BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian EVA EVA merupakan suatu pendekatan baru dalam menilai kinerja perusahaan dengan memperhatikan secara adil harapan-harapan penyandang dana, terutama para pemegang saham dan kreditur. EVA mampu menghitung laba ekonomi yang sebenarnya atau true economic profit suatu perusahaan pada tahun tertentu dan sangat berbeda jika dibandingkan dengan laba akuntansi (Sartono,1997:104). EVA mencerminkan residual income yang tersisa setelah semua biaya modal, termasuk biaya modal saham, telah dikurangkan. Sedangkan laba akuntansi dihitung tanpa mengurangkan biaya modal. EVA memberikan pengukuran yang lebih baik atas nilai tambah yang diberikan perusahaan kepada pemegang saham. Dengan demikian, EVA merupakan salah satu kriteria yang lebih baik dalam penilaian kebijakan manajerial dan kompensasi. EVA merupakan keberhasilan manajemen dalam meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan. Asumsinya, jika manajemen baik atau efektif (dilihat dari besar kecilnya nilai tambah yang diberikan), maka akan tercermin pada peningkatan harga saham. Istilah EVA pertama kali dipopulerkan tahun 1991 oleh Stern-Stewart & Co of New York, yang merupakan perusahaan konsultan dari Amerika Serikat. SternStewart menghitung EVA sebagai laba operasi setelah pajak yang dikurangi dengan 10 total biaya modal, dimana total biaya modal dihitung sebagai berikut : Tingkat biaya modal x Total modal yang diinvestasikan (Utama, 1997:10). Stern-Stewart melakukan beberapa penyesuaian terhadap laba operasi setelah pajak yang disusun menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Penyesuaian yang dilakukan adalah dengan menambahkan cadangan-cadangan ekuitas ke laba operasi setelah pajak. Total biaya modal menunjukkan besarnya kompensasi tergantung pada tingkat resiko perusahan yang bersangkutan. Modal berasal dari dua sumber dana yaitu hutang dan ekuitas. Kompensasi yang diterima oleh para pemilik ekuitas adalah dalam bentuk dividen dan capital gain. Besarnya tingkat bunga setelah pajak dan tingkat biaya modal atas ekuitas sesuai dengan proporsi utang dan ekuitas pada struktur modal. Beban bunga atas utang tercermin di dalam laporan rugi laba, sedangkan perhitungan tingkat biaya modal atas ekuitas dapat dilakukan dengan pendekatan Price Earning. Menurut Widajanto dalam Suwinci, 2003:14-17, menyebutkan bahwa secara ringkas EVA dapat dihitung sebagai berikut: EVA = Laba sebelum pajak – Pajak – Biaya modal ..................................................(1) Dimana: EVA > 0, maka telah terjadi penambahan nilai ekonomis perusahaan. EVA = 0, maka secara ekonomis perusahaan dalam keadaan impas, karena semua laba yang tersedia digunakan untuk membiayai kewajiban kepada penyedia dana. 11 EVA < 0, maka tidak terjadi penambahan nilai tambah pada perusahaan tersebut, karena laba yang tersedia tidak memenuhi harapan penyandang dana terutama pemegang saham. EVA tidak dapat meningkatkan kinerja perusahaan, karena EVA bukanlah suatu sistem tetapi hanya sebuah indikator. EVA hanya menunjukkan sebuah nilai tambah murni dari sejumlah dana yang ditanamkan dalam suatu perusahaan sedangkan kinerja ditentukan oleh sistem dan praktek manajemen dalam perusahaan. EVA merupakan indikator tentang adanya penciptaan nilai dari suatu investasi, EVA yang positif menandakan perusahaan berhasil menciptakan nilai ini sejalan dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan (Utama, 1997:10). EVA sebagai laba operasi setelah pajak dikurangi biaya modal dari seluruh modal yang dipergunakan untuk menghasilkan laba tersebut (Rousana, 1997:18) Menurut Lee dalam Utama (1997:10) yang memfokuskan perhatiannya hanya pada ekuitas dan bukan pada total modal, perhitungan EVA mencakup laba yang tersedia untuk pemegang saham dan biaya modal atas ekuitas dapat dirumuskan sebagai berikut: EVA = EAT – Biaya modal atas ekuitas ....................................................................(2) Dimana: EVA : Economic Value Added (Nilai Tambah Ekonomis) EAT : Earning After Tax (Laba Bersih Setelah Pajak) Biaya modal atas ekuitas : jumlah biaya modal sendiri yang harus ditanggung oleh perusahaan. 