BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Biseksual Seks merupakan energi psikis, yaitu ikut mendorong manusia untuk bertingkah laku. Tidak hanya bertingkah laku di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual atau bersenggama, akan tetapi juga melakukan kegiatankegiatan non-sexual. Seks adalah satu mekanisme bagi manusia agar mampu mengadakan keturunan. Sebab itu seks merupakan mekanisme yang vital sekali dengan mana manusia mengabdikan jenisnya. Di samping hubungan sosial biasa, diantara wanita dan pria itu bisa terjadi hubungan khusus yang sifatnya erotis, yang disebut sebagai relasi seksual. Dengan relasi seksual ini kedua belah puhak menghayati bentuk kenikmatan dan puncak kepuasan seksual atau orgasme (Kartono,2009). Hubungan seksual di antara dua jenis kelamin yang berlainan sifat dan sejenis disebut sebagai relasi hetero-seksual. Jika dilakukan diantara dua jenis kelamin yang sama di sebut sebagai homoseksual. Jika seseorang dapat mencapai kepuasan erotis secara optimal dengan sesama jenis dan lawan jenis disebut dengan Biseksual (Sadarjoen, 2005). Bisexuality (biseksualitas, seksualitas ganda) merupakan keadaan merasa tertarik sama kuatnya pada kedua jenis kelamin: perempuan maupun laki-laki dan memiliki ciri-ciri karakteristik anatomis dan psikologis dari kedua jenis kelamin (Kartono, 2004). Sedangkan menurut kartono 9 (2009) biseksual adalah seorang remaja yang mencintai seorang kawan puteri sekaligus mencintai kawan seorang pria. Menurut MacDonald dalam Crooks & Baur (2005), individu biseksual adalah individu yang dapat terlibat dan menikmati aktivitas seksual dengan kedua jenis kelamin, yaitu jenis kelamin yang sama dan jenis kelamin yang berbeda, atau mengetahui bahwa dirinya mau untuk melakukan hal tersebut. Kebanyakan biseksual tidak tertarik kepada wanita dan pria sama besarnya, dan terkadang berpindah-pindah fase ketertarikannya sepanjang waktu. Ada kalanya pada saat ini ia tertarik kepada wanita tetapi seminggu kemudian ia hanya tertarik kepada pria. Namun, ada pula beberapa biseksual yang berada pada kondisi statis. Artinya, sepanjang waktu ia mengalami ketertarikan terhadap pria dan wanita sama besarnya. Di dalam skala 0-6 orientasi seksual yang dibuat oleh Alfred C. Kinsey, biseksual umumnya berada di skala 1-5 secara stabil. Artinya, biseksual tidak memiliki ketertarikan secara eksklusif kepada salah satu jenis kelamin saja. Crooks & Baur (2005), biseksual dapat dibagi ke dalam beberapa kategori, antara lain: real orientation, transitory orientation, transitional orientation, dan homosexual denial. Pada real orientation, individu biseksual memiliki ketertarikan pada wanita dan pria sejak awal kehidupannya dan berlanjut hingga usia dewasa.” Istilah yang mengacu kepada orang biseksual adalah AC/DC (berdasarkan istilah yang dipakai untuk menggambarkan dua jenis arus listrik), 'pemukulberganti' (istilah bisbol yang menjelaskan pemukul yang memukul dari sisi manapun, tergantung siapa yang melempar), atau orang yang 'berayun ke dua arah' (ungkapan bisbol lainnya, tapi bisa juga berhubungan dengan ayunan 10 sebagai tingkah-laku seksual). Diperkirakan bahwa orang mendapatkan dan mengalami kejadian biseksual ini dalam beberapa cara yang berbeda. Bagi sebagian orang hal ini berawal sebagai satu bentuk percobaan untuk menambahkan percikan ke dalam kehidupan seksual mereka, namun itu tidak menjadi arena utama aktivitas seksual. Bagi yang lain itu adalah pilihan yang mereka sengaja untuk berpartisipasi dalam apapun yang terasa paling nyaman saat itu. Percobaan seksual dalam hubungan antara sahabat baik cukup umum di antara wanita dan bisa pula terjadi antara dua pria berteman baik, atau seorang pria homoseks dapat mengembangkan hubungan seksual dari hubungan yang biasa, namun bersahabat, dengan seorang wanita. Freud (dalam Hall and Lindzey, 1993) menjelaskan bahwa setiap orang bersifat biseksual; yakni setiap jenis tertarik pada anggota sejenis maupun pada anggota lawan jenis. Inilah yang mendasari homoseksualitas, meskipun pada sebagian besar orang impuls-impuls homoseksualitas itu tetap laten. Tripp (dalam Wellykin, 2003) biseksual disebutkan sebagai salah satu jenis homoseksual. Trip mengemukakan mengenai adanya beberapa kualitas tingkah laku yang membagi kecenderungan homoseksualitas, antara lain: a. Homoseksual Eksklusif, artinya bagi laki-laki ini daya tarik perempuan sama sekali tidak membuatnya terangsang secara seksual, ia sama sekali tidak mempunya minat seksual terhadap perempuan. Jika ia memaksakan diri untuk mengadakan hubungan sekasual dengan perempuan, maka ia akan impoten. 