book review - Rumah Jurnal

advertisement
BOOK REVIEW
Menjinakkan Teroris, Menampilkan Islam yang Humanis
Nuzul Iskandar
(Pusat Penelitian dan Penerbitan LPPM IAIN Imam Bonjol, Email: [email protected])
Judul Buku: Tajfif Manabi' al-Irhab
Penulis: Muhammad Syahrur
Halaman: 304
Cetakan: Pertama
Tahun: 2008
Penerbit: Muassasah al-Dirasat al-Fikriyah al-Mu'ashirah
LEBIH DEKAT DENGAN SYAHRUR; SEPUTAR KARIR INTELEKTUAL DAN KARYA-KARYANYA
Muhammad Syahrur bin Daib, insinyur teknik sipil kelahiran Syria ini adalah seorang yang
pernah menggoncangkan dunia pemikiran Arab sekitar dua dekade lalu. Ia merupakan sosok yang
mengagumkan bagi sebagian orang, tetapi menakutkan bagi yang lain. Ia dikagumi karena, walaupun
tidak memiliki basis keilmuan formal dalam studi Islam, namun mampu memberikan tawaran yang
cukup radikal dalam studi-studi keislaman, bahkan ia sempat dinilai sebagai eksponen utama pembaruan
hukum Islam karena gagasannya yang sangat revolusioner dan inovatif itu. Seorang Syahrur mampu
bertahan melakukan riset--yang kemudian ia sebut sebagai pembacaan kritis--terhadap al-Qur'an hampir
20 tahun. Upaya yang sama belum tentu dapat dilakukan oleh mereka yang tamatanan perguruan
tinggi Islam atau studi-studi keislaman. Di sisi lain,
gagasannya cukup ditakuti karena "mengancam"
bangunan hukum Islam dan studi-studi keislaman
yang selama ini dianggap sudah mapan.
Syahrur lahir di Shalihiyah, Damaskus, Syria,
pada April 1938, ketika negeri itu masih di bawah
jajahan Perancis. Pendidikan tingkat ibtida' dan
i'dad-nya ditempuh pada madrasah Damaskus, lalu
dilanjutkan pada sekolah tingkat tsanawiyah (setingkat
SMA) di Madrasah Abdurrahman al-Kawakibi,
Damaskus. Ia menamatkan sekolahnya pada 1957.
Di usianya yang ke-20 tahun (pada 1958), Syahrur
berangkat ke Uni Soviet untuk belajar pada Faculty
of Engineering, Moscow Enginering Institute. Enam
tahun kemudian, yaitu pada 1964, ia mendapatkan
gelar diploma dalam bidang teknik sipil. Gelar inilah
yang mengantarkannya menjadi tenaga pengajar
pada Universitas Damaskus pada 1965. Empat tahun
mengajar, pihak universitas mengutus Syahrur untuk
memperdalam ilmunya pada National University
of Irland, University College Dublin di Republik
Irlandia untuk mengambil program magister dan
doktor (Syahrur, 1994).
Selesai menamatkan studi doktoralnya,
Syharur kembali ke Universitas Damaskus
melanjutan tangungjawab mengajarnya. Di
samping itu, ia juga mendirikan lembaga konsultan
teknik sipil, Dar al-Isyarat al-Handasyiyah, bersama
rekan-rekannya. Ia sempat menjadi konsultan
dalam proyek pembangunan pusat bisnis di
Madinah, Arab Saudi, rentang 1982-1983. Ia juga
menjadi pengawas untuk pembangunan empat
pusat olah raga di Damaskus. Ia diangkat menjadi
profesor mekanika tanah dan teknik bangunan
semenjak 1972 sampai 1999 pada fakultas teknik,
Universitas Damaskus. Di waktu yang hampir
bersamaan, tepatnya pada 1972 sampai 2000, ia
juga tercatat sebagai konsultan senior pada asosiasi
insinyur Damaskus (Syahrur, 1990:823).
116
Dalam studi keislaman, Syahrur adalah sosok
yang unik. Ia tidak memiliki ijazah studi keislaman
atau sertifikat dari lembaga kajian keislaman,
tetapi namanya cukup diperhitungkan dalam
belantika pemikiran keislaman kontemporer. Peter
Clark (1996:341) meletakkannya sejajar dengan
intelektual muslim kontemporer lainnya, seperti
Abid al-Jabiri, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Farag
Fauda. Ia juga sempat dielukan sebagai Martin
Luther-nya dunia Arab. Dale F. Eickelman (2001)
memprediksi bahwa karya-karya Syahrur suatu
saat akan mengalami hal yang sama dengan 95
tesis yang disampaikan Martin Luther di Gereja
Wittenberg Castle pada 1517, dalam artian bahwa
pada awalnya gagasannya ditolak, tetapi lambat
laun diterima dan diakui.