12 2.1.2 Manfaat dan Kelemahan EVA EVA sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai penilai kinerja perusahaan (Utama, 1997:12), dimana fokus penilaian kinerja adalah pada penciptaan nilai. Penilaian kinerja dengan menggunakan pendekatan EVA menyebabkan perhatian manajemen sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Dengan EVA, para manajer akan berpikir dan juga bertindak seperti halnya pemegang saham, yaitu memilih investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga nilai perusahaan dapat dimaksimumkan. EVA dapat digunakan sebagai alat untuk menilai kinerja perusahaan apabila perhitungan EVA tidak hanya untuk periode sekarang, tetapi juga mencakup periode yang akan datang. Hal ini disebabkan karena EVA pada suatu tahun tertentu menunjukkan besarnya penciptaan nilai pada tahun tersebut, sedangkan nilai perusahaan menunjukkan nilai sekarang dari total penciptaan nilai selama umur perusahaan tersebut. Lee (1996) menyebutkan bahwa nilai perusahaan dapat dinyatakan sebagai penjumlahan dari total modal yang diinvestasikan ditambah nilai sekarang dari total EVA perusahaan di masa yang akan datang. EVA tidak memerlukan analisis kecenderungan sehingga dalam satu tahun anggaran dapat diketahui apakah di dalam perusahaan telah terjadi penciptaan nilai tambah atau belum. EVA tidak memerlukan perbandingan antara perusahaan dengan perusahaan sejenis yang mempunyai tingkat risiko yang hampir sama. Dengan demikian, EVA dapat digunakan secara mandiri tanpa memerlukan data pembanding seperti standar 13 industri sebagaimana konsep penilaian dengan menggunakan analisis rasio karena dalam prakteknya data pembanding ini sering tidak tersedia. EVA dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kegiatan yang memberikan pengembalian yang lebih tinggi daripada biaya modalnya. Kegiatan atau proyek yang memberikan nilai sekarang dari total EVA yang positif menunjukkan bahwa proyek tersebut menciptakan nilai perusahaan dan dengan demikian sebaiknya diambil. Penggunaan EVA dalam mengevaluasi proyek akan mendorong para manajer untuk selalu melakukan evaluasi atas tingkat risiko proyek yang bersangkutan. Melalui EVA, para manajer harus selalu membandingkan tingkat pengembalian proyek dengan tingkat biaya modal yang mencerminkan tingkat risiko proyek tersebut. Penggunaan EVA akan mengubah pandangan bahwa dana ekuitas yang diperoleh di pasar modal bukanlah dana gratis, melainkan memiliki biaya yang tinggi dan perlu dikompensasi dengan tingkat pengembalian yang tinggi. Hal ini akan menyebabkan perusahaan lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakan struktur modalnya. Di samping manfaat tersebut, EVA juga tidak terlepas dari permasalahan yang merupakan kelemahan EVA itu sendiri. EVA bukanlah tolak ukur kinerja bisnis yang baik karena hanya mengukur kinerja keuangan perusahaan, sehingga tidak komprehensif sebagaimana pengakuran kinerja dengan balanced scorecard yang mengukur kinerja perusahaan tidak hanya dari sisi keuangan saja, tetapi juga dari sisi pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. EVA hanya 14 mengukur hasil akhir (out-come) dan tidak mengukur aktivitas-aktivitas penentunya (driver). EVA hanya menggambarkan penciptaan nilai pada suatu tahun tertentu. Nilai suatu perusahaan merupakan akumulasi EVA selama umur perusahaan. Dengan demikian dapat terjadi suatu perusahaan mempunyai EVA positif pada tahun yang berlaku tetapi nilai perusahaan itu rendah karena EVA di masa mendatangnya negatif. Keadaan ini mungkin terjadi untuk jenis perusahaan yang mempunyai prospek masa depan yang suram. Sebaliknya, untuk perusahaan dengan kegiatan yang memerlukan pengembalian yang cukup lama, EVA pada awal tahun operasi adalah negatif sedangkan pada akhir masa proyek adalah positif (Utama, 1997:13). Proses perhitungan EVA memerlukan estimasi atas biaya modal dan estimasi ini untuk perusahaan yang belum go public sulit dilakukan dengan tepat. Biaya modal atas utang umumnya lebih mudah diperkirakan