(CPO) Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari Pabrik - USU-IR

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Kelapa Sawit (CPO)
Minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) masih disebut
minyak sawit kasar (CPO/Crude Palm Oil). Selain CPO, kelapa sawit menghasilkan PKO (Palm
Kernel Oil). Produksi CPO Indonesia terus meningkat dengan laju sekitar 6% tahun. Indonesia
mampu memproduksi CPO sebesar 25,4 juta ton sepanjang tahun 2012 dengan luas total
perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 9,5 juta hektar (Ha) (Nurmayanti, 2013).
CPO bersifat setengah padat pada suhu kamar, dengan titik cair antara 40-70 oC, berwarna
kuning jingga karena mengandung pigmen karotenoida. Berdasarkan perbedaan titik cairnya
CPO dibagi menjadi 2 (dua) fraksi besar, yaitu fraksi olein (ringan) berbentuk cair yang
mengandung asam lemak jenuh, dan fraksi stearin (berat) yang berbentuk padat yang
mengandung asam lemak tak jenuh pada suhu kamar (Serlahwaty, 2007). Minyak sawit, selain
mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak bebas (3-5%)
dan komponen non trigliserida yang jumlahnya sangat kecil (1%), termasuk karotenoida,
tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida, dan berbagai komponen
trace element. Minyak kelapa sawit banyak mengandung lemak, asam lemak, karotenoida dan
tokoferol. Komponen penyusun minyak sawit terdiri dari trigliserida dan non trigliserida
(Tambun, 2002). Asam-asam lemak penyusun trigliserida terdiri dari asam lemak jenuh dan
asam lemak tak jenuh. Asam-asam lemak jenuh yang mengandung sekitar 47-48 %, dan
mempunyai ikatan tunggal. Sedangkan asam-asam lemak tak jenuh yang mengandung sekitar
52-53 %, dan mempunyai ikatan rangkap (Kuswardhani, 2007). Kelapa sawit dan bentuk warna
CPO seperti Gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1 Buah sawit dan minyak kelapa sawit
2.2 Komposisi Minyak Sawit
2.2.1 Komponen Trigliserida
Asam-asam lemak penyusun komponen trigliserida atau komponen mayor dari minyak
kelapa sawit terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Telah dilaporkan
Salunkhe, 1992, asam-asam lemak penyusun trigliserida dalam minyak sawit dari 3 (tiga) Negara
adalah seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Komposisi asam lemak pada minyak sawit
Asam Lemak
Malaysia
Indonesia
(%)
(%)
Zaire
(%)
Miristat
0,5-0,8
0,4-0,8
1.2-2.4
Palmitat
46-51
46-50
41-43
Stearat
2-4
2-4
4-6
Oleat
40-42
38-42
38-40
Linoleat
6-8
6-8
10-11
Sedangkan dalam dunia perdagangan persyaratan kualitas minyak kelapa sawit kasar yang
digunakan di Indonesia adalah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-2901-2006
dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2 Standar kualitas minyak sawit kasar menurut SNI 01-2901-2006
No.
Karakterisasi
Satuan
Nilai
1
Asam lemak bebas (sebagai Palmitat)
% (b/b)
Maks 5,0
2
Kadar Air
% (b/b)
Maks 2,0
3
Kadar Kotoran
% (b/b)
Maks 0,02
Sedangkan untuk jumlah kadar karotenoida yang dipersyaratkan dalam perdagangan
Internasional minyak kelapa sawit adalah 500-700 ppm.
2.2.2 Komponen non-trigliserida
Komponen non-trigliserida atau komponen minor dari minyak kelapa sawit ini merupakan
komponen yang menyebabkan rasa, aroma dan warna minyak kurang baik. Kandungan minyak
sawit yang terdapat dalam jumlah sedikit ini, sering memegang peranan penting dalam
menentukan mutu minyak. Menurut Ketaren, 2008., dan Goh, dkk, 1989., kandungan komponen
minor atau non trigliserida dari minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut di bawah ini.
