Document

advertisement
DEMOKRASI DAN PENDISTRIBUSIAN KEKUASAAN BERDASARKAN UUD 1945
HASIL PERUBAHAN
Oleh : Ferdinandus Ngau Lobo, SH., MH.
Abstract
Application of the principle of democracy is depend on the location, time or ideology of
a nation. One of the characteristics of a democracy is the distribution of power to
several state agencies. The purpose of the distribution of power is that power is not
concentrated in one hand and raises authoritarian. Recognizing this, the Unitary
Republic of Indonesia take strategic steps to amend the 1945 Constitution. The positive
impact of the 1945 amendment is the distribution of power more balanced to many
state agencies to realize the principle of checks and balances. Even so, I’d like to
outline the implementation of democracy and the distribution of power under the
Constitution of 1945 as the results of the amendment.
Keywords: democracy, distribution of powers, checks and balances.
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi yang bergulir sejak Mei 1998 mengusung berbagai agenda yang
ditujukan terhadap perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu agenda
terpenting dari tuntutan reformasi ini adalah perubahan terhadap UUD 1945 yang
asli1. Hal ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari adanya kelemahan-kelemahan yang
terdapat di dalam UUD 1945, yaitu antara lain :
Pertama, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and
balances yang memadai. Kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian besar
bersifat sederhana, umum, bahkan tidak jelas ( vogue ) sehingga banyak pasal
yang menimbulkan multi tafsir. Ketiga, unsur-unsur konstitusionalisme tidak
dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945. Keempat, UUD 1945 terlalu
menekankan pada semangat penyelenggara negara. Kelima, UUD 1945
memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada Presiden untuk
mengatur berbagai hal penting dengan Undang-Undang. Keenam, banyak materi
muatan yang penting justru diatur dalam penjelasan UUD 1945, tetapi tidak
tercantum di dalam pasal-pasal UUD 1945. Ketujuh, status dan materi Penjelasan
1
Selanjutnya, di dalam tulisan ini istilah UUD 1945 yang asli disebut UUD 1945 sedangkan yang berlaku
sekarang akan disebut UUD 1945 hasil perubahan
35
UUD 1945. Persoalan ini sering menjadi perdebatan tentang status Penjelasan,
karena banyak materi Penjelasan yang tidak diatur di dalam Pasal-Pasal UUD
1945, misalnya materi negara hukum, istilah kepala negara dan kepala
pemerintahan, istilah mandataris MPR, pertanggungjawaban Presiden dan
seterusnya.2
Dengan memakai istilah “beberapa isu penting dalam UUD 1945 yang selama ini
sering dikritik oleh para ahli”, Jimly Asshiddiqie juga menyatakan pendapatnya
tentang adanya kelemahan pada substansi UUD 1945.3
Kelemahan-kelemahan substansial UUD 1945 tersebut pada akhirnya telah
menyebabkan terkonsentrasinya kekuasaan pada satu poros saja, yaitu kekuasaan
eksekutif yang telah mendorong timbulnya pemerintahan yang otoriter. Menurut
Bagir Manan, UUD 1945 sebagian subsistem konstitusi dalam pelaksanaannya tidak
berjalan sesuai dengan staatssidee mewujudkan negara berdasarkan konstitusi seperti
tegaknya tatanan demokrasi, negara berdasarkan hukum yang menjamin hal-hal
seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka serta keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.4
UUD 1945 yang menganut demokrasi sebagai asasnya justru telah melahirkan
tatanan kehidupan yang tidak demokratis. Ini berarti terdapat ketidakjelasan terhadap
perumusan konsep demokrasi ( dan konsep-konsep lainnya ) ke dalam pasal-pasal
UUD 1945, dan ini menjadi salah satu alasan bagi kalangan yang menghendaki
perubahan terhadap UUD 1945.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, akhirnya agenda perubahan
UUD 1945 dimulai sejak tahun 1999 sampai tahun 2002. Dalam kurun waktu
tersebut, UUD 1945 diubah atau diamandemen satu kali, dibahas selama tiga tahun
dengan cermat, dan disahkan dalam empat tahap dalam rangkaian Sidang Tahunan
MPR, yaitu tahun 1999, 2001, dan 2002.5
Seiring dengan lahirnya UUD 1945 hasil perubahan, secercah harapan kini
muncul bahwa melalui konstitusi ini diharapkan mampu mewujudkan dan menjamin
nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka
menciptakan masyarakat madani ( civil society ) yang tertib dan berkeadilan.
2
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia ( Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945 ), FH. UII
Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 7.
