BAB 40 Perumisasi Hutan Bukan Cara Bijaksana Pengelolaan Hutan Menhutbun Dr. Nur Mahmudi Ismail baru-baru ini mengusulkan dan merencanakan perumisasi hutan sebagai bentuk baru pengelolaan hutan. Intinya, sistem hak pengusahaan hutan (HPH) oleh swasta yang telah berlangsung sekitar 20 tahun, akan diganti dengan sistem perum (perusahaan umum) Perhutani dimana pengelolaan hutan langsung ditangani oleh pemerintah. Gagasan perumisasi hutan ini muncul dilatarbelakangi kenyataan bahwa selama 20 tahun sistem HPH ternyata menimbulkan kerusakan hutan yang luar biasa. Selain itu, hutan dianggap sebagai barang-barang publik (public goods) dan bukan barang privat (private goods) sehingga harus dikuasai oleh negara. Kebijakan perumisasi hutan tersebut memperoleh kritikan dari berbagai pihak, karena dinilai memiliki banyak kelemahan dan bahkan diduga akan melestarikan KKN dalam pengelolaan hutan. Selain itu, dengan kecenderungan pengelolaan pembangunan yang sedang bergulir adalah memperbesar partisipasi rakyat, desentralisasi, dan mengurangi campur tangan pemerintah, maka gagasan perumisasi tersebut sangat terasa aneh dan melawan arus perubahan yang sedang terjadi. Pemerintah VS Swasta Di balik gagasan perumisasi hutan tersebut, terdapat asumsi yang mendasar dan barangkali menjadi keyakinan jajaran Dephutbun. Asumsi yang dimaksud adalah bahwa pemerintah (dalam hal ini Perhutani dan Inhutani) dinilai paling bijak, efisien, dan paling bertanggung jawab dalam mengelola hutan. Asumsi tersebut digugat oleh banyak kalangan, karena tidak sesuai dengan kenyataan. Perumisasi Hutan Bukan Cara Bijaksana Pengelolaan Hutan Pertama, pemerintah tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam mengelola hutan yang begitu luas dan beragam di seluruh daerah, kalau mau dipaksakan, Dephutbun beserta jajarannya memerlukan organisasi besar dan dukungan biaya yang luar biasa besarnya. Hal ini jelas tidak realitis di tengahtengah upaya pemerintah merampingkan organisasi pemerintah, Kedua, pengalaman selama ini, pemerintah baik jajaran Dephutbun maupun Perum Perhutani dan Inhutani, disinyalir banyak pihak sarat dengan berbagai praktek-praktek KKN. Dalam program penghijauan (reboisasi) misalnya, disinyalir banyak pihak diwarnai dengan praktek-praktek manipulasi dan korupsi. Sehingga bila institusi yang demikian makin diberi kekuasaan lebih besar, patut dikhawatirkan akan melestarikan KKN. Ketiga, penyimpangan HPH yang terjadi selama ini bukan sematamata akibat kenakalan swasta, melainkan juga bukti lemahnya pengawasan dan sanksi hukum (law enforcement) dari pemerintah. Bahkan banyak yang mensinyalir bahwa penyimpangan HPH dan penebangan liar yang terjadi di berbagai daerah, juga terlibat oknum-oknum Dephutbun. Keempat, pengelolaan hutan pada negara, akan menempatkan hutan sebagai milik umum pada level lokal. Pada kondisi yang demikian, pengelolaan hutan akan terjebak dalam suatu fenomena yang disebut sebagai tragedy of common property yakni common property is nobody property rights. Kalau hutan adalah milik negara berarti juga milik rakyat, maka setiap orang akan bebas memanfaatkan hutan, tetapi tak seorang pun yang bertanggung jawab melestarikan hutan. Jadi banyak kelemahan yang akan terjadi bila perumisasi hutan akan dijalankan. Dan tidak ada jaminan bahwa perumisasi hutan akan memperbaiki pengelolaan hutan. Bahwa pengelolaan hutan oleh swasta (HPH) banyak yang tidak bertanggung jawab harus diakui. Namun ada juga swasta yang bertanggung jawab terutama mereka yang memiliki konsep dan komitmen bisnis yang sudah jelas dan tidak sekedar bermoral pedagang. Local Wisdom Salah satu hal yang terabaikan dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah terabaikannya kebijakan lokal (local urisdom) pengelolaan hutan yang telah lama hidup pada masyarakat lokal di setiap daerah. 