Tabel 2.3 Kandungan Komponen Minor Minyak Kelapa Sawit
No
Komponen
Kadar,ppm
Kadar, ppm
(Ketaren, 2008)
(Goh, 1989)
1
Karotenoida
500 – 700
500-700
2
Tokoferol
400 – 600
-
3
Tokoferol
dan -
600-1000
tokotrienol
4
Sterol
Mendekati 300
326-527
5
Phospatida
500
-
6
Phospolipid
-
5-130
7
Besi ( Fe )
10
-
8
Tembaga ( Cu )
0,5
-
9
Air
0,07 – 0,18
-
10
Kotoran-kotoran
0,01
-
11
Triterpen alcohol
-
40-80
12
Squalen
-
200-500
13
Alkohol alifatik
-
100-200
14
Hidrokarbon alifatik
-
50
Tabel 2.3 di atas menunjukkan bahwa komponen non trigliserida atau komponen
minor terbesar dalam minyak sawit adalah senyawa karotenoida, tokoferol dan tokotrienol.
Warna minyak kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kandungan karotenoida dalam minyak
tersebut. Karotenoida dikenal sebagai sumber vitamin A, sedangkan tokoferol dan tokotrienol
sebagai sumber vitamin E dan antioksidan. Tokoferol dapat dibedakan atas α, β, θ tokoferol.
Disamping senyawa karotenoida dan tokoferol komponen minor lainnya dalam minyak sawit
adalah senyawa sterol dan squalena.
Sterol adalah komponen karakteristik dari semua minyak dan sebagai sumber vitamin D serta
sebagai bahan obat-obatan atau farmasi. Senyawa ini merupakan senyawa unsaponifiable.
Senyawa sterol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan disebut phytosterol. Dua senyawa
phytosterol yang telah dapat diindentifikasi karakteristiknya adalah β-sitosterol dan αstigmasterol. Selain senyawa karotenoida, tokoferol dan sterol minyak sawit masih memiliki
komponen minor yaitu senyawa phospatida. Senyawa ini dapat dianggap sebagai senyawa
trigliserida yang salah satu asam lemaknya digantikan oleh asam phosphoric. Senyawa pospatida
yang terpenting dalam CPO adalah lesitin. Senyawa ini larut dalam alkohol (May, 1994).
Minyak kelapa sawit mengandung kontaminan logam besi (Fe) dan tembaga (Cu) yang
merupakan katalisator yang baik dalam proses oksidasi, walaupun dalam jumlahnya yang sedikit.
Sedangkan kotoran-kotoran dalam minyak kelapa sawit merupakan sumber makanan bagi
pertumbuhan jamur lipolitik yang dapat mengakibatkan terjadinya hidrolisis.
Air merupakan bahan perangsang tumbuhnya mikroorganisme lipolitik, karena itu di dalam
perdagangan, kadar ini juga menentukan kualitas minyak. Jika kandungan air dalam minyak
tinggi, maka dapat menaikkan kandungan asam lemak bebas selama penyimpanan. Akan tetapi
minyak yang terlalu keringpun mudah teroksidasi, sehingga nilai optimum kadar air dan bahan
menguap juga harus diuji (Ketaren, 2008).
2.3 Karotenoida
Komponen non trigliserida atau komponen minor yang besar dalam minyak kelapa sawit
(CPO) adalah senyawa karotenoida. Senyawa ini menimbulkan warna oranye tua pada CPO,
larut dalam asam lemak, minyak, lemak dan pelarut minyak serta pelarut lemak, tetapi tidak larut
dalam air. Senyawa karotenoida terdiri dari α, β, dan γ karoten dan termasuk kelompok pigmen
yang berwarna kuning, jingga, merah jingga. Struktur dasar karotenoida terdiri dari ikatan
hidrokarbon tidak jenuh yang dibentuk oleh 40 atom C atau 8 unit isoprena dan memiliki dua
buah gugus cincin. Fraksi karotenoida yang paling berpengaruh dalam CPO adalah β-karoten,
pigmen ini juga tidak stabil terhadap pemanasan. Karotenoida bentuk lainnya adalah seperti
likopen, xantin, dan lutein. Karotenoida termasuk kedalam kelompok senyawa terpenoid, dimana
mempunyai rumus umum adalah (C5H8)n. Untuk karotenoida memiliki n=8 (tetra), sehingga
rumus kimia karotenoida adalah C40H56. Rumus bangun senyawa karotenoida adalah sebagai
berikut:
Gambar 2.2 Rumus bangun α, β dan γ karoten
Senyawa karotenoida dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
(i)
karotenoida hidrokarbon C40 H56 seperti alfa, beta, gamma karotenoida dan likopen
(ii)
xantofil dan derivatnya karotenoida yang mengandung oksigen dan hidroksil antara
lain kriptosantin (C40H55OH) dan lutein (C40H54(OH)2
(iii)
asam karotenoida yang mengandung gugus karboksil dan
(iv)
ester xantofil asam lemak (Meyer, H., 1966). Senyawa karotenoida sangat penting
dalam kehidupan manusia karena berfungsi sebagai sumber vitamin A, antioksidan,
bahan pewarna serta dalam bidang kecantikan.
