diskriminasi gender sebagai penyebab timbulnya feminisme liberal

advertisement
DISKRIMINASI GENDER SEBAGAI
PENYEBAB TIMBULNYA FEMINISME
LIBERAL DALAM NOVEL HANAUZUMI
Stephanie Anzali Marsen
Universitas Bina Nusantara, Jalan K.H. Syahdan No. 9 Jakarta 11480, (021) 534-5830/(021) 530-0244,
[email protected]
Stephanie, Linda Unsriana, S.S.,M.Si
ABSTRACT
Women in the early Meiji government is limited in self-actualization. The struggle of life
experienced by Ginko very heavy with their position as women, the oppressed. Various discrimination he
received from men. Oppression-oppression which brings Ginko become one of the leading feminist
demand for gender equality. In this story, the authors found that Ginko woman who is the main character
in the novel
(HanaUzumi) seem to have the idea as a liberal feminist as a result of gender
discrimination she experienced. This is according to the author is interesting to study more deeply. The
purpose of this study was to determine the gender discrimination at Ginko Ogino figures, the first female
doctor in Japan as the cause of liberal feminism in the novel Hana Uzumi works Jun'ichi Watanabe. In
this study, the authors used qualitative methods, and descriptive analysis. After analyzing the data, the
authors found through a variety of discrimination received by Ginko on his way into the first female
doctor in Japan, causing Ginko as liberal feminist figure japan.
花埋み
Keywords: gender discrimination, feminism, hanauzumi.
ABSTRAKSI
Wanita pada masa awal pemerintahan Meiji sangatlah terbatas dalam pengaktualisasian diri.
Perjuangan hidup yang dialami Ginko sangat berat dengan posisinya sebagai perempuan, kaum tertindas.
Penindasan tersebut yang membawa Ginko menjadi salah seorang tokoh feminis yang menuntut
kesetaraan gender. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui diskriminasi gender pada tokoh
Ogino Ginko, dokter perempuan pertama di Jepang sebagai penyebab timbulnya feminisme liberal dalam
novel Hana Uzumi karya Jun’ichi Watanabe. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
kualitatif, dan deskriptif analisis. Setelah menganalisis data, penulis menemukan adanya kesadaran
pemahaman feminisme liberal pada tokoh Ginko melalui berbagai diskriminasi yang diterima dalam
perjalanannya menjadi dokter perempuan pertama di Jepang.
Kata kunci: diskriminasi gender, feminisme, hanauzumi.
PENDAHULUAN
Menurut Shuji dalam Olson (2006: 197) masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Olson
(2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu sistem dimana para pria lebih
dominan dibandingkan para wanitanya di lingkungan pekerjaan maupun di kehidupan rumah tangga. Para
pria di Jepang memainkan peranan penting di dalam masyarakat dan mereka cenderung lebih
mementingkan pekerjaannya daripada perkawinannya.
Pada masa awal pemerintahan Meiji, wanita harus tunduk pada laki-laki. Pada zaman tersebut
ketika hendak makan, perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai. Selain itu, perempuan
harus berjalan beberapa langkah di belakang laki-laki. Perempuan harus selalu berbicara dengan hormat
ketika menghadapi lawan jenis. Ruang lingkup perempuan diharuskan terbatas hanya pada pekerjaan
rumah tangga dan mengasuh anak. Wanita juga tidak boleh mengenyam pendidikan terlebih mengejar
cita-cita karena dianggap melanggar hukum. Jalan terbuka untuk pendidikan wanita pun sangat minim.
Diskriminasi gender tersebut memposisikan kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal tersebut
menyebabkan reaksi masyarakat tidak terima dengan perlakuan tersebut sehingga, timbul gerakan kaum
perempuan yang ingin memperjuangkan hak-hak kaum perempuan melalui kontribusi mereka dalam
organisasi-organisasi perempuan.
Gerakan emansipasi wanita di Jepang tak terlepas dari sejarah perjuangan wanita Jepang dalam
memperjuangkan hak–haknya. Sebelum Perang Dunia II, kehidupan wanita sebagai seorang istri sangat
dibatasi, dalam arti mereka tidak boleh bekerja di luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya. Kehidupannya hanya berkisar pada melayani suami dan mengurus anak. Kekalahan Jepang
pada Perang Dunia II telah memberikan kehidupan baru pada pergerakan emansipasi wanita di Jepang,
membuat wanita di Jepang mempunyai hak pilih pada pemilu 1946. Bagaimanapun, pergerakan untuk
memberi penerangan bagi wanita Jepang telah dimulai sejak awal tahun 1910-an, dan pada tahun 1920
terbentuk New Women’s Association (Asosiasi Wanita Baru) yang telah melahirkan zaman baru pada
pergerakan wanita di Jepang (Claremont, Agustus 2005).
Persoalan gender yang selalu terlihat adalah kedudukan laki-laki sebagai penguasa telah
memarginalkan kedudukan wanita dan seringkali keluar anggapan bahwa wanita hanya bertugas
menjalankan kehidupan rumah tangga. Laki-laki tidak menyadari pentingnya kehadiran wanita. Hal inilah
yang menimbulkan gerakan pembebasan oleh kaum wanita yang kemudian disebut sebagai feminis. Akan
tetapi, gerakan pembebasan ini banyak mendapat tantangan dari kaumwanita yang masih berpandangan
konservatif maupun dari kaum laki-laki yang tidak menginginkan kedudukan mereka digugat. Kaum pria
yang pada umumnya menolak membiarkan wanita menggeser atau mengambil alih kedudukan mereka,
selalu menghambat perjuangan kaum feminis. (Djajanegara, 2003: 7)
Feminisme merupakan gerakan yang berawal dari Barat, dimulai dengan adanya industrialisasi
dan kelas dalam masyarakat yang memarginalkan kelas perempuan. Munculnya pemikiran-pemikiran
tentang wacana feminisme berasal dari masyarakat, agama, dan budaya. Prabasmoro mengatakan,
feminisme bukanlah paham yang berdiri sendiri. Pada dasarnya ruang lingkup tentang paham feminisme
sangat luas. Ruang lingkup ini meliputi gender dan ketidakadilan gender hingga pemikiran-pemikiran
tentang feminisme. Menurut Prabasmoro (2006: 23), pemahaman dasar atas feminisme ini penting untuk
melihat dengan lebih bening bahwa feminisme bukanlah semata-mata milik perempuan. Ini berarti wacana
feminis bukan hanya menjadi pekerjaan besar wanita, tetapi juga laki-laki. Orang yang mengikuti aliran
ini disebut feminis. Artinya, pria maupun wanita yang peduli dan menyadari adanya ketimpangan struktur
sosial antara kaum wanita dan pria di masyarakat dapat dikatakan seorang feminis.
Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan
secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.Setiap manusia -demikian menurut merekapunya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan.
Feminsime liberal muncul dari aliran pemikiran politik liberalisme membebaskan perempuan dari
peran gender yang opresif. Dalam konteks ini, hal yang dimaksud ialah peran-peran yang digunakan
sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan
tempat sama sekali, bagi perempuan, di dalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menawarkan
bahwa masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender, dan menganggap hanya pekerjaanpekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan (Tong, 2010: 4849).
Dalam penelusuran memahami feminisme yang terjadi di Jepang, penulis menemukan tokohtokoh yang berpengharuh pada zaman dahulu yaitu. Higuchi dan Ichiyo, Yosano Akiko. Yosano Akiko
(1878-1942) sebagai penganut paham feminis liberal, Akiko menginginkan kesamaan hak dalam
menyuarakan ide dan pikiran di segala bidang, salah satunya mengenai perang. Dan ia berpendapat bahwa
Wanita di Jepang berada dibawah kekuasaan kaum pria. Seorang tokoh wanita bernama Higuchi Ichiyo
(1872-1896) merupakan satu-satunya tokoh wanita yang namanya diabadikan di mata uang kertas 5000
yen Jepang. Ironi kehidupan yang dialami Higuchi saat kaum pria yang telah bersikap diskriminatif
terhadap tulisannya hanya karena ia seorang wanita, sekarang membanjirinya dengan pujian-pujian dan
ajakan bekerjasama. Di akhir hidupnya, barul sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati oleh warga
Jepang. Beratus-ratus tahun kemudian wajahnya diabadikan pada mata uang kertas 5.000 yen Jepang.
Sebuah penghormatan dan kedudukan yang tak pernah dicapai oleh perempuan Jepang mana pun.
Tidak hanya pada tokoh Higuchi Ichiyo yang mengalami diskriminasi dalam penulisan karena
statusnya sebagai perempuan, Bentuk-bentuk diskriminasi dan ketidakadilan sosial yang sama pun dialami
oleh Ogino Gin. Dengan mengalami berbagai penindasan, melahirkan sebuah gerakan feminisme yang
mengusung kesetaraan gender dan menuntut untuk memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki.
Pada masa awal pemerintahan Meiji, ketika meraih profesi dokter sangatlah sulit bahkan bagi
laki-laki, cita-cita Gin terbilang mustahil. Dengan tekadnya yang bulat, Gin mengubah namanya menjadi
Ginko sebagai simbol perlawanannya terhadap ketidakadilan yang mendera perempuan, dia berjuang
menjadi dokter perempuan pertama di Jepang.
Perjuangan hidup yang dialami Ginko sangat berat dengan posisinya sebagai perempuan, kaum
tertindas. Berbagai diskriminasi ia terima dari kaum laki-laki. Penindasan-penindasan tersebut yang
membawa Ginko menjadi salah seorang tokoh feminis yang menuntut kesetaraan gender. Pada kisah ini,
(Hana
penulis menemukan bahwa Ginko yang adalah tokoh utama perempuan dalam novel
Uzumi) terlihat mempunyai gagasan sebagai seorang feminis liberal sebagai akibat dari diskriminasi
gender yang ia alami. Hal inilah yang menurut penulis merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih
dalam.
花埋み
METODE PENELITIAN
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini. Penulis juga menggunakan metode
kepustakaan untuk mengumpulkan teori yang akan digunakan dan mengumpulkan data yang akan
dianalisis melalui novel Hana Uzumi karya Jun’ichi Watanabe. Selain itu, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis untuk menganalisis data. Setelah menganalisis dengan menggunakan teori-teori yang
mendukung, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan.
