09_Topik-9-Aplikasi - Sinas Inderaja 2016

advertisement
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia
Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS
The Analysis of CO Vertical Profiles in Indonesia
Based on AQUA-AIRS Satellite Data
Ninong Komala1*), dan Novita Ambarsari1
1
*)
Pusat Sains danTeknologi Atmosfer - LAPAN
E-mail: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK –Telah dilakukan analisis profil vertikal CO di Indonesia berbasis data satelit AQUA-AIRS periode tahun
2003 sampai dengan tahun 2015, dengan tujuan untuk memahami karakteristik CO di Indonesia dan variasinya secara
vertikal maupun zonal dari tekanan 1000 hPa sampai 1 hPa. Karakteristik rata-rata profil vertikal CO di Indonesia
menunjukkan konsentrasi maksimum di 1000 hPa dengan konsentrasi CO ~ 0,120 ppm, konsentrasi minimum dideteksi
pada 20 hPa dengan konsentrasi 0.02 ppm dan pada ketinggian 1 hPa konsentrasi CO ~ 0,04 ppm. Variasi temporal
profil vertikal CO dari tahun 2003 sampai dengan 2015 mendeteksi adanya variasi konsentrasi CO yang mencolok
sampai ketinggian 250 hPa yang terjadi pada pada tahun 2006 dan 2015. Hasil analisis variasi musiman CO tahun 2006
dan 2015 diperoleh kemiripan pola untuk profil Desember, Januari, Februari (DJF), Maret, April, Mei (MAM) dan Juni,
Juli Agustus (JJA). Sedangkan pada profil September, Oktober, November (SON) tahun 2015 terdeteksi adanya
peningkatan konsentrasi CO yang cukup signifikan sampai ketingian 250 hPa. Prosentase kenaikan konsentrasi CO
pada tahun 2015 terhadap konsentrasi CO pada tahun 2006 berkisar antara 3 % sampai dengan 19 %. Kenaikan
konsentrasi CO tertinggi yaitu 19 % terjadi pada ketinggian 400 hPa. Pada tahun 2006 dan 2015 di Indonesia terjadi
kebakaran hutan yang cukup besar. Karena CO merupakan salah satu gas yang dikeluarkan dari peristiwa kebakaran
hutan, dari hasil penelitian dapat diinvestigasi bahwa CO hasil kebakaran hutan selain terdistribusi secara spasial bisa
juga terdistribusi secara vertikal.
Kata kunci:AQUA-AIRS, CO, Indonesia, profil vertikal
ABSTRACT - Analysis of vertical profiles of CO in Indonesia based on AQUA-AIRS satellite data in the period 2003 to
2015 has been carried out, with the aim to understand the characteristics of CO variation vertically and zonally within
pressure of 1000 hPa to 1 hPa. Characteristics of average vertical profiles of CO in Indonesia showed a maximum
concentration at 1000 hPa with ~ 0.120 ppm of CO, minimum concentration detected at 20 hPa with concentration of
0,02 ppm and at a height of 1 hPa concentration of CO was ~ 0.04 ppm. Temporal variation of CO vertical profiles
from 2003 to 2015 detects the presence of CO concentration variations are striking up to a height of 250 hPa which
occurred in 2006 and 2015. The results of the seasonal variation of CO in 2006 and 2015 obtained pattern resemblance
to the profile of December, January, February (DJF), March, April, May (MAM) and June, July August (JJA). While
the profile of September, October, November (SON) in 2015 detected an increase in the concentration of CO
significantly to the level of 250 hPa. The percentage increase in the concentration of CO in 2015 against the
concentration of CO in 2006 ranged from 3% to 19%. The highest increase in CO concentration of 19% occurred at
an altitude of 400 hPa. In 2006 and 2015 forest fires in Indonesia is quite large. Because CO is one of the gases emitted
from the fires, the results of research can be investigated that the CO result of forest fires besides spatially distributed
can also be distributed vertically
Keywords: AQUA-AIRS, CO, Indonesia, vertical profile
1.
PENDAHULUAN
Sumber utama CO berasal dari proses pembakaran tidak sempurna pada bahan bakar minyak,
pembakaran biomasa, dan proses oksidasi fotokimia pada metana dan hidrokarbon lainnya di atmosfer.
Sumber utama CO berasal dari wilayah daratan yang memiliki faktor terpenting sumber CO yaitu emisi
antropogenik dan pembakaran biomasa di musim kering/ kemarau di wilayah tropis dan pada periode hangat
di wilayah lintang tinggi (Makarova dkk, 2004). Konsentrasi tertinggi CO cenderung terjadi dekat wilayah
dengan populasi yang tinggi. Pada skala global, belahan bumi utara lebih padat penduduknya sehingga
memiliki konsentrasi CO yang lebih tinggi dibandingkan di belahan bumi selatan. Pembakaran biomassa
dan penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi karbon monoksida buatan manusia
(Pidwirny, 2006). Karbon monoksida merupakan salah satu polutan yang terdistribusi paling luas di udara.
Setiap tahun, CO dilepaskan ke udara dalam jumlah yang paling banyak diantara polutan udara yang lain. Di
-840-
Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS (Komala, N., dkk.)
daerah dengan populasi tinggi, rasio mixing CO bisa mencapai 1 hingga 10 ppmv (Coll, 2006). Oksidasi CH4
oleh OH juga merupakan sumber utama CO dan formaldehid di troposfer (Hobb, 2000). Saat ini, berbagai
instrumen yang ditempatkan pada satelit pengorbit polar untuk mengamati amosfer telah meningkatkan
kemampuan untuk mengetahui pengaruh dari aktivitas manusia maupun alam terhadap perubahan komposisi
atmosfer (Barret dkk, 2005). Berbagai teknologi pengukuran karbon monoksida berbasis penginderaan jauh
maupun pengukuran insitu menghasilkan data pengamatan yang rutin untuk mengetahui perubahan
konsentrasi CO di atmosfer secara spasial maupun temporal (Clerbaux dkk, 2008)
Pengamatan konsentrasi CO sebagai salah satu gas yang dikeluarkan dari peristiwa kebakaran hutan
penting untuk dilakukan karena emisi dari gas-gas yang dikeluarkan dari kebakaran hutan dapat juga
terdistribusi secara vertikal. Kebakaran hutan yang besar dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
kualitas udara lokal bahkan regional juga berdampak terhadap kesehatan manusia.
Indonesia merupakan wilayah tropis yang paling signifikan yang mempengaruhi variasi antar
tahunan CO di troposfer atas sedangkan Amerika dan Afrika Tengah mempunyai kontribusi yang sekunder
(Huang, L, 2014). Penelitian profil vertikal CO di Indonesia berbasis data satelit AQUA-AIRS dilakukan
dengan tujuan untuk memahami dan menganalisis karakteristik CO di atmosfer dari permukaan dan di
berbagai level ketinggian serta variasinya secara temporal.
2.
METODE
3.
HASIL PEMBAHASAN
Data yang digunakan pada penelitian inia dalah data CO (ppm) di Indonesia (12o LU – 12 o LS dan 94 o
BT-146 o BT) pada ketinggian 1000 hPa sampai dengan 1 hPa hasil observasi Atmospheric Infra Red
Sounder (AIRS) dari satelit AQUA (Ackerand,, dkk, 2007),. Data yang diperoleh merupakan data global
rata-rata bulanan dengan grid 1o lintang x 1o bujur.Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dari tahun 2002 sampai dengan Maret 2016 (http://acdisx.gsfc.nasa.gov/data/).
Metodologi penelitian dilakukan dengan mengekstraksi data CO ntuk wilayah Indonesia dari data
AQUA-AIRS global dalam format nc untuk periode 2003 sampai dengan Maret 2016. Dilakukan konversi
data dari Net CDF (Network Common Data Form) format untuk CO menggunakan HDF view dan EXCELL.
Kemudian dilakukan pengolahan data dengan membuat analisis time series variasi CO dari ketinggian 1000
hpa sampai 1 hPa, serta variasi musimannya. Dilakukan pula komparasi konsentrasi CO pada saat terjadinya
kebakaran hutan di Indonesia (tahun 2006 dan 2015).
Pada Gambar 1a, secara umum time series profil CO tahun 2002 sampai dengan Maret 2016 terhadap
ketinggian untuk Indonesia memperlihatkan distribusi CO yang dominan pada tekanan 1000 hpa dengan
konsentrasi CO mencapai 0,105 ppm sampai 0,120 ppm. Distribusi CO mencapai minimum pada tekanan 20
hPa dengan konsentrasi CO 0,017 ppm sampai 0,019 ppm. Profil CO pada tahun 2006 dan 2015 khususnya
pada bulan September, Oktober dan November memperlihatkan karakteristik profil yang berbeda dengan
profil yang lainnya. Pada tahun 2006 dan 2015, profil CO memperlihatkan konsentrasi yang tinggi sampai
dengan ketinggian 200 hPa. Konsentrasi CO yang tinggi diinvestigasi terkait dengan kejadian kebakaran
hutan yang besar di Indonesia yang terjadi pada tahun tersebut. Vertikal transport di daerah tropis
memungkinkan CO yang berasal dari emisi pembakaran biomasa untuk mengalami proses transport secara
vertikal dan horizontal (Liu, J., 2010, Pomrich dkk, 2014).
-841-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 1. (a) Grafik time series profil vertikal CO Indonesia dari 1000 hPa sampai dengan 1 hPa dan (b) ratarata profil Januari sampai dengan Desember periode tahun 2002 sampai dengan Maret 2016.
Dari Gambar 1 a terdeteksi bahwa CO dari kebakaran hutan dapat mencapai ketinggian 200 hPa dengan
konsentrasi 0.18 ppm. Pada 100 hPa dan tekanan yang lebih tinggi lagi konsentrasi CO menurun kembali.
Profil vertical CO rata-rata setiap bulan Januari sampai dengan Desember dari 2002 sampai Maret 2016
menunjukkan karakter dari 1000 hPa sampai 200 hPa lebih fluktuatif dari 0,08 sampai 0,11 ppm dan dari 100
hPa sampai 1 hPa konsentrasi CO hampir sama polanya dengan konsentrasi 0,02 sampai dengan 0,04 ppm.
(Gambar 1b).
Gambar 2. Grafik variasi musiman profil CO dari tahun 2002 sampai dengan Maret 2016 (a) untuk musim DJF, (b)
untuk MAM, (c) untuk JJA dan (d) untuk SON.
Variasi musiman profil CO untuk setiap DJF, MAM, JJA dan SON ditampilkan pada Gambar 2 a sampai
dengan Gambar 2d. Gambar 2a memperlihatkan profil CO pada DJF tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa
sampai 200 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,10 ppm, sedangkan pada DJF tahun 2003 lebih tinngodari
tahun lainnya terutama pada ketinggian 400 hPa yang mencapai 0,14 ppm. Konsentrasi CO pada DJF dari
100 hPa sampai 1 hPa setiap tahun hampir sama polanya dengan konsentrasi antara 0.02 sd 0.04 ppm.
Puncak CO di bulan Februari diperkirakan tingginya tingkat konveksi akibat puncak musim hujan yang
melanda Indonesia pada bulan Desember-Januari-Februari (Liu,2010). Pada Gambar 2b disajikan profil CO
-842-
Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS (Komala, N., dkk.)
pada MAM tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa sampai 1 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,10 ppm
dengan pola profil vertikal yang mirip setiap tahunnya. Pada Gambar 2c dapat dilihat profil CO pada JJA
tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa sampai 1 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,09 ppm dengan pola profil
vertikal yang mirip setiap tahunnya, profil CO pada JJA peak konsentrasi CO lebih kecil dari profil DJF,
MAM dan SON. Gambar 2d memperlihatkan profil CO pada SON tahun 2003 sd 2015, dari 1000 hPa
sampai 200 hPa konsentrasi CO antara 0,02 sd 0,10 ppm, kecuali SON pada tahun 2006 dan 2015 dengan
peak pada 400 hPa mencapai konsentrasi CO 0,14 ppm dan 0,18 ppm. Konsentrasi CO pada SON dari 100
hPa sampai 1 hPa setiap tahun hampir sama polanya dengan konsentrasi antara 0.02 sd 0.04 ppm. CO di
atmosfer selain mempunyai pola musiman yang jelas seperti yang dikemukakan Huang dkk., 2012, CO di
troposfer juga mempunyai variabilitas.
Komparasi profil musiman 2015 dan profil tahun 2006 terhadap profil rata-rata musiman
Profil vertikal CO rata-rata musiman dari tahun 2003 sd 2015 dan perbandingan serta deviasinya terhadap
profil rata-rata musiman di tampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. (a) Grafik variasi musiman rata-rata profil CO dari tahun 2002 sampai dengan Maret 2016. (b) Variasi
musiman tahun 2006, (c) variasi musiman tahun 2015, (d) deviasi variasi musiman 2006 dan (e) deviasi variasi
musiman 2015 terhadap variasi musiman rata-rata.
Pada Gambar 3a ditampilkan grafik variasi rata-rata musiman CO dari 1000 hPa sd 1 hPa, Pada 1000
hPa. Profil CO terdeteksi 0,02 ppm sampai dengan 0,126 ppm. Pada 100 hPa sd 200 hPa profil CO
musiman mencapai 0,04 sampai dengan 0,12 ppm. Profil CO tertinggi terdeteksi pada profil SON dan
profil CO terrendah pada profil JJA. Pada Gambar 3b ditampilkan variasi musiman CO pada tahun 2006
dengan karakter profil yang mirip dengan profil musiman rata-rata untuk profil DJF, MAM dan JJA. Profil
SON lebih tinggi dari profil CO pada SON profil rata-rata, dengan CO peak mencapai 0.14 ppm. Pada
Gambar 3c ditampilkan variasi musiman CO tahun 2015 dengan karakter profil CO untuk DJF, MAM dan
JJA yang mirip dengan profil CO rata-rata musiman dan profil CO pada SON dengan peak yang jauh lebih
tinggi yaitu 0,18 ppm. Gambar 3d memperlihatkan deviasi profil konsentrasi CO musiman tahun 2006
terhadap profil musiman rata-rata 2003 sd 2015. Pada 1000 hPa dan 925 hPa profil DJF dan MAM
mempunyai deviasi positif 0,036 sd 0,095 ppm dan dari 850 hPa sd 1 hPa deviasi negatif antara 0,04 sd 0,01
ppm. Profil JJA dari 1000 hPa sd 300 hPa mempunyai deviasi positif 0,05 ppm sd 0,15 ppm dan dari 250
hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi negatif 0,008 ppm sd 0,005 ppm. Profil SON dari 1000 hPa sd 1 hPa
mempunyai deviasi positif 0,007 sd 0,041ppm.
Gambar 3e memperlihatkan deviasi konsentrasi musiman 2015 terhadap variasi musiman rata-rata 2003
sd 2015, profil CO pada DJF dari 1000 hPa sd 850 hPa mempunyai deviasi negatif 0,08 sd 0,01 ppm, dari
700 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi positif 0,001 sd 0,002 ppm. Profil CO pada MAM dari 1000 hPa sd
400 hPa mempunyai deviasi negatif 0,004 sd 0,001 ppm dan dari 400 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi
positif 0,001 ppm. Profil CO pada JJA dari 1000 hPa sd 30 hPa mempunyai deviasi negatif 0,016 sd 0,009
-843-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
ppm dan dari 20 hPa sd 1 hPa mempunyai deviasi positif 0,008 ppm. Profil CO pada SON dari 1000 hPa sd
1 hPa mempunyai deviasi positif 0,008 sd 0,042 ppm. Nilai deviasi positif terhadap profil musiman rata-rata
mengandung arti bahwa profil musiman tahun pada2006 atau 2015 lebih besar dibanding profil musiman
rata-rata dan nilai deviasi yang negatif mempunyai arti bahwa profil pada tahun 2006 atau 2016 tersebut
lebih kecil dibanding profil musiman rata-rata.
Komparasi profil CO musiman 2015 dengan profil tahun 2006
Pada Gambar 4 disajikan komparasi profil musiman CO tahun 2015 terhadap profil CO tahun 2006
pada 1000 hPa sd 100 hPa. Pada gambar 4a dapat dilihat deviasi profil musiman CO tahun 2015 terhadap
profil musiman CO tahun 2006. Deviasi profil musiman DJF, MAM dan JJA mempunyai pola yang sama
yaitu dari 1000 hP sd 500 hPa mempunyai deviasi negatif antara 0,005 ppm sd 0,001 ppm. Pada 400 hpa sd
100 hPa profil CO pada DJF, MAM dan JJA mempunyai deviasi positif 0,001 sd 0,113 ppm. Deviasi profil
CO pada SON dari 1000 hPa sd 100 hPa mempunyai deviasi positif antara 0,004 ppm sd 0,025 ppm, deviasi
positif tertinggi terjadi pada 400 hPa dengan deviasi konsentrasi CO 0,025 ppm. Pada Gambar 4b
ditampilkan perbandingan profil CO pada SON untuk tahun 2006 dan 2015. Profil CO padaSON 2015
menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi di semua level ketinggian dibandingkan dengan profil CO pada
SON 2006.
Gambar 4. (a) Deviasi variasi CO tahun 2015 terhadap variasi tahun 2006 dan (b) CO tahun 2006 dan 2015 pada
SON.
Prosentase kenaikan konsentrasi CO pada tahun 2015 terhadap konsentrasi CO pada tahun 2006
berkisar antara 3 % sampai dengan 19 %. Kenaikan konsentrasi CO tertinggi yaitu 19 % terjadi pada
ketinggian 400 hPa.
4.
KESIMPULAN
Profil vertikal CO Indonesia mempunyai kondisi maksimum dan minimum pada ketinggian yang
berbeda. Secara umum profil CO dengan konsentrasi tertinggi di deteksi di level 1000 hPa dan minimum
pada 20 hPa. Pada kasus kejadian kebakaran hutan tahun 2006 dan 2015, konsentrasi CO maksimum
terdeteksi di 400 hPa. Vertikal transport di daerah tropis memungkinkan CO yang berasal dari emisi
pembakaran biomasa untuk mengalami proses transport secara vertikal sehingga konsentrasi CO dari level
permukaan bisa mencapai ketinggian 250 hPa. Kebakaran hutan pada tahun 2015 lebih besar dari kejadian
kebakaran hutan 2006 karena pada tahun 2015 menghasilkan konsentrasi CO yang lebih besar.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada para Ilmuwan NASA dan para PI yang telah menyediakan
data Carbon Monoksida (CO) hasil pengukuran satelit AQUA melalui fasilitas Giovanni yang dapat
digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atmospheric Infra Red Sounder Brosures, http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/AIRS/documentation/AIRS _brochure.pdf,
Ackerand, J.G., dan Leptoukh, S.G., (2007). Online Analysis Enhances Use of NASA Earth Science Data. Eos. Trans.
AGU. 88(2):14-17.
-844-
Analisis Profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS (Komala, N., dkk.)
Barret, Turquety, S., dan Hurtmans, D., (2005). Global carbon monoxide vertical distributions from spaceborne highresolution FTIR nadir measurements. Atmos. Chem. Phys., 5:2901–2914.
Clerbaux, C., George, M., dan Turquety, S., (2008). CO measurements from the ACE-FTS satellite instrument: data
analysis and validation using ground-based, airborne and spaceborne observations. Atmos. Chem. Phys., 8:2569–
2594.
Coll, Flastry, L., Fayet, S., Samaali, M., Ponche, J.L., dan Vautard, R., (2006). On The Determining Role of CO in
Local Ozone Production, J of Geophysical Reaserch, 8.
Hobbs, P., (2000). Introduction to Atmospheric Chemistry. Cambridge University Press, Cambridge,U.K.,
262 pp.
Huang, L., Fu, R., Jiang, J.H., Wright, J. S., dan Luo, M., (2012). Geographic and seasonal distributions of CO transport
pathways and their roles in determining CO centers in the upper troposphere. Atmos. Chem. Phys., 12:4683–4698,
doi:10.5194/acp-12-4683-2012.
Huang, L., Fu, R., dan Jiang, J.H.,(2014). Impacts of fire emissions and transport pathways on the interannual variation
of CO in the tropical upper troposphere. Atmos. Chem. Phys., 14:4087–4099.
Liu J., et.al., (2010). Analysis of CO in the tropical troposphere using Aura satellite data and the GEOS-Chem model:
insights into transport characteristics of the GEOS meteorological products. Atmos. Chem. Phys., 10:12207–12232.
Makarova, M.V., Poborovskii, A.V., dan Yu, M.T., (2004). Temporal Variation of Total Atmospheric CO over St
Petersburg, Izvestiya. Atmospheric and Oceanic Physics, 40(3):313-322.
Pidwirny, M., (2006). Atmospheric Composition. Fundamentals of Physical Geography, 2nd Edition.
Pommrich, R., Müller, R., Grooß, J.U., Konopka, P., Ploeger, F., Vogel, B., …, dan Riese, M., (2014). Tropical
troposphere to stratosphere transport of carbon monoxide and long-lived trace species in the Chemical Lagrangian
Model of the Stratosphere (CLaMS). Geosci. Model Dev., 7:2895–2916.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
:
: Dr. Indah Prasasti
: Analisis profil Vertikal CO di Indonesia Berbasis Data Satelit AQUA-AIRS
: Ninong Komala (LAPAN)
Pertanyaan: Dr. Indah Prasasti (LAPAN)
1. Berapa kadar CO yang membahayakan?
2. Kajian Terkait dengan profil vertikal, bagaimana dengan profil horizontal?
3. Apakah CO mempunyai dampak lingkungan seperti gas rumah kaca?
Jawaban:
1. Kadar Co yang membahayakan yaitu diatas 5 ppm
2. CO terdistribusi secara vertikal dan horizontal. Kajian secara horizontal dalam tahap penelitian dan akan
dilakukan pengkajian pada penelitian lanjutan
3. Ya, CO memiliki dampak bagi lingkungan seperti polutan dan berbahaya pada kehidupan manusia
-845-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi
Potensial Pengembangan Wisata Astronomis
Utilization of VIIRS Imagery and Spatial Analysis to Determine Potential
Site for Astronomical Tourism Development
Mousafi Dimas Afrizal1, Ruwanda Prasetya1, Febrina Ramadhani Yusuf1,
Wahyu Nurbandi1*), dan Muhammad Kamal1
1
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK-Wisata astronomis merupakan wujud pariwisata ramah lingkungan di mana langit gelap yang bebas dari
polusi cahaya menjadi sumberdaya utama. Wisata astronomis tidak dapat dilakukan di semua lokasi hanya pada lokasi
tertentu pengamatan dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi potensial untuk
pengembangan wisata astronomis di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Parameter yang digunakan yaitu polusi cahaya,
tutupan awan, penutup lahan, dan aksesibilitas. Informasi polusi cahaya dan tutupan awan diperoleh dari Citra VIIRS
(Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites. Informasi penutup lahan dan aksesilibilitas
diperoleh melalui peta Rupabumi Indonesia. Analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis berupa
overlay/tumpang-susun digunakan untuk memperoleh lokasi potensial dengan parameter penelitian sesuai kriteria yang
telah ditentutkan. Kriteria setiap parameter dalam menentukan lokasi potensial untuk wisata astronomis yaitu tingkat
polusi cahaya rendah, tutupan awan minim, dan penutup lahan berupa vegetasi atau lahan kosong. Hasil overlay berupa
peta sebaran lokasi potensial dan tidak mempertimbangkan aspek aksesibilitas. Parameter aksesibilitas diperoleh dengan
analisis buffer/keterjangkauan sejauh < 3 km dari jalan arteri atau kolektor. Hasil buffer jalan di-overlay dengan peta
potensial sehingga menghasilkan peta sebaran lokasi potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan wisata
astronomis. Uji lapangan dilakukan terhadap beberapa titik sampel untuk mengetahui kondisi di lapangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis sebagian besar di daerah
Kabupaten Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, dan Gunungkidul. Sedangkan lokasi yang potensial dan
direkomendasikan dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas sebagian besar berada di daerah Kabupaten
Gunungkidul, Wonogiri, dan Blora.
Kata kunci: wisata astronomis, citra VIIRS, analisis spasial
ABSTRACT-Astronomical tourism is an eco-friendly tourism, which light-pollution free skies become the main
resource. Astronomical tourism can not be held in every place, observation can only be held in a particular place to get
optimal results. This study aims to determine location which potential for developing astronomical tourism in Central
Java and Daerah Istimewa Yogyakarta provinces. Parameters which used are light-pollution, clouds cover, land cover,
and accessibility. Information of Light-pollution and cloud cover are obtained from VIIRS imagery (Visible Infrared
Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites, while information on land cover and accessibility are
obtained from Peta Rupabumi Indonesia. Spatial analysis by overlay with geographic information systems is used to
get the potential locations that fulfill these criteria: minimum light-pollution level, minimum cloud cover, and land
cover belongs to vegetation or bare ground. Result of overlay is the distribution of potential locations for astronomical
tourism map. Accessibility is determined by buffer analysis of street network that has to be at a distance of less than 3
kilometers from arterial and collector road. The buffer analysis result is overlaid with the potential map to get the
potential and recommended locations of the astronomical tourism map to be developed. Field work was performed at
several sample sites to know the circumstances to consider whether the location could be recommended or not. This
study results show that most of potential locations for developing astronomical tourism (without using parameter of
accessibility) are located in Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, and Gunungkidul, while most of potentially
recommended and accessible location (with parameter of accessibility) are located in Gunungkidul, Wonogiri, and
Blora.
Keywords: astronomical tourism, VIIRS imagery, spatial analysis
1.
PENDAHULUAN
Wisata astronomis didefinisikan sebagai suatu wujud pariwisata ramah lingkungan dimana langit gelap
yang bebas dari polusi cahaya menjadi sumberdaya utama (Collison & Poe, 2013). Kegiatan utama
didalamnya berupa pengamatan benda-benda luar angkasa. Pengamatan dapat dilakukan menggunakan
-846-
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D.,
dkk)
binokular, teleskop ringan, maupun dengan mata telanjang. Pengembangan wisata astronomis menjadi salah
satu upaya untuk meningkatkan perkembangan ilmu astronomi di Indonesia. Perlunya peningkatan
pendidikan astronomi dikarenakan kualitas pendidikan astronomi Indonesia yang masih rendah terbukti
dengan jumlah total publikasi ilmiah di bidang astronomi dan astrofisika dari peneliti Indonesia hanya
sebanyak 5 dokumen di tahun 2014 (SCImago Journal & Country Rank, 2015). Adanya wisata astronomis
dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas yang memberi pengalaman langsung dengan
objek yang menjadi kajian astronomi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya tarik masyarakat
terhadap bidang astronomi yang berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan di bidang astronomis dan
astrofisika.
Pengamatan benda-benda luar angkasa sangat dipengaruhi oleh kondisi lokasi pengamatan. Berbagai
sumberdaya atau syarat kondisi suatu lokasi diperlukan agar dapat melihat benda-benda luar angkasa dengan
jelas sehingga tidak semua lokasi dapat memberikan hasil yang optimal dalam pengamatan astronomis.
Lokasi yang sesuai menjadi faktor utama dalam pengamatan. Terdapat sejumlah parameter yang
mempengaruhi pemilihan lokasi untuk wisata astronomis dengan kondisi yang optimal (Jia et al., 2012).
Salah satu aspek penting yang mempengaruhi pengamatan astronomis yaitu polusi cahaya. The International
Dark-Sky Association (2009) mendefinisikan polusi cahaya sebagai berbagai perlawanan efek dari cahaya
tiruan termasuk pijaran langit (sky glow), cahaya silau (glare), berbagai penerangan (light trespass),
penurunan visibilitas di malam hari, dan limbah energi. Polusi cahaya secara umum terbagi menjadi dua
kategori yaitu secara astronomi dan ekologi. Secara astronomi polusi cahaya mencakup seberapa banyak
cahaya pancaran yang menutup kenampakan bintang di langit malam, yang menghalangi pengamatan objek
astronomis. Polusi cahaya secara ekologi biasanya merujuk pada dampak keberadaan cahaya yang terlalu
banyak terhadap kondisi lingkungan termasuk manusia (Longcore, 2004). Campaign for Dark Skies (2010)
menyebutkan bentuk utama polusi cahaya berupa skyglow atau uplight yaitu sebuah fenomena yang terjadi
ketika pencahayaan yang dipancarkan menyebabkan iluminasi dipancarkan diatas horison langit dalam
jumlah yang banyak. Peningkatan polusi cahaya terutama dipengaruhi oleh perubahan penutup lahan yang
secara umum sejalan dengan peningkatan penggunaan cahaya buatan.
Permasalahan yang muncul terkait wisata astronomi yaitu dalam menentukan lokasi yang sesuai untuk
pengamatan astronomis. Berbagai pertimbangan diperlukan untuk menentukan lokasi yang potensial untuk
pengembangan wisata astronomis. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai tempat wisata astronomis di area kajian melalui pemanfaatan citra VIIRS (Visible
Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites dan analisis spasial berdasarkan parameter
yang telah ditentukan. Integrasi antara penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam penelitian ini
sangat penting dimana pendekatan penginderaan jauh digunakan untuk perolehan data sedangkan sistem
informasi geografis sebagai sarana dalam melakukan analisis spasial. Selain penggunaan data penginderaan
jauh, digunakan pula data spasial lain yang nantinya antar data saling terintegrasi.
Analisis spasial merupakan teknik analisis data spasial yang menghubungkan berbagai objek dalam suatu
lokasi secara keruangan. Analisis spasial merujuk pada fenomena spasial dan proses, metode matematik atau
geometrik, maupun metode yang tidak mencakup diantara keduannya (Yaolin et al., 2008). Berbagai
parameter yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data-data yang memilki grafis beserta atribut
geografis, sehingga untuk menghubungkan antar parameter dapat menggunakan teknik analisis spasial untuk
menentukan lokasi potensial pengembangan wisata astronomis. Citra VIIRS merupakan salah satu data
spasial berupa citra penginderaan jauh yang dapat memberikan informasi polusi cahaya dan tutupan awan
pada suatu wilayah.
2. METODE
2.1 Area Kajian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyarta (DIY). Jawa Tengah
secara astronomis terletak antara 5o40’ – 8o30’ LS dan 108o30’ – 111o30’ BT memiliki iklim tropis dengan
suhu rata-rata 24,8oC – 31,8oC dan curah hujan tahunan rata-rata 2.618 mm. Daerah dengan curah hujan
tinggi terutama di daerah Kabupaten Kebumen sebesar 3.948 mm/tahun. Daerah dengan curah hujan rendah
dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah Blora, Rembang, sebagian Grobogan dan
sekitarnya serta di bagian selatanKabupaten Wonogiri (Pemda Jawa Tengah, 2016). Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) memilki luas 3.185,80 km yang secara astronomis terletak di 70 o33’ – 8o12’ LS
dan 110o00’ – 110o50’BT. DIY terletak di bagian selatan Pulau Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di
bagian selatan. Kondisi Iklim di Provinsi DY tergolong iklim tropis dimana curah hujan rata-rata tahunan
sebesar dengan 3.000 mm/tahun suhu rata-rata 25-31oC (Pemda DIY, 2016).
-847-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2.2 Perolehan Data
2.2.1 Citra VIIRS
Citra VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer) DNB free cloud composites merupakan salah satu
data penginderaan jauh yang dapat memberikan informasi polusi cahaya dan jumlah tutupan awan diperoleh
dari website NOAA. National Oceanography Atmospheric Administration (NOAA) dan United Nation
Aeronautics and Space Administration (NASA) bekerja sama dalam peluncuran Suomi National Polar
Satelite yang di dalamnya membawa program instrumen berupa VIIRS. Data citra yang digunakan memiliki
cakupan wilayah perekaman sebesar 3000 km dengan spektrum panjang gelombang yang digunakan berada
diantara 0.5 – 0.9 µm. Selain itu resolusi radiometrik yang dimiliki oleh citra ini mencapai 14 bit dan mampu
mendeteksi batas cahaya limit mencapai ֊2E Watt/cm2*sr. Sehingga citra VIIRS memiliki kapabilitas untuk
mendeteksi api dan cahaya di malam hari terutama menggunakan saluran VNIR (Elvidge et al., 2013). Data
citra yang digunakan dalam analisis ini terdiri dari dua data utama yakni informasi mengenai polusi cahaya
bulan September 2015 dan informasi mengenai liputan tutupan awan bulan Januari 2014 hingga Februari
2016. Pemilihan data informasi polusi cahaya pada bulan September 2015 dikarenakan asumsi di bulan
tersebut menjadi bulan terkering di Indonesia sehingga memiliki tutupan awan yang minimum. Apabila
tutupan awan minimum maka pencahayaan buatan dari permukaan bumi yang menyebabkan polusi cahaya
dapat terekam secara optimal. Kenampakan visual citra VIIRS terdapat pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1. Citra VIIRS (a) Informasi Polusi Cahaya (b) Informasi Tutupan Awan
Sumber: www.noaa.gov, 2016
Tutupan awan secara langsung berpengaruh terhadap kualitas lokasi pengamatan objek astronomi (Jia
dkk., 2012). Walker (1983) mengatakan lokasi untuk pengamatan astronomis harus memilki tutupan awan
yang minimum. Tutupan awan minimum menjadi parameter yang penting karena berpengaruh terhadap
tampak tidaknya benda-benda astonomi yang diamati. Tutupan awan yang semakin minimum meningkatkan
kemungkinan objek astronomi lebih mudah terlihat. Selain awan aspek atmosferik yang perlu
-848-
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D.,
dkk)
dipertimbangkan yaitu turbulensi atmosfer. Turbulensi berkaitan dengan fluktuasi mikrotermal atmosfer
yang menyebabkan efek sintilasi, hilangnya koherensi spasial, dan distorsi (Lynds & Goad, 1984).
Turbulensi yang rendah akan menghasilkan efek yang lebih baik untuk pengambilan foto astonomi.
2.2.2 Data Penutup Lahan
Data penutup lahan dengan skala 1:25000 diperoleh dari website resmi Ina-Geoportal Indonesia yang
dikelola oleh Badan Informasi Geospasial Indonesia. Penggunaan data penutup lahan diklasifikasikan dalam
4 kelas utama yakni vegetasi, lahan terbangun, tubuh air serta lahan kosong. Pengklasifikasian dilakukan
untuk mengetahui parameter penutup lahan yang berpengaruh terhadap polusi cahaya.
2.2.3 Aksesibilitas
Data aksesibilitas berupa jalan dengan skala pemetaan 1 : 25.000 diperoleh dengan sumber yang sama
dengan data penutup lahan dari website resmi Ina-Geoportal milik Badan Informasi Geospasial RI.
Aksesibilitas digunakan sebagai parameter dari suatu wilayah yang menyatakan kemudahannya untuk
diakses baik secara biaya, waktu dan tenaga. Sehingga wilayah yang memiliki aksesibilitas baik akan
menjadi potensi rekomendasi.
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
(Sumber: Hasil Analisis, 2016)
2.3. Pengolahan dan Analisa Data
Citra VIIRS DNB terkalibarasi atau terkoreksi baik secara radiometrik maupun geometrik (Baugh, 2015).
Pada Citra VIIRS DNB Free Cloud Composites wilayah Indonesia masuk ke dalam wilayah 1/6 belahan
bumi bagian selatan, sehingga dalam pemrosesannya dilakukan pemotongan/masking sesuai wilayah kajian
menggunakan software Envi 5.0 Classic. Citra yang dihasilkan dari proses masking mencakup Provinsi Jawa
tengah – DIY selanjutnya dilakukan klasifikasi yang didasarkan pada klasifikasi lightpollutionmap.info
seperti pada Tabel 1.
-849-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 1. Klasifikasi Polusi Cahaya
Kelas
1
2
3
4
5
6
7
8
Nilai (Watt/cm2*sr)
< 0,25
0,25 – 0,40
0,40 – 1,00
1,00 – 3,00
3,00 – 6,00
6,00 – 20,00
20,00 – 40,00
> 40,00
Sumber : lightpollution.info, 2016
Data tutupan awan yang terdiri dari 26 citra dari bulan Januari 2014 - Februari 2016 dilakukan
penjumlahan untuk mendapat akumulasi tutupan awan. Akumulasi tersebut yang kemudian diklasifikasikan
secara equal interval menjadi 5 kelas seperti pada Tabel 2. Nilai DN (Digital Number) piksel menunjukkan
jumlah langit jernih tanpa tutupan awan suatu wilayah. Semakin rendah nilai kelas suatu lokasi menunjukkan
suatu wilayah sering tertutupi oleh awan sedangkan yang memiliki nilai kelas tinggi menunjukkan jarang
tertutup awan.
Tabel 2. Klasifikasi Tutupan Awan
Kelas
1
2
3
4
5
Nilai DN
6 - 45
46 – 84
85 – 123
124 – 162
163 – 202
Sumber: Analisis Data, 2016
Data penutup lahan dari Ina-Geoportal BIG Indonesia memuat 21 kelas penutup/penutup lahan dilakukan
clip/pemotongan sesuai wilayah kajian Jateng-DIY menggunakan softwareArcMap 10.2. Kelas penutup
slahan yang awalnya sebanyak 21 disederhanakan menjadi 4 kelas utama sesuai Tabel 3. yakni vegetasi,
lahan terbangun, tubuh air dan lahan kosong. Sedangkan untuk jaringan jalan yang memuat kelas dari jalan
utama, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lain. Pemilihan jalan arteri dan kolektor dilakukan
untuk proses buffer/keterjangkauan < 3 km untuk memperoleh wilayah yang berada pada jangkauan
aksesibilitas yang baik. Asumsi yang digunakan bahwa jalan arteri dan jalan kolektor merupakan jenis jalan
yang memungkinkan semua kendaraan dapat melewatinya sehingga aksibilitas baik.
Tabel 3. Klasifikasi Penutup Lahan
Vegetasi
Tubuh Air
Agrikultur ladang
Waduk
Non Agrikultur alang alang, sabana, dan padang
Tambak
Non agrikultur hutan lahan basah
Sungai
Non agrikultur hutan lahan kering
Rawa
Non agrikultur lahan basah
Danau
Non agrikultur lahan kering
Empang
Non agrikultur rumput rawa
Non agrikultur semak belukar
Perkebunan
Sawah
Sumber: Analisis Data, 2016
Lahan
Kosong
Beting
Lahan/areaterbangun
Permukiman
Tempat tinggal
Landasan pacu
Pelabuhan
Pengolahan data untuk mendapatkan lokasi rekomendasi wisata astronomis menggunakan analisis spasial
dengan sistem informasi geografis. Operasi overlay/tumpang-susun digunakan untuk menghasilkan lokasi
potensial dengan parameter polusi cahaya, tutupan awan, dan penutup lahan sesuai berdasarkan kriteria yang
-850-
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D.,
dkk)
telah ditentukan seperti pada Tabel 4. Hasil overlay/tumpang-susun tersebut menghasilkan peta sebaran
lokasi potensial pengembangan wisata astronomis. Selanjutnya peta tersebut di-overlay dengan peta buffer
jalan sebagai pertimbangan parameter aksesibilitas jalan pada jangkauan < 3 km yang menghasilkan peta
sebaran lokasi potensial dan direkomendasikan. Sehingga pada peta tersebut terdapat 2 jenis lokasi potensial,
yang membedakan keduanya terletak pada parameter aksesibilitas. Lokasi potensial menunjukkan lokasi
yang berpotensi namun tidak mempertimbangkan parameter aksesibilitas. Lokasi potensial dan
direkomendasikan menunjukkan lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata astronomis
yang memiliki aksesibilitas baik. Pengamatan astronomis akan baik jika dilakukan pada wilayah yang
memiliki polusi cahaya yang rendah,sehingga kelas polusi cahaya yang dianggap potensial untuk
pengembangan wisata astronomis yakni kelas 1 dan 2 dengan polusi cahaya yang minim. Sedangkan untuk
parameter tutupan awan yang baik untuk pengamatan astronomis yaitu jika suatu wilayah jarang tertutupi
oleh awan yang akan dilihat dari dari hasil penjumlahan citra dengan temporal 26 bulan. Semakin tinggi
kelas tutupan awan, maka semakin sering suatu lokasi tertutupi oleh awan atau jumlah langit cerah pada
lokasi tersebut semakin sedikit, begitu juga sebaliknya. Kelas penutup lahan yang digunakan dalam
penentuan lokasi potensial untuk wisata astronomis yaitu lokasi yang yang tidak memilki polusi cahaya
tinggi sekaligus tidak menghalangi pengamatan astronomis. Kelas yang dianggap sesuai yaitu vegetasi dan
lahan kosong. Kelas permukiman diasumsikan memiliki polusi cahaya yang tinggi sehingga tidak
memungkinkan untuk dijadikan lokasi rekomendasi wisata astronomis, begitu pula dengan penutup lahan
berupa tubuh air yang akan banyak membutuhkan sarana pendukung seperti kapal dan sejenisnya untuk
proses pengamatan.
Tabel 4. Kriteria Lokasi Potensial untuk Wisata Atronomis
Kelas 1, 2
Potensial dan
Direkomendasikan
Kelas 1, 2
Kelas 4, 5, 6, 7, 8
Kelas 5
Kelas 5
Kelas 1, 2, 3, 4, 5
Parameter
Potensial
Polusi cahaya
Liputan tutupan
awan
Penutup lahan
Buffer jalan < 3 km
Vegetasi , Lahan
Kosong
Berada pada
Tidak masuk jangkauan
jangkauan
Sumber: Analisis Data, 2016
Vegetasi,Lahan Kosong
Tidak potensial
Lahan/area terbangun
Tidak masuk jangkauan
2.4 Uji Lapangan
Peta sebaran lokasi potensial yang dihasilkan belum diketahui kondisi sebenarnya di lapangan sehingga
diperlukan uji lapangan. Uji lapangan dilakukan di beberapa titik sampel pada area yang potensial dan
direkomendasikan. Titik sampel tersebut yaitu area Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri dan area
Pantai Depok di Kabupaten Bantul. Kegiatan uji lapangan dilakukan dengan melakukan pengamatan objek
astronomis pada kondisi langit malam. Dilakukan pula identifikasi beberapa kenampakan objek astronomis
seperti jenis planet, kenampakan debu angkasa, dan rasi bintang mayor yang dapat diamati. Selain itu,
dilakukan pengambilan foto langit malam pada pukul 00.00-03.00 WIB yang mana pada jam tersebut
merupakan waktu yang efisien untuk pengamatan astronomis. Kamera yang digunakan yaitu Canon EOS
600D dengan pengaturan f-stop: f/3.5; exposure time 30sec; ISO speed ISO-1600; Focal lenght 10 mm;
Metering mode : Partial. Untuk perbandingan, uji lapangan tidak hanya dilakukan di lokasi-lokasi yang
potensial, namun juga dilakukan uji lapangan di lokasi yang tidak potensial yaitu di Pusat Kota Yogyakarta.
Digunakan pula checklist lapangan yang memuat informasi titik koordinat, deskripsi wilayah, deskripsi
penutup/penutup lahan, kondisi saat pengambilan foto, kenampakan astronomis yang teridentifikasi, dan
sketsa lokasi digunakan untuk memudahkan analisis wilayahnya.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis ditunjukkan oleh Gambar 3. Area
berwarna merah merupakan area potensial untuk wisata astronomis namun tidak masuk dalam rekomendasi.
Hal ini dikarenakan aksesibilitas menuju lokasi tersebut tidak masuk dalam jangkauan <3 km dari jalan
kolektor maupun areteri. Area berwarna kuning menunjukkan area potensial dan direkomendasikan untuk
pengembangan wisata astronmis. Baik area potensial maupun potensial dan direkomendasikan terdapat
secara luas dan mengelompok pada bagian tenggara dan timur laut area kajian. Pada bagian timur laut,
sebagian besar area tercakup dalam daerah Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, dan Pati. Pada bagian
-851-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
tenggara, wilayah potensial tersebut banyak terdapat pada pesisir selatan kabupaten Gunungkidul dan
sebagian wilayah dari kabupaten Wonogiri dan Karanganyar. Sebagian wilayah potensial lainnya memiliki
ukuran yang lebih sempit dan memiliki pola distribusi yang tidak mengelompok.
Gambar 3. Sebaran Peta Wisata Astronomis
Sumber: Analisis Data, 2016
Berdasarkan hasil uji lapangan, kondisi langit malam pada lokasi sampel memilki kondisi yang baik dan
sesuai untuk pengamatan astronomis. Tidak banyak ganggan polusi cahaya pada ketiga titik tersebut, selain
itu galaksi Bimasakti juga dapat terlihat dengan jelas. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah kondisi
atmosfer pada saat pengamatan sangat menentukan kualitas langit untuk pengamatan astronomis. Kondisi
atmosfer yang dinamis dapat mengakibatkan suatu area pengamatan memiliki kualitas langit yang berbeda
yang disebabkan adanya gangguan tutupan awan maupun gangguan partikel lain yang dapat menurunkan
tingkat kejernihan atmosfer.
Terdapat perbedaan signifikan antara lokasi potensial dengan lokasi tidak potensial. Perbedaan tersebut
tmapak dari kenampakan langit malam dimana pada lokasi potensial objek astronomis mudah untuk diamati.
Kondisi lingkungan gelap sehingga polusi cahaya sangat minim. Kondisi langit malam di lokasi tidak
potensial tampak kondisi lingkungan dengan pencahayaan buatan/listrik yang tinggi sehingga langit malam
tampak tidak gelap yang mengakibatkan kenampakan astronomis tidak jelas. Perbandingan tersebut tersaji
pada Gambar 4. Kenampakkan langit malam di tepi Waduk Gajah Mungkur seperti Gambar 4a. menujukkan
kenampakan astronomis yang jelas, namun terdapat efek skyglow akibat adanya cahaya dari permukaan
bumi. Efek tersebut diakibatkan adanya cahaya dari lampu malam yang digunakan oleh para pemancing ikan
di sekitar waduk. Kenampakan langit malam di beting Pantai Depok tampak pada Gambar 4b. Keberadaan
polusi cahaya sangat minim sehingga kenampakan objek astronomis di Pantai Depok tampak lebih jelas
dibandingkan di tepi Waduk Gajah Mungkur. Gambar 4c.merupakan sampel lokasi uji lapangan yang
memilki tingkat polusi cahaya yaitu Kota Yogyakarta. Tampak bahwa objek astronomis terlihat tidak jelas
dimana efek skyglow mendominasi kondisi langit malam di wilayah tersebut.
Hasil identifikasi kenampakan astronomis di Pantai Depok ditunjukkan oleh Gambar 5.Kondisi langit
malam dengan keberadaan polusi cahaya yang sangat minimum menyebabkan objek astronomis dapat
teridentifikasi dengan mudah menggunakan mata telanjang. Beberapa rasi bintang mayor dapat
-852-
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D.,
dkk)
teridentifikasi seperti rasi Indian, Peacock, Altar, dan Sea Goat. Planet mayor yang teridentifikasi seperti
planet Mars, Saturnus, Regel Kentarus, Hadar.
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Foto Langit Malam. (a) Tepi Waduk Gajah Mungkur (b) Pantai Depok (c) Kota Yogyakarta
Sumber: Hasil Uji Lapangan, 2016
(a)
(b)
Gambar 5. Identifikasi Kenampakan Astronomis di Pantai Depok. (a) Rasi Indian, Peacock, Altar (b) Rasi
Sea Goat, PlanetMars, Saturnus, Regel Kentarus, Hadar
Sumber: Analisis Hasil Uji lapangan, 2016
4.
KESIMPULAN
Citra VIIRS dan data spasial pendukung berupa penutup lahan dan jaringan jalan dapat digunakan untuk
menentukan lokasi potensial pengamatan objek astronomis. Berdasarkan parameter polusi cahaya tutupan
awan, dan penutup lahan dengan polusi cahaya < 0.4 W/cm2*sr, tutupan awan rendah, dan penutup lahan
berupa vegetasi atau lahan kosong dapat disimpulkan bahwa lokasi potensial untuk pengembangan wisata
astronomis sebagian besar di daerah Kabupaten Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, dan Gunungkidul.
Sedangkan lokasi yang potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan dengan mempertimbangkan
aspek aksesibilitas sebagian besar berada di daerah Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Blora.
-853-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Rasa terimakasih kami persembahkan kepada Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas
Program Kreativitas Mahasiswa Tahun 2016 yang telah memberikan dana hibah penelitian. Tak lupa
terimakasih kami persembahkan untuk segenap Civitas Akademika Fakultas Geografi yang telah mendukung
penelitian ini. Ucapan terimakasih khusus kami persembahkan untuk Dosen Pembimbing kami Muhammad
Kamal, S.Si., M.GIS., Ph.D. yang telah sabar membimbing proses penelitian ini. Terkhusus buat rekan-rekan
sejawat jangan pernah lelah untuk berkarya.
DAFTAR PUSTAKA
Baugh, K., (2015). VIIRS Day-Night Band Cloud-free Composites. Colorado, USA.
Campaign for Dark-Skies. (2010). Words And Phrases It Might Be Useful to Know When Discussing Light
Pollution.Glossary of LightingTerms, diunduh 05 Juni 2016 dari http://www.britastro.org/darkskies/glossary.html?1O.
Collison, F.M., dan Poe, K., (2013). Astronomical Tourism : The Astronomy and DarkSky Program at Bryce Canyon
National Park. Tourism Management Perspectives, 7:1–15.
Elvidge, Christoper, D., Zhizhin, M., Hsu, Feng, C., dan Baugh, K., (2013). What is So Great About Nighttime VIIRS
Data for The Detection and Characterization of Combustion Source?. Asia-Pasific Advance Network, (35):33-48.
International Dark-Sky Association. (2009). IDA Mission and Goals, diunduh 02 Juni 2016 dari
http://www.darksky.org/mc/page.do?sitePageId=56411&orgId=idsa
International Dark-Sky Association & Illuminating Engineering Society. (2009). Model Lighting Ordinance, diunduh
08 Juni 2016 dari http://www.darksky.org/mc/page.do?sitePageId=58880
Longcore, T., dan Rich, C., (2004). Ecological Light Pollution. Frontiers in Ecology and the Environment, 2(4):191198, diunduh 08 Juni 2016 dari http://dx.doi.org/10.1890/1540-9295(2004)002[0191:ELP]2.0.CO;2
Pemda
Yogyakarta.
(2010).
Kondisi
Geografis
Yogyakarta,
diunduh
05
Juni
2016
dari
jogjaprov.go.id/pemerintahan/situs-tautan/view/kondisi-geografis
Lynds, R., dan Goad, J., (1984). Observatory Site Reconnaissance , Publication Of The Astronomical Society of The
Pasific, 96:750-766.
SCImago., (2007). SJR-SCImago Journal & Country Rank, diunduh 01 Juni 2016 dari http://scimagojr.com
Walker, M.F., (1983). Hight Quality Astronomical Sites Around The World. Lick Observatory, University of California,
Santa Criz.
Yaolin, L., Yanfang, L., dan Jianhua, H., (2008). Techniques Based on data field and its applicatins in land gradation.
The international arvhieves of photogrammetry, remote sensing and spatial information sciences, Beijing, 37(b2).
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Dr. Bambang Trisakti
: Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial
Pengembangan Wisata Astronomis
: Wahyu Nurbandi (UGM)
:
Pertanyaan: Syarif Budhiman (LAPAN)
Mungkinkah mengkombinasikan data CHRIPS dan GPCC sehingga dapat menghasilkan akurasi yang lebih
baik?
Jawaban:
Sarannya dapat dimasukan untuk penelitian selanjutnya sehingga hasil penelitian dapat menjadi rekomendasi
penentuan lokasi observatorium.
Pertanyaan: Dede Dirgahayu (LAPAN):
Data VIIRS tipe apa yang digunakan, berapa resolusinya dan software apa yang digunakan untuk
pengolahannya. Apakah hasil penelitian ini dapat digunakan untuk lokasi melihat bulan?
-854-
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, M.D.,
dkk)
Jawaban:
Citra VIIRS yang digunakan adalah radian yang diperoleh dari situs NOAA dengan resolusi 740 m dan
sudah terkoreksi secara geomterik dan radiometrik. Pengamatan bulan perlu dipertimbangkan topografi
wilayah sedangkan penelitian ini belum menggunakannya.
-855-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di Troposfer Atas di Indonesia
Berbasis Satelit AQUA/AIRS
Spatial-Temporal Variation of CO dan Ozone in the Upper Troposphere over
Indonesia Based on AQUA/AIRS Satellite
Novita Ambarsari*1) dan Ninong Komala1
1
*)
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN
E-mail: [email protected], [email protected]
ABSTRAK–Variasi spasial dan temporal Karbon Monoksida (CO) dan Ozon (O3) di troposfer atas hingga tropopause
di Indonesia telah dikaji pada penelitian ini. Data yang digunakan merupakan data Volume Mixing Ratio (VMR) CO
dan O3 pada ketinggian 200 hingga 100 hPa hasil observasi sensor Atmospheric Infra Red Sounders (AIRS) pada satelit
AQUA tahun 2002 hingga 2015. Analisis time series dan spasial pada beberapa ketinggian serta variasi musiman telah
dikaji. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi CO tinggi pada tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 yang
mencapai ketinggian lapisan tropopause (100 hPa). Hal ini menjadi indikasi injeksi CO dari emisi kebakaran hutan di
permukaan pada tahun tersebut yang mampu mencapai tropopausejuga ditunjukkan dengan data total La-Ninadari
MODIS yang sejalan dengan tingginya konsentrasi CO pada saat tersebut. Variasi musiman CO maksimum pada bulan
September-Oktober-November (SON) juga pada tahun yang sama mencapai 56 ppbv (SON 2006) dan 62 ppbv (SON
2015) pada 100 hPa. Variasi spasial juga menunjukkan CO maksimum pada saat tersebut terutama di Sumatera dan
Kalimantan. Time series ozon pada 200 hPa maksimum juga pada tahun 2006 dan 2015 sebesar 62 ppbv, tetapi berbeda
dengan CO, pada 150 hPa dan 200 hPa variasi ozon sudah didominasi oleh sifat stratosfer. Variasi musiman ozon pada
200 hPa juga maksimum pada SON 2006 dan 2015 mencapai 60 ppbv, tetapi pada 150 dan 100 hPa ozon maksimum
pada SON dan JJA. Variasi spasial ozon pada 200, 150, dan 100 hPa berbeda dengan CO yang dominan dipengaruhi
sumber di troposfer, ozon pada ketinggian tersebut juga dipengaruhi oleh transport dari stratosfer dan proses dinamika
atmosfer lainnya.
Kata kunci: CO, ozon, troposfer atas, AIRS
ABSTRACT -Spatial dan temporal variations of Carbon Monoxide (CO) dan Ozone (O3) in upper troposphere to the
tropopause in Indonesia have been assessed in this study. The data used is the Volume Mixing Ratio (VMR) data of CO
and O3 at an altitude of 200 to 100 hPa as a results observation of Atmospheric Infra Red Sounders (AIRS) sensor on
the satellite AQUA 2002 to 2015. The analysis of time series dan spatially at some height as well as seasonal variations
have assessed. The results showed high concentrations of CO in 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 that reached the
altitude of the tropopause (100 hPa). This is an indication of injection CO emissions from forest fires on the surface of
the year that can reach the tropopause is also shown by the total La-Ninadata from MODIS in line with the high
concentration of CO at that time. Maximum CO seasonal variations in September-October-November (SON) is also in
the same year reached 56 ppbv (SON 2006) and 62 ppbv (SON 2015) at 100 hPa.Spatial variations also indicate the
maximum CO at that time, especially in Sumatra and Kalimantan.Time series of ozone at 200 hPa maximum also in
2006 and 2015 by 62 ppbv, but in contrast to CO, at 150 hPa and 200 hPa ozone variations have been dominated by
the properties of the stratosphere. Seasonal variation of ozone at 200 hPa maximum also at SON 2006 and 2015 to
reach 60 ppbv, but at 150 and 100 hPa maximum ozone in the SON and JJA. Spatial variation of ozone at 200, 150, and
100 hPa in contrast to the predominantly influenced CO sources in the troposphere, ozone at these heights are also
affected by the transport of stratospheric and other atmospheric dynamic process.