karena besarnya bisa diperoleh dari tingkat bunga setelah pajak yang harus dibayar perusahaan, jika perusahaan melakukan pinjaman. Sebaliknya karena keterbatasan dana, tidak mudah untuk memperkirakan biaya modal atas ekuitas. Untuk perusahaan yang sudah go public, tingkat biaya modal atas ekuitas dapat diperkirakan dengan menggunakan pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM), pendekatan dividen, dan pendekatan price earning. Sedangkan untuk perusahaan lain dapat menggunakan pendekatan bond yield premium. Jadi karena banyaknya cara untuk mengestimasi ini dapat menyebabkan kesalahan dalam penghitungan biaya modal, yang akhirnya dapat mengurangi manfaat EVA. 15 EVA kurang valid karena penghitungan EVA sesungguhnya cukup rumit dan mengandung unsur ketidakpastian, artinya bahwa tinggi rendahnya EVA dapat dipengaruhi oleh gejolak yang terjadi di pasar modal. Perhitungan EVA masih mendasarkan pada laporan keuangan yang kemungkinan dapat direkayasa pembukuannya untuk mendapatkan EVA positif (Resmi, 2003:28) 2.1.3 Pengertian Biaya Modal Definisi biaya modal menurut Sartono (1997:12) adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan modal baik yang berasal dari utang, saham preferen, saham biasa, maupun laba ditahan untuk membiayai investasi perusahaan. Ada beberapa komponen biaya modal, salah satunya adalah biaya modal atas ekuitas (cost of equity), disini untuk memenuhi kebutuhan dananya perusahaan melakukan penerbitan saham biasa dan tentu saja perusahaan harus menanggung biaya yang timbul dalam modal saham biasa ini. Biaya modal atas ekuitas menunjukkan keuntungan yang diinginkan oleh pemilik modal sendiri sewaktu mereka bersedia menyerahkan dana tersebut ke perusahaan. Menurut Suryo (2002) yang dikutip oleh Resmi (2003:27) biaya modal ekuitas dapat dihitung dengan pendekatan CAPM, dengan tingkat keuntungan saham yang disyaratkan merupakan biaya modal ekuitas (Ke) bagi perusahaan. Rousana (1997:19) melihat cost of equity sebagai nilai dari earning per share (laba per saham) dibagi dengan current stock price (harga saham sekarang). Hal ini apabila dirumuskan dalam bentuk persamaan adalah sebagai berikut: 16 Ke = EPS x 100%......................................................................................................(3) P Dimana: Ke = Tingkat biaya modal ekuitas EPS = Earning Per Share P = Price (harga saham penutupan) Kemudian biaya modal atas ekuitas dihitung dengan rumus: Biaya Modal atas Ekuitas = Ke x Jumlah Modal atas Ekuitas ...................................(4) 2.1.4 Hipotesis Kandungan Informasi Dalam mengambil suatu keputusan ekonomi tentang investasi yang akan dilakukannya pada suatu perusahaan, seorang investor akan terlebih dahulu melakukan analisis atas laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan dan kandungan informasi yang terdapat didalamnya. Ball dan Brown (1968) menyatakan bahwa harga sekuritas akan menyesuaikan dengan cepat ketika informasi tersebut tersedia, maka perubahan dalam harga sekuritas akan mencerminkan aliran informasi ke pasar. Suatu revisi yang diamati dari harga saham berhubungan dengan penerbitan laporan laba rugi, akan menyediakan bukti bahwa informasi yang tercermin dalam nilai laba adalah berguna. Informasi yang terkandung dalam angka laba tahunan berguna sehubungan dengan harga saham. Namun tetap harus diingat bahwa laporan akuntansi tahunan hanya merupakan satu dari banyak informasi yang tersedia bagi investor. Tujuan dari penjelasan ini adalah untuk menilai pentingnya informasi yang terkandung dalam laba bersih, dan pada saat yang sama untuk menyediakan 17 pandangan mengenai ketepatan waktu dari publikasi laporan laba rugi. Hipotesis pasar yang efisien menyatakan bahwa pasar sekuritas adalah efidien bila harga-harga sekuritas mencerminkan semua informasi yang tersedia secara penuh dan segera. Informasi seperti pengumuman laba dan dividen, perkiraan tentang laba perusahaan, perubahan praktik-praktik akuntansi, merger, dan pemecahan saham adalah contoh informasi yang akan dengan cepat dicerminkan dalam harga