ll. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Industri Tahu Industri tahu di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cepat. Hal ini dikarenakan tahu merupakan makanan tradisional yang dikonsumsi setiap hari dan digemari oleh seluruh masyarakat Indonesia1, selain itu manfaat tahu sebagai sumber pangan yang memiliki nilai gizi tinggi dan harganya yang terjangkau oleh setiap lapisan masyarakat. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa jumlah industri tahu di Indonesia kurang lebih sekitar 84 000 unit usaha dengan kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton per hari. Melihat jumlah industri yang tidak sedikit itu maka industri tahu sangat berperan dalam pembangunan perekonomian di Indonesia terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja. Di sisi lain industri tahu dalam proses produksinya juga memiliki dampak yang negatif bagi lingkungan yaitu kontribusinya dalam menyumbang gas rumah kaca. Limbah cair yang dihasilkan dari industri tahu dari proses produksinya sekitar 20 juta meter kubik per tahun menghasilkan dan emisi sekitar 1 juta ton CO2 ekuivalen pertahun2. Oleh karena itu keberadaan industri tahu yang sangat berkontribusi bagi pertumbuhan perekonomian negara juga menyumbang emisi yang cukup tinggi bagi lingkungan yang dapat berdampak secara global. 2.2. Limbah Tahu Industri tahu dalam proses produksinya menghasilkan produk sampingan berupa limbah. Limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu berupa limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair tahu. Limbah padat berupa ampas tahu 1 http://barangdaurulang.blogspot.com/2009/08/limbah-tahu-cair-menjadi-biogas.html http:/hendrik-perdana.web.id/index.php/artikel/umum/242-biogas-dari-limbah-tahu. Diakses tanggal 26 Desember 2010. 2 biasanya dimanfaatkan kembali menjadi pakan ternak, dijadikan keripik ampas tahu, atau dijadikan sebagai bahan baku bagi industri lain. Namun tidak demikian halnya dengan limbah cair tahu. Pengrajin biasanya langsung membuang limbah cair tahu ke badan-badan air lainnya tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Limbah cair tahu ini memiliki dampak yang sangat berbahaya apabila mencemari perairan karena kandungan beban pencemar yang terdapat pada limbah cair tahu tidak sesuai dengan baku mutu air yang sudah ditetapkan (Kaswinarni, 2007). Karakteristik limbah cair dari proses produksi tahu yang berwarna kuning yaitu keruh, dan berbau rebusan kedelai apabila masih segar, sedangkan limbah dari proses produksi tahu putih berwarna putih keruh dengan bau kedelai jika masih segar. Kapasitas produksi, teknik pengolahan kedelai, dan penggunaan air akan mempengaruhi karakteristik limbah yang dihasilkan. Pengrajin dengan kapasitas produksi kecil akan menghasilkan limbah cair dengan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pengrajin dengan kapasitas produksi yang besar. Pengrajin tahu putih dengan kapasitas produksi di bawah 100 kg/hari menghasilkan limbah cair sebanyak 150-430 liter dengan nilai BOD sebesar 2 800 -4 300 mg/l, TSS sebanyak 615-629 mg/l, pH sebesar 3,4-3,8 dan DO sebanyak 1,5-2,2 mg/l. Jumlah limbah cair tahu yang dihasilkan dari kapasitas produksi diatas 100 kg melebihi 1 000 liter dengan nilai BOD sebesar 4 100 mg/l, TSS di atas 640 mg/l, pH 3,56 dan DO sebesar 1,93 mg/l. Limbah cair pada pengolahan tahu kuning dengan kapasitas produksi di bawah 100 kg/hari menghasilkan 9 limbah cair sebanyak 460-780 liter dengan nilai BOD sebesar 3 500-4 600 mg/l, TSS sebanyak 716-760 mg/l, pH sebesar 3,8-3,9 dan DO sebesar 1,2 mg/l3. 