Alam Semesta Biologis (?)

advertisement
Bandung, 04 Juli 2000/2003
Alam Semesta Biologis (?)
Ferry M. Simatupang ( astronomi ITB )
There are infinite worlds both like and unlike this worlds of our.
Epicurus
Apakah
kita
satu-satunya
makhluk
berintelegensi
di
alam
semesta?
Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan terbesar yang pernah diajukan manusia. Untuk
menjawab pertanyaan ini, berbagai usaha dilakukan manusia, baik yang bersifat pasif maupun
aktif. Manusia berusaha menjawab pertanyaan tersebut mulai dari sudut pandang yang
bersifat filosofis hingga yang bersifat ilmiah. Kemajuan ilmu astronomi sekarang ini
memungkinkan kita untuk mulai menguak sedikit demi sedikit jawaban atas pertanyaan itu.
(Copyright © 1998 Lynette R. Cook, All Rights Reserved, Used with Permission.)
Kerinduan manusia mencari teman dalam alam semesta mungkin memang merupakan sifat
alami manusia. Apalagi setelah kita mulai 'mengetahui' dimensi alam semesta, ketersendirian
manusia dalam alam raya ini semakin memperkuat gaung pertanyaan itu. Dulu, Bumi
dipandang sebagai pusat penciptaan, pusat dari alam semesta. Matahari, Bulan, planet-planet
dan bintang-bintang diyakini beredar mengelilingi Bumi. Pandangan geosentris ini kemudian
dicampakkan oleh pandangan heliosentris, yang memandang Matahari sebagai pusat gerak
benda-benda langit, dan Bumi bersama-sama planet-planet lain dan bintang-bintang, beredar
mengelilinginya. Namun peran Bumi masih dianggap sentral.
Dengan kemajuan teknik pengamatan astronomi dan tersedianya teleskop-teleskop besar
pada awal abad 20, kita dipaksa kembali merombak pandangan kita tersebut. Pandangan
heliosentris digantikan oleh pandangan galaktosentris. Pandangan galaktosentris ini
menempatkan Matahari+Bumi di pinggiran sistem bintang-bintang yang kita namakan galaksi
Bima Sakti. Bima Sakti ini adalah keluarga bintang-bintang yang beranggotakan lebih dari 200
miliar bintang. Di sini peran Bumi sebagai pusat penciptaan semakin redup. Posisi Bumi
semakin tercampakkan dari posisi istimewanya sebagai pusat penciptaan (karena di sinilah
hidupnya manusia). Dan tak lama kemudian, secara drastis alam semesta 'mengembang'
secara luar biasa, saat kita tahu bahwa Bima Sakti hanyalah satu dari sekian miliar galaksi lain
yang ada dalam alam semesta. Ini menjadikan Bumi hanyalah sebutir debu yang tidak berarti
dalam alam semesta yang maha luas ini. Namun benarkah demikian?
Saat manusia mulai memandang langit, manusia menganggap langit adalah tempat
kesempurnaan. Langit dianggap tempat para dewa dan wilayah yang tidak bisa dijamah.
Masuknya ilmu pasti dalam usaha manusia mempelajari langit, mengubah pandangan alam
semesta mitologis ini menjadi alam semesta mekanis. Langit yang dulunya dianggap tempat
tak tersentuh dan milik para dewa, kini mulai dirambah manusia. Langit menjadi lahan studi
para ilmuwan. Dengan pengamatan dan perhitungan, manusia bisa meramal gerak bendabenda di langit, mempelajari bahan penyusun benda-benda langit tersebut, dll. Alam semesta
dipandang sebagai mesin yang maha besar yang kerjanya dapat kita pelajari. Pandangan ini
memberikan efek buruk: membuat pandangan kita terhadap alam semesta menjadi kering
dan mati. Keteraturan yang teramati adalah keteraturan mekanis yang berdetak teratur dan
tidak hidup. Dalam kekeringan tersebut, benak manusia kembali dipenuhi oleh pertanyaan:
apakah dalam alam semesta mekanis ini, hanya di Bumi yang ada manusianya?
Untuk menjawab pertanyaan yang semakin keras gaungnya ini, manusia mulai melakukan
usaha yang bersifat ilmiah. Jawaban atas pertanyaan setral ini, yang dulunya hanya dijawab
dengan dasar filosofis, kini mulai mendapat dasar pijakan ilmiah. Pijakan itu diperoleh dari
astronom Frank Drake yang memberikan perhitungan sederhana untuk menghitung jumlah
peradaban di dalam Bima Sakti, yang dapat berkomunikasi dengan kita. Persamaan itu dikenal
dengan nama Persamaan Drake. Persamaan Drake ini memberikan petunjuk bahwa jumlah
peradaban yang bisa berkomunikasi dengan kita cukup besar. Manusiapun mulai mencari
dimana kira-kira mereka berada. Dan petualangan barupun dimulai.