11 b. Homoseksual Fakultatif, artinya tingkah laku homoseksual hanya dilakukan sebagai usaha menyalurkan dorongan seksualnya, yakni pada situasi-situasi mendesak dimana sulit kemungkinan untuk mendapatkan pasangan lawan jenis. c. Biseksual, artinya orang ini dapat mencapai erotis optimal baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenisnya. Demikian pula McConnel (1992), yang membagi homoseksual menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Pseudohomosexual. Bentuk homoseksual dimana perilaku homoseksual hanya muncul untuk menggantikan perilaku heteroseksual yang normal. b. Biseksual. Kekuatan homoseksual dan heteroseksual seimbang. Disini individu berada di antara dua dunia, tetapi tidak sepenuhnya masuk ke dalam salah satunya. c. Pelacuran. Para homoseks yang memilih perilaku homoseksual karena mereka bisa mendapatkan uang dengan melakukan kegiatan tersebut. d. Homoseksual murni. Orang-orang yang memang berjiwa homoseksual. e. Isi impian mereka yang menyertai mimpi basah sekalipun dalam bentuk homoseksualitas. Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan biseksualitas adalah rasa ketertarikan yang dimiliki oleh seseorang baik pada lawan jenis maupun pada sesama jenisnya. 12 2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Orientasi Seksual Faktor yang mempengaruhi orientasi seksual dari homoseksual itu sendiri bisa bermacam-macam, seperti karena kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan, karena mendapatkan pengalaman homoseksual yang menyenangkan pada masa remaja atau sesudahnya serta pengalaman traumatis yang pernah dialami sehingga muncul dorongan homoseksual yang menetap, karena memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang aversif / menakutkan atau tidak menyenangkan, karena besar ditengah keluarga dimana ibu dominan sedangkan ayah lemah atau bahkan tidak ada, dan besar di lingkungan yang mendukung adanya perilaku homoseksual (Supratiknya, 1995). 2.1.3. Dampak Psikologis Biseksual Di dalam diri kaum biseksual, dorongan homoseksualnya menimbulkan suatu egodistonik, yaitu rasa terganggu akibat konflik psikis.Konflik-konflik psikis tersebut misalnya konflik keinginan untuk membuka diri dengan ketakutan tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat, juga konflik dengan pemahaman terhadap agama yang cenderung menentang keberadaan kaum homoseksual.Konflik psikis yang timbul menyebabkan perasaan tidak disukai, cemas, bersalah, kesepian, malu karena merasa dirinya tidak wajar dan depresi (Novetri, 2003).Konflik internal yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif pada individu biseks ini pada akhirnya dapat memunculkan tekanan yang berujung pada kondisi stres. 13 2.1.4. Biseksual pada Individu Dewasa Awal Masa dewasa awal adalah masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Dewasa dalam hal ini tentunya memiliki arti menunjukkan karakteristik kedewasaan dan bukan sekedar “dewasa” secara usia kronologis. Di Indonesia batas kedewasaan adalah 21 tahun. Hal ini berarti bahwa pada usia itu seseorang sudah dianggap dewasa dan selanjutnya dianggap sudah mempunyai tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya (Mönks, Knoers, & Haditono, 1996). 1. Aspek Fisik Santrock (2001), kondisi fisik individu pada masa dewasa awal mencapai puncaknya namun juga terdapat beberapa penurunan kemampuan fisik. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup, pola makan, rutinitas olah raga, dan penggunaan obat-obatan. Kekuatan dan kesehatan otot mulai menunjukkan penurunan sekitar umur 30-an. Pada masa ini beberapa individu berhenti berpikir tentang bagaimana gaya hidup pribadi akan mempengaruhi kesehatan hidup mereka selanjutnya pada kehidupan dewasa. Dalam studi longitudinal, kesehatan fisik di usia 30 tahun dapat memprediksikan kepuasan hidup pada usia 70 tahun yang mana lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan. 2. Aspek Kognitif Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001) dewasa awal termasuk dalam tahap kognitif operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa). Tahap kognitif operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget.Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang 14 tersedia.Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai.Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. 3. Aspek Sosio-Emosional Tahap perkembangan Erikson yang ke lima (dalam Santrock, 2001) adalah Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs. Kekacauan Peran). Tahap ini terjadi pada periode perkembangan masa remaja 12 - 18/20 tahun.Pada tahap ini remaja atau individu dihadapkan pada temuan perihal pertanyaan mengenai siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana tujuan mereka. Puncak dari semua yang selama ini sudah kita lalui dan yang akan kita gunakan untuk "mengarungi bahtera hidup" yakni menciptakan Identitas Diri bagi kita. Kegagalan kita dalam melewati tahap perkembangan ini, akan menciptakan kerancuan identitas atau peran. 2.2. StrategiCoping 2.2.1. Pengertian StrategiCoping Sebuah konsep psikoanalitik, yang sangat dipengaruhi psikologi kepribadian dan klinis, bahwa setiap bentuk psikopatologi dikaitkan dengan gayadefensif tertentu. Pandangan ini mengalir dari konvergensi teoritis disebutkan dalam teori freudian antara tiga variabel perkembangan: (a) tahap psikoseksual dari perkembangan anak yang mengalami trauma, (b) dorongan utama dan konflik 15 pada setiap tahap ketergantungan tertentu misalnya, oral, anal dan (c) karakteristik kognitif anak pada setiap tahap, yang diperkirakan membentuk gaya defensif. Meskipun keanggunan dan kekuatan potensial dari formulasi ini, merupakan hubungan erat antara tahap perkembangan, dan karakteristik kognitif tidak muncul dengan jelas dalam pengamatan untuk memberikan dukungan yang memadai. Hubungan antara bentuk psikopatologi dan pertahanan spesifik juga tidak cukup untuk diberlakukan secara umum konseptual lebih ideal daripada klinis yang nyata. Dalam banyak pihak, teori psikoseksual telah memberikan cara untuk lebih menekankan pada motivasi kognitif lainnya proses motivasi diartikulasikan dalam pandangan psikoanalitik pribadi psikologi seperti pengembangan kompetensi dan kontrol dan, tentu saja, pertahanan. (Lazarus, 1993) Dalam hal apapun, perumusan psikoseksual telah kehilangan pengaruh dalam penelitian klinis dan praktek.Dari sudut pandang proses, coping didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku yang sedang berlangsung untuk mengelola tuntutan eksternal dan / atau internal tertentu yang dinilai melebihi sumber daya dari orang tersebut.Definisi tersebut dapat disederhanakan-meskipun dengan kerugian beberapa informasi-dengan mengatakan bahwa coping hanya terdiri dari upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola stres psikologis. Dari sudut pandang pengukuran dan penelitian, jenis formulasi menekankan bahwa upaya coping tidak tergantung pada hasil sehingga perannya dalam mempengaruhi hasil adaptasi dapat dinilai mandiri (Lazarus, 1993) Mu’tadin (2002) mengemukakan bahwa strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, 16 mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Strategi coping bukan hanya dilakukan dengan tubuh saja, namun secara kejiwaan dan psikis juga ada usaha untuk melakukan strategi coping. Hal ini biasanya dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh rasa aman yang diinginkan.Lazarus dan Folkman (1984) bahwa coping adalah proses memanage tuntutan baik eksternal amaupun internal menurut penilaian individu. Perilaku coping terdiri dari usaha-usaha, tindakan-tindakan memanage (mentolerir, mengurangi, serta meminimalisir) tuntutan-tuntutan lingkungan dan internal juga konflik diantara kedua tuntutan-tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009) coping midefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Baron dan Byrne (1991) menyatakan bahwa coping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi. Penggunaan strategi coping dipandu oleh cara individu memandang, atau menilai, situasi dan penilaian yang, pada gilirannya, dibagi menjadi dua kategori: (a) penilaian primer dan (b) penilaian sekunder. Penilaian primer merujuk pada makna suatu peristiwa, dan