DISKRIMINASI GENDER SEBAGAI PENYEBAB TIMBULNYA FEMINISME LIBERAL DALAM NOVEL HANAUZUMI Stephanie Anzali Marsen Universitas Bina Nusantara, Jalan K.H. Syahdan No. 9 Jakarta 11480, (021) 534-5830/(021) 530-0244, [email protected] Stephanie, Linda Unsriana, S.S.,M.Si ABSTRACT Women in the early Meiji government is limited in self-actualization. The struggle of life experienced by Ginko very heavy with their position as women, the oppressed. Various discrimination he received from men. Oppression-oppression which brings Ginko become one of the leading feminist demand for gender equality. In this story, the authors found that Ginko woman who is the main character in the novel (HanaUzumi) seem to have the idea as a liberal feminist as a result of gender discrimination she experienced. This is according to the author is interesting to study more deeply. The purpose of this study was to determine the gender discrimination at Ginko Ogino figures, the first female doctor in Japan as the cause of liberal feminism in the novel Hana Uzumi works Jun'ichi Watanabe. In this study, the authors used qualitative methods, and descriptive analysis. After analyzing the data, the authors found through a variety of discrimination received by Ginko on his way into the first female doctor in Japan, causing Ginko as liberal feminist figure japan. 花埋み Keywords: gender discrimination, feminism, hanauzumi. ABSTRAKSI Wanita pada masa awal pemerintahan Meiji sangatlah terbatas dalam pengaktualisasian diri. Perjuangan hidup yang dialami Ginko sangat berat dengan posisinya sebagai perempuan, kaum tertindas. Penindasan tersebut yang membawa Ginko menjadi salah seorang tokoh feminis yang menuntut kesetaraan gender. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui diskriminasi gender pada tokoh Ogino Ginko, dokter perempuan pertama di Jepang sebagai penyebab timbulnya feminisme liberal dalam novel Hana Uzumi karya Jun’ichi Watanabe. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif, dan deskriptif analisis. Setelah menganalisis data, penulis menemukan adanya kesadaran pemahaman feminisme liberal pada tokoh Ginko melalui berbagai diskriminasi yang diterima dalam perjalanannya menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Kata kunci: diskriminasi gender, feminisme, hanauzumi. PENDAHULUAN Menurut Shuji dalam Olson (2006: 197) masyarakat Jepang adalah masyarakat patriarkal. Olson (2006: 125) juga menerangkan bahwa sistem patriarkal adalah suatu sistem dimana para pria lebih dominan dibandingkan para wanitanya di lingkungan pekerjaan maupun di kehidupan rumah tangga. Para pria di Jepang memainkan peranan penting di dalam masyarakat dan mereka cenderung lebih mementingkan pekerjaannya daripada perkawinannya. Pada masa awal pemerintahan Meiji, wanita harus tunduk pada laki-laki. Pada zaman tersebut ketika hendak makan, perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai. Selain itu, perempuan harus berjalan beberapa langkah di belakang laki-laki. Perempuan harus selalu berbicara dengan hormat ketika menghadapi lawan jenis. Ruang lingkup perempuan diharuskan terbatas hanya pada pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Wanita juga tidak boleh mengenyam pendidikan terlebih mengejar cita-cita karena dianggap melanggar hukum. Jalan terbuka untuk pendidikan wanita pun sangat minim. Diskriminasi gender tersebut memposisikan kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal tersebut menyebabkan reaksi masyarakat tidak terima dengan perlakuan tersebut sehingga, timbul gerakan kaum perempuan yang ingin memperjuangkan hak-hak kaum perempuan melalui kontribusi mereka dalam organisasi-organisasi perempuan. Gerakan emansipasi wanita di Jepang tak terlepas dari sejarah perjuangan wanita Jepang dalam memperjuangkan hak–haknya. Sebelum Perang Dunia II, kehidupan wanita sebagai seorang istri sangat dibatasi, dalam arti mereka tidak boleh bekerja di luar rumah dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Kehidupannya hanya berkisar pada melayani suami dan mengurus anak. Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II telah memberikan kehidupan baru pada pergerakan emansipasi wanita di Jepang, membuat wanita di Jepang mempunyai hak pilih pada pemilu 1946. Bagaimanapun, pergerakan untuk memberi penerangan bagi wanita Jepang telah dimulai sejak awal tahun 1910-an, dan pada tahun 1920 terbentuk New Women’s Association (Asosiasi Wanita Baru) yang telah melahirkan zaman baru pada pergerakan wanita di Jepang (Claremont, Agustus 2005). Persoalan gender yang selalu terlihat adalah kedudukan laki-laki sebagai penguasa telah memarginalkan kedudukan wanita dan seringkali keluar anggapan bahwa wanita hanya bertugas menjalankan kehidupan rumah tangga. Laki-laki tidak menyadari pentingnya kehadiran wanita. Hal inilah yang menimbulkan gerakan pembebasan oleh kaum wanita yang kemudian disebut sebagai feminis. Akan tetapi, gerakan pembebasan ini banyak mendapat tantangan dari kaumwanita yang masih berpandangan konservatif maupun dari kaum laki-laki yang tidak menginginkan kedudukan mereka digugat. Kaum pria yang pada umumnya menolak membiarkan wanita menggeser atau mengambil alih kedudukan mereka, selalu menghambat perjuangan kaum feminis. (Djajanegara, 2003: 7) Feminisme merupakan gerakan yang berawal dari Barat, dimulai dengan adanya industrialisasi dan kelas dalam masyarakat yang memarginalkan kelas perempuan. Munculnya pemikiran-pemikiran tentang wacana feminisme berasal dari masyarakat, agama, dan budaya. Prabasmoro mengatakan, feminisme bukanlah paham yang berdiri sendiri. Pada dasarnya ruang lingkup tentang paham feminisme sangat luas. Ruang lingkup ini meliputi gender dan ketidakadilan gender hingga pemikiran-pemikiran tentang feminisme. Menurut Prabasmoro (2006: 23), pemahaman dasar atas feminisme ini penting untuk melihat dengan lebih bening bahwa feminisme bukanlah semata-mata milik perempuan. Ini berarti wacana feminis bukan hanya menjadi pekerjaan besar wanita, tetapi juga laki-laki. Orang yang mengikuti aliran ini disebut feminis. Artinya, pria maupun wanita yang peduli dan menyadari adanya ketimpangan struktur sosial antara kaum wanita dan pria di masyarakat dapat dikatakan seorang feminis. Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.Setiap manusia -demikian menurut merekapunya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Feminsime liberal muncul dari aliran pemikiran politik liberalisme membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif. Dalam konteks ini, hal yang dimaksud ialah peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, di dalam akademi, forum, maupun pasar. Mereka menawarkan bahwa masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender, dan menganggap hanya pekerjaanpekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak untuk perempuan (Tong, 2010: 4849). Dalam penelusuran memahami feminisme yang terjadi di Jepang, penulis menemukan tokohtokoh yang berpengharuh pada zaman dahulu yaitu. Higuchi dan Ichiyo, Yosano Akiko. Yosano Akiko (1878-1942) sebagai penganut paham feminis liberal, Akiko menginginkan kesamaan hak dalam menyuarakan ide dan pikiran di segala bidang, salah satunya mengenai perang. Dan ia berpendapat bahwa Wanita di Jepang berada dibawah kekuasaan kaum pria. Seorang tokoh wanita bernama Higuchi Ichiyo (1872-1896) merupakan satu-satunya tokoh wanita yang namanya diabadikan di mata uang kertas 5000 yen Jepang. Ironi kehidupan yang dialami Higuchi saat kaum pria yang telah bersikap diskriminatif terhadap tulisannya hanya karena ia seorang wanita, sekarang membanjirinya dengan pujian-pujian dan ajakan bekerjasama. Di akhir hidupnya, barul sajak dan novel-novelnya dibaca dan dihormati oleh warga Jepang. Beratus-ratus tahun kemudian wajahnya diabadikan pada mata uang kertas 5.000 yen Jepang. Sebuah penghormatan dan kedudukan yang tak pernah dicapai oleh perempuan Jepang mana pun. Tidak hanya pada tokoh Higuchi Ichiyo yang mengalami diskriminasi dalam penulisan karena statusnya sebagai perempuan, Bentuk-bentuk diskriminasi dan ketidakadilan sosial yang sama pun dialami oleh Ogino Gin. Dengan mengalami berbagai penindasan, melahirkan sebuah gerakan feminisme yang mengusung kesetaraan gender dan menuntut untuk memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki. Pada masa awal pemerintahan Meiji, ketika meraih profesi dokter sangatlah sulit bahkan bagi laki-laki, cita-cita Gin terbilang mustahil. Dengan tekadnya yang bulat, Gin mengubah namanya menjadi Ginko sebagai simbol perlawanannya terhadap ketidakadilan yang mendera perempuan, dia berjuang menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Perjuangan hidup yang dialami Ginko sangat berat dengan posisinya sebagai perempuan, kaum tertindas. Berbagai diskriminasi ia terima dari kaum laki-laki. Penindasan-penindasan tersebut yang membawa Ginko menjadi salah seorang tokoh feminis yang menuntut kesetaraan gender. Pada kisah ini, (Hana penulis menemukan bahwa Ginko yang adalah tokoh utama perempuan dalam novel Uzumi) terlihat mempunyai gagasan sebagai seorang feminis liberal sebagai akibat dari diskriminasi gender yang ia alami. Hal inilah yang menurut penulis merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih dalam. 