2.4 Metode Pemisahan Karotenoida
Metode pemisahan karotenoida dari minyak sawit dapat dilakukan dengan berbagai metode
yaitu dengan mereaksikan minyak sawit dengan natrium hidroksida metanolik 2-3% selama
beberapa jam pada suhu 30-40 oC sehingga hampir 98% minyak terkonversi menjadi ester.
Gliserin yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan cara dekantasi dan ester didistilasi
molekuler pada suhu 100 oC dalam keadaan vakum bertekanan 0,0001 mmHg. Metil ester akan
terdistilasi dan karotenoida tertinggal sebagai residu dari hasil distilasi (Blaizot, P., 1956). Selain
cara diatas karotenoida juga dapat diperoleh dengan cara distillasi molekular. Untuk memperoleh
konsentrat karotenoida dari minyak sawit dengan proses distillasi molekular dilakukan dengan
proses netralisasi dan transesterifikasi dari minyak sawit terlebih dahulu kemudian dilanjutkan
dengan distillasi molekular dari ester sehingga diperoleh konsentrat karotenoida 30.000 ppm
(C.B Batistella, Wolf Maciel, MR, 1998). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut
petroleum eter : aseton (1: 3) untuk mengestraksi karotenoida dari minyak sawit mentah
(Sahidin, 2001). Cara ekstraksi yang lain yaitu dengan penggunaan CO2 cair sebagai pelarut
dapat digunakan untuk memperoleh konsentrat karotenoida melalui sistem Supercritical Fluid
Extraction dimana sampel yang ditempatkan dalam bejana ekstraksi pada suhu 40 oC dan
tekanan 30 Mpa kemudian gas CO2 didinginkan pada suhu -5 oC sebelum pompa HPLC
digunakan untuk memompa CO2 cair ke ekstraktor secara kontiniu pada kondisi spesifik
ekstraksi dengan laju alir yang konstan 5 mL/menit sehingga diperoleh karotenoida konsentrat
(Wei, 2005).
Sedangkan untuk memperoleh konsentrat karotenoida dari minyak sawit dengan teknologi
membran dilakukan dengan menggunakan membran dari flat lembaran polimer (NP10), Fluks
ester etil sawit merah adalah 7,5 L/mh, dan dorongan β-karoten adalah 75% pada tekanan 2,5
MPa dan temperatur 40 oC, memberi hasil pemisahan karotenoida dari minyak sawit merah
dengan teknologi membran ini cukup efektif dalam menangani untuk memperoleh karotenoida
dari minyak sawit merah, dan memberi potensial yang tinggi untuk digunakan pada industri
dimasa yang akan datang (Ming Chih Chiu, 2009).
Konsentrat karotenoida dari minyak sawit juga banyak diperoleh dengan menggunakan
proses adsorpsi dengan adsorben alami maupun adsorben sintetis diikuti dengan ekstraksi
pelarut. Penggunaan adsorben sintetik jenis kopolimer sintetik stiren divinil benzena sudah
dilakukan. Proses tersebut pertama dimulai dengan mencampurkan adsorben dengan IPA
(isopropanol) kemudian diaduk selama 15 menit. Adsorben dipisahkan dari IPA dan dikeringkan
dalam temperatur kamar sehingga dapat digunakan dalam proses adsorpsi. Selanjutnya minyak
kelapa sawit dilarutkan dalam IPA. Adsorben kemudian dimasukkan ke dalam kolom diikuti
dengan minyak kelapa sawit. Karotenoida kemudian diekstraksi denngan n-heksan untuk
memisahkannya dari adsorben. Karotenoida yang diperoleh sampai dengan 20.000 ppm dengan
variasi yang paling sesuai adalah pada 1,5 jam dan temperatur 40 oC (Latip., Baharin., 2001).