Syahrur menulis beberapa buku dalam
bidang teknik, di antaranya: Handasat al-Asasat
(Teknik Bangunan, empat jilid) dan Handasat alTurbah (Teknik Pertanahan). Buku ini semacam
buku daras yang ditulis oleh dosen pengampu
mata kuliah untuk dijadikan buku pegangan oleh
mahasiswa. Dalam kajian keislaman, Syahrur
juga menulis banyak buku, yaitu: al-Kitab wa
al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah (1990), Dirasah
Islamiyah Mu'ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama'
(1994), al-Islam wa al-Iman; Manzhumah alQiyam (1996), Nahw Ushul al-Jadidah fi al-Fiqh
all-Islami; Fiqh al-Mar'ah (2000), Tajfif Manabi'
al-Irhab (2008), al-Qashash al-Qur'ani; Madkhal
wa Qishah Adam (2009), dan al-Sunnah alRasuliah wa al-Sunnah al-Nabawiyah (2011).
al-Kitab wa al-Qur'an, meskipun
kontroversial, namun dinilai sebagai karya
monumental yang berhasil mengangkat dan
mempopulerkan nama Muhammad Syahrur
dalam jagat pemikiran Islam kontemporer di
dunia. Buku itu berhasil memperoleh label "best
seller". Semenjak karya itu diluncurkan, karya-
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2015
karya Syahrur berikutnya pun menuai pro dan
kontra serupa di berbagai penjuru negeri, bahkan
beberapa negara mencekal kehadiran bukunya,
seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat
Arab (Eickelman, 1993:163).
al-Kitab wa al-Qur'an adalah karya yang
menawarkan metode pembacaan ulang terhadap
al-Qur'an. Ia menawarkan beberapa konsep baru
dengan menggunakan istilah-istilah konvesional.
Syahrur mengajak bahwa pemahaman terhadap
Islam harus dilandasi kerangka epistemologi yang
jelas, tidak cukup hanya dengan mengandalkan
emosi, sentimen keagamaan, dan semangat
primordial yang sempit dan kaku. Ia mengajak
menggunakan paradigma ilmiah yang mengakui
pengetahuan rasional yang bertitik tolak dari
pengamatan indrawi untuk kemudian sampai
pada pengetahuan abstrak teoritis (Firdaus:
2004:13). Dalam pembacaan barunya terhadap
al-Qur'an, Syahrur menggunakan pendekatan
linguistik modern dan teori-teori yang digunakan
dalam ilmu-ilmu eksak, seperti matematika dan
fisika; sebuah pembacaan yang dapat dikatakan
belum pernah dilakukan sebelumnya.
Dengan pendekatan linguistik, ia mengurai
perbedaan antara term al-Kitab, al-Qur'an, alFurqan, dan al-Zikr yang selama ini dianggap
sinonim. Menurut Syahrur, masing-masing
term tersebut memiliki makna dan konteksnya
tersendiri, sehingga tidak dapat dianggap sama.
Ia juga merekonstruksi pemahaman tentang
ayat muhkamat dan mutasyabihat. Menurutnya,
ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang berada di
luar kesadaran manusia dan merupakan hakikat
mutlak. Ayat ini bersifat objektif, sehingga
diperlukan metode pembahasan ilmiah-objektif
untuk memahaminya. Adapun ayat muhkamat
adalah ayat yang berisi pilihan antara melakukan
sesuatu atau tidak melakukannya. Syahrur
juga membedakan antara konsep nubuwah
(kenabian) dan risalah (kerasulan). Menurutnya,
nubuwah adalah akumulasi pengetahuan yang
diwahyukan kepada Muhammad yang kemudian
memposisikannya sebagai nabi. Konsep ini
mencakup pengetahuan ilmiah (al-ma'lumat) dan
informasi (al-akhbar) yang tertera dalam al-Kitab.
Adapun risalah adalah kumpulan penetapan
hukum yang disampaikan kepada Muhammad
sebagai pelengkap bagi pengetahuan yang telah
diwahyukan. Demikian juga dilakukan Syahrur
dalam membedakan antara konsep: umm al-kitab
dan sab' al-matsani; inzal dan tanzil; konsep
sunnah, ijma', dan qiyas; kasab, sawwa, dan ja'ala;
dan beberapa konsep penting lainnya.