2.3. COD (Chemical Oxygen Demand) Chemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Dalam hal ini bahan buangan organik akan dioksidasi oleh Kalium bichromat menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion Chrom. Kalium bichromat digunakan sebagai sumber oksigen. Semakin banyak Kalium bichromat yang diperlukan dalam reaksi oksidasi, maka semakin banyak pula oksigen yang diperlukan. Hal ini menandakan bahwa air lingkungan makin banyak tercemar oleh bahan buangan organik (Wardhana, 2001) 2.4. BOD (Biological Oxygen Demand) Biological Oxygen Demand atau kebutuhan biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah atau mendegradasi bahan buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Sebenarnya peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup. Pada umumnya air lingkungan atau air alam mengandung mikroorganisme yang dapat “memakan”, memecah, menguraikan bahan buangan organik. Jumlah mikroorganisme di dalam air lingkungan tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang bersih biasanya mengandung mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air yang telah tercemar oleh bahan buangan yang bersifat 3 http://agribisnis.deptan.go.id/download/layanan_informasi/pengolahan_hasil_pertanian/draft_ped oman_desain_teknik_ipal_agroindustri.pdf Diakses tanggal 25 Desember 2010 10 antiseptik atau bersifat racun seperti phenol, kreolin, deterjen, asam sianida, insektisida, dan sebagainya, jumlah mikroorganismenya pun relatif sedikit. Mikroorganisme yang memerlukan oksigen untuk memecah bahan buangan organik sering disebut bakteri aerobik, sedangkan yang tidak memerlukan oksigen disebut bakteri anaerobik. Apabila kandungan oksigen dalam lingkungan air menurun maka kemampuan bakteri aerobik untuk memecah bahan organik akan menurun pula. Bahkan apabila oksigen dalam air yang terlarut sudah habis maka bakteri aerobik akan mati semua. Dalam keadaan seperti ini bakteri anaerobik akan mengambil alih tugas untuk memecah bahan buangan yang ada di dalam air (Wardhana, 2001). 2.5. Pengelolaan Limbah Pengelolaan limbah adalah kegiatan terpadu yang meliputi kegiatan pengurangan, segregasi, penanganan, pemanfaatan, dan pengolahan limbah. Kegiatan-kegiatan yang melingkupi pengelolaan limbah ini perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang optimal dan bukan hanya mengedepankan pengolahan limbah saja. Kegiatan ini dilakukan untuk mengurangi beban pengolahan limbah di IPAL seperti teknologi dan biaya yang tinggi. Ada beberapa teknik terintegrasi untuk melakukan pengelolaan limbah seperti produksi dan minimisasi limbah. Produksi bersih menekankan pada tata cara produksi yang minim bahan pencemar, limbah, air, dan energi. Bahan pencemar diminimisasikan dengan pemilihan bahan baku yang baik, tingkat kemurnian yang tinggi atau bersih. Selain itu diupayakan menggunakan peralatan yang hemat air dan energi. Sedangkan minimisasi limbah merupakan implementasi untuk mengurangi jumlah dan tingkat pencemaran yang dihasilkan dari suatu proses produksi dengan cara 11 pengurangan, pemanfaatan, dan pengolahan limbah. Pengurangan limbah dilakukan melalui peningkatan atau optimasi efisiensi alat pengolahan, optimasi sarana dan prasarana pengolahan seperti sistem perpipaan, meniadakan kebocoran, dan terbuangnya limbah. Pemanfaatan ditujukan pada bahan baku air yang telah digunakan dalam proses yang sama. Pemanfaatan perlu dilakukan dengan pertimbangan yang cermat agar tidak menimbulkan gangguan pada proses produksi atau pencemaran lingkungan. Pengolahan limbah adalah upaya terakhir dalam sistem pengelolaan limbah setelah sebelumnya dilakukan optimasi proses produksi dan pengurangan serta pemanfaatan limbah. Pengolahan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan. Limbah yang dikeluarkan dari setiap kegiatan akan memiliki karakteristik yang berlainan. Hal ini karena bahan baku, teknologi proses, dan peralatan yang digunakan juga berbeda. Namun akan tetap ada kemiripan karakteristik diantara limbah yang dihasilkan dari proses untuk menghasilkan produk yang sama. Karakteristik utama limbah didasarkan pada jumlah atau volume limbah dan kandungan bahan pencemarnya yang terdiri dari unsur fisik, biologi, kimia, dan radioaktif. Karakteristik ini akan menjadi dasar untuk menentukan proses dan alat yang digunakan untuk mengolah air limbah4. 