Keywords: CO, ozone, upper troposphere, AIRS
1.
PENDAHULUAN
Karbon Monoksida (CO) dan Ozon (O3) adalah senyawa yang bersifat pencemar di atmosfer yang
berperan sangat penting terutama di troposfer. Distribusi dan variasi CO di atmosfer memiliki potensi
pengaruh terhadap lingkungan global dan perubahan iklim. Sumber utama CO di atmosfer adalah emisi dari
permukaan terutama pembakaran bahan bakar fosil yang tidak sempurna dan pembakaran biomassa. CO juga
terbentuk dari hasil reaksi oksidasi senyawa-senyawa yang mudah menguap atau disebut Volatile Organic
Compounds (VOCs) oleh radikal hiroksil (OH) (Qian dkk., 2014).
-856-
Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.)
Ozon merupakan salah satu senyawa kimia yang paling penting terlibat di dalam proses kimia atmosfer.
Ozon berperan dalam berbagai jalur oksidasi senyawa-senyawa di atmosfer dan juga memberikan pengaruh
terhadap lingkungan. Di troposfer ozon berperan sebagai salah satu oksidator, sebagai gas rumah kaca, juga
memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan dan lingkungan (Bundi, 2004). Ozon di troposfer terbentuk
dari reaksi fotokimia dengan kehadiran senyawa prekursor atau pembentuk ozon yaitu oksida nitrogen
(NOx=NO2+NO), CO, dan VOCs. Ozon terurai di troposfer terutama akibat reaksi fotolisis dan reaksi
dengan uap air. Distribusi ozon di troposfer dipengaruhi oleh proses kimia dan dinamika yang kompleks.
Emisi dari permukaan yang berasal dari pembakaran biomassa, kebakaran hutan, dan pembakaran bahan
bakar fosil yang menghasilkan karbon monoksida, hidrokarbon dengan keberadaan nitrogen oksida (NOx)
menyebabkan ozon troposfer terbentuk. Distribusi dan intensitas emisi tersebut dapat bervariasi antara
Amerika Selatan, sub-ekuatorial Afrika, dan Indonesia/Australia. Selain itu, produksi dan distribusi ozon dari
masing-masing emisi tersebut bergantung secara non linear pada tipe emisi, intensitas emisi, dan kondisi
meteorologis. Di troposfer tengah dan atas, ozon dapat terbentuk juga melalui proses pembentukan kilat yang
menghasilkan NOx. Ozon troposfer dapat mengalami transport secara global ke wilayah lain yang dapat
berakibat pada perubahan kapasitas oksidatif atmosfer, radiative forcing dari sistem iklim, dan kualitas udara
(Bowman dkk., 2009).
Waktu hidup CO di atmosfer cukup panjang rata-rata antara 1,5 bulan hingga 3 bulan bervariasi di
troposfer dan waktu hidup ozon juga bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan di troposfer. Waktu
hidup yang relative panjang ini memungkinkan untuk CO dan ozon mengalami transpor baik vertikal
maupun horizontal (McMillandkk., 2007; Liu dkk., 2010). Seperti telah diketahui bahwa proses transport
polusi dari troposfer ke stratosfer dapat terjadi terutama melalui proses konveksi (deep convection) di daerah
tropis serta proses dinamika lainnya dapat berperan dalam proses transport polutan dari permukaan ke
troposfer atas hingga stratosfer (Qian dkk., 2014).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji variasi spasial dan temporal CO dan ozon di troposfer atas di
Indonesia berdasarkan hasil observasi sensor AIRS satelit Aqua serta kemungkinan adanya pengaruh dari
kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia yang menyebabkan peningkatan konsentrasi CO dan ozon hingga
mencapai ketinggian troposfer atas-tropopause.
2.
METODE
Metode penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan data mol fractionCO dan ozon di lapisan
troposfer atas yaitu dari tekanan 250 hPa hingga 100 hPa atau ketinggian sekitar 9 km hingga 16 km dari
hasil observasi sensor Atmospheric Infra Red Sounders (AIRS) pada satelit AQUA NASA. Data yang
digunakan adalah data rata-rata bulan (monthly average) CO dan ozon pada periode pengukuran tahun 2003
hingga 2015 untuk wilayah Indonesia. Metodologi penelitian meliputi analisis time series pada beberapa
ketinggian yaitu 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa. Kemudian dilakukan juga analisis time series sebagai fungsi
dari tekanan untuk mendeteksi peningkatan konsentrasi CO dan ozon yang dapat mencapai tropopause.
Selain itu juga dilakukan analisis variasi musiman untuk setiap tahunnya serta analisis variasi spasial di
musim tertentu berdasarkan hasil analisis variasi musiman yang diperoleh untuk mendeteksi kemungkinan
adanya pengaruh dari kejadian kebakaran hutan yang terjadi di musim kemarau (JJA) hingga musim
peralihan kemarau-hujan (SON).
AIRS diluncurkan pada tanggal 4 Mei 2002 yang dipasang pada satelit Aqua dengan tujuan utama adalah
mengukur profil vertikal temperatur dan uap air di atmosfer bumi secara akurat. Tim ilmiah AIRS kemudian
mengembangkan metode untuk mengukur parameter fisika dan kimia yaitu temperatur, uap air, ozon, dan
CO (Warner dkk., 2007). Data CO dan ozon dari AIRS yang digunakan adalah data versi 6 level 3 gridded
dengan resolusi spasial 1 x 1 (Tian dkk., 2014).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Variasi temporal untuk CO dan ozon pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa ditampilkan pada
Gambar 1. Konsentrasi CO pada masing-masing tekanan menunjukkan peningkatan dari tahun 2003 hingga
2015. Konsentrasi CO menurun dengan meningkatnya ketinggian tampak dari nilai konsentrasi pada 200 hPa
lebih tinggi dibdaningkan konsentrasi pada 150 hPa dan 100 hPa. Pada 200 hPa konsentrasi CO tertinggi
mencapai 0,11 ppmv, pada 150 hPa mencapai 0,07 ppmv, dan pada 100 hPa hanya mencapai 0,05 ppmv.
Beberapa puncak konsentrasi CO terjadi pada bulan-bulan September-Oktober-November (SON) dengan
konsentrasi tertinggi terjadi pada akhir tahun 2015 sebesar dan akhir tahun 2006 untuk setiap level tekanan.
Pada gambar juga terlihat peningkatan konsentrasi CO pada sekitar bulan SON mencapai tekanan 100 hPa
atau ketinggian sekitar 17 km yaitu di tropopause. Variasi temporal ozon pada Gambar 1 menunjukkan
karakter yang berbeda dengan CO. Konsentrasi ozon meningkat dengan meningkatnya ketinggian. Pada
-857-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
tekanan 100 hPa konsentrasi ozon mencapai 0,16 ppmv sedangkan pada 150 hPa dan 100 hPa maksimum
hanya 0,07 ppmv dan 0,06 ppmv. Di troposfer, pada tekanan 200 hPa puncak konsentrasi ozon terjadi pada
sekitar bulan SON, seperti halnya CO. Akan tetapi, pada tekanan 150 hPa puncak konsentrasi ozon terjadi
pada sekitar bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) dan semakin terlihat variasinya pada tekanan 100 hPa yaitu di
lapisan tropopause. Hal ini diperkirakan karena ozon di lapisan tropopause lebih dipengaruhi oleh proses
yang terjadi di stratosfer dimana pembentukan ozon terjadi maksimal sehingga konsentrasi ozon meningkat
secara signifikan. Berbeda halnya dengan variasi ozon dan juga CO di troposfer yang lebih banyak
dipengaruhi oleh sumber dari aktivitas antropogenik serta proses fotokimia pembentukan ozon troposfer.
Ozon troposfer juga bervariasi dalam skala musiman dan tahunan yang juga dipengaruhi oleh pembakaran
biomassa dan beberapa fenomena meteorologi seperti El-Nino, La-Nina, dan fenomena lainnya dalam system
tekanan global yang sedikit banyak mempengaruhi proses dispersi emisi dari kondisi normal (Ziemke dkk.,
2015; Eboji, 2014).
Gambar 1. Time series CO dan Ozon pada beberapa level tekanan di troposfer atas hingga tropopause
di Indonesia tahun 2003-2015
Untuk melihat indikasi adanya transport CO dan ozon dari lapisan troposfer bawah hingga ke tropopause
dan sebaliknya, dibuat diagram cross sectiontime series-pressureyang ditunjukkan pada Gambar 2.
Konsentrasi CO di troposfer bawah lebih tinggi dan menurun seiring dengan penurunan tekanan atau
peningkatan ketinggian. Konsentrasi CO sangat tinggi hingga 0,14 ppmv di troposfer bawah terlihat pada
akhir tahun 2004, 2006, dan 2015 bahkan mencapai tropopause pada tahun 2006 dan 2015. Hal ini
diperkirakan berkaitan dengan kejadian kebakaran hutan yang sangat besar terjadi di Sumatera dan
Kalimantan yang mengakibatkan emisi CO dari permukaan mampu mencapai ketinggian tropopause (Zhang
dkk., 2011). Variasi tahunan distribusi vertikal ozon berbeda dengan CO. Ozon maksimum pada tekanan 100
hPa mencapai 10,16 ppmv sedangkan di troposfer bawah konsentrasi ozon lebih rendah. Pada tekanan antara
150 hPa hingga 100 hPa terlihat adanya proses intrusi ozon dari stratosfer ke tropopopause kemudian ke
troposfer atas (Hess dkk., 2013). Di troposfer bawah pada tekanan 250 hPa ozon lebih tinggi konsentrasinya
pada akhir tahun sekitar bulan SON sama seperti hasil pada Gambar 1 yang diperkirakan juga dipengaruhi
oleh emisi dari kebakaran hutan (Chan dkk., 2001).
-858-
Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.)
Gambar 2. Time series terhadap tekanan untuk CO dan ozon di troposfer atas hingga tropopause di Indonesia
tahun 2003-2015
Variasi musiman CO pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa ditunjukkan pada Gambar 3.
Konsentrasi CO pada semua level tekanan tersebut menunjukkan variasi musiman pada bulan SON mencapai
maksimum dengan konsentrasi CO paling tinggi pada tekanan 200 hPa musim SON tahun 2015. Puncakpuncak konsentrasi CO pada bulan SON diidentifikasi berkaitan dengan kebakaran hutan yang terjadi setiap
tahun di Indonesia yang sangat besar terjadi pada tahun 2006 dan 2015. Pola tahunan CO pada SON yang
juga maksimum di tahun 2006 dan 2015 di semua level tekanan tersebut menjadi indikasi adanya pengaruh
emisi CO dari kebakaran hutan di waktu tersebut.
Gambar 3. Variasi musiman CO pada beberapa level tekanan di troposfer atas di Indonesia tahun 2003-2015
-859-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Variasi musiman ozon pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100 hPa ditunjukkan pada Gambar 4. Terlihat
adanya perbedaan variasi musiman ozon pada masing-masing lapisan tersebut. Pada 200 hPa ozon pada SON
lebih tinggi dibdaningkan bulan lainnya dengan konsentrasi mencapai 0,06 ppmv. Puncak ozon pada SON
2004, 2006, dan 2015 kemungkinan juga dipengaruhi oleh emisi CO sebagai pembentuk ozon troposfer yang
meningkat akibat emisi dari kebakaran hutan di tahun tersebut. Berbeda dengan ozon pada 200 hPa, ozon
pada 150 hPa dan 100 hPa sudah dipengaruhi oleh proses kimia dan dinamika yang terjadi di stratosfer.
Untuk melihat distribusi spasial pada setiap musim (DJF, MAM, JJA, SON) rata-rata selama tahun 20032015 ditampilkan variasi spasial musiman CO pada Gambar 5. Tekanan yang dipilih adalah pada 100 hPa
untuk mengetahui variasi spasial CO di tropopause serta kemungkinan adanya pengaruh dari troposfer.
Konsentrasi CO rata-rata antara 0,035 ppmv hingga 0,045 ppmv. Distribusi spasial CO menunjukkan
konsentrasi CO lebih tinggi di wilayah Indonesia bagian barat dengan konsentrasi maksimum pada bulan
SON. Adanya area dimana CO sangat tinggi di wilayah Sumatera dan Kalimantan pada bulan SON dengan
konsentrasi hingga 0,045 ppmv juga menunjukkan indikasi pengaruh dari kebakaran hutan yang terjadi
hampir setiap tahun di bulan SON di wilayah Sumatera dan Kalimatan.
Gambar 4. Variasi musiman Ozon pada beberapa level tekanan di troposfer atas di Indonesia tahun 2003-2015
-860-
Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.)
Gambar 5. Variasi spasial rata-rata musiman CO pada 100 hPa (tropopause) di Indonesia tahun 2003-2015
Variasi spasial rata-rata musiman ozon di tropopause atau pada tekanan 100 hPa tahun 2003-2015
ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar terlihat konsentrasi ozon di wilayah lintang atas di Indonesia lebih
tinggi. Variasi ozon di tropopause juga dipengaruhi oleh pergerakan matahari dan proses dinamika di
stratosfer. Berbeda dengan CO, variasi spasial ozon pada bulan SON di tropopause tidak menunjukkan
adanya indikasi dengan emisi prekursor ozon yaitu CO dari kejadian kebakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan.
-861-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 6. Variasi spasial rata-rata musiman ozon pada 100 hPa (tropopause) di Indonesia tahun 2003-2015
Kejadian kebakaran hutan dapat terdeteksi salah satunya adalah dengan observasi jumlah kebakaran aktif
(active fire) dari satelit diantaranya adalah satelit TERRA/AQUA dengan sensor MODIS. Jumlah akumulatif
La-Nina di Indonesia per bulan dari tahun 2003 hingga 2015 ditunjukkan pada Gambar 7. Terlihat jumlahLaNina meningkat pada bulan SON setiap tahunnya dengan tahun-tahun saat La-Nina terbanyak adalah tahun
2004, 2006, 2009, 2014, dan terakhir tahun 2015. Tahun 2015 menjadi tahun dengan jumlah La-Nina
maksimum hingga mencapai 122.568 hingga pengamatan tanggal 16 November 2015 dan tahun 2006 yang
mencapai 110 ribu La-Nina yang terdeteksi.
-862-
Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.)
Gambar 7. Jumlah La-Ninadi Indonesia berdasarkan satelit MODIS-TERRA/AQUA tahun 2003-2015
(sumber: http://www.globalfiredata.org/updates.html)
Untuk melihat adanya kesesuaian jumlah La-Nina dengan konsentrasi CO yang telah terdeteksi pada
pembahasan sebelumnya bahwa variasinya dipengaruhi oleh emisi dari kebakaran hutan, maka dibuat variasi
spasial pada rata-rata bulan SON tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 sesuai dengan jumlah LaNinaterbanyak sepanjang periode pengamatan satelit TERRA/AQUA dari tahun 2003-2015.
Gambar 8. Variasi spasial CO pada bulan SON (September-Oktober-November) pada tekanan 100 hPa (tropopause)
tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 di Indonesia
Variasi spasial CO di lapisan tropopause (100 hPa) pada bulan SON tahun-tahun tersebut ditunjukkan
pada Gambar 8. Terlihat pada gambar adanya wilayah dengan konsentrasi CO tinggi di Sumatera dan
Kalimantan pada tahun 2006, 2009, 2014, dan 2015 dengan konsentrasi CO tertinggi pada SON 2015
-863-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
mencapai 6,3 ppmv dan tahun 2006 mencapai 5,6 ppmv. Hal ini juga menunjukkan bahwa emisi CO dari
kejadian kebakaran hutan tahun 2006 dan 2015 dapat mencapai lapisan tropopause sehingga berpotensi
untuk mengalami transport ke tempat lain dengan radius yang cukup jauh.
4. KESIMPULAN
Variasi spasial CO di tropopause (100 hPa) menunjukkan konsentrasi CO tinggi pada bulan SON setiap
tahun terutama tahun 2004, 2006, 2009, 2014, dan 2015 khususnya di wilayah Kalimantan dan Sumatera
pada SON 2015 menunjukkan konsentrasi tertinggi juga pada SON 2006. Hal ini juga ditunjukkan dari
variasi temporal yang memperlihatkan peningkatan konsentrasi CO pada tekanan 200 hPa, 150 hPa, dan 100
hPa pada bulan-bulan SON dari tahun 2003 hingga 2015. Begitu juga dengan distribusi vertical CO yang
menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi CO hingga mencapai tropopause (100 hPa) pada tahun 2015
dan 2006. Variasi spasial ozon di tropopause (100 hPa) tidak menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi
ozon pada bulan-bulan SON yang diperkirakan emisi pembentuk ozon dari kebakaran hutan tidak
menyebabkan ozon pada lapisan tropopause meningkat. Variasi temporal ozon menunjukkan konsentrasi
ozon lebih tinggi pada tekanan 100 hPa sebagai akibat dari pengaruh ozon di stratosfer yang sangat tinggi.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada penyedia data komposisi kimia atmosfer hasil pengukuran
satelit Aqua dan Aura milik NASA yang dapat diakses dengan mudah melalui fasilitas website MIRADOR
maupun GIOVANNI.
DAFTAR PUSTAKA
Bowman, K.W., Jones, D.B.A., Logan, J.A., Worden, H., Boersma, F., Chang, R., Kulawik, S., Osterman, G., Hamer,
P., dan Worden, J., (2009). Zonal Structure of Tropical O3dan CO as Observed by the Tropospheric Emission
Spectrometer in November 2004- Part 2: Impact of Surface Emission on O3dan its Precursors. Atmos. Chem. Phys,
9:3563-3582.
Bundi, M.P., (2004). Spatial dan Temporal Distribution of Tropospheric Ozone over Southern Africa. Thesis,
University of Witwatersrdan, Johannesburg.
Chan, C.Y., Chan, L.Y.,dan Zheng, Y.G., (2001). Effects of 1997 Indonesian Forest Fires on Tropospheric Ozone
Enhancement, Radiative Forcing, dan Temperature Change over the Hongkong Region. Journal of Geophysical
Research, 106(14):14875-14885.
Eboji, F. (2014). Tropospheric Coloumn Ozone Retrieval from SCIAMACHY Limb-Nadir-Matching Observations.
Thesis, IUP, Bremen.
Global Fire Emission Database Update. http://www.globalfiredata.org/updates.html.
Hess, P.G.,dan Zbinden, R., (2013). Stratospheric Impact on Tropospheric Ozone Variability dan Trends: 1990-2009.
Atmos. Chem. Phys, 13:649-674.
Liu, J., Logan, J.A., Jones, D.B.A., Livesey, N.J., Megretskaia, I., Carouge, C., dan Nedelec, P., (2010). Analysis of CO
in the Tropical Troposphere using Aura Satellite Data dan the GEOS-Chem model: Insight into Transport
Characteristics of the GEOS Meteorological Products. Atmos. Chem. Phys., 10:12207-12232.
McMillan, W.W., (2007). Global Climatology of Tropospheric CO from the Atmospheric InfraRed Sounder (AIRS).
https://ams.confex.com/ams/pdfpapers/134987.pdf.
Qian, L., Hua-Feng, S., Ai-Mei, S., Jian-Chun, B.,dan Da-Ren, L., (2014). Distribution dan Variation of Carbon
Monoxide in the Tropical Troposphere dan Lower Stratosphere. Atmospheric dan Oceanic Science Letters,
7(3):218-223.
Tian, B., Manning, E., Fetzer, E., Olsen, E., dan Wong, S., (2014). AIRS Version 6 L3 User Guide. Jet Propulsion
Laboratory. California.
Ziemke, J.R., Douglass, A.R., Oman, L.D., Strahan, S.E., dan Duncan, B.N., (2015). Tropospheric Ozone Variability in
the Tropics from ENSO to MJO dan Shorter Timescales. Atmos. Chem. Phys, 15:8037-8049.
Zhang, I., Li, Q.B., Jin, J., Liu, H., Livesey, N., Jiang, J.H., Mao, Y., Chen, D., Luo, M., dan Chen, Y., (2011). Impacts
of 2006 Indonesian Fires dan Dynamics on Tropical Upper Tropospheric Carbon Monoxide dan Ozone. Atmos.
Chem. Phys, 11:10929-10946.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
: Parwati
Judul Makalah : Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di Troposfer Atas di Indonesia Berbasis Satelit
AQUA/AIRS
-864-
Variasi Spasial-Temporal CO dan Ozon di TroposferAtas di Indonesia BerbasisSatelit AQUA/AIRS (Ambarsari, N., dkk.)
Pemakalah
Diskusi
: Novita Ambarsari dan Ninong Komala (LAPAN)
:
Pertanyaan: Parwati (LAPAN)
1. Bagaimana cara untuk memvalidasi penelitian ini? Kebakaran tidak mempengaruhi ozon, faktor apa yang
paling berpengaruh?
2. Nilai yang ditampilkan diekstrasi seluruh Indonesia ataukah diambil rata-ratanya? Ataukah pada wilayah
yang terbakar pengukuran PM menggunakan satelit?
Jawaban:
1. Data dibandingkan dengan data pada spektrofotometer, MMS, dan pengukuran balon. Kebakaran lebih
berpengaruh terhadap CO, partikulat 10 dan 2.5, aerosol, black carbon, serta faktor meteorologis dan
dinamika atmosfer.
2. Untuk rata-rata dengan cara melihat konsentrasi wilayahnya, sedangkan untuk PM bisa menggunakan
aerosol dan belum ada data dari satelit.
-865-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler
di Daerah Merauke dan Sekitarnya
Analysis of Atmospheric Boundary Layer Thickness Using Doppler Radar
in Merauke and Surrounding Areas
Teguh Setyawan1*), Dhita Rahmawati2, dan Rodhi Janu Aldilla Putri2
1
2
Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado, Sulawesi Utara
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Dalam skala sinoptik, salah satu parameter meteorologi yang penting adalah lapisan batas atmosfer.
Selain sebagai parameter pendukung dalam model cuaca dan iklim, mengetahui ketebalan lapisan atmosfer dapat
membantu mengidentifikasi aerosol serta kekuatan dari proses pencampuran vertikal polutan di dalamnya. Profil
vertikal angin dari data radar Doppler C-Band Merauke yang dioperasionalkan oleh BMKG melalui Stasiun
Meteorologi Mopah Merauke dapat digunakan untuk mengidentifikasi puncak dari Convective Boundary Layer (CBL)
dan Nocturnal Boundary Layer (NBL). Puncak CBL ditandai dengan meningkatnya geser angin di atas lapisan
pencampuran, sedangkan puncak NBL ditandai dengan geser angin signifikan akibat adanya kecepatan maksimum pada
ketinggian 1-1,5 km di atas permukaan tanah. Sampel pada bulan Januari 2015 sebagai representasi bulan basah dan
bulan Juli 2015 sebagai representasi bulan kering, menunjukkan bahwa rata-rata ketebalan lapisan batas atmosfer pada
bulan basah lebih kecil dibandingkan bulan kering walaupun perbedaannya tidak cukup besar dan evolusi diurnal
lapisan batas terlihat.
Kata kunci: lapisan batas, radar Doppler, bulan basah, bulan kering
ABSTRACT- In the synoptic scale, one of the important meteorological parameters is the atmospheric boundary layer.
Aside from being a supporter of the parameters in weather and climate models, knowing the thickness of the layer of the
atmosphere can help identify aerosols and the strength of the vertical mixing of pollutants in it. The vertical wind
profile data from C-Band Doppler radar, which is operated by the BMKG Merauke through Mopah Meteorological
Station can be used to identify the peak of the Convective Boundary Layer (CBL) and Nocturnal Boundaryu Layer
(NBL). CBL peak marked by increasing wind shear over the mixing layer, while the NBL peak marked by a significant
wind shear due to the maximum speed at a height of 1-1,5 km above ground level. Samples in January 2015 as a
representative in the wet and in July 2015 as the representative of a dry month, shows that the average thickness of the
boundary layer in the wet atmosphere is smaller than the dry months although the difference was not large enough and
the evolution of the diurnal boundary layer visible.
Keywords: boundary layer, Doppler radar, wet month, dry month
1.
PENDAHULUAN
Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer adalah salah satu parameter penting dan mendasar untuk melihat
karakteristik struktur lapisan batas atmosfer seperti turbulensi, stabilitas atmosfer serta pola diurnal karena
berkaitan dengan proses transpor vertikal atau proses konveksi dan proses transfer energi yang sebagian
dipicu oleh turbulensi (Dewi, 2010). Lapisan batas atmosfer merupakan bagian dari troposfer yang secara
langsung dipengaruhi oleh permukaan bumi dan interaksi antara permukaan tanah dengan skala waktu satu
hari atau kurang (Stull, 1988). Kajian mengenai lapisan batas atmosfer sebenarnya cukup banyak dilakukan
di berbagai belahan dunia dengan segala keragaman geografis masing-masing. Umumnya kajian tersebut
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan analisis seperti analisis penyebaran polutan udara, kegiatan prediksi
cuaca maupun iklim termasuk analisis struktur lapisan batas atmosfer di suatu tempat di berbagai jenis
topografi pada saat terjadi fenomena cuaca khusus, seperti puting beliung, siklon tropis, badai guntur, dan
sebagainya.
Hal yang menjadi tantangan adalah nilai ketebalan lapisan batas atmosfer tidak dapat diukur secara
langsung melainkan harus melalui pendekatan dari profil meteorologi (simulasi), instrumen yang dapat
digunakan adalah instrumen yang datanya menggambarkan profil vertikal parameter meteorologi seperti
radiosonde, windprofiller dan radar Doppler. Radar cuaca dapat memberikan informasi pada area yang
relatif luas, pengamatan yang real time dengan resolusi spasial dan temporal yang tinggi, serta dapat
melakukan pengamatan yang berkelanjutan (Marzano dkk., 2006). Radar memancarkan pulsa berupa
-866-
Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler di Daerah Merauke dan Sekitarnya (Setyawan, T., dkk)
gelombang elektromagnetik melalui antena dengan arah lurus dan kecepatan tetap. Setelah gelombang
elektromagnetik mengenai objek, maka akan dipantulkan dan pantulan tersebut akan diterima radar
(Rinehart, 2010). Radar cuaca jenis Doppler menghasilkan 3 jenis output data, yaitu reflektifitas (Z),
kecepatan radial (V), dan lebar spektrum (W).
Penelitian mengenai variasi diurnal lapisan batas atmosfer menggunakan radar Doppler C-Band
sebelumnya pernah dilakukan di wilayah sekitar Tangerang pada berbagai bentuk topografi wilayah yaitu
laut, perkotaan dan perbukitan oleh Dewi (2013). Dalam penelitiannya, kemampuan menyerap melepas
panas dari radiasi matahari setiap tempat berbeda tergantung karakter permukaan masing-masing wilayah
dan hal ini membuat ketebalan lapisan batas atmosfer di lautan lebih kecil daripada wilayah daratan. Selain
itu nilai ketebalan lapisan batas atmosfer akan mencapai puncak saat pemanasan meningkat yaitu setelah
siang hari dan mencapai minimum pada saat menjelang fajar, terutama di daratan.
Dewi (2015) dalam analisisnya di sekitar wilayah Jakarta pada daerah dataran rendah dengan tutupan
wilayah berupa daerah perkotaan ketika kejadian hujan es dan cuaca cerah saat suhu udara maksimum
menggunakan data radar Doppler C-Band menemukan bahwa ketebalan lapisan atmosfer pada saat cuaca
buruk akan lebih tinggi dibandingkan saat cuaca cerah ditinjau dari parameter geser angin vertikal dan
spectral width. Haschiguci dkk. (1994) mengamati variasi diurnal lapisan batas atmosfer berdasarkan echo
intensity dan menemukan bahawa echo intensity maksimum berhubugan dengan puncak lapisan batas
konvektif di siang hari. Berdasarkan observasi Boundary Layer Radar ditemukan bahwa pada daerah yang
berbukit memiliki siklus diurnal lapisan batas atmosfer yang kuat.
Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan bagaimana cara menentukan tebal lapisan batas
atmosfer berdasarkan profil vertikal angin radial dan spectral width radar Doppler C-Band Stasiun
Meteorologi Mopah Merauke serta membandingkannya dengan data Radiosonde melalui identifikasi daerah
inversi dan pengurangan nilai kelembaban udara (RH) di atas lapisan isotermal.
2.
METODE
2.1 Data
2.1.1 Data Radar Doppler C-Band
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data mentah radar Doppler C-Band yang terletak di
daerah Merauke dengan format *.RAW. Raw data radar diolah menggunakan aplikasi EDGE yang
merupakan aplikasi khusus untuk radar produksi perusahaan pembuat radar tersebut yaitu Enterprise
Electronic Coorporation (EEC). Dalam menentukan tebal lapisan batas atmosfer menggunakan produk
olahan data radar Doppler C-Band yaitu produk Volume Velocity Processing (VVP) mendapatkan data
kecepatan radial (m/ s) untuk melihat arah dan kecepatan angin secara vertikal dan produk CAPPI (width
horizontal) mendapatkan data vertical cut (V Cut) untuk mendeteksi turbulensinya.
2.1.2 Data Radiosonde
Data udara atas hasil pengamatan Radiosonde jam 00.00 UTC dan jam 12.00 UTC akan digunakan untuk
mengidentifikasi puncak lapisan batas atmosfer dengan melihat wilayah yang mengalami peningkatan
temperatur potensial sebagai dasar penentuan wilayah inversi dan mengidentifikasi daerah yang mengalami
pengurangan kelembaban pada lapisan inversi tersebut.
2.1.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Stasiun Meteorologi Mopah Merauke degan koordinat 08 031’03” LS dan
0
140 25’01” BT yang merupakan daerah dataran rendah dengan tutupan wilayah berupa daerah perkotaan dan
perbukitan serta lautan, kurang lebih 100 km dari lokasi radar.
2.1.4 Waktu Penelitian
Waktu kajian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengambil sampel hari kejadian saat
cuaca cerah dan saat cuaca hujan, yaitu : a) Keadaan cuaca berawan dan hujan pada tanggal 13 Januari 2015,
b) Kejadian cuaca cerah dan tidak berawan pada tanggal 8 Juli 2015.
2.2
Metode Penelitian
2.2.1 Persiapan Awal
Identifikasi kejadian pada masing-masing site waktu kejadian melalui data sinoptik pengamatan
meteorologi Stasiun Meteorologi Mopah Merauke dan mencari tahu waktu kejadian tersebut berlangsung.
2.2.2
Pengolahan Data Radar
-867-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Hasil olahan raw data radar akan menghasilkan produk olahan dengan rincian sebagai berikut :
a)
Produk Volume Velocity Processing (VVP)
Salah satu produk radial velocity yang menampilkan beberapa parameter meteorologis secara vertikal seperti
divergensi, arah dan kecepatan angin. Dari produk ini dapat terlihat geser angin sebagai penanda puncak
lapisan batas atmosfer.
b)
Produk CAPPI (width horizontal)
Produk ini menampilkan nilai echo pada suatu ketinggian yang didapatkan oleh pengamatan radar, sehingga
dari produk ini dapat menampilkan nilai reflektifitas (dBz) yang dihasilkan oleh suatu massa udara dan
memantau pergerakan masing-masing partikel dalam awan untuk mendeteksi adanya turbulensi.
c)
Produk Vertical Cut (VCUT)
Produk ini digunakan untuk melihat struktur vertikal echo suatu kolom udara di area pengamatan. Dalam
penelitian kali ini, VCUT dilakukan pada lintang XX dan garis bujur YY.
2.2.3 Pengolahan Data Radiosonde
Running data radiosonde menggunaan aplikasi RAOB untuk mengidentifikasi daerah yang yang
mengalami peningkatan temperatur potensial sebagai daerah inversi dan melihat pengurangan nilai RH di
atas lapisan isotermal.
2.3
Diagram Alir
Diagram alir pada penelitian berikut adalah sebagai berikut pada Gambar 1:
Gambar 1. Diagram alir penelitian.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Identifikasi Kejadian
Dari citra radar produk CMAX (dBZ) radar Doppler C-Band Merauke tanggal 13 Januari 2015 terdapat
adanya tutupan partikel hidrologi di atas area Merauke sedangkan pada tanggal 8 Juli 2015 tidak terdapat
partikel hidrologi. Dua keadaan yang berbeda ini akan mempengaruhi ketinggian lapisan batas atmosfernya .
-868-
Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler di Daerah Merauke dan Sekitarnya (Setyawan, T., dkk)
(a)
(b)
Gambar 2. Citra radar produk CMAX (dBZ) radar Doppler C-Band Merauke
(a) tanggal 13 Januari 2015 pukul 07.00 WIT; (b) tanggal 8 Juli 2015 pukul 07.00 WIT
3.2 Penentuan Geser Angin dari VVP
Untuk menentukan tebal lapisan batas atmosfer, ketinggian puncak lapisan batas harus didapatkan
terlebih dahulu. Ketinggian puncak lapisan batas atmosfer dapat diidentifikasi dengan melihat profil vertikal
angin radial radar serta dengan melihat pertambahan nilai geser angin (windshear). Selanjutnya, ketebalan
lapisan batas diukur dari dasar permukaan hingga ketinggian puncak lapisan batas. Namun penentuan tebal
lapisan batas atmosfer dengan metode profil angin terdapat beberapa kondisi di mana puncak lapisan batas
sulit teridentifikasi karena profil angin yang terputus-putus, besarnya variasi profil vertikal angin serta profil
angin vertikal yang konstan di setiap ketinggian.
(a)
(b)
Gambar 3. Citra Radar Produk VVP (m/ s) Radar Doppler C-Band Merauke Pukul 04.00 – 19.00WIT (a) Tanggal
13 Januari 2015; (b) Tanggal 8 Juli 2015
Berdasarkan Gambar 3 citra radar produk VVP pukul 04.00 – 19.00 WIT di atas, kemudian dilakukan
pengolahan data secara visual untuk menentukan lapisan ketinggian yang mengalami windshear, diperoleh
hasil pada tanggal 13 Januari 2015 windshear terjadi pada ketinggian kurang lebih 1500 m (pukul 04.00
WIT), 3000 m (pukul 06.00 WIT), 2100 m (pukul 12.00 WIT), 4000 m (pukul 16.00 WIT), 4000 m (pukul
19.00 WIT). Sedangkan pada tanggal 13 Januari 2015 windshear terjadi pada ketinggian kurang lebih 1800
m (pukul 04.00 WIT), 1400 m (pukul 06.00 WIT), 1000 m (pukul 12.00 WIT), 800 m (pukul 16.00 WIT),
1000 m (pukul 19.00 WIT). Untuk melihat karakter ketinggian lapisan batas atmosfer pada dua keadaan
diatas, selanjutnya dibuat grafik perbandingan ketinggian lapisan batas atmosfer seperti yang ditampilkan
pada Gambar 4 berikut ini.
-869-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 4. Grafik Perbandingan Ketinggian Lapisan Batas Atmosfer Saat Cuaca Cerah (Garis Biru) dan Cuaca
Berawan (Warna Merah).
Secara umum tebal lapisan batas atmosfer pada saat keadaan cuaca cerah lebih tipis (puncak ketinggian
lapisan batas atmosfer lebih rendah) dibandingkan ketika cuaca berawan atau tertutup oleh partikel hidrologi
diatasnya. Hal ini menunjukkan bahwa terbentuknya lapisan batas atmosfer sebagai akibat dari interaksi
antara atmosfer dengan permukaan akan menghasilkan nilai ketebalan lapisan batas yang berbeda untuk
tempat dan kondisi atmosfer yang berbeda. Ketebalan lapisan batas atmosfer yang tipis ketika cuaca cerah ini
yang akan membuat gas polutan tertahan pada ketinggian dekat permukaan bumi dan hal ini tentu sangat
berbahaya bagi kesehatan.
3.3 Analisis Radiosonde
Analisis radio sonde adalah analisis data udara atas dengan menerbangkan balon cuaca, kemudian
seperangkat sensor yang diterbangkan bersama balon akan mencatat keadaan atmosfer atas pada tiap lapisan
ketinggian. Analisis ini dilaksanakan dua kali sehari pada jam 00.00 UTC (09.00 WIT) dan 12.00 UTC
(21.00 WIT), data yang diterima akan diolah menggunakan aplikasi Rawinsonde Observation (RAOB).
Dalam penelitian kali ini, analisis radio sonde digunakan sebagai data pembanding untuk menentukan profil
angin vertikal serta melihat pertambahan nilai geser angin (windshear). Analisis radio sonde juga dapat
digunakan untuk menentukan ketinggian lapisan batas atmosfer, yaitu dengan melihat letak lapisan inversi.
Gambar 5. Profil Udara Atas dari Analisis Radio Sonde yang Diolah Menggunakan Aplikasi RAOB
Dari Gambar 4 di atas tampak bahwa pada tanggal 8 Juli 2015 terdapat daerah inversi subsiden jam
09.00 WIT pada lapisan ketinggian 2700m dan terdapat daerah inversi yang sama pada malam hari jam
-870-
Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Doppler di Daerah Merauke dan Sekitarnya (Setyawan, T., dkk)
21.00 WIT pada lapisan ketinggian 2300m. Dan pada tanggal 13 Januari 2015 terdapat daerah inversi
subsiden jam 09.00 WIT pada lapisan ketinggian 4000m dan terdapat daerah inversi yang sama pada malam
hari jam 21.00 WIT pada lapisan ketinggian 3700m.
4.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
a. Ketinggian lapisan batas atmosfer dapat diidentifikasi dari profil vertikal angin dengan melihat
pertambahan nilai geser angin (windshear). Selanjutnya, ketebalan lapisan batas diukur dari dasar
permukaan hingga ketinggian puncak lapisan batas.
b. Ketebalan lapisan batas atmosfer pada saat cuaca berawan di mana radiasi matahari terhambat ke
permukaan bumi akan lebih tebal dibandingkan pada keadaan cuaca cerah tidak berawan. Sehingga
interaksi partikel gas polutan dengan permukaan bumi akan berbahaya ketika cuaca cerah tidak berawan
karena ketinggian lapisan batas yang rendah.
c. Berdasarkan penelitian ini, radar cuaca telah mampu menyediakan data sebagai bahan analisis ketinggian
lapisan batas melalui profil angina vertikal. Namun radar juga memiliki kelemahan tertentu. Penentuan
tebal lapisan batas atmosfer dengan metode profil angina terdapat beberapa kondisi di mana puncak
lapisan batas sulit teridentifikasi karena profil angin yang terputus-putus, besarnya variasi profil vertikal
angin serta profil angin vertikal yang konstan di setiap ketinggian.
d. Dari analisis radiosonde terlihat bahwa ketebalan lapisan batas atmosfer akan semakin besar pada siang
hari dibandingkan pada waktu dini hari dan malam hari.
Penelitian yang telah dilakukan dan tertuang dalam tulisan ini merupakan langkah awal dalam
mengoptimalkan fungsi radar cuaca sesuai dengan kebutuhan dan fenomena yang terjadi di area cakupan
radar yang salah satunya adalah untuk menentukan ketinggian lapisan batas atmosfer di mana informasi
terkait ketinggian lapisan batas ini sangat penting utamanya untuk keselamatan aktifitas penerbangan,
penanganan zat-zat polutan dan persebarannya.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini tidak akan selesai tanpa data radar cuaca Doppler C-Band milik Stasiun Meteorologi
Mopah, Merauke. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman BMKG di
Stasiun Meteorologi Mopah atas dukungan data dan dukungan kepada penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Banta, R.M., (2008). Stable Boundary Regimes from The Perspective of The Low Level Jet. Acta Geophysica, 58-87.
Dewita, A., (2015). Identifikasi Tebal Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan ata Velocity dan Spectral Width Radar
serta Parameter Turbulensi dari WRF-ARW di Daerah Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika Vol.2 No. 2. 161-170
Dewi, R., (2014). Pemanfaatan Model WRF-ARW untuk Deteksi Clear Ais Turbulence Menggunakan Turbulence Index
dan Richardson Number. (Skripsi Program Sarjana Terapan Meteorologi), STMKG (School of Meteorology
Climatology and Geophysics), Tangerang Selatan.
Dewi, S., (2013). Identifikasi Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Profil Angin Radar Doppler di Daerah
Tangerang dan Sekitarnya. (Skripsi Program Strata I Meteorologi), ITB (Bandung Technology University),
Bandung.
Hadi, T.W., dkk., (2000). Tropical Sea-Breeze Circulation and Related Atmospheric Phenomena Observed with L-Band
Boundary Layer Radar in Indonesia. Journal of The Meteorological Society of Japan Vol. 78 No. 2. 123-140.
Kaimal, J.C., dan Finnigan, J.J., (1994). Atmospheric Boundary Layer. Oxford University Press: New York.
Listiaji, E. (2009). Simulasi Curah Hujan di Atas Pulau Lombok Studi Kasus Bulan Januari 2007. (Skripsi Program
Strata I Meteorologi), ITB (Bandung Institute of Technology), Bandung.
Rinehart, R.E., (2010). Radar for Meteorologist (Fifth Edition). Rinehart Publishing: Nevada.
Seibert, R.B., dkk., (1997). Mixing Height Determination for Dispersion Modelling. COST Action 710.
Stull, R.B., (1988). An Introduction to Boundary Layer Meteorology. Kluwer Academic Publishers: Dordrecht.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
-871-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
Diskusi
: Analisis Ketebalan Lapisan Batas Atmosfer Menggunakan Radar Dopler
Daerah Merauke dan Sekitarnya
: Teguh Setyawan (BMKG)
:
di
Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN)
Apa kegunaan dari mengetahui lapisan batas atmosfer? Apa dampak tinggi rendah lapisan batas atmosfer
bagi aktifitas masyarakat?
Jawaban:
Dengan memiliki pengetahuan terkait ketebalan lapisan atmosfer akan membantu pihak terkait utamanya
dalam kegiatan mitigasi ataupun tindakan preventif kejadian bencana atau membahayakan masyarakat.
Misalkan, ketika kita tahu bahwa keadaan cuaca cerah makan ketebalan lapisan atmosfer akan lebih rendah.
Berarti partikel polutan akan terkonsentrasi dekat permukaan bumi dan ini tentu berpengaruh terhadap
kesehatan masyarakat.
-872-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan
Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting
Beliung di Kabupten Gianyar, Bali Tanggal 10 Maret 2015)
Interpretation Potential of Cloud Convective Rainfall Using
Doppler Radar and Satellite MTSAT (Case Study of Mini Twister
in the Gianyar, Bali Date March 10th, 2015)
I Gusti Ayu Putu Putri Astiduari1,*), dan Maria Budiarti2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
2
Badan Meteorologi KlimatologidanGeofisika
*)
E-mail : [email protected]
ABSTRAK– Tantangan bagi seorang prakirawan cuaca dewasa ini yakni dapat memberikan prakiraan cuaca dan yang
lebih utama yaitu peringatan dini yang tepat dan akurat terutama pada musim transisi. Pada musim transisi terdapat
cukup banyak fenomena cuaca ekstrem yang terjadi di wilayah Indonesia seperti putting beliung. Radar cuaca dan
satelit telah menjadi salah satu alat pendukung dalam proses analisis dan memprakirakan cuaca. Oleh karena itu
dilakukan analisis dan interpretasi pada kasus putting beliung di Gianyar pada tanggal 10 Maret 2015 mengena
iintensitas hujan yang dibawa oleh awan konvektifnya. Dari citra satelit dapat diketahui pertumbuhan awan konvektif
dengan melihat time series brightness temperature-nya. Kemudian dari radar cuaca dapat diperoleh informasi mengenai
tracking awan penyebab putting beliung tersebut berasal dan dari produk CMAX, reflektivitas awannya mencapai 63
dBz. Setelah citra radar cuaca dikonversi menjadi format .nc yang kemudian dikonversi menjadi format ASCII, dengan
tujuan agar dapat diolah untuk diestimasi curah hujannya. Apabila penelitian ini dikembangkan, maka prakirawan dapat
menggunakan metode ini sebagai pembantu dalam membuat peringatan dini.
Kata kunci: Radar cuaca, Satelit, Intensitas Curah Hujan, Awan Konvektif
ABSTRACT – The challenge for a weather forecaster nowadays is they can provide weather forecasts and more
primary is early warning that precise and accurate, especially during the transition period. In the transitional seasons
there are quite a lot of extreme weather phenomenas that occur in Indonesia, such as a mini twister. Weather radar and
satellite have become one of the support tools in the process of analysis and weather forecasting. Therefore the analysis
and interpretation in the case of the mini twister in Gianyar on March 10, 2015 regarding the intensity of the rainfall
brought by it’s convective cloud. From satellite imagery, can be known the information about the growth of convective
clouds as we can see through the time series of brightness temperature. Then from weather radar, we can get
information about the cloud path regarding the cause of the mini twister came and from product CMAX, reflectivity of
cloud is reaching 63 dBz. After a weather radar image is converted into a format .nc which is then converted to ASCII
format, with the aim that can be processed to estimate rainfall. If the research is developed, the forecaster can use this
method as a helper in making early warning.
Keywords: Weather Radar, Satellite, Rainfall Intensity, Convective Clouds
1.
PENDAHULUAN
Bali termasuk daerah dengan pola hujan monsunal yang mengikuti pola pergerakan angin muson. Saat
musim penghujan, sering terjadi fenomena cuaca yang terkait dengan hidrometeor. Namun, fenomena cuaca
ekstrem tidak hanya terjadi pada musim penghujan saja, melainkan pada musim pancaroba juga, seperti
adanya fenomena hujan lebat, hingga menyebabkan banjir, tanah longsor, selain itu puting beliung juga
cukup sering terjadi di musim ini.Fenomena puting beliung berpengaruh pada kondisi perawanan, khususnya
awan konvektif seperti awan Cumulus (Cu), dan Cumulonimbus (Cb). Sifat hujan yang dibawa oleh awan
konvektif ini cenderung berdurasi singkat namum berintensitas tinggi sehingga perlu menjadi perhatian
khusus.
Alat yang dapat dipergunakan untuk mengobservasi posisi dan pergerakan serta potensi badai yang
dibawa oleh awan adalah radar cuaca dan satelit. Radar doppler telah mampu memberikan informasi
mengenai pergerakan dari obyek, di mana pada generasi sebelumya hanya menampilkan data reflektivitas
(FCMSSR, 2005), sehingga pada generasi sekarang telah dapat memberi informasi mengenai kondisi cuaca
pada derah terkait. Satelit cuaca dapat memberi informasi mengenai ketinggian awan dilihat dari atas dengan
-873-
Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus
Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.)
memanfaatkan suhu puncak awannya. Klasifikasi awan dengan citra hasil pengamatan satelit juga
berdasarkan tinggi puncak awan. Pada tingkat perkembangan awan-awan konvektif, yang paling tinggi
adalah puncak Cumulonimbus (Cb) yang sedang berkembang, diikuti oleh Congestus (Cg), dan yan terendah
yaitu Cumulus (Cu) yang kurang berkembang (sumber: satelit.bmkg.go.id). Selain itu, kandungan uap air
yang terkandung di dalam suatu sel juga dapat membantu dalam mengategorikan jenis awan. Semakin putih
awannya, maka mengindikasikan semakin padat awan yang ada dan dapat diidentifikasi sebagai
Cumulunimbus (Cb). Radar dan satelit cuaca akan sangat membantu para pengamat dan prakirawan untuk
memantau daerah yang sulit dijangkau akibat keterbatasan fasilitas pendukung, di mana data menjadi sulit
didapatkan.
Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba melakukan pengkajian mengenai potensi hujan yang dibawa
oleh awan konvektif pada kasus puting beliung di wilayah Gianyar, Bali tanggal 10 Maret 2015 dengan
memanfaatkan citra radar dan satelit. Adapun dari penelitian ini bila dapat dikembangkan lebih lanjut untuk
ke depannya, semoga dapat membantu dalam memberikan peringatan dini kepada masyarakat terkait potensi
cuaca buruk khususnya hujan yang dibawa oleh awan konvektif.
2.
METODE
Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian berupa analisis deskriptif dari studi kasus
puting beliung yang terjadi di desa Sidan, Gianyar, Bali pada tanggal 10 Maret 2015 jam 09.10 UTC.
Pertama, penulis melakukan survei ke daerah terdampak guna mewawancarai warga yang menjadi korban
dari fenomena ini untuk memperolah informasi mengenai waktu kejadian dan seperti apa dampak yang
diberikan oleh bencana tersebut. Kemudian dilakukan pengolahan data citra satelit dan radar untuk
mengetahui seperti apa dinamika atmosfer dan potensi badai pada saat kejadian. Analisis akan dilakukan
pada pukul 08.00 – 11.00 UTC tanggal 10 Maret 2015.
2.1 Peralatan dan Data Penelitian
2.1.1 Peralatan Penelitian
Dalam menunjang penelitian ini digunakan beberapa peralatan untuk menunjang dalam proses
penelitian yang dilakukan berupa aplikasi sebagai berikut:
a. SATAID untuk mengolah data satelit
b. EGDE untuk mengolah data radar
c. JFEWS,dan Arc-GISuntuk mengolah data radar yang akan diestimasi curah hujannya.
a. Pengolahan Citra Satelit
Penggunaan kanal infrared (IR) merupakan distribusi suhu dan dapat diamati baik pada siang
dan malam hari. Pada citra IR, bagian dari suhu rendah akan divisualisasikan dengan citra yang
terang sedangkan bagian gelap bermakna suhu tinggi. Suhu yang rendah (dingin) menandakan awan
tersebut berada pada ketingiaan yang lebih tinggi, sehingga warna terang akan mengindikasikan
awan dengan ketinggian yang lebih tinggi. Suhu yang dingin tidak selalu menunjukkan puncak awan
konvektif tetapi juga dapat ditunjukkan oleh awan – awan tinggi seperti Cirrus yang terdiri dari
kristal-kristales. Kanal water vapour (IR3) dapat membantu untuk mendeteksi keberadaan awan
Cumulunimbus. Kanal IR3 yang menggunakan radiasi dari kandungan uap air dapat digunakan
untuk mengetahui jenis awan. Benda yang warnanya semakin putih dan padat akan semakin banyak
memantulkan radiasi, sehingga akan berwarna lebih terang. Adapun kelebihan dari kanal infrared
dan water vapor dibandingkan dengan kanal visible yaitu dapat dipakai baik pada siang hari maupun
malam hari.
b. Pengolahan Citra Radar
Radar cuaca adalah alat untuk membantu mengamati cuaca secara khusus berupa awan, arah dan
kecepatan angin dalam radius yang cukup luas hingga ratusan kilometer dengan resolusi kurang
lebih 300 m (Zakir dkk., 2009). Radar cuaca merupakan alat penginderaan jarak jauh aktif,
maksudnya radar mentransmitkan pulse yang akan mendeteksi keberadaan objek dan mengukur
kekuatan reflektivitas dari objek tersebut, dimana bergantung pada komposisi dan diameter objek,
khususnya pada objek hidrometeor.
Pengolahan citra radar cuaca akan menggunakan software EDGE untuk radar EEC di Balai
Besar Wilayah III Bali yang akan menghasilkan produk dengan rincian sebagai berikut:
a. CMAX
-874-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Menampilkan nilai echo maksimum yang didapatkan pengamatan radar pada suatu kolom.
b. Stormtrack
mengidentifikasi dan men-track sel badai (storm) dari pergerakan sel sebelumnya, dan sel yang
sedang terbentuk saat ini.
c. VIL (Vertical Integrated Liquid)
Menampilkan prakiraan kandungan uap air secara vertikal yang terdapat pada lapisan atmosfer.
c. Pengolahan Estimasi Curah Hujan
Teknik yang dipakai dalam mengestimasi curah hujan pada penelitian ini adalah QPE
(Quantitative Precipitation Etimation) yang akan mengestimasi curah hujan tanpa observasi
aktual, khusunya menggunakan observasi remote sensing (Tanaka, 2014). Data QPE radar dalam
format .nc dikonversi terlebih dahulu menjadi format ASCII dengan bantuan aplikasi JFEWS,
yang selanjutnya dengan menggunakan aplikasi ArcGIS untuk diestimasi curah hujannya.
2.1.2 Data Penelitian
Adapun data yang dipergunakan untuk penelitian ini yaitu sebagai berikut:
a. Data citra satelit MTSAT tanggal 10 Maret 2015.
b. Data radar cuacadari Balai Besar Wilayah III Bali tanggal 10 Maret 2015.
3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Deskripsi dari Warga
Kejadian putting beliung terjadi di Desa Sidan, kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar pada koordinat
sekitar 115o17’BT; 8o31’ LS. Penjelasan dari beberapa warga bahwa mereka melihat adanya pilin udara
terbentuk dari ujung awan hitam yang besar sekitar pukul 17.00 WITA. Sebelum kejadian tersebut
berlangsung, sekitar pukul 16.00 WITA, langit dengan cepat menjadi mendung, awan bertumbuh secara
massif dan disertai angin yang kencang, beberapa saat setelahnya, mulai turun gerimis dengan panjang waktu
yang tidak lama. Saat hujan berhenti, pilin udara mulai terbentuk dan menerbangkan atap-atap rumah dan
pohon serta merusak bangunan pura, kemudian hujan turun kembali bersamaan dengan kejadiang putting
beliung ini. Pada kenyataannya, sebelum memasuki desa Sidan, putting beliung ini telah melewati desa di
sebelah utaranya, yaitu desa Guliang, Bangli. Menurut penuturan Jero Wayan Sujigra selaku kepala Bendesa
Adat Sidan, Gianyar, putting beliungt ersebut, bergerak dari Utara menuju Selatan, kemudian berbelok dari
Barat ke Timur. Putting beliung ini muncul dan menghilang (berlompat-lompat). Hampir 95% rumah warga
rusak, dengan jumlah 7 rumah warga yang rusak parah, sekitar 5 orang luka-luka dengan 1 orang hingga
dirawat ke rumah sakit. Berdasarkan kriteria pengklasifikasian dari Enhanced Fujita scale, kondisi ini masuk
ke dalam skala F0-F2, di mana dicirikan dengan beberapa kejadian, seperti: cabang pohon patah; pohon
berakar dangkal tumbang; jendela rumah rusak; genteng atap rumah terbang; mobil terbalik; atau berbalik
arah; atap rumah tercabut; mobil rusak; pohon besar tumbang; dan benda ringan terlempar seperti misil
(sumber: http://www.spc.noaa.gov/faq/tornado/f-scale.html).
3.2 Citra Satelit MTSAT
Pada grafik time series suhu puncak awan yang diambil dari data Brightness Temperature citra satelit
MTSAT tanggal 10 Maret 2015 dapat diketahui bahwa pada saat kejadian putting beliung adalah saa tawan
konvektif sedang mengalami pertumbuhan, terlihat dari suhu yang semakin rendah sejak pukul 04.00 UTC
hingga pukul 18.00 UTC.
-875-
Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus
Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.)
S
U
H
U
Grafik Suhu Puncak Awan Tanggal 10 Maret 2015
Koordinat 115o17' BT; 8o31' LS
11,5 8,1 8,6
20
0
-14
A
-19,4
-21,5
W
-20
-37,4-33,8
P
-38,9-38,9
-41,5
-42,6
A
-46,6
-51,6
-52,1-50,3 -56,5
-52,1
U
-40
-58,6-61,7-60,4
N
-63-59,8
N
-60
-74,9
C
-80
A
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
K
S Puncak Awan (C) -52 -43 -19 -14 12 8,1 8,6 -22 -37 -34 -52 -50 -42 -57 -47 -59 -62 -60 -75 -63 -60 -52 -39 -39
Waktu (UTC)
Gambar1. GrafikTime SeriesSuhuPuncakAwan di desaSidan
Dengan menggunakan citra satelit MTSAT kanal water vapor (IR3) dapat dilihat posisi awan Cb yang
menyebabkan adanya putting beliung. Bagian awan yang lebih putih menandakan kandungan uap air yang
lebih banyak dibandingkan dengan awan yang berwarna lebih keabuan.