花埋み METODE PENELITIAN Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini. Penulis juga menggunakan metode kepustakaan untuk mengumpulkan teori yang akan digunakan dan mengumpulkan data yang akan dianalisis melalui novel Hana Uzumi karya Jun’ichi Watanabe. Selain itu, penulis menggunakan metode deskriptif analisis untuk menganalisis data. Setelah menganalisis dengan menggunakan teori-teori yang mendukung, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan. HASIL DAN BAHASAN 花埋み 渡辺淳一 Ogino Ginko merupakan tokoh utama dalam novel (Hana Uzumi) karya (Watanabe Jun’ichi). Dalam novel ini, Ia mendapat banyak perlakuan tidak adil yang sering kita sebut sebagai diskriminasi. Pada bab ini, penulis akan menganalisis diskriminasi gender yang Ginko terima sebagai bentuk timbulnya feminisme liberal yang dilakukan oleh Ginko. Penulis akan membagi analisis berdasarkan waktu kejadian menjadi dua bagian, analisis diskriminasi gender pada tokoh Ginko sebagai penyebab timbulnya feminisme sebelum Ginko menjadi dokter, setelah Ginko menjadi dokter dan analisis feminisme liberal pada tokoh Ginko sebagai akibat diskriminasi gender. 1. Analisis diskriminasi gender pada tokoh Ginko sebagai penyebab timbulnya feminisme liberal 1.1. Analisis sebelum Ginko menjadi dokter Dalam novel Hanauzumi ini, tokoh Ginko merupakan tokoh utama sekaligus tokoh protagonis karena Ia berperan sebagai narator dalam cerita dan pada setiap adegan kehadirannya selalu muncul. Hal ini sesuai arti tokoh utama menurut Nurgiyantoro, (2007: 176-177) yakni tokoh yang selalu muncul pada setiap adegan dan berperan sebagai narator dalam cerita novel. Ginko yang sebagai tokoh utama juga menyampaikan pesan dan moral yang akan tercantum pada analisis oleh teliti (Nurgiyantoro, 2007: 167). Ginko terkenal sebagai seorang perempuan yang sedari kecil sangat cerdas dan tercantik diantara ketujuh saudaranya. Dengan latar belakang keluarga yang sangat baik, desas-desus perceraian Ginko menjadi sangat heboh di desa tersebut. Pada saat berumur enam belas tahun, Ginko menikah dengan Kanichiro, putra tertua keluarga petani terkaya di Inamura dari Desa Kawakami bagian Saitama Utara yang dekat dari Tawarase. Akan tetapi sayang, suaminya berkhianat dan menulari Ginko penyakit kelamin yang dinamakan Norin. Norin adalah istilah yang digunakan dalam pengobatan China untuk menyebut gonorrhoea. Pasien akan menderita demam tinggi, sakit luar biasa pada area yang terinfeksi dan rasa sakit saat buang air kecil. Pada masa modern, gonorrhea dapat disembuhkan dengan penisilin atau antibiotik lain, tapi pada masa itu, bubuk sulfa belum ada. Penyakit seperti itu dianggap tidak dapat disembuhkan. Dalam usia tiga tahun pernikahannya, itu berarti Ginko tertular penyakit tersebut tak lama setelah menikah. Akan tetapi selama Ginko sakit, mertuanya tetap menyuruhnya melakukan tugasnya dengan rutin. Beberapa kutipan mengenai diskriminasi yang dialami Ginko sejak masa pernikahan dapat dilihat seperti pada kutipan-kutipan berikut: 「ぎんも告げるのが恥ずかしくて、心配にこらえていたようです。二月に熱があるのに水を使 って、眩暈を起こして倒れてからは、もう起きられなかったようです。ほんに困りました」 (Watanabe, 2011: 14) Terjemahan: “Gin sudah dipermalukan dan berharap bisa sembuh sebelum orang lain mengetahui penyakitnya. Pada bulan Februari, dia terserang demam tapi tetap melakukan pekerjaan rumah dan tugas-tugas lainnya seperti biasa. Kemudian pada suatu pagi, dia mengalami sakit kepala hebat sampai-sampai tak bisa bangun. Semenjak itu, dia terus terbaring di tempat tidur.” 「いくら大家でも米櫃の番などはしたくもありません」 「それが嫁の勤めではありませんか」 「私はいやです。火をお起、部屋を掃除し、米を炊く。本を一つを読む暇もありません」 「ぎん、あなたはあちらで本を読んでいたのですか。何ということをするのです。本を読む農 家の嫁がどこにいます。」 「一日の仕事が終わったわずかな時間です。それさえ義母さんの目を盗んで。病気になったの はかえってよかったのです。これで男の勝手と、結婚の馬鹿さ加減が分かったのですから」 (Watanabe, 2011: 23-24) Terjemahan: “Aku tak peduli sekaya apa mereka, aku tak sudi menghabiskan hidupku hanya dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.” Tomoko bicara lagi. “Memang seperti itulah tugas istri-istri yang masih muda.” “Aku tidak mau … menyalakan tungku, membersihkan rumah, menanak nasi … sama sekali tak ada waktu untuk membaca.” “Maksudmu kau ingin mengatakan kepadaku bahwa selama ini kau masih membaca buku? Di mana-mana tak ada istri petani yang membaca buku! Memangnya apa yang ada dikepalamu?” “Yang kumaksud adalah waktu beberapa menit setelah pekerjaan siang hari selesai. Aku sampai terpaksa harus sembunyi-sembunyi di rumah ibu mertuaku hanya untuk membuka buku ….. Aku tak menyesal aku sakit … aku justru senang! Sekarang, aku tahu betapa egoisnya lelaki dan betapa hampanya pernikahan.” 「表向気には体が強くて子供が生まれない、ということを離婚の理由にしたいと言っていたか ら、それはこちらでも納得しましたよ。一応そういうことでいいだろう」(Watanabe, 2011: 38) Terjemahan: “Keluarga Inamura memberitahu kita apa yang mereka katakan kepada orang-orang. Alasan perceraian itu adalah karena kondisi fisikmu lemah dan tidak bisa punya anak.” それにしても子供産まれない、という烙印はぎんには淋しかった。「子無気は去る」と『女大学』 に書かれているように、当時では右女は立派な離婚の理由になりえた。だがそれは女の生理まで否 定した屈辱的な理由でもある。あの女は不具だから、と言うのと変らない。本当に自分は子供は産 めないのであろうか。『女大学』にも三年と期限まで書いてある。いかに下の病といっても、そん な風に一概に断定できるものだろうか。体を壊されたうえ、私はもう一人前の女ではなくなったの か、考えるうちにぎんの頭は憤りで熱くなった。(Watanabe, 2011: 39) Terjemahan: Bagaimanapun juga, Gin merasa sakit hati dicap tak bisa punya anak. Dia ingat sebuah kalimat yang dibacanya di buku tingkah laku peremuan berjudul Menjadi Perempuan Sejati, “seorang perempuan yang tidak bisa punya anak harus meninggalkan rumah suaminya”. Kala itu, cap “mandul” adalah suatu alasan umum perceraian. Akan tetapi memandang perempuan hanya dari kemampuannya menghasilkan anak tanpa melihat nilai-nilai lainnya adalah penghinaan. Gin berpikir apakah dia memang sesungguhnya mandul atau tidak. Buku itu bahkan memberi batas waktu hanya sampai tiga tahun untuk menyatakan seorang perempuan itu mandul atau tidak. Semakin Gin memikirkannya, semakin marah dirinya. Suaminya tidak hanya merusak kesehatannya, tetapi juga telah merampok harkatnya sebagai perempuan. Masyarakat tidak akan menganggapnya sebagai perempuan sejati lagi. Ginko yang sakit hati karena sebagai pihak yang disalahkan dalam hubungan perkawinannya, Ginko memutuskan untuk bercerai. Kemudian ia berusaha untuk meyembuhkan penyakitnya dengan dokter terbaik pada zaman itu. Akan tetapi, pada saat itu belum ada dokter perempuan sehinngga ia harus menunjukkan bagian pribadinya kepada dokter laki-laki. Hal ini membuat konflik batin dan muncul pergolakan dalam diri Ginko untuk menjadi seorang dokter perempuan. Ginko kemudian memohon kepada ibunya untuk mendapatkan izin dari keluarganya pergi ke Tokyo untuk menjadi seorang dokter. Ibunya yang mendengar hal ini, menganggap Ginko sudah tidak waras dengan keputusannya. 「馬鹿なことをお言いでわないよ。世の中には出来ることと出来るないことがあるのです。そこを まずよく考えてみることです。それにはきちんと男のお医者様がいるではありませぬか、手足を切 ったり血を見ることは女子のすることではありません。女子には女子の守るべき道があります」 「家を守り、子を育てるということですか」 「それもーつです」(Watanabe, 2011: 92-93) Terjemahan: “Kumohon jangan bicara seperti orang tolol begitu. Di dunia tempat kita hidup sekarang, ada beberapa hal yang mungkin dan ada pula yang tidak mungkin. Bercerminlah pada kenyataan. Itu tugas dokter laki-laki. Memotong bagian-bagian tubuh dan melihat darah bukanlah pekerjaan perempuan. Ada banyak hal lain yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan” “Seperti mengurus rumah tangga dan merawat keluarga, bukan?” “Ya, itu salah satunya.” 「女が医者になることはこれまでに例がない。例がないというより許されておらぬのだ。それ をあえて進むと言うのは禁制を犯すに等しい。母上が反対されるのも無料がない。そこで相談 だが、。今すぐ女医になると言っても、どの道、しかとした方途はない。東京へ出して、手づ るを求めると言っても、すぐおいそれとはゆくまい」(Watanabe, 2011: 98) Terjemahan: “Tidak pernah ada perempuan yang menjadi dokter sebelumnya. Karena tidak boleh. Mengejar cita-citamu ini sama saja dengan melanggar hukum. Aku tidak kaget kalau ibumu menolak memberimu izin. Kalau kau pergi ke Tokyo sekarang dan mengatakan kau ingin menjadi dokter, kau tetap tidak bisa melakukannya; kau tidak punya koneksi dan jalan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan dokter tidak ada.” Setelah berhasil mendapatkan izin untuk pergi ke Tokyo, Ginko belajar dengan Profesor Yorikuni Inoue dan kemudian masuk ke Sekolah Guru Perempuan Tokyo dan tak berapa lama ia pun masuk ke Universitas Kedokteran Kojuin. Kursi-kursi di perguruan tinggi kedokteran pada umumnya terbatas bagi putra-putra mantan keluarga samurai yang terkenal atau orang-orang yang memiliki surat pengantar dari orang terkemuka. Begitu halnya dengan Ginko yang memiliki surat pengantar dari Profesor Nagai dan Tadashi Ishiguro, seorang direktur rumah sakit bedah tentara sekaligus seorang pejabat yang berpengaruh dalam dunia kedokteran pada masa itu, sehingga, ia dapat masuk di Universitas Kedokteran Kojuin. Rektor universitas bersedia menerima Ginko, tetapi ia tidak memberikan akomodasi khusus bagi seorang mahasiswi─tidak dalam hal fasilitas, peralatan atau penyesuaian dengan peraturan. Apabila Ginko ingin masuk, kehadirannya akan dimaklumi, tetapi hanya sebatas itu saja. Selama Ginko bersekolah di sana, tak seorang pun menawarkan bimbingan atau bantuan. Bahkan para staf unversitas tersebut apabila ditanya mereka akan menjawab “Tidak tahu” secara dingin. Selain tidak adanya fasilitas, Ginko juga harus menghadapi para mahasiswa yang tidak senang dengan kehadirannya di sekolah. Beberapa mahasiswa menggodai dan melontarkan pernyataan tidak setuju mereka seperti yang terkutip pada berikut ini, 「別嬪」 「この顔で男の脈をとるんか。