PNEUMONIA ASPIRASI Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah

advertisement
Sari Kepustakaan III
ACC Supervisor
Divisi Pulmonologi & Alergi Imunologi
dr.Wina Yulinda
dr. Ermanta N. Keliat, Sp.PD-KP
PNEUMONIA ASPIRASI
Wina Yulinda, Ermanta N. Keliat, Alwinsyah Abidin, Zuhrial Zubir
Divisi Pulmonologi dan Alergi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUSU / RSUP Haji Adam Malik Medan
1. Pendahuluan
a. Definisi
Aspirasi merupakan proses terbawanya bahan yang ada di orofaring maupun isi lambung
pada saat respirasi ke saluran napas bawah dan dapat menimbulkan kerusakan parenkim paru. 1,2,3
Pada manusia sehat, aspirasi tidak jarang terjadi dan biasanya membaik tanpa komplikasi karena
material yang teraspirasi dibersihkan oleh aktivitas mukosilier dan makrofag alveoli. Kerusakan
paru akibat aspirasi tergantung pada volume dan kandungan inokulum serta mekanisme
pertahanan inang.2,3
Pneumonia aspirasi adalah kerusakan paru yang disebabkan oleh masuknya cairan,
partikel eksogen, atau sekresi endogen ke dalam saluran napas bawah. Secara konvensional
aspirasi pneumonia didefinisikan sebagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kurang
virulen, terutama bakteri anaerob, yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang rentan
mengalami aspirasi.2
b. Epidemiologi
Kebanyakan pneumonia terjadi setelah aspirasi mikroorganisme dari rongga mulut atau
nasofaring.2 Di Amerika Serikat pneumonia aspirasi yang terjadi pada komunitas sebanyak 10%,
pneumonia pada pusat perawatan kesehatan 30%, dan pneumonia aspirasi nosokomial sebanyak
800 pasien per 100.000 pasien rawat inap per tahun. Pneumonia aspirasi pada pasien dari
fasilitas kesehatan jangka panjang ditemukan 3 kali lipat lebih banyak daripada pneumonia
1
aspirasi dari komunitas. Mortalitas pneumonia aspirasi komunitas berbanding pneumonia
aspirasi di pusat fasilitas kesehatan adalah 19,4% berbanding 28,4%. 1
Penelitian lain melaporkan bahwa 5 – 15 % dari 4,5 juta kasus pneumonia komunitas
(community acquired pneumonia) disebabkan oleh pneumonia aspirasi. Sebuah penelitian
retrospektif melaporkan bahwa angka kematian-30 hari pneumonia aspirasi 21 % dan sedikit
lebih tinggi pada pneumonia aspirasi yang didapat di rumah sakit atau nosokomial (29,7 %).3
Pneumonia aspirasi nosokomial merupakan infeksi nosokomial kedua terbanyak setelah
infeksi saluran kemih, dan merupakan penyebab kematian utama pada infeksi nosokomial.
Sekitar 10 % pasien yang drawat inap akibat overdosis obat akan menderita pneumonitis
aspirasi.3
Insidensi pasti aspirasi pneumonia sulit diprediksi karena sebagian besar aspirasi tidak
bergejala dan tidak diketahui terjadinya. Sebuah penelitian prospektif yang dilakukan pada
pasien penyakit kritis, dengan menggunakan kadar pepsin dalam cairan broncoalveolar Lavage
(BAL) sebagai marker penentu aspirasi diperkirakan aspirasi terjadi pada setidaknya + 88,9 %
pasien.4
Pneumonia aspirasi lebih sering dijumpai pada orang dewasa daripada anak-anak, dimana
laki-laki lebih berisiko daripada perempuan. Faktor risiko yang paling berpengaruh adalah usia
lanjut, dimana kelompok usia ini paling rentan menderita pneumonia aspirasi.3
2. Predisposisi
Hampir semua pasien yang menderita pneumonia aspirasi memiliki satu atau lebih faktor
predisposisi. Kondisi-kondisi yang memudahkan aspirasi pneumonia antara lain:2,3

Penurunan kesadaran mengganggu refleks batuk dan penutupan glotis sehingga dapat
meningkatkan risiko pneumonitis aspirasi. Adapun kondisi yang menyebabkan penurunan
kesadaran antara lain alkoholik, overdosis obat-obatan, kejang, stroke, trauma kepala,
anastesi umum, dan tumor intrakranial.3

Kelainan esofagus yang berhubungan dengan aspirasi pneumonia antara lain disfagia,
striktur esofagus, neoplasma esofagus, divertikel esofagus, fistula trakeoesofagus,
gastroesophageal reflux disease (GERD). Pada usia lanjut yang paling sering dijumpai
adalah disfagia esofageal.3 Adanya disfagia bisa dikonfirmasi dengan mudah dengan cara tes
menelan cairan dengan konsitensi dan jumlah yang bervariasi atau dengan menggunakan
2
pemeriksaan video fluoroscopic swallow. 2

Penyakit neurologis, seperti multipel sklerosis, demensia, penyakit parkinson, myastenia
gravis, pseudobulbar palsy, dan progresive supranuclear palsy (PSP).3,5,6 Pada penyakit
parkinson sering dijumpai disfagia yang berhubungan dengan pneumonia aspirasi.
Dilaporkan bahwa penderita penyakit parkinson 3,8 kali lebih berisiko mengalami
pneumonia aspirasi dibandingkan dengan populasi umum. Selain itu juga dilaporkan bahwa
pneumonia aspirasi merupakan penyebab kematian utama pada penyakit parkinson (+ 70 %
dari mortalitas).5 Penelitian lain melaporkan bahwa pneumonia aspirasi merupakan
merupakan penyebab kematian utama pada PSP. Dari 22 orang pasien PSP yang menderita
pneumonia aspirasi, sebanyak 59 % meninggal. Dijumpainya pneumonia aspirasi merupakan
prediktor survival time yang pendek (periode laten 2,3 tahun).6

Kondisi mekanis, seperti nasogastric tube (NGT), intubasi endotrakeal, trakeostomi,
endoskopi saluran cerna, bronkoskopi, gastrostomi atau postpyloric feeding tube.2,3

Penggunaan obat-obatan yang menekan asam lambung. Diduga bahwa hilangnya barier
asam lambung menyebabkan kandungan bakteri lebih tinggi di paru-paru saat terjadi aspirasi
dari isi lambung.2,3

Kondisi lain, seperti muntah hebat, posisi telentang lama, dan penyakit kritis. 2,3