HASIL DAN BAHASAN
花埋み
渡辺淳一
Ogino Ginko merupakan tokoh utama dalam novel
(Hana Uzumi) karya
(Watanabe Jun’ichi). Dalam novel ini, Ia mendapat banyak perlakuan tidak adil yang sering kita sebut
sebagai diskriminasi. Pada bab ini, penulis akan menganalisis diskriminasi gender yang Ginko terima
sebagai bentuk timbulnya feminisme liberal yang dilakukan oleh Ginko. Penulis akan membagi analisis
berdasarkan waktu kejadian menjadi dua bagian, analisis diskriminasi gender pada tokoh Ginko sebagai
penyebab timbulnya feminisme sebelum Ginko menjadi dokter, setelah Ginko menjadi dokter dan analisis
feminisme liberal pada tokoh Ginko sebagai akibat diskriminasi gender.
1.
Analisis diskriminasi gender pada tokoh Ginko sebagai penyebab timbulnya feminisme liberal
1.1. Analisis sebelum Ginko menjadi dokter
Dalam novel Hanauzumi ini, tokoh Ginko merupakan tokoh utama sekaligus tokoh protagonis karena
Ia berperan sebagai narator dalam cerita dan pada setiap adegan kehadirannya selalu muncul. Hal ini sesuai
arti tokoh utama menurut Nurgiyantoro, (2007: 176-177) yakni tokoh yang selalu muncul pada setiap adegan
dan berperan sebagai narator dalam cerita novel. Ginko yang sebagai tokoh utama juga menyampaikan pesan
dan moral yang akan tercantum pada analisis oleh teliti (Nurgiyantoro, 2007: 167).
Ginko terkenal sebagai seorang perempuan yang sedari kecil sangat cerdas dan tercantik diantara
ketujuh saudaranya. Dengan latar belakang keluarga yang sangat baik, desas-desus perceraian Ginko menjadi
sangat heboh di desa tersebut. Pada saat berumur enam belas tahun, Ginko menikah dengan Kanichiro, putra
tertua keluarga petani terkaya di Inamura dari Desa Kawakami bagian Saitama Utara yang dekat dari
Tawarase. Akan tetapi sayang, suaminya berkhianat dan menulari Ginko penyakit kelamin yang dinamakan
Norin. Norin adalah istilah yang digunakan dalam pengobatan China untuk menyebut gonorrhoea. Pasien
akan menderita demam tinggi, sakit luar biasa pada area yang terinfeksi dan rasa sakit saat buang air kecil.
Pada masa modern, gonorrhea dapat disembuhkan dengan penisilin atau antibiotik lain, tapi pada masa itu,
bubuk sulfa belum ada. Penyakit seperti itu dianggap tidak dapat disembuhkan. Dalam usia tiga tahun
pernikahannya, itu berarti Ginko tertular penyakit tersebut tak lama setelah menikah. Akan tetapi selama
Ginko sakit, mertuanya tetap menyuruhnya melakukan tugasnya dengan rutin. Beberapa kutipan mengenai
diskriminasi yang dialami Ginko sejak masa pernikahan dapat dilihat seperti pada kutipan-kutipan berikut:
「ぎんも告げるのが恥ずかしくて、心配にこらえていたようです。二月に熱があるのに水を使
って、眩暈を起こして倒れてからは、もう起きられなかったようです。ほんに困りました」
(Watanabe, 2011: 14)
Terjemahan:
“Gin sudah dipermalukan dan berharap bisa sembuh sebelum orang lain mengetahui penyakitnya. Pada bulan
Februari, dia terserang demam tapi tetap melakukan pekerjaan rumah dan tugas-tugas lainnya seperti biasa.
Kemudian pada suatu pagi, dia mengalami sakit kepala hebat sampai-sampai tak bisa bangun. Semenjak itu,
dia terus terbaring di tempat tidur.”
「いくら大家でも米櫃の番などはしたくもありません」
「それが嫁の勤めではありませんか」
「私はいやです。火をお起、部屋を掃除し、米を炊く。本を一つを読む暇もありません」
「ぎん、あなたはあちらで本を読んでいたのですか。何ということをするのです。本を読む農
家の嫁がどこにいます。」
「一日の仕事が終わったわずかな時間です。それさえ義母さんの目を盗んで。病気になったの
はかえってよかったのです。これで男の勝手と、結婚の馬鹿さ加減が分かったのですから」
(Watanabe, 2011: 23-24)
Terjemahan:
“Aku tak peduli sekaya apa mereka, aku tak sudi menghabiskan hidupku hanya dengan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga.”
Tomoko bicara lagi. “Memang seperti itulah tugas istri-istri yang masih muda.”
“Aku tidak mau … menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi … sama sekali tak ada waktu
untuk membaca.”
“Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku? Di mana-mana tak
ada istri petani yang membaca buku! Memangnya apa yang ada dikepalamu?”
“Yang kumaksud adalah waktu beberapa menit setelah pekerjaan siang hari selesai. Aku sampai terpaksa
harus sembunyi-sembunyi di rumah ibu mertuaku hanya untuk membuka buku ….. Aku tak menyesal aku
sakit … aku justru senang! Sekarang, aku tahu betapa egoisnya lelaki dan betapa hampanya pernikahan.”
「表向気には体が強くて子供が生まれない、ということを離婚の理由にしたいと言っていたか
ら、それはこちらでも納得しましたよ。一応そういうことでいいだろう」(Watanabe, 2011: 38)
Terjemahan:
“Keluarga Inamura memberitahu kita apa yang mereka katakan kepada orang-orang. Alasan perceraian itu
adalah karena kondisi fisikmu lemah dan tidak bisa punya anak.”
それにしても子供産まれない、という烙印はぎんには淋しかった。「子無気は去る」と『女大学』
に書かれているように、当時では右女は立派な離婚の理由になりえた。だがそれは女の生理まで否
定した屈辱的な理由でもある。あの女は不具だから、と言うのと変らない。本当に自分は子供は産
めないのであろうか。『女大学』にも三年と期限まで書いてある。いかに下の病といっても、そん
な風に一概に断定できるものだろうか。体を壊されたうえ、私はもう一人前の女ではなくなったの
か、考えるうちにぎんの頭は憤りで熱くなった。(Watanabe, 2011: 39)
Terjemahan:
Bagaimanapun juga, Gin merasa sakit hati dicap tak bisa punya anak. Dia ingat sebuah kalimat yang
dibacanya di buku tingkah laku peremuan berjudul Menjadi Perempuan Sejati, “seorang perempuan yang
tidak bisa punya anak harus meninggalkan rumah suaminya”. Kala itu, cap “mandul” adalah suatu alasan
umum perceraian. Akan tetapi memandang perempuan hanya dari kemampuannya menghasilkan anak tanpa
melihat nilai-nilai lainnya adalah penghinaan. Gin berpikir apakah dia memang sesungguhnya mandul atau
tidak. Buku itu bahkan memberi batas waktu hanya sampai tiga tahun untuk menyatakan seorang perempuan
itu mandul atau tidak. Semakin Gin memikirkannya, semakin marah dirinya. Suaminya tidak hanya merusak
kesehatannya, tetapi juga telah merampok harkatnya sebagai perempuan. Masyarakat tidak akan
menganggapnya sebagai perempuan sejati lagi.
Ginko yang sakit hati karena sebagai pihak yang disalahkan dalam hubungan perkawinannya, Ginko
memutuskan untuk bercerai. Kemudian ia berusaha untuk meyembuhkan penyakitnya dengan dokter terbaik
pada zaman itu. Akan tetapi, pada saat itu belum ada dokter perempuan sehinngga ia harus menunjukkan
bagian pribadinya kepada dokter laki-laki. Hal ini membuat konflik batin dan muncul pergolakan dalam diri
Ginko untuk menjadi seorang dokter perempuan. Ginko kemudian memohon kepada ibunya untuk
mendapatkan izin dari keluarganya pergi ke Tokyo untuk menjadi seorang dokter. Ibunya yang mendengar hal
ini, menganggap Ginko sudah tidak waras dengan keputusannya.
「馬鹿なことをお言いでわないよ。世の中には出来ることと出来るないことがあるのです。そこを
まずよく考えてみることです。それにはきちんと男のお医者様がいるではありませぬか、手足を切
ったり血を見ることは女子のすることではありません。女子には女子の守るべき道があります」
「家を守り、子を育てるということですか」
「それもーつです」(Watanabe, 2011: 92-93)
Terjemahan:
“Kumohon jangan bicara seperti orang tolol begitu. Di dunia tempat kita hidup sekarang, ada beberapa hal
yang mungkin dan ada pula yang tidak mungkin. Bercerminlah pada kenyataan. Itu tugas dokter laki-laki.
Memotong bagian-bagian tubuh dan melihat darah bukanlah pekerjaan perempuan. Ada banyak hal lain
yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan”
“Seperti mengurus rumah tangga dan merawat keluarga, bukan?”
“Ya, itu salah satunya.”
「女が医者になることはこれまでに例がない。例がないというより許されておらぬのだ。それ
をあえて進むと言うのは禁制を犯すに等しい。母上が反対されるのも無料がない。そこで相談
だが、。今すぐ女医になると言っても、どの道、しかとした方途はない。東京へ出して、手づ
るを求めると言っても、すぐおいそれとはゆくまい」(Watanabe, 2011: 98)
Terjemahan:
“Tidak pernah ada perempuan yang menjadi dokter sebelumnya. Karena tidak boleh. Mengejar cita-citamu ini
sama saja dengan melanggar hukum. Aku tidak kaget kalau ibumu menolak memberimu izin. Kalau kau pergi
ke Tokyo sekarang dan mengatakan kau ingin menjadi dokter, kau tetap tidak bisa melakukannya; kau tidak
punya koneksi dan jalan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan dokter tidak ada.”
