Left Hemiparesis E.C Hemorrhagic Stroke

advertisement
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
LEFT HEMIPARESIS e.c HEMORRHAGIC STROKE
Raisa Mahmudah
Medical Student of Universitas Lampung
Abstract
Background. According to the World Health Organization (WHO), clinical signs of stroke
growing rapidly as a result of brain dysfunction focal (or global), with symptoms occur more
than 24 hours, can cause death, without any cause other than vascular. In Indonesia, there are
estimated 300.000 new cases each year, 80 % are hemorrhagic strokes. There are risks factor for
stroke, which are a factor that can be modified and can not be modified. Management of stroke
greatly affects the prognosis of the patient, so that the appropriate treatment is needed. Case.
Mr. S 44 year old, came to the hospital with weaknesses in the arm and left leg since 6 days
before when he was resting. He initially felt tingling on the left side of his body and back head
pain. Then the patient came to the Rawajitu hospital and referred to the Abdul Moeloek
Hospital (RSAM). There was a history of high blood pressure since 15 years ago. When he
came to the hospital, he felt conscious and Glasgow Coma Scale (GCS) E4V5 M6 = 15. There
was a high blood pressure 200/100 mmHg, pulse 102 x/min. The muscle strength are 5/3 5/3
for both extremities. There was an increase of urea, creatinine, cholesterol and uric acid.
Patients diagnosed as hemorrhagic stroke and treated with mannitol, antihypertensive and anticholesterol drugs. Conclusion. Hemorrhagic stroke of the patients due to hypertension is a risk
factor.
Keywords: weakness of left extremities, hemorrhagic stroke, hypertension.
Abstrak
Latar Belakang. Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda klinis
yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala
yang berlangsung selama ≥24 jam, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain
selain vaskuler. Di Indonesia, diperkirakan ada 300.000 kasus baru setiap tahunnya, 80%
diantaranya adalah stroke hemoragik. Terdapat faktor resiko terjadinya stroke, yaitu faktor yang
dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Penatalaksanaan stroke sangat mempengaruhi
prognosis pasien, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang tepat. Kasus. Tn. S berusia 44
tahun datang dengan keluhan kelemahan pada lengan dan tungkai kiri sejak 6 hari SMRS saat
beristirahat. Awalnya terasa kesemutan pada sisi tubuh sebelah kiri serta nyeri kepala bagian
belakang. Kemudian pasien dibawa ke Rumah Sakit Rawajitu dan dirujuk ke RSAM. Riwayat
darah tinggi sejak 15 tahun lalu. Saat datang ke RSAM pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, GCS E4V5 M6 = 15. Tekanan darah 200/100 mmHg, nadi 102 x/menit. Status
neurologis sistem motorik gerakan pasif pada ekstremitas kiri, yaitu kekuatan otot 5/3 5/3.
Pemeriksaan darah didapatkan peningkatan ureum, kreatinin, kolesterol dan asam urat. Pasien
didiagnosa Stroke Hemoragik, diobati dengan manitol, antihipertensi, antikolesterol. Simpulan.
Stroke hemoragik pada pasien ini disebabkan hipertensi sebagai faktor risikonya.
Kata kunci: kelemahan ekstremitas kiri, stroke hemoragik, hipertensi.
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
70
Pendahuluan
Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-tanda
klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan
gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian,
tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler. Stroke merupakan gangguan fungsi saraf
yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara
mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala
atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil dari infark cerebri
(stroke iskemik), perdarahan intraserebral atau perdarahan subarachnoid (Mardjono,
2009).
Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh darah di otak pecah atau mengalami
kebocoran, sehingga terjadi perdarahan ke dalam otak. Bagian otak yang dipengaruhi
oleh pendarahan dapat menjadi rusak, dan darah dapat terakumulasi sehingga
memberikan tekanan pada otak. Jumlah perdarahan menentukan keparahan stroke
(Parmet et al, 2004).
