silang sengkarut qiyas dalam metodologi hukum islam

advertisement
Jurnal HIKAMUNA
SILANG SENGKARUT QIYAS DALAM
METODOLOGI HUKUM ISLAM
Mahfudh Fauzi
Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama Nusantara
STISNU NUSANTARA TANGERANG
Email : [email protected]
Abstrak
Artikel ini membahas tentang metodologi istinbat hukum Islam
memalui metode Qiyas, dimana Qiyas merupakan akumulasi
berbagai problem yang tidak terakomodasi oleh Al Quran,
Sunnah dan Ijma’ akhirnya bisa ditemukan solusinya yang
bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, ketika ada
pendapat yang mengatakan bahwa Qiyas merupakan teori yang
justru membatasi tidaklah tepat. Upaya para ulama dalam
menggali hukum dari sumber utama yaitu al-Qur’an dan
Sunnah inilah yang biasa dikenal dengan ijtihad. Ijtihad adalah
isu sentral dalam disiplin Usul al-Fiqh yang mempunyai
konsentrasi pada metode implementasi spirit teks keagamaan
dalam berbagai lingkungan sosial budaya. Akan tetapi
persoalannya adalah, seperti halnya dilansir oleh al-Na’im,
ijtihad dalam kerangka usul al-fiqh konvensional sangat
memiliki kelemahan-kelemahan serta kekurangan metodologis
yang sangat fundamental, sehingga apapun yang dilakukan bagi
pembaharuan hukum Islam tanpa kemudian merekontruksi
struktur Ushul al-Fiqh klasik maka belum akan menghasilkan
sesuatu apa-apa yang signifikan. Oleh sebab itu, usaha-usaha
kontekstualisasi dan reinterpretasi materi hukum seharusnya
dibarengi dengan sentuhan sebuah kritisisme terhadap aspek
metodologisnya. Bagian dari perangkat metodologis yang
mendesak untuk ditinjau kembali adalah teori qiyas (analogical
80
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
reasoning), maka dari itu teori ini dalam kerangka Ushul alFiqh merupakan teori yang paling produktif dalam perumusan
hukum Islam. Persoalan inilah yang kemudian akan disoroti
dalam tulisan yang singkat ini terlebih lagi masalah ‘illat.
Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari kita, sering
ditemukan permasalahan-permasalahan yang belum tersentuh
oleh nash (teks) Al-Qur’an maupun As-Sunnah, sehingga
mengharuskan para ulama untuk mencari kejelasannya dengan
cara mencari persamaan ‘illat antara persoalan hukum yang
belum tersentuh oleh Nash dan hukum yang sudah tersentuh
oleh Nash. Dengan ditemukannya kesamaan ‘illat antara
keduanya dapat disimpulkan kesamaan (status) hukumnya,
begitu pula sebaliknya (ketidaksamaan ‘illat keduanya, dapat
disimpulkan bahwa (status) hukum keduanya tidak sama).
Maka, Pengukuran satu ‘illat dengan ‘illat yang lain ini disebut
dengan qiyas.
Kata Kunci : Qiyas, Fiqih, Metodologi, Illat, Ijtihad, Nash,
Qura’an, Sunnah
A. Pengertian Qiyas
Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata
Arab ‚qasa‛ artinya mengukur.1 Secara singkat dalam
1
Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam (Beirut: Dar alMasriq, 1986), Hal. 665. secara luas Sya`ban Muhammad Ismail
mendeskripsikan pengertian Qiyas secara bahasa. Menurut beliau, kata
Qiyas merupakan derivasi (bentuk) dari qasa, yaqisa, qaisan, wa qiasan.
Atau mungkin juga menurut sebagaian pendapat berasal dari kata qasa,
yaqusu, qausan, wa qiasan. Qiyas secara bahasa memiliki dua pengertian .
pertama, at-taqdir (mengukur) . misalnya, qasa al saub bi al mitr atau qasa al
ard bi al-qasabah. Kata at taqdir juga bisa di pahami dalam pengertian almuqaranah (analogi atau membandingkan)antara dua hal. Misalnya, qoyastu
baina al-`amudain. Kedua, al-musawat baina syaiain (mencari persamaan
antara dua hal), baik persamaan itu dilakukan secara hissiyah (inderawi atau
empiris), maupun ma`nawiyah (guessing atau non-empiris). Lebih lanjut lihat
Sya`ban Muhammad Isma’il, Dirasah Hawla al-Ijma wa al-Qiyas (Mesir:
Maktabah an-Nahdah, 1988), hal.153.
81
Jurnal HIKAMUNA
pengertian etimologis, qiyas berarti mengukur sesuatu dengan
benda lain yang dapat menyamainya. Misalnya, Fulan tidak
diqiyaskan dengan si Fulan lain dan juga tidak disamakan. Dan
secara terminologis, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu
yang tidak ada nashnya, baik dalam al-Qur’an maupun hadis,
baik dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang sudah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. 2
Sementara, Al-qiyas merupakan salah satu dalil atau
prinsip metodologis dalam kajian ushul-fiqh, yang kemudian
diadopsi dan diaplikasikan dalam kajian ilmu bahasa Arab
dikarenakan kesamaan sumber otentik khususnya Al-Qur’an
dan Al-Hadits, sehingga kedua kajian ini satu sama lain saling
melengkapi dalam pembentukan kaidah baik di bidang ilmu
fiqh (ilmu syariat Islam) maupun di bidang ilmu bahasa Arab. 3
Maka dari itu, definisi al-Qiyas secara terminologi
berasal dari huruf Qa-Ya-Sa (
) yang didalam kamus alMunawwir diartikan mem-bandingkan atau ukuran, kaidah atau
aturan dan analogi atau qiyas. 4
Sementara secara etimologi, Baalbaki5 memberikan
definisi sebagai berikut ini:
Senada dengan definisi diatas, juga Ali Al-Khuli6 juga
2
Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tasyri (Kuwait: Dar al-Qalam,
1987), Hal. 22
3
Muhammad Al-Hadar Husain, 1934.Al-Qiyas fi Al-Lughah Al-‘Arabiyah.
