ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Spirulina sp.
Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat
ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar.
Spirulina sering kali menjadi spesies yang dominan dan dapat menyebabkan
blooming (Ciferri, 1983 dalam Hu, 2004b). Spirulina sp. merupakan alga
berwarna biru-hijau yang digolongkan ke dalam alga berfilamen dan termasuk
dalam genus Arthrospira. Genus ini dapat dikenali dari ciri-ciri morfologinya,
yaitu filamen yang tersusun dari trikoma multiseluler berbentuk heliks yang
bergabung menjadi satu dan terbungkus dalam lapisan tipis (Tomaselli, 1997).
Struktur sel Spirulina, hampir sama dengan tipe sel alga lainnya dari
golongan cyanobacteria. Dinding sel merupakan dinding sel gram-negatif yang
terdiri dari 4 lapisan, dengan lapisan utamanya tersusun dari peptidoglikan.
Bagian tengah dari nukleoplasma mengandung beberapa karboksisom, ribosom,
badan silindris, dan lemak. Membran tilakoid berasosiasi dengan pikobilisom
yang tersebar disekeliling sitoplasma. Siklus hidup Spirulina sangat sederhana,
yaitu proses reproduksinya disempurnakan dengan fragmentasi dari trikoma yang
telah dewasa (Ciferri, 1983 dalam Hu, 2004b ).
Seperti kebanyakan cyanobacteria, Spirulina mempunyai kemampuan untuk
berfotosintesis dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia dalam bentuk
karbohidrat (Mohanty et al., 1997). Spirulina merupakan organisme fotoautotrop
yang sangat bergantung pada fotosintesis. Dengan demikian, adanya faktor yang
mempengaruhi fotosintesis akan mempengaruhi pula pertumbuhan, susunan
biokimia dan genetiknya. Faktor-faktor tersebut antara lain intensitas cahaya,
suhu, salinitas, dan alkalinitas. Dibawah kondisi labotarorium, pertumbuhan
Spirulina akan tersaturasi pada intensitas sebesar 150-200 mmol m-2 s-1 sedangkan
suhu optimal untuk pertumbuhannya berkisar antara 35-38 0C (Hu, 2004b).
Komposisi pigmen pada Spirulina merupakan komposisi pigmen yang
umum ditemukan pada alga biru-hijau. Komposisi tersebut diantaranya adalah
klorofil- a, Xanthophyll, dan karotenoid yang terdiri dari myxoxanthophyll, karotin dan zeaxanthin (Paoletti et al., 1971 dalam Cohen, 1997).
4
2.2 Pertumbuhan Spirulina sp.
Menurut Fogg (1975), perkembangan sel dalam kultur mikroalga dengan
volume terbatas terdiri dari fase lag, fase eksponensial, fase penurunan laju
pertumbuhan, fase stationer, dan fase kematian. Pada fase lag, populasi Spirulina
yang baru ditransfer mengalami penurunan tingkat metabolisme karena inokulan
berasal dari fase stasioner dan fase kematian dan karena terjadi proses adaptasi
terhadap media kultur juga disamping itu adanya pengambilan sampel yang tidak
merata.
Fase eksponensial ditandai dengan naiknya laju pertumbuhan sehingga
kepadatan populasi meningkat. Pada fase ini, pesatnya laju pertumbuhan
menyebabkan meningkatnya kepadatan populasi beberapa kali lipat. Terjadi
peningkatan populasi karena sel alga sedang aktif berkembang biak dan terjadi
pembentukan protein dan komponen-komponen penyusun plasma sel yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan (Winarti, 2003).
Fase penurunan laju pertumbuhan terjadi dengan berakhirnya fase
eksponensial. Hal ini terjadi karena kekurangan nutrisi (nitrogen dan posfat),
menurunnya konsentrasi CO2, dan kenaikan pH media. Selain itu dapat juga
terjadi karena adanya intensitas cahaya yang berkurang akibat terjadinya
pembentukan bayangan dari sel itu sendiri (self-shading) (Richmond, 1986).
Fase pertumbuhan stasioner ditandai dengan seimbangnya laju pertumbuhan
dengan laju kematian, karena pertambahan kepadatan populasi seimbang dengan
laju kematian sehingga tidak ada lagi pertumbuhan populasi (Winarti, 2003).
Fase terakhir adalah fase kematian, yang ditandai dengan kepadatan
populasi yang terus berkurang karena laju kematian lebih tinggi dari laju
pertumbuhan. Meningkatnya laju kematian disebabkan oleh penurunan jumlah
nutrien pada tingkat yang tidak mampu lagi untuk menunjang berlanjutnya
pertumbuhan dan terbentuknya buangan metabolik yang melampaui tingkat
toleransi (Mc Vey, 1983 dalam Winarti, 2003).
5
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Spirulina sp.
2.3.1 Nutrien
Spirulina membutuhkan berbagai nutrien untuk pertumbuhan, yang terdiri
dari nutrien makro dan mikro. Nutrien makro yang dibutuhkan antara lain N, P, S,
K, Na, Mg, Ca, sebagai tambahan C, H, dan O, sedangkan nutrien mikro yang
dibutuhkan adalah Bo, Mo, Cu, Zn, dan Co (Fogg, 1975).
Nutrien merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan dan komposisi biokimia alga. Kondisi nutrien yang optimum sangat
penting untuk mendapatkan nilai produktivitas kultur alga yang disertai dengan
kualitas biomassa yang baik. Konsentrasi nutrien yang rendah dapat menyebabkan
penurunan laju pertumbuhan karena sel-sel alga kekurangan unsur makanan
(Anonimus, 1998 dalam Winarti, 2003).
