BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Isi Rumen (Lambung) Sapi Faktor penting dalam peningkatan produksi gas metan seperti peningkatan serat kasar limbah (dalam hal ini merupakan isi dari rumen (lambung) sapi), optimasi media fermentasi dan peningkatan kemampuan mikroba yang terus diteliti hingga saat ini. Beberapa kelompok mikroorganisme dengan peran berbeda dalam keseluruhan proses bekerja dalam perombakan anaerobik, secara alami terjadi di dalam ekosistem anaerobik seperti dalam sedimen tanah, lahan terendam air dan dalam rumen ternak ruminansia (Stams, 2003), sehingga dapat digunakan sebagai sumber bakteri metanogenik. Limbah ternak adalah buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan dan pengolahan produk ternak. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan cair seperti feses, urin, sisa makan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, dan isi rumen (Simamora dan Salundik, 2006). Dengan semakin berkembangnya usaha peternakan dan kebutuhan manusia akan hasil ternak maka limbah yang dihasilkan semakin meningkat. Limbah dari RPH dapat dimanfaatkan dalam menghasilkan biogas. Bahan yang dapat digunakan dalam menghasilkan biogas tersebut adalah cairan isi rumen dan kotoran sapi. Cairan isi rumen dan kotoran sapi masih mengandung bahan organik yang tinggi (Manendar, 2010). Lambung sapi merupakan tempat yang cocok bagi perkembangan metanogen. Gas metan dalam konsentrasi tertentu dapat dihasilkan di dalam lambung sapi tersebut. Proses pembuatan biogas tidak jauh berbeda dengan proses pembentukan gas metan dalam lambung sapi. Pada prinsipnya, pembuatan biogas adalah menciptakan gas metan melalui adaptasi lingkungan yang mendukung bagi proses perkembangan metanogen seperti yang terjadi dalam lambung sapi. 7 7 8 isi rumen (ruminal contents) adalah makanan yang belum dicerna secara sempurna pada lambung pertama ruminansia dan mengandung saliva, mikroba anaerob, selulosa, hemiselulosa, protein, lemak, karbohidart, mineral dan vitamin (Van Soest, 1982). Di dalam rumen ternak ruminansia terdapat berbagai mikroorganisme yang terdiri dari protozoa, bakteri dan fungi (Sudaryanto, 2002). Salah satu kelompok bakteri yang sangat penting di dalam rumen sapi adalah bakteri selulolitik. Proses biodegradasi bahan yang mengandung selulosa sangat ditentukan oleh kemampuan bakteri selulolitik untuk menghasilkan enzim selulase yang mempunyai aktivitas tinggi (Asenjo, 1986). Populasi bakteri pada usus besar dan feses ternak ruminansia termasuk golongan spesies bakteri yang juga terdapat di dalam rumen, yaitu termasuk dalam famili Bacteriodes, Fusobacterium, Streptococcus, Eubacterium, Ruminococcus dan Lactobacillus (Omed, 2000). Blakely dan Bade (1991) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) rumen yaitu antara 6,0 sampai 6,8. Nilai pH merupakan salah satu faktor lingkungan yang berperan penting dalam aktivitas mikroorganisme dalam proses anaerobik. Untuk pembentukan metan terjadi saat nilai pH berada pada rentang pH netral, yakni 6,8 sampai 7,2 (Eckenfelder, 2000). Menurut Gallert dan Winter (1999), penurunan pH setelah hari ke-0 yang menggambarkan terbentuknya tahap fermentasi/asidogenesis yang menyebabkan pH lingkungan menjadi rendah. Perubahan kondisi lingkungan akan mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan bakteri awal, sehingga bakteri yang tidak mampu beradaptasi terhadap kondisi tersebut akan mengalami kematian karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung proses metabolisme bakteri tersebut.Kadar protein isi rumen sapi adalah 6,13% dengan kadar serat kasar 28,5% dan kadar hemiselulosa 19,07% (Surjoatmodjo, 1988). 