Mesir: Darul Kutub Al-Misriyah. P. 160.
4
Al-Munawwir, Ahmad Warsan. 1997. Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka
Progressif.P.1178
5
Baalbaki, Ramzi Munir. 1990. Dictionary of Linguistic TermsArabic-English.
Beirut: Dar El ‘Ilm Lil Malayin. P.44
6
Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982. A Dictionary of Theoretical Linguistic.
Lebanon: Lebanon Library. Hal 14
82
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
memberikan definisinya seperti berikut:
Dalam paparannya menurut Muhammad Hasan Abdul
Aziz, konsep analogi merupakan cara termudah untuk
mengembangkan bahasa, yaitu dengan menyesuaikan kalimat
atau kata yang baru dengan kalimat atau kata bahasa arab lama
yang dianggap benar dan dipercaya validitas nya untuk
membentuk suatu kaidah bahasa baik dalam pembentukan kata
atau pun kalimat dengan cara ta’bir atau pengungkapan
makna7.
Mengutip pendapat Dr. Doukoure Massire bahwa
analogi itu merupakan suatu kegiatan pikiran jernih manusia
dalam usahanya untuk mengungkapkan segala hal yang
terbersit dalam benak dan perasaannya mengenai sesuatu
makna yang baru dan terus berkembang sejalan dengan waktu
sehingga semakin membuat sulit akal pikiran manusia untuk
memberikan nama baru pada makna-makna tersebut. Pada
akhirnya intuisi manusia mengambil jalan mudah dalam upaya
penamaan makna-makna tersebut dengan cara membentuk
suatu kata ataupun kalimat dari kata-kata dan kalimat-kalimat
yang pernah diketahui dan didengar sebelumnya. Maka
kegiatan inilah yang dimaksud dengan analogi, sehingga
menjadikan analogi sebuah metode atau konsep yang sangat
7
Abdul Aziz, Muhammad Hasan. 1995. Al-Qiyas fi Al-Lughah Al-‘Arabiyah.
Cairo: Dar Al-Fikr Al-‘Araby. P. 11
83
Jurnal HIKAMUNA
penting dalam penelitian bahasa dan perkembangannya8.
Konsep analogi ini kemudian banyak membantu
pengembangan kata dalam suatu bahasa sehingga pengguna
bahasa tersebut mampu mengucapkan kata ataupun kalimat
yang belum diketahui dan juga belum di dengar sebelumnya.
B. Sejarah Pertumbuhan Qiyas
Qiyas sebagai salah satu metode penetapan hukum,
secara kronologis historis dipetakan menjadi dua kelompok,
pertama, qiyas sebelum masa al-Syafi’i, yaitu sebuah formulasi
qiyas yang belum baku, dan ia masih dalam bentuknya yang
bebas sebagai suatu penalaran liberal dalam menentukan suatu
hukum (reasoning). Qiyas ini tidak terpaku pada syarat-syarat
yang ketat yang membatasinya dari berfikir liberal, spekulatif,
dan dinamis dalam menentukan masalah.9 Qiyas sebagai
penalaran hukum (legal reasoning) ini lazim juga disebut
dengan Istilah penalaran (ra’y). Ia berlaku mulai pada masa
Rasulallah dan sebagai embrionya kemudian semakin matang
pada masa Abu Hanifah sebagai panglima aliran ahl al-ra’y.
Dalam periode awal ini, ra’y merupakan alat pokok ijtihad,
yang mendahului pertumbuhan prinsip qiyas. Pengguanaan ra’y
untuk menyelesaikan kasus-kasus yang tidak diungkap oleh
nash merupakan hal yang tidak dapat dielakkan pada masa
pembentukan Islam. Sejak selama masa tersebut, orang-orang
mengambil jalan ra’y atas masalah-masalah yang baru timbul
dalam masyarakat.
Penggunaan ra’y sebagai alat qiyas pada masa-masa
8
Massire, Doukoure. 2012. Al-Qiyas fi Al-Lughah Baina ‘Ulamail-‘Arabiyah wa De Saussure: Mafaahim wa Tahtbiiqaat. In International
Journal of Al-Madinah International University (Majma).2nd Edition.
Malaysia: Al-Madinah International University Press. P. 3
9
Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles Pelacakan
Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani
Press, 2004), hlm. 35.
84
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
sebelum al-Syafi’i, sesungguhnya sangat sederhana dan
digunakan dalam bentuk yang sangat dasar. Ia tidak dibatasi
dengan syarat-syarat yang begitu ketat, sehingga tidak semua
orang dapat mengqiyaskan dan semua kasus dapat diqiyaskan
begitu saja.10 Dalam perjalanannya di masa awal, qiyas dalam
bentul ra’y telah digunakan baik dalam al-Qur’an, Sunnah
maupun para sahabat Nabi saw. Dalam al-Qur’an sendiri
misalnya, penalaran yang didasarkan pada kesamaan kasuskasus yang serupa, sering dilakukan hanya dengan
menggunakan kata-kata matsal, mitsl, dan ka 11 dan untuk
menunjukan persamaan antara berbagai hal tanpa persayaratan
yang sangat begitu ketat. Penalaran al-Qur’an ini pada akhirnya
mempunyai andil bagi lahirnya gagasan tentang qiyas. Qiyas
dalam bentuk ra’y yang sederhana juga berlaku pada Sunnah.
Hal ini bisa dilacak dari hadis Rasulullah yang pernah
mengqiyaskan hukum mencium isteri saat berpuasa dengan
berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur tidak
membatalkan puasa maka dari itu mencium isteri saat sedang
berpuasa juga tidak membatalkan. 12
10
Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles Pelacakan
Logika Aristoteles dalam Qiyas Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Safiria Insani
Press, 2004), hlm. 36.
11
Sebagaimana firman Allah, Q.S al-Jumah:5
Terjemahnya: ‚Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti
keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya
perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim‛.