Gambar2. Citra Satelit kanal IR3 pada Wilayah Bali Pukul 08.00 – 11.00 UTC
Sejak pukul 08.00 UTC, awan berkembang dan bergerak dari arah Barat menuju Timur, kemudian antara
pukul 09.00 dan pukul 10.00 UTC ada pertumbuhan awan yang sangat massif di atas pulau Bali
(kemungkinan terjadi pertumbuhan sel-sel awan konvektif baru pada rentang waktu ini), di mana tepatnya
pada pukul 09.10 UTC terjadi putting beliung di daerah desa Sidan. Selanjutnya awan bergerak kearah Timur
hingga pukul 11.00 UTC yang akhirnya mulai pecah dan bergabung dengan awan di sebelah Selatannya.
3.3 Citra Radar
3.3.1 ProdukStormtrack
Dari hasil olahan produk stormtrack yang di disetting untuk awan dengan reflektivitas di atas 30 dBz,
terlihat bahwa pergerakan awan bibit badai sebelum putting beliung terjadi bergerak dari Barat menuju
ke Timur di mana pada pukul 09.00 UTC mulai tumbuh di daerah perbatasan Kabupaten Klungkung dan
Gianyar. Jadi awan penyebab putting beliung ini bukanlah berasal dari bagian barat pulau Bali,
melainkan merupakan awan yang tumbuh dengan sangat cepat tepat di atas desa Sidan.
-876-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(a) Pukul 08.00 UTC
(b) Pukul 08.30 UTC
(c) Pukul 09.00 UTC
(d) Pukul 09.30 UTC
(e) Pukul 10.00 UTC
(f) Pukul 10.30 UTC
Gambar 3. Produk Stormtrack Pukul 08.00 – 10.30 UTC
3.3.2
Produk CMAX
(a) Pukul 08.00 UTC
(b) Pukul 08.30 UTC
-877-
(c) Pukul 09.00 UTC
Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus
Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.)
(d) Pukul 09.30 UTC
(e) Pukul 10.00 UTC
(f) Pukul 10.30 UTC
(g) Pukul 11.00 UTC
Gambar4. Produk CMAX Pukul 08.00 – 11.00 UTC
Produk CMAX menunjukkan nilai intensitas (reflektivitas) maksimum antara dua ketinggian untuk setiap
sel dari suatu volume. Bibit sel badai mulai tumbuh pada pukul 08.00 UTC, dan setiap kelipatan 10 menit
terus mengalami kenaikan reflektivitas yang menandakan sel mengalami pertumbuhan. Waktu pertumbuhan
awan (sel badai) sejak baru tumbuh hingga terjadi putting beliung sangat cepat, hanya dalam waktu 1 jam
saja, dan pada titik terjadinya putting beliung baru teramati adanya kenaikan reflektivitas 20 menit sebelum
kejadian, di mana puncaknya yaitu pada pukul 09.10 UTC dengan nilai reflektivitas maksimum 63 dBz dan
kemudian berangsur – angsur terus mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Grafik CMAX Tanggal 10 Maret 2015
Koordinat 115o17’ BT; 8o31’ LS
C
M
A
X
70
50
30
10
-10
Series1
48
0
0
0
53
58
63
58
38
0
23
18
10
-10
-10
-10
0
-10
0800 0810 0820 0830 0840 0850 0900 0910 0920 0930 0940 0950 1000 1010 1020 1030 1040 1050 1100
0
0
0
0
48 53 58 63 58 38 23 18 -10 10 -10 -10 0
0 -10
Waktu (UTC)
Gambar5. Grafik Time Series Nilai Reflektivitas di desa Sidan
3.3.3
0
Produk VIL
(a) Pukul 08.00 UTC
(b) Pukul 08.30 UTC
-878-
(c) Pukul 09.00 UTC
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
(d) Pukul 09.30 UTC
(e) Pukul 10.00 UTC
(f) Pukul 10.30 UTC
(g) Pukul 11.00 UTC
Gambar6. Produk VIL Pukul 08.00 – 11.00 UTC
Vertical Integrated Liquid (VIL) menampilkan kandungan air yang terdapat pada suatu kolom awan
secara vertikal. Pada awal kemunculan bibit awan badai penghasil putting beliung di radar, kandungan
air secara vertikal hanya berkisar 0,5 kg/m2. Selanjutnya,pada setiap kelipatan 10 menit dari citra radar,
terlihat adanya pertumbuhan awan ditinjau dari makin luasnya cakupan awan yang terlihat dari
kandungan air dalam satu kolom vertikal awan dengan puncak pertumbuhan berada pada pukul 09.10
UTC (tidak ditampilkan) dimana jumla hkandungan air mencapai 20,00 kg/m2 di bagian inti awan badai.
Setelah mencapai pertumbuhan puncak, citra radar mulai menunjukkan penurunan jumlah kandungan air
pada inti awan badai, walaupun luas area awan bertambah.
3.4 Estimasi Curah Hujan
Dari grafik estimasi curah hujan yang diolah terlebih dahulu pada ArcGIS pada koordinat115o17’BT;
o
8 31’LS di atas didapat bahwa setelah pukul 10.20 UTC hujan diestimasi sebesar 0,3 mm. Bila disesuaikan
dengan penjelasan dari warga yang menyatakan bahwa pada saat sebelum, saat kejadian dan sesudah
keajdian terdapat hujan secara terputus – putus. Ini kemungkinan terjadi sesuatu yang lebih bersifat teknis
saat pengkonversian dari data .vol menjadi .nc. Tetapi secara umum, adapun bentuk dari awan saat di olah
pada ArcGIS dengan tampilan awan pada aplikasi EEC dan SATAID telah cukup mirip. Semoga kedepannya
data akan semakin baik lagi.
Estimasi Curah Hujan
C
U
R
A
H
H
U
J
A
N
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Estimasi RR
080 081 082 083 084 085 090 091 092 093 094 095 100 101 102 103 104 105 110
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Waktu (UTC)
Gambar 7. Grafik Time SeriesEstimasi Curah Hujan di desa Sidan
-879-
0
0
0,3 0,3 0,3
Interpretasi Potensi Curah Hujan dari Awan Konvektif dengan Menggunakan Radar Doppler dan Satelit MTSAT (Studi Kasus
Puting Beliung di Kabupten Bangli, Bali Tanggal 10 Maret 2015) (Astiduari, I .G.A. P. P., dkk.)
4.
KESIMPULAN
Adapun dari penelitian ini didapat kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari olahan citra satelit bahwa puting beliung terjadi saat awan badai sedang dalam keadaan bertumbuh.
2. Dari olahan radar, puting beliung terjadi saat mencapai reflektivitas maksimumnya, di mana bibit awan
badai bukanlah berasal dari awan di bagian Barat Bali, namun dari pertumbuhan awan baru yang sangat
cepat bertumbuh.
3. Dari estimasi curah hujan, didapat hasil yang kurang memuaskan(underestimate), dimungkinkan karena
adanya reflektivitas yang hilang saat data raw dirubah menjadi format .nc (data QPE).
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada Pak Idaam Hairuly Umam, S.Si dan Raaina Farah Nur Annisa atas
bantuannya dalam membantu penyelesaian makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
BMKG. Lampiran 1 : Prosedur Identifikasi Awan Dengan Citra Satelit Mtsat. Diunduh Tanggal 12 Juni 2016
Darisatelit.Bmkg.Go.Id/Bmkg/Other/Pdf/7.%20prosedur%20identifikasi%20awan.Pdf
Fcmssr. (2005). Doppler Radar Meteorological Observations (Part B: Doppler Radar Theory And Meteorology).
Washington, Dc.
Noaa. Fujita Tornado Damage Scale. Http://Www.Spc.Noaa.Gov/Faq/Tornado/F-Scale.Html. Tanggalakses : 5
Desember 2015.
Tanaka, N. (2014). Quantitative Precipitation Etimation. Regional Training Workshop On Weather Radar Basis &
Routine Maintenance And Real-Time Radar Rainfall & Forecasting. Bangkok.
Zakir, A., Sulistya, W., dan Mia K.K., (2009). Perspektifoperasionalcuacatropis. Bmkg. Jakarta.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
: Dr. Indah Prasasti
: Interpretasi Potensi Curah hujan Dari Awan konvektif Dengan Menggunakan Radar
Doppler & Satelit MTSAT (Studi Kasus Puting Beliung di Kab. Bangli, Bali. Tanggal
10 Maret 2015)
Nama Pemakalah : I Gusti Ayu Putu Putri Asti Duari (STMKG)
Diskusi
:
Pertanyaan: Ninong Komala (LAPAN)
1. Seberapa pentingkah data wawancara?
2. Untuk mendeteksi adanya puting beliung, berapakah waktu yang ideal untuk data yang tepat digunakan?
Jawaban:
1. Data wawancara penting untuk melakukan crosscheck di lapangan, karena banyak data dari BNPB
tercatat sebagai puting beliung padahal hanya angin biasa (bukan puting beliung). Sehingga wawancara
sangat diperlukan untuk mengetahui kebenaran di lapangan
2. Jangka waktu yang ideal berdasarkan referensi adalah sekitar 6 jam sebelum terjadinya puting beliung
Pertanyaan: Boni Septian (BMKG)
1. Apakah terdapat signature khusus selain suhu? Misalnya seperti citra satelit untuk mendeteksi puting
beliung?
2. Apakah sudah dilakukan crosscheck dengan hasil wawancara warga terhadap estimasi curah hujan yang
underestimated?
Jawaban:
1. Untuk saat ini penulis belum mengetahui terkait signature lain selain suhu.
2. Estimasi curah hujan memang underestimated, dan wawancara perlu dilakukan untuk membuktikan
kebenaran terjadinya puting beliung. Berdasarkan hasil wawancara, Kepala Desa mengatakan ada hujan 1
-880-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
jam sebelum dan beberapa jam setelah puting beliung, sedangkan estimasinya hanya ada hujan setelah
puting beliung terjadi
-881-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line
(Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014)
Utilization of Weather Radar to Identify Squall Line
(Case Study Tarakan, North Borneo Province July 17, 2014)
Muhammad Hermansyah
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, BMKG
[email protected]
ABSTRAK - Hujan lebat dan angin kencang akan sangat berbahaya apabila tidak dideteksi secara dini sebagai bahan
peringatan cuaca ekstrem kepada masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan berbagai kajian mengenai fenomena cuaca
yang dapat mengakibatkan cuaca ekstrem. Salah satunya berkaitan dengan kemunculan fenomena squall line dari
pengamatan radar cuaca di Tarakan Kalimantan Utara pada tanggal 17 Juli 2014. Berdasarkan laporan Stasiun
Meteorologi Tarakan, kecepatan angin akibat squall line mencapai 51 km/jam. Fenomena cuaca ini sangat berbahaya
karena terdiri dari barisan awan cumulonimbus yang dapat mengakibatkan cuaca ekstrem seperti hujan lebat, angin
kencang dan badai guntur. Selain itu dapat mengakibatkan turbulensi yang membahayakan pesawat terbang. Analisis
squall line dilakukan dengan menggunakan data reflektifitas dan velocity radar cuaca doppler produk Cmax, Srv dan
Vcut. Fase awal pertumbuhan squall line dapat dideteksi berdasarkan pembentukan beberapa single cell yang
menunjukkan pertumbuhan awan konvektif tunggal. Pada fase matang, pola squall line terlihat jelas dengan
terbentuknya multi cell yang terdiri dari wilayah konvektif dan stratiform. Wilayah konvektif merupakan daerah
pertumbuhan awan cumulonimbus dengan nilai reflektifitas 30-55dBZ dan memiliki potensi hujan lebat. Sedangkan
wilayah stratiform memiliki nilai reflektifitas 10-30 dBZ dengan potensi hujan ringan hingga sedang. Data velocity
produk Srv menunjukkan pola konvergensi atau pertemuan arus angin di sepanjang wilayah konvektif pada fase
matang. Sementara Produk Srv Vcut mendeteksi kecepatan angin maksimum sekitar 45-60 km/jam yang bergerak ke
arah timur mendekati pusat radar. Pada fase akhir sistem squall line, data velocity menunjukkan pola divergensi atau
penyebaran arus angin yang mengindikasikan berakhirnya squall line serta berakhirnya potensi cuaca ekstrem.
Kata kunci: Squall line, Cuaca ekstrem, Radar cuaca, Cumulonimbus
ABSTRACT - Heavy rains and strong winds will be very dangerous if not detected early as a matter of extreme
weather warnings to the public. It is necessary for studies concerning weather phenomena which can lead to extreme
weather. One of them relates to the emergence phenomenon squall line of weather radar observations in Tarakan North
Borneo on July 17, 2014. Based on the report from Meteorological Station Tarakan, wind speed due to the squall line
reaches 51 km / h. This weather phenomenon is very dangerous because it consists of a row cumulonimbus cloud that
can lead to extreme weather such as heavy rain, strong winds and thunderstorms. Moreover, it can cause turbulence
that endangers aircraft. Squall line analysis conducted using reflectivity and velocity data of Doppler weather radar
product Cmax, Srv and Vcut. The early phases of growth squall line can be detected by the formation several single
cells that show the growth of a single convective cloud. In the mature phase, the pattern is clearly visible squall line
with the formation multi-cell consisting of the convective and stratiform region. Convective region is an area of
growing cumulonimbus clouds with 30-55dbZ reflectivity value and potential heavy rain. While the stratiform region
has a reflectivity value 10-30dbz and has the potential of light rain to moderate rain. Velocity data on Srv products
showed a pattern convergence or meeting of wind currents that occur in mature stage along the convective region.
While products Srv Vcut detected maximum wind speed of about 45-60 km / h moving eastward closer to the radar
center. In the final phase of the squall line system, the velocity data show pattern divergence or spread wind flow which
indicates the end of the squall line and the end of extreme weather potential.
Keywords: Squall line, Extreme Weather, Weather Radar, Cumulonimbus
1. PENDAHULUAN
Tarakan merupakan wilayah kepulauan di sebelah timur Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang
memiliki pola hujan equatorial dengan dua puncak hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk
dalam kriteria musim hujan. Kejadian hujan lebat dan angin kencang sering terjadi pada malam hari namun
belum diketahui pasti penyebabnya. Berdasarkan pengamatan cuaca Stasiun Meteorologi Tarakan, pada
tanggal 17 Juli 2015 melaporkan adanya kejadian hujan disertai angin kencang hingga mencapai kecepatan
-882-
Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014)
(Hermansyah, M.)
51 km/jam yang terjadi pada malam hari. Hal ini didukung oleh data radar cuaca yang menunjukkan adanya
barisan memanjang awan cumulonimbus yang disebut sebagai fenomena Squall line.
Squall line yang terjadi di wilayah Kalimantan Utara merupakan kajian yang cukup menarik untuk di
teliti karena dapat menghasilkan cuaca ekstrem seperti hujan deras, angin kencang, hujan es besar, dan petir.
Selain itu keberadaan squall line sangat berbahaya untuk penerbangan karena dapat mengakibatkan
turbulensi yang menyebabkan kerugian bagi penerbangan seperti kecelakaan, kerusakan pesawat, kerugian
bahan bakar, dan penundaan penerbangan. International Civil Aviation Organization (ICAO) mencatat
kecelakaan akibat turbulensi pada periode 2012-2014 mencapai 47 kecelakaan, atau sekitar 16% dari total
287 kecelakaan.
Kemajuan teknologi saat ini mampu menghasilkan instrumentasi peralatan pengamatan cuaca yang dapat
mendeteksi berbagai unsur dan fenomena cuaca seperti squall line secara realtime. Salah satunya adalah
radar cuaca yang diharapkan dapat mendeteksi fase pertumbuhan dan sistem struktur squall line. Manfaat
dari penelitian ini sebagai salah satu upaya meningkatkan pemahaman tentang pola squall line yang
terbentuk di wilayah Kalimantan Utara berdasarkan pengamatan radar cuaca doppler. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk penelitian lebih lanjut terhadap fenomena squall line serta
secara khusus dapat meningkatkan sistem peringatan dini cuaca ekstrem akibat fenomena squall line.
2. METODE
2.1 Data, Peralatan, Dasar Teori
Radar cuaca adalah alat pengamatan cuaca yang mampu menyediakan pengukuran kuantitatif dari gust
front, windshear, microbursts, dan deteksi dini bahaya cuaca (Wardoyo, 2015). Selain itu radar cuaca
digunakan untuk mendeteksi dan melacak fenomena cuaca buruk secara realtime dalam upaya memberikan
peringatan dini. Dalam melakukan pengamatan cuaca, radar memancarkan gelombang elektromagnetik yang
dihasilkan transmitter melalui waveguide hingga ke antenna sistem dan disebarkan ke atmosfir. Keunggulan
radar cuaca dibandingkan dengan pengamatan penginderaan jauh yang lainnya adalah kemampuan
gelombang elektromagnetik yang dipancarkan radar cuaca dalam menembus ke dalam struktur awan hujan
dan mengambil sampling dari kondisi droplet yang ada dalam struktur awan hujan dan badai sehingga
mampu memberikan gambaran secara detail dan cepat tentang kondisi serta struktur dari awan badai.
Radar memiliki bermacam-macam kelas yang dibedakan berdasarkan kegunaan dan material yang
diamati, jenis penggunaan dan juga frekuensi operasional. Khusus pengamatan radar cuaca, yang paling
berperan adalah klasifikasi radar cuaca berdasarkan frekuensi kerja yang digunakan radar dalam melakukan
pengamatan. Kelas dan jenis radar berdasarkan frekuensi radar cuaca dibagi menjadi beberapa kelas pada
(Gambar 1) di bawah ini.
Gambar 1. Band Frekuensi dan Panjang Gelombang Radar Cuaca
Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengamatan radar cuaca adalah frekuensi dan
panjang gelombang (Wavelength), yang digambarkan dalam persamaan sebagai berikut:
f = c/Λ ……………………..................................................................................................................................(1)
di mana f adalah Frekuensi dalam hertz (1 Hz = 1 Cycle/detik), c adalah kecepatan rambat cahaya biasanya
diukur dalam m/dtk dan Λ adalah panjang Gelombang (wavelength).
-883-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Data radar cuaca doppler dapat diolah menjadi beberapa produk berdasarkan kebutuhan dan karakteristik
sebagai berikut (Wardoyo, 2015):
1. Reflektifitas (Z)
Menyatakan besaran reflektifitas energi yang kembali dari obyek dan tergantung pada ukuran, bentuk,
dan komposisi objek. Radar cuaca menampilkan lokasi dan intensitas (reflektifitas) dari target
meteorologi seperti hujan dan badai. Semakin besar objek dan energi yang diterima maka semakin besar
nilai dBZ-nya.
Gambar 2. Nilai dBZ dan Fenomena
Berdasarkan Gambar 2 klasifikasi fenomena dan nilai reflektifitas di atas, hal paling penting yang
harus dipahami dalam melakukan analisis nilai reflektiftas adalah mengenali karakteristik echo presipitasi
dan non presipitasi, mengingat begitu lebarnya range intensitas echo clutter yang memiliki nilai yang
hampir sama dengan kondisi semua fenomena meteorologi yang ada sehingga sangat penting untuk
mengetahui karakterisik dari clutter echo dan menghindari kesalahan interpretasi.
Skala dBZ pada nilai reflektiftas berkisar 5 - 75 yang dinyatakan dengan gradasi warna biru langit
hingga ungu muda. Jika gradasi warna semakin ke arah ungu maka semakin tinggi intensitas hujannya.
Kisaran intensitas hujan berdasarkan skala warna dBZ dan mm/jam disajikan seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1. Kisaran Intensitas Hujan Berdasarkan Skala dBZ
Kategori Intensitas Hujan Nilai dBZ
Hujan ringan
30 s/d 38
Hujan sedang
38 s/d 48
Hujan lebat
48 s/d 58
Hujan sangat lebat
>58
Sumber: BMKG
Mm/Jam
1 s/d 5
5 s/d 10
10 s/d 20
>20
2. Velocity (V)
Radar doppler dapat mengukur gerakan target menuju atau menjauh dari radar kemudian digunakan untuk
menentukan kecepatan angin. Radar doppler mengukur kecepatan secara rutin dan digunakan untuk
mendeteksi kecepatan angin, tornado, angin topan. Data velocity juga memberikan gambaran tentang fase
sistem hujan atau badai, apakah sedang masa tumbuh, matang atau proses peluruhan sehingga dapat
memprediksi peluang dan durasi hujan. Pola couplet echo velocity juga memberikan informasi tentang
adanya potensi rotasi. Selain itu data velocity dipergunakan sebagai media validasi terhadap echo
reflektifitas/intesitas untuk mengenali echo meteorologi, karena umumnya pola hujan memiliki pola yang
berbeda dengan echo lainnya. Dan khususnya untuk echo Ground Clutter memiliki nilai kecepatan radial
nol.
Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan adalah radar cuaca doppler C band (4-8 GHZ) yang berada
di Stasiun Meteorologi Tarakan Kalimantan Utara. Data yang digunakan adalah reflektifitas atau besaran
energi yang kembali dari obyek dan data radial velocity yang dapat mengukur gerakan target menuju atau
menjauh dari radar sehingga dapat menentukan pola dan kecepatan angin akibat squall line.
-884-
Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014)
(Hermansyah, M.)
2.2 Metodologi Penelitian
Model penelitian ini berupa studi kasus yang terjadi di wilayah Tarakan Kalimantan Utara ketika
terbentuknya fenomena squall line. Pemilihan model ini digunakan untuk memahami pertumbuhan squall
line berdasarkan prinsip radar cuaca doppler. Pengolahan data menggunakan aplikasi EDGE (Enterprise
Doppler Graphics Environment) dengan menggunakan produk data sebagai berikut:
a. CMAX (Maximum Reflektifity)
Produk yang menggambarkan nilai reflektifitas maksimum antara dua ketinggian untuk setiap sel dari
volume. Dengan kata lain, mampu menunjukkan reflektifitas terdeteksi maksimum dari setiap pixel
antara ketinggian pengguna yang dipilih, termasuk profil Timur-Barat dan Utara-Selatan dari
maksimum di panel samping.
b. SRV (Storm Relatif Velocity)
Produk yang digunakan untuk menunjukkan nilai kecepatan radial lokal relatif terhadap pergerakan
badai. Produk ini baik untuk analisis rinci medan angin dasar dari data kecepatan radial. Detail lokal
dari medan angin (misalkan putaran, divergensi, konvergensi) lebih bagus terlihat setelah membuang
angin dasar.
c. VCUT (Vertical Cut)
Produk atau tool ini bermanfaat untuk mengetahui posisi ketingian dari echo reflektifitas tertinggi yang
ada dalam satu wilayah tertentu. Selain itu melalui Vcut analisis pada produk velocity dapat diketahui
aliran udara secara vertikal yang mampu menggambarkan informasi fase perkembangan dari sel awan
hujan. Suatu sistem hujan yang teramati di wilayah sekitar radar cuaca, baik pergerakan, intensitas dan
fase pertumbuhan sistem hujan dengan melihat pergerakan masa udara dalam struktur awan melalui data
velocity dengan menggunakan Vcut. Titik Start dan Stop cross section/Vcut dapat dipilih dengan
menggunakan mouse secara interaktif.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Reflektifitas
18.00
18.30
Single Cell
19.00
19.30
Gambar 3. Citra Radar Cuaca Produk CMAX Pukul 18.00- 19.30 Wita
Pembentukan squall line terdiri dari tiga fase yaitu fase awal, fase dewasa, dan fase akhir. Analisis fase
awal dari fenomena squall line pada tanggal 17 Juli 2014 di Kalimantan Utara dapat dideteksi berdasarkan
data reflektifitas radar cuaca (gambar 3) produk Cmax pukul 18.00 Wita. Indikasi awal fase ini ditandai
pembentukan beberapa single cell dengan nilai reflektifitas 40 hingga 50 dBZ di sebelah barat hingga barat
-885-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
laut dari pusat radar. Pada fase ini mengindikasikan sel awan konvektif tunggal yang terjadi karena
pengangkatan massa udara yang panas (Kusumo dkk., 2007).
Berdasarkan fase pembentukannya (Gambar 3) antara jam 18.00 dan 19.30 Wita, pertumbuhan squall line
masuk dalam kategori broken line. Kategori ini dicirikan dengan pembentukan tiap sel awan yang tumbuh
dalam jarak yang berdekatan. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan squall line
secara umum terbentuk dalam broken line (Meng dkk., 2012).
Wilayah Konvektif
Wilayah
Stratiform
(a)
(b)
Gambar 4. (a) Citra Radar Cuaca Produk CMAX, dan
(b) Citra Radar Cuaca Produk SRV
Pukul 20.30 Wita
Echo presipitasi dari pengamatan radar cuaca dapat ditentukan dari dua jenis yaitu konvektif dan
stratiform (Raghavn, 2003). Pada fase matang (Gambar 4a) pola squall line dapat dilihat jelas dengan
terbentuknya multi cell atau sel awan berkelompok yang terdiri dari wilayah konvektif dan stratiform.
Wilayah konvektif merupakan wilayah pertumbuhan awan cumulonimbus yang terletak di depan sistem multi
cell membentuk garis dengan nilai reflektifitas 30-55 dbZ dan memiliki potensi cuaca ektrem seperti hujan
lebat, angin kencang serta badai guntur. Selain itu sepanjang wilayah konvektif juga berpotensi terjadinya
downdraft yang dapat mengakibatkan turbulensi bagi penerbangan sehingga sangat membahayakan bagi
pesawat terbang yang melewati wilayah tersebut. Sementara wilayah stratiform yang terletak di belakang
sistem multicell hanya memiliki nilai reflektifitas sekitar 10-30 dBZ dengan potensi hujan ringan hingga
sedang dari jenis awan stratus dan stratocumulus.
3.2 Analisis Radial Velocity
Kemampuan radar cuaca doppler tidak hanya mampu mendeteksi objek meteorologi, akan tetapi dapat
mengamati gerakan objek tersebut mendekati ataupun menjauhi pusat radar (Wardoyo, 2015). Indikator
warna mengambarkan nilai kecepatan Doppler (Doppler velocity) mendekati atau menjauhi radar. Nilai
negatif menunjukkan pergerakan objek mendekati radar. Sedangkan nilai positif menunjukkan arah menjauhi
radar.
Analisis data velocity produk Srv (Gambar 4b) menggambarkan pola konvergensi atau pertemuan arus
angin pada fase matang di wilayah konvektif. Pergerakan angin bernilai positif (warna merah) bergerak
menjauhi radar dan bertemu langsung angin bernilai negatif (warna hijau) yang bergerak mendekati radar.
Hasil ini didukung penelitian sebelumnya yang menyatakan wilayah konvektif ini sangat sempit (2 km) dari
bagian depan sistem yang merupakan daerah arus naik yang kuat dan konvergensi (Yu dan Jou, 2005).
3.3 Analisis Vcut (Cross Section)
Untuk mengamati struktur sel awan secara vertikal ke atas pada pembentukan squall line digunakan tool
cross section yang disebut Vcut. Secara umum analisis Vcut sepanjang wilayah konvektif (Gambar 5a)
menunjukkan nilai reflektifitas tinggi (30-50 dbZ) hingga ketinggian 7 km. Namun apabila diperhatikan
secara detail pada wilayah konvektif tersebut terdapat pula nlai reflektifitas yang lebih rendah sekitar 20-30
dBZ. Dalam penelitian lain menyatakan echo lemah sepanjang garis squall line menggambarkan wilayah
inflow (Weisman, 2001) yang merupakan arus gerakan vertikal akibat peningkatan penguapan.
-886-
Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014)
(Hermansyah, M.)
Hasil Vcut Vertikal
Wilayah Konvektif
Wilayah
Stratiform
Inflow
Arah Vcut Vertikal
(a)
Hasil Vcut Horisontal
Wilayah Konvektif
Wilayah
Stratiform
Mature cell
pada
Arah Vcut Horisontal
New cell
cell
(b)
Gambar 5 (a). Citra Radar Cuaca Produk CMAX (Kiri) dan Vcut CMAX Vertikal (kanan), dan
(b). Citra Radar Cuaca Produk CMAX (kiri) dan Vcut CMAX Horisontal (kanan)
Pukul 21.50 Wita
Vcut/Cross section horizontal (Gambar 5b) yang memotong wilayah konvektif hingga stratiform
menggambarkan inti mature cell dengan nilai reflektifitas yang sangat tinggi sekitar 50-60 dBZ (warna
merah hingga ungu) hingga mencapai ketinggian 5 km. Hal ini mengindikasikan wilayah tersebut merupakan
daerah konvektif dengan potensi cuaca ekstrem. Di belakang mature cell terbentuk wilayah stratiform
dengan reflektifitas yang lebih rendah sekitar 30 hingga 40 dBZ (warna kuning) dengan potensi hujan ringan
hingga sedang dalam cakupan wilayah yang lebih luas dari wilayah konvektif. Hal ini mendukung penelitian
sebelumnya yang menyatakan wilayah konvektif memiliki nilai reflektifitas yang lebih tinggi dari wilayah
stratiform (Centrone dan Houze, 2011). Sementara di depan wilayah konvektif terdeteksi pertumbuhan sel
awan yang akan membentuk yang wilayah konvektif baru.
Arah Vcut
Nilai Maksimum
(a)
(b)
Gambar 6 (a) Citra Radar Cuaca Produk SRV, dan
(b) Citra Radar Cuaca Produk Vcut SRV
Pukul 21.50 Wita
-887-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Cross section pada produk Srv dari arah timur ke barat (Gambar 6a) menghasilkan pola angin secara
vertikal yang ditampilkan (Gambar 6b) menunjukkan arah angin lapisan bawah sel (warna hijau) mendekati
radar dan bagian atas sel (warna merah) bergerak menjauhi radar membentuk anvil cloud. Sedangkan pada
ketinggian 3 s/d 4 km terjadinya konvergensi atau pertemuan angin yang mengindikasikan adanya
percampuran gerakan updfat dan downdraft di dalam sel awan. Analisis kecepatan angin maksimum pada
bagian bawah sel awan sekitar -19 hingga -32 knot. Hal ini menunjukkan potensi angin kencang mencapai
19-32 knot atau sekitar 35-59 km/jam ke arah timur mendekati pusat radar dan dapat mengakibatkan
turbulensi yang membahayakan pesawat terbang.
3.4 Analisis Kombinasi Reflektifitas dan Radial Velocity
Data velocity produk Srv pukul 23.50 Wita (Gambar 7a) membentuk pola divergensi atau pergerakan
angin saling menjauhi. Dalam waktu yang sama data reflektifitas produk Cmax menunjukkan pertumbuhan
squall line mulai melemah. Wilayah konvektif terlihat kurang jelas dari sebelumnya sehingga dapat
diindikasikan sistem squall line memasuki fase akhir. Penelitian sebelumnya menyatakan pada fase akhir
wilayah konvektif yang terjadi menjadi lebih lemah dan dan tipis karena upshear yang terjadi semakin kuat
(Kusumo dkk., 2007).
(a)
(b)
Gambar 7 (a) Citra Radar Cuaca Produk SR, dan (b) Citra Radar Cuaca CMAX
Pukul 23.50 Wita
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa radar cuaca memiliki peranan penting dalam
mendeteki fenomena squall line yang dapat mengakibatkan potensi cuaca ekstrem. Indikasi fase awal squall
line ditandai pembentukan beberapa single cell dengan nilai reflektifitas 40 hingga 50 dBZ yang
menunjukkan pertumbuhan awan konvektif tunggal. Pada fase matang sistem squall line dapat terlihat jelas
dengan terbentuknya multi cell yang terdiri dari wilayah konvektif dan stratiform. Pada wilayah konvektif
nilai reflektifitas cukup tinggi sekitar 45-60 dbZ dengan potensi hujan lebat hingga hujan sangat lebat.
Sedangkan pada wilayah stratiform nilai reflektifitas hanya berkisar 10-30 dbZ dengan potensi hujan ringan
hingga sedang. Hasil analisis data velocity menunjukkan pola konvergensi atau pertemuan arus angin yang
terjadi pada fase matang di sepanjang wilayah konvektif. Kecepatan angin maksimum sekitar 45-60 km/jam
yang bergerak ke arah timur mendekati pusat radar. Sementara analisis velocity pada fase akhir dari sistem
squall line menunjukkan pola divergensi atau penyebaran arus angin yang mengindikasikan berakhirnya
fenomena squall line yang diikuti dengan berakhirnya potensi cuaca ekstrem.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Kepala dan staff Stasiun Meteorologi Tarakan yang telah memberikan data. Kepada
Bapak Eko Wardoyo, M.T. dan Bapak Ramlan, M.S.i selaku pembimbing yang selalu memberikan saran dan
masukannya. Kepada Istri dan anakku tercinta, Ratna Fitriani dan Fatih Abdullah Hermansyah yang selalu
mendukung dalam penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Centrone, J., dan Houze, R. (2011) Leading and Trailing Anvil Clouds of West African Squall Lines. Department of
Atmospheric Sciences, University of Washington, Seattle, Washington. 68:1114-1123.
-888-
Pemanfaatan Radar Cuaca untuk Identifikasi Squall Line (Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014)
(Hermansyah, M.)
Kusumo, B.A, Rahmawati, D.A., Ayunityas, D.A., Akbari, D., dan Abdillah, M.R. (2007). Simulasi Fenomena Squall
Line Sumatera dengan Model WRF. Institut Teknologi Bandung Bandung –ITB.
Meng, Z., Yan, D., dan Zhang, Y. (2012). General Features of Squall Lines in East China. Laboratory for Climate and
Ocean–Atmosphere Studies. Peking University, Beijing, China. 141:1629-1646.
Othman, A., dan Gloaguen, R. (2013). River Courses Affected by Landslides and Implications for Hazard Assessment:
A High Resolution Remote Sensing Case Study in NE Iraq–W Iran. Remote Sensing, 5(3):1024-1044.
Raghavn (2003). Radar Meteorologi. Atmospheric And Oceanograpic Sciences Library. India Meteorological
Departement, India.
Yu , C.K., dan Jou, B.J.D. (2005). Radar Observations of the Diurnally Forced Offshore Convective Lines along the
Southeastern Coast of Taiwan. Department of Atmospheric Sciences, University of Washington, Seattle,
Washington. 133:1613-1636).
Wardoyo, E. (2015). Radar Meteorologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta.
Weisman, M.L. (2001). Bow Echoes: A Tribute to T. T. Fujita.A.Boulder. National Center for Atmospheric Research.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
Diskusi
: Pemanfaatan Radar Cuaca Untuk Identifikasi Squall Line
(Studi Kasus Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara 17 Juli 2014)
: Muhammad Hermansyah (STMKG)
:
Pertanyaan: Dr. Ety Parwati (Pusfatja LAPAN)
Apakah sistem peringatan dini cuaca ekstrem akibat fenomena squall line sudah ada saat ini?Seberapa cepat
informasi tentang sistem peringatan dini cuaca ekstrem akibat fenomena squall line diperoleh masyarakat
sebelum terjadinya cuaca ekstrem?
Jawaban:
Saat ini sistem peringatan dini cuaca ekstrem sudah ada. Sistem ini dilakukan Oleh BMKG. Namun sistem
warning cuaca ekstrem secara khusus akibat fenomena squall line belum ada. Hal ini dikarenakan fenomena
squall line sangat jarang terjadi di Indpnesia. Selain itu, karakteristik pertumbuhan dan pembentukan squall
line juga berbeda di setiap wilayah/kota. Hal ini disebabkan topografi setiap wiayah yang berbeda.
Berdasarkan penelitian ini, informasi sistem peringatan dini akibat squall line dapat diperoleh masyarakat
kurang lebih sekitar 1 jam sebelum terjadinya cuaca ekstrem.
-889-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan
dengan Menggunakan Satelit Dan Radar di Wilayah Bandar Lampung
Comparative Analysis of Rainfall Estimates
Using Satellite and Radar in Bandar Lampung
Achmad Raflie Pahlevi 1*) dan Raaina Farah Nur Annisa1
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 1)2)
*)Email: [email protected]
ABSTRAK - Informasi curah hujan didapatkan dari data rain gauge di stasiun cuaca dengan pengamatan secara
langsung namun masih memiliki bias sekitar 5% dari curah hujan yang sebenarnya terkait dengan adanya unsur
angin dan lokasi. Selain itu,rain gauge pun hanya mampu merepresentasikan radius seluas 100 km disekitarnya.
Maka, untuk menutupi kekurangan tersebut, saat ini pengembangan penginderaan jauh menjadi penting dan
merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mendapatkan informasi curah hujan. Termasuk didalamnya adalah
pemanfaatan data radar dan satelit untuk estimasi curah hujan. Dalam estimasi curah hujan, suatu metode estimasi
yang digunakan tidak dapat merepresentasikan hasil estimasi yang baik untuk semua wilayah dalam penelitian. Oleh
karena itu, perlu adanya verifikasi pemanfaatan data satelit dan data radar (untuk estimasi curah hujan dengan data
observasi menggunakan rain gauge pada suatu wilayah tempat penelitian). Perbandingan diantara ketiganya dapat
digunakan untuk melihat evolusi nilai bias dan kualitas dari data yang digunakan pada wilayah tersebut.Penelitian
ini bertujuan untuk memberikan gambaran estimasi akumulasi curah hujan harian pada saat kejadian hujan dengan
menggunakan dua metode estimasi, membandingkan data curah hujan hasil estimasi dengan metode Quantitative
Precipitation Estimation (QPE) yang diperoleh dari hasil pemrosesan citra radar cuaca dan curah hujan hasil
estimasi dengan metode Cumulus Stratiform Technique (CST) yang diperoleh dari hasil pemrosesan citra satelit,
yang kemudian di verifikasi menggunakan data curah hujan observasi dari rain gauge.
Kata Kunci: Rain gauge, CST, dan QPE
ABSTRACT - Information of data precipitation is obtained from the rain gauge at the weather station with
observation, but it still have a bias about 5% of the actual rainfall associated with the element of wind and location.
In addition, the rain gauge was only able to represent the radius of 100 km around. Then, to cover the shortage, the
development of remote sensing is essential and is one of the means used to obtain information of rainfall. They
include the use of satellite and radar data to estimate rainfall.In the estimation of rainfall, an estimation method used
can’t use to represent for all regions in the study. Therefore, the need for verification of the utilization of satellite
and radar data (for rainfall estimation by using a rain gauge observation data in an area where the research).
Comparison between the three can be used to view the evolution of the value of the bias and the quality of the data
used in the region.This study aims to provide an estimate of the accumulated daily rainfall during rain events using
two methods of estimation, comparing the data of rainfall estimation by the method of Quantitative Precipitation
Estimation (QPE) obtained from the image processing weather radar rainfall estimation results with method
Cumulus Stratiform Technique (CST) obtained from the processing of satellite images, which are then verified
using rainfall data from the rain gauge observations.
Keywords: Rain gauge, CST, and QPE
1. PENDAHULUAN
Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi berupa tetes-tetes air yang jatuh dari dasar awan.
Diameter dan konsentrasi tetes sangat bervariasi tergantung intensitas presipitasi terutama jenis dan
asalnya, yakni hujan kontiniu, hujan shower, dan lain-lain (Zakir, dkk. 2009).
Curah hujan merupakan salah satu unsur cuaca dan iklim yang memiliki peranan sangat penting
terhadap kehidupan di bumi (Bayong, 2004), dalam hal ini disamping merupakan sumber daya alam yang
dibutuhkan namun juga dapat menjadi sumber bencana (Basuki dkk., 2009). Peringatan dini akan
intensitas hujan sangatlah diperlukan dalam suatu wilayah, khususnya wilayah yang sering terjadi banjir,
wilayah bandara, pelabuhan, perkotaan, pemukiman penduduk, dan lain-lain. Pengamatan hujan
umumnya dilakukan secara konvensional dengan menakar jumlah curah hujan yang jatuh kepermukaan
-890-
Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Dan Radar Di Wilayah Bandar Lampung (Pahlevi,
A.R., dkk)
menggunakan alat penakar hujan. Namun jumlah dan distribusi dari penakar hujan belumlah mencukupi
untuk meliput seluruh permukaan. Apalagi jika gunanya untuk peringatan dini atau prediksi jangka
pendek (nowcasting), data penakar hujan sangatlah tidak representatif karena data dari penakar hujan
tersebut lebih berguna untuk reanalisis kejadian hujan.
Ahli meteorologi melakukan pengamatan meteorologi dengan menggunakan dua pendekatan dasar,
metode langsung (in situ) dan metode tak langsung atau yang disebut juga remote sensing.
Estimasi curah hujan dengan memanfaatkan data remote sensing merupakan salah satu solusi yang
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah tingkat kerapatan pengamatan curah hujan tersebut. Pada
waktu sekarang ini, remote sensing menjadi idola untuk membantu prakirawan membuat prediksi dari
parameter-parameter meteorologi.
Penelitian terdahulu berkaitan dengan estimasi curah hujan berbasis data satelit menggunakan metode
CST dilakukan oleh Adler dan Negri (1988) dengan judul A Satellite Infrared Technique to Estimates
Tropical Convective and Stratiform Rainfall yang menggunakan metode melalui penggunaan suhu
kecerahan awan untuk membedakan awan konvektif dan stratiform. Kemudian mendapatkan nilai rain
rate dan rain area dengan menghitung suhu kecerahan awan (Tmin). Metode ini diujicobakan pada
Florida Area Cumulus Experiment (FACE) di Florida Selatan meliputi luas wilayah 104 km2 dengan
menghasilkan estimasi curah hujan tiap setengah jam dan di verifikasi dengan menggunakan data curah
hujan rain gauge. Hasil perbandingan didapatkan estimasi CST memiliki bias terendah (0.02 mm),
perbedaan rata-rata absolut (MAE) terendah (0.28 mm), perbedaan rms/root mean square (RMSE)
terendah (0.39 mm) dan perbedaan persentase terendah (41.2 %) dibandingkan dengan metode estimasi
curah hujan lain yang menggunakan satelit.
Penelitian yang dilakukan oleh Goldenberg, dkk. (1990) mengadaptasi metode CST dalam penelitian
Adler dan Negri (1988) untuk melakukan estimasi curah hujan selama Winter Monsoon Experiment
(WMONEX) di Laut Cina Selatan. Jurnal ini berjudul Convective Stratiform Component of a Winter
Monsoon Cloud Cluster Determined from Geosynchronous Infrared Satellite Data.
Jurnal ini
menjelaskan uji coba metode CST pada penentuan estimasi curah hujan dan penentuan awan konvektif
dan stratiform dimana dibandingkan dengan data radar dan udara atas, didapatkan bahwa lokasi
penentuan awan konvektif dan stratiform diaggap konsisten namun perlu adanya modifikasi pada
pemisahan awan konvektif dan stratiform. Secara keseluruhan metode CST dianggap mampu dijadikan
pertimbangan klimatologis berdasarkan data satelit untuk daerah tropis ketika data radar tidak tersedia.
Penelitian yang dilakukan oleh Islam, dkk. (2002) dengan judul Application of a Method to Estimates
Rainfall in Bangladesh Using GMS-5 Data menjelaskan penelitian pengaplikasian metode CST
(Convective Stratiform Technique) dalam mengestimasi curah hujan menggunakan satelit. Hasil estimasi
yang dihasilkan dibandingkan dengan data curah hujan rain gauge di 33 stasiun cuaca di Bangladesh
selama 61 hari dari 1 juni 1996. Hasil estimasi curah hujan dengan CST 1,1 kali lebih besar dibandingkan
data rain gaugestasiun. Rata-rata estimasi curah hujan yang dihasilkan sebesar 15 mm dan 14.3 mm dari
data stasiun. Korelasi diantara hasil estimasi dengan data stasiun signifikan untuk stasiun di daerah pesisir
dibandingkan dengan daerah daratan.
Umam (2015) melakukan analisis yang membandingkan antara interpolasi isohyet dengan metode
estimasi QPE untuk kejadian hujan di Jabodetabek pada tanggal 10 Februari 2015.
Dalam Umam (2015), kejadian hujan pada tanggal 10 Februari 2015 yang terjadi di daerah Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) merupakan kejadian hujan yang termasuk dalam
kriteria hujan sangat lebat. Hujan dengan intensitas tinggi terpantau pada pos hujan Sunter yaitu sebesar
367 mm/hari. Hal tersebut menyebabkan beberapa daerah di Jakarta terkena banjir yang menyebabkan
beberapa aktifitas warga Jakarta terganggu.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai sebaran spasial akumulasi curah
hujan harian pada saat kejadian hujan 10 Februari 2015 dengan menggunakan dua metode interpolasi,
selain itu juga membandingkan data curah hujan hasil interpolasi dengan data observasi untuk
mengetahui metode interpolasi yang tepat untuk diterapkan di Jabodetabek dan membandingkan metode
interpolasi yang tepat dengan Quantitative Precipitation Estimation (QPE) yang diperoleh dari hasil
pemrosesan citra radar cuaca guna mengetahui tingkat keakuratan produk QPE (Umam, 2015).
Menurut Umam (2015), hasil perbandingan data curah hujan hasil interpolasi dengan data observasi
menunjukkan bahwa kedua metode interpolasi, baik itu metode IDW maupun Kriging mempunyai
hubungan korelasi yang sangat kuat. Sehingga kedua metode tersebut dapat diterapkan di wilayah
Jabodetabek. Akan tetapi metode IDW mempunyai nilai hubungan korelasi (r) yang lebih tinggi dari
metode Kriging. Sehingga metode IDW digunakan sebagai model yang dianggap paling tepat untuk
-891-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
menggambarkan sebaran spasial curah hujan di Jabodetabek. Hasil perbandingan metode interpolasi IDW
dengan Quantitative Precipitation Estimation (QPE) yang diperoleh dari hasil pemrosesan citra radar
cuaca menunjukkan bahwa kedua data tersebut mempunyai nilai korelasi (r) sebesar 0.7720 sehingga
dapat disimpulkan kedua data tersebut mempunyai hubungan korelasi yang kuat. Dengan demikian
produk QPE mempunyai tingkat keakuratan yang cukup tinggi (77%) dalam menggambarkan sebaran
spasial curah hujan di Jabodetabek.
2. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu
kajian yang detil tentang suatu setting atau suatu subjek tunggal, atau satu kumpulan dokumen tunggal,
atau suatu kejadian tertentu
Analisa yang dilakukan adalah analisa temporal dari perbandingan perhitungan curah hujan lebat
dengan menggunakan CST dan QPE, serta dilakukan verifikasi dengan menggunakan data observasi
permukaan.
Lokasi penelitian di wiliyah Bandar Lampung tepatnya di sekitar Stasiun Meteorologi Maritim
Tanjung Karang Lampung. Waktu penelitian dilakukan pada kejadian hujan selama bulan Desember 2015
dan Januari 2016.
Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Data citra satelit Himawari-8 kanal IR-1 dalam format .nc
2) Data radar integrasi produk QPE
3) Data sinop
Adapun penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menentukan hari hujan sedang dengan takaran diatas 10 mm/hari pada bulan Desember 2015 dan
Januari 2016.
2) Menyiapkan data satelit Himawari -8 kanal IR-1 dan produk radar QPE.
3) Mengolah data satelit dengan metode Convective Stratiform Tecnique (CST)
4) Verifikasi dengan menggunakan data grounding observation dengan metode analisis statistic
RMSE dan korelasi
5) Membuat kesimpulan.
3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan grafik pada Gambar 4.1. pada penggunaan satelit sebagai alat untuk estimasi curah
hujan menunjukkan nilai yang kurang tepat jika dibandingkan dengan nilai observasi curah hujannya.
Terdapat 4 kejadian overestimated, 5 kejadian underestimated, serta 1 kejadian hujan yang bahkan tidak
dapat diestimasi oleh satelit (diestimasi dengan nilai 0). Estimasi curah hujan yang memiliki nilai
overestimated terjadi paling tinggi adalah pada kejadian hujan tanggal 15 Desember 2015, dimana nilai
curah hujan yang diamati menggunakan penakar hujan sebesar 23 mm, sedangkan curah hujan yang
diestimasi melalui satelit mencapai 129 mm, terdapat selisih yang cukup tinggi hingga lebih dari 100 mm.
Pada kejadian lainnya, selisih antara hasil observasi dan estimasi menggunakan satelit tidak cukup tinggi
berkisar 5 hingga 10 mm. Kejadian yang terburuk adalah pada kejadian tanggal 15 Januari 2016, dimana
terdapat hujan sebesar 15 mm yang diamati, tetapi pada estimasi curah hujan dengan satelit tidak
menunjukkan nilai sama sekali.
-892-
Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Dan Radar Di Wilayah Bandar Lampung (Pahlevi,
A.R., dkk)
Gambar 4.1.Grafikperbandinganestimasicurahhujan per hari
Sementara itu pada estimasi curah hujan dengan menggunakan radar dapat terlihat semua
kejadian menunjukkan underestimate dibandingkan dengan data observasinya. Terdapat selisih yang
cukup besar antara estimasi dengan radar dan data observasinya, selisih yang terlihat bisa mencapai 15 –
20 mm. Bahkan pada tanggal 6 Januari 2016, curah hujan hasil estimasi menunjukkan nilai nol,
sedangkan curah hujan hasil observasi menunjukkan nilai 19 mm.
Berdasarkan Gambar 4.2.B dan I, hujan yang terjadi dalam durasi yang lama, akan menghasilkan
estimasi curah hujan yang overestimate. Seperti pada Gambar 4.2.B hujan yang terjadi dengan durasi 18
jam, hujan hasil observasi hanya berkisar 20 mm, sedangkan ketika dilakukan estimasi, hujan yang terjadi
terus-menerus mencapai hampir 100 mm. Hal ini disebabkan pada estimasi dengan menggunakan satelit,
awan dibedakan menjadi awan cumulus dan stratiform, sehingga saat ada awan cumulus yang bertahan
cukup lama, maka intensitas curah hujan yang diestimasi akan cukup besar.
Dapat dilihat dari Gambar 4.2. C, F, H, dan J, hujan dengan durasi yang sedang antara 6 – 9 jam
dapat diestimasi dengan baik, meskipun ada sedikit selisih beberapa mm. Bahkan pada gambar F dan H,
estimasi dengan satelit menunjukkan nilai yang cukup baik. Sedangkan pada Gambar 4.2. A, D, dan E,
hujan dengan durasi yang singkat sekitar 3 jam, akan menghasilkan hasil estimasi yang underestimate
dimana pada kejadian ini disebabkan hujan – hujan konvektif dari awan cumulus yang terjadi cukup lebat
dan dalam waktu yang singkat, tidak sempat diestimasi oleh satelit dengan metode ini. Pada Gambar
4.2.G, untuk hujan yang terjadi dengan durasi yang lebih singkat lagi di bawah 3 jam, hujan tidak
terdeteksi saat dilakukannya estimasi.
-893-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
A
B
C
D
A
E
F
G
A
H
I
J
Gambar 4.2.Grafikperbandinganestimasicurahhujan per 3 jam; A) tanggal 5, B) 10, C) 15, dan D) 20
Desember 2015, serta E) tanggal 6, F) 11, G) 15, H) 21, I) 22, dan J) 28 Desember 2016
Dapat dilihat dari Gambar 4.2 A sampai G, estimasi curah hujan yang dihasilkan dari estimasi
curah hujan menggunakan radar menunjukan nilai yang underestimate. Nilai estimasi terbaik yang
ditunjukkan oleh radar pada Gambar 4.2. H, pada tanggal 21 Januari 2016, dimana curah hujan observasi
berkisar 20 mm dan nilai estimasi dengan menggunakan radar bernilai 17 mm. Meskipun hanya
mempunyai selisih yang sedikit, tetapi pada tanggal tersebut hujan yang diestimasi oleh radar terjadi
terlebih dahulu dibandingkan dengan hujan sebenarnya yang ditunjukkan oleh observasi. Estimasi
terburuk dengan menggunakan radar ditunjukkan pada Gambar 4.2. E, dimana hujan hasil observasi
memliki nilai 18 mm, sedangkan estimasi dengan radar memiliki nilai 0 mm.
Berdasarkan Gambar 4.2. dan Gambar 4.3. dilihat bahwa satelit memiliki estimasi yang cukup
baik dibandingkan dengan estimasi curah hujan dengan menggunakan radar. Tetapi, pada tabel 4.1.
-894-
Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit Dan Radar Di Wilayah Bandar Lampung (Pahlevi,
A.R., dkk)
dilihat nilai error dengan menggunakan satelit justru lebih besar dibandingkan radar. Hal ini disebabkan
pada estimasi curah hujan tanggal 15 Desember 2015, satelit memiliki overestimated yang cukup besar,
meskipun pada estimasi curah hujan yang lainnya estimasi menggunakan satelit lebih baik bila
dibandingkan dengan estimasi curah hujan dengan menggunakan radar.
Tabel 4.1. Perbandingan nilai error estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit dan radar
RMSE
MAE
Satelit
35.3
19.4
Radar
19.51
18.32
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penilitian ini, yang berkaitan dengan estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit
dan radar, dapat disimpulkan:
1. Estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit (metode CST) lebih baik dalam melakukan
estimasi curah hujan dibandingkan dengan menggunakan radar (metode QPE),
2. Estimasi curah hujan dengan menggunakan radar akan selalu underestimate,
3. Estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit cukup baik pada hujan dengan durasi yang tidak
terlalu lama antara 3 – 6 jam.
Saran yang disampaikan penulis untuk kemajuan estimasi curah hujan dengan menggunakan satelit
dan radar:
1. Perlu adanya metode lain atau metode baru yang cocok untuk wilayah Indonesia sebagai cara untuk
melakukan estimasi intensitas curah hujan,
2. Perlu adanya asimilasi antara radar dan satelit dalam melakukan estimasi curah hujan.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam melakukan penulisan makalah ini, penulis dibantu oleh beberapa pihak, yaitu:
1. Terima Kasih kepada Ayu Zulfiani yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan tulisan ini,
2. Terima Kasih kepada Andhika Fauziah Hapsari yang telah bersedia memberikan data intensitas curah
hujan untuk wilayah Bandar Lampung
3. Terima Kasih kepada mas Iddam Hairuly Umam dari Subbid Radar BMKG, yang telah bersedia
membantu dalam interpretasi citra radar.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Winarsih, I., dan Adhyani, N.L., (2009).Analisis Periode Ulang Hujan Maksimum dengan Berbagai
Metode, BMKG, Jakarta
Islam, N., Islam, S., Hayashi, T., dan Uyeda, H., (2002). Application of a Method to Estimate Rainfall in
Bangladesh Using GMS-5 Data, Journal of Natural Disaster Science, 24(2):83-89, Bangladesh University of
Engineering & Technology, Dhaka.
Tjasyono, B., (2004).Klimatologi, ITB , Bandung
Umam, H., (2015).Analisis Perbandingan Metode Isohyet dengan Quantitative Precipitation Estimation (QPE)
Kejadian Hujan Jabodetabek 10 Februari 2015. Sub-Bidang Pengelolaan Citra Radar BMKG, Jakarta.
Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M., (2009). Perspektif Operasional Cuaca Tropis, BMKG,Jakarta.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Syarif Budhiman
: Analisis Perbandingan Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Satelit dan
Radar
: Achmad Raflie Pahlevi (STMKG)
:
Pertanyaan: Nanda Muhadi (STMKG)
-895-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Apakah dua instrumen yang berbeda terjadi kesalahan paralaks?
Jawaban :
Tidak memasukan perbandingan paralaks pada penelitian ini.
Saran: Bambang S. Tedjasukmana
Untuk membandingkan tiga sistem yang berbeda, maka harus mengetahui lebih dalam tiga sistem
tersebut kemudian dikalibrasi atau melakukan normalisasi.