Setelah berhasil mendapatkan izin untuk pergi ke Tokyo, Ginko belajar dengan Profesor
Yorikuni Inoue dan kemudian masuk ke Sekolah Guru Perempuan Tokyo dan tak berapa lama ia pun
masuk ke Universitas Kedokteran Kojuin. Kursi-kursi di perguruan tinggi kedokteran pada umumnya
terbatas bagi putra-putra mantan keluarga samurai yang terkenal atau orang-orang yang memiliki surat
pengantar dari orang terkemuka. Begitu halnya dengan Ginko yang memiliki surat pengantar dari Profesor
Nagai dan Tadashi Ishiguro, seorang direktur rumah sakit bedah tentara sekaligus seorang pejabat yang
berpengaruh dalam dunia kedokteran pada masa itu, sehingga, ia dapat masuk di Universitas Kedokteran
Kojuin. Rektor universitas bersedia menerima Ginko, tetapi ia tidak memberikan akomodasi khusus bagi
seorang mahasiswi─tidak dalam hal fasilitas, peralatan atau penyesuaian dengan peraturan. Apabila Ginko
ingin masuk, kehadirannya akan dimaklumi, tetapi hanya sebatas itu saja. Selama Ginko bersekolah di
sana, tak seorang pun menawarkan bimbingan atau bantuan. Bahkan para staf unversitas tersebut apabila
ditanya mereka akan menjawab “Tidak tahu” secara dingin. Selain tidak adanya fasilitas, Ginko juga harus
menghadapi para mahasiswa yang tidak senang dengan kehadirannya di sekolah. Beberapa mahasiswa
menggodai dan melontarkan pernyataan tidak setuju mereka seperti yang terkutip pada berikut ini,
「別嬪」
「この顔で男の脈をとるんか。男の裸でも見るわい」
「諸君、宮内省侍、医学士高階経徳経営する、この光栄ある好寿院に、女性医学生何の何某を
迎えたことはまことに慚愧にたえない。今や医学道は地におち、女、子供の職業の具と化しつ
つある。女、賢しゅうして家つぶし、今や医学をつぶさんとす、あに憂えざるべけんや」
「諸君、我々は遂に今日ここに女学生を迎えるに至った。我々は婦女とともに医学を学ばねな
らない。婦女と並んで講義¥を聞き、実験をするのである。すなわら、我々、は婦女と同等に
成り下った。この責を何とするか」「女、帰れ」(Watanabe、 2011: 173-176)
Terjemahan:
“Ada boneka!”
“Mmm … dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki. Dan, melihat mereka telanjang juga!”
“Saudara-saudara sekalian, ini benar-benar tak tertahankan … benar-benar buruk … universitas
kedokteran kita yang mulia, yang dikelola oleh dokter Kekaisaran yang ditunjuk, hari ini menerima
seorang mahasiswi kedokteran. Mengapa? Profesi terhormat kita telah turun martabat menjadi pekerjaan
perempuan dan anak-anak. Rupanya belum cukup bahwa perempuan berpendidikan merusak rumah
tangga, sekarang mereka melanjutkan untuk menghancurkan profesi medis. Ini keterlaluan!”
“Saudara-saudara sekalian, hari ini kita dihadapkan dengan seorang mahasiswi. Kita harus belajar
kedokteran bersama perempuan, mendengarkan ceramah dan melakukan percobaan bersama dengan
perempuan. Dengan kata lain, derajat kita telah diturunkan sampai pada tingkat perempuan. Siapa yang
harus disalahkan?”
“Hai perempuan, pulang sajalah”
Dalam kutipan lainnya kita juga melihat adanya diskriminasi yang terjadi ketika Ginko sedang
menjalani studi kedokteran yang mendapatkan tugas meringkas kondisi medis para pasien yang telah
ditunjuk guru untuk diperiksa. Pasien yang yang telah ditunjuk untuk diperiksa Ginko adalah seorang
mantan asisten hakim dalam masa pemerintahan shogun yang berusia lima puluh dua tahun. Lelaki
tersebut menderita luka terbuka yang cukup besar di lengan kanan bagian atasnya dan nanah dari luka itu
membasahi tiga perban setiap hari yang menunjukkan tulangnya patah dan dibiarkan membusuk. Luka
pada bagian depan dan belakang terlihat bahwa ia ditembak, pelurunya tepat menembus tubuhnya dan
telah mengalami sakit yang luar biasa selama lima belas tahun. Walaupun demikian, ia menolak mentahmentah untuk diperiksa seperti yang terkutip pada berikut ini:
「女に用はない。院長先生であろうが、何様であろうが、見せられぬものは見せられぬ。こう
見えても俺は土族だ。女医者などに見られたとあっては生祖に顔が立たぬ。それでも立ってと
言いうなら腹かき切るまでだ。診たければそれから見ればよい。」(Watanabe, 2011: 193-194)
Terjemahan:
“Aku tidak butuh perempuan. Entah itu kepala perguruan tinggi ini atau orang lain, masa bodoh. Tetap
saja ada beberapa hal yang tidak boleh dilihat perempuan. Keadaanku mungkin terlihat buruk sekarang,
tapi aku berasal dari keluarga samurai. Jika tersebar berita bahwa aku diperiksa oleh dokter perempuan,
aku tidak akan pernah bisa menunjukkan mukaku kepada nenek moyangku. Jika kau memaksaku, aku
akan merobek perutku sebagai gantinya. Kemudian, kau akan bebas memeriksaku seperti maumu.”
「女子は家にいるべきものであり、外の世界は方事が男に好都合うに出来ていた」
(Watanabe,
2011: 186)
Terjemahan:
Perempuan seharusnya tinggal di rumah dan dunia luar diciptakan agar sesuai dengan laki-laki.
Analisis:
Pada kutipan-kutipan di atas, terlihat bahwa Ginko mengalami diskriminasi berawal dari hubungan
perkawinannya. Ginko tertular penyakit kelamin dari suaminya yang telah berkhianat. Walaupun demikian, di
dalam hubungan perkawinannya, Ginko dianggap sebagai pihak yang bersalah karena tidak dapat melahirkan
dan memerankan tanggung jawabnya dengan baik sebagai ibu rumah tangga. Meskipun Ginko menderita
demam yang menyebabkan Ginko tidak dapat bangun dari tempat tidurnya tetapi, ia harus melakukan
pekerjaan rumah tangga seperti biasa dan mematuhi segala perintah Ibu Mertua. Hal tersebut merupakan
peraturan kuno yang telah mendikte perempuan dengan apa yang harus dikerjakan mereka dan ini merupakan
diskriminasi gender. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Futhoni, et.al (2009: 8). Pada dasarnya
diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang
yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya
bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau
keanggotaan kelas-kelas sosial.
Pada masa pemerintahan Meiji awal adalah masa ketika perempuan tidak pantas bersekolah, apalagi
sampai memiliki pekerjaan. Yang lebih penting profesi sebagai dokter adalah cita-cita yang terlalu mulia
sehingga bahkan laki-laki pun tidak banyak yang mau mengejarnya. Sikap mayoritas masyarakat yang antipati
terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti dengan pemikiran seperti, melahirkan anak perempuan yang
suka belajar akan membawa aib pada seluruh keluarga. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa
perempuan harus mengutamakan pelayanan daripada pelajaran dan perempuan seharusnya diam di rumah.
Pada pemikiran seperti ini menandakan bahwa perempuan sudah mempunyai tempatnya sendiri, dan harus
tetap berada pada tempatnya. Cara berpikir lama (konvensional) masih mengakar dengan kuat sehingga,
timbul adanya diskriminasi bagi kaum perempuan dalam memperoleh hak-hak yang sama dengan kaum lakilaki. Dengan kata lain, perempuan dan laki-laki memiliki perannya masing-masing, perempuan berperan di
rumah, laki-laki berperan di luar, ini yang dinamakan peran gender opresif. Gender yang dimaksud adalah
suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural (Fakih, 2008: 8). Peran gender opresif sebagaimana yang dikatakan oleh Tong (2008: 48), yaitu
peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah
atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan dalam bidang akademik, forum, maupun pasar.
Pada kutipan-kutipan selanjutnya, terlihat bahwa Ginko telah diasingkan oleh karena dia satu-satunya
perempuan di sekolah kedokteran. Mereka menganggap kehadiran Ginko menodai reputasi sekolah tersebut.
Ginko tidak menerima fasilitas apa-apa kecuali perlakuan kasar dengan dihina, dilecehkan, dan direndahkan.
Kesulitan utama Ginko ialah ia seorang perempuan. Dia menjadi satu-satunya perempuan di sekolah laki-laki.
Walaupun pengaruh Eropa telah mempengaruhi kelas masyarakat tertentu, budaya Eropa tersebut tidak
berpengaruh pada kehidupan rakyat jelata. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah pemikiran
konservatif yang dibudidayakan selama tiga ratus tahun zaman Tokugawa. Kesulitan yang dialami Ginko sama
dengan yang dihadapi oleh semua perempuan perintis modernisasi lainnya seperti Higuchi Ichiyo, Kishida
Toshiko, dan Tsuda Umeko. Dalam kasusnya, diskriminasi yang dialami oleh Ginko merupakan penganiayaan
yang terjadi secara terus menerus atau dengan kata lain disebut sebagai penganiayaan secara aktif.
Penganiayaan secara aktif merupakan bentuk kekerasan dan bentuk kekerasan apapun akan mengakibatkan
hak-hak dasar seseorang teraniaya yang disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan (Fakih, 2008: 18). Bentuk
kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk tindakan kekerasan fisik dan
penganiayaan non fisik. Pada umumnya tujuan dari penganiayaan tersebut adalah untuk merendahkan citra dan
kepercayaan diri seorang. Penganiayaan tersebut dapat berupa kata-kata, perbuatan yang tidak disukai oleh
korban, dan tindak kekerasan psikologis. Hal tersebut merupakan tindakan terselubung yang berdampak pada
pengabaian hak dasar manusia. Seorang manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama
sehingga mereka juga berhak diperlakuan dengan baik (Zuhriah, 2012: 1).
Jepang merupakan negara penganut paham konfusianisme yang menekankan nilai berkelompok dalam
lingkungan keluarga maupun bermasyarakat. Hal ini berlangsung sampai sekarang dipengaruhi oleh sistem
keluarga pada wanita sebagai gilirannya.Paham konfusianisme menekankan superioritas laki-laki di atas
wanita. Ginko hidup di zaman ketika hendak makan, perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai.
Selain itu, perempuan harus berjalan beberapa langkah di belakang laki-laki. Perempuan harus selalu berbicara
dengan hormat ketika menghadapi lawan jenis. Kalau seorang laki-laki mengatakan sesuatu, jawaban yang
diharapkan dari perempuan adalah “Ya, saya mengerti”. Ruang lingkup perempuan diharuskan terbatas hanya
pada pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Pada konteks ini Ginko seorang perempuan, tiba-tiba
datang ke sekolah kedokteran yang penuh dengan laki-laki dibidang yang hanya diperbolehkan bagi para lakilaki pada saat itu. Para laki-laki sedari kecil diajarkan bahwa posisi perempuan berada jauh di bawah mereka.
Oleh sebab itu, mereka marah akan kehadiran Ginko. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi yang terjadi
tidak hanya kepada Ginko tetapi kepada semua kaum perempuan pada zaman itu.