Usia lanjut merupakan kelompok yang berisiko tinggi mengalami aspirasi dan mungkin
aspirasi merupakan faktor risiko paling penting pada pneumonia geriatri. Pneumonia geriatri
sering disebabkan oleh gangguan menelan yang tidak terdeteksi sehingga kejadian aspirasi
tak terdeteksi. Hal ini karena pada 1/3 pasien geriatri dijumpai kelainan sistem saraf
(misalnya stroke).7,8 Insidensi dan prevalensi pasti pneumonia aspirasi pada geriatri belum
diketahui, tetapi dilaporkan berhubungan langsung dengan usia dan penyakit dasar pasien.
Sebuah penelitian prospektif melaporkan bahwa rasio pneumonia aspirasi dengan total kasus
pneumonia meningkat seiring dengan pertambahan usia. Sebanyak 80,1 % (382 kasus) dari
pneumonia geriatri terdiagnosis merupakan pneumonia aspirasi. 9
Kondisi-kondisi ini sering menyebabkan aspirasi, yang meningkatkan kemungkinan menderita
aspirasi pneumonia.2
3
3. Pencegahan
Beberapa perlakuan (misalnya posisikan, perubahan diet, obat-obatan menjaga
kebersihan mulut, dan pemakaian selang makan) telah diajukan untuk mencegah aspirasi pada
orang dewasa, khususnya pada pasien lanjut usia dan stroke:2,3,10,11

Posisikan pasien yang menderita penurunan kesadaran dalam posisi semifowler dengan
sudut antara kepala dengan temat tidur 30 – 45 o (level evidence B). Sebuah penelitian kecil
pada pasien yang dipasang ventilasi mekanis, aspirasi lebih jarang terjadi pada pasien yang
diposisikan semifowler bila dibandingkan dengan posisi supinasi. Walaupun demikian,
penelitian systematic review melaporkan bahwa tidak cukup data untuk menyimpulkan hal
tersebut. 2,3,10,11

Minimalkan penggunaan sedasi (level evidence C). 2,3,10,11

Sebuah penelitian terandomisasi pada 711 orang pasien Parkinson membandingkan insidensi
aspirasi pada pemberian makanan oral dengan konsistensi encer (honey-thickened liquids)
dengan konsistensi kental (nectar-tickened liquids), dilaporkan bahwa insidensi aspirasi
secara signifikan lebih tinggi pada yang mendapat makanan encer. Namun demikian, pada
akhirnya yang berkembang menjadi aspirasi pneumonia 3 bulan setelah itu tidak berbeda
signifikan antara kedua kelompok. 2,3,10,11

Untuk pasien yang memiliki kesulitan menelan, teknik untuk menurunkan aspirasi antara
lain bentuk makanan lunak dan makan sedikit demi sedikit. Walaupun memposisikan
semifowler dan mengganti konsisitensi makanan tampaknya sesuai, efikasinya belum
terbukti pada penelitian dengan kontrol. 2,3,10,11

Pada pasien yang diberi makan melalui NGT, nilai intoleransi saluran cerna terhadap
makanan tiap 4 jam (level evidence C). Hindari pemberian makanan secara bolus pada
pasien yang berisiko tinggi aspirasi (level evidence E). Pemberian makan dengan NGT
mungkin diperlukan untuk pasien dengan disfagia berat. Percutaneus endoscopic
gastrostomy tubes dan NGT lebih efisien untuk memberikan nutrisi dan obat-obatan oral
pada pasien dengan disfagia, tetapi belum terbukti menurunkan insidensi aspirasi
pneumonia. Penelitian terbaru melaporkan bahwa pengobatan pasien dengan gastrostomy
tube dan mosaprid sitrat (obat gastroprokinetik) berhubungan dengan risiko aspirasi yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan plasebo dan terapi proton pump inhibitor (PPI).
Sebelum memulai enteral feeding tube, lokasi tip (ujung tube) sebaiknya dikonfirmasi
4
secara radiologis. Volume residu lambung dipantau secara reguler. Untuk pemberian
makanan secara bolus, volume residu makanan sebaiknya tidak melebihi 150 mL sebelum
pemberian bolus makanan berikutnya. 2,3,10,11

Evaluasi kemampuan menelan sebelum memulai makanan per oral pada pasien yang baru
saja diekstubasi bila ia sebelumnya diintubasi selama > 2 hari (level evidence C). Ekstubasi
sebaiknya dilakukan pada posisi lateral kiri atau posisi duduk. 2,3,10,11
4. Klasifikasi
Karakter inokulum, patogenesis kondisi paru-paru, dan gejala klinis membantu
membedakan sindrom-sindrom klinis dalam klasifikasi pneumonia aspirasi. Empat sindrom yang
paling sering dijumpai secara klinis adalah aspirasi asam lambung yang menyebabkan
pneumonitis kimia (pneumonitis aspirasi), aspirasi bakteri dari rongga mulut dan faring
menyebabkan pneumonia aspirasi, aspirasi benda asing yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, dan aspirasi minyak yang menyebabkan pneumonia aspirasi lipoid (jarang).3 Kadangkadang pasien memiliki pneumonia aspirasi yang saling tumpang tindih dan tidak bisa
diklasifikasikan dalam satu kasus.2
a.
Pneumonitis Kimia
Pneumonitis kimia, dikenal juga dengan pneumonitis aspirasi, merupakan reaksi
inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh aspirasi isi lambung dalam jumlah besar
tanpa infeksi.2,3 Salah satu contoh pneumonitis aspirasi adalah yang disebabkan oleh aspirasi
asam lambung yang pertama kali diungkapkan oleh Mendelson pada tahun 1946 sehingga
disebut juga sindrom Mendelson.2
Patofisiologi pneumonitis akibat asam lambung telah diteliti secara ekstensif pada hewan
coba. Dibutuhkan inokulum dengan pH < 2,5 dan volume cukup besar (> 0,3 mL/kg berat
badan atau 20 – 25 mL pada dewasa) untuk menyebabkan pneumonitis kimia. Volume
inokulum yang lebih kecil bisa menyebabkan gejala yang samar sehingga tidak terdeteksi
secara klinis. 2
Keasaman isi lambung menyebabkan chemical burns terhadap tracheobronchial tree
yang terlibat pada saat aspirasi, diikuti reaksi inflamasi seluler dan pelepasan sitokin,
khususnya tumor necrosis factor (TNF)-alfa dan ilnterleukin (IL)-8.2,3 Perubahan patologis
5
pada hewan yang mengalami pneumonitis aspirasi berkembang dengan cepat. Dalam tiga
menit, dijumpai atelektasis, perdarahan peribronkial, edema paru, dan degenerasi sel-sel
epitel bronkiolus. Dalam empat jam alveoli terisi dengan leukosit polimorfonuklear dan
fibrin. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas mikrovaskular paru dan dan ekstravasasi
cairan dan protein ke dalam saluran napas dan alveoli. Membran hialin dijumpai dalam 48
jam, dimana paru-paru secara makroskopis tampak edema dan hemoragik dengan
konsolidasi alveoli.2,4
Pada pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh aspirasi partikel makanan dalam jumlah
kecil dan tidak asam pada tikus ditemukan inflamasi neutrofilik akut dalam 4 – 6 jam, tetapi
tidak dijumpai edema dini sebagaimana dijumpai pada aspirasi asam. Puncak respon
monositik dijumpai pada jam ke-48 paska aspirasi, dimana jaringan paru menunjukkan
tanda-tanda awal dari pembentukan granuloma.4
Pemberian antibodi monoklonal anti-IL-8 menurunkan kadar IL-8, sekuestrasi neutrofil
ke alveoli, dan mencegah gangguan oksigenasi dan cairan ekstravaskular paru-paru pada
kelinci percobaan.2
Pemberian obat yang menghambat kaskade komplemen di C5 menurunkan kadar TNFalfa di serum dan cairan BAL serta sekuestrasi neutrofil pada tikus. Penelitian lain
melaporkan bahwa pemberian antiserum anti-TNF-alfa menurunkan jumlah neutrofil,
konsentrasi protein dalam cairan BAL, serta edema di jantung dan ginjal. 2
Sebuah penelitian dengan follow up jangka panjang pada pasien yang bertahan hidup dari
pneumonia aspirasi berat menunjukkan penyembuhan sempurna pada beberapa pasien dan
menjadi fibrosis paru (secara radiografis) pada beberapa pasien lainnya. 2
Berikut ini beberapa gambaran klinis yang mungkin ditemukan pada pneumonitis
aspirasi:2