3
Jimly Asshiddiqie mengemukakah adanya lima hal yang sering dikritisi para ahli terhadap UUD 1945, yang
sudah tercakup dalam point pertama, kedua, kelima, keenam, dan ketujuh dari pendapat Ni’matul Huda
tersebut; lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi ( Serpihan Pemikiran Hukum,
Media dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 86-88.
4
Dikutip oleh Ni’Matul Huda, op. Cit., hlm.6.
5
Hal ini untuk menghilangkan persepsi bahwasanya UUD 1945 telah diubah atau diamandemen sebanyak
empat kali ( Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta,
2007, hlm. Xii.
36
Expectasi yang barangkali tidaklah berlebihan karena selama hampir kurang lebih 32
tahun di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, dan juga rezim sebelumnya yaitu rezim
Orde Lama, telah membawa ke arah krisis multi dimensi yang berujung pada
penderitaan rakyat.
B. Demokrasi : Pengertian, Konsep dan Implementasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani demokratia, dari dua kata, demos =
rakyat dan kratos = kekuatan. Jadi secara harafiah demokrasi berarti kekuatan rakyat
atau suatu bentuk pemerintahan negara dengan rakyat sebagai pemegang
kedaulatannya; singkatnya pemerintahan rakyat.6 Tinjauan terminologi ini belum
mampu memberikan pemahaman yang sebenarnya tentang hakikat demokrasi,
sebagaimana dikatakan Arend Lijphart :
“the literal meaning of democracy –government by the people- is probably also
the most basic and most widely used definition. The ane major amendment that is
necessary when we speak of democracy at the national level in modern largescale nation-states is that the acts of government are usually performed not
directly by the citizens but indirectly by representatives whom the elect on free
and equal basis”7
Definisi serupa juga diberikan oleh C.F. Strong, yang berpendapat bahwa
demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa
komunitas politiknya turut berpartisipasi melalui cara perwakilan yang menjamin
bahwa pemerintahan harus mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada
kelompok mayoritas tersebut.8 Sebagaimana kedua pendapat tersebut, Henry. B. Mayo,
menyatakan bahwa “a democratic political system is one in which public policies are
made on the majority basis, by representatives subject to effective populer control at
periodik election which are conducted on the principle of political equality and under
condition of political freedom”.9
Dari berbagai pengertian yang dikemukakan tersebut, tampak adanya kesamaan
bahwa dalam konsep demokrasi, rakyat memegang fungsi sentral sebagai pemegang
kedaulatan. Namun demikian, dalam pengimplementasiannya menurut penelitian
6
Heru Santosa, dkk, Sari Pendidikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Beserta Perubahannya,
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2002, hlm. 81. Baca juga Sumali, Reduksi Kekuasaan, UMM Press, Malang,
2002, hlm. 15.
7
Arend Lijphart, Democracies, Yale University Press, New Haven and London, 1984, hlm 1.
8
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi
Dunia), Terj. SPA Teamwork, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm. 17.
9
Dikutip dari Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm.8.
37
UNESCO dapat disimpulkan bahwa ide demokrasi dianggap ambiguous atau
mempunyai arti-dua, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai
lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai
keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi istilah, ide dan praktik demokrasi. 10
Isu demokrasi dewasa ini telah mendunia sebagai suatu sistem pemerintahan dan
sistem politik yang dianggap paling ideal untuk digunakan sebagai dasar penyelenggara
hidup bernegara. Namun karena keambigutasan-nya, konsep demokrasi telah
dipraktikkan secara berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara lainnya
meskipun sama-sama mengklaim sebagai negara demokrasi. Dalam praktik
pelaksanaan gagasan demokrasi itu memang sering timbul persoalan antara das sollen
dan das sein,antara yang diidealkan dengan kenyataan di lapangan.11 Namun terlepas
dari ini semua, demokrasi memandang bahwasanya kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara berada di tangan rakyat itu sendiri, sehingga sering kita dengar slogan
”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan dalam sistem
participatory democracy, dikembangkan pula tambahan bersama rakyat sehingga
menjadi kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, dan
bersama rakyat.12 Dalam konsepsi negara modern, pemerintahan oleh rakyat ini tidak
harus dilaksanakan secara langsung, melainkan dengan sistem perwakilan
(representative democracy) yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan praktis
dengan mengingat struktur dan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks yang
menyulitkan bagi terlaksananya demokrasi secara langsung. Demokrasi adalah suatu
pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah ( mederegeren ), baik secara
langsung yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana ( demokrasi
langsung ), maupun secara tidak langsung karena rakyat diwakilkan ( demokrasi tidak
langsung ) yang terdapat dalam negara-negara modern.13
C. Konstitusi, Pembatasan Kekuasaan dan Pendistribusian Kekuasaan14
Sejarah pertumbuhan demokrasi telah melahirkan berbagai macam bentuk
demokrasi dengan segala atribut yang melekatinya yang memunculkan keragaman
dalam istilah demokrasi. Istilah-istilah tersebut antara lain demokrasi parlementer,
demokrasi terpimpin, demokrasi liberal, demokrasi Soviet, demokrasi nasional dan
10
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1993, hlm. 50
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm.336.