Seperti yang Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) nyatakan bahwa, seperangkat ide-ide dan
sistem nilai yang didasarkan pada determinisme biologis telah menghasilkan seksisme dan diskriminasi
utamanya terhadap perempuan. Sebagai contoh, karena perempuan memiliki kodrat untuk hamil dan
melahirkan, ia diasumsikan sebagai orang yang paling mampu mengurusi rumah tangga dan keluarga, dan
karenanya istri dalam rumah tangga tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk aktif dalam
kegiatan-kegiatan di luar rumah. Hal tersebut dapat merugikan perempuan karena ia dipandang sebagai pihak
kedua (second person) dan dipinggir dibanding dengan peran dan posisi laki-laki yang memiliki kekuasaan
yang dominan. sesuai dengan yang Fakih (2008: 15) katakan, pandangan gender juga dapat menimbulkan
subordinasi terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan pola pikirnya adalah irasional atau emosional
sehingga berimbas pada stigma ketidakmampuan tampil untuk memimpin, berakibat munculnya sikap bahwa
perempuan berada di posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person). Tentu saja hal ini dapat
mengakibatkan semakin lemahnya posisi perempuan karena peran perempuan berada dalam posisi marginal,
sebagaimana yang dikatakan oleh Murniati (2004: 20), marginalisasi merupakan suatu proses pengabaian hakhak yang seharusnya diterima oleh kaum perempuan sebagai pihak yang termarginalkan. Proses tersebut
terbentuk adanya keyakinan masyarakat terhadap kurangnya kemampuan perempuan dalam bidang pendidikan
maupun pekerjaan, sehingga tidak adanya kepercayaan terhadap kekuasaan terhadap suatu hal yang bersifat
kepemimpinan. Dari stigma masyarakat tersebut timbul stereotipe masyarakat terhadap perempuan yang
mengakibatkan adanya ketidakadilan yang diterima oleh perempuandalam pembagian peran di muka umum
(Fakih, 2008: 16). Hal inilah yang mendasari penolakan pasien laki-laki khususnya dari kalangan terhormat
(samurai) untuk tidak diperiksa oleh calon dokter perempuan, Ginko dalam wujud diskriminasi gender.
1.1.2. Analisis setelah Ginko menjadi dokter
Diskriminasi yang dialami tokoh Ginko tidak hanya dialami sebelum menjadi dokter. Setelah
menjadi dokter pun Ginko masih mengalami diskriminasi. Pada tanggal 23 Oktober 1883, Dewan Besar
Negara menetapkan sistem baru peraturan lisensi kedokteran yang berlaku sejak 1 Januari 1884 yang
menyatakan semua orang yang ingin mendirikan usaha praktik medis harus mengikuti ujian lisensi dari
pemerintah dan hanya mereka yang lulus yang akan diizinkan melakukan praktik kedokteran. Ginko
mendaftar dengan melampirkan surat permohonan resmi yang menguraikan kualifikasi dirinya dan
menyatakan alasannya mengapa ia ingin menjadi dokter. Akan tetapi, berkali-kali ia mendaftar, tetap
ditolak. Surat penolakan terhadap Ginko dapat dilihat seperti berikut,
「婦女子に医師免許を写えた例はない。」(Watanabe, 2011: 227)
Terjemahan:
“Belum ada preseden seorang perempuan menerima lisensi kedokteran.”
Ginko memutuskan bahwa tidak ada usaha yang lebih baik atas hal tersebut kecuali secara pribadi
menghadap ke Kementrian Dalam Negeri yang dianggap sebagai lembaga yang paling kuat dan otoriter di
antara semua kementerian.Ia bermaksud untuk berbicara dengan para pejabat yang bertanggung jawab atas
ujian lisensi kedokteran tersebut. Akan tetapi sekali lagi, penghinaan terjadi ketika ia berhadapan dengan
Kepala Bagian Pencegahan Penyakit.
「そなたには何笑しくはないかな。女医者になるなどとは聞いたこともないわ。そんなことを
聞いたら誰でも笑い出す、そうであろう … 妙なことを考えずお嫁に行かれるがよかろう。
そなたほどの美形なら行く生に苦労はないであろう … 考えてっもみられよ、女子には妊娠
という厄介なことがある。その度に患者を手放さねばならん。これでは不安で、とても患者を
委せるわけにはいかん。それに毎月、きまって汚れる日もあろう。それに開業試験は難しい。
かなり優秀な男でも合格せぬ。たとえ許されたとしても女には無理じゃ、早めに諦めた方が身
のためであろう。」(Watanabe, 2011: 235⁻237)
Terjemahan:
Tidakkah hal ini juga lucu bagimu? Aku belum pernah mendengar sesuatu seperti itu. Seorang perempuan
menjadi dokter? Itu cukup untuk membuat siapa saja tertawa! … Mengapa kau tidak melupakan
pemikiran-pemikiranmu itu dan menikah? … Jika kau berpikir, kau akan mengerti. Perempuan memiliki
tugas untuk mengandung. Mereka harus meninggalkan pasien ketika hamil, dan kami tidak bisa
mempercayakan pasien atas ketidakstabilan semacam itu. Selain itu, setiap bulan pada hari-hari tertentu,
perempuan itu … kotor. Bukankah begitu? Dan selain itu, ujian lisensi itu sulit. Bahkan para laki-laki
yang cukup cerdas saja gagal dalam ujian itu. Misalkan kau mendapatkan izin untuk mengikutinya, kau
tidak akan lulus.
Tidak hanya dalam memiliki hak memperoleh pendidikan yang setara, penolakan yang serupa
terjadi dalam bidang politik. Konstitusi Kekaisaran Jepang sudah lama ditunggu-tunggu ditetapkan.
Antara lain, undang-undang itu memungkinkan pembentukan Dewan Kekaisaran, yang dipilih
berdasarkan suara terbanyak. Maka, untuk pertama kalinya, masyarakat punya andil dalam pemerintahan.
Demi menghormati peristiwa tersebut, pemerintah mengumumkan amnesti kepada narapidana politik, dan
beberapa orang dari Gerakan Kebebasan dan Hak Asasi Rakyat. Konstitusi tersebut merupakan langkah
terakhir untuk mengesahkan pemerintahan Meiji sebagai negara modern. Akan tetapi, hukum yang
memungkinkan terpilihnya pejabat tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dan dengan
sewenang-wenang melarang perempuan untuk menyatakan pandangan politik dan mengamati sesi proses
pemilihan anggota dewan.
「男性であれば教師生徒は勿論、馬追いの子供、行商の老爺も、田舎の作男も議場へすべて自
由に入場できるのです。禁止されているのは酩酊した者と、兇器を持った者だけです。それに
もかかわらず女性は女性であるだけの理由でいかんと言うのです。これでは女性はすべて酩酊
者や兇器持ちと同じだという理屈になるではありませぬか。選挙権はともかく、傍聴まで禁じ
られては、政治に関して女性は発言の場はもとより、知る場さえ奪われることになります。こ
れでは女性がいくら学問に励み知識を重ねても、まったく無意味です」 (Watanabe, 2011: 373)
Terjemahan:
Semua laki-laki boleh menghadirinya, tidak peduli mereka guru atau pelajar, penjaga kandang atau
penjual keliling atau buruh tani. Tidak seorang pun ditolak. Satu-satunya laki-laki yang tidak boleh masuk
hanyalah laki-laki yang mabuk atau membawa senjata. Perempuan dilarang tanpa alasan, selain karena
jenis kelamin mereka. Secara logika, ini berarti bahwa seluruh perempuan dianggap tidak lebih dari
pemabuk atau preman pembawa senjata, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota
dewan pun dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang
kesempatan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Perempuan yang
meraih pendidikan akademis dan pengetahuan tak dihargai. Aku percaya OPKJ harus bertindak dalam hal
ini. Menurutku, kita harus mengajukan permohonan langsung kepada pemerintah.
Selain menerima diskriminasi dalam memperoleh hak dalam bidang pendidikan dan politik,
diskriminasi lainnya juga terlihat ketika Ginko telah menjadi dokter. Ia mengalami hinaan oleh masyarakat
sekitar yang memiliki stigma negatif yang telah lama melekat pada penduduk di wilayah-wilayah tertentu.
Diskriminasi yang terjadi seperti diskriminasi pada perkawinan dan pekerjaan yang terjadi secara terus
menerus. Setelah berhasil menjadi dokter perempuan pertama di Jepang, tidak menandakan Ginko telah
terbebas penuh dari diskriminasi gender. Pada hari minggu pertama praktik kedokteran dibuka, ada
beberapa orang asing yang sengaja mencoret-coret dinding depan klinik berulang kali pada saat tengah
malam. Berikut adalah kutipan dari coretan tersebut.
<この家の主、血を好むろしき女なり>(Watanabe, 2011: 293)
Terjemahan:
Perempuan rumah ini adalah perempuan nakal yang bersukaria dengan darah.
<女が脈とる未世かな> (Watanabe, 2011: 293)
Terjemahan:
Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah
pekerjaan bagi perempuan!
Tidak hanya sebatas tulisan iseng belaka, coretan-coretan tersebut juga disertai karikatur Ginko
yang mengerikan. Meskipun Coretan tersebut sudah dihapus, keesokan harinya muncul dengan kalimat
yang berbeda. Komentar pedas masyarakat pun menyerang Ginko ketika Ia memarahi seorang laki-laki
pemalas yang membiarkan istrinya sedang sakit tetapi tetap bekerja. “Nekat!” dan Dimarahi seorang
perempuan!” kata-kata kritis tersebut pun terlontar dari masyarakat sekitar.
Analisis:
Lulusan universitas kedokteran kekaisaran dan daerah dibebaskan dari peraturan ini, termasuk para
dokter yang mendapatkan lisensi dari universitas-universitas kedokteran luar negeri. Mereka dapat
meminta agar lisensi mereka disesuaikan setelah adanya pengamatan atas kualifikasi mereka. Semua
perizinan tersebut ditangani langsung oleh Kementrian Dalam Negeri. Adanya sentralisasi ini
memungkinkan kementrian menciptakan daftar nasional para dokter dan meletakkan dasar-dasar untuk
sistem perizinan kedokteran yang modern dan terstandarisasi. Faktanya, Ginko adalah perempuan pertama
yang mendaftarkan diri dalam ujian lisensi kedokteran tepat setelah peraturan perizinan ini diberlakukan.
Hal ini tentu mempersulit Ginko karena pemerintah belum dapat menerima adanya gagasan dokter
perempuan. Surat permohonannya yang disertai alasan-alasan yang mengatasnamakan demi kemajuan
bidang kedokteran dan solidaritas terhadap sesama perempuan tidak diterima oleh pemerintah. Pada awal
pemerintahan Meiji, tidak tertulis dalam undang-undang bahwa perempuan dilarang menjadi dokter.