Gejala mendadak dengan sesak napas yang prominen

Demam subfebris

Sianosis dan ronki pada auskultasi paru-paru

Hipoksemia berat dan dijumpai infiltrat pada foto toraks. Bila aspirasi terjadi saat posisi
tegak, maka paru-paru yang terkena adalah lobus bawah. Sedangkan bila aspirasi terjadi
saat posisi berbaring, paru-paru yang terkena adalah bagian superior lobus bawah dan
posterior lobus atas.
6
Prognosis penyakit ini bervariasi. Sebuah penelitian retrospektif pada 50 kasus
pneumonitis aspirasi dilaporkan bahwa 12 % kasus mengalami pneumonitis fulminan dan
meninggal dalam waktu singkat karena Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), 62 %
mengalami perbaikan klinis yang cepat dengan foto toraks yang kembali normal, dan 26 %
awalnya mengalami perbaikan klinis yang cepat tetapi selanjutnya pada foto toraks dijumpai
perluasan infiltrat baru akibat infeksi sekunder oleh bakteri maupun superimposed ARDS
yang disebabkan oleh kerusakan paru akibat asam.2
Diagnosis pneumonitis aspirasi biasanya secara presumtif berdasarkan gambaran klinis
dan perjalanan penyakit sebagaimana dijelaskan di atas. Kelainan foto toraks baru muncul
dua jam setelah terjadi aspirasi. Pada pemeriksaan bronkoskopi tampak eritema pada bronkus
yang menunjukkan cedera bronkus akibat asam. 2
Pasien yang mengalami aspirasi sebaiknya dilakukan tracheal suction untuk
membersihkan cairan dan partikel-partikel yang bisa menyebabkan obstruksi. Walaupun
demikian, hal ini tidak mencegah cedera paru akibat kimia yang terjadi sangat cepat;
selanjutnya inokulum asam akan dinetralisir oleh respon fisiologis.
Penatalaksanaan utama adalah mempertahankan fungsi paru. Sebuah penelitian pada
hewan coba melaporkan manfaat pemberian ventilasi tekanan positif, koloid secara
intravena, dan sodium nitroprusid yang diinfuskan ke dalam arteri pulmonalis. Ventilasi
mekanis diindikasikan pada pasien yang mengalami gagal napas.2
Pengunaan glukokortikoid pada pneumonitis aspirasi masih kontroversial. Penelitian
pada hewan coba melaporkan hasil yang bervariasi, tetapi penelitian pada manusia secara
umum tidak berhasil. Pemberian glukokortikoid untuk ARDS juga masih kontroversial.2
Sebuah penelitian pada hewan coba melaporkan bahwa paru yang mengalami cedera
akibat asam sangat rentan terhadap infeksi bakteri, dan sebuah penelitian klinis melaporkan
bahwa 13 dari 26 % pasien mengalami superinfeksi paru dalam masa penyembuhan.
Antibiotika umumnya diberikan karena sulit untuk mengeksklusi infeksi bakteri pada pasien
yang mengalami aspirasi. Pada pasien yang sakit berat, bisa diberikan antibiotika empirik.
Namun, bila pada foto toraks tidak muncul gambaran infiltrat setelah 48 – 72 jam, pemberian
antibiotika dapat dihentikan. 2
7
b. Pneumonia Aspirasi akibat Infeksi Bakteri
Bentuk pneumonia aspirasi yang paling sering dijumpai adalah yang disebabkan oleh
bakteri flora normal saluran napas bagian atas atau lambung. Pneumonia aspirasi biasanya
didefinisikan sebagai infeksi akibat bakteri yang kurang virulen, terutama bakteri anaerob
dari mulut dan Streptococcus, pada inang yang rentan mengalami aspirasi. Penelitian
terakhir melaporkan dominasi bakteri anaerob pada pneumonia aspirasi, dengan bakteri yang
lebih virulen seperti S. aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan basil garam negatif fakultatif
lain.2
Pneumonia aspirasi bisa terjadi di komunitas, rumah sakit atau di rumah sakit / fasilitas
kesehatan (nosokomial). Pada keduanya, penyebab infeksi bisa bakteri anaerob atau disertai
bakteri aerob atau mikroaerofilik. Pneumonia nosokomial yang disebabkan aspirasi sering
dijumpai, dan patogen utama adalah flora yang didapat di rumah sakit melalui kolonisasi
orofaring (contohnya bakteri gram negatif enterik atau basil gram negati dan Staphylococcus
aureus).2,3
Penelitian bakteriologi awal pada pneumonia aspirasi yang didapat di komunitas
melaporkan bahwa etiologi sama seperti community acquired pneumonia (pneumonia
komunitas). Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa etiologi tersering adalah
Streptococcus
pneumoniae,
Staphylococcus
aureus,
Haemophilus
influenzae,
dan
Enterobactericeae. Faktanya, dua buah penelitian pada pasien yang mengalami aspirasi
diambil sampel dengan menggunakan protective specimen brush dan dilakukan kultur
anaerob, tidak dijumpai isolasi bakteri anaerob.3
Pneumonia aspirasi nosokomial sering disebabkan oleh bakteri gram negatif, yaitu
Pseudomonas aeruginosa, khususnya pada pasien yang terintubasi. Selain itu, methicillinresistant S. Aureus (MRSA) lebih sering dijumpai pada pasien pneumonia aspirasi
nosokomial daripada di komunitas (4,2 % vs 1,4 %). 3 Spesimen sputum dari pasien dengan
pneumonia aspirasi nosokimial, bahkan spesimen transtracheal aspiration yang diproses di
laboratorium terspesialisasi, menunjukkan pertumbuhan patogen aerob disertai patogen
anaerob obligat.2
Bakteri anaerob merupakan organisme dominan di saluran napas bagian atas. Peran
penting mikroba ini pada pneumonia aspirasi, abses paru, dan empiema dilaporkan pertama
kali pada tahun 1970 dengan teknik pengambilan sampel yang hati-hati untuk mengisolasi
8
bakteri anaerob dan trans-tracheal aspiration untuk memperoleh spesimen yang tidak
terkontaminaasi dari saluran napas bagian bawah. Sputum yang dibatukkan tidak sesuai
untuk kultur bakteri anaerob karena kemungkinan kontaminasi oleh flora normal di mulut.
Pengalaman kultur dari spesimen yang diperoleh dari bronkoskopi dengan protected brush
atau broncoalveolar lavage (BAL) masih sedikit.2
Bakteri anaerob utama yang diisolasi dari infeksi paru adalah Peptostreptococcus,
Fusobacterium nucleatum, Prevotella, dan Bacteroides spp. Sebuah penelitian prospektif
pada 95 orang pasien yang berasal dari fasilitas perawatan kronis dan memiliki faktor risiko
aspirasi yang akhirnya dirawat di intensive care unit (ICU) karena pneumonia melaporkan
bahwa basil gram negatif paling sering ditemukan dari isolasi kuman (49 %), diikuti bakteri
anaerob (16 %) dan S. aureus (12 %). Sebanyak 14 % dari pasien memiliki hasil isolasi
kuman basil gram negatif disertai bakteri anaerob.2
Sebagian besar pasien pneumonia aspirasi yang didapat di komunitas memiliki infeksi
campuran bakteri aerob dan anaerob, khususnya kasus-kasus yang melibatkan Streptococcus
aerob dan mikroaerofilik. Sebuah laporan dari Jepang yang menggunakan fine needle
transthoraccic aspiration atau protected brush cathether untuk memperoleh spesimen kultur
pada 212 orang pasien dengan abses paru menunjukkan bahwa Streptococcus aerob dan
mikroaerofilik merupakan patogen tersering (60 %) disusul oleh bakteri anerob (26 %).
Sebaliknya, pasien dengan pneumonia aspirasi nosokomial umumnya memiliki campuran
bakteri anaerob dan basil gram negatif atau S. aureus karena pada pasien rawat inap saluran
napas bagian atas sering dikolonisasi oleh basil gram negatif. 2
Gambaran klinis pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri sangat bervariasi. Bila
dibandingkan dengan kebanyakan kasus penumonia komunitas, tempo pneumonia aspirasi
yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering timbul perlahan-lahan, dan menggigil jarang
dijumpai.2
Sebagian besar pasien datang dengan keluhan umum pneumonia, yaitu batuk, demam,
sputum purulen, dan sesak napas. Kasus yang melibatkan bakteri anaerob biasanya timbul
perlahan dalam beberapa hari atau minggu. Banyak pasien mengalami penurunan berat
badan dan anemia pada proses yang lebih kronis. Bila aspirasi dengan asam atau infeksi
yang disebabkan S. aureus atau basil gram negatif tempo yang dibutuhkan lebih cepat. 2
9
Gambaran klinis yang merupakan ciri khas pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh
bakteri anaerob yaitu:2