saham. Beberapa penelitian empiris telah dilakukan untuk mngkaji hubungan antara harga sekuritas dengan laba. Ball dan Brown (1968) dalam Sukartha (2007) menemukan hubungan yang bermakna antara perubahan harga sekuritas dan perubahan laba. Beaver et al. (1979) dalam Sukartha (2007) menemukan bahwa terdapat suatu korelasi positif antara persentase perubahan laba dengan persentase perubahan harga sekuritas. Implikasi dari temuan ini minimal menjelaskan secara tidak langsung bahwa terdapat korelasi antara kejadian-kejadian yang mempengaruhi perubahan laba akuntansi dengan perubahan harga sekuritas (Sukartha, 2007). Bukti ini juga konsisten dengan pendapat bahwa perubahan laba akuntansi mengantarkan informasi yang meyakinkan investor untuk mengubah nilai sekuritas. 2.1.5 Kepemilikan Manajerial Menurut Gideon (2005) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007:10), kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal saham perusahaan yang dikelola. Menurut Jensen (1993) dalam Faizal (2004:198), hipotesis pemusatan kepentingan menyatakan bahwa kepemilikan 18 manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan. Shleifer dan Vishny (1986) dalam Siallagan dan Machfoeds (2006:5) menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh manajemen yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor perilaku manajemen. Secara teoritis, ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oprtunis manajer akan meningkat. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen. Oleh karena itu, konflik keagenan diasumsikan akan berkurang jika seorang manajer juga adalah pemilik dari suatu perusahaan. Semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan cenderung berusaha untuk meningkatkan kinerjanya. 2.1.6 Kinerja Keuangan Kinerja keuangan suatu perusahaan sangat bermanfaat bagi berbagai pihak seperti investor, kreditur, analis, konsultan keuangan, pialang pemerintah, dan pihak manajemen sendiri. Kinerja keuangan mengukur kinerja perusahaan dalam memperoleh laba dan nilai pasar. Ukuran keuangan biasanya diwujudkan dalam profitabilitas, pertumbuhan dan nilai pemegang saham. 19 Investor dipasar modal sangat memperhatikan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan, menunjang dan meningkatkan profit. Profitabilitas dapat diukur dengan beberapa hal yang berbeda, namun dalam dimensi yang saling terkait. Pertama, terdapat hubungan antara profit dan sales sehingga terjadi residual return bagi perusahaan per rupiah penjualan. Pengukuran lainnya adalah return on asset yang berkaitan dengan profit dan aset yang digunakan. 2.1.7 Nilai Perusahaan Tujuan utama dari manajer adalah bukan memaksimumkan profit melainkan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham atau maximazation wealth of stockholders melalui maksimalisasi nilai perusahaan. Bagi perusahan yang go public, nilai perusahaannya tercermin pada harga saham. Nilai perusahaan menurut Husnan & Pudjiastuti (2002) adalah harga saham yang bersedia dibayarkan oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Harga saham mencerminkan nilai dari suatu perusahaan, jika harga saham tinggi maka perusahaan dinilai semakin berkualitas. Bagi perusahaan yang menerbitkan saham di pasar modal, harga saham yang diperjualbelikan merupakan indikator nilai perusahaan. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa jika harga saham yang terbentuk tinggi maka nilai perusahaan semakin baik (berkualitas), tetapi jika harga saham yang terbentuk rendah maka nilai perusahaan dianggap kurang berkualitas. 