Selain pendekatan linguistik, Syahrur juga
menggunakan teori-teori yang digunakan dalam
fisika dan matematika dalam karyanya ini. Hasil
pembacaannya kemudian melahirkan teori hudud
(nazhariyat al-hudud) dalam hukum Islam. Teori
ini mengandaikan adanya batas-batas tertentu
dalam penetapan hukum. Batas-batas yang
dimaksud berupa: (1) batas minimal, di antaranya
pengharaman perempuan-perempuan untuk
dinikahi sebagaimana termuat dalam surat alNisa' ayat 22 dan 23, atau tentang pengharaman
makanan-makanan tertentu sebagaimana dalam
surat al-An'am ayat 145; (2) batas maksimal, berupa
ketetapan hukuman bagi pelaku tindak pidana
sebagaimana dalam surat al-Ma'idah ayat 38 tentang
hukuman potong tangan bagi pencuri; (3) batas
maksimal dan minimal bersama, berupa ketetapan
pembagian waris sebagaimana dimuat dalam surat
al-Nisa' ayat 11, 12, 13, dan 14; (4) batas maksimal
dan minimal bersamaan pada satu titik, berupa
ketetapan hukuman cambuk bagi pelaku zina,
sebagaimana termuat dalam surat al-Nur ayat 2; (5)
bata maksimum dengan satu titik mendekati garis
lurus tanpa persentuhan, berupa batasan hubungan
Book Review; Menjinakkan Teroris, Menampilkan Islam yang Humanis
117
fisik antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana
terdapat dalam surat al-Isra' ayat 32 dan al-'An'am
ayat 151; dan (6) batas maksimum positif tidak
boleh dilewati dan batas bawah negatif tidak boleh
dilewati, berupa aturan tentang peralihan kekayaan
antar manusia, sebagaimana dalam ayat-ayat tentang
zakat dan riba.
Kehadiran al-Kitab wa al-Qur'an seolah
menyentak kesadaran beragama umat Islam di zaman
kontemporer ini. Sentakan itu ada yang dimaknai
positif, dan tidak jarang ditanggapi sinis. Oleh
sebagian kelompok, buku pertamanya ini dinilai
lebih berbahaya dari The Satanic Verse, karya Salman
Rushdie. Banyak karya tulisan yang bermunculan
menanggapi pemikirannya. Tanggapan itu ada
yang serius, ada juga yang sekedar mengungkapkan
ketidaksetujuan secara emosional (Syamsuddin,
2007:xiii). Buku ini sudah diterjemahkan oleh
Sahiron Syamsuddin ke dalam bahasa Indonesia
mejadi tiga jilid, yaitu: 1) Prinsip dan Dasar
Hermeneutika al-Qur'an Kontemporer; 2) Dialektika
Kosmos dan Manusia; Dasar-dasar Epistemologi
Qur'ani; 3) Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum
Islam Kontemporer. Penerjemahan ini setidaknya
menunjukkan bahwa gema pemikiran Syahrur juga
turut terdengar oleh masyarakat akademik dan pegiat
kajian-kajian keislaman di tanah air.
MEMBACA TAJFIF MANABI' AL-IRHAB; KERJA
INTELEKTUAL YANG KONTROVERSIAL
Tidak jauh berbeda dengan karya-karya
sebelumnya, kitab Tajfif Manabi' al-Irhab juga
menuai kontroversi, tentu saja karena metode
pembacaan dan gagasan "gila" yang senantiasa
ditawarkannya. Sebelum mengawali pembahasan,
ia terlebih dahulu menegaskan bahwa gagasannya
mengalami beberapa perubahan---lebih tepat
disebut penyempurnaan---dari buku-buku
118
sebelumnya (Syahrur, 2008:15). Perubahan
pemikiran ini menunjukkan bahwa Syahrur
sendiri bukanlah seorang yang anti kritik. Sebagai
pengusung gagasan perubahan, Syahrur harus
siap menjadi orang pertama yang mengalami
perubahan itu, dan itu terlihat dari pemikirannya
sendiri. Perubahan adalah tabiat sebuah pemikiran,
juga ilmu pengetahuan. Itulah agaknya corak
pemikiran Syahrur.
