Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS The Analysis of CO Vertical Profiles in Indonesia Based on AQUA-AIRS Satellite Data Ninong Komala1*), dan Novita Ambarsari1 1 *) Pusat Sains danTeknologi Atmosfer - LAPAN E-mail: [email protected]; [email protected] ABSTRAK –Telah dilakukan analisis profil vertikal CO di Indonesia berbasis data satelit AQUA-AIRS periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2015, dengan tujuan untuk memahami karakteristik CO di Indonesia dan variasinya secara vertikal maupun zonal dari tekanan 1000 hPa sampai 1 hPa. Karakteristik rata-rata profil vertikal CO di Indonesia menunjukkan konsentrasi maksimum di 1000 hPa dengan konsentrasi CO ~ 0,120 ppm, konsentrasi minimum dideteksi pada 20 hPa dengan konsentrasi 0.02 ppm dan pada ketinggian 1 hPa konsentrasi CO ~ 0,04 ppm. Variasi temporal profil vertikal CO dari tahun 2003 sampai dengan 2015 mendeteksi adanya variasi konsentrasi CO yang mencolok sampai ketinggian 250 hPa yang terjadi pada pada tahun 2006 dan 2015. Hasil analisis variasi musiman CO tahun 2006 dan 2015 diperoleh kemiripan pola untuk profil Desember, Januari, Februari (DJF), Maret, April, Mei (MAM) dan Juni, Juli Agustus (JJA). Sedangkan pada profil September, Oktober, November (SON) tahun 2015 terdeteksi adanya peningkatan konsentrasi CO yang cukup signifikan sampai ketingian 250 hPa. Prosentase kenaikan konsentrasi CO pada tahun 2015 terhadap konsentrasi CO pada tahun 2006 berkisar antara 3 % sampai dengan 19 %. Kenaikan konsentrasi CO tertinggi yaitu 19 % terjadi pada ketinggian 400 hPa. Pada tahun 2006 dan 2015 di Indonesia terjadi kebakaran hutan yang cukup besar. Karena CO merupakan salah satu gas yang dikeluarkan dari peristiwa kebakaran hutan, dari hasil penelitian dapat diinvestigasi bahwa CO hasil kebakaran hutan selain terdistribusi secara spasial bisa juga terdistribusi secara vertikal. Kata kunci:AQUA-AIRS, CO, Indonesia, profil vertikal ABSTRACT - Analysis of vertical profiles of CO in Indonesia based on AQUA-AIRS satellite data in the period 2003 to 2015 has been carried out, with the aim to understand the characteristics of CO variation vertically and zonally within pressure of 1000 hPa to 1 hPa. Characteristics of average vertical profiles of CO in Indonesia showed a maximum concentration at 1000 hPa with ~ 0.120 ppm of CO, minimum concentration detected at 20 hPa with concentration of 0,02 ppm and at a height of 1 hPa concentration of CO was ~ 0.04 ppm. Temporal variation of CO vertical profiles from 2003 to 2015 detects the presence of CO concentration variations are striking up to a height of 250 hPa which occurred in 2006 and 2015. The results of the seasonal variation of CO in 2006 and 2015 obtained pattern resemblance to the profile of December, January, February (DJF), March, April, May (MAM) and June, July August (JJA). While the profile of September, October, November (SON) in 2015 detected an increase in the concentration of CO significantly to the level of 250 hPa. The percentage increase in the concentration of CO in 2015 against the concentration of CO in 2006 ranged from 3% to 19%. The highest increase in CO concentration of 19% occurred at an altitude of 400 hPa. In 2006 and 2015 forest fires in Indonesia is quite large. Because CO is one of the gases emitted from the fires, the results of research can be investigated that the CO result of forest fires besides spatially distributed can also be distributed vertically Keywords: AQUA-AIRS, CO, Indonesia, vertical profile 1. PENDAHULUAN Sumber utama CO berasal dari proses pembakaran tidak sempurna pada bahan bakar minyak, pembakaran biomasa, dan proses oksidasi fotokimia pada metana dan hidrokarbon lainnya di atmosfer. Sumber utama CO berasal dari wilayah daratan yang memiliki faktor terpenting sumber CO yaitu emisi antropogenik dan pembakaran biomasa di musim kering/ kemarau di wilayah tropis dan pada periode hangat di wilayah lintang tinggi (Makarova dkk, 2004). Konsentrasi tertinggi CO cenderung terjadi dekat wilayah dengan populasi yang tinggi. Pada skala global, belahan bumi utara lebih padat penduduknya sehingga memiliki konsentrasi CO yang lebih tinggi dibandingkan di belahan bumi selatan. Pembakaran biomassa dan penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi karbon monoksida buatan manusia (Pidwirny, 2006). Karbon monoksida merupakan salah satu polutan yang terdistribusi paling luas di udara. Setiap tahun, CO dilepaskan ke udara dalam jumlah yang paling banyak diantara polutan udara yang lain. Di -840- Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS (Komala, N., dkk.) daerah dengan populasi tinggi, rasio mixing CO bisa mencapai 1 hingga 10 ppmv (Coll, 2006). Oksidasi CH4 oleh OH juga merupakan sumber utama CO dan formaldehid di troposfer (Hobb, 2000). Saat ini, berbagai instrumen yang ditempatkan pada satelit pengorbit polar untuk mengamati amosfer telah meningkatkan kemampuan untuk mengetahui pengaruh dari aktivitas manusia maupun alam terhadap perubahan komposisi atmosfer (Barret dkk, 2005). Berbagai teknologi pengukuran karbon monoksida berbasis penginderaan jauh maupun pengukuran insitu menghasilkan data pengamatan yang rutin untuk mengetahui perubahan konsentrasi CO di atmosfer secara spasial maupun temporal (Clerbaux dkk, 2008) Pengamatan konsentrasi CO sebagai salah satu gas yang dikeluarkan dari peristiwa kebakaran hutan penting untuk dilakukan karena emisi dari gas-gas yang dikeluarkan dari kebakaran hutan dapat juga terdistribusi secara vertikal. Kebakaran hutan yang besar dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas udara lokal bahkan regional juga berdampak terhadap kesehatan manusia. Indonesia merupakan wilayah tropis yang paling signifikan yang mempengaruhi variasi antar tahunan CO di troposfer atas sedangkan Amerika dan Afrika Tengah mempunyai kontribusi yang sekunder (Huang, L, 2014). Penelitian profil vertikal CO di Indonesia berbasis data satelit AQUA-AIRS dilakukan dengan tujuan untuk memahami dan menganalisis karakteristik CO di atmosfer dari permukaan dan di berbagai level ketinggian serta variasinya secara temporal. 2. METODE 3. HASIL PEMBAHASAN Data yang digunakan pada penelitian inia dalah data CO (ppm) di Indonesia (12o LU – 12 o LS dan 94 o BT-146 o BT) pada ketinggian 1000 hPa sampai dengan 1 hPa hasil observasi Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) dari satelit AQUA (Ackerand,, dkk, 2007),. Data yang diperoleh merupakan data global rata-rata bulanan dengan grid 1o lintang x 1o bujur.Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari tahun 2002 sampai dengan Maret 2016 (http://acdisx.gsfc.nasa.gov/data/). Metodologi penelitian dilakukan dengan mengekstraksi data CO ntuk wilayah Indonesia dari data AQUA-AIRS global dalam format nc untuk periode 2003 sampai dengan Maret 2016. Dilakukan konversi data dari Net CDF (Network Common Data Form) format untuk CO menggunakan HDF view dan EXCELL. Kemudian dilakukan pengolahan data dengan membuat analisis time series variasi CO dari ketinggian 1000 hpa sampai 1 hPa, serta variasi musimannya. Dilakukan pula komparasi konsentrasi CO pada saat terjadinya kebakaran hutan di Indonesia (tahun 2006 dan 2015). Pada Gambar 1a, secara umum time series profil CO tahun 2002 sampai dengan Maret 2016 terhadap ketinggian untuk Indonesia memperlihatkan distribusi CO yang dominan pada tekanan 1000 hpa dengan konsentrasi CO mencapai 0,105 ppm sampai 0,120 ppm. Distribusi CO mencapai minimum pada tekanan 20 hPa dengan konsentrasi CO 0,017 ppm sampai 0,019 ppm. Profil CO pada tahun 2006 dan 2015 khususnya pada bulan September, Oktober dan November memperlihatkan karakteristik profil yang berbeda dengan profil yang lainnya. Pada tahun 2006 dan 2015, profil CO memperlihatkan konsentrasi yang tinggi sampai dengan ketinggian 200 hPa. Konsentrasi CO yang tinggi diinvestigasi terkait dengan kejadian kebakaran hutan yang besar di Indonesia yang terjadi pada tahun tersebut. Vertikal transport di daerah tropis memungkinkan CO yang berasal dari emisi pembakaran biomasa untuk mengalami proses transport secara vertikal dan horizontal (Liu, J., 2010, Pomrich dkk, 2014). -841- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 1. (a) Grafik time series profil vertikal CO Indonesia dari 1000 hPa sampai dengan 1 hPa dan (b) ratarata profil Januari sampai dengan Desember periode tahun 2002 sampai dengan Maret 2016. Dari Gambar 1 a terdeteksi bahwa CO dari kebakaran hutan dapat mencapai ketinggian 200 hPa dengan konsentrasi 0.18 ppm. Pada 100 hPa dan tekanan yang lebih tinggi lagi konsentrasi CO menurun kembali. Profil vertical CO rata-rata setiap bulan Januari sampai dengan Desember dari 2002 sampai Maret 2016 menunjukkan karakter dari 1000 hPa sampai 200 hPa lebih fluktuatif dari 0,08 sampai 0,11 ppm dan dari 100 hPa sampai 1 hPa konsentrasi CO hampir sama polanya dengan konsentrasi 0,02 sampai dengan 0,04 ppm. (Gambar 1b). Gambar 2. Grafik variasi musiman profil CO dari tahun 2002 sampai dengan Maret 2016 (a) untuk musim DJF, (b) untuk MAM, (c) untuk JJA dan (d) untuk SON. Variasi musiman profil CO untuk setiap DJF, MAM, JJA dan SON ditampilkan pada Gambar 2 a sampai dengan Gambar 2d. Gambar 2a memperlihatkan profil CO pada DJF tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa sampai 200 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,10 ppm, sedangkan pada DJF tahun 2003 lebih tinngodari tahun lainnya terutama pada ketinggian 400 hPa yang mencapai 0,14 ppm. Konsentrasi CO pada DJF dari 100 hPa sampai 1 hPa setiap tahun hampir sama polanya dengan konsentrasi antara 0.02 sd 0.04 ppm. Puncak CO di bulan Februari diperkirakan tingginya tingkat konveksi akibat puncak musim hujan yang melanda Indonesia pada bulan Desember-Januari-Februari (Liu,2010). Pada Gambar 2b disajikan profil CO -842- Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS (Komala, N., dkk.) pada MAM tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa sampai 1 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,10 ppm dengan pola profil vertikal yang mirip setiap tahunnya. Pada Gambar 2c dapat dilihat profil CO pada JJA tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa sampai 1 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,09 ppm dengan pola profil vertikal yang mirip setiap tahunnya, profil CO pada JJA peak konsentrasi CO lebih kecil dari profil DJF, MAM dan SON. Gambar 2d memperlihatkan profil CO pada SON tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa sampai 200 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,10 ppm, kecuali SON pada tahun 2006 dan 2015 dengan peak pada 400 hPa mencapai konsentrasi CO 0,14 ppm dan 0,18 ppm. Konsentrasi CO pada SON dari 100 hPa sampai 1 hPa setiap tahun hampir sama polanya dengan konsentrasi antara 0.02 sd 0.04 ppm. CO di atmosfer selain mempunyai pola musiman yang jelas seperti yang dikemukakan Huang dkk., 2012, CO di troposfer juga mempunyai variabilitas. Komparasi profil musiman 2015 dan profil tahun 2006 terhadap profil rata-rata musiman Profil vertikal CO rata-rata musiman dari tahun 2003 sd 2015 dan perbandingan serta deviasinya terhadap profil rata-rata musiman di tampilkan pada Gambar 3. Gambar 3. (a) Grafik variasi musiman rata-rata profil CO dari tahun 2002 sampai dengan Maret 2016. (b) Variasi musiman tahun 2006, (c) variasi musiman tahun 2015, (d) deviasi variasi musiman 2006 dan (e) deviasi variasi musiman 2015 terhadap variasi musiman rata-rata. Pada Gambar 3a ditampilkan grafik variasi rata-rata musiman CO dari 1000 hPa sd 1 hPa, Pada 1000 hPa. Profil CO terdeteksi 0,02 ppm sampai dengan 0,126 ppm. Pada 100 hPa sd 200 hPa profil CO musiman mencapai 0,04 sampai dengan 0,12 ppm. Profil CO tertinggi terdeteksi pada profil SON dan profil CO terrendah pada profil JJA. Pada Gambar 3b ditampilkan variasi musiman CO pada tahun 2006 dengan karakter profil yang mirip dengan profil musiman rata-rata untuk profil DJF, MAM dan JJA. Profil SON lebih tinggi dari profil CO pada SON profil rata-rata, dengan CO peak mencapai 0.14 ppm. Pada Gambar 3c ditampilkan variasi musiman CO tahun 2015 dengan karakter profil CO untuk DJF, MAM dan JJA yang mirip dengan profil CO rata-rata musiman dan profil CO pada SON dengan peak yang jauh lebih tinggi yaitu 0,18 ppm. Gambar 3d memperlihatkan deviasi profil konsentrasi CO musiman tahun 2006 terhadap profil musiman rata-rata 2003 sd 2015. Pada 1000 hPa dan 925 hPa profil DJF dan MAM mempunyai deviasi positif 0,036 sd 0,095 ppm dan dari 850 hPa sd 1 hPa deviasi negatif antara 0,04 sd 0,01 ppm. Profil JJA dari 1000 hPa sd 300 hPa mempunyai deviasi positif 0,05 ppm sd 0,15 ppm dan dari 250 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi negatif 0,008 ppm sd 0,005 ppm. Profil SON dari 1000 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi positif 0,007 sd 0,041ppm. Gambar 3e memperlihatkan deviasi konsentrasi musiman 2015 terhadap variasi musiman rata-rata 2003 sd 2015, profil CO pada DJF dari 1000 hPa sd 850 hPa mempunyai deviasi negatif 0,08 sd 0,01 ppm, dari 700 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi positif 0,001 sd 0,002 ppm. Profil CO pada MAM dari 1000 hPa sd 400 hPa mempunyai deviasi negatif 0,004 sd 0,001 ppm dan dari 400 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi positif 0,001 ppm. Profil CO pada JJA dari 1000 hPa sd 30 hPa mempunyai deviasi negatif 0,016 sd 0,009 -843- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 ppm dan dari 20 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi positif 0,008 ppm. Profil CO pada SON dari 1000 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi positif 0,008 sd 0,042 ppm. Nilai deviasi positif terhadap profil musiman rata-rata mengandung arti bahwa profil musiman tahun pada2006 atau 2015 lebih besar dibanding profil musiman rata-rata dan nilai deviasi yang negatif mempunyai arti bahwa profil pada tahun 2006 atau 2016 tersebut lebih kecil dibanding profil musiman rata-rata. Komparasi profil CO musiman 2015 dengan profil tahun 2006 Pada Gambar 4 disajikan komparasi profil musiman CO tahun 2015 terhadap profil CO tahun 2006 pada 1000 hPa sd 100 hPa. Pada gambar 4a dapat dilihat deviasi profil musiman CO tahun 2015 terhadap profil musiman CO tahun 2006. Deviasi profil musiman DJF, MAM dan JJA mempunyai pola yang sama yaitu dari 1000 hP sd 500 hPa mempunyai deviasi negatif antara 0,005 ppm sd 0,001 ppm. Pada 400 hpa sd 100 hPa profil CO pada DJF, MAM dan JJA mempunyai deviasi positif 0,001 sd 0,113 ppm. Deviasi profil CO pada SON dari 1000 hPa sd 100 hPa mempunyai deviasi positif antara 0,004 ppm sd 0,025 ppm, deviasi positif tertinggi terjadi pada 400 hPa dengan deviasi konsentrasi CO 0,025 ppm. Pada Gambar 4b ditampilkan perbandingan profil CO pada SON untuk tahun 2006 dan 2015. Profil CO padaSON 2015 menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi di semua level ketinggian dibandingkan dengan profil CO pada SON 2006. Gambar 4. (a) Deviasi variasi CO tahun 2015 terhadap variasi tahun 2006 dan (b) CO tahun 2006 dan 2015 pada SON. Prosentase kenaikan konsentrasi CO pada tahun 2015 terhadap konsentrasi CO pada tahun 2006 berkisar antara 3 % sampai dengan 19 %. Kenaikan konsentrasi CO tertinggi yaitu 19 % terjadi pada ketinggian 400 hPa. 4. KESIMPULAN Profil vertikal CO Indonesia mempunyai kondisi maksimum dan minimum pada ketinggian yang berbeda. Secara umum profil CO dengan konsentrasi tertinggi di deteksi di level 1000 hPa dan minimum pada 20 hPa. Pada kasus kejadian kebakaran hutan tahun 2006 dan 2015, konsentrasi CO maksimum terdeteksi di 400 hPa. Vertikal transport di daerah tropis memungkinkan CO yang berasal dari emisi pembakaran biomasa untuk mengalami proses transport secara vertikal sehingga konsentrasi CO dari level permukaan bisa mencapai ketinggian 250 hPa. Kebakaran hutan pada tahun 2015 lebih besar dari kejadian kebakaran hutan 2006 karena pada tahun 2015 menghasilkan konsentrasi CO yang lebih besar. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada para Ilmuwan NASA dan para PI yang telah menyediakan data Carbon Monoksida (CO) hasil pengukuran satelit AQUA melalui fasilitas Giovanni yang dapat digunakan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Atmospheric Infra Red Sounder Brosures, http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/AIRS/documentation/AIRS _brochure.pdf, Ackerand, J.G., dan Leptoukh, S.G., (2007). Online Analysis Enhances Use of NASA Earth Science Data. Eos. Trans. AGU. 88(2):14-17. -844- Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS (Komala, N., dkk.) Barret, Turquety, S., dan Hurtmans, D., (2005). Global carbon monoxide vertical distributions from spaceborne highresolution FTIR nadir measurements. Atmos. Chem. Phys., 5:2901–2914. Clerbaux, C., George, M., dan Turquety, S., (2008). CO measurements from the ACE-FTS satellite instrument: data analysis and validation using ground-based, airborne and spaceborne observations. Atmos. Chem. Phys., 8:2569– 2594. Coll, Flastry, L., Fayet, S., Samaali, M., Ponche, J.L., dan Vautard, R., (2006). On The Determining Role of CO in Local Ozone Production, J of Geophysical Reaserch, 8. Hobbs, P., (2000). Introduction to Atmospheric Chemistry. Cambridge University Press, Cambridge,U.K., 262 pp. Huang, L., Fu, R., Jiang, J.H., Wright, J. S., dan Luo, M., (2012). Geographic and seasonal distributions of CO transport pathways and their roles in determining CO centers in the upper troposphere. Atmos. Chem. Phys., 12:4683–4698, doi:10.5194/acp-12-4683-2012. Huang, L., Fu, R., dan Jiang, J.H.,(2014). Impacts of fire emissions and transport pathways on the interannual variation of CO in the tropical upper troposphere. Atmos. Chem. Phys., 14:4087–4099. Liu J., et.al., (2010). Analysis of CO in the tropical troposphere using Aura satellite data and the GEOS-Chem model: insights into transport characteristics of the GEOS meteorological products. Atmos. Chem. Phys., 10:12207–12232. Makarova, M.V., Poborovskii, A.V., dan Yu, M.T., (2004). Temporal Variation of Total Atmospheric CO over St Petersburg, Izvestiya. Atmospheric and Oceanic Physics, 40(3):313-322. Pidwirny, M., (2006). Atmospheric Composition. Fundamentals of Physical Geography, 2nd Edition. Pommrich, R., Müller, R., Grooß, J.U., Konopka, P., Ploeger, F., Vogel, B., …, dan Riese, M., (2014). Tropical troposphere to stratosphere transport of carbon monoxide and long-lived trace species in the Chemical Lagrangian Model of the Stratosphere (CLaMS). Geosci. Model Dev., 7:2895–2916. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : : Dr. Indah Prasasti : Analisis profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS : Ninong Komala (LAPAN) Pertanyaan: Dr. Indah Prasasti (LAPAN) 1. Berapa kadar CO yang membahayakan? 2. Kajian Terkait dengan profil vertikal, bagaimana dengan profil horizontal? 3. Apakah CO mempunyai dampak lingkungan seperti gas rumah kaca? Jawaban: 1. Kadar Co yang membahayakan yaitu diatas 5 ppm 2. CO terdistribusi secara vertikal dan horizontal. Kajian secara horizontal dalam tahap penelitian dan akan dilakukan pengkajian pada penelitian lanjutan 3. Ya, CO memiliki dampak bagi lingkungan seperti polutan dan berbahaya pada kehidupan manusia -845- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis Utilization of VIIRS Imagery and Spatial Analysis to Determine Potential Site for Astronomical Tourism Development Mousafi Dimas Afrizal1, Ruwanda Prasetya1, Febrina Ramadhani Yusuf1, Wahyu Nurbandi1*), dan Muhammad Kamal1 1 Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada *) E-mail: [email protected] ABSTRAK-Wisata astronomis merupakan wujud pariwisata ramah lingkungan di mana langit gelap yang bebas dari polusi cahaya menjadi sumberdaya utama. Wisata astronomis tidak dapat dilakukan di semua lokasi hanya pada lokasi tertentu pengamatan dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Parameter yang digunakan yaitu polusi cahaya, tutupan awan, penutup lahan, dan aksesibilitas. Informasi polusi cahaya dan tutupan awan diperoleh dari Citra VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites. Informasi penutup lahan dan aksesilibilitas diperoleh melalui peta Rupabumi Indonesia. Analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis berupa overlay/tumpang-susun digunakan untuk memperoleh lokasi potensial dengan parameter penelitian sesuai kriteria yang telah ditentutkan. Kriteria setiap parameter dalam menentukan lokasi potensial untuk wisata astronomis yaitu tingkat polusi cahaya rendah, tutupan awan minim, dan penutup lahan berupa vegetasi atau lahan kosong. Hasil overlay berupa peta sebaran lokasi potensial dan tidak mempertimbangkan aspek aksesibilitas. Parameter aksesibilitas diperoleh dengan analisis buffer/keterjangkauan sejauh < 3 km dari jalan arteri atau kolektor. Hasil buffer jalan di-overlay dengan peta potensial sehingga menghasilkan peta sebaran lokasi potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan wisata astronomis. Uji lapangan dilakukan terhadap beberapa titik sampel untuk mengetahui kondisi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis sebagian besar di daerah Kabupaten Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, dan Gunungkidul. Sedangkan lokasi yang potensial dan direkomendasikan dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas sebagian besar berada di daerah Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Blora. Kata kunci: wisata astronomis, citra VIIRS, analisis spasial ABSTRACT-Astronomical tourism is an eco-friendly tourism, which light-pollution free skies become the main resource. Astronomical tourism can not be held in every place, observation can only be held in a particular place to get optimal results. This study aims to determine location which potential for developing astronomical tourism in Central Java and Daerah Istimewa Yogyakarta provinces. Parameters which used are light-pollution, clouds cover, land cover, and accessibility. Information of Light-pollution and cloud cover are obtained from VIIRS imagery (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites, while information on land cover and accessibility are obtained from Peta Rupabumi Indonesia. Spatial analysis by overlay with geographic information systems is used to get the potential locations that fulfill these criteria: minimum light-pollution level, minimum cloud cover, and land cover belongs to vegetation or bare ground. Result of overlay is the distribution of potential locations for astronomical tourism map. Accessibility is determined by buffer analysis of street network that has to be at a distance of less than 3 kilometers from arterial and collector road. The buffer analysis result is overlaid with the potential map to get the potential and recommended locations of the astronomical tourism map to be developed. Field work was performed at several sample sites to know the circumstances to consider whether the location could be recommended or not. This study results show that most of potential locations for developing astronomical tourism (without using parameter of accessibility) are located in Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, and Gunungkidul, while most of potentially recommended and accessible location (with parameter of accessibility) are located in Gunungkidul, Wonogiri, and Blora. Keywords: astronomical tourism, VIIRS imagery, spatial analysis 1. PENDAHULUAN Wisata astronomis didefinisikan sebagai suatu wujud pariwisata ramah lingkungan dimana langit gelap yang bebas dari polusi cahaya menjadi sumberdaya utama (Collison & Poe, 2013). Kegiatan utama didalamnya berupa pengamatan benda-benda luar angkasa. Pengamatan dapat dilakukan menggunakan -846- Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D., dkk) binokular, teleskop ringan, maupun dengan mata telanjang. Pengembangan wisata astronomis menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan perkembangan ilmu astronomi di Indonesia. Perlunya peningkatan pendidikan astronomi dikarenakan kualitas pendidikan astronomi Indonesia yang masih rendah terbukti dengan jumlah total publikasi ilmiah di bidang astronomi dan astrofisika dari peneliti Indonesia hanya sebanyak 5 dokumen di tahun 2014 (SCImago Journal & Country Rank, 2015). Adanya wisata astronomis dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas yang memberi pengalaman langsung dengan objek yang menjadi kajian astronomi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya tarik masyarakat terhadap bidang astronomi yang berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan di bidang astronomis dan astrofisika. Pengamatan benda-benda luar angkasa sangat dipengaruhi oleh kondisi lokasi pengamatan. Berbagai sumberdaya atau syarat kondisi suatu lokasi diperlukan agar dapat melihat benda-benda luar angkasa dengan jelas sehingga tidak semua lokasi dapat memberikan hasil yang optimal dalam pengamatan astronomis. Lokasi yang sesuai menjadi faktor utama dalam pengamatan. Terdapat sejumlah parameter yang mempengaruhi pemilihan lokasi untuk wisata astronomis dengan kondisi yang optimal (Jia et al., 2012). Salah satu aspek penting yang mempengaruhi pengamatan astronomis yaitu polusi cahaya. The International Dark-Sky Association (2009) mendefinisikan polusi cahaya sebagai berbagai perlawanan efek dari cahaya tiruan termasuk pijaran langit (sky glow), cahaya silau (glare), berbagai penerangan (light trespass), penurunan visibilitas di malam hari, dan limbah energi. Polusi cahaya secara umum terbagi menjadi dua kategori yaitu secara astronomi dan ekologi. Secara astronomi polusi cahaya mencakup seberapa banyak cahaya pancaran yang menutup kenampakan bintang di langit malam, yang menghalangi pengamatan objek astronomis. Polusi cahaya secara ekologi biasanya merujuk pada dampak keberadaan cahaya yang terlalu banyak terhadap kondisi lingkungan termasuk manusia (Longcore, 2004). Campaign for Dark Skies (2010) menyebutkan bentuk utama polusi cahaya berupa skyglow atau uplight yaitu sebuah fenomena yang terjadi ketika pencahayaan yang dipancarkan menyebabkan iluminasi dipancarkan diatas horison langit dalam jumlah yang banyak. Peningkatan polusi cahaya terutama dipengaruhi oleh perubahan penutup lahan yang secara umum sejalan dengan peningkatan penggunaan cahaya buatan. Permasalahan yang muncul terkait wisata astronomi yaitu dalam menentukan lokasi yang sesuai untuk pengamatan astronomis. Berbagai pertimbangan diperlukan untuk menentukan lokasi yang potensial untuk pengembangan wisata astronomis. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tempat wisata astronomis di area kajian melalui pemanfaatan citra VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites dan analisis spasial berdasarkan parameter yang telah ditentukan. Integrasi antara penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam penelitian ini sangat penting dimana pendekatan penginderaan jauh digunakan untuk perolehan data sedangkan sistem informasi geografis sebagai sarana dalam melakukan analisis spasial. Selain penggunaan data penginderaan jauh, digunakan pula data spasial lain yang nantinya antar data saling terintegrasi. Analisis spasial merupakan teknik analisis data spasial yang menghubungkan berbagai objek dalam suatu lokasi secara keruangan. Analisis spasial merujuk pada fenomena spasial dan proses, metode matematik atau geometrik, maupun metode yang tidak mencakup diantara keduannya (Yaolin et al., 2008). Berbagai parameter yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data-data yang memilki grafis beserta atribut geografis, sehingga untuk menghubungkan antar parameter dapat menggunakan teknik analisis spasial untuk menentukan lokasi potensial pengembangan wisata astronomis. Citra VIIRS merupakan salah satu data spasial berupa citra penginderaan jauh yang dapat memberikan informasi polusi cahaya dan tutupan awan pada suatu wilayah. 2. METODE 2.1 Area Kajian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyarta (DIY). Jawa Tengah secara astronomis terletak antara 5o40’ – 8o30’ LS dan 108o30’ – 111o30’ BT memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24,8oC – 31,8oC dan curah hujan tahunan rata-rata 2.618 mm. Daerah dengan curah hujan tinggi terutama di daerah Kabupaten Kebumen sebesar 3.948 mm/tahun. Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah Blora, Rembang, sebagian Grobogan dan sekitarnya serta di bagian selatanKabupaten Wonogiri (Pemda Jawa Tengah, 2016). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memilki luas 3.185,80 km yang secara astronomis terletak di 70 o33’ – 8o12’ LS dan 110o00’ – 110o50’BT. DIY terletak di bagian selatan Pulau Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di bagian selatan. Kondisi Iklim di Provinsi DY tergolong iklim tropis dimana curah hujan rata-rata tahunan sebesar dengan 3.000 mm/tahun suhu rata-rata 25-31oC (Pemda DIY, 2016). -847- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 2.2 Perolehan Data 2.2.1 Citra VIIRS Citra VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer) DNB free cloud composites merupakan salah satu data penginderaan jauh yang dapat memberikan informasi polusi cahaya dan jumlah tutupan awan diperoleh dari website NOAA. National Oceanography Atmospheric Administration (NOAA) dan United Nation Aeronautics and Space Administration (NASA) bekerja sama dalam peluncuran Suomi National Polar Satelite yang di dalamnya membawa program instrumen berupa VIIRS. Data citra yang digunakan memiliki cakupan wilayah perekaman sebesar 3000 km dengan spektrum panjang gelombang yang digunakan berada diantara 0.5 – 0.9 µm. Selain itu resolusi radiometrik yang dimiliki oleh citra ini mencapai 14 bit dan mampu mendeteksi batas cahaya limit mencapai ֊2E Watt/cm2*sr. Sehingga citra VIIRS memiliki kapabilitas untuk mendeteksi api dan cahaya di malam hari terutama menggunakan saluran VNIR (Elvidge et al., 2013). Data citra yang digunakan dalam analisis ini terdiri dari dua data utama yakni informasi mengenai polusi cahaya bulan September 2015 dan informasi mengenai liputan tutupan awan bulan Januari 2014 hingga Februari 2016. Pemilihan data informasi polusi cahaya pada bulan September 2015 dikarenakan asumsi di bulan tersebut menjadi bulan terkering di Indonesia sehingga memiliki tutupan awan yang minimum. Apabila tutupan awan minimum maka pencahayaan buatan dari permukaan bumi yang menyebabkan polusi cahaya dapat terekam secara optimal. Kenampakan visual citra VIIRS terdapat pada Gambar 1. (a) (b) Gambar 1. Citra VIIRS (a) Informasi Polusi Cahaya (b) Informasi Tutupan Awan Sumber: www.noaa.gov, 2016 Tutupan awan secara langsung berpengaruh terhadap kualitas lokasi pengamatan objek astronomi (Jia dkk., 2012). Walker (1983) mengatakan lokasi untuk pengamatan astronomis harus memilki tutupan awan yang minimum. Tutupan awan minimum menjadi parameter yang penting karena berpengaruh terhadap tampak tidaknya benda-benda astonomi yang diamati. Tutupan awan yang semakin minimum meningkatkan kemungkinan objek astronomi lebih mudah terlihat. Selain awan aspek atmosferik yang perlu -848- Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D., dkk) dipertimbangkan yaitu turbulensi atmosfer. Turbulensi berkaitan dengan fluktuasi mikrotermal atmosfer yang menyebabkan efek sintilasi, hilangnya koherensi spasial, dan distorsi (Lynds & Goad, 1984). Turbulensi yang rendah akan menghasilkan efek yang lebih baik untuk pengambilan foto astonomi. 2.2.2 Data Penutup Lahan Data penutup lahan dengan skala 1:25000 diperoleh dari website resmi Ina-Geoportal Indonesia yang dikelola oleh Badan Informasi Geospasial Indonesia. Penggunaan data penutup lahan diklasifikasikan dalam 4 kelas utama yakni vegetasi, lahan terbangun, tubuh air serta lahan kosong. Pengklasifikasian dilakukan untuk mengetahui parameter penutup lahan yang berpengaruh terhadap polusi cahaya. 2.2.3 Aksesibilitas Data aksesibilitas berupa jalan dengan skala pemetaan 1 : 25.000 diperoleh dengan sumber yang sama dengan data penutup lahan dari website resmi Ina-Geoportal milik Badan Informasi Geospasial RI. Aksesibilitas digunakan sebagai parameter dari suatu wilayah yang menyatakan kemudahannya untuk diakses baik secara biaya, waktu dan tenaga. Sehingga wilayah yang memiliki aksesibilitas baik akan menjadi potensi rekomendasi. Gambar 2. Diagram Alir Penelitian (Sumber: Hasil Analisis, 2016) 2.3. Pengolahan dan Analisa Data Citra VIIRS DNB terkalibarasi atau terkoreksi baik secara radiometrik maupun geometrik (Baugh, 2015). Pada Citra VIIRS DNB Free Cloud Composites wilayah Indonesia masuk ke dalam wilayah 1/6 belahan bumi bagian selatan, sehingga dalam pemrosesannya dilakukan pemotongan/masking sesuai wilayah kajian menggunakan software Envi 5.0 Classic. Citra yang dihasilkan dari proses masking mencakup Provinsi Jawa tengah – DIY selanjutnya dilakukan klasifikasi yang didasarkan pada klasifikasi lightpollutionmap.info seperti pada Tabel 1. -849- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 1. Klasifikasi Polusi Cahaya Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8 Nilai (Watt/cm2*sr) < 0,25 0,25 – 0,40 0,40 – 1,00 1,00 – 3,00 3,00 – 6,00 6,00 – 20,00 20,00 – 40,00 > 40,00 Sumber : lightpollution.info, 2016 Data tutupan awan yang terdiri dari 26 citra dari bulan Januari 2014 - Februari 2016 dilakukan penjumlahan untuk mendapat akumulasi tutupan awan. Akumulasi tersebut yang kemudian diklasifikasikan secara equal interval menjadi 5 kelas seperti pada Tabel 2. Nilai DN (Digital Number) piksel menunjukkan jumlah langit jernih tanpa tutupan awan suatu wilayah. Semakin rendah nilai kelas suatu lokasi menunjukkan suatu wilayah sering tertutupi oleh awan sedangkan yang memiliki nilai kelas tinggi menunjukkan jarang tertutup awan. Tabel 2. Klasifikasi Tutupan Awan Kelas 1 2 3 4 5 Nilai DN 6 - 45 46 – 84 85 – 123 124 – 162 163 – 202 Sumber: Analisis Data, 2016 Data penutup lahan dari Ina-Geoportal BIG Indonesia memuat 21 kelas penutup/penutup lahan dilakukan clip/pemotongan sesuai wilayah kajian Jateng-DIY menggunakan softwareArcMap 10.2. Kelas penutup slahan yang awalnya sebanyak 21 disederhanakan menjadi 4 kelas utama sesuai Tabel 3. yakni vegetasi, lahan terbangun, tubuh air dan lahan kosong. Sedangkan untuk jaringan jalan yang memuat kelas dari jalan utama, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lain. Pemilihan jalan arteri dan kolektor dilakukan untuk proses buffer/keterjangkauan < 3 km untuk memperoleh wilayah yang berada pada jangkauan aksesibilitas yang baik. Asumsi yang digunakan bahwa jalan arteri dan jalan kolektor merupakan jenis jalan yang memungkinkan semua kendaraan dapat melewatinya sehingga aksibilitas baik. Tabel 3. Klasifikasi Penutup Lahan Vegetasi Tubuh Air Agrikultur ladang Waduk Non Agrikultur alang alang, sabana, dan padang Tambak Non agrikultur hutan lahan basah Sungai Non agrikultur hutan lahan kering Rawa Non agrikultur lahan basah Danau Non agrikultur lahan kering Empang Non agrikultur rumput rawa Non agrikultur semak belukar Perkebunan Sawah Sumber: Analisis Data, 2016 Lahan Kosong Beting Lahan/areaterbangun Permukiman Tempat tinggal Landasan pacu Pelabuhan Pengolahan data untuk mendapatkan lokasi rekomendasi wisata astronomis menggunakan analisis spasial dengan sistem informasi geografis. Operasi overlay/tumpang-susun digunakan untuk menghasilkan lokasi potensial dengan parameter polusi cahaya, tutupan awan, dan penutup lahan sesuai berdasarkan kriteria yang -850- Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D., dkk) telah ditentukan seperti pada Tabel 4. Hasil overlay/tumpang-susun tersebut menghasilkan peta sebaran lokasi potensial pengembangan wisata astronomis. Selanjutnya peta tersebut di-overlay dengan peta buffer jalan sebagai pertimbangan parameter aksesibilitas jalan pada jangkauan < 3 km yang menghasilkan peta sebaran lokasi potensial dan direkomendasikan. Sehingga pada peta tersebut terdapat 2 jenis lokasi potensial, yang membedakan keduanya terletak pada parameter aksesibilitas. Lokasi potensial menunjukkan lokasi yang berpotensi namun tidak mempertimbangkan parameter aksesibilitas. Lokasi potensial dan direkomendasikan menunjukkan lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata astronomis yang memiliki aksesibilitas baik. Pengamatan astronomis akan baik jika dilakukan pada wilayah yang memiliki polusi cahaya yang rendah,sehingga kelas polusi cahaya yang dianggap potensial untuk pengembangan wisata astronomis yakni kelas 1 dan 2 dengan polusi cahaya yang minim. Sedangkan untuk parameter tutupan awan yang baik untuk pengamatan astronomis yaitu jika suatu wilayah jarang tertutupi oleh awan yang akan dilihat dari dari hasil penjumlahan citra dengan temporal 26 bulan. Semakin tinggi kelas tutupan awan, maka semakin sering suatu lokasi tertutupi oleh awan atau jumlah langit cerah pada lokasi tersebut semakin sedikit, begitu juga sebaliknya. Kelas penutup lahan yang digunakan dalam penentuan lokasi potensial untuk wisata astronomis yaitu lokasi yang yang tidak memilki polusi cahaya tinggi sekaligus tidak menghalangi pengamatan astronomis. Kelas yang dianggap sesuai yaitu vegetasi dan lahan kosong. Kelas permukiman diasumsikan memiliki polusi cahaya yang tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan lokasi rekomendasi wisata astronomis, begitu pula dengan penutup lahan berupa tubuh air yang akan banyak membutuhkan sarana pendukung seperti kapal dan sejenisnya untuk proses pengamatan. Tabel 4. Kriteria Lokasi Potensial untuk Wisata Atronomis Kelas 1, 2 Potensial dan Direkomendasikan Kelas 1, 2 Kelas 4, 5, 6, 7, 8 Kelas 5 Kelas 5 Kelas 1, 2, 3, 4, 5 Parameter Potensial Polusi cahaya Liputan tutupan awan Penutup lahan Buffer jalan < 3 km Vegetasi , Lahan Kosong Berada pada Tidak masuk jangkauan jangkauan Sumber: Analisis Data, 2016 Vegetasi,Lahan Kosong Tidak potensial Lahan/area terbangun Tidak masuk jangkauan 2.4 Uji Lapangan Peta sebaran lokasi potensial yang dihasilkan belum diketahui kondisi sebenarnya di lapangan sehingga diperlukan uji lapangan. Uji lapangan dilakukan di beberapa titik sampel pada area yang potensial dan direkomendasikan. Titik sampel tersebut yaitu area Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri dan area Pantai Depok di Kabupaten Bantul. Kegiatan uji lapangan dilakukan dengan melakukan pengamatan objek astronomis pada kondisi langit malam. Dilakukan pula identifikasi beberapa kenampakan objek astronomis seperti jenis planet, kenampakan debu angkasa, dan rasi bintang mayor yang dapat diamati. Selain itu, dilakukan pengambilan foto langit malam pada pukul 00.00-03.00 WIB yang mana pada jam tersebut merupakan waktu yang efisien untuk pengamatan astronomis. Kamera yang digunakan yaitu Canon EOS 600D dengan pengaturan f-stop: f/3.5; exposure time 30sec; ISO speed ISO-1600; Focal lenght 10 mm; Metering mode : Partial. Untuk perbandingan, uji lapangan tidak hanya dilakukan di lokasi-lokasi yang potensial, namun juga dilakukan uji lapangan di lokasi yang tidak potensial yaitu di Pusat Kota Yogyakarta. Digunakan pula checklist lapangan yang memuat informasi titik koordinat, deskripsi wilayah, deskripsi penutup/penutup lahan, kondisi saat pengambilan foto, kenampakan astronomis yang teridentifikasi, dan sketsa lokasi digunakan untuk memudahkan analisis wilayahnya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis ditunjukkan oleh Gambar 3. Area berwarna merah merupakan area potensial untuk wisata astronomis namun tidak masuk dalam rekomendasi. Hal ini dikarenakan aksesibilitas menuju lokasi tersebut tidak masuk dalam jangkauan <3 km dari jalan kolektor maupun areteri. Area berwarna kuning menunjukkan area potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan wisata astronmis. Baik area potensial maupun potensial dan direkomendasikan terdapat secara luas dan mengelompok pada bagian tenggara dan timur laut area kajian. Pada bagian timur laut, sebagian besar area tercakup dalam daerah Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, dan Pati. Pada bagian -851- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 tenggara, wilayah potensial tersebut banyak terdapat pada pesisir selatan kabupaten Gunungkidul dan sebagian wilayah dari kabupaten Wonogiri dan Karanganyar. Sebagian wilayah potensial lainnya memiliki ukuran yang lebih sempit dan memiliki pola distribusi yang tidak mengelompok. Gambar 3. Sebaran Peta Wisata Astronomis Sumber: Analisis Data, 2016 Berdasarkan hasil uji lapangan, kondisi langit malam pada lokasi sampel memilki kondisi yang baik dan sesuai untuk pengamatan astronomis. Tidak banyak ganggan polusi cahaya pada ketiga titik tersebut, selain itu galaksi Bimasakti juga dapat terlihat dengan jelas. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah kondisi atmosfer pada saat pengamatan sangat menentukan kualitas langit untuk pengamatan astronomis. Kondisi atmosfer yang dinamis dapat mengakibatkan suatu area pengamatan memiliki kualitas langit yang berbeda yang disebabkan adanya gangguan tutupan awan maupun gangguan partikel lain yang dapat menurunkan tingkat kejernihan atmosfer. Terdapat perbedaan signifikan antara lokasi potensial dengan lokasi tidak potensial. Perbedaan tersebut tmapak dari kenampakan langit malam dimana pada lokasi potensial objek astronomis mudah untuk diamati. Kondisi lingkungan gelap sehingga polusi cahaya sangat minim. Kondisi langit malam di lokasi tidak potensial tampak kondisi lingkungan dengan pencahayaan buatan/listrik yang tinggi sehingga langit malam tampak tidak gelap yang mengakibatkan kenampakan astronomis tidak jelas. Perbandingan tersebut tersaji pada Gambar 4. Kenampakkan langit malam di tepi Waduk Gajah Mungkur seperti Gambar 4a. menujukkan kenampakan astronomis yang jelas, namun terdapat efek skyglow akibat adanya cahaya dari permukaan bumi. Efek tersebut diakibatkan adanya cahaya dari lampu malam yang digunakan oleh para pemancing ikan di sekitar waduk. Kenampakan langit malam di beting Pantai Depok tampak pada Gambar 4b. Keberadaan polusi cahaya sangat minim sehingga kenampakan objek astronomis di Pantai Depok tampak lebih jelas dibandingkan di tepi Waduk Gajah Mungkur. Gambar 4c.merupakan sampel lokasi uji lapangan yang memilki tingkat polusi cahaya yaitu Kota Yogyakarta. Tampak bahwa objek astronomis terlihat tidak jelas dimana efek skyglow mendominasi kondisi langit malam di wilayah tersebut. Hasil identifikasi kenampakan astronomis di Pantai Depok ditunjukkan oleh Gambar 5.Kondisi langit malam dengan keberadaan polusi cahaya yang sangat minimum menyebabkan objek astronomis dapat teridentifikasi dengan mudah menggunakan mata telanjang. Beberapa rasi bintang mayor dapat -852- Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D., dkk) teridentifikasi seperti rasi Indian, Peacock, Altar, dan Sea Goat. Planet mayor yang teridentifikasi seperti planet Mars, Saturnus, Regel Kentarus, Hadar. (a) (b) (c) Gambar 4. Foto Langit Malam. (a) Tepi Waduk Gajah Mungkur (b) Pantai Depok (c) Kota Yogyakarta Sumber: Hasil Uji Lapangan, 2016 (a) (b) Gambar 5. Identifikasi Kenampakan Astronomis di Pantai Depok. (a) Rasi Indian, Peacock, Altar (b) Rasi Sea Goat, PlanetMars, Saturnus, Regel Kentarus, Hadar Sumber: Analisis Hasil Uji lapangan, 2016 4. KESIMPULAN Citra VIIRS dan data spasial pendukung berupa penutup lahan dan jaringan jalan dapat digunakan untuk menentukan lokasi potensial pengamatan objek astronomis. Berdasarkan parameter polusi cahaya tutupan awan, dan penutup lahan dengan polusi cahaya < 0.4 W/cm2*sr, tutupan awan rendah, dan penutup lahan berupa vegetasi atau lahan kosong dapat disimpulkan bahwa lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis sebagian besar di daerah Kabupaten Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, dan Gunungkidul. Sedangkan lokasi yang potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas sebagian besar berada di daerah Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Blora. -853- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 5. UCAPAN TERIMAKASIH Rasa terimakasih kami persembahkan kepada Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas Program Kreativitas Mahasiswa Tahun 2016 yang telah memberikan dana hibah penelitian. Tak lupa terimakasih kami persembahkan untuk segenap Civitas Akademika Fakultas Geografi yang telah mendukung penelitian ini. Ucapan terimakasih khusus kami persembahkan untuk Dosen Pembimbing kami Muhammad Kamal, S.Si., M.GIS., Ph.D. yang telah sabar membimbing proses penelitian ini. Terkhusus buat rekan-rekan sejawat jangan pernah lelah untuk berkarya. DAFTAR PUSTAKA Baugh, K., (2015). VIIRS Day-Night Band Cloud-free Composites. Colorado, USA. Campaign for Dark-Skies. (2010). Words And Phrases It Might Be Useful to Know When Discussing Light Pollution.Glossary of LightingTerms, diunduh 05 Juni 2016 dari http://www.britastro.org/darkskies/glossary.html?1O. Collison, F.M., dan Poe, K., (2013). Astronomical Tourism : The Astronomy and DarkSky Program at Bryce Canyon National Park. Tourism Management Perspectives, 7:1–15. Elvidge, Christoper, D., Zhizhin, M., Hsu, Feng, C., dan Baugh, K., (2013). What is So Great About Nighttime VIIRS Data for The Detection and Characterization of Combustion Source?. Asia-Pasific Advance Network, (35):33-48. International Dark-Sky Association. (2009). IDA Mission and Goals, diunduh 02 Juni 2016 dari http://www.darksky.org/mc/page.do?sitePageId=56411&orgId=idsa International Dark-Sky Association & Illuminating Engineering Society. (2009). Model Lighting Ordinance, diunduh 08 Juni 2016 dari http://www.darksky.org/mc/page.do?sitePageId=58880 Longcore, T., dan Rich, C., (2004). Ecological Light Pollution. Frontiers in Ecology and the Environment, 2(4):191198, diunduh 08 Juni 2016 dari http://dx.doi.org/10.1890/1540-9295(2004)002[0191:ELP]2.0.CO;2 Pemda Yogyakarta. (2010). Kondisi Geografis Yogyakarta, diunduh 05 Juni 2016 dari jogjaprov.go.id/pemerintahan/situs-tautan/view/kondisi-geografis Lynds, R., dan Goad, J., (1984). Observatory Site Reconnaissance , Publication Of The Astronomical Society of The Pasific, 96:750-766. SCImago., (2007). SJR-SCImago Journal & Country Rank, diunduh 01 Juni 2016 dari http://scimagojr.com Walker, M.F., (1983). Hight Quality Astronomical Sites Around The World. Lick Observatory, University of California, Santa Criz. Yaolin, L., Yanfang, L., dan Jianhua, H., (2008). Techniques Based on data field and its applicatins in land gradation. The international arvhieves of photogrammetry, remote sensing and spatial information sciences, Beijing, 37(b2). *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Dr. Bambang Trisakti : Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis : Wahyu Nurbandi (UGM) : Pertanyaan: Syarif Budhiman (LAPAN) Mungkinkah mengkombinasikan data CHRIPS dan GPCC sehingga dapat menghasilkan akurasi yang lebih baik? Jawaban: Sarannya dapat dimasukan untuk penelitian selanjutnya sehingga hasil penelitian dapat menjadi rekomendasi penentuan lokasi observatorium. Pertanyaan: Dede Dirgahayu (LAPAN): Data VIIRS tipe apa yang digunakan, berapa resolusinya dan software apa yang digunakan untuk pengolahannya. Apakah hasil penelitian ini dapat digunakan untuk lokasi melihat bulan? -854- Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D., dkk) Jawaban: Citra VIIRS yang digunakan adalah radian yang diperoleh dari situs NOAA dengan resolusi 740 m dan sudah terkoreksi secara geomterik dan radiometrik. Pengamatan bulan perlu dipertimbangkan topografi wilayah sedangkan penelitian ini belum menggunakannya. -855- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di Troposfer Atas di Indonesia Berbasis Satelit AQUA/AIRS Spatial-Temporal Variation of CO dan Ozone in the Upper Troposphere over Indonesia Based on AQUA/AIRS Satellite Novita Ambarsari*1) dan Ninong Komala1 1 *) Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN E-mail: [email protected], [email protected] ABSTRAK–Variasi spasial dan temporal Karbon Monoksida (CO) dan Ozon (O3) di troposfer atas hingga tropopause di Indonesia telah dikaji pada penelitian ini. Data yang digunakan merupakan data Volume Mixing Ratio (VMR) CO dan O3 pada ketinggian 200 hingga 100 hPa hasil observasi sensor Atmospheric Infra Red Sounders (AIRS) pada satelit AQUA tahun 2002 hingga 2015. Analisis time series dan spasial pada beberapa ketinggian serta variasi musiman telah dikaji. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi CO tinggi pada tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 yang mencapai ketinggian lapisan tropopause (100 hPa). Hal ini menjadi indikasi injeksi CO dari emisi kebakaran hutan di permukaan pada tahun tersebut yang mampu mencapai tropopausejuga ditunjukkan dengan data total La-Ninadari MODIS yang sejalan dengan tingginya konsentrasi CO pada saat tersebut. Variasi musiman CO maksimum pada bulan September-Oktober-November (SON) juga pada tahun yang sama mencapai 56 ppbv (SON 2006) dan 62 ppbv (SON 2015) pada 100 hPa. Variasi spasial juga menunjukkan CO maksimum pada saat tersebut terutama di Sumatera dan Kalimantan. Time series ozon pada 200 hPa maksimum juga pada tahun 2006 dan 2015 sebesar 62 ppbv, tetapi berbeda dengan CO, pada 150 hPa dan 200 hPa variasi ozon sudah didominasi oleh sifat stratosfer. Variasi musiman ozon pada 200 hPa juga maksimum pada SON 2006 dan 2015 mencapai 60 ppbv, tetapi pada 150 dan 100 hPa ozon maksimum pada SON dan JJA. Variasi spasial ozon pada 200, 150, dan 100 hPa berbeda dengan CO yang dominan dipengaruhi sumber di troposfer, ozon pada ketinggian tersebut juga dipengaruhi oleh transport dari stratosfer dan proses dinamika atmosfer lainnya. Kata kunci: CO, ozon, troposfer atas, AIRS ABSTRACT -Spatial dan temporal variations of Carbon Monoxide (CO) dan Ozone (O3) in upper troposphere to the tropopause in Indonesia have been assessed in this study. The data used is the Volume Mixing Ratio (VMR) data of CO and O3 at an altitude of 200 to 100 hPa as a results observation of Atmospheric Infra Red Sounders (AIRS) sensor on the satellite AQUA 2002 to 2015. The analysis of time series dan spatially at some height as well as seasonal variations have assessed. The results showed high concentrations of CO in 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 that reached the altitude of the tropopause (100 hPa). This is an indication of injection CO emissions from forest fires on the surface of the year that can reach the tropopause is also shown by the total La-Ninadata from MODIS in line with the high concentration of CO at that time. Maximum CO seasonal variations in September-October-November (SON) is also in the same year reached 56 ppbv (SON 2006) and 62 ppbv (SON 2015) at 100 hPa.Spatial variations also indicate the maximum CO at that time, especially in Sumatra and Kalimantan.Time series of ozone at 200 hPa maximum also in 2006 and 2015 by 62 ppbv, but in contrast to CO, at 150 hPa and 200 hPa ozone variations have been dominated by the properties of the stratosphere. Seasonal variation of ozone at 200 hPa maximum also at SON 2006 and 2015 to reach 60 ppbv, but at 150 and 100 hPa maximum ozone in the SON and JJA. Spatial variation of ozone at 200, 150, and 100 hPa in contrast to the predominantly influenced CO sources in the troposphere, ozone at these heights are also affected by the transport of stratospheric and other atmospheric dynamic process. Keywords: CO, ozone, upper troposphere, AIRS 1. PENDAHULUAN Karbon Monoksida (CO) dan Ozon (O3) adalah senyawa yang bersifat pencemar di atmosfer yang berperan sangat penting terutama di troposfer. Distribusi dan variasi CO di atmosfer memiliki potensi pengaruh terhadap lingkungan global dan perubahan iklim. Sumber utama CO di atmosfer adalah emisi dari permukaan terutama pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna dan pembakaran biomassa. CO juga terbentuk dari hasil reaksi oksidasi senyawa-senyawa yang mudah menguap atau disebut Volatile Organic Compounds (VOCs) oleh radikal hiroksil (OH) (Qian dkk., 2014). -856- Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.) Ozon merupakan salah satu senyawa kimia yang paling penting terlibat di dalam proses kimia atmosfer. Ozon berperan dalam berbagai jalur oksidasi senyawa-senyawa di atmosfer dan juga memberikan pengaruh terhadap lingkungan. Di troposfer ozon berperan sebagai salah satu oksidator, sebagai gas rumah kaca, juga memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan dan lingkungan (Bundi, 2004). Ozon di troposfer terbentuk dari reaksi fotokimia dengan kehadiran senyawa prekursor atau pembentuk ozon yaitu oksida nitrogen (NOx=NO2+NO), CO, dan VOCs. Ozon terurai di troposfer terutama akibat reaksi fotolisis dan reaksi dengan uap air. Distribusi ozon di troposfer dipengaruhi oleh proses kimia dan dinamika yang kompleks. Emisi dari permukaan yang berasal dari pembakaran biomassa, kebakaran hutan, dan pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan karbon monoksida, hidrokarbon dengan keberadaan nitrogen oksida (NOx) menyebabkan ozon troposfer terbentuk. Distribusi dan intensitas emisi tersebut dapat bervariasi antara Amerika Selatan, sub-ekuatorial Afrika, dan Indonesia/Australia. Selain itu, produksi dan distribusi ozon dari masing-masing emisi tersebut bergantung secara non linear pada tipe emisi, intensitas emisi, dan kondisi meteorologis. Di troposfer tengah dan atas, ozon dapat terbentuk juga melalui proses pembentukan kilat yang menghasilkan NOx. Ozon troposfer dapat mengalami transport secara global ke wilayah lain yang dapat berakibat pada perubahan kapasitas oksidatif atmosfer, radiative forcing dari sistem iklim, dan kualitas udara (Bowman dkk., 2009). Waktu hidup CO di atmosfer cukup panjang rata-rata antara 1,5 bulan hingga 3 bulan bervariasi di troposfer dan waktu hidup ozon juga bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan di troposfer. Waktu hidup yang relative panjang ini memungkinkan untuk CO dan ozon mengalami transpor baik vertikal maupun horizontal (McMillandkk., 2007; Liu dkk., 2010). Seperti telah diketahui bahwa proses transport polusi dari troposfer ke stratosfer dapat terjadi terutama melalui proses konveksi (deep convection) di daerah tropis serta proses dinamika lainnya dapat berperan dalam proses transport polutan dari permukaan ke troposfer atas hingga stratosfer (Qian dkk., 2014). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji variasi spasial dan temporal CO dan ozon di troposfer atas di Indonesia berdasarkan hasil observasi sensor AIRS satelit Aqua serta kemungkinan adanya pengaruh dari kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan peningkatan konsentrasi CO dan ozon hingga mencapai ketinggian troposfer atas-tropopause. 2. METODE Metode penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan data mol fractionCO dan ozon di lapisan troposfer atas yaitu dari tekanan 250 hPa hingga 100 hPa atau ketinggian sekitar 9 km hingga 16 km dari hasil observasi sensor Atmospheric Infra Red Sounders (AIRS) pada satelit AQUA NASA. Data yang digunakan adalah data rata-rata bulan (monthly average) CO dan ozon pada periode pengukuran tahun 2003 hingga 2015 untuk wilayah Indonesia. Metodologi penelitian meliputi analisis time series pada beberapa ketinggian yaitu 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa. Kemudian dilakukan juga analisis time series sebagai fungsi dari tekanan untuk mendeteksi peningkatan konsentrasi CO dan ozon yang dapat mencapai tropopause. Selain itu juga dilakukan analisis variasi musiman untuk setiap tahunnya serta analisis variasi spasial di musim tertentu berdasarkan hasil analisis variasi musiman yang diperoleh untuk mendeteksi kemungkinan adanya pengaruh dari kejadian kebakaran hutan yang terjadi di musim kemarau (JJA) hingga musim peralihan kemarau-hujan (SON). AIRS diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 yang dipasang pada satelit Aqua dengan tujuan utama adalah mengukur profil vertikal temperatur dan uap air di atmosfer bumi secara akurat. Tim ilmiah AIRS kemudian mengembangkan metode untuk mengukur parameter fisika dan kimia yaitu temperatur, uap air, ozon, dan CO (Warner dkk., 2007). Data CO dan ozon dari AIRS yang digunakan adalah data versi 6 level 3 gridded dengan resolusi spasial 1 x 1 (Tian dkk., 2014). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi temporal untuk CO dan ozon pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa ditampilkan pada Gambar 1. Konsentrasi CO pada masing-masing tekanan menunjukkan peningkatan dari tahun 2003 hingga 2015. Konsentrasi CO menurun dengan meningkatnya ketinggian tampak dari nilai konsentrasi pada 200 hPa lebih tinggi dibdaningkan konsentrasi pada 150 hPa dan 100 hPa. Pada 200 hPa konsentrasi CO tertinggi mencapai 0,11 ppmv, pada 150 hPa mencapai 0,07 ppmv, dan pada 100 hPa hanya mencapai 0,05 ppmv. Beberapa puncak konsentrasi CO terjadi pada bulan-bulan September-Oktober-November (SON) dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada akhir tahun 2015 sebesar dan akhir tahun 2006 untuk setiap level tekanan. Pada gambar juga terlihat peningkatan konsentrasi CO pada sekitar bulan SON mencapai tekanan 100 hPa atau ketinggian sekitar 17 km yaitu di tropopause. Variasi temporal ozon pada Gambar 1 menunjukkan karakter yang berbeda dengan CO. Konsentrasi ozon meningkat dengan meningkatnya ketinggian. Pada -857- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 tekanan 100 hPa konsentrasi ozon mencapai 0,16 ppmv sedangkan pada 150 hPa dan 100 hPa maksimum hanya 0,07 ppmv dan 0,06 ppmv. Di troposfer, pada tekanan 200 hPa puncak konsentrasi ozon terjadi pada sekitar bulan SON, seperti halnya CO. Akan tetapi, pada tekanan 150 hPa puncak konsentrasi ozon terjadi pada sekitar bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) dan semakin terlihat variasinya pada tekanan 100 hPa yaitu di lapisan tropopause. Hal ini diperkirakan karena ozon di lapisan tropopause lebih dipengaruhi oleh proses yang terjadi di stratosfer dimana pembentukan ozon terjadi maksimal sehingga konsentrasi ozon meningkat secara signifikan. Berbeda halnya dengan variasi ozon dan juga CO di troposfer yang lebih banyak dipengaruhi oleh sumber dari aktivitas antropogenik serta proses fotokimia pembentukan ozon troposfer. Ozon troposfer juga bervariasi dalam skala musiman dan tahunan yang juga dipengaruhi oleh pembakaran biomassa dan beberapa fenomena meteorologi seperti El-Nino, La-Nina, dan fenomena lainnya dalam system tekanan global yang sedikit banyak mempengaruhi proses dispersi emisi dari kondisi normal (Ziemke dkk., 2015; Eboji, 2014). Gambar 1. Time series CO dan Ozon pada beberapa level tekanan di troposfer atas hingga tropopause di Indonesia tahun 2003-2015 Untuk melihat indikasi adanya transport CO dan ozon dari lapisan troposfer bawah hingga ke tropopause dan sebaliknya, dibuat diagram cross sectiontime series-pressureyang ditunjukkan pada Gambar 2. Konsentrasi CO di troposfer bawah lebih tinggi dan menurun seiring dengan penurunan tekanan atau peningkatan ketinggian. Konsentrasi CO sangat tinggi hingga 0,14 ppmv di troposfer bawah terlihat pada akhir tahun 2004, 2006, dan 2015 bahkan mencapai tropopause pada tahun 2006 dan 2015. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan kejadian kebakaran hutan yang sangat besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan yang mengakibatkan emisi CO dari permukaan mampu mencapai ketinggian tropopause (Zhang dkk., 2011). Variasi tahunan distribusi vertikal ozon berbeda dengan CO. Ozon maksimum pada tekanan 100 hPa mencapai 10,16 ppmv sedangkan di troposfer bawah konsentrasi ozon lebih rendah. Pada tekanan antara 150 hPa hingga 100 hPa terlihat adanya proses intrusi ozon dari stratosfer ke tropopopause kemudian ke troposfer atas (Hess dkk., 2013). Di troposfer bawah pada tekanan 250 hPa ozon lebih tinggi konsentrasinya pada akhir tahun sekitar bulan SON sama seperti hasil pada Gambar 1 yang diperkirakan juga dipengaruhi oleh emisi dari kebakaran hutan (Chan dkk., 2001). -858- Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.) Gambar 2. Time series terhadap tekanan untuk CO dan ozon di troposfer atas hingga tropopause di Indonesia tahun 2003-2015 Variasi musiman CO pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa ditunjukkan pada Gambar 3. Konsentrasi CO pada semua level tekanan tersebut menunjukkan variasi musiman pada bulan SON mencapai maksimum dengan konsentrasi CO paling tinggi pada tekanan 200 hPa musim SON tahun 2015. Puncakpuncak konsentrasi CO pada bulan SON diidentifikasi berkaitan dengan kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun di Indonesia yang sangat besar terjadi pada tahun 2006 dan 2015. Pola tahunan CO pada SON yang juga maksimum di tahun 2006 dan 2015 di semua level tekanan tersebut menjadi indikasi adanya pengaruh emisi CO dari kebakaran hutan di waktu tersebut. Gambar 3. Variasi musiman CO pada beberapa level tekanan di troposfer atas di Indonesia tahun 2003-2015 -859- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Variasi musiman ozon pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa ditunjukkan pada Gambar 4. Terlihat adanya perbedaan variasi musiman ozon pada masing-masing lapisan tersebut. Pada 200 hPa ozon pada SON lebih tinggi dibdaningkan bulan lainnya dengan konsentrasi mencapai 0,06 ppmv. Puncak ozon pada SON 2004, 2006, dan 2015 kemungkinan juga dipengaruhi oleh emisi CO sebagai pembentuk ozon troposfer yang meningkat akibat emisi dari kebakaran hutan di tahun tersebut. Berbeda dengan ozon pada 200 hPa, ozon pada 150 hPa dan 100 hPa sudah dipengaruhi oleh proses kimia dan dinamika yang terjadi di stratosfer. Untuk melihat distribusi spasial pada setiap musim (DJF, MAM, JJA, SON) rata-rata selama tahun 20032015 ditampilkan variasi spasial musiman CO pada Gambar 5. Tekanan yang dipilih adalah pada 100 hPa untuk mengetahui variasi spasial CO di tropopause serta kemungkinan adanya pengaruh dari troposfer. Konsentrasi CO rata-rata antara 0,035 ppmv hingga 0,045 ppmv. Distribusi spasial CO menunjukkan konsentrasi CO lebih tinggi di wilayah Indonesia bagian barat dengan konsentrasi maksimum pada bulan SON. Adanya area dimana CO sangat tinggi di wilayah Sumatera dan Kalimantan pada bulan SON dengan konsentrasi hingga 0,045 ppmv juga menunjukkan indikasi pengaruh dari kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun di bulan SON di wilayah Sumatera dan Kalimatan. Gambar 4. Variasi musiman Ozon pada beberapa level tekanan di troposfer atas di Indonesia tahun 2003-2015 -860- Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.) Gambar 5. Variasi spasial rata-rata musiman CO pada 100 hPa (tropopause) di Indonesia tahun 2003-2015 Variasi spasial rata-rata musiman ozon di tropopause atau pada tekanan 100 hPa tahun 2003-2015 ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar terlihat konsentrasi ozon di wilayah lintang atas di Indonesia lebih tinggi. Variasi ozon di tropopause juga dipengaruhi oleh pergerakan matahari dan proses dinamika di stratosfer. Berbeda dengan CO, variasi spasial ozon pada bulan SON di tropopause tidak menunjukkan adanya indikasi dengan emisi prekursor ozon yaitu CO dari kejadian kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. -861- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 6. Variasi spasial rata-rata musiman ozon pada 100 hPa (tropopause) di Indonesia tahun 2003-2015 Kejadian kebakaran hutan dapat terdeteksi salah satunya adalah dengan observasi jumlah kebakaran aktif (active fire) dari satelit diantaranya adalah satelit TERRA/AQUA dengan sensor MODIS. Jumlah akumulatif La-Nina di Indonesia per bulan dari tahun 2003 hingga 2015 ditunjukkan pada Gambar 7. Terlihat jumlahLaNina meningkat pada bulan SON setiap tahunnya dengan tahun-tahun saat La-Nina terbanyak adalah tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan terakhir tahun 2015. Tahun 2015 menjadi tahun dengan jumlah La-Nina maksimum hingga mencapai 122.568 hingga pengamatan tanggal 16 November 2015 dan tahun 2006 yang mencapai 110 ribu La-Nina yang terdeteksi. -862- Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.) Gambar 7. Jumlah La-Ninadi Indonesia berdasarkan satelit MODIS-TERRA/AQUA tahun 2003-2015 (sumber: http://www.globalfiredata.org/updates.html) Untuk melihat adanya kesesuaian jumlah La-Nina dengan konsentrasi CO yang telah terdeteksi pada pembahasan sebelumnya bahwa variasinya dipengaruhi oleh emisi dari kebakaran hutan, maka dibuat variasi spasial pada rata-rata bulan SON tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 sesuai dengan jumlah LaNinaterbanyak sepanjang periode pengamatan satelit TERRA/AQUA dari tahun 2003-2015. Gambar 8. Variasi spasial CO pada bulan SON (September-Oktober-November) pada tekanan 100 hPa (tropopause) tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 di Indonesia Variasi spasial CO di lapisan tropopause (100 hPa) pada bulan SON tahun-tahun tersebut ditunjukkan pada Gambar 8. Terlihat pada gambar adanya wilayah dengan konsentrasi CO tinggi di Sumatera dan Kalimantan pada tahun 2006, 2009, 2014, dan 2015 dengan konsentrasi CO tertinggi pada SON 2015 -863- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 mencapai 6,3 ppmv dan tahun 2006 mencapai 5,6 ppmv. Hal ini juga menunjukkan bahwa emisi CO dari kejadian kebakaran hutan tahun 2006 dan 2015 dapat mencapai lapisan tropopause sehingga berpotensi untuk mengalami transport ke tempat lain dengan radius yang cukup jauh. 4. KESIMPULAN Variasi spasial CO di tropopause (100 hPa) menunjukkan konsentrasi CO tinggi pada bulan SON setiap tahun terutama tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 khususnya di wilayah Kalimantan dan Sumatera pada SON 2015 menunjukkan konsentrasi tertinggi juga pada SON 2006. Hal ini juga ditunjukkan dari variasi temporal yang memperlihatkan peningkatan konsentrasi CO pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa pada bulan-bulan SON dari tahun 2003 hingga 2015. Begitu juga dengan distribusi vertical CO yang menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi CO hingga mencapai tropopause (100 hPa) pada tahun 2015 dan 2006. Variasi spasial ozon di tropopause (100 hPa) tidak menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi ozon pada bulan-bulan SON yang diperkirakan emisi pembentuk ozon dari kebakaran hutan tidak menyebabkan ozon pada lapisan tropopause meningkat. Variasi temporal ozon menunjukkan konsentrasi ozon lebih tinggi pada tekanan 100 hPa sebagai akibat dari pengaruh ozon di stratosfer yang sangat tinggi. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada penyedia data komposisi kimia atmosfer hasil pengukuran satelit Aqua dan Aura milik NASA yang dapat diakses dengan mudah melalui fasilitas website MIRADOR maupun GIOVANNI. DAFTAR PUSTAKA Bowman, K.W., Jones, D.B.A., Logan, J.A., Worden, H., Boersma, F., Chang, R., Kulawik, S., Osterman, G., Hamer, P., dan Worden, J., (2009). Zonal Structure of Tropical O3dan CO as Observed by the Tropospheric Emission Spectrometer in November 2004- Part 2: Impact of Surface Emission on O3dan its Precursors. Atmos. Chem. Phys, 9:3563-3582. Bundi, M.P., (2004). Spatial dan Temporal Distribution of Tropospheric Ozone over Southern Africa. Thesis, University of Witwatersrdan, Johannesburg. Chan, C.Y., Chan, L.Y.,dan Zheng, Y.G., (2001). Effects of 1997 Indonesian Forest Fires on Tropospheric Ozone Enhancement, Radiative Forcing, dan Temperature Change over the Hongkong Region. Journal of Geophysical Research, 106(14):14875-14885. Eboji, F. (2014). Tropospheric Coloumn Ozone Retrieval from SCIAMACHY Limb-Nadir-Matching Observations. Thesis, IUP, Bremen. Global Fire Emission Database Update. http://www.globalfiredata.org/updates.html. Hess, P.G.,dan Zbinden, R., (2013). Stratospheric Impact on Tropospheric Ozone Variability dan Trends: 1990-2009. Atmos. Chem. Phys, 13:649-674. Liu, J., Logan, J.A., Jones, D.B.A., Livesey, N.J., Megretskaia, I., Carouge, C., dan Nedelec, P., (2010). Analysis of CO in the Tropical Troposphere using Aura Satellite Data dan the GEOS-Chem model: Insight into Transport Characteristics of the GEOS Meteorological Products. Atmos. Chem. Phys., 10:12207-12232. McMillan, W.W., (2007). Global Climatology of Tropospheric CO from the Atmospheric InfraRed Sounder (AIRS). https://ams.confex.com/ams/pdfpapers/134987.pdf. Qian, L., Hua-Feng, S., Ai-Mei, S., Jian-Chun, B.,dan Da-Ren, L., (2014). Distribution dan Variation of Carbon Monoxide in the Tropical Troposphere dan Lower Stratosphere. Atmospheric dan Oceanic Science Letters, 7(3):218-223. Tian, B., Manning, E., Fetzer, E., Olsen, E., dan Wong, S., (2014). AIRS Version 6 L3 User Guide. Jet Propulsion Laboratory. California. Ziemke, J.R., Douglass, A.R., Oman, L.D., Strahan, S.E., dan Duncan, B.N., (2015). Tropospheric Ozone Variability in the Tropics from ENSO to MJO dan Shorter Timescales. Atmos. Chem. Phys, 15:8037-8049. Zhang, I., Li, Q.B., Jin, J., Liu, H., Livesey, N., Jiang, J.H., Mao, Y., Chen, D., Luo, M., dan Chen, Y., (2011). Impacts of 2006 Indonesian Fires dan Dynamics on Tropical Upper Tropospheric Carbon Monoxide dan Ozone. Atmos. Chem. Phys, 11:10929-10946. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator : Parwati Judul Makalah : Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di Troposfer Atas di Indonesia Berbasis Satelit AQUA/AIRS -864- Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.) Pemakalah Diskusi : Novita Ambarsari dan Ninong Komala (LAPAN) : Pertanyaan: Parwati (LAPAN) 1. Bagaimana cara untuk memvalidasi penelitian ini? Kebakaran tidak mempengaruhi ozon, faktor apa yang paling berpengaruh? 2. Nilai yang ditampilkan diekstrasi seluruh Indonesia ataukah diambil rata-ratanya? Ataukah pada wilayah yang terbakar pengukuran PM menggunakan satelit? Jawaban: 1. Data dibandingkan dengan data pada spektrofotometer, MMS, dan pengukuran balon. Kebakaran lebih berpengaruh terhadap CO, partikulat 10 dan 2.5, aerosol, black carbon, serta faktor meteorologis dan dinamika atmosfer. 2. Untuk rata-rata dengan cara melihat konsentrasi wilayahnya, sedangkan untuk PM bisa menggunakan aerosol dan belum ada data dari satelit. -865- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler di Daerah Merauke dan Sekitarnya Analysis of Atmospheric Boundary Layer Thickness Using Doppler Radar in Merauke and Surrounding Areas Teguh Setyawan1*), Dhita Rahmawati2, dan Rodhi Janu Aldilla Putri2 1 2 Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Dalam skala sinoptik, salah satu parameter meteorologi yang penting adalah lapisan batas atmosfer. Selain sebagai parameter pendukung dalam model cuaca dan iklim, mengetahui ketebalan lapisan atmosfer dapat membantu mengidentifikasi aerosol serta kekuatan dari proses pencampuran vertikal polutan di dalamnya. Profil vertikal angin dari data radar Doppler C-Band Merauke yang dioperasionalkan oleh BMKG melalui Stasiun Meteorologi Mopah Merauke dapat digunakan untuk mengidentifikasi puncak dari Convective Boundary Layer (CBL) dan Nocturnal Boundary Layer (NBL). Puncak CBL ditandai dengan meningkatnya geser angin di atas lapisan pencampuran, sedangkan puncak NBL ditandai dengan geser angin signifikan akibat adanya kecepatan maksimum pada ketinggian 1-1,5 km di atas permukaan tanah. Sampel pada bulan Januari 2015 sebagai representasi bulan basah dan bulan Juli 2015 sebagai representasi bulan kering, menunjukkan bahwa rata-rata ketebalan lapisan batas atmosfer pada bulan basah lebih kecil dibandingkan bulan kering walaupun perbedaannya tidak cukup besar dan evolusi diurnal lapisan batas terlihat. Kata kunci: lapisan batas, radar Doppler, bulan basah, bulan kering ABSTRACT- In the synoptic scale, one of the important meteorological parameters is the atmospheric boundary layer. Aside from being a supporter of the parameters in weather and climate models, knowing the thickness of the layer of the atmosphere can help identify aerosols and the strength of the vertical mixing of pollutants in it. The vertical wind profile data from C-Band Doppler radar, which is operated by the BMKG Merauke through Mopah Meteorological Station can be used to identify the peak of the Convective Boundary Layer (CBL) and Nocturnal Boundaryu Layer (NBL). CBL peak marked by increasing wind shear over the mixing layer, while the NBL peak marked by a significant wind shear due to the maximum speed at a height of 1-1,5 km above ground level. Samples in January 2015 as a representative in the wet and in July 2015 as the representative of a dry month, shows that the average thickness of the boundary layer in the wet atmosphere is smaller than the dry months although the difference was not large enough and the evolution of the diurnal boundary layer visible. Keywords: boundary layer, Doppler radar, wet month, dry month 1. PENDAHULUAN Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer adalah salah satu parameter penting dan mendasar untuk melihat karakteristik struktur lapisan batas atmosfer seperti turbulensi, stabilitas atmosfer serta pola diurnal karena berkaitan dengan proses transpor vertikal atau proses konveksi dan proses transfer energi yang sebagian dipicu oleh turbulensi (Dewi, 2010). Lapisan batas atmosfer merupakan bagian dari troposfer yang secara langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan interaksi antara permukaan tanah dengan skala waktu satu hari atau kurang (Stull, 1988). Kajian mengenai lapisan batas atmosfer sebenarnya cukup banyak dilakukan di berbagai belahan dunia dengan segala keragaman geografis masing-masing. Umumnya kajian tersebut dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan analisis seperti analisis penyebaran polutan udara, kegiatan prediksi cuaca maupun iklim termasuk analisis struktur lapisan batas atmosfer di suatu tempat di berbagai jenis topografi pada saat terjadi fenomena cuaca khusus, seperti puting beliung, siklon tropis, badai guntur, dan sebagainya. Hal yang menjadi tantangan adalah nilai ketebalan lapisan batas atmosfer tidak dapat diukur secara langsung melainkan harus melalui pendekatan dari profil meteorologi (simulasi), instrumen yang dapat digunakan adalah instrumen yang datanya menggambarkan profil vertikal parameter meteorologi seperti radiosonde, windprofiller dan radar Doppler. Radar cuaca dapat memberikan informasi pada area yang relatif luas, pengamatan yang real time dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi, serta dapat melakukan pengamatan yang berkelanjutan (Marzano dkk., 2006). Radar memancarkan pulsa berupa -866- Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler di Daerah Merauke dan Sekitarnya (Setyawan, T., dkk) gelombang elektromagnetik melalui antena dengan arah lurus dan kecepatan tetap. Setelah gelombang elektromagnetik mengenai objek, maka akan dipantulkan dan pantulan tersebut akan diterima radar (Rinehart, 2010). Radar cuaca jenis Doppler menghasilkan 3 jenis output data, yaitu reflektifitas (Z), kecepatan radial (V), dan lebar spektrum (W). Penelitian mengenai variasi diurnal lapisan batas atmosfer menggunakan radar Doppler C-Band sebelumnya pernah dilakukan di wilayah sekitar Tangerang pada berbagai bentuk topografi wilayah yaitu laut, perkotaan dan perbukitan oleh Dewi (2013). Dalam penelitiannya, kemampuan menyerap melepas panas dari radiasi matahari setiap tempat berbeda tergantung karakter permukaan masing-masing wilayah dan hal ini membuat ketebalan lapisan batas atmosfer di lautan lebih kecil daripada wilayah daratan. Selain itu nilai ketebalan lapisan batas atmosfer akan mencapai puncak saat pemanasan meningkat yaitu setelah siang hari dan mencapai minimum pada saat menjelang fajar, terutama di daratan. Dewi (2015) dalam analisisnya di sekitar wilayah Jakarta pada daerah dataran rendah dengan tutupan wilayah berupa daerah perkotaan ketika kejadian hujan es dan cuaca cerah saat suhu udara maksimum menggunakan data radar Doppler C-Band menemukan bahwa ketebalan lapisan atmosfer pada saat cuaca buruk akan lebih tinggi dibandingkan saat cuaca cerah ditinjau dari parameter geser angin vertikal dan spectral width. Haschiguci dkk. (1994) mengamati variasi diurnal lapisan batas atmosfer berdasarkan echo intensity dan menemukan bahawa echo intensity maksimum berhubugan dengan puncak lapisan batas konvektif di siang hari. Berdasarkan observasi Boundary Layer Radar ditemukan bahwa pada daerah yang berbukit memiliki siklus diurnal lapisan batas atmosfer yang kuat. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan bagaimana cara menentukan tebal lapisan batas atmosfer berdasarkan profil vertikal angin radial dan spectral width radar Doppler C-Band Stasiun Meteorologi Mopah Merauke serta membandingkannya dengan data Radiosonde melalui identifikasi daerah inversi dan pengurangan nilai kelembaban udara (RH) di atas lapisan isotermal. 2. METODE 2.1 Data 2.1.1 Data Radar Doppler C-Band Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mentah radar Doppler C-Band yang terletak di daerah Merauke dengan format *.RAW. Raw data radar diolah menggunakan aplikasi EDGE yang merupakan aplikasi khusus untuk radar produksi perusahaan pembuat radar tersebut yaitu Enterprise Electronic Coorporation (EEC). Dalam menentukan tebal lapisan batas atmosfer menggunakan produk olahan data radar Doppler C-Band yaitu produk Volume Velocity Processing (VVP) mendapatkan data kecepatan radial (m/ s) untuk melihat arah dan kecepatan angin secara vertikal dan produk CAPPI (width horizontal) mendapatkan data vertical cut (V Cut) untuk mendeteksi turbulensinya. 2.1.2 Data Radiosonde Data udara atas hasil pengamatan Radiosonde jam 00.00 UTC dan jam 12.00 UTC akan digunakan untuk mengidentifikasi puncak lapisan batas atmosfer dengan melihat wilayah yang mengalami peningkatan temperatur potensial sebagai dasar penentuan wilayah inversi dan mengidentifikasi daerah yang mengalami pengurangan kelembaban pada lapisan inversi tersebut. 2.1.3 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di Stasiun Meteorologi Mopah Merauke degan koordinat 08 031’03” LS dan 0 140 25’01” BT yang merupakan daerah dataran rendah dengan tutupan wilayah berupa daerah perkotaan dan perbukitan serta lautan, kurang lebih 100 km dari lokasi radar. 2.1.4 Waktu Penelitian Waktu kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengambil sampel hari kejadian saat cuaca cerah dan saat cuaca hujan, yaitu : a) Keadaan cuaca berawan dan hujan pada tanggal 13 Januari 2015, b) Kejadian cuaca cerah dan tidak berawan pada tanggal 8 Juli 2015. 2.2 Metode Penelitian 2.2.1 Persiapan Awal Identifikasi kejadian pada masing-masing site waktu kejadian melalui data sinoptik pengamatan meteorologi Stasiun Meteorologi Mopah Merauke dan mencari tahu waktu kejadian tersebut berlangsung. 2.2.2 Pengolahan Data Radar -867- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Hasil olahan raw data radar akan menghasilkan produk olahan dengan rincian sebagai berikut : a) Produk Volume Velocity Processing (VVP) Salah satu produk radial velocity yang menampilkan beberapa parameter meteorologis secara vertikal seperti divergensi, arah dan kecepatan angin. Dari produk ini dapat terlihat geser angin sebagai penanda puncak lapisan batas atmosfer. b) Produk CAPPI (width horizontal) Produk ini menampilkan nilai echo pada suatu ketinggian yang didapatkan oleh pengamatan radar, sehingga dari produk ini dapat menampilkan nilai reflektifitas (dBz) yang dihasilkan oleh suatu massa udara dan memantau pergerakan masing-masing partikel dalam awan untuk mendeteksi adanya turbulensi. c) Produk Vertical Cut (VCUT) Produk ini digunakan untuk melihat struktur vertikal echo suatu kolom udara di area pengamatan. Dalam penelitian kali ini, VCUT dilakukan pada lintang XX dan garis bujur YY. 2.2.3 Pengolahan Data Radiosonde Running data radiosonde menggunaan aplikasi RAOB untuk mengidentifikasi daerah yang yang mengalami peningkatan temperatur potensial sebagai daerah inversi dan melihat pengurangan nilai RH di atas lapisan isotermal. 2.3 Diagram Alir Diagram alir pada penelitian berikut adalah sebagai berikut pada Gambar 1: Gambar 1. Diagram alir penelitian. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Identifikasi Kejadian Dari citra radar produk CMAX (dBZ) radar Doppler C-Band Merauke tanggal 13 Januari 2015 terdapat adanya tutupan partikel hidrologi di atas area Merauke sedangkan pada tanggal 8 Juli 2015 tidak terdapat partikel hidrologi. Dua keadaan yang berbeda ini akan mempengaruhi ketinggian lapisan batas atmosfernya . -868- Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler di Daerah Merauke dan Sekitarnya (Setyawan, T., dkk) (a) (b) Gambar 2. Citra radar produk CMAX (dBZ) radar Doppler C-Band Merauke (a) tanggal 13 Januari 2015 pukul 07.00 WIT; (b) tanggal 8 Juli 2015 pukul 07.00 WIT 3.2 Penentuan Geser Angin dari VVP Untuk menentukan tebal lapisan batas atmosfer, ketinggian puncak lapisan batas harus didapatkan terlebih dahulu. Ketinggian puncak lapisan batas atmosfer dapat diidentifikasi dengan melihat profil vertikal angin radial radar serta dengan melihat pertambahan nilai geser angin (windshear). Selanjutnya, ketebalan lapisan batas diukur dari dasar permukaan hingga ketinggian puncak lapisan batas. Namun penentuan tebal lapisan batas atmosfer dengan metode profil angin terdapat beberapa kondisi di mana puncak lapisan batas sulit teridentifikasi karena profil angin yang terputus-putus, besarnya variasi profil vertikal angin serta profil angin vertikal yang konstan di setiap ketinggian. (a) (b) Gambar 3. Citra Radar Produk VVP (m/ s) Radar Doppler C-Band Merauke Pukul 04.00 – 19.00WIT (a) Tanggal 13 Januari 2015; (b) Tanggal 8 Juli 2015 Berdasarkan Gambar 3 citra radar produk VVP pukul 04.00 – 19.00 WIT di atas, kemudian dilakukan pengolahan data secara visual untuk menentukan lapisan ketinggian yang mengalami windshear, diperoleh hasil pada tanggal 13 Januari 2015 windshear terjadi pada ketinggian kurang lebih 1500 m (pukul 04.00 WIT), 3000 m (pukul 06.00 WIT), 2100 m (pukul 12.00 WIT), 4000 m (pukul 16.00 WIT), 4000 m (pukul 19.00 WIT). Sedangkan pada tanggal 13 Januari 2015 windshear terjadi pada ketinggian kurang lebih 1800 m (pukul 04.00 WIT), 1400 m (pukul 06.00 WIT), 1000 m (pukul 12.00 WIT), 800 m (pukul 16.00 WIT), 1000 m (pukul 19.00 WIT). Untuk melihat karakter ketinggian lapisan batas atmosfer pada dua keadaan diatas, selanjutnya dibuat grafik perbandingan ketinggian lapisan batas atmosfer seperti yang ditampilkan pada Gambar 4 berikut ini. -869- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 4. Grafik Perbandingan Ketinggian Lapisan Batas Atmosfer Saat Cuaca Cerah (Garis Biru) dan Cuaca Berawan (Warna Merah). Secara umum tebal lapisan batas atmosfer pada saat keadaan cuaca cerah lebih tipis (puncak ketinggian lapisan batas atmosfer lebih rendah) dibandingkan ketika cuaca berawan atau tertutup oleh partikel hidrologi diatasnya. Hal ini menunjukkan bahwa terbentuknya lapisan batas atmosfer sebagai akibat dari interaksi antara atmosfer dengan permukaan akan menghasilkan nilai ketebalan lapisan batas yang berbeda untuk tempat dan kondisi atmosfer yang berbeda. Ketebalan lapisan batas atmosfer yang tipis ketika cuaca cerah ini yang akan membuat gas polutan tertahan pada ketinggian dekat permukaan bumi dan hal ini tentu sangat berbahaya bagi kesehatan. 3.3 Analisis Radiosonde Analisis radio sonde adalah analisis data udara atas dengan menerbangkan balon cuaca, kemudian seperangkat sensor yang diterbangkan bersama balon akan mencatat keadaan atmosfer atas pada tiap lapisan ketinggian. Analisis ini dilaksanakan dua kali sehari pada jam 00.00 UTC (09.00 WIT) dan 12.00 UTC (21.00 WIT), data yang diterima akan diolah menggunakan aplikasi Rawinsonde Observation (RAOB). Dalam penelitian kali ini, analisis radio sonde digunakan sebagai data pembanding untuk menentukan profil angin vertikal serta melihat pertambahan nilai geser angin (windshear). Analisis radio sonde juga dapat digunakan untuk menentukan ketinggian lapisan batas atmosfer, yaitu dengan melihat letak lapisan inversi. Gambar 5. Profil Udara Atas dari Analisis Radio Sonde yang Diolah Menggunakan Aplikasi RAOB Dari Gambar 4 di atas tampak bahwa pada tanggal 8 Juli 2015 terdapat daerah inversi subsiden jam 09.00 WIT pada lapisan ketinggian 2700m dan terdapat daerah inversi yang sama pada malam hari jam -870- Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler di Daerah Merauke dan Sekitarnya (Setyawan, T., dkk) 21.00 WIT pada lapisan ketinggian 2300m. Dan pada tanggal 13 Januari 2015 terdapat daerah inversi subsiden jam 09.00 WIT pada lapisan ketinggian 4000m dan terdapat daerah inversi yang sama pada malam hari jam 21.00 WIT pada lapisan ketinggian 3700m. 4. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah : a. Ketinggian lapisan batas atmosfer dapat diidentifikasi dari profil vertikal angin dengan melihat pertambahan nilai geser angin (windshear). Selanjutnya, ketebalan lapisan batas diukur dari dasar permukaan hingga ketinggian puncak lapisan batas. b. Ketebalan lapisan batas atmosfer pada saat cuaca berawan di mana radiasi matahari terhambat ke permukaan bumi akan lebih tebal dibandingkan pada keadaan cuaca cerah tidak berawan. Sehingga interaksi partikel gas polutan dengan permukaan bumi akan berbahaya ketika cuaca cerah tidak berawan karena ketinggian lapisan batas yang rendah. c. Berdasarkan penelitian ini, radar cuaca telah mampu menyediakan data sebagai bahan analisis ketinggian lapisan batas melalui profil angina vertikal. Namun radar juga memiliki kelemahan tertentu. Penentuan tebal lapisan batas atmosfer dengan metode profil angina terdapat beberapa kondisi di mana puncak lapisan batas sulit teridentifikasi karena profil angin yang terputus-putus, besarnya variasi profil vertikal angin serta profil angin vertikal yang konstan di setiap ketinggian. d. Dari analisis radiosonde terlihat bahwa ketebalan lapisan batas atmosfer akan semakin besar pada siang hari dibandingkan pada waktu dini hari dan malam hari. Penelitian yang telah dilakukan dan tertuang dalam tulisan ini merupakan langkah awal dalam mengoptimalkan fungsi radar cuaca sesuai dengan kebutuhan dan fenomena yang terjadi di area cakupan radar yang salah satunya adalah untuk menentukan ketinggian lapisan batas atmosfer di mana informasi terkait ketinggian lapisan batas ini sangat penting utamanya untuk keselamatan aktifitas penerbangan, penanganan zat-zat polutan dan persebarannya. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini tidak akan selesai tanpa data radar cuaca Doppler C-Band milik Stasiun Meteorologi Mopah, Merauke. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman BMKG di Stasiun Meteorologi Mopah atas dukungan data dan dukungan kepada penulis. DAFTAR PUSTAKA Banta, R.M., (2008). Stable Boundary Regimes from The Perspective of The Low Level Jet. Acta Geophysica, 58-87. Dewita, A., (2015). Identifikasi Tebal Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan ata Velocity dan Spectral Width Radar serta Parameter Turbulensi dari WRF-ARW di Daerah Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol.2 No. 2. 161-170 Dewi, R., (2014). Pemanfaatan Model WRF-ARW untuk Deteksi Clear Ais Turbulence Menggunakan Turbulence Index dan Richardson Number. (Skripsi Program Sarjana Terapan Meteorologi), STMKG (School of Meteorology Climatology and Geophysics), Tangerang Selatan. Dewi, S., (2013). Identifikasi Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Profil Angin Radar Doppler di Daerah Tangerang dan Sekitarnya. (Skripsi Program Strata I Meteorologi), ITB (Bandung Technology University), Bandung. Hadi, T.W., dkk., (2000). Tropical Sea-Breeze Circulation and Related Atmospheric Phenomena Observed with L-Band Boundary Layer Radar in Indonesia. Journal of The Meteorological Society of Japan Vol. 78 No. 2. 123-140. Kaimal, J.C., dan Finnigan, J.J., (1994). Atmospheric Boundary Layer. Oxford University Press: New York. Listiaji, E. (2009). Simulasi Curah Hujan di Atas Pulau Lombok Studi Kasus Bulan Januari 2007. (Skripsi Program Strata I Meteorologi), ITB (Bandung Institute of Technology), Bandung. Rinehart, R.E., (2010). Radar for Meteorologist (Fifth Edition). Rinehart Publishing: Nevada. Seibert, R.B., dkk., (1997). Mixing Height Determination for Dispersion Modelling. COST Action 710. Stull, R.B., (1988). An Introduction to Boundary Layer Meteorology. Kluwer Academic Publishers: Dordrecht. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 -871- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Judul Makalah Nama Pemakalah Diskusi : Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Dopler Daerah Merauke dan Sekitarnya : Teguh Setyawan (BMKG) : di Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN) Apa kegunaan dari mengetahui lapisan batas atmosfer? Apa dampak tinggi rendah lapisan batas atmosfer bagi aktifitas masyarakat? Jawaban: Dengan memiliki pengetahuan terkait ketebalan lapisan atmosfer akan membantu pihak terkait utamanya dalam kegiatan mitigasi ataupun tindakan preventif kejadian bencana atau membahayakan masyarakat. Misalkan, ketika kita tahu bahwa keadaan cuaca cerah makan ketebalan lapisan atmosfer akan lebih rendah. Berarti partikel polutan akan terkonsentrasi dekat permukaan bumi dan ini tentu berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. -872- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting Beliung di Kabupten Gianyar, Bali Tanggal 10 Maret 2015) Interpretation Potential of Cloud Convective Rainfall Using Doppler Radar and Satellite MTSAT (Case Study of Mini Twister in the Gianyar, Bali Date March 10th, 2015) I Gusti Ayu Putu Putri Astiduari1,*), dan Maria Budiarti2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika 2 Badan Meteorologi KlimatologidanGeofisika *) E-mail : [email protected] ABSTRAK– Tantangan bagi seorang prakirawan cuaca dewasa ini yakni dapat memberikan prakiraan cuaca dan yang lebih utama yaitu peringatan dini yang tepat dan akurat terutama pada musim transisi. Pada musim transisi terdapat cukup banyak fenomena cuaca ekstrem yang terjadi di wilayah Indonesia seperti putting beliung. Radar cuaca dan satelit telah menjadi salah satu alat pendukung dalam proses analisis dan memprakirakan cuaca. Oleh karena itu dilakukan analisis dan interpretasi pada kasus putting beliung di Gianyar pada tanggal 10 Maret 2015 mengena iintensitas hujan yang dibawa oleh awan konvektifnya. Dari citra satelit dapat diketahui pertumbuhan awan konvektif dengan melihat time series brightness temperature-nya. Kemudian dari radar cuaca dapat diperoleh informasi mengenai tracking awan penyebab putting beliung tersebut berasal dan dari produk CMAX, reflektivitas awannya mencapai 63 dBz. Setelah citra radar cuaca dikonversi menjadi format .nc yang kemudian dikonversi menjadi format ASCII, dengan tujuan agar dapat diolah untuk diestimasi curah hujannya. Apabila penelitian ini dikembangkan, maka prakirawan dapat menggunakan metode ini sebagai pembantu dalam membuat peringatan dini. Kata kunci: Radar cuaca, Satelit, Intensitas Curah Hujan, Awan Konvektif ABSTRACT – The challenge for a weather forecaster nowadays is they can provide weather forecasts and more primary is early warning that precise and accurate, especially during the transition period. In the transitional seasons there are quite a lot of extreme weather phenomenas that occur in Indonesia, such as a mini twister. Weather radar and satellite have become one of the support tools in the process of analysis and weather forecasting. Therefore the analysis and interpretation in the case of the mini twister in Gianyar on March 10, 2015 regarding the intensity of the rainfall brought by it’s convective cloud. From satellite imagery, can be known the information about the growth of convective clouds as we can see through the time series of brightness temperature. Then from weather radar, we can get information about the cloud path regarding the cause of the mini twister came and from product CMAX, reflectivity of cloud is reaching 63 dBz. After a weather radar image is converted into a format .nc which is then converted to ASCII format, with the aim that can be processed to estimate rainfall. If the research is developed, the forecaster can use this method as a helper in making early warning. Keywords: Weather Radar, Satellite, Rainfall Intensity, Convective Clouds 1. PENDAHULUAN Bali termasuk daerah dengan pola hujan monsunal yang mengikuti pola pergerakan angin muson. Saat musim penghujan, sering terjadi fenomena cuaca yang terkait dengan hidrometeor. Namun, fenomena cuaca ekstrem tidak hanya terjadi pada musim penghujan saja, melainkan pada musim pancaroba juga, seperti adanya fenomena hujan lebat, hingga menyebabkan banjir, tanah longsor, selain itu puting beliung juga cukup sering terjadi di musim ini.Fenomena puting beliung berpengaruh pada kondisi perawanan, khususnya awan konvektif seperti awan Cumulus (Cu), dan Cumulonimbus (Cb). Sifat hujan yang dibawa oleh awan konvektif ini cenderung berdurasi singkat namum berintensitas tinggi sehingga perlu menjadi perhatian khusus. Alat yang dapat dipergunakan untuk mengobservasi posisi dan pergerakan serta potensi badai yang dibawa oleh awan adalah radar cuaca dan satelit. Radar doppler telah mampu memberikan informasi mengenai pergerakan dari obyek, di mana pada generasi sebelumya hanya menampilkan data reflektivitas (FCMSSR, 2005), sehingga pada generasi sekarang telah dapat memberi informasi mengenai kondisi cuaca pada derah terkait. Satelit cuaca dapat memberi informasi mengenai ketinggian awan dilihat dari atas dengan -873- Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.) memanfaatkan suhu puncak awannya. Klasifikasi awan dengan citra hasil pengamatan satelit juga berdasarkan tinggi puncak awan. Pada tingkat perkembangan awan-awan konvektif, yang paling tinggi adalah puncak Cumulonimbus (Cb) yang sedang berkembang, diikuti oleh Congestus (Cg), dan yan terendah yaitu Cumulus (Cu) yang kurang berkembang (sumber: satelit.bmkg.go.id). Selain itu, kandungan uap air yang terkandung di dalam suatu sel juga dapat membantu dalam mengategorikan jenis awan. Semakin putih awannya, maka mengindikasikan semakin padat awan yang ada dan dapat diidentifikasi sebagai Cumulunimbus (Cb). Radar dan satelit cuaca akan sangat membantu para pengamat dan prakirawan untuk memantau daerah yang sulit dijangkau akibat keterbatasan fasilitas pendukung, di mana data menjadi sulit didapatkan. Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba melakukan pengkajian mengenai potensi hujan yang dibawa oleh awan konvektif pada kasus puting beliung di wilayah Gianyar, Bali tanggal 10 Maret 2015 dengan memanfaatkan citra radar dan satelit. Adapun dari penelitian ini bila dapat dikembangkan lebih lanjut untuk ke depannya, semoga dapat membantu dalam memberikan peringatan dini kepada masyarakat terkait potensi cuaca buruk khususnya hujan yang dibawa oleh awan konvektif. 2. METODE Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian berupa analisis deskriptif dari studi kasus puting beliung yang terjadi di desa Sidan, Gianyar, Bali pada tanggal 10 Maret 2015 jam 09.10 UTC. Pertama, penulis melakukan survei ke daerah terdampak guna mewawancarai warga yang menjadi korban dari fenomena ini untuk memperolah informasi mengenai waktu kejadian dan seperti apa dampak yang diberikan oleh bencana tersebut. Kemudian dilakukan pengolahan data citra satelit dan radar untuk mengetahui seperti apa dinamika atmosfer dan potensi badai pada saat kejadian. Analisis akan dilakukan pada pukul 08.00 – 11.00 UTC tanggal 10 Maret 2015. 2.1 Peralatan dan Data Penelitian 2.1.1 Peralatan Penelitian Dalam menunjang penelitian ini digunakan beberapa peralatan untuk menunjang dalam proses penelitian yang dilakukan berupa aplikasi sebagai berikut: a. SATAID untuk mengolah data satelit b. EGDE untuk mengolah data radar c. JFEWS,dan Arc-GISuntuk mengolah data radar yang akan diestimasi curah hujannya. a. Pengolahan Citra Satelit Penggunaan kanal infrared (IR) merupakan distribusi suhu dan dapat diamati baik pada siang dan malam hari. Pada citra IR, bagian dari suhu rendah akan divisualisasikan dengan citra yang terang sedangkan bagian gelap bermakna suhu tinggi. Suhu yang rendah (dingin) menandakan awan tersebut berada pada ketingiaan yang lebih tinggi, sehingga warna terang akan mengindikasikan awan dengan ketinggian yang lebih tinggi. Suhu yang dingin tidak selalu menunjukkan puncak awan konvektif tetapi juga dapat ditunjukkan oleh awan – awan tinggi seperti Cirrus yang terdiri dari kristal-kristales. Kanal water vapour (IR3) dapat membantu untuk mendeteksi keberadaan awan Cumulunimbus. Kanal IR3 yang menggunakan radiasi dari kandungan uap air dapat digunakan untuk mengetahui jenis awan. Benda yang warnanya semakin putih dan padat akan semakin banyak memantulkan radiasi, sehingga akan berwarna lebih terang. Adapun kelebihan dari kanal infrared dan water vapor dibandingkan dengan kanal visible yaitu dapat dipakai baik pada siang hari maupun malam hari. b. Pengolahan Citra Radar Radar cuaca adalah alat untuk membantu mengamati cuaca secara khusus berupa awan, arah dan kecepatan angin dalam radius yang cukup luas hingga ratusan kilometer dengan resolusi kurang lebih 300 m (Zakir dkk., 2009). Radar cuaca merupakan alat penginderaan jarak jauh aktif, maksudnya radar mentransmitkan pulse yang akan mendeteksi keberadaan objek dan mengukur kekuatan reflektivitas dari objek tersebut, dimana bergantung pada komposisi dan diameter objek, khususnya pada objek hidrometeor. Pengolahan citra radar cuaca akan menggunakan software EDGE untuk radar EEC di Balai Besar Wilayah III Bali yang akan menghasilkan produk dengan rincian sebagai berikut: a. CMAX -874- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Menampilkan nilai echo maksimum yang didapatkan pengamatan radar pada suatu kolom. b. Stormtrack mengidentifikasi dan men-track sel badai (storm) dari pergerakan sel sebelumnya, dan sel yang sedang terbentuk saat ini. c. VIL (Vertical Integrated Liquid) Menampilkan prakiraan kandungan uap air secara vertikal yang terdapat pada lapisan atmosfer. c. Pengolahan Estimasi Curah Hujan Teknik yang dipakai dalam mengestimasi curah hujan pada penelitian ini adalah QPE (Quantitative Precipitation Etimation) yang akan mengestimasi curah hujan tanpa observasi aktual, khusunya menggunakan observasi remote sensing (Tanaka, 2014). Data QPE radar dalam format .nc dikonversi terlebih dahulu menjadi format ASCII dengan bantuan aplikasi JFEWS, yang selanjutnya dengan menggunakan aplikasi ArcGIS untuk diestimasi curah hujannya. 2.1.2 Data Penelitian Adapun data yang dipergunakan untuk penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Data citra satelit MTSAT tanggal 10 Maret 2015. b. Data radar cuacadari Balai Besar Wilayah III Bali tanggal 10 Maret 2015. 3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1 Deskripsi dari Warga Kejadian putting beliung terjadi di Desa Sidan, kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar pada koordinat sekitar 115o17’BT; 8o31’ LS. Penjelasan dari beberapa warga bahwa mereka melihat adanya pilin udara terbentuk dari ujung awan hitam yang besar sekitar pukul 17.00 WITA. Sebelum kejadian tersebut berlangsung, sekitar pukul 16.00 WITA, langit dengan cepat menjadi mendung, awan bertumbuh secara massif dan disertai angin yang kencang, beberapa saat setelahnya, mulai turun gerimis dengan panjang waktu yang tidak lama. Saat hujan berhenti, pilin udara mulai terbentuk dan menerbangkan atap-atap rumah dan pohon serta merusak bangunan pura, kemudian hujan turun kembali bersamaan dengan kejadiang putting beliung ini. Pada kenyataannya, sebelum memasuki desa Sidan, putting beliung ini telah melewati desa di sebelah utaranya, yaitu desa Guliang, Bangli. Menurut penuturan Jero Wayan Sujigra selaku kepala Bendesa Adat Sidan, Gianyar, putting beliungt ersebut, bergerak dari Utara menuju Selatan, kemudian berbelok dari Barat ke Timur. Putting beliung ini muncul dan menghilang (berlompat-lompat). Hampir 95% rumah warga rusak, dengan jumlah 7 rumah warga yang rusak parah, sekitar 5 orang luka-luka dengan 1 orang hingga dirawat ke rumah sakit. Berdasarkan kriteria pengklasifikasian dari Enhanced Fujita scale, kondisi ini masuk ke dalam skala F0-F2, di mana dicirikan dengan beberapa kejadian, seperti: cabang pohon patah; pohon berakar dangkal tumbang; jendela rumah rusak; genteng atap rumah terbang; mobil terbalik; atau berbalik arah; atap rumah tercabut; mobil rusak; pohon besar tumbang; dan benda ringan terlempar seperti misil (sumber: http://www.spc.noaa.gov/faq/tornado/f-scale.html). 