-896-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca
(Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016)
Analysis of Genesis Hail using Weather Radar
(Case Study: Montong Ivory, dated February 16, 2016)
Maria Carine P.A.D.V1*), Selvy Yolanda1, dan Clara Avila Dea1
1
Stasiun Meteorologi Selaparang BIL, BMKG
Jalan Raya Mandalika – Penujak, Praya, Telp: (0370) 6157025 FAX (0370) 6157024
*)
Email: [email protected]
ABSTRAK ̶ Hujan es adalah presipitasi berupa bola-bola es dengan diameter 5-50 mm. Hujan es sangat erat kaitannya
dengan awan Cummulunimbus yang merupakan awan penyebab terjadinya hujan lebat, badai guntur dan angin
kencang. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi serta menelaah proses yang terjadi di dalam awan
Cummulunimbus, salah satunya adalah dengan metode penginderaan jauh yakni menggunakan radar cuaca. Pada
tanggal 16 Februari 2016 dilaporkan terjadi hujan lebat disertai dengan butiran es di wilayah Montong Gading ,
Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan produk PPI (velocity) dari radar cuaca tipe gematronik, terdapat dua
pertemuan arah angin berlawanan yang menimbulkan potensi terbentuknya awan Cummulunimbus di wilayah
tersebut.Sementara itu, mengacu pada produk CMAX dan VCUT, ditemukan bahwa nilai reflektifitas maksimum
sebesar 50 dBz pada ketinggian yang dekat dengan permukaan tanah. Hal ini lah yang menyebabkan partikel es turun
berupa hailstone pada saat kejadian hujan lebat.
Kata kunci: cuaca ekstrim, hujan es, radar cuaca, cummulunimbus
ABSTRACT ̶ Hail is precipitation in the form of balls of ice with a diameter of 5-50 mm. Hail is closely associated
with cumulonimbus which is known as the cloud that cause heavy rain, thunderstorms and strong winds. There are
many ways which can be done to detect and study the processes that occur within cumulonimbus, one of which is with
remote sensing method that uses weather radar.On February 16, 2016 heavy rains accompanied by hail were reported
in the area of Montong Gading, East Lombok. Based on PPI products (velocity) of gematronic weather radar types,
there are two meetings in the opposite direction of the wind which could raise the potential of cumulonimbus forming.
In the meanwhile, Based on the products of VCUT and CMAX, founded that the maximum reflectivity value of 50 DBZ
at an altitude close to the soil surface. This is the cause that make the ice particles in the form of hailstone fell upon
during the heavy rain.
Keywords: extreme weather, hail, weather radar, cumulonimbus
1. PENDAHULUAN
Hujan es (hail) adalah presipitasi yang berbentuk bola-bola es kecil, dapat juga berupa potongan maupun
serpihan es dengan kisaran diameter 5-50 mm. Butiran hail (hailstone) dapat jatuh secara terpisah maupun
berkumpul membentuk gumpalan-gumpalan yang tidak beraturan (Byers,1974).
Hail sangat berkaitan dengan awan Cumullunimbus, biasanya disertai angin kencang(gust) dan terkadang
berupa angin puting beliung yang memiliki ordo kejadian sangat singkat. Pertumbuhan hail terjadi di dalam
awan Cummullunimbus bersel tunggal maupun ganda yang memiliki posisi dekat permukaan bumi. Hail
yang berasal dari awan multisel memiliki luasan area horizontal 3-5 km dengan kejadian singkat 3-5 menit
(Zakir,2008).
-897-
Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016)
(Carine, M., dkk)
Gambar 1. Proses Pembentukkan Hail dalam Awan Cumullunimbus (Lutgens & Tarbuck,2014)
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengamati serta menganalisis kejadian hujan es adalah radar
cuaca.Radar cuaca merupakan alat yang digunakan untuk mendeteksi hujan serta sebaran dan pergerakan
awan. Data radar memberikan kita banyak informasi seperti tinggi puncak awan, ketinggian nilai reflektifitas
maksimum serta gambar- gambar dari berbagai produk radar yang memudahkan untuk menginterpretasikan
kondisi cuaca di sekitar kita.
Hal yang harus diperhatikan saat menganalisa hail dengan menggunakan radar adalah tinggi maksimum
dari nilai reflektifitas, ketinggian puncak awan serta ketinggian dari peningkatan reflektifitas di sekitar
tempat kejadian hail. Beberapa hasil penelitian yang tertuang dalam Guide Meteorological Instruments and
Metode of Observation menyimpulkan bahwa potensi hail dapat dilihat dari adanya echo sebesar 50 dBz
pada ketinggian 3 atau 8 km di atas permukaan. Hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa, ketinggian
kontur 45 dBZ harus melampaui ketinggian dari freezing level agar hujan es memungkinkan untuk terjadi.
Adanya radar cuaca diharapkan bermanfaat dalam memantau perkembangan kondisi cuaca khususnya cuaca
ekstrim yang terjadi dalam waktu relatif singkat, mengingat kemampuan pengamatan visualitas manusia
sangat terbatas.
Penulisan ini dilakukan berdasarkan laporan kejadian hujan dengan intensitas lebat yang terjadi di
wilayah Montong Gading, Lombok Timur pada tanggal 16 Februari 2016. Menariknya, kejadian hujan lebat
ini disertai dengan jatuhnya butiran es yang terjadi dalam waktu relatif singkat.Tulisan ini diharapkan dapat
mempermudah prakirawandalam menganalisa serta menemukan pola kejadian cuaca ekstrim khususnya hail,
sehingga dapat memberikan informasi yang lebih akurat kepada masyarakat .
2. METODE
Penelitian ini dilakukan di Stasiun Meteorologi Selaparang – BIL, Bandara Internasional Lombok dengan
menggunakan raw data radar jenis Gematronik pada tanggal 16 Februari 2016 dari pukul 00.0.- 12.00 UTC.
Adapun produk yang digunakan sebagai berikut:
1) PPI (V) dengan elevasi 0.50, produk Plan Position Indicator menampilkan sebaran angin horizontal
dalam bentul radial velocity.
2) CMAX( dBZ),produk Column Maximum menampilkan nilai reflektifitas maksimum dari suatu kolom sel
hasil pengamatan radar.
3) VCUT (dBZ),produk Vertical Cut menampilkan irisan vertikal dari suatu data volume.
4) EHT, produk Echo Height Top menampilkan nilai tinggi puncak echo presipitasi.
5) RIH, produk Rain Intensity Histogram menampilkan jumlah curah hujan dalam bentuk grafik histogram.
Untuk mengetahui analisis saat kejadian hujan es pada tanggal 16 Februari 2016 dengan menggunakan
citra radar, raw data diolah dengan aplikasi RainRcc dari Rainbow5 yang merupakan aplikasi khusus untuk
-898-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
radar cuaca tipe gematronik hingga menghasilkan produk PPI dengan elevasi 0.5 0, CMAX, VCUT EHT
serta produk RHI.. Analisis dilakukan setiap 10 menit, dimulai dari satu jam sebelum kejadian hingga setelah
kejadian hujan es. Nilai reflektifitas maksimum pada produk CMAX berguna untuk mengidentifikasi jenis
awan serta syarat untuk terjadinya hujan es yakni >45dBZ [2]. Produk VCUT digunakan untuk mengetahui
posisi ketinggian reflektifitas maksimum karena kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya hujan es
apabila terletak dekat dengan permukaan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis dan interpretasi data citra produk radar cuaca Stasiun Meteorologi Selaparang BIL,
didapatkan hasil sebagai berikut:
3.1 PPI (V)
Berdasarkan produk PPI Velocity , pada pukul 05.30 UTC terdapat pertemuan kecepatan angin
maksimum dengan arah yang berlawanan. Pola tersebut merupakan indikasi adanya konvergensi atau
pertemuan dua massa udara yang memiliki potensi terhadap pertumbuhan awan Cummulunimbus. Pola
konvergensi tersebut terjadi hingga pukul 06.30 UTC.
Gambar 2.Produk PPI pukul 04.50,05.50 &06.50 UTC
3.2 CMAX (dBZ)
Dari produk CMAX pukul 04.50 UTC satu jam sebelum kejadian terdapat echo dengan nilai reflektifitas
15-20 dBZ. Pada pukul 05.50 UTC terlihat bahwa saat kejadian hujan es, terlihat pergerakan echo presipitasi
semakin ke arah Tenggara dengan nilai reflektifitas maksimum yang semakin meningkat menjadi 50 – 55
dBZ. Pada pukul 06.50 UTC, satu jam setelah kejadian terlihat bahwa terjadi penurunan nilai reflektifitas
maksimum yakni menjadi 35 – 40 dBZ.
-899-
Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016)
(Carine, M., dkk)
Gambar 2.Produk CMAX pukul 04.50,05.50
Berdasarkan grafik nilai reflektifitas di wilayah Montong Gading, terlihat bahwa pada pukul 05.00 –
07.00 UTC merupakan fase konvektif dari awan Cummulunimbus. Pada fase tersebut diketahui telah terjadi
hujan dengan intensitas yang lebat.
3.3VCUT (dBZ)
Dari produk VCUT yang diambil mulai pukul 04.50 UTC, terlihat nilai reflektifitas maksimum sebesar
15-20 dBZ dBZ yang terletak pada ketinggian sekitar 2 km dari permukaan tanah. Pada pukul 05.50 UTC,
terlihat bahwa pada irisan vertikal echo presipitasi terdapat nilai reflektifitas maksimum dengan nilai 51 dBZ
dengan ketinggian 1,13 km dari permukaan tanah. Sedangkan pada pukul 06.50 yakni satu jam setelah
kejadian hujan es terdapat nilai reflektifitas maksimum dengan kisaran 30-35 dBZ . Di dalam awan
Cummulunimbus memang selalu dijumpai adanya partikel es, namun tidak semua partikel es dapat turun ke
permukaan berupa hailstone
Gambar 4. Produk VCUT pukul 04.50,05.50 &06.50 UTC
3.4 EHT
Dari produk EHT, terlihat pada pukul 04.50 ketinggian puncak echo presipitasi di lokasi kejadian adalah1
km. Pada pukul 05.50, terlihat nilai tinggi puncak echo dilokasi hujan es adalah 6 km dari permukaan. Satu
jam setelah kejadian hujan es yakni pukul 06.50 UTC terlihat ketinggian puncak awan menjadi 4 km.
-900-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
Gambar 5.Produk EHT pukul 04.50,05.50 &06.50 UTC
3.5RIH
Berdasarkan produk RIH terlihat bahwa pada pada pukul 04.30 hingga pukul 07.10 terjadi hujan dengan
intensitas 45 mm/jam. Hujan ini termasuk katagori hujan lebat, menunjukkan bahwa kejadian hail sering
diselingi oleh hujan lebat.
Gambar 6. Data intensitas hujan pada Tanggal 16 Februari 2016 di Montong Gading.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis produk radar cuaca didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1) Pada tanggal 16 Februari 2016 di wilayah Montong Gading, Kabupaten Lombok Timur pukul 05.50
UTC, terpantau adanya awan Cummulunimbus, terlihat dari nilai reflektifitas maksimum sebesar 50-55
dBz. Hal tersebut telah memenuhi persyaratan terjadinya hujan es(>45 dBZ).
2) Berdasarkan produk PPI (V) pada pukul 05.50 terlihat adanya pertemuan dua arah angin berbeda yang
berarti terdapatnya potensi terjadi pertumbuhan awan konvektif di wilayah Montong Gading, Lombok
Timur.
-901-
Analisis Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus: Montong Gading, Tanggal 16 Februari 2016)
(Carine, M., dkk)
3) Berdasarkan produk VCUT pada pukul 05.50 UTC menunjukkan bahwa ketinggian dari nilai
reflektifitas maksimum adalah 1,13 km dari permukaan, yang berarti partikel es dalam awan Cb
tersebut posisinya dekat dengan permukaan.
4) Dari produk EHT menunjukkan adanya ketebalan awan yang cukup tinggi sehingga memungkinkan
terbentuknya partikel es, serta terjadinya hujan lebat dan badai petir.
5) Dari produk RIH didapati bahwa pada saat kejadian hujan es selalu disertai oleh kejadian hujan lebat.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Tim Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Stasiun Meteorologi Bandara
Internasional Lombok atas data dan informasi yang kami peroleh untuk dijadikan bahan penelitian ini dan
juga kepada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang telah memberikan kesempatan
kepada Penulis untuk ikut serta dalam acara Seminar Nasional Penginderaan Jauh tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA
Byers,H.R., (1974).General Meteorology. New York:McGraw-Hill Book Company Inc.London
WMO., (2010).Guide Meteorological Instruments and Methods of Observation WMO no.8 2008 edition.ISBN:978-9263-10008.World Meteorological Organization.Genewa.
Dennis,A.S., Schock,Carol, A., dan Konscielski, Alexander., (1970).American Meteorological Society.USA
Yunita, Rezky, dan Carine,M., (2014). Pemanfaatan Data Radiosonde dan Citra Radar Dalam Pembuatan Informasi
Peringatan Dini Cuaca Ekstrim Hujan Es (Studi Kasus Surabaya, Tanggal 20 Februari 2014).STMKG. Tangerang
------.Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini Cuaca Ekstrim, Pelaporan dan Diseminasi Informasi
Cuaca Ekstrim. Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor 009 Tahun 2010.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
: Dr. Indah Prasasti
Judul Makalah : Analisis Kejadian Hujan Es Dengan Menggunakan Radar Cuaca (Studi Kasus Montong
Gading, 16 Februari 2016)
Pemakalah
: Maria Carine (BMKG)
Diskusi
:
Pertanyaan : Nanda Alfuadi (STMKG)
1. Apakah hujan es tersebut terjadi pada fase tumbuh atau fase matang?
2. PPI pada penelitian ini menggunakan PPI pada swipe berapa?
Jawaban :
1. Belum melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan fase tersebut
2. Belum mengetahui berapa PPI yang digunakan
Pertanyaan : Dr. Indah Prasasti (LAPAN)
Berapa lama sebelum kejadian puting beliung dapat dilakukan peringatan dini? Apakah range pengamatan
bisa lebih kecil?
Jawaban :
Makalah ini membahas tentang hujan es, bukan puting beliung, sehingga penulis tidak dapat memberikan
jawaban
-902-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia
Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5
(Studi Kasus: Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal)
Monthly Rainfall Estimation Performance in Indonesia
Based on CHIRPS, GPCC and CMIP5 Projection
(Case Study: Monsoonal, Equatorial, and Local Precipitation Pattern)
Nur Siti Zulaichah1*) dan Amsari Mudzakir Setiawan 2
1
Program Studi Klimatologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG)
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Estimasi curah hujan bulanan dapat diperoleh dengan memanfaatkan luaran produk satelit secara
langsung dan asimilasi luaran satelit dengan observasi di permukaan. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui performa
estimasi curah hujan bulanan gabungan luaran produk satelit dengan observasi permukaan dari data Climate Hazards
Group InfraRed Precipitation with Station (CHIRPS) version 2.0, Global Precipitation Climatology Centre (GPCC)
version7 dan hasil proyeksi Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) dari Community Earth System
Model, version 1–Biogeochemistry (CESM1-BGC). Karakteristik iklim yang beragam di suatu wilayah dapat
mempengaruhi performa hasil estimasi curah hujan. Data observasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) selama 28 tahun (1986 – 2013) digunakan untuk mengetahui performa estimasi di wilayah dengan pola hujan
monsunal (Staklim Semarang), ekuatorial (Staklim Pulau Baai, Bengkulu), dan lokal (Stamet Geser, Maluku) melalui
analisis korelasi Pearson serta Root Mean Square Error (RMSE). Estimasi hujan bulanan data GPCC umumnya
menunjukkan performa terbaik dibandingkan dengan CHIRPS dan CESM1-BGC untuk ketiga pola hujan. Nilai korelasi
yang tinggi (0,976) dengan RMSE sebesar 29,68 mm/bulan diperoleh terutama di wilayah dengan pola hujan lokal.
Sebaliknya, estimasi hujan hasil luaran CESM1-BGC menunjukkan performa inferior dibanding lainnya terutama di
wilayah dengan pola hujan ekuatorial.
Kata kunci: estimasi hujan bulanan, CHIRPS, GPCC, CMIP5, pola hujan, observasi
ABSTRACT -Monthly rainfall estimation can be done by utilizing the output of satellite products directly and its
assimilation with surface observations. This study was conducted to determine the performance of rainfall estimation by
the combined output of satellite products and surface observation from Climate Hazards Group Infra Red Precipitation
with Station (CHIRPS) version 2.0, Global Precipitation Climatology Centre (GPCC) version 7 and Coupled Model
Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) on the Community Earth System Model, version 1-Biogeochemistry
(CESM1-BGC) projection. Diversity of climate characteristics over the region can affect on performance of rainfall
estimation. BMKG insitu observation data for 28 year period (1986-2013) was used to determine the performance of
estimation in a region with monsoonal (Staklim Semarang), equatorial (Staklim Pulau Baai, Bengkulu), and local
(Stamet Scroll, Maluku) rainfall pattern through a Pearson correlation analysis and Root Mean Square Error (RMSE)
value.GPCC monthly rainfall estimation generally shows the best performance compared with CHIRPS and CESM1BGC's over whole region. Highest correlation value (0.976) with RMSE of 29,68 mm / month are obtained mainly in
the region with local rainfall patterns. In contrast, CESM1-BGC rainfall estimation outcome showed inferior
performance compared to others, especially in regions with equatorial rain pattern.
Keywords: monthly rainfall estimation, CHIRPS, GPCC, CMIP5, rainfall pattern, in situ observation
1.
PENDAHULUAN
Wilayah Indonesia yang sangat luas baik daratan maupun lautannya menyebabkan pengukuran curah
hujan menjadi lebih sulit, hal ini disebabkan besarnya variabilitas ruang (spatial variability) dan fakta bahwa
sebagian besar curah hujan tropis terjadi di atas area yang tidak dapat dicapai (inaccessible areas) seperti
area osean tropis, pegunungan, dan hutan tropis. Di wilayah ekuatorial Kepulauan Indonesia distribusi
stasiun hujan tidak merata, jaringan stasiun hujan di Pulau Jawa lebih rapat dibandingkan dengan di pulaupulau lain seperti Kalimantan, Sumatera dan Papua. Karenanya estimasi curah hujan tropis berdasarkan
-903-
Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola
Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk)
satelit cuaca sangat menarik dan pemakaian estimasi ini untuk pengembangan klimatologi curah hujan pada
keanekaragaman (variety) skala temporal dan spasial (Tjasyono dan Woro, 2014).
Perkembangan model cuaca numerik seiring dengan perkembangan kemampuan komputasi dan
penambahan jaringan pengamatan telah mencapai akurasi prediksinya yang baik dan sudah banyak
digunakan dalam membuat prakiraan cuaca oleh pusat layanan cuaca di banyak negara (Gustari, dkk., 2012).
Verifikasi membutuhkan data aktual yang banyak, namun jumlah stasiun observasi meteorologi di Indonesia
masih terbatas. Prediksi curah hujan harian cukup sulit dilakukan karena keragamannya sangat tinggi dan
banyaknya permasalahan data, seperti minimnya ketersediaan data, data tidak lengkap/kosong, jumlah
stasiun kurang tersebar, sistem pengamatan dan pemasukan data masih manual, serta pengumpulan data
berjalan lambat (Mamenun, dkk., 2014).
Seiring dengan kemajuan teknologi asimilasi data, observasi dan pemodelan cuaca dan iklim
memungkinkan tersedianya berbagai jenis produk satelit dan model prediksi cuaca numerik untuk studi
prakiraan cuaca. Beberapa contoh data yang dapat digunakan dan tersedia secara global antara lain data
reanalysis CHIRPS (Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station), GPCC (Global
Precipitation Climatology Centre) dan CMIP5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5).Namun
sebelum data reanalysis tersebut digunakan perlu dilakukan uji akurasi untuk mengetahui apakah data
reanalysis tersebut layak dan sesuai dijadikan alternatif mengisi data kosong di stasiun. Selain itu, dapat
diketahui data reanalysis mana yang menampilkan perfoma paling baik sesuai dengan data observasi stasiun.
Analisis validasi data reanalysis CHIRPS, GPCC dan CMIP5 untuk skala bulanan dan tahunan pernah
dilakukan sebelumnya di luar negeri, dimana masing-masing data reanalysis tersebut memiliki korelasi yang
cukup baik terhadap data observasi stasiun. Namun wilayah penelitian yang digunakan hanya mencakup
berdasarkan elevasi stasiun, topografi dan area global. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan, perlu dikaji lebih lanjut validasi data reanalysis hujan untuk wilayah yang lebih spesifik yaitu
wilayah penelitian yang mewakili berdasarkan pola hujan monsun, ekuatorial dan lokal.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui data reanalysis mana yang sesuai untuk alternatif
mengisi data kosong dan memiliki prediksi hujan yang sama dengan data observasi stasiun di BMKG.
2. METODE
2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitudata hujan bulanan keluaran data reanalysis CHIRPS,
GPCC, CESM1-BGC dan observasi curah hujan stasiun dengan periode sebagai berikut :
1. Data curah hujan bulanan F-Klim71stasiun pada 3 pola hujan ekuatorial, monsunal dan lokal dengan
periode 28 tahun (1986 – 2013).
2. Data reanalysis curah hujan dari CHIRPS, GPCC, dan CMIP5 (data Rcp45 CESM1-BGC). Keluaran dari
data reanalysis ini dalam bentuk netcdf (nc), columnar tabel, pdf, Matlab, Grads dan sebagainya. Pada
penelitian ini menggunakan format raw data (tabel) yang diolah menggunakan Excel agar dapat
menampilkan nilai dan grafik
3. Data koordinat stasiun penelitian.
Sebagai data pembanding yaitu ketiga data reanalysis CHIRPS, GPCC, CMIP5 (CESM1-BGC) yang
divalidasi dengan data iklim stasiun berupa data curah hujan bulanan dari tahun 1986 – 2013. Data
reanalysis yang digunakan dengan koordinat masing-masing stasiun. Data reanalysis yang digunakan
sebagai berikut :
1. Data curah hujan bulanan GPCC versi 7 menggunakan resolusi 0,5° didapat dari website :
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.WCRP/.GCOS/.GPCC
2. Data curah hujan bulanan CMIP5 diperoleh dari data curah hujan RCP45 model CESM1-BGC dengan
resolusi 2,59° x 1,73° didapat dari website :
https://climexp.knmi.nl/
3. Data curah hujan bulanan CHIRPS dengan resolusi 0,05° didapat dari website :
https://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.UCSB/.CHIRPS
Data obs curah hujan bulanan diperoleh dari F-Klim 71 tahun 1986 – 2013 berupa data curah hujan
bulanan,kemudian dilakukan pembuatan time series dan grafik. Berdasarkan grafik time series tersebut akan
terlihat pola curah hujan bulanan masing-masing stasiun dari tahun 1986 – 2013 yang kemudian digunakan
untuk validasi terhadap data reanalysis.Pengolahan data reanalysis diawali dengan mendownload data
tersebut kemudian simpan raw datanya.
1. Pada data CHIRPS, raw data dalam 1 grid terdapat 4 titik sehingga kita harus memilah koordinat yang
digunakan. Selanjutnya curah hujan bulanan yang diperoleh dibuat time series dan grafik.
-904-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
2. Data Rcp45 CESM1-BGC telah disediakan dari CMIP5 kemudian memilih model CESM1-BGC dan
mengambil raw datanya. Setelah itu raw data diolah menggunakan Excel dan dibuat dalam bentuk time
series kemudian menampilkan grafiknya.
3. Data GPCC cara mendownloadnya sama dengan CHIRPS yaitu dari website yang sama kemudian
memilih presipitasi GPCC versi 7 resolusi 0,5° dan mengambil raw datanya. Data tersebut didownload
dan diolah menggunakan Excel dan dibuat dalam bentuk time series kemudian menampilkan grafiknya.
Setelah selesai mengolah data reanalysis di Excel dengan hasil grafik time series kemudian divalidasi
terhadap grafik time series dari obs. Dilihat apakah terdapat kesesuaian dengan ketiga data reanalysis
tersebut. Dari hasil validasi ini dapat dilihat data reanalysis mana yang kurang lebih mendekati pola grafik
time seriesnya dengan data dari obs.
2.2 Metode Validasi
Validasi dapat diterapkan pada berbagai model prakiraan karena pada dasarnya data yang dipakai dalam
proses validasi adalah sama, yaitu observasi (data real) dan hasil prakiraan. Pada penelitian ini proses
validasi dilakukan terhadap data observasi dan data reanalysis. Adapun yang dipakai dalam penelitian ini
adalah validasi dengan korelasi Pearson dan RMSE (Root Mean Square Error). Untuk pengolahan data dan
mencari nilai perhitungan digunakan aplikasi Microsoft Excel.
Metode validasi digunakan untuk menentukan sejauh mana keakuratan metode dan juga untuk
menentukan metode terbaik dari ketiga data reanalysis tersebut. Metode RMSE (Root Mean Squared Error)
yaitu suatu metode untuk mengevaluasi hasil suatu teknik atau metode prakiraan dengan cara selisih data
aktual terhadap data prakiraan yang masing – masing dikuadratkan, kemudian dijumlahkan dan dibagi
dengan jumlah data, sehingga didapat nilai rata– rata kesalahan kuadrat atau biasa disebut MSE (Mean
Squared Error). Nilai MSEtersebut diakar kuadratkan untuk mencari nilai RMSE. Dalam Setyawan, Wilks
(1995) RMSEdihitung dengan rumus :
=
1
(
−
)2
=1
……………………
(1)
Keterangan :
= nilai prakiraan
= nilai Observasi atau aktual
n = jumlah data aktual
Jika nilai prediksi total hujan bulanan sama dengan nilai data observasinya, maka RMSE bernilai 0. Nilai
0 merupakan nilai terbaik yang memiliki implikasi bahwa teknik prediksi yang digunakan sangat sesuai
dengan kondisi lapangnya. Dengan kata lain, bahwa semakin besar nilai RMSE maka semakin jelek kualitas
nilai prediksi yang dihasilkan dengan menggunakan teknik prediksi yang dipilih.
Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kesesuaian fase antara nilai prediksi total hujan bulanan dengan
nilai data observasinya dapat digunakan nilai koefisien korelasi Pearson. Nilai koefisien Pearson ini
bervariasi antara -1 dan +1. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi Pearson yang didapat, maka semakin baik
performa teknik prediksi yang digunakan. Berarti semakin sama fase nilai prediksi, maka semakin baik
performa teknik prediksi yang digunakan. Korelasi menunjukkan hubungan (linear) relatif antara dua
variabel. Adapun rumus korelasi Pearson (Wilks, 1995) adalah sebagai berikut :
∑ =1[ ′ ′ ]
=
[∑ =1( ′ )2 ]1/2 [∑ =1(
′ )2 ]1/2
……………………
Keterangan :
= koefisien korelasi
′
= nilai curah hujan obs
′ = nilai prakiraan masing-masing data reanalysis
-905-
(2)
Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola
Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk)
Menurut Wilks (1995), menyatakan bahwa standar deviasi adalah nilai statistik yang digunakan untuk
menentukan bagaimana sebaran data dalam sampel, dan seberapa dekat titik data individu ke nilai rata-rata
sampel. Sebuah standar deviasi dari kumpulan data sama dengan nol menunjukkan bahwa semua nilai-nilai
dalam himpunan tersebut adalah sama. Sebuah nilai deviasi yang lebih besar akan memberikan makna bahwa
titik data individu jauh dari nilai rata-rata. Adapun rumusnya sebagai berikut :
=
∑
(
− ̅)
………………….
(3)
Keterangan :
n = jumlah data
xi = data ke –i
̅ = nilai rata – rata
Hasil dari masing-masing estimasi curah hujan yang ditunjukkan oleh data reanalysis dibandingkan
dengan data observasi stasiun, kemudian dianalisis pola yang dihasilkan dan ditampilkan dalam bentuk
grafik dan Diagram Taylor.
2.3 Diagram Alir Penelitian
=
∑ =1[ ′ ′ ]
[∑ =1( ′ )2]1/2[∑ =1( ′ )2]1/2
=
1
( − )2
=1
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
-906-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
2.3 Lokasi Penelitian
Gambar 2. Lokasi Penelitian (Sumber :Badan Informasi Geospasial/BIG, 2016)
Berdasarkan analisis klimatologi, ketersediaan dan series panjang data, maka stasiun terpilih yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a). Pola Monsunal
: Stasiun Klimatologi Semarang (6,98°LS dan 110,42°BT, elevasi = 227 meter)
b). Pola Ekuatorial
: Stasiun Klimatologi Pulau Baai (3,87°LS dan 102,32°BT, elevasi = 517 meter)
c). Pola Lokal
: Stasiun Meteorologi Geser (3,88130°LS dan 130,88°BT, elevasi = 2 meter)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1Estimasi Curah Hujan Data Reanalysis
Perbandingan estimasi curah hujan data reanalysis dengan data pengamatan stasiun di tiga wilayah
dengan pola curah hujan berbeda yaitu monsunal, ekuatorial dan lokal, dapat dilihat dari pola jumlah curah
hujan yang turun di permukaan dalam hal ini yaitu curah hujan bulanan. Berikut adalah hasil perolehan
estimasi curah hujan dari data reanalysis CHIRPS, GPCC dan CESM1-BGC.
(a)
-907-
Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola
Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk)
(b)
(c)
Gambar 4. Perbandingan Estimasi Curah Hujan Data Reanalysis Dan Observasi Pada 3 Stasiun.
(a). Stasiun Klimatologi P. Baai, (b). Stasiun Meteorologi Geser, dan (c). Stasiun Klimatologi Semarang
Berdasarkan grafik, menunjukkan bahwa data reanalysis di Stasiun Klimatologi Pulau Baai Bengkulu
dalam memprediksi curah hujan dapat dikatakan polanya mengikuti data observasi stasiun. Namun untuk
kisaran jumlah curah hujan yang diprediksi masing-masing data reanalysistersebut ada yang overestimatedan
-908-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
underestimate. Data CESM1-BGC merupakan data reanalysis yang menghasilkan estimasi curah hujan
paling rendah dibandingkan dengan data reanalysis lainnya.
Untuk melihat hubungan antara kedua variabel antara data observasi dan reanalysis maka dibuatlah grafik
scatter plot. Dari ketiga grafik scatter plot menunjukkan data observasi dan GPCC merupakan variabel yang
memiliki hubungan paling erat diantara grafik lainnya dengan nilai korelasi sebesar 0,8632, dapat dilihat dari
kerapatan data tersebut terhadap garis linier. Pada kedua variabel tersebut memiliki korelasi/hubungan positif
dimana peningkatan yang terjadi pada nilai curah hujan observasi juga diikuti peningkatan curah hujan pada
data GPCC.
Hal yang sama terjadi pada grafik scatter plot di Stasiun Meteorologi Geser dan Stasiun Klimatologi
Semarang, yakni data observasi dan data GPCC merupakan variabel yang memiliki nilai korelasi tertinggi
sebesar 0,9535 dan 0,927. Namun yang membedakan adalah pola hujan yang dihasilkan di Geser antara data
CHIRPS dan CESM1-BGC sama sekali tidak mengikuti data observasi. Nilai prediksi hujannya sangat jauh
dari data aktual(pengamatan insitu). Dilihat dari grafik scatter plot, terdapat banyak sebaran data pada
CHIRPS dan CESM1-BGC sehingga nilai korelasinya kecil.
Pola hujan pada Stasiun Klimatologi Semarang menunjukkan bahwa data reanalysis umumnya mengikuti
pola curah hujan observasi. Namun pada titik awal hingga pertengahan terdapat nilai yang overestimate yaitu
terjadi pada data CHIRPS dan CESM1-BGC selanjutnya kembali mengikuti pola observasi. Grafik scatter
plot menunjukkan data GPCC adalah data yang memiliki nilai korelasi tertinggi dibanding data reanalysis
lainnya. Data yang lain masih terdapat banyak sebaran data sehingga hubungan antara kedua variabel yakni
data observasi dan data reanalysis rendah.
IV.2 Validasi Data Reanalysis
Untuk melakukan validasi diperlukan data aktual pengamatan di stasiun. Data yang dibandingkan adalah
data 28 tahun yaitu dari periode 1986 – 2013, karena adanya keterbatasan data. Data yang digunakan
merupakan data curah hujan bulanan (mm/bulan).
Tabel 1. Nilai Korelasi, RMSE dan Bias Terhadap Data Pengamatan di Stasiun
STASIUN
Semarang
P. Baai
Geser
KORELASI
CESM1CHIRPS GPCC
BGC
0.824
0.963
0.459
0.680
0.929
0.248
0.359
0.976
0.134
RMSE
CHIRPS
90.714
124.836
150.290
GPCC
44.832
61.925
29.680
BIAS
CESM1BGC
147.295
196.845
164.139
CHIRPS
0.06
0.04
-0.20
GPCC
0.05
0.01
0.04
CESM1BGC
0.06
-0.33
-0.01
Gambar 5. Performa Nilai Korelasi Menggunakan Diagram Taylor. (a). Stasiun Klimatologi Semarang, (b).
Stasiun Klimatologi Pulau Baai, dan (c). Stasiun Meteorologi Geser
-909-
Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS, GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus: Pola
Hujan Monsunal, Ekuatorial dan Lokal) (Zulaichah, N.S., dkk)
Validasi antara data reanalysis dengan data pengamatan di stasiun memiliki koefisien korelasi yang
sangat baik tepatnya pada data GPCC di Stasiun Meteorologi Geser (pola lokal) sebesar 0,976, kemudian
pada data CHIRPS koefisien korelasi tertinggi terjadi di Stasiun Klimatologi Semarang (pola monsunal)
sebesar 0,824, sedangkan koefisien korelasi terendah ditemukan pada data CESM1-BGC terjadi di Stasiun
Meteorologi Geser yaitu 0,134.
Visualisasi dari perbedaan kinerja data reanalysis yang diperoleh ditampilkan dengan diagram Taylor.
Dari data reanalysis CHIRPS, GPCC dan CESM1-BGC, nilai estimasi curah hujan yang hampir mendekati
kondisi aktual (data observasi) adalah data GPCC, sedangkan data CHIRPS dan CESM1-BGC memiliki
kondisi yang cukup jauh dari kondisi aktual. Dari Diagram Taylor selain menampilkan nilai koefisien
korelasi juga menampilkan nilai standar deviasi yang ditunjukkan oleh masing-masing data reanalysis.
Hasilnya menunjukkan bahwa pada ketiga data reanalysis di setiap wilayah pola hujan monsunal, ekuatorial
dan lokal memiliki nilai standar deviasi yang bervariatif antara 15 – 170, artinya tingkat variasi estimasi
curah hujan yang dihasilkan oleh ketiga data reanalysis adalah 15 – 170 mm pada ketiga wilayah pola hujan.
4. KESIMPULAN
Perbandingan data reanalysis terhadap data observasi di tiga wilayah pola hujan yaitu monsunal (Stasiun
Klimatologi Semarang), ekuatorial (Stasiun Klimatologi Pulau Baai) dan lokal (Stasiun Meteorologi Geser)
menunjukkan data reanalysis GPCC memiliki nilai korelasi tertinggi dibandingkan dengan data CHIRPS dan
CESM1-BGC. Dari ketiga data reanalysis, data GPCC merupakan data yang nilai prakiraan curah hujannya
paling mendekati data hujan observasi. Pada umumnya nilai estimasi yang dihasilkan oleh data GPCC adalah
overestimate terjadi di semua pola hujan. Jika dilihat dari scatter plot, data GPCC merupakan data yang
memiliki hubungan/korelasi tertinggi dibanding data reanalysis lainnya dengan nilai korelasi positif.
Validasi data reanalysis terhadap data observasi menunjukkan nilai korelasi tinggi di wilayah hujan
dengan pola lokal (0,976), cukup tinggi pada pola monsunal (0,824) dan korelasi terendah pada pola lokal
(0,134). Nilai RMSE terendah dari tiga data reanalysis terdapat pada data GPCC dan terjadi di semua stasiun
pengamatan. RMSE terendah terjadi di wilayah pola lokal (RMSE =29,680), lebih rendah jika dibandingkan
dengan wilayah pola monsunal (RMSE = 44,832) dan pola ekuatorial (RMSE = 61,925). Hasil validasi
tersebut menunjukkan bahwa data reanalysis GPCC merupakan data yang paling baik dalam mengestimasi
curah hujan di tiga wilayah pola hujan monsunal, ekuatorial dan lokal.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pegawai Stasiun Meteorologi Klas III
Geser, Stasiun Klimatologi Pulau Baai dan Stasiun Klimatologi Semarang, dan Abdurahman yang telah
membantu pembuatan script plot Diagram Taylor dalam pengerjaan makalah penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Gustari, I.W.H., Tri, H., Sofwan, R., dan Findy, (2012). Akurasi Prediksi Curah Hujan Harian Operasional di
Jabodetabek : Perbandingan dengan Model WRF. Jurnal Meteorologi dan Geofisika,13(2):119-130, Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta.
Mamenun, P.H., dan Sophaheluwakan, A., (2014). Validasi dan Koreksi Data Satelit TRMM Pada Tiga Pola Hujan di
Indonesia, Jurnal Meteorologi dan Geofisika,15(1):13-23, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG),
Jakarta.
Setyawan, M.B., (2015).Uji Komparasi Prakiraan Curah Hujan Hasil Keluaran Model ARIMA, Model Stepwise,
Regression, dan Model Holt-Winter di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika :Tangerang Selatan.
Tjasyono, H. K., Bayong, dan Harijono, S.W.B. (2014). Atmosfer Ekuatorial, Pusat Penelitian dan Pengembangan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta.
Wilks, D.S.(1995).Statistical Methods in The Atmospheric Sciences, AcademicPresss, USA.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskui presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
-910-
Seminar Nasional Pengindraan Jauh -2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Dr. BambangTrisakti
: Performa Estimasi Curah Hujan Bulanan di Indonesia Berdasarkan Data CHIRPS,
GPCC dan Proyeksi CMIP5 (Studi Kasus : Pola Hujan Monsunal, Ekuatorial dan
Lokal)
: Nur Siti Zulaichah (STMKG)
:
Pertanyaan: Dr. Bambang Trisakti (LAPAN):
Mungkinkah mengkombinasikan data CHRIPS dan GPCC sehingga dapat menghasilkan akurasi yang lebih
baik?
Jawaban :
Mungkin lebih bagus namun perlu validasi lapangan dahulu. Ini dapat dicoba untuk penelitian selanjutnya.
-911-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat
dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band
Characteristic Monitoring of Heavy Rainfall Event
Using C-Band Weather Radar Data
Kadek Setiya Wati1*) dan Pande Putu Hadi Wiguna2
1
2
Stasiun Meteorologi Kelas II Selaparang-BIL, BMKG
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Radar cuaca C-band merupakan tipe radar cuaca yang digunakan untuk pengamatan presipitasi (hujan).
Pemanfaatan Radar cuaca C-band sering kali digunakan untuk pemantauan kejadian hujan lebat. Hujan lebat
merupakan hujan dengan intensitas 10-20 mm/jam atau 50-100 mm/hari. Dalam pengamatannya, faktor kelengkungan
bumi sangat menentukan akurasi data yang dihasilkan oleh radar cuaca. Semakin jauh dari pusat radar maka beam radar
akan mencapai ketinggian yang lebih tinggi dibandingkan dengan beam radar yang dekat dengan pusat radar. Oleh
karena akibat kelengkungan bumi tersebut maka akurasi data dalam pemantauan hujan lebat yang terjadi dekat dengan
pusat radar akan berbeda dengan yang terjadi lebih jauh dari pusat radar. Dalam penelitian ini digunakan 2 kasus hujan
lebat dengan lokasi kejadian 0-5 km dan 15-30 km dari pusat radar. Data yang digunakan adalah data reflektivitas
produk CMAX, EHT, dan VCUT. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa hujan lebat yang
terjadi dalam jarak 0-5 km memiliki waktu kejadian yang singkat yaitu sekitar 1 jam; nilai reflektivitas maksimum
antara 20-40 dBz; ketinggian echo maksimum sekitar 0-2 km. Kejadian hujan lebat dengan jarak 15-30 km dari pusat
radar memiliki waktu kejadian yang lebih lama yaitu sekitar 3-4 jam; nilai reflektivitas maksimum antara 20-50 dBz;
ketinggian echo maksimum sekitar 0-5 km.
Kata kunci: Radar C-band, hujan lebat, CMAX, EHT, VCUT
ABSTRACT – C-band weather radar is a type of weather radar for precipitation monitoring. C-band weather radar is
used mostly for monitoring of heavy rainfall event. Heavy rainfall has intensity between 10-20 mm/hour or 50-100
mm/day. During the observation, earth’s curvature factor determines the accuration of radar data. As farther from the
radar center, radar beam will reach higher altitude than radar beam near the radar center. Due to the curvature of the
earth, the accuracy of the data in the monitoring of heavy rains that occurr close to the center of the radar will be
different from what happen further away from the center of the radar. This research used 2 cases of heavy rainfall with
the distance of each events are 0-5 km dan 15-30 km from the radar center. The data used is reflectivity data from the
products i.e. CMAX, EHT, and VCUT. The result from this research is that heavy rainfall event with a distance of 0-5
km from radar center occured in short duration about 1 hour; maximum reflectivity between 20-40 dBz; maximum echo
height is about 0-2 km. Heavy rainfall event that have 15-30 km radius from radar center can occure in longer duration
between 3-4 hours; maximum reflectivity between 20-50 dBz; maximum echo height between 0-5 km.
Keywords: C-band Radar, heavy rainfall, CMAX, EHT, VCUT
1.
PENDAHULUAN
Radar cuaca merupakan alat penginderaan jarak jauh yang sangat membantu dalam membuat analisis dan
prakiraan cuaca. Ketersediaan data dengan kualitas resolusi spasial dan temporal yang cukup tinggi
merupakan salah satu keuntungan yang ditawarkan oleh radar cuaca saat ini. Dibalik keuntungan tersebut,
radar cuaca juga memiliki kelemahan atau limitasi salah satu diantaranya yaitu berkurangnya kualitas data
radar seiring dengan bertambahnya jarak objek dari pusat radar akibat terjadinya atenuasi dan faktor
kelengkungan bumi.
Beam radar saat dipancarkan oleh antena memilliki lebar sekitar 0.5 – 2.0° dengan arah lurus horizontal.
Seiring dengan bertambahnya jarak horizontal ynag dicapai oleh beam radar maka jarak vertikal terbawah
yang dicapai beam radar juga ikut bertambah. Hal tersebut terjadi karena beam radar bergerak secara lurus
sedangkan permukaan bumi cenderung melengkung. Adanya atenuasi atau pelemahan beam radar juga ikut
mengurangi kualitas data terutama pada jarak yang semakin jauh dari pusat radar cuaca.
Oleh karena itulah, pada kejadian hujan lebat yang terjadi di dekat radar cuaca terkadang memiliki nilai
reflektivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kejadian hujan lebat yang terjadi pada jarak yang jauh
dari pusar radar cuaca.
-912-
Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band (Wati, K.S., dkk.)
Dalam penelitian ini digunakan dua kejadian hujan lebat dengan masing-masing lokasi kejadian memiliki
jarak yang berbeda dari pusat radar cuaca. Kejadian hujan lebat pertama berada dalam jarak 0-5 km dari
pusat radar terjadi tanggal 19 januari 2016 sedangkan kejadian kedua berada dalam jarak 15-30 km dari
pusat radar yang terjadi tanggal 16 Januari 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk membedakan karakteristik dari kejadian hujan lebat yang terjadi di dekat
pusat radar dengan kejadian hujan lebat yang terjadi jauh dari pusat radar sehingga diharapkan para
prakirawan dapat memberikan analisis terhadap citra radar dengan lebih baik.
2.
METODE
Dalam penelitian ini, data yang digunakan antara lain:
1. Data reflektivitas produk CMAX 0.5 –10 km dan CMAX VCUT;
2. Data produk EHT;
Menurut Wardoyo (2015), penggunaan masing-masing produk CMAX, VCUT, dan EHT secara
ringkasnya adalah sebagai berikut:
a. Produk CMAX (Coloum Maximum) digunakan karena produk ini dapat menggambarkan nilai
reflektivitas maksimum antara dua ketinggian pada suatu kolom. Produk ini diharapkan dapat
menampilkan nilai reflektivitas dari presipitasi yan dihasilkan dari awan jenis Cumulonimbus yang
rentan mengakibatkan cuaca buruk.
b. Produk VCUT (Vertical Cut) digunakan untuk menampilkan ririsan secara vertikal atau tegak lurus dari
suatu polar volume set. Produk ini sangat berguna untuk melakukan analisis terhadap struktur vertikal
dari suatu fenomena cuaca yang terjadi. Dengan menggunakan produk ini maka struktur vertikal dari
suatu awan konvektif dapat dianalisis guna mengetahui tahap perkembangan, dewasa hingga
meluruhnya.
c. Produk EHT (Echo Height) berguna secara khusus untuk mengidentifikasi struktur vertikal fenomena
meteorologiseperti sel-sel badai petir. Produk ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara
otomatis strukur echo dalam lajur tegak.
Data radar cuaca diolah dengan menggunakan aplikasi rainbow 5 untuk menampilkan produk CMAX,
CMAX VCUT, dan EHT.
Lokasi penelitian terletak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Lokasi Pertama adalah Penujak yang
terletak 0-5 km dari pusat radar cuaca (lingkaran hijau) dan lokasi kedua adalah Mataram yang terletak 15-30
km dari pusat radar cuaca (lingkaran biru).
Gambar 1. Peta Pulau Lombok Sebagai Lokasi Penelitian ( Google maps, 2016)
-913-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Adapun diagram alir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Radar Cuaca CBand
Limitasi Radar
Hujan Lebat di
Lombok
Reflektivity
0 – 15 km
Durasi
15 – 30
km
0 – 15 km
15 – 30
km
Analisis
Kesimpulan
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kejadian Hujan Lebat Dalam Jarak 0-5 km
Kejadian hujan lebat dalam jarak 0-5 km terjadi pada tanggal 19 Januari 2016. Hujan lebat yang
tejadi sekitar jam 14.00 WITA tersebut disertai dengan angin kencang dan petir dengan curah hujan
terukur selama satu jam mencapai 44.4 mm. Jarak pandang mendatar yang teramati pada saat kejadian
mencapai hanya 500 m. Kondisi tersebut merupakan salah satu kategori cuaca ekstrem menurut BMKG.
Gambar 2. Produk CMAX tanggal 19 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.10 WITA; 14.20 WITA; 14.30
WITA; 14.40 WITA; dan 14.50 WITA.
Berdasarkan produk CMAX pada saat kejadian hujan lebat seperti yang ditunjukkan dalam Gambar
2 terlihat bahwa echo presipitasi yang terdeteksi di sekitar wilayah Penujak memiliki nilai reflektivitas
yang berkisar antara 20 – 40 dBz dengan warna hijau muda hingga kuning. Wilayah terjadinya hujan
lebat ini hampir masuk dalam blind zone radar karena jaraknya yang sangat dekat dengan pusat radar
cuaca Lombok. Presipitasi diperkirakan mulai terjadi sekitar pukul 13.50 WITA dan mencapai
puncaknya pada pukul 14.10 WITA hingga 14.40 WITA. Selanjutnya pukul 14.50 WITA presipitasi
sudah mulai berkurang.
-914-
Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band (Wati, K.S., dkk.)
Gambar 3. Produk CMAX VCUT tanggal 19 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.10 WITA; 14.20 WITA;
14.30 WITA; 14.40 WITA; dan 14.50 WITA.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas secara vertikal maka dilakukan vertical cut pada
produk CMAX seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Jarak lokasi yang terlalu dekat dengan pusat radar
juga menyebabkan munculnya cone of silence dalam produk VCUT CMAX. Berdasarkan struktur
vertikal yang ditampilkan dalam produk VCUT tampak bahwa kejadian hujan paling lebat terjadi sekitar
jam 14.40 WITA. Terlihat adanya echo dengan nilai reflektivitas hingga 40 dBz pada ketinggian 0-2 km
dari permukaan. Kemungkinan echo presipitasi tersebut bisa memiliki ketinggian lebih dari 2 km namun
karena adanya cone of silence sehingga gambaran echo presipitasi yang tampak hanya sampai pada
ketinggian 2 km. Sama seperti citra yang ditampilkan dalam produk CMAX terlihat bahwa presipitasi
dimulai sejak jam 13.50 WITA kemudian semakin bertambah lebat mulai jam 14.10 WITA hingga
14.40 WITA kemudian intensitasnya berkurang mulai jam 14.50 WITA. Kondisi tersebut terlihat dari
citra produk VCUT jam 14.50 WITA dimana echo reflektivitas tampak berkurang nilainya menjadi
sekitar 5 -20 dBz dengan warna biru muda hingga biru tua.
Tampilan produk EHT seperti dalam Gambar 4 sebenarnya memberikan gambaran yang tidak jauh
berbeda dengan produk VCUT. Produk ini memanpilkan ketinggian puncak echo dengan nilai minimal
10 dBz. Sama seperti analisis dri produk VCUT bahwa puncak echo di sekitar lokasi kejadian memiliki
ketinggian sekitar 0-2 km.
Gambar 4. Produk EHT tanggal 19 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.10 WITA; 14.20 WITA; 14.30 WITA;
14.40 WITA; dan 14.50 WITA.
3.2 Kejadian Hujan Lebat Dalam Jarak 15-30 km
Hujan lebat yang terjadi pada tanggal 16 Januari 2016 berada dalam jarak 15-30 km dari pusat radar
cuaca. Kejadian hujan lebat tersebut terjadi di Kota Mataram dan Kecamatan Kediri. Curah hujan
terukur di Stasiun Klimatologi Kediri mencapai 100 mm sedangkan berdasarkan pengukuran dari ARG
Mataram, hujan terukur mencapai 85.2 mm. Kedua kejadian hujan tersebut masuk dalam kategori cuaca
ekstrem menurut BMKG. Kejadian hujan lebat tersebut bahkan menimbulkan banjir yang menggenangi
sebagian wilayah Kediri dengan ketinggian genangan air yang mencapai 20 cm. Hujan yang terjadi di
wilayah Kediri dimulai sejak pukul 13.30 WITA sedangkan di Mataram, hujan baru mulai terjadi sekitar
pukul 14.00 WITA.
-915-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Produk CMAX tanggal 16 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.30 WITA; 15.00 WITA; 15.30
WITA; 16.00 WITA; dan 16.30 WITA.
Gambar 6. Produk CMAX VCUT tanggal 16 Januari 2016 jam 14.10 WITA; 14.20 WITA; 14.30 WITA;
14.40 WITA; 14.50 WITA; 15.00 WITA; 15.10 WITA; 15.20 WITA dan 15.30 WITA.
Produk CMAX tanggal 16 Januari 2016 seperti yang dittunjukkan dalam Gambar 5, memperlihatkan
adanya echo presipitasi dengan nilai reflektivitas yang tinggi yaitu berkisar antara 20 – 50 dBz dengan
warna hijau muda hingga jingga tua di sekitar wilayah Kediri sedangkan di sekitar wilayah Mataram
nilai echo presipitasi berkisar antara 20-45 dBz dengan warna hijau muda hingga jingga. Kondisi ini
dikaitkan dengan kondisi hujan di wilayah Kediri yang memiliki intensitas lebih lebat dibandingkan
dengan di Mataram. Hal tersebut dibuktikan dengan curah hujan terukur di wilayah Kediri yang lebih
tinggi yaitu mencapai 100 mm dibandingkan dengan wilayah Mataram dimana curah hujan terukur
mencapai 85.2 mm. Untuk lebih jelasnya maka dilakukan pemotongan secara vertikal pada produk
CMAX di atas.
Vertical cut pada produk CMAX menghasilkan potongan secara vertikal pada sel presipitasi di
sekitar wilayah Mataram dan Kediri seperti ditunjukkan dalam Gambar 6. Dari citra produk CMAX
VCUT terlihat dengan lebih jelas bahwa hujan paling deras secara umum terjadi pukul 14.10 WITA
hingga 15.30 WITA. Durasi terjadinya hujan lebat di wilayah Mataram berlangsung lebih singkat
dibandingkan dengan di wilayah Kediri. Untuk di wilayah Mataram hujan diperkirakan terjadi sekitar
pukul 14.00 WITA hingga 16.30 WITA sedangkan di wilayah Kediri selain intensitas hujan yang
memang lebih tinggi terjadinya hujan lebat juga tejadi dalam durasi yang lebih panjang yaitu ari pukul
13.50 WITA hingga 16.40 WITA. Echo presipitasi dengan nilai mencapai 45-50 dBz terlihat berada
pada ketinggian 0-5 km. Lokasi kejadian yang berada cukup jauh dari pusat radar sedikit
menguntungkan karena tidak terdapat cone of silence pada tampilan produk VCUT dan tidak terkena
blind zone pada produk CMAX.
Produk EHT seperti yang terlihat dalam Gambar 7 memberikan informasi yang mirip dengan produk
CMAX VCUT. Kelebihan produk ini bila dibandingkan VCUT yaitu dengan menggunakan produk
EHT maka nilai reflektivitas minimum beserta ketinggian puncaknya yang ingin ditampilkan dapat
-916-
Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band (Wati, K.S., dkk.)
diatur oleh pengguna. Dalam kasus hujan lebat yang terjadi di Mataram dan Kediri tanggal 16 Januari
2016, ketinggian echo presipitasi dengan nilai minimum 10 dBz terdapat pada ketinggian 0-5 km.
Gambar 7. Produk EHT tanggal 16 Januari 2016 jam 14.00 WITA; 14.30 WITA; 15.00 WITA; 15.30 WITA;
16.00 WITA dan 16.30 WITA.
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada masing-masing kejadian hujan lebat tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa:
1. Hujan lebat yang terjadi di wilayah Penujak tanggal 19 Januari 2016 memiliki lokasi kejadian yang
sangat dekat dengan pusat radar cuaca Lombok yaitu hanya berkisar antara 0-5 km. Disebabkan oleh
jarak lokasi kejadian yang sangat dekat sehingga mengakibatkan terjadinya tampilan cone of silence
pada citra produk VCUT dan blind zone pada citra produk CMAX.
2. Nilai echo presipitasi yang mengindikasikan terjadinya hujan lebat dalam jarak 0-5 km dari pusat radar
hanya berkisar antara 20-40 dBz dengan warna hijau muda hingga kuning. Dengan kisaran nilai echo
antara 20-40 dBz terjadi pada ketinggian 0-2 km dari permukaan. Kondisi tersebut yang terjadi hanya
dalam durasi kurang lebih 1 jam telah dapat menghasilkan curah hujan mencapai 44 mm yang masuk
dalam kategori cuaca ekstrem.
3. Hujan lebat yang terjadi di wilayah Mataram dan Kediri tanggal 16 Januari 2016 memiliki lokasi
kejadian dengan jarak sekitar 15-30 km dari pusat radar cuaca. Jarak yang cukup jauh dari pusat radar
menguntungkan karena tidak terdapat tampilan cone of silence pada citra produk VCUT dan blind zone
pada citra produk CMAX.
4. Nilai echo presipitasi yang mengindikasikan terjadinya hujan lebat dalam jarak 15-30 km dari pusat
radar berkisar antara 20-50 dBz dengan warna hijau muda hingga jingga tua. Dengan kisaran nilai echo
antara 20-50 dBz terjadi pada ketinggian 0-5 km dari permukaan. Kondisi tersebut yang terjadi dalam
durasi kurang lebih 3-4 jam menghasilkan curah hujan mencapai 100 mm di wilayah Kediri dan 85.2
mm di wilayah Mataram yang masuk dalam kategori cuaca ekstrem.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah menganugerahkan kesehatan sehingga
tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Terima kasih juga kepada rekan-rekan di Stasiun
Meteorologi Selaparang – BIL dan Stasiun Klimatologi Kediri atas bantuannya dalam penyediaan data
dukung untuk tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
BMKG (2014). Petunjuk Operasional Pengelolaan Citra Radar BMKG, BMKG, Jakarta.