Sebuah pemikiran tidak lahir dari ruang
hampa. Ia muncul ke permukaan sebagai cerminan
dan respon terhadap kondisi sosio-kultural yang
mengitarinya. Demikian juga pemikiran seorang
Muhammad Syahrur. Ia mengawali pengantar
bukunya dengan menanggapi peristiwa ledakan
gedung WTC di Amerika Serikat pada 11
September 2001. Fokusnya bukan pada peristiwa
ledakan tersebut, tetapi image teroris yang
muncul (atau dimunculkan) terhadap umat
Islam setelahnya. Menurutnya, bagaimanapun
umat Islam menolak image tersebut, tetap saja
tidak terelakkan sepenuhnya, karena fakta
menunjukkan bahwa paradigma perang masih
terus diwariskan melalui kitab-kitab fikih Islam
secara turun-temurun. Inilah sekaligus alasan
mengapa Syahrur memberi judul bukunya degan
"Tajfif Manabi' al-Irhab" (mengikis benih-benih
radikalisme) (Syahrur, 2008:20).
Buku ini memuat beberapa pembahasan
pokok. Pertama, tentang terminologi jihad dan
perang.
Dalam pembahasan ini dijelaskan bahwa
jihad dan perang adalah dua konsep yang
jauh berbeda, tidak seperti yang dipahami
kebanyakan fuqaha bahwa keduanya memiliki
kesamaan atau kedekatan makna. Kesamaan
makna yang dipahami kebanyakan fuqaha itu
muncul dari adanya frasa "fi sabilillah" yang
sama-sama menyertai terma jihad dan qital.
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2015
Namun demikian, Syahrur menolak adanya
sinonimitas dalam al-Qur'an, karena menurutnya
setiap ayat memiliki konteksnya tersendiri. Ia
mempertanyakan mengapa bisa terjadi pergeseran
makna dari jihad menjadi qital (perang), lalu dari
qital menjadi qatl (pembunuhan). Walaupun qital
dan qatl berasal dari akar yang sama, bukan berarti
keduanya persis sama. Kekeliruan ini berlanjut
dengan terjadinya aksi-aksi pembunuhan yang
kemudian diklaim sebagai jihad fi sabilillah.
Kedua, amar makruf nahi munkar. Syahrur
memberikan formulasi batasan antara larangan
yang bersifat syumuli dan larangan yang bersifat
tahrimi. Dalam hal pelarangan ini, perlu ditegaskan
antara yang difirmankan Allah, yang disabdakan
Nabi, yang difatwakan ulama, dan yang ditetapkan
negara. Menurut Syahrur, Allah berwenang
memberikan perintah dan larangan, sekaligus
memberikan. batasan halal dan haram. Sedangkan
Nabi hanya memiliki wewenang memerintahkan
dan melarang saja, tidak memberikan batasan
halal dan haram. Demikian juga, hak pemimpin
hanyalah memberikan perintah dan larangan,
bukan membuat justifikasi halal dan haram.
Dengan demikian, justifikasi halal dan haram
adalah hak prerogatif Allah.
Perintah dan laragan tidak disertai dengan
paksaan dan intimidasi. Negara (pemerintah)
yang berwenang mestinya memahami prinsip
ini, mengingat kemerdekaan adalah prinsip dasar
hidup manusia, sedangkan paksaan dan intimidasi
adalah tindakan yang bertolak belakang dengan
nilai-nilai kemerdekaan itu. Oleh karenanya,
dalam masalah rokok misalnya, otoritas pelarang
merokok adalah dokter, karena dialah yang
memahami segala seluk-beluk tentang kesehatan
manusia, dan tugas negara adalah melarang
rakyatnya merokok di tempat-tempat umum
berdasarkan rekomendasi dari pihak kedokteran
tersebut. Jika yang berfatwa tentang rokok adalah
orang yang tidak paham tentang kedokteran, maka
berarti ia bukanlah orang yang punya otoritas
dalam fatwa itu, apalagi sampai mengharamkan,
karena menghalalkan atau mengharamkan adalah
otoritas Allah. Dalam hal ini, fatwa yang keluar
dari ketetapan al-Qur'an--yang oleh Syahrur
disebut al-tanzil al-hakim--berarti batal dengan
sendirinya dan tidak dapat diikuti oleh umat Islam.
Ketiga, al-wala' wa al-bara'. Tema ini
berkaitan dengan polarisasi manusia dari
sudut pandang umat Islam berdasarkan agama
yang dianut: muslim dan nonmuslim. Umat
Islam perlu terlebih dahulu bersikap kritis dan
mempertanyakan: apakah al-wala' wa al-bara'
itu dilakukan demi negeri, kaum, atau umat?
