BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Biseksual
Seks merupakan energi psikis, yaitu ikut mendorong manusia untuk
bertingkah laku. Tidak hanya bertingkah laku di bidang seks saja, yaitu
melakukan relasi seksual atau bersenggama, akan tetapi juga melakukan kegiatankegiatan non-sexual. Seks adalah satu mekanisme bagi manusia agar mampu
mengadakan keturunan. Sebab itu seks merupakan mekanisme yang vital sekali
dengan mana manusia mengabdikan jenisnya. Di samping hubungan sosial biasa,
diantara wanita dan pria itu bisa terjadi hubungan khusus yang sifatnya erotis,
yang disebut sebagai relasi seksual. Dengan relasi seksual ini kedua belah puhak
menghayati bentuk kenikmatan dan puncak kepuasan seksual atau orgasme
(Kartono,2009).
Hubungan seksual di antara dua jenis kelamin yang berlainan sifat dan
sejenis disebut sebagai relasi hetero-seksual. Jika dilakukan diantara dua jenis
kelamin yang sama di sebut sebagai homoseksual. Jika seseorang dapat mencapai
kepuasan erotis secara optimal dengan sesama jenis dan lawan jenis disebut
dengan Biseksual (Sadarjoen, 2005). Bisexuality (biseksualitas, seksualitas ganda)
merupakan keadaan merasa tertarik sama kuatnya pada kedua jenis kelamin:
perempuan maupun laki-laki dan memiliki ciri-ciri karakteristik anatomis dan
psikologis dari kedua jenis kelamin (Kartono, 2004). Sedangkan menurut kartono
9
(2009) biseksual adalah seorang remaja yang mencintai seorang kawan puteri
sekaligus mencintai kawan seorang pria.
Menurut MacDonald dalam Crooks & Baur (2005), individu biseksual
adalah individu yang dapat terlibat dan menikmati aktivitas seksual dengan kedua
jenis kelamin, yaitu jenis kelamin yang sama dan jenis kelamin yang berbeda, atau
mengetahui bahwa dirinya mau untuk melakukan hal tersebut. Kebanyakan
biseksual tidak tertarik kepada wanita dan pria sama besarnya, dan terkadang
berpindah-pindah fase ketertarikannya sepanjang waktu. Ada kalanya pada saat
ini ia tertarik kepada wanita tetapi seminggu kemudian ia hanya tertarik kepada
pria. Namun, ada pula beberapa biseksual yang berada pada kondisi statis.
Artinya, sepanjang waktu ia mengalami ketertarikan terhadap pria dan wanita
sama besarnya. Di dalam skala 0-6 orientasi seksual yang dibuat oleh Alfred C.
Kinsey, biseksual umumnya berada di skala 1-5 secara stabil. Artinya, biseksual
tidak memiliki ketertarikan secara eksklusif kepada salah satu jenis kelamin saja.
Crooks & Baur (2005), biseksual dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, antara
lain: real orientation, transitory orientation, transitional orientation, dan
homosexual denial. Pada real orientation, individu biseksual memiliki ketertarikan
pada wanita dan pria sejak awal kehidupannya dan berlanjut hingga usia dewasa.”
Istilah yang mengacu kepada orang biseksual adalah AC/DC (berdasarkan
istilah yang dipakai untuk menggambarkan dua jenis arus listrik), 'pemukulberganti' (istilah bisbol yang menjelaskan pemukul yang memukul dari sisi
manapun, tergantung siapa yang melempar), atau orang yang 'berayun ke dua
arah' (ungkapan bisbol lainnya, tapi bisa juga berhubungan dengan ayunan
10
sebagai tingkah-laku seksual). Diperkirakan bahwa orang mendapatkan dan
mengalami kejadian biseksual ini dalam beberapa cara yang berbeda. Bagi
sebagian orang hal ini berawal sebagai satu bentuk percobaan untuk
menambahkan percikan ke dalam kehidupan seksual mereka, namun itu tidak
menjadi arena utama aktivitas seksual. Bagi yang lain itu adalah pilihan yang
mereka sengaja untuk berpartisipasi dalam apapun yang terasa paling nyaman saat
itu. Percobaan seksual dalam hubungan antara sahabat baik cukup umum di antara
wanita dan bisa pula terjadi antara dua pria berteman baik, atau seorang pria
homoseks dapat mengembangkan hubungan seksual dari hubungan yang biasa,
namun bersahabat, dengan seorang wanita.