20 2.1.8 Instrumen Pasar Modal Instrumen pasar modal adalah semua surat-surat berharga (securities) atau efek yang diperdagangkan di bursa, yang pada umumnya bersifat jangka panjang. Pengertian efek menurut Kepres 53/1990 yaitu ”efek adalah setiap surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, sekuritas kredit, tanda bukti utang, setiap rights, warrant, opsi, atau setiap derivatif dari efek atau setiap instrumen yang ditetapkan sebagai efek” (Sunariyah,2000:30). Dewasa ini instrumen yang ada di pasar modal terdiri dari saham, obligasi, dan sertifikat. Sekuritas yang diperdagangkan di bursa efek adalah saham dan obligasi, sedangkan sertifikat diperdagangkan diluar bursa melalui bank pemerintah. Pengertian lebih lanjut mengenai saham dan obligasi adalah sebagai berikut : 1) Saham Saham merupakan tanda penyertaan modal pada suatu perseroan terbatas. Dengan memiliki saham suatu perusahaan, maka manfaat yang diperoleh diantaranya adalah sebagai berikut: a. Dividen, yaitu bagian dari keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada pemilik saham. b. Capital Gain, adalah keuntungan yang diperoleh dari selisih jual dengan harga belinya. c. Manfaat non-finansial, yaitu timbulnya kebanggaan dan kekuasaan memperoleh hak suara dalam menentukan jalannya perusahaan. 21 Dari berbagai jenis saham yang dikenal di bursa, yang diperdagangkan yaitu saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferen stock). Saham biasa adalah saham yang tidak memperoleh hak istimewa. Pemegang saham biasa mempunyai hak untuk memperoleh dividen sepanjang perusahaan memperoleh keuntungan. Pemilik saham memperoleh hak suara pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya. Pada likuidasi perseroan, pemilik saham memiliki hak memperoleh sebagian dari kekayaan setelah semua kewajiban dilunasi. Saham preferen adalah saham dengan kelas khusus yang ditetapkan sebagai preferen (istimewa) karena saham ini memiliki berbagai kelebihan bila dibandingkan dengan saham biasa (Kieso,2002:325). Saham preferen merupakan saham yang diberikan atas hak untuk mendapatkan dividen dan/atau bagian kekayaan pada saat perusahaan dilikuidasi lebih dahulu dari saham biasa, di samping itu mempunyai preferensi untuk mengajukan usul pencalonan direksi atau komisaris. Saham preferen memiliki ciri-ciri yang merupakan gabungan dari utang dan modal sendiri (debt and equity). 2) Obligasi Obligasi adalah surat tanda peminjaman uang yang mempunyai jangka waktu tertentu, biasanya lebih dari satu tahun. Dengan demikian pada hakikatnya obligasi merupakan suatu tagihan uang atau beban atau tanggungan pihak yang menerbitkan atau mengeluarkan obligasi tersebut, pemegang saham atau pembeli 22 obligasi memperoleh keuntungan berupa tingkat bunga tertentu yang dibayarkan oleh perusahaan yang mengeluarkan obligasi tersebut. 2.1.9 Pengertian Harga Saham Menurut Hartono (1998:69), nilai pasar adalah harga dari saham di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai pasar berbeda dengan nilai buku. Nilai buku merupakan nilai yang dicatat pada saham dijual oleh perusahaan, sedangkan nilai pasar adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Menurut Fred dan Copeland (1995:144), nilai buku perlembar adalah jumlah seluruh modal saham biasa perusahaan, agio saham, dan akumulasi laba ditahan dibagi dengan jumlah lembar saham yang beredar. Sedangkan nilai pasar saham, yang benar akan dibayar untuk selembar saham, bisa lebih atau kurang dari nilai buku saham, karena nilai pasar tergantung pada laba, sedangkan nilai buku mencerminkan nilai historis maka tidak mengherankan kalau terjadi perbedaan antara nilai pasar dalam kondisi yang bergerak dinamis serta tidak pasti. 2.1.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Saham Secara umum dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mepengaruhi harga saham adalah permintaan dan penawaran. Permintaan dan penawaran saham secara langsung akan berpengaruh signifikan terhadap naik turunnya harga pasar saham. Bagaimanapun juga teori pasar berlaku dalam hal ini, dimana kekuatan permintaan yang tinggi akan saham menyebabkan harga saham meningkat, begitu pula 23 sebaliknya apabila permintaan akan saham turun maka akan berakibat pada menurunnya harga saham tersebut. Di samping faktor permintaan dan penawaran, ada pula beberapa faktor lain yang secara tidak langsung mempengaruhi harga saham. Pengertian berpengaruh secara tidak langsung disini mengandung arti bahwa faktor ini merupakan faktor yang mempengaruhi seorang investor maupun investee dalam menentukan besar kecilnya permintaan dan penawaran akan harga saham. Menurut Subekti (2002:20), faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Pertumbuhan perusahaan; perusahaan yang pertumbuhannya mandeg atau merosot, maka harga sahamnya cenderung murah dibandingkan dengan perusahaan yang sedang tumbuh. 