Selain itu dapat juga digunakan adsorben campuran abu sekam padi dan silika gel sebagai
adsorben berdasarkan metode kromatografi adsorpsi dimana adsorben dimasukkan ke dalam
kolom yang diikuti dengan metil ester kasar dan dielusi dengan menggunakan pelarut n-heksan
kemudian eluat dipekatkan dengan gas N2 (Zulkipli, 2007).
Penggunaan bahan penjerap arang aktif dan bleaching earth dalam larutan n-heksan dimana
minyak sawit dilarutkan terlebih dahulu dengan n-heksan dan ditambahkan dengan bahan
penjerap kemudian dishaker selama beberapa saat. Karotenoida yang terjerap dilarutkan dengan
n-heksan dan aseton untuk memperoleh konsentrat karotenoida (Serlahwaty, D., 2007) dan
penggunaan bentonit dimana minyak sawit dan adsorben (3:1) dicampurkan dalam suatu reaktor
berpengaduk selama 171 menit. Selanjutnya disaring dengan menggunakan pompa vakum untuk
memisahkan minyak dengan adsorben yang telah mengandung β-karoten. Kemudian karotenoida
pada adsorben didesorpsi dengan pelarut n-heksan dan dipekatkan dengan gas N2 sehingga
diperoleh konsentrat karotenoida (Hayuningtias, 2007).
2.5 Metode Adsorpsi
Adsorpsi merupakan proses satu arah dengan suhu rendah dan adsorben yang digunakan
dapat diperoleh kembali. Adsorpsi merupakan proses yang selektif dan hanya merupakan proses
satu arah. Adsorpsi adalah proses untuk memisahkan suatu komponen berbentuk gas atau larutan
menggunakan zat padat (adsorben). Pada proses adsorpsi terjadi perpindahan massa adsorbat dari
fase gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan adsorben. Adsorben adalah padatan atau
cairan yang mengadsorpsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorpsi. Jadi
proses adsorpsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan
cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren, 1986). Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik
menarik antara molekul adsorbat dengan sisi-sisi aktif di permukaan adsorben. Pada proses
adsorpsi terjadi perubahan kepekatan dari molekul ion atau atom antara permukaan dua fase.
Menurut Pari (1995) metode adsorpsi ada dua macam, yaitu adsorpsi secara fisik
(physiosorption) dan adsorpsi secara kimia (chemisorption). Adsorpsi fisik terjadi sebagai akibat
dari perbedaan energi atau daya tarik menarik elektrik (listrik) sehingga molekul-molekul
penjerap terikat secara fisik pada molekul adsorbat. Permukaan partikel padat biasanya lebih
aktif dari pada bagian dalamnya, sehingga umum dikatakan mempunyai aktivitas permukaan
(surface activity). Sedangkan chemisorption (adsorpsi kimia) terjadi sebagai akibat dari adanya
reaksi dari atom-atom yang ada pada molekul adsorbat sehingga molekul-molekul penjerap
terikat secara kimia pada molekul adsorbat.
Bila zat padat tersebut dimasukkan dalam suatu larutan, permukaan partikel zat padat tadi
mempunyai daya tarik baik pada zat-zat yang terlarut maupun pada zat pelarutnya. Daya tarik
atau kekuatan ikatan senyawa organik dengan suatu penjerap tergantung pada kekuatan tipe
interaksi yaitu interaksi ion-dipol, interaksi dipol-dipol, ikatan hidrogen, dipol dengan dipol
terinduksi dan ikatan Van der Walls (Slejko, 1985).
Proses adsorpsi dipengaruhi terutama oleh perbedaan polaritas solut yang dipisahkan. Hal
ini disebabkan karena polaritas merupakan faktor yang menentukan daya larut dan terjadinya
adsorpsi solut. Proses adsorpsi sangat peka terhadap perbedaan bentuk stereometrik dari solute
yang dipisahkan. Banyak solut yang dapat ditampung pada permukaan adsorben, diantaranya
dipengaruhi oleh konfigurasi solute tersebut. Bentuk konfigurasi solute dapat menentukan juga
mudah tidaknya solute tersebut teradsorpsi pada permukaan adsorben bila dibandingkan dengan
solute lain. Perbedaan daya teradsorpsi inilah yang akan menentukan mudah tidaknya campuran
solute untuk dipisahkan dengan kromatografi adsorps. Oleh karena itu kromatografi adsorpsi
merupakan cara yang cocok untuk memisahkan campuran solute yang serupa, tetapi mempunyai
perbedaan bentuk stereometrik (Adnan, 1997). Sifat umum dari proses adsorpsi dari suatu bahan
tergantung pada berbagai faktor yang dapat dibagi dalam 5 kategori yaitu:
1.