Freud (dalam Hall and Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa setiap orang
bersifat biseksual; yakni setiap jenis tertarik pada anggota sejenis maupun pada
anggota lawan jenis. Inilah yang mendasari homoseksualitas, meskipun pada
sebagian besar orang impuls-impuls homoseksualitas itu tetap laten.
Tripp (dalam Wellykin, 2003) biseksual disebutkan sebagai salah satu jenis
homoseksual. Trip mengemukakan mengenai adanya beberapa kualitas tingkah
laku yang membagi kecenderungan homoseksualitas, antara lain:
a. Homoseksual Eksklusif, artinya bagi laki-laki ini daya tarik perempuan
sama sekali tidak membuatnya terangsang secara seksual, ia sama sekali
tidak mempunya minat seksual terhadap perempuan. Jika ia memaksakan
diri untuk mengadakan hubungan sekasual dengan perempuan, maka ia
akan impoten.
11
b. Homoseksual Fakultatif, artinya tingkah laku homoseksual hanya
dilakukan sebagai usaha menyalurkan dorongan seksualnya, yakni pada
situasi-situasi mendesak dimana sulit kemungkinan untuk mendapatkan
pasangan lawan jenis.
c. Biseksual, artinya orang ini dapat mencapai erotis optimal baik dengan
lawan jenis maupun dengan sesama jenisnya.
Demikian pula McConnel (1992), yang membagi homoseksual menjadi beberapa
jenis, yaitu:
a. Pseudohomosexual. Bentuk homoseksual dimana perilaku homoseksual
hanya muncul untuk menggantikan perilaku heteroseksual yang normal.
b. Biseksual. Kekuatan homoseksual dan heteroseksual seimbang. Disini
individu berada di antara dua dunia, tetapi tidak sepenuhnya masuk ke
dalam salah satunya.
c.
Pelacuran. Para homoseks yang memilih perilaku homoseksual karena
mereka bisa mendapatkan uang dengan melakukan kegiatan tersebut.
d. Homoseksual murni. Orang-orang yang memang berjiwa homoseksual.
e. Isi impian mereka yang menyertai mimpi basah sekalipun dalam bentuk
homoseksualitas.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
biseksualitas adalah rasa ketertarikan yang dimiliki oleh seseorang baik pada
lawan jenis maupun pada sesama jenisnya.
12
2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Orientasi Seksual
Faktor yang mempengaruhi orientasi seksual dari homoseksual itu sendiri
bisa bermacam-macam, seperti karena kekurangan hormon lelaki selama masa
pertumbuhan, karena mendapatkan pengalaman homoseksual yang menyenangkan
pada masa remaja atau sesudahnya serta pengalaman traumatis yang pernah
dialami sehingga muncul dorongan homoseksual yang menetap, karena
memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang aversif / menakutkan
atau tidak menyenangkan, karena besar ditengah keluarga dimana ibu dominan
sedangkan ayah lemah atau bahkan tidak ada, dan besar di lingkungan yang
mendukung adanya perilaku homoseksual (Supratiknya, 1995).
2.1.3. Dampak Psikologis Biseksual
Di dalam diri kaum biseksual, dorongan homoseksualnya menimbulkan
suatu egodistonik, yaitu rasa terganggu akibat konflik psikis.Konflik-konflik
psikis tersebut misalnya konflik keinginan untuk membuka diri dengan ketakutan
tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat, juga konflik dengan pemahaman
terhadap
agama
yang
cenderung
menentang
keberadaan
kaum
homoseksual.Konflik psikis yang timbul menyebabkan perasaan tidak disukai,
cemas, bersalah, kesepian, malu karena merasa dirinya tidak wajar dan depresi
(Novetri, 2003).Konflik internal yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif
pada individu biseks ini pada akhirnya dapat memunculkan tekanan yang
berujung pada kondisi stres.