Perdarahan intraserebral menyebabkan 10-15% kasus serangan stroke pertama
kalinya, dengan angka kematian selama 30 hari dari 35% menjadi 52% dimana setengah
dari angka kematian tersebut terjadi dalam 2 hari pertama. Dalam suatu penelitian pada
1041 kasus ICH, didapatkan 50% pada lokasi yang dalam, 35% lobar, 10% cerebelar,
dan 6% pada otak (Broederick et al, 2007).
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.
Sebanyak 28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita kelumpuhan
sebagian atau total. Hanya15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan
kecacatan (Khairunnisa, 2014).
Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan
parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya.
Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan
struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan
sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan
herniasi jaringan otak dan menekan batang otak. Stroke hemoragik dibagi menjadi
perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid. Pada perdarahan intraserebral,
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
71
perdarahan terjadi pada parenkim otak itu sendiri. Penyebab perdarahan intraserebral,
antara lain hipertensi, aneurisma, malformasi arteroivenous, neoplasma, gangguan
koagulasi,
antikoagulan,
vaskulitis,
trauma,
dan
idiopatik.
Pada
perdarahan
subarachnoid, perdarahan terjadi di sekeliling otak hingga ke ruang subarachnoid dan
ruang cairan serebrospinal. Penyebab perdarahan subarachnoid, antara lain aneurisma,
malformasi arteriovenous, antikoagulan, tumor, vaskulitis, dan tidak diketahui
(Mardjono, 2009).
Pada fase akut, terjadi perubahan pada aliran darah otak, dimana pada daerah
yang terkena iskemia, aliran darah menurun secara signifikan. Secara mikroskopik
daerah yang iskemik (penumbra) yang pucat ini akan dikelilingi oleh daerah yang
hiperemis di bagian luar. Daerah ini disebut luxury perfusion karena melebihi
kebutuhan metabolik, sebagai akibat mekanisme sistem kolateral yang mencoba
mengatasi keadaan iskemia. Di daerah sentral dan focus iskemik ini terdapat inti yang
terdiri atas jaringan nekrotik atau jaringan dengan tingkat iskemia yang terberat. Arteri
yang sering pecah adalah arteria lentikulostriata di wilayah kapsula interna. Dinding
arteri yang pecah selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa disitu terdapat aneurisme
kecil-keci yang dikenal sebagai aneurisme Charcot Bouchard. Aneurisma tersebut
timbul pada orang-orang dengan hipertensi kronik, sebagai hasil proses degeneratif pada
otot dan unsure elastic dari dinding arteri. Karena perubahan degeneratif itu dan
ditambah dengan beban tekanan darah tinggi, maka timbullah beberapa pengembungan
kecil setempat yang dinamakan aneurismata Charcot Bouchard. Karena sebab-sebab
yang belum jelas, aneurismata tersebut berkembang terutama pada rami perforantes
arteria serebri media yaitu arteria lentikolustriata. Pada lonjakan tekanan darah sistemik
seperti sewaktu orang marah, mengeluarkan tenaga banyak dan sebagainya, aneurima
kecil itu bisa pecah. Pada saat itu juga, orangnya jatuh pingsan, nafas mendengkur
dalam sekali dan memperlihatkan tanda-tanda hemiplegia (Cohen, 2000).