Adsorpsi adalah proses keseimbangan antara konsenterasi pada satu bidang permukaan dan
konsenterasi lain di bidang mana komponen itu terkandung, jadi keadaannya adalah
reversibel.
2. Banyak komponen yang diadsorpsi sebanding dengan luas permukaan zat adsorben
3. Daya adsorpsi tiap jenis adsorben terhadap suatu zat berbeda, bahkan cara pembuatan
adsorben yang berbeda menyebabkan daya adsorpsi yang berlainan.
4. Daya adsorpsi akan berkurang bila suhu bertambah tinggi
5. Adsorpsi diikuti oleh pengeluaran panas (energi). (Sukmariah dan Kamianti, 1990).
Adsorpsi hidrokarbon tak jenuh dalam substrat logam merupakan sebuah interaksi fisik
lemah, dimana lebih didominasi oleh gaya Van der Walls. Ikatan hidrokarbon tak jenuh
dengan logam pertama kali dikembangkan oleh Dewar, Chatt dan Duncanson yang sekarang
dikenal sebagai model DCD yang didasarkan pada konsep orbital terdepan. Pada model ini,
interaksi ditunjukkan dengan adanya donasi muatan dari orbital π tertinggi yang terisi ke
logam dan substansi backdonation dari muatan logam yang terisi ke orbital π terendah yang
tidak terisi (Nilson, A dan L.G. Peterson, 2008).
2.6 Resin Amberlite IR 120 Na
Amberlite IR 120 Na adalah bahan polimer yang memiliki rantai hidrokarbon panjang
dan mengandung ion Na. Selama ini amberlite IR 120 Na digunakan sebagai bahan jenis resin
ion exchange. Ion exchange yaitu perpindahan reversibel ion-ion antara zat padat dan cairan
tanpa terjadi perubahan struktur zat padat. Selain itu hanya partikel zat terlarut yang terlibat
dalam proses tukar-menukar, kontaminan lain akan tersaring atau teradsorpsi. Proses tukarmenukar akan terjadi pada kation, anion, zat organik terionisasi dan polimer terionisasi.
Sedangkan proses yang tidak akan terjadi tukar menukar adalah kotoran, zat terlarut, zat karat,
mikroorganisme, minyak dan gula. Dalam proses ion exchange ion-ion dipertukarkan, tidak
terjadi kehilangan ataupun kelebihan ion (berat ekivalen). Proses ini dapat dilihat dalam proses
water softening. Pertukaran ion terjadi secara reversible (Rudy, 2000). Pertukaran ion tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.3 Pertukaran ion resin
Satu ekivalen berat natrium menggantikan satu ekivalen berat hidrogen dari resin. Pada
proses ini tidak terjadi kehilangan maupun kelebihan ion. Resin mempunyai dua bentuk yaitu
bentuk resin gel dan resin macroporous. Resin gel mempunyai karakteristik yaitu kapasitas resin
lebih tinggi, lebih mudah fouling karena ukuran pori-pori lebih kecil, kekuatan mekanis lebih
rendah dan cocok untuk air dengan kandungan makromolekul sedikit. Resin makroporous
mempunyai karakteristik yaitu secara mekanis lebih kuat dari pada resin jenis gel, kapasitas resin
lebih rendah, tidak mudah fouling dan cocok untuk makromolekul seperti zat organik. Keduadua jenis bentuk resin dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini :
Resin Gel
Resin Macroporous
Gambar 2.4 Bentuk resin
Banyak tipe resin diantaranya resin kation asam kuat, resin kation asam lemah, resin
anion basa kuat dan resin anion basa lemah. Resin kation asam kuat terdiri dari Sodium
Exchange dan Hidrogen Exchange (Rudy, 2000). Afinitas resin dapat dilihat antara resin kation
