1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan prasarana semakin meningkat. Pelayanan kesehatan yang bermutu bukan hanya merupakan harapan saja bagi masyarakat, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan dan sekaligus menjadi tujuan Kementerian Kesehatan yang harus diwujudkan dengan berbagai upaya, antara lain dengan memperluas dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif atau menyeluruh tersebut di atas meliputi upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Salah satu komponen yang tidak tergantikan dalam mengupayakan pelayanan kesehatan yang komprehensif tersebut adalah obat. Obat berbeda dengan komoditas perdagangan lainnya, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial (Depkes, 2006). Akses terhadap obat terutama obat esensial merupakan salah satu hak azasi manusia, dengan demikian penyediaan obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan lembaga pelayanan kesehatan baik publik maupun swasta. Arah kebijakan dan strategi Nasional dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 adalah peningkatan akses dan pelayanan kesehatan melalui lima poin prioritas yaitu program kesehatan masyarakat, program keluarga berencana (KB), sarana kesehatan, obat dan asuransi kesehatan. Poin prioritas obat adalah pemberlakuan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sebagai dasar pengadaan obat di seluruh Indonesia dan pembatasan harga OGB pada 2010. (Kemenkes RI, 2010b) Falsafah dan dasar negara Pancasila juga mengakui hak asasi warga atas kesehatan. Hal ini tercantum dalam UUD pasal 28 dan pasal 34, selanjutnya diatur 2 dalam UU no 23 tahun 1992, yang kemudian diganti dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan. Dalam UU 36/2009 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial. Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi di atas, pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan perorangan. Usaha ke arah itu sebelumnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema itu masih terbagi-bagi, sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 2004 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU ini mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Gambaran manfaat obat secara komprehensif dapat dilihat pada gambar 1. 3 Pelayanan Kesehatan bagi Peserta Jaminan Kesehatan KETERSEDIAAN KETERJANGKAUAN JAMINAN KEAMANAN, MUTU & MANFAAT POR KENDALI MUTU & KENDALI BIAYA Gambar 1. Manfaat Obat dalam program JKN (Kemenkes RI, 2013e). Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2013). Obat esensial adalah obat yang memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan mayoritas dari populasi, tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup dan dosis yang tepat dan dengan harga terjangkau (WHO, 2002). Untuk mempermudah pihak pemerintah maupun swasta dalam menyediakan obat esensial yang dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara nasional, maka dibuatlah Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan yang harus tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. Berdasarkan Kepmenkes RI No 312/ MENKES/ SK/ IX/ 2013 penerapan DOEN dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Penerapan DOEN harus dilaksanakan secara 4 konsisten dan terus menerus di semua unit pelayanan kesehatan (Kemenkes, 2013). Pada tanggal 19 September 2013, Kementerian Kesehatan menerbitkan FORNAS nomor 328/ MENKES/ SK/ VIII/ 2013 dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan untuk menjamin aksesbilitas obat yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau dalam jenis dan jumlah yang cukup, dan dalam rangka pelaksanaan JKN perlu disusun daftar obat dalam bentuk FORNAS. Formularium Nasional sebagaimana dimaksud merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan JKN. Berdasarkan WHO & MSH (2003), formularium harus mengacu dan konsisten (sejalan) dengan DOEN. Strategi penggunaan obat rasional dalam Kebijakan Obat Nasional (KONAS) juga menerapkan DOEN sebagai acuan untuk pengadaan obat di sarana kesehatan dan dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Depkes, 2006a). Hal ini dipertegas dengan Kepmenkes HK.03.01/MENKES/159/2010 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Obat Generik di Fasilitas Kesehatan