12
Diriwayatkan dari Umar bahwa Raslullah SAW: Dari Umar bin
Al-Khatab ra. berkata, "Suatu hari aku beristirahat dan mencium isteriku
sedangkan aku berpuasa. Lalu aku datangi nabi SAW dan bertanya, "Aku
telah melakukan sesuatu yang fatal hari ini. Aku telah mencium dalam
keadaan berpuasa." Rasulullah SAW menjawab, "Tidakkah kamu tahu
hukumnya bila kamu berkumur dalam keadaan berpuasa?" Aku menjawab,
85
Jurnal HIKAMUNA
Sedangkan penggunaan ra’y pada masa sahabat dapat
dilihat dalam sejarah saat Umar bin Khattab menetapkan
berbagai kasus hukum, bahkan ra’y digunakan oleh Umar dalam
masalah yang sudah tegas dijelaskan oleh nash, misalnya saja
tentang pentasarufan zakat pada muallaf,13 pembatalan tentang
rampasan perang, tidak dipotongnya tangan seorang pencuri,
melakukan ta’zir dengan seratus kali cambukan, pengucapan
talak tiga sekaligus dihitung tiga. Hal yang sama juga dilakukan
oleh penerusnya yaitu sahabat Ali bin Abi Thalib yang
melakukan ijtihad dengan metode qiyas, yaitu dengan
mengqiyaskan hukuman orang yang meminum khamr dengan
qiyas hukuman orang yang melakukan tuduhan zina.14
Penggunaan ra’y atau penalaran sebagai pengamalan
qiyas semakin memasyarakat pada masa tabi’in, yang dalam hal
ini dapat dikategorikan menjadi dua yaitu; madzhab Iraq dan
Madinah. Dimana madzhab Iraq diwakili oleh Abu Hanifah dan
kedua muridnya, Abu Yusuf dan al-Syaibani, banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan sebuah otoritas ra’y.
Dan adapun madzhab Madinah yang dirujuk adalam Imam
Malik yang dalam berbagai kesempatan sering menggunakan
kata-kata seperti matsal, ka dan bi manzilah.15 Perbedaan
"Tidak membatalkan puasa." Rasulullah SAW menjawab, "Maka mencium
itu pun tidak membatalkan puasa." (HR Ahmad dan Abu Daud).
13
Ijtihad Umar bin Khattab ini dikaji secara jelas oleh beberapa
tokoh pemikir Hukum Islam yang mengkaji tentang upaya reaktualisasi
hukum Islam, hal ini dapat dilihat dalam berbagi tulisan misalnya; Munawir
Sjadzali, Islam Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 37-41;
Muhammad Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi
dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 45-49; Muhammad
Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 157-158
14
Muhammad Salam Madzkur, Mabahits al-Hukm’ inda alUshuliyyun, (Mesir: Dar al-Nahdlah al-Arabiyyah, 1972), hlm. 42
15
Muhammad Roy, Ushul Fiqih Mzdhab, hlm. 39. Contoh
qiyas yang dilakukan oleh fuqaha Madinah adalah tidak boleh melakukan
ibadah haji atas nama seseorang, sementara orang tersebut masih hidup. Ini
86
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
tentang qiyas antara kedua kelompok di atas hanyalah sedikit,
jika pada madzhab Irak lebih menuntut konsistensi penalaran,
maka pada madzhab Madinah lebih menekankan praktek yang
telah diterima secara luas oleh masyarakat.16
Berangkat dari berbagai contoh qiyas di atas yang
berkembang dan menyejarah pada madzhab hukum awal,
menunjukkan bahwa qiyas mengandung aturan kesepadanan,
preseden, akal dan ketetapan hukum yang telah ada, kesamaan
sedikit saja dianggap cukup melakukan qiyas bagi mujtahid
awal dan tidak ada aturan-aturan yang susah. Implikasi dari
pemberlakuan qiyas semacam ini menimbulkan hukum Islam
yang dinamis dan akomodatif terhadap perubahan zaman.
Kedua, qiyas pada masa al-Syafi’i dan setelahnya,
yaitu qiyas yang sudah terkodifikasi dan terformulasikan
dengan baku dalam al-Risalah. Qiyas model ini mempunyai
syarat-syarat yang ketat, baku dan kaku, sehingga sudah tidak
menjadi penalaran hukum yang bebas dan aktual, melainkan
’tunduk’ di bawah bayang-bayang teks-teks agama, yakni alQur’an, Sunnah, dan ijmak.17 Qiyas model ini dimulai pada
masa al-Syafi’i, yang diformulasikan pertama kali dalam alRisalah hingga ulama ushul sekarang.
Upaya menciptakan kesatuan hukum dan membatasi
penggunaan ra’yu yang dilakukan oleh para Ulama di masa
awal termasuk al-Syafi’i, di latar belakangi sebuah kenyataan
bahwa adanya penggunaan ra’y yang liberal memberikan lahan
subur bagi berkembangnya beraneka ragam hukum dalam
masyarakat, sehingga tidak jarang satu permasalahan hukum
mendapat jawaban yang berbeda di tempat yang berbeda. Maka
diqiyaskan dengan tidak bolehnya melaksanakan puasa dan shalat atas nama
orang lain.
16
Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Jurisprudence ,
(New Delhi: Adam Publishers, 1994), hlm. 140
17
Ahmad Hasan, The early Development of Islamic Jurisprudence ,
(New Delhi: Adam Publishers, 1994), hlm. 137
87
Jurnal HIKAMUNA
daripada itu, Al-Syafi’i memformulasikan qiyas dengan syarat
yang ketat18 dalam rangka membendung penggunaan ra’y yang
sewenang-wenang sebagaimana madzhab hukum awal. Lebih
dari itu, metode qiyas yang dimaksudkan oleh al-Syafi’i
terbatas hanya untuk menyingkap hukum yang secara praktis
ada di dalam teks-teks keagamaan saja (nushus) meskipun
keberadaannya samar dan tersembunyi.19
Dalam periode awal, qiyas difahami sebagai penalaran
bebas mencari hukum (ra’y), dilajutkan pada periode berikutnya
pada masa al-Syafi’i menjadi sangat sempit, yaitu perbandingan
dua hal yang sejajar karena keserupaannya, yang secara teknis
dikenal dengan nama sebab hukum (‘illat al-Hukm), lebih dari
itu qiyas ini harus didasarkan pada nash al-Qur’an dan Sunnah.
