7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Isi Rumen (Lambung) Sapi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Isi Rumen (Lambung) Sapi
Faktor penting dalam peningkatan produksi gas metan seperti peningkatan
serat kasar limbah (dalam hal ini merupakan isi dari rumen (lambung) sapi),
optimasi media fermentasi dan peningkatan kemampuan mikroba yang terus
diteliti hingga saat ini.
Beberapa kelompok mikroorganisme dengan peran berbeda dalam
keseluruhan proses bekerja dalam perombakan anaerobik, secara alami terjadi di
dalam ekosistem anaerobik seperti dalam sedimen tanah, lahan terendam air dan
dalam rumen ternak ruminansia (Stams, 2003), sehingga dapat digunakan sebagai
sumber bakteri metanogenik.
Limbah ternak adalah buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan
seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan dan pengolahan produk
ternak. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan cair seperti feses, urin, sisa
makan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, dan isi rumen
(Simamora dan Salundik, 2006). Dengan semakin berkembangnya usaha
peternakan dan kebutuhan manusia akan hasil ternak maka limbah yang
dihasilkan semakin meningkat.
Limbah dari RPH dapat dimanfaatkan dalam menghasilkan biogas. Bahan
yang dapat digunakan dalam menghasilkan biogas tersebut adalah cairan isi
rumen dan kotoran sapi. Cairan isi rumen dan kotoran sapi masih mengandung
bahan organik yang tinggi (Manendar, 2010).
Lambung sapi merupakan tempat yang cocok bagi perkembangan
metanogen. Gas metan dalam konsentrasi tertentu dapat dihasilkan di dalam
lambung sapi tersebut. Proses pembuatan biogas tidak jauh berbeda dengan proses
pembentukan gas metan dalam lambung sapi. Pada prinsipnya, pembuatan biogas
adalah menciptakan gas metan melalui adaptasi lingkungan yang mendukung bagi
proses perkembangan metanogen seperti yang terjadi dalam lambung sapi.
7
7
8
isi rumen (ruminal contents) adalah makanan yang belum dicerna secara
sempurna pada lambung pertama ruminansia dan mengandung saliva, mikroba
anaerob, selulosa, hemiselulosa, protein, lemak, karbohidart, mineral dan vitamin
(Van Soest, 1982).
Di dalam rumen ternak ruminansia terdapat berbagai mikroorganisme yang
terdiri dari protozoa, bakteri dan fungi (Sudaryanto, 2002). Salah satu kelompok
bakteri yang sangat penting di dalam rumen sapi adalah bakteri selulolitik. Proses
biodegradasi bahan yang mengandung selulosa sangat ditentukan oleh
kemampuan bakteri selulolitik untuk menghasilkan enzim selulase yang
mempunyai aktivitas tinggi (Asenjo, 1986). Populasi bakteri pada usus besar dan
feses ternak ruminansia termasuk golongan spesies bakteri yang juga terdapat di
dalam rumen, yaitu termasuk dalam famili Bacteriodes, Fusobacterium,
Streptococcus, Eubacterium, Ruminococcus dan Lactobacillus (Omed, 2000).
Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) rumen
yaitu antara 6,0 sampai 6,8. Nilai pH merupakan salah satu faktor lingkungan
yang berperan penting dalam aktivitas mikroorganisme dalam proses anaerobik.
Untuk pembentukan metan terjadi saat nilai pH berada pada rentang pH netral,
yakni 6,8 sampai 7,2 (Eckenfelder, 2000).
Menurut Gallert dan Winter (1999), penurunan pH setelah hari ke-0 yang
menggambarkan terbentuknya tahap fermentasi/asidogenesis yang menyebabkan
pH
lingkungan
menjadi
rendah.
Perubahan
kondisi
lingkungan
akan
mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan bakteri awal, sehingga bakteri yang
tidak mampu beradaptasi terhadap kondisi tersebut akan mengalami kematian
karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung proses metabolisme bakteri
tersebut.Kadar protein isi rumen sapi adalah 6,13% dengan kadar serat kasar
28,5% dan kadar hemiselulosa 19,07% (Surjoatmodjo, 1988).
9
2.1.1. Pengolahan Limbah RPH
1. Chemical Treatment
Partikel-partikel yang kecil dari zat organik tidak terpengaruh oleh gaya
gravitasi, untuk mengatasi hal ini, maka partikel yang kecil perlu digabungkan
menjadi kumpulan partikel. Proses koagulasi ini dengan cara menambahkan
coagulant seperti Al2(SO4)3 (Aluminium Sulphate (Alumino Feric) setara dengan
17 ppm Aluminium), dan dapat mengurangi kadar BOD5 air limbah dari 856 ppm
menjadi 305 ppm (reduksi 64%) (Dart, 1985).