Selama tidak ada larangan, perempuan seharusnya diizinkan mengikuti ujian, dan kalau lulus juga harus
diizinkan mulai berpraktik. Dan apabila ada pihak (dalam kasus ini adalah para birokrat) yang ingin
menghalangi perempuan menjadi dokter, mereka harus mencatumkan klausul yang secara khusus
melarang perempuan menjadi dokter. Ini berarti pemerintah tidak dapat menolak hanya karna belum ada
presedennya. Padahal pada zaman itu sudah ada pernyataan dari Surat Kabar Choya Shinbun yang
menyatakan bahwa “Perempuan sampai sekarang dibatasi sampai kebidanan, tapi saat ini ada beberapa
diskusi tentang kemungkinan bagi para perempuan yang mahir, setelah melewati ujian yang diperlukan,
akan mendapatkan izin yang sama dengan para laki-laki untuk menjadi dokter dan apoteker” (Watanabe,
2011: 229-230).
Satu setengah tahun sejak Ginko lulus dari Kojuin, sejumlah teman seangkatannya di Kojuin telah
lulus ujian dan telah membuka praktik kedokteran. Mereka berhak mendapatkannya karena mereka
terlahir sebagai laki-laki. Sedangkan Ginko yang memiliki kemampuan akademis jauh melampaui mereka
tidak diberi kesempatan karena ia perempuan. Hal ini membuat Ginko kecewa. Ia merasa kemampuannya
sama bahkan dapat mengungguli teman-temannya. Dia merasa berhak mendapatkan kesempatan yang
sama. Ginko tidak dapat menerima diskriminasi yang semata-mata hanya karena dia bergender perempuan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia yang menyatakan bahwa,
diskriminasi gender merupakan tindakan yang memperlakukan kelompok atau individu secara berbeda
karena jenis kelaminnya dengan salah satu jenis kelamin diutamakan atau dibatasi dibandingkan dengan
yang lainnya, yang didasarkan tidak pada kemampuan dan kebutuhannya, tapi pada peran stereotip
gender-nya.Pada konteks ini adalah pandangan stereotip gender tersebut yang menjadikan perempuan
sebagai objek korban dari ketidakadilan gender, seperti halnya Ginko yang kesulitan mendapat ujian
lisensi kedokteran karena Ginko yang adalah perempuan memiliki tugas mengandung, dan harus
meninggalkan pasien serta stereotip yang menyatakan laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Pandangan tersebut masih melekat sampai Ginko membuka praktik kedokteran dengan coretan
penghinaan yang menandakan masyarakat masih belum dapat menerima adanya profesi bagi perempuan.
Seperti yang dikutip di atas. Hal ini mendukung dengan teori Fakih (2008: 15) yang menyatakan,
pandangan gender juga dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan
pola pikirnya adalah irasional atau emosional sehingga berimbas pada stigma ketidakmampuan tampil
untuk memimpin, berakibat munculnya sikap bahwa perempuan berada di posisi yang tidak penting dan
tidak strategis (second person) yang mempengaruhi eksistensi sosial dan kultural perempuan semakin
melemah (Cavallaro, 2004: 202). Hal tersebut juga didukung oleh Narwoko & Suyanto (2007: 287-289)
dan Fakih (2008: 16) menyatakan bahwa, stereotip (penanda atau pelabelan) tersebut timbul dari adanya
konstruksi sosial dan kultural yang menghasilkan gender yang membedakan antara laki-laki dan
perempuan secara sosial yang seringkali menimbulkan perlakuan tidakadil (diskriminasi). Hal ini
menandakan diskriminasi yang dialami Ginko sejalan dengan yang dikatakan pada teori tersebut.
Selain dalam bidang pendidikan, Ginko dan perempuan lain juga tidak mendapat kesempatan yang
setara dengan laki-laki dalam bidang politik. Selama periode Meiji, ada perkembangan legislatif utama,
yang melihat pembatasan atas keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Konstitusi Meiji 1889 yang
tidak memberikan perempuan hak untuk memilih. Bagi sebagian masyarakat Jepang pada saat itu adalah
hal yang biasa jika perempuan tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut
ambil bagian dalam menyatakan pandangan politik. Bahkan, kelompok Gerakan Kebebasan dan Hak
Asasi Rakyat hanya sebagai formalitas dalam menyatakan keberatan mereka. Satu-satunya yang
menentang dengan lantang hanya berasal dari perempuan itu sendiri, akan tetapi hanya sedikit dan tidak
terlalu berpengaruh. Dalam hal ini, sekali lagi penulis menemukan adanya perlakuan diskriminasi yang
Ginko terima tidak hanya dalam bidang kedokteran, tetapi juga politik. Ginko dimarginalisasikan sebagai
perempuan. Sebagai contoh, Ginko tidak diizinkan untuk masuk ke universitas kedokteran karena wanita
dianggap tidak kompeten dalam bidang ini. Selain itu, Ginko dan juga perempuan lainnya tidak diizinkan
ikut serta dalam pemilihan umum pertama yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Sebagai Kepala
Bidang Tata Krama dan Moral, Ginko menerima apabila hak pilih perempuan ditiadakan jika alasannya
karena tingkat pendidikan perempuan rendah. Akan tetapi, dia menolak jika kaum perempuan dilarang
menghadiri rapat kerja pemilihan anggota dewan karena hal tersebut dapat mematikan semangat belajar
perempuan yang akhirnya muncul.
1.2. Analisis Feminisme Liberal pada tokoh Ginko sebagai akibat diskriminasi gender
Dari bentuk diskriminasi yang telah diuraikan pada bab 4.1, penulis menemukan dari diskriminasidiskriminasi tersebut muncul semangat feminisme pada tokoh Ginko sesuai yang Tickner (2002: 278) katakan
bahwa, asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita
dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki
seringkali mendapat posisi tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang. Hal tersebut terlihat dari kutipankutipan berikut ini:
「道にそむいたのは向うからです。あの人が夫の道にそむいたから、私も嫁の道にそむくので
す。男性はもうこりごりです。お嫁になぞ一生いけなくてもかまいません。その方がどれだけ
せいせいするか分かりません」(Watanabe, 2011: 21)
Terjemahan:
“Suamikulah orang yang tidak punya kehormatan. Aku punya hak sepenuhnya untuk meninggalkan
kewajiban-kewajibanku kepadanya karena jelas-jelas dia lebih dulu meninggalkan kewajiban kepadaku. …
Aku tak mau lagi berhubungan dengan lelaki! Aku takkan menyesal apabila aku tak pernah bisa menikah lagi.
Hidup sendiri adalah kebebasan tertinggi di dunia ini.”
Dengan pengkhianatan yang telah dilakukan suaminya, dan tidak diperbolehkan untuk belajar oleh
mertuanya, Ginko memutuskan untuk bercerai. Kemudian, ia berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya
dengan pergi ke Tokyo mencari dokter terbaik pada saat itu. Akan tetapi sayangnya, belum ada dokter
perempuan pada saat itu sehingga Ginko harus memperlihatkan bagian tubuh yang sangat pribadi kepada
dokter laki-laki tersebut. Hal ini membuat Ginko mengalami konflik batin dan menimbulkan perlawanan
seperti yang terkutip di bawah ini:
男の手が触れた瞬間からぎんは叫ぶ。『女医になる。きっと女医者なってやる』ぎんは頭の中
で叫び続けている。カチカチと金属の触れ合う音がし、小さな音とともに洗浄液ぎんの体を貫
いていく。沔れたところが男の手洗われていく。『きっとなる。きっとなって見返してやる』
(Watanabe, 2011: 75)
Terjemahan:
Dia merasakan tangan seseorang menyentuh lututnya, dia berteriak didalam hati “aku akan menjadi
dokter! Lihat saja nanti”dia mendengar denting logam beradu dan merasakan cairan yang digunakan
untuk membersihkan daerah yang terinfeksi, dia juga merasakan bagian tubuhnya yang dibersihkan oleh
seorang laki-laki.Aku yang kelak akan melakukannya! Dan kau akan menyesal!
Dengan konflik batin yang diterimanya, Ginko memutuskan untuk menjadi dokter perempuan demi
solidaritasnya terhadap sesama perempuan. Ia kemudian memohon kepada ibunya, Kayo untuk
diperbolehkan pergi ke Tokyo belajar ilmu kedokteran. Perjuangannnya untuk mendapatkan tidaklah
mudah. Butuh waktu satu tahun untuk membujuk ibunya, seperti pada bab 4.1 yang sudah penulis uraikan.
Setelah berhasil mendapatkan izin untuk pergi ke Tokyo, Ginko belajar dengan Profesor Yorikuni Inoue
dan kemudian masuk ke Sekolah Guru Perempuan Tokyo, Ia mengambil kesempatan untuk mengubah
nama sebagai langkah awal perjalanan hidupnya yang baru seperti yang terkutip di bawah ini:
この年、入校う校を機にぎんは自分の名を「吟子」と書くようにした。すなわら「荻野吟子」
である。ぎんは自分も含めて女違の名が犬でも呼ぶように問題に扱われるのが前から不満であ
った。女の名は呼び易く、仕事を言いつけるに便利にしただけの符号にすぎない、といった考
えが辻様行していた。「女だって、男と「同様に英学で堂々と書かれるべきである」。「ぎ
ん」では新しい時代を切り拓く女の名としてはいかにも迫カがない。(Watanabe, 2011: 147)
Terjemahan:
Pada saat memasuki sekolah itu, Gin mengambil kesempatan untuk mengubah namanya menjadi “Ginko”,
sehingga menjadi Ginko Ogino. Sudah cukup lama dia merasa tidak puas dengan cara perempuan diberi nama
yang singkat dan mudah dipanggil, seperti nama anjing saja. Dia tidak setuju dengan pemikiran yang ada saat
itu bahwa satu-satunya kebutuhan bagi perempuan untuk memiliki nama hanyalah supaya berguna ketika
suami atau ibu mertua ingin menyuruh mereka. “Nama perempuan harus ditulis dengan huruf China yang
bermartabat, sama seperti laki-laki”. Nama “Gin” tidak ada apa-apanya; itu bukan nama seorang perempuan
yang akan menempa jalan baru bagi masyarakat. “dalam daftar keluarga nama saya “Gin” tapi “Ginko” jauh
lebih cocok bagi saya sekarang. Saya ingin membuka lembaran baru dan ingin bergerak maju sebagai
perempuan yang baru.”