Kasus
Tn. S berusia 44 tahun datang dengan keluhan kelemahan pada lengan dan
tungkai kiri. Kelemahan dirasakan sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit saat pasien
sedang beristirahat di rumah. Ketika pasien terbangun dari tidurnya, pasien sempat
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
72
mengeluhkan rasa kesemutan pada sisi tubuh sebelah kiri serta nyeri kepala bagian
belakang. Tiba-tiba lengan dan tungkai pasien tidak dapat digerakkan, sehingga
keluarga pasien membawa pasien berobat ke rumah sakit di Rawajitu. Pasien hanya
diberikan obat dan diperbolehkan pulang, namun karena tidak ada perubahan keluarga
pasien langsung membawa pasien ke RSAM. Pasien masuk ke RSAM pada tanggal 14
Januari 2014 dan dirawat di ruang jantung karena tekanan darah tinggi, kemudian pada
tanggal 18 Januari 2014 pasien dialih rawat ke ruang penyakit syaraf. Diketahui pasien
mengeluh sering sakit kepala seperti berdenyut-denyut pada kepala bagian belakang
sejak pasien memiliki riwayat penyakit darah tinggi yang dirasakan hilang timbul. Sakit
kepala dirasakan tidak mengenal waktu namun paling sering saat pasien merasa
kelelahan. Pasien memiliki riwayat darah tinggi sejak 15 tahun yang lalu. Riwayat
kencing manis dan merokok disangkal. Riwayat
darah tinggi, kencing manis, dan
stroke pada keluarga pasien tidak diketahui keluarga.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, GCS E4V5 M6 = 15. Tanda vital didapatkan tekanan darah
200/100 mmHg, nadi 102 x/menit, RR 26 x/menit, suhu 36,9oC. Pada status generalis,
tidak didapatkan adanya kelainan. Status neurologis didapatkan pada sistem motorik
gerakan pasif pada lengan dan tungkai kiri, dengan kekuatan otot 5/3 5/3 untuk kedua
ekstremitas.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah perawatan intensif dengan cara
membebaskan jalan nafas, pemberian oksigen 2-3 L/menit, memasang kateter dan Naso
Gastic Tube serta pemantauan kesadaran dan pemberian kalori lebih kurang 2000
kal/hari : IVFD RL 20 gtt/menit. Untuk perawatan lebih lanjut diberikan manitol 100 cc,
antihipertensi yaitu Captopril 3x25 mg, Clonidin 3x500 mg, Amlodipin 1x10 mg,
diberikan juga antikolesterolemia simvastatin 1x1, ranitidine 2x1, bicnat 3x1, dan
roboransia vitamin K 3x1 amp, asam folat 2x1.
Pembahasan
Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang laki-laki berusia 43 tahun dengan
diagnosa klinis Hemiparesis dekstra. Pada pasien ini, diagnosa dapat ditegakan
berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesa didapatkan keluhan
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
73
utama kelemahan pada lengan dan tungkai kiri yang terjadi secara mendadak saat pasien
baru terbangun dari tidurnya, diawali rasa kesemutan pada sisi tubuh sebelah kiri yang
disertai dengan keluhan nyeri kepala bagian belakang, tanpa disertai adanya mual,
muntah, gangguan penglihatan, ataupun penurunan kesadaran. Setelah pasien
merasakan kelemaham pada lengan dan tungkai kiri. Selain itu juga pasien memiliki
riwayat penyakit darah tinggi yang dirasakan sejak lebih kurang 15 tahun yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah yang tinggi pada keadaan
umum pasien, yaitu 200/100 mmHg. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kekuatan
otot (5/3) / (5/3), Babinsky (+) dekstra.
Pada pasien ini ditemukan adanya gejala klinis fungsional otak yang bersifat
fokal yang timbul secara mendadak yaitu lengan dan tungkai kiri tidak dapat
digerakkan, nyeri kepala yang telah berlangsung selama lebih kurang 7 hari. Menurut
WHO stroke didefinisikan sebagai tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak fokal (atau global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain
vaskuler .
Pada pasien ini juga ditemukan beberapa faktor resiko untuk terjadinya stroke,
yaitu berdasarkan jenis kelamin stroke lebih sering terjadi pada pria dan riwayat
penyakit darah tinggi sejak lebih kurang 15 tahun yang lalu. Hipertensi merupakan
faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun
menyempitnya pembuluh darah otak yang mengakibatkan perdarahan otak dan apabila
pembuluh darah otak menyempit maka aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel
otak akan mengalami kematian (Khairunnisa, 2014).