男の裸でも見るわい」 「諸君、宮内省侍、医学士高階経徳経営する、この光栄ある好寿院に、女性医学生何の何某を 迎えたことはまことに慚愧にたえない。今や医学道は地におち、女、子供の職業の具と化しつ つある。女、賢しゅうして家つぶし、今や医学をつぶさんとす、あに憂えざるべけんや」 「諸君、我々は遂に今日ここに女学生を迎えるに至った。我々は婦女とともに医学を学ばねな らない。婦女と並んで講義¥を聞き、実験をするのである。すなわら、我々、は婦女と同等に 成り下った。この責を何とするか」「女、帰れ」(Watanabe、 2011: 173-176) Terjemahan: “Ada boneka!” “Mmm … dia akan mengukur denyut nadi para laki-laki. Dan, melihat mereka telanjang juga!” “Saudara-saudara sekalian, ini benar-benar tak tertahankan … benar-benar buruk … universitas kedokteran kita yang mulia, yang dikelola oleh dokter Kekaisaran yang ditunjuk, hari ini menerima seorang mahasiswi kedokteran. Mengapa? Profesi terhormat kita telah turun martabat menjadi pekerjaan perempuan dan anak-anak. Rupanya belum cukup bahwa perempuan berpendidikan merusak rumah tangga, sekarang mereka melanjutkan untuk menghancurkan profesi medis. Ini keterlaluan!” “Saudara-saudara sekalian, hari ini kita dihadapkan dengan seorang mahasiswi. Kita harus belajar kedokteran bersama perempuan, mendengarkan ceramah dan melakukan percobaan bersama dengan perempuan. Dengan kata lain, derajat kita telah diturunkan sampai pada tingkat perempuan. Siapa yang harus disalahkan?” “Hai perempuan, pulang sajalah” Dalam kutipan lainnya kita juga melihat adanya diskriminasi yang terjadi ketika Ginko sedang menjalani studi kedokteran yang mendapatkan tugas meringkas kondisi medis para pasien yang telah ditunjuk guru untuk diperiksa. Pasien yang yang telah ditunjuk untuk diperiksa Ginko adalah seorang mantan asisten hakim dalam masa pemerintahan shogun yang berusia lima puluh dua tahun. Lelaki tersebut menderita luka terbuka yang cukup besar di lengan kanan bagian atasnya dan nanah dari luka itu membasahi tiga perban setiap hari yang menunjukkan tulangnya patah dan dibiarkan membusuk. Luka pada bagian depan dan belakang terlihat bahwa ia ditembak, pelurunya tepat menembus tubuhnya dan telah mengalami sakit yang luar biasa selama lima belas tahun. Walaupun demikian, ia menolak mentahmentah untuk diperiksa seperti yang terkutip pada berikut ini: 「女に用はない。院長先生であろうが、何様であろうが、見せられぬものは見せられぬ。こう 見えても俺は土族だ。女医者などに見られたとあっては生祖に顔が立たぬ。それでも立ってと 言いうなら腹かき切るまでだ。診たければそれから見ればよい。」(Watanabe, 2011: 193-194) Terjemahan: “Aku tidak butuh perempuan. Entah itu kepala perguruan tinggi ini atau orang lain, masa bodoh. Tetap saja ada beberapa hal yang tidak boleh dilihat perempuan. Keadaanku mungkin terlihat buruk sekarang, tapi aku berasal dari keluarga samurai. Jika tersebar berita bahwa aku diperiksa oleh dokter perempuan, aku tidak akan pernah bisa menunjukkan mukaku kepada nenek moyangku. Jika kau memaksaku, aku akan merobek perutku sebagai gantinya. Kemudian, kau akan bebas memeriksaku seperti maumu.” 「女子は家にいるべきものであり、外の世界は方事が男に好都合うに出来ていた」 (Watanabe, 2011: 186) Terjemahan: Perempuan seharusnya tinggal di rumah dan dunia luar diciptakan agar sesuai dengan laki-laki. Analisis: Pada kutipan-kutipan di atas, terlihat bahwa Ginko mengalami diskriminasi berawal dari hubungan perkawinannya. Ginko tertular penyakit kelamin dari suaminya yang telah berkhianat. Walaupun demikian, di dalam hubungan perkawinannya, Ginko dianggap sebagai pihak yang bersalah karena tidak dapat melahirkan dan memerankan tanggung jawabnya dengan baik sebagai ibu rumah tangga. Meskipun Ginko menderita demam yang menyebabkan Ginko tidak dapat bangun dari tempat tidurnya tetapi, ia harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasa dan mematuhi segala perintah Ibu Mertua. Hal tersebut merupakan peraturan kuno yang telah mendikte perempuan dengan apa yang harus dikerjakan mereka dan ini merupakan diskriminasi gender. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Futhoni, et.al (2009: 8). Pada dasarnya diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Pada masa pemerintahan Meiji awal adalah masa ketika perempuan tidak pantas bersekolah, apalagi sampai memiliki pekerjaan. Yang lebih penting profesi sebagai dokter adalah cita-cita yang terlalu mulia sehingga bahkan laki-laki pun tidak banyak yang mau mengejarnya. Sikap mayoritas masyarakat yang antipati terhadap pendidikan bagi perempuan terbukti dengan pemikiran seperti, melahirkan anak perempuan yang suka belajar akan membawa aib pada seluruh keluarga. Selain itu, masyarakat juga beranggapan bahwa perempuan harus mengutamakan pelayanan daripada pelajaran dan perempuan seharusnya diam di rumah. Pada pemikiran seperti ini menandakan bahwa perempuan sudah mempunyai tempatnya sendiri, dan harus tetap berada pada tempatnya. Cara berpikir lama (konvensional) masih mengakar dengan kuat sehingga, timbul adanya diskriminasi bagi kaum perempuan dalam memperoleh hak-hak yang sama dengan kaum lakilaki. Dengan kata lain, perempuan dan laki-laki memiliki perannya masing-masing, perempuan berperan di rumah, laki-laki berperan di luar, ini yang dinamakan peran gender opresif. Gender yang dimaksud adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2008: 8). Peran gender opresif sebagaimana yang dikatakan oleh Tong (2008: 48), yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan dalam bidang akademik, forum, maupun pasar. Pada kutipan-kutipan selanjutnya, terlihat bahwa Ginko telah diasingkan oleh karena dia satu-satunya perempuan di sekolah kedokteran. Mereka menganggap kehadiran Ginko menodai reputasi sekolah tersebut. Ginko tidak menerima fasilitas apa-apa kecuali perlakuan kasar dengan dihina, dilecehkan, dan direndahkan. Kesulitan utama Ginko ialah ia seorang perempuan. Dia menjadi satu-satunya perempuan di sekolah laki-laki. Walaupun pengaruh Eropa telah mempengaruhi kelas masyarakat tertentu, budaya Eropa tersebut tidak berpengaruh pada kehidupan rakyat jelata. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengubah pemikiran konservatif yang dibudidayakan selama tiga ratus tahun zaman Tokugawa. Kesulitan yang dialami Ginko sama dengan yang dihadapi oleh semua perempuan perintis modernisasi lainnya seperti Higuchi Ichiyo, Kishida Toshiko, dan Tsuda Umeko. Dalam kasusnya, diskriminasi yang dialami oleh Ginko merupakan penganiayaan yang terjadi secara terus menerus atau dengan kata lain disebut sebagai penganiayaan secara aktif. Penganiayaan secara aktif merupakan bentuk kekerasan dan bentuk kekerasan apapun akan mengakibatkan hak-hak dasar seseorang teraniaya yang disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan (Fakih, 2008: 18). Bentuk kekerasan tersebut dapat berupa kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk tindakan kekerasan fisik dan penganiayaan non fisik. Pada umumnya tujuan dari penganiayaan tersebut adalah untuk merendahkan citra dan kepercayaan diri seorang. Penganiayaan tersebut dapat berupa kata-kata, perbuatan yang tidak disukai oleh korban, dan tindak kekerasan psikologis. Hal tersebut merupakan tindakan terselubung yang berdampak pada pengabaian hak dasar manusia. Seorang manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama sehingga mereka juga berhak diperlakuan dengan baik (Zuhriah, 2012: 1). Jepang merupakan negara penganut paham konfusianisme yang menekankan nilai berkelompok dalam lingkungan keluarga maupun bermasyarakat. Hal ini berlangsung sampai sekarang dipengaruhi oleh sistem keluarga pada wanita sebagai gilirannya.Paham konfusianisme menekankan superioritas laki-laki di atas wanita. Ginko hidup di zaman ketika hendak makan, perempuan harus menunggu sampai para laki-laki selesai. Selain itu, perempuan harus berjalan beberapa langkah di belakang laki-laki. Perempuan harus selalu berbicara dengan hormat ketika menghadapi lawan jenis. Kalau seorang laki-laki mengatakan sesuatu, jawaban yang diharapkan dari perempuan adalah “Ya, saya mengerti”. Ruang lingkup perempuan diharuskan terbatas hanya pada pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Pada konteks ini Ginko seorang perempuan, tiba-tiba datang ke sekolah kedokteran yang penuh dengan laki-laki dibidang yang hanya diperbolehkan bagi para lakilaki pada saat itu. Para laki-laki sedari kecil diajarkan bahwa posisi perempuan berada jauh di bawah mereka. Oleh sebab itu, mereka marah akan kehadiran Ginko. Hal ini menunjukkan adanya diskriminasi yang terjadi tidak hanya kepada Ginko tetapi kepada semua kaum perempuan pada zaman itu. Seperti yang Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) nyatakan bahwa, seperangkat ide-ide dan sistem nilai yang didasarkan pada determinisme biologis telah menghasilkan seksisme dan diskriminasi utamanya terhadap perempuan. Sebagai contoh, karena perempuan memiliki kodrat untuk hamil dan melahirkan, ia diasumsikan sebagai orang yang paling mampu mengurusi rumah tangga dan keluarga, dan karenanya istri dalam rumah tangga tidak diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah. Hal tersebut