Selama 4 tahun bersekolah, Ginko lulus dari Sekolah Guru Perempuan Tokyo dengan predikat
siswi terpandai di kelasnya. Diantara tujuh puluh empat siswi, Ginko menjadi salah satu dari lima belas
siswi yang berhasil lulus. Ginko berhasil lulus dengan nilai tertinggi, begitu juga halnya dengan prestasi
akademiknya di sekolah kedokteran. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah Ginko tidak diperizinkan
untuk membuka praktik kedokteran tanpa mengikuti ujian lisensi kedokteran. Dalam hal ini, pemerintah
tidak mengizinkan Ginko mengikuti ujian lisensi kedokteran walaupun prestasi akademisnya melampaui
laki-laki. Ginko kemudian mengambil inisiatif dengan meminta bantuan dari Tadashi Ishiguro, seorang
direktur rumah sakit bedah tentara sekaligus seorang pejabat yang berpengaruh dalam dunia kedokteran.
Tadashi Ishiguro mengajukan permohonan bahwa perempuan dapat mengikuti ujian berdasarkan buku
Ryo no Gige, kitab undang-udang kuno beserta surat pengantar dari cendekiawan ternama kesusastraan
klasik Jepang, Profesor Yorikuni Inoue, yang sempat menjadi guru Ginko. Tadashi Ishiguro menghimbau
Sensai Nagayo selaku Komisioner Kesehatan Masyarakat agar dapat memodifikasi salah satu prosedur
yang ada tanpa perlu merevisi undang-undangnya. Upaya Ginko ini ternyata membuahkan hasil. Enam
bulan sejak permohonannya, diberlakukannya sebuah peraturan resmi yang memperbolehkan perempuan
mengikuti ujian untuk mendapatkan lisensi kedokteran. Meski dalam keadaan yang tidak sehat dan sedang
berduka, Ginko berhasil lulus ujian dan mendapatkan izin untuk membuka praktik kedokteran.
いずれにせよ近代医学をおさめ、官で公認した女医の第一号が荻野吟子であったことは明白で
ある。(Watanabe、1970:)。
Terjemahan:
Bagaimana pun juga akhirnya dalam dunia pengobatan modern, Ogino Ginko menjadi dokter perempuan
pertama yang disertifikasi oleh pemerintah.
Setelah lulus ujian lisensi dan membuka praktik kedokteran, masih terdapat stigma negatif
masyarakat bahwa perempuan tidak cocok menjadi dokter akan tetapi, Ginko tidak menggubris pandangan
negatif masyarakat terhadap status nya sebagai dokter perempuan. Ia lebih memilih untuk berpura-pura
tidak mengetahui cemoohan masyarakat terhadap dirinya daripada harus meladeni setiap komentar negatif
tersebut. Ia pun dengan santai meminta perawat untuk menghapus setiap ada coretan penghinaan
semacamnya.
「書いてあったら消せばいいのです。手紙に騒いではかえって相手の手に乗るようなものです。
こういう偏見を改めさせるには根くらべしかないのです」(Watanabe, 2011: 294)
Terjemahan:
Kita akan menghapus tulisan apa pun yang kita temukan di dinding. Membuat keributan tentang hal itu
hanya akan memuaskan orang tersebut karena itulah yang diinginkannya. Satu-satunya cara mengatasi
prasangka ini adalah menunjukkan kepada mereka siapa yang dapat bertahan lebih lama.
Ketika masyarakat mengetahui bahwa Ginko telah disertifikasi menjadi seorang dokter, banyak
pandangan konvensional bahwa perempuan tidak cocok menjadi dokter. Tatkala itu dokter merupakan
suatu pekerjaan yang mulia. Ia juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pekerjaannya dan wanita
yang diutarakannya kepada sebuah majalah yang mengkhususkan diri dalam masalah perempuan.
<医は女子に適せり、啻に適すといふのみにあらず、寧ろ女子特有の天職なり、長袖安居して、
患者の気息を窺ふが如きは、堂々たる日本男児の深く恥る所なり>(Watanabe, 2011: 294)
Terjemahan:
Perempuan tidak hanya sesesuai untuk profesi pengobatan, tetapi ini juga profesi unik yang sangat cocok
bagi perempuan. Laki-laki Jepang seharusnya malu dengan diri sendiri dengan caranya yang
merendahkan pada saat mereka memeriksa kesehatan pasiennya. Bakat laki-laki Jepang jauh lebih cocok
di medan perang.
Pernyataan ini menimbulkan polemik di masyarakat terutama para perjabat pada saat itu yang
terkesan dengan cara berpikirnya yang inovatif. Akan tetapi, hal ini masih menjadi pedebatan di media
surat kabar. Di waktu senggangnya, Ginko lebih memilih membaca buku-buku terbitan mutakhir Jepang
yang ditulis selama dua puluh tahun pertama era Meiji seperti Pembelajaran bagi Perempuan Modern
oleh Koka Doi, Perempuan sebagai Subjek oleh John Stuart Mill yang diterjemahkan oleh Uchiki Fukama,
Statistik Sosial oleh Herbert Spencer yang diterjemahkan oleh Tsutomu Inoue, Perempuan Jepang dan
Relasi Laki-Laki dan Perempuan oleh Yukichi Fukuzawa, dan Hak Asasi Perempuan di Dunia Baratoleh
Horyu Yunome. Semuanya memberi pengaruh besar pada gerakan perempuan yang muncul tidak
terkecuali, Ginko.
Aksi perlawanan Ginko lainnya adalah dalam hal berpolitik. Pada tahun 1886, didirikannya
Organisasi Perempuan Kristen Jepang (OPKJ) yang merupakan salah satu suar-suar aksi sosial perempuan
di Jepang. Ginko dipercaya menjabat sebagai Kepala Bidang Tata Krama dan Moral. Dengan pengetahuan
umum dan bidang kesehatan perempuan yang luas, ditambah memiliki keterampilan dan kemampuan
melebihi perempuan lainnya, Ginko dipercaya untuk menjabat sebagai sekretaris Asosiasi Kesehatan
Perempuan Jepang. Pada tahun berikutya, 1889, Ginko diminta untuk mengajar kesehatan dan psikologi di
Sekolah Perempuan Meiji sekaligus menjadi dokter di sekolah itu.Pada tahun 1889, Ginko mendirikan
sebuah perkumpulan perempuan baru yang bernama Perkumpulan Kebajikan Perempuan yang berada di
bawah naungan OPKJ dengan dirinya sebagai pemimpin pertamanya. Dengan kegiatan-kegiatan yang
dilakukannya dan statusnya sosialnya, Ginko menjadi seorang tokoh masyarakat yang hidup dan bekerja
di bawah sorotan publik. Setiap apa yang ia katakan atau lakukan akan dimuat di artikel Koran atau
majalah. Surat-surat pembaca juga nyaris berdatangan setiap hari ke tangan para editor atau langsung ke
tangannya. Reputasi Ginko yang meluas sebagai dokter juga memengaruhi perempuan lain, menginspirasi
semakin banyak lagi untuk menjadi dokter.
「選挙権はともかく、傍聴まで禁じられては、政治に関して女性は発言の場はもとより、知る
場さえ奪われることになります。これでは女性がいくら学問に励み知識を重ねても、まったく
無意味です」(Watanabe, 2011: 373)
Terjemahan:
Perempuan tidak boleh memilih, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota dewan pun
dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang kesempatan kita
untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Perempuan yang meraih
pendidikan akademis dan pengetahuan tak dihargai. Aku percaya OPKJ harus bertindak dalam hal ini.
Menurutku, kita harus mengajukan permohonan langsung kepada pemerintah.
Ginko kemudian meminta penjelasan resmi dari Kementrian Kehakiman dan menghubungi partai
utama dalam pemerintahan, Taiseikai (Perkumpulan Cita-Cita Agung), dan menghimbau untuk menarik
kembali hukum baru tersebut yang akhirnya berhasil dan mendapatkan hak bagi perempuan untuk
menyaksikan sidang Dewan Kekaisaran. Dalam kesibukannya di OPKJ, menunjukkan bahwa Ginko
penganut agama Kristen. Ketertarikan pada agama Kristen terlihat saat ia mengunjungi gereja di Hongo
dengan Pendeta Danjo Ebina sebagai pemimpin gereja. Ginko tergerak dengan pendapatnya bahwa,
「別にすべて人間は神の御子で男女、職業の基線にかかわらず皆」(Watanabe, 2011: 347)
Terjemahan:
Semua orang adalah anak-anak Tuhan. Terlepas dari apakah mereka laki-laki atau perempuan, atau apa
pun jenis pekerjaannya, mereka semua
Shizuko Furuichi, orang yang mengundangnya juga mengatakan,
「女性の地位を認めているのは耶蘇教を拡めることは女性の地位を高めることになるはずです。
あの教えはこれからの日本を新しく作りかえていく土台になるはずです」(Watanabe, 2011: 347)
Terjemahan:
“Agama Kristen adalah satu-satunya agama yang mengakui status perempuan, Menyebarkan agama
Kristen akan membantu memperbaiki nasib perempuan. Agama ini bisa memberikan perubahan di
Jepang!”
Tak lama setelah itu, Ginko kemudian dibaptis dan aktif di berbagai kegiatannya di OPKJ, Ginko
telah menjadi salah seorang anggota terkemuka di Gereja Hongo.
Analisis:
Dalam percakapan antara Ginko dengan kakaknya, Tomoko, Ginko mengekspresikan dirinya yang
tidak ingin dikekang oleh status sosialnya yang rendah sebagai perempuan yang dianggap tidak pantas untuk
belajar. Sebagai seorang istri, belajar adalah hal yang tak lazim pada masa itu dan merupakan hal yang
memalukan. Akan tetapi, dari sudut pandang Ginko yang berbeda, ia berpendapat bahwa pernikahan begitu
hampa apabila posisi seorang istri hanya mengurusi rumah tangga dan melayani suami tanpa adanya
kebebasan untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat seperti membaca buku dan belajar. Rutinitas yang
monoton tersebut kemudian menghasilkan pembangkangan dalam diri Ginko yang sangat gemar belajar.