Kondisi yang menjadi predisposisi aspirasi, biasanya gangguan kesadaran akibat
penyalahgunaan obat, alkoholik, anastesia, atau disfagia.

Tidak ada menggigil

Tidak membaik sebagaimana yang disebabkan oleh patogen yang diperoleh dari sputum
yang dibatukkan

Sputum putrit odor

Ada komorbid penyakit periodontal

Foto toraks atau CT scan toraks menunjukkan nekrosis paru dengan abses paru dan/ atau
empiema
Karena tempo timbulnya gambaran klinis secara perlahan-lahan, banyak pasien yang
datang terlambat setelah ada komplikasi seperti abses paru, pneumonia nekrotikans, atau
empiema, tapi sudah lebih jarang dijumpai.2
Pengobatan utama pneumonia aspirasi akibat infeksi bakteri adalah antibiotika. Dahulu
antibiotika pilihan untuk pengobatan pneumonia aspirasi dan abses paru yang melibatkan
bakteri anaerob adalah penisilin dosis tinggi yang diberikan secara intravena (IV) atau per
oral (PO). Namun, penelitian bakteriologi tahun 1970 melaporkan bahwa 25 % kasus
memiliki bakteri anaerob yang memproduksi penisilinase, terutama F. nucleatum,
Peptostreptococcus, Bacteroides spp selain B. fragilis, dan Prevotella sehingga adekuasi
penisilin diragukan.2
Dua buah penelitian membandingkan penisilin dan klindamisin dalam mengobati abses
paru menyimpulkan bahwa klindamisin lebih superior dalam hal response rate dan waktu
yang dibutuhkan untuk menurunkan demam. Salah satu penelitian ini mengikutsertakan 37
orang pasien dengan abses paru atau pneumonia nekrotikans, yang mana melaporkan bahwa
failure rate klindamisin lebih rendah (15 %) bila dibandingkan dengan penisilin (44 %). 2
Sebuah penelitian terandomisasi pada 100 orang pasien pneumonia aspirasi usia lanjut
melaporkan bahwa klindamisin (2 x 600 mg), ampisilin-sulbaktam (2 x 1,5 g), ampisilin
sulbaktam (2 x 3 g), atau imipenem (2 x 500 mg) sama efektivitasnya dalam mengobati
pneumonia aspirasi (cure rates 76 – 88 %), tetapi klindamisin memiliki angka superinfeksi
methicillin resistant S.aureus (MRSA) paska terapi yang lebih rendah (0 dari 25 kasus) bila
10
dibandingkan dengan antibiotika lain (5 – 8 dari 25 kasus) dan harga klindamisin juga lebih
murah.2
Terapi alternatif yang tampaknya efektif antara lain amoksisilin-klavulanat dan penisilin
dikombinasi dengan metronidazole. Metronidazole monoterapi memiliki failure rate 50%
dalam mengobati infeksi pleuropulmonal anaerob diduga karena aktivitasnya kurang dalam
melawan Streptococcus aerob dan mikroaerofilik (ditemukan dalam 40 – 70 % kasus).2
Di antara fluoroquinolon, moxifloksasin paling disukai karena penelitian awal hasil yang
baik secara in vitro dalam melawan bakteri anaerob dan sebuah penelitian kecil juga telah
melaporkan manfaatnya pada pneumonia aspirasi dan abses paru. Namun demikian,
moksifloksasin belum diteliti secara adekuat untuk direkomendasikan sebagai terapi lini
pertama untuk pneumonia aspirasi, dan angka resistensi bakteri anaerob terhadap
moksifloksasin juga terus meningkat.2
Penggunaan terapi alternatif seperti makrolide, tetrasiklin, dan cefalosporin belum diteliti
secara sistematis untuk pneumonia aspirasi karena obat-obat ini tidak pernah terbukti
efikaasinya dalam mengobati infeksi anaerob.2
Jika pneumonia aspirasi disebabkan oleh patogen anaerob, terapi lini pertama yang
dianjurkan adalah klindamisin 600 mg (IV) setiap 8 jam diikuti 4 x 300 mg (PO), atau 3 x
450 mg (PO). Terapi alternatif adalah amoksisillin-klavulanat 2 x 875 mg (PO) atau
kombinasi metronidazol 3 x 500 mg (PO) dengan amoksisillin 3 x 500 mg (PO) atau
penisilin G 1 – 2 juta unit (IV) setiap 4 – 6 jam.2
Untuk pneumonia aspirasi nosokomial, kebanyakan penulis melaporkan bahwa bakteri
aerob, khususnya basil gram negatif dan S. aureus, lebih penting daripada bakteri anaerob
sehingga terapi diarahkan pada bakteri aerob. Bila dibutuhkan antibiotika yang bisa
mengontrol bakteri anaerob sekaligus basil gram negatif aerob, dianjurkan untuk
memberikan karbapenem atau piperasilin-tazobaktam.2
Durasi pemberian antibiotika pada pneumonia aspirasi belum banyak diteliti. Pada kasus
pneumonia aspirasi tanpa kavitasi atau empiema antibiotika biasanya diberikan selama 7 –
10 hari. Kasus dengan efusi pleura sebaiknya dilakukan torakosentesis untuk mengeksklusi
empiema, yang sering sebagai komplikasi pneumonia bakteri anaerob. Pasien dengan abses
paru memerlukan antibiotika lebih lama, biasanya sampai terjadi perbaikan radiologis (small
stable residual lession).2
11
c.
Pneumonitis Aspirasi yang menyebabkan Obstruksi Saluran Napas
Pneumonitis aspirasi bisa melibatkan cairan atau partikel yang tidak toksik terhadap paru,
tetapi bisa menyebabkan obstruksi saluran napas atau refleks penutupan saluran napas.
Contoh cairan yang tidak toksik terhadap paru tapi bisa menyebabkan obstruksi saluran
napas adalah larutan salin, barium, cairan yang diminum, isi lambung dengan pH > 2,5.2