Pada keadaan fisiologis, jumlah darah yang mengalir ke otak (Cerebral Blood
Flow= CBF) ialah 50-60 ml per 100gr jaringan otak. Dari jumlah darah tersebut satu
pertiganya disalurkan melalui tiap arteri karotis interna dan satu pertiga sisanya
disalurkan melalui susunan vertebrobasilar. Pada stroke, terjadi gangguan peredaran
darah pada daerah otak tertentu. Akibat penurunan CBF regional suatu daerah otak
terisolasi dari jangkauan aliran darah, yang mengangkut O2 dan glukosa yang sangat
diperlukan untuk metabolisme oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi itu tidak
berfungsi lagi dank arena itulah timbul manifestasi deficit neurologis berupa
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
74
hemiparalisis, hemihipsetesia, hemiparestesia yang bisa juga disertai dengan defisit
fungsi luhur seperti afasia. Timbulnya infark serebral regional dapat juga disebabkan
oleh pecahnya arteri serebral. Daerah distal dari tempat dinding arteri pecah, tidak lagi
mendapat pasokan darah sehingga daerah tersebut menjadi iskemik dan kemudian
menjadi infark. Daerah infark tersebut tidak berfungsi lagi sehingga menimbulkan
defisit neurologis, yang biasanya berupa hemiparalisis. Daerah yang tertimbun
paerdarahan merupakan hematoma yang cepat menimbulkan kompresi terhadap seluruh
isis tengkorak berikut bagian rostral batang otak, keadaan demikian dapat menimbulkan
keadaan koma dengan tanda-tanda neurologik yang sesuai dengan kompresi aut
terhadap batang otak (Mardjono, 2009).
Pada pasien ditemukan adanya kelemahan lengan dan tungkai kiri sehingga
diagnosis klinisnya adalah hemiparesis dekstra. Pada pasien juga terdapat refleks
Babinsky yang positif menunjukkan adanya lesi upper motoneuron yang berarti
kerusakan berada pada saraf pusat. Masih normalnya fungsi motorik wajah pada bagian
atas menandakan bahwa fungsi lower motoneuron masih dalam keadaan baik.
Kerusakan pada seluruh korteks piramidalis sesisi menimbulkan kelumpuhan
Upper Motoneuron (UMN) pada belahan tubuh sisi kontralateral. Keadaan tersebut
dikenal sebagai hemiparalisis atau hemiplegia. Kerusakan yang menyeluruh, tetapi
belum membutuhkan semua neuron korteks piramidalis sesisi, menimbulkan
kelumpuhan pada belahan tubuh kontralateral yang ringan sampai sedang. Dalam hal ini
digunakan istilah hemiparesis (Mardjono, 2009).
Pada pasien didapatkan kelemahan lengan dan tungkai kiri yang disertai adanya
muntah, nyeri kepala yang terjadi secara mendadak mengarahkan diagnosis etiologi
pada stroke hemoragik, walapun tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran.
Kecurigaan diarahkan pada stroke hemoragik berdasarkan manifestasi klinis yang
terjadi, yaitu ditemukan dua dari tiga gejala berdasarkan Algoritma Gajah Mada. Sesuai
dengan algoritma tersebut, pada pasien ini ditemukan nyeri kepala dan refleks Babinsky
yang positif.
Untuk dapat mendiferensiasi
stroke hemoragik dan stroke non hemoragik
dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa CT-Scan untuk membatu menegakkan
diagnosis. Dari pemeriksaan CT-Scan yang dilakukan didapatkan adanya gambaran
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
75
perdarahan intraserebral yang memastikan bahwa diagnosis pada pasien ini adalah
stroke hemoragik.
Pecahnya pembuluh darah secara tiba-tiba menyebabkan perdarahan intracranial
yang menghancurkan dan menggantikan jaringan otak yang juga meningkatkan tekanan
intracranial. Kemudian timbulnya lesi primer perdarahan yang dapat berupa hematoma,
edema perihematomal dan/atau iskemia, hidrosefalus, atau perdarahan intra ventrikel
sekunder. Semua komplikasi ini juga berpotensi meningkatkan tekanan intrakranial.
Status neurologis pasien harus dinilai, paling sering dengan menggunakan skala stroke
yang standar seperti National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) dan GCS,
memantau tekanan darah, oksigenasi, dan status pernapasan (Broederick, 2007).
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan cairan Ringer Lactate 20 tetes per
menit sesuai dengan kebutuhan cairannya. Diberikan juga manitol yang bertujuan untuk
menurunkan tekanan intracranial. Manitol diberikan dengan dosis 0,25-0,50 gr/kg BB
selama lebih dari 20 menit. Pemberian manitol dapat diulangi setiap 4-6 jam.