Wardoyo, E., (2015). Radar Meteorologi. BMKG, Jakarta.
Wiguna, P.P.H., dan Wati, K.S., (2015). Analisis Hujan Sangat Lebat di Kecamatan Negara Kabupaten Jembrana Bali
(Studi Kasus Tanggal 3 Juni 2015), Prosiding Workshop Radar BMKG 2015.
Google (2016). Peta Pulau Lombok, diakses tanggal 16 Juni 2016, https://www.google.com/maps/place/Pulau+Lombok.
-917-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Pengamatan Karakteristik Kejadian Hujan Lebat Dengan
Menggunakan Data Radar Cuaca C-Band
: Kadek Setiya Wati (BMKG)
:
Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief (LAPAN)
1. Di dalam diagram alur, terdapat Limitasi Radar. Tolong jelaskan yang dimaksud dengan Limitasi
Radar?
2. Apa pengaruh kelengkungan Bumi terhadap akurasi data? Jelaskan akurasi yang Anda maksudkan
dalam penelitian?
Jawaban:
1. Limitasi Radar dapat diartikan keterbatasan dari kemampuan radar dalam menangkap objek yang
diinginkan. Dalam hal ini karena radar adalah radar cuaca, maka objek tersebut dapat berupa presipitasi.
Berikut adalah contoh beberapa limitasi radar:
2. Yang dimaksud akurasi data disini adalah ketepatan radar dalam mendeteksi ketinggian awan. Pengaruh
kelengkungan bumi terhadap akurasi data adalah ketika digunakan beam pada elevasi rendah, awan
yang terletak jauh dari site radar akan mendeteksi bagian puncak awan. Akan tetapi forecaster apabila
tidak memperhitungkan efek kelengkungan bumi, akan menganggap itu sebagai dasar awan, karena
menggunakan beam pada elevasi rendah. Berikut adalah ilustrasi efek kelengkungan bumi terhadap
akurasi data radar:
-918-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer
pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016)
The Utilization of Satellite Data to Analyze Atmospheric Condition
on Bandung Flood (Case Study on March, 12th 2016)
Clara Avila Dea Permata 1*), Annisa Nazmi Azzahra1, dan Annisa Fauziah2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Stasiun Meteorologi Sultan Thaha Jambi
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK-Banjir sering kali terjadi di kawasan Jawa Barat, namun banjir terparah dirasakan tahun 2016 oleh warga
kota Bandung. Pada tanggal 12 Maret 2016 dilaporkan bahwa banjir terparah terjadi di Bandung yang menghanyutkan
ratusan rumah. Banjir di wilayah Indonesia umumnya terjadi di saat musim hujan, terutama pada topografi wilayah
yang memiliki topografi berupa dataran rendah. Namun, kasus unik ini terjadi di Bandung disaat periode transisi atau
peralihan musim, serta merupakan daerah dataran tinggi. Melihat dampak yang terjadi, serta kurangnya kapasitas lokal
untuk menganalisis data, penulis melakukan penelitian ini menggunakan pendekatan parameter cuaca melalui output
data satelit Himawari-8 yang diolah dengan aplikasi SATAID (GMSLPW) serta hasil observasi permukaan. Hasil
analisis berbagai parameter Himawari-8 menunjukkan adanya awan konvektif Cumulonimbus yang secara terus
menerus tumbuh aktif. Pertumbuhan awan ini akibat adanya pembelokan angin (shear) di lapisan 850 mb. Nilai RH
lapisan 700 mb yang basah mengindikasikan kondisi yang mendukung pertumbuhan awan.
Kata kunci: SATAID, Analisa Cuaca, Penginderaan Jauh
ABSTRACT-Flood often occurs in West Java, but the worst flood felt by the citizens of Bandung in 2016. On March
12nd, 2016 reported that the worst Bandung flood washed away hundreds of buildings. Indonesia flood generally
occurs during the rainy season, especially on the lowland topography. However, it was a unique case of Bandung
because occurred in the transition period or the transitional seasons and on the highland areas. Seeing the impact and
the lack of local capacity to analyze the data, the authors conducted this study using the weather parameters approach
in the output Himawari-8 satellite data which processed by SATAID (GMSLPW) application and also observation data.
The results of the Himawari-8 analysis showed convective clouds Cumulonimbus continuously growing actively. This
cloud growth is a result of the shear on level 850 mb. The values of RH on level 700 mb also indicate a condition that
supports the growth of the clouds.
Keywords: SATAID, Weather Analysis, Remote Sensing
1.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang berada di wilayah tropis dengan curah hujan yang sangat tinggi. Hal
tersebut memicu banyaknya kejadian banjir di Indonesia. Banjir adalah suatu peristiwa terjadinya peluapan
air yang berlebihan di suatu tempat. Banjir dapat terjadi akibat naiknya permukaan air lantaran curah hujan
yang diatas normal, perubahan suhu, tanggul/bendungan yang bobol, pencairan salju yang cepat,
terhambatnya aliran air di tempat lain, sedangkan diperkotaan genangan lokal terjadi pada saat musim hujan,
skala banjir yang terjadi cukup besar dan belum dapat dikendalikan secara dominan. Kepadatan penduduk
dan sedikitnya lahan penyerapan juga menjadi faktor pendukung terjadinya banjir. Banjir sering
menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat.
Salah satu kejadian banjir yang terjadi baru-baru ini adalah kejadian banjir di Bandung pada 12 Maret
2016. Diberitakan banjir tersebut merendam hingga 35.000 rumah warga di Kabupaten Bandung, Jawa Barat,
bahkan di beberapa lokasi ketinggian air mencapai 3.3 meter. Berdasarkan kejadian tersebut, penulis ingin
mengetahui kondisi atmosfer pada saat terjadinya banjir tersebut. Kondisi atmosfer dapat dianalisis dengan
menggunakan citra Satelit Himawari 8.
Satelit Himawari-8 merupakan rangkaian satelit cuaca terbaru yang diluncurkan oleh Jepang pada tanggal
7 Oktober 2014 yang lalu menggantikan satelit cuaca sebelumnya yaitu MTSAT-2. satelit ini mulai
beroperasi penuh sejak pertengahan tahun 2015 yaitu tepatnya tanggal 7 Juli 2015. Penambahan teknologi
terbaru sudah diterapkan dalam satelit ini dimana kanal yang tersedia kini berjumlah 16 dari sebelumnya
hanya 5 kanal saja; resolusi spasial mencapai 0.5 km untuk kanal visibel dan 2 km untuk kanal inframerah;
-919-
Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016)
(Permata, C.A.D., dkk.)
resolusi temporal mencapai 10 menit untuk pemindaian secara keseluruhan dan 2.5 menit untuk pemindaian
area terbatas.
SATAID adalah satu set software yang dijalankan di dalam sistem operasi Windows, berfungsi untuk
mengolah gambar satelit. Inti dari sistem SATAID adalah aplikasi untuk menampilkan data binary dari
satelit menjadi gambar. Aplikasi ini dikembangkan sebagai kontribusi JMA kepada World Meteorological
Organization (WMO). Saat ini SATAID telah digunakan sebagai alat operasional di JMA untuk analisis
cuaca harian, termasuk pula dalam kegiatan monitoring tropical cyclone.
SATAID digunakan untuk menampilkan citra satelit dan meng-overlay data prediksi cuaca numerik NWP
(Numerical Weather Prediction). Data NWP terpisah dari data citra satelit, didapatkan juga dari JMA dalam
satu paket dengan data citra satelit.
Dengan menggunakan SATAID, pengguna dapat menampilkan dan melakukan overlay antara citra satelit
dan data NWP. Dimungkinkan juga overlay berbagai macam data yang didapatkan antara lain dari data
pengamatan sinoptik, kapal, suhu, radar, pencatat profil angin, dan sebagainya, dengan syarat data-data
tersebut telah memiliki format yang sama sebagaimana yang diminta oleh aplikasi SATAID.
2. METODE
2.1 Lokasi Penelitian
Pada peneltian banjir di Bandung, daerah yang ditinjau adalah daerah pada koordinat 6ᵒ40’-7ᵒ48’LS dan
107ᵒ16’-108ᵒ20’ BT dimana wilayah Bandung terletak pada koordinat 6°41’-7°1’` LS dan 107°22’-108°5’
BT.
2.2 Data Penelitian
Data yang dapat digunakan untuk penelitian banjir salah satunya adalah data dari citra satelit Himawari-8.
Pada kasus banjir di Bandung ini, dipilih data citra satelit pada 12 Maret 2016 jam 07.00-17.00 UTC dimana
waktu tersebut adalah saat terjadinya hujan di Bandung.
2.3 Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan teknik interpretasi data citra satelit Himawari-8 yang diolah dengan
perangkat lunak SATAID. Kanal yang digunakan yaitu kanal IR untuk mendeteksi pola tutupan awan di
daerah Bandung. Untuk mendapatkan display data dengan kanal IR, maka pada menu “Image” dipilih IR1.
Dari kanal IR tersebut dapat dilihat pola tutupan awan yang terjadi di Bandung sehingga dapat dilakukan
analisis suhu puncak awan melalui gambar atau grafik yang ditampilkan oleh SATAID.
Untuk mendukung data tutupan awan yang didapat dari kanal IR, diperlukan juga data angin dan RH di
wilayah Bandung. Data angin dan RH didapatkan dari menu NWP. Lapisan yang dipilih yaitu lapisan 850
mb untuk wind dan 700 mb untuk RH.
3. HASILDAN PEMBAHASAN
3.1 Kondisi Tutupan Awan
Gambar 3.1 merupakan gambar time series awan yang menunjukkan kondisi tutupan awan hujan di
daerah Bandung pada 12 Maret 2016 pukul 09.00-14.00 UTC. Gambar 3.1 didapatkan dari hasil pengolahan
kanal Infra Red (IR). Dalam gambar 3.1 terlihat awan hujan mulai terbentuk pada jam 09.00 UTC yang
ditandai dengan warna putih terang di atas wilayah Jawa Barat, khususnya Bandung. Awan berwarna putih
mengkilap menunjukkan temperatur puncak awan sangat rendah yang mengindikasikan awan tumbuh hingga
melewati lapisan freezing level (awan dingin). Awan semakin meluas ke seluruh wilayah Jawa Barat hingga
pukul 14.00 UTC terlihat awan mulai terpecah dengan warna yang semakin memudar. Kondisi tutupan awan
putih terang yang cukup lama di atas wilayah Bandung menjadi indikasi terjadinya hujan dengan intensitas
lebat yang dapat menyebabkan banjir.
-920-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 3.1. Kondisi Tutupan Awan di Bandung, 12 Maret 2016 jam 09.00-14.00 UTC
3.2 Kondisi Kontur Suhu Awan
Gambar 3.2 merupakan tampilan hasil pengolahan citra satelit pada kanal IR yang menghasilkan kontur
suhu awan di atas wilayah Bandung pada tanggal yang sama pada jam 09.00-11.00 UTC. Pertumbuhan awan
dimulai pada sekitar jam 09.00 UTC dengan suhu inti sel puncak awan antara -60°C hingga -80°C. Pada jam
berikutnya cakupan awan meluas dengan suhu inti sel puncak awan konsisten negatif pada kisaran -60°C
hingga -80°C. Suhu inti sel puncak awan yang negatif menunjukkan indikasi adanya sel awan konvektif yang
kuat, yaitu awan Cumulonimbus. Awan Cumulonimbus dapat dideteksi ketika suhu puncak awan mendingin
hingga -40°C, sementara gambar 3.2 menunjukkan suhu inti awan pada kisaran -60°C hingga -80°C yang
berarti awan Cumulonimbus di atas wilayah Bandung menjulang sangat tinggi dan berpotensi membawa
hujan lebat.
-921-
Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016)
(Permata, C.A.D., dkk.)
Gambar 3.2. Kondisi Tutupan Awan di Bandung, 12 Maret 2016 jam 09.00-14.00 UTC
3.3 Kondisi Suhu Puncak Awan
Gambar 3.3 menunjukkan grafik nilai suhu puncak awan di wilayah Bandung tepatnya pada kordinat 6.92
LS dan 107.56 BT pada tanggal kejadian jam 07.00-17.00 UTC. Dari grafik terlihat bahwa pertumbuhan
awan hujan mulai signifikan pada jam 08.00 UTC dengan suhu puncak awan negatif dibawah -60°C. Awan
terus berkembang dan mencapai suhu terdinginnya pada jam 11.00 UTC sebesar -80°C. Pada grafik terlihat
suhu puncak awan dibawah -40°C bertahan hingga jam 14.00 UTC yang menandakan keberadaan awan
Cumulonimbus di wilayah tersebut cukup lama dan bisa menghasilkan hujan lebat hingga banjir. Setelah
pukul 14.00 UTC awan mulai pecah dan menghilang.
Gambar 3.3. Grafik Suhu Puncak Awan di Bandung, 12 Maret 2016 jam 07.00-17.00 UTC
-922-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
3.4 Kondisi RH 700 mb
Gambar 3.4 menunjukkan hasil overlay data prediksi cuaca numerik NWP dengan data citra satelit kanal
IR di atas wilayah Pulau Jawa pada tanggal kejadian jam 10.00-12.00 UTC. Data NWP yang digunakan
adalah RH pada lapisan 700 mb. Dari gambar tersebut terlihat nilai RH pada wilayah Bandung, Jawa Barat
sebesar 70% yang berarti atmosfer pada lapisan 700 mb dalam kondisi basah yang mendukung pertumbuhan
awan dan berpeluang terjadinya hujan.
Gambar 3.4. Kondisi RH Lapisan 700 mb di Bandung, 12 Maret 2016 jam 08.00-11.00 UTC
3.5 Kondisi Angin lapisan 850 mb
Gambar 3.5 juga menunjukkan hasil overlay data prediksi cuaca numerik NWP dengan data citra satelit
kanal IR di atas wilayah Pulau Jawa pada tanggal kejadian jam 10.00-13.00 UTC. Data NWP yang
digunakan adalah wind pada lapisan 850 mb. Gambar 3.5 menunjukkan pola angin yang berlawanan arah
antara perairan di selatan Pulau jawa dan di utara Pulau Jawa. Di bagian selatan, arah angin didominasi dari
Timur hingga Tenggara dan di bagian utara didominasi angin dari Barat Daya hingga Barat. Terlihat bahwa
perbedaan arah tersebut menyebabkan adanya belokan angin (shear) di wilayah Pulau Jawa. Kondisi ini
mendukung terjadinya pembentukan pumpunan awan di sepanjang Pulau Jawa, khusunya Jawa Barat dan
berpotensi menghasilkan cuaca buruk berupa hujan lebat.
-923-
Pemanfaatan Data Satelit untuk Analisis Kondisi Atmosfer pada Kejadian Banjir di Bandung (Studi Kasus Tanggal 12 Maret 2016)
(Permata, C.A.D., dkk.)
Gambar 3.5 Gambar Angin Lapisan 850 mb di Bandung, 12 Maret 2016 jam 10.00-13.00 UTC
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisa data citra satelit Himawari-8, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada citra satelit Himawari-8, kanal IR menunjukkan warna putih pekat pada saat terjadinya puncak
curah hujan yaitu antara jam 09.00-13.00 UTC pada 12 Februari 2016 yang menunjukkan adanya
tutupan awan di wilayah Bandung.
2. Grafik dan gambar dari kanal IR menampilkan suhu puncak awan diatas -40°C pada pukul 09.00-14.00
UTC dengan suhu puncak awan maksimum yaitu -80°C terjadi pada pukul 11.00 UTC. Hal ini
mengindikasikan adanya awan CB yang sangat matang di wilayah Bandung sehingga menyebabkan
terjadinya hujan dengan intensitas lebat.
3. Nilai RH pada lapisan 700 mb pukul 10.00-12.00 UTC yang dihasilkan pada produk NWP mencapai
70% yang berarti kondisi atmosfer dalam keadaan basah sehingga menandakan peluang terjadinya hujan
di wilayah Bandung.
4. Dari produk NWP, dilihat juga adanya pola angin pada lapisan 850 mb pada jam 10.00-12.00 UTC yang
menunjukkan bahwa terjadi pembelokan angin (shear) di wilayah Jawa khususnya Jawa Barat sehingga
pembentukan awan banyak terjadi di daerah tersebut.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG Pusat atas
data dan informasi yang kami peroleh untuk dijadikan bahan penelitian ini dan juga Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional khususnya panitia Sinas Inderaja 2016 yang telah memberikan kesempatan kepada
Penulis untuk ikut serta dalam acara Seminar Nasional Penginderaan Jauh tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA
Harsa, H., dkk., (2011). Pemanfaatan Sataid untuk Analisa Banjir dan Angin Puting Beliung: Studi Kasus Jakarta dan
Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan Geofisik, 12(2):195-205.
Puslitbang BMKG., (2009). Kajian Cuaca Ekstrim di Wilayah Indonesia. Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Sebastian, L., (2008). Pendekatan Pencegahan dan Penanggulangan Banjir. Jurnal Dinamika Teknik Sipil, 8(2):162-169.
-924-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tanaka, Y., (2009). SATAID-Powerful Tool for Satellite Analysis. RSMC Tokyo-Typhoon Center, Japan Meteorology
Agency (JMA).
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Analisis Kondisi Atmosfer Pada Sebelum Dan Sesaat Terjadinya Puting Beliung (Studi
Kasus tanggal 26 Februari 2013 di Kediri, Lombok Barat)
: Annisa Fauziah (STMKG)
:
Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief (LAPAN)
1. Apakah hasil penelitian anda dapat memprediksi terjadinya puting beliung? Jika ya, berapa lama waktu
prediksi tersebut dapat dikeluarkan sebelum terjadinya puting beliung?
2. Dapat anda sebutkan parameter atau kejadian alam yang lain, yang dapat mendukung akurasi dari prediksi
tersebut di atas?
Jawaban:
1. Dari hasil penelitian kami, belum bisa memprediksi terjadinya puting beliung, mengingat puting beliung
itu sendiri terjadi dalam skala luasan yang kecil (<5 km) dan waktu yang sangat singkat (durasi detik
hingga menit). Penelitian kami lebih kepada analisis kejadian puting beliung sehingga kami dapat
mengenali tanda-tanda awal kondisi atmosfer sebelum terjadinya puting beliung di Kediri, Lombok Barat.
Dalam hal ini resolusi spasial dan temporal dari satelit yang digunakan (satelit yang kami gunakan
memiliki resolusi temporal 1 jam dengan resolusi spasial 1km) belum bisa memenuhi skala kejadian dari
puting beliung itu sendiri.
2. Berdasarkan literatur yang saya baca, parameter atau kejadian alam lain dapat dideteksi oleh radar cuaca,
dengan memperhatikan pola bow echo pada radar. Sayangnya dalam penelitian ini, tahun 2013, radar
cuaca di pulau Lombok belum terpasang. Penggunaan radar cuaca untuk memprediksi puting beliung
akan kami coba pada penelitian kami selanjutnya.
-925-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan
Data Citra Satelit Himawari-8 dan Model WRF-ARW
(Studi Kasus: Hujan Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua)
Identification of Mesoscale Convective System (MCS) Using
Imagery of Satellite Himawari-8 and WRF-ARW Model
(Case Study: Heavy Rain on March 21, 2016 in Nabire, Papua)
Rodhi Janu Aldilla Putri1*), dan Adityo Mega Anggoro1
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofsika
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK – Wilayah tropis Indonesia merupakan wilayah dengan tingkat pemanasan matahari yang tinggi sehingga
sangat mendukung untuk pembentukan awan-awan konvektif Cumulonimbus. Ketika sel awan Cumulonimbus yang
terbentuk lebih dari satu, berkumpul, dan matang maka akan membentuk suatu sistem awan badai dengan luasan yang
besar dengan waktu hidup yang panjang dan disebut dengan Mesoscale Convective Sysytem (MCS). Salah satu
fenomena MCS yang pernah terjadi di Indonesia adalah di wilayah Papua Tengah pada tanggal 21 Maret 2016. MCS ini
menyebabkan hujan lebat berkepanjangan di Kabupaten Nabire dengan intensitas 160 mm/hari dan menyebabkan banjir
di beberapa kecamatan. Hasil analisis data citra satelit Himawari-8 dan model WRF-ARW menunjukkan bahwa MCS
pada tanggal 21 Maret 2016 bersifat noncturnal yang muncul pada malam hari hingga dini hari dan memiliki masa
hidup mencapai 6 jam dengan suhu puncak awan -70oC hingga -80oC. Wilayah yang dilewati MCS mengalami
kenaikan jumlah presipitasi dan nilai vertical velocity yang secara umum positif dalam satuan m/s.
Kata kunci: MCS, kecepatan vertikal, Himawari-8, WRF-ARW
ABSTRACT - Indonesia's tropical region is a region with high levels of solar heating so it is conducive to the
formation of convective clouds Cumulonimbus. When many single cells Cumulonimbus clouds formed over one, gather,
and mature, it will form a system of storm clouds with a large area with a longer life time and called Mesoscale
Convective System (MCS). One of the MCS phenomenon that has ever happened in Indonesia is in the region of Central
Papua on March 21, 2016. This MCS caused prolonged heavy rain in Nabire with intensity 160 mm / day and causing
flooding in several districts. The results of the analysis of satellite imagery data Himawari-8 and the model WRF-ARW
show that MCS on March 21, 2016 are nocturnal, which occurred in the night until the early morning and have a life
span is 6 hours with the temperature of the cloud tops -70oC to -80oC. The related area of MCS increased amount of
precipitation and the value of vertical velocity was generally positive in m/s.
Keywords: MCS, vertical velocity, Himawari-8, WRF-ARW
1.
PENDAHULUAN
Kondisi meteorologi di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor
geografi. Letak Indonesia yang berada di sekitar garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia menerima
banyak radiasi matahari sehingga aktivitas konveksi di wilayah ini sangat tinggi. Konveksi merupakan
pemanasan atau penyebaran panas yang terjadi akibat adanya gerakan udara vertikal (Zakir, dkk., 2010).
Tingginya pemanasan dan tersedianya banyak uap air dari hasil konveksi merupakan lahan subur bagi
pembentukan awan-awan konvektif seperti Cumulonimbus. Apabila awan-awan Cumulonimbus yang
terbentuk semakin banyak, berkumpul, dan matang, maka dapat membentuk suatu sistem konvektif skala
luas dengan masa hidup yang lama yang umumnya dikenal dengan sebutan Mesoscale Convective System
(MCS).
MCS merupakan jenis sistem konvektif hasil dari gabungan proses mekanis dan thermis sehingga
menghasilkan area awan Cumulonimbus dengan luas ratusan hingga ribuan km dengan masa hidup lebih
panjang dari tiga jam (Houze, 2004; Laing, 2003). Salah satu MCS yang terbesar adalah Mesoscale
Convective Compex (MCC) yang dapat diidentifikasi berdasarkan kriteria berikut (Maddox, 1980) : memiliki
inti awan dingin dengan suhu puncak awan ≤ -320C dengan area ≥ 100.000 km2, memiliki selimut awan
dingin dengan suhu puncak awan ≤ -520C dengan area ≥ 50.000 km2, cenderung berbentuk lingkaran dengan
lama waktu hidup ≥ 6 jam. MCS umumnya bersifat nocturnal yakni muncul di waktu malam hingga dini
hari.
-926-
Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Satelit Himawari-8 dan Model WFR-ARW (Studi Kasus: Hujan
Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua) (Putri, R.J.A., dkk.)
Selain karena proses konvektif yang aktif, pembentukan awan-awan Cumulonimbus sebagai komponen
dari MCS juga dapat disebabkan karena adanya gerakan udara secara vertikal ke atas (vertical velocity).
Gerakan udara vertikal ke atas akan sangat mendukung untuk pembentukan awan. Dalam satuan m/s, apabila
nilai kecepatan vertikal bernilai positif menandakan adanya gerakan udara ke atas. Sebaliknya apabila nilai
kecepatan vertikal negatif menandakan adanya subsidensi atau gerakan udara turun. Hal ini berlaku
sebaliknya apabila nilai kecepatan vertikal dalam satuan Pascal/sekon (Pa/s).
Menurut Ismanto (2011), MCC di Indonesia ditemukan di area Samudera Hindia sebelah barat Pulau
Sumatera dengan persentase 35%, Pulau Papua dengan persentase 15%, Samudera Pasifik sebelah utara
Papua 13%, Pulau Kalimantan 12%, Samudera Hindia sebelah utara Australia 9%, dan di luar area-area
tersebut dengan persentase 16%.Fenomena MCS umumnya akan berdampak pada kondisi udara di wilayahwilayah yang dilewatinya, seperti meningkatnya nilai Convective Available Potential Energy (CAPE), hujan
lebat, thunderstorm, dan angin kencang.
Dalam penelitian kali ini akan memaparkan salah satu kejadian MCS yang teramati di Papua pada
tanggal 21 Maret 2016. MCS tersebut menyebabkan terjadinya hujan lebat dengan intensitas 160 mm yang
terukur di Stasiun Meteorologi Nabire. Identifikasi MCS akan dilakukan menggunakan citra satelit
Himawari-8 untuk melihat pola MCS secara spasial, dan model WRF-ARW dengan skema parameterisasi
cumulus Kain-Fritsch dan mikrofisis Lin et al untuk mengetahui nilai parameter-parameter fisis dari MCS
tersebut.
2.
METODE
Lokasi penelitian berada di wilayah Papua Tengah dengan koordinat129036’00” BT – 141018’00” BT
dan 03000’00” LU -9036’00” LS, dengan titik pengamatan mengambil lokasi diStasiun Meteorologi Nabire
dengan koordinat stasiun 03022’03” LS dan 135029’52” BT. Nabire merupakan daerah yang teluk karena
berbatasan langsung dengan Teluk Cenderawasih, sehingga kondisi cuacanya banyak dipengaruhi oleh
sirkulasi darat-laut.
Gambar 1 : Lokasi Kabupaten Nabire Papua Tengah(03022’03” LS dan 135029’52” BT)
(Sumber : Loket Peta PU)
a.
b.
c.
Data yang digunakan antara lain :
Data satelit Himawari-8 tanggal 21 Maret 2016 kanal IR1 dengan resolusi temporal 10 menit dengan
ekstensi .Z dan netcdf, yang diperoleh dari Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG.
Data input model WRF-ARW menggunakan data final analysis (FNL) tanggal 21 Maret 2016 yang
diperoleh dari website http://rda.ucar.edu, dengan resolusi spasial 12 km dan resolusi temporal 1 jam.
Data curah hujan 3 jam dari hasil pengamatan Stasiun Meteorologi Nabire tanggal 21 Maret 2016.
Pada penelitian ini, data satelit Himawari dengan ekstensi .Z akan diolah menggunakan aplikasi
Satellite Interaction and Interactive Diagnosis (SATAID) untuk menampilkan time series suhu puncak
awan, sedangkan data netcdf akan diolah menggunakan software Grid Analysis and Display System
(GrADS) untuk menampilkan citra awan dengan kanal IR1 yang menggunakan suhu puncak awan untuk
menentukan jenis awan.
Selain data satelit, data input model WRF-ARW berupa data FNL digunakan untuk mengetahui nilainilai parameter fisis yang tidak dapat diketahui jika hanyamenggunakan data satelit. Domain yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Pulau Papua dengan pusat domain terletak di Stasiun Meteorologi Nabire
koordinat 03022’03” LS dan 135 029’52” BT. Data hasil running model WRF-ARW akan diolah
menggunakan software GrADS untuk menampilkan arah dan kecepatan angin, fraksi awan, vertical velocity
-927-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
dan diagram Skew-T dengan titik pengamatan Stasiun Meteorologi Nabire. Data lain yang digunakan
sebagai data pendukung adalah data curah hujan 3 jam dari hasil pengamatan Stasiun Meteorologi Nabire
yang beroperasi selama 15 jam.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berikut ini merupakan hasil olahan data satelit Himawari-8 yang menampilkan citra awan melalui suhu
puncak awan dengan kanal IR-1.
(0C)
Gambar 1. Citra Awan dengan Kanal IR1
Gambar 1 menggambarkan pertumbuhan awal MCS, perkembangan, hingga peluruhannya yang
diidentifikasi dengan keberadaan awan-awan dengan suhu puncak dingin. MCS mulai terbentuk pada jam
06.00 UTC di sekitar wilayah pegunungan Puncak Jaya Wamena. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya
cluster awan berwarna biru yang menunjukkan suhu puncak awan dingin antara -600C hingga -800C. Inti dari
MCS tersebut diidentifikasi dengan cluster-cluster awan berwarna biru tua dengan suhu puncak -700C
hingga -800C. Sementara selimut awan dingin MCS tersebut diidentifikasi dengan sebaran awan berwarna
biru muda disekelilingnya dengan suhu puncak -500C hingga -700C. Inti dan selimut awan dingin tersebut
terlihat menyebar dan berkembang baik ke arah timur dan barat hingga menutupi hampir keseluruhan
wilayah Papua bagian tengah dengan luasan lebih dari 50.000 km2. MCS tersebut kemudian mulai meluruh
setelah jam 15.00 UTC membentuk cluster-cluster awan Cumulonimbus yang terpisah.
40
50
60
70
80
90
100 (%)
Gambar 2. Fraksi Awan
Gambar 2 merupakan jumlah fraksi awan (dalam %) yang merupakan hasil output WRF-ARW. Gambar
tersebut menunjukkan pola MCS yang diidentifikasi dengan jumlah fraksi awan yang tinggi yaitu yang
berwarna biru dengan jumlah 90 – 100 %. Jumlah fraksi awan yang tinggi menunjukkan bahwa kandungan
uap air dalam awan tersebut sangat tinggi. Pola yang ditunjukkan dari hasil running WRF dan satelit
menunjukkan pola yang sama. MCS tumbuh sekitar jam 06.00 UTC di sekitar wilayah Puncak Jaya. MCS
tersebut kemudian berkembang ke barat dan timur hingga akhirnya meluruh setelah jam 15.00 UTC.
-928-
Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Satelit Himawari-8 dan Model WFR-ARW (Studi Kasus: Hujan
Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua) (Putri, R.J.A., dkk.)
0
1
2
4
5
7
8
10
11
13
14
16 (KT)
Gambar 3. Streamline Lapisan 700 mb
Gambar 3 menunjukkan peta streamline di wilayah Papua pada saat kejadian MCS. Dari gambar 3
dapat terlihat adanya arus konvergensi di wilayah Papua bagian tengah. Di Papua sebelah timur juga tampak
adanya pusaran angin yang mengindikasikan arus siklonik di wilayah tersebut. Pusaran angin tersebut
membentuk shear angin disekitarnya, dimana daerah shear angin merupakan daerah-daerah tempat
pembentukan awan. Adanya shear angin diikuti dengan kecepatan angin yang lemah dapat mengakibatkan
adanya penumpukan massa udara yang mendukung pertumbuhan awan. Selain arus konvergensi, di sekitar
wilayah Teluk Cenderawasih juga terdapat shear angin karena merupakan daerah teluk. Hal ini
menyebabkan pada daerah terebut juga sangat mendukung pembentukan awan.
Gambar 4.Time Series Suhu Puncak Awan
Gambar 4 merupakan time series suhu puncak awan pada titik lokasi Stasiun Meteorologi Nabire.
Grafik time series tersebut menunjukkan keberadaan awan dengan suhu puncak awan mencapai -600C
hingga -800C. Suhu puncak awan yang sangat dingin mengindikasikan awan-awan dengan puncak yang
tinggi seperti awan Cumulonimbus. Awan-awan tersebut terus ada dari jam 07.00 UTC dan hingga jam
23.00 UTC. Masa hidupnya lebih dari 6 jam yang merupakan salah satu syarat keberadaan MCS.
-0.2 -0.10 0.1 0.2
0.3
0.4 0.5
0.6 0.7
0.8
0.9(m/s)
Gambar 5. Kecepatan Vertikal
-929-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5 menunjukkan nilai kecepatan vertikal secara spasial pada saat pertumbuhan, perkembangan,
dan peluruhan MCS. Apabila kecepatan vertikal (dalam satuan m/s) bernilai positif mengindikasikan ada
gerakan massa udara yang naik secara vertikal untuk membentuk awan. Sebaliknya apabila kecepatan
vertikal bernilai negatif mengindikasikan ada gerakan massa udara yang turun. Nilai yang semakin besar
menunjukkan kecepatan dari gerakan massa udara tersebut.
Pada jam 06.00 UTC, di beberapa titik di wilayah Papua bagian tengah tepatnya di daerah pergunungan
Puncak Jaya terdapat gerakan udara naik yang diidentifikasi dengan kecepatan vertikal bernilai 0.4 – 0.5
m/s. Hal ini mengindikasikan pada waktu tersebut terjadi pembentukan awan yang sangat giat. Kemudian
pada jam 12.00 UTC mulai nampak adanya gerakan udara turun yang ditandai dengan mulai terjadinya
presipitasi.
Tabel 1. Data Curah Hujan 3 Jam Tanggal 21 Maret 2016
(Sumber : Stasiun Meteorologi Nabire)
Unsur
CH
(mm)
Jam Pengamatan (UTC)
03
06
09
12
21
0
0
0
77.2
82.8
(a)
Total
160.0
(b)
Gambar 6. Grafik Skew-T
(a) Jam 09.00 UTC dan (b) Jam 12.00 UTC
Tabel 1 menunjukkan kejadian hujan lebat di Stasiun Meteorologi Nabire pada saat kejadian MCS.
Sistem pencatatan curah hujan dilakukan berdasarkan Universal Time Center (UTC). Intensitas hujan harian
dicatat per tiga jam mulai jam 00.00 UTC (09.00 LT) hingga jam 00.00 UTC (09.00 LT) hari berikutnya.
Stasiun Meteorologi Nabire hanya beroperasi selama 15 jam sehingga pencatatan curah hujan disesuaikan
dengan jam operasional.
Pada tanggal 21 Maret 2016, hujan lebat terjadi dengan intensitas curah hujan mencapai 160 mm dalam
satu hari. Menurut BMKG (2010), hujan yang turun dengan intensitas ≥ 100 mm per hari tergolong kondisi
hujan sangat lebat. Dari hasil pengamatan dari Stasiun Meteorologi Nabire dapat terlihat bahwa hujan terjadi
pada waktu petang dengan intensitas lebat. Hujan lebat yang disertai dengan badai guntur ini terjadi mulai
jam 09.00 UTC dan berlangsung hingga jam 12.00 UTC. Curah hujan terukur 77.2 mm pada jam 12.00
UTC. Setelah itu hujan berlangsung terus-menerus hingga jam 13.00 UTC dan kembali terjadi hujan di
malam hari. Curah hujan terukur 82.8 mm pada jam 21.00 UTC.
Selain berdampak terhadap terjadinya hujan lebat, MCS yang merupakan sistem konvektif juga
mengakibatkan wilayah yang dilewatinya menjadi labil. Hal ini dapat dilihat dari gambar 6 yaitu grafik
Skew-T hasil running model WRF-ARW. Dari grafik tersebut tampak bahwa nilai CAPE di wilayah Nabire
> 1000 J/kg yang mengindikasikan energi untuk aktivitas konveksi cukup besar sehingga sangat mendukung
untuk pertumbuhan awan.
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keberadaan MCS dapat diidentifikasi
menggunakan citra satelit dengan melihat jenis dan pola sebaran awan yang terbentuk, serta time series suhu
puncak awan untuk mengetahui masa hidup MCS. Selain itu, model WRF-ARW juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi MCS dengan melihat pola sebaran awan serta nilai-nilai paramater fisis lainnya. Dari hasil
-930-
Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Satelit Himawari-8 dan Model WFR-ARW (Studi Kasus: Hujan
Lebat 21 Maret 2016 di Kabupaten Nabire, Papua) (Putri, R.J.A., dkk.)
pembahasan juga dapat disimpulkan bahwa pola awan yang teridentifikasi dengan citra satelit dan model
WRF-ARW menunjukkan pola yang sama.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih yang sebesar-besarnya ditujukan kepada instansi BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika), seluruh dosen dan pembina STMKG (Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika), serta kepada teman-teman dan seluruh pihak yang mendukung dan membantu penulisan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
BMKG. (2010). Keputusan No. 009 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan,
dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrem. Jakarta: BMKG
Durkee, J. D., dkk., (2009). The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South
America. Int J. Clim., 22:4590 – 4605.
Houze, R.A.Jr. (2004).Mesoscale Convective System. Review of Geophisics, American Geophisical Union, 43 pp.
Ismanto, H., (2011). Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso di Benua Maritim. (Magister Sains Kebumian
Thesis). ITB (Bandung Technology University), Bandung.
Ismanto, H., (2013). Distribusi Spasial dan Temporal Mesoscale Convective Complex di Benua Maritim. Bukit
Kototabang. Buletin Megasains, 4(2).
Laing, A.G., (2003). Mesoscale Convective System, Ensyclopedia of Atmospheric Science. Elseiver Science ltd., 1251 –
1261
Loket Pelayanan Informasi Peta – 2013. (http://loketpeta.pu.go.id, diakses 20 April 2016)
Maddox, R.A.,(1980). Mesoscale Convective Complexes, Bull. Amer. Meteor. Soc., 61:1374 - 1387.
Pandjaitan, B.S., (2015).Analisis Kejadian Mesoscale Convective Complex di Selat Makassar, Studi Kasus Tanggal 2728 Mei 2014. (Sarjana Terapan Meteorologi Skrispsi). STMKG (School of Meteorology Climatology and
Geophysics), Jakarta.
Tjasyono, H.K.B., (2008). Meteorologi Terapan. Bandung: ITB.
Zakir, A., dkk.,(2010). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. Jakarta: Puslitbang BMKG.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
: Syarif Budhiman, S.Pi., M.Sc.
Judul Makalah : Identifikasi Mesoscale Convective System (MCS) Menggunakan Data Citra Satelit
Himawari-8 dan Model Wrf-Arw (Studi Kasus : Hujan Lebat 21 Maret 2016 Di
Kabupaten Nabire)
Pemakalah
: Rodhi Janu (STMKG)
Diskusi
:
Saran : Bambang S. Tedjasukmana
Agar meneliti statistik untuk mengetahui dan peramalan La Nina dan El Nino.
-931-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb
Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8
Studi Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016
di Semarang
Optimization of Cumulonimbus Location Assessment and Cb Base Spreading
Based on Himawari-8 Satellite Monitoring
Case Study: High Convective Rainfall on 3 April 2016 in Semarang
Anistia Malinda Hidayat1*)
1
Pemeriksa Cuaca Stasiun Meteorologi Klas II Ahmad Yani, Semarang
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK. Awan cumulonimbus (Cb) merupakan jenis awan konvektif paling ditakuti oleh semua penerbang. Selain
dapat menyebabkan turbulensi hebat pada pesawat terbang, keberadaan Cb juga dapat menyebabkan tornado, badai
guntur, hujan lebat dan fenomena fatal lainnya yang mengancam keselamatan penerbangan. Sampai saat ini, penentuan
jenis awan masih dilakukan secara manual melalui visual oleh para pengamat cuaca. Dalam kaitannya dengan pelaporan
cuaca penerbangan, penentuan lokasi Cb merupakan hal yang wajib dilaporkan oleh seorang pengamat cuaca. Sehingga
kesalahan dalam pemberian informasi terkait Cb merupakan kesalahan yang fatal. Namun penentuan lokasi pusat Cb
secara visual sulit dilakukansaat langittelah rata tertutup awan atau Cb terletak tepat diatas pengamat sehingga
puncaknya tidak dapat teramati. Terlebih jika tidakdiamatinyaindikatorkeberadaan Cb seperti adanya kilat atau guntur.
Studi ini berusaha menentukan serta mengidentifikasi lokasi pusat/dasardengan sebaran landasan Cb menggunakan
olahan data citra satelit guna memberikan informasi yang lebih akurat dan presisi kepada pengguna.Penggunaan citra
satelit dapat meningkatkan akurasi dan presisi data lokasi awan Cb. Hasil analisa citra satelit Himawari-8menggunakan
SATAID menunjukkan bibit lokasiCb padatanggal 3 April 2016 memiliki suhu < -50°C terletak pada koordinat7°4’48”
LS 110°16’48” BT hingga 7°2’24” LS 110°7’12” BT dan mampu menyebar luas hingga 85 km.
Kata kunci: cumulonimbus (Cb), citra satelit, Himawari 8, suhu puncak awan, lokasi
ABSTRACT. For aviator, cumulonimbus (Cb) is the most frightening cloud amongst all. Besides its capability to
produce severe turbulence, the existance of Cb can also cause tornadoes, severe storm, heavy rain, and other horrific
phenomenon that threaten flight safety. Until today, observer performs cloud’s observation manually by visual. Related
to weather observation for aviation purposes, determination of Cb’s location is compulsory to be reported. Therefore,
for observer, failure determination of Cb is a great mistake. However, the determination of Cb’s location becomes
arduous when the sky has already overcast (sky covered clouds thoroughly) or Cb passes nearly, or directly, overhead
the characteristic top can be lost to view. It becomes more complicated when there is no indication of lightning or
thunder that can shows the exact location of Cb. In order to give more accurate data to user, this study tries to identify
the base of Cb with its anvil by using satellite imagery. The use of satellite imagery increase accuracy and presision of
the result. Analysis of Himawari-8 satellite imagery by using SATAID, shows the area that indicates the source of Cb
located at 7°4’48” S 110°16’48” E up to 7°2’24” S 110°7’12” E while the temperature of its anvil is < -50 °C and
had been spread out up to 85 km.
Keywords: cumulonimbus (Cb), satellite imagery, Himawari 8, cloud tops temperature, location
I. PENDAHULUAN
Bukan hanya menjadi biang penyebab terjadinya badai, petir, atau hujan deras, keberadaan Cb juga
berpotensi menyebabkan turbulensi hebat yang mengancam keselamatan penerbangan yang tengah menjadi
primadona moda transportasi terpenting saat ini. Sehingga semua jenis pesawat dianjurkan untuk
menghindari awan badai pada semua jenis dan kategori. Setiap awan badai mempunyai potensi menimbulkan
banyak resiko bagi penerbangan (BOM, 2006). Sebagai konsekuensinya, pengelolaan data cuaca untuk
penerbangan juga semakin menjadi sorotan. Salah satu fenomena cuaca yang sempat mengganggu aktivitas
penerbangan selama kurang lebih 2 jam terjadi akibat adanya hujan lebat yang disertai badai guntur tanggal 3
April 2016. Hujan lebat tersebut tercatat sebagai hujan dengan curah hujan tertinggi selama 3 bulan terakhir.
Berdasarkan laporan metar dan met report, hujan tersebut mampu menurunkan jarak pandang hingga 2000
meter. Intensitas curah hujan yang diukur dan dilaporkan dalam pelaporan sinoptik pada jam 15.00
-932-
Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi
Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M)
UTC sebesar 56 mm atau sekitar 28 mm/jam. Tingginya intensitas hujan tersebutmasukdalam kategori lebat
karena curah hujan terukur termasuk dalam kategori 50-100 mm/hari (BMKG, 2010). Galibnya, hujan
konvektif mengguyur rata-rata selama 30 menit saja namun hujan yang terjadi pada tanggal 3 April 2016
memiliki durasi yang lebih panjang. Selain tingginya curah hujan, fenomena badai guntur tercatat terjadi
sejak pukul 12.05 UTC sampai 14.50 UTC. Badai guntur membahayakan penerbangan karena dapat
membakar sistem komunikasi, menimbulkan kerusakan pada struktur pesawat, bahaya kebakaran terutama
saat pengisian bahan bakar pesawat di landasan. Selain itu, badai guntur atau kilat juga berbahaya bagi pilot
karena dapat menyebabkan kebutaan sesaat, shock, dan disorientasi (BOM, 2006).
Menurut Tjasyono dan Harijono (2009), awan cumulunimbus terbentuk akibat pemanasan bumi yang
tidak merata kemudian naik ke atas bertemu dengan udara dingin terbentuklah awan yang besar dan
menjulang tinggi (konvektif). Di dalam awan konvektif terjadi pergerakan udara naik dan turun. Pergerakan
udara naik menyebabkan awan tumbuh semakin besar dan tinggi hingga terbentuklah awan cumulunimbus.
Sementara itu, pergerakan udara turun membentuk energi angin yang berhembus kencang ke bawah atau
down draft.Identifikasi antara pusat dan landasan Cb diperlukan karena pusat awan Cb merupakan sumber
terjadinya berbagai fenomena alam paling berbahaya seperti peristiwa badai guntur, kilat, turbulensi,
downdraft, microburst, hail, pembekuan (icing), dan curah hujan sangat lebat. Sedangkan luasanlandasan
(anvil) Cb justru merupakan pertanda bahwa Cb mulai memasuki tahap peluruhan.
Dalam kaitannya dengan pengamatan udara permukaan (synoptik) serta mengacu pada UU No. 1 tentang
tahun 2009 tentang Penerbangan, awan Cb merupakan jenis awan yang menjadi prioritas utama dalam hal
pelaporan dan penyandian cuaca guna menunjang keselamatan penerbangan.Pengamatan sinoptikmerupakan
pengamatan terhadap unsur-unsur meteorologi (cuaca) yang dilakukan secara serentak di berbagai belahan
dunia dengan standar waktu Coordinated Universal Time(UTC).Pengamatan tersebut dilakukan baik secara
manual maupun secara otomatis menggunakan Automatic Weather Observation System (AWOS). Di
Indonesia, stasiun meteorologi yang dilengkapi dengan AWOS jumlahnya masih sedikit. Selain itu, sensor
pendeteksi kilat atau petir (lightning detector) pada AWOS seringkali tidak dapat merepresentasikan lokasi
pengamatan karena jangkauannya yang terlalu jauh.
Dalam kaitannya dengan pengamatan sinoptik guna keperluan penerbangan, kesulitan pengamatan awan
konvektif dialami observer saat kondisi langit telahovercast (langit diatas pengamat tertutup awan
sepenuhnya) sehingga dasar Cb tidak dapat terlihat dan landasan Cb (anvil)terlihat menyatu dengan awan
lainnya sehingga susah untuk diidentifikasi. Kesulitanlain terjadi saat Cb terletak tepat diatas pengamat
sehingga puncak Cb tidak dapat diamati dan dasar Cb terlihat seperti jenis awan rendah atau awan menengah
biasa (World Meteorological Organization, 2006). Padahal dalam kaitannya dengan pengamatan cuaca untuk
keperluan penerbangan, penentuan lokasi Cb wajib ditulis pada kolom supplementary information (informasi
tambahan) dan dilaporkan dalam format laporan cuaca rutin penerbangan, baikmet report ataupun metar.
Metar atau met report rutin dibuat setiap jam atau setengah jam sekali tergantung kepadatan bandara yang
bersangkutan. Sedangkan speci atau special report dilaporkan setiap kali terjadi perubahan unsur cuaca yang
signifikan.
Dari sekian banyak tuntutan yang menjadi tanggung jawab meteorologi penerbangan, salah satu yang
cukup penting adalah masalah akurasi informasi meteorologi (Widiatmoko, 2009). Oleh sebab itu, guna
mendapatkan data yang lebih akurat diperlukan analisa lanjut tentang data citra satelit. Salah satu citra
satelityang digunakan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) adalah Himawari8.Himawari-8 merupakan produk pengganti serial Multifunctional Transport Satellites (MTSAT) yang telah
dilengkapi dengan peningkatan signifikan dalam hal frekuensi pemutakhiran, resolusi, dan presisi yang
dioperasikan oleh Japan Meteorological Agency (JMA).Bureau Of Meteorology (BOM), lembagapemerintah
Australia yang menangani urusan cuaca, menyatakan bahwa satelit Himawari-8 berorbit pada koordinat
0.008° LS 140,7°BT atau melintas sejajar diatas Jepang, Papua, dan Australia Tengah dengan ketinggian
42.160.592 meter dari permukaan bumi.Tidak seperti MTSAT yang dimutakhirkan selama 1 jam sekali, data
satelit Himawari-8 dapat diterima setiap 10 menit sekali oleh BMKG Jakarta. Pengamatan yang dilakukan
satelit Himawari-8 meliputi permukaan bumi, liputan awan, angin, badai, mendeteksi dan memonitor pusat
siklon tropis di atas samudera, badai guntur, abu gunung berapi, kebakaran, asap, adanya kabut dan awan
rendah, serta potensi curah hujan.
Citra satelit dijalankan menggunakan Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID). Aplikasi
tersebut berfungsi mengambil data parameter meteorologi dari citra satelit. SATAID adalah software
berbasis windows, berfungsi untuk mengolah gambar satelit. Inti dari aplikasi SATAID adalah untuk
menampilkan data binary dari satelit menjadi gambar. Selain itu, SATAID dapat mengoverlay citra satelit,
data pengamatan dan data prediksi cuaca numerik. Aplikasi SATAID juga dapat digunakan untuk
mengetahui pola perkembangan awan, suhu puncak awan, titik embun, pola angin lapisan permukaan hingga
-933-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
lapisan atas hingga prakiraan waktu (Harsa dkk, 2011). Sehingga dapat diketahui posisi dasar/bibit Cb dan
area cakupan sebaran landasan Cb.
2. METODE PENELITIAN
Pada kajian ini dipilih studi kasus cuaca ekstrim berupa intensitas hujan konvektif tinggi pada tanggal 3
April 2016 yang mencapai 56 mm di wilayah Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan laporan bulanan, angka
tersebut merupakan angka tertinggi yang dicapai selama 3 bulan terakhir. Data yang digunakan adalah citra
satelit Himawari-8 kanal IR-1 tanggal 3 April 2016 pukul 00.00 UTC hingga 23.50 UTCserta rekap data
metar pada tanggal yang sama sebagai pembanding. Proses identifikasi cuaca signifikan menggunakan
analisa citra satelit berdasarkan pedoman operasional pengelolaan citra satelit cuaca tahun 2011 yang
dikeluarkan BMKG pusat seperti yang ditunjukan gambar 1, yaitu:
1. Data citra satelit IR-1 berasal dari BMKG Pusat.
2. Menjalankan dengan aplikasi SATAID.
3. Menentukan prakiraan posisi kejadian
4. Mengamati perkembangan sistem liputan awan di wilayah kejadian dengan menganimasi citra satelit
Himawari-8 kanal IR-1 selama 24 jam terakhir. Untuk memudahkan identifikasi perkembangan awan maka
digunakan enhancement colour (misal : EXT 1). Setelah itu dapat diketahui suhu puncak awan yang paling
dingin dari warna pada satelit.
5. Mengidentifikasi pertumbuhan awan-awan konvektif padat, cumulunimbus (Cb) yang meliputi luasan
wilayah sekurang – kurangnya 100 km ( ± 1 derajat lintang bujur) di wilayah prakiraan kejadian cuaca
ekstrim
6. Mengidentifikasi suhu puncak awan dan titik embun di wilayah prakiraan kejadian (brightness
temperature ≤ -50 °C ) yang persisten selama 3 jam.
Gambar 1. Alur Pembuatan Analisa Cuaca Signifikan
Menggunakan Citra Satelit
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan laporan sinoptik tanggal 3 April 2016 pukul 08.00 UTC, awan cumulonimbus (Cb)
dilaporkan sebanyak 1 okta dengan sudut elevasi 45° dan memiliki tinggi dasar 480 meter sedangkan tinggi
puncaknya mencapai 9000 meter. Keberadaan Cb sudah diamati selama kurang lebih 5 jam sebelum
terjadinya hujan. Mulanya, hujan terjadi dengan intensitas ringan hingga sedang terjadi pada pukul 12.05
UTC kemudian sempat berhenti hingga mendadak intensitasnya naik menjadi hujan deras disertai
badaiguntur pada pukul 12.30 UTC hingga 14.00 UTC. Berdasarkan data yang didapat melalui laporan metar
yang dilakukan pengamat, lokasi Cb dilaporkan berturut turut sebagai berikut:
-934-
Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi
Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M)
Jam (UTC)
08.00
08.30
09.00
09.30
10.00
10.30
11.00
11.30
Tabel 1. Laporan Metar Tentang Lokasi Awan Konvektif
Supplementary Information
Jam (UTC)
Supplementary Information
CB TO E AND SE
12.00
CB TO S
CB TO E AND SE
12.30
CB TO S AND NW
CB TO E AND SE
13.00
CB TO S, SW, W
CB TO S
13.30
CB OVER THE FIELD
CB TO S AND SW
14.00
CB OVER THE FIELD
CB TO E AND S
14.30
CB TO S AND NW
CB TO E AND S
15.00
CB TO S AND NW
CB TO SE AND S
15.30
CB TO S AND NW
Mula-mula awan Cb diamati di sekitar timur (east) dan tenggara (south east) namun awan tersebut meluruh
sebelum meluas hingga lokasi pengamat. Berdasarkan data speci, hujan deras tiba-tiba (shower) disertai
badai gunturterjadi pada pukul 12.30 UTC dimana lokasi Cb diamati di sebelah selatan (south). Secara garis
besar, lokasi Cb saat hujan mulai terjadi (12.00 – 14.00 UTC) diamati di sebelah selatan. Dalam kurun waktu
3 jam sejak terjadinya hujan (12.00 UTC s/d 15.00 UTC), Cb dilaporkan pada selatan-tenggara-baratbaratlaut sedangkan Cb diamati dua kali menutup seluruh langit diatas pengamat. Lokasi pelaporan yang
lebih dari satu disebabkan oleh kondisi Cb yang terlihat memanjang dan meluas sehingga lokasinya
mencakup beberapa arah mata angin. Data tersebut di dapatkan berdasarkan hasil pengamatan secara visual
yang dilakukan oleh pengamat dengan mempertimbangkan notifikasi lokasi Cb pada sensor lightning
detector AWOS.
Gambar 2. Estimasi Jarak Lokasi Awal Pertumbuhan Awan Konvektif Dari Semarang
Berdasar pantauancitra satelit Himawari-8 tanggal 3 April 2016,awan konvektif terduga muncul pertama
kali pada arah timur timur laut pada pukul 08.00 UTC dengan suhu < -40°C. Namun tidak teridentifikasi
sebagai titik merah pada citra satelit. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kurang matangnya (suhu puncak > 50°C)awan konvektif tersebut. Pada pukul 11.00 UTC mulai diamati titik merah pada arah barat daya barat
(west south west) dengan jarak 53 km dari koordinat wilayah Semarang (7° LS dan110,44° BT). Awan
tersebut sempat berkembang namun kemudian terpantau meluruh sebelum mampu mencapai koordinat
Semarang.Gambar 2.menunjukkan lokasipusat Cb yang nantinyaberhasil meluas hingga mencakup koordinat
wilayah Semarangpada pukul 13.00 UTC. Awan tersebut terletak di atas wilayah Kecamatan Boja, Kendal
dengankoordinat 7°4’48” LS dan 110°16’48” BT yang memanjang ke arah barat hingga koordinat 7°2’24”
LS 110°7’12” BT. Lokasi tersebut berjarak 20 km arah barat daya barat (west south west) hingga barat
diukur dari koordinat wilayahSemarang (7° LS dan 110°35’12 BT).
Pada pukul 13.00 UTC hingga 14.00 UTC, awan konvektif terpantau semakin meluas hinggamenutup
koordinat wilayah Semarang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.Sebaran awan konvektif tersebut
mencapai jarak terjauhnya, yaitu 85 km pada pukul 14.36 UTC yang meliputi wilayah dengan koordinat
6°55’12” LS 109°50’24”BT sampai 7°2’24”LS 110°36”BT. Dalam cakupan tersebut, koordinat wilayah
Semarang dapat dipastikan tertutup oleh awan konvektif. Indikasi adanya awan konvektif juga ditunjukkan
pada Gambar 4, yaitu adanya penurunan suhu secara signifikan pada lokasi awal pembentukan awan
konvektifpada pukul 12.20 UTC. Sedangkan suhu puncak awan paling minimum yang dicapai sekitar pukul
13.50 UTC yaitu-76,2°C. Perubahan suhu secara signifikan tersebutdapat mengindikasikan terjadinya tahap
pematangan Cb yang ditandai dengan adanya pembentukan butiran es di puncak awan.