2) Ukuran perusahaan; besar kecilnya perusahaan dapat dilihat dari sisi penjualan maupun aktivanya. Perusahaan berskala besar pada umumnya memiliki harga saham yang tinggi sebagai akibat dari tingginya permintaan akan saham. Begitu pula sebaliknya, perusahaan dengan skala kecil memiliki harga saham yang relatif murah karena kecilnya permintaan investor akan sahamnya, hal ini diakibatkan karena pandangan dari seorang investor akan return yang nantinya akan didapatkan dari perusahaan atau investee. 3) Perkembangan teknologi; perushaan yang memiliki teknologi pemasaran yang canggih dan mampu bersaing lebih unggul dengan perusahaan lain cenderung memiliki kinerja yang lebih baik. Perusahaan akan terlihat bonafit dan bergengsi sehingga investor pun akan semakin tertarik dan permintaan saham pun akan meningkat yang mengakibatkan harga saham akan meningkat pula. 24 4) Performa perusahaan (manajemen dan kinerja keuangan); baik buruknya performa perusahaan pada umumnya akan berpengaruh terhadap harga saham. Perusahaan yang memiliki kinerja finansial maupun manajerial yang baik akan meningkatkan jumlah permintaan investor akan sahamnya, dan ini membuat harga saham perusahaan akan naik pula, begitu pula sebaliknya. Penilaian kinerja manajemen dapat ditentukan dengan analisis balanced scorecard, sedangkan penilaian terhadap kinerja keuangan perusahaan dapat dilakukan salah satunya dengan pendekatan EVA yang merupakan pendekatan terbaru yang mampu menyatukan kepentingan kedua belah pihak yakni investor dan investee/perusahaan. 5) Politik; kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan sering berubah menyebabkan turunnya harga saham. Kebijakan yang tidak konsisten ini secara tidak langsung dapat mengakibatkan kelesuan dalam perekonomian. 6) Tingkat inflasi; tingkat inflasi yang tinggi mengakibatkan naiknya hargaharga barang secara umum, hal ini berdampak pada naiknya harga aktiva tetap perusahaan sehingga laba yang akan dihasilkan akan menurun. Penurunan laba perusahaan ini membuat investor enggan untuk membeli saham perusahaan tersebut, sehingga harga sahamnya pun akan murah. 2.1.11 Hubungan Kinerja Keuangan dengan Harga Saham Kinerja keuangan sebuah perusahan (investee) memiliki hubungan yang kuat dengan harga saham. Kinerja keuangan yang baik akan mempengaruhi keputusan 25 investor untuk membeli saham perusahaan yang bersangkutan. Hal ini dikarenakan motif dari seorang investor adalah untuk memperoleh dividen maupun agio saham yang tinggi atas investasinya. Begitu pula sebaliknya, kinerja keuangan perusahaan/investee yang buruk akan menurunkan minat investor untuk berinvestasi pada perusahaan yang bersangkutan. Jadi, baik buruknya kinerja keuangan perusahaan akan berpengaruh pada permintaan dan penawaran seorang investor akan saham, sehingga secara otomatis akan mempengaruhi tinggi rendahnya harga saham. Untuk menentukan baik buruknya kinerja keuangan perusahaan, maka diperlukan suatu metode penilaian kinerja keuangan yang akurat. Ada beberapa pendekatan yang memungkinkan untuk menilai kinerja keuangan perusahaan, antara lain metode ROI, Residual Income (RI), rasio-rasio keuangan dan EVA. Dari beberapa pendekatan tersebut, pendekatan EVA memiliki keunggulan dan keakuratan yang lebih baik dalam hubungannya dengan permasalahan permodalan perusahaan (saham) bila dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Lehn dan Makhija (1996) berpendapat bahwa dibandingkan dengan pengukuran yang lainnya, EVA mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tingkat pengembalian saham. Penilaian kinerja dengan menggunakan pendekatan EVA menyebabkan perhatian manajemen sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Dengan EVA, para manajer akan berpikir dan bertindak seperti halnya pemegang saham, yaitu memilih investasi yang memaksimumkan tingkat pengembalian dan meminimumkan tingkat biaya modal sehingga dapat memaksimumkan nilai perusahaan. 