Hal ini menunjukkan tidak adanya unsur independensi qiyas
karena qiyas harus ’tunduk’ mengikuti kemauan teks
keagamaan.20
18
Syarat ketat yang dimaksudkan adalah syarat-syarat seseorang
yang dibolehkan melakukan qiyas; menguasai bahasa Arab dan unsurunsurnya, seperti nahwu, shorof dan balaghoh, mengetahui ajaran-ajaran alQur’an, seperti etika Qur’ani, nasikh mansukh, lafal ‘am dan khas,
mendalami sunnah, permasalahan-permasalahan sunnah, menguasai logika
yang benar atau akal sehat. Persayaratan ini diramu apik oleh al-Syafi’i
dalam karyanya al-Risalah. Baca Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah,
(Kairo: Mathba’ah Musthafa al-halabi, t.t), hlm. 70
19
Terkait hal ini bisa di simak dalam kajian yang disajikan oleh
Nasr Hamid Abu Zayd, al Imam as-Syafi’i wa Ta’sis al-Aidulujiyah alWasathiyah, (Kairo: Sina li an-Nasr), Bagian II, Imam Syafi’i: Moderatisme
Eklektisime Arabisme, terj. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, 1997),
hal. 77-98
20
Bagi al-Syafi’i nash adalah teks yang hanya mengadung satu arti
atau teks yang penafsirannya adalah teks itu sendiri, maka di sini nampak
jelas tidak adanya peran ra’y dalam menafsirkannya. Pembenturan ra’y
dengan nash dan anggapan ra’y harus tunduk di bawah hegemoni nash ini
berarti tindakan pereduksian terhadap makna nash. Hal ini dapat difahami
karena pada masa sebelum al-Syafi’i istilah nash diartikan sebagai
tekstualitas kalimat (haqiqah al-Lafdzi) sehingga mungkin sekali tidak
mengikutinya, karena berdasarkan ra’y tidak membawa keadilan, seperti
pada kasus ijtihad Umar yang tidak mengikuti tekstualitas al-Qur’an.
88
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
Setelah melihat sejarah qiyas dari masa awal sebelum
al-Syafi’i hingga masa al-Syafi’i dan setelahnya, maka dapat
dikatakan bahwa adanya sistematisasi qiyas dan sederet
perangkatnya yang ketat, maka di satu sisi ruang lingkup
penggunaan ra’y secara bebas dapat dipersempit karena orang
tidak boleh sembarangan menganalogikan sesuatu tanpa ada
syarat yang dipenuhi, namun di sisi lain menjadikan hukum
bersifat kaku, statis, dan kurang kreatif dan kemudian ini
menjadi semakin nyata. Namun demikian, bahkan menurut
Nashr Hamid Abu Zayd, kalau dibaca lebih dalam, akan
tersingkap bahwa sebenarnya al-Syafi’i bermaksud sangat ingin
menegakkan otoritas teks agar kemudian mencakup setiap
bidang berbagai persoalan kehidupan sosial dan pengetahuan.
Nampaknya pula, seolah-olah ia memperluas bidang kerja qiyas,
namun sementara ia membatasi wilayah teks, dan tidak berani
melampuinya.21 Hingga pada akhirnya ia harus menghimbau
untuk meninjau kemudian ulang dan mengadakan transformasi
menuju fase pembebasan, bukan otoritas teks semata, tapi juga
dari semua bentuk otoritas yang menghadang perjalanan
manusia di dunia ini. Memang terasa ambigu, satu sisi
menuntut kreatifitas namun disisi yang lain membatasi arah
gerak dengan teks-teks agama. Hemat pemakalah, dinamika itu
bisa melahirkan sintesa bahwa teks keagamaan itu sangat
pnting dan tidak boleh ditinggalkan, sementara kreatifitas
untuk menetapkan hokum sesuai dengan perkembangan zaman
harus tetap bersifat inklusif, terbuka. Bisa saja, benar apa yang
ditetapkan Assyafi’I pada zamannya, namun belum tentu pas
pada zaman saat ini. Inilah yang dimaksud benar pada masanya.
Ahmad Hasan, Analogical Reasoning.. dalam Muhammad Roy, Ushul Fiqih,
hlm. 43
21
Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i: Moderatisme, hlm. 96
89
Jurnal HIKAMUNA
C. Kedudukan Qiyas
Para jumhur ulama berpendapat bahwa qiyas adalah
sebuah hujjah syar’iah terhadap berbagai hukum-hukum syara’
yang berkaitan tentang seluruh tindakan manusia. Al-qiyas
kemudian menempati urutan ke empat diantara beberapa hujjah
syar’iyyah yang ada dengan beberapa catatan, maka tidak
heran, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasar
nash atau ijma. Di samping itu harus ada kesamaan illat antara
satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya.
Oleh karenanya, kejadian pertama (yang tak ada nash) di
qiyaskan dengan kejadian kedua yang ada nashnya. Kemudian
daripada itu, dihukumi seperti hukum yang terdapat pada nash
pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut
syara’. Ulama tersebut dikenal sebagai Mutsbitu’l Qiyas (orang
yang menyertakan qiyas).
Oleh sebab itu ‘‘illat, yang terkadang difahami sebagai
alasan logika penetapan hukum, merupakan unsur terpenting
dalam pelaksanaan qiyas. Dengan kata lain qiyas tidak akan
pernah terlaksana tanpa kemudian dibarengi dengan adanya
‘illat. Landasan fikir ini berdasarkan atas grand hipotesis yang
menyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang diturunkan
Allah memiliki alasan logis (legal reasoning) dan hikmah
(wisdom) yang akan memayungi pelaksanaan dan penerapan
peraturan hukum tersebut.