2.6. Biaya Eksternal Biaya eksternal meningkat ketika seseorang atau suatu grup tidak menanggung seluruh biaya akibat segala tindakannya, dengan demikian sebagian biaya tersebut ditanggung oleh pihak lain atau masyarakat luas (Zohrabian dan Philipson, 2010). Jenis biaya ini disebut biaya eksternal karena meskipun 4 http://agribisnis.deptan.go.id/download/layanan_informasi/pengolahan_hasil_pertanian/draft_ped oman_desain_teknik_ipal_agroindustri.pdf Diakses tanggal 25 Desember 2010 12 produsen atau konsumen tidak bertanggung jawab atas tindakannya secara finansial, namun biaya tersebut nyata bagi anggota masyarakat lainnya (Sabour, 2006). Di dalam pasar bebas, apabila tidak melibatkan eksternalitas, hanya ada satu istilah yaitu biaya produksi dan hanya ada satu istilah keuntungan yaitu keuntungan yang diperoleh oleh konsumen. Eksternalitas melibatkan pihak ketiga yang bukan produsen atau konsumen yaitu masyarakat yang terkena dampak. Masyarakat yang terkena dampak berupa biaya yang diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan baik oleh produsen maupun konsumen. Biaya yang ditanggung oleh pihak ketiga inilah yang disebut dengan biaya eksternal5. Biaya-biaya ini dapat berupa biaya kesehatan, biaya pengolahan air, biaya dari penurunan produktivitas pertanian bahkan biaya penurunan produktivitas kerja. Misalnya saja apabila masyarakat yang tinggal di sekitar sungai tempat produsen membuang limbah cair hasil proses produksi mereka maka masyarakat yang biasa mengonsumsi air sungai untuk kebutuhan sehari-hari mereka akan terkena dampak negatif yaitu penurunan kualitas air sungai. Dengan demikian air sungai yang ada menjadi tidak layak pakai karena kualitas air sungai tersebut sudah tidak sesuai dengan baku mutu air untuk kegiatan konsumsi sehari-hari sehingga masyarakat yang biasa mengonsumsi air tersebut terkena penyakit karena air yang mereka konsumsi mengandung zat pencemar dan bakteri yang membahayakan 5 http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CBIQFjAA&url=http%3A%2F%2 Frepository.gunadarma.ac.id%3A8000%2FKommit2004_ekonomi_010_1481.pdf&rct=j&q=intern alisasi+biaya+eksternaljuarna+dan+harmoni+&ei=2twUTKuPB823rAeX07GyCA&usg=AFQjCNE5r3ztmzDj4dCftY-w4SiaNIASKA. Diakses tanggal 1 Mei 2010 13 kesehatan. Menurut Abelson (1979), terdapat kesulitan di dalam mengestimasi nilai dari biaya eksternal karena tidak adanya pasar yang nyata untuk dampak yang buruk dari suatu rumah tangga. 2.7. Internalisasi Biaya Eksternal Eksternalitas erat kaitannya dengan efisiensi alokasi sumberdaya. Sumberdaya bisa saja dialokasikan melalui berbagai pengaturan kelembagaan seperti kediktaktoran (dictatorship), perencanaan terpusat (central planning), atau melalui mekanisme pasar bebas (free market). Teori ekonomi standar mengatakan bahwa meskipun pengaturan kelembagaan selain free market bisa saja mengalokasikan sumberdaya secara efisien, namun hanya mekanisme pasar yang menghasilkan alokasi yang efisien dan optimal (pareto optimal). Dengan kata lain, apabila pasar tidak eksis maka alokasi sumberdaya tidak akan terjadi secara efisien dan optimal (Fauzi, 2004). Sumberdaya alam dalam beberapa hal tidak ditransaksikan dalam mekanisme pasar atau mekanisme pasar tidak berjalan sempurna. Dalam hal ini contohnya barang lingkungan seperti kualitas air sungai yang merupakan barang yang tidak memiliki harga pasar sehingga sulit untuk melakukan penilaian. Oleh karena tidak adanya nilai dari kualitas sungai maka masyarakat merasa bebas untuk memanfaatkan tanpa terikat kewajiban untuk melestarikan sungai (Fauzi, 2004). Pemanfaatan air sungai yang dilakukan secara berlebihan dapat menyebabkan dampak negatif bagi pengguna lainnya, sehingga pengguna lain harus mengeluarkan biaya eksternal karena telah memanfaatkan air sungai yang tercemar. 