Pasien juga mengalami tekanan darah tinggi, maka tekanan darah perlu
diturunkan. Menurut taksiran WHO, sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah terjangkit
stroke tahun 2011. Dari jumlah tersebut 5,5 juta jiwa telah meninggal dunia. Penyakit
darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia. Di
Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak
28,5% penderita meninggal dunia dan sisanya menderita kelumpuhan sebagian atau
total. Hanya 15% saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang potensial. Hipertensi dapat
mengakibatkan pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak yang
mengakibatkan perdarahan otak dan apabila pembuluh darah otak menyempit maka
aliran darah ke otak akan terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian
(Goldstein et al., 2006).
Pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah
sistolik (TDS) >200 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) >150 mmHg , tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu
dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Obat antihipertensi yang diberikan
ialah captopril 3x25 mg, amlodipin 1x10 mg, clonidine 3x0,5 mg. Penurunan tekanan
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
76
darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target diatas
pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta,
infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut, dan ensefalopati hipertensi. Target
penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6
jam pertama (PERDOSSI, 2011).
American Heart Association (AHA) merekomendasikan pengelolaan tekanan
darah pada pasien perdarahan intraserebral, dengan konsep memilih target tekanan
darah sesuai dengan faktor-faktor yang ada pada pasien, yaitu tekanan darah awal,
penyebab dicurigai perdarahan, usia, dan peningkatan tekanan intracranial. Alasan
utama untuk menurunkan tekanan darah adalah untuk menghindari perluasan
perdarahan dari lokasi potensial perdarahan. Hal ini terutama berlaku untuk perdarahan
akibat ruptur aneurisma atau malformasi arteriovenosa, di mana terjadi peningkatan
risiko perdarahan berlanjut atau perdarahan berulang (Broederick, et al 2007).
Pemberian terapi antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi
(hipertensi emergensi) diberikan dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak saja,
tetapi juga terhadap kerusakan organ lain misalnya jantung dan ginjal. Meskipun
demikian jika tekanan darahnya rendah pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi
pada fase akut serangan stroke, hal tersebut mungkin menandakan deteriorasi neurologis
dini atau peningkatan volume infark, dan merupakan outcome yang buruk pada bulan
pertama saat serangan, khususnya penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 20 mmHg
(Castillo et al, 2004).
Penanganan komplikasi pada stroke akut berupa stress ulcer, yang ditemukan
pada kasus ini berupa keluhan hematemesis sebanyak tiga kali dapat diberikan
sitoprotektor atau penghambat reseptor H2. Antasida tidak perlu diberikan pada
profilaksis stress ulcer. Untuk semua penderita stroke, pemberian obat-obatan seperti
NSAID dan kortikosteroid, serta makanan/minuman yang bersifat iritatif terhadap
lambung juga perlu dihindari. Pada pasien dengan stress ulcer pasien dipuasakan,
memasang pipa nasogastrik dan melakukan irigasi dengan air es tiap 6 jam sampai
darah berhenti. Pada pasien diberikan ranitidine 2x50 mg (PERDOSSI, 2011).
Pemberian nutrisi makanan cair jernih diit pasca hematemesis sangat membantu
percepatan proses penyembuhan stress ulcer. Pemberian kadar nutrisi harus dengan
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
77
kadar serat yang tinggi dan dihindarkan dari makanan yang merangsang atau
mengiritasi lambung (PERDOSSI, 2011).
Pada pasien juga diberikan vitamin K untuk mengatasi terjadinya gangguan
koagulasi. Vitamin K diberikan 3x1. Selain itu juga diberikan roboransia berupa asam
folat 3x1. Pada pasien juga diberikan pengobatan natrium bicarbonate 3x1. Serta
diberikan juga simvastatin untuk menurunkan kadar kolesterol 1x1.