2. Aerobic Biological Treatment
Ada 3 cara utama pengolahan limbah cair dari rumah pemotongan hewan
secara aerobik dengan menggunakan prinsip-prinsip biokimiawi, yaitu sebagai
berikut :
a. Activated sludge
Mikroorganisme aerobik bereaksi dengan udara sehingga terjadi proses
biologis oleh bakteri tersebut. Setelah proses terjadi, cairan yang tercampur tadi
mengalir menuju tangki pengendapan di mana activated sludge mengendap dan
terjadi proses biologis bakteri aerob, sehingga cairan supernatant (bagian
cairan yang bening atau terkurangi dari unsur padatannya dari proses
pengendapan) di tangki pengendapan dihancurkan dan keluar sebagai effluent
(Dart, 1985).
b. Oxydation Ponds
Kolam oksidasi adalah bentuk sederhana dari aerobic biological
treatment dan dapat dipandang sebagai proses pengolahan limbah secara alam.
Prinsip kerjanya memanfaatkan pengaruh sinar matahari, ganggang, bakteri
dan oksigen (Dart, 1985).
10
c. Trickling Filters
Pada trickling filters digunakan saringan tipis seperti film yang
mempunyai permukaan kuat. Limbah ditahan pada permukaan filter &
langsung
turun
ke
bawah,
sementara
itu
udara
perkolasi
(proses
mengalirnya udara ke bawah secara gravitasi dari suatu lapisan ke lapisan di
bawahnya) menembus tapis tengah dan memberikan suply oksigen untuk
purifikasi. Trickling Filters merupakan metoda yang baik untuk pengolahan
limbah cair rumah pemotongan hewan dan industri daging karena standar
efluent yang baik dapat dicapai (Dart, 1985).
Tetapi dalam pengolahan kali ini berupa :
3. Anaerobic Biological Treatment
Proses digesti anaerobic diselenggarakan tanpa adanya gas oksigen
mikroorganisme anaerobic dalam proses tersebut menggunakan oksigen yang
terdapat dalam bahan organik. Pada pengolahan air limbah dengan cara ini, bahan
organik di dalam limbah tersebut akan dipecah menjadi gas CH4 dan CO2.
Dengan cara ini reduksi kadar BOD5 air limbah rumah pemotongan hewan dapat
mencapai 95% (Dart, 1985).
2.2. Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit
Air limbah industri minyak kelapa sawit berasal dari kondensat atau yang
lebih dikenal dengan istilah palm oil mill effluent (POME) merupakan sisa
buangan yang tidak bersifat toksik (tidak beracun), tetapi memiliki daya
pencemaran yang tinggi karena air limbah dari industri minyak kelapa sawit
umumnya bersuhu tinggi 70-80oC, berwarna kecoklatan, mengandung padatan
terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan biochemical
oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) yang tinggi. Tabel
2.1. berikut merupakan sifat dan komponen air limbah industri minyak kelapa
sawit (Ngan, 2000).
11
Tabel 2.1. Sifat dan Komponen Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit
Parameter
pH
Minyak
BOD
COD
TS
TSS
TVS
Total Nitrogen
Mineral
Rta-rata
4,7
4000
25000
50000
40500
18000
34000
750
 Kalium
2270
 Magnesium
615
 Kalsium
439
 Besi
46,5
 Tembaga
0,89
*sumber : Ngan, 2000. Semua dalam mg/l, kecuali pH
Air limbah industri minyak kelapa sawit yang dihasilkan akan dikelola
dengan baik agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, untuk mengatasi
hal tersebut maka dibuat tindakan pengendalian limbah cair melalui sistem kolam
yang kemudian diaplikasikan kelahan atau memanfaatkannya sebagai bahan
pembuatan biogas. Apabila limbah cair ini langsung dibuang keperairan dapat
mencemari lingkungan. Jika limbah tersebut langsung dibuang keperairan, maka
sebagian akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen
terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat
merusak ekosistem perairan. Sebelum limbah cair ini dapat dibuang ke lingkungan
terlebih dahulu harus diolah agar sesuai dengan baku mutu limbah yang telah di
tetapkan. Tabel 2.2. berikut ini adalah baku mutu untuk limbah cair industri
minyak kelapa sawit berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51
Tahun 1995.
12
Tabel 2.2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit
Parameter
Kadar Maksimum
BOD5
100 mg/L
COD
350 mg/L
TSS
250 mg/L
Minyak dan lemak
25 mg/L
Nitrogen total (sebagai N)
50,0 mg/L
Nikel (Ni)
0,5 mg/L
Kobal (Co)
0,6 mg/L
pH
6,0-9,0
Debit limbah maksimum
3
2,5 m per ton produk minyak sawit (CPO)
*sumber : Kep Men LH No.51, 1995.