3.2 Citra Satelit MTSAT Pada grafik time series suhu puncak awan yang diambil dari data Brightness Temperature citra satelit MTSAT tanggal 10 Maret 2015 dapat diketahui bahwa pada saat kejadian putting beliung adalah saa tawan konvektif sedang mengalami pertumbuhan, terlihat dari suhu yang semakin rendah sejak pukul 04.00 UTC hingga pukul 18.00 UTC. -875- Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.) S U H U Grafik Suhu Puncak Awan Tanggal 10 Maret 2015 Koordinat 115o17' BT; 8o31' LS 11,5 8,1 8,6 20 0 -14 A -19,4 -21,5 W -20 -37,4-33,8 P -38,9-38,9 -41,5 -42,6 A -46,6 -51,6 -52,1-50,3 -56,5 -52,1 U -40 -58,6-61,7-60,4 N -63-59,8 N -60 -74,9 C -80 A 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 K S Puncak Awan (C) -52 -43 -19 -14 12 8,1 8,6 -22 -37 -34 -52 -50 -42 -57 -47 -59 -62 -60 -75 -63 -60 -52 -39 -39 Waktu (UTC) Gambar1. GrafikTime SeriesSuhuPuncakAwan di desaSidan Dengan menggunakan citra satelit MTSAT kanal water vapor (IR3) dapat dilihat posisi awan Cb yang menyebabkan adanya putting beliung. Bagian awan yang lebih putih menandakan kandungan uap air yang lebih banyak dibandingkan dengan awan yang berwarna lebih keabuan. Gambar2. Citra Satelit kanal IR3 pada Wilayah Bali Pukul 08.00 – 11.00 UTC Sejak pukul 08.00 UTC, awan berkembang dan bergerak dari arah Barat menuju Timur, kemudian antara pukul 09.00 dan pukul 10.00 UTC ada pertumbuhan awan yang sangat massif di atas pulau Bali (kemungkinan terjadi pertumbuhan sel-sel awan konvektif baru pada rentang waktu ini), di mana tepatnya pada pukul 09.10 UTC terjadi putting beliung di daerah desa Sidan. Selanjutnya awan bergerak kearah Timur hingga pukul 11.00 UTC yang akhirnya mulai pecah dan bergabung dengan awan di sebelah Selatannya. 3.3 Citra Radar 3.3.1 ProdukStormtrack Dari hasil olahan produk stormtrack yang di disetting untuk awan dengan reflektivitas di atas 30 dBz, terlihat bahwa pergerakan awan bibit badai sebelum putting beliung terjadi bergerak dari Barat menuju ke Timur di mana pada pukul 09.00 UTC mulai tumbuh di daerah perbatasan Kabupaten Klungkung dan Gianyar. Jadi awan penyebab putting beliung ini bukanlah berasal dari bagian barat pulau Bali, melainkan merupakan awan yang tumbuh dengan sangat cepat tepat di atas desa Sidan. -876- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 (a) Pukul 08.00 UTC (b) Pukul 08.30 UTC (c) Pukul 09.00 UTC (d) Pukul 09.30 UTC (e) Pukul 10.00 UTC (f) Pukul 10.30 UTC Gambar 3. Produk Stormtrack Pukul 08.00 – 10.30 UTC 3.3.2 Produk CMAX (a) Pukul 08.00 UTC (b) Pukul 08.30 UTC -877- (c) Pukul 09.00 UTC Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.) (d) Pukul 09.30 UTC (e) Pukul 10.00 UTC (f) Pukul 10.30 UTC (g) Pukul 11.00 UTC Gambar4. Produk CMAX Pukul 08.00 – 11.00 UTC Produk CMAX menunjukkan nilai intensitas (reflektivitas) maksimum antara dua ketinggian untuk setiap sel dari suatu volume. Bibit sel badai mulai tumbuh pada pukul 08.00 UTC, dan setiap kelipatan 10 menit terus mengalami kenaikan reflektivitas yang menandakan sel mengalami pertumbuhan. Waktu pertumbuhan awan (sel badai) sejak baru tumbuh hingga terjadi putting beliung sangat cepat, hanya dalam waktu 1 jam saja, dan pada titik terjadinya putting beliung baru teramati adanya kenaikan reflektivitas 20 menit sebelum kejadian, di mana puncaknya yaitu pada pukul 09.10 UTC dengan nilai reflektivitas maksimum 63 dBz dan kemudian berangsur – angsur terus mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Gambar 5. Grafik CMAX Tanggal 10 Maret 2015 Koordinat 115o17’ BT; 8o31’ LS C M A X 70 50 30 10 -10 Series1 48 0 0 0 53 58 63 58 38 0 23 18 10 -10 -10 -10 0 -10 0800 0810 0820 0830 0840 0850 0900 0910 0920 0930 0940 0950 1000 1010 1020 1030 1040 1050 1100 0 0 0 0 48 53 58 63 58 38 23 18 -10 10 -10 -10 0 0 -10 Waktu (UTC) Gambar5. Grafik Time Series Nilai Reflektivitas di desa Sidan 3.3.3 0 Produk VIL (a) Pukul 08.00 UTC (b) Pukul 08.30 UTC -878- (c) Pukul 09.00 UTC Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 (d) Pukul 09.30 UTC (e) Pukul 10.00 UTC (f) Pukul 10.30 UTC (g) Pukul 11.00 UTC Gambar6. Produk VIL Pukul 08.00 – 11.00 UTC Vertical Integrated Liquid (VIL) menampilkan kandungan air yang terdapat pada suatu kolom awan secara vertikal. Pada awal kemunculan bibit awan badai penghasil putting beliung di radar, kandungan air secara vertikal hanya berkisar 0,5 kg/m2. Selanjutnya,pada setiap kelipatan 10 menit dari citra radar, terlihat adanya pertumbuhan awan ditinjau dari makin luasnya cakupan awan yang terlihat dari kandungan air dalam satu kolom vertikal awan dengan puncak pertumbuhan berada pada pukul 09.10 UTC (tidak ditampilkan) dimana jumla hkandungan air mencapai 20,00 kg/m2 di bagian inti awan badai. Setelah mencapai pertumbuhan puncak, citra radar mulai menunjukkan penurunan jumlah kandungan air pada inti awan badai, walaupun luas area awan bertambah. 3.4 Estimasi Curah Hujan Dari grafik estimasi curah hujan yang diolah terlebih dahulu pada ArcGIS pada koordinat115o17’BT; o 8 31’LS di atas didapat bahwa setelah pukul 10.20 UTC hujan diestimasi sebesar 0,3 mm. Bila disesuaikan dengan penjelasan dari warga yang menyatakan bahwa pada saat sebelum, saat kejadian dan sesudah keajdian terdapat hujan secara terputus – putus. Ini kemungkinan terjadi sesuatu yang lebih bersifat teknis saat pengkonversian dari data .vol menjadi .nc. Tetapi secara umum, adapun bentuk dari awan saat di olah pada ArcGIS dengan tampilan awan pada aplikasi EEC dan SATAID telah cukup mirip. Semoga kedepannya data akan semakin baik lagi. Estimasi Curah Hujan C U R A H H U J A N 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Estimasi RR 080 081 082 083 084 085 090 091 092 093 094 095 100 101 102 103 104 105 110 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Waktu (UTC) Gambar 7. Grafik Time SeriesEstimasi Curah Hujan di desa Sidan -879- 0 0 0,3 0,3 0,3 Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.) 4. KESIMPULAN Adapun dari penelitian ini didapat kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari olahan citra satelit bahwa puting beliung terjadi saat awan badai sedang dalam keadaan bertumbuh. 2. Dari olahan radar, puting beliung terjadi saat mencapai reflektivitas maksimumnya, di mana bibit awan badai bukanlah berasal dari awan di bagian Barat Bali, namun dari pertumbuhan awan baru yang sangat cepat bertumbuh. 3. Dari estimasi curah hujan, didapat hasil yang kurang memuaskan(underestimate), dimungkinkan karena adanya reflektivitas yang hilang saat data raw dirubah menjadi format .nc (data QPE). 5. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kami ucapkan kepada Pak Idaam Hairuly Umam, S.Si dan Raaina Farah Nur Annisa atas bantuannya dalam membantu penyelesaian makalah ini. DAFTAR PUSTAKA BMKG. Lampiran 1 : Prosedur Identifikasi Awan Dengan Citra Satelit Mtsat. Diunduh Tanggal 12 Juni 2016 Darisatelit.Bmkg.Go.Id/Bmkg/Other/Pdf/7.%20prosedur%20identifikasi%20awan.Pdf Fcmssr. (2005). Doppler Radar Meteorological Observations (Part B: Doppler Radar Theory And Meteorology). Washington, Dc. Noaa. Fujita Tornado Damage Scale. Http://Www.Spc.Noaa.Gov/Faq/Tornado/F-Scale.Html. Tanggalakses : 5 Desember 2015. Tanaka, N. (2014). Quantitative Precipitation Etimation. Regional Training Workshop On Weather Radar Basis & Routine Maintenance And Real-Time Radar Rainfall & Forecasting. Bangkok. Zakir, A., Sulistya, W., dan Mia K.K., (2009). Perspektifoperasionalcuacatropis. Bmkg. Jakarta. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah : Dr. Indah Prasasti : Interpretasi Potensi Curah hujan Dari Awan konvektif Dengan Menggunakan Radar Doppler & Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting Beliung di Kab. Bangli, Bali. Tanggal 10 Maret 2015) Nama Pemakalah : I Gusti Ayu Putu Putri Asti Duari (STMKG) Diskusi : Pertanyaan: Ninong Komala (LAPAN) 1. Seberapa pentingkah data wawancara? 2. Untuk mendeteksi adanya puting beliung, berapakah waktu yang ideal untuk data yang tepat digunakan? Jawaban: 1. Data wawancara penting untuk melakukan crosscheck di lapangan, karena banyak data dari BNPB tercatat sebagai puting beliung padahal hanya angin biasa (bukan puting beliung). Sehingga wawancara sangat diperlukan untuk mengetahui kebenaran di lapangan 2. Jangka waktu yang ideal berdasarkan referensi adalah sekitar 6 jam sebelum terjadinya puting beliung Pertanyaan: Boni Septian (BMKG) 1. Apakah terdapat signature khusus selain suhu? Misalnya seperti citra satelit untuk mendeteksi puting beliung? 2. Apakah sudah dilakukan crosscheck dengan hasil wawancara warga terhadap estimasi curah hujan yang underestimated? Jawaban: 1. Untuk saat ini penulis belum mengetahui terkait signature lain selain suhu. 2. Estimasi curah hujan memang underestimated, dan wawancara perlu dilakukan untuk membuktikan kebenaran terjadinya puting beliung. Berdasarkan hasil wawancara, Kepala Desa mengatakan ada hujan 1 -880- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 jam sebelum dan beberapa jam setelah puting beliung, sedangkan estimasinya hanya ada hujan setelah puting beliung terjadi -881- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014) Utilization of Weather Radar to Identify Squall Line (Case Study Tarakan, North Borneo Province July 17, 2014) Muhammad Hermansyah Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, BMKG [email protected] ABSTRAK - Hujan lebat dan angin kencang akan sangat berbahaya apabila tidak dideteksi secara dini sebagai bahan peringatan cuaca ekstrem kepada masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan berbagai kajian mengenai fenomena cuaca yang dapat mengakibatkan cuaca ekstrem. Salah satunya berkaitan dengan kemunculan fenomena squall line dari pengamatan radar cuaca di Tarakan Kalimantan Utara pada tanggal 17 Juli 2014. Berdasarkan laporan Stasiun Meteorologi Tarakan, kecepatan angin akibat squall line mencapai 51 km/jam. Fenomena cuaca ini sangat berbahaya karena terdiri dari barisan awan cumulonimbus yang dapat mengakibatkan cuaca ekstrem seperti hujan lebat, angin kencang dan badai guntur. Selain itu dapat mengakibatkan turbulensi yang membahayakan pesawat terbang. Analisis squall line dilakukan dengan menggunakan data reflektifitas dan velocity radar cuaca doppler produk Cmax, Srv dan Vcut. Fase awal pertumbuhan squall line dapat dideteksi berdasarkan pembentukan beberapa single cell yang menunjukkan pertumbuhan awan konvektif tunggal. Pada fase matang, pola squall line terlihat jelas dengan terbentuknya multi cell yang terdiri dari wilayah konvektif dan stratiform. Wilayah konvektif merupakan daerah pertumbuhan awan cumulonimbus dengan nilai reflektifitas 30-55dBZ dan memiliki potensi hujan lebat. Sedangkan wilayah stratiform memiliki nilai reflektifitas 10-30 dBZ dengan potensi hujan ringan hingga sedang. Data velocity produk Srv menunjukkan pola konvergensi atau pertemuan arus angin di sepanjang wilayah konvektif pada fase matang. Sementara Produk Srv Vcut mendeteksi kecepatan angin maksimum sekitar 45-60 km/jam yang bergerak ke arah timur mendekati pusat radar. Pada fase akhir sistem squall line, data velocity menunjukkan pola divergensi atau penyebaran arus angin yang mengindikasikan berakhirnya squall line serta berakhirnya potensi cuaca ekstrem. Kata kunci: Squall line, Cuaca ekstrem, Radar cuaca, Cumulonimbus ABSTRACT - Heavy rains and strong winds will be very dangerous if not detected early as a matter of extreme weather warnings to the public. It is necessary for studies concerning weather phenomena which can lead to extreme weather. One of them relates to the emergence phenomenon squall line of weather radar observations in Tarakan North Borneo on July 17, 2014. Based on the report from Meteorological Station Tarakan, wind speed due to the squall line reaches 51 km / h. This weather phenomenon is very dangerous because it consists of a row cumulonimbus cloud that can lead to extreme weather such as heavy rain, strong winds and thunderstorms. Moreover, it can cause turbulence that endangers aircraft. Squall line analysis conducted using reflectivity and velocity data of Doppler weather radar product Cmax, Srv and Vcut. The early phases of growth squall line can be detected by the formation several single cells that show the growth of a single convective cloud. In the mature phase, the pattern is clearly visible squall line with the formation multi-cell consisting of the convective and stratiform region. Convective region is an area of growing cumulonimbus clouds with 30-55dbZ reflectivity value and potential heavy rain. While the stratiform region has a reflectivity value 10-30dbz and has the potential of light rain to moderate rain. Velocity data on Srv products showed a pattern convergence or meeting of wind currents that occur in mature stage along the convective region. While products Srv Vcut detected maximum wind speed of about 45-60 km / h moving eastward closer to the radar center. In the final phase of the squall line system, the velocity data show pattern divergence or spread wind flow which indicates the end of the squall line and the end of extreme weather potential. Keywords: Squall line, Extreme Weather, Weather Radar, Cumulonimbus 1. PENDAHULUAN Tarakan merupakan wilayah kepulauan di sebelah timur Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang memiliki pola hujan equatorial dengan dua puncak hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Kejadian hujan lebat dan angin kencang sering terjadi pada malam hari namun belum diketahui pasti penyebabnya. Berdasarkan pengamatan cuaca Stasiun Meteorologi Tarakan, pada tanggal 17 Juli 2015 melaporkan adanya kejadian hujan disertai angin kencang hingga mencapai kecepatan -882- Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014) (Hermansyah, M.) 51 km/jam yang terjadi pada malam hari. Hal ini didukung oleh data radar cuaca yang menunjukkan adanya barisan memanjang awan cumulonimbus yang disebut sebagai fenomena Squall line. Squall line yang terjadi di wilayah Kalimantan Utara merupakan kajian yang cukup menarik untuk di teliti karena dapat menghasilkan cuaca ekstrem seperti hujan deras, angin kencang, hujan es besar, dan petir. Selain itu keberadaan squall line sangat berbahaya untuk penerbangan karena dapat mengakibatkan turbulensi yang menyebabkan kerugian bagi penerbangan seperti kecelakaan, kerusakan pesawat, kerugian bahan bakar, dan penundaan penerbangan. International Civil Aviation Organization (ICAO) mencatat kecelakaan akibat turbulensi pada periode 2012-2014 mencapai 47 kecelakaan, atau sekitar 16% dari total 287 kecelakaan. Kemajuan teknologi saat ini mampu menghasilkan instrumentasi peralatan pengamatan cuaca yang dapat mendeteksi berbagai unsur dan fenomena cuaca seperti squall line secara realtime. Salah satunya adalah radar cuaca yang diharapkan dapat mendeteksi fase pertumbuhan dan sistem struktur squall line. Manfaat dari penelitian ini sebagai salah satu upaya meningkatkan pemahaman tentang pola squall line yang terbentuk di wilayah Kalimantan Utara berdasarkan pengamatan radar cuaca doppler. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk penelitian lebih lanjut terhadap fenomena squall line serta secara khusus dapat meningkatkan sistem peringatan dini cuaca ekstrem akibat fenomena squall line. 2. METODE 2.1 Data, Peralatan, Dasar Teori Radar cuaca adalah alat pengamatan cuaca yang mampu menyediakan pengukuran kuantitatif dari gust front, windshear, microbursts, dan deteksi dini bahaya cuaca (Wardoyo, 2015). Selain itu radar cuaca digunakan untuk mendeteksi dan melacak fenomena cuaca buruk secara realtime dalam upaya memberikan peringatan dini. Dalam melakukan pengamatan cuaca, radar memancarkan gelombang elektromagnetik yang dihasilkan transmitter melalui waveguide hingga ke antenna sistem dan disebarkan ke atmosfir. Keunggulan radar cuaca dibandingkan dengan pengamatan penginderaan jauh yang lainnya adalah kemampuan gelombang elektromagnetik yang dipancarkan radar cuaca dalam menembus ke dalam struktur awan hujan dan mengambil sampling dari kondisi droplet yang ada dalam struktur awan hujan dan badai sehingga mampu memberikan gambaran secara detail dan cepat tentang kondisi serta struktur dari awan badai. Radar memiliki bermacam-macam kelas yang dibedakan berdasarkan kegunaan dan material yang diamati, jenis penggunaan dan juga frekuensi operasional. Khusus pengamatan radar cuaca, yang paling berperan adalah klasifikasi radar cuaca berdasarkan frekuensi kerja yang digunakan radar dalam melakukan pengamatan. Kelas dan jenis radar berdasarkan frekuensi radar cuaca dibagi menjadi beberapa kelas pada (Gambar 1) di bawah ini. Gambar 1. Band Frekuensi dan Panjang Gelombang Radar Cuaca Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengamatan radar cuaca adalah frekuensi dan panjang gelombang (Wavelength), yang digambarkan dalam persamaan sebagai berikut: f = c/Λ ……………………..................................................................................................................................(1) di mana f adalah Frekuensi dalam hertz (1 Hz = 1 Cycle/detik), c adalah kecepatan rambat cahaya biasanya diukur dalam m/dtk dan Λ adalah panjang Gelombang (wavelength). -883- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Data radar cuaca doppler dapat diolah menjadi beberapa produk berdasarkan kebutuhan dan karakteristik sebagai berikut (Wardoyo, 2015): 1. Reflektifitas (Z) Menyatakan besaran reflektifitas energi yang kembali dari obyek dan tergantung pada ukuran, bentuk, dan komposisi objek. Radar cuaca menampilkan lokasi dan intensitas (reflektifitas) dari target meteorologi seperti hujan dan badai. Semakin besar objek dan energi yang diterima maka semakin besar nilai dBZ-nya. Gambar 2. Nilai dBZ dan Fenomena Berdasarkan Gambar 2 klasifikasi fenomena dan nilai reflektifitas di atas, hal paling penting yang harus dipahami dalam melakukan analisis nilai reflektiftas adalah mengenali karakteristik echo presipitasi dan non presipitasi, mengingat begitu lebarnya range intensitas echo clutter yang memiliki nilai yang hampir sama dengan kondisi semua fenomena meteorologi yang ada sehingga sangat penting untuk mengetahui karakterisik dari clutter echo dan menghindari kesalahan interpretasi. Skala dBZ pada nilai reflektiftas berkisar 5 - 75 yang dinyatakan dengan gradasi warna biru langit hingga ungu muda. Jika gradasi warna semakin ke arah ungu maka semakin tinggi intensitas hujannya. Kisaran intensitas hujan berdasarkan skala warna dBZ dan mm/jam disajikan seperti dalam tabel berikut: Tabel 1. Kisaran Intensitas Hujan Berdasarkan Skala dBZ Kategori Intensitas Hujan Nilai dBZ Hujan ringan 30 s/d 38 Hujan sedang 38 s/d 48 Hujan lebat 48 s/d 58 Hujan sangat lebat >58 Sumber: BMKG Mm/Jam 1 s/d 5 5 s/d 10 10 s/d 20 >20 2. Velocity (V) Radar doppler dapat mengukur gerakan target menuju atau menjauh dari radar kemudian digunakan untuk menentukan kecepatan angin. Radar doppler mengukur kecepatan secara rutin dan digunakan untuk mendeteksi kecepatan angin, tornado, angin topan. Data velocity juga memberikan gambaran tentang fase sistem hujan atau badai, apakah sedang masa tumbuh, matang atau proses peluruhan sehingga dapat memprediksi peluang dan durasi hujan. Pola couplet echo velocity juga memberikan informasi tentang adanya potensi rotasi. Selain itu data velocity dipergunakan sebagai media validasi terhadap echo reflektifitas/intesitas untuk mengenali echo meteorologi, karena umumnya pola hujan memiliki pola yang berbeda dengan echo lainnya. Dan khususnya untuk echo Ground Clutter memiliki nilai kecepatan radial nol. Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan adalah radar cuaca doppler C band (4-8 GHZ) yang berada di Stasiun Meteorologi Tarakan Kalimantan Utara. Data yang digunakan adalah reflektifitas atau besaran energi yang kembali dari obyek dan data radial velocity yang dapat mengukur gerakan target menuju atau menjauh dari radar sehingga dapat menentukan pola dan kecepatan angin akibat squall line. -884- Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014) (Hermansyah, M.) 2.2 Metodologi Penelitian Model penelitian ini berupa studi kasus yang terjadi di wilayah Tarakan Kalimantan Utara ketika terbentuknya fenomena squall line. Pemilihan model ini digunakan untuk memahami pertumbuhan squall line berdasarkan prinsip radar cuaca doppler. Pengolahan data menggunakan aplikasi EDGE (Enterprise Doppler Graphics Environment) dengan menggunakan produk data sebagai berikut: a. CMAX (Maximum Reflektifity) Produk yang menggambarkan nilai reflektifitas maksimum antara dua ketinggian untuk setiap sel dari volume. Dengan kata lain, mampu menunjukkan reflektifitas terdeteksi maksimum dari setiap pixel antara ketinggian pengguna yang dipilih, termasuk profil Timur-Barat dan Utara-Selatan dari maksimum di panel samping. b. SRV (Storm Relatif Velocity) Produk yang digunakan untuk menunjukkan nilai kecepatan radial lokal relatif terhadap pergerakan badai. Produk ini baik untuk analisis rinci medan angin dasar dari data kecepatan radial. Detail lokal dari medan angin (misalkan putaran, divergensi, konvergensi) lebih bagus terlihat setelah membuang angin dasar. c. VCUT (Vertical Cut) Produk atau tool ini bermanfaat untuk mengetahui posisi ketingian dari echo reflektifitas tertinggi yang ada dalam satu wilayah tertentu. Selain itu melalui Vcut analisis pada produk velocity dapat diketahui aliran udara secara vertikal yang mampu menggambarkan informasi fase perkembangan dari sel awan hujan. Suatu sistem hujan yang teramati di wilayah sekitar radar cuaca, baik pergerakan, intensitas dan fase pertumbuhan sistem hujan dengan melihat pergerakan masa udara dalam struktur awan melalui data velocity dengan menggunakan Vcut. Titik Start dan Stop cross section/Vcut dapat dipilih dengan menggunakan mouse secara interaktif. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Reflektifitas 18.00 18.30 Single Cell 19.00 19.30 Gambar 3. Citra Radar Cuaca Produk CMAX Pukul 18.00- 19.30 Wita Pembentukan squall line terdiri dari tiga fase yaitu fase awal, fase dewasa, dan fase akhir. Analisis fase awal dari fenomena squall line pada tanggal 17 Juli 2014 di Kalimantan Utara dapat dideteksi berdasarkan data reflektifitas radar cuaca (gambar 3) produk Cmax pukul 18.00 Wita. Indikasi awal fase ini ditandai pembentukan beberapa single cell dengan nilai reflektifitas 40 hingga 50 dBZ di sebelah barat hingga barat -885- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 laut dari pusat radar. Pada fase ini mengindikasikan sel awan konvektif tunggal yang terjadi karena pengangkatan massa udara yang panas (Kusumo dkk., 2007). Berdasarkan fase pembentukannya (Gambar 3) antara jam 18.00 dan 19.30 Wita, pertumbuhan squall line masuk dalam kategori broken line. Kategori ini dicirikan dengan pembentukan tiap sel awan yang tumbuh dalam jarak yang berdekatan. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan squall line secara umum terbentuk dalam broken line (Meng dkk., 2012). Wilayah Konvektif Wilayah Stratiform (a) (b) Gambar 4. (a) Citra Radar Cuaca Produk CMAX, dan (b) Citra Radar Cuaca Produk SRV Pukul 20.30 Wita Echo presipitasi dari pengamatan radar cuaca dapat ditentukan dari dua jenis yaitu konvektif dan stratiform (Raghavn, 2003). Pada fase matang (Gambar 4a) pola squall line dapat dilihat jelas dengan terbentuknya multi cell atau sel awan berkelompok yang terdiri dari wilayah konvektif dan stratiform. Wilayah konvektif merupakan wilayah pertumbuhan awan cumulonimbus yang terletak di depan sistem multi cell membentuk garis dengan nilai reflektifitas 30-55 dbZ dan memiliki potensi cuaca ektrem seperti hujan lebat, angin kencang serta badai guntur. Selain itu sepanjang wilayah konvektif juga berpotensi terjadinya downdraft yang dapat mengakibatkan turbulensi bagi penerbangan sehingga sangat membahayakan bagi pesawat terbang yang melewati wilayah tersebut. Sementara wilayah stratiform yang terletak di belakang sistem multicell hanya memiliki nilai reflektifitas sekitar 10-30 dBZ dengan potensi hujan ringan hingga sedang dari jenis awan stratus dan stratocumulus. 3.2 Analisis Radial Velocity Kemampuan radar cuaca doppler tidak hanya mampu mendeteksi objek meteorologi, akan tetapi dapat mengamati gerakan objek tersebut mendekati ataupun menjauhi pusat radar (Wardoyo, 2015). Indikator warna mengambarkan nilai kecepatan Doppler (Doppler velocity) mendekati atau menjauhi radar. Nilai negatif menunjukkan pergerakan objek mendekati radar. Sedangkan nilai positif menunjukkan arah menjauhi radar. Analisis data velocity produk Srv (Gambar 4b) menggambarkan pola konvergensi atau pertemuan arus angin pada fase matang di wilayah konvektif. Pergerakan angin bernilai positif (warna merah) bergerak menjauhi radar dan bertemu langsung angin bernilai negatif (warna hijau) yang bergerak mendekati radar. Hasil ini didukung penelitian sebelumnya yang menyatakan wilayah konvektif ini sangat sempit (2 km) dari bagian depan sistem yang merupakan daerah arus naik yang kuat dan konvergensi (Yu dan Jou, 2005). 3.3 Analisis Vcut (Cross Section) Untuk mengamati struktur sel awan secara vertikal ke atas pada pembentukan squall line digunakan tool cross section yang disebut Vcut. Secara umum analisis Vcut sepanjang wilayah konvektif (Gambar 5a) menunjukkan nilai reflektifitas tinggi (30-50 dbZ) hingga ketinggian 7 km. Namun apabila diperhatikan secara detail pada wilayah konvektif tersebut terdapat pula nlai reflektifitas yang lebih rendah sekitar 20-30 dBZ. Dalam penelitian lain menyatakan echo lemah sepanjang garis squall line menggambarkan wilayah inflow (Weisman, 2001) yang merupakan arus gerakan vertikal akibat peningkatan penguapan. -886- Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014) (Hermansyah, M.) Hasil Vcut Vertikal Wilayah Konvektif Wilayah Stratiform Inflow Arah Vcut Vertikal (a) Hasil Vcut Horisontal Wilayah Konvektif Wilayah Stratiform Mature cell pada Arah Vcut Horisontal New cell cell (b) Gambar 5 (a). Citra Radar Cuaca Produk CMAX (Kiri) dan Vcut CMAX Vertikal (kanan), dan (b). Citra Radar Cuaca Produk CMAX (kiri) dan Vcut CMAX Horisontal (kanan) Pukul 21.50 Wita Vcut/Cross section horizontal (Gambar 5b) yang memotong wilayah konvektif hingga stratiform menggambarkan inti mature cell dengan nilai reflektifitas yang sangat tinggi sekitar 50-60 dBZ (warna merah hingga ungu) hingga mencapai ketinggian 5 km. Hal ini mengindikasikan wilayah tersebut merupakan daerah konvektif dengan potensi cuaca ekstrem. Di belakang mature cell terbentuk wilayah stratiform dengan reflektifitas yang lebih rendah sekitar 30 hingga 40 dBZ (warna kuning) dengan potensi hujan ringan hingga sedang dalam cakupan wilayah yang lebih luas dari wilayah konvektif. Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang menyatakan wilayah konvektif memiliki nilai reflektifitas yang lebih tinggi dari wilayah stratiform (Centrone dan Houze, 2011). Sementara di depan wilayah konvektif terdeteksi pertumbuhan sel awan yang akan membentuk yang wilayah konvektif baru. Arah Vcut Nilai Maksimum (a) (b) Gambar 6 (a) Citra Radar Cuaca Produk SRV, dan (b) Citra Radar Cuaca Produk Vcut SRV Pukul 21.50 Wita -887- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Cross section pada produk Srv dari arah timur ke barat (Gambar 6a) menghasilkan pola angin secara vertikal yang ditampilkan (Gambar 6b) menunjukkan arah angin lapisan bawah sel (warna hijau) mendekati radar dan bagian atas sel (warna merah) bergerak menjauhi radar membentuk anvil cloud. Sedangkan pada ketinggian 3 s/d 4 km terjadinya konvergensi atau pertemuan angin yang mengindikasikan adanya percampuran gerakan updfat dan downdraft di dalam sel awan. Analisis kecepatan angin maksimum pada bagian bawah sel awan sekitar -19 hingga -32 knot. Hal ini menunjukkan potensi angin kencang mencapai 19-32 knot atau sekitar 35-59 km/jam ke arah timur mendekati pusat radar dan dapat mengakibatkan turbulensi yang membahayakan pesawat terbang. 3.4 Analisis Kombinasi Reflektifitas dan Radial Velocity Data velocity produk Srv pukul 23.50 Wita (Gambar 7a) membentuk pola divergensi atau pergerakan angin saling menjauhi. Dalam waktu yang sama data reflektifitas produk Cmax menunjukkan pertumbuhan squall line mulai melemah. Wilayah konvektif terlihat kurang jelas dari sebelumnya sehingga dapat diindikasikan sistem squall line memasuki fase akhir. Penelitian sebelumnya menyatakan pada fase akhir wilayah konvektif yang terjadi menjadi lebih lemah dan dan tipis karena upshear yang terjadi semakin kuat (Kusumo dkk., 2007). (a) (b) Gambar 7 (a) Citra Radar Cuaca Produk SR, dan (b) Citra Radar Cuaca CMAX Pukul 23.50 Wita 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa radar cuaca memiliki peranan penting dalam mendeteki fenomena squall line yang dapat mengakibatkan potensi cuaca ekstrem. Indikasi fase awal squall line ditandai pembentukan beberapa single cell dengan nilai reflektifitas 40 hingga 50 dBZ yang menunjukkan pertumbuhan awan konvektif tunggal. Pada fase matang sistem squall line dapat terlihat jelas dengan terbentuknya multi cell yang terdiri dari wilayah konvektif dan stratiform. Pada wilayah konvektif nilai reflektifitas cukup tinggi sekitar 45-60 dbZ dengan potensi hujan lebat hingga hujan sangat lebat. Sedangkan pada wilayah stratiform nilai reflektifitas hanya berkisar 10-30 dbZ dengan potensi hujan ringan hingga sedang. Hasil analisis data velocity menunjukkan pola konvergensi atau pertemuan arus angin yang terjadi pada fase matang di sepanjang wilayah konvektif. Kecepatan angin maksimum sekitar 45-60 km/jam yang bergerak ke arah timur mendekati pusat radar. Sementara analisis velocity pada fase akhir dari sistem squall line menunjukkan pola divergensi atau penyebaran arus angin yang mengindikasikan berakhirnya fenomena squall line yang diikuti dengan berakhirnya potensi cuaca ekstrem. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih kepada Kepala dan staff Stasiun Meteorologi Tarakan yang telah memberikan data. Kepada Bapak Eko Wardoyo, M.T. dan Bapak Ramlan, M.S.i selaku pembimbing yang selalu memberikan saran dan masukannya. Kepada Istri dan anakku tercinta, Ratna Fitriani dan Fatih Abdullah Hermansyah yang selalu mendukung dalam penulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Centrone, J., dan Houze, R. (2011) Leading and Trailing Anvil Clouds of West African Squall Lines. Department of Atmospheric Sciences, University of Washington, Seattle, Washington. 68:1114-1123. -888- Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014) (Hermansyah, M.) Kusumo, B.A, Rahmawati, D.A., Ayunityas, D.A., Akbari, D., dan Abdillah, M.R. (2007). Simulasi Fenomena Squall Line Sumatera dengan Model WRF. Institut Teknologi Bandung Bandung –ITB. Meng, Z., Yan, D., dan Zhang, Y. (2012). General Features of Squall Lines in East China. Laboratory for Climate and Ocean–Atmosphere Studies. Peking University, Beijing, China. 141:1629-1646. Othman, A., dan Gloaguen, R. (2013). River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment: A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq–W Iran. Remote Sensing, 5(3):1024-1044. Raghavn (2003). Radar Meteorologi. Atmospheric And Oceanograpic Sciences Library. India Meteorological Departement, India. Yu , C.K., dan Jou, B.J.D. (2005). Radar Observations of the Diurnally Forced Offshore Convective Lines along the Southeastern Coast of Taiwan. Department of Atmospheric Sciences, University of Washington, Seattle, Washington. 133:1613-1636). Wardoyo, E. (2015). Radar Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. Weisman, M.L. (2001). Bow Echoes: A Tribute to T. T. Fujita.A.Boulder. National Center for Atmospheric Research. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Nama Pemakalah Diskusi : Pemanfaatan Radar Cuaca Untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014) : Muhammad Hermansyah (STMKG) : Pertanyaan: Dr. Ety Parwati (Pusfatja LAPAN) Apakah sistem peringatan dini cuaca ekstrem akibat fenomena squall line sudah ada saat ini?Seberapa cepat informasi tentang sistem peringatan dini cuaca ekstrem akibat fenomena squall line diperoleh masyarakat sebelum terjadinya cuaca ekstrem? Jawaban: Saat ini sistem peringatan dini cuaca ekstrem sudah ada. Sistem ini dilakukan Oleh BMKG. Namun sistem warning cuaca ekstrem secara khusus akibat fenomena squall line belum ada. Hal ini dikarenakan fenomena squall line sangat jarang terjadi di Indpnesia. Selain itu, karakteristik pertumbuhan dan pembentukan squall line juga berbeda di setiap wilayah/kota. Hal ini disebabkan topografi setiap wiayah yang berbeda. Berdasarkan penelitian ini, informasi sistem peringatan dini akibat squall line dapat diperoleh masyarakat kurang lebih sekitar 1 jam sebelum terjadinya cuaca ekstrem. -889- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan dengan Menggunakan Satelit Dan Radar di Wilayah Bandar Lampung Comparative Analysis of Rainfall Estimates Using Satellite and Radar in Bandar Lampung Achmad Raflie Pahlevi 1*) dan Raaina Farah Nur Annisa1 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 1)2) *)Email: [email protected] ABSTRAK - Informasi curah hujan didapatkan dari data rain gauge di stasiun cuaca dengan pengamatan secara langsung namun masih memiliki bias sekitar 5% dari curah hujan yang sebenarnya terkait dengan adanya unsur angin dan lokasi. Selain itu,rain gauge pun hanya mampu merepresentasikan radius seluas 100 km disekitarnya. Maka, untuk menutupi kekurangan tersebut, saat ini pengembangan penginderaan jauh menjadi penting dan merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan informasi curah hujan. Termasuk didalamnya adalah pemanfaatan data radar dan satelit untuk estimasi curah hujan. Dalam estimasi curah hujan, suatu metode estimasi yang digunakan tidak dapat merepresentasikan hasil estimasi yang baik untuk semua wilayah dalam penelitian. Oleh karena itu, perlu adanya verifikasi pemanfaatan data satelit dan data radar (untuk estimasi curah hujan dengan data observasi menggunakan rain gauge pada suatu wilayah tempat penelitian). Perbandingan diantara ketiganya dapat digunakan untuk melihat evolusi nilai bias dan kualitas dari data yang digunakan pada wilayah tersebut.Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran estimasi akumulasi curah hujan harian pada saat kejadian hujan dengan menggunakan dua metode estimasi, membandingkan data curah hujan hasil estimasi dengan metode Quantitative Precipitation Estimation (QPE) yang diperoleh dari hasil pemrosesan citra radar cuaca dan curah hujan hasil estimasi dengan metode Cumulus Stratiform Technique (CST) yang diperoleh dari hasil pemrosesan citra satelit, yang kemudian di verifikasi menggunakan data curah hujan observasi dari rain gauge. Kata Kunci: Rain gauge, CST, dan QPE ABSTRACT - Information of data precipitation is obtained from the rain gauge at the weather station with observation, but it still have a bias about 5% of the actual rainfall associated with the element of wind and location. In addition, the rain gauge was only able to represent the radius of 100 km around. Then, to cover the shortage, the development of remote sensing is essential and is one of the means used to obtain information of rainfall. They include the use of satellite and radar data to estimate rainfall.In the estimation of rainfall, an estimation method used can’t use to represent for all regions in the study. Therefore, the need for verification of the utilization of satellite and radar data (for rainfall estimation by using a rain gauge observation data in an area where the research). Comparison between the three can be used to view the evolution of the value of the bias and the quality of the data used in the region.This study aims to provide an estimate of the accumulated daily rainfall during rain events using two methods of estimation, comparing the data of rainfall estimation by the method of Quantitative Precipitation Estimation (QPE) obtained from the image processing weather radar rainfall estimation results with method Cumulus Stratiform Technique (CST) obtained from the processing of satellite images, which are then verified using rainfall data from the rain gauge observations. Keywords: Rain gauge, CST, and QPE 1. PENDAHULUAN Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi berupa tetes-tetes air yang jatuh dari dasar awan. Diameter dan konsentrasi tetes sangat bervariasi tergantung intensitas presipitasi terutama jenis dan asalnya, yakni hujan kontiniu, hujan shower, dan lain-lain (Zakir, dkk. 2009). Curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca dan iklim yang memiliki peranan sangat penting terhadap kehidupan di bumi (Bayong, 2004), dalam hal ini disamping merupakan sumber daya alam yang dibutuhkan namun juga dapat menjadi sumber bencana (Basuki dkk., 2009). Peringatan dini akan intensitas hujan sangatlah diperlukan dalam suatu wilayah, khususnya wilayah yang sering terjadi banjir, wilayah bandara, pelabuhan, perkotaan, pemukiman penduduk, dan lain-lain. Pengamatan hujan umumnya dilakukan secara konvensional dengan menakar jumlah curah hujan yang jatuh kepermukaan -890- Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Dan Radar Di Wilayah Bandar Lampung (Pahlevi, A.R., dkk) menggunakan alat penakar hujan. Namun jumlah dan distribusi dari penakar hujan belumlah mencukupi untuk meliput seluruh permukaan. Apalagi jika gunanya untuk peringatan dini atau prediksi jangka pendek (nowcasting), data penakar hujan sangatlah tidak representatif karena data dari penakar hujan tersebut lebih berguna untuk reanalisis kejadian hujan. Ahli meteorologi melakukan pengamatan meteorologi dengan menggunakan dua pendekatan dasar, metode langsung (in situ) dan metode tak langsung atau yang disebut juga remote sensing. Estimasi curah hujan dengan memanfaatkan data remote sensing merupakan salah satu solusi yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tingkat kerapatan pengamatan curah hujan tersebut. Pada waktu sekarang ini, remote sensing menjadi idola untuk membantu prakirawan membuat prediksi dari parameter-parameter meteorologi. Penelitian terdahulu berkaitan dengan estimasi curah hujan berbasis data satelit menggunakan metode CST dilakukan oleh Adler dan Negri (1988) dengan judul A Satellite Infrared Technique to Estimates Tropical Convective and Stratiform Rainfall yang menggunakan metode melalui penggunaan suhu kecerahan awan untuk membedakan awan konvektif dan stratiform. Kemudian mendapatkan nilai rain rate dan rain area dengan menghitung suhu kecerahan awan (Tmin). Metode ini diujicobakan pada Florida Area Cumulus Experiment (FACE) di Florida Selatan meliputi luas wilayah 104 km2 dengan menghasilkan estimasi curah hujan tiap setengah jam dan di verifikasi dengan menggunakan data curah hujan rain gauge. Hasil perbandingan didapatkan estimasi CST memiliki bias terendah (0.02 mm), perbedaan rata-rata absolut (MAE) terendah (0.28 mm), perbedaan rms/root mean square (RMSE) terendah (0.39 mm) dan perbedaan persentase terendah (41.2 %) dibandingkan dengan metode estimasi curah hujan lain yang menggunakan satelit. Penelitian yang dilakukan oleh Goldenberg, dkk. (1990) mengadaptasi metode CST dalam penelitian Adler dan Negri (1988) untuk melakukan estimasi curah hujan selama Winter Monsoon Experiment (WMONEX) di Laut Cina Selatan. Jurnal ini berjudul Convective Stratiform Component of a Winter Monsoon Cloud Cluster Determined from Geosynchronous Infrared Satellite Data. Jurnal ini menjelaskan uji coba metode CST pada penentuan estimasi curah hujan dan penentuan awan konvektif dan stratiform dimana dibandingkan dengan data radar dan udara atas, didapatkan bahwa lokasi penentuan awan konvektif dan stratiform diaggap konsisten namun perlu adanya modifikasi pada pemisahan awan konvektif dan stratiform. Secara keseluruhan metode CST dianggap mampu dijadikan pertimbangan klimatologis berdasarkan data satelit untuk daerah tropis ketika data radar tidak tersedia. Penelitian yang dilakukan oleh Islam, dkk. (2002) dengan judul Application of a Method to Estimates Rainfall in Bangladesh Using GMS-5 Data menjelaskan penelitian pengaplikasian metode CST (Convective Stratiform Technique) dalam mengestimasi curah hujan menggunakan satelit. Hasil estimasi yang dihasilkan dibandingkan dengan data curah hujan rain gauge di 33 stasiun cuaca di Bangladesh selama 61 hari dari 1 juni 1996. Hasil estimasi curah hujan dengan CST 1,1 kali lebih besar dibandingkan data rain gaugestasiun. Rata-rata estimasi curah hujan yang dihasilkan sebesar 15 mm dan 14.3 mm dari data stasiun. Korelasi diantara hasil estimasi dengan data stasiun signifikan untuk stasiun di daerah pesisir dibandingkan dengan daerah daratan. Umam (2015) melakukan analisis yang membandingkan antara interpolasi isohyet dengan metode estimasi QPE untuk kejadian hujan di Jabodetabek pada tanggal 10 Februari 2015. Dalam Umam (2015), kejadian hujan pada tanggal 10 Februari 2015 yang terjadi di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) merupakan kejadian hujan yang termasuk dalam kriteria hujan sangat lebat. Hujan dengan intensitas tinggi terpantau pada pos hujan Sunter yaitu sebesar 367 mm/hari. Hal tersebut menyebabkan beberapa daerah di Jakarta terkena banjir yang menyebabkan beberapa aktifitas warga Jakarta terganggu. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai sebaran spasial akumulasi curah hujan harian pada saat kejadian hujan 10 Februari 2015 dengan menggunakan dua metode interpolasi, selain itu juga membandingkan data curah hujan hasil interpolasi dengan data observasi untuk mengetahui metode interpolasi yang tepat untuk diterapkan di Jabodetabek dan membandingkan metode interpolasi yang tepat dengan Quantitative Precipitation Estimation (QPE) yang diperoleh dari hasil pemrosesan citra radar cuaca guna mengetahui tingkat keakuratan produk QPE (Umam, 2015). Menurut Umam (2015), hasil perbandingan data curah hujan hasil interpolasi dengan data observasi menunjukkan bahwa kedua metode interpolasi, baik itu metode IDW maupun Kriging mempunyai hubungan korelasi yang sangat kuat. Sehingga kedua metode tersebut dapat diterapkan di wilayah Jabodetabek. Akan tetapi metode IDW mempunyai nilai hubungan korelasi (r) yang lebih tinggi dari metode Kriging. Sehingga metode IDW digunakan sebagai model yang dianggap paling tepat untuk -891- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 menggambarkan sebaran spasial curah hujan di Jabodetabek. Hasil perbandingan metode interpolasi IDW dengan Quantitative Precipitation Estimation (QPE) yang diperoleh dari hasil pemrosesan citra radar cuaca menunjukkan bahwa kedua data tersebut mempunyai nilai korelasi (r) sebesar 0.7720 sehingga dapat disimpulkan kedua data tersebut mempunyai hubungan korelasi yang kuat. Dengan demikian produk QPE mempunyai tingkat keakuratan yang cukup tinggi (77%) dalam menggambarkan sebaran spasial curah hujan di Jabodetabek. 2. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu kajian yang detil tentang suatu setting atau suatu subjek tunggal, atau satu kumpulan dokumen tunggal, atau suatu kejadian tertentu Analisa yang dilakukan adalah analisa temporal dari perbandingan perhitungan curah hujan lebat dengan menggunakan CST dan QPE, serta dilakukan verifikasi dengan menggunakan data observasi permukaan. Lokasi penelitian di wiliyah Bandar Lampung tepatnya di sekitar Stasiun Meteorologi Maritim Tanjung Karang Lampung. Waktu penelitian dilakukan pada kejadian hujan selama bulan Desember 2015 dan Januari 2016. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Data citra satelit Himawari-8 kanal IR-1 dalam format .nc 2) Data radar integrasi produk QPE 3) Data sinop Adapun penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menentukan hari hujan sedang dengan takaran diatas 10 mm/hari pada bulan Desember 2015 dan Januari 2016. 2) Menyiapkan data satelit Himawari -8 kanal IR-1 dan produk radar QPE. 3) Mengolah data satelit dengan metode Convective Stratiform Tecnique (CST) 4) Verifikasi dengan menggunakan data grounding observation dengan metode analisis statistic RMSE dan korelasi 5) Membuat kesimpulan. 3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Berdasarkan grafik pada Gambar 4.1. pada penggunaan satelit sebagai alat untuk estimasi curah hujan menunjukkan nilai yang kurang tepat jika dibandingkan dengan nilai observasi curah hujannya. Terdapat 4 kejadian overestimated, 5 kejadian underestimated, serta 1 kejadian hujan yang bahkan tidak dapat diestimasi oleh satelit (diestimasi dengan nilai 0). Estimasi curah hujan yang memiliki nilai overestimated terjadi paling tinggi adalah pada kejadian hujan tanggal 15 Desember 2015, dimana nilai curah hujan yang diamati menggunakan penakar hujan sebesar 23 mm, sedangkan curah hujan yang diestimasi melalui satelit mencapai 129 mm, terdapat selisih yang cukup tinggi hingga lebih dari 100 mm. Pada kejadian lainnya, selisih antara hasil observasi dan estimasi menggunakan satelit tidak cukup tinggi berkisar 5 hingga 10 mm. Kejadian yang terburuk adalah pada kejadian tanggal 15 Januari 2016, dimana terdapat hujan sebesar 15 mm yang diamati, tetapi pada estimasi curah hujan dengan satelit tidak menunjukkan nilai sama sekali. -892- Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Dan Radar Di Wilayah Bandar Lampung (Pahlevi, A.R., dkk) Gambar 4.1.Grafikperbandinganestimasicurahhujan per hari Sementara itu pada estimasi curah hujan dengan menggunakan radar dapat terlihat semua kejadian menunjukkan underestimate dibandingkan dengan data observasinya. Terdapat selisih yang cukup besar antara estimasi dengan radar dan data observasinya, selisih yang terlihat bisa mencapai 15 – 20 mm. Bahkan pada tanggal 6 Januari 2016, curah hujan hasil estimasi menunjukkan nilai nol, sedangkan curah hujan hasil observasi menunjukkan nilai 19 mm. Berdasarkan Gambar 4.2.B dan I, hujan yang terjadi dalam durasi yang lama, akan menghasilkan estimasi curah hujan yang overestimate. Seperti pada Gambar 4.2.B hujan yang terjadi dengan durasi 18 jam, hujan hasil observasi hanya berkisar 20 mm, sedangkan ketika dilakukan estimasi, hujan yang terjadi terus-menerus mencapai hampir 100 mm. Hal ini disebabkan pada estimasi dengan menggunakan satelit, awan dibedakan menjadi awan cumulus dan stratiform, sehingga saat ada awan cumulus yang bertahan cukup lama, maka intensitas curah hujan yang diestimasi akan cukup besar. Dapat dilihat dari Gambar 4.2. C, F, H, dan J, hujan dengan durasi yang sedang antara 6 – 9 jam dapat diestimasi dengan baik, meskipun ada sedikit selisih beberapa mm. Bahkan pada gambar F dan H, estimasi dengan satelit menunjukkan nilai yang cukup baik. Sedangkan pada Gambar 4.2. A, D, dan E, hujan dengan durasi yang singkat sekitar 3 jam, akan menghasilkan hasil estimasi yang underestimate dimana pada kejadian ini disebabkan hujan – hujan konvektif dari awan cumulus yang terjadi cukup lebat dan dalam waktu yang singkat, tidak sempat diestimasi oleh satelit dengan metode ini. Pada Gambar 4.2.G, untuk hujan yang terjadi dengan durasi yang lebih singkat lagi di bawah 3 jam, hujan tidak terdeteksi saat dilakukannya estimasi. -893- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 A B C D A E F G A H I J Gambar 4.2.Grafikperbandinganestimasicurahhujan per 3 jam; A) tanggal 5, B) 10, C) 15, dan D) 20 Desember 2015, serta E) tanggal 6, F) 11, G) 15, H) 21, I) 22, dan J) 28 Desember 2016 Dapat dilihat dari Gambar 4.2 A sampai G, estimasi curah hujan yang dihasilkan dari estimasi curah hujan menggunakan radar menunjukan nilai yang underestimate. Nilai estimasi terbaik yang ditunjukkan oleh radar pada Gambar 4.2. H, pada tanggal 21 Januari 2016, dimana curah hujan observasi berkisar 20 mm dan nilai estimasi dengan menggunakan radar bernilai 17 mm. Meskipun hanya mempunyai selisih yang sedikit, tetapi pada tanggal tersebut hujan yang diestimasi oleh radar terjadi terlebih dahulu dibandingkan dengan hujan sebenarnya yang ditunjukkan oleh observasi. Estimasi terburuk dengan menggunakan radar ditunjukkan pada Gambar 4.2. E, dimana hujan hasil observasi memliki nilai 18 mm, sedangkan estimasi dengan radar memiliki nilai 0 mm. Berdasarkan Gambar 4.2. dan Gambar 4.3. dilihat bahwa satelit memiliki estimasi yang cukup baik dibandingkan dengan estimasi curah hujan dengan menggunakan radar. Tetapi, pada tabel 4.1. -894- Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Dan Radar Di Wilayah Bandar Lampung (Pahlevi, A.R., dkk) dilihat nilai error dengan menggunakan satelit justru lebih besar dibandingkan radar. Hal ini disebabkan pada estimasi curah hujan tanggal 15 Desember 2015, satelit memiliki overestimated yang cukup besar, meskipun pada estimasi curah hujan yang lainnya estimasi menggunakan satelit lebih baik bila dibandingkan dengan estimasi curah hujan dengan menggunakan radar. Tabel 4.1. Perbandingan nilai error estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit dan radar RMSE MAE Satelit 35.3 19.4 Radar 19.51 18.32 4. KESIMPULAN Berdasarkan penilitian ini, yang berkaitan dengan estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit dan radar, dapat disimpulkan: 1. Estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit (metode CST) lebih baik dalam melakukan estimasi curah hujan dibandingkan dengan menggunakan radar (metode QPE), 2. Estimasi curah hujan dengan menggunakan radar akan selalu underestimate, 3. Estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit cukup baik pada hujan dengan durasi yang tidak terlalu lama antara 3 – 6 jam. Saran yang disampaikan penulis untuk kemajuan estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit dan radar: 1. Perlu adanya metode lain atau metode baru yang cocok untuk wilayah Indonesia sebagai cara untuk melakukan estimasi intensitas curah hujan, 2. Perlu adanya asimilasi antara radar dan satelit dalam melakukan estimasi curah hujan. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam melakukan penulisan makalah ini, penulis dibantu oleh beberapa pihak, yaitu: 1. Terima Kasih kepada Ayu Zulfiani yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan tulisan ini, 2. Terima Kasih kepada Andhika Fauziah Hapsari yang telah bersedia memberikan data intensitas curah hujan untuk wilayah Bandar Lampung 3. Terima Kasih kepada mas Iddam Hairuly Umam dari Subbid Radar BMKG, yang telah bersedia membantu dalam interpretasi citra radar. DAFTAR PUSTAKA Basuki, Winarsih, I., dan Adhyani, N.L., (2009).Analisis Periode Ulang Hujan Maksimum dengan Berbagai Metode, BMKG, Jakarta Islam, N., Islam, S., Hayashi, T., dan Uyeda, H., (2002). Application of a Method to Estimate Rainfall in Bangladesh Using GMS-5 Data, Journal of Natural Disaster Science, 24(2):83-89, Bangladesh University of Engineering & Technology, Dhaka. Tjasyono, B., (2004).Klimatologi, ITB , Bandung Umam, H., (2015).Analisis Perbandingan Metode Isohyet dengan Quantitative Precipitation Estimation (QPE) Kejadian Hujan Jabodetabek 10 Februari 2015. Sub-Bidang Pengelolaan Citra Radar BMKG, Jakarta. Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M., (2009). Perspektif Operasional Cuaca Tropis, BMKG,Jakarta. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Syarif Budhiman : Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit dan Radar : Achmad Raflie Pahlevi (STMKG) : Pertanyaan: Nanda Muhadi (STMKG) -895- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Apakah dua instrumen yang berbeda terjadi kesalahan paralaks? Jawaban : Tidak memasukan perbandingan paralaks pada penelitian ini. Saran: Bambang S. Tedjasukmana Untuk membandingkan tiga sistem yang berbeda, maka harus mengetahui lebih dalam tiga sistem tersebut kemudian dikalibrasi atau melakukan normalisasi. -896- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016) Analysis of Genesis Hail using Weather Radar (Case Study: Montong Ivory, dated February 16, 2016) Maria Carine P.A.D.V1*), Selvy Yolanda1, dan Clara Avila Dea1 1 Stasiun Meteorologi Selaparang BIL, BMKG Jalan Raya Mandalika – Penujak, Praya, Telp: (0370) 6157025 FAX (0370) 6157024 *) Email: [email protected] ABSTRAK ̶ Hujan es adalah presipitasi berupa bola-bola es dengan diameter 5-50 mm. Hujan es sangat erat kaitannya dengan awan Cummulunimbus yang merupakan awan penyebab terjadinya hujan lebat, badai guntur dan angin kencang. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi serta menelaah proses yang terjadi di dalam awan Cummulunimbus, salah satunya adalah dengan metode penginderaan jauh yakni menggunakan radar cuaca. Pada tanggal 16 Februari 2016 dilaporkan terjadi hujan lebat disertai dengan butiran es di wilayah Montong Gading , Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan produk PPI (velocity) dari radar cuaca tipe gematronik, terdapat dua pertemuan arah angin berlawanan yang menimbulkan potensi terbentuknya awan Cummulunimbus di wilayah tersebut.Sementara itu, mengacu pada produk CMAX dan VCUT, ditemukan bahwa nilai reflektifitas maksimum sebesar 50 dBz pada ketinggian yang dekat dengan permukaan tanah. Hal ini lah yang menyebabkan partikel es turun berupa hailstone pada saat kejadian hujan lebat. Kata kunci: cuaca ekstrim, hujan es, radar cuaca, cummulunimbus ABSTRACT ̶ Hail is precipitation in the form of balls of ice with a diameter of 5-50 mm. Hail is closely associated with cumulonimbus which is known as the cloud that cause heavy rain, thunderstorms and strong winds. There are many ways which can be done to detect and study the processes that occur within cumulonimbus, one of which is with remote sensing method that uses weather radar.On February 16, 2016 heavy rains accompanied by hail were reported in the area of Montong Gading, East Lombok. Based on PPI products (velocity) of gematronic weather radar types, there are two meetings in the opposite direction of the wind which could raise the potential of cumulonimbus forming. In the meanwhile, Based on the products of VCUT and CMAX, founded that the maximum reflectivity value of 50 DBZ at an altitude close to the soil surface. This is the cause that make the ice particles in the form of hailstone fell upon during the heavy rain. Keywords: extreme weather, hail, weather radar, cumulonimbus 1. PENDAHULUAN Hujan es (hail) adalah presipitasi yang berbentuk bola-bola es kecil, dapat juga berupa potongan maupun serpihan es dengan kisaran diameter 5-50 mm. Butiran hail (hailstone) dapat jatuh secara terpisah maupun berkumpul membentuk gumpalan-gumpalan yang tidak beraturan (Byers,1974). Hail sangat berkaitan dengan awan Cumullunimbus, biasanya disertai angin kencang(gust) dan terkadang berupa angin puting beliung yang memiliki ordo kejadian sangat singkat. Pertumbuhan hail terjadi di dalam awan Cummullunimbus bersel tunggal maupun ganda yang memiliki posisi dekat permukaan bumi. Hail yang berasal dari awan multisel memiliki luasan area horizontal 3-5 km dengan kejadian singkat 3-5 menit (Zakir,2008). -897- Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016) (Carine, M., dkk) Gambar 1. Proses Pembentukkan Hail dalam Awan Cumullunimbus (Lutgens & Tarbuck,2014) Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengamati serta menganalisis kejadian hujan es adalah radar cuaca.Radar cuaca merupakan alat yang digunakan untuk mendeteksi hujan serta sebaran dan pergerakan awan. Data radar memberikan kita banyak informasi seperti tinggi puncak awan, ketinggian nilai reflektifitas maksimum serta gambar- gambar dari berbagai produk radar yang memudahkan untuk menginterpretasikan kondisi cuaca di sekitar kita. Hal yang harus diperhatikan saat menganalisa hail dengan menggunakan radar adalah tinggi maksimum dari nilai reflektifitas, ketinggian puncak awan serta ketinggian dari peningkatan reflektifitas di sekitar tempat kejadian hail. Beberapa hasil penelitian yang tertuang dalam Guide Meteorological Instruments and Metode of Observation menyimpulkan bahwa potensi hail dapat dilihat dari adanya echo sebesar 50 dBz pada ketinggian 3 atau 8 km di atas permukaan. Hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa, ketinggian kontur 45 dBZ harus melampaui ketinggian dari freezing level agar hujan es memungkinkan untuk terjadi. Adanya radar cuaca diharapkan bermanfaat dalam memantau perkembangan kondisi cuaca khususnya cuaca ekstrim yang terjadi dalam waktu relatif singkat, mengingat kemampuan pengamatan visualitas manusia sangat terbatas. Penulisan ini dilakukan berdasarkan laporan kejadian hujan dengan intensitas lebat yang terjadi di wilayah Montong Gading, Lombok Timur pada tanggal 16 Februari 2016. Menariknya, kejadian hujan lebat ini disertai dengan jatuhnya butiran es yang terjadi dalam waktu relatif singkat.Tulisan ini diharapkan dapat mempermudah prakirawandalam menganalisa serta menemukan pola kejadian cuaca ekstrim khususnya hail, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih akurat kepada masyarakat . 2. METODE Penelitian ini dilakukan di Stasiun Meteorologi Selaparang – BIL, Bandara Internasional Lombok dengan menggunakan raw data radar jenis Gematronik pada tanggal 16 Februari 2016 dari pukul 00.0.- 12.00 UTC. Adapun produk yang digunakan sebagai berikut: 1) PPI (V) dengan elevasi 0.50, produk Plan Position Indicator menampilkan sebaran angin horizontal dalam bentul radial velocity. 2) CMAX( dBZ),produk Column Maximum menampilkan nilai reflektifitas maksimum dari suatu kolom sel hasil pengamatan radar. 3) VCUT (dBZ),produk Vertical Cut menampilkan irisan vertikal dari suatu data volume. 4) EHT, produk Echo Height Top menampilkan nilai tinggi puncak echo presipitasi. 5) RIH, produk Rain Intensity Histogram menampilkan jumlah curah hujan dalam bentuk grafik histogram. Untuk mengetahui analisis saat kejadian hujan es pada tanggal 16 Februari 2016 dengan menggunakan citra radar, raw data diolah dengan aplikasi RainRcc dari Rainbow5 yang merupakan aplikasi khusus untuk -898- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 radar cuaca tipe gematronik hingga menghasilkan produk PPI dengan elevasi 0.5 0, CMAX, VCUT EHT serta produk RHI.. Analisis dilakukan setiap 10 menit, dimulai dari satu jam sebelum kejadian hingga setelah kejadian hujan es. Nilai reflektifitas maksimum pada produk CMAX berguna untuk mengidentifikasi jenis awan serta syarat untuk terjadinya hujan es yakni >45dBZ [2]. Produk VCUT digunakan untuk mengetahui posisi ketinggian reflektifitas maksimum karena kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya hujan es apabila terletak dekat dengan permukaan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis dan interpretasi data citra produk radar cuaca Stasiun Meteorologi Selaparang BIL, didapatkan hasil sebagai berikut: 3.1 PPI (V) Berdasarkan produk PPI Velocity , pada pukul 05.30 UTC terdapat pertemuan kecepatan angin maksimum dengan arah yang berlawanan. Pola tersebut merupakan indikasi adanya konvergensi atau pertemuan dua massa udara yang memiliki potensi terhadap pertumbuhan awan Cummulunimbus. Pola konvergensi tersebut terjadi hingga pukul 06.30 UTC. Gambar 2.Produk PPI pukul 04.50,05.50 &06.50 UTC 3.2 CMAX (dBZ) Dari produk CMAX pukul 04.50 UTC satu jam sebelum kejadian terdapat echo dengan nilai reflektifitas 15-20 dBZ. Pada pukul 05.50 UTC terlihat bahwa saat kejadian hujan es, terlihat pergerakan echo presipitasi semakin ke arah Tenggara dengan nilai reflektifitas maksimum yang semakin meningkat menjadi 50 – 55 dBZ. Pada pukul 06.50 UTC, satu jam setelah kejadian terlihat bahwa terjadi penurunan nilai reflektifitas maksimum yakni menjadi 35 – 40 dBZ. -899- Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016) (Carine, M., dkk) Gambar 2.Produk CMAX pukul 04.50,05.50 Berdasarkan grafik nilai reflektifitas di wilayah Montong Gading, terlihat bahwa pada pukul 05.00 – 07.00 UTC merupakan fase konvektif dari awan Cummulunimbus. Pada fase tersebut diketahui telah terjadi hujan dengan intensitas yang lebat. 3.3VCUT (dBZ) Dari produk VCUT yang diambil mulai pukul 04.50 UTC, terlihat nilai reflektifitas maksimum sebesar 15-20 dBZ dBZ yang terletak pada ketinggian sekitar 2 km dari permukaan tanah. Pada pukul 05.50 UTC, terlihat bahwa pada irisan vertikal echo presipitasi terdapat nilai reflektifitas maksimum dengan nilai 51 dBZ dengan ketinggian 1,13 km dari permukaan tanah. Sedangkan pada pukul 06.50 yakni satu jam setelah kejadian hujan es terdapat nilai reflektifitas maksimum dengan kisaran 30-35 dBZ . Di dalam awan Cummulunimbus memang selalu dijumpai adanya partikel es, namun tidak semua partikel es dapat turun ke permukaan berupa hailstone Gambar 4. Produk VCUT pukul 04.50,05.50 &06.50 UTC 3.4 EHT Dari produk EHT, terlihat pada pukul 04.50 ketinggian puncak echo presipitasi di lokasi kejadian adalah1 km. Pada pukul 05.50, terlihat nilai tinggi puncak echo dilokasi hujan es adalah 6 km dari permukaan. Satu jam setelah kejadian hujan es yakni pukul 06.50 UTC terlihat ketinggian puncak awan menjadi 4 km. -900- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 Gambar 5.Produk EHT pukul 04.50,05.50 &06.50 UTC 3.5RIH Berdasarkan produk RIH terlihat bahwa pada pada pukul 04.30 hingga pukul 07.10 terjadi hujan dengan intensitas 45 mm/jam. Hujan ini termasuk katagori hujan lebat, menunjukkan bahwa kejadian hail sering diselingi oleh hujan lebat. Gambar 6. Data intensitas hujan pada Tanggal 16 Februari 2016 di Montong Gading. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis produk radar cuaca didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1) Pada tanggal 16 Februari 2016 di wilayah Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur pukul 05.50 UTC, terpantau adanya awan Cummulunimbus, terlihat dari nilai reflektifitas maksimum sebesar 50-55 dBz. Hal tersebut telah memenuhi persyaratan terjadinya hujan es(>45 dBZ). 2) Berdasarkan produk PPI (V) pada pukul 05.50 terlihat adanya pertemuan dua arah angin berbeda yang berarti terdapatnya potensi terjadi pertumbuhan awan konvektif di wilayah Montong Gading, Lombok Timur. -901- Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016) (Carine, M., dkk) 3) Berdasarkan produk VCUT pada pukul 05.50 UTC menunjukkan bahwa ketinggian dari nilai reflektifitas maksimum adalah 1,13 km dari permukaan, yang berarti partikel es dalam awan Cb tersebut posisinya dekat dengan permukaan. 4) Dari produk EHT menunjukkan adanya ketebalan awan yang cukup tinggi sehingga memungkinkan terbentuknya partikel es, serta terjadinya hujan lebat dan badai petir. 5) Dari produk RIH didapati bahwa pada saat kejadian hujan es selalu disertai oleh kejadian hujan lebat. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Tim Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Stasiun Meteorologi Bandara Internasional Lombok atas data dan informasi yang kami peroleh untuk dijadikan bahan penelitian ini dan juga kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk ikut serta dalam acara Seminar Nasional Penginderaan Jauh tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA Byers,H.R., (1974).General Meteorology. New York:McGraw-Hill Book Company Inc.London WMO., (2010).Guide Meteorological Instruments and Methods of Observation WMO no.8 2008 edition.ISBN:978-9263-10008.World Meteorological Organization.Genewa. Dennis,A.S., Schock,Carol, A., dan Konscielski, Alexander., (1970).American Meteorological Society.USA Yunita, Rezky, dan Carine,M., (2014). Pemanfaatan Data Radiosonde dan Citra Radar Dalam Pembuatan Informasi Peringatan Dini Cuaca Ekstrim Hujan Es (Studi Kasus Surabaya, Tanggal 20 Februari 2014).STMKG. Tangerang ------.Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini Cuaca Ekstrim, Pelaporan dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim. Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor 009 Tahun 2010. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator : Dr. Indah Prasasti Judul Makalah : Analisis Kejadian Hujan Es Dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus Montong Gading, 16 Februari 2016) Pemakalah : Maria Carine (BMKG) Diskusi : Pertanyaan : Nanda Alfuadi (STMKG) 1. Apakah hujan es tersebut terjadi pada fase tumbuh atau fase matang? 2. PPI pada penelitian ini menggunakan PPI pada swipe berapa? Jawaban : 1. Belum melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan fase tersebut 2. Belum mengetahui berapa PPI yang digunakan Pertanyaan : Dr. Indah Prasasti (LAPAN) Berapa lama sebelum kejadian puting beliung dapat dilakukan peringatan dini? Apakah range pengamatan bisa lebih kecil? Jawaban : Makalah ini membahas tentang hujan es, bukan puting beliung, sehingga penulis tidak dapat memberikan jawaban -902- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) Monthly Rainfall Estimation Performance in Indonesia Based on CHIRPS, GPCC and CMIP5 Projection (Case Study: Monsoonal, Equatorial, and Local Precipitation Pattern) Nur Siti Zulaichah1*) dan Amsari Mudzakir Setiawan 2 1 Program Studi Klimatologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta *) E-mail: [email protected] ABSTRAK – Estimasi curah hujan bulanan dapat diperoleh dengan memanfaatkan luaran produk satelit secara langsung dan asimilasi luaran satelit dengan observasi di permukaan. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui performa estimasi curah hujan bulanan gabungan luaran produk satelit dengan observasi permukaan dari data Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station (CHIRPS) version 2.0, Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) version7 dan hasil proyeksi Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) dari Community Earth System Model, version 1–Biogeochemistry (CESM1-BGC). Karakteristik iklim yang beragam di suatu wilayah dapat mempengaruhi performa hasil estimasi curah hujan. Data observasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) selama 28 tahun (1986 – 2013) digunakan untuk mengetahui performa estimasi di wilayah dengan pola hujan monsunal (Staklim Semarang), ekuatorial (Staklim Pulau Baai, Bengkulu), dan lokal (Stamet Geser, Maluku) melalui analisis korelasi Pearson serta Root Mean Square Error (RMSE). Estimasi hujan bulanan data GPCC umumnya menunjukkan performa terbaik dibandingkan dengan CHIRPS dan CESM1-BGC untuk ketiga pola hujan. Nilai korelasi yang tinggi (0,976) dengan RMSE sebesar 29,68 mm/bulan diperoleh terutama di wilayah dengan pola hujan lokal. Sebaliknya, estimasi hujan hasil luaran CESM1-BGC menunjukkan performa inferior dibanding lainnya terutama di wilayah dengan pola hujan ekuatorial. Kata kunci: estimasi hujan bulanan, CHIRPS, GPCC, CMIP5, pola hujan, observasi ABSTRACT -Monthly rainfall estimation can be done by utilizing the output of satellite products directly and its assimilation with surface observations. This study was conducted to determine the performance of rainfall estimation by the combined output of satellite products and surface observation from Climate Hazards Group Infra Red Precipitation with Station (CHIRPS) version 2.0, Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) version 7 and Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) on the Community Earth System Model, version 1-Biogeochemistry (CESM1-BGC) projection. Diversity of climate characteristics over the region can affect on performance of rainfall estimation. BMKG insitu observation data for 28 year period (1986-2013) was used to determine the performance of estimation in a region with monsoonal (Staklim Semarang), equatorial (Staklim Pulau Baai, Bengkulu), and local (Stamet Scroll, Maluku) rainfall pattern through a Pearson correlation analysis and Root Mean Square Error (RMSE) value.GPCC monthly rainfall estimation generally shows the best performance compared with CHIRPS and CESM1BGC's over whole region. Highest correlation value (0.976) with RMSE of 29,68 mm / month are obtained mainly in the region with local rainfall patterns. In contrast, CESM1-BGC rainfall estimation outcome showed inferior performance compared to others, especially in regions with equatorial rain pattern. Keywords: monthly rainfall estimation, CHIRPS, GPCC, CMIP5, rainfall pattern, in situ observation 1. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia yang sangat luas baik daratan maupun lautannya menyebabkan pengukuran curah hujan menjadi lebih sulit, hal ini disebabkan besarnya variabilitas ruang (spatial variability) dan fakta bahwa sebagian besar curah hujan tropis terjadi di atas area yang tidak dapat dicapai (inaccessible areas) seperti area osean tropis, pegunungan, dan hutan tropis. Di wilayah ekuatorial Kepulauan Indonesia distribusi stasiun hujan tidak merata, jaringan stasiun hujan di Pulau Jawa lebih rapat dibandingkan dengan di pulaupulau lain seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua. Karenanya estimasi curah hujan tropis berdasarkan -903- Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk) satelit cuaca sangat menarik dan pemakaian estimasi ini untuk pengembangan klimatologi curah hujan pada keanekaragaman (variety) skala temporal dan spasial (Tjasyono dan Woro, 2014). Perkembangan model cuaca numerik seiring dengan perkembangan kemampuan komputasi dan penambahan jaringan pengamatan telah mencapai akurasi prediksinya yang baik dan sudah banyak digunakan dalam membuat prakiraan cuaca oleh pusat layanan cuaca di banyak negara (Gustari, dkk., 2012). Verifikasi membutuhkan data aktual yang banyak, namun jumlah stasiun observasi meteorologi di Indonesia masih terbatas. Prediksi curah hujan harian cukup sulit dilakukan karena keragamannya sangat tinggi dan banyaknya permasalahan data, seperti minimnya ketersediaan data, data tidak lengkap/kosong, jumlah stasiun kurang tersebar, sistem pengamatan dan pemasukan data masih manual, serta pengumpulan data berjalan lambat (Mamenun, dkk., 2014). Seiring dengan kemajuan teknologi asimilasi data, observasi dan pemodelan cuaca dan iklim memungkinkan tersedianya berbagai jenis produk satelit dan model prediksi cuaca numerik untuk studi prakiraan cuaca. Beberapa contoh data yang dapat digunakan dan tersedia secara global antara lain data reanalysis CHIRPS (Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station), GPCC (Global Precipitation Climatology Centre) dan CMIP5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5).Namun sebelum data reanalysis tersebut digunakan perlu dilakukan uji akurasi untuk mengetahui apakah data reanalysis tersebut layak dan sesuai dijadikan alternatif mengisi data kosong di stasiun. Selain itu, dapat diketahui data reanalysis mana yang menampilkan perfoma paling baik sesuai dengan data observasi stasiun. Analisis validasi data reanalysis CHIRPS, GPCC dan CMIP5 untuk skala bulanan dan tahunan pernah dilakukan sebelumnya di luar negeri, dimana masing-masing data reanalysis tersebut memiliki korelasi yang cukup baik terhadap data observasi stasiun. Namun wilayah penelitian yang digunakan hanya mencakup berdasarkan elevasi stasiun, topografi dan area global. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, perlu dikaji lebih lanjut validasi data reanalysis hujan untuk wilayah yang lebih spesifik yaitu wilayah penelitian yang mewakili berdasarkan pola hujan monsun, ekuatorial dan lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui data reanalysis mana yang sesuai untuk alternatif mengisi data kosong dan memiliki prediksi hujan yang sama dengan data observasi stasiun di BMKG. 2. METODE 2.1 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitudata hujan bulanan keluaran data reanalysis CHIRPS, GPCC, CESM1-BGC dan observasi curah hujan stasiun dengan periode sebagai berikut : 1. Data curah hujan bulanan F-Klim71stasiun pada 3 pola hujan ekuatorial, monsunal dan lokal dengan periode 28 tahun (1986 – 2013). 2. Data reanalysis curah hujan dari CHIRPS, GPCC, dan CMIP5 (data Rcp45 CESM1-BGC). Keluaran dari data reanalysis ini dalam bentuk netcdf (nc), columnar tabel, pdf, Matlab, Grads dan sebagainya. Pada penelitian ini menggunakan format raw data (tabel) yang diolah menggunakan Excel agar dapat menampilkan nilai dan grafik 3. Data koordinat stasiun penelitian. Sebagai data pembanding yaitu ketiga data reanalysis CHIRPS, GPCC, CMIP5 (CESM1-BGC) yang divalidasi dengan data iklim stasiun berupa data curah hujan bulanan dari tahun 1986 – 2013. Data reanalysis yang digunakan dengan koordinat masing-masing stasiun. Data reanalysis yang digunakan sebagai berikut : 1. Data curah hujan bulanan GPCC versi 7 menggunakan resolusi 0,5° didapat dari website : http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.WCRP/.GCOS/.GPCC 2. Data curah hujan bulanan CMIP5 diperoleh dari data curah hujan RCP45 model CESM1-BGC dengan resolusi 2,59° x 1,73° didapat dari website : https://climexp.knmi.nl/ 3. Data curah hujan bulanan CHIRPS dengan resolusi 0,05° didapat dari website : https://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS Data obs curah hujan bulanan diperoleh dari F-Klim 71 tahun 1986 – 2013 berupa data curah hujan bulanan,kemudian dilakukan pembuatan time series dan grafik. Berdasarkan grafik time series tersebut akan terlihat pola curah hujan bulanan masing-masing stasiun dari tahun 1986 – 2013 yang kemudian digunakan untuk validasi terhadap data reanalysis.Pengolahan data reanalysis diawali dengan mendownload data tersebut kemudian simpan raw datanya. 1. Pada data CHIRPS, raw data dalam 1 grid terdapat 4 titik sehingga kita harus memilah koordinat yang digunakan. Selanjutnya curah hujan bulanan yang diperoleh dibuat time series dan grafik. -904- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 2. Data Rcp45 CESM1-BGC telah disediakan dari CMIP5 kemudian memilih model CESM1-BGC dan mengambil raw datanya. Setelah itu raw data diolah menggunakan Excel dan dibuat dalam bentuk time series kemudian menampilkan grafiknya. 3. Data GPCC cara mendownloadnya sama dengan CHIRPS yaitu dari website yang sama kemudian memilih presipitasi GPCC versi 7 resolusi 0,5° dan mengambil raw datanya. Data tersebut didownload dan diolah menggunakan Excel dan dibuat dalam bentuk time series kemudian menampilkan grafiknya. Setelah selesai mengolah data reanalysis di Excel dengan hasil grafik time series kemudian divalidasi terhadap grafik time series dari obs. Dilihat apakah terdapat kesesuaian dengan ketiga data reanalysis tersebut. Dari hasil validasi ini dapat dilihat data reanalysis mana yang kurang lebih mendekati pola grafik time seriesnya dengan data dari obs. 2.2 Metode Validasi Validasi dapat diterapkan pada berbagai model prakiraan karena pada dasarnya data yang dipakai dalam proses validasi adalah sama, yaitu observasi (data real) dan hasil prakiraan. Pada penelitian ini proses validasi dilakukan terhadap data observasi dan data reanalysis. Adapun yang dipakai dalam penelitian ini adalah validasi dengan korelasi Pearson dan RMSE (Root Mean Square Error). Untuk pengolahan data dan mencari nilai perhitungan digunakan aplikasi Microsoft Excel. Metode validasi digunakan untuk menentukan sejauh mana keakuratan metode dan juga untuk menentukan metode terbaik dari ketiga data reanalysis tersebut. Metode RMSE (Root Mean Squared Error) yaitu suatu metode untuk mengevaluasi hasil suatu teknik atau metode prakiraan dengan cara selisih data aktual terhadap data prakiraan yang masing – masing dikuadratkan, kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan jumlah data, sehingga didapat nilai rata– rata kesalahan kuadrat atau biasa disebut MSE (Mean Squared Error). Nilai MSEtersebut diakar kuadratkan untuk mencari nilai RMSE. Dalam Setyawan, Wilks (1995) RMSEdihitung dengan rumus : = 1 ( − )2 =1 …………………… (1) Keterangan : = nilai prakiraan = nilai Observasi atau aktual n = jumlah data aktual Jika nilai prediksi total hujan bulanan sama dengan nilai data observasinya, maka RMSE bernilai 0. Nilai 0 merupakan nilai terbaik yang memiliki implikasi bahwa teknik prediksi yang digunakan sangat sesuai dengan kondisi lapangnya. Dengan kata lain, bahwa semakin besar nilai RMSE maka semakin jelek kualitas nilai prediksi yang dihasilkan dengan menggunakan teknik prediksi yang dipilih. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kesesuaian fase antara nilai prediksi total hujan bulanan dengan nilai data observasinya dapat digunakan nilai koefisien korelasi Pearson. Nilai koefisien Pearson ini bervariasi antara -1 dan +1. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi Pearson yang didapat, maka semakin baik performa teknik prediksi yang digunakan. Berarti semakin sama fase nilai prediksi, maka semakin baik performa teknik prediksi yang digunakan. Korelasi menunjukkan hubungan (linear) relatif antara dua variabel. Adapun rumus korelasi Pearson (Wilks, 1995) adalah sebagai berikut : ∑ =1[ ′ ′ ] = [∑ =1( ′ )2 ]1/2 [∑ =1( ′ )2 ]1/2 …………………… Keterangan : = koefisien korelasi ′ = nilai curah hujan obs ′ = nilai prakiraan masing-masing data reanalysis -905- (2) Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk) Menurut Wilks (1995), menyatakan bahwa standar deviasi adalah nilai statistik yang digunakan untuk menentukan bagaimana sebaran data dalam sampel, dan seberapa dekat titik data individu ke nilai rata-rata sampel. Sebuah standar deviasi dari kumpulan data sama dengan nol menunjukkan bahwa semua nilai-nilai dalam himpunan tersebut adalah sama. Sebuah nilai deviasi yang lebih besar akan memberikan makna bahwa titik data individu jauh dari nilai rata-rata. Adapun rumusnya sebagai berikut : = ∑ ( − ̅) …………………. (3) Keterangan : n = jumlah data xi = data ke –i ̅ = nilai rata – rata Hasil dari masing-masing estimasi curah hujan yang ditunjukkan oleh data reanalysis dibandingkan dengan data observasi stasiun, kemudian dianalisis pola yang dihasilkan dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan Diagram Taylor. 2.3 Diagram Alir Penelitian = ∑ =1[ ′ ′ ] [∑ =1( ′ )2]1/2[∑ =1( ′ )2]1/2 = 1 ( − )2 =1 Gambar 1. Diagram Alir Penelitian -906- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 2.3 Lokasi Penelitian Gambar 2. Lokasi Penelitian (Sumber :Badan Informasi Geospasial/BIG, 2016) Berdasarkan analisis klimatologi, ketersediaan dan series panjang data, maka stasiun terpilih yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a). Pola Monsunal : Stasiun Klimatologi Semarang (6,98°LS dan 110,42°BT, elevasi = 227 meter) b). Pola Ekuatorial : Stasiun Klimatologi Pulau Baai (3,87°LS dan 102,32°BT, elevasi = 517 meter) c). Pola Lokal : Stasiun Meteorologi Geser (3,88130°LS dan 130,88°BT, elevasi = 2 meter) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1Estimasi Curah Hujan Data Reanalysis Perbandingan estimasi curah hujan data reanalysis dengan data pengamatan stasiun di tiga wilayah dengan pola curah hujan berbeda yaitu monsunal, ekuatorial dan lokal, dapat dilihat dari pola jumlah curah hujan yang turun di permukaan dalam hal ini yaitu curah hujan bulanan. Berikut adalah hasil perolehan estimasi curah hujan dari data reanalysis CHIRPS, GPCC dan CESM1-BGC. (a) -907- Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk) (b) (c) Gambar 4. Perbandingan Estimasi Curah Hujan Data Reanalysis Dan Observasi Pada 3 Stasiun. (a). Stasiun Klimatologi P. Baai, (b). Stasiun Meteorologi Geser, dan (c). Stasiun Klimatologi Semarang Berdasarkan grafik, menunjukkan bahwa data reanalysis di Stasiun Klimatologi Pulau Baai Bengkulu dalam memprediksi curah hujan dapat dikatakan polanya mengikuti data observasi stasiun. Namun untuk kisaran jumlah curah hujan yang diprediksi masing-masing data reanalysistersebut ada yang overestimatedan -908- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 underestimate. Data CESM1-BGC merupakan data reanalysis yang menghasilkan estimasi curah hujan paling rendah dibandingkan dengan data reanalysis lainnya. Untuk melihat hubungan antara kedua variabel antara data observasi dan reanalysis maka dibuatlah grafik scatter plot. Dari ketiga grafik scatter plot menunjukkan data observasi dan GPCC merupakan variabel yang memiliki hubungan paling erat diantara grafik lainnya dengan nilai korelasi sebesar 0,8632, dapat dilihat dari kerapatan data tersebut terhadap garis linier. Pada kedua variabel tersebut memiliki korelasi/hubungan positif dimana peningkatan yang terjadi pada nilai curah hujan observasi juga diikuti peningkatan curah hujan pada data GPCC. Hal yang sama terjadi pada grafik scatter plot di Stasiun Meteorologi Geser dan Stasiun Klimatologi Semarang, yakni data observasi dan data GPCC merupakan variabel yang memiliki nilai korelasi tertinggi sebesar 0,9535 dan 0,927. Namun yang membedakan adalah pola hujan yang dihasilkan di Geser antara data CHIRPS dan CESM1-BGC sama sekali tidak mengikuti data observasi. Nilai prediksi hujannya sangat jauh dari data aktual(pengamatan insitu). Dilihat dari grafik scatter plot, terdapat banyak sebaran data pada CHIRPS dan CESM1-BGC sehingga nilai korelasinya kecil. Pola hujan pada Stasiun Klimatologi Semarang menunjukkan bahwa data reanalysis umumnya mengikuti pola curah hujan observasi. Namun pada titik awal hingga pertengahan terdapat nilai yang overestimate yaitu terjadi pada data CHIRPS dan CESM1-BGC selanjutnya kembali mengikuti pola observasi. Grafik scatter plot menunjukkan data GPCC adalah data yang memiliki nilai korelasi tertinggi dibanding data reanalysis lainnya. Data yang lain masih terdapat banyak sebaran data sehingga hubungan antara kedua variabel yakni data observasi dan data reanalysis rendah. IV.2 Validasi Data Reanalysis Untuk melakukan validasi diperlukan data aktual pengamatan di stasiun. Data yang dibandingkan adalah data 28 tahun yaitu dari periode 1986 – 2013, karena adanya keterbatasan data. Data yang digunakan merupakan data curah hujan bulanan (mm/bulan). Tabel 1. Nilai Korelasi, RMSE dan Bias Terhadap Data Pengamatan di Stasiun STASIUN Semarang P. Baai Geser KORELASI CESM1CHIRPS GPCC BGC 0.824 0.963 0.459 0.680 0.929 0.248 0.359 0.976 0.134 RMSE CHIRPS 90.714 124.836 150.290 GPCC 44.832 61.925 29.680 BIAS CESM1BGC 147.295 196.845 164.139 CHIRPS 0.06 0.04 -0.20 GPCC 0.05 0.01 0.04 CESM1BGC 0.06 -0.33 -0.01 Gambar 5. Performa Nilai Korelasi Menggunakan Diagram Taylor. (a). Stasiun Klimatologi Semarang, (b). Stasiun Klimatologi Pulau Baai, dan (c). Stasiun Meteorologi Geser -909- Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk) Validasi antara data reanalysis dengan data pengamatan di stasiun memiliki koefisien korelasi yang sangat baik tepatnya pada data GPCC di Stasiun Meteorologi Geser (pola lokal) sebesar 0,976, kemudian pada data CHIRPS koefisien korelasi tertinggi terjadi di Stasiun Klimatologi Semarang (pola monsunal) sebesar 0,824, sedangkan koefisien korelasi terendah ditemukan pada data CESM1-BGC terjadi di Stasiun Meteorologi Geser yaitu 0,134. Visualisasi dari perbedaan kinerja data reanalysis yang diperoleh ditampilkan dengan diagram Taylor. Dari data reanalysis CHIRPS, GPCC dan CESM1-BGC, nilai estimasi curah hujan yang hampir mendekati kondisi aktual (data observasi) adalah data GPCC, sedangkan data CHIRPS dan CESM1-BGC memiliki kondisi yang cukup jauh dari kondisi aktual. Dari Diagram Taylor selain menampilkan nilai koefisien korelasi juga menampilkan nilai standar deviasi yang ditunjukkan oleh masing-masing data reanalysis. Hasilnya menunjukkan bahwa pada ketiga data reanalysis di setiap wilayah pola hujan monsunal, ekuatorial dan lokal memiliki nilai standar deviasi yang bervariatif antara 15 – 170, artinya tingkat variasi estimasi curah hujan yang dihasilkan oleh ketiga data reanalysis adalah 15 – 170 mm pada ketiga wilayah pola hujan. 4. KESIMPULAN Perbandingan data reanalysis terhadap data observasi di tiga wilayah pola hujan yaitu monsunal (Stasiun Klimatologi Semarang), ekuatorial (Stasiun Klimatologi Pulau Baai) dan lokal (Stasiun Meteorologi Geser) menunjukkan data reanalysis GPCC memiliki nilai korelasi tertinggi dibandingkan dengan data CHIRPS dan CESM1-BGC. Dari ketiga data reanalysis, data GPCC merupakan data yang nilai prakiraan curah hujannya paling mendekati data hujan observasi. Pada umumnya nilai estimasi yang dihasilkan oleh data GPCC adalah overestimate terjadi di semua pola hujan. Jika dilihat dari scatter plot, data GPCC merupakan data yang memiliki hubungan/korelasi tertinggi dibanding data reanalysis lainnya dengan nilai korelasi positif. Validasi data reanalysis terhadap data observasi menunjukkan nilai korelasi tinggi di wilayah hujan dengan pola lokal (0,976), cukup tinggi pada pola monsunal (0,824) dan korelasi terendah pada pola lokal (0,134). Nilai RMSE terendah dari tiga data reanalysis terdapat pada data GPCC dan terjadi di semua stasiun pengamatan. RMSE terendah terjadi di wilayah pola lokal (RMSE =29,680), lebih rendah jika dibandingkan dengan wilayah pola monsunal (RMSE = 44,832) dan pola ekuatorial (RMSE = 61,925). Hasil validasi tersebut menunjukkan bahwa data reanalysis GPCC merupakan data yang paling baik dalam mengestimasi curah hujan di tiga wilayah pola hujan monsunal, ekuatorial dan lokal. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pegawai Stasiun Meteorologi Klas III Geser, Stasiun Klimatologi Pulau Baai dan Stasiun Klimatologi Semarang, dan Abdurahman yang telah membantu pembuatan script plot Diagram Taylor dalam pengerjaan makalah penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Gustari, I.W.H., Tri, H., Sofwan, R., dan Findy, (2012). Akurasi Prediksi Curah Hujan Harian Operasional di Jabodetabek : Perbandingan dengan Model WRF. Jurnal Meteorologi dan Geofisika,13(2):119-130, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta. Mamenun, P.H., dan Sophaheluwakan, A., (2014). Validasi dan Koreksi Data Satelit TRMM Pada Tiga Pola Hujan di Indonesia, Jurnal Meteorologi dan Geofisika,15(1):13-23, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta. Setyawan, M.B., (2015).Uji Komparasi Prakiraan Curah Hujan Hasil Keluaran Model ARIMA, Model Stepwise, Regression, dan Model Holt-Winter di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika :Tangerang Selatan. Tjasyono, H. K., Bayong, dan Harijono, S.W.B. (2014). Atmosfer Ekuatorial, Pusat Penelitian dan Pengembangan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta. Wilks, D.S.(1995).Statistical Methods in The Atmospheric Sciences, AcademicPresss, USA. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 -910- Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Dr. BambangTrisakti : Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus : Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) : Nur Siti Zulaichah (STMKG) : Pertanyaan: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN): Mungkinkah mengkombinasikan data CHRIPS dan GPCC sehingga dapat menghasilkan akurasi yang lebih baik? Jawaban : Mungkin lebih bagus namun perlu validasi lapangan dahulu. Ini dapat dicoba untuk penelitian selanjutnya. -911- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band Characteristic Monitoring of Heavy Rainfall Event Using C-Band Weather Radar Data Kadek Setiya Wati1*) dan Pande Putu Hadi Wiguna2 1 2 Stasiun Meteorologi Kelas II Selaparang-BIL, BMKG Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta *) E-mail: [email protected] ABSTRAK – Radar cuaca C-band merupakan tipe radar cuaca yang digunakan untuk pengamatan presipitasi (hujan). Pemanfaatan Radar cuaca C-band sering kali digunakan untuk pemantauan kejadian hujan lebat. Hujan lebat merupakan hujan dengan intensitas 10-20 mm/jam atau 50-100 mm/hari. Dalam pengamatannya, faktor kelengkungan bumi sangat menentukan akurasi data yang dihasilkan oleh radar cuaca. Semakin jauh dari pusat radar maka beam radar akan mencapai ketinggian yang lebih tinggi dibandingkan dengan beam radar yang dekat dengan pusat radar. Oleh karena akibat kelengkungan bumi tersebut maka akurasi data dalam pemantauan hujan lebat yang terjadi dekat dengan pusat radar akan berbeda dengan yang terjadi lebih jauh dari pusat radar. Dalam penelitian ini digunakan 2 kasus hujan lebat dengan lokasi kejadian 0-5 km dan 15-30 km dari pusat radar. Data yang digunakan adalah data reflektivitas produk CMAX, EHT, dan VCUT. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa hujan lebat yang terjadi dalam jarak 0-5 km memiliki waktu kejadian yang singkat yaitu sekitar 1 jam; nilai reflektivitas maksimum antara 20-40 dBz; ketinggian echo maksimum sekitar 0-2 km. Kejadian hujan lebat dengan jarak 15-30 km dari pusat radar memiliki waktu kejadian yang lebih lama yaitu sekitar 3-4 jam; nilai reflektivitas maksimum antara 20-50 dBz; ketinggian echo maksimum sekitar 0-5 km. Kata kunci: Radar C-band, hujan lebat, CMAX, EHT, VCUT ABSTRACT – C-band weather radar is a type of weather radar for precipitation monitoring. C-band weather radar is used mostly for monitoring of heavy rainfall event. Heavy rainfall has intensity between 10-20 mm/hour or 50-100 mm/day. During the observation, earth’s curvature factor determines the accuration of radar data. As farther from the radar center, radar beam will reach higher altitude than radar beam near the radar center. Due to the curvature of the earth, the accuracy of the data in the monitoring of heavy rains that occurr close to the center of the radar will be different from what happen further away from the center of the radar. This research used 2 cases of heavy rainfall with the distance of each events are 0-5 km dan 15-30 km from the radar center. The data used is reflectivity data from the products i.e. CMAX, EHT, and VCUT. The result from this research is that heavy rainfall event with a distance of 0-5 km from radar center occured in short duration about 1 hour; maximum reflectivity between 20-40 dBz; maximum echo height is about 0-2 km. Heavy rainfall event that have 15-30 km radius from radar center can occure in longer duration between 3-4 hours; maximum reflectivity between 20-50 dBz; maximum echo height between 0-5 km. Keywords: C-band Radar, heavy rainfall, CMAX, EHT, VCUT 1. PENDAHULUAN Radar cuaca merupakan alat penginderaan jarak jauh yang sangat membantu dalam membuat analisis dan prakiraan cuaca. Ketersediaan data dengan kualitas resolusi spasial dan temporal yang cukup tinggi merupakan salah satu keuntungan yang ditawarkan oleh radar cuaca saat ini. Dibalik keuntungan tersebut, radar cuaca juga memiliki kelemahan atau limitasi salah satu diantaranya yaitu berkurangnya kualitas data radar seiring dengan bertambahnya jarak objek dari pusat radar akibat terjadinya atenuasi dan faktor kelengkungan bumi. Beam radar saat dipancarkan oleh antena memilliki lebar sekitar 0.5 – 2.0° dengan arah lurus horizontal. Seiring dengan bertambahnya jarak horizontal ynag dicapai oleh beam radar maka jarak vertikal terbawah yang dicapai beam radar juga ikut bertambah. Hal tersebut terjadi karena beam radar bergerak secara lurus sedangkan permukaan bumi cenderung melengkung. Adanya atenuasi atau pelemahan beam radar juga ikut mengurangi kualitas data terutama pada jarak yang semakin jauh dari pusat radar cuaca. Oleh karena itulah, pada kejadian hujan lebat yang terjadi di dekat radar cuaca terkadang memiliki nilai reflektivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kejadian hujan lebat yang terjadi pada jarak yang jauh dari pusar radar cuaca. -912- Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band (Wati, K.S., dkk.) Dalam penelitian ini digunakan dua kejadian hujan lebat dengan masing-masing lokasi kejadian memiliki jarak yang berbeda dari pusat radar cuaca. Kejadian hujan lebat pertama berada dalam jarak 0-5 km dari pusat radar terjadi tanggal 19 januari 2016 sedangkan kejadian kedua berada dalam jarak 15-30 km dari pusat radar yang terjadi tanggal 16 Januari 2016. Penelitian ini bertujuan untuk membedakan karakteristik dari kejadian hujan lebat yang terjadi di dekat pusat radar dengan kejadian hujan lebat yang terjadi jauh dari pusat radar sehingga diharapkan para prakirawan dapat memberikan analisis terhadap citra radar dengan lebih baik. 2. METODE Dalam penelitian ini, data yang digunakan antara lain: 1. Data reflektivitas produk CMAX 0.5 –10 km dan CMAX VCUT; 2. Data produk EHT; Menurut Wardoyo (2015), penggunaan masing-masing produk CMAX, VCUT, dan EHT secara ringkasnya adalah sebagai berikut: a. Produk CMAX (Coloum Maximum) digunakan karena produk ini dapat menggambarkan nilai reflektivitas maksimum antara dua ketinggian pada suatu kolom. Produk ini diharapkan dapat menampilkan nilai reflektivitas dari presipitasi yan dihasilkan dari awan jenis Cumulonimbus yang rentan mengakibatkan cuaca buruk. b. Produk VCUT (Vertical Cut) digunakan untuk menampilkan ririsan secara vertikal atau tegak lurus dari suatu polar volume set. Produk ini sangat berguna untuk melakukan analisis terhadap struktur vertikal dari suatu fenomena cuaca yang terjadi. Dengan menggunakan produk ini maka struktur vertikal dari suatu awan konvektif dapat dianalisis guna mengetahui tahap perkembangan, dewasa hingga meluruhnya. c. Produk EHT (Echo Height) berguna secara khusus untuk mengidentifikasi struktur vertikal fenomena meteorologiseperti sel-sel badai petir. Produk ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara otomatis strukur echo dalam lajur tegak. Data radar cuaca diolah dengan menggunakan aplikasi rainbow 5 untuk menampilkan produk CMAX, CMAX VCUT, dan EHT. Lokasi penelitian terletak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Lokasi Pertama adalah Penujak yang terletak 0-5 km dari pusat radar cuaca (lingkaran hijau) dan lokasi kedua adalah Mataram yang terletak 15-30 km dari pusat radar cuaca (lingkaran biru). Gambar 1. Peta Pulau Lombok Sebagai Lokasi Penelitian ( Google maps, 2016) -913- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Adapun diagram alir dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Radar Cuaca CBand Limitasi Radar Hujan Lebat di Lombok Reflektivity 0 – 15 km Durasi 15 – 30 km 0 – 15 km 15 – 30 km Analisis Kesimpulan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kejadian Hujan Lebat Dalam Jarak 0-5 km Kejadian hujan lebat dalam jarak 0-5 km terjadi pada tanggal 19 Januari 2016. Hujan lebat yang tejadi sekitar jam 14.00 WITA tersebut disertai dengan angin kencang dan petir dengan curah hujan terukur selama satu jam mencapai 44.4 mm. Jarak pandang mendatar yang teramati pada saat kejadian mencapai hanya 500 m. Kondisi tersebut merupakan salah satu kategori cuaca ekstrem menurut BMKG. Gambar 2. Produk CMAX tanggal 19 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.10 WITA; 14.20 WITA; 14.30 WITA; 14.40 WITA; dan 14.50 WITA. Berdasarkan produk CMAX pada saat kejadian hujan lebat seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2 terlihat bahwa echo presipitasi yang terdeteksi di sekitar wilayah Penujak memiliki nilai reflektivitas yang berkisar antara 20 – 40 dBz dengan warna hijau muda hingga kuning. Wilayah terjadinya hujan lebat ini hampir masuk dalam blind zone radar karena jaraknya yang sangat dekat dengan pusat radar cuaca Lombok. Presipitasi diperkirakan mulai terjadi sekitar pukul 13.50 WITA dan mencapai puncaknya pada pukul 14.10 WITA hingga 14.40 WITA. Selanjutnya pukul 14.50 WITA presipitasi sudah mulai berkurang. -914- Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band (Wati, K.S., dkk.) Gambar 3. Produk CMAX VCUT tanggal 19 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.10 WITA; 14.20 WITA; 14.30 WITA; 14.40 WITA; dan 14.50 WITA. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas secara vertikal maka dilakukan vertical cut pada produk CMAX seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Jarak lokasi yang terlalu dekat dengan pusat radar juga menyebabkan munculnya cone of silence dalam produk VCUT CMAX. Berdasarkan struktur vertikal yang ditampilkan dalam produk VCUT tampak bahwa kejadian hujan paling lebat terjadi sekitar jam 14.40 WITA. Terlihat adanya echo dengan nilai reflektivitas hingga 40 dBz pada ketinggian 0-2 km dari permukaan. Kemungkinan echo presipitasi tersebut bisa memiliki ketinggian lebih dari 2 km namun karena adanya cone of silence sehingga gambaran echo presipitasi yang tampak hanya sampai pada ketinggian 2 km. Sama seperti citra yang ditampilkan dalam produk CMAX terlihat bahwa presipitasi dimulai sejak jam 13.50 WITA kemudian semakin bertambah lebat mulai jam 14.10 WITA hingga 14.40 WITA kemudian intensitasnya berkurang mulai jam 14.50 WITA. Kondisi tersebut terlihat dari citra produk VCUT jam 14.50 WITA dimana echo reflektivitas tampak berkurang nilainya menjadi sekitar 5 -20 dBz dengan warna biru muda hingga biru tua. Tampilan produk EHT seperti dalam Gambar 4 sebenarnya memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan produk VCUT. Produk ini memanpilkan ketinggian puncak echo dengan nilai minimal 10 dBz. Sama seperti analisis dri produk VCUT bahwa puncak echo di sekitar lokasi kejadian memiliki ketinggian sekitar 0-2 km. Gambar 4. Produk EHT tanggal 19 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.10 WITA; 14.20 WITA; 14.30 WITA; 14.40 WITA; dan 14.50 WITA. 3.2 Kejadian Hujan Lebat Dalam Jarak 15-30 km Hujan lebat yang terjadi pada tanggal 16 Januari 2016 berada dalam jarak 15-30 km dari pusat radar cuaca. Kejadian hujan lebat tersebut terjadi di Kota Mataram dan Kecamatan Kediri. Curah hujan terukur di Stasiun Klimatologi Kediri mencapai 100 mm sedangkan berdasarkan pengukuran dari ARG Mataram, hujan terukur mencapai 85.2 mm. Kedua kejadian hujan tersebut masuk dalam kategori cuaca ekstrem menurut BMKG. Kejadian hujan lebat tersebut bahkan menimbulkan banjir yang menggenangi sebagian wilayah Kediri dengan ketinggian genangan air yang mencapai 20 cm. Hujan yang terjadi di wilayah Kediri dimulai sejak pukul 13.30 WITA sedangkan di Mataram, hujan baru mulai terjadi sekitar pukul 14.00 WITA. -915- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 5. Produk CMAX tanggal 16 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.30 WITA; 15.00 WITA; 15.30 WITA; 16.00 WITA; dan 16.30 WITA. Gambar 6. Produk CMAX VCUT tanggal 16 Januari 2016 jam 14.10 WITA; 14.20 WITA; 14.30 WITA; 14.40 WITA; 14.50 WITA; 15.00 WITA; 15.10 WITA; 15.20 WITA dan 15.30 WITA. Produk CMAX tanggal 16 Januari 2016 seperti yang dittunjukkan dalam Gambar 5, memperlihatkan adanya echo presipitasi dengan nilai reflektivitas yang tinggi yaitu berkisar antara 20 – 50 dBz dengan warna hijau muda hingga jingga tua di sekitar wilayah Kediri sedangkan di sekitar wilayah Mataram nilai echo presipitasi berkisar antara 20-45 dBz dengan warna hijau muda hingga jingga. Kondisi ini dikaitkan dengan kondisi hujan di wilayah Kediri yang memiliki intensitas lebih lebat dibandingkan dengan di Mataram. Hal tersebut dibuktikan dengan curah hujan terukur di wilayah Kediri yang lebih tinggi yaitu mencapai 100 mm dibandingkan dengan wilayah Mataram dimana curah hujan terukur mencapai 85.2 mm. Untuk lebih jelasnya maka dilakukan pemotongan secara vertikal pada produk CMAX di atas. Vertical cut pada produk CMAX menghasilkan potongan secara vertikal pada sel presipitasi di sekitar wilayah Mataram dan Kediri seperti ditunjukkan dalam Gambar 6. Dari citra produk CMAX VCUT terlihat dengan lebih jelas bahwa hujan paling deras secara umum terjadi pukul 14.10 WITA hingga 15.30 WITA. Durasi terjadinya hujan lebat di wilayah Mataram berlangsung lebih singkat dibandingkan dengan di wilayah Kediri. Untuk di wilayah Mataram hujan diperkirakan terjadi sekitar pukul 14.00 WITA hingga 16.30 WITA sedangkan di wilayah Kediri selain intensitas hujan yang memang lebih tinggi terjadinya hujan lebat juga tejadi dalam durasi yang lebih panjang yaitu ari pukul 13.50 WITA hingga 16.40 WITA. Echo presipitasi dengan nilai mencapai 45-50 dBz terlihat berada pada ketinggian 0-5 km. Lokasi kejadian yang berada cukup jauh dari pusat radar sedikit menguntungkan karena tidak terdapat cone of silence pada tampilan produk VCUT dan tidak terkena blind zone pada produk CMAX. Produk EHT seperti yang terlihat dalam Gambar 7 memberikan informasi yang mirip dengan produk CMAX VCUT. Kelebihan produk ini bila dibandingkan VCUT yaitu dengan menggunakan produk EHT maka nilai reflektivitas minimum beserta ketinggian puncaknya yang ingin ditampilkan dapat -916- Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band (Wati, K.S., dkk.) diatur oleh pengguna. Dalam kasus hujan lebat yang terjadi di Mataram dan Kediri tanggal 16 Januari 2016, ketinggian echo presipitasi dengan nilai minimum 10 dBz terdapat pada ketinggian 0-5 km. Gambar 7. Produk EHT tanggal 16 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.30 WITA; 15.00 WITA; 15.30 WITA; 16.00 WITA dan 16.30 WITA. 4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada masing-masing kejadian hujan lebat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Hujan lebat yang terjadi di wilayah Penujak tanggal 19 Januari 2016 memiliki lokasi kejadian yang sangat dekat dengan pusat radar cuaca Lombok yaitu hanya berkisar antara 0-5 km. Disebabkan oleh jarak lokasi kejadian yang sangat dekat sehingga mengakibatkan terjadinya tampilan cone of silence pada citra produk VCUT dan blind zone pada citra produk CMAX. 2. Nilai echo presipitasi yang mengindikasikan terjadinya hujan lebat dalam jarak 0-5 km dari pusat radar hanya berkisar antara 20-40 dBz dengan warna hijau muda hingga kuning. Dengan kisaran nilai echo antara 20-40 dBz terjadi pada ketinggian 0-2 km dari permukaan. Kondisi tersebut yang terjadi hanya dalam durasi kurang lebih 1 jam telah dapat menghasilkan curah hujan mencapai 44 mm yang masuk dalam kategori cuaca ekstrem. 3. Hujan lebat yang terjadi di wilayah Mataram dan Kediri tanggal 16 Januari 2016 memiliki lokasi kejadian dengan jarak sekitar 15-30 km dari pusat radar cuaca. Jarak yang cukup jauh dari pusat radar menguntungkan karena tidak terdapat tampilan cone of silence pada citra produk VCUT dan blind zone pada citra produk CMAX. 4. Nilai echo presipitasi yang mengindikasikan terjadinya hujan lebat dalam jarak 15-30 km dari pusat radar berkisar antara 20-50 dBz dengan warna hijau muda hingga jingga tua. Dengan kisaran nilai echo antara 20-50 dBz terjadi pada ketinggian 0-5 km dari permukaan. Kondisi tersebut yang terjadi dalam durasi kurang lebih 3-4 jam menghasilkan curah hujan mencapai 100 mm di wilayah Kediri dan 85.2 mm di wilayah Mataram yang masuk dalam kategori cuaca ekstrem. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah menganugerahkan kesehatan sehingga tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih juga kepada rekan-rekan di Stasiun Meteorologi Selaparang – BIL dan Stasiun Klimatologi Kediri atas bantuannya dalam penyediaan data dukung untuk tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA BMKG (2014). Petunjuk Operasional Pengelolaan Citra Radar BMKG, BMKG, Jakarta. Wardoyo, E., (2015). Radar Meteorologi. BMKG, Jakarta. Wiguna, P.P.H., dan Wati, K.S., (2015). Analisis Hujan Sangat Lebat di Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Bali (Studi Kasus Tanggal 3 Juni 2015), Prosiding Workshop Radar BMKG 2015. Google (2016). Peta Pulau Lombok, diakses tanggal 16 Juni 2016, https://www.google.com/maps/place/Pulau+Lombok. -917- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band : Kadek Setiya Wati (BMKG) : Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief (LAPAN) 1. Di dalam diagram alur, terdapat Limitasi Radar. Tolong jelaskan yang dimaksud dengan Limitasi Radar? 2. Apa pengaruh kelengkungan Bumi terhadap akurasi data? Jelaskan akurasi yang Anda maksudkan dalam penelitian? Jawaban: 1. Limitasi Radar dapat diartikan keterbatasan dari kemampuan radar dalam menangkap objek yang diinginkan. Dalam hal ini karena radar adalah radar cuaca, maka objek tersebut dapat berupa presipitasi. Berikut adalah contoh beberapa limitasi radar: 2. Yang dimaksud akurasi data disini adalah ketepatan radar dalam mendeteksi ketinggian awan. Pengaruh kelengkungan bumi terhadap akurasi data adalah ketika digunakan beam pada elevasi rendah, awan yang terletak jauh dari site radar akan mendeteksi bagian puncak awan. Akan tetapi forecaster apabila tidak memperhitungkan efek kelengkungan bumi, akan menganggap itu sebagai dasar awan, karena menggunakan beam pada elevasi rendah. Berikut adalah ilustrasi efek kelengkungan bumi terhadap akurasi data radar: -918- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016) The Utilization of Satellite Data to Analyze Atmospheric Condition on Bandung Flood (Case Study on March, 12th 2016) Clara Avila Dea Permata 1*), Annisa Nazmi Azzahra1, dan Annisa Fauziah2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2 Stasiun Meteorologi Sultan Thaha Jambi *) E-mail: [email protected] ABSTRAK-Banjir sering kali terjadi di kawasan Jawa Barat, namun banjir terparah dirasakan tahun 2016 oleh warga kota Bandung. Pada tanggal 12 Maret 2016 dilaporkan bahwa banjir terparah terjadi di Bandung yang menghanyutkan ratusan rumah. Banjir di wilayah Indonesia umumnya terjadi di saat musim hujan, terutama pada topografi wilayah yang memiliki topografi berupa dataran rendah. Namun, kasus unik ini terjadi di Bandung disaat periode transisi atau peralihan musim, serta merupakan daerah dataran tinggi. Melihat dampak yang terjadi, serta kurangnya kapasitas lokal untuk menganalisis data, penulis melakukan penelitian ini menggunakan pendekatan parameter cuaca melalui output data satelit Himawari-8 yang diolah dengan aplikasi SATAID (GMSLPW) serta hasil observasi permukaan. Hasil analisis berbagai parameter Himawari-8 menunjukkan adanya awan konvektif Cumulonimbus yang secara terus menerus tumbuh aktif. Pertumbuhan awan ini akibat adanya pembelokan angin (shear) di lapisan 850 mb. Nilai RH lapisan 700 mb yang basah mengindikasikan kondisi yang mendukung pertumbuhan awan. Kata kunci: SATAID, Analisa Cuaca, Penginderaan Jauh ABSTRACT-Flood often occurs in West Java, but the worst flood felt by the citizens of Bandung in 2016. On March 12nd, 2016 reported that the worst Bandung flood washed away hundreds of buildings. Indonesia flood generally occurs during the rainy season, especially on the lowland topography. However, it was a unique case of Bandung because occurred in the transition period or the transitional seasons and on the highland areas. Seeing the impact and the lack of local capacity to analyze the data, the authors conducted this study using the weather parameters approach in the output Himawari-8 satellite data which processed by SATAID (GMSLPW) application and also observation data. The results of the Himawari-8 analysis showed convective clouds Cumulonimbus continuously growing actively. This cloud growth is a result of the shear on level 850 mb. The values of RH on level 700 mb also indicate a condition that supports the growth of the clouds. Keywords: SATAID, Weather Analysis, Remote Sensing 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang berada di wilayah tropis dengan curah hujan yang sangat tinggi. Hal tersebut memicu banyaknya kejadian banjir di Indonesia. Banjir adalah suatu peristiwa terjadinya peluapan air yang berlebihan di suatu tempat. Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air lantaran curah hujan yang diatas normal, perubahan suhu, tanggul/bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat, terhambatnya aliran air di tempat lain, sedangkan diperkotaan genangan lokal terjadi pada saat musim hujan, skala banjir yang terjadi cukup besar dan belum dapat dikendalikan secara dominan. Kepadatan penduduk dan sedikitnya lahan penyerapan juga menjadi faktor pendukung terjadinya banjir. Banjir sering menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Salah satu kejadian banjir yang terjadi baru-baru ini adalah kejadian banjir di Bandung pada 12 Maret 2016. Diberitakan banjir tersebut merendam hingga 35.000 rumah warga di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, bahkan di beberapa lokasi ketinggian air mencapai 3.3 meter. Berdasarkan kejadian tersebut, penulis ingin mengetahui kondisi atmosfer pada saat terjadinya banjir tersebut. Kondisi atmosfer dapat dianalisis dengan menggunakan citra Satelit Himawari 8. Satelit Himawari-8 merupakan rangkaian satelit cuaca terbaru yang diluncurkan oleh Jepang pada tanggal 7 Oktober 2014 yang lalu menggantikan satelit cuaca sebelumnya yaitu MTSAT-2. satelit ini mulai beroperasi penuh sejak pertengahan tahun 2015 yaitu tepatnya tanggal 7 Juli 2015. Penambahan teknologi terbaru sudah diterapkan dalam satelit ini dimana kanal yang tersedia kini berjumlah 16 dari sebelumnya hanya 5 kanal saja; resolusi spasial mencapai 0.5 km untuk kanal visibel dan 2 km untuk kanal inframerah; -919- Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016) (Permata, C.A.D., dkk.) resolusi temporal mencapai 10 menit untuk pemindaian secara keseluruhan dan 2.5 menit untuk pemindaian area terbatas. SATAID adalah satu set software yang dijalankan di dalam sistem operasi Windows, berfungsi untuk mengolah gambar satelit. Inti dari sistem SATAID adalah aplikasi untuk menampilkan data binary dari satelit menjadi gambar. Aplikasi ini dikembangkan sebagai kontribusi JMA kepada World Meteorological Organization (WMO). Saat ini SATAID telah digunakan sebagai alat operasional di JMA untuk analisis cuaca harian, termasuk pula dalam kegiatan monitoring tropical cyclone. SATAID digunakan untuk menampilkan citra satelit dan meng-overlay data prediksi cuaca numerik NWP (Numerical Weather Prediction). Data NWP terpisah dari data citra satelit, didapatkan juga dari JMA dalam satu paket dengan data citra satelit. Dengan menggunakan SATAID, pengguna dapat menampilkan dan melakukan overlay antara citra satelit dan data NWP. Dimungkinkan juga overlay berbagai macam data yang didapatkan antara lain dari data pengamatan sinoptik, kapal, suhu, radar, pencatat profil angin, dan sebagainya, dengan syarat data-data tersebut telah memiliki format yang sama sebagaimana yang diminta oleh aplikasi SATAID. 2. METODE 2.1 Lokasi Penelitian Pada peneltian banjir di Bandung, daerah yang ditinjau adalah daerah pada koordinat 6ᵒ40’-7ᵒ48’LS dan 107ᵒ16’-108ᵒ20’ BT dimana wilayah Bandung terletak pada koordinat 6°41’-7°1’` LS dan 107°22’-108°5’ BT. 2.2 Data Penelitian Data yang dapat digunakan untuk penelitian banjir salah satunya adalah data dari citra satelit Himawari-8. Pada kasus banjir di Bandung ini, dipilih data citra satelit pada 12 Maret 2016 jam 07.00-17.00 UTC dimana waktu tersebut adalah saat terjadinya hujan di Bandung. 2.3 Metode Penelitian Pada penelitian ini digunakan teknik interpretasi data citra satelit Himawari-8 yang diolah dengan perangkat lunak SATAID. Kanal yang digunakan yaitu kanal IR untuk mendeteksi pola tutupan awan di daerah Bandung. Untuk mendapatkan display data dengan kanal IR, maka pada menu “Image” dipilih IR1. Dari kanal IR tersebut dapat dilihat pola tutupan awan yang terjadi di Bandung sehingga dapat dilakukan analisis suhu puncak awan melalui gambar atau grafik yang ditampilkan oleh SATAID. Untuk mendukung data tutupan awan yang didapat dari kanal IR, diperlukan juga data angin dan RH di wilayah Bandung. Data angin dan RH didapatkan dari menu NWP. Lapisan yang dipilih yaitu lapisan 850 mb untuk wind dan 700 mb untuk RH. 3. HASILDAN PEMBAHASAN 3.1 Kondisi Tutupan Awan Gambar 3.1 merupakan gambar time series awan yang menunjukkan kondisi tutupan awan hujan di daerah Bandung pada 12 Maret 2016 pukul 09.00-14.00 UTC. Gambar 3.1 didapatkan dari hasil pengolahan kanal Infra Red (IR). Dalam gambar 3.1 terlihat awan hujan mulai terbentuk pada jam 09.00 UTC yang ditandai dengan warna putih terang di atas wilayah Jawa Barat, khususnya Bandung. Awan berwarna putih mengkilap menunjukkan temperatur puncak awan sangat rendah yang mengindikasikan awan tumbuh hingga melewati lapisan freezing level (awan dingin). Awan semakin meluas ke seluruh wilayah Jawa Barat hingga pukul 14.00 UTC terlihat awan mulai terpecah dengan warna yang semakin memudar. Kondisi tutupan awan putih terang yang cukup lama di atas wilayah Bandung menjadi indikasi terjadinya hujan dengan intensitas lebat yang dapat menyebabkan banjir. -920- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 3.1. Kondisi Tutupan Awan di Bandung, 12 Maret 2016 jam 09.00-14.00 UTC 3.2 Kondisi Kontur Suhu Awan Gambar 3.2 merupakan tampilan hasil pengolahan citra satelit pada kanal IR yang menghasilkan kontur suhu awan di atas wilayah Bandung pada tanggal yang sama pada jam 09.00-11.00 UTC. Pertumbuhan awan dimulai pada sekitar jam 09.00 UTC dengan suhu inti sel puncak awan antara -60°C hingga -80°C. Pada jam berikutnya cakupan awan meluas dengan suhu inti sel puncak awan konsisten negatif pada kisaran -60°C hingga -80°C. Suhu inti sel puncak awan yang negatif menunjukkan indikasi adanya sel awan konvektif yang kuat, yaitu awan Cumulonimbus. Awan Cumulonimbus dapat dideteksi ketika suhu puncak awan mendingin hingga -40°C, sementara gambar 3.2 menunjukkan suhu inti awan pada kisaran -60°C hingga -80°C yang berarti awan Cumulonimbus di atas wilayah Bandung menjulang sangat tinggi dan berpotensi membawa hujan lebat. -921- Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016) (Permata, C.A.D., dkk.) Gambar 3.2. Kondisi Tutupan Awan di Bandung, 12 Maret 2016 jam 09.00-14.00 UTC 3.3 Kondisi Suhu Puncak Awan Gambar 3.3 menunjukkan grafik nilai suhu puncak awan di wilayah Bandung tepatnya pada kordinat 6.92 LS dan 107.56 BT pada tanggal kejadian jam 07.00-17.00 UTC. Dari grafik terlihat bahwa pertumbuhan awan hujan mulai signifikan pada jam 08.00 UTC dengan suhu puncak awan negatif dibawah -60°C. Awan terus berkembang dan mencapai suhu terdinginnya pada jam 11.00 UTC sebesar -80°C. Pada grafik terlihat suhu puncak awan dibawah -40°C bertahan hingga jam 14.00 UTC yang menandakan keberadaan awan Cumulonimbus di wilayah tersebut cukup lama dan bisa menghasilkan hujan lebat hingga banjir. Setelah pukul 14.00 UTC awan mulai pecah dan menghilang. Gambar 3.3. Grafik Suhu Puncak Awan di Bandung, 12 Maret 2016 jam 07.00-17.00 UTC -922- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 3.4 Kondisi RH 700 mb Gambar 3.4 menunjukkan hasil overlay data prediksi cuaca numerik NWP dengan data citra satelit kanal IR di atas wilayah Pulau Jawa pada tanggal kejadian jam 10.00-12.00 UTC. Data NWP yang digunakan adalah RH pada lapisan 700 mb. Dari gambar tersebut terlihat nilai RH pada wilayah Bandung, Jawa Barat sebesar 70% yang berarti atmosfer pada lapisan 700 mb dalam kondisi basah yang mendukung pertumbuhan awan dan berpeluang terjadinya hujan. Gambar 3.4. Kondisi RH Lapisan 700 mb di Bandung, 12 Maret 2016 jam 08.00-11.00 UTC 3.5 Kondisi Angin lapisan 850 mb Gambar 3.5 juga menunjukkan hasil overlay data prediksi cuaca numerik NWP dengan data citra satelit kanal IR di atas wilayah Pulau Jawa pada tanggal kejadian jam 10.00-13.00 UTC. Data NWP yang digunakan adalah wind pada lapisan 850 mb. Gambar 3.5 menunjukkan pola angin yang berlawanan arah antara perairan di selatan Pulau jawa dan di utara Pulau Jawa. Di bagian selatan, arah angin didominasi dari Timur hingga Tenggara dan di bagian utara didominasi angin dari Barat Daya hingga Barat. Terlihat bahwa perbedaan arah tersebut menyebabkan adanya belokan angin (shear) di wilayah Pulau Jawa. Kondisi ini mendukung terjadinya pembentukan pumpunan awan di sepanjang Pulau Jawa, khusunya Jawa Barat dan berpotensi menghasilkan cuaca buruk berupa hujan lebat. -923- Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016) (Permata, C.A.D., dkk.) Gambar 3.5 Gambar Angin Lapisan 850 mb di Bandung, 12 Maret 2016 jam 10.00-13.00 UTC 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data citra satelit Himawari-8, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada citra satelit Himawari-8, kanal IR menunjukkan warna putih pekat pada saat terjadinya puncak curah hujan yaitu antara jam 09.00-13.00 UTC pada 12 Februari 2016 yang menunjukkan adanya tutupan awan di wilayah Bandung. 2. Grafik dan gambar dari kanal IR menampilkan suhu puncak awan diatas -40°C pada pukul 09.00-14.00 UTC dengan suhu puncak awan maksimum yaitu -80°C terjadi pada pukul 11.00 UTC. Hal ini mengindikasikan adanya awan CB yang sangat matang di wilayah Bandung sehingga menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas lebat. 3. Nilai RH pada lapisan 700 mb pukul 10.00-12.00 UTC yang dihasilkan pada produk NWP mencapai 70% yang berarti kondisi atmosfer dalam keadaan basah sehingga menandakan peluang terjadinya hujan di wilayah Bandung. 4. Dari produk NWP, dilihat juga adanya pola angin pada lapisan 850 mb pada jam 10.00-12.00 UTC yang menunjukkan bahwa terjadi pembelokan angin (shear) di wilayah Jawa khususnya Jawa Barat sehingga pembentukan awan banyak terjadi di daerah tersebut. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG Pusat atas data dan informasi yang kami peroleh untuk dijadikan bahan penelitian ini dan juga Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional khususnya panitia Sinas Inderaja 2016 yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk ikut serta dalam acara Seminar Nasional Penginderaan Jauh tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA Harsa, H., dkk., (2011). Pemanfaatan Sataid untuk Analisa Banjir dan Angin Puting Beliung: Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan Geofisik, 12(2):195-205. Puslitbang BMKG., (2009). Kajian Cuaca Ekstrim di Wilayah Indonesia. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Sebastian, L., (2008). Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir. Jurnal Dinamika Teknik Sipil, 8(2):162-169. -924- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tanaka, Y., (2009). SATAID-Powerful Tool for Satellite Analysis. RSMC Tokyo-Typhoon Center, Japan Meteorology Agency (JMA). *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Analisis Kondisi Atmosfer Pada Sebelum Dan Sesaat Terjadinya Puting Beliung (Studi Kasus tanggal 26 Februari 2013 di Kediri, Lombok Barat) : Annisa Fauziah (STMKG) : Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief (LAPAN) 1. Apakah hasil penelitian anda dapat memprediksi terjadinya puting beliung? Jika ya, berapa lama waktu prediksi tersebut dapat dikeluarkan sebelum terjadinya puting beliung? 2. Dapat anda sebutkan parameter atau kejadian alam yang lain, yang dapat mendukung akurasi dari prediksi tersebut di atas? Jawaban: 1. Dari hasil penelitian kami, belum bisa memprediksi terjadinya puting beliung, mengingat puting beliung itu sendiri terjadi dalam skala luasan yang kecil (<5 km) dan waktu yang sangat singkat (durasi detik hingga menit). Penelitian kami lebih kepada analisis kejadian puting beliung sehingga kami dapat mengenali tanda-tanda awal kondisi atmosfer sebelum terjadinya puting beliung di Kediri, Lombok Barat. Dalam hal ini resolusi spasial dan temporal dari satelit yang digunakan (satelit yang kami gunakan memiliki resolusi temporal 1 jam dengan resolusi spasial 1km) belum bisa memenuhi skala kejadian dari puting beliung itu sendiri. 2. Berdasarkan literatur yang saya baca, parameter atau kejadian alam lain dapat dideteksi oleh radar cuaca, dengan memperhatikan pola bow echo pada radar. Sayangnya dalam penelitian ini, tahun 2013, radar cuaca di pulau Lombok belum terpasang. Penggunaan radar cuaca untuk memprediksi puting beliung akan kami coba pada penelitian kami selanjutnya. -925- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Citra Satelit Himawari-8 dan Model WRF-ARW (Studi Kasus: Hujan Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua) Identification of Mesoscale Convective System (MCS) Using Imagery of Satellite Himawari-8 and WRF-ARW Model (Case Study: Heavy Rain on March 21, 2016 in Nabire, Papua) Rodhi Janu Aldilla Putri1*), dan Adityo Mega Anggoro1 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofsika *) E-mail: [email protected] ABSTRAK – Wilayah tropis Indonesia merupakan wilayah dengan tingkat pemanasan matahari yang tinggi sehingga sangat mendukung untuk pembentukan awan-awan konvektif Cumulonimbus. Ketika sel awan Cumulonimbus yang terbentuk lebih dari satu, berkumpul, dan matang maka akan membentuk suatu sistem awan badai dengan luasan yang besar dengan waktu hidup yang panjang dan disebut dengan Mesoscale Convective Sysytem (MCS). Salah satu fenomena MCS yang pernah terjadi di Indonesia adalah di wilayah Papua Tengah pada tanggal 21 Maret 2016. MCS ini menyebabkan hujan lebat berkepanjangan di Kabupaten Nabire dengan intensitas 160 mm/hari dan menyebabkan banjir di beberapa kecamatan. Hasil analisis data citra satelit Himawari-8 dan model WRF-ARW menunjukkan bahwa MCS pada tanggal 21 Maret 2016 bersifat noncturnal yang muncul pada malam hari hingga dini hari dan memiliki masa hidup mencapai 6 jam dengan suhu puncak awan -70oC hingga -80oC. Wilayah yang dilewati MCS mengalami kenaikan jumlah presipitasi dan nilai vertical velocity yang secara umum positif dalam satuan m/s. Kata kunci: MCS, kecepatan vertikal, Himawari-8, WRF-ARW ABSTRACT - Indonesia's tropical region is a region with high levels of solar heating so it is conducive to the formation of convective clouds Cumulonimbus. When many single cells Cumulonimbus clouds formed over one, gather, and mature, it will form a system of storm clouds with a large area with a longer life time and called Mesoscale Convective System (MCS). One of the MCS phenomenon that has ever happened in Indonesia is in the region of Central Papua on March 21, 2016. This MCS caused prolonged heavy rain in Nabire with intensity 160 mm / day and causing flooding in several districts. The results of the analysis of satellite imagery data Himawari-8 and the model WRF-ARW show that MCS on March 21, 2016 are nocturnal, which occurred in the night until the early morning and have a life span is 6 hours with the temperature of the cloud tops -70oC to -80oC. The related area of MCS increased amount of precipitation and the value of vertical velocity was generally positive in m/s. Keywords: MCS, vertical velocity, Himawari-8, WRF-ARW 1. PENDAHULUAN Kondisi meteorologi di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor geografi. Letak Indonesia yang berada di sekitar garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia menerima banyak radiasi matahari sehingga aktivitas konveksi di wilayah ini sangat tinggi. Konveksi merupakan pemanasan atau penyebaran panas yang terjadi akibat adanya gerakan udara vertikal (Zakir, dkk., 2010). Tingginya pemanasan dan tersedianya banyak uap air dari hasil konveksi merupakan lahan subur bagi pembentukan awan-awan konvektif seperti Cumulonimbus. Apabila awan-awan Cumulonimbus yang terbentuk semakin banyak, berkumpul, dan matang, maka dapat membentuk suatu sistem konvektif skala luas dengan masa hidup yang lama yang umumnya dikenal dengan sebutan Mesoscale Convective System (MCS). MCS merupakan jenis sistem konvektif hasil dari gabungan proses mekanis dan thermis sehingga menghasilkan area awan Cumulonimbus dengan luas ratusan hingga ribuan km dengan masa hidup lebih panjang dari tiga jam (Houze, 2004; Laing, 2003). Salah satu MCS yang terbesar adalah Mesoscale Convective Compex (MCC) yang dapat diidentifikasi berdasarkan kriteria berikut (Maddox, 1980) : memiliki inti awan dingin dengan suhu puncak awan ≤ -320C dengan area ≥ 100.000 km2, memiliki selimut awan dingin dengan suhu puncak awan ≤ -520C dengan area ≥ 50.000 km2, cenderung berbentuk lingkaran dengan lama waktu hidup ≥ 6 jam. MCS umumnya bersifat nocturnal yakni muncul di waktu malam hingga dini hari. -926- Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Satelit Himawari-8 dan Model WFR-ARW (Studi Kasus: Hujan Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua) (Putri, R.J.A., dkk.) Selain karena proses konvektif yang aktif, pembentukan awan-awan Cumulonimbus sebagai komponen dari MCS juga dapat disebabkan karena adanya gerakan udara secara vertikal ke atas (vertical velocity). Gerakan udara vertikal ke atas akan sangat mendukung untuk pembentukan awan. Dalam satuan m/s, apabila nilai kecepatan vertikal bernilai positif menandakan adanya gerakan udara ke atas. Sebaliknya apabila nilai kecepatan vertikal negatif menandakan adanya subsidensi atau gerakan udara turun. Hal ini berlaku sebaliknya apabila nilai kecepatan vertikal dalam satuan Pascal/sekon (Pa/s). Menurut Ismanto (2011), MCC di Indonesia ditemukan di area Samudera Hindia sebelah barat Pulau Sumatera dengan persentase 35%, Pulau Papua dengan persentase 15%, Samudera Pasifik sebelah utara Papua 13%, Pulau Kalimantan 12%, Samudera Hindia sebelah utara Australia 9%, dan di luar area-area tersebut dengan persentase 16%.Fenomena MCS umumnya akan berdampak pada kondisi udara di wilayahwilayah yang dilewatinya, seperti meningkatnya nilai Convective Available Potential Energy (CAPE), hujan lebat, thunderstorm, dan angin kencang. Dalam penelitian kali ini akan memaparkan salah satu kejadian MCS yang teramati di Papua pada tanggal 21 Maret 2016. MCS tersebut menyebabkan terjadinya hujan lebat dengan intensitas 160 mm yang terukur di Stasiun Meteorologi Nabire. Identifikasi MCS akan dilakukan menggunakan citra satelit Himawari-8 untuk melihat pola MCS secara spasial, dan model WRF-ARW dengan skema parameterisasi cumulus Kain-Fritsch dan mikrofisis Lin et al untuk mengetahui nilai parameter-parameter fisis dari MCS tersebut. 2. METODE Lokasi penelitian berada di wilayah Papua Tengah dengan koordinat129036’00” BT – 141018’00” BT dan 03000’00” LU -9036’00” LS, dengan titik pengamatan mengambil lokasi diStasiun Meteorologi Nabire dengan koordinat stasiun 03022’03” LS dan 135029’52” BT. Nabire merupakan daerah yang teluk karena berbatasan langsung dengan Teluk Cenderawasih, sehingga kondisi cuacanya banyak dipengaruhi oleh sirkulasi darat-laut. Gambar 1 : Lokasi Kabupaten Nabire Papua Tengah(03022’03” LS dan 135029’52” BT) (Sumber : Loket Peta PU) a. b. c. Data yang digunakan antara lain : Data satelit Himawari-8 tanggal 21 Maret 2016 kanal IR1 dengan resolusi temporal 10 menit dengan ekstensi .Z dan netcdf, yang diperoleh dari Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG. Data input model WRF-ARW menggunakan data final analysis (FNL) tanggal 21 Maret 2016 yang diperoleh dari website http://rda.ucar.edu, dengan resolusi spasial 12 km dan resolusi temporal 1 jam. Data curah hujan 3 jam dari hasil pengamatan Stasiun Meteorologi Nabire tanggal 21 Maret 2016. Pada penelitian ini, data satelit Himawari dengan ekstensi .Z akan diolah menggunakan aplikasi Satellite Interaction and Interactive Diagnosis (SATAID) untuk menampilkan time series suhu puncak awan, sedangkan data netcdf akan diolah menggunakan software Grid Analysis and Display System (GrADS) untuk menampilkan citra awan dengan kanal IR1 yang menggunakan suhu puncak awan untuk menentukan jenis awan. Selain data satelit, data input model WRF-ARW berupa data FNL digunakan untuk mengetahui nilainilai parameter fisis yang tidak dapat diketahui jika hanyamenggunakan data satelit. Domain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pulau Papua dengan pusat domain terletak di Stasiun Meteorologi Nabire koordinat 03022’03” LS dan 135 029’52” BT. Data hasil running model WRF-ARW akan diolah menggunakan software GrADS untuk menampilkan arah dan kecepatan angin, fraksi awan, vertical velocity -927- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 dan diagram Skew-T dengan titik pengamatan Stasiun Meteorologi Nabire. Data lain yang digunakan sebagai data pendukung adalah data curah hujan 3 jam dari hasil pengamatan Stasiun Meteorologi Nabire yang beroperasi selama 15 jam. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini merupakan hasil olahan data satelit Himawari-8 yang menampilkan citra awan melalui suhu puncak awan dengan kanal IR-1. (0C) Gambar 1. Citra Awan dengan Kanal IR1 Gambar 1 menggambarkan pertumbuhan awal MCS, perkembangan, hingga peluruhannya yang diidentifikasi dengan keberadaan awan-awan dengan suhu puncak dingin. MCS mulai terbentuk pada jam 06.00 UTC di sekitar wilayah pegunungan Puncak Jaya Wamena. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya cluster awan berwarna biru yang menunjukkan suhu puncak awan dingin antara -600C hingga -800C. Inti dari MCS tersebut diidentifikasi dengan cluster-cluster awan berwarna biru tua dengan suhu puncak -700C hingga -800C. Sementara selimut awan dingin MCS tersebut diidentifikasi dengan sebaran awan berwarna biru muda disekelilingnya dengan suhu puncak -500C hingga -700C. Inti dan selimut awan dingin tersebut terlihat menyebar dan berkembang baik ke arah timur dan barat hingga menutupi hampir keseluruhan wilayah Papua bagian tengah dengan luasan lebih dari 50.000 km2. MCS tersebut kemudian mulai meluruh setelah jam 15.00 UTC membentuk cluster-cluster awan Cumulonimbus yang terpisah. 40 50 60 70 80 90 100 (%) Gambar 2. Fraksi Awan Gambar 2 merupakan jumlah fraksi awan (dalam %) yang merupakan hasil output WRF-ARW. Gambar tersebut menunjukkan pola MCS yang diidentifikasi dengan jumlah fraksi awan yang tinggi yaitu yang berwarna biru dengan jumlah 90 – 100 %. Jumlah fraksi awan yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan uap air dalam awan tersebut sangat tinggi. Pola yang ditunjukkan dari hasil running WRF dan satelit menunjukkan pola yang sama. MCS tumbuh sekitar jam 06.00 UTC di sekitar wilayah Puncak Jaya. MCS tersebut kemudian berkembang ke barat dan timur hingga akhirnya meluruh setelah jam 15.00 UTC. -928- Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Satelit Himawari-8 dan Model WFR-ARW (Studi Kasus: Hujan Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua) (Putri, R.J.A., dkk.) 0 1 2 4 5 7 8 10 11 13 14 16 (KT) Gambar 3. Streamline Lapisan 700 mb Gambar 3 menunjukkan peta streamline di wilayah Papua pada saat kejadian MCS. Dari gambar 3 dapat terlihat adanya arus konvergensi di wilayah Papua bagian tengah. Di Papua sebelah timur juga tampak adanya pusaran angin yang mengindikasikan arus siklonik di wilayah tersebut. Pusaran angin tersebut membentuk shear angin disekitarnya, dimana daerah shear angin merupakan daerah-daerah tempat pembentukan awan. Adanya shear angin diikuti dengan kecepatan angin yang lemah dapat mengakibatkan adanya penumpukan massa udara yang mendukung pertumbuhan awan. Selain arus konvergensi, di sekitar wilayah Teluk Cenderawasih juga terdapat shear angin karena merupakan daerah teluk. Hal ini menyebabkan pada daerah terebut juga sangat mendukung pembentukan awan. Gambar 4.Time Series Suhu Puncak Awan Gambar 4 merupakan time series suhu puncak awan pada titik lokasi Stasiun Meteorologi Nabire. Grafik time series tersebut menunjukkan keberadaan awan dengan suhu puncak awan mencapai -600C hingga -800C. Suhu puncak awan yang sangat dingin mengindikasikan awan-awan dengan puncak yang tinggi seperti awan Cumulonimbus. Awan-awan tersebut terus ada dari jam 07.00 UTC dan hingga jam 23.00 UTC. Masa hidupnya lebih dari 6 jam yang merupakan salah satu syarat keberadaan MCS. -0.2 -0.10 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9(m/s) Gambar 5. Kecepatan Vertikal -929- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 5 menunjukkan nilai kecepatan vertikal secara spasial pada saat pertumbuhan, perkembangan, dan peluruhan MCS. Apabila kecepatan vertikal (dalam satuan m/s) bernilai positif mengindikasikan ada gerakan massa udara yang naik secara vertikal untuk membentuk awan. Sebaliknya apabila kecepatan vertikal bernilai negatif mengindikasikan ada gerakan massa udara yang turun. Nilai yang semakin besar menunjukkan kecepatan dari gerakan massa udara tersebut. Pada jam 06.00 UTC, di beberapa titik di wilayah Papua bagian tengah tepatnya di daerah pergunungan Puncak Jaya terdapat gerakan udara naik yang diidentifikasi dengan kecepatan vertikal bernilai 0.4 – 0.5 m/s. Hal ini mengindikasikan pada waktu tersebut terjadi pembentukan awan yang sangat giat. Kemudian pada jam 12.00 UTC mulai nampak adanya gerakan udara turun yang ditandai dengan mulai terjadinya presipitasi. Tabel 1. Data Curah Hujan 3 Jam Tanggal 21 Maret 2016 (Sumber : Stasiun Meteorologi Nabire) Unsur CH (mm) Jam Pengamatan (UTC) 03 06 09 12 21 0 0 0 77.2 82.8 (a) Total 160.0 (b) Gambar 6. Grafik Skew-T (a) Jam 09.00 UTC dan (b) Jam 12.00 UTC Tabel 1 menunjukkan kejadian hujan lebat di Stasiun Meteorologi Nabire pada saat kejadian MCS. Sistem pencatatan curah hujan dilakukan berdasarkan Universal Time Center (UTC). Intensitas hujan harian dicatat per tiga jam mulai jam 00.00 UTC (09.00 LT) hingga jam 00.00 UTC (09.00 LT) hari berikutnya. Stasiun Meteorologi Nabire hanya beroperasi selama 15 jam sehingga pencatatan curah hujan disesuaikan dengan jam operasional. Pada tanggal 21 Maret 2016, hujan lebat terjadi dengan intensitas curah hujan mencapai 160 mm dalam satu hari. Menurut BMKG (2010), hujan yang turun dengan intensitas ≥ 100 mm per hari tergolong kondisi hujan sangat lebat. Dari hasil pengamatan dari Stasiun Meteorologi Nabire dapat terlihat bahwa hujan terjadi pada waktu petang dengan intensitas lebat. Hujan lebat yang disertai dengan badai guntur ini terjadi mulai jam 09.00 UTC dan berlangsung hingga jam 12.00 UTC. Curah hujan terukur 77.2 mm pada jam 12.00 UTC. Setelah itu hujan berlangsung terus-menerus hingga jam 13.00 UTC dan kembali terjadi hujan di malam hari. Curah hujan terukur 82.8 mm pada jam 21.00 UTC. Selain berdampak terhadap terjadinya hujan lebat, MCS yang merupakan sistem konvektif juga mengakibatkan wilayah yang dilewatinya menjadi labil. Hal ini dapat dilihat dari gambar 6 yaitu grafik Skew-T hasil running model WRF-ARW. Dari grafik tersebut tampak bahwa nilai CAPE di wilayah Nabire > 1000 J/kg yang mengindikasikan energi untuk aktivitas konveksi cukup besar sehingga sangat mendukung untuk pertumbuhan awan. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberadaan MCS dapat diidentifikasi menggunakan citra satelit dengan melihat jenis dan pola sebaran awan yang terbentuk, serta time series suhu puncak awan untuk mengetahui masa hidup MCS. Selain itu, model WRF-ARW juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi MCS dengan melihat pola sebaran awan serta nilai-nilai paramater fisis lainnya. Dari hasil -930- Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Satelit Himawari-8 dan Model WFR-ARW (Studi Kasus: Hujan Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua) (Putri, R.J.A., dkk.) pembahasan juga dapat disimpulkan bahwa pola awan yang teridentifikasi dengan citra satelit dan model WRF-ARW menunjukkan pola yang sama. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada instansi BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), seluruh dosen dan pembina STMKG (Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), serta kepada teman-teman dan seluruh pihak yang mendukung dan membantu penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA BMKG. (2010). Keputusan No. 009 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrem. Jakarta: BMKG Durkee, J. D., dkk., (2009). The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America. Int J. Clim., 22:4590 – 4605. Houze, R.A.Jr. (2004).Mesoscale Convective System. Review of Geophisics, American Geophisical Union, 43 pp. Ismanto, H., (2011). Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim. (Magister Sains Kebumian Thesis). ITB (Bandung Technology University), Bandung. Ismanto, H., (2013). Distribusi Spasial dan Temporal Mesoscale Convective Complex di Benua Maritim. Bukit Kototabang. Buletin Megasains, 4(2). Laing, A.G., (2003). Mesoscale Convective System, Ensyclopedia of Atmospheric Science. Elseiver Science ltd., 1251 – 1261 Loket Pelayanan Informasi Peta – 2013. (http://loketpeta.pu.go.id, diakses 20 April 2016) Maddox, R.A.,(1980). Mesoscale Convective Complexes, Bull. Amer. Meteor. Soc., 61:1374 - 1387. Pandjaitan, B.S., (2015).Analisis Kejadian Mesoscale Convective Complex di Selat Makassar, Studi Kasus Tanggal 2728 Mei 2014. (Sarjana Terapan Meteorologi Skrispsi). STMKG (School of Meteorology Climatology and Geophysics), Jakarta. Tjasyono, H.K.B., (2008). Meteorologi Terapan. Bandung: ITB. Zakir, A., dkk.,(2010). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. Jakarta: Puslitbang BMKG. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator : Syarif Budhiman, S.Pi., M.Sc. Judul Makalah : Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Citra Satelit Himawari-8 dan Model Wrf-Arw (Studi Kasus : Hujan Lebat 21 Maret 2016 Di Kabupaten Nabire) Pemakalah : Rodhi Janu (STMKG) Diskusi : Saran : Bambang S. Tedjasukmana Agar meneliti statistik untuk mengetahui dan peramalan La Nina dan El Nino. -931- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8 Studi Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang Optimization of Cumulonimbus Location Assessment and Cb Base Spreading Based on Himawari-8 Satellite Monitoring Case Study: High Convective Rainfall on 3 April 2016 in Semarang Anistia Malinda Hidayat1*) 1 Pemeriksa Cuaca Stasiun Meteorologi Klas II Ahmad Yani, Semarang *) E-mail: [email protected] ABSTRAK. Awan cumulonimbus (Cb) merupakan jenis awan konvektif paling ditakuti oleh semua penerbang. Selain dapat menyebabkan turbulensi hebat pada pesawat terbang, keberadaan Cb juga dapat menyebabkan tornado, badai guntur, hujan lebat dan fenomena fatal lainnya yang mengancam keselamatan penerbangan. Sampai saat ini, penentuan jenis awan masih dilakukan secara manual melalui visual oleh para pengamat cuaca. Dalam kaitannya dengan pelaporan cuaca penerbangan, penentuan lokasi Cb merupakan hal yang wajib dilaporkan oleh seorang pengamat cuaca. Sehingga kesalahan dalam pemberian informasi terkait Cb merupakan kesalahan yang fatal. Namun penentuan lokasi pusat Cb secara visual sulit dilakukansaat langittelah rata tertutup awan atau Cb terletak tepat diatas pengamat sehingga puncaknya tidak dapat teramati. Terlebih jika tidakdiamatinyaindikatorkeberadaan Cb seperti adanya kilat atau guntur. Studi ini berusaha menentukan serta mengidentifikasi lokasi pusat/dasardengan sebaran landasan Cb menggunakan olahan data citra satelit guna memberikan informasi yang lebih akurat dan presisi kepada pengguna.Penggunaan citra satelit dapat meningkatkan akurasi dan presisi data lokasi awan Cb. Hasil analisa citra satelit Himawari-8menggunakan SATAID menunjukkan bibit lokasiCb padatanggal 3 April 2016 memiliki suhu < -50°C terletak pada koordinat7°4’48” LS 110°16’48” BT hingga 7°2’24” LS 110°7’12” BT dan mampu menyebar luas hingga 85 km. Kata kunci: cumulonimbus (Cb), citra satelit, Himawari 8, suhu puncak awan, lokasi ABSTRACT. For aviator, cumulonimbus (Cb) is the most frightening cloud amongst all. Besides its capability to produce severe turbulence, the existance of Cb can also cause tornadoes, severe storm, heavy rain, and other horrific phenomenon that threaten flight safety. Until today, observer performs cloud’s observation manually by visual. Related to weather observation for aviation purposes, determination of Cb’s location is compulsory to be reported. Therefore, for observer, failure determination of Cb is a great mistake. However, the determination of Cb’s location becomes arduous when the sky has already overcast (sky covered clouds thoroughly) or Cb passes nearly, or directly, overhead the characteristic top can be lost to view. It becomes more complicated when there is no indication of lightning or thunder that can shows the exact location of Cb. In order to give more accurate data to user, this study tries to identify the base of Cb with its anvil by using satellite imagery. The use of satellite imagery increase accuracy and presision of the result. Analysis of Himawari-8 satellite imagery by using SATAID, shows the area that indicates the source of Cb located at 7°4’48” S 110°16’48” E up to 7°2’24” S 110°7’12” E while the temperature of its anvil is < -50 °C and had been spread out up to 85 km. Keywords: cumulonimbus (Cb), satellite imagery, Himawari 8, cloud tops temperature, location I. PENDAHULUAN Bukan hanya menjadi biang penyebab terjadinya badai, petir, atau hujan deras, keberadaan Cb juga berpotensi menyebabkan turbulensi hebat yang mengancam keselamatan penerbangan yang tengah menjadi primadona moda transportasi terpenting saat ini. Sehingga semua jenis pesawat dianjurkan untuk menghindari awan badai pada semua jenis dan kategori. Setiap awan badai mempunyai potensi menimbulkan banyak resiko bagi penerbangan (BOM, 2006). Sebagai konsekuensinya, pengelolaan data cuaca untuk penerbangan juga semakin menjadi sorotan. Salah satu fenomena cuaca yang sempat mengganggu aktivitas penerbangan selama kurang lebih 2 jam terjadi akibat adanya hujan lebat yang disertai badai guntur tanggal 3 April 2016. Hujan lebat tersebut tercatat sebagai hujan dengan curah hujan tertinggi selama 3 bulan terakhir. Berdasarkan laporan metar dan met report, hujan tersebut mampu menurunkan jarak pandang hingga 2000 meter. Intensitas curah hujan yang diukur dan dilaporkan dalam pelaporan sinoptik pada jam 15.00 -932- Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M) UTC sebesar 56 mm atau sekitar 28 mm/jam. Tingginya intensitas hujan tersebutmasukdalam kategori lebat karena curah hujan terukur termasuk dalam kategori 50-100 mm/hari (BMKG, 2010). Galibnya, hujan konvektif mengguyur rata-rata selama 30 menit saja namun hujan yang terjadi pada tanggal 3 April 2016 memiliki durasi yang lebih panjang. Selain tingginya curah hujan, fenomena badai guntur tercatat terjadi sejak pukul 12.05 UTC sampai 14.50 UTC. Badai guntur membahayakan penerbangan karena dapat membakar sistem komunikasi, menimbulkan kerusakan pada struktur pesawat, bahaya kebakaran terutama saat pengisian bahan bakar pesawat di landasan. Selain itu, badai guntur atau kilat juga berbahaya bagi pilot karena dapat menyebabkan kebutaan sesaat, shock, dan disorientasi (BOM, 2006). Menurut Tjasyono dan Harijono (2009), awan cumulunimbus terbentuk akibat pemanasan bumi yang tidak merata kemudian naik ke atas bertemu dengan udara dingin terbentuklah awan yang besar dan menjulang tinggi (konvektif). Di dalam awan konvektif terjadi pergerakan udara naik dan turun. Pergerakan udara naik menyebabkan awan tumbuh semakin besar dan tinggi hingga terbentuklah awan cumulunimbus. Sementara itu, pergerakan udara turun membentuk energi angin yang berhembus kencang ke bawah atau down draft.Identifikasi antara pusat dan landasan Cb diperlukan karena pusat awan Cb merupakan sumber terjadinya berbagai fenomena alam paling berbahaya seperti peristiwa badai guntur, kilat, turbulensi, downdraft, microburst, hail, pembekuan (icing), dan curah hujan sangat lebat. Sedangkan luasanlandasan (anvil) Cb justru merupakan pertanda bahwa Cb mulai memasuki tahap peluruhan. Dalam kaitannya dengan pengamatan udara permukaan (synoptik) serta mengacu pada UU No. 1 tentang tahun 2009 tentang Penerbangan, awan Cb merupakan jenis awan yang menjadi prioritas utama dalam hal pelaporan dan penyandian cuaca guna menunjang keselamatan penerbangan.Pengamatan sinoptikmerupakan pengamatan terhadap unsur-unsur meteorologi (cuaca) yang dilakukan secara serentak di berbagai belahan dunia dengan standar waktu Coordinated Universal Time(UTC).Pengamatan tersebut dilakukan baik secara manual maupun secara otomatis menggunakan Automatic Weather Observation System (AWOS). Di Indonesia, stasiun meteorologi yang dilengkapi dengan AWOS jumlahnya masih sedikit. Selain itu, sensor pendeteksi kilat atau petir (lightning detector) pada AWOS seringkali tidak dapat merepresentasikan lokasi pengamatan karena jangkauannya yang terlalu jauh. Dalam kaitannya dengan pengamatan sinoptik guna keperluan penerbangan, kesulitan pengamatan awan konvektif dialami observer saat kondisi langit telahovercast (langit diatas pengamat tertutup awan sepenuhnya) sehingga dasar Cb tidak dapat terlihat dan landasan Cb (anvil)terlihat menyatu dengan awan lainnya sehingga susah untuk diidentifikasi. Kesulitanlain terjadi saat Cb terletak tepat diatas pengamat sehingga puncak Cb tidak dapat diamati dan dasar Cb terlihat seperti jenis awan rendah atau awan menengah biasa (World Meteorological Organization, 2006). Padahal dalam kaitannya dengan pengamatan cuaca untuk keperluan penerbangan, penentuan lokasi Cb wajib ditulis pada kolom supplementary information (informasi tambahan) dan dilaporkan dalam format laporan cuaca rutin penerbangan, baikmet report ataupun metar. Metar atau met report rutin dibuat setiap jam atau setengah jam sekali tergantung kepadatan bandara yang bersangkutan. Sedangkan speci atau special report dilaporkan setiap kali terjadi perubahan unsur cuaca yang signifikan. Dari sekian banyak tuntutan yang menjadi tanggung jawab meteorologi penerbangan, salah satu yang cukup penting adalah masalah akurasi informasi meteorologi (Widiatmoko, 2009). Oleh sebab itu, guna mendapatkan data yang lebih akurat diperlukan analisa lanjut tentang data citra satelit. Salah satu citra satelityang digunakan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) adalah Himawari8.Himawari-8 merupakan produk pengganti serial Multifunctional Transport Satellites (MTSAT) yang telah dilengkapi dengan peningkatan signifikan dalam hal frekuensi pemutakhiran, resolusi, dan presisi yang dioperasikan oleh Japan Meteorological Agency (JMA).Bureau Of Meteorology (BOM), lembagapemerintah Australia yang menangani urusan cuaca, menyatakan bahwa satelit Himawari-8 berorbit pada koordinat 0.008° LS 140,7°BT atau melintas sejajar diatas Jepang, Papua, dan Australia Tengah dengan ketinggian 42.160.592 meter dari permukaan bumi.Tidak seperti MTSAT yang dimutakhirkan selama 1 jam sekali, data satelit Himawari-8 dapat diterima setiap 10 menit sekali oleh BMKG Jakarta. Pengamatan yang dilakukan satelit Himawari-8 meliputi permukaan bumi, liputan awan, angin, badai, mendeteksi dan memonitor pusat siklon tropis di atas samudera, badai guntur, abu gunung berapi, kebakaran, asap, adanya kabut dan awan rendah, serta potensi curah hujan. Citra satelit dijalankan menggunakan Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID). Aplikasi tersebut berfungsi mengambil data parameter meteorologi dari citra satelit. SATAID adalah software berbasis windows, berfungsi untuk mengolah gambar satelit. Inti dari aplikasi SATAID adalah untuk menampilkan data binary dari satelit menjadi gambar. Selain itu, SATAID dapat mengoverlay citra satelit, data pengamatan dan data prediksi cuaca numerik. Aplikasi SATAID juga dapat digunakan untuk mengetahui pola perkembangan awan, suhu puncak awan, titik embun, pola angin lapisan permukaan hingga -933- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 lapisan atas hingga prakiraan waktu (Harsa dkk, 2011). Sehingga dapat diketahui posisi dasar/bibit Cb dan area cakupan sebaran landasan Cb. 2. METODE PENELITIAN Pada kajian ini dipilih studi kasus cuaca ekstrim berupa intensitas hujan konvektif tinggi pada tanggal 3 April 2016 yang mencapai 56 mm di wilayah Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan laporan bulanan, angka tersebut merupakan angka tertinggi yang dicapai selama 3 bulan terakhir. Data yang digunakan adalah citra satelit Himawari-8 kanal IR-1 tanggal 3 April 2016 pukul 00.00 UTC hingga 23.50 UTCserta rekap data metar pada tanggal yang sama sebagai pembanding. Proses identifikasi cuaca signifikan menggunakan analisa citra satelit berdasarkan pedoman operasional pengelolaan citra satelit cuaca tahun 2011 yang dikeluarkan BMKG pusat seperti yang ditunjukan gambar 1, yaitu: 1. Data citra satelit IR-1 berasal dari BMKG Pusat. 2. Menjalankan dengan aplikasi SATAID. 3. Menentukan prakiraan posisi kejadian 4. Mengamati perkembangan sistem liputan awan di wilayah kejadian dengan menganimasi citra satelit Himawari-8 kanal IR-1 selama 24 jam terakhir. Untuk memudahkan identifikasi perkembangan awan maka digunakan enhancement colour (misal : EXT 1). Setelah itu dapat diketahui suhu puncak awan yang paling dingin dari warna pada satelit. 5. Mengidentifikasi pertumbuhan awan-awan konvektif padat, cumulunimbus (Cb) yang meliputi luasan wilayah sekurang – kurangnya 100 km ( ± 1 derajat lintang bujur) di wilayah prakiraan kejadian cuaca ekstrim 6. Mengidentifikasi suhu puncak awan dan titik embun di wilayah prakiraan kejadian (brightness temperature ≤ -50 °C ) yang persisten selama 3 jam. Gambar 1. Alur Pembuatan Analisa Cuaca Signifikan Menggunakan Citra Satelit 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan laporan sinoptik tanggal 3 April 2016 pukul 08.00 UTC, awan cumulonimbus (Cb) dilaporkan sebanyak 1 okta dengan sudut elevasi 45° dan memiliki tinggi dasar 480 meter sedangkan tinggi puncaknya mencapai 9000 meter. Keberadaan Cb sudah diamati selama kurang lebih 5 jam sebelum terjadinya hujan. Mulanya, hujan terjadi dengan intensitas ringan hingga sedang terjadi pada pukul 12.05 UTC kemudian sempat berhenti hingga mendadak intensitasnya naik menjadi hujan deras disertai badaiguntur pada pukul 12.30 UTC hingga 14.00 UTC. Berdasarkan data yang didapat melalui laporan metar yang dilakukan pengamat, lokasi Cb dilaporkan berturut turut sebagai berikut: -934- Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M) Jam (UTC) 08.00 08.30 09.00 09.30 10.00 10.30 11.00 11.30 Tabel 1. Laporan Metar Tentang Lokasi Awan Konvektif Supplementary Information Jam (UTC) Supplementary Information CB TO E AND SE 12.00 CB TO S CB TO E AND SE 12.30 CB TO S AND NW CB TO E AND SE 13.00 CB TO S, SW, W CB TO S 13.30 CB OVER THE FIELD CB TO S AND SW 14.00 CB OVER THE FIELD CB TO E AND S 14.30 CB TO S AND NW CB TO E AND S 15.00 CB TO S AND NW CB TO SE AND S 15.30 CB TO S AND NW Mula-mula awan Cb diamati di sekitar timur (east) dan tenggara (south east) namun awan tersebut meluruh sebelum meluas hingga lokasi pengamat. Berdasarkan data speci, hujan deras tiba-tiba (shower) disertai badai gunturterjadi pada pukul 12.30 UTC dimana lokasi Cb diamati di sebelah selatan (south). Secara garis besar, lokasi Cb saat hujan mulai terjadi (12.00 – 14.00 UTC) diamati di sebelah selatan. Dalam kurun waktu 3 jam sejak terjadinya hujan (12.00 UTC s/d 15.00 UTC), Cb dilaporkan pada selatan-tenggara-baratbaratlaut sedangkan Cb diamati dua kali menutup seluruh langit diatas pengamat. Lokasi pelaporan yang lebih dari satu disebabkan oleh kondisi Cb yang terlihat memanjang dan meluas sehingga lokasinya mencakup beberapa arah mata angin. Data tersebut di dapatkan berdasarkan hasil pengamatan secara visual yang dilakukan oleh pengamat dengan mempertimbangkan notifikasi lokasi Cb pada sensor lightning detector AWOS. Gambar 2. Estimasi Jarak Lokasi Awal Pertumbuhan Awan Konvektif Dari Semarang Berdasar pantauancitra satelit Himawari-8 tanggal 3 April 2016,awan konvektif terduga muncul pertama kali pada arah timur timur laut pada pukul 08.00 UTC dengan suhu < -40°C. Namun tidak teridentifikasi sebagai titik merah pada citra satelit. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kurang matangnya (suhu puncak > 50°C)awan konvektif tersebut. Pada pukul 11.00 UTC mulai diamati titik merah pada arah barat daya barat (west south west) dengan jarak 53 km dari koordinat wilayah Semarang (7° LS dan110,44° BT). Awan tersebut sempat berkembang namun kemudian terpantau meluruh sebelum mampu mencapai koordinat Semarang.Gambar 2.menunjukkan lokasipusat Cb yang nantinyaberhasil meluas hingga mencakup koordinat wilayah Semarangpada pukul 13.00 UTC. Awan tersebut terletak di atas wilayah Kecamatan Boja, Kendal dengankoordinat 7°4’48” LS dan 110°16’48” BT yang memanjang ke arah barat hingga koordinat 7°2’24” LS 110°7’12” BT. Lokasi tersebut berjarak 20 km arah barat daya barat (west south west) hingga barat diukur dari koordinat wilayahSemarang (7° LS dan 110°35’12 BT). Pada pukul 13.00 UTC hingga 14.00 UTC, awan konvektif terpantau semakin meluas hinggamenutup koordinat wilayah Semarang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.Sebaran awan konvektif tersebut mencapai jarak terjauhnya, yaitu 85 km pada pukul 14.36 UTC yang meliputi wilayah dengan koordinat 6°55’12” LS 109°50’24”BT sampai 7°2’24”LS 110°36”BT. Dalam cakupan tersebut, koordinat wilayah Semarang dapat dipastikan tertutup oleh awan konvektif. Indikasi adanya awan konvektif juga ditunjukkan pada Gambar 4, yaitu adanya penurunan suhu secara signifikan pada lokasi awal pembentukan awan konvektifpada pukul 12.20 UTC. Sedangkan suhu puncak awan paling minimum yang dicapai sekitar pukul 13.50 UTC yaitu-76,2°C. Perubahan suhu secara signifikan tersebutdapat mengindikasikan terjadinya tahap pematangan Cb yang ditandai dengan adanya pembentukan butiran es di puncak awan. -935- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 3. Perkembangan Awan Konvektif Dari Pukul 13.16 UTC sampai 14.56 UTC (a) (b) Gambar 4.Analisa Citra Satelit Pada Wilayah Identifikasi Cb. (a) Identifikasi Suhu Pada Lokasi Awal Pembentukan Cb, dan (b) MonitoringGrafik Perubahan Suhu Pada Lokasi Awal Pembentukan Cb Penurunan suhu yang signifikan juga diamati melaluigrafik perubahan suhupuncak awan di atas wilayah Semarang (Gambar 5.) pada pukul 13.00 UTC.Suhu puncak awan di atas wilayah Semarangdari pukul 13.00 hingga 15.00 UTC terpantau lebih konstan dibandingkan dengan grafik suhu puncak awan pada lokasi awal pembentukan awan konvektif. Perubahan suhu secara signifikan ini terhitung lebih lambat ±40menit jika dibandingkan dengan lokasi awal teridentifikasinya Cb. Hal tersebut menunjukkan jika bibit Cb tidak terbentuk di atas Semarang melainkan di Kendal, tepatnya Kecamatan Boja.Suhu puncak maksimal di Semarangtercatat-72,4° C atau 3,8° C lebih tinggi jikadibandingkan dengansuhu puncak awan konvektifdi wilayah awal pembentukan Cb. -936- Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M) Gambar 5. Monitoring Grafik Perubahan Suhu Di Atas Wilayah Semarang Selain grafik monitoring perubahan suhu diatas, indikasi suhu minimum < -50°C juga ditunjukkan melalui peta contour wilayah Semarang dan sekitarnya. Peta contour menunjukkan sebaran suhu yang variatif di sekitar suhu minimum yang teramati baik pada pukul 12.16 UTC maupun 13.36 UTC. Suhu minimum yang diamati pada pukul 12.16 UTC hingga satu jam setelahnya mencapai -74°C terjadi diatas wilayah Boja. Pun, hal yang sama diamati pada pukul 13.36 UTC hingga satu jam setelahnya, dimana suhu mengalami penurunan hingga -76°C dan masih berturut-turut diamati diatas wilayah Boja. Gambar 6. Perkembangan Suhu Puncak Awan Berdasar Peta Contour Indikasi suhu puncak awan tidak diamati di atas wilayah Semarang sebab suhu yang di tampilkan pada peta contour memiliki interval ±2° C, artinya suhu puncak awan di atas wilayah semarang lebih tinggi sekitar ±2° C jika dibandingkan dengan suhu paling minimun yang diamati di atas wilayah Boja. Dengan kata lain, lokasi bibit atau pusat awan konvektif tidak terjadi di atas langit wilayah Semarang. Berdasarkan data gambar dan grafik diatas, penurunan suhu puncak awan yang paling signifikan (< -50° C),baik di Boja maupun di Semarang, terjadi antara pukul 13.30 UTC hingga 14.00 UTC. Kondisi ini menunjukkan suhu puncak awan konvektif yang semakin dingin, artinya awan tersebut semakin tumbuh, menjulang tinggi, kemudian menyebar luas sehingga berpotensi menimbukan hujan deras disertai petir dan angin kencang. Jika dibandingkan dengan analisis citra satelit, penentuan lokasi Cb berdasarkan pengamatan visual kurang presisi dan representatif. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengamat dalam menentukan lokasiCb yang tumbuh besar dan luas di beberapa titik arah mata angin. Meskipun memiliki titik acuan, penentuan lokasi -937- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Cb secara visual masih tergolong subjektif (berbeda antara pengamat yang satu dan yang lain), terlebih jika lokasi Cb tidak terletak tepat di salah satu dari 8 arah mata angin. Sedangkan analisis citra satelit jauh lebih akurat dan presisi karena menggunakan 16 arah mata angin disertai koordinat lokasinya. Lebih lanjut, pengamatan dengan menggunakan visual bersifat terbatas wilayah pengamatan itu saja sedangkan penggunaan citra satelit dapat memantau lokasi serta pergerakan awan secara global. 4. KESIMPULAN Berdasarkan analisa cuaca ekstrim berupa hujan lebat menggunakan citra satelit tanggal 3 April 2016 di wilayah Semarang dapat disimpulkan: 1. Penggunaan analisa citra satelit dapat meningkatkan keakurasianpelaporan lokasi Cb, dimana Cb diamati di atas wilayah Kecamatan Boja, dengan koordinat 7°4’48” LS 110°16’48” BT sampai 7°2’24” LS 110°7’12” BT atau terletak 20 km arah barat daya barat (west south west) hingga barat yang diukur dari koordinat wilayah Semarang (7° LS dan 110°35’12 BT) 2. Berdasarkan analisis citra satelit, Cb yang awalnya tumbuh di wilayah sekitar Boja meluas hingga menutup langit di atas pengamat (7° LS dan 110°35’12 BT) pada pukul 13.36 UTC 3. Pola pertumbuhan awan konvektif cukup signifikan hingga menjadi awan cumulonimbus terjadi pada jam 13.00 UTC hingga 14.00 UTC 4. Penurunan suhu puncak awan secara signifikan di atas wilayah Semarang terjadi lebih lambat ±40menit jika dibandingkan dengan penurunan suhu puncak awan di lokasi awal teridentifikasinya Cb (Kecamatan Boja) 5. Penurunan suhu puncak awan baik di Boja maupun Semarang yang mencapai <-50° C terjadi secara persisten selama ±3 jam pada pukul 13.00, 14.00, dan 15.00 UTC 5. UCAPAN TERIMAKASIH Makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, maka sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Hidayatul Mukhtar selaku Ketua Stasiun Meteorologi Klas II Ahmad Yani Semarang 2. Dian Palupi, S.Si dan Meida Yustiana, S.Si selaku sie pengelola data dan informasi Stasiun Meteorologi Klas II Ahmad Yani Semarang 3. Muhammad Syifaul Fuad Alhamidi, S.Si selaku pembimbing penulis dalam pengelolaan data citra satelit 4. Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyediakan rekap data citra satelit Himawari-8 DAFTAR PUSTAKA BMKG [Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika]. (2011). Pedoman Operasional Pengelolaan Citra Satelit – UPT BMKG Daerah. Bureau of Meteorology Australia. (2006). Thunderstorm And Deep Convection Press Release BMKG [Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika]. (2010). Kondisi Cuaca Ekstrim dan Iklim Tahun 2010-2011 Tjasyono, B.,(2009). Meteorologi Indonesia 1 Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer. Jakarta : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Tjasyono, B., dan Harijono, S.W.B.,(2009). Meteorologi Indonesia 2 Awan dan Hujan Monsun. Jakarta : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Widiatmoko, H.. (2010). Diklat Teknis Meteorologi Penerbangan I: Forcaster Aerologi. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika World Meteorological Organization (1975). Cumulonimbus, International Cloud Atlas (pp. 48-50) *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Dr. Bambang Trisakti : Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Awan CB dan Perluasan Landasan CB Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari : Anistia Hidayat (BMKG) : -938- Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M) Pertanyaan : Dr. Bambang Trisakti (LAPAN) Penentuan awan CB hanya cukup dengan indikator suhu saja? Dan berapa suhunya? Jawaban : Untuk mengukur kelabilan atmosfer dapat digunakan radiosonde dan radar yang berbasis suhu sebesar -150 C. -939- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015) Smoke Identification In Bandar Lampung Radin Inten II Airport (Case Study: October24th, 2015) Rizal Hidayat1*), dan Intan Prayuda Wulandari1 1 Stasiun Meteorologi Radin Inten II (BMKG) Bandar Lampung * E-mail: [email protected] ABSTRAK - Asap adalah partikel kecil yang terpencar di udara yang terbentuk akibat pembakaran, yang mengurangi jarak penglihatan horizontal atau mendatar sampai dengan 5000 meter atau kurang. Asap mungkin dilaporkan dalam pengamatan meteorologi dengan suatu jarak penglihatan horizontal kurang dari 1000 meter jika tidak ada partikel partikel air di udara dan kelembaban relatif tidak lebih dari 90%. Selain dapat mengganggu kesehatan dan aktifitas masyarakat, asap juga mengganggu kegiatan penerbangan karena asap mempengaruhi jarak pandang mendatar. Karena dampak dari asap tersebut, maka diperlukan identifikasi titik api serta sebaran asap sehingga dapat diinformasikan kepada lembaga pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan serta kepada para pelaku dunia penerbangan guna mendukung keselamatan penerbangan. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisis citra satelit cuaca dimana sebaran asap dan titik panas dapat terdeteksi pada citra satelit. Kejadian asap di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung pada tanggal 24 Oktober 2015 salah satunya disebabkan oleh pergerakan arus angin. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa potensi sebaran titik panas berasal dari wilayah Lampung bagian Timur dan Utara. Pergerakan arus angin dari arah timuran juga membawa asap tersebut bergerak menuju wilayah Bandar Udara Radin Inten II. Kata kunci: asap, titik panas, angin, kelembaban udara, jarak pandang mendatar ABSTRACT -Smoke is scattered small particles in the air formed by combustion, which reduces the horizontal or landscape viewing distance up to 5000 meters or less. Smoke may be reported in meteorological observations with a horizontal visibility of less than 1000 meters if no particles in the air and the relative humidity is not more than 90%. Besides being able to damage the health and community activities, smoke also disrupt aviation activities because its affecting visibility. Due to the impact of smoke, it is necessary to identify hotspots and distribution of smoke. Then, this information can be distributed to government agencies in the prevention and control of forest fires as well as to the aviation’s stakeholders to support aviation safety. This can be done by analyzing satellite imagery weather where the distribution of smoke and hot spots can be detected on satellite images. Smoke that occurs in Bandar Lampung Radin Inten II Airport on October 24th, 2015 one of them caused by the movement of the wind currents. Based on the data analysis, it has been identifed that the potential distribution of the hotspots comes from the East and North region in Lampung provinces. The movement of the wind flow from the easterlies also carried the smoke moves toward Radin Inten II Airport. Keywords: smoke, hotspots, winds, relative humidity, visibility 1. PENDAHULUAN Selama musim kemarau, kebakaran hutan sering terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, tergantung pada tingkat kekeringan wilayah tersebut.Kebakaran hutan disebabkan oleh tiga faktor tertentu, yaitu karena faktor alam seperti sambaran petir, faktor ketidaksengajaan seperti sisa api unggun yang belum padam, dan faktor kesengajaan seperti pembakaran hutan untuk pembukaan lahan. Dampak yang ditimbulkan dari peristiwa kebakaran dapat menjadi lebih kompleks meliputi bidang kesehatan, keamanan, dan ekonomi masyarakat. Kekaburan udara akibat asap kebakaran hutan telah membawa dampak negatif yang serius di masa lalu dan merupakan salah satu permasalahan lingkungan terburuk yang dialami Indonesia saat ini. Periode kebakaran lahan dan hutan di Indonesia biasanya terjadi pada musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus, September, dan Oktober, maupun pada masa peralihan atau transisi. Kondisi tersebut berkaitan erat dengan kemunculan fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) sehingga semakin memperburuk dampak kebakaran seperti pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, 1997, 1998, dan 2002 (Bangsawan dan Septian, 2015). Hal ini terjadi karena selama periode ENSO terjadi pengurangan jumlah curah hujan yang signifikan di beberapa wilayah Indonesia. Kebakaran hutan menghasilkan asap yang mengakibatkan -940- Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015) (Hidayat, R., dkk) berkurangnya jarak pandang mendatar (horizontalvisibility) serta meningkatkan pemanasan terutama di troposfer bagian bawah (Wati dan Fitriyawita , 2015). Penyebaran asap dapat mencapai wilayah yang luas apabila terbawa oleh angin. Definisi asap (smoke) sendiri adalah fenomena cuaca berupa partikel-partikel kering yang melayang dari permukaan sampai naik ke atas akibat adanya kebakaran hutan dan lahan (Soepangkat, 1994). Bandar udara Radin Inten II Bandar Lampung merupakan salah satu bandara diPropinsi Lampung. Banyak distribusi barang dilakukan melewati jalur ini sehingga menjadikan bandara Radin Inten II sebagai akses transportasi yang vital. Adanya asap yang mengakibatkan jarak pandang mendatar sekitar 4 km di siang hari pada tanggal 24 Oktober 2015 berpotensi mengganggu kegiatan penerbangan di bandara tersebut karena pada normalnya ketika siang hari terutama saat cuaca cerah, jarak pandang mendatar dapat mencapai 10 km / lebih. Sebaran asap yang menutupi bandara ini berasal dari wilayah Lampung bagian Utara dan Timur. Angin timuran yang bertiup kuat membawa asap tersebut ditambah lagi dengan kurangnya intensitas hujan yang menyebabkan banyak terdapat potensi titik api (hotspots). Oleh karena dampaknya yang signifikan tidak hanya terhadap aktivitas penerbangan namun juga hingga menyangkut masalah kesehatan, sehingga dirasa sangat perlu dilakukan kajian terkait kondisi tersebut. Tujuan dari studi ini adalah untuk menyajikan daily monitoring dari kebakaran hutan dan sebaran asapnya dengan menggunakan citra satelit serta untuk mengetahui kondisi atmosfer di wilayah propinsi Lampung pada umumnya dan bandara Radin Inten II pada khususnya pada saat kejadian asap tersebut. 2. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitik karena menekankan pada analisis dari suatu kejadian yang terjadi di lapangan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk menjawab mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan induktif karena didasari pada fakta empiris. Daerah penelitian dalam tulisan ini adalah daerah Propinsi Lampung khususnya Bandar Udara Radin Inten II (05°14′33″LU - 105°10′44″BT). Waktu penelitian yaitu tanggal 24 Oktober 2015. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Data pengamatan cuaca permukaan dari Stasiun Meteorologi Radin Inten II. 2. Data titik panas (hot spot) dari citra satelit MODISjam 06.18 UTC. 3. Data angin lapisan 3000 feet jam 06 UTC . 4. Data curah hujan bulan Oktober 2015 dari Stasiun Meteorologi Radin Inten II. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Analisis Data Pengamatan Cuaca Permukaan JARAK PANDANG MENDATAR (METER) Jarak pandang mendatar mengalami kenaikan dari jam 00.00 hingga jam 03.00 UTC yaitu hingga mencapai 8000 meter (Gambar 1). Kemudian jarak pandang mengalami penurunan pada jam 04.00 UTC hingga mencapai 4000 meter. Kejadian ini terus berlangsung hingga jam 11.00 UTC yang diakibatkan adanya asap yang meliputi Bandara Radin Inten II. Dari tabel Pengamatan Cuaca Permukaan Stasiun Meteorologi Radin Inten II (tabel 1) juga dapat diketahui kejadian asap terjadi pada sekitar jam 04.00 UTC dan berakhir sekitar jam 11.00 UTC. JARAK PANDANG MENDATAR TANGGAL 24 OKTOBER 2015 10000 8000 6000 4000 2000 0 00 02 04 06 08 10 12 14 16 18 20 22 JAM (UTC) Gambar 1. Jarak Pandang Mendatar Tanggal 24 Oktober 205 (Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II) -941- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 1. Pengamatan Cuaca Permukaan Stasiun Meteorologi Radin Inten II Jam Visibility Cuaca (UTC) (METER) 00 3000 HAZE 01 4000 HAZE 02 7000 BERAWAN 03 8000 BERAWAN 04 5000 SMOKE 05 5000 SMOKE 06 4000 SMOKE 07 4000 SMOKE 08 4000 SMOKE 09 4000 SMOKE 10 5000 SMOKE 11 5000 SMOKE BERAWAN 12 7000 BERAWAN 13 7000 BERAWAN 14 7000 BERAWAN 15 6000 BERAWAN 16 6000 BERAWAN 17 6000 BERAWAN 18 6000 BERAWAN 19 6000 BERAWAN 20 6000 BERAWAN 21 6000 22 4000 HAZE 23 1000 HAZE (Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II) 3.2. Analisis Data Titik Panas (Hotspots) Terdapat 11 titik sebaran lokasi titik panas (hotspots) yg tersebar di wilayah Lampung bagian Utara dan Timur (Tabel 2). Titik api tersebut berpotensi menghasilkan asap yang terbawa angin menuju bandara Radin Inten II. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Tabel 2. Data Potensi Titik Panas (Hotspots) Propinsi Lampung Tanggal 24 Oktober 2015 Jam 06.18 UTC Bujur Lintang Kabupaten 105,500 -3,880 Mesuji 105,510 -3,920 Mesuji 105,635 -4,060 Tulang Bawang Barat 105,595 -4,250 Tulang Bawang Barat 105,760 -4,290 Tulang Bawang Barat 105,550 -4,370 Tulang Bawang Barat 105,520 -4,370 Tulang Bawang Barat 105,780 -4,660 Lampung Tengah 105,675 -5,435 Lampung Timur 105,755 -4,970 Lampung Timur 105,750 -4,750 Lampung Timur (Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II) -942- Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015) (Hidayat, R., dkk) 3.3 Analisis Angin Dari data angin permukaan (ketinggian 10 meter) yang diamati tiap jam dari Stasiun Meteorologi Radin Inten II dapat diketahui bahwa pada tanggal 24 Oktober 2015 angin permukaan dominan bertiup dari arah Timur (Gambar 2). Kemudian dari data angin 3000 feet Jam 06.00 UTC, dapat diketahuibahwa arah angin berasal dari Timur (Gambar 3). Secara klimatologi pada bulan Oktober 2015 daerah Sumatera berada dalam periode angin timuran. Angin tersebut umumnya bertiup dari arah Timur – Tenggara menuju ke Barat Barat Laut. Kondisi profil angin tersebut memungkinkan asap yang dihasilkan oleh titik panas (hotspots)di wilayah bagian Utara dan Timur Lampung terbawa ke arah Barat – Barat Laut menuju bandara Radin Inten II. Gambar 2. Angin Permukaan (10 meter) Tanggal 24 Oktober 2015 (Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II) Gambar 3. Angin Lapisan 3000 feet Tanggal 24 Oktober 2015 Jam 06.00 UTC(Sumber : NOAA NCEP Reanalysis) 3.4. Analisis Curah Hujan Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa di bulan Oktober 2015 di Propinsi Lampung terutama di daerah bandara Radin Inten II pada umumnya tidak ada hujan, sedangkan hujan hanya tercatat 1 hari hujan yaitu tanggal 8 Oktober 2015 sebesar 1,8 mm. Sedangkan untuk wilayah Propinsi Lampung sendiri (Gambar -943- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 5) pada dasarian ke 3 bulan Oktober 2015curah hujan cukup rendah yang kemungkinan diakibatkan oleh angin timuran dan pengaruh El Nino. CURAH HUJAN (MM) CURAH HUJAN HARIAN STAMET RADIN INTEN II OKTOBER 2015 2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728293031 TANGGAL Gambar 4.Curah Hujan Harian Stasiun Meteorologi Radin Inten II Oktober 2015 (Sumber : Stasiun Meteorologi Radin Inten II) Gambar 5.Peta Analisis Curah Hujan Dasarian IIIOktober 2015 (Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II) 4. KESIMPULAN Profil angin yang umumnya berhembus dari Timur - Tenggara membawa asap yang berasal dari titik panas (hotspot) di bagian Utara dan Timur Propinsi Lampung bergerak menuju daerah bandara Radin Inten II. Asap tersebut menyebabkan jarak pandang mendatar (horizontal visibility) di bandara Radin Inten II pada tanggal 24 Oktober 2015berkisar antara 4000 meter hingga 5000 meter. Kurangnya hujan pada bulan Oktober 2015 juga menyebabkan terdapat potensi titik panas (hotspots) yang dapat menimbulkan asap. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Kepala Stasiun Meteorologi Radin Inten II beserta staf yang telah membantu penyediaan data sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu . -944- Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015) (Hidayat, R., dkk) DAFTAR PUSTAKA Bangsawan, L., dan Septian, B. (2015). Identifikasi Kebakaran Hutan di Papua dan Papua Barat Menggunakan Satelit HIMAWARI 8. Paper presented at the Proceedings of BMKG Workshop of Weather Satellite Operational , Makassar, Indonesia. BMKG.go.id (2016). Analisa Curah Hujan dan Sifat Hujan, Informasi Hujan Bulanan , diunduh 6 November 2015 dari http://bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Informasi_Iklim/Prakiraan_Iklim/Informasi_Hujan_Bulanan.bmkg ESRL NOAA.gov (2016).NCEP Reanalysis Pressure Level, NCEP/NCAR Reanalysis 1: Pressure, diunduh 5 November 2015 dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.pressure.html JPNN.com (2016). Lampung Siaga Asap, Diduga Kiriman dari Sumsel, Berita Daerah Lampung , diunduh 6 November 2015 dari http://www.jpnn.com/read/2015/10/24/334631/Lampung-Siaga-Asap,-Diduga-Kiriman-dari-SumselSetiya, W.K., dan Fitriyawita, M., (2015). Analisis Meteorologi Saat Kejadian Asap di Bandara Supadio Pontianak (Studi Kasus September 2015). Paper presented at the Proceedings of BMKG Workshop of Weather Satellite Operational , Makassar, Indonesia. Soepangkat (1994).Pengantar Metereologi. Balai Pendidikan dan Pelatihan Meteorologi dan Geofisika Jakarta. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator JudulMakalah Pemakalah Diskusi : Parwati : Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) di BandaraRadinInten II Bandar Lampung (StudiKasus: Tanggal 24 Oktober 2015) : Rizal Hidayat (BMKG) : Pertanyaan : Prof. Eddy Hermawan (LAPAN) Penjelasan mengenai kabut asap pada di bagian mana? Pada 700 hpa, mana yang merupakan data pendukungnya? Data-data yang ditampilkan merupakan data yang berada di atas, bukan merupakan data di permukaan. Jawaban: Pengamatan yang dilakukan menggunakan visual (synoptic). Di permukaan kondisinya cenderung panas hampir setiap saat. -945- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2 Cloud Formation System on Extreme Rainfall Event in Sintang Area on Australian Monsoon Period Using MTSAT-2 Satellite Imagery Achmad Rifani1*) dan Agie Wandala2 1 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *) Email: [email protected] ABSTRAK - Hujan di wilayah tropis cenderung terbentuk dengan sistem awan yang bervariasi dan cenderung terkait pada kondisi iklim di suatu wilayah. Termasuk area Sintang Kalimantan Barat yang terpengaruhi oleh sistem monsun Australia yang berinteraksi dengan karakter regional pulau Kalimantan. Melalui teknik ambang batas yang ditentukan dari nilai persentil ke 95 dari keseluruhan data normal, diperoleh nilai ambang batas ekstrem baru. Nilai tersebut menunjukkan pada musim monsun Australia periode Juni -Agustus (JJA) terjadi hujan dengan intensitas tinggi yang masuk dalam kategori ekstrem. Tiga kejadian ekstrem pada bulan JJA yaitu pada 19 Agustus 2014, 8 Juli 2013, dan 28 Agustus 2012 dianalisis menggunakan citra satelit MTSAT untuk mempelajari karakteristik pembentukan awan di daerah tersebut. Hasil eksperimen menunjukkan adanya sistem awan pada pola cumuliform yang bertransformasi menjadi sistem stratiform dalam skala yang cukup luas, sehingga intensitas hujan yang ditimbulkan bersifat berkelanjutan dengan nilai yang tinggi. MTSAT juga menunjukkan penurunan nilai suhu puncak awan pada struktur awan yang diduga sebagai bagian dari sel awan Cumulonimbus. Kata Kunci: Hujan Ekstrem, Pembentukan Awan, Citra Satelit, MTSAT ABSTRACT - Rainfalls in the tropic area tend to form in varies cloud system and affected by climate condition in a particular area. Sintang in West Borneo is one of the area that Australian monsoon system interacted with the island topograhic systems. By using a new extreme threshold, which is defined by 95th percentile from all of normal data, a new extreme value was obtained. The value showed that in the period of Australian monsoon on June – August (JJA), the rainfall occurred with high intensity in extreme category. Three extreme rainfall events on JJA were August 19th 2014, July 8th 2013, and August 28th 2012; analyzed by using MTSAT satellite image to study the characteristic of cloud formation. The experiment result showed that there was a cumuliform pattern in the cloud system that transformed into the stratiform system on a large scale, thus producing a sustained rainfall with high intensity. MTSAT image also showed a decreased cloud top brightness temperature in cloud structure that assumed as a part of Cumulonimbus cell. Keywords: Extreme Rain, Cloud Formation, Satelit Image, MTSAT 1. PENDAHULUAN Terletak di wilayah tropis, Indonesia memiliki curah hujan yang relatif tinggi sepanjang tahun. Di antara fenomena curah hujan sering terjadi kejadian hujan lebat yang melewati ambang batas tertentu yang menjadikan kejadian tersebut termasuk kedalam kejadian ekstrem. BMKG (2010) telah menetapkan nilai curah hujan yang termasuk ke dalam kategori ekstrem dengan hujan intensitas 20 mm / jam atau 50 mm / hari. Suatu standar ekstrem di suatu daerah dapat memiliki nilai yang berbeda dengan daerah lainnya, Haylock dan Nicholls (2000) menggunakan data klimatologis di tiap daerah di Australia untuk menentukan nilai ekstrem di daerah tersebut. Hal ini baik dilakukan untuk daerah yang memiliki keragaman curah hujan tinggi secara spasial. Kejadian ekstrem sendiri cukup sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun. Stasiun Meteorologi Sintang (0,2O LU dan 111,5O BT) yang terletak di wilayah provinsi Kalimantan Barat mencatat curah hujan dengan intensitas tinggi tersebar di bulan-bulan dengan banyak hujan maupun bulan-bulan kurang hujan. Wilayah ini memiliki pola hujan ekuatorial yang memiliki dua puncak hujan, bulan-bulan dengan curah hujan minimum terjadi pada sekitar bulan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) di mana angin -946- Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.) monsoon Australia sedang aktif. Qian (2008) mendapati bahwa siklus hujan harian pada bulan JJA memiliki fase yang sama dengan bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) tetapi dengan intensitas yang lebih rendah. Hujan dengan intensitas tinggi terjadi di tengah daratan pulau Kalimantan pada jam 20.00 LT hingga jam 02.00 LT, intensitas yang lebih rendah terjadi setelahnya hingga pagi hari. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada bulan JJA, hujan di tengah daratan Kalimantan masih cukup sering terjadi. Nesbitt dan Zipster (2003) menyebutkan bahwa sistem konvektif di pulau ini terbentuk pada malam hari dan bertahan hingga pagi hari. Ichikawa dan Yasunari (2006) menggunakan data TRMM-PR untuk menemukan adanya penjalaran hujan ke arah timur pada musim angin baratan (DJF) dan penjalaran ke arah barat pada musim timuran (JJA), dengan fase konvektif terjadi di tengah pulau pada malam hari. Tak jarang fase konvektif ini menghasilkan curah hujan tinggi di beberapa tempat. Penelitian ini menggunakan citra satelit MTSAT bertujuan untuk mengidentifikasi sistem konvektif dan sistem stratiform yang terjadi saat kejadian hujan ekstrem di wilayah Sintang pada bulan JJA yang merupakan waktu. Klasifikasi tersebut menjadi cukup penting untuk mengetahui karakter awan hujan yang dapat menimbulkan intensitas hujan tinggi dan angin kencang yang bersifat merusak. Daerah tersebut terletak di tengah daratan pulau Kalimantan sehingga terdapat kemungkinan bahwa sistem konvektif dapat terjadi di sekitar wilayah ini. Agar mendapatkan kejadian ekstrem yang tepat, sebelumnya akan dilakukan pengolahan data klimatologis Stasiun Meteorologi Sintang untuk mendapatkan nilai ambang batas ekstrem dan karakteristik hujan ekstrem secara tahunan di wilayah tersebut pada bulan JJA. 2. DATA DAN METODE Data yang digunakan untuk menghitung ambang batas ekstrem adalah data curah hujan harian stasiun meteorologi Susilo Sintang yang terletak di 111,5OBT dan 0,2 OLU (Gambar 1) selama periode 1985 – 2014. Hari-hari hujan dengan curah hujan di bawah 1 mm dieliminasi untuk memberikan data curah hujan yang baik (Haylock dan Nicholls, 2000). Nilai ambang batas dihitung dari persentil ke 95 dari seluruh data hujan di atas 1 mm (Bodini dan Cossu, 2010). Ambang batas tahunan dihitung dari keseluruhan data, ambang batas ekstrem di musim JJA dihitung dari keseluruhan data di bulan Juni, Juli, dan Agustus. Parameter lain yang digunakan untuk mengidentifikasi sifat hujan ekstrem dikutip dari (Haylock dan Nicholls, 2000; Bodini dan Cossu, 2010) antara lain: 1. Total Precipitation (TP): Akumulasi curah hujan. 2. Totel Extreme Precipitation (TEP): Akumulasi curah hujan yang berada di atas ambang batas ekstrem. 3. Extreme Proportion (EP): Perbandingan antara curah hujan tahunan dengan curah hujan yang disebabkan oleh kejadian ekstrem. 4. Rainy Days (RD): Jumlah hari hujan dengan akumulasi 24 jam di atas 1 mm. 5. Frequency of Rainy Day (F): Perbandingan antara hari hujan dengan keseluruhan data. 6. Frequency of Extreme Event (FE): Perbandingan antara jumlah hari hujan dengan jumlah hari kejadian ekstrem. Parameter-parameter tersebut dihitung dalam skala tahunan, sedangkan untuk bulan JJA dihitung hanya menggunakan data pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Gambar 1. Lokasi Penelitian di Daerah Sintang Kalimantan Barat. -947- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Data satelit pada tanggal-tanggal kejadian terpilih diolah menggunakan aplikasi SATAID untuk mendapatkan nilai suhu puncak awan dan untuk mengidentifikasi jenis awan. Jenis awan diidentifikasi menggunakan metode RGB. Metode ini menggunakan 3 kanal satelit antara lain kanal IR1 (10,3-11,3 mikrometer) untuk warna merah, kanal IR3 atau Water Vapour (6,5-7,0 mikrometer) untuk warna biru, dan kanal IR4 (3,5-4,0 mikrometer) untuk warna hijau. Kombinasi dari ketiga warna ini akan memberikan warna tertentu untuk jenis awan yang berbeda. Rosenfeld dan Lensky (1998) menggunakan kombinasi kanal Visible, kanal 3,7 mikrometer, dan kanal Infrared untuk mengidentifikasi jenis awan dari citra AVHRR. Tabel berikut menunjukkan karakter tiap warna yang digunakan pada makalah ini. Kanal IR1 (Suhu Puncak Awan) IR3 (Water Vapour) IR4 / Visible (Reflektansi) Tabel 1. Interpretasi Warna dari Kanal Citra Satelit. Warna Keterangan Merah Semakin merah menunjukkan suhu puncak awan yang rendah. Biru Semakin biru menunjukkan tingginya kandungan uap air Hijau Semakin hijau menunjukkan tingginya reflektansi awan. Awan-awan dengan suhu puncak awan dingin, tinggi kandungan uap air, dan memiliki reflektansi tinggi seperti awan cumulonimbus akan menghasilkan warna putih, sedangkan awan dengan suhu puncak yang lebih hangat akan menghasilkan warna ungu. Sedangkan untuk awan-awan rendah akan menunjukkan warna kehijauan karena reflektansinya yang tinggi tetapi suhu puncak masih hangat. Grafik time series suhu puncak awan digunakan untuk melihat perubahan suhu puncak awan dari waktu ke waktu di suatu titik koordinat tertentu. Semakin rendah suhu puncak awan maka awan tersebut memiliki puncak yang tinggi seperti awan cumulonimbus atau awan-awan cirrus yang tersusun atas Kristal es. Bumrungklang, dkk (2008) mengklasifikasikan jenis awan berdasarkan suhu puncak awan pada citra satelit MTSAT sebagai berikut: Tabel 2. Klasifikasi Suhu Puncak Awan dan Potensi Jenis Awan (Bumrungklang, dkk 2008) Suhu Puncak Awan (C) Suhu Puncak Awan Potensi Jenis Awan (K) 273 – 283 Awan hangat seperti cumulus atau 0 – 10 263 – 273 (komponen penyusun utama hanya uap air) -10 – 0 stratus -20 - -10 -30 - -20 -40 - -30 253 – 263 243 – 253 233 – 243 Awan campuran (memiliki komponen penyusun berupa uap air dan Kristal es) -50 - -40 -60 - -50 < -60 223 – 233 213 – 223 < 213 Awan campuran besar seperti cumulonimbus atau awan cirrus (komponen penyusun utama berupa Kristal es) Citra enhanced dari kanal IR digunakan untuk mempermudah mengidentifikasi suhu puncak awan terhadap potensi jenis awan. Tiap kategori suhu puncak awan pada citra IR1 yang dikelompokkan pada tabel 2 diberikan satu warna untuk mewakili satu rentang suhu puncak awan. Suhu puncak awan 0 O C sampai -10O C diwakili warna hijau, suhu puncak awan -10O C hingga -40O C diwakili warna biru dan suhu puncak awan -40O C hingga -60O C diwakili oleh warna merah gelap, sedangkan untuk suhu dibawah -70O C diwakili oleh warna merah terang. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 berikut menunjukkan normal curah hujan stasiun meteorologi Sintang yang dihitung selama periode tahun 1985 – 2014. Grafik tersebut menunjukkan bahwa daerah Sintang memiliki curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun. Bulan – bulan basah terjadi pada bulan Oktober hingga Maret dengan akumulasi curah hujan berada di atas 300 mm per bulan. Jika mengacu pada definisi kemarau BMKG dimana musim kemarau ditandai dengan akumulasi hujan bulanan yang kurang dari 50 mm per dasarian atau 150 mm per bulan, maka daerah Sintang tidak memiliki musim kemarau. Namun bulan-bulan dengan penurunan curah hujan yang cukup signifikan terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). -948- Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.) Normal Curah Hujan Stasiun Meteorologi Sintang 1985-2014 400,0 350,0 300,0 250,0 200,0 150,0 100,0 50,0 0,0 355,3 311,6 306,8 261,3 313,3 320,5 276,2 248,2 191,0 223,2 214,0 229,4 Curah Hujan (mm) Gambar 2. Grafik Normal Curah Hujan Stasiun Meteorologi Sintang Tabel 3 memberikan informasi mengenai hujan tahunan dan kejadian ekstrem pada periode 1985 – 2014. Eliminasi hari-hari dengan akumulasi hujan kurang dari 1 mm dari periode 30 tahun memberikan informasi tentang jumlah hari hujan di Sintang. Rata-rata hari hujan (Rainy Days/ RD) di Sintang mencapai 179 hari dalam satu tahun dengan rata-rata akumulasi hujan tahunannya (Total Precipitation / TP) mencapai 3250 mm per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Akumulasi hujan tersebut juga turut disumbangkan oleh kejadian-kejadian ekstrem. Nilai persentil ke 95 memberikan nilai akumulasi hujan harian sebesar 61,015 mm dalam sehari sebagai ambang batas nilai ekstrem di stasiun meteorologi Sintang. Nilai ini ditetapkan sebagai site dependant threshold karena mempertimbangkan karakteristik hujan di daerah tersebut. Berdasarkan ambang batas tersebut, diperoleh rata-rata 9 kejadian ekstrem (Extreme Event / Ext Event) per tahunnya. Jumlah kejadian ekstrem terbanyak yaitu 18 kejadian terjadi pada tahun 1986 dan paling sedikit 2 kejadian pada tahun 2001 atau sekitar 4% dari kejadian hujan dalam setahun adalah kejadian ekstrem. Kejadian ekstrem juga meningkatkan akumulasi hujan tahunan pada tahun bersangkutan. Hal ini ditunjukkan dari nilai EP (Extreme Proportion) yang dihitung dari perbandingan akumulasi hujan ekstrem dengan akumulasi hujan tahunan. Rata-rata nilai EP menunjukkan bahwa 22% akumulasi hujan tahunan berasal dari kejadian ekstrem. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kejadian ekstrem turut memberikan kontribusi yang besar terhadap akumulasi hujan tahunan di daerah tersebut. Tabel 3. Analisis Hujan Harian Periode 1985-2014. TP (mm) TEP (mm) EP (n) Rainy Day Rata-Rata 3250.9 746.4 0.22 179.2 Stdev 569.2 335.3 0.07 19.1 Max 4467.5 1542.8 0.36 209.0 Min 2090.0 189.6 0.07 131.0 F Ext Event 0.49 8.9 0.05 3.9 0.57 18.0 0.36 2.0 FE 0.05 0.02 0.10 0.01 F dihitung menggunakan hari hujan: jumlah hari dalam satu tahun (365 hari). Pada skala musiman, untuk bulan JJA batas ekstrem yang didapat dari persentil ke 95 adalah 63,22 mm/hari. Nilai ini sedikit lebih tinggi dibandingkan ambang batas ekstrem yang dihitung secara tahunan. Rata-rata akumulasi hujan bulanan mencapai 628,25 mm / bulan dengan 36% dari 92 hari adalah hari dengan hujan di atas 1 mm, 19% dari akumulasi bulanan disumbangkan oleh kejadian ekstrem. Tetapi rata-rata hanya 5% dari seluruh kejadian hujan yang merupakan kejadian ekstrem, atau 2 kejadian ekstrem tiap tahunnya di bulan JJA. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian ekstrem di musim ini memiliki intensitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan nilai ambang batasnya. Tabel 4 menunjukkan informasi mengenai sifat hujan ekstrem untuk bulan JJA yang dihitung selama periode tahun 1985-2014. -949- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tabel 4 Analisis Hujan Harian Bulan JJA. TP (mm) TEP (mm) EP (n) Rainy Day Rata-Rata 628.2 147.6 0.19 32.9 Stdev 287.2 162.6 0.15 10.0 Max 1360.7 684.4 0.50 56.0 Min 81.2 0.0 0.00 12.0 F Ext Event 0.36 1.6 0.11 1.8 0.61 8.0 0.13 0.0 FE 0.05 0.04 0.17 0.00 F dihitung menggunakan hari hujan: jumlah hari pada bulan JJA (92 hari). Lebih detail, kejadian-kejadian hujan yang berada di atas ambang batas ekstrem pada bulan JJA ditunjukkan oleh diagram boxplot pada Gambar 3. Garis referensi merupakan persentil ke 95 sebagai ambang batas ekstrem. Banyaknya outlier data yang berada di atas garis referensi menunjukkan banyaknya kejadian ekstrem yang terjadi di musim JJA pada tahun 1985 – 2014. Sebanyak 49 kejadian ekstrem terjadi pada periode waktu tersebut dengan 15 kejadian pada bulan Juni, 18 kejadian pada bulan Juli, dan 16 kejadian pada bulan Agustus. Tiga kejadian ekstrem yaitu pada tanggal 19 Agustus 2014 dengan curah hujan 139,2 mm, tanggal 27 Agustus 2012 dengan curah hujan 140 mm, dan tanggal 8 Juli 2013 dengan hujan 116 mm dipilih untuk diteliti pada makalah ini berdasarkan ketersediaan data dan kualitas data stasiun pengamatan. Gambar 3. Diagam Boxplot untuk Bulan JJA Tahun 1985-2014 Hujan yang terjadi pada ketiga kasus ekstrem terpilih di atas dikarakterkan dengan intensitas hujan yang tinggi pada malam hari jam 22.00 LT sampai jam 01.00 LT kemudian setelahnya dengan intensitas yang lebih rendah hingga pagi hari. Curah hujan intensitas tinggi di malam hari ini terkait dengan sistem konvektif yang aktif pada malam hari kemudian berubah menjadi sistem stratiform menjelang pagi hari dengan intensitas sedang sehingga dapat menghasilkan akumulasi hujan cukup tinggi selama 24 jam. Gambar 4 menunjukkan hasil pengukuran akumulasi curah hujan 3 jam-an stasiun selama 24 jam pada hari terpilih. -950- Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.) Curah Hujan Hasil Observasi Curah hujan (mm) 120 102 94 100 19 Agustus 2014 80 68 27 Agustus 2012 60 33 40 20 0 8 Juli 2013 17 11 13 00,20 000 000 000 000 0 3 6 9 12 00 15 18 21 532 24 Jam (UTC) Gambar 4. Hasil Pengukuran Curah Hujan pada Kejadian Terpilih. Gambar 4 menunjukkan bahwa curah hujan dengan intensitas paling tinggi terukur pada jam 15.00 UTC dan jam 18.00 UTC mencapai 30 mm/jam. Kemudian curah hujan dengan intensitas yang lebih rendah terukur pada jam 21.00 UTC dan jam 24.00 UTC mencapai 4,5 mm/jam. Perubahan intensitas ini menunjukkan adanya perubahan sistem hujan konvektif menjadi stratiform, hal ini konsisten dengan penelitian Ichikawa (2006) yang menyebutkan bahwa pada dini hari hingga pagi hari curah hujan berubah menjadi stratiform. Gambar 5. Diagram Time Series Suhu Puncak Awan dari Kanal IR1 Diagram time series suhu puncak awan dari kanal IR dari tiga kejadian ekstrem (Gambar 5) menunjukkan pola yang hampir sama satu sama lain dan dengan hasil observasi hujan yang terjadi di stasiun. Suhu puncak awan tinggi terjadi pada pagi hingga siang hari antara jam 00 UTC hingga jam 10 UTC mengindikasikan bahwa pertumbuhan awan tidak cukup signifikan pada jam-jam tersebut. Mengacu pada Tabel 2 maka pada ketiga kasus ekstrem hanya terbentuk awan-awan hangat pada siang hari, bahkan tidak ada awan pada kasus tanggal 8 Juli 2013. Pertumbuhan awan secara signifikan terjadi setelah matahari terbenam antara jam 10 UTC hingga jam 12 UTC. Dalam rentang waktu 3 jam, suhu puncak awan turun secara signifikan hingga mencapai -80 OC pada tiga kejadian ekstrem. Penurunan suhu ini secara signifikan ini menunjukkan adanya aktivitas konvektif, sehingga potensi awan yang terbentuk dapat berupa awan konvektif besar seperti cumulonimbus. Suhu puncak awan kemudian mengalami peningkatan hingga menjelang pagi jam 23 UTC. Peningkatan ini dapat disebabkan perubahan struktur awan akibat peluruhan atau pergerakan awan. Kasus tanggal 19 Agustus 2014 dan 8 Juli 2013 menunjukkan adanya peningkatan suhu puncak awan hingga -40O C, jika mengacu pada tabel 2 maka potensi jenis awan untuk suhu puncak tersebut adalah awan-awan campuran di lapisan menengah dengan puncak awan yang lebih rendah. Sedangkan untuk kasus 27 Agustus 2012 peningkatan suhu terjadi perlahan hingga pagi hari. Perbandingan secara langsung suhu puncak awan dengan curah hujan terukur di stasiun menunjukkan bahwa fase konvektif terjadi pada jam 13 UTC hingga jam 17 UTC di mana hujan yang terjadi mencapai 30 mm / jam, sedangkan fase stratiform terjadi pada jam 19 UTC hingga jam 23 UTC dengan intensitas hujan yang lebih rendah. -951- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Identifikasi lebih lanjut dilakukan menggunakan citra RGB dan kanal IR1 enhanced untuk dapat mengidentifikasi jenis awan pada saat kejadian. (a) (b) Gambar 6. Citra Enhanced IR (Atas) dan Citra RGB (Bawah) Kasus 19 Agustus 2014 Pada (a) Fase Konvektif dan (b) Fase Stratiform Citra RGB pada Gambar 6(a) menunjukkan adanya area dengan warna putih terang di mana kombinasi dari ketiga kanal menunjukkan nilai maksimum. Warna putih terang menunjukkan bahwa awan tersebut memiliki kandungan uap air yang tinggi di lapisan menengah hingga atas troposfer, suhu puncak awan yang rendah, serta reflektansi yang tinggi di mana karakteristik ini sesuai dengan karakter awan dalam kategori cumulonimbus. Citra enhanced menunjukkan adanya area berwarna merah terang (< -60OC) yang terisolir, area ini diindikasikan sebagai pusat konvektif. Area dengan suhu kurang dari -60OC tersebut terlihat mengalami perluasan hingga jam 16 UTC diiringi dengan hujan berintensitas tinggi yang terukur di stasiun. Warna ungu tipis di sekitar awan dengan warna putih pada citra RGB adalah awan-awan cirrus tipis yang memiliki suhu dingin dan kandungan uap air relatif lebih sedikit. Peningkatan suhu puncak awan pada jam 19 UTC disebabkan perubahan sistem awan di mana pada citra RGB ditunjukkan oleh warna abu-abu yang meluas (Gambar 6(b)), warna ini mengindikasikan penurunan puncak awan dan kandungan uap air serta reflektivitasnya. Citra enhanced menunjukkan area dengan warna biru (-10 OC hingga -40 OC) mendominasi sekitar daerah penelitian. Hingga jam 21 UTC, warna biru ini semakin meluas. Citra RGB tidak lagi memperlihatkan struktur puncak awan yang jelas dan didominasi warna abu-abu. Curah hujan terukur di stasiun mengalami penurunan intensitas yang signifikan pada fase ini. (a) (b) Gambar 7. Citra Enhanced IR (Atas) dan Citra RGB (Bawah) Kasus 8 Juli 2013 Pada (a) Fase Konvektif dan (b) Fase Stratiform Fase konvektif untuk kasus kejadian hujan ekstrem tanggal 8 Juli 2013 dimulai lebih lambat dibanding kasus 19 Agustus 2014, fase konvektif dimulai pada jam 16 UTC ditunjukkan dengan terbentuknya struktur puncak awan yang jelas dan tebal seperti yang ditunjukkan pada citra RGB (Gambar 7(a)). Struktur tersebut -952- Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.) meluruh pada jam 20 UTC dengan diikuti penurunan intensitas hujan yang terukur di stasiun. Citra enhanced IR pada fase ini menunjukkan adanya area dengan suhu puncak awan yang lebih hangat dan luas. Fase stratiform untuk kasus ini berbeda dengan kasus 19 Agustus 2014 di mana struktur puncak awan yang terbentuk masih terlihat jelas dibandingkan kasus sebelumnya. Kasus tanggal 27 Agustus 2012 memiliki kesamaan dengan kasus 19 Agustus 2014 di mana pada fase stratiform, struktur puncak awan tidak terlihat jelas. Hanya tampak area awan berwarna abu-abu yang luas (Gambar 8(b)). Analisis citra enhanced IR dan citra RGB memberikan warna abu-abu keunguan pada fase ini yang berarti terdapat cukup banyak uap air di lapisan atas dan suhu puncak yang rendah tetapi reflektivitasnya rendah, sehingga terindikasi awan-awan yang terdapat di area tersebut adalah awan-awan menengah dan tinggi. Fase konvektif pada kasus ini terjadi dalam waktu yang relatif singkat, terlihat dari warna merah cerah pada citra enhanced IR (Gambar 8(a)) yang hanya muncul pada jam 17 UTC. Pusat konvektif kasus ini tidak seluas dua kasus sebelumnya, hal ini menyebabkan intensitas hujan yang terukur di stasiun hanya mencapai 20 mm/jam. (a) (b) Gambar 8. Citra Enhanced IR (Atas) dan Citra RGB (Bawah) Kasus 27 Agustus 2012 Pada (a) Fase Konvektif dan (b) Fase Stratiform Peluruhan puncak awan konvektif pada ketiga kejadian ekstrem di atas terkait dengan kecepatan angin lapisan atas sekitar 200 mb hingga 150 mb. Data NWP satelit menunjukkan pada kasus tanggal 19 Agustus 2014 dan 27 Agustus 2012, kecepatan angin di lapisan atas berkisar antara 35 knot – 50 knot dan persisten dari pagi hari hingga malam hari. Persebaran puncak awan ke arah barat mengikuti awah angin di lapisan tersebut yang berasal dari timur. Pada Kasus 8 Juli 2013 kecepatan angin relatif lebih lambat berkisar antara 15 knot – 25 knot, menyebabkan pertumbuhan awan konvektif terjadi lebih lambat. Peluruhan puncak awan juga terjadi cukup lambat sehingga struktur puncak awan masih dapat terlihat dengan jelas pada fase stratiform. 4. KESIMPULAN Kejadian ekstrem untuk musim JJA di daerah Sintang, Kalimantan Barat memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap akumulasi hujan bulanan di daerah tersebut. Dengan ambang batas 63,2 mm/hari, kejadian ekstrem terjadi rata-rata 2 kali dalam sebulan dan akumulasi curah hujan dari kejadian ekstrem ini memberikan kontribusi hingga 20% dari total curah hujan bulanan. Citra Satelit MTSAT-2 dapat digunakan unutk meninjau tiga kejadian ekstrem yang menunjukkan karakter hujan yang disebabkan oleh sistem konvektif pada malam hari sekitar jam 12 UTC hingga jam 17 UTC yang kemudian mengalami perubahan menjadi sistem stratiform pada dini hari hingga menjelang pagi hari sekitar jam 19 UTC hingga jam 23 UTC. Perubahan ini ditunjukkan dari perubahan suhu puncak awan, di mana pada fase konvektif suhu puncak awan berada antara -70OC hingga -80OC dan fase stratiform suhu puncak awan antara -50 OC hingga – 30OC. Identifikasi struktur puncak awan melalui citra enhanced IR menunjukkan warna merah cerah sebagai suhu awan paling minimum dan citra RGB menunjukkan warna putih cerah sebagai pusat konvektif dari awan cumulonimbus. Citra RGB dengan warna abu-abu hingga abuabu keunguan menunjukkan awan dengan puncak lebih rendah yang diidentifikasi sebagai awan stratiform. -953- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih diberikan kepada staff Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG untuk penyediaan data citra satelit dalam penyusunan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA BMKG. (2010). Keputusan No.009 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim. BMKG: Jakarta. Bodini, A., dan Cossu, Q. (2010). Vulnerability Assessment of Central-East Sardinia (Italy) to Extreme Rainfall Events. Journal of Natural Hazards and earth System Sciences, 61-72 Bumrungklang, P., Dasananda, S., dan Sukawat, D. (2008). An analysis of seasonal thunderstorm cloud distribution and its relation to rainfall occurrence in Thailand using remotely-sensed data. Suranaree Journal of Science and Technology, 17(1):71–86. Haylock, M., dan Nicholls, N. (2000). Trends in extreme rainfall indices for an updated high quality data set for Australia, 1910-1998. International Journal of Climatology, 20(13):1533–1541. Ichikawa, H., dan Yasunari, T. (2006). Time-space characteristics of diurnal rainfall over Borneo and surrounding oceans as observed by TRMM-PR. Journal of Climate, 19(7):1238–1260. Nesbitt, S.W., dan Zipser, E.J. (2003). The diurnal cycle of rainfall and convective intensity according to three years of TRMM measurements.Journal of Climate, 16(10):1456–1475. Qian, J.H. (2008). Why Precipitation Is Mostly Concentrated over Islands in the Maritime Continent.Journal of the Atmospheric Sciences, 65(4):1428–1441. Rosenfeld, D., dan Lensky, I.M. (1998). Satellite-Based Insights into Precipitation Formation Processes in Continental and Maritime Convective Clouds. Bulletin of the American Meteorological Society, 79(11):2457–2476. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Nama Pemakalah Diskusi : Sistem Pembentukan Awan Pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2 : Achmad Rifani (STMKG) : Pertanyaan: Dr. Ety Parwati (Pusfatja LAPAN) 1. Tiga kejadian ekstrem pada bulan JJA yaitu pada 19 Agustus 2014, 8 Juli 2013, dan 28 Agustus 2012 dianalisis menggunakan citra satelit MTSAT untuk mempelajari karakteristik pembentukan awan. Apakah ada perbedaan yang signifikan kejadian pembentukan awan pada ketiga tanggal tersebut? Jelaskan kemungkinan penyebabnya. 2. Apakah pernah dilakukan kajian data satelit yang digunakan tidak menggunakan MTSAT, tetapi satelit lain, misalnya NOAA AVHRR 3. Apa bisa dijelaskan perbedaan kelebihan dan kekurangan dari kedua citra satelit tersebut. Jawaban: 1. Penelitian ini menggunakan citra satelit MTSAT bertujuan untuk mengidentifikasi sistem konvektif dan sistem stratiform yang terjadi saat kejadian hujan ekstrem di wilayah Sintang pada bulan JJA yang merupakan waktu. Ketiga kejadian tersebut lebih menunjukkan kesamaan pada sistem awan yang terbentuk. Perbedaan terdapat pada waktu perubahan sistem awan konvektif menjadi stratiform dimana pada kejadian 8 Juli 2013 dan 27 Agustus 2012 perubahan sistem terjadi lebih cepat diakibatkan oleh angin berkecepatan tinggi di atmosfer lapisan menengah. 2. Untuk kajian di wilayah Indonesia menggunakan AVHRR sepanjang pengetahuan penulis belum ada. Tetapi yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini menggunakan AVHRR di wilayah Amerika. 3. Perbedaan citra terletak pada resolusi citra yang dihasilkan dan kombinasi kanal yang digunakan untuk mengidentifikasi sistem awan. -954- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 Study of Atmospheric Conditions on the Puting Beliung Event Juanda-Surabaya, February 4, 2016 Nanda Alfuadi1*) , dan Cindy Selly S.D.1 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Geofisika E-mail: [email protected] ABSTRAK - Pada hari Kamis, 4 Februari 2016 di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas I Juanda dilaporkan telah terjadi angin kencang yang menyebabkan kerusakan kantor observasi stasiun berupa terlepasnya pintu belakang dan robohnya atap kantor observasi, atap sangkar psikrometer terlepas dari tempatnya, tiang bendera patah, rusaknya pagar taman alat pengamatan cuaca, rusaknya atap tempat parkir kendaraan pegawai stasiun. Karena dampak dari puting beliung yang cukup bahaya ini, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tutupan awan yang mengasilkan puting beliung di Juanda pada saat itu. Berdasar laporan pengamat cuaca BMKG di Juanda, angin kencang dilaporkan terjadi pada sekitar pukul 09.20 UTC yang diawali dengan keberadaan dari awan Comulonimbus dan Altrostratus yang sangat tebal dengan tinggi dasar awan yang begitu rendah dan sempat terpantau adanya pusaran angin mirip puting beliung di atas taxiway sesaat sebelum angin kencang terjadi. Data satelit Himawari 8 kanal visibel menunjukkan bahwa terdapat overshooting top pada pengamatan jam 09.16 yang artinya puncak awan di sekitar lokasi melebihi batas tropopause. Teramati cloud top BT di sekitar lokasi saat kejadian > -80o C yang secara timeserires puting beliung terjadi ketika BT sedang menurun, nilai SP1 < 2o C dan BTD(IR1-WV) < 3o C yang menunjukkan bahwa awan yang ada di lokasi kejadian saat itu adalah CB. Berdasarkan pantauan data radar, lokasi kejadian bukan merupakan lokasi dimana nilai reflektifitas radar tertinggi berada dan bukan merupakan pusat comma echo. Justru lokasi tersebut adalah lokasi margin reflektifitas >50 dBz. Pola angin hasil pantauan radar cuaca menunjukkan adanya konvergensi massa udara dan tidak menunjukkan pola siklonal yang khas dari puting beliung. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa fenomena puting beliung yang terjadi di Juanda kemungkinan besar disebabkan oleh proses mekanis lapisan bawah yang mengakibatkan terbentuknya pola sirkulasi sesaat. Dan ini terbukti bahwa spout yang terbentuk memiliki diameter yang kecil, tidak mencapai permukaan tanah dan durasi waktunya kurang dari 1 menit. Awan CB yang menyebabkan puting beliung di Juanda masih dalam fase tumbuh yang bersifat eksplosif dan terbentuk sangat cepat. Kata kunci: Puting Beliung, Surabaya, Radar, Satelit ABSTRACT - On Thursday, 4 February 2016 at the Flight Meteorological Station Class I Juanda was reported to have occurred a strong winds that caused damage to the office of observation stations.A door there broken and roof of the observation unit office collapsed, roof of the psychrometers cage slip out of place, the flag pole broken, damaged weather observation tools garden, damage to the roof of the station employee parking lot. Due to thisgreat impact of puting beliung, this paper aims to determine the condition of cloud cover that producedputing beliungin Juanda at that time. Based on the BMKG weather observer’s report in Juanda, strong winds occurred at about 09.20 UTC preceded by the presence of clouds Comulonimbus and very thick Altrostratus with lower cloud base and observed the whirlwindlike waterspout over the taxiway shortly before strong winds occur. Identification of condition when puting beliung occured in Juanda by using Himawari-8 and radar data. Visible channels data show that there are overshooting top indication at 09.16 hours of observation, which means the cloud tops around the location of the tropopause exceeds the limit. Observed cloud top BT around the current location of the incident> -80o C which are timeserires waterspout occurs when BT is on decline stage, the value of SP1 <2° C and SP3<3 ° C showed that the clouds are on the incident location at that time is CB. Based on the observation radar data, the incident location is not the highest value of radar reflectivity and is not a center comma echo. It is precisely these locations are locations margin of reflectivity> 50 DBZ. Wind patterns weather radar observation show precense of air masses convergence and shows no siklonal pattern typical of the tornado. In this study concluded that the phenomenon of the tornado that occurred in Juanda most likely caused by a mechanical process the bottom layer resulting in the instantaneous circulation patterns. And this proved that the spout is formed to have a small diameter, do not reach ground level and the duration time is less than 1 minute. CB cloud that caused the tornado in Juanda is still in a growth phase that is both explosive and formed very quickly. Keywords: Puting Beliung, Surabaya, Radar, Satellite -955- Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 (Alfuadi dkk) 1. PENDAHULUAN Pada hari Kamis, 4 Februari 2016 di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas I Juanda dilaporkan telah terjadi angin kencang yang menyebabkan kerusakan kantor observasi stasiun berupa terlepasnya pintu belakang dan robohnya atap kantor observasi, atap sangkar psikrometer terlepas dari tempatnya, tiang bendera patah, rusaknya pagar taman alat pengamatan cuaca, rusaknya atap tempat parkir kendaraan pegawai stasiun. Karena dampak dari puting beliung yang cukup bahaya ini, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tutupan awan yang mengasilkan puting beliung di Juanda pada saat itu. Berdasar laporan pengamat cuaca BMKG di Juanda, angin kencang dilaporkan terjadi pada sekitar pukul 09.20 UTC yang diawali dengan keberadaan dari awan Comulonimbus dan Altrostratus yang sangat tebal dengan tinggi dasar awan yang begitu rendah dan sempat terpantau adanya pusaran angin mirip puting beliung di atas taxiway sesaat sebelum angin kencang terjadi. Kejadian puting beliung di Juanda ini merupakan kejadian puting beliung yang pertama kali terjadi dengan lokasi kejadian tepat di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas I Juanda, sehingga data yang dihasilkan pada saat kejadian puting beliung akan jauh lebih representatif dibandingkan pada beberapa kejadian puting beliung di Jawa Timur yang telah terjadi. Selain itu, dekatnya lokasi kejadian puting beliung dengan bandara/runway, berpotensi dapat mengganggu keselamatan penerbangan. Hal ini karena kecepatan angin yang tinggi dengan arah variabel seperti pada puting beliung tersebut dapat membuat pesawat kehilangan kesetimbangan ketika take off dan landing. Hal inilah yang membuat penelitian ini perlu untuk dilakukan untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya puting beliung di Juanda dan kondisi atmosfer pada saat itu, meskipun secara teori masih sulit untuk mengidentifikasi mekanisme pembentukan puting beliung di Indonesia (Tjasyono, 2007). Sehingga Prof. Bayong Tjacyono menyatakan bahwa mekanisme puting beliung dianggap sama seperti tornado yang biasa terjadi di lintang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi atmosfer pada saat terjadi puting beliung pada 4 februari 2016 di Juanda meliputi kondisi angin dan tutupan awan berdasarkan data radar dan satelit. 2. METODE Penelitian ini dilakukan di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas 1 Juanda dan sekitarnya yang merupakan lokasi kejadian puting beliung 4 Februari 2016 jam 09.20 UTC yang ditunjukkan pada gambar berikut. Lokasi Kejadian Gambar 1. Lokasi kejadian puting beliung Juanda, 4 Februari 2016 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satelit Himawari 8 (kanal IR, I2 dan WV) dan data radar cuaca doppler BMKG Juanda Surabaya. Data satelit diolah dengan menggunakan program SATAID versi 2.92 dan data radar diolah dengan menggunakan software EDGE. Data radar cuaca doppler dan satelit cuaca ini digunakan dalam identifikasi pola awan dengan melihat distribusi nilai reflektifitas, pola -956- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 angin berdasarkan profil radial velocity dan HWIND pada lapisan bawah, suhu puncak awan dengan menggunakan data IR1 dan keberadaan awan Cumulonimbus (CB) berdasarkan syarat batas yang dirumuskan oleh Masami Tokuno bahwa CB dinyatakan ada jika BTD (IR1-IR2)<2 dan BTD (IR1-WV)<3. Beberapa komponen tersebut penting dalam anlisa kejadian puting beliung karena secara teori puting beliung yang diidentikkan dengan tornado skala kecil berasal dari awan konvektif kuat jenis cumuliform yang merupakan akibat dari proses konveksi udara lembab (Meted, 2012). Tornado yang hebat membutuhkan updraft yang kuat dengan shear angin lapisan bawah yang kuat. Kondisi ini biasanya ditemui pada daerah dengan gradien suhu dan kelembaban yang besar. Tornado lemah biasa terbentuk di lapisan bawah troposfer dan lebih sering terjadi di wilayah tropis. Sedangkan fase pertumbuhan awan CB ini terbagi menjadi 3 fase yaitu fase kumulus, matang, dan punah. Fase matang merupakan fase dimana konveksi berada pada kondisi paling intensif/kuat dengan updraft yang sangat bahkan hingga menyebabkan puncak awan CB menembus tropopause yang ditandai dengan nilai suhu puncak awan yang mendekati suhu tropopause. Presipitasi dan tetes awan yang lebat selama fase matang dapat terdeteksi oleh radar dengan indikator adanya reflektifitas yang tinggi di atas 50 dBZ di troposfer lapisan menengah. Puting beliung biasa terjadi ketika awan CB atau kumulus kongestus sesaat sebelum mencapai fase matang dan pada waktu sore atau menjelang malam hari. Hal ini karena pada waktu tersebut awan dari proses konveksi paling intensif terbentuk. Berdasarkan waktu dan lokasi kejadian puting beliung di Juanda kemungkinan besar mekanisme puting tersebut mirip dengan mekanisme non-supercell tornadoes. Pada mekanisme tersebut, pusaran angin pembentuk kolom pusaran terbentuk akibat adanya zona kovergensi di bawah pertumbuhan awan CB yang dalam fase cumulus/tumbuh. Perbendaan arah angin horizontal lapisan bawah ini membentuk pola pusaran udara pada udara yang naik menuju dasar awan. 2.1 Diagram Alir Penelitian Mulai Penentuan Lokasi dan Waktu Kajian Pengumpulan data Data Radar Cuaca Doppler Data Satelit Himawari 8 Kanal IR1 Identifikasi suhu puncak awan BTD IR1-IR2 BTD IR1-WV Identifikasi awan CB CMAX dan CAPPI Z CAPPI V dan HWIND Identifikasi pola awan Identifikasi pola angin Analisa Kesimpulan Selesai -957- Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 (Alfuadi dkk) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Radar Berdasarkan data radar cuaca doppler Juanda diketahui bahwa nilai reflektifitas > 50 dBZ mulai terbentuk pada jam 09.00 UTC dengan pola yang mirip seperti squallline namun dengan panjang tidak lebih dari 100 km. Profil reflektifitas maksimum kolom (CMAX) di sekitar lokasi radar pada 4 Februari 2016 adalah sebagai berikut. Gambar 2. CMAX jam 09.00 UTC (a) (b) (c) Gambar 3. a. CMAX jam 9.10 UTC b. CMAX jam 9.20 UTC c. CMAX jam 9.30 UTC Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa pada jam 09.00 UTC sudah terlihat adanya pola gugusan awan dengan nilai reflektifitas > 50 dBZ yang mengindikasikan adanya awan konvektif pada wilayah tersebut. Pada Gambar 3.a terlihat bahwa nilai reflektifitas di lokasi sekitar radar mengalami penurunan intensitas secara drastis namun polanya masih bertahan. Pada jam 09.20 UTC nilai reflektifitas mengalami peningkatan intensitas dan membentuk pola seperti mata pancing atau biasa disebut sebagai “comma echo”. Berdasarkan laporan pengamat cuaca di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas 1 Juanda, puting beliung teramati pada 09.14 UTC sehingga kondisi data yang diasumsikan sebagai data yang paling representatif dalam menganalisa kejadian puting beliung ini adalah data jam 09.10 dan 09.20 UTC. Jika diperhatikan kedua data tersebut, perubahan nilai intensitas dalam waktu tidak lebih dari 10 menit menandakan bahwa pada saat kejadian puting beliung Juanda awan yang ada pada lokasi kejadian merupakan awan konvektif kuat dalam fase tumbuh. Pola comma echo yang terbentuk merupakan akibat dari pola siklonal angin yang membuat awan membentuk pola melengkung. Ujung pola lengkungan echo merupakan area dimana kolom pusaran udara puting beliung yang terbentuk. -958- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 4. Crossection CMAX 3D reflektifitas jam 09.20 UTC Berdasarkan Gambar 4, posisi pusaran angin puting beliung ini berdasarkan koordinat Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas 1 Juanda dan profil crossection vertikal reflektifitas radar ternyata tidak berada pada pusat pola comma echo atau di daerah reflektifitas tertinggi namun justru di tepi dari pola tersebut (lingkaran hitam pada Gambar 4). Ini menunjukkan bahwa terdapat shear angin lapisan di bawah awan yang cukup besar sehingga membuat corong angin tidak tegak lurus ke bawah. Besarnya dorongan angin secara horizontal ini ditandai juga dengan adanya cekungan pada citra CMAX pada Gambar 4 (lingkaran putih) yang menunjukkan bahwa adanya dorongan angin yang kuat di cekungan tersebut atau di dua sisi yang mengapitnya. Ini menunjukkan bahwa puting beliung yang terbentuk merupakan akibat dari shear horizontal yang kuat pada zona konvengensi angin. Konvergensi lapisan bawah ini dapat diidentifikasi dengan produk radial velocity sebagai berikut. (a) (b) (c) Gambar 5. a. CAPPI 500 m radial velocity jam 09.00 UTC b. CAPPI 500 m radial velocity jam 09.10 UTC c. CAPPI 500 m radial velocity jam 09.20 UTC Berdasarkan Gambar 5, pada jam 09.00 UTC belum terlihat adanya pola khusus dan kecepatan radial angin relatif terhadap radar masih rendah. Pada jam 09.10 UTC mulai terlihat ada konvergensi angin dengan luasan yang masih sangat kecil di utara lokasi radar dimana lokasi tersebut cukup dekat lokasi terjadinya puting beliung. Konvergensi semakin menguat pada jam 09.20 UTC yang artinya shear horizontal angin pada lapisan 500 m, yang biasanya merupakan tinggi dasar awan, juga semakin kuat. 3.2 Satelit Suhu puncak awan ketika terjadi puting beliung di Juanda dapat dilihat pada citra satelit kanal IR1 berikut ini. -959- Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 (Alfuadi dkk) 08.30 08.50 09.00 09.10 09.20 09.40 Gambar 6. Citra Satelit kanal IR1 Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa sebelum jam 09.10 UTC tidak terlihat adanya sel awan yang terbentuk di sekitar Juanda. Jam 9.10 UTC terdapat sel awan dengan suhu antara -40o hingga -60o C. Setelah itu sel awan tumbuh semakin intensif yang ditandai dengan turunnya suhu puncak awan menjadi sekitar -81o C. Berdasarkan data suhu lapisan tropopause pada data radiosonde 4 Februari 2016 jam 00 yang mencapai 83,1o C menunjukkan puncak awan pada saat itu hampir atau bahkan sudah mencapai tropopause(overshooting top). Dan jika dilihat dari ukuran sel awan dan gradien suhu puncak awannya, awan tersebut merupakan awan konvektif/cumuliform. Awan konvektif yang memiliki puncak mencapai tropopause hanyalah awan CB, sehingga terdapat indikasi bahwa sel awan yang terdapat di lokasi kejadian puting beliung Juanda merupakan awan CB. Setelah jam 09.20 UTC, sel awan mulai menyebar secara eksplosif yang artinya telah terjadi pelepasan energi yang besar dari dalam awan itu yang kemungkinan besar berupa puting beliung tersebut. Bukti keberadaan awan CB dapat diketahui dengan metode split window (BTD)yang memiliki hasil olahan sebagai berikut ini. (a) (b) Gambar 7. a. Sebaran awan CB jam 09.00 UTC b. Sebaran awan CB jam 09.10 UTC c. Sebaran awan CB jam 09.20 UTC -960- (c) Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar7 menunjukkan bahwa awan CB (warna merah) mulai terbentuk pada jam 9.10 UTC dan menguat pada jam 9.20 UTC. Sehingga benar bahwa awan yang ada pada kejadian puting beliung Juanda adalah awan CB. 4. KESIMPULAN Pada penelitian ini disimpulkan bahwa fenomena puting beliung yang terjadi di Juanda kemungkinan besar disebabkan oleh proses mekanis lapisan bawah berupa shear horizontal yang kuat akibat adanya zona konvergensi angin darat-laut yang mengakibatkan terbentuknya pola sirkulasi sesaat. Dan ini terbukti bahwa spout yang terbentuk memiliki diameter yang kecil, tidak mencapai permukaan tanah dan durasi waktunya kurang dari 1 menit. Awan CB yang menyebabkan puting beliung di Juanda masih dalam fase tumbuh yang bersifat eksplosif dan terbentuk sangat cepat. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Bapak Agie Wandala P., M.Sc. dan Bapak Paulus Agus W., Ph.D. Yang telah membimbing dalam penyelesaian penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Markowski, Paul, dan Yvette, R., (2014). What we know and don’t know about tornado formation, (http://scitation.aip.org/content/aip/magazine/physicstoday/article/67/9/10.1063/PT.3.2514, diakses 15 Juni 2016) Setiawan, S.R., (2012). Analisa Indeks Labilitas Udara Pada Kejadian Thunderstorm yang Mengakibatkan Angin Puting Beliung di Makassar. Tugas Akhir. Jurusan Meteorologi AMG, Jakarta. Tjasyono, H.K., Bayong, Harijono, dan Sri, W.B., (2006). Meteorologi Indonesia 2. Jakarta : Badan Meteorologi dan Geofisika. Duda, J.D., dan Gallus, Jr.W.A., (2010). Spring and Summer Midwestern SevereWeather Reports in Supercells Compared to Other Morphologies. Weather and Forecasting, 25:190-206 Cloud Formation (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/print_2.htm, diakses 8 Maret 2015). Fadholi, A., (2013). Pengolahan Data Citra Satelit MTSAT Menggunakan Aplikasi DATAID. Jurnal Informatika & Komputasi STMIK – Indonesia, Vol. 7 (1), April 2013 ISSN 1412-0232 Mason, B.J. (1971). The Physics of Cloud.London: Oxford University Press. Petterssen, S., (1956). Weather Analysis and Forecasting 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Book Company. Pruppacher, Hans, R., James, D.K., (1980). Microphysic of Clouds and Precipitation. London: D. Riedel Publishing Company. Unstable Atmosphere (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/print_4.htm, diakses 8 Maret 2015). Tjasyono, dan Bayong, H.K., (2004). Meteorologi Terapan, ITB, Bandung Wallace, John, M., dan Peter, V.H., (2005). Atmospheric Science An Introductory Survey Second Edition, Academic Press is an imprint of Elsevier. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Dr. Indah Prasasti : Kajian Kondisi Atmosfer Pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 : Nanda Alfuadi (STMKG) : Pertanyaan : Novita Ambarsari (LAPAN) Sudah adakah penelitian terkait seberapa lamakah puting beliung dapat diperkirakan sehingga mampu dianalisis beberapa saat sebelumnya sehingga dapat mencegah terjadinya bencana puting beliung? Jawaban : Untuk saat ini penulis masih berstatus mahasiswa dan masih belajar sehingga belum pernah terjun langsung pada bagian peringatan dini BMKG. Untuk sementara berdasarkan yang penulis pelajari mengenai potensi puting beliung, dengan identifikasi data radar, mampu diprediksi 6 jam sebelum terjadinya puting beliung. -961- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Putting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat) Analisys of Atmospheric Conditions for PutingBeliung Precursors (Case StudyKediri – Lombok Barat on 26th February, 2013) Annisa Fauziah1*), dan Bastian Andarino2 1 Stasiun Meteorologi Sultan Thaha Jambi 2 Stasiun Klimatologi Jambi *) E-mail: [email protected] ABSTRAK–Puting beliung merupakan fenomena cuaca yang sering terjadi di wilayah Indonesia, khususnya pada saat periode transisi musim, yang pada umumnya terjadi di wilayah dengan topografi yang luas dan lapang. Salah satu kejadian puting beliung yaitu pada tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat, dimana puluhan rumah penduduk hancur diterjang oleh puting beliung yang terjadi sekitar pukul 15.00 WITAdan berlangsung hanya dalam waktu 5 menit. Melihat kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh puting beliungyang berdampak besar terhadap kerugian materiil dan dalam waktu yang sangat singkat, sangat penting untuk mengetahui informasi prekursor fenomena puting beliung tersebut dalam rangka untuk antisipasi dampak yang dapat diakibatkan. Kajian mengenai prekursor puting beliung dilakukan dengan menganalisis kondisi atmosfer pada saat sebelum dan saat kejadian puting beliung dengan menggunakan data satelit MTSAT yang diolah dengan aplikasi SATAID untuk pendekatan parameter cuaca di lokasi kejadian serta data pengamatan udara permukaan (sinoptik) dari Stasiun Klimatologi Kediri. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada saat sebelum kejadian puting beliung, kondisi atmosfer berupa indeks ketidakstabilan udara serta nilai CAPE di lokasi kejadian sangat tinggi yang didukung dengan adanya pusat tekanan rendah di sekitar wilayah tersebut. Kata kunci:citra satelit, CAPE, puting beliung ABSTRACT –Puting beliung is one of the weather phenomena that usually occurrs in Indonesia, especially at a transition period of season, generally occurrs at a region with a wide and flat topography. One of the puting beliung phenomena occurred in Kediri – Lombok Barat in February 23th, 2013 at 15.00 PM and occurred just in 5 minutes. Seeing the damage that can be caused by puting beliung with a large impact on the loss of material in a very short time, it is very important to find out the precursors of puting beliung in order to anticipate the impact that can be caused. The study of the precursors carried out by analyzing the atmospheric conditions at the time before and during the incidentusing MTSAT satellite data that is processed by SATAID application for weather parameter approach at the scene and surface air observational data (synoptic) of Climatological Station Kediri. The analysis showed that in the moments before the incident, atmospheric conditions such as air instability index and the value of CAPE in the scene was very high that was supported by the low pressure center in the surrounding area. Keywords: satellite imagery, CAPE, puting beliung 1. PENDAHULUAN Puting beliung sering terjadi di wilayah Indonesia, terutama pada masa transisi, dan pada daerah yang memiliki topografi berupa dataran yang landai dan luas. Pemanasan yang kuat yang diterima oleh wilayah tersebut akan menyebabkan udara terangkat sehingga terjadi kekosongan udara yang akan segera diisi oleh udara yang berada disekitarnya, yang dapat menyebabkan timbulnya fenomena puting beliung(Zakir,2009). Pada tanggal 26 Februari 2013 lalu, puluhan rumah warga desa Kediri, Lombok Barat, porak poranda diterjang angin puting beliung pada Selasa (26/2/13) sore, sekitar pukul 15.00 WITA. Dari hasil pendataan tim Tagana NTB, tercatat 87 lebih rumah penduduk Dusun Karang Bedil mengalami rusak parah, lima warga korban akibat ditimpa reruntuhan bangunan mengalami luka-luka, satu balita mengalami luka yang cukup parah (mataramnews.com). Saksi mata dari petugas pengamat di kantor Stasiun Klimatologi Kediri menyatakan bahwa angin yang sangat kecang dan berputar tersebut membuat padamnya arus listrik, menghancurkan bangunan, menumbangkan pepohonan, serta meruntuhkan tembok pagar kantor Stasiun Klimatologi Kediri Lombok Barat. Pada makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji keadaan atmosfer pada sebelum hingga sesaat kejadian guna mengetahui indikator awal kondisi atmosfer sebelum terjadinya -962- Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat) (Fauziah, A., dkk.) puting beliung dengan menganalisis output produk SATAID. Japan Meteorology Agency (JMA) mengembangkan sebuah aplikasi yang diberi nama SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis). Aplikasi tersebut berfungsi mengambil data parameter meteorologi pada citra satelit untuk menganalisis kondisi atmosfer. Dengan menggunakan SATAID, pengguna dapat menampilkan dan melakukan overlay antara citra satelit dan data NWP (Harsa, dkk. 2011). 1.1 Proses Terbentuknya Puting Beliung Puting beliung di Indonesia adalah tornado skala kecil (F0-F1) pada skala Fujita, yang memiliki daya rusak rendah dibanding di wilayah lintang tinggi dimana memiliki daya rusak terparah hingga skala F5. Puting beliung umumnya terjadi pada periode transisimusim dan musim hujan dengan waktu kejadian antara siang dan malam hari. Kondisi ini dikarenakan sinar matahari sebagai bahan bakar utamanya, secara maksimal diperoleh pada periode (frekuensi bulanan yang berkaitan dengan musim) dan waktu (frekuensi harian) tersebut (Zakir,2009). Adanya pemanasan yang kuat udara dapat terangkat dengan kuat dan cepat. Bila pemanasan yang demikian terjadi disuatu tempat, ditempat itu seolah-olah terjadi kekosongan udara yang dengan cepat pula diisi oleh udara sekitarnya sehingga daerah tersebut menjadi daerah pumpunan angin dan pengumpulan udara. Bila pemanasan kuat terdapat di bawah awan Cb (Cumulonimbus) pada tahap tumbuh (Cumulus Stage) didalamnya terdapat gerak udara vertical yang kuat, dan dibawah awan yang udaranya sangat lembab dapat timbul pilin udara atau angin yang berputar. Terbentuknya Cumulonimbus diawali dengan timbulnya Cumulus yang dalam garis besarnya dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap awal atau tahap muda atau disebut pula tahap kumulus, tahap kedua atau yang disebut sebagai tahap dewasa, dan tahap ketiga tahap meluruh. Pada setiap tahap awan mempunyai ciri tertentu, antara lain : pada tahap kumulus di dalam awan terdapat gerak udara keatas yang dapat mencapai kecepatan vertikal ke atas (updraft) sekitar 1 km/menit atau sekitar 60 km/jam. Jika kondisi sekitar memungkinkan dapat terjadi puting beliung. Puting beliung yang kuat berdiameter sekitar 200 meter, puting beliung biasanya tidak disertai hujan sampai ditanah, namun terkadang terjadi hujan lebat ditempat sesudah dilewati puting beliung. (Soerjadi,2010). Gambar 1. Putaran puting beliung 1.2 Convective Available Potential Energy (CAPE) CAPE digunakan untuk menandai tingkat kemungkinan terjadinya storm, mengandung pengertian bahwa apabila dalam udara yang tidak stabil suatu massa parsel terangkat ke atas, gerakannya dipercepat oleh perubahan beda tekanan udara parsel dan tekanan udara luar pada setiap paras. Makin besar perbedaan tekanan tersebut makin besar gerak ke atas sehingga potensi awan golakan makin besar. CAPE dinyatakan dalam Joule per kilogram (J/kg). -963- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 2. Profil CAPE dari plottingdata udara atas Salah satu alasan mengapa CAPE adalah suatu parameter yang berguna untuk memprediksikan suatu kondisi cuaca adalah CAPE secara langsung berhubungan dengan kecepatan maksimum potensi updraft, atau Wmax (m/s). Persamaan dibawah ini berasal dari penyederhanaan persamaan momentum vertikaldengan mengabaikan percampuran, pembebannya air dan dan efek tekanan. …………………………………………………(1) 2. METODE Penelitian ini di lakukan di Desa Kediri Lombok Barat, yang terletak pada posisi 8.65 LS dan 115.85 BT. Gambar 3. Lokasi penelitian Data yang digunakan penulis adalah: 1. Data Z dari satelit MTSAT untuk menganalisis kondisi awan. 2. Data Pengamatan Cuaca (Synoptik) dari Stasiun Klimatologi Kediri pada tanggal 25 hingga 27 februari 2013 Metode yang digunakan untuk mengkaji puting beliung ini adalah dengan metode analisis diantaranya dengan menganalisis isobar dan streamline. Penulis menggunakan peta isobar dan streamline milik BoM (Berau of Meteorology) untuk menganalisis kondisi cuaca skala regional yang berpengaruh pada tanggal 26 Februari 2013. Menganalisis output citra satelit dalam hal ini penulis menggunakan data satelit MTSAT format .Z yang didalamnya berisi data NWP (numerical weather prediction) yang kemudian ditampilkan menggunakan aplikasi SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis). Citra satelit menyediakan gambaran indikator proses-proses dinamis dan fisis, yang memberi petunjuk akan struktur dan evolusi fenomena meteorologi kondisi labilitas udara, angin lapisan atas serta kondisi perawanan. Penulis menggunakan kanal IR untuk menganalisis kondisi atmosfer pada sehari sebelum, saat kejadian, dan sehari -964- Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat) (Fauziah, A., dkk.) sesudah kejadian. Adapun output yang dipergunakan yakni data CAPE, updraft, data suhu puncak awan, serta profil udara lapisan atas dengan menggunakan aplikasi SATAID dari satelit MTSAT. 3. HASILDAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa tekanan udara pada tanggal 26 Februari 2013 menunjukan terdapat Siklon Tropis “Rusty” (957 hPa) di Perairan Barat Laut Australia serta pusat tekanan rendah (996 hPa) di Samudera Hindia Barat Daya Sumatera, dari kedua tekanan rendah tersebut terbentuklah palung tekanan rendah yang berdampak bagi tekanan udara di wilayah Indonesia selatan ekuator. Hasil analisis angin gradien tanggal 26 Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pertemuan angin/ dua massa udara dari belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan, angin bertiup dari arah Barat di sepanjang wilayah Indonesia selatan ekuator. Massa udara bergerak menuju Pusat Tekanan Rendah sehingga NTB menjadi wilayah konvergensi akibat adanya Siklon Tropis “Rusty”. Ini menyebabkan aktifnya pertumbuhan awan-awan konvektif (Cumulonimbus) di sepanjang wilayah NTB. Gambar 4. Analisa (a) isobar dan (b) streamline Berdasarkan citra kanal IR MTSAT pada pukul 05.00UTC sampai 08.00UTC terlihat pumpunan awan dari arah barat mulai masuk ke wilayah Lombok bagian barat pada pukul 06.00UTC hingga 08.00UTC. -965- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 5. Citra satelit kanal IR (a) jam 06z, (b) jam 07z, (c) jam 08z, dan (d) jam09z Berdasarkan grafik time seriessuhu puncak awan di wilayah Kediri, Lombok Barat, terlihat pola pertumbuhan awan mulai terbentuk pada pukul 00.00UTC atau jam 08.00 WITA., kemudian suhu awan mulai menurun hingga -9ºC pada pukul 09.00WITA. Penurunan suhu puncak awan terlihat sangat drastis pada pukul 14.00WITA dari 10ºC hingga mencapai -50ºC pada pukul 16.00 WITA. Pada awan konvektif dengan suhu puncak tersebut berpotensi menghasilkan badai guntur (thunderstorm), angin kencang dan hujan lebat. Gambar 6. Grafik time series suhu puncak awan Dari hasil analisa stabilitas atmosfer dari data NWP JMA terlihat pada tanggal 26 Februari 2013 nilai CAPE yang semakin meningkat pada pukul 13.00WITA hingga pukul 15.00 WITA dimana nilai CAPE mencapai 1040 Joule/Kg, hal ini menandakan terjadinya konvektif sedang. Satu hari sebelum terjadinya puting beliung di lokasi yang sama energy potensial pada awan konvektiv (Cb) juga mencapai angka >1000Joule/Kg., namun pada hari sesudah kejadian angin kencang/puting beliung nilai CAPE kurang dari 1000 Joule/Kg. -966- Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat) (Fauziah, A., dkk.) Grafik CAPE 1200 1100 CAPE (J/kg) 1000 900 800 25-Feb 700 26-Feb 600 27-Feb 500 400 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jam (UTC) Gambar 7. Grafik nilai CAPE per-jam Dari nilai Convective Aviliable Potential Energy dapat diperoleh nilai kecepatan maksimum potensi updraft (Wmax). Berikut ini adalah tabel hasil perhitungan Wmax: Tabel 1. Perhitungan Wmax Jam (UTC) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Wmax (m/s) 25-Feb 26-Feb 27-Feb 41 38 29 41 39 29 42 41 32 43 42 34 44 43 38 44 45 38 46 46 41 44 46 41 44 45 41 44 45 42 43 45 40 42 45 40 43 45 39 Dari hasil analisa grafik tersebut diatas, pada satu hari sebelum kejadian puting beliung yakni 25 Februari 2013 nilai kecepatan maximum potensi updraft menunjukkan pola yang hampir sama dengan tanggal 26 Februari 2013. Pada tanggal 26 Februari 2013 nilai Wmax mencapai 46 m/s pada pukul 14.00WITA hingga 15.00WITA. Hal tersebut mengindikasikan kuatnya potensi updraft pada saat kejadian, yang dapat memicu terjadinya angin kencang/puting beliung. -967- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Grafik Kecepatan Maximum Potensi Updraft 50 Wmax (m/s) 45 40 25-Feb 35 26-Feb 30 27-Feb 25 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Jam (UTC) 9 10 11 12 Gambar 8. Grafik kecepatan maksimum potensi updraft Berdasarkan analisis profil angin vertikal terlihat adanya perbedaan kecepatan angin dilapisan bawah dan atas, pada lapisan angin 1000 mb sebesar 10 knots sedangkan angin lapisan atas mencapai 35 knots, hal ini mengindikasikan adanya vertikal shear yang dapat menimbulkan kondisi udara yang bersifat labil,yang berpotensi menghasilkan awan konvektif Cumulonimbus. Kondisi ini terlihat sejak pukul 04.46 UTC atau pukul 12.46 WITA. Gambar 9. Profil angin vertikal Pada data pengamatan permukaan (sinoptik) tanggal 26 Februari 2013, dapat dilihat bahwa pada saat kejadian puting beliung parameter – parameter seperti kecepatan angin, keadaan cuaca, tekanan permukaan dan tekanan permukaan laut, suhu dan kelambaban serta perawanan berubah dengan cepat dibandingkan dengan saat kejadian. Arah angin cenderung tetap bertiup dari barat hingga barat daya dengan kecepatan bervariasi. Kecepatan angin meningkat sejak pukul 11 WITA dan mencapai puncak pada jam 15WITA sebesar 45 knot, namun kemudian turun kembali dengan tajam hingga mencapai 6 knot pada jam setelahnya. Keadaan cuaca cerah sejak pukul 08WITA dan turun hujan pada pukul 15WITA namun berhenti pada jam setelahnya. Kelembaban udara turun seiring meningkatnya suhu hingga pada pukul 13WITA meningkat menjadi 72% dan meningkat dengan tajam pada pukul 15WITA menjadi 93%, namun setelah itu turun kembali pada jam selanjutnya. Keadaan perawanan didominasi oleh awan Cu sejak pukul 08WITA dan pada pukul 15WITA terbentuk awan Cb dan menghilang pada jam berikutnya. -968- Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat) (Fauziah, A., dkk.) Tabel 2. Tabel pengamatan cuaca permukaan (sinoptik) Jam (UTC) Parameter ddd ff ww QFF QFE appp TT RH cloud 00 300 8 mist 1008.5 1002.5 01 280 6 mist 1008.7 1002.7 02 290 8 haze 1008.4 1002.4 28.2 81 cu/sc 29 77 cu/sc 30 73 cu/sc 03 300 14 haze 1008.4 1002.4 -0.1 30.8 69 cu 04 300 10 haze 1008.2 1002.2 05 270 12 haze 1008.3 1002.3 30.8 69 cu 31 72 cu 06 290 16 haze 1006.1 1000.1 -2.3 31.4 74 cu 07 270 45 RA 1005.6 999.6 08 270 6 re RA 1006 1000 26.2 93 cb/cu 27.8 82 cu/sc 09 290 6 haze 1006 1000 -0.1 28.2 79 cu/sc 10 270 4 haze 1007 1001 27.6 85 cu Berikut ini adalah beberapa parameter cuaca permukaan dari hasil observasi yang terlihat signifikan pada hari sebelum sesaat dan sesudah terjadinya puting beliung yang disajikan dalam bentuk grafik. Grafik Suhu Udara Permukaan 33 Suhu Udara (C) 32 31 30 29 25-Feb 28 26-Feb 27 27-Feb 26 25 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jam (WITA) Gambar 10. Grafik suhu udara permukaan Suhu udara sejak pukul 08.00 WITA sudah menunjukkan angka yang tinggi sebesar 28.20 C menunjukkan pemanasan yang tinggi dan terus meningkat hinggat mencapai suhu tertinggi pada pukul 14.00 WITA sebesar 31.40 C dan menurun dengan tajam pada pukul 15WITA menjadi 26.20 C lalu setelah itu naik kembali pada kisaran 280 C pada jam berikutnya. QFE (mb) Grafik Tekanan Udara Permukaan 1003,5 1003 1002,5 1002 1001,5 1001 1000,5 1000 999,5 999 25-Feb 26-Feb 27-Feb 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jam (WITA) Gambar 11. Grafik tekanan udara permukaan -969- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Tekanan udara cenderung stabil pada kisaran 1.002 mb dan mulai menurun pada pukul 11.00 WITA hingga turun dengan drastis pada pukul 15.00 WITA hingga 999 mb yang menujukkan adanya pusat tekanan rendah yang menjadi tempat berkumpulnya massa udara sekitar dan setelah itu naik lagi dan stabil pada kisaran 1.006 mb pada jam selanjutnya. 4. KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang dapat memicu terbentuknya fenomena puting beliung di wilayah Kediri Lombok Barat pada tanggal 26 Februari 2013, antara lain disebabkan oleh suhu permukaan yang tinggi, menunjukkan tingkat pemanasan permukaan yang tinggi pula, yang mengakibatkan udara di wilayah tersebut terpanaskan.Pusat tekanan udara yang rendah, mengakibatkan terjadinya pengumpulan massa udara di tempat tersebut.Tingkat kelabilan udara yang tinggi, mengakibatkan sedikit saja udara mendapat gangguan, maka udara tersebut akan mudah untuk terangkat.Adanya konvergensi pada angin permukaan dan lapisan atas menunjukkan adanya pertemuan massa udara di wilayah tersebut sehingga massa udara akan dipaksa naik. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Stasiun Klimatologi Kediri NTB yang telah banyak membantu dalam memberikan data dan informasi pada saat kejadian puting beliung. DAFTAR PUSTAKA Almubarak, S.P.,(2009). Kriteria Labilitas Atmosfer di Beberapa Kejadian Awan CB yang Menyebabkan Angin Puting Beliung. Tugas Akhir Diploma III di AMG. AMG. Jakarta. Handiana, D.,(2008). Analisa Labilitas Atmosfer Pada Saat Kejadian Thunderstorm yang Menyebabkan Angin Kencang di Wilayah Jakarta (Studi Kasus Tanggal 14 November 2007). Tugas Akhir Diploma III di AMG. AMG. Jakarta. Harjanto,H., (2011). Materi Kuliah Meteorologi Dinamis II, AMG. Jakarta. Harsa, H.,(2011). Pemanfaatan SATAID untuk Analisa Banjir dan Angin Puting Beliung: Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 12:2. BMKG. Jakarta. Hasan, M. F.,(2009). Analisa Labilitas Atmosfer Pada Saat Kejadian Thunderstorm yang Disertai Angin Puting Beliung di Wilayah Jakarta (Studi Kasus Tanggal 28 November 2008 dan 21 April 2009). Tugas Akhir Diploma III di AMG. AMG. Jakarta. Zakir,A., (2009). Prespektif Operasional Cuaca Tropis.BMKG.Jakarta. http://pustakacuaca.blogspot.com/search?q=puting+beliung. http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.surface.html. http://rda.ucar.edu/. http://satelit.bmkg.go.id. _____________________________________________________________________________________________ *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah DAFTAR ACARA PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016 JudulMakalah Pemakalah Diskusi : Analisis Kondisi Atmosfer pada Sebelum dan Sesaat Terjadinya Putting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 Di Kediri Lombok Barat) : Annisa Fauziah (BMKG) : Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief (LAPAN) 1. Apakah hasil penelitian Anda dapat memprediksi terjadinya putting beliung? Jika ya, berapa lama waktu prediksi tersebut dapat dikeluarkan sebelum terjadinya putting beliung? 2. Dapat Anda sebutkan parameter atau kejadian alam lain, yang dapat mendukung akurasi dari prediksi tersebut di atas? Jawaban: 1. Dari hasil penelitian kami, belum bisa memprediksi terjadinya putting beliung, mengingat putting beliung itu sendiri terjadi dalam skala luasan yang kecil (<5 km) dan waktu yang sangat singkat (durasi detik hingga menit). Penelitian kami lebih kepada analisis kejadian putting beliung sehingga kami dapat mengenali tanda-tanda awal kondisi atmosfers ebelum terjadinya putting beliung di Kediri Lombok -970- Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat) (Fauziah, A., dkk.) Barat. Dalam hal ini resolusi spasial dan temporal dari satelit yang digunakan (satelit yang kami gunakan memiliki resolusi temporal 1 jam dengan resolusi spasial 1 km) belum bisa memenuhi skala kejadian dari putting beliung itu sendiri. 2. Berdasarkan literatur yang saya baca, parameter atau kejadian alam lain dapa tdideteksi oleh radar cuaca, dengan memperhatikan pola bow echo pada radar. Sayangnya dalam penelitian ini, tahun 2013, radar cuaca di pulau Lombok belum terpasang. Penggunaan radar cuaca untuk memprediksi puting beliung Insya Allah akan kami coba pada penelitian kami selanjutnya. -971- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) Could The Tropical Cyclone Trigger Chlorophyll-a Enrichment? (Case Study: Tropical Cyclone LAM) Eko Susilo1*) dan Sri Hadianti1 1 Balai Penelitian dan Observasi Laut - KKP Jl. Baru Perancak, Negara, Jembrana, Bali, 82251 *) E-mail: [email protected] ABSTRAK - Dampak siklon tropis sangat dirasakan pada daerah pesisir dan daratan baik berupa peningkatan curah hujan, banjir hingga kerusakan infrastruktur. Namun pada wilayah perairan, siklon tropis dapat memicu peningkatan konsentrasi klorofil-a. Fenomena ini terekam jelas pasca siklon tropis LAM (TCL) yang terjadi di perairan utara Australia. pada pertengahan bulan Februari 2015. Analisis variasi suhu permukaan laut (SPL, MODIS) dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a, VIIRS) dilakukan pada lintasan siklon dan pesisir selatan Papua. Hasil analisis citra satelit menunjukkan daerah yang dilalui oleh TCL mengalami penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi Chl-a. Penurunan SPL tertinggi (2.1°C) terjadi pada area terbentuknya siklon kategori 2 dalam kurun waktu 2-3 hari pasca TCL. Sedagkan peningkatan konsentrasi Chl-a terbesar hingga 3 kali lipat terjadi pada area terbentuknya siklon dan kategori siklon 1 (1.22 mg/m3). Namun masing-masing area menunjukkan respon dan jeda waktu yang berbeda. Jeda waktu peningkatan Chl-a bervariasi dari beberapa hari di sekitar lintasan siklon hingga selang 1 minggu di selatan P. Papua pasca siklon. Perbedaan respon ini dimungkinkan berkaitan dengan fase pembentukan siklon, masukkan nutrien dari daratan, dan intensitas upwelling. Kata kunci:siklon tropis LAM, konsentrasi klorofil-a, Laut Arafura ABSTRACT -The impact of the tropical cyclones strongly face in the coastal and inland areas i.e increased rainfall, flood, and infrastructure damaged. But in the ocean, the tropical cyclones can trigger chlorophyll-a concentration enhrichment. Tropical Cyclone Lam (TCL) in 2015 passed on mid-February 2015 in Australia's Northern Territory showed this phenomenon clearly. The sea surface temperature (SST, MODIS) and chlorophyll-a concentration (Chl-a, VIIRS) analysis were done in the TCL footprint and the coastal area southernpart of Papua. The satellite imagery showing the SST decreased and Chl-a increased along the TCL footprint. The highest SST decrease occured in the area of TCL category 2 within 2-3 days. The Chl-a concentration increase up to 3-times occured in the area of initial emergence of TCL and category 1 (1:22 mg / m3). However, each area has different response and time-lag. Variying from a few days around the TCL foorprint up to 1 week in the southernpart Papua. This variation due to the phase formation of the cyclone itself, the nutrients run-off from the inland, and the upwelling intensity. Keywords: tropical cyclone LAM, chlorophyll-a concentration, Arafura Sea 1. PENDAHULUAN Siklon tropis merupakan bentuk gangguan cuaca ekstrim yang diawali oleh munculnya pusat tekanan rendah di atas lautan. Proses ini selanjutnya dapat memicu terjadinya proses konveksi dan pembentukan awan secara intensif. Ciri utama siklon tropis berupa peningkatan intensitas curah hujan dan angin kencang yang bersifat merusak (destruktif). Walaupun Indonesia bukan merupakan daerah pembentukan siklon tropis, kondisi cuaca Indonesia sering mendapatkan imbas dari kejadian siklon tropis. Kejadian siklon tropis 17S, Ivan, dan Hondo pada tahun 2008 telah memicu terjadinya gelombang tinggi dan angin kencang (puting beliung) di sepanjang Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (Suryantoro, 2008). Dampak curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan akibat dari ekor siklon atau pemencaran awan pada tahap pembentukan siklon. Intensitas hujan berbanding lurus dengan kekuatan siklon tropis (Widiani, 2012).Siklon tropis juga dapat mempengaruhi kondisi cuaca baik pada area yang menjadi lintasan siklon maupun daerah di sekitarnya (Haryani dan Zubaidah, 2012). Namun demikian siklon tropis yang terjadi di perairan pesisir atau laut lepas memungkinkan terbentuknya daerah yang subur. Siklon tropis Kai-Tak yang terjadi pada tahun 2000 menyebabkan peningkatan konsentrasi klorofil-a hingga 30 kali lipat (Lin dkk, 2003). Peningkatan konsentrasi klorofil-a dapat terjadi -972- Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.) baik pada daerah pesisir maupun di sepanjang lintasan siklon. Umumnya peningkatan kesuburan di pesisir lebih tinggi di bandingkan di lepas pantai. Siklon Nuri mendorong peningkatan kesuburan perairan di wilayah pesisir (konsentrasi klorofil-a >1.5 mg/m3) dan di perairan lepas pantai (konsentrasi klorofil-a >0.5 mg/m3) (Zhao dkk, 2009). Siklon tropis tidak hanya menyebabkan perubahan kesuburan permukaan, tetapi juga pada lapisan termoklin. Pasca siklon Ivan tahun 2004, teridentifikasi adanya masssa air dingin (penurunan suhu sebesar 3–7°C) dan perubahan lapisan isothemal (50 – 65 m) di Teluk Meksiko (Walker, dkk, 2005). Hal yang sama terjadi pasca siklon Nuri tahun 2000. Peningkatan konsentrasi klorofil-a hingga 5 kali lebih tinggi dari tingkat normal terukur pada kedalaman 50 meter. Durasi kesuburan perairan di lapisan sub-surface lebih lama dibandingkan pada lapisan permukaan. Peningkatan klorofil-a terjadi pada hari ke-2 dan berlangsung hingga satu minggu, sedangkan pada lapisan sub-layer bisa berlangsung hingga tiga minggu (Ye dkk, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi perairan Laut Arafura dan sekitarnya pasca terjadinya siklon tropis LAM. Siklon tropis yang terjadi pada pertengahan Februari 2015 ini tercatat sebagai yang terkuat sejak kejadian siklon tropis Monica tahun 2006 yang melanda wilayah laut Australia bagian Utara. Biro Meteorologi Australia (BOM) menetapkan kejadian siklon tropis LAMdalam kategori 4 atau kategori 2 (skala US Saffir-Simpson). Siklon tropis LAM mencapai kecepatan angin maksimum sekitar 185 km/jam. Intensitas hujan meningkat cukup tinggi hingga mencapai 110–260 mm.Selam kurun waktu 11 hari sejak terbentuknya siklon, Biro Meteorologi Australia secara reguler telah mengeluarkan sejumlah data prediksi, peringatan cuaca, dan peringatan banjir (BOM, 2015). Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan siklon tropis LAM mengakibatkan hujan intensitas sedang – lebat di wilayah Maluku Selatan dan gelombang tinggi (~2 meter) di perairan Kepuluan Aru dan selatan Papua. 2. METODE 2.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di sepanjang lintasan siklon tropis LAM (selanjutnya disingkat TCL) dan perairan Laut Arafura (Gambar 1). Analisis pengaruh siklon tropis terhadap kondisi perairan dilakukan pada 3 area utama sepanjang lintasan TCL yaitu daerah awal munculnya siklon (A1), daerah awal siklon kategori 1 (A2), dan daerah siklon kategori 2 (A3).Selain itu analisis perubahan kondisi osenografi juga dilakukan di area yang dimungkinkan terkena dampak TCL yaitu di perairanLaut Arafura selatan Pulau Papua (A4). Gambar 1. Lintasandan karakteristik siklon tropis LAM (TCL). Kecepatan angin dalam satuan knot (1 knot = 0,514 m/s) dan waktu dalam Coordinated Universal Time (UTC). 2.2. Data Siklon Tropis LAM Data lintasan TCLyang digunakan pada penelitian ini bersumber dari Joint Typhoon Warning Center (JTWC). Informasi perkembangan siklon diperbaharui setiap 6 jam yang meliputi posisi, kecepatan angin, dan kategori siklon. Kategorisasi siklon yang digunakan dalam pembahasan selanjutnya didasarkan pada skala US Saffir-Simpson. Data ini dapat diakses melalui layanan website Unisys Weather (http://weather.unisys.com/hurricane/s_pacific/2015/). -973- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 2.3. Data Satelit Analisis perubahan kondisi meteorologi dan oseanogrfi baik sebelum dan sesudah terjadinya TCL dilalukan berdasarkan data pencitraan satelit. Adapun parameter yang diamati meliputi arah dan kecepatan angin, SPL, dan konsentrasi Chl-a. Data angin diperoleh dari sensor Advanced Scatterometer (ASCAT) pada satelit METOP. Data yangdiukur pada ketinggian 10 meter dari permukaan laut ini memiliki resolusi grid sebesar 0.25° x 0.25°. Data tersebut diperoleh secara online melalui website ERDDAP server (http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/) dalam format ncdf. Selanjutnya nilai kecepatan dan arah angin dihitung menggunakan persamaan berikut: = + = 90 − ..................................................................................................................................... (1) ∗ 2 ......................................................................................................... (2) Sebaran spasial dan variasi temporal SPL dan konsetrasi Chl-a berdasarkan rerata 5 harian. Hal ini dilakukan karena data harian SPL dan konsentrasi Chl-a tidak tersedia akibat tingginya tutupan awan pada area lintasan siklon. Nilai SPL merupakan komposit sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) pada satelit Aqua/Terra dan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) pada satelit Metop-A/Metop-B. Sedangkan konsentrasi Chl-a merupakan hasil perekamana sensor Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) pada satelit Suomi-NPP. Keduanya memiliki resolusi spasial 0.02° x 0.02° dan dapat diperoleh secara online melalui website INDESO (http://www.indeso.web.id/) dalam format ncdf. Pengguna diharuskan melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum dapat mengakses data tersebut. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Variasi Arah dan Kcepatan Angin Kecepatan angin maksimum mencapai 185 km/jam dengan pergerakan angin secara umum mengikuti arah jarum jam (clockwise). Sebaran spasial dan variasi temporal kecepatan angindari sensor ASCAT(Gambar 2)memperlihatkan proses terbentuknya TCL hingga memasuki daratan. TCL mulai terbentuk pada tanggal 15 Februari 2015 di sebelah barat Weipa. Peningkatan kecepatan angin terjadi di perairan sekitarnya seperti Laut Arafura, selatan Papua dan Teluk Carpentaria yang mencapai kisaran 11-15 m/s. Sedangkan pada area pusat siklon kecepatan angin relatif rendah (< 3 m/s). Pada umumnya kecepatan angin yang tinggi justru terjadi pada area yang berjarak 20-30 mil dari pusat siklon. Laporan Badan Meteorologi Australia menyebutkan perkembangan TCL semakin intensif dan bergerak menuju ke arah barat (Tanjung Cape York)dengan cepat. Namun sayang pada tanggal 16 Februari 2016, sensor ASCAT tidak merekam kondisi terkini di pusat siklon.Selang sehari (17 Februari 2015) pusat TCLbergerak ke arah barat dengan kecepatan angin mencapai kisaran 15-20 m/s di sekitar pusat siklon. Dare dan McBride (2003) menyebutkan batasan kecepatan angin 17 m/s merupakan ambang batas terjadinya siklon tropis. Pada hari yang sama Badan Meteorologi Australia menetapkanTCLmasuk dalam kategori 2 (skala Australia).Selanjutnya pada tanggal 18 Februari 2015 siklon memasuki perairan Tanjung Cape York dengan kecepatan angin mencapai 20-25 m/s dan ditetapkan dalam kategori 1. Kondisi yang sama juga terekam di perairan Teluk Carpentaria dan Laut Arafura. Kecepatan angin di kedua perairan ini relatif tinggi mencapai kisaran 11-15 m/s.TCL bergerak menuju wilayah pesisir dan mulai memasuki daratan pada tanggal 19 Februari 2015.Walaupun sudah memasuki wilayah daratan, namun kecepatan angin di perairan masih terlihat cukup tinggi, khususnya pada area lintasan siklon dan di perairan selatan Papua.Kecepatan angin mulai menurun pada kisaran 7-9 m/s pada tanggal 20 Februari 2015. -974- Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.) Gambar 2. Sebaran Spasial Harian Kecepatan Angindari Sensor Advanced Scatterometer – METOP 3.2. Respon Suhu Permukaan Laut Sebaran spasial dan variasi temporal SPL memperlihatkan perubahan kondisi perairan sebelum terjadinya siklon hingga TCLmemasuki daratan (Gambar 3). Suhu perairan yang hangat menjadi salah satu faktor yang memicu terbentuknya siklon. Pada daerah lintang 35°, umumnya pembentukan siklon terjadi pada suhu >26.5˚C (Dare dan McBride, 2003). SPL di perairan Laut Arafura dan sekitarnya relatif tinggi pada kisaran 29-30°C dengan nilai rata-rata sebesar 29.7°C sebelum terbentuknya TCL (Gambar 3a-c).Kondisi ini relatif sama dengan rerata klimatologis bulan Februari selama kurun waktu 12 tahun (2003-2014). Suhu perairan yang panas di perairan Teluk Carpentaria dan sekitarnya ini menyebabkan terbentuknya pusat tekanan rendah yang memicu terjadinya TCL. Selama terjadinya siklon, terlihat tutupan awan yang sangat tebal di sepanjang lintasan TCL (Gambar 3d-f). SPL di Teluk Carpentaria maupun Laut Arafura cenderung hangat (>28°C). Walaupun demikian SPL cenderung lebih tinggi dan terlihat konstan (29-30°C) pada beberapa daerah tertentu. Sedangkan massa air dingin mulai terlihat di sepanjang lintasan siklon (Gambar 3h-i). Analisis time seriesSPL pra dan pasca TCL pada masing-masing area (A1, A2, A3, dan A4) diperlihatan pada Gambar 5a. Penurunan SPL terlihat pertama kali pada A1 yang merupakan titik awal pembentukan siklon. SPL mengalami penurunan secara signifikan sebesar 0.5°C. SPL menunjukkan tren penurunan walapun sedikit mengalami peningkatan pada fase awal pembentukan siklon. Seiring dengan perkembangan siklon SPL secara berangsur-angsur mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah 28.6°C.Kemunculan massa air dingin initetap bertahan hingga 1 minggu pasca siklon melintas di A1. Kondisi yang sama juga terekam pada A2 dan A3. Sebelum TCL melintas, kondisi SPL di kedua area ini cenderung lebih hangat dibandingkan A1. Namun penurunan SPL di kedua area ini lebih tajam dibandingkan pada A1, masing-masing sebesar 1.4°C dan 2.1°C. Namun demikian respon waktu penurunan SPL terhadap waktu lintas siklon cenderung lebih singkat. Durasi waktu keberadaan massa air dingin di permukaan laut juga tidak bertahan lama. Kondisi perairan berangsur-angsur kembali memanas selang 2-3 hari pasca siklon melintas. Umumnya perairan akan memberikan respon penurunan SPL secara cepat. Nilai minumum SPL terjadi 2-3 hari pasca siklon. Selanjutnya akan kembali normal setelah 20 hari pasca siklon. Respon ini cenderung lebih tinggi pada area pembentukan siklon hingga siklon kategori 2 (Lloyd dan Vecchi, 2011). -975- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Area A4 memiliki pola penurunan SPL yang berbeda dibandingkan ketiga area pada lintasan siklon. Sebaran spasial SPL di area ini memberikan respon yang berbeda. SPL di bagian timur(selatan Merauke) cenderung lebih panas dibandingkan di sebelah barat (selatan Pulau Yos Sudarso). Namun secara umum, suhu perairan selatan Papua cenderung hangat pada pada kisaran SPL antara 28.5-29°C selama berlangsungnya TCL.Kondisi ini berberlangsung cukup lama (~1 minggu). Tingginya SPL di wilayah ini dimungkinkan karena proses downwelling. Angin yang betiup ke arah timur di sepanjang pesisir Papua menyebabkan massa air di sepanjang pesisir terdorong ke lapisan dalam. Pergerakan ini menyebabkan massa air hangat yang berada di laut lepas mengisi ruang kosong di wilayah pesisir. Pergerakan ini iikuti oleh pergerakan massa air dingin dari A1 dan A2 yang bergerak ke arah Utara memasuki perairan Laut Arafura. Sedangkan di perairan sekitar Pulau Yos Sudarso berlaku sebaliknya. Pasca terjadinya TCL(2-3 hari) terjadi penurunan SPL yang signifikan hingga mencapai 1.3°C pada A4 bagian barat. Namun hal ini tidak mutlak karena variasi nilai SPL. Tutupan awan yang tinggi pada area ini menyebabkan kenampakaan massa air hangat di selatan Papuatidak dapat direkam oleh sensor satelit. 3.3. Respon Kesuburan Perairan Peningkatan konsentrasi Chl-a sangat erat kaitannya dengan proses pencampuran vertikal dan upwelling di sepanjang lintasan TCL. Menurut Wang dkk, (2009), siklon tropis dapat memicu terbentuknya eddie dan proses upwelling yang akan membawa unsur-unsur nutrien dari lapisan dalam ke permukaan laut (zona eufotik). Kondisi perairan yang subur dapat menyebabkan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi. Hasil analisis sebaran spasial dan variasi temporal konsentrasi Chl-a pra dan pasca terjadinya siklon LAM mengindikasikan adanya peningkatan kesuburan yang dicirikan tingginya konsentrasi Chl-a (Gambar 4). Sebelum terjadinya TCL, terekam konsentrasi Chl-a yang cukup tinggi (1-1.5 mg/m3) di selatan Pulau Papua (10-10.5°S) yang membentang hingga ~450 km (136-140°E) (Gambar 4a-b). Seiring dengan terbentuknya TCL, tingkat tutupan awan yang sangat tinggi menyebabkan data konsentrasi Chl-a tidak dapat terekam oleh sensor satelit (Gambar 4c-e). Sensor VIIRS kembali memberikan gambaran tentang konsentrasi Chl-a selang 4 hari setelah TCL melintas di A1 dan A2 (Gambar 4f-g). Nampak dengan jelas terjadinya peningkatan kesuburan perairan di sepanjang lintasan TCL. Kondisi kesuburan perairan di A1 dan A2 dapat dikatakan rendah sebelum terjadinya siklon. Peningkatan konsentrasi Chl-a terjadi pasca melintasnya TCL (20 Februari) dan terus bertambah subur sampai dengan 2 hari setelahnya. Kesuburan perairan di area A1 dan A2 mengalami peningkatan hingga 3 kali lipat. Konsentrasi Chl-a pada A1 sebelum dan pasca siklon secara berurutan sebesar 0.44 mg/m3 dan 1.22 mg/m3. Sedangkan pada A2 sebesar 0.38 mg/m3(pra siklon) dan 1.22 mg/m3 (pasca siklon).Kesuburan perairan kembali mengalami penurunan setelah ~1 minggu pasca siklon melintas di A1 dan A2.Penurunan ini dimungkinkan karena proses rantai makanan yangterjadi di perairan dan adanya pergerakan massa air ke arah utara menuju ke Laut Arafura (selatan Pulau Yos Sudarso). Peningkatan kesuburan pada masing-masing area bervariasi dengan durasi yang berbeda-beda (Gambar 5b). Pola peningkatan konsentrasi Chl-a di A1, A2, dan A3 relatif sama. Namun tingkat kesuburan pada A3, baik pra maupun pasca sikon cenderung lebih tinggi dibandingkan A1 dan A2. Konsentrasi Chl-a pra dan pasca siklon secara berurutan sebesar 0.86 mg/m3 dan 1.93 mg/m3. Perbedaan ini diduga karena adanya masukkan nutrien yang melimpah dari daratan melalui sungai-sungai yang bermuara di pesisir. Mengingat posisi A3 meupakan wilayah pesisir dan menjadi lokasi terbentuknya siklon kategori 2 sebelum akhirnya masuk ke daratan. Aliran air dari daratan membawa material terlarut (river discharge) yang dimungkinkan juga terdeteksi oleh sensor MODIS sebagai klorofil-a. Jeda waktu peningkatan konsetrasi Chl-a pada A3 mencapai 2 hari pasca TCL melintas di lokasi tersebut. Selama kurun waktu ini terjadi peningkatan konsentrasi Chl-a hingga 2 kali lipat. Daerah pesisir selatan Pulau Papua (A4) dikenal memiliki tingkat kesuburan tinggi sepanjang tahun. Respon kesuburan perairan terhadap kejadian TCL berlangsung lebih cepat dan dalam waktu yang singkat. Sebelum TCL melintas di perairan selatan A4 kesuburan perairan cenderung mengalami sedikit penurunan. Pada fase awal pembentukan siklon tropis, daerah ini secara spontan memberikan respon berupa peningkatan kesuburan perairan walaupun tidak terlalu signifikan. Tingkat kesuburan selama terjadinya siklon cenderung stabil pada kisaran 2.7-2.8 mg/m3. Pada mulanya peningkatan konsentrasi Chl-a ini sudah terlihat sejak tanggal 20 Februari 2015 (5 hari pasca TCL). Berdasarkan sebaran spasial konsentrasi Chl-a menunjukkan tingginya konsentrasi Chl-a pasca kejadian siklon tropis di A4 berasal dari massa air subur pada A1 dan A2 yang bergerak ke arah Utara (Gambar 4h-i). -976- Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.) a 2015-02-08 b c 2015-02-11 2015-02-13 e f 2015-02-15 2015-02-18 2015-02-20 g h i d 2015-02-22 2015-02-25 2015-02-27 Gambar 3. Sebaran Spasial Suhu Permukaan Laut (SPL) Pra dan Pasca Siklon Tropis LAM -977- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 a 2015-02-08 b c 2015-02-11 2015-02-13 2015-02-15 e f 2015-02-15 2015-02-18 2015-02-20 g h i 2015-02-25 2015-02-27 d 2015-02-22 Gambar 4. Sebaran Spasial Konsentrasi Klorofil-a (Chl-a) Pra dan Pasca Siklon Tropis LAM (a) (b) Gambar 5.Variasi Kondisi Oseanografi di Lintasan Siklon Tropis LAM. (a) Suhu Permukaan Laut (SPL), dan (b) Konsentrasi Klorofil-a (Chl-a) Variasi kondisi oseanografi ini mencerminkan pengaruh kekuatan siklon terhadap tingkat penurunan SPL dan peningkatan Chl-a. Menurut Zhao dkk, (2008) intensitas dan radius siklon tropis akan berpengaruh -978- Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.) terhadap tingkat penurunan SPL, luasan area massa air dingin, dan durasi waktu perubahan SPL. Semakin tinggi intensitas siklon akan menghasilkan pergerakan angin yang intensif yang dapat mendorong terjadinya pangadukan vertikal (vertical mixing) dan upwelling. Proses ini biasanya dicirikan oleh kenampakan massa air yang bersuhu dingin. Pada A2 merupakan lintasan siklon kategori 1, dimana energi dan kekuatan siklon lebih kuat dibandingkan A1. Kecepatan angin yang tinggi menyebabkan proses upwelling berlangsung seketik, namun tidak berlangsung lama. Merujuk pada (Lloyd dan Vecchi, 2011), area pembentukan siklon hingga siklon kategori 2 akan memberikan respon SPL paling besar dibandingkan daerah lainnya. Karakteristik perairan serupa pernah teramati pada saat terjadi siklon tropis Kai-Tak. Sikon kategori 2 ini berlangsung cukup singkat dan mengakibatkan penurunan SPL hingga 9°C di bagian pusatnya (Lin dkk, 2003). Proses pencampuran vertikal dan upwelling di sepanjang lintasan TCL akan memicu terjadinya peningkatan kesuburan perairan. Terbentuknya eddie dan proses upwelling akan membawa unsur-unsur nutrien dari lapisan dalam ke permukaan laut (zona eufotik) (Wang dkk, 2009). Kondisi perairan yang subur dapat menyebabkan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi yang terekam oleh sensor satelit sebagai klorofila. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa siklon tropis Morakot (kategori 2) secara signifikan mempengaruhi kondisi hidrografi di perairan. Proses upwelling teridentifikasi selang 3 hari pasca siklon melintas melalui T-S Diagram. SPL mengalami penurunan secara dramatis hingga mencapai nilai terendah sebesar 22.9°C. Penurunan SPL tersebut dibarengi dengan peningkatan salinitas hingga mencapai kisaran 3434.5 ppm. Lapisan termoklin juga terangkat mendekati kedalaman 10 meter (Chung, dkk, 2012). Demikian pula yang terjadi pasca siklon Ivan tahun 2004 di Teluk Meksiko. Siklon tidak hanya mempengaruhi perubahan lapisan permukaan. Perairan mengalami penurunan suhu sebesar 3–7°C dan perubahan lapisan isothemal (50 – 65 m) (Walker, dkk, 2005). Durasi kesuburan perairan di lapisan sub-surface lebih lama dibandingkan pada lapisan permukaan, bahkan berlangsung hingga tiga minggu (Ye dkk, 2013). Demikian pula yang terjadi pasca siklon Ivan tahun 2004 di Teluk Meksiko. Perairan mengalami penurunan suhu sebesar 3–7°C dan perubahan lapisan isothemal (50 – 65 m) (Walker, dkk, 2005). Namun dalam penelitian ini tidak tersedia data pengukuran lapangan yang dapat menggambarkan perubahan kondisi oseanografi vertikalnya. 4. KESIMPULAN Pasca terjadinya siklon tropis LAM pada pertengahan bulan Februari 2015 memicu terjadinya peningkatan konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Arafura dan sekitarnya. Analisis citra satelit menunjukkan daerah yang dilalui oleh TCL mengalami penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi Chl-a. Penurunan SPL tertinggi terjadi pada area A3 yang merupakan lokasi terbentuknya siklon dewasa 2-3 hari pasca TCL. Peningkatan konsentrasi Chl-a terbesar hingga 3 kali lipat terjadi pada A1 dan A2 (1.22 mg/m3). Namun masing-masing area menunjukkan respon dan jeda waktu yang berbeda. Perbedaan respon ini dimungkinkan berkaitan dengan fase pembentukan siklon, masukkan nutrien dari daratan, dan upwelling.Hasil kajian ini akan lebih komprehensif apabila didukung oleh ketersediaan data pengukuranlapangan untuk memastikanterjadinya perubahan kondisi oseanografi baik pada lintasan siklon maupun perairan sekitarnya. 5. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada NOAA-ERDAPP dan INDESO yang telah menyediakan dan memberikan akses data citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada segenap dewan penyunting, editor, redaktur, dan panitia penyelanggara Seminar Nasional Penginderaan Jauh tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA BOM. (2015). Severe tropical cyclone LAM northern territory regional office. Bureau of Meteorology, diunduh 8 April 2015 dari http://www.bom.gov.au/announcements/sevwx/nt/nttc20150217.shtml Chung, C.C., Gong, G.C., dan Hung, C.C., (2012). Effect of Typhoon Morakot on microphytoplankton population dynamics in the subtropical Northwest Pacific. Mar Ecol Prog Ser, 448:39-49.http://dx.doi.org/10.3354/meps09490 Dare, R., dan Mcbride, J.L., (2011). The threshold sea surface temperature condition for tropical cyclogenesis. Journal of Climate, 24(17):4570-4576. http://dx.doi.org/10.1175/JCLI-D-10-05006.1 Haryani, N.S., dan Zubaidah, A. (2012). Dinamika siklon tropis di Asia Tenggara menggunakan data penginderaan jauh. Widya, 29(324):54-58. INDESO. (2015). Product user manual - SST and Chl-a composite satellite observations. diunduh 8 April 2015 dari http://www.indeso.web.id/announcements/sevwx/nt/nttc20150217.shtml -979- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Lloyd, I..D., dan Vecchi, G.A., (2011). Observational Evidence for Oceanic Controls on Hurricane Intensity. Journal of Climate, 24(4):1138-1153, http://dx.doi.org/10.1175/2010JCLI3763.1 Suryantoro, A. (2008). Siklon tropis di selatan dan barat daya Indonesia dari pemantauan satelit TRMM dan kemungkinan kaitannya dengan gelombang tinggi dan puting beliung. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, 3(1):21-32. Walker, N.D., Leben, R.R., dan Shreekanth, B. (2005). Hurricane-forced upwelling and chlorophyll a enhancement within cold-core cyclones in the Gulf of Mexico. Geophys. Res. Lett., 32(18):1944-8007, http://dx.doi.org/10.1029/2005GL023716. Wang, G., Ling, Z., dan Wang, C. (2009). Influence of tropical cyclones on seasonal ocean circulation in the South China Sea. Journal of Geophysical Research, 114:1-9. Widiani, N. (2012). Identifikasi kejadian siklon tropis di perairan sekitar Indonesia dari observasi satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) dan kaitannya dengan curah hujan. (Departemen Geofisika dan Meteorologi Skripsi), IPB (Bogor Agricultural University), Bogor. Ye, H.J., Sui, Y., Tang, D.L., dan Afanasyev, Y.D., (2013). A subsurface chlorophyll a bloom induced by typhoon in the South China Sea. Journal of Marine Systems, 128:138–145.http://dx.doi.org/10.1016/j.jmarsys.2013.04.010. Zhao, H., Tang, D.L., dan Wang, D. (2009). Phytoplankton blooms near the Pearl River Estuary induced by Typhoon Nuri. Journal of Geophysical Research, 114:1-9. http://dx.doi.org/10.1029/2009JC005384. Zhao, H., Tang, D. L., dan Wang, Y. (2008). Comparison of phytoplankton blooms triggered by two typhoons with different intensities and translation speeds in the South China Sea. Mar. Ecol. Prog. Ser., 365:57– 65.http://dx.doi.org/10.3354/meps07488. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Syarif Budhiman : Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) : Eko Susilo (KKP) : Pertanyaan: Nanda Muhadi (STMKG) 1. Bagaimana penjelasan fisis siklon tropis? Pertanyaan: Bambang S. Tedjasukmana 2. Apakah penelitian ini akan berkelanjutan ? Jawaban : 1. Faktor yang memicu siklon memang perbedaan suhu perairan di area siklon yang relative hangat sehingga pasca terjadinya siklon memang terjadi penurunan. 2. Ya, penelitian ini akan berkelanjutan dan mendapatkan hasil yang bermanfaat. -980- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2 Thermal Fronts on Southwest Monsoon Season on 2015 in the Savu Sea Based on Satellite Imagery Aqua - Terra Modis Level 2 Rizki Hanintyo1*), Fikrul Islamy1, Sri Hadianti1, Aldino Jusach1 , dan R.M. Putra Mahardhika1 1 Balai Penelitian dan Observasi Laut, Kementrian Kelautan & Perikanan *) E-mail: [email protected] ABSTRAK- Suhu permukaaan laut merupakan salah satu parameter perairan yang dapat digunakan untuk identifikasi berbagai macam fenomena laut. Thermal front yaitu pertemuan dua massa air yang mempunyai perbedaan suhu yang ekstrim. Laut Sawu sebagai salah satu laut dengan produktifitas perairan yang tinggi sering menunjukkan aktifitas thermal front. Thermal front dideteksi dengan menggunakan analisis algoritma Single Edge Image Detection (SIED) dari Cayula Cornillon. Kajian dilakukan selama musim timur, yaitu bulan Juni hingga Agustus 2015. Hasil analisis data suhu yang dilakukan menghasilkan sebaran suhu dan front yang berbeda pada setiap bulannya. Kemunculan kejadian front terbanyak yaitu terjadi pada bulan Agustus, dengan sebaran suhu yang terlihat mempunyai kombinasi signifikan. Berdasarkan sebaran dan pencampuran suhu yang terjadi serta jumlah kejadian front yang berlangsung mengindikasikan terjadinya proses upwelling. Upwelling akan mengangkat zat hara ke permukaan sehingga akan meningkatkan produktivitas primer perairan. Kata kunci: Thermal front, Laut Sawu, Musim Timur ABSTRACT - Sea surface temperature is one of the parameters that can be used to identify a wide variety of marine phenomena. Thermal front is the meeting of two water masses that have extreme temperature differences. Savu Sea as one of the sea with high water productivity has often shown activity of thermal fronts. Thermal front detected using image analysis algorithms Single Edge Detection (SIED) of Cayula Cornillon. The study was conducted during the southwest monsoon, that is, from June to August 2015. The results of the analysis of temperature data, generate temperature distribution and the different fronts on a monthly basis. The emergence of the largest front incident that occurred in August, with a distribution that is seen to have a combination of temperature significantly. Based on the distribution and mixing temperature that occur as well as the number of events that took place front indicating an upwelling process. Upwelling will lift nutrients to the surface waters and in turn increase primary productivity. Keywords: Thermal front, Savu Sea, Southwest Monsoon 1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu perairan yang istimewa karena diapit oleh dua perairan yang luas yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang memiliki karakteristik masin-masing yang berbeda. Posisi Indonesia juga terletak di antara garis ekuator yang memiliki iklim tropis dan radiasi matahari paling banyak diserap. Selain itu juga perairan Indonesia ini sangat unik karena adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesian througflow. Ini merupakan keistimewaan sendiri karena arus laut Indonesia ini sebagai pertukaran antar samudera. Musim juga merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi parameter oseanografi di suatu perairan, dimana di Indonesia terjadi dua pola musim yaitu musim barat dan musim timur. Perubahan musim ini dapat mengakibatkan perubahan pola distribusi suhu, klorofil-a maupun salinitas (Wyrtki, 1961). SPL yang merupakan parameter oseanografi yang dapat diukur secara langsung melalui citra satelit seperti NOAA, Aqua/Terra, Landsat dan ASTER dapat digunakan sebagai indikator penentuan daerah penangkapan ikan (Hamzah, 2014). Front merupakan salah satu proses oseanografi yang berpengaruh terhadap kondisi fisika dan biologi perairan. Menurut Olson (1994) terdapat banyak variasi kemungkinan terjadinya front, yaitu thermal front, salinitas front, klorofil-a front. Front yaitu daerah pertemuan dua massa air yang memiliki karakteristik berbeda yang ditandai dengan gradient yang sangat jelas antara kedua sisi front (Arief, 2004). Thermal front adalah front yang dideteksi dari suhu permukaan laut (SPL). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran kejadian front di Laut Sawu pada musim timur 2015 yaitu bulan Juni, Juli dan Agustus. Dari hasil analisis jumlah sebaran kejadian front, diharapkan menjadi acuan -981- Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2 (Hanintyo, R., dkk.) indikasi sebaran front terbanyak, puncak upwelling dan pendugaan lokasi potensi kesuburan pada musim timur 2015. Sehingga bisa menjadi prediksi bahwa tempat tersebut mempunyai lingkungan perairan yang disukai dan cocok bagi habitat fitoplankton ataupun organisme perairan lainnya untuk dijadikan sebagai wilayah potensi penangkapan ikan. 2. METODE Data satelit yang digunakan adalah data komposit harian suhu permukaan laut dari citra satelit AquaTerra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) level 2, dengan resolusi 1 km yang dapat diakses melalui layanan website Ocean Color (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cms/) selama 3 bulan, yaitu dari Juni hingga Agustus 2015 yang termasuk pada periode musim timur. Data citra yang diunduh merupakan data dengan format .nc (netCDF) sehingga sebelum dilakukan analilis menggunakan ArcGIS, data tersebut diolah terlebih dahulu menggunakan SeaDAS. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu PC yang telah ter-install software SeaDAS 7.2, Arc-GIS 10.1, Microsoft Words, dan Microsoft Excel, dengan koneksi internet untuk proses pengunduhan data citra yang diperlukan. Citra satelit yang telah diunduh pertama kali diolah dengan menggunakan SeaDAS untuk memasukkan formula agar nilai awan yang terbaca menjadi NaN, sehingga nilai awan tidak ikut terbaca sebagai nilai suhu permukaan laut, karena citra satelit yang dihasilkan oleh satelit Aqua MODIS terkadang tertutup awan, sesuai dengan keadaan di lapangan saat satelit tersebut melintasi daerah yang diangsir. Jika proses cloud masking ini tidak dilakukan, maka data yang dihasilkan menjadi tidak relevan, karena nilai awan akan ikut terbaca, dan nilai tersebut tidak berkesesuaian dengan nilai suhu permukaan laut yang diharapkan. Berikut ini formula yang digunakan untuk menghilangkan data awan tersebut. (if qual_sst then NaN else 1) * sst ............................................................................................................. (1) Dimana: sst adalah sea surface temperature dan qual_sst merupakan kualitas dari nilai suhu permukaan laut tersebut Pengolahan di SeaDAS dilanjutkan dengan proses cropping citra sesuai dengan daerah penelitian, lalu data hasil cropping di export menjadi format image agar dapat dibaca dan diolah lebih lanjut menggunakan ArcGIS. Gambar 1. Diagram alir pengolahan citra suhu permukaan laut untuk analisis jumlah kejadian front Hasil pengolahan dari SeaDAS mengkonversi data dari netCDF menjadi data raster yang dapat dibaca dengan ArcGIS agar dapat dilakukan analisis thermal front dengan menggunakan metode Single Image Edge Detection (SIED) dari Cayula-Cornillon. Thermal front yang telah dihasilkan kemudian di jumlahkan selama kurun waktu 1 bulan untuk menghasilkan analisis kejadian thermal front dalam kurun waktu bulanan. Hasil penjumlahan akan menunjukkan berbagai variasi jumlah kejadian thermal front pada bulan tertentu. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan terhadap analisis tahunan untuk data harian Citra Satelit Aqua–Terra yang mengalami tutupan awan paling sedikit. Pemilihan Laut Sawu juga didasarkan terhadap fenomena upwelling yang cenderung terjadi pada musim timur bulan Juni, Juli dan Agustus. -982- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 2. Lokasi penelitian di perairan Laut Sawu 3. HASIL PEMBAHASAN Kejadian front yang diperoleh pada penelitian ini berbeda-beda pada setiap bulannya. Kejadian front tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2015. Trend kejadian front selama musim timur tahun 2015 menunjukkan trend positif, yaitu jumlah kejadian front semakin lama semakin banyak. Jumlah kejadian thermal front dihitung dari jumlah pixel yang terbentuk pada hasil olahan citra suhu permukaan laut. Tabel 1. Jumlah sebaran front pada musim timur Tahun 2015 di Laut Sawu (dalam sebaran pixel) Jumlah Bulan Tampalan Front Juni Juli Agustus 1 2 3 4 73279 1826 32 0 110366 2989 90 0 147051 3533 64 1 Analisis thermal front yang dilakukan tidak hanya mengenai jumlah titik front yang terbentuk secara keseluruhan, melainkan dihitung juga jumlah kejadian pada masing-masing bulan selama satu musim timur. Dalam satu musim tersebut terdapat 4 jenis kriteria tampalan front, yaitu front tunggla tanpa bertampalan, front dengan 2, 3, dan 4 tampalan. Bulan Juni mengalami jumlah kejadian front paling sedikit diantara bulan lainnya, hal tersebut dapat berkaitan dengan siklus musim timur, dimana musim timur pada bulan ini baru dimulai. Pada bulan Juli terdapat nilai jumlah tampalan yang tertinggi pada kriteria front dengan 3 tampalan, itu artinya pada bulan Juli ini lebih banyak daerah yang memiliki potensi kejadian thermal front tinggi. Sedangkan pada bulan Agustus, secara umum semua jenis tampalan thermal front memiliki nilai paling tinggi kecuali pada nilai tampalan 3, selain itu pada bulan ini merupakan satu-satunya yang terdapat jenis tampalan thermal front hingga 4 tampalan. Pada musim timur 2015 kemunculan front jika dikaji dengan pendekatan tingkat variabilitas suhu pada bulan Juni 2015, menghasilkan pola sebaran front yang cenderung sedikit dibandingkan dengan Agustus. Dilihat berdasarkan analisa visual terhadap suhu permukaan laut, pola sebaran untuk gradasi warna yang tidak kontras mengindikasikan variabilitas suhu pemicu pembentukan front dibandingkan bulan juli dan agustus. Kejadian front paling sering terjadi disekitar utara Pulau Timor dan Selatan Pulau Flores, Lembata dan Alor. Karaktersitik massa air perairan Indonesia yang umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia sehingga mengindikasikan adanya suhu hangat dari lautan Pasifik bertemu dengan suhu dingin dari lauatan Hindia. Banyaknya kejadian front dalam suatu -983- Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2 (Hanintyo, R., dkk.) perairan paling tinggi yaitu sebanyak 4 kali kejadian pada bulan Agustus, yaitu ± 31 km ke arah Tanjung Kurus, Kabupaten Kupang. Gambar 3. Peta Sebaran Kejadian Front di Laut Sawu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2015 Berdasarkan sebaran suhu yang ditampilkan pada Gambar 4., terlihat bahwa ada perbedaan sebaran yang cukup tinggi antara bulan juni hingga agustus. Saat musim timur berlangsung, suhu permukaan laut di perairan Indonesia cenderung dingin. Sedangkan karena laut sawu merupakan salah satu wilayah yang dilewati oleh lintasan Arlindo, maka dapat terlihat bahwa ada hempasan suhu yang berbeda pada lintasan Arlindo tersebut. Arlindo yang membawa masa air dari samudera pasifik membawa massa air dengan kondisi suhu yang hangat, sedangkan perairan Indonesia pada saat itu dalam kondisi dingin, sehingga terjadi pertemuan dua massa air dengan karakteristik yang berbeda. Pada bulan Juni suhu permukaan laut tidak terlalu dingin, sehingga pencampuran dengan massa air yang dibawa Arlindo tidak terlalu signifikan. -984- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Sedangkan pada bulan Agustus yang merupakan puncak dari musim timur akan memiliki suhu permukaan laut yang lebih dingin, sehingga proses pencampuran yang terjadi akan lebih maksimal, dan menghasilkan kejadian front yang cukup banyak. Arlindo masuk melalui Selat Ombai, sehingga berdasarkan visualisasi yang dihasilkan juga terlihat bahwa suhu panas dominan bergerak dari Selat Ombai hingga kebagian tengah laut Sawu, tetapi tidak mencapai Selat Sumba. Pada bulan Juli, massa air yang mengalir ke Samudera Hindia, tetapi pada bulan Agustus ada massa air yang terperangkap pada bagian selatan Pulau Flores bagian timur. hal tersebut dapat mengindikasikan terjadinya fenomena upwelling. Gambar 4. Peta Sebaran suhu permukaan laut di Laut Sawu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2015 Karaktersitik massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat suhu permukaan perairan Indonesia lebih dingin dengan salinitas yang lebih tinggi sebagai pengaruh terjadinya upwelling di beberapa daerah selama musim timur dan juga akibat dari masuknya massa air Lautan Pasifik, sedangkan pada musim barat, suhu permukaan perairan lebih hangat dengan salinitas yang lebih rendah. Selama musim timur, dibeberapa bagian dari perairan Indonesia mengalami upwelling dan percampuran massa air yang mengakibatkan -985- Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2 (Hanintyo, R., dkk.) terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat. Gordon et al. (2003) mengatakan bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui dua jalur utama, yaitu jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor. Di jalur timur massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku kemudian ke Laut Banda. Dari Laut Banda, massa air akan mengalir mengikuti dua rute, diantaranya rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia. Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi karakteristik massa air Lautan Pasifik dan sistem angin muson. Dimana pada Musim Barat (Desember – Pebruari) bertiup angin muson barat laut di bagian selatan katulistiwa dan timur laut di utara katulistiwa, sedangkan pada Musim Tmur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara di selatan katulistiwa dan barat daya di utara katulistiwa. Upwelling sendiri yaitu naiknya massa air dari bawah permukaan ke atas permukaan, yang juga kaya nutrient. Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (P max), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton. Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh perbedaan tinggi muka laut antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, yaitu permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia bagian timur, sehingga terjadi gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke Lautan Hindia (Hasanudin, 1998). Menurut Sprintall et.al. (2000) mengemukakan bahwa bahang (panas) dan massa air dengan salinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo diketahui mempengaruhi perimbangan kedua parameter di kedua samudera. Kedua parameter tersebut adalah parameter fisik seperti suhu dan salinitas. Oleh sebab itu jalur yang dilalui Arlindo merupakan perairan yang sangat unik karena Arlindo membawa karakteristik massa air yang unik karena adanya percampuran massa air dari dua samudra yang berbeda. Karakterisitik seperti suhu dan salinitas yang unik tersebut mengakibatkan daerah tersebut diperkirakan merupakan tempat yang ideal bagi organisme laut untuk hidup yang salah satunya merupakan fitoplankton dan juga ikan-ikan yang mempunyai nilai komersial yang tinggi. Dari semua kejadian thermal front tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai kesuburan perairan dari daerah sekitar terjadinya front tersebut, karena saat terjadinya pertemuan masa air yang berbeda tersebut dapat diindikasikan bahwa organisme perairan akan berkumpul pada daerah tersebut karena jumlah nutrien yang terbentuk akan lebih banyak sehingga banyak organisme yang terperangkap disana untuk mencari makan seperti yang dikemukakan oleh Arief (2004) bahwa daerah front diduga memiliki produktivitas tinggi karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan “feeding ground” bagi jenis ikan pelagis, hal ini menyebabkan daerah front menjadi daerah penangkapan yang baik untuk jenis-jenis ikan pelagis. Selain itu tinggi suhu dapat meningkatkan laju maksimum reaksi kimia, sehinnga laju fotosintesa fitoplankton ikut meningkat dengan meningkatnya suhu perairan (Tomascik et al. 1997). 4. KESIMPULAN Kejadian terbentuknya front mengalami trend yang positif selama musim timur. Hasil penjumlahan sebaran front terhadap jumlah pixel menunjukan bulan Agustus mengalami intensitas yang lebih tinggi dibandingkan bulan Juni & Juli di tahun 2015. Kejadian front paling sering terjadi disekitar utara Pulau Timor dan Selatan Pulau Flores, Lembata dan Alor. Banyaknya kejadian front dalam suatu perairan paling tinggi yaitu sebanyak 4 kali kejadian pada bulan Agustus, yaitu ± 31 km ke arah Tanjung Kurus, Kabupaten Kupang. Banyak jumlah tampalan pada bulan Agustus bisa menjadi indikasi puncak upwelling dan menjadi indikasi bulan yang paling subur pada musim timur. -986- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih diucapkan kepada pengunduh dan pengolah data citra satelit, pembahas makalah, serta pada para peneliti yang memberikan dukungannya dalam penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Arief, M., (2004). Aplikasi Data Satelit Resolusi Rendah dan SIG untuk Analisa Distribusi Spatial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) di Selat Makassar Periode: Juli – Agustus 2004. LAPAN Cullen, J.J., Lewis, M.R., Davis, C.O., dan Barber, R.T., (1992). Photosynthetic Characteristics and Estimated Growth Rates Incate Grazing is the Proximate Control of Primary Production in the Equatorial Pacific. J Geophys. Res., 97 (C1): 639 – ;654. Gordon, Arnold, R.D., Susanto, dan Vranes, K., (2003). Cool Indonesian throughflow as a consequence of restricted surface layer flow. Nature, 425:824-828. Hamzah, R., Teguh, P., dan Wawan, K.H., (2014). Identifikasi Thermal front dari data satelit Terra/Aqua MODIS menggunakan metode single image edge detection (SIED) (Studi Kasus: Perairan Utara dan Selatan Pulau Jawa). Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh. LAPAN. Hasanudin, M., (1998). Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). J. Oseana., 23(2):1 - 9. Olson, D.B., Hitchcock, G.L., Mariano, A.J., et al. (1994). Life on the Edge : Marine Life and Fronts, Oceanography, 7(2):52-60 Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A., dan Moosa, M.K., (1997). The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VIII. Periplus Editions (HK) Ltd. Wyrtki, K., (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Scientific result of Marine investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. The Univesity of California, Scripps Institution of Oceanography La Jolla, California:195pp. *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra Modis Level 2 : Rizki Hanintyo (KKP) : Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN) Bagaimana hubungan perkembangan front dengan kesuburan perairan? Apakah perkembangan kesuburan perairan waktunya bersamaan dengan pola perkembangan front, atau ada delay? Jawaban: Untuk kesuburan perairan, kami belum melakukan kajian antara front dengan kesuburan perairan (mungkin bisa di elaborasi lanjut, kesuburan perairan apakah hanya SSC, atau termasuk nutrien di dalamnya). -987- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) Identification of Cumulonimbus Cloud using Weather Radar Image on Heavy Rain in Jakarta (Case Study on April 20th 2016) Rahmatia Dewi Ariyanti1*), Dian Asmarani1, Umi Sa’adah1, dan Muclishin Pramono Guntur Waseso1,2 1 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *) E-mail: [email protected] ABSTRAK -Berdasarkan sumber berita dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi banjir di beberapa wilayah Jakarta pada tanggal 21 April 2016. Hal ini disebabkan hujan lebat sejak tanggal 20 April 2016 di beberapa wilayah Jakarta. Berdasarkan data BMKG, curah hujan di Depok tercatat 202 mm per hari dan intensitas hujan di Pasar Minggu 166 mm per hari. Hujan lebat yang terjadi diindikasikan adanya gugusan awan konvektif yakni awan Cumulonimbus (Cb). Dalam tulisan ini, akan mengkaji dan mengidentifikasi keberadaan awan Cb yang terbentuk pada kejadian tersebut.Metode yang peneliti lakukan adalah dengan menggunakan data radar cuaca Jakarta dan membuat beberapa produk yakni CMAX (Column Maximum) untuk melihat pola dan nilai maksimum reflektivitas yang mengindikasikan adanya awan Cb, CAPPI (V) untuk melihat pola pembentukan awan Cb, ETOPS dan EBASE untuk melihat tinggi puncak dan dasar awan. Hasil menunjukkan bahwa awan Cb terbentuk dalam dua periode. Periode pertama pada pukul 05.00 UTC hingga 12.00 UTC dan periode kedua pada pukul 18.40 UTC sampai 23.00 UTC. Nilai reflektivitas maksimum mencapai 59 dBz dan 47.5 dBz, dengan ketinggian 400 m hingga 10.4 km. Awan tersebut terbentuk diakibatkan adanya konvergensi. Kata kunci: Awan Cumulonimbus, Hujan Lebat ABSTRACT -Based on news from BNPB, there have been floods in several areas in Jakarta on April 21st, 2016. This was due to heavy rain since 20 April 2016 in several areas in Jakarta. Based on information from BMKG, that heavy rain reached 202 mm in Depok and 166 mm in Pasar Minggu. Heavy rain that occurred indicated the existence of a cluster of convective clouds, which is Cumulonimbus cloud (Cb). This paper examined and identified where Cumulonimbus cloud (Cb) formed on the incident. The method that used is using data from Weather Radar of Jakarta and make some products namely CMAX (Column Maximum) to see the pattern and the maximum value of reflectivity that indicate the presence of Cb clouds, CAPPI (V) to see the pattern formation of Cb clouds, ETOP and EBASE to see high cloud tops and bottoms. The results showed that Cumulonimbus clouds formed at 17:20 UTC until 22:10 UTC. The maximum reflectivity value was up to 55 DBZ with a height of 300 m to 11 km. The clouds were formed due to the existence of convergence. Keywords: Cumulonimbus Cloud, Heavy Rain. 1. PENDAHULUAN Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi banjir di beberapa wilayah Jakarta pada tangal 21 April 2016. Hal ini disebabkan hujan lebat sejak tanggal 20 April 2016 di beberapa wilayah Jakarta. Banjir tersebut mengakibatkan rumah warga terendam banjir antara 30 cm hingga 500 cm. Tidak ada korban jiwa akibat banjir tersebut, namun, sekitar 500 rumah dan jalan mengalami kerusakan ringan Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan di Depok tercatat 202 mm per hari dan intensitas hujan di Pasar Minggu 166 mm per hari. Hujan lebat yang terjadi diindikasikan adanya gugusan awan konvektif yakni awan Cumulonimbus (Cb). Seiringnya perkembangan teknologi yang semakin pesat, muncul sistem penginderaan jarak jauh seperti Radar Cuaca yang dapat memberikan informasi peringatan cuaca secara dini kepada masyarakat. Peringatan dini cuaca penting untuk meminimalisir risiko akibat bencana, dengan memanfaatkan radar cuaca diharapkan dapat menambah keakuratan informasi peringatan cuaca dini yang dibuat. -988- Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti, R.D., dkk.) Gambar 1.1 Banjir Akibat Hujan Lebat di Wilayah Jakarta (sumber: BNPB) Dalam tulisan ini kami ingin mengindentifikasi keberadaan awan Cumulonimbus dengan citra radar, yang menyebabkan hujan lebat di Jakarta tanggal 20 April 2016 dan mengakibatkan banjir dibeberapa wilayah Jakarta. Identifikasi ini dilakukan agar kedepannya BMKG dapat memberikan peringatan cuaca dini lebih akurat sehingga masyarakat dapat mengantisipasi adanya bencana. 2. METODE 2.1 Teori Penelitian 2.1.1 Awan Cumulonimbus Awan Cumulonimbus (Cb) adalah awan yang dapat menyebabkan hujan lebat, petir, dan angin kencang. Jenis awan ini terlihat gelap (warna hitam pekat dan bergumpal berbentuk bunga kol) (Zakir, dkk., 2009). Awan Cb adalah jenis awan Cumulus dengan ketebalan vertikal 2000-16000m atau setara dengan 6500-60.000ft, dan terdapat campuran kristal es di bagian atas serta tetes air dibagian bawah, karateristik ini menyebabkan turunnya hujan deras namun, setelah periode hujan deras selesai hujan gerimis masih bisa terjadi dalam waktu yang cukup lama(Rusandi, 2013). Awan ini disebabkan akibat adanya penguapan dan massa udara naik (updraft). Bila ditinjau dari arah dan kecepatan aliran vertikal siklus awan Cb, maka ada tiga tahapan-tahapan pertumbuhan awan Cb yaitu : a. Tahap Pertumbuhan (Cumulus Stage) Dalam awan terdiri dari arus naik ke atas yang kuat (Gambar 2.1). Hujan belum turun, titik-titik air maupun kristal-kristal es, masih tertahan oleh arus udara yang naik ke atas puncak awan. Gambar 2.1 Cumulus Stage (Byers,1949) b. Tahap Dewasa (Mature Stage) Titik-titik air tidak tertahan lagi oleh udara naik ke puncak awan (Gambar 2.2). Hujan turun menimbulkan gaya gesek antara arus udara naik dan turun. -989- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 2.2 Mature Stage (Byers,1949) c. Tahap Mati (Dissipating Stage) Tidak ada massa udara naik, massa udara yang turun meluas diseluruh awan(Gambar 2.3). Kondensasi berhenti, udara yang turun melemah hingga berakhirlah pertumbuhan awan Cb. Gambar 2.3 Dissipating Stage (Byers,1949) 2.1.2 Radar Cuaca Radar cuaca adalah alat bantu untuk mengamati cuaca secara khusus berupa hujan, awan, arah dan kecepatan angin dalam radius yang cukup luas hingga ratusan kilometer (tergantung panjang gelombang yang digunakan) dengan resolusi ± 300m. Output berupa gambar dapat diinterpretasikan atau dianalisis hingga menghasilkan suatu informasi yang berguna untuk pelayanan jasa meteorologi (Zakir, dkk.,2009). Terlihat pada Gambar 2.4, prinsip operasi radar sangat sederhana dan sangat mirip dengan cara yang digunakan kelelawar untuk menemukan jalan selama mereka terbang, kelelawar memancarkan suara ultrasonik pada frekuensi tertentu (120 KHz) dan mendengar gema (echo) dari suaranya. Echo inilah yang memungkinkan untuk mencari dan menghindari benda-benda di jalan mereka.Seperti halnya radar, kuat lemahnya deteksi radar terhadap suatu objek sangat bergantung pada besarnya energi yang dikembalikan oleh objek ke antena radar. Gambar 2.4 Prinsip Kerja Radar (Wardoyo, 2011) Objek dari radar cuaca adalah suatu benda yang terdapat di atmosfer, berupa awan, presipitasi, badai guntur dan lain sebagainya. Namun pada beberapa kejadian seringkali objek yang dideteksi radar cuaca bukan merupakan fenomena atmosfer, seperti: gunung, gelombang laut, bangunan tinggi bahkan pesawat. Radar memancarkan pulsa berupa gelombang elektromagnetik melalui antena dengan arah lurus dan kecepatan tetap. Setelah gelombang elektromagnetik mengenai objek, maka akan dipantulkan dan pantulan akan diterima radar. Radar akan mendeteksi keberadaan objek dan mengukur reflektifitas dari obyek tersebut, bergantung pada besaran komponen dan massa. Jarak dari target (objek) diukur berdasarkan perhitungan waktu yang ditempuh echo dari taget dan arah antena (azimuth dan elevasi) target (Gambar 2.5). -990- Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti, R.D., dkk.) Gambar 2.5 Volume Scan Radar (Basic Radar Meteorology, 2003) 2.2 Lokasi Penelitian Secara geografis, Jakarta berada pada 6°12’ Lintang Selatan dan 106°48’ Bujur Timur. Gambar 2.6 Peta Jakarta 2.3 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Data radar cuaca Jakarta tanggal 20 April 2016 b. Data synop dari www.ogimet.com tanggal 20 April 2016 Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Radar cuaca yang terletak di Stasiun Geofisika Tangerang. b. Aplikasi Edge. Aplikasi EDGE atau Enterprise Doppler Graphics Environment digunakan untuk mengolah produk radar EEC baik dengan data reflektivitas dan data velocity. -991- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Gambar 2.7 Aplikasi EDGE (Wardoyo, 2011 ) 2.4 Diagram Alir Mulai Pengumpulan data radar dan synop Validasi data synop Running data radar Hasil dan kesimpulan Selesai -992- Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti, R.D., dkk.) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Pengamatan Sinoptik Berdasarkan hasil pengamatan sinoptik beberapa sampel lokasi kejadian, menunjukkan bahwa area cakupan hujan yang cukup luas (Tabel 3.1). Terlihat dari beberapa sampel lokasi kejadian diakibatkan karena adanya kehadiran awan konvektif yakni awan Cb. Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Sinoptik Awan Tanggal Lokasi 20 April 2016 Cengkareng Kemayoran Tanjung Priok Jenis Dasar/Puncak (m) Cb Cb Sc 600/9000 510/570/- Curah Hujan (mm) 16 124 113 3.2 Hasil Pantauan Radar Cuaca Berdasarkan hasil produk radar CMAX (Column Maximum)dengan ketinggian 3 km hingga 0.3kmpada tanggal 20 April 2016,terdapat dua massa hidup awan Cb yang tumbuh secara sporadis di beberapa wilayah Jakarta. Periode pertama pada siang hari terjadi pukul 05.00 UTC hingga 12.00 UTC dan periode kedua pada dini hari terjadi pukul 18.40 UTC hingga 23.00 UTC. Nilai intensitas reflektivitas maksimum yang ditunjukkan pada periode siang hari mencapai 59 dBz dan pada periode dini hari sebesar 47.5 dBz (Gambar 3.1). Hal ini berkaitan dengan adanya besaran energi yang dipantulkan kembali dari objek yang diterimaoleh radar cuaca, terindikasikan bahwa adanya kehadiran awan Cb pada saat kejadian hujan lebat tersebut. Dari rekaman pengamatan cuaca oleh prakirawan di Indonesia, pada umumnya nilai reflektivitas sebesar 33 dBz sudah dapat dikatakan sebagai indikasi pertumbuhan awan Cb. Hal ini menunjukkan intensitas peluang adanya awan Cb pada tanggal 20 April 2016 tergolong cukup besar. Pukul 05.00 UTC Pukul 10.10 UTC Pukul 10.50 UTC Pukul 11.10 UTC -993- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pukul 12.00 UTC Pukul 18.40 UTC Pukul 21.30 UTC Pukul 23.00 UTC Gambar 3.1 Produk CMAX Tidak hanya produk CMAX yang menunjukkan adanya pembentukan awan Cb,diolah dan dianalisa dengan produk CAPPI (Z) dengan ketinggian 1 km juga menunjukkan nilai reflektivitas maksimum yang relatif sama. Di mana salah satu sampel pada tahap matang awan Cb pada siang hari terjadi pada pukul10.10 UTC sebesar 56dBz dan pada dini hari terjadi pada pukul 21.30 UTC sebesar 47 dBz (Gambar 3.2). Pukul 10.10 UTC Pukul 10.10 UTC -994- Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti, R.D., dkk.) Pukul 21.30 UTC Pukul 21.30 UTC (a) (b) Gambar 3.2 (a) Produk CAPPI (Z); (b) Produk CAPPI (V) Kemudian dianalisis dengan produk CAPPI (V), untuk meninjau pertumbuhan awan Cb periode siang hari yakni pada pukul 09.00 UTC dan pada periode dini hari pada pukul 20.20 UTC terlihat adanya pertemuan massa udara yang disebut konvergensi.Outbound (warna merah) menunjukan pergerakan massa udara menjauhi radar, sedangkan Inbound (warna hijau) menunjukkan pergerakan massa udara yang mendekati radar sehingga, terjadinya pertemuan massa udara tersebut mendukung adanya pertumbuhan awan Cb (Gambar 3.3). Pukul 09.00 UTC Pukul 20.20 UTC Gambar 3.3 Produk CAPPI (V) Kemudian meninjau salah satu sampel waktu, ketikaawan Cb pada tahap matang, diperoleh sempel waktu yang mewakili periode siang hari pada pukul 10.10 UTC sedangkan periode dini hari pada pukul 21.20 UTC produk EBASE yang menunjukkan tinggi dasar awan pada periode siang hari dan periode dini hariadalah 400 m. Produk ETOPSyang menunjukkan tinggi puncak awan pada periode siang hari adalah 10.2 km dan pada periode dini hari adalah 10.4 km (Gambar 3.4). Pukul 10.10 UTC Pukul 10.10 UTC -995- Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016 Pukul 21.30 UTC Pukul 21.30 UTC (a) (b) Gambar 3.4 (a) Produk EBASE; (b) Produk ETOPS Kemudian melihat estimasi intensitas curah hujan per hari yang diukur oleh radar cuaca dengan menggunakan produk IACM tercatat bahwa wilayah Kemayoran sebesar 75.6 mm, wilayah Cengkareng sebesar 16.5 mm, wilayah Tanjung Priok sebesar 74.3 mm, wilayah Depok sebesar 63.5 mm, dan wilayah Pasar Minggu sebesar 65.9 mm(Gambar 3.5). Terlihat adanya perbedaan antara pengukuran hasil pengamatan dengan estimasi intensitas curah hujan per hari dari radar cuaca. Hal ini disebabkan adanya faktor kelengkungan bumi terhadap beam radar cuaca, dan faktor meteorologi lainnya yang patut diperhitungkan seperti faktor angin. Gambar 3.5 Produk IACM Pukul 23.50 UTC 4. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: a. Kejadian hujan lebat pada tanggal 20 April 2016 terjadi karena awan Cumulonimbus (Cb). b. Awan Cb terbentuk diakibatkan oleh konvergensi. c. Massa hidup awan Cb terjadi pada pukul 05.00 UTC hingga 12.00 UTC, dan pada pukul 18.40 UTC hingga 23.00 UTC. d. Intensitas reflektivitas maksimum awan Cb berdasarkan produk CMAX adalah 59 dBz dan 47.5 dBz. e. Tahap matang awan Cb pada siang hari terjadi pada pukul 10.10 UTC memiliki tinggi puncak awan mencapai 10.2 km dan tinggi dasar awan 400 m dan pada dini hari pukul 21.30 UTC memiliki tinggi puncak awan 10.4 km dan tinggi dasar awan 400 m. -996- Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti, R.D., dkk.) DAFTAR PUSTAKA --------, 2003: IRIS Product & Display Manual August. Basic Radar Meteorologi, pp A-1-A-7 Byers, H.R., dan Braham, Jr., (1949.) The Thunderstorm. Supt. Of Documents, U.S. Government Printing Office, Washington, D.C., 287 pp. Nugroho, S.P., (2016) 600 KK Terdampak Banjir di Kota Bekasi. Link:http://bnpb.go.id/berita/2908/600-kk-terdampak-banjirdi-kota-bekasi. BNPB. Jakarta. Diakses pada Tanggal 26 Mei 2016 Rusandi, R., (2013) Klimatologi-paper-awan-Mekanisme-Pembentukan-Awan. Link:http//www.slideshare.net/RioRusandi92/Klimatologi-paper-awan. Universitas Riau. Riau. Diakses Pada Tanggal 15 Juni 2016. Wardoyo, E., (2011). Pengantar III Output Radar Data. Training Radar Cuaca. Bmkg Zakir, A., Khotimah, M.K, dan Sulistya, W. (2009). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. BMG. Jakarta. www.ogimet.com. (Diakses pada tanggal 16 Juni 2016). *) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah BERITA ACARA PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016 Moderator Judul Makalah Pemakalah Diskusi : Parwati : Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) : Rahmatia Dewi Ariyanti, Dian Asmarani, Umi Sa’adah, Muclishin Pramono Guntur Waseso (BMKG) : Pertanyaan: Prof. Eddy Hermawan (LAPAN): Benarkah curah hujan tinggi terjadi karena Cb single ataukah merupakan kumpulan Cb, ataukah merupakan nimbus cratus? Bisa mengecek kembali apa dikarenakan awan Cumulonimbus? Jawaban: Data yang didapat adalah 33 dbz dan kami menginterpretasikan hal tersebut sudah termasuk awan Cumulonimbus dan kami berfikir jika pada saat itu tingginya kurang dari 17 km. -997-