-935-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 3. Perkembangan Awan Konvektif Dari Pukul 13.16 UTC sampai 14.56 UTC
(a)
(b)
Gambar 4.Analisa Citra Satelit Pada Wilayah Identifikasi Cb. (a) Identifikasi Suhu Pada Lokasi Awal
Pembentukan Cb, dan (b) MonitoringGrafik Perubahan Suhu Pada Lokasi Awal Pembentukan Cb
Penurunan suhu yang signifikan juga diamati melaluigrafik perubahan suhupuncak awan di atas wilayah
Semarang (Gambar 5.) pada pukul 13.00 UTC.Suhu puncak awan di atas wilayah Semarangdari pukul 13.00
hingga 15.00 UTC terpantau lebih konstan dibandingkan dengan grafik suhu puncak awan pada lokasi awal
pembentukan awan konvektif. Perubahan suhu secara signifikan ini terhitung lebih lambat ±40menit jika
dibandingkan dengan lokasi awal teridentifikasinya Cb. Hal tersebut menunjukkan jika bibit Cb tidak
terbentuk di atas Semarang melainkan di Kendal, tepatnya Kecamatan Boja.Suhu puncak maksimal di
Semarangtercatat-72,4° C atau 3,8° C lebih tinggi jikadibandingkan dengansuhu puncak awan konvektifdi
wilayah awal pembentukan Cb.
-936-
Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi
Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M)
Gambar 5. Monitoring Grafik Perubahan Suhu Di Atas
Wilayah Semarang
Selain grafik monitoring perubahan suhu diatas, indikasi suhu minimum < -50°C juga ditunjukkan melalui
peta contour wilayah Semarang dan sekitarnya. Peta contour menunjukkan sebaran suhu yang variatif di
sekitar suhu minimum yang teramati baik pada pukul 12.16 UTC maupun 13.36 UTC. Suhu minimum yang
diamati pada pukul 12.16 UTC hingga satu jam setelahnya mencapai -74°C terjadi diatas wilayah Boja. Pun,
hal yang sama diamati pada pukul 13.36 UTC hingga satu jam setelahnya, dimana suhu mengalami
penurunan hingga -76°C dan masih berturut-turut diamati diatas wilayah Boja.
Gambar 6. Perkembangan Suhu Puncak Awan Berdasar Peta Contour
Indikasi suhu puncak awan tidak diamati di atas wilayah Semarang sebab suhu yang di tampilkan pada
peta contour memiliki interval ±2° C, artinya suhu puncak awan di atas wilayah semarang lebih tinggi
sekitar ±2° C jika dibandingkan dengan suhu paling minimun yang diamati di atas wilayah Boja. Dengan
kata lain, lokasi bibit atau pusat awan konvektif tidak terjadi di atas langit wilayah Semarang. Berdasarkan
data gambar dan grafik diatas, penurunan suhu puncak awan yang paling signifikan (< -50° C),baik di Boja
maupun di Semarang, terjadi antara pukul 13.30 UTC hingga 14.00 UTC. Kondisi ini menunjukkan suhu
puncak awan konvektif yang semakin dingin, artinya awan tersebut semakin tumbuh, menjulang tinggi,
kemudian menyebar luas sehingga berpotensi menimbukan hujan deras disertai petir dan angin kencang.
Jika dibandingkan dengan analisis citra satelit, penentuan lokasi Cb berdasarkan pengamatan visual kurang
presisi dan representatif. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan pengamat dalam menentukan lokasiCb yang
tumbuh besar dan luas di beberapa titik arah mata angin. Meskipun memiliki titik acuan, penentuan lokasi
-937-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Cb secara visual masih tergolong subjektif (berbeda antara pengamat yang satu dan yang lain), terlebih jika
lokasi Cb tidak terletak tepat di salah satu dari 8 arah mata angin. Sedangkan analisis citra satelit jauh lebih
akurat dan presisi karena menggunakan 16 arah mata angin disertai koordinat lokasinya. Lebih lanjut,
pengamatan dengan menggunakan visual bersifat terbatas wilayah pengamatan itu saja sedangkan
penggunaan citra satelit dapat memantau lokasi serta pergerakan awan secara global.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan analisa cuaca ekstrim berupa hujan lebat menggunakan citra satelit tanggal 3 April 2016 di
wilayah Semarang dapat disimpulkan:
1. Penggunaan analisa citra satelit dapat meningkatkan keakurasianpelaporan lokasi Cb, dimana Cb diamati
di atas wilayah Kecamatan Boja, dengan koordinat 7°4’48” LS 110°16’48” BT sampai 7°2’24” LS
110°7’12” BT atau terletak 20 km arah barat daya barat (west south west) hingga barat yang diukur dari
koordinat wilayah Semarang (7° LS dan 110°35’12 BT)
2. Berdasarkan analisis citra satelit, Cb yang awalnya tumbuh di wilayah sekitar Boja meluas hingga
menutup langit di atas pengamat (7° LS dan 110°35’12 BT) pada pukul 13.36 UTC
3. Pola pertumbuhan awan konvektif cukup signifikan hingga menjadi awan cumulonimbus terjadi pada
jam 13.00 UTC hingga 14.00 UTC
4. Penurunan suhu puncak awan secara signifikan di atas wilayah Semarang terjadi lebih lambat ±40menit
jika dibandingkan dengan penurunan suhu puncak awan di lokasi awal teridentifikasinya Cb (Kecamatan
Boja)
5. Penurunan suhu puncak awan baik di Boja maupun Semarang yang mencapai <-50° C terjadi secara
persisten selama ±3 jam pada pukul 13.00, 14.00, dan 15.00 UTC
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, maka sepatutnya penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Hidayatul Mukhtar selaku Ketua Stasiun Meteorologi Klas II Ahmad Yani Semarang
2. Dian Palupi, S.Si dan Meida Yustiana, S.Si selaku sie pengelola data dan informasi Stasiun Meteorologi
Klas II Ahmad Yani Semarang
3. Muhammad Syifaul Fuad Alhamidi, S.Si selaku pembimbing penulis dalam pengelolaan data citra satelit
4. Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang
menyediakan rekap data citra satelit Himawari-8
DAFTAR PUSTAKA
BMKG [Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika]. (2011). Pedoman Operasional Pengelolaan Citra Satelit – UPT
BMKG Daerah.
Bureau of Meteorology Australia. (2006). Thunderstorm And Deep Convection
Press Release BMKG [Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika]. (2010). Kondisi Cuaca Ekstrim dan Iklim
Tahun 2010-2011
Tjasyono, B.,(2009). Meteorologi Indonesia 1 Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer. Jakarta : Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika.
Tjasyono, B., dan Harijono, S.W.B.,(2009). Meteorologi Indonesia 2 Awan dan Hujan Monsun. Jakarta : Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
Widiatmoko, H.. (2010). Diklat Teknis Meteorologi Penerbangan I: Forcaster Aerologi. Jakarta: Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika
World Meteorological Organization (1975). Cumulonimbus, International Cloud Atlas (pp. 48-50)
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Dr. Bambang Trisakti
: Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Awan CB dan Perluasan Landasan CB
Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari
: Anistia Hidayat (BMKG)
:
-938-
Optimalisasi Peninjauan Lokasi Pusat Cb dan Perluasan Landasan Cb Berdasarkan Hasil Pantauan Satelit Himawari-8, Studi
Kasus: Curah Hujan Konvektif Tinggi Tanggal 3 April 2016 di Semarang (Hidayat, A.M)
Pertanyaan : Dr. Bambang Trisakti (LAPAN)
Penentuan awan CB hanya cukup dengan indikator suhu saja? Dan berapa suhunya?
Jawaban :
Untuk mengukur kelabilan atmosfer dapat digunakan radiosonde dan radar yang berbasis suhu sebesar -150
C.
-939-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar
Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015)
Smoke Identification In Bandar Lampung Radin Inten II Airport
(Case Study: October24th, 2015)
Rizal Hidayat1*), dan Intan Prayuda Wulandari1
1
Stasiun Meteorologi Radin Inten II (BMKG) Bandar Lampung
*
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Asap adalah partikel kecil yang terpencar di udara yang terbentuk akibat pembakaran, yang mengurangi
jarak penglihatan horizontal atau mendatar sampai dengan 5000 meter atau kurang. Asap mungkin dilaporkan dalam
pengamatan meteorologi dengan suatu jarak penglihatan horizontal kurang dari 1000 meter jika tidak ada partikel partikel air di udara dan kelembaban relatif tidak lebih dari 90%. Selain dapat mengganggu kesehatan dan aktifitas
masyarakat, asap juga mengganggu kegiatan penerbangan karena asap mempengaruhi jarak pandang mendatar. Karena
dampak dari asap tersebut, maka diperlukan identifikasi titik api serta sebaran asap sehingga dapat diinformasikan
kepada lembaga pemerintah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan serta kepada para pelaku
dunia penerbangan guna mendukung keselamatan penerbangan. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisis citra
satelit cuaca dimana sebaran asap dan titik panas dapat terdeteksi pada citra satelit. Kejadian asap di Bandara Radin
Inten II Bandar Lampung pada tanggal 24 Oktober 2015 salah satunya disebabkan oleh pergerakan arus angin.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa potensi sebaran titik panas berasal dari wilayah Lampung
bagian Timur dan Utara. Pergerakan arus angin dari arah timuran juga membawa asap tersebut bergerak menuju
wilayah Bandar Udara Radin Inten II.
Kata kunci: asap, titik panas, angin, kelembaban udara, jarak pandang mendatar
ABSTRACT -Smoke is scattered small particles in the air formed by combustion, which reduces the horizontal or
landscape viewing distance up to 5000 meters or less. Smoke may be reported in meteorological observations with a
horizontal visibility of less than 1000 meters if no particles in the air and the relative humidity is not more than 90%.
Besides being able to damage the health and community activities, smoke also disrupt aviation activities because its
affecting visibility. Due to the impact of smoke, it is necessary to identify hotspots and distribution of smoke. Then, this
information can be distributed to government agencies in the prevention and control of forest fires as well as to the
aviation’s stakeholders to support aviation safety. This can be done by analyzing satellite imagery weather where the
distribution of smoke and hot spots can be detected on satellite images. Smoke that occurs in Bandar Lampung Radin
Inten II Airport on October 24th, 2015 one of them caused by the movement of the wind currents. Based on the data
analysis, it has been identifed that the potential distribution of the hotspots comes from the East and North region in
Lampung provinces. The movement of the wind flow from the easterlies also carried the smoke moves toward Radin
Inten II Airport.
Keywords: smoke, hotspots, winds, relative humidity, visibility
1.
PENDAHULUAN
Selama musim kemarau, kebakaran hutan sering terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, tergantung pada
tingkat kekeringan wilayah tersebut.Kebakaran hutan disebabkan oleh tiga faktor tertentu, yaitu karena
faktor alam seperti sambaran petir, faktor ketidaksengajaan seperti sisa api unggun yang belum padam, dan
faktor kesengajaan seperti pembakaran hutan untuk pembukaan lahan. Dampak yang ditimbulkan dari
peristiwa kebakaran dapat menjadi lebih kompleks meliputi bidang kesehatan, keamanan, dan ekonomi
masyarakat. Kekaburan udara akibat asap kebakaran hutan telah membawa dampak negatif yang serius di
masa lalu dan merupakan salah satu permasalahan lingkungan terburuk yang dialami Indonesia saat ini.
Periode kebakaran lahan dan hutan di Indonesia biasanya terjadi pada musim kemarau, yaitu pada bulan
Agustus, September, dan Oktober, maupun pada masa peralihan atau transisi. Kondisi tersebut berkaitan erat
dengan kemunculan fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) sehingga semakin memperburuk
dampak kebakaran seperti pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, 1997, 1998, dan 2002 (Bangsawan dan
Septian, 2015). Hal ini terjadi karena selama periode ENSO terjadi pengurangan jumlah curah hujan yang
signifikan di beberapa wilayah Indonesia. Kebakaran hutan menghasilkan asap yang mengakibatkan
-940-
Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015) (Hidayat,
R., dkk)
berkurangnya jarak pandang mendatar (horizontalvisibility) serta meningkatkan pemanasan terutama di
troposfer bagian bawah (Wati dan Fitriyawita , 2015). Penyebaran asap dapat mencapai wilayah yang luas
apabila terbawa oleh angin. Definisi asap (smoke) sendiri adalah fenomena cuaca berupa partikel-partikel
kering yang melayang dari permukaan sampai naik ke atas akibat adanya kebakaran hutan dan lahan
(Soepangkat, 1994).
Bandar udara Radin Inten II Bandar Lampung merupakan salah satu bandara diPropinsi Lampung.
Banyak distribusi barang dilakukan melewati jalur ini sehingga menjadikan bandara Radin Inten II sebagai
akses transportasi yang vital. Adanya asap yang mengakibatkan jarak pandang mendatar sekitar 4 km di
siang hari pada tanggal 24 Oktober 2015 berpotensi mengganggu kegiatan penerbangan di bandara tersebut
karena pada normalnya ketika siang hari terutama saat cuaca cerah, jarak pandang mendatar dapat mencapai
10 km / lebih. Sebaran asap yang menutupi bandara ini berasal dari wilayah Lampung bagian Utara dan
Timur. Angin timuran yang bertiup kuat membawa asap tersebut ditambah lagi dengan kurangnya intensitas
hujan yang menyebabkan banyak terdapat potensi titik api (hotspots). Oleh karena dampaknya yang
signifikan tidak hanya terhadap aktivitas penerbangan namun juga hingga menyangkut masalah kesehatan,
sehingga dirasa sangat perlu dilakukan kajian terkait kondisi tersebut. Tujuan dari studi ini adalah untuk
menyajikan daily monitoring dari kebakaran hutan dan sebaran asapnya dengan menggunakan citra satelit
serta untuk mengetahui kondisi atmosfer di wilayah propinsi Lampung pada umumnya dan bandara Radin
Inten II pada khususnya pada saat kejadian asap tersebut.
2.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitik karena menekankan pada
analisis dari suatu kejadian yang terjadi di lapangan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk menjawab
mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
induktif karena didasari pada fakta empiris. Daerah penelitian dalam tulisan ini adalah daerah Propinsi
Lampung khususnya Bandar Udara Radin Inten II (05°14′33″LU - 105°10′44″BT). Waktu penelitian yaitu
tanggal 24 Oktober 2015.
Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Data pengamatan cuaca permukaan dari Stasiun Meteorologi Radin Inten II.
2. Data titik panas (hot spot) dari citra satelit MODISjam 06.18 UTC.
3. Data angin lapisan 3000 feet jam 06 UTC .
4. Data curah hujan bulan Oktober 2015 dari Stasiun Meteorologi Radin Inten II.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Data Pengamatan Cuaca Permukaan
JARAK PANDANG
MENDATAR (METER)
Jarak pandang mendatar mengalami kenaikan dari jam 00.00 hingga jam 03.00 UTC yaitu hingga
mencapai 8000 meter (Gambar 1). Kemudian jarak pandang mengalami penurunan pada jam 04.00 UTC
hingga mencapai 4000 meter. Kejadian ini terus berlangsung hingga jam 11.00 UTC yang diakibatkan
adanya asap yang meliputi Bandara Radin Inten II. Dari tabel Pengamatan Cuaca Permukaan Stasiun
Meteorologi Radin Inten II (tabel 1) juga dapat diketahui kejadian asap terjadi pada sekitar jam 04.00 UTC
dan berakhir sekitar jam 11.00 UTC.
JARAK PANDANG MENDATAR
TANGGAL 24 OKTOBER 2015
10000
8000
6000
4000
2000
0
00 02 04 06 08 10 12 14 16 18 20 22
JAM (UTC)
Gambar 1. Jarak Pandang Mendatar Tanggal 24 Oktober 205
(Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II)
-941-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 1. Pengamatan Cuaca Permukaan Stasiun Meteorologi Radin Inten II
Jam
Visibility
Cuaca
(UTC)
(METER)
00
3000
HAZE
01
4000
HAZE
02
7000
BERAWAN
03
8000
BERAWAN
04
5000
SMOKE
05
5000
SMOKE
06
4000
SMOKE
07
4000
SMOKE
08
4000
SMOKE
09
4000
SMOKE
10
5000
SMOKE
11
5000
SMOKE
BERAWAN
12
7000
BERAWAN
13
7000
BERAWAN
14
7000
BERAWAN
15
6000
BERAWAN
16
6000
BERAWAN
17
6000
BERAWAN
18
6000
BERAWAN
19
6000
BERAWAN
20
6000
BERAWAN
21
6000
22
4000
HAZE
23
1000
HAZE
(Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II)
3.2. Analisis Data Titik Panas (Hotspots)
Terdapat 11 titik sebaran lokasi titik panas (hotspots) yg tersebar di wilayah Lampung bagian Utara dan
Timur (Tabel 2). Titik api tersebut berpotensi menghasilkan asap yang terbawa angin menuju bandara Radin
Inten II.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Tabel 2. Data Potensi Titik Panas (Hotspots) Propinsi Lampung
Tanggal 24 Oktober 2015 Jam 06.18 UTC
Bujur
Lintang
Kabupaten
105,500
-3,880
Mesuji
105,510
-3,920
Mesuji
105,635
-4,060
Tulang Bawang Barat
105,595
-4,250
Tulang Bawang Barat
105,760
-4,290
Tulang Bawang Barat
105,550
-4,370
Tulang Bawang Barat
105,520
-4,370
Tulang Bawang Barat
105,780
-4,660
Lampung Tengah
105,675
-5,435
Lampung Timur
105,755
-4,970
Lampung Timur
105,750
-4,750
Lampung Timur
(Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II)
-942-
Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015) (Hidayat,
R., dkk)
3.3 Analisis Angin
Dari data angin permukaan (ketinggian 10 meter) yang diamati tiap jam dari Stasiun Meteorologi Radin
Inten II dapat diketahui bahwa pada tanggal 24 Oktober 2015 angin permukaan dominan bertiup dari arah
Timur (Gambar 2). Kemudian dari data angin 3000 feet Jam 06.00 UTC, dapat diketahuibahwa arah angin
berasal dari Timur (Gambar 3). Secara klimatologi pada bulan Oktober 2015 daerah Sumatera berada dalam
periode angin timuran. Angin tersebut umumnya bertiup dari arah Timur – Tenggara menuju ke Barat Barat Laut. Kondisi profil angin tersebut memungkinkan asap yang dihasilkan oleh titik panas (hotspots)di
wilayah bagian Utara dan Timur Lampung terbawa ke arah Barat – Barat Laut menuju bandara Radin Inten
II.
Gambar 2. Angin Permukaan (10 meter) Tanggal 24 Oktober 2015
(Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II)
Gambar 3. Angin Lapisan 3000 feet Tanggal 24 Oktober 2015
Jam 06.00 UTC(Sumber : NOAA NCEP Reanalysis)
3.4. Analisis Curah Hujan
Berdasarkan Gambar 4, dapat diketahui bahwa di bulan Oktober 2015 di Propinsi Lampung terutama di
daerah bandara Radin Inten II pada umumnya tidak ada hujan, sedangkan hujan hanya tercatat 1 hari hujan
yaitu tanggal 8 Oktober 2015 sebesar 1,8 mm. Sedangkan untuk wilayah Propinsi Lampung sendiri (Gambar
-943-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
5) pada dasarian ke 3 bulan Oktober 2015curah hujan cukup rendah yang kemungkinan diakibatkan oleh
angin timuran dan pengaruh El Nino.
CURAH HUJAN (MM)
CURAH HUJAN HARIAN STAMET RADIN INTEN II
OKTOBER 2015
2,0
1,8
1,6
1,4
1,2
1,0
0,8
0,6
0,4
0,2
0,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728293031
TANGGAL
Gambar 4.Curah Hujan Harian Stasiun Meteorologi Radin Inten II
Oktober 2015 (Sumber : Stasiun Meteorologi Radin Inten II)
Gambar 5.Peta Analisis Curah Hujan Dasarian IIIOktober 2015
(Sumber: Stasiun Meteorologi Radin Inten II)
4.
KESIMPULAN
Profil angin yang umumnya berhembus dari Timur - Tenggara membawa asap yang berasal dari titik
panas (hotspot) di bagian Utara dan Timur Propinsi Lampung bergerak menuju daerah bandara Radin Inten
II. Asap tersebut menyebabkan jarak pandang mendatar (horizontal visibility) di bandara Radin Inten II pada
tanggal 24 Oktober 2015berkisar antara 4000 meter hingga 5000 meter. Kurangnya hujan pada bulan
Oktober 2015 juga menyebabkan terdapat potensi titik panas (hotspots) yang dapat menimbulkan asap.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Kepala Stasiun Meteorologi Radin Inten
II beserta staf yang telah membantu penyediaan data sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu .
-944-
Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) Di Bandara Radin Inten II Bandar Lampung (Studi Kasus: Tanggal 24 Oktober 2015) (Hidayat,
R., dkk)
DAFTAR PUSTAKA
Bangsawan, L., dan Septian, B. (2015). Identifikasi Kebakaran Hutan di Papua dan Papua Barat Menggunakan Satelit
HIMAWARI 8. Paper presented at the Proceedings of BMKG Workshop of Weather Satellite Operational ,
Makassar, Indonesia.
BMKG.go.id (2016). Analisa Curah Hujan dan Sifat Hujan, Informasi Hujan Bulanan , diunduh 6 November 2015 dari
http://bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Informasi_Iklim/Prakiraan_Iklim/Informasi_Hujan_Bulanan.bmkg
ESRL NOAA.gov (2016).NCEP Reanalysis Pressure Level, NCEP/NCAR Reanalysis 1: Pressure, diunduh 5 November
2015 dari http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.pressure.html
JPNN.com (2016). Lampung Siaga Asap, Diduga Kiriman dari Sumsel, Berita Daerah Lampung , diunduh 6 November
2015 dari http://www.jpnn.com/read/2015/10/24/334631/Lampung-Siaga-Asap,-Diduga-Kiriman-dari-SumselSetiya, W.K., dan Fitriyawita, M., (2015). Analisis Meteorologi Saat Kejadian Asap di Bandara Supadio Pontianak
(Studi Kasus September 2015). Paper presented at the Proceedings of BMKG Workshop of Weather Satellite
Operational , Makassar, Indonesia.
Soepangkat (1994).Pengantar Metereologi. Balai Pendidikan dan Pelatihan Meteorologi dan Geofisika Jakarta.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Moderator
JudulMakalah
Pemakalah
Diskusi
: Parwati
: Identifikasi Kejadian Asap (Smoke) di BandaraRadinInten II Bandar Lampung
(StudiKasus: Tanggal 24 Oktober 2015)
: Rizal Hidayat (BMKG)
:
Pertanyaan : Prof. Eddy Hermawan (LAPAN)
Penjelasan mengenai kabut asap pada di bagian mana? Pada 700 hpa, mana yang merupakan data
pendukungnya? Data-data yang ditampilkan merupakan data yang berada di atas, bukan merupakan data di
permukaan.
Jawaban:
Pengamatan yang dilakukan menggunakan visual (synoptic). Di permukaan kondisinya cenderung panas
hampir setiap saat.
-945-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah
Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2
Cloud Formation System on Extreme Rainfall Event in Sintang Area on
Australian Monsoon Period Using MTSAT-2 Satellite Imagery
Achmad Rifani1*) dan Agie Wandala2
1
2
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Pusat Meteorologi Publik, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
*)
Email: [email protected]
ABSTRAK - Hujan di wilayah tropis cenderung terbentuk dengan sistem awan yang bervariasi dan
cenderung terkait pada kondisi iklim di suatu wilayah. Termasuk area Sintang Kalimantan Barat yang
terpengaruhi oleh sistem monsun Australia yang berinteraksi dengan karakter regional pulau Kalimantan.
Melalui teknik ambang batas yang ditentukan dari nilai persentil ke 95 dari keseluruhan data normal,
diperoleh nilai ambang batas ekstrem baru. Nilai tersebut menunjukkan pada musim monsun Australia
periode Juni -Agustus (JJA) terjadi hujan dengan intensitas tinggi yang masuk dalam kategori ekstrem. Tiga
kejadian ekstrem pada bulan JJA yaitu pada 19 Agustus 2014, 8 Juli 2013, dan 28 Agustus 2012 dianalisis
menggunakan citra satelit MTSAT untuk mempelajari karakteristik pembentukan awan di daerah tersebut.
Hasil eksperimen menunjukkan adanya sistem awan pada pola cumuliform yang bertransformasi menjadi
sistem stratiform dalam skala yang cukup luas, sehingga intensitas hujan yang ditimbulkan bersifat
berkelanjutan dengan nilai yang tinggi. MTSAT juga menunjukkan penurunan nilai suhu puncak awan pada
struktur awan yang diduga sebagai bagian dari sel awan Cumulonimbus.
Kata Kunci: Hujan Ekstrem, Pembentukan Awan, Citra Satelit, MTSAT
ABSTRACT - Rainfalls in the tropic area tend to form in varies cloud system and affected by climate
condition in a particular area. Sintang in West Borneo is one of the area that Australian monsoon system
interacted with the island topograhic systems. By using a new extreme threshold, which is defined by 95th
percentile from all of normal data, a new extreme value was obtained. The value showed that in the period of
Australian monsoon on June – August (JJA), the rainfall occurred with high intensity in extreme category.
Three extreme rainfall events on JJA were August 19th 2014, July 8th 2013, and August 28th 2012; analyzed
by using MTSAT satellite image to study the characteristic of cloud formation. The experiment result showed
that there was a cumuliform pattern in the cloud system that transformed into the stratiform system on a
large scale, thus producing a sustained rainfall with high intensity. MTSAT image also showed a decreased
cloud top brightness temperature in cloud structure that assumed as a part of Cumulonimbus cell.
Keywords: Extreme Rain, Cloud Formation, Satelit Image, MTSAT
1. PENDAHULUAN
Terletak di wilayah tropis, Indonesia memiliki curah hujan yang relatif tinggi sepanjang tahun. Di antara
fenomena curah hujan sering terjadi kejadian hujan lebat yang melewati ambang batas tertentu yang
menjadikan kejadian tersebut termasuk kedalam kejadian ekstrem. BMKG (2010) telah menetapkan nilai
curah hujan yang termasuk ke dalam kategori ekstrem dengan hujan intensitas 20 mm / jam atau 50 mm /
hari. Suatu standar ekstrem di suatu daerah dapat memiliki nilai yang berbeda dengan daerah lainnya,
Haylock dan Nicholls (2000) menggunakan data klimatologis di tiap daerah di Australia untuk menentukan
nilai ekstrem di daerah tersebut. Hal ini baik dilakukan untuk daerah yang memiliki keragaman curah hujan
tinggi secara spasial.
Kejadian ekstrem sendiri cukup sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun. Stasiun
Meteorologi Sintang (0,2O LU dan 111,5O BT) yang terletak di wilayah provinsi Kalimantan Barat mencatat
curah hujan dengan intensitas tinggi tersebar di bulan-bulan dengan banyak hujan maupun bulan-bulan
kurang hujan. Wilayah ini memiliki pola hujan ekuatorial yang memiliki dua puncak hujan, bulan-bulan
dengan curah hujan minimum terjadi pada sekitar bulan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) di mana angin
-946-
Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan
Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.)
monsoon Australia sedang aktif. Qian (2008) mendapati bahwa siklus hujan harian pada bulan JJA memiliki
fase yang sama dengan bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) tetapi dengan intensitas yang lebih
rendah. Hujan dengan intensitas tinggi terjadi di tengah daratan pulau Kalimantan pada jam 20.00 LT hingga
jam 02.00 LT, intensitas yang lebih rendah terjadi setelahnya hingga pagi hari. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pada bulan JJA, hujan di tengah daratan Kalimantan masih cukup sering terjadi. Nesbitt
dan Zipster (2003) menyebutkan bahwa sistem konvektif di pulau ini terbentuk pada malam hari dan
bertahan hingga pagi hari. Ichikawa dan Yasunari (2006) menggunakan data TRMM-PR untuk menemukan
adanya penjalaran hujan ke arah timur pada musim angin baratan (DJF) dan penjalaran ke arah barat pada
musim timuran (JJA), dengan fase konvektif terjadi di tengah pulau pada malam hari. Tak jarang fase
konvektif ini menghasilkan curah hujan tinggi di beberapa tempat.
Penelitian ini menggunakan citra satelit MTSAT bertujuan untuk mengidentifikasi sistem konvektif dan
sistem stratiform yang terjadi saat kejadian hujan ekstrem di wilayah Sintang pada bulan JJA yang
merupakan waktu. Klasifikasi tersebut menjadi cukup penting untuk mengetahui karakter awan hujan yang
dapat menimbulkan intensitas hujan tinggi dan angin kencang yang bersifat merusak. Daerah tersebut
terletak di tengah daratan pulau Kalimantan sehingga terdapat kemungkinan bahwa sistem konvektif dapat
terjadi di sekitar wilayah ini. Agar mendapatkan kejadian ekstrem yang tepat, sebelumnya akan dilakukan
pengolahan data klimatologis Stasiun Meteorologi Sintang untuk mendapatkan nilai ambang batas ekstrem
dan karakteristik hujan ekstrem secara tahunan di wilayah tersebut pada bulan JJA.
2. DATA DAN METODE
Data yang digunakan untuk menghitung ambang batas ekstrem adalah data curah hujan harian stasiun
meteorologi Susilo Sintang yang terletak di 111,5OBT dan 0,2 OLU (Gambar 1) selama periode 1985 – 2014.
Hari-hari hujan dengan curah hujan di bawah 1 mm dieliminasi untuk memberikan data curah hujan yang
baik (Haylock dan Nicholls, 2000). Nilai ambang batas dihitung dari persentil ke 95 dari seluruh data hujan
di atas 1 mm (Bodini dan Cossu, 2010). Ambang batas tahunan dihitung dari keseluruhan data, ambang batas
ekstrem di musim JJA dihitung dari keseluruhan data di bulan Juni, Juli, dan Agustus. Parameter lain yang
digunakan untuk mengidentifikasi sifat hujan ekstrem dikutip dari (Haylock dan Nicholls, 2000; Bodini dan
Cossu, 2010) antara lain:
1. Total Precipitation (TP): Akumulasi curah hujan.
2. Totel Extreme Precipitation (TEP): Akumulasi curah hujan yang berada di atas ambang batas
ekstrem.
3. Extreme Proportion (EP): Perbandingan antara curah hujan tahunan dengan curah hujan yang
disebabkan oleh kejadian ekstrem.
4. Rainy Days (RD): Jumlah hari hujan dengan akumulasi 24 jam di atas 1 mm.
5. Frequency of Rainy Day (F): Perbandingan antara hari hujan dengan keseluruhan data.
6. Frequency of Extreme Event (FE): Perbandingan antara jumlah hari hujan dengan jumlah hari
kejadian ekstrem.
Parameter-parameter tersebut dihitung dalam skala tahunan, sedangkan untuk bulan JJA dihitung hanya
menggunakan data pada bulan Juni, Juli, dan Agustus.
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Daerah Sintang Kalimantan Barat.
-947-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Data satelit pada tanggal-tanggal kejadian terpilih diolah menggunakan aplikasi SATAID untuk
mendapatkan nilai suhu puncak awan dan untuk mengidentifikasi jenis awan. Jenis awan diidentifikasi
menggunakan metode RGB. Metode ini menggunakan 3 kanal satelit antara lain kanal IR1 (10,3-11,3
mikrometer) untuk warna merah, kanal IR3 atau Water Vapour (6,5-7,0 mikrometer) untuk warna biru, dan
kanal IR4 (3,5-4,0 mikrometer) untuk warna hijau. Kombinasi dari ketiga warna ini akan memberikan warna
tertentu untuk jenis awan yang berbeda. Rosenfeld dan Lensky (1998) menggunakan kombinasi kanal
Visible, kanal 3,7 mikrometer, dan kanal Infrared untuk mengidentifikasi jenis awan dari citra AVHRR.
Tabel berikut menunjukkan karakter tiap warna yang digunakan pada makalah ini.
Kanal
IR1 (Suhu Puncak Awan)
IR3 (Water Vapour)
IR4 / Visible (Reflektansi)
Tabel 1. Interpretasi Warna dari Kanal Citra Satelit.
Warna
Keterangan
Merah
Semakin merah menunjukkan suhu puncak
awan yang rendah.
Biru
Semakin
biru
menunjukkan
tingginya
kandungan uap air
Hijau
Semakin
hijau
menunjukkan
tingginya
reflektansi awan.
Awan-awan dengan suhu puncak awan dingin, tinggi kandungan uap air, dan memiliki reflektansi tinggi
seperti awan cumulonimbus akan menghasilkan warna putih, sedangkan awan dengan suhu puncak yang
lebih hangat akan menghasilkan warna ungu. Sedangkan untuk awan-awan rendah akan menunjukkan warna
kehijauan karena reflektansinya yang tinggi tetapi suhu puncak masih hangat.
Grafik time series suhu puncak awan digunakan untuk melihat perubahan suhu puncak awan dari waktu
ke waktu di suatu titik koordinat tertentu. Semakin rendah suhu puncak awan maka awan tersebut memiliki
puncak yang tinggi seperti awan cumulonimbus atau awan-awan cirrus yang tersusun atas Kristal es.
Bumrungklang, dkk (2008) mengklasifikasikan jenis awan berdasarkan suhu puncak awan pada citra satelit
MTSAT sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Suhu Puncak Awan dan Potensi Jenis Awan (Bumrungklang, dkk 2008)
Suhu Puncak Awan (C)
Suhu Puncak Awan
Potensi Jenis Awan
(K)
273 – 283
Awan hangat seperti cumulus atau
0 – 10
263 – 273
(komponen penyusun utama hanya uap air)
-10 – 0
stratus
-20 - -10
-30 - -20
-40 - -30
253 – 263
243 – 253
233 – 243
Awan campuran (memiliki komponen penyusun
berupa uap air dan Kristal es)
-50 - -40
-60 - -50
< -60
223 – 233
213 – 223
< 213
Awan campuran besar seperti cumulonimbus atau
awan cirrus (komponen penyusun utama berupa
Kristal es)
Citra enhanced dari kanal IR digunakan untuk mempermudah mengidentifikasi suhu puncak awan
terhadap potensi jenis awan. Tiap kategori suhu puncak awan pada citra IR1 yang dikelompokkan pada tabel
2 diberikan satu warna untuk mewakili satu rentang suhu puncak awan. Suhu puncak awan 0 O C sampai -10O
C diwakili warna hijau, suhu puncak awan -10O C hingga -40O C diwakili warna biru dan suhu puncak awan
-40O C hingga -60O C diwakili oleh warna merah gelap, sedangkan untuk suhu dibawah -70O C diwakili oleh
warna merah terang.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 berikut menunjukkan normal curah hujan stasiun meteorologi Sintang yang dihitung selama
periode tahun 1985 – 2014. Grafik tersebut menunjukkan bahwa daerah Sintang memiliki curah hujan yang
cukup tinggi sepanjang tahun. Bulan – bulan basah terjadi pada bulan Oktober hingga Maret dengan
akumulasi curah hujan berada di atas 300 mm per bulan. Jika mengacu pada definisi kemarau BMKG
dimana musim kemarau ditandai dengan akumulasi hujan bulanan yang kurang dari 50 mm per dasarian atau
150 mm per bulan, maka daerah Sintang tidak memiliki musim kemarau. Namun bulan-bulan dengan
penurunan curah hujan yang cukup signifikan terjadi pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA).
-948-
Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan
Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.)
Normal Curah Hujan Stasiun Meteorologi
Sintang 1985-2014
400,0
350,0
300,0
250,0
200,0
150,0
100,0
50,0
0,0
355,3
311,6
306,8
261,3
313,3 320,5
276,2
248,2
191,0
223,2 214,0 229,4
Curah Hujan (mm)
Gambar 2. Grafik Normal Curah Hujan Stasiun Meteorologi Sintang
Tabel 3 memberikan informasi mengenai hujan tahunan dan kejadian ekstrem pada periode 1985 – 2014.
Eliminasi hari-hari dengan akumulasi hujan kurang dari 1 mm dari periode 30 tahun memberikan informasi
tentang jumlah hari hujan di Sintang. Rata-rata hari hujan (Rainy Days/ RD) di Sintang mencapai 179 hari
dalam satu tahun dengan rata-rata akumulasi hujan tahunannya (Total Precipitation / TP) mencapai 3250
mm per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Akumulasi
hujan tersebut juga turut disumbangkan oleh kejadian-kejadian ekstrem. Nilai persentil ke 95 memberikan
nilai akumulasi hujan harian sebesar 61,015 mm dalam sehari sebagai ambang batas nilai ekstrem di stasiun
meteorologi Sintang. Nilai ini ditetapkan sebagai site dependant threshold karena mempertimbangkan
karakteristik hujan di daerah tersebut. Berdasarkan ambang batas tersebut, diperoleh rata-rata 9 kejadian
ekstrem (Extreme Event / Ext Event) per tahunnya. Jumlah kejadian ekstrem terbanyak yaitu 18 kejadian
terjadi pada tahun 1986 dan paling sedikit 2 kejadian pada tahun 2001 atau sekitar 4% dari kejadian hujan
dalam setahun adalah kejadian ekstrem. Kejadian ekstrem juga meningkatkan akumulasi hujan tahunan pada
tahun bersangkutan. Hal ini ditunjukkan dari nilai EP (Extreme Proportion) yang dihitung dari perbandingan
akumulasi hujan ekstrem dengan akumulasi hujan tahunan. Rata-rata nilai EP menunjukkan bahwa 22%
akumulasi hujan tahunan berasal dari kejadian ekstrem. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kejadian
ekstrem turut memberikan kontribusi yang besar terhadap akumulasi hujan tahunan di daerah tersebut.
Tabel 3. Analisis Hujan Harian Periode 1985-2014.
TP (mm) TEP (mm) EP (n) Rainy Day
Rata-Rata
3250.9
746.4 0.22
179.2
Stdev
569.2
335.3 0.07
19.1
Max
4467.5
1542.8 0.36
209.0
Min
2090.0
189.6 0.07
131.0
F
Ext Event
0.49
8.9
0.05
3.9
0.57
18.0
0.36
2.0
FE
0.05
0.02
0.10
0.01
F dihitung menggunakan hari hujan: jumlah hari dalam satu tahun (365 hari).
Pada skala musiman, untuk bulan JJA batas ekstrem yang didapat dari persentil ke 95 adalah 63,22
mm/hari. Nilai ini sedikit lebih tinggi dibandingkan ambang batas ekstrem yang dihitung secara tahunan.
Rata-rata akumulasi hujan bulanan mencapai 628,25 mm / bulan dengan 36% dari 92 hari adalah hari dengan
hujan di atas 1 mm, 19% dari akumulasi bulanan disumbangkan oleh kejadian ekstrem. Tetapi rata-rata
hanya 5% dari seluruh kejadian hujan yang merupakan kejadian ekstrem, atau 2 kejadian ekstrem tiap
tahunnya di bulan JJA. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian ekstrem di musim ini memiliki intensitas yang
jauh lebih tinggi dibandingkan nilai ambang batasnya. Tabel 4 menunjukkan informasi mengenai sifat hujan
ekstrem untuk bulan JJA yang dihitung selama periode tahun 1985-2014.
-949-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 4 Analisis Hujan Harian Bulan JJA.
TP (mm) TEP (mm) EP (n) Rainy Day
Rata-Rata
628.2
147.6 0.19
32.9
Stdev
287.2
162.6 0.15
10.0
Max
1360.7
684.4 0.50
56.0
Min
81.2
0.0 0.00
12.0
F
Ext Event
0.36
1.6
0.11
1.8
0.61
8.0
0.13
0.0
FE
0.05
0.04
0.17
0.00
F dihitung menggunakan hari hujan: jumlah hari pada bulan JJA (92 hari).
Lebih detail, kejadian-kejadian hujan yang berada di atas ambang batas ekstrem pada bulan JJA
ditunjukkan oleh diagram boxplot pada Gambar 3. Garis referensi merupakan persentil ke 95 sebagai
ambang batas ekstrem. Banyaknya outlier data yang berada di atas garis referensi menunjukkan banyaknya
kejadian ekstrem yang terjadi di musim JJA pada tahun 1985 – 2014. Sebanyak 49 kejadian ekstrem terjadi
pada periode waktu tersebut dengan 15 kejadian pada bulan Juni, 18 kejadian pada bulan Juli, dan 16
kejadian pada bulan Agustus. Tiga kejadian ekstrem yaitu pada tanggal 19 Agustus 2014 dengan curah hujan
139,2 mm, tanggal 27 Agustus 2012 dengan curah hujan 140 mm, dan tanggal 8 Juli 2013 dengan hujan 116
mm dipilih untuk diteliti pada makalah ini berdasarkan ketersediaan data dan kualitas data stasiun
pengamatan.
Gambar 3. Diagam Boxplot untuk Bulan JJA Tahun 1985-2014
Hujan yang terjadi pada ketiga kasus ekstrem terpilih di atas dikarakterkan dengan intensitas hujan yang
tinggi pada malam hari jam 22.00 LT sampai jam 01.00 LT kemudian setelahnya dengan intensitas yang
lebih rendah hingga pagi hari. Curah hujan intensitas tinggi di malam hari ini terkait dengan sistem konvektif
yang aktif pada malam hari kemudian berubah menjadi sistem stratiform menjelang pagi hari dengan
intensitas sedang sehingga dapat menghasilkan akumulasi hujan cukup tinggi selama 24 jam. Gambar 4
menunjukkan hasil pengukuran akumulasi curah hujan 3 jam-an stasiun selama 24 jam pada hari terpilih.
-950-
Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan
Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.)
Curah Hujan Hasil Observasi
Curah hujan (mm)
120
102
94
100
19 Agustus 2014
80
68
27 Agustus 2012
60
33
40
20
0
8 Juli 2013
17
11 13
00,20
000
000
000
000
0
3
6
9
12
00
15
18
21
532
24
Jam (UTC)
Gambar 4. Hasil Pengukuran Curah Hujan pada Kejadian Terpilih.
Gambar 4 menunjukkan bahwa curah hujan dengan intensitas paling tinggi terukur pada jam 15.00 UTC
dan jam 18.00 UTC mencapai 30 mm/jam. Kemudian curah hujan dengan intensitas yang lebih rendah
terukur pada jam 21.00 UTC dan jam 24.00 UTC mencapai 4,5 mm/jam. Perubahan intensitas ini
menunjukkan adanya perubahan sistem hujan konvektif menjadi stratiform, hal ini konsisten dengan
penelitian Ichikawa (2006) yang menyebutkan bahwa pada dini hari hingga pagi hari curah hujan berubah
menjadi stratiform.
Gambar 5. Diagram Time Series Suhu Puncak Awan dari Kanal IR1
Diagram time series suhu puncak awan dari kanal IR dari tiga kejadian ekstrem (Gambar 5) menunjukkan
pola yang hampir sama satu sama lain dan dengan hasil observasi hujan yang terjadi di stasiun. Suhu puncak
awan tinggi terjadi pada pagi hingga siang hari antara jam 00 UTC hingga jam 10 UTC mengindikasikan
bahwa pertumbuhan awan tidak cukup signifikan pada jam-jam tersebut. Mengacu pada Tabel 2 maka pada
ketiga kasus ekstrem hanya terbentuk awan-awan hangat pada siang hari, bahkan tidak ada awan pada kasus
tanggal 8 Juli 2013. Pertumbuhan awan secara signifikan terjadi setelah matahari terbenam antara jam 10
UTC hingga jam 12 UTC. Dalam rentang waktu 3 jam, suhu puncak awan turun secara signifikan hingga
mencapai -80 OC pada tiga kejadian ekstrem. Penurunan suhu ini secara signifikan ini menunjukkan adanya
aktivitas konvektif, sehingga potensi awan yang terbentuk dapat berupa awan konvektif besar seperti
cumulonimbus. Suhu puncak awan kemudian mengalami peningkatan hingga menjelang pagi jam 23 UTC.
Peningkatan ini dapat disebabkan perubahan struktur awan akibat peluruhan atau pergerakan awan. Kasus
tanggal 19 Agustus 2014 dan 8 Juli 2013 menunjukkan adanya peningkatan suhu puncak awan hingga -40O
C, jika mengacu pada tabel 2 maka potensi jenis awan untuk suhu puncak tersebut adalah awan-awan
campuran di lapisan menengah dengan puncak awan yang lebih rendah. Sedangkan untuk kasus 27 Agustus
2012 peningkatan suhu terjadi perlahan hingga pagi hari. Perbandingan secara langsung suhu puncak awan
dengan curah hujan terukur di stasiun menunjukkan bahwa fase konvektif terjadi pada jam 13 UTC hingga
jam 17 UTC di mana hujan yang terjadi mencapai 30 mm / jam, sedangkan fase stratiform terjadi pada jam
19 UTC hingga jam 23 UTC dengan intensitas hujan yang lebih rendah.
-951-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi lebih lanjut dilakukan menggunakan citra RGB dan kanal IR1 enhanced untuk dapat
mengidentifikasi jenis awan pada saat kejadian.
(a)
(b)
Gambar 6. Citra Enhanced IR (Atas) dan Citra RGB (Bawah) Kasus 19 Agustus 2014 Pada (a) Fase Konvektif dan (b)
Fase Stratiform
Citra RGB pada Gambar 6(a) menunjukkan adanya area dengan warna putih terang di mana kombinasi
dari ketiga kanal menunjukkan nilai maksimum. Warna putih terang menunjukkan bahwa awan tersebut
memiliki kandungan uap air yang tinggi di lapisan menengah hingga atas troposfer, suhu puncak awan yang
rendah, serta reflektansi yang tinggi di mana karakteristik ini sesuai dengan karakter awan dalam kategori
cumulonimbus. Citra enhanced menunjukkan adanya area berwarna merah terang (< -60OC) yang terisolir,
area ini diindikasikan sebagai pusat konvektif. Area dengan suhu kurang dari -60OC tersebut terlihat
mengalami perluasan hingga jam 16 UTC diiringi dengan hujan berintensitas tinggi yang terukur di stasiun.
Warna ungu tipis di sekitar awan dengan warna putih pada citra RGB adalah awan-awan cirrus tipis yang
memiliki suhu dingin dan kandungan uap air relatif lebih sedikit. Peningkatan suhu puncak awan pada jam
19 UTC disebabkan perubahan sistem awan di mana pada citra RGB ditunjukkan oleh warna abu-abu yang
meluas (Gambar 6(b)), warna ini mengindikasikan penurunan puncak awan dan kandungan uap air serta
reflektivitasnya. Citra enhanced menunjukkan area dengan warna biru (-10 OC hingga -40 OC) mendominasi
sekitar daerah penelitian. Hingga jam 21 UTC, warna biru ini semakin meluas. Citra RGB tidak lagi
memperlihatkan struktur puncak awan yang jelas dan didominasi warna abu-abu. Curah hujan terukur di
stasiun mengalami penurunan intensitas yang signifikan pada fase ini.
(a)
(b)
Gambar 7. Citra Enhanced IR (Atas) dan Citra RGB (Bawah) Kasus 8 Juli 2013 Pada (a) Fase Konvektif dan (b) Fase
Stratiform
Fase konvektif untuk kasus kejadian hujan ekstrem tanggal 8 Juli 2013 dimulai lebih lambat dibanding
kasus 19 Agustus 2014, fase konvektif dimulai pada jam 16 UTC ditunjukkan dengan terbentuknya struktur
puncak awan yang jelas dan tebal seperti yang ditunjukkan pada citra RGB (Gambar 7(a)). Struktur tersebut
-952-
Sistem Pembentukan Awan pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam Periode Monsun Australia Menggunakan
Satelit MTSAT-2 (Rifani, A.,dkk.)
meluruh pada jam 20 UTC dengan diikuti penurunan intensitas hujan yang terukur di stasiun. Citra enhanced
IR pada fase ini menunjukkan adanya area dengan suhu puncak awan yang lebih hangat dan luas. Fase
stratiform untuk kasus ini berbeda dengan kasus 19 Agustus 2014 di mana struktur puncak awan yang
terbentuk masih terlihat jelas dibandingkan kasus sebelumnya.
Kasus tanggal 27 Agustus 2012 memiliki kesamaan dengan kasus 19 Agustus 2014 di mana pada fase
stratiform, struktur puncak awan tidak terlihat jelas. Hanya tampak area awan berwarna abu-abu yang luas
(Gambar 8(b)). Analisis citra enhanced IR dan citra RGB memberikan warna abu-abu keunguan pada fase
ini yang berarti terdapat cukup banyak uap air di lapisan atas dan suhu puncak yang rendah tetapi
reflektivitasnya rendah, sehingga terindikasi awan-awan yang terdapat di area tersebut adalah awan-awan
menengah dan tinggi. Fase konvektif pada kasus ini terjadi dalam waktu yang relatif singkat, terlihat dari
warna merah cerah pada citra enhanced IR (Gambar 8(a)) yang hanya muncul pada jam 17 UTC. Pusat
konvektif kasus ini tidak seluas dua kasus sebelumnya, hal ini menyebabkan intensitas hujan yang terukur di
stasiun hanya mencapai 20 mm/jam.
(a)
(b)
Gambar 8. Citra Enhanced IR (Atas) dan Citra RGB (Bawah) Kasus 27 Agustus 2012 Pada (a) Fase Konvektif dan (b)
Fase Stratiform
Peluruhan puncak awan konvektif pada ketiga kejadian ekstrem di atas terkait dengan kecepatan angin
lapisan atas sekitar 200 mb hingga 150 mb. Data NWP satelit menunjukkan pada kasus tanggal 19 Agustus
2014 dan 27 Agustus 2012, kecepatan angin di lapisan atas berkisar antara 35 knot – 50 knot dan persisten
dari pagi hari hingga malam hari. Persebaran puncak awan ke arah barat mengikuti awah angin di lapisan
tersebut yang berasal dari timur. Pada Kasus 8 Juli 2013 kecepatan angin relatif lebih lambat berkisar antara
15 knot – 25 knot, menyebabkan pertumbuhan awan konvektif terjadi lebih lambat. Peluruhan puncak awan
juga terjadi cukup lambat sehingga struktur puncak awan masih dapat terlihat dengan jelas pada fase
stratiform.
4. KESIMPULAN
Kejadian ekstrem untuk musim JJA di daerah Sintang, Kalimantan Barat memberikan kontribusi yang
cukup signifikan terhadap akumulasi hujan bulanan di daerah tersebut. Dengan ambang batas 63,2 mm/hari,
kejadian ekstrem terjadi rata-rata 2 kali dalam sebulan dan akumulasi curah hujan dari kejadian ekstrem ini
memberikan kontribusi hingga 20% dari total curah hujan bulanan.
Citra Satelit MTSAT-2 dapat digunakan unutk meninjau tiga kejadian ekstrem yang menunjukkan
karakter hujan yang disebabkan oleh sistem konvektif pada malam hari sekitar jam 12 UTC hingga jam 17
UTC yang kemudian mengalami perubahan menjadi sistem stratiform pada dini hari hingga menjelang pagi
hari sekitar jam 19 UTC hingga jam 23 UTC. Perubahan ini ditunjukkan dari perubahan suhu puncak awan,
di mana pada fase konvektif suhu puncak awan berada antara -70OC hingga -80OC dan fase stratiform suhu
puncak awan antara -50 OC hingga – 30OC. Identifikasi struktur puncak awan melalui citra enhanced IR
menunjukkan warna merah cerah sebagai suhu awan paling minimum dan citra RGB menunjukkan warna
putih cerah sebagai pusat konvektif dari awan cumulonimbus. Citra RGB dengan warna abu-abu hingga abuabu keunguan menunjukkan awan dengan puncak lebih rendah yang diidentifikasi sebagai awan stratiform.
-953-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih diberikan kepada staff Sub Bidang Pengelolaan Citra Satelit BMKG untuk
penyediaan data citra satelit dalam penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
BMKG. (2010). Keputusan No.009 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan,
dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim. BMKG: Jakarta.
Bodini, A., dan Cossu, Q. (2010). Vulnerability Assessment of Central-East Sardinia (Italy) to Extreme Rainfall Events.
Journal of Natural Hazards and earth System Sciences, 61-72
Bumrungklang, P., Dasananda, S., dan Sukawat, D. (2008). An analysis of seasonal thunderstorm cloud distribution and
its relation to rainfall occurrence in Thailand using remotely-sensed data. Suranaree Journal of Science and
Technology, 17(1):71–86.
Haylock, M., dan Nicholls, N. (2000). Trends in extreme rainfall indices for an updated high quality data set for
Australia, 1910-1998. International Journal of Climatology, 20(13):1533–1541.
Ichikawa, H., dan Yasunari, T. (2006). Time-space characteristics of diurnal rainfall over Borneo and surrounding
oceans as observed by TRMM-PR. Journal of Climate, 19(7):1238–1260.
Nesbitt, S.W., dan Zipser, E.J. (2003). The diurnal cycle of rainfall and convective intensity according to three years of
TRMM measurements.Journal of Climate, 16(10):1456–1475.
Qian, J.H. (2008). Why Precipitation Is Mostly Concentrated over Islands in the Maritime Continent.Journal of the
Atmospheric Sciences, 65(4):1428–1441.
Rosenfeld, D., dan Lensky, I.M. (1998). Satellite-Based Insights into Precipitation Formation Processes in Continental
and Maritime Convective Clouds. Bulletin of the American Meteorological Society, 79(11):2457–2476.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Nama Pemakalah
Diskusi
: Sistem Pembentukan Awan Pada Kejadian Hujan Ekstrem di Wilayah Sintang dalam
Periode Monsun Australia Menggunakan Satelit MTSAT-2
: Achmad Rifani (STMKG)
:
Pertanyaan: Dr. Ety Parwati (Pusfatja LAPAN)
1. Tiga kejadian ekstrem pada bulan JJA yaitu pada 19 Agustus 2014, 8 Juli 2013, dan 28 Agustus 2012
dianalisis menggunakan citra satelit MTSAT untuk mempelajari karakteristik pembentukan awan.
Apakah ada perbedaan yang signifikan kejadian pembentukan awan pada ketiga tanggal tersebut?
Jelaskan kemungkinan penyebabnya.
2. Apakah pernah dilakukan kajian data satelit yang digunakan tidak menggunakan MTSAT, tetapi satelit
lain, misalnya NOAA AVHRR
3. Apa bisa dijelaskan perbedaan kelebihan dan kekurangan dari kedua citra satelit tersebut.
Jawaban:
1. Penelitian ini menggunakan citra satelit MTSAT bertujuan untuk mengidentifikasi sistem konvektif dan
sistem stratiform yang terjadi saat kejadian hujan ekstrem di wilayah Sintang pada bulan JJA yang
merupakan waktu. Ketiga kejadian tersebut lebih menunjukkan kesamaan pada sistem awan yang
terbentuk. Perbedaan terdapat pada waktu perubahan sistem awan konvektif menjadi stratiform dimana
pada kejadian 8 Juli 2013 dan 27 Agustus 2012 perubahan sistem terjadi lebih cepat diakibatkan oleh
angin berkecepatan tinggi di atmosfer lapisan menengah.
2. Untuk kajian di wilayah Indonesia menggunakan AVHRR sepanjang pengetahuan penulis belum ada.
Tetapi yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini menggunakan AVHRR di wilayah Amerika.
3. Perbedaan citra terletak pada resolusi citra yang dihasilkan dan kombinasi kanal yang digunakan untuk
mengidentifikasi sistem awan.