9 2.1.1. Pengolahan Limbah RPH 1. Chemical Treatment Partikel-partikel yang kecil dari zat organik tidak terpengaruh oleh gaya gravitasi, untuk mengatasi hal ini, maka partikel yang kecil perlu digabungkan menjadi kumpulan partikel. Proses koagulasi ini dengan cara menambahkan coagulant seperti Al2(SO4)3 (Aluminium Sulphate (Alumino Feric) setara dengan 17 ppm Aluminium), dan dapat mengurangi kadar BOD5 air limbah dari 856 ppm menjadi 305 ppm (reduksi 64%) (Dart, 1985). 2. Aerobic Biological Treatment Ada 3 cara utama pengolahan limbah cair dari rumah pemotongan hewan secara aerobik dengan menggunakan prinsip-prinsip biokimiawi, yaitu sebagai berikut : a. Activated sludge Mikroorganisme aerobik bereaksi dengan udara sehingga terjadi proses biologis oleh bakteri tersebut. Setelah proses terjadi, cairan yang tercampur tadi mengalir menuju tangki pengendapan di mana activated sludge mengendap dan terjadi proses biologis bakteri aerob, sehingga cairan supernatant (bagian cairan yang bening atau terkurangi dari unsur padatannya dari proses pengendapan) di tangki pengendapan dihancurkan dan keluar sebagai effluent (Dart, 1985). b. Oxydation Ponds Kolam oksidasi adalah bentuk sederhana dari aerobic biological treatment dan dapat dipandang sebagai proses pengolahan limbah secara alam. Prinsip kerjanya memanfaatkan pengaruh sinar matahari, ganggang, bakteri dan oksigen (Dart, 1985). 10 c. Trickling Filters Pada trickling filters digunakan saringan tipis seperti film yang mempunyai permukaan kuat. Limbah ditahan pada permukaan filter & langsung turun ke bawah, sementara itu udara perkolasi (proses mengalirnya udara ke bawah secara gravitasi dari suatu lapisan ke lapisan di bawahnya) menembus tapis tengah dan memberikan suply oksigen untuk purifikasi. Trickling Filters merupakan metoda yang baik untuk pengolahan limbah cair rumah pemotongan hewan dan industri daging karena standar efluent yang baik dapat dicapai (Dart, 1985). Tetapi dalam pengolahan kali ini berupa : 3. Anaerobic Biological Treatment Proses digesti anaerobic diselenggarakan tanpa adanya gas oksigen mikroorganisme anaerobic dalam proses tersebut menggunakan oksigen yang terdapat dalam bahan organik. Pada pengolahan air limbah dengan cara ini, bahan organik di dalam limbah tersebut akan dipecah menjadi gas CH4 dan CO2. Dengan cara ini reduksi kadar BOD5 air limbah rumah pemotongan hewan dapat mencapai 95% (Dart, 1985). 2.2. Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit Air limbah industri minyak kelapa sawit berasal dari kondensat atau yang lebih dikenal dengan istilah palm oil mill effluent (POME) merupakan sisa buangan yang tidak bersifat toksik (tidak beracun), tetapi memiliki daya pencemaran yang tinggi karena air limbah dari industri minyak kelapa sawit umumnya bersuhu tinggi 70-80oC, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan biochemical oxygen demand (BOD) dan chemical oxygen demand (COD) yang tinggi. Tabel 2.1. berikut merupakan sifat dan komponen air limbah industri minyak kelapa sawit (Ngan, 2000). 11 Tabel 2.1. Sifat dan Komponen Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit Parameter pH Minyak BOD COD TS TSS TVS Total Nitrogen Mineral Rta-rata 4,7 4000 25000 50000 40500 18000 34000 750 Kalium 2270 Magnesium 615 Kalsium 439 Besi 46,5 Tembaga 0,89 *sumber : Ngan, 2000. Semua dalam mg/l, kecuali pH Air limbah industri minyak kelapa sawit yang dihasilkan akan dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, untuk mengatasi hal tersebut maka dibuat tindakan pengendalian limbah cair melalui sistem kolam yang kemudian diaplikasikan kelahan atau memanfaatkannya sebagai bahan pembuatan biogas. Apabila limbah cair ini langsung dibuang keperairan dapat mencemari lingkungan. Jika limbah tersebut langsung dibuang keperairan, maka sebagian akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan. Sebelum limbah cair ini dapat dibuang ke lingkungan terlebih dahulu harus diolah agar sesuai dengan baku mutu limbah yang telah di tetapkan. Tabel 2.2. berikut ini adalah baku mutu untuk limbah cair industri minyak kelapa sawit berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995. 