2.3. Produksi Biogas
Biogas adalah gas pembusukan bahan organik oleh bakteri pada kondisi
Anaerob. Kandungan dari biogas tergantung dari jenis bahan makanan ternak,
biogas rata-rata mengandung 50% - 70% metana, 30% - 40% karbondioksida,
1% - 2% nitrogen, 5% - 10% hidrogen dan sedikit hidrogen sulfida dan uap air
(Grant and Marshalleck, 2008). Campuran gas ini mudah terbakar bila kandungan
CH4 melebihi 50%. Teknologi Biogas sudah cukup mapan dan terbukti dapat
memproduksi energi non-BBM yang sekaligus ramah lingkungan. Biogas
termasuk teknologi yang memiliki efisiensi tinggi dan ramah lingkungan karena
residu proses biogas juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk berkualitas tinggi
dan mengurangi efek rumah kaca. Dari sudut pandang itulah dapat disimpulkan
bahwa teknologi biogas termasuk teknologi ramah lingkungan.
Produksi gas merupakan hasil proses fermentasi yang terjadi di dalam
rumen yang dapat menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna (Ella,
1997). Perbedaan nilai kecernaan disebabkan variasi total koloni mikrobia
13
(Sudirman, 2005). Volume biogas yang dihasilkan semakin meningkat erat
kaitannya dengan ketersediaan bahan organik yang mudah dicerna dan kondisi
bakteri yang sudah beradaptasi dengan lingkungan digester. Pada pH rendah
dekomposisi bahan organik dilakukan oleh bakteri yang dapat hidup pada pH
rendah dan dekomposisi yang dihasilkan tidak optimal karena bakteri bekerja baik
pada kondisi pH netral. Menurut Cronin dan Lo (1998), dekomposisi bahan
organik yang berasal dari feses ternak mulai menghasilkan biogas setelah
fermentasi berlangsung selama sepuluh hari dan sering terjadi lebih lambat lagi
sampai hari kelima belas. Volume gas metan rata-rata meningkat dari 0,08-0,19 L
CH4/hari dan penurunan HRT dari 5-3 hari. Hasil ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan Baloch (2007), yang menyatakan bahwa produksi gas
meningkat dengan menurunkan cemaran organik, yaitu biogas meningkat berkisar
16-62 L CH4/hari.
Energi yang terkandung dalam biogas tergantung pada konsentrasi metan
semakin tinggi kandungan metan maka semakin tinggi kandungan energi (nilai
kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil nilai metan maka semakin kecil
nilai kalor. Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa
parameter, yaitu menghilangkan hydrogen sulfur, kandungan air dan CO2.
Hidrogen sulfur mengandung racun dan zat yang menyebabkan kohesi (gaya
tarik-menarik antara molekul atau partikel yang sejenis). Bila biogas mengandung
senyawa ini maka akan menyebabkan gas yang berbahaya sehingga konsentrasi
yang diijinkan maksimal 5 ppm.
Bila gas dibakar maka hidrogen sulfur akan lebih berbahaya karena akan
membentuk senyawa baru bersama sama oksigen yaitu sulfur oksida/sulfur
trioksida (CO2/SO3), senyawa ini lebih beracun. Pada saat yang sama akan
membentuk sulfur acid (H2SO3) suatu senyawa yang lebih korosif. Parameter
yang kedua adalah menghilangkan kandungan karbondioksida yang memiliki
tujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat digunakan untuk bahan
bakar kendaraan. Kandungan air dalam biogas akan menurunkan titik penyalaan
biogas serta dapat menimbulkan korosif.
14
2.3.1. Tahapan Proses Kerja Mikroorganisme dalam Proses Fermentasi
Biogas merupakan salah satu hasil sampingan dari pembusukan bahan
organik. Proses pembusukan dapat bersifat aerobik atau anaerobik. Pada proses
pembusukan aerobik, bakteri aerobik memanfaatkan oksigen dan menghasilkan
amoniak, bakteri anaerobik merombak bahan organik menjadi biogas, kotoran,
dan pupuk organik cair. Proses pembusukan bahan organik ini dilakukan oleh
mikroorganisme dalam proses fermentasi.
