes. Dalam: Silver JM, McAllister TW, Yudofsky SC, edis. Textbook of traumatic brain injury, edisi ke-2. Washington: American Psychiatric Pub Inc;2011,279–91. 16. Strauss KI. Antiinflammatory and neuroprotective action of COX2 inhibitors 47 in the injured brain. Brain Behav Immun 2008;22(3): 285–89 17. Lalenoh DC. Efek proteksi otak lidokain diukur dari kadar interleukin-6 dan fosfolipase A2 dan korelasinya dengan Glasgow Coma Scale dan Mini Mental State Examination pada pasien epidural hematoma dengan cidera kepala sedang. Disertasi Universitas Hasanudin; 2013. 18. Bisri T, Oetomo B, Fuadi I. Effect of exogenous lactate infusion on neurocognitive function of patients with mild traumatic brain injury. AJNS 2013 inpress Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf Buyung Hartiyo Laksono*), Bambang J. Oetoro**) Sri Rahardjo***), Siti Chasnak Saleh****) *)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD Dr. Saiful Anwar Malang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Rumah Sakit Mayapada Jakarta, ***) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, ****)Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Gangguan pada susunan saraf pusat (SSP) akan mengakibatkan gangguan pada fungsi axis hipotalamus hipofise, yang akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Selain karena lesi neurologis primer yang terjadi pada SSP, penyebab kelainan elektrolit ini juga disebabkan oleh tindakan pembedahan atau iatrogenik, tindakan perawatan pascabedah di intensive care unit (ICU) akibat dari tindakan medis, misalnya obat-obatan dan pemberian cairan intravena, pemberian diuretik, pemberian steroid dan mannitol. Gangguan elektrolit paling banyak terjadi pada natrium. Dua kondisi dengan klinis hiponatremi adalah SIADH dan CSWS, yang penataksanaan keduanya sangat berbeda. Hampir 62% pasien bedah saraf dengan hiponatremia (kadar natrium < 135 mmol/L) disebabkan oleh SIADH, sedangkan sisanya 16,6% karena penggunaan obat-obatan dan 4,8% karena CSWS. Gangguan natrium dengan gambaran klinis hipernatremi adalah diabetes insipidus (DI). DI terjadi sekitar 3,8 % pada pasien bedah saraf. Kondisi keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien dengan kelainan SSP yang dilakukan tindakan anestesi dan operasi merupakan tantangan khusus bagi dokter anestesi dan intensivist. Pasien pasien bedah saraf biasanya mendapatkan terapi diuretik sebagai salah satu manajemen edema otak dan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Di sisi lain efek diuresis dari lesi pada otak dan penggunaan teknik hipotermi juga akan menambah kondisi diuresis pada pasien bedah saraf. Efek diuresis yang berlebihan menyebabkan kehilangan natrium. Kata kunci: bedah saraf, kelainan elektrolit natrium JNI 2014;3 (1): 48‒57 Sodium Disturbance in Neurosurgical Patient Abstract Disturbance of the central nerve system (CNS) will lead to interference with the function of the hypothalamus pituitary axis and will cause disruption of fluids and electrolytes balance as well. In addition to its primary neurological lesions occurring in the CNS, the cause of electrolyte abnormalities are also due to surgical procedure or iatrogenic, postoperative medical treatment in ICU such as administration of drugs and intravenous fluids, diuretics, steroids and mannitol. The most frequent electrolyte disorder is sodium. Two clinical conditions related to hyponatremia are SIADH and CSWS which the management can be totally different, respectively. Nearly 62% of neurosurgical patients with hyponatremia (sodium levels <135 mmol / L) is caused by SIADH, while the remaining 16.6% patient is due to the use of drugs and 4.8% patient is due to CSWS. Sodium disorder clinically referred to as hypernatremia is diabetes insipidus (DI). DI occurs around 3.8% in neurosurgical patients. The condition of fluid and electrolyte balance in patients with CNS disorders undergoing anesthesia and surgery is a particular challenge for anesthesiologists and intensivists. The patients usually receive diuretic therapy to manage brain edema and to reduce intracranial pressure. On the other hand, diuresis effects due to brain lesions and the use of hypothermia technique will also increase diuresis condition in neurosurgical patients. Excessive diuresis effect will cause loss of sodium. Key words: electrolyte sodium disturbance, neurosurgery JNI 2014;3 (1): 48‒57 48 Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf I. Pendahuluan Mekanisme kontrol homeostasis dari tubuh dapat mengalami gangguan pada kondisi trauma akut otak, kraniotomi ataupun komplikasi sistemik dari kondisi yang lain. Hal ini dikarenakan susunan saraf pusat (SSP) mempunyai peran yang penting dalam meregulasi homeostasis kadar air dan natrium dalam darah. Oleh karena itu, pasien dengan permasalahan neurologik ataupun pascabedah otak akan cenderung mengalami permasalahan keseimbangan cairan dan elektrolit.1,2 Selain karena lesi neurologik yang terjadi pada SSP, penyebab kelainan elektrolit ini juga disebabkan oleh tindakan pembedahan atau iatrogenik, tindakan perawatan post operasi di intensive care unit (ICU), akibat tindakan medik, misal obat-obatan dan pemberian cairan intravena, diuretik, steroid dan mannitol. Kelainan elektrolit yang sering terjadi pada pasien bedah saraf yaitu hiponatremia, dengan tingkat kejadian sekitar 10– 50%. Kondisi ini biasanya terjadi pada kasus kasus subarachnoid hemorrhage (SAH), cedera otak traumatik (COT) dan operasi tumor hipofise.3,4 Diagnosis banding untuk kelainan kadar natrium dalam darah cukup banyak dan cukup sulit, karena kelainan kadar natrium dalam darah ini dapat terjadi pada banyak penyakit yang secara klinis mungkin mempunyai tanda dan gejala yang hampir mirip walaupun mempunyai patofisiologi yang berbeda, seperti Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone (SIADH), Cerebral/ Renal Salt Wasting Syndrome (C/RSWS) dan Diabetes Insipidus (DI).5 Pada beberapa jurnal disebutkan bahwa hampir 62% pasien bedah saraf dengan hiponatremia (kadar natrium <135 mmol/L) disebabkan karena SIADH, sedangkan sisanya 16,6% karena penggunaan obat–obatan dan 4,8% karena CSWS.6 Diabetes insipidus (DI) merupakan kondisi hipernatremia (kadar natrium > 145 mmol/L)yang paling sering muncul pada fase akut setelah tindakan bedah saraf. Diabetes insipidus (DI) terjadi sekitar 3,8 % pada pasien bedah saraf. Dari total 3,8% kasus DI, sepertiga kasus berhubungan dengan SAH, sepertiga lagi karena TBI dan sekitar seperenam dari total kasus DI dikarenakan intra cerebral hemorrhage (ICH) dan operasi tumor hipofise. Kelainan ini biasanya transien dan kebanyakan pasien dapat 49 menjaga kadar natrium dalam darahnya dengan cara peroral. Hipernatremia hanya terjadi jika penggantian cairan tidak mencukupi untuk mengganti cairan yang hilang. Risiko terjadinya ketidakcukupan penggantian cairan itu tinggi pada pasien yang mengalami kelainan kognitif dan penurunan kesadaran. Pada makalah ini, kami mencoba untuk memaparkan tentang kelainan elektrolit natrium yang terjadi pada pasien bedah saraf dan bagaimana cara mengatasinya, karena kondisi tersebut apabila tidak segera ditangani dengan cepat akan dapat menimbulkan secondary brain injury dan dapat mengancam jiwa jika kelainan elektrolitnya sangat ekstrim.2,3,6 II. Keseimbangan Cairan Tubuh Air merupakan komponen utama dari tubuh manusia. Total air di dalam tubuh (Total Body Water/TBW) sekitar 45%‒60% dari berat badan. Dari 60% itu dibagi menjadi cairan ekstraselular (Extra Cellular Fluid/ECF) dan cairan intraseluler (Intra Cellular Fluid/ICF). Cairan intraseluler terdiri dari duapertiga TBW dan menyumbang hingga sekitar 40% dari berat badan, dan sisa sepertiga dari TBW terdiri dari ECF, yaitu sekitar 20% dari berat tubuh. ECF meliputi cairan intravaskuler, cairan interstitial, dan cairan transelular (yang terkandung dalam rongga tubuh tertentu). Air bergerak antara ICF dan ECF tergantung pada jumlah zat terlarut yang terkandung dalam kompartemen ICF dan ECF. Pergerakan ini terus terjadi sampai tercapai keadaan keseimbangan antara dua kompartemen cairan tersebut. Pengukuran tingkat kekentalan cairan (kandungan zat terlarut) ini disebut sebagai osmolalitas dan sering digunakan bergantian dengan tonisitas. Osmolalitas cairan tubuh dan cairan isotonik adalah sekitar 280–300 mOsm/ kg, dalam literatur lain disebutkan bahwa kadar osmolalitas dalam darah yang normal antara 275– 290 mOsmol/kg. Kadar osmolalitas dalam darah dapat diukur dengan rumus: ([Na]×2)+(BUN/2.8)+(kadar glukosa darah/18).7,8 Hipovolemia, didefinisikan sebagai defisit dari ECF. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan volume air, dengan atau tanpa defisit elektrolit. Hipovolemia biasanya merupakan hasil akhir dari ketidakmampuan tubuh untuk 50 Jurnal Neuroanestesi Indonesia mengatur asupan air (misalnya, hilangnya mekanisme haus dari seorang pasien atau cairan tubuh terkonsentrasi karena pemberian nutrisi enteral). Tanda-tanda patognomonik hipovolemia termasuk haus, pusing, hipotensi, takikardia, penurunan turgor kulit, dan penurunan kadar natrium urin (<15 mEq/L). Sedangkan hipervolemia didefinisikan sebagai ekspansi dari volume ECF, dan dapat terjadi karena perubahan fungsi ginjal, pemberian cairan yang berlebihan, pergeseran cairan interstitial plasma, atau komplikasi pascaoperasi. Hipovolemia sering terlihat setelah operasi dan tindakan anestesi. Biasanya hal itu terjadi karena pemberian cairan selama operasi yang masih kurang. Apabila kondisi ini dibiarkan, dapat menyebabkan peningkatan kepekatan urin bahkan sampai anuria yang disebabkan oleh pelepasan Anti Diuretic Hormone (ADH) yang berefek pada ginjal.7 Pada kondisi normal, regulasi osmolaritas dari plasma diatur oleh sekresi hormon anti Diuretic Arginin Vasopressin (AVP) dan sensor rasa haus, yang akan menimbulkan pengaruh berupa masuknya cairan ke dalam tubuh. Perubahan osmolalitas plasma dideteksi oleh neuron yang spesifik, yang pada spesies mamalia terletak pada organ sirkumventrikular di hipotalamus anterior. Ketika osmolalitas plasma meningkat, neuron ini terdepolarisasi dan, melalui nucleus medianus, menstimulasi pembentukan AVP pada neuron magnoseluler paraventrikular dan nuclei supraoptikal dan neuron parvoselular dari nukeus paraventrikuler. Arginine vasopressin kemudian dipindahkan ke granular neurosekretori menuju ke tangkai hipofisis, untuk disimpan di kelenjar hipofisis posterior, dan sebagian disekresi ke sirkulasi sistemik. Pelepasan AVP terjadi dengan cepat setelah stimulasi osmoreseptor. Arginine vasopressin plasma berikatan dengan reseptor V2 pada duktus kolektifus tubulus renalis, menstimulasi kaskade intraselular yang menyebabkan migrasi vesicle-bound aquaporin-2 (VBA-2) ke membran luminal pada duktus kolektifus. Hal ini menjadikan sel-sel duktus kolektivus menjadi permeabel terhadap air, sehingga menyebabkan reabsorbsi air dari urin ke dalam darah dan konsentrasi urin menjadi bertambah. Secara simultan akan terjadi rangsangan terhadap pusat rasa haus di korteks serebri, yang berakibat pada pemasukan cairan melalui minum. Mekanisme tersebut di atas akan mengakibatkan peningkatan cairan pada plasma dan normalilsasi osmolaritas dari plasma. Mekanisme regulasi ini mengatur keseimbangan molaritas dari plasma. Lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan dibawah ini: HOMEOSTASIS CAIRAN Dehidrasi Peningkatan osmolalitas plasma (-) Osmoreseptor Hipotalamus Haus Pelepasan AVP Intake H2O Antidiuresis (-) Normalisasi total cairan tubuh Penurunan osmolalitas plasma Gambar 1. Regulasi Normal Keseimbangan Cairan dan Elektrolit.3 Pada kasus-kasus bedah saraf gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan peningkatan produksi AVP, yang berakibat pada peningkatan ekskresi retensi terhadap cairan dan Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormon Secretion (SIADH) ataupun Diabetes Insipidus (DI). III. Gangguan Keseimbangan Elektrolit Natrium Peran Elektrolit Natrium Natrium merupakan kation primer cairan ekstraseluler dan merupakan komponen yang penting pada gradien elektrokimia yang berperan pada konduksi saraf dan fungsi seluler. Natrium merupakan osmol utama dalam darah yang berperan penting dalam penentuan volume cairan ekstraseluler.9 Fungsi elektrolit natrium merupakan kation dengan konsentrasi yang tinggi di ekstraselular di dalam tubuh dan memainkan peran yang penting dalam meregulisasi volume ekstraselular dan intraselular dalam tubuh. Natrium sebagai kation mayor yang menentukan kadar osmolalitas dalam Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf darah sehingga terjadinya regulasi pengaliran cairan dari satu kompartmen ke kompartemen yang lain dengan kadar osmolalitas yang lebih rendah sehingga tercapainya hemostasis.10 Hiponatremia Keadaan hiponatremia terjadi apabila konsentrasi natrium serum kurang dari 135 mmol/L. Gejala hiponatremia meliputi sakit kepala, mual, muntah, kram otot, letargi, dan kejang. Hiponatremia berat akut dapat menyebabkan edema serebral dan lebih lanjut dapat menyebabkan koma serta henti nafas. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion dan cerebral salt wasting (CSW) merupakan dua penyebab potensial terjadinya hiponatremia pada pasien dengan gangguan atau kelainan pada sistim saraf pusat. Penyebab lain hiponatremia pada pasien bedah saraf seperti penggunaan cairan yang kurang tepat dan adanya defisiensi Adreno Corticotropic Hormone (ACTH).4,9 Pendekatan diagnosis dan manajemen pasien dengan hiponatremia meliputi evaluasi dari tonisitas serum, melihat osmolalitas urin dan 51 menilai status volume tubuh dan urin. Pendekatan seperti ini merupakan pendekatan yang sering digunakan dan mudah untuk dilakukan oleh klinisi. Untuk lebih mudahnya, teknik pendekatan ini dapat dilihat dari bagan gambar 2. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH) Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH) merupakan keadaan hiponatremia hipotonik ini disebabkan oleh pelepasan ADH yang berlebihan diikuti dengan reabsopsi air. Pasien dengan SIADH berada dalam keadaan water-expanded tetapi seringkali tidak menunjukkan gejala ekspansi volume intravaskuler. Hal ini disebabkan karena dua pertiga dari total air yang mengalami retensi tetapi berada didalam kompartemen intraseluler. Diagnosis SIADH ditegakkan berdasarkan temuan hiponatremia, hipo-osmolalitas, peningkatan osmolalitas urin yang tidak sesuai, dan eksklusi dari hipoadrenalisme serta hipotiroidisme.9 Kelainan neurologik yang umumnya berhubungan dengan SIADH meliputi infeksi sistim saraf pusat, HIPONATREMIA Artifaktual True (p↓ Posm) Posm Tinggi Posm Normal • Hiperglikemia • Manitol • Hiperlipidemia Hipovolemia Na loss pada ginjal • Diuretik • Sindrom CSW Na loss ekstrarenal • Diare, muntah • Hilangnya kulit Euvolemia SIADH Hormonal • AI, hipotiroid Penurunan solute • Beer potomania Gambar 2. Pendekatan dan Manajemen Hiponatremia11 Dikutip dari Thompson et al, 2012 Uosm > 100 Uosm < 100 Output H2O terlalu kecil Output H2O terlalu besar Hipervolemia • Polidipsi primer • Iatrogenik • Tenggelam • Gagal jantung kronis • Sirosis • Sindrom nefrotik • Protein-losing enteropathy 52 Jurnal Neuroanestesi Indonesia perdarahan intrakranial, cedera otak, neoplasma otak, aneurisma, Subdural Hemorrhage (SDH), SAH, COT dan vaskulitis serebral atau trombosis. Obat-obat tertentu, umumnya golongan narkotika, juga dapat menginduksi pelepasan ADH. Stimulus fisiologis ADH juga harus dipertimbangkan, meliputi nyeri, nausea, hipovolemia dam stress.3,9 Cerebral Salt Wasting Syndrome (CSWS) Cerebral salt wasting syndrome (CSWS) merupakan kelainan hiponatremia yang agak jarang ditemukan pada pasien bedah saraf. Kelainan ini hanya sekitar 5–6,5 % dari kasus kasus hiponatremia pada pasien bedah saraf, berbeda dengan SIADH yang bertanggungjawab hampir 60–70 % hiponatremia pada kasus kasus bedah saraf. Cerebral salt wasting syndrome pertama kali ditemukan oleh Peter dkk pada tahun 1950. Kelainan ini digambarkan dengan tiga tanda pada pasien bedah saraf yaitu hiponatremia, penurunan volume tubuh karena diuresis dan natriuresis serta mempunyai fungsi aksis hipotalamus-hipofise-adrenal normal.3,11 Cerebral salt wasting syndrome merupakan keadaan natriuresis primer yang terjadi pada pasien dengan gangguan neurologik. Keadaan ini menyebabkan keseimbangan negatif dari natrium dan deplesi volume. Penyebabnya kemungkinan Tabel 1. Kriteria Diagnosis SIADH11 Kriteria utama dan tambahan untuk menegakkan diagnosis hiponatremia sekunder karena SIADH. Kriteria diagnosis ini harus digunakan sebagai konfirmasi diagnosis hiponatremia sekunder karena SIADH. Kriteria Diagnosis Utama SIADH 1. Penurunan osmolalitas serum (<275 mOsm/kg H2O) 2. Osmolalitas urin >100 mOsm/kg H2O selama keadaan hipo-osmolalitas 3. Klinis euvolemia: - Tidak didapatkan tanda klinis penurunan cairan ekstraselular (misal, tidak didapatkan ortostasisa, takikardi, penurunan turgor kulit atau kekeringan membran mukosa) - Tidak didapatkan tanda klinis ekspansi cairan ekstraselular (missal, tidak didapatkan edema atau asites) 4. [Na+] urin >40 mmol/L dengan asupan natrium normalb 5. Fungsi tiroid dan adrenal normal, ditentukan melalui penilaian klinis dan laboratorium 6. Tidak mengkonsumsi agen diuretik dalam 1 minggu sebelum pemeriksaan Kriteria Diagnosis Tambahan SIADH 1. Asam urat serum <4 mg/dL (<0,24 mmol/L) 2. Kadar urea nitrogen darah <10 mg/dL (<3,57 mmol/L) 3. Ekskresi natrium fraksional >1%; ekskresi urea fraksional >55% 4. Tidak adanya perbaikan atau bertambah buruknya keadaan hiponatremia setelah pemberian larutan salin 0,9% 5. Perbaikan keadaan hiponatremia dengan restriksi cairan a. Perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi didefinisikan sebagai terjadinya penurunan tekanan sistolik