asam kuat dan resin anion basa kuat seperti Tabel 2.4 di bawah ini :
Tabel 2.4 Arah Afinitas Resin dari Lemah ke Kuat
Resin Kation Asam Kuat
Ferri Iron, Fe3+
Resin Anion Basa Kuat
makin kuat
Pospat, PO33-
Aluminium, Al3+
Sulfat, SO42-
Barium, Ba2+
Karbonat, CO32-
Stronsium, Sr2+
Iodida, I-
Kalsium, Ca2+
Nitrat, NO32-
Tembaga, Cu2+
Bisulfat, SO32-
Seng, Zn2+
Klorida, Cl-
Fero Iron, Fe2+
Bikarbonat, CO32-
Magnesium, Mg2+
Hidroksida, OH-
Mangan, Mn2+
Fluorida, F-
Kalium, K+
Bisilikat, SiO32-
makin kuat
Ammonium ion, NH4+
Natrium, Na+
Hidrogen, H+
lebih lemah
lebih lemah
Banyak jenis resin kation asam kuat seperti amberlite, purolite. Resin amberlit
mempunyai banyak jenis diantaranya Amberlite IR 120 Na adalah tipe resin jenis resin kation
asam kuat. Resin Amberlite IR 120 Na adalah resin penukar kation asam kuat tipe resin gel.
Amberlite IR 120 Na ini adalah dari tipe polistirena sulfonat. Amberlite IR 120 Na ini banyak
digunakan untuk pelunakan air (dalam bentuk Na+) sama baiknya untuk demineralisasi air
(dalam
bentuk
H+).
Rumus
kimia
resin
amberlite
IR
120
Na
adalah:
[SO2NaC6H4CHCH2]CHCH2C6H4CHCH2, senyawa ini adalah dalam bentuk kopolimer. Rumus
bangunnya dapat dilihat pada gambar 2.4 sebagai berikut :
Gambar 2.5 Rumus Bangun Amberlite IR 120 Na
Sifat-sifat dan karakteristik garam amberlite IR120 Na mempunyai type Na (Natrium),
penampakan dalam bentuk gel, butiran dan kuning sampai kecoklatan. Adapun rumus struktur
dari amberlit IR 120 Na adalah seperti pada Gambar 2.5
Gambar 2.6 Rumus struktur amberlit IR 120 Na
Sedangkan Menurut Data Produk Sheet dari Rohm and Hass sebagai ion Exchange Resins, sifat
lainnya dari amberlit IR 120 Na dapat dilihat pada Tabel 2.5 sebagai berikut:
Tabel 2.5 Sifat-sifat amberlite IR 120 Na
No
Parameter
Kandungan
1
Kadar air, %
46-52
2
Kapasitas Pengubah kompleks, (mmol/g)
4,5
3
Densitas basah, (g/ml)
0,77-0,87
4
Densitas basah sebenarnya, (g/ml)
1,24-1,28
5
Ukuran grain, (0,315-1,25mm)
≥95
6
Abrasi setelah laju bola
≥95
7
Ukuran, (Mesh)
50
8
Bentuk
Gel
9
Matriks
Stirena divinilbenzen kopolimer
10
Goup Fungsi
Sulfonat
11
Bentuk fisik
Bola Amber beads
12
Bentuk ion
Na+
Struktur resin terdiri dari bahan alami dan bahan sintesis. Struktur resin bahan alami
terdiri dari silica-aluminate matrix (greensand). Sedangkan struktur resin bahan sintetis terdiri
dari Stirena-divinil benzena matrix, acrylic polimer matrik, Epoksi-amina matrix dan Phenolic
matrik. Ambarlite IR 120 Na dan M-polistirena Sulfonat adalah mempunyai struktur resin bahan
sintetis, jenis stirena-divinil benzena matriks. Karena sifat-sifat dari resin amberlite IR 120 Na,
maka resin amberlite IR 120 Na dan Polistirena sulfonat yang memiliki rantai hidrokarbon yang
panjang dan gugus sulfonat yang bersifat polar dimana dapat mengikat ion logam yang bersifat
non polar sehingga dapat digunakan sebagai adsorben. Sedangkan karotenoida memiliki rantai
hidrokarbon yang panjang bersifat polar dan ikatan rangkap yang memiliki kaya elektron yang
dapat berinteraksi dengan gugus non polar dari adsorben. Adsorben ini kemudian dimodifikasi
dengan garam klorida dari kalsium (Ca), magnesium (Mg), stronsium (Sr) dan barium (Ba) untuk
dalam satu golongan.
