1 PENDAHULUAN Penanggulangan pencemaran akibat limbah minyak bumi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu secara fisika, kimia, dan biologi. Upaya pengolahan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi dapat dilakukan dengan pengolahan secara biologis sebagai alternatif teknologi pengolahan limbah minyak bumi. Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran dan penyerapan minyak kedalam tanah. Penanggulangan tumpahan minyak bumi secara fisika biasanya digunakan pada awal penanganan. Pada penanganan ini, tumpahan minyak bumi diatasi secara cepat sebelum menyebar kemana-mana. Minyak bumi yang terkumpul di permukaan dapat diambil kembali, misalnya dengan oil skimmer, sedangkan yang mengendap sulit diambil secara fisika. Pengambilan minyak di permukaan tidak dapat dilakukan secara tuntas. Apabila minyak sudah menyebar kemana-mana, cara ini sulit dilakukan (Prince et al. 2003). Penanggulangan secara kimia dilakukan dengan mencari bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi minyak, tetapi pemakaiannya dapat menimbulkan masalah. Salah satu cara pengolahan limbah minyak dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi adalah pengolahan secara biologis. Pemulihan lahan tercemar oleh minyak bumi dapat dilakukan dengan menggunakan kapasitas kemampuan mikroorganisme. Fungsi dari mikroorganisme adalah mendegradasi struktur hidrokarbon yang ada dalam tanah yang terkontaminasi minyak bumi menjadi mineral-mineral yang lebih sederhana serta tidak membahayakan terhadap lingkungan. Teknik seperti ini disebut bioremediasi. Menurut Udiharto (1996), bioremediasi adalah teknologi ramah lingkungan yang cukup efektif, efisien, dan ekonomis. Bioremediasi merupakan proses detoksifikasi dan degradasi limbah minyak. Seluruh prosedur kerja serta pelaksanaan bioremediasi mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang tata cara dan persyaratan teknik pengelolaan limbah minyak dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis. Limbah yang akan diolah dengan metode biologis harus dianalisis terlebih dulu kandungan minyak atau Total Petroleum Hydrocarbon (TPH). Konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis adalah tidak lebih dari 15%. Sedangkan nilai akhir hasil akhir pengolahannya adalah TPH 1%. Biodegradasi limbah minyak bumi di lingkungan air terjadi pada bagian antarmuka lapisan air dan minyak. Oleh karena itu, biodegradasi akan lebih cepat terjadi bila limbah minyak tersebut dalam bentuk terdispersi dalam air. Kondisi ini akan memudahkan penyediaan oksigen dan unsurunsur makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Udiharto 1996). Surfaktan memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu molekulnya. Salah satu sisinya akan mengikat minyak (nonpolar), di sisi lain surfaktan akan mengikat air (polar). Menurut Clark (2004), surfaktan nonionik adalah bahan esensial yang tidak beracun dengan konsentrasi ambang batas lebih dari 100g/kg. Selain itu, umumnya surfaktan nonionik bersifat biodegradabel. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan penambahan surfaktan nonionik yang disertai pengadukan agar membantu kelarutan minyak sehingga mempercepat proses degradasi. Penelitian bertujuan menentukan konsentrasi optimum surfaktan nonionik sebagai pengemulsi limbah minyak bumi dalam air serta laju pengadukan optimum yang mendukung kelarutan limbah minyak bumi dalam air. TINJAUAN PUSTAKA Limbah Minyak Bumi Minyak bumi terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan organik (sel-sel dan jaringan hewan/tumbuhan) yang tertimbun selama berjuta tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan ataupun daerah lepas pantai (Hadi 2004). Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama, bergantung pada sumber penghasil minyak bumi tersebut. Misalnya, minyak bumi Amerika komponen utamanya ialah hidrokarbon jenuh, yang digali di Rusia banyak mengandung hidrokarbon siklik, sedangkan yang terdapat di Indonesia banyak mengandung senyawa aromatik dan kadar belerangnya sangat rendah. Komposisi minyak bumi maupun produknya merupakan campuran kompleks senyawa organik yang terdiri atas senyawa hidrokarbon dan non hidrokarbon. Kandungan senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi lebih dari 90%, sisanya merupakan senyawa non hidrokarbon (Udiharto 1996). 