Sebuah penelitian pada hewan coba melaporkan masuknya cairan ke dalam trakea dalam
jumlah sedikit menyebabkan hipoksemia transien yang sembuh sendiri. Kadang-kadang hal
ini dapat mencetuskan edema paru, hipoksemia yang lebih berat, dan menurunkan
compliance paru. Namun demikian, reaksi ini bisa reversibel dengan
vagotomi atau
pemberian atropin maupun isoproterenol, mengindikasikan adanya refleks penutupan paru.
Jenis aspirasi ini sulit dikenali secara klinis. Penatalaksaan yang tepat adalah dengan
ventilasi tekanan positif (VTP) dengan oksigen 100 % dikombinasi dengan isoproterenol. 2
Contoh pneumonia aspirasi cairan yang menyebabkan obstruksi saluran napas paling
sering adalah tenggelam. Pasien yang berisiko mengalami obstruksi mekanis adalah yang
yang tidak memiliki refleks batuk atau gangguan kesadaran. 2
Penatalaksanaan terpenting adalah tracheal suctioning. Jika selanjutnya foto toraks tidak
menunjukkan gambaran infiltrat pada paru, tidak perlu diberikan terapi lebih lanjut selain
mencegah episode aspirasi terulang kembali. Pada pasien rawat inap dianjurkan posisi
semifowler atau posisi tegak. 2
Derajat keparahan obstruksi saluran napas tergantung pada ukuran relatif zat yang
teraspirasi dan kaliber saluran napas bagian bawah. Aspirasi benda asing paling sering
terjadi pada anak-anak usia 1 – 3 tahun. Benda yang paling sering ditemukan di saluran
napas bagian bawah adalah kacang, partikel sayur-sayuran, zat anorganik, dan gigi. Partikel
sayur-sayuran, termasuk kacang, problematik karena tidak terlihat pada foto toraks.
Dampak klinis bergantung pada level obstruksi. Obstruksi partikel besar yang tersangkut
di laring atau trakea menyebabkan sesak napas mendadak, sianosis, dan afonia yang cepat
menyebabkan kematian bila obstruksi tidak segera dibebaskan. Hal ini kada-kadang disebut
juga “cafe coronary syndrome” karena mirip gejala infark miokard dan sering dijumpai
aspirasi daging saat sedang makan di restoran. Penatalaksanaan yang dianjurkan adalah
12
Heimlich manuever, yaitu menekan perut bagian atas dengan cepat dan kuat untuk
mendorong diafragma ke atas dan mengeluarkan partikel. 2
Aspirasi partikel yang lebih kecil menyebabkan obstruksi lebih ringan. Pasien sering
datang dengan batuk yang mengganggu dan foto toraks menunjukkan atelektasis atau
emfisema obstruktif dengan pergeseran jantung dan diafragma meninggi. Jika obstruksi
parsial, bisa dijumpai wheezing unilateral. Superinfeksi bakteri merupakan komplikasi yang
sering dijumpai jika obstruksi menetap selama lebih dari satu minggu; patogen tersering
adalah bakteri anaerob yang berasal dari saluran napas bagian atas. Penatalaksanaan primer
adalah membuang benda asing, biasanya dengan menggunakan bronkoskopi fibreoptic atau
rigid. 2
d. Pneumonia Lipoid
Pneumonia lipoid sering disebabkan oleh aspirasi mineral oil ketika digunakan untuk
konstipasi. Pasien yang paling sering terkena adalah usia tua yang memiliki faktor risiko
aspirasi. Akibatnya terjadi respon inflamasi dengan edema regional dan perdarahan
intraalveolar atau parafinoma dimana minyak yang teraspirasi dikapsulasi oleh jaringan
fibrosa. Gambaran klinis awal adalah batuk, demam, dan dispnu; selanjutnya tampak massa
pada pemeriksaan pencitraaan pasien yang sudah asimtomatik. 2
5. Diagnosis
Aspirasi bisa asimtomatik atau muncul dengan gejala dan tanda yang hebat, seperti
wheezing, sesak napas, sianosis, dan hipoksia.4 Klinisi harus mempertimbangkan diagnosis
pneumonia aspirasi jika seorang pasien memiliki gambaran klinis disertai faktor risiko dan
gambaran infiltrat pada foto toraks yang mengarah pada pneumonia aspirasi. Lokasi infiltrat
tergantung pada posisi pasien ketika terjadi aspirasi.3
Kejadian aspirasi yang diketahui merupakan bukti dari pneumonia aspirasi dengan
dokumenasi partikel makanan atau isi saluran cerna dalam tracho-bronchial tree. Sedangkan
aspirasi cairan lambung yang tidak diketahui merupakan suatu kondisi yang paling sulit
untuk didiagnosis. Tidak ada standard baku emas untuk mendiagnosis pneumonia aspirasi.
Sering kali pneumonia aspirasi merupakan suatu penyakit eksklusi, dimana etiologi lain dari
hipoksia, seperti edema paru, emboli paru, community acquired pneumonia (CAP) atau
13
hospital acquired pneumonia (HAP) sudah disingkirkan.4
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sebaiknya mengarah pada gambaran klinis
pasien. Pasien dengan gejala dan tanda sepsis dan syok sepsis memerlukan pemeriksaan
laboratorium yang lebih banyak daripada pasien dengan sindrom aspirasi yang lebih ringan. 3
a. Diagnosis Banding
Ketika mengevaluasi seorang pasien yang diduga menderita pneumonia aspirasi, penyakit
lain yang harus dipertimbangkan adalah pneumonia nekrotikans, bronkopneumonia dengan
fistula, karsinoma paru, abses paru, mikosis paru, dan pneumonitis hipersensitif. Kondisikondisi di bawah ini juga harus dievaluasi:3