Fermentasi anaerobik adalah proses perombakan bahan organik yang
dilakukan oleh sekelompok mikroba anaerobik fakultatif maupun obligat dalam
suatu reaktor tertutup pada suhu 35-55oC. Perombakan bahan organik
dikelompokkan dalam tiga tahapan proses, pertama bakteri fermentatif
menghidrolisis senyawa polimer menjadi senyawa sederhana yang bersifat
terlarut, monomer dan oligomer dirombak menjadi asam asetat, H2, CO2, asam
lemak rantai pendek dan alkohol, tahap ini disebut pula tahap asidogenesis.
Kedua, disebut fase non-metanogenik yang menghasilkan asam asetat, CO2 dan
H2. Ketiga, pengubahan senyawa-senyawa tersebut menjadi gas metana oleh
bakteri metanogenik (Reith, 2003; Metcalf dan Eddy, 2003).
Secara umum, reaksi pembentukan CH4 yaitu :
CxHyOz + (x-¼y-½z) H2O  (½ x-1/8y+¼z) CO2 + (½x-1/8y+¼z) CH4 ..... (2.1)
Sebagai contoh, pada pembuatan biogas dari bahan baku kotoran sapi atau
kerbau yang banyak mengandung selulosa. Bahan baku dalam bentuk selulosa
akan lebih mudah dicerna oleh bakteri anaerob. Reaksi pembentukan CH 4 adalah
sebagai berikut : (Price dan Cheremisinoff, 1981).
(C6H10O5)n + n H2O  3n CO2 + 3n CH4
.................................................. (2.2)
15
Reaksi kimia pembuatan biogas (gas metan) ada 3 tahap, yaitu :
2.3.1.1. Reaksi Hidrolisa / Tahap Pelarutan
Pada tahap ini sekelompok mikroorganisme akan menguraikan substrat
organik. Penguraian ini dilakukan oleh berbagai jenis bakteri. Bakteri yang
berperan antara lain memiliki enzim selulolitik, lipolitik dan proteolitik. Enzim
yang dihasilkan ini mempercepat hidrolisa polimer menjadi monomer larut yang
merupakan substrat bagi mikroorganisme tahap kedua. Bakteri selulolitik
memegang peranan dalam tahap ini. Temperatur kerja optimum adalah 50–60oC
(bakteri thermophilik) dan temperatur 30–40oC (bakteri mesophilik). Kedua
kelompok selulolitik ini bekerja pada kisaran pH enam sampai dengan tujuh.
Pada tahap ini bahan yang tidak larut seperti selulosa, polisakarida dan
lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam
lemak. Tahap pelarutan berlangsung pada suhu 25oC digester (Price dan
Cheremisinoff, 1981).
Reaksi:
(C6H10O5)n (s) + n H2O (l)  n C6H12O6
...................................................... (2.3)
2.3.1.2. Reaksi Asidogenik / Tahap Pengasaman
Bakteri pada tahap ini menghasilkan asam-asam organik yang dibentuk
dari senyawa monomer larut. Hasil terbesar dari bakteri asetogenik ini ialah asam
asetat, propionat dan asam laktet. Bakteri metanogenik sebagian besar hanya
manfaatkan
asam
asetat.
Beberapa
spesies
bakteri
metanogenik
dapat
memproduksi metan dari gas hidrogen dan karbondioksida, yang mana bahan ini
terproduksi selama dekomposisi karbohidrat. Selain itu metan juga dapat
diproduksi dengan reduksi etanol atau hasil sampingan lain selama pemecahan
karbohidrat. Beberapa spesies bakteri bekerja dalam tahap ini, dan proporsi dari
asam, gas hidrogen, karbondioksida dan alkohol yang dihasilkan.
Reaksi:
a) n (C6H12O6)  2n (C2H5OH) + 2n CO2 (g) + kalor
glukosa
etanol
karbondioksida
.................................. (2.4)
16
b) 2n (C2H5OH) (aq) + n CO2 (g)  2n (CH3COOH) (aq) + n CH4 (g) ............ (2.5)
etanol
karbondioksida
asam asetat
metana
2.3.1.3. Reaksi Metanogenik/ Tahap Produksi Metan
Bakteri metanogenik sangat peka terhadap lingkungan. Dikarenakan
bakteri ini harus dalam keadaan anaerob, maka sejumlah kecil oksigen dapat
menghalangi pertumbuhannya. Bukan hanya itu, bakteri ini juga kekal terhadap
senyawa yang memiliki tingkat oksidasi tinggi seperti nitrit dan nitrat. Bakteri ini
juga peka terhadap perubahan pH. Kisaran pH optimal untuk memproduksi metan
adalah 7,0–7,2, namun gas masih terproduksi dalam kisaran 6,6–7,6. jika pH
dibawah 6,6 akan menjadi faktor pembatas bagi bakteri dan pH dibawah 6,2 akan
menghilangkan kemampuan bakteri metanogenik. Dalam keadaan demikian
bakteri asetogenik tetap aktif hingga pH 4,5–5,0, sehingga diperlukan buffer untuk
menetralkan pH. Beberapa senyawa merupakan racun bagi bakteri ini. Senyawa
itu antara lain ammonia (lebih dari 1500-3000 mg/l), dari total ammonia nitrogen
pada pH diatas 7,4, ion ammonium (lebih dari 3000 mg/l dari total ammonia
nitrogen pada sembarang pH), sulfida terlarut (lebih dari 5–100 mg/l) serta larutan
garam dari beberapa logam seperti tembaga, seng dan nikel. Pada tahap ini,
bakteri metana membentuk gas metana secara perlahan secara anaerob. Pada
proses ini akan dihasilkan kisaran 70% CH4, 30% CO2, sedikit H2 dan H2S (Price
dan Cheremisinoff, 1981).