2.3.2 Suhu
Spirulina termasuk ke dalam mikroalga mesofilik, yang dapat tumbuh
optimum pada temperatur antara 35-40 oC. Kultur Spirulina di laboratorium suhu
optimumnya berkisar antara 35-37 oC, sedangkan suhu minimumnya antara 18-20
o
C dan maksimum 40 oC (Richmond, 1986). Menurut Rafiqul et al. (2005) suhu
optimum bagi pertumbuhan Spirulina fusiformis adalah 37 oC.
Suhu juga mempengaruhi kondisi fisik kultur. Peningkatan suhu akan
menyebabkan penurunan kelarutan CO2 yang mengakibatkan peningkatan pH air
menjadi basa yang kemudian akan mempengaruhi ketersediaan nutrien. Pada suhu
ekstrim yang melebihi suhu optimum, peningkatan jumlah sel berkurang dengan
tajam (Payer et al., 1980 dalam Winarti, 2003).
2.3.3 Cahaya
Alga biru-hijau membutuhkan cahaya untuk proses fotosintesis dan apabila
kekurangan cahaya maka fotosintesis tidak berlangsung normal (Fogg, 1975).
Pertumbuhan alga sangat bergantung pada intensitas, lama penyinaran, dan
panjang gelombang cahaya yang mengenai sel-sel fotosintesis.
Untuk mengetahui bagaimana cahaya menyebabkan terjadinya fotosintesis,
perlu diketahui dahulu sifat-sifat cahaya. Cahaya memiliki sifat gelombang (wave
nature) dan sifat partikel (particle nature). Sifat cahaya sebagai partikel biasanya
6
diekspresikan dengan pernyataan bahwa cahaya menerpa sebagai foton (photon)
atau kuanta yang merupakan suatu paket diskrit dari energi yang masing-masing
dikaitkan dengan panjang gelombang tertentu. Prinsip dasar penyerapan cahaya
adalah bahwa setiap molekul hanya dapat menyerap satu foton pada waktu
tertentu dan foton ini menyebabkan terjadinya eksitasi pada satu elektron dalam
suatu molekul. Energi eksitasi inilah yang dimanfaatkan untuk fotosintesis
(Lakitan, 2007).
Menurut Fogg (1975) cahaya adalah sumber energi yang diperlukan dalam
proses fotosintesis. Jumlah energi yang diterima bergantung pada kualitas,
kuantitas dan periode penyinaran. Kebutuhan akan cahaya bagi tiap spesies
fitoplankton berbeda, hal ini tergantung pada keadaan fisiologi sel fitoplankton.
Besarnya intensitas cahaya yang dibutuhkan bergantung pada volume dan
kepadatan kultur. Menurut Vonshak (1997a) meningkatnya konsentrasi sel dalam
kultur, akan meningkatkan pembentukan bayangan yang hasilnya akan
menurunkan laju pertumbuhan. Rafiqul et al. (2005) menyebutkan intensitas
cahaya optimum bagi Spirulina fusiformis adalah 2500 lux.
2.3.4 Derajat Kemasaman (pH)
Spirulina sp. yang hidup di air laut dapat tumbuh dengan baik pada pH 8-11.
Dalam mengkultur alga, pH media sangat perlu diperhatikan karena pH media
berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan. Nilai pH berperan penting dalam
menentukan konsentrasi CO2 dan keseimbangan antara bikarbonat dan karbonat.
Keberadaan CO2 sebagai hasil perubahan bikarbonat menjadi karbonat
berlangsung sampai absorpsi dari udara mencapai keadaan seimbang dengan
penggunaan CO2 oleh Spirulina. Pada saat pH meningkat sampai melewati
ambang batas maka kecepatan metabolisme dari Spirulina akan menurun. Selain
itu, pH juga berpengaruh terhadap penyediaan nutrien dan keadaan fisiologis
Spirulina (Ciferri, 1983 dalam Winarti, 2003). Pertumbuhan optimum Spirulina
fusiformis tercapai pada pH 10 (Rafiqul et al., 2005).
7
2.4 Kandungan Nutrisi Spirulina sp.
Kandungan nutrisi Spirulina sp. merupakan salah satu aspek yang sangat
penting dalam menentukan kualitas produk kultur yang dihasilkan. Kondisi
lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi dan kandungan
asam lemak Spirulina (Cohen, 1997). Kandungan nutrisi Spirulina dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan nutrisi Spirulina sp.
Nilai (% bobot
Nilai (% bobot
Jenis Nutrisi
1
kering)
kering) 2
Protein
Lemak
Karbohidrat
Mineral
Serat
55-70
6-8
15-25
7-13
8-10
56,39
17,92
8,03
12,70
6,56
Nilai (% bobot
kering) 3
61,8
6,9
18,2
td
td
Keterangan: 1Belay (S. platensis), 1997; 2Handayani (S. platensis), 2003; 3Rafiqul et al. (S.
fusiformis), 2005; td = tidak ada data
Spirulina mengandung protein dalam jumlah yang banyak (lebih dari 65%
dari bobot keringnya), selain itu mengandung juga asam lemak essensial terutama
GLA- gamma linolenic acid, polisakarida, pikobiliprotein, karotenoid, vitamin
terutama vitamin B12, dan mineral (Belay et al., 1996 dalam Hu, 2004b).
Download