Stirena divinil benzena kopolimer merupakan senyawa non-polar dengan rantai
hidrokarbon panjang sehingga akan saling menyukai dengan karotenoid yang juga bersifat nonpolar sedangkan di dalam amberlite IR 120 Na terkandung logam-logam dengan memiliki orbital
d sehingga dapat berinteraksi dengan ikatan rangkap terkonjugasi dari karotenoid. Untuk itu
diperlukan adsorben dengan kedua sifat tersebut. Adsorben polimer sintetis yang mempunyai
kedua sifat tersebut diantaranya adalah garam amberlite IR 120 Na dan garam polistiril sulfonat
dengan memodifikasinya dengan beberapa logam golongan IIA yaitu Mg, Ca, Sr, dan Ba.
Ikatan antara hidrokarbon tak jenuh dengan logam ini dijelaskan melalui konsep orbital
terdepan yang dikembangkan oleh Dewar, Chatt dan Duncanson (DCD), (2008) yang
menjelaskan bahwa interaksi terjadi dengan adanya donasi muatan dari orbital π yang terisi ke
logam yang diikuti dengan backdonation dari orbital d logam yang terisi kepada orbital π*
terendah yang tidak terisi. Selain itu sebagai contoh logam kalsium dapat membentuk ikatan
dengan hidrokarbon tak jenuh seperti pada Gambar 2.6 di bawah ini.
Gambar 2.7 Donasi Muatan Elektron dari Orbital-π Terisi dari Etilen ke Logam
Model ini dapat ditunjukkan melalui ikatan kimia antara etilen dengan permukaan logam
Cu ataupun Ni (Nilson, 2008). Antara hidrokarbon polimer dengan hidrokarbon dapat terjadi
interaksi. Interaksi ini diperkuat oleh adanya interaksi antara ikatan π dengan orbital LUMO dari
logam kalsium sehingga kalsium polistirena sulfonat dapat berfungsi sebagai adsorben. (Shriver,
1990).
2.7 Polistirena Sulfonat
Polistirena adalah polimer linier yang secara kimia bersifat inert. Polistirena bersifat
kaku, sifat optis yang bagus, tahan terhadap zat alkalis, halida asam dan agen oksidasi-reduksi
(Ulrich, 1993). Namun, polistirena dapat dinitrasi dengan uap asam nitrat dan disulfonasi dengan
asam sulfat pekat pada suhu 100 oC. Polistirena mempunyai bentuk transparan dan indeks bias
(1,60) yang tinggi sehingga dapat berguna untuk komponen optik plastik dan baik untuk
insulator listrik. Gaya tarik dari polistirena mencapai 8000 psi. Polistirena di gunakan untuk
injeksi cetakan seperti pada sisir, kancing, mainan, insulator listrik, lensa, radio, televisi, kulkas
dan panel pencayahaan. Polistirena dapat dibuat melalui polimerisasi stirena dengan adanya
peroksida seperi benzoil peroksida sebagai inisiator. Monomer stirena di buat dari benzena dan
etilena pada suhu 90 oC dengan bantuan katalis AlCl3 dimana etil benzena dihidrogenasi ke
stirena dengan adanya katalis besi oksida, magnesium oksida atau aluminium oksida pada suhu
600 0C. Stirena dapat dipisahkan dengan metode destilasi (Dara, 1986). Reaksi Pembuatan
Polistirena ditampilkan pada Gambar 2.7. dibawah ini.
Gambar 2.8. Reaksi Pembuatan Polistirena
Gambar 2.7 reaksi pembuatan polistirena terdapat kesukaran dalam pemumian stirena
melalui penyulingan karena manomer mudah terpolimerkan sekalipun pada suhu sedang.stirena
dapat di polimerkan dengan menggunakan sinar matahari ataupun katalis dimana derajat
polimerisasinya bergantung pada kondisi polimerisasi.polistirena merupakan bahan lentuk –
bahang yang bening(kecuali jika ditambahkan warna atau pengisi) dan dapat dilunakkan pada
suhu sekitar 100 0C. Polistirena tahan terhadap zat pengarat (korosif) tetapi mudah larut dalam
hidrokarbon aromatik dan berklor. Dalam propanon (aseton), polistirena hanya mengembung
(Cowd, 1991).