13
2.1.4. Biseksual pada Individu Dewasa Awal
Masa dewasa awal adalah masa transisi dari masa remaja menuju masa
dewasa. Dewasa dalam hal ini tentunya memiliki arti menunjukkan karakteristik
kedewasaan dan bukan sekedar “dewasa” secara usia kronologis. Di Indonesia
batas kedewasaan adalah 21 tahun. Hal ini berarti bahwa pada usia itu seseorang
sudah dianggap dewasa dan selanjutnya dianggap sudah mempunyai tanggung
jawab terhadap perbuatan-perbuatannya (Mönks, Knoers, & Haditono, 1996).
1. Aspek Fisik
Santrock (2001), kondisi fisik individu pada masa dewasa awal mencapai
puncaknya namun juga terdapat beberapa penurunan kemampuan fisik. Hal ini
dipengaruhi oleh gaya hidup, pola makan, rutinitas olah raga, dan penggunaan
obat-obatan. Kekuatan dan kesehatan otot mulai menunjukkan penurunan sekitar
umur 30-an. Pada masa ini beberapa individu berhenti berpikir tentang bagaimana
gaya hidup pribadi akan mempengaruhi kesehatan hidup mereka selanjutnya pada
kehidupan dewasa. Dalam studi longitudinal, kesehatan fisik di usia 30 tahun
dapat memprediksikan kepuasan hidup pada usia 70 tahun yang mana lebih
banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.
2. Aspek Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001) dewasa awal termasuk dalam
tahap kognitif operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa). Tahap kognitif
operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori
Piaget.Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir
secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
14
tersedia.Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti
logis, dan nilai.Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan
putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis,
tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya),
menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
3. Aspek Sosio-Emosional
Tahap perkembangan Erikson yang ke lima (dalam Santrock, 2001) adalah
Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs. Kekacauan Peran). Tahap ini
terjadi pada periode perkembangan masa remaja 12 - 18/20 tahun.Pada tahap ini
remaja atau individu dihadapkan pada temuan perihal pertanyaan mengenai siapa
mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana tujuan mereka. Puncak dari
semua yang selama ini sudah kita lalui dan yang akan kita gunakan untuk
"mengarungi bahtera hidup" yakni menciptakan Identitas Diri bagi kita.
Kegagalan kita dalam melewati tahap perkembangan ini, akan menciptakan
kerancuan identitas atau peran.
2.2.
StrategiCoping
2.2.1. Pengertian StrategiCoping
Sebuah konsep psikoanalitik, yang sangat dipengaruhi psikologi
kepribadian dan klinis, bahwa setiap bentuk psikopatologi dikaitkan dengan
gayadefensif tertentu. Pandangan ini mengalir dari konvergensi teoritis disebutkan
dalam teori freudian antara tiga variabel perkembangan: (a) tahap psikoseksual
dari perkembangan anak yang mengalami trauma, (b) dorongan utama dan konflik
15
pada setiap tahap ketergantungan tertentu misalnya, oral, anal dan (c) karakteristik
kognitif anak pada setiap tahap, yang diperkirakan membentuk gaya defensif.
Meskipun keanggunan dan kekuatan potensial dari formulasi ini, merupakan
hubungan erat antara tahap perkembangan, dan karakteristik kognitif tidak muncul
dengan jelas dalam pengamatan untuk memberikan dukungan yang memadai.