12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusional Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 141.
13
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN FH
UI, Jakarta, 1988, hlm. 19.
14
Kekuasaan, menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, dianggap sebagai kemampuan pelaku
untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikan rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi
sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan (dikutip oleh Haryanto, Kekuasaan Elit (Suatu
Bahasan Pengantar), JIP FISIPOL UGM, Yogyakarta, 2005, hlm.7.
11
38
sebagainya. Di antara sekian banyak aliran fikiran yang dinamakan demokrasi tersebut,
ada dua kelompok yang penting, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi yang
bersandar pada komunis.15 Perbedaan fundamental di antara keduanya adalah bahwa
demokrasi konstitusional mencita-citakan pemerintahan yang terbatas kekuasaannya,
suatu negara hukum (rechtsstaat), yang tunduk pada rule of law. Sebaliknya demokrasi
yang mendasarkan dirinya atas komunisme mencita-citakan pemerintah yang tak boleh
dibatasi kekuasaannya (machtsstaat), dan juga bersifat totaliter.16 Pembicaraan
mengenai demokrasi konstitusional, akan terkait dengan istilah konstitusi dan
konstitusionalisme. Konstitusionalisme merupakan suatu paham tentang cara
membatasi kekuasaan pemerintahan melalui pembuatan konstitusi, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis.17 Jadi jelaslah bahwa konstitusionalisme telah mendorong
lahirnya konstitusi-konstitusi negara yang pada akhirnya menghasilkan negara
demokrasi yang berdasarkan hukum dengan konstitusi sebagai puncak dari sistem
hukum yang ada. Dalam kedudukan yang demikian, konstitusi merupakan wadah bagi
pengaturan dan pembatasan kekuasaan pemerintahan.
Ada beberapa pemikiran tentang konstitusi ini. K.C. Wheare dalam bukunya
Modern Constitusions, memberikan definisi “constitution is used to describe the whole
system of government of a country, the collection of rules which establish and regulate
or govern the government”.18 Pendapat lain dikemukakan C.F. Strong, “constitution is
collection of principle according to which the power of the government, the Rights of
the governed, and the relations between the two are adjusted”.19 Pakar lain seperti
Loewenstein, Herman Finer, dan Friedrich mengatakan bahwa konstitusi merupakan
sarana pengendalian kekuasaan.20
Dari berbagai pengertian yg dikemukakan di atas, persoalan yang dianggap
terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan dan
15
Demokrasi dan Komunis sendiri merupakan dua kata yang mengandung pertentangan sehingga hal
ini disebut sebagai Contradictio in terminis
16
Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Kreasi Total
Media, Yogyakarta, 2007, hlm.81.
17
Menurut Ismail Suny, Konstitusi tertulis merupakan syarat mutlak bagi bagian dunia dimana
demokrasi masih baru dan tak begitu dihayati. Menurutnya suatu konstitusi tertulis yang baik dalam hubungan
ini adalah yang :
a) Membatasi secara jelas fungsi-fungsi dan kekuasaan badan legislatif, eksekutif dan yudikatif
b) Membatasi dalam istilah-istilah yang jelas hak-hak yang dijamin untuk warga negara
c) Menentukan remedi-remedi prosedural untuk perlindungan hak-hak yang telah dijamin itu ( Ismail
Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, jakarta, 1987, hlm. 15.
18
K.C. Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London, 1975, hlm. 1
19
Dikutip dari Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006,
hlm. 12
20
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm.
158
39
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan21. Hal ini juga seperti yang dikemukakan
Moh.Mahfud MD bahwasannya konstitusi merupakan realisasi dari demokrasi yang
berisi kesepakatan tentang pembatasan kekuasaan negara oleh rakyat dan bukan
sebaliknya kekuasaan ditentukan oleh penguasa22.