14 Menurut Fauzi (2004), di dalam pasar bebas tidak mengenal adanya eksternalitas. Segala bentuk transaksi dalam hal ini permintaan dan penawaran berjalan sempurna. Artinya pasar dapat memenuhi permintaan yang ada. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan barang lingkungan seperti kualitas air, permintaan akan air yang bersih sesuai baku mutu tidak dapat disediakan oleh pasar karena ketiadaan pasar bagi kualitas air sungai yang bersih, dalam hal ini pasar tidak berjalan atau dapat dikatakan telah terjadi kegagalan pasar (market failure). Market failure yang disebabkan oleh kegagalan pasar dapat dikurangi dengan beberapa kebijakan diantaranya: 1. Pengaturan property right dengan cara pemerintah memberikan hak tersebut kepada suatu pihak yang menggunakan barang publik 2. Internalisasi biaya eksternal 3. Distribusi right 4. Optimalisasi produksi dan konsumsi 5. Aturan insentif dan kompensasi 6. Penilaian lingkungan 7. Penyusunan neraca sumberdaya alam 8. Penetapan otoritas sumberdaya alam Dari kebijakan yang telah diuraikan di atas salah satu yang dapat dilakukan untuk mengatasi eksternalitas yang menyebabkan penurunan kualitas air sungai yaitu dengan melakukan internalisasi biaya eksternal. Internalisasi biaya eksternal merupakan upaya untuk menginternalkan dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha (Fauzi, 2004). 15 Ketika terjadi eksternalitas negatif, biaya privat, yaitu biaya yang dihitung oleh pabrik untuk membayar semua faktor produksi yang digunakan menjadi terlalu kecil karena tidak memperhitungkan kerugian masyarakat, akibatnya barang yang dihasilkan oleh pabrik tersebut cenderung menjadi terlalu banyak, mereka tidak memperhitungkan bagaimana dampak pembuangan limbah produksi ke sungai yang dirasakan masyarakat lainnya yang menggunakan air sungai tersebut (Mangkoesoebroto, 1993). Dalam hal ini perusahaan masih belum menanggung biaya eksternal seperti biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat akibat mengonsumsi air sungai yang tercemar tersebut. a c d q* b p q -k e f Sumber: Folmer (2000) Gambar 1. Pasar Bebas Sebelum Internalisasi Biaya Eksternal Berdasarkan gambar di atas pada saat pasar bebas ketika belum dimasukkan biaya eksternal ke dalam struktur biaya produksi dalam hal ini MC (q), maka biaya eksternal yang ditanggung oleh masyarakat adalah daerah d-e-q*f, sedangkan surplus konsumen adalah daerah a-b-c dimana surplus yang terjadi belum menggambarkan surplus sosial. 16 Apabila suatu perusahaan sudah menginternalisasikan biaya eksternal ke dalam struktur maka kurva biaya produksi dapat dilihat seperti pada Gambar 2. k a b e c d p -k f g qs q* h q i Sumber: Folmer (2000) Gambar 2. Pasar Bebas Setelah Internalisasi Biaya Eksternal Apabila perusahaan sudah menginternalisasikan biaya eksternal, maka kurva MC (q) akan bergeser ke atas menjadi MC (q) + k sebesar k, dimana k adalah biaya eksternal yang kemudian ditanggung oleh perusahaan. Internalisasi ini menyebabkan produksi tereduksi dari q* menjadi qs, dan mengurangi surplus dari a-d-e menjadi a-b-c, daerah a-b-c ini yang kemudian disebut dengan surplus sosial karena telah memasukkan komponen biaya sosial ke dalam struktur biaya produksi. Pada kasus limbah cair yang dihasilkan dari proses produksi tahu, internalisasi biaya eksternal dapat dilakukan melalui pengolahan limbah cair menjadi biogas sehingga biaya eksternal yang semula ditanggung oleh masyarakat menjadi tanggungan para pengrajin tahu. 17 2.9. Studi Terdahulu Penelitian Natalia (2008) mengenai limbah cair tempe yang meneliti tentang kandungan beban pencemar yang terdapat dalam limbah cair tempe dan pengolahan limbah cair tempe menggunakan IPAL. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat membantu para pengusaha atau pengrajin tempe untuk mengurangi pembuangan limbah cair tempe ke sungai sehingga dapat meningkatkan kualitas air sungai dan dapat mengurangi eksternalitas negatif yang timbul akibat limbah cair yang dibuang secara langsung ke sungai bagi masyarakat pengguna air sungai. Musksgaard dan Ramskov (2002), melakukan penelitian untuk menganalisis efek dari peraturan dalam sebuah pasar energi yang terintegrasi dengan cara menggunakan pajak bagi para produsen berdasarkan biaya eksternal yang dihasilkan. Analisis ini dilakukan berdasarkan model keseimbangan empirik yang diterapkan di pasar energi di Eropa Utara. Hasilnya menunjukkan bahwa internalisasi biaya eksternal akan meningkatkan harga listrik sebesar 40-50% pada periode dari tahun 1995 sampai tahun 2020, sehingga permintaan listrik menurun sebesar 10%. Kosugi et al., (2009) melakukan penelitian untuk mensimulasikan internalisasi biaya eksternal pada isu-isu lingkungan yang utama secara global menggunakan model pertumbuhan ekonomi optimal. Penelitian ini menggabungkan dua model yang sudah ada yaitu model penilaian yang terintegrasi dan model dampak penilaian dari siklus hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengahasilkan tiga keluaran yaitu untuk menggabungkan isu-isu lingkungan termasuk pemanasan global pada model penilaian yang terintegrasi, 18 untuk menilai dampak lingkungan dengan pendekatan bottom-up menggunakan model dampak dari siklus hidup, dan untuk menginternalisasikan biaya eksternal yang dihasilkan dari studi dampak lingkungan. Hasil simulasi dari penelitian ini mengindikasikan bahwa biaya eksternal dari global warming terhitung sekitar 10 40%, dan sisanya berasal dari penggunaan lahan dan perubahannya. Internalisasi biaya eksternal akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi sampai sekitar 5% dimana usaha perlindungan hutan akan meningkat sampai sekitar 40% dan konsumsi energi fosil akan menurun sampai 15%. Rafaj dan Kypreos (2006), melakukan penelitian untuk menunjukkan dampak dari internalisasi biaya eksternal dari produksi listrik. Pendekatan pada model dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan tambahan biaya pada pembangkit tenaga listrik yang merefleksikan biaya lingkungan dan gangguan kesehatan yang ditimbulkan dari polutan lokal (SO2 dan NOX), perubahan iklim, resiko kecelakaan kerja, dan lain-lain. Teknologi yang digunakan menghasilkan emisi yang disalurkan ke sistem seperti NOX dan CO2. Hasilnya terlihat bahwa terdapat perubahan dari produksi energi akibat melakukan internalisasi biaya eksternal. Keempat penelitian yang telah dilakukan sebelumnya melakukan perhitungan biaya eksternal yang timbul akibat pencemaran lingkungan, hanya saja penelitian yang dilakukan hanya sebatas pengukuran terhadap biaya eksternal kemudian menginternalisasikannya ke dalam struktur biaya produksi yang berimplikasi pada penurunan kuantitas jumlah barang yang diproduksi. Kelebihan di dalam penelitian ini adalah selain melakukan estimasi biaya eksternal kemudian menginternalisasikannya ke dalam struktur produksi juga melakukan estimasi 19 terhadap manfaat ekonomi yang diperoleh dari internalisasi biaya eksternal, seperti penghematan bahan bakar, penerimaan tambahan dari cacing rambut yang hidup di sungai untuk pakan lele dumbo karena setelah dilakukannya pengolahan limbah cacing rambut dapat tumbuh dengan baik, penerimaan tambahan dari penjualan ampas tahu yang sudah diolah menjadi pakan ternak, dan keripik ampas tahu. 20