26 2.1.12 Pengertian Earning Per Share (EPS) Earning Per Share (EPS) merupakan hasil atau laba yang bisa diberikan kepada para pemegang saham. Earning Per Share (EPS) atau pendapatan per lembar saham adalah bagian dari laba setelah pajak suatu perusahaan yang telah dikurangi dengan dividen saham preferen yang bisa dialokasikan pada setiap saham biasa yang beredar. Menurut Widoatmodjo (1996:97) secara teori, Earning Per Share (EPS) yang tinggi akan menyebabkan harga saham tinggi pula. Jika laba yang diperoleh oleh perusahaan meningkat, maka kemungkinan dividen yang akan dibagikan juga meningkat. Dengan demikian, permintaan terhadap saham perusahaan akan meningkat, yang akhirnya akan mengakibatkan harga saham perusahaan tersebut naik. Adapun cara menghitung Earning Per Share (EPS) adalah dengan membandingkan laba bersih setelah pajak yang tersedia untuk pemegang saham biasa dengan jumlah saham biasa yang beredar. Rumus Earning Per Share (EPS) adalah sebagai berikut: EPS = EAT yang tersedia untuk pemegang saham biasa...........................................(5) Jumlah saham biasa yang beredar Perhitungan Earning Per Share (EPS) ini menggambarkan seberapa besar satu lembar saham dapat memberikan keuntungan kepada pemegang saham (Husnan, 1998:339). Perhitungan Earning Per Share (EPS) pada suatu perusahaan diartikan bahwa saham yang baik, menguntungkan, serta punya prospek yang bagus adalah saham yang mempunyai Earning Per Share (EPS) yang tinggi. 27 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya. Ada beberapa penelitian yang sebelumnya menggunakan variabel EVA dan harga saham. Hasil penelitian tersebut tidak menunjukkan hasil yang konsisten satu sama lain. Rizal (2007) meneliti pengaruh EVA terhadap harga saham perusahaan jasa transportasi menyimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan jasa transportasi belum mampu menciptakan nilai tambah ekonomi. Hasil analisis korelasi yang dilakukan pun menunjukan hubungan antara EVA dan harga saham sangatlah lemah, tidak searah (negatif), dan tidak signifikan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Rizal adalah samasama menggunakan EVA sebagai variabel bebasnya dan harga saham sebagai variabel terikatnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menggunakan kepemilkan manajerial sebagai variabel moderasi dimana penelitian sebelumnya tidak. Obyek penelitian ini adalah semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2003-2007, sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan perusahaan jasa transportasi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2003-2005. Penelitian ini menggunakan teknik Moderated Regression Analysis sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan Analisis Regresi Sederhana. Iqbal (2004) dalam Hidayat (2006) melakukan pengujian atas pengaruh EVA, ROA, ROE, dan EPS terhadap harga saham untuk 20 emiten di Indonesia pada periode 2000 hingga 2002 menyimpulkan bahwa EVA tidak lebih menjelaskan harga saham dibandingkan EPS, ROA, dan ROE. 28 Chen and Dodd (1997) dalam Hidayat (2006) melakukan penelitian terhadap hubungan antara EVA dengan imbal hasil saham. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa korelasi antara EVA dengan imbal hasil saham tidak lebih dari 20 persen, sedangkan korelasi ROA dengan imbal hasil saham sebesar 25 persen. Berdasarkan hasil yang didapat, kesimpulan dari penelitian ini adalah pengukuran EVA memang memberikan informasi yang lebih namun tidak bisa menggantikan pengukuran tradisional lain seperti EPS, ROI, dan ROA. Lehn and Makhija (1997) dalam Hidayat (2006) melakukan pengukuran kinerja dengan menggunakan ROE, ROA, ROS, share return, EVA dan MVA, menyimpulkan bahwa EVA memiliki korelasi yang lebih baik terhadap imbal hasil saham dibanding alat ukur lain. Lehn and Makhija juga menyimpulkan bahwa CEO perusahaan yang memiliki EVA tinggi mempunyai kemungkinan dipecat lebih kecil dibanding dengan CEO perusahaan yang memiliki EVA lebih rendah. Bao dan