terdapat tiga klasifikasi terpisah.Dalam penilaian kerusakan atau kerugian, prioritas coping adalah untuk menangani dampak dari situasi tersebut. Sebaliknya, diantisipasi atas ancaman penilaian yang melibatkan bahaya atau kerugian, dan penilaian dari tantangan, sementara juga diantisipasi melibatkan bahaya atau rugi, juga menekankan potensi keuntungan atau imbalan yang diberikan oleh situasi (Lazarus & Launier, 1978). Penilaian sekunder 17 melibatkan pemeriksaan sumber dayadan pilihan coping seseorang,evaluasikemungkinan merekea sukses, dan evaluasi kemampuan seseorang untukmelaksanakan strategi (Lazarus & Launier, 1978). Menurut MacArthur & MacArthur (1999) mendefinisikan strategi coping sebagai upayaupaya khusus, baik behavioral maupun psikologis, yang digunakan orang untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan dampak kejadian yang menimbulkan stres. Beberapa karakteristik strategi coping menurut Folkman dan Lazarus (dalam Taylor, 1999) adalah: a. Coping merupakan suatu proses yang dinamis; sebuah rangkaian yang terdiri atas interaksi antara individu (dengan segala kemampuan, nilai, dan komitmen) dengan lingkungan (beserta sumber-sumber, tuntutan dan paksaan). b. Definisi coping menggambarkan adanya keluasan cakupan. Proses coping meliputi seluruh tindakan dan reaksi terhadap situasi stressful. c. Coping sangat berkaitan erat dengan penilaian yang dilakukan individu terhadap situasi yang dialami. Penilaian yang dilakukan oleh individu akan menentukan apa yang nantinya akan dilakukan oleh individu tersebut (Bishop, 1994). Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi coping merupakan sebuah proses individu untuk memahami dan menilai situasi penuh tekanan dan kemudian menentukan apa yang akan dilakukannya secara mental 18 maupun perilaku untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan tekanan tersebut. 2.2.2. Bentuk-bentuk Strategi Coping Strategi coping yang biasa digunakan oleh individu digolongkan menjadi dua, yaitu: Problem-solving Focused Coping (PFC), dimana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan Emotion Focused Coping (EFC), dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan (Mu’tadin, 2002). Lazarus dan Flokman (dalam Sarafino, 2006) secara umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu : a. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. artinyacoping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006). b. Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi stres yang mengancam individu (Taylor,2009).Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan 19 kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol, narkoba, mencari dukungan emosional dari teman–teman dan mengikutiberbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalamisituasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan. Oleh Carver, Scheier, dan Weintraub (1989), penggolongan strategi coping dibagi lagi menjadi 13 yang didasari oleh penelitian yang telah mereka lakukan beberapa kali. Terdapat 5 bentuk strategi coping yang termasuk Problem-solving Focused Coping (PFC) dan 8 bentuk strategi coping yang termasuk Emotion Focused Coping (EFC). Ketiga belas bentuk strategi coping tersebut adalah: a. Strategi coping yang termasuk dalam Problem-solving Focused Coping (PFC) meliputi; 1) Active coping atau coping aktif, ditandai dengan adanya langkah nyata yang dilakukan individu untuk menyelesaikan atau menghadapi masalah. 2) Planning atau membuat perencanaan, ditandai dengan adanya usaha untuk memikirkan cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stresor atau usaha untuk membuat perencanaan penyelesaian masalah 20 3) Suppresison of competing activities atau menekan aktivitas tandingan, ditandai dengan adanya usaha individu untuk mengurangi perhatian dari aktivitas lain sehingga dapat lebih memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang dihadapi. 4) Restraint coping atau menunggu waktu yang tepat untuk bertindak, ditandai dengan usaha individu untuk menunggu waktu dan kesempatan yang tepat untuk bertindak. 