Pembatasan kekuasaan ini mutlak diperlukan untuk menghindari absolutisme,
sebagaimana hukum besi kekuasaan yang dikemukakan Lord Acton “the power tends to
corrupt, absolut power corrupt absolutely”. Pembatasan kekuasaan dapat dilakukan
dengan berbagai cara, misalnya pembagian organ dan fungsi kenegaraan seperti
Montesquieu. Pembatasan ini dapat juga dilakukan dengan pemberian otonomi dan
medebewind kepada daerah-daerah dan akhirnya pembatasan kekuasaan dapat
dilakukan dengan pembatasan jangka waktu untuk menjabat suatu jabatan tertentu23.
Pembatasan kekuasaan disini terkait dengan pembatasan kewenangan dan pembatasan
waktu ( periodisasi ).
Pembagian organ dan fungsi kenegaraan yang dalam tulisan ini disamakan
dengan pemencaran kekuasaan, hanyalah salah satu mekanisme bagi pembatasan
kekuasaan dalam upaya mencegah terjadinya pemerintahan yang absolut. secara
konseptual teoritis, pemencaran kekuasaan telah dengan gemilang dirumuskan oleh
John Locke ( 1632-1704 ), filsuf asal Inggris yang mengajukan format tentang
pembagian kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif
sebagai pembuat Undang-Undang, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana pengadilan
dan kekuasaan federatif sebagai kekuasaan untuk melakukan hubungan dengan bangsa
lain. Adalah Montesquieu ( 1685-1955 ) yang kemudian memberi istilah yang dapat
diterima dengan menawarkan tiga poros kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan
yudikatif, yang selanjutnya oleh Immanuel kant disebut trias politika yang dalam
istilah yang dipergunakannya adalah kekuasaan legislator, rectoria dan judiciaria.24
Dari uraian-uraian di atas, terlihat adanya keterkaitan antara konstitusi,
pembatasan kekuasaan dan pemencaran kekuasaan. Konstitusi adalah hukum tertinggi
sebagai penjelmaan contract-social yang dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan
pemerintahan agar tidak absolut dan sewenang-wenang. Pembatasan tersebut
dituangkan dalam konstitusi yang salah satu mekanisme pembatasannya adalah dengan
melakukan pemencaran kekuasaan.
D. Perubahan UUD 1945 : Urgensi dan Reaksi atas Hasil Perubahan
21
Bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...., op.cit., hlm. 21
Moh. Mahfud MD, Membangun....., loc.cit
23
Bagir Manam dan Kuntana, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia ( Edisi Revisi ), Alumni,
Bandung, 1997, hlm.7.
24
Penjelasan lebih terperinci lihat dalam Moh. Mahfud MD, Membangun...., op.cit., hlm. 93-95
22
40
Selain karena adanya kelemahan substansial UUD 1945 yang telah melahirkan
kekuasaan otoriter,25 perubahan UUD 1945 menjadi suatu keniscayaan dengan alasanalasan antara lain : pertama, konstitusi merupakan resultante dari situasi sosial, politik,
ekonomi dan budaya masyarakat pada waktu tertentu26 sehingga apabila situasi
poleksosbud di tengah masyarakat berubah, juga menghendaki perubahan
konstutisinya. Kedua, mengingat UUD 1945 merupakan hasil kerja manusia yang
secara kodrat dilekati dengan kelemahan maka kemungkinan UUD 1945 juga
mempunyai kekurangan dan kelemahan juga sangat terbuka. Ketiga, secara historis
UUD 1945 memang dimaksudkan untuk sementara. Keempat, secara yuridis UUD
1945 melalui pasal 37-nya memang telah menyediakan bagi mekanisme perubahan
UUD 1945. Kelima, sejarah telah membuktikan bahwa aspirasi yang sangat kuat untuk
melakukan perubahan, apabila dihalangi, maka derasnya aspirasi ini akan bergerak
seperti air bah yang mencari jalan dan caranya sendiri yang inkonstitusional. Keenam,
adanya ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya ( das sollen ) dan apa yang
senyatanya ( das sein ) dalam pengimplementasian prinsip0prinsip demokrasi dalam
praktik penyelenggaraan negara.
Sebagai respons atas tuntutan perubahan UUD 1945, maka melalui serangkaian
kegiatan dan perdebatan, MPR akhirnya berhasil menetapkan perubahan UUD 1945.
Seiring dengan berlakunya UUD 1945 hasil perubahan, telah menimbulkan reaksi dari
berbagai kalangan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga arus, yaitu :
Pertama, arus yang menghendaki agar Indonesia kembali saja ke UUD 1945 yang
asli sebagaimana dibuat oleh the founding people sebab UUD 1945 merupakan
karya agung para pendiri yang dibuat dengan penuh keikhlasan; dalam arus ini
bahkan muncul pendapat bahwa secara prosedural perubahan UUD 1945 itu tidak
sah. Kedua, arus yang menghendaki agar hasil amandemen sekarang
dilaksanakan dulu dan tak perlu terburu-buru diperbaiki lagi sebab ia merupakan
hasil maksimal yang telah menampung berbagi keinginan secara kompromistis.