Reaksi:
2n (CH3COOH)  2n CH4 (g) + 2n CO2 (g)
asam asetat
gas metana
................................................. (2.6)
gas karbondioksida
17
Tabel 2.3. Berbagai Macam Bakteri Penghasil Metan dan Substratnya
Bakteri
Methanobacterium formicum
Methanobacterium mobilis
Methanobacterium propionicum
Methanobacterium ruminantium
Methanobacterium sohngenii
Substrat
CO
H2 + CO2
Formate
H2 + CO2
Formate
Propionate
Formate
H2 + CO2
Acetate butyrate
Methanobacterium suboxydans
Caproate dan
Butyrate
Methanococcus mazei
Acetate dan
Butyrate
H2 + CO2
Formate
H2 + CO2
Methanol
Acetate
Acetate
Butyrate
Methanobacterium vannielii
Methanosarcina barkeri
Methanobacterium methanica
Produk
CH4
CH4
CO2 + Acetate
CH4
CH4 + CO2
Propionate dan
Acetate
CH4 + CO2
CH4
CH4
CH4
CH4 + CO2
CH4 + CO2
*sumber : Khandelwal,1978.
2.3.2. Komposisi Biogas
Menurut Wellinger and Lindenberg (2000), komposisi biogas yang
dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Namun
demikian, komposisi biogas yang utama adalah gas metan (CH4) dan gas karbon
dioksida (CO2) dengan sedikit hidrogen sulfida (H2S). Komponen lainnya yang
ditemukan dalam kisaran konsentrasi kecil (trace element) antara lain senyawa
sulfur organik, senyawa hidrokarbon terhalogenasi (Halogenated hydrocarbons),
gas hidrogen (H2), gas nitrogen (N2), gas karbon monoksida (CO) dan gas oksigen
(O2). Komposisi utama yang terdapat dalam biogas ditunjukkan pada Tabel 2.4.
18
Tabel 2.4. Komponen Utama Biogas
Komponen
Komposisi
Satuan
1
2
Gas Methan (CH4)
% Vol
50-75
54-70
Karbon dioksida (CO2)
% Vol
24-40
27-45
Nitrogen (N2)
% Vol
<2
0-1
Hidrogen (H2)
% Vol
<1
0-1
Karbon monoksida (CO)
% Vol
0,1
Oksigen (O2)
Ppm
<2
0,1
Hidrogen sulfida (H2S)
Ppm
<2
Sedikit
*sumber : Hambali, 2007 dan Widarto, 1997
2.3.3. Karakteristik Kandungan Biogas
2.3.3.1. Gas Metana (CH4)
Sifat fisika metana sebagai berikut :
-
Berat molekul
: 16,04 gram/mol
-
Densitas
: 7,2 x 10-4 gram/ml (pada 1 atm dan 0oC)
-
Titik didih
: -161,4 oC
-
Titik leleh
: -182,6 oC
-
Nilai kalor CH4
: 13.279,302 Kkal/kg
-
Nilai kalor biogas : 6.720 – 9660 Kkal/kg
(Perry, 1997)
(Fessenden, 1989)
(Harasimowicz dkk., 2007)
o
-
dP
: 3,8 A
-
Tc
: 109,4 oK
(Wen-Hui Lin dkk., 2001)
(Pabby dkk., 2009)
Sifat kimia metana (Fessenden, 1989) sebagai berikut :
-
Reaksi pembakaran sempurna gas metana menghasilkan gas karbondioksida
dan uap air.