Apakah warga negara Pakistan, misalnya, yang
beragama Islam dan berasal dari ras Britania itu
melakukan al-wala' wa al-bara' demi rakyat/
negara Pakistan, demi ras Britania, atau demi
umat Islam? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan
konsepsi amar makruf nahi munkar: apakah
itu kewajiban individu, kewajiban kolektif,
atau kewajiban negara? Apa batasan dalam
melaksanakan amar makruf nahi munkar itu? Di
sisi lain, juga ada perintah untuk bermusyawarah.
Apakah musyawarah itu sejalan dengan amar
ma'ruf nahi munkar atau dua cara yang berbeda?
Kalau ia berbeda, mana yang lebih diprioritaskan?
Kalau keduanya sama, mengapa ada dua istilah
yang berbeda? Secara sepintas, musyawarah
itu seperti amar ma'ruf, tetapi perlu dijelaskan
batasan-batasannya.
Keempat, masalah murtad (pindah agama).
Masalah ini terkait dengan hukuman mati
bagi orang murtad yang sudah ditetapkan,
dan itu tidak ada kaitannya dengan al-tanzil
al-hakim. Hukuman yang ditetapkan itu
sesungguhnya berkaitan dengan politik yang
Book Review; Menjinakkan Teroris, Menampilkan Islam yang Humanis
119
pemerintahannya mengklaim berdasarkan hukum
agama. Berjalannya roda pemerintahan diklaim
berdasarkan syariat Islam, padahal itu lebih
sebagai politik pemerintahan yang tidak berkaitan
dengan sumber-sumber hukkum dalam al-tanzil
al-hakim.
Kelima, tentang maqashd syari'ah yang
lazim dibincangkan dalam turats. Dalam hal ini,
Syahrur mengemukakan konsep maqashid syari'ah
yang berbeda dengan konsep maqashid syari'ah
yang selama ini dikenal. Ia mengemukakan
alasan mengapa tema deradikalisasi penting
diangkat melalui bukunya ini. Menurutnya, upaya
deradikalisasi dan pencegahan aksi-aksi terorisme
tidak cukup hanya dengan himbauan di tengah
maraknya tindakan tersebut. Tindakan itu terjadi
karena dua faktor. Pertama, kultur berfikir yang
sudah diwariskan turun-temurun di kalangan umat
Islam. Dalam hal ini, terminologi yang digunakan
tidak tepat disebut sebagai terminologi agama
(Islam), tetapi terminologi yang berkembang
dalam kultur umat Islam. Kedua, intimidasi
yang merupakan kecenderungan terorisme
menunjukkan tidak adanya penghormatan pada
kemerdekaan insani (humanisme).
Jika dimunculkan pertanyaan: bukankah
dalam al-Qur'an itu sendiri terdapat istilahistilah yang kerap digunakan dalam aksi-aksi
terorisme, sehingga itu menjadi legitimasi bagi
kelompok teroris dalam aksi-aksinya? Dalam
hal ini, Syahrur membenarkan bahwa istilah itu
memang terdapat dalam al-Qur'an. Hanya saja,
pemaknaan sebagian umat Islam telah melenceng
dari ketetapan al-Qur'an tersebut. Dalam konteks
ini, Syahrur membedakan antara term irhab
dan ir'ab yang secara sepintas dapat diiartikan
sama, padahal berbeda. Penggunaan kata "irhab"
dalam al-Qur'an adalah dalam konteks ta'abbud
(beribadah) yang substansinya adalah takut
120
kepada Allah) (Ibnu Faris, 1987:447), sedangkan
"ir'ab" digunakan dalam konteks ketakutan
yang muncul setelah ada ancaman (Ibnu Faris,
1987:409). Dalam al-Qur'an, kata "irhab"
digunakan sebanyak 12 kali, dan semuanya
tidak ada dalam konteks peperangan (qital) dan
pembunuhan (qatl). Kata-kata itu di antaranya
dapat ditemukan dalam surat al-Nahl ayat 51,
al-A'raf ayat 116, al-Anbiya' ayat 90, al-Taubah
ayat 31, dan al-Anfal ayat 60. Adapun istilah
"ir'ab", rata-rata digunakan dalam al-Qur'an
dalam konteks peperangan. Kata-kata itu dapat
ditemukan, di antaranya pada surat al-Anfal ayat
12, al-Ahzab ayat 26, dan al-Hasyr ayat 2.