Ginko membaca secara diam-diam sebagai bentuk perlawanan terhadap mertuanya dan bercerai dari suaminya
karena merasa tidak tahan dengan keadaan yang dialaminya. Bentuk perlawanan tersebut merupakan buah dari
gerakan seorang feminis yang dapat kita simpulkan sejak awal Ginko sudah memiliki karakter feminis akibat
diskriminasi yang ia terima. Feminis tentunya berbicara tentang pemahaman atau gerakan oleh kaum
perempuan dalam terwujudnya hak-hak mereka yang setara dengan kaum laki-laki dan pembicaraan tentang
perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana wanita tersubordinasi
secara kultural (Koalisi Perempuan Indonesia, 4 Mei 2011). Pemikiran Ginko yang berbeda juga tampak
ketika ia lebih memilih untuk belajar daripada melakukan pekerjaan rumah tangga dan juga tidak ingin
menikah lagi terlebih untuk kembali kepada suaminya. Ginko merasa hidup sendiri tanpa terkekang,
membuatnya lebih bebas melakukan apa saja yang ia suka termasuk mengejar cita-citanya. Hal ini sesuai
dengan yang Karube, (2008: 93) katakan bahwa, kebebasan ialah selalu memiliki kebebasan untuk berpikir
secara berbeda dari orang lain. Menjadi liberal, terutama untuk menjadi seorang Liberal Jepang, berarti
percaya pada nilai kebebasan, tidak peduli apa situasinya.
Bentuk perlawanan lainnya dapat kita lihat saat Ginko masuk ke Sekolah Guru Perempuan Tokyo.
Pemberian nama yang singkat ini adalah salah satu bentuk pelecehan yang dilakukan terhadap kaum wanita.
Hal ini disebabkan karena perempuan dalam kebudayaan masyarakat Jepang dituntut untuk menyediakan teh
dan melayani tamu dalam setiap kesempatan. Ginko tidak sependapat dengan pemberian nama yang singkat
tersebut hanyalah untuk memudahkan bagi suami dan mertuanya untuk memanggilnya. Perempuan bukan
seekor anjing dengan nama yang singkat yang dapat dengan mudah dipanggil secara asal-asalan. Perempuan
tidak layak menerima penghinaan yang dipatenkan melalui sebuah nama. Ia merasa dirinya seorang wanita
bermartabat yang sejajar dengan laki-laki. Pendapat Ginko tentang hal ini semakin diperkuat ketika dia
membaca gulungan daftar nama siswi di Kofu. Pada saat itu Ginko telah menjabat sebagai pengawas asrama
sekolah Naito di Kofu yang sebagian besar siswi adalah gadis-gadis lajang yang berusia enam belas dan tujuh
belas tahun, yang tinggal di asrama sekolah sementara beberapa perempuan yang sudah menikah melaju dari
rumah. Dengan sekitar seratus siswi yang bersekolah di sana, betapa menyedihkan karena mereka semua
memiliki nama yang sederhana seperti “Yai” atau “Sei”. Hal ini hanya contoh lain dari gagasan yang sangat
berpengaruh saat itu, bahwa laki-laki harus dipuja dan perempuan dihina. Namanya yang lama tidak pantas ia
sandang. Oleh karena itu, Ginko yang terlahir dengan nama Gin Ogino, merubah namanya menjadi
Ginko.Melalui perubahan pada namanya, ia membuka jalan bagi perempuan untuk menyatakan eksistensinya
di tengah masyarakat agar dapat sejajar dengan laki-laki sesuai dengan yang Narwoko & Suyanto, (2007: 347)
ungkapkan bahwa, aliran feminisme liberalmengusulkan pemecahan masalah dengan cara menyiapkan kaum
perempuan agar dapat bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. Langkah ini sebagai simbol
perlawanan dan merupakan salah satu bentuk feminisme liberal yang ia lakukan dalam mengangkat harga
dirinya sebagai wanita (Sofia, 2009: 13). Ia berharap dengan nama yang baru, masyarakat lebih
menghargainya.
Setelah lulus dari Sekolah Guru Perempuan Tokyo, perempuan dapat memiliki kesempatan bekerja,
sedangkan Ginko memilih untuk melanjutkan studi di universitas kedokteran. Hal ini dikarenakan
runtuhnya rezim feudal Tokugawa sehingga dibentuklah pemerintahan Meiji yang membawa perubahan
sosial pada tahun 1871. (Watanabe, 2011: 198) Selama Ginko bersekolah di sekolah kedokteran, ia sering
mengalami diskriminasi gender. Tidak ada seorang pun yang mau membantunya karena ia hidup seorang
diri. Ginko pergi dari rumah atas keputusannya sendiri sehingga segala resiko yang ia hadapi, harus
ditanggung olehnya sendiri. Kendati demikian, penulis melihat dari segala kesulitan dan penganiayaan
yang dihadapinya di Kojuin, semakin membuatnya menjadi pribadi yang tegar dan tidak takut pada lakilaki. Pengalaman pahit dari segala macam bentuk diskriminasi dan penghinaan tersebut tersebut dengan
cara tertentu menjadi pemacu baginya, yang selalu mendorong tekadnya yang kuat untuk menjadi dokter.
Jati dirinya tersebut menunjukkan ia ingin mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh orang lain. Sebab,
yang ia lakukan begitu berbeda dengan hal-hal yang lazim diinginkan perempuan umumnya pada masa itu
yakni, melayani suami, membesarkan anak, dan mengurus rumah tangga dengan baik. Diskriminasidiskriminasi yang Ginko alami telah membuatnya sadar bahwa terdapat ketidakadilan yang ditujukan pada
kaum perempuan dalam memperoleh hak-haknya dalam ranah privat maupun publik sehingga muncul
perlawanan demi tercapainya kesetaraan sosial. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Fakih, (2008:
81) Mary Wollstonecraft (1759-1799), John Stuart Mill, dan Betty Friedan menyatakan, asumsi dasar
feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas
dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Mereka percaya bahwa hanya dengan mendapatkan hak
pilih, perempuan telah sungguh-sungguh setara dengan laki-laki (Tong, 2010: 33–34). Dari sini terlihat
bahwa Ginko memiliki karakter seorang feminis. Seperti yang dikatakan Fakih (2008: 79), Feminis
berangkat dari asumsi kesadaran bahwa perempuan ditindas, dan dieksploitasi sehingga harus ada upaya
mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut.
Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) yang menyatakan bahwa keadilan gender adalah proses
yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud,
diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah
telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk dapat berperan dan menikmati hasil dari peran yang
dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender.
Berangkat dari pemahaman Mill dan Taylor dalam Tong (2010: 23), mereka yakin bahwa
perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat menjadi setara dengan laki-laki. Hal ini berarti berada
pada posisi yang tidak hanya mengekspresikan pandangan politik personal seseorang tetapi, perempuan
juga hak untuk turut ambil bagian dalam mengganti sistem, struktur, dan sikap yang memberikan
kontribusi terhadap opresi yang lain atau opresi terhadap diri sendiri. Berangkat dari pemikiran
Wollstonecraft, Mill dan Taylor dalam Tong (2010: 23) yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai
kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan
kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki. Dengan demikian, Feminis
liberal menginginkan perempuan memperjuangkan hak politiknya. Hak politik yang dimaksud bukan
hanya hak untuk memilih, tapi juga hak untuk ikut serta mengambil peran dalam bagian tersebut.
Perempuan harus ikut serta dalam pembuatan kebijakan yang akan diterapkan untuk masyarakat umum.
Hal ini berarti perempuan harus belajar secara formal setinggi-tingginya untuk membuktikan bahwa
perempuan mampu apabila memiliki latar belakang pendidikan yang baik supaya perempuan juga
memiliki kapastias yang setara dengan laki-laki. Apabila perempuan sudah memiliki kemampuan tersebut,
maka mereka harus memiliki hak politiknya seperti yang didapatkan oleh laki-laki. Dalam konteks ini,
diberlakukannya hukum baru yang menyatakan bahwa perempuan tidak diizinkan mengamati sesi proses
pemilihan anggota dan tidak diberi kesempatan menyatakan pandangan politik, menurut feminisme liberal
adalah tidak adil karena seharusnya hak dalam berpolitik harus seimbang sehingga tidak ada
pendiskriminasian bagi kaum wanita. Seperti yang Friedan dalam Tong (2008: 48) dan Mitsu dalam
Shigematsu (2012: 116) katakan, kaum perempuan sebagai kaum yang termarjinalisasi harus bangkit dan
mempunyai hak yang sama dengan kaum laki- laki untuk ikut berpartisipasi dalam bidang apapun
khususnya dalam ranah privat maupun publik. Mill dan Taylor dalam Tong (2008: 23) menyatakan bahwa,
untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan atau kenikmatan) dengan membiarkan setiap
individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di
dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa, jika masyarakat ingin mencapai
kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan
kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki. Hal tersebut didukung oleh
Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) yang menyatakan bahwa keadilan gender adalah proses yang
adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud,
diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah
telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk dapat berperan dan menikmati hasil dari peran yang
dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender.
Pergerakan feminisme sudah dimulai sejak abad ke-18. Gelombang pergerakan perempuan jaman ini
dikenal degan istilah feminisme liberal karena pada umumnya tujuan pergerakan ini adalah untuk menciptakan
“masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya di dalam masyarakat yang seperti
itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri (Tong, 2010:18). Teori ini berasumsi bahwa
pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai
hak yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, pada kenyataannya wanita boleh belajar tidak sama dengan
wanita boleh menjalani profesi seperti dokter. Walaupun wanita sudah diizinkan untuk belajar, tetapi masih
adanya pandangan bahwa beberapa pekerjaan tidak cocok untuk dilakukan oleh wanita. Bagi masyarakat
Jepang pada zaman itu, wanita hanya boleh menjahit dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ginko Ogino
mendobrak pandangan itu dengan berhasi llulus ujian lisensi kedokteran. Dalam memperjuangkan persoalan
masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama”
bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki
dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan Narwoko dan Suyanto (2007: 313).
Selain adanya faktor diskriminasi, penulis menemukan bahwa pemikiran dan gerakan Ginko banyak
dipengaruhi oleh pelopor feminis liberal. Hal tersebut terlihat dalam koleksi bacaan buku-buku terkenal yang
ia baca, sebut saja Yukichi Fukuzawa. Seorang penulis, jurnalis, aktivis hak-hak sipil Jepang dan ideologi
liberal. Ide-idenya tentang pemerintahan dan lembaga-lembaga sosial membuat kesan abadi pada
perkembangan Negara Jepang yang cepat selama Era Meiji. Dia dianggap sebagai salah satu pendiri modern
Jepang dan disebut-sebut sebagai Voltaire (seorang pelopor gerakan feminisme liberal di Eropa) Jepang.