5) Seeking social support for instrumental reasons atau mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental, terwujud dalam usaha individu untuk mencari saran, bantuan, dan informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. b. Strategi coping yang termasuk dalam Emotion Focused Coping (EFC)meliputi; 1) Seeking social support for emotional reasons atau mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, ditandai dengan adanya usaha individu untuk mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman dari orang lain. 2) Positive Reinterpretation atau penilaian kembali secara positif, ditandai dengan adanya usaha untuk memaknai semua kejadian yang dialami sebagai sesuatu hal yang positif dan bermanfaat bagi perkembangan diri. 3) Acceptance atau penerimaan, ditandai dengan adanya sikap untuk menerima kejadian dan peristiwa sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi. 4) Denial atau penyangkalan, ditandai dengan usaha dari individu untuk menolak atau menyangkal kejadian sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi. 21 5) Turning to religion atau berpaling pada agama, ditandai oleh adanya usaha untuk mencari kenyamanan dan rasa aman dengan cara berpaling pada agama. 6) Focusing on and venting emotions atau berfokus pada emosi dan penyaluran emosi, ditandai dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesadaran akan adanya tekanan emosional dan secara bersamaan melakukan upaya untuk menyalurkan perasaanperasaan tersebut. 7) Behavioral disengagement atau pelepasan secara perilaku, ditandai dengan adanya penurunan usaha untuk menghadapi stresor (menyerah pada situasi yang dialami). 8) Mental disengagement atau pelepasan secara mental, ditandai dengan adanya usaha dari individu untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang dialami dengan melakukan aktivitas-aktivitas lain seperti berkhayal atau tidur. 9) Dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi situasi penuh tekanan, individu akan menggunakan strategi coping yang berfokus untuk menyelesaikan masalah dan/atau menggunakan strategi coping yang melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya sebagai cara menyesuaikan diri dengan dampak tekanan tersebut. 22 2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping Coping sebagai suatu proses dimana individu berusaha menangani situasi yang mengandung tekanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik atau energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi (Mu’tadin, 2002). Lazarus (dalam Gunadi, 2008) menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang terhadap stresor atau tekanan sebagai berikut: a. Faktor perilaku: durasi berlangsungnya stresor dan seberapa terduganya stresor tersebut. b. Faktor psikologis: keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor tersebut (percieved control), reaksi tak berdaya akibat c. seringnya mengalami peristiwa di luar kendalinya (learned helplessness), dan mental hardiness (keberanian, ketangguhan) d. Faktor sosial: dukungan emosional (rasa dikasihani), dukungan nyata (bantuan dan jasa), serta dukungan informasi (nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu). Terry (dalam Taylor, 1999) disebutkan bahwa faktor-faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam melakukan coping antara lain seperti, karakter kepribadian dan gaya coping. Sedangkan Cohen dan Edward (dalam Taylor, 1999) menyebutkan juga terdapat faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam melakukan coping seperti; waktu, 23 uang, dukungan sosial, dan kehadiran sumber stres yang lain. Berbagai faktor ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi strategi coping dimana pembagian atas faktorfaktor tersebut berbeda-beda dan mereka saling berkaitan dan saling mempengaruhi, namun pada dasarnya faktor-faktor tersebut merupakan faktor internal dan eksternal dari individu. 2.2.4. Strategi Coping pada Individu Biseksual Biseksualitas merupakan salah satu orientasi seksual yang menyimpang, dimana seseorang akan merasa tertarik secara seksual dan erotis kepada lawan jenis maupun kepada sesama jenis. Dari penelitian yang dilakukan oleh Kinsey, terlihat bahwa semua orang merupakan biseksual, hanya intensitas kecenderungannya saja yang berbeda.Mereka yang disebut heteroseksual, tetap memiliki kecenderungan homoseksual meski intensitasnya hanya sedikit.Begitu juga sebaliknya.Mereka yang berada di tengah-tengah merupakan orang-orang yang benar-benar melakukan peran dan fungsinya sebagai biseksual.Individu biseksual yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu yang mengakui secara sadar bahwa identitas seksualnya adalah biseks atau pernah berorientasi seksual biseks. Subjek merupakan individu biseks yang sedang atau pernah berperilaku seksual biseks dan telah mengakui identitas seksualnya setidaknya pada keluarga atau teman-teman terdekatnya, perempuan maupun laki-laki. Lingkungan masyarakat Indonesia yang masih membawa nilai-nilai ketimuran dengan kuat, tentunya sangat sulit untuk dapat menerima adanya kaum 24 biseksual. Kondisi seperti ini akan memunculkan permasalahan permasalahan yang cukup berat dalam kehidupan individu biseksual. Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa muda-mudi yang berorientasi seksual lesbian, gay, dan biseksual yang tinggal di rumah dan telah mengakui orientasi seksualnya pada orangtua mereka, lebih sering disakiti atau dilecehkan oleh anggota keluarga mereka, dari pada mereka yang tetap menutup jati diri orientasi seksual mereka (D’Augelli & Grossman, 2002). Permasalahan yang mungkin muncul bisa dimulai dari konflikkonflik internal dan eksternal yang awalnya kecil, namun jika tidak dihadapi dengan strategi coping yang tepat, maka dikemudian hari bisa berubah menjadi tekanan stres yang sangat berat dan bisa berakibat fatal. Suatu keadaan atau situasi yang dapat menimbulkan stress disebut sumber stress (stressor). Menurut Yates (1984), salah sumber stress adalah stressor eksternal yang merupakan tekanan atau tuntunan dari lingkungan di luar diri individu yang tidak secara sengaja diciptakan oleh individu bersangkutan. Stressor eksternal ini antara lain dapat berasal dari lingkungan keluarga, teman, lingkungan pekerjaan, atau masyarakat yang lebih luas. Jadi menurut penggolongan ini sumber stress pada dasarnya adalah kondisi eksternal yang dapat mempengaruhi keseimbangan individu. 2.3. Kerangka Pemikiran Para kaum Biseksual memiliki citra diri,atau bisa disebut juga sebagai konsep diri, konsep diri tersendiri yang membedakan antara seorang kaum Biseksual dan bukan Biseksual. Dari konsep diri yang dibentuk oleh para kaum Biseksual, menginginkan adanya penilaian dan penghargaan positif dan menginginkan 25 dihargai dan dicintai karena nilai yang di miliki oleh mereka sebagai seorang Biseksual. Kepribadian kaum Biseksual ini didapatkan dari pengalamanpengalaman juga yang didapatkan dari lingkungan, yang ingin mencari jati dirinya bahkan ada juga yang berawal dari sekedar coba-coba. Untuk menghadapi, mengatasi dan menyelesaikan konflik yang menekan dan menimbulkan stres tersebut tentunya individu akan memberikan reaksi coping. Strategi coping umum dilakukan setiap orang untuk memperoleh rasa aman akibat tekanan yang diterima. Seseorang dapat melakukan coping ini dengan cara langsung aktif mencari penyelesaian masalah (Problem-solving Focused Coping) atau bisa juga dengan berusaha melakukan pengaturan emosi untuk menyesuaikan diri dengan akibat yang ditimbulkan oleh kondisi penuh tekanan (Emotion Focused Coping). Strategi coping dalam penelitian ini akan dilihat melalui situasi menekan yang timbul karena permasalahan orientasi seksual individu biseksual. Dalam penelitian ini ingin diungkap bagaimana pemilihan dan pelaksanaan coping yang dilakukan oleh individu biseksual, pengalaman tekanan yang dialami subjek, serta kondisi sebelum dan sesudah pelaksanaan coping tersebut. 26 Tabel 2.1 : Kerangka Berpikir DEWASA PRIA DAN WANITA Perkembangan Seksualitas Seksual Abnormal (Biseks) Seksual Normal Merayu Menggoda Bercumbu Intim Pacaran Biseks Lingkungan Sosial Biseks (Pria dan Wanita) Ketakutan tidak diterima keluarga dan masyarakat Konflik dengan pemahaman terhadap agama Merasa cemas Merasa kesepian Malu karena merasa dirinya tidak wajar Tekanan yang berujung pada stres Coping a. Problem-solving Focused Coping (PFC), (1) Active coping, (2) Planning, (3) Suppresison of competing activities, (4) Restraint coping, (5) Seeking social support for instrumental reasons. b. Emotion Focused Coping (EFC), (1) Seeking social support for emotional reasons, (2) Positive Reinterpretation, (3) Acceptance, (4) Denial, (5) Turning to religion, (6) Focusing on and venting, (7) Behavioral disengagement, (8) Mental disengagement 27