dapat merugikan perempuan karena ia dipandang sebagai pihak kedua (second person) dan dipinggir dibanding dengan peran dan posisi laki-laki yang memiliki kekuasaan yang dominan. sesuai dengan yang Fakih (2008: 15) katakan, pandangan gender juga dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan pola pikirnya adalah irasional atau emosional sehingga berimbas pada stigma ketidakmampuan tampil untuk memimpin, berakibat munculnya sikap bahwa perempuan berada di posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person). Tentu saja hal ini dapat mengakibatkan semakin lemahnya posisi perempuan karena peran perempuan berada dalam posisi marginal, sebagaimana yang dikatakan oleh Murniati (2004: 20), marginalisasi merupakan suatu proses pengabaian hakhak yang seharusnya diterima oleh kaum perempuan sebagai pihak yang termarginalkan. Proses tersebut terbentuk adanya keyakinan masyarakat terhadap kurangnya kemampuan perempuan dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan, sehingga tidak adanya kepercayaan terhadap kekuasaan terhadap suatu hal yang bersifat kepemimpinan. Dari stigma masyarakat tersebut timbul stereotipe masyarakat terhadap perempuan yang mengakibatkan adanya ketidakadilan yang diterima oleh perempuandalam pembagian peran di muka umum (Fakih, 2008: 16). Hal inilah yang mendasari penolakan pasien laki-laki khususnya dari kalangan terhormat (samurai) untuk tidak diperiksa oleh calon dokter perempuan, Ginko dalam wujud diskriminasi gender. 1.1.2. Analisis setelah Ginko menjadi dokter Diskriminasi yang dialami tokoh Ginko tidak hanya dialami sebelum menjadi dokter. Setelah menjadi dokter pun Ginko masih mengalami diskriminasi. Pada tanggal 23 Oktober 1883, Dewan Besar Negara menetapkan sistem baru peraturan lisensi kedokteran yang berlaku sejak 1 Januari 1884 yang menyatakan semua orang yang ingin mendirikan usaha praktik medis harus mengikuti ujian lisensi dari pemerintah dan hanya mereka yang lulus yang akan diizinkan melakukan praktik kedokteran. Ginko mendaftar dengan melampirkan surat permohonan resmi yang menguraikan kualifikasi dirinya dan menyatakan alasannya mengapa ia ingin menjadi dokter. Akan tetapi, berkali-kali ia mendaftar, tetap ditolak. Surat penolakan terhadap Ginko dapat dilihat seperti berikut, 「婦女子に医師免許を写えた例はない。」(Watanabe, 2011: 227) Terjemahan: “Belum ada preseden seorang perempuan menerima lisensi kedokteran.” Ginko memutuskan bahwa tidak ada usaha yang lebih baik atas hal tersebut kecuali secara pribadi menghadap ke Kementrian Dalam Negeri yang dianggap sebagai lembaga yang paling kuat dan otoriter di antara semua kementerian.Ia bermaksud untuk berbicara dengan para pejabat yang bertanggung jawab atas ujian lisensi kedokteran tersebut. Akan tetapi sekali lagi, penghinaan terjadi ketika ia berhadapan dengan Kepala Bagian Pencegahan Penyakit. 「そなたには何笑しくはないかな。女医者になるなどとは聞いたこともないわ。そんなことを 聞いたら誰でも笑い出す、そうであろう … 妙なことを考えずお嫁に行かれるがよかろう。 そなたほどの美形なら行く生に苦労はないであろう … 考えてっもみられよ、女子には妊娠 という厄介なことがある。その度に患者を手放さねばならん。これでは不安で、とても患者を 委せるわけにはいかん。それに毎月、きまって汚れる日もあろう。それに開業試験は難しい。 かなり優秀な男でも合格せぬ。たとえ許されたとしても女には無理じゃ、早めに諦めた方が身 のためであろう。」(Watanabe, 2011: 235⁻237) Terjemahan: Tidakkah hal ini juga lucu bagimu? Aku belum pernah mendengar sesuatu seperti itu. Seorang perempuan menjadi dokter? Itu cukup untuk membuat siapa saja tertawa! … Mengapa kau tidak melupakan pemikiran-pemikiranmu itu dan menikah? … Jika kau berpikir, kau akan mengerti. Perempuan memiliki tugas untuk mengandung. Mereka harus meninggalkan pasien ketika hamil, dan kami tidak bisa mempercayakan pasien atas ketidakstabilan semacam itu. Selain itu, setiap bulan pada hari-hari tertentu, perempuan itu … kotor. Bukankah begitu? Dan selain itu, ujian lisensi itu sulit. Bahkan para laki-laki yang cukup cerdas saja gagal dalam ujian itu. Misalkan kau mendapatkan izin untuk mengikutinya, kau tidak akan lulus. Tidak hanya dalam memiliki hak memperoleh pendidikan yang setara, penolakan yang serupa terjadi dalam bidang politik. Konstitusi Kekaisaran Jepang sudah lama ditunggu-tunggu ditetapkan. Antara lain, undang-undang itu memungkinkan pembentukan Dewan Kekaisaran, yang dipilih berdasarkan suara terbanyak. Maka, untuk pertama kalinya, masyarakat punya andil dalam pemerintahan. Demi menghormati peristiwa tersebut, pemerintah mengumumkan amnesti kepada narapidana politik, dan beberapa orang dari Gerakan Kebebasan dan Hak Asasi Rakyat. Konstitusi tersebut merupakan langkah terakhir untuk mengesahkan pemerintahan Meiji sebagai negara modern. Akan tetapi, hukum yang memungkinkan terpilihnya pejabat tidak memberikan hak bagi perempuan untuk memilih dan dengan sewenang-wenang melarang perempuan untuk menyatakan pandangan politik dan mengamati sesi proses pemilihan anggota dewan. 「男性であれば教師生徒は勿論、馬追いの子供、行商の老爺も、田舎の作男も議場へすべて自 由に入場できるのです。禁止されているのは酩酊した者と、兇器を持った者だけです。それに もかかわらず女性は女性であるだけの理由でいかんと言うのです。これでは女性はすべて酩酊 者や兇器持ちと同じだという理屈になるではありませぬか。選挙権はともかく、傍聴まで禁じ られては、政治に関して女性は発言の場はもとより、知る場さえ奪われることになります。こ れでは女性がいくら学問に励み知識を重ねても、まったく無意味です」 (Watanabe, 2011: 373) Terjemahan: Semua laki-laki boleh menghadirinya, tidak peduli mereka guru atau pelajar, penjaga kandang atau penjual keliling atau buruh tani. Tidak seorang pun ditolak. Satu-satunya laki-laki yang tidak boleh masuk hanyalah laki-laki yang mabuk atau membawa senjata. Perempuan dilarang tanpa alasan, selain karena jenis kelamin mereka. Secara logika, ini berarti bahwa seluruh perempuan dianggap tidak lebih dari pemabuk atau preman pembawa senjata, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota dewan pun dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang kesempatan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Perempuan yang meraih pendidikan akademis dan pengetahuan tak dihargai. Aku percaya OPKJ harus bertindak dalam hal ini. Menurutku, kita harus mengajukan permohonan langsung kepada pemerintah. Selain menerima diskriminasi dalam memperoleh hak dalam bidang pendidikan dan politik, diskriminasi lainnya juga terlihat ketika Ginko telah menjadi dokter. Ia mengalami hinaan oleh masyarakat sekitar yang memiliki stigma negatif yang telah lama melekat pada penduduk di wilayah-wilayah tertentu. Diskriminasi yang terjadi seperti diskriminasi pada perkawinan dan pekerjaan yang terjadi secara terus menerus. Setelah berhasil menjadi dokter perempuan pertama di Jepang, tidak menandakan Ginko telah terbebas penuh dari diskriminasi gender. Pada hari minggu pertama praktik kedokteran dibuka, ada beberapa orang asing yang sengaja mencoret-coret dinding depan klinik berulang kali pada saat tengah malam. Berikut adalah kutipan dari coretan tersebut. <この家の主、血を好むろしき女なり>(Watanabe, 2011: 293) Terjemahan: Perempuan rumah ini adalah perempuan nakal yang bersukaria dengan darah. <女が脈とる未世かな> (Watanabe, 2011: 293) Terjemahan: Kiamat sudah dekat kalau seorang perempuan mengukur denyut nadimu. Bidang kedokteran bukanlah pekerjaan bagi perempuan! Tidak hanya sebatas tulisan iseng belaka, coretan-coretan tersebut juga disertai karikatur Ginko yang mengerikan. Meskipun Coretan tersebut sudah dihapus, keesokan harinya muncul dengan kalimat yang berbeda. Komentar pedas masyarakat pun menyerang Ginko ketika Ia memarahi seorang laki-laki pemalas yang membiarkan istrinya sedang sakit tetapi tetap bekerja. “Nekat!” dan Dimarahi seorang perempuan!” kata-kata kritis tersebut pun terlontar dari masyarakat sekitar. Analisis: Lulusan universitas kedokteran kekaisaran dan daerah dibebaskan dari peraturan ini, termasuk para dokter yang mendapatkan lisensi dari universitas-universitas kedokteran luar negeri. Mereka dapat meminta agar lisensi mereka disesuaikan setelah adanya pengamatan atas kualifikasi mereka. Semua perizinan tersebut ditangani langsung oleh Kementrian Dalam Negeri. Adanya sentralisasi ini memungkinkan kementrian menciptakan daftar nasional para dokter dan meletakkan dasar-dasar untuk sistem perizinan kedokteran yang modern dan terstandarisasi. Faktanya, Ginko adalah perempuan pertama yang mendaftarkan diri dalam ujian lisensi kedokteran tepat setelah peraturan perizinan ini diberlakukan. Hal ini tentu mempersulit Ginko karena pemerintah belum dapat menerima adanya gagasan dokter perempuan. Surat permohonannya yang disertai alasan-alasan yang mengatasnamakan demi kemajuan bidang kedokteran dan solidaritas terhadap sesama perempuan tidak diterima oleh pemerintah. Pada awal pemerintahan Meiji, tidak tertulis dalam undang-undang bahwa perempuan dilarang menjadi dokter. Selama tidak ada larangan, perempuan seharusnya diizinkan mengikuti ujian, dan kalau lulus juga harus diizinkan mulai berpraktik. Dan apabila ada pihak (dalam kasus ini adalah para birokrat) yang ingin menghalangi perempuan menjadi dokter, mereka harus mencatumkan klausul yang secara khusus melarang perempuan menjadi dokter. Ini berarti pemerintah tidak dapat menolak hanya karna belum ada presedennya. Padahal pada zaman itu sudah ada pernyataan dari Surat Kabar Choya Shinbun yang menyatakan bahwa “Perempuan sampai sekarang dibatasi sampai kebidanan, tapi saat ini ada beberapa diskusi tentang kemungkinan bagi para