CH4 + O2
-
bunga api
CO2 + H2O .......................................... (2.7)
Reaksi halogenasi gas metana menghasilkan klorometana dan HCl
CH4 + Cl2
cahaya
CH3Cl + HCl ....................................... (2.8)
19
2.3.3.2. Karbon dioksida (CO2)
Sifat fisika karbon dioksida (Perry, 1997) sebagai berikut :
-
Berat molekul
: 44,01 gram/mol
-
Densitas
: 1,98 x 10-3gram/ml (pada 1 atm dan 0oC)
-
Titik leleh
: -55,6 oC (pada tekanan 5,2 atm)
-
Titik didih
: -78,5 oC
-
dP
: 3,3 oA
-
Tc
(Wen-Hui Lin dkk., 2001)
o
: 304 K
(Pabby dkk., 2009)
Sifat kimia karbon dioksida sebagai berikut :
- Karbon dioksida bereaksi dengan natrium hidroksida membentuk natrium
karbonat (Vogel, 1985).
Reaksi : NaOH + CO2
Na2CO3 + H2O .................................. (2.9)
2.3.3.3. Nitrogen (N2)
Sifat fisika nitrogen (Perry, 1997) sebagai berikut :
-
Berat molekul
: 28,02 gram/mol
-
Densitas
: 1,25 x 10-3 gram/ml (pada 1 atm dan 0oC)
-
Titik didih
: -195,8 oC
-
Titik leleh
: -209,86 oC
Sifat kimia nitrogen (Fessenden, 1989) sebagai berikut :
-
Merupakan senyawa inert (sukar bereaksi)
-
Merupakan senyawa dwiatomik
2.3.3.4. Hidrogen (H2)
Sifat fisik Hidrogen (Perry, 1997) sebagai berikut :
-
Berat molekul
: 2,016 gr/mol
-
Densitas
: 8,97 x 10-5 gram/ml (pada 1 atm dan 0oC)
-
Titik leleh
: -259,1 oC
-
Titik didih
: -252,7 oC
20
Sifat kimia Hidrogen (Vogel, 1985) sebagai berikut :
-
Hidrogen dapat digunakan sebagai potensial standart oksidasi-reduksi pada
temperatur 25 oC sebesar 0 volt.
Reaksi : H2 + 2e-
2H+ ................................................................ (2.10)
2.3.3.5. Karbon monoksida (CO)
Sifat fisika karbon monoksida (Perry, 1997) sebagai berikut :
-
Berat molekul
: 28,01 gr/mol
-
Titik didih
: -108,6 oC
-
Titik leleh
: 46,3 oC
Sifat kimia karbon monoksida sebagai berikut :
-
Karbon monoksida bereaksi dengan hidrogen menghasilkan gas metana
Reaksi : CO + 3H2
CH4 + H2O ......................................... (2.11)
2.3.3.6. Oksigen (O2)
Sifat fisika oksigen (Perry, 1997) sebagai berikut :
-
Berat molekul
: 16 gr/mol
-
Temperatur kritis : -118 oC
-
Tekanan kritis
: 49,7 atm
-
Titik didih
: -183 oC
-
Titik beku
: -218,4 oC
-
Densitas
: 1,43 x 10-3 gr/ml
Sifat kimia oksigen (Achmad, 1992) sebagai berikut :
-
Oksigen (O2) diperoleh dengan cara elektrolisis
Reaksi: 2H2O (l)
-
2H2 (g) + O2 (g) ............................................ (2.12)
Oksigen bereaksi dengan alkana menghasilkan gas karbondioksida dan uap
air (pembakaran sempurna).
Reaksi: CH4 (g) + 2 O2 (g)
CO2 (g) + 2 H2O (g) ......................... (2.13)
21
2.3.3.7. Hidrogen sulfida (H2S)
Sifat fisika hidrogen sulfida (Perry, 1997) sebagai berikut :
-
Berat molekul
: 34,08 gram/mol
-
Titik didih
: -59,6 oC
-
Titik leleh
: -82,9 oC
Sifat kimia hidrogen sulfida (Vogel, 1985) adalah :
-
Merupakan reduktor dalam reaksi redoks
-
Reaksi antara H2S dengan HNO3 membentuk endapan belerang dan gas NO
serta H2O.
3H2S + 2HNO3
3S + 2NO + 4H2O ........................... (2.14)
2.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Biogas
Untuk mendapatkan produksi biogas yang optimum, perlu diperhatikan
beberapa faktor dan kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan
mikroorganisme di dalam fermentor. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dan
dijaga agar proses produksi biogas berjalan dengan stabil adalah sebagai berikut:
2.3.4.1. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan ukuran dari keasaman suatu larutan (campuran dari
substrat) dan dinyatakan dalam bagian per juta (ppm). Nilai pH dari substrat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme methanogenic dan mempengaruhi
beberapa senyawa penting untuk proses anaerobik. Pembentukan metan terjadi
pada interval pH yang relatif sempit, dari sekitar 5,5 sampai 8,5, dengan interval
optimal antara 7,0 - 8,0 untuk bakteri metanogen pada umumnya. Interval pH
optimum untuk proses mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini akan
terhambat jika nilai pH menurun hingga di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3. Nilai
pH dalam reaktor anaerobik umumnya dikendalikan oleh sistem buffer
bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH di dalam digester tergantung pada
konsentrasi komponen alkali dan asam dalam fase cair. Jika akumulasi basa atau
asam terjadi, kapasitas buffer akan menetralkan perubahan pH, sampai tingkat
tertentu (Seadi dkk, 2008).