Usaha untuk mencari kehidupan di luar Bumi ini bisa kita bedakan menjadi 2: pencarian di
dalam tata surya dan di luar tata surya. Pencarian kehidupan di dalam tata surya lebih
diarahkan pada pencarian kehidupan sederhana. Hal ini disebabkan karena kita telah cukup
banyak mengetahui keadaan planet-planet dalam tata surya, dan sampai saat ini bisa
dipastikan selain Bumi tidak ada yang memiliki kehidupan dengan intelegensi tinggi. Namun
bentuk-bentuk kehidupan sederhana (atau setidak-tidaknya sisa/jejak kehidupan sederhana)
masih mungkin kita temukan. Misalnya di Titan, satelit / bulan dari planet Saturnus. Titan saat
ini diyakini mirip dengan keadaan Bumi beberapa miliar tahun lalu, saat Bumi mulai
menumbuhkan bentuk-bentuk kehidupan sederhana. Begitu pula dengan Europa dan
Ganymede (satelit planet Jupiter), diyakini memiliki kemungkinan menampung bentuk-bentuk
kehidupan sederhana. Pencarian kehidupan di dalam tata surya bisa kita lakukan dengan
mengirim pesawat ruang angkasa tak-berawak untuk mengunjungi dunia-dunia di luar Bumi
ini, untuk mempelajari lingkungannya dan mendeteksi keberadaan makhluk hidup.
Dalam usahanya mencari bentuk-bentuk kehidupan dalam tata surya kita, ilmuwan juga
mempertimbangkan kemungkinan pertukaran makhluk hidup sederhana lewat meteor /
komet. Batuan meteor yang berasal dari planet Mars misalnya, menunjukkan adanya jejak
mirip jejak yang ditinggalkan makhluk hidup sederhana. Organisme tersebut diduga berasal
dari planet Mars. Mungkin saja organisme di Bumi ini berasal dari organisme luar Bumi yang
dibawa oleh meteor / komet. Pertukaran organisme antar planet / antar benda langit dalam
tata surya kita kemungkinan adalah merupakan hal yang umum.
Sementara itu, pencarian kehidupan di luar tata surya menempuh jalur yang sedikit berbeda
dan menarik. Ini karena rentang jarak antar bintang-bintang dalam galaksi Bima Sakti yang
amat jauh. Masing-masing bintang bisa dikatakan cukup terisolasi dari bintang lainnya karena
jarak antar bintang dalam Bima Sakti itu berjauhan. Jarak yang merentang antar bintang
berkisar 4-10 tahun cahaya. Tahun cahaya adalah satuan jarak yang biasa digunakan
astronomi untuk menyatakan jarak. Tahun cahaya ini didefinisikan sebagai berikut: 1 tahun
cahaya adalah jarak yang ditempuh cahaya dalam ruang vakum selama 1 tahun. Dengan
kecepatan rambat cahaya sebesar 300.000 km/s, dalam satu tahun cahaya menempuh jarak
9,5 x 1012 km (hampir 10 juta juta km). Dan jarak bintang terdekat dengan kita (tentu saja
selain Matahari) adalah 4,3 tahun cahaya.
Karena jarak yang sedemikian jauh, pengiriman pesawat angkasa menuju bintang-bintang
untuk menyelidiki ada tidaknya kehidupan menjadi tidak praktis (kecuali untuk proyek
berjangka amat panjang). Karena dengan kecepatan tertinggi yang bisa dicapai pesawat
angkasa kita saat ini, dibutuhkan waktu puluhan sampai ratusan ribu tahun untuk mencapai
bintang-bintang terdekat. Informasi yang diperoleh harus dikirim kembali ke Bumi dan
membutuhkan waktu yang juga tidak sebentar. Jadi pengiriman wahana antariksa bukanlah
hal yang praktis. Dengan kata lain, yang bisa kita lakukan saat ini hanyalah mencoba
berkomunikasi dengan mereka (jika mereka memang ada), atau mencuri dengar komunikasi
mereka. Mereka disini berarti kehidupan luar bumi yang memiliki intelegensi dan kemampuan
untuk melakukan komunikasi jarak jauh (antarbintang). Praktis bentuk-bentuk kehidupan
sederhana di sini tidak akan pernah kita ketahui keberadaannya secara langsung.
Usaha mencari teman di dalam alam semesta yang maha luas ini mulai dilakukan secara
sistematis dan terorganisir semenjak Proyek Ozma tahun 1960. Proyek ini bertujuan
mendeteksi komunikasi pada panjang gelombang radio (21 cm). Panjang gelombang ini
diyakini sebagai panjang gelombang universal, karena radiasi elektromagnetik pada panjang
gelombang ini dapat menembus jarak yang amat jauh. Materi antar bintang yang berupa debu
dan gas, tidak mengganggu panjang gelombang radio ini. Diharapkan jika 'mereka' ada,
merekapun akan berfikir sama seperti kita, dan mencoba berkomunikasi pada panjang
gelombang ini.