Hubungan antara bentuk psikopatologi dan pertahanan spesifik juga tidak cukup
untuk diberlakukan secara umum konseptual lebih ideal daripada klinis yang
nyata. Dalam banyak pihak, teori psikoseksual telah memberikan cara untuk lebih
menekankan pada motivasi kognitif lainnya proses motivasi diartikulasikan dalam
pandangan psikoanalitik pribadi psikologi seperti pengembangan kompetensi dan
kontrol dan, tentu saja, pertahanan. (Lazarus, 1993)
Dalam hal apapun, perumusan psikoseksual telah kehilangan pengaruh
dalam penelitian klinis dan praktek.Dari sudut pandang proses, coping
didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang sedang berlangsung untuk
mengelola tuntutan eksternal dan / atau internal tertentu yang dinilai melebihi
sumber daya dari orang tersebut.Definisi tersebut dapat disederhanakan-meskipun
dengan kerugian beberapa informasi-dengan mengatakan bahwa coping hanya
terdiri dari upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola stres psikologis. Dari
sudut pandang pengukuran dan penelitian, jenis formulasi menekankan bahwa
upaya coping tidak tergantung pada hasil sehingga perannya dalam mempengaruhi
hasil adaptasi dapat dinilai mandiri (Lazarus, 1993)
Mu’tadin (2002) mengemukakan bahwa strategi coping menunjuk pada
berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi,
16
mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh
tekanan. Strategi coping bukan hanya dilakukan dengan tubuh saja, namun secara
kejiwaan dan psikis juga ada usaha untuk melakukan strategi coping. Hal ini
biasanya dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh rasa aman yang
diinginkan.Lazarus dan Folkman (1984) bahwa coping adalah proses memanage
tuntutan baik eksternal amaupun internal menurut penilaian individu. Perilaku
coping
terdiri dari usaha-usaha, tindakan-tindakan memanage (mentolerir,
mengurangi, serta meminimalisir) tuntutan-tuntutan lingkungan dan internal juga
konflik diantara kedua tuntutan-tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009) coping
midefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur
tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Baron dan
Byrne (1991) menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi
masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk
mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi.
Penggunaan strategi coping dipandu oleh cara individu memandang, atau
menilai, situasi dan penilaian yang, pada gilirannya, dibagi menjadi dua kategori:
(a) penilaian primer dan (b) penilaian sekunder. Penilaian primer merujuk pada
makna suatu peristiwa, dan terdapat tiga klasifikasi terpisah.Dalam penilaian
kerusakan atau kerugian, prioritas coping adalah untuk menangani dampak dari
situasi tersebut. Sebaliknya, diantisipasi atas ancaman penilaian yang melibatkan
bahaya atau kerugian, dan penilaian dari tantangan, sementara juga diantisipasi
melibatkan bahaya atau rugi, juga menekankan potensi keuntungan atau imbalan
yang diberikan oleh situasi (Lazarus & Launier, 1978). Penilaian sekunder
17
melibatkan
pemeriksaan
sumber
dayadan
pilihan
coping
seseorang,evaluasikemungkinan merekea sukses, dan evaluasi kemampuan
seseorang untukmelaksanakan strategi (Lazarus & Launier, 1978). Menurut
MacArthur & MacArthur (1999) mendefinisikan strategi coping sebagai upayaupaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan orang untuk
menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang
menimbulkan stres. Beberapa karakteristik strategi coping menurut Folkman dan
Lazarus (dalam Taylor, 1999) adalah:
a. Coping merupakan suatu proses yang dinamis; sebuah rangkaian yang
terdiri atas interaksi antara individu (dengan segala kemampuan, nilai, dan
komitmen) dengan lingkungan (beserta sumber-sumber, tuntutan dan
paksaan).
b. Definisi coping menggambarkan adanya keluasan cakupan. Proses coping
meliputi seluruh tindakan dan reaksi terhadap situasi stressful.
c. Coping sangat berkaitan erat dengan penilaian yang dilakukan individu
terhadap situasi yang dialami. Penilaian yang dilakukan oleh individu akan
menentukan apa yang nantinya akan dilakukan oleh individu tersebut
(Bishop, 1994).