22
2.3.4.2. Temperatur
Proses anaerobik dapat berlangsung pada temperatur yang berbeda,
rentang suhunya dapat dibagi menjadi tiga; psichrofilik (dibawah 25oC), mesofilik
(25oC – 45oC), dan termofilik (45oC – 70oC). Stabilitas suhu sangat menentukan
pada proses anaerobik. Banyak industri biogas modern beroperasi pada suhu
termofilik
karena
proses
termofilik
memberikan
banyak
keuntungan,
dibandingkan dengan proses mesofilik dan psichrofilik diantaranya adalah efektif
untuk penghilangan patogen, tingkat pertumbuhan bakteri methanogenic lebih
tinggi pada suhu yang lebih tinggi, waktu retensi berkurang membuat proses lebih
cepat dan lebih efisien, degradasi substrat padat menjadi lebih baik sehingga
pemanfaatan substrat menjadi lebih baik (Seadi dkk, 2008).
2.3.4.3. OLR (Organic Loading Rate)
OLR adalah jumlah bahan organik yang masuk dan tersedia dalam
fermentor. Apabila OLR terlalu rendah maka proses fermentasi akan berjalan
lambat sedangkan jika terlalu tinggi maka terjadi overlaod dan substrat yang ada
dapat menjadi penghambat pertumbuhan mikroorganisme. (Speece, 1996).
2.3.4.4. TS (Total Solid) dan VS (Volatile Solid)
TS adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat baik padatan yang
terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan VS adalah padatan-padatan
organik yang terdapat dalam substrat. Dari TS dan VS inilah dapat diketahui
berapa banyak produksi gas yang akan dihasilkan (U.S Environmental Protection,
2001).
2.3.4.5. Makro dan Mikronutrien
Mikro-nutrien (trace elements) seperti besi, nikel, kobal, selenium,
molibdenum atau tungsten sama pentingnya dengan makro-nutrients seperti
karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup mikroorganisme anaerobik. Rasio optimal makro-nutrien untuk karbon,
nitrogen, fosfor, dan belerang (C: N: P: S) kurang lebih 600:15:5:1. Kurangnya
23
penyediaan nutrisi dan trace elements serta kecepatan fermentasi yang terlalu
tinggi dari substrat dapat menghambat dan mengganggu proses anaerobik (Seadi
dkk, 2008).
2.3.4.6. HRT (Hydraulic Retention Time)
HRT atau waktu tinggal merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh
limbah cair untuk tinggal di dalam fermentor. Nilai HRT merupakan
perbandingan antara volume reaktor dengan laju alir umpan yang masuk (Speece
1996). HRT berhubungan dengan volume digester dan volume substrat yang
masuk per satuan waktu, meningkatnya organic loading rate akan mengurangi
HRT, waktu retensi harus cukup lama untuk memastikan bahwa jumlah
mikroorganisme yang keluar bersama dengan efluen tidak lebih tinggi dari jumlah
mikroorganisme yang
direproduksi. HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik,
namun hasil gas yang diperoleh akan lebih rendah. Dengan mengetahui HRT yang
ditargetkan, jumlah input substrat dan laju dekomposisi substrat maka dapat
dibuat perhitungan untuk volume tangki digesternya (Seadi dkk, 2008).
2.3.5. Nilai Kalor Pembakaran Biogas
Panas pembakaran dari suatu bahan bakar adalah panas yang dihasilkan
dari pembakaran sempurna bahan bakar pada volume konstan dalam kalorimeter
dan dinyatakan dalam kal/kg atau Btu/lb. Panas pembakaran dari bahan bakar bisa
dinyatakan dalam HHV (high heating value) dan LHV (lower heating value).
HHV merupakan panas pembakaran dari bahan bakar yang di dalamnya masih
termasuk latent heat dari uap air hasil pembakaran. LHV merupakan panas
pembakaran dari bahan bakar setelah dikurangi latent heat dari uap air hasil
pembakaran. Nilai kalor pembakaran yang terdapat pada biogas berupa HHV dan
LHV pembakarannya dapat diperoleh dari Tabel 2.5. berikut (Price dan
Cheremisinoff, 1981).