-954-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung
Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016
Study of Atmospheric Conditions on the Puting Beliung Event
Juanda-Surabaya, February 4, 2016
Nanda Alfuadi1*) , dan Cindy Selly S.D.1
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Geofisika
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Pada hari Kamis, 4 Februari 2016 di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas I Juanda dilaporkan telah
terjadi angin kencang yang menyebabkan kerusakan kantor observasi stasiun berupa terlepasnya pintu belakang dan
robohnya atap kantor observasi, atap sangkar psikrometer terlepas dari tempatnya, tiang bendera patah, rusaknya pagar
taman alat pengamatan cuaca, rusaknya atap tempat parkir kendaraan pegawai stasiun. Karena dampak dari puting
beliung yang cukup bahaya ini, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tutupan awan yang mengasilkan puting
beliung di Juanda pada saat itu. Berdasar laporan pengamat cuaca BMKG di Juanda, angin kencang dilaporkan terjadi
pada sekitar pukul 09.20 UTC yang diawali dengan keberadaan dari awan Comulonimbus dan Altrostratus yang sangat
tebal dengan tinggi dasar awan yang begitu rendah dan sempat terpantau adanya pusaran angin mirip puting beliung di
atas taxiway sesaat sebelum angin kencang terjadi. Data satelit Himawari 8 kanal visibel menunjukkan bahwa terdapat
overshooting top pada pengamatan jam 09.16 yang artinya puncak awan di sekitar lokasi melebihi batas tropopause.
Teramati cloud top BT di sekitar lokasi saat kejadian > -80o C yang secara timeserires puting beliung terjadi ketika BT
sedang menurun, nilai SP1 < 2o C dan BTD(IR1-WV) < 3o C yang menunjukkan bahwa awan yang ada di lokasi
kejadian saat itu adalah CB. Berdasarkan pantauan data radar, lokasi kejadian bukan merupakan lokasi dimana nilai
reflektifitas radar tertinggi berada dan bukan merupakan pusat comma echo. Justru lokasi tersebut adalah lokasi margin
reflektifitas >50 dBz. Pola angin hasil pantauan radar cuaca menunjukkan adanya konvergensi massa udara dan tidak
menunjukkan pola siklonal yang khas dari puting beliung. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa fenomena puting
beliung yang terjadi di Juanda kemungkinan besar disebabkan oleh proses mekanis lapisan bawah yang mengakibatkan
terbentuknya pola sirkulasi sesaat. Dan ini terbukti bahwa spout yang terbentuk memiliki diameter yang kecil, tidak
mencapai permukaan tanah dan durasi waktunya kurang dari 1 menit. Awan CB yang menyebabkan puting beliung di
Juanda masih dalam fase tumbuh yang bersifat eksplosif dan terbentuk sangat cepat.
Kata kunci: Puting Beliung, Surabaya, Radar, Satelit
ABSTRACT - On Thursday, 4 February 2016 at the Flight Meteorological Station Class I Juanda was reported to have
occurred a strong winds that caused damage to the office of observation stations.A door there broken and roof of the
observation unit office collapsed, roof of the psychrometers cage slip out of place, the flag pole broken, damaged
weather observation tools garden, damage to the roof of the station employee parking lot. Due to thisgreat impact of
puting beliung, this paper aims to determine the condition of cloud cover that producedputing beliungin Juanda at that
time. Based on the BMKG weather observer’s report in Juanda, strong winds occurred at about 09.20 UTC preceded
by the presence of clouds Comulonimbus and very thick Altrostratus with lower cloud base and observed the whirlwindlike waterspout over the taxiway shortly before strong winds occur. Identification of condition when puting beliung
occured in Juanda by using Himawari-8 and radar data. Visible channels data show that there are overshooting top
indication at 09.16 hours of observation, which means the cloud tops around the location of the tropopause exceeds the
limit. Observed cloud top BT around the current location of the incident> -80o C which are timeserires waterspout
occurs when BT is on decline stage, the value of SP1 <2° C and SP3<3 ° C showed that the clouds are on the incident
location at that time is CB. Based on the observation radar data, the incident location is not the highest value of radar
reflectivity and is not a center comma echo. It is precisely these locations are locations margin of reflectivity> 50 DBZ.
Wind patterns weather radar observation show precense of air masses convergence and shows no siklonal pattern
typical of the tornado. In this study concluded that the phenomenon of the tornado that occurred in Juanda most likely
caused by a mechanical process the bottom layer resulting in the instantaneous circulation patterns. And this proved
that the spout is formed to have a small diameter, do not reach ground level and the duration time is less than 1 minute.
CB cloud that caused the tornado in Juanda is still in a growth phase that is both explosive and formed very quickly.
Keywords: Puting Beliung, Surabaya, Radar, Satellite
-955-
Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 (Alfuadi dkk)
1.
PENDAHULUAN
Pada hari Kamis, 4 Februari 2016 di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas I Juanda dilaporkan telah
terjadi angin kencang yang menyebabkan kerusakan kantor observasi stasiun berupa terlepasnya pintu
belakang dan robohnya atap kantor observasi, atap sangkar psikrometer terlepas dari tempatnya, tiang
bendera patah, rusaknya pagar taman alat pengamatan cuaca, rusaknya atap tempat parkir kendaraan pegawai
stasiun. Karena dampak dari puting beliung yang cukup bahaya ini, tulisan ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi tutupan awan yang mengasilkan puting beliung di Juanda pada saat itu. Berdasar laporan pengamat
cuaca BMKG di Juanda, angin kencang dilaporkan terjadi pada sekitar pukul 09.20 UTC yang diawali
dengan keberadaan dari awan Comulonimbus dan Altrostratus yang sangat tebal dengan tinggi dasar awan
yang begitu rendah dan sempat terpantau adanya pusaran angin mirip puting beliung di atas taxiway sesaat
sebelum angin kencang terjadi.
Kejadian puting beliung di Juanda ini merupakan kejadian puting beliung yang pertama kali terjadi
dengan lokasi kejadian tepat di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas I Juanda, sehingga data yang
dihasilkan pada saat kejadian puting beliung akan jauh lebih representatif dibandingkan pada beberapa
kejadian puting beliung di Jawa Timur yang telah terjadi. Selain itu, dekatnya lokasi kejadian puting beliung
dengan bandara/runway, berpotensi dapat mengganggu keselamatan penerbangan. Hal ini karena kecepatan
angin yang tinggi dengan arah variabel seperti pada puting beliung tersebut dapat membuat pesawat
kehilangan kesetimbangan ketika take off dan landing. Hal inilah yang membuat penelitian ini perlu untuk
dilakukan untuk mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya puting beliung di Juanda dan kondisi atmosfer
pada saat itu, meskipun secara teori masih sulit untuk mengidentifikasi mekanisme pembentukan puting
beliung di Indonesia (Tjasyono, 2007). Sehingga Prof. Bayong Tjacyono menyatakan bahwa mekanisme
puting beliung dianggap sama seperti tornado yang biasa terjadi di lintang tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi atmosfer pada saat terjadi puting beliung pada
4 februari 2016 di Juanda meliputi kondisi angin dan tutupan awan berdasarkan data radar dan satelit.
2.
METODE
Penelitian ini dilakukan di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas 1 Juanda dan sekitarnya yang
merupakan lokasi kejadian puting beliung 4 Februari 2016 jam 09.20 UTC yang ditunjukkan pada gambar
berikut.
Lokasi Kejadian
Gambar 1. Lokasi kejadian puting beliung Juanda, 4 Februari 2016
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satelit Himawari 8 (kanal IR, I2 dan WV) dan
data radar cuaca doppler BMKG Juanda Surabaya. Data satelit diolah dengan menggunakan program
SATAID versi 2.92 dan data radar diolah dengan menggunakan software EDGE. Data radar cuaca doppler
dan satelit cuaca ini digunakan dalam identifikasi pola awan dengan melihat distribusi nilai reflektifitas, pola
-956-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
angin berdasarkan profil radial velocity dan HWIND pada lapisan bawah, suhu puncak awan dengan
menggunakan data IR1 dan keberadaan awan Cumulonimbus (CB) berdasarkan syarat batas yang
dirumuskan oleh Masami Tokuno bahwa CB dinyatakan ada jika BTD (IR1-IR2)<2 dan BTD (IR1-WV)<3.
Beberapa komponen tersebut penting dalam anlisa kejadian puting beliung karena secara teori puting beliung
yang diidentikkan dengan tornado skala kecil berasal dari awan konvektif kuat jenis cumuliform yang
merupakan akibat dari proses konveksi udara lembab (Meted, 2012). Tornado yang hebat membutuhkan
updraft yang kuat dengan shear angin lapisan bawah yang kuat. Kondisi ini biasanya ditemui pada daerah
dengan gradien suhu dan kelembaban yang besar. Tornado lemah biasa terbentuk di lapisan bawah troposfer
dan lebih sering terjadi di wilayah tropis.
Sedangkan fase pertumbuhan awan CB ini terbagi menjadi 3 fase yaitu fase kumulus, matang, dan
punah. Fase matang merupakan fase dimana konveksi berada pada kondisi paling intensif/kuat dengan
updraft yang sangat bahkan hingga menyebabkan puncak awan CB menembus tropopause yang ditandai
dengan nilai suhu puncak awan yang mendekati suhu tropopause. Presipitasi dan tetes awan yang lebat
selama fase matang dapat terdeteksi oleh radar dengan indikator adanya reflektifitas yang tinggi di atas 50
dBZ di troposfer lapisan menengah.
Puting beliung biasa terjadi ketika awan CB atau kumulus kongestus sesaat sebelum mencapai fase
matang dan pada waktu sore atau menjelang malam hari. Hal ini karena pada waktu tersebut awan dari
proses konveksi paling intensif terbentuk. Berdasarkan waktu dan lokasi kejadian puting beliung di Juanda
kemungkinan besar mekanisme puting tersebut mirip dengan mekanisme non-supercell tornadoes. Pada
mekanisme tersebut, pusaran angin pembentuk kolom pusaran terbentuk akibat adanya zona kovergensi di
bawah pertumbuhan awan CB yang dalam fase cumulus/tumbuh. Perbendaan arah angin horizontal lapisan
bawah ini membentuk pola pusaran udara pada udara yang naik menuju dasar awan.
2.1 Diagram Alir Penelitian
Mulai
Penentuan Lokasi
dan Waktu Kajian
Pengumpulan data
Data Radar
Cuaca Doppler
Data Satelit
Himawari 8
Kanal
IR1
Identifikasi suhu
puncak awan
BTD
IR1-IR2
BTD
IR1-WV
Identifikasi
awan CB
CMAX dan
CAPPI Z
CAPPI V
dan HWIND
Identifikasi
pola awan
Identifikasi
pola angin
Analisa
Kesimpulan
Selesai
-957-
Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 (Alfuadi dkk)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Radar
Berdasarkan data radar cuaca doppler Juanda diketahui bahwa nilai reflektifitas > 50 dBZ mulai
terbentuk pada jam 09.00 UTC dengan pola yang mirip seperti squallline namun dengan panjang tidak lebih
dari 100 km. Profil reflektifitas maksimum kolom (CMAX) di sekitar lokasi radar pada 4 Februari 2016
adalah sebagai berikut.
Gambar 2. CMAX jam 09.00 UTC
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. a. CMAX jam 9.10 UTC
b. CMAX jam 9.20 UTC
c. CMAX jam 9.30 UTC
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa pada jam 09.00 UTC sudah terlihat adanya pola gugusan awan
dengan nilai reflektifitas > 50 dBZ yang mengindikasikan adanya awan konvektif pada wilayah tersebut.
Pada Gambar 3.a terlihat bahwa nilai reflektifitas di lokasi sekitar radar mengalami penurunan intensitas
secara drastis namun polanya masih bertahan. Pada jam 09.20 UTC nilai reflektifitas mengalami peningkatan
intensitas dan membentuk pola seperti mata pancing atau biasa disebut sebagai “comma echo”. Berdasarkan
laporan pengamat cuaca di Stasiun Meteorologi Penerbangan Klas 1 Juanda, puting beliung teramati pada
09.14 UTC sehingga kondisi data yang diasumsikan sebagai data yang paling representatif dalam
menganalisa kejadian puting beliung ini adalah data jam 09.10 dan 09.20 UTC. Jika diperhatikan kedua data
tersebut, perubahan nilai intensitas dalam waktu tidak lebih dari 10 menit menandakan bahwa pada saat
kejadian puting beliung Juanda awan yang ada pada lokasi kejadian merupakan awan konvektif kuat dalam
fase tumbuh. Pola comma echo yang terbentuk merupakan akibat dari pola siklonal angin yang membuat
awan membentuk pola melengkung. Ujung pola lengkungan echo merupakan area dimana kolom pusaran
udara puting beliung yang terbentuk.
-958-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 4. Crossection CMAX 3D reflektifitas jam 09.20 UTC
Berdasarkan Gambar 4, posisi pusaran angin puting beliung ini berdasarkan koordinat Stasiun
Meteorologi Penerbangan Klas 1 Juanda dan profil crossection vertikal reflektifitas radar ternyata tidak
berada pada pusat pola comma echo atau di daerah reflektifitas tertinggi namun justru di tepi dari pola
tersebut (lingkaran hitam pada Gambar 4). Ini menunjukkan bahwa terdapat shear angin lapisan di bawah
awan yang cukup besar sehingga membuat corong angin tidak tegak lurus ke bawah. Besarnya dorongan
angin secara horizontal ini ditandai juga dengan adanya cekungan pada citra CMAX pada Gambar 4
(lingkaran putih) yang menunjukkan bahwa adanya dorongan angin yang kuat di cekungan tersebut atau di
dua sisi yang mengapitnya. Ini menunjukkan bahwa puting beliung yang terbentuk merupakan akibat dari
shear horizontal yang kuat pada zona konvengensi angin.
Konvergensi lapisan bawah ini dapat diidentifikasi dengan produk radial velocity sebagai berikut.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. a. CAPPI 500 m radial velocity jam 09.00 UTC
b. CAPPI 500 m radial velocity jam 09.10 UTC
c. CAPPI 500 m radial velocity jam 09.20 UTC
Berdasarkan Gambar 5, pada jam 09.00 UTC belum terlihat adanya pola khusus dan kecepatan radial
angin relatif terhadap radar masih rendah. Pada jam 09.10 UTC mulai terlihat ada konvergensi angin dengan
luasan yang masih sangat kecil di utara lokasi radar dimana lokasi tersebut cukup dekat lokasi terjadinya
puting beliung. Konvergensi semakin menguat pada jam 09.20 UTC yang artinya shear horizontal angin
pada lapisan 500 m, yang biasanya merupakan tinggi dasar awan, juga semakin kuat.
3.2 Satelit
Suhu puncak awan ketika terjadi puting beliung di Juanda dapat dilihat pada citra satelit kanal IR1
berikut ini.
-959-
Kajian Kondisi Atmosfer pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari 2016 (Alfuadi dkk)
08.30
08.50
09.00
09.10
09.20
09.40
Gambar 6. Citra Satelit kanal IR1
Berdasarkan Gambar 6, terlihat bahwa sebelum jam 09.10 UTC tidak terlihat adanya sel awan yang
terbentuk di sekitar Juanda. Jam 9.10 UTC terdapat sel awan dengan suhu antara -40o hingga -60o C. Setelah
itu sel awan tumbuh semakin intensif yang ditandai dengan turunnya suhu puncak awan menjadi sekitar -81o
C. Berdasarkan data suhu lapisan tropopause pada data radiosonde 4 Februari 2016 jam 00 yang mencapai 83,1o C menunjukkan puncak awan pada saat itu hampir atau bahkan sudah mencapai
tropopause(overshooting top). Dan jika dilihat dari ukuran sel awan dan gradien suhu puncak awannya, awan
tersebut merupakan awan konvektif/cumuliform. Awan konvektif yang memiliki puncak mencapai
tropopause hanyalah awan CB, sehingga terdapat indikasi bahwa sel awan yang terdapat di lokasi kejadian
puting beliung Juanda merupakan awan CB. Setelah jam 09.20 UTC, sel awan mulai menyebar secara
eksplosif yang artinya telah terjadi pelepasan energi yang besar dari dalam awan itu yang kemungkinan besar
berupa puting beliung tersebut.
Bukti keberadaan awan CB dapat diketahui dengan metode split window (BTD)yang memiliki hasil
olahan sebagai berikut ini.
(a)
(b)
Gambar 7. a. Sebaran awan CB jam 09.00 UTC
b. Sebaran awan CB jam 09.10 UTC
c. Sebaran awan CB jam 09.20 UTC
-960-
(c)
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar7 menunjukkan bahwa awan CB (warna merah) mulai terbentuk pada jam 9.10 UTC dan
menguat pada jam 9.20 UTC. Sehingga benar bahwa awan yang ada pada kejadian puting beliung Juanda
adalah awan CB.
4.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini disimpulkan bahwa fenomena puting beliung yang terjadi di Juanda kemungkinan
besar disebabkan oleh proses mekanis lapisan bawah berupa shear horizontal yang kuat akibat adanya zona
konvergensi angin darat-laut yang mengakibatkan terbentuknya pola sirkulasi sesaat. Dan ini terbukti bahwa
spout yang terbentuk memiliki diameter yang kecil, tidak mencapai permukaan tanah dan durasi waktunya
kurang dari 1 menit. Awan CB yang menyebabkan puting beliung di Juanda masih dalam fase tumbuh yang
bersifat eksplosif dan terbentuk sangat cepat.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Bapak Agie Wandala P., M.Sc. dan Bapak Paulus Agus W., Ph.D. Yang telah
membimbing dalam penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Markowski, Paul, dan Yvette, R., (2014). What we know and don’t know about tornado formation,
(http://scitation.aip.org/content/aip/magazine/physicstoday/article/67/9/10.1063/PT.3.2514, diakses 15 Juni 2016)
Setiawan, S.R., (2012). Analisa Indeks Labilitas Udara Pada Kejadian Thunderstorm
yang Mengakibatkan Angin
Puting Beliung di Makassar. Tugas Akhir.
Jurusan Meteorologi AMG, Jakarta.
Tjasyono, H.K., Bayong, Harijono, dan Sri, W.B., (2006). Meteorologi Indonesia 2. Jakarta : Badan Meteorologi dan
Geofisika.
Duda, J.D., dan Gallus, Jr.W.A., (2010). Spring and Summer Midwestern SevereWeather Reports in Supercells
Compared to Other Morphologies. Weather and Forecasting, 25:190-206
Cloud Formation (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/print_2.htm, diakses 8 Maret 2015).
Fadholi, A., (2013). Pengolahan Data Citra Satelit MTSAT Menggunakan Aplikasi DATAID. Jurnal Informatika &
Komputasi STMIK – Indonesia, Vol. 7 (1), April 2013 ISSN 1412-0232
Mason, B.J. (1971). The Physics of Cloud.London: Oxford University Press.
Petterssen, S., (1956). Weather Analysis and Forecasting 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Book Company.
Pruppacher, Hans, R., James, D.K., (1980). Microphysic of Clouds and Precipitation. London: D. Riedel Publishing
Company.
Unstable Atmosphere (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/print_4.htm, diakses 8 Maret 2015).
Tjasyono, dan Bayong, H.K., (2004). Meteorologi Terapan, ITB, Bandung
Wallace, John, M., dan Peter, V.H., (2005). Atmospheric Science An Introductory Survey Second Edition, Academic
Press is an imprint of Elsevier.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Dr. Indah Prasasti
: Kajian Kondisi Atmosfer Pada Kejadian Puting Beliung Juanda-Surabaya, 4 Februari
2016
: Nanda Alfuadi (STMKG)
:
Pertanyaan : Novita Ambarsari (LAPAN)
Sudah adakah penelitian terkait seberapa lamakah puting beliung dapat diperkirakan sehingga mampu
dianalisis beberapa saat sebelumnya sehingga dapat mencegah terjadinya bencana puting beliung?
Jawaban :
Untuk saat ini penulis masih berstatus mahasiswa dan masih belajar sehingga belum pernah terjun langsung
pada bagian peringatan dini BMKG. Untuk sementara berdasarkan yang penulis pelajari mengenai potensi
puting beliung, dengan identifikasi data radar, mampu diprediksi 6 jam sebelum terjadinya puting beliung.
-961-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Putting Beliung
(Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat)
Analisys of Atmospheric Conditions for PutingBeliung Precursors
(Case StudyKediri – Lombok Barat on 26th February, 2013)
Annisa Fauziah1*), dan Bastian Andarino2
1
Stasiun Meteorologi Sultan Thaha Jambi
2
Stasiun Klimatologi Jambi
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK–Puting beliung merupakan fenomena cuaca yang sering terjadi di wilayah Indonesia, khususnya pada saat
periode transisi musim, yang pada umumnya terjadi di wilayah dengan topografi yang luas dan lapang. Salah satu
kejadian puting beliung yaitu pada tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat, dimana puluhan rumah
penduduk hancur diterjang oleh puting beliung yang terjadi sekitar pukul 15.00 WITAdan berlangsung hanya dalam
waktu 5 menit. Melihat kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh puting beliungyang berdampak besar terhadap kerugian
materiil dan dalam waktu yang sangat singkat, sangat penting untuk mengetahui informasi prekursor fenomena puting
beliung tersebut dalam rangka untuk antisipasi dampak yang dapat diakibatkan. Kajian mengenai prekursor puting
beliung dilakukan dengan menganalisis kondisi atmosfer pada saat sebelum dan saat kejadian puting beliung dengan
menggunakan data satelit MTSAT yang diolah dengan aplikasi SATAID untuk pendekatan parameter cuaca di lokasi
kejadian serta data pengamatan udara permukaan (sinoptik) dari Stasiun Klimatologi Kediri. Hasil analisis
menunjukkan bahwa pada saat sebelum kejadian puting beliung, kondisi atmosfer berupa indeks ketidakstabilan udara
serta nilai CAPE di lokasi kejadian sangat tinggi yang didukung dengan adanya pusat tekanan rendah di sekitar wilayah
tersebut.
Kata kunci:citra satelit, CAPE, puting beliung
ABSTRACT –Puting beliung is one of the weather phenomena that usually occurrs in Indonesia, especially at a
transition period of season, generally occurrs at a region with a wide and flat topography. One of the puting beliung
phenomena occurred in Kediri – Lombok Barat in February 23th, 2013 at 15.00 PM and occurred just in 5 minutes.
Seeing the damage that can be caused by puting beliung with a large impact on the loss of material in a very short time,
it is very important to find out the precursors of puting beliung in order to anticipate the impact that can be caused. The
study of the precursors carried out by analyzing the atmospheric conditions at the time before and during the
incidentusing MTSAT satellite data that is processed by SATAID application for weather parameter approach at the
scene and surface air observational data (synoptic) of Climatological Station Kediri. The analysis showed that in the
moments before the incident, atmospheric conditions such as air instability index and the value of CAPE in the scene
was very high that was supported by the low pressure center in the surrounding area.
Keywords: satellite imagery, CAPE, puting beliung
1.
PENDAHULUAN
Puting beliung sering terjadi di wilayah Indonesia, terutama pada masa transisi, dan pada daerah yang
memiliki topografi berupa dataran yang landai dan luas. Pemanasan yang kuat yang diterima oleh wilayah
tersebut akan menyebabkan udara terangkat sehingga terjadi kekosongan udara yang akan segera diisi oleh
udara yang berada disekitarnya, yang dapat menyebabkan timbulnya fenomena puting beliung(Zakir,2009).
Pada tanggal 26 Februari 2013 lalu, puluhan rumah warga desa Kediri, Lombok Barat, porak poranda
diterjang angin puting beliung pada Selasa (26/2/13) sore, sekitar pukul 15.00 WITA. Dari hasil pendataan
tim Tagana NTB, tercatat 87 lebih rumah penduduk Dusun Karang Bedil mengalami rusak parah, lima warga
korban akibat ditimpa reruntuhan bangunan mengalami luka-luka, satu balita mengalami luka yang cukup
parah (mataramnews.com). Saksi mata dari petugas pengamat di kantor Stasiun Klimatologi Kediri
menyatakan bahwa angin yang sangat kecang dan berputar tersebut membuat padamnya arus listrik,
menghancurkan bangunan, menumbangkan pepohonan, serta meruntuhkan tembok pagar kantor Stasiun
Klimatologi Kediri Lombok Barat. Pada makalah ini, penulis bermaksud untuk mengkaji keadaan atmosfer
pada sebelum hingga sesaat kejadian guna mengetahui indikator awal kondisi atmosfer sebelum terjadinya
-962-
Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat)
(Fauziah, A., dkk.)
puting beliung dengan menganalisis output produk SATAID. Japan Meteorology Agency (JMA)
mengembangkan sebuah aplikasi yang diberi nama SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis).
Aplikasi tersebut berfungsi mengambil data parameter meteorologi pada citra satelit untuk menganalisis
kondisi atmosfer. Dengan menggunakan SATAID, pengguna dapat menampilkan dan melakukan overlay
antara citra satelit dan data NWP (Harsa, dkk. 2011).
1.1
Proses Terbentuknya Puting Beliung
Puting beliung di Indonesia adalah tornado skala kecil (F0-F1) pada skala Fujita, yang memiliki daya
rusak rendah dibanding di wilayah lintang tinggi dimana memiliki daya rusak terparah hingga skala F5.
Puting beliung umumnya terjadi pada periode transisimusim dan musim hujan dengan waktu kejadian antara
siang dan malam hari. Kondisi ini dikarenakan sinar matahari sebagai bahan bakar utamanya, secara
maksimal diperoleh pada periode (frekuensi bulanan yang berkaitan dengan musim) dan waktu (frekuensi
harian) tersebut (Zakir,2009).
Adanya pemanasan yang kuat udara dapat terangkat dengan kuat dan cepat. Bila pemanasan yang
demikian terjadi disuatu tempat, ditempat itu seolah-olah terjadi kekosongan udara yang dengan cepat pula
diisi oleh udara sekitarnya sehingga daerah tersebut menjadi daerah pumpunan angin dan pengumpulan
udara. Bila pemanasan kuat terdapat di bawah awan Cb (Cumulonimbus) pada tahap tumbuh (Cumulus
Stage) didalamnya terdapat gerak udara vertical yang kuat, dan dibawah awan yang udaranya sangat lembab
dapat timbul pilin udara atau angin yang berputar.
Terbentuknya Cumulonimbus diawali dengan timbulnya Cumulus yang dalam garis besarnya dibagi
menjadi tiga tahap, yakni tahap awal atau tahap muda atau disebut pula tahap kumulus, tahap kedua atau
yang disebut sebagai tahap dewasa, dan tahap ketiga tahap meluruh. Pada setiap tahap awan mempunyai ciri
tertentu, antara lain : pada tahap kumulus di dalam awan terdapat gerak udara keatas yang dapat mencapai
kecepatan vertikal ke atas (updraft) sekitar 1 km/menit atau sekitar 60 km/jam. Jika kondisi sekitar
memungkinkan dapat terjadi puting beliung. Puting beliung yang kuat berdiameter sekitar 200 meter, puting
beliung biasanya tidak disertai hujan sampai ditanah, namun terkadang terjadi hujan lebat ditempat sesudah
dilewati puting beliung. (Soerjadi,2010).
Gambar 1. Putaran puting beliung
1.2
Convective Available Potential Energy (CAPE)
CAPE digunakan untuk menandai tingkat kemungkinan terjadinya storm, mengandung pengertian bahwa
apabila dalam udara yang tidak stabil suatu massa parsel terangkat ke atas, gerakannya dipercepat oleh
perubahan beda tekanan udara parsel dan tekanan udara luar pada setiap paras. Makin besar perbedaan
tekanan tersebut makin besar gerak ke atas sehingga potensi awan golakan makin besar. CAPE dinyatakan
dalam Joule per kilogram (J/kg).
-963-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2. Profil CAPE dari plottingdata udara atas
Salah satu alasan mengapa CAPE adalah suatu parameter yang berguna untuk memprediksikan suatu
kondisi cuaca adalah CAPE secara langsung berhubungan dengan kecepatan maksimum potensi updraft, atau
Wmax (m/s). Persamaan dibawah ini berasal dari penyederhanaan persamaan momentum vertikaldengan
mengabaikan percampuran, pembebannya air dan dan efek tekanan.
…………………………………………………(1)
2.
METODE
Penelitian ini di lakukan di Desa Kediri Lombok Barat, yang terletak pada posisi 8.65 LS dan 115.85 BT.
Gambar 3. Lokasi penelitian
Data yang digunakan penulis adalah:
1. Data Z dari satelit MTSAT untuk menganalisis kondisi awan.
2. Data Pengamatan Cuaca (Synoptik) dari Stasiun Klimatologi Kediri pada tanggal 25 hingga 27
februari 2013
Metode yang digunakan untuk mengkaji puting beliung ini adalah dengan metode analisis diantaranya
dengan menganalisis isobar dan streamline. Penulis menggunakan peta isobar dan streamline milik BoM
(Berau of Meteorology) untuk menganalisis kondisi cuaca skala regional yang berpengaruh pada tanggal 26
Februari 2013. Menganalisis output citra satelit dalam hal ini penulis menggunakan data satelit MTSAT
format .Z yang didalamnya berisi data NWP (numerical weather prediction) yang kemudian ditampilkan
menggunakan aplikasi SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis). Citra satelit menyediakan
gambaran indikator proses-proses dinamis dan fisis, yang memberi petunjuk akan struktur dan evolusi
fenomena meteorologi kondisi labilitas udara, angin lapisan atas serta kondisi perawanan. Penulis
menggunakan kanal IR untuk menganalisis kondisi atmosfer pada sehari sebelum, saat kejadian, dan sehari
-964-
Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat)
(Fauziah, A., dkk.)
sesudah kejadian. Adapun output yang dipergunakan yakni data CAPE, updraft, data suhu puncak awan,
serta profil udara lapisan atas dengan menggunakan aplikasi SATAID dari satelit MTSAT.
3.
HASILDAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisa tekanan udara pada tanggal 26 Februari 2013 menunjukan terdapat Siklon
Tropis “Rusty” (957 hPa) di Perairan Barat Laut Australia serta pusat tekanan rendah (996 hPa) di Samudera
Hindia Barat Daya Sumatera, dari kedua tekanan rendah tersebut terbentuklah palung tekanan rendah yang
berdampak bagi tekanan udara di wilayah Indonesia selatan ekuator.
Hasil analisis angin gradien tanggal 26 Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pertemuan angin/ dua
massa udara dari belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan, angin bertiup dari arah Barat di sepanjang
wilayah Indonesia selatan ekuator. Massa udara bergerak menuju Pusat Tekanan Rendah sehingga NTB
menjadi wilayah konvergensi akibat adanya Siklon Tropis “Rusty”. Ini menyebabkan aktifnya pertumbuhan
awan-awan konvektif (Cumulonimbus) di sepanjang wilayah NTB.
Gambar 4. Analisa (a) isobar dan (b) streamline
Berdasarkan citra kanal IR MTSAT pada pukul 05.00UTC sampai 08.00UTC terlihat pumpunan awan
dari arah barat mulai masuk ke wilayah Lombok bagian barat pada pukul 06.00UTC hingga 08.00UTC.
-965-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 5. Citra satelit kanal IR (a) jam 06z, (b) jam 07z, (c) jam 08z, dan (d) jam09z
Berdasarkan grafik time seriessuhu puncak awan di wilayah Kediri, Lombok Barat, terlihat pola
pertumbuhan awan mulai terbentuk pada pukul 00.00UTC atau jam 08.00 WITA., kemudian suhu awan
mulai menurun hingga -9ºC pada pukul 09.00WITA. Penurunan suhu puncak awan terlihat sangat drastis
pada pukul 14.00WITA dari 10ºC hingga mencapai -50ºC pada pukul 16.00 WITA. Pada awan konvektif
dengan suhu puncak tersebut berpotensi menghasilkan badai guntur (thunderstorm), angin kencang dan
hujan lebat.
Gambar 6. Grafik time series suhu puncak awan
Dari hasil analisa stabilitas atmosfer dari data NWP JMA terlihat pada tanggal 26 Februari 2013 nilai
CAPE yang semakin meningkat pada pukul 13.00WITA hingga pukul 15.00 WITA dimana nilai CAPE
mencapai 1040 Joule/Kg, hal ini menandakan terjadinya konvektif sedang. Satu hari sebelum terjadinya
puting beliung di lokasi yang sama energy potensial pada awan konvektiv (Cb) juga mencapai angka
>1000Joule/Kg., namun pada hari sesudah kejadian angin kencang/puting beliung nilai CAPE kurang dari
1000 Joule/Kg.
-966-
Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat)
(Fauziah, A., dkk.)
Grafik CAPE
1200
1100
CAPE (J/kg)
1000
900
800
25-Feb
700
26-Feb
600
27-Feb
500
400
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12
Jam (UTC)
Gambar 7. Grafik nilai CAPE per-jam
Dari nilai Convective Aviliable Potential Energy dapat diperoleh nilai kecepatan maksimum potensi
updraft (Wmax). Berikut ini adalah tabel hasil perhitungan Wmax:
Tabel 1. Perhitungan Wmax
Jam
(UTC)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Wmax (m/s)
25-Feb
26-Feb
27-Feb
41
38
29
41
39
29
42
41
32
43
42
34
44
43
38
44
45
38
46
46
41
44
46
41
44
45
41
44
45
42
43
45
40
42
45
40
43
45
39
Dari hasil analisa grafik tersebut diatas, pada satu hari sebelum kejadian puting beliung yakni 25 Februari
2013 nilai kecepatan maximum potensi updraft menunjukkan pola yang hampir sama dengan tanggal 26
Februari 2013. Pada tanggal 26 Februari 2013 nilai Wmax mencapai 46 m/s pada pukul 14.00WITA hingga
15.00WITA. Hal tersebut mengindikasikan kuatnya potensi updraft pada saat kejadian, yang dapat memicu
terjadinya angin kencang/puting beliung.
-967-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Grafik Kecepatan Maximum Potensi
Updraft
50
Wmax (m/s)
45
40
25-Feb
35
26-Feb
30
27-Feb
25
0
1
2
3
4
5 6 7 8
Jam (UTC)
9 10 11 12
Gambar 8. Grafik kecepatan maksimum potensi updraft
Berdasarkan analisis profil angin vertikal terlihat adanya perbedaan kecepatan angin dilapisan bawah dan
atas, pada lapisan angin 1000 mb sebesar 10 knots sedangkan angin lapisan atas mencapai 35 knots, hal ini
mengindikasikan adanya vertikal shear yang dapat menimbulkan kondisi udara yang bersifat labil,yang
berpotensi menghasilkan awan konvektif Cumulonimbus. Kondisi ini terlihat sejak pukul 04.46 UTC atau
pukul 12.46 WITA.
Gambar 9. Profil angin vertikal
Pada data pengamatan permukaan (sinoptik) tanggal 26 Februari 2013, dapat dilihat bahwa pada saat
kejadian puting beliung parameter – parameter seperti kecepatan angin, keadaan cuaca, tekanan permukaan
dan tekanan permukaan laut, suhu dan kelambaban serta perawanan berubah dengan cepat dibandingkan
dengan saat kejadian. Arah angin cenderung tetap bertiup dari barat hingga barat daya dengan kecepatan
bervariasi. Kecepatan angin meningkat sejak pukul 11 WITA dan mencapai puncak pada jam 15WITA
sebesar 45 knot, namun kemudian turun kembali dengan tajam hingga mencapai 6 knot pada jam setelahnya.
Keadaan cuaca cerah sejak pukul 08WITA dan turun hujan pada pukul 15WITA namun berhenti pada
jam setelahnya. Kelembaban udara turun seiring meningkatnya suhu hingga pada pukul 13WITA meningkat
menjadi 72% dan meningkat dengan tajam pada pukul 15WITA menjadi 93%, namun setelah itu turun
kembali pada jam selanjutnya. Keadaan perawanan didominasi oleh awan Cu sejak pukul 08WITA dan pada
pukul 15WITA terbentuk awan Cb dan menghilang pada jam berikutnya.
-968-
Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat)
(Fauziah, A., dkk.)
Tabel 2. Tabel pengamatan cuaca permukaan (sinoptik)
Jam (UTC)
Parameter
ddd
ff
ww
QFF
QFE
appp
TT
RH
cloud
00
300
8
mist
1008.5
1002.5
01
280
6
mist
1008.7
1002.7
02
290
8
haze
1008.4
1002.4
28.2
81
cu/sc
29
77
cu/sc
30
73
cu/sc
03
300
14
haze
1008.4
1002.4
-0.1
30.8
69
cu
04
300
10
haze
1008.2
1002.2
05
270
12
haze
1008.3
1002.3
30.8
69
cu
31
72
cu
06
290
16
haze
1006.1
1000.1
-2.3
31.4
74
cu
07
270
45
RA
1005.6
999.6
08
270
6
re RA
1006
1000
26.2
93
cb/cu
27.8
82
cu/sc
09
290
6
haze
1006
1000
-0.1
28.2
79
cu/sc
10
270
4
haze
1007
1001
27.6
85
cu
Berikut ini adalah beberapa parameter cuaca permukaan dari hasil observasi yang terlihat signifikan pada
hari sebelum sesaat dan sesudah terjadinya puting beliung yang disajikan dalam bentuk grafik.
Grafik Suhu Udara Permukaan
33
Suhu Udara (C)
32
31
30
29
25-Feb
28
26-Feb
27
27-Feb
26
25
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jam (WITA)
Gambar 10. Grafik suhu udara permukaan
Suhu udara sejak pukul 08.00 WITA sudah menunjukkan angka yang tinggi sebesar 28.20 C
menunjukkan pemanasan yang tinggi dan terus meningkat hinggat mencapai suhu tertinggi pada pukul 14.00
WITA sebesar 31.40 C dan menurun dengan tajam pada pukul 15WITA menjadi 26.20 C lalu setelah itu naik
kembali pada kisaran 280 C pada jam berikutnya.
QFE (mb)
Grafik Tekanan Udara Permukaan
1003,5
1003
1002,5
1002
1001,5
1001
1000,5
1000
999,5
999
25-Feb
26-Feb
27-Feb
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jam (WITA)
Gambar 11. Grafik tekanan udara permukaan
-969-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tekanan udara cenderung stabil pada kisaran 1.002 mb dan mulai menurun pada pukul 11.00 WITA
hingga turun dengan drastis pada pukul 15.00 WITA hingga 999 mb yang menujukkan adanya pusat tekanan
rendah yang menjadi tempat berkumpulnya massa udara sekitar dan setelah itu naik lagi dan stabil pada
kisaran 1.006 mb pada jam selanjutnya.
4.
KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang dapat memicu terbentuknya fenomena puting
beliung di wilayah Kediri Lombok Barat pada tanggal 26 Februari 2013, antara lain disebabkan oleh suhu
permukaan yang tinggi, menunjukkan tingkat pemanasan permukaan yang tinggi pula, yang mengakibatkan
udara di wilayah tersebut terpanaskan.Pusat tekanan udara yang rendah, mengakibatkan terjadinya
pengumpulan massa udara di tempat tersebut.Tingkat kelabilan udara yang tinggi, mengakibatkan sedikit
saja udara mendapat gangguan, maka udara tersebut akan mudah untuk terangkat.Adanya konvergensi pada
angin permukaan dan lapisan atas menunjukkan adanya pertemuan massa udara di wilayah tersebut sehingga
massa udara akan dipaksa naik.
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Stasiun Klimatologi Kediri NTB yang telah banyak
membantu dalam memberikan data dan informasi pada saat kejadian puting beliung.
DAFTAR PUSTAKA
Almubarak, S.P.,(2009). Kriteria Labilitas Atmosfer di Beberapa Kejadian Awan CB yang Menyebabkan Angin Puting
Beliung. Tugas Akhir Diploma III di AMG. AMG. Jakarta.
Handiana, D.,(2008). Analisa Labilitas Atmosfer Pada Saat Kejadian Thunderstorm yang Menyebabkan Angin Kencang
di Wilayah Jakarta (Studi Kasus Tanggal 14 November 2007). Tugas Akhir Diploma III di AMG. AMG. Jakarta.
Harjanto,H., (2011). Materi Kuliah Meteorologi Dinamis II, AMG. Jakarta.
Harsa, H.,(2011). Pemanfaatan SATAID untuk Analisa Banjir dan Angin Puting Beliung: Studi Kasus Jakarta dan
Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 12:2. BMKG. Jakarta.
Hasan, M. F.,(2009). Analisa Labilitas Atmosfer Pada Saat Kejadian Thunderstorm yang Disertai Angin Puting Beliung
di Wilayah Jakarta (Studi Kasus Tanggal 28 November 2008 dan 21 April 2009). Tugas Akhir Diploma III di AMG.
AMG. Jakarta.
Zakir,A., (2009). Prespektif Operasional Cuaca Tropis.BMKG.Jakarta.
http://pustakacuaca.blogspot.com/search?q=puting+beliung.
http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.surface.html.
http://rda.ucar.edu/.
http://satelit.bmkg.go.id.
_____________________________________________________________________________________________
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
DAFTAR ACARA
PRESENTASI POSTER SINAS INDERAJA 2016
JudulMakalah
Pemakalah
Diskusi
: Analisis Kondisi Atmosfer pada Sebelum dan Sesaat Terjadinya Putting Beliung
(Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 Di Kediri Lombok Barat)
: Annisa Fauziah (BMKG)
:
Pertanyaan: Dr. Rahmat Arief (LAPAN)
1. Apakah hasil penelitian Anda dapat memprediksi terjadinya putting beliung? Jika ya, berapa lama
waktu prediksi tersebut dapat dikeluarkan sebelum terjadinya putting beliung?
2. Dapat Anda sebutkan parameter atau kejadian alam lain, yang dapat mendukung akurasi dari prediksi
tersebut di atas?
Jawaban:
1. Dari hasil penelitian kami, belum bisa memprediksi terjadinya putting beliung, mengingat putting
beliung itu sendiri terjadi dalam skala luasan yang kecil (<5 km) dan waktu yang sangat singkat (durasi
detik hingga menit). Penelitian kami lebih kepada analisis kejadian putting beliung sehingga kami dapat
mengenali tanda-tanda awal kondisi atmosfers ebelum terjadinya putting beliung di Kediri Lombok
-970-
Analisis Kondisi Atmosfer untuk Prekursor Puting Beliung (Studi Kasus Tanggal 26 Februari 2013 di Kediri – Lombok Barat)
(Fauziah, A., dkk.)
Barat. Dalam hal ini resolusi spasial dan temporal dari satelit yang digunakan (satelit yang kami
gunakan memiliki resolusi temporal 1 jam dengan resolusi spasial 1 km) belum bisa memenuhi skala
kejadian dari putting beliung itu sendiri.
2. Berdasarkan literatur yang saya baca, parameter atau kejadian alam lain dapa tdideteksi oleh radar
cuaca, dengan memperhatikan pola bow echo pada radar. Sayangnya dalam penelitian ini, tahun 2013,
radar cuaca di pulau Lombok belum terpasang. Penggunaan radar cuaca untuk memprediksi puting
beliung Insya Allah akan kami coba pada penelitian kami selanjutnya.
-971-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a?
(Studi Kasus: Siklon Tropis LAM)
Could The Tropical Cyclone Trigger Chlorophyll-a Enrichment?
(Case Study: Tropical Cyclone LAM)
Eko Susilo1*) dan Sri Hadianti1
1
Balai Penelitian dan Observasi Laut - KKP
Jl. Baru Perancak, Negara, Jembrana, Bali, 82251
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK - Dampak siklon tropis sangat dirasakan pada daerah pesisir dan daratan baik berupa peningkatan curah
hujan, banjir hingga kerusakan infrastruktur. Namun pada wilayah perairan, siklon tropis dapat memicu peningkatan
konsentrasi klorofil-a. Fenomena ini terekam jelas pasca siklon tropis LAM (TCL) yang terjadi di perairan utara
Australia. pada pertengahan bulan Februari 2015. Analisis variasi suhu permukaan laut (SPL, MODIS) dan konsentrasi
klorofil-a (Chl-a, VIIRS) dilakukan pada lintasan siklon dan pesisir selatan Papua. Hasil analisis citra satelit
menunjukkan daerah yang dilalui oleh TCL mengalami penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi Chl-a. Penurunan
SPL tertinggi (2.1°C) terjadi pada area terbentuknya siklon kategori 2 dalam kurun waktu 2-3 hari pasca TCL.
Sedagkan peningkatan konsentrasi Chl-a terbesar hingga 3 kali lipat terjadi pada area terbentuknya siklon dan kategori
siklon 1 (1.22 mg/m3). Namun masing-masing area menunjukkan respon dan jeda waktu yang berbeda. Jeda waktu
peningkatan Chl-a bervariasi dari beberapa hari di sekitar lintasan siklon hingga selang 1 minggu di selatan P. Papua
pasca siklon. Perbedaan respon ini dimungkinkan berkaitan dengan fase pembentukan siklon, masukkan nutrien dari
daratan, dan intensitas upwelling.
Kata kunci:siklon tropis LAM, konsentrasi klorofil-a, Laut Arafura
ABSTRACT -The impact of the tropical cyclones strongly face in the coastal and inland areas i.e increased rainfall,
flood, and infrastructure damaged. But in the ocean, the tropical cyclones can trigger chlorophyll-a concentration
enhrichment. Tropical Cyclone Lam (TCL) in 2015 passed on mid-February 2015 in Australia's Northern Territory
showed this phenomenon clearly. The sea surface temperature (SST, MODIS) and chlorophyll-a concentration (Chl-a,
VIIRS) analysis were done in the TCL footprint and the coastal area southernpart of Papua. The satellite imagery
showing the SST decreased and Chl-a increased along the TCL footprint. The highest SST decrease occured in the area
of TCL category 2 within 2-3 days. The Chl-a concentration increase up to 3-times occured in the area of initial
emergence of TCL and category 1 (1:22 mg / m3). However, each area has different response and time-lag. Variying
from a few days around the TCL foorprint up to 1 week in the southernpart Papua. This variation due to the phase
formation of the cyclone itself, the nutrients run-off from the inland, and the upwelling intensity.
Keywords: tropical cyclone LAM, chlorophyll-a concentration, Arafura Sea
1. PENDAHULUAN
Siklon tropis merupakan bentuk gangguan cuaca ekstrim yang diawali oleh munculnya pusat tekanan
rendah di atas lautan. Proses ini selanjutnya dapat memicu terjadinya proses konveksi dan pembentukan
awan secara intensif. Ciri utama siklon tropis berupa peningkatan intensitas curah hujan dan angin kencang
yang bersifat merusak (destruktif). Walaupun Indonesia bukan merupakan daerah pembentukan siklon tropis,
kondisi cuaca Indonesia sering mendapatkan imbas dari kejadian siklon tropis. Kejadian siklon tropis 17S,
Ivan, dan Hondo pada tahun 2008 telah memicu terjadinya gelombang tinggi dan angin kencang (puting
beliung) di sepanjang Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur (Suryantoro, 2008). Dampak curah hujan
yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan akibat dari ekor siklon atau pemencaran awan pada tahap
pembentukan siklon. Intensitas hujan berbanding lurus dengan kekuatan siklon tropis (Widiani, 2012).Siklon
tropis juga dapat mempengaruhi kondisi cuaca baik pada area yang menjadi lintasan siklon maupun daerah di
sekitarnya (Haryani dan Zubaidah, 2012).
Namun demikian siklon tropis yang terjadi di perairan pesisir atau laut lepas memungkinkan terbentuknya
daerah yang subur. Siklon tropis Kai-Tak yang terjadi pada tahun 2000 menyebabkan peningkatan
konsentrasi klorofil-a hingga 30 kali lipat (Lin dkk, 2003). Peningkatan konsentrasi klorofil-a dapat terjadi
-972-
Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.)
baik pada daerah pesisir maupun di sepanjang lintasan siklon. Umumnya peningkatan kesuburan di pesisir
lebih tinggi di bandingkan di lepas pantai. Siklon Nuri mendorong peningkatan kesuburan perairan di
wilayah pesisir (konsentrasi klorofil-a >1.5 mg/m3) dan di perairan lepas pantai (konsentrasi klorofil-a >0.5
mg/m3) (Zhao dkk, 2009). Siklon tropis tidak hanya menyebabkan perubahan kesuburan permukaan, tetapi
juga pada lapisan termoklin. Pasca siklon Ivan tahun 2004, teridentifikasi adanya masssa air dingin
(penurunan suhu sebesar 3–7°C) dan perubahan lapisan isothemal (50 – 65 m) di Teluk Meksiko (Walker,
dkk, 2005). Hal yang sama terjadi pasca siklon Nuri tahun 2000. Peningkatan konsentrasi klorofil-a hingga 5
kali lebih tinggi dari tingkat normal terukur pada kedalaman 50 meter. Durasi kesuburan perairan di lapisan
sub-surface lebih lama dibandingkan pada lapisan permukaan. Peningkatan klorofil-a terjadi pada hari ke-2
dan berlangsung hingga satu minggu, sedangkan pada lapisan sub-layer bisa berlangsung hingga tiga minggu
(Ye dkk, 2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kondisi perairan Laut Arafura dan sekitarnya pasca
terjadinya siklon tropis LAM. Siklon tropis yang terjadi pada pertengahan Februari 2015 ini tercatat sebagai
yang terkuat sejak kejadian siklon tropis Monica tahun 2006 yang melanda wilayah laut Australia bagian
Utara. Biro Meteorologi Australia (BOM) menetapkan kejadian siklon tropis LAMdalam kategori 4 atau
kategori 2 (skala US Saffir-Simpson). Siklon tropis LAM mencapai kecepatan angin maksimum sekitar 185
km/jam. Intensitas hujan meningkat cukup tinggi hingga mencapai 110–260 mm.Selam kurun waktu 11 hari
sejak terbentuknya siklon, Biro Meteorologi Australia secara reguler telah mengeluarkan sejumlah data
prediksi, peringatan cuaca, dan peringatan banjir (BOM, 2015). Sementara Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) menyebutkan siklon tropis LAM mengakibatkan hujan intensitas sedang – lebat di
wilayah Maluku Selatan dan gelombang tinggi (~2 meter) di perairan Kepuluan Aru dan selatan Papua.
2. METODE
2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di sepanjang lintasan siklon tropis LAM (selanjutnya disingkat TCL) dan perairan
Laut Arafura (Gambar 1). Analisis pengaruh siklon tropis terhadap kondisi perairan dilakukan pada 3 area
utama sepanjang lintasan TCL yaitu daerah awal munculnya siklon (A1), daerah awal siklon kategori 1 (A2),
dan daerah siklon kategori 2 (A3).Selain itu analisis perubahan kondisi osenografi juga dilakukan di area
yang dimungkinkan terkena dampak TCL yaitu di perairanLaut Arafura selatan Pulau Papua (A4).
Gambar 1. Lintasandan karakteristik siklon tropis LAM (TCL). Kecepatan angin dalam satuan knot (1 knot = 0,514
m/s) dan waktu dalam Coordinated Universal Time (UTC).
2.2. Data Siklon Tropis LAM
Data lintasan TCLyang digunakan pada penelitian ini bersumber dari Joint Typhoon Warning Center
(JTWC). Informasi perkembangan siklon diperbaharui setiap 6 jam yang meliputi posisi, kecepatan angin,
dan kategori siklon. Kategorisasi siklon yang digunakan dalam pembahasan selanjutnya didasarkan pada
skala US Saffir-Simpson. Data ini dapat diakses melalui layanan website Unisys Weather
(http://weather.unisys.com/hurricane/s_pacific/2015/).
-973-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
2.3. Data Satelit
Analisis perubahan kondisi meteorologi dan oseanogrfi baik sebelum dan sesudah terjadinya TCL
dilalukan berdasarkan data pencitraan satelit. Adapun parameter yang diamati meliputi arah dan kecepatan
angin, SPL, dan konsentrasi Chl-a.
Data angin diperoleh dari sensor Advanced Scatterometer (ASCAT) pada satelit METOP. Data
yangdiukur pada ketinggian 10 meter dari permukaan laut ini memiliki resolusi grid sebesar 0.25° x 0.25°.
Data
tersebut
diperoleh
secara
online
melalui
website
ERDDAP
server
(http://coastwatch.pfeg.noaa.gov/erddap/) dalam format ncdf. Selanjutnya nilai kecepatan dan arah angin
dihitung menggunakan persamaan berikut:
=
+
= 90 −
..................................................................................................................................... (1)
∗
2
......................................................................................................... (2)
Sebaran spasial dan variasi temporal SPL dan konsetrasi Chl-a berdasarkan rerata 5 harian. Hal ini
dilakukan karena data harian SPL dan konsentrasi Chl-a tidak tersedia akibat tingginya tutupan awan pada
area lintasan siklon. Nilai SPL merupakan komposit sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer
(MODIS) pada satelit Aqua/Terra dan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) pada
satelit Metop-A/Metop-B. Sedangkan konsentrasi Chl-a merupakan hasil perekamana sensor Visible Infrared
Imaging Radiometer Suite (VIIRS) pada satelit Suomi-NPP. Keduanya memiliki resolusi spasial 0.02° x
0.02° dan dapat diperoleh secara online melalui website INDESO (http://www.indeso.web.id/) dalam format
ncdf. Pengguna diharuskan melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum dapat mengakses data tersebut.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Variasi Arah dan Kcepatan Angin
Kecepatan angin maksimum mencapai 185 km/jam dengan pergerakan angin secara umum mengikuti
arah jarum jam (clockwise). Sebaran spasial dan variasi temporal kecepatan angindari sensor
ASCAT(Gambar 2)memperlihatkan proses terbentuknya TCL hingga memasuki daratan. TCL mulai
terbentuk pada tanggal 15 Februari 2015 di sebelah barat Weipa. Peningkatan kecepatan angin terjadi di
perairan sekitarnya seperti Laut Arafura, selatan Papua dan Teluk Carpentaria yang mencapai kisaran 11-15
m/s. Sedangkan pada area pusat siklon kecepatan angin relatif rendah (< 3 m/s). Pada umumnya kecepatan
angin yang tinggi justru terjadi pada area yang berjarak 20-30 mil dari pusat siklon. Laporan Badan
Meteorologi Australia menyebutkan perkembangan TCL semakin intensif dan bergerak menuju ke arah barat
(Tanjung Cape York)dengan cepat. Namun sayang pada tanggal 16 Februari 2016, sensor ASCAT tidak
merekam kondisi terkini di pusat siklon.Selang sehari (17 Februari 2015) pusat TCLbergerak ke arah barat
dengan kecepatan angin mencapai kisaran 15-20 m/s di sekitar pusat siklon. Dare dan McBride (2003)
menyebutkan batasan kecepatan angin 17 m/s merupakan ambang batas terjadinya siklon tropis. Pada hari
yang sama Badan Meteorologi Australia menetapkanTCLmasuk dalam kategori 2 (skala
Australia).Selanjutnya pada tanggal 18 Februari 2015 siklon memasuki perairan Tanjung Cape York dengan
kecepatan angin mencapai 20-25 m/s dan ditetapkan dalam kategori 1. Kondisi yang sama juga terekam di
perairan Teluk Carpentaria dan Laut Arafura. Kecepatan angin di kedua perairan ini relatif tinggi mencapai
kisaran 11-15 m/s.TCL bergerak menuju wilayah pesisir dan mulai memasuki daratan pada tanggal 19
Februari 2015.Walaupun sudah memasuki wilayah daratan, namun kecepatan angin di perairan masih terlihat
cukup tinggi, khususnya pada area lintasan siklon dan di perairan selatan Papua.Kecepatan angin mulai
menurun pada kisaran 7-9 m/s pada tanggal 20 Februari 2015.
-974-
Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.)