perempuan yang mahir, setelah melewati ujian yang diperlukan, akan mendapatkan izin yang sama dengan para laki-laki untuk menjadi dokter dan apoteker” (Watanabe, 2011: 229-230). Satu setengah tahun sejak Ginko lulus dari Kojuin, sejumlah teman seangkatannya di Kojuin telah lulus ujian dan telah membuka praktik kedokteran. Mereka berhak mendapatkannya karena mereka terlahir sebagai laki-laki. Sedangkan Ginko yang memiliki kemampuan akademis jauh melampaui mereka tidak diberi kesempatan karena ia perempuan. Hal ini membuat Ginko kecewa. Ia merasa kemampuannya sama bahkan dapat mengungguli teman-temannya. Dia merasa berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Ginko tidak dapat menerima diskriminasi yang semata-mata hanya karena dia bergender perempuan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia yang menyatakan bahwa, diskriminasi gender merupakan tindakan yang memperlakukan kelompok atau individu secara berbeda karena jenis kelaminnya dengan salah satu jenis kelamin diutamakan atau dibatasi dibandingkan dengan yang lainnya, yang didasarkan tidak pada kemampuan dan kebutuhannya, tapi pada peran stereotip gender-nya.Pada konteks ini adalah pandangan stereotip gender tersebut yang menjadikan perempuan sebagai objek korban dari ketidakadilan gender, seperti halnya Ginko yang kesulitan mendapat ujian lisensi kedokteran karena Ginko yang adalah perempuan memiliki tugas mengandung, dan harus meninggalkan pasien serta stereotip yang menyatakan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Pandangan tersebut masih melekat sampai Ginko membuka praktik kedokteran dengan coretan penghinaan yang menandakan masyarakat masih belum dapat menerima adanya profesi bagi perempuan. Seperti yang dikutip di atas. Hal ini mendukung dengan teori Fakih (2008: 15) yang menyatakan, pandangan gender juga dapat menimbulkan subordinasi terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan pola pikirnya adalah irasional atau emosional sehingga berimbas pada stigma ketidakmampuan tampil untuk memimpin, berakibat munculnya sikap bahwa perempuan berada di posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person) yang mempengaruhi eksistensi sosial dan kultural perempuan semakin melemah (Cavallaro, 2004: 202). Hal tersebut juga didukung oleh Narwoko & Suyanto (2007: 287-289) dan Fakih (2008: 16) menyatakan bahwa, stereotip (penanda atau pelabelan) tersebut timbul dari adanya konstruksi sosial dan kultural yang menghasilkan gender yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara sosial yang seringkali menimbulkan perlakuan tidakadil (diskriminasi). Hal ini menandakan diskriminasi yang dialami Ginko sejalan dengan yang dikatakan pada teori tersebut. Selain dalam bidang pendidikan, Ginko dan perempuan lain juga tidak mendapat kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam bidang politik. Selama periode Meiji, ada perkembangan legislatif utama, yang melihat pembatasan atas keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Konstitusi Meiji 1889 yang tidak memberikan perempuan hak untuk memilih. Bagi sebagian masyarakat Jepang pada saat itu adalah hal yang biasa jika perempuan tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut ambil bagian dalam menyatakan pandangan politik. Bahkan, kelompok Gerakan Kebebasan dan Hak Asasi Rakyat hanya sebagai formalitas dalam menyatakan keberatan mereka. Satu-satunya yang menentang dengan lantang hanya berasal dari perempuan itu sendiri, akan tetapi hanya sedikit dan tidak terlalu berpengaruh. Dalam hal ini, sekali lagi penulis menemukan adanya perlakuan diskriminasi yang Ginko terima tidak hanya dalam bidang kedokteran, tetapi juga politik. Ginko dimarginalisasikan sebagai perempuan. Sebagai contoh, Ginko tidak diizinkan untuk masuk ke universitas kedokteran karena wanita dianggap tidak kompeten dalam bidang ini. Selain itu, Ginko dan juga perempuan lainnya tidak diizinkan ikut serta dalam pemilihan umum pertama yang dilakukan oleh pemerintah Jepang. Sebagai Kepala Bidang Tata Krama dan Moral, Ginko menerima apabila hak pilih perempuan ditiadakan jika alasannya karena tingkat pendidikan perempuan rendah. Akan tetapi, dia menolak jika kaum perempuan dilarang menghadiri rapat kerja pemilihan anggota dewan karena hal tersebut dapat mematikan semangat belajar perempuan yang akhirnya muncul. 1.2. Analisis Feminisme Liberal pada tokoh Ginko sebagai akibat diskriminasi gender Dari bentuk diskriminasi yang telah diuraikan pada bab 4.1, penulis menemukan dari diskriminasidiskriminasi tersebut muncul semangat feminisme pada tokoh Ginko sesuai yang Tickner (2002: 278) katakan bahwa, asumsi yang mendasari feminisme ialah adanya perlakuan diskriminatif dan marginalitas kaum wanita dalam menentukan langkah hidupnya. Bahkan, hak asasi wanita tidak sebanding dengan lelaki, kaum lelaki seringkali mendapat posisi tertinggi dan diunggulkan dalam setiap bidang. Hal tersebut terlihat dari kutipankutipan berikut ini: 「道にそむいたのは向うからです。あの人が夫の道にそむいたから、私も嫁の道にそむくので す。男性はもうこりごりです。お嫁になぞ一生いけなくてもかまいません。その方がどれだけ せいせいするか分かりません」(Watanabe, 2011: 21) Terjemahan: “Suamikulah orang yang tidak punya kehormatan. Aku punya hak sepenuhnya untuk meninggalkan kewajiban-kewajibanku kepadanya karena jelas-jelas dia lebih dulu meninggalkan kewajiban kepadaku. … Aku tak mau lagi berhubungan dengan lelaki! Aku takkan menyesal apabila aku tak pernah bisa menikah lagi. Hidup sendiri adalah kebebasan tertinggi di dunia ini.” Dengan pengkhianatan yang telah dilakukan suaminya, dan tidak diperbolehkan untuk belajar oleh mertuanya, Ginko memutuskan untuk bercerai. Kemudian, ia berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya dengan pergi ke Tokyo mencari dokter terbaik pada saat itu. Akan tetapi sayangnya, belum ada dokter perempuan pada saat itu sehingga Ginko harus memperlihatkan bagian tubuh yang sangat pribadi kepada dokter laki-laki tersebut. Hal ini membuat Ginko mengalami konflik batin dan menimbulkan perlawanan seperti yang terkutip di bawah ini: 男の手が触れた瞬間からぎんは叫ぶ。『女医になる。きっと女医者なってやる』ぎんは頭の中 で叫び続けている。カチカチと金属の触れ合う音がし、小さな音とともに洗浄液ぎんの体を貫 いていく。沔れたところが男の手洗われていく。『きっとなる。きっとなって見返してやる』 (Watanabe, 2011: 75) Terjemahan: Dia merasakan tangan seseorang menyentuh lututnya, dia berteriak didalam hati “aku akan menjadi dokter! Lihat saja nanti”dia mendengar denting logam beradu dan merasakan cairan yang digunakan untuk membersihkan daerah yang terinfeksi, dia juga merasakan bagian tubuhnya yang dibersihkan oleh seorang laki-laki.Aku yang kelak akan melakukannya! Dan kau akan menyesal! Dengan konflik batin yang diterimanya, Ginko memutuskan untuk menjadi dokter perempuan demi solidaritasnya terhadap sesama perempuan. Ia kemudian memohon kepada ibunya, Kayo untuk diperbolehkan pergi ke Tokyo belajar ilmu kedokteran. Perjuangannnya untuk mendapatkan tidaklah mudah. Butuh waktu satu tahun untuk membujuk ibunya, seperti pada bab 4.1 yang sudah penulis uraikan. Setelah berhasil mendapatkan izin untuk pergi ke Tokyo, Ginko belajar dengan Profesor Yorikuni Inoue dan kemudian masuk ke Sekolah Guru Perempuan Tokyo, Ia mengambil kesempatan untuk mengubah nama sebagai langkah awal perjalanan hidupnya yang baru seperti yang terkutip di bawah ini: この年、入校う校を機にぎんは自分の名を「吟子」と書くようにした。すなわら「荻野吟子」 である。ぎんは自分も含めて女違の名が犬でも呼ぶように問題に扱われるのが前から不満であ った。女の名は呼び易く、仕事を言いつけるに便利にしただけの符号にすぎない、といった考 えが辻様行していた。「女だって、男と「同様に英学で堂々と書かれるべきである」。「ぎ ん」では新しい時代を切り拓く女の名としてはいかにも迫カがない。(Watanabe, 2011: 147) Terjemahan: Pada saat memasuki sekolah itu, Gin mengambil kesempatan untuk mengubah namanya menjadi “Ginko”, sehingga menjadi Ginko Ogino. Sudah cukup lama dia merasa tidak puas dengan cara perempuan diberi nama yang singkat dan mudah dipanggil, seperti nama anjing saja. Dia tidak setuju dengan pemikiran yang ada saat itu bahwa satu-satunya kebutuhan bagi perempuan untuk memiliki nama hanyalah supaya berguna ketika suami atau ibu mertua ingin menyuruh mereka. “Nama perempuan harus ditulis dengan huruf China yang bermartabat, sama seperti laki-laki”. Nama “Gin” tidak ada apa-apanya; itu bukan nama seorang perempuan yang akan menempa jalan baru bagi masyarakat. “dalam daftar keluarga nama saya “Gin” tapi “Ginko” jauh lebih cocok bagi saya sekarang. Saya ingin membuka lembaran baru dan ingin bergerak maju sebagai perempuan yang baru.” Selama 4 tahun bersekolah, Ginko lulus dari Sekolah Guru Perempuan Tokyo dengan predikat siswi terpandai di kelasnya. Diantara tujuh puluh empat siswi, Ginko menjadi salah satu dari lima belas siswi yang berhasil lulus. Ginko berhasil lulus dengan nilai tertinggi, begitu juga halnya dengan prestasi akademiknya di sekolah kedokteran. Akan tetapi yang terjadi kemudian adalah Ginko tidak diperizinkan untuk membuka praktik kedokteran tanpa mengikuti ujian lisensi kedokteran. Dalam hal ini, pemerintah tidak mengizinkan Ginko mengikuti ujian lisensi kedokteran walaupun prestasi akademisnya melampaui laki-laki. Ginko kemudian mengambil inisiatif dengan meminta bantuan dari Tadashi Ishiguro, seorang direktur rumah sakit bedah tentara sekaligus seorang pejabat yang berpengaruh dalam dunia kedokteran. Tadashi Ishiguro mengajukan permohonan bahwa perempuan dapat mengikuti ujian berdasarkan buku Ryo no Gige, kitab undang-udang kuno beserta surat pengantar dari cendekiawan ternama kesusastraan klasik Jepang, Profesor Yorikuni Inoue, yang sempat menjadi guru Ginko. Tadashi Ishiguro menghimbau Sensai Nagayo selaku Komisioner Kesehatan Masyarakat agar dapat memodifikasi salah satu prosedur yang ada tanpa perlu merevisi undang-undangnya. Upaya Ginko ini ternyata membuahkan hasil. Enam bulan sejak permohonannya, diberlakukannya sebuah peraturan resmi yang memperbolehkan perempuan mengikuti ujian untuk mendapatkan lisensi kedokteran. Meski dalam keadaan yang tidak sehat dan sedang berduka, Ginko berhasil lulus ujian dan mendapatkan izin untuk membuka praktik kedokteran. いずれにせよ近代医学をおさめ、官で公認した女医の第一号が荻野吟子であったことは明白で ある。