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi coping
merupakan sebuah proses individu untuk memahami dan menilai situasi penuh
tekanan dan kemudian menentukan apa yang akan dilakukannya secara mental
18
maupun
perilaku
untuk
menguasai,
mentoleransi,
mengurangi,
atau
meminimalisasikan tekanan tersebut.
2.2.2. Bentuk-bentuk Strategi Coping
Strategi coping yang biasa digunakan oleh individu digolongkan menjadi
dua, yaitu: Problem-solving Focused Coping (PFC), dimana individu secara aktif
mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan stres; dan Emotion Focused Coping (EFC), dimana individu
melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan
diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang
penuh tekanan (Mu’tadin, 2002).
Lazarus dan Flokman (dalam Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk
dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu :
a. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih
diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh
tekanan. artinyacoping yang muncul terfokus pada masalah individu yang
akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru.
Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa
tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006).
b. Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi
stres yang mengancam individu (Taylor,2009).Emotion Focused Coping
(EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon
emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon
emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan
19
kognitif. Contoh dari
pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol, narkoba, mencari
dukungan emosional dari teman–teman dan mengikutiberbagai aktivitas
seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian
individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan
bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan
kognitif, individu melakukan redefine terhadap situasi yang menekan seperti
membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalamisituasi lebih
buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung
untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat
melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan.
Oleh Carver, Scheier, dan Weintraub (1989), penggolongan strategi coping
dibagi lagi menjadi 13 yang didasari oleh penelitian yang telah mereka lakukan
beberapa kali. Terdapat 5 bentuk strategi coping yang termasuk Problem-solving
Focused Coping (PFC) dan 8 bentuk strategi coping yang termasuk Emotion
Focused Coping (EFC). Ketiga belas bentuk strategi coping tersebut adalah:
a. Strategi coping yang termasuk dalam Problem-solving Focused Coping (PFC)
meliputi;
1) Active coping atau coping aktif, ditandai dengan adanya langkah nyata yang
dilakukan individu untuk menyelesaikan atau menghadapi masalah.
2) Planning atau membuat perencanaan, ditandai dengan adanya usaha untuk
memikirkan cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stresor atau usaha
untuk membuat perencanaan penyelesaian masalah
20
3) Suppresison of competing activities atau menekan aktivitas tandingan, ditandai
dengan adanya usaha individu untuk mengurangi perhatian dari aktivitas lain
sehingga dapat lebih memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang
dihadapi.
4) Restraint coping atau menunggu waktu yang tepat untuk bertindak, ditandai
dengan usaha individu untuk menunggu waktu dan kesempatan yang tepat
untuk bertindak.
5) Seeking social support for instrumental reasons atau mencari dukungan sosial
untuk alasan instrumental, terwujud dalam usaha individu untuk mencari
saran, bantuan, dan informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah.
b. Strategi
coping
yang
termasuk
dalam
Emotion
Focused
Coping
(EFC)meliputi;
1) Seeking social support for emotional reasons atau mencari dukungan sosial
untuk alasan emosional, ditandai dengan adanya
usaha individu untuk
mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman dari orang lain.
2) Positive Reinterpretation atau penilaian kembali secara positif, ditandai
dengan adanya usaha untuk memaknai semua kejadian yang dialami sebagai
sesuatu hal yang positif dan bermanfaat bagi perkembangan diri.
3) Acceptance atau penerimaan, ditandai dengan adanya sikap untuk menerima
kejadian dan peristiwa sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi.
4) Denial atau penyangkalan, ditandai dengan usaha dari individu untuk menolak
atau menyangkal kejadian sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi.
21
5) Turning to religion atau berpaling pada agama, ditandai oleh adanya usaha
untuk mencari kenyamanan dan rasa aman dengan cara berpaling pada agama.
6) Focusing on and venting emotions atau berfokus pada emosi dan penyaluran
emosi, ditandai dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesadaran akan
adanya tekanan emosional dan secara bersamaan melakukan upaya untuk
menyalurkan perasaanperasaan tersebut.