12 Tabel 2.2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit Parameter Kadar Maksimum BOD5 100 mg/L COD 350 mg/L TSS 250 mg/L Minyak dan lemak 25 mg/L Nitrogen total (sebagai N) 50,0 mg/L Nikel (Ni) 0,5 mg/L Kobal (Co) 0,6 mg/L pH 6,0-9,0 Debit limbah maksimum 3 2,5 m per ton produk minyak sawit (CPO) *sumber : Kep Men LH No.51, 1995. 2.3. Produksi Biogas Biogas adalah gas pembusukan bahan organik oleh bakteri pada kondisi Anaerob. Kandungan dari biogas tergantung dari jenis bahan makanan ternak, biogas rata-rata mengandung 50% - 70% metana, 30% - 40% karbondioksida, 1% - 2% nitrogen, 5% - 10% hidrogen dan sedikit hidrogen sulfida dan uap air (Grant and Marshalleck, 2008). Campuran gas ini mudah terbakar bila kandungan CH4 melebihi 50%. Teknologi Biogas sudah cukup mapan dan terbukti dapat memproduksi energi non-BBM yang sekaligus ramah lingkungan. Biogas termasuk teknologi yang memiliki efisiensi tinggi dan ramah lingkungan karena residu proses biogas juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk berkualitas tinggi dan mengurangi efek rumah kaca. Dari sudut pandang itulah dapat disimpulkan bahwa teknologi biogas termasuk teknologi ramah lingkungan. Produksi gas merupakan hasil proses fermentasi yang terjadi di dalam rumen yang dapat menggambarkan banyaknya bahan organik yang tercerna (Ella, 1997). Perbedaan nilai kecernaan disebabkan variasi total koloni mikrobia 13 (Sudirman, 2005). Volume biogas yang dihasilkan semakin meningkat erat kaitannya dengan ketersediaan bahan organik yang mudah dicerna dan kondisi bakteri yang sudah beradaptasi dengan lingkungan digester. Pada pH rendah dekomposisi bahan organik dilakukan oleh bakteri yang dapat hidup pada pH rendah dan dekomposisi yang dihasilkan tidak optimal karena bakteri bekerja baik pada kondisi pH netral. Menurut Cronin dan Lo (1998), dekomposisi bahan organik yang berasal dari feses ternak mulai menghasilkan biogas setelah fermentasi berlangsung selama sepuluh hari dan sering terjadi lebih lambat lagi sampai hari kelima belas. Volume gas metan rata-rata meningkat dari 0,08-0,19 L CH4/hari dan penurunan HRT dari 5-3 hari. Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Baloch (2007), yang menyatakan bahwa produksi gas meningkat dengan menurunkan cemaran organik, yaitu biogas meningkat berkisar 16-62 L CH4/hari. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung pada konsentrasi metan semakin tinggi kandungan metan maka semakin tinggi kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya semakin kecil nilai metan maka semakin kecil nilai kalor. Kualitas biogas dapat ditingkatkan dengan memperlakukan beberapa parameter, yaitu menghilangkan hydrogen sulfur, kandungan air dan CO2. Hidrogen sulfur mengandung racun dan zat yang menyebabkan kohesi (gaya tarik-menarik antara molekul atau partikel yang sejenis). Bila biogas mengandung senyawa ini maka akan menyebabkan gas yang berbahaya sehingga konsentrasi yang diijinkan maksimal 5 ppm. Bila gas dibakar maka hidrogen sulfur akan lebih berbahaya karena akan membentuk senyawa baru bersama sama oksigen yaitu sulfur oksida/sulfur trioksida (CO2/SO3), senyawa ini lebih beracun. Pada saat yang sama akan membentuk sulfur acid (H2SO3) suatu senyawa yang lebih korosif. Parameter yang kedua adalah menghilangkan kandungan karbondioksida yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas, sehingga gas dapat digunakan untuk bahan bakar kendaraan. Kandungan air dalam biogas akan menurunkan titik penyalaan biogas serta dapat menimbulkan korosif. 