Ketiga, arus yang menghendaki dilakukannya amandemen lanjutan agar
25
Ada empat hal ( dalam UUD 1945 ) yang dijadikan pintu masuk untuk membangun otoriter
kekuasaan, yaitu :
 Sistem politik yang executive Heavy
 Adanya pasal-pasal penting yang berwayuh arti ( ambigu, multi intrepretable )
 Terlalu banyaknya atribusi kewenangan kepada legislatif untuk mengatur lebih lanjut hal-hal penting
di dalam Undang-Undang yang dalam praktiknya pengaturan lebih lanjut tentang masalah-masalah
penting itu didominasi oleh lembaga eksekutif sesuai dengan visi sepihaknya sehingga banyak UU
yang tampil dengan watak positivistik-instrumentalistik.
 Lebih percaya pada semangat orang ( penyelenggara negara ) tanpa imbangan sistem yang kuat,
( Moh. Mahfud MD, Perdebatan...., op.cit.,hlm. 38.
26
Lihat KC Wheare, op.cit., hlm. 67.
41
perubahan itu menjadi semakin baik sebab yang ada sekarang dianggap masih
menyisahkan berbagai masalah yang harus diselesaikan.27
Terlepas dari adanya reaksi tersebut, keberhasilan MPR mengamandemen UUD
1945 merupakan keberhasilan seluruh rakyat Indonesia dalam mendobrak sistem yang
otoriter selama ini. Hal ini sepantasnyalah dihargai sebagai sebuah hasil kerja yang
monumental yang diharapkan membawa kepada perbaikan bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara.
1. Prinsip-Prinsip Demokrasi Berdasarkan UUD 1945 Hasil Perubahan
Di dalam UUD 1945 hasil perubahan, konsep negara demokrasi tertuang
secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (2) “kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar ini”. Ini menunjukkan bahwa UUD
1945 hasil perubahan menganut paham demokrasi konstitusional. Ciri khas dari
demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah
pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenangwenang terhadap warga negaranya.28
Dalam rangka pembatasan kekuasaan, UUD 1945 hasil perubahan
kemudian melakukan pemencaran kekuasaan secara horizontal maupun vertikal.
Pemencaran kekuasaan secara horizontal dilakukan ke dalam poros-poros kekuasaan
legislatif (DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (MA dan MK), auditif (BPK) serta
organ lainnya seperti MPR, DPD, dan KY. Poros-poros kekuasaan tersebut dalam
bekerjanya disertai dengan sistem checks and balances sehingga dapat saling
melakukan kontrol secara proporsional dalam kesederajatan. Sistem inilah yang
memunculkan lembaga judicial review dan impeachment yang juga ditentukan
dalam UUD 1945 hasil perubahan. Pemencaran kekuasaan secara vertikal dilakukan
UUD 1945 hasil perubahan melalui ketentuan-ketentuan yang terdapat pada BAB VI
dengan judul Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Pasal 18, 18A, dan 18B yang
memencarkan kekuasaan secara hierarkis antara kekuasaan pemerintah pusat dan
kekuasaan pemerintah daerah. Tetapi ketentuan pasal-pasal tersebut telah
mengaburkan konsepsi Negara Kesatuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945. Oleh karena itu Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa pasal-pasal
tersebut telah mengubah format negara kita dari bentuk Negara Kesatuan yang kaku
kepada bentuk Negara Kesatuan yang dinamis.29 Terlepas dari itu, pemisahan ini
ditujukan untuk membatasi dominasi pemerintah pusat atas daerah.
27
Moh. Mahmud MD, Perdebatan....,op.cit., hlm xiv
Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 52
29
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...., op.cit.,hlm. 274
28
42
Selain itu, UUD 1945 hasil perubahan juga semakin mempertegas sistem
pemerintahan presidensial, sebagai salah satu sistem pemerintahan
demokratis,dengan memperkuat peran DPR sebagai lembaga legislatif di satu sisi,
serta mengadakan pemilihan presiden secara langsung untuk memperkuat
kedudukan Presiden di sisi yang lain. Dalam pola hubungan Presiden dan DPR,
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR ( Pasal 7C ).
UUD 1945 hasil perubahan juga menentukan bahwa Negara Indonesia
adalah negara hukum ( Pasal 1 ayat 3 ) dan memang konsep negara demokrasi tidak
pernah dapat dilepaskan dari konsep negara hukum, keduanya merupakan dua sisi
dari uang logam yang sama dan harus dilaksanakan secara beriringan. Jadi
demokrasi yang dibangun oleh UUD 1945 hasil perubahan adalah sebuah negara
hukum yang demokratis sekaligus negara demokrasi yang berdasar hukum.30 Sesuai
dengan tipe negara yang demikian, UUD 1945 hasil perubahan memuat ketentuanketentuan tentang : perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan hak asasi warga
negara (HAW) ( Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A s.d. 28J, Pasal 29 ayat 2, Pasal 32
dan Pasal 34 ), kekuasaan kehakiman yang merdeka ( Pasal 24 ayat 1 ), pemilihan
umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat ( Pasal 18 ayat 4 dan Pasal 22E
) seta menyelenggarakan pendidikan bagi warga negara ( Pasal 31 ).
2. Pemencaran Kekuasaan Berdasarkan UUD 1945 Hasil Perubahan
Di dalam UUD 1945 hasil perubahan, organ pelaksana kekuasaan terpisah dalam
berbagai lembaga secara horizontal, yang berdasarkan sistematika UUD 1945 hasil
perubahan dapat disebutkan secara berurutan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), Kekuasaan Pemerintahan Negara ( Presiden ), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Kekuasaan Kehakiman ( MA dan MK ).
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Keberadaan lembaga MPR ini ditentukan dalam BAB II UUD 1945 hasil
perubahan. Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilh melalui pemilihan umum
yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang ( Pasal 1 ayat (2) ). Di dalam UUD
1945 hasil perubahan ini, MPR bukanlah pelaksana kedaulatan rakyat dan karena itu
kedudukannya sederajat dengan lembaga yang lain sebagai lembaga tinggi biasa.
30
International Commision of Jurist merumuskan syarat-syarat ( ciri-ciri ) pemerintahan yang
demokratis di bawah rule of law (yang dinamis, baru) sebagai berikut : (1) Perlindungan konstitusional, artinya
selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin (2) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (3) Pemilihan
yang bebas (4) Kebebasan menyatakan pendapat (5) Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (6)
Pendidikan kewarganegaraan ( dikutip oleh Moh. Mahfud MD, Hukum dan....,op.cit., hlm.26.
43
Wewenang MPR ditegaskan di dalam Pasal 3 UUD 1945 hasil perubahan,
yaitu meliputi : (1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (2) melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden (3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
b. Kekuasaan Pemerintah Negara ( Presiden )
Ketentuan tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dijumpai dalam BAB III
UUD 1945 hasil perubahan. Dalam Pasal 4 ditentukan bahwa (1) Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang dasar ini. (2) Dalam
melakukan kewajibannya Presiden dibantu satu orang Wakil Presiden. Selain itu,
Presiden juga dibantu oleh menteri-menteri negara ( Pasal 17 ayat (1) ).
Di dalam UUD 1945 hasil perubahan ini, kewenangan Presiden tidak lagi
seperti sebelumnya, ada pembatasan yang diberikan. Agaknya pembentuk UUD
1945 hasil perubahan menyadari bahwa menumpuknya kekuasaan di tangan
eksekutif yang telah menimbulkan pemerintahan yang otoriter karena peluang
tersebut memang diberikan oleh UUD 1945. Kewenangan dan hak yang dimiliki
Presiden, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan, yaitu :
hak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR (Pasal 5 ayat 1), Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat 2), Presiden memegang kekuasaan
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10),
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan
persetujuan DPR (Pasal 11), menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12), mengangkat
dan menerima duta dan konsul dengan pertimbangan DPR (Pasal 13), memberikan
grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14), memberi
gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15), membentuk suatu
dewan pertimbangan (Pasal 16), mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
(Pasal 17 ayat 2) membahas RUU bersama-sama dengan DPR (Pasal 20 ayat 2),
mengeluarkan Perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat 1)
mengajukan RUU APBN (Pasal 23 ayat 2), mengangkat dan memberhentikan
anggota KY dengan persetujuan DPR (Pasal 24B ayat 3).
Dari uraian tersebut, kewenangan yang diberikan Presiden disertai dengan
pembatasan-pembatasan, yaitu antara lain bahwa tindakan yang diambil Presiden
harus mendapat persetujuan DPR, memperhatikan pertimbangan DPR-MA ataupun
kebijakan yang harus dituangkan dalam bentuk Undang-Undang sebagai bentuk
pembatasan karena harus dibahas bersama DPR sebagai badan legislatif. Sedangkan
dari segi pembatasan waktu, Presiden hanya dapat menjabat maksimal untuk dua
periode ( Pasal 7).
c. Dewan Perwakilan : Rakyat dan Daerah ( DPR dan DPD )
44
Pasal 19 ayat (1) menentukan bahwa anggota DPR dipilh melalui pemilihan
umum sehingga sistem pemilu yang demokratis akan sangat menentukan bagi
eksistensi lembaga DPR sebagai lembaga yang representative.
DPR merupakan lembaga yang memegang kekuasaan membentuk undangundang (Pasal 20 ayat 1 jo Pasal 20A ayat 1). Selain itu, DPR juga menjalankan
fungsi anggaran dan pengawasan (Pasal 20A ayat 1). Untuk melaksanakan fungsinya
DPR dilekati hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20A ayat
(2),(3)). Dapat juga dirinci sebagai wewenang DPR adalah : mengajukan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil presiden dalam masa jabatannya kepada
MPR dengan syarat dan prosedur yang telah ditentukan dalam UUD ( Pasal 7A ),
memberikan persetujuan dan pertimbangan terhadap tindakan-tindakan tertentu yang
diambil oleh Pemerintah/Presiden (Pasal 11, Pasal 13, Pasal 22 ayat 2) mengajukan
usul RUU ( Pasal 21 ) membahas RUU APBN bersama-sama Presiden (Pasal 23 ayat
2) memilih anggota BPK (Pasal 23F ayat 1). Jadi tampak disini, UUD 1945 hasil
perubahan memberikan kewenangan yang cukup luas kepada DPR sehingga ada yang
berpendapat bahwa saat ini telah terjadi pergeseran dari executive Heavy ke legislative
heavy.31
Sedangkan keberadaan DPD ditentukan dalam Pasal 22C ayat (1) “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap propinsi melalui pemilihan umum”.
Keberadaan DPD ini dimaksudkan untuk mewakili suara rakyat terutama masalahmasalah yang terkait dengan isu kedaerahan. Meskipun kedudukannya merupakan
salah satu lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan
BPK, DPD yang anggota-anggotanya dipilh langsung melalui pemilihan umum
ternyata di dalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sumir dan nyaris tak
berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang
demokratis.32
Kewenangan-kewenangan DPD dituangkan dalam Pasal 22D UUD 1945 hasil
perubahan, yaitu: (1) dapat mengajukan RUU kepada DPR (2) ikut membahas RUU
(3) memberikan pertimbangan kepada DPR atau RUU APBN dan RUU tertentu (4)
melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang. Selain itu DPD juga
memberikan pertimbangan dalam pemilihan anggota BPK yang dilakukan DPR (Pasal
23F ayat 1). Kewenangan yang demikian terbatas menimbulkan kesan bahwa
keberadaan DPD hanyalah sebuah formalitas konstitusional belaka, yang baru
dirasakan ada jika ada proses impeavhment terhadap Presiden mencapai puncaknya.
d. Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
31
32
Lihat Ni’matul Huda, op.cit., hlm.18
Moh. Mahfud MD, Perdebatan....Op.cit., hlm.67
45
Eksistensi BPK di dalam UUD 1945 hasil perubahan ditentukan dalam Pasal
23E, 23F dan 23G. BPK ini dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan
DPD dan diresmikan oleh Presiden ( Pasal 23F ayat 1 ). BPK ini melaksanakan
fungsi auditif yakni memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (
Pasal 23E ayat 1). Fungsi yang demikian cenderung menempatkan BPK sebagai
organ yang melaksanakan fungsi legislatif di bidang pengawasan.
e. Kekuasaan Kehakiman ( MA dan MK )
Konsep negara hukum yang tercantum dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil
perubahan mensyaratkan adanya sebuah kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hal
ini tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) : kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman ini dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi ( Pasal 24 ayat 2 ). Kedua badan ini memiliki kewenangan
yang berbeda. Mahkamah Konstitusi mempunyai kompetensi sebagai lembaga yang
melaksanakan hak uji materi, yakni menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar ( judical review atau lebih spesifik adalah constitutional review ),
memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya
diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilu (pasal 24C ayat 1). Mahkamah konstitusi juga memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD ( Pasal 24C ayat 2 jo Pasal 7B ). Mahkamah Agung
mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi ( termasuk perkara-perkara
konvensional lainnya ) dan disertai hak uji materi peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Pengaturan hak uji materi yang
memberikan kewenangan kepada dua lembaga yang berbeda ini merupakan salah
satu kekurangan UUD 1945 hasil perubahan tetapi adanya lembaga judical review itu
sendiri merupakan kemajuan yang luar biasa dari hasil perubahan UUD 1945.
Akhirnya perlu juga sedikit disinggung bahwa di dalam UUD 1945 hasil
perubahan juga dikenal lembaga Komisi Yudisial (KY) yang mempunyai wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan sekaligus menjaga dan
menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24B).
f. Pemerintahan Pusat dan Pemerintah Daerah
Pemencaran kekuasaan secara vertikal dilakukan oleh UUD 1945 hasil
perubahan melalui Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B. Pemencaran kekuasaan yang
vertikal ini adalah sebagai sebuah konsekuensi adri bentuk negara kesatuan. Negara
kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota
46
mempunyai pemerintah daerah ( Pasal 18 ayat 1 ). Dari kata ‘dibagi atas’ inilah dapat
ditafsirkan bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan
yang bersifat hierarkis. Tetapi dengan melihat ketentuan Pasal 18 ayat (6)-nya, maka
hubungan yang dikonstruksikan cenderung bersifat hizontal karena kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah pusat adalah residu dari kewenangan yang dimiliki
pemerintah daerah dan ini mencerminkan prinsip-prinsip fedralistis, terlebih dengan
diakuinya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa ( Pasal
18B )
E. Kesimpulan
1. Secara umum, perumusan demokrasi dan pemencaran kekuasaan berdasar
UUD 1945 hasil perubahan cukup baik bagi usaha mewujudkan kehidupan
yang demokratis.
2. Demokrasi dikonstruksikan oleh UUD 1945 hasil perubahan sebagai sebuah
demokrasi yang berdasarkan hukum, yang secara teoritis disebut demokrasi
konstitusional ( konstitusi = the Supremes law of the land ), sekaligus sebagai
sebuah negara hukum yang demokratis ( democratische rechtsstaat ) dengan
memberi pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan organ negara sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat.
3. UUD 1945 hasil perubahan melakukan pemencaran kekuasaan secara
horizontal melalui organ kekuasaan legislatif ( DPR ), eksekutif ( Presiden ),
yudikatif ( MA dan MK ) dan auditif
( BPK ) serta organ kekuasaan
lainnya seperti MPR, DPD dan KY, di samping juga melakukan pemencaran
kekuasaan secara vertikal dengan menentukan pembagian kekuasaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
F. Rekomendasi
Meskipun secara umum UUD 1945 hasil perubahan sudah cukup baik, tetapi
masih terdapat berbagai kelemahan yaitu antara lain tentang penyempurnaan kembali
sistem pemerintahan presindensiil, memperkuat fungsi dan peran DPD, mempertegas
kewenangan MA, MK dan KY, dan di luar substansi barangkali sistematika UUD 19
45 hasil perubahan juga perlu mendapat perhatian agar tidak membingungkan bagi
usaha-usaha untuk memahaminya. Oleh karena itu, maka agenda amandemen UUD
1945 harus terus dilaksanakan.
Dengan mengingat bahwa demokratis tidaknya suatu sistem pemerintahan tidak
hanya ditentukan secara mutlak pada UUD-nya atau Konstitusinya, melainkan
ditentukan juga oleh penguasa-penguasanya, maka setiap tindakan yang diambil oleh
organ kekuasaan negara hendaknya didasari oleh semangat untuk menegakkan hukum
47
dan keadilan, utamanya menegakkan konstitusi ( UUD ) sebagai norma dasar atau
hukum tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arend Lijphart, Democracies, Yale University Press, New Have and London, 1984
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia
( Edisi Revisi ), Alumni, Bandung, 1997
CF Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern ( Kajian Tentang Sejarah dan BentukBentuk Konstitusi Dunia ,ter.SPA Teamwork, Nuansa dan Nusamedia, Bandung,
2004
Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006
Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia,
Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007
Haryanto, Kekuasaan Elit ( Suatu Bahasan Pengantar ), JIP Fisipol UGM, Yogyakarta, 2005
Heru Santosa, dkk, Sari Pendidikan Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1987
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi ( Serpihan Pemikiran
Hukum, Media, dan HAM ), Konstitusi Press, Jakarta, 2006
_____, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006
KC Wheare, Modern Constitutions, Oxford University Press, London, 1975
Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia, Persandingan Undang-Undang Negara
Republik Indonesia 1945, Jakarta, 2002
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1993
Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
HTN FH UI, Jakarta, 1988
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999
_____, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006
_____, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007
48
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia ( kajian Terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945 ), FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Sumali, Reduksi Kekuasaan, UMM Press, Malang, 2002
49
Download