7) Behavioral disengagement atau pelepasan secara perilaku, ditandai dengan
adanya penurunan usaha untuk menghadapi stresor (menyerah pada situasi
yang dialami).
8) Mental disengagement atau pelepasan secara mental, ditandai dengan adanya
usaha dari individu untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang dialami
dengan melakukan aktivitas-aktivitas lain seperti berkhayal atau tidur.
9)
Dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi situasi penuh tekanan,
individu akan menggunakan strategi coping yang berfokus untuk menyelesaikan
masalah dan/atau menggunakan strategi coping yang melibatkan usaha-usaha
untuk mengatur emosinya sebagai cara menyesuaikan diri dengan dampak tekanan
tersebut.
22
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping
Coping sebagai suatu proses dimana individu berusaha menangani situasi
yang mengandung tekanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Cara individu
menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya
individu yang meliputi kesehatan fisik atau energi, keterampilan memecahkan
masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi (Mu’tadin, 2002).
Lazarus (dalam Gunadi, 2008) menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi
reaksi seseorang terhadap stresor atau tekanan sebagai berikut:
a. Faktor perilaku: durasi berlangsungnya stresor dan seberapa terduganya
stresor tersebut.
b. Faktor psikologis: keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor
tersebut (percieved control), reaksi tak berdaya akibat
c. seringnya mengalami peristiwa di luar kendalinya (learned helplessness), dan
mental hardiness (keberanian, ketangguhan)
d. Faktor sosial: dukungan emosional (rasa dikasihani), dukungan nyata (bantuan
dan jasa), serta dukungan informasi (nasehat dan keterangan mengenai
masalah tertentu).
Terry (dalam Taylor, 1999) disebutkan bahwa faktor-faktor internal yang
mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam melakukan coping antara lain
seperti, karakter kepribadian dan gaya coping. Sedangkan Cohen dan Edward
(dalam Taylor, 1999) menyebutkan juga terdapat faktor-faktor eksternal yang bisa
mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam melakukan coping seperti; waktu,
23
uang, dukungan sosial, dan kehadiran sumber stres yang lain. Berbagai faktor ini
saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi strategi coping dimana pembagian atas faktorfaktor tersebut berbeda-beda dan mereka saling berkaitan dan saling
mempengaruhi, namun pada dasarnya faktor-faktor tersebut merupakan faktor
internal dan eksternal dari individu.
2.2.4. Strategi Coping pada Individu Biseksual
Biseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual yang menyimpang,
dimana seseorang akan merasa tertarik secara seksual dan erotis kepada lawan
jenis maupun kepada sesama jenis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Kinsey,
terlihat
bahwa
semua
orang
merupakan
biseksual,
hanya
intensitas
kecenderungannya saja yang berbeda.Mereka yang disebut heteroseksual, tetap
memiliki kecenderungan homoseksual meski intensitasnya hanya sedikit.Begitu
juga sebaliknya.Mereka yang berada di tengah-tengah merupakan orang-orang
yang benar-benar melakukan peran dan fungsinya sebagai biseksual.Individu
biseksual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang mengakui
secara sadar bahwa identitas seksualnya adalah biseks atau pernah berorientasi
seksual biseks. Subjek merupakan individu biseks yang sedang atau pernah
berperilaku seksual biseks dan telah mengakui identitas seksualnya setidaknya
pada keluarga atau teman-teman terdekatnya, perempuan maupun laki-laki.