14 2.3.1. Tahapan Proses Kerja Mikroorganisme dalam Proses Fermentasi Biogas merupakan salah satu hasil sampingan dari pembusukan bahan organik. Proses pembusukan dapat bersifat aerobik atau anaerobik. Pada proses pembusukan aerobik, bakteri aerobik memanfaatkan oksigen dan menghasilkan amoniak, bakteri anaerobik merombak bahan organik menjadi biogas, kotoran, dan pupuk organik cair. Proses pembusukan bahan organik ini dilakukan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi. Fermentasi anaerobik adalah proses perombakan bahan organik yang dilakukan oleh sekelompok mikroba anaerobik fakultatif maupun obligat dalam suatu reaktor tertutup pada suhu 35-55oC. Perombakan bahan organik dikelompokkan dalam tiga tahapan proses, pertama bakteri fermentatif menghidrolisis senyawa polimer menjadi senyawa sederhana yang bersifat terlarut, monomer dan oligomer dirombak menjadi asam asetat, H2, CO2, asam lemak rantai pendek dan alkohol, tahap ini disebut pula tahap asidogenesis. Kedua, disebut fase non-metanogenik yang menghasilkan asam asetat, CO2 dan H2. Ketiga, pengubahan senyawa-senyawa tersebut menjadi gas metana oleh bakteri metanogenik (Reith, 2003; Metcalf dan Eddy, 2003). Secara umum, reaksi pembentukan CH4 yaitu : CxHyOz + (x-¼y-½z) H2O (½ x-1/8y+¼z) CO2 + (½x-1/8y+¼z) CH4 ..... (2.1) Sebagai contoh, pada pembuatan biogas dari bahan baku kotoran sapi atau kerbau yang banyak mengandung selulosa. Bahan baku dalam bentuk selulosa akan lebih mudah dicerna oleh bakteri anaerob. Reaksi pembentukan CH 4 adalah sebagai berikut : (Price dan Cheremisinoff, 1981). (C6H10O5)n + n H2O 3n CO2 + 3n CH4 .................................................. (2.2) 15 Reaksi kimia pembuatan biogas (gas metan) ada 3 tahap, yaitu : 2.3.1.1. Reaksi Hidrolisa / Tahap Pelarutan Pada tahap ini sekelompok mikroorganisme akan menguraikan substrat organik. Penguraian ini dilakukan oleh berbagai jenis bakteri. Bakteri yang berperan antara lain memiliki enzim selulolitik, lipolitik dan proteolitik. Enzim yang dihasilkan ini mempercepat hidrolisa polimer menjadi monomer larut yang merupakan substrat bagi mikroorganisme tahap kedua. Bakteri selulolitik memegang peranan dalam tahap ini. Temperatur kerja optimum adalah 50–60oC (bakteri thermophilik) dan temperatur 30–40oC (bakteri mesophilik). Kedua kelompok selulolitik ini bekerja pada kisaran pH enam sampai dengan tujuh. Pada tahap ini bahan yang tidak larut seperti selulosa, polisakarida dan lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam lemak. Tahap pelarutan berlangsung pada suhu 25oC digester (Price dan Cheremisinoff, 1981). Reaksi: (C6H10O5)n (s) + n H2O (l) n C6H12O6 ...................................................... (2.3) 2.3.1.2. Reaksi Asidogenik / Tahap Pengasaman Bakteri pada tahap ini menghasilkan asam-asam organik yang dibentuk dari senyawa monomer larut. Hasil terbesar dari bakteri asetogenik ini ialah asam asetat, propionat dan asam laktet. Bakteri metanogenik sebagian besar hanya manfaatkan asam asetat. Beberapa spesies bakteri metanogenik dapat memproduksi metan dari gas hidrogen dan karbondioksida, yang mana bahan ini terproduksi selama dekomposisi karbohidrat. Selain itu metan juga dapat diproduksi dengan reduksi etanol atau hasil sampingan lain selama pemecahan karbohidrat. Beberapa spesies bakteri bekerja dalam tahap ini, dan proporsi dari asam, gas hidrogen, karbondioksida dan alkohol yang dihasilkan. Reaksi: a) n (C6H12O6) 2n (C2H5OH) + 2n CO2 (g) + kalor glukosa etanol karbondioksida .................................. (2.4) 16 b) 2n (C2H5OH) (aq) + n CO2 (g) 2n (CH3COOH) (aq) + n CH4 (g) ............ (2.5) etanol karbondioksida asam asetat metana 2.3.1.3. Reaksi Metanogenik/ Tahap Produksi Metan Bakteri metanogenik sangat peka terhadap lingkungan. Dikarenakan bakteri ini harus dalam keadaan anaerob, maka sejumlah kecil oksigen dapat menghalangi pertumbuhannya. Bukan hanya itu, bakteri ini juga kekal terhadap senyawa yang memiliki tingkat oksidasi tinggi seperti nitrit dan nitrat. Bakteri ini juga peka terhadap perubahan pH. Kisaran pH optimal untuk memproduksi metan adalah 7,0–7,2, namun gas masih terproduksi dalam kisaran 6,6–7,6. jika pH dibawah 6,6 akan menjadi faktor pembatas bagi bakteri dan pH dibawah 6,2 akan menghilangkan kemampuan bakteri metanogenik. Dalam keadaan demikian bakteri asetogenik tetap aktif hingga pH 4,5–5,0, sehingga diperlukan buffer untuk menetralkan pH. Beberapa senyawa merupakan racun bagi bakteri ini. Senyawa itu antara lain ammonia (lebih dari 1500-3000 mg/l), dari total ammonia nitrogen pada pH diatas 7,4, ion ammonium (lebih dari 3000 mg/l dari total ammonia nitrogen pada sembarang pH), sulfida terlarut (lebih dari 5–100 mg/l) serta larutan garam dari beberapa logam seperti tembaga, seng dan nikel. Pada tahap ini, bakteri metana membentuk gas metana secara perlahan secara anaerob. Pada proses ini akan dihasilkan kisaran 70% CH4, 30% CO2, sedikit H2 dan H2S (Price dan Cheremisinoff, 1981). Reaksi: 2n (CH3COOH) 2n CH4 (g) + 2n CO2 (g) asam asetat gas metana ................................................. (2.6) gas karbondioksida 17 Tabel 2.3. Berbagai Macam Bakteri Penghasil Metan dan Substratnya Bakteri Methanobacterium formicum Methanobacterium mobilis Methanobacterium propionicum Methanobacterium ruminantium Methanobacterium sohngenii Substrat CO H2 + CO2 Formate H2 + CO2 Formate Propionate Formate H2 + CO2 Acetate butyrate Methanobacterium suboxydans Caproate dan Butyrate Methanococcus mazei Acetate dan Butyrate H2 + CO2 Formate H2 + CO2 Methanol Acetate Acetate Butyrate Methanobacterium vannielii Methanosarcina barkeri Methanobacterium methanica Produk CH4 CH4 CO2 + Acetate CH4 CH4 + CO2 Propionate dan Acetate CH4 + CO2 CH4 CH4 CH4 CH4 + CO2 CH4 + CO2 *sumber : Khandelwal,1978. 2.3.2. Komposisi Biogas Menurut Wellinger and Lindenberg (2000), komposisi biogas yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Namun demikian, komposisi biogas yang utama adalah gas metan (CH4) dan gas karbon dioksida (CO2) dengan sedikit hidrogen sulfida (H2S). Komponen lainnya yang ditemukan dalam kisaran konsentrasi kecil (trace element) antara lain senyawa sulfur organik, senyawa hidrokarbon terhalogenasi (Halogenated hydrocarbons), gas hidrogen (H2), gas nitrogen (N2), gas karbon monoksida (CO) dan gas oksigen (O2). Komposisi utama yang terdapat dalam biogas ditunjukkan pada Tabel 2.4. 18 Tabel 2.4. Komponen Utama Biogas Komponen Komposisi Satuan 1 2 Gas Methan (CH4) % Vol 50-75 54-70 Karbon dioksida (CO2) % Vol 24-40 27-45 Nitrogen (N2) % Vol <2 0-1 Hidrogen (H2) % Vol <1 0-1 Karbon monoksida (CO) % Vol 0,1 Oksigen (O2) Ppm <2 0,1 Hidrogen sulfida (H2S) Ppm <2 Sedikit *sumber : Hambali, 2007 dan Widarto, 1997 2.3.3. Karakteristik Kandungan Biogas 2.3.3.1. Gas Metana (CH4) Sifat fisika metana sebagai berikut : - Berat molekul : 16,04 gram/mol - Densitas : 7,2 x 10-4 gram/ml (pada 1 atm dan 0oC) - Titik didih : -161,4 oC - Titik leleh : -182,6 oC - Nilai kalor CH4 : 13.279,302 Kkal/kg - Nilai kalor biogas : 6.720 – 9660 Kkal/kg (Perry, 1997) (Fessenden, 1989) (Harasimowicz dkk., 2007) o - dP : 3,8 A - Tc : 109,4 oK (Wen-Hui Lin dkk., 2001) (Pabby dkk., 2009) Sifat kimia metana (Fessenden, 1989) sebagai berikut : - Reaksi pembakaran sempurna gas metana menghasilkan gas karbondioksida dan uap air. CH4 + O2 - bunga api CO2 + H2O .......................................... (2.7) Reaksi halogenasi gas metana menghasilkan klorometana dan HCl CH4 + Cl2 cahaya CH3Cl + HCl ....................................... (2.8) 