2 Limbah minyak bumi adalah sisa atau residu minyak yang terbentuk dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang terdiri atas kontaminan yang sudah ada di dalam minyak, maupun kontaminan yang terkumpul dan terbentuk dalam penanganan suatu proses dan tidak dapat digunakan kembali dalam proses produksi. Limbah minyak bumi dapat berasal dari tumpahan dan ceceran pada kegiatan produksi, pengeboran, serta distribusi minyak bumi, rembesan minyak dari reservoarnya, minyak bekas, dan limbah kegiatan lain (Polosoro 2005). Selama kegiatan industri perminyakan yaitu mulai dari pengeboran, produksi, transportasi minyak bumi, dan pengilangan produk minyak umumnya terjadi tumpahan maupun ceceran minyak bumi dan produkproduknya yang terjadi di lingkungan lahan maupun perairan. Dalam keadaan normal, limbah yang terbuang ke lingkungan tidak terlalu besar, namun apabila terjadi kecelakaan akan berakibat fatal seperti yang terjadi di beberapa tempat di dunia. Senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa benzena, toluena, etil benzena, dan xilena, dikenal sebagai BTEX yang merupakan komponen utama dalam minyak bumi, bersifat mutagenik dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun di darat (Fahruddin 2004). Surfaktan Surfaktan adalah suatu bahan yang aktif pada antarmuka antara dua fase, seperti pada antarmuka antara fase hidrofilik dan hidrofobik. Molekul surfaktan akan berkumpul pada antarmuka dan menurunkan tegangan permukaannya (Atkins 1994). Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air dengan cara mengadsorpsi pada antarmuka gas-cair. Surfaktan juga mengurangi tegangan permukaan minyak dan air dengan cara mengadsorpsi pada antarmuka cair-cair (Schramm 2000). Salah satu fungsi surfaktan adalah sebagai pengemulsi, yaitu sebagai pendispersi suatu cairan ke dalam cairan lain yang tidak saling campur karena surfaktan memiliki gugus polar dan gugus non polar sekaligus dalam satu molekulnya. Sehingga satu sisi surfaktan akan mengikat minyak yang bersifat non polar dan sisi lainnya akan mengikat air yang bersifat polar. Penambahan surfaktan ke dalam suatu campuran minyak-air dimaksudkan agar substrat (minyak) lebih larut dalam air. Dengan larutnya substrat non polar ini, proses metabolisme dapat berlangsung dengan cepat. Surfaktan berperan sebagai elektrolit dalam larutan encer, tetapi dalam konsentrasi yang lebih tinggi menghasilkan peran yang berbeda. Hal ini dijelaskan melalui bentuk formasi agregat dari molekul yang besar disebut dengan misel (Schramm 2000). Surfaktan digunakan secara luas dan ditemukan dalam berbagai aplikasi seperti pada industri perminyakan karena kemampuannya yang baik sekali dalam memengaruhi sifat-sifat permukaan dan antarmuka. Sifat yang luar biasa dari larutan encer surfaktan berasal dari keberadaan gugus hidrofilik (kepala) dan gugus hidrofobik (ekor) pada molekulnya. Gugus polar atau ionik biasanya berinteraksi kuat dengan lingkungan berair melalui interaksi dipoldipol. Sifat dasar dari gugus polar ini yang digunakan dalam pembagian kategori surfaktan (Schramm 2000). Gugus hidrofilik adalah gugus polar seperti karboksilat, sulfonat, sulfat, fosfat, garam aluminium kuartener, dan lain-lain, sedangkan gugus hidrofobik adalah rantai karbon dengan panjang 8 hingga 22. Berdasarkan gugus hidrofilik, surfaktan dibagi menjadi tiga, yaitu ionik (kationik dan anionik), nonionik (gugus hidrofilik tidak bermuatan), dan amfoterik (dapat bermuatan positif dan negatif). Surfaktan nonionik berbeda dari surfaktan anionik dan kationik, molekulnya tidak bermuatan ketika dilarutkan dalam media berair. Kehidrofilikannya disebabkan oleh ikatan hidrogen antara molekul surfaktan dengan molekul-molekul air. Umumnya surfaktan nonionik mengandung rantai poli(etilen oksida) sebagai gugus hidrofilik. Poli(etilen oksida) adalah polimer yang larut dalam air (Tharwat 2005). Rantai poli(etilen oksida) dari surfaktan non ionik biasanya sangat panjang sedangkan rantai yang sedang dan lebih pendek dimiliki oleh surfaktan kationik (Holmber et al. 2003). Polioksietilen(20)sorbitan monooleat yang biasa disebut juga dengan Tween 80 termasuk dalam jenis surfaktan nonionik yang berasal dari sorbitan polioksilat dan asam oleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26. Tween 80 memiliki bobot molekul 1310 gram/mol, densitas sebesar 1.06-1.09 gram/mL. Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan larut dalam air. Gugus hidrofiliknya adalah polieter yang disebut juga gugus polioksietilen (polimer dari etilen oksida). Tween 80 biasa digunakan dalam es krim dan obat tetes mata. Tween 80 3 merupakan surfaktan nonionik yang bersifat biodegradabel dan tidak toksik (Quintero et al. 2005). Struktur Tween 80 dapat dilihat pada Gambar 1. ditarik lebih besar ketika cairan diantara fluida bawah dan fluida atas posisinya vertikal (Hills 1988). Metode ini didasarkan pada penentuan gaya yang diperlukan untuk menarik cincin Pt-Ir dari permukaan cairan (Holmberg et al. 2003). seimbang Gambar 1 Struktur molekul Tween 80 (Schraam 2005). Brij 35 atau bisa disebut dengan lauril alkohol etoksilat. Rumus molekulnya ialah (C12H25(OCH2CH2)23OH). Brij termasuk dalam golongan alkohol etoksilat yang memiliki bagian ekor hidrofobik berupa rantai alkohol dengan 12 atom karbon dan bagian kepala hidrofilik berupa rantai etoksi. Surfaktan ini stabil pada pH 3 sampai 11 (Holmberg et al. 2003). Wujudnya cairan kental dan larut dalam air. Brij 35 biasanya digunakan dalam deterjen, penstabil, pengemulsi, dan lain-lain. Struktur Brij 35 dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Struktur molekul Brij 35. Tegangan Permukaan Salah satu sifat yang merupakan akibat langsung dari gaya antarmolekul yang terdapat di dalam zat cair adalah tegangan permukaan. Gaya yang terjadi menimbulkan tegangan di permukaan zat cair (seolah-olah permukaan zat cair itu ditutupi oleh selapis kulit yang kuat). Molekul di bagian dalam mengalami gaya tarik menarik yang sama dari segala arah. Sebuah molekul dari permukaan ditarik hanya oleh molekul-molekul lain yang ada di permukaan (sebelah kiri dan kanannya) dan oleh molekul-molekul yang ada di bawah permukaan. Hasilnya adalah suatu gaya yang mengarah ke bagian dari zat cair tersebut. Tegangan permukaan larutan hampir mencapai jenuh saat mencapai KMK. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, hampir semua molekul surfaktan membentuk misel dan sedikit molekul yang teradsorpsi di permukaan sehingga hanya sedikit terjadi perubahan tegangan permukaan (Jaya 2005). Metode cincin Du Noűy adalah salah satu metode yang digunakan untuk menentukan tegangan permukaan. Gaya untuk menahan cincin horizontal dalam permukaan yang Gambar 3 Metode cincin Du Noűy (Holmberg et al. 2003). Cincin yang tergantung pada neraca torsi ditarik dari cairan dengan memutar kawat torsi. Gaya (F) yang diperlukan untuk memutuskan film cairan adalah F = 4πRγ dengan R jari-jari cincin dan γ tegangan permukaan. Metode ini mempunyai faktor koreksi (Fr), yaitu: Fr 0.7250 0.01452P C2 D d 0.04534 1.679r R dengan r adalah jari-jari kawat, R jari-jari cincin, P nilai tegangan permukaan terukur, C keliling cincin, d berat jenis untuk fluida di atas, dan D adalah berat jenis untuk fluida di bawah. Untuk mendapatkan nilai tegangan permukaan yang sebenarnya, faktor koreksi harus dimasukkan ke dalam perhitungan sehingga persamaan menjadi: γ= F mg × Fr = × Fr = P × Fr 4 R 4 R dengan F gaya yang terbaca pada skala neraca torsi, γ tegangan permukaan yang nyata dan Fr faktor koreksi. Emulsi Emulsi merupakan dispersi suatu cairan dalam cairan lainnya. Hampir semua emulsi terdiri dari air pada salah satu fasenya dan cairan organik pada fase lainnya. Fase organik biasanya berupa minyak. Emulsi terbagi atas dua macam, yaitu emulsi minyak dalam air dan emulsi air dalam minyak (Holmberg et al. 2003). Emulsi tidak hanya berisi minyak, air, dan pengemulsi (surfaktan) tetapi juga partikel padat bahkan gas (Schramm 2005). Stabilitas emulsi merupakan