Bao (1998) dalam Hidayat (2006) dalam analisanya terhadap harga saham dan nilai perusahaan menyimpulkan bahwa laba (earnings) dan abnormal earnings tidak konsisten terhadap perubahan harga saham, sedangkan value added signifikan terhadap perubahan harga saham. Worthington and West (2004) dalam Hidayat (2006) melakukan penelitian terhadap 110 perusahaan di Australia dari tahun 1992 sampai 1998 menyimpulkan bahwa EVA lebih menjelaskan variasi atas imbal hasil saham dibandingkan pengukuran tradisional lain. 29 Secara ringkas pembahasan penelitian-penelitian sebelumnya disajikan pada Tabel 2.1 sebagai berikut: Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Sebelumnya No. 1 2 3 4 5 6 Peneliti dan Variabel Teknik Tahun Penelitian Analisis Data Sefcho Rizal Variabel bebas: Analisis (2007) EVA Regresi Variabel terikat: Sederhana harga saham Iqbal (2004) Variabel bebas: EVA, EPS, ROE, ROA. Variabel terikat: harga saham. Chen and Variabel bebas: Dodd (1997) EVA Variabel terikat: Imbal hasil saham Hubungan antara EVA dan harga saham sangatlah lemah, tidak searah (negatif), dan tidak signifikan. Analisis Regresi EVA tidak lebih menjelaskan harga saham dibanding EPS, ROE, dan ROA Analisis Regresi EVA memang memberikan informasi yang lebih namun tidak bisa menggantikan pengukuran tradisional lain seperti EPS, ROI, dan ROA. EVA memiliki korelasi yang lebih baik terhadap imbal hasil saham dibanding alat ukur lain. Lehn Makhija (1997) and Variabel bebas: Korelasi EVA, ROE, ROA, ROS, share return, dan MVA Variabel terikat: Imbal hasil saham Bao dan Bao Variabel bebas: Analisis (1998) Earnings dan Regresi abnormal earnings. Variabel terikat: harga saham Worthington and West Hasil Penelitian Analisis Regresi 30 laba (earnings) dan abnormal earnings tidak konsisten terhadap perubahan harga saham, sedangkan value added signifikan terhadap perubahan harga saham. EVA lebih menjelaskan variasi atas imbal hasil (2004) 2.3 saham dibandingkan pengukuran tradisional lain. Rumusan Hipotesis Kinerja keuangan perusahaan yang baik akan meningkatkan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Modigliani dan Miller dalam Sartono (2001) melihat adanya kecenderungan dimana peningkatan keuntungan selalu diikuti dengan kenaikkan harga saham begitu pula sebaliknya. EVA merupakan salat satu alat ukur atas kinerja keuangan yang cukup baru dan dianggap dapat memberi informasi yang lebih akurat dari alat ukur tradisional lain karena di dalamnya sudah tidak terdapat unsur biaya modal. Rizal (2007) menemukan bahwa hubungan antara EVA dan harga saham sangatlah lemah, tidak searah (negatif), dan tidak signifikan. Iqbal (2004) dalam Hidayat (2006) menemukan bahwa EVA tidak lebih menjelaskan harga saham dibanding EPS, ROE, dan ROA. Lehn and Makhija (1997) dan Worthington and West (2004) dalam Hidayat (2006) menemukan bahwa EVA memiliki korelasi yang lebih baik terhadap imbal hasil saham dibanding alat ukur lain, EVA lebih menjelaskan variasi atas imbal hasil saham dibandingkan pengukuran tradisional lain. Berdasarkan teori dari penelitian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1: EVA berpengaruh pada harga saham perusahaan. Hasil penelitian mengenai pengaruh EVA pada harga saham yang tidak konsisten menunjukkan adanya faktor lain yang turut menginteraksi hubungan 31 tersebut. Hasil tersebut mendorong peneliti untuk memasukkan kepemilikan manajerial sebagai variabel pemoderasi. Menurut Jensen (1993) dalam Faizal (2004:198), hipotesis pemusatan kepentingan menyatakan bahwa kepemilikan manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik kinerja perusahaan. Manajer akan bekerja dengan maksimal apabila ia adalah bagian dari pemilik perusahaan. Ini akan memberikn sinyal positif pada investor atas kinerja perusahaan sehingga akan meningkatkan permintaan akan saham perusahaan yang secara otomatis akan meningkatkan harga saham perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis alternatif yang diajukan adalah: H2: EVA berpengaruh pada harga saham perusahaan terutama bila dimoderasi oleh kepemilikan manajerial 32