Secara bahasa ‘illat bisa berarti alasan, sebab, ataupun
sakit sebagai penyakit, aib atau cacat 22 nama bagi sesuatu yang
menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain.23 Adapun
definisi ‘illat secara istilah para jumhur ulama ushul nampak
22
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir ArabIndonesia Terlengkap, cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm.
965
23
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), Juz I., hal, 646.
90
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
berbeda pendapat. Dengan demikian, secara umum memberikan
definisi ‘illat sebagai suatu sifat yang konkrit dan dapat
dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut
sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum yaitu
meraih kemaslahatan.24
Dalam hal ini, madzhab Nazhamiyah Zhahariyah dan
sebagian kaum syi’ah kemudian mengajukan pendapat bahwa
qiyas itu tidak bisa dipakai sebagai suatu hujjah syariat di
dalam pembentukan hukum. Oleh karena itu, mereka ini disebut
sebagai kaum atau golongan nafatul qiyas (yang menafikan atau
meniadakan qiyas). 25
Kemudian dari pada itu, pertanyaan yang segera akan
muncul adalah bagaimana kedudukan qiyas sebagai dalil
hukum? Pertanyaan ini memang menimbulkan perdebatan
dikalangan uluwiyyun. Di satu golongan sebagian ulama
mengatakan, bahwa qiyas adalah dalil dan bahkan sumber
hukum yang harus dan wajib diikuti. Namun, pada golongan
lain, sebagian ulama usul yang memandang qiyas bukan dalil
dan sumber hukum. Sementara itu, pandangan lainnya yang
menyebutkan bahwa qiyas itu bukan dalil dan sumber hukum,
namun ia hanyalah sebuah metode (manhaj) saja dalam
menggali ketentuan hukum dari sumbernya. 26
Sama halnya seperti ijma’, tapi pasti tidak sama dengan
al-Qur’an dan Sunnah, qiyas tidak dipahami sebagai sebuah
sumber hukum yang diwahyukan, sebagai sebuah derivasi dari
sumber-sumber utama, qiyas meminta pembenarannya di
dasarkan atas ke dua sumber di atas. Persoalan mendasar yang
24
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), Juz I., hal, 646.
25
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina
Utama. hal. 68-69
26
Romli. SA. Muqaramah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gya Media
Pratama, 1999. hal. 131-132.
91
Jurnal HIKAMUNA
muncul dalam hal ini berkaitan dengan berbagai sumber-sumber
otoritas di balik qiyas, juga status epistemologi dari metode
penyimpulan ini. Pertanyaan apakah metode ini
bisa
dibenarkan atau kemudian tidak boleh akal dan argumen
rasional?, bebas dari pewahyuankah?, atau benar-benar
kehilangan signifikansinya. Sebagai konsekuensinya, maka
qiyas harus dibenarkan oleh sumber-sumber yang diwahyukan
(al-Qur’an dan Sunnah) dan produk langsungnya, yakni
konsensus atau kesepakatan (ijma’), yang keotoritasannya
(hujjiyatuh), seperti yang terlihat, terkena argumen yang sama.
27
Sementara sebagian kecil fuqaha mengemukakan
pandangan mereka, bahwa otoritas qiyas tidak dapat dibenarkan
dengan kepastian, sebagian besar fuqaha Sunni berpendapat
bahwa bukti dalam dua sumber utama (al-Qur’an dan Sunnah),
ditambah dengan konsesnsus (ijma’), membuktikan bahwa
metode ini otoritatif yang mempunyai nilai pasti. Bahkan
sebagian dari mereka yang berada di pinggiran, di luar kalangan
Sunni sana, dan yang menolak qiyas secara prinsipil, mengakui
qiyas yang jelas (al-qiyas al-jaliy) dan penyimpulan linguistik
(misalnya, pengucapan ‚uh‛ di hadapan orang tua) mewakili
dua bentuk qiyas yang otoritatif dan valid. 28
Kemudian daripada itu, Romli SA mencatat, dari
sejumlah literatur yang ada, ditemukan bahwa paling tidak,
terdapat tiga kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang
keberadaan qiyas dan kehujjahan sebagai dalil hukum.
Kelompok Pertama, mengatakan bahwa qiyas adalah
dalil dan sumber hukum. Kelompok pertama ini menyatakan
27
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E.
KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam,
Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000. hal . 154
28
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E.
KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam,
Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000. hal . 155
92
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
bahwa para jumhur fuqaha telah sepakat tentang posisi qiyas
sebagai salah satu pokok atau dasar tasyri’ dan dalil hukum
syariah. Pandangan kelompok pertama ini melahirkan beberapa
sikap dan ini kemudian dianut oleh mayoritas ulama bahwa
qiyas adalah dalil hukum dan karenanya itu, ia menjadi hujjah
syar’iyyah. Kelompok pertama ini kemudian dengan sebutan
musbit al-qiyas, yaitu kelompok pendukung qiyas (pro-qiyas).
29
Adapun alasan kelompok pertama ini, bahwa qiyas adalah
dalil dan sumber hukum di antaranya adalah Alquran QS.Al-Nisa
(4): 59.
Artinya: ‚Wahai orang-orang yang beriman!Taatlah kamu kepada
Allah, taatlah kamu pada Rasul, serta ulul amri (pemimpin) di
antara kamu, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Hadist) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat.
Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya.‛
a. Menurut jumhur fuqaha, kata-kata ‚fa ruddu‚ mengandung arti
mengembalikan segala peristiwa yang muncul kepada alQur’an dan hadis yang meliputi berbagai cara, termasuk
dengan menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nass,
hukumnya, hanya saja karena ada kesamaan ‘illat. Maka hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya al-Qur’an maupun hadis
kemudian telah menjawab segala persoalan yang muncul, baik
secara tekstual maupun isyarat. Dengan kata lain,
pengembalian kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (hadis) itu
mencakup seluruh persoalan kehidupan, baik yang mengandung
isyarat untuk mengembalikan kepada qaidah syar’iyah yang
umum, maupun yang tidak ada nassnya dengan cara
menetapkan hukum yang sama atas dasar kesamaan ‘illat nya.