tekanan darah ≥20 mmHg dan/atau peningkatan nadi ≥20 kali/menit pada saat perubahan posisi supine ke berdiri. b. Walaupun peningkatan ekskresi natrium biasanya terjadi pada penderita SIADH, keadaan ini tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis; [Na+] juga dapat dijumpai pada penderita Addison’s disease. Sebaliknya, pada beberapa penderita SIADH, [Na+] dapat rendah apabila terjadi keadaan hipovolemia atau penurunan jumlah solute, yang biasanya terjadi pada tindakan restriksi cairan dan natrium. c. Ekskresi natrium fraksional = (ekskresi natrium urin/natrium serum)/(kreatinin urin/kreatinin serum) x 100; Ekskresi urea fraksional = (urea urin/ urea serum)/(kreatinin urin/kreatinin serum) x 100. Dikutip dari Thompson et al, 2012 Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf ADH ↓ Konsumsi garam ↓ Haus ↓ Aliran simpatis ↓ Peptida natriuretik ↑ GFR ↑ Reabsorpsi Na ↓ Reabsorpsi air ↓ R-AGII-aldosteron ↓ Natrium ↓ Hemat Kalium Gambar 3 Patofisiologi terjadinya CSWS12 Dikutip dari Yee et al, 2010 berhubungan dengan faktor circulating natriuretik atau penurunan input simpatetik pada ginjal, atau keduanya. Penentuan klinis terhadap volume cairan ekstraseluler merupakan elemen yang penting untuk membedakan SIADH dan CSWS.8 Manajemen Hiponatremia Pengelolaan kasus hiponatremia pada pasien bedah saraf adalah mengetahui penyebab yang mendasari kelainan tersebut. Penilaian status volume pada pasien kadang-kadang sulit dilakukan. Parameter klinis mayor seperti tekanan darah sulit untuk dijadikan patokan status volume. Hipotensi mungkin sekunder karena sepsis atau defisiensi glukokortikoid bukan hipovolemi. Tekanan darah dapat meningkat karena resusitasi cairan, pemberian inotropik atau peningkatan tekanan intrakranial pada status volume yang masih defisit. Pengukuran tekanan vena sentral mungkin pilihan yang paling baik. Pemeriksaan kadar kortisol dapat menyingkirkan penyebab defisiensi ACTH. Pemeriksaan sesuai parameter yang telah dijelaskan pada tabel diatas dapat menegakkan diagnosa SIADH dan CSWS.3 Peningkatan asupan cairan yang abnormal, SIADH dan hipervolumia secara umum memerlukan restriksi cairan, sedangkan kelainan lain seperti CSW memerlukan koreksi penggantian pada natrium dan pengembalian status hidrasi dari pasien. Kecepatan koreksi hiponatremia harus disesuaikan dengan tanda dan gejala hiponatremia yang muncul. Secara umum, rekomendasinya adalah peningkatan kadar natrium 0,5 mmol/L Tabel 2. Diagnosis Banding CSW dan SIADH12 Variabel Osmolalitas urin Konsentrasi natrium urin Volume cairan ekstraseluler Berat badan Keseimbangan cairan Volume urin Denyut jantung Hematokrit Albumin Bikarbonat serum Urea nitrogen serum Asam urat serum Keseimbangan natrium Tekanan vena sentral Tekanan wedge Dikutip dari Thompson et al, 2012 53 CSW ↑ (> 100mOsm/kg) ↑ (> 140 mmol/L) ↓ ↓ Negatif ↔ atau ↑ ↔ atau ↑ ↑ ↑ ↑ ↑ ↔ atau ↓ Negatif ↓ (< 6 cm H2O) ↓ SIADH ↑ (> 100mOsm/kg) ↑ (> 140 mmol/L) ↑ ↑ Netral atau sedikit + ↔ atau ↓ ↔ ↔ ↔ ↔ atau ↓ ↔ atau ↓ ↓ Netral atau + ↔ atau sedikit + (6-10 cm H2O) ↔ atau sedikit ↑ 54 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 3. Diagnosis DI pascaoperasi14 Singkirkan kemungkinana diuresis osmotik atau kelebihan cairan Tanda dan gejala klinis 1. Poliuria, volume besar (4L/hari‒8 L/hari), dengan onset mendadak, biasanya dalam 24-48 jam pasca operasi 2. Polidipsi, terutama cairan dingin 3. Dengan/tanpa hipovolemia, bergantung pada intak atau tidaknya mekanisme haus Data Laboratorium 1. Dilusi urin (berat jenis kurang dari 1,005, osmolalitas urin kurang dri 200 mOsm/kg H2O 2. Osmolalitas serum normal atau meningkat 3. [Na+] serum lebih besar atau sama dengan 145 miliequivalen/L disertai diuresis berkelanjutan dengan urin hipotonik per jam dengan total peningkatan maksimum dalam 24 jam adalah 10–12 mmol/L. Dari literatur lain dituliskan peningkatan yang aman dalam rentang 8‒12 meq perhari. Jika pasien mengalami gejala kejang dan hiponatremianya terjadi secara akut yang menyebabkan edema serebri, maka pemberian normal salin (NS) hipertonik sebaiknya diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan target peningkatan kadar natrium 1,5–2,0 mmol/L/jam. Defisit kadar natrium dalam darah dapat dihitung dengan rumus (0,6x berat badan (BB) x{Kadar natrium yang diinginkan– kadar natrium sekarang}). Karena penurunan cairan intravaskuler harus dihindari pada pasien dengan trauma neurologik, maka pemeliharaan dengan saline hipertonik dapat digunakan. Tindakan pemberian saline hipertonik ini bukan tanpa efek samping dan sebaiknya diberikan hanya pada unit khusus dengan monitoring yang ketat oleh tenaga yang berpengalaman. Jika kadar natrium dikoreksi terlalu cepat dapat terjadi central pontine myelinolysis, dysarthria, dysphagia, paresis, dan kematian.9,13 Pada pasien dengan SIADH, pilihan terapinya ialah restriksi cairan (750–1200 ml/hari). Untuk SIADH yang kronis, dapat diberikan demeclocycline 2 x 150–300 mg. Demeclocycline dapat digunakan karena ini dapat mempengaruhi aksi ADH di tubulus kolektivus di ginjal. Demeclocycline ini mempunyai onset dan durasi yang sulit diduga. Obat ini juga bersifat nefrotoksik dan menyebabkan kulit menjadi fotosensitif. Obat lain yang dapat digunakan yaitu VAPTAN, yang merupakan vasopressin reseptor antagonis.Terapi lain dapat digunakan fludrocortisone dan loop diuretik.3,9,11 Hipernatremia Hipernatremia kebanyakan merupakan hasil dari pemberian larutan saline hipertonik (NaCl 3% atau NaHCO 7,5%) yang berlebihan. Pasien dengan hiperaldosteronisme primer dan sindroma Cushing dapat mengalami sedikit peningkatan konsentrasi natrium serum sejalan dengan peningkatan retensi natrium. Manifestasi neurologik yang dominan pada pasien dengan hipernatremia biasanya diakibatkan oleh dehidrasi selular seperti kelemahan otot, letargi, dan hiperrefleksi yang dapat berlanjut menjadi kejang, koma, bahkan kematian. Gejala ini lebih berhubungan dengan perpindahan air keluar sel otak karena kadar absolut natrium yang tinggi di intravaskuler. Penurunan cepat dari volume otak dapat menyebabkan ruptur vena cerebral dan mengakibatkan perdarahan fokal intraserebral atau subaraknoid. Kejang dan kerusakan neurologik serius bisa terjadi, terutama pada anak dengan hipernatremia akut ketika kadar natrium plasma melebihi 158mEq/L. Hipernatremia kronik biasanya lebih dapat ditoleransi dibandingkan hipernatremia akut.10 Diabetes Insipidus (DI) Sentral Diabetes insipidus (DI) sentral merupakan kegagalan dari proses homeostasis ADH yang berkaitan dengan disfungsi aksis hipotalamushipofise. Karakteristik dari DI sentral seperti poliuria (>3L/hari), dilusi urin (<350 mmol/kg) dan peningkatan osmolaritas plasma (>305 mmol/ Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf kg) dan kadar serum natrium (>145 mmol/L) serta tidak adanya kelainan intrarenal. Berat jenis urin kurang dari 1,005 dengan peningkatan kadar natrium dapat mengarah ke DI sentral. Hal ini sering dijumpai di ICU setelah tindakan operasi hipofise (kejadiannya sekitar 18–38%), COT, SAH, dan pasien yang sudah mati batang otak.6,9 Beberapa kriteria diagnosis untuk DI pada pasien bedah saraf telah banyak dikemukakan. Seckl dkk mengemukakan batasan diagnosis untuk DI sebagai berikut, setelah menyingkirkan faktor penyebab lain terjadinya poliuria, karena kondisi hiperglikemia yang diakibatkan oleh pengobatan steroid atau pengaruh terapi diuretik, maka diagnosis DI didasarkan pada natrium plasma ≥ 145 mmol/L, hipotonik poliuria (osmolaritas urin 300 mOsm/kg), produksi urin 300cc/jam dalam 2 jam berturut-turut atau 3 L/hari.5 Literatur lain menuliskan kriteria diagnosis sebagai berikut: Tipe klinis dari perjalanan DI ada 3, yaitu: transien, permanen atau trifasik. Pada tipe transient, DI terjadi pada 24 sampai 48 jam pascaoperasi atau trauma, yang selanjutnya akan 55 terjadi penurunan gejala secara bertahap. Transien DI dan fase 1 dari tipe trifasik diakibatkan oleh gangguan sementara terhadap produksi AVP. Pada tipe ini, transien DI, akan membaik ketika fungsi neuron mulai normal kembali. Pada tipe trifasik, fase pertama terjadi DI yang akan menurun pada hari ke 5 dan hari ke 7, selanjutnya gejala berubah ke arah SIADH selama 2 sampai 14 hari. Pada fase ketiga dari tipe trifasik dapat mengarah ke kondisi kronis tetapi kondisi ini jarang terjadi.14 Onset DI biasanya terjadi pada 24 jam pertama setelah operasi. Walaupun hal ini dapat terjadi sampai 11 hari setelah operasi. Diabetes insipidus ini biasanya transien dan dapat disebabkan oleh luka kecil pada posterior hipofise. Separuh dari kasus DI akan mengalami resolusi sempurna setelah dua minggu.3,6 Manajemen Diabetes Insipidus Untuk manajemennya dapat digunakan penggantian cairan dan pemberian vasopressin intranasal/parenteral. Penggantian dalam cairan seharusnya dapat Tabel 4. Manajemen DI Pascaoperasi.14 Monitoring • Pencatatan asupan dan pengeluaran