2.7.1. Reaksi Sulfonasi
Sulfonasi adalah suatu reaksi untuk memodifikasi bahan polimer yang memiliki cincin
aromatik sebagai rantai utama nya.karena sulfonasi termsuk kedalam reaksi elektrofilik maka
reaksi ini sangat bergantung pada tipe gugus yang terikat pada cincin aromatis dimana polimer
dengan gugus difenil eter dapat disulfonasi di bawah kondisi dingin karena ada efek donasi
elektron
dari gugus eter.sulfonasi dari polimer aromatis
bisa jadi sangat komleks karena
reversibilitasnya.untuk itu,reproduksibilitas dengan menggunakan kondisi reaksi yang sama bisa
menjadi hal yang sangat sulit (Pinto, 2006).
Sulfonasi benzena dengan asam sulfat berasap (H2SO4 dan SO3) menghasilkan asam
benzena sulfonat dapat dilihat pada Gambar 2.8. dibawah ini.
Gambar 2.9. Reaksi Pembuatan Asam Benzensulfonat
Gambar 2.8 menunjukkan bahwa sulfonasi bersifat mudah balik dan menunjukkan efek
isotop kinetik yang sedang dimana ion benzenonium antara dalam sulfonasi dapat kembali ke
benzena atu terus ke asam benzenasulfonat dengan hampir sama mudah nya.gugus asam
sulfonat mudah digantikan oleh anekaragam gugus lain.oleh karena itu ,asam arilsulfonat
merupakan zat antara yang bermanfaat dalam sintesis (Fessenden, 1986).
Sulfonasi polistirena telah banyak dipelajari oleh banyak peneliti meskipun hanya sedikit
literatur yang membahas tentang reaksi sulfonasi dan sifat termal dari produk yang dihasilkan.
Secara umum, sulfonasi bahan polimer dapat dilakukan dengan reaksi heterogen dimana bahan
polimer dan agen sulfonasi berada dalam fasa yang berbeda atau dengan reaksi homogen dalam
pelarut hidrokarbon atau pelarut terklorinasi. Senyawa seperti H2SO4 dan SO3 adalah agen
sulfonasi untuk berbagai bahan polimer termasuk polistirena. Agen sulfonasi lain yang bisa
digunakan adalah kompleks dari trietil fosfat bersama sulfur trioksida dan kompleks asetil sulfat
dalam larutan dikloroetana. Adapun reaksi sulfonasi polistirena dengan menggunakan agen
sulfonasi asetil sulfat dapat dilihat pada Gambar 2.9. dibawah ini.
Gambar 2.10. Reaksi Sulfonasi Polistirena dengan Asetil Sulfat
Gambar 2.9 menunjukan bahwa bahan polimer yang telah tersulfonasi dianggap
sebagai senyawa makromolekul yang mengandung gugus sulfonik ( –SO3H ) dengan sifat kimia
dan mekanik yang disukai sehingga banyak diaplikasikan dalam industri seperti untuk bahan
penukar ion, membran untuk ultrafiltrasi dan plasticizers untuk komposit konduktif (Martins,
2003).
2.7.2. Sintesis Polistirena sulfonat
Polistirena sulfonat P(S-SS)x banyak diproduksi dengan sulfonasi post-polimerisasi
dari polistirena yang menangkap gugus asam sulfonik pada posisi para dari cincin fenil dan dapat
menghasilkan distribusi yang hampir acak, x mewakili derajat sulfonasi. Sifat unik dari
polistirena sulfonat ini adalah kekuatannya, sifat hidrofiliknya dan konduktivitas proton mulai
dari penggabungan dari asam sulfonik pada level yang bervariasi. Keistimewaannya ini
digunakan secara meluas untuk berbagai aplikasi seperti adhesif, membran fuel cell, transfer ion
dalam sistem pemurnian elektromigrasi, katalis. Adanya sintetis senyawa ini dalam ukuran kecil
memberikan keuntungan karena dapat meningkatkan area permukaan spesifik (Zhou, 2006).
Download