Dengan kata lain, menetapkan hukum berdasarkan kesamaan
‘illat itu tidak hanya berdasarkan akal semata, melainkan ada
29
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E.
KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam,
Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000. hal . 155
93
Jurnal HIKAMUNA
sandarannya, yakni nass. Dan qiyas pun didasarkan pada ‘illat
ini. Oleh karena itu, keberadaan qiyas sangat memiliki otoritas
dalam menetapkan hukum sangat tidak bisa diingkari.
b. Berpijak pada sebuah hadis nabi yang memuatkan dialog antara
Nabi dengan Muaz bin Jabal. 30
Maka, atas dasar hadis ini, menurut kalangan jumhur ulama
bahwa Rasulullah telah menunjukkan cara untuk mengetahui
serta menetapkan bahwa syara’ yang di dalamnya mencakup
ijtihad dengan ra’yu. Jika tidak ditemukan dalil nass al-Qur’an
dan Sunnah haruslah menggunakan ijtihad, dan qiyas jelas
merupakan bagian dari ijtihad dengan ra’yu. Sehingga pada
akhirnya, qiyas menjadi hujjah syar’iyah.
Berdasarkan praktek para sahabat. Kelompok pertama dari
kalangan jumhur ulama ini berpendapat, bahwa para sahabat
telah sepakat menggunakan sebuah qiyas sebagai suatu hujjah.
Proses pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah adalah
berdasarkan hasil qiyas yang didasarkan pada sebuah
pertimbangan, bahwa Abu Bakar selalu menjadi imam dalam
salat ketika nabi tidak ada. 31
c. Kelompok ini juga beralasan bahwa nass al-Qur’an dan hadis
terbatas, sementara persoalan-persoalan baru yang tidak ada
nassnya akan terus bermunculan setiap waktu, unutk menjawab
persoalan tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan meneliti
‘illat hukum yang ada dalam nass dan atas dasar ‘illat itulah
kemudian diterapkan suatu hukum bagi segala persoalan baru
tersebut. Dengan terbatasnya nass, namun sementara persoalan
30
Arti hadis ini adalah: ‚ Bagaimana engkau memutuskan suatu
perkara jika diajukan orang kepadamu? Muaz menjawab, aku akan putuskan
dengan kitab Allah. Nabi bertanya lagi jika tidak engkau temukan dalam
kitab Allah? Muaz menjawab, aku akan putuskan dengan Sunnah Rasulullah.
Kemudian Nabi kembali bertanya, jika tidak engkau temukan dalam sunnah
Rasul dan tidak pula dalam kitab Allah? Muaz menjawab, aku akan
melakukan ijtihad dengan pemikiran akalku dan aku tidak akan berlebihlebihan‛. Teks hadis itu dapat dilihat dalam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud
(Indonesia:Maktabah Dahlan, tt), III: 303
31
Muhammad Abu Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa
Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. hal 223-224
94
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
baru terus bermunculan, maka pada akhirnya ijtihad dengan
menggunakan qiyas adalah wajib.
Kelompok Kedua, yaitu kelompok yang menolak
keberadaan qiyas sebagai dalil dan hujjah syar’iyah. Kelompok ini
dikenal dengan sebutan nufat al-qiyas. Kelompok ini terdiri dari alNazzam32 dan beberapa pengikutnya dari kalangan Mu’tazilah,
Daud Zahiri, Ibn Hazm dan sebagian kaum Syi’ah.33 , seperti Syi’ah
Imamiyah.
Dalil yang digunakan oleh kelompok yang tidak
menggunakan qiyas adalah:
Firman Allah:
Terjemahnya : Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Israa:17:36)
Ayat ini 34 menurut mereka melarang seseorang untuk
beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti dan
qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti. Sya’ban
Muhammad Isma’il sendiri mengatakan bahwa ayat ini
menunjukkan bahwa tidak sah hukumnya sesuatu itu yang
berdasarkan dugaan semata, dan qiyas adalah salah satu hasil
dugaan (zanny) semata.
32
Dia bernama Ibrahim binSiyar al-Nazzam Syaikh al-Jahiz. Dia
merupakan orang yang paling menonjol dari kalangan anti-qiyas, disamping
yang paling keras yaitu Ibn Hazm al-Andalusi. Baca kembali Abu
Zahrah,Usul al-Fiqh, hal. 224
33
Golongan Syi’ah umpamanya, menentang penggunaan qiyas
karena ia berdasarkan akal semata dan penggunaan akal itu dilarang dan
bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, Muhammad Abu
Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, t.th. hal 223-224
34
QS.Al-Isra’ (25): 36. Artinya: ‚ Janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya‛.
95
Jurnal HIKAMUNA
a.
Alasan selanjutnya adalah mereka berpegang kepada
para sahabat, seperti Abu Bakar dan Ibnu Mas’ud yang
mengingkari qiyas, serta mengingatkan agar berhati-hati
terhadap ra’yu. Umar Bin Khattab juga mengingatkan
dengan pernyataannya: ‚hendaklah kalian berhati-hati
terhadap ahl al-ra’yi yang menentang sunnah Nabi.‛
Kelompok Ketiga, yakni kelompok yang berlawanan
dengan dua kelompok di atas (musbit al-qiyas dan nufat alqiyas). Kelompok ketiga ini nampak kelihatannya ingin
mendudukkan keberadaan qiyas pada posisinya dalam hukum
Islam. Seperti Al-Ghazali misalnya, sebagaimana dikutip oleh
Romli SA, mengatakan bahwa qiyas adalah sebagai sebuah cara
dalam rangka menghasilakan hukum dari penalaran nass,
melalui analogi. 35
C. Unsur-unsur Qiyas
Al-Ashl (dasar atau pokok) adalah sesuatu yang
hukumnya terdapat dalam nash, biasa disebut sebagai suatu
Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran), atau Mahmul
‘Alaih (yang dipakai sebagai sebuah tanggungan), atau
Musyabbah Bih (yang dipakai sebagai sebuah penyerupaan).36
Mengenai unsur yang pertama ini, beberapa jumhur ulama
menetapkan pula beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. A-ashl tidak mansukh. Artinya bahwa hukum syara’
yang akan menjadi sumber peng-qiyas-an itu masih
tetap berlaku pada masa-masa hidup Rasulullah.