cairan secara rinci • Osmolalitas urin atau berat jenis urin setiap 4 sampai 6 jam, hingga didapatkan • [Na+] serum setiap 4 sampai 6 jam, hingga stabil atau membaik Terapi hormon antidiuretik • Desmopressin, dosis awal 1 sampai 2 µg intravena atau subkutan • Dosis dapat diulang jika jumlah urin yang dikeluarkan 200 mL sampai 250 mL per jam selama lebih dari atau sama dengan 2 jam, dengan berat jenis urin kurang dari 1,005 atau osmolalitas kurang dari 200 mOsm/kg H2O Pemeliharaan keseimbangan cairan • Memperbolehkan pasien untuk minum jika merasa haus • Suplementasi cairan hipotonik intravena (D5W atau D51/2NSS) jika pasin tidak mampu untuk mempertahankan osmolalitas plasma yang normal dan [Na+] serum dengan minum Pengawasan DI transien atau respon trifasik • Keseimbangan cairan positif lebih dari 2 L menunjukkan kemungkinan antidiuresis yang kurang adekuat • Terapi hormon antidiuretik diberikan dan restriksi cairan dilakukan untuk mempertahankan [Na+] dalam batas normal Manajemen insufisiensi hipofise anterior • Berikan dosis besar kortikosteroid (hidrokortison 100 mg intravena setiap 8 jam, kurangi dosis 15 mg sampai 30 mg per oral per hari hingga fungsi hipofise anterior dapat dievaluasi menyeluruh Dikutip dari Loh et al, 2008 56 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dititrasi sampai kadar natrium menurun 1‒2 mmol/ jam jika terjadi akut hipernatremia dengan tanda tanda kejang dan kadar natrium >160 mmol/L. Kadar natrium seharusnya dikoreksi lebih lambat (0.5 mmol/L) jika hipernatremianya kronis dan asimptomatik. Untuk defisit cairannya dapat dihitung dengan rumus, defisit cairan = ({kadar Natrium sekarang–140} x BB x 0.6 )/140. Cairan yang diberikan dapat berupa NaCl, Ringer Laktat ataupun D5. Jika diberikan cairan mengandung glukosa, pemberian insulin dan kalium mungkin dapat dipertimbangkan.15 DDAVP (desmopresin), merupakan asam amino pengganti dari ADH, mengurangi produksi urin dan mempermudah terapi cairan. Penggunaan DDAVP sebaiknya hanya diberikan pada DI yang berat atau menetap setelah hari ketiga. Beberapa jurnal menyebutkan, kurang dari 2% pasien DI yang membutuhkan DDAVP setelah 10 hari pascaoperasi. DDAVP diberikan dengan dosis 0.4–1 mikrogram intravena dan durasinya 8–12 jam.6,9 Literatur lain menuliskan manajemen seperti pada tabel 4. IV. Simpulan Pasien bedah saraf mempunyai permasalahan kompleks berhubungan dengan kesimbangan cairan dan elektrolit. Pada kondisi normal, regulasi osmolaritas dari plasma diatur oleh sekresi hormon anti diuretik arginin vasopressin (AVP) dan sensor rasa haus, yang akan menimbulkan pengaruh berupa masuknya cairan ke dalam tubuh. Perubahan osmolalitas plasma dideteksi oleh neuron yang spesifik, yang pada spesies mamalia terletak pada organ sirkumventrikular di hipotalamus anterior. Dari fungsi fisiologis gangguan pada sistim saraf pusat (SSP) akan mengakibatkan gangguan pada fungsi aksis hipotalamus hipofise, hal ini akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Selain karena lesi neurologik primer yang terjadi pada SSP, penyebab kelainan elektrolit ini juga disebabkan oleh tindakan pembedahan atau iatrogenik, tindakanperawatan pascaoperasi di ICU akibat dari tindakan medis, misal obatobatan dan pemberian cairan intravena, pemberian diuretik, pemberian steroid dan mannitol. Gangguan elektrolit paling banyak terjadi pada elektrolit natrium. Natrium merupakan kation dengan konsentrasi yang tinggi di ekstraselular di dalam tubuh dan memainkan peran yang penting dalam meregulisasi volume ekstraselular dan intraselular dalam tubuh. Natrium merupakan kation mayor yang menentukan kadar osmolalitas dalam darah. Gangguan keseimbangan dapat berupa hiponatremia dan hipernatremia. Dua kondisi dengan klinis hiponatremi adalah SIADH dan CSWS. Dimana penataksanaan keduanya bisa sangat berbeda. Gangguan elektrolit natrium dengan klinis hipernatremia adalah DI. Kondisi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien dengan kelainan SSP yang dilakukan tindakan anestesi dan operasi merupakan tantangan khusus bagi seorang dokter anestesi. Pasien- pasien bedah saraf biasanya mendapatkan terapi diuretik (seperti mannitol dan furosemid) sebagai salah satu manajemen edema otak dan mengurangi tekanan intrakranial. Di sisi lain efek diuresis dari lesi pada otak dan penggunaan teknik hipotermi juga akan menambah kondisi diuresis pada pasien bedah saraf. Efek diuresis yang berlebihan inilah yang akan menyebabkan kehilangan beberapa elektrolit dalam darah salah satunya natrium. Daftar Pustaka 1. Layon J, Gabrielli A, Friedman WA. Textbook of Neurointensive Care, 1 ed. Elsevier Inc. United States of America; 2004: 555-77. 2. Matta BF, Menon DK, Smith M. Core topics in neuroanaesthesia and neurointensive care. Cambridge University Press. United States of America; 2011: 281-99. 3. Hannon M, Finucane F, Sherlock M, Agha A, Thompson C. Disorder of water homeostasis in neurosurgical patients. J Clin Endocrinol 2012; 97(5):0000-0000. 4. Adiga U, Vickneshwaran V, Sen SK. Electrolyte derangements in traumatic brain injury. Basic Research Journal of Medicine and Clinical Sciences 2012; 1(2):15-18. 5. Corradetti V, Esposito P, Rampino T, Gregoni M, Libetta C. Multiple electrolyte disorder Gangguan Natrium pada Pasien Bedah Saraf in a neurosurgical patient: solving the rebus. BMC Nephrology 2013; 14(140):1-3. 6. Grant P, Whitelaw B, Barazi S, Aylwin S. Salt and water balance following pituitary surgery. European Society of Endocrinology 2012;11(0892):1-22. 7. Rhoda K. Fluid and electrolyte management: putting a plan in motion. Journal Parenter Enteral Nutrition 2011; 35(6):675-85. 8. Gress D, Diringer M, Green D, Stephan M, Bleck T. Neurological and neurosurgical intensive care, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004: 106-12. 9. Gupta A. Gelb A. Essentials of neuroanesthesia and neurointensive care: electrolyte disorders. Philadephia: Saunders Elsevier; 2008: 237-44. 10. Bartel B, Gau E, Johnson T. Critical care pharmacotherapeutics: fluid and electrolyte management. Jones & Barlett Learning. United States of America; 2013:1-25. 57 11. Thompson C, Berl T, Tejedor A, Johannsson G. Differential diagnosis of hyponatremia. Elsevier: Best Practice and Research Clinical Endocrinology and Metabolism; 26(2012):715. 12. Yee A, Burns J, Wijdicks E. Cerebral salt wasting: pathophysiology, diagnosis, and treatment. Neurosurg Clin N Am 2010; 21: 339-52. 13. Agrawal V, Agarwal M, Joshi SR, Ghosh AK. Hyponatremia and hypernatremia: disorder of water balance. JAPI; 2008(56):956-64. 14. Loh AJ, Verbalis JG. Disorder of water and salt metabolism associated with pituitary disease. Endrocrinol Metab Clin N Am 2008; 37 : 213 -34. 15. Cottrell JE, Newfield P. Handbook of Neuroanesthesia. 4th Ed. Brooklyn – New York; Lippincott Williams & Wilkins. 2007, 191-5. Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus Kenanga Marwan S*), Eri Surahman**), Siti Chasnak Saleh***) *)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat-RSUD Ulin Banjarmasin, **) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas PadjadjaranRSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***) Departemen Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Hidrosefalus merupakan suatu kelainan yang sering ditemukan pada anak dimana terjadi dilatasi pada sistem ventrikel otak akibat akumulasi cairan otak dengan berbagai penyebab. Secara klinis, gambaran kenaikan tekanan intrakranial pada anak berbeda sesuai perkembangan usianya. Adanya kenaikan tekanan intrakranial ini memberikan konsekuensi klinis berupa intervensi pembedahan, karena bila tidak bisa berakibat fatal. Beberapa alternatif tindakan yang biasanya dilakukan terutama adalah pemasangan pintasan (shunt) untuk mengalirkan cairan otak keluar, sehingga tekanan intrakranial kembali normal. Manajemen perioperatif anestesi terutama dikhususkan berdasarkan kondisi klinis penderita, pemilihan obat-obat anestesi yang digunakan, pengelolaan jalan napas dan perawatan pascabedah. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi ahli anestesi, karena adanya tekanan intrakranial yang tinggi, kesadaran yang menurun, resiko aspirasi dan bentuk anatomi jalan napas yang berbeda dengan dewasa, sehingga perlu perhatian khusus pada saat mengamankan jalan napas dan pengelolaan anestesi. Kata kunci: anak, hidrosefalus, manajemen anestesi, tekanan intrakranial JNI 2014;3 (1): 58‒68 Anaesthetic Management for Hydrocephalus in Children Abstract Hydrocephalus is an abnormal condition, often found in children, where there is a dilatation in the brain ventricle system due to the accumulation of cerebrospinal fluid because of many etiologies. Clinical feature demonstrates increasing intracranial pressure in children which is different type at any age. This condition needs an interventional surgery. Usually the neurosurgeon will insert a shunt to drain the cerebrospinal fluid lower the intracranial pressure back to normal values. Anesthetic perioperative management is especially based on the clinical condition of the patient, selected the anesthetic agent, airway management and post-operative care. This has become a challenge for the anesthesiologist, because of increasing intracranial pressure, decreased consciousness status, aspiration risk and different anatomical airway form compared to adults, which require special attention to secure the airway. Key words: anaesthetic management, intracranial pressure, hydrocephalus, paediatric JNI 2014;3 (1): 58‒68 58 Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus 59 I. Pendahuluan rongga subarachnoid dan kanalis spinalis.3 Hidrosefalus merupakan salah satu penyebab utama masalah bedah saraf pada orang dewasa dan anak-anak, dan diperkirakan sekitar 7000 kasus per tahun yang masuk ke rumah sakit di Amerika Serikat.1 Insiden ventrikulomegali tunggal sekitar 0,5‒2 per 100 kelahiran hidup.2 Hidrosefalus harus dibedakan dari atrofi otak, dimana akumulasi berlebihan dari cairan serebrospinalis di dalam rongga kepala terjadi akibat hilangnya substansi otak dibanding akibat kelainan primer dari pembentukan atau absorpsi dari cairan serebrospinalis.3 Definisi hidrosefalus adalah suatu pelebaran aktif sistem ventrikel otak akibat aliran cairan otak yang tidak adekuat yang diawali dari proses pembentukkannya di ventrikel otak dan pada proses absorpsinya ke sirkulasi sistemik.4 Cairan serebrospinalis terutama diproduksi dalam sistem ventrikel. Tempat produksinya meliputi pleksus koroidalis, ependima dan parenkima. Sebagian besar cairan serebrospinalis dihasilkan oleh pleksus koroidalis ventrikel lateral.3 Cairan serebrospinalis mengalir di ruang yang terletak di antara selaput otak yang dikenal sebagai ruang subarakhnoid. Sirkulasi cairan serebrospinalis bersifat konstan dan memiliki beberapa fungsi penting.5 1. Fungsi proteksi terhadap goncangan kepala dan tulang belakang karena letak cairan serebrospinalis di permukaan otak dan batang otak. 2. Meskipun tidak berwarna dan tidak berbau, cairan serebrospinalis mengandung banyak nutrisi dan protein yang diperlukan untuk pertumbuhan dan fungsi normal otak. 3. Membawa sisa-sisa substansi dari permukaan jaringan otak untuk dibuang. II. Fisiologi Intrakranial Laju pembentukannya sekitar 0,35‒0,4 mL/menit setara dengan 500mL per hari, laju kecepatan pembentukan ini sama baik pada anak dan orang dewasa.3 Alur Cairan Serebrospinalis adalah Ventrikel lateral → foramen intraventrikular (Monro) → ventrikel ketiga → aquaductus sylvii → ventrikel keempat → foramen Luska dan Magendie → Perbedaan anatomi antara anak-anak dan dewasa mempengaruhi fisiologi sistem saraf pusat, terutama tekanan intrakranial (TIK). Neonatus memiliki duramater yang diselubungi oleh kalvaria, yang merupakan tulang pipih dan dihubungkan dengan jaringan fibrosa dan fontanel yang masih terbuka (fontanela ini menutup pada usia 10‒18 bulan, dan mengalami penulangan pada usia remaja). Karenanya kepala anak-anak yang masih kecil lebih meregang dan berubah secara perlahan akibat adanya kenaikan TIK secara gradual. Struktur yang sama ini lebih tahan bila ada kenaikan TIK secara mendadak.2 Peningkatan tekanan intrakranial pada bayi dan anak memberikan gambaran klinis yang tidak jelas, seperti iritabel, malas makan, letargi, pembesaran lingkar kepala, sutura yang melebar, fontanela cembung, mata seperti matahari terbenam (sundowning) dan defisit motorik ekstremitas bawah. Seiring waktu, anak akan memperlihatkan gambaran klasik kenaikan TIK seperti bradikardia, hipertensi, edema papil, dan perubahan pupil. Proses penyakit ini tampak sangat cepat.2 Nilai TIK normal sekitar 2‒4 mmHg, lebih rendah bila dibandingkan dengan orang dewasa yang sekitar 8‒15 mmHg. Tekanan arteri rata-rata juga lebih rendah sekitar 20‒60 mmHg. Batas keamanan lebih sempit karena anak kecil belum mampu mengkompensasi perubahan tekanan darah. Anak-anak memiliki aliran darah otak menyeluruh yang lebih tinggi dari orang dewasa, tapi anak kecil memiliki resiko iskemik ketika tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/ MAP) rendah, sementara dapat terjadi hipertensi sistemik akibat perdarahan intraventrikel, karenanya kondisi ini berbahaya. Respon terhadap hiperventilasi lebih besar dan iskemia terjadi pada kadar PCO2 rendah (<20 mmHg).2 III. Patofisiologi Hidrosefalus Adanya kepala yang besar akibat cairan di otak telah lama menimbulkan ketertarikan dan dugaan-dugaan. Secara hipotetis, hidrosefalus dapat dibedakan atas 3 (tiga) bentuk:3 60 Jurnal Neuroanestesi Indonesia hubungan antara system ventrikel dan rongga subarakhnoid. Penyebab umum kelompok ini adalah blokade aquaductus serebri. 2. Communicating atau hidrosefalus non obstruktif dimana aliran cairan serebrospinalis tidak mengalami obstruksi, tetapi cairan serebrospinalis secara tidak adekuat di reabsorpsi ke rongga subarakhnoid. Terdapat hubungan antara sistem ventrikel dan rongga subarakhnoid. Penyebab umum kelompok ini adalah hidrosefalus pascainfeksi dan pascaperdarahan. Gambar 1. Hidrodinamik intrakranial yang direpresentasikan berupa diagram sirkuit dengan jalur paralel aliran LCS dan aliran darah otak. Dikutip dari : Rekate HL 4 1. Gangguan produksi cairan serebrospinalis: ini merupakan bentuk hidrosefalus yang paling jarang. Papilloma pleksus koroidalis dan karsinoma pleksus koroidalis dapat menyebabkan kelebihan sekresi cairan serebrospinalis dibanding absorpsinya. 2. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinalis: ini merupakan bentuk hidrosefalus akibat obstruksi jalur sirkulasi cairan serebrospinalis. Hal ini bisa terjadi di ventrikel atau villi arakhnoid. Penyebab obstruksi dapat berupa tumor, perdarahan, malformasi kongenital dan infeksi. 3. Gangguan absorpsi cairan serebrospinalis: beberapa kondisi seperti sindrom vena kava superior dan thrombosis sinus dapat mengganggu absorpsi cairan serebrospinalis. Beberapa bentuk dari hidrosefalus belum dapat diklasifikasikan secara jelas. Kelompok ini termasuk hidrosefalus bertekanan normal dan pseudotumor otak.3 IV. Klasifikasi Hidrosefalus 1. Non communicating atau hidrosefalus obstruktif dimana aliran cairan serebrospinalis ke rongga subarachnoid terhambat. Tidak ada Kelompok ini juga dapat dibedakan atas kongenital dan akuisita. Sekitar 55% keseluruhan kasus hidrosefalus bersifat kongenital. Insiden hidrosefalus kongenital primer yang dilaporkan adalah 0,9‒1,5 per 1000 kelahiran dan diantaranya yang disertai spina bifida dan meningocele bervariasi dari 1,3‒2,9 per 1000 kelahiran.3 Penyebab hidrosefalus berbeda pada anak berusia kurang dari 2 (dua) tahun dan di atas 2 (dua) tahun.3 V. Manifestasi Klinis Adanya gejala dan tanda hidrosefalus dikaitkan dengan adanya kenaikan tekanan intrakranial dan tergantung apakah hidrosefalus ini bersifat akut atau kronis. Bila akut, hidrosefalus bisa secara cepat berakibat fatal.1 Hidrosefalus akut muncul akibat adanya obstruksi mendadak sistem ventrikuler, disertai ketidakmampuan untuk kompensasi akibat adanya pertambahan volume intrakranial yang dapat disebabkan oleh perdarahan intraventrikel pada bayi prematur, perdarahan tumor atau pendesakan kista koloid ventrikel ketiga. Hal ini menimbulkan sakit kepala hebat secara mendadak yang akan di salah diagnosa pada penderita yang belum bisa bicara dan mengalami hambatan pertumbuhan. Muntah, dehidrasi, letargi, edema paru neurogenik dan koma adalah tanda bahaya yang mengancam. Jika terapi yang sesuai, seperti dekompresi, tidak dilakukan pada saat yang tepat, kenaikan tekanan intrakranial dapat menyebabkan herniasi batang otak, henti napas dan henti jantung, yang bisa menyebabkan kematian.1 Semakin kronik Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus Tabel 1. Etiologi Hidrosefalus 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 0-2 tahun Infeksi intrauterin • anoksia • bakteri, granulomatosa, parasitik • perdarahan perinatal traumatik Meningoensefalitis bakteri atau virus pada masa neonatus Kista arakhnoid Tumor intrakranial Malformasi arterivena sistem galenik Pasca infeksi (meningitis granulomatosa dan bakteri) Gangguan perkembangan • stenosis aquaductus • myelomeningiokel • kista dandy-walker • ensefalokel > 2 - 12 tahun Penekanan lesi massa pada sistem ventrikel • kraniofaringioma • tumor pineal Tumor fossa posterior • medulloblastoma • astrocytoma • ependymoma Gangguan perkembangan • stenosis aqueductus • malformasi Arnold-chiari • Pasca infeksi Meningitis (bakteri dan granulomatosa) Pasca perdarahan Dikutip dari:Rizvi R & Anjum Q .3 hidrosefalus, semakin lambat munculnya tanda dan gejala. Hidrosefalus kronik bisa terjadi akibat stenosis aqueductal kongenital, meningitis, dan tumor medulla spinalis. Gejala progresif secara lambat berupa tingkah laku yang iritabel, gangguan di sekolah, sakit