24
Tabel 2.5. Nilai Kalor Pembakaran Biogas dan Natural Gas
Komponen
High Heating Value
Low Heating Value
(Kkal/m3)
(Kkal/kg)
(Kkal/m3)
Hidrogen (H2)
2.842,21
33.903,61
2.402,62
28.661,13
Karbon monoksida (CO)
2.811,95
2.414,31
2.811,95
2.414,31
Gas Metan (CH4)
8.851,43
13.265,91
7.973,13
11.953,76
Natural gas
9.165,55
12.943,70
8.320,18
11.749,33
(Kkal/Kg)
*sumber : Price dan Cheremisinoff, 1981
2.3.6. Masalah Pada Biogas
Masalah yang muncul ketika biogas baru diproduksi adalah komposisi
biogas itu sendiri, kandungan yang terdapat dalam biogas dapat memperngaruhi
sifat dan kualitas biogas sebagai bahan bakar. Kandungan yang terdapat dalam
biogas merupakan hasil dari proses metabolisme mikroorganisme. Biogas yang
kandungan metannya lebih dari 40% bersifat mudah terbakar dan merupakan
bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor bakar yang tinggi.
Tetapi jika kandungan CO2 dalam biogas sebesar 25–50% maka dapat
mengurangi nilai kalor bakar dari biogas tersebut. Sedangkan kandungan H2S
dalam biogas dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan. Nitrogen
dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Sealin itu
juga, terdapat uap air yang juga dapat menyebabkan kerusakan pada pembangkit
yang digunakan. (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tabel 2.6. menunjukkan
beberapa komponen dalam biogas yang dapat mempengaruhi sifat biogas itu
sendiri.
25
Tabel 2.6. Komponen Pengganggu Dalam Biogas
Komponen
Jumlah
Pengaruh Terhadap Biogas
CO2
25 – 50 % per volume
-
H2S
0 – 0,5 % per volume
-
NH3
0 – 0,05 % per volume
-
Uap Air
1 – 5 % per volume
-
N2
0 – 5 % per volume
-
Siloxane
0 – 50 mg/ m3
-
Menurunkan nilai kalor bakar
Meningkatkan methane number
Menyebabkan korosi
Menyebabkan kerusakan pada sel
bahan bakar alkali
Menyebabkan korosif pada peralatan
dan sistem perpipaan
Menyebabkan emisi SO2 bila dibakar
Merusak katalis yang digunakan pada
reaksi
Menyebabkan emisi NO2 setelah
pembakaran
Dapat merusak sel bahan bakar
Menyebabkan korosif pada peralatan
Kondensatnya dapat menyebabkan
kerusakan pada peralatan dan
pembangkit
Terdapat resiko pembekuan pada
sistem perpipaan
Menurunkan nilai kalor bakar
Meningkatkan sifat anti-knocking pada
mesin
Menyebabkan kerusakan pada mesin
*sumber : Deublein dan Steinhauster, 2008.
2.3.7. Absorbsi Karbondioksida (CO2)
Kandungan gas CH4 dari biogas dapat ditingkatkan dengan memisahkan
gas CO2 dan H2S yang bersifat korosif (Price dan Cheremisinoff, 1981).
Pemisahan ini dapat dilakukan dengan salah satunya yaitu proses absorbsi.
Absorbsi merupakan salah satu proses pemisahan dengan mengontakkan
campuran gas dengan cairan sebagai penyerapnya, penyerap tertentu akan
menyerap satu atau lebih pada komponen gas. Absorbsi dapat berlangsung dalam
dua macam proses, yaitu absorbsi fisik dan absorsi kimia (Kumoro andricahyo,
hadiyanto, 2004).
26
Gas CO2 langsung bereaksi dengan larutan NaOH sedangkan CH4 tidak.
Dengan berkurangmya konsentrasi CO2 sebagai akibat reaksi dengan NaOH,
maka perbandingan konsentrasi CH4 dengan CO2 menjadi lebih besar untuk
konsentrasi CH4. Absorbsi CO2 dari campuran biogas ke dalam larutan NaOH
dapat dilukiskan sebagai berikut :
I. CO2
CO2 ................................... (2.15)
II. CO2+ NaOH
NaHCO3 ............................ (2.16)
NaOH+ NaHCO3
Na2CO3+ H2O .................. (2.17)
CO2+ 2NaOH
Na2CO3 + H2O .................. (1.18)
Dalam kondisi alkali atau basa, pembentukan bikarbonat dapat diabaikan
karena bikarbonat bereaksi dengan OH- membentuk CO32- (Van Bhat, 1999).
Download