(Watanabe、1970:)。 Terjemahan: Bagaimana pun juga akhirnya dalam dunia pengobatan modern, Ogino Ginko menjadi dokter perempuan pertama yang disertifikasi oleh pemerintah. Setelah lulus ujian lisensi dan membuka praktik kedokteran, masih terdapat stigma negatif masyarakat bahwa perempuan tidak cocok menjadi dokter akan tetapi, Ginko tidak menggubris pandangan negatif masyarakat terhadap status nya sebagai dokter perempuan. Ia lebih memilih untuk berpura-pura tidak mengetahui cemoohan masyarakat terhadap dirinya daripada harus meladeni setiap komentar negatif tersebut. Ia pun dengan santai meminta perawat untuk menghapus setiap ada coretan penghinaan semacamnya. 「書いてあったら消せばいいのです。手紙に騒いではかえって相手の手に乗るようなものです。 こういう偏見を改めさせるには根くらべしかないのです」(Watanabe, 2011: 294) Terjemahan: Kita akan menghapus tulisan apa pun yang kita temukan di dinding. Membuat keributan tentang hal itu hanya akan memuaskan orang tersebut karena itulah yang diinginkannya. Satu-satunya cara mengatasi prasangka ini adalah menunjukkan kepada mereka siapa yang dapat bertahan lebih lama. Ketika masyarakat mengetahui bahwa Ginko telah disertifikasi menjadi seorang dokter, banyak pandangan konvensional bahwa perempuan tidak cocok menjadi dokter. Tatkala itu dokter merupakan suatu pekerjaan yang mulia. Ia juga memiliki pandangan yang berbeda tentang pekerjaannya dan wanita yang diutarakannya kepada sebuah majalah yang mengkhususkan diri dalam masalah perempuan. <医は女子に適せり、啻に適すといふのみにあらず、寧ろ女子特有の天職なり、長袖安居して、 患者の気息を窺ふが如きは、堂々たる日本男児の深く恥る所なり>(Watanabe, 2011: 294) Terjemahan: Perempuan tidak hanya sesesuai untuk profesi pengobatan, tetapi ini juga profesi unik yang sangat cocok bagi perempuan. Laki-laki Jepang seharusnya malu dengan diri sendiri dengan caranya yang merendahkan pada saat mereka memeriksa kesehatan pasiennya. Bakat laki-laki Jepang jauh lebih cocok di medan perang. Pernyataan ini menimbulkan polemik di masyarakat terutama para perjabat pada saat itu yang terkesan dengan cara berpikirnya yang inovatif. Akan tetapi, hal ini masih menjadi pedebatan di media surat kabar. Di waktu senggangnya, Ginko lebih memilih membaca buku-buku terbitan mutakhir Jepang yang ditulis selama dua puluh tahun pertama era Meiji seperti Pembelajaran bagi Perempuan Modern oleh Koka Doi, Perempuan sebagai Subjek oleh John Stuart Mill yang diterjemahkan oleh Uchiki Fukama, Statistik Sosial oleh Herbert Spencer yang diterjemahkan oleh Tsutomu Inoue, Perempuan Jepang dan Relasi Laki-Laki dan Perempuan oleh Yukichi Fukuzawa, dan Hak Asasi Perempuan di Dunia Baratoleh Horyu Yunome. Semuanya memberi pengaruh besar pada gerakan perempuan yang muncul tidak terkecuali, Ginko. Aksi perlawanan Ginko lainnya adalah dalam hal berpolitik. Pada tahun 1886, didirikannya Organisasi Perempuan Kristen Jepang (OPKJ) yang merupakan salah satu suar-suar aksi sosial perempuan di Jepang. Ginko dipercaya menjabat sebagai Kepala Bidang Tata Krama dan Moral. Dengan pengetahuan umum dan bidang kesehatan perempuan yang luas, ditambah memiliki keterampilan dan kemampuan melebihi perempuan lainnya, Ginko dipercaya untuk menjabat sebagai sekretaris Asosiasi Kesehatan Perempuan Jepang. Pada tahun berikutya, 1889, Ginko diminta untuk mengajar kesehatan dan psikologi di Sekolah Perempuan Meiji sekaligus menjadi dokter di sekolah itu.Pada tahun 1889, Ginko mendirikan sebuah perkumpulan perempuan baru yang bernama Perkumpulan Kebajikan Perempuan yang berada di bawah naungan OPKJ dengan dirinya sebagai pemimpin pertamanya. Dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya dan statusnya sosialnya, Ginko menjadi seorang tokoh masyarakat yang hidup dan bekerja di bawah sorotan publik. Setiap apa yang ia katakan atau lakukan akan dimuat di artikel Koran atau majalah. Surat-surat pembaca juga nyaris berdatangan setiap hari ke tangan para editor atau langsung ke tangannya. Reputasi Ginko yang meluas sebagai dokter juga memengaruhi perempuan lain, menginspirasi semakin banyak lagi untuk menjadi dokter. 「選挙権はともかく、傍聴まで禁じられては、政治に関して女性は発言の場はもとより、知る 場さえ奪われることになります。これでは女性がいくら学問に励み知識を重ねても、まったく 無意味です」(Watanabe, 2011: 373) Terjemahan: Perempuan tidak boleh memilih, dan sekarang hak kita untuk menyaksikan pemilihan anggota dewan pun dicabut. Kita tidak akan pernah memiliki suara di dalam pemerintahan, dan sekarang kesempatan kita untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah pun telah dirampok. Perempuan yang meraih pendidikan akademis dan pengetahuan tak dihargai. Aku percaya OPKJ harus bertindak dalam hal ini. Menurutku, kita harus mengajukan permohonan langsung kepada pemerintah. Ginko kemudian meminta penjelasan resmi dari Kementrian Kehakiman dan menghubungi partai utama dalam pemerintahan, Taiseikai (Perkumpulan Cita-Cita Agung), dan menghimbau untuk menarik kembali hukum baru tersebut yang akhirnya berhasil dan mendapatkan hak bagi perempuan untuk menyaksikan sidang Dewan Kekaisaran. Dalam kesibukannya di OPKJ, menunjukkan bahwa Ginko penganut agama Kristen. Ketertarikan pada agama Kristen terlihat saat ia mengunjungi gereja di Hongo dengan Pendeta Danjo Ebina sebagai pemimpin gereja. Ginko tergerak dengan pendapatnya bahwa, 「別にすべて人間は神の御子で男女、職業の基線にかかわらず皆」(Watanabe, 2011: 347) Terjemahan: Semua orang adalah anak-anak Tuhan. Terlepas dari apakah mereka laki-laki atau perempuan, atau apa pun jenis pekerjaannya, mereka semua Shizuko Furuichi, orang yang mengundangnya juga mengatakan, 「女性の地位を認めているのは耶蘇教を拡めることは女性の地位を高めることになるはずです。 あの教えはこれからの日本を新しく作りかえていく土台になるはずです」(Watanabe, 2011: 347) Terjemahan: “Agama Kristen adalah satu-satunya agama yang mengakui status perempuan, Menyebarkan agama Kristen akan membantu memperbaiki nasib perempuan. Agama ini bisa memberikan perubahan di Jepang!” Tak lama setelah itu, Ginko kemudian dibaptis dan aktif di berbagai kegiatannya di OPKJ, Ginko telah menjadi salah seorang anggota terkemuka di Gereja Hongo. Analisis: Dalam percakapan antara Ginko dengan kakaknya, Tomoko, Ginko mengekspresikan dirinya yang tidak ingin dikekang oleh status sosialnya yang rendah sebagai perempuan yang dianggap tidak pantas untuk belajar. Sebagai seorang istri, belajar adalah hal yang tak lazim pada masa itu dan merupakan hal yang memalukan. Akan tetapi, dari sudut pandang Ginko yang berbeda, ia berpendapat bahwa pernikahan begitu hampa apabila posisi seorang istri hanya mengurusi rumah tangga dan melayani suami tanpa adanya kebebasan untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat seperti membaca buku dan belajar. Rutinitas yang monoton tersebut kemudian menghasilkan pembangkangan dalam diri Ginko yang sangat gemar belajar. Ginko membaca secara diam-diam sebagai bentuk perlawanan terhadap mertuanya dan bercerai dari suaminya karena merasa tidak tahan dengan keadaan yang dialaminya. Bentuk perlawanan tersebut merupakan buah dari gerakan seorang feminis yang dapat kita simpulkan sejak awal Ginko sudah memiliki karakter feminis akibat diskriminasi yang ia terima. Feminis tentunya berbicara tentang pemahaman atau gerakan oleh kaum perempuan dalam terwujudnya hak-hak mereka yang setara dengan kaum laki-laki dan pembicaraan tentang perempuan dari segi teori feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana wanita tersubordinasi secara kultural (Koalisi Perempuan Indonesia, 4 Mei 2011). Pemikiran Ginko yang berbeda juga tampak ketika ia lebih memilih untuk belajar daripada melakukan pekerjaan rumah tangga dan juga tidak ingin menikah lagi terlebih untuk kembali kepada suaminya. Ginko merasa hidup sendiri tanpa terkekang, membuatnya lebih bebas melakukan apa saja yang ia suka termasuk mengejar cita-citanya. Hal ini sesuai dengan yang Karube, (2008: 93) katakan bahwa, kebebasan ialah selalu memiliki kebebasan untuk berpikir secara berbeda dari orang lain. Menjadi liberal, terutama untuk menjadi seorang Liberal Jepang, berarti percaya pada nilai kebebasan, tidak peduli apa situasinya. Bentuk perlawanan lainnya dapat kita lihat saat Ginko masuk ke Sekolah Guru Perempuan Tokyo. Pemberian nama yang singkat ini adalah salah satu bentuk pelecehan yang dilakukan terhadap kaum wanita. Hal ini disebabkan karena perempuan dalam kebudayaan masyarakat Jepang dituntut untuk menyediakan teh dan melayani tamu dalam setiap kesempatan. Ginko tidak sependapat dengan