Lingkungan masyarakat Indonesia yang masih membawa nilai-nilai
ketimuran dengan kuat, tentunya sangat sulit untuk dapat menerima adanya kaum
24
biseksual. Kondisi seperti ini akan memunculkan permasalahan permasalahan
yang cukup berat dalam kehidupan individu biseksual. Ada sebuah penelitian
yang menunjukkan bahwa muda-mudi yang berorientasi seksual lesbian, gay, dan
biseksual yang tinggal di rumah dan telah mengakui orientasi seksualnya pada
orangtua mereka, lebih sering disakiti atau dilecehkan oleh anggota keluarga
mereka, dari pada mereka yang tetap menutup jati diri orientasi seksual mereka
(D’Augelli & Grossman, 2002). Permasalahan yang mungkin muncul bisa dimulai
dari konflikkonflik internal dan eksternal yang awalnya kecil, namun jika tidak
dihadapi dengan strategi coping yang tepat, maka dikemudian hari bisa berubah
menjadi tekanan stres yang sangat berat dan bisa berakibat fatal. Suatu keadaan
atau situasi yang dapat menimbulkan stress disebut sumber stress (stressor).
Menurut Yates (1984), salah sumber stress adalah stressor eksternal yang
merupakan tekanan atau tuntunan dari lingkungan di luar diri individu yang tidak
secara sengaja diciptakan oleh individu bersangkutan. Stressor eksternal ini antara
lain dapat berasal dari lingkungan keluarga, teman, lingkungan pekerjaan, atau
masyarakat yang lebih luas. Jadi menurut penggolongan ini sumber stress pada
dasarnya adalah kondisi eksternal yang dapat mempengaruhi keseimbangan
individu.
2.3. Kerangka Pemikiran
Para kaum Biseksual memiliki citra diri,atau bisa disebut juga sebagai konsep diri,
konsep diri tersendiri yang membedakan antara seorang kaum Biseksual dan
bukan Biseksual. Dari konsep diri yang dibentuk oleh para kaum Biseksual,
menginginkan adanya penilaian dan penghargaan positif dan menginginkan
25
dihargai dan dicintai karena nilai yang di miliki oleh mereka sebagai seorang
Biseksual. Kepribadian kaum Biseksual ini didapatkan dari pengalamanpengalaman juga yang didapatkan dari lingkungan, yang ingin mencari jati dirinya
bahkan ada juga yang berawal dari sekedar coba-coba.
Untuk menghadapi, mengatasi dan menyelesaikan konflik yang menekan dan
menimbulkan stres tersebut tentunya individu akan memberikan reaksi coping.
Strategi coping umum dilakukan setiap orang untuk memperoleh rasa aman akibat
tekanan yang diterima. Seseorang dapat melakukan coping ini dengan cara
langsung aktif mencari penyelesaian masalah (Problem-solving Focused Coping)
atau bisa juga dengan berusaha melakukan pengaturan emosi untuk menyesuaikan
diri dengan akibat yang ditimbulkan oleh kondisi penuh tekanan (Emotion
Focused Coping). Strategi coping dalam penelitian ini akan dilihat melalui situasi
menekan yang timbul karena permasalahan orientasi seksual individu biseksual.
Dalam penelitian ini ingin diungkap bagaimana pemilihan dan pelaksanaan coping
yang dilakukan oleh individu biseksual, pengalaman tekanan yang dialami subjek,
serta kondisi sebelum dan sesudah pelaksanaan coping tersebut.
26
Tabel 2.1 : Kerangka Berpikir
DEWASA PRIA DAN WANITA
Perkembangan Seksualitas
Seksual Abnormal
(Biseks)
Seksual Normal
Merayu
Menggoda
Bercumbu
Intim
Pacaran Biseks
Lingkungan Sosial Biseks (Pria dan Wanita)
Ketakutan tidak diterima keluarga dan masyarakat
Konflik dengan pemahaman terhadap agama
Merasa cemas
Merasa kesepian
Malu karena merasa dirinya tidak wajar
Tekanan yang berujung pada stres
Coping
a. Problem-solving Focused Coping (PFC), (1) Active coping, (2)
Planning, (3) Suppresison of competing activities, (4) Restraint
coping, (5) Seeking social support for instrumental reasons.
b. Emotion Focused Coping (EFC), (1) Seeking social support
for emotional reasons, (2) Positive Reinterpretation, (3)
Acceptance, (4) Denial, (5) Turning to religion, (6) Focusing on
and venting, (7) Behavioral disengagement, (8) Mental
disengagement
27
Download