164 Suara dari Bogor Perumisasi Hutan Bukan Cara Bijaksana Pengelolaan Hutan Sebelum hutan dirampas pemerintah kolonial Belanda dan kemudian dinasionalisasi pemerintah Republik Indonesia, hutan-hutan yang ada terjaga kelestariannya oleh mekanisme kelembagaan lokal. Berbagai aturan lokal, dongeng-dongeng dan legenda dikembangkan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian hutan dan sarana pendidikan generasi muda untuk melestarikan hutan. Namun sejak hak rakyat lokal atas hutan ditiadakan atau direduksi, kebijakan lokal tersebut telah banyak yang mati dan digantikan oleh peraturan formal yang top-down. Seharusnya, kebijakan lokal tersebut kembali dihidupkan untuk mengelola hutan di Indonesia melalui pemberian partisipasi rakyat lokal yang lebih besar dalam mengelola hutan. Dan untuk itu, bukan perumisasi hutan yang dilakukan melainkan desentralisasi dan swastanisasi atau rakyatisasi pengelolaan hutan. Tentu saja, kebijakan lokal perlu dikembangkan dan dimodernisasi sehingga sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk pengembangan kelembagaan lokal yang memungkinkan terjadinya kerja sama antara masyarakat lokal dengan pihak lain (misalnya pengusaha) dalam mendayagunakan nilai ekonomi kayu hutan. Mengembangkan kelembagaan lokal yang mampu mengakomodasi pelestarian lingkungan, kepentingan rakyat lokal, kepentingan pengusaha, dan kepentingan pemerintah merupakan; formulasi pengelolaan hutan masa depan. Untuk mengelola hutan ke depan yang melibatkan kelembagaan lokal ada dua bentuk pengelolaan yang harus dikembangkan, yaitu: Pertama, untuk hutan lindung, secara tegas tidak boleh dieksploitasi dengan alasan apapun. Namun masyarakat masih dapat memanfaatkan manfaat ekonominya, melalui pengembangan ekoturisme, pengembangan pasar plasma nutfah dan pengembangan pasar karbon. Plasma nutfah yang terdapat pada hutan lindung perlu dipromosikan sebagai global public goods, yang “diperjualbelikan” kepada negara-negara maju. Artinya, negara-negara maju atau lembaga internasional harus membayar biaya pemeliharaan dan pelestarian plasma nutfah tersebut kepada masyarakat sekitar hutan lindung, sehingga masyarakat lokal tetap bersedia mengawasi dan memelihara kelestarian hutan lindung. Hal ini perlu diperjuangkan pemerintah dan LSM aktivis lingkungan di forum internasional. Kedua, untuk kawasan hutan produksi (hutan produksi dan lahan kritis di sekitarnya) harus diupayakan secepat mungkin dijadikan timber plantation yang dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat lokal, pemerintah, dan pengusaha. Untuk itu, pengembangan pasar kayu tegakan (stumpage market) Suara dari Bogor 165 Perumisasi Hutan Bukan Cara Bijaksana Pengelolaan Hutan perlu dikembangkan di tingkat lokal. Selain itu, pengusaha yang terlibat pun harus selektif. Pengusaha yang hanya bermental pedagang dalam arti hanya mengejar keuntungan jangka pendek dari penebangan kayu saja, tidak relevan diikutsertakan. Pengusaha yang diharapkan ke depan adalah pengusaha yang memiliki visi dan komitmen bisnis yang tinggi, yang bersedia mengembangkan research and development seperti pada pembibitan (nursery) kayu hutan. Dengan demikian, pada level lokal akan berkembang kegiatan ekonomi dari forest based kepada timber plantation based dan dari natural resources-driven kepada innovation-driven. 166 Suara dari Bogor