MENGHADANG TERORISME DENGAN
NALAR; TAWARAN TEORITIS BUKU
Syahrur sedang mengisyaratkan bahwa
memberantas terorisme tidak cukup dengan
tindakan represif berupa menangkap dan
menghukum para pelaku. Ia lebih menekankan
tindakan prefentif berupa menawarkan metode
pembacaan terhadap ayat-ayat yang berpotensi
menstimulasi tindakan terorisme. Tidak dapat
ditampik bahwa sebagian pelaku teror di kalangan
umat Islam justru menyandarkan tindakan mereka
pada ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis yang ditafsirkan
sebatas pemahaman mereka. Di sinilah peranan
penasiran menjadi sangat vital dan berdampak
signifikan. Jika hanya mengandalkan upaya represif,
maka sama artinya dengan mengabaikan peran akal
dalam mencerna dalil-dalil. Tidak jarang bahwa
menangkap seorang teroris justru menstimulasi
munculnya sekian banyak teroris baru, ibarat
adagium "patah satu tumbuh seribu".
Salah satu bab dalam kitab-kitab fikih Islam
adalah "qital" (peperangan). Pembahasan ini dapat
ditemui hampir dalam setiap kitab fikih. Menurut
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2015
Syahrur, pembahasan tentang perang dalam
kitab-kitab fikih telah mewariskan pemahaman
yang berpotensi memicu anarkisme dan terorisme
di kalangan umat Islam. Itu terjadi karena
adanya pengaburan makna dalam penggunaan
beberapa istilah, yaitu: kata "qital" (perang), "qatl"
(pembunuhan), "ghazw" (perang/penyerbuan),
"syahadah" (kesaksian), dan "syahid" (mati
syahid). Menurut Syahrur, istilah-istilah tersebut
memiliki pengertian, makna, dan konsepnya
tersendiri, sehingga tidak dapat digunakan secara
serampangan (Syahrur, 2008:21). Ia merasa heran
mengapa penggunaan kata jihad sering berubah
menjadi qital (perang) atau sebaliknya, bahkan
muncul juga istilah "qital fi sabilillah" sebagaimana
istilah "jihad fi sabilillah" (Syahrur, 2008:57).
Syahrur menilai bahwa distorsi makna
tersebut berimplikasi pada distorsi nilai-nilai
kemanusiaan, sehingga fikih Islam terkesan
sebagai fikih yang tidak humanis, dan tidak
menghormati kemerdekaan insani (Syahrur,
2008:19). Ia mengutip pendapat al-Qasthalani
dalam Syarh Shahih Bukhari (tt.:30) bahwa jihad
adalah memerangi orang kafir untuk membela
Islam dan kemuliaan kalimat Allah. Pengertian
ini kemudian dihubungkan dengan pernyataan
Ali bin Abi Thalib bahwa: jihad adalah salah satu
pintu surga yang hanya dibukakan oleh Allah
untuk orang-orang tertentu. Ketika jihad dan qital
dianggap bermakna sama, maka di sinilah muncul
istilah "qital fi sabilillah".
Belum cukup sampai di situ, kata qital itu sendiri
juga dimaknai sebagai "qatl" (pembunuhan). Imam
Syaukani dalam al-Subul al-Jarar sebagaimana dikutip
Syahrur, mengatakan bahwa: "memerangi kelompok
kafir itu dilakukan karena memperjuangkan Islam,
mengumpulkan pajak, atau karena pembunuhan.
Ini dipahami secara implisit dari teks-teks agama".
Syahrur mempertanyakan: bagaimana memahami
bahwa jihad adalah perang ketika memahami
firman Allah dalam surat Luqman ayat 15 "wa in
jahaddaka 'ala an tusyrika bi ma laisa laka bihi ilmun
fala tuthi'huma"? Dalam ayat tersebut terdapat
kata "jahadaka". Jika yang dimaksud dengan
setiap kata jihad adalah perang, maka bagaimana
mungkin orang tua akan memerangi anaknya agar
si anak menyekutukan Allah. Sebaliknya, bagaimana
mungin si anak akan memerangi orang tuanya ketika
ia enggan mengikuti suruhan orang tuanya itu untuk
menyekutukan Tuhanya. Hal itu jelas bertentangan
dengan firman Allah yang berisi tuntutan agar anak
berbuat baik pada kedua orang tua.
Perang yang pada awalnya demi kepentingan
umat, sekarang berubah demi kepentingan negara
dan tanah air, sehingga kemudian terjadilah perang
antar negara yang penduduknya memeluk agama
yang sama. Pada awalnya demi agama, dengan
alasan mashlahah yang terdapat dalam konsep
maqashid al-syari'ah, lalu bergeser menjadi isu
negara, dan setelahnya menjadi alat propaganda
politik kelompok-kelompok tertentu. Tesis ini
terbukti dengan maraknya perang yang awalnya
berangkat dari isu agama, kemudian berubah
menjadi perang antar negara, walaupun antar
keduanya menganut agama yang sama.