kepala yang hilang timbul, bicara kacau, tingkah laku aneh dan kebingungan sampai letargi. Kelemahan, gaya jalan yang tidak stabil, kejang dan inkontinensia. Jika tekanan intrakranial meningkat dengan cepat, mungkin akan ditemukan edema papil.1 61 Pada periode neonatal, sutura kranialis tidak menyatu menyebabkan pelebaran sutura dan pembesaran lingkar kepala. Pada kasus yang ekstrim, besarnya ukuran lingkar kepala dapat menyebabkan problem jalan napas pada bayi. Simtom yang muncul kadang tidak spesifik dan jarang ditemukan, meliputi rewel atau iritabel, asupan oral yang tidak adekuat, dan muntah. Pada bayi dan anak kecil muntah dan berkurangnya nafsu makan sering disalah artikan sebagai penyakit virus atau menyerupai flu atau gastroenteritis.1 Pada anak-anak, hidrosefalus obstruktif akut yang disebabkan oleh ekspansi neoplasma intrakranial yang jelas tidak terdiagnosa dapat menjadi penyebab kematian secara mendadak. Mekanisme kematian mendadak ini karena kenaikan tekanan intrakranial sehingga terjadi herniasi otak. Secara patofisiologi, kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi bila tumor kecil terletak pada posisi kritis untuk menimbulkan obstruksi aliran serebrospinalis dan menyebabkan hidrosefalus obstruktif akut atau karena perdarahan dan pembesaran akut dari tumor intrakranial yang tidak diduga dengan atau tanpa adanya hambatan aliran cairan serebrospinalis.1 VI. Prosedur Diagnostik 1. Lingkar kepala (head circumference) Ukuran kepala harus diukur dengan cara mengukur secara maksimal lingkar kepala yang bisa diperoleh. Lingkar kepala ini dicatat pada table pertumbuhan yang memiliki kolom untuk pencatatan lingkar kepala. Cara ini mampu memperlihatkan peningkatan ukuran lingkar kepala secara bermakna melalui pengukuran secara berulang.3 2. Fusi sutura Hidrosefalus yang progresif diawali sebelum penutupan sutura kranialis, hambatan penutupan sutura ini menyebabkan pembesaran kepala yang berlebihan secara berkesinambungan.3 3. Pemeriksan funduskopi Evaluasi funduskopi akan memperlihatkan adanya edema papil bila tekanan intrakranial tinggi. Evaluasi juga bisa menemukan tidak ada edema papil meskipun pada hidrosefalus akut, dan bisa menyebabkan kesalahan penilaian.1 62 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 4. Rontgent kepala Teknik ini memberikan nilai diagnostik yang tinggi dan akan mengkonfirmasi banyak penemuan klinis, seperti pembesaran kepala, disproporsi kraniofasial, pelebaran sutura dan ubun-ubun besar yang melebar. Fossa kecil posterior dengan posisi rendah sutura lumboid pada stenosis aquaduktal atau fossa besar posterior pada malformasi dandy-walker akan dapat terlihat. Pada anak yag lebih tua dengan elongasi interdigitate pada sutura mengindikasikan naiknya tekanan intrakranial. Dapat juga terlihat adanya penanda berbentuk kumparan di rongga intrakranial (gambaran seperti metal perak) dan demineralisasi dorsum sella.3 5. Punksi Lumbal Punksi lumbal bisa berbahaya jika hilangnya tekanan dapat menyebabkan herniasi batang otak dan tidak boleh dilakukan jika dicurigai adanya kenaikan tekanan intrakranial.1 6. Ventriculografi Merupakan teknik invasif dengan menyuntikkan kontras ke dalam sistem ventrikel melalui lumbal punksi dengan tujuan untuk melihat ukuran ventrikel dan aliran kontras pada foto rontgen. Teknik ini telah digantikan oleh USG dan CT-scan.3 7. Pneumoencephalografi Teknik ini juga invasif seperti ventrikulografi, tapi yang dimasukkan adalah udara kedalam ventrikel otak. Teknik ini juga telah digantikan prosedur yang lebih non-invasif.3 8. Ultrasonografi Teknik ini bersifat non-invasif dan hanya dilakukan pada penderita yang ubun-ubun besarnya (fontanella anterior) masih terbuka.3 9. Computed tomografi CT-scan merupakan teknik non-invasif yang superior dibanding ventriculografi dan pneumoensefalografi. CT-scan berperan penting dalam memberikan penilaian yang akurat mengenai ukuran ventrikel, ruang ekstraserebral dan lokasi sumbatan.3 CT-scan memberikan gambaran adanya hidrosefalus, edema otak dan lesi massa seperti kista koloid di ventrikel ketiga atau tumor di thalamus atau pons. Pemeriksaan CT-scan dianjurkan bila ada kecurigaan adanya proses neurologis akut.1 10. Magneting Resonance Imaging (MRI) Merupakan suatu prosedur non invasive. Menggambarkan adanya dilatasi ventrikel atau adanya lesi massa. Dapat juga digunakan untuk mendiagnosa hidrosefalus antenatal.1,3 11. Opthalmodinamometri Opthalmodinamometri vena meski tidak cocok untuk pengawasan berkelanjutan, masih merupakan suatu metode non invasif sederhana untuk mengukur tekanan intrakranial. Teknik ini dapat diulang secara mudah dan dapat digunakan bila kenaikan tekanan intrakranial dicurigai pada penderita hidrosefalus, tumor otak atau cedera kepala. Opthalmodinamometri juga dapat digunakan untuk melakukan diagnosa banding adanya malfungsi ventrikular shunt, gangguan gastrointestinal, hipertensi hidrosefalus, dan atrofi otak.1 12. Doppler transkranial Doppler transkranial merupakan metode noninvasif untuk mengevaluasi hidrosefalus. Hidrosefalus membuat ventrikulomegali dan naiknya tekanan intrakranial, karenanya terjadi perubahan struktur pembuluh darah otak dan velositas aliran darah otak. Velositas diastolik turun dan indeks pulsatilitas meningkat (velositas sistolik–velositas diastolic/velositas rata-rata). Doppler transkranial tidak memberikan informasi langsung tentang perubahan aliran darah otak, tapi kesesuaian antara pola velositas aliran darah otak sebagai bukti disertai meningkatnya indeks pulsatilitas dapat mejadi indeks yang sensitif adanya cidera iskemik yang mengancam.1 VII. Tatalaksana Tatalaksana non bedah Obat seperti isosorbid yang menimbulkan diuresis hiperosmotik dan obat lain seperti asetazolamid, yang mengurangi sekresi cairan serebrospinalis dapat digunakan sebagai terapi sementara. Aksi kerjanya yang jelas dan adanya efek samping membuat obat-obat tersebut tidak lagi digunakan sebagai terapi definitif pada hidrosefalus. Membungkus kepala penderita hidrosefalus mulai dijadikan terapi untuk mengalihkan secara paksa cairan serebrospinalis ke jalur absorpsi alternatif. Tindakan ini meningkatkan tekanan intrakranial dan dapat menyebabkan dilatasi kanalis sentralis medulla spinalis secara progresif yang dapat mengganggu fungsi medulla spinalis. Sehingga teknik ini juga sudah tidak lagi digunakan.3 Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus 63 Tatalaksana bedah 1. Tindakan untuk mengurangi pembentukan cairan serebrospinalis • Eksisi pleksus koroidalis • Kauterisasi pleksus koroidalis 2. Tindakan untuk dekompresi ventrikel • Punksi ventricular berulang • Ventrikel drainase terbuka • Ventrikel drainase tertutup 3. Teknik terbaru Operasi yang membuat jalur pintas dari sumbatan system ventrikel: • Ventrikulostomi ketiga • Kanulasi aquaduktal3 Ventrikulostomi atau sistem drainase ventrikel ekstrakranial dipasang sebelum dilakukan ventrikel shunt sebagai terapi awal hidrosefalus yang dikaitkan dengan tumor di ventrikel ketiga ketika kondisi neurologis memburuk secara cepat. Ventrikulostomi disarankan oleh sebagian ahli bedah saraf untuk pengukuran sementara dilanjutkan dengan upaya untuk mempertahankan sirkulasi cairan serebrospinalis saat dilakukan pengangkatan tumor yang perlu pemasangan shunt jika pengangkatan tumor berhasil dilakukan. Insersi di region frontal kanan lebih dianjurkan karena bukan hemisfer dominan dan ventrikulostomi lebih mudah dilakukan bila pasien ada di ICU. Ventrikulostomi juga memungkinkan untuk memonitor tekanan intrakranial pascabedah.3 Beberapa jenis tindakan pintasan (shunting) 1: Ventriculostomi (regio frontal atau parietal) • ventriculoperitoneal shunt • ventriculopleural shunt • ventriculoatrial shunt Komplikasi yang dapat terjadi setelah pemasangan pintasan (shunt) dapat berupa infeksi, obstruksi, hematoma, malfungsi katup (valve), diskoneksi, overdrainase, pintasan yang terlalu besar (outgrown shunt), patahnya pintasan (shunt fracture), reaksi alergi terhadap bahan, dan kejang. Manajemen Perioperatif Anestesi Setiap tindakan anestesi pada anak merupakan suatu tantangan bagi ahli anestesi. Penting Gambar 2. Representasi dari malformasi chiari II yang memperlihatkan titik potensi sumbatan yang berbeda dengan subtype hidrosefalus lain. Dikutip dari: Rekate HL 4 untuk diingat bahwa anak-anak bersifat unik dari segi patofisiologi dan psikologi. Sehingga pilihan teknik anestesi dan obat yang sesuai akan mempengaruhi secara positif keluaran pascabedah, meminimalkan resiko komplikasi neurologis dan sekuel.6 Pertimbangan Preoperatif Manajemen perioperatif anestesi tergantung pada penyebab yang mendasari terjadinya hidrosefalus, yang dikaitkan dengan anomali kongenital dan efeknya terhadap neurofisiologi anak, juga bila ada gejala dan tanda kenaikan TIK. Harus dipastikan apakah hidrosefalus bersifat akut atau kronis.1 Pada pemasangan pintasan