Gambar 2. Sebaran Spasial Harian Kecepatan Angindari Sensor Advanced Scatterometer – METOP
3.2. Respon Suhu Permukaan Laut
Sebaran spasial dan variasi temporal SPL memperlihatkan perubahan kondisi perairan sebelum terjadinya
siklon hingga TCLmemasuki daratan (Gambar 3). Suhu perairan yang hangat menjadi salah satu faktor yang
memicu terbentuknya siklon. Pada daerah lintang 35°, umumnya pembentukan siklon terjadi pada suhu
>26.5˚C (Dare dan McBride, 2003). SPL di perairan Laut Arafura dan sekitarnya relatif tinggi pada kisaran
29-30°C dengan nilai rata-rata sebesar 29.7°C sebelum terbentuknya TCL (Gambar 3a-c).Kondisi ini relatif
sama dengan rerata klimatologis bulan Februari selama kurun waktu 12 tahun (2003-2014). Suhu perairan
yang panas di perairan Teluk Carpentaria dan sekitarnya ini menyebabkan terbentuknya pusat tekanan
rendah yang memicu terjadinya TCL. Selama terjadinya siklon, terlihat tutupan awan yang sangat tebal di
sepanjang lintasan TCL (Gambar 3d-f). SPL di Teluk Carpentaria maupun Laut Arafura cenderung hangat
(>28°C). Walaupun demikian SPL cenderung lebih tinggi dan terlihat konstan (29-30°C) pada beberapa
daerah tertentu. Sedangkan massa air dingin mulai terlihat di sepanjang lintasan siklon (Gambar 3h-i).
Analisis time seriesSPL pra dan pasca TCL pada masing-masing area (A1, A2, A3, dan A4) diperlihatan
pada Gambar 5a. Penurunan SPL terlihat pertama kali pada A1 yang merupakan titik awal pembentukan
siklon. SPL mengalami penurunan secara signifikan sebesar 0.5°C. SPL menunjukkan tren penurunan
walapun sedikit mengalami peningkatan pada fase awal pembentukan siklon. Seiring dengan perkembangan
siklon SPL secara berangsur-angsur mengalami penurunan hingga mencapai titik terendah
28.6°C.Kemunculan massa air dingin initetap bertahan hingga 1 minggu pasca siklon melintas di A1.
Kondisi yang sama juga terekam pada A2 dan A3. Sebelum TCL melintas, kondisi SPL di kedua area ini
cenderung lebih hangat dibandingkan A1. Namun penurunan SPL di kedua area ini lebih tajam dibandingkan
pada A1, masing-masing sebesar 1.4°C dan 2.1°C. Namun demikian respon waktu penurunan SPL terhadap
waktu lintas siklon cenderung lebih singkat. Durasi waktu keberadaan massa air dingin di permukaan laut
juga tidak bertahan lama. Kondisi perairan berangsur-angsur kembali memanas selang 2-3 hari pasca siklon
melintas. Umumnya perairan akan memberikan respon penurunan SPL secara cepat. Nilai minumum SPL
terjadi 2-3 hari pasca siklon. Selanjutnya akan kembali normal setelah 20 hari pasca siklon. Respon ini
cenderung lebih tinggi pada area pembentukan siklon hingga siklon kategori 2 (Lloyd dan Vecchi, 2011).
-975-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Area A4 memiliki pola penurunan SPL yang berbeda dibandingkan ketiga area pada lintasan siklon.
Sebaran spasial SPL di area ini memberikan respon yang berbeda. SPL di bagian timur(selatan Merauke)
cenderung lebih panas dibandingkan di sebelah barat (selatan Pulau Yos Sudarso). Namun secara umum,
suhu perairan selatan Papua cenderung hangat pada pada kisaran SPL antara 28.5-29°C selama
berlangsungnya TCL.Kondisi ini berberlangsung cukup lama (~1 minggu). Tingginya SPL di wilayah ini
dimungkinkan karena proses downwelling. Angin yang betiup ke arah timur di sepanjang pesisir Papua
menyebabkan massa air di sepanjang pesisir terdorong ke lapisan dalam. Pergerakan ini menyebabkan massa
air hangat yang berada di laut lepas mengisi ruang kosong di wilayah pesisir. Pergerakan ini iikuti oleh
pergerakan massa air dingin dari A1 dan A2 yang bergerak ke arah Utara memasuki perairan Laut Arafura.
Sedangkan di perairan sekitar Pulau Yos Sudarso berlaku sebaliknya. Pasca terjadinya TCL(2-3 hari) terjadi
penurunan SPL yang signifikan hingga mencapai 1.3°C pada A4 bagian barat. Namun hal ini tidak mutlak
karena variasi nilai SPL. Tutupan awan yang tinggi pada area ini menyebabkan kenampakaan massa air
hangat di selatan Papuatidak dapat direkam oleh sensor satelit.
3.3. Respon Kesuburan Perairan
Peningkatan konsentrasi Chl-a sangat erat kaitannya dengan proses pencampuran vertikal dan upwelling
di sepanjang lintasan TCL. Menurut Wang dkk, (2009), siklon tropis dapat memicu terbentuknya eddie dan
proses upwelling yang akan membawa unsur-unsur nutrien dari lapisan dalam ke permukaan laut (zona
eufotik). Kondisi perairan yang subur dapat menyebabkan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi. Hasil
analisis sebaran spasial dan variasi temporal konsentrasi Chl-a pra dan pasca terjadinya siklon LAM
mengindikasikan adanya peningkatan kesuburan yang dicirikan tingginya konsentrasi Chl-a (Gambar 4).
Sebelum terjadinya TCL, terekam konsentrasi Chl-a yang cukup tinggi (1-1.5 mg/m3) di selatan Pulau Papua
(10-10.5°S) yang membentang hingga ~450 km (136-140°E) (Gambar 4a-b). Seiring dengan terbentuknya
TCL, tingkat tutupan awan yang sangat tinggi menyebabkan data konsentrasi Chl-a tidak dapat terekam oleh
sensor satelit (Gambar 4c-e). Sensor VIIRS kembali memberikan gambaran tentang konsentrasi Chl-a selang
4 hari setelah TCL melintas di A1 dan A2 (Gambar 4f-g). Nampak dengan jelas terjadinya peningkatan
kesuburan perairan di sepanjang lintasan TCL.
Kondisi kesuburan perairan di A1 dan A2 dapat dikatakan rendah sebelum terjadinya siklon. Peningkatan
konsentrasi Chl-a terjadi pasca melintasnya TCL (20 Februari) dan terus bertambah subur sampai dengan 2
hari setelahnya. Kesuburan perairan di area A1 dan A2 mengalami peningkatan hingga 3 kali lipat.
Konsentrasi Chl-a pada A1 sebelum dan pasca siklon secara berurutan sebesar 0.44 mg/m3 dan 1.22 mg/m3.
Sedangkan pada A2 sebesar 0.38 mg/m3(pra siklon) dan 1.22 mg/m3 (pasca siklon).Kesuburan perairan
kembali mengalami penurunan setelah ~1 minggu pasca siklon melintas di A1 dan A2.Penurunan ini
dimungkinkan karena proses rantai makanan yangterjadi di perairan dan adanya pergerakan massa air ke
arah utara menuju ke Laut Arafura (selatan Pulau Yos Sudarso).
Peningkatan kesuburan pada masing-masing area bervariasi dengan durasi yang berbeda-beda (Gambar
5b). Pola peningkatan konsentrasi Chl-a di A1, A2, dan A3 relatif sama. Namun tingkat kesuburan pada A3,
baik pra maupun pasca sikon cenderung lebih tinggi dibandingkan A1 dan A2. Konsentrasi Chl-a pra dan
pasca siklon secara berurutan sebesar 0.86 mg/m3 dan 1.93 mg/m3. Perbedaan ini diduga karena adanya
masukkan nutrien yang melimpah dari daratan melalui sungai-sungai yang bermuara di pesisir. Mengingat
posisi A3 meupakan wilayah pesisir dan menjadi lokasi terbentuknya siklon kategori 2 sebelum akhirnya
masuk ke daratan. Aliran air dari daratan membawa material terlarut (river discharge) yang dimungkinkan
juga terdeteksi oleh sensor MODIS sebagai klorofil-a. Jeda waktu peningkatan konsetrasi Chl-a pada A3
mencapai 2 hari pasca TCL melintas di lokasi tersebut. Selama kurun waktu ini terjadi peningkatan
konsentrasi Chl-a hingga 2 kali lipat.
Daerah pesisir selatan Pulau Papua (A4) dikenal memiliki tingkat kesuburan tinggi sepanjang tahun.
Respon kesuburan perairan terhadap kejadian TCL berlangsung lebih cepat dan dalam waktu yang singkat.
Sebelum TCL melintas di perairan selatan A4 kesuburan perairan cenderung mengalami sedikit penurunan.
Pada fase awal pembentukan siklon tropis, daerah ini secara spontan memberikan respon berupa peningkatan
kesuburan perairan walaupun tidak terlalu signifikan. Tingkat kesuburan selama terjadinya siklon cenderung
stabil pada kisaran 2.7-2.8 mg/m3. Pada mulanya peningkatan konsentrasi Chl-a ini sudah terlihat sejak
tanggal 20 Februari 2015 (5 hari pasca TCL). Berdasarkan sebaran spasial konsentrasi Chl-a menunjukkan
tingginya konsentrasi Chl-a pasca kejadian siklon tropis di A4 berasal dari massa air subur pada A1 dan A2
yang bergerak ke arah Utara (Gambar 4h-i).
-976-
Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.)
a
2015-02-08
b
c
2015-02-11
2015-02-13
e
f
2015-02-15
2015-02-18
2015-02-20
g
h
i
d
2015-02-22
2015-02-25
2015-02-27
Gambar 3. Sebaran Spasial Suhu Permukaan Laut (SPL) Pra dan Pasca Siklon Tropis LAM
-977-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
a
2015-02-08
b
c
2015-02-11
2015-02-13
2015-02-15
e
f
2015-02-15
2015-02-18
2015-02-20
g
h
i
2015-02-25
2015-02-27
d
2015-02-22
Gambar 4. Sebaran Spasial Konsentrasi Klorofil-a (Chl-a) Pra dan Pasca Siklon Tropis LAM
(a)
(b)
Gambar 5.Variasi Kondisi Oseanografi di Lintasan Siklon Tropis LAM. (a) Suhu Permukaan Laut (SPL), dan (b)
Konsentrasi Klorofil-a (Chl-a)
Variasi kondisi oseanografi ini mencerminkan pengaruh kekuatan siklon terhadap tingkat penurunan SPL
dan peningkatan Chl-a. Menurut Zhao dkk, (2008) intensitas dan radius siklon tropis akan berpengaruh
-978-
Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Konsentrasi Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis LAM) (Susilo, E.., dkk.)
terhadap tingkat penurunan SPL, luasan area massa air dingin, dan durasi waktu perubahan SPL. Semakin
tinggi intensitas siklon akan menghasilkan pergerakan angin yang intensif yang dapat mendorong terjadinya
pangadukan vertikal (vertical mixing) dan upwelling. Proses ini biasanya dicirikan oleh kenampakan massa
air yang bersuhu dingin. Pada A2 merupakan lintasan siklon kategori 1, dimana energi dan kekuatan siklon
lebih kuat dibandingkan A1. Kecepatan angin yang tinggi menyebabkan proses upwelling berlangsung
seketik, namun tidak berlangsung lama. Merujuk pada (Lloyd dan Vecchi, 2011), area pembentukan siklon
hingga siklon kategori 2 akan memberikan respon SPL paling besar dibandingkan daerah lainnya.
Karakteristik perairan serupa pernah teramati pada saat terjadi siklon tropis Kai-Tak. Sikon kategori 2 ini
berlangsung cukup singkat dan mengakibatkan penurunan SPL hingga 9°C di bagian pusatnya (Lin dkk,
2003).
Proses pencampuran vertikal dan upwelling di sepanjang lintasan TCL akan memicu terjadinya
peningkatan kesuburan perairan. Terbentuknya eddie dan proses upwelling akan membawa unsur-unsur
nutrien dari lapisan dalam ke permukaan laut (zona eufotik) (Wang dkk, 2009). Kondisi perairan yang subur
dapat menyebabkan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi yang terekam oleh sensor satelit sebagai klorofila. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa siklon tropis Morakot (kategori 2) secara signifikan
mempengaruhi kondisi hidrografi di perairan. Proses upwelling teridentifikasi selang 3 hari pasca siklon
melintas melalui T-S Diagram. SPL mengalami penurunan secara dramatis hingga mencapai nilai terendah
sebesar 22.9°C. Penurunan SPL tersebut dibarengi dengan peningkatan salinitas hingga mencapai kisaran 3434.5 ppm. Lapisan termoklin juga terangkat mendekati kedalaman 10 meter (Chung, dkk, 2012). Demikian
pula yang terjadi pasca siklon Ivan tahun 2004 di Teluk Meksiko. Siklon tidak hanya mempengaruhi
perubahan lapisan permukaan. Perairan mengalami penurunan suhu sebesar 3–7°C dan perubahan lapisan
isothemal (50 – 65 m) (Walker, dkk, 2005). Durasi kesuburan perairan di lapisan sub-surface lebih lama
dibandingkan pada lapisan permukaan, bahkan berlangsung hingga tiga minggu (Ye dkk, 2013). Demikian
pula yang terjadi pasca siklon Ivan tahun 2004 di Teluk Meksiko. Perairan mengalami penurunan suhu
sebesar 3–7°C dan perubahan lapisan isothemal (50 – 65 m) (Walker, dkk, 2005). Namun dalam penelitian
ini tidak tersedia data pengukuran lapangan yang dapat menggambarkan perubahan kondisi oseanografi
vertikalnya.
4. KESIMPULAN
Pasca terjadinya siklon tropis LAM pada pertengahan bulan Februari 2015 memicu terjadinya
peningkatan konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Arafura dan sekitarnya. Analisis citra satelit
menunjukkan daerah yang dilalui oleh TCL mengalami penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi Chl-a.
Penurunan SPL tertinggi terjadi pada area A3 yang merupakan lokasi terbentuknya siklon dewasa 2-3 hari
pasca TCL. Peningkatan konsentrasi Chl-a terbesar hingga 3 kali lipat terjadi pada A1 dan A2 (1.22 mg/m3).
Namun masing-masing area menunjukkan respon dan jeda waktu yang berbeda. Perbedaan respon ini
dimungkinkan berkaitan dengan fase pembentukan siklon, masukkan nutrien dari daratan, dan
upwelling.Hasil kajian ini akan lebih komprehensif apabila didukung oleh ketersediaan data
pengukuranlapangan untuk memastikanterjadinya perubahan kondisi oseanografi baik pada lintasan siklon
maupun perairan sekitarnya.
5. UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada NOAA-ERDAPP dan INDESO yang telah menyediakan dan
memberikan akses data citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga kami
sampaikan kepada segenap dewan penyunting, editor, redaktur, dan panitia penyelanggara Seminar Nasional
Penginderaan Jauh tahun 2016.
DAFTAR PUSTAKA
BOM. (2015). Severe tropical cyclone LAM northern territory regional office. Bureau of Meteorology, diunduh 8 April
2015 dari http://www.bom.gov.au/announcements/sevwx/nt/nttc20150217.shtml
Chung, C.C., Gong, G.C., dan Hung, C.C., (2012). Effect of Typhoon Morakot on microphytoplankton population
dynamics in the subtropical Northwest Pacific. Mar Ecol Prog Ser, 448:39-49.http://dx.doi.org/10.3354/meps09490
Dare, R., dan Mcbride, J.L., (2011). The threshold sea surface temperature condition for tropical cyclogenesis. Journal
of Climate, 24(17):4570-4576. http://dx.doi.org/10.1175/JCLI-D-10-05006.1
Haryani, N.S., dan Zubaidah, A. (2012). Dinamika siklon tropis di Asia Tenggara menggunakan data penginderaan
jauh. Widya, 29(324):54-58.
INDESO. (2015). Product user manual - SST and Chl-a composite satellite observations. diunduh 8 April 2015 dari
http://www.indeso.web.id/announcements/sevwx/nt/nttc20150217.shtml
-979-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Lloyd, I..D., dan Vecchi, G.A., (2011). Observational Evidence for Oceanic Controls on Hurricane Intensity. Journal of
Climate, 24(4):1138-1153, http://dx.doi.org/10.1175/2010JCLI3763.1
Suryantoro, A. (2008). Siklon tropis di selatan dan barat daya Indonesia dari pemantauan satelit TRMM dan
kemungkinan kaitannya dengan gelombang tinggi dan puting beliung. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara,
3(1):21-32.
Walker, N.D., Leben, R.R., dan Shreekanth, B. (2005). Hurricane-forced upwelling and chlorophyll a enhancement
within cold-core cyclones in the Gulf of Mexico. Geophys. Res. Lett., 32(18):1944-8007,
http://dx.doi.org/10.1029/2005GL023716.
Wang, G., Ling, Z., dan Wang, C. (2009). Influence of tropical cyclones on seasonal ocean circulation in the South
China Sea. Journal of Geophysical Research, 114:1-9.
Widiani, N. (2012). Identifikasi kejadian siklon tropis di perairan sekitar Indonesia dari observasi satelit TRMM
(Tropical Rainfall Measuring Mission) dan kaitannya dengan curah hujan. (Departemen Geofisika dan Meteorologi
Skripsi), IPB (Bogor Agricultural University), Bogor.
Ye, H.J., Sui, Y., Tang, D.L., dan Afanasyev, Y.D., (2013). A subsurface chlorophyll a bloom induced by typhoon in
the South China Sea. Journal of Marine Systems, 128:138–145.http://dx.doi.org/10.1016/j.jmarsys.2013.04.010.
Zhao, H., Tang, D.L., dan Wang, D. (2009). Phytoplankton blooms near the Pearl River Estuary induced by Typhoon
Nuri. Journal of Geophysical Research, 114:1-9. http://dx.doi.org/10.1029/2009JC005384.
Zhao, H., Tang, D. L., dan Wang, Y. (2008). Comparison of phytoplankton blooms triggered by two typhoons with
different intensities and translation speeds in the South China Sea. Mar. Ecol. Prog. Ser., 365:57–
65.http://dx.doi.org/10.3354/meps07488.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINASINDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Syarif Budhiman
: Dapatkah Siklon Tropis Picu Peningkatan Klorofil-a? (Studi Kasus: Siklon Tropis
LAM)
: Eko Susilo (KKP)
:
Pertanyaan: Nanda Muhadi (STMKG)
1. Bagaimana penjelasan fisis siklon tropis?
Pertanyaan: Bambang S. Tedjasukmana
2. Apakah penelitian ini akan berkelanjutan ?
Jawaban :
1. Faktor yang memicu siklon memang perbedaan suhu perairan di area siklon yang relative hangat sehingga
pasca terjadinya siklon memang terjadi penurunan.
2. Ya, penelitian ini akan berkelanjutan dan mendapatkan hasil yang bermanfaat.
-980-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015
Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2
Thermal Fronts on Southwest Monsoon Season on 2015 in the Savu Sea
Based on Satellite Imagery Aqua - Terra Modis Level 2
Rizki Hanintyo1*), Fikrul Islamy1, Sri Hadianti1, Aldino Jusach1 , dan R.M. Putra Mahardhika1
1
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Kementrian Kelautan & Perikanan
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK- Suhu permukaaan laut merupakan salah satu parameter perairan yang dapat digunakan untuk identifikasi
berbagai macam fenomena laut. Thermal front yaitu pertemuan dua massa air yang mempunyai perbedaan suhu yang
ekstrim. Laut Sawu sebagai salah satu laut dengan produktifitas perairan yang tinggi sering menunjukkan aktifitas
thermal front. Thermal front dideteksi dengan menggunakan analisis algoritma Single Edge Image Detection (SIED)
dari Cayula Cornillon. Kajian dilakukan selama musim timur, yaitu bulan Juni hingga Agustus 2015. Hasil analisis data
suhu yang dilakukan menghasilkan sebaran suhu dan front yang berbeda pada setiap bulannya. Kemunculan kejadian
front terbanyak yaitu terjadi pada bulan Agustus, dengan sebaran suhu yang terlihat mempunyai kombinasi signifikan.
Berdasarkan sebaran dan pencampuran suhu yang terjadi serta jumlah kejadian front yang berlangsung mengindikasikan
terjadinya proses upwelling. Upwelling akan mengangkat zat hara ke permukaan sehingga akan meningkatkan
produktivitas primer perairan.
Kata kunci: Thermal front, Laut Sawu, Musim Timur
ABSTRACT - Sea surface temperature is one of the parameters that can be used to identify a wide variety of marine
phenomena. Thermal front is the meeting of two water masses that have extreme temperature differences. Savu Sea as
one of the sea with high water productivity has often shown activity of thermal fronts. Thermal front detected using
image analysis algorithms Single Edge Detection (SIED) of Cayula Cornillon. The study was conducted during the
southwest monsoon, that is, from June to August 2015. The results of the analysis of temperature data, generate
temperature distribution and the different fronts on a monthly basis. The emergence of the largest front incident that
occurred in August, with a distribution that is seen to have a combination of temperature significantly. Based on the
distribution and mixing temperature that occur as well as the number of events that took place front indicating an
upwelling process. Upwelling will lift nutrients to the surface waters and in turn increase primary productivity.
Keywords: Thermal front, Savu Sea, Southwest Monsoon
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu perairan yang istimewa karena diapit oleh dua perairan yang luas yaitu
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang memiliki karakteristik masin-masing yang berbeda. Posisi
Indonesia juga terletak di antara garis ekuator yang memiliki iklim tropis dan radiasi matahari paling banyak
diserap. Selain itu juga perairan Indonesia ini sangat unik karena adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) atau
Indonesian througflow. Ini merupakan keistimewaan sendiri karena arus laut Indonesia ini sebagai
pertukaran antar samudera. Musim juga merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi parameter
oseanografi di suatu perairan, dimana di Indonesia terjadi dua pola musim yaitu musim barat dan musim
timur. Perubahan musim ini dapat mengakibatkan perubahan pola distribusi suhu, klorofil-a maupun salinitas
(Wyrtki, 1961). SPL yang merupakan parameter oseanografi yang dapat diukur secara langsung melalui citra
satelit seperti NOAA, Aqua/Terra, Landsat dan ASTER dapat digunakan sebagai indikator penentuan daerah
penangkapan ikan (Hamzah, 2014). Front merupakan salah satu proses oseanografi yang berpengaruh
terhadap kondisi fisika dan biologi perairan. Menurut Olson (1994) terdapat banyak variasi kemungkinan
terjadinya front, yaitu thermal front, salinitas front, klorofil-a front. Front yaitu daerah pertemuan dua massa
air yang memiliki karakteristik berbeda yang ditandai dengan gradient yang sangat jelas antara kedua sisi
front (Arief, 2004). Thermal front adalah front yang dideteksi dari suhu permukaan laut (SPL).
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebaran kejadian front di Laut Sawu pada musim timur 2015 yaitu
bulan Juni, Juli dan Agustus. Dari hasil analisis jumlah sebaran kejadian front, diharapkan menjadi acuan
-981-
Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2 (Hanintyo, R.,
dkk.)
indikasi sebaran front terbanyak, puncak upwelling dan pendugaan lokasi potensi kesuburan pada musim
timur 2015. Sehingga bisa menjadi prediksi bahwa tempat tersebut mempunyai lingkungan perairan yang
disukai dan cocok bagi habitat fitoplankton ataupun organisme perairan lainnya untuk dijadikan sebagai
wilayah potensi penangkapan ikan.
2. METODE
Data satelit yang digunakan adalah data komposit harian suhu permukaan laut dari citra satelit AquaTerra MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) level 2, dengan resolusi 1 km yang dapat
diakses melalui layanan website Ocean Color (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cms/) selama 3 bulan, yaitu
dari Juni hingga Agustus 2015 yang termasuk pada periode musim timur. Data citra yang diunduh
merupakan data dengan format .nc (netCDF) sehingga sebelum dilakukan analilis menggunakan ArcGIS,
data tersebut diolah terlebih dahulu menggunakan SeaDAS. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu PC yang telah ter-install software SeaDAS 7.2, Arc-GIS 10.1, Microsoft Words, dan Microsoft Excel,
dengan koneksi internet untuk proses pengunduhan data citra yang diperlukan.
Citra satelit yang telah diunduh pertama kali diolah dengan menggunakan SeaDAS untuk memasukkan
formula agar nilai awan yang terbaca menjadi NaN, sehingga nilai awan tidak ikut terbaca sebagai nilai suhu
permukaan laut, karena citra satelit yang dihasilkan oleh satelit Aqua MODIS terkadang tertutup awan,
sesuai dengan keadaan di lapangan saat satelit tersebut melintasi daerah yang diangsir. Jika proses cloud
masking ini tidak dilakukan, maka data yang dihasilkan menjadi tidak relevan, karena nilai awan akan ikut
terbaca, dan nilai tersebut tidak berkesesuaian dengan nilai suhu permukaan laut yang diharapkan. Berikut
ini formula yang digunakan untuk menghilangkan data awan tersebut.
(if qual_sst then NaN else 1) * sst ............................................................................................................. (1)
Dimana:
sst adalah sea surface temperature dan qual_sst merupakan kualitas dari nilai suhu permukaan laut tersebut
Pengolahan di SeaDAS dilanjutkan dengan proses cropping citra sesuai dengan daerah penelitian, lalu
data hasil cropping di export menjadi format image agar dapat dibaca dan diolah lebih lanjut menggunakan
ArcGIS.
Gambar 1. Diagram alir pengolahan citra suhu permukaan laut untuk analisis jumlah kejadian front
Hasil pengolahan dari SeaDAS mengkonversi data dari netCDF menjadi data raster yang dapat dibaca
dengan ArcGIS agar dapat dilakukan analisis thermal front dengan menggunakan metode Single Image Edge
Detection (SIED) dari Cayula-Cornillon. Thermal front yang telah dihasilkan kemudian di jumlahkan selama
kurun waktu 1 bulan untuk menghasilkan analisis kejadian thermal front dalam kurun waktu bulanan. Hasil
penjumlahan akan menunjukkan berbagai variasi jumlah kejadian thermal front pada bulan tertentu.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan terhadap analisis tahunan untuk data harian Citra Satelit Aqua–Terra
yang mengalami tutupan awan paling sedikit. Pemilihan Laut Sawu juga didasarkan terhadap fenomena
upwelling yang cenderung terjadi pada musim timur bulan Juni, Juli dan Agustus.
-982-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2. Lokasi penelitian di perairan Laut Sawu
3. HASIL PEMBAHASAN
Kejadian front yang diperoleh pada penelitian ini berbeda-beda pada setiap bulannya. Kejadian front
tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2015. Trend kejadian front selama musim timur tahun 2015
menunjukkan trend positif, yaitu jumlah kejadian front semakin lama semakin banyak. Jumlah kejadian
thermal front dihitung dari jumlah pixel yang terbentuk pada hasil olahan citra suhu permukaan laut.
Tabel 1. Jumlah sebaran front pada musim timur Tahun 2015 di Laut Sawu (dalam sebaran pixel)
Jumlah
Bulan
Tampalan Front
Juni
Juli
Agustus
1
2
3
4
73279
1826
32
0
110366
2989
90
0
147051
3533
64
1
Analisis thermal front yang dilakukan tidak hanya mengenai jumlah titik front yang terbentuk secara
keseluruhan, melainkan dihitung juga jumlah kejadian pada masing-masing bulan selama satu musim timur.
Dalam satu musim tersebut terdapat 4 jenis kriteria tampalan front, yaitu front tunggla tanpa bertampalan,
front dengan 2, 3, dan 4 tampalan. Bulan Juni mengalami jumlah kejadian front paling sedikit diantara bulan
lainnya, hal tersebut dapat berkaitan dengan siklus musim timur, dimana musim timur pada bulan ini baru
dimulai. Pada bulan Juli terdapat nilai jumlah tampalan yang tertinggi pada kriteria front dengan 3 tampalan,
itu artinya pada bulan Juli ini lebih banyak daerah yang memiliki potensi kejadian thermal front tinggi.
Sedangkan pada bulan Agustus, secara umum semua jenis tampalan thermal front memiliki nilai paling
tinggi kecuali pada nilai tampalan 3, selain itu pada bulan ini merupakan satu-satunya yang terdapat jenis
tampalan thermal front hingga 4 tampalan.
Pada musim timur 2015 kemunculan front jika dikaji dengan pendekatan tingkat variabilitas suhu pada
bulan Juni 2015, menghasilkan pola sebaran front yang cenderung sedikit dibandingkan dengan Agustus.
Dilihat berdasarkan analisa visual terhadap suhu permukaan laut, pola sebaran untuk gradasi warna yang
tidak kontras mengindikasikan variabilitas suhu pemicu pembentukan front dibandingkan bulan juli dan
agustus. Kejadian front paling sering terjadi disekitar utara Pulau Timor dan Selatan Pulau Flores, Lembata
dan Alor. Karaktersitik massa air perairan Indonesia yang umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson
yang bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air
Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia sehingga mengindikasikan adanya suhu hangat dari
lautan Pasifik bertemu dengan suhu dingin dari lauatan Hindia. Banyaknya kejadian front dalam suatu
-983-
Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2 (Hanintyo, R.,
dkk.)
perairan paling tinggi yaitu sebanyak 4 kali kejadian pada bulan Agustus, yaitu ± 31 km ke arah Tanjung
Kurus, Kabupaten Kupang.
Gambar 3. Peta Sebaran Kejadian Front di Laut Sawu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2015
Berdasarkan sebaran suhu yang ditampilkan pada Gambar 4., terlihat bahwa ada perbedaan sebaran yang
cukup tinggi antara bulan juni hingga agustus. Saat musim timur berlangsung, suhu permukaan laut di
perairan Indonesia cenderung dingin. Sedangkan karena laut sawu merupakan salah satu wilayah yang
dilewati oleh lintasan Arlindo, maka dapat terlihat bahwa ada hempasan suhu yang berbeda pada lintasan
Arlindo tersebut. Arlindo yang membawa masa air dari samudera pasifik membawa massa air dengan
kondisi suhu yang hangat, sedangkan perairan Indonesia pada saat itu dalam kondisi dingin, sehingga terjadi
pertemuan dua massa air dengan karakteristik yang berbeda. Pada bulan Juni suhu permukaan laut tidak
terlalu dingin, sehingga pencampuran dengan massa air yang dibawa Arlindo tidak terlalu signifikan.
-984-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Sedangkan pada bulan Agustus yang merupakan puncak dari musim timur akan memiliki suhu permukaan
laut yang lebih dingin, sehingga proses pencampuran yang terjadi akan lebih maksimal, dan menghasilkan
kejadian front yang cukup banyak. Arlindo masuk melalui Selat Ombai, sehingga berdasarkan visualisasi
yang dihasilkan juga terlihat bahwa suhu panas dominan bergerak dari Selat Ombai hingga kebagian tengah
laut Sawu, tetapi tidak mencapai Selat Sumba. Pada bulan Juli, massa air yang mengalir ke Samudera
Hindia, tetapi pada bulan Agustus ada massa air yang terperangkap pada bagian selatan Pulau Flores bagian
timur. hal tersebut dapat mengindikasikan terjadinya fenomena upwelling.
Gambar 4. Peta Sebaran suhu permukaan laut di Laut Sawu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2015
Karaktersitik massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang bertiup
di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air Lautan Pasifik
Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat suhu permukaan perairan Indonesia
lebih dingin dengan salinitas yang lebih tinggi sebagai pengaruh terjadinya upwelling di beberapa daerah
selama musim timur dan juga akibat dari masuknya massa air Lautan Pasifik, sedangkan pada musim barat,
suhu permukaan perairan lebih hangat dengan salinitas yang lebih rendah. Selama musim timur, dibeberapa
bagian dari perairan Indonesia mengalami upwelling dan percampuran massa air yang mengakibatkan
-985-
Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 Berdasarkan Citra Satelit Aqua-Terra MODIS Level 2 (Hanintyo, R.,
dkk.)
terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya
produktivitas primer perairan bila dibandingkan dengan musim barat.
Gordon et al. (2003) mengatakan bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui dua jalur
utama, yaitu jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa
air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke
arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut
Timor. Di jalur timur massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku kemudian ke Laut Banda.
Dari Laut Banda, massa air akan mengalir mengikuti dua rute, diantaranya rute utara Pulau Timor melalui
Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute
selatan Pulau Timor melalui Basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia.
Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi karakteristik massa air Lautan Pasifik dan
sistem angin muson. Dimana pada Musim Barat (Desember – Pebruari) bertiup angin muson barat laut di
bagian selatan katulistiwa dan timur laut di utara katulistiwa, sedangkan pada Musim Tmur (Juni – Agustus)
bertiup angin muson tenggara di selatan katulistiwa dan barat daya di utara katulistiwa. Upwelling sendiri
yaitu naiknya massa air dari bawah permukaan ke atas permukaan, yang juga kaya nutrient. Tingginya
produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada
lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang
dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat
di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi
ekuator.
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh
secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses
fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (P max), sedangkan pengaruh secara
tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi
fitoplankton. Terjadinya Arlindo terutama disebabkan oleh perbedaan tinggi muka laut antara Lautan Pasifik
dan Lautan Hindia, yaitu permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan Hindia
bagian timur, sehingga terjadi gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke
Lautan Hindia (Hasanudin, 1998).
Menurut Sprintall et.al. (2000) mengemukakan bahwa bahang (panas) dan massa air dengan salinitas
rendah yang dibawa oleh Arlindo diketahui mempengaruhi perimbangan kedua parameter di kedua
samudera. Kedua parameter tersebut adalah parameter fisik seperti suhu dan salinitas. Oleh sebab itu jalur
yang dilalui Arlindo merupakan perairan yang sangat unik karena Arlindo membawa karakteristik massa air
yang unik karena adanya percampuran massa air dari dua samudra yang berbeda. Karakterisitik seperti suhu
dan salinitas yang unik tersebut mengakibatkan daerah tersebut diperkirakan merupakan tempat yang ideal
bagi organisme laut untuk hidup yang salah satunya merupakan fitoplankton dan juga ikan-ikan yang
mempunyai nilai komersial yang tinggi.
Dari semua kejadian thermal front tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai kesuburan perairan dari
daerah sekitar terjadinya front tersebut, karena saat terjadinya pertemuan masa air yang berbeda tersebut
dapat diindikasikan bahwa organisme perairan akan berkumpul pada daerah tersebut karena jumlah nutrien
yang terbentuk akan lebih banyak sehingga banyak organisme yang terperangkap disana untuk mencari
makan seperti yang dikemukakan oleh Arief (2004) bahwa daerah front diduga memiliki produktivitas tinggi
karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga merupakan “feeding
ground” bagi jenis ikan pelagis, hal ini menyebabkan daerah front menjadi daerah penangkapan yang baik
untuk jenis-jenis ikan pelagis. Selain itu tinggi suhu dapat meningkatkan laju maksimum reaksi kimia,
sehinnga laju fotosintesa fitoplankton ikut meningkat dengan meningkatnya suhu perairan (Tomascik et al.
1997).
4.
KESIMPULAN
Kejadian terbentuknya front mengalami trend yang positif selama musim timur. Hasil penjumlahan
sebaran front terhadap jumlah pixel menunjukan bulan Agustus mengalami intensitas yang lebih tinggi
dibandingkan bulan Juni & Juli di tahun 2015. Kejadian front paling sering terjadi disekitar utara Pulau
Timor dan Selatan Pulau Flores, Lembata dan Alor. Banyaknya kejadian front dalam suatu perairan paling
tinggi yaitu sebanyak 4 kali kejadian pada bulan Agustus, yaitu ± 31 km ke arah Tanjung Kurus, Kabupaten
Kupang. Banyak jumlah tampalan pada bulan Agustus bisa menjadi indikasi puncak upwelling dan menjadi
indikasi bulan yang paling subur pada musim timur.
-986-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih diucapkan kepada pengunduh dan pengolah data citra satelit, pembahas makalah,
serta pada para peneliti yang memberikan dukungannya dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, M., (2004). Aplikasi Data Satelit Resolusi Rendah dan SIG untuk Analisa Distribusi Spatial Zona Potensi
Penangkapan Ikan (ZPPI) di Selat Makassar Periode: Juli – Agustus 2004. LAPAN
Cullen, J.J., Lewis, M.R., Davis, C.O., dan Barber, R.T., (1992). Photosynthetic Characteristics and Estimated Growth
Rates Incate Grazing is the Proximate Control of Primary Production in the Equatorial Pacific. J Geophys. Res., 97
(C1): 639 – ;654.
Gordon, Arnold, R.D., Susanto, dan Vranes, K., (2003). Cool Indonesian throughflow as a consequence of restricted
surface layer flow. Nature, 425:824-828.
Hamzah, R., Teguh, P., dan Wawan, K.H., (2014). Identifikasi Thermal front dari data satelit Terra/Aqua MODIS
menggunakan metode single image edge detection (SIED) (Studi Kasus: Perairan Utara dan Selatan Pulau Jawa).
Prosiding Seminar Nasional Penginderaan Jauh. LAPAN.
Hasanudin, M., (1998). Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). J. Oseana., 23(2):1 - 9.
Olson, D.B., Hitchcock, G.L., Mariano, A.J., et al. (1994). Life on the Edge : Marine Life and Fronts, Oceanography,
7(2):52-60
Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A., dan Moosa, M.K., (1997). The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. The
Ecology of Indonesian Series. Vol. VIII. Periplus Editions (HK) Ltd.
Wyrtki, K., (1961). Physical Oceanography of The Southeast Asian Waters. Scientific result of Marine investigations of
the South China Sea and the Gulf of Thailand 1959-1961. The Univesity of California, Scripps Institution of
Oceanography La Jolla, California:195pp.
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Thermal Front pada Musim Timur di Laut Sawu Tahun 2015 berdasarkan Citra
Satelit Aqua-Terra Modis Level 2
: Rizki Hanintyo (KKP)
:
Pertanyaan: Maryani Hartuti (LAPAN)
Bagaimana hubungan perkembangan front dengan kesuburan perairan? Apakah perkembangan kesuburan
perairan waktunya bersamaan dengan pola perkembangan front, atau ada delay?
Jawaban:
Untuk kesuburan perairan, kami belum melakukan kajian antara front dengan kesuburan perairan (mungkin
bisa di elaborasi lanjut, kesuburan perairan apakah hanya SSC, atau termasuk nutrien di dalamnya).
-987-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca
saat Hujan Lebat di Jakarta (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016)
Identification of Cumulonimbus Cloud using Weather Radar Image
on Heavy Rain in Jakarta (Case Study on April 20th 2016)
Rahmatia Dewi Ariyanti1*), Dian Asmarani1, Umi Sa’adah1,
dan Muclishin Pramono Guntur Waseso1,2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
*)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK -Berdasarkan sumber berita dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi banjir di
beberapa wilayah Jakarta pada tanggal 21 April 2016. Hal ini disebabkan hujan lebat sejak tanggal 20 April 2016 di beberapa
wilayah Jakarta. Berdasarkan data BMKG, curah hujan di Depok tercatat 202 mm per hari dan intensitas hujan di Pasar
Minggu 166 mm per hari. Hujan lebat yang terjadi diindikasikan adanya gugusan awan konvektif yakni awan Cumulonimbus
(Cb). Dalam tulisan ini, akan mengkaji dan mengidentifikasi keberadaan awan Cb yang terbentuk pada kejadian
tersebut.Metode yang peneliti lakukan adalah dengan menggunakan data radar cuaca Jakarta dan membuat beberapa produk
yakni CMAX (Column Maximum) untuk melihat pola dan nilai maksimum reflektivitas yang mengindikasikan adanya awan
Cb, CAPPI (V) untuk melihat pola pembentukan awan Cb, ETOPS dan EBASE untuk melihat tinggi puncak dan dasar awan.
Hasil menunjukkan bahwa awan Cb terbentuk dalam dua periode. Periode pertama pada pukul 05.00 UTC hingga 12.00 UTC
dan periode kedua pada pukul 18.40 UTC sampai 23.00 UTC. Nilai reflektivitas maksimum mencapai 59 dBz dan 47.5 dBz,
dengan ketinggian 400 m hingga 10.4 km. Awan tersebut terbentuk diakibatkan adanya konvergensi.
Kata kunci: Awan Cumulonimbus, Hujan Lebat
ABSTRACT -Based on news from BNPB, there have been floods in several areas in Jakarta on April 21st, 2016. This was due
to heavy rain since 20 April 2016 in several areas in Jakarta. Based on information from BMKG, that heavy rain reached 202
mm in Depok and 166 mm in Pasar Minggu. Heavy rain that occurred indicated the existence of a cluster of convective
clouds, which is Cumulonimbus cloud (Cb). This paper examined and identified where Cumulonimbus cloud (Cb) formed on
the incident. The method that used is using data from Weather Radar of Jakarta and make some products namely CMAX
(Column Maximum) to see the pattern and the maximum value of reflectivity that indicate the presence of Cb clouds, CAPPI
(V) to see the pattern formation of Cb clouds, ETOP and EBASE to see high cloud tops and bottoms. The results showed that
Cumulonimbus clouds formed at 17:20 UTC until 22:10 UTC. The maximum reflectivity value was up to 55 DBZ with a height
of 300 m to 11 km. The clouds were formed due to the existence of convergence.
Keywords: Cumulonimbus Cloud, Heavy Rain.
1. PENDAHULUAN
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi banjir di beberapa wilayah Jakarta
pada tangal 21 April 2016. Hal ini disebabkan hujan lebat sejak tanggal 20 April 2016 di beberapa wilayah
Jakarta. Banjir tersebut mengakibatkan rumah warga terendam banjir antara 30 cm hingga 500 cm. Tidak ada
korban jiwa akibat banjir tersebut, namun, sekitar 500 rumah dan jalan mengalami kerusakan ringan
Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan di Depok tercatat 202
mm per hari dan intensitas hujan di Pasar Minggu 166 mm per hari. Hujan lebat yang terjadi diindikasikan adanya
gugusan awan konvektif yakni awan Cumulonimbus (Cb).
Seiringnya perkembangan teknologi yang semakin pesat, muncul sistem penginderaan jarak jauh seperti Radar
Cuaca yang dapat memberikan informasi peringatan cuaca secara dini kepada masyarakat. Peringatan dini cuaca
penting untuk meminimalisir risiko akibat bencana, dengan memanfaatkan radar cuaca diharapkan dapat
menambah keakuratan informasi peringatan cuaca dini yang dibuat.
-988-
Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti,
R.D., dkk.)
Gambar 1.1 Banjir Akibat Hujan Lebat di Wilayah Jakarta (sumber: BNPB)
Dalam tulisan ini kami ingin mengindentifikasi keberadaan awan Cumulonimbus dengan citra radar, yang
menyebabkan hujan lebat di Jakarta tanggal 20 April 2016 dan mengakibatkan banjir dibeberapa wilayah Jakarta.
Identifikasi ini dilakukan agar kedepannya BMKG dapat memberikan peringatan cuaca dini lebih akurat sehingga
masyarakat dapat mengantisipasi adanya bencana.
2. METODE
2.1 Teori Penelitian
2.1.1 Awan Cumulonimbus
Awan Cumulonimbus (Cb) adalah awan yang dapat menyebabkan hujan lebat, petir, dan angin kencang. Jenis
awan ini terlihat gelap (warna hitam pekat dan bergumpal berbentuk bunga kol) (Zakir, dkk., 2009). Awan Cb
adalah jenis awan Cumulus dengan ketebalan vertikal 2000-16000m atau setara dengan 6500-60.000ft, dan
terdapat campuran kristal es di bagian atas serta tetes air dibagian bawah, karateristik ini menyebabkan turunnya
hujan deras namun, setelah periode hujan deras selesai hujan gerimis masih bisa terjadi dalam waktu yang cukup
lama(Rusandi, 2013).
Awan ini disebabkan akibat adanya penguapan dan massa udara naik (updraft). Bila ditinjau dari arah dan
kecepatan aliran vertikal siklus awan Cb, maka ada tiga tahapan-tahapan pertumbuhan awan Cb yaitu :
a. Tahap Pertumbuhan (Cumulus Stage)
Dalam awan terdiri dari arus naik ke atas yang kuat (Gambar 2.1). Hujan belum turun, titik-titik air maupun
kristal-kristal es, masih tertahan oleh arus udara yang naik ke atas puncak awan.
Gambar 2.1 Cumulus Stage (Byers,1949)
b. Tahap Dewasa (Mature Stage)
Titik-titik air tidak tertahan lagi oleh udara naik ke puncak awan (Gambar 2.2). Hujan turun menimbulkan gaya
gesek antara arus udara naik dan turun.
-989-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2.2 Mature Stage (Byers,1949)
c. Tahap Mati (Dissipating Stage)
Tidak ada massa udara naik, massa udara yang turun meluas diseluruh awan(Gambar 2.3). Kondensasi berhenti,
udara yang turun melemah hingga berakhirlah pertumbuhan awan Cb.
Gambar 2.3 Dissipating Stage (Byers,1949)
2.1.2 Radar Cuaca
Radar cuaca adalah alat bantu untuk mengamati cuaca secara khusus berupa hujan, awan, arah dan kecepatan
angin dalam radius yang cukup luas hingga ratusan kilometer (tergantung panjang gelombang yang digunakan)
dengan resolusi ± 300m. Output berupa gambar dapat diinterpretasikan atau dianalisis hingga menghasilkan suatu
informasi yang berguna untuk pelayanan jasa meteorologi (Zakir, dkk.,2009).
Terlihat pada Gambar 2.4, prinsip operasi radar sangat sederhana dan sangat mirip dengan cara yang digunakan
kelelawar untuk menemukan jalan selama mereka terbang, kelelawar memancarkan suara ultrasonik pada
frekuensi tertentu (120 KHz) dan mendengar gema (echo) dari suaranya. Echo inilah yang memungkinkan untuk
mencari dan menghindari benda-benda di jalan mereka.Seperti halnya radar, kuat lemahnya deteksi radar terhadap
suatu objek sangat bergantung pada besarnya energi yang dikembalikan oleh objek ke antena radar.
Gambar 2.4 Prinsip Kerja Radar (Wardoyo, 2011)
Objek dari radar cuaca adalah suatu benda yang terdapat di atmosfer, berupa awan, presipitasi, badai guntur dan
lain sebagainya. Namun pada beberapa kejadian seringkali objek yang dideteksi radar cuaca bukan merupakan
fenomena atmosfer, seperti: gunung, gelombang laut, bangunan tinggi bahkan pesawat.
Radar memancarkan pulsa berupa gelombang elektromagnetik melalui antena dengan arah lurus dan kecepatan
tetap. Setelah gelombang elektromagnetik mengenai objek, maka akan dipantulkan dan pantulan akan diterima
radar. Radar akan mendeteksi keberadaan objek dan mengukur reflektifitas dari obyek tersebut, bergantung pada
besaran komponen dan massa. Jarak dari target (objek) diukur berdasarkan perhitungan waktu yang ditempuh echo
dari taget dan arah antena (azimuth dan elevasi) target (Gambar 2.5).
-990-
Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti,
R.D., dkk.)
Gambar 2.5 Volume Scan Radar (Basic Radar Meteorology, 2003)
2.2 Lokasi Penelitian
Secara geografis, Jakarta berada pada 6°12’ Lintang Selatan dan 106°48’ Bujur Timur.
Gambar 2.6 Peta Jakarta
2.3 Data dan Alat Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data radar cuaca Jakarta tanggal 20 April 2016
b. Data synop dari www.ogimet.com tanggal 20 April 2016
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Radar cuaca yang terletak di Stasiun Geofisika Tangerang.
b. Aplikasi Edge.
Aplikasi EDGE atau Enterprise Doppler Graphics Environment digunakan untuk mengolah produk radar
EEC baik dengan data reflektivitas dan data velocity.
-991-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Gambar 2.7 Aplikasi EDGE (Wardoyo, 2011 )
2.4 Diagram Alir
Mulai
Pengumpulan
data radar dan
synop
Validasi
data
synop
Running data
radar
Hasil dan
kesimpulan
Selesai
-992-
Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti,
R.D., dkk.)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Pengamatan Sinoptik
Berdasarkan hasil pengamatan sinoptik beberapa sampel lokasi kejadian, menunjukkan bahwa area cakupan
hujan yang cukup luas (Tabel 3.1). Terlihat dari beberapa sampel lokasi kejadian diakibatkan karena adanya
kehadiran awan konvektif yakni awan Cb.
Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Sinoptik
Awan
Tanggal
Lokasi
20 April 2016
Cengkareng
Kemayoran
Tanjung Priok
Jenis
Dasar/Puncak (m)
Cb
Cb
Sc
600/9000
510/570/-
Curah
Hujan
(mm)
16
124
113
3.2 Hasil Pantauan Radar Cuaca
Berdasarkan hasil produk radar CMAX (Column Maximum)dengan ketinggian 3 km hingga 0.3kmpada tanggal
20 April 2016,terdapat dua massa hidup awan Cb yang tumbuh secara sporadis di beberapa wilayah Jakarta.
Periode pertama pada siang hari terjadi pukul 05.00 UTC hingga 12.00 UTC dan periode kedua pada dini hari
terjadi pukul 18.40 UTC hingga 23.00 UTC. Nilai intensitas reflektivitas maksimum yang ditunjukkan pada
periode siang hari mencapai 59 dBz dan pada periode dini hari sebesar 47.5 dBz (Gambar 3.1). Hal ini berkaitan
dengan adanya besaran energi yang dipantulkan kembali dari objek yang diterimaoleh radar cuaca, terindikasikan
bahwa adanya kehadiran awan Cb pada saat kejadian hujan lebat tersebut. Dari rekaman pengamatan cuaca oleh
prakirawan di Indonesia, pada umumnya nilai reflektivitas sebesar 33 dBz sudah dapat dikatakan sebagai indikasi
pertumbuhan awan Cb. Hal ini menunjukkan intensitas peluang adanya awan Cb pada tanggal 20 April 2016
tergolong cukup besar.
Pukul 05.00 UTC
Pukul 10.10 UTC
Pukul 10.50 UTC
Pukul 11.10 UTC
-993-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pukul 12.00 UTC
Pukul 18.40 UTC
Pukul 21.30 UTC
Pukul 23.00 UTC
Gambar 3.1 Produk CMAX
Tidak hanya produk CMAX yang menunjukkan adanya pembentukan awan Cb,diolah dan dianalisa dengan
produk CAPPI (Z) dengan ketinggian 1 km juga menunjukkan nilai reflektivitas maksimum yang relatif sama. Di
mana salah satu sampel pada tahap matang awan Cb pada siang hari terjadi pada pukul10.10 UTC sebesar 56dBz
dan pada dini hari terjadi pada pukul 21.30 UTC sebesar 47 dBz (Gambar 3.2).
Pukul 10.10 UTC
Pukul 10.10 UTC
-994-
Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti,
R.D., dkk.)
Pukul 21.30 UTC
Pukul 21.30 UTC
(a)
(b)
Gambar 3.2 (a) Produk CAPPI (Z); (b) Produk CAPPI (V)
Kemudian dianalisis dengan produk CAPPI (V), untuk meninjau pertumbuhan awan Cb periode siang hari
yakni pada pukul 09.00 UTC dan pada periode dini hari pada pukul 20.20 UTC terlihat adanya pertemuan massa
udara yang disebut konvergensi.Outbound (warna merah) menunjukan pergerakan massa udara menjauhi radar,
sedangkan Inbound (warna hijau) menunjukkan pergerakan massa udara yang mendekati radar sehingga,
terjadinya pertemuan massa udara tersebut mendukung adanya pertumbuhan awan Cb (Gambar 3.3).
Pukul 09.00 UTC
Pukul 20.20 UTC
Gambar 3.3 Produk CAPPI (V)
Kemudian meninjau salah satu sampel waktu, ketikaawan Cb pada tahap matang, diperoleh sempel waktu
yang mewakili periode siang hari pada pukul 10.10 UTC sedangkan periode dini hari pada pukul 21.20 UTC
produk EBASE yang menunjukkan tinggi dasar awan pada periode siang hari dan periode dini hariadalah 400 m.
Produk ETOPSyang menunjukkan tinggi puncak awan pada periode siang hari adalah 10.2 km dan pada periode
dini hari adalah 10.4 km (Gambar 3.4).
Pukul 10.10 UTC
Pukul 10.10 UTC
-995-
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pukul 21.30 UTC
Pukul 21.30 UTC
(a)
(b)
Gambar 3.4 (a) Produk EBASE; (b) Produk ETOPS
Kemudian melihat estimasi intensitas curah hujan per hari yang diukur oleh radar cuaca dengan menggunakan
produk IACM tercatat bahwa wilayah Kemayoran sebesar 75.6 mm, wilayah Cengkareng sebesar 16.5 mm,
wilayah Tanjung Priok sebesar 74.3 mm, wilayah Depok sebesar 63.5 mm, dan wilayah Pasar Minggu sebesar 65.9
mm(Gambar 3.5). Terlihat adanya perbedaan antara pengukuran hasil pengamatan dengan estimasi intensitas
curah hujan per hari dari radar cuaca. Hal ini disebabkan adanya faktor kelengkungan bumi terhadap beam radar
cuaca, dan faktor meteorologi lainnya yang patut diperhitungkan seperti faktor angin.
Gambar 3.5 Produk IACM Pukul 23.50 UTC
4. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
a. Kejadian hujan lebat pada tanggal 20 April 2016 terjadi karena awan Cumulonimbus (Cb).
b. Awan Cb terbentuk diakibatkan oleh konvergensi.
c. Massa hidup awan Cb terjadi pada pukul 05.00 UTC hingga 12.00 UTC, dan pada pukul 18.40 UTC hingga
23.00 UTC.
d. Intensitas reflektivitas maksimum awan Cb berdasarkan produk CMAX adalah 59 dBz dan 47.5 dBz.
e. Tahap matang awan Cb pada siang hari terjadi pada pukul 10.10 UTC memiliki tinggi puncak awan mencapai
10.2 km dan tinggi dasar awan 400 m dan pada dini hari pukul 21.30 UTC memiliki tinggi puncak awan 10.4
km dan tinggi dasar awan 400 m.
-996-
Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta, (Studi Kasus Tanggal 20 April 2016) (Ariyanti,
R.D., dkk.)
DAFTAR PUSTAKA
--------, 2003: IRIS Product & Display Manual August. Basic Radar Meteorologi, pp A-1-A-7
Byers, H.R., dan Braham, Jr., (1949.) The Thunderstorm. Supt. Of Documents, U.S. Government Printing Office, Washington,
D.C., 287 pp.
Nugroho, S.P., (2016) 600 KK Terdampak Banjir di Kota Bekasi. Link:http://bnpb.go.id/berita/2908/600-kk-terdampak-banjirdi-kota-bekasi. BNPB. Jakarta. Diakses pada Tanggal 26 Mei 2016
Rusandi, R., (2013) Klimatologi-paper-awan-Mekanisme-Pembentukan-Awan.
Link:http//www.slideshare.net/RioRusandi92/Klimatologi-paper-awan. Universitas Riau. Riau. Diakses Pada Tanggal 15
Juni 2016.
Wardoyo, E., (2011). Pengantar III Output Radar Data. Training Radar Cuaca. Bmkg
Zakir, A., Khotimah, M.K, dan Sulistya, W. (2009). Perspektif Operasional Cuaca Tropis. BMG. Jakarta.
www.ogimet.com. (Diakses pada tanggal 16 Juni 2016).
*) Makalah ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukkan pada saat diskusi presentasi ilmiah
BERITA ACARA
PRESENTASI ILMIAH SINAS INDERAJA 2016
Moderator
Judul Makalah
Pemakalah
Diskusi
: Parwati
: Identifikasi Awan Cumulonimbus dengan Citra Radar Cuaca saat Hujan Lebat di Jakarta
(Studi Kasus Tanggal 20 April 2016)
: Rahmatia Dewi Ariyanti, Dian Asmarani, Umi Sa’adah, Muclishin Pramono Guntur
Waseso (BMKG)
:
Pertanyaan: Prof. Eddy Hermawan (LAPAN):
Benarkah curah hujan tinggi terjadi karena Cb single ataukah merupakan kumpulan Cb, ataukah merupakan
nimbus cratus? Bisa mengecek kembali apa dikarenakan awan Cumulonimbus?
Jawaban:
Data yang didapat adalah 33 dbz dan kami menginterpretasikan hal tersebut sudah termasuk awan Cumulonimbus
dan kami berfikir jika pada saat itu tingginya kurang dari 17 km.
-997-
Download