Tokoh penulis lainnya adalah John Stuart Mill, seorang feminis abad ke 19. Sejumlah buku-buku tersebut
memberikan pengaruh yang besar pada pemikiran dan gerakan Ginko yang kemudian, ia turut mengambil
peran dalam organisasi perempuan. Ini sebagai bukti bahwa Ginko adalah seorang feminis liberal yang
terpengaruh oleh tokoh-tokoh feminis liberal pada masa gelombang pertama seperti yang Mitsu dalam
Shigematsu (2012: 116) katakan, gerakan feminisme pada gelombang pertama menginginkan kesetaraan hak
dan kedudukan antara pria dan wanita di bidang pendidikan dan pekerjaan, politik dan sebagainya.
Dibentuknya organisasi perempuan yang menentang diskriminasi seksual di bidang politik, hukum
maupun personal merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap stigma negatif masyarakat terhadap
perempuanyang berdampak pada pemasalahan sosial. Organisasi perempuan ini berorientasi pada
kemajuan untukmemperjuangkan hak-hak perempuan menuju kesetaraan dan keadilan. Adapun dengan
aksisosial yang OPKJ lakukandalam menangani masalah-masalah sebagai berikut:
1.
Merespon politisasi agama dan gender sebagai bagian dari penyingkiran atas hak-hak perempuan.
Nama organisasi OPKJ sendiri merupakan singkatan dari Organisasi Kristen Perempuan
Jepang. Hal ini menandakan bahwa identitas kelompok agama Kristen sebagai lembaga sosial
yang mengakui status perempuan dan berpotensi memberikan dasar bagi perubahan Jepang.
2.
Perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan berbasis gender.
Perlindungan kaum perempuan dari tindakan kekerasan secara aktif maupun non aktif
bertujuan untuk terciptanya sebuah masyarakat yang bebas pertentangan. Dalam konteks ini
berarti perdamaian. Dimulai dari melarang minuman keras. Kelompok ini menganggap alkohol
adalah sumber penderitaan bagi kaum perempuan dan penyebab perselisihan terbesar dalam
masyarakat.
3.
Penanganan terhadap kasus-kasus perdagangan perempuan.
Tindakan membasmi pelacuran Terdapat banyak sekali pelacur muda yang berusia
masih dibawah umur. Diantara mereka ada yang melakukan pekerjaan tersebut bukan karena
keinginan sendiri melainkan dijual oleh keluarganya ke rumah bordil. OPKJ melindungi
perempuan-perempuan tersebut dengan meminta campur tangan pihak yang berwenang dan
mengembalikan mereka ke keluarga asal.
4.
Perjuangan untuk partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang pemerintahan.
OPKJ keberatan dengan peraturan baru pemerintah yang menegaskan bahwa semua
laki-laki memiliki hak pilih dan dapat menyaksikan proses pemilihan anggota dewan
pemerintahan. Hanya laki-laki yang dianggap berbahaya dan perempuan yang tidak mendapatkan
hak tersebut. OPKJ menghimbau partai utama dalam pemerintahan untuk menarik kembali
hukum trsebut. Ginko tidak hanya berhasil mencapai tujuannya, tetapi ini adalah aksi politis
pertama yang dilakukan oleh kelompok perempuan Jepang.
Selain OPKJ, dengan latar belakang oleh kehidupan Ginko yang telah mapan dan naluri dalam
dirinya tersebut, ia membuat organisasi perempuanuntuk meningkatkan taraf hidup para perempuan,
Perkumpulan Kebajikan Perempuan lebih berorientasi kepada tujuan untuk mejalinan pertemanan di
antara para anggotanya dan menambah wawasan umum mereka daripada meningkatkan hak para
perempuan maupun perbaikan masyarakat pada umumnya. Dengan keterlibatan Ginko melalui OPKJ, ini
merupakan bentuk dari perlawanan atas ketidakadilan (diskriminasi) yang selama ini didera oleh kaum
perempuan, seperti yang dikatakan oleh Kano dan Nobuhiko (1978) bahwa wanita berada di 'depan
rumah' adalah salah satu bentuk liberal (pembebasan). Hal tersebut merupakan perlawanan yang memiliki
aspek yang membebaskan (Ueno, 2004: 38). Dalam perspektif feminis liberal, persoalan kaum perempuan
dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau bagian dari partisipasi politik. Keterbelakangan
perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional serta teguh pada nilai-nilai tradisional.
Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan karena akan
mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan cara
menyiapkan kaum perempuan agar dapat bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan, di antaranya
melalui peningkatan pendidikan perempuan dengan menekankan bahwa kemampuan intelektual laki-laki
dan perempuan pada dasarnya adalah sama. Perbedaan pencapaian intelektual antara laki-laki dan
perempuan adalah semata-mata hasil dari pendidikan yang lebih lengkap diterima oleh laki-laki, dan posisi
laki-laki lebih diuntungkan (Farida, 2010: 208).
Dengan berbagai analisis yang ada penulis mempelajari bahwa sebagai feminis liberal, dasar
perjuangannya adalah menuntut kesempatan dan hak sama bagi setiap individu. Kedua jenis kelamin
berdiri di tanah yang sama, seharusnya tidak ada pembedaan (diskriminatif) yang terjadi salah satu pihak
karena hal tersebut merugikan dan membatasi adanya perkembangan terhadap adanya kemungkinan untuk
perempuan atau laki-laki berkembang dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pada skripsi ini, penulis membagi analisis penelitian berdasarkan waktu kejadian menjadi dua
bagian yaitu, analisis diskriminasi gender pada tokoh Ginko sebagai penyebab timbulnya feminisme
sebelum Ginko menjadi dokter dan setelah Ginko menjadi dokter. Kemudian penelitian dilanjutkan
dengan menganalisis feminisme liberal pada tokoh Ginko sebagai akibat terjadinya diskriminasi gender.
Setelah melakukan analisa berdasarkan penelaahan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan bahwa, salah satu timbulnya kessadaran pemahaman feminisme liberal pada tokoh utama,
Ginko dalam novel
(Hanauzumi) karya
(Watanabe Jun’ichi) disebabkan diskriminasi
yang diterimanya. Diskriminasi yang Ginko terima tidak hanya terjadi pada saat sebelum Ginko menjadi
dokter, tetapi juga setelah selesai masuk sekolah kedokteran.
花埋み
渡辺淳一
Ginko Ogino terkenal sebagai seorang tokoh feminis yang legendaris. Seorang perempuan Jepang
yang berhasil merubah sejarah Jepang dan menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Hal ini tentu
menjadi hal yang luar biasa karena ia hidup pada zaman wanita masih dianggap lebih rendah dari pria.
Tidak hanya kaum wanita dianggap sebagai objek, tapi kaum wanita juga mendapat perlakuan yang sangat
tidak adil dan menerima diskriminasi. Ideologi gender mengacu pada sikap yang berkaitan dengan peran
yang sesuai hak dan tanggung jawab pada kaum pria dan wanita di dalam lingkungan sosial.
Diskriminasi yang dialami Ginko baik sebelum menjadi dokter maupun setelah menjadi dokter
sama-sama tidak menerima hak yang adil dengan kaum laki-laki baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan
maupun politik. Ketidakadilan tersebut (diskriminasi) muncul karena ada stigma masyarakat yang
berpandangan bahwa perempuan lebih layak di rumah, dan dunia luar diciptakan bagi kaum laki-laki
dikarenakan laki-laki lebih unggul. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki tingkat pendidikan yang lebih
tinggi daripada perempuan.
Berdasarkan hasil analisis, secara umum feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Penulis menemukan adanya semangat
feminisme pada tokoh Ogino Ginko untuk melakukan perubahan dengan gerakan feminisme liberal
sebagai salah satu akibat dari diskriminasi yang ia terima. Gerakan ini timbul sebagai simbol perlawanan
atas berbagai bentuk diskriminasi yang didera oleh Ginko.
Saran
花埋み
Penulis menyarankan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti novel
(Hana Uzumi)
karya
(Watanabe Jun’ichi), penulis menemukan terdapat ideologi konfusianisme dalam satu
negara yang dapat diteliti sebagai penyebab diskriminasi yang diterima oleh kaum perempuan. Selain itu
penulis menyarankan agar peneliti selanjutnya melepaskan diri dari topik feminisme liberal dan dapat
渡辺淳一
meneliti topik lain, seperti: Analisis Konfusianisme sebagai Penyebab Diskriminasi pada tokoh Ginko
dalam Novel Hanauzumi.
REFERENSI
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Farida, Umma. 2010. “Teks-Teks Keislaman dalam Kajian Umum Feminis”. Jurnal Studi Gender
Palastren Volume 3. Nomor 2. Jawa Tengah: PSG STAIN KudusKarube Tadashi, David Noble.
2008. Maruyama Masao: and the Fate Liberalism in Twenties-Century Japan. Tokyo:
International house.
Koalisi
Perempuan Indonesia. 4 Mei 2011, diakses tanggal 10 Juli 2014 dari
http://www.koalisiperempuan.or.id/
Mackie, Vera C. 2003. Feminism in modern Japan: citizenship, embodiment, and sexuality. Cambridge:
Cambridge University Press.
Marzuki. 2007. Kajian Awal Tentang Teori-teori Gender. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Megawangi, Ratna. 2009. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung:
Mizan.
Shuji, G. Asai & Olson, D. H. 2006. “Spouse Abuse & Marital System Based on Erich”. United States:
University of Minnesota.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, ed. 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:
Kencana Premada Media Group.
Nuryantoro. 2007. Teori Pengkajian Fiksdi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.
Shigematsu, Setsu. 2012. Scream from the Shadows: The Women s Liberation Movement in Japan. United
States: University of Minnesota Press.
Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Citra Pustaka.
Tickner, J. Ann. 2002. Feminist Perspectives on International Relations. In Handbook of International
Relations, edited by W. Carlesnaes, T. Risse, and B. Simmons. London, Sage.
Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Yogyakarta: Jalasutra
Ueno, Chizuko, and Beverley Yamamoto. 2004. Nationalism and gender. Melbourne, Vic: Trans Pacific.
Watanabe, Jun’ichi. 2012. Ginko (terjemahan Istiani Prajoko). Jakarta: Serambi Ilmu.
Watanabe, Jun’ichi. 2011. Hanauzumi. Tokyo: Shinchousha.
Zuhriah, Erfaniah. 2012. “Kekerasan Suami Terhadap Istri dalam Wacana Hak Asasi Manusia”.
EGALITA Volume 2, Nomor 1. Malang: Fak. Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.
RIWAYAT PENULIS
Stephanie lahir di Jakarta pada tanggal 27 September 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Bina
Nusantara dalam bidang Sastra Jepang tahun 2015.
Download