Setelah Proyek Ozma, berbagai proyek dengan tujuan serupa mulai diluncurkan. Yang
terkenal akhir-akhir ini adalah Proyek SETI yang mencoba mendeteksi komunikasi
ekstraterrestrial dengan teleskop radio raksasa di Arecibo. Teleskop dengan diameter 305 m
ini adalah teleskop yang terpasang statis, menyapu langit sesuai dengan rotasi Bumi. Data
yang didapat diolah dengan komputer, dan memanfaatkan kecanggihan teknologi internet.
Lewat proyek SETI@home, data disebar ke seluruh penjuru dunia lewat internet, untuk diolah
oleh sukarelawan yang tersebar di seluruh dunia. Caranya sederhana, sukarelawan hanya
perlu meng-install sebuah program kecil sebagai screen saver komputernya. Program
pengolah data ini otomatis akan bekerja saat kita tidak sedang menggunakan komputer.
Ketika komputer kita gunakan, pengolahan otomatis akan terhenti, dan dilanjutkan saat lain
ketika komputer sedang tidak digunakan. Para sukarelawan sebenarnya otomatis tidak
mengerjakan apa-apa, hanya menyediakan waktu kosong komputernya (saat komputer tidak
digunakan) untuk pengolahan data. Program ini akan otomatis meng-upload data yang telah
selesai diolah ke server SETI@home, dan men-download data baru untuk pengolahan
selanjutnya. Mereka yang terlibat dalam pengolahan data ini mencapai jumlah lebih dari
empat juta orang (data awal 2003). Lewat cara ini, proyek yang satu ini menghemat waktu
komputasi lebih dari seratus tahun. Lewat proyek inilah seluruh manusia Bumi bersama-sama
mencari saudara mereka di langit.
Sementara itu, perkembangan astronomi akhir-akhir ini semakin memperbesar harapan
penemuan peradaban (atau setidak-tidaknya kehidupan) lain di luar tata surya.
Perkembangan yang dimaksud adalah penemuan sistem keplanetan di bintang-bintang lain
sekitar Matahari. Akhir abad ke-20 ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 40 sistem
keplanetan di luar tata surya kita. Sampai Februari 2003, telah dikonfirmasi keberadaan lebih
dari seratus planet pada lebih dari sembilan puluh buah bintang mirip Matahari. Penemuan ini
menunjukkan bahwa sistem keplanetan adalah hal umum di alam semesta (setidak-tidaknya
dalam galaksi Bima Sakti kita). Meski saat ini kita baru mendeteksi keberadaan planet-planet
raksasa (berkeadaan mirip planet Jupiter) seukuran Saturnus, pada masa mendatang, kita
bisa berharap dapat mendeteksi planet-planet batuan seukuran Bumi. Dan mungkin salah
satunya memiliki lingkungan yang mendukung kehidupan makhluk berintelegensi tinggi
seperti manusia.
Hal yang menarik di sini adalah: kelihatannya sekali lagi pandangan kita terhadap alam
semesta akan berubah. Jika pada awalnya kita berpandangan alam semesta mitologis,
kemudian beralih ke alam semesta mekanis, saat ini kita mulai melihat sebuah alam semesta
biologis. Alam semesta biologis yang (kemungkinan) dipenuhi oleh berbagai macam bentuk
kehidupan, baik yang sederhana maupun yang kompleks, bahkan yang mungkin tidak
terbayangkan oleh manusia sebelumnya. Di sini kita mulai melihat alam semesta sebagai
sebuah ekosistem maha besar, yang penuh dengan berbagai jenis makhluk. Alam semesta
yang memiliki denyut nadinya sendiri.
Mungkin saat ini kita memang belum melihat adanya bukti definitif keberadaan makhluk hidup
selain di Bumi. Namun arah perkembangan ilmu astronomi memberikan bukti bahwa planetplanet bukanlah monopoli Matahari kita. Dan diantara planet-planet yang mengitari bintang
lain, mungkin ada yang mirip Bumi, yang bisa mendukung kehidupan. Mungkin saja kita tidak
sendiri, tetapi memiliki teman di alam semesta yang maha luas ini. Di satu saat di masa
depan, ada kemungkinan kita melihat alam semesta sebagai sebuah ekologi berbagai makhluk
berakal dengan bentuk-bentuk yang mungkin saat ini masih belum bisa kita bayangkan.
Copyright: http://www.as.itb.ac.id/~ferry/Articles/BioUniverse/BioUniverse.html
Download