Dengan kata lain, apabila telah dihapuskan ketentuan
hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl.
b. Hukum syara’. persyaratan ini sangat jelas dan mutlak,
35
Muhammad Abu Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa
Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th. hal 223-224
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih.
Semarang: Dina Utama. hal. 106
36
96
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
sebab yang hendak ditemukan dalam ketentuan
hukumnya melalui qiyas adalah hukum syara’, bukan
ketentuan hukum yang lain. Oleh karenanya, ia
mestilah yang serupa hukum syara’.
c. Bukan hukum yang dikecualiakan. Jika al-ashl
tersebut nerupakan pengecualian, maka mau tidak
mau, tidak dapat menjadi wadah qiyas. Misalnya saja,
ketetapan sunnah bahwa puasa karena lupa tidak batal.
Ketentuan ini tidak dapat menjadi ashl al-qiyas untuk
menetapakan tidak batalnya puasa orang yang berbuka
karena terpaksa.
Sebagai missal dari unsur pertama ini ialah, haramnya
khamr. Khamr diharamkan berdasarkan firman Allah,
sebagaimana terdapat dalam surat al-Ma’idah: 90, yang artinya
bahwa: ‚Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, termasuk perbuatan setan, maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan‛. Keharaman khamr itu dapat menjadi unsur alashl untuk menetapkan hukum haram minuman memabukkan
lainnya, sebab syarat-syarat al-ashl telah terpenuhi, yang mana
ketentuan haramnya khamr adalah berdasarkan nashsh Alqur’an, tidak mansukh, ayat tersebut sangat jelas berbicara
tentang hukum syara’, dan tidak termasuk hukum yang
dikecualikan . 37
1. Al-far’u (cabang) adalah sebagai sesuatu yang hukumnya
tidak terdapat didalam nash, dan hukumnya disamakan
kepada al-Ashl. Al-Far’u ini kemudian biasa disebut
sebagai Al-Maqis (yang diukur) atau Al-Mahmul (yang
dibawa) atau Musyabbah (yang disamakan).38 Terhadap
37
Dahlan Abd. Rahman, Ushul fiqih, hal 163-164.
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina
Utama. hal. 106
38
97
Jurnal HIKAMUNA
2.
unsur ini, para jumhur ulama menyebutkan beberapa
syarat sebagai berikut:
a. Sebelum di-qiyas-kan tidak pernah ada nash lain
yang kemudian menentukan hukumnya. Jika
kemudan lebih dahulu telah ada nash yang
menentukan hukumnya, maka tentu tidak perlu
dan
tidak
boleh
dilakukan
qiyas
terhadapnya.
b. Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat
dalam al-ashl dan yang terdapat dalam al-far’u.
c. Tidak terdapat dalil qat’i yang kandungannya
berlawanan dengan al-far’u.
d. Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat
sama dengan hukum yang terdapat dalam alfar’u. Contohnya saja, al-far’u dalam kaitannya
dengan contoh unsur pertama ialah, minuman
keras selain khamr, misalnya arak yang terbuat
dari nira.
Hukum -Ashl adalah hukum syara’ yang terdapat nashnya menurut dalil al-ashl, dan dipakai sebagai hukum asal
bagi cabang (al-far’u). 39 Terhadap unsur ketiga ini, para
jumhur ulama mengatakan, bahwa syarat-syaratnya ialah
sebagai berikut:
a. Hukum tersebut adalah hukum syara’, bukan
yang berkaitan dengan hukum aqiliyyat atau
adiyyat dan atau lughawiyat. Syarat ini
sebenarnya hampir tidak perlu disebutkan,
karenanya yang hendak diketahui hukumnya
adalah hukum syara’.
b. ’illah hukum tersebut dapat ditemukan; bukan
saja hukum yang tidak dapat dipahami ‘illah-Nya
39
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina
Utama. hal. 106
98
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
3.
(ghair ma’qulah al-ma’na).
c. Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok
yang menjadi khushushiyyah Rasulullah.
d. Hukum ashl tetap saja berlaku setelah wafatnya
Rasulullah; bukan ketentuan hukum yang sudah
dibatalkan (mansukh). Contoh unsur ketiga ini,
dikaitkan dengan unsur pertama dan kedua ialah,
hukum haramnya khamr.40
Al-illat adalah keadaan tertentu yang dipakai sebagai
dasar bagi hukum ashl (asal), lalu kemudian cabang (alfar’u) itu disamakan kepada asal dalam hal
hukumnya.41 Adapun syarat-syarat ‘illat itu sendiri
terperini sebagai berikut :
a. Hendaknya ‘illat itu berturut-turut, artinya jika
‘illat itu ada maka dengan sendirinya hukumpun
ada.
b. Dan sebaliknya apabila hukum ada, maka ‘illat
pun ada.
c. ‘illat itu jangan menyalahi nash, karena ‘illat itu
tidak dapat mengalahkannya, maka dengan
demikian tentu nash lebih dahulu mengalahkan
‘illat.42 contohnya saja jika dikaitkan dengan
unsur-unsur qiyas sebelumnya ialah, sifat
memabukkan yang terdapat pada khamr. Sifat ini
bersifat nyata, dapat diukur, pantas sebagai sifat
yang menjadi hikmah dilarangnya untuk
meminum khamr, dan terdapat beberapa pada
minuman memabukkan lainnya.43
40
Dahlan Abd. Rahman, Ushul fiqih, hal 164.
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina
Utama. hal. 106
42
Riva’i Muhammad. 1983. Ushul fiqih. Bandung: Alma’arif. hal.