Ia memper tanyakan keheranannya:
bukankah dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat
yang secara sepintas terlihat bertentangan. Dalam
konteks ini, di al-Qur'an terdapat ayat tentang
perintah berperang sekaligus ada ayat tentang
tidak ada paksaan dalam agama. Karena tidak
memiliki metode pembacaan yang komprehensif,
maka orang yang ingin perang tinggal mengutip
ayat perang, dan orang yang ingin dakwah dengan
cara santun tinggal memilih ayat-ayat untuk
itu. Bukankah ini sebuah kelucuan? padahal alQur'annya sama, dan tidak mungkin Allah yang
Maha Tahu dan Maha Bijaksana memerintahkan
Book Review; Menjinakkan Teroris, Menampilkan Islam yang Humanis
121
hambanya untuk berperang sekaligus untuk
santun dalam kitab yang sama? Berarti ada cara
yang keliru ditempuh umat Islam.
Dalam al-Qur'an terdapat ayat "la ikraha fi
aldin" (tidak ada paksaan dalam agama), juga ada
ayat "faqtulu al-musyrikina haitsu wajadtumuhum"
(perangilah orang-orang musyrik di manapun
kamu menjumpainya). Menurut Syahrur, kedua
ayat ini harus ditempatkan pada posisinya
masing-masing sesuai konteks. Ayat "la ikraha
di al-din" masuk dalam kategori ayat-ayat risalah
muhammadiyah yang konteksnya adalah pedoman
kehidupan, sedangkan ayat "faqtulu al-musyrikina
haitsu wajadtumuhum" kategorinya adalah qashash
muhammady yang sifatnya adalah menceritakan
atau pemberitahuan tentang kisah-kisah tertentu
agar diambil pelajaran, bukan sebagai ayat yang
dijadikan landasan hukum. Ayat kategori kedua
ini serupa penceritaan tentang kisah Nabi Musa,
Isa, Yusuf, dan nabi-nabi lainnya. Adapun ayat
kategori pertama sama halnya dengan ayat-ayat
waris yang dijadikan landasan hukum, bukan
sekedar menyajikan kisah.
Kata syahiid yang akarnya adalah "sya-ha-da"
dengan berbagai derivasinya ditemukan sebanyak
160 kali dalam al-Tanzil al-Hakim, di antaranya
surat al-Baqarah ayat 23 "wad'u syuhada'akum
min dunillah in kuntum shadiqin", surat alBuruj ayat 9 "wallahi ala kulli syai'in syahiid",
dan sebagainya. Kata "al-Syahiid" itu sendiri
termasuk asma'ul husna. Dalam hal ini perlu
dibedakan antara "syahiid" dengan "syaahid". Kata
"syahiid" digunakan dalam konteks menyaksikan
langsung dengan panca indra, sebagaimana
diisyaratkan al-Hadid ayat 4 dan surat Qaf ayat
16. Adapun kata "syaahid" digunakan dalam
konteks pemberitaan yang bersifat relatif; bisa
jadi benar dan bisa jadi salah, karena yang
menyaksikan tidak menyaksikan langsung, baik
122
mendengar atau melihatnya. Ini diisyaratkan
dalam surat Yusuf ayat 26 dan 27.
Penggunaan kata "sya-ha-da" itu dapat
dirinci dalam beberapa konteks. Pertama, kata
"sya-ha-da" dalam surat al-Baqarah ayat 185
tentang menyaksikan hilal dengan cara melihat
atau mendengar. Kedua, kata "sya-ha-da" dalam
surat al-Maidah ayat 116-117 tentang kesaksian
Nabi Isa bahwa ia hanya berdakwah terhadap
umatnya untuk menyembah Allah semata,
bukan menyembah dirinya atau ibunya, dan itu
hanya bisa ia lakukan selama ia hidup. Ketiga,
kata "sya-ha-da" dalam surat al-Baqarah ayat
282 tentang kesepakatan jual beli berdasarkan
kepercayaan masing-masing pihak yang keduanya
dalam posisi saling menyaksikan. Keempat, kata
"sya-ha-da" dalam surat al-Nisa' ayat 15 tentang
kesaksian empat orang laki-laki terhadap dakwaan
perbuatan zina.