Pemerintah, dimana disebutkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, pemerintah daerah wajib menyediakan obat generik untuk pasien rawat jalan dan rawat inap; penyediaan obat generik sebagaimana dimaksud berdasarkan formularium yang disusun oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah serta formularium yang disusun mengacu kepada DOEN. Menurut WHO & MSH, (2003), pemilihan obat dalam pengembangan formularium dikatakan baik bila memiliki kriteria sebagai berikut : (1) Obat sudah mempunyai bukti manfaat dan keamanan dari uji klinik,dan telah digunakan secara meluas dalam klinik (2) Memiliki mutu terjamin, termasuk bioavailabilitas dan stabilitasnya dalam kondisi penyimpanan dan penggunaan, (3) Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi serupa, pilihan dijatuhkan melalui evaluasi berdasarkan efektifitas, keamanan, kualitas, biaya dan availabilitas. (4) Memiliki rasio manfaat biaya (benefit cost ratio) yang tertinggi berdasarkan analisa efektifitas biaya, (5) Obat-obat dengan sifat farmakokinetik 5 yang diketahui paling menguntungkan, (6) Ketersediaan sebagai satu senyawa, (7) Obat-obatan harus tertulis dalam International Nonproprietary Name (INN) atau kadang-kadang disebut sebagai nama generik. Beberapa kriteria di atas telah tercantum dalam DOEN 2013, yaitu kriteria ke 1 sampai dengan kriteria ke 5. FORNAS disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan yang berdasarkan pada bukti ilmiah, keamanan, khasiat dengan harga terjangkau. Formularium yang bermutu baik adalah formularium yang dapat memenuhi pelayanan kepada pasien, memudahkan pemilihan obat yang rasional bagi petugas kesehatan, dan meningkatkan mutu dan penggunaan obat dalam perencanaan dan penyediaan secara efisien. WHO & MSH 2003 menyarankan dalam pengembangan sebuah formularium, sangat penting dalam mengacu pada DOEN, karena DOEN telah memiliki kriteria dan proses seleksi yang telah disepakati sebelumnya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah; Bagaimanakah mutu FORNAS 2013, apakah telah memenuhi kriteria yang disarankan oleh WHO? C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui mutu FORNAS 2013 Tujuan Khusus. 1. Untuk mengevaluasi mutu FORNAS 2013 berdasarkan kriteria dalam pemilihan obat menurut WHO dengan indikator sebagai berikut : a. Persentase obat FORNAS yang terdapat dalam DOEN 2013. b. Persentase obat FORNAS yang merupakan senyawa tunggal c. Persentase obat FORNAS yang tertulis dalam nama generik/INN 2. Untuk mengetahui obat FORNAS 2013 yang tidak ada dalam DOEN 2013, apa saja kelas terapinya dan apakah keberadaan obat-obat tersebut di dalam FORNAS sudah sesuai. 6 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menyumbangkan metode evaluasi formularium berdasarkan kriteria pemilihan obat yang baik yang disarankan oleh WHO. 2. Manfaat Praktis 1. Untuk Kementerian Kesehatan; sebagai bahan evaluasi untuk revisi FORNAS selanjutnya. 2. Untuk Rumah Sakit; sebagai acuan untuk menyusun Formularium Rumah Sakit. 3. Peneliti lain; sebagai indikator agar dapat disempurnakan dan digunakan untuk evaluasi FORNAS berikutnya. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi Formularium Nasional tahun 2013 belum pernah dipublikasi. Adapun penelitian serupa yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah evaluasi ketersediaan produk obat esensial di Indonesia yang dilakukan oleh Trisna (2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketersediaan produk obat esensial di Indonesia dengan cara melihat kesesuaian ketersediaan obat esensial dengan obat-obat yang tercantum dalam MIMS Indonesia edisi 103 tahun 2006 dengan mengidentifikasi jumlah nama dagang obat esensial berdasarkan kelas terapi dan berdasarkan bahan aktif. Serta menganalisis variasi harga nama dagang untuk tiap bahan aktif. Hasil penelitian menunjukkan Jumlah nama dagang obat esensial berdasarkan kelas terapi berkisar antara tiga sampai 249 nama dagang dan jumlah nama dagang obat esensial berdasarkan bahan aktif berkisar antara nol sampai 50 nama dagang. Dari 358 obat esensial (nama bahan aktif) yang termasuk dalam DOEN 2005, terdapat 231 (64,5%) obat esensial yang tersedia produk dagangnya dan 127 (35,5%) obat esensial yang tidak tersedia produk dagangnya. Dan dari 231 obat esensial yang tersedia produk dagangnya, terdapat 100 (43,3%) obat esensial yang cukup 7 tersedia alternatif produk dagangnya dan 131 (56,7%) obat esensial yang tidak cukup tersedia alternatif produk dagangnya. Rasio harga tertinggi dan terendah nama dagang untuk tiap bahan aktif berkisar antara satu sampai 48,7. Rasio harga tertinggi dan terendah produk dagang obat esensial untuk tiap bahan aktif berkisar antara satu sampai 42,8. Rasio harga obat hasil penelitian lebih besar dibanding Indikator Harga Obat Internasional MSH. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subyek penelitian dan unit analisis. Penelitian lain yang serupa di Libya, dilakukan oleh Abubakr dan Kowalski (2010), berjudul A comparative analysis of the Libyan national essential medicines list and the WHO model list of essential medicines. Penelitian bertujuan menguji kesesuaian Libyan Pharmaceutical List of Essential Medicines (LPLEM 2006) dengan World Health Organization Model List of Essential Medicines (WMLEM 2009). Metode yang digunakan adalah membandingkan antara obat generik yang tercantum dalam WMLEM 2009 sebagai daftar referensi standar dengan LPLEM 2006 sebagai daftar pembanding, kemudian dievaluasi. Hasil Penelitian menunjukkan Jumlah Obat Esensial Dasar yang terdaftar di WMLEM 2009 adalah 347 item. Jumlah obat generik terdaftar di LPLEM 2006 adalah 584 item. Meskipun dalam LPLEM 2006 telah terdaftar lebih, namun hanya 270 item (77,6%) dari Jumlah obat esensial dasar yang sesuai dengan WMLEM 2009. Namun, 25 dari 77 obat yang hilang dianggap memiliki alternatif yang sesuai. Tingkat kesenjangan tertinggi dari WMLEM 2009 adalah di bagian antiinfeksi (35 obat-obatan hilang). Obat anti tuberkulosis memiliki tingkat kesenjangan tertinggi untuk jumlah obat esensial dasar antibakteri, dengan sepertiga dari obat tunggal yang direkomendasikan oleh WHO dalam WMLEM 2009 yang tidak terdaftar di LPLEM 2006 tersebut. Dari 314 obat tambahan pada LPLEM 2006, 18 item obat-obatan dianggap masih irrasional dan tidak penting. Kesimpulan penelitian ini, ada ketidaksesuaian beberapa obat esensial dasar dalam LPLEM 2006 dengan WMLEM 2009 yang direkomendasikan WHO. Perbedaan ini mungkin memiliki implikasi kesehatan masyarakat dalam pengelolaan beberapa penyakit menular, khususnya TBC dan HIV. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subyek penelitian dan unit analisis. 8 Penelitian mirip lainnya yang mendukung penelitian ini adalah mengenai evaluasi penerapan DOEN 2008 pada formularium RSUD tipe B di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan oleh Sari (2012). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penerapan DOEN 2008 pada formularium obat di RSUD tipe B Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan metode campuran dengan model sequential explanatory. Hasil penelitiannya adalah penerapan DOEN untuk RSUD Wirosaban kota Yogyakarta 96%, RSUD Panembahan Senopati Bantul 81%, RSUD Sleman 39%, RSUD Wates 42%. DOEN 2008 belum sepenuhnya diterapkan pada formularium RSUD tipe B di Provinsi DIY yang disebabkan oleh belum adanya evaluasi dan monitoring pemerintah terkait penerapan DOEN pada formularium rumah sakit, adanya perbedaan pola penyakit dari masing-masing rumah sakit, permintaan usulan obat pada formularium berdasarkan usulan dokter yang tidak mengacu DOEN, dan adanya obat generik DOEN yang tidak tersedia di pasaran, meskipun proses penyusunan formulariumnya sudah merujuk pada proses penyusunan formularium dari WHO & MSH. Penelitian terdahulu yang mirip dan memperkuat penelitian ini yaitu tentang evaluasi penerapan formularium di Rumah Sakit Umum Daerah Prambanan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilakukan oleh Setyoningrum (2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penerapan formularium di RSUD Prambanan tahun 2013 menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa 78,86% penulisan resep pada rawat jalan sudah sesuai dengan formularium RSUD Prambanan, serta 87,47% penulisan resep pada rawat inap sudah sesuai dengan formularium RSUD Prambanan. Peran manajemen pengelolaan obat dan dukungan manajemen berperan sangat penting untuk membantu meningkatkan usaha penerapan formularium yang terkait dengan sistem informasi yang belum terpenuhi.