ARDS

Tuberkulosis

Bronchitis

Penyakit paru obstruksi kronis

Epiglotitis

Pneumonia, empiema, dan abses paru

Pneumonia mikoplasma

Pneumonia viral

Syok sepsis
b. Pemeriksaan Penunjang
Selain berdasarkan gambaran klinis dan dijumpai infiltrat pada foto toraks atau pada
pemeriksaan pencitraan lain, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti di bawah
ini:3,12,13,14

Analisis Gas Darah
Analisis gas darah arteri digunakan untuk menilai oksigenasi dan status pH.
Analisis gas darah arteri memberikan informasi yang mengarahkan pemberian terapi
oksigen. Hasil analisis gas darah arteri sering menunjukkan hipoksemia akut dan kadar
karbondioksida rendah atau normal pada pasien pneumonitis kimia. Kadar laktat bisa
digunakan sebagai marker awal dari sepsis berat atau syok sepsis.3,14
14

Panel Metabolik Dasar
Pemeriksaan elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), dan kadar kreatinin
bisa digunakan untuk menilai status cairan dan perlu atau tidak terapi cairan intravena.
Hal ini penting khususnya pada pasien dengan demam, muntah, atau diare yang mungkin
mengalami kehilangan banyak cairan.3,14
Kadar BUN serum dan kreatinin juga bisa digunakan untuk menilai fungsi ginjal
agar bisa memberikan antibiotika dengan dosis yang sesuai. Selain itu juga bisa untuk
mengevaluasi gangguan ginjal (kidney injury) pada pasien dengan sepsis atau syok
sepsis.3,14

Darah Lengkap
Darah lengkap bisa menunjukkan peningkatan jumlah leukosit (leukositosis),
peningkatan neutrofil (neutrofilia), anemia, dan trombositosis pada pasien dengan
pneumonia akibat bakteri anaerob. Leukositosis dan neutrofilia bisa dijumpai juga pada
pasien pneumonitis kimia.3,14

Pemeriksaan Sputum
Walaupun kultur sputum dan pewarnaan gram secara umum tidak menolong pada
saat mendiagnosis ataupun penatalaksanaan awal, hal ini menunjukkan berbagai bakteri
(misalnya coccus, basil, coccobacillar, dan fusiform) pada pasien penumonia akibat
bakteri anaerob. Pada pneumonia aspirasi nosokomial, kultur sputum bisa membantu
mendeteksi bakteri gram negatif. Kultur sputum bisa menunjukkan tidak ada
pertumbuhan bakteri bila patogen utama adalah bakteri anaerob.3

Kultur Darah
Kultur darah dilakukan sebagai skrining awal untuk bakteremia. Pada pneumonia
tanpa komplikasi (tanpa tanda sepsis atau syok sepsis), kultur darah jarang menunjukkan
pertumbuhan patogen dan tidak diperlukan untuk diagnosis dan penatalaksanaan awal. 3
Kultur darah dilakukan sebelum pemberian terapi antibiotika. Namun demikian,
hasil positif hanya dijumpai pada 5 – 14 % pasien pneumonia komunitas yang dirawat
inap, dan patogen yang paling sering dijumpai adalah S. pneumoniae.12 Belum ada
15
penelitian yang melaporkan mengenai persentasi hasil positif pada pneumonia aspirasi.

Foto Toraks
Gambaran foto toraks pneumonia aspirasi tergantung pada posisi pasien saat
terjadi aspirasi. Lobus paru bagian kanan bawah merupakan lokasi tersering dijumpai
infiltrat karena kalibernya lebih besar dan orientasi lebih vertikal pada bronkus utama
kanan. Pasien yang mengalami aspirasi ketika berdiri bisa memiliki infiltrat bilateral pada
lobus paru bagian bawah. Pasien yang berbaring pada posisi lateral dekubitus kiri lebih
sering memiliki infiltrat pada paru kiri. Paru bagian kanan atas bisa terlibat khusunya
pada alkoholik yang mengalami aspirasi saat posisi telungkup.3
Jika
dijumpai
efusi
pleura
mungkin
mengindikasikan
perlu
dilakukan
torakosentesis untuk mengeksklusi empiema.3
Gambaran radiologis pada pasien pneumonitis kimia ditandai dengan infiltrat,
umumnya tipe alveolar, pada satu atau kedua lobus bagian bawah, atau infiltrat difus
seperti edema paru. Hilangnya volume paru pada lobus tertentu mengindikasikan ada
obstruksi (misalnya pada aspirasi partikel makanan atau benda asing) di bronkus. 3
Gambaran radiologis pada pneumonia aspirasi akibat bakteri anaerob biasanya
menunjukkan infiltrat dengan atau tanpa kavitasi pada salah satu segmen paru (misalnya
segmen posterior lobus paru bagian atas, segmen superior lobus paru bagian bawah).
Lusensi di dalam infiltrat menggambarkan pneumonia nekrotikans. Air-fluid levels di
dalam infiltrat yang berbatas tegas mengindikasikan abses paru. Sudut kostofrenikus
tumpul dan adanya meniskus adalah tanda efusi pleura parapneumonia. 3
16
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 1: Foto toraks seorang pasien pada paru kiri saat overdosis benzodiazepin. Mungkin
posisi pasien miring ke kiri pada saat aspirasi. Gambar 2: Foto toraks pasien dengan pneumonia
aspirasi masif pada paru kanan.3
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 3: Pneumonia aspirasi pada seorang pria berusia 84 tahun yang secara umum sehat,
dengan gejala demam dan batuk. Foto toraks menunjukkan opasitas pada lobus kiri bagian
bawah; Gambar 4: Foto toraks lateral pasien berusia 84 tahun dengan pneumonia aspirasi
mengkonfirmasi lokasi infiltrat pada lobus kiri baian bawah.3

Ultrasonografi
Ultrasonografi membantu mengkonfirmasi dan menentukan lokasi efusi pleura. 3
17

CT scan Toraks
CT scan toraks tidak diindikasikan pada semua kasus yang diduga pneumonia
aspirasi. Pemeriksaan ini bisa bermanfaat untuk membedakan efusi pleura dan empiema
serta mendeteksi nekrosis di dalam infiltrat dan kavitas. CT scan memberikan gambaran
lebih baik paru yang terlibat dan digunakan untuk membedakan kelainan paru dengan
kelainan pleura.3

Bronkoskopi
Bronkoskopi diindikasikan pada pasien pneumonitis kimia hanya jika diduga
terjadi aspirasi benda asing atau makanan. Bronkoskopi dengan protected brush dan
protected cathether untuk memperoleh patogen pada pneumonia akibat bakteri dan
membantu dalam pemilihan antibiotika. Bronkoskopi membantu mengeksklusi adanya
obstruksi akibat neoplasma pada penumonia bakteri dengan abses paru. Namun
demikian, tidak bermanfaat pada penatalaksanaan pneumonia aspirasi komunitas. 3