119
43
Dahlan Abd. Rahman, Ushul fiqih, hal 165.
41
99
Jurnal HIKAMUNA
D. Kontroversi Qiyas
Jika terus ditelusuri memang tidak ada dalil secara
jelas yang menyatakan bahwa qiyas itu dapat dijadikan sebagai
dalil dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, terdapat
perbedaan pendapat tentang qiyas dalam pembentukan hukum.
Terkait perbedaan ini Abu Zahrah44 membagi menjadi tiga
kelompok:
1. Kelompok jumhur ulama’ yang menjadikan qiyas
sebagai dalil syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam
hal-hal yang tidak terdapat hukumnya dalam nash alQur’an atau Sunnah dan dalam ijma’ qiyas, mereka
menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak
melampaui batas kewajaran.
2. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imammiyah
yang menolak menggunakan qiyas secara mutlak.
Zahiriyah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu
hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan
ditetapkannya suatu hukum syara’.
3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas serta
mudah. Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal
yang tidak terlihat kesamaan ‘illat di antara keduanya,
kadang-kadang memang memberi kekuatan lebih
tinggi terhadap qiyas, sehingga akhirnya qiyas itu
dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an
atau Sunnah.
44
Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (t.t.p: Dar al-Fikr ‘Arabi),
hlm. 220-221
100
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
E. Kesimpulan
Dari berbagai deskripsi serta paparan di atas,
pemakalah menyimpulkan beberapa hal bahwa :
1. Qiyas secara sederhana adalah ‚seni mengambil
kesimpulan secara logis dengan model analogi
deduktif.‛ Generasi yang muncul kemudian, menurut
orang yang berpendapat bahwa otoritas qiyas adalah
pasti,pada akhirnya telah mencapai kesepakatan, bukan
saja atas keabsahan qiyas, tapi juga atas kenyataan
bahwa para mufti dan faqih disepanjang abad dan di
seluruh wilayah Muslim telah menggunakannya, tanpa
ada suara yang menolak di kalangan mereka. Ini menjadi
satu kesimpulan, bahwa akibat kumulatif dari konsensus
berbagai generasi membuktikan bahwa otoritas qiyas
bersifat pasti.
2. Qiyas adalah sebagai salah satu metode dalam istinbath
hukum yang sudah mengakar sejak zaman Rasulullah
SAW. Walaupun pada awalnya merupakan metode yang
bebas dari syarat-syarat yang ketat, namun patut diakui
bahwa keberadaanya di masa-masa awal sangat
membantu bagi perkembangan hukum, dengan kata lain
mengingat bahwa teks keagamaan (nash al-Qur’an dan
Sunnah) telah berhenti sedangkan kasus-kasus hukum
baru terus berdatangan silih berganti.
3. Penetapan hukum atau istanbath hukum melalui metode
qiyas merupakan metode yang bertumpu pada ‘illat
hukum, dan ‘illat ini tentunya punya konsekuensi logis
dengaan maqashid al-Syari’ah. Adanya hukum lahir
tidak lain tujuannya adalah menjadikan kemaslahatan
atau hikmah bagi umat manusia. Maka dari itu, illat
sangat penting sekali untuk dilibatkan.
4. Seorang Mujtahid/Hakim dalam mengambil keputusan
101
Jurnal HIKAMUNA
hukum di samping menggunakan pertimbangan
hukum/kausa hukum juga sudah sepatutnya perlu
mempertimbangkan hikmah atau tujuan hukum. Karena
tidak selamanya kausa hukum itu nampak jelas dan
bahkan tidak ada, sehingga dengan demikian pada
akhirnya diperlukan cara yang kreatif dalam mengambil
sebuah keputusan hukum.
102
Desember 2016, Vol. 1 No. 2
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Abu Zahrah. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu
wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 2000.
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E.
KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah
Teori Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Grafindo
Persada, 2000.
Romli. SA. Muqaramah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gya Media
Pratama, 1999.
Massire, Doukoure. 2012. Al-Qiyas fi Al-Lughah Baina
‘Ulamai-l-‘Arabiyah wa De Saussure: Mafaahim wa
Tahtbiiqaat. In International Journal of Al-Madinah
International University (Majma).2nd Edition.
Malaysia: Al-Madinah International University Press.
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina
Utama.
Baalbaki, Ramzi Munir. 1990. Dictionary of Linguistic
TermsArabic-English. Beirut: Dar El ‘Ilm Lil Malayin.
Al-Khuli, Muhammad Ali. 1982. A Dictionary of Theoretical
Linguistic. Lebanon: Lebanon Library.
Abdul Aziz, Muhammad Hasan. 1995. Al-Qiyas fi Al-Lughah
Al-‘Arabiyah. Cairo: Dar Al-Fikr Al-‘Araby.
Arifana Nur Kholiq, Relevansi Qiyas Dalam Istinbath Hukum
Kontemporer, ISTI’DAL; Jurnal Studi Hukum Islam,
Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2014.
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah,
ter. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani
(Yogyakarta: LKiS, 1997),
Massire, Doukoure. 2012. Al-Qiyas fi Al-Lughah Baina
‘Ulamai-l-‘Arabiyah wa De Saussure: Mafaahim wa
Tahtbiiqaat. In International Journal of Al-Madinah
103
Jurnal HIKAMUNA
International University (Majma).2nd Edition.
Malaysia: Al-Madinah International University Press.
Khallaf Abd. Wahhab. 1994. Ilmu ushul fiqih. Semarang: Dina
Utama.
Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam (Beirut: Dar
al-Masriq, 1986).
Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tasyri (Kuwait: Dar alQalam, 1987).
Muhammad Al-Hadar Husain, 1934.Al-Qiyas fi Al-Lughah Al‘Arabiyah. Mesir: Darul Kutub Al-Misriyah.
Al-Munawwir, Ahmad Warsan. 1997. Al-Munawwir.
Yogyakarta: Pustaka Progressif.
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar alFikr, 1989), Juz I
104
Download