19 2.3.3.2. Karbon dioksida (CO2) Sifat fisika karbon dioksida (Perry, 1997) sebagai berikut : - Berat molekul : 44,01 gram/mol - Densitas : 1,98 x 10-3gram/ml (pada 1 atm dan 0oC) - Titik leleh : -55,6 oC (pada tekanan 5,2 atm) - Titik didih : -78,5 oC - dP : 3,3 oA - Tc (Wen-Hui Lin dkk., 2001) o : 304 K (Pabby dkk., 2009) Sifat kimia karbon dioksida sebagai berikut : - Karbon dioksida bereaksi dengan natrium hidroksida membentuk natrium karbonat (Vogel, 1985). Reaksi : NaOH + CO2 Na2CO3 + H2O .................................. (2.9) 2.3.3.3. Nitrogen (N2) Sifat fisika nitrogen (Perry, 1997) sebagai berikut : - Berat molekul : 28,02 gram/mol - Densitas : 1,25 x 10-3 gram/ml (pada 1 atm dan 0oC) - Titik didih : -195,8 oC - Titik leleh : -209,86 oC Sifat kimia nitrogen (Fessenden, 1989) sebagai berikut : - Merupakan senyawa inert (sukar bereaksi) - Merupakan senyawa dwiatomik 2.3.3.4. Hidrogen (H2) Sifat fisik Hidrogen (Perry, 1997) sebagai berikut : - Berat molekul : 2,016 gr/mol - Densitas : 8,97 x 10-5 gram/ml (pada 1 atm dan 0oC) - Titik leleh : -259,1 oC - Titik didih : -252,7 oC 20 Sifat kimia Hidrogen (Vogel, 1985) sebagai berikut : - Hidrogen dapat digunakan sebagai potensial standart oksidasi-reduksi pada temperatur 25 oC sebesar 0 volt. Reaksi : H2 + 2e- 2H+ ................................................................ (2.10) 2.3.3.5. Karbon monoksida (CO) Sifat fisika karbon monoksida (Perry, 1997) sebagai berikut : - Berat molekul : 28,01 gr/mol - Titik didih : -108,6 oC - Titik leleh : 46,3 oC Sifat kimia karbon monoksida sebagai berikut : - Karbon monoksida bereaksi dengan hidrogen menghasilkan gas metana Reaksi : CO + 3H2 CH4 + H2O ......................................... (2.11) 2.3.3.6. Oksigen (O2) Sifat fisika oksigen (Perry, 1997) sebagai berikut : - Berat molekul : 16 gr/mol - Temperatur kritis : -118 oC - Tekanan kritis : 49,7 atm - Titik didih : -183 oC - Titik beku : -218,4 oC - Densitas : 1,43 x 10-3 gr/ml Sifat kimia oksigen (Achmad, 1992) sebagai berikut : - Oksigen (O2) diperoleh dengan cara elektrolisis Reaksi: 2H2O (l) - 2H2 (g) + O2 (g) ............................................ (2.12) Oksigen bereaksi dengan alkana menghasilkan gas karbondioksida dan uap air (pembakaran sempurna). Reaksi: CH4 (g) + 2 O2 (g) CO2 (g) + 2 H2O (g) ......................... (2.13) 21 2.3.3.7. Hidrogen sulfida (H2S) Sifat fisika hidrogen sulfida (Perry, 1997) sebagai berikut : - Berat molekul : 34,08 gram/mol - Titik didih : -59,6 oC - Titik leleh : -82,9 oC Sifat kimia hidrogen sulfida (Vogel, 1985) adalah : - Merupakan reduktor dalam reaksi redoks - Reaksi antara H2S dengan HNO3 membentuk endapan belerang dan gas NO serta H2O. 3H2S + 2HNO3 3S + 2NO + 4H2O ........................... (2.14) 2.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Biogas Untuk mendapatkan produksi biogas yang optimum, perlu diperhatikan beberapa faktor dan kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di dalam fermentor. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dijaga agar proses produksi biogas berjalan dengan stabil adalah sebagai berikut: 2.3.4.1. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH merupakan ukuran dari keasaman suatu larutan (campuran dari substrat) dan dinyatakan dalam bagian per juta (ppm). Nilai pH dari substrat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme methanogenic dan mempengaruhi beberapa senyawa penting untuk proses anaerobik. Pembentukan metan terjadi pada interval pH yang relatif sempit, dari sekitar 5,5 sampai 8,5, dengan interval optimal antara 7,0 - 8,0 untuk bakteri metanogen pada umumnya. Interval pH optimum untuk proses mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini akan terhambat jika nilai pH menurun hingga di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3. Nilai pH dalam reaktor anaerobik umumnya dikendalikan oleh sistem buffer bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH di dalam digester tergantung pada konsentrasi komponen alkali dan asam dalam fase cair. Jika akumulasi basa atau asam terjadi, kapasitas buffer akan menetralkan perubahan pH, sampai tingkat tertentu (Seadi dkk, 2008). 22 2.3.4.2. Temperatur Proses anaerobik dapat berlangsung pada temperatur yang berbeda, rentang suhunya dapat dibagi menjadi tiga; psichrofilik (dibawah 25oC), mesofilik (25oC – 45oC), dan termofilik (45oC – 70oC). Stabilitas suhu sangat menentukan pada proses anaerobik. Banyak industri biogas modern beroperasi pada suhu termofilik karena proses termofilik memberikan banyak keuntungan, dibandingkan dengan proses mesofilik dan psichrofilik diantaranya adalah efektif untuk penghilangan patogen, tingkat pertumbuhan bakteri methanogenic lebih tinggi pada suhu yang lebih tinggi, waktu retensi berkurang membuat proses lebih cepat dan lebih efisien, degradasi substrat padat menjadi lebih baik sehingga pemanfaatan substrat menjadi lebih baik (Seadi dkk, 2008). 2.3.4.3. OLR (Organic Loading Rate) OLR adalah jumlah bahan organik yang masuk dan tersedia dalam fermentor. Apabila OLR terlalu rendah maka proses fermentasi akan berjalan lambat sedangkan jika terlalu tinggi maka terjadi overlaod dan substrat yang ada dapat menjadi penghambat pertumbuhan mikroorganisme. (Speece, 1996). 2.3.4.4. TS (Total Solid) dan VS (Volatile Solid) TS adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat baik padatan yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan VS adalah padatan-padatan organik yang terdapat dalam substrat. Dari TS dan VS inilah dapat diketahui berapa banyak produksi gas yang akan dihasilkan (U.S Environmental Protection, 2001). 2.3.4.5. Makro dan Mikronutrien Mikro-nutrien (trace elements) seperti besi, nikel, kobal, selenium, molibdenum atau tungsten sama pentingnya dengan makro-nutrients seperti karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Rasio optimal makro-nutrien untuk karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang (C: N: P: S) kurang lebih 600:15:5:1. Kurangnya 23 penyediaan nutrisi dan trace elements serta kecepatan fermentasi yang terlalu tinggi dari substrat dapat menghambat dan mengganggu proses anaerobik (Seadi dkk, 2008). 2.3.4.6. HRT (Hydraulic Retention Time) HRT atau waktu tinggal merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh limbah cair untuk tinggal di dalam fermentor. Nilai HRT merupakan perbandingan antara volume reaktor dengan laju alir umpan yang masuk (Speece 1996). HRT berhubungan dengan volume digester dan volume substrat yang masuk per satuan waktu, meningkatnya organic loading rate akan mengurangi HRT, waktu retensi harus cukup lama untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang keluar bersama dengan efluen tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme yang direproduksi. HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, namun hasil gas yang diperoleh akan lebih rendah. Dengan mengetahui HRT yang ditargetkan, jumlah input substrat dan laju dekomposisi substrat maka dapat dibuat perhitungan untuk volume tangki digesternya (Seadi dkk, 2008). 2.3.5. Nilai Kalor Pembakaran Biogas Panas pembakaran dari suatu bahan bakar adalah panas yang dihasilkan dari pembakaran sempurna bahan bakar pada volume konstan dalam kalorimeter dan dinyatakan dalam kal/kg atau Btu/lb. Panas pembakaran dari bahan bakar bisa dinyatakan dalam HHV (high heating value) dan LHV (lower heating value). HHV merupakan panas pembakaran dari bahan bakar yang di dalamnya masih termasuk latent heat dari uap air hasil pembakaran. LHV merupakan panas pembakaran dari bahan bakar setelah dikurangi latent heat dari uap air hasil pembakaran. Nilai kalor pembakaran yang terdapat pada biogas berupa HHV dan LHV pembakarannya dapat diperoleh dari Tabel 2.5. berikut (Price dan Cheremisinoff, 1981). 24 Tabel 2.5. Nilai Kalor Pembakaran Biogas dan Natural Gas Komponen High Heating Value Low Heating Value (Kkal/m3) (Kkal/kg) (Kkal/m3) Hidrogen (H2) 2.842,21 33.903,61 2.402,62 28.661,13 Karbon monoksida (CO) 2.811,95 2.414,31 2.811,95 2.414,31 Gas Metan (CH4) 8.851,43 13.265,91 7.973,13 11.953,76 Natural gas 9.165,55 12.943,70 8.320,18 11.749,33 (Kkal/Kg) *sumber : Price dan Cheremisinoff, 1981 2.3.6. Masalah Pada Biogas Masalah yang muncul ketika biogas baru diproduksi adalah komposisi biogas itu sendiri, kandungan yang terdapat dalam biogas dapat memperngaruhi sifat dan kualitas biogas sebagai bahan bakar. Kandungan yang terdapat dalam biogas merupakan hasil dari proses metabolisme mikroorganisme. Biogas yang kandungan metannya lebih dari 40% bersifat mudah terbakar dan merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor bakar yang tinggi. Tetapi jika kandungan CO2 dalam biogas sebesar 25–50% maka dapat mengurangi nilai kalor bakar dari biogas tersebut. Sedangkan kandungan H2S dalam biogas dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan. Nitrogen dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Sealin itu juga, terdapat uap air yang juga dapat menyebabkan kerusakan pada pembangkit yang digunakan. (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tabel 2.6. menunjukkan beberapa komponen dalam biogas yang dapat mempengaruhi sifat biogas itu sendiri. 25 Tabel 2.6. Komponen Pengganggu Dalam Biogas Komponen Jumlah Pengaruh Terhadap Biogas CO2 25 – 50 % per volume - H2S 0 – 0,5 % per volume - NH3 0 – 0,05 % per volume - Uap Air 1 – 5 % per volume - N2 0 – 5 % per volume - Siloxane 0 – 50 mg/ m3 - Menurunkan nilai kalor bakar Meningkatkan methane number Menyebabkan korosi Menyebabkan kerusakan pada sel bahan bakar alkali Menyebabkan korosif pada peralatan dan sistem perpipaan Menyebabkan emisi SO2 bila dibakar Merusak katalis yang digunakan pada reaksi Menyebabkan emisi NO2 setelah pembakaran Dapat merusak sel bahan bakar Menyebabkan korosif pada peralatan Kondensatnya dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan dan pembangkit Terdapat resiko pembekuan pada sistem perpipaan Menurunkan nilai kalor bakar Meningkatkan sifat anti-knocking pada mesin Menyebabkan kerusakan pada mesin *sumber : Deublein dan Steinhauster, 2008. 2.3.7. Absorbsi Karbondioksida (CO2) Kandungan gas CH4 dari biogas dapat ditingkatkan dengan memisahkan gas CO2 dan H2S yang bersifat korosif (Price dan Cheremisinoff, 1981). Pemisahan ini dapat dilakukan dengan salah satunya yaitu proses absorbsi. Absorbsi merupakan salah satu proses pemisahan dengan mengontakkan campuran gas dengan cairan sebagai penyerapnya, penyerap tertentu akan menyerap satu atau lebih pada komponen gas. Absorbsi dapat berlangsung dalam dua macam proses, yaitu absorbsi fisik dan absorsi kimia (Kumoro andricahyo, hadiyanto, 2004). 26 Gas CO2 langsung bereaksi dengan larutan NaOH sedangkan CH4 tidak. Dengan berkurangmya konsentrasi CO2 sebagai akibat reaksi dengan NaOH, maka perbandingan konsentrasi CH4 dengan CO2 menjadi lebih besar untuk konsentrasi CH4. Absorbsi CO2 dari campuran biogas ke dalam larutan NaOH dapat dilukiskan sebagai berikut : I. CO2 CO2 ................................... (2.15) II. CO2+ NaOH NaHCO3 ............................ (2.16) NaOH+ NaHCO3 Na2CO3+ H2O .................. (2.17) CO2+ 2NaOH Na2CO3 + H2O .................. (1.18) Dalam kondisi alkali atau basa, pembentukan bikarbonat dapat diabaikan karena bikarbonat bereaksi dengan OH- membentuk CO32- (Van Bhat, 1999).