Kateterisasi Arteri Pulmoner
Pemasangan kateter arteri pulmoner bisa membantu membedakan edema paru
kardiogenik dengan nonkardiogenik pada penumonitis kimia. Kateter yang memantau
hemodinamik bisa digunakan untuk memandu pemberian terapi cairan yang tepat. 3

Torakosentesis
Torakosentesis, dikenal juga sebagai aspirasi cairan pleura, merupakan prosedur
diagnostik dan terapeutik dimana cairan (atau udara) dikeluarkan dari pleura (antara
pleura parietal dan viseral). Analisis cairan pleura bisa membantu menentukan penyebab
efusi pleura dan mengurangi gejala yang disebabkan efusi pleura. Foto toraks sebaiknya
dilakukan sebelum dan sesudah tindakan untuk
mendeteksi komplikasi dari
torakosentesis.3

Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada kasus berat dari penumonitis kimia
yang menyebabkan ARDS dan pada insufisiensi pernapasan akibat pneumonia aspirasi. 3
18

Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube bisa dilakukan untuk mengeluarkan efusi pleura
komplikata atau empiema.3
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Prehospital
Penatalaksanaan prehospital sebaiknya difokuskan pada stabilisasi jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi. Pada pasien yang dengan tanda aspirasi asam lambung (misalnya
dengan vomitus) men-suction saluran napas bagian atas bisa membersihkan sejumlah besar
aspirat. Intubasi sebaiknya dipertimbangkan pada setiap pasien yang tidak bisa melindungi
saluran napasnya. Kemampuan paramedis untuk melakukan intervensi ini bergantung pada
tingkat pelatihan mereka. Selain itu, emergency medical technician (EMT) dilatih untuk
melakukan intubasi bisa memutuskan untuk mengintubasi pasien dengan gangguan refleks
tersedak untuk mencegah aspirasi. Terapi lain yang diberikan antara lain suplementasi oksigen,
monitoring jantung dan pulse oxymetri, pemasangan kateter intravena dan pemberian cairan
intravena bila diperlukan. 3
b. Penatalaksanaan di Intensive Care Unit (ICU)
Penatalaksanaan di ICU sebaikanya dimulai dengan stabilisasi jalan napas pasien,
pernapasan, dan sirkulasi. Suction orofaring / trakeal mungkin diperlukan untuk membersihkan
aspirat. Penilaian ulang perlunya intubasi secara periodik berdasarkan oksigenasi pasien,
kesadaran, sesak napas, atau gagal napas. Lanjutkan pemberian oksigen sesuai kebutuhan, begitu
juga monitoring jantung dan pulse oximetry, serta perawatan suportif dengan cairan intravena
dan substitusi elektrolit.3
c. Penatalaksanaan Rawat Inap
Pasien dengan pneumonia aspirasi, baik pneumonitis kimia maupun pneumonia bakterial,
memerlukan rawat inap untuk beberapa alasan, antara lain penyakit akut, faktor inang, dan
perjalanan penyakit yang tidak pasti serta prognosis pneumonia aspirasi. Pasien dengan
gangguan hemodinamik berat dan atau sesak napas persisten sebaiknya dirawat di ICU. Pasien
19
yang terintubasi dan ventilasi harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki ICU, begitu juga
pasien dengan sepsis berat atau syok sepsis. Pasien dengan status pernapasan dan hemodinamik
stabil bisa dirawat di ruang rawat inap biasa.3
d. Pemberian Antibiotika
Antibiotika diindikasikan untuk pneumonia aspirasi. Namun, pada pneumonitis aspirasi
pemberian antibiotika profilaksis tidak direkomendasikan karena bisa menyebabkan resistensi.
Selain itu, pasien yang dengan aspirasi baru, demam, dan leukositosis sebaiknya tidak diberikan
antibiotika walaupun secara radiologis dijumpai infiltrat karena bisa menyebabkan resistensi.
Indikasi pemberian antibiotika pada pneumonitis aspirasi antara lain:3

Jika pneumonitis tidak membaik dalam 48 jam

Pasien dengan obsruksi usus kecil, khususnya yang bagian bawah, sebaiknya diberikan
antibiotika karena bakteri bisa mengkolonisasi isi lambung