Dari analisisnya terhadap kata "sya-ha-da"
yang banyak digunakan dalam al-Qur'an, Syahrur
menyimpulkan beberapa hal. Pertama, kehadiran
di lokasi kejadian adalah syarat mutlak untuk
mengatakan bahwa seseorang sebagai "syahiid"
dalam kejadian itu, baik waktu maupun tempat.
Kedua, kata "sya-ha-da" tidak mungkin dilabelkan
pada manusia kecuali dalam konteks kehidupan.
Jika seseorang mati, maka tidak mungkin label
kata "syahiid" dilekatkan pada dirinya. Ketiga,
istilah "syahiid" digunakan untuk kesaksian yang
pasti, sedangkan isitlah "syaahid" digunakan untuk
kesaksian yang nisbi. Keempat, istilah "qital"
(peperangan) dan "qatl" (pembunuhan) tidak ada
kaitannya dengan "syahiid" dan "syaahid". Kelima,
pernyataan bahwa transaksi jual-beli hanya
membutuhkan kesaksian dua orang "syaahid", dan
tidak perlu dua orang "syahiid" yang harus melihat
dan mendengar langsung, adalah pernyataan
yang tidak dapat diterima karena bertentangan
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 1, Januari - Juni 2015
dengan surat al-Baqarah ayat 282. Keenam,
kesaksian orang yang hadir memiliki beragam
konteks. Karya tulis yang hidup dan dibaca orang,
meskipun penulisnya telah mati atau dibunuh,
maka ia tetap dinilai "syahiid" karena ia tetap hadir
dalam kehidupan manusia.
PENUTUP
Syahrur hendak menegaskan bahwa salah
satu kelemahan umat Islam saat ini adalah dalam
soal penalaran. Satu ayat al-Qur’an yang dibaca
oleh orang berbeda penalaran dapat menghasilkan
kesimpulan yang juga berbeda, bahkan bertolak
belakang. Oleh karenanya, penalaran menempati
posisi penting, karena kalau tidak, maka kekuatan
doktrinlah yang akan mendominasi pola beragama
umat Islam. Di sinilah akar-akar terorisme
memperoleh tempat penyemaiannya dan tumbuh
subur di kalangan umat Islam. Untuk itu,
dibutuhkan model pembacaan baru yang lebih
kritis dan komprehensif dalam memahami ayatayat Tuhan, agar lebih membumi dan mampu
menyahuti realitas.
Faris, Ahmad Ibn. Maqayis Al-Lughah. Mesir:
Musthafa al-Babi al-Habibi, 1987.
Hajar, Ahmad bin Ali Ibnu. Fath al-Bari. Libanon:
Dar al-Fikr, t.th.
Syahrur, Muhammad. al-Islam wa al-Iman;
Manzhumah al-Qiyam. Damaskus: al-Ahali
al-‘Atiba’ wa al-Nashr wa al-Tauzi’, 1996
_______. al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah
Mu'ashirah. Damaskus: al-Ahali al-‘Atiba’
wa al-Nashr wa al-Tauzi’, 1990.
_______. Dialektika Kosmos dan Manusia, DasarDasar Epistemologi Qurani. Terj. Muhammad
Firdaus. Bandung: Nuansa, 2004.
_______. Dirasah Islamiyah Mu'ashirah fi alDaulah wa al-Mujtama'. Damaskus: al-Ahali
al-‘Atiba’ wa al-Nashr wa al-Tauzi’. 1994
_______. Masyru’ Mithaq al-‘Amal al-Islami. Terj.
Dale F. Eickelman. Proposal for a Covenant
of Islamic Action. Damaskus: Dar al-Ahali li
al-Nashr wa al-Tawzi’, 2001.
DAFTAR PUSTAKA
_______. Nahw Ushul al-Jadidah fi al-Fiqh allIslami; Fiqh al-Mar'ah. Damaskus: Muassasah
al-Dirasat al-Fikriyah al-Mu'ashirah. 2000.
Clark, Peter. The Sahrur Phenomenon: A Liberal
Islamic Voice From Syria. Islam and ChristianMuslim Relations, Vol 7 No. 3, 1996.
_______. Tajfif Manabi' al-Irhab. Damaskus:
Muassasah al-Dirasat al-Fikriyah alMu'ashirah. 2008.
Eickelman, Dale F. Islamic Liberalism Strikes Back.
MESSA Bulletin, No. 27, 1993.
Book Review; Menjinakkan Teroris, Menampilkan Islam yang Humanis
123
Download