pemberian nama yang singkat tersebut hanyalah untuk memudahkan bagi suami dan mertuanya untuk memanggilnya. Perempuan bukan seekor anjing dengan nama yang singkat yang dapat dengan mudah dipanggil secara asal-asalan. Perempuan tidak layak menerima penghinaan yang dipatenkan melalui sebuah nama. Ia merasa dirinya seorang wanita bermartabat yang sejajar dengan laki-laki. Pendapat Ginko tentang hal ini semakin diperkuat ketika dia membaca gulungan daftar nama siswi di Kofu. Pada saat itu Ginko telah menjabat sebagai pengawas asrama sekolah Naito di Kofu yang sebagian besar siswi adalah gadis-gadis lajang yang berusia enam belas dan tujuh belas tahun, yang tinggal di asrama sekolah sementara beberapa perempuan yang sudah menikah melaju dari rumah. Dengan sekitar seratus siswi yang bersekolah di sana, betapa menyedihkan karena mereka semua memiliki nama yang sederhana seperti “Yai” atau “Sei”. Hal ini hanya contoh lain dari gagasan yang sangat berpengaruh saat itu, bahwa laki-laki harus dipuja dan perempuan dihina. Namanya yang lama tidak pantas ia sandang. Oleh karena itu, Ginko yang terlahir dengan nama Gin Ogino, merubah namanya menjadi Ginko.Melalui perubahan pada namanya, ia membuka jalan bagi perempuan untuk menyatakan eksistensinya di tengah masyarakat agar dapat sejajar dengan laki-laki sesuai dengan yang Narwoko & Suyanto, (2007: 347) ungkapkan bahwa, aliran feminisme liberalmengusulkan pemecahan masalah dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar dapat bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. Langkah ini sebagai simbol perlawanan dan merupakan salah satu bentuk feminisme liberal yang ia lakukan dalam mengangkat harga dirinya sebagai wanita (Sofia, 2009: 13). Ia berharap dengan nama yang baru, masyarakat lebih menghargainya. Setelah lulus dari Sekolah Guru Perempuan Tokyo, perempuan dapat memiliki kesempatan bekerja, sedangkan Ginko memilih untuk melanjutkan studi di universitas kedokteran. Hal ini dikarenakan runtuhnya rezim feudal Tokugawa sehingga dibentuklah pemerintahan Meiji yang membawa perubahan sosial pada tahun 1871. (Watanabe, 2011: 198) Selama Ginko bersekolah di sekolah kedokteran, ia sering mengalami diskriminasi gender. Tidak ada seorang pun yang mau membantunya karena ia hidup seorang diri. Ginko pergi dari rumah atas keputusannya sendiri sehingga segala resiko yang ia hadapi, harus ditanggung olehnya sendiri. Kendati demikian, penulis melihat dari segala kesulitan dan penganiayaan yang dihadapinya di Kojuin, semakin membuatnya menjadi pribadi yang tegar dan tidak takut pada lakilaki. Pengalaman pahit dari segala macam bentuk diskriminasi dan penghinaan tersebut tersebut dengan cara tertentu menjadi pemacu baginya, yang selalu mendorong tekadnya yang kuat untuk menjadi dokter. Jati dirinya tersebut menunjukkan ia ingin mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh orang lain. Sebab, yang ia lakukan begitu berbeda dengan hal-hal yang lazim diinginkan perempuan umumnya pada masa itu yakni, melayani suami, membesarkan anak, dan mengurus rumah tangga dengan baik. Diskriminasidiskriminasi yang Ginko alami telah membuatnya sadar bahwa terdapat ketidakadilan yang ditujukan pada kaum perempuan dalam memperoleh hak-haknya dalam ranah privat maupun publik sehingga muncul perlawanan demi tercapainya kesetaraan sosial. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Fakih, (2008: 81) Mary Wollstonecraft (1759-1799), John Stuart Mill, dan Betty Friedan menyatakan, asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Mereka percaya bahwa hanya dengan mendapatkan hak pilih, perempuan telah sungguh-sungguh setara dengan laki-laki (Tong, 2010: 33–34). Dari sini terlihat bahwa Ginko memiliki karakter seorang feminis. Seperti yang dikatakan Fakih (2008: 79), Feminis berangkat dari asumsi kesadaran bahwa perempuan ditindas, dan dieksploitasi sehingga harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) yang menyatakan bahwa keadilan gender adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk dapat berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender. Berangkat dari pemahaman Mill dan Taylor dalam Tong (2010: 23), mereka yakin bahwa perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat menjadi setara dengan laki-laki. Hal ini berarti berada pada posisi yang tidak hanya mengekspresikan pandangan politik personal seseorang tetapi, perempuan juga hak untuk turut ambil bagian dalam mengganti sistem, struktur, dan sikap yang memberikan kontribusi terhadap opresi yang lain atau opresi terhadap diri sendiri. Berangkat dari pemikiran Wollstonecraft, Mill dan Taylor dalam Tong (2010: 23) yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki. Dengan demikian, Feminis liberal menginginkan perempuan memperjuangkan hak politiknya. Hak politik yang dimaksud bukan hanya hak untuk memilih, tapi juga hak untuk ikut serta mengambil peran dalam bagian tersebut. Perempuan harus ikut serta dalam pembuatan kebijakan yang akan diterapkan untuk masyarakat umum. Hal ini berarti perempuan harus belajar secara formal setinggi-tingginya untuk membuktikan bahwa perempuan mampu apabila memiliki latar belakang pendidikan yang baik supaya perempuan juga memiliki kapastias yang setara dengan laki-laki. Apabila perempuan sudah memiliki kemampuan tersebut, maka mereka harus memiliki hak politiknya seperti yang didapatkan oleh laki-laki. Dalam konteks ini, diberlakukannya hukum baru yang menyatakan bahwa perempuan tidak diizinkan mengamati sesi proses pemilihan anggota dan tidak diberi kesempatan menyatakan pandangan politik, menurut feminisme liberal adalah tidak adil karena seharusnya hak dalam berpolitik harus seimbang sehingga tidak ada pendiskriminasian bagi kaum wanita. Seperti yang Friedan dalam Tong (2008: 48) dan Mitsu dalam Shigematsu (2012: 116) katakan, kaum perempuan sebagai kaum yang termarjinalisasi harus bangkit dan mempunyai hak yang sama dengan kaum laki- laki untuk ikut berpartisipasi dalam bidang apapun khususnya dalam ranah privat maupun publik. Mill dan Taylor dalam Tong (2008: 23) menyatakan bahwa, untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan atau kenikmatan) dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa, jika masyarakat ingin mencapai kesetaraan seksual atau keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki. Hal tersebut didukung oleh Koalisi Perempuan Indonesia (4 Mei 2011) yang menyatakan bahwa keadilan gender adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk dapat berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender. Pergerakan feminisme sudah dimulai sejak abad ke-18. Gelombang pergerakan perempuan jaman ini dikenal degan istilah feminisme liberal karena pada umumnya tujuan pergerakan ini adalah untuk menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya di dalam masyarakat yang seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri (Tong, 2010:18). Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, pada kenyataannya wanita boleh belajar tidak sama dengan wanita boleh menjalani profesi seperti dokter. Walaupun wanita sudah diizinkan untuk belajar, tetapi masih adanya pandangan bahwa beberapa pekerjaan tidak cocok untuk dilakukan oleh wanita. Bagi masyarakat Jepang pada zaman itu, wanita hanya boleh menjahit dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ginko Ogino mendobrak pandangan itu dengan berhasi llulus ujian lisensi kedokteran. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan Narwoko dan Suyanto (2007: 313). Selain adanya faktor diskriminasi, penulis menemukan bahwa pemikiran dan gerakan Ginko banyak dipengaruhi oleh pelopor feminis liberal. Hal tersebut terlihat dalam koleksi bacaan buku-buku terkenal yang ia baca, sebut saja Yukichi Fukuzawa. Seorang penulis, jurnalis, aktivis hak-hak sipil Jepang dan ideologi liberal. Ide-idenya tentang pemerintahan dan lembaga-lembaga sosial membuat kesan abadi pada perkembangan Negara Jepang yang cepat selama Era Meiji. Dia dianggap sebagai salah satu pendiri modern Jepang dan disebut-sebut sebagai Voltaire (seorang pelopor gerakan feminisme liberal di Eropa) Jepang. Tokoh penulis lainnya adalah John Stuart Mill, seorang feminis abad ke 19. Sejumlah buku-buku tersebut memberikan pengaruh yang besar pada pemikiran dan gerakan Ginko yang kemudian, ia turut mengambil peran dalam organisasi perempuan. Ini sebagai bukti bahwa Ginko adalah seorang feminis liberal yang terpengaruh oleh tokoh-tokoh feminis liberal pada masa gelombang pertama seperti yang Mitsu dalam Shigematsu (2012: 116) katakan, gerakan feminisme pada gelombang pertama menginginkan kesetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita di bidang pendidikan dan pekerjaan, politik dan sebagainya. Dibentuknya organisasi perempuan yang menentang diskriminasi seksual di bidang politik, hukum maupun personal merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap stigma negatif masyarakat terhadap perempuanyang berdampak pada pemasalahan sosial. Organisasi perempuan ini berorientasi pada kemajuan untukmemperjuangkan hak-hak perempuan menuju kesetaraan dan keadilan. Adapun dengan aksisosial yang OPKJ lakukandalam menangani masalah-masalah sebagai berikut: 1. Merespon politisasi agama dan gender sebagai bagian dari penyingkiran atas hak-hak perempuan. Nama organisasi OPKJ sendiri merupakan singkatan dari Organisasi Kristen Perempuan Jepang. Hal ini menandakan bahwa identitas kelompok agama Kristen sebagai lembaga sosial yang mengakui status perempuan dan berpotensi memberikan dasar bagi perubahan Jepang. 2. Perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan berbasis gender. Perlindungan kaum perempuan dari tindakan kekerasan secara aktif maupun non aktif bertujuan untuk terciptanya sebuah masyarakat yang bebas pertentangan. Dalam konteks ini berarti perdamaian. Dimulai dari melarang minuman keras. Kelompok ini menganggap alkohol adalah sumber penderitaan bagi kaum perempuan dan penyebab perselisihan terbesar dalam masyarakat. 3. Penanganan terhadap kasus-kasus perdagangan perempuan. Tindakan membasmi pelacuran Terdapat banyak sekali pelacur muda yang berusia masih dibawah umur. Diantara mereka ada yang melakukan pekerjaan tersebut bukan karena keinginan sendiri melainkan dijual oleh keluarganya ke rumah bordil. OPKJ melindungi perempuan-perempuan tersebut dengan meminta campur tangan pihak yang berwenang dan mengembalikan mereka ke keluarga asal. 4. Perjuangan untuk partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang pemerintahan. OPKJ keberatan dengan peraturan baru pemerintah yang menegaskan bahwa semua laki-laki memiliki hak pilih dan dapat menyaksikan proses pemilihan anggota dewan pemerintahan. Hanya laki-laki yang dianggap berbahaya dan perempuan yang tidak mendapatkan hak tersebut. OPKJ menghimbau partai utama dalam pemerintahan untuk menarik kembali hukum trsebut. Ginko tidak hanya berhasil mencapai tujuannya, tetapi ini adalah aksi politis pertama yang dilakukan oleh kelompok perempuan Jepang. Selain OPKJ, dengan latar belakang oleh kehidupan Ginko yang telah mapan dan naluri dalam dirinya tersebut, ia membuat organisasi perempuanuntuk meningkatkan taraf hidup para perempuan, Perkumpulan Kebajikan Perempuan lebih berorientasi kepada tujuan untuk mejalinan pertemanan di antara para anggotanya dan menambah wawasan umum mereka daripada meningkatkan hak para perempuan maupun perbaikan masyarakat pada umumnya. Dengan keterlibatan Ginko melalui OPKJ, ini merupakan bentuk dari perlawanan atas ketidakadilan (diskriminasi) yang selama ini didera oleh kaum perempuan, seperti yang dikatakan oleh Kano dan Nobuhiko (1978) bahwa wanita berada di 'depan rumah' adalah salah satu bentuk liberal (pembebasan). Hal tersebut merupakan perlawanan yang memiliki aspek yang membebaskan (Ueno, 2004: 38). Dalam perspektif feminis liberal, persoalan kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau bagian dari partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irrasional serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi adalah jalan untuk meningkatkan status perempuan karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan, dengan cara menyiapkan kaum perempuan agar dapat bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan, di antaranya melalui peningkatan pendidikan perempuan dengan menekankan bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama. Perbedaan pencapaian intelektual antara laki-laki dan perempuan adalah semata-mata hasil dari pendidikan yang lebih lengkap diterima oleh laki-laki, dan posisi laki-laki lebih diuntungkan (Farida, 2010: 208). Dengan berbagai analisis yang ada penulis mempelajari bahwa sebagai feminis liberal, dasar perjuangannya adalah menuntut kesempatan dan hak sama bagi setiap individu. Kedua jenis kelamin berdiri di tanah yang sama, seharusnya tidak ada pembedaan (diskriminatif) yang terjadi salah satu pihak karena hal tersebut merugikan dan membatasi adanya perkembangan terhadap adanya kemungkinan untuk perempuan atau laki-laki berkembang dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pada skripsi ini, penulis membagi analisis penelitian berdasarkan waktu kejadian menjadi dua bagian yaitu, analisis diskriminasi gender pada tokoh Ginko sebagai penyebab timbulnya feminisme sebelum Ginko menjadi dokter dan setelah Ginko menjadi dokter. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan menganalisis feminisme liberal pada tokoh Ginko sebagai akibat terjadinya diskriminasi gender. Setelah melakukan analisa berdasarkan penelaahan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa, salah satu timbulnya kessadaran pemahaman feminisme liberal pada tokoh utama, Ginko dalam novel (Hanauzumi) karya (Watanabe Jun’ichi) disebabkan diskriminasi yang diterimanya. Diskriminasi yang Ginko terima tidak hanya terjadi pada saat sebelum Ginko menjadi dokter, tetapi juga setelah selesai masuk sekolah kedokteran. 花埋み 渡辺淳一 Ginko Ogino terkenal sebagai seorang tokoh feminis yang legendaris. Seorang perempuan Jepang yang berhasil merubah sejarah Jepang dan menjadi dokter perempuan pertama di Jepang. Hal ini tentu menjadi hal yang luar biasa karena ia hidup pada zaman wanita masih dianggap lebih rendah dari pria. Tidak hanya kaum wanita dianggap sebagai objek, tapi kaum wanita juga mendapat perlakuan yang sangat tidak adil dan menerima diskriminasi. Ideologi gender mengacu pada sikap yang berkaitan dengan peran yang sesuai hak dan tanggung jawab pada kaum pria dan wanita di dalam lingkungan sosial. Diskriminasi yang dialami Ginko baik sebelum menjadi dokter maupun setelah menjadi dokter sama-sama tidak menerima hak yang adil dengan kaum laki-laki baik dalam bidang pendidikan, pekerjaan maupun politik. Ketidakadilan tersebut (diskriminasi) muncul karena ada stigma masyarakat yang berpandangan bahwa perempuan lebih layak di rumah, dan dunia luar diciptakan bagi kaum laki-laki dikarenakan laki-laki lebih unggul. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada perempuan. Berdasarkan hasil analisis, secara umum feminisme liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Penulis menemukan adanya semangat feminisme pada tokoh Ogino Ginko untuk melakukan perubahan dengan gerakan feminisme liberal sebagai salah satu akibat dari diskriminasi yang ia terima. Gerakan ini timbul sebagai simbol perlawanan atas berbagai bentuk diskriminasi yang didera oleh Ginko. Saran 花埋み Penulis menyarankan bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti novel (Hana Uzumi) karya (Watanabe Jun’ichi), penulis menemukan terdapat ideologi konfusianisme dalam satu negara yang dapat diteliti sebagai penyebab diskriminasi yang diterima oleh kaum perempuan. Selain itu penulis menyarankan agar peneliti selanjutnya melepaskan diri dari topik feminisme liberal dan dapat 渡辺淳一 meneliti topik lain, seperti: Analisis Konfusianisme sebagai Penyebab Diskriminasi pada tokoh Ginko dalam Novel Hanauzumi. REFERENSI Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Farida, Umma. 2010. “Teks-Teks Keislaman dalam Kajian Umum Feminis”. Jurnal Studi Gender Palastren Volume 3. Nomor 2. Jawa Tengah: PSG STAIN KudusKarube Tadashi, David Noble. 2008. Maruyama Masao: and the Fate Liberalism in Twenties-Century Japan. Tokyo: International house. Koalisi Perempuan Indonesia. 4 Mei 2011, diakses tanggal 10 Juli 2014 dari http://www.koalisiperempuan.or.id/ Mackie, Vera C. 2003. Feminism in modern Japan: citizenship, embodiment, and sexuality. Cambridge: Cambridge University Press. Marzuki. 2007. Kajian Awal Tentang Teori-teori Gender. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Megawangi, Ratna. 2009. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Shuji, G. Asai & Olson, D. H. 2006. “Spouse Abuse & Marital System Based on Erich”. United States: University of Minnesota. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, ed. 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Premada Media Group. Nuryantoro. 2007. Teori Pengkajian Fiksdi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. Shigematsu, Setsu. 2012. Scream from the Shadows: The Women s Liberation Movement in Japan. United States: University of Minnesota Press. Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Citra Pustaka. Tickner, J. Ann. 2002. Feminist Perspectives on International Relations. In Handbook of International Relations, edited by W. Carlesnaes, T. Risse, and B. Simmons. London, Sage. Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought: A Comprehensive Introduction. Yogyakarta: Jalasutra Ueno, Chizuko, and Beverley Yamamoto. 2004. Nationalism and gender. Melbourne, Vic: Trans Pacific. Watanabe, Jun’ichi. 2012. Ginko (terjemahan Istiani Prajoko). Jakarta: Serambi Ilmu. Watanabe, Jun’ichi. 2011. Hanauzumi. Tokyo: Shinchousha. Zuhriah, Erfaniah. 2012. “Kekerasan Suami Terhadap Istri dalam Wacana Hak Asasi Manusia”. EGALITA Volume 2, Nomor 1. Malang: Fak. Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. RIWAYAT PENULIS Stephanie lahir di Jakarta pada tanggal 27 September 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Bina Nusantara dalam bidang Sastra Jepang tahun 2015.