Evaluasi terhadap status nutrisi pada pasien stroke akut saat masuk rumah sakit
meliputi penghitungan BMI, pemeriksaan darah rutin, albumin, kreatinin kadar vitamin
untuk pasien yang mempunyai indikasi dan jika memungkinkan. Selanjutnya pasien
dilakukan penilaian terhadap adanya insufisiensi nutrisi dengan cara mengestimasi
intake kalori harian, atau dengan menghitung kalori secara sistematik. Seminggu sekali
ditimbang untuk melihat perkembangan berat badannya, dan juga untuk mendeteksi
risiko timbulnya malnutrisi dengan menggunakan skor Kondrup (Kondrup et al, 2003).
Pengendalian faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi bersifat tidak dapat
dirubah dan dapat dipakai sebagai penanda stroke pada seseorang. Selain itu juga untuk
mencegah stroke diperlukan modifikasi gaya hidup. Pencegahan berulang ICH
dilakukan mengingat angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi dengan cara
menurunkan tekanan darah, tidak merokok, tidak meminum alkohol dan menghindari
penggunaan kokain. AHA merekomendasikan pencegahan ICH berulang dengan cara
mengobati hipertensi adalah langkah yang paling penting untuk mengurangi risiko ICH
dan ICH berulang. Merokok, penggunaan alcohol dan penggunaan kokain adalah faktor
risiko untuk terjadinya ICH (Morgenstern, et al 2010).
Pasien akan disarankan untuk menjalani rehabilitasi medik untuk memberi
kemampuan kepada penderita yang telah mengalami disabilitas fisik dan atau penyakit
kronis, agar dapat hidup atau bekerja sepenuhnya sesuai dengan kapasitasnya. Program
rehabilitasi medik yang dapat diikuti pasien berupa fisioterapi, terapi wicara dan
psikoterapi (Nasution, 2013).
Simpulan
Telah ditegakkan diagnosa stroke hemoragik pada pasien Tn. S 44 tahun atas
dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Faktor resiko dengan
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
78
riwayat hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya stroke hemoragik dan
berdasarkan penelitian epidemiologi laki-laki lebih banyak menderita stroke dengan
usia diatas 40 tahun.
Daftar Pustaka
Broderick J, Sander C, Edward F, Daniel H, Carlos K, Derk K., et al. 2007. Guidelines for the
management of spontaneous intracerebral hemorrhage in adults. J of American Heart
Association. (1): 2005-17.
Castillo J, Leira,R., Garcia MM. 2004. Blood pressure decrease during the acute phase of
ischemic stroke is associated with brain injury and poor stroke outcome. Stroke
Magazine. (35): 520–6.
Cohen SN. 2000. The subacute stroke patient: preventing recurrent stroke. In Cohen SN.
Management of Ischemic Stroke. Mc Graw-Hill. Pp. 89-109.
Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, Appel,LJ, et al. 2006. Primary prevention of ischemic
stroke: A guideline from the american heart association/american stroke association
stroke counsil. Stroke. (37):1583-633.
Khairunnisa N. 2014. Hemiparese sinistra, parese nervus vii, ix, x, xii e.c stroke Nonhemorrhagic. JUKE Unila. 2(3): 53.
Konndrup J, Rasmussen HH, Hamberg O. 2003. Nutritional risk screening (NRS 2002): a new
method based on an analysis of controlled clinical trials. Clin Nutrition. (1):321–36.
Mardjono, M. 2009. Mekanisme gangguan vascular susunan saraf dalam Neurologi klinis dasar
edisi kesebelas. Dian Rakyat.
Morgenstern L., BJ. Claude H, Craig A, Kyra B, Joseph PB, Sander C, et al. 2010. Guidelines
for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage. J of American Heart
Association. (1):2115-21.
Nasution LF. 2013. Stroke Non Hemoragik Pada Laki-Laki Usia 65 Tahun. JUKE Unila 1(3):8.
Parmet, S., Tiffany, J.G., Richard, M.G. 2004. Hemmorhagic stroke. J of American Medical
Association. 15(292):1916.
PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI). 2011.
Medula, Volume 2, Nomor 4, Juni 2014
79
Download