Pasien yang mengkonsumsi antasida karena berpotensi mengalami kolonisasi bakteri di
lambung
Pada pasien tanpa gejala toksik, pemberian antibiotika sebaiknya yang dapat membunuh
patogen pneumonia
komunitas tipikal. Ceftriaxone dikombinasi
dengan azitromycin,
levofloxacin, atau moxifloxacin merupakan pilihan yang sesuai.3
Pada pasien dengan gejala toksik atau yang pernah dirawat inap akhir-akhir ini, walaupun
patogen pneumonia komunitas masih merupakan penyebab tersering, patogen lain seperti bakteri
gram negatif seperti P. aeruginosa dan K. pneumoniae, serta methicillin-resistant S. Aureus
(MRSA) harus dapat dibunuh oleh antibiotika empiris yang diberikan. Piperacillin / tazobactam
atau imipenem / cilastatin dikombinasi dengan vancomycin juga sesuai. Telavancin
diindikasikan untuk pneumonia nosokomial, termasuk di dalamnya pneumonia ventilator yang
disebabkan oleh S. aureus, dimana terapi alternatif tidak cocok. Adanya risiko aspirasi kronis,
putrid discharge, indolent hospital course, dan pneumonia nekrotikans mengarahkan kecurigaan
pada keterlibatan bakteri anaerob dan pertimbangkan untuk menambahkan klindamicin.3
Penatalaksanaan pasien pneumonitis kimia harus meliputi pertahankan jalan napas dan
membersihkan sekresi dengan tracheal suction, pemberian oksigen, dan ventilasi mekanis. Jika
pasien tidak bisa mempertahankan oksigenasi yang adekuat walaupun telah diberikan oksigen
20
fraksi tinggi, positive end expiratory pressure (PEEP) sebaiknya dipertimbangkan. Pemberian
kortikosteroid secara rutin tidak direkomendasikan, karena berdasarkan penelitian pada hewan
coba maupun manusia tidak menunjukkan manfaat. Pemberian antibiotika profilaksis pada
pneumonitis kimia sebelum terbukti adanya infeksi bakteri tidak didukung oleh bukti yang kuat.3
Pemberian antibiotika berdasarkan hasil kultur sputum, aspirat trakea, atau aspirat yang
diperoleh dari protected cathether bronchoscopy lebih tepat daripada antibiotika empiris.
Namun, karena bronkus yang mengalami cedera kimia sangat rentan terhadap infeksi bakteri,
maka pemberian antibiotika dapat diterima berdasarkan probabilitas infeksi bakteri, beratnya
pneumonia, dan faktor risiko inang (misalnya malnutrisi, penyakit komorbid), faktor intervensi
(misalnya penggunaan antibiotika sebelumnya, kortikosteroid, obat sitotoksik, dan NGT), serta
lama rawat inap.3
Penatalaksanaan awal pasien yang diduga menderita pneumonia aspirasi tanpa faktor
risiko keterlibatan bakteri anaerob sebaiknya serupa dengan penatalaksanaan pneumonia
komunitas: sefalosporin generasi ketiga dengan makrolid atau fluorokuinolon saja. Namun, pada
pneumonia berat yang terjadi lama setelah pemasangan ventilasi mekanis, probabilitas patogen
resisten, seperti P. Aeruginosa, Acinetobacter sp, dan MRSA meningkat, sehingga harus
diberikan antibiotika spektrum lebih luas. 3
Sebuah penelitian pada pneumonia aspirasi di ICU melaporkan bahwa bakteri yang
paling sering ditemukan adalah basil gram negatif (57,8 %), infeksi jamur (28,9 %), dan coccus
gram positif (13,3 %), sering dengan resistensi antibiotika. Antibiotika pilihan antara lain
fluorokuinolon respirasi, aminoglikosida dengan penisilin antipseudomonas, cefalosporin
generasi keempat, imipenem, dan vancomisin.3
e. Pemberian Kortikosteroid
Dahulu kortikosteroid diberikan pada pneumonitis aspirasi, tetapi penelitan terandomisasi
dengan kelompok kontrol belum bisa membuktikan manfaat pemberian kortikosteroid dosis
tinggi. Dokter harus mempertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi padad pasien
syok sepsis yang memerlukan zat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah dan pada
pasien yang sedang dalam terapi kortikosteroid jangka panjang. 3
21
f. Penatalaksanaan Setelah Dipulangkan
Pasien yang pulih dari pneumonitis kimia secara umum tidak memerlukan perawatan
lanjutan dari rawat jalan, selain sebagai alat untuk mencegah episode aspirasi selanjutnya. Tidak
seperti pneumonitis kimia, infeksi bakteri anaerob memerlukan terapi antibiotika jangka panjang
sehingga terapi lanjutan di rawat jalan diperlukan. Pasien bisa dipulangkan dari rumah sakit
setelah stabil dan ada perbaikan klinis (misalnya tidak demam, tidak leukositosis, resolusi dari
hipoksemia) dan perbaikan radiologis (misalnya berkurangnya infiltrat dan ukuran kavitas, tidak
ada efusi pleura). Pada abses paru, pemberian terapi antibiotika (misalnya klindamisin)
dilanjutkan selama beberapa minggu, walaupun demikian lama pemberian antibiotika yang
dianggap adekuat belum bisa dipastikan. 3
6. Komplikasi
Komplikasi aspirasi terdiri dari gagal napas akut, ARDS, dan pneumonia bakterial.
Komplikasi pneumonia bakterial terdiri dari efusi parapneumonia, empiema, abses paru,
superinfeksi, dan fistula bronkopleura. Pneumonitis aspirasi bisa cepat berkembang menjadi
gagal napas.3
Pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri anaerob sering berkomplikasi menjadi
abses paru. Sekitar 80 % abses paru merupakan abses paru primer dan sisanya abses paru
sekunder. Abses paru primer sering disebabkan oleh bakteri anaerob dan muncul tanpa penyakit
dasar paru atau sistemik. Sebaliknya abses paru sekunder terjadi pada pasien dengan penyakit
dasar, seperti proses post-obstruksi (misalnya benda asing di bronkus atau tumor) atau suatu
proses sitemik (misalnya infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais lain). 13
7. Prognosis
Prognosis baik pneumonitis aspirasi maupun pneumonia aspirasi tergantung pada
penyakit dasar, komplikasi, dan status kesehatan pasien. Sebuah penelitian retrospektif
melaporkan bahwa angka kematian-30 hari pada pneumonia aspirasi secara umum 21 % dan
pada pneumonia aspirasi nosokomial sebesar 29,7 %. Angka kematian ini bervariasi tergantung
komplikasi penyakit. Pada sindrom Mendelson yang dilaporkan pada tahun 1946 pada 61 orang
pasien obstetri yang mengalami aspirasi asam lambung selama anastesi, semuanya mengalami
perbaikan klinis menyeluruh dalam 24 – 36 jam. Pada penelitian selanjutnya pada pasien yang
22
lebih tua, angka kematian pneumonitis aspirasi 30 – 62 % karena sering menyebabkan ARDS.
Angka kematian pneumonitis aspirasi yang berat (sindrom Mendelson) bisa mencapai 70 %. 3
Jika pneumonia aspirasi yang disebabkan oleh bakteri tidak diterapi secara dini, bisa
menyebabkan komplikasi, antara lain abses paru dan fistula bronkopleura. Pneumonia aspirasi
nosokomial dihubungkan dengan lama rawat lebih panjang dan peningkatan angka mortalitas.3
Angka mortalitas pneumonia aspirasi dengan komplikasi empiema diperkirakan 20 %.
Angka mortalitas pneumonia aspirasi tanpa komplikasi sekitar 5 %. Sebuah penelitian pada tikus
yang mengalami pneumonitis aspirasi lebih rentan terhadap infeksi saluran napas. 3
8. Kepustakaan
1. Dahlan Z. 2015. Pneumonia bentuk khusus. Dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiohadi B, Syam AF (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI.
Jakarta: InternaPublishing. 2015. p.2300-2301.
2. Bartlett JG. Aspiration pneumonia in adults. Updated on July 6, 2015. Available from:
www.uptodate.com. Downloaded on April 10, 2016.
3. Swaminathan. Aspiration pneumonitis and pneumonia. Updated on April 02, 2015.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/296198. Downloaded on April
10, 2016.
4. Ragahavendran, Nemzek J, Napolitano LM, et al. Aspiration-induced lung injury. Crit
Care Med.2011;39(4):818-826.
5. Martinez-Ramirez D, Almeida L, Giugni JC, et al. Rate of aspiration pneumonia in
hospitalized parkinson’s disease: a cross-sectional study. BMC.2015;15(104):1-6.
6. Tomita S, Oeda T, Umemura A, et al. Impact of aspiration pneumonia on the clinical
course of progressive supranucluar palsy: a retrospective cohort study.
Plosone.2015.DOI:10.137/journal.pone.0135823. p.1-11.
7. Tohoku J. Preventive strategies for aspiration pneumonia in elderly disabled persons.
J.Exp.Med.2005;207:3-12.
8. Chong CP, Street PR. Pneumonia in the elderly: a review of severity assesment,
prognosis,
mortality,
prevention,
and
treatment.
Southern
Medical
Journal.2008;101(11):1134-1140.
9. Teramoto S. Clinical significance of aspiration pneumonia and diffuse aspiration
bronchiolitis in the elderly. J Gerontol Geriat Res.2014;3(1):1-6.
10. American Association of Critical-Care Nurses. Prevention of aspiration in adults.
CriticalCareNurse.2016;36(1):e20-e23.
11. Samantaray A. Pulmonary aspiraton of gastric contents: prevention and prophylaxis.
DOI: http://dx.doi.org/10.15380/2277-5706.JCSR.14.003.
12. Mandell LA and Wunderink RG. Pneumonia. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, et
al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Ed. New York: 2015.p.803-813.
13. Baron RM, Barshak MB. Lung Abscess. In: Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine 19th Ed. New York: 2015.p.813-815.
14. Dhar R. Pneumonia: review of guideline. JAPI.2012;60:25-60.
23
Download