ventrikuloperitoneal atau revisinya, perlu dievaluasi baik tidaknya fungsi pintasan yang sudah terpasang, ada tidaknya penyakit penyerta lain, obat-obatan yang diminum, status volume intravaskular, riwayat anestesi dan pemeriksaan fisik. Penilaian klinis untuk mencari bukti adanya peningkatan TIK biasanya tidak cukup dan monitoring invasif TIK biasanya tidak diperlukan.2 Hidrosefalus dan disfungsi pintasan ventrikuloperitoneal memungkinkan untuk dilakukan evaluasi neurologis preoperatif dan radiologis yang menyeluruh, tapi terkadang penderita datang dengan peningkatan TIK yang memerlukan pembedahan darurat.2 Pemeriksaan laboratorium tergantung proses patologi yang 64 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 2. Pertimbangan Perioperatif pada Bayi dan Anak dengan Penyakit Neurologis7 Kondisi Penyakit jantung kongenital Prematuritas Infeksi saluran napas atas Abnormalitas kraniofasial Cedera denervasi Epilepsi dengan terapi kronik antikonvulsan Malformasi arterivena Penyakit neuromuskular Malformasi Chiari Lesi hipotalamus/pituitari Implikasi Anestesi Hipoksia dan kolaps kardiovaskular Apnea pasca bedah Laringospasme dan hipoksia pascabedah/pneumonia Kesulitan manajemen jalan napas Hiperkalemia setelah suksinilkolin Resisten dengan pelumpuh otot non depolarisasi Abnormalitas hepar dan hematologik Meningkatnya metabolisme anestetika Potensi terjadi gagal jantung kongestif Hipertemia maligna Gagal napas Serangan jantung mendadak Apnea Pneumonia aspirasi Diabetes insipidus Hipotiroidisme Insufisiensi adrenal Dikutip dari: Soriano SG, Eldrege EA, Rockoff MA.7 Tabel 3. Tanda dan Gejala Klinis Memprediksi Kegagalan Pintasan2 untuk Jejak cairan Nyeri kepala Demam Iritabilitas Ubun-ubun cembung Mual muntah Hilangnya salah satu perkembangan Meningkatnya ukuran lingkar kepala Dikutip dari: Nienaber J.2 mendasari pada bayi dan anak, setidaknya memerlukan pemeriksaan kadar hemoglobin.2 Elektrolit serum harus diperiksa jika diduga ada gangguan homeostasis natrium akibat perubahan hormon, muntah dan berkurangnya volume intravascular.2 Penderita yang sedang dalam pengobatan antikonvulsan kadang-kadang mempunyai perubahan kadar metabolisme obat, hal ini menjadi penting bila ada perubahan dosis obat terbaru dan jika kejang memburuk.2 Analisa gas darah preoperatif diindikasikan pada penderita dengan gangguan kesadaran dan yang disertai gangguan paru.2 Sedasi preoperatif akan mengurangi kecemasan, meskipun dengan sendirinya hal ini secara lebih lanjut dapat menyebabkan kenaikan TIK. Dianjurkan untuk mencegah hipoventilasi yang menyebabkan kenaikan kadar PaCO2 dan TIK.2 Sedasi preoperatif sebelum induksi dapat memudahkan perpindahan pasien dari ruang preoperatif ke dalam kamar operasi. Pemberian midazolam secara oral biasanya efektif dalam mengurangi kecemasan dan memberikan amnesia. Jika sudah terpasang jalur intravena, midazolam dapat disuntikkan secara perlahan untuk menimbulkan efek sedasi. Midazolam dapat diberikan secara oral dan tidak menyebabkan depresi napas pada dosis lebih dari 0,7mg/kg sampai maksimum 20mg.2,7 Ketamin, yang meningkatkan airan darah otak dan laju metabolisme oksigen otak, akan meningkatkan TIK dan menurunkan ambang batas kejang, sehingga pada umumnya pemakaiannya dihindari.2 Anak-anak dengan gambaran peningkatan TIK yang akut biasanya mengalami penurunan kesadaran dan tidak memerlukan sedasi.2 Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus Pertimbangan Intraoperatif Manajemen jalan napas Perbedaan perkembangan krikotiroid dan percabangan trakea memberikan pengaruh yang bermakna untuk manajemen jalan napas pada pasien anak. Laring pada bayi berbentuk funnel shaped, dengan bagian tersempit setinggi krikoid, dimana ini merupakan bagian jalan napas bayi yang paling kecil. Hal ini membuat bayi memiliki resiko untuk mengalami obstruksi subglotik sekunder akibat edema mukosa karena penggunaan intubasi endotrakeal yang lama dengan pipa endotrakeal yang ukurannya pas di trakea.7 Jalan napas harus diamankan dengan pipa endotrakeal dengan ukuran yang tepat dan dilakukan pernafasan terkontrol. Intubasi dapat dilakukan dengan menggunakan pelumpuh otot atau anestetik lokal (lignokain 1%) secara topikal pada laring.2 65 Posisi Untuk prosedur bedah ventrikuloperioneal shunt biasanya digunakan posisi supine. Kepala di miringkan ke kontralateral sisi insersi shunt. Karena trakea relatif lebih pendek, fleksi leher dapat menyebabkan migrasi pipa endotrakeal ke dalam cabang bronkus utama atau obstruksi vena jugularis yang mengganggu drainase vena dan meningkatkan volume serta tekanan intrakranial. Perhatian ekstra untuk mengamankan pipa endotrakeal harus dilakukan pada posisi ini. Ahli anestesi harus melakukan auskultasi pada kedua lapangan paru untuk memastikan pipa endotrakeal tidak mengalami migrasi.2,7,9 Umumnya diberikan ganjal berupa kain yang digulung yang diletakkan di bawah bahu agar membuat garis lurus dari telinga/ leher ke abdomen pada saat pembuatan terowongan (tunneling) pemasangan shunt.2 Mata harus diproteksi dari kekeringan dan cedera. Gambar 7. Bayi dalam Posisi Supine. Perhatikan bahwa kepala bayi ada pada posisi lebih tinggi dari keseluruhan badannya.Hal ini menyebabkan lebih tinggi kemungkinan terjadinya emboli udara vena. Dikutip dari: Soriano SG, Eldrege EA, Rockoff MA.7 Gambar 4. Alur Diagram Rapid Sequence Intubation pada Pasien dengan Kenaikan TIK. Dikutip dari: Filho EM, de Carvalho WB, Cavalheiro S6 Induksi dan Monitoring Anestesi Standar monitoring, EKG, pulse oksimetri, tekanan darah, CO2, FiO2 dan suhu, kecuali bila ada penyakit penyerta atau komorbid, diperlukan alat monitoring tambahan. Induksi anestesi dipandu oleh kondisi medis penderita dan fisiologi normal sesuai usia penderita.2 Biasanya, anak kecil dengan kenaikan TIK akut dan tidak mempunyai jalur intravena akan 66 Jurnal Neuroanestesi Indonesia diberikan induksi inhalasi melalui facemask. Semua obat anestesi volatil menyebabkan peningkatan aliran darah otak. Obat induksi intravena memberikan efek yang berbeda.2 Anestesi umum dapat dilakukan dengan sevofluran N2O, dan oksigen. Pelumpuh otot non depolarisasi seperti pancuronium dapat digunakan untuk fasilitasi intubasi endotrakea. Ventilasi harus dikontrol secepatnya untuk membuat hiperventilasi ringan dan menurunkan kadar PaCO2 untuk menghilangkan kenaikan aliran arah otak akibat anestetika volatil.2,7 Terjadinya laringospasme dan bronkospasme pada saat intubasi dapat menyebabkan Tabel 4. Efek Anestetika pada Metabolisme Otak Agen Volatil Propofol Tiopental Ketamin Nitrat oksida ADO ↑ ↓ ↓ ↑ ↑ CMRO2 ↓ ↓ ↓ ↑ ↑ TIK ↑ ↓ ↓ ↑ ↑ Keterangan ADO = aliran darah otak Gambar 3. Normalnya, aliran darah otak dipertahankan pada level yang konstan pada rentang yang luas dari rata-rata tekanan darah (mean blood pressure/MBP) dan PaO2. Di bawah level kritis minimal (pada dewasa sekitar 50 mmHg PaO2 dan 50‒55 mmHg (MBP), aliran darah otak akan meningkat sesuai dengan penurunan PaO2, dimana PaO2 akan turun sesuai penurunan MBP. Nilai batas minimum MBP pada bayi dan anak-anak belum diketahui. Dikutip dari: Nienaber J2 naiknya PaCO2 sehingga terjadi kenaikan aliran darah otak dan TIK. Sebagai alternatif, jika sudah ada jalur intravena terpasang, induksi dapat dilanjutkan dengan agen induksi seperti pentotal (5‒8 mg/kg) atau proprofol (3‒5mg/kg) yang berefek menurunkan TIK. Induksi secara cepat (rapid sequence induction) atau modifikasinya dengan menggunakan pentotal atau propofol yang diikuti dengan pemberian pelumpuh otot kerja cepat seperti suksinilkolin atau rokuronium diindikasikan untuk penderita dengan resiko tinggi terjadinya aspirasi.2,7,8 Rumatan Anestesi Umumnya, rumatan anestesi dilakukan dengan teknik balans antara opiat, anestestika volatil dan pelumpuh otot. Telah diketahui bahwa seluruh anestetika volatil dapat menyebabkan vasodilatasi otak dan peningkatan TIK. Isofluran dan sevofluran tampaknya memberikan efek minimal pada aliran darah otak dan reaktifitas pembuluh darah otak terhadap CO2 pada konsentrasi 0,5‒1,5 MAC. Infus opiat kerja singkat seperti fentanyl, alfentanil, sufentanil atau remifentanil dapat memberikan analgesi intraoperatif yang adekuat yang dapat diprediksi dan pulih sadar yang cepat, sehingga memungkinkan dilakukan penilaian neurologis pascabedah.2 Kontrol suhu merupakan suatu pertimbangan penting pada manajemen penderita anak yang menjalani prosedur bedah saraf. Hipotermia ringan sampai sedang bersifat neuroproteksi dan mungkin bernilai terapeutik bila ada iskemia atau hipoksia. Pada infant, turunnya suhu tubuh dapat memberikan beberapa kejadian yang tidak diinginkan. Bayi prematur dan matur yang mengalami hipotermia secara nyata mengalami kenaikan konsumsi oksigen. Pada infant, hipotermia dapat menyebabkan turunnya metabolisme obat, meningkatnya produksi laktat dan asidosis metabolik, vasokonstriksi perifer dan pergeseran kurva disosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri. Komplikasi lain dari hipotermia meliputi bangun dari pembiusan atau pulih sadar yang lama, koagulopati, imunodefisiensi dan gangguan metabolisme serum glukosa. Hipotermia berat dapat menyebabkan aritmia jantung.2 Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus 67 Manajemen Cairan VIII. Simpulan Tujuan dari terapi cairan adalah untuk mempertahankan perfusi otak, yang biasanya diterjemahkan dengan rumatan volume darah yang isovolemik, isoosmolar, dan isoonkotik. Normal saline (NaCl 0,9%) merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk penderita dengan gangguan saraf. NaCl 0,9% sedikit hiperosmolar (308 mOsm) dan diperkirakan mampu mengurangi edema otak. Hiperglikemia dikaitkan dengan memburuknya cedera otak setelah iskemia, karenanya pemberian dekstrosa tidak digunakan secara rutin. Bayi prematur memiliki risiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia. Pengukuran gula darah harus dilakukan pada kelompok ini pada prosedur pembedahan yang lama dan dekstrosa diberikan bila ada indikasi. Pada penderita dengan hipertensi intrakranial, dapat diberikan obat untuk menurunkan TIK. Furosemid, sering digunakan untuk menimbulkan diuresis dan mengurangi produksi cairan serebrospinalis. Terapi hiperosmolar dengan manitol atau salin hipertonik (3%) sering digunakan. Obat-obat ini diberikan setelah berdiskusi dengan ahli bedah.2 Terapi darah dan komponen darah diberikan dengan patokan jumlah kehilangan darah, kadar hematokrit awal dan hasil faal koagulasi darah.2 Manajemen anestesi pada hidrosefalus pada anak masih merupakan tantangan bagi ahli anestesi. Mengingat anatomi dan patofisiologi anak yang khusus dan responnya terhadap pemberian obat-obat anestesi yang khusus pula. Dengan diuraikannya manajemen anestesi pada anak dengan hidrosefalus, semoga dapat membantu dalam menangani penderita dengan lebih baik. Pertimbangan Postoperatif Diakhir pembedahan, dapat diberikan antagonis neostigmin (50mcg/kg) dikombinasikan dengan antikolinergik (misal atropin 25mcg/ kg). Sebagian besar penderita dapat diekstubasi secara sadar, menghindari hiperkarbia, dengan teknik yang meminimalkan risiko aspirasi (lateral atau duduk). Analgesia dapat dicapai dengan kombinasi parasetamol dan obat NSAID jika tidak menjadi kontraindikasi disertai tambahan opiat oral untuk breakthrough pain.10 Pada kasus pemasangan VP-shunt yang rutin tanpa adanya komorbid yang menyertai, penderita biasanya langsung dikembalikan ke ruangan. Pada bayi yang lahir prematur dengan risiko apnea pascabedah dilakukan monitoring selama sedikitnya 12 jam sampai penderita bebas periode apnea selama 12 jam pascabedah.2 Daftar Pustaka 1. Hamid RKA, Newfield P. Pediatric neuroanesthesia hydrocephalus. Anestesiology Clinic of North America. 2001; 19 (2): 207-18 2. Nienaber J.Anesthesia for ventriculoperitoneal shunt. South Afr J Anesth Analg. 2011; 17 (1): 73-5 3. Rizvi R & Anjum Q. Hydrocephalus in children. J Pak Med Assoc. 2005; 55 (11): 502-7 4. Rekate HL. The definition and classification hydrocephalus: a personal recommendation to stimulate debate. Cerebrospinal fluid research. 2008; 5 (2): 1-7 5. Rekate HL, Williams MA. Hydrocephalus diagnosed in young and middle age adults. San Francisco: George H Sandy Foundation. 2003. 6. Filho EM, de Carvalho WB, Cavalheiro S. Perioperatif patient management neurosurgery. Rev assoc Med Bras. 2012; 58 (3): 388-96 7. Soriano SG, Eldrege EA, Rockoff MA. Pediatric neuroanesthesia. Anesthesiology Cli N Am. 2002; 20: 389-404 8. Valadares FW, Lorentz MN, Heyden EG, val Filho JAC. Anesthesia for endoscopic ventriculostomy for the treatment of hydrocephalus. Case Report. Revista Brasileira deAnestesiologia. 2007; 57 (1): 88-9 68 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 9. Gupta N, Rath GP, Bala R, Reddy NK, Chaturvedi A. Anesthetic management in children with Hurler’s syndrome undergoing emergency ventriculoperitoneal shunt surgery. Saudi Journal of Anaesthesia. 2012; 6: 178-80 10. Hughes R. Anesthesia for ventriculoperitoneal shunt insertion. Anaesthesia tutorial of the week. 2008; 121: 1-7 Indeks Penulis B Bambang J. Oetoro, 15, 48 Buyung Hartiyo Laksono, 48 D Dewi Yulianti Bisri, 32, 37 E Eri Surahman, 58 F Fardian Martinus, 1 Fachrul Jamal, 8 Ferra Mayasari, 25 I Imam Hidayat, 8 Iwan Fuadi, 1, 25 K Kenanga Marwan S, 58 S Sri Rahardjo, 15,48 Siti Chasnak Saleh, 15, 48, 58 T Tatang Bisri, 1, 37 Tubagus Yuli R, 25 Z Zafrullah Khany Jasa, 8 Y Yunita Susanto Putri, 32 Indeks Subjek A Anak, 58 Anestesi, 15 Atlas meningioma, 32 Luaran, 8 B Bedah saraf, 48 N NaCl 0,9%, 1 C Cedera kepala berat, 8 Cedera otak traumatik, 15, 37 O Operasi non-obstetrik, 25 Osmolaritas, 1 D Disfungsi kognitif, 37 P Perdarahan intraserebral, 15 Penatalaksanaan perioperatif, 15 Posisi inline, 32 E Edema pascaoperasi, 32 H Hidrosefalus, 58 K Kehamilan, 15, 24 Kelainan elektrolit natrium, 48 Kraniotomi, 8 Kraniektomi, 8 Kraniotomi tumor otak, 1 L Laminectomy tumor removal, 32 M Manajemen anestesi, 58 R Ringerfundin, 1 RL, 1 S Sindroma kauda equina, 25 Spinal meningioma, 32 T Tekanan intrakranial, 58 Pedoman Bagi Penulis 1. Ketentuan Umum Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara. 2. Judul Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. 3. Abstrak Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Abstrak Penelitian: Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Contoh Penulisan Abstrak Penelitian: Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi. Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori Abstrak Laporan Kasus: Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus: Abstrack Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision, increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologic dan kebutuhan pemantauan tekanan intracranial atau drainase ventrikel atau keduanya. Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics Contoh cara penulisannya: Abstrak Tinjauan Pustaka: Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan Abstrak Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intracranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defist neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologic dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1) Kata kunci: perdarahan intracranial, stroke perdarahan Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3-5 buah. 4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka: • Nomor Kepustakaan berdasarkan ürutan dating”di dalam teks, Vancouver style. Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah. • Dari Jurnal: 1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107-S110. 2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450-58. Dari Buku: 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 22936. 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143-56. Materi Elektronik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of attachment theory and affective neuroscience. Journal of Psychotherapy Integration [Online Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011]. Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com 5. Jumlah halaman Laporan Kasus : 10-12 halaman Laporan Penelitian : 15 halaman Tinjauan Pustaka : 15-20 halaman Surat Pembaca : 1 halaman Ditik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font. Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus kepada mitra bebestari: Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA (Universitas Airlangga ‒ Surabaya) Prof. Dr. Nancy Margarita Rehatta, dr., SpAnKNA,KMN (Universitas Airlangga ‒ Surabaya) Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO (Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta) Dr. Sudadi, dr., SpAnKNA (Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta) Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA (Universitas Diponegoro ‒ Semarang) Abdul Lian, dr., SpAnKNA (Universitas Diponegoro ‒ Semarang) MH. Sudjito, dr., SpAnKNA (Universitas Sebelas Maret ‒ Surakarta) Dr. Hamzah, dr., SpAnKNA (Universitas Airlangga ‒ Surabaya) Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan datang Redaksi FORMULIR PESANAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap : ………………………………………………………………... Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………................... Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ………………............. Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………...... Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………... Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun** Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615 JNI dikirimkan ke* : □ □ □ Alamat Rumah Alamat praktik Alamat Kantor Bandung, ………………………………… Hormat Saya ( * pilih salah satu ** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi *** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten )