BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Studi Arkeologis dan Genetik

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Studi Arkeologis dan Genetik Masyarakat Bali
Masyarakat Bali saat ini merupakan hasil perkembangan masyarakat Bali
yang menghuni Bali sejak zaman prasejarah. Hal tersebut dapat dilihat dari
peninggalan arkeologis maupun studi genetik yang telah dilakukan pada beberapa
kelompok populasi masyarakat Bali.
Penemuan arkeologis benda-benda bersejarah di Bali menunjukkan bahwa
penduduk Bali terbentuk dari berbagai keanekaragaman budaya yang mengalami
akulturasi di wilayah ini (Ardana, 1996; Ardika, 1996). Ras pertama yang
menghuni kawasan Bali adalah dari kelompok Australoid yang sudah menghuni
Bali kira-kira sejak 40 sampai 30 ribu tahun yang lalu (Breguet et al., 1982). Ras
Australoid merupakan penduduk asli kepulauan Indo-Malaya yang juga dikenal
sebagai masyarakat pemburu (Bellwood, 1985).
Ketika Ras Australoid masih menduduki wilayah Bali, sekitar 2000
sampai 500 tahun sebelum masehi (SM) kelompok masyarakat Ras Austronesia
yang berasal dari Yunan Cina Selatan mulai masuk ke wilayah Bali. Kelompok
ras ini juga dikenal dengan istilah Deutero Melayu. Ras ini akhirnya mendorong
Ras Australoid sehingga ras tersebut terdesak dari Bali dan menghuni wilayah
Indonesia bagian timur. Pernyataan tersebut dapat didukung dengan ciri fenotip
ras Australoid yang ada pada masyarakat Indonesia bagian timur seperti di
wilayah Papua, dimana ciri fenotip ras Australoid (warna kulit hitam dan rambut
7
8
keriting hitam) sangat jarang dan bahkan hampir tidak ditemukan di masyarakat
Bali (Bellwood, 1985; Ardana, 1996).
Sejak awal masehi, masyarakat Bali sudah menjalankan hubungan dagang
dengan masyarakat India. Adanya kontak antara masyarakat Bali dengan India
memungkinkan adanya akulturasi budaya ataupun perkawinan sehingga
memungkinkan terjadinya aliran gen India masuk ke masyarakat Bali. Penelitian
Breguet et al. (1982) menemukan enzim LHD varian calcutta 1 pada masyarakat
Tenganan Pegringsingan dan tidak ditemukan pada masyarakat Bali lainnya,
merupakan enzim khusus yang ditemukan di wilayah India dan sangat jarang
ditemukan di luar India. Pada masyarakat Sembiran, dari segi arkeologi penemuan
benda sejarah seperti gerabah India dengan berbagai bentuk, manik-manik dari
kaca dan karnelian serta lempengan daun emas yang digunakan sebagai hiasan
penutup mata jenasah diperkirakan merupakan suatu tanda adanya hubungan
dengan India sejak awal masehi atau sekitar 2000 tahun yang lalu (Ardika, 1996).
Penelitian Rosiana (2010) dengan menggunakan mikrosatelit autosom kromosom
D7S820 dan D21S11 pada Masyarakat Tenganan Pegringsingan dan Sembiran
menemukan alel-alel yang sama seperti yang ditemukan Sidu et al. (2003) pada
masyarakat Jat Sikh Punjab di India.
Dari segi genetik masyarakat Bali secara umum, ditemukan mempunyai
persamaan dengan kelompok Austronesia, India dan pra-Neolithekum. Penelitian
Karafet et al. (2005) misalnya, yang menggunakan penanda kromosom -Y
spesifik menunjukkan bahwa sekitar 83,7 % laki-laki Bali membawa gen
9
Austronesia, 12 % dari sampel yang digunakan menunjukkan pola-pola genetik
haplogroup India dan 2,2 % membawa gen dari masyarakat pra-Neolithekum.
Penelitian Junitha (2004) dengan penanda genetik DNA mikrosatelit
kromosom –Y spesifik pada masyarakat Bali Aga dan kelompok Tri Wangsa
menemukan perbedaan genetik antar masyarakat Bali Aga. Dari pola-pola
haplotipe hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bali Aga
Sembiran berkerabat lebih dekat dengan masyarakat Tri Wangsa dibandingkan
dengan masyarakat Tenganan Pegringsingan walaupun tergolong Bali Aga. Selain
itu juga ditemukan adanya hubungan genetik melalui kedekatan haplotipe antara
sebagian masyarakat Terunyan dengan dadia Hyang Kumpi Mula pada
masyarakat Sembiran yang diperkirakan merupakan introduksi gen dari
masyarakat Jawa yang dilihat dari sejarah terbentuknya kedua masyarakat
tersebut. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya alel khas yaitu alel 208
pasang basa (pb) yang hanya ditemukan pada kelompok Dadia Ketut Sudana dan
tidak ditemukan pada dadia lainnya pada masyarakat Bali Aga Sembiran.
2.2 DNA Mikrosatelit
Setiap makhluk hidup dari golongan rendah sampai tingkat tinggi tersusun
atas sel-sel. Sel merupakan unit struktural dan fungsional dari suatu makhluk
hidup. Sel terdiri atas membran, organel dan materi genetik. Pada manusia dan
hewan tingkat tinggi, materi genetik terdapat pada bagian inti sel dan mitokondria.
Materi genetik ini dapat berupa DNA namun ada beberapa parasit obligat seperti
virus yang materi genetiknya berupa RNA (Yuwono, 2005; Isnaeni, 2006).
10
Asam deoksiribonukleat atau DNA merupakan persenyawaan kimia yang
paling penting dari makhluk hidup. DNA akan membawa keterangan genetik dari
sel khususnya dan dari makhluk hidup itu sendiri yang diturunkan dari generasi ke
generasi berikutnya sehingga DNA sangat erat kaitannya dengan kesamaan
aktifitas biologi dari suatu spesies. Molekul DNA eukariot mempunyai bentuk
seperti benang lurus dan tidak bercabang, sedangkan pada prokariot serta organel
sel yang mempunyai materi genetik seperti pada mitokondria dan kloroplas sel
tumbuhan, molekul DNA berbentuk sirkular atau lingkaran. Ukuran molekul
DNA setiap spesies berbeda satu dengan lainnya. Pada mitokondria mempunyai
ukuran 5µm, molekul DNA bakteri berukuran 1,4 mm, sedangkan molekul DNA
pada sel eukariot menurut Solari dalam Suryo (2005) sekitar 50-60µm, menurut
Cairus dalam Suryo (2005) sekitar 500µm sedangkan menurut Huberman dan
Riggs dalam Suryo (2005) sekitar 1,6-1,8 mm.
Molekul DNA memiliki bentuk dua pita spiral yang saling berpilin atau
double helix. DNA terdiri atas susunan kimia yang terdiri atas tiga macam
molekul yaitu gula pentose sebagai deoksiribosa, asam pospat dan basa nitrogen
yang terdiri atas kelompok purin dan pirimidin. Purin terdiri atas dua basa yaitu
adenin dan guanin sedangkan pirimidin terdiri atas sitosin dan timin. Kedua jenis
basa penyusun molekul DNA purin dan pirimidin membentuk rangkaian kimia
dengan gula pentose. Molekul DNA merupakan sebuah polimer panjang dari
nukleotida yang disebut polinukleotida. Dua polinukleotida yang berhadapan
dihubungkan oleh ikatan hidrogen. Adenin hanya akan dapat berpasangan dengan
timin yang dihubungkan oleh dua ikatan hidrogen sedangkan guanin hanya dapat
11
berpasangan dengan sitosin yang dihubungkan oleh tiga ikatan hidrogen (Bansal,
2003).
Pada urutan basa DNA, terdapat bagian yang berfungsi mengkode protein
untuk sifat atau karakter tertentu serta bagian yang tidak mengkode protein.
Bagian yang mengkode protein untuk sifat tertentu disebut coding sequence dan
bagian yang tidak mengkode protein atau sifat tertentu disebut urutan basa non
coding sequence. Urutan basa yang mengkode protein untuk sifat tertentu disebut
ekson dan di antaranya terdapat intron yang tidak mengkode protein (Yuwono,
2005; Junitha, 2007).
Pada intron terdapat urutan basa khusus yang dikenal dengan nama DNA
mikrosatelit. DNA mikrosatelit merupakan suatu urutan basa nitrogen (N) pendek
pada DNA yang biasanya terdiri atas dua sampai lima basa N yang berulang-ulang
tanpa tersela. Jumlah ulangan panjang DNA ini bervariasi tergantung individu dan
diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya (Glenn dan Schable,
2005; Brandström, 2008).
Mikrosatelit merupakan suatu penanda genetik yang bersifat kodominan
dan dapat mendeteksi keragaman alel yang ada. Ulangan dari urutan basa
bergandengan pada mikrosatelit dapat mengalami mutasi atau perubahan dari
urutan basa awal yang berulang tersebut. Kemampuan mutasi pada mikrosatelit
menyebabkan mikrosatelit sangat baik digunakan untuk penelitian keragaman
genetik dan kekerabatan antar populasi (Hillis et al., 1996; Junitha, 2004 ; 2007).
12
2.3 Penggunaan DNA Mikrosatelit Kromosom –Y Untuk Penelusuran Soroh
Berkaitan dengan kepercayaan bahwa satu soroh merupakan orang-orang
yang berasal dari satu garis keturunan yang sama, maka metode pendekatan
analisis DNA dapat digunakan untuk penelusuran soroh bagi masyarakat Bali
yang beragama Hindu apabila terdapat database yang menunjang hal tersebut.
DNA mikrosatelit kromosom –Y merupakan penanda genetik yang tepat untuk
penelusuran soroh masyarakat Bali (Junitha, 2004; 2007). Mikrosatelit kromosom
–Y sama seperti penanda genetik DNA mikrosatelit, merupakan urutan basa
bergandengan yang terdiri dari dua sampai lima pasang basa yang berulang tanpa
tersela oleh basa lainnya yang terdapat pada kromosom –Y (Yuwono, 2005;
Brandström, 2008).
Dalam Suryo (2005) dan dalam Junitha (2007) dijelaskan pada tubuh
manusia terdapat dua jenis kromosom yang terdiri dari kromosom autosom dan
kromosom seks. Kromosom autosom merupakan kromosom yang jumlah dan
bentuknya sama baik pada pria maupun wanita. Berbeda dengan kromosom
autosom, pada kromosom seks terdapat perbedaan tipe pada pria dan wanita. Pada
pria kromosom seks terdiri dari kromosom X dan Y, sedangkan pada wanita
kromosom seks terdiri dari sepasang kromosom X atau diformulakan dengan XX.
Dari formula kromosom 22AAXX pada wanita dan 22AAXY pada pria,
maka kromosom –Y dari seorang ayah akan diturunkan ke generasi berikutnya
hanya pada keturunan pria. Soroh pada masyarakat Bali yang beragama Hindu
menggunakan sistem patrilineal dimana garis keturunan ayah yang akan
menentukan kelompok soroh dari keturunannya. Dari mekanisme tersebut
13
penanda molekuler mikrosatelit kromosom –Y sangat tepat digunakan untuk
penelusuran soroh secara ilmiah.
Beberapa penelitian mengenai pola-pola genetik dengan menggunakan
kromosom –Y spesifik pada beberapa kelompok masyarakat Bali telah dilakukan
namun database yang dihasilkan masih belum lengkap. Junitha (2004), Junitha et
al. (2007 ; 2009), telah berhasil menemukan pola-pola genetik yang merupakan
kombinasi alel-alel dari lokus-lokus mikrosatelit pada kromosom –Y spesifik
(haplotipe) pada masyarakat Bali Mula/Aga Tenganan Pegringsingan dan
Sembiran, Soroh Pasek Catur Sanak (Terunyan dan Kayu Selem) serta masyarakat
Bali Dataran kelompok Triwangsa.
Download