suatu sistem ketika tetesan mempertahankan sifat awalnya 4 karena penggabungan tetesan-tetesan dicegah oleh energi penghalang yang cukup besar. Pada umumnya energi penghalang dibangun oleh lapisan pengemulsi yang terbentuk pada permukaan tetesan-tetesan (Heusch et al. 1987). Stabilitas suatu produk emulsi bergantung pada cara pengemulsian dan jenis pengemulsi yang ditambahkan pada saat emulsifikasi. Bahan yang umum untuk menstabilkan emulsi adalah surfaktan karena surfaktan hampir terjerap ireversibel pada antarmuka. Tolakan sterik di antara bagian-bagian surfaktan dalam medium pendispersi merupakan suatu pengaruh yang penting. Rantai hidrokarbon dihalangi dalam pergerakan termalnya jika dua tetesan air saling mendekati terlalu rapat dan gugus kepala hidrofilik didehidrasi sehingga terjadi kontak yang rapat. Akibatnya tolakan hidrasi menstabilkan emulsi (Jaya 2005). Busa Busa merupakan dispersi dari gas dalam cairan atau padatan. Perbandingan antara gas dan cairan akan menentukan penampakan dari busa yang biasa disebut bilangan busa. Pada bilangan busa yang kecil, gelembung gas berbentuk bola dan lamela di antara busanya sangat tebal. Busa terdiri atas dua jenis dan memiliki perbedaan dalam metode karakterisasinya. Dua macam busa tersebut, yaitu busa stabil dan busa tidak stabil (Holmberg et al. 2003). Busa biasanya memiliki diameter lebih besar dari 10μm dan mungkin lebih besar dari 1000 μm. Busa tidak hanya terdiri atas gas dan cairan (biasanya surfaktan) tetapi juga dispersi minyak dan partikel padat (Schramm 2005). Busa selalu terbentuk dari campuran, sebaliknya cairan murni tidak akan berbusa. Kondisi pertama yang diperlukan oleh campuran cairan untuk berbusa adalah salah satu komponen haruslah memiliki permukaan yang aktif. Penurunan tegangan permukaan pada penambahan komponen kedua merupakan ukuran aktivitas permukaan. Sedangkan kondisi kedua adalah elastisitas permukaan (Holmberg et al. 2003). Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) didefinisikan suatu campuran kimia yang tersusun atas hidrokarbon yang ada di lingkungan. Hidrokarbon minyak bumi umumnya ditemukan pada bahan pencemar lingkungan misalnya bahan bakar transportasi walaupun tidak selalu dikategorikan limbah berbahaya (ATSDR 1999). Departement of Environmental Quality (DEQ) mendefinisikan TPH sebagai senyawa karbon yang memiliki jumlah atom C antara 6 sampai 35 yang mewakili bermacam-macam variasi dari campuran senyawa kompleks. Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand (COD) adalah parameter yang menurut APHA (1992) merupakan salah satu cara untuk menghitung kandungan bahan organik total. Berbagai metode pengukuran COD telah dikembangkan oleh para ahli, diantaranya metode open reflux (titrimetri) dan metode closed reflux (titrimetri dan spektrofotometri). Jumlah bahan organik yang dapat teroksidasi dapat ditentukan secara tidak langsung melalui jumlah oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimiawi yang disebut COD. Nilai COD dapat ditentukan dengan oksidasi secara kimiawi menggunakan kalium bikromat yang dipanaskan dengan asam sulfat pekat. Kandungan oksigen yang digunakan untuk menghancurkan bahan organik diukur oleh besarnya penggunaan zat oksidator kuat (K2Cr2O7) dalam suasana asam dengan katalis peraksulfat. BAHAN DAN LINGKUP Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah jenis surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35), dan limbah minyak bumi berasal dari Riau. Alat-alat yang digunakan adalah ultrasonic homogenizer, dan Surface Tensiometer Model 20. Lingkup Penelitian Penelitian ini terbagi atas tiga tahap, yaitu menentuan tegangan permukaan surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35), menguji pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap stabilitas emulsi, memvariasikan laju pengadukan. Parameter yang ditentukan antara lain TPH padat, TPH cair, pH, dan COD (dari masing-masing pengadukan). Pengukuran Bobot Jenis Akuades dan Surfaktan Piknometer kosong ditimbang, lalu diisi dengan akuades sampai penuh dan ditimbang kembali. Bobot akuades adalah selisih antara